Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 27
KIRANYA
tidak percuma Keng Hong memberitahukan tempat ini kepadanya. Apakah Cui Im lari
ke Phu-niu-san dan akan berada di antara banyak tamu? Ataukah musuh besar itu
mempunyai hubungan dengan Phu-niu Sancu? Dia harus bisa mendapatkan keterangan
yang jelas untuk dapat mengatur sikap, dan dia pun sama sekali tidak boleh
bertindak sembrono karena kalau benar dugaan bahwa Cui Im memiliki hubungan
dengan Phu-niu Sancu, tentu perempuan itu akan dibantu banyak orang di situ.
"Entahlah,"
jawab si tahi lalat yang memang doyan mengobrol. "Hal itu masih merupakan
rahasia besar karena kami semua baru sekarang mendengar berita dan undangan
bahwa Sancu hendak menikah. Hanya ada berita yang membocor, berita desas-desus
bahwa Sancu akan menikah dengan seorang wanita yang kecantikannya laksana
bidadari, dan yang kabarnya pun bukan orang sembarangan."
Jantung Cong
San berdebar. Agaknya mempelai wanita itulah yang dikejarnya! Diam-diam dia
memperhatikan orang-orang yang berbondong naik ke puncak dan diam-diam hatinya
agak khawatir.
Agaknya tiga
orang yang sombong dan membanggakan diri sebagai Bun-bu Sam-taihiap ini hanya
lagaknya saja yang hebat, tentulah bukan lawan yang perlu diperhatikan. Akan
tetapi di antara mereka yang berjalan naik itu dia juga sempat melihat beberapa
orang yang membayangkan kepandaian tinggi.
Terutama
sekali seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang berjenggot panjang dan di
pinggangnya terdapat sebatang golok bergagang emas, yang berjalan bersama
seorang tosu tua. Mereka berdua itu berjalan tanpa bercakap-cakap, akan tetapi
dari langkah kaki dan sikap kedua orang itu, Cong San dapat menduga bahwa
mereka adalah orang-orang yang pandai.
Selain dua
orang ini, dia melihat pula seorang kakek yang jalannya terpincang-pincang,
membawa sebatang tongkat butut dan pakaiannya butut dan kotor pula, rambutnya
kusut dan mukanya penuh kerut merut berwarna kotor kehitaman. Keadaan kakek ini
pun kotor menjijikan, akan tetapi anehnya dia bergandeng tangan dengan seorang
kakek lain yang berpakaian seperti sastrawan yang bersih dan mewah, yang
menggandeng pula seorang kakek berpakaian pendeta. Sikap tiga orang kakek ini
menarik perhatian, mereka nampak tertawa-tawa dan si kakek jembel beberapa kali
berkata,
"Ha-ha-ha-ha,
tuan pengantin, berjalanlah lebih gagah supaya tidak membikin malu nona
pengantin!"
Si kakek
pendeta tersenyum-senyum dan si kakek sastrawan berjalan digagah-gagahkan.
Semua orang memandang dengan muka khawatir. Apakah tiga orang kakek ini sengaja
bermain-main dan hendak mengejek Phu-niu Sancu? Akan tetapi karena keadaan
mereka yang aneh, melihat usia mereka yang sudah amat tinggi, tidak ada yang
berani menegur, bahkan ketiga orang Bun-bun Sam-taihiap terus memandang sambil
menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek yang bersikap seperti anak-anak kecil
itu.
Rombongan
tamu yang bersamaan dengan Cong San terdiri dari dua puluh orang lebih. Setelah
tiba di puncak bukit, Cong San melihat bahwa di atas puncak itu, dari bawah
tidak tampak karena tersembunyi di antara pohon-pohon, terdapat
bangunan-bangunan mewah merupakan suatu perkampungan.
Para tamu
disambut oleh orang-orang yang berpakaian seragam biru bersikap gagah, lalu
dipersilakan duduk di dalam ruangan gedung terbesar di mana telah tersedia
ratusan buah bangku dan di situ telah menanti pula dua orang tuan rumah yang
menerima para tamu dengan senyum ramah, akan tetapi hanya terhadap beberapa
orang tamu saja mereka bangkit berdiri dan balas menghormat. Terhadap tamu-tamu
yang tidak dikenal, termasuk pula Cong San, kedua orang tuan rumah itu hanya mengangguk
sedikit untuk membalas penghormatan mereka.
Cong San
melihat betapa dua orang itu pun tidak bangkit berdiri pada waktu membalas
penghormatan tiga orang Bun-bu Sam-taihiap tadi, akan tetapi tiga orang itu
tidak terlihat kurang senang sehingga diam-diam hati Cong San menjadi geli. Ia
pun lalu mengambil tempat duduk di antara para tamu, dekat dengan tiga orang
sastrawan sombong itu. Dari tepat duduknya dia memandang ke arah dua orang tuan
rumah penuh perhatian.
Mereka itu
adalah dua orang laki-laki yang gagah dan bersikap angkuh penuh wibawa. Melihat
wajah mereka dia dapat menduga yang mana suheng-nya dan mana sute-nya. Dia tadi
sempat mendengar bahwa yang menjadi ‘majikan gunung’ adalah yang muda, yang
disebut Lian Ci Sengjin atau juga Phu-niu Sancu, ada pun suheng-nya adalah Sian
Ti Sengjin.
Tentu lelaki
bertubuh tegap, bermuka gagah dan angkuh, berusia empat puluh tahun lebih itu
yang menjadi ketua atau majikan Gunung Phu-niu-san. Laki-laki di sebelah
kanannya yang lebih tua beberapa tahun, yang berwajah pendiam dan seram itu
tentu suheng-nya. Dia tidak mengenal mereka, maka sesudah memandang sejenak
Cong San mencari-cari dengan pandang matanya, namun yang dicarinya tidak
tampak.
Baik Cui Im
mau pun Keng Hong tidak tampak bayangannya di antara tamu-tamu yang sudah
puluhan orang banyaknya itu. Dia mulai ragu-ragu apakah dia tidak salah sangka,
jangan-jangan yang dimaksudkan Keng Hong bukan tempat pesta ini!
"Ssttt,
Hiante, engkau tentu mencari pengantin wanita, bukan?" Tiba-tiba si tahi
lalat yang duduk di belakangnya berbisik lirih. "Sabarlah, benda berharga
tentu disimpan baik-baik, wanita cantik tentu tidak diobral untuk ditonton
banyak orang, melainkan dikeram dalam kamar. Nanti tentu diperkenalkan..."
Wajah Cong
San menjadi merah, akan tetapi dia sengaja tersenyum dan mengangguk. Ia lebih
tertarik ketika melihat betapa kedua orang tuan rumah itu menyambut kedatangan
tiga orang kakek aneh. Dua orang itu cepat-cepat bangkit dan dengan wajah
berseri lalu memberi hormat sambil membungkuk. Bahkan Phu-niu Sancu segera
berkata,
"Ah,
kiranya Sam-wi Locianpwe betul-betul sudi datang mengunjungi kami. Harap banyak
maaf bahwa kami tidak mengetahui lebih dulu sehingga tidak mengadakan
penyambutan sebagaimana mestinya!"
Semua orang,
termasuk Cong San dan juga tiga orang ‘pendekar’ yang duduk di belakang Cong
San, menjadi amat terkejut melihat sikap tuan rumah dan mendengar ucapan sancu
itu. Semua orang tidak ada yang mengenal kakek itu, tetapi melihat penghormatan
yang demikian besar, sebutan ‘locianpwe’ dari majikan gunung, mereka semua
menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek tua renta yang aneh itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Kakek berpakaian jembel yang merupakan orang paling suka ketawa dan bicara di
antara mereka bertiga, kini tertawa bergelak. "Kami tiga setan tua paling
tak tahu diri! Di mana ada pesta pengantin dan arak wangi, tentu kami akan
datang. Sancu, kami harus memberi selamat dengan tiga cawan arak sebelum
menikmati hidanganmu, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian kakek jembel itu
menggerakkan tangan tiga kali ke arah meja yang berada di deretan terdepan
dan...
"Wuuut-wuuut-wuuuttt...!"
Tiga buah
guci arak yang berada di meja-meja itu terbang ke arahnya, diterima oleh tiga
orang kakek itu dan terus ditenggak isinya setelah mereka berkata,
"Selamat menikah!" Sungguh cara pemberian selamat yang aneh sekali.
"Eh-eh...
ke mana arak... arakku...?" Seorang di antara tamu-tamu yang duduk di
depan meja dan yang telah kehilangan guci araknya tiba-tiba berseru keras.
Para tamu
tertawa, akan tetapi jantung Cong San berdebar mendengar suara itu. Itulah
suara Keng Hong! Dia cepat ikut berdiri seperti tamu lain yang hendak melihat
tingkah Keng Hong yang bersikap seperti seorang tamu tolol yang kehilangan guci
araknya.
Cong San
terbelalak kaget dan heran melihat bahwa orang itu adalah seorang lelaki muda bermuka
hitam totol-totol seperti muka orang bopeng, sama sekali tidak ada bekas-bekas
muka Keng Hong yang tampan. Pakaiannya pun bagai seorang pertapa, berwarna
kuning dan terlalu besar, kepalanya dibungkus kain kuning.
Kalau saja
tadi tidak mendengar suaranya, Cong San tentu tidak akan mengenali orang ini.
Akan tetapi pada waktu orang itu mencari-cari guci araknya sambil memutar tubuh
dan bertemu pandang mata dengan Cong San, murid Siauw-lim-pai ini yakin bahwa
orang itu memang Keng Hong! Maka dia menjadi girang dan legalah hatinya.
Sambil
tertawa-tawa seperti yang lain menyaksikan sikap tamu yang berpakaian pendeta
akan tetapi kehilangan guci arak menjadi bingung seperti ini, seorang pelayan
kemudian menyediakan guci arak lain sedangkan tiga orang kakek itu sambil
tertawa dipersilakan duduk di kursi kehormatan yang berada di sebelah tempat
duduk tuan rumah, agak tinggi tempatnya, tidak seperti ruangan duduk para tamu
biasa yang berhadapan dengan tuan rumah.
Dua orang
laki-laki gagah yang di tengah jalan tadi sudah diperhatikan Cong San, yaitu
laki-laki tinggi besar berjengot panjang dan bergolok emas yang bersama tosu
tua, juga diterima penuh hormat dan diberi tempat duduk di tempat kehormatan
bersama tiga orang kakek aneh tadi. Masih ada belasan orang lain yang
diperlakukan sebagai tamu terhormat dan diberi tempat duduk pada tempat
kehormatan pula.
Biar pun
hatinya lega ketika mendapat kenyataan bahwa Keng Hong berada di tempat itu,
namun Cong San diam-diam merasa khawatir. Mereka hanya berdua, dan di situ
terdapat banyak orang lihai. Cui Im sendiri memiliki kepandaian yang amat hebat
dan kakek-kakek yang tiga orang itu tentulah merupakan lawan berat. Baru
demonstrasi yang diperlihatkan kakek jembel ketika dengan sinkang-nya dapat
mengambil tiga guci arak tanpa sedikit pun menyentuhnya sudah membuktikan
kekuatan sinkang yang dahsyat.
"Heee,
mana mempelai wanitanya? Ehh, Phu-niu Sancu, harap jangan terlalu pelit untuk
memperlihatkan mempelai wanita kepada kami. Mulut serta perut kami sudah
mendapat hidangan cukup, tapi mata kami pun perlu hidangan memandang wajah
cantik, ha-ha-ha!" Kakek jembel itu tertawa dan dua orang temannya pun
tertawa bergelak.
Tentu saja
ucapan itu terdengar amat kurang ajar, dan baru sesudah melihat pihak tuan
rumah tidak marah, para tamu lainnya pun tertawa karena diam-diam mereka
menyetujui ucapan kakek itu sebab mereka semua ingin sekali menyaksikan calon
isteri Sancu yang selama ini dirahasiakan.
Mempelai
pria tertawa dan berkata kepada kakek itu, "Harap Locianpwe suka bersabar
karena dia sedang berhias. Sambil menanti munculnya pengantin wanita, lebih
baik kalau kami memperkenalkan para tamu kehormatan kepada tamu-tamu lain
sambil minum arak dan menikmati hidangan. Untuk hidangan mata, kami pun sudah
mempersiapkan sebuah rombongan pemain musik, nyanyi dan tari."
Tuan rumah
memberi isyarat dan muncullah belasan orang wanita cantik yang bersikap genit
memikat, berlari dengan gerakan tubuh lemah gemulai. Mereka adalah
penari-penari dan penyanyi-penyanyi, juga pemain musik yang terdiri dari
yang-khim, tambur, suling dan lain-lain. Para tamu menjadi gembira dan puluhan
pasang mata yang lapar lalu melahap wajah-wajah mereka yang cantik dan
tubuh-tubuh mereka yang jelas membayang di balik pakaian sutera tipis.
"Ha-ha-ha-ha,
nanti dulu, Sancu!" kata si kakek jembel ketika melihat tuan rumah hendak
memperkenalkan mereka bertiga. "Sebelum tamu-tamu diperkenalkan, tentu
lebih dahulu tuan rumah diperkenalkan." Kakek itu bangkit berdiri dan berkata
menghadap para tamu. "Mungkin semua orang hanya mengenal Lian Ci Sengjin
sebagai Sancu dari Phu-niu-san, dan Sian Ti Sengjin sebagai suheng dan
penasehatnya. Akan tetapi agaknya jarang ada yang tahu bahwa mereka berdua
kakak beradik seperguruan ini adalah tokoh-tokoh besar dari Kun-lun-pai!'
Cong San
terkejut sekali. Sungguh dia tidak menyangka bahwa dua orang tuan rumah itu
adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai. Tentu saja Cong San tidak tahu bahwa kedua
orang itu adalah dua tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng atau memberontak dan
melarikan diri dari Kun-lun-pai.
Mereka itu
bukan lain adalah Lian Ci Tojin yang kini tidak lagi menjadi tosu dan mengubah
sebutan ‘tojin’ menjadi ‘sengjin’, dan suheng-nya, Sian Ti Tojin yang kini
menjadi Sian Ti Sengjin. Sesudah mereka meninggalkan Kun-lun-pai dengan hati
sakit, keduanya segera menghimpun tenaga dan mempunyai banyak anak murid,
bermarkas di Phu-niu-san.
Akan tetapi
pada saat Cong San mendengar bahwa pihak tuan rumah adalah tokoh-tokoh
Kun-lun-pai, hatinya pun menjadi lega. Dia sudah mendengar banyak tentang
Kun-lun-pai sebagai perkumpulan besar yang terkenal dan murid-murid Kun-lun-pai
dikenal sebagai pendekar-pendekar yang berjiwa gagah perkasa, pengabdi
kebenaran.
Maka dia
lalu memandang dua orang tuan rumah itu sebagai orang-orang segolongan yang
dapat dia harapkan dalam menghadapi Cui Im nanti. Pula, kalau benar Cui Im yang
dikawini oleh tokoh Kun-lun-pai itu, tentu terjadi karena tokoh itu belum
mengenal siapa adanya Cui Im. Kalau tahu bahwa Cui Im adalah seorang iblis
wanita yang jahat, tentu tokoh Kun-lun-pai itu tidak akan sudi!
Phu-niu
Sancu yang berdiri itu tersenyum mendengar ucapan kakek jembel, lalu berkata
lantang, "Memang tidak perlu kami pungkiri lagi bahwa dahulu kami kakak
beradik adalah murid-murid Kun-lun-pai. Akan tetapi sayang bahwa sekarang ini
Kun-lun-pai kemasukan pengacau sehingga terpaksa kami berdua meninggalkannya
untuk sementara. Di dalam jaman kacau ini, tidak hanya Kun-lun-pai yang dikacau
orang-orang. Juga Tiat-ciang-pang yang namanya tersohor di seluruh dunia
kang-ouw, yang menjadi tetangga kami, kini juga dikacau orang sehingga
tokoh-tokohnya yang berjiwa gagah lebih suka meninggalkannya. Kami
memperkenalkan tokoh besar Tiat-ciang-pang yang kebetulan sudah hadir di sini,
ialah Kim-to Lai Ban. Lai-sicu ini terkenal dengan ilmu goloknya dan ilmu
Tiat-ciang-kang yang lihai!"
Cong San
tercengang lagi. Dia sudah mendengar pula akan nama besar Tiat-ciang-kang
sebagai perkumpulan orang-orang gagah. Kiranya laki-laki gagah yang membawa
golok emas tadi adalah seorang tokoh Tiat-ciang-pang, jadi segolongan pula
dengan dia dan boleh diharapkan bantuannya!
"Heh-heh-heh,
tuan rumah yang tidak adil! Kenapa kami tidak diperkenalkan? Ha-ha-ha!"
Kakek jembel tadi menegur sambil terkekeh.
Phu-niu Sancu
tertawa. "Locianpwe adalah golongan teratas yang sudah terkenal sekali.
Saya kira semua orang sudah mengenal Sam-wi Locianpwe." Kemudian tuan
rumah itu menghadapi para tamu dan berkata lantang, "Siapa orang yang
belum mengenal Thian-te Sam-locianpwe?"
Kakek yang
berpakaian sastrawan cepat berkata, "Sancu tidak perlu mengubah julukan
kami. Katakan saja bahwa kami adalah Thian-te Sam-lo-mo! Kami tidak malu
disebut Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua)!"
Banyak di
antara para tamu yang menjadi pucat mukanya. Thian-te Sam-lo-mo? Nama ini telah
banyak dikenal orang, akan tetapi karena sudah puluhan tahun Thian-te Sam-lo-mo
tidak pernah muncul di dunia ramai, maka nama mereka itu dianggap dongeng.
Siapa kira, kini tahu-tahu di situ muncul tiga iblis tua yang dahulu dianggap
sebagai datuk-datuk dunia penjahat!
Juga Cong
San menjadi bengong. Alangkah anehnya keadaan di sana. Gurunya pernah memberi
tahu, juga dua suheng-nya, bahwa sebelum muncul Bu-tek Su-kwi yang menjadi
datuk-datuk kaum sesat, nama Thian-te Sam-lo-mo sangat terkenal sebagai datuk
dunia penjahat. Sesudah Bu-tek Su-kwi muncul, tiga orang Thian-te Sam-lo-mo itu
menghilang. Jika kini muncul lagi, Cong San tidak akan merasa heran. Akan
tetapi yang membuatnya merasa heran adalah bahwa datuk-datuk penjahat itu dapat
menjadi sahabat tokoh-tokoh Kun-lun-pai dan menjadi satu dalam pesta bersama
tokoh-tokoh golongan putih.
Akan tetapi
dia segera memperhatikan kembali karena tuan rumah telah memperkenalkan para
tamu yang duduk di kursi-kursi kehormatan. Tosu yang tadi datang bersama Kim-to
Lai Ban diperkenalkan sebagai Thian It Tosu, dan masih belasan orang lagi
diperkenalkan kepada para tamu. Semuanya adalah orang-orang ternama yang
tinggal di perbatasan kedua propinsi.
Setelah
semua tamu kehormatan diperkenalkan, terdengarlah tetabuhan dibunyikan dan para
wanita penari mulai menari sambil menyanyi. Tamu-tamu menikmati hidangan dan
tertawa-tawa melihat para penari itu mengerling genit sambil tersenyum-senyum
ke arah mereka.
Seorang
pelayan datang menghadap Sancu dan berkata dengan suara bisik-bisik. Sancu
bangkit berdiri, lalu menoleh kepada tamu kehormatan dan berkata, "Maaf,
saya hendak menjemput mempelai wanita."
Mendengar
ini, kakek jembel orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo bertepuk tangan dan
berkata nyaring, "Bagus, bagus...! Pengantin wanita datang! Tentu lebih
menyenangkan dipandang dari pada penari-penari yang genit itu!" Semua
orang tertawa dan ketika para penari itu melotot dan cemberut kepadanya, kakek
ini mengambil aksi ketakutan sambil berseru, "Idiiihhh...! Seram...!"
Sikap kakek
ini membuat orang tertawa bergelak dan diam-diam Cong San menjadi heran kenapa
seorang tokoh dunia hitam yang telah amat terkenal sebagai Thian-te Sam-lo-mo
itu sikapnya bagaikan kanak-kanak atau badut yang tidak lucu. Memang dunia
kang-ouw banyak mempunyai orang-orang aneh, baik dari golongan putih mau pun
dari golongan hitamnya.
"Mempelai
datang...!" Terdengar seruan orang-orang dan semua tamu mengangkat muka
memandang ke arah sepasang mempelai yang muncul dari pintu dalam.
Dengan sikap
bangga dan wajah berseri-seri, Lian Ci Sengjin atau Phu-niu Sancu yang sudah
berusia empat puluh lima tahun itu menuntun seorang wanita yang mengenakan
pakaian pengantin yang mewah, gemerlapan dengan hiasan emas berlian, dan
wajahnya tertutup tirai terbuat dari pada benang-benang emas yang berkeredepan.
Tak dapat dilihat dengan jelas wajah di balik tirai itu, hanya tampak
bayangannya saja. Akan tetapi bentuk tubuhnya yang tersembunyi di balik pakaian
pengantin yang longgar dapat dibayangkan sebagai tubuh yang ramping padat dan
tinggi semampai yang kadang-kadang tersembul dari balik lengan baju ketika
jalan melenggang, amat putih dan halus.
Sepasang
pengantin duduk di atas kursi yang sudah dipersiapkan, kemudian para penari
melanjutkan pertunjukkan mereka yang terganggu sebentar dengan munculnya
sepasang mempelai. Akan tetapi baru saja mereka membuka mulut dan belum juga
suara nyanyian keluar, tiba-tiba kakek jembel meloncat bangun dan
menggoyang-goyangkan tangannya ke arah penari itu.
"Stop!
Jangan membikin bising dulu, mempelai wanita belum diperkenalkan!"
Para penari
itu melotot dan terpaksa duduk kembali, ditertawai oleh banyak tamu, ada pun
kakek jembel sudah menghadapi sepasang mempelai, berkata nyaring,
"Tuan
rumah tidak adil! Mengapa pengantin wanita dibungkus seperti ini sehingga kami
tidak dapat memandang wajahnya? Apakah hidungnya pesek? Atau bibirnya sumbing
dan barang kali matanya juling?"
Tamu-tamu
tertawa bergelak. Menghadapi ucapan seperti itu, pihak tuan rumah terpaksa
tersenyum.
"Tadi
setiap orang diperkenalkan, kenapa mempelai wanita tidak diperkenalkan kepada
tamu-tamu? Ini tidak adil!" Kakek jembel mencela.
Sambil
tertawa mempelai pria hanya menggelengkan kepala, sedangkan Sian Ti Sengjin
yang hendak menolong sute-nya lalu berkata, "Locianpwe, yang diperkenalkan
hanyalah tamu-tamu kehormatan..."
"Wah-wah-wah,
apakah Sicu hendak menghina adik iparmu? Pada saat ini, siapakah yang lebih
terhormat dari pada mempelai wanita? Hayo, katakan! Aku menuntut supaya
mempelai wanita segera diperkenalkan, tidak hanya wajahnya, akan tetapi juga
nama dan julukannya. Aku mendengar desas-desus bahwa mempelai wanita tak kalah
terkenal dari mempelai pria!" Kakek jembel itu mendesak terus.
Karena
ucapan ini menarik perhatian, maka para tamu juga ingin tahu dan
mengangguk-angguk membenarkan. Bahkan diam-diam Cong San sendiri juga ingin
sekali melihat, karena dalam keadaan tertutup tirai seperti itu sukar bagi Cong
San untuk mengenal Cui Im.
Phu-niu-san
tampak berbisik-bisik dengan mempelai wanita yang mengangguk perlahan, kemudian
mempelai pria ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangannya ke atas
sebagai isyarat agar tamu tidak berisik. Setelah semua orang diam, dia lalu
berkata,
"Terima
kasih atas perhatian Cu-wi sekalian yang ingin mengenal wajah sekaligus nama
isteriku. Dan memang sudah sepatutnya kalau isteriku memperkenalkan diri,
sungguh pun tadinya kami berniat untuk memenuhi tuntutan upacara bagi seorang
mempelai wanita untuk menutupi wajahnya. Akan tetapi, mengingat bahwa sekarang
kita berada di antara teman-teman segolongan dan isteriku pun bukan seorang
yang tidak terkenal, maka saya mempersilakan isteri saya untuk memperkenalkan
diri sendiri kepada Cu-wi!"
Dia menoleh
kepada isterinya yang segera bangkit berdiri. Perlahan-lahan tangan yang
berkulit halus putih itu menyingkap tirai benang-benang emas ke atas kepala dan
terus ke belakang sehingga wajahnya tampak jelas.
Semua tamu
memandang dengan melongo saking kagumnya melihat wajah yang sangat cantik
jelita itu, dengan mulut tersenyum manis sekali. Semua orang terdiam menahan
napas dan tidak mengeluarkan suara ketika mempelai wanita berkata dengan
suaranya yang merdu dan nyaring,
"Di antara
Cu-wi sekalian mungkin ada yang sudah pernah mendengar nama atau julukan saya.
Sebelum menjadi isteri Sancu sekarang ini, saya dikenal sebagai Bhe Cui Im yang
berjuluk Ang-kiam Bu-tek!"
Para tamu
menjadi terkejut dan terdengarlah suara bisik-bisik sehingga keadaan menjadi
berisik sekali. Pada saat itu mendadak tampak berkelebat bayangan hijau dan
tahu-tahu Yap Cong San sudah berdiri di ruang kehormatan menghadapi tuan rumah
dan para tamu kehormatan, sikapnya tenang namun pandang matanya penuh semangat
dan keberanian.
"Harap
Sancu dan para tamu suka memaafkan saya, akan tetapi saya mempunyai urusan
pribadi dengan mempelai wanita ini. Karena saya tidak ingin menodai nama orang
lain di tempat terhormat ini, saya persilakan kepada Ang-kiam Bu-tek agar memenuhi
tantangan saya untuk membereskan perhitungan di luar ruangan ini!" Sambil
berkata demikian Cong San menghadapi Cui Im dan memandang dengan sinar mata
tajam.
Cui Im
membelalakkan mata, mengangkat alis dan tersenyum, diam-diam timbul kembali
gairah hatinya. Pemuda yang disangkanya seorang yang lemah itu ternyata adalah
murid Siauw-lim-pai yang amat gagah perkasa. Tentu saja dia tidak takut akan
tetapi dia diam saja, ingin melihat reaksi suaminya dan para tamu.
Karena dia
tidak melihat Keng Hong datang bersama Cong San, dia tenang-tenang saja. Hanya
Keng Hong yang dia takuti, dan karena takut kepada Keng Hong-lah maka ia lalu
menggabungkan diri di Phu-niu-san bahkan rela menjadi isteri Lian Ci Sengjin.
Sementara
itu Lian Ci Sengjin sudah melompat bangun, kemudian dengan mata melotot
menghadapi Cong San, menudingkan telunjuknya dan memaki,
"Keparat
jahanam bermulut kotor! Siapakah engkau berani bersikap seperti ini, menghina
isteriku?"
Cong San
tersenyum. "Sancu, sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak ingin menodai nama
baikmu dan nama baik orang lain. Akan tetapi karena engkau bersikap begini,
apakah aku harus menceritakan urusanku dengan Ang-kiam Bu-tek?"
"Seorang
laki-laki gagah tidak akan menyembunyikan sesuatu! Jika memang ada urusan ayo
lekas katakan saja, siapa hendak menyimpan rahasia?" Lian Ci Sengjin
membentak, mukanya merah sekali, kedua tangan mengepal seolah-olah dia sudah
ingin menghantam remuk kepala pemuda itu.
Semua tamu memandang
heran dan khawatir. Apakah ada hubungan antara pemuda tampan baju hijau dengan
mempelai wanita? Jangan-jangan bekas kekasihnya. Bisa ribut kalau begitu!
Biar pun di
hatinya Lian Ci Sengjin ada dugaan seperti ini pula melihat ketampanan wajah
pemuda itu, namun dia tidak merasa khawatir andai kata rahasia itu dibuka,
karena dia sendiri adalah seorang yang jauh lebih tua dari pada isterinya
sehingga hal-hal mengenai percintaan isterinya dengan pria lain yang telah
lewat tidak dipedulikannya.
Cong San
menghela napas, lalu berkata, "Sancu, saya bernama Yap Cong San, seorang
anak murid Siauw-lim-pai. Saya tidak tahu bagaimana Sancu sebagai tokoh
Kun-lun-pai yang terkenal, juga para enghiong dari Tiat-ciang-pang dan tamu
terhormat, sampai bisa kemasukan seorang seperti dia ini!" Dia lalu
menuding ke arah Cui Im yang masih duduk tersenyum-senyum, "Ang-kiam
Bu-tek Bhe Cui Im adalah seorang wanita iblis, dan aku sengaja datang
mencarinya untuk membalas kematian murid Siauw-lim-pai yang dibunuh olehnya!"
Mendengar
bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-lim-pai, keadaan makin tegang. Nama besar
Siauw-lim-pai sangat dikenal, bahkan sebagai tokoh atau bekas tokoh Kun-lun-pai
Lian Ci Sengjin sendiri mengetahui pengaruh Siauw-lim-pai dan dapat melihat
gawatnya persoalan, sehingga dia merasa ragu-ragu untuk berlaku lancang, bahkan
lalu menoleh kepada isterinya seolah hendak menyerahkan keputusan tentang diri
pemuda ini kepada isterinya.
"Harap
kau duduk," kata Cui Im lirih kepada suaminya, kemudian ia memandang ke arah
tamu-tamu dengan wajah yang cerah, senyum yang manis dan sikap yang amat tenang
seolah-olah dia menganggap kehadiran Cong San seperti gangguan seorang bocah
nakal yang tidak banyak artinya.
"Cu-wi
sekalian maklum bahwa bocah ini datang untuk mencari penyakit, datang-datang
menghina orang. Karena saat ini aku sedang menjadi nona pengantin, akan
memalukan sekali kalau turun tangan sendiri. Siapakah di antara Cu-wi sekalian
yang sudi mewakili aku memberi hajaran dan mengusir bocah lancang ini dari
sini?"
"Kami
sanggup..."
"Biarkan
kami mengusir anjing itu!"
Semua orang
memandang ke arah suara itu dan ternyata yang maju adalah tiga orang berpakaian
sastrawan yang tadi datang bersama Cong San, Bun-bu Sam-taihiap (Tiga Orang
Pendekar Ahli Sastra)! Dengan langkah dibuat-buat agar tampak gagah tiga orang
itu naik ke ruangan besar dan mereka menjura ke arah Cui Im. Si tahi lalat lalu
berkata mewakili dua orang saudaranya,
"Kami
Siangkoan Sam-heng-te yang dijuluki orang Bun-bu Sam-taihiap mengharap agar
Toanio tidak mencapekkan diri dan duduk saja menonton kami mewakili Toanio
memberi hajaran kepada bocah lancang mulut ini!"
Cui Im
diam-diam merasa geli hatinya dan memandang rendah tiga orang ini, akan tetapi
ia memberikan senyum manis yang semanis-manisnya kepada tiga orang itu dan
berkata merdu,
"Siangkoan
taihiap bertiga sudi membantuku, sungguh besar budi yang kuterima. Untuk itu
sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih."
Melihat
bibir merah basah merekah disertai kerling mata menyambar dan senyum yang
memperlihatkan kilatan gigi bersih berderet rapi, tiga orang itu menjadi
bengong sehingga sampai lupa sejenak untuk apa mereka berdiri di situ, hanya
memandang ke arah wajah yang mempesona itu! Akhirnya mereka sadar dan cepat
membalikkan tubuh menghadapi Cong San yang masih berdiri tenang.
"Ehh,
engkau she Yap! Kalau tahu bahwa engkau ternyata seorang manusia jahat yang
datang-datang menghina nyonya rumah, tentu tadi-tadi telah kami hajar!"
kata si tahi lalat sambil menudingkan telunjuknya ke muka Cong San.
Cong San
tersenyum dan menjawab, "Harap Sam-wi tidak mencampuri urusan ini. Saya
sama sekali tidak bermaksud untuk bermusuhan dengan siapa pun juga.
Kedatanganku ke sini memang khusus untuk membuat perhitungan dengan Ang-kiam
Bu-tek yang telah membunuh suheng-ku, seorang murid Siauw-lim-pai. Harap Sam-wi
suka minggir, karena aku tidak bermusuhan dengan Sam-wi."
"Pengecut!"
Si mata sipit memaki. "Beraninya menantang seorang wanita. Kalau memang
kau jantan, hayo lawan aku!"
Diam-diam
Cong San mendongkol. "Aku tidak mau menyerang Sam-wi, akan tetapi kalau
Sam-wi memaksa hendak menyerangku, silakan, tak usah satu-satu, boleh maju
bertiga."
Panas rasa
perut tiga orang itu. Dengan gerakan penuh aksi mereka memasang bhesi. Lalu
menggeser-geser kedua kaki dan mainkan tangan seperti orang menari. Hati Cong
San menjadi sebal karena tiga orang ini jelas masih rendah kepandaiannya dan
hanya pandai berlagak sambil mainkan ilmu silat kembang yang hanya indah
dipandang namun sebetulnya kosong dan tidak berarti kalau dipakai bertanding.
Dia sengaja
berdiri seenaknya, bahkan matanya sama sekali tidak memandang mereka melainkan
memandang kepada Cui Im dengan sinar penuh kebencian. Ia melihat Cui Im
tersenyum mengejek, dan tiba-tiba saja Cong San yang tadinya marah dan
mendongkol kepada tiga orang itu menjadi kasihan.
Mereka ini
menjadi korban senyuman manis Cui Im sehingga tanpa mengenal diri mereka rela
terjun mewakili wanita itu. Padahal, sebagai seorang yang memiliki kepandaian
tinggi tentu saja Cui Im maklum bahwa tiga orang ini dangkal ilmunya, tapi
mengapa wanita itu demikian kejam membiarkan mereka itu menghadapi bahaya dan
bahkan menjadi buah tertawaan? Padahal tentu saja Cui Im bisa mencegah mereka
turun tangan mewakilinya! Betapa pun Cong San ingin pula menundukkan tiga orang
yang sombong ini.
"Heeeiiiiiittttt!!"
"Hyyyaaatttttt!!"
Tiga orang
itu dengan lagak hebat sudah menyerang Cong San dengan pukulan-pukulan mereka.
Cong San dengan tetap tidak bergerak, hanya menggerakkan sinkang menerima
pukulan-pukulan ke arah dada, punggung dan lambung kanan itu.
"Bukkk!
Bukkk! Bukkk!”
"Hayaaaaaa..!"
Tiga orang
itu menjerit kesakitan. Ternyata tangan mereka yang memukul telah menjadi bengkak
karena Cong San mempergunakan sinkang untuk melawan secara keras sama keras
sehingga mereka seperti memukul tubuh yang terbuat dari pada baja!
Tiga orang
sastrawan konyol itu meringis-ringis kesakitan. Akan tetapi Cong San yang tak
memberi kesempatan mereka memperpanjang aksi mereka di situ, sudah menggerakkan
kaki dan tiga kali ia menendang membuat tubuh mereka terlempar turun dari
ruangan itu, jatuh terbanting menabrak meja kursi, mengaduh-aduh, merayap
bangun dan... lari keluar tanpa pamit lagi.
"Huah-ha-ha-ha-ha-ha!
Lian Ci Sengjin, kenapa tamumu begitu konyol? Apakah memang engkau mengundang
tiga orang badut itu untuk melawak di sini? Huah-ha-ha-ha!" Kakek jembel,
orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo, tertawa bergelak.
Lian Ci
Sengjin terkejut menyaksikan kelihaian pemuda baju hijau tadi, dan maklumlah
dia bahwa untuk menghadapi pemuda itu harus dia sendiri yang maju. Ia sudah
bangkit dan berkata, "Biar kuhajar sendiri dia!"
Akan tetapi
Cui Im sudah menahan lengan suaminya, lantas memandang kakek jembel sambil
berkata, "Sudah lama aku mendengar akan nama besar Thian-te Sam-lo-mo yang
berjumlah tiga orang pula. Jangan-jangan tak ada bedanya dengan tiga orang
badut tadi? Locianpwe, pemuda baju hijau yang bernama Yap Cong San ini adalah
murid Tiong Pek Hosiang, apakah Sam-wi Locianpwe berani menghadapinya?"
Kakek jembel
itu tertawa lagi. "Waduh-waduh, ternyata nona pengantin adalah seorang
yang begini cerdik, hendak menyeret kami masuk ke dalam api permusuhan yang
panas! Kami tidak takut kepada siapa-siapa, akan tetapi kami sudah bosan
bermusuhan. Kami hanya mau bertanding untuk mengukur kepandaian. Pemuda ini
tidak ada nama besar, tidak seperti nona pengantin yang julukannya menjulang
tinggi sampai ke langit. Jika telah berani menggunakan julukan Bu-tek (Tanpa
Tanding), tentunya sudah dapat menandingi Bu-tek Su-kwi!"
Cui Im
adalah seorang cerdik dan tadi ia berusaha memanaskan hati Thian-te Sam-lo-mo
untuk menghadapi Cong San. Siapa kira, kakek jembel itu kiranya lebih cerdik
dan lebih berpengalaman sehingga bukan dia yang berhasil membakar, malah dia
sendiri yang kini di bakar hatinya. Cui Im tersenyum mengejek dan mendengus
dengan menghina,
"Bu-tek
Su-kwi? Huh, apa sih mereka? Tokoh utamanya, Lam-hai Sin-ni dengan mudah tewas
di tanganku!"
Thian-te
Sam-lo-mo terkejut. Memang mereka sudah mendengar pula berita itu, akan tetapi
setelah melihat Cui Im, mereka mengira berita itu dilebih-lebihkan. Akan tetapi
kalau wanita ini berani mengakuinya, agaknya wanita muda ini memiliki
kepandaian hebat, hal yang benar-benar tak dapat mereka percaya.
"Bhe
Cui Im, mengapa banyak cakap dan hendak sembunyi di balik punggung orang lain?
Majulah dan ayo kita membuat perhitungan!' Cong San membentak, suaranya kereng
dan penuh semangat. Cong San yang maklum bahwa Keng Hong berada di situ, dan
karena di situ hadir pula orang-orang gagah, merasa mendapat angin.
Kembali Cui
Im tersenyum. "Kalau aku yang maju sendiri, berarti aku tidak mengindahkan
kepandaian para tamuku. Adakah lagi para enghiong yang hadir di sini sudi
mewakili aku memberi hajaran kepada bocah ini?"
Sunyi saja,
agaknya para tamu menjadi ragu-ragu sesudah melihat kelihaian Cong San yang
dalam segebrakan saja merobohkan tiga orang lawan tadi. Juga para tamu yang
duduk di tempat kehormatan merasa ragu-ragu untuk turut menerjunkan diri ke
dalam permusuhan pribadi, apa lagi mengingat bahwa pemuda itu adalah seorang
tokoh Siauw-lim-pai. Sebagai orang-orang berilmu mereka tidak takut menghadapi
pemuda itu, akan tetapi segan menanam bibit permusuhan dengan Siauw-lim-pai.
"Biar
aku sendiri yang maju menghajarnya!" Lian Ci Sengjin sudah bangkit dari
kursinya, akan tetapi Sian Ti Sengjin menahannya dengan menyentuh lengannya.
"Sute,
engkau duduk sajalah. Karena saat ini engkau adalah seorang mempelai, tidak
pantas kalau engkau harus turun tangan sendiri, demikian pula isterimu. Kalau
pemuda ini berkeras, biarlah aku yang menghadapinya." Sian Ti Sengjin
bangkit berdiri.
"Tidak
baik tuan rumah turun tangan sendiri! Biarlah aku yang mencobanya!"
Teriakan ini keluar dari mulut Kim-to Lai Ban yang sudah mencelat dari kursinya
dan berdiri di depan Cong San.
Kim-to Lai
Ban sedang mencari sekutu untuk diajak menghadapi Tiat-ciang-pang karena dia
masih merasa sakit hati terhadap Ouw Kian yang kini menjadi ketua
Tiat-ciang-pang. Karena itu, dia yang menganggap bahwa murid Siauw-lim-pai yang
muda itu tidak berapa mengkhawatirkan, ingin memberi jasa.
Cong San
terkejut. Tidak disangkanya sama sekali bahwa seorang tokoh Tiat-ciang-pang
akan turun tangan membantu Cui Im. Juga tadi dia heran menyaksikan sikap dua
orang tuan rumah. Mereka adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai, tapi mengapa setelah
dia membuka rahasia Cui Im mereka itu masih hendak melindunginya?
Akan tetapi
dia masih dapat mengerti sikap mereka ini karena kalau Sancu itu hendak menikah
dengan Cui Im, memang sepantasnya dia membela isterinya, dan suheng-nya pun
sudah selayaknya membela sute-nya, sungguh pun mereka itu sebenarnya harus
insyaf bahwa mereka sudah bersekutu dengan seorang wanita tokoh sesat. Akan
tetapi tokoh Tiat-ciang-pang yang menjadi tamu? Kini hendak turun tangan pula
melindungi Cui Im!
Cepat Cong
San menjura ke arah Lai Ban dan berkata, "Lo-enghiong! Kalau Lo-enghiong
seorang tokoh Tiat-ciang-pang, mengapa..."
Tiba-tiba
ucapannya disambung suara lain yang datangnya dari atas genteng. "Dia
bekas pengurus Tiat-ciang-pang yang murtad dan melarikan diri!"
Cui Im
menggerakkan tangan ke atas.
"Brakkk…!"
Beberapa
buah genteng berikut langit-langit dari mana suara itu datang pecah berantakan,
akan tetapi tidak ada apa-apa di sana! Semua orang dan terutama Thian-te
Sam-lo-mo, merasa terkejut bukan main menyaksikan kehebatan pukulan nona
pengantin ini yang membuktikan sinkang yang amat kuat!
Sebetulnya
yang mengeluarkan suara tadi adalah Keng Hong, akan tetapi pemuda sakti ini
menggunakan khikang sehingga suaranya bagai terdengar dari atas padahal dia
masih berada di antara tamu yang tingkatnya rendahan. Dia menggunakan
kesempatan selagi semua mata dan perhatian tertuju kepada Lai Ban dan Cong San
untuk mengeluarkan suara itu.
Kini Cong
San mengerti mengapa Lai Ban seorang tokoh Tiat-ciang-pang membantu Cui Im.
Kiranya orang ini adalah seorang pelarian dari Tiat-ciang-pang! Dia mengerti
adanya bahaya. Kini dia telah berada di antara musuh-musuh lihai yang akan
membantu Cui Im. Dia merasa menyesal bahwa dia sudah teburu nafsu turun tangan.
Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata,
"Aku
datang untuk membuat perhitungan dengan perempuan iblis Ang-kiam Bu-tek. Siapa
yang hendak membelanya, boleh maju!"
Lai Ban
marah mendengar dibukanya rahasia tadi, dan dia sudah mencengkeram ke arah Cong
San dengan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Tiat-ciang-kang! Cong San
mengenal serangan ampuh. Ternyata bekas tokoh Tiat-ciang-pang ini lihai juga
dan tak boleh disamakan dengan tiga orang sastrawan konyol tadi, maka dia cepat
menangkis dengan tangan kanan.
"Desssss..!"
"Aaahhhhh..!"
Lai Ban
terhuyung ke belakang dan berseru kaget. Sungguh jauh di luar persangkaannya
bahwa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang begitu kuat sehingga dapat
menangkis serangannya yang mengandung tenaga sakti Tiat-ciang-kang sehingga dia
terhuyung ke belakang. Tahulah dia kini mengapa pemuda itu berani mengacau
tempat itu, ternyata memang memiliki kepandaian tinggi.
Mengingat
bahwa pemuda itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai dan apa bila seorang tokoh
Siauw-lim-pai sudah mempunyai tenaga sinkang seperti itu, tentulah seorang yang
benar-benar lihai, Lai Ban lalu mencabut goloknya.
"Singgggg,..!"
Sinar berkelebat menyilaukan mata ketika golok besar bergagang emas itu keluar
dari sarungnya.
"Keluarkan
senjatamu!" Kim-to Lai Ban yang masih mempunyai sifat kegagahan seorang
pendekar, berseru menantang.
Cong San
masih tenang saja dan menjawab, "Lai-lo-enghiong, kenapa engkau tidak mau
sadar bahwa sebagai seorang gagah tidak layak mencampuri urusan pribadi orang
lain dan lebih tidak baik lagi membantu seorang iblis betina seperti Ang-kiam
Bu-tek?"
"Keluarkan
senjatamu, atau... engkau akan mati konyol!" Lai Ban yang wataknya memang
berangasan, apa lagi dia sudah marah dan penasaran karena dalam segebrakan saja
dia terhuyung, membentak dan mengancam.
"Mau
serang, seranglah!" Cong San masih bersikap tenang karena pemuda ini
maklum bahwa tanpa senjata pun dia masih akan dapat mengatasi orang pemarah
ini, apa lagi dia memang tidak ingin memindahkan permusuhannya dengan Cui Im ke
pundak orang lain, maka tidak ingin melukai lawan ini.
"Sombong,
makan golokku!" Golok itu berkelebat, berubah menjadi sinar menyambar ke
arah leher Cong San.
Dengan
tenang namun cepat pemuda ini mengelak dengan menggeser kaki mengubah pasangan
kuda-kuda. Tubuhnya miring, dan saat golok yang menyambar sudah melewati
tubuhnya, dia membarengi dengan hantaman tangan miring ke arah pergelangan
tangan yang memegang golok.
Lai Ban
kaget dan cepat dia melompat ke depan sambil memutar golok menyambar ke
belakang tubuhnya, menusuk perut lawan. Cong San dengan mudah mengelak,
kemudian menendang dari pinggir ke arah lutut lawan. Lai Ban meloncat mundur
sambil goloknya membabat ke arah kaki yang menendang.

Tetapi Cong
San sudah memperhitungkan gerakan balasan lawan ini. Ia menarik kakinya dan
tangan kirinya sudah menusuk ke atas mata Lai Ban dengan gerakan diperlambat.
Pancingan ini berhasil karena Lai Ban berseru girang, lalu mengelebatkan
goloknya untuk membacok putus lengan Cong San. Secepat kilat Cong San menotok
pergelangan tangan lawan yang sedang membabat lengannya. Perhitungannya tepat
sekali, kalau tidak, ada bahayanya dia kalah cepat dan lengannya akan putus
tersambar golok!
"Aduhhh...!"
Golok terlepas dari pegangan tangan Lai Ban yang tiba-tiba menjadi lumpuh, tapi
tangan kirinya masih memukul dengan cepat, menggunakan tenaga Tiat-ciang-kang!
Inilah
kesalahannya. Kalau dia tidak nekat, tentu dia akan melepaskan golok dan tidak
menderita nyeri. Kini pukulannya itu diterima oleh Cong San yang melihat
pukulan keji lalu menangkis dengan pukulan telapak sambil mengerahkan tenaga
sinkang.
"Desssss…!"
Tubuh Lai
Ban mencelat ke belakang kemudian terbanting ke atas lantai, dari mulutnya
tersembur darah segar! Cepat Lai Ban duduk bersila untuk mengobati luka pada
sebelah dalam dadanya yang terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik.
Cong San
menggunakan kakinya mencongkel golok ke atas dan sekali kakinya bergerak, golok
itu melayang dan menancap pada lantai tepat di depan Lai Ban!
"Bagus
sekali...!" Wah, murid Siauw-lim-pai lihai.. Ha-ha-ha!" Kakek jembel
tertawa-tawa gembira.
Memang kakek
ini dan dua orang saudaranya paling suka menonton pertandingan silat, akan
tetapi kalau ada lawan tanggung-tanggung saja mereka tidak sudi turun tangan.
Kini menyaksikan kelihaian Cong San, tangan mereka sudah gatal-gatal!
"Uh-uh-uh,
bocah jahat!" Seruan ini halus perlahan, akan tetapi Cong San cepat
mencelat ke belakang untuk mengelak.
Tampak sinar
berkeredepan ketika golok di tangan Thian It Tosu menyambar, dan begitu golok
itu luput mengenai sasaran lalu membalik dan sudah menyambar lagi. Suara golok
merobek udara sampai mengeluarkan suara mengaung tiada hentinya dan sinar golok
itu bergulung-gulung mengurung tubuh Cong San. Pemuda ini terkejut, maklum
bahwa ilmu golok Thian It Tosu amat hebat. Terpaksa dia lalu mengeluarkan
senjatanya Im-yang-pit.
"Trang-trang-trang-cringgg...!"
Bunga api
berhamburan saat berkali-kali golok bertemu sepasang pensil yang digerakkan
secara istimewa oleh Cong San. Memang ilmu silat memainkan sepasang pensil
pemuda ini amat lihai. Setiap kali menangkis, senjata yang kecil ringan ini
tentu terus meleset dan menotok pergelangan lawan, malah disusul oleh pensil ke
dua yang melakukan totokan ke arah jalan darah yang berlawanan.
Thian It
Tosu terpaksa mengelak ke sana ke mari dan goloknya diputar melindungi tubuh.
Akan tetapi sepasang pensil itu bagaikan dua ekor burung yang amat gesit,
selalu dapat menyusup di antara sinar golok lantas mencari sasaran jalan darah
secara bertubi-tubi dan susul-menyusul! Hanya dalam belasan jurus saja Thian It
Tosu sudah terdesak hebat dan hanya main mundur.
"Wah-wah-wah,
bocah itu hebat...!" Si kakek jembel berjingkrak-jingkrak gembira sekali.
"Tosu tukang sembelih babi dengan goloknya itu takkan menang!"
Diam-diam
Lian Ci Sengjin menjadi mendongkol juga kepada Thian-te Sam-lo-mo, apa lagi
kepada si kakek jembel itu. Mereka adalah golongan cianpwe yang berkedudukan
tinggi dan dia harapkan akan turun tangan meredakan kekacauan, akan tetapi
kakek itu malah berjingkrak-jingkrak memuji si pemuda Siauw-lim-pai,
seolah-olah merasa girang melihat pihak yang membelanya menderita kekalahan.
Sambil
mengeluarkan seruan keras, bekas tokoh Kun-lun-pai ini lalu meloncat ke depan.
Pedangnya telah terhunus, ada pun terjangannya hebat ketika dia menusuk ke arah
dada Cong San.
"Cringgg…!"
Pedang itu
terpental ketika tertangkis pensil hitam. Thian It Tosu telah menerjang kembali
dengan goloknya dan sekarang Cong San dikeroyok dua.
Pemuda ini
menjadi mendongkol sekali. Tak disangkanya bahwa dalam mengejar musuh besarnya,
dia malah bentrok dengan tokoh-tokoh dari partai besar seperti Kun-lun-pai dan
Tiat-ciang-pang, padahal menurut patut, tokoh-tokoh partai besar itu mestinya
membantu dia menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang jahat.
Dengan marah
dia lalu menggerakkan kedua pensilnya sedemikian rupa sehingga Lian Ci Sengjin
dan Thian It Tosu yang diserang totokan maut pada jalan darah mereka berseru
keras dan meloncat mundur. Sementara itu, Sian Ti Sengjin juga sudah melompat
maju.
Akan tetapi
pada saat itu, terdengar seruan halus berwibawa dari Cui Im, "Mundur
semua! Biar aku memberi hajaran kepada bocah ini!"
Bayangan
merah berkelebat didahului angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Cong San
pada waktu tiga orang pengeroyoknya termasuk Sian Ti Sengjin mundur dan minggir
mendengar seruan Cui Im. Pukulan sinkang yang dilontarkan Cui Im hebat bukan
main.
Cong San
yang belum pernah bertanding mati-matian melawan wanita itu menangkis dan dia
terjengkang! Untung dia segera menekan lantai dengan sikunya dan tubuhnya sudah
meloncat bangun lagi sambil menggerakkan kedua pensilnya.
"Cring-cring-cring..!"
Sinar merah
dari jarum-jarum merah Cui Im semuanya runtuh terpukul sepasang pensil. Pemuda
itu sudah meloncat bangun dan memandang Cui Im dengan marah. Ia maklum akan
kelihaian wanita itu dan tadi pun hampir saja dia celaka.
"Wah,
kiranya nona pengantin benar-benar hebat! Sekarang baru ramai!" Kakek
jembel itu berseru.
Sekali ini
dia benar-benar memuji karena maklum bahwa tingkat kepandaian Ang-kiam Bu-tek
benar-benar hebat. Kalau tadinya tiga orang iblis tua ini kepingin sekali
menantang dan menggempur Cong San untuk menguji kepandaian tokoh muda
Siauw-lim-pai yang lihai itu, kini mereka pun ingin sekali mencoba kesaktian
Cui Im.
Tiba-tiba
terdengar pekik seorang pelayan wanita berlari keluar, "Celaka...
Toanio... kamar Toanio sudah dibongkar orang…!"
"Apa..?!"
Mendengar ini, Cui Im langsung membalikkan tubuh dan lari meninggalkan Cong San
untuk memeriksa kamarnya.
Melihat ini,
Lian Ci Sengjin, Sian Ti Sengjin dan Thian It Tosu telah maju lagi mengeroyok
Cong San. Sementara itu, kakek jembel yang sudah tidak dapat menahan nafsunya
ingin bertanding, tiba-tiba tertawa bergelak, tubuhnya melayang ke udara dan
bagaikan seekor burung dia menerkam kepala Cong San.
"Dukkkkkk!
Ayaaaaa...!"
Tubuh kakek
itu mencelat kembali ke belakang di mana dia hinggap di atas lantai dengan
kedua mata terbelalak memandang pada seorang pemuda bermuka hitam bopeng yang
berpakaian longgar seperti pakaian pendeta yang tadi menyambut tubuhnya di
udara dan mendorongnya kembali ke tempatnya. Hampir ia tidak percaya bahwa yang
telah menolak tubuhnya tadi adalah pemuda bopeng itu! Kakek yang tadinya banyak
bicara dan suka ketawa itu kini hanya terbelalak memandang dengan muka melongo.
"Apakah
kita sedang mimpi...?" Ia berkata kepada dua orang saudaranya.
"Muncul tokoh Siauw-lim-pai, dan nona pengantin yang hebat, kemudian bocah
bopeng ini. Bagaimana dunia sekarang bisa penuh dengan orang-orang muda sakti
yang berkeliaran?"
Pemuda muka
bopeng itu melayang turun. Begitu kaki tangannya bergerak, golok Thian It Tosu
terlempar, pedang Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin terpental ke belakang,
ada pun tubuh mereka terhuyung-huyung.
"Lian
Ci Sengjin, apakah engkau masih belum sadar dari kesesatanmu?" berkata
pemuda muka bopeng sambil meraba mukanya sehingga terbukalah kedok karet tipis
dan tampak mukanya yang asli.
"Keng
Hong...! Keparat, kau pemuda busuk, di mana-mana menimbulkan kekacauan...!"
Lian Ci Sengjin berseru memaki.
"Hemmm,
ingatlah akan perbuatanmu sendiri! Lupakah kau akan nona Tan Hun Bwee yang kau
perkosa di dalam hutan?"
"Apa...?!"
Lian Ci Sengjin menjadi pucat wajahnya.
"Sute,
benarkah itu...?" Sian Ti Sengjin memandang sute-nya dengan mata tajam.
"Tidak...
Ehh, aku..." Lian Ci Sengjin tergagap.
"Lian
Ci Sengjin, sesudah engkau berani menjadi Sancu di Phu-niu-san, apakah engkau
tetap menjadi pengecut? Seorang jantan telah berani berbuat tentu berani pula
mengakui perbuatannya. Engkau memperkosa nona Tan!"
Muka Lian Ci
Sengjin menjadi merah dan matanya melotot. "Benar! Habis engkau mau
apa?"
"Mau
menghajarmu!" Keng Hong berteriak.
Tangan
kirinya langsung memukul dengan jari tangan terbuka ke arah perut ketua atau
kepala di Phu-niu-san itu. Kalau pukulan ini mengenai sasaran tentu perut itu
akan pecah dan agaknya Lian Ci Sengjin tak dapat mengelak lagi.
"Desssss…!"
Pukulan
sinkang tangan kiri Keng Hong tertangkis oleh tangan Cui Im yang melesat dari
dalam. Muka wanita itu merah sekali dan pandang matanya menyinarkan maut ketika
dia saling bertatapan dengan Keng Hong.
"Cia
Keng Hong! Kembalikan pusaka-pusaka itu!" jeritnya, setelah itu dia
menangis saking marah dan bencinya.
Keng Hong
tertawa, lantas bersedakap seperti hendak melindungi pusaka-pusaka yang sudah
dapat dia rampas kembali dan kini dia sembunyikan di dalam baju yang longgar
itu.
"Enak
saja! Susah payah aku mencari. Engkau asyik menjadi pengantin, maka lengah.
Salahmu sendiri!"
"Kau...
pencuri laknat!"
"Husshhhhh,
engkau sendiri mencurinya dari aku, dan sekarang aku mencurinya kembali. Adil,
bukan?"
"Bangsat!"
Pedang merah di tangan Cui Im menyambar, akan tetapi Keng Hong sudah mengelak.
"Cringgggg...!"
Pensil putih di tangan Cong San yang menangkis pedang itu.
"Iblis
betina, sekarang nyawamu harus kuambil!" bentak pemuda ini.
Cong San
masih hendak menyerang lagi, akan tetapi Keng Hong memegang pundaknya dan
mendorongnya keras sekali sehingga tubuh pemuda murid Siauw-lim-pai terlempar.
"Mari
kita pergi, Yap-twako.."
"Tetapi...!"
"Nanti
bicara, sekarang lari!" Keng Hong juga sudah meloncat, kemudian sekali
lagi dia mendorong dengan tenaga sepenuhnya hingga tubuh Cong San seperti
dilontarkan keluar dari gedung itu, diikuti bayangan Keng Hong.
"Berhenti,
Keng Hong manusia keparat!" Cui Im mengejar.
"Eh-eh-ehh,
murid Siauw-lim-pai, bocah bopeng, tunggu, mari kita mengadu kepandaian. Coba
kalian kalahkan Thian-te Sam-lo-mo!" Si jembel dan kedua orang saudaranya
juga mengejar keluar. "Kalau mereka tidak mau, engkau saja, nona
pengantin. Engkau pun cukup lihai!" Teriak pula si jembel dari belakang
Cui Im.
Cui Im sudah
menyambitkan jarum-jarum merahnya ke arah pungung Keng Hong. Akan tetapi Keng
Hong mengulurkan tangan dan dari samping dia menangkap jarum-jarum itu,
kemudian sambil tertawa dia berseru, "Lian Ci Sengjin, kutitipkan nyawamu
kepadamu. Ini untuk peringatan, terimalah!"
Tangan Keng
Hong bergerak dan jarum-jarum merah itu menyambar laksana sinar-sinar merah ke
arah Cui Im, tiga orang kakek iblis dan ke arah Lian Ci Sengjin! Dengan mudah
Cui Im dan ketiga orang kakek iblis mengelak, akan tetapi Lian Ci Sengjin
memaki marah karena daun telinganya ditembus sebatang jarum merah isterinya!
Cui Im
kembali meloncat hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba di belakangnya
terdengar suara. "Jangan pergi semua! Layani dulu kami beberapa jurus,
nona pengantin!"
Cui Im
terkejut karena ada angin menyambar dari belakang. Cepat dia mengelak sambil
memutar tubuh dan ternyata ketiga orang Thian-te Sam-lo-mo sudah menyerangnya
dan memaksanya untuk menguji kepandaiannya.
"Apakah
kalian gila?" Cui Im memaki dengan mendongkol sekali.
Ia cepat
mengelebatkan pedang merahnya. Demikian hebat sambaran pedangnya hingga tiga
orang kakek iblis itu terpaksa meloncat ke belakang. Ketika Cui Im menoleh
ternyata bayangan Keng Hong dan Cong San telah lenyap. Pintu depan penuh dengan
para tamu yang kacau balau lari ke sana ke mari.
Cui Im marah
bukan main, dan karena yang menghalanginya adalah Thian-te Sam-lo-mo, maka
sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring dia segera menerjang tiga orang
kakek itu dengan pedangnya!
"Aduh,
ganas..!" Teriak si kakek jembel.
"Kiam-sut
yang hebat!" Si sasatrawan juga berseru sambil mengelak.
"Bukan
main!" Seru pula orang ketiga yang berpakaian tosu.
Cui Im tidak
peduli lagi, kemarahannya memuncak dan ia menerjang tiga orang itu kalang
kabut. Tiga orang kakek itu mula-mula hanya mengelak ke sana ke mari,
menganggap Cui Im main-main dan ingin menguji kepandaian. Akan tetapi pedang
itu semakin ganas, bahkan dibarengi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang
mengandung sinkang sangat kuat. Mereka terkejut dan mencabut pedang
masing-masing yang tersembunyi di balik jubah mereka.
"Trang-trang-trang...!"
Bunga api
berhamburan dan tiga orang kakek itu terdorong mundur sampai tiga langkah
sedangkan Cui Im hanya mundur selangkah. Tiga orang kakek iblis tua itu
benar-benat kaget dan kagum bukan main, akan tetapi mereka menjadi makin
gembira. Bagi mereka ini, semakin tangguh lawan, makin menggembirakan, maka
mereka sudah bergerak maju pula.
"Tahan...!"
Teriak Lian Ci Sengjin.
"Harap
berhenti...!" teriak pula Sian Ti Sengjin.
"Tidak
perlu bertanding antara teman sendiri!" ucapan ini keluar dari mulut Lai
Ban.
Mereka
semua, golongan tamu-tamu kehormatan, sudah tiba di situ dan melerai Cui Im
serta ketiga orang kakek iblis itu. Tiga orang kakek iblis itu mundur dan si
kakek jembel memuji sambil mengacungkan jempolnya.
"Engkau
hebat, nona pengantin. Aku si tua benar-benar kagum sekali!"
Cui Im
cemberut, akan tetapi diam-diam dia pun berpikir bahwa dia tadi hanya mengejar
sendirian, dia tidak akan mampu memenangkan Keng Hong. Kalau saja tiga orang
kakek iblis itu tidak seperti anak kecil dan suka membantunya, agaknya mereka
berempat masih ada harapan untuk merampas pusaka-pusaka itu kembali.
Pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Tadinya semua disimpan di dalam
kamarnya dan kini semuanya lenyap dicuri Keng Hong. Gemas bukan main hatinya.
"Mari
kita kembali dan mari kita rundingkan bersama untuk menghadapi musuh-musuh itu
karena tanpa direncanakan, akan sukar menghadapi mereka yang lihai. Keng Hong
itu memang seorang pengacau besar dan…"
"Sudahlah!"
Cui Im memotong ucapan calon suaminya. "Aku suka menjadi isterimu sebab
mengharapkan kalian semua dengan teman-teman kalian akan membantuku menghadapi
Keng Hong dan aku berjanji akan membantu kalian membalas dendam kalian. Akan
tetapi siapa kira, kalian adalah manusia-manusia tolol sehingga begitu Keng
Hong tiba, semua barangku sudah digondolnya! Kalian bodoh dan tolol, terutama
Thian-te Sam-lo-mo ini!" Setelah berkata demikian, Cui Im mencengkeram
pakaian pengantin yang dipakainya.
"Brettt!
Brettt!"
Pakaian itu
telah direnggut dan dirobek-robeknya. Ternyata di sebelah dalamnya dia telah mengenakan
pakaian merahnya yang biasa!
"Eh-ehh...
Niocu... ehh...!" Lian Ci Sengjin berseru kaget dan menghampiri calon
isterinya.
"Plak!
Plak! Plak!" Pipinya ditampar oleh Cui Im.
"Kau
boleh mencari gadis Tan yang dulu kau perkosa!" Setelah berkata demikian,
Cui Im melesat pergi dengan cepat sekali, meninggalkan bekas calon suaminya
yang melongo.
Sepasang
pipinya merah bekas ditampar dan daun telinganya berdarah karena tertembus
jarum merah. Untung bahwa dia telah diberi obat yang ditinggalkan Cui Im di
kamarnya, kalau tidak dia bisa mati terluka jarum itu.
"Hayaaaa...
sial dangkalan!" Kakek jembel membanting-banting kaki. "Lama tidak
bertemu tanding, sekarang muncul tiga orang muda sakti dan mereka pergi semua
tanpa menguji kami!"
Akan tetapi
Lian Ci Sengjin yang sudah marah dan makin malu, tidak mempedulikannya. Dia
bahkan lari memasuki rumahnya di mana dia mengeram diri di dalam kamar. Ingin
dia menangis saking marah dan malunya. Kebenciannya pada Keng Hong makin
menghebat akan tetapi dia pun teringat akan Tan Hun Bwee dan diam-diam dia
bergidik. Bagaimana Keng Hong tahu akan perbuatannya itu? Dan di manakah Tan
Hun Bwee sekarang? Dia menjadi ngeri jika membayangkan betapa gadis itu akan
mendendam sakit hati padanya.
Sementara
itu secara bijaksana Sian Ti Sengjin membubarkan pesta dengan pernyataan maaf.
Para tamu tidak terlalu kecewa. Meski pun mereka kehilangan barang sumbangan
untuk pengantin yang tidak jadi menikah, akan tetapi mereka diberi suguhan
pertandingan tingkat tinggi serta peristiwa-peristiwa lucu dan aneh yang sama
sekali tak pernah mereka sangka-sangka.
***************
"Cia-taihiap,
kenapa engkau melarangku membunuh iblis betina itu?" Cong San menegur Keng
Hong setelah mereka melarikan diri selama setengah hari dan baru berhenti di
tepi Sungai Han-sui di sebelah selatan Pegunungan Phu-niu-san.
Keng Hong
menarik napas. Hatinya lega bahwa dia sudah berhasil merampas kembali semua
pusaka selengkapnya. Hari telah menjelang malam dan mereka beristirahat sambil
duduk di dekat api unggun yang mereka buat untuk mengusir nyamuk.
"Yap-twako,
kalau aku tidak memaksa engkau pergi, belum tentu kita akan dapat hidup sampai
saat ini. Engkau tidak tahu, tiga orang kakek itu adalah Thian-te Sam-lo-mo
yang berkepandaian hebat bukan main. Kalau mereka membantu Cui Im, ditambah
bantuan para tamu yang agaknya semua berpihak mereka, dan dikeroyok anak buah
Phu-niu-san yang seratus orang lebih jumlahnya, mana mungkin kita dapat menang,
apa lagi dapat keluar dari Phu-niu-san dengan selamat?"
"Aku
tidak gentar menghadapi kematian di dalam usahaku melaksanakan tugas sebagai
murid Siauw-lim-pai!"
Keng Hong
menghela napas dan berkata, nada suaranya sedih karena dia teringat akan semua
pengalamannya dahulu ketika dikejar-kejar di mana tokoh-tokoh Siauw-lim-pai
juga turut mengejarnya. Teringat pula betapa dia pernah bentrok akhir-akhir ini
dengan Thian Kek Hwesio dan lima hwesio Siauw-lim-pai yang hendak membunuh
Biauw Eng.
"Yap-twako,
di dunia ini kiranya tidak ada orang yang pernah meragukan kegagahan dan
kejantanan jago-jago dari Siauw-lim-pai. Akan tetapi sesungguhnya, hanya
mengandalkan keberanian dan kekerasan saja, selain hidup ini tidak akan menjadi
aman, juga sering kali menimbulkan hal-hal yang meruwetkan. Pernah aku sendiri
dikejar-kejar Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio tanpa bersalah hanya karena
aku adalah murid Sin-jiu Kiam-ong! Pernah pula belum lama ini nona Sie Biauw
Eng diserang oleh tokoh tokoh Siauw-lim-pai di bawah pimpinan Thian Kek Hwesio
hanya karena nona itu adalah sumoi dari Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Padahal
antara nona Sie Biauw Eng sudah tiada hubungan apa pun, berbeda jauh seperti
bumi dengan langit, bahkan ibu nona Sie Biauw Eng yaitu Lam-hai Sin-ni sendiri
telah dibunuh oleh Cui Im, ada pun nona Sie Biauw Eng hampir saja mati di
tangan bekas suci-nya. Inilah buruknya watak keras dan kaku, hanya mengandalkan
asal berani dan benar terus merunduk saja tanpa wawasan dan pertimbangan
lagi."
Wajah pemuda
baju hijau yang tampan itu menjadi merah. Dia tidak senang mendengar pemuda itu
mencela tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi karena celaan itu sebenarnya
menurut kenyataan dan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menghina, dia pun
tidak dapat membantah dan berkata,
"Habis,
jika menurut pendapatmu bagaimana, Cia-taihiap? Apakah karena kedudukannya yang
sedemikian kuatnya itu aku lalu harus lari ketakutan dan melapor kepada suhu di
Siauw-lim-si bahwa aku tidak sanggup melaksanakan perintah suhu?"
Keng Hong
tersenyum sabar, maklum bahwa hati pemuda yang gagah perkasa ini agak
tersinggung.
"Bukan
begitu, Twako. Tugas dari guru merupakan tugas suci yang harus dilaksanakan dengan
taruhan nyawa, akan tetapi kalau tugas itu gagal karena kecerobohan, dan hal
itu tentu terjadi kalau kau nekat melawannya, bukankah akan berarti kau
menyia-nyiakan dan menggagalkan tugasmu pula? Melawan dengan nekat sampai mati
padahal sudah tahu bahwa melawan hanya berarti akan mengantarkan nyawa sendiri
sama sekali bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan perbuatan orang bodoh
yang nekat. Terus terang aku memberitahu padamu, Yap-twako, bahwa dengan
tingkat kepandaianmu yang sekarang, engkau tidak akan sanggup menangkan Cui Im.
Ketahuilah, dia sudah mewarisi ilmu-ilmu dalam kitab-kitab pusaka peninggalan
guruku Sin-jiu Kiam-ong dan agaknya tokoh Siauw-lim-pai yang akan dapat
menundukkan dia hanya gurumu sendiri!"
Yap Cong San
termenung dan di hatinya dia betul-betul terkejut mendengar ini. Memang tadi
dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian wanita itu, akan tetapi tidak mengira
bahwa Keng Hong akan menyatakan seperti itu. Dia menjadi bingung dan bertanya,
suaranya mengandung penasaran.
"Mohon
petunjuk dari Cia-taihiap. Bagaimanakah saya harus bersikap sekarang? Apakah
yang harus saya lakukan?"
Keng Hong
lalu mengeluarkan dua buah kitab yang sudah kuning dan menyerahkannya kepada
pemuda itu. Yap Cong San menerima dua kitab itu dan begitu melirik ke atas
judul yang tertulis di kulit sampul, dia berseru,
"Ahhh…!
Kitab I-kiong Hoan-hiat dan kitab Seng-to Cin-keng! Bukankah ini dua buah kitab
pusaka Siauw-lim-pai yang dikabarkan hilang…?"
"Benar.
Itulah dua buah kitab yang dahulu sudah dipinjam oleh mendiang guruku, Sin-jiu
Kiam-ong dan yang pernah kujanjikan kepada tokoh-tokoh Siauw-lim-pai untuk
kucari dan kukembalikan kepada Siauw-lim-pai. Baru sekarang aku berhasil
merampasnya kembali dari Cui Im. Nah, dua buah kitab ini kuserahkan kepadamu,
Yap-twako, agar kau bawa ke Siauw-lim-pai, disertai hormat dan permohonan maaf
dariku demi nama mendiang guruku. Walau pun kau tidak berhasil membunuh Cui Im,
namun dengan membawa kembali dua buah kitab yang amat penting ini, berarti
perjalananmu tidak sia-sia belaka. Ada pun untuk membalas dendam kepada Cui Im,
sekarang ini percuma. Dia tentu tidak lagi berada di Phu-niu-san sesudah
melihat aku mencarinya, dan engkau pun perlu memperdalam ilmu kepandaianmu
untuk menghadapinya kelak, Twako. Lebih baik kau ceritakan terus terang semua
pemberitahuanku tentang kelihaian Ang-kiam Bu-tek kepada suhu-mu agar beliau
dapat pula mempertimbangkan dan mempertinggi tingkat kepandaianmu sebelum
engkau ditugaskan lagi untuk menandingi Cui Im."
Yap Cong San
mengangguk-angguk hatinya terharu melihat dua buah kitab itu. Dia tahu sebab
pernah mendengar penuturan suhu-nya tentang dua buah kitab pusaka yang hilang
dibawa Sin-jiu Kiam-ong, dan selain hal itu merupakan pukulan memalukan bagi
Siauw-lim-pai, juga merupakan kehilangan yang amat besar. Sekarang dua buah
kitab itu telah diberikan kepadanya, hal yang sama sekali tidak pernah
disangkanya.
Pemuda
Siauw-lim-pai itu cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Banyak
terima kasih, Cia-taihiap. Bukan hanya atas pengembalian dua buah kitab pusaka
Siauw-lim-pai ini, akan tetapi juga atau nasehat-nasehat Taihiap yang kini
dapat kulihat dan kurasakan kebenarannya. Baiklah, aku akan menghadap suhu,
Mempersembahkan dua buah kitab ini dan menceritakan keadaan musuh besar itu
yang sekarang menjadi amat lihai. Tentu dia sudah pula mempelajari ilmu dari
kedua buah kitab ini."
Keng Hong
menghela napas panjang. "Memang benar demikianlah, sebab itu dia menjadi
begitu lihai."
Yap Cong San
mengangguk-angguk dan berkata dengan suara tegas, "Betapa pun juga, aku
hendak mohon kemurahan hati suhu untuk memberi gemblengan supaya aku dapat
memperdalam ilmu sehingga akan mampu menandingi wanita iblis itu! Sekali lagi
terima kasih, Taihiap, dan selamat berpisah sampai jumpa pula."
"Selamat
jalan dan berhati-hatilah. Dua buah kitab yang kau bawa itu kalau saja sampai
terlihat tokoh-tokoh kang-ouw tentu akan mendatangkan bahaya dan gangguan
hebat."
Yap Cong San
menyimpan dua buah kitab itu di sebelah dalam bajunya dan mengangguk, "Aku
mengerti, Taihiap, dan karena dua buah kitab ini merupakan benda-benda pusaka
Siauw-lim-pai, aku akan melindunginya dengan nyawaku!”
Sekali lagi
ia memberi hormat, kemudian tubuh pemuda Siauw-lim-pai ini berkelebat cepat dan
pergi meninggalkan Keng Hong yang memandang kagum. Pemuda itu benar-benar
tampan dan gagah perkasa, keberaniannya pun luar biasa membuat dia kagum dan
suka sekali...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment