Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 29
WAJAH pemuda
itu seketika menjadi pucat. Ia merasa betapa kedua pundaknya dimasuki hawa
panas yang gatal-gatal, seperti ada ribuan ekor semut yang memasuki tubuhnya
dan menggigit dari dalam, dari kepala sampai kaki! Rasa nyeri ini tidak hebat
sekali, tidak sampai membuat ia pingsan, akan tetapi rasa gatal-gatal ini
membuat dia lebih menderita, merupakan siksaan yang tiada tara. Seluruh
tubuhnya berdenyut, semua bulu di tubuhnya bangun satu demi satu, lubang-lubang
di kulitnya terbuka dan keringat dingin membasahi tubuhnya.
Keng Hong
cepat memejamkan sepasang matanya dan dengan kemauannya yang keras, dapat dia
mematikan perasaannya sehingga siksaan itu tidak akan terasa lagi.
"Bocah
goblok, aku lebih tahu akan watak Sie Cun Hong! Engkau tahu apa? Dahulu dia
sudah mempunyai isteri yang cantik dan mencintanya, akan tetapi karena dia itu
hidung belang, kerjanya hanya mengejar-ngejar perempuan, isterinya lalu lari
meninggalkannya! Apakah itu bukan bukti yang cukup jelas?"
"Aku
tidak tahu dan aku pun tidak berhak tahu mengenai urusan dalam suami isteri,
akan tetapi aku merasa yakin bahwa suhu tidak bersalah dalam hal itu!"
"Bocah
sombong dan keras kepala!" Nenek itu membentak makin marah. Ia benar-benar
merasa tidak berdaya dan ‘mati kutunya’ terhadap Keng Hong. "Rasakan
ini!"
Sekarang
nenek itu menancapkan kuku lima jari tangan kirinya ke punggung Keng Hong.
Pemuda ini tidak mampu melawan karena sekali mengerahkan tenaga melawan berarti
dia akan mencelakakan diri sendiri. Maka dia menerima serangan itu.
Lima kuku
jari tangan kiri Ang-bin Kwi-bo menancap di punggung Keng Hong dan pemuda itu
memejamkan mata, akan tetapi tanpa dapat dia tahan lagi dan seperti tanpa
disadari, mulutnya terbuka dan terdengar keluhan berat. Dia terengah-engah dan
setelah nenek itu menarik kembali lima kuku jari tangan kirinya, Keng Hong
merasa betapa tubuhnya bagai disayat-sayat dari dalam!
"Ban-tok
Sin-ciang telah meracuni tubuhmu. Dalam waktu dua puluh empat jam engkau akan
tersiksa oleh berbagai macam rasa nyeri yang hebat seakan-akan semua siksaan
dari neraka telah masuk ke tubuhmu dan akan kau rasakan dalam waktu sehari
semalam sebelum engkau mampus. Akan tetapi bila engkau mau memaki gurumu
sebagai manusia sesat dan memberikan Thi-khi I-beng kepadaku, aku akan memberi
obat penawar racun."
Keng Hong
memejamkan mata dan mulutnya masih terbuka, terengah-engah, akan tetapi dia
berhasil berkata, "Suhu manusia mulia!"
Sekali ini
Ang-bin Kwi-bo sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Bocah
sinting! Engkau memang layak mampus! Dahulu aku amat merindukan tubuh Cun Hong!
Selaksa orang pemuda ganteng tidak bisa memuaskan hatiku, akan tetapi Cun Hong
yang kuingini terlalu besar kepala dan menolakku. Aku hampir gila karena malu
dan sakit hati. Apakah bedanya antara dia dengan aku? Aku suka melayani selaksa
orang muda ganteng, dia pun suka melayani selaksa gadis cantik. Dia dan aku
sebenarnya cocok, akan tetapi dia memandang rendah, merasa bahwa dia termasuk
golongan bersih dan aku dianggapnya golongan kotor. Macam engkau sekarang ini!
Engkau jahat, seperti dia, sampai isterinya sendiri yang kabarnya amat cantik
jelita dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, puteri seorang bangsawan,
pergi meninggalkannya!'
"Kwi-bo,
tidak perlu mengoceh lagi. Aku tetap tidak percaya dan aku yakin bahwa suhu
adalah manusia baik, tidak seperti engkau!"
Pada saat
itu terdengar suara orang menarik napas panjang disusul ucapan yang halus,
"Ahhh, betapa untungmu, Sie Cun Hong, memiliki seorang murid yang masih
mati-matian membela nama baikmu meski pun engkau sudah mati dan muridmu
terancam bahaya maut...!"
Keng Hong
melihat munculnya seorang nenek yang sudah amat tua, kiranya tidak kalah tua
oleh Ang-bin Kwi-bo, namun masih membayangkan bahwa nenek ini dahulu di waktu
mudanya tentu bertubuh tinggi ramping dan berwajah cantik. Di samping nenek ini
berdiri seorang gadis yang luar biasa cantiknya, berpakaian kuning. Gadis ini,
seperti juga nenek itu, membawa sebuah keranjang obat yang berisikan beberapa
helai daun dan beberapa potong akar obat.
Ang-bin
Kwi-bo cepat membalikkan tubuh seperti seekor harimau marah. Dia tidak berani
sembarangan karena maklum bahwa nenek dan gadis yang bisa sampai di belakangnya
tanpa dia dengar sama sekali tentu bukanlah manusia-manusia biasa, tetapi
orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Engkau
siapa?!" bentaknya kepada nenek itu.
Nenek itu
tersenyum dan meski pun mulutnya tidak ada giginya, ketika tersenyum tidak
kelihatan buruk. "Ang-bin Kwi-bo, baru saja engkau bicara tentang diriku,
tapi setelah aku muncul, engkau malah tidak mengenalku. Bukankah ini lucu
sekali? Biarlah ini menjadi pelajaran bagimu bahwa tidak baik membicarakan
urusan orang lain yang tidak diketahui betul."
"Heh,
siapakah engkau?" Kembali Ang-bin Kwi-bo membentak sambil meneliti keadaan
nenek yang kelihatannya halus dan ringkih (lemas) itu.
"Namaku
Tung Sun Nio..."
Ang-bin
Kwi-bo mencelat ke belakang hingga tiga tindak, memandang tajam dan sepuluh
buah kuku jarinya terulur, seperti seekor kucing bertemu anjing dan siap
mencengkeram.
"Apa...?!
Engkau isteri Sie Cun Hong?"
Nenek itu
mengangguk dan memandang Keng Hong yang masih duduk dan kini pemuda itu memandangnya
dengan mata terbelalak. Saking kaget dan herannya, sejenak Keng Hong melupakan
penderitaannya!
"Benar,
akulah Tung Sun Nio, dahulu isteri Sie Cun Hong. Murid mendiang suamiku ini
benar! Tidak perlu kusembunyikan lagi, dahulu aku adalah isteri Sin-jiu
Kiam-ong Sie Cun Hong. Dia adalah seorang suami yang baik, tidak pernah
menyeleweng, juga tak pernah mempedulikan wanita lain. Akan tetapi terjadi
perpecahan dan aku kemudian melarikan diri sehingga suamiku itu berubah
wataknya, menjadi petualang cinta, hanya berbeda dengan engkau yang senang
menculik dan memaksa pemuda-pemuda tampan, suamilku yang amat tampan itu hanya
melayani wanita-wanita yang tergila-gila kepadanya, sama sekali tidak pernah
memaksa seperti yang kau lakukan!"
Akan tetapi,
dicela mengenai perbuatannya, Ang-bin Kwi-bo sama sekali tidak peduli. Dia lalu
berkata, "Nah, benar kataku tadi! Sie Cun Hong bukan manusia baik-baik,
sehingga engkau yang menjadi isterinya sampai lari meninggalkannya!"
Nenek itu
menggeleng-geleng kepala dan sejenak wajahnya kelihatannya suram. "Sama
sekali tidak. Kau mau tahu mengapa aku meninggalkan dia? Karena dahulu akulah
yang tergila-gila dengan seorang sahabat baiknya! Akulah yang telah berlaku
serong, tidak kuat menahan nafsu sewaktu suamiku tidak berada di rumah dan aku
melakukan hubungan dengan pria lain. Sie Cun Hong tetap seorang yang mulia,
seperti dikatakan muridnya ini. Ang-bin Kwi-bo, engkau tidak tahu betapa
puluhan tahun aku menderita tekanan batin karena perbuatanku itu. Aku mengerti
bahwa perbuatanku itulah yang membentuk watak suamiku, dan akulah yang berdosa.
Namun, aku hanya dapat menyesali diri sendiri, tidak memiliki kesempatan
menebus dosa sampai matinya! Tetapi kini kesempatan itu muncul! Engkau telah
menganiaya muridnya, juga sudah merampas pusaka peninggalan suamiku. Maka,
sekaranglah aku dapat menebus dosaku dengan membela muridnya yang berbakti dan
setia, jauh lebih setia dari pada aku yang menjadi isterinya. Hayo serahkan
kembali pusaka itu!"
Tiba-tiba
Ang-bin Kwi-bo tertawa terkekeh-kekeh dan menudingkan telunjuk kirinya yang
berkuku panjang, "Bagus sekali! Dan aku pun belum pernah mendapat
kesempatan untuk membalas sakit hatiku pada Sie Cun Hong. Sekarang engkau
isterinya muncul, sungguh kebetulan. Aku akan membunuhmu, akan menyiksamu
seperti yang kulakukan terhadap muridnya, hi-hi-hik!"
Akan tetapi
nenek iblis ini terpaksa menghentikan ketawanya ketika tubuh Tung Sun Nio sudah
menerjang maju dengan kecepatan yang luar biasa dan tongkat kecil di tangannya
berubah menjadi sinar bergulung menyambar ke arah dada Ang-bin Kwi-bo! Nenek
iblis ini terkejut sekali dan cepat ia menggerakkan tangan, kukunya seperti
lima batang pisau itu menangkis tongkat.
"Triiiiikkkkk!"
Ang-bin
Kwi-bo meloncat jauh ke belakang, matanya terbelalak merah penuh kemarahan. Ia
tadi merasa betapa jari-jari tangannya sakit dan lengannya tergetar hebat.
Maklumlah ia bahwa nenek isteri Sin-jiu Kiam-ong itu merupakan lawan yang tidak
boleh dipandang ringan!
Dengan
gerengan marah dia lalu meloncat maju, rambutnya menyambar-nyambar seperti
pecut dan sepuluh buah jari berkuku runcing itu mencakar-cakar. Serangannya
dahsyat bukan main dan Tung Sun Nio, nenek bekas isteri Sie Cun Hong yang
bersikap tenang, cepat memutar tongkatnya. Ia harus mengerahkan semua
kepandaian untuk menghadapi terjangan dahsyat dari nenek iblis itu.
"Kuatkanlah,
aku akan melepaskan kaitan-kaitan ini."
Keng Hong
yang sedang memperhatikan jalannya pertandingan, menoleh ke kiri ketika
mendengar suara halus itu dan dia melihat betapa gadis baju kuning yang cantik
luar biasa itu sudah mendekatinya. Dia mengangguk lalu mengumpulkan sinkang,
mematikan perasaan di kedua pundak dan kini yang terasa olehnya hanyalah bekas
tusukan kuku beracun di punggungnya.
Seperti
kalau dia bertemu dengan pemandangan alam di pegunungan yang indah, seperti
kalau dia melihat bunga-bunga mekar dengan indah, seperti dia melihat
bintang-bintang gemerlapan di langit atau bulan purnama tersenyum-senyum di
angkasa. Salahkah kalau dia menikmati segala keindahan itu dengan matanya,
termasuk keindahan wanita cantik?
Mereka
bertemu pandang dan agaknya gadis itu dapat melihat pula sinar kagum dan
terpesona pada mata Keng Hong, buktinya dia lalu menundukkan muka dengan kening
berkerut dan kedua pipi yang sudah kemerahan itu kini menjadi merah sekali!
Keng Hong
cepat memalingkan mukanya. Benar-benar dia telah memiliki watak suhu-nya. Tidak
tahan melihat wanita cantik, tak dapat menyembunyikan rasa kagum dan terpesona
sungguh pun dia sangsi apakah perasaan ini termasuk perasaan yang buruk. Betapa
pun juga, memang keterlaluan sekali.
Dia terancam
maut. Racun Ban-tok Sin-ciang mengalir di tubuhnya. Akan tetapi dia masih
berkesempatan menikmati dan mengagumi wajah cantik! Karena malu kepada diri
sendiri, Keng Hong kemudian memejamkan matanya dan mengheningkan cipta,
bersiulian untuk mencoba menolong dirinya dengan kekuatan sinkang di tubuhnya.
Akan tetapi, makin dia kerahkan hawa sakti, punggungnya makin nyeri seperti
ditusuk besi membara, sehingga terpaksa dia menghentikan usahanya itu dan hanya
mengumpulkan hawa bersih yang disedotnya untuk menahan rasa nyeri yang
menggerogoti seluruh tubuhnya dari dalam.
Entah berapa
lama Keng Hong bersemedhi memejamkan mata. Tiba-tiba saja lengannya disentuh
oleh sebuah tangan halus dan terdengar suara yang berbisik halus akan tetapi
mengandung penuh kekhawatiran.
"Sadarlah...
bangunlah... subo terancam... bagaimana baiknya?"
Keng Hong
membuka matanya dan yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah lima buah
jari jemari tangan yang kecil mungil menyentuh lengannya itu. Akan tetapi cepat
dia mencela dirinya sendiri kemudian mengalihkan perhatiannya ke depan, ke arah
dua orang nenek yang sedang bertanding seru sekali.
Ternyata
bahwa nenek yang memegang tongkat itu terdesak hebat oleh Ang-bin Kwi-bo yang
menyerang dengan kuku jari dan rambutnya. Ilmu silat yang dimainkan oleh isteri
gurunya itu baik sekali dan amat kuat, pikir Keng Hong, juga gerakan nenek itu
tidak kalah cepat atau ringan dari lawannya. Pertemuan tongkat dengan jari
berkuku panjang yang mengeluarkan bunyi nyaring pun membuktikan bahwa dalam hal
tenaga sinkang, mereka berimbang.
Hanya nenek
itu terdesak oleh Ang-bin Kwi-bo, oleh terjangan nenek iblis yang dahsyat
sekali dengan rambut dan kuku-kuku jarinya yang berbahaya sekali. Nenek
bertongkat itu berkali-kali terpaksa mengelak dan berloncatan ke belakang untuk
menghindarkan diri dari pukulan atau cakaran Ban-tok Sin-ciang dari Ang-bin
Kwi-bo.
Keng Hong
sendiri terluka parah dan tak mungkin dia membantu. Dia mengerling ke arah
gadis itu dan berbisik, "Apakah Nona murid dari... ehhh, subo itu?"
Dia menyebut subo kepada nenek itu, karena bukankah nenek itu isteri mendiang
gurunya sehingga nenek itu boleh dibilang adalah ibu gurunya. Gadis itu
mengangguk.
"Sebetulnya
Subo tidak kalah lihai, hanya repot menghadapi senjata yang amat banyak itu,
rambut dan sepuluh kuku jari. Ban-tok Sin-ciang itu memang berbahaya sekali.
Kalau nona maju membantu kurasa subo tidak akan begitu repot."
"Itulah
yang menggelisahkan hatiku," Nona itu berbisik dan alis yang hitam kecil
menjelirit seperti dilukis itu mengerut. "Tadi aku hendak membantu, tetapi
dilarang oleh subo karena diejek iblis itu yang mengatakan subo pengecut hendak
mengeroyok."
Keng Hong
mengerutkan keningnya. Berabe juga kalau begitu. Dia mengenal kelicikan dan
kecurangan Ang-bin Kwi-bo dan agaknya subo-nya ini, kalau dia tidak salah
dengar tadi adalah bekas puteri bangsawan, tentu memiliki keangkuhan dan
setelah diejek begitu tentu merasa malu bila dibantu muridnya atau orang lain.
Sedangkan kalau pertandingan itu dilanjutkan, isteri gurunya itu agaknya akan
kalah. Kalau isteri gurunya tewas, gadis ini akan tewas pula, demikian juga
dia.
Keng Hong
mencari akal, lantas teringat akan Siang-bhok-kiam. Nenek iblis itu memiliki
ilmu pukulan beracun yang ganas yaitu Ban-tok Sin-ciang dan untuk menghadapi
ilmu dengan kuku-kuku beracun itu, paling tepat hanya menggunakan Siang-bhok-kiam
karena pedang pusaka itu justru ‘anti racun’! Akan tetapi pedang pusakanya itu,
seperti pusaka lainnya, telah dirampas oleh si nenek iblis. Bahkan pedangnya
itu kini terselip di pinggang Ang-bin Kwi-bo!
Setelah
memeras otaknya sambil menahan rasa nyeri pada punggungnya, akhirnya Keng Hong
berbisik, "Nona, dekatkan telingamu..."
Nona itu
mengerti bahwa pemuda ini hendak berbisik sesuatu yang tidak boleh didengar
oleh nenek iblis yang tentu memiliki pendengaran amat tajam, maka dia lalu
menggeser tubuhnya yang berlutut.
Jantung Keng
Hong berdebar keras. Telinga itu begitu indah bentuknya, rambut pelipis yang
halus dan melingkar-lingkar itu menyapu mukanya, berbau harum laksana bunga
mawar. Muka itu begitu dekat. Ehhh, benar engkau bajul buntung, Keng Hong!
Kembali Keng Hong memaki dirinya sendiri dan cepat dia berbisik perlahan
sekali.
Gadis itu
menggerak-gerakkan sepasang alisnya, kelihatannya terheran. Akan tetapi dia
kemudian mengangguk tanda mengerti apa yang diminta oleh Keng Hong.
Setelah Keng
Hong membisikkan siasatnya, nona itu kembali menjauhkan tubuhnya lalu berkata,
kini suaranya keras, "Subo terdesak oleh nenek iblis itu!"
Keng Hong
tertawa, suara ketawanya mengejek. "Ahhh, siapa tidak mengenal nenek iblis
Ang-bin Kwi-bo? Namanya saja besar, padahal dia seorang yang pengecut dan
penakut sehingga kuku-kuku jari tangannya pun diberi racun dan dipanjangkan,
masih pula dia menggunakan rambutnya yang kotor dan penuh kutu! Ilmu silatnya
sih hanya ilmu silat pasaran saja, dan kepandaiannya pun bolehnya mencuri-curi
dan meniru-niru dari orang lain. Biar pun begitu, dia masih tidak malu-malu
memakai nama sebagai seorang di antara Bu-tek Su-kwi. Menggelikan dan
menjijikkan!"
Terdengar
Ang-bin Kwi-bo memekik marah sambil melompat mundur. "Bocah bermulut
busuk! Murid Sie Cun Hong mulutnya busuk seperti gurunya! Kau tunggu saja,
setelah aku membunuh isterinya, engkau akan kubunuh sedikit demi sedikit, akan
kusayat-sayat dagingmu, kuberikan kepada gagak dan anjing...!" Akan tetapi
ia berhenti memaki karena nenek itu telah menerjang kembali dengan tongkatnya,
marah mendengar caci maki yang kotor dan keji itu.
Melihat
keduanya bertanding kembali, nona yang sudah diberi isyarat kedipan mata Keng
Hong, berkata lagi dengan suara nyaring, "Akan tetapi, kulihat nenek iblis
itu demikian kuat dan cepat, ilmu silatnya aneh sekali! Sungguh
mengerikan!"
"Uwaaah!
Siapa bilang? Coba kalau gurumu menggunakan senjata Siang-bhok-kiam yang secara
tidak tahu malu dia rampas dari tanganku pada saat aku pingsan, hemm... tentu
dalam sepuluh jurus lagi dia mampus! Siang-bhok-kiam adalah pedang pusaka
guruku yang dianggap suci, tak mungkin dipergunakan terhadap sembarangan
manusia, bahkan pantang minum darah manusia. akan tetapi kalau darah iblis
seperti nenek itu, guruku tentu tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakan. Dia
pengecut, mana berani? Ha-ha-ha!" Keng Hong tertawa, akan tetapi
sesungguhnya pada saat dia tertawa itu, punggung dan dadanya rasanya nyeri
bukan main sehingga hampir tak dapat dia menahan.
Tiba-tiba
Ang-bin Kwi-bo terkekeh. "Heh-heh-heh-hi-hi-hik! Cia Keng Hong, kau kira
aku manusia tolol yang dapat kau bakar hatiku? Ha-ha-ha, biar kau mencaci maki
aku, tidak nanti aku begitu bodoh menjadi marah dan terkena pancinganmu
kemudian memberikan pedang Siang-bhok-kiam kepada isteri gurumu! Kau lihat ini!
Sekarang aku malah akan menggunakan pedang pusaka gurumu untuk membunuh
isterinya! Heh-heh-heh, bagus sekali! Pedang pusaka suci ini akan minum darah
isteri gurumu sendiri!"
Keng Hong
membelalakkan matanya sambil mengangkat tangan ke atas, dan mulutnya
menyeringai saking sakitnya. "Jangan...! Ahhh, Kwi-bo, jangan sekeji
itu...!”
Gadis itu
meloncat berdiri lantas menudingkan telunjuknya ke hidung Keng Hong sambil
membentak, "Engkau... dengan akal bulusmu yang tolol! Engkau malah
mencelakakan subo...!"
Ang-bin
Kwi-bo terkekeh, kemudian mencabut Siang-bhok-kiam dari pinggangnya. Melihat
Pedang Kayu Harum milik suaminya ini, nenek itu menjadi pucat wajahnya, akan
tatapi ia sudah nekat dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menerjang dengan
tongkatnya.
Ang-bin
Kwi-bo mengerahkan sinkang-nya dengan sangat kuat dan menangkis dengan pedang
Siang-bhok-kiam.
"Krekkk!"
Tongkat di
tangan nenek itu patah menjadi dua bertemu dengan Siang-bhok-kiam. Nenek itu
menjerit dan meloncat mundur.
"Hi-hi-hi-hi-hik!"
Ang-bin Kwi-bo terkekeh girang.
"Celaka...!"
Gadis itu menjerit dan sekali ini jeritnya bukan lagi pura-pura, melainkan
jerit karena khawatir dan ngeri.
Sambaran
Siang-bhok-kiam yang berubah menjadi sinar hijau dapat dielakkan oleh Tung Sun
Nio, akan tetapi karena hawa pedang itu sangat mukjijat, dia terhuyung dan
tiba-tiba sinar hitam dari rambut Ang-bin Kwi-bo sudah meluncur ke depan dan
melibat leher dan pundak Tung Sun Nio!
Sambil
tertawa terkekeh-kekeh Ang-bin Kwi-bo melangkah maju, pedang Siang-bhok-kiam
diangkat tinggi dan akan dihantamkan ke arah kepala nenek itu.
"Tung
Sun Nio, lihat pedang suamimu yang suci akan membelah kepalamu,
hi-hi-hi..."
Mendadak
nenek iblis itu mengeluarkan suara meraung keras, pedang Siang-bhok-kiam
terlepas dari tangan kanannya dan dia menjerit. "Aduhhh...
tanganku...tanganku...!"
Ternyata
tangan kanannya menjadi lumpuh dan pedang yang terlepas itu cepat disambar oleh
Tung Sun Nio lantas sekali pedang tiu berkelebat, rambut yang membelitnya sudah
dibabat putus!
"Aihhhh...
keparat... pedang celaka...!" Ang-bin Kwi-bo memaki dan tangan kirinya
dengan jari-jari berkuku runcing menyambar. Tung Sun Nio memapaki lengan itu
dengan Siang-bhok-kiam.
"Srattt...
krekkkkk!"
Lengan nenek
iblis yang kiri terbabat buntung! Dia memekik keras. Akan tetapi pekik ini
dilanjutkan oleh raung yang mendirikan bulu roma ketika pedang Siang-bhok-kiam
yang ditusukkan Tung Sun Nio amblas ke dalam perutnya menembus punggung!
Tubuh itu
meronta keras sehingga Tung Sun Nio tidak mampu menguasai lagi, terpaksa
melepaskan gagang Siang-bhok-kiam dan meloncat ke belakang. Tubuh Ang-bin
Kwi-bo terguling lalu roboh, dan tewaslah nenek iblis itu dengan pedang
Siang-bhok-kiam masih menancap di perutnya. Buntalan pusaka yang disampirkan di
pundak jatuh terlepas dan berserakan di atas rumput.
"Subo...!"
Gadis itu berseru girang dan memeluk gurunya.
Nenek ini
yang masih pucat mukanya, menghela napas panjang. "Sie Cun Hong, tidak
urung engkau juga yang menolongku, melalui pedangmu dan siasat muridmu..."
Mereka
berdua menengok dan ternyata Keng Hong juga sudah roboh terguling dalam keadaan
pingsan. Dia tadi mempertahankan dirinya untuk menyaksikan siasatnya yang
berbahaya. Dia maklum akan kecerdikan iblis wanita itu untuk menjalankan
siasatnya.
Nenek iblis
itu tentu merasa ditipu dan berlaku cerdik, tidak mau dipancing, padahal justru
itulah kehendak Keng Hong. Andai kata nenek itu menyerahkan pedang kepada Tung
Sun Nio, belum tentu isteri gurunya itu akan menang menghadapi nenek iblis yang
amat lihai ilmunya Ban-tok Sin-ciang itu. Akan tetapi nenek itu berlaku cerdik,
dan terpancing oleh pujian Keng Hong akan pedang Siang-bhok-kiam.
Kejahatan
dan kekejian nenek iblis itu mendatangkan akal untuk membunuh isteri Sin-jiu
Kiam-ong dengan pedangnya sendiri yang oleh muridnya disebut pedang suci. Hal
ini memang dikehendaki oleh Keng Hong karena pemuda ini mempunyai keyakinan
bahwa Ban-tok Sin-ciang akan luntur dan punah apa bila terkena hawa murni dan
mukjijat dari Siang-bhok-kiam.
Dugaannya
segera terbukti karena begitu tangan kanan nenek iblis itu memegang
Siang-bhok-kiam dan mengerahkan sinkang, otomatis hawa sakti pedang itu
menumpas dan memusnahkan hawa Ban-tok Sin-ciang seperti air memadamkan api
hingga lengan kanan nenek iblis menjadi lumpuh yang mengakibatkan kematiannya!
Setelah melihat siasatnya berhasil dan isteri gurunya tertolong, Keng Hong
terguling pingsan!
Keng Hong
mengeluh perlahan dan membuka matanya. Ia mendapatkan dirinya terbaring di atas
dipan bambu dalam sebuah kamar yang sangat bersih. Dindingnya terbuat dari
anyaman bambu dan lantainya dari batu putih. Tubuhnya terasa nyeri semua dan
amat panas, seakan-akan di dalam dadanya ada api unggun menyala. Akan tetapi
perasaan nyeri sejenak lenyap dan terlupa olehnya ketika pandang matanya
bertemu dengan wajah cantik dari gadis yang duduk di atas bangku, tak jauh dari
pembaringannya.
"Suheng...,
bagaimana rasanya...?" tanya gadis itu dengan suaranya yang halus merdu,
wajahnya yang cantik memandang serius sekali dan terbayang kegelisahan.
"Suheng...?"
Keng Hong mengulang dengan suara terheran.
"Engkau
adalah murid Sin-jiu Kiam-ong, yaitu suami subo. Itu berarti kita masih saudara
seperguruan." Gadis itu menjelaskan.
"Ahhh...
terima kasih, Sumoi. Tentu engkau dan subo yang menolongku dan membawaku ke
sini. Budimu dan budi subo amat besar, aku berterima kasih sekali."
"Aihhh,
Suheng. Baru sekarang aku tahu setelah subo memberi penjelasan sebenarnya
engkaulah yang telah menyelematkan subo. Kalau mau bicara tentang budi, engkau
pun sudah berjasa besar. Akan tetapi, Suheng..." Gadis itu berhenti dan
memandang wajah Keng Hong penuh keharuan dan kegelisahan. "... lukamu...,
subo bilang..."
"Bilang
bagaimana? Bahwa luka akibat Ban-tok Sin-ciang di punggungku ini tidak dapat
disembuhkan?"
Gadis itu
mengangguk dan... menangis, menutupi mukanya. Keng Hong membelalakkan matanya,
memandang heran. "Ehh, Sumoi! Kenapa engkau menangis?"
Gadis itu
mengangkat mukanya dari balik kedua tangannya, muka yang menjadi merah oleh
tangis, sehingga bibirnya menjadi merah sekali, dengan kulit bibir tipis
seperti buah apel, seolah-olah mudah sekali pecah.
"Suheng,
subo sudah berusaha keras untuk mengobatimu, akan tetapi menurut subo... dia
hanya berhasil menghentikan racun itu menjalar, namun tidak berhasil
melenyapkan racun itu dan... dan... engkau hanya akan bertahan sampai sehari
semalam... Sekarang sudah hampir tengah malam... besok pagi..." Gadis itu
tidak mampu melanjutkan karena sudah menangis lagi.
Keng Hong
menjadi terharu. Perasaannya bagai lilin terbakar api dan dalam keharuannya dia
memegang tangan gadis itu. Gadis itu pun balas memegang sehingga jari-jari
tangan mereka saling mencengkeram!
"Kau
mau bilang bahwa nyawaku tinggal setengah malam lagi? Kalau begitu mengapa,
Sumoi? Kalau sudah semestinya besok pagi aku mati, aku tidak takut. Biarlah,
mengapa kau yang baru saja berjumpa denganku menangisi keadaanku?"
Gadis itu
menarik kembali tangannya dan mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi dia
memandang Keng Hong dengan sinar mata penuh kejujuran. "Suheng, selamanya
aku tak pernah mempunyai saudara seperguruan. Sekarang, bertemu denganmu dan
tiba-tiba mempunyai seorang suheng, hatiku... amat bahagia. Akan tetapi besok
pagi... ahhh..." Ia menangis lagi.
Keng Hong
mengerti dan dia menyumpahi diri sendiri mengapa hatinya menjadi kecewa
mendengar keterangan itu. Tentu saja! Gadis ini menangis karena kasihan
kepadanya, kepada suheng-nya! Sama sekali bukan karena... cinta padanya,
seperti yang diharapkan oleh hatinya yang lemah apa bila bertemu dengan gadis
jelita! Benar-benar memalukan. Laki-laki mata keranjang benar dia!
"Sudahlah,
Sumoi. Harap jangan menangis dan tolong kau minta subo agar suka datang ke sini
dan membawa Siang-bhok-kiam. Kalau Tuhan menghendaki, aku tidak akan mati besok
pagi."
Gadis itu
memandang penuh harapan, kemudian mengangguk dan melangkah keluar dari dalam
kamar itu. Keng Hong kembali menyumpahi dirinya. Mengapa mata ini tidak mau
diam, seperti besi terbetot besi semberani dan memandang tubuh belakang gadis
itu ketika berjalan pergi sehingga tampak pemandangan yang amat menggairahkan?
Tak lama
kemudian, nenek itu melangkah masuk diikuti gadis itu, langkahnya halus dan
biar pun sikapnya tenang dan wajahnya juga tidak membayangkan sesuatu, namun
sinar matanya terselimut kegelisahan ketika ia memandang wajah Keng Hong.
"Subo..."
Keng Hong mengangkat kedua tangan ke depan dada dan menyeringai karena
pundaknya yang terluka terasa sangat nyeri. "Harap Subo maafkan bahwa
teecu tidak dapat memberi hormat sebagaimana mestinya. Teecu sudah menerima
budi pertolongan Subo, teecu amat berterima kasih..."
"Ssttt,
engkau betul-betul persis seperti gurumu, pandai sekali menyenangkan hati
orang. Namamu Cia Keng Hong, betulkah? Aku hanya mendengar iblis betina itu
memanggilmu."
"Benar,
Subo. Teecu Cia Keng Hong."
"Keng
Hong, terus terang saja, sungguh pun sudah puluhan tahun aku mempelajari ilmu
pengobatan, akan tetapi luka pada punggungmu akibat cengkeraman kuku dengan
ilmu beracun Ban-tok Sin-ciang itu aku tidak dapat menyembuhkannya. Maka aku
khawatir sekali engkau hanya akan bertahan sampai besok pagi..." Kalimat
terakhir terdengar lirih, penuh keharuan.
Mata Keng
Hong tak dapat dia kuasai, sudah menyelonong lewat balik pundak subo-nya itu,
memandang wajah gadis jelita dan melihat betapa sepasang mata yang indah itu
menitikkan air mata. Aihh, sungguh aneh. Dia mempunyai perasaan seolah-olah dia
akan girang sekali kalau besok pagi mati, ditangisi oleh sepasang mata seperti
itu! Gila! Gila engkau Cia Keng Hong, dia menyumpahi diri sendiri. Mata
keranjang yang tiada taranya!
"Subo,
dahulu suhu pernah memberi tahu bahwa pedang Siang-bhok-kiam adalah sebuah
pedang mustika yang dapat menyembuhkan segala macam racun di dunia ini. Selain
itu, juga di dalam tubuh teecu sudah mengeram banyak sekali racun yang disuruh
minum oleh suhu sehingga sedikit banyak tubuh teecu sudah agak kebal terhadap
racun. Oleh karena itu, betapa pun lihainya Ban-tok Sin-ciang, namun jika benar
keterangan suhu, dan kalau Tuhan masih belum menghendaki, maka teecu rasa
pedang Siang-bhok-kiam dapat menyelamatkan nyawa teecu."
Seketika berserilah
wajah nenek itu dan baru sekarang dapat dilihat bahwa sebetulnya dia tadi
berduka sekali. "Benarkah? Dia tidak pernah membohong, Keng Hong. Kalau
dia mengatakan demikian, pasti pedang Siang-bhok-kiam ini akan dapat
menyembuhkanmu. Akan tetapi... bagaimana caranya...?"
"Harap
Subo suka menusukkan Siang-bhok-kiam di punggung teecu, tepat di bagian yang
terkena pukulan Ban-tok Sin-ciang. Tentu saja terserah pada kebijaksanaan dan
keahlian Subo agar tusukan tidak mengenai jalan darah dan tak merusak bagian
yang mematikan, tidak terlalu dalam tetapi jika terlalu dangkal pun berarti
racun yang sudah mengeram di bagian agak dalam tidak dapat tersedot
keluar." Keng Hong membicarakan hal-hal yang menyangkut bahaya bagi
nyawanya ini seenaknya saja, bagai orang yang membicarakan urusan makan minum!
Nenek itu
memandang kagum, kemudian berkata dengan suara yang mengandung isak!
"Sungguh... engkau... seperti... seperti dia...! Mirip sekali...!"
Keng Hong
tersenyum, maklum bahwa yang dimaksudkan oleh subo-nya adalah gurunya. Jelas
bahwa subo-nya ini selamanya mencinta suhu-nya. Namun mengapa dahulu bisa
menyeleweng? Dia menarik napas panjang. Manusia manakah di dunia ini yang tidak
pernah berdosa? Subo-nya ini pun tidak terkecualikan.
Ia dapat
membayangkan betapa suhu-nya tentu sedang pergi dan subo-nya yang sedang
kesepian itu tergoda nafsunya sendiri, tergoda oleh sahabat suhu-nya sehingga
terjadilah pelanggaran. Apakah anehnya dalam peristiwa itu? Kalau direnungkan
dengan hati dan pikiran dingin, sebenarnya bukanlah apa-apa!
"Teecu
menyerahkan keselamatan teecu dalam tangan Subo. Silakan dan...eh, Sumoi...
tolonglah bantu aku membalik dan menelungkup."
Gadis itu
cepat melangkah maju dan kedua pipinya masih basah ketika dia membantu Keng
Hong rebah menelungkup sehingga punggungnya berada di atas.
"Bukalah
bajunya, telanjangi punggungnya!" kata subo-nya.
Keng Hong
kembali menyumpahi dirinya dan ingin menempiling kepalanya sendiri ketika
jantungnya berdebar dan hatinya merasa senang sekali merasa betapa jari-jari
tangan yang halus dan hangat itu membuka bajunya.
"Ehh,
Suheng... engkau berdebar-debar! Kalau kau takut...ahh, amat
berbahaya...!" Gadis itu berseru sambil meraba iga kiri Keng Hong.
Mampus kau!
Keng Hong menyumpahi dirinya. Terbongkar rahasia mata keranjangmu! Ia menoleh
dan memaksa diri tersenyum.
"Sumoi,
siapa sih yang tidak takut menghadapi detik hidup atau mati ini? Akan tetapi
aku cukup tabah, harap engkau jangan khawatir, aku percaya penuh dengan
keahlian Subo menggunakan pedang!"
Kalau gadis
itu tidak mengerti dan percaya akan keterangan Keng Hong, adalah nenek itu yang
tak dapat dibohongi. Orang yang berdebar takut tidak bisa tersenyum seperti
itu. Ia menghela napas dan berkata lirih, "Hemmm..., persis dia..! Tiada
sedikit pun bedanya... hemmmmm…!"
Keng Hong
terkejut sekali. Suara "Hemmm!" yang terakhir itu benar-benar
mencurigakan, sebab terdengar jelas subo-nya itu gemas. Tentu subo-nya sudah
tahu bahwa jantungnya berdebar karena sentuhan jari-jari tangan mungil! Celaka
dua belas! Keng Hong cepat membenamkan muka pada bantal dan berkata dengan
suara bindeng karena hidungnya terhimpit di bantal,
"Silakan,
Subo!"
Nenek itu
memegang Siang-bhok-kiam yang sudah dicuci bersih karena tadi memasuki perut
Ang-bin Kwi-bo, kemudian mengheningkan cipta untuk membuat seluruh urat syaraf
di tubuhnya menjadi tenang. Akhirnya terdengar dia berkata,
"Cia
Keng Hong, semoga Tuhan menitahkan arwah gurumu untuk membimbing tanganku
menggerakkan pedang. Lukamu sudah kuperiksa dan racun ini mengeram dekat
jantung. Tusukanku harus tepat, kurang atau lebih satu inci saja berarti
nyawamu akan melayang. Dan kalau itu sampai terjadi, sampaikan maafku kepada
gurumu!"
Sunyi
menyeramkan setelah nenek itu mengeluarkan ucapan yang seperti orang berdoa
ini, dan terdengarlah isak tertahan dari gadis yang berdiri di sudut kamar
dengan kedua kaki menggigil dan muka pucat sekali.
"Teecu
mengerti. Silakan!" Suara Keng Hong sedikit pun pun tidak terdengar takut,
tenang sekali.
Nenek itu
mundur dua langkah, menodongkan pedang, matanya yang tua namun masih awas itu
memandang tanpa berkedip pada punggung yang akan ditusuknya, mengukur dengan
cermat sekali. Kemudian terdengar dia mengeluarkan suara melengking, sinar
hijau berkelebat dan...
"Ceppp…!"
Ujung pedang
Siang-bhok-kiam menusuk punggung Keng Hong dibarengi dengan sedu sedan gadis
yang menonton pertunjukan mengerikan ini. Terdengar keluhan dari mulut Keng
Hong yang didekap. Nenek itu melepaskan gagang pedang.
Seperempat
bagian pedang Siang-bhok-kiam menancap pada punggung itu. Keng Hong kelihatan
lemas, entah pingsan entah tertidur! Akan tetapi, perlahan-lahan pedang yang
putih kehijauan itu berubah hitam, kemudian dari gagangnya menetes-netes cairan
warna hitam.
"Ya
Tuhan... terima kasih..., terima kasih, Sie Cun Hong...!" Nenek itu
menjatuhkan diri di depan pembaringan dan terisak!
Gadis itu
pun menangis dan menubruk, terus merangkul gurunya. Kedua orang wanita itu
menangis, menangis karena girang, karena sudah merasa yakin bahwa ‘operasi
istimewa’ itu berhasil baik!
"Yan
Cu... Yan Cu... dengarlah baik-baik. Murid dia inilah yang harus menjadi
suamimu. Aku telah menentukan detik ini juga. Engkau harus menjadi
isterinya!"
"Subo...!"
Gadis yang bernama Gui Yan Cu itu mencela dengan muka merah sekali dan menoleh
ke arah dipan. "Dia..."
Nenek yang
masih mengucurkan air mata itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Dia
pingsan, tidak mendengar. Andai kata mendengar sekali pun, mengapa? Dia tentu
setuju! Adakah perawan yang lebih hebat dari pada engkau?"
"Ssssttttt...
Subo... teecu malu... kalau-kalau dia mendengar..."
Nenek itu
bangkit perlahan, sejenak memandang ke arah punggung Keng Hong. Makin banyak
kini cairan berwarna hitam menetes turun dari gagang pedang.
"Dia
sudah selamat. Kepulihan kesehatannya hanya tergantung dari kekuatan sinkang di
tubuhnya. Akan tetapi aku percaya, sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong dia telah
mempunyai sinkang yang amat kuat dan dalam waktu sepuluh hari tentu dia sudah
dapat turun dari pembaringan. Kau jagalah dia baik-baik. Racun yang menetes itu
cepat bersihkan dan kalau sudah berhenti cairan hitam dan pedang itu sudah
menjadi putih kembali, kau boleh mencabutnya dengan cepat dan obati luka di
punggungnya dengan daun obat pembersih luka. Beri minum obat akar penambah
darah, engkau sudah tahu." Nenek itu lalu keluar dari kamar itu,
meninggalkan Yan Cu sendirian bersama Keng Hong.
Yan Cu duduk
di bangku yang diseretnya ke dekat pembaringan. Sejenak dia termenung seperti
patung memandang ke arah punggung dan belakang kepala Keng Hong. Memang yang
tampak hanya punggung dan belakang kepala, muka pemuda itu menunduk dan miring
ke sebelah dalam. Punggung itu bergerak perlahan naik turun, pernapasannya
normal, tanda sehat. Tiba-tiba Yan Cu seperti sadar dan tergopoh-gopoh dia
mengambil kain, dicelupkan di air panas, lalu dia membersihkan tetesan-tetesan
racun hitam.
Dengan jari
telunjuknya ia perlahan-lahan menyentuh kulit punggung dekat luka, hati-hati
sekali, seolah-olah khawatir kalau-kalau kulit punggung itu akan rusak oleh
sentuhannya, seperti orang menyentuh sebuah perhiasan yang mahal. Kemudian dia
memegang urat nadi lengan Keng Hong untuk meneliti denyut darahnya yang juga
normal.
Dia bernapas
lega, lalu menjaga di situ, mengusap setiap tetes racun, menjaga dengan penuh
kesetiaan, penuh ketelitian dan penuh kebahagiaan. Dia suka kepada pemuda ini.
Dia tadinya merasa girang sekali mendapatkan seorang suheng yang begini lihai
dan begini... ganteng! Sekarang, suheng ini tiba-tiba menjadi calon suaminya!
Sekarang
perasaannya benar-benar berbeda sekali. Dia hanya girang, gembira, bahagia.
Selanjutnya dia tidak akan berpisah dari pemuda ini kalau sudah menjadi isteri
pemuda ini. Cinta? Dia tidak tahu, tidak mengerti. Yang dia tahu hanya bahwa
dia suka kepada Keng Hong, suka dan kagum.
Dengan amat
telaten dan penuh perhatian Yan Cu merawat Keng Hong, merawat luka di
punggungnya yang sekarang sudah tidak hitam lagi setelah semua racun disedot
oleh Siang-bhok-kiam yang kini sudah dicabut oleh Yan Cu. Pemuda itu masih
berada dalam keadaan tidak sadar dan dalam waktu dua hari dua malam dia selalu
dijaga oleh Yan Cu yang tak pernah meninggalkan kamarnya. Bahkan gadis ini
hanya tidur sambil duduk di atas bangku, hanya makan bubur setelah dia menyuapi
Keng Hong yang masih setengah pingsan itu dengan bubur encer.
Karena
kurang tidur dan lelah, tubuh gadis ini menjadi agak kurus, rambutnya kusut dan
wajahnya pucat. Akan tetapi mulutnya selalu tersenyum dan sinar matanya
berseri-seri melihat betapa Keng Hong semakin sehat.
Pada hari ke
tiga, Keng Hong siuman. Pagi itu dia tersadar dan membuka mata, melihat Yan Cu
sedang tertidur, duduk di atas bangku, kepalanya menyandar di dinding. Di atas
meja terdapat obat-obat dan di sudut kamar terdapat anglo tempat masak bubur
dan obat.
Keng Hong
kaget, meraba punggungnya dan hatinya terharu sekali. Dia tahu bahwa dia telah
selamat dan agaknya gadis ini selalu menjaganya entah berapa lamanya dia tidak
tahu. Akan tetapi dia bisa menduga, tentu lama sekali, buktinya gadis itu
sampai tertidur kelelahan di atas bangku!
Ia
mengamat-amati wajah yang tertidur itu. Rambut yang kusut itu sebagian menutupi
pipi. Hatinya terharu sekali. Aiiihhh, gadis yang amat cantik jelita dan telah
menjaga serta merawatnya, entah berapa hari lamanya! Budi yang amat besar ini,
dan dia membalasnya dengan pandang mata tertarik, dengan gairah yang seperti
dikutik-kutik! Benar-benar dia keparat tak tahu malu, tak kenal budi!
Dia lalu
bangkit bersila dan bersemedhi. Sinkang-nya dia gerakkan dan ternyata seluruh
tubuhnya sudah sehat kembali. Luar biasa sekali, kini sinkang-nya dapat dia
gerakkan lebih cepat dari pada biasanya, jauh lebih kuat! Ia teringat, inilah
hasilnya menyedot hawa sinkang dari tiga orang kakek iblis!
Terbayanglah
semua pengalamannya semenjak dia bertemu dengan Thian-te Sam-lo-mo dan dia
bergidik. Dia berhutang budi kepada subo-nya, berhutang nyawa. Juga kepada
gadis cantik ini.
"Ehhhhh...
Engkau belum boleh duduk, Suheng...!"
Tiba-tiba
Keng Hong mendengar suara gadis itu. Betapa merdunya suara itu. Ia membuka
mata, tersenyum. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sebentar dan... gadis
itu menundukkan mukanya, kedua pipnya merah sekali, mulutnya tersenyum-senyum
penuh rasa jengah! Ehhh, mengapa begini? Apakah pandang matanya kembali
membayangkan perasaan terpikat? Membayangkan sifatnya yang mata keranjang?
Celaka kalau begitu. Tidak boleh begini!
"Maaf,
Sumoi... Mengapa tidak boleh duduk?"
Yan Cu
mengangkat muka, sekarang berani memandang. "Subo berpesan agar engkau
berbaring dan memulihkan tenaga sampai sepuluh hari. Engkau baru tiga
hari..."
"Apa?"
Keng Hong memotong, terkejut. "Sudah tiga hari tiga malam aku rebah di
sini dan engkau terus-menerus menjaga dan merawatku di sini, Sumoi?"
Sepasang
mata yang indah itu memandang Keng Hong, seolah-olah mata itu bertanya apa
salahnya dengan itu, akan tetapi bibirnya bergerak, berkata halus. "Ahh,
Suheng. Itu sudah menjadi kewajibanku."
"Kewajibanmu?
Dan engkau menjaga terus-menerus tanpa beristirahat sehingga engkau kelelahan
dan tertidur di bangku. Mukamu pucat, engkau agak kurus, pakaianmu dan rambutmu
kusut... Ah, Sumoi aku benar tak tahu diri, membuat Sumoi capek sekali."
Yan Cu
bangkit berdiri, meneliti pakaiannya, dan otomatis tangannya meraba rambutnya.
"Wah, aku... aku harus berganti pakaian... Harus mandi, rambutku... ahhh…,
tentu jelek sekali..."
Keng Hong
tak dapat menahan ketawanya. "Bukan begitu, Sumoi. Engkau tetap cantik,
ahh, malah lebih cantik dalam keadaan begini. Engkau sudah merawatku, sungguh
aku harus berterima kasih!' Keng Hong meloncat turun dan menjura di depan gadis
itu.
Yan Cu
tersipu-sipu. "Eh-ehh-ehhh, jangan Suheng. Aku... aku harus menjagamu, dan
engkau tidak boleh turun. Kesehatanmu belum pulih. Subo bilang, jika sinkang-mu
cukup kuat, dalam waktu sepuluh hari barulah Suheng boleh turun."
"Ha-ha-ha!
Aku sudah cukup sehat dan kuat berkat perawatanmu, Sumoi. Lihat!" Keng
Hong membusungkan dada, menarik napas panjang dan tiba-tiba tubuhnya meloncat
ke atas, dan... punggungnya menempel di langit-langit. Kemudian dia melompat
turun lagi, demikian ringan tubuhnya. "Nah, bukankah aku sudah pulih
kembali?"
Yan Cu
memandang kagum. "Engkau... engkau hebat, suheng. Baru malam tadi aku...
Engkau makan dengan..." Sukar ia melanjutkan kata-katanya dan ia hanya
memandang ke arah bekas mangkok dengan sendoknya.
Keng Hong
memandang, terharu. "Engkau masih menyuapi aku, bukan? Terima kasih,
Sumoi. Aku tidak akan mungkin mampu membalas budimu, biarlah Thian saja yang
akan membalasmu." Kembali Keng Hong menjura. "Di mana subo? Aku harus
menghaturkan terima kasih kepadanya."
"Subo
telah tiga hari pergi seperti biasa, mencari daun-daun obat... nah itu subo
datang!"
Benar saja,
nenek itu sudah berdiri di ambang pintu dengan sebuah keranjang penuh daun dan
akar obat. Keng Hong cepat menjatuhkan diri berlutut.
"Subo,
terimalah hormat dan terima kasih teecu atas pertolongan Subo. Sungguh teecu
tidak akan dapat melupakan budi Subo dan Sumoi yang amat besar terhadap diri
teecu!" Keng Hong bersujud sampai delapan kali.
Nenek itu
memandang dengan wajah berseri dan penuh kekaguman. "Baru tiga hari dan
engkau sudah sehat kebali. Entah berapa hebat sinkang-mu, Keng Hong! Namun
engkau benar-benar mengagumkan, agaknya sinkang-mu malah sudah lebih tinggi
dari mendiang suhu-mu!"
"Subo,
terlalu memuji. Kalau tidak ada Subo dan Sumoi, tentu teecu sekarang hanya
tinggal nama saja. Entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi Subo dan
Sumoi!"
"Keng
Hong, orang yang ingat akan budi adalah orang yang baik. Syukurlah kalau engkau
suka ingat akan budi orang. Untuk membalasku, engkau harus memenuhi permintaanku
dan untuk membalas budi Sumoi-mu, kau harus suka menurut menjadi calon
suaminya. Aku menjodohkan engkau dengan muridku." Terbelalak mata Keng
Hong dan otomatis dia menengok kepada sumoi-nya. Akan tetapi gadis itu sudah
lari keluar dari kamar.
"Akan
tetapi, Subo..." Keng Hong sudah bangkit berdiri dan memandang nenek itu
dengan bingung.
Kini dia
benar-benar tidak dapat menggunakan pikirannya, bingung karena keputusan itu
benar-benar sangat mendadak dan sama sekali tidak pernah diduganya. Dia
dijodohkan dengan gadis jelita itu!
"Cia
Keng Hong, apakah engkau hendak menolak? Tegakah engkau menolak setelah apa
yang dilakukan oleh muridku? Dia sudah setuju, dan kulihat kalian memang
berjodoh. Engkau murid Sin-jiu Kiam-ong, dia muridku. Engkau tampan gagah, dia
pun cantik jelita dan gagah. Adakah gadis yang lebih cantik dari dia? Ehhh,
Keng Hong, apakah engkau sudah memiliki calon isteri lainnya?" Nenek itu
memandang penuh perhatian dan penuh selidik.
Keng Hong
menggelengkan kepalanya. Memang dia belum mempunyai tunangan. Akan tetapi pada
saat itu, terbayanglah wajah Biauw Eng di pelupuk matanya. Biauw Eng!
Bagaimana
dia dapat memilih gadis lain menjadi calon isterinya apa bila dia sudah yakin
benar bahwa Biauw Eng-lah satu-satunya wanita di dunia ini yang dicintanya?
Cintanya terhadap Biauw Eng adalah cinta yang murni, yang mendalam bukan hanya
cinta birahi atau tertarik oleh kecantikan Biauw Eng saja.
Memang dia
suka akan kecantikan, selain tertarik, akan tetapi itu bukanlah cinta! Mana
mungkin dia mencinta wanita lain, biar sejelita gadis itu sekali pun? Cinta
kasihnya sudah direnggut Biauw Eng. Memang Biauw Eng sekarang membencinya,
akibat kebodohannya sendiri, akan tetapi apa pun yang terjadi, andai kata kelak
Biauw Eng menjadi isteri orang lain sekali pun, dia akan tetap mencinta Biauw
Eng!
"Nah,
apa bila engkau belum bertunangan, mengapa ragu-ragu? Engkau harus menjadi
suami muridku, karena hanya untuk jodoh muridku inilah aku bertahan hidup
selama ini. Kini aku telah mendapatkan jodoh untuknya, yaitu engkau. Kalau
engkau menolak, berarti engkau adalah seorang yang tidak kenal budi dan akan
kuanggap sebagai musuh. Aku akan membunuhmu!"
"Subo...!"
Keng Hong berteriak kaget.
Nenek itu
lalu menurunkan keranjangnya. "Dengarlah, dahulu aku telah melakukan dosa
terhadap gurumu. Karena itu, aku kini melihat jalan untuk menebus dosaku, yaitu
untuk membahagiakan muridnya. Karena itulah aku memilihmu untuk menjadi suami
muridku, padahal andai kata ada seorang putera kaisar sekali pun yang melamar
muridku, belum tentu akan kuterima! Engkau bahagia sekali menjadi calon suami
muridku. Kalau engkau menolak, berarti engkau menghancurkan harapanku menebus
dosa dan sekaligus engkau menghina aku, engkau menghancurkan perasaan muridku
yang juga akan merasa terhina karena ditolak. Nah, aku telah cukup bicara.
Kalau kau menerima akan kuatur pernikahan kalian bulan ini juga, atau engkau
menolak dan harus mengadu jiwa dengan aku!"
"Subo...!"
Keng Hong mengeluh.
Akan tetapi
nenek itu sudah menyambar keranjangnya dan pergi dari situ.
***************
Keng Hong
bangkit perlahan-lahan, berjalan menghampiri pembaringan dan menjatuhkan diri
berlutut di pembaringan itu. Pikirannya tidak karuan, terasa gelap dan ruwet.
Hatinya tertekan, membuatnya bingung sekali. Apa yang harus dia lakukan?
Harus dia
akui bahwa kalau tidak ada guru dan murid itu, dia tentu sudah mati di tangan
Ang-bin Kwi-bo! Dia berhutang budi, malah berhutang nyawa! Hutang benda seperti
yang dilakukan gurunya, dapat dibayar, pusaka-pusaka yang ‘dihutang’ gurunya
dapat dia cari kembali dan dia kembalikan. Akan tetapi hutang budi? Hanya dapat
dibalas dengan budi pula. Kalau dia menolak, berarti dia akan menjadi orang
yang paling tidak mengenal budi di dunia ini!
Dia masih
jejaka, belum menikah belum bertunangan. Alasan apa yang dapat dia pakai untuk
menolak? Yang mengatur perjodohan adalah isteri gurunya sendiri, berarti berhak
untuk mewakili gurunya yang sudah tidak ada. Ada pun jodoh yang demikian cantik
jelita, berkepandaian tinggi, berbudi mulia, gadis yang telah menjaga dan
merawatnya selama tiga hari tiga malam tanpa mempedulikan dirinya sendiri. Dari
sikap itu saja dia sudah bisa menduga bahwa gadis itu tentu suka kepadanya!
Bagaimana dia dapat menolak? Keng Hong menjadi pening kepalanya dan dia duduk
sambil memegang kepala dengan kedua tangannya.
"Suheng...!"
Halus merdu sekali suara itu, akan tetapi mendengar itu, kepala Keng Hong
menjadi makin pening. Ia mengangkat muka memandang dan matanya terbelalak.
Gadis itu
sudah mandi, sudah menyisir rambut dengan rapi, sudah bertukar pakaian yang
bersih dan indah, pakaian berwarna serba kuning. Rambutnya yang hitam dan gemuk
dikelabang dua, diikat dengan pita sutera kuning pula. Segar dan cantik
mempesonakan. Akan tetapi, melihat kecantikan gadis ini, kepalanya
berdenyut-denyut rasanya sehingga dia memejamkan mata dan menekankan kedua
tangannya keras-keras dari kanan kiri.
"Suheng...
apakah kepalamu masih terasa pening...?"
Keng Hong
mencium bau yang amat sedap harum. Perlahan-lahan ia membuka matanya dan cepat
memejamkannya kembali karena melihat sepasang mata bagaikan dua buah bintang
cemerlang menatapnya lekat-lekat di depan mukanya. Ia menggeleng kepalanya dan
dengan kedua mata masih terpejam dia bertanya,
"Sumoi,
di mana Subo?" Dia heran sendiri mendengar suaranya mendadak menjadi parau
dan gemetar, seperti suara orang terserang penyakit demam, suara orang gelisah
yang bingung dan kehabisan akal!
"Subo
sudah pergi lagi, katanya hendak mencari akar jin-som di puncak paling ujung.
Paling cepat lima hari lagi akan kembali. Mengapa. Suheng? Mukamu pucat sekali.
Subo sudah bilang, bahwa engkau boleh turun setelah beristirahar sepuluh hari.
Baru tiga hari engkau turun. Lebih baik berbaringlah dan mengasolah sampai
sembuh, Suheng. Hari ini engkau sudah boleh makan masakan daging. Kutangkapkan
kelinci untukmu, ya? Atau engkau lebih senang daging ayam hutan? Ataukah
kijang? Aku akan masak yang enak untukmu..."
Keng Hong
merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia memaksa diri membuka mata,
memandang sumoi-nya itu dengan tajam, lalu bertanya,
"Sumoi,
apakah engkau... engkau... tadi mendengar...?"
Gadis itu
memandangnya, matanya kini terbuka agak lebar. Mati aku, pikir Keng Hong.
Sepasang mata itu luar biasa indahnya! Akan tetapi menikah dengannya? Ahhh,
bagai mana mungkin? Biauw Eng...!
"Mendengar
apa, Suheng?"
Keng Hong
mengerutkan keningnya. Kalau gadis berpura-pura tidak tahu berarti gadis ini
memiliki watak yang suka mempermainkan! Akan tetapi kedua mata itu memandangnya
begitu jujur, sewajarnya dan tidak menyembunyikan sesuatu apa pun, jelas memang
tidak mengerti.
"Itu...
tuhhh... tentang... ehh, tentang perjodohan..."
Mendadak
gadis itu menundukkan mukanya. Sesudah menunduk, nampak sekali betapa lentik
panjang bulu matanya, betapa mancung hidungnya dan betapa runcing dagunya.
Bukan main! Keng Hong tidak percaya di dunia ini ada yang lebih manis dari pada
wajah di depannya ini!
Gadis ini
mengangguk, kemudian terdengar suaranya yang keluar dari bibir yang merah basah
tanpa gincu, lebih merah sedikit dari sepasang pipinya yang tiba-tiba menjadi
amat merah.
"Aku
sudah tahu... bahkan Subo sudah memberi tahu tiga hari sebelumnya, setelah Subo
berhasil menusukkan Siang-bhok-kiam itu..."
Keng Hong
tertegun. "Kalau begitu... ketika engkau menjaga dan merawatku selama tiga
hari tiga malam... ehh… engkau sudah tahu akan perjodohan itu?"
Gadis itu
mengangguk dan mengerling sambil tersenyum manis, bukan sikap memikat melainkan
agaknya merasa geli dan hendak menggoda. Keng Hong merasa betapa hawa pagi di
dalam kamar itu tiba-tiba menjadi panas. Ahh, dia harus bicara dari hati ke
hati dengan gadis ini. Kalau dia tidak berani nekat sekarang, nanti akan
terlambat dan dia tak akan dapat menghindarkan diri lagi dari ikatan jodoh ini.
Dia harus dapat menyelesaikan urusan ini sebelum isteri gurunya itu pulang!
"Sumoi,
mari kau ikut bersamaku...!"
"Ehh...
ehhh... mau ke mana...?" Yan Cu berkata heran ketika pemuda itu
menggandeng tangannya dan menganjaknya lari keluar dari dalam pondok.
Keng Hong
tidak menjawab melainkan terus menarik tangan gadis itu. Setelah tiba di luar
dia berkata, "Kemana saja, asal jangan di dalam pondok. Aku... aku
membutuhkan udara segar, dan aku ingin bicara kepadamu, Sumoi. Bicara dari hati
ke hati, bicara sejujurnya demi kebaikan kita bersama, demi masa depan
penghidupan kita!"
Gadis itu
memandang dengan sinar mata heran, akan tetapi ia mengangguk dan berkata.
"Marilah. Di puncak sana itu amat indah pemandangannya dan sejuk hawanya.
Aku paling suka duduk melamun sendirian di sana!"
Mereka lalu
berlari-lari ke puncak yang tadi ditunjuk gadis itu. Keng Hong sengaja hendak menguji
ginkang gadis itu, maka dia pun berlari cepat sekali.
"Wah,
larimu cepat bukan main, Suheng!" teriak gadis itu.
Akan tetapi
Keng Hong mendapat kenyataan bahwa gadis itu mempunyai ginkang yang hebat juga.
Setelah mengetahui hal ini, pemuda ini pun tidak mau mengerahkan seluruh
kepandaiannya dan mengimbangi kecepatan gadis itu sampai mereka tiba di puncak.
Keng Hong
memandang sekeliling dan dia menjadi kagum. Memang indah bukan main pemandangan
dari puncak itu. Di sebelah timur tampak menjulang puncak Pegunungan
Phu-niu-san, ada pun di sebelah barat menjulang tinggi puncak Pegunungan
Cin-ling-san. Di sebelah bawah tampak jurang-jurang yang curam dan anak sungai
yang berlika-liku seperti ular naga. Hawanya pun nyaman sekali. Berdiam di
tempat seperti inilah yang membuat manusia merasa kecil, dan merasa lebih dekat
dengan alam yang maha besar, merasa bahwa dirinya tidak berarti, hanya menjadi
sebagian kecil saja dari alam ini.
Mereka lalu
duduk di atas rumput yang hijau tebal laksana permadani. Sejenak mereka
berpandangan dan gadis itu bertanya,
"Suheng,
pandang matamu aneh. Engkau kau hendak bicara apakah?"
"Sumoi,
pertama-tama, siapakah namamu?"
Gadis itu
membelalakkan matanya kemudian tertawa geli, menutupi mulut dengan lengan
bajunya. Hemmm, bukan main manisnya kalau begini, pikir Keng Hong kagum. Ia
dapat mengerti kegelian hati gadis itu. Seorang suheng yang tidak tahu nama
sumoi-nya! Atau lebih lagi, seorang calon suami yang tidak tahu nama isterinya!
Mana ada keduanya di dunia ini?
"Aihhh,
kukira Suheng sudah tahu. Jadi belum tahukah?"
Keng Hong
tersenyum. Sikap gadis itu sekarang lebih terbuka, lincah dan tidak malu-malu
sesudah mereka berdua berada di tempat sunyi yang amat indah itu. Sikap ini
menular kepadanya dan dia pun menjadi gembira. "Kalau aku sudah tahu, masa
aku bertanya lagi, Sumoi?"
Gadis itu
bangkit berdiri dan menjura sambil bersoja, sikapnya lucu dan manis.
"Kalau begitu, perkenalkanlah, nama saya Gui Yan Cu!"
"Saya
Cia Keng Hong!" Keng Hong juga sudah bangkit berdiri dan cepat-cepat
membalas penghormatan sumoi-nya seolah-olah mereka merupakan dua orang yang
baru bertemu dan baru berkenalan.
Keduanya
saling pandang lalu tertawa bergelak. Kini Yan Cu bahkan tertawa gembira tanpa
malu-malu menutupi mulutnya seperti tadi sehingga Keng Hong terpesona melihat
deretan gigi yang putih seperti mutiara dan sekilas pandang dapat melihat
rongga mulut dan ujung lidah yang merah.
"Yan Cu
sumoi, marilah kita duduk dan bicara. Aku tidak main-main lagi, aku ingin
bicara denganmu mengenai diri kita dan kuharap kau suka bicara sejujurnya
seperti aku, karena ini demi kebahagiaan masa depan kita sendiri."
Ternyata Yan
Cu adalah seorang gadis yang selain lincah dan jujur, juga dapat diajak
berunding, karena gadis itu sudah cepat menghapus kegembiraannya dan duduk
sambil memandang Keng Hong penuh perhatian. Melihat sikap gadis ini, kedua
matanya yang bening, sepasang bibirnya yang merah merekah, rambutnya yang
melambai tertiup angin gunung, diam-diam Keng Hong membayangkan betapa akan
bahagia hidupnya menjadi jodoh gadis seperti ini kalau saja di sana tidak ada
Biauw Eng!
"Sumoi,
engkau tentu sudah tahu bukan bahwa Subo telah menetapkan agar kita menjadi
pasangan, menjadi calon suami isteri?"
Gadis itu
mengangguk dan kembali sepasang pipinya menjadi merah. Akan tetapi karena
maklum bahwa suheng-nya berbicara dengan sungguh-sungguh, dia berani menentang
pandang mata suheng-nya, bahkan kini pandang matanya sendiri penuh selidik.
"Bagaimana
tanggapanmu mengenai urusan itu, Sumoi? Bagaimana perasaanmu ketika Subo
menyatakan urusan penjodohan itu kepadamu?"
"Hemmm,
apa maksudmu, Suheng? Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana!"
"Jawab
saja, apakah engkau girang mendengar itu? Ataukah engkau terpaksa menerima akan
tetapi dalam hatimu sebetulnya tidak suka?"
Gadis itu
kelihatan canggung, akan tetapi dia memaksa mulutnya menjawab. "Aku girang
dan suka mendengar itu Suheng."
"Sumoi,
katakanlah terus terang, apakah engkau... suka padaku? Kenapa engkau merasa
girang dan suka mendengar bahwa engkau hendak dijodohkan denganku?"
Wajah yang
manis itu menjadi merah sekali. Diam-diam Keng Hong merasa kasihan dan dia
menyumpahi dirinya sendiri yang dia tahu amat kejam mengajukan pertanyaan
seperti ini kepada seorang gadis, malah tunangannya sendiri! Akan tetapi dia
harus melakukan hal ini, agar urusan yang ruwet itu dapat beres.
"Aku...
aku suka padamu, Suheng. Mengapa tidak? Engkau seorang pemuda yang gagah
perkasa, yang... eh, amat tampan dan yang baik budi, bahkan engkau murid suami
Subo yang terkenal. Apakah engkau tidak suka kepadaku, Suheng?" Kini
sepasang mata yang bening dan membayangkan hati yang bersih itu seolah-olah
hendak menembus jantung Keng Hong.
Mampus kau
sekarang, demikian Keng Hong memaki diri sendiri. Senjata makan tuan! Dia
dibalas oleh gadis itu dengan ucapan sederhana, dengan pertanyaan langsung yang
menancap di ulu hatinya.
"Aku...
aku... Ah, nanti dulu, Sumoi. Sekarang engkau dulu menjawab pertanyaanku, nanti
aku yang mendapat giliran menjawab semua pertanyaanmu."
Yan Cu
memandang aneh, lalu menghela napas.
"Engkau
aneh, Suheng. Akan tetapi baiklah, kau mau bertanya apa lagi?"
"Pada
saat engkau merawatku selama tiga hari tiga malam, apakah hal itu kau lakukan
karena... engkau memang kasihan kepadaku, apakah karena suka, ataukah karena
kau merasa hal itu menjadi kewajibanmu sebagai… ehh, calon isteri?"
Keng Hong
menanti jawaban dari gadis itu dengan hati berdebar tanpa berani memandang
wajah Yan Cu. Sampai lama gadis itu tidak menjawab, dan selama itu Keng Hong
tidak berani memandang wajahnya. Kemudian terdengar suaranya yang halus namun
penuh keheranan,
"Aku
tidak mengerti mengapa kau mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh seperti ini,
Suheng. Aku merawatmu karena merasa hal itu sudah semestinya, sudah
kewajibanku, bukan hanya karena aku menjadi calon isterimu, akan tetapi karena
aku kasihan padamu juga suka kepadamu, apa lagi engkau adalah suheng-ku."
Keng Hong
menggaruk-garuk kepalanya. Dasar engkau sendiri yang tolol, makinya pada diri
sendiri, ingin menjenguk hati gadis yang murni! Mengapa tidak terus terang
saja?
“Mengapa
tidak terus terang saja, Suheng?"
"Hahhh…?!"
Keng Hong terkejut karena pertanyaan yang diajukan Yan Cu begitu tepat dengan
suara hatinya sendiri! Siapakah yang bertanya barusan? Benarkah suara Yan Cu,
ataukah suaranya sendiri? Dia menjadi bingung sendiri dan memandang kepada Yan
Cu dengan mata kosong.
Gadis itu
tersenyum geli. "Suheng, jangan-jangan sebagian dari racun Ban-tok
Sin-ciang ada yang naik memasuki kepalamu…"
Keng Hong
memegangi kepalanya. "Wah... kau menghina...," akan tetapi dia
tertawa dan gadis itu pun tertawa geli. Suasana yang tegang membingungkan tadi
membuyar.
"Kau
terlalu, Sumoi. Apakah kau anggap aku sudah menjadi gila...?"
"Habis,
pertanyaan-pertanyaanmu aneh-aneh saja, sih. Bila mana ada sesuatu di hatimu,
katakanlah terus terang, Suheng. Bukankah kau tadi mengajak aku untuk bicara
dari hati ke hati? Aku tahu bahwa engkau masih terkejut karena keputusan Subo
yang tiba-tiba menjodohkan kita. Apakah kau hendak berbicara tentang ini?
Ataukah tidak setuju dan terpaksa menerima karena takut kepada Subo?"
Nah, rasakan
sekarang! Keng Hong menundukkan mukanya seperti seorang pesakitan mendengarkan
tuduhan-tuduhan hakim. Akhirnya dia memberanikan hatinya, mengangkat muka
memandang wajah yang jelita itu dan berkata, "Terus terang saja, Sumoi.
Memang hal itulah yang membuat hatiku bingung bukan main. Karena berhutang budi
kepada Subo yang telah menyelamatkan nyawaku, pula karena mengingat bahwa Subo
adalah isteri Suhu yang tentu saja berhak mewakili Suhu, bagaimana aku berani
membantahnya?"
"Jadi
engkau tidak setuju dan engkau tidak suka kepadaku, Suheng?"
"Wah-wah-wah,
nanti dulu, Sumoi. Disaksikan oleh langit dan bumi yang dapat kita lihat
sekarang ini, sama sekali tidak demikian. Aku suka sekali kepadamu, Sumoi, dan
untuk ke dua kalinya aku bersumpah bahwa belum pernah aku bertemu dengan
seorang gadis secantik, sepandai dan semulia engkau. Aku suka kepadamu, akan
tetapi bukan hanya karena suka orang kemudian bisa menjadi suami isteri. Ehh,
apakah engkau cin... cinta kepadaku, Sumoi?"
Keng Hong
ingin menampar mulutnya sendiri untuk keluarnya pertanyaan ini. Akan tetapi
karena sudah terlanjur, maka dia hanya dapat memandang muka gadis itu yang kini
mengerutkan kening dan bibirnya diruncingkan, agaknya berpikir keras...!
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment