Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 05
Cui Im tidak
bicara lagi, hanya terdengar dia ketawa dan mencambuk empat ekor kuda itu
sehingga jalannya kereta makin kencang. Kembali Keng Hong tergoncang-goncang,
akan tetapi dia segera dapat mengerahkan sinkang-nya dan kini dia duduk diam
tidak bergerak seperti nona di depannya.
Mulailah
nona itu memandangnya, dan sungguh pun mulutnya tidak menyatakan sesuatu, akan
tetapi pandang matanya penuh pengertian bahwa pemuda di depannya ini memiliki
sinkang yang hebat.
"Nona,
jangan perhatikan omongan Cui... ehhh, dia itu. Aku sama sekali tidak membujuk
rayu, Nona, melainkan hendak bertanya kenapa setelah Nona menyelamatkan
nyawaku, kini malah menawanku."
"Ibuku
yang menyuruhku, aku hanya pelaksana saja," jawabnya sederhana. "Dan
jangan mengira aku sudi menolongmu. Apa bila tidak ingin memenuhi perintah ibu,
biar suci mau membunuh seribu orang macam engkau, aku tidak akan peduli."
Wahhh, pahit
benar ucapan ini, pikir Keng Hong. Akan tetapi tak mungkin dia bisa marah
menghadapi seorang gadis seperti ini. "Ibumu? Siapakah dia, Nona?"
"Lam-hai
Sin-ni!"
"Ohhhh...!"
Tadinya Keng Hong mengira bahwa sebagai sumoi dari Cui Im tentu nona ini
merupakan murid ke dua Lam-hai Sin-ni. Kiranya bukan hanya muridnya, malah
puterinya! Pantas saja, biar pun disebut sumoi oleh Cui Im, akan tetapi nona
ini memiliki tingkat ilmu kepandaian yang lebih tinggi dan juga disegani oleh
suci-nya itu.
"Kau
sudah mengenal nama ibuku?"
"Sudah,
Nona, Ibumu adalah datuk pertama dari Bu-tek Su-kwi, bukan?"
"Hemm,
kau hanya mendengar saja dari suci tentu."
"Aku
sudah pernah bertemu dengan tiga orang dari Bu-tek Su-kwi yang semuanya kalah
oleh suhu."
"Hemm...,
sombong! Kalau bertemu ibu, suhu-mu akan mampus sampai seratus kali."
"Nona,
bolehkah aku mengetahui namamu?"
Alis yang
indah itu terangkat, mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi dan mulut
yang segar itu membentak, "Kau...! Selain hidung belang, juga ceriwis
sekali!"
"Hi-hi-hik,
Sumoi. Tidak benarkah kata-kataku bahwa dia pandai merayu?"
"Suci,
berhenti dulu!"
Kereta
berhenti secara tiba-tiba dan hal ini saja membuktikan betapa pandainya Cui Im
menguasai empat ekor kuda yg menarik kereta, dan betapa kuat kedua lengan yang
kecil itu. Alis nona baju putih itu masih berdiri ketika dia melolos sabuknya
yang putih panjang, lalu tanpa banyak cakap dia mengikat kedua kaki Keng Hong
dengan ujung sabuk dan setelah itu dia melempar tubuh pemuda itu ke belakang
kereta!
"Jalan
terus, Suci!"
"Hi-hi-hik-hik,
agaknya engkau pun tidak tahan terhadap rayuannya, sumoi. Hati-hatilah...,
engkau sama sekali belum berpengalaman."
"Diam,
suci!" bentak gadis itu sambil merenggut, dan kereta dijalankan cepat oleh
Cui Im yang terkekeh-kekeh.
Kini tubuh
Keng Hong yang rebah terlentang di belakang kereta, diseret di atas tanah berbatu!
Kedua tangannya dibelenggu, kedua kakinya diikat ujung sabuk, ada pun ujung
sabuk lainnya oleh gadis itu diikatkan pada tiang kereta. Sabuk itu cukup
panjang hingga tubuh Keng Hong terpisah empat meter dari kereta.
Pemuda ini
cepat-cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi tubuh belakangnya yang
terseret. Apa bila tidak kuat sinkang-nya, tentu kulit tubuh belakangnya akan
habis babak bundas. Biar pun kini hawa sakti di tubuhnya melindungi kulitnya,
akan tetapi tidak dapat melindungi pakaiannya sehingga sebentar saja habislah
pakaiannya di bagian belakang, compang-camping tidak karuan.
Keng Hong
yang rebah terlentang dan terseret di belakang kereta sekarang dapat melihat
keadaan di kanan kiri kereta sampai jauh di depan. Mereka sedang melalui jalan
sunyi di pegunungan, jauh dari dusun-dusun. Diam-diam dia berpikir dan ingin
sekali mengetahui apakah dua orang gadis iblis itu akan tetap menyeretnya
seperti ini kalau melalui dusun dan kota? Apakah mereka akan membiarkan dia
terseret dan menjadi tontonan? Tentu penguasa setempat akan turun tangan kalau
melihat peristiwa ini, akan tetapi penguasa manakah yang sanggup melarang dua
orang gadis iblis itu?
Tiba-tiba
Keng Hong melihat di depan sebelah kiri muncul dua orang penunggang kuda, yakni
dua orang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun yang menghadang
kereta dengan senjata golok di tangan, memberi isyarat dengan tangan agar
kereta dihentikan. Cui Im menghentikan kereta itu dan memandang dengan alis
berkerut marah.
"Kalian
ini mau apakah? Apakah perampok-perampok buta?"
"Hemm,
Ang-kiam Tok-sian-li! Masih berpura-pura tidak mengenal kami Thian-te Siang-to
(Sepasang Golok Bumi Langit)? Kami memenuhi perintah suhu untuk minta
tawananmu, murid Sin-jiu Kiam-ong. Memandang muka suhu kami, harap kau suka
mengalah kepada kami!" Jawaban ini keluar dari mulut kakek yang sebelah
kiri.
Setelah kini
berhadapan, barulah Cui Im melihat jelas betapa muka kedua orang kakek itu
serupa benar. Teringatlah dia akan murid kembar dari Pat-jiu Sian-ong, maka dia
tertawa mengejek.
"Hi-hi-hik,
jangan hanya kalian Thian-te Siang-to yang maju meminta tawanan, walau pun
gurumu sendiri yang datang takkan kuberikan. Kalian mau apa?"
"Hah,
Ang-kiam Tok-sian-li! Kami masih memandang muka gurumu maka masih bicara dengan
baik-baik, akan tetapi engkau sombong. Turunlah dan mari kita lihat siapa yang
lebih unggul di antara kita. Yang unggul berhak membawa pergi murid Sian-jiu
Kiam-ong!"
"Bagus,
kalian sudah bosan hidup!"
Cui Im
meloncat turun dari kereta sambil mencabut pedang merahnya. Akan tetapi begitu meloncat
dan menerjang, Cui Im mengeluh karena dia baru teringat akan keadaannya, akan
tenaga sinkang yang sebagian besar telah lenyap semenjak malam tadi dia bermain
cinta dengan Keng Hong. Apa lagi sekarang yang dihadapinya adalah dua orang
murid Pat-jiu Sian-ong yang merupakan seorang di antara empat datuk Bu-tek
Su-kwi!
Kalau dalam
keadaan normal sekali pun, tak mungkin ia dapat menangkan pengeroyokan dua
orang ini dan mungkin hanya akan sanggup mengalahkan seorang di antara mereka.
Akan tetapi sekarang, dengan sinkang-nya habis setengahnya lebih, melawan
seorang di antara mereka sekali pun dia tak akan menang.
Keng Hong
yang sekarang sudah bangkit duduk karena kereta itu tidak menyeretnya lagi,
melihat betapa Cui Im sedang terdesak hebat oleh dua orang laki-laki bersenjata
golok yang menggunakan julukan Sepasang Golok Bumi Langit itu. Untung bahwa
pedang Cui Im benar-benar hebat, kalau tidak, tentu dalam beberapa gebrakan
saja ia akan roboh.
Cui Im
mainkan pedangnya secepat mungkin, dan biar pun dia sama sekali tidak mampu
melakukan serangan balasan, namun dia masih mampu mempertahankan dirinya dengan
gerakan pedang dan juga sambil mengelak ke sana ke mari. Dia sudah terdesak
hebat dan menurut taksiran Keng Hong, tidak sampai sepuluh jurus lagi gadis itu
tentu akan roboh.
"Sumoi,
tidak lekas membantuku kau menunggu apa lagi?" Cui Im yang repot itu
akhirnya berteriak-teriak.
Keng Hong
hanya melihat muili (tirai) kereta itu tersingkap dari dalam, lantas berkelebat
segulung cahaya putih berturut-turut dua kali. Cahaya ini menyebar ke arah
kedua orang kakek yang mendesak Cui Im.
Mereka cepat
menangkis dengan pedang, namun mereka segera berteriak kesakitan dan meloncat
ke belakang. Ternyata pangkal lengan kedua orang kakek itu sudah terluka dan
mengeluarkan darah. Yang melukai mereka ialah dua butir bola putih yang
permukannya halus namun mempunyai duri-duri runcing dan pada saat dua bola tadi
berhasil ditangkis, bola itu tidak runtuh ke atas tanah melainkan melesat dan
melukai lengan mereka.
Pada waktu
dua orang kakek itu melihat wajah ayu yang tersembul keluar dari balik tirai,
mereka terkejut dan cepat menjura ke arah kereta.
"Kiranya
Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung) juga turut hadir di sini. Maafkan atas
kelancangan kami!" Sesudah berkata demikian, kakek kembar itu lalu
membalikkan tubuh dan berlari pergi.
"Heiii,
kembalilah! Mari kita bertanding sampai seribu jurus! Belum bolong dadamu sudah
lari, pengecut!" Cui Im berteriak-teriak menantang.
"Suci,
jalan terus!" terdengar gadis baju putih yang kini julukannya telah
dikenal oleh Keng Hong berkata halus.
Kereta
berjalan lagi amat kencangnya, dan terpaksa Keng Hong kembali merebahkan diri
telentang lagi, diseret-seret kereta. Ia bergidik bila mengingat julukan gadis
baju putih itu. Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung). Mengapa berkabung?
Pantas saja pakaiannya serba putih, bahkan senjatanya yang lihai, sabuk yang
kini mengikat kedua kakinya, juga putih dan senjata rahasia yang berbentuk bola
itu pun putih!
"Cepatlah,
suci. Setelah murid-murid Pat-jiu Siang-ong muncul, kurasa yang lainnya akan
muncul pula."
"Untung
kau berada di sini, sumoi, kalau tidak... wah berabe juga. Aku... aku
kehilangan sebagian besar sinkang di tubuhku karena... bocah setan itu!"
"Apa?
Mengapa dan bagaimana?" Song-bun Siu-li bertanya heran.
"Benar,
tenagaku disedot habis olehnya. Keparat! Setelah malam tadi, entah bagaimana
aku pun tidak tahu. Dia memang hebat, aku sampai lupa diri dan aku... tersedot
habis... uhhh..."
"Suci,
diam! Kau tahu aku tidak sudi mendengarkan omongan-omonganmu yang cabul!"
Kereta
berjalan terus lebih cepat lagi. Keng Hong tertegun mendengar omongan mereka
itu. Dia sendiri pun tidak tahu mengapa Cui Im menjadi lemah. Tersedot olehnya?
Ia lalu teringat akan peristiwa di Kun-lun-san, di mana tanpa dia sadari dia
pun telah menyedot sinkang dari Kiang Tojin dan tosu-tosu lain.
Akan tetapi
pada saat itu dia menghadapi pukulan sinkang yang amat berat. Sedangkan malam
tadi dengan Cui Im... ahhh… dia tetap tidak mengerti.
Diam-diam
dia kagumi Song-bun Siu-li. Betapa lihai gadis muda itu. Hanya dengan dua butir
bola saja dia mampu mengusir murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang dia lihat tadi
amat lihai ilmu goloknya.
Lewat tengah
hari, ketika matahari mulai condong ke barat, mereka tiba di sebuah hutan dan
jauh di depan menjulang tinggi pegunungan yang rupanya banyak dusun-dusunnya
karena dari jauh sudah nampak genteng-genteng rumah yang kemerahan.
Keng Hong
yang diseret kereta mulai merasa tersiksa karena selain haus dan lapar, juga
debu yang mengebul dari roda-roda kereta itu seolah-olah dilemparkan semua
padanya, membuat rambut dan alisnya menjadi putih, juga mukanya menjadi putih
semua. Untuk bernapas pun terasa sukar di dalam kepulan debu yang tebal ini.
Tiba-tiba
Cui Im berseru nyaring dan tangan kirinya menyabar dua batang anak panah yang
menyambarnya. Hebat kepandaian ini dan diam-diam Keng Hong yang melihat itu
menjadi kagum.
"Jalan
terus, suci. Biarkan aku yang melayani mereka!" berkata Song-bun Siu-li
dengan suara dingin.
Kini
berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu gadis itu sudah berdiri di atap kereta,
lalu minta pinjam cambuk kuda yang masih dipegang oleh Cui Im. Cambuk ini cukup
panjang dan dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanannya memegang
gagang cambuk, Song-bun Siu-li berdiri dengan gagah tanpa bergerak, hanya
matanya saja yang menatap tajam ke depan.
Tiba-tiba
dari arah kiri menyambar tiga batang anak panah, sebuah ke arah Cui Im dan yang
ke dua ke arah Song-bun Siu-li dan anak panah yang datang menyambar sekali ini,
walau pun warnanya juga hitam seperti tadi, namun mengandung kecepatan dan
tenaga dahsyat sehingga mengeluarkan bunyi mendesing.
Cui Im tidak
mempedulikan datangnya anak panah yang menyerangnya, melainkan tetap
mencurahkan seluruh perhatian kepada kendali empat ekor kuda yang dipegangnya
dan dibalapkannya dengan cepat. Dia sudah percaya penuh akan penjagaan
sumoi-nya dan kepercayaan ini pun tidak sia-sia. Terdengar suara cambuk
meledak-ledak, dan... tiga batang anak panah itu sudah kena digulung dan
dibelit ujung cambuk.
Keng Hong
melongo melihat itu dan dia lebih terbelalak lagi ketika nona baju putih itu
menggerakkan cambuknya, membuat tiga batang anak panah meluncur ke arah kiri
dan... terdengar jerit-jerit mengerikan yang lantas disusul dengan
terjungkalnya tubuh tiga orang yang tadi bersembunyi di balik batang pohon.
Kiranya nona baju putih yang lihai sekali itu telah meretour anak panah kepada
pemiliknya masing-masing dan secara kontan keras telah membalas mereka!
Tiba-tiba
terdengarlah suara keras yang bergema di seluruh hutan itu, seolah-olah suara
raksasa yang sakit, padahal suara itu merupakan suara banyak orang yang
mengucapkan sebuah kalimat secara berbareng, "Atas perintah Pak-san
Kwi-ong, kami mohon tawanan putera Sin-jiu Kiam-ong ditinggalkan di hutan
ini!"
"Suci,
berhenti sebentar," kata Song-bun Siu-li dengan suara halus.
Kereta
berhenti dan kini tampaklah puluhan orang, sedikitnya ada tiga puluh orang yang
mengurung kereta itu dalam jarak lima puluh meter. Mereka itu tadinya
bersembunyi di balik pohon-pohon dan di dalam gerombolan-gerombolan semak.
Terdengar
suara Song-bun Siu-li yang berdiri di atas kereta dengan cambuk di tangan,
suaranya masih tetap halus merdu, namun kini dikerahkan dengan penggunaan
tenaga khikang sehingga menjadi nyaring dan bergema lebih dahsyat dari pada
suara banyak orang tadi.
"Murid
Sin-jiu Kiam-ong menjadi tawanan Lam-hai Sin-ni! Di sini ada Song-bun Siu-li
dan Ang-kiam Tok-sian-li yang melindunginya, siapa pun tidak boleh mengganggu
tawanan!"
Keng Hong
yang kini sudah duduk di atas tanah, diam-diam memandang dengan hati geli. Dia
tidak tahu siapakah adanya banyak orang-orang laki-laki yang tinggi besar dan
kelihatan galak-galak itu, akan tetapi yang dia tahu adalah bahwa dia dijadikan
rebutan! Dijadikan rebutan di antara para tokoh kang-ouw, bukan tokoh-tokoh
kaum bersih seperti ketika gurunya dulu dikepung di Kiam-kok-san, melainkan
tokoh-tokoh hitam yang amat lihai.
Namun, baik
tokoh bersih mau pun tokoh sesat, semua memiliki pamrih yang sama yaitu
menghendaki Siang-bhok-kiam dan warisan mendiang suhu-nya. Kini timbullah
keinginan hatinya untuk mencari serta mendapatkan pusaka peninggalan suhu-nya.
Apa bila semua tokoh kang-ouw menginginkan pusaka itu, sudah barang tentu
pusaka itu amat berharga dan penting.
Sesudah
mendengar disebutnya nama Song-bun Siu-li, kini para pengurung itu menjadi
ragu-ragu dan mereka terdiam, kemudian muncul empat orang tinggi besar yang
usianya sudah empat puluh tahun lebih. Di tangan masing-masing memegang sehelai
rantai baja yang digantungi sebuah tengkorak manusia!
Melihat
rantai dengan tengkorak itu teringatlah Keng Hong akan kakek tinggi besar yang
berkulit hitam arang, yang matanya putih, telinganya seperti telinga gajah dan
badannya berbulu, yaitu Pak-san Kwi-ong. Senjata kakek itu pun berupa seutas
rantai besar dengan dua buah tengkorak pada kedua ujungnya. Hanya bedanya,
rantai empat orang laki-laki ini hanya bertengkorak satu.
"Kami
Pak-san Su-liong (Empat Naga Pegunungan Utara), jauh-jauh datang melakukan
perintah suhu. Mengingat akan sahabat segolongan, biarlah kami menyampaikan
salam suhu kepada Ji-wi Siocia (Nona Berdua) untuk disampaikan kepada Lam-hai
Sin-ni dan salam kami sendiri kepada Ji-wi. Kemudian, mengingat akan
persahabatan, harap Ji-wi luluskan kami meminjam sebentar tawanan itu."
"Hi-hi-hik-hik!
Enak saja membuka mulut!" Cui Im tertawa mengejek. "Kami yang susah
payah menawan, tapi kalian yang hendak memboyong. Aturan mana ini? Lebih baik
kalian pergi dari sini dan sampaikan kepada Pak-san Kwi-ong bahwa apa bila dia
menghendaki tawanan, biarlah dia mencoba merampasnya dari tangan guruku!"
"Suci,
tidak perlu banyak bicara melayani mereka. Pak-san Su-liong harap tahu diri dan
jangan mengganggu kami. Betapa pun juga, kami tak akan menyerahkan
tawanan!" kata gadis baju putih sambil menudingkan telunjuknya ke arah
empat orang tinggi besar itu.
"Hemm,
kalau begitu, terpaksa kami akan menguji kepandaian Ji-wi, apakah cukup patut
menjadi pengawal tawanan penting!"
"Bagus,
majulah!" Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li sudah meloncat turun.
Tenaga
sinkang Cui Im masih belum normal, belum pulih seperti biasa, akan tetapi tidak
selemah tadi karena di sepanjang jalan gadis ini telah melatih napas untuk
menghimpun tenaganya yang tercecer. Dia masih dapat mengandalkan ilmu pedangnya
yang memang hebat dan pedang merahnya yang ampuh. Ada pun gadis baju putih itu
sudah memutar cambuknya sehingga terdengar bunyi ledakan-ledakan nyaring.
Empat orang
tinggi besar itu menyambut kedua orang nona ini dengan sambaran rantai mereka
dan terdengarlah suara bersiutan, tanda bahwa mereka itu memiliki tenaga besar
sekali dan dari mulut tengkorak-tengkorak itu kadang-kadang mengebul asap putih
yang beracun!
Pertandingan
dua lawan empat ini berlangsung seru, akan tetapi Keng Hong yang duduk di
belakang kereta dapat melihat jelas betapa sebetulnya Cui Im hanya melawan
seorang saja sedangkan lawan yang tiga orang diborong oleh Song-bun Siu-li.
Makin kagumlah hatinya menyaksikan nona baju putih itu.
Tiga rantai
tengkorak yang mengepungnya tidak boleh dipandang ringan karena ternyata bahwa
naga-naga dari Pak-san itu benar-benar mempunyai kepandaian tinggi, malah jika
dibandingkan dengan Thian-te Siang-to murid Pat-jiu Sian-ong, agaknya empat
orang ini masih lebih berat. Akan tetapi pecut di tangan Song-bun Siu-li amat
lincah gerakannya, menyambar-nyambar dengan suara nyaring seperti halilintar
mengamuk dan mengancam kepala tiga orang lawanya.
Asap putih
yang mengepul dari mulut empat tengkorak itu adalah hawa beracun. Akan tetapi
menghadapi ini, dua orang murid Lam-hai Sin-ni tentu saja memandang rendah
karena guru mereka adalah ahli racun nomor satu di dunia ini!
Baik
Song-bun Siu-li mau pun Cui Im sudah mengeluarkan sehelai sapu tangan berwarna
kuning yang amat harum, lalu menggosok-gosokan sapu tangan masing-masing dengan
keras ke hidung dan mulut mereka, kemudian menyimpan kembali sapu tangan itu
baru menghadapi lawan tanpa mengkhawatirkan asap beracun.
Biar pun
tenaga sinkang-nya belum pulih seluruhnya, akan tetapi ilmu pedang Ang-kiam
Tok-sian-li memang hebat, sehingga tidak percuma dia berjulukan si pedang
merah, dan kecerdikannya serta kekejamannya membuat dia patut pula dijuluki
Tok-sian-li Si Dewi Beracun! Karena tiga orang lawan diborong sumoi-nya dan dia
sendiri hanya menghadapi seorang lawan, pedangnya sudah sanggup mengimbangi
gulungan sinar rantai, bahkan beberapa kali hampir berhasil melukai lawan,
yaitu memapas bagian ujung bajunya dan membuat retak rahang tengkorak.
Keng Hong
yang menonton pertandingan itu, duduk dengan hati tegang, juga dia menjadi
kagum. Semenjak turun gunung, dia telah menyaksikan pertandingan-pertandingan
yang hebat. Sekarang mengikuti pertandingan antara murid-murid orang sakti,
murid-murid dua orang datuk dari golongan sesat yang tinggi ilmunya, matanya
menjadi kabur.
Gulungan
sinar pedang di tangan Cui Im merah dan indah sekali, membentuk
lingkaran-lingkaran yang makin lama makin melebar, mengurung gulungan sinar
yang dibuat oleh rantai tengkorak lawannya. Ada pun cambuk di tangan Song-bun
Siu-li juga telah lenyap bentuknya, yang tampak hanya gulungan sinar hitam yang
berkelebatan di angkasa dan mengeluarkan bunyi meledak-meledak keras sekali.
Sinar hitam ini dapat menahan rantai tengkorak ketiga orang lawannya yang
berusaha keras untuk mengalahkan gadis muda yang namanya sudah amat dikenal di
dunia kang-ouw itu.
Mendadak
Keng Hong mendapat perasaan aneh dan menengok ke belakang. Alangkah kagetnya
pada saat dia melihat bahwa dari arah belakang berindap-indap datang puluhan
orang dan jelas sekali mereka berniat untuk menangkapnya.
Mereka
adalah anak buah Pak-san Su-liong yang datang menghampirinya dengan sikap
mengancam, seperti segerombolan serigala yang hendak menyergap seekor kijang.
Keng Hong maklum akan bahayanya apa bila terjatuh ke tangan anak buah Pak-san
Kwi-ong. Memang tidak enak juga menjadi tawanan dua orang gadis berhati ganas
itu, akan tetapi menjadi tawanan orang-orang kasar ini agaknya akan lebih
mengerikan pula.
Kenapa dia
tidak membebaskan diri saja? Kalau tadinya dia masih belum membebaskan diri
adalah pertama, dia suka melayani permainan asmara Cui Im yang benar-benar
telah dinikmatinya dan ke dua, karena dia tertarik dan berterima kasih kepada
Song-bun Siu-li yang menyelamatkan nyawanya.
Akan tetapi
sekarang, melihat dirinya mulai diperebutkan seperti sebuah benda berharga,
Keng Hong menjadi muak dan tiba-tiba timbul keinginannya untuk meloloskan diri
selagi ada kesempatan mereka saling gasak itu.
Keng Hong mengerahkan
sinkang-nya, mendesak pusat tenaga di pusar lalu menyalurkan hawa sakti yang
dia luncurkan ke arah sepasang lengannya, kemudian sekuat tenaga dia merenggut.
Tali sutera hitam yang mengikat pergelangan tangannya bukan sembarang tali,
kuatnya melebihi kawat baja. Namun tali itu masih tidak dapat menahan sinkang
yang tersalur di kedua lengan itu, yang kekuatannya amat luar biasa, seperti
tarikan dua buah belalai gajah.
Tali itu
mengeluarkan bunyi keras ketika terputus dan bergerak-gerak seperti tubuh ular
terputus di atas tanah. Keng Hong hanya merasakan kulit pergelangannya panas.
Dia cepat membungkuk dan melepaskan tali sutera putih yang mengikat kakinya.
Dia tidak mau memutuskan tali kakinya yang dia tahu adalah sabuk sutera yang
dijadikan senjata si nona baju putih, maka setelah tangannya bebas dia
melepaskan tali kakinya.
Pada saat
itu, empat orang tinggi besar telah menubruk dan menangkapnya, ada yang
merangkul kaki, ada yang merangkul pinggangnya, ada yang memegangi tangan dan
ada yang memiting leher. Akan tetapi Keng Hong tidak peduli, dia terus bangun
dan berjalan mendekati kereta, menyeret empat orang itu yang melekat di
tubuhnya seperti lintah. Keng Hong menyendal sabuk putih kemudian berseru
kepada Song-bun Siu-li yang sibuk melayani tiga orang musuhnya.
"Song-bun
Siu-li! Nih senjatamu, terimalah!"
Dia sudah
menggulung sabuk itu dan melemparkannya ke arah gadis berbaju putih yang
mengeluarkan suara heran akan tetapi cepat menyambar senjatanya yang istimewa
ini dan mengganti cambuknya dengan sabuk putih. Hebat bukan main gerakan
Song-bun Siu-li setelah dia kini mainkan sabuk sutera putih itu.
Tampak sinar
putih bergulung, sangat tebal menyilaukan mata laksana pelangi berwarna putih
perak dan dalam tiga jurus saja sabuknya sudah melibat rantai seorang di antara
tiga lawannya dan sekali renggut, rantai itu terlepas dari tangan lawan dan
ujung sabuk yang sebelah lagi sudah menotoknya roboh!
Dua orang
lawan yang lain menjadi marah dan menerjang lebih dahsyat lagi, akan tetapi
dilayani oleh gadis baju putih itu dengan sikap tenang. Setelah kini senjatanya
kembali ke tangannya, gadis ini menjadi lebih tenang dan penuh kepercayaannya
pada diri sendiri.
Keng Hong
masih dikeroyok oleh empat orang tinggi besar yang hendak menawannya, dan
sambil berteriak-teriak belasan orang tinggi besar lain merubungnya, siap
membantu teman-teman mereka kalau kewalahan. Keadaan Keng Hong seperti seekor
jengkrik yang dirubung semut.
Keng Hong
menjadi marah dan tidak sabar lagi. Dia mengeluarkan seruan keras sambil menggoyang
tubuhnya, gerakannya seperti seekor harimau yang menggoyang tubuhnya sehabis
tertimpa air hujan. Terdengar pekik kaget kemudian tubuh empat orang yang tadi
menempel di tubuhnya, mencelat ke empat penjuru sampai lima enam meter jauhnya
lalu menimpa teman-teman sendiri!
"Tangkap...!"
"Jangan
sampai dia lari!"
Orang-orang
yang menjadi kaki tangan Pak-san Su-liong itu terus berteriak-teriak sambil
mengepung. Mereka ini hanya merupakan segerombolan orang liar yang mengandalkan
tenaga, keberanian dan pengalaman bertempur karena orang-orang ini datang dari
utara, menjadi anak buah Pak-san Su-liong yang terkenal sebagai pemimpin
orang-orang liar di luar tembok besar sebelah utara.
Namun tenaga
mereka hanyalah tenaga otot dan tebalnya kulit, tentu saja menghadapi Keng Hong
mereka itu tidak banyak artinya. Keng Hong mulai mengamuk untuk mencari
kebebasannya. Ia menggunakan kaki dan tangannya, menendang dan memukul.
Para
pengeroyok berteriak-teriak kesakitan karena setiap pertemuan kaki tangan
mereka dengan kaki tangan Keng Hong pasti mengakibatkan tulang patah dan kulit
pecah. Melihat anak buah mereka kocar-kacir, ditambah lagi seorang di antara
mereka sudah tertotok roboh, tiga orang di antara Pak-san Su-liong menjadi
kacau permainannya.
Apa lagi
kini Song-bun Siu-li sudah memegang senjatanya sendiri yang sangat ampuh, maka
tiga orang tinggi besar murid-murid Pak-san Kwi-ong itu tidak dapat bertahan
lagi. Pedang merah di tangan Cui Im berhasil melukai pundak kiri lawannya,
sedangkan kedua ujung sabuk sutera putih di tangan sumoi-nya yang amat lihai
itu telah merampas sehelai rantai dan memecut muka seorang lawan lagi sehingga
pipinya terluka dan berdarah.
Melihat
empat lawannya mundur dan para anak buah mereka pun kocar-kacir dan mulai
menjauhi Keng Hong, Song-bun Siu-li cepat berkata dan meloncat mendekati Keng
Hong, "Lekas masuk kereta. Kita melanjutkan perjalanan!"
Keng Hong
berdiri memandang gadis itu, kemudian menjawab, "Aku tidak mau! Aku ingin
melanjutkan perjalananku sendiri, Nona."
"Kau...
kau hendak melawanku?" Song-bun Siu-li berkata halus, namun suaranya
dingin, dan sabuknya siap di tangan.
"Hati-hati,
Sumoi. Dia memiliki tenaga mukjijat!" kata Cui Im yang juga sudah melompat
dekat, tidak mempedulikan Pak-san Su-liong yang mulai menolong teman-temannya
dan meninggalkan tempat itu karena maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat
melanjutkan usaha mereka merampas tawanan.
"Cia
Keng Hong, lekas kembali ke kereta. Mereka tentu akan datang kembali, dan kalau
yang muncul guru mereka Pak-san Kwi-ong, atau guru Thian-te Siang-to tadi yaitu
Pat-jiu Sian-ong, kami tidak akan dapat mempertahankan engkau lagi!"
berkata pula Song-bun Siu-li, suaranya tetap halus akan tetapi bukan merupakan
bujukan, melainkan peringatan.
Keng Hong
masih berdiri dengan kedua kaki terpentang, kokoh kuat seperti batu gunung,
akan tetapi pakaian pada sebelah belakangnya sudah compang-camping tak karuan.
Dia menggeleng kepala dan memandang kedua orang nona itu dengan pandang mata
tajam.
"Tidak,
aku ingin bebas!"
"Sumoi,
hajar mampus saja laki-laki tak berbudi ini!" teriak Cui Im yang sudah
melangkah maju dan siap dengan pedang merahnya.
"Tahan,
Suci. ibu menghendaki dia hidup-hidup! Ehhh, Keng Hong. Engkau sendiri tadi
mengaku bahwa aku telah menyelamatkan jiwamu. Inikah balasanmu? Hendak melawan
aku? Beginikah kegagahan murid Sin-jiu Kiam-ong? Kasihan kakek itu yang tentu
gelisah di dalam akhirat kalau menyaksikan muridnya yang tak mengenal
budi."
Wajah Keng
Hong menjadi merah sekali dan dia mengepal tinjunya. "Sudahlah, jangan
membawa-bawa nama suhu. Baik, aku mau ikut akan tetapi ingat, hanya untuk
menuruti perintahmu sebagai balas jasa atas pertolonganmu. Sesudah bertemu
dengan Lam-hai Sin-ni, kuanggap hutangku kepadamu telah lunas!" Setelah
berkata demikian Keng Hong lalu berjalan menuju ke kereta.
Cui Im
menyenggol lengan sumoi-nya dengan siku sambil menggerakkan muka ke arah Keng
Hong yang tampak oleh mereka dari belakang, sambil terkekeh dan berbisik,
"Lihat, Sumoi..., hebat tidak dia?"
Gadis baju
putih itu memandang dan wajah yang cantik jelita itu seketika menjadi merah
sekali. Matanya yang jelita terbelalak pada saat dia melihat ke arah tubuh
belakang Keng Hong. Pakaian bagian belakang yang compang-camping dan kulitnya
yang penuh debu itu masih tidak dapat menyembunyikan sebuah punggung yang tegak
dengan lengkung kuat di bagian bawah seperti terbuat dari pada baja. Bahu yang
bidang, pinggang yang kecil dan sepasang pinggul yang bulat membayangkan otot-otot
yang dipenuhi tenaga di atas kaki yang kuat.
Cepat-cepat
dia memejamkan mata, tidak mau memandang lagi dan mulutnya mencela. "Suci,
kau selalu mendahulukan nafsu-nafsumu. Kau tahu aku tidak sudi memperhatikan
pria!" Gadis ini membuang muka dan setelah Keng Hong memasuki kereta,
barulah dia berkata, "Ambilkan selimut dan suruh dia menutupi tubuh
belakangnya secara pantas!"
Cui Im
terkekeh dan berlarian ke kereta, mengambil selimut dan melemparnya ke arah
Keng Hong.
"Keng
Hong, tutupi rapat-rapat badanmu yang sebelah belakang, kau membikin sumoi
menjadi jijik, hi-hi-hik!"
Kemudian dia
melompat ke atas di sebelah depan dan segera membalapkan empat ekor kuda
setelah sumoi-nya pun melompat masuk dan duduk di hadapan Keng Hong dengan
sikap tidak acuh.
Dari luar
terdengar suara seorang di antara Pak-san Su-liong. "Kalian tunggu saja!
Suhu sendiri yang akan merampas tawanan itu!"
Namun dua
orang murid Lam-jai Sin-ni ini tidak mempedulikan teriakan mereka dan terus
membalapkan kereta ke selatan. Kereta berguncang-guncang, namun Keng Hong duduk
anteng, matanya tak pernah terlepas dari wajah gadis di depannya.
Dia menjadi
makin kagum. Gadis ini amat lihai ilmu silatnya, juga wataknya jauh berbeda
dengan watak Cui Im yang cabul dan senang mengumbar nafsunya. Gadis ini
pendiam, bahkan sama sekali tidak pernah memperlihatkan kegembiraan. Betapa pun
juga dalam hal kekejaman dan keganasan, gadis baju putih ini mungkin sepuluh
kali lebih ganas dari Cui Im, sungguh pun agaknya tidak berwatak licik dan
curang seperti suci-nya itu.
Diam-diam
dia membuat perbandingan. Yang manakah yang baik di antara kedua orang gadis
ini? Cui Im hidup sebagai seorang yang ingin menikmati hidup sebanyaknya,
selalu menuruti nafsunya tanpa peduli akan apa pun, hendak meraih sebanyaknya
kesenangan dunia tanpa peduli dia akan dicap gadis cabul atau tidak.
Pendeknya
segala hal di dunia ini harus diarahkan demi kesenangan diri pribadi. Gadis
seperti itu tentu saja tidak memiliki kesetiaan terhadap siapa pun kecuali
dirinya sendiri.
Akan tetapi
gadis yang jauh lebih muda dan jauh lebih cantik juga lebih lihai yang duduk di
depannya ini memiliki type tersendiri dan sukar sekali meraba-raba untuk
mempelajari wataknya. Wajah cantik ini seolah-olah memakai kedok dari salju,
begitu dingin dan sukar sekali dijenguk isi hatinya karena apa yang terkandung
di dalam hati dan pikirannya sama sekali tidak mengubah kulit muka yang halus
dan tetap dingin itu.
Tiba-tiba
saja muka yang jelita ini bergerak sehingga sepasang mata yang jernih bertemu
dengan pandang matanya. Keng Hong terkejut dan tersipu, cepat-cepat dia
mengalihkan pandangan matanya, pura-pura melihat pohon-pohon di pinggir jalan.
"Engkau
lapar?" Pertanyaan itu pun tiba-tiba dan halus merdu.
Keng Hong
mengangguk dan menjawab perlahan, "Haus..."
"Namaku
Biauw Eng, dan kau boleh memanggil aku dengan namaku."
Keng Hong
terkejut. Eh, kiranya ada juga sikap manis budi pada diri nona aneh ini. Cepat
dia mengangkat muka memandang, mengharapkan ada perubahan muka pada nona itu,
perubahan muka yang wajar, yang tersenyum seperti halusnya ucapan yang
dikeluarkan. Namun dia kecelik, wajah itu tetap dingin dan tenang, sama sekali
tidak membayangkan sesuatu kehangatan. Ia menghela napas panjang dan berkata.
"Memang
aku lapar, dan terutama sekali haus, Biauw Eng."
Song-bun
Siu-li atau yang tadi mengaku bernama Biauw Eng, dengan tenang mengambil sebuah
bungkusan dari sebelah belakangnya, di atas tempat duduk kereta itu, membuka
bungkusan dan mengeluarkan sebuah roti kering yang besar. Ia mematah-matahkan
roti itu, membagi menjadi tiga, lalu memberi sebagian kepada Keng Hong,
sebagian lagi dia lemparkan ke arah Cui Im sambil berseru, "Suci, silakan
makan!" dan dia sendiri segera memulai makan bagiannya.
Cui Im
menggigit roti kering sambil tertawa dan berkata, "Sayang, sumoi. Satu
guci arak Ai-ang-ciu (Arak Merah Asmara) telah dihabiskan sekali teguk oleh
bocah itu, hi-hi-hik!"
Sepasang
alis yang hitam itu berkerut sebentar, tetapi tidak cukup untuk membayangkan
bagaimana perasaan Biauw Eng, apakah kecewa, ataukah marah, ataukah perasaan
lain lagi. Hanya saja bibirnya yang tadi tertutup ketika dia mengunyah roti di
dalam mulut, kini terbuka sedikit mengeluarkan kata-kata.
"Aku
masih ada persediaan air minum, jangan khawatir, suci."
Tangan
kirinya meraih ke belakang dan gadis ini sudah mengeluarkan sebuah guci yang
mengkilap, berwarna putih, terbuat dari pada porselen yang sangat indah.
Melihat bahwa Keng Hong paling dulu menghabiskan rotinya, nona ini lalu
menyerahkan guci porselen kepadanya sambil berkata,
"Minumlah
dulu."
Keng Hong
menerima guci itu, memandang kagum lalu bertanya, "Mana cawannya?"
"Hi-hik-hik!
Keng Hong, kau selalu bersopan-sopan mencari cawan. Apakah kau khawatir
diracuni? Ahh, jangan takut, sumoi selamanya tak sudi main-main dengan racun,
lagi pula segala macam racun jika dimasukkan ke dalam guci pusaka itu maka
pengaruhnya akan lenyap." Cui Im tertawa-tawa mengejek sehingga muka Keng
Hong menjadi merah sekali.
Dia hanya
memegangi guci itu dan tidak minum, menunggu sampai nona di hadapannya
menghabiskan rotinya. Biauw Eng juga tidak peduli bahwa pemuda itu belum juga
minum dari guci.
"Kau
minumlah dulu, nona Biauw Eng...," katanya memberikan guci itu.
Sikap nona
ini membuat Keng Hong tidak berani untuk menyebut namanya begitu saja,
melainkan menaruh sebutan nona di depannya. Nona ini sikapnya seperti seorang
puteri istana saja, begitu halus, angkuh namun dingin.
Biauw Eng
tidak menjawab, melainkan menerima guci itu, lantas membuka tutupnya dan
mengangkat guci ke atas mukanya yang ditengadahkan, lalu dituangnya air dari
guci yang memancur memasuki mulutnya yang dingangakan.
Keng Hong
menelan ludah, sama sekali bukan karena melihat orang minum atau melihat air
yang amat jernih dan segarnya memasuki mulut orang, melainkan melihat mulut
yang menggairahkan itu. Mulut yang terbuka, tampak giginya berderet putih,
lidah meruncing merah sekali yang bergerak-gerak pada waktu kejatuhan air
jernih. Melihat rongga mulut yang segar kemerahan, yang membayangkan kesedapan
serta kenikmatan, Keng Hong diam-diam bergidik dan tidak tahu dari mana
datangnya perasaan ini yang timbul sejak dia jatuh oleh godaan asmara Cui Im.
Setelah
gadis itu menyerahkan guci kepadanya, barulah dia sadar dan cepat menerima guci
itu. Akan tetapi sebelum dia minum air itu, dia teringat kepada Cui Im. Keng
Hong selama berada di Kun-lun-pai mempelajari tata susila, sopan santun dan
telah membaca banyak kitab, maka sifat sopan santun sebenarnya telah meresap di
hatinya.
Kini
teringat bahwa Cui Im belum minum, meski pun dia kini merasa muak kepada gadis
itu sesudah dia mengenal wataknya yang keji dan bahwa bujuk rayu yang sangat
mesra pada malam itu bukan timbul dari hati mencinta melainkan sebagai alat
membujuk saja, namun dia merasa tidak enak kalau harus mendahului gadis itu
minum airnya.
"Kau
minumlah dulu," katanya menyerahkan guci.
Cui Im yang
duduk di sebelah depan, memutar tubuhnya sambil memandang Keng Hong dengan mata
genit, kemudian menerima guci dan terus diteguknya seperti yang dilakukan
sumoi-nya tadi. Kemudian ia mengembalikan guci kepada Keng Hong dan ketika
pemuda itu menerimanya, sejenak Cui Im membelai tangan pemuda itu dan mencubit
lengannya penuh arti sambil terkekeh.
Keng Hong
cepat-cepat menarik tangan dan guci itu sambil melirik ke arah Biauw Eng. Namun
gadis ini diam saja tidak bergerak-gerak, seolah-olah tidak melihat atau memang
tidak peduli akan kecentilan suci-nya. Keng Hong menghilangkan rasa kikuknya
dengan menenggak air dari dalam guci dan dia kagum sekali.
Roti kering
tadi sangat enaknya, gurih dan agak manis, berbau sedap. Akan tetapi air ini
lebih lezat lagi. Memang rasanya air biasa, namun mengandung keharuman buah
apel dan amat sejuk dan segar. Tanpa bicara dia mengambilkan guci kepada Biauw
Eng yang segera menyimpannya kembali dan berkatalah Biauw Eng,
"Kita
perlu menghimpun tenaga karena kurasa masih banyak penghalang di depan."
Sesudah
berkata demikian, nona baju putih itu melempangkan punggungnya, kemudian
meramkan matanya. Napasnya menjadi semakin lambat sampai akhirnya seperti tidak
bernapas lagi. Tahulah Keng Hong bahwa nona ini kembali sudah melatih dirinya
dengan semedhi dan ilmu Pi-khi Hoan-hiat.
Ia memandang
kagum. Setelah mata itu terpejam, tampak bulu mata yang merapat dan hitam
panjang melentik. Jantung Keng Hong berdebar kencang dan cepat dia menekan
perasaannya ini. Untuk melawan gelora hatinya dalam menghadapi nona yang luar
biasa cantiknya ini, dia pun lalu memejamkan mata menghimpun tenaga.
Untuk apa?
Untuk membebaskan diri bila kesempatan muncul, pikirnya. Kalau dia sudah
mengikuti nona ini sampai bertemu dengan Lam-hai Sin-ni. Namun, sesudah
berhadapan dengan Lam-hai Sin-ni, betapa mungkin dia dapat membebaskan diri?
Sedangkan nona Biauw Eng ini saja sudah demikian lihainya dan tak mungkin dapat
mengalahkannya, apa lagi ibunya!
Keng Hong
diam-diam bergidik ngeri, akan tetapi dia sudah berjanji untuk membalas budi
pertolongan nona itu, baru akan membebaskan diri. Hatinya tenteram kembali dan
Keng Hong pun segera ‘pulas’ dalam semedhinya walau pun kereta itu melalui
jalan yang tidak rata dan berguncang-guncang keras.
Sampai malam
tiba, tidak ada lagi rintangan di jalan. Kereta dihentikan di sebuah gunung
yang banyak terdapat goa-goanya dari batu. Setelah makan daging kelinci yang
ditangkap oleh Cui Im dan minum air gunung, mereka mengaso di luar kereta, di
dalam sebuah goa yang agak besar tak jauh dari situ.
Cui Im sudah
duduk mendekati Keng Hong, tangannya pun sudah mulai menggerayangi tubuh Keng
Hong sedangkan mulutnya membisikkan kata-kata merayu, kadang-kadang hanya
mengeluarkan suara seperti seekor kucing memancing belaian.
Akan tetapi
Keng Hong tidak mempedulikannya, bahkan menjadi gemas sekali. Ia merasa
canggung dan malu sekali karena gadis ini tanpa malu-malu mengajaknya bermain
cinta di depan Biauw Eng! Ada pun gadis baju putih itu duduk bersila dan
seakan-akan tidak melihat itu semua, tidak mendengar suara merintih-rintih dan
meminta-minta yang keluar dari mulut suci-nya.
"Cui
Im, kenapa kau tidak bisa diam? Jangan ganggu aku!" akhirnya Keng Hong
berkata lirih dan mengibaskan tangan Cui Im.
"Aihh,
mengapa engkau berubah, Keng Hong? Setelah berada di depan sumoi yang jauh
lebih cantik dariku, engkau pura-pura tidak tahu... hi-hi-hik, masih ingatkah
malam mesra itu? Masih terasa olehku, Keng Hong... ahhh..."
"Cui
Im, diamlah!" Keng Hong membentak, agak keras karena marah.
Sekarang dia
menyesal sekali mengapa malam hari dulu itu dia mau melayani gadis ini.
Pengalamannya yang pertama dia hanyutkan begitu saja dengan seorang gadis
bermoral bejat seperti ini. Apa bila Cui Im benar-benar mencintanya, dia pun
tidak akan menyesal karena dia hanya ingin mengikuti jejak gurunya, melayani
cinta kasih setiap wanita yang disukanya. Dan dia memang suka kepada Cui Im
seperti rasa sukanya kepada segala yang indah.
Kalau saja
Cui Im tidak menggunakan daya tariknya sebagai seorang wanita hanya untuk
membujuknya, kalau Cui Im tidak palsu cintanya, tentu dia selamanya akan
mengenang pengalamannya dengan Cui Im sebagai kenangan yang manis. Tapi
sekarang, dia hanya akan mengenangnya sebagai sebuah kenangan yang memalukan
dan menjijikan.
"Suci,
jangan ribut. Ada musuh-musuh datang...!" Tiba-tiba Biauw Eng berkata
halus.
Kedua orang
itu merasa jengah sendiri mengapa mereka ribut-ribut saja sehingga tidak
mendengar datangnya ancaman musuh. Pada waktu mereka berdua memandang keluar
goa, benar saja, di bawah sinar bintang-bintang yang suram, terlihat berkelebat
bayangan belasan orang yang gesit dan ringan.
Bagaikan
bayang-bayangan setan, belasan orang itu menerjang kereta dan terdengarlah
suara hiruk pikuk, suara senjata-senjata dipukulkan pada kereta sampai kereta
itu hancur dan roboh, kudanya pun lari tak karuan. Agaknya orang-orang itu
menjadi marah karena mendapatkan kereta itu kosong, kemudian melampiaskan
kemarahan mereka pada kereta kosong!
"Kurang
ajar! Mereka merusak kereta!" Cui Im berseru marah.
"Tenang,
Suci. Mari kita sambut mereka! Dan kau Keng Hong, jangan turut mencampuri
urusan kami, kau tinggal saja di sini dan menonton." Sikap Biauw Eng
tenang sekali dan kini dia mengajak suci-nya untuk keluar dari goa menyambut
belasan orang yang sudah mendengar seruan Cui Im dan kini menyerbu ke arah goa.
Keng Hong
hanya duduk bersila di dalam goa, membuka mata memandang bayangan-bayangan itu
dan telinganya mendengar suara Biauw Eng yang halus merdu dan tenang.
"Siapa
di depan? Mau apa kalian dan mengapa merusak kereta? Di sini Song-bun Siu-li
dan Ang-kiam Tok-sian-li!"
Belasan
sosok bayangan itu tiba-tiba saja berhenti bergerak, agaknya tertegun dan kaget
mendengar nama-nama itu, kemudian terdengar suara.
"Kami empat
orang anak murid Hoa-san-pai sedang mewakili suhu-suhu kami Hoa-san
Siang-sin-kiam untuk minta diserahkannya tawanan yang bernama Cia Keng
Hong!"
Dalam
remang-remang tampak oleh Keng Hong bahwa empat orang yang berkelompok itu
adalah tiga orang muda dan yang seorang gadis, kesemuanya memegang pedang.
Teringat dia akan dua orang tokoh Hoa-san, yaitu Hoa-san Siang-sin-kiam yang
bernama Coa Kiu dan Coa Bu, kakak beradik yang hebat ilmu pedangnya itu. Jadi
empat orang ini murid-murid mereka? Tentu lihai ilmu silatnya.
"Pinceng
bertiga adalah murid-murid Siauw-lim-pai, mentaati perintah ketua kami untuk
menangkap Cia Keng Hong!" Tiga orang hwesio gundul Siauw-lim-pai itu
masing-masing memegang sebatang toya dan tampaknya mereka itu kuat-kuat.
"Kami
sembilan orang adalah murid-murid Kong-thong Ngo-lojin, juga mewakili suhu-suhu
kami untuk membawa Cia Keng Hong ke Kong-thong-pai!" Sembilan orang ini
pun masih muda-muda dan jika tidak keliru penglihatan Keng Hong di dalam gelap
itu, mereka terdiri dari enam orang pemuda dan tiga orang pemudi, dengan
senjata bermacam-macam, ada pedang, golok, tombak pendek, ruyung dan cambuk
saja.
Diam-diam
Keng Hong menjadi gelisah. Bagaimana pun lihainya Cui Im dan Biauw Eng, mana
mungkin mereka dapat menang menghadapi pengeroyokan enam belas orang yang
semuanya merupakan murid-murid tokoh besar yang sakti?
Akan tetapi,
baik Cui Im mau pun Biauw Eng bersikap tenang-tenang saja, bahkan kini
terdengar suara Biauw Eng yang halus dan dingin, mengandung ejekan dan tantangan.
"Cia
Keng Hong adalah tangkapan yang berada di dalam kekuasaan kami sebagai wakil
dari Lam-hai Sin-ni. Tak seorang pun boleh mengganggunya. Kalian ini
murid-murid tokoh besar di dunia kang-ouw sungguh tak tahu malu telah merusak
kereta kami. Jika memang hendak menggunakan kekerasan, majulah, kami berdua
tidak gentar menghadapi kalian!"
"Omitohud,
kiranya Song-bun Siu-li masih seorang bocah akan tetapi mulutnya sombong
sekali!" bentak seorang murid Siauw-lim-pai.
Dia langsung
menerjang maju dengan toyanya, diikuti dua orang sute-nya. Yang lain-lain juga
segera berseru keras dan menerjang maju, mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng. Dua
orang gadis murid Lam-hai Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi dan
tampaklah gulungan sinar pedang merah dari tangan Cui Im yang amat gemilang,
disusul gulungan sinar putih dari sabuk sutera Biauw Eng yang lebih gemilang
dan lebar lagi. Pertandingan berlangsung dengan seru di malam yang
remang-remang itu.
Tingkat
kepandaian dua orang murid Lam-hai Sin-ni sesungguhnya lebih tinggi dari pada
tingkat kepandaian murid-murid Siauw-lim-pai, Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai
itu, apa lagi Biauw Eng. Kiranya kalau hanya menghadapi pengeroyokan lima orang
lawan saja, Biauw Eng masih ada harapan untuk menang. Ada pun takaran lawan Cui
Im kiranya hanya dua atau paling banyak tiga orang lawan saja.
Jadi bila
mereka dikeroyok tujuh atau delapan orang, barulah ramai dan seimbang. Akan
tetapi kini yang mengeroyok mereka adalah enam belas orang! Tentu saja kedua
orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi terdesak hebat sehingga terpaksa mereka itu
harus saling bela dengan cara berdiri beradu punggung dan memutar senjata
secepat mungkin untuk menangkis hujan senjata yang menimpa mereka.
Sekali ini
pun sabuk sutera putih di tangan Biauw Eng berjasa lagi karena sabuk yang
panjang itu selain dapat melindungi tubuhnya sendiri, juga dapat membantu
suci-nya yang mulai repot. Bahkan beberapa kali Cui Im mengeluarkan teriakan
marah pada saat betis kirinya dan pangkal lengan kanannya tercium ujung senjata
lawan sehingga walau pun bukan merupakan luka parah, namun cukup merobek baju
dan kulit mengeluarkan darah.
"Nona
berdua sebaiknya menyerah saja. Kami tidak bermusuhan dengan nona berdua, juga
tidak ingin membunuh. Kami hanya ingin menawan Cia Keng Hong karena guru-guru
kami mempunyai urusan dengan dia sebagai wakil gurunya yang telah berdosa
terhadap partai kami," terdengar seorang pemuda murid Hoa-san-pai berkata
nyaring.
"Mulut
besar!" Cui Im membentak. "Keng Hong adalah tawanan kami, kalau
kalian dapat membunuh kami, baru boleh bicara tentang menawan Keng Hong!"
"Bagus!
Memang kaum sesat selalu nekat dan mau menang sendiri!" teriak seorang
anak murid Kong-thong-pai dan kepungan lalu diperketat, serangan diperdahsyat
sehingga dua orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi semakin repot untuk melindungi
tubuh mereka dari cengkeraman maut.
Kini cuaca
mulai makin terang karena bulan sepotong yang munculnya sudah malam itu mulai
memuntahkan sinarnya. Keng Hong yang menyaksikan pertandingan itu menjadi
gelisah. Dia maklum bahwa dua orang nona itu sudah pasti akan roboh, kalau
tidak tewas sedikitnya tentu terluka hebat.
Dia sedang
mempertimbangkan pendiriannya. Harus berpihak yang mana? Pihak enam belas orang
itu juga mempunyai pamrih yang sama, yaitu menawannya dan memaksanya
menunjukkan tempat simpanan pusaka gurunya seperti juga guru-guru mereka yang
dulu memperebutkan Siang-bhok-kiam adalah untuk mencari pusaka gurunya itu.
Sebaliknya,
pihak kedua, dua orang murid Lam-hai Sin-ni itu pun sama juga. Jelas bahwa
kedua pihak itu tidak ada yang bermaksud baik terhadap dirinya.dan dia merasa
kasihan kepada dua orang gadis itu yang dianggapnya berada di pihak yang harus
dia bantu.
Dua melawan
enam belas. Mana adil? Pula, pantaslah kalau dia kini berpeluk tangan saja
menyaksikan gadis itu terancam bahaya? Bagaimana tindakan suhu-nya kalau
suhu-nya menjadi dia? Pernah suhu-nya menasehatinya,
"Kalau
menolong orang, tolonglah saja berdasarkan perasaan hatimu. Jangan menengok
latar belakangnya, jangan melihat keadaannya, jangan pula memperhitungkan
urusannya. Apa bila kau merasa kasihan dan ingin menolong, tolonglah tanpa ada
perasaan pamrih lainnya. Jika tidak ada rasa kasihan dan ingin menolong seperti
itu, lebih baik kau tinggal tidur dan tidak perlu melibatkan diri dengan urusan
orang lain."
Keng Hong
segera bangkit berdiri. Mingkinkah dia membiarkan saja dua orang gadis itu tewas?
Tidak! Biar pun dia tidak suka kepada Cui Im, merasa sebal menyaksikan tingkah
laku gadis itu, akan tetapi harus dia akui bahwa dia telah mengalami kesenangan
dengan gadis itu dan dia merasa tidak tega kalau melihat Cui Im tewas di ujung
senjata banyak lawan yang mengeroyoknya.
Apa lagi
terhadap Song-bun Siu-li yang ternyata bernama Biauw Eng. Gadis ini pernah
membebaskan dirinya dari kematian di ujung pedang Cui Im. Tentu saja dia tak
akan tega membiarkan gadis ini mati dikeroyok.
Keng Hong
lalu melompat ke dekat tempat pertempuran, sebelah tangannya memegang sebatang
ranting, dan dia berseru, "Cia Keng Hong berada di sini! Siapa yang hendak
menangkap aku, majulah! Mengeroyok anak-anak perempuan kecil, apa tidak
malu?"
"Keng
Hong, tutup mulutmu yang sombong!" Cui Im memaki marah karena dia
dikatakan anak perempuan kecil. Juga dia menjadi sangat gelisah karena sekali
Keng Hong keluar, terbukalah kesempatan bagi para pengeroyok untuk melarikan
pemuda itu.
Benar saja.
Mendengar teriakan ini, sebagian besar para pengeroyok meninggalkan dua orang
gadis itu dan mengejar Keng Hong! Kini yang mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng
hanya tinggal enam orang saja, yaitu seorang hwesio Siauw-lim-pai, dua orang
murid Hoa-san-pai, dan tiga orang murid Kong-thong-pai. Ada pun yang sepuluh
orang sudah berlari dan berebutan menubruk Keng Hong dengan tangan kosong
karena mereka ingin menangkap pemuda itu hidup-hidup seperti yang diperintahkan
guru masing-masing.
Akan tetapi
tubrukan mereka itu disambut sinar yang bergulung-gulung dari ranting yang
diputar oleh Keng Hong. Terdengar bunyi plak-plik-pluk pada saat ranting di
tangan Keng Hong itu menyabet-nyabet mereka, ada yang terkena pipinya, ada yang
terkena lehernya atau lengannya.
Mereka
berseru kaget dan cepat meloncat mundur. Tidak mereka sangka bahwa sabetan
ranting bisa mendatangkan rasa nyeri yang begitu hebat. Tahulah mereka bahwa
murid Sin-jiu Kiam-ong ini tidak boleh dianggap remeh. Sekarang mereka maju
lagi dan mulai mengirim pukulan, sungguh pun hal ini masih dilakukan dengan
tangan kosong karena mereka ingin menangkapnya hidup-hidup.
Melihat
datangnya pukulan-pukulan ini, Keng Hong menggerakkan rantingnya lagi. Tetapi
dia merasa kaku sekali untuk memainkan Siang-bhok Kiam-sut dengan ranting itu
dalam menghadapi pengeroyokan begini banyak orang.
Hujan
pukulan dan cengkeraman itu ada yang dapat ditangkisnya, namun ada pula yang
mengenai tubuhnya, bahkan sekarang selimut penutup tubuh belakangnya telah
terlepas, bajunya yang kena dicengkeram juga mulai robek-robek. Timbulah
kemarahan dalam hati Keng Hong.
"Kalian
nekat, ya?!" bentaknya.
Ketika
seorang hwesio Siauw-lim yang mempunyai sinkang paling kuat mencengkeram ke
arah pundak kirinya dengan ilmu cengkeraman Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku
Garuda), dia cepat mengulur tangan kanannya memapaki cengkeraman itu hingga
kedua telapak tangan itu bertumbukan di udara.
"Plakkk!!"
Hwesio dari
Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main, merasa betapa lengannya tergetar dan
panas. Dia cepat-cepat berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi sia-sia
belaka, tangannya sudah melekat dengan tangan pemuda itu dan alangkah kaget
hatinya ketika merasa hawa sinkang dari tubuhnya berserabutan keluar dari tubuh
melalui tangannya itu, disedot oleh telapak tangan Keng Hong!
Hwesio itu
mengeluarkan teriakan-teriakan aneh dan teriakan-teriakan ini segera disusul
teriakan-teriakan lain ketika banyak tangan sudah menempel di tubuh Keng Hong
tanpa dapat ditarik kembali! Ada enam orang di antara para pengroyok yang
sekarang telapak tangannya menempel di tubuh Keng Hong dan sinkang mereka
membocor terus disedot oleh tubuh pemuda yang luar biasa ini.
Yang menjadi
paling bingung dan juga jengah sekali adalah seorang murid perempuan
Kong-thong-pai dan seorang murid perempuan Hoa-san-pai. Mereka ini adalah dua
orang gadis muda yang cantik dan gagah. Kini mereka membetot-betot kedua tangan
mereka tanpa hasil.
Padahal
mereka tadi menyerang dari belakang sehingga tangan salah seorang di antara
mereka menempel pada pinggul Keng Hong yang telanjang, sedangkan yang seorang
lagi tangannya menempel pada leher pemuda itu. Dilihat begitu saja seolah-olah
mereka ini sedang main gila, sedang main raba dan colek terhadap tubuh si
pemuda!
Empat orang
gagah yang lainnya ternganga keheranan. Akan tetapi sebagai murid-murid orang
sakti mereka dapat pula menduga bahwa si pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong tentu
menggunakan ilmu siluman sehingga teman-teman mereka melekat seperti itu.
Seorang hwesio Siauw-lim-pai segera berkata,
"Kita
kumpulkan sinkang, kemudian berbareng kita membetot!" Ia lalu memegang
tangan teman-temannya yang belum tersedot sinkang-nya, kemudian mereka lantas
memegang pundak mereka yang tersedot dan bersiap-siap mengerahkan kekuatan
secara berbareng untuk menarik. Agar dapat menarik berbareng, hwesio itu
memberi aba-aba.
"Satu...
dua... tiga, tarikkk…!"
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka ketika tiba-tiba saja
tangan empat orang yang lain ini pun amblas seperti air dicampurkan ke dalam
lautan! Jangan kata menarik teman-teman yang sudah melekat, menarik diri
sendiri pun tidak sanggup lagi karena tenaga mereka yang digunakan untuk
menarik itu tidak mendapatkan tempat berpijak, melainkan molos mengalir masuk
melalui tubuh yang mereka pegang kemudian mengoperkan hawa sinkang ini ke dalam
tubuh Keng Hong!
Keng Hong
sendiri mulai merasa bingung. Seperti yang pernah dia alami di Kun-lun-pai,
kini pun dia merasa betapa tubuhnya kebanjiran hawa sinkang, dadanya serasa
hampir meledak-ledak, kepalanya bagai menjadi sebesar gentong beras, terus
berdenyut-denyut, matanya merah membelalak dan hampir terloncat keluar dari
pelupuknya, seluruh tubuh terasa berdenyutan dan gatal-gatal panas.
Sungguh pun
sinkang sepuluh orang ini masih belum menyamai sinkang Kiang Tojin dan beberapa
orang sute-nya, namun bagi Keng Hong tetap saja merupakan siksaan yang hebat
dan dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa untuk melepaskan mereka. Ia maklum
bahwa sekali dia mengerahkan tenaga yang mendesak-desak ini untuk mengibas
tubuh mereka, akibatnya tentu hebat seperti yang pernah dia lakukan di
Kun-lun-san. Tapi pada waktu itu yang dia robohkan hanyalah belasan batang
pohon-pohon raksasa.
Sementara
itu, setelah kini Cui Im dan Biauw Eng hanya dikeroyok enam orang lawan, mereka
sebentar saja dapat merobohkan semua lawan itu. Cui Im merobohkan dua orang
dengan pedangnya, ada pun Biauw Eng membuat empat orang lainnya terguling.
Sekarang dua
orang gadis itu berdiri melongo memandang Keng Hong yang digelut oleh sepuluh
orang! Memang amat aneh pemandangan ini. Keng Hong berdiri dengan tubuh
menggigil di tengah-tengah, sedangkan sepuluh orang itu menggeluti tubuhnya,
banyak yang diam tanpa bergerak, ada pula yang masih mencoba untuk
membetot-betot, namun semuanya tak berhasil sehingga terdengarlah keluhan dan
rintihan putus asa keluar dari mulut sepuluh orang itu.
"Itulah,
Sumoi. ilmunya yang mukjijat, menyedot sinkang orang seperti yang kuceritakan
kepadamu... heiii! Sekarang aku tahu kenapa sebagian besar sinkang-ku lenyap!
Kiranya malam itu... dia... dia telah menyedot hawa sakti tubuhku, kurang
ajar!" Cui Im memaki.
"Heran
benar. Benarkah dia bisa memiliki Thi-khi I-beng? Menurut ibu, di dunia ini
tidak ada lagi yang mengerti ilmu itu. Ibu sendiri hanya mengerti sedikit.
Bocah ini hebat, Suci. Jika didiamkan saja, sepuluh orang ini tentu akan mati
semua dan ibu tidak akan senang apa bila kita menanam bibit permusuhan dengan
partai-partai persilatan besar. Hayo kita lepaskan mereka."
"Mana
mungkin, sumoi? Jangan-jangan kau akan ikut tersedot! Hiiihhh... ilmu setan
yang mengerikan!"
"Aku
mengetahui caranya, suci."
"Kau?
Kalau begitu subo telah mengajarmu ilmu ini? Ahh, mengapa aku tidak diberi tahu
sama sekali?" Cui Im bertanya dengan cara mencela, penuh iri.
"Hanya
mengerti cara membebaskannya, sama sekali aku pun tidak tahu akan ilmu ini.
Kalau kau menguasainya, alangkah banyaknya orang-orang yang kau sedot
habis!"
Biauw Eng
segera memunggut cambuk kuda dari atas tanah di dekat kereta yang sudah hancur.
"Kau
pergunakan cambuk ini. Jangan sekali-kali pergunakan tanganmu untuk menyentuh
mereka. Kalau kau sudah menotok pergelangan tangan Keng Hong, kau gunakan ujung
cambuk untuk membetot tangan-tangan yang menempel di tubuhnya. Mengerti?"
Cui Im
mengangguk dan mereka cepat menghampiri sebelas orang yang bergelut tanpa
bergerak sambil berdiri itu. Biauw Eng kemudian memutar sabuk sutera putihnya
ke atas hingga terdengar suara berdetak-detak, lalu kedua ujung sabuk itu
menyambar ke depan, tepat menotok pergelangan kedua tangan Keng Hong.
Dan pada
saat itu, selagi Keng Hong merasa seolah-olah kedua lengannya lumpuh dan saluran
hawa sakti yang membanjir ke tubuhnya terhenti, Cui Im sudah menggerakkan
cambuknya melibat tangan-tangan yang menempel pada tubuh Keng Hong lalu
membetot sekuatnya.
Dengan
menggunakan sabuk suteranya Biauw Eng juga melakukan hal sama sehingga dalam
beberapa saat saja sepuluh orang itu telah terjengkang roboh dan sambil
mengeluh mereka itu cepat duduk bersila lalu mengatur napas untuk memulihkan,
atau setidaknya mendapatkan sedikit tenaga sehingga mereka tidak roboh pingsan
terus tewas.
Keng Hong yang
sudah terlepas dari pada kebanjiran hawa sinkang, berdiri dengan tubuh
bergoyang-goyang seperti orang mabuk. Dia memang persis seperti orang mabuk
arak, bahkan ketika dia berjalan menghampiri Cui Im dan Biauw Eng, dia berjalan
dengan dua kaki diseret, seolah-olah kedua kakinya menjadi kaku dan kejang.
Kedua lengannya juga tergantung kaku di kanan kiri, matanya yang memandang dua
orang gadis itu dikejap-kejapkan karena dalam pandang matanya yang
berkunang-kunang, dua orang gadis itu kini berubah menjadi empat!
Keng Hong
mengusahakan diri untuk tersenyum dan mengucapkan terima kasih, namun senyumnya
berubah menjadi menyeringai menakutkan, dan pandangan matanya menjadi liar
sehingga Cui Im dan Biauw Eng yang amat lihai itu pun sampai mudur-mundur
akibat ketakutan!
"Heh-heh-heh,
terima kasih... terima kasih kepada Ji-wi Siocia (Nona Berdua) yang telah
membebaskan diriku dari... hemmm... lintah-lintah itu...!"
Biauw Eng
memandang tajam sambil berkata halus, "Keng Hong, kau simpanlah kembali
ilmumu menyedot sinkang itu."
Keng Hong
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak bisa... tidak bisa..., disimpan
bagai mana? Tubuhku terlalu penuh... dadaku terasa sakit, kepalaku mau
meledak..., tenaga ini, mendorong-dorongku... ahhh...!"
Keng Hong
memegangi kepalanya dan memejamkan kedua matanya. Ingin dia memukul, menendang,
ingin dia merobohkan apa saja, dan keinginan ini timbul secara serentak,
mendesak kepadanya menjadi seorang liar yang memuaskan nafsu untuk merobohkan
dan membunuh apa saja.
Enam belas
orang yang telah terluka semua itu, akan tetapi tidak ada yang tewas karena
kedua orang gadis itu memang tidak bermaksud membunuh mereka agar supaya jangan
mendatangkan bibit permusuhan, kini juga memandang ke arah Keng Hong dengan
mata terbelalak dan mulut ternganga.
Keadaan
pemuda itu memang menyeramkan. Tidak saja mukanya menjadi merah seperti udang
direbus, dan matanya jelalatan seperti mata setan, akan tetapi bahkan rambut di
kepalanya bagai berdiri satu-satu. Tanpa disadari dan dimengerti oleh Keng Hong
sendiri, setelah sekarang tidak ada sinkang orang lain yang membanjiri
tubuhnya, otomatis daya sedotnya lenyap dan kini sebaliknya berubah menjadi
daya serang yang amat luar biasa.
Memang
sebetulnya ketika Sin-jiu Kiam-ong mengoper sinkang-nya kepada Keng Hong, kakek
ini tak sempat lagi untuk memberi pelajaran tentang cara menguasai sinkang yang
kelebihan di dalam tubuh muridnya. Karena paksaan ini, terjadilah salah susunan
salah kerja sehingga sinkang yang membanjiri ke dalam tubuh pemuda itu menjadi
liar, ibarat ia ditampung tanpa ada pintu untuk memasukkan dan mengeluarkan,
datangnya membanjir secara liar.
Jika saja
Keng Hong telah dapat mengusai dirinya sendiri, tentu dia akan dapat mengatur
hingga hawa yang masuk dapat disesuaikan dengan tempatnya, dan dapat pula
mengatur bagaimana untuk membuka pintu dan menyalurkan sinkang dalam penggunaan
hawa itu sesuai dengan keperluannya.
Kini,
sesudah secara liar hawa sinkang membanjiri masuk, keadaannya menjadi terbalik.
Pintu masuk tertutup dan pintu keluar sukar dibuka apa bila tidak dipaksa
dengan pukulan dan tendangan, tidak dipaksa untuk bertanding! Maka hawa itu pun
mendesak-desak dan membuat tubuhnya seperti sebuah balon karet yang terlalu
penuh diisi hawa, siap untuk meletus setiap saat.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment