Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 17
Jai-hwa-ong
terkejut sekali, namun dia adalah seorang yang berilmu tinggi dan juga dia
sendiri adalah seorang yang ahli dalam penggunaan senjata rahasia, maka tentu
saja dia tidak menjadi gugup. Karena tadi di tempat persembunyiaannya dia sudah
menyaksikan cara gadis itu bertanding menggunakan sabuk sutera melawan Cui Im
dan maklum bahwa biar pun tulang pundak kirinya patah namun gadis ini masih
merupakan seorang lawan yang tidak boleh dipandang ringan, maka dia tidak mau
mengelak untuk membiarkan dia terdesak dan memberi kesempatan kepada lawan
untuk menyerangnya, dengan susulan senjata rahasia atau senjata sabuk sutera.
Cepat Siauw
Lek memutar pedang hitamnya dan terdengar suara nyaring berkali-kali saat semua
senjata rahasia itu runtuh ke atas tanah. Kemudian, melihat Biauw Eng sudah
menggerakkan sabuk suteranya, dia tertawa dan cepat mengangkat pedang
menyambut. Terjadilah pertandingan hebat antara kedua orang ini dan diam-diam
Siauw Lek merasa amat kagum melihat gadis yang sudah patah tulang pundaknya itu
ternyata masih dapat menyerang secara hebat dan sama sekali tidak boleh
dipandang ringan.
Sebaliknya,
di dalam hatinya Biauw Eng amat mengkhawatirkan ibunya karena dia sudah tahu
betapa lihainya Cui Im sekarang. Akan tetapi, di samping dia sendiri sudah
terluka sehingga gerakannya tidak leluasa, juga dia mendapatkan kenyataan
betapa murid Go-bi Chit-kwi ini juga lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau saja
dia tak terluka, agaknya dia akan dapat menandingi Siauw Lek dan biar pun dia
merasa ragu-ragu apakah dia akan dapat mengalahkan pria ini, namun dia merasa
yakin bahwa untuk merobohkan dia pun bukan merupakan hal mudah bagi lawannya.
Tulang
pundaknya yang patah itu membuat gerakannya kaku dan tidak leluasa sekali, dan
gerakan-gerakannya membuat pundaknya terasa semakin nyeri. Untung bagi Biauw
Eng bahwa agaknya dalam pertandingan itu Siauw Lek tidak berniat membunuhnya,
karena kalau demikian halnya, agaknya Biauw Eng tidak akan dapat bertahan lama
dan pedang hitam itu tentu dapat merobohkannya dalam waktu singkat.
Memang
begitulah. SiauwLek yang berwatak mata keranjang itu ingin sekali mendapatkan
Biauw Eng sebagai korbannya. Pertama karena memang Biauw Eng sangat cantik
jelita, lebih cantik menarik dari pada Cui Im sendiri, juga jauh lebih muda, di
samping kenyataan bahwa gadis ini adalah seorang perawan. Juga selama dalam
petualangannya Siauw Lek belum pernah mendapatkan korban seorang gadis yang
demikian tinggi ilmu silatnya, juga puteri dari Lam-hai Sin-ni pula. Dahulu,
para gurunya gagal mendapatkan Lam-hai Sin-ni. Sekarang dia tidak akan gagal
mendapatkan puterinya!
Apabila
pertandingan antara Siauw Lek dan Biauw Eng seperti kucing mempermainkan tikus
dan tidaklah sungguh-sungguh di pihak Siauw Lek walau pun Biauw Eng melawan
mati-matian karena pria itu hendak menangkap Biauw Eng tanpa melukainya, lain
lagi sifat pertempuran yang terjadi antara Lam-hai Sin-ni dan Cui Im. Dua orang
wanita bekas guru dan murid itu bertanding mati-matian dan makin lama Lam-hai
Sin-ni menjadi makin terkejut dan heran menyaksikan gerakan-gerakan bekas
muridnya yang luar biasa sekali. Ilmu pedang yang dimainkan Cui Im dengan
pedang merah itu amat dahsyat dan aneh, mengingatkan dia akan ilmu pedang
Sin-jiu Kiam-ong!
Ada pun
ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan sinkang gadis ini pun sudah memperoleh
kemajuan yang mentakjubkan, bahkan sulit dapat dipercaya. Diam-diam ia menjadi
curiga dan ketika mereka berdua mengadu pedang hingga terdengar suara
berdencing nyaring dan tubuh mereka mencelat mundur beberapa meter jauhnya,
Lam-hai Sin-ni tidak dapat lagi menahan keinginan tahunya dan dia pun bertanya,
"Perempuan
iblis! Engkau berhasil menemukan pusaka-pusaka Sin-jiu Kiam-ong?"
Cui Im
tertawa mengejek. "Pusaka-pusaka berharga menjadi ahli nomor satu di
dunia. Lam-hai Sin-ni, aku memang telah mewarisi pusaka itu dan karenanya aku
yang akan menjadi tokoh nomor satu!"
Biauw Eng
yang sedang didesak oleh cengkeraman-cengkeraman tangan kiri Siauw Lek
sedangkan sabuk suteranya selalu ditahan oleh pedang hitam, mendengar pula
ucapan Cui Im itu. Dengan mata bersinar-sinar dia meloncat mundur menjauhi
Siauw Lek lantas membalikkan tubuh menghadapi Cui Im sambil bertanya,
"Cui
Im! Kalau begitu engkau bertemu dengan Keng Hong! Di mana dia?"
"Hi-hi-hik,
engkau mau bertemu dengan Keng Hong? Harus kau cari di dasar neraka...!"
"Cui
Im! Dia... Dia...?" Wajah Biauw Eng menjadi pucat sekali dan kata-kata
‘mati’ yang hendak dia tanyakan hanya terbisikkan di dalam hatinya saja.
"Cui
Im, kini engkau harus mampus!" Lam-hai Sin-ni membentak marah sebab
keterangan Cui Im mengenai Keng Hong itu tentu akan menimbulkan mala petaka
bagi puterinya. Ia menyerang dengan hebat sambil meloncat ke depan, pedangnya
berubah menjadi sinar putih yang panjang.
"Trang-trang-cringgg...!"
Bunga api
berpijar dan kembali sinar putih dan merah dari pedang kedua orang wanita itu
sudah saling serang lagi dengan seru dan mati-matian, sungguh pun kini Lam-hai
Sin-ni tak lagi merasa heran menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Cui Im,
bahkan dia mulai merasa ragu-ragu apakah ia akan bisa mengalahkan bekas
muridnya yang telah mewarisi pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, kekasihnya
juga ayah kandung Biauw Eng itu.
Ada pun
Biauw Eng sesudah mendengar ucapan Cui Im tadi, seperti linglung dan berdiri bengong
memandang bekas suci-nya yang sudah bertanding hebat melawan ibunya itu. Kalau
mau mencari Keng Hong ke dasar neraka? Apakah artinya itu? Apakah Keng Hong
telah mati?
Siauw Lek
yang melihat betapa Biauw Eng menjadi seperti kehilangan semangat, seperti
sudah berubah menjadi patung, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dan dia
segera menyimpan pedangnya lalu menubruk ke arah Biauw Eng dari sebelah kiri
gadis itu.
Sebagai
seorang gadis yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi dan telah mempunyai
gerakan otomatis melindungi tubuhnya dari tiap serangan yang datang mengancam,
biar pun dia sedang terlena dalam lamunan duka, Biauw Eng dapat merasai
serangan ini dan otomatis lengan kirinya bergerak memukul ke arah bayangan yang
menubruknya dari kiri!
Akan tetapi
terdengar keluhan lirih dari mulut gadis ini ketika tiba-tiba pundaknya terasa
nyeri sekali akibat gerakannya sendiri. Dia lupa akan tulang pundak kirinya
yang patah, maka cepat dia memutar tubuhnya hendak menghadapi terjangan lawan
dengan tangan kanan. Akan tetapi terlambat sebab Siauw Lek telah meringkusnya,
dan dua kali menotok jalan darah pada punggung dan pundaknya membuat Biauw Eng
terguling roboh dengan tubuh lemas.
"Keparat
jahanam! Jangan menganggu puteriku!" Lam-hai Sin-ni melengking nyaring.
Saking
marahnya melihat puterinya dirobohkan, gerakan pedangnya menjadi amat ganas.
Tidaklah percuma nenek ini menjagoi di antara datuk-datuk hitam karena
kepandaiannya memang hebat sekali. Selain pedangnya bergerak cepat dan sinarnya
saja sudah cukup untuk merobohkan lawan, juga setiap dorongan serta pukulan
tangan kirinya merupakan sambaran maut yang mematikan.
Cui Im yang
telah mewarisi ilmu-ilmu rahasia yang mukjijat merasa kewalahan juga ketika
Lam-hai Sin-ni mengamuk dengan nekat. Gadis ini tadinya mengharapkan bekas
gurunya akan mengeluarkan Thi-khi I-beng, tapi ternyata Lam-hai Sin-ni tak
pernah menggunakan ilmu itu sehingga dia menjadi habis sabar dan tidak mau
memancing-mancing lagi.
Kini melihat
Lam-hai Sin-ni mengamuk, melihat betapa Biauw Eng telah roboh, ia berseru,
"Twako, bantulah aku merobohkan monyet tua ini!"
Siauw Lek
yang sedang memandang tubuh Biauw Eng dengan hati puas, lalu tertawa dan cepat
mencabut pedang hitamnya lalu menerjang maju membantu Cui Im. Dibandingkan
dengan Cui Im, mungkin ilmu pedang Siauw Lek tak sehebat gadis itu, akan tetapi
karena ia pun telah mewarisi ilmu kepandaian Go-bi Chit-kwi dan pengalamannya
sudah banyak, tentu saja dia merupakan tenaga bantuan yang hebat pula. Hal ini
terasa oleh Lam-hai Sin-ni yang segera terdesak hebat sesudah murid musuh
besarnya itu maju membantu bekas muridnya.
Lam-hai
Sin-ni sudah tua dan akhir-akhir ini dia menderita tekanan batin karena keadaan
puterinya. Hal ini membuat tubuhnya menjadi lemah dan sering kali dia merasa
jemu akan kehidupannya sehingga bertahun-tahun ia tak pernah berlatih ilmu
silat lagi. Kini ia harus menghadapi pengeroyokan dua orang muda yang mempunyai
kepandaian hebat. Tentu saja dia menjadi repot sekali dan walau pun dia telah
mengerahkan seluruh tenaga serta mengeluarkan semua ilmu pedangnya, namun tetap
saja ia makin terdesak dan terhimpit, napasnya mulai memburu dan tubuhnya basah
oleh keringat.
"Hi-hi-hik,
Lam-hai Sin-ni, belum juga kau keluarkan Thi-khi I-beng?" Cui Im mengejek
dan pedangnya meluncur seperti kilat menusuk ke arah leher bekas gurunya.
"Cringgggg...!"
Lam-hai
Sin-ni berhasil menangkis, akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan tangan
yang memegang pedang gemetar.
"Nenek
tua, mampuslah kau!" Siauw Lek membacokkan pedang hitamnya dari samping
mengarah lambung.
"Trangggggg...!"
Kembali
Lam-hai Sin-ni yang terhuyung-huyung itu berhasil menangkis, akan tetapi akibat
keadaan tubuhnya sedang terhuyung, tangkisan ini hampir membuat dia roboh
terguling kalau saja dia tidak cepat meloncat dan berjungkir balik.
Ia maklum
apa yang akan terjadi bila dia tidak segera mengeluarkan Thi-khi I-beng. Akan
tetapi dia tidak sudi memperlihatkan ilmu itu, apa lagi karena dia tahu bahwa
ilmu itu tidak akan ada gunanya kalau dia pergunakan terhadap dua orang muda
lihai yang tentu saja sudah mengadakan persiapan lebih dulu ini. Biar sampai
mati, dia tidak akan memberikan ilmu Thi-khi I-beng, kalau hal ini yang
diinginkan Cui Im!
Dia melawan
terus, akan tetapi napasnya makin memburu dan pandang matanya mulai berkunang,
kepalanya terasa pening. Ada pun dua orang muda itu yang melihat keadaan lawan
makin lemah, terus mendesaknya. Cui Im mengenal akan kekerasan hati Lam-hai
Sin-ni, maka dia tidak dapat mengharapkan akan berhasil membujuk bekas gurunya,
dan pedangnya makin ganas saja menyambar-nyambar.
"Cui
Im, biarlah aku mengadu nyawa denganmu!" Lam-hai Sin-ni yang sudah pening
dan pandang matanya sudah gelap itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking
keras, lantas tubuhnya melayang naik terus meluncur seperti burung garuda
menyambar ke arah Cui Im dengan pedang di depan. Pedang ini menusuk ke arah
tubuh bekas muridnya.
Inilah
jurusnya yang terakhir, jurus yang terlihai akan tetapi juga merupakan jurus
bunuh diri atau mengajak lawan mati bersama. Jurus ini dinamakan Hui-seng
Coan-in (Bintang Terbang Menembus Awan).
Serangan
yang dilakukan sambil melayang dengan luncuran kilat ini tidak mungkin dapat
ditangkis atau pun dielakkan lagi oleh lawan, karena tangkisan lawan tentu akan
dibarengi dengan pukulan tangan kiri, ada pun elakan tidak mungkin dilakukan sebab
pedang dapat digerakkan mengejar tubuh lawan. Kalau lawan berkepandaian tinggi,
jalan satu-satunya bagi lawan hanya membarengi dengan serangan balasan terhadap
tubuh melayang yang tidak mempedulikan akan penjagaan diri tetapi sepenuhnya
dicurahkan untuk menyerang itu.
Karena sifat
jurus ini maka selama hidupnya Lam-hai Sin-ni tak pernah menggunakannya. Dengan
mengeluarkan jurus ini, maka kini dia benar-benar menghendaki mati bersama
dengan bekas muridnya yang amat dibencinya itu.
Cui Im
terkejut bukan main. Dia mengenal jurus ini dan tahu pula akan kehebatannya,
maka cepat dia berkata kepada Siauw Lek, "Twako, tangkis pedangnya!"
Siauw Lek
tidak mengenal jurus nenek itu, akan tetapi dia tahu bahwa tentu serangan ini
hebat sekali, maka dia cepat mentaati perintah Cui Im dan menggerakkan
Hek-liong-kiam menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Ada pun Cui Im yang
percaya penuh akan kesetiaan dan bantuan Siauw Lek, cepat-cepat menyusup ke
bawah dan menggerakkan pedangnya yang berubah menjadi sinar merah menyambar ke
arah sepasang kaki bekas gurunya.
"Tranggg...!
Dess...! Crokkkk!"
Amat cepat
dan hebatnya benturan antara tiga orang itu, disusul teriakan kaget dan sakit
dari mulut Siauw Lek yang roboh bergulingan dan rintihan perlahan Lam-hai
Sin-ni yang roboh terlentang dengan kedua kaki buntung kena disambar pedang
merah Cui Im!
Siauw Lek
bergulingan dan cepat dia duduk bersila sambil memejamkan matanya untuk
mengatur pernapasan supaya luka di dalam tubuhnya tidak terlalu hebat akibat
pukulan tangan Lam-hai Sin-ni yang mengenai dadanya itu. Pada saat dia tadi
menangkis pedang Lam-hai Sin-ni, tangan kiri nenek itu otomatis menghantam lalu
mengenai dadanya hingga membuat ia terpekik dan roboh bergulingan.
Ada pun Cui
Im yang cerdik sudah menyerang kedua kaki Lam-hai Sin-ni tepat pada saat nenek
itu memukul Siauw Lek sehingga ia berhasil membabat kedua kaki bekas gurunya
itu sampai buntung sebatas lutut!
"Twako,
kau tidak apa-apa...?" Cui Im cepat menghampiri Siauw Lek, meraba punggung
sahabatnya itu lantas membantu Siauw Lek dengan pengerahan sinkang melalui
telapak tangannya. Tidak lama kemudian Siauw Lek membuka matanya dan mukanya
yang tadi amat pucat menjadi merah kembali, tanda bahwa bahaya telah lewat dan
dia tidak terluka hebat.
Mereka lalu
bangkit berdiri dan menghampiri Lam-hai Sin-ni yang masih rebah terlentang
dengan mata mendelik serta tangan kanan tetap memegang pedang. Dari kedua
kakinya yang buntung darah mengucur keluar seperi pancuran.
"Lam-hai
Sin-ni, aku telah merobohkan engkau. Sekarang berikan Thi-khi I-beng padaku dan
aku akan mengingat akan hubungan antara kita dan tidak akan membunuhmu,"
Cui Im berkata dengan suara dingin.
Dengan mata
mendelik nenek itu memandang Cui Im. "Cui Im murid durhaka, manusia
berhati iblis! Meski kau bunuh aku, jangan harap engkau akan dapat mempelajari
Thi-khi I-beng dariku!"
"Hemmm,
nenek keras kepala!" Cui Im berkata gemas.
"Moi-moi,
kenapa bingung? Biar dia melihat aku permainkan puterinya, apakah dia masih
akan keras kepala atau tidak!" Sambil berkata demikian Siauw Lek
menghampiri Biauw Eng yang masih rebah tak bergerak, lemas karena ditotok jalan
oleh Siauw Lek.
Lam-hai
Sin-ni memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ke arah puterinya. Ia
maklum apa yang akan dilakukan murid Go-bi Chit-kwi itu. Hampir saja ia
menyerah, akan tetapi hatinya sendiri yang penuh kekejaman dan kelicikan segera
membuat dia berpikir dan berpendapat lain.
Apa bila dia
membuka rahasia Thi-khi I-beng, apakah benar murid Go-bi Chit-kwi itu akan
melepaskan Biauw Eng? Tak mungkin! Masa dia begitu bodoh. Dan apakah
benar-benar Cui Im akan mengampuni nyawanya? Hal ini pun meragukan sekali.
Lebih baik
dia mati dan membiarkan Biauw Eng dihina dan dicemarkan. Hal itu bahkan akan
baik sekali bagi Biauw Eng! Akan mengguncang batin puterinya itu sehingga
hatinya dipenuhi dendam, akan menimbulkan lagi semangatnya yang membeku karena
cintanya pada Keng Hong yang terputus. Biarlah! Kelak tentu Biauw Eng akan
dapat membalaskan kematiannya.
"Cui Im
perempuan rendah dan engkau murid Go-bi Chit-kwi yang hina! Lakukanlah apa yang
kalian kehendaki, akan tetapi jangan harap aku akan menyerahkan ilmu Thi-khi
I-beng kepada kalian!"
Cui Im menjadi
marah sekali. "Begitukah? Lam-hai Sin-ni, apakah engkau tahu cara yang
paling baik untuk menyiksa puterimu? Hi-hi-hi-hik, ingatkah engkau betapa
engkau sendiri yang mengajarkanku untuk menyiksa orang?"
"Perempuan
keparat, apa pun yang kau lakukan, tidak akan menakutkan hatiku, tak usah
banyak cerewet lagi!"
Cui Im
menghampiri bekas gurunya itu dan Lam-hai Sin-ni yang kelihatannya sudah lelah
sekali itu tiba-tiba menggerakkan tangannya dan... pedang di tangannya meluncur
seperti anak panah ke arah dada Cui Im yang berdiri dalam jarak amat dekat.
"Iiiiihhhhh..!"
Cui Im menjerit dan cepat membuang diri ke belakang.
Dia berhasil
menyelamatkan nyawanya, akan tetapi pedang itu tetap saja menyerempet pinggul
kirinya ketika dia bergerak mengelak tadi sehingga bajunya robek dan juga kulit
pinggulnya robek berdarah.
"Heh-heh-heh,
apa bedanya hidup dan mati? Selisihnya sedikit sekali...!" Lam-hai Sin-ni
tertawa mengejek sambil memandang wajah Cui Im yang pucat sekali.
Memang harus
diakui bahwa nyaris dia tewas di tangan bekas gurunya. Dia menerjang ke depan,
pedangnya mengeluarkan sinar merah dan dua lengan Lam-hai Sin-ni terlempar,
buntung sebatas siku hingga darah mengucur keluar.
Lam-hai
sin-ni yang sudah buntung kedua kakinya itu secara mengagumkan sekali telah
dapat menggerakkan tubuhnya sehingga dia duduk tegak dan meramkan kedua
matanya. Darah masih mengucur keluar dengan deras melalui kedua lengannya yang
buntung dan hanya menetes-netes saja dari kedua kakinya yang buntung. Tak ada
keluhan keluar dari mulutnya. Wanita tua ini kemudian memejamkan mata dan
mukanya sama sekali tidak membayangkan penderitaan.
"Ibu...!"
Biauw Eng menjerit.
Baru
sekarang ia berhasil mengeluarkan suara setelah sejak tadi ia hanya menjerit-jerit
di dalam hatinya saja menyaksikan keadaan ibunya. Namun, biar sekarang ia sudah
mampu mengeluarkan suara, dia masih belum dapat bergerak dan dia sudah merasa
sangat ngeri menghadapi Siauw Lek yang berlutut di dekatnya dan tak dapat
diragukan lagi apa yang hendak diperbuat orang itu terhadap dirinya. Akan
tetapi, menyaksikan keadaan ibunya, Biauw Eng lupa akan bahaya mengerikan yang
mengancam dirinya sendiri dan ketika dia berhasil membuka kembali totokan yang
membuatnya gagu, pertama kali dia berteriak adalah menyebut ibunya.
Cui Im
berdiri memandang bekas gurunya. Ia maklum bahwa Lam-hai Sin-ni takkan hidup
lebih lama lagi dan agaknya nenek itu pun tidak ingin hidup maka membiarkan
darahnya mengucur keluar terus. Jeritan Biauw Eng memanggil ibunya membuat Cui
Im menoleh dan sepasang alisnya berkerut ketika dia melihat Siauw Lek dengan
pandang mata penuh birahi mulai meraba-raba pakaian Biauw Eng dan hendak
menanggalkan pakaian gadis itu.
"Twako...!"
Jari-jari
tangan yang penuh gairah itu terhenti dan Siauw Lek menoleh. Melihat pandang
mata wanita itu, Siauw Lek melompat bangun dan tersenyum memandang Cui Im,
"Ehh, bukankah kau menghendaki supaya aku..."
"Tidak,
Twako, wanita ini harus dibunuh!" Cui Im maju menghampiri Biauw Eng yang
kini memandang kepadanya penuh kebencian yang meluap-luap.
"Sesudah
aku selesai, masih belum terlambat untuk membunuhnya, Moi-moi," Siauw Lek
berkata dengan suara penuh harap.
Akan tetapi
Cui Im menggelengkan kepalanya. "Tidak, semenjak dahulu dia mencela aku
yang dikatakannya menjadi hamba nafsu birahi. Dia jijik terhadap pemuasan nafsu
birahi dan menganggap dirinya amat suci. Kalau sekarang sebelum mati dia diberi
kesempatan merasakan, apa lagi mendapat seorang laki-laki sehebat engkau,
betul-betul terlalu enak buat dia!"
Siauw Lek
menarik napas panjang penuh kekecewaan, namun dia hanya menggerakkan pundak,
tidak berani membantah. Melihat kekecewaan pemuda itu, Cui Im menghampiri Siauw
Lek, lalu merangkul lehernya dan memberi ciuman mesra sehingga mau tidak mau Siauw
Lek tersenyum kembali dan membalas ciumannya. Mereka berciuman di hadapan Biauw
Eng yang memandang penuh kebencian.
"Twako,
kekasihku yang baik, jangan murung dan kecewa. Aku hanya ingin melihat dia yang
kubenci ini mampus tanpa merasakan kenikmatan hidup. Jangan khawatir, sesudah
selesai urusanku di sini kita mengadakan pesta, aku akan mencarikan
perawan-perawan jelita untukmu."
Siauw Lek
tertawa girang. Dia tahu apa artinya pesta yang dimaksudkan Cui Im. Sudah
beberapa kali mereka mengadakan pesta seperti itu dan selama dalam
petualangannya belum pernah ia merasai kesenangan seperti pada saat-saat itu.
Cui Im lalu menghampiri Biauw Eng dan berlutut di dekat tubuh bekas sumoi-nya
itu, wajahnya yang ayu tampak menyeramkan penuh kekejian.
"Engkau
perempuan tak berjantung! Bunuh saja aku!" Biauw Eng marah sehingga hanya
dapat mendesis ucapan singkat itu.
"Hi-hi-hi-hik,
tentu saja, akan tetapi tidak begitu enak bagimu. Ibumu masih terlalu enak,
tidak terlalu lama menderita, akan tetapi engkau lain lagi. Aku harus dapat
membuatmu menderita sampai lama sebelum mati. Cukup dengan sebatang jarum saja,
Biauw Eng. Engkau mengenal jarum-jarum merahku, tahu bahwa satu kali kutusukkan
Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) ke jalan darah tiong-cu-hiat di tengkukmu,
racunnya perlahan-lahan akan menyiksamu dan baru setelah dua belas jam racun
itu akan merusak jantungmu dan membunuhmu." Setelah berkata demikian, Cui
Im mengeluarkan sebatang jarum merah dan dengan muka penuh kegemasan ia
menancapkan jarum itu pada tengkuk Biauw Eng, tepat pada jalan darah yang
dikehendakinya.
Biauw Eng
yang tak dapat bergerak itu tentu saja hanya dapat memejamkan mata sambil
menahan nyeri, dan begitu jarum ditusukkan, dia merasa betapa tengkuknya mulai
terasa gatal-gatal. Maklumlah ia bahwa nyawanya tidak akan tertolong lagi.
Biauw Eng mengerti akan hal ini akan tetapi dia tidak takut, hanya penasaran.
"Cui
Im, mengapa engkau begini membenci aku?"
"Mengapa?
Karena engkau sudah lancang berani mencinta Keng Hong!" Cui Im berkata sambil
bangkit berdiri.
"Keng
Hong... ahhh… apakah dia masih hidup? Di manakah dia…?"
Cui Im
membanting kakinya. "Huh, ternyata sampai detik ini engkau masih
mencintanya! Hi-hi-hik, dengarlah, aku tak hanya akan menyiksa batinmu sehingga
sampai mati engkau akan menjadi setan penasaran! Dengarkan baik-baik. Sampai
detik ini Keng Hong masih hidup, akan tetapi aku telah menjebaknya di sebuah
tempat yang takkan dapat dikunjungi manusia lain dan dia sendiri selama
hidupnya takkan dapat keluar! Dia akan mati kering di tempat itu, hi-hi-hik,
dia akan mati merindukanmu!"
"Ooohhhhhh...!"
Biauw Eng
yang tak mampu bergerak itu menangis. Dia sendiri menghadapi kematian dan
menghadapi siksaan yang dia tahu akan sangat sengsara sebelum dia mati, akan
tetapi semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang dialami
Keng Hong.
"Dan
engkau tentu belum sadar, ya? Mengapa Keng Hong membencimu? Mengapa dia
melontarkan segala tuduhan kepadamu di Kun-lun-san, ketika di dalam sidang
pengadilan Kun-lun-pai? Engkau sudah dituduhnya membunuh murid-murid perempuan
Hoa-san-pai, murid-murid partai lain? Hi-hi-hi, bekas sumoi-ku yang cerdik
pandai, yang amat lihai ilmu silatnya, mengapa?"
Biauw Eng
sudah mulai merasakan akibat tusukan jarum merah pada tengkuknya. Mulai terasa
berdenyut-denyut pada tengkuknya yang menjalar ke dalam kepala, seakan-akan ada
semut-semut menggigit tengkuk dan terus menggali ke dalam kepalanya! Akan
tetapi ucapan bekas suci-nya amat membangkitkan perhatian, maka dia bertanya
lemah,
"Mengapa?
Apakah engkau tahu mengapa?"
"Hi-hi-hik,
tentu saja aku tahu. Aku telah mencuri beberapa buah senjata rahasiamu, aku
mengenakan pakaian putih dan aku mengikuti Keng Hong secara diam-diam."
"Setan...!
Kau... Kaukah yang melakukannya? Sudah menyamar seperti aku?" Biauw Eng
membelalakkan matanya. "Mengapa? Mengapa kau lakukan itu?"
"Karena
kau lancang berani mencinta Keng Hong. Biar dia marah kepadamu, biar kau
dimusuhi dunia kang-ouw dan... dan aku membunuh setiap wanita yang diterima
cinta kasihnya oleh Keng Hong si laknat! Berani dia menolak cinta kasihku dan
berani pula dia menerima cinta kasih wanita lain! Hi-hik-hik, aku membunuh
murid Hoa-san-pai itu yang masih dalam pelukannya! Dan aku bunuh dua orang
murid wanita Kong-thong-pai yang masih merasakan kehangatan cintanya. Dan
sekarang kubunuh pula engkau..."
"Moi-moi,
demikian besarkah cintamu terhadap Keng Hong itu?" Tiba-tiba Siauw Lek
yang sejak tadi menonton dan mendengarkan saja bertanya.
Cui Im
menggeleng kepala. "Sekarang aku benci padanya. Kalau aku mencintainya,
masa aku menjebaknya sehingga dia terkubur hidup-hidup?"
"Cui
Im, engkau... engkau... manusia berhati iblis..."
"Hi-hi-hik,
lupakah engkau golongan apa kita ini, Biauw Eng? Ibumu ialah orang pertama dari
Bu-tek Su-kwi, datuk-datuk golongan hitam, manusia-manusia sesat dari dunia
hitam! Aku kini menjadi ratu golongan hitam, habis kalau tidak kejam, bukankah
akan ditertawai oleh tokoh-tokoh lain? Sekarang engkau rasakan penderitaanmu.
Engkau akan tersiksa oleh rasa nyeri yang amat hebat, nyawamu tak akan
tertolong lagi, dan engkau akan mati membawa kebencian Keng Hong yang
menganggap engkau adalah wanita kejam. Yang menganggap engkau sama saja dengan
aku yang malam-malam datang merayunya dan mengemis cintanya! Engkau akan mati
dan menjadi setan penasaran!"
"Biar
pun sampai mati, aku akan tetap mengejarmu untuk membalas dendam!"
Tiba-tiba Biauw Eng berteriak.
Wajah Cui Im
menjadi berubah agak pucat dan kakinya melangkah mundur. Ada sesuatu dalam
suara bekas sumoi-nya ini yang membuat dia merasa ngeri sekali. Akan tetapi dia
menutupi rasa ngerinya itu dengan suara tawa terkekeh, kemudian menggandeng
tangan Siauw Lek dan diajaknya lelaki itu pergi dari pantai selatan,
meninggalkan Lam-hai Sin-ni yang mulai kehabisan darah serta Biauw Eng yang
mulai tersiksa oleh rasa nyeri yang tak terbayangkan hebatnya.
Sungguh pun
sudah jauh meninggalkan bekas guru dan sumoi-nya, dan sudah berada di sebuah
kamar besar bersama Siauw Lek dan enam orang culikan mereka, akan tetapi Cui Im
masih saja gelisah dan telinganya masih mendengar ancaman bekas sumoi-nya. Dia
membayangkan betapa sumoi-nya itu sudah tewas, menjadi setan penasaran dan
selalu mengejar hendak mencekiknya!
Dia tidak
gentar menghadapi lawan manusia yang bagaimana sakti pun juga, akan tetapi
melawan setan penasaran? Cui Im menggigil lalu memeluk seorang di antara tiga
orang muda yang diculiknya dan dibawanya ke dalam salah satu kamar di gedung
ini.
Dengan
kekejaman luar biasa Cui Im yang hendak memenuhi janjinya kepada Siauw Lek,
malam ini mengadakan ‘pesta’. Pesta antara mereka berdua yang gila, yang tak
mungkin terpikirkan manusia lain.
Mereka
berdua menculik tiga orang pemuda remaja yang tampan-tampan dan tiga orang
perawan remaja yang cantik-cantik, lalu membawa mereka berenam ke dalam sebuah
kamar dari gedung yang kini sudah kosong karena semua penghuni gedung telah
mereka bunuh! Di dalam kamar yang besar ini, Cui Im dan Siauw Lek melakukan
praktek-praktek kecabulan yang tiada taranya.
Dengan
ancaman mereka memaksa tiga orang pemuda serta tiga orang gadis itu untuk
melayani nafsu-nafsu mereka, yang mereka jadikan semacam pembangkit gairah
birahi, dan pada akhir pesta mereka berdua sendiri bermain cinta di hadapan
enam orang muda yang memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, bagai
enam ekor kelinci yang hampir mati ketakutan.
Dan pada
keesokkan harinya, dengan tubuh lemas dan semangat segar penuh kepuasan serta
kegembiraan, Cui Im dan Siauw Lek meninggalkan kamar itu yang kini dihias enam
sosok mayat dari tiga pasang orang muda yang telanjang bulat dan mandi darah!
***************
Biauw Eng
masih rebah miring, tidak mampu bergerak. Dia tadi hanya memandang saja penuh
kebencian betapa sebelum pergi Cui Im telah mengangkat sebuah batu besar dan
dengan pedang merahnya wanita itu membuat huruf-huruf di atas batu yang
berbunyi:
DI TEMPAT
INI LAM-HAI SIN-NI DAN SONG-BUN SIU-LI DIBUNUH OLEH ANG-KIAM BU-TEK
Kemudian
Biauw Eng melirik ke arah ibunya dan air matanya mengalir turun ketika dia
melihat ibunya yang sudah buntung kedua kaki tangannya itu duduk tegak dan
kaku. Ia dapat menduga bahwa ibunya tentu sudah tewas dan hanya kekerasan hati
ibunya mati dalam keadaan duduk tegak seperti itu.
Dan dia sama
sekali tidak berdaya dan akan mati pula! Dan Keng Hong masih hidup, akan tetapi
juga menanti kematian yang diawali siksaan dan derita lebih panjang lagi. Dan
dia mati sebagai seorang yang jahat dan dibenci oleh Keng Hong.
Biauw Eng
mengeluh, terisak-isak. Tubuhnya kini mulai terasa amat sakit-sakit terutama
sekali di bagian belakang kepalanya yang seperti digerogoti semut-semut api.
Rasa nyeri yang hebat sekali, akan tetapi tidak terlampau hebat sehingga tidak
sampai membuatnya pingsan. Dia maklum akan kehebatan racun jarum merah bekas
suci-nya itu.
Memang ini
yang dikehendaki oleh Cui Im. Agar dia tidak pingsan dan terus sadar, terus
merasakan siksaan sedikit demi sedikit sampai racun merusak jantungnya kemudian
baru dia mati dalam keadaan yang amat menderita.
Akan tetapi
bukan rasa nyeri yang membuatnya mengeluh. Rasa nyeri di tubuhnya bukan apa-apa
jika dibandingkan dengan rasa nyeri dalam hatinya. Melihat ibunya mati demikian
mengenaskan, lalu menghadapi kematiannya sendiri yang amat terhina, dan
memikirkan Keng Hong, sungguh-sungguh merupakan siksaan batin yang membuat dia
hampir saja menjerit-jerit, tepat seperti yang dikehendaki Cui Im!
Dia belum
mati. Baru tiga empat jam berlalu, masih ada delapan jam lagi. Sebelum mati,
mengapa putus asa? Kalau dia dapat hidup, dia dapat mencari Keng Hong,
menolongnya dari bahaya maut, kemudian mencari Cui Im dan Siauw Lek untuk
membalas dendam berikut bunga-bunganya! Akan tetapi, betapa mungkin ia dapat
tertolong?
Andai kata
ia dapat membebaskan totokan dan mampu bergerak pun, ia tidak akan dapat
menolong nyawanya. Untuk mengobati racun jarum merah ini, dia tidak mempunyai
obat penawarnya, juga ibunya tidak menyimpan obat ini. Obat ini tentu saja
hanya dibawa oleh Cui Im yang mempergunakan racun itu pada senjata rahasianya.
Untuk
menyedot dan mengeluarkan racun juga tak mungkin. Mana bisa ia menyedot luka di
tengkuknya? Pula, ia mengerti sifat racun merah itu. Tidak berbahaya bagi mulut
yang menyedotnya, akan tetapi berbahaya bagi mata! Orang yang menyedot racun
itu tak akan mati, akan tetapi akan rusak matanya, akan menjadi buta!
Biauw Eng
memejamkan mata memutar otak mencari akal yang agaknya sudah buntu. Tiba-tiba
saja telinganya mendengar suara langkah kaki menghampiri. Cepat ia membuka mata
dan melihat bagian tubuh seorang laki-laki melangkah maju. Ah, masih ditambah
ini lagi penderitaannya? Apakah di saat terakhirnya ini ia masih akan mengalami
penghinaan, perkosaan dari seorang pria?
Tentu Siauw
Lek yang datang kembali ini, pikirnya dan ia memejamkan matanya kembali,
terlalu ngeri untuk mengalami penderitaan hebat yang akan menimpa dirinya
dengan mata terbuka.
"Aiiiihhh,
terlalu keji iblis betina itu..." Terdengar suara seorang laki-laki yang
berlutut di dekat tubuh Biauw Eng. Agaknya dia memeriksa keadaan Biauw Eng yang
disangkanya pingsan.
Mendengar
bahwa suara ini bukan suara Siauw Lek, Biauw Eng membuka matanya dan melirik ke
atas. Muka yang tampan dari seorang pemuda yang berusia amat muda, paling
banyak baru dua puluh dua tahun atau sebaya dengan dia. Wajah tampan dan sikap
yang gagah dan sopan.
"Ahh,
syukurlah engkau tidak pingsan, Nona. Biar aku menolongmu, Nona."
"Dapatkah
engkau membebaskan totokan pada punggung dan pundakku?" Biauw Eng
bertanya, sikapnya tenang.
"Aku
mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi bukan ahli tiam-hiat-hoat, Nona. Jalan
darah mana yang harus ditotok?"
"Jalan
darah kian-keng-hiat di pundak dan hong-hu-hiat di punggung belakang pundak.
Bukan ditotok, melainkan dibebaskan."
"Wah,
sayang, aku tidak bisa, Nona. Katakan saja di mana adanya obat penawar racun
jarum ini, dan aku akan..."
"Hemmm,
tidak ada obat penawarnya!" Biauw Eng putus asa.
Dia tadi
minta dibebaskan hanya supaya dia dapat memeriksa ibunya, bukan untuk dapat
menolong diri sendiri. Kini pemuda ini terlalu rendah ilmu silatnya sehingga
membebaskan dirinya pun tidak mampu! Ia menghela napas dan berkata lagi,
"Engkau
siapakah? Mengapa ke sini?"
"Aku
she Sim, bersama Lai Sek. Aku sengaja datang mencari Lam-hai Sin-ni dan engkau
puterinya, untuk... untuk membalas dendam atas kematian cici-ku!"
"Uhhh,
dengan kepandaianmu seperti itu, engkau hendak melawan aku dan ibuku?"
tanya Biauw Eng penuh keheranan.
"Membalas
dendam adalah satu hal, menang atau kalah adalah hal lain lagi. Akan tetapi,
ketika aku datang tadi... aku melihat iblis-iblis itu, aku bersembunyi,
merangkak-rangkak dekat dan mendengar semua. Kemudian aku mengerti engkau sudah
terkena fitnah iblis betina itu. Selama ini aku mengutuk namamu dan menganggap
engkau adalah pembunuh cici-ku. Tadi aku melihat betapa ibumu disiksa, dibunuh,
kemudian betapa ibumu dihina dan dilukai. Aku harus menolongmu, harus!
Benar-benarkah tidak ada obat penawarnya, Nona?"
"Sudah
kukatakan tidak ada, engkau tidak dapat menolongku, sedangkan aku sendiri pun
tidak bisa menolong diriku sendiri. Aku sangat berterima kasih kepadamu,
Sim-enghiong. Engkau seorang pemuda yang baik budi. Apa bila engkau sudi untuk
merawat ibuku... Mengubur jenazahnya... biar sampai mati pun aku akan amat
berterima kasih padamu..."
Suara Biauw
Eng mengandung isak karena teringat akan ibunya. Betapa sedih hatinya melihat
ibunya disiksa dan dibunuh orang tanpa ia dapat menolongnya, malah jenazahnya
pun tak mampu ia merawat dan menguburnya!
"Ah,
tentu... Tentu, ahh, kasihan sekali engkau dan ibumu... hemmm, sungguh iblis
betina itu kejam sekali...!" Sim Lai Sek menjadi bingung karena dia tidak
tega melihat nona itu menderita tanpa dapat menolongnya.
Melihat
betapa wajah yang amat cantik jelita itu pucat dan bibir itu menyeringai sakit,
dahi yang halus itu penuh peluh, dia merasa hatinya tersiksa sekali. Cepat dia
bangkit dan menghampiri tubuh Lam-hai Sin-ni dengan hati ngeri, juga dengan
penuh rasa iba. Kaki tangannya buntung dan potongan kedua kaki dan lengan itu
masih berserakan di situ. Mengerikan! Ternyata bahwa tubuh nenek itu sudah
kaku, tak bernyawa lagi seperti yang diduga Biauw Eng.
Ketika tak
mendengar gerakan pemuda itu, Biauw Eng bertanya, "Sim-enghiong, apakah
ibuku... sudah meninggal?"
"Be...
benar, Nona…"
Biauw Eng
menarik napas panjang dan tiba-tiba dia merintih karena rasa nyeri yang luar
biasa menusuk tengkuknya.
"Harap...
harap kau mau berbaik hati... menolongku, menguburkan jenazahnya..."
"Baiklah,
Nona. Tenangkan hatimu, aku akan mengubur jenazah locianpwe."
Seperti
pernah diceritakan pada bagian depan cerita ini, Sim Lai Sek adalah adik dari
Sim Ciang Bi, murid Hoa-san-pai yang terbunuh oleh senjata rahasia yang dilepas
oleh Cui Im, yang tewas di dalam pelukan Keng Hong setelah gadis itu
melampiaskan perasaan saling mencinta bersama Keng Hong.
Sim Lai Sek
merasa sakit hati sekali dan pemuda ini mengikuti semua persoalan tentang Keng
Hong, ikut menyaksikan pula Keng Hong diadili dan meyaksikan betapa Biauw Eng
yang kemudian dilarikan oleh ibunya, Lam-hai Sin-ni. Karena merasa sakit hati
kehilangan cici-nya, satu-satunya saudaranya dan yang amat dicintainya, Sim Lai
Sek melatih diri dengan ilmu silat, kemudian mencari Lam-hai Sin-ni untuk
membalas dendam kematian cici-nya yang menurut pengakuan Biauw Eng sendiri
dibunuh oleh gadis puteri Lam-hai Sin-ni itu.
Ketika tadi
dia sampai di situ, dia menyaksikan sepak terjang Cui Im dan Siauw Lek. Ia
bersembunyi dan mengintai. Karena dua orang manusia iblis itu sibuk dengan
kekejaman mereka, mereka tak melihat atau mendengar kedatangan pemuda ini yang
akhirnya dapat mendengar dan menyaksikan semuanya. Terbukalah matanya bahwa Biauw
Eng terkena fitnah, bahwa yang membunuh cici-nya adalah wanita iblis itu!
Akan tetapi
menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian kedua orang manusia iblis itu, Lai Sek
maklum bahwa kalau dia menyerang takkan ada gunanya. Ia menanti sampai selama
berjam-jam barulah dia merasa yakin bahwa mereka tidak akan datang kembali maka
dia lalu muncul menolong ibu dan anak itu
Dengan penuh
semangat Lai Sek menggali lubang kuburan. Ia bertenaga besar dan tak lama
kemudian dia sudah menggali sebuah lubang, kemudian dia mengeraskan hatinya
mengangkat tubuh Lam-hai Sin-ni yang kaku, lalu menaruhnya hati-hati ke dalam
lubang berikut potongan-potongan kedua kaki tangannya, dan akhirnya dia
menguruk lubang itu dengan tanah galian.
Biauw Eng
memandang semua pekarjaan pemuda itu dan ketika Lai Sek menguruk tanah kuburan
ia tak dapat melihat lagi karena kedua matanya penuh air mata yang tak dapat ia
hapus karena kedua tangannya tak dapat ia gerakkan.
"Sudah
selesai, Nona." Lai Sek berlutut di dekat Biauw Eng setelah dia membersihkan
kedua tangannya.
Melihat
betapa gadis itu menggigit bibir menahan nyeri dan melihat air mata memenuhi
bulu mata karena tak dapat dihapus, pemuda itu menjadi iba sekali hatinya dan
seperti tak disadarinya dia menggerakkan tangan dan mengusap air mata dari
kedua mata nona itu dengan ujung bajunya. Dua mata yang merah itu memandang
penuh keharuan dan rasa terima kasih menusuk perasaan Lai Sek.
"Sim-enghiong...
kau... kau manusia paling mulia yang pernah kujumpai... Kini dapatkah engkau
mengangkat batu di sana itu dan meletakkannya di depan kuburan ibuku?"
Lai Sek
menengok memandang batu besar itu kemudian mengangguk. "Ilmu silatku tidak
seberapa tinggi, Nona, tetapi tenagaku besar. Agaknya batu itu akan terangkat
olehku."
Ia
menghampiri batu itu. Ketika membaca huruf-huruf terukir di atas batu, ia
mengerutkan kening dan berkata,
"Perlukah
batu buatan iblis betina ini dipasang di depan kuburan ibumu, Nona? Dia amat
sombong. Engkau belum... mati tetapi dia sudah menulisnya begini pasti..."
"Dia
benar, aku tentu akan mati. Biarlah kau pasang batu itu agar kelak... kalau
Tuhan menghendaki, Keng Hong melihat batu itu dan mungkin dia masih... ingat
akan ... ahhh, terserahlah... Harap kau suka pindahkan batu itu…"
Lai Sek
tidak membantah lagi, lalu menghampiri batu besar itu, menyingsingkan lengan
baju kemudian memeluk sambil mengerahkan tenaga. Dengan susah payah dapatlah
dia mengangkat batu itu dan meletakkannya di depan kuburan Lam-hai Sin-ni.
Kemudian dia menghampiri Biauw Eng dan berlutut lagi.
Nona itu
memandangnya dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh rasa syukur dan terima
kasih, bahkan bibir yang mengerut karena menahan sakit itu tersenyum.
"Aihh...
Apa saja yang takkan kulakukan untuk dapat membalas budimu, Sim-enghiong...
Sayang... Aku hanya dapat membawa namamu ke alam baka..."
Kedua mata
itu masih memandang terbelalak dan air matanya mengalir dari pelupuk mata
membasahi kedua pipinya yang pucat. "Selamat berpisah, sahabat terbaik Sim
Lai Sek... Namamu terukir di sanubariku, kubawa mati... Pergilah sekarang dan
biarkan aku dengan tenang menghadapi siksaan yang akan membawaku pergi menyusul
ibu..."
Sim Lai Sek
merasa betapa hatinya bagaikan ditusuk-tusuk. "Tidak...! Tidak...!
Tidak...! Engkau tidak boleh mati begini saja, Nona! Seorang semuda engkau,
secantik engkau… ahhh, tidak mungkin aku dapat membiarkan kau mati begini
saja...!"
Gadis yang
tadinya sudah memejamkan mata itu kini kembali membuka matanya dan memandang
heran. Saking herannya, untuk sementara dia sampai lupa rasa nyeri yang makin
menghebat.
"Sim-enghiong...
Kau... kau kenapakah? Mengapa kau bersikap seperti ini... Mengapa... Mengapa
engkau sebaik ini kepadaku...?"
"Lima
tahun lamanya setiap hari aku menyumpahimu, mengutukmu, menganggap engkau sejahat-jahatnya,
orang berhati keji telah membunuh cici-ku yang tak berdosa. Agaknya... Siapa
tahu... Karena kutukan dan sumpahku itu engkau mengalami malapetaka sehebat
ini, dan ternyata engkau... tidak berdosa! Dengan begini maka akulah yang telah
berdosa kepadamu, Nona. Aku harus menebus dosaku padamu, akan tetapi bagaimana?
Engkau terluka, hampir mati... terluka jarum beracun… Mungkin tidak ada obat
penawarnya, akan tetapi kalau racunnya dikeluarkan..."
"Jangan...!!"
Biauw Eng menjerit.
"Mengapa
jangan? Engkau akan selamat! Kalau racun itu kusedot keluar... ya, begitulah
cara pengobatannya!" Sim Lai Sek mengulur tangannya hendak mencabut jarum
merah yang menancap di tengkuk Biauw Eng itu.
"Sim-enghiong,
jangan kau lakukan itu!" Biauw Eng menjerit, suaranya melengking penuh
kengerian. "Engkau akan celaka...!"
Sim Lai Sek
tersenyum dan tak menghentikan usahanya, kini jari-jari tangannya menjepit
jarum merah itu dan dicabutnya dengan tiba-tiba. Darah menghitam keluar dari
luka pada tengkuk itu.
"Nona,
jangan menakut-nakuti aku. Biar celaka sekali pun, untuk menolongmu dan untuk
menebus dosa, aku rela!"
Setelah
berkata demikian Sim Lai Sek membungkuk dan mendekatkan mulutnya pada tengkuk
yang berkulit putih halus, akan tetapi di sekitar luka kecil itu membengkak
merah.
"Tunggu
dulu..., Sim-enghiong, ini tidak boleh... tunggu sebentar dan dengarkan dahulu
kata-kataku." Biauw Eng di dalam hatinya meronta-ronta dan suaranya
terdengar penuh permohonan sehingga Lai Sek mengangkat lagi mukanya.
"Ada apa
lagi, Nona?"
"Dengar,
Sim-enghiong. Aku tahu betul kedashyatan racun Ang-tok-ciam ini. Dia itu bekas
suci-ku sendiri, aku tahu bahwa luka jarum ini sama sekali tidak boleh
disedot."
"Apakah
tak akan sembuh? Boleh coba-coba dari pada tidak ditolong sama sekali."
"Bukan
begitu!" Biauw Eng gugup. “Mungkin sembuh, akan tetapi penyedotnya... dia
akan celaka, akan menjadi buta matanya! Jangan kau lakukan itu..."
Lai Sek
kelihatan terkejut, kemudian dia menatap wajah Biauw Eng dan tersenyum.
"Biar celaka, atau buta, bahkan mati sekali pun aku rela melakukannya
untukmu, Nona." Dia menunduk kembali.
Akan tetapi
Biauw Eng menjerit lagi. "Nanti dulu! Sim Lai Sek... Katakanlah terus
terang, mengapa... kau melakukan ini untukku? Kalau hanya untuk menebus rasa
penyesalanmu telah salah menuduh saja, tidak mungkin. Katakanlah, mengapa...?
Mengapa...??"
Sim Lai Sek
memandang wajah gadis itu dan sejenak pandang mata mereka bertemu dan bertaut.
Kemudian pemuda itu berkata, suaranya seret dan sukar keluar, namun dipaksa
juga.
"Baiklah,
Nona. Mengingat bahwa keadaan kita ini gawat sekali, kalau kau tidak kutolong
engkau mati, kalau kutolong mungkin aku yang mati, biarlah kau mendengar
sejelasnya, mendengar apa yang selama ini berada di dalam hatiku sebagai
rahasia pribadiku yang tidak diketahui siapa pun juga. Kau mau tahu mengapa aku
hendak nekat menolongmu dengan taruhan nyawaku? Baiklah, karena... karena aku
cinta kepadamu, Nona!"
Terbelalak
mata Biauw Eng. Dugaan yang tepat akan tetapi dia tetap tidak tahu mengapa pemuda
itu mencintainya.
"Akan
tetapi... ahhh, mana mungkin? Engkau selamanya mendendam, menyumpah dan
mengutuk aku yang tadinya kau anggap membunuh cici-mu!"
Sim Lai Sek
menundukkan kepalanya. "Hal itulah yang selama bertahun-tahun merusak
hatiku. Semenjak aku melihatmu di Kun-lun-san, aku... ahhh, si lemah ini, aku
jatuh cinta kepadamu, Nona. Kemudian ketika mendengar engkau adalah pembunuh
cici-ku, hatiku sakit dan rusak, cintaku berubah jadi kebencian dan penyesalan,
kusumpahi dan kukutuk engkau. Kini, ternyata engkau tak berdosa, maka anehkah
kalau cintaku tumbuh kembali, bahkan makin mendalam? Aku telah berdosa kepada
orang yang kucinta sepenuh hatiku, dan kini untuk menebus dosa terhadapmu,
Nona, jangankan hanya berkorban mata yang masih belum kupercaya, biar berkorban
nyawa aku rela!"
Sinar mata
Biauw Eng menjadi sayu, air matanya turun membanjir. Ia tidak kuasa berkata
apa-apa lagi, maklum bahwa apa pun juga yang dia katakan, dia tidak akan
berhasil mencegah pria yang begini cinta kasihnya. Bibirnya hanya bergerak
hingga terdengarlah bisikannya lirih, "Ouhhhhh... biarkan aku mati...
biarkan aku mati..."
Ia
memejamkan mata dan menggigit bibir ketika merasa betapa mulut yang basah
hangat dari pemuda itu mengecup tengkuknya lalu menyedot, betapa napas yang
panas dari hidung pemuda itu menghembus-hembus anak rambut pada tengkuknya. Dia
tersedu dan merasa semangatnya terbang, hampir pingsan saking gelisah dan cemas
hatinya kepada pemuda itu.
Tanpa
sedikit pun mengingat akan dirinya sendiri, Lai Sek sudah mengecup, menyedot,
dan meludahkan darah hitam yang berbau amis. Hampir dia tidak kuat menahan,
akan tetapi dia mengeraskan hati dan menahan kepalanya yang menjadi pening. Dia
menyedot lagi, meludah, menyedot, meludah, sampai akhirnya setelah hampir
kehabisan napas dan hampir tidak dapat menahan rasa pening kepalanya, Lai Sek
menyedot darah merah!
Ia menjadi
girang sekali, akan tetapi masih terus menyedot dan meludah sehingga darah
merah secawan keluar yang berarti bahwa kini racun telah dikeluarkan semua. Lai
Sek tertawa-tawa, kemudian roboh terguling.
"Lai
Sek...!" Biauw Eng menjerit lemah.
Dia telah
terhindar dari bahaya racun, akan tetapi tubuhnya lemas dan totokannya belum
punah, maka dia hanya dapat memanggil-manggil Lai Sek sambil menangis.
Totokan jari
tangan Cui Im memang hebat luar biasa. Seperti juga jalannya racun jarum
merahnya, totokannya itu barulah dapat punah dengan sendirinya setelah lewat
dua belas jam.
Hari sudah
lewat senja dan hujan turun rintik-rintik di pantai laut selatan itu. Selama
itu, Biauw Eng menunggu tubuhnya terbebas totokan, rebah miring di samping
tubuh Lai Sek yang pingsan di situ pula.
Setelah ia
dapat bergerak, pertama-tama yang ia lakukan adalah menubruk tubuh Lai Sek dan
menangis tersedu-sedu, mengangkat muka pemuda itu untuk diperiksa, dan di dalam
cuaca suram hampir gelap itu ia melihat betapa kedua mata pemuda itu membengkak
merah! Ia menjerit dan mendekap muka itu ke dadanya, menempelkankan mukanya
pada kening pemuda itu sehingga air matanya membasahi muka Lai Sek sambil
merintih, "Lai Sek... ohhh, Lai Sek...!"
Hujan sudah
berhenti, malam pun tibalah. Biauw Eng tidak bergerak pindah dari tempat dia
duduk, kepala Lai Sek berada di atas pangkuannya. Sejak tadi jari-jari tangan
gadis itu mengelus-elus rambut kepala Lai Sek, hatinya penuh keharuan dan ada
rasa aman dalam hatinya. Hidupnya yang tadinya kosong karena Keng Hong kemudian
karena kematian ibunya, kini terisi lagi oleh kewajiban baru. Dia hidup untuk
pemuda ini! Untuk membalas budi pemuda ini yang tiada taranya.
Sim Lai Sek
bergerak perlahan. "Uuuhhh, alangkah gelapnya...!" Ia mengeluh,
kepalanya bergerak-gerak di atas pangkuan Biauw Eng.
Ucapan itu
memancing keluar air mata yang bercucuran dari mata gadis itu.
"Malam
telah tiba, Lai Sek," katanya lirih menahan isak.
"Heh,
apa? Siapa? Malam..? Ehhh, engkaukah ini, Nona? Mengapa..., mengapa engkau
memangku aku...? Ehhh, mataku... tak dapat melihat apa-apa..."
Biauw Eng
menangis, menunduk dan merangkul leher Lai Sek, tak kuasa mengeluarkan
kata-kata. Lai Sek terheran-heran, lalu meraba kedua matanya, jari-jari
tangannya meraba sepasang mata yang bengkak dan tertutup, tak dapat dibuka dan
teringatlah dia.
"Ahhh…,
aku... aku telah menjadi buta..."
"Lai
Sek... mengapa engkau nekat...? Sudah kukatakan..." Biauw Eng tak dapat
berkata lagi, terus menangis.
"Mataku
buta? Biarlah! Akan tetapi engkau sudah sembuh, benarkah itu, Nona? Engkau
sudah dapat bergerak, sudah duduk. Bagus, engkau sudah sembuh!"
Lai Sek
meraba-raba pundak dan tengkuk gadis itu, suaranya mengandung kelegaan hati dan
kegirangan besar yang tidak dibuat-buat, kegirangan yang membuat dia lupa akan
keadaan matanya yang buta. Kegirangan yang terkandung di dalam suara pemuda ini
membikin Biauw Eng menjerit dan tangisnya makin menjadi.
"Kau
kenapa, Nona?" Lai Sek meraba-raba dan jari-jarinya bertemu dengan air
mata di pipi Biauw Eng.
"Kau
menangis, Mengapa? Engkau menangisi aku, benarkah, Nona?"
"Lai Sek..,
Lai Sek... Betapa aku tidak akan menangisi engkau? Hatiku hancur melihat
penderitaanmu karena aku..."
Cinta memang
perasaan yang aneh, mengatasi segala macam penderitaan hidup. Walau pun kedua
matanya menjadi buta, ketika merasa betapa gadis itu memeluknya, bahkan
menciumi mukanya, menangis untuknya, Lai Sek menjadi girang dan merasa
berbahagia sekali!
"Ohhh,
terima kasih, Nona. Terima kasih...! Engkau menangis karena mataku buta? Ahh,
aku mau seribu kali buta kalau engkau menaruh perhatian seperti ini, Nona!
Engkau telah sembuh, sungguh besar hatiku dan kesembuhanmu masih terlampau
murah kalau hanya ditebus dengan sepasang mataku! Aku gembira, aku bersyukur
kepada Thian Yang Maha Kuasa bahwa aku dapat menebus dosaku kepadamu, bahwa aku
masih ada gunanya, terutama sekali untukmu. Nona, kau tolonglah bawa aku ke
kota Liok-kun dan antarkan aku ke rumah pamanku di kota itu, kemudian boleh kau
tingggalkan aku, Nona. Akan tetapi berhati-hatilah jangan sampai engkau bertemu
dengan dua manusia iblis itu lagi, mereka amat berbahaya dan lihai."
"Lai
Sek, kau kira aku ini orang macam apa? Tidak, aku akan merawatmu, mendampingi
dirimu dan tak akan pernah meninggalkanmu. Kita akan selalu bersama sampai...,
sampai kematian memisahkan kita," kata Biauw Eng penuh keharuan sambil
memegang kedua tangan pemuda itu.
Lai Sek
mencengkeram kedua tangan yang kecil itu dan suaranya tergetar, "Apa yang
kau bilang, Nona? Engkau seorang gadis cantik jelita seperti bidadari, berilmu
tinggi, engkau hendak menyia-nyiakan hidupmu di samping seorang seperti aku,
yang sekarang sudah menjadi seorang buta tiada guna? Tidak! Engkau tidak perlu
mengorbankan dirimu hanya karena perbuatanku tadi, Nona. Sudah kukatakan bahwa
aku hendak menebus dosaku, dengan kedua mataku masih murah!"
"Sim
Lai sek, aku sudah mengambil keputusan hidupku. Kecuali kalau engkau tidak sudi
bersamaku, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Ataukah... engkau tidak cinta
lagi kepadaku?"
Genggaman
tangan Lai Sek makin kencang. "Engkau tahu bahwa aku amat mencintamu,
Nona. Aku mencintamu melebihi jiwa ragaku! Akan tetapi, karena cintaku itulah
maka aku tidak ingin engkau menyia-nyiakan hidupmu, menderita dan mengorbankan
hidup bagiku. Cintaku tidaklah sedangkal itu, Nona. Aku mencintamu, akan tetapi
engkau tentu tidak mencin..."
"Hushhh,
aku pun cinta kepadamu, Lai Sek…"
"Kau...?
Kau..? Betapa mungkin ini? Biauw Eng, jangan mempermainkan aku, jangan...
sekejam itu..."
Akan tetapi
Biauw Eng sudah menutup ucapan Lai Sek dengan mencium mesra pada mulut pemuda
itu hingga membuat Lai Sek gelagapan. Setelah melepaskan ciumannya, Biauw Eng
berbisik, "Nah, masih ragukah engkau? Adakah seorang gadis suci mencium
mulut seorang pria kalau dia tidak mencinta pria itu?"
"Kau
mencintaku? Ya Tuhan, sukar untuk dipercaya! Mengapa kau mencintaiku? Karena
aku telah menyelamatkan nyawamu?"
"Bukan,
Lai Sek, karena kemuliaan hatimu. Kalau orang seluruh dunia ini semulia engkau,
aku pun akan mencinta seluruh manusia di dunia ini."
"Biauw
Eng...!" Lai Sek memeluk, merangkul dan mendekap, lalu menangis
tersedu-sedu. "Biauw Eng... terima kasih... terima kasih..."
Dan keduanya
berpelukan sambil bertangisan.
***************
Keng Hong
menuruni puncak Kun-lun-san dengan wajah berseri gembira. Betapa hatinya tidak
akan gembira oleh hasil yang dicapainya di Kun-lun-pai? Sekarang dia telah
berhasil membersihkan namanya di Kun-lun-pai, sudah berhasil mengubah rasa
benci para tokoh Kun-lun-pai, terutama Kiang Tojin, menjadi rasa kagum
berterima kasih dan bersahabat.
Tentu saja
ada pula yang berbalik membencinya karena sepak terjangnya di Kun-lun-pai,
terutama sekali Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, akan tetapi hal ini sudah
wajar. Setiap perbuatan yang mendatangkan senang kepada sepihak, tentu
mendatangkan rasa tidak senang kepada pihak yang bertentangan. Pokoknya, ia
harus mendatangkan rasa senang kepada di pihak yang benar dan baik, ada pun
rasa tidak senang di pihak yang salah dan jahat, bukanlah merupakan hal yang
aneh.
Ia maklum
bahwa tugas yang kini dihadapinya amat berat. Dia akan menghadapi banyak
rintangan, akan menghadapi permusuhan dari orang-orang yang masih mendendam
pada gurunya, bahkan yang akhir-akhir ini juga mendendam kepada dirinya
sendiri. Bagaimana caranya dapat mengubah permusuhan menjadi persahabatan
seperti yang dia hasilkan di Kun-lun-pai?
Tugas
menebus semua permusuhan dari hati para tokoh kang-ouw terhadap gurunya dan dia
sendiri sudah sangat berat, masih ditambah lagi dengan tugasnya mencari Cui Im
dan menundukkan wanita itu, minta secara halus mau pun kasar agar supaya wanita
itu mau mengembalikan kitab-kitab yang dicurinya, karena sebenarnya kitab-kitab
itu merupakan syarat penting baginya untuk melenyapkan permusuhan yang
ditimbulkan gurunya ketika gurunya mencuri atau merampas kitab-kitab itu dari
partai-partai besar. Sebelum dia bisa mengembalikan kitab-kitab itu kepada
pemiliknya yang berhak, bagaimana mungkin dia dapat mengubah permusuhan menjadi
persahabatan?
Ketika
melewati sebuah puncak dan melihat puncak Bayangkara di depan, Keng Hong
berhenti dan memandang puncak Bayangkara dengan kening berkerut. Seperti puncak
Bayangkara itulah tugasnya, menjulang tinggi dan puncaknya itu sendiri
merupakan tugas pertama baginya, yaitu dia harus mengunjungi puncak itu untuk
berusaha melenyapkan permusuhan yang timbul dengan mereka yang berkuasa di
puncak itu, ialah perkumpulan Tiat-ciang-pang.
Memandang
puncak Bayangkara, teringatlah dia akan semua pengalamannya ketika dia bentrok
dengan perkumpulan Tiat-ciang-pang. Kemudian teringatlah dia akan Sim Ciang Bi,
gadis Hoa-san-pai yang menjadi sebab pertama bentrokannya itu.
Ia membantu
Ciang Bi dan adiknya, Sim Lai Sek, ketika mereka berdua itu dikeroyok para anak
buah Tiat-ciang-pang sehingga bentrokan menjadi berlarut-larut, ditambah pula
oleh perbuatan Cui Im yang menyamar sebagai Biauw Eng kemudian membantunya
secara diam-diam, bahkan telah membunuh Ciang Bi.
Keng Hong
menghela napas panjang. Harus dia kujungi perkumpulan itu agar dia dapat bicara
dengan Ouw Beng Kok dan Lai Ban, ketua dan wakil ketua dari Tiat-ciang-pang.
Karena itu dengan hati mantap Keng Hong melanjutkan perjalanannya, menuju ke
puncak Bayangkara.
Ketika dia
tiba di wilayah pegunungan ini dan berada di sebuah lereng yang agak tinggi,
dia melihat dari jauh beberapa bayangan orang mendaki puncak, ada yang naik
kuda, ada yang berjalan kaki. Dia berhenti memperhatikan. Dari gerakan mereka
yang berjalan kaki dia dapat melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang
memiliki kepandaian dan agaknya mereka hendak bertamu ke Tiat-ciang-pang. Ada
apakah di Tiat-ciang-pang?
Selagi dia
masih termangu-mangu, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bernyanyi,
suaranya halus terbawa angin lalu.
"Kun-cu
Song Ki Wi Ji Heng, Put Goan Houw Ki Gwee (Seorang budiman bersikap sesuai
dengan kedudukannya, tidak menginginkan sesuatu yang bukan menjadi
bagiannya)."
Wajahnya
berseri mendengar syair itu. Ia segera mengenal syair itu sebagai ujar-ujar
Nabi Khong-cu dalam pelajaran Kitab Tiong-yong, dan dia mengenal atau dapat
menduga pula siapa orangnya yang sedang bernyanyi itu. Keng Hong tersenyum
lantas melangkah ke depan menuju ke arah datangnya suara nyanyian yang terbawa
angin lalu.
Tepat
seperti yang diduganya, dia segera melihat kakek bongkok berpunuk yang selalu
berpakaian bersih namun berkaki telanjang, rambutnya panjang akan tetapi di
bagian atas kepalanya botak, sedang duduk ongkang-ongkang di atas sebatang
dahan pohon sambil bernyanyi dan diseling menengak arak dari guci araknya.
Siauw-bin
Kuncu, tokoh aneh yang dahulu dia akali untuk memecahkan rahasia kalimat yang
terukir di pedang Siang-bhok-kiam! Tanpa sengaja kakek aneh inilah orangnya
yang telah berjasa hingga dia bisa menemukan tempat rahasia penyimpanan pusaka
gurunya.
Kakek itu
melanjutkan syair ujar-ujar di dalam kitab Tiong-yong, akan tetapi kini tidak
lagi dinyanyikan, namun diucapkan secara nyaring dengan gaya sedang memberi
kuliah atau sedang berceramah di depan banyak murid. Kedua lengannya
dikembangkan, kepalanya bergerak-gerak mengikuti irama kata-kata yang seperti
sajak dideklamasikan.
Dalam
keadaan kaya dan mulia dia berlaku sesuai dengan keadaannya,
dalam
keadaan miskin papa dia berlaku sesuai dengan keadaannya,
berada di
antara bangsa asing dia menyesuailan diri dengan sekelilingnya,
dalam
keadaan duka dan sengsara, dia menyesuaikan diri dengan keadaannya.
Maka seorang
budiman selalu merasa cukup dan terteram,
biar pun
berada dalam keadaan yang bagaimana pun juga.
Keng Hong
yang sudah sering kali membaca kitab Tiong-yong dan kini mendengar ayat ini
dideklamasi dengan sungguh-sungguh, seakan-akan maknanya menjadi semakin jelas
bagi pemuda ini. Ujar-ujar itu mengandung inti sari dari pelajaran
‘MENYESUAIKAN DIRI DENGAN KEADAAN’.
Memang,
orang yang pandai menyesuaikan diri tanpa memaksa hati dan perasaan sendiri
akan selalu merasa puas, tidak pernah kekurangan dan tenang tenteram.
Menginginkan sesuatu yang tidak akan dapat dijangkaunya bukanlah menyesuaikan
diri namanya.
Bersikap tak
sesuai dengan sekelilingnya, ingin membawa kehendak diri sendiri, bukanlah
menyesuaikan diri namanya! Dia mendengarkan terus karena meski pun sudah sering
kali membaca ayat-ayat itu, kini mendengar diucapkan kakek itu dia merasa amat
tertarik.
Dalam
kedudukan tinggi dia tidak menghina bawahannya,
dalam
kedudukan rendah dia tidak menjilat atasannya.
Dia
memperbaiki kekurangan sendiri
tidak
mengharapkan orang lain.
Maka dia
tidak membenci atau mengutuk orang lain.
Ke atas dia
tidak mengutuk Tuhan,
Ke bawah
tidak menyalahkan manusia.
Ujar-ujar
ini merupakan kelanjutan dari pada ujar-ujar tadi dan inti sari pelajarannya
adalah ‘MENERIMA KEADAAN PENUH KESADARAN’. Bila seseorang dapat menerima
keadaan yang menimpa dirinya dengan kesadaran, maka dia akan selalu dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan itu dan sama sekali dia tidak akan pernah
menyalahkan Tuhan mau pun manusia lain.
Setiap
kegagalan yang lajim disebut kesialan diterima dengan kesadaran penuh bahwa hal
ini merupakan akibat dari pada sebab, dan untuk mencari sebabnya tidak
semetinya apa bila melontarkan kesalahan kepada Malaikat mau pun Setan. Orang
bijaksana atau kuncu (budiman) akan menghadapi setiap kegagalan atau mala
petaka yang menimpa diri dengan melakukan introspeksi (memeriksa diri sendiri)
kemudian melakukan self-koreksi tanpa membenci atau menyalahkan siapa pun juga.
Keng Hong
sudah mengerti akan semua ini dan dia mendengarkan terus.
Seorang
budiman selalu tenang dan tenteram
menanti
kurnia sewajarnya dari Tuhan.
Ada pun
seorang yang rendah budi
melakukan
kejahatan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan menjadi haknya.
Memang,
tanpa adanya kesadaran tadi, orang yang sedang mengalami kegagalan akan mudah
menjadi mata gelap, menipiskan kepercayaan kepada Tuhan yang dianggapnya tidak
adil sehingga dia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan
jahat.
Keng Hong
maklum bahwa yang sedang diucapkan kakek ini adalah pelajaran pasal ke empat belas
dari kitab Tiong-yong dan bahwa masih ada satu ayat lagi sebagai penutup dan
yang paling penting dalam pasal hal ini, maka dia masih belum mau menegur dan
mendengarkan terus. Sekarang kakek itu kembali menyanyikan ayat terakhir yang
pendek dengan gaya seorang penyanyi wayang, lagaknya lucu sekali.
Nabi Khong
Cu bersabda:
Perilaku
seorang budiman bagaikan ilmu memanah.
Apa bila
memanah tidak mengenai sasaran
Dia mencari
sebab-sebab kegagalan
Kepada diri
sendiri!
Oleh karena
ayat-ayat itu sudah habis diucapkan si kakek bongkok, Keng Hong hendak
memperkenalkan diri, akan tetapi tidak sempat karena kini kakek itu
berkata-kata keras penuh celaan seperti orang marah,
"Anak
panah luput dari sasaran adalah karena tidak becus, kenapa lalu mencak-mencak
mencari kesalahan dengan mencela gendewanya kaku, sasarannya kurang nyata, anak
panahnya bengkok, angin besar, cuaca terlampau buruk dan lain-lain omong kosong
lagi? Ha-ha-ha, benar-benar manusia ini badut-badut dunia yang tidak lucu dan
menjemukan. Guru besar, semua pelajaranmu baik dan tepat belaka, hamba kagum
dan tunduk, akan tetapi betapa sukar melaksanakannya! Aduhai..., makin baik
pelajarannya, kenapa makin bobrok budi pekertinya manusia?"
Keng Hong
terkejut mendengar ucapan terakhir ini dan dia segera muncul keluar sambil
menegur, "Locianpwe, maafkan kalau saya mengganggu. Bukankah Locianpwe ini
adalah Siauw-bin Kuncu?"
Kakek yang
masih duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon itu menoleh kemudian memandang
Keng Hong, lalu dia menenggak araknya dan berkata seperti orang mabuk,
"Memang benar, aku seorang di antara kuncu-kuncu yang memenuhi dunia ini!
Betapa banyaknya kuncu macam aku hingga sulit dihitung, seperti daun-daun
kuning berserakan di musim rontok! Betapa sukarnya menerima setangkai bunga di
musim rontok!"
"Apa
pula artinya ucapan Locianpwe ini?"
"Artinya?
Lihat saja, betapa kini banyak terdapat kuncu-kuncu berserakan! Setiap orang
pelajar hafal akan seluruh kitab-kitab pelajaran Nabi Khong Cu, dan mereka menganggap
diri mereka sebagai kuncu-kuncu! Apakah kalau sudah hafal akan semua ujar-ujar
kitab suci lalu menjadi budiman? Betapa mudahnya menghafal dan bicara ditambah
lagi lagak seorang kuncu. Betapa mudahnya bicara mengenai kebenaran, akan
tetapi adakah yang mampu melaksanakannya dalam perbuatan? Mereka itu hanya
kuncu-kuncu dalam lagak dan kata-kata, dan karena itu aku menjadi seorang di
antara mereka, berjuluk kuncu, aku pun seorang kuncu lagak dan kata, kuncu
palsu!"
"Akan
tetapi, Locianpwe, bukankah seseorang yang sudah mengenal diri sendiri dan tahu
akan kekurangan-kekurangannya, mempunyai harapan besar untuk memperbaiki
dirinya dan hal ini sudah merupakan langkah seorang kuncu?"
"Engkau
benar, akan tetapi betapa sukarnya mengalahkan diri sendiri! Betapa sukarnya
menjadi kuncu bukan karena ingin disebut kuncu, betapa sukarnya melakukan
perbuatan baik bukan karena ingin disebut baik! Betapa mungkin memisahkan
malaikat dan setan kalau malaikat itu kita lekatkan di dada sedangkan setan
melekat di punggung? Heeiiiii...! Engkau ini seorang muda sudah pandai
berbicara tentang ayat-ayat suci. Engkau hendak menjadi kuncu, pula? Eh, aku
pernah melihat mukamu! Oho, benar engkau ini!" Kakek itu menepuk kepalanya
yang botak lalu tubuhnya melayang turun ke depan Keng Hong.
Semenjak
dulu Keng Hong kagum menyaksikan ginkang kakek itu, akan tetapi tentu saja kini
dia melihat betapa ginkang kakek itu sebenarnya belum berapa tinggi. Hal ini
adalah karena tingkat kepandaiannya sendiri telah melonjak secara luar biasa.
"Betapa
senangnya bertemu lagi dengan sahabat lama!" Kakek itu berkata seperti
orang bernyanyi. "Bukankah engkau adalah orang muda yang mempunyai pukulan
mukjijat dan mengerikan itu? Engkau... ah, murid Sin-jiu Kiam-ong yang
menimbulkan geger di seluruh dunia kang-ouw dan dikabarkan lenyap di puncak
Kiam-kok-san? Kabarnya engkau telah mati!"
Keng Hong
tersenyum. "Thian masih melindungi dan masih menganugerahi umur panjang
padaku, Locianpwe. Berkat pertolongan Locianpwe, aku masih hidup sampai detik
ini."
Siauw-bin
Kuncu membelalakkan kedua matanya dan menggaruk-garuk kepalanya. "Aku?
Pertolonganku yang mana? Ehhh…, orang muda, jangan sampai engkau ketularan
watak Sin-jiu Kiam-ong yang suka menggoda dan mempermainkan orang. Aku sudah
tua, tidak baik mempermainkan orang tua."
"Saya
tidak mempermainkan Locianpwe, dan hanya menyatakan hal yang sesungguhnya.
Ingatkah Locianpwe akan bantuan Locianpwe memecahkan rahasia tiga macam
ujar-ujar dahulu itu? Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh
mengabdi kebajikan! Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka! Nah,
Locianpwe yang membantu saya memecahkan rahasianya!"
"Ohh...
Ohh... Itukah? Dengan ukuran-ukuran itu...? Hemmm, kau hendak katakan bahwa
rahasia itu adalah rahasia tempat penyimpanan pusaka peninggalan dari Sin-jiu
Kiam-ong yang diperebutkan semua orang? Jadi engkau selama ini lenyap ke dalam
tempat rahasia itu? Aihhh…!"
Kakek itu
menampar kepalanya. "Kalau aku tahu… tentu..." Kakek itu terhenti dan
kini menampar mulutnya.
"Nah…
nah, inilah yang paling berbahaya, musuh manusia nomor satu, yaitu diri
sendiri, nafsunya sendiri yang mendorongnya melakukan hal apa saja demi untuk
kepentingan diri sendiri sehingga lenyaplah segala norma kebajikan, lenyap dan
terlupakan pula semua ayat-ayat suci agama. Ahhh, orang muda, jadi rahasia
penyimpanan pusaka gurumu itu tersembunyi di dalam tiga baris ujar-ujar itu?
Sungguh mengagumkan!"
"Benar
begitu, Locianpwe. Sebab itu saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe
yang sudah menyelamatkan saya saat dikejar-kejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw lima
enam tahun yang lalu."
Kakek itu
mengangkat tangan dan menggoyang-goyangnya bagaikan hendak mencegah pemuda itu
terus melanjutkan ucapan terima kasihnya. "Seorang kuncu tak menganggap
bantuan sebagai pelepas budi, tidak menganggap kebajikan sebagai sesuatu yang
boleh dibanggakan melainkan sebagai suatu keharusan dan kewajiban. Orang muda,
siapakah namamu? Aku sudah lupa lagi."
"Saya
Cia Keng Hong, Locianpwe."
"Keng
Hong, sesudah engkau menemukan pusaka peninggalan gurumu, tentunya engkau telah
mewarisi seluruh ilmu kepandaian Sin-jiu Kiam-ong, bukan?"
"Ilmu
kepandaian tidak dapat diwarisi, Locianpwe, hanya dapat dipelajari.
Sedikit-sedikit saya telah mempelajarinya, akan tetapi tentu saja masih jauh
dari pada sempurna."
"Wah,
engkau pandai merendah, Keng Hong. Dahulu pun kepandaianmu sudah sangat
mengerikan, apa lagi sekarang. Dan sekarang, ke mana engkau hendak pergi, apa
yang hendak kau lakukan setelah engkau memiliki ilmu kepandaian gurumu?"
"Locianpwe,
saya mohon petunjuk Locianpwe mengenai cita-cita yang menjadi tugas saya ini.
Saya akan berusaha untuk menemui semua tokoh kang-ouw yang dahulu memusuhi
suhu, dan akan saya usahakan sedapat mungkin untuk menebus kesalahan-kesalahan
yang dilakukan oleh suhu terhadap para tokoh kang-ouw. Bagaimana menurut
pendapat Locianpwe? Apakah usaha saya ini tidak berlawanan dengan kebaktian
seorang murid terhadap gurunya?"
"Dalam
kitab Tiong-yong, guru besar Khong Cu berkata: Hu-hauw-cia, Sian-kee-jin-ci-ci,
Sian-sut-jit-ci-su-cia-ya (Berbakti adalah melanjutkan cita-cita mulia dan
pekerjaan benar dari pada leluhurnya). Apa bila seorang murid melakukan
perbuatan-perbuatan mulia dan benar, berarti bahwa dia telah mengangkat tinggi
nama gurunya. Kalau muridnya menjadi seorang baik, tentu gurunya dipuji orang.
Sebaliknya kalau si murid menjadi seorang jahat tentu gurunya dimaki orang.
Gurumu Sin-jiu Kiam-ong, ketika hidupnya menjadi seorang petualang, ugal-ugalan
dan karenanya menyusahkan banyak orang hingga dimusuhi. Dia meninggalkan nama
buruk. Kalau engkau sebagai muridnya dapat melakukan kebaikan-kebaikan, hal itu
berarti engkau sudah berbakti, karena dengan kebaikan muridnya, paling tidak
nama buruk si guru akan tercuci sebagian. Akan tetapi tujuan dan cita-cita baik
saja belum ada gunanya kalau belum dilaksanakan, Keng Hong. Sekarang, engkau
hendak ke mana?"
"Terima
kasih atas wejangan Locianpwe yang ternyata cocok dengan isi hati saya. Saya
hendak pergi ke puncak sana menemui para pimpinan Tiat-ciang-pang yang paling
dekat dari sini. Tugas yang ini tidak ada sangkut pautnya dengan suhu. Seperti
Locianpwe telah mengetahui, dahulu enam tahun yang lalu saya pernah bentrok
dengan Tiat-ciang-pang karena salah paham, maka sekarang saya hendak menghapus
pertentangan itu dengan mohon maaf kepada para pemimpinnya."
Kakek itu
tertawa dan mengelus jenggotnya. "Ha-ha-ha, kebetulan sekali. Di sana
sedang ada keramaian, dan mungkin sesampaimu di sana akan terjadi perkara besar
di sana. Tidakkah kau melihat rombongan tamu yang menuju ke sana itu? Aku
sendiri pun kalau ada minat, akan menonton keramaian itu."
"Saya
tadi melihat rombongan itu, Locianpwe. Ada keramaian apakah?"
"Pesta
keramaian dari mereka yang menang! Kini mereka sedang merayakan ulang tahun
Tiat-ciang-pang, sekalian merayakan kemenangan bala tentara Raja Muda Yung Lo
yang berhasil merebut kekuasaan. Sebagai pihak yang pro utara, tentu saja
Tiat-ciang-pang mendapat pahala dan karena itu mereka merayakan kemenangan.
Nah, jika kau hendak menemui para pimpinannya, sekaranglah saatnya. Pergilah,
Keng Hong, dan jangan lupa dasar tujuanmu, yaitu untuk menjunjung nama guru
yang hanya dapat kau capai dengan perbuatan benar. Selamat berpisah!"
Kakek itu melompat jauh lalu berloncatan dengan kedua lengan dikembangkan dan
digerak-gerakkan seperti burung terbang!
Keng Hong
menarik napas lega. Bercakap-cakap dengan kakek berpunuk itu menambah
keyakinannya akan benarnya usaha yang sedang ditempuhnya. Dia maklum betapa
berat tugasnya, tetapi keyakinan bahwa yang dia lakukan adalah benar
memperingan tugas itu dalam hatinya. Dia kemudian melanjutkan perjalanannya
menuju ke puncak Pegunungan Bayangkara di mana sudah tampak deretan tembok
besar yang menjadi bangunan pusat perkumpulan Tiat-ciang-pang...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment