Tuesday, August 14, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Kayu Harum Jilid 32



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
       Serial Pedang Kayu Harum
                 Jilid 32



Kini Yan Cu menjadi marah sekali, kemarahan yang timbul akibat kedukaan hatinya. Di dalam kedukaannya itu memang ada perasaan marah kepada Biauw Eng dan Hun Bwee yang sudah menawan Keng Hong dan hanya kerena Keng Hong yang melarangnya dan karena keyakinannya bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng maka tadinya dia menahan kemarahannya terhadap kedua orang gadis itu dan tidak turun tangan mencegah mereka menawan Keng Hong.

Kini semua kemarahannya mendapat jalan keluar dan dapat ditumpahkan kepada para perampok yang kurang ajar itu. Melihat kepala perampok itu dengan mata liar dan mulut menyeringai maju menubruknya, Yan Cu cepat mendahuluinya dengan sambaran kaki kirinya menendang. Gerakan kakinya tentu saja amat cepat bagi kepala perampok yang kasar itu sehingga dia tidak sempat menghindar lagi ketika kaki yang kecil itu melayang.

"Krakkk!"

"Wadouhhhhhh... aaahhhhh...!" Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan terbanting ke atas tanah di mana dia menggunakan kedua tangannya menekan-nekan dadanya sambil berkelojotan. Tulang-tulang iganya patah-patah dan melesak ke dalam rongga dada!

Melihat peristiwa yang tak tersangka-sangka ini, para perampok sejenak tercengang dan melongo. Akan tetapi kemudian mereka menjadi marah sekali dan seperti segerombolan anjing serigala memperebutkan tulang, dua belas orang perampok itu menerjang maju.

Mungkin karena hati dan pikirannya masih penuh dengan bayangan Keng Hong dijadikan tangkapan orang, kini melihat banyak lengan terulur ke arahnya hendak menangkapnya membuat kemarahan hati Yan Cu semakin menjadi-jadi. Mulutnya mengeluarkan pekik kemarahan dan kini kaki tangannya bergerak cepat sekali, tubuhnya menyambar-nyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan dan roboh pula dua belas orang itu satu demi satu, tidak kuasa bangkit kembali karena dalam kemarahannya Yan Cu sudah menggunakan tenaga sinkang untuk memukul atau menendang dua belas orang yang berebut hendak menangkapnya itu!

Hanya beberapa menit saja berlangsungnya pertandingan yang berat sebelah itu, seperti seekor burung garuda dikeroyok dua belas ekor anak ayam! Kini Yan Cu berdiri tegak dengan kedua tangan masih siap menghadapi pengeroyokan selanjutnya sambil matanya mengerling ke kiri kanan penuh kemarahan.

Akan tetapi, ketika ia mendapat kenyataan bahwa tak ada orang lagi yang menyerangnya kecuali tiga belas batang tubuh yang berserakan di sekelilingnya, sebagian besar sudah mati dan yang masih bergerak hanya mereka yang sedang sekarat berkelojotan, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas sekali. Muka gadis itu menjadi agak pucat. Belum pernah selama hidupnya ia melakukan pembunuhan massal seperti ini.

Dia merasa ngeri dan bergidik memandangi korban-korban kemarahannya. Kemudian dia melangkah pergi meninggalkan tempat yang menimbulkan kengerian itu, melangkah pergi dan begitu teringat kepada Keng Hong tak terasa ia menangis lagi sambil berjalan. Makin berduka hatinya karena kalau saja ada Keng Hong di situ, kiranya dia tak akan mengalami peristiwa tadi dan tidak harus membunuhi orang, biar pun orang-orang yang dibunuhnya itu adalah orang-orang yang jahat.

"Keng Hong suheng...! Mengapa engkau mau saja ditawan...? Suheng... Keng Hong... mengapa engkau begitu lemah...?"

Orang yang sejak tadi membayanginya, di dalam persembunyiannya tadi terbelalak heran dan kagum menyaksikan sepak terjang gadis itu yang dalam satu gebrakan saja mampu merobohkan setiap orang perampok dan dalam waktu singkat sekali telah membunuh tiga belas orang perampok kasar! Hal ini sungguh amat tidak disangka oleh si pengintai, dan membuat dia semakin tertarik, maka kini diam-diam dia pun membayangi gadis cantik itu yang pergi sambil menangis.

Keluhan Yan Cu itu perlahan, akan tetapi saking sedihnya, pada waktu menyebut nama suheng-nya, suara Yan Cu mengeras sehingga terdengar oleh pengintai itu. Si pengintai kaget sekali mendengar disebutnya nama Keng Hong, selain kaget juga gembira karena dia segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan sekali meloncat saja pengintai ini telah berada di depan Yan Cu.

Yan Cu sedang berduka, akan tetapi pendengarannya amat tajam. Ia mendengar gerakan orang dan cepat mengangkat muka memandang, melihat sesosok bayangan berbaju hijau berkelebat. Yan Cu bersikap waspada, dapat menduga bahwa ada orang pandai muncul dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan gerombolan perampok yang terdiri dari orang-orang kasar tadi. Tentu yang datang ini adalah pemimpin perampok yang memiliki kepandaian tinggi.

Akan tetapi kali ini Yan Cu kecelik dan ia memandang pemuda yang berdiri di depannya itu dengan mata terbelalak dan pandang mata terheran. Yang berdiri di depannya adalah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah sekali, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, berpakaian warna hijau dengan model sastrawan, sikapnya halus dan pemuda itu berdiri sambil memberi hormat kepadanya.

Pemuda itu adalah Yap Cong San, jago muda dari Siauw-lim-pai. Sesudah pemuda ini menerima dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab I-kiong Hoan-hiat dan Seng-to Cin-keng dari tangan Keng Hong, pemuda ini segera membawa dua buah kitab itu kepada suhu-nya.

Tiong Pek Hosiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua, menerima dua buah kitab itu dengan girang sekali. Ketika kakek sakti ini mendengar penuturan muridnya tentang Keng Hong dan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, dia lalu menyuruh muridnya pergi menyusul Keng Hong dan membantu Keng Hong menghadapi wanita jahat itu sebagai pernyataan terima kasih dan membalas budi Keng Hong yang sudah mengembalikan dua buah kitab, dan juga untuk menghukum Cui Im atas kematian Thian Ti Hwesio.

Demikianlah sebabnya mengapa kini tiba-tiba muncul Cong San di tempat itu dan secara kebetulan Cong San melihat Yan Cu dan amat tertarik hatinya. Begitu mendengar gadis itu menyebut nama Keng Hong, tentu saja cepat meloncat keluar dan menemuinya.

Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika baru saja dia muncul dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, belum sempat mulutnya bicara, dara jelita yang mengguncangkan hatinya itu sudah menerjang maju dan menyerangnya dengan pukulan maut! Gerakan Yan Cu amat cepatnya dan pukulan tangan kanan yang meluncur ke arah dada kiri Cong San itu mengandung tenaga sinkang yang mengeluarkan angin keras!

"Ehhh... jangan serang, Nona...!" Cong San cepat mengelak sambil berseru keras.

Sepasang mata yang bening itu berkilat. Melihat wajah tampan itu tersenyum kepadanya, Yan Cu semakin marah, menganggap bahwa pemuda yang ternyata benar lihai dan dapat mengelak pukulannya secara mudah itu tentu hendak berkurang ajar pula kepadanya, maka ia hanya membentak, "Datuk perampok, kau pun harus dibasmi!"

Lalu dia menerjang pula, sekali ini dengan pengerahan kecepatannya sehingga secara bertubi kepalan tangan kanannya menonjok perut, disusul tangan kiri mencengkeram ke arah hidung, kemudian dibarengi kedua kakinya melakukan tendangan berantai kanan kiri mengarah pusar dan lutut!

Cong San makin terkejut. Serangan ini benar-benar amat berbahaya! Pukulan ke perut terpaksa dia tangkis sambil mengerahkan tenaga lunak karena dia tidak ingin mengadu tenaga keras lawan keras, khawatir melukai lengan berkulit halus itu, tetapi cengkeraman pada hidungnya membuat dia kaget sehingga cepat dia miringkan kepala, dan ketika dua tendangan susul-menyusul menyambar, dia berseru kaget, "Wah, galak...!" Dan terpaksa dia meloncat ke belakang menghindarkan diri.

Yan Cu menjadi penasaran dan marah sekali. Lupa dia akan kesedihannya karena kini kemarahan menguasai hatinya dan membuat dia lupa segala. Dengan muka merah dan mata berapi dia menudingkan telunjuknya ke arah hidung Cong San sambil memaki,

"Kau bilang aku galak? Memang aku galak, akan tetapi engkau ceriwis, cabul, jahat dan keji, tidak sopan, tukang merampok dan memperkosa..."

"Wah, wah, wah... cukup, Nona! Aku bukan orang jahat...!" Cong San menangkis dengan kata-kata menyangkal sambil bersikap waspada karena agaknya nona yang amat jelita ini pun amat galak.

Yan Cu tertawa mengejek.

Serrrr! Jantung Cong San membuat loncatan salto di dalam rongga dadanya dan agaknya terbanting kembali dalam keadaan terbalik karena debar jantungnya kini sampai terdengar oleh telinganya, amat keras!

Melihat wajah itu tertawa benar-benar membuat dia terpesona, apa lagi kini melihat mulut yang meski pun tertawa mengejek masih nampak terlalu manis olehnya itu mengeluarkan kata-kata, membuat pandang matanya seakan-akan melekat pada sepasang bibir yang bergerak-gerak itu.

"Tidak jahat? Engkau mengintai aku secara sembunyi, masih bilang bukan orang jahat? Hayo katakan, mengapa engkau mengintai dan membayangiku!"

Sampai lama Yan Cu menanti, pemuda itu tidak menjawab, hanya melongo memandang mulutnya. Memang Cong San tidak mendengar ucapan dan pertanyaan tadi. Pemuda ini masih terpesona, seperti melayang semangatnya, debar jantungnya yang keras membuat telinganya terngiang-ngiang hingga tidak dapat menangkap kata-kata Yan Cu. Bagaimana mungkin ada mata seindah itu?

Cong San bukan seorang pemuda mata keranjang. Jauh dari pada itu. Selama berada dalam gemblengan Tiong Pek Hosiang di Siauw-lim-si, kakek ini selain mengajarkan ilmu silat tinggi, juga mengajarkan kebatinan dan karena itu dia tak pernah memikirkan wanita.

Karena batinnya yang kuat dan dasar susilanya tebal, tidaklah mudah kecantikan wanita menggiurkan hati pemuda jago Siauw-lim-pai ini. Akan tetapi, ketika berhadapan dengan Yan Cu, dia benar-benar terpesona dan kehilangan akal, seakan-akan matanya menjadi silau seperti langsung memandang cahaya matahari di tengah hari!

"Heiii! Jawab pertanyaanku!" Yan Cu membentak makin marah.

"Ehh...! Ohhh...! Apa... apa yang kau kehendaki, Nona?" Cong San bertanya gugup. Akan tetapi karena tidak ingin mendapat kesan buruk, otomatis pemuda ini tersenyum ramah.

Kembali Yan Cu menganggap senyum yang membuat wajah itu makin tampan sebagai senyum kurang ajar, seperti senyum kepala rampok tadi. Kemarahannya memuncak dan dia memaki, "Cengar-cengir seperti monyet kurang ajar!"

Dan serta merta gadis ini sudah mencabut sebatang pedang. Tampak cahaya berkilat dan pada saat pedang itu digerakkan menyerang Cong San, terdengar bunyi berdesing dan pedang berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Gulungan sinar ini berkelebat menyambar dan hendak ‘mengalungi’ leher Cong San!

Tentu saja pemuda ini kaget setengah mati, dan cepat mengelak. Jika lehernya dikalungi rangkaian bunga atau lebih hebat lagi dikalungi kedua lengan berkulit halus nona itu, tentu amat menyenangkan. Akan tetapi dikalungi pedang?!

Tujuh kali berturut-turut sinar pedang menyambar, akan tetapi dengan cekatan dan tubuh ringan sekali Cong San dapat mengelak. Dia amat terkejut menyaksikan kehebatan gerak dan serangan Yan Cu, akan tetapi lebih kaget dia mengenal pedang itu.

"Pokiam (pedang pusaka) Hoa-san-pai...!" Dia berseru ketika untuk ketujuh kalinya dia meloncat tinggi ke belakang untuk menghindarkan babatan pedang ke pinggangnya.

Memang Yan Cu telah mencabut pedang pusaka Hoa-san-pai yang oleh Keng Hong telah diserahkan kepadanya bersama pusaka-pusaka yang lainnya. Ia menahan serangannya, sebagian karena sangat kagum menyaksikan betapa pemuda itu dengan tanpa banyak kesulitan dapat menghindarkan serangan-serangannya, dan sebagian lagi karena tertarik mendengar seruan yang menyatakan bahwa pemuda ini sudah mengenali pokiam milik Hoa-san-pai.

"Kau sudah mengenal Hoa-san Po-kiam? Dan masih tidak cepat-cepat minggat dari sini?" bentaknya.

Cong San cepat-cepat memberi hormat, bersoja tanpa dibalas oleh Yan Cu. "Nona, harap maafkan, aku bukan orang jahat..."

Yan Cu membanting-banting kakinya tak sabar. "Sudahlah, berapa kali kau hendak bilang bahwa kau bukan orang jahat? Seperti penjual kecap saja yang memuji-muji dagangan sendiri! Kau jahat atau baik, apa hubungannya dengan aku? Apa kau mau mencari muka dengan memuji-muji diri sendiri?"

"Wah... wah...!" Cong San tak dapat bicara, menelan ludah dan mukanya menjadi merah sekali.

"Masih wah-wah-weh-weh, mau apa lagi? Cepat pergilah dan jangan mengganggu aku, dan jangan pula membayangiku!"

Akan tetapi Cong San masih belum pergi juga, menoleh pun tidak melainkan menunduk karena masih mengatur napasnya yang tidak karuan.

"Mau apa lagi?!" Yan Cu membentak, pedang di tangannya siap menyerang.

"Maaf, Nona. Aku... aku memang bersalah, membayangimu karena aku tadi melihat kau berjalan sambil menangis. Kemudian muncul perampok-perampok itu... dan aku kagum melihat betapa engkau merobohkan mereka..."

"Hemmmm... dan kau diam saja, ya? Laki-laki apa ini? Melihat seorang wanita diganggu perampok malah menonton gratis. Senang, ya? Pertunjukan menarik, ya? Sudahlah, aku jemu mendengar dongengmu, Pergilah!"

"Maaf..."

Yan Cu membanting kakinya lagi. "Maaf... maaf... apa kau kira aku ini tempat orang minta maaf? Kalau mau minta maaf, pergilah ke kelenteng menebus dosa!"

Cong San makin gugup. Ia harus cepat-cepat menjelaskan, kalau tidak bisa berabe benar berurusan dengan gadis jelita yang galak ini.

"Begini, Nona. Aku sama sekali tidak bermaksud kurang ajar. Melihat sepak terjangmu terhadap perampok-perampok itu, bagaimana aku berani lancang turun tangan? Seratus orang seperti mereka masih tak akan sanggup mengganggumu. Aku sudah hendak pergi, akan tetapi aku tertarik mendengar engkau menyebut nama Keng Hong. Cia Keng Hong adalah sahabat baikku, dan aku justru sedang pergi mencarinya. Apakah engkau dapat menunjukkan di mana adanya sahabat Cia Keng Hong?"

Tiba-tiba timbul harapan di hati Yan Cu. Setelah agak lama melihat pemuda ini, dia pun merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang jahat, malah kini mengaku sebagai sahabat suheng-nya.

Agaknya pemuda ini pun lihai sekali. Kalau pemuda ini membantunya menghadapi Biauw Eng dan Hun Bwee, kiranya mereka berdua akan dapat membebaskan Keng Hong! Akan tetapi dia masih belum yakin benar. Biauw Eng amat lihai, juga Hun Bwee wanita gila itu lihai sekali. Dia akan mencoba dulu!

"Tidak percaya! Engkau tentu hendak mencelakakan suheng-ku Cia Keng Hong!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah kembali menerjang maju lagi dengan Hoa-san Po-kiam, mengirim serangan hebat.

Cong San terkejut sekali. Bukan hanya oleh serangan ini, akan tetapi karena mendengar pengakuan gadis ini sebagai adik seperguruan Keng Hong. Dia segera mengelak, akan tetapi sinar pedang yang putih menyilaukan mata itu terus mendesaknya. Walau pun dia merasa yakin akan dapat mengatasi gadis lihai ini, tetapi amatlah berbahaya menghadapi amukan pedang seperti itu hanya dengan tangan kosong saja.

Di samping ini, timbul pula keinginan di hatinya untuk menguji kelihaian gadis yang telah menjatuhkan hatinya tanpa dia sadari ini. Orangnya cantik jelita, wataknya lincah, galak, apa lagi sebagai sumoi dari Keng Hong, tentu kepandaiannya amat hebat. Cepat dia pun mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang Im-yang-pit yang berwarna hitam dan putih.

"Kau memaksaku, Nona. Apa boleh buat, marilah kulayani Nona berlatih sebentar!"

Melihat pemuda itu memegang sepasang alat tulis, mendadak Yan Cu menghentikan serangannya. Cong San sudah menggerakkan sepasang senjatanya, yang kiri siap untuk menjaga diri yang kanan siap membalas serangan. Ia juga sudah memasang kuda-kuda dengan sikap paling gagah, akan tetapi karena lawannya menghentikan serangan, ia pun melongo dengan tubuh memasang kuda-kuda.

"Engkau ini sengaja hendak menghinaku ataukah barang kali engkau memang sudah begini?" Berkata ‘begini’ Yan Cu melintangkan telunjuknya di depan dahi.

Cong San mengkal hatinya. Ingin dia membanting sepasang senjatanya. Sialan benar! Senjata yang ampuh darinya itu tidak dipandang mata, bahkan dia disangka sudah miring otaknya! Ia mengendurkan urat-urat tubuhnya dan menghentikan kuda-kudanya, hatinya kecewa dan murung. Susah payah dia tadi memasang gaya kuda-kuda supaya kelihatan gagah... ehh, malah disangka menghina atau gila!

"Nona, yang menghina itu aku ataukah engkau? Sepasang Im-yang-pit ini memang adalah senjataku!" Ia berkata setengah membentak, suaranya serak seperti ingin menangis.

Tiba-tiba Yan Cu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Biar pun ditutupi, masih tampak mulutnya merekah sehingga Cong San yang tadinya mengkal dan marah, sekaligus lenyap kemarahannya. Hati yang panas tiba-tiba menjadi dingin hangat melihat betapa wajah cantik itu kini benar-benar tertawa, bukan tertawa mengejek seperti tadi. Dan setelah tertawa wajar, bukan main manisnya! Manis memabukkan. Arak merah pun kalah!

"Pena bulu itu senjatamu? Hi-hi-hi-hik! Untuk apa? Senjata untuk menulis bisa jadi, akan tetapi senjata untuk bertanding? Sobat, jangan kau main-main, sekali pedang pusaka ini membabat, engkau takkan dapat menulis lagi. Lebih baik kau pergilah kembali ke bangku sekolahmu, belajar menulis sajak dengan tekun supaya kelak bisa menjadi hak-su atau menjadi siucai."

"Nona, kulihat engkau sangat lihai, akan tetapi engkau kurang pengalaman sehingga tidak mengerti bahwa senjataku sepasang Im-yang-pit ini dapat melawan seratus buah pedang pusaka seperti yang kau pegang itu."

"Wiiihhhhh, sombong! Makan pedangku!" Yan Cu sekarang meloncat maju dan langsung menyerang dengan pedangnya.

"Singgggg... trang-cring-cringggg...!"

Yan Cu meloncat mundur dan memeriksa pedangnya. Ternyata pedangnya tak apa-apa. Hatinya lega. Pedang itu bukan miliknya dan harus dia kembalikan ke Hoa-san-pai, dan sekarang dia hanya ‘meminjamnya’. Kalau sampai rusak kan repot!

Pada saat tadi tiga kali pedangnya ditangkis sepasang Im-yang-pit secara bergantian, dia merasa betapa tangan dan lengannya tergetar hebat dan benturan senjata yang ketiga tadi disusul totokan pit hitam ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Tentu saja dia cepat menarik tangannya dan mencelat ke belakang. Kini dia memandang pemuda itu dan berdiri tersenyum sambil memasang kuda-kuda. Begitu gagah pemuda itu, dan wajahnya amat tampan. Yan Cu menjadi panas.

"Kau kira aku kalah?" Ia membentak dan kembali ia menerjang maju dengan amat ganas.

Cong San maklum bahwa gadis ini sudah mempunyai ilmu silat tinggi dan ilmu pedangnya juga tidak boleh dipandang ringan. Maka dia cepat bergerak mengelak, menangkis, dan tidak lupa membalas dengan totokan-totokan kedua senjatanya. Tentu saja dia menotok secara hati-hati karena tidak ingin mencelakai gadis itu.

Pertandingan berjalan dengan seru. Sesudah mereka bertempur selama lima puluh jurus lebih, tahulah Cong San bahwa kepandaian gadis itu benar-benar sangat lihai dan kalau saja dia bukan murid pilihan dari ketua Siauw-lim-pai sendiri, agaknya tidak akan mudah menahan serangan-serangan pedang yang demikian ganasnya.

Di lain pihak, hati Yan Cu yang tadinya telah menjadi girang mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar lihai sekali sehingga boleh diandalkan untuk membebaskan Keng Hong, makin lama menjadi makin penasaran. Tadi dia sudah membuktikan kelihaiannya. Tiga belas orang perampok liar dia robohkan dalam waktu singkat hanya dengan tangan kosong saja. Masa kini menghadapi seorang pemuda baju hijau yang hanya memegang dua batang alat tulis yang pendek kecil saja ia sama sekali tidak mampu mendesak?

Apa lagi melihat bahwa selama bertanding ini pemuda itu terus tersenyum ramah dan amat manis kepadanya, pandang mata pemuda itu begitu... entah bagaimana dia sendiri tidak tahu, pendeknya pandang mata yang membuat jantungnya berdebar serta kedua pipinya terasa panas karena malu. Sikap pemuda ini ia anggap mengejek dan membuat ia merasa makin penasaran!

Dia tidak boleh sampai kalah! Kalau dia kalah, tentu pemuda itu akan memandang rendah kepadanya! Dia harus membuktikan bahwa dia seorang yang mempunyai ilmu silat tinggi, seorang yang lihai, seorang gadis yang jarang terdapat bandingnya!

"Bocah sombong!" Mendadak Yan Cu membentak dan dalam suaranya terkandung isak penasaran dan kemarahan yang makin memanas. Pedangnya berkelebat cepat sekali.

Cong San kaget. Tidak disangka bahwa gadis itu akan menjadi marah lagi, padahal tadi sudah hilang marahnya. Kalau dilanjutkan begini bisa berbahaya, pikirnya. Memang dia mendapat kenyataan bahwa meski pun tingkat ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada gadis itu, tapi selisihnya tidak banyak dan dia hanya bisa mengandalkan kematangannya dalam gerakan. Ilmu silat gadis ini benar-benar dahsyat dan aneh. Untuk merobohkannya pun tidaklah mudah. akan tetapi kalau dipertahankan terus juga akan berlarut-larut dan menjadi berbahaya bagi kedua pihak.

"Nona, sudahlah, Nona... mari kita bicara... aku mengaku kalah...!"

"Siuuuuttttt... singggg... cringggg...!" Kembali pedang bertemu dengan sepasang pit yang disilangkan.

"Tidak! Aku tidak sudi bicara denganmu! Aku tidak sudi kau beri hadiah dengan mengaku kalah! Coba kau kalahkan aku dengan benar-benar kalau mampu! Aku tidak takut mati!" Yan Cu yang merasa penasaran dan merasa malu kalau kalah itu, sudah menyerang lagi.

Melihat pedang itu meluncur ke arah dadanya, Cong San menangkis dengan tangan kiri yang memegang pit warna putih, akan tetapi sengaja mengurangi tenaga hingga pedang lawan itu hanya menyeleweng sedikit ke pinggir dan masih menyerempet pangkal lengan kirinya. Secepat kilat ia pun membarengi dengan menotok pergelangan tangan kanan Yan Cu yang memegang pedang itu dengan pit hitamnya. Yan Cu merasa lengannya lumpuh lantas pedangnya terlepas dari pegangannya!

Cong San berdarah pada pangkal lengan kirinya. Baju hijaunya robek berikut kulit serta sedikit dagingnya. Dia membungkuk, mengambil pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Yan Cu sambil berkata,

"Sudah kukatakan, Nona. Aku mengaku kalah. Agaknya engkau belum puas kalau belum melukai aku."

Sejenak Yan Cu tercengang ketika melihat pangkal lengan dari lawannya berdarah. Akan tetapi sebagai seorang ahli yang mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, dia melihat bahwa luka itu tidak ada artinya sama sekali, hanya luka kulit dan sedikit daging. Dia menerima pedangnya dengan kasar dan berkata lagi,

"Aku belum menang atau kalah! Pedangku jatuh akan tetapi lenganmu terluka. Kita masih belum ada yang menang atau kalah. Hayo lanjutkan!" Yan Cu sudah bersiap lagi dengan pedangnya, ditodongkan ke depan.

Cong San menggeleng kepalanya. "Aku sudah menerima kalah, tidak akan melawan lagi." Berkata demikian, Cong San melemparkan kedua senjatanya ke atas tanah di depan kaki gadis itu.

Sikap pemuda ini mengingatkan Yan Cu kepada sikap Keng Hong yang juga mengalah dan ‘pasrah bongkokan’ kepada Biauw Eng. Maka ia menjadi makin marah. "Kau laki-laki pengecut! Kenapa mengalah begini? Kenapa kau mengalah kepadaku? Hayo lawanlah! Masa ada laki-laki begini lemah? Apakah semua laki-laki menjadi lemah dan pengecut kalau berhadapan dengan wanita?"

Cong San tak mengerti kenapa gadis ini marah-marah seperti ini. Akan tetapi pertanyaan itu dengan tepat menusuk hatinya dan membuat dia sendiri terheran-heran akan sikapnya sendiri. Mengapa berhadapan dengan gadis yang belum dikenalnya ini dia benar-benar telah kehilangan akal? Sampai dia rela mengorbankan diri dilukai dan rela pula mengalah padahal dia tidak bersalah?

"Aku... aku tidak akan melawanmu, Nona."

"Benar? Bagaimana kalau sekarang ini kutusukkan pedangku ke dalam dadamu?" Yan Cu meloncat maju dan ujung pedangnya menyentuh kulit dada di balik baju pemuda itu.

Cong San mengangkat muka, memandang wajah gadis itu. Dua pasang mata bertemu dan Yan Cu merasa aneh.

"Entah mengapa, Nona. Akan tetapi andai kata engkau membunuhku, aku pun rela dan tidak akan melawan."

Yan Cu merasa tubuhnya menjadi lemas. Pedangnya yang menodong segera diturunkan, disarungkannya kembali dan sepintas lalu dia bertanya,

"Apakah engkau jatuh cinta kepadaku?"

Pertanyaan ini sepintas lalu saja, akan tetapi Cong San hampir roboh terjengkang saking kagetnya. Muka pemuda ini menjadi merah sekali sampai ke daun telinganya.

"Aku... aku tidak tahu, Nona. Apakah engkau tahu...?"

"Tahu apa?"

"Tentang... ehhh…, tentang jatuh cinta..."

Yan Cu menggelengkan kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu tentang cinta dan bersama suheng-ku tadinya sedang menyelidiki tentang cinta."

Cong San melompat kaget, teringat akan Keng Hong. "Menyelidiki tentang... cinta...? Di mana dia, Nona? Di mana Cia Keng Hong? Aku diutus oleh suhu untuk membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang jahat."

Yan Cu tertegun dan memandang tajam. "Siapa gurumu?"

Cong San memberi hormat. "Aku bernama Yap Cong San ada pun guruku adalah ketua Siauw-lim-pai."

Sekarang gadis itu terkejut. Kiranya seorang jagoan Siauw-lim-pai! Dan tadi dia mengira seorang kepala perampok!

"Ahhhh, kenapa kau tidak bilang dari tadi? Dan aku telah melukaimu. Hemmm, biarkan kuobati lukamu itu!"

Tanpa menanti jawaban Yan Cu menghampiri Cong San, merobek baju pemuda itu pada bagian pangkal lengan yang luka, lalu memeriksa dan memberi obat bubuk, kemudian membalut luka dengan sehelai sapu tangan bersih. Ia melakukan pengobatan ini dengan cekatan, cepat dan tanpa bicara apa-apa.

Cong San tidak percaya kepada mulutnya sendiri, mengapa dia pun tidak berkata-kata, hanya matanya memandang penuh kagum dan penuh perasaan kepada dara jelita yang mengobati luka di pangkal lengannya itu.

"Terima kasih, Nona. Engkau sungguh amat baik hati..." Cong San berkata dengan suara gemetar.

"Sudahlah, Yap-twako. Maafkan saja aku tadi tidak mengenalmu maka menganggapmu musuh. Tidak perlu terima kasih-terima kasih! Sekarang mari bantu aku membebaskan suheng!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah menarik tangan pemuda itu dan diajak lari cepat.

Tentu saja Cong San girang sekali, akan tetapi dia pun bingung. Terpaksa dia ikut berlari cepat mengimbangi dara jelita yang aneh ini.

"Ehh, Nona... di manakah dia? Di mana Keng Hong, dan siapa yang menangkapnya?"

Sambil berlari-lari cepat Yan Cu menjawab, "Ditangkap seorang gadis dan dibawa pergi!"

Tidak enak bicara sambil berlarian cepat itu. Akan tetapi karena heran Cong San bertanya lagi, "Mengapa? Siapa gadis itu?"

"Gadis yang dicintainya... dia sengaja menyerahkan diri, tidak melawan..." karena sedang mengerahkan tenaga untuk berlari cepat, tentu saja ketika bercakap-cakap, banyak angin memasuki mulut membuat suara Yan Cu terputus-putus dan napasnya megap-megap.

Cong San merasa makin heran dan penasaran. Mendengar Keng Hong ditangkap orang saja sudah merupakan hal yang mengejutkan dan juga mengherankan. Siapa yang dapat menangkap pemuda sakti itu? Kini dia mendengar bahwa yang menangkapnya adalah seorang gadis yang dicintanya! Dan dia menyerah tidak melawan! Tentu saja mendengar ini dia menjadi penasaran.

"Dicinta mengapa menangkap? Mengapa pula dia ditangkap? Apa salahnya?"

Tiba-tiba saja Yan Cu berhenti berlari dan memandangnya dengan mata marah, mulutnya mengomel, "Wah, kau ini amat cerewet seperti seorang nenek-nenek pikun!"

Cong San juga berhenti. Mereka saling berpandangan. Kini pemuda itu mulai mengerti atau sedikitnya mengenal watak Yan Cu, maka dia tidak kaget melihat gadis yang tadi mengobati pangkal lengannya dengan lemah lembut itu kini marah. Dia malah tersenyum dan berkata, "Nona, aku seorang laki-laki, mana mungkin bisa seperti nenek-nenek yang cerewet?"

"Kalau tidak seperti nenek-nenek yang cerewet, mengapa bertanya saja? Lari-lari sambil bicara mana enak?"

"Kalau begitu, kenapa kita tidak berhenti dulu dan bicara yang enak di bawah pohon yang teduh?"

Yan Cu menghapus keringatnya pada leher dengan ujung lengan baju. "Kita harus cepat mengejar suheng, engkau ini memperlambat saja."

"Maaf, Nona. Aku pun ingin sekali segera menolong Keng Hong, akan tetapi aku ingin mendengar dulu siapa yang menangkapnya, dan kenapa dia ditangkap?"

"Baiklah, baiklah. Kalau tidak kuturuti, engkau tentu akan rewel seperti anak kecil minta kembang gula dan mengganggu terus. Nah, dengarkan baik-baik!"

Yan Cu terpaksa ikut duduk di bawah pohon ketika melihat Cong San memberi isyarat dengan tangan kepadanya, mempersilakan duduk di atas akar-akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah. Akan tetapi sesudah mereka berdua duduk berhadapan, keduanya hanya saling pandang dan diam saja.

"Ehh, bagaimana ceritanya, Nona?"

"Kau dulu ceritakan keadaanmu dan bagaimana engkau bisa menjadi sahabat suheng."

Cong San menghela napas. Agaknya gadis ini masih belum percaya benar kepadanya. Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Keng Hong ketika dia menyerbu ke Phu-niu-san untuk membalas dendam Siauw-lim-pai kepada Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dan betapa Keng Hong menyelamatkannya, kemudian mengembalikan dua buah kitab Siauw-lim-pai.

"Ketika aku menyerahkan dua buah kitab itu kepada suhu, suhu lalu memerintahkan aku agar pergi mencari Cia-taihiap dan membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang lihai sebagai pembalas jasa. Nah, sekarang harap kau suka ceritakan keadaan Cia Keng Hong taihiap, Nona."

"Dia ditawan oleh gadis yang dicintanya."

"Mengapa? Dicinta mengapa malah menawannya?"

"Justru karena suheng mencintanya itulah, maka dia menyerahkan diri. Kalau tidak, mana mungkin Sie Biauw Eng itu dapat menawannya?"

"Sie Biauw Eng? Nona maksudkan Song-bun Siu-li puteri dari mendiang Lam-hai Sin-ni?" Cong San bertanya, kaget karena nama Sie Biauw Eng amat terkenal. Apa lagi kalau diingat bahwa Song-bun Siu-li adalah sumoi dari Bhe Cui Im musuh besarnya!

Yan Cu mengangguk. "Bukan dia saja, masih ada seorang lagi yang begini!" Kembali ketika berkata ‘begini’ Yan Cu melintangkan telunjuk di depan dahinya yang berkulit putih halus.

"Gila? Siapakah dia? Mengapa...?"

Yan Cu cemberut. "Mengapa? Pertanyaanmu tak masuk akal dan bodoh. Mana bisa aku tahu mengapa dia gila?"

"Bukan gilanya yang kumaksudkan, Nona. Mengapa Cia-taihiap sampai ditawan?"

"Karena ia dituduh memperkosa si gila itu dan oleh Biauw Eng, ia ditawan untuk dipaksa menikah dengan perempuan gila itu!"

Cong San sedang terpesona memandang wajah itu. Kini setelah dia mengenal sifat baik dara ini, wajah jelita itu semakin menarik. Sepasang mata indah yang kini bersinar-sinar penuh semangat, dengan alis yang hitam kecil menjelirit, bulu mata yang panjang lentik melengkung dan tebal sehingga membentuk garis hitam di seputar matanya. Hidung yang kecil mancung, yang cupingnya dapat bergerak-gerak kembang-kempis apa bila sedang marah.

Dan bibirnya! Ketika bicara bergerak-gerak demikian manisnya, seakan-akan bertetesan madu dari bibir itu, dan sepasang bibir itu bergerak demikian indahnya, seindah seekor kupu-kupu menggerak-gerakan sepasang sayapnya yang beraneka warna, ataukah bagai setangkai bunga mawar jambon tertiup angin, seperti cahaya keemasan bulan purnama bermain di permukaan air telaga? Entah seperti apa, namun yang sudah pasti, sangat manis menarik, sangat indah mempesona.

"Heeeiiii!" Kenapa kau mengangguk-angguk?" Yan Cu membentak heran.

Cong San yang sedang tenggelam dalam hikmat keindahan yang menyentuh perasaan hatinya, bagaikan mabuk arak simpanan yang amat halus kerjanya, tadi dapat mendengar penuturan Yan Cu, akan tetapi hanya setengah-tengah menangkap inti dan artinya. Kini dibentak dia menjadi kaget sekali dan menjawab sekenanya,

"Memang betul! Sudah semestinya mengawini perempuan yang diperkosa!"

Yan Cu langsung meloncat berdiri, dua tangannya dikepal, matanya mengeluarkan sinar berapi-api! Cong San terkejut sekali dan dia pun memandang dengan melongo, masih duduk dan menengadahkan kepalanya seperti orang tersadar dari mimpi.

"Apa kau bilang? Hati-hati engkau menjaga mulut, sembarangan saja bicara!"

"Ehh... aku bicara apakah, Nona? Apa yang salah?"

"Engkau percaya bahwa suheng Cia Keng Hong memperkosa perempuan gila itu?"

Barulah Cong San sadar bahwa yang dibicarakan adalah Keng Hong. Tentu saja dia tidak percaya. Setelah sadar kini dia menjadi pemuda murid Siauw-lim-pai yang tenang dan gagah perkasa kembali. Perlahan dia bangkit berdiri dan menjura, "Maaf, seribu kali maaf, Nona. Demi tuhan, aku tidak percaya bahwa Cia-taihiap melakukan perbuatan sekeji itu. Kalau tadi aku bicara seperti itu, hemmm... aku lupa dan aku hanya mengatakan bahwa siapa pun juga, jika betul dia sudah memperkosa orang, harus bertanggung jawab! Akan tetapi..."

"Suheng tidak diperkosa wanita itu! Itu fitnah belaka!"

Cong San mengangguk. "Tentu begitu. Siapa sih wanita gila itu yang menjatuhkan fitnah keji terhadap Cia-taihiap?"

"Namanya Tan Hun Bwee, suci dari..."

"Tan Hun Bwee...? Ahh, aku tahu! Bukan Cia-taihiap yang memperkosa, melainkan orang lain!"

Bukan main kaget dan girangnya hati Yan Cu. Seketika kemarahannya terhadap Cong San lenyap bagaikan api disiram air, bahkan saking gembiranya dia memegang tangan pemuda itu dan menariknya lari lagi!

"Lekas! mari kita susul mereka!"

Kembali keduanya berlari-larian cepat sekali.

"Nona, nanti dulu..."

"Ssttt...! Jangan cerewet lagi!" Yan Cu memotong.

Cong San terpaksa menelan kembali kata-katanya. Akan tetapi dia tidak tahan. Sepuluh menit kemudian dia memaksa diri bertanya, "Aku hanya ingin mengetahui, siapakah Nona yang menyebut suheng kepada Cia-taihiap. Siapakah namamu, Nona?"

"Namaku Gui Yan Cu, guruku bernama Tung Sun Nio, dahulu isterinya Sin-jiu Kiam-ong. Sudah, cukup!"

Cong San melongo. Mendengar bahwa gadis ini murid bekas isteri Sin-jiu Kiam-ong, dia terheran-heran. Sin-jiu Kiam-ong mempunyai isteri? Baru sekarang ini dia mendengarnya. Karena melongo memandang wajah gadis itu sambil berlari cepat, kakinya tersandung akar pohon dan dia roboh terguling!

Yan Cu berteriak dan cepat menyambar lengannya sehingga pemuda ini tidak sampai terguling ke dalam jurang di sebelah kirinya. Karena tarikannya yang tiba-tiba ini, padahal Cong San tadi ketika akan jatuh telah menggerakkan tubuh, maka tubuhnya bertumbukan dengan tubuh Yan Cu sehingga dua lengan Cong San merangkul pinggang yang ramping itu, ada pun kedua tangan Yan Cu juga memeganginya, yang satu memegang lengannya yang ke dua memegang pundaknya!

"Ihhh! Yan Cu melepaskan pegangannya dan meronta.

"Maaf! Maaf!" Cong San cepat-cepat melepaskan ‘pelukannya’ dan keduanya menjadi tersipu-sipu dengan muka merah sekali.

"Matamu kau taruh di mana sih?" Yan Cu mengomel.

Akan tetapi melihat wajah gadis itu, Cong San maklum bahwa Yan Cu tidak marah, sebab gadis ini pun mengerti bahwa peristiwa itu terjadi di luar kesengajaan Cong San.

"Aku... aku sedang memandangmu, Gui-moi-moi!"

Yan Cu mengerling akan tetapi dia juga tidak marah disebut moi-moi oleh pemuda itu. "Sudahlah, hayo cepat!"

Mereka berlarian lagi, cepat sekali. Wajah Cong San berseri-seri dan dia sendiri merasa heran sekali mengapa mendadak dia merasa sangat gembira, mengapa daun-daun dan rumput di sepanjang jalan yang dilaluinya tampak lebih segar dan lebih hijau di dalam pandang matanya, langit tampak begitu cerah, sinar matahari yang terik terasa hangat dan pemandangan alam tampak jauh lebih indah dari pada biasanya. Selama hidupnya belum pernah Cong San merasa begitu gembira. Betapa nikmat dan bahagianya hidup ini, pikirnya sambil lari mengimbangi kecepatan Yan Cu.

Memang demikianlah Cinta! Amat besar kuasanya atas perasaan manusia. Sekali Cinta menyentuh hati sanubari insan, Cinta menjadi titik terang satu-satunya yang meniadakan segala persoalan hidup, merupakan satu-satunya tujuan hidup penuh dengan hasrat dan harapan, melambungkan cita-cita setinggi angkasa, membuat orang terlena dan terapung muluk, dan satu-satunya hal yang penting dalam hidup hanyalah tercapainya hasrat dan harapannya.

Cinta memang indah, tetapi keindahan yang cemerlang menyilaukan hati sehingga orang terlupa bahwa dalam keindahan itu terdapat lika-liku yang amat ruwet dan rumit, lika-liku yang mudah menyesatkan dan sekali terpeleset, segala kemanisan berubah kepahitan, madu berubah empedu, keindahan berubah keburukan dan kebahagiaan terbang pergi, kegembiraan berganti kedukaan!

Cinta! Bagaikan pohon kembang, indah sekali, namun sesungguhnya mengandung duri, mengandung ulat dan mudah pula layu. Jika pandai merawatnya, menghindarkan durinya, pandai memupuknya, barulah akan subur dan semakin indah!


                 ***************


"Tar-tar-tar!"

Ujung sabuk sutera di tangan Biauw Eng melecut tiga kali dan mengenai kedua pipi dan leher Keng Hong. Pemuda ini menerima lecutan ujung cambuk itu dengan mata terbuka dan bibir tersenyum, sedikit pun tidak mengerahkan sinkang-nya sehingga kulit pipi dan lehernya pecah berdarah!

"Sumoi jangan pukul dia!" Tiba-tiba Hun Bwee menubruk maju dan memukul Biauw Eng.

Biauw Eng cepat mengelak dan berkata, “Suci, aku hanya ingin memaksa dia mengakui perbuatannya yang keji terhadap dirimu. Engkau diperkosa olehnya, bukan?"

Hun Bwee berhenti menyerang, sejenak memandang Keng Hong dengan mata liar namun membayangkan kemesraan. Dia maju berlutut, kemudian menggunakan sapu tangannya menghapus darah yang mengalir di pipi dan leher pemuda itu.

"Koko..., sakitkah...? Ahhh, kasihan kau..." Hun Bwee mengusap kedua pipi Keng Hong dengan sentuhan jari tangan mesra. Diam-diam Keng Hong menjadi terharu sekali dan dia mengutuk Lian Ci Tojin dalam hatinya.

Hun Bwee bangkit berdiri menghadapi Biauw Eng. Gadis ini terkejut melihat sinar mata suci-nya, maklum bahwa suci-nya itu sedang kumat lagi gilanya! Akan tetapi dia menjadi terharu pula menyaksikan sikap Hun Bwee tadi terhadap Keng Hong, dan anehnya, di samping rasa haru terhadap Hun Bwee, ada pula rasa marah yang luar biasa terhadap Keng Hong. Dia hampir menjerit dan menangis ketika menyaksikan mesranya sentuhan-sentuhan tangan Hun Bwee pada pipi dan leher Keng Hong!

"Sumoi, kalau kau memukulnya lagi, kubunuh kau!"

Biauw Eng menghela napas panjang. Kalau suci-nya sedang kumat begini, dia harus mengalah. "Baiklah, Suci. Aku tidak akan memukulnya, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah memperkosamu."

Dia lalu menghadapi Keng Hong yang berdiri sambil tersenyum dan memandang Biauw Eng dengan sinar mata penuh kemesraan. Diam-diam Keng Hong merasa kasihan dan terharu sekali terhadap Biauw Eng. Dia mengerti betapa tersiksanya hati kekasih hatinya itu, seolah-olah dia dapat merasakan kepedihan hati gadis itu, jauh lebih pedih dari pada pipi dan lehernya.

"Cia Keng Hong, engkau seorang laki-laki, tetapi kenapa begini pengecut? Engkau sudah melakukan banyak hal memalukan dengan banyak wanita, kenapa sekarang engkau tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa Suci? Hayo mengakulah bahwa engkau telah memperkosanya!"

"Biauw Eng, di dalam hati nuranimu engkau pun tentu tidak percaya bahwa aku sudah memprkosa nona Tan Hun Bwee. Aku tidak melakukannya, bagaimana harus mengaku?"

"Bohong!" Biauw Eng membentak. "Siapa tidak mengenalmu? Engkau seorang laki-laki mata keranjang, seorang laki-laki hidung belang! Dan engkau juga seorang laki-laki cabul! Engkau bermain gila dengan wanita mana pun juga! Hayo berlutut dan mohon ampun kepada Suci!"

Keng Hong tersenyum dan menggelengkan kepala. "Aku tidak merasa bersalah terhadap wanita mana pun juga, kecuali kepadamu, Biauw Eng. Kalau aku disuruh minta ampun kepadamu, biar harus berlutut selamanya aku bersedia melakukannya! Akan tetapi, tidak kepada wanita lain karena aku tidak merasa bersalah."

"Oohhhh...!" Jeritan ini keluar dari mulut Hun Bwee dan gadis ini menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis. Agaknya ucapan Keng Hong membuat dia sadar dan ucapan penyangkalan itu menusuk perasaannya.

Biauw Eng marah sekali.

"Tar-tarrr...!"

Dua kali ujung sabuk menotok jalan darah di kedua pundak Keng Hong dan pemuda ini terguling roboh. Mukanya berkerut-kerut menahan rasa nyeri, akan tetapi mulutnya tetap berusaha untuk tersenyum dan pandang matanya selalu ditujukan kepada Biauw Eng dengan sinar penuh cinta kasih.

Karena maklum bahwa kini Hun Bwee sudah sadar dan tak akan menghalanginya, Biauw Eng melangkah maju. "Pengecut! Kalau engkau tidak mengaku, aku akan menyiksa dan memaksamu!" Ujung sabuk di tangannya tergetar dan dengan sekali tarik, dia membuat tubuh Keng Hong terseret dekat kakinya.

Keng Hong berlutut dan menengadah, memandang wajah Biauw Eng. Apa pun yang akan dilakukan Biauw Eng terhadap dirinya, akan diterimanya dengan senang hati. Dia sudah melakukan banyak kesalahan terhadap gadis ini dan tidak ada hukuman baginya yang cukup berat untuk menebus kesalahannya itu.

Kalau dia ingat betapa gadis ini sangat mencintainya, dan telah melakukan pengorbanan-pengorbanan sungguh pun hatinya sudah dibikin sakit oleh hubungan cintanya dengan gadis-gadis lain. Betapa Biauw Eng membelanya di Kun-lun-pai, mengorbankan dirinya sendiri. Betapa gadis ini masih terus mencinta dan menantinya sampai bertahun-tahun pada saat dia menghilang dalam tempat rahasia gurunya. Kemudian betapa semua cinta kasih yang amat mendalam itu, semua pengorbanan gadis itu bahkan dia balas dengan penghinaan-penghinan!

"Biauw Eng, jangankan hanya menyiksa, biar kau membunuhku, aku akan rela mati di tanganmu, hitung-hitung menebus dosaku kepadamu, Biauw Eng!"

"Desssss…!”

Sebuah tendangan mengenai dada Keng Hong, membuat pemuda itu terjengkang dan sejenak tak dapat bernapas. Biar pun dia tidak mengerahkan sinkang, namun hawa sakti di tubuhnya yang amat kuat sudah secara otomatis bergerak sendiri melindungi rongga dada sehingga tendangan itu tidak mendatangkan luka berat di dalam dadanya.

Ujung sabuk sudah diputar-putar di tangan Biauw Eng. "Mengakulah! Mengakulah... dan nyatakan kesediaanmu mengawini Suci atau... hemmmm...kuhancurkan kepalamu...!"

Keng Hong yang sudah berlutut lagi menggeleng kepala dan tersenyum. "Hanya engkau di dunia ini satu-satunya wanita yang kucinta, Biauw Eng. Mana mungkin aku menikah dengan wanita lain?"

"Wuuuuut...! Plakkk!" Ujung sabuk yang sudah menyambar ke arah kepala Keng Hong itu tertangkis oleh pedang hitam di tangan Hun Bwee.

Dua orang gadis itu saling pandang. Hun Bwee sudah tak kumat lagi, kini mukanya agak pucat akan tetapi matanya bersinar-sinar. "Sumoi, engkau tidak berhak membunuhnya! Apa bila ada orang yang akan membunuhnya, maka satu-satunya orang itu adalah aku sendiri!"

Biauw Eng menghela napas panjang dan kembali memaki Keng Hong, "Laki-laki tidak setia, pengecut dan tidak tahu malu. Lihat betapa Suci yang telah kau rusakkan hatinya itu masih selalu melindungimu? Dan engkau... engkau... ahhh!" Biauw Eng membalikkan tubuh, cepat menggunakan ujung sabuknya menghapus dua titik air mata yang meloncat ke luar.

Sementara itu, Hun Bwee yang kini sudah sadar, memandang Keng Hong yang masih berlutut lantas berkata, "Cia Keng Hong, engkau menjadi tawanan kami, tahukah engkau mengapa kami menawanmu dan hendak menyeretmu ke depan kaki guru kami?"

Keng Hong bangkit berdiri, kedua tangannya masih dibelenggu oleh ujung sabuk sutera putih yang kini ujung lainnya sudah dilepaskan ke tanah oleh Biauw Eng sesudah tadi dipakai untuk menghapus air matanya. Dia memandang gadis baju merah itu, diam-diam dia terheran karena seingatnya Tan Hun Bwee dahulu berpakaian hijau.

"Aku tidak tahu, nona Tan. Siapakah gurumu?"

"Subo Go-bi Thai-houw disakitkan hatinya oleh Sin-jiu Kiam-ong. Karena sekarang Sin-jiu Kiam-ong gurumu sudah meninggal dunia, maka engkau sebagai muridnya harus kami bawa kepada subo."

"Hemmm, sungguh tidak adil. Urusan antara guruku dan gurumu tak ada sangkut pautnya dengan aku, mengapa aku yang harus dibawa menghadap?"

"Demikianlah kehendak guruku. Akan tetapi urusan guruku itu tidaklah seberapa penting kalau dibandingkan dengan urusanku sendiri. Kita sama tahu apa yang telah terjadi pada pertemuan kita pertama kali. Semenjak dulu engkau menyangkal, dan dahulu aku tidak berdaya melawanmu. Akan tetapi sekarang lain lagi! Aku sudah mewarisi ilmu subo dan kalau kau tetap menyangkal, terpaksa aku akan membunuhmu di sini juga dan tidak akan membawamu kepada subo. Cia Keng Hong, apakah engkau masih hendak menyangkal bahwa engkau dahulu telah... memperkosaku?"

Berbeda ketika dia menghadapi tuduhan Biauw Eng tadi, kini Keng Hong memandang Hun Bwee dengan mata bersinar penuh penasaran dan suaranya lantang saat menjawab, "Tan-siocia! Biar aku bersumpah demi Tuhan dan disaksikan Bumi dan Langit bahwa aku tidak pernah memperkosamu! Kalau memang aku melakukan hal itu, perlu apa aku harus menyangkal?"

"Hemmmm..., kalau bukan engkau, siapa lagi?"

Keng Hong menggeleng kepala, tidak menjawab. Dia dapat menduga bahwa tentu Lian Ci Tojin yang melakukan perbuatan terkutuk itu, akan tetapi karena dia tidak menyaksikan dengan mata sendiri, bagaimana dia akan menuduh orang lain?

Tan Hun Bwee menjadi marah. "Jadi engkau tetap menyangkal?'

"Aku tidak melakukannya!"

"Dan engkau tidak mau mempertanggung jawabkannya dan menikah dengan aku?"

"Aku tidak akan menikah dengan orang lain kecuali Biauw..." Keng Hong menghentikan kata-katanya sebab sinar hitam pedang Hun Bwee telah menyambar ke dadanya dengan sebuah tusukan kilat.

Cepat pemuda yang sepasang tangannya masih terbelenggu ke belakang ini mengelak dengan loncatan ke kiri. Pedang hitam itu tidak mengenai dadanya, akan tetapi dengan gerakan aneh, cepat dan kuat sekali Hun Bwee melanjutkan serangannya, menubruk dan mengirim tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan secara bertubi-tubi.

Pedang Hek-sin-kiam berubah menjadi gulungan sinar hitam yang ganas sekali, bagaikan seekor naga hitam menyambar-nyambar dan terus mengejar ke mana pun Keng Hong meloncat untuk menghindarkan diri. Dalam keputus asaan dan kemarahannya, Hun Bwee mnyerang dengan niat membunuh pemuda itu.

Biauw Eng yang mendengar suara pedang suci-nya bercuitan, sudah membalikkan tubuh lagi dan hanya berdiri memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus berkata apa, bahkan dia tidak tahu apa yang tergerak di hati dan pikirannya. Ia menjadi bingung dan gelisah!

Keng Hong mengelak sambil berloncatan ke sana sini. Setelah memperhatikan gerakan pedang Hun Bwee, diam-diam dia terkejut. Memang jauh sekali bedanya ilmu kepandaian puteri Tan-piauwsu ini dahulu dan sekarang. Gerakan pedangnya sekarang ini amatlah anehnya. Biar pun dia sudah banyak mempelajari ilmu silat tinggi dari kitab-kitab pusaka peninggalan gurunya, namun harus dia akui bahwa dia belum pernah membaca tentang ilmu pedang yang begini ganas dan anehnya.

Meski pun dengan mengandalkan ginkang-nya yang tingkatannya jauh lebih tinggi, namun dia mengerti bahwa kalau dia harus terus berloncatan mengelak dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang, akhirnya dia akan celaka. dan dia yang rela serela-relanya mati di tangan Biauw Eng, tentu saja tidak sudi untuk mati konyol di tangan gadis gila yang menuduhnya memperkosanya itu.

"Tan-siocia! Jangan mendesak orang yang tak bersalah. Hentikanlah seranganmu!" Keng Hong berteriak. Akan tetapi sebaliknya dari pada menghentikan serangan, Hun Bwee malah memperhebat gerakan pedangnya.

Tiba-tiba Keng Hong mengeluarkan seruan perlahan dan... kedua tangannya yang tadi dibelenggu oleh ujung sabuk sutera telah lolos tanpa merusak sabuk. Barusan dia telah menggunakan ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Melepas Tulang Melepaskan Diri) sehingga kedua lengannya dapat lolos. Kini melihat datangnya sinar hitam ke arah lehernya, dia miringkan tubuh, tangan kirinya bergerak ke depan dan mempergunakan jari tangannya menjentik pedang.

"Cringgggg... aihhhhh...!"




Tubuh Hun Bwee terhuyung ke belakang karena pedang yang dijentik jari tangan Keng Hong tadi membuat tangannya tergetar hebat dan tanpa ia ketahui, tahu-tahu pundaknya sudah ditepuk perlahan oleh Keng Hong, membuat separuh tubuhnya bagaikan setengah lumpuh kehilangan tenaga!


"Berani engkau melukai Suci?" Biauw Eng meloncat maju dan memukul dada Keng Hong.

"Dessssss!" Tubuh Keng Hong roboh.

Melihat hal ini, Hun Bwee sudah berteriak nyaring, pedangnya berkelebat dan tubuhnya meloncat maju menubruk dan mengirim tusukan ke arah perut Keng Hong yang karena pukulan keras Biauw Eng tadi agaknya nanar dan takkan dapat menyelamatkan diri lagi.

"Tranggggg...!"

"Sumoi! Engkau malah membela dia?"

Hun Bwee marah sekali ketika pedangnya ditangkis oleh ujung sabuk Biauw Eng. Saking marahnya Hun Bwee segera menyerang Biauw Eng dengan menyabetkan pedangnya ke leher sumoi-nya itu. Biauw Eng cepat mengelak dan ketika pedang menyambar lagi ke arah kaki, dia meloncat tinggi ke belakang sambil berseru,

"Tahan, Suci! Aku bukan membelanya. Akan tetapi kalau kau membunuhnya, berarti kita akan mendapat marah besar dari subo, dan kedua kalinya, engkau akan kehilangan calon suami. Apa lagi dia belum mengaku!"

Tiba-tiba Hun Bwee tersentak kaget, menyarungkan pedangnya lalu menangis, berlutut menghadapi Keng Hong, "Ahhh, suamiku... suamiku, kekasihku..."

Biauw Eng bernapas lega. Suci-nya kumat lagi, akan tetapi kini jiwa Keng Hong terbebas dari kematian. Keningnya berkerut. Mengapa ia membela Keng Hong? Mengapa tidak ia biarkan saja Keng Hong mati di tangan Hun Bwee? Ia membiarkan Hun Bwee menangis menutupi mukanya, lalu ia menghampiri Keng Hong.

Pemuda itu sudah bangkit duduk dan tersenyum kepadanya. "Terima kasih, Biauw Eng. Engkau telah menyelamatkan nyawaku."

Ucapan dan senyum itu merupakan ejekan bagi Biauw Eng, seakan-akan pemuda itu mengejek dan menyatakan bahwa gadis itu masih mencintanya! Hal ini membuat Biauw Eng menjadi marah.

"Apa?! Kau kira aku membela dan menyelamatkanmu? Hemmm... aku lebih suka melihat engkau mati!"

Keng Hong kini memang benar-benar hendak menggodanya. Ia pun merasa penasaran kenapa Biauw Eng yang tepat seperti dikatakan Yan Cu sebelum mereka berpisah, amat mencintanya dan masih mencintanya itu kini hendak memaksa melawan hatinya sendiri. Padahal baru saja terbukti jelas telah membelanya dan menyelamatkannya dari kematian. Ia tersenyum lebar dan menggoda,

"Jika begitu, kenapa engkau lebih suka melihat aku mati, Moi-moi?" Ia menyebut moi-moi dengan suara yang amat mesra.

Wajah Baiuw Eng menjadi merah. "Kau kira aku tidak tega membunuhmu?"

Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Engkau tak akan membunuhku, Moi-moi, karena engkau mencintaku, seperti juga aku mencintamu!"

"Keparat bermulut palsu!" Biauw Eng meloncat maju dan kedua tangannya bergerak cepat sekali-berturut-turut menotok jalan darah kematian di leher dan dada Keng Hong.

"Cusss-cusss!"

Tepat sekali jari-jari kedua tangannya menotok jalan darah di kedua tempat berbahaya itu. Keng Hong mengeluarkan suara tertahan, matanya mendelik, tubuhnya berkelojotan dan akhirnya… tubuh itu diam tak bergerak lagi, kedua matanya terpejam, napasnya terhenti!

Wajah Biauw Eng yang tadinya sangat merah, sekarang berubah pucat sekali. Matanya terbelalak memandang Keng Hong, kemudian dengan dua tangan gemetar ia memeriksa, membuka kelopak mata Keng Hong.

Mata itu tidak bersinar lagi. Ia mendekatkan tangan ke depan hidung yang tidak bernapas lagi, meraba pergelangan tangan, akan tetapi nadi tangan tidak berdetak lagi! Keng Hong telah mati!

"Keng Hongggg...!" Biauw Eng menjerit dan menubruk dada pemuda itu sambil menangis sesenggukan, kemudian malah menggerung-gerung.

"Keng Hong...! Apa yang telah kulakukan ini...? Keng Hongggggg...!" Dia memeluki dada merangkul leher, mencium muka yang pucat itu dan air matanya membasahi seluruh pipi, hidung, mulut dan leher Keng Hong.

"Keng Hong... ahhh, Keng Hong... aku sudah membunuhmu... kau bawalah aku serta...! Keng Honggggg...!" Biauw Eng terisak-isak dan mendekapkan mukanya pada muka Keng Hong, kepala, lehernya dan ke dadanya. Sementara itu, Hun Bwee yang masih kumat itu masih berlutut menangis dengan muka tersembunyikan di belakang kedua tangan.

"Moi-moi... marilah kau ikut bersamaku, Moi-moi..."

Tangis Biauw Eng makin menjadi. Itulah bisikan suara Keng Hong! Tentu dari alam baka! Roh Keng Hong yang baru saja meninggal mengajaknya! Ia memeluk tubuh itu lebih erat lagi.

"Keng Hong... Koko... bawalah aku... aku ikut denganmu... aku ikut denganmu! Bawalah aku mati bersamamu...!"

"Hussshhhhh, bukan mati bersama, melainkan hidup berdua! Marilah kita hidup bersama meneguk nikmat kebahagian... kekasihku..."

Seketika isak tangis Biauw Eng terhenti. Bisikan itu keluar dari mulut Keng Hong, dekat sekali dengan telinganya! Dan tangan ini...? Tangan Keng Hong membelai rambutnya? Mengusap air matanya? Cepat seperti tersentak kaget Biauw Eng mengangkat mukanya, menoleh, memandang dan... ia melihat Keng Hong tersenyum penuh haru kepadanya dan dari mata pemuda itu bertitik keluar dua tetes air mata! Keng Hong masih hidup!

Dia tidak tahu bahwa pemuda ini mempunyai tenaga sinkang yang bukan main kuatnya sehingga biar pun totokannya tadi tepat mengenai jalan darah maut, namun tidak dapat menembus benteng pertahanan hawa sakti yang otomatis bergerak di tubuh pemuda itu melindungi jalan darah. Akan tetapi Keng Hong yang merasa penasaran mengapa Biauw Eng setega itu hatinya, menggunakan kepandaiannya dan berpura-pura mati!

"Kau...! Kau...!”

“Plak! Plak!”

Dua kali pipi Keng Hong kena ditampar dan Biauw Eng meloncat bangun, mengeluarkan sabuk hitam dan membelenggu tubuh Keng Hong seperti orang mengikat kue bakcang! Sabuk hitam ini memang sengaja dibawa untuk menawan Keng Hong dan terbuat dari pada kulit yang amat kuat.

Keng Hong menyerah dan hanya tersenyum-senyum karena dia merasa tubuhnya masih seperti diayun-ayun di sorga ke tujuh bila dia teringat betapa tadi Biauw Eng memeluknya, menciuminya, menangisinya, serta minta diajak mati! Tidak dapat dia bayangkan betapa cinta kasih Biauw Eng sepanas itu! Gadis jelita yang begini mencintainya dan dia... masih main gila dengan segala macam wanita seperti Cui Im! Benar-benar dia layak mampus!

Sesudah tubuh Keng Hong diikat dan dibelit-belit dengan sabuk kulit yang kuat itu, hati Biauw Eng masih belum puas. Ditotoknya Keng Hong di tiga tempat dan kini dia merasa bahwa totokan-totokannya itu berhasil membuat tubuh Keng Hong menjadi lumpuh.

Hun Bwee berhenti menangis. Melihat Keng Hong sudah diikat seperti itu, dia berkata, "Sumoi, kulihat orang ini tidak berjantung. Mengapa susah payah membawanya kepada subo? Betapa kau paksa juga tidak mungkin dia akan mau menjadi suamiku. Subo hanya membutuhkan bukti. Kalau kita penggal kepalanya lalu bawa kepalanya itu kepada subo, kurasa subo akan puas dan kita tidak susah payah membawanya."

"Jangan, Suci. Kalau begitu, dia akan keenakan. Memang dia ingin mampus, akan tetapi aku ingin melihat dia menderita. Biarlah kita serahkan kepada subo saja, dan kelak untuk membunuhnya masih belum terlambat."

"Suci-mu benar, Eng-moi. Jika engkau tidak membunuhku sekarang, makin lama engkau makin tersiksa hatimu. Aku tahu betapa besar engkau mencintaku, Moi-moi, dan engkau pun tahu betapa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku."

"Keng Hong, tidak perlu aku berpura-pura. Memang aku pernah mencintamu dan masih mencintamu, bahkan akan mencintamu selamanya. Aku adalah seorang yang memegang kesetiaan, tidak seperti engkau yang hanya mencinta karena dorongan nafsu binatangmu! Kau ingat, tubuhku telah dimiliki mendiang Sim Lai Sek!"

Keng Hong tersenyum. "Memang dahulu aku bodoh, sebodoh-bodohnya. Aku mencinta engkau, mencinta pribadimu, bukan hanya mencinta tubuhmu. Jangankan baru seorang Lai Sek, biar ada seribu orang aku tetap yakin bahwa cinta kasih di hatimu hanya untukku seorang, seperti juga cinta kasihku hanya untukmu."

Untuk sesaat mereka berpandangan. Jantung di rongga dada Keng Hong berdebar-debar penuh harapan ketika dia melihat sinar Biauw Eng sama seperti dahulu sebelum gadis ini marah kepadanya, sinar mata yang penuh kemesraan, sinar mata yang membayangkan sorga bagi kehidupannya.

Akan tetapi perlahan-lahan mata yang bening indah itu berkaca-kaca, basah, kemudian berderailah beberapa butir air mata bagai mutiara-mutiara lepas dari untaiannya. Pelupuk matanya tertutup memeras air mata terakhir, dua baris bulu mata bertemu dan merapat sampai lama. Setelah mata itu terbuka kembali, maka lenyaplah kemesraan yang tadi dan terbayang pandang mata yang dingin.

"Keng Hong, tidak perlu lagi engkau merayuku dengan ucapan manis-manis, dengan janji muluk-muluk. Tidak perlu lagi engkau mengoles bibirmu dengan madu merah memikat karena aku tahu bahwa semua kemanisan itu mengandung racun. Apa pun yang terjadi, tak dapat aku membiarkan penderitaan Suci tidak terobati. Suci sudah kau perkosa dan engkau harus menjadi suaminya."

"Aku tidak memperkosanya."

"Itu adalah pengakuanmu, akan tetapi Suci tidak akan menjatuhkan fitnah tanpa dasar kepadamu. Sudahlah, biar subo yang akan memberi keputusan nanti."

Dengan suara dingin Keng Hong berkata, "Biauw Eng, engkau pun tak perlu mengingkari bisikan hatimu sendiri. Aku cinta kepadamu dan engkau ini percaya kepadaku, akan tetapi engkau memaksa dirimu sendiri untuk menghancurkan kepercayaanmu. Engkau percaya pula bahwa aku tidak memperkosa nona Tan Hun Bwee, akan tetapi engkau memaksa diri untuk lebih percaya kepada keterangan Suci-mu yang sudah menderita sakit jiwa ini. Engkau sengaja hendak merusak kebahagiaan kita berdua. Aku tidak menyesal, Biauw Eng, karena aku rela menebus segala dosa dan kesalahanku yang amat besar terhadap dirimu. Hanya aku kasihan kepadamu..."

Biauw Eng hanya terisak-isak, tak mampu menjawab karena apa yang dikatakan pemuda itu tepat sekali, setiap kata-kata menusuk menembus dadanya, mengiris hati menyayat-nyayat jantung.

"Dia memperkosaku! Cia Keng Hong, engkau memperkosaku!" Tiba-tiba Tan Hun Bwee berteriak.

"Tidak benar!" Tiba-tiba terdengar suara lantang dan muncullah Cong San dan Yan Cu!

Yang berteriak itu adalah Cong San. Pemuda ini berdiri tegak sambil memandang dengan kagum kepada Biauw Eng dan dengan mata mengandung hati iba kepada Hun Bwee. Dia adalah seorang pemuda yang cerdik, karena itu sekali pandang saja maklumlah dia akan keadaan wanita berpakaian merah itu. Wanita ini menjadi korban perkosaan sehingga menjadi miring otaknya dan kini Keng Hong yang kejatuhan fitnah sebagai pemerkosanya!

"Cia Keng Hong taihiap sama sekali bukan tukang perkosa! Tidak benar kalau dikatakan dia yang memperkosa. Nona, engkau tentulah nona Tan Hun Bwee, bukan? Dengarlah! Aku tahu bahwa yang memperkosamu adalah Lian Ci..."

"Yap-twako...!" Keng Hong berteriak memotong keterangan pemuda murid Siauw-lim-pai itu. "Harap jangan mencampuri urusan ini. Sumoi, mau apa kau kembali lagi dan... bagai mana bisa bersama Yap-twako?"

"Kau bohong!" Hun Bwee menjerit. "Yang memperkosaku adalah Cia Keng Hong! Tidak ada orang lain!" Sambil berkata demikian, Hun Bwee melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang Cong San.

Pemuda ini terkejut menyaksikan gulungan sinar hitam yang sangat cepat itu. Cepat dia meloncat jauh ke belakang. Saat Hun Bwee mengejarnya, Cong San telah mengeluarkan senjatanya, sepasang Im-yang-pit dan bertandinglah mereka dengan seru.

“Sumoi, kenapa kau tidak mentaati permintaanku?" Keng Hong menegur Yan Cu.

Gadis itu tersenyum dan berkata, "Suheng, mana mungkin aku harus berpangku tangan saja sedangkan engkau terjatuh dalam tangan dua orang wanita yang menderita penyakit jiwa? Tan Hun Bwee ternyata gila akibat peristiwa pemerkosaan yang bukan kau lakukan, sedangkan Enci Biauw Eng ini juga gila karena melawan perasaan hati sendiri!"

“Bocah langcang, mulutmu harus ditampar!” Biauw Eng berseru dan tangannya langsung menyambar ke arah pipi kiri Yan Cu.

“Eng-moi, jangan…!” Keng Hong hanya dapat berseru mencegah sebab seluruh tubuhnya dalam keadaan terlibat sabuk kulit hitam sehingga tidak mampu bergerak.

Namun, mendengar seruan Keng Hong itu, hati Biauw Eng bahkan terasa panas karena menganggap bahwa Keng Hong hendak membela sumoi-nya yang cantik itu. Hati gadis ini terbakar api cemburu! Karena itu dia tidak mau menghentikan gerakan tangannya.

Tentu saja Yan Cu tidak membiarkan pipinya yang halus kemerahan itu ditampar orang. Segera dia melangkah mundur sambil tangannya bergerak menghunus pedang pusaka milik Hoa-san-pai. Sinar putih langsung berkelebat ketika Yan Cu membabatkan Hoa-san Po-kiam ke arah pergelangan tangan Biauw Eng yang hendak menampar pipi kirinya.

Melihat pedang pusaka yang ampuh berkelebat menyerang lengannya, Biauw Eng tidak mau sembrono. Dia cepat menarik pulang tangannya yang sedang menampar, dan kedua gadis cantik jelita itu lantas bertempur dengan serunya.

"Hentikanlah...! Hentikanlah...!" Berkali-kali Keng Hong berteriak keras, akan tetapi sia-sia saja. Empat orang itu bertanding makin seru dan mati-matian.

Keng Hong maklum bahwa baik Cong San mau pun Yan Cu tidak akan menang melawan Biauw Eng dan Hun Bwee yang amat lihai dan yang memiliki ilmu silat amat aneh itu. Dia bersiap untuk mencegah jatuhnya korban dalam pertandingan yang tidak dikehendakinya itu, akan tetapi tiba-tiba saja wajah Keng Hong berubah ketika dia melihat berkelebatnya bayangan beberapa orang yang gerakannya cepat sekali.

Memang benar wawasan Keng Hong. Yap Cong San terdesak hebat oleh gulungan sinar hitam dari pedang di tangan Hun Bwee. Pemuda murid ketua Siauw-lim-pai ini merasa heran dan terkejut sekali menyaksikan permainan pedang yang luar biasa anehnya, apa lagi ketika Hun Bwee mulai terkekeh-kekeh dalam penyerangannya, membacok dengan punggung pedang, kadang-kadang malah memukulnya dengan gagang pedang, dan lebih gila lagi, ujung pedang yang runcing itu beberapa kali mengancam leher gadis itu sendiri!

Justru serangan-serangan aneh inilah yang beberapa kali hampir saja mencelakakan Cong San. Akhirnya pemuda Siauw-lim-pai ini maklum bahwa ilmu pedang lawannya amatlah kukoai (janggal) dan amat berbahaya, maka dia lalu bersilat dengan tenang dan mencurahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melindungi tubuhnya. Ilmu silat Siauw-lim-pai amat terkenal dalam gaya pembelaan diri sehingga keadaan Cong San seumpama batu karang yang kokoh kuat dapat menahan segala gempuran ombak membadai dari serangan-serangan aneh Hun Bwee.

Keadaan Yan Cu lebih payah lagi. Tingkat kepandaiannya kalah jauh kalau dibandingkan dengan Biauw Eng yang mempunyai tingkat kepandaian lebih tinggi dari pada tingkat Hun Bwee. Untung bahwa Biauw Eng bukanlah seorang yang berwatak keji.

Tadinya memang dia merasa cemburu terhadap gadis ini. Siapa yang tak akan cemburu melihat gadis yang demikian cantik jelita ini hingga dia sendiri pun sebagai wanita merasa tertarik, apa lagi Keng Hong seorang pemuda yang mudah kagum akan keindahan wajah dan tubuh wanita?

Akan tetapi sesudah mendengar ucapan-ucapan Yan Cu ketika hendak pergi, dia maklum bahwa gadis ini mempunyai watak yang mulia dan jujur sehingga kini dia tidak tega untuk membunuhnya. Apa bila Biauw Eng ingin membunuhnya, agaknya pertandingan di antara mereka tak akan berlangsung terlalu lama. Akan tetapi, untuk merobohkan Yan Cu tanpa melukai berat, bukanlah suatu hal yang mudah karena tingkat ilmu silat yang dimiliki Yan Cu sudah cukup tinggi, apa lagi dia menggunakan sebatang pedang pusaka yang ampuh!

Mengapa wajah Keng Hong berubah ketika dia melihat bayangan-bayangan berkelebat? Ternyata bayangan-bayangan yang sekarang telah berada di tempat itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Lian Ci Sengjin, Kiam-to Lai Ban dan Thian It Tosu!

Melihat munculnya orang-orang ini, Cong San terkejut bukan main. Dia cepat meloncat ke belakang dan berteriak berkali-kali, "Tahan...!"

Akan tetapi orang yang sudah kacau pikirannya seperti Hun Bwee itu mana mau berhenti. "Jai-hwa-cat!" Ia memaki dan menerjang terus, mendesak dengan pedang hitamnya.

Tentu saja Cong San kembali harus menggerakkan Im-yang-pit dengan marah karena dia ikut-ikutan dimaki sebagai penjahat cabul oleh wanita gila yang agaknya amat membenci penjahat-penjahat cabul dan menganggap semua lelaki yang menjadi musuhnya sebagai penjahat cabul! Kembali mereka bertanding dengan seru.

Ada pun Biauw Eng yang mengenal Cui Im, kaget sekali dan juga marah. Akan tetapi Yan Cu yang sudah marah itu ketika melihat keraguan Biauw Eng, malah mendesak dengan pedangnya! Pertandingan yang seru itu membuat empat orang ini celaka sendiri.

Sambil tertawa-tawa Cui Im bergerak ke depan dan di lain saat Biauw Eng dan Yan Cu telah roboh ditotok oleh Cui Im yang amat lihai. Bila saja Biauw Eng tidak sedang didesak Yan Cu, agaknya tidaklah akan mudah begitu saja bagi Cui Im untuk merobohkannya. Ada pun Cong San dan Hun Bwee juga roboh oleh totokan Pat-jiu Sian-ong yang dibantu oleh Thian It Tosu.

"Hi-hi-hik! Kiranya si tampan ini sudah lebih dulu roboh oleh dara-dara manis ini!" Cui Im terkekeh-kekeh girang sambil menudingkan telunjuknya kepada Keng Hong yang masih rebah dengan tubuh terbelit-belit sabuk kulit hitam, sama sekali tidak mampu bergerak.

"Nah, itu dia!" Tiba-tiba Cong San yang tertotok lumpuh itu berseru, matanya memandang ke arah Lian Ci Sengjin. "Perempuan gila Tan Hun Bwee, engkau menuduh Keng Hong! Hemmm, dia itulah laki-laki yang sudah memperkosamu! Lihat baik-baik, apakah engkau tidak ingin lagi?"

Mendengar ucapan ini, Biauw Eng, Hun Bwee dan juga Yan Cu mengikuti pandang mata pemuda itu, semua memandang kepada Lian Ci Sengjin yang berdiri dengan muka pucat. Cui Im juga menengok ke arah Lian Ci Sengjin yang terbelalak pucat memandang ke arah wanita baju merah.

Kemudian Cui Im tertawa terkekeh-kekeh, "Heh-heh-hi-hi-hik! Lian Ci Sengjin, seleramu ternyata boleh juga! Memang dia itu cukup denok montok dan cantik! Jangan khawatir, dia kini sudah tertawan dan engkau boleh memiliki dia sepuas hatimu, hi-hi-hi-hik! Tidak perlu memperkosa lagi!"

Akan tetapi Lian Ci Sengjin tidak segembira yang disangka Cui Im. Sebaliknya dia berdiri terbelalak dengan muka pucat dan sikap penuh kengerian karena pada saat itu Hun Bwee memandangnya dengan mata yang liar.

"Kau...! Kau...! Kau tosu yang menawanku... kiranya engkau...! Ya benar... demi Tuhan...! Engkaulah orangnya! Terkutuk...!" Gadis ini mengeluarkan lengking mengerikan kemudian roboh pingsan!

Sejak tadi hati Lian Ci Sengjin diliputi perasaan ngeri mengingat sikap dan pandang mata gadis yang dulu telah diperkosanya. Sekarang begitu melihat Tan Hun Bwee roboh dalam keadaan pingsan, secara diam-diam dia mencabut pedangnya dan langsung menusukkan pedang itu ke tubuh yang tergeletak di tanah, tepat pada jantung gadis itu.

“Cringggg...!"

Pedang itu terpental dan kiranya Sian Ti Sengjin, suheng-nya sendiri yang menangkisnya. "Sute! Apa yang kau lakukan ini? Sudah memperkosa sekarang engkau malah hendak membunuhnya? Sampai begini gelapkah pikiranmu?" Bentak kakek itu.

Lian Ci Sengjin hanya menunduk, mukanya merah sekali karena malu mendengar suara ketawa Cui Im yang mengejeknya. Dia jatuh cinta kepada Cui Im yang pernah hampir menjadi isterinya. Sekarang rahasianya terbuka, bagaimana dia tak merasa malu sekali?

Akan tetapi pada saat itu Cui Im tidak mempedulikannya. Wajahnya berseri-seri ketika dia mengambil pedang pusaka Hoa-san-pai dari atas tanah, pedang yang tadi dipakai oleh Yan Cu, lalu merenggut lepas perhiasan-perhiasan yang dipakai oleh Hun Bwee. Bahkan setelah melakukan penggeledahan, ia berhasil menemukan sisa-sisa pusaka dari sebelah dalam baju Yan Cu. Akan tetapi keningnya berkerut ketika ia tidak dapat menemukan dua buah kitab Siauw-lim-pai.

Cong San, Yan Cu, Biauw Eng dan Hun Bwee kini pun dibelenggu dengan kedua lengan di belakang. Hun Bwee sudah sadar kembali, akan tetapi dia menjadi pendiam sehingga Biauw Eng sendiri sukar untuk menentukan apakah suci-nya itu sedang kumat ataukah tidak.

Gadis baju merah itu banyak menundukkan muka. Apa bila sekali-kali mengangkat muka, ia memandang ke arah Lian Ci Sengjin dengan sinar mata seolah-olah hendak membakar bekas tokoh Kun-lun-pai itu.

Biauw Eng memandang ke arah Keng Hong. Berbeda dengan mereka berempat yang biar pun dibelenggu tapi dapat berdiri, sebaliknya Keng Hong rebah karena seluruh tubuhnya dibelit-belit sabuk dengan amat kuat, apa lagi tubuhnya sudah lumpuh terkena totokannya pula. Ketika Biauw Eng memandang, Keng Hong juga sedang memandang kepadanya.

Biauw Eng menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja matanya menjadi merah sekali dan membasah. Mulutnya berbisik penuh penyesalan, "Maafkan aku yang telah menjatuhkan fitnah padamu..."

Keng Hong tersenyum sambil menggerakkan kepalanya mengangguk-angguk. Pandang matanya penuh dengan pengampunan, kesabaran dan kasih sayang.

Yan Cu yang dibelenggu pula dan berdiri di dekat Biauw Eng, dapat mendengar bisikan Biauw Eng itu. Hatinya menjadi panas dan ia segera berseru nyaring, "Dasar engkau yang berhati kejam, Sie Biauw Eng! Kalau saja engkau tidak menawan suheng, tidak mungkin monyet-monyet ini dapat merobohkan kita! Sekarang kita semua sudah tertawan musuh karena kebodohanmu, menangis lagi perlu apa?"

Biauw Eng menoleh kepada Yan Cu dan menundukkan muka, lalu berkata, "Engkau tidak tahu betapa hatiku telah tersayat-sayat, betapa segala kepahitan telah kurasakan sebagai akibat cinta kasihku kepadanya..."

Yan Cu tercengang. Hatinya merasa sangat terharu melihat Biauw Eng yang terbelenggu itu perlahan-lahan menghampiri Keng Hong, lalu berlutut, kemudian dengan gerakan kaku karena kedua lengannya dibelenggu ke belakang tubuh, dia membungkuk dan mencium Keng Hong!

Bukan main kekasihnya ini! Hampir saja Keng Hong menangis saking terharunya. Dahulu, dengan suara lantang Biauw Eng tak ragu-ragu untuk mengaku cintanya di depan banyak tokoh kang-ouw di puncak Kun-lun-san. Sekarang, untuk menyatakan rasa penyesalan dan cinta kasihnya, di depan begitu banyak orang, Biauw Eng dengan gerakan wajar dan tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi menciumnya!

Ingin dia membisikkan sesuatu, namun karena dia melihat betapa Cui Im memandang ke arah mereka penuh perhatian dengan senyum mengejek, dia tidak jadi berkata apa-apa, hanya terus memandang Biauw Eng dengan sinar mata penuh kasih sayang dan penuh keyakinan agar kekasihnya itu tidak usah khawatir.

"Aku rela dan siap mati bersamamu, Keng Hong." Biauw Eng berbisik saat ia menangkap isyarat pandang mata Keng Hong.

Cui Im menghampiri mereka, sejenak memandang tajam kepada Keng Hong lalu berkata, "Keng Hong, di mana kitab yang dua buah lagi? kitab-kitab Siauw-lim-pai?"

Keng Hong tersenyum mengejek. "Cui Im, engkau takkan dapat menemukan kedua buah kitab itu. Sampai mati pun tak akan mungkin dapat kau temukan!"

Bhe Cui Im menggerakkan tangan dan pedang merahnya sudah tercabut, ujungnya yang runcing menodong muka Keng Hong, hanya beberapa senti di depan mata pemuda itu.

"Keng Hong, engkau boleh jadi seorang laki-laki yang keras hati dan keras kepala, yang tidak mengenal takut akan tetapi kalau tidak kau jawab pertanyaanku, hemmmm... hendak kulihat bagaimana sikapmu kalau pedangku ini mencongkel keluar biji matamu!"

“Ang-kiam Bu-tek ternyata hanya seorang pengecut besar yang mengancam orang yang sudah tidak berdaya. Ha-ha-ha, ingin sekali aku melihat apakah sikapmu masih seperti itu gagahnya mengancam Cia-taihiap kalau dia tidak terbelenggu. Dengarlah, kitab I-kiong Hiat-hoat dan kitab Seng-to Cin-keng oleh Cia-taihiap sudah dikembalikan kepadaku dan telah kuserahkan ke tangan suhu. Kalau kau masih menginginkannya, coba saja engkau ambil dari tangan suhu Tiong Pek Hosiang. Jelas engkau tidak berani, bukan? Ha-ha-ha!"

"Desss…!"

Tubuh Cong San lantas terbanting roboh karena pukulan Lian Ci Sengjin yang mengenai punggungnya ini keras sekali. Cong San yang dipukul dari belakang cepat menggulingkan tubuhnya dan melompat bangun kembali sambil tersenyum mengejek. Ternyata Lian Ci Sengjin yang sangat marah kepadanya karena pemuda murid Siauw-lim-pai ini yang tadi membuka rahasianya, menjadi marah mendengar pemuda ini mengejek Cui Im.

"Biar kubunuh saja bedebah ini!" Bentak Lian Ci Sengjin, makin penasaran melihat betapa pukulannya yang keras tadi ternyata tidak dapat membunuh pemuda itu.

Akan tetapi sambil tersenyum Cui Im mengangkat tangannya. "Jangan bodoh, Sengjin! Ia ini adalah murid tersayang ketua Siauw-lim-pai, merupakan tawanan penting. Juga Keng Hong tidak boleh dibunuh, pada saat ini aku masih sangat membutuhkannya! Kita bawa saja mereka berlima ini ke tempat Pat-jiu Sian-ong dan baru di sana kita memutuskan apa yang harus kita lakukan kepada lima orang ini."

"Ha-ha-ha-ha-ha-ha, Bhe Cui Im wanita cantik yang amat cedik. Murid Sin-jiu Kiam-ong ini sangat gagah dan tampan, demikian pula murid ketua Siauw-lim-pai. Aku tahu mengapa engkau merasa sayang untuk membunuh mereka sekarang, ha-ha-ha!"

Cui Im juga terkikik genit dan memainkan biji matanya ke arah kakek kecil kate berkepala besar yang memegang kebutan hudtim itu. "Ihhh! Bukankah sudah kukatakan bahwa bagiku, tua atau muda, tampan atau buruk, tidak ada bedanya? Aku sudah berjanji kalau kalian membantu dan kita berhasil, aku akan melayanimu sampai kau tidak kuat bangun kembali! Aku menawan Keng Hong karena ada urusan penting mengenai ilmu silat antara dia dan aku..."

"Cui Im, kalau kau hendak memperlajari Thi-khi I-beng, engkau harus mati terlebih dulu!" Keng Hong mengejek.

Akan tetapi Cui Im tak mempedulikannya dan melanjutkan, "Ada pun murid ketua Siauw-lim-pai ini, bukankah dapat kita pergunakan sebagai perisai bila menghadapi ketua partai itu? Tiong Pek Hosiang si tua bangka itu lihai sekali, dan siapa tahu dia akan hadir pula. Mengertikah engkau sekarang, Pat-jiu Sian-ong?"

Kakek kecil kate berkepala besar itu tertawa sambil mengangguk-angguk, lalu mengebut-ngebutkan hudtim-nya dengan lagak seorang dewa atau seorang pertapa sakti, kemudian berkata perlahan,

"Kasihan... kasihan... orang-orang muda yang tidak tahu diri, berani lancang menentang Ang-kiam Bu-tek... hemmm...!" Dia lalu melambaikan kebutannya dan terdengarlah suara bersuit nyaring.

Keng Hong masih rebah menahan napas dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia tadi cukup awas sehingga tidak sembrono karena dia telah menduga bahwa kalau Cui Im sudah berani menyergapnya tentulah memiliki andalan. Kiranya di samping teman-teman yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi itu, di sekitar tempat itu sudah terkurung dan kini muncullah puluhan orang anak buah Pat-jiu Sian-ong yang dipimpin oleh dua orang kakek kembar yang bukan lain adalah Thian-te Siang-to, murid Pat-jiu Sian-ong.

Beramai-ramai lima orang muda yang menjadi tawanan itu digiring ke tempat tinggal atau sarang milik Pat-jiu Sian-ong, yakni di dekat tembok besar di sebelah utara pegunungan Tai-hang-san. Di bagian ini, tembok besar yang sangat panjang itu melalui lereng-lereng gunung dan di dekat tembok di lereng Gunung Tai-hang-san sebelah utara inilah dijadikan sarang oleh Pat-jiu Sian-ong, di mana dibangun sebuah benteng yang cukup kuat.


Perjalanan itu melalui lereng-lereng gunung dan hutan-hutan liar, memakan waktu hingga beberapa hari. Para tawanan dijaga ketat dan meski pun mereka itu diberi waktu makan dan istirahat, namun mereka tidak mendapat kesempatan untuk saling bicara. Bahkan di waktu rombongan berhenti bermalam, lima orang muda itu dipisahkan. Betapa pun juga, hati Keng Hong dan teman-temannya merasa lega bahwa mereka tidak pernah menerima gangguan. Agaknya Cui Im memang melarang mereka diganggu.

Keng Hong diam-diam merasa gelisah. Bagi dia sendiri, dia tak usah merasa takut karena apa bila dia menghendaki, mudah saja baginya untuk membebaskan diri. Pada waktu dia dibelenggu oleh Biauw Eng dan ditotok tiga kali pun, kalau dia menghendaki, mudah saja baginya untuk bebas.

Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini. Pertama karena dia ingin menguji Biauw Eng untuk penghabisan kali, ke dua karena keadaan musuh yang amat kuat sehingga kalau dia berlaku nekat, tentu teman-temannya terancam bahaya.

Di antara mereka berlima, yang kepandaiannya boleh diandalkan hanya Biauw Eng saja. Mungkin Hun Bwee juga mempunyai kepandaian yang luar biasa, akan tetapi wanita yang terganggu jiwanya itu sama sekali tidak boleh diandalkan. Cong San dan Yan Cu memang memiliki kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi menghadapi tokoh-tokoh seperti Bhe Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong, mereka itu masih terlalu lemah. Apa lagi menghadapi Cui Im! Agaknya harus dia sendiri yang maju, baru wanita keji itu akan dapat ditundukkan.

Pada malam ke empat rombongan itu beristirahat di sebuah kuil kosong tua yang berada di sebuah lereng gunung. Lima orang tawanan itu dipisahkan serta dijaga ketat. Bahkan Keng Hong yang masih terbelit-belit sabuk kulit hitam itu direbahkan di sebuah kamar kuil tua dan dijaga sendiri oleh Cui Im! Selosin orang anak buah Pat-jiu Sian-ong dengan golok terhunus masih menjaga di luar kamar, berdiri seperti patung.

"Uuuhhhh, pegal-pegal semua tubuhku. Cui Im, maukah engkau membantuku agar aku dapat duduk bersandar tembok?" Keng Hong berkata.

Cui Im yang duduk di sudut kamar itu mengangkat muka memandang penuh kecurigaan, lalu tangannya menggapai seorang penjaga. Penjaga itu masuk dan Cui Im berkata,

"Bantu dia duduk bersandar tembok."

Penjaga itu menghampiri Keng Hong lantas dengan gerakan kasar menyeret pemuda itu ke dekat dinding lalu menjambak rambutnya dan menariknya sehingga terduduk. Setelah mendengus, penjaga itu pergi lagi berjaga dengan teman-temannya di luar kamar.

Keng Hong tersenyum, "Aahhhh, terima kasih. Begini lebih enak, aku dapat duduk dan memandang wajahmu. Eh, Cui Im. Lama tidak berjumpa, sekarang engkau makin cantik saja dan tubuhmu... hemmm... makin padat dan montok menggairahkan!"

Wanita yang duduk di sudut lain itu mengangkat mukanya dan memindahkan pandang matanya dari pedang Siang-bhok-kiam yang dipegangnya itu ke arah muka Keng Hong. Ia melihat betapa pandang mata pemuda itu menjalari seluruh tubuhnya. Ada getaran aneh terasa oleh Cui Im, seakan-akan bukan pandang mata melainkan jari-jari tangan pemuda itu yang menggerayangi tubuhnya, membuat semua bulu pada tubuhnya bangkit penuh gairah. Akan tetapi ia tersenyum mengejek.

"Keng Hong, sungguh tak kunyana seperti ini pertemuan kita yang terakhir. Yang terakhir kataku, kau dengar? Karena kalau sekali ini engkau tidak mau menuruti keinginanku, yaitu mengajarkan Thi-khi I-beng dan ilmu silat baru yang kau mainkan tempo hari, yang seperti gabungan dari Pat-kwa-kun dan Ngo-heng-kun itu, tentu kau akan kubunuh!"

Keng Hong tersenyum. "Aku bukan orang bodoh, Cui Im, dan aku tahu kapan menerima kekalahan. Sekali ini aku benar-benar tidak berdaya, dan memang aku pun sudah melihat betapa bodohnya aku mencinta seorang seperti Biauw Eng yang tidak mempunyai cinta kasih dan tidak mengenal budi. Engkaulah wanita yang cocok untukku, Cui Im..."

"Ihhh! Tak perlu kau merayu. Kau kira aku percaya kepadamu?'

"Aku tidak merayu. Bila kuingat betapa pertama kali mengenal wanita adalah denganmu! Engkaulah yang telah mengajarku tentang cinta, Cui Im, bagaimana mungkin aku dapat melupakanmu?"

"Bohong! Engkau selamanya mencinta Biauw Eng."

"Itu dulu! Sekarang tidak lagi karena kau melihat sendiri betapa dia telah menawanku dan hendak memaksaku mengawini gadis gila itu. Phuuhhh! Lebih baik aku mati. Dan engkau yang begini denok...? Hemmm, Cui Im. Perkara belajar Thi-khi I-beng atau pun Thai-kek Sin-kun, apa sih susahnya? Ke sinilah, manis. Sesungguhnya sudah bertahun-tahun aku menahan kerinduan hatiku kepadamu, membayangkan manisnya bibirmu..."

Cui Im tertawa mengejek, akan tetapi biar pun dia tidak percaya, tetap saja ia tertarik dan meloncat bangun, menghampiri Keng Hong lalu berlutut di dekat pemuda itu. "Kau perayu yang canggung! Apa kau kira begitu mudah hendak merayuku dengan palsu itu? Hi-hi-hik, aku tidak percaya, Keng Hong."

"Cui Im..." Keng Hong berbisik, "Lupakah engkau akan malam pertama itu, ketika engkau menawanku, sebelum muncul Biauw Eng? Kau memberi minum arak merah... kemudian kita... hemmmm... betapa senangnya kita ketika itu..."

Jantung Cui Im berdegup keras. Dia bukan orang bodoh dan tentu saja dia tidak mau percaya akan ucapan Keng Hong itu. Akan tetapi memang pada dasar hatinya, wanita ini jatuh cinta kepada Keng Hong semenjak pertama kali bertemu dahulu. Karena cintanya inilah maka dahulu Cui Im membenci Biauw Eng dan berusaha merusak nama Biauw Eng di depan mata Keng Hong. Biar pun dia tahu bahwa pemuda ini tidak membalas cintanya dan bahwa kini membujuk rayu dengan palsu, tidak urung jantungnya berdebar dan nafsu gairahnya timbul.

"Aku... aku tidak percaya... hendak kubuktikan lebih dulu..."

Karena tahu bahwa Keng Hong terbelenggu tak mampu bergerak sehingga sama sekali tidak membahayakan, Cui Im mendekatkan mukanya, merangkul leher dan mencium bibir pemuda yang sebetulnya masih dia harapkan cinta kasihnya ini. Dia hendak menguji dan betapa gembira hatinya ketika merasa bahwa Keng Hong membalas ciumannya!

Begitu gembira hati Cui Im sehingga ia lupa segala dan segera tubuhnya lemas karena sebelum ia sadar akan apa yang terjadi, tengkuknya sudah ditotok Keng Hong sehingga ia roboh pingsan dalam keadaan masih merangkul pemuda itu! Memang sebetulnya Keng Hong tidaklah dikuasai oleh belenggu sabuk kulit yang melibat-libat tubuhnya. Kalau dia kehendaki, dalam sekejap mata saja dia mampu meloloskan diri.

Dari balik pundak Cui Im, Keng Hong melihat punggung dua belas orang penjaga sedang membelakangi kamar itu. Cepat dia merebahkan tubuh Cui Im yang masih pingsan, lalu meniup padam lilin dan tubuhnya berkelebat ke arah pintu. Dengan kepandaiannya yang hebat, ginkang-nya yang luar biasa, Keng Hong berkelebat cepat.

Dua belas orang penjaga itu terlihat masih berdiri di tempat masing-masing, akan tetapi sesungguhnya mereka itu berdiri secara tidak wajar lagi karena tubuh mereka menjadi kaku. Mereka hanya melihat bayangan berkelebat cepat, tak tahu bayangan apa itu.

Keng Hong terkejut sekali ketika melihat betapa empat orang kawannya itu terpisah-pisah dan terjaga amat kuatnya. Tidak mungkin dia dapat membebaskan mereka semua tanpa diketahui penjaga dan sekali mereka tahu, tentu dia dan kawan-kawannya akan dikurung. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi karena tentu pihaknya akan jatuh korban, mengingat banyaknya jumlah lawan dan banyaknya pula orang-orang pandai di pihak lawan.

Bagaimana pun juga, dia harus membebaskan Biauw Eng! Maka dia cepat menghampiri kamar di mana Biauw Eng ditahan dan melihat bahwa kekasihnya ini dijaga oleh Thian-te Siang-to, sepasang kakek kembar murid Pat-jiu Sian-ong bersama dua belas anak buah mereka.

Keng Hong tidak mau membuang waktu lagi. Dua buah kerikil di tangannya disambitkan ke dalam kamar dan padamlah dua buah lilin di atas lantai kamar itu. Selagi sepasang kakek kembar itu berteriak dan sibuk memasang api, tubuh Keng Hong sudah berkelebat cepat dan seperti halnya selosin penjaga di depan kamar di mana dia ditawan, kini selosin orang penjaga di situ pun menjadi kaku oleh totokannya yang cepat dan tepat. Dia lalu menyerbu ke dalam.

Thian-te Siang-to adalah murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Tadinya mereka masih tidak menduga bahwa padamnya lilin-lilin itu adalah karena perbuatan musuh. Akan tetapi begitu mendengar sambaran angin dari luar pintu, segera keduanya meloncat sambil mencabut golok dan menerjang ke arah pintu.

Keng Hong melanjutkan loncatannya, akan tetapi menukik ke bawah. Dua buah golok itu menyambar di atas tubuhnya pada saat dia menubruk dua pasang kaki Thian-te Siang-to yang berteriak kaget. Akan tetapi segera tubuh mereka lemas karena Keng Hong cepat menotok mereka.

Biauw Eng tengah bersandar pada dinding dengan kedua lengan dibelenggu ke belakang. Tiba-tiba ia melihat lilin padam dan mendengar suara ribut-ribut, maka ia cepat meloncat bangun.

"Biauw Eng, lekaslah kau lari! Biar aku melindungimu dari pengejaran!" Bisik Keng Hong sambil merengut putus tali yang membelenggu kedua tangan Biauw Eng.

"Bagus... mari kita bebaskan yang lain...!" Biauw Eng berbisik kembali.

"Sttt... jangan! Kau larilah dulu, biar aku yang akan membebaskan mereka. Engkau harus selamat dulu, Biauw Eng."

"Apa? Tidak! Aku tidak mau bebas sendiri tanpa engkau dan mereka!"

"Ahh, berbahaya... mereka amat kuat. Engkau pergilah dulu..."

"Tidak, Keng Hong. Aku tidak mau berpisah lagi denganmu!" Suara Biauw Eng terdengar tegas sehingga Keng Hong menjadi bingung.

Dia maklum bahwa sangatlah sukar untuk membebaskan mereka sekaligus dan dia baru akan merasa lega dan tenang kalau Biauw Eng sudah selamat. Bagi dia sendiri, tidak khawatirlah dia. Akan tetapi kalau mereka semua lari, tentu akan sukar sekali. Betapa pun juga, dia sudah mengenal Biauw Eng dan dipaksa pun akan sia-sia saja.

"Baiklah, mari!" Mereka lalu berkelebat pergi dari kamar itu untuk membebaskan ketiga orang kawan mereka.

Akan tetapi, tepat seperti yang dikhawatirkan Keng Hong, baru saja mereka mendekati tempat tahanan Cong san, gerakan mereka sudah diketahui oleh Pat-jiu Sian-ong yang berteriak keras,

"Tangkap mereka!"

Ributlah dalam kuil tua itu, dan puluhan orang penjaga, anak buah Pat-jiu Sian-ong yang berjaga di bagian dalam kuil telah masuk menyerbu. Keng Hong dan Biauw Eng terpaksa mengamuk. Para penjaga itu merupakan makanan lunak bagi mereka, akan tetapi setelah Pat-jiu Sian-ong membebaskan Cui Im dari totokan, dua orang ini lalu menyerbu sendiri menghadapi mereka.......
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12