Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 06
Tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda. Belasan ekor kuda mendatangi dari depan menuju ke
tempat itu. Binatang-binatang itu adalah binatang tunggangan para murid ketiga
partai persilatan itu yang tadi meninggalkan kuda mereka di dalam hutan sebelah
agar mereka dapat mengepung kereta tanpa mengeluarkan suara.
Kini belasan
ekor kuda itu berlari-larian karena dikejutkan oleh serangan seekor harimau,
dan dalam keadaan panik belasan ekor kuda itu lari menerjang ke arah
orang-orang yang sedang terheran-heran memandang ke arah Keng Hong dengan mata
terbelalak.
Biar pun
mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi pada waktu
itu mereka sedang menderita luka bahkan sebagian besar tenaga sinkang-nya
hampir habis tersedot oleh Keng Hong. Maka kini menghadapi pasukan kuda yang
menerobos liar ini mereka tidak sempat untuk menghindarkan diri. Dan jangan
dianggap remeh rombongan kuda yang sedang panik dan ketakutan ini. Mereka akan
menerjang apa saja dan akan menginjak-nginjaknya sampai lumat!
Keng Hong
dapat melihat keadaan bahaya ini. Meski pun dia sedang tersiksa oleh hawa
sinkang yang memenuhi badannya, melihat keadaan bahaya mengancam orang-orang
itu, dia lalu cepat meloncat.
Tubuhnya
bagaikan sebuah bola karet penuh gas, begitu digerakkan lalu meluncur cepat
sekali menghadang rombongan kuda. Pemuda ini secara aneh sekali telah menjadi
buas dan ingin sekali menghancurkan atau menbunuh apa yang merintang di
depannya. Hal ini adalah disebabkan dorongan sinkang yang berlebihan itu
sehingga dia tersiksa dan ingin melampiaskan rasa marah yang timbul akibat
siksaan ini. Keadaannya itu tiada bedanya dengan seorang yang diserang sakit
gigi lalu menjadi marah-marah dan ingin mengamuk.
Maka kini
melihat betapa rombongan kuda itu mengancam keselamatan orang-orang yang
menderita luka akibat dirinya, dia lantas mendorong-dorongkan kedua lengan dan
kakinya sambil mengeluarkan seruan-seruan yang aneh bunyinya sebab suara ini
digerakkan oleh sinkang yang padat, yang dikeluarkan untuk mengimbangi
gerakan-gerakan pukulan dan tendangan itu.
Akibatnya
hebat sekali! Belasan ekor kuda itu bagaikan diamuk angin taufan, roboh dan
terbanting ke kanan kiri, lantas berkelojotan sambil mengeluarkan suara
meringkik-ringkik kesakitan. Di antara suara hiruk-pikuk ini, Keng Hong sudah
menerjang maju terus dan terdengarlah gerakan dahsyat.
Dalam waktu
beberapa menit saja, belasan ekor kuda sudah menggeletak tak bernapas lagi, dan
paling belakang nampak seekor harimau besar berkelojotan sekarat! Ada pun Keng
Hong sendiri berdiri tegak, mukanya penuh peluh, muka yang masih merah sekali
akan tetapi jalan pernapasannya sudah tenang dan kini wajahnya tidak beringas
seperti tadi, melainkan tenang, bahkan kelihatannya lega.
Memang kini
dadanya telah lapang, sinkang yang menggelora di dalam tubuhnya sudah dia salurkan
keluar melalui pukulan dan tendangan yang mengakibatkan tewasnya enam belas
ekor kuda ditambah seekor harimau besar!
Biauw Eng
dan Cui Im terbelalak, terpesona dan penuh kekaguman mereka memandang Keng
Hong. Kini mereka berdua maklum bahwa kalau Keng Hong menghendaki, pemuda itu
tentu dapat membebaskan diri dari mereka dan jika mereka menggunakan kekerasan,
mereka tidak akan dapat menangkap pemuda aneh itu.
Akan tetapi
pemuda itu tidak pernah melawan dan menurut saja menjadi orang tangkapan mereka
berdua! Teringat akan ini, Cui Im dan Biauw Eng bergidik.
Pada saat
itu, terjadilah hal yang sama dalam hati dua orang murid Lam-hai Sin-ni, yaitu
bahwa cinta kasih mereka jatuh terhadap Keng Hong! Cui Im yang telah berhasil
merayu Keng Hong sehingga pemuda yang mewarisi ilmu kepandaian juga mewarisi
pula sifat mendiang Sin-jiu Kiam-ong itu pernah melayaninya bermain cinta,
sekarang benar-benar menghedaki pemuda itu menjadi kekasihnya untuk selamanya.
Bukan hanya
karena Keng Hong seorang pemuda yang tampan dan gagah, pula seorang yang masih
jejaka sebelum bertemu dengannya, juga terutama sekali karena Keng Hong
mempunyai ilmu kepandaian mukjijat, di samping ini menjadi pewaris pusaka
peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Jika dia dapat memiliki pemuda ini sampai selamanya,
atau paling tidak sampai dia dapat mengoper semua ilmu dan pusaka itu, alangkah
akan senang hatinya!
Ada pun
perasaan cinta kasih yang mulai bersemi di hati Biauw Eng adalah cinta kasih
yang wajar dari seorang gadis yang selamanya belum pernah jatuh cinta pada
seorang pemuda yang amat menarik hatinya. Biauw Eng melihat adanya sifat luar
biasa pada diri Keng Hong, sifat kegagahan yang aneh dan sukar dicari keduanya.
Hatinya
jatuh, akan tetapi sesuai dengan sifatnya yang pendiam, dingin dan keras, tentu
saja tak ada sesuatu pun terbayang pada wajah atau pandang matanya, berbeda
dengan Cui Im yang memandang Keng Hong penuh nafsu menyala-nyala, yang
terbayang pada wajahnya yang menjadi kemerahan dan sinar matanya yang
bersinar-sinar.
Enam belas
orang anak-anak murid partai persilatan besar itu kini merasa putus harapan
untuk dapat merampas murid Sin-jiu Kiam-ong seperti yang mereka harapkan
semula, sesuai dengan tugas yang mereka terima dari guru-guru mereka. Tadinya
menghadapi dua orang murid Lam-hai Sin-ni, mereka masih mempunyai harapan untuk
berhasil.
Biar pun
mereka itu terdiri dari empat orang murid Hoa-san-pai, tiga orang murid
Siauw-lim-pai, dan sembilan orang murid Kong-thong-pai, namun karena semuanya
berasal dari partai-partai persilatan yang bersahabat, mereka sudah bersatu
untuk merampas Keng Hong agar semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dapat
ditemukan sehingga selain mereka dapat mengambil benda-benda pusaka yang dahulu
dicuri atau dirampas Sin-jiu Kiam-ong, juga mendapat bagian pusaka-pusaka lain
sebagai ‘bunganya’.
Akan tetapi
sesudah mereka menyaksikan betapa murid Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi tawanan
kedua orang murid Lam-hai Sin-ni itu turun tangan dan ternyata memiliki ilmu
yang mengerikan dan amat lihai seperti iblis sendiri, bahwa pemuda aneh itu
membantu dua orang nona yang menawannya, mereka pun kehilangan harapan untuk
melanjutkan perampasan dengan kekerasan.
Dengan hati
penuh kemarahan mereka berpendapat bahwa tentu murid Sin-jiu Kiam-ong ini
berwatak seperti mendiang gurunya dan kini tergila-gila kepada dua orang murid
iblis betina yang cantik itu sehingga malah membantunya.
"Omitohud...,
mendiang Sin-jiu Kiam-ong mempunyai dua sifat, yaitu sifat pendekar besar yang
gagah perkasa dan sifat kenakalan lain yang sangat buruk sehingga beliau
memiliki banyak musuh. Kini muridnya agaknya tidak mewarisi sifat yang baik itu
melainkan hanya mewarisi sifat buruknya!" berkata salah seorang di antara
tiga murid Siauw-lim-pai yang berpakaian pendeta dan berkepala gundul.
Keng Hong
tersenyum, akan tetapi hatinya panas. Gurunya adalah seorang yang amat dihormat
dan disayangnya, merupakan orang satu-satunya yang amat baik terhadapnya. Kini
gurunya sudah mati akan tetapi masih saja dipercakapkan orang! Ia lalu
memandang hwesio itu dan menjawab,
"Losuhu,
sudah jamak bahwa manusia itu mempunyai dua sifat, baik dan buruk. Baik dan
buruk yang hanya disebut mulut manusia dan menurutkan penilaian manusia pula,
tentu saja disesuaikan dengan sifat ingin enak sendiri. Bila menguntungkan bagi
dirinya disebut baik, yang merugikan disebut buruk. Aku tak akan menyangkal,
seperti juga suhu, bahwa aku pun tentu mempunyai sifat-sifat buruk selain
sifat-sifat baik. Setidaknya, orang-orang seperti mendiang suhu dan aku masih
mau berterus terang, mengakui kelemahan sendiri. Dan sebaliknya, Losuhu dan
anak murid Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang tergolong sebagai
pemeluk-pemeluk serta pemimpin agama yang memiliki kewajiban membimbing manusia
ke arah kebaikan. Sekarang Sam-wi Losuhu (Bapak Pendeta Bertiga) bukan membawa
kitab suci untuk meberi wejangan, tapi sebaliknya membawa-bawa toya untuk
menghantam dan membunuh orang! Apakah pakaian pendeta serta dibuangnya rambut
kepala itu hanya untuk kedok belaka?"
"Omitohud...!
Juga mulutnya jahat seperti gurunya!" teriak pendeta Siauw-lim-pai ke dua.
Cui Im
tertawa hingga terkekeh-kekeh sambil bertepuk tangan. "Bagus sekali, Keng
Hong! Memang mereka itu monyet-monyet berbulu berkedok ular! Kepalanya gundul
akan tetapi hatinya berbulu, hi-hi-hik!"
Wajah Keng
Hong menjadi merah. Ucapan dan sikap Cui Im tak menyenangkan hatinya. Dia tadi
mengeluarkan ucapan dari hatinya untuk membela gurunya, bukan seperti Cui Im
yang semata-mata mengejek. Maka dia segera menjura kepada tiga orang hwesio itu
dan berkata,
"Aku
tahu bahwa mendiang suhu mempunyai hutang kitab-kitab Seng-to Cin-keng dan
I-kiong Hoan-hiat kepada Siauw-lim-pai. Aku berjanji, bila kelak aku berhasil
mendapatkan kitab-kitab itu, pada suatu hari aku akan mengembalikannya kepada
Siauw-lim-pai."
Tiga orang
hwesio itu hanya mendengus dan seorang di antara mereka berkata, "Pinceng
bertiga hanya memikul tugas, kesemuanya akan pinceng laporkan kepada
suhu." Setelah berkata demikian, mereka lalu membalikkan tubuh dan
melangkah pergi dengan kepala tunduk.
"Ihhh,
kenapa begitu bodoh, Keng Hong? Dari pada kedua kitab penting itu diserahkan
kepada setan-setan gundul itu, lebih baik kau berikan kepadaku!" kata Cui
Im pula dengan sikap genit, sama sekali tidak peduli bahwa di sana masih ada
tiga belas orang lain. Dia sama sekali tidak menyembunyikan sikapnya yang
terang-terangan merayu pemuda itu dengan senyum bibir dan kerling mata memikat.
Salah
seorang murid Hoa-san-pai, yakni wanita cantik yang berbaju hijau, melihat ini
lalu mengeluarkan suara mendengus tanda jijik dan berkata, "Murid Sin-jiu
Kiam-ong memang tidak ada bedanya dengan gurunya! Gurunya laki-laki cabul
muridnya mana bisa berhati bersih? Kalau dia ini seorang bersih dan gagah,
tentu menginsyafi kebiadaban gurunya terhadap Hoa-san-pai, sedikitnya tentu
akan mengembalikan pedang pusaka Hoa-san-pai yang telah dicurinya. Akan tetapi,
ia malah bersahabat dengan murid iblis betina Lam-hai Sin-ni. Mengharapkan apa
lagi? Burung gagak tak akan berkawan dengan burung hong, orang jahat tentu
memilih kawan kaum sesat! Lebih baik kita pergi dan melaporkan hal ini kepada
suhu!"
Jika saja
murid perempuan Hoa-san-pai itu hanya memaki-makinya, Keng Hong tentu tak akan
mengambil pusing. Akan tetapi gadis itu juga membawa-bawa nama gurunya, malah
memaki-maki gurunya. Keng Hong memandang dengan mata marah, lalu dia tersenyum
sindir dan berkata,
"Nona
yang baik, kalau aku tidak salah sangka, bibi atau bibi tuamu yang bernama Cui
Bi dan yang lari dari Hoa-san-pai karena cintanya kepada mendiang suhu, tentu
jauh lebih manis dari padamu, baik mukanya mau pun budinya! Kalau tidak begitu,
mana suhu mau membalas cintanya? Tentang pedang Hoa-san-pai, jangan khawatir,
apa bila aku berhasil mendapatkannya, pasti kukirim kembali ke Hoa-san-pai! Aku
bersahabat dengan siapa pun juga, adalah hak kebebasanku dan tentang kaum
bersih dan kaum sesat, aku tidak tahu. Yang kutahu bahwa engkau pun kurasa
tidak begitu jijik untuk bercinta, buktinya pinggulku yang tidak tertutup ini
masih terasa panas karena kau pegang-pegang dengan telapak tanganmu yang halus.
Nah, kini mukamu menjadi merah. Semua orang melihat belaka betapa tadi engkau
memegang-megang pinggulku. Hayo katakan, mau apa kau pegang-pegang pinggul
orang?"
"Cih,
laki-laki cabul...!" Wanita murid Hoa-san-pai itu menjerit lalu membalikkan
tubuhnya dan lari, diikuti oleh tiga orang suheng-suheng-nya.
"Heh-heh-hi-hi-hik,
mulutmu benar lihai sekali!" Cui Im kembali bertepuk tangan, bahkan Biauw
Eng juga tersenyum sedikit, akan tetapi alisnya yang hitam melengkung panjang
itu berkerut. Terlalu tajam mulut pemuda ini, pikirnya.
Kini
tinggallah sembilan orang anggota Kong-thong-pai dan mereka itu merasa
ragu-ragu untuk membuka mulut, karena mendapat kenyataan bahwa selain ilmunya
tinggi, pemuda itu mulutnya juga lihai sekali. Melihat keadaan mereka, Keng
Hong sudah mendahului dengan ucapan yang serius.
"Cui-wi
enghiong adalah orang-orang gagah dari Kong-thong-pai yang tentu saja memiliki
pandangan luas. Seperti Cu-wi tentu telah mendengar penuturan orang-orang tua,
urusan yang timbul di antara mendiang suhu dengan Kong-thong-pai adalah karena
dahulu suhu pernah menewaskan lima orang anak murid Kong-thong-pai. Sebab dari
pada bentrokan itu adalah karena kedua pihak berbantahan dalam sebuah rumah
judi, sehingga urusan itu adalah urusan pribadi yang tidak menyangkut
perkumpulan. Apa lagi jika diingat bahwa suhu telah meninggal dunia, begitu
pula lima orang anggota Kong-thong-pai itu. Setelah kedua pihak yang bermusuhan
sudah tewas semua, apakah kita yang tidak tahu apa-apa harus terseret ke dalam
permusuhan? Apakah yang kita perebutkan?"
Para murid
Kong-thong-pai dapat mengerti alasan ini. Diam-diam mereka ini kagum juga
mendengar ucapan Keng Hong yang mengandung pendapat yang dalam dan pandangan
yang luas.
Akan tetapi,
karena mereka itu seperti juga yang lainnya hanyalah merupakan
pelaksana-pelaksana tugas, maka seorang tosu yang tertua di antara mereka
segera berkata,
"Persoalannya
tidaklah begitu sederhana, orang muda. Pula, kami hanyalah murid-murid yang
melaksanakan perintah guru..."
"Hemm,
agaknya Kong-thong Ngo-lojin yang sudah menurunkan perintah. Baiklah, kalau
begitu harap Cu-wi sampaikan kepada Kong-thong Ngo-lojin bahwa kalau mereka
tetap menginginkan barang-barang pusaka peninggalan suhu, suruh saja mereka
pergi mencari sendiri karena hal itu merupakan keinginan pribadi kenapa harus
membawa-bawa nama perkumpulan? Di dunia ini betapa banyaknya manusia-manusia
yang sebetulnya memiliki cita-cita untuk kepentingan pribadi akan tetapi
mempergunakan kedok demi perkumpulan, mempergunakan anak buah dan para murid
untuk berjuang demi perkumpulan, padahal sesungguhnya yang menjadi pamrih
adalah kepentingan dan kesenangan pribadi!"
Sembilan
orang anak murid Kong-thong-pai itu marah sekali karena nama baik guru-guru
mereka dicela terang-terangan oleh pemuda yang masih ingusan ini. Akan tetapi
karena mereka mengerti bahwa melawan tak akan ada gunanya, mereka lalu
membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan tempat itu sambil membantu kawan-kawan
mereka yang terluka.
"Bagus…
bagus, Keng Hong! Engkau telah memberi tamparan dengan kata-kata kepada
orang-orang yang mengaku sebagai golongan pendekar-pendekar itu, golongan suci,
dan golongan bersih, hi-hi-hik!" Cui Im berkata girang sambil merangkul
pundak pemuda itu dengan sikap manja memikat.
"Cukup,
Suci! Kita lanjutkan perjalanan!" terdengar Biauw Eng berkata, suaranya
dingin dan sikapnya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
"Kereta
sudah hancur oleh setan-setan itu, semua kuda binasa oleh Keng Hong. Wah, kita
harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, padahal masih amat jauh!"
kata Cui Im dengan wajah jengkel. Akan tetapi gadis ini lalu tertawa memandang
Keng Hong.
"Keng
Hong, perjalanan masih jauh dan kita harus berjalan kaki. Menggunakan ilmu lari
cepat memang tidak kalah dengan berkuda atau berkereta, akan tetapi amat
melelahkan. Bagaimana kalau kita saling gendong? Bergantian, kan enak? Kalau
sumoi mau, biarlah aku mengalah dan kau lebih dulu menggendong sumoi..."
"Suci,
diam! Bukan waktunya untuk main-main!" bentak Biauw Eng dengan suara
dingin dan ketus sehingga Cui Im tidak berani lagi membuka mulut.
"Nona
berdua tak perlu repot-repot karena perjalanan bersama kita hanya sampai di
sini. Aku tidak dapat menemani kalian lebih lama lagi," kata Keng Hong
dengan suara tenang. "Sudah cukup aku mendatangkan kerepotan dan bahaya
kepada kalian, karena aku tahu bahwa selama nona berdua melakukan perjalanan
bersamaku, tentu akan menghadapi bahaya serangan orang-orang kang-ouw yang kini
seolah-olah memperebutkan aku."
"Ahhh...!"
Cui Im mengeluarkan suara kecewa dan lenyap pula sikap gadis ini yang manis
tadi, bahkan tangan kanannya bergerak mencabut pedangnya.
"Cia
Keng Hong, engkau harus ikut bersama kami dan menghadap ibuku, Lam-hai Sin-ni,
mau atau tidak, hidup atau mati!" Suara Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng
terdengar tegas dan mengandung ancaman yang mengerikan.
Berbeda
dengan Cui Im yang sudah mencabut pedangnya, gadis berbaju putih ini masih
berdiri tenang, belum mengeluarkan senjata, bahkan sikapnya masih biasa, hanya
kedua matanya yang mengeluarkan sinar penuh ancaman maut.
Keng Hong
menggelengkan kepalanya. "Tadinya memang aku berniat untuk menghadap
Lam-hai Sin-ni dan niat itu terdorong oleh rasa terima kasihku terhadap
Sie-siocia yang telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman pedang Cui Im. Akan
tetapi, tadi pada saat nona dikeroyok, aku sudah membantumu dan berarti aku
sudah pula menyelamatkanmu, dengan demikian hutangku telah kubayar lunas.
Karena itu, kini aku telah bebas dan aku tidak berniat lagi untuk ikut bersama
Ji-wi menghadap Lam-hai-Sin-ni!"
Setelah
berkata demikian, Keng Hong mengangkat tangan ke depan dada dan memberi hormat,
kemudian membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan dua orang gadis
yang tertegun penuh kekecewaan.
"Keng
Hong, pertama-tama kau mempermainkan aku, kini berani mempermainkan sumoi! Kau
kira kami tak mampu menawanmu dengan kekerasan?" terdengar Cui Im
membentak dan sinar merah berkelebat ketika gadis ini menerjang Keng Hong dari
belakang.
Pengalaman-pengalaman
pahit telah membuat Keng Hong berhati-hati sekali menghadapi Cui Im. Mendengar
desing senjata yang menyerangnya, Keng Hong cepat memiringkan tubuh sehingga
sinar merah meluncur lewat di samping lehernya, kemudian mengangkat tangannya
yang dikibaskan ke arah pedang dan tangan yang memegang pedang.
Hawa pukulan
yang amat kuat mendorong pedang dan tangan Cui Im dari bawah. Gadis itu maklum
akan lihainya tangan Keng Hong, cepat menarik tangannya namun masih saja
tangannya terdorong ke samping begitu kerasnya sehingga tubuhnya ikut terdorong
dan hampir dia terpelanting kalau tidak cepat meloncat menjauhi Keng Hong ke
sebelah kiri.
"Kau
tahu, aku tak ingin bermusuhan denganmu, Cui Im," kata Keng Hong.
"Harap kalian suka membiarkan aku pergi."
Akan tetapi
dengan muka merah karena marahnya, Cui Im sudah siap menerjang lagi. Sekarang
tangan kirinya mencabut keluar sehelai sapu tangan merah, sapu tangan yang
mengandung bubuk beracun dan yang pernah merobohkan Keng Hong.
Sambil
berteriak keras Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im maju menerjang lagi, pedangnya
diputar menjadi sinar pedang merah bergulung-gulung seperti seorang penari
selendang sutera merah, kemudian ia menerjang Keng Hong dengan bacokan
bertubi-tubi mengikuti perputaran pedang.
Keng Hong
sudah siap dan waspada karena maklum bahwa bahaya besar mengancam dirinya,
bukan dari pedang itu melainkan terutama sekali dari sapu tangan merah. Maka
dia segera menghindarkan diri dari terjangan pedang itu dengan meloncat cepat
ke kanan.
Cui Im sudah
menduga akan hal ini, bahkan sudah siap-siap. Begitu tubuh Keng Hong berkelebat
ke kanan, tangan kirinya langsung bergerak dan tiga batang jarum menyambar dari
dalam sapu tangannya ke arah sepasang mata dan tenggorokan Keng Hong.
Pemuda yang
berilmu tinggi tetapi belum banyak pengalamannya dalam pertandingan ini
terkejut, cepat merendahkan tubuhnya setengah berjongkok sambil mengibaskan
tangan kirinya ke atas sehingga tiga batang jarum itu terlempar entah ke mana.
Akan tetapi pada saat yang memang sengaja diciptakan Cui Im ini, sinar merah
dari sapu tangan sudah menyambar ke arah muka Keng Hong, didahului oleh asap
kemerahan dari bubuk racun berwarna merah.
Semenjak
menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong, Keng Hong setiap hari diberi minuman racun
sedikit demi sedikit oleh Kiam-ong sehingga dari mulut sampai ke perutnya, Keng
Hong mengenal segala macam racun, bahkan sudah menjadi kebal. Akan tetapi dia
tidak kebal jika menghadapi hawa beracun berupa asap atau bubuk yang tersedot
melalui hidung dan menyerang paru-paru.
Pengalamannya
ketika dia roboh oleh racun sapu tangan merah itu membuat dia menjadi waspada.
Walau pun saat itu dia baru saja lolos dari cengkeraman maut yang dibawa
jarum-jarum itu sedangkan posisi tubuhnya setengah berjongkok sehingga sukar
baginya untuk mengelak, dia masih ingat akan bahaya ini.
Maka dia
telah menyedot napas dalam-dalam kemudian menutup saluran pernapasannya dan
begitu gadis itu menubruk sambil mengebutkan sapu tangan ke arah mukanya, dia
meniup ke arah sapu tangan itu dengan pengerahan tenaga lweekang. Sapu tangan
itu tiba-tiba saja membalik ke arah Cui Im sendiri tanpa mampu dicegah lagi
oleh gadis ini yang menjadi terkejut dan menjerit.
Tentu saja
dia sudah memakai obat penawar sehingga sapu tangannya itu takkan dapat
meracuninya. Akan tetapi karena sapu tangannya itu secara tiba-tiba menyerang
ke arah mukanya, sejenak dia tidak dapat melihat apa-apa dan tiba-tiba dia
merasa pergelangan tangan kanannya terasa nyeri sekali sampai menjadi lumpuh
dan pedangnya terlepas dari pegangan. Ternyata pergelangan tangan kanannya
sudah kena disentil oleh telunjuk kiri Keng Hong.
Melihat
betapa dia berhasil membuat gadis yang ganas itu sementara ini tidak berdaya,
Keng Hong cepat meloncat untuk lari pergi dari sana. Akan tetapi selagi
tubuhnya masih melayang di udara, tiba-tiba kaki kirinya dilibat oleh sesuatu,
kemudian kakinya tertarik ke belakang sehingga tanpa dapat dia cegah lagi
tubuhnya terjungkal lantas terbanting jatuh ke atas tanah!
Keng Hong
cepat meloncat bangun dan seperti yang sudah dia duga, Biauw Eng sudah berdiri
di hadapannya dengan senjatanya yang aneh, yaitu sabuk sutera putih yang kini
ujungnya telah melibat kaki kirinya seperti ekor ular. Biauw Eng mengerahkan
tenaganya menarik lagi untuk membuat Keng Hong terjungkal, akan tetapi pemuda
itu juga sudah mengerahkan tenaga ke kaki kirinya sehingga biar pun gadis yang
lihai itu membetot-betot, sedikit pun tubuhnya tidak bergeming!
Biauw Eng
menjebikan bibirnya dan mendengus. Sabuk yang melibat kaki itu mendadak saja
terlepas dan sinar putih berkelebat ketika ujung sabuk itu bagaikan bernyawa
sudah meluncur dengan kecepatan mengagumkan, kini menyerang seperti ular
mematuk ke arah mata Keng Hong!
Pemuda ini
kaget sekali. Cepat dia miringkan kepala dan berusaha untuk mencengkeram sinar
putih itu. Akan tetapi ujung sabuk putih itu amat cepat gerakannya, tahu-tahu
telah meluncur ke bawah dan tanpa dapat dielakkan lagi oleh Keng Hong, ujung
sabuk itu telah menotok jalan darahnya di tiga bagian secara bertubi-tubi.
Sungguh
lihai nona itu, gerakan sabuknya amat cepat sehingga dalam waktu sedetik saja
ujung sabuk telah menotok jalan darah di kedua pundak disusul totokan di atas
ulu hati! Bila hanya pendekar biasa saja yang terkena totokan berantai itu,
yang dilakukan dengan cepat dan keras karena tenaga lweekang tersalur melalui
sabuk membuat ujung sabuk menjadi kaku, tentu roboh lemas tak mampu berkutik
lagi.
Untung bagi
Keng Hong bahwa sungguh pun suhu-nya belum cukup menggemblengnya dengan
ilmu-ilmu silat tinggi, namun pemuda ini mempunyai sumber tenaga sinkang yang
sangat kuat sehingga begitu tubuhnya disentuh pengaruh dari luar, otomatis
sinkang-nya bergerak dan pergerakan hawa sakti ini cepatnya melebihi segala
macam gerakan yang dapat dilakukan manusia, maka totokan-totokan itu sedikit
pun tidak mempengaruhi jalan darah di tubuh Keng Hong, bahkan hampir tak terasa
olehnya.
Sebaliknya,
tangan Biauw Eng yang memegang sabuknya tergetar hebat karena tenaga
totokan-totokan itu membalik dan menyerang tangannya sendiri! Namun Biauw Eng
yang merasa penasaran itu menerjang terus, kini dia memegang cambuknya di
bagian tengah sehingga cambuk itu bergerak-gerak sedemikian rupa, kedua
ujungnya menyerang cepat dan seolah-olah telah berubah menjadi ratusan
banyaknya.
Hebatnya,
kini ujung cambuk tidak lagi menotok jalan-jalan darah yang diketahui gadis itu
takkan ada hasilnya, melainkan menotok ke arah bagian-bagian berbahaya seperti
kedua mata, telinga, tenggorokan, pusar dan bawah pusar, pergelangan tangan,
siku, dan lutut.
Tentu saja
Keng Hong menjadi sibuk sekali. Selain mengelak ke sana ke mari juga dia
mengibaskan dua tangannya untuk menghalau sinar putih yang mengeroyoknya secara
hebat itu. Selagi dia terdesak, tampak sinar merah berkelebat dan kiranya Cui
Im sudah pula membantu sumoi-nya!
"Cia
Keng Hong, menyerahlah kalau tak ingin kami seret ke depan subo sebagai
mayat!" bentak Cui Im yang di dalam hatinya masih merasa sayang kalau
seorang pria seperti Keng Hong harus mati.
Akan tetapi
kesempatan itu dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat jauh hendak melarikan
diri. Sesungguhnya, kalau pemuda ini menggunakan ginkang-nya, biar pun dua
orang murid Lam-hai Sin-ni itu dapat bergerak cepat, mereka masih tidak akan
mampu mengimbangi ginkang yang dimiliki Keng Hong.
Akan tetapi
karena mereka itu pandai menggunakan senjata rahasia, mereka mengejar sambil
terus menyerang Keng Hong dengan senjata rahasia ini. Cui Im menghujankan
jarum-jarum beracun, bahkan meledakkan bola-bola peledak yang mengeluarkan asap
hitam akan tetapi kini tak dapat mempengaruhi Keng Hong yang sudah menahan
napas. Ada pun Biauw Eng menyerang dari belakang dengan senjata rahasia tusuk
konde perak yang kepalanya berukiran bunga bwee.
Mendengar
desir angin senjata-senjata rahasia ini, Keng Hong cepat-cepat mengelak dan
mengibaskan kedua tangannya sambil membalik sehingga semua senjata rahasia
runtuh oleh angin yang menyambar dari dua tangannya. Karena itu tentu saja
larinya terlambat dan dua orang gadis itu sudah menerjangnya lagi dengan
dahsyat.
Keng Hong
menjadi repot sekali setelah sinar merah pedang Cui Im menyambar-nyambar di
antara sinar putih sabuk Biauw Eng yang berkelebatan membentuk
lingkaran-lingkaran maut. Dalam keadaan terdesak timbul marahnya.
Tadinya dia
tidak mau membalas karena dia tidak tega untuk melukai dua orang gadis itu,
terutama sekali Biauw Eng yang dalam pandangannya merupakan seorang gadis
remaja yang selain cantik jelita dan tidak genit seperti Cui Im, namun juga
telah menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi setelah sekarang didesak hebat
sekali, mau tidak mau dia harus membela diri.
Untuk
menggunakan sinkang-nya yang luar biasa, yaitu menggunakan daya sedot yang
telah mengalahkan banyak orang pandai, di samping tidak tega juga dia tidak
mempunyai kesempatan. Dua orang gadis berilmu tinggi ini agaknya maklum akan
ilmu yang mukjijat itu dan mereka tidak pernah mendekatkan diri, tidak pernah
memberi kesempatan untuk ditangkap oleh tangan pemuda yang mempunyai ilmu
mukjijat, melainkan menyerang dari jarak jauh mengandalkan panjangnya senjata
mereka.
Tiba-tiba
lingkaran sinar putih itu berkelebat menyambar ke arah kedua matanya, bukan
hanya dengan satu kali totokan, melainkan secara bertubi-tubi sehingga repotlah
Keng Hong harus mengelak ke kanan kiri dan ke belakang. Pada waktu pandangan
matanya menjadi silau dan kabur, dia mendengar desing pedang Cui Im mengarah
lambungnya.
Cepat dia
miringkan tubuh, namun pedang itu mengejarnya dan merobek celana berikut kulit
dan sedikit daging pahanya. Darah mengalir dan Keng Hong menjadi marah sekali.
Sambil mengeluarkan gerengan dahsyat, tangannya meraih ke arah pedang yang
tajam.
Tangannya
berhasil mencengkeram pedang dan sekali renggut pedang itu telah berpindah
tangan! Kemudian dia melempar pedang itu jauh-jauh dan sekarang kembali
tangannya mencengkeram ke arah sinar putih, dan berhasil pula menangkap sabuk
sutera itu lantas dia mengerahkan tenaganya merenggut.
Akan tetapi
Biauw Eng mempertahankan sabuknya dan akibatnya tubuh gadis ini terbawa oleh
tenaga renggutan yang amat kuat, tubuhnya terangkat ke udara. Keng Hong
terkejut dan melepaskan sabuk itu dan hal ini malah mengakibatkan seolah-olah
tubuh gadis itu dilempar ke atas.
Cui Im
berteriak ngeri melihat tubuh sumoi-nya terlempar ke atas seperti itu. Juga
Keng Hong terbelalak memandang, namun dia lantas bernapas lega dan dengan penuh
kagum dia mengikuti gerakan gadis baju putih itu.
Meski pun
tubuhnya terlempar dengan cepat sekali, ternyata Biauw Eng tidak kehilangan
akal. Di atas udara, tubuhnya dapat berjungkir balik dan sabuk di tangannya
menyambar ke depan, ujungnya mengait dan membelit dahan pohon sehingga tubuhnya
tergantung dan luncuran itu patah. Kemudian dengan ringan ia meloncat turun
membawa sabuknya, bukan hanya meloncat biasa, melainkan meloncat sambil
menyerang Keng Hong dengan sambaran sabuk putih.
Juga Cui Im
yang menjadi lega melihat sumoi-nya selamat, sudah menyerang lagi, bukan dengan
senjata tajam sebab pedangnya telah dilempar entah ke mana, melainkan dengan
cengkeraman-cengkeraman tangan yang menangkap pemuda itu diseling
cengkeraman-cengkeraman ke arah bagian tubuh yang lemah.
Keng Hong
menjadi gemas. Kedua orang gadis ini benar-benar keras kepala dan sudah nekat
sekali. Sesudah dia meloncat mundur dan melihat dua orang gadis itu terus maju
menerjangnya, dia mengeluarkan pekik yang melengking nyaring terbawa oleh
sinkang yang terdorong hawa marah.
Tubuhnya
sudah mencelat ke atas dan dari angkasa dia menggerakkan kaki tangannya yang
bertubi-tubi menyerang ke depan, menimbulkan hawa pukulan yang amat kuat dan
menyerang dua orang gadis itu dari kanan kiri, atas dan bawah. Inilah jurus
yang terakhir atau jurus ke delapan dari ilmu pukulan San-in Kun-hoat yang
hanya terdiri dari delapan jurus itu.
Biar pun
hanya terdiri dari delapan jurus, namun ilmu silat yang kelihatannya sederhana
ini merupakan gerakan-gerakan inti sari dari ilmu silat tinggi, sebab itu jurus
yang disebut jurus In-keng Hong-wi (Awan Menggetarkan Angin Hujan) ini amatlah
hebatnya sehingga pernah Kiang Tojin tokoh Kun-lun-pai yang amat sakti itu
sendiri menjadi gelagapan dan kelabakan menghadapi jurus ini. Selain jurusnya
yang sangat hebat, yaitu dilakukan dari udara dengan terjangan dua pasang kaki
dan tangan yang digerakkan secara bertubi-tubi, juga terutama sekali karena
kedua tangan dan kedua kaki Keng Hong itu mengandung hawa sakti yang amat kuat.
Dua orang
murid Lam-hai Sin-ni itu merupakan orang-orang yang lihai, terutama sekali
Biauw Eng. Menghadapi serangan yang tiba-tiba dilakukan Keng Hong ini, mereka
tidak gentar, akan tetapi juga tak berani menangkis, melainkan menggunakan
kegesitan tubuh mereka mengelak. Akan tetapi alangkah kaget hati kedua orang
gadis itu ketika mereka mengelak, mereka bertemu dengan angin pukulan dari
mana-mana, seolah-olah gerakan serangan Keng Hong ini mendatangkan semacam
angin berpusingan yang datang dari sekitar mereka.
"Aihhh...!"
Cui Im sudah menjerit dan tubuhnya terpelanting seperti tersedot angin ke arah
Keng Hong, ada pun Biauw Eng berusaha menahan hingga tubuhnya terhuyung-huyung,
juga mendekati Keng Hong.
Kalau saja
pemuda itu melanjutkan pukulan dan tendangannya, kedua orang gadis yang
mendekat itu sudah berada di dalam jarak jangkauannya. Akan tetapi tiba-tiba
Keng Hong mendengus dan menarik kembali kaki tangannya, lalu mengenjot tubuh
dan lari menjauh tanpa menoleh lagi.
Akan tetapi
Cui Im dan terutama sekali Biauw Eng bukan gadis-gadis yang mudah putus asa.
Sama sekali tidak. Semenjak kecil mereka dilatih untuk bersikap berani dan
pantang mundur, kalau perlu mengejar cita-cita dengan taruhan nyawa.
Kini melihat
betapa pemuda yang tadinya sudah menjadi tawanan mereka itu hendak lari
meloloskan diri, mereka menjadi penasaran sekali dan hanya sebentar saja mereka
tadi tertegun dan terkesima menyaksikan kehebatan jurus yang hebat dari pemuda
itu. Tetapi setelah Keng Hong lari, keduanya segera mengejar dan kembali mereka
menghujankan senjata rahasia mereka.
Keng Hong
tidak mengelak, juga tidak menangkis karena pada saat pemuda itu hendak
menggerakkan tubuhnya, tiba-tiba pemuda itu merasa tubuhnya menjadi kaku tak
dapat digerakkan, tanda bahwa jalan darahnya tertotok secara hebat sekali. Hal
ini dapat terjadi karena dia hanya memusatkan perhatian di sebelah belakang
karena dia tahu bahwa dua orang gadis nekat itu mengejarnya. Ia tadi hanya
melihat bayangan berkelebat dekat dan tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku tertotok!
Andai kata dia tadi tahu akan serangan luar biasa ini dan mengerahkan sinkang,
kiranya takkan mudah dia tertotok.
Keanehan
yang terjadi pada diri Keng Hong ini terlihat oleh dua orang gadis pengejarnya
itu dalam keadaan lain. Mereka hanya melihat Keng Hong diam tak bergerak, juga
tidak mengelakkan serangan senjata-senjata rahasia itu sehingga mereka sendiri
menjadi amat terkejut dan mengira bahwa tentu pemuda itu tewas akibat
penyerangan senjata-senjata rahasia mereka yang beracun dan lihai.
Akan tetapi
tiba-tiba mata mereka terbelalak karena tahu-tahu di belakang Keng Hong muncul
seorang nenek dan semua senjata rahasia itu runtuh oleh kebutan rambut kepala
nenek itu yang digerakkan ke depan! Nenek itu tertawa-tawa, seorang nenek yang
sangat menyeramkan.
Usia nenek
ini tentu tak kurang dari delapan puluh tahun, namun mukanya merah seperti
berlumur darah. Giginya besar-besar, rambut kepalanya riap-riap dan panjang.
Mukanya yang buruk menakutkan itu sangat tidak sesuai dengan tubuhnya. Biar pun
tubuh seorang nenek-nenek, namun pakaian sutera hitam itu mencetak bentuk tubuh
yang masih padat dengan sepasang buah dada yang besar!
"Bibi
Ang-bin Kwi-bo...!" Bhe Cui Im berseru kaget dan cepat-cepat membungkuk
penuh hormat.
Dalam
kalangan kaum sesat, sebutan untuk mereka yang lebih tinggi kedudukannya tidak
digunakan ucapan menghormat atau sungkan, maka Cui Im biar pun kelihatan
takut-takut dan menghormati nenek ini, tetap saja dia tidak segan-segan
menyebut julukan nenek itu yang tidak sedap, yaitu Ang-bin Kwi-bo (Hantu Wanita
Bermuka Merah).
"Hi-hi-hik!
Kalian murid-murid Lam-hai Sin-ni betul-betul tidak memalukan menjadi murid
orang pandai. Karena aku melihat kalian berhasil menemukan bocah ini akan
tetapi tidak berhasil menguasainya, maka biarlah kalian serahkan bocah ini
kepadaku dan sebagai upah jerih payah kalian yang sudah dapat menemukannya,
biarlah aku tidak membunuh kalian dan kalian boleh pergi dengan aman!"
Ucapan
seperti ini bagi telinga Keng Hong merupakan ucapan yang terlalu bocengli dan
mau mencari enak perutnya sendiri. Akan tetapi bagi dua orang gadis itu tidak
aneh oleh karena mereka sendiri pun sejak kecil dididik untuk membawa pendapat
sendiri tanpa peduli akan kesopanan dan keadilan umum. Pendeknya, yang benar
bagi mereka adalah apa bila setiap tindakan ditujukan untuk keuntungan diri
pribadi. Karena itu, ucapan nenek ini pun tidak mereka anggap bocengli, bahkan
sudah wajar!
Cui Im sudah
mengenal betapa saktinya Ang-bin Kwi-bo yang merupakan salah seorang di antara
Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding), setingkat dengan gurunya. Karena itu
dia tidak berani menentang dan hanya menundukkan muka tanda menyerah.
Akan tetapi
sikapnya berbeda dengan Biauw Eng. Gadis ini adalah puteri Lam-hai Sin-ni, dan
karena tugas yang sedang dilaksanakan ini adalah perintah ibunya, maka tentu
saja mengandalkan nama besar ibunya dia tidak mau mengalah dan mempertahankan
haknya sebagai orang yang menahan Keng Hong.
"Menyesal
sekali bahwa terpaksa saya tidak dapat memenuhi kehendak bibi itu, karena tugas
ini perintah dari ibu sehingga terpaksa saya harus mempertahankan hak saya atas
diri murid Sin-jiu Kiam-ong yang telah kami tawan."
Mendengar
ini, Ang-bin Kwi-bo menjadi tercengang dan fia memandang gadis baju putih itu penuh
perhatian. Kemudian dia tertawa terkekeh dan berkata, "Eh, kiranya engkau
ini puteri Lam-hai Sin-ni? Engkaukah yang membuat nama besar dengan julukan
Song-bun Siu-li itu?"
"Benar,
bibi. sayalah Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng."
"Hi-hi-hik!
Engkau berani melawan aku?"
"Saya
harus tahu diri dan saya pun maklum bahwa bibi bukanlah lawan saya. Seharusnya
saya takut melawan bibi, namun saya lebih takut menghadapi ibu kalau saya
melalaikan tugas yang diperintahkannya."
"Bagus!
Kalau begitu, biarlah kita menggunakan hak seorang pemenang dan mari kita lihat
siapa di antara kita yang akan menang dan juga berhak atas diri bocah
ini!" Sambil berkata demikian, Ang-bin Kwi-bo telah meloncat ke depan
menghadapi Biauw Eng yang sudah siap pula dengan senjatanya.
Gadis ini
bersikap hati-hati sekali karena dia cukup maklum bahwa dia menghadapi lawan
yang jauh lebih tinggi tingkatnya. Akan tetapi sedikit pun tidak terbayang rasa
gentar pada wajahnya yang cantik namun dingin itu.
"Hi-hi-hik
lumayan juga engkau! Agaknya sudah cukup matang sehingga maklum bahwa yang diam
lebih kuat dari pada yang bergerak, yang diserang lebih untung dari pada yang
menyerang. Biarlah kau jaga seranganku!"
Ucapan
Ang-bin kwi-bo ini memang berlaku bagi dua orang lawan yang kepandaiannya
setingkat, karena dalam ilmu silat, yang diam itu lebih waspada sedangkan si
penyerang selalu membuka lubang untuk dirinya sendiri dan serangannya membuat
kedudukannya agak lemah.
Namun
tingkat kepandaian Ang-bin Kwi-bo jauh lebih tinggi dari pada tingkat
kepandaian Sie Biauw Eng. Gadis ini paling banyak baru mampu mewarisi setengah
dari kepandaian ibunya. Berdasarkan tingkat kepandaian, Lam-hai Sin-ni memang
merupakan orang paling pandai di antara empat tokoh datuk sesat, namun tidak banyak
selisihnya.
Biar pun
Ang-bin Kwi-bo menyatakan hendak menyerang, akan tetapi kedua kakinya tidak
bergerak maju, juga kedua tangannya tidak bergerak. Yang bergerak hanya
kepalanya karena ia menggunakan rambutnya yang riap-riapan itu untuk menyerang!
Memang yang
menyambar hanya rambut kepala itu, akan tetapi Biauw Eng yang lihai itu sama
sekali tak berani menangkis, maklum bahwa senjata rambut ini merupakan senjata
keistimewaan Ang-bin Kwi-bo dan bahwa rambut-rambut halus itu kalau digunakan
oleh Ang-bin Kwi-bo berubah menjadi rambut-rambut yang kaku kuat melebihi baja!
Biauw Eng
mengelak dengan loncatan ringan ke kiri, kemudian sekali pergelangan lengan
tangannya bergerak, cahaya putih sabuknya sudah meluncur cepat sekali menotok
jalan darah maut di tenggorokan nenek iblis itu! Nenek itu sambil terkekeh
menangkis totokan ujung sabuk ini dengan tangan kirinya, bahkan berusaha
mencengkeram ujung sabuk dengan kuku-kukunya yang panjang. Akan tetapi ujung
sabuk sutera itu lemas dan cepat sekali gerakannya, sebelum menyentuh tangan
lawan sudah meluncur ke samping lalu melakukan totokan-totokan bertubi-tubi
dari jarak jauh.
Biauw Eng
amat cerdik. Karena maklum bahwa kelihaian nenek itu terletak pada rambut dan
kukunya, ia sengaja menjatuhkan diri sehingga tidak dapat tercapai rambut mau
pun kuku, sebaliknya ia dapat mengandalkan sabuknya yang panjang untuk
menyerang terus secara bertubi-tubi. Setiap kali nenek itu menangkis dan hendak
mencengkeram ujung sabuk, sabuk itu sudah melejit pergi untuk menotok lain bagian.
Dilihat
begitu saja, pertandingan ini sangatlah menarik. Ujung sabuk putih itu
seolah-olah seekor kupu-kupu putih yang lincah bukan main, hinggap di sana-sini
dan selalu luput dari cengkeraman tangan Ang-bin Kwi-bo.
Bukan hanya
sampai di situ usaha Biauw Eng untuk mengalahkan lawannya yang lihai. Ia harus
mengerahkan seluruh kepandaiannya dan ia memang bersungguh-sungguh dalam
usahanya untuk memenangkan perebutan ini biar pun tidak mungkin menurut
perhitungan.
Selain
menghujankan totokan-totokan dari jarak jauh, kini tangan kirinya kadang-kadang
bergerak dalam saat-saat yang tidak terduga lawan dan meluncurlah senjata
rahasianya yang ampuh, yaitu bola-bola putih yang berduri dan kadang-kadang
diseling pula dengan senjata piauw berbentuk tusuk konde putih dengan ukiran
bunga bwee.
Karena
senjata-senjata rahasia ini dilepas dari jarak sangat dekat dan dilontarkan
dengan pengerahan tenaga lweekang, juga pada saat yang tak terduga-duga dan
memilih selagi kedudukan tubuh lawan lemah, mau tidak mau Ang-bin Kwi-bo harus
mengelak ke sana ke mari sehinga untuk beberapa lama dia seperti terdesak! Ia
terdesak bukan karena ilmu silat, melainkan karena kecerdikan lawan yang masih
muda itu. Hal ini membuat Ang-bin Kwi-bo menjadi penasaran, malu dan marah
sekali.
Pada saat
nenek iblis ini repot mengelak dari hujan senjata rahasia, Biauw Eng tidak
ingin menyia-nyiakan kesempatan, sabuk suteranya mengirim totokan yang amat
kuat ke arah ulu hati nenek itu. Agaknya nenek yang sedang sibuk mengelak dari
sambaran senjata rahasia ini tidak sempat lagi mengelak dari totokan maut ini
sehingga Biauw Eng yang masih muda tidak dapat menahan rasa girangnya.
Inilah
pantangan bagi orang yang sedang bertanding. Ibunya sudah menggemblengnya
sedemikian rupa sehingga dia menjadi seorang gadis berdarah dingin berurat
syaraf baja, tidak dapat digoyangkan oleh segala macam perasaan.
Akan tetapi
karena sekali ini dia menghadapi lawan yang jauh lebih lihai, begitu melihat
betapa dia mampu mendesak, bahkan totokan mautnya hampir mengenai sasaran,
Biauw Eng tidak dapat menahan kegembiraan hatinya dan hal ini, biar pun hanya
sedikit, tetap saja telah mengurangi kewaspadaannya. Dalam kegembiraannya ia
lupa bahwa nenek itu amat sakti dan keadaan yang mendesak itu mungkin hanya
merupakan siasat yang lihai belaka.
Dia sadar
sesudah terlambat karena ketika totokan ujung sabuknya sudah dekat dengan dada
nenek itu, tiba-tiba rambut nenek itu menyambar ke depan dan membelit-belit
sabuk sutera putihya!
Biauw Eng
sangat terkejut dan terpaksa hendak melepaskan sabuknya, namun sebagian dari
rambut nenek itu sudah bergerak lagi dan seperti hidup, rambut itu telah
menangkap lengan kanannya, membelit bagian pergelangan sehingga lengan gadis
itu bagaikan telah diikat kuat-kuat.
"Hi-hi-hik-hik!
Engkau berani melawan aku, ya? Sebagai puteri Lam-hai Sin-ni, aku akan
mengampuni nyawamu, akan tetapi sebagai seoang gadis yang berani melawanku, kau
harus dihukum!"
Biauw Eng
maklum bahwa dari seorang nenek seperti ini dia tidak dapat mengharapkan maaf,
maka ia pun tidak mau minta maaf, bahkan tiba-tiba ia memukulkan tangan kirinya
ke arah lambung nenek itu. Pukulan ini hebat sekali dan biar pun Ang-bin Kwi-bo
seorang tokoh besar dalam dunia sesat, akan tetapi jika pukulan tangan kiri
Biauw Eng mengenai lambungnya, tentu dia akan celaka, sedikitnya luka hebat.
Akan tetapi
pada saat itu si nenek sudah membuat Biauw Eng tak berdaya dengan hanya
menggunakan rambutnya saja sedangkan dua tangannya masih menganggur, tentu saja
pukulan tangan kiri Biauw Eng ini tidak ada artinya baginya. Sekali tangan kanannya
yang berkuku panjang itu bergerak, maka pergelangan tangan kiri Biauw Eng sudah
ia tangkap sehingga gadis itu tidak mampu berkutik lagi!
"Hi-hi-hik!
Hukuman apa yang harus kau terima? Tanganmu? Apa kubuntungkan sebelah tanganmu
saja?" Nenek itu mengancam sambil menyeringai hingga tampak giginya yang
besar-besar.
Sie Biauw
Eng yang sudah tidak dapat berkutik lagi itu memandang dengan wajah tetap
dingin, bahkan mulutnya yang bentuknya bagus itu sudah membentuk senyum
mengejek, seolah-olah ancaman itu sama sekali tidak membuat hatinya menjadi
jeri.
"Wah,
kalau hanya lenganmu yang buntung, tentu iblis betina tua bangka Lam-hai Sin-ni
masih dapat menurunkan ilmu untuk sebelah tanganmu lagi. Tidak, lebih baik
kakimu saja yang kubuntungkan sebelah. Dengan hanya sebelah kaki, berdiri pun
kau tak akan tegak. Benar, kubuntungkan saja kakimu sebatas paha, hi-hi-hik,
dan setiap orang laki-laki akan jijik melihat kakimu yang buntung,
heh-heh-heh!"
"Tidak!
Tak boleh kau lakukan itu, bibi Ang-bin Kwi-bo!" Tiba-tiba Bhe Cui Im
membentak marah dan dengan nekat gadis ini sudah menerjang dari belakang tubuh
nenek itu untuk menolong sumoi-nya.
Karena
pedangnya sudah hilang ketika tadi dirampas dan dibuang Keng Hong, kini Cui Im
menyerang dengan tangan kosong. Akan tetapi walau pun hanya memukul dengan
tangan kosong, gadis ini diam-diam telah melumuri kedua tangannya dengan racun
yang selalu dibawa-bawanya, sesuai dengan julukannya Dewi Racun!
Kini kedua
tangannya itu mengeluarkan asap hijau sebab racun yang dipakai pada kedua
tangannya itu amat jahat. Jangankan lawan yang terpukul sampai robek kulitnya
hingga racun itu dapat meracuni darah, bahkan baru tersentuh saja, racun ini
dapat meresap melalui lubang-lubang kulit dan membuat daging menjadi membusuk
dalam waktu singkat!
Kini gadis
ini menerjang nenek itu dari belakang, mencengkeram tengkuk dengan tangan kiri
dan menghantam lambung dengan tangan kanan. Ang-bin Kwi-bo mendengus marah,
tangan kirinya bergerak ke belakang dan kakinya diputar sedikit. Ketika tangan
kirinya itu dengan jari-jari terpentang lebar dia dorongkan ke depan,
menyambarlah angin pukulan yang hebat, lima buah kuku jarinya tergetar
mengeluarkan suara dan tercium bau yang aneh sekali, ada bau harum, ada yang
amis, dan ada pula yang berbau bangkai.
Hebatnya,
tubuh Bhe Cui Im terhuyung-huyung mundur seperti terbawa angin badai, lalu
terdengar gadis ini memekik dan Cui Im roboh sambil merintih-rintih. Dengan dua
tangan menggigil gadis ini cepat merobek bajunya, maka tampaklah sebagian
dadanya berwarna biru!
Dengan
tangan masih menggigil, Cui Im mencari-cari di dalam saku bajunya. Setelah dia
menemukan bungkusan yang dicarinya, cepat dia membukanya dan dengan jari-jari
tetap menggigil dia segera menelan tiga butir pil berwarna hijau, kuning dan
merah!
"Hi-hi-hik!
Kau bocah lihai, dapat menahan sedikit dorongan Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti
Selaksa Racun), tentu engkau yang disebut Ang-kiam Tok-sian-li Si Dewi
Racun!"
Keadaan Cui
Im tidak terlalu menderita lagi. Dia masih lemas, akan tetapi sudah dapat
bangkit dan duduk bersila, mengatur napas. Tiga buah pil yang ditelannya itu
mempunyai khasiat yang sangat manjur, dapat memunahkan segala macam racun yang
bagaimana jahat pun.
Ang-bin
Kwi-bo kini kembali menghadapi Biauw Eng yang sejak tadi hanya memandang semua
itu dengan mata tidak peduli. Baginya, majunya Cui Im untuk membantunya sudah
sewajarnya, dan robohnya Cui Im pun bukan hal yang aneh.
Dia sendiri
tak mampu berkutik, apa lagi yang dapat ia lakukan? Tidak lain hanya menanti
datangnya hukuman yang dia tahu pasti sangat mengerikan. Akan tetapi sebagai
puteri Lam-hai Sin-ni, terutama sekali sebagai seorang tokoh muda yang
berjulukan Song-bun Siu-li, dia harus menjaga nama dan akan menghadapi semua
yang akan terjadi dengan mata tak berkedip.
"He-he-heh,
sekarang kau boleh pilih, Song-bun Siu-li! Lebih baik kubuntungkan sebelah
lenganmu, ataukah sebelah kakimu?"
"Ang-bin
Kwi-bo, aku sudah kalah olehmu, Mau membuntungi lengan, kaki atau pun leher,
terserah! Di sana masih ada ibuku yang kelak akan mencarimu untuk menagih
hutang berikut bunga-bunganya!"
Ang-bin
Kwi-bo menjadi marah setengah mati. Sudah menjadi kesukaan para tokoh sesat
terutama Bu-tek Su-kwi empat datuk besar kaum sesat, untuk melihat calon
korbannya merengek-rengek minta ampun dan merintih-rintih oleh siksaan. Maka
kini menyaksikan sikap Biauw Eng yang malah menantang dan wajah yang cantik itu
tetap dingin bahkan senyumnya mengejek, nenek itu menjadi penasaran sekali dan
merasa terhina.
Alangkah
akan malunya dan rendah namanya apa bila ada yang melihat betapa Ang-bin Kwi-bo
yang terkenal itu sekarang malah diejek oleh seorang tawanannya, seorang gadis
muda! Kalau begitu sia-sia saja ia menjadi seorang di antara empat iblis yang
sepatutnya membuat semua orang yang mendengar namanya menggigil ketakutan.
Bocah ini sudah berada di ambang siksaan, akan dibuntungi kaki tangannya,
tetapi bukannya takut malah mengejek dan menantang!
"Heh-heh-heh,
siapa takut terhadap Lam-hai Sin-ni? Suruh dia datang! Kalau aku sudah dapat
memiliki kitab-kitab Sin-jiu Kiam-ong, biar pun ada sepuluh Lam-hai Sin-ni, aku
tidak takut. Eh, kau tidak gentar dibuntungi kaki atau tanganmu? Apakah yang
paling berharga bagimu? Wajahmu begini cantik... hemmm, dahulu aku pun cantik
sekali melebihimu, dan ribuan orang laki-laki jatuh bertekuk lutut di depan
kakiku, mengagumi dan mencintaiku! Hi-hi-hik-hik, apakah yang lebih berharga
bagi wanita kecuali kecantikannya? Kata orang, kecantikan jasmani hanyalah
setebal kulit, akan tetapi tanpa adanya kecantikan jasmani, mana mungkin hati
pria dapat bangkit seleranya? Memang setebal kulit karena kalau kulit mukamu
yang cantik ini, yang halus putih kemerahan dan hangat, kubuang, kukupas, apa
yang tinggal? Hanya tengkorak dengan daging membusuk saja! Ihhh, kau menjadi
pucat? Bagus, ini tandanya kau mengenal takut, hi-hi-hik!" Nenek iblis itu
terkekeh-kekeh, mulai senang hatinya karena ia mulai dapat menyiksa hati gadis
itu.
Jantung
Biauw Eng mulai berdebar karena ngeri. Dia tidak takut disiksa, tidak takut
mati, akan tetapi bagaimana pun juga, dia adalah seorang gadis remaja, seorang
gadis muda yang tentu saja sadar akan kecantikannya dan merasa ngeri mendengar
ancaman ini. Namun dia memaksa diri tersenyum mengejek dan berkata,
"Lakukanlah,
Ang-bin Kwi-bo! Kupaslah kulit mukaku sampai menjadi seburuk-buruknya! Akhirnya
toh aku mati dan setelah menjadi mayat, apa bedanya cantik atau tidak?"
Ucapan ini
keluar dari hatinya sehingga mengusir bayangan ngeri dari wajahnya. Hal ini
membuat nenek ini mencak-mencak saking marahnya.
"Baik,
kalau begitu aku tidak akan membuatmu mati! Kalau dikupas semua kulit mukamu,
tentu kau akan mampus. Terlalu enak buatmu! Ahhh, aku pernah melihat seorang
wanita yang menderita sakit kotor sehingga hilang hidung dan bibirnya.
Hidungnya hanya berupa sebuah lubang dan mulutnya juga sebuah lubang melompong.
Lalat-lalat keluar masuk melalui lubang-lubang hidung dan mulut. Dan dia tidak
mati! Hi-hi-hik, benar sekali. Kalau kupotong hidungmu yang kecil mancung ini,
kemudian kukerat habis sepasang bibirmu yang begini penuh, halus kemerahan
hingga membuat hati laki-laki ingin sekali mencium dan menggigitnya, kau tentu
akan menjadi seperti dia! Kalau hidung dan mulutnya sudah menjadi dua lubang
yang dirubung lalat, biar pun bagian tubuhnya yang lain amat bagus, laki-laki
mana yang akan tertarik? Mereka akan menjadi jijik sekali, baru melihat pun
akan muntah! Hi-hi-hik, menangislah, berteriaklah, tetapi aku tetap akan
melakukan hukuman ini, hi-hi-hik!"
Iblis betina
itu berjingkrak-jingkrak sambil terkekeh-kekeh karena kini Baiuw Eng menjadi
pucat sekali dan dari sepasang matanya mengalir air mata! Selama hidupnya Biauw
Eng belum pernah menangis karena ngeri dan takut, tetapi sekali ini dia
benar-benar menjadi ketakutan karena tidak tahan mengingat ancaman yang amat
mengerikan itu.
"Heh-heh-heh!
Biar kupandang mukamu sampai puas dulu supaya aku nanti ingat betapa cantiknya
engkau sebelumnya. Julukanmu Siu-li (Perawan Jelita), sungguh tepat! Cantik
sekali kau! Sekarang, mana yang lebih dulu dipotong? Hidungmu atau bibirmu?
Hidungmu saja agar bibirmu dapat menjerit-jerit, kemudian baru bibirmu. Wah,
kuku tanganku sudah gatal-gatal, kini mendapat makanan empuk, hidung mancung
bibir merah. Hi-hi-hik!"
Nenek itu
sudah mendekatkan tangan kirinya ke depan hidung Biauw Eng, dan gadis ini
memejamkan matanya, mukanya pucat, napasnya terengah-engah dan dadanya terisak
menangis. Telah tercium olehnya bau kuku-kuku tangan kiri nenek itu hingga ia
menahan napas, dan hampir pingsan dia ketika kuku-kuku itu sudah menyentuh
cuping hidungnya. Agaknya nenek itu sengaja berlaku lambat agar lebih banyak ia
dapat menikmati siksaan ini. Cui Im yang masih duduk dengan tubuh lemas
memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak.
"Iblis
kejam...!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali.
Keng Hong
telah meloncat tinggi dan dari atas dia mengirim serangan dorongan dengan kedua
tangan ke arah punggung nenek itu. Tadi dia menjadi marah dan khawatir sekali
menyaksikan keadaan Biauw Eng. Meski tadinya dia tak mampu bergerak karena
totokan yang istimewa dari nenek itu membuat tubuhnya kaku, namun sinkang di
tubuhnya yang hebat luar biasa itu terus mendesak-desak sehingga akhirnya,
dalam saat terakhir bagi keselamatan Biauw Eng, dia berhasil membebaskan diri
dari totokan itu dan serta merta dia meloncat dan menyerang.
Dalam
kemarahannya, dia langsung menggunakan jurus Siang-in Twi-san, yaitu jurus ke
tiga dari satu-satunya ilmu silat tangan kosong yang pernah dia kenal, San-in
Kun-hoat. Serangannya hebat sekali karena kedua lengannya penuh dengan hawa
sinkang yang amat kuat.
Nenek yang
sakti itu terkejut mendengar desir angin serangan yang demikian hebatnya, maka
cepat-cepat dia menarik kedua tangannya dari Biauw Eng, tubuhnya membalik dan
tangannya menangkis.
"Plak-plakkk...!"
"Aiiihhh...!"
Ang-bin Kwi-bo menjerit kaget ketika tubuhnya tergetar dan dia dipaksa untuk
mundur sampai tiga langkah ke belakang.
Apa lagi
ketika ia melihat betapa pemuda yang menyerangnya itu hanya terhuyung sedikit
oleh tangkisannya, sama sekali tak terpengaruh oleh tangkisan kedua tangannya,
nenek ini benar-benar tercengang. Akan tetapi hatinya merasa girang sekali
karena hal ini hanya membuktikan betapa hebatnya ilmu kepandaian Sin-jiu
Kiam-ong yang dalam beberapa tahun saja dapat melatih muridnya selihai ini. Ia
percaya bahwa kalau ia sampai berhasil menguasai kitab-kitab peninggalan
Sin-jiu Kiam-ong, pasti ia akan menemukan ilmu-ilmu yang hebat.
"Heh-heh-heh,
bocah hebat engkau! Bagaimana kau berhasil membebaskan totokanku?" Memang
hal ini saja sudah menimbulkan keheranan dan kekaguman yang luar biasa bagi
Ang-bin Kwi-bo. Di dunia ini jarang ada tokoh yang sanggup membebaskan totokannya,
kecuali orang-orang yang setingkat dengan dia seperti ketiga datuk hitam yang
lain.
Akan tetapi
Keng Hong tidak memperhatikan nenek itu karena dia melihat betapa tubuh Biauw
Eng menjadi limbung dan hampir roboh. Cepat dia melangkah maju dan berhasil
memeluk pundak gadis itu sehingga Biauw Eng tidak sampai roboh.
Gadis ini
merintih perlahan, terhimpit rasa ketegangan yang amat hebat sehingga setelah
dia terbebas dari pada ancaman yang lebih hebat dari pada maut tadi, dia
menjadi lemas sekali. Ketika ada orang memeluknya, dia lalu merintih dan
membuka matanya perlahan. Melihat bahwa yang memeluknya dan memandangnya penuh
rasa iba itu adalah pemuda yang telah membebaskan dirinya dari pada siksaan
hebat, dia segera balas memeluk dan membenamkan mukanya di dada Keng Hong.
Sejenak
keduanya berpelukan ketat dan Keng Hong merasa betapa jantungnya berdebar. Sama
sekali tidak bangkit nafsunya terhadap gadis ini seperti ketika dia memeluk Cui
Im, yang ada hanya rasa kasihan dan sayang.
"...terima
kasih..." Ucapan ini perlahan sekali, hanya merupakan bisikan yang hampir
tak bersuara, akan tetapi mendatangkan rasa lega dan kepuasan di hati Keng Hong
dan dia pun tersenyum.
"Hi-hi-hik!
Persis Sin-jiu Kiam-ong! Gurunya pemogoran, tentu muridnya hidung belang!
Heh-heh-heh, setiap orang wanita tentu akan jatuh hati kepada bocah ini."
Ucapan
Ang-bin Kwi-bo menyadarkan Biauw Eng dan sekali rengut ia melepaskan dirinya
dari pelukan Keng Hong, kemudian mencelat ke belakang dengan muka pucat dan
mata terbelalak. Dia tidak merasa malu, hanya merasa heran terhadap diri
sendiri mengapa dia mempunyai perasaan seperti ini!
Padahal
selama hidupnya dia digembleng oleh ibunya supaya jangan jatuh hati pada pria
mana pun. Dan selamanya dia tidak pernah memikirkan pria. Sekarang, tanpa
disadari ia tadi telah memeluk pemuda itu dengan mesra, di depan mata
orang-orang lain pula.
"Ha-ha-ha-ha,
Sumoi, betul tidak kataku? Hati-hati terhadap dia, kau akan pulas di dalam
pelukannya yang nyaman...!"
"Suci,
tutup mulutmu...!" Bentakan ini mengandung kemarahan yang membuat Cui Im
tak berani bersuara lagi, namun mulut wanita ini tersenyum dan pandang matanya
terhadap Biauw Eng mengandung sesuatu yang aneh.
Akan tetapi
Ang-bin Kwi-bo kini sudah menghadapi Keng Hong dan sambil tertawa dia berkata,
"Bocah, aku masih ingat kepadamu. Semenjak kecil engkau sudah hebat,
berani meniup suling mengacaukan pertandingan kami melawan Sin-jiu
Kiam-ong."
"Ang-bin
Kwi-bo, aku pun masih ingat kepadamu ketika engkau dengan iblis-iblis lainnya
secara tidak tahu malu mengeroyok mendiang suhu. Sekarang engkau hendak
menyiksa seorang gadis muda. Benar-benar engkau keji dan jahat seperti iblis
sendiri!"
Nenek itu
tertawa-tawa dengan hati girang. Maki-makian yang menunjukkan betapa kejam dan
jahatnya bagi telinganya merupakan puji-pujian yang membesarkan hati.
"Hi-hi-hik, dan aku dapat lebih kejam lagi kalau kau tidak menurut
kepadaku. Kau harus ikut aku dan membawaku ke tempat penyimpanan pusaka
peninggalan gurumu."
"Aku
tidak sudi!"
"Aku
akan memaksamu, bocah keras kepala!"
"Dipaksa
juga aku tetap tidak dapat menunjukkan tempat itu!"
"Aku
akan menyiksamu, membuat kau mati tidak hidup pun tidak, menjadi tiga perempat
mati dan yang seperempat hanya kubiarkan hidup untuk mengalami derita yang
hebat!" Nenek itu mengancam dengan suara marah.
"Percuma,
biar disiksa sampai mati pun tidak ada gunanya karena aku sendiri tidak tahu di
mana tempat yang kau maksudkan itu."
"Bohong...!"
"Sudahlah!
Percaya atau tidak terserah, aku tak ada waktu lebih lama lagi untuk melayani
ocehanmu. Aku pergi!" Setelah berkata demikian, Keng Hong meloncat dan
lari pergi dari situ.
Akan tetapi
tampak bayangan hitam berkelebat dan tiba-tiba saja nenek itu sudah berdiri
menghadang di depannya. Keng Hong kaget dan merasa kagum. Ginkang dari nenek
ini benar-benar mengejutkan, seperti terbang saja ketika mendahuluinya dan
menghadang.
"Kau
mau apa?" tanya Keng Hong.
"Kau
harus ikut bersamaku!"
Keng Hong
teringat akan pesan suhu-nya. Suhu-nya pernah menyatakan bahwa di dunia
persilatan banyak sekali orang pandai yang takkan bisa dilawan olehnya,
terutama sekali orang-orang seperti Bu-tek Su-kwi yang berilmu tinggi. Hanya
bila dia sudah mempelajari kitab-kitab peninggalan suhu-nya, barulah ia akan
cukup kuat untuk menghadapi mereka, demikian pesan suhu-nya. Dan sekarang dia
berhadapan dengan salah seorang di antara mereka!
Sayang
pedang Siang-bhok-kiam tidak berada di tangannya. Kalau saja dia bersenjatakan
pedang itu, ingin sekali ia mencoba ilmu pedangnya Siang-bhok Kiam-sut untuk
melawan nenek yang lihai bermain silat dengan senjata rambut dan kuku-kukunya
ini! Betapa pun juga, dia harus melawannya.
"Aku
tidak sudi."
"Hi-hi-hik,
kau kira aku tidak dapat memaksamu? Kau kira dengan sedikit kepandaianmu itu
engkau akan dapat menentang Ang-bin Kwi-bo? Hi-hi-hik!"
"Aku
tidak dapat!" bentak Keng Hong.
Pemuda ini
sudah menerjang maju, membuat gerakan melingkar dengan kedua tangan yang
diputar dari atas kepala terus ke bawah, cepat sekali sehingga kedua lengannya
merupakan gulungan sinar putih, kemudian dari gumpalan sinar ini menyambarlah
kedua pukulannya bertubi-tubi.
Keng Hong
sudah memainkan jurus ke lima dari ilmu silatnya, yaitu jurus San-in Ci-tian
(Awan Gunung Mengeluarkan Kilat). Angin pukulan kedua tangannya yang mengandung
tenaga sinkang itu sampai mengeluarkan suara menderu dan membuat rambut
riap-riapan serta baju nenek itu berkibar-kibar disambar angin pukulan.
"Pukulan
yang aneh dan hebat...!" Nenek itu berseru gembira sekali karena harus ia
akui bahwa sebanyak itu ia mengenal ilmu silat pelbagai aliran, belum pernah ia
menyaksikan jurus pukulan yang dipergunakan pemuda ini.
Sebagai
seorang ahli, dia segera dapat menilai bahwa jurus ini hebat sekali, mengandung
segi yang rumit dan dahsyat. Akan tetapi hanya tenaga pemuda ini saja yang
hebat luar biasa, tapi gerakannya belum ‘matang’. Oleh karena itu, dengan mudah
ia menghindarkan diri sambil meloncat ke kanan, kemudian membalik ke kiri cepat
sekali dan rambutnya sudah menyambar ke arah leher Keng Hong!
Apa bila
diukur kepandaian ilmu silatnya, tentu saja Keng Hong kalah jauh, maka ketika
serangannya itu selain gagal juga dia dibalas secara kontan, pemuda ini menjadi
sibuk menangkis dengan kebutan tangannya. Tenaganya memang hebat sekali, karena
angin tangkisannya dapat membuat rambut nenek itu buyar, kemudian dia meloncat
ke depan dan dari atas dia mengirim pukulan dengan jurus Siang-in Twi-san.
Serangan ini
pun hebat sekali dan nenek iblis itu semakin gembira. Mula-mula yang akan
dipelajarinya adalah jurus-jurus ini, pikirnya. Kalau dia sudah dapat memahami
jurus-jurus seperti ini, kemudian dia yang memainkannya tentu daya serangnya
akan hebat sekali dan sukarlah tokoh-tokoh tandingannya akan mampu
menangkisnya! Kini secara tiba-tiba dia menggulingkan tubuhnya dan pada saat
tubuh Keng Hong yang menyambar lewat itu meluncur di atas kepalanya, ia
mengulur kedua tangan mencengkeram ke arah kaki Keng Hong...!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment