Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 28
SETELAH Yap
Cong San pergi, Keng Hong segera membuka bajunya dan mengeluarkan semua benda
yang tadi dia rampas atau curi dari kamar pengantin wanita, pusaka-pusaka yang
dahulu dilarikan oleh Cui Im dari tempat persembunyian gurunya. Sebatang pedang
pusaka Hoa-san-pai, sepasang golok emas yang gagangnya ditaburi mutiara, yaitu
benda pusaka dari Kong-thong-pai, sekumpulan benda-benda perhiasan yang dulu
oleh Sin-jiu Kiam-ong dirampas dari tangan Tan-piauwsu dan isterinya, yaitu
benda-benda kepunyaan pembesar yang dikawalnya, juga sebuah kitab kuno dari
Go-bi-pai yang dia rampas dari tangan Go-bi Chit-kwi, karena memang kitab ini
dari Go-bi-pai dicuri oleh Tujuh Iblis Go-bi itu.
Selain
benda-benda dan pusaka milik orang atau partai lain, di sana terdapat pula tujuh
buah kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang ditulis oleh pendekar sakti itu
sendiri, dan sekantung penuh berisi potongan emas dan puluhan butir permata
yang amat indah dan mahal harganya, entah milik siapa.
Hemm,
benda-benda inilah di antara semua benda yang menimbulkan keributan di dunia
kang-ouw, yang membuat gurunya dulu dimusuhi oleh banyak orang kang-ouw, dan
yang kini menjadi tugasnya untuk dia kembalikan kepada pemiliknya yang berhak.
Pertama-tama
ia harus mengembalikan pokiam (pedang pusaka) dari Hoa-san-pai seperti yang
pernah dia janjikan kepada tokoh-tokoh Hoa-san-pai. Sambil tersenyum puas Keng
Hong memandang benda-benda pusaka yang terletak di depan kakinya itu.
Tiba-tiba
saja, secepat kilat ia menyambar benda-benda itu dan beberapa detik kemudian
benda-benda pusaka itu sudah lenyap tersembunyi di dalam saku-saku bajunya
sebelah dalam, sedangkan tubuhnya sudah melompat dan membalik.
Sungguh pun
dia tadi sudah bergerak cepat sekali menyimpan semua benda itu ketika mendengar
suara mencurigakan di sebelah belakang, namun Keng Hong maklum bahwa dia masih
belum cukup cepat untuk menyembunyikan dari mata tiga orang kakek yang
tahu-tahu sudah berada di situ dan berdiri memandangnya. Mereka itu bukan lain
adalah Thian-te Sam-lo-mo!
Tiga orang kakek
ini sebetulnya adalah tiga orang yang usianya amat tinggi, kurang lebih seratus
tahun! Di antara datuk-datuk golongan tua seperti Bu-tek Su-kwi yang kini
tinggal tiga orang, yaitu Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong serta Pat-jiu
Sian-ong, mereka inilah yang paling tua.
Semenjak
dulu mereka dikalahkan oleh Sin-jiu Kiam-ong, sudah puluhan tahun tiga orang
iblis tua ini mengundurkan diri, bertapa dan tidak lagi mencampuri urusan
dunia, karena mereka telah berjanji dan bertaruh dengan Sin-jiu Kiam-ong bahwa
pihak yang kalah akan mengundurkan diri dan tidak akan muncul lagi di dunia
kang-ouw!
Mereka itu
bersembunyi dan bertapa di antara puncak-puncak di Pegunungan Himalaya, selain
untuk memenuhi janji, juga untuk menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi
agar supaya kelak jika perlu mereka akan dapat menebus kekalahan mereka dari
Sin-jiu Kiam-ong! Akan tetapi, mereka lalu mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong
telah meninggal dunia di puncak Kun-lun-san, yaitu Lembah Kiam-kok-san. Berita
ini menggirangkan hati mereka karena mereka kini terbebas dari janji karena
kalah bertaruh, juga mengecewakan karena tidak ada kesempatan lagi untuk
menebus kekalahan!
Tetapi,
ketika tiga orang iblis tua ini menuruni Pegunungan Himalaya dan memasuki dunia
ramai lagi, mereka jadi kehilangan gairah. Melihat tokoh-tokoh besar yang boleh
dijadikan saingan sudah tidak ada, mereka menjadi jemu.
Pula, karena
usia mereka yang sudah tua membuat mereka tidak bersemangat lagi untuk
bermusuhan dan menimbulkan ribut, dan nafsu-nafsu jasmani mereka sudah mulai
lemah, maka ketiga orang ini hanya mencurahkan kesenangan dalam melakukan pibu
melawan orang-orang pandai. Akan tetapi mereka tidak mau sembarangan turun
tangan mencoba kepandaian orang kalau tidak merasa yakin betul bahwa lawannya cukup
berharga untuk mereka tandingi! Watak tiga orang yang sudah terlampau tua ini
seperti kembali menjadi kanak-kanak.
Ketika lewat
di Phu-niu-san dan mendengar tentang Sancu dari gunung itu yang kabarnya lihai,
mereka pun mampir. Akan tetapi setelah bertemu dan mendapat kenyataan bahwa
Sancu dan suheng-nya itu hanyalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga atau
empat saja, mereka memandang rendah dan hanya mau menerima persahabatan Lian Ci
Sengjin dan Sian Ti Sengjin setelah dua orang yang dapat mengenal orang sakti
itu menerima mereka bertiga sebagai tamu-tamu kehormatan.
Apa lagi
pada waktu Thian-te Sam-lo-mo melihat calon isteri Sancu itu. Mereka menjadi
terheran-heran karena dapat menduga bahwa calon pengantin wanita ini adalah
seorang wanita muda yang memiliki kepandaian yang mungkin tidak akan
mengecewakan untuk diajak pibu! Mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu terhormat
sampai tiba saat pesta pernikahan di mana ketiga kakek tua renta ini bertemu
dengan jago muda Siauw-lim-pai Yap Cong San dan pendekar muda yang memiliki
kepandaian hebat, Cia Keng Hong.
Ketika Cui
Im yang marah-marah dan kecewa sekali pergi meninggalkan Phu-niu-san, tiga
orang kakek itu pun cepat-cepat menggunakan kepandaian mereka untuk mengejar.
Akan tetapi mereka kehilangan jejak Cui Im sehingga mereka itu, terutama sekali
orang tertua yang berpakaian jembel, membanting-banting kaki dengan gemas dan
kecewa. Mereka masih merasa penasaran dan belum puas kalau belum menguji
kepandaian wanita muda yang sudah berani menggunakan nama julukan Bu-tek (Tanpa
Tanding) setelah mereka kecewa tidak dapat mengadu ilmu dengan dua orang pemuda
lihai itu.
Tiga orang
itu memang kakak beradik seperguruan. Yang tertua adalah si kakek jembel itu
yang mempunyai watak ugal-ugalan dan suka berkelakar. Dahulu dia berjuluk
Kai-ong Lo-mo (Iblis tua Raja Pengemis) maka sampai sekarang pun pakaiannya
seperti seorang jembel gelandangan!
Orang ke dua
adalah Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastrawan) yang berwatak angkuh dan
menganggap diri sendiri yang paling pandai, baik mengenai ilmu sastra mau pun
ilmu silat! Pakaiannya pun sampai sekarang seperti pakaian seorang sastrawan!
Ada pun
orang ke tiga dahulu berjuluk Thian-to Lo-mo, seorang penganut to-kauw yang
fanatik! Mereka ini setelah tua selalu berkumpul maka terkenal dengan julukan
Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Bumi Langit)!
Oleh karena
penasaran, tiga orang kakek itu melanjutkan pengejaran mereka. Akan tetapi
mereka salah mengambil jalan, bukan Cui Im yang mereka temui, melainkan Keng
Hong. Sejenak mereka terkejut, akan tetapi hati mereka girang sekali. Sekarang
mereka malah bertemu dengan pemuda yang merupakan lawan Ang-kiam Bu-tek!
Keng Hong
maklum bahwa tiga orang kakek ini amat lihai, dan biar pun dia tidak gentar,
akan tetapi tidak ingin menanam bibit permusuhan baru dengan tokoh-tokoh datuk
hitam ini. Maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,
"Ahhh,
ternyata Sam-wi Locianpwe yang datang. Saya kagum sekali dengan kepandaian
Sam-wi Locianpwe dan perkenankan saya yang muda menyatakan hormat dan
kagum!"
Sejenak
ketiga orang kakek itu saling pandang. Si sastrawan hanya tersenyum, si tosu
juga menyeringai akan tetapi si kakek jembel tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha!
Engkau ini orang muda sungguh mempunyai banyak bakat! Bakatmu yang pertama,
engkau tampan sopan santun dan pandai ilmu silat dan bakatmu ke dua engkau
pandai bermulut manis, dan bakatmu ke tiga engkau pandai menjadi pencuri.
Ha-ha-ha!"
"Locianpwe,
saya bukan pencuri!" Keng Hong membantah.
"Ha-ha-heh-heh-heh,
dia bukan pencuri katanya! Ha-ha-ha! Orang muda, apakah engkau mengira kami
tiga orang kakek sudah pikun dan lamur? Engkau mencuri benda-benda berharga
dari dalam kamar mempelai wanita. Mencuri pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu
Kiam-ong! Engkau masih tak mau mengaku? Kami tadi sempat mengenal pedang pusaka
Hoa-san-pai dan sepasang golok emas Kong-thong-pai! Bahkan kami sudah lama tahu
bahwa benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong itu disimpan oleh si
mempelai wanita. Ha-ha-ha, dan sekarang kami akan mengambilnya darimu!"
Keng Hong
mengangguk-angguk. Di mana-mana, tokoh kaum sesat ini sama saja, tidak lain
hanyalah orang-orang yang diperhamba nafsu menginginkan benda lain orang, meski
pun sudah setua mereka itu!
"Sam-wi
Locianpwe, kalau sudah tahu mengapa tidak mendahului saya mencurinya dari kamar
mempelai?"
"Bocah
lancang, tutup mulutmu!" Mendadak kakek berpakaian sastrawan Bun-ong Lo-mo
membentak sambil melangkah maju. Dua matanya mendelik dan kepalanya dikedikkan
ke belakang, dadanya membusung. "Kau lihat baik-baik, siapakah kami?
Lancang mulutmu menuduh kami pencuri! Apa kau sangka kami ini hanyalah golongan
maling-maling kecil seperti engkau yang secara pengecut mengambil barang milik
orang lain di luar tahunya si pemilik? Puluhan tahun lamanya, kalau kami
menghendaki sesuatu, kami ambil saja, dan pemiliknya yang melihat di depan
hidungnya akan dapat berbuat apakah?"
Keng Hong
terkejut. Benar-benar aneh kakek sastrawan ini. Marah disangka maling, akan
tetapi dengan bangga mengaku bahwa bila menghendaki barang, mereka mengambilnya
begitu saja dari depan hidung pemiliknya alias merampok!
"Maaf,
saya tidak menuduh Sam-wi Locianpwe, tetapi hanya penasaran Sam-wi menuduh saya
pencuri. Memang saya mengambil benda-benda itu dari kamar mempelai wanita, akan
tetapi saya hanya mengambil barang yang menjadi hak saya karena lima enam tahun
yang lalu barang-barang itu dicuri oleh Bhe Cui Im dari tangan saya."
"Nah-nah,
tambah satu lagi bakatmu, bakat membohong! Barang itu adalah peninggalan
Sin-jiu Kiam-ong, bagaimana kau bisa mengatakan berhak atas pusaka itu?"
Keng Hong
tidak perlu menyembunyikan keadaan dirinya lagi. "Memang berhak, karena
Sin-jiu Kiam-ong adalah guruku."
"Siancai...!"
Engkau murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong?" Sekarang kakek tosu itu bertanya
sambil merangkap kedua tangan penuh keheranan.
"Benar,
Locianpwe."
"Phuuuahhh!
Gurunya maling besar, muridnya pun maling kecil!" Si sastrawan mengejek,
mukanya membayangkan hati yang muak.
Akan tetapi
kakek jembel berjingkrak sambil bertepuk-tepuk tangan. "Ha-ha-ha-heh-heh,
lucunya... ha-ha-ha, lucunya! Sie Cun Hong hidup lagi! Ha-ha-ha-ha, persis
sekali! Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong hidup lagi di dalam diri muridnya.
Sama-sama tampan dengan sepasang mata yang genit dan tentu akan dapat
menjatuhkan hati setiap orang wanita! Dengan lidah yang pandai bergoyang,
pandai berbicara dengan sikap lemah-lembut dan halus, pandai menanam tebu di
bibir dan pandai membujuk rayu, ditambah lagi pandai mencuri dan membohong!
Ha-ha-ha, lucunya!"
"Bocah,
siapa namamu?" Si sastrawan bertanya.
"Nama
saya Cia Keng Hong, Locianpwe."
"Cia
Keng Hong?! Ha-ha-ha-ha, pakai huruf Hong pula, sama dengan gurunya, Sie Cun
Hong! Wah-wah, huruf Hong yang dipakai guru dan murid ini entah berarti apa?
Kalau Hong lebah, pantas karena memang Sie Cun Hong seperti seekor lebah yang
suka sekali mengejar bunga untuk dihisap madunya sampai habis kemudian
ditinggalkan begitu saja! Kalau Hong, burung Hong, memang tepat karena guru dan
murid ini sama-sama tampan dan angkuh seperti burung hong yang pandai berlagak.
Kalau Hong angin, tentulah angin busuk…"
"Alias
kentut!" Kakek jembel menyambung ucapan kakek sastrawan sambil
tertawa-tawa. "Pandai bicara namun kosong dan hanya membohong atau menipu,
apa bedanya dengan kentut?"
Keng Hong
merasa panas juga perutnya mendengar gurunya yang sudah mati diejek dan
dipermainkan namanya, maka dia cepat berkata, "Sam-wi Locianpwe! Kapankah
guruku membohong dan menipu Sam-wi? Menuduh orang tanpa bukti berarti fitnah
dan fitnah hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa pengecut dan
curang serta berwatak hina!"
"Siancai…!
Engkau memang membohong atau menipu apa bila mengatakan bahwa kau berhak atas
benda-benda pusaka itu, Cia Keng Hong." Kini si kakek tosu mencela
"Baik engkau mau pun Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong tidak berhak atas
benda-benda pusaka itu!"
"Saya
membenarkan akan hal itu, Locianpwe. Memang tidak berhak memiliki, akan tetapi
berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan kemudian mengembalikan semua pusaka
ini kepada pemiliknya masing-masing untuk menebus kesalahan yang dulu dilakukan
oleh mendiang suhu terhadap mereka."
"Wah-wah-wah,
tidak benar! Jika kau mengembalikan pusaka-pusaka itu, apakah jenazah gurumu
tidak akan berbalik di dalam kuburnya? Apakah arwahnya tak akan turun mencari
dan mencekikmu? Dia susah payah merampas dan mencuri, engkau menjadi muridnya
malah hendak mengembalikan pusaka-pusaka itu. Benar-benar murid yang puthauw
(tak berbakti)!"
"Hemm,
apa pendapat Locianpwe sebagai seorang sastrawan tentang hauw
(kebakitan)?" Keng Hong bertanya dengan rasa penasaran kepada kakek
sastrawan yang memakinya sebagai puthauw, yang lebih rendah dari pada kalau
dimaki penjahat!
Seorang
penjahat sekali pun, kalau masih mempunyai kebaktian, akan mudah dimaafkan
kejahatannya. Sebaliknya seorang puthauw diangggap manusia serendah-rendahnya
dan tidak akan dipercaya oleh siapa pun juga!
"Ha-ha-ha,
bocah yang baru lahir kemarin sore seperti engkau hendak berdebat tentang hauw
dengan aku?" Bun-ong Lo-mo mengejek. "Mengabdi terhadap negara,
itulah hauw! Kalau sebaliknya dari pada itu adalah puthauw!"
"Hanya
sebegitu. Locianpwe? Alangkah dangkal dan sederhananya. Dan memang tidak
mengherankan, segala sesuatu di dunia ini tergantung manusianya, sehingga
pelajaran dan filsafat mengenai hidup dan segala lika-likunya sekali pun
ditafsirkan menurut selera dan kebenaran masing-masing. Locianpwe, saya tak
peduli disebut putahauw atau tidak, akan tetapi bagi saya, yang penting adalah
kebenaran. Biar pun perbuatan itu dilakukan oleh musuh guru atau orang tua
saya, kalau perbuatan itu saya anggap benar, tidak akan saya tentang.
Sebaliknya kalau ada perbuatan yang dilakukan guru saya itu saya anggap tidak
benar, tentu takkan saya turut dan malah akan saya tentang. Menentang perbuatan
keliru dari orang tua atau guru kuanggap bukan sikap yang puthauw, Locianpwe,
karena yang ditentang bukanlah orangnya tetapi perbuatannya! Guru yang
melakukan perbuatan tidak benar, sama halnya dengan tersesat jalan memasuki
rawa berlumpur. Bila muridnya membenarkan kesesatannya, sama saja dengan si
murid mendorong punggung gurunya dari belakang sehingga si guru menjadi semakin
jauh tersesat ke dalam lumpur. Inikah yang Locianpwe anggap sebagai hauw?"
Merah wajah
kakek sastrawan itu. "Bocah she Cia, engkau manusia yang sombong dan besar
kepala! Mari kita berdebat tentang..."
"Ha-ha-ha-ha-ha,
perlu apa melayani dia berdebat? Engkau akan kalah, Sute, seperti juga dulu
ketika berdebat dengan Sie Cun Hong. Memang bocah ini agaknya telah dilatih dan
mewarisi kepandaian Sin-jiu Kiam-ong dalam soal berdebat dan bersilat
lidah!" Si jembel memotong dan meloncat ke depan, menghadapi Keng Hong,
memandang penuh selidik dengan wajah berseri-seri kemudian berkata, "Cia
Keng Hong, kami tiga orang tua sudah bosan untuk merampok, bosan untuk
bermusuhan namun makin gemar untuk mengadu ilmu! Dahulu, puluhan tahun yang
lalu sebelum engkau dapat menangkis, entah masih menjadi apa, kami pernah
bertanding mengadu ilmu dengan Sin-jiu Kiam-ong dan disertai taruhan. Kami
kalah dan kami memenuhi janji dalam taruhan itu. Sekarang kami bertemu
muridnya. Kebetulan sekali. Kami mengulangi peristiwa puluhan tahun yang lalu
dan kami menantangmu untuk menguji kepandaian sambil bertaruh!"
"Saya
tidak berniat mengadu ilmu dengan Sam-wi, juga saya bukan seorang penjudi yang
biasa bertaruhan."
"Itu
tandanya engkau pengecut, engkau takut dan engkau sama sekali tidak menghargai
kesenangan orang yang sudah menjadi gurumu! Jika betul sedemikian rendahnya
engkau memandang gurumu, biar pun kami pernah dikalahkan hingga terpaksa
menyembunyikan diri sampai puluhan tahun, biarlah hari ini kami mewakili gurumu
untuk menghajarmu dan mengirimmu ke akhirat supaya di sana gurumu sendiri akan
dapat memberi hukuman kepadamu!" Suara si kakek jembel kini berubah, tidak
ramah dan ugal-ugalan seperti tadi, melainkan serius sekali dan senyumnya
lenyap dari wajahnya.
Keng Hong
terkejut sekali dan merasa bahwa kalau dia menolak terus, tentu akan terjadi
ribut dan dia pun mulai dapat menangkap maksud dari tiga orang kakek ini
tentang sikap gurunya yang agaknya mereka kenal baik di waktu mudanya.
"Baiklah,
jika Sam-wi mendesak, saya menerima tantangan Sam-wi untuk mengadu ilmu.
Tentang taruhan itu… apakah yang Sam-wi maksudkan? Saya belum pernah
bertaruhan, maka tidak mengerti…"
Berseri
kembali wajah si kakek jembel. "Bagus... bagus...! Nah, begitu baru murid
baik namanya! Kita melakukan pibu (mengadu ilmu silat). Kalau engkau kalah,
pusaka-pusaka yang kau curi dari mempelai wanita tadi harus kau serahkan kepada
kami!"
"Hemmm…
ternyata pada dasarnya Sam-wi memang menginginkan pusaka-pusaka ini!" Keng
Hong berkata dengan suara mengejek dan mencela. "Dari pada harus memakai
jalan berputaran dan sungkan-sungkan, mengapa tidak terang-terangan merampas
saja dari saya kalau bisa?"
"Wah,
alangkah sombongnya monyet cilik ini!" Si kakek sastrawan menuding.
"Cia Keng Hong simpanlah lidahmu yang tajam berbisa itu!"
Akan tetapi
Kai-ong Lo-mo tertawa bergelak. "Cia Keng Hong, kami kakek-kakek tua renta
sama sekali tidak menginginkan pusaka-pusaka itu. Segala macam pedang dan
golok, segala macam emas intan, segala macam kitab-kitab lapuk, bagi kami untuk
apakah? Kami tidak perlu menggunakan pedang dan golok, kami tak butuh harta
benda, dan kami pun tidak memiliki banyak waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu
baru. Engkau benar-benar tolol. Kami mempertaruhkan pusaka-pusaka itu agar
kalau engkau kalah, engkau dapat menggembleng diri lagi dan mencari kami untuk
mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu. Bukankah ini baik sekali untukmu? Atau
engkau lebih suka kalau kami mempertaruhkan kepalamu atau nyawamu?"
Keng Hong
baru sadar dan diam-diam dia memuji tiga orang kakek ini. Dengan taruhan
pusaka, memang kalau dia yang kalah, kelak kakek itu akan dapat terus menikmati
pibu dengannya yang tentu akan menggembleng diri sampai dapat mengatasi
kakek-kakek itu. Mengingat ini, dia harus mengalahkan Sam-lo-mo ini, maka dia
menjawab,
"Maafkan
dugaan saya yang ternyata keliru. Baiklah, saya menerima tantangan Sam-wi untuk
berpibu dengan taruhan pusaka-pusaka ini. Akan tetapi, Sam-wi Locianpwe adalah
tiga orang tokoh besar yang namanya sudah menjulang tinggi ke langit selama
puluhan tahun, sedangkan saya hanyalah orang yang baru saja berkecimpung di
dunia persilatan. Bukankah amat janggal dan lucu, juga amat tidak adil dan akan
menjadi bahan tertawaan orang gagah di seluruh dunia apa bila tiga orang tokoh
besar dan tua seperti Sam-wi mengeroyok seorang hijau seperti saya?"
Tusukan
kata-kata yang dilakukan Keng Hong ini benar-benar mengenai sasaran. Tiga orang
kakek itu menjadi merah mukanya, saling pandang, kemudian si kakek sastrawan
membentak, "Cia Keng Hong, engkau memang sombong! Apa kau kira kami perlu
maju bertiga hanya untuk menandingi seorang bocah macam engkau?"
Diam-diam
Keng Hong menjadi girang. Walau pun mereka itu masing-masing merupakan lawan
yang berat, akan tetapi kalau maju seorang demi seorang, agaknya dia akan dapat
mengimbangi mereka. Kalau maju bertiga, benar-benar sangat berbahaya. Cepat dia
lalu mengeluarkan semua benda pusaka yang tadi dia periksa, dan dia letakkan di
atas sapu tangan yang dia bentangkan di atas tanah.
"Nah,
inilah taruhannya. Kalau aku Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong, sampai
kalah bertanding melawan salah seorang di antara Sam-wi, biarlah untuk
sementara pusaka ini kutitipkan pada Sam-wi hingga aku mengambilnya kembali
dengan mengalahkan Sam-wi. Akan tetapi kalau sekarang ini tidak ada seorang pun
dari Sam-wi dapat mengalahkan aku, pusaka itu akan kubawa pergi dan Sam-wi
tidak akan mengangguku lagi."
"Baik,
baik... Biarlah pinto mencobamu lebih dahulu!" kata kakek yang berpakaian
dan bersikap seperti pendeta.
"Silakan,
Locianpwe." Keng Hong meloncat ke belakang dan bersiap-siap.
Melihat
kakek tua renta berpakaian pendeta ini tidak mengeluarkan senjata, Keng Hong
juga akan menghadapinya dengan tangan kosong. Diam-diam dia bersikap waspada
dan memandang penuh perhatian.
Dahulu dia
sudah membaca tulisan-tulisan suhu-nya tentang inti dari ilmu-ilmu silat tinggi
hampir seluruh partai persilatan dan pelbagai aliran. Pengertian tentang silat
dan dasar ilmu-ilmu silat ini sangat penting karena kalau dia sudah mengenal
dasar ilmu silat lawan, tentu akan lebih mudah menghadapi dan mengatasinya.
"Cia
Keng Hong, jagalah serangan pinto!" kakek tua renta berpakaian tosu itu
berkata dan tiba-tiba saja tubuhnya membuat gerakan menyerang dari bawah!
Tubuh kakek
itu merendah seperti orang berjongkok, akan tetapi kedua kakinya bergerak cepat
sekali dan tangan kirinya yang menyambar ke atas menuju ke pusar Keng Hong
mendorong hawa yang amat panas dan angin yang menyambar itu mengeluarkan bunyi menguik!
Keng Hong
cepat menggerakkan kakinya mengelak ke kiri dan ketika secara aneh sekali tubuh
yang memasang kuda-kuda jongkok itu telah mengejar elakannya dengan pukulan
susulan tangan kanan, Keng Hong terkejut dan melompat mundur untuk menghindar.
Akan tetapi
kembali dengan tubuh masih berjongkok, kakek itu tiba-tiba juga meloncat,
posisi kedua kakinya masih ditekuk rendah. Begitu tubuh kakek itu hinggap pada
tanah di depan Keng Hong, kaki kirinya mencuat lantas menendang ke depan. Dan
seperti juga pukulannya, tendangan ini mengandung tenaga sinkang yang amat
kuat, disusul dengan dorongan-dorongan kedua tangan bertubi-tubi yang memaksa
Keng Hong menggunakan ginkang-nya untuk berloncatan ke sana ke mari dalam
keadaan terdesak.
Ia masih
bingung karena dia tidak mengerti dasar ilmu silat kakek ini! Amat aneh gerakan
itu, seperti seekor ular merayap kadang-kadang menggeliat, lalu menyerang dari
samping bagai ular menyabetkan ekornya, ada kalanya meluncur ke depan seperti
ular menyerang dengan giginya.
Karena
kedudukan tubuh kakek yang selalu bergerak di bawah itu, membuat Keng Hong agak
sulit untuk membalas serangan lawan. Apa lagi karena serangan-serangan Thian-te
Sam-lo-mo ini sama sekali tak boleh disamakan dengan penyerangan lawan-lawan
biasa.
Setiap
serangan Thian-te Sam-lo-mo ini mengandung tenaga sinkang yang amat kuat dan
yang hanya dapat dihadapi dengan pengerahan tenaga sinkang pula karena kalau
tidak, baru angin pukulannya saja sudah cukup merobohkan lawan.
Setelah
terdesak hebat sampai tiga puluhan jurus dan hanya mengandalkan kelincahan
gerakannya untuk menghadapi penyerangan dari bawah yang amat berbahaya itu
sambil memperhatikan, akhirnya Keng Hong mulai dapat menilai dasar dari ilmu
silat aneh yang dimainkan oleh Thian-to Lo-mo.
Apa bila
orang bersilat dan menghadapi lawan secara biasa, wajar saja kalau di samping
menyerang orang ini harus mengerahkan pula sebagian kepandaian dan perhatian
untuk menjaga diri. Karena serangan balasan lawan bisa saja datang dari segala
jurusan, maka yang dijaga adalah seluruh bagian tubuh dari kepala sampai kaki.
Akan tetapi,
dengan cara bersilat seperti yang dilakukan oleh kakek ke tiga dari Thian-te
Sam-lo-mo ini, otomatis kakek itu hanya menjaga tubuh bagian atas saja karena
bagian bawah tidak mungkin diserang. Dengan demikian, tenaga dan perhatian yang
dibutuhkan untuk menjaga diri tidaklah sebanyak kalau orang berdiri, dan
sebagian besar dari tenaga dan perhatian itu dapat dicurahkan untuk
penyerangan!
Di samping
itu, Keng Hong juga mengenal gerakan-gerakan dan jurus-jurus seperti yang
dipakai dalam Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), maka sesudah
mengetahui dasar ilmu silat lawan, mengertilah dia bagaimana harus menghadapi
lawan.
"Locianpwe,
jaga serangan saya!" Tiba-tiba saja Keng Hong berkata dan mulutnya lalu
mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan hutan itu.
"Heiiiiihhhhhh…!"
Tubuh pemuda
ini sudah menerjang maju sambil berputaran sehingga tubuhnya lenyap menjadi
segulungan bayangan putih yang maju perlahan dengan kekuatan dahsyat sekali
yang menyambar ke arah tubuh Thian-to Lo-mo yang setengah berjongkok dengan
kaki kanan dilonjorkan ke depan.
Melihat
datangnya serangan hebat ini dan bagaimana pemuda itu mengakhiri perputaran
tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya rendah-rendah, sedangkan kedua lengannya
membuat gerakan memutar ke depan sehingga ada angin pukulan yang sangat kuat
dan menyerangnya, kakek itu menjadi kaget bukan main.
Dia tidak
tahu bahwa kini pemuda bahwa yang menjadi lawannya ini telah menggunakan jurus Soan-hong
Liap-in (Angin Berpusing Mengejar Awan), yaitu sebuah jurus dari San-in
Kun-hoat yang sebanyak delapan jurus, akan tetapi yang merupakan ilmu silat
yang amat tinggi tingkatnya dari Sin-jiu Kiam-ong.
"Siancai...!"
Thian-to
Lo-mo yang tadinya menangkis dengan tamparan kedua lengannya dan sudah siap
membalas dengan tendangan, menjadi terkejut karena tubuhnya mendadak terbawa
oleh hawa berputar itu yang menariknya ke atas, seakan-akan kedua lengannya
yang menangkis tadi terlibat oleh hawa pukulan lawan yang membetot ke atas.
Karena kaget, dia mengeluarkan seruan itu lantas cepat sekali dia menggulingkan
tubuhnya menjauhi lawan. Sambil bergulingan itu kedua tangannya bergerak dan…
"Wut-wut-wut-wut-wut-wut!"
sinar-sinar hitam menyambar ke arah jalan darah di depan tubuh Keng Hong,
bahkan ada yang menyambar ke arah matanya.
Keng Hong
kagum sekali. Kakek itu tidak bisa terpancing oleh jurusnya Soan-hong Liap-in
dan tidak mau mengubah kedudukannya yang merendahkan tubuh, bahkan bergulingan
dan setiap kali bergulingan, tangannya cepat menjumput tanah dan kerikil yang
terus dia pergunakan sebagai senjata rahasia yang sungguh-sungguh tak kalah
berbahayanya dari pada senjata rahasia runcing dan tajam!
Tentu saja
Keng Hong dapat menghindarkan sambaran ‘senjata rahasia’ itu dengan amat
mudahnya, hanya dengan menyampok tanah dan kerikil itu saja, akan tetapi dia
gagal menyerang lawan. Dan kini, mengikuti senjata rahasianya yang tadi dia
lepaskan sambil bergulingan, tubuh kakek itu sudah bergulingan dekat dan
kembali dia menghujani Keng Hong dengan serangan pukulan-pukulan dan
tendangan-tendangan yang amat dahsyat.
"Aihhhhh!"
Keng Hong berteriak.
Tubuhnya
segera mencelat ke atas, kemudian dia membuat gerakan berjungkir-balik tujuh
kali lalu tubuhnya meluncur ke bawah setelah menukik, dan dengan tenaga yang
sangat dahsyat dia menerjang lawan dari atas laksana seekor burung garuda
menyambar ular! Inilah jurus ke delapan dari San-in Kun-hoat, jurus terakhir yang
disebut In-keng Hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan).
Dahulu,
sebelum dia mendapatkan pusaka-pusaka gurunya dan ilmu silat yang baru dia
dapatkan dari puncak Kiam-kok-san hanyalah San-in Kun-hoat dan ilmu
kepandaiannya itu masih dangkal dan mentah, dengan jurus In-keng Hong-i ini dia
sudah dapat membuat Kiang Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang lihai itu, menjadi
terkejut dan kewalahan. Sekarang, dibandingkan dengan tujuh tahun yang lalu
itu, kepandaiannya telah meningkat hebat dan ilmu silatnya sudah matang. Maka
dapatlah dibayangkan betapa dahsyatnya ketika dia menggunakan jurus terakhir
dari San-in Kun-hoat ini.
"Bukan
main..." Kakek sastrawan terbelalak kagum.
Sungguh pun
kakek ini tahu betapa hebatnya serangan pemuda ini dan bahwa sute-nya terancam
bahaya, namun sedikit pun dia tidak menaruh khawatir. Kalah atau mati sekali
pun bagi ketiga orang kakek yang sudah lanjut usianya ini bukan merupakan hal
yang mengkhawatirkan.
"Heh-heh-heh,
hebat... hebat... kau awaslah terhadap serangan itu, Sute!" Teriak pula si
kakek jembel, bukan karena khawatir melainkan karena girang dan ingin sekali
menikmati dengan pandang matanya bagaimana kakek berpakaian pendeta yang
menjadi sute-nya itu akan menyambut serangan dahsyat dari jurus aneh itu.
Tubuh Keng
Hong meluncur ke arah Thian-to Lo-mo yang masih memasang kuda-kuda dengan tubuh
rendah sehingga terpaksa kakek ini mengangkat muka untuk dapat melihat
datangnya serangan dari atas. Tadinya, tubuh Keng Hong menukik seperti seekor
naga, kepala dan kedua tangan di depan, kaki di belakang. Akan tetapi setelah
dekat, tiba-tiba saja dia melakukan gerakan jungkir-balik dan sekali membalik
dia telah menyerang lawan dengan kedua tangan dan kaki secara bertubi-tubi.
Dengan
kecepatan yang luar biasa, kedua kakinya susul-menyusul melakukan tendangan ke
arah belakang telinga dan tenggorokan lawan, kemudian kedua tangannya siap
untuk memukul dada dan menampar ubun-ubun! Semua gerakan ini dilakukan dengan
cepat dan juga dengan tenaga sinkang yang dahsyat sehingga merupakan terjangan
maut yang sukar dihindarkan lawan.
"Hayaaaaa...!"
Thian-to Lo-mo berseru kaget.
Baru hawa
pukulan yang menyambar saja telah membuat kulit tubuhnya yang tak tertutup
pakaian terasa panas dan pandang matanya kabur menyaksikan cepatnya gerakan
kedua kaki Keng Hong. Namun, Thian-to Lo-mo bukanlah tokoh silat sembarang
saja. Ia maklum bahwa kalau dia mengelak secara tadi dengan menggulingkan
tubuh, selain belum tentu mampu menghindarkan kedua tendangan susul-menyusul
itu, tentu dia akan celaka oleh serangan susulan yang dia tahu pasti akan
datang.
Maka dia
cepat-cepat menaikkan tubuhnya dan menerima kedua tendangan itu dengan
tangkisan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaganya dengan maksud agar tubuh
pemuda itu akan terbanting ke samping sehingga selain tidak akan mampu
melanjutkan serangan susulan, juga tentu dia akan dapat menubruk dan membalas.
Memang niat atau akal kakek ini beralasan.
Dia memang
tahu bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang hebat dan belum tentu kalah oleh
kekuatannya sendiri. Namun, betapa pun kuatnya, kalau tubuh lawan itu berada di
udara tentu tidak akan mampu menandingi kekuatannya yang dapat dikerahkan
dengan kedua kaki di atas tanah. Bumi merupakan pusat kekuatan di dalam tubuh
manusia, menjadi landasan pengerahan tenaga.
Akan tetapi,
kakek ini tidak mengenal keanehan dan kelihaian Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang
hanya terdiri dari delapan jurus itu, yang diciptakan oleh Sin-jiu Kiam-ong
dengan dasar gerakan-gerakan ilmu yang tinggi. Ketika Keng Hong melihat
lawannya menangkis, dia tahu bagaimana harus mengembangkan jurusnya. Memang
jurus-jurus ilmu silatnya memiliki perkembangan yang amat banyak, disesuaikan
dengan sikap lawan menghadapi jurus itu.
Tanpa
menghentikan tendangannya, tubuhnya terus menerjang ke bawah. Akan tetapi, pada
saat dia sudah merasakan sambaran angin tangkisan kedua tangan kakek itu yang
mengerahkan tenaga yang amat kuat, secepat kilat Keng Hong menggerakkan kakinya
ke bawah, menarik kembali kedua tendangan susul-menyusul itu akan tetapi
melanjutkan serangan susulan yang kini dapat dia lakukan dengan kedua kaki
menginjak tanah karena ketika memapaki tendangannya tadi, Thian-to Lo-mo sudah
menaikkan tubuhnya.
"Celaka...!"
Thian-to Lo-mo berseru kaget sebab tahu-tahu kepalan tangan kiri Keng Hong
sudah menghantam dadanya dengan kekuatan yang dahsyat sekali!
Namun dia
masih dapat cepat menggerakkan tangan yang tadi luput menangkis pukulan yang
ketika kedua lengan beradu membuat seluruh tubuhnya terasa tergetar dan panas.
Dan pada detik itu, tangan kanan Keng Hong yang terbuka jari-jari tangannya
menampar ke arah ubun-ubun kepalanya dengan kecepatan yang tidak mungkin dapat
ditangkis lagi karena terlalu dekat.
"Habis
aku...!"
Thian-to
Lo-mo melempar tubuhnya ke belakang. Akan tetapi maklum bahwa dia tetap kalah
cepat dan sekali tangan pemuda yang amat lihai ini mengenai ubun-ubun kepalanya
biar pun perlahan saja, sudah cukup membuat nyawanya melayang!
Akan tetapi
Keng Hong masih dapat menguasai tangannya. Pemuda ini tentu saja tidak mau
membunuh lawannya. Tentu dia akan menghindarkan pembunuhan selagi dia masih
dapat menguasai diri. Betapa pun juga, dia harus memperlihatkan bahwa dia
menang dalam pertandingan ini, maka tangannya yang menampar ubun-ubun kepala
itu itu dia ubah sedikit.
"Plakkk!"
Bukan
ubun-ubun kepala yang ditampar, melainkan pangkal leher dekat pundak. Namun
cukup membuat Thian-to Lo-mo terbanting dan bergulingan. Napas kakek ini sesak
dan setelah meloncat bangun, kakek ini cepat duduk bersila untuk mengerahkan
sinkang agar tidak terluka di sebelah dalam tubuhnya.
"Hebat
sekali! Cia Keng Hong, sute-ku sudah kalah. Mari kau berilah pelajaran
kepadaku!"
Keng Hong
maklum bahwa kalau dia hendak pergi dengan selamat dan aman membawa
pusaka-pusaka itu, dia harus dapat mengalahkan tiga orang kakek itu. Dia sudah
berhasil mengalahkan seorang di antara mereka dan dia tahu bahwa kakek
sastrawan ini tentu lebih lihai atau paling tidak juga tidak kalah lihai dari
kakek pendeta. Membantah pun tiada guna, maka dia lalu melangkah mundur dan
bersiap saja dengan sikap tenang.
Seperti juga
Thian-to Lo-mo, Bun-ong Lo-mo ini tidak mengeluarkan senjatanya, karena itu
Keng Hong juga menghadapinya dengan tangan kosong. Kalau tidak terpaksa sekali,
tentu dia tidak akan mau mengeluarkan Siang-bhok-kiam.
Bun-ong
Lo-mo berseru, "Haaooowww…!"
Tiba-tiba
tubuhnya telah membentuk kuda-kuda yang kuat dengan kedua kaki disilangkan dan
tubuh tegak lurus. Sepasang matanya memandang Keng Hong, kemudian kedua
tangannya bergerak, jari-jari tangannya terbuka dan kedua tangan itu membuat
gerakan di udara tepat di depan mukanya, gerakan yang tidak karuan dan amat
aneh tidak seperti gerakan memukul atau menangkis, pendeknya bukan gerakan
silat.
Mula-mula
Keng Hong heran melihat ini. Dia tidak mengenal gerakan-gerakan itu, akan
tetapi akhirnya dia mengerti bahwa kakek sastrawan yang merupakan orang ke dua
dari Thian-te Sam-lo-mo ini membuat gerakan-gerakan menulis huruf-huruf besar!
Karena dari tempat dia berdiri huruf-huruf yang dicoret-coret di udara itu
terbalik, maka sukar baginya untuk menduga, huruf-huruf apakah yang sedang
ditulis secara aneh oleh calon lawannya ini!
Bun-ong
Lo-mo terus menggerak-gerakkan kedua tangannya, akan tetapi sekarang yang
dipakai ‘menulis’ di udara itu hanya tinggal jari telunjuknya saja sedangkan
jari yang lain menggenggam. Dua buah jari telunjuk kanan kiri itu masih membuat
gerakan corat-coret di depan mukanya lalu kedua kakinya mulai digeser dan secara
cepat telah tiba di depan Keng Hong.
"Cuuuuuutttttt…!"
Tiba-tiba jari tangan kiri yang tadinya membuat gerakan mencoret ke atas itu
dilanjutkan dengan ‘coretan’ ke bawah menuju ke mata Keng Hong!
Tentu saja
Keng Hong tidak membiarkan mata kanannya dicolok oleh jari telunjuk itu, maka
dia cepat miringkan kepala mengelak. Terasa olehnya betapa angin yang dingin
sekali lewat menyambar mukanya ketika tusukan telunjuk ke matanya yang masih
terus mencorat-coret udara itu mencoret dengan telunjuk ke tenggorokan Keng
Hong. Kembali Keng Hong mengelak.
"Cuuuuuussssss...brettt!"
"Ayaaaaa...!"
Keng Hong
cepat meloncar mundur saking kagetnya melihat betapa ketika dia mengelak tadi,
ujung telunjuk lawan mampir ke baju di pundak dan... kain baju itu bagaikan
disabet pedang yang amat tajam menjadi robek! Kiranya jari telunjuk itu
berbahaya bukan main dan kukunya amat kuat dan tajam seperti pedang!
Sastrawan
tua itu agaknya gembira dengan hasilnya merobek baju Keng Hong. Sekarang
tubuhnya menerjang cepat sekali dengan serangan kedua ujung jari telunjuk.
Keng Hong
maklum bahwa dua buah jari telunjuk itu digunakan sebagai sepasang senjata pit
untuk menotok dan bahkan bisa dipakai untuk menusuk dan membacok menggunakan
kuku. Karena itu dia menjadi hati-hati sekali dan dia pun menggunakan
ginkang-nya untuk mengelak ke sana ke mari. Terpaksa ia harus selalu mengelak
sambil memandang penuh perhatian untuk mempelajari sifat ilmu silat aneh dari
lawannya.
Seperti juga
ilmu silat dari Thian-to Lo-mo tadi, kini ilmu silat Bun-ong Lo-mo benar-benar
hebat luar biasa dan amat aneh. Sukar bagi dia untuk mengenal ilmu silat ini,
akan tetapi setelah lewat belasan jurus dan kadang-kadang meloncat tinggi di
udara sambil meneliti, dia mengerti bahwa dasar ilmu silat yang menggunakan dua
jari telunjuk sebagai senjata penotok dan penusuk ini adalah ilmu
Poan-koan-pit, akan tetapi gerakannya dilakukan dengan coreatan-coretan seperti
menulis huruf. Justru gerakan inilah yang amat lihai dan membingungkan lawan.
Gerakan corat-coret huruf ini menyembunyikan gerakan inti yang merupakan
serangan!
Setelah
maklum dengan sifat ilmu silat lawan, Keng Hong mengerti bahwa menggunakan
San-in Kun-hoat tidak akan menguntungkan. Sesuai dengan nama dan sifatnya, ilmu
silat San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) banyak mempergunakan serangan
dari atas, seperti jalannya awan yang setiap saat bergerak di puncak
Kiam-kok-san.
Ada pun ilmu
silat Bun-ong Lo-mo justru menggunakan coretan-coretan ke udara, maka sangat
berbahaya apa bila dia menggunakan ilmu silatnya yang hebat, yang dia temukan
di tempat rahasia gurunya, ilmu satu-satunya yang tidak dicuri Cui Im di
samping ilmu penggunaan tenaga sinkang yang dia dapat secara mukjijat ketika
gurunya mengoperkan sinkang kepadanya, yaitu Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun.
"Wah-wah-wah,
bocah ini bukan main hebatnya! Dia tidak kalah oleh mendiang gurunya!"
Kakek jembel bertepuk-tepuk tangan dengan girangnya pada saat menyaksikan
sute-nya bersama pemuda itu sudah mulai bergebrak, saling serang dengan gerakan
yang kuat dan cepat sekali. Tubuh keduanya sampai lenyap sehingga yang tampak
hanya bayangan mereka bergerak ke kanan kiri.
Memang kakek
sastrawan itu hebat sekali. Di samping memiliki sinkang yang kuat serta ginkang
yang membuat tubuhnya bagaikan tidak menginjak tanah, juga gerakan kedua tangan
yang selalu mencorat-coret itu amat berbahaya.
Namun Keng
Hong bergerak dengan tenang. Tangannya bergerak membentuk lingkaran-lingkaran
yang selain dapat memunahkan semua serangan lawan, juga dapat membalas dengan
pukulan-pukulan yang tidak kalah hebatnya dari pada serangan lawan.
Seratus
jurus telah lewat dan Keng Hong merasa khawatir. Menghadapi kakek ini saja
begini sukar mencapai kemenangan, apa lagi kalau si jembel tua itu yang maju
tentu lebih hebat lagi kepandaiannya dan lebih sukar baginya untuk mencapai
kemenangan.
Sejak tadi,
semenjak bajunya robek oleh serempetan kuku jari telunjuk, Keng Hong selalu
menjaga agar jangan sampai tubuhnya terkena sepasang telunjuk lawan. Inilah
sebabnya kenapa sampai lama dia masih belum mampu juga mencapai kemenangan.
Akibat terlalu berhati-hati maka dia lebih memusatkan perhatian pada pertahanan
dan hanya membalas serangan lawan kalau tiba kesempatan dan ada lubang saja.
Padahal,
sifat ilmu silat lawan itu lebih mengutamakan penyerangan dari pada bertahan,
sehingga kini kehatian-hatian Keng Hong dipergunakan secara baik oleh Bun-ong
Lo-mo. Dia terus mendesak dengan gerakan cepat sekali sambil membuat
coretan-coretan yang sangat membingungkan lawan sungguh pun Keng Hong tetap
tenang.
Setelah
memutar otak dan mengetahui kelemahannya, tiba-tiba Keng Hong berseru keras
ketika untuk ke sekian kalinya jari telunjuk kiri lawan menusuk ke arah mata
dan telunjuk kanan menotok jalan darah di dekat iga. Keng Hong mengangkat
tangan, lalu menangkis tusukan ke arah matanya dan membiarkan saja telunjuk
kanan lawan yang menotok iga.
Keng Hong
sudah memperhitungkan dengan seksama, maka dia sengaja memperlambat gerakannya
sehingga tak kentara bahwa dia memang membiarkan iganya terkena totokan itu.
Akan tetapi diam-diam dia sudah mempergunakan Ilmu I-kiong Hoan-hiat, yaitu
ilmu memindahkan jalan darah yang dia pelajari dari kitab curian suhu-nya dari
Siauw-lim-pai yang tadi sudah dia berikan kepada Yap Cong San.
"Cusss...!
Plakkkk!"
Tepat pada
saat telunjuk yang amat keras seperti baja itu mengenai kulit iganya, di mana
jalan darahnya sudah dipindahkan dengan Ilmu I-kiong Hoan-hiat, cepat sekali
tangan kiri Keng Hong menyambar membarengi totokan lawan, dan tangan kiri yang
terbuka itu telah mendorong dada Bun-long Lo-mo.
Tubuh kakek
itu terlempar sampai empat meter jauhnya, lantas terbanting roboh dengan napas
terengah-engah. Akan tetapi cepat dia bangkit bersila untuk mengerahkan sinkang
memulihkan keadaan di tubuhnya yang mengalami gempuran hebat.
"Luar
biasa... ha-ha-ha, baru sekaranglah kami dapat puas! Hebat bukan main kau, Cia
Keng Hong. Bereskan napasmu dulu dan bersiaplah engkau karena sekarang aku
sendiri yang akan menguji kepandaianmu."
Kakek jembel
itu meloncat maju dan berhadapan dengan Keng Hong yang masih berdiri dan
memejamkan mata untuk mengatur pernapasannya, karena biar pun dia tadi sudah
memindahkan jalan darah sehingga yang terkena totokan hanyalah tempat yang
kosong, akan tetapi kulit dagingnya terasa nyeri, tulang iga linu dan rongga
dadanya tergetar oleh hawa pukulan yang amat kuat tadi.
Namun hanya
sebentar saja pemuda perkasa ini sudah mampu memulihkan keadaannya dan dia kini
menghadapi Kai-ong Lo-mo dengan sikap tenang dan waspada. Ujian ini tiba pada
puncak dan batas akhirnya, karena dia mengerti bahwa kakek jembel yang menjadi
orang pertama dari Thian-te Sam-lo-mo ini tentu mempunyai ilmu kepandaian yang
amat tinggi.
"Locianpwe,
apakah Locianpwe bertiga masih belum cukup menggangguku?" Keng Hong
bertanya.
Kai-ong
tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, bocah bodoh! Engkau seorang tokoh muda
yang luar biasa, mengapa menganggap kami mengganggu? Pertandingan ini amat
berguna, tidak saja bagi pengalaman kami, akan tetapi juga bagimu sendiri.
Kelak kau justru akan berterima kasih kepada kami. Hebat memang kepandaianmu,
engkau patut menjadi murid Sie Cun Hong. Aku sudah menyaksikan kepandaianmu
silat tangan kosong yang hebat, sekarang aku ingin sekali menyaksikan
kepandaianmu menggunakan senjata! Keluarkan senjatamu, Cia Keng Hong!"
Keng Hong
menggeleng kepala. "Aku tidak memusuhi Sam-wi Locianpwe, kenapa harus
menggunakan senjata? Senjata tak bermata, sekali salah tangan aku bisa
mendatangkan bencana."
Kakek itu
tertawa. "Ha-ha-ha, hendak kulihat apakah engkau berani menghadapi Kai-ong
Lo-mo tanpa senjata!" Sambil tertwa-tawa kakek itu menerjang ke depan,
tangan kirinya menampar ke arah pelipis Keng Hong.
"Syuuuuuuttt...
Cettt!"
"Ihhhhh!"
Keng Hong berteriak kaget.
Ketika dia
mengelakkan tamparan itu dengan menggerakkan tubuh atasnya ke belakang sehingga
tangan kakek itu menyambar lewat tanpa mengenai sasaran, tiba-tiba saja ujung
lengan baju kakek itu menyambar ke arah pundaknya dengan kecepatan yang sangat
hebat. Hanya dengan menjatuhkan diri ke belakang saja Keng Hong bisa
menyelamatkan pundaknya.
Kiranya
kakek ini selain mempunyai tenaga yang sangat hebat, juga kedua ujung lengan
bajunya yang panjang itu merupakan sepasang senjata yang amat ampuh. Setiap
pukulan tangannya tentu didahului atau diikuti oleh menyambarnya ujung lengan
baju ke depan ke bagian tubuh lawan yang tak dapat disangka-sangka, maka tentu
saja biar pun bertangan kosong, kakek jembel ini sama dengan memegang sepasang
senjata.
Malah lebih
lagi. Kalau dia memegang senjata berati kedua tangannya tidak dapat dipakai
menyerang. Kakek ini kedua tangannya dapat menyerang, dan dua senjata istimewa
itu pun dapat menyerang sehingga dia seolah-olah mempunyai empat buah lengan
tangan!
Ketika kakek
itu terbahak sambil menubruk maju dan kini tangan kanannya mendorong, Keng Hong
sengaja hendak mengakhiri pertandingan ini secepatnya. Maka melihat tangan
kakek itu mendorong, dia langsung menyambut dengan dorongan tangannya pula
sambil mengerahkan sinkang-nya.
"Desssss...!"
Tanpa dapat
ditahan lagi tubuh Keng Hong mencelat sampai lima meter lebih ke belakang
sedangkan kakek jembel itu tertawa-tawa. Keng Hong terkejut dan menyesal
mengapa dia tadi lupa akan ‘senjata’ istimewa kakek itu.
Ketika
menyambut telapak tangan kakek itu dengan telapak tangannya sendiri, tiba-tiba
saja tangan dan lengannya menjadi lumpuh seketika dan ternyata pergelangan
tangannya telah tertotok oleh ujung lengan baju kakek itu. Maka tentu saja dia
tidak dapat menahan sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Untung dia
masih menguasai tubuhnya dan sempat berjungkir-balik sehingga dia tidak sampai
terbanting.
"Ha-ha-ha-ha-ha!
Apakah sekarang engkau masih tidak mau mencabut senjatamu, Keng Hong? Jangan
khawatir, walau pun engkau bersenjata, belum tentu engkau akan dapat menang
dariku!"
Kakek ini
memang tidak senang kalau dia dapat mengalahkan pemuda itu tanpa melalui
pertandingan yang seimbang dan ramai. Jika pemuda itu tidak bersenjata, tentu
dia akan dapat memperolah kemenangan dengan mudah dan hal ini sangat tidak
menyenangkan hatinya!
Keng Hong
maklum bahwa kakek itu memang lihai bukan main. Jika dia tetap memaksa diri
melawan dengan tangan kosong sehingga kalah, bukankah dia akan menyia-nyiakan
semua usahanya mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu? Dan kalau pusaka-pusaka
itu tidak cepat-cepat dikembalikan kepada partai-partai yang berhak, berarti
dia akan selalu dimusuhi orang. Apa lagi kalau sampai terjatuh ke tangan tiga
orang kakek iblis yang lihai ini, sampai kapan dia akan mampu merampasnya
kembali?
Berpikir
demikian, dia segera mencabut Siang-bhok-kiam dan berseru, "Maaf,
Locianpwe! Engkau terlalu mendesak dan memaksaku!"
Tubuhnya
mencelat ke depan, didahului bau yang harum cahaya hijau Siang-bhok-kiam
menyambar ke arah Kai-ong Lo-mo. Kakek ini terkejut bukan main, cepat mengelak
dan kedua ujung lengan bajunya juga bergerak, yang kiri menyampok sinar hijau,
yang kanan membantu tangan kanan menghantam lambung dan perut Keng Hong.
"Brettt!
Plak-plak!"
Kakek itu
sangat terkejut karena ujung lengan bajunya putus disambar Siang-bhok-kiam, ada
pun pukulannya dapat ditangkis oleh Keng Hong dengan pengerahan sinkang yang
membuat tubuh kakek itu tergetar.
"Siang-bhok-kiam...!"
Kakek jembel berteriak dan matanya berkilat.
"Siang-bhok-kiam...!”
Tiba-tiba Bun-ong Lo-mo juga berteriak dan tubuh kakek sastrawan ini pun
menerjang maju, memukul dan mencoba merampas pedang.
"Siang-bhok-kiam...!"
Thian-to Lo-mo juga menerjang sambil mencoba merampas Pedang Kayu Harum.
"Eitttttt...!"
Keng Hong menggerakkan pedangnya membabat ke arah enam buah lengan yang seperti
ular-ular rakus kelaparan hendak merampas pedangnya itu.
Sinar hijau
menyambar dan tiga orang kakek itu cepat menarik kembali lengan mereka. Keng
Hong menggunakan kesempatan ini untuk meloncat mundur dan dia pun menegur
dengan suara nyaring dan marah.
"Apa
pula ini? Apakah sebagai orang-orang gagah yang sangat terkenal Sam-wi hendak
melanggar janji? Tidak malukah hendak mengeroyok saya?"
"Tidak
ada janji!" Teriak kakek jembel. "Kami sudah kalah. Bawalah semua
pusaka itu, kami tidak peduli. Akan tetapi, tinggalkan Siang-bhok-kiam itu
kepadaku!"
"Tidak!
Berikan kepadaku!" teriak Bun-ong Lo-mo, matanya memandang pedang kayu itu
dengan sinar berapi.
"Harus
diberikan kepada pinto!" Thian-to Lo-mo juga berteriak.
Keng Hong
marah sekali. "Apa-apaan ini? Pedang pusaka peninggalan suhu ini diberikan
kepadaku. Mengapa Sam-wi memintanya?"
Tiga orang
itu saling pandang. "Dulu kita berebut pedang itu dengan Sin-jiu Kiam-ong
Sie Cun Hong dan kita kalah. Sekarang pedang itu dibawa muridnya, kita harus
merampas kembali dan kita tak perlu saling berebut. Pedang itu cukup untuk kita
bertiga," kata kakek jembel, kemudian dia memandang Keng Hong dan berkata,
"Orang
muda. Pedang Siang-bhok-kiam itu hanya pedang kayu, apa gunanya bagimu?
Berikanlah kepada kami. Kami amat membutuhkannya."
Keng Hong
mengerutkan keningnya menduga-duga, namun tetap tidak tahu apa gunanya pedang
itu bagi mereka bertiga? Untuk mencari pusaka? Tidak mungkin karena
pusaka-pusaka itu sudah diambilnya dan sekarang bertumpuk di bawah pohon itu,
di atas sapu tangannya. Untuk apakah?
"Sam-wi
membutuhkan pedang kayu untuk apakah?"
"Ketahuilah,
orang muda. Pedang Siang-bhok-kiam memiliki khasiat yang mukjijat untuk
memperpanjang usia manusia! Kayunya mengandung khasiat obat yang dapat menambah
umur sampai puluhan tahun! Kami yang sudah tua renta ini amat
membutuhkannya!"
Keng Hong menjadi
geli. Selain dia tidak percaya, juga dia merasa geli betapa tiga orang kakek
yang tadinya tidak membutuhkan apa-apa itu kini bagaikan orang-orang kelaparan
melihat roti pada saat melihat pedang yang khasiatnya mereka duga bisa
memperpanjang umur mereka!
Sungguh
manusia ini lucu sekali. Ingin sekali berusia sepanjang-panjangnya, jika
mungkin tidak bisa mati! Dan andai kata usia mereka itu benar-benar dapat
diperpanjang sehingga menjadi seperti orang muda lagi, tentu saja akan timbul
pula nafsu-nafsu yang membuat mereka melakukan hal-hal jahat seperti di masa
muda mereka dahulu!
Akan tetapi
Keng Hong tak peduli akan hal itu. Yang membuat dia keberatan memberikan pedang
Siang-bhok-kiam adalah karena pedang itu merupakan peninggalan gurunya dan
mutlak menjadi hak pribadinya!
"Tidak
mungkin dapat saya berikan pedang ini, Sam-wi Locianpwe."
"Kalau
begitu engkau akan kami bunuh dulu!!" Teriak mereka dan seperti orang gila
tiga orang itu menerjang maju.
Baru
memperebutkan pedang saja mereka kini sudah kumat sifat jahat mereka, pikir
Keng Hong. Apa lagi kalau diberi kesempatan memperpanjang usia. Dia cepat
menggerakkan pedangnya menyambut serangan mereka. Ia mainkan Ilmu Pedang
Siang-bhok Kiam-sut dan pedangnya berubah menjadi sinar hijau yang bergulung-gulung
laksana seekor naga hijau mengamuk di angkasa.
Akan tetapi,
tiga orang kakek itu masing-masing telah memiliki ilmu kepandaian yang luar
biasa, kini mereka maju bertiga, tentu saja dalam waktu lima puluh jurus saja
Keng Hong sudah terdesak hebat!
"Serahkan
pedang...!" Tiba-tiba Thian-to Lo-mo menggulingkan tubuh dan mencengkeram
ke arah kedua kakinya!
Keng Hong
terkejut dan meloncat ke atas, akan tetapi dua jari telunjuk Bun-ong Lo-mo
sudah mencegat dengan totokan-totokan kilat yang mengeluarkan bunyi bercuit
nyaring. Kini tiga orang kakek itu benar-benar berusaha untuk membunuhnya dalam
kegairahan hati mereka untuk merampas pedang!
Ia
membabatkan pedangnya ke arah telunjuk kanan Bun-ong Lo-mo, akan tetapi pada
saat itu, pinggangnya kena dipeluk oleh Kai-ong Lo-mo dan tubuhnya ditarik ke
bawah sehingga mereka berdua terjatuh. Ketika Keng Hong dapat melompat bangun
kembali, ternyata tiga buah tangan kakek itu telah mencengkeram pedang
Siang-bhok-kiam dan mereka berempat saling mempertahankan dan hendak membetot
pedang!
"Lepaskan
pedang! Kalau tidak terpaksa kubunuh engkau!" Kakek jembel membentak.
Akan tetapi
Keng Hong tidak ingin kehilangan pedang warisan gurunya! Ia berusaha terus
mempertahankan kemudian secara diam-diam dia mengerahkan sinkang-nya yang
hebat, bersedia untuk melawan sampai titik darah terakhir mempertahankan
Siang-bhok-kiam!
"Bukk…!
Bukk…! Bukk...!"
Melihat Keng
Hong tidak mau melepaskan pedang, tiga buah kepalan tangan langsung
menghantamnya, di leher, punggung dan lambung. Akan tetapi, sekaligus ketiga
tangan kakek itu menempel pada tempat yang dipukul, bahkan sekarang tangan
mereka yang mencengkeram pedang juga ikut melekat! Serentak mereka merasa
betapa hawa sinkang mereka itu menerobos keluar melalui kedua tangan seperti
balon-balon membocor!
Ketiganya
terkejut sekali dan berusaha melepaskan kedua tangan masing-masing. Akan tetapi
karena dalam usaha ini mereka mengerahkan lebih banyak tenaga lagi, maka hawa
sinkang mereka lebih banyak pula membanjir keluar sehingga mereka menjadi
lemas!
"Celaka...
Thi-khi I-beng...!" Si kakek jembel berteriak kaget.
Baru
sekarang dia teringat, juga kedua orang sute-nya. Tadinya mereka tidak
menyangka karena memang ilmu itu dianggap sudah lenyap. Rasa kaget ini membuat
hawa sinkang mereka menerobos lebih hebat.
Keng Hong
yang menerima sinkang itu segera menampungnya pada pusar, namun hawa sinkang
ketiga orang kakek itu benar-benar sangat kuatnya sehingga tubuh pemuda ini
terguncang hebat sampai menggigil. Mukanya merah dan matanya melotot!
"Pergilah...!"
Keng Hong berteriak.
Sebenarnya
semenjak tadi mencoba untuk melepaskan mereka, namun baru kini usaha itu dapat
berhasil. Walau pun dia sudah dapat menguasai tenaga sedot itu, akan tetapi
karena hawa sinkang yang masuk demikian kuatnya, melebihi kekuatannya sendiri,
maka sukarlah dia menguasainya dan setelah ketiga orang kakek itu hampir habis
tenaganya, barulah dia berhasil menggerakkan tubuh mereka mencelat lalu roboh
tak dapat bangun kembali karena sebelum terlempar pun mereka itu sudah sekarat!
Keng Hong juga ikut terguling dan roboh dengan pedang Siang-bhok-kiam masih di
tangan, dan dia pingsan!
Tiba-tiba
sesosok tubuh berkelebat keluar dari balik semak-semak dibarengi ketawanya yang
mengerikan. "Hi-hi-hik-heh-heh-hehhhhh!"
Setelah
berdiri di situ, bayangan itu memandang tiga sosok mayat Thian-te Sam-lo-mo,
lalu memandang tubuh Keng Hong yang pingsan, dan akhirnya memandang tumpukan
pusaka serta pedang Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong, kemudian kembali
tertawa terkekeh-kekeh, kelihatannya gembira sekali. Akan tetapi kalau ada
orang yang melihat bayangan ini, orang ini tidak akan ikut menjadi gembira
seperti dia, melainkan ketakutan dan mungkin tidak bisa lari dan akan
terkencing saking takutnya.
Memang,
nenek ini amat mengerikan, menyeramkan dan menjijikan. Usianya tentu tidak
kalah jauh oleh Thian-te Sam-lo-mo, akan tetapi biar dia sudah amat tua, kulit
mukanya masih berwarna merah sekali, malah terlalu merah seperti berlepotan
darah!
Seluruh
giginya masih lengkap, besar-besar dan meruncing bagai gigi gergaji. Rambutnya
riap-riapan seperti sarang burung yang dirusak angin, kuku tangannya
panjang-panjang melengkung dan runcing. Akan tetapi setua itu, hampir seratus
tahun, pakaiannya terbuat dari sutera hitam yang baru dan tipis, membungkus
tubuhnya dengan ketat hingga terlihat seperti telanjang, sedangkan buah dadanya
luar biasa besarnya.
"Hi-hi-hik!
Dicari setengah mati tidak dapat, tidak dicari malah datang sendiri!
Ha-ha-ha-heh-heh! Thi-khi I-beng tadi benar hebat sekali, sampai tiga ekor
anjing tua bangka itu tidak dapat menahan. Hebat! Tentu di sana kitabnya!"
Nenek itu
cepat memeriksa tumpukan kitab, perhiasan dan senjata, sibuk membalik-balik
semua kitab lalu menyumpah-nyumpah! Sekali bergerak tubuhnya melesat ke dekat
tubuh Keng Hong yang pingsan, menyambar Siang-bhok-kiam, kemudian ia mengayun
pedang itu ke arah leher Keng Hong! Akan tetapi, tiba-tiba ia menahan
sabetannya dan terkekeh lagi.
"Hanya
dia yang punya Thi-khi I-beng! Ho-ho-hi-hi-hik, mungkin dia keras hati seperti
Sie Cun Hong. Akan tetapi hendak kulihat sampai di mana kekerasannya!"
Sambil
tertawa-tawa mengikik nenek ini lantas mengambil sepasang golok emas pusaka
milik Kong-thong-pai dan dengan mudahnya dia menekuk kedua golok emas itu
sampai melengkung sehingga membentuk dua buah kaitan dari emas! Kemudian, masih
sambil terkekeh-kekeh sampai air ludahnya muncrat-muncrat melalui giginya yang
besar-besar, nenek itu lalu menancapkan sepasang kaitan ke arah pundak Keng
Hong.
"Plak-plak-plak...!
Aiiihhhhh!"
Tubuh nenek
itu terhuyung-huyung ke belakang dan sepasang golok yang sudah menjadi
kaitan-kaitan emas itu terlepas dari tangannya. Ternyata hawa sinkang yang
memenuhi tubuh Keng Hong sudah melewati takaran, yaitu hawa sinkang Thian-te
Sam-lo-mo tadi. Karena tidak menemukan jalan keluar, hawa itu masih berputaran
di tubuhnya sehingga ketika pundak itu tersentuh tenaga dari luar, otomatis
tenaga sinkang itu menyambut dan menendang.
Nenek ini
bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo, seorang di antara keempat datuk hitam yang
terkenal disebut Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding). Dia memiliki ilmu
kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, memiliki pengalaman yang amat luas,
maka sesudah hilang kagetnya, dia mengangguk dan memandang ke arah pemuda itu
yang masih pingsan.
Ia mencelat
maju lagi, kini kepalanya digerakkan dan ujung rambutnya melecut ke depan, dua
kali menotok ke arah dua jalan darah Keng Hong pada kedua pundak. Karena ujung
rambut ini merupakan benda lemas, dan memang menjadi keistimewaan Ang-bin
Kwi-bo untuk menggunakan rambutnya di samping kukunya sebagai senjata, maka
jalan darah di kedua pundak itu kena ditotok sehingga tertutup dan hawa sinkang
yang berputaran di tubuhnya itu tidak dapat menembus ke pundak. Setelah
terkekeh girang Ang-bin Kwi-bo kembali menggerakkan sepasang kaitan emas itu
dengan kedua tangannya.
"Cresss!
Cresss!"
Karena
tangan Ang-bin Kwi-bo memang ahli dan tanaganya kuat sekali, dengan mudah saja
kedua kaitan emas itu menancap di daging pundak, terus diputar sehingga dua
buah kaitan itu kini menancap dan mengait kedua tulang pundak Keng Hong!
"Augghhh...!"
Keng Hong bergerak, matanya terbuka dan mulutnya mengeluh. "Aduhhh...
aduhhh..."
Ia mencoba
hendak bangun namun terbanting kembali ketika Ang-bin Kwi-bo menarik ikat
pinggangnya yang ujungnya ditalikan pada dua gagang golok dan mengait kedua
pundak Keng Hong itu. Tentu saja tarikan itu membuat sepasang kaitan itu
mengait dan menarik tulang pundak Keng Hong dan Keng Hong terbanting roboh
sambil mengeluh. Rasa nyeri pada pundaknya bercampur dengan rasa mual yang
timbul oleh gerakan sinkang yang berlebihan di tubuhnya.
"Hah-hah-hah-hi-hi-hik!
Cia Keng Hong, engkau murid Sin-jiu Kiam-ong, masih ingatkah kepadaku?"
Keng Hong
menengok dan tanpa menengok sekali pun dia akan mengenal suara ketawa itu.
"Hemmm..."
Dia hendak bicara, akan tetapi dadanya seperti hendak meledak, perutnya
mengeras dan dia mual sekali, hendak muntah.
Maklumlah
dia bahwa kedua pundaknya sudah dikait dan dia tidak berdaya lagi. Kalau dia
meronta, berarti kedua tulang pundaknya akan patah-patah dan kalau hal ini
terjadi, maka kedua lengannya akan lumpuh tak dapat dia gerakkan lagi!
Karena itu,
soal pundaknya yang terkait dan soal Ang-bin Kwi-bo adalah soal ke dua yang
membutuhkan pemikiran tenang dan mendalam. Lebih dulu dia harus membereskan
soal pertama, yaitu tenaga atau hawa sinkang ketiga orang kakek iblis yang kini
‘pindah’ ke dalam tubuhnya. Maka dia tidak jadi bicara, meramkan matanya dan
mengatur napas, menyedot hawa yang berkeliaran dan berputaran itu ke dalam
pusarnya.
Sambil
terkekeh-kekeh dan memegangi ujung ikat pinggangnya, Ang-bin Kwi-bo kemudian
menghampiri tumpukan pusaka. Dia mengikatkan ujung ikat pinggang pada
pinggangnya, dengan girang dia membungkus pusaka-pusaka itu dengan sapu tangan
dan dia kaitkan pada pundaknya, kemudian menyelipkan Siang-bhok-kiam di pinggang.
Sesudah kembali terkekeh-kekeh lagi saking girang dan puas hatinya, dia pun
berkata kepada Keng Hong.
"Cia
Keng Hong, engkau minta hidup atau mati?"
Pada waktu
itu, Keng Hong sudah berhasil menaklukkan hawa sinkang liar itu dan dia merasa
betapa hawa yang kini berkumpul di pusarnya sangat kuat dan panas. Dia sudah
memperoleh kemajuan dalam waktu singkat, padahal jika melatih diri secara
biasa, untuk mendapatkan tenaga sinkang seperti yang ‘diberikan’ ketiga orang
kakek itu kepadanya, mungkin membutuhkan waktu puluhan tahun!
Mendengar
pertanyaan nenek itu, Keng Hong menjawab dengan tenang. "Ang-bin Kwi-bo,
mati hidupmu sendiri saja engkau tak mampu menguasai, bagaimana engkau akan
dapat menguasai mati hidup orang lain? Mati dan hidup manusia sepenuhnya berada
di tangan Thian!"
"Heh-heh-heh!
Hi-hi-hik! Omongan melantur! Omongan kosong dari orang yang sudah putus
harapan! Lihat, dengan kedua pundakmu terkait, apa bila aku menghendaki, sekali
sendal saja dengan ikat pinggang ini, maka kedua tulang pundakmu akan
patah-patah dan kalau sudah begitu, seorang anak kecil pun akan mampu
membunuhmu karena kau tidak dapat menggerakkan lagi kedua tanganmu. Bukankah hal
ini berarti bahwa kau mati hidup berada di tanganku? Kalau aku menghendaki kau
mati, engkau akan mati, akan tetapi kalau aku menghendaki engkau hidup, mungkin
engkau dapat hidup lebih lama."
Keng Hong
bukanlah orang bodoh. Kalau memang nenek iblis itu menghendaki dia mati, tentu
tidak perlu kedua pundaknya dikait seperti ini. Tadi ketika dia pingsan, apa
sukarnya bagi nenek itu untuk membunuhnya? Akan tetapi nenek itu tak
membunuhnya, melainkan menawannya. Hal ini sudah meyakinkan bahwa nenek itu tak
akan membunuhnya begitu saja!
"Engkau
tersesat, Kwi-bo. Mati hidupku bukan berada di tanganmu, melainkan di tangan
Tuhan, seperti juga mati hidupmu. Kalau Tuhan menghendaki, walau pun keadaan
kita seperti ini, bisa saja engkau yang mati dan aku yang hidup!"
"Tutup
mulutmu yang sombong!" Tiba-tiba saja Ang-bin Kwi-bo membentak dan menarik
sedikit ikat pinggang itu.
Keng Hong
merasa seakan-akan semua urat di tubuhnya dibetot, demikian hebat rasa nyeri
pada tubuhnya sehingga jari-jari kaki tangannya mengkerut, mukanya berkerut dan
peluh sebesar kacang hijau keluar memenuhi mukanya. Namun dia mengeraskan hati
dan tidak mau mengeluh.
"Apa
kehendakmu, Kwi-bo?"
"Katakan,
engkau minta mati atau hidup?"
"Maksudmu
bagaimana? Kalau minta mati bagaimana kalau hidup bagaimana?"
Ang-bin
Kwi-bo menggeget kedua baris giginya sehingga terdengar bunyi berkerot.
"Bedebah,
engkau keras kepala dan sombong seperti Sie Cun Hong! Sudah menghadapi maut
masih bicara besar! Dasar engkau murid seorang yang besar kepala, seorang yang
sejahat-jahatnya di dunia ini, seorang..."
"Cukup,
Kwi-bo! Suhu sudah meninggal dunia, tidak perlu kau maki-maki. Apa pun yang kau
katakan, aku yakin bahwa suhu merupakan seorang yang paling gagah perkasa dan
berbudi mulia di dunia ini!"
"Mulia?
Cuhhh!" Ang-bin Kwi-bo meludah. Ludah kental itu meluncur ke tanah dan
amblas seperti sebutir peluru. "Kau bangun dan duduklah, agar aku dapat
melihat mukamu!"
Keng Hong
menahan rasa nyeri yang membuat pandang matanya berkunang ketika dia bangkit duduk
dan menghadapi nenek itu. Sejenak nenek itu menatap penuh perhatian, kemudian
berkata,
"Hemm…
Memang cocok menjadi murid Sie Cun Hong, gagah dan tampan." Nenek itu
mengangguk-angguk, kemudian melanjutkan, "Sayang jika harus mati dalam
usia muda. Gadis-gadis cantik akan kehilangan seorang penggoda dan pemikat
menarik, hi-hi-hi-hik! Cia Keng Hong, kau berikan ilmu Thi-khi I-beng kepadaku
dan engkau takkan kubunuh!"
"Hemmm,
itukah yang dikehendakinya?" Keng Hong memutar otaknya.
Teringatlah
dia akan Kiu-bwe Toanio yang juga pernah menawannya dan memaksanya mengajarkan
Thi-khi I-beng, akan tetapi kemudian malah hendak menyedot sinkang-nya sampai
habis!
Nenek ini,
Ang-bin Kwi-bo, adalah seorang datuk kaum sesat, yang selain jauh lebih lihai
dari pada Kiu-bwe Toanio, juga jauh lebih kejam, lebih curang dan jahat. Ia
harus dapat bertahan, walau pun sedikit tetap saja ada harapan dapat hidup
setelah terjatuh di tangan nenek iblis ini. Akan tetapi kalau dia ajarkan ilmu
itu, dengan memiliki ilmu itu berarti dia telah membantu nenek ini merajalela
melakukan banyak kejahatan. Tentu nenek ini akan menjadi lebih lihai dan lebih
jahat.
"Aku
tidak pernah mempelajari ilmu yang kau sebut Thi-khi I-beng itu, Kwi-bo.
Bagaimana aku akan dapat memberikan kepadamu?"
Nenek yang
tadinya terkekeh-kekeh itu tiba-tiba seperti serigala, dan sesudah dua kali ia
menggerakkan ikat pinggangnya, Keng Hong mengeluh dan terguling pingsan. Rasa
nyeri tak tertahankan lagi olehnya.
Melihat
pemuda itu pingsan, Ang-bin Kwi-bo menjadi semakin marah dan panas hatinya.
Melihat korbannya pingsan, dia merasa seperti diejek. Kalau pemuda itu sudah
pingsan, apa yang dapat dia lakukan? Menyiksanya pun tiada guna, biar
disayat-sayat tubuh itu, tak akan terasa dan juga dia tidak akan mendapatkan Thi-khi
I-beng!
Keng Hong
siuman. Kedua pundaknya terasa panas dan nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh.
"Cia
Keng Hong! Apakah engkau masih berkeras kepala tidak mau memberikan ilmu itu
kepadaku?" Ang-bin Kwi-bo yang melihat pemuda itu siuman cepat bertanya.
Keng Hong
maklum bahwa kini dia tak perlu lagi berpura-pura. Memang dia tidak pernah
mempelajari Thi-khi I-beng, melainkan memperoleh ilmu itu secara otomatis saat
gurunya memindahkan sinkang ke tubuhnya, kemudian dia dapat menguasai dan
mengendalikan hawa mukjijat itu setelah dia memperdalam ilmunya di tempat
rahasia dalam batu pedang di Kiam-kok-san. Akan tetapi dia kini sudah memiliki
ilmu itu dan agaknya ilmu itulah yang disebut Thi-khi I-beng dan yang selama
ini dikabarkan sudah lenyap dari dunia persilatan.
"Ang-bin
Kwi-bo, andai kata aku memiliki ilmu yang kau sebutkan itu sekali pun, agaknya
tak mungkin dapat kuberikan kepadamu. Engkau adalah seorang tokoh yang jahat
seperti iblis..."
"Sombong!
Kau kira engkau ini orang apa? Kau kira gurumu itu manusia baik-baik? Sin-jiu
Kiam-ong adalah seorang manusia busuk, seorang suami yang tidak setia!"
"Cukup,
Kwi-bo! Mau bunuh boleh bunuh, aku tidak takut mati. Tetapi tidak perlu engkau
menjelek-jelekkan nama baik suhu. Suhu adalah seorang yang mulia, mana bisa
beliau dibandingkan dengan engkau?"
"Sie
Cun Hong, hi-hi-hik-hik. Dengarlah omongan muridmu ini!" Nenek itu
berdongak dan bicara kepada awan di angkasa seolah-olah dia bicara dengan arwah
Sin-jiu Kiam-ong. "Hi-hi-hik, Cia Keng Hong, engkau benar kepala batu.
Kalau tidak disiksa engkau tentu akan berkeras kepala terus. Sekarang kita
kesampingkan dahulu ilmu Thi-khi I-beng! Aku hanya minta kau mengatakan bahwa
Sie Cun Hong gurumu itu adalah seorang manusia cabul. Hayo, katakan!"
"Sin-jiu
Kiam-ong Sie Cun Hong guruku itu adalah seorang lelaki sejati, dan
perempuan-perempuan itulah, termasuk engkau, yang tergila-gila kepadanya!"
Ang-bin
Kwi-bo memelintir ikat pinggang pada kedua telapak tangannya itu. Hawa panas
beracun dari kedua tangannya yang membuat dia terkenal, yaitu Ilmu Ban-tok
Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) menjalar ke dalam ikat pinggang itu,
terus kepada kaitan emas dan memasuki tubuh Keng Hong melalui pundaknya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment