Tuesday, August 14, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Kayu Harum Jilid 34



























            Cerita Silat Kho Ping Hoo
       Serial Pedang Kayu Harum
                 Jilid 34


Pintu kamarnya terbuka dan dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hatinya ketika ia melihat bahwa yang memasuki kamarnya adalah raksasa gendut Thai-lek Sin-mo yang memondong tubuh Yan Cu yang kaki tangannya masih terbelenggu, kemudian melempar tubuh Yan Cu ke atas pembaringan yang berada di dalam kamar itu, tepat di depannya.

"Ha-ha-ha!" Thai-lek Sin-mo tertawa bergelak dan bertolak pinggang menghadapi Cong San. Pemuda ini bersikap tenang dan sudah siap untuk melawan kalau si raksasa gendut ini hendak melakukan kekejian terhadap Yan Cu.

"Ang-kiam Bu-tek benar-benar aneh sekali! Memberikan si jelita ini memakai syarat pula, harus kulakukan di kamar ini dan di hadapan matamu, orang muda! Ha-ha-ha! Entah apa kehendaknya, akan tetapi di depanmu atau di mana saja, apa bedanya? Hanya kuharap engkau akan cukup sopan untuk meramkan matamu dan hanya menikmati pertunjukkan ini dengan telingamu saja. Ha-ha-ha! Gadis yang manis seperti bidadari, kau bersiaplah menerima aku!"

Thai-lek Sin-mo membalikkan tubuhnya dan hendak menerkam tubuh Yan Cu yang rebah terlentang di atas pembaringan. Gadis itu memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa dia sedang terancam bahaya hebat, maka mengambil keputusan untuk melawan mati-matian biar pun tangan kakinya terbelenggu.

Sebagai murid tersayang dari Tung Sun Nio, ia memiliki ginkang yang hebat. Kini melihat raksasa gendut itu melangkah maju dengan kedua lengan berbulu dipentang lebar, baju bagian atas terbuka memperlihatkan dada yang berbulu lebat, muka yang menyeringai mengerikan, Yan Cu menggerakkan tangan dan kaki yang terbelenggu ke atas dipan dan sekali mengenjot tubuh, ia telah menendangkan kedua kaki yang terbelenggu itu ke arah pusar Thai-lek Sin-mo!

"Blukkk!"

Serangan ini sama sekali tak disangka-sangka oleh Thai-lek Sin-mo yang tengah dimabuk nafsu birahi, maka mengenai perutnya dengan keras. Namun ternyata raksasa gendut berbangsa Kerait ini memiliki kekebalan sehingga tendangan yang sangat kuat itu hanya membuat dia terhuyung dan mengerutkan kening dengan perut terasa agak mulas.

Sebaliknya, karena kaki tangannya terbelenggu, pada saat kedua kaki Yan Cu bertemu dengan perut yang gendut dan keras itu, tubuhnya sendiri langsung terbanting kembali ke atas pembaringan dengan keras.

"Ha-ha-ha, engkau benar-benar liar! Aku senang... Aku senang sekali... Makin hebat kau melakukan perlawanan, makin menyenangkan, Manis!" Cou Seng sudah melangkah maju lagi mendekati pembaringan sambil tertawa terkekeh-kekeh, dari sudut mulutnya yang lebar menetes air liur seperti seekor anjing melihat daging.

"Thai-lek Sin-mo, tahan!" tiba-tiba Cong San berseru.

Sudah gatal-gatal tangan pemuda ini hendak menerjang raksasa gendut itu. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda yang tenang dan cerdik. Kalau dia menerjang raksasa gendut itu di dalam kamar tahanan, mungkin dia akan berhasil membunuh lawan ini, akan tetapi tidak mungkin akan dapat membebaskan diri dan menolong Yan Cu.

Apa bila terjadi perkelahian di situ, tentu tokoh-tokoh pihak lawan akan datang dan mana mungkin dia dapat melawan mereka? Pihak musuh sangat banyak dan banyak di antara mereka yang memiliki kepandaian amat tinggi.

Thai-lek Sin-mo memutar tubuh seperti singa menoleh. "Mengapa banyak cerewet? Kalau kau tidak suka menonton, pejamkan matamu!" bentaknya.

"Thai-lek Sin-mo, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi dan gagah perkasa, siapa kira ternyata engkau hanya seorang pengecut dan penakut!"

Thai-lek Sin-mo mendelik marah dan inilah yang diharapkan Cong San. Lengan yang besar itu bergerak.

"Plakkk!"

Pipi Cong San ditamparnya keras sekali sehingga pemuda ini merasa kepalanya pening dan ujung bibirnya berdarah. Akan tetapi ia menahan sabar dan melajutkan kata-katanya,

"Engkau hendak menikmati tubuh gadis ini adalah hal yang wajar dan tidak aneh, akan tetapi ke mana perginya sifat gagahmu, sifat laki-lakimu hingga engkau begitu merendah diri untuk melakukannya di sini, terlihat oleh orang lain? Hal itu akan membuat engkau malu dan hina! Apakah kalau engkau membawa dia itu ke hutan lantas menikmatinya di tempat sunyi sepuas hatimu, engkau tidak berani? Takut kalau-kalau gadis yang sudah terbelenggu itu melawanmu? Begitu penakutnya engkau yang berjuluk Thai-lek Sin-mo?"

"Yap-twako...! Kau... Kau...!” Yan Cu terbelalak marah.

Saking marahnya, Yan Cu kembali meloncat dan menerjang Thai-lek Sin-mo dengan dua kakinya. Akan tetapi sekali ini, raksasa gendut itu cepat menyambar lantas mengempit pinggangnya. Kemudian sambil menyeringai ke arah Cong San dia berkata,

"Kalau dipikir, omonganmu benar juga. Tempat ini terlalu sempit untuk menaklukkan kuda betina liar macam ini, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian Thai-lek Sin-mo lalu membawa Yan Cu keluar dari tempat tahanan sambil tertawa-tawa.

Yan Cu berteriak-teriak memaki, "Yap Cong San, ternyata engkau hanya seorang yang berwatak pengecut dan rendah!"

Tentu saja tidak ada penjaga yang merintangi larinya Thai-lek Sin-mo yang memondong tubuh Yan Cu yang masih berteriak-teriak memaki sambil meronta-ronta itu. Ia memasuki sebuah hutan lebat yang sunyi, kemudian sambil tertawa-tawa dia merenggut pakaian Yan Cu, menelanjangi gadis itu yang menyepak-nyepak dan meronta-ronta tanpa hasil.

Melihat tubuh yang menggairahkan itu di bawah sinar bulan, nafsu birahi bernyala-nyala di dalam hatinya. Dia kemudian melemparkan tubuh Yan Cu ke atas rumput, lalu sambil menyeringai dia tergesa-gesa melepas bajunya sendiri dan akhirnya dia mendekati tubuh Yan Cu.

Yan Cu menggulingkan tubuhnya, berusaha menjauhi orang yang mengerikan itu. Tentu saja usahanya sia-sia belaka karena sambil tertawa-tawa seenaknya raksasa gendut itu melangkah lebar mengikuti ke mana tubuh gadis itu bergulingan, lagaknya seperti seekor kucing mempermainkan tikus dan hendak mempermainkan dulu sepuas hatinya sebelum akhirnya menerkamnya.

Yan Cu mengerti bahwa dia tak mungkin dapat membebaskan diri. Maka ketika melihat tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah jurang, tiba-tiba ia menggerakkan tenaga dengan kaki dan tangan menekan tanah dan tubuhnya sudah meloncat untuk terjun ke jurang. Dia memilih hancur ke dalam jurang dari pada menjadi korban perkosaan Thai-lek Sin-mo. Akan tetapi, lengan raksasa itu sudah menyambarnya.

"Ha-ha-ha, tidak boleh, Manis!" kata raksasa itu dan membawa tubuh Yan Cu ke tempat tadi, merebahkan di atas rumput dan dia sendiri berlutut. Yan Cu memejamkan mata, tak tertahan lagi dia terisak menghadapi saat yang mengerikan itu.

"Keparat, lepaskan dia!" Tiba-tiba Cong San muncul dan mengirim pukulan dari belakang.

"Aihhh…!"

Thai-lek Sin-mo terkejut dan cepat meloncat bangun sambil menangkis. Ke dua lengan mereka bertemu dan keduanya segera terhuyung ke belakang. Ternyata tenaga raksasa itu benar-benar hebat sekali.

Untung bahwa Cong San tidak terlambat datangnya dan bahwa Thai-lek Sin-mo hendak mempermainkan dulu korbannya sehingga gadis itu terhindar dari pada perkosaan. Ketika tadi melihat Thai-lek Sin-mo melarikan Yan Cu, Cong San cepat berkelebat keluar, kaki tangannya lantas bergerak cepat merobohkan empat orang penjaga di depan pintu kamar tahanan sehingga mereka roboh tanpa sempat berteriak lagi.

Kemudian Cong San menyelinap keluar, mempergunakan ginkang-nya yang tinggi untuk meloncat-loncat dan menyelinap di antara pohon-pohon mengejar Thai-lek Sin-mo. Kalau saja dia tidak mendengar suara Thai-lek Sin-mo tertawa-tawa, agaknya akan sulit baginya untuk dapat menyusul dengan cepat.

Ketika melihat raksasa itu berlutut dan Yan Cu menangis, kemarahan membuat dada Cong San bagaikan hendak meledak, maka dia langsung mengirim pukulan yang dapat ditangkis oleh raksasa gendut itu.

"Tar-tar-tarrr...!"

Thai-lek Sin-mo sudah melolos cambuk bajanya menyerang Cong San. Raksasa gendut ini marah bukan main karena dalam saat terakhir ketika dia hendak menikmati korbannya muncul pemuda ini yang sama sekali tidak disangkanya. Dia tidak sempat lagi menyelidiki bagaimana pemuda itu dapat terlepas dan muncul, kemarahan membuat dia gelap mata dan langsung menyerang kalang kabut dengan sambaran pecut bajanya yang lihai.

Cong San hanya bertangan kosong. Kedua macam senjatanya, yakni senjata rahasia Touw-kut-chi (Uang logam Penebus Tulang) dan sepasang Im-yang-pit sudah dirampas musuh. Namun pemuda gemblengan ketua Siauw-lim-pai ini bersikap tenang dan tabah. Melihat gulungan sinar hitam dari pecut baja lawan yang menyambar-nyambar, dia lalu mengerahkan ginkang-nya, melesat ke kanan dan kiri sambil berusaha membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh dan dekat.

"Yap Cong San manusia hina! Aku tidak membutuhkan bantuanmu!" Terdengar Yan Cu memaki, menahan isak.

Hatinya masih panas sekali mengingat akan sikap Cong San dalam kamar tahanan tadi yang seolah-olah tidak mempedulikan nasibnya malah memberi nasehat kepada raksasa gendut untuk melarikannya dan memperkosanya di dalam hutan.

Sambil meloncat tinggi dan mengelak dari sambaran pecut yang menyerampang kakinya, Cong San membela diri atas makian gadis yang menjatuhkan hatinya itu, "Harap jangan salah sangka, Moi-moi. Aku sengaja memancing dia ke tempat sunyi ini agar aku dapat menolongmu tanpa gangguan musuh-musuh yang lain!"

"Oohhhh... maaf... maaf...!" Yan Cu kini terisak lagi seperti tadi, hanya bedanya, kini dia terisak karena menyesal akan dugaannya yang keliru sehingga dia memaki pemuda itu, dan karena girang mengharapkan pertolongan.

Mendengar isak tangis gadis itu, Cong San mendapat semangat baru dan gerakannya semakin lincah. Pada saat cambuk itu dengan suara bercuitan menyambar lehernya, dia mengerahkan sinkang, membiarkan ujung cambuk baja membelit leher, namun secepat kilat dia menangkap cambuk dan kedua kakinya mengirim tendangan berantai ke arah pusar dan tangan lawan yang memegang cabuk. Gerakannya cepat sekali, juga sangat kuatnya.

Dalam hal ilmu silat, memang pemuda ini masih menang setingkat kalau dibandingkan lawannya, menang cepat dan ilmu silatnya lebih murni, gerakannya lebih teratur, hanya dalam hal tenaga dia kalah sedikit.

Menghadapi tendangan yang susul-menyusul amat cepatnya ini, Cou Seng terkejut dan mengeluarkan gerengan dahsyat ketika dia terpaksa melepaskan gagang cambuk untuk menyelamatkan pergelangan tangannya dari sebuah tendangan kilat. Cong San cepat melepaskan cambuk dan melempar cambuk itu jauh dari tempat itu.

Akan tetapi, tiba-tiba lawannya yang bertubuh gemuk bundar itu sudah menubruknya dan tahu-tahu kedua lengan yang berbulu dan besar telah memeluk pinggangnya. Betapa pun Cong San mengerahkan tenaga, tetap saja tubuhnya terangkat ke atas dan di banting!

"Brukkk!”

Tubuh Cong San terguling-guling dan kembali raksasa gendut itu menubruk. Akan tetapi sekali ini Cong San yang merasa sakit-sakit pada pinggul dan punggungnya, sudah siap dan kakinya segera menendang dari bawah.

"Desssss!"

Tubuh Thai-Lek Sin-mo yang sedang menubruk maju itu kena ditendang dadanya hingga raksasa itu terbatuk-batuk dan napasnya terasa seperti akan putus. Tapi kiranya dia kuat sekali karena pada saat Cong San meloncat bangun dan memukul ke arah ulu hatinya dengan pukulan keras, raksasa itu masih dapat mengelak miring dan tahu-tahu lengan kanan Cong San sudah ditangkapnya.

Dengan jurus ilmu gulat yang tidak dikenal Cong San, tahu-tahu lengan itu dipelintir dan tubuh Cong San sudah ditelikung, hendak dipatahkan sambungan lengan dari pundaknya! Cong San merasa betapa pundaknya nyeri sekali. Segera dia membalik, mengendorkan lengan kanan yang hendak dipatahkan, lalu jari tangan kirinya menyambar dan menotok pinggang lawan karena keadaan tubuhnya sudah dihimpit ke bawah.

Sedetik saja dia terlambat tentu sambungan lengannya sudah lepas dari pundak! Totokan itu membuat tubuh Cou Seng tiba-tiba lemas dan kesempatan ini dipergunakan oleh Cong San untuk merenggut lengannya terlepas, lantas secepat kilat dia menamparkan tangan kirinya ke arah kepala lawan yang masih lemas dan belum pulih kekuatannya itu.

Kalau tamparan itu mengenai sasaran, betapa pun kebal tubuh Cou Seng, tentu akan pecah kepalanya. Akan tetapi, Cou Seng bukanlah seorang yang lemah dan dia sudah mengalami banyak perkelahian mati-matian. Walau pun kepalanya pening dan tubuhnya lemas akibat totokan di pinggangnya tadi, melihat datangnya tamparan, dia masih sempat melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan sehingga jalan darahnya pulih kembali.

Saat Cong San meloncat mengejar dan mengirim tendangan, tangan kirinya menyambar. Dia memang ahli dalam ilmu gulat yang menggunakan kecepatan gerak jari tangan untuk menangkap bagian tubuh lawan. Kini jari-jari tangan kirinya berhasil menangkap tumit kaki Cong San yang menendang, lalu menggunakan tenaga sentakan sebab untuk memegang terlalu lama pun berbahaya baginya.

Cong San mengeluarkan seruan kaget. Untuk menjaga kakinya yang bisa saja terkilir atau bahkan patah, dia sama sekali tidak melawan, bahkan mengikuti gerak putaran lawannya sehingga tubuhnya terbanting ke kiri, terbanting keras akan tetapi cepat dia melanjutkan bantingan itu dengan loncatan ke atas berjungkir balik beberapa kali.

Setelah dia meloncat turun, dia melihat Cou Seng sudah lari. Celaka, pikirnya, kalau setan itu memanggil kawan-kawannya, maka dia dan Yan Cu akan tertawan kembali! Cepat dia mengambil sebuah batu dan dengan kepandaiannya menyambitkan senjata rahasianya, batu itu melayang ke arah tubuh Cou Seng.

"Aduhhh...!" Tubuh raksasa itu terguling.

Cong San cepat-cepat loncat mendekat dan hampir saja dia menjadi korban tipu muslihat Thai-lek Sin-mo. Ketika pemuda ini membungkuk, tiba-tiba saja kedua tangan raksasa itu menyambar ke atas hendak mencekik lehar.

"Aihhhhh...!"

Cong San cepat menggunakan tangannya, bukan menangkis karena dia sudah maklum akan kekuatan kedua tangan yang sudah menyentuh kulit lehernya sehingga tangkisan mungkin tidak akan menyelamatkan lehernya yang tentu akan remuk oleh cengkeraman lawan. Sebaliknya dia menggunakan jari untuk menotok kedua lengan lawan dekat siku.

Pemuda murid Siauw-lim-pai ini memang seorang ahli totok jalan darah karena sepasang senjatanya, yaitu Im-yang-pit, memang merupakan senjata untuk menotok. Maka tentu saja totokannya tepat mengenai sasaran sehingga kedua lengan lawan menjadi lumpuh dan cekikan itu pun terlepas.

Cou Seng memang hebat sekali ilmu gulatnya. Kedua lengannya sudah lumpuh untuk sementara, akan tetapi kedua kakinya tidak dan sebelum Cong San tahu apa yang akan dilakukan oleh jago gulat yang lihai ini, tahu-tahu kedua kaki raksasa gendut itu sudah membelit dan ‘menggunting’ dua kakinya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, tubuhnya terguling menindih tubuh Cou Seng.

Hebatnya, raksasa gendut ini biar pun perutnya gendut seperti kerbau, ternyata gerakan tubuhnya di atas tanah cepat bukan main sebab begitu lawan roboh karena dia ‘sengkelit’ kakinya, dia sudah menggulingkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya sendiri yang besar dan berat sudah menindih memalang pada tubuh Cong San!

Dalam keadaan rebah tertelungkup ditindih tubuh sebesar Thai-lek Sin-mo yang masih menggunakan tenaga itu sama saja dengan ditindih tubuh seekor gajah sehingga Cong San sampai tak mampu berkutik! Masih untung bagi murid Siauw-lim-pai itu bahwa kedua tangan lawannya masih setengah lumpuh, karena kalau kedua tangan lawannya sudah pulih tenaganya, dalam keadaan tertelungkup dan terhimpit itu tentu saja lawannya akan dapat mengirim pukulan maut dengan amat mudahnya!

Cong San cepat menjangkau untuk meraih dan memukul. Akan tetapi jago gulat itu sudah memperhitungkan ini dan karenanya dia menghimpit tubuh bagian bawah lawan sehingga kedua tangan Cong San tidak dapat memukulnya. Dalam keadaan amat berbahaya ini, Cong San tidak mempedulikan lagi akan peraturan kaum persilatan karena lawannya pun menggunakan ilmu gulat. Ia lalu mencengkeram ke atas dan berhasil menjambak rambut lawan yang terurai lepas, terus menarik rambut itu sekuatnya.

"Wadouuhhh...!"

Kulit Thai-lek Sin-mo boleh jadi kebal, tetapi kalau akar-akar rambutnya hendak tercabut, sakitnya bukan kepalang dan terpaksa dia menjulurkan kepalanya agar tidak terlalu keras tertarik. Namun gerakannya inilah yang mencelakakannya karena kini tangan Cong San dapat bergerak cepat, melepas rambut kemudian jari tangannya ditusukkan ke ubun-ubun lawan.

"Crokkk!" Tiga buah jari tangan pemuda itu amblas memasuki batok kepala kurang lebih lima senti dalamnya, menembus otak.

Teriakan dahsyat keluar dari mulut Cou Seng, tubuhnya berkelojotan kemudian nyawanya melayang. Cong San keluar dari himpitan tubuh berat itu, sejenak matanya memandang dan setelah merasa pasti bahwa lawannya tewas, dia baru lari menghampiri Yan Cu.

Melihat keadaan gadis yang telanjang bulat, Cong San cepat menyambar pakaian gadis itu dan dengan menahan debaran jantungnya serta menahan agar matanya tidak terlalu liar memandang tubuh itu, dia mengenakan pakaian pada tubuh Yan Cu sedapatnya. Yan Cu membantu sebisanya dengan gerakan tubuh karena kedua tangannya terbelenggu ke belakang sedangkan kedua kakinya masih terbelenggu pula.

"Kita harus cepat membuka belenggumu," bisik Cong San.

"Twako, maafkan aku..."

"Hushhh... sudahlah, aku yang salah, menggunakan akal hingga kau keliru menduga...!"

"Dan terima kasih atas pertolonganmu yang tak ternilai besarnya..."

"Sstttt..., jangan ucapkan itu, Moi-moi. Sekarang yang paling penting bagaimana kita bisa mematahkan belenggu."

"Kau sendiri, bagaimana dapat meloloskan diri?"

"Dengan Ilmu Sia-kut Sin-hoat, akan tetapi terlalu lama dan... ahhh..."

"Ehh, kau terluka, Twako?" Yan Cu bertanya kaget.

Cong San mengusap bibirnya yang berdarah. Memang dia terluka, luka di sebelah dalam tubuh yang dia derita dalam perkelahian mati-matian tadi. Di samping luka dalam akibat bantingan dan pukulan, juga lehernya masih terasa nyeri bekas libatan ujung cambuk baja dan pundaknya agaknya terkilir pada saat lengannya hendak dilepaskan dari pundak oleh lawan tadi.

"Luka tidak berarti, yang penting mematahkan belenggumu. Sayang kita tidak membawa senjata..."

Cong San kemudian pergi mengambil dua buah batu besar. Sebuah batu yang terbesar dia letakkan di atas tanah, kemudian dia minta supaya Yan Cu merebahkan tubuh miring sehingga kedua tangannya berada di dekat batu. Setelah mengatur agar belenggu tangan itu berada di atas batu, dia berbisik,

"Tahankanlah, Moi-moi, aku akan mencoba untuk mematahkan belenggu dengan batu ini!"

Yan Cu mengangguk dan mulailah secara bertubi-tubi Cong San menggempur belenggu itu dengan batu yang dipegangnya kuat-kuat. Tentu saja tak mungkin dapat mematahkan belenggu besi dengan batu tanpa menggunakan tenaga sinkang dan untuk perkerjaan ini, Cong San mengerahkan seluruh tenaganya. Rasa sakit-sakit di tubuhnya bertambah dan keringat sudah membasahi seluruh muka dan lehernya ketika akhirnya dia berhasil juga mematahkan belenggu kedua tangan Yan Cu.

Gadis ini pun bukannya tidak menderita. Tiap kali belenggu tangannya dipukul, rasa pedih dan panas menjalar dari pergelangan tangan bagai menusuk jantung. Maka begitu kedua tangannya terlepas, dia lalu merangkul leher pemuda itu dan dia membenamkan mukanya di dada yang basah oleh keringat.

"Ehhh...! Ahhh...! Belenggu kakimu, Moi-moi...!" Cong San tidak tahu mana yang lebih membingungkan hatinya, rangkulan kedua lengan itu ataukah belenggu kaki Yan Cu yang belum patah!

Untuk menyembunyikan kebingungannya, Cong San segera mulai hendak mematahkan belenggu kaki dengan batu tadi sungguh pun tenaganya sudah hampir habis dan dadanya terasa sasak. Karena kaki gadis itu agak jauh dari batu yang dipakai landasan, maka Cong San memegang pergelangan kaki gadis itu untuk di dekatkan dengan batu.

"Plakkk!"

Cong San terkejut sekali karena tangannya yang memegangi kaki itu ditampar. Lebih kaget lagi ketika dia menengok, dia melihat pandang mata gadis itu penuh kemarahan.

"Yap-twako, apakah engkau juga menjadi kurang ajar?!"

Cong San terbelalak kaget, "Apa...?!"

"Kau meraba-raba kaki, mau apa?"

"Ehh... ohhh ... aku... aku hendak mematahkan belenggu kakimu..."

Sejenak pandang mata gadis itu menatapnya tajam penuh selidik, kemudian tersenyum dan merangkul pundak pemuda itu, melonjorkan kakinya, dan berkata lirih,

"Maafkan aku... ah. Aku selalu berprasangka buruk terhadap dirimu, Twako. Lakukanlah... dan... terima kasih."

Hemmm, sungguh gadis yang aneh dan... menggemaskan, pikir Cong San. Bukan gemas marah, melainkan gemas mengkal membuat orang ingin mencubitnya!

Gadis itu merangkul lehernya, kini merangkul pundaknya dan meletakkan pipinya di atas pundaknya, semua itu dilakukan dan boleh-boleh saja. Sedangkan dia, baru meraba kaki karena hendak mematahkan belenggu saja, tangannya ditampar dan disangka kurang ajar! Aturan mana ini? Mau menang sendiri saja!

Dengan hati gemas Cong San lalu memukuli batu yang dipegangnya pada belenggu kaki dan karena besi belenggu itu lebih besar dari pada belenggu tangan, tentu saja lebih sukar dipatahkan. Tetapi dia bekerja terus, tidak sadar betapa gadis itu terus memandangnya dengan sinar mata sayu, tidak merasa betapa peluh bercucuran dari dagu dan lehernya.

"Twako...!"

Suara itu terdengar dekat sekali dengan telinga, bisikan yang menghembuskan napas halus ke kuduknya.

"Hemmm...?" Cong San tidak menghentikan usahanya mematahkan belenggu, dia terus menghantam sampai telapak tangannya lecet-lecet berdarah.

"Kenapa engkau begini baik terhadapku, Twako?"

"Hemmmm...?" Sekarang Cong San menghentikan hantamannya pada belenggu kaki itu dan melirik ke kanan, ke arah pundaknya di mana gadis itu meletakkan pipinya. Tiba-tiba jantung pemuda ini berdebar keras. Wajah itu begitu dekat sehingga dia dapat merasakan hembusan napas hangat di pipinya, dan pandang mata itu begitu lembut, jari-jari tangan yang halus itu kini mengusap peluh dari lehernya, begitu mesra!

"Moi-moi, mengapa kau masih bertanya lagi? Aku bersedia membela dan melindungimu dengan taruhan nyawaku."

"Aku tidak menanyakan hal itu, Twako. Yang aku ingin ketahui adalah mengapa engkau amat baik terhadap aku?'

Benar-benar gadis yang aneh. Apa bedanya? Jawaban tadi bukankah sudah menjelaskan isi hatinya? Diam-diam Cong San tersenyum di dalam hatinya. Hemmm, agaknya gadis ini menghendaki jawaban yang langsung. Baiklah!

"Aku akan selalu bersikap baik terhadap dirimu, Moi-moi, untuk selama hidupku, karena aku cinta padamu, Moi-moi."

"Benarkah Twako? Benarkah engkau mencintaku? Sungguh-sungguh?"

Hemmm! Betapa mengemaskan! Cong San menarik napas panjang. "Tentu saja, Moi-moi, tentu saja sungguh-sungguh. Aku berani bersumpah!" Ketika dia memberanikan diri untuk bertanya, "Dan bagaimana tanggapanmu, Moi-moi?"

"Apa? Tanggapan bagaimana?"

Hemmm, bocah ini! Ingin sekali Cong San mencubit bibir yang bertanya seperti orang yang pura-pura tidak mengerti itu.

"Bagaimana dengan hatimu? Dapatkah kau menerima cinta kasihku? Apakah... apakah mungkin seorang gadis jelita seperti engkau mencintaku?"

Yan Cu membelalakkan matanya dan merenggangkan matanya dari atas pundak Cong San, tidak tahu betapa gerakan itu amat mengecewakan hati pemuda itu. "Cinta? Apa sih cinta itu, Twako?"

"Cinta ya cinta! Bagaimana, Moi-moi? Bagaimana perasaan hatimu terhadap diriku? Apa engkau juga cinta kepadaku?"

Yan Cu menggeleng-gelengkan kepala, membuat hati Cong San laksana tertindih anak gunung. "Sampai kini pun aku belum mengerti jelas bagaimana cinta itu sesungguhnya, Twako. Karena belum mengerti, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu itu?"

Cong San menarik napas panjang, hatinya tidak seberat tadi akan tetapi tetap saja dia masih belum puas, merasa seperti tergantung di awang-awang, tenggelam tidak terapung pun belum! Kemudian dia teringat akan pekerjaannya dan tanpa berkata apa-apa dia lalu melanjutkan menghantam belenggu kaki dengan batu sekuat tenaga.

"Yap-twako, kau marah?"

"Hemmm? Tidak.." Akan tetapi hantamannya makin keras saja.

"Biar kugantikan kau, Twako. Lihat tanganmu sudah lecet-lecet. Kasihan engkau, Twako." Suara lembut ini merupakan kompres yang mendinginkan hati Cong San.

Akan tetapi, pada saat dia hendak menyerahkan batu itu kepada Yan Cu, mendadak dia meloncat bangun dengan kaget. Yan Cu juga meloncat berdiri, lupa bahwa kakinya masih terbelenggu sehingga dia hampir terguling bila lengannya tidak disambar oleh Cong San. Ternyata di depan mereka telah berdiri Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong, dua orang di antara Empat Datuk Golongan Sesat yang sakti!

Namun, melihat dua orang musuh ini, Cong San berteriak keras dan menyerang dengan nekat ke arah Pat-jiu Sian-ong, menggunakan batu yang dipegangnya. Pat-jiu Sian-ong menangkis dengan tangan kiri. Batu ini hancur bertemu dengan tangan Pat-jiu Sian-ong dan Cong San yang sudah kehabisan tenaga itu terhuyung, kemudian roboh terkena tepukan tangan kakek kecil itu pada pundaknya.

Yan Cu yang kakinya masih terbelenggu akan tetapi kedua tangannya sudah bebas itu pun secara nekat telah meloncat ke depan dan memukul dengan kedua tangannya. Hebat pukulan gadis ini, akan tetapi yang diserangnya adalah seorang tokoh yang menjadi datuk hitam.

Kalau saja kakinya tidak terbelenggu, mungkin dengan kepandaiannya yang sudah amat tinggi itu Yan Cu masih mampu melawan. Akan tetapi kini gerakannya kaku dan sebuah tamparan dari samping oleh kakek seperti raksasa dengan kulit hitam arang itu membuat Yan Cu terlempar dan terbanting di dekat Cong San. Sebelum dua orang muda itu sempat bergerak, ujung jari tangan kedua kakek itu sudah menotok mereka lumpuh dan dengan mudah kedua orang kakek itu mengempit tubuh mereka untuk dibawa kembali ke dalam benteng!


Demikianlah keadaan dua orang muda itu yang sekarang sudah berada di dalam kamar tahanannya kembali. Mereka dilemparkan ke dalam kamar tahanan dan setelah Yan Cu dapat bergerak lagi, biar pun kedua tangannya kini telah dipasangi belenggu baru, gadis ini cepat menghampiri Cong San yang masih pingsan dan menggunakan pengertiannya tentang ilmu pengobatan untuk merawat pemuda itu memulihkan tenaga serta mengobati luka-luka di dalam tubuh yang tidak membahayakan nyawanya akan tetapi memerlukan perawatan yang teliti.

Peristiwa itu terjadi sehari sebelum Cui Im mengunjungi kamar tahanan Keng Hong dan membawa Biauw Eng ke kamar pemuda itu. Dia sengaja membohong dan menceritakan bahwa dia sudah menghadiahkan Yan Cu kepada Thai-lek Sin-mo, tapi tidak mengatakan bahwa kawannya itu sudah tewas di tangan Cong San. Setelah membuat Keng Hong dan Biauw Eng menjadi gelisah memikirkan keselamatan Yan Cu dan Cong San, Cui Im lalu bertepuk tangan lagi dan muncullah kedua orang murid Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to.

"Panggil dua ekor babi itu ke sini!"

Dua orang murid Pat-jiu Sian-ong itu saling pandang. Jelas mereka merasa kecewa dan ragu-ragu dan memang sayang sekali kalau Biauw Eng yang demikian cantik jelita hanya diberikan kepada dua orang anggota anak buah benteng yang tingkatnya paling rendah! Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah dan cepat pergi.

Tidak lama kemudian muncullah dua orang laki-laki bangsa Mongol yang setengah liar. Tubuh mereka tinggi besar dengan otot-otot menonjol pada kaki tangan dan dada mereka yang telanjang. Hanya sehelai cawat yang kecil kotor saja menutup tubuh mereka, tubuh yang kulitnya retak-retak seperti kulit buaya, kering keras dan kasar. Muka mereka buruk sekali, dengan mata sipit yang dilebar-lebarkan, serta mulut yang tak dapat tertutup rapat. Kedatangan mereka berdua ke dalam kamar itu membawa bau yang apek dan tidak enak.

Agaknya sebelum ke sini mereka itu telah diberi tahu akan tugas mereka, karena begitu memasuki kamar, mereka langsung memandang ke arah Biauw Eng sambil tertawa-tawa ha-ha he-he bagaikan sikap orang yang pikirannya tidak normal. Akan tetapi, betapa pun bodohnya, kedua orang liar kasar ini agaknya sangat takut kepada Cui Im dan mereka hanya berdiri menghadapi Cui Im sambil menanti perintah.

Cui Im menoleh kepada Keng Hong dan hatinya yang penuh kebencian itu menjadi girang menyaksikan betapa wajah Keng Hong yang biasanya tenang itu kini berubah, menatap ke arah dua orang pria itu dengan penuh kengerian dan kebencian, juga ia gembira sekali melihat betapa wajah Biauw Eng pucat ketika pandang mata gadis itu tertuju kepada dua orang laki-laki setengah telanjang itu.

"Hi-hi-hik, Biauw Eng, boleh jadi engkau tahan siksaan dan tidak takut mati, tetapi kuat dan beranikah engkau menghadapi kedua ekor babi hutan ini yang akan memperkosamu sampai mati di depan pandang mata kekasihmu, Keng Hong?"

Biauw Eng menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat dan bibirnya mengeluarkan suara gemetar.

Cui Im tertawa terkekeh-kekeh. "Ha-ha-ha-heh-heh, Sie Biauw Eng yang terkenal sebagai seorang wanita tanpa pernah mengenal takut, yang berwatak dan berdarah dingin seperti mayat hidup, sekarang baru mengenai artinya takut dan baru ngeri hatinya. Hi-hi-hik-hik, alangkah lucunya!"

"Bhe Cui Im!" Suara bentakan Biauw Eng terdengar melengking dan mengandung hawa dingin yang mengejutkan Cui Im. Suara ini mengingatkan dia akan masa dahulu ketika ia masih menjadi suci dari gadis itu dan ketika tingkat kepandaiannya masih jauh berada di bawah Biauw Eng sehingga dia tunduk kepada sumoi-nya. Dia memandang dan melihat sinar mata Biauw Eng yang mengandung keberanian luar biasa seperti dahulu.

"Cui Im, jangan kira bahwa aku merasa takut atau ngeri menghadapi rencanamu yang keji. Engkau tahu bahwa dengan kepandaianku, aku dapat membuat tubuhku seperti mati dan apa pun yang akan dilakukan orang terhadap tubuhku, tidak akan dapat menyentuh perasaan hatiku. Akan tetapi, aku kasihan pada Keng Hong yang akan menyaksikannya. Cui Im, apa sih untungmu menyiksa kami seperti ini? Kalau memang sudah tidak ada jalan lain, kau bunuh saja kami."

Diam-diam Cui Im menjadi makin marah dan habislah harapannya untuk dapat memaksa Keng Hong agar memberikan ilmu yang diinginkannya. Maka dia melambaikan tangannya kepada dua orang raksasa telanjang itu.

Dua orang Mongol ini saling pandang, menyeringai seperti dua ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang. Melihat ini, Cui Im cepat berkata, "Bedebah! Jangan berebut, lakukan berdua dengan kerja sama yang baik!"

Dua orang raksasa itu menjadi takut dan mereka bergerak perlahan-lahan menghampiri pembaringan di mana tubuh Biauw Eng sudah rebah terlentang. Setelah dekat dengan pembaringan dan Biauw Eng yang sudah putus asa itu sudah memejamkan mata sambil menggunakan kepandaiannya untuk mematikan segala panca indera, dua pasang lengan yang panjang serta jari-jari tangan yang besar dan kasar itu bergerak hendak menjamah tubuh Biauw Eng, hendak merenggut lepas pakaian gadis itu sebagai langkah pertama kedua orang laki-laki liar yang melaksanakan tugas penuh gairah itu.

"Tahan! Kalau tangan-tanganmu yang kotor menyentuh gadis itu, kalian akan mampus!" bentak Keng Hong yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan sepasang matanya memandang bagai mengeluarkan api bernyala-nyala kepada dua orang raksasa Mongol.

Kedua orang itu terkejut mendengar suara yang mengandung khikang kuat dan sangat berwibawa itu. Akan tetapi pada saat mereka menoleh dan melihat betapa Cui Im hanya tertawa mengejek, mereka pun tertawa kemudian melanjutkan gerakannya yang tertunda. Seorang meraih baju, seorang lagi meraih celana.

"Krakkkkk-krakkkkk!"

Tiba-tiba terdengar suara keras, belenggu tangan dan kaki Keng Hong hancur berantakan dan tubuhnya sudah mencelat ke depan. Saking kagetnya menyaksikan hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu, Cui Im hanya memandang terbelalak melihat betapa tubuh Keng Hong sudah berkelebat maju, kedua tangannya menjambak rambut kepala kedua orang raksasa itu dan sekali gerak, dia sudah membenturkan dua buah kepala itu satu sama lain sehingga terdengarlah suara keras sekali dan dua buah kepala itu pecah berhamburan!

Tanpa bersambat lagi dua orang raksasa Mongol itu tewas seketika. Gerakan Keng Hong demikian cepat sehingga kedua orang itu sama sekali tidak sempat untuk membela diri.

Keng Hong meraba belenggu kaki tangan Biauw Eng. Dengan beberapa kali renggutan sambil mengerahkan sinkang-nya yang sudah mencapai tingkat sangat tinggi, belenggu pada kaki tangan Biauw Eng patah-patah.

"Lekas engkau pergi menolong mereka..." Keng Hong berkata sambil cepat membalikkan tubuh menghadapi Cui Im.

Biauw Eng mengerti apa yang dimaksudkan Keng Hong, maka dia lalu meloncat keluar melalui pintu kamar tahanan itu, membiarkan Keng Hong yang dia percaya penuh akan kelihaiannya untuk menghadapi Cui Im yang merupakan lawan terkuat. Biauw Eng juga maklum bahwa saatnya untuk memberontak dan melawan mati-matian telah tiba, maka ia pun tidak mau ragu-ragu lagi.

Begitu tiba di luar pintu kamar itu, empat orang penjaga yang baru datang karena kaget mendengar suara ribut-ribut, langsung dirobohkan oleh Biauw Eng dalam sekejap mata. Bahkan gadis itu segera menyambar sebatang pedang yang dirampasnya dari seorang di antara mereka yang dirobohkannya.

Cui Im telah dapat menguasai hatinya yang sejenak tadi mengalami guncangan saking kagetnya melihat Keng Hong tiba-tiba saja dapat membebaskan diri dari belenggu itu. Kini mengertilah dia bahwa selama ini Keng Hong hanya berpura-pura menjadi tawanan dan bahwa jika memang dikehendaki, pemuda luar biasa itu setiap saat dapat membebaskan diri sendiri.

Akan tetapi Cui Im tidak menjadi takut. Cepat dia mencabut pedang Siang-bhok-kiam, pedang kayu milik Keng Hong yang telah dirampasnya dan dia telah siap melawan Keng Hong dengan pedang itu.

"Hemm... kiranya engkau telah mengatur semua rencana untuk menyelamatkan diri, Keng Hong. Jangan kira akan mudah saja!" Ia tertawa dan memandang Pedang Kayu Harum di tangannya lalu menyambung, "Sungguh tidak kusangka sama sekali bahwa akhirnya Cia Keng Hong, pewaris utama Siang-bhok-kiam, justru akan mati di ujung Siang-bhok-kiam sendiri!"

Setelah berkata demikian, Cui Im lalu menerjang maju dengan pedang digerakkan cepat sekali, mengirim serangan kilat ke arah tenggorokan Keng Hong dengan ujung digetarkan dan siap melanjutkan serangan dengan goresan ke bawah untuk membelah dada! Hebat sekali penyerangan Cui Im ini, selain cepat, juga mengandung sinkang yang kuat sekali.

Keng Hong meraba ke arah pusarnya. Ketika tangan itu diangkat ke atas, berkelebatlah sinar kehijauan menangkis pedang kayu di tangan Cui Im.

"Krekkkkkk!"

"Aihhhhh...!"

Cui Im terkejut bukan main melihat Pedang Kayu Harum di tangannya itu sudah hancur berkeping-keping ketika bertemu dengan pedang di tangan Keng Hong. Pada waktu dia memandang, hatinya makin terkejut melihat bahwa pemuda itu ternyata juga memegang sebatang pedang kayu yang serupa benar dengan pedangnya tadi.

Teringatlah dia akan akal Keng Hong dahulu mengelabui para pimpinan Kun-lun-pai, dan tahulah dia bahwa pedang Siang-bhok-kiam yang dirampasnya dari Keng Hong dan yang tadi dia gunakan itu ternyata pun hanya sebatang Siang-bhok-kiam palsu saja, sedangkan Pedang Kayu Harum yang aslinya masih berada di tangan Keng Hong, disembunyikan di dalam celananya!

"Keparat, penipu busuk!" Cui Im menjerit penuh kemangkalan.

Ia membuang gagang pedang kayu palsu, kemudian sekali tangannya bergerak, tampak sinar merah menyilaukan mata dan kini pedang merahnya yang terkenal telah berada di tangannya, kemudian langsung dia mengirim tusukan dengan pedang merahnya.

Keng Hong cepat-cepat menangkis, bahkan dia melanjutkan tangkisan dengan tusukan Siang-bhok-kiam dengan gerakan melengkung, mengarah ke ubun-ubun lawan.

"Cringgggg...!"

Cui Im maklum akan bahaya maut ini maka cepat menangkis sekuat tenaga. Namun tetap saja dia merasa betapa tangan kanannya kesemutan sampai dia cepat-cepat meloncat mundur. Pada saat itu, dari pintu muncullah Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong. Tanpa banyak cakap lagi, dua orang kakek yang sudah maklum akan kelihaian Keng Hong, maju menerjang pemuda itu dengan senjata mereka.

Keng Hong tahu akan bahayanya dikeroyok tiga orang sakti ini, apa lagi di tempat yang sempit. Sebenarnya, dia tidak merasa takut dan merasa yakin akan sanggup menandingi mereka, namun hatinya penuh kekhawatiran akan nasib tiga orang temannya, terutama sekali tentu saja nasib Biauw Eng.

Karena itu, tiba-tiba saja dia mengeluarkan bentakan nyaring, pedang Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak cepat menangkis kebutan hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong beserta pedang merah di tangan Cui Im yang menyerangnya. Sekaligus dia telah menangkis dua senjata lawan ini.

Akan tetapi dia pun waspada terhadap serangan Pak-san Kwi-ong, maka tubuhnya cepat sekali bagaikan burung terbang melesat di antara dua buah tengkorak manusia yang menyambar-nyambar di ujung rantai yang dipegang oleh kedua tangan kakek tinggi besar hitam itu. Sambil melesat di antara dua buah buah tengkorak itu, Keng Hong memutar pedang dibantu tangan kirinya yang mendorong dengan pukulan sinkang sehingga angin bercuitan menyambar tiga orang lawan dibarengi sinar kehijauan Siang-bhok-kiam.

Tiga orang lawannya yang memiliki ilmu tinggi cukup waspada, maka mereka melangkah mundur dan memutar senjata melindungi tubuh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat keluar pintu kamar tahanan.

Suara hiruk-pikuk beradu senjata menarik perhatiannya dan ke tempat itulah Keng Hong meloncat secepat kilat. Dugaannya benar. Di dalam sebuah kamar tahanan lain, dia melihat Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mengamuk dikeroyok banyak tokoh musuh. Biauw Eng bersenjatakan pedang, Yan Cu agaknya sudah berhasil merampas pedang pula sehingga kini gadis perkasa ini juga mengamuk menggunakan kaki tangannya.

Ketika tadi dibebaskan Keng Hong, Biauw Eng berhasil menemukan Yan Cu yang sedang merawat Cong San di dalam kamar tahanan. Biauw Eng merobohkan beberapa orang penjaga dan dengan senjata rampasannya dia berhasil pula mematahkan belenggu kaki tangan kedua orang teman itu.

Akan tetapi mereka segera dikurung dan dikeroyok oleh Gu Coan Kok, Hok Ku, keempat Pak-san Su-liong yaitu murid-murid Pak-san Kwi-ong yang bersenjata rantai tengkorak, dan kemudian datang pula Thian-te Siang-to bersama tokoh-tokoh lain anak buah Pat-jiu Sian-ong sehingga di dalam kamar tahanan itu terjadi pertempuran yang amat hebat dan mati-matian.

Melihat keadaan tiga orang kawannya yang masih selamat biar pun telah terdesak hebat, Keng Hong menjadi lega hatinya. Ia mengeluarkan pekik melengking tinggi dan tubuhnya menerjang maju. Bobollah kepungan itu dan beberapa orang terpelanting oleh terjangan pemuda sakti ini yang terus melompat ke dalam sambil berseru,

"Kita terjang keluar! Cepat...!"

Namun pada saat itu Cui Im, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong sudah datang, dalam pengejarannya terhadap Keng Hong sehingga jalan keluar melalui pintu sudah terhalang oleh tiga orang yang lihai ini. Pat-jiu Sian-ong menggeluarkan suara bersuit nyaring dan semua orang yang mengeroyok berloncatan keluar dari kamar itu.

"Awas jebakan...!" Keng Hong memperingatkan teman-temannya.

Akan tetapi mereka berada di dalam kamar yang dipagari musuh dengan senjata siap menyerang kalau mereka keluar, maka jalan keluar pada saat itu sama sekali tertutup. Terdengar suara keras dan tiba-tiba lantai kamar tahanan itu turun ke bawah!

Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu terkejut sekali, namun betapa pun tinggi kepandaian empat orang muda ini, mereka sama sekali tidak berdaya menyelamatkan diri dan terpaksa tubuh mereka ikut terbawa turun oleh lantai kamar itu. Pada saat mereka memandang ke atas, ternyata lubang di atas telah tertutup dan mereka terjebak ke dalam sumur yang amat dalam dan gelap!

Cui Im membanting-banting kaki. "Sialan! Mereka sudah menimbulkan kekacauan besar sehingga kita telah kehilangan tiga orang pembantu!"

"Hanya dua orang, Lian Ci Sengjin dan Thai-lek Sin-mo, bukan tiga orang," kata Pat-jiu Sian-ong menghibur. "Kita masih cukup kuat."

"Tiga orang," bantah Cui Im. "Yang dua orang tewas, yang seorang, yaitu Sian Ti Sengjin tenggelam dalam kedukaan seperti orang kehilangan semangat."

"Kedukaannya akan dapat di atasinya," kata Pak-san Kwi-ong. "Yang patut disayangkan adalah terlepasnya harapan kita mendapat bantuan Go-bi Thai-houw."

"Lebih baik sekarang juga kita bergerak ke puncak. Siapa tahu akan terjadi perubahan yang merugikan mereka. Pat-jiu Sian-ong, harap dipersiapkan barisan sekarang juga. Kita gempur mereka di puncak!"

"Mereka itu, bagaimana?" Tanya tuan rumah yang menudingkan telunjuknya ke arah sumur jebakan di bawah kamar tahanan di mana empat orang muda itu terjeblos.

"Bunuh mereka! Hujani anak panah!" kata Pak-san Kwi-ong.

Cui Im menggeleng kepala. "Percuma. Mereka adalah orang-orang lihai. Mana mungkin anak-anak panah membunuh mereka? Sian-ong, apakah di dalam lubang itu tidak ada alat rahasia yang dapat membunuh mereka?”

Pat-jiu Siang-ong menggelengkan kepala. "Tempat itu dibuat khusus untuk menjebloskan tawanan, bukan dimaksudkan untuk membunuh."

"Hemmm, kalau begitu kita pergunakan cara yang paling menyakitkan, biar pun agak lama akan tetapi pasti Keng Hong tidak mampu melawannya, yaitu membiarkan mereka mati kelaparan dan kehausan. Akan tetapi, tempat ini harus diteliti supaya tidak sampai mereka bobol."

Pat-jiu Sian-ong tertawa. "Ha-ha-ha-ha! Jangankan manusia, biar gajah sekali pun kalau sudah terjeblos di situ takkan mampu lolos. Dindingnya terbuat dari baja, dan tidak ada cara untuk meloncat ke atas karena bagian atas tertutup pula oleh lapisan baja yang tebal."

Demikianlah, setelah mengadakan perundingan Cui Im bersama teman-temannya segera memimpin pasukan untuk menyerang ke puncak Tai-hangsan di mana sedang berkumpul tokoh-tokoh partai besar yang menentang mereka. Sian Ti Sengjin memerintahkan anak buah Phu-niu-san yang ikut bersama dia dan mendiang sute-nya, akan tetapi dia sendiri tetap tinggal di benteng itu, pertama untuk mengabungi kematian sute-nya, ke dua untuk membantu penjagaan kalau-kalau para tawanan akan meloloskan diri.

Cui Im menyetujui permintaannya, pertama karena kepandaian bekas tokoh Kun-lun-pai ini pun baginya tidaklah amat dibutuhkan, ke dua karena memang perlu ada orang pandai yang membenci Keng Hong ikut pula menjaga agar tawanan tidak sampai lolos. Dan dia tahu betapa bencinya bekas tokoh Kun-lun-pai ini kepada Keng Hong, karena bukankah pemuda itu yang telah menyeret jatuh kedudukannya yang tinggi di Kun-lun-pai?

Menjelang pagi, rombongan ini berangkat dan mereka yang ditinggalkan di benteng lantas melakukan penjagaan di sekitar benteng. Sian Ti Sengjin sendiri tak pernah meninggalkan bekas kamar tahanan yang kini sudah menjadi sumur atau kuburan bagi empat orang muda yang terjeblos.


                   ***************




Keng Hong dan tiga orang temannya tidak mudah putus asa. Di bawah pimpinan Keng Hong, mereka melakukan segala usaha untuk mencari jalan keluar. Mereka memeriksa dinding, mencoba untuk meloncat ke atas mendobrak penutup di bagian atas. Namun semua usaha sia-sia belaka dan akhirnya mereka berempat harus mengakui bahwa sekali ini mereka benar-benar tidak berdaya.


"Agaknya kita akan terkubur hidup-hidup di tempat ini sampai mati," Biauw Eng berkata dengan suara tenang.

"Kalau benar Tuhan menghendaki demikian, aku tidak menyesal, Biauw Eng. Hidup atau pun mati, aku tetap akan merasa bahagia karena ada engkau di sampingku."

Hening sejenak di tempat gelap pekat itu, kemudian baru terdengar suara lirih Biauw Eng, "Sesudah mendengar penuturan Cui Im, barulah aku sadar betapa engkau sangat baik kepadaku, Keng Hong. Engkau terlalu baik untukku..." Dia menahan ucapannya karena seolah-olah baru teringat bahwa ada dua pasang telinga lain yang turut mendengarkan percakapan mereka.

Maka Biauw Eng diam saja tanpa bicara lagi dan hanya menyambut jari-jari tangan Keng Hong yang di dalam gelap itu mencengkeram tangannya, dan membalas dengan tangan yang menggetarkan perasaan kasih mesra.

Di sudut lain dari sumur itu, Cong San memegang tangan Yan Cu dan berbisik, "Aku juga sependapat dengan Keng Hong, Moi-oi. Aku tidak menyesal, biar sampai mati sekali pun, asal bersama engkau."

"Ssttt... Didengar orang. Malu...!" bisik Yan Cu akan tetapi dia tak melepaskan tangannya.

Tanpa berkata-kata, dua pasang orang muda itu saling berpegang tangan di dalam gelap. Cong San berbahagia sebab biar pun gadis yang dicintanya belum melakukan pengakuan dengan mulut, akan tetapi dia merasa yakin bahwa gadis itu tidak akan menolak dirinya.

Yan Cu sendiri masih ragu-ragu dan masih mencari-cari, karena hatinya masih bimbang apakah dia mencinta Cong San ataukah mencinta Keng Hong. Keduanya adalah pemuda yang sepenuhnya memenuhi syarat untuk dicinta, keduanya sama berharga, akan tetapi mengingat bahwa Keng Hong jelas mencinta Biauw Eng, maka agaknya terpaksa harus menjatuhkan pilihan hatinya kepada murid Siauw-li-pai yang perkasa ini.

Ada pun Keng Hong dan Biauw Eng yang duduk sambil berpegang tangan, mengenang semua peristiwa yang mereka alami. Masing-masing mengaku betapa mulia hati orang yang dicinta sehingga timbul perasaan aneh, yaitu baik diri sendiri kurang berharga untuk menjadi jodoh masing-masing.

Diam-diam Biauw Eng merasa betapa orang seperti Keng Hong lebih tepat menjadi suami seorang gadis cantik jelita dan bersih seperti Yan Cu, tidak seperti dia, seorang puteri tokoh dunia hitam, seorang yang pernah menerima cinta kasih laki-laki, yaitu Sim Lai Sek. Di lain pihak, Keng Hong juga merasa menyesal sekali atas semua kelakuannya yang sudah-sudah, merasa betapa dia sama sekali tak berharga untuk mempersunting seorang gadis sehebat Biauw Eng!

Demikianlah, dalam sumur maut ini, di mana nyawa mereka tergantung di ujung rambut, tidak ada jalan keluar dan tidak ada harapan untuk hidup, hanya menanti datangnya maut entah secara bagaimana, terjadi getaran-getaran dari perasaan empat orang muda itu, empat orang muda yang dibuai oleh cinta kasih. Mereka itu sama sekali tidak memikirkan akan keadaan mereka, tidak ingat bahwa mereka akan mati, sehingga sia-sia saja segala cita-cita mereka.

Maka terbuktilah kekuatan cinta yang maha hebat, yang dapat mengalahkan maut sendiri. Dengan senjata cinta kasih di hati, manusia sanggup menghadapi maut dengan senyum ikhlas di mulut.


                   ***************


Tan Hun Bwee melakukan perjalanan dengan susah payah, kadang-kadang terhuyung, kadang-kadang merangkak, dalam keadaan terluka parah, dengan anak panah masih menancap pada perutnya dan darah menetes-netes sepanjang jalan.

Akan tetapi mulutnya tak pernah berhenti berbisik, "Aku harus menolong mereka... harus menyelamatkan mereka..."

Ketetapan hati untuk dapat menolong empat orang muda terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng inilah agaknya yang menolong memperkuat tekadnya, yang lalu menimbulkan daya tahan luar biasa sehingga gadis yang terluka parah ini masih mampu merayap dan mendaki puncak Tai-hang-san selama tiga hari tiga malam tanpa mengaso!

Di puncak Tai-hang-san, bertempat di pondok yang dulu dibangun oleh seorang pertapa yang sekarang sudah meninggal dan merupakan pondok kosong yang tidak terpakai lagi, berkumpul tokoh-tokoh partai persilatan dan tokoh-tokoh kang-ouw untuk membicarakan keadaan pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw yang kini mengalami perubahan besar.

Kaisar Yung Lo merebut kekuasaan dengan mengalahkan keponakannya sendiri melalui suatu perang saudara antara bangsa sendiri. Setelah naik tahta kerajaan sebagai Kaisar Beng-tiauw pada tahun 1403, kemudian memindahkan kota raja ke utara, maka terjadilah perubahan besar dan perang saudara pun terhenti.

Akan tetapi, melihat betapa kaum sesat kini juga mulai mengulurkan tangannya mencari pengaruh di antara para pembesar kerajaan, bahkan ada pula yang menyusup ke istana kaisar, para tokoh partai besar dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw merasa gelisah.

Munculnya tokoh-tokoh kaum sesat ini sudah pasti akan menimbulkan kekacauan, apa lagi kalau mereka itu ditunggangi oleh kaum pemberontakan, yaitu mereka yang secara diam-diam masih bersetia kepada raja yang dikalahkan. Biar pun pada lahirnya mereka ini tidak bergerak, namun diam-diam mereka dapat melakukan gerakan di bawah tanah dan bersekongkol dengan tokoh tokoh kaum sesat.

Inilah yang menyebabkan para tokoh partai besar itu kini mengadakan perundingan dan pertemuan di puncak Tai-hang-san. Pada waktu itu, sudah banyak tokoh kang-ouw yang hadir, tak kurang dari lima puluh orang wakil-wakil dari partai besar dan perorangan yang bersepakat untuk mengirim utusan menghadap kaisar supaya mau berhati-hati dan tidak menggunakan tenaga tokoh-tokoh sesat.

Di dalam pertemuan ini, hadir utusan-utusan yang merupakan tokoh-tokoh penting. Dari Siauw-lim-pai hadir Thian Kek Hwesio yang berwatak kasar dan jujur bersama tiga orang tokoh-tokoh lebih muda, dari Hoa-san-pai hadir kedua kakak beradik Coa Kiu dan Coa Bu mewakili ketua Hoa-san-pai, dua orang kakek yang terkenal pula sebagai Hoa-san Siang-sin-kiam.

Ada pun dari partai Kong-thong-pai hadir empat orang kakek yang dahulu telah berjumpa dengan Keng Hong ketika mereka ini mendaki puncak, yaitu Kok Sian Cu, Kok Liong Cu, Kok Kim Cu dan Kok Seng Cu, keempat orang di antara Kong-thong Ngo-lojin. Seperti telah diketahui, orang termuda dari mereka, Kok Cin Cu sudah tewas dalam pertandingan melawan Biauw Eng.

Dari Tiat-ciang-pang hadir ketuanya, Ouw-pangcu bersama tiga orang pembantunya, ada pun dari Kun-lun-pai hadir pula empat orang sute dari Kiang Tojin yang kini menjadi ketua Kun-lun-pai. Di samping mereka ini masih terdapat belasan orang tokoh-tokoh kang-ouw yang semuanya menentang kaum sesat dan mempunyai jiwa patriot pembela negara dan bangsa.

Memang harus diakui bahwa dahulu, ketika terjadi perang saudara antara para pengikut Raja Muda Yung Lo dengan keponakannya, banyak kaum kang-ouw menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri karena mereka segan untuk bermusuhan dengan bangsa sendiri hanya untuk mendukung orang besar yang memperebutkan kedudukan.

Akan tetapi sekarang lain lagi. Kaisar Yung Lo sudah menjadi satu-satunya kaisar yang memimpin negara, maka bila ada kaum sesat yang mengancam negara, mereka serentak bangkit untuk menentang kaum sesat.

Karena partai-partai besar lainnya hanya mengirim wakil sedangkan yang ketuanya hadir di situ hanya Kiang Tojin ketua Kun-lun-pai, maka sebagai ketua partai yang besar dan terhormat, apa lagi karena mereka semua tahu bahwa di antara yang hadir, Kiang Tojin kakek tua ini mempunyai tingkat kepandaian yang paling tinggi, maka dialah yang menjadi pemimpin pertemuan itu.

Pada pagi hari itu merupakan pertemuan atau perundingan terakhir untuk memilih utusan dan membagi-bagi tugas. Selagi mereka itu berkumpul di depan pondok karena pondok itu sendiri terlalu kecil, dan duduk bersila di atas rumput membentuk lingkaran, tiba-tiba Kiang Tojin yang paling tajam pendengarannya mendengar suara yang luar biasa.

Dia meloncat bangkit dan mengangkat tangan memberi isyarat agar semua orang diam. Sekarang jelas terdengar suara rintihan dari bawah puncak. Mendengar ini, Kiang Tojin meloncat dan lari ke arah suara itu, menuruni puncak, diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya.

Yang merintih itu adalah Hun Bwee. Gadis yang terluka parah ini sambil memegangi batu dan mendekap perutnya, terengah-engah. Empat orang kakek Kong-thong-pai mengenal gadis ini yang mereka temui bersama Biauw Eng, maka cepat mendekat dan berseru,

"Bukankah Nona yang berjalan bersama Song-bun Siu-li tempo hari?"

Hun Bwee mengangguk, tubuhnya telah diangkat oleh Kiang Tojin dan diletakkan di atas rumput. Kakek ketua Kun-lun-pai ini maklum bahwa gadis itu tidak mungkin dapat ditolong lagi, bahkan dia merasa heran mengapa dalam keadaan seperti itu, gadis itu agaknya masih mampu mendaki puncak.

"Lekas tolong mereka... mereka tertawan oleh Ang-kiam Bu-tek dan teman-temannya..."

"Mereka siapa, Nona?" tanya Kiang Tojin dengan sikap tenang sesudah jarinya menotok beberapa jalan darah untuk mengurangi penderitaan gadis itu.

"Cia Keng Hong... Biauw Eng... Yap Cong San dan Gui Yan Cu... cepat tolong mereka... ditawan oleh Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Pak-san Kwi-ong. Masih banyak sekali anak buah dan kawan mereka... cepat..."

Mereka semua kaget bukan main mendengar keterangan ini, tetapi setelah mengeluarkan kata-kata yang sudah sekian lamanya dia tahan-tahan dalam hatinya, Hun Bwee menjadi lemas.

Kiang Tojin amat terkejut mendengar bahwa Keng Hong ditawan, juga Thian Kek Hwesio dan teman-temannya terkejut mendengar nama Yap Cong San disebut-sebut.

"Di mana mereka? Di mana ditawannya?" Banyak mulut menghujankan pertanyaan ini, akan tetapi Kiang Tojin mengangkat tangannya dan mengurut leher dan dada gadis yang pingsan itu, atau lebih tepat lagi sudah sekarat.

Hun Bwee membuka matanya, bibirnya bergerak lemas akan tetapi yang keluar hanya bisikan lirih sekali, "...benteng... benteng..." kemudian ia menghembuskan napas terakhir!

"Ahhh... kiranya mereka yang menyelundup ke istana telah keluar semua dan berada di sini...!" kata Kiang Tojin kaget.

Akan tetapi pada saat itu, ratusan batang anak panah menyambar ke arah sekumpulan orang gagah itu dari empat jurusan.

"Awas senjata rahasia...!" Kiang Tojin berseru.

Semua orang gagah itu cepat mengelak, menangkis dan menangkap anak-anak panah yang menyambar. Kalau hanya diserang anak panah saja, mereka semua akan mampu melindungi diri. Pada waktu anak-anak panah berhenti menyambar, tampak oleh mereka betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang dan di sebelah depan muncul tokoh-tokoh kaum sesat yang mengejutkan mereka karena mereka itu adalah tokoh-tokoh terkenal yang amat lihai.

Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im tersenyum-senyum menghampiri mereka, didampingi oleh Pak-san Kwi-ong, Pat-jiu Sian-ong, Thian-te Siang-to kedua murid Pat-jiu Sian-ong, empat orang tinggi besar Pak-san Su-liong, Gu Coan Kok si iblis cebol dan Hok Ku si raksasa bongkok!

Kiang Tojin yang bermata tajam maklum bahwa keadaan mereka terkurung dan terancam bahaya, akan tetapi dengan tenang dia lalu melangkah maju menghadapi Cui Im sambil berkata,

"Nona Bhe Cui Im, sudah lama pinto mendengar akan nama besarmu sebagai Ang-kiam Bu-tek. Apakah maksud kedatanganmu yang datang-datang menyerang kami?"

Cui Im tertawa kemudian menunjuk kepada Thian Kek Hwesio. "Hi-hi-hik, Kiang Tojin, kau tanyalah kepada Hwesio Siauw-lim-pai itu, apakah dia tidak akan menyerangku kalau aku tidak mendahului menyerang."

"Iblis betina, pinceng akan mengadu nyawa denganmu!" Thian Kek Hwesio yang marah sekali melihat musuh besarnya sudah meloncat maju dan menyerang dengan jubahnya.

"Plakk! Plakk!"

Dua kali Cui Im menangkis dengan lengannya hingga hwesio Siauw-lim-pai itu terhuyung mundur.

Kiang Tojin memegang lengan Hwesio itu, menyuruhnya supaya bersabar, kemudian dia menghadapi Cui Im lagi dan bertanya, "Engkau belum menjawab pertanyaan pinto."

"Kiang Tojin, engkau bertanya apa maksud kedatanganku? Jawablah dahulu apa maksud kalian berkumpul dan berunding di sini? Bukankah untuk menentang kami? Dari pada kalian susah-susah mencari kami di istana, kami mendahului kalian datang ke sini untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kami dengan kalian yang mengangkat diri menjadi orang-orang gagah. Hi-hi-hik! Lihat baik-baik, kalian sudah terkurung. Anak buah kami lebih dari dua ratus orang jumlahnya, karena itu dengan mudah kami akan dapat membasmi kalian semua!"

"Hemmm, mengapa belum kau lakukan itu?" Kiang tojin bertanya, sikapnya masih tenang, karena tosu tua ini dapat menduga bahwa kalau kini Cui Im mengajak mereka berbicara, tentu tersembunyi maksud-maksud tertentu dari wanita muda yang amat cerdik ini.

"Aku tidak tergesa-gesa, Kiang Tojin. Aku akan menerima baik kalau saja kalian semua ini berjanji untuk tidak mencampuri urusan kami, bersumpah tidak akan menentang kami. Nah, bukankah hal ini berarti bahwa aku masih memandang persahabatan antara kaum persilatan. Kami hanya membutuhkan janji dan sumpah kalian untuk ditukar dengan jiwa kalian!"

Para orang gagah yang hadir di situ menjadi merah mukanya dan terdengar bentakan-bentakan marah menentang permintaan Cui Im itu. Bagi mereka semua, nama jauh lebih berharga dari pada nyawa dan tentu saja mereka tidak sudi untuk merendahkan nama mereka dengan tunduk dan bersekutu dengan golongan sesat hanya untuk menolong keselamatan mereka. Pula, biar pun dikurung, mereka tidak menjadi gentar dan bersedia untuk melawan mati-matian.

Kiang tojin dapat memaklumi pendirian para sahabatnya maka dapat ragu-ragu dia pun berkata,

"Nona, kami berkumpul di sini bukan bermaksud untuk mengadakan perang karena kalau demikian halnya, kiranya kami akan dapat dengan mudah mengumpulkan orang seratus kali jumlah orang-orangmu sekarang. Akan tetapi, walau pun demikian, apa bila engkau menghendaki hal seperti yang kau kemukakan tadi, tanpa dijawab sekali pun tentu saja engkau sudah mengenal atau setidaknya mendengar jiwa orang-orang gagah yang tidak mungkin menukar kehormatannya dengan nyawa! Hanya sedikit yang pinto ingin ketahui, mungkinkan tokoh-tokoh semacam engkau yang memakai julukan Ang-kiam Bu-tek, dan tokoh-tokoh lainnya seperti Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong yang terkenal sebagai datuk-datuk persilatan, tidak malu mempergunakan siasat rendah berupa pengeroyokan jumlah besar terhadap jumlah yang jauh lebih kecil?"

Kiang Tojin memang seorang yang cerdik dan juga seorang yang berpengalaman, maka sengaja dia mengeluarkan ucapan yang memanaskan hati ini, ucapan yang merupakan pantangan bagi jagoan yang mana pun juga, yaitu kalau dipandang tidak mempergunakan kegagahan melainkan menggunakan kecurangan.

"Kiang Tojin, engkau manusia sombong!" Pak-san Kwi-ong menggereng marah. "Biar pun engkau telah menjadi ketua Kun-lun-pai, siapa sih yang takut menghadapimu? Meski pun terhadap Thian Seng Cinjin gurumu, dulu aku tidak pernah merasa takut, apa lagi hanya terhadap engkau!"

Sambil berkata demikian, kakek ini menggerakkan senjatanya, yaitu sepasang tengkorak di ujung rantai sehingga dua buah tengkorak itu bergerak-gerak bagaikan hidup dan dari tenggorokan kakek tinggi besar kulit hitam itu keluar suara gerengan yang mendatangkan getaran sedemikian hebatnya sehingga sebagian besar anggota rombongan orang gagah cepat-cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang untuk bertahan.

Akan tetapi masih ada beberapa orang di antara mereka yang tidak kuat sehingga cepat mereka duduk bersila sambil memejamkan mata untuk mengelak dari getaran itu dengan mengerahkan hawa murni sebanyaknya. Memang hebat sekali gerengan penuh tenaga dahsyat yang timbul dari khikang-nya yang amat kuat!

"Bagus sekali! Demikianlah suara seorang laki-laki sejati yang tidak sudi berlaku curang dan mencari kemenangan dengan jalan mengandalkan pengeroyokan jumlah banyak," kata Kiang Tojin, suaranya nyaring melengking melawan getaran dari gerengan Pak-san Kwi-ong itu. "Ang-kiam Bu-tek, pinto melihat bahwa agaknya engkaulah yang mewakili rombongan kalian, maka sekarang bagaimana kau akan mengatur sesudah mendengar bahwa kami menolak usulmu yang menghina itu? Dengarlah jawaban kami. Selama kami masih hidup, dan selama golongan sesat masih melanjutkan semua perbuatannya yang jahat dan kotor untuk membuat kekacauan, selama itu pula kami akan menentangnya! Ada jahat tentu ada baik, ada hitam tentu ada putih, ada gelap pasti ada terang. Kalau ada golongan yang menghambur nafsu jahat melakukan penindasan dan mengakibatkan kekacauan, pasti ada pula golongan yang menentangnya. Kalau kalian yang mewakili golongan hitam tidak melakukan perbuatan jahat, tentu saja kami pun tidak mempunyai alasan untuk mencari permusuhan. Akan tetapi, selama kalian masih merajalela dengan perbuatan jahat, kami akan selalu menentang!"

Cui Im diam-diam merasa marah sekali. Dia pun seorang wanita yang walau pun masih muda namun memiliki kecerdikan luar biasa, maka dia pun tahu akan siasat Kiang Tojin tadi yang ternyata sudah berhasil dengan memanasnya hati Pak-san Kwi-ong sehingga mengucapkan kata-kata menantang tadi. Namun karena dia mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan bantuan kedua datuk hitam itu, tentu saja ia tidak khawatir dan bibirnya yang manis tetap tersenyum.

"Kiang Tojin, engkau mengatakan bahwa kalian tidak ingin berkelahi, demikian pula kami apa bila tidak perlu sekali, tidak ingin bentrok dengan kalian. Akan tetapi oleh karena di antara kita tidak terdapat kecocokan, maka marilah kita mengadakan pertandingan antara jago-jago kita untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tentu saja pihak yang nanti dinyatakan kalah harus tunduk akan perintah pihak yang menang, ini merupakan hukum kalangan kang-ouw. Bagaimana?"

Kiang Tojin terpaksa mengangguk, dan diam-diam berpikir bahwa kalau pihaknya kalah sekali pun, para orang gagah ini tentu akan memilih mati dari pada harus tunduk dan melakukan hal-hal yang menyeleweng dari pada kegagahan dan kebenaran.

"Baiklah, memang sebaiknya begitu. Kami siap!"

Diam-diam Kiang Tojin mulai memilih-milih, siapa kiranya yang akan patut dia jadikan jago dalam pertandingan ini. Kalau saja di situ terdapat orang-orang muda yang lihai seperti Keng Hong, atau seperti Yap Cong San murid ketua Siauw-lim-pai yang dia dengar dari Thian Kek Hwesio merupakan tokoh yang paling kuat di antara murid-murid ketua itu. Akan tetapi menurut penuturan gadis yang tewas tadi, dua orang muda itu telah ditawan!

Sejak tadi Cui Im melihat mayat Hun Bwee, dan dia merasa tidak senang, akan tetapi karena dia melihat di sana tidak terdapat Go-bi Thai-houw, dan pula mengingat bahwa empat orang muda yang lihai masih terkurung dalam sumur dan tak mungkin mereka itu dapat keluar, menjadi lega hatinya dan dia tidak mempedulikan.

"Kiranya tak perlu mengajukan jago-jago yang tidak mempunyai kepandaian Kiang Tojin. Mari kita mengajukan masing-masing tiga orang jago dari pihak kita. Aku mengajukan tiga orang jagoan dan engkau pun mengajukan tiga orang jago. Jumlah kemenangan dalam pertandingan ini menentukan siapa yang menang siapa kalah. Beranikah engkau?"

Cui Im menggunakan siasat balasan yang sama, maka dia menanyakan berani atau tidak sehingga terpaksa Kiang Tojin tidak dapat memilih jawaban lain kecuali harus menerima tantangan itu.

"Terserah kepadamu, Ang-kiam Bu-tek! Katakanlah siapa jago-jagomu agar pinto dapat pula mengimbangi dengan jago-jago kami."

Cui Im tersenyum lebar, "Hi-hi-hik, jangan kau main akal-akalan menghadapi aku, Kiang Tojin. Aku tahu bahwa pihak yang terakhir mengajukan jagonya akan dapat menilai dan menentukan tandingan, akan tetapi kali ini, biar engkau bolak-balikkan semua jagoanmu akan sia-sia saja, hi-hi-hik! Tiada halangan bagiku untuk mengajukan nama ketiga jagoku. Pertama adalah aku sendiri, ke dua Pak-san Kwi-ong dan ke tiga Pat-jiu Sian-ong. Nah, siapa jago-jagomu?"

Kiang Tojin memang sudah menduga lebih dulu dan sejak tadi dia pun diam-diam merasa gelisah dan bingung. Akan tetapi dia lalu menenangkan hatinya dan menjawab, "Engkau memang licik, Ang-kiam Bu-tek. Andai kata semua ketua partai berada di sini, pinto rasa engkau tidak sesombong ini! Akan tetapi jangan dikira pinto takut, karena seorang gagah mendasarkan keberanian bukan di atas perhitungan menang dan kalah, melainkan di atas kebenaran. Baiklah, dari pihak kami yang akan maju adalah kami sendiri, kemudian Thian Kek Hwesio dari Siauw-lim-pai, dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam. Seperti yang telah kau tahu, Siauw-lim-pai mempunyai urusan denganmu atas kematian Thian Ti Hwesio, ada pun Hoa-san-pai juga mempunyai urusan denganmu atas kematian murid Hoa-san-pai. Kami siap!"

Thian Ti Hwesio sudah menggereng dan meloncat maju, demikian pula Coa Kiu, kakek Hoa-san-pai yang lihai. Walau pun mereka berdua ini maklum bahwa mereka tidak akan menang menghadapi seorang di antara ketiga musuhnya yang sakti itu, namun keduanya siap melawan sampai mati!

"Hi-hi-hik-hik!" Cui Im terkekeh mengejek. "Biarlah semua orang gagah yang hadir di sini menyaksikan pertunjukan yang menarik. Kita maju seorang demi seorang supaya dapat menikmati pertandingan antar puncak! Siapakah di antara kalian yang akan maju lebih dulu?"

"Pinto yang akan maju lebih dulu," kata Kiang Tojin kemudian menoleh kepada dua orang jagonya. "Harap Ji-wi bersabar dan menanti giliran," kemudian dia berkata ke Kok Sian Cu, orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin, "Jika pinto tewas dalam pertandingan, harap Lo-enghiong sudi mewakili pinto memimpin para saudara."

Sesudah melihat dua orang jagonya mundur dan Kok Sian Cu mengangguk, Kiang Tojin melangkah maju, mencabut pedangnya dan melintang pedang di depan dada, sikapnya tenang sekali.

"Ang-kiam Bu-tek, pinto telah siap, Majulah!" Kiang Tojin yang sudah mendengar betapa wanita itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat sehingga membunuh banyak tokoh pandai, di antaranya malah membunuh bekas gurunya sendiri, yaitu Lam-hai Sin-ni yang lihai, menduga bahwa wanita inilah yang paling kuat maka ia hendak menandinginya sendiri.

Akan tetapi, Cui Im adalah seorang yang licik dan juga cerdik. Dia pun maklum bahwa Kiang Tojin yang kini menjadi ketua Kun-lun-pai amat lihai. Bila dia sampai kalah, selain dia rugi, juga ia khawatir pihaknya akan kalah. Ada pun kalau dia maju melayani seorang di antara dua jago lawan, sudah dipastikan dia akan menang di samping harapan bahwa seorang di antara kedua datuk kawannya belum tentu pula kalah oleh Kiang Tojin. Maka ia menoleh dan bertanya kepada dua orang kawannya.

"Sian-ong dan Kwi-ong, siapakah di antara kalian berdua yang berani menghadapi ketua Kun-lun-pai?"

Pak-san Kwi-ong meloncat maju sambil tertawa bergelak, "Siapa sih yang takut? Ha-ha-ha-ha-ha, sudah lama aku ingin mencoba kelihaian ketua Kun-lun-pai!" Kakek tinggi besar ini lalu menggerakkan rantai dan dua buah tengkoraknya berputaran mengeluarkan angin bersiutan mengerikan.

Cui Im tersenyum dan mundur, juga Pat-liu Sian-ong mundur sambil mengebut-ngebutkan hudtim-nya mengusir hawa panas. Tentu saja ia memandang rendah calon lawannya dan maklum bahwa hanya pertandingan antara ketua Kun-lun-pai dan Pak-san Kwi-ong ini yang akan menarik dan paling berharga untuk ditonton.

Menghadapi Pak-san Kwi-ong yang dia tahu sangat lihai, Kiang Tojin segera memasang kuda-kuda Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut. Walau pun dia sudah tua, namun gerakannya masih kuat dan mantap, pedang yang dipegangnya tidak sedikit pun bergoyang.

Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong mengeluarkan gerengan keras dan menggerakkan sepasang senjata tengkorak itu dan pihak orang-orang gagah menjadi cemas. Bukan main hebatnya gerakan senjata mengerikan itu.

Akan tetapi dengan lincahnya Kiang Tojin meloncat untuk menghindarkan sambaran pada kakinya sambil menarik kepalanya miring untuk mengelak sambaran tengkorak ke dua pada kepalanya, berbareng pedangnya meluncur, berubah menjadi sinar terang menusuk dada lawan. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangan, rantai pada tangan kanan raksasa hitam itu menangkis pedang sehingga terdengarlah suara nyaring dan keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar.

Pak-san Kwi-ong sudah memutar senjatanya lagi dan kini sepasang senjata tengkorak itu berubah bentuk menjadi gulungan sinar abu-abu yang melingkar-lingkar dan menerbitkan suara bercuitan dibarengi gerengan-gerengan seperti serigala, tapi mengandung khikang yang menggetarkan semangat lawan.

Gulungan cahaya yang membentuk lingkaran-lingkaran lebar ini menerjang ke arah Kiang Tojin. Dahsyat bukan main serangan datuk kaum sesat dari utara ini. Kiang Tojin dengan tenang namun cepat sekali dia menggerakkan pedangnya, melawan dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang sudah mencapai tingkat amat tinggi. Hanya dengan sinar pedang yang mengeluarkan bunyi berdesingan itu saja sudah dapat memenggal leher lawan yang kurang kuat!

Terjadilah sebuah pertandingan yang luar biasa seru dan menegangkan. Kedua orang itu sama-sama kuat, sama-sama mempunyai banyak pengalaman dan keduanya merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi pada masa itu. Akan tetapi sekali ini Kiang Tojin kalah ampuh senjatanya.

Senjata di tangan Pak-san Kwi-ong adalah senjata yang khusus untuk dia sendiri. Senjata yang dapat diputar cepat dan selain itu, dua buah tengkorak itu pun bukanlah tengkorak biasa, melainkan tengkorak yang mengandung racun jahat. Di dalam setiap jurus terdapat gerakan liar dan ganas luar biasa sehingga sesudah lewat lima puluh jurus lebih, Kiang Tojin mulai terdesak karena dia harus lebih banyak melindungi tubuhnya sehingga kurang mendapat kesempatan untuk menyerang.

Pihak anak buah Pat-jiu Sian-ong yang kurang tinggi tingkatnya tentu saja tidak mampu mengikuti jalannya pertandingan yang terlalu cepat untuk mereka sehingga hanya melihat betapa bayangan ketua Kun-lun-pai itu mundur-mundur terdesak, maka mereka mulai tertawa-tawa girang karena jago mereka akan menang.

Tidak demikian dengan Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong. Dua orang sakti ini tiba-tiba terkejut sekali menyaksikan perubahan dalam gerangan Kiang Tojin. Masih memainkan Kun-lun Kiam-sut, akan tetapi ada terselip perubahan pada gerak kaki dan tangan yang segera mengingatkan Cui Im akan gerakan-gerakan aneh dari Keng Hong. Gerakan yang seperti merupakan perjodohan antara Pat-sian-kun dan Ngo-heng-kun, akan tetapi juga bukan itu.

Gerakan yang kelihatan lemah dan sederhana namun mengandung pengaruh yang amat kuat, yang seakan-akan mengunci gerakan-gerakan lawan dari yang kini memungkinkan Kiang Tojin untuk mengirim serangan balasan, makin lama makin sering hingga keadaan mereka kembali berimbang, bahkan berkali-kali terdengar Pak-san Kwi-ong mengeluarkan seruan kaget di antara gerengan-gerengannya karena secara aneh pedang lawan hampir mengenai tubuhnya dalam jurus-jurus yang dia tidak kenal!

Kakek yang menjadi Datuk Hitam di utara ini mengenal gerakan Kun-lun Kiam-sut, akan tetapi setelah kini Kiang Tojin mengubah permainannya, ia pun menjadi bingung. Disebut bukan Kun-lun Kiam-sut tetapi sangat mirip, dan kalau Kun-lun Kiam-sut, mengapa begini aneh? Apakah ketua baru dari Kun-lun-pai ini telah menciptakan ilmu pedang baru? Suara angin sambaran pedang yang berdesing mengaung semakin nyaring dan sekarang mulai mengurung lingkaran sinar senjata rantai tengkorak.

Sesungguhnya Kiang Tojin sama sekali tidak menciptakan ilmu pedang baru, melainkan dia kini mencampurkan unsur-unsur ilmu silat sakti Thai-lek Sin-kun yang dia pelajari dari kitab yang dulu dia terima dari Keng Hong. Setelah dia mempergunakan dasar dari ilmu pedang yang hebat ini, maka dia dapat mengimbangi gerakan lawan sampai dua ratus jurus lebih dan mulailah pedangnya mengurung dan menindih senjata lawan!

Akan tetapi sayang sekali. Kiang Tojin sudah tua dan dia sudah banyak kehilangan daya tahan dan daya tempurnya. Jika dia memiliki watak yang liar dan ganas seperti lawannya, tentu dia dapat memperoleh kemenangan.

Sebagai seorang dari golongan bersih, tentu saja dia tidak mau menyimpang dari pada tata tertib persilatan dan hanya mau merobohkan lawan dengan gerak silat yang teratur. Apa lagi Kiang Tojin adalah seorang ketua partai persilatan besar, tentu saja dia harus menjaga ‘gengsi’ perkumpulannya!

Sesudah lewat tiga ratus jurus yang memakan waktu hampir dua jam, mulailah desakan Kiang Tojin berkurang, bahkan kini tangkisan dan serangannya seakan kurang tenaga. Sebaliknya Pak-san Kwi-ong yang menggereng-gereng itu masih kuat sekali dan mulailah dia yang sebaliknya mendesak lagi.

Kalau saja usia ketua Kun-lun-pai ini masih muda seperti Keng Hong, tentu tidak akan terjadi hal demikian karena Ilmu Silat Thai-lek Sin-kun yang dia pelajari adalah ilmu yang benar-benar dahsyat dan yang pada masa itu rahasianya belum dikenal orang. Akan tetapi dia sudah tua dan ketika memperlajari ilmu silat sakti itu sama sekali tidak ditujukan untuk menghadapi sebuah pertempuran, melainkan hanya untuk menambah pengetahuan silat belaka. Oleh karena hasilya pun tidak sehebat Keng Hong.

"Robohlah!" Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong membentak keras sekali, tengkorak pada tangan kanannya meluncur ke depan, menyerang ke arah muka Kiang Tojin.

Ketua Kun-lun-pai ini yang merasa betapa tenaganya berkurang dan kalau dilanjutkan dia akan kehabisan tenaga, lantas mengambil keputusan untuk mencari kemenangan dengan cepat, yaitu mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya untuk merusak senjata lawannya. Melihat tengkorak itu menyambar ke arah mukanya, Kiang Tojin langsung membacokkan pedang sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, bukan ke arah tengkorak yang sedang menyambar, melainkan ke arah rantai yang mengikat tengkorak itu.

"Cringgggg…!"

Terdengarlah suara keras di antara bunga api yang berhamburan sehingga menyilaukan mata. Tengkorak manusia itu jatuh menggelinding di atas tanah, namun pedang Kiang Tojin telah terlibat rantai di tangan kanan Pak-san Kwi-ong yang menjadi marah sekali.

Tiba-tiba saja terdengar suara meledak dan tubuh Kiang Tojin terhuyung-huyung. Yang meledak dan menghaburkan asap dan jarum baracun adalah tengkorak yang terbabat buntung dari rantainya tadi sehingga kaki Kiang Tojin terkena jarum berbisa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Pak-san Kwi-ong untuk menggerakkan tengkorak ke dua di tangan kirinya.

Tengkorak itu berputar-putar, kemudian menukik dan menyerang Kiang Tojin dari arah belakang tosu ini! Pada saat itu Kiang Tojin tengah berusaha menarik kembali pedangnya yang terbelit rantai lawan, dan baru saja tubuhnya terguncang oleh ledakan tengkorak yang mengandung asap dan jarum beracun. Maka, terhadap serangan hebat yang aneh karena tengkorak itu menyerangnya dari belakang, dia hanya dapat mengelak, sebab apa bila dia melepaskan senjata berarti kalah. Maka tentu saja elakannya kurang tepat dan tengkorak ke dua itu masih saja mengenai punggungnya.

"Bukkk!"

"Dessssss…!"

Pada detik yang hampir bersamaan, tangan kiri Kiang Tojin juga mengirimkan pukulan sinkang ke arah dada lawan tepat ketika dia dihantam tengkorak. Pukulannya dengan telapak tangan ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh Pak-san Kwi-ong yang sudah kegirangan menyaksikan serangannya berhasil.

Tubuh Kiang Tojin terlempar ke belakang laksana sebuah layang-layang putus talinya, akan tetapi tubuh Pak-san Kwi-ong juga terhuyung ke belakang. Kedua orang kakek ini menyemburkan darah segar dari mulut, kemudian tanpa mempedulikan apa-apa lagi mereka berdua itu sudah menjatuhkan diri bersila sambil mengatur napas karena dalam keadaan terluka hebat seperti itu, yang terpenting adalah mengobati diri sendiri melalui pernapasan mengumpulkan hawa murni.

Bahkan mereka berdua tidak peduli lagi akan senjata masing-masing yang tadi ketika mereka terpental sudah terlepas dari libatan, dan kalau Kiang Tojin kini masih memegang pedangnya sambil bersedakap, adalah Pak-san Kwi-ong juga memegang rantai tengkorak yang tinggal sebuah itu, disampirkan pada pundaknya.

Kok Sian Cu, tosu tua yang mata kirinya buta, tokoh utama Kong-thong-pai segera lari menghampiri Kiang Tojin dan cepat memeriksa punggung ketua Kun-lun-pai itu. Ternyata pukulan tengkorak itu menimbulkan warna hitam bundar pada punggung, maka tahulah dia bahwa pukulan itu mengandung racun.

Sambil menahan kemarahan Kok Sian Cu bangkit berdiri menghadapi Cui Im, suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia berkata, "Ang-kiam Bu-tek, bagaimana pendapatmu mengenai hasil pertandingan pertama ini?"

Cui Im mengerti bahwa Pak-san Kwi-ong telah menerima pukulan yang hebat dan sudah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, namun dia pun tahu bahwa ketua Kun-lun-pai itu pun menderita luka yang lebih berbahaya karena tengkorak itu mengandung racun di samping jarum beracun yang menusuk kakinya, maka dia lalu berkata sambil tertawa,

"Kalau aku mengakui bahwa pihakku menang, tentu kau akan menganggap bahwa aku takut kalah! Hi-hi-hik, tosu buta sebelah! Biarlah kita anggap saja tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang karena kedua pihak terluka. Sekarang, kami mengajukan dua orang jago kami, aku sendiri dan Pat-jiu Sian-ong. Hayo, suruh jago-jagomu maju karena kami berdua akan merobohkan mereka dalam sepuluh jurus, hi-hi-hik!"

Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai dan Thian Kek Hwesio sudah marah sekali. Mereka sudah bergerak maju hendak menyambut tantangan itu akan tetapi tiba-tiba saja berkelebat dua sosok bayangan seperti dua ekor burung walet menyambar, dan tahu-tahu di sana telah berdiri seorang pemuda tampan dan seorang dara jelita yang bukan lain adalah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng!

"Cui Im perempuan curang, akulah lawanmu!" bentak Keng Hong.

Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong terkejut bukan main, apa lagi ketika tidak lama kemudian muncul pula Yap Cong San Gui Yan Cu di tempat itu! Bagaimana mungkin ini? Empat orang muda ini telah terjebak di dalam sumur, bagaimana tahu-tahu mereka telah berhasil meloloskan diri dan menyusul ke sini? Siapakah yang telah menolong mereka?

Memang sebenarnya demikianlah. Tanpa pertolongan dari luar, biar pun empat orang itu merupakan orang-orang muda yang berilmu tinggi tidak mungkin mereka akan dapat lolos dari dalam sumur itu. Dan pertolongan ini memang datang dari orang yang sama sekali tidak pernah mereka duga dan harapkan. Yang menolong mereka adalah Sian Ti Sengjin bekas tosu tokoh Kun-lun-pai!

Telah terjadi perang besar di dalam batin Sian Ti Sengjin semenjak kakek ini mendapat kenyataan bahwa sute-nya, Lian Ci Sengjin benar-benar telah melakukan perbuatan keji dan terkutuk, yaitu memperkosa Tan Hun Bwee. Semenjak dia tahu akan hal itu, mulailah timbul rasa penyesalan besar di hatinya. Barulah dia sadar betapa jauh dia menyeleweng dari pada jalan benar dan betapa dia telah membela sute-nya yang ternyata telah menjadi hamba nafsu yang jahat. Mulailah dia teringat akan gemblengan batin yang telah puluhan tahun dia pelajari dan latih.

Kalau tadinya dia masih mempertahankan keadaannya dan diam saja adalah karena dia mengharapkan sute-nya akan insyaf. Maka dia membujuk-bujuk sute-nya supaya mereka berdua kembali saja ke Phu-niu-san karena dia tahu bahwa dia sudah terjerumus makin dalam dengan menggabungkan diri dengan orang-orang golongan sesat. Namun sute-nya selalu menolak dan akhirnya dia menerima pukulan batin paling hebat saat menyaksikan sute-nya tewas dengan tubuh hancur lebur oleh Hun Bwee. Timbul penyesalan besar dan dia mulai memikirkan cara untuk menebus dosa-dosanya.

Begitulah, begitu Cui Im memimpin rombongan untuk menyerbu ke puncak Tai-hang-san, dia mencari alasan untuk tinggal menjaga di dalam benteng. Kemudian, tak lama setelah rombongan berangkat, Sian Ti Sengjin cepat-cepat memasuki kamar Cui Im, membongkar barang-barang wanita itu dan berhasil mengumpulkan barang-barang pusaka yang sudah dirampas oleh Cui Im dari tangan Keng Hong, yaitu benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Setelah itu, dia cepat mencari tambang, membuka lantai kamar tahanan yang kini menjadi sumur tertutup dan menurunkan tambang itu ke bawah.

Keng Hong dan tiga orang temannya terkejut melihat betapa ada sinar terang dari atas menyorot ke bawah, dan ternyata bahwa penutup sumur itu terbuka. Makin heranlah hati mereka pada waktu melihat dari bawah betapa Sian Ti Sengjin menurunkan sehelai tali tambang ke dalam sumur.

"Thian Yang Maha Adil!" Keng Hong berbisik. "Kiranya Thian akhirnya menggerakkan hati Sian Ti Totiang untuk menyadari kesesatannya. Biarlah aku yang naik lebih dulu, siapa tahu ini merupakan jebakan pula."

Pemuda ini kemudian cepat menyambar tali dan merayap naik sambil menggigit Siang-bhok-kiam untuk bersiap-siap kalau di atas ada bahaya menantinya. Akan tetapi sesudah tiba di atas dan meloncat ke lantai, dia melihat Sian Ti Sengjin memandangnya dengan wajah pucat dan bekas tosu yang amat dikenalnya semenjak dia masih menjadi kacung di Kun-lun-pai ini berbisik,

"Keng Hong, lekas suruh teman-temanmu cepat naik!"

Bukan main girangnya hati Keng Hong. Ia lalu menjenguk ke dalam sumur dan berkata, "Naiklah semua!"

Tiga orag muda yang menanti dengan hati penuh ketegangan di dalam sumur itu pun menjadi girang sekali dan mereka cepat merayap naik melalui tali. Setelah tiba di atas, Keng Hong menjatuhkan diri berlutut di depan bekas tosu itu dan berkata,

"Sian Ti Totiang, terimalah ucapan terima kasih kami."

Sian Ti Sengjin cepat membangunkan Keng Hong dan menarik napas panjang.

"Jangan begitu, engkau membikin aku malu saja, Keng Hong. Terimalah ini, bukankah ini benda-benda pusaka yang dirampas Cui Im?"

Keng Hong makin girang melihat bahwa semua benda pusaka peninggalan gurunya, yaitu sebatang pedang Hoa-san-pai, sebuah kitab dari Go-bi-pai, dan kitab-kitab tulisan Sin-jiu Kiam-ong sendiri, sabuk sutera dan senjata-senjata rahasia Biauw Eng berupa bola-bola putih berduri dan tusuk konde bwee, pedang milik Yan Cu, serta sepasang Im-yang-pit milik Cong San, semua telah berada dalam buntalan yang dibawa tosu itu.

Pada saat dia hendak berlutut kembali, dengan terharu Sian Ti Sengjin memegang kedua pundaknya kemudian berkata, "Tidak usah berterima kasih karena kalian sudah menjadi pendorong pinto, menyesali diri dan bertobat. Sekarang cepatlah kalian mengejar mereka yang menyerbu ke puncak Tai-hang-san untuk membasmi para orang gagah yang sedang mengadakan pertemuan di sana. Pinto sendiri akan pergi mencari bala bantuan pasukan pemerintah di Tai-goan!" Setelah berkata demikian, bekas tosu Kun-lun-pai yang sudah insyaf itu lalu berlari keluar dengan cepat.

Keng Hong tidak membuang waktu lagi. Dia cepat menyimpan benda-benda pusaka itu, kemudian bersama Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu dia lari keluar. Dengan mudah saja mereka berempat merobohkan para penjaga yang mencoba menghalangi mereka dan dengan berlari cepat mereka lalu menuju ke puncak Tai-hang-san. Demikianlah, mereka berempat dapat datang tepat pada saat Kiang Tojin dan Pak-san Kwi-ong menyelesaikan pertandingan mereka yang mengakibatkan mereka keduanya terluka.

Keng Hong dan Biauw Eng yang lari di depan dapat mendengar tantangan Cui Im, maka mereka berdua segera menyambut tantangan itu. Sekarang dua pasang orang sakti yang bermusuhan itu memandang dengan mata bersinar-sinar, sebaliknya Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong memandang dengan kaget sekali.

Kiang Tojin yang sedang bersemedhi untuk memulihkan tenaga serta mengobati lukanya, membuka mata, kemudian tersenyum lemah. "Thian selalu berpihak kepada yang benar, siancai... siancai...! Ang-kiam Bu-tek, karena di pihak kami sudah datang tenaga-tenaga baru, maka pinto menunjuk Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng untuk menjadi jago-jago kami yang ke dua dan ke tiga!"

"He-heh-heh, apakah begini sikap tokoh-tokoh yang menamakan dirinya golongan bersih? Janjinya tak dapat dipegang! Bukankah tadi kau telah mengajukan Thian Kek Hwesio dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam sebagai jago? Di mana letak kegagahanmu, Kiang Tojin?" Cui Im tertawa mengejek.

"Cui Im!" Keng Hong membentak marah. "Orang macam engkau masih mau berbicara tentang kegagahan dan pemenuhan janji? Berapa kali sudah engkau menipuku? Apa bila engkau tidak mau menghadapiku sebagai wakil yang diajukan oleh Kun-lun-pai, tetap saja engkau harus kuhadapi sekarang juga untuk menebus semua kejahatan dan kecurangan yang sudah kau lakukan!"

"Dan engkau pun harus menebus kecuranganmu ketika menjebak kami, Pat-jiu Sian-ong!" Bentak pula Biauw Eng yang sudah bersiap dengan sabuk suteranya seperti Keng Hong yang sudah mempersiapkan Siang-bhok-kiam untuk menghadapi lawan.

Pat-jiu Sian-ong menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa, lalu dia berkata halus, "Binatang kerbau diikat hidungnya, namun manusia diikat kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kiang Tojin seorang manusia atau seekor kerbau? Jangan disangka bahwa aku jeri menghadapi seorang bocah seperti puteri Lam-hai Sin-ni, hanya hatiku belum puas kalau belum memaki Kiang Tojin."

Pak-san Kwi-ong juga sudah melompat bangun, menyeringai karena menahan rasa nyeri dan sesak di dadanya, lalu menuding ke arah Kiang Tojin sambil berkata, "Kiang Tojin, di antara kita masih belum ada yang kalah atau menang. Marilah kita lanjutkan pertandingan untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kalau engkau berani!"

Kiang Tojin menghela napas panjang. "Siancai... siancai!" Pinto bukan seorang yang takut menghadapi kematian, Kwi-ong, Marilah!" Ia pun bangkit dengan cepat akan tetapi agak terhuyung.

Sekali pandang saja maklumlah Keng Hong bahwa Pak-san Kwi-ong telah terluka hebat di dalam dadanya, akan tetapi Kiang Tojin juga telah terluka parah, maka dia pun cepat benyanyi,

Tiga puluh buah ruji berpusat pada poros roda
di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya!
Dengan tanah liat membuat mangkok bundar
Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya!
Membobol pintu jendela pada sebuah rumah
Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya!
Yang ada hanya sebagai pegangan
Yang kosong itulah yang berguna!

Sajak yang dinyanyikan Keng Hong itu adalah ayat-ayat di dalam kitab To-tik-keng yang menggambarkan keadaan To dan sifat-sifatnya. Dilihat kosong namun justru yang kosong itulah yang menciptakan kegunaannya. Akan tetapi tentu saja Keng Hong mempunyai maksud tertentu dengan nyanyian ini yang dia harapkan akan ditangkap maknanya oleh Kiang Tojin.

Cui Im adalah seorang yang cerdik, akan tetapi dia tidak mengenal ayat-ayat seperti itu. Ia khawatir kalau-kalau Keng Hong membantu dengan nyanyian yang tak dimengertinya itu, oleh karena itu sambil melengking keras ia sudah menerjang Keng Hong dengan pedang merahnya.

Sambil tersenyum Keng Hong menangkis dengan Siang-bhok-kiam dan segera dua orang yang sama saktinya ini sudah bertanding hebat. Juga Pat-jiu Sian-ong biar pun mengenal nyanyian itu akan tetapi tidak tahu kenapa pemuda aneh ini menyanyikannya dalam saat seperti itu. Cepat dia telah menggerakkan senjata hudtimnya menyerang Biauw Eng yang menghadapinya dengan sambaran sabuk sutera putih.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.
  

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12