Tuesday, August 14, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Kayu Harum Jilid 33



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
       Serial Pedang Kayu Harum
                 Jilid 33


Terjadilah pertandingan hebat di dalam kuil, di bawah cahaya penerangan obor-obor yang dinyalakan oleh para penjaga. Kalau mereka menghendaki, Keng Hong dan Biauw Eng tentu saja akan dapat melarikan diri dengan mudah di kegelapan malam itu. Akan tetapi mereka, terutama Biauw Eng, tidak sudi melarikan diri meninggalkan tiga orang kawan mereka, sedangkan dua orang lawan mereka yang amat tangguh itu tidak memungkinkan mereka dapat menolong kawan-kawan mereka yang masih ditawan dalam kamar.

"Berhenti! Cia Keng Hong, lihat, apakah kau ingin melihat mereka ini mampus di depan matamu?"

Keng Hong dan Biauw Eng terkejut sekali melihat betapa Cong San, Yan Cu dan Hun Bwee sudah diseret ke sana dan diancam dengan pedang pada leher mereka oleh Lian Ci Sengjin, Sian Ti Sengjin, Kim-to Lai Ban dan Thian It Tosu!

"Hi-hi-hik-hik! Keng Hong, apakah engkau masih belum mau menyerah? Ataukah engkau hendak mengorbankan mereka ini demi keselamatanmu?" Cui Im mengejek.

"Cui Im, engkau curang dan pengecut!" Keng Hong membentak marah.

"Hi-hi-hik, siapa yang curang? Apakah engkau sendiri yang tadi merayuku supaya dapat membebaskan diri tidak curang?"

Terpaksa Keng Hong dan Biauw Eng menyerahkan diri dan tidak melawan ketika Pat-jiu Sian-ong dan Cui Im menotok mereka roboh. Mereka diikat lagi dengan erat, bahkan Keng Hong kini ditotok sendiri oleh Cui Im menggunakan ilmu Tiam-hiat-hoat dari kitab pusaka Sin-jiu Kiam-ong sehingga sekali ini Keng Hong benar-benar lumpuh tidak dapat menggerakkan kaki tangannya.

Karena tidak ingin mengalami hal-hal tidak enak seperti yang telah terjadi tadi, malam itu juga Cui Im melanjutkan perjalanan membawa lima orang tawanan itu menuju ke arah markas Pat-jiu Sian-ong. Beberapa hari kemudian tibalah mereka di tempat yang menjadi tempat tinggal Pat-jiu Sian-ong dan anak buahnya.

Tempat ini merupakan sebuah benteng yang kuat, dikelilingi dengan pagar tembok tinggi dan terjaga kuat. Diam-diam Keng Hong memperhatikan keadaan benteng itu dan harus mengaku di dalam hati bahwa sekali ini, kalau dia mendapat kesempatan, dia bersama dengan empat orang temannya harus berkelahi mati-matian dan agaknya tidaklah akan mudah bagi dia dan teman-temannya untuk dapat lolos dari tempat yang kuat itu.

Mereka memasuki benteng ini pada siang hari dan betapa kaget hati Keng Hong ketika melihat banyak sekali orang-orang yang kelihatan berkepandaian tinggi, bahkan di antara mereka ini dia melihat Pak-san Kwi-ong! Selain ini, dia melihat pula Pak-san Su-liong, tokoh-tokoh yang bersenjata tengkorak, yaitu murid-murid Pak-san Kwi-ong yang lihai dan masih ada lagi empat orang pengawal-pengawal rahasia kaisar, yaitu Gu Coan Kok si Iblis Cebol, Huk Ku si setan bangsa Kerait dan Thai-lek Sin-mo Cou Seng! Heran dia mengapa pengawal-pengawal rahasia kaisar itu, yang tadinya berjumlah empat orang ditambah lagi Pak-san Kwi-ong, Bhe Cui Im dan Siauw Lek, bisa berkumpul di tempat ini.

Memang sesungguhnyalah, para pengawal rahasia itu kesemuanya melarikan diri setelah terjadi peristiwa di luar istana ketika Cui Im berusaha menjebak Keng Hong. Tio Hok Gwan, pengawal Laksamana Tinggi The Ho yang lihai dan telah bersimpati kepada Keng Hong, memberi pelaporan kepada jujungannya.

Laksamana The Ho adalah orang yang bijaksana dan sangat berpengaruh serta dihormati oleh kaisar. Karena itu ketika The Ho memberi nasehat kepada kaisar betapa bahayanya menggunakan tenaga orang-orang yang terkenal sebagai datuk-datuk dan tokoh-tokoh dunia hitam itu, kaisar lalu membebas tugaskan mereka.

Pak-san Kwi-ong dan teman-temannya kemudian pergi dari istana dan diam-diam merasa marah sekali. Di dalam hati mereka memberontak dan hendak menjatuhkan kaisar, maka mereka segera beramai-ramai pergi mengunjungi Pat-jiu Sian-ong untuk mengumpulkan kawan dan bersekutu menjatuhkan kaisar!

Tugas pertama mereka adalah hendak mempergunakan kesempatan selagi orang-orang kang-ouw berkumpul di Tai-hang-san untuk menggempur mereka karena mereka sudah mendengar betapa orang-orang kang-ouw itu juga menentang Pak-san Kwi-ong beserta sekutunya menjadi pengawal kaisar. Bahkan diam-diam Pak-san Kwi-ong dan para Iblis Tembok Besar yang kini tinggal tiga orang itu karena Kemutani telah tewas di tangan Yap Cong San, menghubungi suku bangsa Mongol dan Mancu agar bersekutu dan menyerang ke sebelah selatan tembok besar.

Ketika para tawanan itu dikumpulkan di ruangan dalam, semuanya dibelenggu, tiba-tiba Hun Bwee berteriak-teriak dan meronta-ronta, "Lepaskan aku! Lepaskan! Kenapa kalian membelenggu aku? Awas, jika tidak kalian lepaskan, kelak guruku Go-bi Thai-houw tentu akan mencabut nyawa kalian semua!"

Mendengar disebutnya nama Go-bi Thai-houw, Pak-san Kwi-ong terkejut. “Apa? Gadis ini adalah murid Go-bi Thai-houw? Bagaimana bisa menjadi tawananmu, Ang-kiam Bu-tek?” Ia kelihatan gelisah dan heran.

"Hemmm... kalau dia menjadi muridnya, mengapa sih? Dia bersama dengan Biauw Eng, dan agaknya gila."

"Lepaskan! Aku tidak memusuhi siapa-siapa, aku hanya akan membunuh Cia Keng Hong, bocah yang telah memperkosaku. Lepaskan!"

"Tan Hun Bwee, yang memperkosamu adalah Lian Ci…"

"Plakkk!"

Pipi Cong San kena ditampar oleh Lian Ci Sengjin. "Diam kau, monyet!"

"Bohong! Bukan siapa-siapa, melainkan Cia Keng Hong. Lepaskan aku!"

"Ang-kiam Bu-tek, sebaiknya kau bebaskan dia. Kalau dia murid Go-bi Thai-houw, berarti bukan musuh."

"Eh, eh, eh, Kwi-ong. Agaknya engkau jeri sekali mendengar nama Go-bi Thai-houw!" Cui Im mengejek.

Pak-san Kwi-ong terbatuk-batuk. "Eehhhh... Dia... dia... Hemm. Pat-jiu Sian-ong, apakah engkau pun memusuhi Go-bi Thai-houw?"

Tiba-tiba kakek kecil kate yang berkepala besar itu kelihatan bingung, akan tetapi cepat menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Siapa memusuhi siapa? Aku tidak pernah bentrok dengan nenek sakti itu."

"Nona Bhe, engkau belum tahu. Go-bi Thai-houw itu lihainya bukan main, dan jauh lebih menguntungkan jika kita bersekutu dengan dia. Lebih baik jangan mengganggu muridnya. Pula, apakah perlunya gadis ini ditawan?" Pak-san Kwi-ong berkata.

Cui Im tersenyum dan mengeling kepada Lian Ci Sengjin. "Aku pribadi tidak mempunyai urusan dengan Tan Hun Bwee ini, juga tidak pernah mengenal Go-bi Thai-houw, maka soal membebaskan dia atau tidak, tidak penting bagiku. Hanya kita mesti menanyakan pendapat Lian Ci Sengjin dulu, karena kalau nona ini dibebaskan, jangan-jangan dia akan menyerang Lian Ci Sengjin."

Wajah bekas tosu Kun-lun-pai itu sebentar merah sebentar pucat. Akhirnya, saking malu dan marah dia hanya dapat mengomel, "Perempuan ini terang seorang yang gila, mau bebaskan dia atau mau bunuh, aku tidak peduli!"

Cui Im tertawa mengejek lalu menghampiri Hun Bwee. Sekarang dia memandang penuh perhatian karena disebutnya nama guru gadis ini sebagai seorang yang amat lihai, yang ditakuti oleh Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong, benar-benar membuat dia menaruh perhatian. "Katakan kalau kau kubebaskan, apa yang hendak kau lakukan?"

Hun Bwee hanya sebentar saja memandang Cui Im, lalu matanya mencari-cari kemudian menatap wajah Keng Hong, mulutnya berkata nyaring, "Akan kubunuh Cia Keng Hong!"

Cui Im mengerutkan keningnya. "Ehh, bukankah ada orang lain yang bilang bahwa yang memperkosamu bukanlah Keng Hong?"

"Bohong! Yang memperkosaku adalah Keng Hong, bukan orang lain!"

"Hemmm... benarkah itu? Bukan dia itu...?" Cui Im menuding ke arah Lian Ci Sengjin yang memandang dengan muka merah.

Semua orang juga memandang karena ingin melihat apakah gadis gila itu sekarang akan membuka rahasia itu secara jelas. Dapat dibayangkan betapa menyesal dan kaget hati Keng Hong, Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San ketika melihat Hun Bwee menggeleng kepala dan berkata lantang,

"Bukan! Bukan dia...! Cia Keng Hong-lah yang memperkosa aku, orang gagah itu belum pernah kulihat selama hidupku!"

Bukan main girang hati Lian Ci Sengjin dan dia menekan kegirangannya, hanya mulutnya berkata dengan suara dibikin-bikin menjadi tenang sekali, "Nah, sekarang baru semua orang mendengarnya. Yang suka main gila dengan para wanita adalah bocah pengacau Cia Keng Hong itu, sama sekali bukan aku. Sudah kukatakan bahwa perempuan ini gila, maka tadinya dia menuduhku yang bukan-bukan."

Sian Ti Sengjin memandang kepada sute-nya dengan kening dikerutkan. Bekas tosu dari Kun-lun-pai ini tidak berkata sesuatu, akan tetapi terjadi perang hebat di dalam dadanya yang tidak diketahui orang lain. Dia mengenal sute-nya dan tahu pula akan kelemahan sute-nya.

"Baiklah, Tan Hun Bwee, aku akan membebaskan engkau, namun dengan syarat bahwa engkau harus suka menjadi sekutu kami, kelak engkau membujuk gurumu untuk bekerja sama dengan kami pula, dan yang terpenting sekarang ini, engkau harus mentaati semua perintahku. Bagaimana, sanggupkah?"

Betapa cemas dan khawatir hati Biauw Eng menyaksikan keadaan suci-nya itu, apa lagi ketika melihat suci-nya mengangguk. Perasaan cemas ini bercampur rasa marah sekali. Dia tahu bahwa Hun Bwee memang menderita penyakit jiwa, akan tetapi selama ini dia merasa yakin bahwa di balik kegilaan Hun Bwee terdapat watak yang gagah perkasa dan tidak mengenal takut. Kenapa sekarang Hun Bwee berubah seperti itu dan tunduk kepada Cui Im?

Juga, walau pun gila, Hun Bwee biasanya cerdik sekali. Kenapa sekarang tetap menuduh Keng Hong sebagai pemerkosanya, sedangkan tadi begitu yakin bahwa Lian Ci Sengjin bekas tosu Kun-lun-pai itulah pelakunya?

"Suci! Jangan mendengarkan bujukan iblis itu!" Biauw Eng berseru memperingatkan Hun Bwee.

Akan tetapi Hun Bwee menoleh dan melotot kepadanya. "Jangan turut campur! Aku tidak sudi mendengar omonganmu, perempuan tak tahu malu!"

Biauw Eng terkejut setengah mati. Belum pernah suci-nya ini, waras atau sedang kumat, bersikap seperti ini kepadanya. Padahal ketika tadi melotot kepadanya dia melihat bahwa pandang mata suci-nya itu tidak seperti kalau sedang kumat.

Cui Im tertawa, kemudian bertanya kepada Hun Bwee. "Dia menyebutmu Suci? Hi-hi-hik, alangkah lucunya. Sebetulnya, akulah Suci-nya. Apakah dia... ahhhh! Apakah dia menjadi murid Go-bi Thai-houw?"

Hun Bwee mengangguk. "Dia baru saja menjadi murid subo. Akan tetapi mulai sekarang aku tidak sudi mengakuinya sebagai Sumoi lagi. Dia curang, tak bermalu dan palsu!"

Cui Im tersenyum girang. "Mengapa?"

"Dia tahu bahwa Keng Hong sudah memperkosaku dan tadinya kami hendak menangkap Keng Hong lalu memaksa pemuda itu menjadi suamiku. Tapi setelah berhasil menangkap Keng Hong, hemmm... dia ingin memilikinya sendiri!"

"He-he-hi-hi-hik!" Cui Im tertawa senang dan sekali tangannya bergerak, maka bebaslah Hun Bwee.

Sejenak gadis ini mengurut-urut kedua lengannya, kemudian dengan beringas dia segera menghampiri Keng Hong sambil berkata, "Kubunuh engkau, Cia Keng Hong!"

"Hun Bwee, tahan!" Cui Im membentak hingga Hun Bwee menghentikan langkahnya lalu menoleh.

"Dengar baik-baik. Engkau sudah berjanji akan mentaati perintahku, bukan? Nah, perintah pertama engkau tidak boleh membunuh Keng Hong...”

"Akan tetapi dia... dia..."

"Engkau tak boleh mengganggunya tanpa seijin dariku, mengerti? Bila sudah tiba saatnya aku harus membunuhnya, biarlah kuserahkan tugas itu kepadamu. Mengerti?"

Dengan muka kecewa sekali Hun Bwee mengangguk, kemudian berdiri di dekat Cui Im sambil menundukkan muka seperti orang melamun. Cui Im menepuk-nepuk pundaknya dan berkata, “Mulai sekarang engkau menjadi pembantuku yang setia, Hun Bwee...”

Hun Bwee hanya mengangguk-angguk dan semua ini dipandang oleh Biauw Eng dengan hati panas, akan tetapi bagaimana dia akan dapat menyalahkan suci-nya yang memang tidak waras pikirannya itu? Ia hanya dapat menghela napas panjang. Sesudah Hun Bwee berubah menjadi seperti itu, tentu saja kini menjadi semakin sukar lagi bagi mereka untuk meloloskan diri. Berkurang sudah seorang tenaga yang sangat kuat.

Dalam keputus asaan ini, tak terasa lagi Biauw Eng mengerling ke arah Keng Hong dan betapa heran hatinya melihat Keng Hong yang menyandarkan tubuhnya yang lemas itu ke tiang di mana dia terikat, juga memandangnya dan tersenyum! Pandang mata pemuda itu kepadanya seolah-olah menggantikan kata-kata yang menghibur, yang minta kepadanya agar tidak putus asa!

Tawanan yang kini tinggal empat orang itu lalu dibawa pergi dan dijebloskan ke dalam kamar-kamar tahanan yang amat kuat dan terpisah. Kamar tahanan itu terbuat dari pada dinding batu dan pintu serta jendelanya diberi jeruji besi yang amat kuat.

Empat orang muda-mudi yang ditahan ini masing-masing tenggelam dalam lamunannya sendiri. Cong San sangat khawatir akan keselamatan kawan-kawannya, terutama sekali Yan Cu. Ia harus mengakui bahwa baru satu kali ini dia jatuh cinta, yaitu kepada Yan Cu.

Ia tidak khawatir akan keselamatan dirinya sendiri. Sebagai seorang pemuda gemblengan murid ketua Siauw-lim-pai, tentu saja dia memiliki tenaga dan ilmu simpanan dan bila dia menghendaki, dengan pengerahan tenaga sakti, dia akan mampu mematahkan belenggu dan membebaskan diri.

Akan tetapi tadi dia melihat tanda isyarat dari pandang mata Keng Hong dan dia dapat menangkap apa kehendak Keng Hong dengan isyarat itu. Memang benar kalau dia nekat memberontak, hal ini akan membahayakan keselamatan mereka berlima, yang kini hanya tinggal berempat karena wanita gila itu berpihak kepada musuh.

Pihak musuh terlalu kuat dan terlalu banyak. Dia harus menanti saat yang baik, mencari kesempatan agar dengan sekali memberontak saja dapat membebaskan mereka semua. Tentunya Keng Hong juga berpendapat demikian, pikir Cong San yang duduk termenung bersandar dinding di dalam kamar tahanannya yang sempit?

Benarkah pendapat Keng Hong seperti pikiran murid Siauw-lim-pai ini? Hanya sebagian saja demikian. Sebetulnya, banyak hal yang menyebabkan Keng Hong mandah dan diam saja dijadikan tawanan.

Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, kalau dia mau tentu saja dia pada kesempatan pertama sudah dapat menyelamatkan dirinya, sungguh pun belum tentu dia akan dapat menyelamatkan empat orang temannya. Akan tetapi Keng Hong tidak mau melakukan hal itu.

Pertama kali, ketika mereka semua tertawan dan dia sendiri telah dibelenggu Biauw Eng, dia sengaja diam saja untuk sekedar mencoba Biauw Eng, akan tetapi tentu saja setiap saat dia siap untuk melindungi teman-temannya apa bila terancam keselamatannya. Tapi ketika melihat bahwa Cui Im hanya menawan mereka, dia pun diam saja, pura-pura tidak berdaya.

Kini, Keng Hong masih belum turun tangan, pertama karena usahanya pertama kali gagal, dan ke dua, di samping melihat kokoh kuatnya penjagaan benteng itu serta banyaknya tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, juga dia harus mengingat akan pusaka-pusaka yang kini kembali terampas oleh Cui Im. Terutama sekali pusaka-pusaka yang harus ia kembalikan kepada partai-partai besar yang memilikinya. Kalau kali ini dia sampai gagal merampas, tentu kelak akan sukar sekali baginya untuk merampas kembali sebab Cui Im tentu akan lebih berhati-hati.

Biauw Eng juga melamun di dalam kamar tahanannya. Hatinya masih penuh penasaran melihat sikap Hun Bwee. Tak diduganya sama sekali bahwa suci-nya itu ternyata adalah seorang yang rendah budi, yang begitu saja menyerah kepada musuh dan mengorbankan teman-temannya, terutama sekali mengorbankan dia, sumoi-nya.

Benarkah bahwa Hun Bwee berbuat seperti itu karena iri hati dan cemburu kepadanya? Karena dia kini kembali menyatakan cinta kasihnya kepada Keng Hong? Dan gadis ini pun mulai meneliti perasaannya sendiri.

Tadinya dia memang benci kepada Keng Hong, tidak saja karena sikap Keng Hong yang lalu, akan tetapi kini ditambah lagi cerita Hun Bwee bahwa pemuda itu memperkosanya. Setelah bertemu dengan Keng Hong kemudian melihat betapa Keng Hong menyatakan penyesalannya atas sikapnya yang dulu terhadap dirinya, bahkan Keng Hong juga telah menyerah dan rela untuk ditawan atau dibunuhnya sekali pun, apa lagi ketika mendengar ucapan Cong San lalu melihat sikap Hun Bwee dan Lian Ci Sengjin yang membongkar perkosaan itu, rasa bencinya semakin membuyar dan timbullah kembali cinta kasihnya terhadap Keng Hong yang memang tak pernah padam.

Dia mencinta Keng Hong, hal ini terjadi semenjak dahulu. Akan tetapi Hun Bwee, yang katanya telah diperkosa oleh Keng Hong, apakah juga mencinta Keng Hong dan cemburu kepadanya? Akan tetapi jika benar demikian, mengapa Hun Bwee kini hendak membunuh Keng Hong? Benar-benar dia menjadi bingung. Apakah Hun Bwee kumat gilanya? Akan tetapi sinar matanya tidak liar seperti biasanya kalau kumat.

Yan Cu juga termenung. Gadis ini merasa menyesal sekali kepada Biauw Eng yang dia anggap menjadi gara-gara sampai mereka tertawan. Akan tetapi ia pun merasa menyesal pada Keng Hong kenapa suheng-nya begitu tolol untuk mengorbankan diri demi cintanya kepada Biauw Eng yang tak dapat menghargai cinta orang itu!

Dan dia teringat akan sikap Cong San kepadanya. Pemuda murid Siauw-lim-pai itu cinta kepadanya! Akan tetapi dia? Ahhh…, sukarlah untuk menjawabnya. Hatinya masih belum dapat melenyapkan perasaan mesranya terhadap Keng Hong, walau pun dia sendiri tidak berani mengatakan apakah dia sesungguhnya mencinta Keng Hong. Sampai saat itu pun Yan Cu masih mencari-cari arti cinta dan belum dapat menemukannya!

Akan tetapi, dia tidak putus asa, juga tidak takut. Selama nyawa masih dikandung badan, dia tidak akan kehabisan akal dan harapan. Pasti akan muncul saat dan kesempatan bagi salah seorang di antara mereka untuk meloloskan diri lalu menolong teman-temannya.

Dia sendiri pun akan mencari kesempatan itu. Apa bila mungkin malam nanti melepaskan ikatannya dan berusaha keluar dari kamar tahanan itu. Atau kalau tidak berhasil, dia akan menanti sampai penjaga mengantarkan makanan. Mungkin dia akan dapat merobohkan penjaga.

Kalau saja Keng Hong tidak begitu lemah terhadap cinta kasihnya yang amat mendalam kepada Biauw Eng! Ia percaya penuh bahwa dengan kelihaiannya, suheng-nya itu akan dapat menolong mereka semua.

Sementara itu, Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Pak-san Kwi-ong dan semua tokoh yang berada di benteng itu mengadakan perundingan. Cui Im yang dianggap sebagai paling lihai dan paling cerdik di antara mereka, memimpin perundingan.

Mereka sudah mengirim mata-mata dan kurir untuk menyelidiki keadaan kota raja, juga menyelidiki pertemuan para tokoh kang-ouw di puncak Tai-hang-san, dan telah mengirim utusan untuk menghubungi kepala suku bangsa Mongol dan Mancu yang berada di luar Tembok Besar di daerah utara. Mereka itu memutuskan untuk menanti kembalinya para penyedlidik sekalian menanti datangnya utusan Mongol dan Mancu yang mereka undang.

Tan Hun Bwee benar-benar diberi kebebasan. Ia mendapatkan sebuah kamar yang cukup indah dan dia tidak diganggu sama sekali. Akan tetapi Cui Im adalah seorang cerdik. Dia memang ingin mempergunakan gadis gila itu untuk menarik Go-bi Thai-houw bersekutu, akan tetapi diam-dia ia pun selalu menyuruh orang memperhatikan dan menjaga gadis ini.

Akan tetapi dalam beberapa hari itu Hun Bwee kelihatan baik-baik saja, bahkan dia mulai mendekati Lian Ci Sengjin! Hal ini diketahui baik oleh Cui Im dan dia diam-diam tertawa. Lebih baik Lian Ci Sengjin didekatkan kembali dengan gadis yang sudah diperkosanya itu. Dia tahu betapa Lian Ci Sengjin masih tergila-gila padanya dan sering suka menggodanya dengan celaan-celaan dan tuntutan-tuntutan agar dia suka memikirkan lamarannya! Kalau Hun Bwee bisa menghiburnya, tentu godaan bekas tosu itu akan berkurang.

Malam itu rembulan bersinar penuh. Lian Ci Sengjin keluar dari pondoknya dengan muka merah. Baru saja dia kembali cekcok dengan suheng-nya, Sian Ti Sengjin. Suheng-nya itu sudah beberapa kali mengajaknya agar kembali saja ke Phu-niu-san, di mana mereka berdua sedang membangun serta mengembangkan partai yang mereka bentuk sesudah mereka ‘tidak mendapat angin’ di Kun-lun-pai.

"Suheng, kenapa mesti tergesa-gesa? Bukankah kita membutuhkan bantuan Cui Im untuk membalas sakit hati kita terhadap Kun-lun-pai? Pula, kalau kita berhasil menghancurkan Kun-lun-pai, mana bisa nama kita bersih dari pada noda setelah kita berdua diusir dari sana? Tentu dunia kang-ouw akan mencemoohkan nama partai Phu-niu-san yang akan kita kembangkan!" Demikian dia membantah ajakan suheng-nya.

“Tapi aku merasa ragu-ragu, Sute. Mereka itu... ahh…, bagaimana kita sudah terperosok begini rendah sehingga bersekutu dengan kaum sesat?" Sian Ti Sengjin berkata sambil menarik napas berulang-ulang dan keningnya berkerut.

"Aku pun tidak suka, akan tetapi kita terpaksa, Suheng! Sudahlah, kita sudah terlanjur basah, lebih baik terjun sama sekali!" Dengan kata-kata itu, Lian Ci Sengjin meninggalkan suheng-nya dan keluar untuk mencari hawa sejuk agar mendinginkan hati dan pikirannya yang panas.

Di bawah sinar bulan purnama itu, teringat dia akan wajah-wajah cantik. Ia menengadah, memandang bulan purnama dan bekas tosu Kun-lun-pai yang gagal menguasai nafsunya sendiri itu menghela napas. Bulan yang bundar itu seakan-akan berubah menjadi wajah Cui Im yang tersenyum kepadanya. Ahhh…, tidak ada harapan, pikirnya. Wanita cantik itu terlalu angkuh.

Kemudian bulan itu membayangkan wajah Hun Bwee, dan kembali dia menghela napas. Gadis itu cantik juga dan kalau dia teringat akan peristiwa dahulu pada saat dia berhasil merenggut kehormatan gadis itu, timbul pula gairahnya. Kalau saja dia bisa mendapatkan Hun Bwee untuk menjinakkan nafsunya yang liar bergelora, akan puaslah hatinya.

Sayang bahwa gadis itu agaknya telah berubah ingatannya! Tapi sekarang kelihatan telah waras dan dengan pakaiannya yang merah dan ketat, sungguh tak kalah menariknya oleh Cui Im yang jauh lebih tua. Sungguh pun kelihatan masih cantik, akan tetapi dia dapat menduga bahwa usia Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im sudah mendekati tiga puluh tahun, sedangkan Hun Bwee tentu baru dua puluh tahun lebih!

"Lo-enghiong...!"

Suara halus ini menyadarkan Lian Ci Sengjin dari lamunan dan ketika dia menengok, dia melihat Hun Bwee berdiri sambil tersenyum manis dengan pandang mata begitu indah, seperti sinar bulan purnama sendiri! Pertama-tama dia amat kaget dan siap menghadapi wanita ini kalau hendak mengamuk, akan tetapi melihat senyum dan pandang mata itu, dia pun merasa lega.

"No... Nona..., engkau di sini?"

Hun Bwee tersenyum, senyum yang amat manis dalam pandang mata Lian Ci Sengjin, karena disertai bayangan malu-malu kucing!

"Lo-enghiong... kenapa engkau agaknya selalu menjauhkan diri dariku? Apakah... apakah Lo-enghiong termasuk golongan pria yang berwatak habis manis sepah dibuang?"

Berubah wajah Lian Ci Sengjin, menjadi pucat lalu berubah merah, matanya terbelalak. Tadinya dia menyangka bahwa gadis ini benar-benar menjatuhkan tuduhan perkosaan itu kepada Keng Hong, akan tetapi pertanyaan ini berarti lain?

"Apa... apa maksudmu, Nona?"

Kembali Hun Bwee tersenyum malu-malu dan mengerling. "Lo-enghiong, bukankah aku sudah membersihkan nama baikmu dan menjatuhkan noda kepada Cia Keng Hong yang kubenci? Apakah kau masih tidak mengerti apa yang kumaksudkan? Marilah kita bicara di taman sana, Lo-enghiong. Sungguh tak menyenangkan dan amat memalukan bagiku bila ada telinga lain yang mendengarnya," kata gadis itu perlahan-lahan.

Timbul kecurigaan di hati Lian Ci Sengjin. "Katakan dulu mengapa kau lakukan itu, baru aku percaya," katanya terus terang.

Hun Bwee menarik napas panjang dan menoleh ke kanan kiri, kemudian melangkah maju mendekat dan berbisik lirih, "Lo-enghiong, aku adalah puteri tunggal Tan-piauwsu. Ayah dan ibuku mendendam sakit hati kepada Sin-jiu Kiam-ong dan aku telah bersumpah akan membalasnya. Karena ayah dan ibuku mati akibat perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, maka aku harus membalas kepadanya namun karena dia pun sudah tidak ada, maka satu-satunya jalan hanya membalas dendam kepada muridnya."

Lian Ci Sengjin mengangguk-angguk. Dia mengenal Tan-piauwsu dan sudah mendengar pula bahwa piauwsu itu adalah salah seorang di antara musuh-musuh Sin-jiu Kiam-ong. "Lalu bagaimana?"

"Aku... ehh, aku telah... menjadi isteri Lo-enghiong... dan... hal itu... amat membahagiakan hati..."

"Hemmm... sungguhkah?" Jantung bekas tokoh Kun-lun-pai yang usianya telah setengah abad kurang sedikit ini berdebar.

"Perlu apa aku bohong? Mengapa Lo-enghiong dahulu itu meninggalkan aku begitu saja? Padahal aku... aku mencari-carimu, maka aku menimpakan noda itu kepada Keng Hong."

"Tapi... tapi mengapa engkau mengancamku ketika murid Siauw-lim-pai itu membuka... rahasia itu?"

"Aihhhhh... Lo-enghiong mengapa tidak tahu akan wanita? Tentu saja aku malu di depan begitu banyak orang dan... sudahlah, mari kita berbicara di taman sana sambil menikmati cahaya bulan dan membicarakan masa depan kita. Ataukah... Lo-enghiong benar-benar berwatak habis manis sepah dibuang?"

Sejenak mereka saling berpandangan di bawah sinar bulan yang terang. Lian Ci Sengjin memandang dengan pandang mata penuh selidik, namun setelah diamuk birahi tentu saja penyelidikannya percuma sehingga makin lama makin menipis sinar menyelidik, terganti seluruhnya oleh sinar mata mesra dan haus, maka akhirnya hanya sepasang mata yang indah, mulut yang manis menggairahkan saja yang nampak olehnya.

Ada pun Tan Hun Bwee memandang bekas tokoh Kun-lun-pai itu dengan mata dikerling, tajam memikat, mulut agak terbuka sehingga di balik sepasang bibir merah basah tampak deretan gigi putih mengkilap dan ujung lidah merah mengintai genit.

Walau pun kini hatinya sudah yakin bahwa gadis ini benar-benar ‘jatuh cinta’ kepadanya karena peristiwa dahulu itu, mulut Lian Ci Sengjin masih bertanya,

"Nona, mana bisa aku percaya begitu saja? Aku sudah tua, engkau masih begini muda, segar dan cantik jelita."

"Ahhh, mengapa engkau berkata demikian, Lo-enghiong? Aku adalah seorang wanita dari keluarga baik-baik. Setelah... setelah menjadi milikmu... bagaimana aku tak mencintamu? Engkau telah memiliki diriku berarti telah memiliki jiwa ragaku...” Hun Bwee menundukkan muka dan kelihatan malu-malu kucing sehingga sikap ini makin membetot jantung Lian Ci Sengjin.

"Tapi... tapi... hatiku belum yakin..."

"Aahhh...!" Hun Bwee tiba-tiba melangkah maju.

Lian Ci Sengjin terkejut dan sudah siap menangkis. Akan tetapi kedua tangan Hun Bwee bergerak mesra sekali merangkul leher Lian Ci Sengjin, kedua lengan yang berkulit halus putih itu seperti dua ekor ular merayap melingkari leher, menarik leher itu sehingga Lian Ci Sengjin terpaksa menundukkan muka.

Muka mereka perlahan saling mendekati, dua pasang mata bertemu pandang, semakin dekat, semakin dekat hingga laki-laki itu merasa napas halus Hun Bwee menyapu pipinya, mencium keharuman yang memabukkan dan masih saja Hun Bwee menariknya sehingga akhirnya mulut mereka bertemu dalam sebuah ciuman yang sebelumnya hanya pernah dialami Lian Ci Sengjin di dalam alam mimpi!

Hampir pingsan Lian Ci Sengjin dibuatnya! Sepasang matanya terbelalak dan sejenak dia tidak percaya akan pengalamannya, namun diam-diam menikmati permainan perasaan yang amat luar biasa. Betapa sepasang bibir yang lembut, hangat dan basah mengecup-ngecupnya! Betapa gigi yang putih-putih menggigit gemas! Betapa lidah kecil merah itu...!

Lian Ci Sengjin semenjak mudanya menjadi tosu. Seperti juga segala macam agama di dunia ini, agama To juga merupakan agama yang amat baik, amat suci dan merupakan pelajaran bagi manusia supaya tidak menghambakan diri kepada nafsu dan kenikmatan duniawi. Kalau toh ada seorang beragama yang melakukan penyelewengan, hal ini bukan sekali-kali salahnya agama itu sendiri, melainkan kesalahan si orang yang lemah batinnya sehingga menyeleweng dari pada ajaran agamanya!

Agamanya sendiri tetap suci, tetap bersih, namun manusia juga tetap manusia, makhluk yang selemah-lemahnya! Semenjak mudanya, sudah banyak Lian Ci Sengjin digembleng dengan pelajaran-pelajaran Agama To, namun karena batinnya lemah, dia tidak mampu menanggulangi amukan nafsu-nafsu dirinya sendiri, terutama sekali nafsu birahi.

Sekarang pertahanannya yang umpama sebuah tanggul telah bocor, mana kuat menahan nafsu yang membanjir akibat dibangkitkan oleh Hun Bwee! Segala pertahanannya hancur berantakan dan dia pun tenggelam dalam lautan nafsunya sendiri. Geraman seperti suara seekor beruang keluar dari kerongkongan dan dia membalas ciuman Hun Bwee dengan kasar penuh nafsu, memeluk tubuh wanita itu yang seakan hendak ditelannya bulat-bulat pada saat itu juga!

Hun Bwee memegang lengan Lian Ci Sengjin yang menggerayangi pakaiannya sambil berbisik, "Lian Ci koko... jangan... jangan di sini... ohhh...!"

Lian Ci Sengjin merasa seolah-olah terapung di langit ke tujuh mendengar sebutan ‘koko’ ini. Dua lengannya memeluk dan sambil tertawa seperti orang mabuk, dia menggendong tubuh kekasihnya itu dan membawanya lari ke dalam taman di mana terdapat banyak pohon-pohon sehingga mereka akan terlindung dalam kegelapan bayangan pohon.


                  ***************


 Semenjak manusia tercipta, nafsu birahi merupakan nafsu yang paling kuat dan jika nafsu ini telah mencengkeram diri manusia, maka si manusia lupa akan segala hal, kehilangan kewaspadaannya dan seluruhnya menjadi permaianan nafsu. Dapat dilihat dalam catatan sejarah betapa banyaknya kaisar-kaisar yang jatuh karena diperhamba oleh nafsu birahi, orang-orang gagah runtuh karena wanita, dan orang-orang yang hendak menyucikan diri tergoda oleh nafsu yang merupakan godaan terkuat.

Nafsu birahi merupakan anugerah alamiah yang memperindah cinta kasih antara pria dan wanita, mendorong manusia untuk berkembang biak dan sudahlah menjadi hukum alam. Namun apa bila nafsu birahi tidak dikekang dan sudah mencengkeram diri manusia yang telah menciptakan hukum-hukum kesusilaan, maka segala rintangan, segala pantangan akan dilanggar di luar kesadarannya.

Dalam cengkeraman nafsu birahinya yang memuncak, Lian Ci Sengjin lupa bahwa wanita cantik yang kini dipeluknya dan diletakkan dengan mesranya di atas rumput tebal dalam taman itu adalah seorang wanita yang mempunyai ilmu kepandaian luar biasa, jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada dia sendiri, lupa bahwa dia pernah melakukan perbuatan keji dan terkutuk terhadap gadis ini.

Dalam keadaan telanjang bulat, bagaikan seekor binatang buas dia menubruk gadis yang dianggapnya kekasihnya itu, dan gerengnya dahsyat keluar dari kerongkongannya. Akan tetapi gerengan dahsyat ini berubah menjadi pekik kaget yang tertahan. Untuk terkejut pun dia tidak sempat lagi, karena tahu-tahu tubuhnya telah menjadi lemas, tertotok oleh dua ujung jari Hun Bwee yang amat lihai.

Tubuh Lian Ci Sengjin tergelimpang tak berdaya di atas rumput dan hanya matanya yang memandang betapa gadis dengan tubuh yang bagaikan terselaput emas di bawah sinar bulan purnama itu kini tidak tampak lagi oleh Lian Ci Sengjin karena seolah-olah gadis itu telah berubah menjadi setan yang amat menyeramkan baginya.

"Hi-hi-hik, he-he-heh-heh-heh!" Hun Bwee merenggut pakaiannya dan tidak tergesa-gesa mengenakan pakaiannya menutupi tubuhnya yang telanjang di depan pandang mata Lian Ci Sengjin, bagaikan orang yang sedang bersolek dan memikat. Setelah semua pakaian dikenakannya, dia menyanggul kembali rambutnya yang tadi terlepas dalam pergumulan mesranya dengan Lian Ci Sengjin!

Lian Ci Sengjin maklum bahwa dia telah terjebak, maklum akan bahaya maut mengancam dirinya. Cepat dia membuka mulut hendak menjerit agar dapat menarik perhatian kawan-kawannya.

Tetapi secepat kilat Hun Bwee menampar mulutnya, lalu mencengkeram mulut itu dengan tangan kiri ada pun tangan kanannya menyambar pakaian Lian Ci Sengjin yang tergeletak berceceran di situ. Celana bekas tokoh Kun-lun-pai itu kini disumbatkan ke dalam mulut sampai hampir memenuhi kerongkongan!

"Hi-hi-hik! Lian Ci Sengjin, ataukah Lian Ci Tojin? Enak benar ya dulu kau memperkosa aku? Hi-hi-hik, sekarang tiba saatnya engkau menerima hukumanku!"

Lian Ci Sengjin hanya membelalakkan dua matanya dengan penuh rasa ngeri dan seram, kemudian saking takutnya, air keluar dari atas dan bawah! Ia terkencing-kencing saking takutnya, dan air matanya mengalir turun, pandang matanya minta dikasihani bagai mata seekor lembu yang sudah ditelikung akan disembelih. Akan tetapi tentu saja keadaannya ini bukan menimbulkan rasa iba di hati Hun Bweee, bahkan menambah kemarahan gadis yang gilanya sudah kumat lagi itu!

"Singggg...!" Sinar hitam berkelebat ketika Hek-sin-kiam dicabut.

"Apamu dulu yang harus dihukum? Hi-hi-hik-hik!" Hun Bwee mengelebatkan pedangnya di depan hidung Lian Ci Sengjin. "Mula-mula tanganmu, ya? Tanganmu mencengkeramku, merenggut lepas pakaianku, membelaiku. Benar, tanganmu yang lebih dulu kurang ajar."

Sinar hitam berkelebat dan andai kata mulut Lian Ci Sengjin tidak disumbat, tentulah dia akan melolong-lolong saking nyerinya. Satu demi satu jari-jari tangannya dibabat buntung oleh sinar pedang hitam, tinggal setengah jari saja! Dapat dibayangkan betapa nyerinya, kiut-miut rasanya, pedih perih seperti jarum-jarum ditusukkan ke ulu hatinya.

Hebatnya, gadis itu kini menari-nari di depan Lian Ci Sengjin! Menari-nari sambil tertawa terkekeh-kekeh kegirangan seperti seorang anak kecil bermain-main.

"Bagus! Bagus! Hi-hi-hik-hik, kini tanganmu tidak dapat menggerayangi tubuh wanita lagi! Sekarang apamu?" Tiba-tiba Hun Bwee berhenti menari, menengadah dan mengerutkan kening, mengingat-ingat. Dahulu ketika dia diperkosa, dia berada dalam keadaan pingsan, atau setengah pingsan sehingga dia hanya ingat secara remang-remang saja.

"Hemmm, engkau menciumku! Hidungmu menciumi seluruh tubuhku, kemudian mulutmu yang bau bangkai itu menggigit bibirku dan leherku!"

Kembali sinar hitam berkelebat dua kali seperti kilat menyambar dan... ujung hidung Lian Ci Sengjin terbabat putus disusul dengan kedua bibirnya! Tentu saja wajah yang mulutnya tersumbat itu tampak buruk mengerikan sekali. Tampak dua buah lubang hidungnya yang sudah kehilangan bukit hidung, dan giginya yang besar-besar kuning tampak pula setelah sepasang bibir penutupnya robek.

Lian Ci Sengjin memejamkan matanya, dahinya berkerut-kerut saking nyeri yang hampir tak tertahankan lagi. Darah membasahi tubuh dan lehernya, darah dari kedua tangan dan dari mukanya. Pada waktu dia membuka mata lagi, sepasang biji matanya berputar-putar liar penuh ketakutan.

"Hi-hi-hik! Engkau makin buruk saja, menjijikan! Orang macam engkau ini hendak menjadi kekasihku? Heh-he-heh! Sekarang giliran bagian tubuhmu yang paling menjijikan harus dibuang!"

Pedang berkelebat dan Lian Ci Sengjin memejamkan mata, maklum bahwa maut akan datang merenggut nyawanya. Akan tetapi pedang tidak jadi dibacokkan dan Hun Bwee tertawa-tawa.

"Ahh, nanti dulu, hi-hi-hik-hik! Keenakan engkau kalau mati sekarang! Engkau pun telah menyiksaku dan sampai kini aku masih hidup, hu-hu-huuuuuk!" Gadis itu menangis. Lian Ci Sengjin makin mengkirik ngeri.

Tiba-tiba Hun Bwee tertawa lagi. "Ha-ha-hi-hi-hik! Benar! Matamu itu, ahhh…, kalau saja matamu bukan yang kau pakai sekarang ini, belum tentu kau akan melakukan perkosaan kepadaku. Matamu itu mata keranjang, maka lebih baik dibuang saja!" Dua kali pedang berkelebat dan sepasang biji mata Lian Ci Sengjin tercongkel keluar!

Mengerikan sekali keadaan bekas tokoh Kun-lun-pai itu. Bila mana tadi dia masih dapat memperlihatkan rasa takut dan rasa nyeri yang luar biasa melalui pandang matanya, kini dia hanya dapat berkelojotan saja. Dan hanya gerakan berkelojotan lemah ini saja yang menandakan bahwa dia belum mati, juga belum pingsan dan masih menderita penyiksaan yang hanya sanggup dilakukan seorang yang sudah gila itu, gila karena berubah ingatan atau juga gila karena diamuk dendam.

Hun Bwee masih terkekeh-kekeh dan berkali-kali pedangnya berkelebat berubah menjadi sinar hitam. Mula-mula sepuluh buah jari kaki Lian Ci Sengjin dibabat buntung kemudian kedua telinganya dan semua anggota tubuh yang ‘menonjol’, dibuntungi semua satu demi satu.

"Heh-heh-heh, engkau tidak merintih. Ohhh, sumbat mulutmu!"

Hun Bwee yang agaknya merasa kurang puas karena melihat korbannya tidak dapat mengeluarkan suara itu, menyambar dan membuka sumbat yang dijejalkan ke mulut Lian Ci Sengjin. Begitu sumbat mulutnya dibuka terdengar rintihan dari mulut itu, rintihan yang tidak karuan bunyinya, akan tetapi masih dapat ditangkap kata-katanya,

“Ampun... ampun... ampun...!"

"Hi-hi-hik! Bagus sekali...!" Tiba-tiba pedang menyambar ke bawah pusar Lian Ci Sengjin.

"Auggghhhhrrrrr...!"

Jeritan terakhir yang keluar dari kerongkongan Lian Ci Sengjin sangat nyaring, juga amat mengerikan sebab jeritan itu merupakan pekik kematian yang mungkin dibarengi dengan melayangnya nyawa dari tubuhnya. Lian Ci Sengjin baru mati setelah dia disiksa selama hampir setengah jam.

Namun agaknya Hun Bwee belum merasa puas. Pedangnya masih terus menyambar-nyambar dan membacoki tubuh yang sudah menjadi mayat itu sehingga sekarang tubuh itu terpotong-potong dicacah-cacah sampai tidak ada potongan yang panjangnya lebih besar dari setengah kaki. Kepalanya dibelah menjadi empat potong dan anggota tubuh yang paling dibenci Hun Bwee dan paling membuatnya jijik itu telah dicacah-cacah seperti daging bahan bakso!

Sekarang Hun Bwee tidak tertawa-tawa lagi, melainkan menjerit-jerit menangis diselingi tawa sambil membacoki terus! Pakaian merahnya penuh dengan percikan darah, namun tak dipedulikan. Pedang hitamnya juga sudah basah oleh darah.

Dalam keadaan seperti itulah lima orang anak buah Pat-liu Sian-ong yang pada waktu itu kebetulan sedang meronda di taman mendapatkan gadis itu. Lima orang anak buah ini cepat-cepat lari mendekati dan mereka terbelalak penuh kengerian ketika melihat gadis itu membacoki mayat yang sudah menjadi onggokan daging berceceran. Hanya ketika mereka melihat pakaian Lian Ci Sengjin di atas rumput saja yang membuat mereka sadar bahwa yang dibacoki itu adalah bekas tubuh Lian Ci Sengjin!

"Celaka...!" Seorang di antara mereka berseru kaget.

Mendengar ini, Hun Bwee menengok dan sambil berteriak ganas ia menerjang ke depan, menggerakkan pedangnya. Lima orang itu cepat menggunakan senjata menangkis, akan tetapi dalam sekejap mata saja, empat orang di antara mereka telah roboh dengan nyawa melayang, dan hanya seorang yang terluka pada pundaknya masih sempat lari sambil berteriak-teriak sekerasnya.

Hun Bwee mengejarnya. Dua bayangan orang berkelabat dan muncullah Si Iblis Cebol Gu Coan Kok dan si raksasa Kerait yang bernama Hok Ku. Melihat keadaan Hun Bwee, dua orang di antara iblis-iblis Tembok Besar ini cepat menyerangnya.

Gu Coan Kok menyerang dengan tongkatnya yang panjang, gerakannya cepat dan aneh sekali, menyodokkan tongkatnya ke arah perut Hun Bwee. Pada saat itu juga, Hok Ku si raksasa tinggi besar bongkok telah menggerakkan senjatanya berbentuk cakar besi yang beracun dan yang disambung dengan dua tangannya, menyerangnya dengan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa), mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dengan tangan kanan ke arah dada Hun Bwee.

Hun Bwee menjadi marah sekali. Mulutnya mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya berkelebat, berubah menjadi segulung sinar hitam yang sekaligus menangkis tongkat yang menyodok perut dan cakar yang mencengkeram dada, sedangkan tangan kirinya dengan berani menyampok cakar yang mencengkeram kepalanya.

"Cring! Tranggg! Plakkk!"

Kedua orang jagoan Tembok Besar terkejut sekali karena tangkisan pedang itu membuat senjata mereka terpental, sedangkan cakar besi beracun itu ketika disampok tangan kiri Hun Bwee, membuat Hok Ku hampir terguling! Padahal raksasa bongkok ini mempunyai tenaga yang amat besar. Tahulah mereka bahwa wanita gila ini ternyata lihai luar biasa.

Mereka bersilat dengan hati-hati sekali, apa lagi ketika Hun Bwee kini membalas dengan serangan yang bertubi-tubi dan gerakannya mirip gerakan ngawur, asal bacok dan tusuk saja bukan seperti gerakan dari seorang ahli pedang. Justru gerakan ngawur inilah yang menyembunyikan kelihaian ilmu pedang ajaran Go-bi Thai-houw si nenek gila.

Serangan yang ngawur ini benar-benar mengacaukan gerakan dua orang jagoan Tembok Besar. Kelihatannya ngawur, namun dari gerakan itu memancar keluar bahaya-bahaya maut sehingga mereka tidak berani memandang ringan dan cepat menggerakkan senjata untuk menangkis.

"Hi-hi-hik!" Hun Bwee terkekeh dan tiba-tiba tubuhnya jatuh terpelanting sendiri karena kakinya yang kacau itu membuat ia kehilangan keseimbangan tubuh!

Melihat wanita baju merah itu terguling miring dan pedangnya terhimpit tubuhnya sendiri, tentu saja dua orang jagoan Tembok Besar menjadi girang bukan main. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi dan melihat keadaan lawan, mereka tahu bahwa kini mereka tentu akan dapat menundukkan lawan aneh itu.

Cepat mereka berdua menubruk, seperti berlomba, menggerakkan senjata. Betapa pun juga, karena mereka ingin menawan wanita gila ini hidup-hidup, senjata tongkat bergerak menotok jalan darah sedangkan kedua cakar besi hanya mencengkeram pundak. Mereka berdua tidak mengirim pukulan maut karena keadaan lawan yang sudah tidak berdaya seperti tiu, dengan penyerangan mereka itu pun pasti mereka akan berhasil.

Kedua orang jagoan Tembok Besar itu boleh jadi sudah memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman bertanding yang amat matang, akan tetapi tentu saja mereka belum pernah bertemu dengan lawan yang mempunyai ilmu dari Go-bi Thai-houw yang luar biasa, ilmu yang diciptakan oleh orang yang miring otaknya sehingga akal-akal yang terdapat dalam ilmu silatnya kiranya hanya akan dapat diduga dan diperhitungkan oleh orang sinting pula.

Jatuhnya tubuh Hun Bwee sehingga rebah sendiri bukanlah memang sewajarnya, meski pun tampaknya demikian, melainkan gerak tipu yang berbahaya sekali! Pada saat ujung senjata kedua orang sudah hampir berhasil, secara tak tersangka-sangka dan tiba-tiba tubuh gadis itu terguling menelungkup dan kedua kakinya bergerak menendang, bukan menendang seperti biasa, melainkan ‘menyepak’ ke belakang seperti kaki belakang kuda mengarah anggota rahasia pusar kedua orang lawan!

Bukan main kagetnya Gu Coan Kok dan Hok Ku! Apa bila serangan mereka itu mereka lanjutkan, tentu akan mengenai lawan, akan tetapi tidak sampai menimbulkan kematian. Sebaliknya, sepakan gadis itu pun akan mengenai sasaran dan akibatnya tentu sangat hebat. Akan tetapi, untuk menarik kembali serangan mereka, sudah tak keburu lagi maka mereka berusaha mengelak.

Masih untung bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga dalam keadaan tubuh sudah condong ke depan dan menyerang itu mereka masih sempat meloncat ke belakang sehingga sepakan yang cepat dan kuat itu tidak mengenai sasaran secara tepat dan hanya mengenai paha mereka.

Dua orang itu berteriak dan masih dapat meloncat terus ke belakang, paha mereka terasa panas kena dicium belakang kaki Hun Bwee. Ada pun serangan mereka yang tadi hanya sempat menyentuh tubuh Hun Bwee, sama sekali tidak mendatangkan kerugian apa-apa bagi gadis itu.

Sambil terkekeh girang Hun Bwee sudah meloncat bangun lantas memutar pedangnya, mendesak dengan tikaman-tikaman berantai ke arah dua lawannya. Terpaksa dua orang jagoan Tembok Besar ini menggerakkan senjata mereka dengan cepat untuk melindungi tubuh sehingga berkali-kali terdengar suara nyaring bertemunya pedang dengan tongkat dan cakar besi. Dalam belasan jurus saja dua orang itu terdesak hebat oleh gulungan sinar pedang hitam.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Perempuan gila! Engkau telah membunuh Lian Ci Sengjin?"

Bentakan ini disusul dengan bunyi meledak-ledak seperti halilintar menyambar-nyambar dan ternyata sekarang di tempat itu telah muncul Pat-jiu Sian-ong sendiri beserta Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang menggerakkan pecut bajanya sehingga menimbulkan suara bagai halilintar itu. Selain mereka berdua, juga Sian Ti Sengjin ikut datang karena mendengar bahwa sute-nya terbunuh orang.




Kini bekas tokoh Kun-lun-pai itu berdiri dengan muka pucat dan sepasang mata terbelalak memandang pada bekas tubuh sute-nya yang sudah menjadi cacahan daging berceceran tidak karuan. Tak terasa lagi air mata menetes-netes turun membasahi pipinya yang mulai kisut.


"Sute… ahhh, Sute...!" Ia mengeluh dan terbayanglah segala pengalamannya bersama sute-nya.

Lian Ci Sengjin adalah sute-nya yang paling dicintanya, bahkan akhir-akhir ini menjadi sekutunya ketika mereka menentang Kiang Tojin, suheng mereka. Melihat sute-nya telah menjadi daging berceceran seperti itu, hati Sian Ti Sengjin menjadi ngeri dan dia segera mengingat-ingat, dosa apa gerangan yang dilakukan sute-nya hingga sekarang menemui kematian yang demikian mengenaskan.

Kini pertandingan dilanjutkan dengan sangat hebat, akan tetapi setelah Pat-jiu Sian-ong muncul di situ, keadaan Hun Bwee terdesak hebat sekali. Tentu saja kalau dibandingkan dengan Pat-jiu Sian-ong kakek kate kecil berkepala besar yang menjadi seorang di antara Bu-tek Su-kwi, Hun Bwee kalah jauh.

Betapa pun juga, andai kata dia hanya menghadapi kakek ini satu sama satu, belum tentu Pat-jiu Sian-ong akan dapat merobohkannya karena gadis ini memiliki ilmu yang amat aneh sehingga Pat-jiu Sian-ong sendiri menjadi bingung dibuatnya. Dan andai kata gadis itu hanya dikeroyok oleh kedua orang jagoan Tembok Besar, yaitu Gu Coan Kok yang bersenjata tongkat dan Hok Ku yang bersenjata cakar baja, agaknya Hun Bwee masih akan dapat mengalahkan mereka dengan akal-akalnya yang aneh.

Akan tetapi sekarang dia dikeroyok empat dan terutama sekali senjata kebutan hudtim dari Pat-jiu Sian-ong dibarengi pukulan-pukulan sinkang tangan kiri kakek ini yang amat ampuh membuat Hun Bwee kewalahan.

Setelah lewat lima puluh jurus di mana Hun Bwee membela diri mati-matian, tiba-tiba saja ujung hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong berhasil membelit pedang Hek-sin-kiam sehingga dua orang ini saling berkutetan mengadu tenaga untuk mempertahankan senjata mereka masing-masing. Saat itu digunakan oleh Cou Seng untuk menyambar pecut bajanya ke arah kepala Hun Bwee dan dari depan, tongkat Gu Coan Kok menyodok dada sedangkan cakar baja Hok Ku mencengkeram muka!

Hun Bwee yang masih berkutetan mempertahankan pedang, cepat berjongkok sehingga pecut baja Cou Seng bertemu dengan cakar besi, ada pun tongkat Gu Coan Kok yang menyodok telah ditangkis oleh tangan kirinya. Akan tetapi pada saat itu, tahu-tahu tubuh Cou Seng yang bulat besar telah menubruknya dari belakang dan telah memeluk dengan kedua lengannya yang besar berbulu sehingga Hun Bwee tidak mampu berkutik lagi!

Cou Seng ini selain merupakan seorang ahli bermain pecut baja, juga berjuluk Thai-lek Sin-mo (Iblis Sakti Bertenaga Besar), tenaganya hebat bukan main seperti tenaga seekor gajah, dan dia adalah seorang ahli gulat maka pelukannya bukanlah sembarang pelukan. Kedua lengannya yang besar kuat itu menelikung Hun Bwee melalui bawah ketiak gadis itu dan terus membelit ke belakang leher di mana jari-jari tangannya yang kuat saling membelit. Pelukan maut!

"Ahhhhh...! Uuhhhh...!" Gadis itu meronta-ronta namun percuma saja, sedikit pun ia tidak mampu melepaskan diri.

Melihat keadaan gadis yang sudah tidak berdaya ini, Pat-jiu Sian-ong lalu mengerahkan tenaganya membetot hudtim, akan tetapi dia menjadi terkejut dan kagum sekali karena gadis itu tetap mampu mempertahankan pedangnya. Ada pun dua orang jagoan Tembok Besar yang lain kini tertawa saja melihat bahwa lawan yang lihai itu telah kena ditelikung.

Tiba-tiba saja Coa Seng mengeluarkan teriakan memaki secara tidak terduga-duga sama sekali. Ternyata Hun Bwee menundukkan muka dan menggigit lengan yang melingkari lehernya melalui bawah ketiak, sedang tangan kirinya dengan jari-jari lurus dan mengeras penuh tenaga sinkang ditusukkan ke belakang melalui pundak ke arah mata Cou Seng yang berada di belakangnya!

Cou Seng yang merasa lengannya sakit karena kulit lengan robek dihujam gigi putih kecil yang kuat, menarik kepala ke belakang untuk menyelamatkan mata. Akan tetapi kiranya jari-jari tangan itu tidak jadi menusuk mata, melainkan menusuk jalan darah di lehernya! Kaget sekali hati Thai-lek Sin-mo dan karena kaget, lingkaran lengannya mengendor dan dia miringkan tubuh.

Kesempatan ini digunakan oleh Hun Bwee yang tiba-tiba menggerakkan kaki kanannya, kembali bagai seekor kuda ‘menyepak’ ke belakang, tungkak (tumit) kakinya mengancam anggota tubuh paling lemah dari setiap pria, yaitu di bawah pusar!

"Celaka...!" Cou Seng cepat merenggangkan tubuh.

Detik itulah yang dinanti Hun Bwee yang seperti seekor belut saja tiba-tiba menggeliat dan melempar tubuh ke bawah sehingga lingkaran lengan yang merupakan pelukan maut itu terlepas. Hun Bwee membalik dan menendang. Cou Seng mengelak, namun tetap saja tulang keringnya kena ditendang.

"Wadouuuwwwww...!"

Raksasa ini langsung meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil memegang kaki kirinya. Berdenyut-denyut rasanya saking nyerinya. Kalau tulang kering kakinya itu patah sekali, tidaklah akan sedemikian nyerinya. Akan tetapi patah tidak, utuh pun tidak, mendekati retak-retak, bukan main nyerinya sampai terasa menembus jantung!

Akan tetapi, pada saat itu kebutan di tangan Pat-jiu Sian-ong sudah melepaskan belitan dan menyambar kepala Hun Bwee. Gadis ini sudah membuang tubuh ke belakang dan berjungkir balik sambil memutar pedangnya.

"Cringgg...! Tranggggg...!"

Tongkat Gu Coan Kok serta tangan yang berselubung cakar besi Hok Ku ditangkisnya dengan tepat. Karena kedudukan badannya sedang berjungkir-balik sambil menangkis, maka dia tidak mampu lagi mengelakkan datangnya hudtim dari Pat-jiu Sian-ong. Ujung kebutan meledak dan menotok punggungnya.

Untung Hun Bwee masih dapat mengerahkan sinkang yang aneh, yang membuat jalan darah yang tertotok itu seolah-olah ‘mati’ sehingga ketika totokan mengenai sasaran, dia hanya roboh terguling dengan bantingan cukup keras. Tetapi cakar besi Hok Ku segera menyambar dan sungguh pun dia sudah menggulingkan tubuh di atas tanah, tetap saja bahunya robek berikut kulit dan daging terkena cakaran, sedangkan tongkat Gu Coan Kok menghantam pundak kirinya hingga tulang pundak kirinya patah!

Hun Bwee menjerit lalu tertawa bergelak, tiba-tiba ia berlutut di hadapan Pat-jiu Sian-ong seperti orang minta ampun! Melihat ini, kakek yang merupakan salah seorang di antara datuk-datuk golongan sesat ini tertegun. Hanya beberapa detik tertegun namun cukuplah bagi Hun Bwee. Tangan kirinya yang pundaknya sudah patah itu masih dapat bergerak dan tanah berdebu menyembur ke atas.

"Celaka...!"

Pat-jiu Sian-ong yang tadi menunduk, cepat mengelak tanpa berani memejamkan mata sebab memejamkan mata pada saat menghadapi lawan merupakan pantangan besar. Hal inilah yang membuat matanya kemasukan debu. Sambil berseru keras hudtim-nya lantas menyambar ke depan sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke belakang, matanya untuk sementara tak dapat melihat.

Namun Hun Bwee sudah mengelak, meloncat jauh dan berlari sambil terkekeh-kekeh. Di antara para pengeroyoknya, yang hebat kepandaiannya adalah Pat-jiu Sian-ong, maka dalam keadaan terluka seperti itu satu-satunya jalan baginya untuk dapat melarikan diri haruslah membuat kakek lihai itu tidak berdaya lebih dulu.

Benar saja, karena Pat-jiu Sian-ong membersihkan kedua matanya yang kelilipan debu, hanya tiga orang jagoan Tembok Besar yang melakukan pengejaran. Akan tetapi Cou Seng mengejar sambil terpincang-pincang, maka mereka bertiga tak mampu menandingi ginkang Hun Bwee yang sudah menghilang ditelan bayang-bayang pohon yang gelap.

Selama terjadinya pertempuran itu, Sian Ti Sengjin hanya menonton saja, berulang-ulang dia menarik napas panjang dan ketika Hun Bwee melarikan diri, dia tidak ikut mengejar melainkan berlutut menghadapi ceceran daging-daging bekas tubuh sute-nya.

"Biar dia lari! Jangan khawatir, dia tidak akan mampu keluar dari benteng ini!" kata Pat-jiu Sian-ong penuh kemarahan ketika kedua matanya sudah dapat dibuka lagi.

Dia merasa malu dan penasaran mengapa dia sebagai seorang datuk kenamaan sampai dapat diakali oleh seorang bocah gila. Justru karena gila, maka akal yang dilakukan Hun Bwee tadi sama sekali tidak pernah disangkanya sehingga dia kena ditipu. Dengan hati penasaran, Pat-jiu Sian-ong lalu mengeluarkan perintah untuk melakukan penjagaan ketat dan meronda agar gadis gila itu tidak sampai dapat lolos dari dalam benteng itu.

Pada saat Cui Im mendengar laporan tentang peristiwa terbunuhnya Lian Ci Sengjin dan larinya Hun Bwee, dia menerima dengan sikap dingin seolah tidak peduli. Lian Ci Sengjin bukan merupakan seorang pembantu yang terlalu kuat, bahkan lenyapnya tokoh ini malah meringankan gangguan terhadap dirinya. Justru dia lebih menyayangkan Hun Bwee yang dia tahu mempunyai kepandaian aneh dan hebat, terutama sekali terjadinya peristiwa itu telah melenyapkan harapan mereka semua untuk dapat menarik tenaga Go-bi thai-houw sebagai sekutu.

"Sian-ong, kalau dia sudah membunuh Lian Ci Sengjin, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kita karena mereka itu mempunyai urusan pribadi sendiri. Lebih baik biarkan saja dia lari dari sini, karena kalau sampai kita membunuhnya dan kelak hal ini didengar oleh gurunya, kita malah akan menanam bibit permusuhan dengan lawan yang tidak lemah."

Ucapan ini dapat diterima oleh semua orang dan Cui Im sengaja melirik ke arah Sian Ti Sengjin. Akan tetapi bekas tokoh Kun-lun-pai ini terlihat diam saja, agaknya belum lenyap rasa kaget dan dukanya atas kematian sute-nya. Pak-san Kwi-ong juga menerima berita ini sambil tertawa-tawa saja, sama sekali tidak mempedulikannya.

Karena sikap dua orang sekutu inilah maka Pat-jiu Sian-ong tidak turun tangan sendiri dalam mengejar Hun Bwee sehingga seolah-olah membiarkan gadis yang sudah terluka itu meloloskan diri, kalau masih memiliki kemampuan untuk menerobos garis penjagaan anak buahnya. Namun larinya Hun Bwee ini membuat Cui Im berhati-hati dan cepat ia mengatur rencana yang telah ia persiapkan untuk menghadapi empat orang tawanannya yang ia tahu merupakan orang-orang yang amat berbahaya karena mereka berempat itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Keng Hong.


                  ***************


Hun Bwee yang berhasil lolos dari kepungan, berlari di dalam gelap sambil menangis dan kadang-kadang tertawa. Kalau ia teringat betapa ia telah menemukan orang yang sudah memperkosanya kemudian melampiaskan dendamnya, ia sendiri tidak tahu harus tertawa atau menangis. Kelegaan hati telah dapat membunuh orang yang telah merusak hidupnya membuat ia ingin tertawa bergelak sampai mati, akan tetapi apa bila teringat lagi bahwa yang memperkosanya bukanlah Keng Hong seperti yang selama ini disangkanya, bahkan diharapkannya karena dia mencinta pemuda itu, membuat dia ingin menangisi nasibnya yang amat buruk.

Kini dia tidak kumat lagi. Otaknya benar-benar waras dan kini dia menggunakan segala kecerdikannya untuk dapat lolos dari tempat yang berbahaya ini. Dia harus bebas! Untuk dirinya sendiri? Tidak! Dia harus lolos karena kalau tidak, tentu empat orang muda yang tertawan itu akan celaka nasibnya. Terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng! Dia harus lolos kemudian mencari daya upaya untuk menolong mereka dari cengkeraman Bhe Cui Im yang amat lihai.

Tiba-tiba Hun Bwee menyelinap di dalam gerombolan pohon yang gelap saat mendengar suara para penjaga yang siap melakukan penjagaan ketat sesuai dengan perintah Pat-jiu Sian-ong. Dari balik pohon ia dapat melihat kegiatan mereka. Setiap pintu benteng dijaga ketat, bahkan di sepanjang tembok benteng itu dijaga oleh penjaga-penjaga dalam jarak kurang sepuluh meter.

Ia telah dikurung rapat! Dan lapat-lapat ia mendengar suara anjing-anjing mengonggong. Bukan hanya para penjaga anak buah Pat-jiu Sian-ong, juga anjing-anjing ikut mengurung dirinya. Hun Bwee menggigit bibir menahan rasa nyeri di pundaknya.

Gadis ini lalu berindap-indap mencari bagian tembok benteng yang paling gelap. Dengan amat hati-hati ia merayap melalui semak-semak sampai berada tak jauh lagi dari tembok benteng itu. Pandang matanya berusaha menembus keadaan remang-remang di bawah sinar bulan untuk meninjau keadaan.

Tembok itu terlalu tinggi bagi tubuhnya yang sudah terluka. Dia tentu akan gagal kalau berusaha meloncati tembok setelah merobohkan beberapa orang penjaga yang tentu saja dipandangnya rendah. Pundak kirinya yang patah tulangnya itu akan menjadi penghalang besar.

Jalan satu-satunya hanyalah menerjang pintu gerbang yang terjaga oleh kurang lebih dua losin orang itu. Tidak ada jalan lain. Biar pundaknya telah terluka, dengan pedangnya ia masih sanggup untuk membuka jalan darah melalui pintu gerbang itu, pikirnya.

Akan tetapi sebelum dia bergerak, tiba-tiba dia mendengar suara anjing menggereng tak jauh dari tempat dia bersembunyi dari arah belakangnya. Hun Bwee terkejut dan cepat menengok, akan tetapi pada saat itu, seekor anjing berbulu hitam sebesar anak kerbau telah meloncat menerkamnya dengan gerengan dahsyat.

Hun Bwee sedang bertiarap, menelengkup sedangkan pedangnya masih tergantung pada punggungnya. Melihat binatang buas ini menerkamnya, Hun Bwee cepat menggulingkan tubuhnya ke kiri sampai lima kali. Dia harus dapat membunuh binatang ini sebelum para penjaga mendengar dan datang mengeroyok sehingga pintu gerbang akan terjaga lebih ketat sebelum ia dapat mendejangnya.

Tubrukan anjing itu luput dan sebelum binatang itu dapat melakukan serangan susulan, tangan kanan Hun Bwee sudah melayang dengan hantaman kuat. Akan tetapi, anjing itu agaknya lebih awas di tempat gelap. Pukulan itu dapat ia elakkan sehingga bukan kepala anjing yang terpukul, melainkan lehernya yang amat kuat.

"Bukkk!"

Anjing itu segera terlempar ke samping. Akan tetapi dia bukan mengeluarkan pekik yang menandakan dia takut, melainkan meloncat bangun dan menubruk kembali, moncongnya yang bergigi besar-besar dan runcing itu menyerbu ke arah tenggorokan Hun Bwee.

Melihat berkilaunya gigi-gigi tertimpa sinar bulan yang menembus dari celah-celah daun pohon, Gadis ini segera membuang diri ke samping dan kakinya melayang, menendang perut anjing itu. Kembali terdengar suara berdebuk keras dan tubuh anjing itu terlempar lagi ke belakang.

Ternyata anjing itu tubuhnya kuat sekali karena kini dia sudah menubruk lagi. Hun Bwee telah siap dengan pedangnya, sekali Hek-sin-kiam menyambar leher binatang itu terbacok hampir putus! Pada saat itu pula terdengar gerengan keras dan tiga ekor anjing sekaligus menubruk ke arah Hun Bwee! Gadis ini menjadi marah.

"Bedebah!" Dia memaki dan pedangnya berkelebatan.

Sepandai-pandainya anjing, binatang ini kurang akal. Saat melihat sinar hitam, agaknya binatang-binatang ini tidak mengerti bahaya dan terus menubruk. Seekor anjing berbulu coklat roboh tak berkutik dengan leher putus, anjing ke dua mengeluarkan suara menguik keras. Akan tetapi gerakan tiga ekor anjing yang nekat ini membuat Hun Bwee menjadi agak gugup sehingga pada saat pedangnya menusuk ke dada anjing ke dua, pedang itu menyelip dan terjepit di antara tulang iga. Belum sempat ia menarik pedangnya, anjing ke tiga telah menubruknya sedemikian keras hingga ia roboh terguling tertindih badan anjing yang berat.

Dengan ganas sambil mengeluarkan suara menggeram mengerikan anjing itu membuka lebar mocongnya lantas menggigit ke arah leher. Hun Bwee cepat menggunakan tangan menampar mocong itu. Akan tetapi karena dia terbanting dengan pundak kiri di bawah, sebab tadinya terlupa akan luka di pundaknya, dia merasakan nyeri hebat yang membuat tenaganya berkurang. Moncong anjing itu menyeleweng namun masih berhasil menggigit punggungnya!

"Auhhh...!" Gadis itu menjerit perlahan, daging dan kulit punggungnya terasa nyeri.

Dia cepat menggulingkan tubuhnya, berusaha melepaskan gigitan namun tidak berhasil. Anjing itu seperti seekor lintah besar yang terus menempel di belakang tubuhnya. Hun Bwee hampir tidak kuat menahan rasa nyeri, pedangnya masih tertinggal di dada anjing ke dua yang berkelojotan, maka ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya, menangkap kaki belakang anjing dari belakang punggungnya, lalu membawa bagian belakang anjing itu ke depan, kemudian sambil mengerahkan tenaga dan menahan rasa nyeri dia menusukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam perut anjing.

"Crottt!"

Lima buah jari tangan kanannya amblas memasuki perut anjing. Dia mencengkeram dan meremas isi perut anjing, menariknya keluar. Anjing itu mengeluarkan suara yang aneh, gigitannya terlepas dan terjatuh ke atas tanah, berkelojotan.

Hun Bwee terhuyung menghampiri anjing yang ‘merampas’ pedangnya, lantas mencabut pedang itu. Tubuhnya terasa sakit-sakit, terutama sekali pundak kirinya yang tentu saja semakin parah karena dipakai bergumul tadi, serta punggungnya yang terasa perih dan panas. Kulit punggungnya yang halus putih itu robek sehingga darah banyak keluar.

Suara perkelahiannya melawan empat ekor anjing tadi agaknya menarik perhatian para penjaga. Dari balik semak-semak Hun Bwee melihat bahwa para penjaga bersiap dengan senjata di tangan, menjaga pintu gerbang. Sekarang, pikirnya, atau terlambat! Kenekatan ini timbul dari harapan untuk dapat keluar agar dia dapat berdaya upaya menolong empat orang yang tertawan.

Dengan lengking menyeramkan, gadis yang sudah koyak-koyak pakaiannya dan terkoyak kulit punggungnya itu lalu meloncat dan lari ke arah pintu gerbang. Para penjaga sudah siap dan begitu melihat munculnya gadis ini yang mereka anggap kumat gilanya, mereka segera menerjang maju.

Hujan tombak dan golok melayang ke arah tubuh Hun Bwee, akan tetapi gadis ini sudah memutar pedangnya. Gulungan sinar hitam membentuk lingkaran dan terdengarlah suara nyaring ketika tombak-tombak serta golok-golok itu patah dan terlepas beterbangan ke kanan kiri, disusul jerit kesakitan ketika lima orang pengeroyok roboh terkena sambaran Hek-sin-kiam! Menyaksikan keganasan Hun Bwee itu, para pengeroyok lainnya menjadi gentar.

Kesempatan itu digunakan oleh Hun Bwee untuk mengeluarkan suara melengking tinggi, setengah tertawa setengah menangis yang membuat bulu tengkuk para pengeroyoknya berdiri, kemudian tahu-tahu gadis itu sudah meloncat ke dekat pintu gerbang!

"Tangkap…!”

“Bunuh...!"

Teriakan-teriakan itu terdengar lebih gencar dari pada datangnya pengeroyokan karena para penjaga benar-benar merasa ngeri dan jeri. Di depan pintu gerbang kembali Hun Bwee dikeroyok oleh belasan orang penjaga.

Para penjaga itu rata-rata memiliki kepandaian ilmu silat, namun mereka bukanlah lawan berat bagi Hun Bwee. Sungguh pun gadis ini sudah terluka parah dan telah kehilangan setengah bagian kecepatannya, akan tetapi gerakannya masih terlalu hebat bagi para pengeroyok itu sehingga setelah bertanding hebat selama beberapa menit, kembali ada enam orang pengeroyok roboh binasa. Orang terakhir yang roboh adalah penjaga palang pintu gerbang.

Hun Bwee cepat menggigit pedangnya yang berlumuran darah, karena kini tangan kirinya sama sekali tidak dapat ia pergunakan lagi dan sudah lumpuh, kemudian dengan tangan kanannya, sekali renggut palang pintu dari besi itu terlepas dan sekali tendang, daun pintu pun langsung terkuak lebar.

Dua orang penjaga mempergunakan kesempatan selagi gadis itu menggigit pedang dan menggunakan tangan merenggut palang pintu, menyerang dari belakang dengan bacokan golok mereka. Hun Bwee mendengar datangnya sambaran dua batang golok. Cepat dia mengelak dengan menarik tubuh ke belakang. Dua batang golok menghantam daun pintu.

Melihat dirinya dibacok seperti itu, sebenarnya Hun Bwee hendak terus mengamuk dan membunuh dua penjaga itu. Akan tetapi tangan kirinya sudah lumpuh, dan sungguh pun pikirannya terganggu namun dia masih memiliki kesadaran bahwa dia harus cepat-cepat keluar dari benteng itu untuk meloloskan diri.

Maka, melihat pintu besi yang tadi ditendangnya kini sudah terpentang lebar, gadis aneh ini segera melompat keluar kemudian menggunakan ginkang-nya berkelebat. Akan tetapi luka-luka yang dideritanya sangat parah sehingga tenaganya banyak berkurang. Ginkang yang biasanya membuat tubuhnya dapat berkelebat dengan amat cepat, sekarang hanya tersisa tidak sampai setengahnya.

Ketika itu, di sekitar pintu benteng itu telah berkumpul banyak penjaga yang merupakan pasukan anak panah dan masing-masing sudah siap dengan gendewa berisi anak panah. Maka, begitu melihat tubuh Hun Bwee berkelebat keluar hendak melarikan diri, segera anak-anak panah meluncur laksana hujan menimpa tubuh gadis yang keadaannya sudah sangat parah itu.

Sudah sekitar empat puluh tindak Hun Bwee keluar dari tembok benteng ketika telinganya dapat menangkap desir angin berdesingan yang ditimbulkan oleh anak-anak panah yang baru dilepaskan oleh pasukan pemanah. Gadis ini cepat membalikkan tubuh dan segera memutar Hek-sin-kiam untuk melindungi dirinya dari hujan anak panah.

Demikian cepat pedang itu berputar sehingga anak-anak panah itu dapat dipukul runtuh dan jatuh ke tanah, akan tetapi jumlah anak panah itu terlalu banyak sedangkan tenaga Hun Bwee yang tinggal separuh sudah terkuras lebih banyak lagi. Dan akhirnya…..

“Ceppp!” sebatang anak panah menancap pada perutnya, begitu dalam sehingga nyaris tembus sampai ke punggungnya.

“Ahhh…!” Hun Bwee merintih lirih, menahan rasa sakit pada perutnya. Pandang matanya gelap, kepalanya terasa berdenyut-denyut.

Walau pun demikian, gadis yang pikirannya terganggu ini masih terus memutar pedang Hek-sin-kiam secepat yang dia mampu sambil kakinya terus melangkah mundur, menjauh dari benteng itu, makin lama makin menjauh. Akhirnya, ketika sudah tak ada anak panah yang mampu mencapai dirinya, Hun Bwee membalikkan tubuh dan dengan sisa tenaga terakhir dia melarikan diri masuk hutan dengan anak panah tertancap pada perutnya.


                   ***************


"Keng Hong, berkali-kali kau menyakitkan hatiku, akan tetapi aku selalu mengampunimu. Bahkan yang terakhir kali engkau menipuku dengan bujuk rayumu, hampir kau berhasil. Menurut patut, sekarang juga engkau harus kubunuh, atau lebih tepat kalau kau kusiksa sebelum kubunuh. Akan tetapi... ahhhh..." Cui Im menundukkan mukanya, menarik napas panjang penuh penyesalan.

Keng Hong yang masih terbelenggu pada tiang besi di dalam kamar tahanan, menatap tajam dan dapat menduga bahwa sekali ini gadis itu tidak berpura-pura, tapi benar-benar menyesal sekali.

"Kenapa, Cui Im? Lanjutkanlah," katanya perlahan dan dengan suara dingin, menunjukkan bahwa hatinya telah tertutup sama sekali terhadap wanita ini.

Memang dia beberapa kali berlaku tidak sedap terhadap Cui Im, akan tetapi bukankah wanita ini yang lebih dulu melakukan hal-hal yang mencelakakan Biauw Eng gadis yang dicintanya?

Cui Im mengangkat muka memandang Keng Hong dan pemuda ini terkejut ketika melihat beberapa tetes air mata membasahi sepasang pipi wanita itu. Cui Im menangis! Air mata buayakah ini? Bukan, gadis itu benar-benar merasa berduka dan kecewa sekali.

"Keng Hong, apa artinya hidup bagi seseorang tanpa cinta? Cinta yang murni maksudku, cinta yang timbul dari lubuk hati, cinta yang sudah ada tanpa harus dibuat-buat, yang menguasai seluruh jiwa, yang sudah ada seperti adanya napas dan denyut darah dalam tubuh. Aku cinta padamu, Keng Hong. Bukan! Bukan cintaku terhadap setiap pria tampan yang hanya merupakan dorongan nafsu birahi. Aku cinta padamu dari lubuk hatiku! Aku bersedia melakukan apa saja, bahkan bersedia mengubah seluruh jalan hidupku asal saja aku bisa mendapatkan cintamu, asal saja aku bisa menjadi isterimu!"

Keng Hong memandang dengan sinar mata kasihan, akan tetapi hanya sebentar karena dia teringat akan kekejaman hati yang sudah menjadi watak wanita ini, maka mulutnya segera tersenyum mengejek untuk menyakitkan hati Cui Im. "Cui Im, engkau tahu betapa hal itu tidak mungkin terjadi seperti juga aku telah tahu benar betapa palsu hatimu, betapa cintamu itu hanya kembang bibir saja karena sebenarnya tidak ada cinta di hatimu, yang ada hanya dengki, iri dan benci. Di balik cintamu itu tersembunyi kebencian yang sedalam lautan!"

Cui Im mengejek. "Demikianlah cinta, Keng Hong. Cinta yang tidak mendapat tanggapan, uluran tangan cinta yang tak disambut dengan jabatan, akan berubah menjadi benci yang mendalam. Aku cinta padamu, aku rela mengorbankan apa pun juga untuk merebut kasih hatimu, akan tetapi kalau tak berhasil, kalau engkau menolak, aku membenci kepadamu, sebenci-benciku!"

Keng Hong tersenyum mengejek meski pun di dalam hatinya dia merasakan penderitaan batin wanita ini. Ia mau percaya penuh keyakinan bahwa wanita ini sungguh mencintanya. Ia pun mau percaya bahwa semua perbuatan Cui Im yang amat keji terhadap Biauw Eng sesungguhnya adalah karena cinta kasih itulah. Karena tidak ingin melihat Keng Hong direbut lain wanita. Akan tetapi dia sendiri, tidak pernah ada perasaan cinta kepada Cui Im.

"Aku tetap tidak percaya, Cui Im. Engkau berhati palsu, dan perasaan cinta kasih terlalu murni, terlalu bersih bagi hati yang kotor dari orang seperti engkau ini. Apa pun yang kau lakukan, kuanggap akan mencelakakan diriku. Kiraku, kebencianmu tidak akan melebihi sakitnya hatiku terhadap dirimu, Cui Im."

Cui Im memandang dan kini kedukaan sudah lenyap dari mukanya, terganti sinar mata menertawakan dan mengejek, "Karena perbuatanku terhadap Biauw Eng?"

"Terutama karena itu, akan tetapi lebih dari pada semuanya karena perbuatanmu yang menyesatkan aku di malam pertama itu. Engkau sudah menyeretku dalam cengkeraman nafsu birahi, membangkitkan sifat binatang dalam diriku. Sungguh aku sangat menyesal karena perbuatanmu itu, Cui Im. Cinta birahi yang bangkit antara dua orang yang saling mengasihi, dalam pertemuan yang murni dan tidak melanggar hukum, tak dibayangi oleh perasaan dosa karena melanggar hukum susila, cinta birahi yang wajar sebagai kembang cinta kasih dari pada pria dan wanita, akan berkembang dengan subur dan murni, suci sehingga menjadi landasan penciptaan manusia baru. Akan tetapi, di dalam tanganmu, cinta birahi hanyalah merupakan pemuasan nafsu binatang yang haus akan kenikmatan kotor. Kotor sekali cintamu, Cui Im. Kotor..."

"Diam!" Cui Im membentak.

Dia telah melangkah maju, tangannya diangkat untuk memukul. Akan tetapi melihat wajah Keng Hong yang tersenyum memandangnya tanpa berkedip, tangannya turun kembali dan dia menjatuhkan diri duduk di atas dipan sambil terisak.

"Kelemahanku adalah... selalu tidak tega bila hendak membunuhmu..." Cui Im menunduk, kelihatan berduka sekali, akan tetapi ia lalu mengangkat muka, memandang dengan sinar mata penuh penyesalan dan kemarahan. "Keng Hong, aku tidak bisa merenggut cintamu, akan tetapi sewaktu-waktu dapat merenggut nyawamu dan nyawa Biauw Eng! Biarlah, aku akan mengalah, akan membiarkan engkau dan Biauw Eng bebas agar kalian dapat menikmati cinta kasih kalian. Akan tetapi, kau berikan Ilmu Thi-khi I-beng kepadaku."

Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Memberikan ilmu dahsyat kepada orang seperti engkau merupakan dosa besar, Cui Im, dosanya sama besar dengan memberikan sayap kepada ular berbisa yang sangat berbahaya. Dari pada hidup bergelimang dosa terhadap manusia dan dunia, lebih baik mati sebagai seorang gagah."

Biar pun mulutnya berkata demikian, namun seluruh urat di tubuh Keng Hong menegang dan siap untuk membela diri, seperti tadi ketika Cui Im hendak memukulnya.

"Keparat! Kau sangka aku tidak kuat memaksa diri menyiksamu?" Cui Im bangkit berdiri, matanya memancarkan api kemarahan.

"Sesukamulah!"

Cui Im bertepuk tangan tiga kali dan muncullah Thian-te Siang-to, dua orang murid Pat-jiu Sian-ong yang malam itu ditugaskan menjaga pintu tahanan.

"Bawa Biauw Eng ke sini!"

Kedua orang kakek itu mengangguk sambil melempar kerling dan senyum mengejek ke arah Keng Hong, kemudian mereka berdua pergi. Diam-diam hati Keng Hong berdebar penuh ketegangan dan kegelisahan, akan tetapi mukanya tidak memperlihatkan sesuatu, tetap tenang seolah-olah dia tidak mengacuhkan sama sekali apa yang dilakukan oleh Cui Im.

Tak lama kemudian, dua orang itu menyeret tubuh Biauw Eng yang juga terbelenggu kaki tangannya memasuki kamar tahanan Keng Hong. Atas perintah Cui Im, tubuh Biauw Eng dilempar secara kasar oleh dua orang kakek itu ke atas pembaringan yang tadi diduduki Cui Im.

Wajah Biauw Eng agak pucat dan kurus, rambutnya awut-awutan tapi dalam pandangan Keng Hong, gadis itu kelihatan semakin cantik sehingga matanya melembut dan mesra ditujukan kepada Biauw Eng. Namun Biauw Eng tetap tenang, sinar matanya memandang wajah bekas suci-nya dengan penuh tantangan.

"Cui Im, wanita yang kehilangan pegangan, apa pula yang ingin kau lakukan sekarang?" tanyanya.

Dia mengerling ke arah Keng Hong, kemudian tersenyum melihat sinar mata mesra dari pemuda itu. Biar pun hanya sejenak, namun pertemuan pandang mata penuh cinta kasih dari kedua orang itu telah membakar hati Cui Im, seperti minyak disiramkan kepada api kebencian yang membakar hati.

"Keng Hong, kau lihat baik-baik! Biauw Eng juga tidak berdaya dan sudah berada dalam cengkeraman tanganku. Jika aku membunuhnya di depanmu, atau menyiksanya, apakah engkau masih hendak bersikap kukuh tidak pernah memberikan ilmu itu kepadaku?"

"Keng Hong, apakah engkau mendengar apa yang diocehkan oleh perempuan ini?"

"Biarlah, Biauw Eng. Biarlah dia mengoceh, karena aku tetap tidak akan memberikan apa yang dimintanya. Diatelah mengambil terlalu banyak dari kita, telah melakukan perbuatan-perbuatan keji dengan maksud menghancurkan kebahagiaan kita berdua. Akan tetapi, jika engkau menghendaki aku memberikan ilmu kepadanya, Biauw Eng, aku akan mentaati kehendakmu. Bukan karena takut aku disiksa atau khawatir engkau dibunuh, orang-orang seperti kita tak akan gentar menghadapi maut, melainkan karena aku yang sudah banyak membuat kesalahan, kini akan mentaati semua yang kau kehendaki."

Biauw Eng mengerutkan keningnya. Memang hatinya masih sakit kalau dia mengenang sikap Keng Hong kepadanya, sikap yang sangat menyakitkan hati setelah dia melakukan semua pengorbanan demi cintanya terhadap pemuda itu, setelah selama bertahun-tahun dia menderita demi cinta kasihnya.

"Bhe Cui Im, ceritakanlah kepadaku apa yang sudah kau lakukan selama ini dan setelah mendengar ceritamu, baru aku akan mengambil keputusan tentang permintaanmu kepada Keng Hong. Engkau tentu menghendaki ilmu yang diperebutkan orang, yaitu Ilmu Thi-khi I-beng itu, bukan?"

Cui Im tertawa mengejek. "Hemmm, kuceritakan atau tidak, apa artinya bagi kalian? Dan biarlah, untuk bekal ke akhirat engkau mendengar pengakuanku, Biauw Eng."

Cui Im yang cerdik segera dapat menangkap sikap bekas sumoi-nya yang agaknya masih mendendam kepada Keng Hong sebagai akibat pemalsuan-pemalsuannya dahulu. Kalau sekarang dia ceritakan, tentu bekas sumoi-nya ini akan sadar betapa pemuda itu amat mencintanya dan mungkin hati Biauw Eng tidak rela kalau melihat Keng Hong mati, dan mungkin akan membujuk pemuda itu menyerahkan ilmu yang amat diinginkannya.

Kalau dia sudah mendapatkan ilmu itu, dengan dibantu kawan-kawannya tentu dia akan mampu mengalahkan Keng Hong dan untuk membunuh mereka berdua ini kelak, masih banyak waktu!

Sebelum bicara, ia menghela napas panjang. "Semua itu kulakukan demi cintaku kepada Keng Hong. Engkau tentu sudah dapat menduga apa yang telah terjadi sebelum engkau menemukan aku dan Keng Hong untuk pertama kali dahulu. Antara dia dan aku sudah terjalin cinta kasih..."

"Bukan cinta kasih, Cui Im. Ingatlah akan rayuanmu dan akan arak beracunmu, bukan cinta kasih, melainkan nafsu iblis yang kau pergunakan untuk menyeretku!"

Cui Im memandang pada Keng Hong dengan senyum mengejek, kemudian melanjutkan, "Katakan apa sukamu, Keng Hong, akan tetapi bagiku, semenjak saat itu aku telah jatuh cinta kepadamu. Demikianlah, Biauw Eng. Aku telah jatuh cinta kepada Cia Keng Hong sebelum kau menjumpainya, maka salahkah aku kalau aku menjadi iri hati dan cemburu melihat engkau mencintanya, bahkan engkau menyatakan cintamu di hadapan mendiang ibumu. Saat itu timbul kebencianku padamu, menghapus semua pertalian persaudaraan dan aku bertekad hendak mempertahankan Keng Hong dari wanita yang mana pun juga, termasuk engkau!"

Biauw Eng mendengarkan dengan sinar mata tajam dan penuh perhatian, sama sekali tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya. Bahkan wajahnya yang cantik itu masih tenang dan tidak memperlihatkan perasaan apa-apa ketika dengan panjang lebar Cui Im menceritakan betapa ia mencuri senjata-senjata rahasia sumoi-nya dan menyamar sebagai sumoi-nya untuk menjelekkan nama sumoi-nya itu supaya di samping sumoi-nya dimusuhi orang-orang kang-ouw, juga menimbulkan kebencian di hati Keng Hong.

"Dengan perbuatan itu sekali pukul aku mendapatkan tiga keuntungan. Pertama, aku bisa memburukkan namamu di mata dunia kang-ouw sebagai pembalasanku karena engkau sudah merampas cinta kasih Keng Hong dariku. Ke dua aku dapat membangkitkan rasa benci di hati Keng Hong terhadap dirimu dan ke tiga aku dapat membunuh setiap wanita yang berani mendekati Keng Hong!"

Mendengar pengakuan-pengkuan ini, biar pun wajahnya tetap tenang, namun dua titik air mata membasahi bulu mata Biauw Eng, dan ketika dia mengerling kepada Keng Hong, pandang matanya mengandung rasa kasihan dan kemesraan. Kini terbuka sudah semua rahasia, sejelas-jelasnya tampak oleh Biauw Eng mengapa sikap Keng Hong dahulu amat menyakitkan hatinya. Kiranya malah Keng Hong yang tentu akan jauh lebih sakit hatinya menyaksikan semua perbuatan keji yang disangka dia yang melakukannya.

"Biauw Eng, sekarang maukah engkau mengampuni aku?" Keng Hong bertanya lirih saat Cui Im menghentikan ceritanya.

Biauw Eng memandang wajah pemuda itu sampai lama, tidak mampu menjawab, hanya mengangguk, kemudian sesudah menekan perasaan harunya, barulah dia dapat berkata perlahan,

"Bukan engkau yang harus minta maaf, melainkan aku, harap kau suka maafkan..."

Dua orang muda itu saling bertemu pandang, penuh keharuan dan kemesraan dan hal ini membakar hati Cui Im. Akan tetapi, gadis yang cerdik ini bersabar dan mengingat akan kebutuhannya dia lalu berkata,

"Biauw Eng, setelah engkau mendengar semua, kini tentu engkau yakin bahwa apa pun yang sudah dilakukannya, Keng Hong hanya mencinta engkau seorang. Dan engkau pun sudah yakin akan cinta kasihmu kepada Biauw Eng, Keng Hong. Karena itu, demi cinta kasih kalian, mengapa engkau tidak mau mengorbankan ilmu begitu saja supaya kalian dapat bebas dan melanjutkan pertalian cinta kasih kalian?"

"Tidak! Keng Hong, jangan mendengarkan dia! Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, karena itu, aku tetap ingin melihat engkau sebagai orang gagah yang patut kubela sampai mati! Kalau engkau menyerah kepada iblis betina ini, berarti engkau menodai cinta kasih antara kita!"

Mendengar ucapan yang bersemangat, Keng Hong tertawa dan menoleh kepada Cui Im, kemudian berkata penuh ejekan, "Kau dengar sendiri, Cui Im! Kekasihku, pujaan hatiku Sie Biauw Eng adalah puteri dari mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong yang mewarisi watak gagah perkasa ayahnya, tidak seperti engkau yang rendah budi! Kalau engkau mau membunuh aku dan Biauw Eng, silakan. Dalam kematian pun kami berdua akan tetap saling mencinta! Tidak ada kekuasaan di dunia dan akhirat yang akan dapat memisahkan cinta kasih kami!"

Pucat wajah Cui Im mendengar ini. Celaka, pikirnya. Dia sudah mengorbankan perasaan, telah mengobati kepedihan hati Biauw Eng dengan pengakuannya, dengan harapan agar Biauw Eng suka membujuk Keng Hong supaya menyerahkan ilmu itu demi kebahagiaan dan kehidupan mereka. Siapa kira, dua orang itu demikian keras kepala!

Ia mengepal kedua tangannya, ingin sekali pukul membunuh dua orang yang kini makin dibencinya itu. Akan tetapi wajahnya yang pucat itu menyeringai sehingga dalam keadaan seperti itu, kecantikannya berubah menjadi seram menakutkan, seperti wajah iblis betina yang haus darah.

"Keng Hong dan Biauw Eng! Aku masih bersabar terhadap Keng Hong mengingat akan hubungan cinta kasihnya denganku dahulu, dan aku juga bersedia memaafkan Biauw Eng karena mengingat akan hubungan persaudaraan. Akan tetapi kesabaran ada batasnya! Kalau engkau suka menurunkan ilmu itu kepadaku Keng Hong, bukan hanya engkau dan Biauw Eng yang akan bebas, melainkan juga Gui Yan Cu dan Yap Cong San. Akan tetapi kalau engkau menolak, berarti bukan hanya kalian berdua yang akan mati tersiksa, juga kedua orang muda itu!"

"Ha-ha-ha-ha! Mereka berdua pun adalah dua orang gagah perkasa yang menganggap kematian seperti pulang ke kampung halaman!" Keng Hong menantang.

Dan sesungguhnya pemuda ini bukan hanya omong kosong atau bicara besar, karena dia sudah memperhitungkan bahwa Cui Im tidak akan mudah begitu saja menyerah sebelum kehendaknya dipenuhi maka tidak akan membunuh mereka secara tergesa-gesa. Ada pun sebaliknya, sekali kehendaknya tercapai, tentu Cui Im akan membunuh mereka tanpa di tunda-tunda lagi. Selain ini, dia pun sudah bersiap sedia untuk turun tangan apa bila keadaan sudah mendesak dan tidak ada jalan lagi untuk mengatasinya.

Akan tetapi tiba-tiba saja Cui Im tertawa, suara ketawanya bergelak menyeramkan seperti suara kuntianak menangis karena kehausan darah. "Mereka kini hampir mati, dan engkau masih bicara tentang kegagahan mereka? Tadi aku sudah menyerahkan gadis ayu yang menjadi sumoi-mu itu kepada Thai-lek Sin-mo. Hi-hi-hik. Engkau tentu tahu siapa Thai-lek Sin-mo Cou Seng, si raksasa yang tubuhnya seperti gajah! Hi-hi-hik-hik, kalau tidak ada urusan dengan kalian di sini, ingin sekali aku menyaksikan betapa Yan Cu menggeliat-geliat digagahi oleh raksasa itu. Mungkin saat ini sedang merintih-rintih atau mungkin juga mampus. Gadis mana yang akan dapat bertahan terhadap Thai-lek Sin-mo? Sayang, aku masih banyak urusan, terutama sekali denganmu, Biauw Eng. Engkau keras kepala dan sepatutnya dihukum seperti yang diderita Yan Cu. Akan tetapi Yan Cu masih beruntung, setidaknya menerima penghinaan dari seorang di antara Iblis-iblis Tembok Besar. Ada pun engkau, engkau akan kuberikan kepada dua orang raksasa kasar yang lebih rendah derajatnya dari pada dua ekor binatang. Di sini! Di kamar ini dan engkau akan menjadi saksinya, Keng Hong! Kau dan aku, hi-hi-hik! Kita berdua akan menikmati pemandangan yang amat mesra! Hi-hi-hik!"

Biauw Eng dan Keng Hong terkejut bukan main, bukan mengkhawatirkan nasib mereka sendiri, melainkan mengkhawatirkan nasib dua orang teman mereka, Yan Cu dan Cong San. Mereka saling pandang sambil menduga-duga, apa gerangan yang terjadi dengan mereka itu? Mala petaka apakah yang menimpa mereka?

Cui Im memang tidak berbohong ketika menceritakan tentang Yan Cu. Memang ada saja akal yang aneh-aneh dan keji-keji dalam benak iblis betina ini untuk menyiksa musuh-musuhnya. Menyaksikan sikap mesra Yan Cu terhadap Keng Hong, walau pun dia tahu bahwa Yan Cu adalah sumoi dari Keng Hong, namun tak dapat ia tahan rasa cemburu yang timbul di hatinya.

Yan Cu demikian muda dan demikian cantik jelita, maka timbul rasa cemburu bercampur dengan rasa iri yang membangkitkan kebencian hebat. Oleh karena Yan Cu tidak ada gunanya baginya, maka gadis itu harus dibunuh, akan tetapi selain untuk menyiksanya, juga dia hendak menggunakan kesempatan itu untuk menyenangkan hati Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang haus wanita pula. Hal ini mudah saja ia tangkap dari pandang mata Cou Seng yang ditujukan kepadanya.

Karena dia sendiri enggan melayani raksasa gendut itu, biarlah raksasa itu memuaskan nafsunya kepada Yan Cu. Dan untuk menyiksa Cong San, di samping membangkitkan gairahnya supaya kelak dia mudah merayu pemuda tampan yang menarik hatinya itu, dia mengatur agar Cong San berada di dalam kamar menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Cou Seng terhadap Yan Cu!

Malam itu memang merupakan malam yang menyeramkan, malam yang penuh ancaman mengerikan bagi empat orang muda yang menjadi tawanan di benteng Pat-jiu Sian-ong di lereng Pegunungan Tai-hang-san itu. Mereka berempat tidak tahu bahwa tiga hari yang lalu, Hun Bwee telah membunuh Lian Ci Sengjin dan gadis itu melarikan diri dari benteng.

Pada malam hari itu, Yan Cu yang tadinya ditahan dalam kamar yang terpisah, didatangi Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang tertawa-tawa dan tanpa banyak bicara raksasa ini lantas memondong tubuh Yan Cu yang dibelenggu kaki tangannya lalu dibawa keluar dari kamar tahanan.

Empat orang penjaga di luar pintu kamar tahanan hanya tertawa dengan pandang mata iri karena mereka sudah menerima perintah dari Cui Im bahwa tawanan yang jelita itu ‘diserahkan’ kepada Thai-lek Sin-mo. Yan Cu maklum akan bahaya yang mengancam, akan tetapi dia sama sekali tidak berdaya dalam kempitan lengan yang amat kuat itu, apa lagi dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.

Sementara itu, Yap Cong San yang merasa prihatin sekali, tidak pernah berhenti dengan usahanya mematahkan belenggu. Dengan pengerahan tenaga sinkang, berkali-kali dia berusaha merenggut belenggu baja yang mengikat kedua tangannya pada tiang di dalam kamar tahanan, akan tetapi belenggu itu sangat kuat sehingga semua usahanya hanya mengakibatkan kulit kedua pergelangan tangannya lecet-lecet.

Kemudian dia mengubah cara usahanya. Sambil berdiri pemuda ini segera menghimpun tenaga dalam, dan mulai bersemedhi untuk mempergunakan ilmu sakti dari Siauw-lim-pai, yaitu ilmu Sia-kut Sin-hoat, semacam ilmu untuk membuat tulangnya seolah-olah terlepas sehingga tubuhnya menjadi lemas dan licin. Untuk dapat mencapai ilmu ini diperlukan pengerahan hawa murni di tubuh sehingga dia bersemedhi sampai dua hari dua malam, barulah berhasil.

Tulang pergelangan tangannya dapat dia gerakkan sedemikian rupa hingga bisa tergeser dan dagingnya menjadi lemas sehingga akhirnya dia dapat meloloskan kedua tangannya dari belenggu, demikian pula membebaskan kedua kakinya! Namun, setelah berhasil dia harus mengatur napas sampai lama untuk memulihkan tenaga.

Belum lama dia berdiri tanpa bergerak mengatur napas, tiba-tiba dia mendengar jejak kaki yang berat mendatangi dari luar kamarnya. Ia terkejut, cepat dia mengatur belenggu kaki tangannya sehingga tampak seolah-olah dia masih terbelenggu, lalu dia pun melanjutkan usahanya memulihkan tenaga yang banyak diperasnya untuk menggunakan Ilmu Sin-kut Sin-hoat tadi.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12