Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 33
Terjadilah
pertandingan hebat di dalam kuil, di bawah cahaya penerangan obor-obor yang
dinyalakan oleh para penjaga. Kalau mereka menghendaki, Keng Hong dan Biauw Eng
tentu saja akan dapat melarikan diri dengan mudah di kegelapan malam itu. Akan
tetapi mereka, terutama Biauw Eng, tidak sudi melarikan diri meninggalkan tiga
orang kawan mereka, sedangkan dua orang lawan mereka yang amat tangguh itu
tidak memungkinkan mereka dapat menolong kawan-kawan mereka yang masih ditawan
dalam kamar.
"Berhenti!
Cia Keng Hong, lihat, apakah kau ingin melihat mereka ini mampus di depan
matamu?"
Keng Hong
dan Biauw Eng terkejut sekali melihat betapa Cong San, Yan Cu dan Hun Bwee
sudah diseret ke sana dan diancam dengan pedang pada leher mereka oleh Lian Ci
Sengjin, Sian Ti Sengjin, Kim-to Lai Ban dan Thian It Tosu!
"Hi-hi-hik-hik!
Keng Hong, apakah engkau masih belum mau menyerah? Ataukah engkau hendak
mengorbankan mereka ini demi keselamatanmu?" Cui Im mengejek.
"Cui
Im, engkau curang dan pengecut!" Keng Hong membentak marah.
"Hi-hi-hik,
siapa yang curang? Apakah engkau sendiri yang tadi merayuku supaya dapat
membebaskan diri tidak curang?"
Terpaksa
Keng Hong dan Biauw Eng menyerahkan diri dan tidak melawan ketika Pat-jiu
Sian-ong dan Cui Im menotok mereka roboh. Mereka diikat lagi dengan erat,
bahkan Keng Hong kini ditotok sendiri oleh Cui Im menggunakan ilmu
Tiam-hiat-hoat dari kitab pusaka Sin-jiu Kiam-ong sehingga sekali ini Keng Hong
benar-benar lumpuh tidak dapat menggerakkan kaki tangannya.
Karena tidak
ingin mengalami hal-hal tidak enak seperti yang telah terjadi tadi, malam itu
juga Cui Im melanjutkan perjalanan membawa lima orang tawanan itu menuju ke
arah markas Pat-jiu Sian-ong. Beberapa hari kemudian tibalah mereka di tempat
yang menjadi tempat tinggal Pat-jiu Sian-ong dan anak buahnya.
Tempat ini
merupakan sebuah benteng yang kuat, dikelilingi dengan pagar tembok tinggi dan
terjaga kuat. Diam-diam Keng Hong memperhatikan keadaan benteng itu dan harus
mengaku di dalam hati bahwa sekali ini, kalau dia mendapat kesempatan, dia
bersama dengan empat orang temannya harus berkelahi mati-matian dan agaknya
tidaklah akan mudah bagi dia dan teman-temannya untuk dapat lolos dari tempat
yang kuat itu.
Mereka
memasuki benteng ini pada siang hari dan betapa kaget hati Keng Hong ketika
melihat banyak sekali orang-orang yang kelihatan berkepandaian tinggi, bahkan
di antara mereka ini dia melihat Pak-san Kwi-ong! Selain ini, dia melihat pula
Pak-san Su-liong, tokoh-tokoh yang bersenjata tengkorak, yaitu murid-murid
Pak-san Kwi-ong yang lihai dan masih ada lagi empat orang pengawal-pengawal
rahasia kaisar, yaitu Gu Coan Kok si Iblis Cebol, Huk Ku si setan bangsa Kerait
dan Thai-lek Sin-mo Cou Seng! Heran dia mengapa pengawal-pengawal rahasia
kaisar itu, yang tadinya berjumlah empat orang ditambah lagi Pak-san Kwi-ong,
Bhe Cui Im dan Siauw Lek, bisa berkumpul di tempat ini.
Memang
sesungguhnyalah, para pengawal rahasia itu kesemuanya melarikan diri setelah
terjadi peristiwa di luar istana ketika Cui Im berusaha menjebak Keng Hong. Tio
Hok Gwan, pengawal Laksamana Tinggi The Ho yang lihai dan telah bersimpati
kepada Keng Hong, memberi pelaporan kepada jujungannya.
Laksamana
The Ho adalah orang yang bijaksana dan sangat berpengaruh serta dihormati oleh
kaisar. Karena itu ketika The Ho memberi nasehat kepada kaisar betapa bahayanya
menggunakan tenaga orang-orang yang terkenal sebagai datuk-datuk dan tokoh-tokoh
dunia hitam itu, kaisar lalu membebas tugaskan mereka.
Pak-san
Kwi-ong dan teman-temannya kemudian pergi dari istana dan diam-diam merasa
marah sekali. Di dalam hati mereka memberontak dan hendak menjatuhkan kaisar,
maka mereka segera beramai-ramai pergi mengunjungi Pat-jiu Sian-ong untuk
mengumpulkan kawan dan bersekutu menjatuhkan kaisar!
Tugas
pertama mereka adalah hendak mempergunakan kesempatan selagi orang-orang
kang-ouw berkumpul di Tai-hang-san untuk menggempur mereka karena mereka sudah mendengar
betapa orang-orang kang-ouw itu juga menentang Pak-san Kwi-ong beserta
sekutunya menjadi pengawal kaisar. Bahkan diam-diam Pak-san Kwi-ong dan para
Iblis Tembok Besar yang kini tinggal tiga orang itu karena Kemutani telah tewas
di tangan Yap Cong San, menghubungi suku bangsa Mongol dan Mancu agar bersekutu
dan menyerang ke sebelah selatan tembok besar.
Ketika para
tawanan itu dikumpulkan di ruangan dalam, semuanya dibelenggu, tiba-tiba Hun
Bwee berteriak-teriak dan meronta-ronta, "Lepaskan aku! Lepaskan! Kenapa
kalian membelenggu aku? Awas, jika tidak kalian lepaskan, kelak guruku Go-bi
Thai-houw tentu akan mencabut nyawa kalian semua!"
Mendengar
disebutnya nama Go-bi Thai-houw, Pak-san Kwi-ong terkejut. “Apa? Gadis ini
adalah murid Go-bi Thai-houw? Bagaimana bisa menjadi tawananmu, Ang-kiam
Bu-tek?” Ia kelihatan gelisah dan heran.
"Hemmm...
kalau dia menjadi muridnya, mengapa sih? Dia bersama dengan Biauw Eng, dan
agaknya gila."
"Lepaskan!
Aku tidak memusuhi siapa-siapa, aku hanya akan membunuh Cia Keng Hong, bocah
yang telah memperkosaku. Lepaskan!"
"Tan
Hun Bwee, yang memperkosamu adalah Lian Ci…"
"Plakkk!"
Pipi Cong
San kena ditampar oleh Lian Ci Sengjin. "Diam kau, monyet!"
"Bohong!
Bukan siapa-siapa, melainkan Cia Keng Hong. Lepaskan aku!"
"Ang-kiam
Bu-tek, sebaiknya kau bebaskan dia. Kalau dia murid Go-bi Thai-houw, berarti
bukan musuh."
"Eh,
eh, eh, Kwi-ong. Agaknya engkau jeri sekali mendengar nama Go-bi
Thai-houw!" Cui Im mengejek.
Pak-san
Kwi-ong terbatuk-batuk. "Eehhhh... Dia... dia... Hemm. Pat-jiu Sian-ong,
apakah engkau pun memusuhi Go-bi Thai-houw?"
Tiba-tiba
kakek kecil kate yang berkepala besar itu kelihatan bingung, akan tetapi cepat
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Siapa
memusuhi siapa? Aku tidak pernah bentrok dengan nenek sakti itu."
"Nona
Bhe, engkau belum tahu. Go-bi Thai-houw itu lihainya bukan main, dan jauh lebih
menguntungkan jika kita bersekutu dengan dia. Lebih baik jangan mengganggu
muridnya. Pula, apakah perlunya gadis ini ditawan?" Pak-san Kwi-ong
berkata.
Cui Im
tersenyum dan mengeling kepada Lian Ci Sengjin. "Aku pribadi tidak
mempunyai urusan dengan Tan Hun Bwee ini, juga tidak pernah mengenal Go-bi
Thai-houw, maka soal membebaskan dia atau tidak, tidak penting bagiku. Hanya
kita mesti menanyakan pendapat Lian Ci Sengjin dulu, karena kalau nona ini
dibebaskan, jangan-jangan dia akan menyerang Lian Ci Sengjin."
Wajah bekas
tosu Kun-lun-pai itu sebentar merah sebentar pucat. Akhirnya, saking malu dan
marah dia hanya dapat mengomel, "Perempuan ini terang seorang yang gila,
mau bebaskan dia atau mau bunuh, aku tidak peduli!"
Cui Im
tertawa mengejek lalu menghampiri Hun Bwee. Sekarang dia memandang penuh
perhatian karena disebutnya nama guru gadis ini sebagai seorang yang amat
lihai, yang ditakuti oleh Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong, benar-benar
membuat dia menaruh perhatian. "Katakan kalau kau kubebaskan, apa yang
hendak kau lakukan?"
Hun Bwee
hanya sebentar saja memandang Cui Im, lalu matanya mencari-cari kemudian
menatap wajah Keng Hong, mulutnya berkata nyaring, "Akan kubunuh Cia Keng
Hong!"
Cui Im
mengerutkan keningnya. "Ehh, bukankah ada orang lain yang bilang bahwa
yang memperkosamu bukanlah Keng Hong?"
"Bohong!
Yang memperkosaku adalah Keng Hong, bukan orang lain!"
"Hemmm...
benarkah itu? Bukan dia itu...?" Cui Im menuding ke arah Lian Ci Sengjin
yang memandang dengan muka merah.
Semua orang
juga memandang karena ingin melihat apakah gadis gila itu sekarang akan membuka
rahasia itu secara jelas. Dapat dibayangkan betapa menyesal dan kaget hati Keng
Hong, Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San ketika melihat Hun Bwee menggeleng kepala
dan berkata lantang,
"Bukan!
Bukan dia...! Cia Keng Hong-lah yang memperkosa aku, orang gagah itu belum
pernah kulihat selama hidupku!"
Bukan main
girang hati Lian Ci Sengjin dan dia menekan kegirangannya, hanya mulutnya
berkata dengan suara dibikin-bikin menjadi tenang sekali, "Nah, sekarang
baru semua orang mendengarnya. Yang suka main gila dengan para wanita adalah
bocah pengacau Cia Keng Hong itu, sama sekali bukan aku. Sudah kukatakan bahwa
perempuan ini gila, maka tadinya dia menuduhku yang bukan-bukan."
Sian Ti
Sengjin memandang kepada sute-nya dengan kening dikerutkan. Bekas tosu dari
Kun-lun-pai ini tidak berkata sesuatu, akan tetapi terjadi perang hebat di
dalam dadanya yang tidak diketahui orang lain. Dia mengenal sute-nya dan tahu
pula akan kelemahan sute-nya.
"Baiklah,
Tan Hun Bwee, aku akan membebaskan engkau, namun dengan syarat bahwa engkau
harus suka menjadi sekutu kami, kelak engkau membujuk gurumu untuk bekerja sama
dengan kami pula, dan yang terpenting sekarang ini, engkau harus mentaati semua
perintahku. Bagaimana, sanggupkah?"
Betapa cemas
dan khawatir hati Biauw Eng menyaksikan keadaan suci-nya itu, apa lagi ketika
melihat suci-nya mengangguk. Perasaan cemas ini bercampur rasa marah sekali.
Dia tahu bahwa Hun Bwee memang menderita penyakit jiwa, akan tetapi selama ini
dia merasa yakin bahwa di balik kegilaan Hun Bwee terdapat watak yang gagah
perkasa dan tidak mengenal takut. Kenapa sekarang Hun Bwee berubah seperti itu
dan tunduk kepada Cui Im?
Juga, walau
pun gila, Hun Bwee biasanya cerdik sekali. Kenapa sekarang tetap menuduh Keng
Hong sebagai pemerkosanya, sedangkan tadi begitu yakin bahwa Lian Ci Sengjin
bekas tosu Kun-lun-pai itulah pelakunya?
"Suci!
Jangan mendengarkan bujukan iblis itu!" Biauw Eng berseru memperingatkan
Hun Bwee.
Akan tetapi
Hun Bwee menoleh dan melotot kepadanya. "Jangan turut campur! Aku tidak
sudi mendengar omonganmu, perempuan tak tahu malu!"
Biauw Eng
terkejut setengah mati. Belum pernah suci-nya ini, waras atau sedang kumat,
bersikap seperti ini kepadanya. Padahal ketika tadi melotot kepadanya dia
melihat bahwa pandang mata suci-nya itu tidak seperti kalau sedang kumat.
Cui Im
tertawa, kemudian bertanya kepada Hun Bwee. "Dia menyebutmu Suci?
Hi-hi-hik, alangkah lucunya. Sebetulnya, akulah Suci-nya. Apakah dia... ahhhh!
Apakah dia menjadi murid Go-bi Thai-houw?"
Hun Bwee
mengangguk. "Dia baru saja menjadi murid subo. Akan tetapi mulai sekarang
aku tidak sudi mengakuinya sebagai Sumoi lagi. Dia curang, tak bermalu dan
palsu!"
Cui Im
tersenyum girang. "Mengapa?"
"Dia
tahu bahwa Keng Hong sudah memperkosaku dan tadinya kami hendak menangkap Keng
Hong lalu memaksa pemuda itu menjadi suamiku. Tapi setelah berhasil menangkap
Keng Hong, hemmm... dia ingin memilikinya sendiri!"
"He-he-hi-hi-hik!"
Cui Im tertawa senang dan sekali tangannya bergerak, maka bebaslah Hun Bwee.
Sejenak
gadis ini mengurut-urut kedua lengannya, kemudian dengan beringas dia segera
menghampiri Keng Hong sambil berkata, "Kubunuh engkau, Cia Keng
Hong!"
"Hun
Bwee, tahan!" Cui Im membentak hingga Hun Bwee menghentikan langkahnya
lalu menoleh.
"Dengar
baik-baik. Engkau sudah berjanji akan mentaati perintahku, bukan? Nah, perintah
pertama engkau tidak boleh membunuh Keng Hong...”
"Akan
tetapi dia... dia..."
"Engkau
tak boleh mengganggunya tanpa seijin dariku, mengerti? Bila sudah tiba saatnya
aku harus membunuhnya, biarlah kuserahkan tugas itu kepadamu. Mengerti?"
Dengan muka
kecewa sekali Hun Bwee mengangguk, kemudian berdiri di dekat Cui Im sambil
menundukkan muka seperti orang melamun. Cui Im menepuk-nepuk pundaknya dan
berkata, “Mulai sekarang engkau menjadi pembantuku yang setia, Hun Bwee...”
Hun Bwee
hanya mengangguk-angguk dan semua ini dipandang oleh Biauw Eng dengan hati
panas, akan tetapi bagaimana dia akan dapat menyalahkan suci-nya yang memang
tidak waras pikirannya itu? Ia hanya dapat menghela napas panjang. Sesudah Hun
Bwee berubah menjadi seperti itu, tentu saja kini menjadi semakin sukar lagi
bagi mereka untuk meloloskan diri. Berkurang sudah seorang tenaga yang sangat
kuat.
Dalam
keputus asaan ini, tak terasa lagi Biauw Eng mengerling ke arah Keng Hong dan
betapa heran hatinya melihat Keng Hong yang menyandarkan tubuhnya yang lemas
itu ke tiang di mana dia terikat, juga memandangnya dan tersenyum! Pandang mata
pemuda itu kepadanya seolah-olah menggantikan kata-kata yang menghibur, yang
minta kepadanya agar tidak putus asa!
Tawanan yang
kini tinggal empat orang itu lalu dibawa pergi dan dijebloskan ke dalam
kamar-kamar tahanan yang amat kuat dan terpisah. Kamar tahanan itu terbuat dari
pada dinding batu dan pintu serta jendelanya diberi jeruji besi yang amat kuat.
Empat orang
muda-mudi yang ditahan ini masing-masing tenggelam dalam lamunannya sendiri.
Cong San sangat khawatir akan keselamatan kawan-kawannya, terutama sekali Yan
Cu. Ia harus mengakui bahwa baru satu kali ini dia jatuh cinta, yaitu kepada
Yan Cu.
Ia tidak
khawatir akan keselamatan dirinya sendiri. Sebagai seorang pemuda gemblengan
murid ketua Siauw-lim-pai, tentu saja dia memiliki tenaga dan ilmu simpanan dan
bila dia menghendaki, dengan pengerahan tenaga sakti, dia akan mampu mematahkan
belenggu dan membebaskan diri.
Akan tetapi
tadi dia melihat tanda isyarat dari pandang mata Keng Hong dan dia dapat
menangkap apa kehendak Keng Hong dengan isyarat itu. Memang benar kalau dia
nekat memberontak, hal ini akan membahayakan keselamatan mereka berlima, yang
kini hanya tinggal berempat karena wanita gila itu berpihak kepada musuh.
Pihak musuh
terlalu kuat dan terlalu banyak. Dia harus menanti saat yang baik, mencari
kesempatan agar dengan sekali memberontak saja dapat membebaskan mereka semua.
Tentunya Keng Hong juga berpendapat demikian, pikir Cong San yang duduk
termenung bersandar dinding di dalam kamar tahanannya yang sempit?
Benarkah
pendapat Keng Hong seperti pikiran murid Siauw-lim-pai ini? Hanya sebagian saja
demikian. Sebetulnya, banyak hal yang menyebabkan Keng Hong mandah dan diam
saja dijadikan tawanan.
Dengan ilmu
kepandaiannya yang tinggi, kalau dia mau tentu saja dia pada kesempatan pertama
sudah dapat menyelamatkan dirinya, sungguh pun belum tentu dia akan dapat
menyelamatkan empat orang temannya. Akan tetapi Keng Hong tidak mau melakukan
hal itu.
Pertama
kali, ketika mereka semua tertawan dan dia sendiri telah dibelenggu Biauw Eng,
dia sengaja diam saja untuk sekedar mencoba Biauw Eng, akan tetapi tentu saja
setiap saat dia siap untuk melindungi teman-temannya apa bila terancam
keselamatannya. Tapi ketika melihat bahwa Cui Im hanya menawan mereka, dia pun
diam saja, pura-pura tidak berdaya.
Kini, Keng
Hong masih belum turun tangan, pertama karena usahanya pertama kali gagal, dan
ke dua, di samping melihat kokoh kuatnya penjagaan benteng itu serta banyaknya
tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, juga dia harus mengingat akan pusaka-pusaka
yang kini kembali terampas oleh Cui Im. Terutama sekali pusaka-pusaka yang
harus ia kembalikan kepada partai-partai besar yang memilikinya. Kalau kali ini
dia sampai gagal merampas, tentu kelak akan sukar sekali baginya untuk merampas
kembali sebab Cui Im tentu akan lebih berhati-hati.
Biauw Eng
juga melamun di dalam kamar tahanannya. Hatinya masih penuh penasaran melihat
sikap Hun Bwee. Tak diduganya sama sekali bahwa suci-nya itu ternyata adalah
seorang yang rendah budi, yang begitu saja menyerah kepada musuh dan
mengorbankan teman-temannya, terutama sekali mengorbankan dia, sumoi-nya.
Benarkah
bahwa Hun Bwee berbuat seperti itu karena iri hati dan cemburu kepadanya? Karena
dia kini kembali menyatakan cinta kasihnya kepada Keng Hong? Dan gadis ini pun
mulai meneliti perasaannya sendiri.
Tadinya dia
memang benci kepada Keng Hong, tidak saja karena sikap Keng Hong yang lalu,
akan tetapi kini ditambah lagi cerita Hun Bwee bahwa pemuda itu memperkosanya.
Setelah bertemu dengan Keng Hong kemudian melihat betapa Keng Hong menyatakan
penyesalannya atas sikapnya yang dulu terhadap dirinya, bahkan Keng Hong juga
telah menyerah dan rela untuk ditawan atau dibunuhnya sekali pun, apa lagi
ketika mendengar ucapan Cong San lalu melihat sikap Hun Bwee dan Lian Ci
Sengjin yang membongkar perkosaan itu, rasa bencinya semakin membuyar dan
timbullah kembali cinta kasihnya terhadap Keng Hong yang memang tak pernah
padam.
Dia mencinta
Keng Hong, hal ini terjadi semenjak dahulu. Akan tetapi Hun Bwee, yang katanya
telah diperkosa oleh Keng Hong, apakah juga mencinta Keng Hong dan cemburu
kepadanya? Akan tetapi jika benar demikian, mengapa Hun Bwee kini hendak
membunuh Keng Hong? Benar-benar dia menjadi bingung. Apakah Hun Bwee kumat
gilanya? Akan tetapi sinar matanya tidak liar seperti biasanya kalau kumat.
Yan Cu juga
termenung. Gadis ini merasa menyesal sekali kepada Biauw Eng yang dia anggap
menjadi gara-gara sampai mereka tertawan. Akan tetapi ia pun merasa menyesal
pada Keng Hong kenapa suheng-nya begitu tolol untuk mengorbankan diri demi
cintanya kepada Biauw Eng yang tak dapat menghargai cinta orang itu!
Dan dia
teringat akan sikap Cong San kepadanya. Pemuda murid Siauw-lim-pai itu cinta kepadanya!
Akan tetapi dia? Ahhh…, sukarlah untuk menjawabnya. Hatinya masih belum dapat
melenyapkan perasaan mesranya terhadap Keng Hong, walau pun dia sendiri tidak
berani mengatakan apakah dia sesungguhnya mencinta Keng Hong. Sampai saat itu
pun Yan Cu masih mencari-cari arti cinta dan belum dapat menemukannya!
Akan tetapi,
dia tidak putus asa, juga tidak takut. Selama nyawa masih dikandung badan, dia
tidak akan kehabisan akal dan harapan. Pasti akan muncul saat dan kesempatan
bagi salah seorang di antara mereka untuk meloloskan diri lalu menolong
teman-temannya.
Dia sendiri
pun akan mencari kesempatan itu. Apa bila mungkin malam nanti melepaskan
ikatannya dan berusaha keluar dari kamar tahanan itu. Atau kalau tidak
berhasil, dia akan menanti sampai penjaga mengantarkan makanan. Mungkin dia
akan dapat merobohkan penjaga.
Kalau saja
Keng Hong tidak begitu lemah terhadap cinta kasihnya yang amat mendalam kepada
Biauw Eng! Ia percaya penuh bahwa dengan kelihaiannya, suheng-nya itu akan
dapat menolong mereka semua.
Sementara
itu, Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Pak-san Kwi-ong dan semua tokoh yang berada di
benteng itu mengadakan perundingan. Cui Im yang dianggap sebagai paling lihai
dan paling cerdik di antara mereka, memimpin perundingan.
Mereka sudah
mengirim mata-mata dan kurir untuk menyelidiki keadaan kota raja, juga
menyelidiki pertemuan para tokoh kang-ouw di puncak Tai-hang-san, dan telah
mengirim utusan untuk menghubungi kepala suku bangsa Mongol dan Mancu yang
berada di luar Tembok Besar di daerah utara. Mereka itu memutuskan untuk
menanti kembalinya para penyedlidik sekalian menanti datangnya utusan Mongol
dan Mancu yang mereka undang.
Tan Hun Bwee
benar-benar diberi kebebasan. Ia mendapatkan sebuah kamar yang cukup indah dan
dia tidak diganggu sama sekali. Akan tetapi Cui Im adalah seorang cerdik. Dia
memang ingin mempergunakan gadis gila itu untuk menarik Go-bi Thai-houw
bersekutu, akan tetapi diam-dia ia pun selalu menyuruh orang memperhatikan dan
menjaga gadis ini.
Akan tetapi
dalam beberapa hari itu Hun Bwee kelihatan baik-baik saja, bahkan dia mulai
mendekati Lian Ci Sengjin! Hal ini diketahui baik oleh Cui Im dan dia diam-diam
tertawa. Lebih baik Lian Ci Sengjin didekatkan kembali dengan gadis yang sudah
diperkosanya itu. Dia tahu betapa Lian Ci Sengjin masih tergila-gila padanya
dan sering suka menggodanya dengan celaan-celaan dan tuntutan-tuntutan agar dia
suka memikirkan lamarannya! Kalau Hun Bwee bisa menghiburnya, tentu godaan
bekas tosu itu akan berkurang.
Malam itu
rembulan bersinar penuh. Lian Ci Sengjin keluar dari pondoknya dengan muka
merah. Baru saja dia kembali cekcok dengan suheng-nya, Sian Ti Sengjin.
Suheng-nya itu sudah beberapa kali mengajaknya agar kembali saja ke
Phu-niu-san, di mana mereka berdua sedang membangun serta mengembangkan partai
yang mereka bentuk sesudah mereka ‘tidak mendapat angin’ di Kun-lun-pai.
"Suheng,
kenapa mesti tergesa-gesa? Bukankah kita membutuhkan bantuan Cui Im untuk
membalas sakit hati kita terhadap Kun-lun-pai? Pula, kalau kita berhasil
menghancurkan Kun-lun-pai, mana bisa nama kita bersih dari pada noda setelah
kita berdua diusir dari sana? Tentu dunia kang-ouw akan mencemoohkan nama
partai Phu-niu-san yang akan kita kembangkan!" Demikian dia membantah
ajakan suheng-nya.
“Tapi aku
merasa ragu-ragu, Sute. Mereka itu... ahh…, bagaimana kita sudah terperosok
begini rendah sehingga bersekutu dengan kaum sesat?" Sian Ti Sengjin
berkata sambil menarik napas berulang-ulang dan keningnya berkerut.
"Aku
pun tidak suka, akan tetapi kita terpaksa, Suheng! Sudahlah, kita sudah
terlanjur basah, lebih baik terjun sama sekali!" Dengan kata-kata itu,
Lian Ci Sengjin meninggalkan suheng-nya dan keluar untuk mencari hawa sejuk
agar mendinginkan hati dan pikirannya yang panas.
Di bawah
sinar bulan purnama itu, teringat dia akan wajah-wajah cantik. Ia menengadah,
memandang bulan purnama dan bekas tosu Kun-lun-pai yang gagal menguasai
nafsunya sendiri itu menghela napas. Bulan yang bundar itu seakan-akan berubah
menjadi wajah Cui Im yang tersenyum kepadanya. Ahhh…, tidak ada harapan,
pikirnya. Wanita cantik itu terlalu angkuh.
Kemudian
bulan itu membayangkan wajah Hun Bwee, dan kembali dia menghela napas. Gadis
itu cantik juga dan kalau dia teringat akan peristiwa dahulu pada saat dia
berhasil merenggut kehormatan gadis itu, timbul pula gairahnya. Kalau saja dia
bisa mendapatkan Hun Bwee untuk menjinakkan nafsunya yang liar bergelora, akan
puaslah hatinya.
Sayang bahwa
gadis itu agaknya telah berubah ingatannya! Tapi sekarang kelihatan telah waras
dan dengan pakaiannya yang merah dan ketat, sungguh tak kalah menariknya oleh
Cui Im yang jauh lebih tua. Sungguh pun kelihatan masih cantik, akan tetapi dia
dapat menduga bahwa usia Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im sudah mendekati tiga puluh
tahun, sedangkan Hun Bwee tentu baru dua puluh tahun lebih!
"Lo-enghiong...!"
Suara halus
ini menyadarkan Lian Ci Sengjin dari lamunan dan ketika dia menengok, dia
melihat Hun Bwee berdiri sambil tersenyum manis dengan pandang mata begitu
indah, seperti sinar bulan purnama sendiri! Pertama-tama dia amat kaget dan
siap menghadapi wanita ini kalau hendak mengamuk, akan tetapi melihat senyum
dan pandang mata itu, dia pun merasa lega.
"No...
Nona..., engkau di sini?"
Hun Bwee
tersenyum, senyum yang amat manis dalam pandang mata Lian Ci Sengjin, karena
disertai bayangan malu-malu kucing!
"Lo-enghiong...
kenapa engkau agaknya selalu menjauhkan diri dariku? Apakah... apakah
Lo-enghiong termasuk golongan pria yang berwatak habis manis sepah
dibuang?"
Berubah
wajah Lian Ci Sengjin, menjadi pucat lalu berubah merah, matanya terbelalak.
Tadinya dia menyangka bahwa gadis ini benar-benar menjatuhkan tuduhan perkosaan
itu kepada Keng Hong, akan tetapi pertanyaan ini berarti lain?
"Apa...
apa maksudmu, Nona?"
Kembali Hun
Bwee tersenyum malu-malu dan mengerling. "Lo-enghiong, bukankah aku sudah
membersihkan nama baikmu dan menjatuhkan noda kepada Cia Keng Hong yang
kubenci? Apakah kau masih tidak mengerti apa yang kumaksudkan? Marilah kita
bicara di taman sana, Lo-enghiong. Sungguh tak menyenangkan dan amat memalukan
bagiku bila ada telinga lain yang mendengarnya," kata gadis itu
perlahan-lahan.
Timbul
kecurigaan di hati Lian Ci Sengjin. "Katakan dulu mengapa kau lakukan itu,
baru aku percaya," katanya terus terang.
Hun Bwee
menarik napas panjang dan menoleh ke kanan kiri, kemudian melangkah maju
mendekat dan berbisik lirih, "Lo-enghiong, aku adalah puteri tunggal
Tan-piauwsu. Ayah dan ibuku mendendam sakit hati kepada Sin-jiu Kiam-ong dan
aku telah bersumpah akan membalasnya. Karena ayah dan ibuku mati akibat
perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, maka aku harus membalas kepadanya namun karena dia
pun sudah tidak ada, maka satu-satunya jalan hanya membalas dendam kepada
muridnya."
Lian Ci
Sengjin mengangguk-angguk. Dia mengenal Tan-piauwsu dan sudah mendengar pula
bahwa piauwsu itu adalah salah seorang di antara musuh-musuh Sin-jiu Kiam-ong.
"Lalu bagaimana?"
"Aku...
ehh, aku telah... menjadi isteri Lo-enghiong... dan... hal itu... amat
membahagiakan hati..."
"Hemmm...
sungguhkah?" Jantung bekas tokoh Kun-lun-pai yang usianya telah setengah
abad kurang sedikit ini berdebar.
"Perlu
apa aku bohong? Mengapa Lo-enghiong dahulu itu meninggalkan aku begitu saja?
Padahal aku... aku mencari-carimu, maka aku menimpakan noda itu kepada Keng
Hong."
"Tapi...
tapi mengapa engkau mengancamku ketika murid Siauw-lim-pai itu membuka...
rahasia itu?"
"Aihhhhh...
Lo-enghiong mengapa tidak tahu akan wanita? Tentu saja aku malu di depan begitu
banyak orang dan... sudahlah, mari kita berbicara di taman sana sambil
menikmati cahaya bulan dan membicarakan masa depan kita. Ataukah... Lo-enghiong
benar-benar berwatak habis manis sepah dibuang?"
Sejenak
mereka saling berpandangan di bawah sinar bulan yang terang. Lian Ci Sengjin
memandang dengan pandang mata penuh selidik, namun setelah diamuk birahi tentu
saja penyelidikannya percuma sehingga makin lama makin menipis sinar
menyelidik, terganti seluruhnya oleh sinar mata mesra dan haus, maka akhirnya
hanya sepasang mata yang indah, mulut yang manis menggairahkan saja yang nampak
olehnya.
Ada pun Tan
Hun Bwee memandang bekas tokoh Kun-lun-pai itu dengan mata dikerling, tajam
memikat, mulut agak terbuka sehingga di balik sepasang bibir merah basah tampak
deretan gigi putih mengkilap dan ujung lidah merah mengintai genit.
Walau pun
kini hatinya sudah yakin bahwa gadis ini benar-benar ‘jatuh cinta’ kepadanya
karena peristiwa dahulu itu, mulut Lian Ci Sengjin masih bertanya,
"Nona,
mana bisa aku percaya begitu saja? Aku sudah tua, engkau masih begini muda,
segar dan cantik jelita."
"Ahhh,
mengapa engkau berkata demikian, Lo-enghiong? Aku adalah seorang wanita dari
keluarga baik-baik. Setelah... setelah menjadi milikmu... bagaimana aku tak
mencintamu? Engkau telah memiliki diriku berarti telah memiliki jiwa ragaku...”
Hun Bwee menundukkan muka dan kelihatan malu-malu kucing sehingga sikap ini
makin membetot jantung Lian Ci Sengjin.
"Tapi...
tapi... hatiku belum yakin..."
"Aahhh...!"
Hun Bwee tiba-tiba melangkah maju.
Lian Ci
Sengjin terkejut dan sudah siap menangkis. Akan tetapi kedua tangan Hun Bwee
bergerak mesra sekali merangkul leher Lian Ci Sengjin, kedua lengan yang
berkulit halus putih itu seperti dua ekor ular merayap melingkari leher,
menarik leher itu sehingga Lian Ci Sengjin terpaksa menundukkan muka.
Muka mereka
perlahan saling mendekati, dua pasang mata bertemu pandang, semakin dekat,
semakin dekat hingga laki-laki itu merasa napas halus Hun Bwee menyapu pipinya,
mencium keharuman yang memabukkan dan masih saja Hun Bwee menariknya sehingga
akhirnya mulut mereka bertemu dalam sebuah ciuman yang sebelumnya hanya pernah
dialami Lian Ci Sengjin di dalam alam mimpi!
Hampir
pingsan Lian Ci Sengjin dibuatnya! Sepasang matanya terbelalak dan sejenak dia
tidak percaya akan pengalamannya, namun diam-diam menikmati permainan perasaan
yang amat luar biasa. Betapa sepasang bibir yang lembut, hangat dan basah
mengecup-ngecupnya! Betapa gigi yang putih-putih menggigit gemas! Betapa lidah
kecil merah itu...!
Lian Ci
Sengjin semenjak mudanya menjadi tosu. Seperti juga segala macam agama di dunia
ini, agama To juga merupakan agama yang amat baik, amat suci dan merupakan
pelajaran bagi manusia supaya tidak menghambakan diri kepada nafsu dan
kenikmatan duniawi. Kalau toh ada seorang beragama yang melakukan
penyelewengan, hal ini bukan sekali-kali salahnya agama itu sendiri, melainkan
kesalahan si orang yang lemah batinnya sehingga menyeleweng dari pada ajaran
agamanya!
Agamanya
sendiri tetap suci, tetap bersih, namun manusia juga tetap manusia, makhluk
yang selemah-lemahnya! Semenjak mudanya, sudah banyak Lian Ci Sengjin
digembleng dengan pelajaran-pelajaran Agama To, namun karena batinnya lemah,
dia tidak mampu menanggulangi amukan nafsu-nafsu dirinya sendiri, terutama
sekali nafsu birahi.
Sekarang
pertahanannya yang umpama sebuah tanggul telah bocor, mana kuat menahan nafsu
yang membanjir akibat dibangkitkan oleh Hun Bwee! Segala pertahanannya hancur
berantakan dan dia pun tenggelam dalam lautan nafsunya sendiri. Geraman seperti
suara seekor beruang keluar dari kerongkongan dan dia membalas ciuman Hun Bwee
dengan kasar penuh nafsu, memeluk tubuh wanita itu yang seakan hendak
ditelannya bulat-bulat pada saat itu juga!
Hun Bwee
memegang lengan Lian Ci Sengjin yang menggerayangi pakaiannya sambil berbisik,
"Lian Ci koko... jangan... jangan di sini... ohhh...!"
Lian Ci
Sengjin merasa seolah-olah terapung di langit ke tujuh mendengar sebutan ‘koko’
ini. Dua lengannya memeluk dan sambil tertawa seperti orang mabuk, dia
menggendong tubuh kekasihnya itu dan membawanya lari ke dalam taman di mana terdapat
banyak pohon-pohon sehingga mereka akan terlindung dalam kegelapan bayangan
pohon.
***************
Nafsu birahi
merupakan anugerah alamiah yang memperindah cinta kasih antara pria dan wanita,
mendorong manusia untuk berkembang biak dan sudahlah menjadi hukum alam. Namun
apa bila nafsu birahi tidak dikekang dan sudah mencengkeram diri manusia yang
telah menciptakan hukum-hukum kesusilaan, maka segala rintangan, segala
pantangan akan dilanggar di luar kesadarannya.
Dalam
cengkeraman nafsu birahinya yang memuncak, Lian Ci Sengjin lupa bahwa wanita
cantik yang kini dipeluknya dan diletakkan dengan mesranya di atas rumput tebal
dalam taman itu adalah seorang wanita yang mempunyai ilmu kepandaian luar
biasa, jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada dia sendiri, lupa bahwa dia
pernah melakukan perbuatan keji dan terkutuk terhadap gadis ini.
Dalam
keadaan telanjang bulat, bagaikan seekor binatang buas dia menubruk gadis yang
dianggapnya kekasihnya itu, dan gerengnya dahsyat keluar dari kerongkongannya.
Akan tetapi gerengan dahsyat ini berubah menjadi pekik kaget yang tertahan.
Untuk terkejut pun dia tidak sempat lagi, karena tahu-tahu tubuhnya telah
menjadi lemas, tertotok oleh dua ujung jari Hun Bwee yang amat lihai.
Tubuh Lian
Ci Sengjin tergelimpang tak berdaya di atas rumput dan hanya matanya yang
memandang betapa gadis dengan tubuh yang bagaikan terselaput emas di bawah
sinar bulan purnama itu kini tidak tampak lagi oleh Lian Ci Sengjin karena
seolah-olah gadis itu telah berubah menjadi setan yang amat menyeramkan
baginya.
"Hi-hi-hik,
he-he-heh-heh-heh!" Hun Bwee merenggut pakaiannya dan tidak tergesa-gesa
mengenakan pakaiannya menutupi tubuhnya yang telanjang di depan pandang mata
Lian Ci Sengjin, bagaikan orang yang sedang bersolek dan memikat. Setelah semua
pakaian dikenakannya, dia menyanggul kembali rambutnya yang tadi terlepas dalam
pergumulan mesranya dengan Lian Ci Sengjin!
Lian Ci
Sengjin maklum bahwa dia telah terjebak, maklum akan bahaya maut mengancam
dirinya. Cepat dia membuka mulut hendak menjerit agar dapat menarik perhatian
kawan-kawannya.
Tetapi
secepat kilat Hun Bwee menampar mulutnya, lalu mencengkeram mulut itu dengan
tangan kiri ada pun tangan kanannya menyambar pakaian Lian Ci Sengjin yang
tergeletak berceceran di situ. Celana bekas tokoh Kun-lun-pai itu kini
disumbatkan ke dalam mulut sampai hampir memenuhi kerongkongan!
"Hi-hi-hik!
Lian Ci Sengjin, ataukah Lian Ci Tojin? Enak benar ya dulu kau memperkosa aku?
Hi-hi-hik, sekarang tiba saatnya engkau menerima hukumanku!"
Lian Ci
Sengjin hanya membelalakkan dua matanya dengan penuh rasa ngeri dan seram,
kemudian saking takutnya, air keluar dari atas dan bawah! Ia terkencing-kencing
saking takutnya, dan air matanya mengalir turun, pandang matanya minta
dikasihani bagai mata seekor lembu yang sudah ditelikung akan disembelih. Akan
tetapi tentu saja keadaannya ini bukan menimbulkan rasa iba di hati Hun Bweee,
bahkan menambah kemarahan gadis yang gilanya sudah kumat lagi itu!
"Singggg...!"
Sinar hitam berkelebat ketika Hek-sin-kiam dicabut.
"Apamu
dulu yang harus dihukum? Hi-hi-hik-hik!" Hun Bwee mengelebatkan pedangnya
di depan hidung Lian Ci Sengjin. "Mula-mula tanganmu, ya? Tanganmu
mencengkeramku, merenggut lepas pakaianku, membelaiku. Benar, tanganmu yang
lebih dulu kurang ajar."
Sinar hitam
berkelebat dan andai kata mulut Lian Ci Sengjin tidak disumbat, tentulah dia
akan melolong-lolong saking nyerinya. Satu demi satu jari-jari tangannya
dibabat buntung oleh sinar pedang hitam, tinggal setengah jari saja! Dapat
dibayangkan betapa nyerinya, kiut-miut rasanya, pedih perih seperti jarum-jarum
ditusukkan ke ulu hatinya.
Hebatnya,
gadis itu kini menari-nari di depan Lian Ci Sengjin! Menari-nari sambil tertawa
terkekeh-kekeh kegirangan seperti seorang anak kecil bermain-main.
"Bagus!
Bagus! Hi-hi-hik-hik, kini tanganmu tidak dapat menggerayangi tubuh wanita
lagi! Sekarang apamu?" Tiba-tiba Hun Bwee berhenti menari, menengadah dan
mengerutkan kening, mengingat-ingat. Dahulu ketika dia diperkosa, dia berada
dalam keadaan pingsan, atau setengah pingsan sehingga dia hanya ingat secara
remang-remang saja.
"Hemmm,
engkau menciumku! Hidungmu menciumi seluruh tubuhku, kemudian mulutmu yang bau
bangkai itu menggigit bibirku dan leherku!"
Kembali
sinar hitam berkelebat dua kali seperti kilat menyambar dan... ujung hidung
Lian Ci Sengjin terbabat putus disusul dengan kedua bibirnya! Tentu saja wajah
yang mulutnya tersumbat itu tampak buruk mengerikan sekali. Tampak dua buah
lubang hidungnya yang sudah kehilangan bukit hidung, dan giginya yang
besar-besar kuning tampak pula setelah sepasang bibir penutupnya robek.
Lian Ci
Sengjin memejamkan matanya, dahinya berkerut-kerut saking nyeri yang hampir tak
tertahankan lagi. Darah membasahi tubuh dan lehernya, darah dari kedua tangan
dan dari mukanya. Pada waktu dia membuka mata lagi, sepasang biji matanya
berputar-putar liar penuh ketakutan.
"Hi-hi-hik!
Engkau makin buruk saja, menjijikan! Orang macam engkau ini hendak menjadi
kekasihku? Heh-he-heh! Sekarang giliran bagian tubuhmu yang paling menjijikan
harus dibuang!"
Pedang
berkelebat dan Lian Ci Sengjin memejamkan mata, maklum bahwa maut akan datang
merenggut nyawanya. Akan tetapi pedang tidak jadi dibacokkan dan Hun Bwee
tertawa-tawa.
"Ahh,
nanti dulu, hi-hi-hik-hik! Keenakan engkau kalau mati sekarang! Engkau pun
telah menyiksaku dan sampai kini aku masih hidup, hu-hu-huuuuuk!" Gadis
itu menangis. Lian Ci Sengjin makin mengkirik ngeri.
Tiba-tiba
Hun Bwee tertawa lagi. "Ha-ha-hi-hi-hik! Benar! Matamu itu, ahhh…, kalau
saja matamu bukan yang kau pakai sekarang ini, belum tentu kau akan melakukan
perkosaan kepadaku. Matamu itu mata keranjang, maka lebih baik dibuang
saja!" Dua kali pedang berkelebat dan sepasang biji mata Lian Ci Sengjin tercongkel
keluar!
Mengerikan
sekali keadaan bekas tokoh Kun-lun-pai itu. Bila mana tadi dia masih dapat
memperlihatkan rasa takut dan rasa nyeri yang luar biasa melalui pandang
matanya, kini dia hanya dapat berkelojotan saja. Dan hanya gerakan berkelojotan
lemah ini saja yang menandakan bahwa dia belum mati, juga belum pingsan dan
masih menderita penyiksaan yang hanya sanggup dilakukan seorang yang sudah gila
itu, gila karena berubah ingatan atau juga gila karena diamuk dendam.
Hun Bwee
masih terkekeh-kekeh dan berkali-kali pedangnya berkelebat berubah menjadi
sinar hitam. Mula-mula sepuluh buah jari kaki Lian Ci Sengjin dibabat buntung
kemudian kedua telinganya dan semua anggota tubuh yang ‘menonjol’, dibuntungi
semua satu demi satu.
"Heh-heh-heh,
engkau tidak merintih. Ohhh, sumbat mulutmu!"
Hun Bwee
yang agaknya merasa kurang puas karena melihat korbannya tidak dapat
mengeluarkan suara itu, menyambar dan membuka sumbat yang dijejalkan ke mulut
Lian Ci Sengjin. Begitu sumbat mulutnya dibuka terdengar rintihan dari mulut
itu, rintihan yang tidak karuan bunyinya, akan tetapi masih dapat ditangkap
kata-katanya,
“Ampun...
ampun... ampun...!"
"Hi-hi-hik!
Bagus sekali...!" Tiba-tiba pedang menyambar ke bawah pusar Lian Ci
Sengjin.
"Auggghhhhrrrrr...!"
Jeritan terakhir
yang keluar dari kerongkongan Lian Ci Sengjin sangat nyaring, juga amat
mengerikan sebab jeritan itu merupakan pekik kematian yang mungkin dibarengi
dengan melayangnya nyawa dari tubuhnya. Lian Ci Sengjin baru mati setelah dia
disiksa selama hampir setengah jam.
Namun
agaknya Hun Bwee belum merasa puas. Pedangnya masih terus menyambar-nyambar dan
membacoki tubuh yang sudah menjadi mayat itu sehingga sekarang tubuh itu
terpotong-potong dicacah-cacah sampai tidak ada potongan yang panjangnya lebih
besar dari setengah kaki. Kepalanya dibelah menjadi empat potong dan anggota
tubuh yang paling dibenci Hun Bwee dan paling membuatnya jijik itu telah
dicacah-cacah seperti daging bahan bakso!
Sekarang Hun
Bwee tidak tertawa-tawa lagi, melainkan menjerit-jerit menangis diselingi tawa
sambil membacoki terus! Pakaian merahnya penuh dengan percikan darah, namun tak
dipedulikan. Pedang hitamnya juga sudah basah oleh darah.
Dalam
keadaan seperti itulah lima orang anak buah Pat-liu Sian-ong yang pada waktu
itu kebetulan sedang meronda di taman mendapatkan gadis itu. Lima orang anak
buah ini cepat-cepat lari mendekati dan mereka terbelalak penuh kengerian
ketika melihat gadis itu membacoki mayat yang sudah menjadi onggokan daging
berceceran. Hanya ketika mereka melihat pakaian Lian Ci Sengjin di atas rumput
saja yang membuat mereka sadar bahwa yang dibacoki itu adalah bekas tubuh Lian
Ci Sengjin!
"Celaka...!"
Seorang di antara mereka berseru kaget.
Mendengar
ini, Hun Bwee menengok dan sambil berteriak ganas ia menerjang ke depan,
menggerakkan pedangnya. Lima orang itu cepat menggunakan senjata menangkis,
akan tetapi dalam sekejap mata saja, empat orang di antara mereka telah roboh
dengan nyawa melayang, dan hanya seorang yang terluka pada pundaknya masih
sempat lari sambil berteriak-teriak sekerasnya.
Hun Bwee
mengejarnya. Dua bayangan orang berkelabat dan muncullah Si Iblis Cebol Gu Coan
Kok dan si raksasa Kerait yang bernama Hok Ku. Melihat keadaan Hun Bwee, dua
orang di antara iblis-iblis Tembok Besar ini cepat menyerangnya.
Gu Coan Kok
menyerang dengan tongkatnya yang panjang, gerakannya cepat dan aneh sekali,
menyodokkan tongkatnya ke arah perut Hun Bwee. Pada saat itu juga, Hok Ku si
raksasa tinggi besar bongkok telah menggerakkan senjatanya berbentuk cakar besi
yang beracun dan yang disambung dengan dua tangannya, menyerangnya dengan
Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa), mencengkeram ke arah
ubun-ubun kepala dengan tangan kanan ke arah dada Hun Bwee.
Hun Bwee
menjadi marah sekali. Mulutnya mengeluarkan suara melengking nyaring dan
pedangnya berkelebat, berubah menjadi segulung sinar hitam yang sekaligus
menangkis tongkat yang menyodok perut dan cakar yang mencengkeram dada, sedangkan
tangan kirinya dengan berani menyampok cakar yang mencengkeram kepalanya.
"Cring!
Tranggg! Plakkk!"
Kedua orang
jagoan Tembok Besar terkejut sekali karena tangkisan pedang itu membuat senjata
mereka terpental, sedangkan cakar besi beracun itu ketika disampok tangan kiri
Hun Bwee, membuat Hok Ku hampir terguling! Padahal raksasa bongkok ini
mempunyai tenaga yang amat besar. Tahulah mereka bahwa wanita gila ini ternyata
lihai luar biasa.
Mereka
bersilat dengan hati-hati sekali, apa lagi ketika Hun Bwee kini membalas dengan
serangan yang bertubi-tubi dan gerakannya mirip gerakan ngawur, asal bacok dan
tusuk saja bukan seperti gerakan dari seorang ahli pedang. Justru gerakan
ngawur inilah yang menyembunyikan kelihaian ilmu pedang ajaran Go-bi Thai-houw
si nenek gila.
Serangan
yang ngawur ini benar-benar mengacaukan gerakan dua orang jagoan Tembok Besar.
Kelihatannya ngawur, namun dari gerakan itu memancar keluar bahaya-bahaya maut
sehingga mereka tidak berani memandang ringan dan cepat menggerakkan senjata
untuk menangkis.
"Hi-hi-hik!"
Hun Bwee terkekeh dan tiba-tiba tubuhnya jatuh terpelanting sendiri karena
kakinya yang kacau itu membuat ia kehilangan keseimbangan tubuh!
Melihat
wanita baju merah itu terguling miring dan pedangnya terhimpit tubuhnya sendiri,
tentu saja dua orang jagoan Tembok Besar menjadi girang bukan main. Mereka
adalah orang-orang berilmu tinggi dan melihat keadaan lawan, mereka tahu bahwa
kini mereka tentu akan dapat menundukkan lawan aneh itu.
Cepat mereka
berdua menubruk, seperti berlomba, menggerakkan senjata. Betapa pun juga,
karena mereka ingin menawan wanita gila ini hidup-hidup, senjata tongkat
bergerak menotok jalan darah sedangkan kedua cakar besi hanya mencengkeram
pundak. Mereka berdua tidak mengirim pukulan maut karena keadaan lawan yang
sudah tidak berdaya seperti tiu, dengan penyerangan mereka itu pun pasti mereka
akan berhasil.
Kedua orang
jagoan Tembok Besar itu boleh jadi sudah memiliki kepandaian tinggi dan
pengalaman bertanding yang amat matang, akan tetapi tentu saja mereka belum
pernah bertemu dengan lawan yang mempunyai ilmu dari Go-bi Thai-houw yang luar
biasa, ilmu yang diciptakan oleh orang yang miring otaknya sehingga akal-akal
yang terdapat dalam ilmu silatnya kiranya hanya akan dapat diduga dan
diperhitungkan oleh orang sinting pula.
Jatuhnya
tubuh Hun Bwee sehingga rebah sendiri bukanlah memang sewajarnya, meski pun
tampaknya demikian, melainkan gerak tipu yang berbahaya sekali! Pada saat ujung
senjata kedua orang sudah hampir berhasil, secara tak tersangka-sangka dan
tiba-tiba tubuh gadis itu terguling menelungkup dan kedua kakinya bergerak
menendang, bukan menendang seperti biasa, melainkan ‘menyepak’ ke belakang
seperti kaki belakang kuda mengarah anggota rahasia pusar kedua orang lawan!
Bukan main
kagetnya Gu Coan Kok dan Hok Ku! Apa bila serangan mereka itu mereka lanjutkan,
tentu akan mengenai lawan, akan tetapi tidak sampai menimbulkan kematian.
Sebaliknya, sepakan gadis itu pun akan mengenai sasaran dan akibatnya tentu
sangat hebat. Akan tetapi, untuk menarik kembali serangan mereka, sudah tak
keburu lagi maka mereka berusaha mengelak.
Masih untung
bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga dalam
keadaan tubuh sudah condong ke depan dan menyerang itu mereka masih sempat
meloncat ke belakang sehingga sepakan yang cepat dan kuat itu tidak mengenai
sasaran secara tepat dan hanya mengenai paha mereka.
Dua orang
itu berteriak dan masih dapat meloncat terus ke belakang, paha mereka terasa
panas kena dicium belakang kaki Hun Bwee. Ada pun serangan mereka yang tadi
hanya sempat menyentuh tubuh Hun Bwee, sama sekali tidak mendatangkan kerugian
apa-apa bagi gadis itu.
Sambil
terkekeh girang Hun Bwee sudah meloncat bangun lantas memutar pedangnya,
mendesak dengan tikaman-tikaman berantai ke arah dua lawannya. Terpaksa dua
orang jagoan Tembok Besar ini menggerakkan senjata mereka dengan cepat untuk
melindungi tubuh sehingga berkali-kali terdengar suara nyaring bertemunya
pedang dengan tongkat dan cakar besi. Dalam belasan jurus saja dua orang itu
terdesak hebat oleh gulungan sinar pedang hitam.
Tiba-tiba
terdengar bentakan keras, "Perempuan gila! Engkau telah membunuh Lian Ci
Sengjin?"
Bentakan ini
disusul dengan bunyi meledak-ledak seperti halilintar menyambar-nyambar dan
ternyata sekarang di tempat itu telah muncul Pat-jiu Sian-ong sendiri beserta
Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang menggerakkan pecut bajanya sehingga menimbulkan
suara bagai halilintar itu. Selain mereka berdua, juga Sian Ti Sengjin ikut
datang karena mendengar bahwa sute-nya terbunuh orang.
Kini bekas
tokoh Kun-lun-pai itu berdiri dengan muka pucat dan sepasang mata terbelalak
memandang pada bekas tubuh sute-nya yang sudah menjadi cacahan daging
berceceran tidak karuan. Tak terasa lagi air mata menetes-netes turun membasahi
pipinya yang mulai kisut.
"Sute…
ahhh, Sute...!" Ia mengeluh dan terbayanglah segala pengalamannya bersama
sute-nya.
Lian Ci
Sengjin adalah sute-nya yang paling dicintanya, bahkan akhir-akhir ini menjadi
sekutunya ketika mereka menentang Kiang Tojin, suheng mereka. Melihat sute-nya
telah menjadi daging berceceran seperti itu, hati Sian Ti Sengjin menjadi ngeri
dan dia segera mengingat-ingat, dosa apa gerangan yang dilakukan sute-nya
hingga sekarang menemui kematian yang demikian mengenaskan.
Kini
pertandingan dilanjutkan dengan sangat hebat, akan tetapi setelah Pat-jiu
Sian-ong muncul di situ, keadaan Hun Bwee terdesak hebat sekali. Tentu saja
kalau dibandingkan dengan Pat-jiu Sian-ong kakek kate kecil berkepala besar
yang menjadi seorang di antara Bu-tek Su-kwi, Hun Bwee kalah jauh.
Betapa pun
juga, andai kata dia hanya menghadapi kakek ini satu sama satu, belum tentu
Pat-jiu Sian-ong akan dapat merobohkannya karena gadis ini memiliki ilmu yang
amat aneh sehingga Pat-jiu Sian-ong sendiri menjadi bingung dibuatnya. Dan
andai kata gadis itu hanya dikeroyok oleh kedua orang jagoan Tembok Besar,
yaitu Gu Coan Kok yang bersenjata tongkat dan Hok Ku yang bersenjata cakar
baja, agaknya Hun Bwee masih akan dapat mengalahkan mereka dengan akal-akalnya
yang aneh.
Akan tetapi
sekarang dia dikeroyok empat dan terutama sekali senjata kebutan hudtim dari
Pat-jiu Sian-ong dibarengi pukulan-pukulan sinkang tangan kiri kakek ini yang
amat ampuh membuat Hun Bwee kewalahan.
Setelah
lewat lima puluh jurus di mana Hun Bwee membela diri mati-matian, tiba-tiba
saja ujung hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong berhasil membelit pedang
Hek-sin-kiam sehingga dua orang ini saling berkutetan mengadu tenaga untuk
mempertahankan senjata mereka masing-masing. Saat itu digunakan oleh Cou Seng
untuk menyambar pecut bajanya ke arah kepala Hun Bwee dan dari depan, tongkat
Gu Coan Kok menyodok dada sedangkan cakar baja Hok Ku mencengkeram muka!
Hun Bwee
yang masih berkutetan mempertahankan pedang, cepat berjongkok sehingga pecut
baja Cou Seng bertemu dengan cakar besi, ada pun tongkat Gu Coan Kok yang
menyodok telah ditangkis oleh tangan kirinya. Akan tetapi pada saat itu,
tahu-tahu tubuh Cou Seng yang bulat besar telah menubruknya dari belakang dan
telah memeluk dengan kedua lengannya yang besar berbulu sehingga Hun Bwee tidak
mampu berkutik lagi!
Cou Seng ini
selain merupakan seorang ahli bermain pecut baja, juga berjuluk Thai-lek Sin-mo
(Iblis Sakti Bertenaga Besar), tenaganya hebat bukan main seperti tenaga seekor
gajah, dan dia adalah seorang ahli gulat maka pelukannya bukanlah sembarang
pelukan. Kedua lengannya yang besar kuat itu menelikung Hun Bwee melalui bawah
ketiak gadis itu dan terus membelit ke belakang leher di mana jari-jari
tangannya yang kuat saling membelit. Pelukan maut!
"Ahhhhh...!
Uuhhhh...!" Gadis itu meronta-ronta namun percuma saja, sedikit pun ia
tidak mampu melepaskan diri.
Melihat
keadaan gadis yang sudah tidak berdaya ini, Pat-jiu Sian-ong lalu mengerahkan
tenaganya membetot hudtim, akan tetapi dia menjadi terkejut dan kagum sekali
karena gadis itu tetap mampu mempertahankan pedangnya. Ada pun dua orang jagoan
Tembok Besar yang lain kini tertawa saja melihat bahwa lawan yang lihai itu
telah kena ditelikung.
Tiba-tiba
saja Coa Seng mengeluarkan teriakan memaki secara tidak terduga-duga sama
sekali. Ternyata Hun Bwee menundukkan muka dan menggigit lengan yang melingkari
lehernya melalui bawah ketiak, sedang tangan kirinya dengan jari-jari lurus dan
mengeras penuh tenaga sinkang ditusukkan ke belakang melalui pundak ke arah
mata Cou Seng yang berada di belakangnya!
Cou Seng
yang merasa lengannya sakit karena kulit lengan robek dihujam gigi putih kecil
yang kuat, menarik kepala ke belakang untuk menyelamatkan mata. Akan tetapi
kiranya jari-jari tangan itu tidak jadi menusuk mata, melainkan menusuk jalan
darah di lehernya! Kaget sekali hati Thai-lek Sin-mo dan karena kaget, lingkaran
lengannya mengendor dan dia miringkan tubuh.
Kesempatan
ini digunakan oleh Hun Bwee yang tiba-tiba menggerakkan kaki kanannya, kembali
bagai seekor kuda ‘menyepak’ ke belakang, tungkak (tumit) kakinya mengancam
anggota tubuh paling lemah dari setiap pria, yaitu di bawah pusar!
"Celaka...!"
Cou Seng cepat merenggangkan tubuh.
Detik itulah
yang dinanti Hun Bwee yang seperti seekor belut saja tiba-tiba menggeliat dan
melempar tubuh ke bawah sehingga lingkaran lengan yang merupakan pelukan maut
itu terlepas. Hun Bwee membalik dan menendang. Cou Seng mengelak, namun tetap
saja tulang keringnya kena ditendang.
"Wadouuuwwwww...!"
Raksasa ini
langsung meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil memegang kaki kirinya.
Berdenyut-denyut rasanya saking nyerinya. Kalau tulang kering kakinya itu patah
sekali, tidaklah akan sedemikian nyerinya. Akan tetapi patah tidak, utuh pun
tidak, mendekati retak-retak, bukan main nyerinya sampai terasa menembus
jantung!
Akan tetapi,
pada saat itu kebutan di tangan Pat-jiu Sian-ong sudah melepaskan belitan dan
menyambar kepala Hun Bwee. Gadis ini sudah membuang tubuh ke belakang dan
berjungkir balik sambil memutar pedangnya.
"Cringgg...!
Tranggggg...!"
Tongkat Gu
Coan Kok serta tangan yang berselubung cakar besi Hok Ku ditangkisnya dengan
tepat. Karena kedudukan badannya sedang berjungkir-balik sambil menangkis, maka
dia tidak mampu lagi mengelakkan datangnya hudtim dari Pat-jiu Sian-ong. Ujung
kebutan meledak dan menotok punggungnya.
Untung Hun
Bwee masih dapat mengerahkan sinkang yang aneh, yang membuat jalan darah yang
tertotok itu seolah-olah ‘mati’ sehingga ketika totokan mengenai sasaran, dia
hanya roboh terguling dengan bantingan cukup keras. Tetapi cakar besi Hok Ku
segera menyambar dan sungguh pun dia sudah menggulingkan tubuh di atas tanah,
tetap saja bahunya robek berikut kulit dan daging terkena cakaran, sedangkan
tongkat Gu Coan Kok menghantam pundak kirinya hingga tulang pundak kirinya
patah!
Hun Bwee
menjerit lalu tertawa bergelak, tiba-tiba ia berlutut di hadapan Pat-jiu
Sian-ong seperti orang minta ampun! Melihat ini, kakek yang merupakan salah
seorang di antara datuk-datuk golongan sesat ini tertegun. Hanya beberapa detik
tertegun namun cukuplah bagi Hun Bwee. Tangan kirinya yang pundaknya sudah
patah itu masih dapat bergerak dan tanah berdebu menyembur ke atas.
"Celaka...!"
Pat-jiu
Sian-ong yang tadi menunduk, cepat mengelak tanpa berani memejamkan mata sebab
memejamkan mata pada saat menghadapi lawan merupakan pantangan besar. Hal
inilah yang membuat matanya kemasukan debu. Sambil berseru keras hudtim-nya
lantas menyambar ke depan sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke belakang,
matanya untuk sementara tak dapat melihat.
Namun Hun
Bwee sudah mengelak, meloncat jauh dan berlari sambil terkekeh-kekeh. Di antara
para pengeroyoknya, yang hebat kepandaiannya adalah Pat-jiu Sian-ong, maka
dalam keadaan terluka seperti itu satu-satunya jalan baginya untuk dapat
melarikan diri haruslah membuat kakek lihai itu tidak berdaya lebih dulu.
Benar saja,
karena Pat-jiu Sian-ong membersihkan kedua matanya yang kelilipan debu, hanya
tiga orang jagoan Tembok Besar yang melakukan pengejaran. Akan tetapi Cou Seng
mengejar sambil terpincang-pincang, maka mereka bertiga tak mampu menandingi
ginkang Hun Bwee yang sudah menghilang ditelan bayang-bayang pohon yang gelap.
Selama
terjadinya pertempuran itu, Sian Ti Sengjin hanya menonton saja, berulang-ulang
dia menarik napas panjang dan ketika Hun Bwee melarikan diri, dia tidak ikut
mengejar melainkan berlutut menghadapi ceceran daging-daging bekas tubuh
sute-nya.
"Biar
dia lari! Jangan khawatir, dia tidak akan mampu keluar dari benteng ini!"
kata Pat-jiu Sian-ong penuh kemarahan ketika kedua matanya sudah dapat dibuka
lagi.
Dia merasa
malu dan penasaran mengapa dia sebagai seorang datuk kenamaan sampai dapat
diakali oleh seorang bocah gila. Justru karena gila, maka akal yang dilakukan
Hun Bwee tadi sama sekali tidak pernah disangkanya sehingga dia kena ditipu.
Dengan hati penasaran, Pat-jiu Sian-ong lalu mengeluarkan perintah untuk
melakukan penjagaan ketat dan meronda agar gadis gila itu tidak sampai dapat
lolos dari dalam benteng itu.
Pada saat
Cui Im mendengar laporan tentang peristiwa terbunuhnya Lian Ci Sengjin dan
larinya Hun Bwee, dia menerima dengan sikap dingin seolah tidak peduli. Lian Ci
Sengjin bukan merupakan seorang pembantu yang terlalu kuat, bahkan lenyapnya
tokoh ini malah meringankan gangguan terhadap dirinya. Justru dia lebih
menyayangkan Hun Bwee yang dia tahu mempunyai kepandaian aneh dan hebat,
terutama sekali terjadinya peristiwa itu telah melenyapkan harapan mereka semua
untuk dapat menarik tenaga Go-bi thai-houw sebagai sekutu.
"Sian-ong,
kalau dia sudah membunuh Lian Ci Sengjin, hal itu tidak ada sangkut-pautnya
dengan kita karena mereka itu mempunyai urusan pribadi sendiri. Lebih baik
biarkan saja dia lari dari sini, karena kalau sampai kita membunuhnya dan kelak
hal ini didengar oleh gurunya, kita malah akan menanam bibit permusuhan dengan
lawan yang tidak lemah."
Ucapan ini
dapat diterima oleh semua orang dan Cui Im sengaja melirik ke arah Sian Ti
Sengjin. Akan tetapi bekas tokoh Kun-lun-pai ini terlihat diam saja, agaknya
belum lenyap rasa kaget dan dukanya atas kematian sute-nya. Pak-san Kwi-ong
juga menerima berita ini sambil tertawa-tawa saja, sama sekali tidak
mempedulikannya.
Karena sikap
dua orang sekutu inilah maka Pat-jiu Sian-ong tidak turun tangan sendiri dalam
mengejar Hun Bwee sehingga seolah-olah membiarkan gadis yang sudah terluka itu
meloloskan diri, kalau masih memiliki kemampuan untuk menerobos garis penjagaan
anak buahnya. Namun larinya Hun Bwee ini membuat Cui Im berhati-hati dan cepat
ia mengatur rencana yang telah ia persiapkan untuk menghadapi empat orang
tawanannya yang ia tahu merupakan orang-orang yang amat berbahaya karena mereka
berempat itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Keng
Hong.
***************
Hun Bwee
yang berhasil lolos dari kepungan, berlari di dalam gelap sambil menangis dan
kadang-kadang tertawa. Kalau ia teringat betapa ia telah menemukan orang yang
sudah memperkosanya kemudian melampiaskan dendamnya, ia sendiri tidak tahu
harus tertawa atau menangis. Kelegaan hati telah dapat membunuh orang yang
telah merusak hidupnya membuat ia ingin tertawa bergelak sampai mati, akan
tetapi apa bila teringat lagi bahwa yang memperkosanya bukanlah Keng Hong
seperti yang selama ini disangkanya, bahkan diharapkannya karena dia mencinta
pemuda itu, membuat dia ingin menangisi nasibnya yang amat buruk.
Kini dia
tidak kumat lagi. Otaknya benar-benar waras dan kini dia menggunakan segala
kecerdikannya untuk dapat lolos dari tempat yang berbahaya ini. Dia harus
bebas! Untuk dirinya sendiri? Tidak! Dia harus lolos karena kalau tidak, tentu
empat orang muda yang tertawan itu akan celaka nasibnya. Terutama sekali Keng
Hong dan Biauw Eng! Dia harus lolos kemudian mencari daya upaya untuk menolong
mereka dari cengkeraman Bhe Cui Im yang amat lihai.
Tiba-tiba
Hun Bwee menyelinap di dalam gerombolan pohon yang gelap saat mendengar suara
para penjaga yang siap melakukan penjagaan ketat sesuai dengan perintah Pat-jiu
Sian-ong. Dari balik pohon ia dapat melihat kegiatan mereka. Setiap pintu
benteng dijaga ketat, bahkan di sepanjang tembok benteng itu dijaga oleh
penjaga-penjaga dalam jarak kurang sepuluh meter.
Ia telah
dikurung rapat! Dan lapat-lapat ia mendengar suara anjing-anjing mengonggong.
Bukan hanya para penjaga anak buah Pat-jiu Sian-ong, juga anjing-anjing ikut
mengurung dirinya. Hun Bwee menggigit bibir menahan rasa nyeri di pundaknya.
Gadis ini
lalu berindap-indap mencari bagian tembok benteng yang paling gelap. Dengan
amat hati-hati ia merayap melalui semak-semak sampai berada tak jauh lagi dari
tembok benteng itu. Pandang matanya berusaha menembus keadaan remang-remang di
bawah sinar bulan untuk meninjau keadaan.
Tembok itu
terlalu tinggi bagi tubuhnya yang sudah terluka. Dia tentu akan gagal kalau
berusaha meloncati tembok setelah merobohkan beberapa orang penjaga yang tentu
saja dipandangnya rendah. Pundak kirinya yang patah tulangnya itu akan menjadi
penghalang besar.
Jalan
satu-satunya hanyalah menerjang pintu gerbang yang terjaga oleh kurang lebih
dua losin orang itu. Tidak ada jalan lain. Biar pundaknya telah terluka, dengan
pedangnya ia masih sanggup untuk membuka jalan darah melalui pintu gerbang itu,
pikirnya.
Akan tetapi
sebelum dia bergerak, tiba-tiba dia mendengar suara anjing menggereng tak jauh
dari tempat dia bersembunyi dari arah belakangnya. Hun Bwee terkejut dan cepat
menengok, akan tetapi pada saat itu, seekor anjing berbulu hitam sebesar anak
kerbau telah meloncat menerkamnya dengan gerengan dahsyat.
Hun Bwee
sedang bertiarap, menelengkup sedangkan pedangnya masih tergantung pada
punggungnya. Melihat binatang buas ini menerkamnya, Hun Bwee cepat
menggulingkan tubuhnya ke kiri sampai lima kali. Dia harus dapat membunuh
binatang ini sebelum para penjaga mendengar dan datang mengeroyok sehingga
pintu gerbang akan terjaga lebih ketat sebelum ia dapat mendejangnya.
Tubrukan
anjing itu luput dan sebelum binatang itu dapat melakukan serangan susulan,
tangan kanan Hun Bwee sudah melayang dengan hantaman kuat. Akan tetapi, anjing
itu agaknya lebih awas di tempat gelap. Pukulan itu dapat ia elakkan sehingga
bukan kepala anjing yang terpukul, melainkan lehernya yang amat kuat.
"Bukkk!"
Anjing itu
segera terlempar ke samping. Akan tetapi dia bukan mengeluarkan pekik yang
menandakan dia takut, melainkan meloncat bangun dan menubruk kembali,
moncongnya yang bergigi besar-besar dan runcing itu menyerbu ke arah
tenggorokan Hun Bwee.
Melihat berkilaunya
gigi-gigi tertimpa sinar bulan yang menembus dari celah-celah daun pohon, Gadis
ini segera membuang diri ke samping dan kakinya melayang, menendang perut
anjing itu. Kembali terdengar suara berdebuk keras dan tubuh anjing itu
terlempar lagi ke belakang.
Ternyata
anjing itu tubuhnya kuat sekali karena kini dia sudah menubruk lagi. Hun Bwee
telah siap dengan pedangnya, sekali Hek-sin-kiam menyambar leher binatang itu
terbacok hampir putus! Pada saat itu pula terdengar gerengan keras dan tiga
ekor anjing sekaligus menubruk ke arah Hun Bwee! Gadis ini menjadi marah.
"Bedebah!"
Dia memaki dan pedangnya berkelebatan.
Sepandai-pandainya
anjing, binatang ini kurang akal. Saat melihat sinar hitam, agaknya
binatang-binatang ini tidak mengerti bahaya dan terus menubruk. Seekor anjing
berbulu coklat roboh tak berkutik dengan leher putus, anjing ke dua
mengeluarkan suara menguik keras. Akan tetapi gerakan tiga ekor anjing yang
nekat ini membuat Hun Bwee menjadi agak gugup sehingga pada saat pedangnya
menusuk ke dada anjing ke dua, pedang itu menyelip dan terjepit di antara
tulang iga. Belum sempat ia menarik pedangnya, anjing ke tiga telah menubruknya
sedemikian keras hingga ia roboh terguling tertindih badan anjing yang berat.
Dengan ganas
sambil mengeluarkan suara menggeram mengerikan anjing itu membuka lebar
mocongnya lantas menggigit ke arah leher. Hun Bwee cepat menggunakan tangan
menampar mocong itu. Akan tetapi karena dia terbanting dengan pundak kiri di
bawah, sebab tadinya terlupa akan luka di pundaknya, dia merasakan nyeri hebat
yang membuat tenaganya berkurang. Moncong anjing itu menyeleweng namun masih
berhasil menggigit punggungnya!
"Auhhh...!"
Gadis itu menjerit perlahan, daging dan kulit punggungnya terasa nyeri.
Dia cepat
menggulingkan tubuhnya, berusaha melepaskan gigitan namun tidak berhasil.
Anjing itu seperti seekor lintah besar yang terus menempel di belakang
tubuhnya. Hun Bwee hampir tidak kuat menahan rasa nyeri, pedangnya masih
tertinggal di dada anjing ke dua yang berkelojotan, maka ia lalu mengerahkan
seluruh tenaganya, menangkap kaki belakang anjing dari belakang punggungnya,
lalu membawa bagian belakang anjing itu ke depan, kemudian sambil mengerahkan
tenaga dan menahan rasa nyeri dia menusukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam
perut anjing.
"Crottt!"
Lima buah
jari tangan kanannya amblas memasuki perut anjing. Dia mencengkeram dan meremas
isi perut anjing, menariknya keluar. Anjing itu mengeluarkan suara yang aneh,
gigitannya terlepas dan terjatuh ke atas tanah, berkelojotan.
Hun Bwee
terhuyung menghampiri anjing yang ‘merampas’ pedangnya, lantas mencabut pedang
itu. Tubuhnya terasa sakit-sakit, terutama sekali pundak kirinya yang tentu
saja semakin parah karena dipakai bergumul tadi, serta punggungnya yang terasa
perih dan panas. Kulit punggungnya yang halus putih itu robek sehingga darah
banyak keluar.
Suara
perkelahiannya melawan empat ekor anjing tadi agaknya menarik perhatian para
penjaga. Dari balik semak-semak Hun Bwee melihat bahwa para penjaga bersiap
dengan senjata di tangan, menjaga pintu gerbang. Sekarang, pikirnya, atau
terlambat! Kenekatan ini timbul dari harapan untuk dapat keluar agar dia dapat
berdaya upaya menolong empat orang yang tertawan.
Dengan
lengking menyeramkan, gadis yang sudah koyak-koyak pakaiannya dan terkoyak
kulit punggungnya itu lalu meloncat dan lari ke arah pintu gerbang. Para
penjaga sudah siap dan begitu melihat munculnya gadis ini yang mereka anggap
kumat gilanya, mereka segera menerjang maju.
Hujan tombak
dan golok melayang ke arah tubuh Hun Bwee, akan tetapi gadis ini sudah memutar
pedangnya. Gulungan sinar hitam membentuk lingkaran dan terdengarlah suara
nyaring ketika tombak-tombak serta golok-golok itu patah dan terlepas
beterbangan ke kanan kiri, disusul jerit kesakitan ketika lima orang pengeroyok
roboh terkena sambaran Hek-sin-kiam! Menyaksikan keganasan Hun Bwee itu, para
pengeroyok lainnya menjadi gentar.
Kesempatan
itu digunakan oleh Hun Bwee untuk mengeluarkan suara melengking tinggi,
setengah tertawa setengah menangis yang membuat bulu tengkuk para pengeroyoknya
berdiri, kemudian tahu-tahu gadis itu sudah meloncat ke dekat pintu gerbang!
"Tangkap…!”
“Bunuh...!"
Teriakan-teriakan
itu terdengar lebih gencar dari pada datangnya pengeroyokan karena para penjaga
benar-benar merasa ngeri dan jeri. Di depan pintu gerbang kembali Hun Bwee
dikeroyok oleh belasan orang penjaga.
Para penjaga
itu rata-rata memiliki kepandaian ilmu silat, namun mereka bukanlah lawan berat
bagi Hun Bwee. Sungguh pun gadis ini sudah terluka parah dan telah kehilangan
setengah bagian kecepatannya, akan tetapi gerakannya masih terlalu hebat bagi
para pengeroyok itu sehingga setelah bertanding hebat selama beberapa menit,
kembali ada enam orang pengeroyok roboh binasa. Orang terakhir yang roboh
adalah penjaga palang pintu gerbang.
Hun Bwee
cepat menggigit pedangnya yang berlumuran darah, karena kini tangan kirinya
sama sekali tidak dapat ia pergunakan lagi dan sudah lumpuh, kemudian dengan
tangan kanannya, sekali renggut palang pintu dari besi itu terlepas dan sekali
tendang, daun pintu pun langsung terkuak lebar.
Dua orang
penjaga mempergunakan kesempatan selagi gadis itu menggigit pedang dan
menggunakan tangan merenggut palang pintu, menyerang dari belakang dengan
bacokan golok mereka. Hun Bwee mendengar datangnya sambaran dua batang golok.
Cepat dia mengelak dengan menarik tubuh ke belakang. Dua batang golok
menghantam daun pintu.
Melihat
dirinya dibacok seperti itu, sebenarnya Hun Bwee hendak terus mengamuk dan
membunuh dua penjaga itu. Akan tetapi tangan kirinya sudah lumpuh, dan sungguh
pun pikirannya terganggu namun dia masih memiliki kesadaran bahwa dia harus
cepat-cepat keluar dari benteng itu untuk meloloskan diri.
Maka,
melihat pintu besi yang tadi ditendangnya kini sudah terpentang lebar, gadis
aneh ini segera melompat keluar kemudian menggunakan ginkang-nya berkelebat.
Akan tetapi luka-luka yang dideritanya sangat parah sehingga tenaganya banyak
berkurang. Ginkang yang biasanya membuat tubuhnya dapat berkelebat dengan amat
cepat, sekarang hanya tersisa tidak sampai setengahnya.
Ketika itu,
di sekitar pintu benteng itu telah berkumpul banyak penjaga yang merupakan
pasukan anak panah dan masing-masing sudah siap dengan gendewa berisi anak
panah. Maka, begitu melihat tubuh Hun Bwee berkelebat keluar hendak melarikan
diri, segera anak-anak panah meluncur laksana hujan menimpa tubuh gadis yang
keadaannya sudah sangat parah itu.
Sudah
sekitar empat puluh tindak Hun Bwee keluar dari tembok benteng ketika
telinganya dapat menangkap desir angin berdesingan yang ditimbulkan oleh
anak-anak panah yang baru dilepaskan oleh pasukan pemanah. Gadis ini cepat
membalikkan tubuh dan segera memutar Hek-sin-kiam untuk melindungi dirinya dari
hujan anak panah.
Demikian
cepat pedang itu berputar sehingga anak-anak panah itu dapat dipukul runtuh dan
jatuh ke tanah, akan tetapi jumlah anak panah itu terlalu banyak sedangkan
tenaga Hun Bwee yang tinggal separuh sudah terkuras lebih banyak lagi. Dan
akhirnya…..
“Ceppp!”
sebatang anak panah menancap pada perutnya, begitu dalam sehingga nyaris tembus
sampai ke punggungnya.
“Ahhh…!” Hun
Bwee merintih lirih, menahan rasa sakit pada perutnya. Pandang matanya gelap,
kepalanya terasa berdenyut-denyut.
Walau pun
demikian, gadis yang pikirannya terganggu ini masih terus memutar pedang
Hek-sin-kiam secepat yang dia mampu sambil kakinya terus melangkah mundur,
menjauh dari benteng itu, makin lama makin menjauh. Akhirnya, ketika sudah tak
ada anak panah yang mampu mencapai dirinya, Hun Bwee membalikkan tubuh dan
dengan sisa tenaga terakhir dia melarikan diri masuk hutan dengan anak panah
tertancap pada perutnya.
***************
"Keng
Hong, berkali-kali kau menyakitkan hatiku, akan tetapi aku selalu mengampunimu.
Bahkan yang terakhir kali engkau menipuku dengan bujuk rayumu, hampir kau
berhasil. Menurut patut, sekarang juga engkau harus kubunuh, atau lebih tepat
kalau kau kusiksa sebelum kubunuh. Akan tetapi... ahhhh..." Cui Im
menundukkan mukanya, menarik napas panjang penuh penyesalan.
Keng Hong
yang masih terbelenggu pada tiang besi di dalam kamar tahanan, menatap tajam
dan dapat menduga bahwa sekali ini gadis itu tidak berpura-pura, tapi
benar-benar menyesal sekali.
"Kenapa,
Cui Im? Lanjutkanlah," katanya perlahan dan dengan suara dingin,
menunjukkan bahwa hatinya telah tertutup sama sekali terhadap wanita ini.
Memang dia
beberapa kali berlaku tidak sedap terhadap Cui Im, akan tetapi bukankah wanita
ini yang lebih dulu melakukan hal-hal yang mencelakakan Biauw Eng gadis yang
dicintanya?
Cui Im
mengangkat muka memandang Keng Hong dan pemuda ini terkejut ketika melihat
beberapa tetes air mata membasahi sepasang pipi wanita itu. Cui Im menangis!
Air mata buayakah ini? Bukan, gadis itu benar-benar merasa berduka dan kecewa
sekali.
"Keng
Hong, apa artinya hidup bagi seseorang tanpa cinta? Cinta yang murni maksudku,
cinta yang timbul dari lubuk hati, cinta yang sudah ada tanpa harus
dibuat-buat, yang menguasai seluruh jiwa, yang sudah ada seperti adanya napas
dan denyut darah dalam tubuh. Aku cinta padamu, Keng Hong. Bukan! Bukan cintaku
terhadap setiap pria tampan yang hanya merupakan dorongan nafsu birahi. Aku
cinta padamu dari lubuk hatiku! Aku bersedia melakukan apa saja, bahkan
bersedia mengubah seluruh jalan hidupku asal saja aku bisa mendapatkan cintamu,
asal saja aku bisa menjadi isterimu!"
Keng Hong
memandang dengan sinar mata kasihan, akan tetapi hanya sebentar karena dia
teringat akan kekejaman hati yang sudah menjadi watak wanita ini, maka mulutnya
segera tersenyum mengejek untuk menyakitkan hati Cui Im. "Cui Im, engkau
tahu betapa hal itu tidak mungkin terjadi seperti juga aku telah tahu benar
betapa palsu hatimu, betapa cintamu itu hanya kembang bibir saja karena
sebenarnya tidak ada cinta di hatimu, yang ada hanya dengki, iri dan benci. Di
balik cintamu itu tersembunyi kebencian yang sedalam lautan!"
Cui Im
mengejek. "Demikianlah cinta, Keng Hong. Cinta yang tidak mendapat
tanggapan, uluran tangan cinta yang tak disambut dengan jabatan, akan berubah
menjadi benci yang mendalam. Aku cinta padamu, aku rela mengorbankan apa pun
juga untuk merebut kasih hatimu, akan tetapi kalau tak berhasil, kalau engkau
menolak, aku membenci kepadamu, sebenci-benciku!"
Keng Hong
tersenyum mengejek meski pun di dalam hatinya dia merasakan penderitaan batin
wanita ini. Ia mau percaya penuh keyakinan bahwa wanita ini sungguh
mencintanya. Ia pun mau percaya bahwa semua perbuatan Cui Im yang amat keji
terhadap Biauw Eng sesungguhnya adalah karena cinta kasih itulah. Karena tidak
ingin melihat Keng Hong direbut lain wanita. Akan tetapi dia sendiri, tidak
pernah ada perasaan cinta kepada Cui Im.
"Aku
tetap tidak percaya, Cui Im. Engkau berhati palsu, dan perasaan cinta kasih
terlalu murni, terlalu bersih bagi hati yang kotor dari orang seperti engkau
ini. Apa pun yang kau lakukan, kuanggap akan mencelakakan diriku. Kiraku,
kebencianmu tidak akan melebihi sakitnya hatiku terhadap dirimu, Cui Im."
Cui Im
memandang dan kini kedukaan sudah lenyap dari mukanya, terganti sinar mata
menertawakan dan mengejek, "Karena perbuatanku terhadap Biauw Eng?"
"Terutama
karena itu, akan tetapi lebih dari pada semuanya karena perbuatanmu yang
menyesatkan aku di malam pertama itu. Engkau sudah menyeretku dalam cengkeraman
nafsu birahi, membangkitkan sifat binatang dalam diriku. Sungguh aku sangat
menyesal karena perbuatanmu itu, Cui Im. Cinta birahi yang bangkit antara dua
orang yang saling mengasihi, dalam pertemuan yang murni dan tidak melanggar
hukum, tak dibayangi oleh perasaan dosa karena melanggar hukum susila, cinta
birahi yang wajar sebagai kembang cinta kasih dari pada pria dan wanita, akan
berkembang dengan subur dan murni, suci sehingga menjadi landasan penciptaan
manusia baru. Akan tetapi, di dalam tanganmu, cinta birahi hanyalah merupakan
pemuasan nafsu binatang yang haus akan kenikmatan kotor. Kotor sekali cintamu,
Cui Im. Kotor..."
"Diam!"
Cui Im membentak.
Dia telah
melangkah maju, tangannya diangkat untuk memukul. Akan tetapi melihat wajah
Keng Hong yang tersenyum memandangnya tanpa berkedip, tangannya turun kembali
dan dia menjatuhkan diri duduk di atas dipan sambil terisak.
"Kelemahanku
adalah... selalu tidak tega bila hendak membunuhmu..." Cui Im menunduk,
kelihatan berduka sekali, akan tetapi ia lalu mengangkat muka, memandang dengan
sinar mata penuh penyesalan dan kemarahan. "Keng Hong, aku tidak bisa
merenggut cintamu, akan tetapi sewaktu-waktu dapat merenggut nyawamu dan nyawa
Biauw Eng! Biarlah, aku akan mengalah, akan membiarkan engkau dan Biauw Eng
bebas agar kalian dapat menikmati cinta kasih kalian. Akan tetapi, kau berikan
Ilmu Thi-khi I-beng kepadaku."
Keng Hong
menggelengkan kepalanya. "Memberikan ilmu dahsyat kepada orang seperti
engkau merupakan dosa besar, Cui Im, dosanya sama besar dengan memberikan sayap
kepada ular berbisa yang sangat berbahaya. Dari pada hidup bergelimang dosa
terhadap manusia dan dunia, lebih baik mati sebagai seorang gagah."
Biar pun
mulutnya berkata demikian, namun seluruh urat di tubuh Keng Hong menegang dan
siap untuk membela diri, seperti tadi ketika Cui Im hendak memukulnya.
"Keparat!
Kau sangka aku tidak kuat memaksa diri menyiksamu?" Cui Im bangkit
berdiri, matanya memancarkan api kemarahan.
"Sesukamulah!"
Cui Im
bertepuk tangan tiga kali dan muncullah Thian-te Siang-to, dua orang murid
Pat-jiu Sian-ong yang malam itu ditugaskan menjaga pintu tahanan.
"Bawa
Biauw Eng ke sini!"
Kedua orang
kakek itu mengangguk sambil melempar kerling dan senyum mengejek ke arah Keng
Hong, kemudian mereka berdua pergi. Diam-diam hati Keng Hong berdebar penuh
ketegangan dan kegelisahan, akan tetapi mukanya tidak memperlihatkan sesuatu,
tetap tenang seolah-olah dia tidak mengacuhkan sama sekali apa yang dilakukan
oleh Cui Im.
Tak lama
kemudian, dua orang itu menyeret tubuh Biauw Eng yang juga terbelenggu kaki
tangannya memasuki kamar tahanan Keng Hong. Atas perintah Cui Im, tubuh Biauw
Eng dilempar secara kasar oleh dua orang kakek itu ke atas pembaringan yang
tadi diduduki Cui Im.
Wajah Biauw
Eng agak pucat dan kurus, rambutnya awut-awutan tapi dalam pandangan Keng Hong,
gadis itu kelihatan semakin cantik sehingga matanya melembut dan mesra ditujukan
kepada Biauw Eng. Namun Biauw Eng tetap tenang, sinar matanya memandang wajah
bekas suci-nya dengan penuh tantangan.
"Cui
Im, wanita yang kehilangan pegangan, apa pula yang ingin kau lakukan
sekarang?" tanyanya.
Dia
mengerling ke arah Keng Hong, kemudian tersenyum melihat sinar mata mesra dari
pemuda itu. Biar pun hanya sejenak, namun pertemuan pandang mata penuh cinta
kasih dari kedua orang itu telah membakar hati Cui Im, seperti minyak
disiramkan kepada api kebencian yang membakar hati.
"Keng
Hong, kau lihat baik-baik! Biauw Eng juga tidak berdaya dan sudah berada dalam
cengkeraman tanganku. Jika aku membunuhnya di depanmu, atau menyiksanya, apakah
engkau masih hendak bersikap kukuh tidak pernah memberikan ilmu itu
kepadaku?"
"Keng
Hong, apakah engkau mendengar apa yang diocehkan oleh perempuan ini?"
"Biarlah,
Biauw Eng. Biarlah dia mengoceh, karena aku tetap tidak akan memberikan apa
yang dimintanya. Diatelah mengambil terlalu banyak dari kita, telah melakukan
perbuatan-perbuatan keji dengan maksud menghancurkan kebahagiaan kita berdua.
Akan tetapi, jika engkau menghendaki aku memberikan ilmu kepadanya, Biauw Eng,
aku akan mentaati kehendakmu. Bukan karena takut aku disiksa atau khawatir
engkau dibunuh, orang-orang seperti kita tak akan gentar menghadapi maut,
melainkan karena aku yang sudah banyak membuat kesalahan, kini akan mentaati
semua yang kau kehendaki."
Biauw Eng
mengerutkan keningnya. Memang hatinya masih sakit kalau dia mengenang sikap
Keng Hong kepadanya, sikap yang sangat menyakitkan hati setelah dia melakukan
semua pengorbanan demi cintanya terhadap pemuda itu, setelah selama
bertahun-tahun dia menderita demi cinta kasihnya.
"Bhe
Cui Im, ceritakanlah kepadaku apa yang sudah kau lakukan selama ini dan setelah
mendengar ceritamu, baru aku akan mengambil keputusan tentang permintaanmu
kepada Keng Hong. Engkau tentu menghendaki ilmu yang diperebutkan orang, yaitu
Ilmu Thi-khi I-beng itu, bukan?"
Cui Im
tertawa mengejek. "Hemmm, kuceritakan atau tidak, apa artinya bagi kalian?
Dan biarlah, untuk bekal ke akhirat engkau mendengar pengakuanku, Biauw
Eng."
Cui Im yang
cerdik segera dapat menangkap sikap bekas sumoi-nya yang agaknya masih
mendendam kepada Keng Hong sebagai akibat pemalsuan-pemalsuannya dahulu. Kalau
sekarang dia ceritakan, tentu bekas sumoi-nya ini akan sadar betapa pemuda itu
amat mencintanya dan mungkin hati Biauw Eng tidak rela kalau melihat Keng Hong
mati, dan mungkin akan membujuk pemuda itu menyerahkan ilmu yang amat
diinginkannya.
Kalau dia
sudah mendapatkan ilmu itu, dengan dibantu kawan-kawannya tentu dia akan mampu
mengalahkan Keng Hong dan untuk membunuh mereka berdua ini kelak, masih banyak
waktu!
Sebelum
bicara, ia menghela napas panjang. "Semua itu kulakukan demi cintaku
kepada Keng Hong. Engkau tentu sudah dapat menduga apa yang telah terjadi
sebelum engkau menemukan aku dan Keng Hong untuk pertama kali dahulu. Antara
dia dan aku sudah terjalin cinta kasih..."
"Bukan
cinta kasih, Cui Im. Ingatlah akan rayuanmu dan akan arak beracunmu, bukan
cinta kasih, melainkan nafsu iblis yang kau pergunakan untuk menyeretku!"
Cui Im
memandang pada Keng Hong dengan senyum mengejek, kemudian melanjutkan,
"Katakan apa sukamu, Keng Hong, akan tetapi bagiku, semenjak saat itu aku
telah jatuh cinta kepadamu. Demikianlah, Biauw Eng. Aku telah jatuh cinta
kepada Cia Keng Hong sebelum kau menjumpainya, maka salahkah aku kalau aku
menjadi iri hati dan cemburu melihat engkau mencintanya, bahkan engkau
menyatakan cintamu di hadapan mendiang ibumu. Saat itu timbul kebencianku
padamu, menghapus semua pertalian persaudaraan dan aku bertekad hendak
mempertahankan Keng Hong dari wanita yang mana pun juga, termasuk engkau!"
Biauw Eng
mendengarkan dengan sinar mata tajam dan penuh perhatian, sama sekali tidak
memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya. Bahkan wajahnya yang cantik itu
masih tenang dan tidak memperlihatkan perasaan apa-apa ketika dengan panjang
lebar Cui Im menceritakan betapa ia mencuri senjata-senjata rahasia sumoi-nya
dan menyamar sebagai sumoi-nya untuk menjelekkan nama sumoi-nya itu supaya di
samping sumoi-nya dimusuhi orang-orang kang-ouw, juga menimbulkan kebencian di
hati Keng Hong.
"Dengan
perbuatan itu sekali pukul aku mendapatkan tiga keuntungan. Pertama, aku bisa
memburukkan namamu di mata dunia kang-ouw sebagai pembalasanku karena engkau
sudah merampas cinta kasih Keng Hong dariku. Ke dua aku dapat membangkitkan
rasa benci di hati Keng Hong terhadap dirimu dan ke tiga aku dapat membunuh
setiap wanita yang berani mendekati Keng Hong!"
Mendengar
pengakuan-pengkuan ini, biar pun wajahnya tetap tenang, namun dua titik air
mata membasahi bulu mata Biauw Eng, dan ketika dia mengerling kepada Keng Hong,
pandang matanya mengandung rasa kasihan dan kemesraan. Kini terbuka sudah semua
rahasia, sejelas-jelasnya tampak oleh Biauw Eng mengapa sikap Keng Hong dahulu
amat menyakitkan hatinya. Kiranya malah Keng Hong yang tentu akan jauh lebih
sakit hatinya menyaksikan semua perbuatan keji yang disangka dia yang
melakukannya.
"Biauw
Eng, sekarang maukah engkau mengampuni aku?" Keng Hong bertanya lirih saat
Cui Im menghentikan ceritanya.
Biauw Eng
memandang wajah pemuda itu sampai lama, tidak mampu menjawab, hanya mengangguk,
kemudian sesudah menekan perasaan harunya, barulah dia dapat berkata perlahan,
"Bukan
engkau yang harus minta maaf, melainkan aku, harap kau suka maafkan..."
Dua orang
muda itu saling bertemu pandang, penuh keharuan dan kemesraan dan hal ini membakar
hati Cui Im. Akan tetapi, gadis yang cerdik ini bersabar dan mengingat akan
kebutuhannya dia lalu berkata,
"Biauw
Eng, setelah engkau mendengar semua, kini tentu engkau yakin bahwa apa pun yang
sudah dilakukannya, Keng Hong hanya mencinta engkau seorang. Dan engkau pun
sudah yakin akan cinta kasihmu kepada Biauw Eng, Keng Hong. Karena itu, demi
cinta kasih kalian, mengapa engkau tidak mau mengorbankan ilmu begitu saja
supaya kalian dapat bebas dan melanjutkan pertalian cinta kasih kalian?"
"Tidak!
Keng Hong, jangan mendengarkan dia! Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku,
karena itu, aku tetap ingin melihat engkau sebagai orang gagah yang patut
kubela sampai mati! Kalau engkau menyerah kepada iblis betina ini, berarti
engkau menodai cinta kasih antara kita!"
Mendengar
ucapan yang bersemangat, Keng Hong tertawa dan menoleh kepada Cui Im, kemudian
berkata penuh ejekan, "Kau dengar sendiri, Cui Im! Kekasihku, pujaan
hatiku Sie Biauw Eng adalah puteri dari mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun
Hong yang mewarisi watak gagah perkasa ayahnya, tidak seperti engkau yang
rendah budi! Kalau engkau mau membunuh aku dan Biauw Eng, silakan. Dalam
kematian pun kami berdua akan tetap saling mencinta! Tidak ada kekuasaan di
dunia dan akhirat yang akan dapat memisahkan cinta kasih kami!"
Pucat wajah
Cui Im mendengar ini. Celaka, pikirnya. Dia sudah mengorbankan perasaan, telah
mengobati kepedihan hati Biauw Eng dengan pengakuannya, dengan harapan agar
Biauw Eng suka membujuk Keng Hong supaya menyerahkan ilmu itu demi kebahagiaan
dan kehidupan mereka. Siapa kira, dua orang itu demikian keras kepala!
Ia mengepal
kedua tangannya, ingin sekali pukul membunuh dua orang yang kini makin
dibencinya itu. Akan tetapi wajahnya yang pucat itu menyeringai sehingga dalam
keadaan seperti itu, kecantikannya berubah menjadi seram menakutkan, seperti
wajah iblis betina yang haus darah.
"Keng
Hong dan Biauw Eng! Aku masih bersabar terhadap Keng Hong mengingat akan
hubungan cinta kasihnya denganku dahulu, dan aku juga bersedia memaafkan Biauw
Eng karena mengingat akan hubungan persaudaraan. Akan tetapi kesabaran ada
batasnya! Kalau engkau suka menurunkan ilmu itu kepadaku Keng Hong, bukan hanya
engkau dan Biauw Eng yang akan bebas, melainkan juga Gui Yan Cu dan Yap Cong
San. Akan tetapi kalau engkau menolak, berarti bukan hanya kalian berdua yang
akan mati tersiksa, juga kedua orang muda itu!"
"Ha-ha-ha-ha!
Mereka berdua pun adalah dua orang gagah perkasa yang menganggap kematian
seperti pulang ke kampung halaman!" Keng Hong menantang.
Dan
sesungguhnya pemuda ini bukan hanya omong kosong atau bicara besar, karena dia
sudah memperhitungkan bahwa Cui Im tidak akan mudah begitu saja menyerah
sebelum kehendaknya dipenuhi maka tidak akan membunuh mereka secara
tergesa-gesa. Ada pun sebaliknya, sekali kehendaknya tercapai, tentu Cui Im
akan membunuh mereka tanpa di tunda-tunda lagi. Selain ini, dia pun sudah
bersiap sedia untuk turun tangan apa bila keadaan sudah mendesak dan tidak ada
jalan lagi untuk mengatasinya.
Akan tetapi
tiba-tiba saja Cui Im tertawa, suara ketawanya bergelak menyeramkan seperti
suara kuntianak menangis karena kehausan darah. "Mereka kini hampir mati,
dan engkau masih bicara tentang kegagahan mereka? Tadi aku sudah menyerahkan
gadis ayu yang menjadi sumoi-mu itu kepada Thai-lek Sin-mo. Hi-hi-hik. Engkau
tentu tahu siapa Thai-lek Sin-mo Cou Seng, si raksasa yang tubuhnya seperti
gajah! Hi-hi-hik-hik, kalau tidak ada urusan dengan kalian di sini, ingin
sekali aku menyaksikan betapa Yan Cu menggeliat-geliat digagahi oleh raksasa
itu. Mungkin saat ini sedang merintih-rintih atau mungkin juga mampus. Gadis
mana yang akan dapat bertahan terhadap Thai-lek Sin-mo? Sayang, aku masih
banyak urusan, terutama sekali denganmu, Biauw Eng. Engkau keras kepala dan
sepatutnya dihukum seperti yang diderita Yan Cu. Akan tetapi Yan Cu masih
beruntung, setidaknya menerima penghinaan dari seorang di antara Iblis-iblis
Tembok Besar. Ada pun engkau, engkau akan kuberikan kepada dua orang raksasa
kasar yang lebih rendah derajatnya dari pada dua ekor binatang. Di sini! Di
kamar ini dan engkau akan menjadi saksinya, Keng Hong! Kau dan aku, hi-hi-hik! Kita
berdua akan menikmati pemandangan yang amat mesra! Hi-hi-hik!"
Biauw Eng
dan Keng Hong terkejut bukan main, bukan mengkhawatirkan nasib mereka sendiri,
melainkan mengkhawatirkan nasib dua orang teman mereka, Yan Cu dan Cong San.
Mereka saling pandang sambil menduga-duga, apa gerangan yang terjadi dengan
mereka itu? Mala petaka apakah yang menimpa mereka?
Cui Im
memang tidak berbohong ketika menceritakan tentang Yan Cu. Memang ada saja akal
yang aneh-aneh dan keji-keji dalam benak iblis betina ini untuk menyiksa
musuh-musuhnya. Menyaksikan sikap mesra Yan Cu terhadap Keng Hong, walau pun
dia tahu bahwa Yan Cu adalah sumoi dari Keng Hong, namun tak dapat ia tahan
rasa cemburu yang timbul di hatinya.
Yan Cu
demikian muda dan demikian cantik jelita, maka timbul rasa cemburu bercampur
dengan rasa iri yang membangkitkan kebencian hebat. Oleh karena Yan Cu tidak
ada gunanya baginya, maka gadis itu harus dibunuh, akan tetapi selain untuk
menyiksanya, juga dia hendak menggunakan kesempatan itu untuk menyenangkan hati
Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang haus wanita pula. Hal ini mudah saja ia tangkap
dari pandang mata Cou Seng yang ditujukan kepadanya.
Karena dia
sendiri enggan melayani raksasa gendut itu, biarlah raksasa itu memuaskan
nafsunya kepada Yan Cu. Dan untuk menyiksa Cong San, di samping membangkitkan
gairahnya supaya kelak dia mudah merayu pemuda tampan yang menarik hatinya itu,
dia mengatur agar Cong San berada di dalam kamar menyaksikan apa yang akan
dilakukan oleh Cou Seng terhadap Yan Cu!
Malam itu
memang merupakan malam yang menyeramkan, malam yang penuh ancaman mengerikan
bagi empat orang muda yang menjadi tawanan di benteng Pat-jiu Sian-ong di
lereng Pegunungan Tai-hang-san itu. Mereka berempat tidak tahu bahwa tiga hari
yang lalu, Hun Bwee telah membunuh Lian Ci Sengjin dan gadis itu melarikan diri
dari benteng.
Pada malam
hari itu, Yan Cu yang tadinya ditahan dalam kamar yang terpisah, didatangi
Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang tertawa-tawa dan tanpa banyak bicara raksasa ini
lantas memondong tubuh Yan Cu yang dibelenggu kaki tangannya lalu dibawa keluar
dari kamar tahanan.
Empat orang
penjaga di luar pintu kamar tahanan hanya tertawa dengan pandang mata iri
karena mereka sudah menerima perintah dari Cui Im bahwa tawanan yang jelita itu
‘diserahkan’ kepada Thai-lek Sin-mo. Yan Cu maklum akan bahaya yang mengancam,
akan tetapi dia sama sekali tidak berdaya dalam kempitan lengan yang amat kuat
itu, apa lagi dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.
Sementara
itu, Yap Cong San yang merasa prihatin sekali, tidak pernah berhenti dengan
usahanya mematahkan belenggu. Dengan pengerahan tenaga sinkang, berkali-kali
dia berusaha merenggut belenggu baja yang mengikat kedua tangannya pada tiang
di dalam kamar tahanan, akan tetapi belenggu itu sangat kuat sehingga semua
usahanya hanya mengakibatkan kulit kedua pergelangan tangannya lecet-lecet.
Kemudian dia
mengubah cara usahanya. Sambil berdiri pemuda ini segera menghimpun tenaga
dalam, dan mulai bersemedhi untuk mempergunakan ilmu sakti dari Siauw-lim-pai,
yaitu ilmu Sia-kut Sin-hoat, semacam ilmu untuk membuat tulangnya seolah-olah
terlepas sehingga tubuhnya menjadi lemas dan licin. Untuk dapat mencapai ilmu
ini diperlukan pengerahan hawa murni di tubuh sehingga dia bersemedhi sampai
dua hari dua malam, barulah berhasil.
Tulang
pergelangan tangannya dapat dia gerakkan sedemikian rupa hingga bisa tergeser
dan dagingnya menjadi lemas sehingga akhirnya dia dapat meloloskan kedua
tangannya dari belenggu, demikian pula membebaskan kedua kakinya! Namun,
setelah berhasil dia harus mengatur napas sampai lama untuk memulihkan tenaga.
Belum lama
dia berdiri tanpa bergerak mengatur napas, tiba-tiba dia mendengar jejak kaki
yang berat mendatangi dari luar kamarnya. Ia terkejut, cepat dia mengatur
belenggu kaki tangannya sehingga tampak seolah-olah dia masih terbelenggu, lalu
dia pun melanjutkan usahanya memulihkan tenaga yang banyak diperasnya untuk
menggunakan Ilmu Sin-kut Sin-hoat tadi.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment