Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 07
KENG HONG
terkejut sekali, lalu mengerahkan sinkang-nya dan tubuhnya mencela ke atas.
Gerakan ini bukan main cepatnya, digerakkan oleh tenaga ginkang yang tinggi
sehingga dia dapat menghindarkan dua kakinya dari cengkeraman. Akan tetapi
begitu dia meloncat turun, kedua tangan nenek itu sudah menerjangnya dengan
pukulan Ban-tok Sin-ciang!
"Rebahlah!"
teriak si nenek yang ingin cepat-cepat merobohkan Keng Hong supaya dapat dibawa
lari karena dia khawatir kalau-kalau kedua orang anak murid Lam-hai Sin-ni itu
datang membantu, dan lebih khawatir lagi kalau-kalau ada datang tokoh-tokoh
lain yang dia tahu juga berusaha mendapatkan pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini.
Keng Hong
merasa betapa sebuah tenaga raksasa mendorongnya, didahului bau yang sangat
harum dan amis. Cepat dia menahan napasnya, mengerahkan sinkang-nya dan
menangkis dengan tangan digerakkan dari samping.
"Desssss!"
Sekali ini
tubuh Keng Hong yang terhuyung-huyung ke belakang, ada pun nenek itu yang
merasa betapa kedua tangannya tergetar, cepat-cepat menggerakkan kepalanya
hingga rambutnya yang riap-riapan itu terpecah menjadi tujuh buah pecut yang
menyambar dan menotok tujuh jalan darah di bagian atas tubuh Keng Hong!
Pemuda itu
terkejut sekali karena tidak mungkin dia menghindarkan diri dari tujuh totokan
sekaligus itu. Dia cepat mengerahkan sinkang di tubuhnya dan menutup jalan-jalan
darah yang tertotok. Ujung-ujung rambut itu mengenai sasaran lantas membalik
ketika bertemu dengan tubuh Keng Hong, akan tetapi pemuda itu merasa tubuhnya
bagai disambar petir dan dia terguling roboh. Baiknya dia terus bergulingan
karena seandainya tidak, tentu dia kena totok oleh Ang-bin Kwi-bo yang sudah
menubruknya.
Keng Hong
mencelat berdiri dan kepalanya terasa pening. Biar pun dia tidak terpengaruh
oleh totokan-totokan itu, akan tetapi tubuhnya terasa kesemutan dan kepalanya
pening. Dalam pandang matanya yang berkunang dia melihat wajah nenek yang
tertawa-tawa itu berubah menjadi dua.
"Keng
Hong, pergunakan ilmu tempelmu!" Tiba-tiba Cui Im berteriak.
Gadis ini
sudah terbebas dari pada pengaruh pukulan beracun tadi, akan tetapi tubuhnya
masih lemah. Ada pun Biauw Eng semenjak tadi hanya memandang dan wajahnya sudah
membayangkan sikapnya yang dingin lagi. Hal ini adalah karena dirinya masih
merasa terguncang oleh perasaan hatinya sendiri yang tidak dapat ia sangkal
bahwa ia mencinta pemuda itu!
Mendengar
teriakan Cui Im itu, Keng Hong yang masih merasa pening dan belum dapat
mempergunakan pikirannya dengan baik itu segera menubruk maju, melakukan
serangan dan kembali dia sudah mempergunakan jurus ke tiga, yaitu Siang-in
Twi-san. Sekali ini, mendengar seruan Cui Im tadi, Ang-bin Kwi-bo sengaja
memapaki kedua tangan Keng Hong yang terbuka dan mendorongnya dengan kedua
tangannya sendiri.
"Plakkk...!"
Dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara.
Hebat bukan
main tenaga sinkang Ang-bin Kwi-bo hingga untuk beberapa detik lamanya tubuh
Keng Hong terangkat di udara oleh kedua tangan nenek ini. Sesudah tubuh Keng
Hong makin turun dan akhirnya kedua kakinya menyentuh tanah, barulah Ang-bin
Kwi-bo mengeluarkan seruan keras.
"Ha,
kau paham Thi-khi I-beng...?!" Seruan ini adalah seruan terheran-heran,
juga seruan girang sekali.
Wanita sakti
yang telapak tangannya telah melekat dengan tangan Keng Hong dan hawa
sinkang-nya mulai tersedot itu, cepat sekali menggerakkan kepalanya hingga
rambutnya terpecah menjadi dua bagian lalu melakukan totokan ke arah kedua
pergelangan tangan Keng Hong.
Pemuda itu
merasa betapa kedua tangannya tiba-tiba menjadi kesemutan sehingga daya
sedotnya berkurang dan pada waktu itulah Ang-bin Kwi-bo merenggut kedua
tangannya hingga terlepas. Kemudian sekali lagi rambutnya mengirimkan totokan
selagi Keng Hong masih belum siap-siap sehingga pemuda itu terkena totokan pada
kedua pundaknya dan tiba-tiba saja dia menjadi lemas! Pada detik lain tubuhnya
sudah disambar oleh Ang-bin Kwi-bo yang tertawa terkekeh-kekeh girang sekali.
Dalam diri
pemuda ini saja sudah terdapat ilmu-ilmu pukulan yang amat hebat ditambah
dengan ilmu Thi-khi I-beng yang kabarnya sudah lenyap dari dunia persilatan!
Kalau dia bisa mendapatkan dua macam ilmu itu saja, dilatihnya sempurna, maka
dia akan menjadi tokoh nomor satu di antara Empat Datuk!
"Ang-bin
Kwi-bo, dia tawananku, lepaskan!" Tiba-tiba Biauw Eng berseru nyaring.
Gadis ini
sudah menyerang dengan sabuk sutera putihnya. Ujung sabuk meluncur cepat dari
atas dan bagaikan seekor ular panjang, sabuk itu kini ‘mematuk’ ke arah
ubun-ubun kepala Ang-bin Kwi-bo. Inilah serangan yang amat berbahaya, serangan
maut!
Ang-bin
Kwi-bo maklum akan bahayanya serangan ini, maka dia cepat mempergunakan tangan
kanannya untuk mencengkeram ke arah ujung cambuk, sedangkan lengan kirinya
mengempit dan melingkar di pinggang Keng Hong. Cengkeraman itu luput karena
sabuk sudah disendal oleh Biauw Eng, namun nenek itu melanjutkan tangan
kanannya dengan serangan jarak jauh, mendorongkan tangannya itu dengan ilmu
Ban-tok Sin-ciang ke arah Biauw Eng.
Gadis ini
yang sudah mengalami sendiri betapa hebatnya pukulan nenek itu, maka cepat dia
mengelak ke samping dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang-bin Kwi-bo untuk
meloncat pergi. Murid Sin-jiu Kiam-ong telah berada di tangannya, karena itu
dia tak mau melayani puteri Lam-hai Sin-ni lebih lama lagi.
Akan tetapi
tiba-tiba saja tampak berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang nenek
berpakaian putih yang bertubuh tinggi kurus telah berdiri di depan Ang-bin
Kwi-bo dengan sikap angkuh dan dingin. Nenek ini usianya sebaya dengan Ang-bin
Kwi-bo, akan tetapi berbeda dengan Ang-bin Kwi-bo yang berwajah menyeramkan dan
buruk, nenek ini jelas menunjukkan bahwa dulunya tentu mempunyai wajah yang
cantik sekali. Tubuhnya yang tinggi kurus masih membayangkan bentuk tubuh yang
ramping, dan gerak-geriknya halus.
"Kwi-bo,
sungguh tidak malu kau menghina orang-orang muda!" Wanita tua ini menegur
dengan suara halus akan tetapi nadanya dingin sekali, kemudian nenek itu
menggerakkan tangan kanan sambil berkata lagi, "Kau ingin merasakan
Thi-khi I-beng? Nah, terimalah ini!" Biar pun gerak-geriknya halus, akan
tetapi tangan nenek itu cepat sekali gerakannya sampai tidak dapat diikuti
pandangan mata dan tahu-tahu telapak tangan nenek ini sudah mengancam muka
Ang-bin Kwi-bo!
Ang-bin
Kwi-bo terkejut sekali dan cepat ia mengangkat tangan kanan menangkis sambil
mengerahkan tenaga Ban-tok Sin-ciang.
"Plakkk!"
Dua tangan
bertemu dan akibatnya membuat Ang-bin Kwi-bo menggereng marah sebab tangannya
sudah tertempel dan walau pun tenaga sedotnya tidak sehebat tenaga sedot yang
keluar dari tubuh Keng Hong tadi, akan tetapi kini mulai terasa betapa
sinkang-nya tersedot oleh nenek itu.
Ang-bin
Kwi-bo mengerti bahaya. Jika dia tertempel dan tersedot oleh Keng Hong masih
mudah baginya untuk membebaskan diri, akan tetapi nenek ini amat lihai sehingga
hanya dengan sebelah tangan saja akan sukarlah baginya menyelamatkan diri.
Cepat
Ang-bin Kwi-bo melepaskan tubuh Keng Hong yang dikepit dengan lengan kirinya,
kemudian dia memutar tubuh dan mempergunakan tangan kirinya yang dibuka
jari-jarinya mencengkeram ke arah dada lawan. Bukan hanya tangan kirinya yang
mencengkeram, juga kepalanya telah bergerak dan seperti ular-ular hitam yang
banyak sekali, rambutnya lantas meluncur ke depan.
Nenek tinggi
kurus itu tetap tenang menghadapi serangan yang ganas dan amat banyak ini,
menggunakan tangan kanannya untuk diputar membentuk lingkaran yang melindungi
tubuh. Putaran tangannya ini mendatangkan hawa berputar di depan tubuhnya
sehingga serangan rambut-rambut kepala Ang-bin Kwi-bo dapat digagalkan semua
karena rambut-rambut itu menjadi buyar pada saat bertemu dengan hawa putaran
tangan ini, sedangkan cengkeraman itu sendiri dapat disampok oleh tangan kanan
si nenek sakti.
Akan tetapi,
karena sebagian tenaganya dikerahkan untuk menghadapi serangan yang sangat
ganas itu, tenaga sedotnya menjadi berkurang dan sekali renggut Ang-bin Kwi-bo
berhasil membebaskan diri lalu meloncat mundur dengan muka beringas.
Sementara
itu, Keng Hong sudah berhasil membebaskan diri dari totokan dan Cui Im sudah
cepat-cepat menghampirinya. Akan tetapi pemuda ini tak mempedulikan sikap Cui
Im yang memikat, sebab pada saat itu perhatiannya ditujukan kepada nenek yang
sedang berhadapan dengan Ang-bin Kwi-bo.
"Lam-hai
Sin-ni! Baru saja aku telah mengampuni puterimu dan tentu dia sekarang sudah
menjadi mayat kalau tidak melihat hubungan segolongan. Akan tetapi sekarang
engkau datang-datang langsung menyerangku, sungguh engkau tidak mengenal
persahabatan!" Teriak Ang-bin Kwi-bo dengan nada marah.
"Dia
bohong, Subo!" Cui Im berteriak. "Bila tidak ada Keng Hong murid
Sin-jiu Kiam-ong ini yang membantu, teecu dan sumoi tentu sudah dibunuhnya! Dia
telah menghina teecu berdua, juga telah menghina nama subo!"
Nenek tinggi
kurus yang ternyata adalah tokoh yang paling lihai dari Bu-tek Su-kwi dan
bejuluk Lam-hai Sin-ni hanya memandang kepada Ang-bin Kwi-bo, kemudian berkata,
"Ang-bin
Kwi-bo, engkau di timur, Pak-san Kwi-ong di utara, Pat-jiu Sian-ong di barat
dan aku di selatan, masing-masing tidak saling mengganggu selama puluhan tahun.
Sungguh pun kini timbul urusan memperebutkan pusaka peninggalan Sin-jiu
Kiam-ong, seharusnya dilakukan secara terang-terangan dan mengandalkan
kepandaian, tak semestinya engkau mengganggu anak-anak kecil. Apa bila engkau
hendak memamerkan Ban-tok Sin-ciang, majulah. Aku lawanmu!"
Melihat
sikap yang dingin ini, Ang-bin Kwi-bo menjadi gentar. Memang ia telah mengenal
siapa adanya datuk hitam dari selatan ini, yang sejak dahulu amat terkenal
kesaktiannya dan ia tidak mempunyai harapan untuk menang.
Apa lagi dia
melihat betapa di situ juga masih terdapat Ang-kiam Tok-sian-li Cui Im, dan
Song-bun Siu-li Biauw Eng yang kalau membantu lawan tentu membuat dia lebih
berat menghadapinya. Belum lagi pemuda aneh itu yang memiliki ilmu mukjijat dan
tentu saja akan membantu kedua orang gadis cantik itu.
Ang-bin
Kwi-bo bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh besar yang telah matang
pengalamannya. melihat keadaan tidak menguntungkan ini, ia lalu ketawa
mengejek.
"Hi-hi-hik-hik,
Lam-hai Sin-ni. Siapa sih takut menghadapimu? Kepandaian kita satu kati delapan
tail (seimbang), dan terbukti tadi aku mampu melawan Thi-khi I-beng yang kau
miliki. Kau tunggu saja, akan tiba saatnya aku datang dan menantangmu dalam
sebuah pertandingan yang menentukan. Sampai jumpa!" Sesudah berkata
begitu, tubuh Ang-bin Kwi-bo berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Dengan
ucapan ini, biar pun dia melarikan diri, namun tidak karena kalah bertanding
atau memperlihatkan rasa jerinya.
Lam-hai-Sin-ni
bersikap dingin sekali dan kini mengertilah Keng Hong mengapa Biauw Eng yang
cantik manis itu mempunyai sikap dingin seperti es. Kiranya ibunya pun seperti
manusia es, sehingga nona itu mewarisi sikap ibunya.
Pakaiannya
serba putih seperti orang berkabung, sikapnya dingin, wajahnya tidak pernah
menyinarkan perasaan hati. Benar-benar ibu dan anak ini mengerikan, lebih
mengerikan dari pada wajah Ang-bin Kwi-bo yang buruk dan wataknya yang kasar.
Kini Lam-hai
Sin-ni membalikkan tubuhnya perlahan menghadapi Keng Hong. Kalau tadi ketika
menghadapi pandang mata penuh kekejaman dari Ang-bin Kwi-bo pemuda ini tidak
merasa gentar, kini berhadapan dengan pandang mata itu, dia merasa bulu
tengkuknya meremang. Pandang mata nenek ini seolah-olah terasa olehnya merayap
laksana seekor laba-laba di seluruh badan, dingin dan meggelikan.
"Engkau
murid Sin-jiu Kiam-ong?" Suara Lam-hai Sin-ni halus, tetapi mengandung
tenaga yang mendorong dan memaksa orang harus menjawab sejujurnya karena
pandang mata yang dingin itu penuh ancaman.
"Benar,
Locianpwe," Keng Hong menjawab singkat sambil menentang padang mata yang
dingin itu.
Dengan sikap
yang tetap dingin, gerakan tangan lemah lembut, dan suara halus, nenek itu
menggerakkan tangan kanannya seperti orang minta sesuatu, "Berikan
kepadaku pedang Siang-bhok-kiam."
Keng Hong
mengerutkan alisnya. Semua orang minta pedang itu dengan cara dan sikap mereka
masing-masing, ada yang kasar, ada yang buas, dan ada pula yang halus seperti
sikap nenek ini, akan tetapi baru sekarang ini Keng Hong merasa seram. Sikap
nenek ini benar-benar mendatangkan rasa dingin di tengkuknya.
"Siang-bhok-kiam
tidak ada pada saya, Locianpwe."
"Hemmm,
di mana...?"
"Pedang
itu dirampas oleh para tosu Kun-lun-pai."
"Bohong!"
Tiba-tiba nenek itu menggerakkan tangan kanan yang terulur tadi, telunjuknya
menuding ke arah Keng Hong dan terdengarlah bunyi bercuitan ketika serangkum
tenaga yang luar biasa menuju ke arah dada Keng Hong bagai sebatang pedang yang
menusuk.
Keng Hong
terkejut sekali, cepat mengibas dengan tangannya sambil membanting tubuh ke
kanan terus bergulingan. Tangannya tadi dapat menangkis hawa pukulan yang amat
kuat seperti pedang akan tetapi tubuhnya terguling-guling dan akhirnya ia dapat
meloncat bangun dengan keringat dingin membasahi lehernya.
Bukan main,
pikirnya. Selama hidupnya baru dua kali ini dia menyaksikan ilmu sehebat itu.
Pertama kali dia melihat betapa di Kun-lun-san, Kiang Tojin pernah melakukan
totokan terhadap Cui Im dari jarak jauh, hampir sama dengan apa yang dilakukan
oleh nenek ini terhadap dirinya.
Dia menjadi
penasaran sekali karena dapat menduga bahwa serangan itu sesungguhnya adalah
sebuah pukulan maut. Kiranya nenek yang halus bicaranya, gerak-geriknya halus
pula, yang berwajah dingin ini, tanpa sebab hendak membunuhnya begitu saja,
dengan darah dingin pula! Agaknya dalam hal kekejaman Lam-hai Sin-ni tak mau
kalah oleh para datuk hitam yang lain!
"Hemm,
sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong engkau boleh juga, dapat mengelak dari sebuah
seranganku. Akan tetapi engkau membohong, dan ini tidak patut karena selama hidupnya
gurumu itu tidak pernah membohong! Hayo lekas serahkan pedang itu atau jangan
harap kau akan dapat mengelak terus!"
Hemm, pikir
Keng Hong. Mungkin dahulu suhu tak pernah membohong, dan hal itu tentu saja
dapat dilakukan karena suhu-nya sudah memiliki kepandaian sangat tinggi. Namun
bagi dia sendiri, bila tidak mau membohong, bagaimana akan dapat menyelamatkan
diri? Membohong tidak apa asal jangan menipu, membohong asal tidak merugikan
lain orang, kadang-kadang malah amat perlu!
"Saya
tidak membawa pedang itu, Locianpwe, pedang itu sudah diambil oleh Kiang Tojin
dari Kun-lun-pai!"
"Wuuutttt...
Wuuuttt...!" Kedua tangan nenek itu melakukan gerakan mendorong dua kali
ke arah Keng Hong.
Pemuda itu
cepat mengelak dan mengibaskan tangan. Kembali hawa sinkang di tubuhnya
berhasil menangkis angin pukulan nenek itu yang amat hebat, akan tetapi tetap
saja dia terjengkang kemudian terguling-guling saking hebatnya tenaga dorongan
angin pukulan Lam-hai Sin-ni.
"Kau...
kau berani melawan...?" Nenek itu menjadi sangat marah dan baru sekarang
dia melangkah maju, hendak menyerang dari jarak dekat karena dua kali
serangannya dari jauh gagal.
"Ibu!
Dia tidak bohong, memang Siang-bhok-kiam sudah diambil para tosu
Kun-lun-pai!" tiba-tiba Biauw Eng berkata.
"Ahh,
kau bocah bodoh mana tahu? Bocah ini adalah murid Sin-jiu Kiam-ong, di samping
ugal-ugalan juga tentu amat menyayangi pedang itu. Mana mungkin dia berikan
kepada orang lain? Sin-jiu Kiam-ong sendiri, sesudah menjadi tua bangka, masih
juga tidak rela memberikan pedang itu kepada orang lain. Jangan ikut-ikut,
bocah ini harus memberikan Siang-bhok-kiam kepadaku atau dia mati di tanganku
sekarang juga. Heh, bocah keras kepala, masih belum mengaku di mana adanya
Siang-bhok-kiam? Lekas katakan supaya aku dapat mengambilnya."
Keng Hong
merasa perutnya panas. Nenek berwajah dingin ini betul-betul menjengkelkan
sekali. Di waktu mudanya tentu merupakan seorang wanita cantik yang amat manja
dan hendak membawa kehendak sendiri saja, mau menang sendiri. Ia memandang
terbelalak penuh kemarahan dan berkata,
"Sudah
saya katakan, pedang itu berada di Kun-lun-pai, kalau Locianpwe menghendaki
ambillah dari tangan mereka. Akan tetapi hati-hati, di sana banyak terdapat
orang lihai..."
Keng Hong
terpaksa menghentikan kata-katanya karena nenek itu secara tiba-tiba sekali
telah melompat ke depan dan tahu-tahu sudah berada dekat sekali dengannya.
Tangan kanan nenek ini lalu menampar ke arah kepalanya!
Keng Hong
maklum betapa lihainya nenek ini. Mengelak takkan keburu, maka dia berlaku
nekat, mengangkat pula tangan kanannya dan menerima tamparan tangan terbuka itu
dengan telapak tangannya sendiri.
"Plakkk!"
Dua buah
tangan itu bertemu di udara dan terus melekat karena dalam kemarahannya, Keng
Hong yang menggerakkan tenaga sinkang itu tanpa disengaja sudah mengeluarkan
daya sedotnya yang amat kuat.
Pada saat
nenek itu merasa betapa tamparannya tertangkis bahkan tenaga sinkang-nya mulai
tersedot, dia terkejut sekali dan cepat-cepat dia pun mengerahkan sinkang-nya
lalu menggunakan ilmunya Thi-khi I-beng untuk balas menyedot. Dua tenaga
sinkang yang amat hebat saling sedot.
Tenaga sedot
sinkang milik Lam-hai Sin-ni adalah berkat latihan ilmu Thi-khi I-beng yang
kabarnya sudah lenyap dari dunia persilatan, bahkan nenek yang sudah berlatih
puluhan tahun sekali pun ini hanya dapat mencapai sebagian kecil saja. Ada pun
tenaga sedot dari tangan Keng Hong timbul tanpa dia sengaja, tanpa dilatih dan
tercipta sebagai akibat dia kebanjiran sinkang yang dioperkan oleh gurunya
sehingga merusak susunan di dalam tubuhnya yang mengakibatkan tenaga sedot
mukjijat itu.
Dan dapat
dibayangkan betapa kaget, heran dan penasaran hati Lam-hai Sin-ni ketika dia
merasa betapa perlahan-lahan akan tetapi pasti tenaga sedotnya terbetot dan
kalah kuat sehingga mulailah sinkang-nya membocor lagi memasuki tubuh pemuda
itu lewat telapak tangan mereka!
"Aihhhh...!"
Lam-hai Sin-ni berseru keras, tangan kirinya bergerak dan dengan kuku jari
tangannya, dia menyentil ke arah pundak kanan Keng Hong.
Seketika
tubuh Keng Hong menjadi lemas dan untung pemuda ini masih teringat untuk cepat
menarik tangannya sambil meloncat mundur, kalau tidak, tentu ia akan dipukul
lagi dengan pukulan maut.
Nenek itu
cerdik luar biasa. Kalau tadi ia memukul begitu saja ke tubuh Keng Hong, maka
pukulannya tentu akan amblas pula ke dalam lautan sinkang yang memiliki daya
sedot luar biasa itu. Maka dia menyentil dengan kuku jari, menotok jalan darah
sehingga daya sedot itu tidak dapat menarik sinkang-nya karena terhalang oleh
kuku jari.
Kini dengan
marah Lam-hai Sin-ni sudah melangkah maju, kedua tangannya siap hendak memberi
pukulan maut. Tiba-tiba Cui Im meloncat dan sambil menjatuhkan diri berlutut ia
berkata,
"Subo...
subo... harap dengar keterangan teecu dahulu... teecu berani bersumpah bahwa
pedang Siang-bhok-kiam memang dirampas oleh tosu-tosu bau dari Kun-lun-pai
seperti diceritakan bocah ini. Teecu sendiri yang melihatnya dengan mata
teecu."
Nenek itu
mengerutkan kening. "Ceritakan!" katanya kepada muridnya itu.
Dengan jelas
Cui Im lalu bercerita, menceritakan betapa ia menyusup ke Kun-lun-pai dan
sempat tertawan, kemudian betapa dia melihat sendiri Keng Hong menyerahkan
pedang kayu Siang-bhok-kiam kepada Kiang Tojin.
Setelah
mendengar cerita ini, nenek itu kembali menghadapi Keng Hong yang kini sudah
bangkit duduk. Sejenak dia memandang tajam, kemudian berkata,
"Bocah
tak setia! Baru saja turun dari Kiam-kok-san, sudah memberikan pedang kepada
tosu Kun-lun-pai! Murid macam apa ini?! Tanpa Siang-bhok-kiam, kau tidak ada
gunanya dan lebih baik mati!" Setelah berkata demikian, kembali nenek itu
menerjang maju hendak menyerang Keng Hong!
"Ibu,
tahan...!" Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Biauw Eng
telah berdiri menghadap di depan ibunya, membelakangi Keng Hong yang sudah
siap-siap membela diri sekuatnya.
"Eng-ji,
mau apa engkau? Minggir!"
"Tidak,
Ibu. Kau tidak boleh membunuh Cia Keng Hong."
"Apa?
Dia tiada gunanya, tidak membawa Siang-bhok-kiam, harus kubunuh!"
"Jangan,
Ibu. Dia sudah menolongku dari kekejian Ang-bin Kwi-bo. Karena itu Ibu tidak
boleh membunuhnya."
Sejenak ibu
dan anak berdiri tegak berhadapan, saling bertentang pandang. Keng Hong yang
melihat ini merasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Alangkah serupa benar orang
ini. Hanya yang seorang nenek-nenek, yang ke dua gadis remaja. Akan tetapi
kedua-duanya sama-sama berwajah dingin dan memiliki pandang mata yang
membayangkan kekerasan hati seperti baja!
"Pernah
menolongmu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah aku membunuhnya! Dia
harus kubunuh karena dia, manusia tolol dan murid tidak setia ini, dia agaknya
sudah menerima pelajaran Thi-khi I-beng dari Sin-jiu Kiam-ong setan tidak setia
itu! Karena itu dia harus kubunuh. Minggirlah!"
Akan tetapi
sejengkal pun Biauw Eng tidak mau minggir, bahkan dia menegakkan kepala,
membusungkan dada dan memandang ibunya dengan sikap menantang.
"Tidak!"
katanya dan untuk pertama kali terdengar suaranya dipengaruhi nafsu. "Ibu
tidak boleh membunuhnya!"
Lam-hai
Sin-ni tertegun. Sejak kecil puterinya ini tidak pernah berani membantahnya.
Dia yang menjadi semacam ‘ratu’ di daerah pantai laut selatan, yang ditakuti
semua orang, kini terheran-heran menyaksikan puterinya sendiri hendak membantah
dan melawannya!
"Apa
kau bilang? Mengapa tidak boleh?"
"Karena
aku cinta kepada Cia Keng Hong!"
Sunyi sekali
sesudah ucapan yang nyaring itu diucapkan oleh Biauw Eng. Tiga pasang mata
terbelalak, yaitu mata Keng Hong, Cui Im serta Lam-hai Sin-ni sendiri.
Keng Hong
terbelalak dan jantungnya berdebar keras sampai tubuhnya menjadi gemetar. Biauw
Eng cinta kepadanya? Sungguh hal yang sama sekali tidak pernah dia duga! Kalau
Cui Im yang mencintainya, hal itu tidak aneh, dia mengenal watak mata keranjang
murid Lam-hai Sin-ni itu. Akan tetapi Biauw Eng? Sikapnya terhadapnya begitu
dingin, begitu galak!
Juga Cui Im
terbelalak. Mendengar sumoi-nya secara terang-terangan mengaku cinta kepada
seorang pemuda, benar-benar membuat dia seperti mimpi di siang hari! Padahal
biasanya, sumoi-nya itu memandang rendah semua pria, bahkan menjadi marah-marah
dan memaki-makinya kalau dia bicara tentang pria. Sumoi-nya seorang yang ‘alim’
dan agaknya mempunyai pantangan untuk segala macam bentuk cinta terhadap pria!
"Kau...
kau gila...? Kau... kau mencita murid Sin-jiu Kiam-ong...?" Lam-hai Sin-ni
berbisik, seolah-olah tidak percaya kepada telinganya sendiri.
"Kau...
heh-heh-heh... kau mencinta dia...?"
Baru sekali
ini Cui Im mendengar gurunya tertawa dan dia merinding penuh keseraman. Suara
ketawa itu lebih pantas disebut isak tangis.
"Kau
mencinta muridnya? Dia... dia tentu mata keranjang, tidak setia seperti...
seperti..."
"Seperti
ayah, Ibu? Biarlah! Ibu membenci ayah, akan tetapi aku tidak membenci Sin-jiu
Kiam-ong. Dan biar pun ibu berpura-pura membenci ayah, aku tahu bahwa ibu amat
cinta kepadanya, buktinya ibu memberi she Sie kepadaku, she dari Sin-jiu
Kiam-ong Sie Cun Hong, ayahku. Aku cinta kepada Cia Keng Hong dan ibu tidak
boleh membunuhnya!"
Tiba-tiba
saja Lam-hai Sin-ni mengeluarkan pekik mengerikan, kemudian wajahnya yang biasa
dingin itu kini berubah beringas. "Kau sudah gila! Minggir! Pengakuanmu
ini bahkan mendorongku untuk membunuh si keparat! Minggir!"
"Tidak,
ibu!" Biauw Eng melolos sabuk suteranya dan berkata kepada Keng Hong
dengan suara halus, "Keng Hong, kau pergilah. Kau pergilah setelah kau
dengar pengakuanku. Pergilah...!"
Wajah Keng
Hong menjadi pucat pasi. Jadi Biauw Eng ini adalah puteri gurunya! Kalau
begitu... antara gurunya dan Lam-hai Sin-ni pernah menjadi hubungan suami
isteri! Dan puteri gurunya ini mencintainya! Dia tidak tahan lagi, merasa
kasihan mendengar suara menggetar dari Biauw Eng ketika menyuruh dia pergi.
Sambil menghela napas, dia lalu membalikkan tubuhnya dan meloncat pergi dari
tempat itu.
"Minggir...!"
Lam-hai Sin-ni berteriak sambil menerjang ke depan, hendak mengejar Keng Hong.
Akan tetapi
Biauw Eng juga menerjang maju menyambut ibunya dengan serangan sabuk sutera
sambil berkata, "Ibu hanya dapat mengejarnya melalui mayatku!"
Nenek itu
mendorong anaknya supaya jangan menghalanginya, akan tetapi sabuk sutera putih
Biauw Eng bergerak cepat mengirim totokan ke arah kedua lutut ibunya dengan
kuat sekali. Lam-hai-Sin-ni menjadi makin marah sebab totokan yang dilakukan
puterinya itu kalau mengenai lututnya tentu akan membuat kedua kakinya tak
dapat lari lagi.
Maka sambil
mendengus ia menyambar ujung sabuk sutera itu dengan kedua tangannya,
merenggutnya terlepas dari tangan Biauw Eng dan melemparkannya ke atas tanah.
Hal ini terjadi tanpa mampu dicegah oleh Biauw Eng. Sementara itu bayangan Keng
Hong sudah pergi jauh sekali dan Lam-hai Sin-ni cepat lari mengejar.
Akan tetapi,
kembali Biauw Eng menyerangnya. Kini dengan pukulan tangan yang amat dahsyat.
Lam-hai Sin-ni terkejut, terheran-heran dan hampir tidak percaya akan pandang
matanya sendiri. Puterinya sendiri menyerangnya seperti ini? Dengan pukulan
maut?
Teringatlah
nenek ini akan keadaan dirinya sendiri dahulu lantas terdengar suara terisak
dari dalam dadanya. Pukulan puterinya itu dia tangkis dengan keras sehingga
Biauw Eng terpekik dan terbanting ke kiri sampai bergulingan.
Gadis ini
cepat menoleh ke arah larinya Keng Hong dan hatinya agak lega melihat bahwa
pemuda itu tentu sudah lari jauh sekali karena tak tampak lagi bayangannya.
Ketika dia menengok ke arah ibunya, dia terkejut dan terheran, kemudian dia
bangkit berdiri dan lari menubruk ibunya yang ternyata sudah duduk bersila
sambil meramkan mata, mukanya pucat seperti mayat dan tubuhnya kaku! Ia maklum
bahwa ibunya sedang berduka sekali dan bahwa di dalam dada ibunya sedang
terjadi ‘perang’ antara membunuh Keng Hong atau memenuhi permintaan puterinya.
Biauw Eng yang berlutut di depan ibunya segera menyentuh kaki ibunya dan
menangis.
Cui Im
terbelalak untuk kedua kalinya. Selama menjadi murid Lam-hai Sin-ni baru sekali
ini dia melihat keanehan yang terjadi pada diri sumoi-nya yang biasanya amat ia
kagumi karena sumoi-nya itu biar pun lebih muda dari padanya, namun amat lihai
dan memiliki sifat-sifat yang persis Lam-hai Sin-ni.
Akan tetapi
hari ini, gara-gara Keng Hong, ia melihat sumoi-nya menyatakan cinta kepada
Keng Hong, dan kini, hal yang luar biasa ia lihat ketika sumoi-nya itu
menangis! Timbul perasaan panas di hatinya.
Dia sendiri
tergila-gila kepada Keng Hong, tergila-gila akan ketampanannya dan terutama
sekali akan ilmu kepandaiannya dan pusaka-pusaka yang mungkin sekali akan bisa
dia dapatkan melalui pemuda itu. Sekarang mendengar pengakuan sumoi-nya,
diam-diam ia menjadi iri hati, cemburu dan marah.
Ibu dan anak
itu sama sekali tidak tahu betapa Ang-kiam Tok-sian-li memandang ke arah Biauw
Eng dengan sinar mata aneh, seolah-olah mengeluarkan api yang akan membakar
seluruh tubuh gadis baju putih itu. Tidak tahu pula betapa diam-diam Bhe Cui Im
pergi meninggalkan tempat itu dengan sikap aneh dan berkali-kali melirik ke
arah Biauw Eng dengan sinar mata penuh kebencian!
Sesaat
kemudian, Lam-hai Sin-ni membuka matanya dan melihat puterinya menangis di
depanya, ia menghela napas panjang dan berkata halus sambil mengelus rambut
kepala puterinya.
"Eng-ji,
hukum karma selalu mengikuti kita..."
Biauw Eng
memeluk ibunya dan tangisnya semakin memilukan. Sesungguhnya, gadis ini tidak
mewarisi watak ibunya, tidak sedingin yang dia perlihatkan. Gadis ini perasa
sekali, penuh semangat dan menatap dunia dengan sepasang mata yang penuh
kegembiraan, bisa dengan mudah menangkap semua keindahan pada tiap benda yang
dipandangnya, yang didengarnya, yang diciumnya.
Akan tetapi,
oleh karena semenjak ia kecil ia sudah digembleng oleh Lam-hai Sin-ni untuk
mengekang perasaan, untuk meniru sifatnya yang dingin bagai es, maka Song-bun
Siu-li Sie Biauw Eng ini menjadi seorang gadis yang aneh dan dingin. Dingin
paksaan, pada lahirnya saja, seperti sebuah gunung berapi yang diliputi salju.
Inilah
sebabnya mengapa sekali jatuh cinta, ia menjadi nekat dan berani mengaku secara
terus terang dan bahkan berani membela kekasihnya dengan melawan ibunya! Biar
pun diselimuti salju, kalau gunung es itu meletus, tak akan ada yang dapat
menahannya!
"Ibu...,
kau ampunkan anakmu yang put-hauw (tak berbakti) ini..."
Lam-hai
Sin-ni kembali menghela napas. "Menanam bibit apel, maka memetik buah
apel, menanam pohon korma, maka memetik buah korma. Aku dulu menentang ayahku
karena cinta, kini engkau menentang aku karena cinta. Semua ini sudah
adil...!"
Biauw Eng
mengangkat mukanya memandang muka ibunya dan baru sekali ini ia melihat betapa
wajah ibunya membayangkan sesuatu, membayangkan kedukaan hebat! Dan baru
sekarang pula ia mendengar ibunya menyebut-nyebut keluarganya. Biasanya ibunya
tak pernah bercerita, hanya menyatakan bahwa ayahnya adalah Sin-jiu Kiam-ong
Sie Cun Hong yang akhir-akhir ini menjadi terkenal sekali.
Bahkan
pedang pusaka Siang-bhok-kiam ayahnya itu lalu menjadi rebutan semua orang gagah
di dunia kang-ouw karena Pedang Kayu Harum itu menjadi kunci rahasia tempat
penyimpanan benda-benda pusaka yang dikumpulkan oleh ayahnya itu baik dengan
jalan mencuri, merampas, atau diberi orang. Ketika dia pernah bertanya mengapa
ayah dan ibunya berpisah, ibunya hanya menjawab dingin,
"Dia
seorang laki-laki yang tidak setia! Semua laki-laki di dunia ini tidak ada yang
setia! Karena itu, jangan kau mudah menjatuhkan cinta kasihmu kepada laki-laki,
Eng-ji! Sekali cinta kasihmu jatuh, engkau akan menderita!"
Sekarang
ibunya menyebut-nyebut mengenai ayah dari ibunya atau kakeknya, karena itu
dengan perasaan ingin tahu sekali dia bertanya,
"Ibu
menentang kongkong...?"
"Tidak
hanya menentang, bahkan aku... membunuhnya..."
"Ibu...!!"
"Ya!
Memang aku telah membunuhnya! Membunuhnya karena cinta! Apakah engkau tadi juga
tidak ingin membunuhku, Eng-ji?"
"Ibu...!"
Dan Biauw Eng menangis lagi sambil merangkul ibunya.
"Cinta
memang membuat manusia, terutama wanita seperti kita ini, menjadi gila,
Eng-ji." Lam-hai Sin-ni menghelus-elus kepala puterinya. "Tadi aku
amat marah kepadamu. Sakit hatiku melihat betapa engkau mencinta seorang pemuda
sehingga rela kau melawanku, rela menyerangku untuk menyelamatkannya, menyerang
untuk membunuh ibunya sendiri. Akan tetapi aku teringat akan keadaan diriku di
waktu muda, dan aku dapat memaklumi perasaanmu, anakku. Aku tahu betapa cinta
membuat mata kita seperti buta. Aku dahulu pun mencinta Sie Cun Hong. padahal
aku seorang puteri terhormat, ayahku seorang yang sangat berkuasa dan
berpengaruh di selatan, seakan-akan menjadi seorang raja muda, dan... dan Sie
Cun Hong terkenal sebagai seorang pria mata keranjang yang mempunyai ratusan,
bahkan ribuan orang kekasih! Akan tetapi aku nekat, bahkan pada waktu ayahku
melarang aku melawannya. Aku sudah menerima beberapa macam ilmu pukulan sakti
dari Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, sehingga dalam pertempuran yang didorong
oleh marah itu, aku kelepasan tangan, membunuh ayahku sendiri...!"
"Ahhh,
Ibu..." Biauw Eng menjadi kasihan sekali kepada ibunya.
Dalam
keadaan seperti itu, ibu dan anak ini benar-benar amat berbeda dengan keadaan
biasanya. Andai kata Cui Im tidak diam-diam pergi meninggalkan mereka, gadis
itu tentu akan lebih bengong terheran-heran menyaksikan ibu dan anak itu
bercakap-cakap dengan penuh kemesraan dan keharuan seperti itu. Biasanya, ibu
dan anak itu seperti dua buah arca es yang dapat bergerak!
"Kemudian,
Sie Cun Hong lelaki tak setia itu tidak mau menikah denganku, seperti yang ia
lakukan terhadap ribuan orang wanita lain. Sedangkan aku telah mengandung
engkau, Eng-ji. Kami bertengkar, atau lebih tepat, aku memusuhinya, akan tetapi
dia terlampau sakti. Sampai belasan tahun aku belajar ilmu, puluhan tahun aku
menggembleng diri sehingga menjadi tokoh utama di selatan, akan tetapi tetap
saja aku belum pernah dapat menangkan dia. Karena itu, aku ikut pula berusaha
mendapatkan pusaka-pusakanya. Kini dia sudah mati, dan pusakanya itu seharusnya
jatuh ke tanganmu, karena engkau adalah keturunannya, engkau puterinya. Itulah
sebabnya aku hendak memaksa muridnya tadi menyerahkan Siang-bhok-kiam! Ketika
mendengar pedang itu terjatuh ke tangan para tosu Kun-lun-pai, aku menjadi
mendongkol dan marah, apa lagi melihat bahwa Sie Cun Hong agaknya sudah
menurunkan Ilmu Thi-khi I-beng kepadanya, padahal dahulu aku hanya menerima
petunjuk sedikit saja... aku menjadi benci kepada muridnya. Juga kulihat
pandang mata dan gerak bibir bocah itu sama benar dengan keadaan Sie Cun Hong
di waktu muda. Dia pun seorang laki-laki yang tidak setia. Akan tetapi kau...
kau sudah… jatuh cinta kepadanya!"
Biauw Eng
menarik napas panjang. Sungguh hebat riwayat ibunya itu. "Ibu, aku sendiri
hanya menduga saja bahwa aku mencinta dia, karena perasaan hatiku aneh, aku
ingin membelanya, aku tidak suka melihat dia terbunuh. Hal ini timbul dalam
hatiku ketika dia menyelamatkan aku dari pada ancaman Ang-bin Kwi-bo. Sejak
detik itu aku... aku suka kepadanya, aku tidak ingin terpisah darinya... ahh,
benarkah ini cinta, Ibu?"
"Hukum
karma... hukum karma...! Aku sendiri dahulu pun mencinta Sie Cun Hong karena
pertama-tama dia menolongku dari perkosaan Go-bi Jit-kwi (Tujuh Orang Setan
Go-bi)."
"Ibu,
kalau begitu aku benar-benar mencintainya. Perasaanku membisikkan bahwa dialah
satu-satunya pria yang kucinta karena aku agaknya rela untuk mengorbankan
nyawaku untuknya." Gadis itu berhenti sebentar dan pandang matanya jelas
membayangkan cinta kasih besar ketika dia mengingat pemuda itu. "Ibu,
sekarang juga aku akan mengejarnya, aku harus berada di dekatnya..."
"Pergilah,
akan tetapi jangan hanya mendapatkan dia, tetapi dapatkan pula peninggalan
pusaka ayahmu."
Sepasang
mata itu terbelalak penuh gembira, wajahnya menjadi kemerahan dan Biauw Eng
yang kini bukan lagi seorang gadis berwajah dingin karena salju itu agaknya
sudah mencair oleh panasnya api cinta, berkata,
"Ibu,
terima kasih. Aku pergi sekarang...!"
Lam-hai
Sin-ni memegang tangan puterinya dan berkata, "Hanya satu hal yang kuminta
agar engkau suka berjanji kepadaku, anakku."
"Apakah
itu, Ibu?"
"Berjanjilah,
bersumpahlah bahwa engkau tidak akan melakukan kesalahan yang sama dengan ibumu
dahulu. Engkau tidak akan menyerahkan dirimu kepada bocah itu di luar
pernikahan! Kalian harus menjadi suami isteri yang syah! Nah, apa bila begitu,
barulah ibumu akan memberi ijin dan doa restu. Kalau tidak, aku akan
mengutukmu, Biauw Eng!"
Gadis itu
memeluk ibunya dan berbisik, "Aku bersumpah, Ibu."
Kemudian dia
melepaskan ibunya dan cepat melesat pergi sesudah menyambar sabuk sutera putih
yang tadi dirampas dan dilemparkan oleh ibunya.
Lam-hai
Sin-ni, tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi, ‘ratu’ tak bermahkota dari daerah
pantai laut selatan, masih duduk bersila. Tubuhnya tidak bergerak, wajahnya
tetap dingin, akan tetapi dari kedua matanya keluar dua butir air mata yang
perlahan-lahan menetes turun ke atas sepasang pipinya yang putih…..
***************
Sementara
itu, semenjak Kun-lun-pai menerima Siang-bhok-kiam dari tangan Keng Hong,
perkumpulan besar ini tidak pernah mengalami hari-hari aman tenteram lagi. Baru
lewat beberapa hari sejak Keng Hong meninggalkan Pedang Kayu Harum itu,
Kun-lun-pai telah diserbu oleh orang-orang kang-ouw dari bermacam partai. Cara
penyerbuan mereka pun berbeda-beda, tergantung dari sifat perkumpulan atau
partai mereka.
Golongan
bersih yang merasa pernah ‘menghutangkan sesuatu’ kepada Sin-jiu Kiam-ong dan
karenanya berhak untuk mendapatkan bagian dari pusaka peninggalan pendekar itu,
mendatangi Kun-lun-pai secara berterang melalui pintu depan, kemudian
terang-terangan menyatakan ‘minta bagian’ karena dengan diserahkannya
Siang-bhok-kiam kepada pihak Kun-lun-pai, mereka ini menganggap bahwa
Kun-lun-pai sudah mewarisi semua pusaka peninggalan Sin-jiu-Kiam-ong.
Akan tetapi
golongan sesat memiliki cara yang lain lagi. Mereka datang dengan berbagai
macam cara, ada yang sembunyi-sembunyi bagai pencuri, ada pula yang datang
dengan melontarkan tuduhan-tuduhan dan menantang pibu.
Tetapi,
partai persilatan Kun-lun-pai adalah sebuah partai besar yang mempunyai banyak
tokoh yang berilmu tinggi. Di samping ini, juga para tosu anak murid
Kun-lun-pai rata-rata juga memiliki kepandaian yang lihai, jumlahnya banyak
pula sehingga semua usaha para tokoh kang-ouw yang hendak merampas
Siang-bhok-kiam dapat digagalkan.
Karena
munculnya gangguan-gangguan ini, para tokoh Kun-lun-pai menjadi sibuk sekali
dan akhirnya mereka sadar bahwa keputusan yang diambil oleh Kiang Tojin sebagai
wakil suhu-nya, yaitu Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai, sungguh pun
merupakan keputusan yang sangat baik demi menjunjung tinggi kedaulatan dan nama
besar Kun-lun-pai, namun merupakan keputusan yang amat berbahaya.
Dengan
mencegah Keng Hong membawa pergi Siang-bhok-kiam dan merampas pedang itu lalu
menyimpannya di Kun-lun-pai, maka kini perhatian semua orang kang-ouw tertuju
kepada Kun-lun-pai. Jika dahulu para tokoh kang-ouw mengejar-ngejar Sin-jiu
Kiam-ong, kini mereka menyerbu Kun-lun-pai untuk merampas pedang
Siang-bhok-kiam!
Sungguh pun
sejauh ini pihak Kun-lun-pai selalu berhasil menghalau para penyerbu yang
hendak merampas Siang-bhok-kiam, akan tetapi dalam pertandingan-pertandingan
yang terjadi selama pedang itu berada di sana, di pihak mereka sudah jatuh
korban sebanyak empat orang murid yang tewas dalam pertempuran. Hal ini masih
ditambah pula dengan perasaan gelisah, selalu harus berjaga-jaga sehingga para
tosu itu tidak dapat lagi tidur nyenyak.
Mulailah
timbul perasaan tidak senang mereka terhadap keputusan Kiang Tojin dulu yang
mereka anggap tidak tepat dan hanya menyusahkan Kun-lun-pai saja. Murid-murid
Thian Seng Cinjin yang lainnya mulai mengomel dan menyatakan ketidak senangan
mereka di depan ketua Kun-lun-pai itu sehingga kakek ini yang melihat adanya
bahaya perpecahan, pada suatu pagi mengumpulkan murid-muridnya untuk diajak
berunding mengenai pedang Siang-bhok-kiam!
Murid-murid
Thian Seng Cinjin jumlahnya ada tujuh orang. Kiang Tojin merupakan murid kepala,
bahkan dialah merupakan calon ketua kelak kalau Thian Seng Cinjin meninggal
dunia atau mengundurkan diri. Segala urusan mengenai Kun-lun-pai juga sudah
banyak yang diserahkan kepadanya oleh kakek yang sudah amat tua itu.
Karena Kiang
Tojin adalah orang yang luas pandangannya, berpengalaman dan memiliki watak
teguh dan adil, selain kelihaiannya yang hanya berada di bawah tingkat gurunya,
maka segala urusan berjalan lancar apa bila dia yang mengatur penyelesaiannya.
Hal ini saja sudah membuat beberapa orang sute-nya diam-diam merasa iri hati.
Pagi hari
itu, di dalam ruangan yang diberi nama Ruangan Ketenangan yang letaknya di
bagian belakang asrama Kun-lun-pai, Thian Seng Cinjin duduk di atas lantai yang
ditilami kasur bundar, bersila dihadap oleh tujuh orang murid-muridnya yang
juga duduk bersila dalam bentuk setengah lingkaran menghadap guru mereka.
Suasana di
ruangan itu memang sangat hening, bersih dan nyaman. Angin pegunungan bersilir
masuk karena ruangan itu memang tidak tertutup dinding sehingga dari situ dapat
tampak tamasya pegunungan yang sangat indah. Memang tepat sekali nama ruangan
ini karena suasana di situ benar-benar tenang dan menimbulkan ketenangan di
hati, cocok untuk bersemedhi atau untuk bertukar pikiran.
Untuk
kepentingan perundingan ini, Thian Seng Cinjin sengaja membawa serta pedang
Siang-bhok-kiam yang ia letakkan di depannya di atas lantai. Kemudian, sesudah
sejenak delapan orang tosu ini bersama-sama mengheningkan cipta membersihkan
pikiran, kakek itu menggerakkan tangan mengelus jenggot panjangnya dan berkata
dengan suara halus,
"Sekarang
kita semua sudah berkumpul dengan pikiran jernih. Pinto tahu bahwa pedang
peninggalan Sin-jiu Kiam-ong ini telah menimbulkan banyak keributan yang
biasanya aman tenteram dan tenang. Akan tetapi, keributan itu ditimbulkan oleh
orang-orang luar yang hendak merampas pedang dan sudah seharusnya kalau kita
mempertahankannya dan menghalau para penyerbu, hal itu tidaklah menyusahkan
hati. Yang membuat pinto prihatin dan sekarang mengumpulkan kalian untuk
berunding adalah karena pinto melihat adanya ketidak tenangan yang timbul di
antara kita karena getaran bentrokan ketidak cocokan itu dan mencari jalan
keluar dengan musyawarah. Keluarkan semua isi hati dan pendapat kalian untuk
kita telaah dan pelajari."
Hening
sejenak menyusul ucapan kakek ini yang dikeluarkan dengan suara halus, namun
mengandung penuh teguran. Jelas terasa oleh mereka yang hadir bahwa suhu mereka
ini merasa tidak senang dengan adanya pertentangan diam-diam di kalangan mereka
sendiri.
Karena
sekarang tiba saatnya dan mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan semua
ketidak puasan hati, mereka pun mengambil keputusan hendak menekan Kiang Tojin.
Di antara para adik seperguruan Kiang Tojin, hanya dua orang yang merasa iri
hati dan diam-diam menentang kakak seperguruan ini, yaitu murid ke dua bernama
Sian Ti Tojin, dan murid ke lima Lian Ci Tojin. Ada pun murid yang lainnya ada
yang berpihak kepada Kiang Tojin, namun ada pula yang tidak mau mencampuri
pertentangan pendapat antara saudara sendiri itu.
"Tepat
sekali seperti yang dikatakan suhu tadi," berkata Sian Ti Tojin.
"Setelah Siang-bhok-kiam berada di sini, kita menjadi tidak tenang lagi
dan mendapatkan banyak musuh. Teecu anggap keliru sekali keputusan Twa-suheng
untuk menahan pedang itu di sini. Pedang itu menjadi bahan perebutan
orang-orang kang-ouw, kalau sekarang disimpan di sini tentu saja semua
resikonya tertimpa ke pundak kita. Apakah keuntungannya bagi kita mencari
permusuhan dengan sahabat-sahabat dari dunia kang-ouw? Sudah empat orang anak
murid Kun-lun-pai mengorbankan jiwa, hanya untuk mempertahankan pedang kayu
peninggalan Sin-jiu Kiam-ong!"
"Benar
sekali ucapan Ji-suheng," sambung Lian Ci Tojin cepat-cepat. "Menurut
pendapat teecu, dahulu Twa-suheng mengambil keputusan menahan pedang itu pun
hanya untuk melindungi Cia Keng Hong!"
Sunyi di
ruangan itu sesudah Lian Ci Tojin mengucapkan kata-kata ini, dan hati mereka
mulai menjadi tegang. Ucapan Sian Ti Tojin tadi hanya mengeluarkan pernyataan
yang memang nyata terjadi, akan tetapi ucapan Lian Ci Tojin ini lebih condong
kepada ucapan menuduh Kiang Tojin.
Dengan
diucapkannya tuduhan tadi, Thian Seng Cinjin maklum akan gawatnya urusan ini.
Maka, dengan pandang mata tajam dia berkata kepada muridnya yang ke lima itu
dengan suara tetap halus,
"Lian
Ci, tuduhan tanpa alasan kuat dan tanpa bukti dapat menjerumuskan kepada
fitnah, dan engkau tentu mengerti betapa jahatnya fitnah. Bicaralah secara
terus terang sesuai dengan sifat kejujuran dan keadilan yang kita junjung
tinggi."
"Memang
teecu menjunjung tinggi pendapat suhu. Teecu sendiri pun tidak suka dengan
perbuatan yang berpura-pura dan mengandung rahasia. Bukan tanpa alasan kalau
teecu mengatakan bahwa Twa-suheng menahan pedang untuk melindungi Keng Hong.
Pertama, Cia Keng Hong adalah anak yang dibebaskan dari maut oleh Twa-suheng
dan bukan rahasia lagi betapa besar kasih sayang Twa-suheng kepada Keng Hong
sehingga tidak mengherankan apa bila Twa-suheng melindunginya. Ke dua, memang
dapat dimengerti bahwa kalau pedang Siang-bhok-kiam itu berada di tangan Keng
Hong, bukan kita yang diserbu orang-orang kang-ouw, melainkan Keng Hong yang
akan dikejar-kejar sehingga membahayakan keselamatan anak itu. Akan tetapi,
betapa piciknya melindungi bocah yang bukan anak murid perguruan Kun-lun-pai
dengan mengorbankan nyawa empat orang murid kita, bahkan mungkin lebih banyak
lagi! Twa-suheng harus bertanggung jawab atas keputusannya yang tidak bijaksana
itu!"
Semua mata
kini ditujukan kepada Kiang Tojin yang masih duduk bersila dengan sikap tenang.
Juga Thian Seng Cinjin memandang kepadanya dengan sinar mata seakan-akan
meminta jawaban. Kiang Tojin mendehem perlahan lalu berkata, suaranya halus
namun lantang, tak menyembunyikan perasaan lain dari pada apa yang akan
dikeluarkan melalui mulutnya.
"Semua
ucapan Ji-sute dan Ngo-sute tiada yang keliru. Siang-bhok-kiam mendatangkan
keributan, itu sudah jelas. Juga tuduhan Ngo-sute ada benarnya, memang sedikit
banyak ada terkandung di hati teecu ketika menahan pedang bahwa hal itu akan
menyelamatkan pula Keng Hong dari ancaman maut."
Pada saat
Kiang Tojin berhenti sejenak, semua tosu memandangnya dengan hati tegang. Akan
tetapi Kiang Tojin melanjutkan dengan sikap tetap tenang, "Akan tetapi
sebenarnya bukan karena keselamatan Keng Hong semata maka teecu memutuskan
untuk menahan pedang Siang-bhok-kiam di sini, melainkan terutama sekali untuk
mengangkat tinggi nama besar dan kehormatan Kun-lun-pai."
"Harap
Twa-suheng jelaskan alasannya!" Sian Ti Tojin mendesak.
"Siang-bhok-kiam
merupakan pedang peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan menjadi rebutan orang-orang
kang-ouw. Sedangkan Sin-jiu Kiam-ong meninggal dunia pada waktu berada di
Kiam-kok-san. Kita semua tahu bahwa Kiam-kok-san adalah sebuah tempat keramat
bagi Kun-lun-pai, dan termasuk wilayah terdekat Kun-lun-pai. Kalau sampai
pedang yang sekian lamanya berada di wilayah Kun-lun-pai itu terjatuh ke tangan
orang lain, bukankah ini berarti bahwa Kun-lun-pai merupakan partai persilatan
yang amat lemah, tidak mampu mempertahankan benda keramat yang menjadi haknya?
Bukankah hal ini akan menjadi buah tutur di dunia kang-ouw dan Kun-lun-pai akan
ditertawakan sampai tujuh keturunan? Harus teecu akui bahwa dengan adanya
pedang Siang-bhok-kiam di sini, Kun-lun-pai diserbu orang-orang luar dan memang
ada empat orang anak murid kita tewas. Akan tetapi apa artinya kematian kalau
terjadi dalam membela Kun-lun-pai dari serbuan orang luar? Mati sebagai orang
gagah perkasa adalah menjadi pegangan teecu sesuai yang diajarkan suhu selama
ini bahwa jauh lebih baik mati sebagai orang gagah dari pada hidup sebagai
seorang pengecut. Sekian penjelasan teecu dan selanjutnya tentu saja teecu
serahkan kepada keputusan Suhu dalam hal Siang-bhok-kiam ini."
Kecuali dua
orang tosu yang menentang, semua sute dari Kiang Tojin secara diam-diam mengakui
kebenaran pendapat suheng mereka. Kalau saja Kiang Tojin tadi menyangkal bahwa
dia melindungi Keng Hong, hal itu tentu akan tetap menjadi kecurigaan dan bahan
tuduhan. Akan tetapi setelah dengan tenang Kiang Tojin mengakui hal itu, maka
tuduhan ini menjadi hilang artinya, apa lagi setelah ada alasan lain yang
demikian kuatnya.
Thian Seng
Cinjin mengelus-elus jenggotnya. Diam-diam kakek ini kagum kepada murid kepala
ini dan makin yakin hatinya bahwa kelak yang akan dapat memimpin Kun-lun-pai
menuju ke arah kemajuan dan kebesaran nama adalah Kiang Tojin ini. Dia lalu
menyapu murid-murid lain dengan pandang matanya, kemudian berkata,
"Siancai!
Kurasa pendapat suheng kalian ini cukup beralasan dan tepat. Namun betapa pun
juga, pertemuan ini kita adakan untuk bermusyawarah. Pinto tidak akan mengambil
keputusan begitu saja sebelum pinto mendengar semua isi hati kalian. Tidak
boleh ada keputusan diambil tanpa dimufakati semua orang. Pinto tidak ingin
melihat pertentangan paham di antara kalian karena hal itu akan melemahkan
Kun-lun-pai, justru pada waktu Kun-lun-pai dimusuhi banyak orang yang memiliki
kepandaian tinggi. Setelah pinto sendiri amat tua dan lemah, seluruh nasib
Kun-lun-pai berada di tangan kalian bertujuh. Apa bila kalian tidak bersatu,
bagaimana mungkin bisa mempertahankan kebesaran Kun-lun-pai? Karena itu, kalau
masih ada yang tidak setuju mengenai Siang-bhok-kiam ini, katakanlah terus
terang berikut alasannya."
Kembali Lian
Ci Tojin yang bicara dan nada suaranya mengandung penasaran karena dia mendapat
kenyataan betapa mudahnya Kiang Tojin lolos dari tuduhan itu. Lian Ci Tojin ini
masih muda apa bila dibandingkan dengan para suheng-nya. Usianya baru empat
puluh lima tahun, akan tetapi karena dia sangat berbakat sehingga dapat
menguasai ilmu silat tertinggi dari Kun-lun-pai, maka dia termasuk salah
seorang di antara tujuh tokoh besar Kun-lun-pai, murid-murid Thian Seng Cinjin.
Kini terdengar suaranya.
"Suhu,
teecu berpendapat bahwa kalau pun kita menahan Siang-bhok-kiam di sini, berarti
pedang itu menjadi hak kita, dan sudah sepatutnya pula bila susah payah yang
kita derita untuk mempertahankannya itu mendapat imbalan yang sepadan, yaitu
dengan menambah simpanan Kun-lun-pai dengan kitab-kitab pusaka peninggalan
Sin-jiu Kiam-ong. Bukankah Siang-bhok-kiam dikabarkan menjadi kunci dari pada
tempat rahasia peninggalan pusaka itu? Hal ini sudah berkali-kali teecu usulkan
kepada Twa-suheng, akan tetapi selalu tidak disetujui oleh Twa-suheng.
Sekarang, sekali lagi di hadapan Suhu dan para suheng sute sekalian teecu
hendak bertanya lagi kepada Twa-suheng, apakah pusaka-pusaka itu tidak akan
kita cari untuk perbendaharaan Kun-lun-pai?"
"Tidak!
Kita tidak akan mencari pusaka-pusaka itu karena Sin-jiu Kiam-ong tidak pernah
mewariskannya kepada kita. Kun-lun-pai sebuah perkumpulan yang besar, bukan
sebuah perkumpulan yang biasa merampas hak milik orang lain!" Kiang Tojin
menjawab dengan suara tegas sehingga para sute-nya termasuk gurunya sendiri,
menjadi amat kagum dan bangga di dalam hati.
Akan tetapi
tiba-tiba Lian Ci Tojin tertawa. "Ha-ha-ha-ha, sungguh pintar Twa-suheng
dan sungguh bodoh kita yang dapat dikelabui! Kalau sudah berani menahan pedang
dengan dalih bahwa pedang berada di wilayah Kun-lun-pai, kenapa tidak berani
memiliki pusaka yang juga berada di wilayah Kun-lun-pai? Ahhh, siapakah tokoh
di dunia persilatan yang tidak ingin memiliki? Termasuk Twa-suheng tentunya!
Kalau pusaka-pusaka itu kita ambil dan menjadi milik Kun-lun-pai, berarti semua
murid Kun-lun-pai dapat mempelajarinya, akan tetapi Kiang Tojin suheng tidak
setuju karena Twa-suheng hendak memiliki semua pusaka itu untuk diri sendiri.
Bukankah begitu?"
Muka Kiang
Tojin menjadi merah dan semua mata memandangnya. Akan tetapi tosu yang
berpengalaman ini selain kuat ilmu silatnya, juga kuat sekali batinnya. Dia
tidak sudi dikuasai perasaan hatinya, karena itu sekuat tenaga dia menekan
kemarahannya dengan kesadarannya bahwa sute ke lima ini melontarkan
tuduhan-tuduhan kepadanya tentu ada latar belakangnya.
Maka dia
memandang sute-nya itu dan mengingat-ingat. Mengapa sute-nya yang ke lima ini
seolah-olah membenci dirinya? Kemudian dia teringat. Terhadap para sute-nya,
Kiang Tojin memang selalu bersikap keras dalam memimpin, selalu tidak segan
menegur apa bila mereka itu melakukan kekeliruan sehari-hari.
Teringatlah
dia betapa seringnya dia menegur Lian Ci Tojin ini yang masih sering kali
tampak lemah menghadapi godaan nafsu birahi, sering kali tampak nyata amat
tergoda batinnya kalau bertemu wanita cantik.
Yang
terakhir, pada waktu Kiang Tojin menangkap Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im dan
menyuruh sute-sute-nya membelenggu gadis cantik itu, dia melihat betapa Lian Ci
Tojin cepat-cepat melakukan perintah ini dan pandang matanya yang tajam bisa
melihat betapa sinar mata Lian Ci Tojin berkobar oleh nafsu, betapa saat
membelenggu tangan sute-nya itu sengaja meraba-raba tubuh gadis itu.
Penyelewengan
karena dorongan nafsu ini, walau pun tidak berarti dan kecil, juga tidak
terlihat oleh siapa pun, namun sudah cukup kuat bagi Kiang Tojin untuk pada
keesokan harinya memanggil sute-nya ini dan memarahinya dengan keras. Pada saat
itu, Lian Ci Tojin hanya menunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah,
akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, sepasang mata sute-nya itu
memancarkan kebencian seperti yang sekarang terpancar kepadanya dalam bentuk
tuduhan-tuduhan itu.
Kiang Tojin
menghela napas panjang dan berhasil memadamkan api amarahnya setelah dia
melihat latar belakangnya mengapa sute-nya itu seperti membencinya.
"Teecu
hanya melaksanakan tugas sebaiknya dan dalam urusan Siang-bhok-kiam, teecu
mengambil keputusan setelah teecu pikirkan masak-masak. Teecu tidak sudi
melakukan sesuatu di luar garis peraturan Kun-lun-pai sendiri." Demikian
Kiang Tojin berkata kepada gurunya dan ketika gurunya mengangguk-angguk, Kiang
Tojin lalu menoleh ke arah Lian Ci Tojin.
"Ngo-sute,
kiranya masih ingat bagaimana bunyi peraturan ke tiga dari perguruan kita?
Setiap murid Kun-lun-pai dilarang mempelajari ilmu silat dari lain perguruan
dan kalau hal ini dilanggar, berarti si murid telah murtad dan mengkhianati
Kun-lun-pai. Dengan adanya peraturan yang sudah jelas ini, bagaimana Ngo-sute
dapat mengusulkan agar supaya kita mengambil kitab-kitab pusaka peningalan
Sin-jiu Kiam-ong?"
Ditegur
begini, Lian Ci Tojin menjadi merah mukanya. Diam-diam dia memaki di dalam hati
atas kecerdikan twa-suheng-nya ini sehingga dari keadaan menuduh kini dia malah
menjadi seorang tertuduh melanggar peraturan perguruan mereka! Namun Lian Ci
Tojin cukup cerdik dan dia cepat berkata,
"Twa-suheng
jangan menuduh yang bukan-bukan. Pinto bukan sekali-kali mengusulkan agar
supaya kita menyeleweng dan mempelajari isi kitab-kitab pusaka peninggalan
Sin-jiu Kiam-ong, hanya mengusulkan untuk menguasai kitab-kitab itu. Tentang
mempelajarinya, tentu terserah kepada suhu, bila suhu mengijinkan kita
mempelajarinya untuk menambah kepandaian dan dengan demikian nama besar
Kun-lun-pai akan makin meningkat, apakah itu dianggap melanggar
peraturan?"
Melihat
keadaan mulai ‘panas’, Thian Seng Cinjin cepat-cepat mengangkat tangannya dan
berkata, suaranya amat berpengaruh, "Cukuplah sudah semua perbantahan yang
kosong ini! Pinto sangat setuju dengan tindakan yang diambil oleh Twa-suheng
kalian! Memang tidak semestinya kalau Kun-lun-pai menguasai kitab-kitab pusaka
peninggalan dari Sin-jiu Kiam-ong. Kalian harus tahu bahwa kitab-kitab itu
adalah milik perguruan-perguruan tinggi lainnya yang dahulu dicuri atau
dirampas Sin-jiu Kiam-ong. Kalau kita menguasainya dan mempelajarinya, tentu
kita akan bermusuhan dengan pemilik-pemilik kitab itu. Lagi pula, hendaknya
kalian ingat bahwa kesaktian bukan tergantung pada kitab atau pelajarannya,
juga bukan tergantung pada senjatanya, melainkan kepada si manusianya sendiri.
Kalau kalian tekun memperdalam semua ilmu-ilmu asli dari Kun-lun-pai, kurasa
tidak akan kalah saktinya dari pada pelajaran-pelajaran lain perguruan. Nah,
pinto perintahkan agar mulai detik ini semua pertentangan paham dilenyapkan
dari hati masing-masing."
Tujuh orang
muridnya itu segera berlutut dan dengan suara bulat menyatakan ketaatan mereka.
Pada saat itu, dua orang anak murid Kun-lun-pai lari tergopoh-gopoh memasuki
Ruangan Ketenangan dan serta-merta menjatuhkan diri berlutut menghadap Thian
Seng Cinjin sambil berkata dengan muka pucat dan suara gemetar.
"Teecu
berdua datang melaporkan bahwa pada saat ini puncak Kun-lun sedang terancam
dijadikan kancah perang antara pasukan utara dan pasuka selatan! Kita sudah
terkurung, dari utara muncul pasukan dari Peking dan dari selatan muncul
pasukan dari Nanking. Mereka telah mengurung tempat kita."
Hanya Thian
Seng Cinjin dan Kiang Tojin saja yang menerima berita mengagetkan ini dengan
sikap tenang. Guru dan murid kepala ini bertukar pandang, kemudian Thian Seng
Cinjin mengangguk dan bangkit dari lantai, menyambar tongkatnya lalu berkata,
"Kita
harus menghadapi mereka selengkapnya. Perintahkan kepada seluruh anak murid
Kun-lun-pai untuk mengatur barisan dan bersiap-siap!"
Tujuh orang
murid itu lalu berpencar menunaikan tugas masing-masing. Kemudian kakek tua
Kun-lun-pai itu diikuti oleh ketujuh orang muridnya melangkah keluar dan menuju
ke puncak.
Anak murid
Kun-lun-pai telah berbaris rapi, terbagi atas dua bagian, sebagian menghadap
selatan dan sebagian lainnya menghadap ke utara. Sedangkan Thian Seng Cinjin
sendiri dengan gerakan ringan lantas melompat ke atas sebuah batu yang tinggi
di puncak itu, diikuti oleh ketujuh orang muridnya. Mereka berdiri tegak di
atas batu ini dan nampaklah oleh mereka dua pasukan yang mengurung itu, satu di
utara, satu lagi di selatan.
Pasukan itu
tidak terlalu besar, paling banyak seratus orang masing-masing pihak, akan
tetapi lengkap bersenjata dan kalau dilihat besarnya pasukan, tidak mungkin
mereka itu muncul untuk berperang. Hal ini sangat melegakan hati Thian Seng
Cinjin yang segera mengerahkan khikang-nya dan berkata dengan lantangnya.
"Kami
dari Kun-lun-pai selamanya tidak pernah melibatkan diri dengan perang saudara.
Hari ini pasukan-pasukan kedua pihak telah datang berkunjung ke Kun-lun-pai,
harap para ciangkun (perwira) kedua pasukan sudi menjelaskan apa yang menjadi
maksud dari pada kedatangan cu-wi!"
Tiba-tiba
dari pasukan sebelah utara itu tampak berlari maju seorang berpakaian perwira
yang bertubuh kurus tinggi. Larinya amat cepat dan geraknya gesit sekali, sungguh
pun pakaian perang itu kelihatan kaku, namun tidak menghalangi gerakannya yang
cekatan sehingga para tokoh Kun-lun-pai menjadi kagum dan maklum bahwa pasukan
utara itu dipimpin oleh perwira yang lihai.
Sebentar
saja perwira itu sudah tiba di bawah batu. Ia berdiri dengan tegak, memandang
ke arah tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang berada di atas batu, kemudian dia memberi
hormat dengan sikap gagah, dua tangan dirangkap di depan dada, agak membungkuk
sehingga pedangnya yang panjang itu ikut bergerak di pinggangnya kemudian
terdengar suaranya lantang namun mengandung sikap hormat dan ramah.
"Kami
Han Tek Thai yang memimpin pasukan pengawal melaksanakan tugas yang sudah
diperintahkan oleh junjungan kami, Raja Muda Yung Lo dari utara yang gagah
perkasa, calon kaisar yang asli, untuk menghadap kepada para pimpinan
Kun-lun-pai. Raja muda kami menyampaikan rasa terima kasih bahwa Kun-lun-pai
selama ini tidak membantu kekuasaan raja penyerobot mahkota di Nanking, karena
hal itu membuktikan bahwa Kun-lun-pai dapat mengerti akan kebenaran dan
keadilan yang berada di pihak utara!"
Diam-diam
Kiang Tojin tersenyum dan merasa kagum. Perwira dari utara ini benar-benar
orang yang tepat dijadikan seorang perwira, karena di samping ilmu
kepandaiannya tinggi yang dapat dilihat dari gerakannya tadi, juga jelas bahwa
perwira ini memiliki kecerdikan dan kepandaian untuk menarik rakyat ke
pihaknya. Dia sudah banyak mendengar bahwa sifat-sifat ini menjadi inti
kekuatan pihak utara, karena sifat itu membuat rakyat jelata merasa bersimpati
terhadap perjuangan mereka sehingga rakyat berbondong-bondong membantu.
"Maaf,
Han-ciangkun," kata Kiang Tojin sesudah dia mendapat isyarat dari gurunya
untuk menjawab. "Kiranya raja muda dari utara tidak seharusnya berterima
kasih kepada kami, karena pendirian Kun-lun-pai sama sekali bebas, tidak
memihak mana pun juga. Kami seluruh anggota Kun-lun-pai hanya merasa perihatin
menyaksikan perang saudara sebab yang menjadi korban tak lain adalah rakyat
jelata. Karena inilah kami tidak mau memihak siapa-siapa. Hendaknya
Han-ciangkun maklum akan pendirian kami dan selanjutnya suka menjelaskan apa
kehendak selanjutnya dengan kunjungan ini."
Perwira
utara itu tersenyum sabar dan berkata, "Ucapan Totiang betul-betul
membuktikan bahwa para tosu merupakan manusia-manusia dewa yang tidak sudi
mencampuri urusan dunia lagi. Sungguh menimbulkan rasa kagum! Kami diutus oleh
junjungan kami untuk mengharapkan budi kebaikan pihak Kun-lun-pai, agar suka
menyerahkan kitab Thai-yang Tin-keng yang tentu tidak akan ada manfaatnya bagi
Kun-lun-pai kepada kami."
"Kitab
Thai-yang Tin-keng? Kitab apakah itu? Kami tidak tahu, bahkan baru mendengar
namanya sekarang," kata Kiang Tojin tanpa ragu-ragu.
Perwira itu
masih bersikap sabar. "Kitab itu, sesuai dengan namanya yaitu Kitab
Barisan Matahari, adalah ciptaan Raja Besar Jenghis Khan dan merupakan kitab
pelajaran untuk mengatur barisan yang diambil dari pengalaman-pengalaman
barisan Mongol pada waktu menyerbu ke Tiong-goan (Daratan Tengah). Junjungan
kami mohon pinjam kitab itu dari Kun-lun-pai."
"Tapi...
kami tidak mempunyai kitab seperti itu!" jawab Kiang Tojin.
Perwira itu
mengangguk-ngangguk. "Mungkin memang bukan milik Kun-lun-pai, akan tetapi
setelah pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong kabarnya jatuh ke tangan
Kun-lun-pai, tentu kini kitab itu berada di tangan totiang sekalian. Kitab ini
dahulu dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong dari gedung perpustakaan kaisar."
Sebelum
Kiang Tojin dapat menjawab, terdengar teriakan keras dan tampaklah bayangan
orang berlari cepat sekali dari selatan. Orang ini pun berpakaian seperti
perwira, tubuhnya tinggi besar akan tetapi larinya cepat dan tubuhnya kelihatan
ringan sekali, membuktikan bahwa perwira selatan ini pun mempunyai kepandaian
yang tak boleh dipandang ringan. Begitu sampai di sebelah selatan batu tinggi
itu, perwira ini menggerak-gerakkan kedua tangannya dan berkata, suaranya
seperti geledek.
"Harap
para tosu Kun-lun-pai jangan sampai kena terbujuk oleh mulut para pemberontak
hina dina! Kami percaya bahwa Kun-lun-pai tidak berjiwa pemberontak! Kitab
Thai-yang Tin-keng adalah milik kaisar kami, maka sudah semestinya dikembalikan
kepada kami!"
"Manusia
sombong! Kami bukan pemberontak, melainkan pejuang yang memperjuangkan
kebenaran dan keadilan, pembela kepentingan rakyat! Raja kalian yang merupakan
raja lalim, penyerobot mahkota, orang muda yang tidak tahu menghormat orang
tua!" Perwira utara yang bernama Han Tek Thai itu membentak marah.
"Kau
pemberontak laknat! Sudah jelas memberontak terhadap pemerintahan yang syah,
kau masih banyak cakap lagi?" bentak perwira tinggi besar dari selatan
sambil menerjang maju.
Tanpa dapat
dicegah lagi dua oang perwira itu sudah maju menerjang sehingga terjadilah
saling serang. Pada gebrakan pertama, dengan marah kedua perwira mengirim
pukulan dengan tangan hingga terdengar suara keras. Keduanya terhuyung ke
belakang dan baju besi perisai di depan dada mereka ternyata sudah retak-retak!
Akan tetapi tubuh mereka rupanya cukup kebal dan kuat sehingga tidak mengalami
luka hebat. Sekarang mereka mencabut pedang masing-masing dan siap untuk
bertanding, sedangkan pasukan kedua belah pihak juga sudah berlari-lari untuk
saling terjang.
Dua bayangan
yang gesit sekali melayang turun dari atas batu. Mereka ini adalah Sian Ti
Tojin dan Lian Ci Tojin. Laksana burung garuda yang besar mereka melayang
turun, Sian Ti Tojin menghadapi perwira utara ada pun sute-nya menghadapi
perwira selatan. Begitu kedua orang tosu ini menggerakkan tangan mereka, pedang
kedua orang perwira itu telah dapat mereka rampas sehingga dua orang perwira
itu menjadi kaget dan melongo.
"Ji-wi
Ciangkun adalah tamu-tamu, mengapa tidak mengindahkan kedaulatan tuan rumah dan
hendak membikin kacau Kun-lun-pai?" Kiang Tojin dari atas batu berseru
menegur.
Han Tek Thai
menjura dan berkata, "Maafkan kami yang terburu nafsu..."
"Apa?
Kun-lun-pai hendak membela kaum pemberontak?" bentak perwira tinggi besar
dari selatan.
Menyaksikan
sikap kedua orang perwira yang saling bermusuhan ini, Thian Seng Cinjin
menghela napas dan mengelus-elus jenggotnya. "Siancai..., kehendak Tuhan
terjadilah...! Kembalikan pedang mereka!"
Lian Ci
Tojin dan Sian Ti Tojin mengembalikan pedang mereka lalu melangkah mundur,
namun masih bersiap-siap untuk bergerak apa bila tamu-tamu yang tidak
dikehendaki ini membikin kacau lagi.
"Ji-wi
Ciangkun dari utara dan selatan, dengarkan baik-baik omongan pinto! Pinto Thian
Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai selama hidup tak suka berbohong dan apa yang akan
pinto katakan ini hendaknya ji-wi sampaikan kepada junjungan ji-wi
masing-masing!"
Suara Thian
Seng Cinjin terdengar jelas sekali walau pun kakek ini bicara perlahan saja.
Suaranya penuh dengan wibawa sehingga bukan hanya dua orang perwira itu saja
yang mendengarnya penuh perhatian, bahkan seluruh pasukan kedua pihak yang
tadinya telah bersiap-siap untuk saling hantam, sekarang tak berani
mengeluarkan suara, memandang kakek itu dan mendengarkan kata-katanya.
Dengan
gerakan sangat tenang Thian Seng Cinjin mengeluarkan sebatang pedang kayu dari
balik jubahnya dan mengangkat pedang itu tinggi di atas kepala sambil berkata,
"Hendaknya
Ji-wi Ciangkun ketahui bahwa kami pihak Kun-lun-pai sama sekali tidak tahu akan
pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, juga tidak tahu-menahu tentang
kitab Thai-yang Tin-keng itu! Satu-satunya benda peninggalan Sin-jiu Kiam-ong
yang ada pada kami hanyalah pedang Siang-bhok-kiam ini karena kami pun tidak
menghendaki pusaka-pusaka yang lainnya. Pedang ini sudah ada di wilayah
Kun-lun-pai selama puluhan tahun dan setelah berada di tangan kami, tak akan
kami serahkan kepada siapa pun juga. Nah, kiranya sudah jelas keterangan kami,
harap Ji-wi Ciangkun sekarang membawa pulang pasukan masing-masing karena kami
melarang pasukan Ji-wi bertempur di wilayah kami. Apa bila larangan yang
menjadi hak Kun-lun-pai ini dilanggar, maka terpaksa kami turun tangan tanpa
memandang bulu, tanpa memihak siapa pun juga!"
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa seperti kaleng dipukul disusul suara keras,
"Ha-ha-ha! Tosu tua bangka, berikan Siang-bhok-kiam kepadaku!"
"Tidak,
aku lebih berhak!"
"Berikan
kepadaku!"
"Padaku!"
Semua tosu
Kun-lun-pai terkejut dan kiranya berturut-turut di situ sudah muncul banyak orang-orang
kang-ouw yang mempergunakan kesempatan selagi semua tosu Kun-lun-pai bersiap
menghadapi dua pasukan yang bermusuhan itu, menyelinap masuk dan tiba di tempat
itu!
Melihat
tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan Kong-thong-pai bersama orang-orang
kang-ouw yang semenjak dulu mengejar-ngejar Sin-jiu Kiam-ong, para tokoh
Kun-lun-pai ini tidak mengambil pusing. Akan tetapi melihat orang yang tadi
mengeluarkan suara tawa dan dua orang lain di dekatnya, Thian Seng Cinjin
sendiri menjadi terkejut dan maklum bahwa sekali ini Kun-lun-pai benar-benar
menghadapi saat gawat.
Suara
tertawa tadi keluar dari mulut seorang kakek tinggi besar yang tubuhnya
berkulit hitam bagaikan arang, matanya lebar, putih dan telinganya seperti
gajah. Tubuh hitam itu berbulu dan di pinggangnya tergantung rantai baja
terhias dua buah tengkorak manusia. Ketua Kun-lun-pai mengenal orang ini yang
bukan lain adalah Pak-san Kwi-ong datuk dari utara!
Dan tak jauh
dari situ, berdiri sambil tersenyum-senyum, tampak Pat-jiu Sian-ong kakek tua
renta yang bertubuh kecil kate, berkepala besar dengan muka sempit,
mengebut-ngebut lehernya dengan sebuah kebutan hudtim dengan sikap tenang sabar
seolah-olah dia benar-benar seorang dewa!
Sedikit di
belakang kelihatan nenek yang menyeramkan, menyeringai sehingga gigi yang
besar-besar itu menonjol keluar. Mukanya berwarna merah darah, rambut
riap-riapan dan pakaiannya serba hitam. Nenek yang menjadi datuk di timur, yang
namanya tidak kalah terkenalnya dari Pat-jiu Sian-ong datuk barat atau pun Pak-san
Kwi-ong datuk utara, yaitu Ang-bin Kwi-bo...!
Terima kasih telah membca Serial ini.
No comments:
Post a Comment