Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 32
Kini Yan Cu
menjadi marah sekali, kemarahan yang timbul akibat kedukaan hatinya. Di dalam
kedukaannya itu memang ada perasaan marah kepada Biauw Eng dan Hun Bwee yang
sudah menawan Keng Hong dan hanya kerena Keng Hong yang melarangnya dan karena
keyakinannya bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng maka tadinya dia menahan
kemarahannya terhadap kedua orang gadis itu dan tidak turun tangan mencegah
mereka menawan Keng Hong.
Kini semua
kemarahannya mendapat jalan keluar dan dapat ditumpahkan kepada para perampok yang
kurang ajar itu. Melihat kepala perampok itu dengan mata liar dan mulut
menyeringai maju menubruknya, Yan Cu cepat mendahuluinya dengan sambaran kaki
kirinya menendang. Gerakan kakinya tentu saja amat cepat bagi kepala perampok
yang kasar itu sehingga dia tidak sempat menghindar lagi ketika kaki yang kecil
itu melayang.
"Krakkk!"
"Wadouhhhhhh...
aaahhhhh...!" Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan terbanting ke atas
tanah di mana dia menggunakan kedua tangannya menekan-nekan dadanya sambil
berkelojotan. Tulang-tulang iganya patah-patah dan melesak ke dalam rongga
dada!
Melihat
peristiwa yang tak tersangka-sangka ini, para perampok sejenak tercengang dan
melongo. Akan tetapi kemudian mereka menjadi marah sekali dan seperti
segerombolan anjing serigala memperebutkan tulang, dua belas orang perampok itu
menerjang maju.
Mungkin
karena hati dan pikirannya masih penuh dengan bayangan Keng Hong dijadikan
tangkapan orang, kini melihat banyak lengan terulur ke arahnya hendak
menangkapnya membuat kemarahan hati Yan Cu semakin menjadi-jadi. Mulutnya
mengeluarkan pekik kemarahan dan kini kaki tangannya bergerak cepat sekali,
tubuhnya menyambar-nyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan dan roboh
pula dua belas orang itu satu demi satu, tidak kuasa bangkit kembali karena
dalam kemarahannya Yan Cu sudah menggunakan tenaga sinkang untuk memukul atau
menendang dua belas orang yang berebut hendak menangkapnya itu!
Hanya
beberapa menit saja berlangsungnya pertandingan yang berat sebelah itu, seperti
seekor burung garuda dikeroyok dua belas ekor anak ayam! Kini Yan Cu berdiri
tegak dengan kedua tangan masih siap menghadapi pengeroyokan selanjutnya sambil
matanya mengerling ke kiri kanan penuh kemarahan.
Akan tetapi,
ketika ia mendapat kenyataan bahwa tak ada orang lagi yang menyerangnya kecuali
tiga belas batang tubuh yang berserakan di sekelilingnya, sebagian besar sudah
mati dan yang masih bergerak hanya mereka yang sedang sekarat berkelojotan,
tiba-tiba tubuhnya terasa lemas sekali. Muka gadis itu menjadi agak pucat.
Belum pernah selama hidupnya ia melakukan pembunuhan massal seperti ini.
Dia merasa
ngeri dan bergidik memandangi korban-korban kemarahannya. Kemudian dia
melangkah pergi meninggalkan tempat yang menimbulkan kengerian itu, melangkah
pergi dan begitu teringat kepada Keng Hong tak terasa ia menangis lagi sambil
berjalan. Makin berduka hatinya karena kalau saja ada Keng Hong di situ,
kiranya dia tak akan mengalami peristiwa tadi dan tidak harus membunuhi orang,
biar pun orang-orang yang dibunuhnya itu adalah orang-orang yang jahat.
"Keng
Hong suheng...! Mengapa engkau mau saja ditawan...? Suheng... Keng Hong...
mengapa engkau begitu lemah...?"
Orang yang
sejak tadi membayanginya, di dalam persembunyiannya tadi terbelalak heran dan
kagum menyaksikan sepak terjang gadis itu yang dalam satu gebrakan saja mampu
merobohkan setiap orang perampok dan dalam waktu singkat sekali telah membunuh
tiga belas orang perampok kasar! Hal ini sungguh amat tidak disangka oleh si
pengintai, dan membuat dia semakin tertarik, maka kini diam-diam dia pun
membayangi gadis cantik itu yang pergi sambil menangis.
Keluhan Yan
Cu itu perlahan, akan tetapi saking sedihnya, pada waktu menyebut nama
suheng-nya, suara Yan Cu mengeras sehingga terdengar oleh pengintai itu. Si
pengintai kaget sekali mendengar disebutnya nama Keng Hong, selain kaget juga
gembira karena dia segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan sekali
meloncat saja pengintai ini telah berada di depan Yan Cu.
Yan Cu
sedang berduka, akan tetapi pendengarannya amat tajam. Ia mendengar gerakan
orang dan cepat mengangkat muka memandang, melihat sesosok bayangan berbaju
hijau berkelebat. Yan Cu bersikap waspada, dapat menduga bahwa ada orang pandai
muncul dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan gerombolan perampok yang
terdiri dari orang-orang kasar tadi. Tentu yang datang ini adalah pemimpin
perampok yang memiliki kepandaian tinggi.
Akan tetapi
kali ini Yan Cu kecelik dan ia memandang pemuda yang berdiri di depannya itu
dengan mata terbelalak dan pandang mata terheran. Yang berdiri di depannya
adalah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah sekali, berusia kurang lebih
dua puluh lima tahun, berpakaian warna hijau dengan model sastrawan, sikapnya
halus dan pemuda itu berdiri sambil memberi hormat kepadanya.
Pemuda itu
adalah Yap Cong San, jago muda dari Siauw-lim-pai. Sesudah pemuda ini menerima
dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab I-kiong Hoan-hiat dan
Seng-to Cin-keng dari tangan Keng Hong, pemuda ini segera membawa dua buah
kitab itu kepada suhu-nya.
Tiong Pek
Hosiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua, menerima dua buah kitab itu
dengan girang sekali. Ketika kakek sakti ini mendengar penuturan muridnya
tentang Keng Hong dan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, dia lalu menyuruh muridnya
pergi menyusul Keng Hong dan membantu Keng Hong menghadapi wanita jahat itu sebagai
pernyataan terima kasih dan membalas budi Keng Hong yang sudah mengembalikan
dua buah kitab, dan juga untuk menghukum Cui Im atas kematian Thian Ti Hwesio.
Demikianlah
sebabnya mengapa kini tiba-tiba muncul Cong San di tempat itu dan secara
kebetulan Cong San melihat Yan Cu dan amat tertarik hatinya. Begitu mendengar
gadis itu menyebut nama Keng Hong, tentu saja cepat meloncat keluar dan
menemuinya.
Akan tetapi,
alangkah kagetnya ketika baru saja dia muncul dan memberi hormat dengan
mengangkat kedua tangan di depan dada, belum sempat mulutnya bicara, dara
jelita yang mengguncangkan hatinya itu sudah menerjang maju dan menyerangnya
dengan pukulan maut! Gerakan Yan Cu amat cepatnya dan pukulan tangan kanan yang
meluncur ke arah dada kiri Cong San itu mengandung tenaga sinkang yang
mengeluarkan angin keras!
"Ehhh...
jangan serang, Nona...!" Cong San cepat mengelak sambil berseru keras.
Sepasang
mata yang bening itu berkilat. Melihat wajah tampan itu tersenyum kepadanya,
Yan Cu semakin marah, menganggap bahwa pemuda yang ternyata benar lihai dan
dapat mengelak pukulannya secara mudah itu tentu hendak berkurang ajar pula
kepadanya, maka ia hanya membentak, "Datuk perampok, kau pun harus
dibasmi!"
Lalu dia
menerjang pula, sekali ini dengan pengerahan kecepatannya sehingga secara
bertubi kepalan tangan kanannya menonjok perut, disusul tangan kiri
mencengkeram ke arah hidung, kemudian dibarengi kedua kakinya melakukan
tendangan berantai kanan kiri mengarah pusar dan lutut!
Cong San
makin terkejut. Serangan ini benar-benar amat berbahaya! Pukulan ke perut
terpaksa dia tangkis sambil mengerahkan tenaga lunak karena dia tidak ingin
mengadu tenaga keras lawan keras, khawatir melukai lengan berkulit halus itu,
tetapi cengkeraman pada hidungnya membuat dia kaget sehingga cepat dia
miringkan kepala, dan ketika dua tendangan susul-menyusul menyambar, dia
berseru kaget, "Wah, galak...!" Dan terpaksa dia meloncat ke belakang
menghindarkan diri.
Yan Cu
menjadi penasaran dan marah sekali. Lupa dia akan kesedihannya karena kini
kemarahan menguasai hatinya dan membuat dia lupa segala. Dengan muka merah dan
mata berapi dia menudingkan telunjuknya ke arah hidung Cong San sambil memaki,
"Kau
bilang aku galak? Memang aku galak, akan tetapi engkau ceriwis, cabul, jahat
dan keji, tidak sopan, tukang merampok dan memperkosa..."
"Wah,
wah, wah... cukup, Nona! Aku bukan orang jahat...!" Cong San menangkis
dengan kata-kata menyangkal sambil bersikap waspada karena agaknya nona yang
amat jelita ini pun amat galak.
Yan Cu
tertawa mengejek.
Serrrr!
Jantung Cong San membuat loncatan salto di dalam rongga dadanya dan agaknya
terbanting kembali dalam keadaan terbalik karena debar jantungnya kini sampai
terdengar oleh telinganya, amat keras!
Melihat
wajah itu tertawa benar-benar membuat dia terpesona, apa lagi kini melihat
mulut yang meski pun tertawa mengejek masih nampak terlalu manis olehnya itu
mengeluarkan kata-kata, membuat pandang matanya seakan-akan melekat pada
sepasang bibir yang bergerak-gerak itu.
"Tidak
jahat? Engkau mengintai aku secara sembunyi, masih bilang bukan orang jahat?
Hayo katakan, mengapa engkau mengintai dan membayangiku!"
Sampai lama
Yan Cu menanti, pemuda itu tidak menjawab, hanya melongo memandang mulutnya.
Memang Cong San tidak mendengar ucapan dan pertanyaan tadi. Pemuda ini masih
terpesona, seperti melayang semangatnya, debar jantungnya yang keras membuat
telinganya terngiang-ngiang hingga tidak dapat menangkap kata-kata Yan Cu.
Bagaimana mungkin ada mata seindah itu?
Cong San
bukan seorang pemuda mata keranjang. Jauh dari pada itu. Selama berada dalam
gemblengan Tiong Pek Hosiang di Siauw-lim-si, kakek ini selain mengajarkan ilmu
silat tinggi, juga mengajarkan kebatinan dan karena itu dia tak pernah
memikirkan wanita.
Karena
batinnya yang kuat dan dasar susilanya tebal, tidaklah mudah kecantikan wanita
menggiurkan hati pemuda jago Siauw-lim-pai ini. Akan tetapi, ketika berhadapan
dengan Yan Cu, dia benar-benar terpesona dan kehilangan akal, seakan-akan
matanya menjadi silau seperti langsung memandang cahaya matahari di tengah
hari!
"Heiii!
Jawab pertanyaanku!" Yan Cu membentak makin marah.
"Ehh...!
Ohhh...! Apa... apa yang kau kehendaki, Nona?" Cong San bertanya gugup.
Akan tetapi karena tidak ingin mendapat kesan buruk, otomatis pemuda ini
tersenyum ramah.
Kembali Yan
Cu menganggap senyum yang membuat wajah itu makin tampan sebagai senyum kurang
ajar, seperti senyum kepala rampok tadi. Kemarahannya memuncak dan dia memaki,
"Cengar-cengir seperti monyet kurang ajar!"
Dan serta
merta gadis ini sudah mencabut sebatang pedang. Tampak cahaya berkilat dan pada
saat pedang itu digerakkan menyerang Cong San, terdengar bunyi berdesing dan
pedang berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Gulungan
sinar ini berkelebat menyambar dan hendak ‘mengalungi’ leher Cong San!
Tentu saja
pemuda ini kaget setengah mati, dan cepat mengelak. Jika lehernya dikalungi
rangkaian bunga atau lebih hebat lagi dikalungi kedua lengan berkulit halus
nona itu, tentu amat menyenangkan. Akan tetapi dikalungi pedang?!
Tujuh kali
berturut-turut sinar pedang menyambar, akan tetapi dengan cekatan dan tubuh
ringan sekali Cong San dapat mengelak. Dia amat terkejut menyaksikan kehebatan
gerak dan serangan Yan Cu, akan tetapi lebih kaget dia mengenal pedang itu.
"Pokiam
(pedang pusaka) Hoa-san-pai...!" Dia berseru ketika untuk ketujuh kalinya
dia meloncat tinggi ke belakang untuk menghindarkan babatan pedang ke
pinggangnya.
Memang Yan
Cu telah mencabut pedang pusaka Hoa-san-pai yang oleh Keng Hong telah
diserahkan kepadanya bersama pusaka-pusaka yang lainnya. Ia menahan
serangannya, sebagian karena sangat kagum menyaksikan betapa pemuda itu dengan
tanpa banyak kesulitan dapat menghindarkan serangan-serangannya, dan sebagian
lagi karena tertarik mendengar seruan yang menyatakan bahwa pemuda ini sudah
mengenali pokiam milik Hoa-san-pai.
"Kau
sudah mengenal Hoa-san Po-kiam? Dan masih tidak cepat-cepat minggat dari
sini?" bentaknya.
Cong San
cepat-cepat memberi hormat, bersoja tanpa dibalas oleh Yan Cu. "Nona,
harap maafkan, aku bukan orang jahat..."
Yan Cu
membanting-banting kakinya tak sabar. "Sudahlah, berapa kali kau hendak
bilang bahwa kau bukan orang jahat? Seperti penjual kecap saja yang memuji-muji
dagangan sendiri! Kau jahat atau baik, apa hubungannya dengan aku? Apa kau mau
mencari muka dengan memuji-muji diri sendiri?"
"Wah...
wah...!" Cong San tak dapat bicara, menelan ludah dan mukanya menjadi
merah sekali.
"Masih
wah-wah-weh-weh, mau apa lagi? Cepat pergilah dan jangan mengganggu aku, dan
jangan pula membayangiku!"
Akan tetapi
Cong San masih belum pergi juga, menoleh pun tidak melainkan menunduk karena masih
mengatur napasnya yang tidak karuan.
"Mau
apa lagi?!" Yan Cu membentak, pedang di tangannya siap menyerang.
"Maaf,
Nona. Aku... aku memang bersalah, membayangimu karena aku tadi melihat kau
berjalan sambil menangis. Kemudian muncul perampok-perampok itu... dan aku
kagum melihat betapa engkau merobohkan mereka..."
"Hemmmm...
dan kau diam saja, ya? Laki-laki apa ini? Melihat seorang wanita diganggu
perampok malah menonton gratis. Senang, ya? Pertunjukan menarik, ya? Sudahlah,
aku jemu mendengar dongengmu, Pergilah!"
"Maaf..."
Yan Cu
membanting kakinya lagi. "Maaf... maaf... apa kau kira aku ini tempat
orang minta maaf? Kalau mau minta maaf, pergilah ke kelenteng menebus
dosa!"
Cong San
makin gugup. Ia harus cepat-cepat menjelaskan, kalau tidak bisa berabe benar
berurusan dengan gadis jelita yang galak ini.
"Begini,
Nona. Aku sama sekali tidak bermaksud kurang ajar. Melihat sepak terjangmu
terhadap perampok-perampok itu, bagaimana aku berani lancang turun tangan?
Seratus orang seperti mereka masih tak akan sanggup mengganggumu. Aku sudah
hendak pergi, akan tetapi aku tertarik mendengar engkau menyebut nama Keng Hong.
Cia Keng Hong adalah sahabat baikku, dan aku justru sedang pergi mencarinya.
Apakah engkau dapat menunjukkan di mana adanya sahabat Cia Keng Hong?"
Tiba-tiba
timbul harapan di hati Yan Cu. Setelah agak lama melihat pemuda ini, dia pun
merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang jahat, malah kini mengaku sebagai
sahabat suheng-nya.
Agaknya
pemuda ini pun lihai sekali. Kalau pemuda ini membantunya menghadapi Biauw Eng
dan Hun Bwee, kiranya mereka berdua akan dapat membebaskan Keng Hong! Akan
tetapi dia masih belum yakin benar. Biauw Eng amat lihai, juga Hun Bwee wanita
gila itu lihai sekali. Dia akan mencoba dulu!
"Tidak
percaya! Engkau tentu hendak mencelakakan suheng-ku Cia Keng Hong!" Sambil
berkata demikian, Yan Cu sudah kembali menerjang maju lagi dengan Hoa-san
Po-kiam, mengirim serangan hebat.
Cong San
terkejut sekali. Bukan hanya oleh serangan ini, akan tetapi karena mendengar
pengakuan gadis ini sebagai adik seperguruan Keng Hong. Dia segera mengelak,
akan tetapi sinar pedang yang putih menyilaukan mata itu terus mendesaknya.
Walau pun dia merasa yakin akan dapat mengatasi gadis lihai ini, tetapi amatlah
berbahaya menghadapi amukan pedang seperti itu hanya dengan tangan kosong saja.
Di samping
ini, timbul pula keinginan di hatinya untuk menguji kelihaian gadis yang telah
menjatuhkan hatinya tanpa dia sadari ini. Orangnya cantik jelita, wataknya
lincah, galak, apa lagi sebagai sumoi dari Keng Hong, tentu kepandaiannya amat
hebat. Cepat dia pun mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang Im-yang-pit yang
berwarna hitam dan putih.
"Kau
memaksaku, Nona. Apa boleh buat, marilah kulayani Nona berlatih sebentar!"
Melihat
pemuda itu memegang sepasang alat tulis, mendadak Yan Cu menghentikan
serangannya. Cong San sudah menggerakkan sepasang senjatanya, yang kiri siap
untuk menjaga diri yang kanan siap membalas serangan. Ia juga sudah memasang
kuda-kuda dengan sikap paling gagah, akan tetapi karena lawannya menghentikan
serangan, ia pun melongo dengan tubuh memasang kuda-kuda.
"Engkau
ini sengaja hendak menghinaku ataukah barang kali engkau memang sudah
begini?" Berkata ‘begini’ Yan Cu melintangkan telunjuknya di depan dahi.
Cong San
mengkal hatinya. Ingin dia membanting sepasang senjatanya. Sialan benar!
Senjata yang ampuh darinya itu tidak dipandang mata, bahkan dia disangka sudah
miring otaknya! Ia mengendurkan urat-urat tubuhnya dan menghentikan
kuda-kudanya, hatinya kecewa dan murung. Susah payah dia tadi memasang gaya
kuda-kuda supaya kelihatan gagah... ehh, malah disangka menghina atau gila!
"Nona,
yang menghina itu aku ataukah engkau? Sepasang Im-yang-pit ini memang adalah
senjataku!" Ia berkata setengah membentak, suaranya serak seperti ingin
menangis.
Tiba-tiba
Yan Cu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Biar pun ditutupi, masih
tampak mulutnya merekah sehingga Cong San yang tadinya mengkal dan marah,
sekaligus lenyap kemarahannya. Hati yang panas tiba-tiba menjadi dingin hangat
melihat betapa wajah cantik itu kini benar-benar tertawa, bukan tertawa
mengejek seperti tadi. Dan setelah tertawa wajar, bukan main manisnya! Manis
memabukkan. Arak merah pun kalah!
"Pena
bulu itu senjatamu? Hi-hi-hi-hik! Untuk apa? Senjata untuk menulis bisa jadi,
akan tetapi senjata untuk bertanding? Sobat, jangan kau main-main, sekali
pedang pusaka ini membabat, engkau takkan dapat menulis lagi. Lebih baik kau
pergilah kembali ke bangku sekolahmu, belajar menulis sajak dengan tekun supaya
kelak bisa menjadi hak-su atau menjadi siucai."
"Nona,
kulihat engkau sangat lihai, akan tetapi engkau kurang pengalaman sehingga
tidak mengerti bahwa senjataku sepasang Im-yang-pit ini dapat melawan seratus
buah pedang pusaka seperti yang kau pegang itu."
"Wiiihhhhh,
sombong! Makan pedangku!" Yan Cu sekarang meloncat maju dan langsung
menyerang dengan pedangnya.
"Singgggg...
trang-cring-cringggg...!"
Yan Cu
meloncat mundur dan memeriksa pedangnya. Ternyata pedangnya tak apa-apa.
Hatinya lega. Pedang itu bukan miliknya dan harus dia kembalikan ke
Hoa-san-pai, dan sekarang dia hanya ‘meminjamnya’. Kalau sampai rusak kan
repot!
Pada saat
tadi tiga kali pedangnya ditangkis sepasang Im-yang-pit secara bergantian, dia
merasa betapa tangan dan lengannya tergetar hebat dan benturan senjata yang
ketiga tadi disusul totokan pit hitam ke arah pergelangan tangannya yang memegang
pedang. Tentu saja dia cepat menarik tangannya dan mencelat ke belakang. Kini
dia memandang pemuda itu dan berdiri tersenyum sambil memasang kuda-kuda.
Begitu gagah pemuda itu, dan wajahnya amat tampan. Yan Cu menjadi panas.
"Kau
kira aku kalah?" Ia membentak dan kembali ia menerjang maju dengan amat
ganas.
Cong San
maklum bahwa gadis ini sudah mempunyai ilmu silat tinggi dan ilmu pedangnya
juga tidak boleh dipandang ringan. Maka dia cepat bergerak mengelak, menangkis,
dan tidak lupa membalas dengan totokan-totokan kedua senjatanya. Tentu saja dia
menotok secara hati-hati karena tidak ingin mencelakai gadis itu.
Pertandingan
berjalan dengan seru. Sesudah mereka bertempur selama lima puluh jurus lebih,
tahulah Cong San bahwa kepandaian gadis itu benar-benar sangat lihai dan kalau
saja dia bukan murid pilihan dari ketua Siauw-lim-pai sendiri, agaknya tidak
akan mudah menahan serangan-serangan pedang yang demikian ganasnya.
Di lain
pihak, hati Yan Cu yang tadinya telah menjadi girang mendapat kenyataan bahwa
pemuda ini benar-benar lihai sekali sehingga boleh diandalkan untuk membebaskan
Keng Hong, makin lama menjadi makin penasaran. Tadi dia sudah membuktikan
kelihaiannya. Tiga belas orang perampok liar dia robohkan dalam waktu singkat
hanya dengan tangan kosong saja. Masa kini menghadapi seorang pemuda baju hijau
yang hanya memegang dua batang alat tulis yang pendek kecil saja ia sama sekali
tidak mampu mendesak?
Apa lagi
melihat bahwa selama bertanding ini pemuda itu terus tersenyum ramah dan amat manis
kepadanya, pandang mata pemuda itu begitu... entah bagaimana dia sendiri tidak
tahu, pendeknya pandang mata yang membuat jantungnya berdebar serta kedua
pipinya terasa panas karena malu. Sikap pemuda ini ia anggap mengejek dan
membuat ia merasa makin penasaran!
Dia tidak
boleh sampai kalah! Kalau dia kalah, tentu pemuda itu akan memandang rendah
kepadanya! Dia harus membuktikan bahwa dia seorang yang mempunyai ilmu silat
tinggi, seorang yang lihai, seorang gadis yang jarang terdapat bandingnya!
"Bocah
sombong!" Mendadak Yan Cu membentak dan dalam suaranya terkandung isak
penasaran dan kemarahan yang makin memanas. Pedangnya berkelebat cepat sekali.
Cong San
kaget. Tidak disangka bahwa gadis itu akan menjadi marah lagi, padahal tadi
sudah hilang marahnya. Kalau dilanjutkan begini bisa berbahaya, pikirnya.
Memang dia mendapat kenyataan bahwa meski pun tingkat ilmu kepandaiannya lebih
tinggi dari pada gadis itu, tapi selisihnya tidak banyak dan dia hanya bisa
mengandalkan kematangannya dalam gerakan. Ilmu silat gadis ini benar-benar
dahsyat dan aneh. Untuk merobohkannya pun tidaklah mudah. akan tetapi kalau
dipertahankan terus juga akan berlarut-larut dan menjadi berbahaya bagi kedua
pihak.
"Nona,
sudahlah, Nona... mari kita bicara... aku mengaku kalah...!"
"Siuuuuttttt...
singggg... cringggg...!" Kembali pedang bertemu dengan sepasang pit yang
disilangkan.
"Tidak!
Aku tidak sudi bicara denganmu! Aku tidak sudi kau beri hadiah dengan mengaku
kalah! Coba kau kalahkan aku dengan benar-benar kalau mampu! Aku tidak takut
mati!" Yan Cu yang merasa penasaran dan merasa malu kalau kalah itu, sudah
menyerang lagi.
Melihat
pedang itu meluncur ke arah dadanya, Cong San menangkis dengan tangan kiri yang
memegang pit warna putih, akan tetapi sengaja mengurangi tenaga hingga pedang
lawan itu hanya menyeleweng sedikit ke pinggir dan masih menyerempet pangkal
lengan kirinya. Secepat kilat ia pun membarengi dengan menotok pergelangan
tangan kanan Yan Cu yang memegang pedang itu dengan pit hitamnya. Yan Cu merasa
lengannya lumpuh lantas pedangnya terlepas dari pegangannya!
Cong San
berdarah pada pangkal lengan kirinya. Baju hijaunya robek berikut kulit serta
sedikit dagingnya. Dia membungkuk, mengambil pedang dan menyerahkan pedang itu
kepada Yan Cu sambil berkata,
"Sudah
kukatakan, Nona. Aku mengaku kalah. Agaknya engkau belum puas kalau belum
melukai aku."
Sejenak Yan
Cu tercengang ketika melihat pangkal lengan dari lawannya berdarah. Akan tetapi
sebagai seorang ahli yang mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, dia melihat
bahwa luka itu tidak ada artinya sama sekali, hanya luka kulit dan sedikit
daging. Dia menerima pedangnya dengan kasar dan berkata lagi,
"Aku
belum menang atau kalah! Pedangku jatuh akan tetapi lenganmu terluka. Kita
masih belum ada yang menang atau kalah. Hayo lanjutkan!" Yan Cu sudah
bersiap lagi dengan pedangnya, ditodongkan ke depan.
Cong San
menggeleng kepalanya. "Aku sudah menerima kalah, tidak akan melawan
lagi." Berkata demikian, Cong San melemparkan kedua senjatanya ke atas
tanah di depan kaki gadis itu.
Sikap pemuda
ini mengingatkan Yan Cu kepada sikap Keng Hong yang juga mengalah dan ‘pasrah
bongkokan’ kepada Biauw Eng. Maka ia menjadi makin marah. "Kau laki-laki
pengecut! Kenapa mengalah begini? Kenapa kau mengalah kepadaku? Hayo lawanlah!
Masa ada laki-laki begini lemah? Apakah semua laki-laki menjadi lemah dan
pengecut kalau berhadapan dengan wanita?"
Cong San tak
mengerti kenapa gadis ini marah-marah seperti ini. Akan tetapi pertanyaan itu
dengan tepat menusuk hatinya dan membuat dia sendiri terheran-heran akan
sikapnya sendiri. Mengapa berhadapan dengan gadis yang belum dikenalnya ini dia
benar-benar telah kehilangan akal? Sampai dia rela mengorbankan diri dilukai
dan rela pula mengalah padahal dia tidak bersalah?
"Aku...
aku tidak akan melawanmu, Nona."
"Benar?
Bagaimana kalau sekarang ini kutusukkan pedangku ke dalam dadamu?" Yan Cu
meloncat maju dan ujung pedangnya menyentuh kulit dada di balik baju pemuda
itu.
Cong San
mengangkat muka, memandang wajah gadis itu. Dua pasang mata bertemu dan Yan Cu
merasa aneh.
"Entah
mengapa, Nona. Akan tetapi andai kata engkau membunuhku, aku pun rela dan tidak
akan melawan."
Yan Cu
merasa tubuhnya menjadi lemas. Pedangnya yang menodong segera diturunkan,
disarungkannya kembali dan sepintas lalu dia bertanya,
"Apakah
engkau jatuh cinta kepadaku?"
Pertanyaan
ini sepintas lalu saja, akan tetapi Cong San hampir roboh terjengkang saking
kagetnya. Muka pemuda ini menjadi merah sekali sampai ke daun telinganya.
"Aku...
aku tidak tahu, Nona. Apakah engkau tahu...?"
"Tahu
apa?"
"Tentang...
ehhh…, tentang jatuh cinta..."
Yan Cu
menggelengkan kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu tentang cinta dan bersama
suheng-ku tadinya sedang menyelidiki tentang cinta."
Cong San
melompat kaget, teringat akan Keng Hong. "Menyelidiki tentang... cinta...?
Di mana dia, Nona? Di mana Cia Keng Hong? Aku diutus oleh suhu untuk
membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang jahat."
Yan Cu
tertegun dan memandang tajam. "Siapa gurumu?"
Cong San
memberi hormat. "Aku bernama Yap Cong San ada pun guruku adalah ketua
Siauw-lim-pai."
Sekarang
gadis itu terkejut. Kiranya seorang jagoan Siauw-lim-pai! Dan tadi dia mengira
seorang kepala perampok!
"Ahhhh,
kenapa kau tidak bilang dari tadi? Dan aku telah melukaimu. Hemmm, biarkan
kuobati lukamu itu!"
Tanpa
menanti jawaban Yan Cu menghampiri Cong San, merobek baju pemuda itu pada
bagian pangkal lengan yang luka, lalu memeriksa dan memberi obat bubuk,
kemudian membalut luka dengan sehelai sapu tangan bersih. Ia melakukan
pengobatan ini dengan cekatan, cepat dan tanpa bicara apa-apa.
Cong San
tidak percaya kepada mulutnya sendiri, mengapa dia pun tidak berkata-kata,
hanya matanya memandang penuh kagum dan penuh perasaan kepada dara jelita yang
mengobati luka di pangkal lengannya itu.
"Terima
kasih, Nona. Engkau sungguh amat baik hati..." Cong San berkata dengan
suara gemetar.
"Sudahlah,
Yap-twako. Maafkan saja aku tadi tidak mengenalmu maka menganggapmu musuh.
Tidak perlu terima kasih-terima kasih! Sekarang mari bantu aku membebaskan
suheng!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah menarik tangan pemuda itu
dan diajak lari cepat.
Tentu saja
Cong San girang sekali, akan tetapi dia pun bingung. Terpaksa dia ikut berlari
cepat mengimbangi dara jelita yang aneh ini.
"Ehh,
Nona... di manakah dia? Di mana Keng Hong, dan siapa yang menangkapnya?"
Sambil
berlari-lari cepat Yan Cu menjawab, "Ditangkap seorang gadis dan dibawa
pergi!"
Tidak enak
bicara sambil berlarian cepat itu. Akan tetapi karena heran Cong San bertanya
lagi, "Mengapa? Siapa gadis itu?"
"Gadis yang
dicintainya... dia sengaja menyerahkan diri, tidak melawan..." karena
sedang mengerahkan tenaga untuk berlari cepat, tentu saja ketika
bercakap-cakap, banyak angin memasuki mulut membuat suara Yan Cu terputus-putus
dan napasnya megap-megap.
Cong San merasa
makin heran dan penasaran. Mendengar Keng Hong ditangkap orang saja sudah
merupakan hal yang mengejutkan dan juga mengherankan. Siapa yang dapat
menangkap pemuda sakti itu? Kini dia mendengar bahwa yang menangkapnya adalah
seorang gadis yang dicintanya! Dan dia menyerah tidak melawan! Tentu saja
mendengar ini dia menjadi penasaran.
"Dicinta
mengapa menangkap? Mengapa pula dia ditangkap? Apa salahnya?"
Tiba-tiba
saja Yan Cu berhenti berlari dan memandangnya dengan mata marah, mulutnya
mengomel, "Wah, kau ini amat cerewet seperti seorang nenek-nenek
pikun!"
Cong San
juga berhenti. Mereka saling berpandangan. Kini pemuda itu mulai mengerti atau
sedikitnya mengenal watak Yan Cu, maka dia tidak kaget melihat gadis yang tadi
mengobati pangkal lengannya dengan lemah lembut itu kini marah. Dia malah
tersenyum dan berkata, "Nona, aku seorang laki-laki, mana mungkin bisa
seperti nenek-nenek yang cerewet?"
"Kalau
tidak seperti nenek-nenek yang cerewet, mengapa bertanya saja? Lari-lari sambil
bicara mana enak?"
"Kalau
begitu, kenapa kita tidak berhenti dulu dan bicara yang enak di bawah pohon
yang teduh?"
Yan Cu
menghapus keringatnya pada leher dengan ujung lengan baju. "Kita harus
cepat mengejar suheng, engkau ini memperlambat saja."
"Maaf,
Nona. Aku pun ingin sekali segera menolong Keng Hong, akan tetapi aku ingin
mendengar dulu siapa yang menangkapnya, dan kenapa dia ditangkap?"
"Baiklah,
baiklah. Kalau tidak kuturuti, engkau tentu akan rewel seperti anak kecil minta
kembang gula dan mengganggu terus. Nah, dengarkan baik-baik!"
Yan Cu
terpaksa ikut duduk di bawah pohon ketika melihat Cong San memberi isyarat
dengan tangan kepadanya, mempersilakan duduk di atas akar-akar pohon yang
menonjol ke luar dari tanah. Akan tetapi sesudah mereka berdua duduk
berhadapan, keduanya hanya saling pandang dan diam saja.
"Ehh,
bagaimana ceritanya, Nona?"
"Kau
dulu ceritakan keadaanmu dan bagaimana engkau bisa menjadi sahabat
suheng."
Cong San
menghela napas. Agaknya gadis ini masih belum percaya benar kepadanya. Ia lalu
menceritakan pertemuannya dengan Keng Hong ketika dia menyerbu ke Phu-niu-san
untuk membalas dendam Siauw-lim-pai kepada Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dan
betapa Keng Hong menyelamatkannya, kemudian mengembalikan dua buah kitab Siauw-lim-pai.
"Ketika
aku menyerahkan dua buah kitab itu kepada suhu, suhu lalu memerintahkan aku
agar pergi mencari Cia-taihiap dan membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang
lihai sebagai pembalas jasa. Nah, sekarang harap kau suka ceritakan keadaan Cia
Keng Hong taihiap, Nona."
"Dia
ditawan oleh gadis yang dicintanya."
"Mengapa?
Dicinta mengapa malah menawannya?"
"Justru
karena suheng mencintanya itulah, maka dia menyerahkan diri. Kalau tidak, mana
mungkin Sie Biauw Eng itu dapat menawannya?"
"Sie
Biauw Eng? Nona maksudkan Song-bun Siu-li puteri dari mendiang Lam-hai
Sin-ni?" Cong San bertanya, kaget karena nama Sie Biauw Eng amat terkenal.
Apa lagi kalau diingat bahwa Song-bun Siu-li adalah sumoi dari Bhe Cui Im musuh
besarnya!
Yan Cu
mengangguk. "Bukan dia saja, masih ada seorang lagi yang begini!"
Kembali ketika berkata ‘begini’ Yan Cu melintangkan telunjuk di depan dahinya
yang berkulit putih halus.
"Gila?
Siapakah dia? Mengapa...?"
Yan Cu
cemberut. "Mengapa? Pertanyaanmu tak masuk akal dan bodoh. Mana bisa aku
tahu mengapa dia gila?"
"Bukan
gilanya yang kumaksudkan, Nona. Mengapa Cia-taihiap sampai ditawan?"
"Karena
ia dituduh memperkosa si gila itu dan oleh Biauw Eng, ia ditawan untuk dipaksa
menikah dengan perempuan gila itu!"
Cong San
sedang terpesona memandang wajah itu. Kini setelah dia mengenal sifat baik dara
ini, wajah jelita itu semakin menarik. Sepasang mata indah yang kini
bersinar-sinar penuh semangat, dengan alis yang hitam kecil menjelirit, bulu
mata yang panjang lentik melengkung dan tebal sehingga membentuk garis hitam di
seputar matanya. Hidung yang kecil mancung, yang cupingnya dapat bergerak-gerak
kembang-kempis apa bila sedang marah.
Dan
bibirnya! Ketika bicara bergerak-gerak demikian manisnya, seakan-akan
bertetesan madu dari bibir itu, dan sepasang bibir itu bergerak demikian
indahnya, seindah seekor kupu-kupu menggerak-gerakan sepasang sayapnya yang
beraneka warna, ataukah bagai setangkai bunga mawar jambon tertiup angin,
seperti cahaya keemasan bulan purnama bermain di permukaan air telaga? Entah
seperti apa, namun yang sudah pasti, sangat manis menarik, sangat indah
mempesona.
"Heeeiiii!"
Kenapa kau mengangguk-angguk?" Yan Cu membentak heran.
Cong San
yang sedang tenggelam dalam hikmat keindahan yang menyentuh perasaan hatinya,
bagaikan mabuk arak simpanan yang amat halus kerjanya, tadi dapat mendengar
penuturan Yan Cu, akan tetapi hanya setengah-tengah menangkap inti dan artinya.
Kini dibentak dia menjadi kaget sekali dan menjawab sekenanya,
"Memang
betul! Sudah semestinya mengawini perempuan yang diperkosa!"
Yan Cu
langsung meloncat berdiri, dua tangannya dikepal, matanya mengeluarkan sinar
berapi-api! Cong San terkejut sekali dan dia pun memandang dengan melongo,
masih duduk dan menengadahkan kepalanya seperti orang tersadar dari mimpi.
"Apa
kau bilang? Hati-hati engkau menjaga mulut, sembarangan saja bicara!"
"Ehh...
aku bicara apakah, Nona? Apa yang salah?"
"Engkau
percaya bahwa suheng Cia Keng Hong memperkosa perempuan gila itu?"
Barulah Cong
San sadar bahwa yang dibicarakan adalah Keng Hong. Tentu saja dia tidak
percaya. Setelah sadar kini dia menjadi pemuda murid Siauw-lim-pai yang tenang
dan gagah perkasa kembali. Perlahan dia bangkit berdiri dan menjura,
"Maaf, seribu kali maaf, Nona. Demi tuhan, aku tidak percaya bahwa
Cia-taihiap melakukan perbuatan sekeji itu. Kalau tadi aku bicara seperti itu,
hemmm... aku lupa dan aku hanya mengatakan bahwa siapa pun juga, jika betul dia
sudah memperkosa orang, harus bertanggung jawab! Akan tetapi..."
"Suheng
tidak diperkosa wanita itu! Itu fitnah belaka!"
Cong San
mengangguk. "Tentu begitu. Siapa sih wanita gila itu yang menjatuhkan
fitnah keji terhadap Cia-taihiap?"
"Namanya
Tan Hun Bwee, suci dari..."
"Tan
Hun Bwee...? Ahh, aku tahu! Bukan Cia-taihiap yang memperkosa, melainkan orang
lain!"
Bukan main
kaget dan girangnya hati Yan Cu. Seketika kemarahannya terhadap Cong San lenyap
bagaikan api disiram air, bahkan saking gembiranya dia memegang tangan pemuda
itu dan menariknya lari lagi!
"Lekas!
mari kita susul mereka!"
Kembali
keduanya berlari-larian cepat sekali.
"Nona,
nanti dulu..."
"Ssttt...!
Jangan cerewet lagi!" Yan Cu memotong.
Cong San
terpaksa menelan kembali kata-katanya. Akan tetapi dia tidak tahan. Sepuluh
menit kemudian dia memaksa diri bertanya, "Aku hanya ingin mengetahui,
siapakah Nona yang menyebut suheng kepada Cia-taihiap. Siapakah namamu,
Nona?"
"Namaku
Gui Yan Cu, guruku bernama Tung Sun Nio, dahulu isterinya Sin-jiu Kiam-ong. Sudah,
cukup!"
Cong San
melongo. Mendengar bahwa gadis ini murid bekas isteri Sin-jiu Kiam-ong, dia
terheran-heran. Sin-jiu Kiam-ong mempunyai isteri? Baru sekarang ini dia
mendengarnya. Karena melongo memandang wajah gadis itu sambil berlari cepat,
kakinya tersandung akar pohon dan dia roboh terguling!
Yan Cu
berteriak dan cepat menyambar lengannya sehingga pemuda ini tidak sampai
terguling ke dalam jurang di sebelah kirinya. Karena tarikannya yang tiba-tiba
ini, padahal Cong San tadi ketika akan jatuh telah menggerakkan tubuh, maka
tubuhnya bertumbukan dengan tubuh Yan Cu sehingga dua lengan Cong San merangkul
pinggang yang ramping itu, ada pun kedua tangan Yan Cu juga memeganginya, yang
satu memegang lengannya yang ke dua memegang pundaknya!
"Ihhh!
Yan Cu melepaskan pegangannya dan meronta.
"Maaf!
Maaf!" Cong San cepat-cepat melepaskan ‘pelukannya’ dan keduanya menjadi
tersipu-sipu dengan muka merah sekali.
"Matamu
kau taruh di mana sih?" Yan Cu mengomel.
Akan tetapi
melihat wajah gadis itu, Cong San maklum bahwa Yan Cu tidak marah, sebab gadis
ini pun mengerti bahwa peristiwa itu terjadi di luar kesengajaan Cong San.
"Aku...
aku sedang memandangmu, Gui-moi-moi!"
Yan Cu
mengerling akan tetapi dia juga tidak marah disebut moi-moi oleh pemuda itu.
"Sudahlah, hayo cepat!"
Mereka
berlarian lagi, cepat sekali. Wajah Cong San berseri-seri dan dia sendiri
merasa heran sekali mengapa mendadak dia merasa sangat gembira, mengapa
daun-daun dan rumput di sepanjang jalan yang dilaluinya tampak lebih segar dan
lebih hijau di dalam pandang matanya, langit tampak begitu cerah, sinar
matahari yang terik terasa hangat dan pemandangan alam tampak jauh lebih indah
dari pada biasanya. Selama hidupnya belum pernah Cong San merasa begitu
gembira. Betapa nikmat dan bahagianya hidup ini, pikirnya sambil lari
mengimbangi kecepatan Yan Cu.
Memang
demikianlah Cinta! Amat besar kuasanya atas perasaan manusia. Sekali Cinta
menyentuh hati sanubari insan, Cinta menjadi titik terang satu-satunya yang
meniadakan segala persoalan hidup, merupakan satu-satunya tujuan hidup penuh
dengan hasrat dan harapan, melambungkan cita-cita setinggi angkasa, membuat
orang terlena dan terapung muluk, dan satu-satunya hal yang penting dalam hidup
hanyalah tercapainya hasrat dan harapannya.
Cinta memang
indah, tetapi keindahan yang cemerlang menyilaukan hati sehingga orang terlupa
bahwa dalam keindahan itu terdapat lika-liku yang amat ruwet dan rumit,
lika-liku yang mudah menyesatkan dan sekali terpeleset, segala kemanisan
berubah kepahitan, madu berubah empedu, keindahan berubah keburukan dan
kebahagiaan terbang pergi, kegembiraan berganti kedukaan!
Cinta!
Bagaikan pohon kembang, indah sekali, namun sesungguhnya mengandung duri,
mengandung ulat dan mudah pula layu. Jika pandai merawatnya, menghindarkan
durinya, pandai memupuknya, barulah akan subur dan semakin indah!
***************
"Tar-tar-tar!"
Ujung sabuk
sutera di tangan Biauw Eng melecut tiga kali dan mengenai kedua pipi dan leher
Keng Hong. Pemuda ini menerima lecutan ujung cambuk itu dengan mata terbuka dan
bibir tersenyum, sedikit pun tidak mengerahkan sinkang-nya sehingga kulit pipi
dan lehernya pecah berdarah!
"Sumoi
jangan pukul dia!" Tiba-tiba Hun Bwee menubruk maju dan memukul Biauw Eng.
Biauw Eng
cepat mengelak dan berkata, “Suci, aku hanya ingin memaksa dia mengakui
perbuatannya yang keji terhadap dirimu. Engkau diperkosa olehnya, bukan?"
Hun Bwee
berhenti menyerang, sejenak memandang Keng Hong dengan mata liar namun
membayangkan kemesraan. Dia maju berlutut, kemudian menggunakan sapu tangannya
menghapus darah yang mengalir di pipi dan leher pemuda itu.
"Koko...,
sakitkah...? Ahhh, kasihan kau..." Hun Bwee mengusap kedua pipi Keng Hong
dengan sentuhan jari tangan mesra. Diam-diam Keng Hong menjadi terharu sekali
dan dia mengutuk Lian Ci Tojin dalam hatinya.
Hun Bwee
bangkit berdiri menghadapi Biauw Eng. Gadis ini terkejut melihat sinar mata
suci-nya, maklum bahwa suci-nya itu sedang kumat lagi gilanya! Akan tetapi dia
menjadi terharu pula menyaksikan sikap Hun Bwee tadi terhadap Keng Hong, dan
anehnya, di samping rasa haru terhadap Hun Bwee, ada pula rasa marah yang luar
biasa terhadap Keng Hong. Dia hampir menjerit dan menangis ketika menyaksikan
mesranya sentuhan-sentuhan tangan Hun Bwee pada pipi dan leher Keng Hong!
"Sumoi,
kalau kau memukulnya lagi, kubunuh kau!"
Biauw Eng
menghela napas panjang. Kalau suci-nya sedang kumat begini, dia harus mengalah.
"Baiklah, Suci. Aku tidak akan memukulnya, akan tetapi dia harus mengaku
bahwa dia telah memperkosamu."
Dia lalu
menghadapi Keng Hong yang berdiri sambil tersenyum dan memandang Biauw Eng
dengan sinar mata penuh kemesraan. Diam-diam Keng Hong merasa kasihan dan
terharu sekali terhadap Biauw Eng. Dia mengerti betapa tersiksanya hati kekasih
hatinya itu, seolah-olah dia dapat merasakan kepedihan hati gadis itu, jauh
lebih pedih dari pada pipi dan lehernya.
"Cia
Keng Hong, engkau seorang laki-laki, tetapi kenapa begini pengecut? Engkau
sudah melakukan banyak hal memalukan dengan banyak wanita, kenapa sekarang
engkau tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa Suci? Hayo mengakulah
bahwa engkau telah memperkosanya!"
"Biauw
Eng, di dalam hati nuranimu engkau pun tentu tidak percaya bahwa aku sudah
memprkosa nona Tan Hun Bwee. Aku tidak melakukannya, bagaimana harus
mengaku?"
"Bohong!"
Biauw Eng membentak. "Siapa tidak mengenalmu? Engkau seorang laki-laki
mata keranjang, seorang laki-laki hidung belang! Dan engkau juga seorang
laki-laki cabul! Engkau bermain gila dengan wanita mana pun juga! Hayo berlutut
dan mohon ampun kepada Suci!"
Keng Hong
tersenyum dan menggelengkan kepala. "Aku tidak merasa bersalah terhadap
wanita mana pun juga, kecuali kepadamu, Biauw Eng. Kalau aku disuruh minta
ampun kepadamu, biar harus berlutut selamanya aku bersedia melakukannya! Akan
tetapi, tidak kepada wanita lain karena aku tidak merasa bersalah."
"Oohhhh...!"
Jeritan ini keluar dari mulut Hun Bwee dan gadis ini menjatuhkan diri berlutut,
menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis. Agaknya ucapan Keng Hong
membuat dia sadar dan ucapan penyangkalan itu menusuk perasaannya.
Biauw Eng
marah sekali.
"Tar-tarrr...!"
Dua kali
ujung sabuk menotok jalan darah di kedua pundak Keng Hong dan pemuda ini
terguling roboh. Mukanya berkerut-kerut menahan rasa nyeri, akan tetapi
mulutnya tetap berusaha untuk tersenyum dan pandang matanya selalu ditujukan
kepada Biauw Eng dengan sinar penuh cinta kasih.
Karena
maklum bahwa kini Hun Bwee sudah sadar dan tak akan menghalanginya, Biauw Eng
melangkah maju. "Pengecut! Kalau engkau tidak mengaku, aku akan menyiksa
dan memaksamu!" Ujung sabuk di tangannya tergetar dan dengan sekali tarik,
dia membuat tubuh Keng Hong terseret dekat kakinya.
Keng Hong
berlutut dan menengadah, memandang wajah Biauw Eng. Apa pun yang akan dilakukan
Biauw Eng terhadap dirinya, akan diterimanya dengan senang hati. Dia sudah
melakukan banyak kesalahan terhadap gadis ini dan tidak ada hukuman baginya
yang cukup berat untuk menebus kesalahannya itu.
Kalau dia
ingat betapa gadis ini sangat mencintainya, dan telah melakukan
pengorbanan-pengorbanan sungguh pun hatinya sudah dibikin sakit oleh hubungan
cintanya dengan gadis-gadis lain. Betapa Biauw Eng membelanya di Kun-lun-pai,
mengorbankan dirinya sendiri. Betapa gadis ini masih terus mencinta dan
menantinya sampai bertahun-tahun pada saat dia menghilang dalam tempat rahasia
gurunya. Kemudian betapa semua cinta kasih yang amat mendalam itu, semua
pengorbanan gadis itu bahkan dia balas dengan penghinaan-penghinan!
"Biauw
Eng, jangankan hanya menyiksa, biar kau membunuhku, aku akan rela mati di
tanganmu, hitung-hitung menebus dosaku kepadamu, Biauw Eng!"
"Desssss…!”
Sebuah
tendangan mengenai dada Keng Hong, membuat pemuda itu terjengkang dan sejenak
tak dapat bernapas. Biar pun dia tidak mengerahkan sinkang, namun hawa sakti di
tubuhnya yang amat kuat sudah secara otomatis bergerak sendiri melindungi
rongga dada sehingga tendangan itu tidak mendatangkan luka berat di dalam
dadanya.
Ujung sabuk
sudah diputar-putar di tangan Biauw Eng. "Mengakulah! Mengakulah... dan
nyatakan kesediaanmu mengawini Suci atau... hemmmm...kuhancurkan
kepalamu...!"
Keng Hong
yang sudah berlutut lagi menggeleng kepala dan tersenyum. "Hanya engkau di
dunia ini satu-satunya wanita yang kucinta, Biauw Eng. Mana mungkin aku menikah
dengan wanita lain?"
"Wuuuuut...!
Plakkk!" Ujung sabuk yang sudah menyambar ke arah kepala Keng Hong itu
tertangkis oleh pedang hitam di tangan Hun Bwee.
Dua orang
gadis itu saling pandang. Hun Bwee sudah tak kumat lagi, kini mukanya agak
pucat akan tetapi matanya bersinar-sinar. "Sumoi, engkau tidak berhak
membunuhnya! Apa bila ada orang yang akan membunuhnya, maka satu-satunya orang
itu adalah aku sendiri!"
Biauw Eng
menghela napas panjang dan kembali memaki Keng Hong, "Laki-laki tidak
setia, pengecut dan tidak tahu malu. Lihat betapa Suci yang telah kau rusakkan
hatinya itu masih selalu melindungimu? Dan engkau... engkau... ahhh!"
Biauw Eng membalikkan tubuh, cepat menggunakan ujung sabuknya menghapus dua
titik air mata yang meloncat ke luar.
Sementara
itu, Hun Bwee yang kini sudah sadar, memandang Keng Hong yang masih berlutut
lantas berkata, "Cia Keng Hong, engkau menjadi tawanan kami, tahukah
engkau mengapa kami menawanmu dan hendak menyeretmu ke depan kaki guru
kami?"
Keng Hong
bangkit berdiri, kedua tangannya masih dibelenggu oleh ujung sabuk sutera putih
yang kini ujung lainnya sudah dilepaskan ke tanah oleh Biauw Eng sesudah tadi
dipakai untuk menghapus air matanya. Dia memandang gadis baju merah itu,
diam-diam dia terheran karena seingatnya Tan Hun Bwee dahulu berpakaian hijau.
"Aku
tidak tahu, nona Tan. Siapakah gurumu?"
"Subo
Go-bi Thai-houw disakitkan hatinya oleh Sin-jiu Kiam-ong. Karena sekarang
Sin-jiu Kiam-ong gurumu sudah meninggal dunia, maka engkau sebagai muridnya
harus kami bawa kepada subo."
"Hemmm,
sungguh tidak adil. Urusan antara guruku dan gurumu tak ada sangkut pautnya
dengan aku, mengapa aku yang harus dibawa menghadap?"
"Demikianlah
kehendak guruku. Akan tetapi urusan guruku itu tidaklah seberapa penting kalau
dibandingkan dengan urusanku sendiri. Kita sama tahu apa yang telah terjadi
pada pertemuan kita pertama kali. Semenjak dulu engkau menyangkal, dan dahulu
aku tidak berdaya melawanmu. Akan tetapi sekarang lain lagi! Aku sudah mewarisi
ilmu subo dan kalau kau tetap menyangkal, terpaksa aku akan membunuhmu di sini
juga dan tidak akan membawamu kepada subo. Cia Keng Hong, apakah engkau masih
hendak menyangkal bahwa engkau dahulu telah... memperkosaku?"
Berbeda
ketika dia menghadapi tuduhan Biauw Eng tadi, kini Keng Hong memandang Hun Bwee
dengan mata bersinar penuh penasaran dan suaranya lantang saat menjawab,
"Tan-siocia! Biar aku bersumpah demi Tuhan dan disaksikan Bumi dan Langit
bahwa aku tidak pernah memperkosamu! Kalau memang aku melakukan hal itu, perlu
apa aku harus menyangkal?"
"Hemmmm...,
kalau bukan engkau, siapa lagi?"
Keng Hong
menggeleng kepala, tidak menjawab. Dia dapat menduga bahwa tentu Lian Ci Tojin
yang melakukan perbuatan terkutuk itu, akan tetapi karena dia tidak menyaksikan
dengan mata sendiri, bagaimana dia akan menuduh orang lain?
Tan Hun Bwee
menjadi marah. "Jadi engkau tetap menyangkal?'
"Aku
tidak melakukannya!"
"Dan
engkau tidak mau mempertanggung jawabkannya dan menikah dengan aku?"
"Aku
tidak akan menikah dengan orang lain kecuali Biauw..." Keng Hong
menghentikan kata-katanya sebab sinar hitam pedang Hun Bwee telah menyambar ke
dadanya dengan sebuah tusukan kilat.
Cepat pemuda
yang sepasang tangannya masih terbelenggu ke belakang ini mengelak dengan
loncatan ke kiri. Pedang hitam itu tidak mengenai dadanya, akan tetapi dengan
gerakan aneh, cepat dan kuat sekali Hun Bwee melanjutkan serangannya, menubruk
dan mengirim tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan secara bertubi-tubi.
Pedang
Hek-sin-kiam berubah menjadi gulungan sinar hitam yang ganas sekali, bagaikan
seekor naga hitam menyambar-nyambar dan terus mengejar ke mana pun Keng Hong
meloncat untuk menghindarkan diri. Dalam keputus asaan dan kemarahannya, Hun
Bwee mnyerang dengan niat membunuh pemuda itu.
Biauw Eng
yang mendengar suara pedang suci-nya bercuitan, sudah membalikkan tubuh lagi
dan hanya berdiri memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia tidak
tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus berkata apa, bahkan dia tidak tahu apa
yang tergerak di hati dan pikirannya. Ia menjadi bingung dan gelisah!
Keng Hong
mengelak sambil berloncatan ke sana sini. Setelah memperhatikan gerakan pedang
Hun Bwee, diam-diam dia terkejut. Memang jauh sekali bedanya ilmu kepandaian
puteri Tan-piauwsu ini dahulu dan sekarang. Gerakan pedangnya sekarang ini
amatlah anehnya. Biar pun dia sudah banyak mempelajari ilmu silat tinggi dari
kitab-kitab pusaka peninggalan gurunya, namun harus dia akui bahwa dia belum
pernah membaca tentang ilmu pedang yang begini ganas dan anehnya.
Meski pun
dengan mengandalkan ginkang-nya yang tingkatannya jauh lebih tinggi, namun dia
mengerti bahwa kalau dia harus terus berloncatan mengelak dengan kedua tangan
terbelenggu ke belakang, akhirnya dia akan celaka. dan dia yang rela
serela-relanya mati di tangan Biauw Eng, tentu saja tidak sudi untuk mati
konyol di tangan gadis gila yang menuduhnya memperkosanya itu.
"Tan-siocia!
Jangan mendesak orang yang tak bersalah. Hentikanlah seranganmu!" Keng
Hong berteriak. Akan tetapi sebaliknya dari pada menghentikan serangan, Hun
Bwee malah memperhebat gerakan pedangnya.
Tiba-tiba
Keng Hong mengeluarkan seruan perlahan dan... kedua tangannya yang tadi
dibelenggu oleh ujung sabuk sutera telah lolos tanpa merusak sabuk. Barusan dia
telah menggunakan ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Melepas Tulang Melepaskan Diri)
sehingga kedua lengannya dapat lolos. Kini melihat datangnya sinar hitam ke
arah lehernya, dia miringkan tubuh, tangan kirinya bergerak ke depan dan
mempergunakan jari tangannya menjentik pedang.
"Cringgggg...
aihhhhh...!"
Tubuh Hun
Bwee terhuyung ke belakang karena pedang yang dijentik jari tangan Keng Hong
tadi membuat tangannya tergetar hebat dan tanpa ia ketahui, tahu-tahu pundaknya
sudah ditepuk perlahan oleh Keng Hong, membuat separuh tubuhnya bagaikan
setengah lumpuh kehilangan tenaga!
"Berani
engkau melukai Suci?" Biauw Eng meloncat maju dan memukul dada Keng Hong.
"Dessssss!"
Tubuh Keng Hong roboh.
Melihat hal
ini, Hun Bwee sudah berteriak nyaring, pedangnya berkelebat dan tubuhnya
meloncat maju menubruk dan mengirim tusukan ke arah perut Keng Hong yang karena
pukulan keras Biauw Eng tadi agaknya nanar dan takkan dapat menyelamatkan diri
lagi.
"Tranggggg...!"
"Sumoi!
Engkau malah membela dia?"
Hun Bwee
marah sekali ketika pedangnya ditangkis oleh ujung sabuk Biauw Eng. Saking
marahnya Hun Bwee segera menyerang Biauw Eng dengan menyabetkan pedangnya ke
leher sumoi-nya itu. Biauw Eng cepat mengelak dan ketika pedang menyambar lagi
ke arah kaki, dia meloncat tinggi ke belakang sambil berseru,
"Tahan,
Suci! Aku bukan membelanya. Akan tetapi kalau kau membunuhnya, berarti kita
akan mendapat marah besar dari subo, dan kedua kalinya, engkau akan kehilangan
calon suami. Apa lagi dia belum mengaku!"
Tiba-tiba
Hun Bwee tersentak kaget, menyarungkan pedangnya lalu menangis, berlutut
menghadapi Keng Hong, "Ahhh, suamiku... suamiku, kekasihku..."
Biauw Eng
bernapas lega. Suci-nya kumat lagi, akan tetapi kini jiwa Keng Hong terbebas
dari kematian. Keningnya berkerut. Mengapa ia membela Keng Hong? Mengapa tidak
ia biarkan saja Keng Hong mati di tangan Hun Bwee? Ia membiarkan Hun Bwee
menangis menutupi mukanya, lalu ia menghampiri Keng Hong.
Pemuda itu
sudah bangkit duduk dan tersenyum kepadanya. "Terima kasih, Biauw Eng.
Engkau telah menyelamatkan nyawaku."
Ucapan dan
senyum itu merupakan ejekan bagi Biauw Eng, seakan-akan pemuda itu mengejek dan
menyatakan bahwa gadis itu masih mencintanya! Hal ini membuat Biauw Eng menjadi
marah.
"Apa?!
Kau kira aku membela dan menyelamatkanmu? Hemmm... aku lebih suka melihat
engkau mati!"
Keng Hong
kini memang benar-benar hendak menggodanya. Ia pun merasa penasaran kenapa
Biauw Eng yang tepat seperti dikatakan Yan Cu sebelum mereka berpisah, amat
mencintanya dan masih mencintanya itu kini hendak memaksa melawan hatinya
sendiri. Padahal baru saja terbukti jelas telah membelanya dan menyelamatkannya
dari kematian. Ia tersenyum lebar dan menggoda,
"Jika
begitu, kenapa engkau lebih suka melihat aku mati, Moi-moi?" Ia menyebut
moi-moi dengan suara yang amat mesra.
Wajah Baiuw
Eng menjadi merah. "Kau kira aku tidak tega membunuhmu?"
Keng Hong
menggelengkan kepalanya. "Engkau tak akan membunuhku, Moi-moi, karena
engkau mencintaku, seperti juga aku mencintamu!"
"Keparat
bermulut palsu!" Biauw Eng meloncat maju dan kedua tangannya bergerak
cepat sekali-berturut-turut menotok jalan darah kematian di leher dan dada Keng
Hong.
"Cusss-cusss!"
Tepat sekali
jari-jari kedua tangannya menotok jalan darah di kedua tempat berbahaya itu.
Keng Hong mengeluarkan suara tertahan, matanya mendelik, tubuhnya berkelojotan
dan akhirnya… tubuh itu diam tak bergerak lagi, kedua matanya terpejam,
napasnya terhenti!
Wajah Biauw
Eng yang tadinya sangat merah, sekarang berubah pucat sekali. Matanya
terbelalak memandang Keng Hong, kemudian dengan dua tangan gemetar ia memeriksa,
membuka kelopak mata Keng Hong.
Mata itu
tidak bersinar lagi. Ia mendekatkan tangan ke depan hidung yang tidak bernapas
lagi, meraba pergelangan tangan, akan tetapi nadi tangan tidak berdetak lagi!
Keng Hong telah mati!
"Keng
Hongggg...!" Biauw Eng menjerit dan menubruk dada pemuda itu sambil
menangis sesenggukan, kemudian malah menggerung-gerung.
"Keng
Hong...! Apa yang telah kulakukan ini...? Keng Hongggggg...!" Dia memeluki
dada merangkul leher, mencium muka yang pucat itu dan air matanya membasahi
seluruh pipi, hidung, mulut dan leher Keng Hong.
"Keng
Hong... ahhh, Keng Hong... aku sudah membunuhmu... kau bawalah aku serta...!
Keng Honggggg...!" Biauw Eng terisak-isak dan mendekapkan mukanya pada
muka Keng Hong, kepala, lehernya dan ke dadanya. Sementara itu, Hun Bwee yang
masih kumat itu masih berlutut menangis dengan muka tersembunyikan di belakang
kedua tangan.
"Moi-moi...
marilah kau ikut bersamaku, Moi-moi..."
Tangis Biauw
Eng makin menjadi. Itulah bisikan suara Keng Hong! Tentu dari alam baka! Roh
Keng Hong yang baru saja meninggal mengajaknya! Ia memeluk tubuh itu lebih erat
lagi.
"Keng
Hong... Koko... bawalah aku... aku ikut denganmu... aku ikut denganmu! Bawalah
aku mati bersamamu...!"
"Hussshhhhh,
bukan mati bersama, melainkan hidup berdua! Marilah kita hidup bersama meneguk
nikmat kebahagian... kekasihku..."
Seketika
isak tangis Biauw Eng terhenti. Bisikan itu keluar dari mulut Keng Hong, dekat
sekali dengan telinganya! Dan tangan ini...? Tangan Keng Hong membelai
rambutnya? Mengusap air matanya? Cepat seperti tersentak kaget Biauw Eng
mengangkat mukanya, menoleh, memandang dan... ia melihat Keng Hong tersenyum
penuh haru kepadanya dan dari mata pemuda itu bertitik keluar dua tetes air
mata! Keng Hong masih hidup!
Dia tidak
tahu bahwa pemuda ini mempunyai tenaga sinkang yang bukan main kuatnya sehingga
biar pun totokannya tadi tepat mengenai jalan darah maut, namun tidak dapat
menembus benteng pertahanan hawa sakti yang otomatis bergerak di tubuh pemuda
itu melindungi jalan darah. Akan tetapi Keng Hong yang merasa penasaran mengapa
Biauw Eng setega itu hatinya, menggunakan kepandaiannya dan berpura-pura mati!
"Kau...!
Kau...!”
“Plak!
Plak!”
Dua kali pipi
Keng Hong kena ditampar dan Biauw Eng meloncat bangun, mengeluarkan sabuk hitam
dan membelenggu tubuh Keng Hong seperti orang mengikat kue bakcang! Sabuk hitam
ini memang sengaja dibawa untuk menawan Keng Hong dan terbuat dari pada kulit
yang amat kuat.
Keng Hong
menyerah dan hanya tersenyum-senyum karena dia merasa tubuhnya masih seperti
diayun-ayun di sorga ke tujuh bila dia teringat betapa tadi Biauw Eng
memeluknya, menciuminya, menangisinya, serta minta diajak mati! Tidak dapat dia
bayangkan betapa cinta kasih Biauw Eng sepanas itu! Gadis jelita yang begini
mencintainya dan dia... masih main gila dengan segala macam wanita seperti Cui
Im! Benar-benar dia layak mampus!
Sesudah
tubuh Keng Hong diikat dan dibelit-belit dengan sabuk kulit yang kuat itu, hati
Biauw Eng masih belum puas. Ditotoknya Keng Hong di tiga tempat dan kini dia
merasa bahwa totokan-totokannya itu berhasil membuat tubuh Keng Hong menjadi
lumpuh.
Hun Bwee
berhenti menangis. Melihat Keng Hong sudah diikat seperti itu, dia berkata,
"Sumoi, kulihat orang ini tidak berjantung. Mengapa susah payah membawanya
kepada subo? Betapa kau paksa juga tidak mungkin dia akan mau menjadi suamiku.
Subo hanya membutuhkan bukti. Kalau kita penggal kepalanya lalu bawa kepalanya
itu kepada subo, kurasa subo akan puas dan kita tidak susah payah
membawanya."
"Jangan,
Suci. Kalau begitu, dia akan keenakan. Memang dia ingin mampus, akan tetapi aku
ingin melihat dia menderita. Biarlah kita serahkan kepada subo saja, dan kelak
untuk membunuhnya masih belum terlambat."
"Suci-mu
benar, Eng-moi. Jika engkau tidak membunuhku sekarang, makin lama engkau makin
tersiksa hatimu. Aku tahu betapa besar engkau mencintaku, Moi-moi, dan engkau
pun tahu betapa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku."
"Keng
Hong, tidak perlu aku berpura-pura. Memang aku pernah mencintamu dan masih
mencintamu, bahkan akan mencintamu selamanya. Aku adalah seorang yang memegang
kesetiaan, tidak seperti engkau yang hanya mencinta karena dorongan nafsu
binatangmu! Kau ingat, tubuhku telah dimiliki mendiang Sim Lai Sek!"
Keng Hong
tersenyum. "Memang dahulu aku bodoh, sebodoh-bodohnya. Aku mencinta
engkau, mencinta pribadimu, bukan hanya mencinta tubuhmu. Jangankan baru
seorang Lai Sek, biar ada seribu orang aku tetap yakin bahwa cinta kasih di hatimu
hanya untukku seorang, seperti juga cinta kasihku hanya untukmu."
Untuk sesaat
mereka berpandangan. Jantung di rongga dada Keng Hong berdebar-debar penuh
harapan ketika dia melihat sinar Biauw Eng sama seperti dahulu sebelum gadis
ini marah kepadanya, sinar mata yang penuh kemesraan, sinar mata yang
membayangkan sorga bagi kehidupannya.
Akan tetapi
perlahan-lahan mata yang bening indah itu berkaca-kaca, basah, kemudian
berderailah beberapa butir air mata bagai mutiara-mutiara lepas dari
untaiannya. Pelupuk matanya tertutup memeras air mata terakhir, dua baris bulu
mata bertemu dan merapat sampai lama. Setelah mata itu terbuka kembali, maka
lenyaplah kemesraan yang tadi dan terbayang pandang mata yang dingin.
"Keng
Hong, tidak perlu lagi engkau merayuku dengan ucapan manis-manis, dengan janji
muluk-muluk. Tidak perlu lagi engkau mengoles bibirmu dengan madu merah memikat
karena aku tahu bahwa semua kemanisan itu mengandung racun. Apa pun yang
terjadi, tak dapat aku membiarkan penderitaan Suci tidak terobati. Suci sudah
kau perkosa dan engkau harus menjadi suaminya."
"Aku tidak
memperkosanya."
"Itu
adalah pengakuanmu, akan tetapi Suci tidak akan menjatuhkan fitnah tanpa dasar
kepadamu. Sudahlah, biar subo yang akan memberi keputusan nanti."
Dengan suara
dingin Keng Hong berkata, "Biauw Eng, engkau pun tak perlu mengingkari
bisikan hatimu sendiri. Aku cinta kepadamu dan engkau ini percaya kepadaku,
akan tetapi engkau memaksa dirimu sendiri untuk menghancurkan kepercayaanmu.
Engkau percaya pula bahwa aku tidak memperkosa nona Tan Hun Bwee, akan tetapi
engkau memaksa diri untuk lebih percaya kepada keterangan Suci-mu yang sudah
menderita sakit jiwa ini. Engkau sengaja hendak merusak kebahagiaan kita
berdua. Aku tidak menyesal, Biauw Eng, karena aku rela menebus segala dosa dan
kesalahanku yang amat besar terhadap dirimu. Hanya aku kasihan
kepadamu..."
Biauw Eng
hanya terisak-isak, tak mampu menjawab karena apa yang dikatakan pemuda itu
tepat sekali, setiap kata-kata menusuk menembus dadanya, mengiris hati
menyayat-nyayat jantung.
"Dia
memperkosaku! Cia Keng Hong, engkau memperkosaku!" Tiba-tiba Tan Hun Bwee
berteriak.
"Tidak
benar!" Tiba-tiba terdengar suara lantang dan muncullah Cong San dan Yan
Cu!
Yang
berteriak itu adalah Cong San. Pemuda ini berdiri tegak sambil memandang dengan
kagum kepada Biauw Eng dan dengan mata mengandung hati iba kepada Hun Bwee. Dia
adalah seorang pemuda yang cerdik, karena itu sekali pandang saja maklumlah dia
akan keadaan wanita berpakaian merah itu. Wanita ini menjadi korban perkosaan
sehingga menjadi miring otaknya dan kini Keng Hong yang kejatuhan fitnah
sebagai pemerkosanya!
"Cia
Keng Hong taihiap sama sekali bukan tukang perkosa! Tidak benar kalau dikatakan
dia yang memperkosa. Nona, engkau tentulah nona Tan Hun Bwee, bukan? Dengarlah!
Aku tahu bahwa yang memperkosamu adalah Lian Ci..."
"Yap-twako...!"
Keng Hong berteriak memotong keterangan pemuda murid Siauw-lim-pai itu.
"Harap jangan mencampuri urusan ini. Sumoi, mau apa kau kembali lagi
dan... bagai mana bisa bersama Yap-twako?"
"Kau
bohong!" Hun Bwee menjerit. "Yang memperkosaku adalah Cia Keng Hong!
Tidak ada orang lain!" Sambil berkata demikian, Hun Bwee melengking
nyaring dan pedangnya sudah menerjang Cong San.
Pemuda ini
terkejut menyaksikan gulungan sinar hitam yang sangat cepat itu. Cepat dia
meloncat jauh ke belakang. Saat Hun Bwee mengejarnya, Cong San telah
mengeluarkan senjatanya, sepasang Im-yang-pit dan bertandinglah mereka dengan
seru.
“Sumoi,
kenapa kau tidak mentaati permintaanku?" Keng Hong menegur Yan Cu.
Gadis itu
tersenyum dan berkata, "Suheng, mana mungkin aku harus berpangku tangan
saja sedangkan engkau terjatuh dalam tangan dua orang wanita yang menderita
penyakit jiwa? Tan Hun Bwee ternyata gila akibat peristiwa pemerkosaan yang
bukan kau lakukan, sedangkan Enci Biauw Eng ini juga gila karena melawan
perasaan hati sendiri!"
“Bocah
langcang, mulutmu harus ditampar!” Biauw Eng berseru dan tangannya langsung
menyambar ke arah pipi kiri Yan Cu.
“Eng-moi,
jangan…!” Keng Hong hanya dapat berseru mencegah sebab seluruh tubuhnya dalam
keadaan terlibat sabuk kulit hitam sehingga tidak mampu bergerak.
Namun,
mendengar seruan Keng Hong itu, hati Biauw Eng bahkan terasa panas karena
menganggap bahwa Keng Hong hendak membela sumoi-nya yang cantik itu. Hati gadis
ini terbakar api cemburu! Karena itu dia tidak mau menghentikan gerakan
tangannya.
Tentu saja
Yan Cu tidak membiarkan pipinya yang halus kemerahan itu ditampar orang. Segera
dia melangkah mundur sambil tangannya bergerak menghunus pedang pusaka milik
Hoa-san-pai. Sinar putih langsung berkelebat ketika Yan Cu membabatkan Hoa-san
Po-kiam ke arah pergelangan tangan Biauw Eng yang hendak menampar pipi kirinya.
Melihat
pedang pusaka yang ampuh berkelebat menyerang lengannya, Biauw Eng tidak mau
sembrono. Dia cepat menarik pulang tangannya yang sedang menampar, dan kedua
gadis cantik jelita itu lantas bertempur dengan serunya.
"Hentikanlah...!
Hentikanlah...!" Berkali-kali Keng Hong berteriak keras, akan tetapi
sia-sia saja. Empat orang itu bertanding makin seru dan mati-matian.
Keng Hong
maklum bahwa baik Cong San mau pun Yan Cu tidak akan menang melawan Biauw Eng
dan Hun Bwee yang amat lihai dan yang memiliki ilmu silat amat aneh itu. Dia
bersiap untuk mencegah jatuhnya korban dalam pertandingan yang tidak dikehendakinya
itu, akan tetapi tiba-tiba saja wajah Keng Hong berubah ketika dia melihat
berkelebatnya bayangan beberapa orang yang gerakannya cepat sekali.
Memang benar
wawasan Keng Hong. Yap Cong San terdesak hebat oleh gulungan sinar hitam dari
pedang di tangan Hun Bwee. Pemuda murid ketua Siauw-lim-pai ini merasa heran
dan terkejut sekali menyaksikan permainan pedang yang luar biasa anehnya, apa
lagi ketika Hun Bwee mulai terkekeh-kekeh dalam penyerangannya, membacok dengan
punggung pedang, kadang-kadang malah memukulnya dengan gagang pedang, dan lebih
gila lagi, ujung pedang yang runcing itu beberapa kali mengancam leher gadis
itu sendiri!
Justru
serangan-serangan aneh inilah yang beberapa kali hampir saja mencelakakan Cong
San. Akhirnya pemuda Siauw-lim-pai ini maklum bahwa ilmu pedang lawannya
amatlah kukoai (janggal) dan amat berbahaya, maka dia lalu bersilat dengan
tenang dan mencurahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melindungi
tubuhnya. Ilmu silat Siauw-lim-pai amat terkenal dalam gaya pembelaan diri
sehingga keadaan Cong San seumpama batu karang yang kokoh kuat dapat menahan
segala gempuran ombak membadai dari serangan-serangan aneh Hun Bwee.
Keadaan Yan
Cu lebih payah lagi. Tingkat kepandaiannya kalah jauh kalau dibandingkan dengan
Biauw Eng yang mempunyai tingkat kepandaian lebih tinggi dari pada tingkat Hun
Bwee. Untung bahwa Biauw Eng bukanlah seorang yang berwatak keji.
Tadinya
memang dia merasa cemburu terhadap gadis ini. Siapa yang tak akan cemburu
melihat gadis yang demikian cantik jelita ini hingga dia sendiri pun sebagai
wanita merasa tertarik, apa lagi Keng Hong seorang pemuda yang mudah kagum akan
keindahan wajah dan tubuh wanita?
Akan tetapi
sesudah mendengar ucapan-ucapan Yan Cu ketika hendak pergi, dia maklum bahwa
gadis ini mempunyai watak yang mulia dan jujur sehingga kini dia tidak tega
untuk membunuhnya. Apa bila Biauw Eng ingin membunuhnya, agaknya pertandingan
di antara mereka tak akan berlangsung terlalu lama. Akan tetapi, untuk
merobohkan Yan Cu tanpa melukai berat, bukanlah suatu hal yang mudah karena
tingkat ilmu silat yang dimiliki Yan Cu sudah cukup tinggi, apa lagi dia
menggunakan sebatang pedang pusaka yang ampuh!
Mengapa
wajah Keng Hong berubah ketika dia melihat bayangan-bayangan berkelebat?
Ternyata bayangan-bayangan yang sekarang telah berada di tempat itu bukan lain
adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Lian Ci Sengjin, Kiam-to
Lai Ban dan Thian It Tosu!
Melihat
munculnya orang-orang ini, Cong San terkejut bukan main. Dia cepat meloncat ke
belakang dan berteriak berkali-kali, "Tahan...!"
Akan tetapi
orang yang sudah kacau pikirannya seperti Hun Bwee itu mana mau berhenti.
"Jai-hwa-cat!" Ia memaki dan menerjang terus, mendesak dengan pedang
hitamnya.
Tentu saja
Cong San kembali harus menggerakkan Im-yang-pit dengan marah karena dia
ikut-ikutan dimaki sebagai penjahat cabul oleh wanita gila yang agaknya amat
membenci penjahat-penjahat cabul dan menganggap semua lelaki yang menjadi
musuhnya sebagai penjahat cabul! Kembali mereka bertanding dengan seru.
Ada pun
Biauw Eng yang mengenal Cui Im, kaget sekali dan juga marah. Akan tetapi Yan Cu
yang sudah marah itu ketika melihat keraguan Biauw Eng, malah mendesak dengan
pedangnya! Pertandingan yang seru itu membuat empat orang ini celaka sendiri.
Sambil
tertawa-tawa Cui Im bergerak ke depan dan di lain saat Biauw Eng dan Yan Cu
telah roboh ditotok oleh Cui Im yang amat lihai. Bila saja Biauw Eng tidak
sedang didesak Yan Cu, agaknya tidaklah akan mudah begitu saja bagi Cui Im
untuk merobohkannya. Ada pun Cong San dan Hun Bwee juga roboh oleh totokan
Pat-jiu Sian-ong yang dibantu oleh Thian It Tosu.
"Hi-hi-hik!
Kiranya si tampan ini sudah lebih dulu roboh oleh dara-dara manis ini!"
Cui Im terkekeh-kekeh girang sambil menudingkan telunjuknya kepada Keng Hong
yang masih rebah dengan tubuh terbelit-belit sabuk kulit hitam, sama sekali
tidak mampu bergerak.
"Nah,
itu dia!" Tiba-tiba Cong San yang tertotok lumpuh itu berseru, matanya
memandang ke arah Lian Ci Sengjin. "Perempuan gila Tan Hun Bwee, engkau
menuduh Keng Hong! Hemmm, dia itulah laki-laki yang sudah memperkosamu! Lihat
baik-baik, apakah engkau tidak ingin lagi?"
Mendengar
ucapan ini, Biauw Eng, Hun Bwee dan juga Yan Cu mengikuti pandang mata pemuda
itu, semua memandang kepada Lian Ci Sengjin yang berdiri dengan muka pucat. Cui
Im juga menengok ke arah Lian Ci Sengjin yang terbelalak pucat memandang ke
arah wanita baju merah.
Kemudian Cui
Im tertawa terkekeh-kekeh, "Heh-heh-hi-hi-hik! Lian Ci Sengjin, seleramu
ternyata boleh juga! Memang dia itu cukup denok montok dan cantik! Jangan
khawatir, dia kini sudah tertawan dan engkau boleh memiliki dia sepuas hatimu,
hi-hi-hi-hik! Tidak perlu memperkosa lagi!"
Akan tetapi
Lian Ci Sengjin tidak segembira yang disangka Cui Im. Sebaliknya dia berdiri
terbelalak dengan muka pucat dan sikap penuh kengerian karena pada saat itu Hun
Bwee memandangnya dengan mata yang liar.
"Kau...!
Kau...! Kau tosu yang menawanku... kiranya engkau...! Ya benar... demi
Tuhan...! Engkaulah orangnya! Terkutuk...!" Gadis ini mengeluarkan
lengking mengerikan kemudian roboh pingsan!
Sejak tadi
hati Lian Ci Sengjin diliputi perasaan ngeri mengingat sikap dan pandang mata
gadis yang dulu telah diperkosanya. Sekarang begitu melihat Tan Hun Bwee roboh
dalam keadaan pingsan, secara diam-diam dia mencabut pedangnya dan langsung
menusukkan pedang itu ke tubuh yang tergeletak di tanah, tepat pada jantung
gadis itu.
“Cringggg...!"
Pedang itu
terpental dan kiranya Sian Ti Sengjin, suheng-nya sendiri yang menangkisnya.
"Sute! Apa yang kau lakukan ini? Sudah memperkosa sekarang engkau malah
hendak membunuhnya? Sampai begini gelapkah pikiranmu?" Bentak kakek itu.
Lian Ci
Sengjin hanya menunduk, mukanya merah sekali karena malu mendengar suara ketawa
Cui Im yang mengejeknya. Dia jatuh cinta kepada Cui Im yang pernah hampir
menjadi isterinya. Sekarang rahasianya terbuka, bagaimana dia tak merasa malu
sekali?
Akan tetapi
pada saat itu Cui Im tidak mempedulikannya. Wajahnya berseri-seri ketika dia
mengambil pedang pusaka Hoa-san-pai dari atas tanah, pedang yang tadi dipakai
oleh Yan Cu, lalu merenggut lepas perhiasan-perhiasan yang dipakai oleh Hun
Bwee. Bahkan setelah melakukan penggeledahan, ia berhasil menemukan sisa-sisa
pusaka dari sebelah dalam baju Yan Cu. Akan tetapi keningnya berkerut ketika ia
tidak dapat menemukan dua buah kitab Siauw-lim-pai.
Cong San,
Yan Cu, Biauw Eng dan Hun Bwee kini pun dibelenggu dengan kedua lengan di
belakang. Hun Bwee sudah sadar kembali, akan tetapi dia menjadi pendiam
sehingga Biauw Eng sendiri sukar untuk menentukan apakah suci-nya itu sedang
kumat ataukah tidak.
Gadis baju
merah itu banyak menundukkan muka. Apa bila sekali-kali mengangkat muka, ia
memandang ke arah Lian Ci Sengjin dengan sinar mata seolah-olah hendak membakar
bekas tokoh Kun-lun-pai itu.
Biauw Eng
memandang ke arah Keng Hong. Berbeda dengan mereka berempat yang biar pun
dibelenggu tapi dapat berdiri, sebaliknya Keng Hong rebah karena seluruh
tubuhnya dibelit-belit sabuk dengan amat kuat, apa lagi tubuhnya sudah lumpuh
terkena totokannya pula. Ketika Biauw Eng memandang, Keng Hong juga sedang
memandang kepadanya.
Biauw Eng
menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja matanya menjadi merah sekali dan
membasah. Mulutnya berbisik penuh penyesalan, "Maafkan aku yang telah
menjatuhkan fitnah padamu..."
Keng Hong
tersenyum sambil menggerakkan kepalanya mengangguk-angguk. Pandang matanya
penuh dengan pengampunan, kesabaran dan kasih sayang.
Yan Cu yang
dibelenggu pula dan berdiri di dekat Biauw Eng, dapat mendengar bisikan Biauw
Eng itu. Hatinya menjadi panas dan ia segera berseru nyaring, "Dasar
engkau yang berhati kejam, Sie Biauw Eng! Kalau saja engkau tidak menawan suheng,
tidak mungkin monyet-monyet ini dapat merobohkan kita! Sekarang kita semua
sudah tertawan musuh karena kebodohanmu, menangis lagi perlu apa?"
Biauw Eng
menoleh kepada Yan Cu dan menundukkan muka, lalu berkata, "Engkau tidak
tahu betapa hatiku telah tersayat-sayat, betapa segala kepahitan telah
kurasakan sebagai akibat cinta kasihku kepadanya..."
Yan Cu
tercengang. Hatinya merasa sangat terharu melihat Biauw Eng yang terbelenggu
itu perlahan-lahan menghampiri Keng Hong, lalu berlutut, kemudian dengan
gerakan kaku karena kedua lengannya dibelenggu ke belakang tubuh, dia
membungkuk dan mencium Keng Hong!
Bukan main
kekasihnya ini! Hampir saja Keng Hong menangis saking terharunya. Dahulu,
dengan suara lantang Biauw Eng tak ragu-ragu untuk mengaku cintanya di depan
banyak tokoh kang-ouw di puncak Kun-lun-san. Sekarang, untuk menyatakan rasa
penyesalan dan cinta kasihnya, di depan begitu banyak orang, Biauw Eng dengan
gerakan wajar dan tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi menciumnya!
Ingin dia
membisikkan sesuatu, namun karena dia melihat betapa Cui Im memandang ke arah
mereka penuh perhatian dengan senyum mengejek, dia tidak jadi berkata apa-apa,
hanya terus memandang Biauw Eng dengan sinar mata penuh kasih sayang dan penuh
keyakinan agar kekasihnya itu tidak usah khawatir.
"Aku
rela dan siap mati bersamamu, Keng Hong." Biauw Eng berbisik saat ia
menangkap isyarat pandang mata Keng Hong.
Cui Im
menghampiri mereka, sejenak memandang tajam kepada Keng Hong lalu berkata,
"Keng Hong, di mana kitab yang dua buah lagi? kitab-kitab
Siauw-lim-pai?"
Keng Hong
tersenyum mengejek. "Cui Im, engkau takkan dapat menemukan kedua buah
kitab itu. Sampai mati pun tak akan mungkin dapat kau temukan!"
Bhe Cui Im
menggerakkan tangan dan pedang merahnya sudah tercabut, ujungnya yang runcing
menodong muka Keng Hong, hanya beberapa senti di depan mata pemuda itu.
"Keng
Hong, engkau boleh jadi seorang laki-laki yang keras hati dan keras kepala,
yang tidak mengenal takut akan tetapi kalau tidak kau jawab pertanyaanku,
hemmmm... hendak kulihat bagaimana sikapmu kalau pedangku ini mencongkel keluar
biji matamu!"
“Ang-kiam
Bu-tek ternyata hanya seorang pengecut besar yang mengancam orang yang sudah
tidak berdaya. Ha-ha-ha, ingin sekali aku melihat apakah sikapmu masih seperti
itu gagahnya mengancam Cia-taihiap kalau dia tidak terbelenggu. Dengarlah,
kitab I-kiong Hiat-hoat dan kitab Seng-to Cin-keng oleh Cia-taihiap sudah
dikembalikan kepadaku dan telah kuserahkan ke tangan suhu. Kalau kau masih
menginginkannya, coba saja engkau ambil dari tangan suhu Tiong Pek Hosiang.
Jelas engkau tidak berani, bukan? Ha-ha-ha!"
"Desss…!"
Tubuh Cong
San lantas terbanting roboh karena pukulan Lian Ci Sengjin yang mengenai punggungnya
ini keras sekali. Cong San yang dipukul dari belakang cepat menggulingkan
tubuhnya dan melompat bangun kembali sambil tersenyum mengejek. Ternyata Lian
Ci Sengjin yang sangat marah kepadanya karena pemuda murid Siauw-lim-pai ini
yang tadi membuka rahasianya, menjadi marah mendengar pemuda ini mengejek Cui
Im.
"Biar
kubunuh saja bedebah ini!" Bentak Lian Ci Sengjin, makin penasaran melihat
betapa pukulannya yang keras tadi ternyata tidak dapat membunuh pemuda itu.
Akan tetapi
sambil tersenyum Cui Im mengangkat tangannya. "Jangan bodoh, Sengjin! Ia
ini adalah murid tersayang ketua Siauw-lim-pai, merupakan tawanan penting. Juga
Keng Hong tidak boleh dibunuh, pada saat ini aku masih sangat membutuhkannya!
Kita bawa saja mereka berlima ini ke tempat Pat-jiu Sian-ong dan baru di sana
kita memutuskan apa yang harus kita lakukan kepada lima orang ini."
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha,
Bhe Cui Im wanita cantik yang amat cedik. Murid Sin-jiu Kiam-ong ini sangat
gagah dan tampan, demikian pula murid ketua Siauw-lim-pai. Aku tahu mengapa
engkau merasa sayang untuk membunuh mereka sekarang, ha-ha-ha!"
Cui Im juga
terkikik genit dan memainkan biji matanya ke arah kakek kecil kate berkepala
besar yang memegang kebutan hudtim itu. "Ihhh! Bukankah sudah kukatakan
bahwa bagiku, tua atau muda, tampan atau buruk, tidak ada bedanya? Aku sudah
berjanji kalau kalian membantu dan kita berhasil, aku akan melayanimu sampai
kau tidak kuat bangun kembali! Aku menawan Keng Hong karena ada urusan penting
mengenai ilmu silat antara dia dan aku..."
"Cui
Im, kalau kau hendak memperlajari Thi-khi I-beng, engkau harus mati terlebih
dulu!" Keng Hong mengejek.
Akan tetapi
Cui Im tak mempedulikannya dan melanjutkan, "Ada pun murid ketua
Siauw-lim-pai ini, bukankah dapat kita pergunakan sebagai perisai bila
menghadapi ketua partai itu? Tiong Pek Hosiang si tua bangka itu lihai sekali,
dan siapa tahu dia akan hadir pula. Mengertikah engkau sekarang, Pat-jiu
Sian-ong?"
Kakek kecil
kate berkepala besar itu tertawa sambil mengangguk-angguk, lalu mengebut-ngebutkan
hudtim-nya dengan lagak seorang dewa atau seorang pertapa sakti, kemudian
berkata perlahan,
"Kasihan...
kasihan... orang-orang muda yang tidak tahu diri, berani lancang menentang
Ang-kiam Bu-tek... hemmm...!" Dia lalu melambaikan kebutannya dan
terdengarlah suara bersuit nyaring.
Keng Hong
masih rebah menahan napas dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia tadi
cukup awas sehingga tidak sembrono karena dia telah menduga bahwa kalau Cui Im
sudah berani menyergapnya tentulah memiliki andalan. Kiranya di samping
teman-teman yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi itu, di sekitar tempat itu
sudah terkurung dan kini muncullah puluhan orang anak buah Pat-jiu Sian-ong
yang dipimpin oleh dua orang kakek kembar yang bukan lain adalah Thian-te
Siang-to, murid Pat-jiu Sian-ong.
Beramai-ramai
lima orang muda yang menjadi tawanan itu digiring ke tempat tinggal atau sarang
milik Pat-jiu Sian-ong, yakni di dekat tembok besar di sebelah utara pegunungan
Tai-hang-san. Di bagian ini, tembok besar yang sangat panjang itu melalui
lereng-lereng gunung dan di dekat tembok di lereng Gunung Tai-hang-san sebelah
utara inilah dijadikan sarang oleh Pat-jiu Sian-ong, di mana dibangun sebuah
benteng yang cukup kuat.
Perjalanan
itu melalui lereng-lereng gunung dan hutan-hutan liar, memakan waktu hingga
beberapa hari. Para tawanan dijaga ketat dan meski pun mereka itu diberi waktu
makan dan istirahat, namun mereka tidak mendapat kesempatan untuk saling
bicara. Bahkan di waktu rombongan berhenti bermalam, lima orang muda itu
dipisahkan. Betapa pun juga, hati Keng Hong dan teman-temannya merasa lega
bahwa mereka tidak pernah menerima gangguan. Agaknya Cui Im memang melarang
mereka diganggu.
Keng Hong
diam-diam merasa gelisah. Bagi dia sendiri, dia tak usah merasa takut karena
apa bila dia menghendaki, mudah saja baginya untuk membebaskan diri. Pada waktu
dia dibelenggu oleh Biauw Eng dan ditotok tiga kali pun, kalau dia menghendaki,
mudah saja baginya untuk bebas.
Akan tetapi
dia tidak mau melakukan hal ini. Pertama karena dia ingin menguji Biauw Eng
untuk penghabisan kali, ke dua karena keadaan musuh yang amat kuat sehingga
kalau dia berlaku nekat, tentu teman-temannya terancam bahaya.
Di antara
mereka berlima, yang kepandaiannya boleh diandalkan hanya Biauw Eng saja.
Mungkin Hun Bwee juga mempunyai kepandaian yang luar biasa, akan tetapi wanita
yang terganggu jiwanya itu sama sekali tidak boleh diandalkan. Cong San dan Yan
Cu memang memiliki kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi menghadapi
tokoh-tokoh seperti Bhe Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong, mereka itu masih terlalu
lemah. Apa lagi menghadapi Cui Im! Agaknya harus dia sendiri yang maju, baru
wanita keji itu akan dapat ditundukkan.
Pada malam
ke empat rombongan itu beristirahat di sebuah kuil kosong tua yang berada di
sebuah lereng gunung. Lima orang tawanan itu dipisahkan serta dijaga ketat.
Bahkan Keng Hong yang masih terbelit-belit sabuk kulit hitam itu direbahkan di
sebuah kamar kuil tua dan dijaga sendiri oleh Cui Im! Selosin orang anak buah
Pat-jiu Sian-ong dengan golok terhunus masih menjaga di luar kamar, berdiri
seperti patung.
"Uuuhhhh,
pegal-pegal semua tubuhku. Cui Im, maukah engkau membantuku agar aku dapat
duduk bersandar tembok?" Keng Hong berkata.
Cui Im yang
duduk di sudut kamar itu mengangkat muka memandang penuh kecurigaan, lalu
tangannya menggapai seorang penjaga. Penjaga itu masuk dan Cui Im berkata,
"Bantu
dia duduk bersandar tembok."
Penjaga itu
menghampiri Keng Hong lantas dengan gerakan kasar menyeret pemuda itu ke dekat
dinding lalu menjambak rambutnya dan menariknya sehingga terduduk. Setelah
mendengus, penjaga itu pergi lagi berjaga dengan teman-temannya di luar kamar.
Keng Hong
tersenyum, "Aahhhh, terima kasih. Begini lebih enak, aku dapat duduk dan
memandang wajahmu. Eh, Cui Im. Lama tidak berjumpa, sekarang engkau makin
cantik saja dan tubuhmu... hemmm... makin padat dan montok menggairahkan!"
Wanita yang
duduk di sudut lain itu mengangkat mukanya dan memindahkan pandang matanya dari
pedang Siang-bhok-kiam yang dipegangnya itu ke arah muka Keng Hong. Ia melihat
betapa pandang mata pemuda itu menjalari seluruh tubuhnya. Ada getaran aneh
terasa oleh Cui Im, seakan-akan bukan pandang mata melainkan jari-jari tangan
pemuda itu yang menggerayangi tubuhnya, membuat semua bulu pada tubuhnya
bangkit penuh gairah. Akan tetapi ia tersenyum mengejek.
"Keng
Hong, sungguh tak kunyana seperti ini pertemuan kita yang terakhir. Yang
terakhir kataku, kau dengar? Karena kalau sekali ini engkau tidak mau menuruti
keinginanku, yaitu mengajarkan Thi-khi I-beng dan ilmu silat baru yang kau
mainkan tempo hari, yang seperti gabungan dari Pat-kwa-kun dan Ngo-heng-kun
itu, tentu kau akan kubunuh!"
Keng Hong
tersenyum. "Aku bukan orang bodoh, Cui Im, dan aku tahu kapan menerima
kekalahan. Sekali ini aku benar-benar tidak berdaya, dan memang aku pun sudah
melihat betapa bodohnya aku mencinta seorang seperti Biauw Eng yang tidak
mempunyai cinta kasih dan tidak mengenal budi. Engkaulah wanita yang cocok
untukku, Cui Im..."
"Ihhh!
Tak perlu kau merayu. Kau kira aku percaya kepadamu?'
"Aku
tidak merayu. Bila kuingat betapa pertama kali mengenal wanita adalah denganmu!
Engkaulah yang telah mengajarku tentang cinta, Cui Im, bagaimana mungkin aku
dapat melupakanmu?"
"Bohong!
Engkau selamanya mencinta Biauw Eng."
"Itu
dulu! Sekarang tidak lagi karena kau melihat sendiri betapa dia telah menawanku
dan hendak memaksaku mengawini gadis gila itu. Phuuhhh! Lebih baik aku mati.
Dan engkau yang begini denok...? Hemmm, Cui Im. Perkara belajar Thi-khi I-beng
atau pun Thai-kek Sin-kun, apa sih susahnya? Ke sinilah, manis. Sesungguhnya
sudah bertahun-tahun aku menahan kerinduan hatiku kepadamu, membayangkan
manisnya bibirmu..."
Cui Im
tertawa mengejek, akan tetapi biar pun dia tidak percaya, tetap saja ia
tertarik dan meloncat bangun, menghampiri Keng Hong lalu berlutut di dekat
pemuda itu. "Kau perayu yang canggung! Apa kau kira begitu mudah hendak
merayuku dengan palsu itu? Hi-hi-hik, aku tidak percaya, Keng Hong."
"Cui
Im..." Keng Hong berbisik, "Lupakah engkau akan malam pertama itu,
ketika engkau menawanku, sebelum muncul Biauw Eng? Kau memberi minum arak
merah... kemudian kita... hemmmm... betapa senangnya kita ketika itu..."
Jantung Cui
Im berdegup keras. Dia bukan orang bodoh dan tentu saja dia tidak mau percaya
akan ucapan Keng Hong itu. Akan tetapi memang pada dasar hatinya, wanita ini
jatuh cinta kepada Keng Hong semenjak pertama kali bertemu dahulu. Karena
cintanya inilah maka dahulu Cui Im membenci Biauw Eng dan berusaha merusak nama
Biauw Eng di depan mata Keng Hong. Biar pun dia tahu bahwa pemuda ini tidak
membalas cintanya dan bahwa kini membujuk rayu dengan palsu, tidak urung
jantungnya berdebar dan nafsu gairahnya timbul.
"Aku...
aku tidak percaya... hendak kubuktikan lebih dulu..."
Karena tahu
bahwa Keng Hong terbelenggu tak mampu bergerak sehingga sama sekali tidak
membahayakan, Cui Im mendekatkan mukanya, merangkul leher dan mencium bibir
pemuda yang sebetulnya masih dia harapkan cinta kasihnya ini. Dia hendak
menguji dan betapa gembira hatinya ketika merasa bahwa Keng Hong membalas
ciumannya!
Begitu
gembira hati Cui Im sehingga ia lupa segala dan segera tubuhnya lemas karena
sebelum ia sadar akan apa yang terjadi, tengkuknya sudah ditotok Keng Hong
sehingga ia roboh pingsan dalam keadaan masih merangkul pemuda itu! Memang
sebetulnya Keng Hong tidaklah dikuasai oleh belenggu sabuk kulit yang
melibat-libat tubuhnya. Kalau dia kehendaki, dalam sekejap mata saja dia mampu
meloloskan diri.
Dari balik
pundak Cui Im, Keng Hong melihat punggung dua belas orang penjaga sedang
membelakangi kamar itu. Cepat dia merebahkan tubuh Cui Im yang masih pingsan,
lalu meniup padam lilin dan tubuhnya berkelebat ke arah pintu. Dengan
kepandaiannya yang hebat, ginkang-nya yang luar biasa, Keng Hong berkelebat
cepat.
Dua belas
orang penjaga itu terlihat masih berdiri di tempat masing-masing, akan tetapi
sesungguhnya mereka itu berdiri secara tidak wajar lagi karena tubuh mereka
menjadi kaku. Mereka hanya melihat bayangan berkelebat cepat, tak tahu bayangan
apa itu.
Keng Hong
terkejut sekali ketika melihat betapa empat orang kawannya itu terpisah-pisah
dan terjaga amat kuatnya. Tidak mungkin dia dapat membebaskan mereka semua
tanpa diketahui penjaga dan sekali mereka tahu, tentu dia dan kawan-kawannya
akan dikurung. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi karena tentu pihaknya akan
jatuh korban, mengingat banyaknya jumlah lawan dan banyaknya pula orang-orang
pandai di pihak lawan.
Bagaimana
pun juga, dia harus membebaskan Biauw Eng! Maka dia cepat menghampiri kamar di
mana Biauw Eng ditahan dan melihat bahwa kekasihnya ini dijaga oleh Thian-te
Siang-to, sepasang kakek kembar murid Pat-jiu Sian-ong bersama dua belas anak
buah mereka.
Keng Hong
tidak mau membuang waktu lagi. Dua buah kerikil di tangannya disambitkan ke
dalam kamar dan padamlah dua buah lilin di atas lantai kamar itu. Selagi
sepasang kakek kembar itu berteriak dan sibuk memasang api, tubuh Keng Hong
sudah berkelebat cepat dan seperti halnya selosin penjaga di depan kamar di
mana dia ditawan, kini selosin orang penjaga di situ pun menjadi kaku oleh
totokannya yang cepat dan tepat. Dia lalu menyerbu ke dalam.
Thian-te
Siang-to adalah murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang sudah memiliki kepandaian
tinggi. Tadinya mereka masih tidak menduga bahwa padamnya lilin-lilin itu
adalah karena perbuatan musuh. Akan tetapi begitu mendengar sambaran angin dari
luar pintu, segera keduanya meloncat sambil mencabut golok dan menerjang ke arah
pintu.
Keng Hong
melanjutkan loncatannya, akan tetapi menukik ke bawah. Dua buah golok itu
menyambar di atas tubuhnya pada saat dia menubruk dua pasang kaki Thian-te
Siang-to yang berteriak kaget. Akan tetapi segera tubuh mereka lemas karena
Keng Hong cepat menotok mereka.
Biauw Eng
tengah bersandar pada dinding dengan kedua lengan dibelenggu ke belakang.
Tiba-tiba ia melihat lilin padam dan mendengar suara ribut-ribut, maka ia cepat
meloncat bangun.
"Biauw
Eng, lekaslah kau lari! Biar aku melindungimu dari pengejaran!" Bisik Keng
Hong sambil merengut putus tali yang membelenggu kedua tangan Biauw Eng.
"Bagus...
mari kita bebaskan yang lain...!" Biauw Eng berbisik kembali.
"Sttt...
jangan! Kau larilah dulu, biar aku yang akan membebaskan mereka. Engkau harus
selamat dulu, Biauw Eng."
"Apa?
Tidak! Aku tidak mau bebas sendiri tanpa engkau dan mereka!"
"Ahh,
berbahaya... mereka amat kuat. Engkau pergilah dulu..."
"Tidak,
Keng Hong. Aku tidak mau berpisah lagi denganmu!" Suara Biauw Eng
terdengar tegas sehingga Keng Hong menjadi bingung.
Dia maklum
bahwa sangatlah sukar untuk membebaskan mereka sekaligus dan dia baru akan
merasa lega dan tenang kalau Biauw Eng sudah selamat. Bagi dia sendiri, tidak
khawatirlah dia. Akan tetapi kalau mereka semua lari, tentu akan sukar sekali.
Betapa pun juga, dia sudah mengenal Biauw Eng dan dipaksa pun akan sia-sia
saja.
"Baiklah,
mari!" Mereka lalu berkelebat pergi dari kamar itu untuk membebaskan
ketiga orang kawan mereka.
Akan tetapi,
tepat seperti yang dikhawatirkan Keng Hong, baru saja mereka mendekati tempat
tahanan Cong san, gerakan mereka sudah diketahui oleh Pat-jiu Sian-ong yang
berteriak keras,
"Tangkap
mereka!"
Ributlah
dalam kuil tua itu, dan puluhan orang penjaga, anak buah Pat-jiu Sian-ong yang
berjaga di bagian dalam kuil telah masuk menyerbu. Keng Hong dan Biauw Eng
terpaksa mengamuk. Para penjaga itu merupakan makanan lunak bagi mereka, akan
tetapi setelah Pat-jiu Sian-ong membebaskan Cui Im dari totokan, dua orang ini
lalu menyerbu sendiri menghadapi mereka.......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment