Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 30
KENG HONG
menanti jawaban yang memutuskan ini. Kalau sumoi-nya ini terang-terangan
menyatakan cinta kepadanya, berati dia kalah dan harus bertekuk lutut tanpa
syarat lagi! Karena bila sumoi-nya ini mencintanya, tentu dia tak akan tega
untuk menghancurkan hati dan hidupnya, dan dia akan menyerahkan diri, pasrah
bongkokan (pasrah sepenuhnya sehingga tidak mau berusaha lebih lanjut)
membiarkan hidungnya diikat dan dituntun seperti kerbau ke meja sembahyang
pernikahan! Diam-diam hatinya berdoa agar gadis itu menjawab sebaliknya!
Sampai lama
Yan Cu tidak menjawab, melainkan hanya mengerutkan alis dan matanya memandang
jauh ke puncak Pegunungan Cin-ling-san yang tertutup awan. Tiba-tiba dia
menoleh, sinar matanya seperti dua cahaya menembus dahi Keng Hong dan bertanya,
"Cia-suheng!
Apakah engkau mencinta gadis lain?"
Keng Hong
tersentak kaget dan matanya terbelalak. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan
tidak tersangka-sangka seperti datangnya ujung pedang yang langsung menusuk ulu
hati. Ia tergagap dan menjawab seperti orang dikejar harimau atau seperti
maling kepergok,
"Ehh...
wah... ini... ehh, itu... wah bagaimana ya? Ya begitulah, Sumoi.
Begitulah..."
"Begitu-begitu
bagaimana, Suheng? Kenapa tidak terus terang saja? Apakah ini namanya bicara
dari hati ke hati?"
Keng Hong
mengangguk-angguk dan menelan ludahnya, baru dia bisa bicara. "Memang
benarlah, Sumoi. Aku telah jatuh cinta kepada seorang gadis lain. Maafkan
Sumoi. Aku telah berterus terang, sekarang kuminta Sumoi suka berterus terang
pula. Apakah Sumoi cinta padaku?"
Wajah gadis
itu berubah agak pucat, sampai lama ia menatap wajah tampan di depannya itu,
lalu bertanya, "Dan gadis itu, apakah dia juga mencintamu?"
Keng Hong
menggeleng kepala. Sejenak terjadi perang di hatinya. Dulu memang Biauw Eng
mencintanya, bahkan mengaku cinta di depan ibunya sendiri, di depan banyak
tokoh, secara terang-terangan.
Akan tetapi
dalam pertemuan terakhir Biauw Eng sudah menyatakan benci kepadanya! Apakah
bedanya antara cinta dan benci? Sulit membedakan kalau dia teringat akan sikap
Biauw Eng.
"Tidak,
dia malah... membenciku, Sumoi!"
Gadis itu
menunduk, agaknya menahan senyum karena kembali dia merasa geli hatinya melihat
sikap dan mendengar jawaban Keng Hong. Dia merendahkan kepalanya untuk
mengintai muka yang tunduk itu, keningnya berkerut kemudian dia tertawa.
"Kenapa
kau tertawa, Sumoi? Kau malah menertawakan aku yang dibenci padahal aku
mencinta, sedangkan dahulu aku yang benci dia dan dia mencintaku dan..."
Tiba-tiba
saja Keng Hong sendiri tak dapat menahan ketawanya melihat betapa gadis itu
terbatuk-batuk menahan ketawa dan keduanya lalu tertawa-tawa sambil memegangi
perut karena geli!
"Wah,
kalau begini terus kita berdua bisa gila, Suheng!" Gadis itu menahan
ketawa sambil mengusap air matanya. Saking geli hatinya ia tadi tertawa sampai
keluar air mata.
Keng Hong
juga mengusap dua butir air mata yang dia tidak tahu lagi apakah karena tertawa
ataukah karena hatinya sakit mengingat Biauw Eng. "Baiklah, Sumoi. Memang
sebagai manusia-manusia sadar kita berdua mestinya membicarakan urusan
perjodohan kita ini sebelum terlanjur. Percayalah, Sumoi. Andai kata di sana
tidak ada gadis itu yang aku tidak tahu entah cinta entah benci kepadaku, demi
Tuhan, ajakan perjodohan ini akan kusambut dengan kebahagiaan besar sekali.
Oleh karena itu, agar urusan ini dapat kita pecahkan bersama dengan kesadaran
sehingga yang kita lakukan adalah hal yang sudah kita ketahui jelas dan tidak
secara membuta, katakanlah sesungguhnya apakah engkau cinta kepadaku!"
"Aku
mengerti maksudmu, Suheng, dan hal ini malah menambah kekagumanku padamu.
Engkau laki-laki yang jujur dan memang sebaiknya berterang begini, apa lagi
menghadapi urusan perjodohan yang akan mengikat kita satu sama lain untuk
selama hidup. Tentang cinta, terus terang saja aku sendiri tidak tahu dan tidak
mengerti. Aku suka kepadamu, Suheng, dan kiranya kalau dipaksa harus memilih di
antara seribu orang pemuda untuk menjadi jodohku, tanpa ragu-ragu lagi aku akan
memilihmu. Akan tetapi tentang cinta...? Hemmm, Suheng, mungkin engkau yang
sudah lebih berpengalaman dari pada aku dapat menjelaskan, apakah sebenarnya
cinta itu? Dan bagaimana? Aku tidak tahu, bagaimana aku dapat menjawab
pertanyaanmu apakah aku cinta kepadamu atau tidak? Coba kau jelaskan padaku,
Suheng. Apa sih cinta itu?"
Keng Hong
mengerutkan alisnya. Berabe, pikirnya. Itu bukan jawaban namanya! Dan dia malah
harus memberi kuliah tentang cinta, sedangkan dia sendiri mengenai urusan cinta
kasih masih kelas nol! Urusan cintanya dengan Biauw Eng saja kacau-balau tidak
karuan. Akan tetapi, dia harus menjawab! Maka dia kemudian mengurut-urut
dahinya seperti aksi seorang guru besar hendak memberi kuliah,
"Cinta?
Apa itu yang dinamakan cinta? Hemmm... cinta itu asmara... cinta itu kasih,
cinta itu sayang... hemmm, cinta itu ya cinta, aku sendiri pun tidak
mengerti!" Dia memandang wajah Yan Cu yang semenjak tadi mendengarkan
penuh perhatian seolah-olah pandang matanya tergantung pada bibir Keng Hong.
Ketika
mendengar kalimat terakhir ini, Yan Cu terkekeh dan mencubit lengan Keng Hong
dengan gemasnya, sampai Keng Hong teraduh-aduh kesakitan.
"Engkau
mempermainkan aku, Suheng!" kata Yan Cu gemas.
"Wah,
lihat kulit lenganku sampai biru. Kau memiliki kuku yang lebih jahat dari pada
kuku Ang-bin Kwi-bo!"
Mereka
berdua kembali tertawa-tawa geli.
"Aihhh,
kiranya orang yang hendak kumintai kuliah mengenai cinta juga menghijau, tidak
lebih pintar dan tidak lebih bodoh dari aku sendiri. Suheng, apakah pernikahan
itu harus disertai cinta?"
Kembali Keng
Hong memasang muka sungguh-sungguh. "Harus! Mutlak! Syarat utama!"
"Tapi
engkau tidak tahu apa itu cinta!"
"Cinta
sukar dimengerti, hanya dapat dirasakan oleh hati," Keng Hong membantah.
Yan Cu
bangkit berdiri dan berjalan maju lima langkah. Pakaiannya yang berwarna kuning
terbuat dari sutera halus itu berkibar tertiup angin, juga rambutnya berkibar.
Indah sekali pemandangan ini. Cantik jelita luar biasa gadis ini! Keng Hong
benar-benar kagum dan kembali dia menghela napas. Kalau saja di sana tidak ada
Biauw Eng…
Kemudian dia
mendengar dara jelita itu bernyanyi, suaranya merdu sekali dan kata-kata dalam
nyanyian itu membuat Keng Hong bengong terlongo:
Cinta kasih
asmara
begitu indah
mempesona
begitu rumit
berbahaya
manis
mengatakan madu
pahit
mengatakan empedu
dapat
mencipta sorga
juga
menyeret ke neraka!
Cinta kasih
asmara
perpaduan
rasa mesra suka sayang dan iba.
Ingin
menyenangkan dan disenangkan hatinya
Ingin
memiliki dan dimiliki tubuhnya
Ingin
mengikat dan diikat hidupnya
Harus
mencakup seluruhnya satu pun tak boleh kurang
Lengkap
mendatangkan bahagia mencipta sorga di dunia
Kurang satu
saja menjadi goyah berantakan gugur
Menimbulkan
derita sengsara
Menyeret ke
neraka penuh duka!
Keng Hong
meloncat dan memegang lengan gadis itu dari belakang, menarik tubuhnya hingga
membalik. Mereka berhadapan, beradu pandang. Keng Hong mencela sumoi-nya,
"Wah, ternyata engkau adalah seorang guru besar mengenai cinta! Sajakmu
tadi indah sekali, Sumoi."
Yan Cu
menggelengkan kepala dan kembali mereka duduk di atas rumput berhadapan.
"Keliru
dugaanmu, Suheng. Sajak itu memang indah, akan tetapi aku hanya membacanya dari
sebuah kitab, entah kitab apa aku lupa lagi. Akan tetapi biar pun indah, sayang
sekali, aku tidak mengerti artinya sehingga sampai sekarang pun aku tidak
mengerti apa itu yang disebut cinta!"
"Aku
juga belum mengerti betul, Sumoi. Memang agaknya urusan cinta ini hanya dapat
dimengerti karena pengalaman. Marilah kita mencoba mempelajarinya dari sajakmu
tadi."
"Seharusnya
engkau yang coba menjelaskan kepadaku, Suheng. Setidaknya engkau tentu lebih
berpengalaman dari pada aku yang sama sekali tidak tahu."
Merah wajah
Keng Hong. Teringat dia akan pengalamannya dengan Bhe Cui Im yang merupakan
wanita pertama yang merenggut tubuhnya, akan tetapi terang itu bukan cinta
melainkan nafsu birahi semata. Teringat pula dia akan pengalamannya dengan Sim
Ciang Bi, dengan Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Mungkin sekali di antara tiga
orang wanita yang telah tewas itu ada perasaan cinta, akan tetapi dia tidak
menganggap peristiwa itu merupakan cinta kasih baginya, melainkan nafsu birahi
pula, sungguh pun tidak sekasar pengalamannya dengan Cui Im. Kemudian dia
teringat kepada Biauw Eng dan kembali dia menjadi bingung lagi.
"Sajakmu
menyatakan bahwa cinta dapat mencipta bahagia dan mencipta sengsara, itu tepat
sekali. Memang demikianlah, seperti yang kualami sendiri. Sekarang cinta sedang
menyeret aku ke neraka sehingga gadis yang dulu mencintaku itu sekarang
membenciku! Dikatakan pula dalam sajak itu bahwa cinta adalah perpaduan antara
rasa suka, sayang dan iba. Nah, tadi engkau bilang suka kepadaku, Sumoi, akan
tetapi apakah engkau juga merasa sayang dan iba?"
Gadis itu
mengerutkan alis dan berpikir, lalu menggelengkan kepala. "Aku suka
padamu, Suheng, dan aku merasa iba ketika engkau sakit. Kalau engkau sehat dan
segar bugar begini, kenapa mesti menaruh iba?"
Keng Hong
mengangguk-angguk sambil tersenyum. Lagaknya seperti seorang guru yang merasa
senang mendengar jawaban yang tepat dari muridnya. "Nah, itu tandanya
bahwa engkau tidak mencinta aku! Sekarang kita lanjutkan. Cinta itu adalah rasa
ingin memiliki dan dimiliki tubuhnya, hemm, pernyataan ini tentu ada
hubungannya dengan nafsu. Ingin menyenangkan dan disenangkan hatinya, hemmm,
ini tentu timbul dari rasa sayang dan iba yang timbal balik. Ingin mengikat dan
diikat hidupnya, wah… yang ini tentu timbul dari kesadaran berkewajiban dan
dari perasaan cemburu! Nah, sekarang kau coba menyelidiki hatimu sendiri,
Sumoi. Pertama, apakah... apakah timbul... ehh, nafsu birahimu kalau kau
melihat aku?"
Semenjak
kecil Yan Cu tinggal di puncak gunung bersama subo-nya, urusan cinta dia gelap sama
sekali. Apa lagi mengenai pertanyaan itu yang hanya dapat ia kira-kira artinya
oleh perasaan kewanitaannya, akan tetapi tentu saja sulit sekali untuk
menjawabnya. Dia mengerutkan alisnya dan bibirnya yang merah basah itu
cemberut.
"Hemmm,
agaknya sukar bagimu, Sumoi. Sekarang kuajukan pertanyaan ini dengan cara yang
jelas. Begini!" Keng Hong mengerutkan alisnya yang tebal, mendekatkan
mukanya dan matanya memandang tajam seolah-olah hendak menyihir gadis itu, lalu
dia bertanya, "Apakah bila engkau berdekatan dengan aku, engkau mempunyai
perasaan ingin sekali... ehh…, kupeluk dan kucium...?"
Sepasang
mata yang indah itu mendadak membelalak dan mukanya ditarik ke belakang
seolah-olah takut kepada muka Keng Hong yang mendekat itu. Akan tetapi akhirnya
Yan Cu menjawab juga,
"Kalau
hatiku sedang gembira, hemmm... mungkin ada juga perasaan itu karena aku suka
padamu dan engkau tampan, Suheng. Akan tetapi sekarang ini... melihat engkau
begini kusut, kotor, berhari-hari tidak berganti pakaian... hemm, tentu saja
sama sekali tidak ada perasaan itu, Suheng!"
Keng Hong
membelalakkan mata dan meloncat bangun. "Wah, celaka, aku sampai lupa..!
Nanti dulu, Sumoi... Aku... aku mau mencuci muka dulu...!" Keng Hong lalu
berlari cepat meninggalkan gadis itu mencari air di lereng gunung.
Yan Cu
tertawa geli, bahkan terkekeh-kekeh seorang diri setelah Keng Hong pergi, akan
tetapi dia mengakhiri kegelian hatinya dengan duduk bersunyi sendiri, termenung
sambil memikirkan keputusan yang diambil gurunya.
Dia mengerti
bahwa agaknya tidaklah sukar baginya untuk jatuh cinta kepada seorang pemuda
seperti Keng Hong. Akan tetapi kalau pemuda yang menjadi suheng-nya itu telah
terang-terangan menyatakan mencinta gadis lain, dan hatinya sendiri tidak
merasa sakit mendengar pengakuan itu, dia tahu bahwa dia barulah tertarik dan
suka, tapi belum jatuh cinta. Untung suheng-nya telah berterus terang sehingga
rasa sukanya tidak berlarut-larut menjadi cinta. Akan tetapi subo-nya telah
menentukan hal itu, bagaimana baiknya?
Yan Cu masih
termenung ketika Keng Hong datang kembali. Pemuda itu sudah mencuci muka,
bahkan rambutnya masih basah, wajahnya nampak segar. Yan Cu memandang dengan
hati geli. Keng Hong duduk lagi menghadapi sumoi-nya itu dan berkata,
"Nah,
aku sudah bersih, tidak menakutkan lagi sekarang. Bagaimana, Sumoi?"
"Bagaimana
apa?"
"Apakah
sekarang ada perasaan di hatimu, ingin kupeluk dan kucium?"
Yan Cu
menggelengkan kepalanya. Keng Hong mengangguk-angguk girang. "Bagus, itu
tandanya kau tidak cinta padaku. Sekarang pertanyaan yang merupakan ujian
terakhir! Engkau dengarkan baik-baik, Sumoi! Aku... ehh…, terus terang saja...
aku... aku pernah melakukan hubungan jasmani dengan Bhe Cui Im si iblis betina,
pernah pula melakukan hubungan hanya berdasarkan nafsu birahi dengan tiga orang
gadis lain!"
Wajah Yan Cu
mendadak menjadi merah sekali. Mulutnya cemberut, sedangkan matanya memandang
marah. "Ihhh, cabul! Kenapa engkau ceritakan hal semacam itu kepadaku,
Suheng?"
"Jawablah!
Sesudah mendengar ini, ditambah lagi aku mencinta seorang gadis bernama Sie
Biauw Eng, aku mencintanya setengah mati, nah, setelah kau mendengar ini semua
bagaimana rasanya hatimu?"
Yan Cu
menjawab cemberut. "Rasanya muak mendengar yang pertama, dan aku terharu
mendengar yang ke dua."
"Kau..
kau tidak marah? Aku bermesra-mesraan dengan gadis-gadis lain itu,
bagaimana?"
"Bagaimana...
bagaimana maksudmu? Aku muak mendengarnya!"
"Tidak
cemburu? Tidak iri?"
"Mengapa
mesti cemburu dan iri? Kau ingin bermesraan dengan seluruh monyet betina di
gunung ini pun silakan!"
Keng Hong
tertawa bergelak, memegang pundak Yan Cu, menarik gadis itu berdiri dan
berjingkrakan menari-nari saking gembiranya. "Kau tidak cinta kepadaku!
Kau tidak cinta kepadaku! Aduh, Sumoi-ku yang baik, engkau telah
menolongku!"
Yan Cu
menarik tangan Keng Hong. "Jangan bergirang-girang dulu, Suheng. Subo
sudah memutuskan perjodohan itu. Bagaimana?"
Keng Hong
menjadi serius kembali dan sambil menarik tangan Yan Cu, dia lalu mengajak
gadis itu duduk kembali di atas rumput, berhadapan dan saling pandang dengan
wajah serius. "Benar, Subo telah mengancam bahwa jika aku menolak, dia
akan membunuhku!" Keng Hong menggigit-gigit kuku telunjuk kanannya, kedua
alisnya berkerut.
"Bagaimana
baiknya, Suheng?"
"Menolak
perintahnya berarti aku akan menjadi orang yang paling hina, tidak ingat budi,
apa lagi kalau aku melawannya. Menurut perintahnya, hemmm.. tanpa cinta, kita
berdua kelak akan terseret ke neraka penderitaan, di samping menghancurkan hati
Biauw Eng, yaitu kalau dia benar mencintaku. Sumoi, baiknya kita mengambil
jalan tengah saja!"
"Jalan
tengah bagaimana, Suheng?"
"Kita
menghadap Subo dan menyatakan secara terus terang bahwa kita berdua hendak
membuktikan dulu apakah kita berdua saling mencinta. Tanpa cinta kita berdua
rela mati di tangan Subo. Aku juga akan menyatakan terus-terang bahwa yang
menjadi penghalang sambungan cinta kita adalah karena aku mencinta Biauw Eng,
meski pun aku belum tahu apakah gadis itu mencintaku ataukah membenciku. Kita
berdua akan mencarinya, kalau sudah bertemu dan kita mendapatkan bahwa Biauw
Eng memang membenciku, kita akan kembali ke sini dan menerima keputusan Subo.
Karena, jika Biauw Eng tidak mencintaku, maka sudah pasti aku akan menumpahkan
seluruh cinta kasihku kepadamu, Sumoi!"
"Aihhh,
mengapa cinta kasih hendak kau pindah-pindahkan seenakmu saja seperti orang
memindahkan kursi atau meja, Suheng?"
"Bukan
begitu, Sumoi. Cinta kasih memang tak akan bisa dipindah-pindahkan seperti itu.
Akan tetapi seperti dalam sajak tadi, cinta kasih itu harus berimbang dari
kedua pihak, saling memberi dan saling meninta, kurang satu saja menimbulkan
sengsara. Walau pun aku mencinta Biauw Eng, apakah aku harus menggerogoti hatiku
sendiri sampai coplok? Di atas segala macam perasaan, termasuk perasaan cinta,
masih ada kesadaran yang paling tinggi, Sumoi, yang akan menuntut kita
mengatasi segala akibat perasaan hingga mencegah kita melakukan hal yang
bukan-bukan, misalnya karena asmara gagal lantas minum racun tikus dan
lain-lain perbuatan rendah dan keji untuk membunuh diri! Eh, kita melantur
lagi. Bagaimana pendapatmu, Sumoi? Setujukah engkau?"
Gadis itu
mengangguk-angguk. "Baiklah, Suheng. Memang selain engkau harus yakin dulu
akan cintamu terhadap gadis itu aku sendiri juga harus mempelajari dulu
bagaimana sebetulnya perasaanku terhadap dirimu. Mudah-mudahan saja kalau kelak
ternyata kau tidak dapat melanjutkan tali cintamu dengan gadis itu dan hendak
‘pindah’ kepadaku, aku bisa menerimanya. Siapa tahu, kelak aku jatuh cinta
kepada orang lain sehingga tidak dapat membalas cintamu."
"Wah,
celaka kalau begitu... Biauw Eng putus, engkau pun luput..., habis bagaimana
nanti dengan aku?" Keng Hong menggaruk-garuk kepalanya hingga Yan Cu
tertawa. Gadis ini sudah mendapatkan kembali kegembiraannya.
"Jika
memang kelak terjadi begitu yaaaahhh, engkau rasakan saja, Suheng,
hitung-hitung engkau melanjutkan nasib mendiang gurumu. Ehh, kurasa tidak baik
kalau kita menanti Subo. Aku mengenal watak Subo. Di waktu dia sedang marah,
hatinya keras bukan main dan mungkin kita akan dibunuhnya seketika. Sebaliknya,
bila mana hatinya lagi lunak, dia merupakan orang yang paling sabar. Sebaiknya
kita jangan mempertaruhkan nyawa kita. Lebih baik kita pergi saja sebelum dia
pulang dan kita meninggalkan surat kepadanya, menjelaskan segala maksud kita.
Walau pun dia marah, kalau kita tidak ada, akhirnya hatinya akan lunak dan dia
akan memaafkan kita."
Keng Hong
memegang kedua lengan gadis itu, memandang dengan mata bersinar-sinar gembira
dan berkata, "Yan Cu, kalau di sana tidak ada Biauw Eng dan kalau kita
sudah jelas saling mencinta, saat ini kau sudah kupeluk dan kugigit bibirmu
yang manis ini!"
"Ihhh!
Pantas kalau Biauw Eng membencimu! Engkau... genit sih!" Gadis itu
melepaskan tangannya dan berlari cepat menuruni puncak, kembali ke pondok
diikuti Keng Hong.
Mereka
berdua lalu membuat surat dan pada hari itu juga pergilah mereka meninggalkan
tempat itu. Tentu saja pusaka peninggalan gurunya yang telah dia rapas dari Cui
Im, dia bawa, demikian pula pedang Siang-bhok-kiam.
***************
Sesosok
bayangan hitam berkelebat cepat sekali di atas wuwungan rumah gedung Kwan
Taijin. Bayangan ini berhenti dan mendekam di balik wuwungan lalu dengan
matanya dia menyapu ke bawah dan mata itu bersinar gembira saat dia melihat
bahwa keadaan di situ amat sunyi. Maklumlah bahwa saat itu telah menjelang
tengah malam.
Bayangan ini
lalu bangkit dan berindap-indap ke wuwungan sebelah belakang, kemudian bagaikan
seekor burung garuda terbang, dia meloncat ke bawah dan kedua kakinya sama
sekali tidak mengeluarkan suara ketika menginjak lantai di ruangan belakang.
Bayangan
hitam itu ternyata adalah seorang lelaki yang berusia empat puluh tahun lebih
akan tetapi masih kelihatan tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi besar dan
pakaiannya serba mewah dan indah, di punggungnya tampak pedang yang gagangnya
terukir indah. Dia adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek, penjahat cabul yang
telah melarikan diri dari istana bersama Cui Im.
Mereka lari
secara berpencaran karena mereka takut kalau-kalau pihak istana melakukan
pengejaran. Setelah gagal mengejar kemuliaan di istana dengan menjadi pengawal
akibat perbuatan Cui Im yang hendak memancing Keng Hong akan tetapi gagal,
penyakit lama Siauw Lek yang kini merantau seorang diri telah kambuh lagi dan
mulailah dia melakukan kekejiannya yang membuat dia dijuluki Jai-hwa-ong (Raja
Pemetik Bunga), yaitu dengan menculik dan memperkosa wanita-wanita cantik!
Pada malam
itu dia mencari korban di rumah gedung pembesar Kwan yang tinggal di kota
Cin-an, sebuah kota besar yang terletak di tepi Sungai Huang-ho. Siauw Lek yang
sudah berpengalaman dalam perbuatan keji seperti ini, menanti sampai para
penjaga keamanan yang meronda lewat di ruangan belakang itu, kemudian dia mendongkel
jendela samping dan masuk ke ruangan dalam. Dilihatnya anak tangga yang menuju
ke loteng dan dia tersenyum. Biasanya, para wanita tinggal di tingkat atas itu.
Tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat ke atas.
Tak lama
kemudian dia sudah mengintai dari jendela kamar besar dan melihat pembesar Kwan
yang setengah tua itu di samping isterinya. Ia lalu mengintai kamar sebelah dan
matanya berkilat ketika dia melihat dua orang wanita cantik tidur di kamar yang
indah itu. Dia dapat menduga bahwa dua orang wanita muda itu tentulah selir si
pembesar. Melihat tubuh muda dan wajah cantik itu, maka timbul gairahnya dan
tanpa menimbulkan suara berisik, Siauw Lek telah berhasil membuka jendela dan
tubuhnya meloncat ke dalam, lalu ditutupnya kembali jendela kamar.
Dengan sikap
tenang karena dia memang sudah biasa melakukan perbutan terkutuk ini, Siauw Lek
mengambil lilin dari atas meja dan menyingkap kelambu yang menutup tempat tidur
itu. Dia tadi hanya dapat mengira-ngira saja akan kecantikan dua orang wanita
itu karena tertutup kelambu yang tipis, dan kini dia hendak memeriksa dulu
calon korbannya.
Bukan main
girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa dugaannya benar. Mereka berdua
itu adalah wanita-wanita muda, tentu selir bangsawan Kwan, wajah mereka amat
menggairahkan. Dengan halus dan mesra Siauw Lek menggunakan telunjuknya meraba
dan membelai-belai bibir yang setengah terbuka dari wanita yang tidur di
pinggir, yang memakai pakaian dalam berwarna hijau pupus.
Wanita itu
membuka matanya dan memandang, lalu mulutnya sudah bergerak hendak berteriak.
Akan tetapi jari-jari tangan Siauw Lek menahan bibir merah itu dan Siauw Lek
tersenyum, menggelengkan kepala memberi isyarat agar wanita itu jangan
menjerit.
Sejenak
wanita itu terbelalak, memandang wajah Siauw Lek penuh perhatian, wajah yang
tampan dan ganteng, jauh lebih menarik dari pada pembesar Kwan, kemudian
pandang mata wanita itu menurun, menyapu tubuh Siauw Lek yang tinggi besar dan
kokoh kuat, jauh bedanya dengan tubuh pembesar Kwan yang perutnya gendut itu.
Pandang mata
Siauw Lek bicara banyak, selir ini pun bukan seorang wanita yang bodoh, maka
dia tersenyum lebar dan bangkit berdiri, menarik telunjuk ke depan bibirnya
yang merah seolah-olah memberi isyarat kepada Siauw Lek supaya tidak berisik,
kemudian ia menuding ke arah tubuh temannya dan memegang tangan Siauw Lek lalu
menariknya ke sudut kamar itu.
Siauw Lek
mengembalikan lilin ke atas meja. Begitu dia membalikkan tubuh menghadapi
wanita itu, selir berpakaian dalam warna hijau ini sudah merangkul lehernya dan
mencium bibirnya seperti seekor harimau kelaparan! Siauw Lek mendengus marah,
tangan kirinya bergerak ke atas.
"Prakkk!"
Tanpa
mengeluh lagi wanita itu roboh terkulai dengan nyawa melayang karena kepalanya
sudah retak oleh hantaman jari tangan Siauw Lek! Memang watak Siauw Lek aneh
dan kejam sekali. Dia paling tidak suka akan wanita yang genit, wanita yang
menyambutnya dengan rayuan. Dia lebih senang memperkosa wanita yang melawannya!
Benar-benar
manusia ini mempunyai watak binatang. Seperti seekor kucing yang kalau
menangkap tikus selalu mempermainkan dan menyiksanya dulu sebelum memakannya,
makan daging tikus sebelum mati sehingga di mulut dapat terasa betapa tubuh
tikus itu menggeliat-geliat dan meronta-ronta. Demikianlah watak penjahat cabul
itu. Maka dia lalu membunuh begitu saja ketika selir berpakaian hijau itu
menyambutnya dengan mesra dan penuh nafsu birahi.
Setelah
membunuh wanita itu, tanpa menengoknya lagi Siauw Lek segera menghampiri tempat
tidur dan sekali tangannya meraih…
“Brettt!”
terdengar suara dan pakaian merah yang dipakai wanita kedua telah direnggutnya
robek.
Wanita itu
terkejut, membuka matanya dan memandang terbelalak, kemudian menjerit
sekuatnya! Siauw Lek tidak jadi menotoknya ketika melihat bahwa wanita ini
kalah cantik dibandingkan wanita yang dibunuhnya tadi. Memang wanita ini cukup
muda dan cantik, berusia paling banyak tiga puluh tahun, akan tetapi karena
kalah cantik oleh wanita yang dibunuhnya tadi, maka tampak buruk dalam
pandangan matanya.
Jari
tangannya yang tadi siap menotok urat gagu wanita itu agar tidak sempat
berteriak, kini menyelonong ke arah tenggorokan dan…
“Krekkk!”
terdengar suara yang disusul rebahnya tubuh telanjang itu dalam keadaan tidak
bernyawa lagi!
Suara
ribut-ribut di luar kamar, yaitu suara para penjaga yang terkejut mendengar
jeritan tadi, membuat Siauw Lek cepat melompat dan tubuhnya sudah menerobos
langit-langit dan berada di atas genteng.
"Jaga
kamar Siocia...!" terdengar suara orang.
Siauw Lek
melihat ada beberapa orang penjaga lari ke sebuah kamar di ujung kiri. Dia
cepat meloncat mendahului mereka, menendang daun jendela dan girang sekali
hatinya ketika melihat seorang gadis muda yang amat cantik telah terbangun dari
tidur dan duduk di ranjang dengan mata terbelalak ketakutan.
Melihat Siaw
Lek, gadis itu kaget dan hendak lari. Akan tetapi sekali sambar saja Siauw Lek
sudah menotok lumpuh lalu mengempit tubuh gadis itu dan menerjang ke pintu yang
didobrak dari luar oleh para penjaga yang melihat penjahat itu memasuki kamar
melalui jendela. Empat orang pengawal itu roboh oleh tendangan kaki Siauw Lek.
Dalam
sekejap mata saja tubuh Siauw Lek sudah berloncatan ke atas genteng, dikejar
oleh beberapa orang pengawal. Tentu saja para pengawal itu jauh kalah cepat
sehingga mereka hanya dapat berteriak-teriak bingung ketika bayangan penculik
itu lenyap.
Kekecewaan
hati Siauw Lek terobati pada waktu dia mengempit tubuh yang hangat itu,
membawanya lari keluar dari kota Cin-an. Sekali ini dia tidak mau gagal. Dia
tahu bahwa karena yang diculiknya adalah puteri seorang pembesar, tentu para
penjaga keamanan akan mengerahkan pasukan mencarinya. Maka dia terus melarikan
diri ke pinggir Sungai Huang-ho.
Di sebuah
tempat yang sunyi dia membangunkan tukang perahu, menodong dada tukang perahu
itu dengan pedangnya. Tukang perahu yang kaget terbangun melihat dia ditodong
ujung pedang oleh seorang laki-laki tinggi besar yang mengempit seorang wanita
yang agaknya pingsan, seketika menggigil seluruh tubuhnya.
"Hayo
lekas seberangkan aku ke sana!"
Tukang
perahu tidak berani membantah. Siauw Lek meloncat ke perahu dan tukang perahu
itu lalu mendayung perahunya ke tengah menyeberang Sungai Huang-ho yang lebar.
Di dalam perahu, Siauw Lek duduk dan memangku tubuh gadis yang tidak dapat
bergerak karena ditotoknya tadi. Hatinya girang bukan main.
Lampu di
perahu itu kecil sekali, akan tetapi cukup untuk menerangi tubuh gadis yang
montok dan padat dan wajahnya yang cantik manis. Dia akan menikmati korbannya
ini, tanpa gangguan. Karena itu diperintahkannya tukang perahu untuk
menyeberangkannya ke bagian seberang yang sunyi.
Malam telah
terganti pagi ketika perahu kecil itu mendarat di pantai yang penuh pohon,
sebuah hutan yang sunyi dan tak tampak sebuah pun perahu di situ. Siauw Lek
menyuruh tukang perahu mengikatkan perahu pada sebatang pohon, kemudian sekali
pedangnya berkelebat dan tubuh tukang perahu itu roboh mandi darah, kemudian
mencelat ke sungai oleh tendangan kaki Siauw Lek.
Sambil
tersenyum Siauw Lek melihat mayat tukang perahu yang terbawa air, kemudian dia
memodong tubuh gadis itu dibawa ke dalam hutan. Melihat betapa tempat itu sunyi
sekali dan di pinggir sungai itu terdapat rumput yang hijau tebal, Siauw Lek
pun tertawa, membebaskan totokan gadis itu dan melepaskan tubuh itu ke atas
rumput. Dia sendiri duduk memandang sambil tersenyum.
Gadis itu
mengeluh, tubuhnya masih kaku-kaku, kemudian dia bangkit duduk. Pada waktu
menoleh dan melihat laki-laki tinggi besar yang memandangnya seperti seekor
harimau memandang kelinci, dia mengeluarkan jerit tertahan, meloncat berdiri
dan lari!
Siauw Lek
tertawa bergelak. Dia membiarkan gadis itu berlari-lari di atas rumput sampai
belasan langkah-langkah kecil, kemudian tubuhnya bergerak mengejar.
Gadis yang
lari itu tiba-tiba tersentak kaget merasa betapa ujung pakaiannya dibetot dari
belakang. Dia meronta-ronta dan menggunakan semua tenaga untuk meloncat ke
depan. Terdengar bunyi robek dan sebagian baju luarnya tertinggal pada tangan
Siauw Lek yang tertawa-tawa girang. Sungguh menyenangkan sekali permainan ini baginya.
Gadis itu
berlari lagi, akan tetapi tiba-tiba dia menjerit dan tubuhnya terjungkal.
Ketika dia bangun lagi, kedua sepatunya telah berada di tangan Siauw Lek, juga
sebagian celana luar yang robek. Gadis itu mengeluarkan suara seperti dicekik
karena rasa ngeri dan takut membuat ia sukar mengeluarkan suara. Akan tetapi ia
sudah berdiri lagi, terengah-engah dan memaksa sepasang kakinya yang telanjang
untuk berlari lagi ke depan, ke mana saja asalkan menjauhi laki-laki yang
baginya lebih menakutkan dari pada iblis sendiri.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha!
Engkau manis sekali. Larilah... ha-ha-ha, larilah...!"
Gadis itu
berlari. Kakinya yang terasa nyeri tidak dihiraukannya. Dia berlari sampai agak
jauh, napasnya terengah dan tibalah dia di sekumpulan pohon-pohon besar.
Tiba-tiba dia menjerit ngeri saat melihat laki-laki tinggi itu tahu-tahu sudah
berada di depannya, muncul keluar dari balik sebatang pohon sambil
tertawa-tawa.
"Aiiihhhh..
Ja... jangan..!" Gadis itu menjerit, membalikkan tubuh dan lari lagi ke
lapangan rumput hijau.
"Ha-ha-ha-ha-ha!
Larilah sekuatmu nona manis!" Siauw Lek berjalan-jalan mengikuti.
Gadis yang
sudah hampir kehabisan napas itu akhirnya menjerit dan roboh terguling di atas
rumput karena kakinya terjerat oleh sisa pakaiannya sendiri. Sambil tertawa
puas Siauw Lek menubruknya.
"Ampunnn...
jangan... tolooongggg...!" Akan tetapi tetapi di tempat sesunyi itu, siapa
yang mampu menolongnya.
Siauw Lek
terkekeh-kekeh dan mencium muka yang pucat ketakutan itu, namun tiba-tiba Siauw
Lek berteriak kesakitan. Ternyata gadis yang sudah putus asa saking ngerinya
itu, dan menjadi nekat lalu menggunakan kesempatan selagi Siauw Lek yang diamuk
birahi itu lengah, sudah menggigit lehernya, menggigit sambil mengerahkan
tenaga tanpa mau melepaskan lagi!
"Lepaskan!
Keparat! Lepaskan...!" Siauw Lek membentak.
Akan tetapi
gigitan pada lehernya itu makin mengeras. Siauw Lek menjadi marah sekali dan
tangan kirinya segera menampar.
"Plakkk!"
Gigitan
terlepas, tubuh gadis itu terkulai, darah keluar dari telinganya, ada pun
napasnya empas-empis, akan tetapi kedua matanya masih terbelalak memandang
Siauw Lek penuh kebencian.
Siauw Lek
bangkit berdiri, meraba kulit lehernya yang berdarah.
"Sialan!
Anjing betina!" Dia lalu memaki dan melihat ke bawah di mana gadis itu
rebah terlentang dalam keadaan hampir mati karena kepalanya retak! Dengan gemas
Siauw Lek mengangkat kakinya dan memaki, "Perempuan hina!"
Kakinya
menginjak dada yang kini tidak tertutup lagi dan yang tadi amat menggairahkan
hatinya, menginjak sambil mengerahkan tenaga.
"Krakkk!"
Tulang-tulang iga gadis itu remuk dan nyawanya melayang!
"Manusia
iblis! Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek manusia terkutuk!"
Siauw Lek
terkejut, cepat membereskan pakaiannya dan membalikkan tubuh. Ketika dia
melihat ada dua orang gadis cantik sekali telah berdiri di situ, wajahnya
seketika menjadi berseri. Kiranya yang memakinya itu adalah Song-bun Siu-li Sie
Biauw Eng, gadis puteri Lam-hai Sin-ni yang cantik jelita, sumoi dari Cui Im
yang masih perawan dan yang pernah membuat dia tergila-gila.
Kehilangan
gadis bangsawan itu dan kedatangan Biauw Eng sama dengan kehilangan ikan teri
mendapatkan kakap! Mata laki-laki itu bersinar-sinar, apa lagi ketika melihat
bahwa wanita yang berdiri di samping Biauw Eng, yang memakai pakaian serba
merah, juga amat cantiknya! Benar-benar dia mendapatkan keuntungan besar,
padahal semalam dia tidak bermimpi kejatuhan bulan.
Dia tahu
bahwa Biauw Eng bukanlah seorang gadis lemah, akan tetapi dia memandang rendah
karena dia cukup mengenal sampai di mana tingkat kepandaian gadis ini. Dengan
mudah dia akan dapat menundukkan Biauw Eng dan hemmm... wanita baju merah itu
pun bukan main manisnya!
Tentu saja
Siauw Lek tidak pernah mimpi bahwa Biauw Eng yang berada di hadapannya sekarang
ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan Biauw Eng yang dahulu pernah
dilawannya!
"Ha-ha-ha-ha-ha!
Terima kasih, Biauw Eng! Memang aku sudah bosan dengan gadis tak tahu malu
seperti anjing betina yang suka menggigit ini. Ternyata engkau datang untuk
menemaniku! Mari... Marilah manis. Sudah lama aku rindu sekali kepadamu. Tidak
usah malu-malu, di sini sunyi dan tidak ada orang lain. Kalau temanmu yang
manis itu ingin pula main-main denganku, marilah. Aku masih kuat melayani
kalian berdua, ha-ha-ha-ha!"
"Hi-hi-hik!"
Hun Bwee, wanita pakaian merah terkekeh. "Sumoi, inikah monyet cilik murid
tujuh ekor monyet tua Go-bi? Kiranya hanya macam ini saja? Dia tidak seberapa
akan tetapi mulutnya amat lebar, menantang kita berdua main-main dengannya?
Hi-hi-hik, aku sendiri pun cukup untuk main-main dengannya!"
Diam-diam
Siauw Lek terkejut. Wanita muda itu cantik sekali, akan tetapi sikapnya begitu
aneh, seperti... miring otaknya! Dan berani memaki guru-gurunya, yaitu Go-bi
Chit-kwi yang terkenal.
"Biarlah
Suci, jangan ikut campur. Tangannya bernoda darah ibuku, karena itu harus aku
sendiri yang menghadapinya," kata Biauw Eng sambil melangkah maju dan
menghadapi Siauw Lek. Sikapnya tenang sekali, akan tetapi sinar matanya
mengandung ancaman maut yang mengerikan.
Sedangkan
Hun Bwee sudah berlutut di dekat mayat gadis yang telanjang itu, kemudian
terdengar dia terisak menangis memondong mayat itu dan membawanya pergi dari
situ. Hati wanita ini penuh rasa iba dan terharu melihat korban kebiadaban ini
yang membuat dia teringat akan nasibnya sendiri saat dia diperkosa oleh
laki-laki yang tadinya ia kagumi, diperkosa oleh Cia Keng Hong! Hun Bwee lalu
menggali lubang di tanah dan mengubur jenazah itu.
Biauw Eng
yang menghadapi Siauw Lek berkata, "Siauw Lek, kekejianmu melampaui batas,
kejahatanmu sudah melewati takaran. Hari ini, aku Sie Biauw Eng jika tidak
dapat membunuhmu, aku bersumpah tak akan mau hidup lagi!" Kemarahan Biauw
Eng melihat musuh besarnya, musuh ke dua sesudah Bhe Cui Im, mendatangkan
kemarahan yang memuncak sehingga keluarlah kata-katanya yang amat menyeramkan
itu.
Diam-diam
Siauw Lek merasa bulu tengkuknya berdiri. Ia dapat merasa ancaman yang dahsyat
itu dan maklum betapa hebat kebencian gadis ini kepadanya. Namun tentu saja dia
tidak takut. Dia akan menangkap gadis ini, akan memperkosanya sepuasnya, lantas
dia harus membunuhnya supaya kelak tidak menjadi ancaman baginya. Karena itu,
untuk melenyapkan rasa seram di hatinya, dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha,
Biauw Eng. Ingin aku melihat engkau melawanku. Memang aku paling suka kalau
dilayani wanita, nanti pun aku ingin merasai bagaimana engkau melawan, meronta
dan menggeliat dalam pelukanku. Ha-ha-ha!" Mulutnya masih tertawa, akan
tetapi dengan curang sekali tiba-tiba tubuhnya sudah menyambar ke depan,
meloncat sambil menubruk seperti seekor harimau menubruk kijang.
Biauw Eng
masih berdiri, tidak mengelak, malah mengangkat kedua tangan menyambut terkaman
kedua tangan Siauw Lek. Jari-jari tangan mereka bertemu, Siauw Lek sudah merasa
girang karena tentu dia akan dapat menangkap gadis ini mengandalkan tenaga
sinkang-nya yang lebih besar.
"Cuh!
Cuh!" Tiba-tiba mulut Biauw Eng meludah dua kali ke arah mata Siauw Lek.
Laki-laki
yang tubuhnya masih di udara ini kaget sekali. Belum pernah dia mengalami ilmu
berkelahi seperti ini pakai meludah segala. Akan tetapi biar pun yang meludah
seorang gadis cantik, kalau cara meludahnya disertai sinkang kuat dan yang
disambar air ludah adalah sepasang mata, amatlah berbahaya!
Siauw Lek
miringkan mukanya, akan tetapi pada waktu itu Biauw Eng sudah melempar tubuh ke
belakang. Tentu saja Siauw Lek terbawa pula karena kedua tangan mereka masih
saling cengkeram dan begitu punggungnya menyentuh tanah, kedua kaki Biauw Eng
diangkat dan menendang perut dan pusar Siauw Lek.
"Celaka..!"
Siauw Lek berseru kaget, cepat mengerahkan sinkang ke arah tubuh yang
ditendang.
"Blukkk!"
Sinkang-nya
membuat perutnya kebal, akan tetapi tidak dapat menahan tubuhnya yang masih di
udara itu terpental sampai lima meter lebih. Untung bahwa Siauw Lek memiliki
ilmu ginkang yang sudah tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan turun
dengan kedua kaki di bawah tidak terbanting. Cepat dia melompat ke depan dan
menghadapi Biauw Eng yang sudah berdiri dengan sikap tenang menghadapinya.
Kedua mata
Siauw Lek merah. Hampir saja dia celaka dan sama sekali dia tidak pernah
menduga bahwa gadis itu mempunyai cara berkelahi yang begini aneh! Ia marah
sekali, akan tetapi kemarahannya masih belum menghapus rasa cintanya yang ingin
menguasai tubuh Biauw Eng yang dirindukan.
Maka dia
lalu berseru keras dan cepat sekali menerjang maju dengan tangan dimainkan
secara hebat. Dari kedua tangan yang terbuka itu menyambar angin pukulan yang
kuat sekali, bertubi-tubi datangnya sementara kedua telapak tangan itu berubah
menjadi hitam.
Akan tetapi
Siauw Lek lebih banyak membuat gerakan mencengkeram untuk menangkap gadis itu
dari pada gerakan memukul. Dia sudah menggunakan ilmu pukulan Hek-liong
Ciang-hoat (Ilmu Pukulan Naga Hitam) yang amat lihai.
Namun,
dengan masih tenang sekali, Biauw Eng mengelak dan kadang kala menangkis semua
serangan lawan. Bahkan pada saat menangkis dan lengannya yang berkulit halus
putih itu bertemu dengan lengan tangan Siauw Lek yang besar dan kuat, tubuh
Siauw Lek tergetar dan lengannya gatal-gatal! Ia terkejut sekali, maklum bahwa
ternyata gadis ini sudah memperoleh kemajuan yang hebat.
Dia teringat
akan penuturan Cui Im bahwa Biauw Eng mempunyai pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan
Lima Racun) yang sangat berbahaya, maka kini dia berseru hebat dan segera
mempercepat gerakannya. Dengan jurus menyesatkan tangan kanannya menghantam
susul-menyusul dengan tendangan kaki kirinya ke arah perut Biauw Eng, akan
tetapi ketika gadis itu mengelak dan menangkis, tiba-tiba tangan kirinya
mencengkeram ke arah tengkuk Biauw Eng.
"Plakkk!"
Tengkuk itu
kena disentuh, tapi tiba-tiba saja tangan Siauw Lek yang mencengkeramnya
meleset, tubuh Biauw Eng sudah berputar dan kedua tangan Biauw Eng bergerak
cepat menampar ke depan!
"Plak!
Plak!"
Laksana
disambar petir, tubuh Siauw Lek berputaran terhuyung-huyung. Telinganya yang
kanan kena ditampar, menimbulkan bunyi mengiang tiada hentinya, kepalanya
bagaikan pecah dan pandang matanya berkunang. Ketika dia meraba mukanya yang
terasa nyeri, dia terkejut karena hidungnya ternyata sudah terkena tamparan
pula sehingga ujungnya pecah-pecah berdarah. Hidungnya yang biasanya dia
banggakan, yang mancung dan besar, kini pecah berdarah, tidak mancung lagi!
Siauw Lek
menggoyang kepala mengusir pening. Ketika bintang-bintang yang menari-nari di
depan matanya lenyap dan dia dapat memandang lagi, dia melihat Biauw Eng masih
berdiri sambil bertolak pingang. Hal inilah yang membuat jantungnya berdebar
penuh rasa ngeri dan takut.
Jelas bahwa
dia tadi sudah tidak berdaya dan kalau Biauw Eng tadi mengirim susulan serangan
maut, tak mungkin dia dapat mempertahankan diri lagi. Akan tetapi gadis itu
berdiri saja memandang, sama sekali tidak menggunakan kesempatan itu. Hal ini
hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Biauw Eng memadang rendah padanya, bahwa
Biauw Eng percaya penuh akan dapat mengalahkannya! Dan dia pun masih bingung
mengapa gadis itu kini menjadi demikian hebat!
Dengan hati
gentar Siauw Lek mengambil keputusan nekat. Dia mencabut senjatanya dan
tampaklah sinar hitam berkelebat menyilaukan mata. Pedang hitam Hek-liong-kiam
telah berada di tangannya.
Tanpa
memberi peringatan lagi, sesuai dengan wataknya yang curang, tangan kirinya
bergerak dan belasan sinar-sinar kecil hitam menyambar ke arah jalan darah di
tubuh depan Biauw Eng. Itulah senjata paku-paku hitam beracun yang dilepas dari
jarak dekat secara tiba-tiba, kemudian selagi sinar-sinar hitam menyambar, dia
sendiri telah meloncat dan menerjang dengan pedang hitamnya!
"Haiiiitttttt…!"
Biauw Eng
kaget juga melihat datangnya paku-paku yang amat berbahaya ini. Tubuhnya sudah
mencelat ke atas dengan loncatan tinggi dan sambil meloncat ini dia telah
melolos sabuk sutera putihnya yang dari atas merupakan gulungan cahaya putih
bagaikan naga mengeluarkan suara meledak-ledak menyambar ke arah kepala Siauw
Lek.
Laki-laki
ini dengan kemarahan meluap menyabet ke arah ujung untuk membabat, akan tetapi
ujung sabuk itu sudah melibat pedang. Melihat ini, Siauw Lek berseru keras dan
dengan pengerahan tenaga sinkang, dia melontarkan tubuh Biauw Eng yang belum
turun ke tanah.
Biauw Eng
tidak dapat menahan tenaga dahsyat ini, libatan sabuknya terlepas sehingga
tubuhnya melayang ke atas! Akan tetapi, dia terjungkir balik dan tubuhnya
menukik turun, didahului oleh gulungan sabuknya yang berputaran merupakan
gulungan sinar putih yang menyembunyikan tubuhnya!
Harus
diketahui bahwa selama digembleng oleh Go-bi Thai-houw nenek gila yang lihai
sekali itu, tidak saja Biauw Eng menerima pelajaran ilmu silat aneh, akan
tetapi dia telah memperoleh kemajuan pesat dalam hal sinkang dan ginkang dan
dengan petunjuk nenek itu, ilmunya Pek-in Sin-pian, yaitu memainkan sabuk
putih, menjadi semakin hebat.
Melihat
betapa lawannya itu kini meluncur turun dengan bersembunyi di balik gulungan
putih seperti awan, Siauw Lek memutar pedangnya menyambut. Biauw Eng
cepat-cepat menggerakkan sabuknya. Ujung sabuk itu berputar menjadi seperti
payung menangkis pedang Siauw Lek, ia sendiri meloncat ke pinggir dan menggerakkan
ujung sabuk ke dua yang meluncur seperti anak panah menotok ke arah pelipis
Siauw Lek.
Jai-hwa-ong
ini berteriak kaget sekali karena pedangnya bertemu dengan benda lunak
berbentuk payung, bahkan pedangnya ikut terputar-putar seperti tersedot oleh
daya putar gulungan sabuk itu, dan kini mendadak ada suara meledak serta sinar
putih menyambar pelipisnya.
Dia menarik
pedang dan melempar tubuh ke belakang, kemudian bergulingan. Ketika dia
meloncat bangun lagi dengan keringat dingin membasahi dahi, dia melihat Biauw
Eng berdiri dengan sabuk di tangan dan memandang kepadanya sambil tersenyum
mengejek!
Siauw Lek
menjadi makin panik dan gentar. Jelaslah sudah bahwa Biauw Eng sekarang
memiliki kepandaian yang lihai bukan main dan dia merasa menyesal mengapa tadi
dia memandang rendah. Kini tipis sekali harapannya untuk bisa melarikan diri,
apa lagi ketika dia melirik ke belakang, dia melihat nona baju merah tadi
berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa-tawa, menghadang jalan larinya!
Celaka,
pikirnya. Dia tidak tahu bagaimana kepandaian nona baju merah itu, akan tetapi
mengingat bahwa Biauw Eng tadi menyebutnya ‘suci’, dia bergidik dan merasa
ngeri! Tangan kirinya mengusap muka yang berpeluh dan dia menahan rintihan
karena hidung yang pecah kena tergosok dan terasa perih. Tangannya penuh darah
dan hatinya makin gentar.
"Hi-hi-hik!
Kasihan sekali, Sumoi. Dia sudah ketakutan setengah mati!" Nona baju merah
itu tertawa dan Siauw Lek menjadi makin gelisah.
Dia kemudian
menggereng keras, menubruk maju dengan pedangnya, membabat ke arah pinggang
Biauw Eng yang ramping dan yang tadi dia bayangkan akan dia lingkari dengan
lengannya. Sambil membabat, dia menggunakan tangan kirinya membarengi dengan
pukulan Hek-liong-ciang ke arah dada gadis itu!
"Tar-tar-tar..!"
Ujung sabuk
meledak-ledak dan melecut-lecut, berubah menjadi tiga sinar, yang pertama
menangkis pedang, ke dua menangkis tangan kiri Siauw Lek dan yang ke tiga
menotok ke arah hidung Siauw Lek yang sudah pecah! Siauw Lek mendengus marah,
lalu miringkan tubuhnya dan terus menerjang ke depan menusukkan pedangnya ke
arah tenggorokan Biauw Eng.
Dua ujung
sabuk putih itu berputar, yang satu menangkis sambil melibat ujung pedang, yang
ke dua berputar lantas melibat leher Biauw Eng sendiri, mencekik leher gadis itu!
Siauw Lek terbelalak keheranan dan juga kegirangan, akan tetapi inilah
kesalahannya. Karena merasa heran dan girang melihat ujung sabuk itu melibat
serta mencekik leher Biauw Eng sendiri sehingga gadis itu sampai menjulurkan
lidahnya yang kecil merah, maka perhatiannya terpecah dan tidak dapat lagi dia
menghindarkan diri ketika kaki kecil mungil dari Biauw Eng menyambar dari bawah
menggenai perutnya.
"Desss...
ngekkk! Uaaak…!”
Tubuh Siauw
Lek terlempar ke belakang dan dia memuntahkan darah segar. Dia sudah menjadi
korban jurus aneh yang dipelajari Biauw Eng dari nenek gila Go-bi Thai-houw!
Siauw Lek terhuyung-huyung dan dapat berdiri pula. Mukanya pucat, bibirnya
berlepotan darah, matanya beringas dan liar, sebagian karena rasa sakit dan
sebagian pula karena marah. Dadanya terasa sesak dan kepalanya pening.
Dia maklum
bahwa lari pun tidak ada gunanya. Suara ketawa terkekeh-kekeh di sebelah
belakangnya lebih menyeramkan dari pada Biauw Eng yang berdiri tegak dengan
sabuk putihnya. Dia tahu bahwa kali ini dia harus membela diri mati-matian dan
harus bertanding untuk menentukan mati atau hidup. Maka dia menjadi makin
nekat.
Dengan suara
gerengan yang tidak seperti manusia lagi dia menerjang ke depan. Namun Biauw
Eng telah siap dengan sabuknya, digerakkan tangannya sehingga ujung sabuknya
terpecah menjadi banyak sekali mengeluarkan suara ledakan-ledakan dan menotok
ke arah tujuh belas jalan darah di tubuh lawan!
Siauw Lek
yang sudah pening itu tidak begitu cepat lagi gerakkannya. Ia memutar pedang
menangkis, akan tetapi tetap saja sebuah totokan menyambar lututnya hingga
membuat dia roboh terguling. Namun, dengan mengguling-gulingkan tubuh dia bisa
membebaskan totokan, sedangkan tangan kirinya bergerak.
"Syut-syut-syuttt...!"
Lebih dari
tiga puluh batang paku hitam menyambar secara kacau ke arah Biauw Eng. Rupanya
dalam keadaan panik ini Siauw Lek menguras habis paku-pakunya dari dalam
kantungnya, menyambitkan semua paku ke arah lawan.
Biauw Eng
tertawa dan tangan kirinya bergerak. Serangkum sinar putih cepat menyambar.
Ternyata itu adalah senjata rahasia bola-bola berduri putih yang menyambut
datangnya sinar paku hitam sehingga semua paku runtuh di atas tanah, bahkan
sebatang tusuk konde bunga bwe yang meluncur di antara banyak bola-bola putih
tadi, dengan kecepatan luar biasa menyambar ke arah tubuh Siauw Lek tanpa dapat
ditangkis lagi, menyambar ke arah mulut laki-laki itu! Siauw Lek terkejut,
cepat miringkan kepalanya dan dia berteriak kaget dan… telinga kirinya buntung!
"Hi-hi-hik,
ada anjing bertelinga buntung... Wah, jelek sekali...!" Hun Bwee tertawa
dan bertepuk-tepuk tangan.
Kini Biauw
Eng tidak mau memberi hati lagi. Ia menggerakkan tangan dan kedua ujung
sabuknya menyambar-nyambar, meledak-ledak, dan melecut-lecut. Siauw Lek
berusaha menangkis, akan tetapi rasa takut ditambah rasa nyeri membuat
gerakannya ngawur dan tenaganya pun banyak berkurang, maka dia berteriak-teriak
kesakitan ketika ujung-ujung sabuk itu seperti paruh burung garuda mematuki
tubuhnya. Pakaiannya robek-robek dan kulitnya berikut sedikit daging di bawah
kulit ikut pula robek dan copot!
Dengan
seruan keras, Siauw Lek yang sudah habis harapan itu mengangkat pedangnya,
disabetkan ke arah lehernya sendiri. Akan tetapi ujung sabuk Biauw Eng
menyambar, melibat pedang dan sekali sentakan saja pedang itu terbang lantas
terlempar ke dalam sungai!
Kemudian,
sebelum Siauw Lek dapat berbuat sesuatu, ujung sabuk sudah melibat kedua kaki
dan kedua tangannya, tubuh terangkat ke atas dan dalam keadaan terbelenggu
ujung sabuk, dia terbanting ke dalam air sungai!
Ia
gelagapan, menggerakkan kedua kaki yang terbelenggu hingga tubuhnya dapat
timbul di permukaan air, akan tetapi tiba-tiba Biauw Eng menggerakkan tangan
yang memegang ujung sabuk, membuat tubuh Siauw Lek yang sudah tidak berdaya itu
terlempar ke atas dan terbanting lagi ke air.
Demikianlah,
dia dilelap-lelapkan oleh Biauw Eng yang kini pandang matanya sudah liar penuh
dendam. Siauw Lek kini hanya dapat megap-megap sambil mengeluarkan suara
"up-up-up-up", perutnya mengembung, mukanya membiru, matanya melotot.
"Sumoi..!
Berikan dia padaku...!" Tiba-tiba Tan Hun Bwee berteriak.
Biauw Eng
masih memegang ujung sabuk dan membiarkan Siauw Lek megap-megap di permukaan
air Sungai Huang-ho seperti seekor ikan kena dipancing. Ia menoleh kepada Hun
Bwee, mengerutkan alis dan bertanya,
"Untuk
apa Suci? Harap jangan mencampuri urusan pribadiku!"
"Ihhh,
Sumoi. Mengapa engkau begitu medit? Dia tukang perkosa, kau ingat? Aku benci
kepada semua tukang perkosa di dunia ini, ingat?”
Biauw Eng
termenung, kemudian mengangguk-angguk. Ia dapat membayangkan dendam suci-nya.
Sebagai seorang gadis suci-nya pernah diperkosa orang. Tadi dia melihat gadis
yang mati dan diperkosa, tentu saja kebencian suci-nya itu terhadap Siauw Lek
belum tentu kalah besar oleh kebenciannya terhadap Jai-hwa-ong itu. Dia lantas
menggerakkan tangannya menyendal sabuk sutera hingga tubuh Siauw Lek terlempar
ke udara, terlepas dari belenggu dan melayang ke Hun Bwee!
"Hi-hi-hik!
Terima kasih, Sumoi!" Hun Bwee menyodorkan tangannya dan menangkap kaki
Siauw Lek yang masih sadar, hanya napasnya megap-megap karena perutnya penuh
air yang membuat perutnya mengembung seperti bangkai anjing tenggelam.
Hun bwee
menangkap kedua kaki Siauw Lek kemudian memutar-mutar tubuh laki-laki itu
bagaikan kitiran angin cepatnya. Pada saat itu pula dari mulut Siauw Lek
menyembur air sehingga pemandangan itu amat aneh. Seolah-olah Hun Bwee yang
berpakaian merah itu sedang bermain sulap, atau seorang penari memperlihatkan
tariannya, akan tetapi yang diputar-putar bukannya selendang melainkan tubuh
orang yang ujungnya menyembur-nyemburkan air!
"Auggghhh...
Bunuhlah aku... Bunuhlah...!" Setelah air diperutnya habis, Siauw Lek
dapat mengeluarkan suara dan minta dibunuh.
Hun Bwee
menghentikan putarannya dan sambil terkekeh-kekeh dia melemparkan tubuh Siauw
Lek ke dekat sebatang pohon, menelikung kedua tangan dan kedua kaki laki-laki
itu ke belakang lantas mengikat kaki tangannya dengan celana Siauw Lek sendiri
yang sudah dirobek oleh Hun Bwee sambil tertawa-tawa.
Dengan
demikian, tubuh Siauw Lek terikat pada batang pohon dan keadaannya sangat
mengerikan. Pakaian atasnya robek-robek bekas cambukan-cambukan sabuk Biauw Eng
tadi, dan sekarang tubuh bawahnya telanjang bulat sebab celananya direnggut Hun
Bwee untuk mengikat kaki tangannya.
Biauw Eng
membuang muka, tidak sudi memandang, akan tetapi diam-diam ia merasa ngeri
mendengar suci-nya terkekeh-kekeh. Hatinya penuh keharuan. Suci-nya itu tidak
normal lagi. Biar pun tidak segila Go-bi Thai-houw, namun dendam sakit hati
membuat suci-nya tidak seperti manusia biasa lagi. Diam-diam dia berjanji di
dalam hatinya untuk kelak membantu suci-nya membalas dendam kepada laki-laki
biadab yang telah merusak kehidupan suci-nya.
"Hi-hi-hik,
kau tukang perkosa wanita, ya? Heh-heh-heh!" Biauw Eng mendengar suci-nya
berkata sambil tertawa-tawa. Kemudian ia mendengar suara Siauw Lek yang
dibencinya.
"Bunuh
saja aku! Bunuhlah aku... ampunkan... bunuh saja!"
"Hi-hi-hik,
enak benar! Ingat, tentu sudah ratusan kali engkau mendengar ucapan itu dari
mulut para gadis yang kau perkosa. Bukankah mereka pun mengeluh dan merintih,
minta kau bunuh saja? Hi-hi-hik-hik, ingatkah engkau, anjing busuk?" Suara
Hun Bwee penuh kebencian, sedangkan pandang matanya membuat Siauw Lek
membelalakkan matanya penuh rasa takut.
"Kau
tunggulah sebentar, Kim-lian Jai-hwa-ong! Hi-hi-hik!" Hun Bwee meloncat
pergi.
"Song-bun
Siu-li... kau... kau kasihanilah aku... bebaskan aku dari tangan keji perempuan
gila itu… Kau bunuhlah aku, Sie Biauw Eng!" Suara Siauw Lek penuh
ketakutan dan agak terisak bercampur tangis.
Akan tetapi
Biauw Eng tidak menoleh, hanya berkata dengan suara dingin, "Aku sudah
menyerahkanmu kepadanya. Pengecut hina, kenangkan saja ratap tangis
wanita-wanita yang menjadi korbanmu!"
Biauw Eng
bergidik penuh muak ketika mendengar suara laki-laki itu benar menangis! Ia
muak dan jijik. Orang yang sekeji-kejinya, yang mendapat julukan Jai-hwa-ong,
yang telah memperkosa dan membunuh entah berapa ribu orang wanita, sekarang
merengek-rengek seperti anak kecil minta mati dan minta ampun!
Tak lama
kemudian Hun Bwee sudah datang kembali tertawa-tawa. Karena tertarik Biauw Eng
menoleh dan melirik. Kiranya suci-nya itu membawa sarang lebah penuh madu dan
kini dia memeras keluar madunya lantas memercikkan madu ke arah tubuh Siauw Lek
di bawah pusar, ke alat kelamin laki-laki itu.
Siauw Lek
merintih-rintih, bukan karena sakit melainkan karena takut. Biauw Eng tak sudi
memandang ke arah Siauw Lek, hanya bertanya, "Suci, apa yang kau lakukan?
Bunuh saja anjing itu!"
"Hi-hik-hik,
jangan kau kasihan kepadanya, Sumoi. Enak sekali kalau dia dibunuh begitu
mudah. Lihat apa yang kubawa ini!"
Tan Hun Bwee
lalu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi dan melihat itu, Siauw Lek
mengeluarkan suara parau saking takutnya. Yang dipegang oleh Hun Bwee ialah
sarang terbuat dari daun kering penuh semut-semut api yang merah dan
besar-besar.
Siauw Lek
menjerit-jerit minta ampun, namun sambil terkekeh Hun Bwee melemparkan sarang
semut api itu ke bagian tubuh Siauw Lek yang sudah tertutup madu. Tentu saja
semut-semut itu berpesta pora ketika mencium dan merasai madu, lalu merubung
tempat itu dan menggigiti dengan lahapnya.
Siauw Lek
meraung-raung bagaikan babi disembelih dan Biauw Eng membuang muka. Bukan
raungan laki-laki yang ikut membunuh ibunya itu yang membuat ia merasa ngeri,
melainkan suara ketawa Hun Bwee yang bukan seperti suara ketawa manusia lagi!
Siksaan yang
dilakukan oleh Hun Bwee memang hebat sekali. Penderitaan tubuh Siauw Lek luar
biasa mengerikan. Gigitan-gigitan ratusan ekor semut pada alat kelaminnya itu
membuat seluruh tubuhnya terasa gatal dan sakit, semua bulu di tubuhnya
berdiri, bahkan rambut kepalanya sampai berdiri satu-satu saking hebatnya rasa
nyeri yang dideritanya.
Perasaan
nyeri yang terlalu hebat akan membuatnya pingsan. Akan tetapi rasa nyeri oleh
gigitan semut tidak membuatnya pingsan, melainkan menyengat-nyengat seluruh
tubuh dan menggetarkan urat syarafnya!
Tiba-tiba
dia menjerit lebih menyayat hati lagi saat Hun Bwee memoles mukanya dengan madu
lalu melempar segenggam semut merah ke mukanya. Suara meraung-raung yang amat
keras itu sampai membuat kerongkongan Siauw Lek seperti pecah, suaranya serak
dan makin lama raungannya makin lemah.
Biauw Eng
bergidik dan berkata, "Suci, sudahilah saja. Aku muak!"
"Heh-heh-hi-hik!
Ha-ha-ha! Rasakan kau sekarang, laki-laki keparat! Rasakan sekarang! Enak, ya?
Hi-hi-hik-hik, rasakan pembalasan Tan Hun Bwee kau, Keng Hong!" Dan Hun
Bwee tersedu-sedu menangis!
Biauw Eng
tersentak kaget laksana disambar halilintar. Tidak salahkah pendengarannya?
Suci-nya menyebut nama Keng Hong! Ia cepat-cepat menengok dan kagetlah ia
melihat suci-nya yang tadi ia dengar tersedu itu meringkuk pingsan tak jauh
dari tubuh Siauw Lek yang mengerikan. Anggota kelamin dan muka laki-laki itu
penuh semut merah dan tubuh Siauw Lek berkelojotan, akan tetapi tidak ada suara
keluar dari mulutnya kecuali suara seperti orang mendengkur dari kerongkongannya.
Biauw Eng
kemudian menyambar tubuh Hun Bwee dan membawanya pergi dari sana, merebahkan
tubuh suci-nya yang pingsan ke dalam perahu yang tadi mereka naiki dan
mendayung perahu ke tengah sungai. Perahu meluncur cepat meninggalkan tempat
yang mengerikan itu!
Bagaimanakah
dua orang wanita murid Go-bi Thai-houw itu secara tiba-tiba bisa muncul di
tempat itu hingga manusia sesat Siauw Lek akhirnya menerima hukuman yang begitu
mengerikan?....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment