Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 16
Siauw Lek
merasa betapa tangannya kesemutan dan dia menjadi penasaran, menyerang dengan
dahsyat sekali mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Dua macam sinar pedang
merah dan hitam itu segera saling libat dan saling himpit, membentuk
lingkaran-lingkaran menyilaukan mata.
Dua orang
yang lihai ini bertanding pedang tanpa berbicara, hanya terdengar
dencingan-dencingan senjata mereka seolah-olah menjadi musik yang mengiringi
tangisan ibu muda yang tak mempedulikan pertandingan itu oleh karena seluruh
perhatiannya tertuju kepada mayat-mayat suami dan anaknya.
"Tranggg...
Cringgg..!"
Suara
bertemunya pedang lalu saling tempel dan saling ditarik iitu disusul keluhan
Siauw Lek yang mencelat mundur dengan baju bagian depan robek lebar! Mukanya
pucat sekali dan tangan kirinya bergerak.
"Srat-sratt-srattt...!"
Sinar-sinar hitam menyambar ke depan dan tahu-tahu ada sembilan batang paku
menyambar ke arah sembilan bagian tubuh depan Cui Im.
Nona ini
tersenyum saja, hanya menggerakkan pedang di depan muka untuk menyampok runtuh
tiga batang paku yang menyerang sepasang mata dan dahinya, ada pun enam batang
paku lain yang menyerangnya dari dada ke bawah, dia diamkan saja. Paku-paku itu
mengenai tubuhnya, dan… runtuh! Sedikit pun tidak melukainya.
Siauw Lek
melongo dan tiba-tiba dia harus memutar pedangnya melindungi tubuh ketika ada
titik-titik sinar merah meluncur ke arah tubuhnya. Semua jarum dapat dia
runtuhkan dengan pedangnya, akan tetapi dia maklum bahwa serangan jarum-jarum
itu bila disusul oleh serangan pedang gadis itu, maka dia tentu akan menghadapi
bahaya maut.
Untung
baginya dan legalah hatinya ketika dia melihat bahwa gadis itu tidak
melanjutkan serangannya, bahkan sudah menyimpan kembali pedang merahnya dan
kini hanya berdiri sambil tersenyum-senyum. Kini mengertilah Siauw Lek bahwa
gadis itu betul-betul hanya ingin menguji kepandaiannya, sama sekali bukan
ingin membalas dendam terhadap dia sebagai murid Go-bi Chit-kwi. Maka dia lalu
menjura dengan hormat setelah menyimpan pedangnya dan berkata,
“Aku Siauw
Lek mengaku kalah. Nona betul-betul amat lihai, baik dalam ilmu silat tangan
kosong, ilmu pedang dan senjata rahasia. Belum pernah aku bertemu dengan lawan
sehebat Nona. Aku mengaku kalah!”
“Tak usah
penasaran bahwa engkau kalah dariku, karena aku ingin mengalahkan seluruh jago
silat di dunia kang-ouw ini, termasuk Bu-tek Su-kwi! Aku akan suka sekali
memiliki seorang pembantu seperti engkau, Siauw-twako (kakak Siauw), asal saja
engkau suka tunduk kepadaku dan menuruti segala kata-kataku. Bagaimana, maukah
engkau menjadi pembantuku?”
Siauw Lek
tersenyum. Nona ini lihai bukan main, dan juga amat cantik, serta pandai pula
mengambil hati, buktinya kini memanggilnya twako! Dia harus bersikap cerdik,
tidak menentang orang yang lebih pandai dari padanya, lebih baik pura-pura
tunduk dan melihat perkembangan selanjutnya.
“Baiklah,
aku suka membantumu, Nona.”
“Dan kau
akan mentaati segala perintahku?”
Hemmm, tadi
disuruh menuruti kata-katanya, sekarang berubah menjadi mentaati segala
perintahnya!
"Baik,
saya akan taat."
"Kalau
begitu, kenapa engkau belum juga turun tangan memenuhi janjimu? Engkau telah
kalah, Siauw-twako, apanyakah pada diri wanita ini yang membuatmu tergila-gila
tadi?"
Siauw Lek
lantas menoleh ke arah ibu muda yang masih terisak-isak menangis. Dalam
kedukaannya, wanita ini lupa akan keadaan tubuhnya yang telanjang bagian
atasnya. Dia menangis hingga buah dadanya bergoyang-goyang. Air mata mengalir
keluar membasahi mukanya.
Melihat dada
wanita itu, Siauw Lek tersenyum. Tak salah lagi, dada itulah yang mula-mula
menarik hatinya, yang menimbulkan gairahnya. Ia lalu menggerakkan tangan,
pedangnya segera berubah menjadi sinar hitam menyambar ke depan. Ibu muda itu
menjerit, darah memancar keluar dari sepasang buah dadanya yang terbelah, dia
roboh menindih mayat anaknya dan tewas dalam genangan darahnya sendiri!
"Hi-hi-hik,
bagus sekali, engkau memenuhi janjimu, Siauw-twako. Engkau ternyata seorang
laki-laki sejati!"
Siauw Lek
menyimpan pedangnya dan memandang Cui Im dengan mulut tersenyum dan pandang
mata memikat. "Tentu saja aku seorang laki-laki sejati dan cukup jantan
untuk menandingimu dalam apa pun juga, Nona. Akan tetapi bukankah kini telah
tiba waktunya bagimu untuk memperkenalkan diri? Julukanmu Ang-kiam Bu-tek, dan
memang pedang merahmu sukar dicari bandingnya, akan tetapi siapakah namamu,
Nona?"
Cui Im
tersenyum. "Belum tiba waktunya engkau mengenal namaku. Ilmu kepandaianmu
cukup bagiku, cukup memenuhi syarat, akan tetapi apakah engkau benar seorang
jantan dalam hal lain, masih harus keselidiki dan uji lebih dulu."
"Maksudmu...?"
Siauw Lek
membelalakkan matanya melihat betapa wanita cantik itu dengan gerakan genit
menarik mulai menanggalkan pakaiannya sendiri. Selama petualangannya baru satu
kali inilah Siauw Lek mengalami hal yang luar biasa ini, akan tetapi sama
sekali bukanlah hal yang tidak menyenangkan hatinya!
Dia pun
bersiap-siap, namun sambil melirik ke arah tiga mayat keluarga yang dibunuhnya
itu, tak urung mulutnya berbisik, "Di... di sini…?"
"Mengapa?
Engkau ngeri?" Cui Im bertanya tertawa, lalu melangkah maju menghampiri
pembaringan, kaki kanannya yang sudah tidak tertutup lagi digerakkan ke atas,
ibu jari kakinya bergerak-gerak dibantu jari-jari yang lain yang menyambak
rambut kepala suami ibu muda dan melontarkan mayat itu dari atas dipan yang
masih bernoda darah.
"Aku?
Ngeri? Ahhh, dewi cantik jelita, selama bersamamu aku akan sanggup menikmati
tempat yang bagaimana buruk pun berubah menjadi sorga!" Siauw Lek menubruk
dan merangkul, disambut Cui Im yang tertawa-tawa.
Iblis
sendiri akan merasa ngeri dan muak menyaksikan sepasang manusia luar biasa ini,
yang memiliki kekejaman tidak lumrah, keji dan jahat tiada taranya! Dan sekali
ini Cui Im merasa betul-betul bertemu tanding yang amat menyenangkan dan
memuaskan hatinya. Ternyata dalam segala hal, Siauw Lek benar-benar merupakan
seorang laki-laki yang cukup boleh diandalkan, dapat menjadi seorang pembantu
yang setia, seorang pengawal yang cukup lihai, dan seorang kekasih yang tidak
mengecewakan hatinya!
Sementara
itu, Siauw Lek diam-diam merasa kagum, akan tetapi juga sangat penasaran. Dia
merasa betapa di dalam segala hal, dia selalu kalah oleh Cui Im. Dalam ilmu
silat, dalam ginkang dan sinkang dalam kepandaian merayu dan bercinta.
Kekalahan-kekalahan
ini membuat dia penasaran. Masa dia, Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang belum
pernah bertemu tanding dalam segala hal, kini harus tunduk dan taat akan segala
perintah seorang gadis muda? Betapa pun menyenangkan wanita ini, aku harus
dapat menundukkan wanita ini, kalau tidak, maka akan rendah dan hinalah namaku,
demikian dia berpikir.
Menjelang
pagi, ketika dia yang berpura-pura tidur itu mendengar pernapasan yang halus
dan tenang dari Cui Im dan menganggap wanita itu sedang tertidur nyenyak, Siauw
Lek perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Cahaya lilin yang sudah mulai
remang-remang itu menerangi wajah yang cantik. Hemmm, sungguh seorang wanita
pilihan, pikirnya. Betapa pun juga aku harus memaksa dia menjadi pembantuku,
bukan aku menjadi pembantunya, demikian Siauw Lek mengambil keputusan.
Cepat
tangannya bergerak, hendak menotok pundak yang telanjang itu untuk membuat
tubuh Cui Im lemas dan tak berdaya. Dalam keadaan tidak berdaya, dia akan melakukan
apa saja untuk memaksa Cui Im menjadi pembantunya.
Akan tetapi
Siauw Lek tidak melanjutkan gerakannya dan tiba-tiba tubuhnya seperti kaku
karena ada jari-jari tangan halus yang mencengkeramnya di bawah selimut!
Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan totokannya, sebelum jari tangannya
menyentuh pundak lawan, terlebih dahulu nyawanya sendiri akan melayang
meninggalkan raganya! Mukanya menjadi pucat dan keringat dingin memenuhi
dahinya.
"Hemm,
apakah engkau masih juga belum mau takluk kepadaku, Siauw-twako? Ataukah engkau
benar-benar lebih senang mampus?"
"Aku...
Aku hanya mencoba..."
"Ehh,
tidak bisa engkau membohongiku, Engkau ingin menguasai aku, bukan?"
"Ba...
bagaimana engkau bisa tahu?"
"Hi-hi-hik,
aku tahu bahwa engkau tadi masih penasaran, belum tunduk kepadaku. Dalam hal
kecurangan dan tipu muslihat, engkau pun takkan menang dariku, Twako. Akulah
jago wanita nomor satu di seluruh dunia dan sebagai pembantuku, engkau tidak
akan menjadi rendah, bahkan namamu akan turut meningkat. Nah, bagaimana
sekarang? Engkau tahu bahwa dengan tidak membunuhmu saat ini berarti aku sayang
kepadamu, akan tetapi lain kali, sekali saja engkau berani main-main aku pasti
akan membunuhmu."
Siauw Lek
menghela napas, bukan karena menyesal, melainkan karena kagum sekali. Ia
merangkul dan mencium, dan saat itu pula Cui Im sudah yakin benar bahwa dia
berhasil menundukkan pria ini. Dia tertawa-tawa dan berkata,
“Aku
Ang-kiam Bu-tek, namaku Bhe Cui Im. Apa bila aku tidak sayang kepadamu, begitu
mendengar bahwa engkau adalah murid Go-bi Chit-kwi, tentu aku sudah turun
tangan membunuhmu. Akan tetapi, aku kini bukan murid Lam-hai Sin-ni, aku tak
menganggapmu sebagai musuh, melainkan sebagai pembantu dan kekasih. Bagaimana,
apakah engkau belum takluk?”
Siauw Lek
memejamkan matanya dan berbisik, “Aku takluk, engkau hebat dalam segala. Mulai
detik ini, aku akan mentaati segala perintahmu. Aku bersumpah…”
“Hi-hi-hik,
kau tidak perlu bersumpah!” Cui Im mencubit dagu yang melekuk tengahnya itu.
“Sumpah seorang pria tak ada harganya, tak dapat dipercaya. Akan tetapi tanpa
sumpah pun aku tahu saatnya laki-laki dapat dipercaya atau tidak. Sekarang ini
aku yakin bahwa engkau betul-betul sudah takluk kepadaku.”
Demikianlah,
sepasang manusia yang berwatak iblis itu berkecimpung dalam lautan nafsu dan
baru pada keesokan harinya mereka meninggalkan pondok itu sambil bergandengan
tangan dan berlari cepat. Kini dunia terancam oleh munculnya sepasang makhluk
ini, dan dunia kang-ouw pasti akan menjadi geger!
***************
Pada waktu
itu, perang saudara telah berhenti setelah berkobar hebat selama beberapa
tahun, atau tepatnya empat tahun lamanya semenjak Kaisar Hui Ti naik tahta
Kerajaan Beng-tiauw. Raja Muda Yung Lo, paman sendiri dari Kaisar Hui Ti dan
yang pada waktu Hui Ti dinobatkan bertugas di utara, menyerbu ke selatan dan
keluar sebagai pemenang dalam perang saudara saling memperebutkan tahta
kerajaan ini.
Yung Lo
menjadi kaisar Kerajaan Beng-tiauw dan melihat betapa kedudukan kerajaan yang
dipegangnya itu menjadi lemah karena pengaruh pembesar-pembesar penjilat dan
lalim, kaisar baru ini segera mengadakan perubahan besar-besaran. Dia memilih
sendiri para pembantunya, menunjuk orang-orang yang cakap, mengangkat
menteri-menteri dan ponggawa-ponggawa, bahkan tidak hanya sampai di situ
perubahan yang dilakukannya.
Ia merasa
khawatir bahwa kalau dia melanjutkan pemerintahan berpusat di istana lama,
tentu para pembantunya itu lambat laun akan terpengaruh pula oleh kaum
penjilat. Maka dia mengambil keputusan yang sangat penting dan bersejarah,
yaitu dia memindahkan ibukota atau kota raja dari selatan ke utara, yaitu dari
Nanking ke Peking!
Mulailah
kaisar baru ini membangun di Peking hingga tercipta bangunan-bangunan yang
sangat indah dan penuh dengan daya seni yang mengagumkan. Istana yang
besar-besar, megah dan indah dibangun oleh para tenaga ahli yang didatangkan
dari segenap penjuru negeri. Sedemikian hebatnya pembangunan di kota raja kerajaan
Beng-tiauw ini sehingga tercatat dalam sejarah bahwa pada masa itu, Kota Raja
Peking menjadi kota yang gilang gemilang, yang di seluruh dunia tiada taranya
dalam keindahannya hingga mengagumkan setiap orang musafir yang datang dari
segala penjuru dunia.
Bukan hanya
istana-istana besar dan megah di kota raja yang dibangun oleh kaisar baru ini,
melainkan juga memulai pekerjaan-pekerjaan besar yang lain. Tembok Besar Ban-li
Tiang-shia yang panjangnya lebih dari dua ribu li itu, bangunan ajaib yang
dibangun untuk menjadi benteng pertahanan Tiongkok dan melindungi pedalaman
dari serbuan banyak suku asing di utara, yang pembangunannya dimulai pada abad
ke dua sebelum Tarikh Masehi, kini dilanjutkan lagi, diperbaiki dan diperkuat.
Bukan hanya tembok besar ini saja, juga terusan yang menghubungkan Sungai
Yang-ce-kiang dengan Sungai Huangho, yang penggaliannya sudah dimulai pada
jaman penjajah Mongol, kini dilanjutkan, diperbaiki dan diperlebar.
Sesudah
perang saudara berhenti, mulailah rakyat sibuk membangun kembali di bawah
pimpinan Kaisar Yung Lo yang ternyata tidak hanya pandai memimpin bala tentara,
tetapi pandai pula membangun negara. Pada jaman pemerintahan kaisar inilah
kebudayaan dan kesenian berkembang luas.
Semenjak
jaman itu pulalah pelajaran-pelajaran Nabi Khong-hu-cu berkembang, bahkan
dicetak menjadi kitab-kitab dan lebih dari pada itu, juga dijadikan pedoman
bagi mereka yang menempuh ujian negara! Pengetahuan tentang pelajaran-pelajaran
filsafat dari Nabi Khong-hu-cu ini dijadikan ukuran terpelajar atau tidaknya
seseorang, bahkan pengetahuan itu merupakan kunci untuk membuka pintu kedudukan
bagi para pelajar.
Bila
dibandingkan dengan jaman yang sudah-sudah, keadaan rakyat mengalami perbaikan
sesudah Kaisar Yung Lo memegang kekuasaan. Pemerintah mulai mengatur kehidupan
rakyat dan ketenteraman mulai terasa di mana-mana.
Tentu saja,
keadaan pemerintahan yang baik hanya merupakan sebuah di antara banyak syarat
kebahagiaan hidup manusia, bukan merupakan syarat mutlak karena bagi manusia
yang belum mengerti, hidup ini hanya merupakan siksa dan derita saja. Terlalu
banyak hal-hal yang mengurangi atau melenyapkan kebahagiaan hidup. Memang
jarang terdapat manusia yang mengerti akan ujar-ujar kuno yang berbunyi:
Siapa
mendekati nikmat menjauhi derita, atau pun sebaliknya, dia takkan dapat merasai
bahagia!
Begitu pula
dengan kehidupan Song-bin Siu-li Sie Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni.
Semenjak dibebaskan dari kematian oleh ibunya sendiri dan dibawa kembali ke
selatan, dara jelita ini hidup merana dan menderita sengsara dalam batinnya.
Apa lagi ketika dia mendengar akan lenyapnya Keng Hong yang oleh semua orang
dianggap sudah mati ketika para tokoh tidak dapat menemukan pemuda itu di
puncak batu pedang. Biauw Eng menangis setiap hari, menangisi kematian Keng
Hong, satu-satunya pria di dunia ini yang dicintainya.
"Ihhh,
kenapa engkau begini lemah? Sungguh tidak patut menjadi anakku! Menangis saja
kerjanya tiap hari. Sungguh memalukan!" Berkali-kali Lam-hai Sin-ni
memarahi puterinya.
Sesungguhnya
hanya pada lahirnya saja nenek ini marah-marah dan mencela, padahal di dalam
hatinya ia merasa berduka, kecewa, menyesal dan marah sekali. Berduka karena
menyaksikan penderitaan batin puterinya yang terkasih. Kecewa mengapa puterinya
ini mewarisi wataknya yang teguh mencinta seorang pria saja dengan kesetiaan
cinta kasih yang merugikan diri sendiri. Menyesal mengapa dia tidak menahan dan
memaksa Keng Hong ketika bertemu dahulu supaya pemuda itu tidak pernah berpisah
dari puterinya, dan juga marah kepada Keng Hong yang dianggapnya menjadi biang
keladi penderitaan batin puterinya!
Biauw Eng
menahan isaknya dan menatap ibunya dengan wajah yang kurus dan pucat. Matanya
yang lebar tampak lebih lebar lagi karena wajahnya kurus, dan cahaya matanya
suram-muram seperti lampu kehabisan minyak.
"Ibu,
salahkah kalau hati ini mencinta Keng Hong? Salahkah kalau hati ini berduka
karena kehilangan satu-satunya pria yang kucinta? Aku tidak sengaja, Ibu, aku
sama sekali tidak lemah. Hanya... apakah artinya hidup ini kalau Keng Hong tidak
berada di sampingku? Kalau dia mati, aku pun ingin mati saja, Ibu!"
Lam-hai
Sin-ni merasa seolah-olah jantungnya ditusuk, dan bulu tengkuknya meremang.
Anaknya ini sama sekali tidak lemah, bahkan terlalu keras hati! Bila saja dia
tidak pandai mengemukakan alasan, tentu Biauw Eng sudah membunuh diri begitu
mendengar bahwa Keng Hong lenyap tanpa meninggalkan bekas.
"Anak
bodoh! Cinta ya cinta, masa begitu nekat?" Ia mengomel, terkenang kepada
dirinya sendiri ketika ia tergila-gila kepada Sie Cun Hong si Raja pedang.
Dia pun
dahulu nekat mencinta Sie Cun Hong semenjak pendekar itu menolongnya dari
tangan Go-bi Chit-kwi, mencinta dengan nekat dan membuta sehingga dia
menyerahkan jiwa raganya, menyerahkan kehormatannya padahal ia tahu manusia dan
laki-laki macam apa adanya Sie Cun Hong. Sesal kemudian tak berguna. Dia
mengandung. Sie Cun Hong meninggalkannya. Selama hidup dia merana, merindu dan
menderita sengsara.
Padahal
ketika itu ia tidak muda lagi. Begitu kuatnya dia mempertahankan kegadisannya,
bahkan pernah dia mengambil keputusan untuk tidak berhubungan dengan pria
selama hidupnya. Keputusan yang membuat dia dapat meraih ilmu-ilmu yang tinggi.
Akan tetapi akhirnya ia jatuh oleh Sin-jiu Kiam-ong, jatuh sampai ke lubuk
hatinya yang mencinta pria itu. Ia menjadi korban cinta kasihnya sendiri. Dan
sekarang puterinya juga mengalami hal yang sama!
"Biauw
Eng, biar pun engkau sudah buta oleh cinta, akan tetapi janganlah buta terhadap
kenyataan! Siapa bilang bahwa Keng Hong mati? Aku tidak percaya! Bocah seperti
setan neraka itu mana mungkin mati begitu mudah? Kalau dia mati, mana mayatnya?
Jangan engkau bodoh, dia belum mati, percayalah kepadaku!"
Sinar mata
yang layu itu menjadi agak segar kebali. "Benarkah, Ibu? Kalau masih
hidup, di manakah dia?"
"Siapa
tahu kemana larinya bocah setan neraka itu? Akan tetapi jelas dia belum mampus.
Kita sendiri sudah mencari sekeliling Kiam-kok-san, kalau dia sudah mampus
tentu ada mayatnya, tak mungkin mayatnya bisa lenyap begitu saja. Dia belum
mampus dan kalau engkau sekarang mati dan dia muncul, bagaimana?"
"Ahh,
kuharap dia lekas muncul, Ibu...!"
"Tentu
saja dia akan segera muncul jika engkau mau sabar menunggu. Dari pada engkau
susah setiap hari, lebih baik engkau selalu bersembahyang supaya kalau dia
sudah mati cepat-cepat ditemukan mayatnya dan kalau hidup cepat-cepat muncul di
depanmu!"
Demikianlah,
Biauw Eng masih hidup, tidak membunuh diri. Tetapi dia seperti membunuh diri
sekerat demi sekerat, menyiksa tubuhnya sendiri yang kian hari menjadi makin
kurus dan pucat. Kadang-kadang dia termenung seperti orang linglung.
Yang membuat
dia masih tetap hidup hanyalah harapannya yang tidak kunjung padam, seperti
ujung hio (dupa) menyala, berkelap-kelip kecil namun tak pernah padam. Dia
terus menanti, terus menanti dengan hati penuh rindu. Tiap malam Biauw Eng
bersembahyang, bahkan kini dia benar-benar berkabung, berkabung untuk Keng Hong
yang dianggapnya tentu telah mati, akan tetapi karena belum terbukti ia masih
selalu menanti kemunculan pemuda itu.
Melihat
keadaan puterinya ini, Lam-hai Sin-ni menjadi marah dan juga malu. Ia mengajak
puterinya kembali ke pantai selatan dan bersembunyi di pantai yang sunyi dan
indah, di mana dia mempunyai sebuah gedung yang mungil, hidup sebagai seorang
nenek yang diam-diam batinnya amat menderita menyaksikan keadaan puterinya.
Pernah ia berusaha membujuk puterinya untuk menikah, bahkan memberi kesempatan
pada puterinya untuk memilih pria mana yang disukainya.
"Pergilah
ke kota raja, pilihlah pangeran, atau bangsawan lain, hartawan atau sastrawan
yang muda dan tampan. Ataukah engkau lebih suka pada seorang pemuda ahli silat
yang pandai dan gagah perkasa? Pilihlah di dunia kang-ouw, kalau ada yang kau
setujui aku yang menanggung bahwa dia akan suka menjadi suamimu. Meski dia
seorang pangeran sekali pun, apa bila berani menolak, istananya akan kuhancur
leburkan!" Demikian nenek yang menjadi tokoh pertama dari Bu-tek Su-kwi
itu membujuk puterinya.
Akan tetapi
Biauw Eng menggeleng kepalanya dan menjawab lirih, "Apakah Ibu tidak tahu
bahwa aku tak membutuhkan suami? Aku hanya membutuhkan Keng Hong yang kucinta,
membutuhkan kehadirannya. Sudah lima tahun, namun belum ada berita mengenai
Keng Hong, entah hidup entah mati..."
Lam-hai
Sin-ni tak dapat lagi menahan hatinya pada waktu melihat wajah puterinya ketika
mengucapkan kata-kata terakhir itu. Ah, sama saja seperti engkau, bisik hatinya,
engkau pun dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak. Anakku...!
Demikianlah,
di tempat sunyi dan jauh dari dunia ramai, di pantai laut selatan itu, seorang
nenek sakti hidup merana dan sengsara hatinya menyaksikan keadaan puterinya
yang patah hati dan gagal dalam asmara itu.
Biauw Eng
sudah berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun dan gadis ini tetap tidak mau
menikah dengan orang lain, tetap setia menanti munculnya Cia Keng Hong yang
mungkin sekali sudah mati dalam dugaan Lam-hai Sin-ni. Andai kata masih hidup
sekali pun, bagai mana kalau Keng Hong tidak suka membalas cinta kasih Biauw
Eng? Bagaimana kalau pemuda itu kelak bahkan menikah dengan lain wanita?
Pada saat di
Kun-lun-san pun pemuda itu sama sekali tak mempedulikan sikap mencinta puterinya,
malah sebaliknya, pemuda itu menjatuhkan fitnah yang bukan-bukan! Aku akan
memaksanya! Demikian Lam-hai Sin-ni mengambil keputusan dalam hatinya. Kalau
benar bocah setan itu masih hidup, kelak aku akan menyeretnya ke sini dan akan
memaksanya menjadi suami Biauw Eng!
Sungguh pun
hatinya selalu berduka memikirkan Keng Hong, akan tetapi Biauw Eng yang sejak
kecil digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu tidak pernah melalaikan
latihannya. Selama bersunyi diri bersama ibunya di pantai selatan, setiap hari
gadis ini melatih ilmu silatnya dan kepahitan hidup membuat ilmunya menjadi
lebih matang lagi, pandangannya terhadap ilmu yang dimilikinya lebih mendalam
hingga ia dapat menyempurnakan semua gerakannya dan memperkuat sinkang-nya.
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali Lam-hai Sin-ni sudah pergi meninggalkan Biauw Eng
seperti biasanya untuk berjalan-jalan di sepanjang pantai. Nenek ini sudah amat
tua dan kepahitan hidup akibat kekecewaannya melihat puterinya membuat dia
seperti pikun dan kadang-kadang tak peduli, berjalan-jalan setengah hari di
sepanjang pantai, membiarkan ombak laut membasahi pakaiannya, atau kemudian dia
duduk bersila di atas batu karang yang jauh dari tempat itu, seakan-akan
tubuhnya sudah berubah menjadi batu karang sendiri.
Biauw Eng
melatih ilmu silatnya di pinggir pantai, di bawah sinar matahari yang baru saja
muncul dari permukaan laut sebelah timur. Tubuh gadis yang kini berusia dua
puluh tiga tahun ini masih kurus, akan tetapi mukanya tidak pucat lagi, karena
latihan-latihan setiap hari membuat badannya sebenarnya sangat sehat. Mukanya
kelihatan segar, akan tetapi sinar matanya sayu dan muram seolah-olah dalam
hidupnya tidak ada kegembiraan lagi.
Asyik sekali
Biauw Eng berlatih silat dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sabuk sutera
putih. Gerakannya kelihatan lambat namun sabuk sutera itu seolah-olah berubah
menjadi seekor naga putih yang bermain-main dengan ombak. Nampak sangat indah,
seolah-olah gadis itu seorang dewi lautan yang sedang menari-nari. Namun
sesungguhnya di dalam keindahan ‘tarian’ ini tersembunyi tenaga sinkang yang
menyambar-nyambar dahsyat, dan sabuk sutera itu sendiri merupakan jangkauan
tangan-tangan maut yang mengerikan.
Saking tekun
dan asyiknya, Biauw Eng yang biasanya amat waspada itu kini tidak tahu bahwa
ada dua pasang mata semenjak tadi memandangnya. Dua pasang dari dua orang yang
menghampiri tempat itu dan bersembunyi di balik batu karang. Dua orang itu
bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dan Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw
Lek!
Setelah
memesan kepada Siauw Lek yang memandang bengong penuh kekaguman pada gadis yang
menari-nari indah itu agar laki-laki ini tetap bersembunyi, Cui Im lalu
meloncat keluar dari belakang batu karang, menjauhi batu karang itu, kemudian
memanggil dengan suara yang penuh kerinduan, penuh keramahan dan amat manis.
"Sumoi...!"
Dengan sikap
tenang Biauw Eng segera menghentikan silatnya dan menengok. Sebelum menengok
dia sudah mengenal suara suci-nya, karena itu dia tidak terkejut begitu melihat
suci-nya berdiri tidak jauh dari situ.
Pertama-tama
yang membuatnya terheran-heran adalah kenyataan bahwa ia sama sekali tidak tahu
dan tidak mendengar akan kedatangan suci-nya sampai begitu dekat! Sudah
sedemikian jauhkah kemajuan suci-nya ataukah dia yang kehilangan
kewaspadaannya?
"Suci...
kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini...?" Dia menegur, suaranya
juga mengandung kegembiraan karena betapa pun juga, selain menjadi suci-nya,
Cui Im juga menjadi teman bermain semenjak kecil sehingga di antara mereka ada
perasaan kasih sayang seperti kakak dan adik.
"Sumoi...,
ahhh, betapa rinduku kepadamu, Sumoi...!"
Cui Im lari
menghampiri adik seperguruan ini dan Biauw Eng melihat bahwa ketika berlari,
gerakan Cui Im sama seperti dulu, tidak kelihatan ada kemajuan. Hal ini memang
karena kecerdikan Cui Im yang pada saat itu ingin membunyikan kepandaiannya
dari sumoi-nya.
Mereka
berangkulan sejenak, dan sesungguhnyalah bahwa pada detik itu, tidak hanya di
hati Biauw Eng, juga di hati Cui Im terdapat keharuan dan kegirangan yang
sejujurnya. Namun hanya beberapa detik saja bagi Cui Im karena dia segera
dikuasai kembali oleh nafsu-nafsunya dan apa yang dia lakukan kembali menjadi
palsu ketika dia melepaskan rangkulan dan berkata,
"Sumoi,
bertahun-tahun kita tidak saling berjumpa. Di manakah subo? Aku tidak melihat
beliau..."
"Ibu
setiap hari berjalan-jalan mencari angin di sepanjang pantai. Suci, selama ini
engkau kemana sajakah? Dan kini secara tiba-tiba engkau muncul di sini, apakah
ada keperluan penting?"
Cui Im
tersenyum dan memandang wajah sumoi-nya yang kurus. Di dalam lubuk hatinya dia
tertawa, mentertawakan sumoi-nya itu karena dia dapat menduga kenapa sumoi-nya
begini kurus. Akan tetapi senyum yang membayang di bibirnya adalah senyum ramah
dan manis.
"Sumoi,
aku datang karena amat rindu kepada subo, dan terutama sekali kepadamu. Tadi
kulihat ilmu silatmu makin hebat saja, dari jauh aku tadi sempat melihat engkau
berlatih. Sumoi, tentu engkau sudah mewarisi ilmu simpanan subo, bukan?"
"Ilmu
simpanan yang manakah, Suci? Semua ilmu dari ibu sudah diturunkan kepada kita
berdua, ilmu simpanan apa lagi yang belum kita pelajari, Suci? Soalnya hanya
bakat dan ketekunan masing-masing yang menentukan kemajuan seseorang."
"Ahhh…,
adikku yang manis, adikku yang budiman, terhadap suci-mu yang amat sayang
kepadamu, tegakah engkau membohong? Yang kumaksudkan adalah ilmu rahasia subo,
Thi-khi I-beng. Tentu engkau sudah mewarisinya, bukan?"
Wajah Biauw
Eng kehilangan kegembiraannya yang tadi timbul ketika melihat munculnya Cui Im.
"Ahh... itukah? Suci, engkau tentu masih ingat dan mengerti betapa ibu
tidak suka kita berbicara tentang ilmu itu. Ilmu itu adalah satu-satunya ilmu
yang membuat ibu tidak puas karena ibu hanya bisa menguasai kulitnya saja.
Karena merasa bahwa ilmu itu sama sekali belum sempurna, maka ibu tidak
mengajarkannya kepada kita. Mengapa sekarang engkau menyangka yang bukan-bukan,
Suci? Selamanya Ibu tidak pernah mengajarkan ilmu itu kepadaku!"
"Hi-hi-hik,
Sumoi, aku tidak tahu apakah engkau membohong atau tidak. Akan tetapi aku dapat
membuktikan bohong tidaknya omonganmu ini."
Mendengar
perubahan pada nada suara suci-nya, Biauw Eng cepat melangkah mundur, memandang
tajam dan berkata dengan suara dingin, "Suci, apa yang kau
maksudkan?"
Biasanya kalau
dia sudah mengeluarkan suara dingin seperti itu, suci-nya selalu menjadi takut
dan tunduk. Akan tetapi alangkah heran hati Biauw Eng ketika melihat suci-nya
itu tertawa mengejek dan berkata,
"Aku
akan menyerangmu sehingga engkau terpaksa mengeluarkan Thi-khi I-beng untuk
menyelamatkan dirimu, Sumoi!"
Biauw Eng
mengerutkan kening. "Hemmm, jangan berbuat yang tidak-tidak, Suci. Aku tak
pernah mempelajari ilmu itu, dan andai kata aku memilikinya pun, untuk
mengalahkanmu kiranya tidak perlu aku menggunakannya."
"Hi-hi-hik,
begitukah pendapatmu, Sumoi? Alangkah lucunya! Kau kira aku masih berjuluk
Ang-kiam Tok-sian-li seperti dahulu? Mungkin engkau sanggup mengalahkan
Ang-kiam Tok-sian-li, akan tetapi mana bisa engkau menang melawan Ang-kiam
Bu-tek? Hi-hik-hik, Bu-tek Su-kwi sekali pun takkan menang melawanku, apa lagi
engkau. Lihat seranganku!" Tiba-tiba tubuh Cui Im bergerak dan dia sudah
mengirim pukulan yang dahsyat sekali ke dada sumoi-nya.
Biauw Eng
terkejut melihat gerakan ini. Sekelebat saja dia mengerti betapa suci-nya telah
memperoleh kemajuan yang amat luar biasa. Cepat ia mengelak dengan sebuah
loncatan ke belakang. Semenjak dahulu dia dapat mengatasi ginkang suci-nya dan
mengandalkan ginkang ini saja dia dapat membuat suci-nya tidak berdaya.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika tahu-tahu tubuh suci-nya sudah berkelebat cepat sekali
dan tahu-tahu ia telah diserang lagi sebelum ia sempat menurunkan kedua
kakinya, dibarengi dengan suara ketawa mengejek dari mulut Cui Im.
"Aihhhh..!"
Biauw Eng
terpaksa mengangkat tangan, mengerahkan sinkang-nya untuk menangkis. Dahulu,
selain menang dalam hal ginkang, juga sinkang-nya jauh lebih kuat, maka sekali
menangkis, dia langsung mengerahkan sinkang untuk membuat tubuh suci-nya
terlempar ke belakang.
"Dukkk!"
Dua lengan yang berkulit halus bertemu dan akibatnya bukan tubuh Cui Im yang
terlempar, melainkan tubuh Biauw Eng yang terguling roboh didahului teriakan
kagetnya!
Biauw Eng
yang merasa betapa tubuhnya terdorong oleh tenaga mukjijat dan lengannya
seperti lumpuh, bergulingan dan terus meloncat bangun, memandang suci-nya yang
kini berdiri tertawa-tawa memandangnya.
"Hi-hi-hik,
Sumoi, apakah engkau masih tidak mau cepat-cepat mengeluarkan ilmu Thi-khi
I-beng untuk mengalahkan aku?"
Hampir Biauw
Eng tak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Suci-nya ternyata lihai
bukan main, tidak saja ginkang-nya menjadi luar biasa cepatnya, juga ilmu
silatnya aneh dan tenaga sinkang-nya amat kuat! Mengertilah dia bahkan selama
lima tahun tidak muncul ini, suci-nya telah mempelajari ilmu-ilmu lain yang
amat hebat.
Dengan
kemarahan Biauw Eng segera melolos sabuk suteranya, sabuk sutera putih yang
dahulu amat ditakuti Cui Im karena gadis itu tak pernah dapat mengatasi sabuk
sumoi-nya ini dalam latihan-latihan mereka. Akan tetapi kini Cui Im sama sekali
tidak gentar melihat sabuk itu, malah tertawa mengejek.
"Sabuk
suteramu itu hanya patut untuk dipakai menari, Sumoi, tiada gunanya kau pakai
melawan aku. Kalau Thi-khi I-beng, mungkin baru dapat kau gunakan untuk
melawanku."
"Suci,
engkau jahat sekali. Percayalah, aku tidak memiliki ilmu itu dan buang
jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu sebelum aku atau ibuku turun tangan
menghajarmu."
"Hi-hik-hik,
engkau hendak menghajarku? Lucu sekali! Sedangkan ibumu sekali pun tidak
mungkin dapat mengganggu selembar rambutku!"
"Durhaka!"
Biauw Eng membentak dan sabuk suteranya sudah berkelebatan menyambar dan
menotok ke arah leher Cui Im. Namun gadis ini dengan mudahnya menyampok ujung
sabuk itu dengan lengannya.
Pada saat
Biauw Eng menggetarkan ujung sabuk untuk menangkap pergelangan tangan suci-nya
dengan belitan, dia terkejut sekali karena tiba-tiba ujung sabuknya itu
terpental begitu bertemu dengan lengan Cui Im. Dia pun maklum bahwa sekali ini
dia tidak boleh main-main, apa lagi ketika Cui Im membalas dengan pukulan maut
pada lambungnya!
Suci-nya
tidak main-main dan agaknya benar-benar hendak memaksanya memberi tahu tentang
Thi-khi I-beng yang sama sekali tidak dimengertinya! Tahulah dia bahwa kini dia
harus melawan mati-matian dan bahwa yang bertanding dengan dia bukanlah
suci-nya lagi, melainkan seorang musuh yang ganas dan sangat lihai! Biauw Eng
lalu memainkan sabuknya dengan cepat, mengeluarkan serangan-serangan yang
paling dahsyat.
Pertandingan
mati-matian bagi Biauw Eng yang makin lama menjadi semakin kaget dan
terheran-heran. Tidaklah mengherankan melihat suci-nya itu memperoleh kemajuan,
akan tetapi kemajuan yang disaksikannya ini benar-benar sangat mustahil dan tak
masuk akal. Kepandaian suci-nya tidak saja jauh melampauinya, bahkan Biauw Eng
merasa ragu-ragu apakah ibunya sendiri akan mampu menandingi kepandaian Cui Im!
Dia sudah
mengerahkan seluruh kecepatan dan tenaganya, juga sudah mainkan semua
jurus-jurus paling hebat dari ilmu sabuknya, namun tetap saja dia tidak mampu
mengenai tubuh Cui Im yang bersilat sambil terus tertawa-tawa mengejek,
seolah-olah memamerkan kepandaiannya dan menggodanya.
"Lebih
baik cepat serang aku dengan ilmu Thi-khi I-beng, mungkin saja berhasil!"
Cui Im mengejek.
Memang
itulah maksud kedatangan Cui Im, selain untuk menundukkan dan mengalahkan bekas
gurunya, Lam-hai Sin-ni orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, juga wanita ini ingin
sekali mendapatkan ilmu Thi-khi I-beng itu.
Segala ilmu
silat di dunia ini tidak dia takuti setelah dia mewarisi ilmu-ilmu mukjijat
dari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi karena di dalam
kitab-kitab itu dia tidak menemukan ilmu Thi-khi I-beng, dan melihat betapa
dahsyatnya ilmu yang dimiliki Keng Hong dan juga oleh Lam-hai Sin-ni, dia masih
merasa gentar sebelum dapat memiliki ilmu dahsyat itu.
Andai kata
Biauw Eng memang memiliki ilmu itu, tanpa diminta sekali pun tentu dia akan
menggunakannya terhadap lawan yang amat tangguh itu. Akan tetapi dia
sesungguhnya tidak pernah mempelajari ilmu ini. Karena itu sambil menggigit
bibir saking penasaran, kini Biauw Eng menyerang terus dengan sabuk suteranya,
mengambil keputusan untuk nekat mengadu nyawa.
Di lain
pihak, Cui Im menjadi gemas karena bekas adik seperguruannya ini tetap tidak
mengeluarkan ilmu sedot yang dia inginkan, maka dia lalu berteriak keras dan
mulailah tubuhnya bergerak-gerak aneh pada waktu membalas dengan
serangan-serangan hebat, dengan totokan-totokan jari tangannya, dengan
cengkeraman-cengkeraman.
Biauw Eng
menjadi makin kaget menyaksikan betapa hebatnya gerakan bekas suci-nya itu. Dia
memutar sabuk suteranya melindungi diri dan karena memang bukan ilmu silat
pasaran melainkan ilmu yang amat hebat, tidaklah begitu mudah bagi Cui Im untuk
dapat merobohkannya dalam waktu singkat. Biauw Eng terdesak hebat terutama
sekali karena suci-nya sudah mengenal inti dari pada semua ilmu silatnya,
sebaliknya dia sama sekali tidak mengenal gerakan-gerakan Cui Im yang makin
lama semakin aneh itu.
Tiba-tiba
ketika untuk ke sekian kalinya Biauw Eng menggerakkan pergelangan tangan dan
membuat sabuk suteranya meluncur seperti seekor naga mematuk ke depan, ke arah
leher Cui Im, bekas suci-nya ini mengeluarkan pekik melengking dan tiba-tiba saja
rambut yang panjang hitam di kepala Cui Im meluncur pula ke depan lantas
menangkis sabuk sutera! Kiranya, setelah mempelajari banyak ilmu-ilmu aneh dari
kitab-kitab pusaka, Cui Im telah pula mempelajari penggunaan rambut kepalanya
dengan dasar tenaga Iweekang dan kini rambutnya telah menangkis dan selanjutnya
melibat sabuk sutera itu. Biauw Eng terkejut dan berusaha melepaskan sabuknya
dari libatan rambut, namun sia-sia.
"Pergunakanlah
Thi-khi I-beng atau kau mampus!" Cui Im berkata dan tangannya kini bergerak
dengan jari-jari tangan lurus menusuk leher Biauw Eng dengan kecepatan yang
amat luar biasa sehingga takkan mungkin dapat ditangkis atau dielakkan lagi!
Dan memang,
andai kata Biauw Eng mempunyai ilmu sedot itu, tidak ada jalan lain untuk
menyelamatkan nyawanya kecuali dia menerima tusukan ini dengan mengandalkan
ilmu sedotnya. Akan tetapi, karena memang Biauw Eng tidak memiliki ilmu itu,
gadis ini yang maklum bahwa nyawanya terancam bahaya, cepat melepaskan sabuknya
dan membuang diri ke samping untuk menghindarkan diri. Namun gerakannya kalah
cepat dan biar pun ia dapat menyelamatkan lehernya, dia tidak mungkin lagi
menyelamatkan pundaknya yang kena dihajar.
“Krekkk!”
terdengar suara dan tulang pundaknya yang kiri patah, tubuhnya terlempar dan
roboh!
"Hemmm,
menyebalkan! Kiranya kau benar-benar tidak mempelajari Thi-khi I-beng!"
kata Cui Im sambil melangkah maju mendekati sumoi-nya yang rebah miring dan
menggigit bibir menahan sakit itu. "Ataukah engkau agaknya sengaja
menyembunyikannya karena melihat bahwa engkau tidak mampu mengalahkan aku,
walau pun dengan Thi-khi I-beng sekali pun? Hemmm, kalau begitu, engkau tetap
keras kepala, Sumoi?"
Sambil
menahan rasa nyeri di pundaknya, Biauw Eng bangkit duduk dan menggunakan jari
tangan kanan untuk menotok pundak dan iga kirinya sendiri agar dapat mengurangi
rasa nyeri, kemudian memandang suci-nya penuh rasa kagum ketika bicara,
"Engkau
hebat sekali, Suci! Benar-benar aku merasa kagum bukan main. Kepandaianmu luar
biasa dan aku benar-benar mengaku kalah sekarang! Ibu sendiri tentu akan
menjadi kagum sekali, Suci, siapakah gurumu yang tentu luar biasa sekali ilmu
kepandaiannya? Dan sekarang setelah mempunyai ilmu kepandaian tinggi, mengapa
Suci datang hendak memusuhi ibu dan aku?"
Wajah Cui Im
kini menjadi bengis sekali. "Biauw Eng, bukalah baik-baik telinga beserta
matamu. Kenalilah ini Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek! Baru tangan
kosongku saja mampu mengalahkan sabuk suteramu, apa lagi pedang merahku! Hemmm,
kau mau tahu mengapa aku memusuhi ibumu? Bukan lain karena aku harus
mengalahkan Bu-tek Su-kwi, karena mereka tidak berhak lagi memakai julukan
Bu-tek (Tanpa Tanding), karena akulah satu-satunya Bu-tek di dunia ini!"
"Suci,
tidak ingatkah engkau bahwa ibu adalah gurumu yang mendidikmu sejak kecil? Ibu
sudah tua, kalau kita beri tahu secara baik-baik tentu tanpa bertanding pun dia
akan sudi mengalah kepadamu dan memberikan julukan kosong itu kepadamu."
"Huh,
kalau dia mengalah berarti julukan itu benar kosong! Tidak, dia harus
bertanding melawan aku, ingin aku merasai Thi-khi I-beng yang tersohor itu!
Kecuali kalau dia mau memberikan ilmu itu kepadaku, hemm... baru akan
kupikir-pikir untuk mengampuni nyawa anjingnya!"
"Cui
Im...!" Biauw Eng berseru keras, membentak dengan marah. Pada saat itu,
pandang mata Biauw Eng beralih pada seorang pria yang tiba-tiba muncul dan
dengan loncatan ringan sekali menghampiri tempat itu sambil tersenyum-senyum.
"Ehh,
inikah sumoi-nya itu, adik Cui Im? Hemmm, manis sekali, hampir semanis engkau
tetapi sayang agak kurus."
"Hi-hi-hik,
dia patah hati, Twako. Eh, Biauw Eng, tahukah engkau siapa pria yang ganteng
ini?" Cui Im merangkul pundak Siauw Lek dengan sikap manja dan mesra
sekali, bahkan lalu mencium pipi laki-laki itu sesudah dia berdiri di atas
ujung kakinya karena tingginya hanya sampai ke pundak Siauw Lek.
Wajah Biauw
Eng menjadi merah saking merasa malu dan jengah. "Hemmm, sejak dulu masih
belum sembuh engkau dari watakmu yang gila laki-laki, Cui Im. Siapa lagi dia
ini kalau bukan pacarmu yang berganti sampai ratusan kali?"
"Hi-hi-hi,
benar sekali, entah ke berapa ratus kalinya. Hemm, sungguh sedap dan nikmat
berganti-ganti pacar, sekali hidup pun sudah puas. Tidak seperti engkau yang
baru sekali mempunyai pacar saja langsung gagal!"
"Cui
Im...!" Biauw Eng menegur dengan hati terasa perih. Kini kedua orang
wanita ini tidak lagi menyebut sumoi dan suci, melainkan menyebut nama
masing-masing karena mereka sama-sama maklum bahwa sekarang tak mungkin lagi
saling mengakui sebagai saudara seperguruan.
"Wah,
Moi-moi, walau pun kurus, dia masih segar. Apa bila kau berikan kepadaku untuk
selingan dan penyegar, aku pun tidak menolak!" Siauw Lek berkata sambil
tertawa.
Cui Im juga
tertawa genit. "Bagaimana, Biauw Eng. Dia tampan dan gagah juga, bukan?
Biar pun tidak setampan Keng Hong, kurasa dia tidak kalah pandai dalam hal
merayu..."
"Cui
Im, tutup mulutmu yang kotor!" Biauw Eng membentak marah, menahan
keinginan hatinya untuk bertanya apakah bekas suci-nya ini tahu di mana adanya
Keng Hong dan yang paling penting apakah Keng Hong masih hidup. Akan tetapi
mendengar Cui Im dan Siauw Lek bercakap-cakap seperti itu, ia pun menahan
keinginan hatinya dan membuang muka.
"Hi-hi-hik,
Biauw Eng, apakah engkau masih alim seperti dahulu? Apakah engkau masih perawan
seperti dahulu? Kalau begitu kebetulan, kau lihat ini baik-baik. Dia adalah
murid Go-bi Chit-kwi..."
"Ohhh...?!
Jadi engkau... Engkau malah bersekutu dengan musuh besar gurumu sendiri? Cui
Im, engkau manusia rendah, murid durhaka!"
"Dia
inilah yang bernama Siauw Lek, berjuluk Kim-lian Jai-hwa-ong! Dia malang
melintang di dunia kang-ouw, dalam hal kekejaman dan kepandaian tidak usah malu
dan kalah bila dibandingkan dengan Bu-tek Su-kwi, namun dia adalah
pembantuku!"
"Bagus
sekali! Kiranya engkau sudah bersekutu dengan murid musuh-musuhku, Cui Im?
Hemmm, sungguh memalukan dan baiknya engkau datang mengantar kematian!"
Suara ini keluar dari mulut Lam-hai Sin-ni.
Diam-diam Cui
Im harus mengakui bahwa biar pun sudah tua bekas gurunya ini memiliki ginkang
yang luar biasa sehingga kedatangannya tidak dia ketahui. Ia cepat membalikkan
tubuhnya dan menekan perasaan hatinya yang berguncang. Meski pun dia sudah
merasa yakin akan kepandaiannya, tetapi menghadapi nenek bekas gurunya yang
menjadi tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi, hati Cui Im gentar juga.
Akan tetapi
selain merasa yakin akan kemampuannya sendiri, hatinya juga besar karena di
sana ada Siauw Lek yang tentu akan membantunya, maka dia berkata dengan nada
suara dingin,
"Lam-hai
Sin-ni, aku datang bukan sebagai muridmu lagi, tetapi sebagai penantangmu! Aku
adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, satu-satunya jago wanita tanpa tanding yang
akan menjadi ratu di antara golongan hitam!"
"Phuahhh...!
Cui Im, apakah engkau sudah menjadi gila?"
"Ibu,
jangan lawan dia! Jika dia mengkehendaki julukan kosong sebagai Bu-tek,
serahkan saja!"
Lam-hai
Sin-ni mengerutkan alisnya yang sudah putih lalu memandang puterinya. Sekali
pandang saja maklumlah nenek ini bahwa puterinya terluka pundaknya, maka dia
berkata, "Hemmm, engkau dikalahkan oleh dia dan murid Go-bi Chit-kwi itu,
Eng-ji? Kalah karena dikeroyok tidak mengherankan."
"Tidak,
Ibu. Dia... Cui Im, sekarang lihai bukan main..."
Wajah nenek
itu tampak tercengang. Ia merasa heran mendengar ini. Benarkah puterinya
dikalahkan oleh Cui Im? Hampir ia tidak dapat percaya karena dahulu tingkat
kepandaian Cui Im jauh di bawah tingkat Biauw Eng. Dan selama ini puterinya itu
setiap hari berlatih sehingga tingkatnya telah mencapai kemajuan pesat sekali.
Mungkinkah
Cui Im sudah sedemikan lihainya sehingga mampu mengalahkan puterinya? Benarkah
tidak dibantu oleh murid Go-bi Chit-kwi itu? Kini ia memandang bekas muridnya
itu tajam-tajam lalu berkata,
"Cui
Im, terus terang saja. Apa maksud kedatanganmu ini?"
"Lam-hai
Sin-ni, sudah kukatakan bahwa aku hendak menjagoi dunia kang-ouw dan aku datang
untuk menantangmu mengadu kepandaian. Hanya ada akibat dari pertandingan antara
kita, yaitu engkau tewas di tanganku atau engkau dapat kuperingan dan tidak
akan kubunuh akan tetapi engkau harus memenuhi permintaanku."
Biar pun dia
sudah tua dan sudah pandai menguasai perasaanya, akan tetapi mendengar ucapan
bekas muridnya ini, Lam-hai Sin-ni merasa betapa dadanya seperti akan meledak
saking marahnya. Hanya dengan kekuatan batinnya saja ia masih mampu
mengendalikan dirinya dan suaranya amat dingin ketika bertanya,
"Hemmm,
Bhe Cui Im, permintaan apakah itu?"
Sambil
mempermainkan mata serta bibirnya dengan sikap mengejek sekali Cui Im lantas
menjawab, "Lam-hai Sin-ni, aku tidak takut menghadapi ilmu Thi-khi I-beng,
akan tetapi aku tertarik sekali akan ilmu itu dan ingin aku mengetahui
rahasianya. Kalau engkau mau mengajarkan ilmu itu aku pun akan mengingat
hubungan lama di antara kita dan aku tidak akan membunuhmu, melainkan hanya
mengalahkanmu tanpa membunuh!"
"Bhe
Cui Im, bocah keparat!" Lam-hai Sin-ni tidak sanggup menahan kemarahannya
lagi. "Engkau sungguh takabur sekali! Belum juga mengalahkan aku tetapi
sudah mengajukan syarat! Heh, Cui Im si sombong, jangan kira bahwa aku yang
sudah tua ini akan mudah saja kau kalahkan. Bila mana engkau sanggup
mengalahkan aku, jangankan baru Thi-khi I-beng, bahkan nyawaku pun akan
kuberikan kepadamu!"
Baru saja
habis ucapan nenek itu, tubuhnya sudah menerjang maju dengan kecepatan yang
luar biasa sekali, bagaikan halilintar menyambar, dan dua buah pukulan beruntun
menyambar ke arah ulu hati dan kepala Cui Im.
Meski pun
Cui Im sudah yakin akan kepandaiannya, namun sikapnya tadi memang untuk
memancing kemarahan sambil untuk menyesuaikan sikap seorang ‘ratu’ di dunia
hitam, padahal dia sesungguhnya tidak berani memandang rendah bekas gurunya
yang dia tahu lihai luar biasa itu. Kini, melihat berkelebatnya tubuh gurunya,
cepat dia sudah bergerak pula, miringkan tubuh mengurangi lowongan dan kedua
tangannya bergerak menangkis.
"Plak-plakk!"
Bagaikan
disambar halilintar, tubuh dua orang wanita itu terpelanting ke belakang, namun
dengan amat cepatnya keduanya sudah melompat lagi saling terjang dan dalam
detik selanjutnya terdengar lagi suara ‘plak-plak’ bertemunya kedua lengan.
Sampai lima kali mereka saling terjang dan beradu lengan, dan lima kali pula
tubuh mereka terbanting ke belakang.
Lam-hai
Sin-ni meloncat bangun, wajahnya merah sekali. Ia terheran-heran dan merasa
penasaran. Dalam mengadu tenaga sinkang melalui kedua tangan tadi, bekas
muridnya ini membuktikan bahwa tenaga Cui Im tidak kalah kuat olehnya!
Kalau nenek
itu berdiri dengan muka merah dan tercengang, sebaliknya Cui Im berdiri dengan
sikap tenang dan mulut tersenyum mengejek. Hatinya gembira karena dia dapat
membuktikan bahwa seperti yang diduganya, kini dia dapat mengimbangi tenaga
sinkang bekas gurunya.
Dia tidak
takut jika gurunya menggunakan Thi-khi I-beng, karena selain dia tahu bahwa
kepandaian gurunya dalam ilmu itu belum sempurna dan tidak sekuat tenaga sedot
Keng Hong, juga dia sudah bersiap-siap dan tahu bagaimana caranya menghadapi
ilmu yang belum kuat itu. Dia hendak mengandalkan rambutnya yang akan dapat dia
pergunakan untuk menotok bagian tubuh gurunya yang menyedot sinkang-nya.
"Bagaimana,
Lam-hai Sin-ni, apakah sedemikian saja kepandaiamu?"
Sepasang
mata yang telah tua itu bagai mengeluarkan api. Biauw Eng yang menyaksikan pertandingan
itu, sudah bangkit berdiri menahan rasa nyeri pada pundaknya, dan berkata,
"Ibu, sudahlah, hendaknya ibu mengalah dan memberikan Thi-khi I-beng
kepadanya. Ibu sudah tua, perlu apa memperebutkan ilmu itu? Berikan saja dan
kita pergi dari sini, Ibu."
Ucapan
puterinya ini menambah kemarahan di hati Lam-hai Sin-ni. "Pengecut! Apakah
engkau sudah menjadi pengecut karena cinta? Lebih baik aku mati sekarang dari
pada tunduk terhadap setan cilik ini!"
Ia lalu
menghadapi bekas muridnya itu lagi sambil menggerakkan tangan dan tahu-tahu
sebatang pedang tipis berada di tangannya. "Bhe Cui Im, kenalkah engkau
akan pedang ini? Ataukah matamu telah buta sehingga tidak lagi mengenal pedang
ini?"
Cui Im
menjebikan bibirnya mengejek. "Pedang Liong-jiauw-kiam (Pedang Cakar
Naga)?" Hemmm, pedang itu tidak menakutkan hatiku, Lam-hai Sin-ni!"
kata Cui Im.
Dan
tangannya bergerak lebih cepat lagi dari pada gerakan nenek itu dan tampak
sinar merah berkelebat. Pedang merahnya telah berada di tangannya.
"Bhe
Cui Im, engkau tahu bahwa pedang ini tidak pernah kupergunakan, karena memang
pedang ini kusimpan untuk kupakai menghadapi Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi tujuh
setan itu telah mampus dan kini muncul murid mereka yang menjadi sahabatmu.
Nah, pedang ini sekarang akan membasmi engkau bersama murid Go-bi
Chit-kwi!"
"Hi-hi-hik,
engkau dengar nenek ini mengoceh, Twako. Katanya dia hendak menggunakan pedang
itu untuk membunuh kita, hi-hi-hik!"
"Ha-ha-ha,
sudah biasa itu, Moi-moi. Burung tua mau mampus ocehannya paling merdu dan
nenek-nenek tua mau mati suaranya paling lantang, ha-ha-ha!" Tangan Siauw
Lek bergerak pula dan sinar hitam berkelebat.
Melihat ini,
Lam-hai Sin-ni memekik panjang lantas tubuhnya berkelebat, didahului oleh
gulungan sinar pedangnya yang berwarna putih. Sinar pedang yang
bergulung-gulung itu membentuk lingkaran-lingkaran lebar dan melayang ke arah
kedua orang lawannya yang sudah siap.
Siauw Lek
dan Cui Im tertawa dan tampaklah gulungan sinar pedang hitam dan merah yang
amat lebar dan panjang yang segera membuat gerakan menggunting dan menjepit
sinar pedang putih dari Lam-hai Sin-ni.
Walau pun
pundak kirinya terluka dan tulangnya patah, akan tetapi begitu melihat ibunya
dikeroyok oleh dua orang itu yang gerakan pedangnya hebat sekali, Biauw Eng
menjadi khawatir dan dia cepat-cepat menggerakkan sabuk suteranya dengan tangan
kanan dan menerjang maju untuk membantu ibunya. Ia disambut oleh sinar pedang
hitam di tangan Siauw Lek yang tertawa mengejek.
"Nona
muda, engkau amat cantik jelita. Sayang engkau kurus merana dan dingin. Marilah
dekat Siauw Lek dan aku akan membuat engkau hangat panas dan membuatmu gembira,
ha-ha-ha!"
Biauw Eng
maklum bahwa laki-laki murid Go-bi Chit-kwi itu lihai sekali dan dia tahu pula
bahwa ucapannya itu adalah pancingan agar dia marah, maka dia menekan
perasaannya dan tanpa menjawab tangan kanannya bergerak. Sinar-sinar putih
berkerepan langsung menyambar ke depan pada waktu sembilan buah senjata rahasia
bola-bola putih berduri menyerang sembilan jalan darah di tubuh Siauw Lek
dengan kecepatan luar biasa...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment