Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 15
PADA SAAT
yang hampir bersamaan tadi, Lian Ci Tojin juga sudah melayang naik sambil
membawa pedangnya yang telah dia cabut dari atas tanah. Ia pun menggunakan
pedang itu menyerang Keng Hong dengan bacokan dahsyat, tepat pada saat Keng
Hong habis menendang roboh Sian Ti Tojin.
"Ngo-sute
(adik kelima), sungguh keterlaluan engkau!" Kiang Tojin berkata dan
sebelum Keng Hong bergerak menyambut serangan Lian Ci Tojin, Kiang Tojin sudah
mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu dan menyambut sambaran pedang itu.
"Cring-tranggggg..!
Auhhh…!"
Tubuh Lian
Ci Tojin juga terlempar ke bawah gentang, pedangnya terlepas dari pegangan
ketika bertemu dua kali dengan baja belenggu dan dia roboh oleh tendangan Kiang
Tojin yang gerakannya sama dengan gerakan Keng Hong merobohkan Sian Ti Tojin
tadi!
"Cia
Keng Hong, bagaimana engkau dapat mengenal Hek-liong Lo-hai tadi dan mampu
mainkan jurus Hui-eng Coan-in (Garuda Terbang Menerjang Awan) tadi? Kedua jurus
itu merupakan jurus-jurus simpanan tingkat tinggi dari Kun-lun-pai!" tegur
Kiang Tojin, lebih banyak merasa kagum akan kesempurnaan gerakan Keng Hong yang
bahkan melebihi gerakannya sendiri itu dari pada marah dan penasaran.
Dengan dua
tangannya Keng Hong kembali menyodorkan kitab pusaka itu kepada Kiang Tojin.
"Maaf, Totiang, saya bukan sengaja mencuri dan tidak akan saya berani
membuka rahasia ilmu-ilmu itu kepada orang lain. Saya mendapatkannya dari sini,
dan terimalah pusaka peninggalan Thai Kek Couwsu ini! Dan karena Sian Ti Tojin
telah begitu baik hati untuk menyerahkan tongkat ketua kepada Totiang,
sebaiknya Totiang menerima tongkat itu sekalian!"
Kiang Tojin
tertegun, bagaikan orang terpesona dia memandang ke arah kitab, suaranya
gemetar dan kedua kakinya menggigil saat dia bertanya lirih, "Keng Hong,
bersumpahlah. Benarkah kitab itu peninggalan Couwsu?"
"Saya
bersumpah demi kehormatan saya, Totiang."
Mendengar
ini, Kiang Tojin lalu menerima kitab dengan kedua tangan, membukanya dan
membaca huruf-huruf indah di halaman pertama: THAI-KEK SIN-KUN INI DICIPTAKAN
UNTUK CALON-CALON KETUA KUN-LUN-PAI. Wajah Kiang Tojin makin berseri ketika dia
membuka-buka kitab itu, lantas mengangkat tinggi-tinggi kitab itu di atas
kepalanya, menghadapi semua tosu di bawah genteng dan berteriak,
"Para
murid Kun-lun-pai! Ternyata kitab ini benar-benar peninggalan Couwsu kita!
Marilah kita menghaturkan terima kasih kepada Couwsu!" Kiang Tojin,
menjatuhkan diri berlutut dan semua tosu di bawah genteng pun lalu menjatuhkan
diri berlutut di atas tanah!
"Teecu
sekalian menghaturkan syukur dan terima kasih atas budi kecintaan Couwsu yang
sudah meninggalkan kitab ini kepada teecu sekalian. Teecu bersumpah untuk
menjunjung tinggi peninggalan Couwsu dan mencamkan semua ajaran Couwsu!"
Wajah Kiang
Tojin berseri-seri dan matanya bersinar saat dia bangkit berdiri lagi. Dengan
lantang dia berkata, "Engkau benar, Keng Hong. Kesulitan-kesulitan dan
urusan-urusan pribadi harus disingkirkan dan dikesampingkan ketika menghadapi
urusan perkumpulan! Kun-lun-pai perlu dibangun, perlu diperkuat dan karena
couwsu berkenan meninggalkan pusaka ini kepada pinto, maka pinto berhak menjadi
ketua! Juga tongkat ketua, berkat ketangkasanmu, sudah berhasil dirampas
kembali. Siapakah di antara para saudara yang tidak setuju kalau pinto menjadi
ketua Kun-lun-pai?"
Tiada
seorang pun di antara para tosu berani mengeluarkan suara, bahkan empat orang
tosu yang menjadi adik-adik seperguruan Kiang Tojin, sekarang memandang pada
kakak seperguruan tertua itu dengan sinar mata penuh harapan. Kemudian semua
tosu-tosu itu mengerling ke arah Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin yang berdiri
dengan muka pucat.
"Cia
Keng Hong, selama hidup pinto takkan melupakan perbuatanmu ini dan sekali waktu
pinto akan membalas dendam ini!" bentak Lian Ci Tojin sambil mengertakkan
giginya.
"Cia
Keng Hong, kau telah berani merampas tongkat ketua dan menggunakan kekerasan
untuk mencampuri urusan Kun-lun-pai. Selamanya Kun-lun-pai akan mengutukmu,
selalu menganggapmu sebagai musuh besar!" kata pula Sian Ti Tojin.
Keng Hong
tertawa, "Pemutar balikan fakta merupakan fitnah keji, Ji-wi Totiang. Aku
tidak mencampuri urusan Kun-lun-pai dan tentang tongkat, siapakah yang bergerak
lebih dulu melakukan serangan? Aku hanya membela diri dan salahmu sendiri
mengapa sebagai ketua kurang sempurna ilmumu, dan mengapa pula engkau
meninggalkan tongkatmu ke tanganku. Bukankah seorang ketua Kun-lun-pai harus
selalu menjaga tongkatnya seperti menjaga nyawa sendiri? Sekarang terserah
padamu. Lawanlah Kiang Tojin jika memang kau merasa lebih berhak dan lebih
pandai. Ada pun aku..., hemmm, aku hanya menjadi saksi dan aku yang akan turun
tangan menghadapinya kalau kau minta bantuan kepada tokoh-tokoh kaum
sesat!"
Melihat
betapa kedua orang tosu itu diam saja, hanya memandang kepada Keng Hong dengan
pandang mata melotot penuh kebencian, Kiang Tojin lalu menggerakkan kedua
tangannya dan terdengarlah suara berkerotokan ketika belenggu pergelangan
tangannya patah-patah.
"Ji-sute
dan Ngo-sute, kalian juga mengerti sendiri kenapa dulu pinto mengalah. Pertama
untuk memenuhi janji bahwa siapa yang kalah harus memberikan kedudukan ketua.
Pinto telah kalah oleh Ang-kiam Bu-tek yang mewakilimu, dan tongkat ketua juga
sudah dapat dirampas dari tangan pinto. Hanya karena pinto tidak menghendaki
perpecahan di tubuh Kun-lun-pai sesuai dengan pesan suhu, maka pinto mengalah,
suka diperlakukan sebagai orang hukuman. Andai kata pinto tidak mau menerima
dan melawan setelah Ang-kiam Bu-tek pergi tentu kalian berdua tak akan mampu
melawan dan mengalahkan pinto. Kini pinto sadar bahwa sesungguhnya kalian telah
menyelewengkan Kun-lun-pai dan bahwa sikap mengalah dari pinto bukan hal benar,
bahkan merupakan pengkhianatan terhadap Kun-lun-pai, terhadap suhu yang telah
menaruh kepercayaan kepada pinto. Dulu tongkat ini dirampas dari tangan pinto
oleh Ang-kiam Bu-tek, kini kembali ke tangan pinto atas bantuan Cia Keng Hong.
Hal ini sudah sewajarnya maka pinto suka menerima kembali ini. Apa lagi setelah
pinto harus memimpin anak murid Kun-lun-pai seperti yang dikehendaki
pendirinya, yaitu Couwsu kita!"
"Kiang
Tojin, kelak kita akan saling berjumpa kembali!" Terdengar suara Sian Ti
Tojin penuh kemarahan dan dendam. "Mulai detik ini, aku bukan lagi tosu
Kun-lun-pai!"
"Sute...!"
Kiang Tojin berseru.
Akan tetapi
Sian Ti Tojin sudah menoleh kepada Lian Ci Tojin dan berkata singkat,
"Hayo kita pergi!"
Dua orang
tosu itu sudah meloncat pergi. Keng Hong bergerak hendak mengejar sambil
berkata lirih, "Dia harus dibasmi...!"
Kiang Tojin
mengira bahwa Keng Hong hendak membunuh mereka karena sikap mereka sebagai
murid-murid Kun-lu-pai yang murtad, maka dia cepat-cepat mencegah,
"Jangan, biarkan mereka pergi... ini urusan Kun-lun-paii..."
Sebetulnya
Keng Hong berniat membunuh Lian Ci Tojin atas perbuatannya terhadap Tan Hun
Bwee dulu, akan tetapi mendengar cegahan ini, dia menjadi tidak enak hati
terhadap Kiang Tojin dan mengurungkan niatnya. Sikap kedua orang tokoh
Kun-lun-pai itu sudah cukup menghancurkan hati Kiang Tojin.
Para tosu
yang tadinya bersekutu dengan Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin menjadi amat
ketakutan sendiri dan mereka segera menerima dengan penuh kerelaan hati ketika
Kiang Tojin mengatakan bahwa siapa yang merasa bersalah dipersilakan untuk
menghukum diri sendiri di dalam ruang ‘pencuci dosa’ dan kamar-kamar
‘penyesalan diri’. Para tosu yang merasa bersalah, hampir dua puluh orang
banyaknya, segera berbondong-bondong pergi memasuki tempat-tempat yang khusus
diadakan oleh Kun-lun-pai bagi anak-anak murid Kun-lun-pai untuk menyesali
perbuatan sendiri yang tersesat.
Diam-diam
Keng Hong menjadi gembira dan juga kagum sekali. Ternyata bahwa Kiang Tojin
masih cukup berwibawa dan dia ingat pada para tosu yang bermain asmara dengan
wanita dusun di lereng gunung dan dia tersenyum sendiri. Salahkah tosu itu?
Tidak! Tidak salah, hanya lemah terhadap pantangan yang memang diadakan oleh
golongan mereka dan yang sudah diakui olehnya sendiri! Bersalah kiranya orang
yang melanggar larangan yang sudah diakuinya sendiri bahwa larangan itu tak
boleh dilanggar.
"Keng
Hong, kedatanganmu seperti datangnya dewa yang menyadarkan pinto dari mimpi
buruk. Dan besar sekali budimu terhadap Kun-lun-pai dan terhadap Couwsu kami.
Tidak percuma kiranya ketika Thian dahulu menggerakkan hati pinto untuk
membawamu ke sini, Keng Hong. Sekarang ceritakanlah, bagaimana engkau bisa
menemukan tempat bertapa mendiang Couwsu, dan bagaimana pula semua pusaka
gurumu sampai dapat tercuri oleh Ang-kiam Tok-sian-li yang sekarang menjadi
begitu lihai dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek?"
Keng Hong
yang kini diajak duduk di ruangan dalam oleh Kiang Tojin yang sudah menjadi
ketua Kun-lun-pai, segera menceritakan pengalamannya semenjak dia dikejar-kejar
dan naik ke puncak batu pedang. Di antara seluruh manusia di dunia ini, hanya
kepada Kiang Tojin-lah satu-satunya tokoh kang-ouw yang boleh dipercaya dan
yang sama sekali tidak memiliki niat buruk terhadap dirinya, tidak pula
menginginkan harta pusaka dan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong.
Ia
menceritakan betapa akhirnya dia berhasil mendapatkan tempat rahasia
penyimpanan pusaka gurunya, akan tetapi betapa terpaksa dia mengajak Cui Im
karena selain gadis itu sudah menolongnya, juga kalau tidak dia ajak, tentu
gadis itu terancam keselamatannya oleh para tokoh kang-ouw yang mengejarnya.
Diceritakan selanjutnya betapa dia tertipu oleh Cui Im itu, terjebak di ujung
seberang jurang akan tetapi akhirnya kekejian Bui Im itu bahkan membuat dia
berhasil menemukan tempat rahasia di mana terdapat rangka dan kitab peninggalan
Thai Kek Couwsu!
Akhirnya dia
menceritakan perjalanannya keluar dari tempat rahasia itu. Ia menceritakan
hanya secara singkat, melewatkan saja keterangan tentang tempat itu sendiri,
dan tidak menyebut-nyebut hal lainnya, misalnya pengetahuannya mengenai
kekejian Lian Ci Tojin terhadap Tan Hun Bwee, mau pun tosu Kun-lun-pai yang
bermain cinta dengan wanita dusun.
Kiang Tojin
mengelus jenggotnya yang panjang dan menarik napas panjang. "Aaah, baru
empat tahun mempelajari kitab-kitab peninggalan suhu-mu, gadis itu sudah
sedemikian lihainya sehingga aku roboh di tangannya! Dan kitab-kitab itu
dibawanya semua!"
"Saya
pun merasa menyesal sekali, Totiang. Semua itu akibat kelalaian saya, merupakan
kesalahan dan tanggung jawab saya. Saya sudah mengambil keputusan untuk mencari
Cui Im hingga dapat, merampas semua kitab-kitab peninggalan suhu yang telah
dicurinya, lalu saya hendak mengembalikan semua kitab dan pedang-pedang pusaka
kepada orang yang berhak."
"Baik
sekali pendirianmu itu, Keng Hong. Gurumu Sie Cun Hong bukanlah seorang yang
jahat atau berdasarkan watak yang buruk. Tidak sama sekali, dia adalah seorang
taihiap, seorang pendekar besar yang di samping lihai sekali, juga selalu siap
menentang segala kejahatan dan mempertaruhkan jiwa untuk membela kebenaran,
keadilan dan kebajikan. Akan tetapi dia berwatak aneh, tidak mengindahkan
hukum-hukum yang dibuat manusia, bertindak seenak hatinya sendiri asal
bersandar kebenaran menurut penilaiannya. Boleh jadi gurumu telah menolong
ribuan orang, telah menentang ribuan kejahatan, akan tetapi karena wataknya
yang ugal-ugalan ini, sukanya akan wanita cantik tanpa mempedulikan apakah
wanita itu isteri orang ataukah gadis, asal suka kepadanya tentu akan dia
layani, kemudian ditambah dengan kesukaannya akan benda-benda pusaka yang tak
segan lalu dicurinya dari tangan orang lain menggunakan kepandaiannya, maka
segala kebaikannya itu dilupakan orang dan dia pun dimusuhi. Karena itu,
pendirianmu untuk mengembalikan benda-benda pusaka yang dulu dicuri atau
dirampas oleh suhu-mu, merupakan kebaktian pada gurumu, mencuci noda pada
namanya. Dan engkau tidak perlu menjadi penasaran menghadapi kenyataan bahwa
benda-benda pusaka itu dicuri orang, karena benda yang mudah didapat akan mudah
lenyap pula, benda yang didapat dengan mencuri tentu akan lenyap tercuri, siapa
menanam pohonnya dia memetik buahnya."
Keng Hong
mengangguk-angguk lantas berkata. "Saya mengenal watak mendiang suhu,
Totiang, dan saya juga tidak dapat menyalahkannya. Memang, selagi masih hidup
tidak menikmatinya, lalu apa gunanya segala anugerah yang diberikan Thian
kepada manusia? Menikmati kesenangan hidup adalah hak manusia, asalkan si
manusia dapat mengekang diri, dapat mengendalikan hawa nafsu yang mendorongnya
untuk menikmati kesenangan duniawi sehingga tidak sampai mabuk, tidak sampai
melupakan kebajikan dan melakukan kejahatan hanya untuk pemuasan nafsu.
Pemuasan nafsu dilakukan dengan wajar tanpa merugikan orang lain adalah
kenikmatan yang menjadi anugerah Thian, mengapa ditolak? Maaf, Totiang, tentu
saja pendirian seorang pendeta seperti Totiang akan lain lagi. Hanya sebaiknya
diingat bahwa suhu bukanlah pendeta, melainkan manusia biasa."
Kiang Tojin
mengerutkan alis dan menghela napas panjang. "Pinto tak bisa menyalahkan
siapa-siapa. Ada baik ada buruk, hal itu sudah wajar. Ada senang ada susah,
memang saudara kembarnya yang takkan dapat dipisahkan. Yang mencari senang akan
bertemu susah, itu memang resikonya dan juga sudah semestinya. Pengertian saja
belum cukup. Oleh karena itu, engkau yang masih muda memang baru akan dapat
mengerti dengan sempurna setelah digodok oleh pengalaman dan sudah menjadi
hakmu untuk mengalami segala hal di dunia ini. Hanya pesanku Keng Hong,
pengalaman pahit jauh lebih berharga dari pada pengalaman manis, dan ingat pula
bahwa sesal kemudian sama sekali tiada gunanya. Ingat bahwa kebenaran yang
mendatangkan kesenangan di hati sendiri belum tentu kebenaran yang sejati.
Kebenaran yang mendatangkan kesenangan di hati orang lain itu pun hanya lebih
dekat dengan yang sejati, Engkau bebas untuk bergerak dalam hidup, dan guru
yang paling dapat kau andalkan adalah Guru Sejati yang berada di dalam dirimu
pribadi."
Setelah
banyak menerima wejangan Kiang Tojin, akhirnya Keng Hong pergi meninggalkan
Kun-lun-pai dengan dada lapang bahwa dia telah dapat membantu memulihkan
keadaan Kun-lun-pai dan biar pun sedikit dapat pula menebus budi kebaikan Kiang
Tojin.
***************
"Aaauuuuuuhhhh...
toloooooonggg...!"
Jerit
melengking wanita ini tiba-tiba terdiam. Memang leher yang dicekik tentu saja
tidak akan dapat menjerit lagi. Jerit itu keluar dari sebuah kamar yang indah
dan diterangi sinar lilin terbungkus sutera merah, remang-remang romantis
sehingga menambah keindahan kamar yang berbau harum itu.
Akan tetapi
apa yang terjadi di dalam kamar pada malam hari itu? Seorang gadis remaja,
puteri hartawan dan bangsawan yang menjadi kembang kota itu, tertimpa mala
petaka. Ketika dia sedang tidur pulas tadi, tiba-tiba dia terbangun dan hampir
dia pingsan ketika melihat betapa seorang laki-laki yang berpakaian mewah serta
berwajah tampan sedang memeluk dan menciumi mukanya sambil jari-jari tangan
laki-laki ini merenggut-renggutkan pakaiannya sehingga robek-robek.
Sejenak
gadis itu tak dapat menjerit saking kaget dan juga karena mulutnya tertutup
oleh ciuman-ciuman penuh nafsu yang membuatnya bernapas pun sukar, apa lagi
menjerit. Ia hanya dapat membelalakkan mata dan meronta-ronta, akan tetapi
gerakannya meronta ini agaknya malah menambah berkobarnya nafsu jalang
laki-laki itu.
"Diamlah
manisku, diamlah nona... aduh, betapa cantik jelita engkau...," lelaki itu
berbisik dengan napas mendengus-dengus.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh nona yang mulutnya bebas. Akan tetapi hanya satu kali
saja dia dapat menjerit karena mulutnya segera tertutup kembali oleh mulut
laki-laki itu dan lehernya dilingkari jari-jari tangan yang kuat.
"Kalau
kau menjerit lagi, kucekik mampus kau!" laki-laki itu mendesiskan bisikan
marah, akan tetapi gadis itu tidak dapat menjerit lagi karena saking ngeri dan
takutnya dia telah kehilangan suara dan setengah pingsan.
Akan tetapi
satu kali jeritannya tadi sudah cukup. Ayahnya adalah seorang bangsawan,
seorang pembesar militer yang banyak berjasa dalam perang, sebagai seorang di
antara panglima dari utara. Pada malam hari itu, ayahnya sedang menjamu banyak
orang gagah yang dahulu membantu gerakan bala tentara dari utara yang dipimpin
oleh Raja Muda Yung Lo yang gagah perkasa.
Malam hari
itu ada lima orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi sedang dijamu oleh
ayahnya. Karena ini, jerit melengking itu segera terdengar oleh mereka dan
bersama panglima ayah gadis itu sendiri, mereka berenam sudah berkelebat cepat
sekali menuju ke kamar si gadis.
"A-hwi...!"
Panglima itu berseru memanggil puterinya, akan tetapi tidak ada jawaban.
Sambil
menggereng penuh kekhawatiran, panglima yang tinggi besar itu menerjang daun
pintu kamar puterinya. Daun pintu bobol dan roboh, disusul enam bayangan orang
gagah itu berkelebat memasuki kamar.
"A-hwi…!"
Sekarang
teriakan panglima itu adalah teriakan yang menyayat hati, teriakan setengah
marah setengah menangis menyaksikan keadaan puterinya yang rebah terlentang
dalam keadaan telanjang dan sepasang matanya mendelik, lidahnya keluar, tidak
bernapas lagi! Jelas bahwa dia mati tercekik.
Lima orang
gagah itu adalah orang-orang yang berpengalaman. Melihat keadaan kamar
sekelebatan saja, mereka telah menemukan lubang di atas rumah, maka seperti
berlomba mereka kemudian melayang naik melalui lubang itu menembus atap dan
hinggap di atas genteng. Mereka melihat bayangan orang berjalan seenaknya di
atas genteng hendak pergi meninggalkan tempat itu.
"Berhenti...!"
Lima orang itu meloncat maju mengejar.
Bayangan
yang melangkah seenaknya di atas genteng itu berhenti, lantas membalikkan
tubuhnya menghadapi lima orang itu.
Mereka
berlima tercegang pada saat melihat bahwa bayangan itu adalah seorang laki-laki
yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan sekali dan
tubuhnya tinggi besar gagah. Pakaiannya indah dan mewah, muka dan rambutnya
juga terpelihara baik-baik. Seorang laki-laki pesolek yang menambah halusnya
wajah dengan bedak halus tipis bahkan kehitaman alis dan kemerahan bibir itu
pun amat diragukan keasliannya.
Pada waktu
lima orang kang-ouw yang tak mengenal laki-laki ini melihat perhiasan bunga
teratai emas di atas dada laki-laki itu, mereka pun terkejut dan seorang di
antara mereka segera berseru,
"Kim-lian
Jai-hwa-ong…!"
Nama ini
memang amat terkenal di dunia kang-ouw semenjak belasan tahun yang lalu.
Semenjak lama dunia kang-ouw telah geger oleh munculnya nama ini, akan tetapi
karena tokoh dunia hitam ini tak pernah mengganggu orang-orang kalangan
kang-ouw dan selalu menjauhkan diri dari bentrokan, maka jarang ada yang
mengenal orangnya.
Hal ini
bukan saja karena tokoh ini jarang memperlihatkan muka. Juga hebatnya adalah
bahwa setiap kali ada tokoh kang-ouw yang bertemu dengan dia, tentu tokoh
kang-ouw itu kedapatan tewas. Dengan demikian orang kang-ouw yang pernah
bertemu dengan dia tidak ada kesempatan lagi menceritakan kepada lain orang
bagaimana macamnya tokoh ini.
Dia dijuluki
Kim-lian (Teratai Emas) karena bajunya selalu dihiasi perhiasan bunga teratai
dari emas. Dan julukannya Jai-hwa-hong (Raja Pemetik Bunga) sudah jelas
menyatakan bagaimana macam ‘pekerjaan’ tokoh ini, yaitu memetik bunga atau
pemerkosa wanita di samping menyambar perhiasan-perhiasan berharga yang berada
di kamar wanita-wanita itu.
Itulah
sebabnya mengapa lima orang kang-ouw itu terkejut setengah mati ketika melihat
hiasan bunga teratai merah di dada laki-laki itu. Sudah menjadi kembang bibir
di dunia kang-ouw bahwa bertemu Kim-lian Jai-hwa-ong berarti bertemu dengan
maut sendiri!
Akan tetapi,
mereka berlima adalah orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, maka
tentu saja tidak menjadi gentar. Apa lagi kalau mengingat betapa penjahat ini
telah membunuh puteri tuan rumah, membuat mereka marah sekali.
Jai-hwa-ong
itu tersenyum dan sinar bulan yang menimpa wajahnya membuat wajah itu tampak
semakin tampan, senyumnya memikat dan giginya berkilauan putih bersih. Kumis
tipis di atas bibir itu bergerak-gerak ketika dia berkata lirih mengejek,
"Kalian
berlima sudah mengenal aku, tahukah kalian apa jadinya dengan orang yang telah
mengenalku?"
"Kim-lian
Jai-hwa-ong, kau boleh saja terkenal sebagai pembunuh setiap orang kang-ouw
yang bertemu denganmu. Akan tetapi jangan menyangka kami takut menghadapi
seorang penjahat rendah semacam engkau! Kami Pak-san Ngo-houw (Lima Harimau
Pegunungan Utara) sudah mengikuti penyerbuan tentara utara ke selatan, sudah
menghadapi banyak penderitaan dan ribuan kali ancaman maut, dan entah telah
berapa ratus penjahat macam engkau ini kami basmi!" bentak salah seorang
di antara lima orang tokoh. Dengan ucapan ini, mereka berlima sudah mencabut
golok masing-masing sehingga tampak sinar-sinar berkilat.
Namun
laki-laki pesolek itu tidak keliatan marah, malah dia memperlebar senyumnya
lalu berkata, "Aha, ternyata kalian adalah lima ekor tikus pegunungan
utara? Bagus sekali! Biarlah kalian tidak akan mati penasaran dan kenalilah aku
baik-baik. Aku bernama Siauw Lek dan aku adalah murid Go-bi Chit-kwi, maka kini
sekali bertemu dengan aku jangan harap kalian akan dapat hidup lagi!"
Lima orang
gagah itu sudah menerjang sambil membentak marah sekali. Golok mereka
berkelebat seperti kilat menyambar ke arah tubuh laki-laki pesolek yang masih
tersenyum itu.
Akan tetapi
penjahat bernama Siauw Lek itu ternyata bukan bersikap sombong secara kosong
belaka. Tubuhnya berkelebat dan semua serangan golok lima buah itu mengenai
tempat kosong.
Cepat sekali
gerakan penjahat itu dan ginkang-nya sudah mencapai tingkat sangat tinggi
sehingga begitu diserang dia lenyap dan tahu-tahu telah berada di belakang lima
orang itu sambil tertawa mengejek!
Lima orang
itu cepat membalikkan tubuh sambil melintangkan golok, kemudian pemimpin mereka
yang teringat bahwa mungkin penjahat ini merupakan utusan sisa-sisa musuh di
selatan, segera menahan senjatanya dan bertanya dengan suara nyaring.
"Penjahat
hina she Siauw! Sebelum engkau mampus di tangan kami, katakanlah kenapa engkau
membunuh puteri The-ciangkun?"
Penjahat itu
tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, kalian ingin tahu pula mengenai hal itu?
Nah, dengarlah. Aku disebut sebagai Raja Pemetik Bunga dan memang aku suka
sekali pada bunga-bunga harum bermadu. Aku seperti seorang kumbang yang mencari
madu-madu bunga. Apa bila ada bunga dengan senang hati membuka kelopaknya dan
menyerahkan madunya kepadaku, aku akan terbang pergi dengan kenang-kenangan
manis. Akan tetapi kalau ada bunga tidak suka menyerahkan madunya, akan
kurontokkan dia! Dara di bawah itu tak mau menyerah, bahkan menjerit, maka
terpaksa kucekik dia sampai mati. Ada jalan hidup senang dia memilih mati
konyol! Kalau tadi dia menyerah, aku akan puas, dia akan hidup dan senang
dan... Ha-ha-ha, dasar nasib, kalian pun akan mampus!"
"Keparat
hina!" Lima orang harimau gunung utara itu menjadi marah sekali dan
kembali lima batang golok mereka menyambar.
Tiba-tiba
tampak sinar hitam berkelebat dan disusul suara nyaring lima kali.
“Trang-trang-trang-trang-tranggg…!”
Kelima orang
kang-ouw itu terkejut karena pedang hitam di tangan Siauw Lek yang tadi
berkelebat telah menangkis golok-golok mereka dan begitu bertemu, golok mereka
patah semua!
"Tangkap
penjahat...!" Terdengar seruan dari arah bawah dan belasan orang pengawal
The-ciangkun yang berkepandaian lumayan sudah melayang naik ke atas genteng.
Akan tetapi
terdengar Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek tertawa, tangan kirinya bergerak dan
belasan batang senjata berbentuk paku-paku yang disebut Hek-tok-ting (Paku
Racun Hitam) meluncur cepat sekali, menyambut tubuh para pengawal yang sedang
meloncat sehingga tubuh mereka terkena senjata rahasia dan jatuh kembali ke
bawah didahului teriakan-teriakan mengerikan karena sebelum tubuh mereka
terbanting ke tanah, mereka itu telah tewas oleh paku-paku yang mengandung
racun jahat itu!
"Lima
ekor tikus, rebahlah kalian!"
Kini Siauw
Lek menggerakkan pedangnya yang berwarna hitam, cepat sekali gerakannya,
pedangnya berubah menjadi cahaya panjang yang mengeluarkan suara bercuitan.
Lima orang
gagah itu mencoba mengelak sambil menangkis dengan golok buntung, tapi sia-sia
belaka karena sinar pedang itu menebas tangan yang memegang golok terus
meluncur ke arah leher mereka. Lima orang gagah itu tidak sempat untuk
berteriak pula. Tubuh mereka menggelundung dari atas genteng dengan kepala
terpisah dari tubuh!
Panglima The
yang menjadi marah sekali saat melihat belasan orang pengawalnya roboh binasa
termakan oleh paku-paku beracun, sudah memimpin banyak sekali pengawal dan
berbareng mereka lantas melompat naik ke atas genteng. Akan tetapi mereka tak
melihat sesuatu di atas genteng. Sunyi saja dan tidak tampak bayangan seorang
pun manusia.
Panglima ini
menjadi marah bukan main melihat kelima orang sahabatnya tewas dengan leher
putus, dan malam itu juga dia mengerahkan pasukan melakukan pengejaran untuk
mencari si penjahat. Akan tetapi, mereka yang pernah melihat penjahat itu, Lima
Harimau Pegunungan Utara dan para pengawal yang meloncat naik pertama kali,
semuanya telah tewas. Tidak ada seorang pun di antara yang lain sempat
melihatnya. Ke mana hendak mengejar dan mencari? Orangnya pun tidak dikenal!
Kembali
dunia kang-ouw menjadi geger dengan terjadinya peristiwa mengerikan itu, dan
meski pun tidak ada yang melihat penjahat itu, namun paku-paku hitam beracun
itu sudah cukup menyatakan bahwa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu tak
lain adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek!
Apa lagi
ketika di antara para pengawal yang malam itu masih berada di bawah genteng
menyatakan bahwa mereka melihat berkelebatnya sinar pedang hitam, maka
orang-orang di dunia kang-ouw tidak ragu-ragu lagi bahwa pedang itu tentulah
pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) senjata penjahat cabul itu.
Memang
Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek amat lihai. Kelihaiannya tidaklah mengherankan
kalau diingat bahwa dia adalah murid tunggal Go-bi Chit-kwi yang sangat lihai
itu. Go-bi Chit-kwi sebelum mengundurkan diri dari dunia ramai merupakan
datuk-datuk hitam yang sangat ditakuti di seluruh dunia kang-ouw.
Bahkan
Bu-tek Su-kwi si empat iblis yang kini menjagoi di antara golongan sesat, masih
merupakan orang-orang muda yang belum begitu ternama ketika Go-bi Chit-kwi
sudah amat terkenal. Ketika Bu-tek Su-kwi masih muda, mereka pun gentar
menghadapi Tujuh Setan Go-bi, dan orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, yaitu
Lam-hai Sin-ni, sudah pernah dirobohkan dan hampir diperkosa oleh ketujuh setan
ini kalau saja tidak muncul mendiang Sin-jiu Kiam-ong yang menolong wanita itu.
Kini Go-bi
Chit-kwi sudah meninggal dunia di sebuah puncak di Pegunungan Go-bi-san. Akan
tetapi sebelum mereka meninggal dunia, mereka telah menurunkan semua ilmunya
kepada murid mereka yang hanya seorang, yaitu Siauw Lek.
Untuk
menamatkan pelajarannya pada tujuh orang guru itu, Siauw Lek belajar sampai dua
puluh tahun. Setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, setelah dia berusia tiga
puluh tahun, barulah ia turun gunung dan begitu turun gunung maka gegerlah
dunia kang-ouw dengan kemunculan seorang jago yang mengumbar nafsunya dengan
memperkosa wanita-wanita yang disukainya! Sejak itu muncullah julukan Kim-lian
Jai-hwa-ong yang tak pernah dilihat orang, atau pernah pula dilihat orang-orang
akan tetapi begitu bertemu dengannya tentu dibunuhnya!
Malam hari
itu hati Siauw Lek murung dan tidak puas. Ia gagal bersenang-senang dengan
puteri The-ciangkun yang tak mau melayani hasrat hatinya bahkan berani menjerit
hingga terpaksa dibunuhnya.
Siauw Lek
memang seorang Jai-hwa-ong (penjahat pemerkosa wanita), akan tetapi dia
mempunyai kebiasaan aneh yang dia beritahukan kepada lima orang Pak-san
Ngo-houw sebelum mereka dia bunuh, yaitu bahwa dia hanya mau memiliki wanita
yang bersedia melayaninya! Kalau wanita itu menolak, tentu dibunuhnya!
Banyak
wanita yang karena takut dibunuh, atau karena memang tertarik oleh wajahnya
yang tampan dan tubuhnya yang tinggi besar, suka melayaninya dan tentu saja
setelah melayani hasrat nafsu penjahat ini, wanita-wanita itu lalu menyimpannya
sebagai rahasia besar dan tidak berani menceritakan keadaan penjahat itu kepada
orang lain karena hal itu sama saja mengakui bahwa dia telah dinodai penjahat
itu! Mereka yang menolaknya pun tidak dapat menceritakan kepada orang lain
karena mereka ini tentu sudah dibunuh oleh Siauw Lek.
Ada kalanya
Siauw Lek berhasil mendapatkan pelayanan wanita yang memang tertarik kepadanya,
akan tetapi ada pula yang harus dia dapatkan dengan cara mengancam dan dalam
hal ini dia mempunyai banyak cara yang keji dan tidak mengenal peri kemanusian.
Dalam mencengkeram nafsu birahinya sendiri, Siauw Lek kadang-kadang seperti
bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang memasuki tubuhnya.
Malam itu
dia murung. Dia hanya berhasil membunuh banyak orang, namun dia semakin ditekan
serta dihimpit oleh nafsunya sendiri yang belum terpuaskan. Biasanya, sebelum
mendatangi korbannya di malam hari, siangnya dia sudah melihat-lihat dan
mencari-cari. Malam ini dia tidak ada tujuan tertentu karena siang tadi dia
mencurahkan perhatiannya kepada puteri panglima itu. Amat sukat untuk mencari
korban pada malam hari seperti itu, karena tidak mungkin pula dia harus
mengintai setiap rumah untuk mencari wanita yang disukainya.
"Bedebah!"
Ia menyumpahi nasibnya yang dianggapnya sial malam itu.
Penjahat
yang berilmu tinggi ini sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang amat
gesit gerakannya, yang seakan-akan terbang saja ketika mengikutinya dari jauh.
Tiba-tiba saja Siauw Lek berhenti berlari dan bayangan di belakangnya pun cepat
menyelinap dan bersembunyi di balik wuwungan rumah.
Kiranya
Siauw Lek berhenti bukan akibat sudah mengetahui bahwa dia dibayangi orang,
akan tetapi karena dia mendengar suara bayi menangis dari rumah di sebelah
depan, sebuah rumah kecil terpencil. Hatinya tergerak.
Hemmm, ada
bayinya tentu ada ibunya yang muda, pikir otaknya yang sudah terlalu kotor
karena selalu dipenuhi nafsu birahi yang tidak wajar. Dia lalu melompat ke
depan, ke atas genteng rumah di depan itu dan kini tangis bayi sudah tak
terdengar lagi.
Dari atas
genteng, Jai-hwa-ong ini mengintai dengan jalan membuka genteng. Di bawah
tampak sebuah kamar yang sederhana namun bersih, diterangi lampu minyak yang
cukup terang. Seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun tidur meringkuk di
sudut ranjang dengan muka menghadap dinding. Di tepi ranjang itu sendiri,
seorang wanita muda sedang duduk menyusui bayinya yang baru berusia beberapa
bulan.
Ibu ini
masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya dan karena ia menyusui
bayinya di dalam kamar sendiri, wanita ini tidak ragu-ragu membuka penutup
dadanya lepas-lepas sehingga tampaklah dua buah bukit dada yang berkulit putih
halus dan penuh seperti yang biasa dimiliki ibu-ibu muda yang sedang menyusui
anaknya.
Biasanya,
biar mata laki-laki yang bagaimana jalang sekali pun, pemandangan ini, yaitu
melihat seorang ibu sedang menyusui anaknya, akan mendatangkan pemandangan yang
mengharukan, yang menyentuh perasaan sebab setiap orang pasti pernah menyusu
pada ibunya, sebuah pemandangan yang sama sekali jauh dari pada daya perangsang
nafsu. Namun tidaklah demikian bagi seorang hamba nafsu birahi yang sudah
separah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek.
Hati serta
pikirannya sudah dipenuhi dengan bayangan kecabulan. Sudah penuh dengan
rangsangan-rangsangan nafsu birahi sehingga pemandangan seorang ibu muda
menyusui anaknya itu mendatangkan nafsu yang menyala-nyala dalam dirinya.
Ibu muda
yang memang cantik dan terutama sekali berkulit putih kuning dan halus itu,
kini agaknya terbangun dari tidur, tampaknya demikian penuh sifat kelembutan
seorang wanita. Seketika lenyaplah kemurungan dan kekecewaannya, lenyaplah
bayangan puteri Panglima The yang tadi urung dia dapatkan dan terpaksa dia
bunuh. Dengan gerakan tangannya yang kuat dia lantas membuka beberapa buah
genteng, kemudian tubuhnya menyelinap turun melalui lubang itu dan meloncat ke
dalam kamar.
"Aihhhh...!"
Wanita itu berseru kaget ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki asing berdiri
di depannya.
Akan tetapi
dia tidak sempat menjerit lagi karena jari tangan Siauw Lek sudah bergerak
cepat menotok leher wanita itu sehingga jeritannya tertahan di kerongkongan,
tidak dapat berteriak lagi. Dengan muka pucat wanita itu lalu memeluk bayinya,
dirapatkan ke dada, bukan hanya untuk melindungi bayinya, juga untuk menutupi
buah dadanya yang polos telanjang.
"Manis,
jangan takut. Aku telah melihatmu dan jatuh cinta kepadamu. Kalau engkau mau
melayani aku dengan manis, engkau takkan kubunuh, akan tetapi kalau engkau
menolak, suamimu ini akan kubunuh lebih dulu!"
Agaknya
suami wanita itu mendengar suara ribut-ribut dan menggeliat lalu membalikkan
tubuh, mengedipkan matanya yang menjadi terbelalak ketika dia melihat isterinya
berdiri ketakutan dan ada seorang lelaki asing berdiri di situ. Akan tetapi dia
tak dapat bergerak, hanya dapat memandang dengan sinar mata penuh kemarahan dan
kekhawatiran karena pada saat itu pula jari tangan Siauw Lek secepat kilat
telah menotok jalan darahnya yang membuat laki-laki di atas ranjang itu lemas
dan tak dapat bergerak.
"Jangan
kau berteriak, Manis, aku tidak akan menyusahkanmu, tak akan
menyakitimu..." Kembali Siauw Lek merayu dan tangannya bergerak menotok
leher membebaskan jalan darah wanita itu sehingga dapat mengeluarkan suara
lagi.
"Ampunkan
saya...," wanita itu berkata lemah.
Siauw Lek
tersenyum penuh kemenangan. Dia lalu mengulur tangan menyentuh pundak yang
setengah terbuka itu, pundak yang kecil berkulit putih halus. "Engkau
tidak bersalah apa-apa, Manis, kenapa minta ampun? Aku hanya akan mencintaimu,
kau layanilah aku baik-baik, balaslah cintaku dan aku tak akan mengganggu
selembar pun rambutmu yang halus ini..."
"Ohhh,
ampun… jangan..." Wanita itu mengeluh penuh kepanikan sambil melirik ke
arah suaminya yang rebah miring tak dapat bergerak itu.
Siauw Lek mengikuti
pandang mata wanita itu, menoleh ke arah laki-laki di atas ranjang lalu
tersenyum. "Ahh, engkau takut kepada suamimu? Tidak usah takut, dia takkan
dapat berbuat sesuatu kecuali menonton!"
"Tidak...
lebih baik kau bunuh saja aku...!" Mendadak wanita itu menangis
terisak-isak sambil mendekap tubuh anaknya. "Aku tidak bisa... aku tidak
mau...!"
Sinar bengis
dan marah membayangi wajah Siauw Lek. Haruskah dia mengalami dua kali kegagalan
dalam semalam? Apakah dia kini sudah terlalu tua dan kurang pandai merayu
sehingga dalam satu malam ada dua orang wanita yang menolak cintanya?
"Hemmm,
haruskah kubunuh suamimu terlebih dahulu? Lihat, sekali tusuk suamimu akan
mampus. Apakah engkau masih berani mengatakan tidak mau?"
Untuk
menakut-nakuti, Siauw Lek sudah mencabut pedang hitamnya dan menodongkan pedang
itu pada leher suami wanita itu yang segera terbelalak penuh kengerian. Wanita
itu memandang dengan muka pucat, hatinya bimbang. Manakah yang harus dia pilih?
Melihat suaminya dibunuh ataukah membiarkan dirinya diperkosa di depan pandang
mata suaminya?
Ah, lebih
baik mati, mati bersama suaminya. Ia tersedu menangis dan berkata.
"Bunuhlah kami berdua... bunuhlah suamiku dan aku... aku tidak dapat
menuruti kehendakmu... Aku tidak mau...!"
Kini wajah
Siauw Lek menjadi merah. Kalau menurutkan nafsu kemarahan hatinya, ingin dia
mengelebatkan pedangnya membunuh wanita itu, suaminya dan anaknya. Akan tetapi
dia tak mau gagal untuk kedua kalinya malam ini, dan wanita yang baru tiga
empat bulan melahirkan dan masih menyusui anaknya, telah menyentuh perasaan
hatinya yang keruh oleh nafsu birahi.
Tiba-tiba
saja Siauw Lek tertawa dan ketika tangannya bergerak, tahu-tahu dia sudah
merampas bayi yang berada di dalam pelukan ibunya tadi. Anak itu menjerit, akan
tetapi kalah oleh jeritan ibunya yang amat kaget melihat anaknya dirampas.
"Anakku...
kembalikan anakku!"
"Hemm,
kau ingin anakmu hidup? Nah, pilihlah. Engkau layani cintaku dengan baik-baik
dan manis atau... melihat perut anakmu kubelek dengan ujung pedang ini!"
"Ouuuhhh...
jangan... jangan...!" Wanita itu menjatuhkan diri berlutut dan merangkul
kedua kaki Siauw Lek sambil meratap-ratap minta agar anaknya jangan dibunuh.
"Manis,
engkau ingin agar anakmu hidup dan tidak kubunuh?" Siauw Lek bertanya
penuh nada kemenangan dalam suaranya, sambil menunduk dan memandang wajah ayu
yang sedang menengadah penuh permohonan itu.
"Ya...
ya..., mohon kau ampuni kami, jangan bunuh anakku..."
"Hemm,
mudah saja, aku takkan membunuh anakmu akan tetapi engkau harus menuruti segala
kehendakku!" Sambil berkata demikian, Siauw Lek mengangkat tinggi-tinggi
tubuh bayi itu dan membuat gerakan seakan hendak membantingnya ke lantai.
Wanita itu
tersedak, menelan ludah seperti ada sesuatu mengganjal di kerongkongannya, dan
akhirnya mengangguk-angguk dengan mata terbelalak memandang anaknya.
"Ya...
ya... ya, apa saja perintahmu... Akan tetapi lepaskan anakku..."
"Nah,
Manis, sekarang bangkitlah." Siauw Lek menggunakan sebelah tangannya
menarik tubuh wanita itu berdiri dengan bayi masih diangkat tinggi-tinggi di
tangan yang lain.
Dan bagaikan
tak sadar diri wanita itu bangkit berdiri, seakan-akan tidak merasa betapa
tangan yang menariknya bangkit itu menggerayang serta meraba-raba tubuhnya,
bahkan pada waktu tangan itu merangkul lehernya dan mulutnya yang masih
setengah terisak itu dicium oleh bibir Siauw Lek dengan penuh nafsu, ia seperti
tidak merasakannya, matanya masih terbelalak melirik ke arah anaknya yang
diangkat tinggi oleh tangan kiri Siauw Lek. Baru setelah matanya mendapat
kepastian bahwa anaknya tidak diapa-apakan, dia sadar betapa tubuhnya
diremas-remas dan mulutnya dicium penuh nafsu sehingga dia tersedu dan meronta
sedikit.
"Hemmm,
kau melawan? Engkau tidak mau...?"
"…Tidak...
ohhh, bukan... Aku... Aku tidak melawan..." Wanita itu menggagap,
kepalanya pening, matanya berkunang dan kedua kakinya menggigil karena sesudah
kepanikannya menghadapi ancaman terhadap anaknya lenyap, sekarang ia ngeri
menghadapi hal yang mengancam dirinya sendiri.
"Bagus,
engkau manis sekali. Nah, kini kau tanggalkan pakaianmu semuanya!" Siauw
Lek memerintah, merasa girang sekali menyaksikan betapa korbannya menggigil dan
bingung oleh rasa takut dan malu.
Wanita itu
benar-benar bingung, kedua tangannya bukan menanggalkan pakaian, bahkan kini ia
baru teringat betapa bajunya tadi dibukanya separuh ketika menyusui anaknya,
dan kedua tangannya malah menutupkan baju ini. Mukanya sebentar pucat sebentar
merah, pandang matanya jelalatan dan hanya lewat saja di muka suaminya, agaknya
dia tidak berani bertemu pandang dengan suaminya.
"Ehh,
engkau ragu-ragu lagi? Hendak membangkang perintahku?! Hemmm, kalau begitu,
lebih baik kubunuh saja anakmu ini..."
"Tidak!
Oh, jangan...!" Cepat sekali karena digerakkan oleh rasa ngeri dan
khawatir akan keselamatan anaknya wanita itu merenggut lepas baju atasnya
hingga ia berdiri setengah telanjang. "Jangan bunuh anakku..."
Siauw Lek
tersenyum, mengangguk-angguk puas. "Kalau kau menuruti semua hasratku,
kalau kau suka melayani cinta kasihku kepadamu, tentu aku takkan menganggu
anakmu, Manis. Hayo, kesinilah...!" Siauw Lek melangkah ke dekat ranjang.
Akan tetapi
wanita itu tidak menggerakkan kakinya. Dengan muka pucat ia berkata lemah,
"Tidak, harap... kasihani aku.., jangan di sini..."
Siauw Lek
menggerakkan alisnya menoleh ke arah suami wanita itu yang rebah miring dengan
mata melotot penuh kemarahan dan kebencian, lalu tersenyum. Sebenarnya, dia
akan mendapatkan rangsangan lebih besar lagi, mendapat kepuasan lebih penuh
bila dia dapat memiliki wanita itu di depan suaminya, di depan mata suaminya
yang melotot itu. Alangkah akan senang dan lucunya!
Akan tetapi,
kalau dia memaksa, tentu hal ini akan menjadi penghalang besar bagi si wanita
untuk melayaninya dengan leluasa, dan kalau terjadi demikian dia pun tentu
tidak akan merasa puas. Sambil tertawa dia lalu menghampiri wanita itu dengan
bayi masih menangis dan diangkat tinggi-tinggi.
"Kalau
begitu di mana?"
"Di
kamar depan..." Wanita itu berkata sambil menundukkan muka, tak berani
sama sekali melirik ke arah suaminya.
"Baiklah,
Manis. Hayo kau tunjukkan di mana kamarnya," Siauw Lek berkata.
Tanpa menoleh
ke arah suaminya, wanita itu segera membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari
kamar dengan kaki gemetar dan lesu. Siauw Lek menggerakkan tangan dan sebatang
paku hitam menyambar, kemudian menancap di antara sepasang mata yang terbelalak
melotot memandangnya itu, membuat suami itu tewas dalam detik itu pun juga
tanpa dapat mengeluh sedikit pun juga. Peristiwa ini terjadi cepat dan sedikit
pun tidak mengeluarkan suara hingga wanita itu pun tidak tahu sama sekali bahwa
suaminya telah dibunuh orang.
Kamar depan
itu pun sederhana sekali, hanya terisi sebuah dipan dan sebuah meja, di terangi
lilin yang dinyalakan oleh wanita itu dengan tangan gemetar.
"Anakku...
biar kususui dia supaya tidak menangis..." Akhirnya wanita itu berkata
dengan suara pilu karena sejak tadi anaknya menangis saja.
Sambil
tersenyum Siauw Lek memberikan bayi itu kepada ibunya, kemudian dia duduk di
atas bangku menonton wanita itu yang kini tidak berbaju lagi menyusui anaknya.
Laki-laki yang berwatak iblis ini menonton sambil kadang-kadang menelan ludah.
Melihat bayi
itu menyusu dada ibunya menimbulkan birahi yang sangat besar baginya,
seolah-olah dia sendiri dapat merasai kesegaran susu ibu muda itu. Akan tetapi,
bayi itu selalu gelisah dan tidak mau diam, bahkan tidak dapat menyusu dengan
tenang, diseling tangis.
"Dia
sudah kenyang, memang rewel dia!" cela Siauw Lek. "Aku dapat
menidurkannya. Kesinikan…"
Ibu itu
mendekap anaknya. "Jangan... Jangan menganggunya..."
"Ihhh,
Manis, mengapa kau tidak percaya kepadaku? Aku mencintaimu, dan aku memiliki
ilmu untuk menenangkan bocah. Kuelus-elus kepalanya sebentar saja pasti ia akan
tidur. Biarkan dia tidur agar tidak menganggu kita. Nah kesinikanlah, biar dia
tidur di situ nanti, dan bantal itu... hemmm, kita tidak memerlukannya. Nah,
marilah, Manis, jangan khawatir, anakmu akan pulas."
Ibu muda itu
yang memang merasa bingung melihat anaknya menangis terus sehingga dia khawatir
kalau-kalau laki-laki itu menjadi marah lantas membunuh anaknya, akhirnya
menyerahkan bayinya yang masih menangis. Siauw Lek tersenyum dan mengelus-elus
kepala bocah itu.
Benar saja,
tidak lama kemudian anak itu tidak menangis lagi dan dengan gerakan halus Siauw
Lek lalu menidurkan bocah itu di atas meja yang sudah ditilami kain dan
disediakan bantal oleh si ibu muda yang tentu saja hatinya menjadi lega melihat
bayinya tidur pulas. Akan tetapi segera rasa lega ini tersusul dengan rasa
panik dan ngeri ketika Siauw Lek membalikkan tubuh dan menghadapinya dengan
senyum penuh nafsu.
"Nah,
bukankah benar sekali kata-kataku, Manis? Anakmu sudah tidur pulas dan kini
kita dapat bersenang-senang tanpa ada yang mengganggu. Wah, engkau sungguh
jelita dan montok. Marilah, Manis…"
Wanita itu
terisak dan perlahan melangkah maju dengan muka tunduk. Patahlah seluruh
pertahanannya sebagai wanita karena ia maklum bahwa kalau ia menolak, tentu
anaknya akan dibunuh. Bagai orang yang kehilangan semangat, seperti mayat
hidup, ia melangkah maju dan menyerah saja pada saat kedua tangan Siauw Lek
memeluk dan mendekapnya, ketika mukanya yang basah oleh air mata dihujani
ciuman-ciuman bernafsu.
Tiba-tiba
saja Siauw Lek melepaskan tubuh wanita itu, bahkan meloncat bangun sambil
berteriak kaget, "Setan...!"
Pada saat,
nampak sesosok tubuh menerjang memasuki kamar dan langsung menubruk Siauw Lek.
Tentu saja penjahat yang lihai ini dengan mudah mengelak ke kiri kemudian
mengirim tendangan yang tepat mengenai dada orang yang menubruknya.
Orang itu
terjengkang kemudian roboh terlentang di depan dipan, di dekat wanita yang
terbelalak kaget. Ketika melihat bahwa tubuh itu adalah tubuh suaminya yang
sudah mati, yang mukanya penuh darah merah yang mengucur dari luka di antara
kedua matanya, wanita itu menjerit kaget dan memeluk tubuh suaminya.
Sementara
itu, Siauw Lek kaget setengah mati sampai mukanya pucat. Belum pernah selama
hidupnya dia mengalami kaget dan seram seperti saat itu. Dia sudah yakin benar
bahwa suami wanita itu telah dibunuhnya, bahkan ketika orang itu menubruknya
dan dia merobohkannya kembali dengan tendangan dia tahu bahwa yang menubruknya
adalah sesosok mayat! Benarkah ada mayat orang bisa hidup kembali karena merasa
sakit hati melihat isterinya diganggu orang lain?
Ah, tak
mungkin ini! Dia tidak percaya dan tiba-tiba Siauw Lek tertawa. Yang sudah mati
tetap mati, dan kalau ada gerakan-gerakan, hal ini pasti dilakukan oleh orang
yang masih hidup. Dia menendang meja dan tubuh bayi itu pun mencelat jatuh ke
atas lantai, akan tetapi sama sekali tidak bergerak, tidak terbangun biar pun
terbanting karena sebetulnya bayi ini telah mati pula! Mati oleh jari tangan
Siauw Lek yang ‘mengelus-elus’ ubun-ubun kepala anak itu tadi, mengelus-elus
sambil menekan sehingga bayi itu tewas tanpa dapat mengeluarkan suara apa-apa
dan disangka tidur oleh ibunya.
Ketika
melihat bayinya terbanting dari atas meja, wanita muda itu menjerit keras,
segera meninggalkan mayat suaminya dan cepat menubruk anaknya, terus diangkat,
dipeluk dan didekapnya. Akan tetapi dia pun tersentak kaget, memandang muka
bayinya dan tiba-tiba terdengar suaranya melengking tinggi menyayat hati dan
akhirnya robohlah wanita muda itu dengan tubuh lemas, roboh pingsan dengan
mayat bayinya masih didekap di dalam pondongannya!
Siauw Lek
sudah meloncat bangun ke tengah kamar, tak mempedulikan keadaan wanita muda itu
lagi. Pandang matanya berkilat ketika ditujukan ke arah pintu kamar dari mana
tadi ‘mayat hidup’ itu menyerangnya.
"Siapakah
berani bermain gila dengan aku?!" bentaknya, menyangka bahwa tentu ada
orang pandai mengejarnya dari rumah gedung panglima she The yang dikacaunya
tadi.
Akan tetapi
mata yang menyinarkan kemarahan itu berubah terbelalak penuh keheranan dan
kekaguman ketika tampak oleh Siauw Lek bahwa yang muncul dari pintu itu adalah
seorang wanita yang sangat cantik jelita dan yang memasuki kamar itu dengan
langkah lambat, dengan tubuh bergerak-gerak bagaikan menari ketika kedua kaki
itu melangkah bergantian rapat-rapat, pinggul yang lebar melenggang-lenggok,
pinggang yang ramping seperti patah-patah, wajah yang cantik itu tersenyum
manis dengan dua mata menyambar penuh tantangan, akan tetapi di balik senyum
itu tampak sikap memandang rendah.
Wanita itu
mengenakan pakaian sutera berkembang yang ketat membungkus tubuh, pada
punggungnya tampak gagang pedang yang beronce merah. Sukar menaksir usia wanita
ini. Masih kelihatan amat muda seperti gadis remaja dua puluhan tahun, namun
senyum bibir manis dan pandang mata tajam itu sudah amat masak sehingga
patutnya dia berusia tiga puluh tahun kurang sedikit.
Wanita itu
bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im! Secara kebetulan saja dia melihat
Siauw Lek menimbulkan kekacauan di rumah Panglima The pada malam hari itu
ketika dalam perjalanan malamnya Cui Im lewat di kota itu. Ia merasa amat
tertarik ketika mendengar bahwa lelaki tampan gagah itulah yang bernama julukan
Kim-lian Jai-hwa-ong, julukan yang sudah banyak dia mendengarnya.
Jadi inikah
murid Go-bi Chit-kwi yang dulu menjadi musuh besar gurunya, karena dahulu
gurunya Lam-hai Sin-ni pernah hampir diperkosa tujuh orang setan Go-bi itu. Ia
menjadi kagum ketika menyaksikan cara Siauw Lek merobohkan lawan-lawannya, maka
secara diam-diam dia membayangi penjahat cabul itu. Ia ingin mencoba kepandaian
murid Go-bi Chit-kwi dan juga sikap serta kepribadian Siauw Lek yang penuh
kejantanan itu sangat menarik hatinya, menyentuh kewanitaannya dan
membangkitkan birahinya.
Ketika dia
membayangi laki-laki itu, Cui Im dapat menduga bahwa dalam hal kelincahan dan
keringanan tubuh, dia sendiri hanya menang sedikit saja, dan bahkan kiranya
tingkat kepandaian ginkang Siauw Lek tidak kalah jika dibandingkan dengan
seorang di antara Bu-tek Su-kwi! Ia menjadi makin kagum dan membayangi terus.
Pada saat
Cui Im yang mengintai perbuatan Siauw Lek di dalam pondok sederhana itu melihat
kekejaman Siauw Lek membunuh suami beserta bayi dari wanita yang hendak
diperkosanya itu, ia pun tersenyum. Bukan main pria ini, pikirnya. Cerdik dan
pandai, juga amat gagah perkasa, tidak gentar melakukan pembunuhan betapa pun
kejamnya! Orang seperti ini amat ia butuhkan.
Dia perlu
mempunyai seorang pembantu seperti ini, yang berilmu tinggi, yang berwatak
keras dan dingin. Dengan seorang pembantu seperti itu, barulah dia akan dapat
menjagoi dunia sebagai tokoh nomor satu! Hanya ada satu hal yang masih ia
ragukan, apakah pria ini patut menjadi temannya dalam petualangan cintanya?
Sementara
itu, Siauw Lek yang biasanya memandang rendah orang lain, yang biasanya tidak
gentar menghadapi siapa pun juga, kini merasa bulu tengkuknya bangun berdiri.
Sungguh dia tidak pernah bermimpi bahwa dia akan berhadapan dengan seorang
wanita secantik ini, yang bisa ‘menghidupkan’ mayat, dan agaknya sejak tadi
telah membayangi dirinya tanpa dia ketahui sama sekali, yang begitu cantik akan
tetapi juga mendatangkan sikap dingin yang mengerikan dan tersembunyi di balik
kehangatan dan kegairahan yang panas membakar dan menantang!
"Eh..
siapakah engkau...?" Siauw Lek merasa heran sendiri mengapa dia tiba-tiba
menjadi gugup dan kehilangan ketenangannya. Mengapa biar pun gairahnya terhadap
ibu muda itu lenyap tapi sama sekali tak kecewa melihat kenyataan bahwa kembali
kesenangannya terganggu?
Cui Im tersenyum
dan mempergunakan senyum memikat yang sudah terlatih, setengah senyum setengah
tawa hingga cukup lebar untuk memperlihatkan deretan gigi putih bagai mutiara
dan sekilas pandang ujung lidahnya yang merah mencuat keluar di antara deretan
gigi mutiara.
"Engkau
Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek, engkau murid Go-bi Chit-kwi bukan? Hemmm, bagus
sekali semua perbuatan yang kau lakukan malam ini, sejak dari gedung panglima
sampai pondok ini. Ehh, orang she Siauw, apakah engkau tidak takut akan dosa
dan tidak ngeri memikirkan neraka yang kelak akan menyiksamu?"
Melihat
sikap dan mendengar ucapan wanita cantik ini, perlahan-lahan lenyap ketegangan
di hati Siauw Lek. Kini dapatlah dia menduga bahwa wanita cantik ini bukanlah
seorang anggota golongan lawan, melainkan agaknya juga seorang petualang,
seorang yang tidak asing akan dunia hitam, dan mulailah pandang matanya penuh
nafsu birahi menjelajahi bentuk tubuh yang ramping padat dan menjanjikan
kemesraan yang lebih merangsang dari pada ibu muda tadi.
"Nona,
engkau sungguh nakal sekali, membikin aku kaget setengah mati. Kenapa engkau
main-main dengan mayat itu? Tadi kusangka betul-betul ada mayat hidup! Engkau
sudah mengenal namaku, itu baik sekali. Sekarang tinggal aku yang belum
mengenalmu. Kalau nona suka memperkenalkan diri, agaknya kita dapat menjadi
sahabat-sahabat yang baik sekali. Bukankah begitu pendapatmu, nona yang cantik
seperti bidadari?"
Cui Im
mengangguk-angguk senang. Suara pria ini mendatangkan kesan baik, suaranya
merdu dan mengandung rayuan yang sama mesranya dengan kata-katanya, laki-laki
yang pandai bicara, pandai menyenangkan hati wanita. Akan tetapi ia hanya
tersenyum, tidak menjawab memperkenalkan diri, bahkan berkata dengan sikap
memandang rendah,
"Aku
harus melihat lebih dulu apakah engkau pantas menjadi kawanku, Jai-hwa-ong.
Kita tunda dulu tentang namaku karena aku ingin melihat apakah engkau memiliki
kepandaian seperti yang terkenal di dunia kang-ouw, ataukah hanya nama kosong
belaka."
Sepasang
mata Siauw Lek berkilau penuh kegembiraan. Ia tercengang. Belum pernah dia
bertemu dengan wanita seperti ini. "Aha, hebat sekali kesombonganmu ini,
Nona. Engkau masih belum percaya akan nama besarku dan hendak mencoba
kepandaianku, begitukah yang kau maksudkan?"
Cui Im
mengangguk. "Bukan mencoba, hanya ingin membuktikan isi dari nama
besarmu."
Siauw Lek
tertawa tergelak, kegembiraannya timbul dan kini kepercayaannya kepada diri
sendiri pulih. Tentu saja seorang gadis cantik jelita semuda ini merupakan
lawan yang sangat lunak dan dia sudah dapat memastikan bahwa dengan mudah dia
akan sanggup menundukkan nona manis ini.
"Bagus!
Biarlah kita saling menguji kepandaian dan kalau sampai aku menang, aku minta
hadiah!"
"Hadiah
apa?"
"Peluk-cium!"
Siauw Lek tertawa dan sudah siap menghadapi kemarahan gadis itu.
Sengaja dia
hendak membangkitkan kemarahan wanita itu karena di dalam pertandingan, siapa
yang dirangsang kemarahan berarti telah kehilangan kewaspadaan dan kalau gadis
ini ternyata lihai, maka kemarahannya akan mengurangi kelihaiannya.
Akan tetapi,
kembali Siauw Lek tertegun karena gadis itu hanya tersenyum manis sekali dan
menjawab, "Hemm, itu sudah sepatutnya. Akan tetapi bila aku yang menang
engkau harus membunuh wanita yang membuatmu tergila-gila ini. Bagaimana?"
Siauw Lek
menoleh ke arah tubuh ibu muda yang masih pingsan, dan dia mengangguk.
"Kalau
aku kalah olehmu, memang tidak berharga sekali aku untuk menikmati wanita ini.
Baiklah, aku memenuhi permintaanmu itu."
Cui Im sudah
berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang. "Nah, aku telah siap.
Majulah!"
Sekali lagi
Siauw Lek tertegun. "Di sini? Kamar ini sangat sempit untuk dipakai tempat
mengadu silat!"
Cui Im
tersenyum mengejek. "Tidak ada tempat sempit mau pun luas bagi seorang
yang benar-benar ahli. Apakah engkau takut?"
"Siapa
yang takut? Lihat, kutangkap engkau, nona yang menggemaskan hati!" Siauw
Lek tertawa.
Akan tetapi
tiba-tiba sekali tubuhnya telah menubruk maju, jari-jari tangan kirinya
terbuka, mencengkeram ke arah dada Cui Im adapun yang kanan secepat kilat
menerkam pundak. Serangan tangan kosong ini hebat dan cepat sekali, juga
sebelum kedua tangan datang, angin pukulannya telah terasa oleh Cui Im.
Gadis ini
diam-diam menjadi kagum. Kiranya orang ini juga memiliki sinkang yang amat
kuat. Pantas menjadi murid Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi dia tak menjadi gentar.
Andai kata serangan macam ini ditujukan kepadanya lima tahun yang lalu sebelum
ia menggembleng diri dengan ilmu-ilmu tinggi dari kitab-kitab peninggalan
Sin-jiu Kiam-ong, agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena
selain gerakannya tentu jauh kalah cepat oleh Siauw Lek, juga tenaga
sinkang-nya tentu kalah jauh.
Kini Cui Im
dengan tenang saja mendoyongkan tubuh atasnya ke belakang dan sepasang
tangannya segera menyambar dari bawah, sekaligus menangkis serangan lawan
sambil mengerahkan tenaganya. Pertemuan dua pasang lengan itu membuat Siauw Lek
berseru kaget karena dia merasa betapa kedua lengannya tergetar dan panas. Pada
saat itu pula kaki Cui Im bergerak menendang ke bawah pusarnya.
"Aihhh..!"
Siauw Lek yang tadinya memandang rendah, kaget bukan main.
Tendangan
itu tidak keras akan tetapi kalau tidak cepat dia hindarkan, tentu dia akan
mati karena yang ditendang adalah kelemahan setiap orang laki-laki. Sambil
berteriak kaget Siauw Lek sudah meloncat ke belakang, terhindar dari tendangan
dan tubuhnya sekarang sudah berada di atas dipan, menginjak tubuh suami ibu
muda yang tadi sudah menjadi ‘mayat hidup’.
"Engkau
hebat sekali...!" Dia memuji, lebih penasaran dari pada kagum. Memuji
karena penasaran dan untuk menutupi rasa malunya. Masa dalam segebrakan saja
dia hampir saja celaka di tangan wanita cantik ini?
"Hi-hi-hik,
baru begitu saja hebat? Kau lihat dan jaga seranganku sekarang!"
Cui Im
tertawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat sekali, meluncur ke depan
seperti seekor burung walet menyambar, sambil meloncat ke depan ia sudah
menyerang dengan dua tangan terbuka, melakukan totokan dengan sepuluh jari
tangannya ke bagian-bagian tubuh lawan, mencari jalan darah yang mematikan!
"Hayaaa..!"
Siauw Lek terkejut sekali karena bertubi-tubi dia diserang dan setiap serangan
gadis itu adalah serangan yang kalau mengenai sasaran akan mendatangkan maut!
Dia cepat
mengelak, berloncatan ke sana-sini di dalam kamar sempit itu. Tetapi bagaikan
bayangan setan gadis itu terus mengejar sambil menghujankan serangan dengan
totokan-totokan dan pukulan-pukulan yang amat aneh, yang belum pernah dilihat
sebelumnya dan mengandung hawa sinkang amat kuat.
"Celaka...!"
Tak terasa lagi seruan ini keluar dari mulut Siauw Lek.
Baru kini
terbuka matanya, betapa salahnya tadi memandang rendah gadis ini. Kiranya gadis
ini benar-benar mempunyai ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga biar dalam
ginkang mau pun sinkang, gadis ini melebihi dia sendiri!
Kini berubah
pendiriannya dan sambil mengerahkan seluruh tenaga serta mengeluarkan seluruh
kepandaian yang dia warisi dari Go-bi Chit-kwi, dia lantas melakukan
perlawanan, membalas serangan dengan serangan maut pula, oleh karena dia maklum
bahwa tanpa perlawanan mati-matian, nyawanya akan terancam bahaya maut!
Kini dia tak
memandang gadis cantik ini sebagai calon korban, sama sekali jauh dari pada
itu, namun menganggapnya sebagai seorang musuh yang harus dikalahkannya,
sebagai seorang lawan yang paling berat di antara semua lawan yang pernah
ditandinginya!
Sesudah
laki-laki itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian yang di warisinya dari
Go-bi Chit-kwi, memang dia amat hebat dan barulah dia dapat mengimbangi
kedahsyatan gerakan Cui Im. Diam-diam Cui Im menjadi makin kagum dan girang.
Laki-laki
ini benar-benar boleh dijadikan pembantu. Ilmu kepandaiannya hebat, agaknya
akan dapat menandingi Bu-tek Su-kwi dan tidak akan kalah menghadapi Cia Keng
Hong, kalau bocah itu masih hidup, pikirnya sambil tersenyum.
Menyaksikan
gadis yang dilawannya mati-matian itu masih bisa tersenyum-senyum, leher Siauw
Lek mulai berkeringat. Ia telah mati-matian, sampai napasnya terengah-engah dan
kepalanya pening, tetapi gadis itu masih enak-enak saja tersenyum-senyum.
Benar-benar mengerikan sekali!
"Robohlah...!"
Tiba-tiba Siauw Lek membentak.
Dan dia
langsung menyerang dengan jurus pukulannya yang paling ampuh, yaitu dengan
mendorongkan kedua tepak tangan ke depan. Pukulan ini mengandung dorongan
tenaga sinkang yang amat kuat, cukup untuk merobohkan lawan dari jarak jauh,
apa lagi kini dia menyerang dari jarak dekat. Dapat dibayangkan betapa hebat
kekuatan dorongannya itu.
Tetapi Cui
Im terkekeh mengejek, tubuhnya mencelat mumbul ke atas, dari atas menukik ke
bawah, kedua tangannya bergerak memukul ke bawah, yang kiri menimpa dua lengan
lawan yang bagian atas dan yang kanan sudah menampar pundak Siauw Lek.
"Buuukk...!
Plakkk..!"
Tanpa dapat
dipertahankannya lagi, tubuh Siauw Lek langsung tergelimpang dan dia pun roboh
menimpa tubuh ibu muda yang hendak dipaksanya melayani hasrat nafsu birahinya
tadi!
"Hi-hi-hik,
kepandaianmu lumayan juga, orang she Siauw!" Cui Im berkata, bukan dengan
nada mengejek, melainkan dengan ketulusannya hati.
Siauw Lek
mengoyang-goyang kepalanya yang terasa pening, kemudian bangkit berdiri dan
memandang Cui Im dengan mata terbelalak, hampir tidak dapat percaya. Seorang
gadis begitu cantik dan muda, mempunyai kepandaian yang sedemikian hebatnya?
Ahhh, mimpi pun tak pernah dia akan dikalahkan oleh seorang gadis jelita.
Tiba-tiba
terdengar suara jerit melengking dan disusul tangis. Kiranya ketika dijatuhi
tubuh Siauw Lek tadi, ibu muda teringat akan suami dan anaknya. Dia menjerit
dan menangis, memeluk mayat anaknya.
Siauw Lek
menjadi amat gemas. Ia memang sudah merasa penasaran dan marah karena
kekalahkannya dan tidak menemukan sasaran untuk melampiaskan kemarahannya, kini
hendak dia tumpahkan kepada ibu muda itu. Ia mengangkat tangan hendak menampar
kepala yang tadinya ingin dia dekap dan ciumi, untuk membunuh wanita itu.
"Eiiit!
Mengapa tergesa-gesa? Apakah engkau sudah mengaku kalah?" Cui Im mencegah
dengan suara mencela.
Siauw Lek
tak jadi memukul, menoleh ke arah Cui Im sambil meraba gagang pedangnya.
"Nona, boleh jadi dalam hal ilmu silat tangan kosong aku sudah kalah
olehmu, akan tetapi selama Hek-liong-kiam masih ada padaku, aku belum mengaku
kalah!"
"Bagus,
aku ingin pula menyaksikan ilmu pedangmu, boleh ditambah senjata rahasiamu,
bukankah kau amat mahir mempergunakan Hek-tok-ting?" kata pula Cui Im
dengan sikap memandang rendah.
Hati Siauw
Lek makin penasaran dan sekali bergerak, tangan kanannya sudah mencabut
pedangnya yang bersinar hitam dan tangan kirinya sudah merogoh keluar belasan
buah senjata rahasia berbentuk paku-paku hitam.
"Nona,
bersiaplah menghadapi senjata-senjataku!"
Cui Im
tersenyum, tangan kanannya bergerak ke belakang dan tiba-tiba pandang mata
Siauw Lek silau oleh sinar merah ketika pedang wanita itu tercabut keluar dan
dia melihat tangan kiri wanita sakti ini juga telah menggenggam senjata
rahasianya, yaitu jarum-jarum merah yang amat halus. Melihat pedang merah ini,
Siauw Lek mengerutkan alisnya.
"Ang-kiam
(Pedang Merah)...! Rasanya pernah aku mendengar tentang pedang merah..., pernah
disebut-sebut di dunia kang-ouw... Ah, benar! Bukankah engkau adalah Ang-kiam
Tok-sian-li, murid Lam-hai Sin-ni?"
Lam-Hai
Sin-ni adalah musuh besar mendiang guru-gurunya, maka bukan hal aneh kalau
murid Lam-hai Sin-ni memusuhinya. Tentu itu sebabnya kenapa wanita ini
memusuhinya dan kalau memang karena permusuhan itu, dia harus dapat membunuh
wanita ini!
Akan tetapi
Cui Im mengeleng-geleng kepala dan senyumnya melebar. "Dahulu memang benar
demikian, akan tetapi sekarang julukanku adalah Ang-kiam Bu-tek ada pun Lam-hai
Sin-ni bukan guruku lagi karena tingkatku jauh lebih tinggi dari pada
tingkatnya. Tak perlu bicara tentang aku sebelum engkau dapat lulus dari ujianku.
Nah, gerakkanlah senjatamu, Siauw Lek!"
Ucapan Cui
Im itu amat sombong dan takabur, akan tetapi juga mengejutkan hati Siauw Lek di
samping menggemaskan karena sikap nona itu benar-benar seperti menganggap dia
seorang anak kecil saja!
Sambil
mengeluarkan bentakan keras dia menerjang maju. Pedangnya berubah menjadi sinar
hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing ketika meluncur dan menyambar ke arah
tubuh Cui Im. Namun wanita ini dengan gerakan seenaknya mengangkat pedangnya,
lalu memutarnya. Tampaklah sinar bagaikan payung yang menangkis sinar hitam itu
sehingga tampak bunga-bunga api diiringi suara berdencing nyaring, lantas sinar
hitam terpental ke belakang...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment