Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 14
PADA hari ke
tiga, sesudah kesabarannya hampir habis, sesudah kepalanya mulai pening karena
kegagalan dan tenaganya habis karena mencokel-cokel serta mendorong-dorong
setiap bagian dinding dan batu, tiba-tiba dia tertarik dengan bunyi nyaring
pada saat dia mengetuk-ngetuk dinding hitam di bagian belakang dengan
pedangnya.
Bunyi
nyaring ini menjadi tanda bahwa batu yang menjadi dinding itu kosong tidak
berisi, atau di balik dinding itu merupakan ruangan kosong! Jantungnya berdebar
dan mulailah dia meneliti. Bagian ini gelap karena dindingnya adalah batu -batu
berwarna hitam.
Keng Hong
menggunakan pedangnya menusuk-nusuk dan tiba-tiba pedang itu menusuk sebuah
lubang sampai amblas ke gagangnya! Keng Hong menahan seruannya, kemudian cepat
memutar-mutar pedang Siang-bhok-kiam itu ke kanan kiri.
Tiba-tiba
terdengarlah bunyi gemuruh di belakang dinding batu itu. Keng Hong mencabut
pedangnya dan bunyi gemuruh itu disusul dengan suara bergerit, kemudian dinding
itu bergerak dan tampaklah sebuah lubang lima kaki persegi besarnya di dinding
batu hitam itu!
"Terima
kasih, Siang-bhok-kiam, lagi-lagi engkaulah yang telah menolongku!" Keng
Hong mencium Pedang Kayu Harum itu kemudian dia merangkak-rangkak memasuki
lubang ini. Siapa tahu kalau di sebelah sana ada jalan yang akan membawanya
kepada kebebasan, pikirnya.
Begitu dia
menembus dinding batu hitam yang tebalnya ada dua meter itu, dia melihat sebuah
kamar lain di balik dinding dan hatinya kecewa. Bukan jalan keluar, kamar ini
pun merupakan jalan buntu!
Akan tetapi,
kekecewaannya segera lenyap, tertutup oleh keheranan dan kengerian ketika
melihat sebuah kerangka manusia yang masih utuh sedang ‘nongkrong’ duduk di
sebuah kursi gading! Tengkorak dari rangka itu agak menunduk dan kelihatannya
seperti sedang mentertawakannya!
Keng Hong
bergidik dan menggoyang-goyang kepalanya. Mimpikah dia? Ataukah karena tiga
hari bekerja terus tanpa makan membuat dia tidak dapat lagi menggunakan mata
dan pikirannya secara normal? Akan tetapi, betapa pun dia menggoyang kepalanya,
ketika dia kembali memandang, rangka itu tetap berada di sana, duduk di atas
kursi gading dan di sebelah rangka itu terdapat sebuah meja gading pula.
Kaki meja
itu terbuat dari pada gading terukir, permukaannya dari batu putih halus dan di
atas meja itu terletak sebuah kitab yang sudah kuning saking tuanya. Sejenak
Keng Hong terpesona. Walau pun rangka itu hanyalah sekumpulan tulang manusia,
akan tetapi sikap duduknya masih membayangkan sikap tegak dan wibawa, seperti
sikap seorang raja atau seorang yang sudah biasa disembah-sembah orang.
Anehnya,
bagi Keng Hong timbul perasaan seolah-olah rangka itu merupakan tuan rumah atau
pemilik ruangan-ruangan di dalam batu pedang ini, dan dia sendiri sebagai tamu
tak diundang. Dia merasa bersalah, dan tanpa disadarinya pula, Keng Hong
menekuk kedua lututnya dan berbisik, "Locianpwe, mohon maaf atas
kelancanganku..."
Ia berlutut
sambil menunduk dan begitu dia menunduk, tampak ukiran huruf-huruf kecil di
atas batu lantai di depan lututnya. Huruf-huruf itu terukir amat kecilnya
sehingga tak akan dapat dilihatnya kalau dia tidak berlutut sambil menundukkan
muka. Jantungnya berdebar apa lagi ketika dia mengenal ukiran huruf-huruf ini
serupa benar dengan ukiran-ukiran di gagang pedang Siang-bhok-kiam! Jelas bahwa
ukiran huruf-huruf di atas lantai itu dan di gagang pedang dibuat oleh satu
orang, yaitu gurunya, Sin-jiu Kiam-ong!
"Terima
kasih kepada Thai Kek Couwsu dan maaf bahwa teecu tidak dapat menjadi ketua
Kun-lun-pai."
Keng Hong
menduga-duga. Tidak akan keliru kalau dia menduga bahwa rangka ini adalah
rangka dari Thai Kek Couwsu, yaitu pendiri Kun-lun-pai yang dikabarkan dahulu
bertapa di Kiam-kok-san dan lenyap bersama raganya sehingga batu pedang
dianggap sebagai tempat keramat oleh Kun-lun-pai. Kiranya kakek yang dikabarkan
sakti bagaikan dewa itu berada di sebelah dalam batu pedang dan meninggal dunia
di tempat yang tersembunyi ini! Dan rangkanya diketemukan suhu-nya, Sin-jiu
Kiam-ong!
Ia pun makin
menghormat rangka itu dan cepat menyembah delapan kali sambil berkata,
"Teecu Cia Keng Hong mohon maaf atas kelancangan teecu pada Couwsu yang mulia."
Kemudian
perhatiannya tertarik kepada kitab di atas meja. Tadinya dia ragu-ragu, karena
merasa tidak berhak untuk menyentuh kitab itu. Akan tetapi kemudian dia
berpikir bahwa gurunya yang amat suka akan ilmu dan suka pula akan kitab-kitab
pusaka, mustahil kalau tidak memeriksa kitab itu. Mungkin itukah sebabnya
gurunya menghaturkan terima kasih kepada Thai Kek Couwsu?
Tidak ada
seorang ahli silat yang tidak akan tertarik untuk membaca kitab peninggalan
seorang sakti! Maka dia pun segera bangkit dan menghampiri meja itu, dengan
hati-hati sekali mengambil kitab dari atas meja. Tiba-tiba terdengar suara
berkerotokan dan rangka itu runtuh dari atas kursi mengeluarkan suara
hiruk-pikuk!
Keng Hong
cepat meloncat ke samping, wajahnya pucat saking kagetnya. Akan tetapi dia
segera mengerti bahwa apa bila ada sedikit pergerakan saja maka tulang-tulang
itu tentu runtuh, sebab memang tidak ada penyambungnya lagi. Bila rangka itu
masih dapat duduk sekian lamanya, hal ini adalah karena cara ‘duduk’
tulang-tulang yang merupakan rangka itu sangat tepat, sesuai dengan cara duduk
bersemedhi yang dinamakan ‘keseimbangan’. Ia menjadi makin kagum lalu
meletakkan kitab di atas meja untuk bisa menyempurnakan sisa-sisa raga Thai Kek
Couwsu dengan cara membakar tulang-tulangnya itu.
Tulang-tulang
itu sudah sedemikan keringnya sehingga mudah sekali dimakan api, maka sebentar
saja raga pendiri Kun-lun-pai itu sudah menjadi abu. Keng Hong mengumpulkan abu
ini dan menaburkannya ke dalam jurang di ujung lorong yang dihuni burung-burung
walet. Abu tipis beterbangan tertiup angin, memenuhi udara seakan menjadi satu
dengan alam di sekelilingnya!
Keng Hong
segera kembali lagi ke kamar rangka itu dan begitu mengambil kitab di atas
meja, kini tampaklah huruf-huruf terukir pada permukaan meja seperti
digurat-gurat benda tajam. Huruf-huruf ini berbeda dengan gaya tulisan Sin-jiu
Kiam-ong, maka dia menduga bahwa ini tentulah tulisan Thai Kek Couwsu. Dengan
hormat ia pun membaca huruf-huruf terukir itu.
‘Thai-kek
Sin-kun ditinggalkan untuk dia yang berjodoh memasuki tempat ini dan diharap
dia suka menjadi ketua Kun-lun-pai.’
Keng Hong
mengerutkan keningnya dan belum berani membuka kitab yang pada kulit luarnya
tertulis namanya: THAI KEK SIN KUN. Ahhh, kini dia pun mengerti akan maksud
huruf-huruf di lantai, yang ditulis oleh Sin-jiu Kiam-ong. Tentu gurunya itu
telah masuk ke kamar ini dan mempelajari isi kitab maka dia menghaturkan terima
kasih, kemudian minta maaf karena tidak dapat menjadi ketua Kun-lun-pai seperti
yang diharapkan oleh Thai Kek Couwsu.
Dia sendiri
pun telah masuk ke kamar ini, dan hal itu merupakan jodoh baginya, membuat dia
berhak memiliki kitab. Ada pun mengenai menjadi ketua Kun-lun-pai, dia sama
sekali tak menghendakinya seperti yang diharapkan oleh pencipta kitab ini.
Biarlah seperti suhu akan kupelajari isi kitab ini dan kelak akan kuserahkan
kitab ini kepada ketua Kun-lun-pai, pikirnya.
Demikianlah,
lupa bahwa agaknya tak ada harapan lagi baginya untuk keluar dari tempat itu,
Keng Hong mengambil kitab kemudian meneliti keadaan kamar itu. Ia melihat
sebuah peti hitam di sudut kamar dan saat peti itu dibukanya di dalamnya penuh
dengan pakaian-pakaian sutera putih dan kitab-kitab tentang Agama To!
Sudah banyak
dia membaca kitab-kitab Agama To ketika menjadi kacung di Kun-lun-pai, dan
tentang pakaian itu, dia merasa berterima kasih sekali oleh karena memang dia
amat memerlukan pakaian sebagai pengganti pakaiannya yang sudah empat tahun tak
diganti, dan kini robek-robek ketika dia berjuang melawan maut di tambang tadi.
Setelah makan
dan minum untuk memulihkan tenaganya. Terkejut dan giranglah hatinya ketika
mendapat kenyataan bahwa kitab tebal ini terisi petunjuk-petunjuk inti sari
ilmu silat tinggi sekali, termasuk petunjuk mengenai penggunaan sinkang, ilmu
silat tangan kosong dan ilmu silat pedang yang berdasarkan ilmu sakti Thai-kek
Sin-kun!
Baru
sekarang ia mengerti bahwa kesaktian gurunya sebagian besar disempurnakan oleh
isi kitab ini dan dia dapat menduga kenapa gurunya tidak menurunkan ilmu ini
kepadanya. Tiada lain adalah karena gurunya merasa tak dapat menjadi ketua
Kun-lun-pai maka tidak berhak untuk menurunkan ilmu itu kepada orang lain.
Diam-diam dia kagum sekali kepada gurunya yang biar pun merupakan seorang
petualangan, namun sesungguhnya memiliki jiwa gagah perkasa yang tidak sudi
melanggar janji tak tertulis dan tak terucapkan antara dia dan Thai Kek Couwsu!
"Teecu
pun bersumpah tidak akan memperlihatkan kitab ini atau memberitahukan isinya
kepada orang lain kecuali ketua Kun-lun-pai," demikian bisik hati Keng
Hong dan mulailah dia membaca kitab itu penuh perhatian.
Mulailah dia
berlatih dengan tekun sekali dan dengan hati girang dia mendapat kenyataan
bahwa semua yang telah dipelajarinya, baik dari mendiang suhu-nya mau pun
tambahan-tambahan yang dia dapatkan dari berbagai kitab pusaka peninggalan
gurunya yang dia bacakan kepada Cui Im, semua inti sarinya termuat dalam kitab
ini, maka semua ilmu itu dapat disempurnakan.
Lebih
gembira lagi hatinya ketika mendapatkan petunjuk mengenai cara untuk menguasai
tenaga sinkang dan di bagian akhir kitab itu dia menemukan pula cara untuk
menguasai tenaga sedot dari sinkang-nya! Tanpa disengaja karena terciptanya
tenaga sedot di tubuh Keng Hong memang merupakan suatu kebetulan yang tidak
disengaja oleh gurunya mau pun olehnya sendiri, kini ia telah menguasai ilmu
yang dianggap sudah musnah dari dunia kang-ouw, yaitu ilmu mukjijat Thi-khi
I-beng!
Lam-hai
Sin-ni yang mempelajari ilmu ini sampai belasan, bahkan puluhan tahun hanya
dapat mengusai kulitnya saja, hanya berhasil menggunakan sepersepuluh bagian
tenaga mukjijat ini saja! Akan tetapi Keng Hong, dengan petunjuk kitab pusaka
Thai-kek Sin-kun, bisa mengusai seluruhnya. Bagi orang yang tidak mempunyai
sinkang yang menciptakan daya sedot, betapa pun saktinya orang itu seperti
Sin-jiu Kiam-ong sekali pun, tidak dapat memiliki Thi-khi I-beng biar pun telah
membaca kitab peninggalan Thai Kek Couwsu ini.
Setahun
lamanya Keng Hong melatih diri menurut petunjuk kitab itu dan sekarang di luar
kesadarannya sendiri, dia telah mendapat kemajuan yang jauh melampaui yang
diperoleh Cui Im selama berlatih empat tahun!
Setelah dia
mempelajari kitab sampai habis dalam waktu setahun, mulailah dia merenung dan
sering kali dia duduk di pinggir jurang, memandang jarak yang didudukinya dan
tepi jurang di seberang yang kini amat sunyi, tidak lagi terdengar suara ketawa
Cui Im, tidak lagi tampak berkelebatnya bayangan merah pakaian gadis cantik dan
genit itu. Keningnya berkerut apa bila membayangkan betapa kini semua pusaka
dibawa lari Cui Im, terutama sekali kalau membayangkan betapa gadis itu tentu
akan melakukan perbuatan-perbuatan yang luar biasa sehingga menggegerkan dunia
kang-ouw.
Betapa
mungkin keluar dari tempat ini? Sungguh merupakan hal yang amat sukar untuk
menyeberang ke sana tanpa jembatan.
Sukar?
Bukankah suhu-nya dahulu sering mengatakan bahwa tidak ada hal yang sukar di
dunia ini? Ataukah dia yang bodoh? Namun gurunya juga pernah mengatakan bahwa
tak ada manusia pintar atau bodoh di dunia ini.
Keng Hong
memejamkan matanya dan mengingat-ingat, apa pun yang dikatakan gurunya dahulu
tentang sukar dan mudah, tentang bodoh dan pintar. Dia ingat betapa dahulu dia
membantah, kemudian betapa dia dapat menangkap inti sari wejangan itu sehingga
dapat membenarkannya. Ahhh…, dia ingat sekarang.
"Di
dunia ini tidak ada hal yang sukar mau pun yang mudah, muridku. Juga tidak ada
atau tidak tepat bila disebut seseorang itu bodoh atau pun pintar. Biasanya,
orang berpendapat sukar adalah pendapat orang bodoh dan mudah itu pendapat
orang pintar. Sebenarnya tidak demikian. Tidak ada sukar, tidak ada mudah,
tidak ada bodoh tidak ada pintar. Yang ada hanya MENGERTI dan BELUM MENGERTI.
Yang mengerti tentu bisa dan apa bila sudah bisa menjadi mudah. Yang belum
mengerti tentu tidak bisa dan kalau belum bisa menjadi sukar. Jadi, tidak ada
hal yang sukar di dunia ini selama orang mau belajar agar mengerti dan bisa.
Kalau belum mengerti, carilah, gunakan akal budi yang dianugerahkan kepadamu
sebagai manusia. Segala hal pasti akan dapat diatasi!"
Demikianlah
wejangan gurunya yang kini terngiang di telinganya. Cari, cari caranya! Pasti
akan dia dapatkan! Biar dia terhalang jurang begini lebar, biar pun tampaknya
amat sukar dan tidak ada jalan keluar, hal ini hanya karena dia BELUM MENGERTI jalannya maka harus dia cari sampai dapat!
Dengan
landasan wejangan gurunya ini, sejak saat itu Keng Hong memutar otak, mencari
akal bagaimana dia akan dapat keluar dari tempat itu. Menggunakan ilmu
kepandaiannya melompati jurang, tidak akan mungkin. Hal seperti ini tentu hanya
mampu dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam dongeng seperti Sun Go Kong atau Kauw
Cee Thian si raja kera putih dalam dongeng See-yu saja!
Dapatkah
gurunya melompati jurang selebar ini? Kiranya tidak mungkin. Dan bagaimana
dengan Thai Kek Couwsu? Apakah kakek yang dikatakan berkepandaian seperti dewa
itu dapat melompati jurang ini? Kalau dapat bukan melompat namanya, melainkan
terbang! Tidak masuk akal!
Dia terus
mencari jalan, terus menggunakan akalnya. Manusia berakal budi, tidak seperti
binatang yang telanjang. Manusia berpakaian... ahhh, pakaian..! Keng Hong
memandang pakaian yang menutupi tubuhnya.
Pakaian
berwarna putih dari sutera yang dia ambil dari dalam peti. Agaknya peninggalan
Thai Kek Couwsu. Pakaian putih dari sutera halus dan sangat kuat, lagi ulet dan
kuat! Benar! Pakaian-pakaian sutera, sutera ulet itulah!
Cepat Keng
Hong berlari-lari memasuki kamar, membuka peti dan mengeluarkan semua pakaian
sutera putih. Ia lalu mengukur-ukur, kemudian merobek-robek semua pakaian itu
menjadi robekan-robekan kecil panjang, kemudian memilinnya, menyambung-nyambung
sehingga menjadi tali sutera yang panjang sekali, hanya sebesar kelingking akan
tetapi amat ulet dan kuat!
Disambungnya
terus sampai habis semua pakaian sutera putih yang kini berubah menjadi tali
yang amat panjang. Disambungnya tali sutera ini dengan tambang yang masih
tersisa setengah jarak jurang itu. Kemudian, dengan jantung berdebar dan hati
berdoa kepada Thian, sesudah mengikatkan ujung tali sutera pada batu karang,
dia melontarkan ujung tambang yang ada kaitannya ke seberang.
Tenaga
lontarannya amat kuat dan baja kaitan itu melayang ke seberang, tepat mengait
pada batu di seberang. Tali sutera itu ternyata cukup panjang! Sekarang
terbentanglah ‘jembatan’ terbuat dari tambang disambung tali sutera!
Keng Hong
hampir berteriak-teriak saking girang hatinya. Akan tetapi dia menekan rasa
gembiranya. Dia tidak mabuk kemenangan. Bahaya masih harus ditempuhnya. Sebelum
sampai ke seberang, dia harus lebih dulu menyeberang melalui ‘jembatan' ini dan
hal itu tidaklah semudah kalau menyeberang tambang seperti setahun yang lalu.
Tali sutera itu amat kecil lagi licin dan dia masih harus mempertaruhkan
nyawanya karena kalau tali itu kurang kuat dan putus...!
Akan tetapi
tak ada jalan lain dan taruhannya hidup selamanya di tempat itu, sampai mati
sebagai seorang kakek tua renta dan kurus kering, kemudian mati kesunyian. Apa
bila dia menyeberang, andai kata gagal pun dia hanya akan menemui kematian.
Akan tetapi kalau berhasil...!
Keng Hong
menyelipkan Siang-bhok-kiam di ikat pinggangnya, menyembunyikan pedang itu di
balik bajunya yang kebesaran, baju sutera putih, satu-satunya pakaian yang
tidak ia robek-robek untuk dijadikan tali penyeberang. Kitab Thai-kek Sin-kun
ia masukkan dalam saku baju.
Setelah
berdiri mengheningkan cipta di tepi jurang, menengadah dan di dalam hati mohon
perlindungan Thian serta mohon bantuan arwah Thai Kek Couwsu dan Sin-jiu
Kiam-ong, Keng Hong lantas mengerahkan ginkang-nya dan mulai melangkah
menginjak tali sutera yang melintang di atas jurang di depannya. Sesudah kedua
kakinya menginjak tali sutera dan merasa yakin bahwa tali itu cukup kuat, tidak
bergoyang dan tubuhnya dapat berdiri tegak lurus, dia lalu mulai melangkah maju
perlahan-lahan.
Menurutkan
hasrat hatinya yang hendak cepat-cepat sampai di seberang, ingin dia berlari
cepat. Akan tetapi dia menyabarkan hatinya dan tetap menjaga keseimbangan
tubuhnya tetap tegak sehingga jembatan itu tidak terlalu bergoyang dan tidak
terlalu berat tubuhnya membebani tali sutera. Bahkan bernapas pun agak dia
tahan hingga napasnya panjang-panjang dan lambat.
Seolah-olah
jarak yang setahun lalu setiap hari ditempuhnya itu kini menjadi lima kali
lebih panjang dari biasanya! Seolah-olah dia tak akan pernah sampai di
seberang. Akan tetapi kakinya kini tidak menginjak tali sutera lagi, melainkan
menginjak tambang, tanda bahwa jarak setengahnya telah dilalui.
Kini dia
mempercepat langkahnya dan tak lama kemudian dia melompat ke tepi jurang di
mana dahulu Cui Im berdiri mentertawakannya! Keng Hong menjatuhkan diri
berlutut ke arah tempat di mana tadi dia mulai menyeberang, seakan-akan dia
hendak menghaturkan terima kasih atas bantuan arwah Thai Kek Couwsu dan Sin-jiu
Kiam-ong.
Memang
sebenarnyalah bahwa dia menerima bantuan kedua orang sakti itu, yaitu dengan
mempelajari ilmu-ilmu dari kedua orang sakti itu. Kalau dia tidak mempunyai
sinkang yang hebat, dan bila ilmunya tidak diperdalam setahun lagi menurut
petunjuk kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, terutama sekali kalau dia tidak
menerima peninggalan pakaian sutera putih dari pendiri Kun-lun-pai itu, agaknya
tidak secepat itu dia akan dapat menyeberangi jurang!
Dari
pengalaman Keng Hong ini ternyata bahwa berharga atau tidaknya sebuah warisan
lebih luas lagi, berharga atau tidaknya sebuah benda tergantung dari pada
pengetrapan penggunaannya. Kadang kala, benda yang biasanya dianggap tak
berharga, sekali waktu pada saatnya yang tepat sangatlah dibutuhkan dan dapat
berubah menjadi benda yang amat berharga. Sebaliknya, benda yang biasa dianggap
amat berharga, jika sedang tidak diperlukan akan menjadi benda yang sama sekali
tidak ada harganya!
Apa artinya
segunung emas di padang pasir yang kering tak ada airnya? Manusia yang hampir
mati kehausan di situ akan dengan rela dan senang hati menukar setiap bongkah
emas dengan seteguk air! Dalam halnya Keng Hong, setumpuk pakaian tua itu
ternyata jauh lebih berharga dari pada segala macam pusaka yang diperebutkan
oleh tokoh-tokoh kang-ouw seluruh dunia!
Keng Hong
segera berlari memasuki lorong dan memeriksa semua ruangan. Tepat sekali
seperti yang sudah dia duga, Cui Im lenyap dan demikian pula semua kitab
peninggalan suhu-nya berikut tiga batang pedang pusaka beserta sebagian besar
perhiasan-perhiasan yang paling indah. Wanita itu benar-benar tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan untuk memuaskan nafsu ketamakannya!
Biar pun
senjata-senjata pusaka di situ masih banyak, dan juga barang-barang berharga
tersebut dari pada emas perak dan permata, namun tidak ada sedikit pun niat di
hati Keng Hong untuk membawa satu pun benda pusaka itu. Dia hanya membawa
pedang Siang-bhok-kiam dan kitab Thai-kek Sin-kun, kemudian dia terus keluar
dari tempat itu melalui lorong atau terowongan kecil sambil merangkak, seperti
ketika dia datang dahulu.
Ia masih
ingat betapa Cui Im yang merangkak di belakangnya merasa ketakutan,
kadang-kadang memegang lengannya, juga kadang-kadang mendorong pinggulnya. Keng
Hong tersenyum. Betapa pun marah dan bencinya kepada Cui Im, kadang-kadang
hatinya geli juga kalau teringat akan kelakukan gadis itu.
Di ujung
lorong, dia melihat batu-batu bertumpuk dan dia dapat menduga bahwa pintu yang
menutup terowongan itu hancur akibat gempuran batu-batu dari atas. Tadinya dia
memikirkan bagaimana Cui Im akan dapat keluar dari tempat itu tanpa bantuan
pedang Siang-bhok-kiam sebagai kunci. Akan tetapi ternyata bahwa batu yang
menutupi lubang itu pecah-pecah, agaknya tertimpa batu dari atas dan tentu
ketika keluar dari tempat ini, Cui Im telah membongkar batu-batu itu.
Melihat
banyaknya batu-batu itu, Keng Hong pun dapat membayangkan betapa sukarnya
pekerjaan itu. Tentu makan waktu berhari-hari! Diam-diam ia tersenyum
memikirkan betapa Cui Im dengan susah payah membongkar batu-batu yang menimbuni
mulut terowongan, dan betapa pekerjaan susah payah itu tanpa disangka-sangka
kini digunakan oleh Keng Hong yang dapat keluar tanpa bekerja sedikit pun!
Setelah
keluar dari lubang dan berada di lereng batu pedang, Keng Hong menarik napas
dalam. Angin gunung meniup mukanya dan ia memicingkan matanya dari sinar
matahari. Hatinya terharu. Ia merasa seolah-olah hidup kembali!
Lima tahun
lamanya dia berada di sebelah dalam batu pedang, seolah-olah telah terkubur di
situ. Dan setahun lamanya dia merasa sudah terjebak tanpa ada jalan keluar.
Kini dia telah berada di lereng batu pedang!
Keng Hong
mengangkat sebuah batu besar, sebesar kerbau sehingga lubang itu tertutup oleh
tumpukan batu-batu besar. Kemudian dia mulai merayap turun dengan hati penuh
kegembiraan dan dengan semangat tinggi. Tugas penting terbentang luas di
depannya.
Andai kata
tidak ada Cui Im yang mengganggu, tentu kini dia telah membawa kitab-kitab dan
pusaka-pusaka untuk dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Akan tetapi,
semua pusaka itu telah dirampas oleh Cui Im, maka tugas utama dan pertama
baginya adalah mencari Cui Im untuk merampas kembali benda-benda itu. Nama
besar suhu-nya tetap akan tercemar dan tetap akan dimusuhi dunia kang-ouw
sebelum benda-benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak.
Akan tetapi
sebelum mencari Cui Im dia akan pergi lebih dahulu mengunjungi Kun-lun-pai
untuk menyerahkan Thai-kek Sin-kun peninggalan pendiri Kun-lun-pai dan sekalian
minta maaf atas segala kesalahannya yang lalu. Ia percaya bahwa pihak
Kun-lun-pai, terutama sekali Kiang Tojin, akan dapat memaafkannya, dan andai
kata tidak, dia pun tidak gentar karena dia percaya bahwa dengan tingkat
kepandaiannya yang sekarang, dia akan dapat dengan mudah menyelamatkan diri!
Dengan
gembira Keng Hong lalu bersenandung, melagukan lagu ciptaannya ketika dia
dahulu sering kali bermain suling sambil duduk di punggung kerbaunya, ketika
dia masih menjadi kacung Kun-lun-pai.
Keng Hong
mengira bahwa turunnya dari batu pedang tentu akan segera dihadang oleh
orang-orang kang-ouw yang masih teringat akan semua pengalamannya lima tahun
yang lalu. Memang, pengalaman-pengalaman yang paling pahit adalah
kenang-kenangan yang paling mengesankan! Ia mereka-reka dan merenungkan
bagaimana dia akan menghadapi mereka yang pernah mengejar-ngejarnya lima tahun
yang lalu.
Sesudah dia
mengalami hal-hal yang pahit dengan Cui Im, kini dia dapat melihat bahwa
dibandingkan dengan Cui Im, tokoh-tokoh kang-ouw itu tidaklah begitu jahat dan
tamak. Cui Im tega melakukan hal-hal keji hanya semata-mata terdorong oleh
nafsunya yang sangat besar. Ada pun para tokoh kang-ouw itu mengejar-ngejarnya
dengan mempunyai dasar yang tentu saja mereka itu masing-masing menganggapnya
benar.
Mereka yang
memperebutkan pusaka peninggalan gurunya, merasa benar sebab mereka itu sudah
disakiti hatinya oleh Sin-jiu Kiam-ong dan merasa berhak menagih hutang itu
dengan jalan memiliki pusaka peninggalannya. Ada pun mereka yang mengejarnya
untuk membunuh dirinya juga merasa benar karena mereka menaruh dendam kepadanya
atas kematian murid-murid mereka.
Akan tetapi
ketika dia sampai di bawah batu pedang, keadaan di sana sunyi saja, tidak
tampak seorang pun manusia. Bahkan ketika dia meneliti dari tempat tinggi ini,
melihat ke bawah ke sekililing puncak, tidak ada tampak bayangan manusia, sunyi
sekali keadaan di situ. Ah, mungkin kini Kun-lun-pai telah melakukan penjagaan
ketat dan melarang semua orang asing mendatangi wilayah Kun-lun!
Ia menuruni
puncak Kiam-kok-san, kemudian mendaki ke puncak tertinggi Kun-lun-san di mana
markas Kun-lun-pai berada. Di sepanjang jalan sunyi saja, tidak ada pula nampak
tosu-tosu Kun-lun-pai melakukan penjagaan.
Tiba-tiba
dia melihat segunduk tanah seperti kuburan orang, akan tetapi tidak ada batu
nisannya dan sebagai gantinya terdapat sebongkah batu kasar yang ada
tulisannya, diukir kasar, buruk dan berbunyi: DI SINI THIAN TI HWESIO MATI DI
TANGAN ANG-KIAM BU-TEK.
Ia terkejut.
Thian Ti Hwesio adalah seorang di antara tokoh Siauw-lim-pai yang kitabnya
dahulu dicuri Sin-jiu Kiam-ong. Hwesio itu lihai sekali, merupakan hwesio
tingkat dua dari Siauw-lim-pai. Siapakah Ang-kiam Bu-tek (Pedang Merah Tanpa
Tanding) itu?
Tiba-tiba
saja jantung Keng Hong berdebar, mukanya panas saking marahnya ketika dia
teringat dan menduga keras bahwa Ang-kiam Bu-tek itu tentulah Ang-kiam
Tok-sian-li Bhe Cui Im! Siapa lagi jika bukan dia? Untuk dapat membunuh orang
seperti Thian Ti Hwesio haruslah mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan dia tahu
bahwa tingkat Cui Im sekarang amatlah hebat.
Dan julukan
itu! Ang-kiam (Pedang Merah) adalah pedang gadis itu, dan agaknya dia kini
membuang julukan Tok-sian-li (Dewi Racun) dan menggantinya menjadi Bu-tek
(Tanpa Tanding). Memang dalam tingkatnya sekarang ini, Cui Im tidak memerlukan
lagi bantuan racun untuk menghadapi lawan. Setiap pukulannya dengan sendirinya
sudah merupakan tangan beracun yang amat ampuh, karena gadis itu telah
mencampur adukkan ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab peninggalan gurunya
dengan ilmu yang pernah diterimanya dari Lam-hai Sin-ni, tentu saja ilmu silat
golongan sesat.
"Cui
Im, aku akan menghajarmu jika benar-benar engkau yang melakukan pembunuhan
itu!" gerutunya di dalam hati.
Ia berjalan
terus dan di dalam hutan itu dia melihat sebatang pohon besar yang sebagian
kulit batangnya terbuka dan pada kayu pohon yang putih itu terdapat pula
ukiran-ukiran huruf yang buruk kasar: DI SINI KIU-BWE TOANIO DIKALAHKAN
ANG-KIAM BU-TEK.
Keng Hong
menggeleng-gelengkan kepala. Tak salah lagi, semua ini tentu perbuatan Cui Im.
Ukiran huruf-huruf itu demikian halus, yang hanya dapat dilakukan oleh seorang
ahli pedang, ada pun bentuk huruf-huruf itu sendiri sangat buruknya yang hanya
menunjukkan tulisan seorang setengah buta huruf seperti Cui Im.
Ia kini
mengerti mengapa keadaan di situ begitu sunyi, mengapa tidak ada tokoh-tokoh
kang-ouw yang menghadangnya. Kiranya mereka itu ada yang menghadangnya setahun
yang lalu akan tetapi tentu saja mereka itu hanya berjumpa dengan Cui Im dan
celakalah nasib mereka begitu bertemu dengan Cui Im yang bagaikan seekor
harimau ganas dan kini telah bertambah sayap itu.
Pemuda itu
berjalan terus dan sebelum keluar dari hutan, kembali dia melihat gundukan
tanah dan dari batu terukir di situ ternyata adalah Sin-to Gi-hiap yang sudah
mati pula dan lagi-lagi di tangan Ang-kiam Bu-tek! Keng Hong membanting kakinya
dengan gemas.
Entah siapa
lagi yang sudah dikalahkan atau dibunuh oleh Cui Im. Dan mengapa semua
pembunuhan ini terjadi di wilayah Kun-lun-pai tanpa ada campur tangan pihak
Kun-lun-pai. Bila tujuh murid ketua Kun-lun-pai bersama puluhan orang tosu
turun tangan, kiranya tidak akan begitu mudah bagi Cui Im untuk mengganas.
Keng Hong
segera menuju ke puncak Kun-lun-pai dan bergegas mendaki puncak tertinggi
pegunungan itu yang dijadikan markas partai Kun-lun-pai. Tiba-tiba dia berhenti
dan cepat menyelinap di balik pohon pada saat dia mendengar suara orang
tertawa-tawa. Cepat dia berindap-indap menggunakan ginkang-nya sehingga dia
dapat menghampiri tempat suara dengan cepat namun tidak menimbulkan berisik.
"Sudahlah,
Totiang, jangan terlalu lama menahanku di sini, nanti suamiku tahu dan…."
terdengar suara wanita.
"Ha-ha-ha,
suamimu yang lemah seperti cacing itu? Tahu juga bisa apa dia? Bukankah aku
jauh lebih kuat dari suamimu yang kurus kering itu? Ha-ha-ha! Jangan
tergesa-gesa, Manis, kita bersenang-senang sampai sepuasnya...!"
Keng Hong
terbelalak ketika mengintai dari balik semak-semak dan melihat seorang tosu
empat puluh tahun, murid Kun-lun-pai, memeluk seorang wanita muda yang kalau
melihat pakaiannya tentulah seorang wanita dusun. Wanita itu cukup manis dan
sikapnya genit.
Keng Hong
merasa terheran-heran. Betapa mungkin terjadi hal seperti ini? Ada seorang anak
murid Kun-lun-pai bermain asmara dengan seorang wanita isteri penduduk dusun?
Padahal sepanjang pengetahuannya, para tosu Kun-lun-pai memegang teguh
pantangan mengadakan hubungan dengan wanita! Dan dalam urusan itu, para
pimpinan Kun-lun-pai memegang teguh peraturan dan berdisiplin keras sekali.
Akan tetapi
dia segera teringat akan Lian Ci Tojin yang dulu memperkosa Tan Hun Bwee, maka
hatinya menjadi khawatir. Melihat betapa Cui Im dapat mengganas di Kun-lun, dan
kini melihat seorang anak murid Kun-lun-pai berani melanggar pantangan di
tempat yang begitu dekat dengan markas Kun-lun-pai, bahkan dindingnya pun sudah
tampak dari situ, membuat dia menduga bahwa tentu terjadi perubahan di
Kun-lun-pai. Kemana perginya Kiang Tojin si orang kuat dari Kun-lun-pai? Dan
kenapa Thian Seng Cinjin, ketua Kun-lun yang sakti itu, menjadi begini lemah?
Keng Hong
menyingkap semak-semak itu dan berkata nyaring, "Totiang, aku ingin bicara
denganmu!" Lalu dia meloncat mundur, memberi kesempatan kepada dua orang
itu untuk membereskan apa yang perlu dibereskan.
Tosu itu
meloncat bangun dengan pakaian kedodoran. Sampai sukarlah ia membereskan
pakaian saking gugup dan kagetnya sebab mengira bahwa tentulah suami wanita itu
yang sekarang datang dan menangkap basah penyelewengan isterinya,. Akan tetapi,
dia cepat mengangkat muka membusungkan dada. Suami wanita ini hanyalah seorang
dusun, mau apakah? Ia lalu menarik tangan wanita yang menggigil dengan muka
pucat itu keluar dari semak-semak dan langsung berteriak-teriak.
"Petani
busuk! Pinto sedang berusaha mengusir keluar siluman yang sudah mengganggu
isterimu, mengapa kau mengganggu...?" Akan tetapi tosu itu menghentikan
kata-katanya dan melongo memandang ke arah Keng Hong yang tersenyum-senyum
geli, sedangkan wanita itu tersipu-sipu malu lantas menundukkan mukanya, akan
tetapi dengan hati lega karena ternyata pemergok itu bukan suaminya.
"Totiang,
engkau bukan mengeluarkan siluman, sebaliknya malah memasukkan setan!"
Keng Hong tertawa geli, membuat tosu itu merah mukanya saking malu dan marah.
"Kau...?!
Bukankah engkau ini pemuda setan itu…? Celaka, benar engkaulah orangnya!"
Tosu itu lalu menerjang maju mengirim pukulan ke arah dada Keng Hong yang
diterima oleh pemuda itu dengan mulut tersenyum.
"Krekkk!
Auugggh…!"
Tosu itu
meringis kesakitan sambil memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya di
dekat pergelangan tangan. Ia marah sekali dan kembali mengirim tendangan dengan
kaki kiri, menendang ke arah bawah pusar Keng Hong. Pemuda ini tetap tidak
menangkis atau pun mengelak, hanya menekuk sedikit kedua lututnya sehingga
tubuhnya merendah dan tendangan itu mengenai pusarnya.
"Krakkkk!
Aduuuu-du-duuuuhhh…!"
Tosu itu
kini mengangkat kaki kirinya ke atas, memegangi dengan tangan kirinya sambil
berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanan. Mulutnya mengaduh-ngaduh dan
mendesis-desis kesakitan karena tulang-tulang jari kakinya sudah remuk-remuk!
Wanita itu
menggigil dan menahan jerit dengan menutupkan tangan di depan mulut. Keng Hong
memandang kepadanya dan berkata halus,
"Engkau
pulanglah cepat sebelum terlihat suamimu."
Mendengar
ini, wanita itu langsung menggerakkan kakinya berlari menuruni gunung tanpa
berani menoleh lagi. Dari belakang tampaklah sepasang buah pinggulnya
bergerak-gerak seperti menari-nari dan Keng Hong pun tertawa, sebab mengenal
seorang wanita hamba nafsu birahi, seperti Cui Im!
"Totiang,
sekarang ceritakanlah dengan sejelasnya keadaan Kun-lun-pai atau jawab terus
terang jika Totiang tidak ingin tulang-tulang Totiang patah-patah dan remuk
semua. Nah, kumulai. Di manakah adanya Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai?”
Tosu itu
agaknya menjadi lapang dadanya. Tadinya dia mengira akan ditanya mengenai
perhubungannya dengan wanita dusun itu. Ia lalu menjatuhkan diri duduk di atas
rumput, tangan kirinya sibuk mengelus-ngelus secara bergantian tangan kanan
serta kaki kirinya yang tulangnya patah-patah sehingga rasa nyeri
berdenyut-denyut sampai menembus ke ubun-ubun dan jantung.
"Kenapa
engkau menanyakan beliau? Thian Seng Cinjin kakek guruku itu telah meninggal
dunia setahun yang lalu..."
Keng Hong
terkejut, teringat akan Cui Im yang meninggalkannya setahun yang lalu.
"Apa...?!
Siapa pembunuhnya...?”
Sambil
meringis tosu itu berkata, "Tidak ada yang membunuh, mati karena usia
tua."
"Ahhh…!"
Lapang rasa dada Keng Hong. "Dan Kiang Tojin di mana?"
"Kiang-supek
(uwak guru Kiang)? Ahh, dia kini sudah menjadi seorang hukuman di dalam ruangan
hukuman murid-murid Kun-lun-pai!"
"Apa?!
Siapa yang menghukumnya?"
"Tentu
saja ketua kami..."
"Siapa
ketua Kun-lun-pai?"
"Dia?
Ehh, dia adalah guru pinto.."
Keng Hong
menjadi marah mendengar bahwa Kiang Tojin, tokoh utama di Kun-lun-pai sesudah
Thian Seng Cinjin, dihukum di Kun-lun-pai. Mendengar jawaban-jawaban singkat
ini, dia segera menggerakkan tangannya dan dicengkeramnya pundak tosu itu.
"Jangan main-main. Hayo lekas ceritakan siapa gurumu itu!"
"Aduhhh...!
Ampun..., guru pinto adalah Sian Ti Tojin…"
"Aahhhh..!"
Keng Hong teringat kepada dua orang tosu itu, Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin. "Hayo
cepat ceritakan apa yang telah terjadi! Ceritakan seluruhnya kalau kau tidak
ingin semua tulangmu kupatahkan!" Keng Hong mengancam.
"Ahh,
Keng Hong... ehh, Taihiap. Kasihanilah pinto, tidak ingatkah engkau betapa
dahulu aku baik sekali kepadamu?"
Keng Hong
tidak ingat lagi kepada tosu ini karena tosu Kun-lun-pai amat banyak, akan
tetapi harus dia akui bahwa dahulu ketika dia menjadi kacung di Kun-lun-pai,
semua tosu bersikap baik kepadanya.
"Aku
tidak akan mengganggumu asal saja kau suka bercerita sejujurnya tentang apa
yang telah terjadi setelah Thian Seng Cinjin meninggal dunia dan apa pula yang
menyebabkan Kiang Tojin sampai dihukum."
Sambil
menahan rasa nyeri pada tubuhnya, tosu itu lalu bercerita, "Sesudah kakek
guru meninggal dunia setahun yang lalu, terjadilah perebutan kedudukan ketua di
antara tujuh orang muridnya. Terutama sekali yang berebut adalah Kiang Tojin di
satu pihak dan suhu Sian Ti Tojin bersama susiok Lian Ci Tojin di lain pihak.
Empat orang paman guru yang lain berpihak kepada suhu, karena menurut anggapan
semua murid-murid Kun-lun-pai, Kiang-supek terlampau keras dan bengis terhadap
anak murid Kun-lun-pai!"
"Hemmm,
kurasa Kiang Tojin berada di pihak yang benar karena beliau adalah murid
tertua, bahkan tadinya mewakili Thian Seng Cinjin. Aku yakin pula Kiang Tojin
tidak akan kalah, biar pun menghadapi enam orang sute-nya."
"Memang
tadinya tidak kalah. Perebutan kedudukan itu menjadi pertandingan dan tidak
seorang pun di antara suhu dan para susiok dapat mengalahkan Kiang-supek yang
amat lihai, akan tetapi…"
"Akan
tetapi apa? Hayo lanjutkan!"
"Selagi
suhu dan para sute-nya terdesak oleh Kiang-supek, tiba-tiba muncullah Ang-kiam
Bu-tek..."
"Apa?
Bagaimana? Teruskan..!" Kali ini Keng Hong benar-benar amat terkejut
mendengar munculnya Cui Im di Kun-lun-pai.
"Wanita
cantik jelita itu sungguh-sungguh hebat! Hebat bukan main! Tidak hanya hebat
kecantikannya, hebat bentuk tubuhnya, akan tetapi hebat pula ilmu pedangnya
sehingga Kiang-supek langsung terluka begitu dia turun tangan membantu suhu
serta para susiok. Kiang-supek terluka hingga terpaksa menyerah, lalu dihukum
dan suhu diangkat menjadi ketua Kun-lun-pai, sedangkan Lian Ci susiok amat
beruntung, selain menjadi wakil ketua juga agaknya dapat bersahabat baik sekali
dengan wanita yang seperti bidadari itu."
"Katakan,
mengapa wanita itu membantu suhu-mu menentang Kiang Tojin."
"Ketika
itu dia memaki-maki Kiang-supek, mengatakan bahwa beberapa tahun yang lalu
Kiang-supek pernah menangkapnya dan hal itu dianggap penghinaan. Maka dia
datang membalas dendam dan merobohkan Kiang-supek. Dia hebat sekali
dan..."
Akan tetapi
tubuh Keng Hong sudah berkelebat lenyap dari depan tosu itu yang menjadi
melongo saking kagum dan herannya, lupa akan rasa nyeri tubuhnya. Akan tetapi
setelah keheranannya mereda, kaki tangannya yang patah tulangnya itu
senut-senut, rasa nyeri menyusup tulang sumsum sehingga dia merintih-rintih lalu
merangkak karena tidak dapat berjalan.
Keng Hong
yang menjadi amat marah mendengar betapa Kiang Tojin dirobohkan Cui Im yang
membantu tosu-tosu sesat semacam Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, berlari cepat
sekali mendaki puncak menuju ke dinding Kun-lun-pai yang sudah dekat dari
tempat itu. Dia harus menolong Kiang Tojin, apa pun yang terjadi, sebagai
pembalasan atas segala kebaikan Kiang Tojin kepadanya. Karena ginkang yang
dimiliki Keng Hong sekarang telah mencapai tingkat tinggi sekali, maka tidak lama
kemudian dia telah tiba di pintu gerbang dinding tebal Kun-lun-pai yang terjaga
oleh beberapa orang tosu.
Munculnya
Keng Hong menggegerkan para tosu yang segera dapat mengenali pemuda berpakaian
putih ini. Cepat mereka bersiap untuk menyerang sedangkan seorang penjaga
cepat-cepat berlari masuk untuk menyampaikan pelaporan mengenai munculnya
pemuda yang sudah dikabarkan mati itu.
"Totiang
sekalian, aku datang bukan untuk memusuhi pihak Kun-lun-pai, aku hanya ingin
bertemu dan bicara dengan Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin!" Keng Hong
berkata dengan suara nyaring.
"Kamu
tunggu di luar! Tidak boleh kamu masuk mengotorkan dan mencemarkan lantai
Kun-lun-pai dengan kakimu yang kotor!" bentak seorang tosu.
Keng Hong
memandang ke arah kedua kakinya yang tak bersepatu dan memang kotor, lalu dia
menjawab, "Kaki kotor mudah saja dibersihkan dengan air, Totiang. Akan
tetapi batin yang kotor sukar dicuci bersih! Apa lagi kalau orang itu tidak
merasa betapa kotor batinnya!"
"Wah,
masih saja amat sombong bocah ini!" teriak para tosu yang tetap melarang
Keng Hong melewati pintu gerbang. Mereka telah berbaris menghadang di pintu
dengan senjata mereka ditodongkan, siap untuk menyerang apa bila Keng Hong
memaksa.
Diam-diam
pemuda itu mengeluh. Betapa banyaknya perubahan pada partai Kun-lun-pai yang
tadinya merupakan partai besar itu, menjadi tempat bertapa para tosu yang kasar
dan galak ini. Kelakuan tosu yang tadi dia patahkan tulang kakinya lebih pantas
menjadi kelakuan dan sikap anak buah perampok! Hanya dalam waktu lima tahun
saja, alangkah banyaknya perubahan terjadi di Kun-lun-pai.
Keng Hong
menjadi makin penasaran dan dia lalu berkata dengan suara tegas, "Totiang
sekalian, Keng Hong bukanlah orang yang tidak mengenal budi. Aku telah
berhutang budi dan di antara semua tosu di Kun-lun-pai, terutama sekali aku
berhutang budi pada Kiang Tojin. Kuharap Totiang sekalian suka melaporkan
kepada Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin karena aku hendak bicara dengan mereka berdua.
Aku tak ingin menggunakan kekerasan terhadap Kun-lun-pai, akan tetapi bila
Totiang sekalian mencegah aku dengan kekerasan, apa boleh buat, aku akan
memaksa masuk!"
Dengan
pandang matanya yang tajam Keng Hong dapat melihat bahwa yang bersikap keras dan
memandang kepadanya dengan sinar mata menentang hanya beberapa orang saja,
sedangkan yang lain-lain ketika dia menyebut nama Kiang Tojin telah menundukkan
pandang mata mereka seolah-olah mereka menyimpan atau menyembunyikan perasaan
hati mereka.
Akan tetapi,
Keng Hong sudah awas dan maklum bahwa sebagian besar para tosu yang menjadi
anak murid Kun-lun-pai ini masih setia kepada Kiang Tojin, hanya karena mereka
disiplin dan takut terhadap ketua dan wakilnya yang baru, terutama kepada Sian
Ti Tojin yang merupakan orang ke dua sesudah Kiang Tojin, maka mereka terpaksa
tunduk pada perintah kedua orang tosu yang memegang pimpinan baru di
Kun-lun-pai itu.
Keng Hong
sudah bersiap-siap untuk menggunakan kepandaiannya merobohkan mereka yang
bersikap keras dan melewati mereka yang pandang matanya ragu-ragu, dan para
tosu itu pun sudah siap mengeroyoknya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Mundurlah
kalian semua!"
Semua tosu
merangkapkan kedua tangan dan mundur ke kanan kiri, memberi jalan orang yang
meneriakkan perintah itu. Tampak oleh Keng Hong dua orang tosu dan dia menahan
ketawanya.
Geli dan
mengkal hatinya melihat lagak dua orang tosu yang dikenalnya sebagai Sian Ti
Tojin dan Lian Ci Tojin ini, yang berjalan dengan dada membusung, ada pun di
belakang kedua orang ini tampak empat orang tosu tokoh Kun-lun-pai murid Thian
Seng Cinjin.
Apa bila
tidak ada Kiang Tojin, maka Sian Ti Tojin sebagai murid ke dua dari Thian Seng
Cinjin memang merupakan tokoh tertua dan terpandai. Akan tetapi Lian Ci Tojin
hanyalah merupakan murid ke lima. Mengapa Sian Ti Tojin memilih dia sebagai
wakil ketua, tidak sute-sute-nya yang menjadi murid ke tiga dan ke empat? Hal
ini mudah dimengerti kalau melihat keakraban mereka dan kecocokan mereka dalam
menghadapi Kiang Tojin pada waktu-waktu yang lalu.
Sian Ti
Tojin memakai pakaian kebesaran ketua Kun-lun-pai, dengan jubah pendeta yang
bersulam benang perak, kepalanya memakai pelindung kepala yang indah dan
membuat wajahnya tampak angker. Tangannya memegang sebatang tongkat yang oleh
Keng Hong dikenal sebagai tongkat milik Thian Seng Cinjin dan agaknya menjadi
tanda pangkat dari ketua Kun-lun-pai!
Sedangkan
Lian Ci Tojin membuat hati Keng Hong lebih panas lagi. Tosu ini berpakaian
indah dan juga tersulam benang perak, namun yang menggelikan adalah rambutnya
yang licin mengkilap oleh minyak, wajahnya juga terpelihara seperti wajah
seorang pria muda pesolek, dan di punggungnya tergantung sebatang pedang yang
gagangnya terukir indah.
Kedua orang
tosu ini memandang Keng Hong dengan sinar mata penuh selidik. Ada pun sikap
keempat orang tosu lainnya masih biasa saja, namun mereka mengerutkan kening
dan siap mempertahankan Kun-lun-pai kalau pemuda ini kembali hendak
mendatangkan kekacauan.
"Cia
Keng Hong, kiranya engkau yang datang menghadap?" berkata Sian Ti Tojin
dengan suara halus. "Kami bersyukur kepada Thian bahwa engkau ternyata
masih hidup, tidak mati seperti disangka semua orang!"
Keng Hong
menjawab dengan hormat, "Terima kasih atas kebaikan totiang."
"Keng
Hong, engkau pernah menjadi kacung Kun-lun-pai. Suheng kini telah menjadi ketua
Kun-lun-pai, sepatutnya engkau memberi hormat dan menyebutnya locianpwe,"
kata Lian Ci Tojin.
Secara
diam-diam Keng Hong dapat membedakan watak kedua orang ini. Sian Ti Tojin
memperlihatkan sikap halus lembut, sikap yang sepatutnya dimiliki seorang ketua
partai besar. Namun sikap Lian Ci Tojin membayangkan kekerasan dan suka
membanggakan kekuasaan.
"Tidak
apa-apa, memang orang muda kurang pengalaman dan kurang pengertian tentang tata
cara. Cia Keng Hong, ada keperluan apakah engkau muncul di sini? Apakah engkau
datang untuk mohon maaf atas kelakuanmu dahulu yang membikin kacau dan rugi
nama besar Kun-lun-pai? Ataukah engkau akan menebus kesalahan telah menipu kami
dengan memberikan pedang palsu dan kini hendak menyerahkan Siang-bhok-kiam yang
tulen?" suara Sian Ti Tojin tetap halus dan sikapnya tenang sekali.
"Tidak
sama sekali, Totiang." Keng Hong tetap menyebut totiang kepada ketua baru
yang di dalam hatinya tidak dia akui ini sambil melirik ke arah Lian Ci Tojin
yang mulai merah mukanya. "Aku datang hendak menghadap Kiang Tojin. Di
manakah Kiang Tojin? Harap suka mohon beliau keluar untuk menerima aku datang
menghadap beliau."
Cara Keng
Hong berbicara jelas membayangkan bahwa dia menempatkan Kiang Tojin di tingkat
yang lebih tinggi dari pada Sian Ti Tojin yang kini menjadi ketua. Hal ini
dirasakan oleh semua tosu dan mereka semua memandang dengan hati tegang.
"Cia
Keng Hong! Kiang Tojin tidak dapat menemuimu pada saat ini. Semua urusan yang
hendak kau kemukakan boleh kau sampaikan kepada pinto sebagai ketua
Kun-lun-pai," kata Sian Ti Tojin.
"Kenapa
Kiang Tojin tidak dapat menemuiku? Apakah beliau sakit? Aku mendengar berita
bahwa Thian Seng Cinjin locianpwe sudah meninggal dunia. Sepanjang
pengetahuanku, bukankah Kiang Tojin dahulu menjadi calon ketua
Kun-lun-pai?"
"Cia
Keng Hong! Engkau tetap bocah lancang seperti dahulu! Siapakah engkau ini yang
usil dan hendak mencampuri urusan dalam Kun-lun-pai?”
"Hemm,
Lian Ci Totiang, memang aku tetap bocah yang dulu, dan kalau perlu, penting
juga bersikap lancang. Aku tak ingin mencampuri urusan dalam Kun-lun-pai.
Setelah kini Thian Seng Cinjin meninggal, kenapa Kiang Tojin tidak menjadi
ketua, bahkan juga tidak diperbolehkan menemuiku? Apakah kini beliau telah
menjadi orang yang tidak bebas lagi? Apakah beliau kalian hukum?"
Para tosu
memandang pemuda itu dengan mata terbelalak. Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin
sejenak saling bertukar pandang, kemudian Sian Ti Tojin mengetukkan tongkatnya
pada tanah dengan lagak seperti seorang ketua yang mulai kehilangan kesabaran,
akan tetapi suaranya tetap halus.
"Cia
Keng Hong, engkau bukan anak murid Kun-lun-pai sehingga sebetulnya tidak berhak
untuk mengetahui urusan dalam Kun-lun-pai. Akan tetapi mengingat bahwa engkau
ialah bekas kacung kami, dan mengingat hubungan antara engkau dan Kiang-suheng,
baiklah kau ketahui urusan dalam yang semestinya menjadi rahasia perkumpulan
kami. Sesudah suhu meninggal, terjadilah perbedaan pendapat di antara
Kiang-suheng dan kami. Seperti sudah lazim, perbedaan pendapat dalam
penggantian ketua ini diselesaikan dengan cara kami, yaitu menguji kepandaian.
Siapa yang paling pandai berhak menjadi ketua. Karena Kiang-suheng
mempergunakan kekerasan, maka kami pun bertanding, pinto menang dan menjadi
ketua sedangkan Kiang-suheng karena berdosa telah memancing keributan dan
pertentangan antara saudara sendiri, diwajibkan menebus dosa di
ruangan..." Sampai di sini Sian Ti Tojin berhenti, merasa sudah terlalu banyak
bicara.
"Di
ruangan menebus dosa atau ruang hukuman! Aku sudah tahu, Sian Ti Tojin, dan aku
tahu pula bahwa ruang itu disediakan bagi para tosu yang telah melakukan
pelanggaran, baik pelanggaran hukum Kun-lun-pai, mau pun hukuman pelanggaran
peri kemanusiaan. Apa bila ada tosu yang memperkosa gadis orang dan yang
bersekutu dengan orang lain untuk menjatuhkan saudara sendiri pun termasuk
pelanggaran-pelanggaran yang harus dihukum, bukan?"
Ucapan Keng
Hong ini membuat wajah para tosu anak murid Kun-lun-pai menjadi pucat. Sian Ti
Tojin menggerakkan kepala ke belakang dan matanya menyinarkan kemarahan yang
tak ditutupinya lagi.
"Bocah
lancang mulut! Apa maksudmu?"
Keng Hong
tersenyum ketika melihat ke arah Lian Ci Tojin. Melihat muka tosu ini pucat dan
telah meraba gagang pedang di punggungnya, dia lalu berkata, "Aku tidak
bermaksud mencampuri urusan Kun-lun-pai. Aku tidak peduli apakah Kiang Tojin
kalian hukum atau kalian apakan juga, asal saja memang sudah semestinya
demikian dan tidak ada yang melanggar kebenaran atau pun keadilan. Aku datang
hanya untuk bertemu dengan Kiang Tojin."
"Bocah
sinting, minggat kau dari sini!" bentak Lian Ci Tojin sambil menyerang.
Pedangnya
ditusukkan ke arah dada Keng Hong dengan gerakan cepat dan kuat sekali. Dia
tidak takut menghadapi Keng Hong karena selama lima tahun ini dia dan terutama
suheng-nya sudah menggembleng diri supaya kuat mempertahankan kedudukan mereka
sebagai ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai.
"Hemmm,
gerakanmu cukup baik, akan tetapi kurang isi karena kau kotori dengan watak
dengki, kejam dan penuh kebencian, Lian Ci Tojin," Keng Hong berkata
sambil mengelak dengan sangat mudahnya. Dia tidak banyak bergerak, hanya
miringkan tubuh saja tanpa mengubah kedudukan kedua kakinya.
Melihat
betapa tusukannya hanya lewat saja di dekat dada Keng Hong, Lian Ci Tojin lalu
membalikkan pergelangan tangannya hingga pedang itu kini membabat turun
memenggal atau membacok ke arah pinggang.
"Plakkk!"
Keng Hong
melangkah mundur dan mengangkat kakinya, menampar pedang itu dari arah samping
dengan tendangan kakinya. Kelihatannya perlahan saja dia menendang, namun
pedang itu hampir terlepas dari pegangan Lian Ci Tojin yang ikut terpental
hingga terputar setengah lingkaran. Ketika dia memandang, Keng Hong sudah
meloncat jauh melampaui kepala para tosu.
"Kejar
dia! Jangan perbolehkan dia masuk!" Bentak Sian Ti Tojin yang sudah
melompat pula dengan gerakan cepat sekali, seperti melayang melampaui kepala
anak buahnya.
Tapi dia
tercelik karena Keng Hong tidak terus meloncat ke dalam, melainkan menyambar
balok atap dan mengayun tubuhnya mencelat ke atas genteng.
"Ha-ha-ha,
Sian Ti Tojin, engkau sudah pucat ketakutan, khawatir rahasiamu terbuka, ya.
Ha-ha-ha, betapa memalukan rahasia ini. Engkau merampas kedudukan ketua dari
tangan suheng-mu sendiri, sama sekali bukan mengandalkan kepandaianmu, sama
sekali bukan karena engkau lebih lihai dari pada Kiang Tojin, melainkan karena
engkau sudah dibantu oleh seorang tokoh kaum sesat, dibantu oleh Ang-kiam Tok
Sian-li Bhe Cui Im yang dulu menjadi murid Lam-hai Sin-ni dan yang kini memakai
julukan Ang-kiam Bu-tek. Ehh, Lian Ci Tojin, bukankah kini engkau telah menjadi
sahabat baiknya? Dia manis sekali, bukan? Apakah engkau suka mencium tahi lalat
merah di tubuhnya? Ha-ha-ha!"
Entah
bagaimana, dalam kemarahannya ini Keng Hong tidak menyadari bahwa dia telah
bersikap gembira dan nakal, tidak menyadari bahwa kini dia telah bersikap
persis seperti sikap Sin-jia Kiam-ong di waktu muda.
Dia teringat
bahwa di tubuh Cui Im terdapat sebuah tahi lalat merah, maka dia sengaja
mengejek Lian Ci Tojin yang dia dapat menyangka tentu telah melayani gadis
cantik dan lihai itu dalam bermain asmara, karena walau pun usianya sudah empat
puluh lima lebih, malah mungkin lima puluh tahun, tosu ini termasuk seorang
pria yang gagah dan tampan. Apa lagi kalau dia ingat betapa Lian Ci Tojin
kurang kuat menahan nafsunya sehingga sampai hati melakukan pemerkosaan
terhadap seorang gadis muda, yaitu Tan Hun Bwee.
"Binatang
kurang ajar!"
Dalam
kemarahannya akibat terdorong rasa malu, Lian Ci Tojin membuat gerakan dengan
kedua kakinya, memutar tubuh dan kedua lengan kemudian secara tiba-tiba sekali
tangan kanannya sudah melontarkan pedangnya yang meluncur seperti anak panah,
lebih cepat lagi malah, menuju ke perut Keng Hong. Pedang itu berubah menjadi
sinar terang saking lajunya, dan mengeluarkan suara berdesing.
Sesudah Keng
Hong mempelajari kitab Thai-kek Sin-kun peninggalan Thai Kek Couwsu yang
merupakan inti sari ilmu silat Kun-lun-pai, dia dapat mengenal gerakan itu.
Maka dia cepat melompat ke samping sambil tangannya menyambar pedang itu dengan
kedua jari telunjuk dan jari tengah, mengepitnya, kemudian meloncat turun
kembali.
Enam orang
murid Thian Seng Cinjin merasa terkejut lantas melongo. Yang diperlihatkan Keng
Hong dalam menyambut pedang yang disambitkan tadi adalah jurus Yan-cu Phok-li
(Burung Walet Menyambar Ikan), jurus yang khusus dalam ilmu silat Kun-lun-pai
untuk menghadapi serangan yang khusus pula, yaitu penyambitan pedang yang
disebut jurus terakhir Sin-lion Hian-bwe (Naga Sakti Mengulur Buntut).
"Hemm,
Lian Ci Tojin, betapa pun kejam dan ganas hatimu, tapi jurus Sin-liong Hian-bwe
ini masih jauh dari pada sempurna. Melontar pedang menuju sasaran barulah tepat
kalau pencurahan perhatian memusat hanya pada satu titik, akan tetapi pikiranmu
telah banyak bercabang, di antaranya bercabang pada kedudukan, pada kemewahan,
dan terutama sekali bercabang kepada kulit kuning wajah cantik! Kau lihatlah
baik-baik dan baru tahu bahwa sesungguhnya Sin-liong Hian-bwe dari Kun-lun-pai
amatlah lihainya!"
Keng Hong
yang berada di atas genteng itu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya
berputar seperti yang dilakukan oleh Lian Ci Tojin tadi, kemudian dia
melontarkan pedang yang ditangkapnya tadi ke arah Lian Ci Tojin.
Pedang itu
segera meluncur bagaikan kilat menyambar, tanpa mengeluarkan bunyi, akan tetapi
justru tak berbunyi inilah yang amat lihai. Dapat menyambitkan pedang sedemikian
cepatnya tanpa pedang itu mengeluarkan bunyi, benar-benar merupakan kemahiran
dan tingkat yang terlalu tinggi bagi para murid Thian Seng Cinjin.
Lian Ci
Tojin kaget bukan main. "Celaka...!" serunya.
Dia cepat
menggunakan gerakan Yan-cu Phok-hi untuk menghindarkan diri. Ia meloncat,
membalik kemudian tangannya bergerak, bukan untuk menjepit pedang karena
kecepatan pedang itu membuat tosu ini jeri untuk menjepitnya dengan dua jari
tangan, maka sebagai gantinya dia lantas mengebut pedang itu dengan lengan
bajunya. Akan tetapi pedang itu menyambar terlalu cepat dan ketika dia kebut
dengan ujung lengan baju, masih meluncur terus bahkan ujung lengan bajunya yang
buntung.
"Aihhhhh...!"
Lian Ci
Tojin menjadi pucat melihat pedang itu tadi sudah menyambar dan membabat putus
segumpal rambutnya dan kini rambut segumpal bersama kain dengan lengan baju
sepotong yang tadi terbabat dan menyangkut pada gagang pedang, tampak di atas
tanah, tertikam pedang yang amblas sampai ke gagangnya ke dalam tanah!
Para tosu
geger menyaksikan hal ini, terutama sekali enam orang pimpinan Kun-lun-pai
menjadi pucat mukanya. Mereka maklum bahwa pemuda itu kini telah menjadi orang
yang lihai sekali dan amatlah berbahaya bagi Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin
kalau tidak segera dibinasakan.
"Kejar!
Kepung! Bunuh!" Sian Ti Tojin berseru keras sehingga semua tosu yang
mentaati perintahnya sudah mengepung tempat itu dan siap untuk meloncat naik ke
atas genteng mengeroyok Keng Hong.
"Heh,
para tosu Kun-lun-pai, dengarlah baik-baik!" Keng Hong berteriak.
Oleh karena
pemuda ini mempergunakan tenaga khikang, maka suaranya menggetarkan jantung
semua tosu, termasuk juga tokoh-tokohnya hingga mereka terkejut sekali, bahkan
beberapa orang anak murid Kun-lun-pai yang sinkang-nya masih belum kuat benar,
dua kaki mereka langsung menjadi lemas dan mereka pun roboh terguling begitu
mendengar suara Keng Hong yang mengandung getaran khikang yang amat kuatnya
itu.
"Menurut
aturan sesungguhnya Kiang Tojin yang patut menjadi ketua Kun-lun-pai, selain
beliau adalah murid tertua mendiang Thian Seng Cinjin, juga memiliki tingkat
kepandaian paling tinggi dan mempunyai pula sifat-sifat yang berdisiplin,
bijaksana, berpemandangan luas. Akan tetapi kedudukan ketua telah dirampas oleh
Sian Ti Tojin secara curang, yaitu menggunakan bantuan seorang iblis betina
golongan sesat. Jika kalian mau insyaf, demi menjaga nama besar Kun-lun-pai,
bebaskan Kiang Tojin dan angkat beliau sebagai ketua! Aku tak ingin mencampuri
urusan Kun-lun-pai, hanya memberi nasehat mengingat bahwa aku pernah hidup di
sini. Sekarang, aku ingin berjumpa dan bicara dengan Kiang Tojin!"
Dari atas
genteng Keng Hong dapat melihat jelas betapa pada wajah sebagian besar para
tosu Kun-lun-pai tampak keraguan dan bahkan persetujuan dengan anjurannya itu,
maka berisiklah keadaan di bawah itu karena para tosu saling berbisik-bisik.
"Diam
semua! Siapa hendak memberontak akan kubunuh dengan tongkatku ini!" Sian
Ti Tojin membentak dan diamlah para tosu itu. "Hayo kalian membantu pinto
menangkap dan membunuh pengacau Kun-lun-pai itu!"
Para tosu
kembali menjadi berisik sekali. Seperti rombongan semut diganggu, mereka itu
bersiap untuk mengeroyok Keng Hong.
"Tahan
semua...!" Tiba-tiba terdengar nyaring dan sesosok tubuh berkelebat naik
ke atas genteng. Tahu-tahu Kiang Tojin telah berdiri di depan Keng Hong!
"Cia
Keng Hong, engkau pengacau terbesar di dunia! Mau apa engkau hendak berjumpa
dengan pinto? Masih ada muka untuk bicara dengan pinto? Bicara apa lagi?"
Kiang Tojin membentak Keng Hong dengan sikap kereng dan mata memancarkan
kemarahan.
Keng Hong
memandang tosu penolongnya itu dan hatinya terharu. Pakaian tosu ini kumal dan
robek-robek, rambutnya kusut, wajahnya amat pucat dan tubuhnya kurus sekali.
Dua lengannya diborgol pada pergelangan tangan. Yang masih tetap kelihatan
bersemangat, bahkan kini lebih tajam sinarnya, adalah sepasang mata kakek ini.
Keng Hong
cepat menjura dengan penuh hormat dan menjawab. "Totiang, mohon maaf atas
kelancangan saya. Akan tetapi saya mendengar bahwa Totiang dicurangi, bahkan
dihukum dan saya datang dengan maksud membantu…"
"Pinto
tidak membutuhkan bantuanmu, Keng Hong. Dan tentang urusan kedudukan ketua
Kun-lun-pai, tongkat ketua telah di tangan sute-ku Sian Ti Tojin, hal ini juga
urusan dalam Kun-lun-pai. Engkau tidak berhak..."
"Kalau
saya tidak berhak mencampuri, mengapa Ang-kiam Bu-tek boleh mencampurinya dan
membantu mereka yang merampas kedudukan Totiang?"
Tiba-tiba
saja sepasang mata itu menjadi makin bersinar marah. "Perempuan itu! Tidak
menyebutnya masih tidak mengapa, akan tetapi setelah engkau menyebutnya,
betapa... tidak punya malu engkau, Cia Keng Hong!"
"Ehh,
apakah maksud Totiang?"
Tosu tua itu
memandang Keng Hong dengan kepala dikedikkan ke belakang, matanya memandang
setengah terkatup dan cuping hidungnya bergetar. "Cia Keng Hong, engkau
menolak permintaan banyak tokoh kang-ouw gagah perkasa yang menginginkan pusaka
peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Andai kata engkau mengkhianati gurumu dan
menyerahkan pusaka itu kepada para tokoh kang-ouw yang akan mempergunakan untuk
perjuangan membela kebenaran dan keadilan, itu sih masih tidak mengapa. Akan
tetapi engkau telah menyerahkan pusaka gurumu kepada seorang wanita seperti
murid Lam-hai Sin-ni! Cia Keng Hong, kemana larinya kesadaran dan
kebijaksanaanmu?"
"Saya
tidak menyerahkan, melainkan dia yang telah mencurinya. Kiang-totiang, mengapa
Totiang membiarkan pengaruh jahat menyelundup ke Kun-lun-pai? Apakah sudah
tepat kalau Totiang mengalah dan menerima dihukum begitu saja dan membiarkan
Kun-lun-pai melalui jalan yang menuju ke arah penyelewengan? Bagaimanakah
pertanggungan jawab Totiang terhadap Kun-lun-pai, terhadap Thai Kek Couwsu
pendiri Kun-lun-pai? Kemana larinya kesetiaan Totiang terhadap
Kun-lun-pai?"
"Cia
Keng Hong, tutup mulutmu dan jangan mencampuri urusan Kun-lun-pai. Pinto sudah
dikalahkan, tongkat ketua juga sudah dirampas, mau berkata apa lagi? Biarlah,
ini adalah urusan pribadi pinto sendiri!"
"Begitu
pula urusan peninggalan harta pusaka suhu adalah urusan pribadi saya, Totiang.
Tidak perlu ada orang lain memusingkannya. Sekarang, saya pun tidak mau
mencampuri urusan Totiang dengan Kun-lun-pai, akan tetapi saya hendak
menyampaikan pesan Thai Kek Couwsu kepada Totiang."
"Iiiihhhh...!!!"
Terdengar seruan-seruan kaget dari para tosu di bawah genteng.
"Keng
Hong, apa yang kau katakan ini? Keng Hong, bocah yang sejak dulu pinto anggap
sebagai putera sendiri, ahhh, benarkah engkau begini kejam, selain selalu
mendatangkan rasa kecewa, kini malah berani menggunakan nama Couwsu untuk
main-main di hadapan pinto?" Kiang Tojin memandang dengan muka sedih dan
suara gemetar.
Keng Hong
terharu sekali dan cepat menjatuhkan diri berlutut. "Tidak, Totiang, saya
mana berani mempermainkan Totiang yang saya junjung tinggi dan yang tak akan
pernah saya lupakan budi Totiang yang amat besar terhadap saya? Saya sudah
menemukan rangka Thai Kek Couwsu, bahkan saya telah menyempurnakannya dengan
membakar rangkanya dan menyebarkan abunya di atas lereng batu pedang."
"Siancai…
siancai… siancai...!" Terdengar Kiang Tojin bersama para tosu berdoa
sambil menundukkan kepala.
"Cia
Keng Hong, untuk kesekian kalinya pinto percaya dengan segala keteranganmu ini.
Kini bangkitlah dan katakanlah apa yang kau maksudkan dengan menyampaikan pesan
Couwsu kami kepada pinto tadi."
Keng Hong
bangkit berdiri dan mengeluarkan kitab kuno peninggalan Thai Kek Couwsu,
dipegangnya dengan suara lantang. "Saya mendapatkan kitab pusaka
peninggalan Thai Kek Couwsu ini di atas meja dekat rangka Thai Kek Couwsu dan
karena di situ terdapat pesan supaya kitab pusaka ini diserahkan kepada calon
ketua yang baik dari Kun-lun-pai, maka saya anggap bahwa Kiang Tojin seoranglah
yang berhak menerimanya!"
"Bocah
jahat, berani engkau mengacau Kun-lun-pai? Serahkan kitab itu kepada
pinto!" teriak Sian Ti Tojin.
Tubuh ketua
baru Kun-lun-pai ini meloncat naik ke atas genteng dengan cepat sekali dan
berada di atas kepala Keng Hong, kemudian tubuh itu membalik dan menukik
membuat salto, tongkatnya ke bawah dan meluncur dalam penyerangannya, menusuk
ubun-ubun Keng Hong, sedangkan tangan kirinya meraih ke depan merampas kitab.
Melihat
betapa sute-nya menggunakan jurus maut dengan ilmu tongkatnya ini, Kiang Tojin
berseru terkejut, "Sute..!"
"Aha,
Sian Ti Tojin, masa sebagai ketua Kun-lun-pai, jurusmu Hek-liong Lo-hai
hanyalah seperti ini? Jauh kurang sempurna…!" Keng Hong berkata cepat pada
saat menyaksikan gerakan serangan ketua Kun-lun-pai itu.
Ia tidak
mengelak, malah merendahkan tubuhnya sampai berjongkok dan menanti sampai
tongkat itu dekat di atas ubun-ubunnya. Baru dia cepat-cepat memiringkan pundak
dan kepala, secepat kilat tangan kirinya menyambar ujung tongkat, dibetot terus
ke bawah lalu dikempit sedangkan kaki kanannya secara tiba-tiba menendang perut
Sian Ti Tojin!
Kakek ini
terkejut. Mempertahankan tongkatnya berarti perutnya akan tertendang dan dia
mengenal jurus yang lihai ini, dan tahu pula bahwa pemuda ini mempunyai sinkang
yang luar biasa sekali. Menurut peraturan, tongkat pegangan ketua yang
merupakan ‘tongkat komando’ sama harganya dengan nyawa si ketua, sama sekali
tidak boleh terampas oleh lawan. Tentu saja Sian Ti tojin sebagai ketua baru
Kun-lun-pai, juga amat sayang kepada tongkatnya itu.
Akan tetapi
saat menghadapi bahaya maut, ternyata tosu ini lebih sayang nyawanya dari pada
tongkatnya. Hal ini terbukti ketika dia melepaskan tongkatnya untuk
menyelamatkan diri dengan melompat ke belakang. Akan tetapi gerakannya kurang
cepat dan ujung kaki Keng Hong masih saja menendang paha Sian Ti Tojin hingga
kakek ini berteriak nyaring dan tubuhnya terlempar ke bawah genteng. Untung
kepandaiannya cukup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai
terbanting...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment