Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 38
Keng Hong
dan Biauw Eng yang melakukan perjalanan sambil menikmati bulan madu, saling
melimpahkan cinta kasih yang mendalam, tak merasakan lagi jauhnya perjalanan.
Bagi dua orang yang seolah-olah merasa bahwa di dunia ini hanya ada mereka
berdua, semua tempat tampak indah menyenangkan.
Baik
bermalam di dalam rumah penginapan, atau di dalam hutan, di padang rumput, di
lembah sungai, bagi mereka tiada bedanya. yang penting adalah merasa belaian
tangan kekasih, merasakan kehadiran pujaan hati dan mereka saling menumpahkan
segala rindu dendam yang sudah bersemi di hati masing-masing semenjak tahunan
yang lalu, saling menyiramkan cinta kasih tak mengenal puas.
Sesuai
dengan nasehat Biauw Eng yang memandang segala sesuatu penuh perhitungan dan
kewaspadaan, Keng Hong dan isterinya tidak langsung mengunjungi Siauw-lim-pai,
hanya melihat dan mendengar dari jauh. Akhirnya dengan hati lega mereka
mendengar bahwa tidak terjadi keributan di Siauw-lim-si, hanya bahwa ketua
Tiong Pek Hosiang yang usianya sudah sangat tua itu mengundurkan diri untuk
bertapa di Ruangan Kesadaran, sedangkan kedudukan ketua telah dipilih Thian Kek
Hwesio.
Mendengar
ini, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi girang sekali. Apa lagi pada waktu
mendengar bahwa sesudah berbulan madu di hutan pohon pek, Cong San dan Yan Cu
telah melanjutkan perjalanannya ke Leng-kok.
"Kalau
begitu, sebaiknya kita kembali saja ke Cin-ling-san, suamiku. Sayang sekali
kalau tempat yang indah itu tidak dipelihara. Mari kita pulang ke sana, dan
kita bangun kembali rumah mendiang ibu tiriku. Kita tinggal di sana untuk
sementara waktu, sambil melihat perkembangannya kelak karena aku tidak suka
tinggal di kota yang ramai. Lebih senang di pegunungan yang sunyi, hanya berdua
denganmu."
Keng Hong
memegang lengan isterinya dan membelai-belainya. "Sesukamulah, Eng-moi.
Mulai sekarang hidupku hanya untuk menuruti kehendakmu, untuk membahagiakanmu, dan
ke mana saja kau kehendaki untuk tinggal, aku setuju."
"Hong-ko,
engkau baik sekali, akan tetapi aku tidak begitu mau menang sendiri. Aku tahu
bila seorang isteri harus ikut dengan suaminya ke mana pun suaminya pergi. Aku
hanya menghendaki kita tinggal di Cin-ling-san yang sunyi itu untuk selama
setahun. Sesudah anak kita lahir, aku menurut saja engkau akan tinggal di
mana."
Keng Hong
mencengkeram lengan isterinya, "Apa...? A... anak kita...?"
Biauw Eng
tersenyum dan mengangguk.
"Tidak
tahukah engkau bahwa aku... aku telah..." Dia tidak melanjutkan
kata-katanya dan menundukkan muka, kedua pipinya menjadi merah sekali.
Keng Hong
terbelalak, baru sekali ini selama hidupnya dia melihat Biauw Eng malu, dan
baru sekali ini pula dia merasa betapa hatinya mengalami kegembiraan yang sukar
untuk dituturkan. Jantungnya seolah-olah membengkak, dadanya mengembang dan dia
merasa seperti seekor burung merak yang mengembangkan bulu-bulunya penuh
kebanggaan.
"Mengandung...?
Biauw Eng isteriku, benarkah itu?"
Biauw Eng
mengangguk dan Keng Hong bersorak seperti anak kecil mendapat hadiah, memeluk
Biauw Eng dengan erat. Akan tetapi tiba-tiba dia melepaskan pelukannya dan
berkata, "Aihhh... aku harus hati-hati... mulai sekarang, tidak boleh lagi
aku memelukmu erat-erat!"
"Mengapa
tidak boleh? Kalau kau kurang kuat memelukku, aku akan mengira bahwa kau telah
bosan denganku."
"Tidak,
tidak, sungguh mati tidak! Aku harus memikirkan anak kita... ha-ha-ha! Anak
kita! Aku akan menjadi ayah! Ho-hooo!" Keng Hong menangkap tubuh
isterinya, dipondongnya dan dia berputar-putar sambil tertawa-tawa.
Berangkatlah
suami isteri yang saling mencinta ini menuju ke Cin-ling-san dan mereka segera
membangun kembali rumah mendiang Tung Sun Nio yang telah dibakar oleh para
bajak anak buah Bhe Cui Im.
Para
penduduk di lereng dan kaki Gunung Cin-ling-san amat menghormati kedua suami
isteri ini, bahkan mereka yang maklum bahwa suami isteri ini adalah sepasang
pendekar yang budiman dan sakti, lalu mendatangi mereka dan menyatakan ingin
tinggal di lereng itu. Mereka merasa aman dan tenteram kalau tinggal di dekat
suami isteri ini.
Tentu saja
Keng Hong dan Biauw Eng tidak keberatan, bahkan merasa senang sekali bergaul
dengan para petani yang jujur itu. Para petani mendirikan rumah mereka, bahkan
membantu Keng Hong membangun rumah dan beberapa bulan kemudian sudah ada
belasan keluarga petani yang tinggal di lereng itu. Banyak pula yang mendengar
akan kesaktian sepasang pendekar budiman itu sehingga mereka yang selalu
menderita oleh gangguan para perampok, mempunyai niat hendak mendekati Keng
Hong dan isterinya.
Mulailah
Keng Hong hidup sebagai petani di pegunungan yang indah itu dan pada waktu
senggang secara iseng-iseng dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada
anak-anak pegunungan. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa tempat itu akan
menjadi sebuah perkampungan yang besar dan bahwa kelak dia akan menjadi pendiri
dari Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan yang terdiri dari kaum petani
penghuni Pegunungan Cin-ling-san!
Setengah
tahun kemudian, pada suatu pagi Keng Hong bercakap-cakap dengan isterinya di
halaman rumah mereka, yaitu sebuah pondok sederhana akan tetapi cukup besar dan
menyenangkan.
"Heran
sekali, mengapa tiada berita dari Leng-kok?" Keng Hong berkata.
"Ahhh,
Cong San dan Yan Cu sudah hidup berbahagia, kabarnya membuka toko besar di
situ, mana mereka ingat pada kita orang-orang gunung ini?" Biauw Eng
menjawab sambil tertawa dan menuangkan teh panas untuk suaminya. Gerakannya
kaku karena perutnya yang sudah mengandung empat bulan itu menghalangi
gerakannya.
Keng Hong
memandang ke arah perut isterinya dengan hati terharu dan bangga. "Betapa
akan girang hati mereka kalau mereka tahu bahwa aku sudah hampir menjadi
ayah!"
"Ihhhh!
Masih lama sudah dibicarakan saja. Siapa tahu mereka pun sudah mempunyai calon
anak."
"Aku
rindu sekali untuk mendengar keadaan mereka. Dan... kalau aku teringat
peristiwa di sini dahulu, ingat akan wajah Cong San yang dingin, hatiku tetap
tidak merasa enak dan mengkhawatirkan keadaan Yan Cu sumoi. Isteriku, bukankah
kini sudah cukup waktunya untuk menjelaskan kesemuanya kepada Cong San?"
"Ahhh,
apakah kau hendak meninggalkan aku dalam keadaan mengandung?" Biauw Eng
membentak, pura-pura marah.
"Sama
sekali tidak, isteriku. Aku tidak akan meninggalkan engkau, bila mana pun juga.
Kalau aku pergi, harus bersama engkau. Maksudku, menjelaskan dengan surat
seperti yang kau nasehatkan dahulu itu. Sekarang saatnya tepat, aku mempunyai
alasan untuk mengirim kabar tentang kita dan menanyakan kabar mereka. Nah,
dalam surat itu dapat kusinggung tentang fitnah yang dilontarkan Cui Im itu,
agar membersihkan hati Cong San dari rasa cemburu. Bagaimana?"
Biauw Eng
mengangguk. "Kalau begitu, baik saja. Akan tetapi, siapa yang akan disuruh
menghantarkan suratmu kepada mereka di Leng-kok?"
"Aku
akan suruh seorang di antara pemuda di sini untuk mengantarkan surat. Dengan
naik kuda kurasa dalam waktu tiga hari dia akan sampai di Leng-kok. Sebaiknya
kusuruh A-liok, dia pernah pergi ke kota dan orangnya cukup cerdik, tentu akan
dapat mencari alamat Cong San di Leng-kok."
"Baiklah,
Koko. Akan tetapi yang hati-hati kau menulis surat dan urusan cemburu itu kau
singgung sedikit saja, jangan sampai terlalu menyolok."
"Akan
kutulis sekarang dan nanti engkau perbaiki kalau kurang sempurna."
Keng Hong
lalu mengambil alat tulis dan kertas kemudian dengan alis berkerut dia mulai
menulis sebuah surat dengan hati-hati dan sebaik mungkin. Sesudah membuang
waktu satu jam lebih akhirnya dia bisa menyelesaikan surat itu dan
memperlihatkannya kepada isterinya. Biauw Eng duduk di kursi, membaca surat itu
penuh perhatian,
Saudara Yap
Cong San dan Yan Cu sumoi yang baik.
Setengah
tahun kita saling berpisah. Kami mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu.
Kami harap kalian hidup bahagia seperti kami yang kini menanti hadirnya seorang
anak kurang lebih lima bulan lagi. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil
membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami menjadi sebuah
dusun yang ditinggali oleh petani-petani Pegunungan Cin-ling-san. Kami harap
kalian ada kesempatan untuk berkunjung, karena kami sudah rindu sekali.
Sebagai
penutup surat ini, kami harap semoga kalian jangan mempedulikan fitnahan keji
yang dilontarkan iblis betina Bhe Cui Im di Cin-ling-san dahulu, karena semua
itu bohong belaka.
Sekian dan
sampai jumpa!
Salam dari
kami,
Cia Keng
Hong dengan isteri.
Sesudah
membaca surat itu, Biauw Eng mengangguk. "Kurasa sudah cukup, Hong-ko.
Kuharap di sana Cong San akan cukup bijaksana dan cerdik untuk dapat mengerti
kalimat terakhir dan melenyapkan sama sekali sisa-sisa penasaran di dalam
hatinya."
Pada hari
itu juga A-liok berangkat membawa surat itu dan menunggang seekor kuda sambil
membawa bekal uang yang diberikan oleh Biauw Eng kepadanya. Pemuda yang berusia
dua puluh tahun ini merasa girang dan bangga sekali bahwa dia dipercaya oleh
‘Cia-taihiap’ dan isterinya untuk mengantar surat kepada sahabat mereka di
tempat yang begitu jauh. Dia belum pernah ke Leng-kok, akan tetapi setelah
menerima petunjuk Keng Hong, pemuda yang pernah beberapa tahun tinggal di kota
besar ini merasa yakin akan dapat mencari alamat itu.
Dengan
pandang mata penuh harap Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti keberangkatan A-liok
yang membalapkan kuda. Tadi mereka telah berpesan kepada A-liok supaya suka
minta balasan surat sebagai bukti bahwa surat mereka telah diterima oleh Cong
San dan isterinya.
A-liok
membalapkan kudanya dengan wajah berseri. hatinya girang dan bangga bukan main.
Masih terbayang di depan wajahnya yang berseri itu betapa para penduduk dusun
semua memandangnya dengan kagum. Dia bukan seorang pemuda dusun sembarangan!
Dia mempunyai kelebihan dari pada penduduk gunung lainnya.
Ia telah
dipercaya oleh Cia-taihiap dan isterinya, diutus untuk menyerahkan surat,
sebuah tugas yang penting sekali! Disuruh menunggang kuda dan dibekali uang
lima tail perak! Dia seorang utusan yang maha penting. A-liok merasa dirinya
penting dan gagah. Sedikit banyak dia telah menerima pelajaran dasar ilmu silat
dari Cia-taihiap dan hatinya besar. Segala macam perampok cilik akan kugasak
habis jika berani mengganggu tugasku yang maha penting ini, pikirnya bangga.
Hari telah
senja ketika A-liok tiba di sebuah hutan. Dia harus cepat-cepat membalapkan
kuda agar dapat sampai di dusun luar hutan ini kalau tidak mau kemalaman dan
terpaksa bermalam di hutan. Dia tahu bahwa di luar hutan itu terdapat sebuah
dusun di mana dia dapat bermalam dan membiarkan kudanya mengaso.
Mendadak di
sebelah depan muncul lima orang yang menghadang jalan. Jantung A-liok berdebar
keras. Celaka, tentu kaum perampok, pikirnya. Akan tetapi mengingat bahwa dia
adalah orang kepercayaan dan utusan Cia-taihiap, hatinya membesar dan
keberaniannya timbul. Ia menahan kendali kudanya dan berkata lantang,
"Sahabat-sahabat
di depan harap membiarkan aku lewat. Aku adalah orang utusan dari Cia-taihiap
di Cin-ling-san, dan aku tidak memiliki sesuatu yang cukup berharga. Biarlah
kelak kulaporkan kepada taihiap agar memberi ganjaran kepada kalian!"
Lima orang
itu dipimpin oleh seorang setengah tua yang berpakaian mewah sekali seperti
seorang bangsawan. Ketika kelima orang itu tertawa-tawa geli menyaksikan sikap
A-liok, orang itu membentak,
"Mengapa
tertawa-tawa? Keparat, hayo tangkap dia!"
Seketika
kelima orang itu berhenti tertawa dan sambil menyeringai mereka menghampiri
A-liok yang masih duduk di atas kuda. Seorang di antara mereka berkata,
"Petani
busuk, turun kau!" tangannya meraih utuk menyeret kaki A-liok, akan tetapi
A-liok menggerakkan kakinya menendang.
"Crottt!
Waduhhhhhhh…!"
Orang itu
terkena tendangan ujung kaki A-liok, tepat pada hidungnya sehingga kontan
hidung itu mengucurkan kecap! A-liok sendiri terpental karena tendangan itu dan
karena kudanya kaget meringkik lalu mengangkat kaki depan ke atas, tak dapat
dicegahnya lagi A-liok terbanting ke belakang.
Akan tetapi
dengan gerakan seperti seorang ahli silat kelas satu benar-benar, dia sudah
meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan pinggulnya yang terbanting dan terasa
nyeri. Ia segera melangkah maju, mengangkat dadanya dan tidak merasa bahwa
jalannya agak terpincang. Dengan keras dia membentak,
"Apakah
kalian sudah buta? Berani menyerang utusan dan murid Cia Keng Hong taihiap,
pendekar sakti di Cin-ling-san?"
Akan tetapi
orang yang hidungnya kena tendangan ujung sepatu yang kotor dan bau itu dengan
gerengan keras sudah menerjang maju kemudian memukul dadanya. A-liok baru
belajar dasar-dasar ilmu silat selama beberapa bulan, akan tetapi karena yang
mengajar dia adalah seorang sakti semacam Ci Keng Hong, dasar ini sudah cukup
baginya untuk dapat memasang kuda-kuda yang kokoh, dan sekali menggeser kaki
dia sudah berhasil mengelak, sedangkan tangan kirinya meluncur ke depan
menghantam ke arah kepala si penyerang.
"Blukkk...
auuuuwwwwww…!"
Kepala orang
itu terkena pukulan, lantas terguling dan setengah pingsan karena matanya
berkunang kepala berdenyut-denyut, sedangkan yang berteriak kesakitan adalah
A-liok sendiri karena tangannya terasa sakit bukan main pada saat kepalan
tangannya bertemu dengan batok kepala yang keras! Ia menyeringai dan
menghelus-elus tangan kirinya.
Orang
setengah tua berpakaian mewah yang memimpin lima orang itu menjadi marah. Dia
menggerakkan tangannya menampar ke arah A-liok yang kebetulan sedang berada di
dekatnya. A-liok kembali berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu seperti
mengikuti dan cepat mengenai dadanya.
"Plakkk!"
Tubuh A-liok
terlempar dan bergulingan. Dia meloncat bangun, terhuyung dan terengah-engah.
Napasnya sesak dan dadanya nyeri bukan main. Kedua matanya menjadi merah saking
marahnya.
"Kau...!
Berani kau memukul A-liok, jago muda dari Cin-ling-san murid Cia-taihiap?"
Pemuda dusun
ini maklum bahwa orang berpakaian mewah itu amat lihai, maka dengan kemarahan
meluap dia menerjang maju lalu menyerang, bukan menggunakan pukulan atau
tendangan, melainkan menyeruduk dengan kepalanya bagaikan seekor kerbau gila
mengamuk, menyeruduk ke arah perut laki-laki setengah tua berpakaian mewah itu.
Laki-laki
itu yang bukan lain adalah Mo-kiam Siauw-ong, ‘Raja Muda’ semua bajak pada
sepanjang Sungai Fen-ho, tersenyum mengejek. Menghadapi seorang muda dusun
tolol seperti ini, mana dia sudi untuk mengelak? Melihat serudukan itu, dia
sama sekali tidak menangkis atau mengelak, malah memasang perutnya yang agak
gendut dan menerima serudukan kepala pemuda itu.
"Dukkk!"
Tubuh
Mo-kiam Siauw-ong sama sekali tidak bergoyang terkena serudukan yang keras itu,
sebaliknya, tubuh A-liok terlempar ke belakang sampai beberapa meter. Pemuda
itu berputar-putar seperti menari-nari di atas dua kakinya yang terhuyung,
kedua tangannya memegangi kepalanya yang seperti pecah rasanya, kedua matanya
menjuling dan dunia menjadi gelap penuh bintang-bintang gemerlapan sebelum dia
roboh dan tidak tahu apa pun lagi, pingsan!
Akan tetapi
tidak lama A-liok pingsan. Tubuhnya yang sudah biasa bekerja berat setiap hari,
mencangkul di bawah terik panas matahari hingga membuat tubuhnya kuat dan daya
tahannya besar. Pada saat dia membuka mata dan mengeluh, ternyata kedua
tangannya sudah terikat, demikian pula kedua kakinya. Ia miringkan tubuh
memandang dan melihat betapa laki-laki berpakaian mewah yang lihai sekali tadi
kini sedang memegangi sampul surat yang tadi berada di saku bajunya,
tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk.
"Aha,
Sianli tentu akan girang sekali melihat surat ini." Mo-kiam Siauw-ong
berkata. "Seret dia, kita bawa menghadap Sianli!"
Seorang
penjahat lalu menyambar kuncir rambut A-liok dan menyeretnya. A-liok
berteriak-teriak, memaki-maki, bukan hanya karena rasa nyeri akibat rambutnya
ditarik, akan tetapi melihat suratnya telah dirampas dan bahkan uang bekalnya
dipakai main-main di tangan seorang penjahat.
"Perampok
rendah! Keparat hina! Hayo kembalikan surat itu, kembalikan uangku, dan
lepaskan aku. Kalau tidak, kalian tentu akan dibasmi semua oleh Cia-taihiap!
Kembalikan surat dan uangku, kalian maling-maling busuk, perampok, bajak!"
Akan tetapi
mereka tak mempedulikannya, dan sebuah hantaman di belakang telinganya membuat
A-liok roboh pingsan lagi. Dia tidak tahu betapa tubuhnya disampirkan ke atas
punggung kuda, lalu cepat dibawa pergi oleh enam orang yang menunggang
kuda-kuda besar.
Kebencian
membuat manusia menjadi seperti gila karena kebencian itu sendiri sebelum
merugikan orang lain telah menjadi racun dalam hati sendiri. Kebencian Cui Im
terhadap empat orang muda, Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, membuat
wanita ini setiap detik merasa tersiksa hatinya. Belum akan reda dendam dan
bencinya kalau dia belum berhasil mencelakakan musuh-musuhnya itu. Dan selama
ini Cui Im tidak pernah diam.
Di samping
memperhebat ilmunya di bawah pimpinan Go-bi Thai-houw yang tinggal di
Sun-ke-bun yang diperlakukan seperti seorang Thai-houw (permaisuri)
benar-benar, atau lebih tepat seperti Ibu suri, Cui Im juga tak pernah berhenti
untuk melakukan pengintaian terhadap empat orang musuhnya dan mempelajari
keadaan mereka.
Dapat
dibayangkan betapa menghebat iri hati, dendam dan bencinya ketika ia mendengar
bahwa kedua pasangan suami isteri itu hidup penuh kebahagiaan, bahkan kini
menanti lahirnya seorang anak masing-masing!
Dia maklum
bahwa sangatlah berbahaya untuk turun tangan secara kasar menggunakan
kekerasan. Selain dua pasang suami isteri itu, terutama sekali Keng Hong dan
Biauw Eng yang tinggal di Cin-ling-san, mempunyai kepandaian tinggi, juga kini
pemerintah sedang bersikap keras dan akan membasmi setiap gerombolan penjahat
yang berani mengacau.
Kalau dia membawa
para anak buah bajak menyerbu ke Cin-ling-san, dia khawatir gagal menghadapi
kelihaian Keng Hong dan Biauw Eng, sungguh pun dia dibantu oleh Go-bi Thai-houw
yang di akhir-akhir ini saking tuanya menjadi malas meninggalkan kamarnya yang
indah dan lengkap.
Menyerbu ke
Leng-kok lebih banyak harapan karena dia sanggup mengatasi kepandaian Cong San
dan Yan Cu, akan tetapi hal itu berarti dia mendatangkan kekacauan di kota itu
dan kalau sampai pemerintah turun tangan memusuhinya, dia bisa celaka. Pemerintah
Ceng mempunyai banyak sekali orang pandai.
Apa lagi dia
sendiri sekarang mondok di tempat tinggal Coa-taijin, seorang kepala daerah,
berarti seorang pegawai negeri pula. Tentu Mo-kiam Siauw-ong sebagai menantu
kepala daerah tak berani mengerahkan anak buahnya membantu. Selain berbahaya,
hal itu juga akan menyeret dan membahayakan kedudukan mertuanya.
Karena
inilah maka Cui Im yang dimabuk dendam kebencian itu melakukan siasat dengan
penuh kesabaran. Dia menyuruh Mo-kiam Siauw-ong yang sudah menjadi pembantunya
yang setia untuk mengirim orang-orang menyelidiki keadaan empat orang musuhnya
itu, mengintai dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka.
Demikianlah,
pada saat para pengintai itu melihat seorang pemuda dusun menjadi utusan Keng
Hong, segera mereka menghadang A-liok, bahkan dipimpin sendiri oleh Mo-kiam
Siauw-ong yang kebetulan tengah meronda dan melakukan pemeriksaan atas tugas
anak buahnya.
A-liok
tertawan dan betapa girang hati Mo-kiam Siauw-ong ketika mendapatkan sepucuk
surat Cia Keng Hong yang ditujukan kepada Yap Cong San di Leng-kok. Penemuan
ini merupakan jasa besar dan dia sudah membayang betapa Cui Im akan membalas
jasa ini dengan mesra, sedikitnya semalam suntuk dia akan diterbangkan ke sorga
oleh wanita yang cantik jelita, pandai merayu pria, berpengalaman dan amat
lihai itu!
Biar pun
diam-diam Mo-kiam Siauw-ong tergila-gila kepada Cui Im, akan tetapi tentu saja
dia tidak berani mengambil langkah lebih dulu, di samping sungkan kepada Coa
Kun, adik iparnya yang kini menjadi kekasih tetap Cui Im, juga takut kepada
ayah mertuanya, dan terutama sekali mana dia berani bersikap kurang ajar kepada
Cui Im yang demikian lihai? Kecuali, tentu saja, seperti dahulu setelah dia
turut menyerbu Cin-ling-san, kalau Cui Im menghendakinya, untuk memberi
‘hadiah’ atas jasanya, tentu dia akan menerima dan meneguk cawan anggur manis
memabukkan itu sampai tiada tertinggal setetes pun!
Benar saja
seperti dugaan Mo-kiam Siauw-ong. Cui Im yang cantik dengan pipinya yang
kemerahan itu menjadi berseri. Wanita yang telah berusia tiga puluh tahun lebih
ini masih nampak cantik sekali, cantik dengan tubuh yang matang dan padat
menggairahkan, apa lagi ditambah pula dengan gerak-geriknya yang memang
menarik, setiap lekuk-lengkung tubuhnya dimanfaatkan dalam gerak-gerik terlatih
dan teratur itu.
"Bagus...
bagus... Coa-kongcu, sekarang saatnya tiba aku dapat membalas mereka dan
kepandaianmulah yang kubutuhkan untuk ini!" katanya sambil menarik tangan
pemuda tampan yang kini mukanya menjadi agak pucat karena setiap malam harus
melayani iblis betina yang tidak mengenal puas dengan nafsu birahinya itu,
masuk ke dalam kamar meninggalkan Mo-kiam Siauw-ong yang bengong terlongong dan
kecewa!
Dua hari
kemudian, salah seorang anggota anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang muda dan
perawakannya mirip A-liok, memakai pakaian yang dipakai A-liok dan menunggang
kuda dari Cin-ling-san itu, pada malam hari meninggalkan Sun-ke-bun bersama
Mo-kiam Siauw-ong serta beberapa orang anak buahnya yang membawa pula tubuh
A-liok yang terbelenggu.
Setelah tiba
di sebuah hutan pegunungan, A-liok yang dibuka sumbatan mulutnya segera
memaki-maki, "Mau diapakan aku? Ehh…, orang itu mengapa memakai pakaianku
dan menunggang kudaku? Mana suratku dan uang bekalku? Hayo kembalikan!"
Mo-kiam
Siauw-ong memberi isyarat dan sambil tertawa-tawa anak buahnya menyeret tubuh
A-liok yang meronta-ronta turun dari kuda, terus menyeretnya ke tepi jurang dan
tak lama kemudian terdengar pekik mengerikan ketika tubuh A-liok dibacok lalu
dilempar ke dalam jurang yang amat dalam. Mereka tertawa-tawa dan berangkat
menuju ke Leng-kok.
Mo-kiam
Siauw-ong dan anak buahnya menanti di luar kota, sedangkan anak buahnya yang
menunggang kuda Cin-ling-san itu memasuki kota Leng-kok, langsung menuju ke
rumah Yap Cong San. Dia meloncat turun dari atas punggung kuda, lalu
berindap-indap mendekati toko obat yang sudah tutup karena hari telah malam.
Bagai
seorang pencuri, orang ini beberapa kali jalan mondar-madir di depan toko,
bahkan beberapa kali menengok ke dalam. Sebagai seorang yang akan melakukan
sesuatu yang tidak baik, sikapnya itu selain mencurigakan juga amat ceroboh,
karena tentu saja Cong San yang sedang duduk di dalam toko yang hanya dibuka
pintunya itu menjadi curiga ketika melihat orang yang mengikat kudanya tak jauh
dari situ kini berjalan mondar-madir dan melongok-longok ke dalam.
Cong San
mencelat keluar sambil membentak, "Engkau mau apakah? Apakah ada orang
sakit? Atau hendak membeli obat?"
Akan tetapi
orang itu tak menjawab, malah cepat-cepat pergi dengan langkah lebar dan
tergesa-gesa seperti hendak melarikan diri dan menghampiri kudanya. Tentu saja
Cong San menjadi makin curiga. Dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat
memegang pundak orang itu dari belakang dan sekali menggerakkan tenaga, orang
itu dipaksanya membalikkan tubuh menghadapinya.
"Hemmmm,
kau mencurigakan sekali! Engkau siapa dan mau apakah?"
Orang itu
merasa betapa jari-jari tangan yang mencengkeram pundaknya itu luar biasa
kuatnya. Diam-diam ia menggigil dan dengan suara terputus-putus dia berkata,
"hamba... A-liok dan... hamba tidak berniat buruk... hamba... hamba adalah
utusan Cia-taihiap dari Cin-ling-san..."
Cong San
terkejut sekali, cepat melepaskan cengkeraman tangannya dan berkata dengan
suara halus, "Ahhh, kalau memang benar begitu mengapa engkau tidak masuk
saja ke toko, malah mondar-madir, longak-longok mencurigakan? Marilah masuk,
apakah engkau diutus oleh Cia Keng Hong taihaip?"
Akan tetapi
orang itu menggeleng kepala dan suaranya gemetar, "Hamba... tidak usahlah,
hamba mau kembali saja. Lain kali hamba datang..."
Cong San
mengerutkan kening dan kembali timbul kecurigaannya. "Ehh, kenapa begitu?
Aku adalah Yap Cong San, tentu Cia-taihiap mengutus engkau untuk
menemuiku."
"Tidak...
tidak... bukan... hamba harus pergi...!" Orang itu hendak lari akan tetapi
Cong San kembali memegang lengannya.
"Tunggu!
Hayo katakan, engkau diutus untuk menemui siapa dan menyampaikan apa?"
Orang itu
meronta-ronta, tubuhnya menggigil dan suaranya terdengar gemetar, "Hamba
tidak berani... tidak berani, lepaskan hamba..."
Cong San
makin penasaran. Dia menggerakkan jari tangannya dan seketika orang itu
tertotok lumpuh dan tidak dapat mengeluarkan suara. Dengan mudah dia
mencengkeram leher baju orang itu dan dibawanya masuk ke dalam tokonya, lalu
menutupkan pintu dan mendudukkan orang yang lemas itu ke atas kursi. Kemudian
dia menggeledah orang itu dan menemukan sesampul surat dalam saku bajunya.
Tangan Cong
San gemetar ketika dia membaca tulisan Keng Hong di atas sampul itu, sebuah
surat pribadi dari Cia Keng Hong yang ditujukan kepada Gui Yan Cu! Apa artinya
ini? Dia sudah membuka mulut hendak berteriak memanggil isterinya dan kakinya
sudah bergerak hendak lari masuk. Akan tetapi dia teringat sesuatu dan
ditahannya mulut dan kakinya.
Isterinya
sedang beristirahat seperti biasa. Memang sesudah mengandung tua, dia tidak
memperbolehkan isterinya bekerja dan mengharuskan banyak mengaso. Surat itu
lantas dibacanya. Mukanya mendadak menjadi pucat dan berubah merah sekali,
kedua matanya terbelalak, cuping hidungnya berkembang-kempis, bibirnya menggigil
seperti tangan dan kakinya. Hampir dia tak percaya akan pandang matanya sendiri
dan dibacanya surat itu sekali lagi, perlahan-lahan, namun tetap saja isinya
tidak berubah.
Yan Cu sumoi
yang tercinta,
Setengah
tahun kita saling berpisah. Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu.
Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan
berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami
menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san.
Sumoi,
betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta.
Bilakah kita dapat berjumpa kembali berdua seperti dahulu memadu kasih?
Sampai
jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu
menyuratimu.
Penuh cinta
dan rindu dari,
Cia Keng
Hong.
Cong San
merasa betapa dadanya tiba-tiba menjadi sesak dan panas, seolah-olah ada api
membara membakarnya dari dalam. Si keparat Cia Keng Hong! Kiranya betul! Hampir
dia lari masuk untuk melontarkan surat itu ke muka isterinya. Akan tetapi
untungnya dia teringat akan keadaan isterinya.
Isterinya
mengandung tua, sangat berbahaya bagi kandungannya kalau sampai batinnya
terpukul. Jelas, isterinya dahulu adalah kekasih Keng Hong! Jelas sekali dari
bunyi surat itu. Akan tetapi, hal itu sudah disangkanya dahulu, dan bukanlah
dia sudah memaafkan?
Sekarang
surat ini datangnya dari Cia Keng Hong. Si keparat Keng Hong laki-laki mata
keranjang yang tak juga mau mengubah wataknya yang rendah dan kotor! Isterinya
tidak bersalah dan amat kejamlah apa bila menyalahkan isterinya dengan
datangnya surat ini. Hanya Keng Hong yang bersalah, si keparat hina itu. Sudah
menikah dengan Biauw Eng masih berani menyurati Yan Cu yang telah menjadi
isterinya. Makin diingat makin panas hatinya dan kalau saja pada saat itu Keng
Hong berada di depannya, tanpa bicara satu kata pun lagi tentu akan diserangnya
dan diajak mengadu nyawa!
Dengan
segala kekuatan batinnya Cong San menekan hatinya yang panas dan diamuk
cemburu, kemudian mengambil kertas dan pit-nya, memegang pit yang biasanya menjadi
senjatanya yang ampuh itu. Ingin sekali dia mengunakan pit ini untuk menyerang
Keng Hong dari pada untuk menulis surat!
Sampai tiga
kali dia merobek-robek suratnya yang memaki-maki Keng Hong. Ahh…, dia harus
berhati-hati. Urusan ini menyangkut nama dan kehormatan isterinya sendiri yang
tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Dia boleh marah, boleh memaki Keng Hong,
akan tetapi kalau urusan itu dia sebut-sebut dalam surat dan sampai surat itu
dibaca orang lain, bukankah nama isterinya akan cemar?
Cia Keng
Hong,
Aku masih
cukup bersabar, akan tetapi jika sekali lagi engkau berani menulis surat atau
melakukan perbuatan yang hina, aku Yap Cong San bersumpah untuk membunuhmu!
Tertanda :
Yap Cong San.
Sesudah
memasukkan surat ke dalam sampul dan memasukkan ke dalam saku orang yang
tertotok itu, dia lalu membebaskan totokannya, mencengkeram pundak orang itu
dan melemparkan tubuhnya ke luar toko setelah dia membuka daun pintunya.
"Lekas
minggat sebelum kuhancurkan kepalamu!" bentaknya.
"Baik,
Taihiap... baik...!" Orang itu berlari terhuyung-huyung, lalu menghampiri
kudanya, meloncat ke atas pungung kuda dan membalapkan kudanya ke luar kota
Leng-kok.
Cong San
menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi. Surat dari Cin-ling-san itu
seolah-olah terasa panas membakar di dalam saku bajunya. Tiba-tiba dia
meluruskan tubuhnya ketika mendengar langkah kaki Yan Cu keluar dari ruangan
dalam.
"Apakah
ribut-ribut tadi? Aku seperti mendengar ada tamu!" Yan Cu bertanya sambil
memandang suaminya.
"Memang
ada tamu, seorang dari luar kota membutuhkan obat untuk isterinya yang sakit
demam."
"Ahhh,
pantas aku mendengar derap kaki kudanya. Ehh, apakah itu?"
Cong San
cepat-cepat membungkuk dan mengambil tiga robekan kertas yang tadi sudah
dikepal-kepalnya, surat-surat yang bernada keras terhadap Keng Hong. Dia merasa
lega bahwa isterinya dengan perutnya yang besar itu tidak dapat membungkuk.
Kalau tidak sedang mengandung, tentu Yan Cu sudah membungkuk dan menyambar
kertas-kertas itu.
"Ah,
bukan apa-apa. Tadi kutulis catatan obat untuknya, akan tetapi sampai tiga kali
keliru saja." Cong San merobek-robek kertas itu sampai hancur, kemudian
melemparkan potongan-potongan kertas yang sudah diremasnya ke keranjang di
sudut.
"Suamiku,
kau kelihatan lelah sekali. Mengasolah."
Akan tetapi,
Cong San yang rebah di samping isterinya, tak dapat tidur. Yan Cu telah tidur
nyenyak dan malam itu sunyi sekali. Akan tetapi Cong San yang rebah tak
bergerak itu merasa gelisah dan sama sekali tak pernah dapat tidur sekejap mata
pun.
Dadanya
terasa panas bukan main. Sekarang dia mendapatkan bukti bahwa antara Yan Cu
dengan Keng Hong memang pernah ada hubungan cinta. Hal itu tidak menyakitkan
hatinya karena memang sudah diduganya dan sudah dia lupakan. Akan tetapi,
sekarang Keng Hong datang dengan suratnya yang jelas menyatakan bahwa lelaki
tak tahu aturan itu masih mencintai Yan Cu!
Cong San
juga tidak marah mendapat kenyataan bahwa isterinya dicinta laki-laki lain.
Tidak ada seorang pun suami di dunia ini yang akan marah kalau isterinya
dicinta laki-laki lain, biar pun laki-laki sedunia jatuh cinta, malah akan
mendatangkan kebanggaan bahwa wanita yang dicinta orang-orang lain itu
menjatuhkan pilihan kepada dirinya! Tidak, dia tak akan peduli kalau tahu bahwa
Keng Hong masih mencinta isterinya.
Akan tetapi,
melihat Keng Hong masih berani melanjutkan hubungan, berani mengirimkan surat,
hal itu sudah melanggar batas kesopanan, seolah-olah sengaja menghinanya! Di
samping ini, timbul perasaan tidak enak yang makin memanaskan hatinya, yaitu
perasaan cemburu yang sudah berhasil dia padamkan sampai dua kali.
Pertama,
pada saat cemburu mulai meracuni hatinya setelah dia mendengar fitnah yang
dilontarkan dari mulut Cui Im sehingga dia menjadi cemburu bukan main kepada
Yan Cu. Cemburu yang pertama itu dapat dia atasi dan dia tundukkan dengan
keyakinan bahwa dia tidak perlu mempercayai mulut seorang iblis betina seperti
Bhe Cui Im.
Kemudian ia
hampir gila ketika cemburu yang kedua kalinya menerkamnya, yaitu setelah pada
malam pertama di pinggir telaga dia mendapat kenyataan bahwa Yan Cu bukan
perawan lagi. Rasa cemburu ini membuat dia hampir melakukan hal yang
bukan-bukan, bahkan membuat dia ingin membunuh diri. Namun, akhirnya dia dapat
juga menundukkan cemburu yang kedua kalinya itu berkat wejangan-wejangan dari
suheng-nya, Thian Kek Hwesio yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai.
Kini,
kembali cemburu menggerogoti hatinya, sedikit demi sedikit, dengan giginya yang
beracun sehingga terasalah panas membakar yang membuat dadanya seperti meledak.
Rasa cemburu yang timbul dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya.
“Keng Hong
amat mencinta Yan Cu, sampai sebesar apakah cinta Yan Cu kepada Keng Hong?
Melihat bunyi surat yang menyatakan betapa besar kasih sayang Keng Hong pada
Yan Cu, mungkinkah sekarang Yan Cu sanggup menghilangkan rasa cintanya terhadap
Keng Hong? Tidakkah secara diam-diam isterinya yang kini tidur di sampingnya
itu masih mencinta Keng Hong?”
Pertanyaan-pertanyaan
yang terdengar bagaikan bisikan halus itu seperti menusuk-nusuk jantungnya, dan
betapa pun Cong San berusaha mengusirnya, tetap saja bisikan-bisikan itu terus
mengikuti hati dan pikirannya.
"Yan Cu
menjadi isterimu hanya karena terpaksa! Sebetulnya dia mencinta Keng
Hong!" Bisikan yang tadi bertanya-tanya itu sekarang berubah menjadi
ejekan-ejekan yang amat menyakitkan hati dan telinga.
Cong San
miring ke kanan kemudian ke kiri, menelungkup, telentang, namun suara itu tetap
terdengar olehnya. Dia menjadi makin gelisah, suara terngiang-ngiang melengking
memenuhi kedua telinganya dan dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat menekan ini,
dia bisa menjadi gila. Maka dia cepat bangkit perlahan, duduk dan menatap wajah
Yan Cu yang tidur dengan nyenyak di sampingnya.
Yan Cu tidur
dengan nyenyak sekali, bibirnya agak terbuka dan tampak tersenyum penuh
ketenangan. Sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu terurai indah, sebagian
menutup pipi dan lehernya, sebagian lagi terurai di atas bantal putih. Tangan
kirinya terletak di atas bantal dengan lengan terangkat hingga bajunya yang
longgar tersingkap memperlihatkan sebagian pundak dan rambut halus di bawah
pangkal lengan. Lengan kanannya memeluk perutnya yang gendut seperti sedang
melindungi anak yang dikandungnya.
Alangkah
cantiknya, betapa suci bersih dari dosa wajah yang jelita itu. Melihat
isterinya, perlahan-lahan rasa haru membuat dada Cong San yang tadinya panas
itu menjadi hangat nyaman, napasnya yang sesak menjadi tenang dan bisikan jahat
tadi kini hanya terdengar lapat-lapat saja seolah-olah setan yang
berbisik-bisik menjadi ketakutan dan lari menjauh sambil memaki-maki.
Dengan penuh
rasa cinta kasih mendalam, Cong San menunduk dan mengecup dahi Yan Cu,
perlahan-lahan sekali sebab dia tidak ingin mengganggu isterinya yang tidur
demikian pulasnya. Kemudian pandang matanya merayap ke bawah, mengagumi kulit
leher dan pundak yang putih mulus, mengagumi bulu rambut halus di bawah pangkal
lengan, terus menurun dengan rasa bangga memandang dada yang kini semakin
membesar mengikuti pertumbuhan kandungannya.
Akhirnya
matanya terhenti pada perut isterinya, memandang perut yang menggembung itu dan
keharuan membuat dia hampir menitikkan air mata pada saat secara kebetulan dia
melihat perut di bagian kanan isterinya bergerak-gerak perlahan seakan-akan
anak yang berada di kandungan menggerak-gerakan tubuhnya agar tampak oleh
ayahnya!
"Yan
Cu...!" Cong San berbisik dan mengelus perut yang bergerak perlahan itu.
"Apa
kau yakin dia anakmu?"
Cong San
tersentak kaget dan menarik tangannya seolah-olah anak di dalam kandungan itu
menggigit jari tangannya.
"Siapa
tahu dia telah mengandung ketika menikah denganmu. Siapa tahu engkau bukan
ayahnya, melainkan Keng Hong...!" Suara itu berbisik makin jelas di dalam
telinganya.
"Tidaaaaakkk!!
Setan iblis keparat!" Cong San membalik, tangannya terayun seolah-olah
hendak memukul yang berbisik di belakangnya.
"Brakkk!"
Tiang kelambu di belakangnya patah oleh hantaman telapak tangannya.
Yan Cu
bangkit duduk, matanya terbelalak memandang suaminya, "Ehhh... San-ko, apa
yang terjadi...?" Dia masih nanar karena baru bangun tidur, berkedip-kedip
memandang suaminya dan menoleh ke arah tiang kelambu yang patah, membuat
kelambu di bagian itu turun menutup suaminya.
Cong San
menjambak-jambak rambutnya, lalu memeluk isterinya sambil berkata, "Ahhh,
aku... aku tadi bermimpi... bertempur melawan setan dan tak kusadari aku
memukul tiang kelambu sampai patah."
"Ihhh...,
apakah yang mengganggu hatimu, Koko? Mengapa engkau sampai mimpi yang
tidak-tidak? Untung bukan aku yang kau pukul. Biar kuambilkan minum untukmu,
engkau pucat sekali..."
"Tak
usah, engkau tidurlah, isteriku dan maafkan aku. Biar kusambung tiang
ini." Setelah membetulkan tiang yang patah, Cong San lalu rebah miring dan
merangkul isterinya. Yan Cu membalik menghadapi suaminya, menggeser tubuh
semakin dekat, menyembunyikan muka di dada suaminya.
"Kau...
kau tidak sedang gelisah, bukan?" Ia berbisik.
"Tidak,
tidurlah, sayang."
Yan Cu
menarik napas lega dan Cong San mempererat pelukannya. Iblis itu tidak berbisik
lagi dan dia tidak berani melepaskan pelukannya. Hawa yang hangat dari tubuh
Yan Cu seolah-olah mempunyai daya mukjijat mengusir iblis itu dan akhirnya,
menjelang pagi itu, dia dapat tertidur dengan Yan Cu dalam pelukannya.
Cong San
sama sekali tidak tahu betapa lelaki muda yang mengaku bernama A-liok tadi yang
mengaku sebagai utusan Cia Keng Hong mengantar surat rahasia telah menghadap
Cui Im bersama Mo-kiam Siauw-ong menyampaikan laporannya. Cui Im dengan
hati-hati membuka sampul surat balasan Cong San kepada Keng Hong dan dia
tertawa terpingkal-pingkal, wajahnya berseri-seri dan pandang matanya
membayangkan kepuasan.
"Bagus
sekali! Siasat pertama berhasil baik! Kalau Cong San masih belum terbakar juga,
dia betul-betul seorang yang tolol! Engkau telah melakukan pekerjaan dengan
baik sekali, sekarang juga engkau harus terus pergi ke Cin-ling-san
menyampaikan surat ini kepada Cia Keng Hong."
A-liok palsu
itu menjadi pucat mukannya. "Akan tetapi... tentu dia akan mengenal bahwa
saya bukan A-liok dan celakalah saya..."
"Bodoh!"
Cui Im membentak. "Kau tidak perlu ke tempat tinggalnya, cukup kau
berhenti malam-malam di depan rumah seorang petani di kaki Gunung Cin-ling-san,
teriaki supaya dia keluar, lalu berikan surat dengan pesan agar disampaikan
kepada Cia-taihiap dan kau tambahkan bahwa engkau yang mengaku A-liok tak akan
kembali ke lereng Cin-ling-san. Dalam gelap tidak akan ada orang mengenalmu,
dan petani bodoh itu tentu hanya akan mengenal pakaian dan kudamu, terutama
nama palsumu."
Cui Im
memberi hadiah beberapa potong uang perak kepada orang itu yang menerimanya
dengan hati girang sekali dan segera berangkat ke Cin-ling-san. Mo-kiam
Siauw-ong lalu memerintahkan pelayannya menyediakan hidangan dan arak untuk
merayakan hasil baik siasat mengacau kehidupan musuh-musuhnya itu.
"Siasat
Sianli benar-benar hebat sekali dan kepandaian menulis adik iparku benar-benar
mengagumkan. Aku harus memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!"
kata Mo-kiam Siauw-ong. Mereka minum sambil tersenyum-senyum gembira.
Go-bi
Thai-houw yang dipersilakan makan minum pula, mendengarkan saja dengan sikap
malas-malasan. Kemudian terdengarlah ia berkata, "Tanpa akal bulus surat
itu pun murid Tung Sun Nio itu tak akan dapat hidup rukun dengan suaminya.
Tendanganku tentu telah berhasil baik, menghilangkan tanda keperawanan dan
dengan itu saja sudah cukup untuk merusak kebahagiaan mereka."
Cui Im yang
pandai menjilat itu segera mengangkat cawan araknya dan berkata, "Semua
siasat teecu mengandalkan kelihaian Subo seorang. Harap Subo suka selalu
membantu teecu menghancurkan mereka yang telah menggagalkan semua usaha kita,
terutama Cia Keng Hong. Sebelum dia mampus, bagaimana Subo dapat mengangkat
diri menjadi yang terlihai di seluruh dunia kang-ouw?"
"Hemmm,
sebenarnya bocah itu mudah saja kukalahkan. Akan tetapi aku sekarang sudah
merasa malas untuk bertempur, sudah enak sekali hidup di tempat ini. Orang
setua aku ini tinggal menanti kematian, harus menghabiskan sisa hidup yang
tidak lama lagi dengan bersenang-senang."
Cui Im tidak
berani mendesak, dan biar pun subo-nya berkata demikian, di dalam hatinya dia
masih sangsi apakah benar subo-nya akan dapat mengalahkan Keng Hong dengan
mudah. Apa lagi kalau di samping musuh besarnya itu terdapat Biauw Eng yang tak
boleh dipandang ringan pula, karena selain Biauw Eng memang sudah mempunyai
kepandaian tinggi, bekas sumoi-nya itu pernah menerima ilmu-ilmu aneh dari
Go-bi Thai-houw sendiri dan kini tentu saja menerima bimbingan Keng Hong yang
menjadi suaminya.
"Sianli,
setelah siasat pertama berhasil dengan baik, kapan akan dilakukan siasat ke dua
dan bagaimanakah siasat itu?"
Mendengar
pertanyaan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im tersenyum. "Saatnya masih belum
tiba untuk melakukan siasat ke dua itu. Aku harus menunggu sampai Yan Cu
melahirkan bayinya. Dalam keadaan mengandung seperti sekarang ini, siasat itu
tak akan dapat kita jalankan."
"Wah,
tentu masih lama sekali!" Coa Kun mencela.
"Apa
artinya beberapa bulan lagi? Aku telah menanti selama setengah tahun untuk
siasat pertama. Untuk dapat membalas dendam dengan berhasil baik, orang harus
mempunyai kesabaran dan menggunakan perhitungan yang seksama dan tepat supaya
tidak sampai gagal sehingga tidak sia-sialah kesabaran yang berbulan-bulan
menindih hati."
"Sianli
memang luar biasa sekali, sabar dan cerdik. Memang, orang perlu sekali memiliki
kesabaran, karena kesabaran akan mendatangkan hadiah, biar pun lambat."
Mendengar
ucapan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im melirik ke arah laki-laki tinggi besar itu
dan dia tersenyum lebar. "Siasat pertama ini hanya berhasil baik karena
jasa Siauw-ong. Jasa besar harus diberi imbalan pahala, dan selanjutnya aku pun
mengharapkan bantuan Siauw-ong dengan para anak buahnya. harap malam nanti kau
suka menyediakan waktu karena aku akan datang dan merundingkan siasat-siasat
selanjutnya denganmu."
Mo-kiam
Siauw-ong dapat menangkap maksud yang tersembunyi di balik kata-kata itu, apa
lagi ketika mereka bertemu pandang, jantungnya berdebar saking girangnya dan
dia pun mengangkat cawan, menenggak habis araknya sambil berkata, "Aku
selalu siap sedia membantu Sianli, dan aku menanti kedatangan Sianli setiap
saat."
Malam itu
Coa Kun terbebas dari gangguan Cui Im dan dapat tidur dengan nyenyaknya di
bawah pengaruh hawa arak yang terlalu banyak diminumnya. Di dalam kamar
lainnya, di sebelah belakang bangunan yang besar itu, Cui Im memenuhi janjinya
kepada Mo-kiam Siauw-ong, menyelinap ke dalam kamar laki-laki setengah tua yang
bertubuh tinggi besar ini yang menyambut kedatangannya dengan pelukan dan
ciuman penuh nafsu birahi yang bernyala-nyala. Mo-kiam Siauw-ong menikmati
pahalanya sampai malam suntuk dan Cui Im pun menanggapi ini sebagai sebuah
selingan yang bukan tidak menyenangkan.
***************
Sementara
itu, beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali Keng Hong dan Biauw Eng menerima
kedatangan seorang petani yang tinggal di kaki bukit, yang datang menghadap
membawa sampul surat sambil berkata,
"Malam
tadi saya menerima surat ini untuk disampaikan kepada Cia-taihiap. Oleh karena
malam gelap, saya tidak berani mengganggu Taihiap dan baru pagi ini saya
sampaikan."
Keng Hong
cepat menerima surat itu dan ketika membaca sampulnya, dia saling pandang
dengan isterinya.
"Dari
mereka?" tanya Biauw Eng.
Keng Hong
mengangguk, lalu bertanya kepada petani ini, "Siapakah yang memberikan
surat ini kepadamu, Lopek?"
"Seorang
penunggang kuda, katanya bernama A-liok. Selain minta agar supaya surat itu
disampaikan kepada Taihiap, juga dia berpesan bahwa dia tidak akan kembali lagi
ke sini, Taihiap. Lalu dia pergi membalapkan kudanya."
"Aneh
sekali, mengapa A-liok tidak pulang?" Biauw Eng berkata, alisnya berkerut
karena dia merasa curiga.
"Bagaimana
rupanya orang itu, Lopek? Apakah Lopek sudah mengenal A-liok?"
Petani tua
itu menggelengkan kepala. "Saya tidak dapat melihat wajahnya Taihiap.
Malam gelap dan dia duduk di atas kuda. Hanya kudanya berbulu hitam dihias
putih di dada dan keempat kakinya, dan pakaian orang itu berwarna biru, dengan
topi bundar warna kuning. Dia masih muda, melihat bentuk badan dan
suaranya."
"A-liok,
tak salah lagi," kata Keng Hong, "Terima kasih, Lopek." Dia
memberi hadiah uang kepada kakek itu yang ditolaknya.
"Melakukan
sesuatu untuk taihiap sudah merupakan kesenangan, kenapa harus memberi hadiah?
Sudah cukup, Taihiap, saya mau turun." Kakek itu kemudian berjalan
terbongkok-bongkok menuruni lereng.
Keng Hong
mengajak isterinya masuk ke dalam kamar dan di situlah, di luar tahunya orang
lain, mereka bicara serius. "Heran sekali, mengapa A-liok tidak langsung
pulang saja dan menyerahkan surat balasan itu kepada kita?" Biauw Eng
berkata. "Benar-benar mencurigakan urusan ini."
"Hemmm,
agaknya aku salah mempercaya orang. A-liok pernah tinggal bertahun-tahun di
kota. Begitu mendapatkan kuda baik dan sedikit uang, agaknya dia tidak mau
kembali ke gunung dan akan merantau ke kota lagi. Sudahlah, yang paling
penting, surat kita sudah diberikan dan malah dia sudah membawa balasannya, ini
sudah cukup baik."
Keng Hong
merobek pinggir sampul dan menarik keluar suratnya. Dibukanya lipatan surat dan
begitu matanya membaca beberapa buah huruf yang ditulis dengan goresan penuh
amarah itu, wajahnya berubah marah, matanya terbelalak dan dia terjatuh duduk
di atas kursi, kedua tangan masih tetap memegangi surat seolah-olah kedua
lengannya kaku dan dia tidak percaya akan apa yang dibacanya.
"Apa
isinya?" Biauw Eng terkejut melihat suaminya dan ketika suaminya tidak
menjawab, dia pun cepat merampas surat itu dan dibacanya.
"Manusia
jahanam Yap Cong San...!" Biauw Eng memaki dan merobek kertas itu.
"Eiiiihhh,
sabar, jangan robek-robek surat itu, untuk bukti!"
Biauw Eng
melemparkan surat yang sudah dia robek menjadi dua itu kepada suaminya sambil
berkata marah, "Sabar, katamu? Si keparat itu berani menghinamu seperti
itu dan kau bilang supaya aku sabar? Hemmm, apa bila saat ini dia berada di
depanku, tentu dia akan merasai hajaran kedua tanganku!"
"Nanti
dulu, isteriku. Kita harus tidak boleh menurutkan perasaan dan menggunakan akal
sehat. Aku tidak percaya kalau Cong San dapat menulis surat seperti ini
kepadaku. Tentu ada sebab lain, dan melihat sikap A-liok yang melarikan diri
dari sini, aku curiga sekali."
"Curiga
apa lagi? Sebab apa lagi? Dia sudah gila, gila oleh cemburu! Masa engkau tidak
tahu? Dia sudah menjadi gila karena mencemburukan isterinya denganmu! Manusia
tolol macam itu apa gunanya diajak berunding? Cis, aku tidak sudi mempunyai
sahabat, apa lagi saudara, macam itu! Pendeknya, mulai saat ini, kita tidak
akan berhubungan dengan manusia itu lagi, dan kalau tanpa disengaja aku bertemu
dengannya, aku tidak akan puas sebelum menghajarnya sampai dia minta ampun
kepadamu."
"Ssttt,
Biauw Eng isteriku, tenang dan sabarlah. Ingat bahwa engkau telah menjadi calon
ibu anak kita, masa masih begitu pemarah dan ganas? Aku yakin bahwa Cong San
tentu tidak sengaja menghinaku, dan di balik semua ini tentu ada rahasia lain.
Dia telah menjadi korban racun fitnah yang dihamburkan oleh Go-bi Thai-houw dan
Cui Im, tentu dia sudah menderita batin hebat sekali kalau dia terkena racun
itu, jangan kau tambah dengan sikap bermusuh dan membenci dirinya. Sebaliknya,
kita harus menolongnya..."
"Cukup!
Memang aku isteri yang galak, wanita yang ganas! Terang-terangan engkau telah
dihina orang, aku membelamu dan kau malah membela orang itu! Sekarang aku
bingung sekali, apakah si keparat Cong San yang gila, ataukah engkau yang
miring otak, ataukah aku yang edan!"
"Aihhh,
isteriku yang baik, kau maafkanlah aku!" Keng Hong merangkul. "Kita
hentikan saja pembicaraan mengenai Cong San sampai lain kali. Betapa pun juga,
yang penting adalah kita berdua dan aku tak ingin kita bertengkar karena dia
atau siapa pun juga. Kau maafkan aku, kalau perlu, biarlah aku berlutut
padamu!" Keng Hong benar-benar segera menjatuhkan diri berlutut di depan
Biauw Eng!
Biauw Eng
terkejut sekali dan cepat dia pun berlutut, merangkul suaminya dan menangis
sesenggukan di dalam rangkulan Keng Hong. Keng Hong mengelus-elus rambut
isterinya, mengangkatnya bangkit dan menuntunnya duduk di kursi.
"Aihh,
aku telah gila, Eng-moi. Masakah aku harus membuat engkau marah hanya karena
seorang yang gila oleh cemburu. Engkau benar, memang kita tidak perlu lagi
memikirkan mereka. Kelak, kalau anak kita sudah besar, kita berdua... ehhh,
bertiga maksudku, akan menengok Leng-kok dan hendak kulihat apa sebetulnya yang
terjadi atas diri Cong San sehingga membuat dia gila dan menulis surat macam
ini kepadaku."
Biauw Eng
masih terisak. "Aku tidak dapat menahan panasnya hati membaca surat yang
memaki dan menghinamu, Hong-ko. Apa pun yang terjadi, betapa besar pun dia
diracuni oleh rasa cemburu, dia tidak boleh menulis penghinaan macam itu.
Biarlah aku menurut kata-katamu, suamiku. Kita tinggal diam saja dengan sabar,
anggap saja dia gila. Kelak kalau keadaan sudah mengijinkan, kita bersama akan
pergi menjumpainya dan menuntut perbuatannya yang tidak pantas ini!"
"Baiklah,
Eng-moi." Biar pun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Keng
Hong merasa khawatir sekali, mengkhawatirkan nasib Yan Cu.
Kalau benar
Cong San menjadi gila oleh cemburu, habis bagaimana nasib sumoi-nya itu? Kalau
saja Biauw Eng tidak sedang mengandung tua, tentulah dia sudah lari ke Leng-kok
untuk menyelidiki dan membikin terang perkara yang menggelapkan pikiran dan
menekan hatinya itu. Dia harus bersabar karena dia mengenal watak Biauw Eng
yang masih belum dapat melenyapkan keganasannya, apa lagi kalau hal yang
menyangkut suaminya yang tercinta.
Apa pun yang
terjadi, yang paling penting adalah keselamatan serta kesehatan isterinya,
Biauw Eng dan anak yang tengah dikandungnya. Keng Hong hanya dapat menarik
napas panjang dan semenjak saat itu, biar pun hanya diam-diam dan dia
menyembunyikan dari isterinya, batinya tertekan dan penuh keprihatinan akan
nasib Cong San dan terutama Yan Cu, sumoi-nya yang amat disayangnya seperti
adik sendiri itu......
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment