Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 04
KENG HONG
terbelalak, lebih merasa heran dari pada terkejut dan jengah, melihat betapa
bagian atas baju itu terbuka memperlihatkan pakaian dalam yang berwarna merah
muda dan sebagian dada yang mencuat. Gadis itu merogoh ke balik baju yang
menutup dada lalu mengeluarkan sebuah bungkusan merah. Pada waktu dibuka,
ternyata bungkusan itu berisi belasan butir pil merah.
Ia mengambil
dua butir dan segera menelannya. Ia lalu mengembalikan bungkusan itu ke balik
bajunya, kemudian seakan terlupa, gadis itu tidak mengancingkan kembali bagian
atas bajunya terbuka itu. Keng Hong terpaksa menundukkan muka agar matanya
jangan melihat tonjolan dada yang berkulit putih halus itu.
"Keng
Hong, lihatlah kepadaku!"
Terpaksa
pemuda itu mengangkat mukanya memandang, berupaya mengusir ketegangan dan
kebingungan hatinya. Gadis jelita ini jelas berusaha hendak meracun dirinya.
Apakah maksudnya? Kenapa hendak membunuhnya? Ia tahu bahwa racun itu dapat
membunuh seorang lawan yang betapa pun kuatnya.
"Lihat
baik-baik, Keng Hong. Tidak indahkah rambutku? Tidak cantikkah wajahku? Cantik
sekali, bukan?" Gadis itu tersenyum-senyum dan mengerlingkan matanya,
bergaya sambil menggerak-gerakkan mukanya supaya dapat terpandang oleh pemuda
itu dari depan, kiri dan kanan.
"Hemm,
begitulah...," jawab Keng Hong yang masih mencari-cari sebab perbuatan
gadis itu. Dia kini dapat menduga bahwa pil merah tadi merupakan obat pemunah
racun karena si gadis tadi pun minum air beracun.
"Lihatlah
baik-baik dan pandanglah…, apakah kulitku tidak halus dan putih bersih, Keng
Hong?" Suaranya kini sangat halus merdu, penuh nada merayu dan tangannya
sengaja menyingkap baju atasnya agar belahan dada itu tampak makin nyata.
Keng Hong
menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang dan dia cepat-cepat menekan dengan
kekuatan batinnya. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami hal seperti ini,
dalam mimpi pun belum!
Gadis yang
bernama Bhe Cui Im itu kini bangkit berdiri, gerakannya lemah gemulai, leher,
pinggang dan lututnya melenggak-lenggok mengingatkan Keng Hong akan gerakan
tubuh seekor ular.
"Hemm,
agaknya begitulah...!" hanya demikian Keng Hong dapat berkata karena
tiba-tiba kerongkongannya seperti menjadi kering kembali, seperti orang
kehausan.
"Aku
masih muda, cantik jelita, bertubuh menggiurkan! Aku seorang gadis yang sangat
menarik hati, bukan?"
"Hemm…,
begitulah!"
Tiba-tiba saja
Cui Im menghentikan gayanya dan dengan kasar dia duduk di depan Keng Hong.
Senyum manis dan kerling mata tajam kini telah lenyap dan gadis itu mengerutkan
keningnya dengan bayangan hati kesal.
"Begitulah!
Begitulah! Begitulah! Apakah tidak bisa berkata lain, hai orang dungu? Sin-jiu
Kiam-ong kabarnya adalah pria tukang merayu wanita nomor satu di dunia, ahli
merayu dan mencumbu wanita. Apakah gurumu yang... terkutuk itu tak mengajarkan
kepandaian merayu wanita kepadamu, heh, bocah tolol?"
Keng Hong
tersenyum. Kini dia mulai mengenal wanita ini. Wanita yang cantik jelita, akan
tetapi sekaligus wanita yang sangat berbahaya, seperti seekor ular berbisa.
Timbul pula kegembiraan hatinya karena terhadap seorang wanita seperti ini, dia
tidak perlu bersikap canggung, malu-malu atau takut-takut. Ia menggeleng kepala
dan tersenyum mengejek.
"Kau
sudah mau mampus, tahukah? Kau calon bangkai makanan cacing! Hendak kulihat ke
mana perginya wajahmu yang tampan itu jika nanti sudah digerogoti cacing. Kau
tahu bahwa kau sudah minum racun? Di dalam air tadi, tolol, terdapat racun yang
mematikan. Racun bunga Siang-tok-hwa (Bunga Racun Wangi) yang kini sudah
memasuki perutmu dan segera akan menghancurkan ususmu, membuat isi perutmu
menjadi busuk. Tahukah engkau? Dan obat pemunahnya hanya berada padaku, obat
pemunah pil merah seperti yang kutelan tadi. Kalau kau tidak kutolong, nyawamu
pasti akan melayang dalam waktu dua puluh empat jam! Nyawamu berada di tanganku
sekarang, mengerti?"
Keng Hong
mengangguk-angguk. Mengertilah dia sekarang, teringatlah dia bahwa racun yang
tak asing baginya itu adalah Siang-tok-hwa. Tentu saja dia mengenalnya
baik-baik, dan tadi dia terlupa karena terpesona oleh sikap dan gaya gadis luar
biasa ini.
"Cui
Im, apakah kehendakmu? Apakah maksudnya semua ini? Kenapa kau meracuniku?"
"Karena
tolol engkau menjadi menyebalkan. Segala apa tidak mengerti. Otakmu tumpul
benar dan perlu dicuci! Tentu saja nyawamu kucengkeram untuk ditukar dengan
rahasia barang pusaka gurumu yang... terkutuk!"
"Diam
dan jangan memaki mendiang suhu atau... aku tidak akan sudi melayanimu bicara
lagi!"
Terbelalak
mata gadis itu mendengar bentakan yang tak disangka-sangkanya akan dapat
dikeluarkan oleh mulut pemuda tolol itu. Akan tetapi hanya sebentar karena dia
mengira bahwa hal itu timbul karena kebaktian bocah ini terhadap mendiang
gurunya.
"Engkau
sudah menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau Kun-lun-pai. Akan tetapi
pedang itu tidak ada artinya bagiku. Belum tentu dapat menangkan pedangku
ini!" Gadis itu meraba pinggangnya dan...
"Swingggg...!"
Tangannya
sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kemerahan. Kiranya
pedang itu amat tipis, terbuat dari pada baja lemas sehingga dapat dipergunakan
sebagai sabuk! Kini gadis itu menodongkan ujung pedangnya ke depan dada Keng
Hong.
"Aku
tak butuh Siang-bhok-kiam! Yang kubutuhkan adalah semua kitab-kitab pusaka dan
barang-barang mustika peninggalan suhu-mu. Engkau turun dari Kiam-kok-san
dengan hanya membawa pedang, berarti bahwa pusaka-pusaka warisan itu masih
belum kau bawa turun. Kau antar aku ke sana, berikan semua itu kepadaku,
tunjukkan rahasianya, dan mungkin nyawamu akan kubebaskan, dan selain itu...
hemmm, kalau kau tidak terlalu tolol, kita dapat menjadi sahabat baik!"
Keng Hong
bukan seorang bodoh sungguh pun kelihatannya dia ketolol-tololan. Dia telah
diracun, akan tetapi racun yang ada obat pemunahnya pada gadis itu. Berarti
bahwa dia tak akan dibunuh. Gadis ini menghendaki barang-barang pusaka gurunya,
tentu saja tak akan membunuhnya, melainkan hendak memaksanya dengan jalan
meracuninya.
Benar-benar
seorang gadis yang berhati kejam! Mengapa ada seorang gadis cantik jelita
seperti ini berhati sekejam itu? Dia merasa sangat penasaran dan perasaan inilah
yang mendorongnya hendak menyaksikan lebih lanjut sampai di mana kekejaman
gadis ini dan apa yang akan dilakukan atas dirinya.
"Aku
tidak pernah menerima warisan pusaka-pusaka yang kau maksudkan, dan aku pun
tidak tahu rahasianya."
"Kau
masih berani menyangkal dan menolak permintaanku? Kau murid tunggalnya, tidak
mungkin kau tidak mewarisi pusaka-pusaka itu, apa lagi Siang-bhok-kiam telah
diberikan kepadamu. Ingat, nyawamu berada di tanganku, tahu? Andai kata engkau
memberontak, engkau pun tidak akan mampu menandingi pedangku. Andai kata kau
mempergunakan ilmu mukjijatmu dan berhasil melarikan diri, dalam waktu sehari
semalam ususmu sudah hancur berantakan dan nyawamu pun takkan tertolong. Jangan
bodoh, Keng Hong. Lebih baik engkau menuruti permintaanku agar engkau tetap
hidup dan menikmati kesenangan bersama aku."
"Cui
Im, engkaulah yang bodoh dan mengecewakan hati. Mengapa engkau menurutkan nafsu
buruk hendak menginginkan barang milik orang lain? Apa bila engkau suka menurut
nasehatku, insyaflah dan sadarlah bahwa engkau terseret oleh nafsumu menuju ke
jurang kesesatan. Urungkan niatmu yang buruk itu karena sesungguhnya aku
benar-benar tidak pernah melihat di mana adanya pusaka-pusaka peninggalan
suhu-ku. Aku tidak berhasil mencarinya dan aku tidak berbohong."
"Kalau
begitu, biar aku melihat engkau mampus dengan isi perut berantakan!"
bentak Cui Im dengan suara marah dan kecewa sekali.
Mendadak
terdengar suara bentakan keras "Tidak boleh dibunuh begitu saja,
Tok-sian-li (Dewi Beracun)!" Dan tampak bayangan orang berkelebat.
"Benar
sekali, tidak boleh dibunuh sebelum menyerahkan pusaka peninggalan Kiam-ong
kepadaku!" berkelebat pula bayangan lain.
Kiranya yang
muncul ini adalah dua orang tua yang pernah dilihat Keng Hong pada lima tahun
yang lalu. Mereka berdua itu adalah dua di antara sembilan orang sakti yang
dulu pernah menyerbu Sin-jiu Kiam-ong.
Yang pertama
adalah nenek tua renta yang dia ingat bernama Lu Sian Cu dan berjuluk Kiu-bwe
Toanio. Gurunya pernah bercerita kepadanya tentang nenek ini. Menurut cerita
itu, Kiu-bwe Toanio dulunya adalah seorang pendekar wanita yang cantik jelita
dan lihai, namun yang jatuh cinta kepada gurunya yang tampan dan gagah.
Akan tetapi
ternyata wanita ini dikecewakan oleh Sin-jiu Kiam-ong. Kiam-ong tidak pernah
membiarkan hatinya jatuh cinta dan hubungannya dengan Lu Sian Cu hanya
dianggapnya sebagai permainan cinta petualangan biasa saja. Sebaliknya, cinta
kasih wanita itu amat mendalam sehingga hatinya menjadi hancur dan patah pada
saat Kiam-ong meninggalkan dirinya.
Ada pun
orang ke dua adalah si kakek tua Sin-to Gi-hiap, Pendekar Budiman Bergolok
Sakti yang juga mengandung dendam sakit hati terhadap Kiam-ong untuk urusan
pribadi. Isterinya yang sebenarnya adalah hasil rampasan dari seorang kepala
rampok, isterinya yang cantik jelita dan amat dicintanya, sudah ‘dicuri’ oleh
Kiam-ong yang terkenal pandai merayu wanita sehingga di antara isterinya dan
Kiam-ong terjadi perhubungan rahasia.
Melihat dua
orang tua yang datang ini, Bhe Cui Im tersenyum mengejek, kemudian dia
membalikkan tubuhnya menghadapi mereka sambil memandang tajam dan melintangkan
pedang merah itu di depan dadanya, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.
"Hemm,
Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap, bukan? Kalian sudah lari terkencing-kencing
diusir oleh tosu-tosu bau Kun-lun-pai, dan sekarang muncul lagi di depanku
dengan niat apakah?"
Keng Hong
memandang dengan heran. Semakin tidak mengertilah dia akan keadaan Cui Im.
Gadis cantik jelita yang amat menarik hati ini, yang tadinya amat galak dan
kadang kala juga amat halus memikat, kemudian terbukti berhati palsu dan keji,
kini menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang tua seperti menghadapi dua orang
biasa saja!
Tokoh macam
apakah gadis yang aneh ini di dalam dunia persilatan? Sampai-sampai dua orang
locianpwe (orang tua tingkat tinggi) tidak dipandang mata olehnya, dan yang
lebih mengherankan lagi, dua orang tua itu pun agaknya tidak menganggapnya
sebagai gadis muda.
"Ang-kiam
Tok-sian-li (Dewi Racun Berpedang Merah), lekas kau keluarkan pil pemunah
racun. Orang muda ini tidak boleh dibunuh," kata Sin-to Gi-hiap.
"Benar
sekali, Tok-sian-li. Siang-bhok-kiam telah dirampas oleh Kun-lun-pai, bila
pemuda ini dibunuh, sungguh sayang sekali. Kasihan murid Sin-jiu Kiam-ong yang
tidak bersalah apa-apa...," sambung Kiu-bwe Toanio.
Tiba-tiba
Cui Im tertawa bergelak, tanpa menutupi mulutnya, sikapnya kasar sekali. Keng
Hong semakin terheran-heran. Kiranya Bhe Cui Kim mempunyai julukan yang
demikian menyeramkan. Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah)!
Tentu seorang tokoh besar dari golongan sesat! Pantas saja Kiang Tojin
menyatakan bahwa gadis cantik itu dari dunia hitam, seorang tokoh kaum sesat.
Akan tetapi masih begitu muda! Masa memiliki tingkat kedudukan yang sejajar
dengan Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap?
"Hi-hi-hi-hi!
Kiu-bwe Toanio, alangkah lucunya melihat lagakmu. Semenjak muda engkau terkenal
sebagai pendekar wanita, akan tetapi ternyata engkau pun hanya seorang yang
pada lahirnya saja pendekar padahal sebenarnya di dalam hatimu mengandung
maksud-maksud yang tidak lebih bersih dari pada maksud hatiku. Kau pura-pura
merasa kasihan dan ingin menolong pemuda ini, padahal yang kau inginkan adalah
benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Aku pun menghendaki
benda-benda itu tetapi aku berterus terang, tidak pura-pura seperti
engkau!"
"Hemm,
Tok-sian-li. Hanya karena mengingat akan nama gurumu maka aku seorang tua masih
mau berlaku hormat padamu. Jangan engkau membuka mulut sembarangan saja! Memang
aku menghendaki barang-barang pusaka Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi hal itu
adalah karena dosa-dosa Kiam-ong kepadaku yang harus dia bayar lunas dengan
semua benda pusaka peninggalannya! Tidak seperti engkau yang hendak merampok
begitu saja dengan menekan muridnya."
"Hi-hik-hik,
nenek tua yang tak tahu malu! Engkau sendiri yang dahulu tergila-gila kepada
Kiam-ong, kau sendiri yang mengejar-ngejarnya, ingin selalu berada dalam
pelukannya, menikmati cumbu rayu dan belaiannya! Kiam-ong tak sudi menjadi
suamimu, kenapa kau katakan hal ini dosa? Hi-hi-hik, sungguh menjemukan!"
"Tok-sian-li,
biar pun engkau menggunakan nama besar gurumu, penghinaanmu ini harus dibayar
dengan nyawa!" Kiu-bwe Toanio marah sekali dan dia menggerakkan pecutnya
yang berekor sembilan itu di udara sehingga terdengar suara ledakan-ledakan.
"Tar-tar-tar...!"
"Huh,
pecutmu itu hanya dapat untuk menakut-nakuti anjing dan anak-anak kecil!"
Cui Im mengejek dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Sinar-sinar
merah yang kecil-kecil lantas menyambar ke arah nenek itu dengan kecepatan
laksana kilat menyambar. Itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang sangat
dahsyat dan berbahaya, sekali sambit, secara beruntun ada dua puluh satu buah
jarum halus yang menyambar lawan.
Setiap
batang jarum merupakan tangan maut karena racun yang dikandungnya lebih dari
cukup untuk merenggut nyawa orang. Kini dua puluh satu buah jarum menyambar dan
mengarah jalan-jalan darah yang penting, dapat dibayangkan betapa hebatnya!
"Perempuan
keji!" Kiu-bwe Toanio memaki.
Akan tetapi
dia sibuk juga memutar senjata cambuknya untuk melindungi tubuh. Hanya dengan
memutar cambuk itu cepat-cepat maka ia baru dapat menghindarkan jarum-jarum
yang tak berani ia anggap ringan itu.
"Nenek
tua mampuslah!"
Cui Im sudah
melesat ke depan dan pedangnya berubah menjadi cahaya merah yang
bergulung-gulung pada saat ia menerjang lawannya sebagai serangan lanjutan dari
pada jarum-jarumnya. Gadis ini selain pandai dalam melepas jarum, ternyata juga
amat cerdik.
Dia maklum
bahwa Kiu-bwe Toanio tak mungkin dapat secara mudah dirobohkan dengan
jarum-jarumnya, maka serangan jarumnya tadi hanyalah untuk mengacau lawan, dan
kini selagi lawannya memutar cambuk menghindarkan diri dari pada ancaman
jarum-jarum, ia telah menerjang dengan pedangnya yang gerakannya amat cepat dan
kuat.
Keng Hong
yang melihat gerakan gadis ini diam-diam merasa kagum dan terkejut sekali.
Dilihat dari gerakannya, ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai bukan main dan
agaknya tidak berada di sebelah bawah tingkat sembilan orang sakti yang dulu
pernah menyerbu suhu-nya.
"Tar-tar-tar...
wuuuuutttttt... trang-tranggg...!"
Sembilan
ekor ujung cambuk yang dimainkan di tangan Kiu-bwe Toanio seolah-olah telah
menjadi sembilan ekor ular yang bergerak hidup, sebagian menangkis pedang lawan
dan sebagian lagi membalas dengan totokan-totokan kilat yang disusul oleh
gerakan mengait!
Betapa pun
hebat gerakan pedang di tangan Cui Im, namun dihadapi oleh sembilan ujung
cambuk yang menangkis dan balas menyerang itu dia terkejut sekali. Pedangnya
diputar sambil ia mengeluarkan pekik nyaring, disusul jerit kaget Kiu-bwe
Toanio. Sejenak kedua orang ini lenyap menjadi bayangan yang berputar-putaran
di antara sinar merah dan sinar hitam cambuk itu, kemudian keduanya mencelat ke
belakang didahului oleh Cui Im yang terpaksa melompat jauh untuk menghindarkan
serangan enam buah kaitan.
Ia turun dan
melintangkan pedangnya dengan wajah agak berubah karena ia kini maklum betapa
lihai nenek itu dan yang ternyata merupakan lawan yang berat juga. Di lain
pihak, nenek itu mengeluarkan suara gerengan marah karena tiga buah kaitan
berikut tiga ujung cambuknya telah buntung oleh pedang yang amat lihai di
tangan Cui Im.
Pada saat
itu, Sin-to Gi-hiap yang melihat kesempatan baik, sudah meloncat mendekati Keng
Hong dan berkata, "Orang muda, kau harus ikut denganku sebagai wakil
suhu-mu!"
Dengan golok
telanjang di tangan kanannya, kakek itu menyambar Keng Hong dengan tangan
kirinya, hendak mencengkram pundak pemuda itu. Sebelum Keng Hong sempat
mengelak, sinar merah berkelebat dan kakek itu cepat menarik kembali tangannya
sebab kalau dilanjutkan, tentu akan buntung terbabat oleh pedang yang
dibacokkan Cu Im.
"Kakek
tua bangka, jangan sentuh pemuda ini!"
Sin-to
Gi-hiap menghela napas panjang. "Nona, mengingat gurumu, biarlah kami
orang tua mengalah. Marilah kita berunding baik-baik. Benda-benda pusaka
peninggalan Sin-jiu Kiam-ong amatlah banyaknya, dan kalau kita bertiga membagi
rata, masih amat banyak bagian kita masing-masing. Kurasa Kiu-bwe Toanio juga
tidak keberatan."
Kiu-bwe
Toanio menggerak-gerakkan cambuknya. Dia maklum bahwa ilmu pedang gadis itu
amat lihai, apa lagi kalau dia mengingat guru gadis itu, benar-benar tak boleh
dijadikan lawan dan jauh lebih baik dijadikan kawan. Maka ia mengangguk dan
menggumam, "Asal orang muda tidak kurang ajar terhadap orang tua, aku pun
bukan seorang serakah yang ingin memiliki seluruh pusaka."
Cu Im
melangkah maju mendekati Keng Hong lalu memegang tangan pemuda itu dengan
tangan kanannya yang menyembunyikan pedang di balik lengan.
"Uhh,
kalian hanya mau enaknya saja! Siapa yang lebih dulu mendapatkan murid Sin-jiu
Kiam-ong ini? Aku! Kalau kalian semua lari terbirit-birit diusir tosu-tosu
Kun-lun-pai, aku malah membiarkan diriku dijadikan seorang tawanan! Setelah aku
berhasil mendapatkan pemuda ini, kalian masing-masing mau minta bagian!
Benar-benar tak tahu malu!"
Tiba-tiba
gadis itu menggerakkan tangan kiri, membanting sesuatu di hadapan dua orang
lawan itu dan terdengarlah ledakan keras diikuti asap hitam mengebul. Dua orang
tua itu adalah orang-orang sakti yang sudah berpengalaman. Cepat mereka
melompat mundur menjauhkan diri, maklum betapa berbahaya asap hitam yang timbul
dari ledakan itu.
Dan memang
tepat sekali dugaan mereka karena kalau keduanya tidak menjauhkan diri dan
sampai menghisap asap hitam itu, nyawa mereka terancam maut yang disebar oleh
asap hitam yang amat beracun itu! Ketika mereka meloncat dengan jalan memutari
asap itu, ternyata Cui Im dan Keng Hong sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.
"Kurang
ajar! Mari kita kejar!" Kiu-bwe Toanio berseru dan menggerak-gerakan
pecutnya yang tinggal berekor enam itu.
"Tar-tar-tarrr…!"
Dua orang
tokoh lihai ini segera melesat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi karena
mereka berdua tidak melihat ke jurusan mana larinya Cui Im, mereka mengejar
secara ngawur dan ternyata mereka menuju ke jurusan yang berlawanan. Apa bila
Cui Im yang mengempit tubuh Keng Hong lari ke selatan, mereka malah mengejar ke
barat.
***************
"Keng
Hong, kita beristirahat dan bermalam di sini!" Kata Cui Im sambil melempar
tubuh Keng Hong di atas rumput hijau dalam sebuah hutan.
Senja telah
berlalu dan keadaan cuaca di dalam hutan sudah remang-remang. Cui Im lalu
menyalakan api dan membuat api unggun sehingga selain hangat dan tak terganggu
oleh nyamuk, tempat itu juga menjadi agak terang. Kemudian gadis cantik itu
duduk mendekati Keng Hong yang bersandar pada batang pohon.
"Keng
Hong, waktumu sudah terlewat sehari, tinggal malam ini saja. Jika kau tidak
kuberi obat penawar, besok pagi engkau mampus."
Keng Hong
menarik napas panjang memperlihatkan muka duka padahal di dalam hatinya dia
menjadi geli. "Mampus ya biarlah, malah tidak repot menjadi rebutan
seperti sekarang ini!"
"Eh,
ehh, ehh! kau masih muda remaja, baru tujuh belas tahun usiamu, belum mengecap
kenikmatan hidup, mengapa ingin mati?"
"Ingin
mati sih tidak, akan tetapi kalau engkau meracuniku sampai mati, aku bisa
berbuat apakah?"
"Engkau
tidak ngeri? Tidak takut mati?"
"Mengapa
takut? Apakah engkau takut mati, Cui Im?"
Gadis itu
mengangguk, memandang wajah tampan itu dengan heran dan kagum.
"Hemmm,
alangkah anehnya kalau ada orang takut mati. Mati itu apa sih? Siapa yang
pernah mengalaminya? Siapa yang mengetahuinya bagaimana bila sudah mati? Apakah
menakutkan? Kalau belum tahu, perlu apa takut? Aku tidak takut mati karena aku
tidak tahu apa yang akan terjadi di sana, seperti juga dahulu aku tidak takut
lahir karena ketika itu pun aku tidak tahu bagaimana itu yang disebut hidup!"
"Wah,
engkau ini selain tolol dan bandel, juga aneh!"
"Engkau
lebih aneh lagi. Pada waktu berada di Kun-lun-san, engkau membiarkan dirimu
menjadi tawanan, berpura-pura seperti orang yang tidak mempunyai kepandaian,
padahal tadi ketika menghadapi Kiu-bwe Toanio, engkau lihai sekali."
Cui Im
tertawa, giginya berkilauan disentuh sinar api unggun. "Kalau tosu-tosu
bau dari Kun-lun-pai itu mengetahui bahwa aku adalah aku, tentu mereka tidak
akan mudah untuk melepaskan aku pergi, biar pun engkau yang memintanya."
"Engkau
siapa sih? Aku dengar tadi mereka menyebutmu Ang-kiam Tok-sian-li. Julukan yang
bagus sekaligus juga mengerikan! Ang-kiam (Pedang Merah) dan Sian-li (Bidadari)
memang bagus, akan tetapi terselip kata-kata Tok (Racun), sayang sekali. Dan
buktinya engkau memang tukang meracuni orang! Mengapa seorang gadis muda jelita
semacam engkau begini ganas, sungguh sukar dimengerti."
Cui Im
tertawa lagi dan memegang lengan pemuda itu dengan sikap mesra.
"Kau
bilang aku jelita? Benarkah?"
"Kalau
aku tidak bilang kau jelita, berarti aku membohongi diri sendiri. Engkau memang
jelita, Cui Im."
Gadis itu
semakin girang hatinya. "Aduh, kalau kau selalu bersikap manis kepadaku,
aku menjadi tak tega membunuhmu, Keng Hong. Kau tampan sekali, dan banyak gadis
akan kehilangan hatinya kelak kalau berhadapan denganmu."
Jantung Keng
Hong berdebar, dia selamanya belum pernah berdekatan dengan wanita muda dan
cantik, belum pernah dipuji dan di rayu. Cepat dia menekan perasaannya dan
mengalihkan percakapan.
"Kiu-bwe
Toanio dan Sin-to Gi-hiap merupakan dua orang locianpwe yang berilmu tinggi,
akan tetapi terhadapmu seperti orang jeri, dan selalu menyebut-nyebut gurumu.
Siapa sih gurumu yang agaknya amat mereka takuti itu, Cui Im?"
"Guruku
ialah orang yang terpandai di kolong langit ini! Agaknya hanya Sin-jiu Kiam-ong
saja yang bisa menandinginya, akan tetapi setelah Kiam-ong meninggal, guruku
menjadi jago nomor satu di dunia! Dia adalah orang pertama dari keempat Bu-tek
Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding) yang menguasai daerah selatan dan berjuluk
Lam-hai Sin-ni (Dewi Laut Selatan). Tapi... ah, Keng Hong, marilah bawa aku ke
tempat rahasia penyimpanan kitab-kitab rahasia suhu-mu, kita mempelajari
bersama dan... kita berdua akan menjadi sepasang jago nomor satu di dunia.
Guruku sendiri takan mampu melawan kita. Marilah, kekasih...!" Cui Im
merangkul leher Keng Hong.
Tercium
keharuman yang sangat sedap dari muka dan rambut gadis itu, membuat Keng Hong
menjadi makin berdebar jantungnya dan terpaksa dia memejamkan matanya.
"Bagaimana,
Keng Hong? Engkau kuberi obat pemunah, ya? Kemudian... kemudian kita
bersenang-senang malam ini dan besok kita pergi ke Kun-lun-san, ke Kiam-kok-san
dan mengambil semua pusaka peninggalan suhu-mu... ya?"
Keng Hong
sudah memejamkan mata dan sudah pula mengumpulkan seluruh panca indra untuk
menekan batinnya yang bagaikan air tenang yang mulai diguncang oleh nafsu. Dia
menggelengkan kepala dan berbisik, "Aku tidak tahu di mana tempatnya
itu."
Cui Im
melepaskan rangkulannya dan seketika lenyap pula kemesraannya. Ia mendengus
kemudian menjauhkan diri, duduk merenung di depan api unggun. Keng Hong membuka
matanya dan memandang punggung gadis itu yang menggunakan sepuluh jari
tangannya menekuk-nekuk batang rumput, berkali-kali menarik napas panjang dan
nampak jengkel sekali.
Keng Hong
terheran mengapa ada seorang gadis secantik itu, sehalus itu, berhati kejam dan
jahat, mengejar kepandaian secara membuta. Dia merasa sayang sekali. Kalau dia
terbayang akan belaian dan bujuk rayu tadi, kakinya menggigil. Apa yang akan
diperbuat gurunya, andai kata Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi dia? Dia tidak
takut akan racun yang memasuki perutnya tadi. Selama dia berguru kepada Sin-jiu
Kiam-ong, gurunya itu setiap hari memberinya minum segala macam racun, sedikit
demi sedikit!
"Kaki
tangan seorang lawan dapat kau hadapi dengan kaki tangan pula, muridku,"
begitu gurunya memberi keterangan, "akan tetapi lawan yang licik suka
mempergunakan racun yang dicampur dalam makanan atau minuman. Banyak terdapat
racun yang jahat sekali dan yang tidak berbau apa-apa, tidak terasa apa-apa.
Namun dengan kebiasaan minum sedikit racun setiap hari, lidahmu akan menjadi
biasa dan dapat mengenal setiap racun yang dicampur makanan atau minuman. Juga,
dengan cara sedikit demi sedikit, semakin lama makin bertambah takarannya,
dengan memasukan racun-racun itu ke perut, engkau akan menjadi kebal terhadap
segala macam racun."
Demikianlah,
ketika dia minum air yang dicampur racun, dia segera mengenal racun itu, akan
tetapi dengan mengandalkan kekebalan perutnya dia tidak khawatir dan minum
terus sampai habis. Dengan sinkang yang disalurkan ke perutnya, dia tadi telah
mengumpulkan racun di perutnya dan dalam perjalanan tadi ketika dia dipanggul
Cui Im, diam-diam dia telah memuntahkan kembali racun itu sehingga kini
perutnya bersih dari pada racun.
Kembali Keng
Hong memperhatikan Cui Im. Kini gadis itu agak miring duduknya hingga wajah
yang cantik itu tampak dari samping. Wajah yang disinari dengan api merah,
sedikit tertutup juntaian rambut hitam, benar-benar sangat mempesonakan.
Ketika
tiba-tiba gadis itu menoleh ke arahnya, seolah-olah terasa pandang matanya yang
penuh harap, Keng Hong cepat meramkan matanya. Dia memang lelah dan mengantuk,
maka sekarang dia mengambil ketetapan hati untuk meram terus dan tidur, tidak
mau lagi mempedulikan gadis itu.
"Keng
Hong...!"
Pemuda itu
membuka matanya dan memandang gadis yang bersimpuh di depannya.
"Enak
saja kau tidur!"
"Habis
mau apa lagi? Mengapa kau mengganggu orang tidur?"
Gadis itu
makin gemas. Orang ini sudah terkena racun, sudah menghadapi kematian, tapi
masih enak-enak saja. Meski pun seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia
kang-ouw macam mereka yang disebut locianpwe, kiranya akan menjadi gelisah dan
akan berdaya sebisa mungkin untuk menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi pemuda
ini enak-enak saja tidur.
Selain heran
dan penasaran, juga dia menjadi kagum dan makin tertarik karena sukarlah
mencari seorang pemuda setenang ini. Ataukah memang karena tololnya?
Memang dia
tidak menghendaki kematian Keng Hong, karena kematian pemuda ini tidak saja
akan membuyarkan cita-citanya untuk mendapatkan kitab-kitab simpanan Kiam-ong,
juga gurunya pasti akan menjadi marah sekali padanya. Apa yang ia harus lakukan
untuk dapat membujuk pemuda ini?
"Keng
Hong, apakah kau tidak merasa sakit?"
Keng Hong
menggeleng kepala.
"Perutmu
tidak mulas? Racun itu tentu telah mulai bekerja."
Kembali
pemuda itu hanya menggeleng.
"Kau
memang orang yang aneh. Karena umurmu tinggal malam ini saja, biarlah kuhadiahi
engkau dengan arak wangi yang kubawa. Jarang ada orang yang kuberi arak ini,
kalau bukan orang yang kusenangi."
"Hemm…,
engkau senang kepadaku?"
Cui Im
memandang dan melempar kerling memikat, senyumnya kini manis sekali.
"Ahhh, betapa bodohnya engkau Keng Hong. Tentu aku senang kepadamu, aku
cinta kepadamu, masih butakah matamu? Aku tidak ingin melihat engkau mati
besok."
"Engkau
ingin memaksa aku mencari pusaka suhu, bukan tidak ingin melihat aku
mati."
"Betul
juga, akan tetapi aku cinta padamu. Kau seorang pemuda yang jantan, tabah dan
luar biasa. Mari, kuhadiahi engkau arak wangi."
Cui Im
mengeluarkan sebuah guci arak kecil dari balik bajunya, membuka tutupnya dan
terciumlah bau yang sangat wangi, seperti puluhan macam bunga wangi dikumpulkan
di dalam guci arak itu. Keng Hong tidak banyak cakap lagi, namun dia haus dan
bau arak itu amat sedap. Ia menerima guci itu dan menodongkan ke mulutnya.
"Racun
atau obat penawar?" tanyanya sebelum minum.
Cui Im makin
kagum. Di dunia ini tak mungkin menjumpai orang seperti pemuda ini, yang
sedemikian tenang dan dinginnya menghadapi ancaman racun, padahal pemuda itu
telah mengenal namanya sebagai Tok-sianli (Dewi Beracun)! Hebat bukan main!
"Kalau
arak ini beracun, bagaimana?" Ia bertanya, memancing.
"Racun
pun boleh, asal enak diminum. Aku sudah diracuni, bila ditambah lagi sedikit
atau banyak apa bedanya?" Jawab Keng Hong lalu meminum arak itu dari guci.
Lidahnya
segera dapat merasa bahwa di dalam arak ada racunnya, akan tetapi racun ini
berbeda dengan racun tadi. Racun yang berada di dalam arak ini racun yang amat
halus, bahkan bukan racun cair karena begitu diminum, racun itu menjadi
segumpal hawa yang harum.
Dia tidak
tahu racun apa ini, akan tetapi dia mengerahkan sinkang-nya menerima racun itu
dan membiarkan gumpalan hawa wangi itu berkumpul di dalam dadanya. Setelah guci
kecil itu kosong, baru dia mengembalikannya kepada Cui Im, kemudian mengusap mulut
dengan ujung lengan bajunya.
Cui Im
memandang dengan mata terbelalak, kemudian tersenyum-senyum ketika melihat
pemuda itu menyandarkan diri di batang pohon dan meramkan mata seperti orang
sangat mengantuk. Dia percaya penuh akan kemanjuran racun araknya dan
mengharapkan hasil sekali ini.
Arak yang
dicampur racun itu amatlah kuatnya dan merupakan arak buatan gurunya yang ampuh
sekali. Bukan racun untuk membunuh, melainkan racun untuk pembangkit birahi,
racun perangsang yang dibuat dari beberapa macam lalat dan semut kemudian
dicampur sari bunga-bunga wangi.
Dengan cara
pembuatan yang sederhana, penduduk di kepulauan selatan menggunakan sebagian
kecil saja untuk meracuni kuda yang hendak dikawinkan. Tanpa racun ini, sukar
sekali untuk mengawinkan kuda betina. Kini, yang diminumkan oleh Cui Im kepada
Keng Hong merupakan inti sarinya, kerasnya bukan main dan kiranya cukup untuk
pembangkit nafsu birahi dua puluh ekor kuda! Mantap…!
Keng Hong
yang meramkan mata itu sebenarnya tidak tidur. Dia mendengarkan semua
gerak-gerik Cui Im yang menurut pendengarannya seperti orang gelisah. Akan
tetapi dia tidak peduli dan meramkan mata, mengheningkan cipta dan mengerahkan
sinkang untuk menahan gumpalan hawa beracun yang aneh itu.
Ia tahu
bahwa racun ini amat berbahaya, biar pun dia tidak tahu bagaimana bahayanya.
Tubuhnya menjadi panas, padahal racun itu masih tertahan olehnya. Ia menanti
saat baik untuk menghembuskan keluar racun itu di luar tahu Cui Im, karena dia
pun hanya ingin melihat apa yang akan dilakukan gadis itu selanjutnya.
Akan tetapi,
apa yang akan dihadapinya sungguh di luar dugaannya sama sekali. Lewat tengah
malam, Keng Hong yang mengantuk itu tiba-tiba saja mendengar panggilan yang
mesra dan halus, dibisikkan dekat telinganya.
"Keng
Hong..., ahhh, Keng Hong...!"
Dia membuka
matanya. Api unggun masih menyala dan di antara sinar merah api itu, dia
melihat Cui Im merangkul dan membelainya, lengan yang telanjang membelit
lehernya seperti ular, dada yang tidak ditutupi apa-apa membusung dan menekan
dadanya sendiri. Gadis itu memeluk dan membelainya dalam keadaan telanjang
bulat.
Keng Hong
membelalakkan matanya, mulutnya ternganga dan dapat dibayangkan betapa kaget
hatinya ketika pada saat itu Cui Im mencium mulutnya yang sedang ternganga itu
sehingga mulut mereka bertemu seperti guci arak dengan sumbatnya.
Karena
kaget, Keng Hong mengeluarkan suara dari dadanya, "Ahhh…!"
Dan...
segumpal hawa racun wangi yang telah dia kumpulkan dan tahan dengan kekuatan
sinkang kini sudah terhembus keluar, memasuki mulut Cui Im yang terbuka dan
langsung ke dalam dada gadis itu.
"Aiiihhhh...!"
Cui Im menjerit dan terjengkang ke belakang. Ia terbatuk-batuk, memegangi leher
yang serasa tercekik, tubuhnya mengeliat-geliat seperti seekor ular terkena api.
Keng Hong
memandang dengan mata terbelalak, setengah kasihan, setengah geli bahwa tanpa
disengaja racun itu meracuni Cui Im sendiri, juga setengah kagum menyaksikan
betapa tubuh yang indah itu mengeliat-geliat seperti itu.
Harus dia
akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan keindahan tubuh seperti
tubuh Cui Im. Dalam mimpi pun tidak pernah. Kini barulah dia mengerti mengapa
mendiang Sin-jiu Kiam-ong, suhu-nya itu, dikatakan mata keranjang dan tukang
memikat wanita.
Kiranya
tubuh indah serta wajah cantik seperti yang dimiliki Cui Im inilah yang membuat
suhu-nya menjadi seperti itu. Hati pria mana takkan tertarik? Bukankah
keindahan wanita memang khusus diciptakan untuk menarik hati pria? Kerbau,
kuda, burung dan segala macam binatang tentu akan tertarik dengan keindahan
wajah dan tubuh seorang wanita!
"Tamasya
alam yang indah memang minta kita pandang dan kagumi. Kembang-kembang cantik
wangi memang minta kita pandang dan ciumi. Wanita-wanita cantik jelita memang
minta kita cinta dengan kasih mesra. Engkau bahagia dalam hidupmu kalau tidak
terjerat cinta kasih yang mendalam, muridku. Sekali terjerat, engkau akan
menikah, dan sekali engkau menikah, berarti engkau memberikan kaki tanganmu
untuk diikat selama-lamanya dengan kewajiban-kewajiban! Karena itu jauhkan
dirimu dari pada ikatan cinta kasih yang mendalam, walau pun engkau telah
berhubungan dengan banyak wanita. Kalau memang engkau suka, jangan menolak
cinta wanita, hanya jangan berikan hatimu, jangan berikan cinta kasihmu, cukup
kau berikan tubuhmu." Demikianlah pernah dia mendengar nasehat gurunya
yang terkenal sebagai seorang pemikat wanita!
Tadinya
wejangan seperti itu hanya lewat saja di hatinya sebab belum terpikirkan
olehnya bahwa dia akan menghadapi hal-hal seperti itu, tidak terpikirkan
olehnya bahwa dia akan bertemu dengan wanita-wanita hingga timbul persoalan
cinta kasih. Akan tetapi sekarang, baru saja dia turun dari Kiam-kok-san, dia
telah bertemu dengan hal yang dikatakan oleh suhu-nya itu!
Kini Cui Im
sudah tidak menggeliat-geliat lagi laksana cacing kepanasan. Gadis itu masih
terengah-engah dan memegangi lehernya, kemudian mengangkat mukanya memandang
Keng Hong. Rambutnya yang terurai itu sebagian menutupi wajahnya. Mukanya merah
sekali, bibir dan rongga mulutnya yang agak terbuka lebih merah lagi, matanya
menatap penuh gairah, hidungnya berkembang-kempis seakan-akan liangnya terlalu
sempit untuk jalan keluar pernapasan.
"Keng
Hong... Ah-ahhh... Keng Hong..."
Cui Im yang
tadinya berlutut itu kini merangkak maju menghampiri Keng Hong, kemudian
menubruk pemuda itu, merangkul dan menciumi sambil membisikan kata-kata yang
tidak ada artinya, kemudian tangannya meraba-raba ke arah kancing pakaian Keng
Hong.
Keng Hong
menjadi geli hatinya dan di luar kesadarannya sendiri, dia membiarkan semua
perbuatan Cui Im. Dia teringat akan gurunya, teringat akan nasehat gurunya, dan
timbul watak petualang yang memang terdapat di dalam sudut hati setiap orang
manusia, yang membuat dia ingin mengalami segala macam hal.
Keng Hong
tidak menolak segala keinginan Cui Im, dan membiarkan diri sendiri menjadi
murid yang melayani segala kehendak Cui Im yang sedang diamuk oleh nafsu birahi
yang dirangsang oleh hawa racunnya sendiri.
Cui Im sama
sekali tak mengira bahwa akan menjadi begini urusannya. Bukan hanya dia sendiri
menjadi korban racunnya, bahkan tanpa diketahui olehnya atau oleh Keng Hong
sendiri, di dalam hubungan mereka itu pun timbul pula daya sedot mukjijat dalam
tubuh Keng Hong sehingga setelah lewat malam itu, Cui Im terkulai bagaikan
orang kehabisan tenaga, setengah pingsan di atas rumput.
Ada pun Keng
Hong yang telah membereskan pakaiannya sendiri, enak-enak saja duduk nongkrong
di bawah pohon dan membesarkan api unggun. Hanya wajahnya yang tampak kemerahan
dan segar, serta pandang matanya berbeda dari kemarin karena kini pandang
matanya menjadi ‘masak’. Mulai lewat tengah malam tadi Keng Hong telah berubah
dari kanak-kanak menjadi seorang laki-laki dewasa. Agaknya benar seperti
diramalkan Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai bahwa bocah ini akan lebih hebat
dari Sin-jiu Kiam-ong!
"Keng
Hong...!" Suara itu terdengar lemah namun penuh rayuan, penuh cinta kasih,
dan keluar dari mulut Cui Im yang menggeliat seperti seekor kucing kekenyangan.
Kemudian dia bergidik, merasa betapa dinginnya hawa pagi dan agaknya baru
disadarinya bahwa ia bertelanjang.
Dengan malas
Cui Im menyambar pakaiannya, mengenakan sejadinya, kemudian secara tiba-tiba
dia meloncat dengan pakaian kusut dan rambut masih terurai lepas, meloncat ke
dekat Keng Hong yang masih enak-enak membesarkan api unggun.
"Keng
Hong! Kau... kau... ah, lekas, kau telan pil pemunah racun itu...! Ahh, sudah
pagi... celaka, terlambat sudah... aduh, Keng Hong, Keng Hong kekasihku...!"
Cui Im menangis tersedu-sedu dan merangkul leher Keng Hong.
"Kau
ini kenapa sih?" Keng Hong bertanya tak acuh.
"Kenapa?
Kau masih enak-enakan saja? Racun itu... engkau berada di ambang maut dan obat
pemunah tidak ada gunanya lagi. Kau akan mati, Keng Hong!"
Pemuda itu
menoleh dan tampak olehnya betapa wajah itu tidaklah sejelita malam tadi! Ia
kini tidak tertarik oleh kecantikan Cui Im, bahkan merasa tidak senang. Padahal
wajah itu masih sama, dan mengertilah dia akan keterangan suhu-nya mengenai
perbedaan antara cinta sejati dan cinta nafsu.
Cinta sejati
tidak mengenal cantik atau tidak, juga tidak mengenal bosan karena cintanya
mendalam dan ada kontak serta getaran antara jiwa dan batin kedua pihak.
Sebaliknya, cinta nafsu hanyalah cinta yang timbul karena dorongan nafsu,
karena kecantikan yang amat dangkal, hanya setebal kulit sehingga cinta nafsu
ini sekali terpuaskan akan menjadi bosan.
"Aku
tidak akan mati."
"Apa?
Dan racun itu...? Racun ganas sekali!"
"Sudah
kutumpahkan kembali. Aku tidak akan mati oleh racunmu, Cui Im."
Gadis itu
terbelalak dan hatinya tidak senang melihat sikap Keng Hong yang begitu dingin,
seolah-olah lenyap cinta kasihnya padanya. Padahal baru saja, selama setengah
malam penuh, mereka bercinta kasih tak mengenal batas.
Ia
menggelung rambutnya, memandang dengan kagum. Pemuda ini hebat! Hebat
segala-galanya, pikirnya. Diracuni tidak mati, dan dari pengalamannya semalam
harus dia akui pula bahwa belum pernah selamanya ia bertemu dengan seorang pria
seperti Keng Hong ini. Dia segera menghampiri dan merangkul pundak Keng Hong.
"Syukurlah
kalau begitu, kekasihku. Keng Hong, kita sudah... sudah menjadi suami isteri
yang tidak sah! Engkau patut menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong. Ahh, kekasihku,
kita saling mencintai, hidup berdua mati bersama, bukan? Mari kita pergi untuk
mencari peninggalan suhu-mu yang sakti..."
"Tidak!
Kau pergilah, Cui Im. Agaknya sudah cukup aku mengalah terus dan menuruti semua
perintahmu. Aku tidak menyesal karena terus terang saja, aku senang kepadamu.
Akan tetapi jangan harap untuk dapat membujuk atau memaksa aku agar mencari
pusaka guruku karena selain aku tidak tahu tempatnya, juga aku tidak mau.
Pergilah!"
"Ihhh...!
Keparat!" Cui Im meloncat tinggi melepaskan pelukannya dan dia jatuh
berdebuk di atas tanah. "Heeeee...? Ke... kenapa...?"
Gadis itu
terbelalak matanya dan terheran-heran, juga menjadi gelisah sekali. Mengapa dia
seolah-olah kehilangan tenaga sinkang-nya? Meloncat begitu saja ia terbanting
roboh! Akan tetapi kemarahannya membuat dia melupakan keadaan yang aneh ini dan
dia telah bangkit berdiri, lalu memaki.
"Kau
laki-laki tak berbudi! Kau laki-laki pemikat! Sesudah menikmati tubuhku, kau
lantas mengusir aku pergi begitu saja!"
"Ingat,
bukan aku yang memikat, melainkan kau sendiri. Pergilah!"
"Jahanam!"
Cui Im melompat maju dan mengirim pukulan ke arah punggung Keng Hong.
"Bukkk!
Aiiihhh...!"
Keng Hong
masih duduk enak-enak, nongkrong di depan api unggun, sebaliknya tubuh Cui Im
terlempar ke belakang dan gadis itu mengelus-elus tangan kanannya yang dipakai
memukul tadi, matanya terbelalak. Dalam pukulannya tadi dia merasa betapa
tangannya mendadak lemah sekali, sebaliknya punggung pemuda itu bagaikan
dilindungi hawa yang amat kuat.
"Aku...
aku… kenapa...?" Kembali Cui Im berseru heran, hatinya penuh kengerian.
"Keng Hong... kau apakan aku...?"
Keng Hong
bangkit berdiri dan membalikkan tubuh untuk menghadapi gadis itu. "Cui Im,
kau tahu aku tidak melakukan apa-apa. Semenjak kemarin, justru engkaulah yang
selalu menggangguku."
"Aku...
tenaga sinkang-ku... kosong dan kering... tenagaku amat lemah..."
Keng Hong
juga tidak mengerti kenapa, dan dia tak peduli sebab merasa bukan dia yang
menyebabkan gadis itu demikian. Keng Hong tidak tahu, seperti dulu saat di
Kun-lun-san dia juga tidak sadar bahwa dia sudah menyedot tenaga Kiang Tojin
dan para tosu lain, semalam pun tanpa disadarinya, sebagian besar sinkang di
tubuh Cui Im telah berpindah ke dalam dirinya.
Keanehan
yang terjadi dalam tubuh Keng Hong adalah bahwa setiap kali dia menghadapi
serangan sinkang yang kuat, secara otomatis tenaga sedotan itu bekerja tanpa
disengaja dan tanpa dapat dia dicegah. Karena sinkang dari Cui Im tidaklah
sekuat sinkang-sinkang Tojin dan tosu-tosu lainnya, maka Keng Hong tak terlalu
merasakan perbedaannya, tidak seperti ketika berada di Kun-lun-san itu.
Sekarang dia hanya merasa tubuhnya segar dan sehat, sama sekali tidak merasa
lelah.
Sementara
itu, Cui Im juga telah menekan keguncangan hatinya. Ia coba menghilangkan
kebingungannya dengan menganggap bahwa sebagian besar sinkang-nya lenyap karena
pengaruh hawa beracun, yaitu racun perangsang yang entah bagaimana telah
berpindah ke dalam dadanya ketika dia mencium mulut Keng Hong semalam. Ia kini
menjadi tenang kembali dan tidak menggunakan sinkang, tidak mengerahkan hawa
dari pusar, melainkan mencabut pedang merahnya lalu menodong dan mengancam.
"Keng
Hong, sungguh pun racun itu tidak dapat membunuhmu, pedangku ini masih dapat
mengirim nyawamu ke neraka kalau kau menolak permintaanku!"
Keng Hong
memandang ujung pedang yang menodong dadanya, lalu ia menghela napas panjang. "Sayang
sekali, Cui Im. Engkau seorang gadis cantik jelita dan berkepandaian tinggi,
akan tetapi semua itu tak ada artinya kalau hatimu sekotor ini. Kulihat
sinkang-mu sudah sangat lemah, kalau aku mempergunakan tenaga mana mungkin
pedangmu dapat mengusikku? Akan tetapi aku tidak akan mempergunakan tenaga, dan
biarlah kujadikan engkau sebagai penguji karena selama turun gunung aku belum
pernah menggunakan kiam-sut yang kupelajari dari suhu."
Cui Im
membuat gerakan menusukkan pedangnya. Akan tetapi dengan tangan miring,
jari-jari tangan Keng Hong yang disaluri tenaga sakti yang hebat itu dapat
menangkis dan mengibas sehingga pedang merah itu hampir terlepas dari pegangan
tangan Cui Im.
Keng Hong
lalu membungkuk dan memunggut sebatang ranting kayu, sisa yang dijadikan umpan
api unggun malam tadi, kemudian dia sudah siap dengan ranting ini di tangannya,
memasang kuda-kuda Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut. Tentu saja ilmu pedang ini
baru sempurna kalau dimainkan dengan pedang Siang-bhok-kiam, akan tetapi karena
pedang itu tidak ada, ranting ini pun cukup baik, lebih baik dari pada dia
menggunakan pedang logam karena sifat kayu ini dan ringannya agak cocok dengan
Pedang Kayu Harum.
"Nah,
marilah kita berlatih ilmu pedang," katanya.
Ranting
dilonjorkan lurus ke atas seperti menuding langit, kemudian perlahan-lahan
turun ke bawah melingkari lehernya sendiri terus turun dan ditudingkan ke atas
tanah. Ini adalah kuda-kuda atau gerakan pembukaan Siang-bhok Kiam-sut. Dengan
dua kakinya tegak di kanan kiri, tangan kirinya mengikuti gerakan pedang
membentuk lingkaran di depan dada yang berhenti di depan ulu hati dalam keadaan
miring seperti orang menyembah dengan satu tangan.
Cui Im
maklum akan kelihaian pemuda ini dalam tenaga sinkang yang dapat menyedot
tenaga lawan. Dia sendiri telah menyaksikan betapa Keng Hong merobohkan Kiang
Tojin yang lihai bersama beberapa orang tosu Kun-lun-pai yang lain, maka dia
merasa ngeri dan jeri untuk beradu kekuatan sinkang.
Akan tetapi
ia pun telah melihat gerak-gerik Keng Hong yang masih kaku dalam ilmu silat.
Karena itu dia pikir bahwa kalau bermain pedang, apa lagi pemuda itu hanya
bersenjata ranting, pasti ia akan menang. Dia sudah menggunakan racun, sudah
pula menggunakan rayuan bahkan menyerahkan raganya, namun semua itu tidak berhasil
menundukkan hati Keng Hong. Jalan satu-satunya hanya membunuhnya!
Berpikir
demikian, Cui Im lalu berteriak keras kemudian menerjang maju dengan dahsyat
sekali, mengirim jurus serangan mematikan. Harus diakui bahwa tingkat ilmu
kepandaian Cui Im sudah sangat tinggi, apa lagi ilmu pedangnya, karena
merupakan murid terkasih dari Lam-hai Sin-ni, datuk nomor satu dari si empat
besar Bu-tek Su-kwi. Selain memiliki ginkang yang luar biasa cepatnya, sungguh
pun sekarang tidak dapat digunakan karena sinkang-nya sebagian besar telah
‘pindah’ ke tubuh Keng Hong, dia juga mempunyai ilmu pedang yang amat ganas.
Keng Hong
bersikap hati-hati sekali. Tadi ia sudah menyaksikan kelihaian gadis ini dalam
bermain pedang ketika melawan Kiu-bwe Toanio, maka sekarang ia cepat
menggerakkan rantingnya, digetarkan ujungnya lantas menangkis dengan
jurus-jurus ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut.
"Ayaaaa...!"
Cui Im terkejut sekali.
Begitu
pedangnya bertemu dengan ujung ranting yang bergetar, pedangnya ikut tergetar
dan getaran itu terus menjalar ke tangan dan lengannya, membuat lengannya
kesemutan dan hampir saja dia terpaksa melepaskan pedangnya kalau tidak
cepat-cepat ia memutar pergelangan tangannya dan melangkah mundur.
Keng Hong
tidak mengejar atau mendesak lawannya, dia hanya berdiri siap menghadapi
serangan gadis itu. Sikapnya tenang dan timbul kepercayaan pada diri sendiri.
Mungkin di dalam hal ilmu silat dia kalah pandai, akan tetapi ilmu pedangnya
Siang-bhok Kiam-sut merupakan ciptaan gurunya, dan dalam kekuatan sinkang dia
menang jauh. Asal dia bisa menjaga diri jangan sampai termakan pedang, dia
tidak akan kalah.
"Kau...
kau laki-laki keji!" Cui Im berteriak gemas lalu tubuhnya kembali
menerjang maju mengirim tusukan dan bacokan bertubi-tubi.
Hebat sekali
gerakan pedang gadis ini, perubahannya juga sangat sukar diduga sehingga
pandang mata Keng Hong berkunang-kunang dan silau dibuatnya. Sinar pedang merah
itu bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti
seekor naga hendak membelit tubuhnya.
Terpaksa
Keng Hong menyalurkan sinkang pada rantingnya dan memutar-mutar ranting itu
melindungi tubuhnya. Hawa sinkang yang disalurkan itu hebat sekali sehingga
pedang yang ujungnya berubah menjadi puluhan banyaknya saking cepat dan tak
terduga-duga gerakannya itu selalu tertumbuk dan mental kembali, kalau tidak
tertangkis ranting tentu membalik oleh hawa pukulan yang amat dahsyat.
Akan tetapi,
meski pun serangan Cui Im gagal semua, Keng Hong juga sama sekali tidak ada
kesempatan untuk membalasnya. Hal ini adalah karena latihannya belum sempurna
sama sekali, gerakannya masih amat kaku dan pedang Siang-bhok-kiam tidak berada
di tangannya. Kalau ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut sudah dilatih baik dan pada
saat itu dia memegang pedang pusaka itu, kirannya dalam beberapa jurus saja Cui
Im yang lihai itu tentu tidak mampu bertahan terhadapnya!
Makin lama
Cui Im makin marah. Dari mulut gadis ini keluar lengking panjang yang amat
nyaring dan dengan nekat dia memutar pedang lebih cepat lagi. Namun, makin
cepat dia menggerakkan pedang, juga makin banyak dia menambah tenaga, dan dia
semakin lelah pula sehingga setiap kali terbentur ranting pedangnya segera
membalik dan seperti akan menyerang tubuhnya sendiri.
Hal ini
membuat Cui Im penasaran dan gemas sekali. Dia memekik keras, lalu mencabut
keluar sehelai sapu tangan merah dan menggunakan sapu tangan itu sebagai
penyeling serangan pedangnya, mengebutkannya ke arah Keng Hong.
Keng Hong
maklum akan bahayanya sapu tangan merah yang berbau harum ini. Teringat ia akan
hawa racun yang tercampur pada arak. Menghadapi minuman, dia masih dapat
bertahan karena lima tahun dia setiap hari diberi minuman racun. Akan tetapi
terhadap racun yang berupa asap atau uap benar-benar amat berbahaya.
Melihat
berkelebatnya sapu tangan merah yang wangi. Keng Hong cepat menghindarkan diri
dengan menggeser kaki ke kiri dan memukulkan rantingnya pada sapu tangan itu.
Ia berhasil merobek sapu tangan dengan ujung rantingnya, akan tetapi dia tidak
tahu bahwa serangan sapu tangan itu hanya pancingan belaka karena pada detik
berikutnya, Cui Im sudah membanting sebuah benda seperti bola yang tadinya
disembunyikan di balik sapu tangan.
Bola itu
mengeluarkan suara ledakan dan asap hitam mengelilingi Keng Hong. Pemuda itu
terkejut sekali dan melompat, namun terlambat. Dia telah menghisap asap hitam
yang berbau amis, kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Ia
terhuyung-huyung dan di dalam kegelapan asap itu pedang Cui Im menyambar dan
menusuk lambungnya. Keng Hong masih sempat menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Tranggg...!"
Pedang merah terlepas dari tangan Cui Im.
Akan tetapi
pada saat itu Keng Hong terguling karena sebuah tendangan gadis itu tepat
mengenai lutut kananya. Keng Hong terguling roboh, pandang matanya gelap,
napasnya terengah-engah sehingga makin banyak asap hitam tersedot olehnya!
Cui Im
menjadi girang sekali. Dia sudah menubruk ke depan setelah menyambar pedang
merahnya, disabetkan ke arah leher pemuda yang sudah tak berdaya lagi itu.
"Singgggg...
tranggg...!"
Cui Im
menahan jeritnya ketika pedangnya yang sudah meluncur itu tiba-tiba tertahan di
tengah udara, hanya beberapa senti meter lagi dari leher Keng Hong, dan
terlepas dari tangannya kemudian terbang ke atas, terampas oleh segulung sinar
putih yang datang menyambar secepat kilat.
"Suci
(kakak perempuan seperguruan) apa yang hendak engkau lakukan itu?"
Terdengar teguran halus dan ternyata di situ telah berdiri seorang gadis yang
usianya paling banyak delapan belas tahun, berpakaian sutera putih dengan garis-garis
pinggir biru, memegang sehelai sabuk sutera putih panjang yang tadi
dipergunakan secara luar biasa sekali untuk merampas pedang di tangan Cui Im.
"Sumoi
(adik perempuan seperguruan)...! Engkau...??" teriak Cui Im dengan suara
kaget dan jeri.
Memang aneh
kelihatannya. Mengapa Cui Im seorang kakak seperguruan takut terhadap adik
seperguruannya? Namun kenyataannya begitulah.
"Nih,
kukembalikan pedangmu, Suci!" kata pula gadis baju putih itu.
Sekali
menggerakkan pergelangan tangan yang memegang sabuk sutera putih, pedang merah
itu meluncur ke arah Cui Im yang cepat menyambutnya dan menyimpannya. Gadis
baju putih itu lalu menggerakkan sabuknya yang menyambar ke arah Keng Hong
laksana seekor ular hidup, melibat-libat tubuh pemuda yang masih pening dan mabuk
itu, lantas sekali betot, tubuh Keng Hong melayang ke dekat gadis itu.
Cui Im
memandang dengan muka berubah merah karena penasaran ketika sumoi-nya
mengeluarkan segulung sutera hitam, kemudian mengikat dua pergelangan tangan
Keng Hong yang masih rebah terlentang kebingungan. Setelah mengikat dua tangan
pemuda itu secara hati-hati, gadis baju putih ini lalu memakai kembali
sabuknya, dilibat-libatkan di pinggangnya yang ramping.
"Sumoi
mengapa kau tawan dia? Dia itu... punyaku! Aku yang menangkap dia, dan aku yang
berhak atas dirinya. Dia itu kekasihku!" teriak Cui Im dengan nada
penasaran dan marah, namun dia tetap tidak berani mengeluarkan ucapan kasar
terhadap sumoi-nya ini.
"Hemmm,
kulihat kau tadi hendak membunuhnya," kata si gadis baju putih dengan
suara halus dan tenang.
"Karena
dia adalah punyaku, aku berhak melakukan apa saja terhadapnya. Aku hendak
membunuhnya karena dia tidak memenuhi permintaanku untuk mencari pusaka-pusaka
peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."
"Aku
tahu semua itu, Suci. Hanya aku tak senang melihat engkau hendak membunuhnya.
Ibu sendiri yang menyuruh aku menyusulmu dan mengawasi gerak-gerikmu. Dan harus
kukatakan bahwa apa yang kulihat semalam tadi dan saat ini, sungguh
mengecewakan sekali. Kau terlalu menurutkan nafsu, nafsu birahi dan nafsu
kemarahanmu. Yang dicari belum didapat, mengapa hendak membunuh dia? Ibu yang
menyuruh aku menangkapnya dan membawanya kepada ibu."
"Aahhhhh...!"
Cui Im mengeluh dengan nada kecewa sekali. "Dahulu subo tidak tertarik
dengan peninggalan Sin-jiu Kiam-ong... dan membiarkan aku pergi untuk
merampasnya, untukku sendiri..."
"Sudahlah,
Suci. Mari kita pergi menghadap ibu dan kau boleh bicara sendiri kepada
ibu."
"Tapi
subo (ibu guru)..."
"Sudahlah!"
Gadis baju putih itu membentak sehingga suci-nya terdiam.
Kemudian
gadis baju putih itu menggerakkan bibir diruncingkan dan terdengarlah suara
suitan melengking yang amat nyaring. Tak lama kemudian terdengar suara roda
gerobak yang dilarikan kuda cepat sekali menuju ke tempat itu.
Ternyata
kemudian bahwa gerobak itu ditarik oleh empat ekor kuda besar, dikusiri oleh
seorang wanita muda yang cantik, ada pun di belakang gerobak itu masih ada tiga
orang wanita setengah tua yang cantik-cantik dan bersikap garang. Empat wanita
yang datang ini semuanya memakai pakaian kuning dan di punggung mereka tampak
gagang pedang.
"Masukkan
dia ke dalam kereta, aku sendiri yang akan menjaganya bersama suci," kata
gadis itu memberi perintah kepada tiga orang wanita setengah tua yang sudah
melompat turun dari kuda.
Tanpa bicara
sesuatu, mereka lalu mengangkat tubuh Keng Hong dan memasukannya ke dalam
kereta, didudukkan di atas bangku menghadap ke belakang. Keng Hong masih pening
kepalanya, menyadarkan diri dan meramkan mata, mulai mengumpulkan hawa sakti
untuk mengusir hawa beracun yang mengotorkan dada dan kepalanya.
"Kalian
berempat berangkatlah lebih dulu memberi laporan kepada ibu bahwa orang yang
dikehendaki sudah tertawan. Biar suci yang menggantikan menjadi kusir dan aku
yang mengawal orang ini. Berangkatlah!"
Empat orang
itu mengangguk. Wanita muda yang tadi menjadi kusir diboncengkan oleh seorang
di antara mereka dan tiga ekor kuda itu lalu membalap ke sebelah depan. Cui Im
menghela napas panjang penuh kekecewaan, akan tetapi tanpa banyak membantah dia
lalu pindah duduk ke depan dan menjadi kusir. Ada pun gadis baju putih itu kini
duduk berhadapan dengan Keng Hong.
Dengan gemas
Cui Im mencambuk empat ekor kuda itu yang segera membedal sambil mengeluarkan
suara meringkik keras. Roda-roda kereta menderu-deru di atas jalan yang
berbatu, dan guncangan-guncangan ini membuat Keng Hong cepat sadar kembali.
Sejak tadi
Keng Hong tidak pingsan, hanya pening dan pandangan matanya berkunang. Namun
dia masih dapat mengikuti dengan jelas apa yang telah terjadi dan dapat
mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh gadis baju putih yang membelenggunya dan
kini duduk di depannya. Kalau tidak ada gadis ini, tentu lehernya telah putus
dan nyawanya melayang oleh pedang merah Cui Im.
Ia merasa
heran sekali mengapa sumoi dari Cui Im ini kelihatannya jauh lebih lihai dari
pada Cui Im sendiri dan amat ditaati oleh suci-nya. Akan tetapi dia mengetahui
semua itu sebagian besar hanya dari ketajaman pendengarannya saja karena tadi
matanya masih berkunang dan kabur pandangannya.
Sekarang,
sesudah dia mengusir sisa hawa beracun, dibantu guncangan kereta itu yang
membuat pandangan matanya terang kembali, dia lalu membuka mata memandang nona
yang duduk anteng di depannya. Mula-mula yang mempesona Keng Hong adalah kedua
mata itu.
Sepasang
mata yang amat luar biasa indahnya, mengingatkan Keng Hong akan bintang-bintang
di langit, dengan cahaya hangat lembut seperti sinar matahari pagi, bening
bagai air telaga, tajam melebihi pedang pusaka, akan tetapi di balik semua
keindahan itu jelas tersembunyi sifat dingin yang sangat menyeramkan!
Mata itu
agaknya bisa menangkap kesadarannya akan tetapi hanya sekilas saja menyapu
wajahnya, kemudian mata itu memandang lagi ke depan, seakan-akan dapat menembus
segala yang berada di depannya.
Kemudian
pandang mata Keng Hong merayapi wajah itu dan dia makin terpesona. Gadis yang
jauh lebih muda dari Cui Im ini, yang usianya ditaksir tak akan lebih tua dari
dirinya sendiri, memiliki wajah yang amat cantik jelita.
Bentuk
wajahnya bulat telur, dengan kulit muka yang halus putih kemerahan tanpa bedak
dan gincu. Rambutnya hitam sekali dan sangat halus seperti benang sutera, gemuk
subur menghias dahi dan kedua pipi, menyembulkan dua buah telinga yang hanya
kelihatan sedikit dan terhias dua buah anting-anting bermata merah. Alis itu
sangat hitam dan kecil memanjang seperti dilukis saja padahal tak ada
bekas-bekas goresan pensil dan agaknya alis ini beserta bulu mata yang panjang
melengkung itulah yang menambah keindahan matanya. Hidungnya kecil mancung dengan
ujungnya agak menantang ke atas, diapit oleh sepasang pipi yang kemerahan dan
halus seperti buah tomat meranum.
Ketika
pandang mata Keng Hong menurun lagi, pandang matanya seolah-olah menempel dan
melekat pada sepasang bibir itu. Sukar dikatakan mana yang lebih indah antara
mata dan bibir itu. Bentuknya laksana gendewa dipentang, dan warnanya merah
membasah, segar dan membuat Keng Hong tanpa disadarinya sendiri menelan ludah
seperti seorang kehausan melihat buah yang segar.
Kemudian
sinar mata Keng Hong makin liar memandang lebih ke bawah dan apa yang
dilihatnya benar-benar membuat dia terpesona. Gadis ini sangat cantik jelita,
sikapnya agung dan pendiam, dan bentuk tubuhnya... sukar dilukiskan dengan
kata-kata sungguh pun pakaian sutera putih itu membungkusnya. Pendeknya, kalau
Cui Im merupakan gadis yang luar biasa cantiknya dan yang tidak pernah
sebelumnya dia temukan atau impikan, kini gadis baju putih ini merupakan
seorang gadis yang tak pernah dia sangka terdapat di dalam dunia!
"Hidung
belang, sudah puaskah engkau meneliti dan menaksir diriku?"
Pertanyaan
ini halus dan merdu terdengar oleh telinga, namun bagaikan pisau berkarat
menggores jantung! Keng Hong belum tentu akan menjadi semerah itu kedua pipinya
apa bila dia menerima tamparan keras.
"Ehhh...
ohhh... aku..." Dia menggagap, berusaha mengelak dari pandangan mata yang
begitu halus namun tajam menembus dada.
"Aku
tahu, engkau hidung belang seperti gurumu, akan tetapi perlu kau ketahui bahwa
aku bukanlah seorang wanita murahan seperti dia itu." Dengan dagunya yang
meruncing halus, gadis itu menuding ke arah depan, ke arah Cui Im yang
mengemudikan kereta.
Keng Hong
menghela napas panjang dan tidak terasa lagi dia mengangkat kedua tangan yang
terbelenggu itu untuk mengosok-gosok hidungnya yang dua kali dikatakan belang!
Ketika kedua tangannya mengosok-gosok hidung ini, seolah-olah baru tampak
olehnya bahwa pergelangan kedua tangannya dibelenggu, terikat oleh sehelai tali
sutera hitam yang amat kuat. Ia menaksir-naksir berapa kekuatan belenggu ini.
"Jangan
mencoba-coba untuk mematahkan belenggu," gadis itu seakan dapat membaca
pikirannya. "Selain kau tak akan berhasil, juga aku akan menyeretmu di
belakang kereta kalau kau banyak tingkah."
Wah-wah,
kiranya si jelita ini malah lebih galak dari pada Cui Im, pikir Keng Hong. Dia
kembali menatap wajah itu dan melihat betapa gadis itu tenang laksana air
telaga, dan matanya merenung jauh ke depan. Dia dianggap seperti lalat saja,
atau bahkan tidak ada.
Keng Hong
penasaran. Dia bukanlah seorang yang tidak mengenal budi. Gadis ini sudah
menyelamatkan nyawanya, tidak mungkin dia yang sudah diselamatkan nyawanya diam
saja seperti seorang yang tidak mengenal budi.
"Nona..."
Akan tetapi dia tidak melanjutkan karena gadis itu sama sekali tidak bergerak,
sama sekali tidak memperhatikan tanda-tanda bahwa dia mendengar panggilannya.
Keng Hong
bergidik. Gadis ini bagaikan arca saja. Arca dari batu pualam yang halus dan
dingin. Akan tetapi melihat bibirnya yang begitu merah membasah, melihat
kemerahan pada rongga mulutnya ketika tadi bicara, kilatan giginya yang kecil
rata dan putih, semua ini membayangkan darah muda yang panas. Setelah gadis itu
kini berdiam diri, sikapnya benar-benar luar biasa dinginnya, sedingin salju di
utara!
"Nona...!"
Ia tidak putus asa dan memanggil lagi lebih keras. Namun gadis itu tetap diam,
jangankan bergerak melirik pun tidak.
"Bledak...
dak... dorrr...!" kereta melalui jalan yang berbatu, rodanya menumbuk
batu-batu yang besar sehingga kereta itu terguncang hebat, bahkan hampir roboh
miring.
"Heiiiii...
ehhh...!" Keng Hong mengatur keseimbangan tubuhnya dan kaget sekali.
Akan tetapi
kereta berjalan terus dan amatlah kagumnya menyaksikan betapa gadis baju putih
di depannya itu masih tetap seperti tadi, tidak bergerak, tidak berguncang,
juga tidak kaget. Wah seperti orang mati saja!
Keng Hong
tertegun sendiri. Jangan-jangan dia sudah mati! Matanya terbuka akan tetapi
manik mata itu sama sekali tidak bergerak, napasnya pun seolah-olah berhenti.
"Nona...!"
Kembali
tiada jawaban. Keng Hong mulai khawatir, maka mendekatkan kedua tangannya yang
terbelenggu itu ke depan hidung kecil mancung itu. Dia hendak memastikan apakah
napas nona itu masih ada. Dan tangannya tidak merasakan sesuatu! Gadis ini
telah mati. Ia menjadi panik dan menurunkan tangan hendak menyentuh urat nadi
lengan nona itu.
"Plakkk!"
Kedua tangannya ditampar dan nona itu membuka mulut, "Kau mau apa? Ingin
diseret di belakang keretakah?"
Keng Hong
kaget setengah mati sampai pantatnya terloncat dari tempat duduknya.
"Walah...!
Kau bikin kaget aku saja, Nona. Hampir saja aku mati karena kaget! Kusangka
kau... kau tidak bernapas lagi..."
"Begini
goblokkah murid Sin-jiu Kiam-ong sehingga tidak tahu orang sedang melakukan
latihan Pi-khi Hoan-hiat (Menutup Hawa Mengatur Jalan Darah)?"
"Ohhh...!"
Keng Hong hanya dapat mengeluarkan suara ah-eh-oh saja karena semakin lama dia
merasa semakin kagum dan heran.
Dia pernah
mendengar dari suhu-nya akan ilmu Pi-khi Hoan-hiat ini, semacam ilmu untuk
selalu mengadakan pengendalian terhadap jalan darah dan berhubungan dengan
tenaga sinkang. Akan tetapi ilmu yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang
telah tinggi tingkat kepandaiannya. Dan nona cilik ini telah melatih ilmu itu
di dalam kereta yang berguncang-guncang!
Meski pun
semenjak tadi hanya mengeluarkan suara ah-eh-oh, akan tetapi suara ini jelas
membayangkan kekaguman. Hal ini agaknya terasa oleh gadis itu yang sebagai
seorang manusia normal, terutama wanita, tentu saja amat senang hatinya
mendapat pujian.
"Kau
mau apa sih, panggil-panggil orang terus?"
"Nona,
aku Cia Keng Hong bukanlah orang yang tak mengenal budi. Aku telah berhutang
nyawa kepadamu..."
"Aku
tidak pernah menghutangkan nyawa!"
"Ehh,
aku... aku telah Nona selamatkan dari pedang Cui Im..."
"Hmm,
hubunganmu dengan suci sudah begitu jauh ya sehingga kau menyebut namanya
begitu saja?"
Wajah Keng
Hong menjadi merah sekali. Nona ini boleh jadi pendiam, akan tetapi seperti
biasanya orang pendiam, sekali mengeluarkan kata-kata selalu akan menusuk
jantung!
"Kumaksudkan...
nona Bhe Cui Im... aku sudah kau tolong dan selain pernyataan terima kasihku,
aku pun selamanya tidak akan melupakan budi pertolongan itu. Tetapi, sesudah
menyelamatkan nyawaku yang tak berharga ini, mengapa Nona malah menawan
aku?"
"Heii,
awas Sumoi! Dia itu laki-laki yang pandai sekali merayu, melebihi gurunya.
Jangan-jangan kau nanti dirobohkan rayuannya yang manis seperti madu.
Hi-hik-hik!" dari depan Cui Im berkata dengan suara mengejek.
Gadis baju
putih itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. "Huh! Sejak kapan
aku dapat dirobohkan rayuan orang? Aku tidak seperti engkau yang begitu mudah
dapat dipikat oleh rayuan bocah ini, Suci!"
"Heh-heh-heh,
bocah ya? Dia itu bocah? Hi-hi-hik, tunggu saja kau, Sumoi, kalau sudah berada
dalam pelukan dan belaiannya, nanti..."
"Suci,
diam!" Gadis itu membentak, alisnya yang hitam panjang itu melengkung
indah.
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment