Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 31
SEPERTI
sudah dituturkan pada bagian depan, secara kebetulan saja Biauw Eng bertemu
dengan Hun Bwee dan Go-bi Thai-houw, kemudian dia diambil murid dan digembleng
secara aneh dan hebat oleh nenek yang gila namun luar biasa lihainya itu,
bersama Hun Bwee yang menjadi suci-nya. Biar pun Hun Bwee sudah lebih dulu
menjadi murid Go-bi Thai-houw dan menjadi suci Biauw Eng, akan tetapi karena
dasar kepandaiannya jauh kalah tinggi oleh Biauw Eng, maka setelah Biauw Eng
digembleng oleh Go-bi Thai-houw, dalam waktu beberapa bulan saja Biauw Eng
sudah memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga melampaui tingkat suci-nya!
Biar pun
Go-bi Thai-houw otaknya miring, akan tetapi dalam hal silat, dia sangat lihai
dan awas sekali sehingga dia dapat melihat bahwa murid barunya ini paling boleh
diandalkan. Setelah menggembleng dua orang muridnya secara tekun dan luar
biasa, pada suatu hari ia memanggil mereka menghadap dan dengan suara tegas
nenek gila ini berkata,
"Hun
Bwee dan Biauw Eng, sekarang juga kalian harus pergi mencari Sin-jiu Kiam-ong
dan membunuhnya mewakili aku!"
Hun Bwee dan
Biauw Eng yang sedang berlutut di hadapan nenek gila ini saling pandang dan
diam-diam mereka terkejut karena baru sekarang mereka mendengar suara nenek itu
seperti orang normal.
"Subo,
Sin-jiu Kiam-ong telah mati," jawab Hun Bwee.
"Betul,
Subo. Sin-jiu Kiam-ong telah mati," Biauw Eng membantu suci-nya.
"Kalau
begitu, kalian berdua pergi sana mencari kuburannya dan bawa tengkoraknya ke
sini!"
Kembali dua
orang gadis itu saling lirik. Mereka berdua sudah mendengar bahwa Sin-jiu
Kiam-ong meninggal dunia di puncak Kiam-kok-san dan kabarnya jenazah kakek raja
pedang itu telah di perabukan, dibakar oleh muridnya.
"Subo,
semua orang di dunia kang-ouw mengatakan bahwa jenazah Sin-jiu Kiam-ong tidak
dikubur, melainkan di perabukan," kata pula Biauw Eng.
"Bukkk!"
Kaki kiri nenek itu dibanting ke atas tanah sehingga dua orang gadis itu merasa
betapa tanah di bawah mereka tergetar, seperti ada gempa bumi!
"Kau
tidak bohong? Berani mempertaruhkan apa kalau bohong?"
"Teecu
berani mempertaruhkan kepala teecu bila teecu membohong, Subo," jawab
Biauw Eng.
"Teecu
juga sudah mendengar urusan itu sebelum teecu tiba di sini dan menjadi murid
Subo," kata pula Hun Bwee.
"Hoahhh,
sial dangkalan! Siapa yang berani lancang membakar mayatnya sehingga aku tidak
membalas orangnya, tidak mampu pula membalas tulangnya? Hayo katakan, siapa
yang berani lancang demikian?"
Kedua orang
gadis itu sudah biasa menyaksikan watak yang aneh dan edan-edanan ini, maka
mereka pula melayani terus. "Menurut kabar di dunia kang-ouw, yang
membakar jenazahnya adalah murid tunggalnya," berkata pula Biauw Eng dan
jantungnya berdebar keras karena percakapan ini tanpa disengaja telah menyinggung
diri Keng Hong!
"Hayaaaah-ha-ha-ha!
Murid tunggalnya? Dia punya murid? Yahuuuu! Bagus sekali! Siapa nama muridnya
itu? Siapa yang tahu?"
"Cia
Keng Hong..!" Dua orang gadis itu saling lirik dengan heran karena nama
itu mereka sebutkan dengan berbareng!
"Baik,
sekarang kuperintah kalian pergi dan lekas tangkap muridnya yang bernama Cia
Keng Hong itu. Seret dia ke sini! Mengerti?"
"Baik,
Subo!" kata Hun Bwee penuh gairah.
"Baik,
Subo!" Biauw Eng juga menjawab, pikirannya melayang jauh.
"Awas,
jangan sampai gagal. Kalau kalian pulang tidak membawa Cia Keng Hong, kalian
berdua akan kubunuh!"
"Sumoi,
mari kita berangkat!"
Demikianlah,
kedua orang gadis itu meninggalkan guru mereka dan turun gunung, mulai dengan
perjalanan mereka untuk mencari dan menangkap Cia Keng Hong.
"Ke
mana kita akan mencari dia?" tanya Biauw Eng setelah mereka tiba di kaki
gunung.
"Aku
pun tidak tahu. Kita nanti tanya-tanya kepada orang-orang kang-ouw."
"Kurasa
sebaiknya mencari ke kota raja, di sana tentu kita dapat mendengar
banyak."
Di pagi hari
itu mereka melanjutkan perjalanan dengan naik perahu di sepanjang sungai
Huang-ho. Mereka tentu tidak akan bertemu Siauw Lek kalau tidak melihat mayat
tukang perahu terapung-apung.
Meski pun
kedua orang gadis ini tidak peduli, akan tetapi sedikit banyak mereka tertarik.
Maka, ketika mereka melihat perahu kosong di tempat sunyi itu, Biauw Eng
mendayung perahu dan meloncat ke darat. Kedua orang gadis ini tiba pada saat
puteri bangsawan yang diperkosa itu menggigit leher Siauw Lek sehingga dipukul
mati oleh penjahat keji itu. Demikianlah kenapa Biauw Eng dan Hun Bwee dapat
tiba di tempat sunyi itu.
Biauw Eng
kini mendayung perahu meninggalkan tempat itu dengan cepat. Jantungnya berdebar
keras, teringat dia akan teriakan Hun Bwee yang menyiksa Siauw Lek. Dahulu di
depan Go-bi Thai-houw dia tidak merasa terlalu heran mendengar gadis itu
menyebut nama Keng Hong sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong yang amat terkenal dan diketahui
oleh semua tokoh kang-ouw karena memang menjadi perhatian sehubungan dengan
adanya Siang-bhok-kiam yang dijadikan rebutan.
Akan tetapi,
ketika menyiksa Siauw Lek, mengapa suci-nya menyebut nama Keng Hong? Apakah
karena pikirannya yang sudah tidak waras itu tanpa disadarinya telah mencampur
adukkan nama-nama orang?
"...Cia
Keng Hong... kubunuh kau... ahhh...!"
Mendengar
ini, Biauw Eng cepat menengok dan ia melihat Hun Bwee sudah siuman dan suci-nya
itu menangis sambil menyebut nama Keng Hong berkali-kali! Jantung Biauw Eng
berdebar keras. Cepat dia mendayung perahunya ke pinggir, lalu mengikat tali
perahu ke batang pohon kemudian ia cepat merangkul suci-nya yang masih menangis
sedih.
"Suci...
sadarlah... engkau kenapakah, Suci?"
"Ahhh,
Cia Keng Hong… betapa kejamnya engkau...!" Kembali Biauw Eng terkejut
sekali.
"Suci,
ingatlah. Kita sedang berada di perahu dan yang kau bunuh tadi adalah Kim-lian
Jai-hwa-ong Siauw Lek."
Hun Bwee
mengangkat muka memandang sumoi-nya dan Biauw Eng makin heran sebab pandang
mata suci-nya wajar, sama sekali tidak membayangkan keruwetan batin. Hun Bwee
memegang lengan Biauw Eng dan berkata perlahan sambil menyusut air matanya.
"Jangan
khawatir, Sumoi. Aku tidak apa-apa dan aku sadar. Aku tahu bahwa anjing yang
kusiksa itu adalah Siauw Lek. Akan tetapi semua kejadian itu membuat aku
teringat akan pengalamanku dahulu, teringat akan... Cia Keng Hong dan hatiku
sakit sekali."
"Cia
Keng Hong..?" Biauw Eng mengulang nama ini penuh pertanyaan.
Tan Hun Bwee
menghela napas panjang dan mengangguk. "Di luar kesadaranku, karena hati
sakit, aku sudah menyebut namanya. Tadinya hendak kurahasiakan dari siapa pun
juga, Sumoi, bahkan Subo sendiri tidak tahu. Akan tetapi... biarlah, karena
engkau sudah tahu sekarang. Dan memang Cia Keng Hong itulah, orang yang akan
kita tangkap atas perintah Subo, murid Sin-jiu Kiam-ong itulah yang telah
memperkosaku.." Dan kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Hun
Bwee. "Ah, sungguh tidak kusangka... betapa sakit hatiku memikirkan hal
itu... hu-hu-huuuuukkk...!"
Hun Bwee
tersedu-sedu dan Biauw Eng cepat merangkulnya. Sepasang mata Biauw Eng sendiri
menitikkan dua butir air mata dan gadis ini menggigit bibir bawahnya. Lagi-lagi
Keng Hong!
"Pemuda
yang begitu tampan... begitu gagah perkasa... begitu halus budi... mengapa...?
Mengapa…? Ahhh...!" Hun Bwee terisak-isak sambil mencengkeram pundak Biauw
Eng, menangis di atas dada sumoi-nya.
"Sudahlah,
Suci, tenangkan hatimu. Tak perlu kau ceritakan kalau memang hal itu hanya
membangkitkan kenangan pahit..."
"Biar
kau dengar, Sumoi, supaya kau betapa buruknya nasib Suci-mu ini...!" Hun
Bwee mengangkat mukanya dan Biauw Eng segera mengusap air matanya sendiri
kemudian mendengar sambil menundukkan mukanya.
"Ayah
bundaku mengandung dendam terhadap Sin-jiu Kiam-ong karena dahulu pernah
diganggu ketika ayah bundaku mengawal seorang puteri. Akan tetapi ayah bundaku
tidak pernah berhasil membalas dendam, sehingga ayah bundaku meninggal dalam
keadaan mengenaskan, menanggung dendam. Aku yang ditinggal mati dan hidup
sebatang kara lalu berusaha membalas dendam, atau paling tidak merampas kembali
barang-barang berharga yang dulu dirampas Sin-jiu Kiam-ong. Kemudian aku
bertemu dengan Cia Keng Hong! Tutur sapanya yang manis, nasehat-nasehatnya yang
amat berharga menyentuh sanubariku, membuat aku insyaf dan dapat menerima
nasehatnya untuk menghapuskan permusuhan." Ia berhenti sebentar dan Biauw
Eng mendengarkan dengan hati berdebar.
Terbayang di
depan matanya wajah Keng Hong, terngiang suara yang selalu tak pernah ia
lupakan. Kalau suci-nya tahu akan semua pengalamannya, akan kekecewaan dan akan
penghinaan-penghinaan yang dideritanya, akan cintanya kepada Keng Hong,
kemudian betapa cintanya dihancur leburkan, ahhh, pengalaman suci-nya itu masih
belum apa-apa, masih terlampau ringan!
"Malah
aku... aku tertarik... dan ketika itu muncul dua orang tosu Kun-lun-pai yang
hendak menangkapnya. Aku mati-matian membelanya, malah aku sendiri sampai
dirobohkan oleh tokoh Kun-lun-pai. Akan tetapi... apa yang dia lakukan sebagai
balas jasa...? Aku dalam keadaan pingsan... dan agaknya dia berhasil mengusir
dua orang tosu Kun-lun-pai itu... ketika aku sadar... aku telah
diperkosa...!"
"Hemmm...!!"
Biauw Eng menggigit bibirnya. Awas engkau, Keng Hong! Demikian hatinya
berbisik.
"Kalau
saja dia berterus terang... Ahh, aku sudah seperti gila... masih dapat
diselesaikan dengan baik... akan tetapi dia... si pengecut itu... Dia
menyangkalnya...!" Hun Bwee kelihatan berduka sekali, menghapus air
matanya lalu berkata, "Itulah sebabnya mengapa ketika Subo menyuruh kita
pergi mencari Keng Hong, aku bersemangat sekali. Ketika tadi aku menyiksa dan
membunuh Siauw Lek, terbayang olehku bahwa yang kusiksa itu ialah Keng Hong
dan... dan aku... uhu-hu-huuuh... aku... tidak tega... Sumoi...!"
Biauw Eng
memeluk pundak suci-nya dan termenung. Hemmmmmm, betapa besar rasa cinta kasih
yang berakar di dalam hati suci-nya ini terhadap Keng Hong! Biar pun sudah
diperkosa dan disangkal pula, sekarang rasa cinta kasih itu masih belum lenyap
sehingga membayangkan betapa dia akan membalas dendam kepada pemuda itu saja
membuat ia berduka dan tidak tega!
"Suci,
katakanlah terus terang. Aku mohon kepadamu, katakanlah terus terang kepadaku.
Apakah engkau mencinta Cia Keng Hong?"
Hun Bwee
mengangguk. "Semenjak dia menasehati aku untuk menghapus permusuhan, aku
kagum kepadanya, aku tertarik dan aku sudah jatuh cinta kepadanya. Walau pun
dia telah memperkosaku, jika dia mau mengakui perbuatannya, sejak dulu pun aku
bersedia mengampuninya... tapi dia... dia menyangkal..."
"Suci,
katakanlah lagi secara terus terang. Andai kata dia suka mengakui perbuatannya
terhadap dirimu, lalu mohon ampun kepadamu, apakah... apakah Suci suka
mengampuni dia dan suka pula menerimanya sebagai... sebagai suamimu?"
Hun Bwee
memandang sumoi-nya dengan mata terbelalak. "Mungkinkah...? Mungkinkah
dia... mau... melakukan hal itu?"
"Aku
akan memaksa dia, Suci! Akulah orangnya yang akan memaksa dia supaya jangan
bersikap pengecut, supaya suka mengakui perbuatannya yang keji terhadap dirimu,
dan supaya minta maaf kepadamu dan mempertanggung jawabkan perbuatannya itu
dengan mengawinimu!" Biauw Eng berkata penuh semangat dengan sepasang mata
bersinar dan kedua tangan dikepal.
"Aaahhhh,
Sumoi...!" Hun Bwee merangkulnya sambil menangis. "Aku... aku lemah.
Aku cinta padanya...! Hi-hi-hi-hi-hik! Aku... aku cinta Keng Hong,
ha-ha-ha-ha-ha-hah-hah!"
Biauw Eng
bergidik. Hatinya penuh keharuan. Keng Hong benar-benar manusia keparat,
pikirnya. Sudah merusak hatinya, merusak cintanya, sekarang menyebabkan Hun
Bwee menjadi gila seperti ini! Ia terus menghibur dan akhirnya Hun Bwee yang
kadang-kadang menangis kadang-kadang tertawa itu dapat tidur pulas di dalam
perahu.
Biauw Eng
melanjutkan perjalanan itu, mendayung kembali perahu itu perlahan-lahan.
Wajahnya yang cantik itu sekarang kelihatan keruh, pandang matanya sayu dan
muram. Batinnya makin tertekan dan kalau ia mengenangkan wajah Keng Hong, tak
mungkin dia melenyapkan cinta kasihnya itu yang bersemi semenjak pertama kali
dia bertemu Keng Hong.
Bahkan
ketika dia mengira bahwa Keng Hong sudah mati sekali pun, bertahun-tahun dia
menyembahyangi arwahnya dengan hati masih penuh cinta kasih! Siapa mengira,
Keng Hong telah menghancurkan hatinya, memandang rendah dan hina kepadanya
ketika dia mencoba hati pemuda itu dengan mengatakan bahwa tubuhnya sudah
dimiliki Sim Lai Sek.
Ternyata
bahwa cinta Keng Hong kepadanya tiada bedanya dengan cinta pemuda itu kepada
perempuan-perempuan lain, kepada Cui Im misalnya, hanya mencinta tubuhnya dan
wajahnya yang cantik! Dan kini, ternyata Keng Hong bukan hanya mata keranjang
seperti... gurunya atau ayahnya sendiri, akan tetapi bahkan lebih jahat lagi,
dia sudah memperkosa Hun Bwee!
"Aahhhh...
Keng Hong, mengapa engkau menjadi begitu...?" hatinya mengeluh dan hidup
ini serasa kosong melompong baginya.
Betapa
senangnya kalau dia menjadi air Sungai Huang-ho ini saja, tidak mengenal susah
tidak mengenal kecewa! Akan tetapi, dia masih mempunyai kewajiban yaitu mencari
Cui Im dan membalas dendam atas kematian ibunya! Dia sudah berhasil membalas
kepada Siauw Lek, tinggal Cui Im dan... dan... memaksa Keng Hong mempertanggung
jawabkan perbuatannya terhadap Hun Bwee. Ia percaya bahwa suci-nya ini akan
sembuh dari pada serangan kegilaan itu kalau Keng Hong yang dicintanya itu suka
menerimanya sebagai isteri.
Perahu yang
didayung Biauw Eng meluncur cepat, tetapi lebih cepat lagi pikiran Biauw Eng
yang hanyut mendahului perahu berlomba dengan riak air Sungai Huang-ho.
***************
Ternyata
peristiwa menyiksa Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek di tepi Sungai Huang-ho itu
mendatangkan pengaruh yang hebat atas jiwa Hun Bwee. Pada saat masih belajar
silat dibawah asuhan nenek gila Go-bi Thai-houw, Hun Bwee hanya berpura-pura
gila kalau berada di antara anak buah gurunya atau di depan gurunya, namun
kalau sedang bicara berbisik-bisik di dalam kamar bersama Biauw Eng, dia amat
waras. Akan tetapi sekarang, setelah penyiksaan atas diri penjahat cabul itu,
Hun Bwee benar-benar sudah mengalami perubahan dan hal ini amat kentara oleh
Biauw Eng.
Di sepanjang
jalan, Hun Bwee kadang-kadang merenung, tertawa atau menangis sendiri, akan
tetapi ada kalanya pula dia sembuh dan normal. Kalau sedang normal Hun Bwee
mudah diajak berbicara dan memang dasar watak Hun Bwee peramah, halus dan
cerdik. Akan tetapi kalau sudah kumat, Biauw Eng kewalahan dan satu-satunya
cara adalah ikut menggila!
Sesudah
melewati Cin-an, Biauw Eng yang kini selalu menjadi pelopor, mengajak Hun Bwee
melanjutkan perjalanan ke utara, ke arah kota raja. Di setiap tempat yang
mereka lalui, dua orang wanita muda yang cantik ini tentu saja menarik
perhatian orang, terutama mata kaum pria. Akan tetapi sikap mereka yang gagah
perkasa, terutama sekali pandang mata Hun Bwee yang liar serta wajah Biauw Eng
yang dingin, membuat hati pria yang terbakar menjadi padam kembali.
Hari sudah
menjelang tengah hari, matahari sangat panasnya ketika dua orang gadis ini
melalui jalan yang lengang. Tak nampak seorang pun manusia di tengah hari yang
panas di sekitar tempat itu. Akan tetapi selagi mereka berdua jalan cepat agar
segera sampai di hutan yang tampak di depan di mana perjalanan dapat dilakukan
dalam keadaan tidak begitu panas terbakar matahari, tiba-tiba ada derap kaki
kuda dari belakang mereka.
Setelah
Biauw Eng dan Hun Bwee berjalan minggir, lewatlah seorang penunggang kuda. Penunggang
kuda itu adalah seorang laki-laki setengah tua. Pada saat kudanya lewat dia
menengok dan sejenak pandang matanya bertemu dengan wajah Biauw Eng.
"Aihh...!"
Demikian terdengar penunggang kuda itu bersuara, akan tetapi kudanya dibedal
makin cepat, meninggalkan debu mengebul di sepanjang jalan.
"Siapakah
orang itu, Sumoi?" Hun Bwee bertanya. Suaranya normal.
Hati Biauw
Eng lega karena sudah tiga hari ini Hun Bwee tidak kumat gilanya! Apa bila
sudah kumat, dia merasa cemas dan bingung.
"Entahlah,
Suci. Aku merasa seperti pernah melihatnya, akan tetapi lupa lagi di
mana."
"Hemmm,
dia mencurigakan. Ketika melihatmu, dia seperti melihat setan, kelihatan takut
dan terkejut sekali."
Biauw Eng
tersenyum. "Mungkin dia seorang di antara mereka yang pernah mengalami
hajaranku dahulu, Suci."
"Mungkin,
akan tetapi betapa pun juga, kita harus hati-hati, Sumoi."
Biauw Eng
mengangguk.
Hari itu
tidak terjadi apa-apa dan mereka bermalam pada sebuah rumah penginapan di dusun
dekat perbatasan Propinsi Shan-tung dan Hopak. Pada keesokan harinya mereka
melanjutkan perjalanan ke utara.
Matahari
belum naik tinggi ketika mereka tiba di perbatasan. Di sebuah jalan hutan yang
sunyi Biauw Eng melihat empat orang kakek yang tua berdiri menghadang
perjalanan! Melihat bahwa mereka itu adalah tosu-tosu tua sedangkan sikap
mereka membayangkan kewibawaan, Biauw Eng lantas maklum bahwa mereka bukan
orang-orang sembarangan dan dia lalu menduga-duga sambil meneliti dari jauh.
Seorang di
antara mereka, yang paling tua dan rambutnya yang jarang itu sudah putih semua,
memegang sebatang tongkat bambu dan mata kirinya buta. Dia inilah agaknya yang
menjadi pemimpin karena kelihatan dia menggerakkan tangan kiri memberi isyarat
kepada tiga orang kakek lain yang kelihatannya marah ketika mereka memandang
Biauw Eng.
Biauw Eng
dan Hun Bwee hendak melewati saja empat orang tosu tua itu, akan tetapi
tiba-tiba saja tongkat bambu di tangan kakek setengah buta dilonjorkan ke depan
hingga merintangi jalan.
"Song-bun
Siu-li Sie Biauw Eng, tibalah saatnya orang berdosa menebus kedosaannya dan
menerima hukuman. Engkau sudah membunuh sute-ku yang termuda, Kok Cin Cu, dan
sekarang engkau harus menyerahkan nyawamu kepada kami supaya roh sute kami
tidak selalu penasaran!"
Biauw Eng
terkejut. Mendengar disebutnya nama Kok Cin Cu, dia dapat menduga siapa mereka
ini. Terbayang di depan matanya peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia
membantu Keng Hong menghadapi orang-orang Kong-thong-pai ini. Karena Keng Hong
terancam bahaya dia turun tangan membantu dan dalam pertandingan itu dia
berhasil menotok Kok Cin Cu dengan sabuknya yang mengakibatkan tewasnya tosu
itu.
Kalau ia
kenangkan hal itu ia merasa menyesal. Kok Cin Cu adalah tokoh Kong-thong-pai
yang terkenal sebagai salah seorang di antara kelima Kong-thong Ngo-lo-jin
(Lima Kakek Kong-thong-pai) dan dia telah kesalahan tangan membunuhnya untuk
membela seorang seperti Keng Hong! Sedangkan orang yang dibelanya itu akhirnya
hanya menghancurkan perasaannya!
"Ahh,
kiranya Su-wi adalah tokoh-tokoh Kong-thong Lo-jin? Aku Sie Biauw Eng merasa
menyesal bahwa dahulu telah kesalahan tangan menewaskan Kok Cin Cu Totiang.
Akan tetapi apakah anehnya kalah menang, terluka atau tewas di dalam sebuah
pertandingan? Yang jelas, dahulu sampai sekarang, aku tidak mempunyai
permusuhan apa-apa dengan Kong-thong-pai. Karena itu harap Locianpwe berempat
suka menghabiskan saja urusan ini dan membiarkan aku bersama Suci lewat dengan
aman."
"Hemmm...!
Suci-mu kau bilang?" Kok Kim Cu, tosu ke tiga dari Kong-thong Ngo-lo-jin,
berkata sambil memandang Hun Bwee dengan penuh selidik. "Song-bun Siu-li!
Siapakah yang tidak tahu bahwa engkau adalah puteri Lam-hai Sin-ni dan sumoi
dari si iblis betina Ang-kiam Tok-sian-li yang sekarang berjuluk Ang-kiam Bu-tek?
Dan nona ini sama sekali bukanlah Ang-kiam Bu-tek!"
"Sumoi,
siapakah empat orang kakek tua bangka yang usianya sudah tidak seberapa lagi
akan tetapi suka sekali mencari urusan ini? Dan mengapa mereka ini menghadangmu
di sini?"
Biauw Eng
lega bahwa saat ini suci-nya benar-benar waras. Apa bila sedang kumat dan
menghadapi halangan seperti ini, bisa berabe sekali!
"Suci,
empat orang Locianpwe ini adalah tokoh-tokoh besar Kong-thong-pai. Dulu dalam
sebuah pertandingan yang terjadi tanpa dasar permusuhan pribadi, aku sudah
kesalahan tangan membunuh salah seorang di antara mereka, maka sekarang mereka
ini hendak menghukum aku."
Hun Bwee
mengarahkan pandang matanya pada empat orang tosu itu, kemudian berkata,
"Kalian empat orang tosu ini benar-benar memiliki pandangan yang sangat
dangkal dan cupat! Di antara kaum persilatan, sudah lumrah bila terjadi
kematian dalam pertandingan mengadu ilmu. Kalau setiap orang yang tewas dalam
pertandingan lalu dijadikan urusan dendam, tentu dunia ini akan penuh dengan orang
yang saling dendam! Sumoi-ku sudah mengatakan bahwa ketika dia bertanding
sampai berakhir dengan tewasnya temanmu, tidak ada dasar urusan pribadi, tidak
ada permusuhan. Kenapa kalian tak mau mengerti? Bagaimana kalau dalam
pertandingan itu kebetulan Sumoi-ku yang kalah lihai dan tewas, lalu apa yang
akan kalian lakukan? Apakah kalian juga mengharapkan balas dendam dari keluarga
Sumoi?"
Keempat
orang tosu itu menjadi merah mukanya. Memang mereka juga maklum bahwa antara
Kong-thong-pai dan puteri Lam-hai Sin-ni tidak ada permusuhan pribadi dan yang
mereka musuhi adalah Cia Keng Hong, yaitu murid Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi
musuh Kong-thong-pai. Akan tetapi puteri Lam-hai Sin-ni itu dulu membela Keng
Hong sehingga mengakibatkan tewasnya salah seorang di antara Lima Kakek
Kong-thong-pai. Sekarang, kebetulan sekali ada seorang anak murid
Kong-thong-pai melihat Biauw Eng di jalan dan melapor, masa mereka harus
tinggal diam saja?
"Song-bun
Siu-li! Kami berempat datang menemuimu di sini bukan untuk mengobrol dan
berdebat! Lekas kau membunuh diri di hadapan kami, atau terpaksa kami yang akan
mengantar nyawamu menghadap sute kami!" Kembali si buta sebelah menghardik
dan tongkat bambunya ditodongkan ke arah Biauw Eng.
Biauw Eng
tersenyum mengejek. "Totiang, ucapanmu benar-benar takabur sekali. Dan
kurasa karena kesombongan ini pula maka dahulu Kok Cin Cu tewas! Aku tidak
bersalah, tidak membunuhnya dengan sengaja karena membencinya. Jika kalian tak
menerimanya dan hendak membalas, silakan. Aku tidak takut menghadapi kalian dan
kalau saja dalam pertandingan ini kalian nanti sampai tewas pula, hal itu
terjadi bukan karena aku sengaja membunuh kalian. Tidak ada dendam dan benci di
hatiku, seperti yang terdapat di hati kalian!"
"Hemmm...
mendiang Sin-jiu Kiam-ong banyak dosanya terhadap kami, muridnya akan kami
hukum, tetapi engkau membelanya! Engkau puteri Lam-hai Sin-ni, mana bisa bicara
tentang sopan-santun kalangan kang-ouw? Engkau adalah tokoh golongan
sesat!" Teriak Kok Liong Cu, tosu ke dua sambil menerjang maju dengan
tangannya. Terdengar bunyi berkerotokan dan tangannya telah berubah merah,
mencengkeram ke arah pundak Biauw Eng.
Biauw Eng
maklum akan kelihaian empat orang tosu itu, maka cepat ia meloncat jauh ke
belakang sambil melolos sabuk suteranya. Empat orang tosu itu memang lihai.
Mereka ini adalah empat di antara Kong-thong Ngo-lo-jin yang sangat terkenal
dengan ilmu pukulan mereka yang disebut Ang-liong Jiauw-kang (Cakar Naga
Merah)!
Betapa pun
lihainya mereka itu, kalau maju seorang demi seorang, tentu saja bukanlah lawan
Biauw Eng! Dahulu pun, sebelum Biauw Eng digembleng oleh Go-bi Thai-houw,
seorang di antara mereka, yaitu Kok Cin Cu, tewas di tangan dara perkasa ini.
Apa lagi sekarang setelah ilmu kepandaian Biauw Eng menanjak dengan hebatnya.
Akan tetapi, empat orang kakek itu tidak maju satu per satu, melainkan
berbareng mereka menerjang Biauw Eng.
Kok Sian Cu
yang tertua dan paling lihai sudah menggerakkan tongkat bambunya yang ternyata
hebat sekali, cepat dan menjadi gulungan sinar dengan getaran yang amat kuat
mengeluarkan suara mencicit. Kok Liong Cu, orang ke dua, mempergunakan pedang
dan gerakannya pun hebat, berdesing-desing bunyi mata pedang memecah udara. Kok
Kim Cu orang ke tiga juga menggunakan pedang, ada pun Kok Seng Cu lebih
mengandalkan sepasang tangannya yang membentuk cakar naga!
Diserang
oleh empat orang pandai ini, Biauw Eng mengeluarkan pekik melengking dan sabuk
suteranya sudah bergulung-gulung begitu hebatnya, menyambut dengan tangkisan
dan membalas dengan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya. Namun,
pengeroyokan empat orang tokoh Kong-thong-pai yang lihai itu terlalu berat sehingga
terpaksa Biauw Eng menggunakan ginkang-nya berkelebatan ke kanan kiri.
"Tosu-tosu
tua yang tak tahu malu, mengeroyok seorang gadis muda!" Tiba-tiba saja Hun
Bwee berseru keras dan tampaklah sinar pedang hitam bergulung-gulung
menimbulkan angin yang dahsyat.
Empat orang
kakek itu terkejut dan maklum bahwa suci Biauw Eng ini ternyata juga amat
lihai. Karena itu dua orang di antara mereka, yaitu Kok Kim Cu dan Kok Seng Cu,
sudah memisahkan diri dan menyambut terjangan wanita baju merah ini.
Biauw Eng
juga terkejut melihat majunya Hun Bwee. Kalau dia teringat betapa Hun Bwee
menyiksa Siauw Lek, dia masih merasa ngeri. Dia tidak dapat membayangkan apa
yang akan dilakukan suci-nya itu kalau sudah kumat. Sekarang, selagi masih
waras, lebih baik dia cepat memberi peringatan.
"Suci,
mereka ini bukan musuh. Harap kau tidak membunuh mereka!"
"Hemmm...
baiklah, Sumoi."
Empat orang
tosu itu marah bukan main. Kata-kata kedua orang gadis itu benar-benar
merupakan tamparan bagi mereka. Merupakan penghinaan karena jelas bahwa kedua
orang gadis ini memandang rendah! Seakan-akan kedua orang itu dapat mengatur
untuk mengalahkan, untuk membunuh atau tidak membunuh, seenaknya saja!
Akan tetapi,
ternyata dua orang gadis itu bukannya memandang rendah atau menghina, melainkan
bicara sewajarnya. Hal ini terasa oleh empat orang kakek itu setelah mereka
berempat dibikin pening dan bingung oleh sinar hitam pedang Hun Bwee dan sinar
putih sabuk sutera Biauw Eng! Benar-benar bingung mereka karena ilmu silat yang
dimainkan dua orang gadis itu benar-benar aneh dan gila!
Setelah
lewat seratus jurus dan kepala Kok Sian Cu berdua Kok Liong Cu sudah pening
oleh gulungan sinar putih yang seolah-olah berada di semua jurusan, tiba-tiba
kedua tosu ini mengeluarkan seruan kaget melihat betapa kedua kaki Biauw Eng
sudah terlibat oleh sabuknya sendiri sampai roboh terguling!
Tadinya
kedua orang kakek yang sudah terdesak hebat itu hanya memutar senjata untuk
melindungi tubuh. Akan tetapi kini melihat betapa sabuk yang bergulung-gulung
aneh itu ternyata menjadi kacau-balau dan mejegal kaki gadis itu sendiri sampai
terguling roboh, mereka terkejut dan otomatis menghentikan gerakan pedang dan
siap menyerang lawan yang sudah roboh itu.
Akan tetapi
tiba-tiba mereka berdua berteriak kaget dan tubuh mereka terguling karena kaki
mereka sudah terbelit ujung sabuk yang mendekati kaki mereka ketika Biauw Eng
roboh tadi dan kini seperti ular, tahu-tahu sudah melibat kaki mereka dan
dibetot dengan tenaga kuat bukan main.
Biauw Eng
melompat bangun dan cepat menggerakkan ujung sabuk yang tadi membelit kakinya,
yang tentu saja dilakukan dengan sengaja, dan dua kali ujung sabuk itu menotok
tepat di jalan darah yang membuat tubuh Kok Sian Cu dan Kok Liong Cu menjadi
lumpuh!
Biauw Eng
meloncat untuk membantu suci-nya. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Kok Kim Cu
terguling, pedangnya terlepas karena pangkal lengannya tergores pedang
Hek-sin-kiam. Kok Seng Cu pun tiba-tiba roboh terkena totokan ujung sabuk
sutera Biauw Eng yang meluncur secara tiba-tiba lantas menotoknya selagi Kok
Seng Cu sibuk memperhatikan nona baju merah yang sudah melukai suheng-nya.
Dengan demikian, pertandingan itu selesai. Tiga orang tosu tertotok lumpuh,
yang seorang terluka lengannya.
Biauw Eng
cepat menggerakkan lagi sabuknya dan ujung sabuk itu berkelebat ke kanan kiri,
menotok ke arah tubuh Kok Sian Cu, Kok Liong Cu dan Kok Seng Cu dengan tepat
sehingga di lain saat ketiga orang tosu ini sudah dapat bergerak kembali.
Mereka bangkit berdiri dan menarik napas panjang, wajah mereka menjadi pucat.
Mereka
berempat benar-benar merasa malu sekali karena sebagai tokoh-tokoh terkenal
Kong-thong-pai mereka terpaksa harus mengakui keunggulan dua orang muda! Biar
pun kekalahan yang amat memalukan ini tidak disaksikan oleh orang lain, akan
tetapi mereka maklum bahwa dengan kekalahan mutlak ini mereka tidak ada muka
lagi untuk muncul di dunia kang-ouw sebagai jago-jago tua yang sukar
dikalahkan!
Biauw Eng
maklum akan perasaan mereka. Maka dia lalu menjura dan berkata, "Harap
Su-wi suka memaafkan kami. Adalah Su-wi sendiri yang terlalu mendesak. Akan
tetapi, harap Su-wi tidak kecil hati karena Su-wi tidaklah kalah di tangan
musuh. Kuulangi lagi, aku bukanlah musuh Su-wi. Kalau dahulu aku kelepasan
tangan membunuh Kok Cin Cu, hal itu adalah gara-gara Keng Hong. Dan sekarang,
kami berdua sedang mencari Keng Hong untuk menangkapnya kemudian menghukumnya!
Dengan demikian, akan lenyaplah rasa penasaran Su-wi. Agar memudahkan usaha
kami berdua menemukan Keng Hong, sukalah kiranya Su-wi memberitahukan, di mana
kami dapat mencarinya."
Kok Sian Cu
menghela napas panjang. "Mungkin engkau benar, Nona. Apa bila engkau musuh
kami, tentunya engkau sudah membunuh kami dan sikapmu tidak seperti ini. Dan
memang semula penasaran hati kami tertuju kepada Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong.
Nona hanya terbawa-bawa karena dahulu membantunya. Apa bila sekarang Nona
sendiri memusuhinya, biarlah pinto sekalian tahu diri dan menghabiskan
persoalan kami dengan Nona. Akan tetapi kami sendiri pun tidak tahu di mana
adanya murid Sin-jiu Kiam-ong itu."
Biauw Eng
kecewa, akan tetapi dia teringat akan tugasnya ke dua, yaitu mencari Cui Im
untuk membalas kematian ibunya. Oleh karena itu, setelah bertemu dengan
tokoh-tokoh Kong-thong-pai ini, mengapa tidak sekalian bertanya?
"Locianpwe,
dapatkah Locianpwe mengatakan kepadaku apakah Locianpwe tahu di mana adanya
Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im?"
Mendengar
disebutnya nama tokoh wanita iblis yang dibenci dan ditakuti ini, wajah empat
orang tosu itu membayangkan hati tidak senang dan kembali mereka merasa menyesal
mengapa mereka kini berbaik dengan adik seperguruan wanita iblis Ang-kiam
Bu-tek itu. Biauw Eng cerdik sekali dan dia dapat menduga isi hati mereka, maka
dia cepat berkata,
"Locianpwe,
aku sedang mencari dia untuk membalas dendam atas kematian ibuku di
tangannya."
"Ahhhhh...!"
Kok Sian Cu berseru. "Pinto teringat sekarang, menurut kabar, dia menjadi
pengawal di istana kaisar. Kalau Nona pergi ke kota raja, agaknya tentu akan
mendengar tentang iblis betina itu."
Girang hati
Biauw Eng. Ia lalu berpamit kepada empat orang tosu itu kemudian mengajak
suci-nya untuk melanjutkan perjalanan. Empat orang tosu tua itu memandang kagum
dan berulang kali menghela napas panjang. Benar-benar mereka tidak menyangka
bahwa di dunia kang-ouw kini bermunculan tokoh-tokoh muda yang memiliki ilmu
kepandaian luar biasa.
"Lihiap...!
Tunggu dulu...!" Mendadak Kok Sian Cu berseru sambil mengerahkan khikang
sehingga kedua orang gadis itu terkejut, segera menghentikan langkah dan cepat
mereka itu kembali menghampiri empat orang tosu tua itu.
"Ada
apakah, Locianpwe?" tanya Biauw Eng sambil memandang tajam.
"Sesudah
menyaksikan sepak terjangmu, kami menyesali kekasaran sendiri dan maklum bahwa
Lam-hai Sin-ni ternyata telah melahirkan seorang wanita gagah perkasa yang
tidak tergolong kaum sesat! Lihiap, pinto nasehatkan agar engkau tidak membuat
keributan di istana, karena hal itu membuat Lihiap dianggap sebagai pengacau
atau pemberontak. Di istana terdapat banyak sekali orang sakti..."
"Terima
kasih, Locianpwe. Akan tetapi aku tidak takut. Biar dia bersembunyi di neraka,
aku akan mencari dan membunuh Cui Im!"
"Jangan
salah mengerti, Nona. Kini kaisar sudah melakukan hal yang menyusahkan hati
para tokoh kang-ouw, yaitu karena Kaisar telah menerima tenaga-tenaga dari kaum
sesat untuk menjadi pengawal. Hal itu berbahaya sekali. Apa lagi sesudah
mendengar bahwa orang-orang semacam Ang-kiam Bu-tek, Pak-san Kwi-ong, dan
banyak lainnya dijadikan pengawal pribadi. Orang-orang macam itu tidak bisa
dipercaya. Karena itu, akan diadakan pertemuan antara partai-partai besar dan
tokoh-tokoh terkemuka di puncak Tai-hang-san, semua tokohnya, bahkan
ketua-ketua partai, akan hadir untuk membicarakan urusan itu, kemudian akan
mengajukan permohonan dan peringatan kepada Kaisar akan bahayanya tenaga dari
kaum sesat yang dipergunakan itu. Karena itu, untuk menghadapi Ang-kiam Bu-tek,
tidakkah sebaiknya Nona hadir di pertemuan itu? Jika bertindak sendiri, memang
pinto percaya akan kemampuanmu, akan tetapi pinto khawatir kalau-kalau iblis
betina itu berlindung di balik kekuasaan Kaisar sehingga Nona akan dicap
sebagai pemberontak!"
Biauw Eng
mengangguk-angguk, maklum akan pentingnya ucapan kakek itu.
"Terima
kasih, Locianpwe. Nasehat Locianpwe tentu akan kuperhatikan. Aku akan ke kota
raja lebih dulu mencari Keng Hong dan kalau mungkin menghadapi Cui Im di luar
istana. Akan tetapi andai kata aku menemui kesulitan, tentu aku akan ingat
pesan Locianpwe untuk berkunjung ke Puncak Tai-hang-san bekerja sama dengan
para Locianpwe."
Biauw Eng
dan Hun Bwee lalu memberi hormat dan pergi menuju ke utara. Sedangkan keempat
orang tosu itu melanjutkan perjalanan menuju ke Tai-hang-san karena memang
mereka bermaksud hendak menghadiri pertemuan puncak antara tokoh-tokoh
persilatan itu, mewakili ketua Kong-thong-pai yang sedang sakit sehingga
berhalangan hadir.
Empat orang
tosu Kong-thong-pai itu melakukan perjalanan perlahan karena waktu untuk
pertemuan itu masih cukup lama. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap
membicarakan kelihaian Biauw Eng juga keanehan bahwa puteri seorang tokoh utama
datuk hitam yang dikenal sebagai iblis betina Lam-hai Sin-ni, kini bersikap
baik sekali dan agaknya tidak akan melanjutkan jejak ibunya.
Belum lama
empat orang kakek Kong-thong-pai ini melanjutkan perjalanan, tiba-tiba saja
mereka berhenti kemudian memandang dua orang yang datang dari depan dengan mata
terbelalak. Kok Seng Cu berbisik,
"Cia
Keng Hong...!"
Kok Sian Cu
si kakek setengah buta sudah berkelebat bersama putaran tongkatnya ke depan
Keng Hong yang berjalan bersama Yan Cu, menodongkan tongkatnya kemudian
membentak,
"Cia
Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong, pengacau muda yang jahat! Sekali ini kami tak
akan melepaskan engkau!"
Melihat tosu
tua itu menerjang dengan tongkatnya yang berubah menjadi sinar kehijauan
bergulung-gulung, Yan Cu cepat melangkah maju dan berkata,
"Eiiitt,
eittttt..., sabar dulu, Totiang!" gadis ini melihat bahwa tiga orang tosu
tua yang lain juga sudah melesat ke depan dan mereka berempat itu memandang
Keng Hong dengan sinar mata penuh kemarahan. "Kalian ini empat orang tosu
yang sudah tua, mengapa bersikap begini pemarah? Ada urusan boleh dibicarakan,
mengapa begitu bertemu terus hendak menggunakan kekerasan seperti sikap
rombongan tukang pukul yang brengsek?"
Dengan
matanya yang tinggal satu, Kok Sian Cu memandang Yan Cu. Karena Yan Cu hanyalah
seorang gadis muda yang cantik dan tosu itu belum pernah melihatnya, tentu saja
Kok Sian Cu merasa tidak perlu melayani gadis itu, karena merasa bahwa gadis
itu hanya akan menjadi penghalang saja dan tidak ingin kalau ada orang lain
yang terseret dalam urusan Kong-thong-pai menghadapi musuh besar murid Sin-jiu
Kiam-ong.
"Nona,
jangan ikut campur. Minggirlah!"
Sambil
berkata demikian, orang pertama dari Kong-thong-pai mendorong ke arah pundak
Yan Cu. Dorongan itu bukan merupakan serangan berat, karena maksudnya pun hanya
ingin mendorong tubuh nona itu agar terdorong ke pinggir.
"Wusssss…!"
Dorongan
tongkat itu mengenai tempat kosong karena dengan gerakan mudah saja Yan Cu
dapat mengelak tanpa menggerakkan kedua kakinya.
Kok Sian Cu
terkejut. Dia adalah seorang tokoh yang lihai dari Kong-thong-pai. Biar pun dia
tidak ingin melukai nona muda ini, namun dorongan tongkatnya tadi tidak akan
dapat dielakkan oleh sembarang orang! Dan bocah ini hanya mengelak dengan sikap
begitu tenang, tanpa menggerakkan kaki seolah-olah memandang rendah serangan
itu. Hal ini tentu saja membuatnya menjadi penasaran sekali.
"Bagus,
biarlah pinto membuat engkau tak mampu bergerak untuk sementara agar jangan
mengganggu!" Setelah berkata demikian, kembali tongkatnya bergerak.
Akan tetapi
sekali ini bukan bergerak sekedar untuk mendorong, melainkan melakukan totokan
untuk menotok jalan darah Yan Cu agar tidak mampu bergerak. Karena dia tidak
mau gagal lagi seperti tadi, maka sekali ini totokannya bukan hanya berhenti
pada sekali totokan saja, melainkan ada lanjutannya untuk menyusul totokan
pertama apa bila gagal, bahkan merupakan rangkaian totokan dengan ujung
tongkatnya sampai beruntun lima kali.
"Wuuuuuuttt…!
Cus-cus-cus-cus-cus...!"
Merah bukan main
muka Kok Sian Cu karena serangannya yang amat hebat itu, totokan beruntun
selama lima kali susul menyusul, amat cepat dan mengarah jalan darah di tubuh
bagian depan gadis itu, semuanya dapat dielakkan oleh Yun Cu tanpa gugup
sedikit pun juga. Bahkan gadis ini melakukan elakan-elakan itu sambil tersenyum
mengejek dan berkata,
"Aihhh...
aiiiihhhhh... benar-benar galak sekali tosu ini! Ehh, Totiang, apa sih
kesalahanku engkau datang-datang terus saja mainkan tongkatmu yang buruk dan
bau itu?"
Kok Sian Cu
yang tadi terkejut itu kini dapat menduga bahwa gadis ini ternyata bukanlah
orang sembarangan. Ia makin penasaran. Baru beberapa jam yang lalu dia dan tiga
orang sute-nya bertemu dengan Biauw Eng dan Hun Bwee, dua orang gadis muda yang
ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga mereka berempat tidak mampu
menandingi dua orang gadis itu. Kini, lagi-lagi muncul seorang gadis yang sama
sekali tidak terkenal dan yang ternyata mampu menghadapi totokan-totokannya
secara memandang rendah sekali!
Mukanya menjadi
merah, ada pun mata tunggalnya itu memancarkan cahaya kemarahan, tongkat di
tangannya tergetar dan dia sudah siap menerjang dengan sungguh-sungguh,
mengirim terjangan maut.
"Totiang,
tahan dulu!" Keng Hong cepat berkata dan menarik lengan Yan Cu ke belakang
sambil berkata, "Sumoi, kau mundurlah. Mereka ini adalah keempat orang
Locianpwe dari Kong-thong Ngo-lojin dan memang benar, mereka tidak ada urusan
denganmu, Sumoi. Biarkan aku menghadapi meeka."
Yan Cu
cemberut dan memandang empat orang kakek itu dengan matanya yang lebar dan
bening, lalu mengomel, "Aku pun tidak ingin berurusan dengan orang-orang
tua yang begini galak, akan tetapi mendengar kau disebut pengacau jahat, mana
bisa aku diam saja?"
Keng Hong
tersenyum lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada empat orang tosu itu.
"Su-wi Locianpwe, saya mengerti akan kemarahan Locianpwe sekalian terhadap
diriku. Tentu karena peristiwa-peristiwa yang lalu yang berhubungan dengan
mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi, seperti yang telah para Locianpwe
dengar dahulu di Kun-lun-pai, semua peristiwa yang terjadi itu adalah kesalah
pahaman belaka, dan sejak dahulu pun saya tidak ingin melanjutkan permusuhan
yang timbul antara Kong-thong-pai dengan mendiang suhu. Bahkan sebaliknya saya
ingin memperbaiki hubungan dan kalau sampai terjadi korban-korban roboh di
antara anak murid Kong-thong-pai, hal itu terjadi dalam pertandingan dan bukan
kehendak saya. Dulu, di puncak Kun-lun-pai saya pernah menuduhkan perbuatan itu
sebagai perbuatan nona Sie Biauw Eng, akan tetapi baru-baru kemudian saya tahu
bahwa pembunuhan terhadap anak-anak murid Kong-thong-pai yang diracun adalah
perbuatan keji dari Bhe Cui Im!"
Kok Sian Cu
menggerakkan tongkat di depan dada dan berkata mewakili para sute-nya yang
memandang marah, "Orang muda, betapa pun pandai engkau berputar lidah
untuk membela diri, tapi kenyataannya baik gurumu mau pun engkau adalah orang
yang telah melakukan perbuatan-perbuatan tidak benar, dan di antaranya telah
berkali-kali menghina Kong-thong-pai dengan hebat. Gurumu menewaskan lima orang
murid Kong-thong-pai dalam pertandingan, engkau sendiri sudah menyebabkan
kematian sute-ku Kok Cin Cu dan empat orang muridnya..."
"Maaf,
hal itu terjadi karena Kok Cin Cu Totiang dan murid-muridnya mendesakku dan muncul
orang yang membantuku sehingga mereka tewas..."
"Hemmmm,
kami pun sudah tahu bahwa nona Sie Biauw Eng melakukannya demi untuk membantu
dan menolongmu. Akan tetapi tetap saja kematian murid-murid Kong-thong-pai
terjadi karena engkau! Kemudian, karena engkau pula yang tak tahu malu merayu
dua orang murid wanita Kong-thong-pai, enam orang murid Kong-thong-pai mati
keracunan!"
"Totiang!
Hal itu adalah perbuatan busuk Bhe Cui Im!"
Kok Sian Cu
melotot. "Kau kira kami begitu bodoh tidak mengetahui hal itu? Kami telah
menyelidiki ke dusun dan kami tahu semuanya. Akan tetapi, semua itu tidak
terjadi kalau engkau tidak menjadi biang keladinya, menjadi sebab timbulnya
urusan-urusan itu. Pula, engkau sudah bersekutu dengan Ang-kiam Bu-tek, engkau
pemuda yang tidak berakhlak, engkau menjadi kekasih iblis betina itu, siapakah
yang tidak tahu? Engkau malah sudah membiarkan semua pusaka peninggalan Sin-jiu
Kiam-ong jatuh ke tangan iblis betina itu sehingga dia menjadi amat lihai, dan
semua pusaka milik partai-partai besar telah terjatuh di tangannya! Ahhh,
dosamu terlalu besar, Cia Keng Hong! Semua korban yang jatuh di pihak kami,
memang benar bukan terjadi karena sengaja engkau yang membunuhnya dan mengingat
akan dasar itu, boleh saja kami meniadakan tuntutan. Akan tetapi, engkau
penyebab segala bencana dan yang paling hebat adalah turut lenyapnya pula
pusaka Kong-thong-pai yang selama ini memang kami rahasiakan supaya tidak
diketahui orang bahwa pusaka kami pun terjatuh ke tangan Sin-jiu
Kiam-ong!" Setelah berkata demikian, Kok Sian Cu menggerakkan tongkatnya
menotok ke arah dada Keng Hong.
Pemuda ini
sama sekali tidak mengelak seperti yang dilakukan Yan Cu tadi, melainkan
memasang dadanya untuk ditotok ujung tongkat yang menjadi cahaya kehijauan
saking cepatnya gerakan kakek itu.
"Tukkk!"
Totokan
ujung tongkat itu tepat mengenai jalan darah di dada Keng Hong, akan tetapi
yang ditotok tidak apa-apa, sebaliknya tongkat itu membalik dan Kok Sian Cu
merasa betapa tangannya tergetar dan lengannya hampir lumpuh! Ia terkejut
sekali dan meloncat mundur.
Tiga orang
sute-nya sudah siap menerjang. Akan tetapi Keng Hong cepat mengangkat ke dua
tangan ke atas sambil berkata,
"Sabarlah,
para Locianpwe dari Kong-thong-pai yang terhormat! Dengarlah dulu kata-kata
keteranganku. Tidak benar kalau dikatakan bahwa saya bersekutu dengan Bhe Cui
Im si wanita jahat! Sebaliknya malah! Pusaka-pusaka peninggalan guruku itu
tidak saya berikan kepadanya, melainkan dicurinya dariku! Kemudian dengan susah
payah aku telah berhasil merampasnya kembali."
Empat orang
tosu itu memandang penuh harapan dan Keng Hong cepat menghampiri Kok Sian Cu
sambil bertanya, "Totiang, yang dimaksudkan dengan pusaka Kong-thong-pai
yang telah diambil suhu dan dirahasiakan itu bukankah sepasang golok emas yang
amat indah?"
Kok Sian Cu
mengangguk-angguk, menelan ludah untuk menekan ketegangan hatinya sambil
berkata, "Betul... betul..."
Keng Hong
merogoh baju dalamnya kemudian mengeluarkan sepasang golok emas dan menyerahkan
kedua golok indah itu kepada Kok Sian Cu sambil berkata, "Inikah pusaka
Kong-thong-pai? Kalau benar, nah, terimalah disertai permohonan maaf sebesarnya
dari mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong!"
Empat orang
tosu Kong-thong-pai terbelalak begitu melihat sepasang golok emas itu. Kok Sian
Cu menerima dengan dua tangan gemetar, tongkatnya terlepas dan begitu sepasang
golok emas itu sudah dipegangnya, kedua lututnya lalu ditekuk dan tiga orang
sute-nya pun menjatuhkan diri berlutut pula.
"Kong-thong
Siang-sin-to (Sepasang Golok Sakti Kong-thong-pai)..." Terdengarlah mulut
empat orang tosu itu berkata penuh keharuan sambil memandang sepasang golok
emas yang dipegang Kok Sian Cu dan diangkat tinggi-tinggi.
Keng Hong
dan Yan Cu saling memandang dan mengertilah dua orang muda ini bahwa sepasang
golok itu ternyata merupakan pusaka yang sangat dihormati oleh tokoh-tokoh
Kong-thong-pai, maka pantaslah kalau semenjak dulu mereka memusuhi Sin-jiu
Kiam-ong dan menyimpan rahasia kehilangan sepasang golok itu karena hal ini
akan menurunkan nama besar Kong-thong-pai! Dan Keng Hong dapat pula
membayangkan betapa besar rasa syukur di hati empat orang tosu itu.
Akan tetapi
tiba-tiba saja Kok Sian Cu meloncat bangun dan berseru marah, "Siapa telah
menodai Siang-sin-to kami dengan darah?"
Tiga orang
sute-nya terkejut dan melompat bangun pula, mendekati Kok Sian Cu lantas
meneliti sepasang golok emas itu. Mereka semuanya kelihatan marah dan Kok Sian
Cu segera membalikkan tubuh menghadapi Keng Hong kemudian bertanya,
"Orang
muda yang telah berjasa besar mengembalikan Siang-sin-to, apakah engkau pula
yang begitu keji mempergunakan pusaka Kong-thong-pai yang suci ini untuk
membunuh orang?"
Keng Hong
menjawab tenang dan sabar, "Sepasang kim-to (golok emas) itu memang sudah
mencium darah orang, Totiang, namun bukan darah orang lain melainkan darahku
sendiri! Setelah berhasil merampas semua pusaka dari Bhe Cui Im, saya bertemu
dengan Ang-bin Kwi-bo dan saya ditangkap, pusaka-pusaka itu
dirampasnya..."
"Ahhhh...!"
Empat orang kakek Kong-thong-pai itu terkejut sekali mendengar disebutnya nama
iblis betina yang menjadi datuk hitam itu.
"Sepasang
golok emas pusaka Kong-thong-pai itu digunakan oleh Ang-bin Kwi-bo untuk
membuat saya tak berdaya, yaitu dibengkokkan menjadi kaitan kemudian dikaitkan
pada tulang-tulang pundak saya. Untung kemudian pusaka-pusaka itu, termasuk
juga sepasang kim-to ini berhasil saya rampas kembali berkat pertolongan Subo
dan Sumoi ini. Jangan khawatir, Totiang, golok pusaka yang suci itu tidak
pernah digunakan membunuh manusia dan darah itu adalah darahku sendiri."
Empat orang
tosu yang merasa girang dan amat bersyukur bisa mendapatkan kembali sepasang
golok emas itu menjadi terharu dan merasa ngeri mendengarkan pengalaman Keng
Hong yang nyaris tewas mempertahankan semua pusaka itu, termasuk juga pusaka
Kong-thong-pai yang berhasil diselamatkan. Mereka bergidik apa bila memikirkan
betapa pusaka suci ini bisa terjatuh ke tangan seorang manusia iblis seperti
Ang-bin Kwi-bo dan tentu akan kotor dan berubah menjadi pusaka maut yang haus
akan darah manusia!
"Orang
muda, jasamu tidak kecil dengan mengembalikan pusaka ini, dan biarlah kami
membalas budimu dengan menghabiskan semua permusuhan yang pernah timbul. Kami
bisa percaya bahwa dalam peristiwa-peristiwa itu, engkau tidak berdosa, atau
setidaknya engkau tidak sengaja melakukan kejahatan. Tetapi betapa pun juga,
kami kira perbuatan-perbuatan yang sudah engkau lakukan itu, bagaikan tanaman
pohon, pasti akan berbuah pula. Siapa menanam dia akan memetik buahnya. Begitu
pula dengan perbuatan baikmu mengembalikan pusaka kami ini, maka biarlah
sekarang juga kami membalasmu dengan peringatan bahwa engkau sedang terancam
bahaya dan sebaiknya sekarang juga segera pergi dari sini, jangan menuju ke
kota raja."
Keng Hong
mengerutkan alisnya, kemudian bertanya, "Kalau Totiang sudi menjelaskan,
mengapa Totiang melarang saya ke kota raja dan bahaya apakah yang mengancam
saya di kota raja?"
Keempat
orang tosu itu saling pandang, agaknya ragu-ragu. Akan tetapi setelah kembali
memandang sepasang golok emas di tangannya, Kok Sian Cu lalu berkata,
"Baru saja beberapa jam yang lalu ada dua orang mencarimu, Cia-sicu.
Mereka itu mencarimu bukan dengan niat baik, melainkan hendak menangkap atau
membunuhmu, dan... dan mereka itu lihai bukan main... mungkin engkau tak akan
dapat melawan mereka dan akan celaka kalau bertemu mereka. Mereka menuju ke
kota raja mencarimu, maka demi membalas kebaikanmu yang telah mengembalikan
pusaka kami ini, kami memperingatkan Sicu agar cepat-cepat pergi dari sini
menjauhi kota raja."
"Eh,
Totiang!" Yan Cu tidak sabar lagi menjawab. "kami berdua memang
hendak ke kota raja dan kami berdua sama sekali tidak takut menghadapi ancaman
musuh yang mana pun juga. Apakah dua orang yang mengancam Suheng itu bukan
manusia? Kalau hanya manusia biasa seperti kami, hemmmm... kami tidak takut
sedikit pun juga!"
Baru
sekarang empat orang tosu itu dapat memandang Yan Cu tanpa kemarahan di hati,
bahkan empat orang kakek ini diam-diam harus mengakui bahwa gadis itu amat ayu
dan menggairahkan. Secara diam-diam mereka berpikir, dari mana murid Sin-jiu
Kiam-ong ini memperoleh seorang sumoi? Dan hingga di mana kehebatan ilmu
kepandaian gadis yang begini cantik jelita seperti sekuntum bunga mawar?
Mereka
memandang kagum dan menduga-duga. Apakah dara jelita ini pun memiliki ilmu
kepandaian luar biasa dan mengejutkan seperti yang dimiliki oleh puteri Lam-hai
Sin-ni dan suci-nya yang aneh berpakaian merah itu?
"Mereka
itu memang kelihatannya seperti manusia-manusia biasa, bahkan merupakan dua
orang dara yang cantik, akan tetapi yang memiliki ilmu kepandaian seperti
iblis!"
"Dua
orang wanita muda?" Keng Hong memandang tajam. "Siapakah mereka,
Totiang? Dan mengapa mengancam saya?"
"Mereka
itu adalah dua orang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian hebat sekali. Kami
tak mengenal orang ke dua, akan tetapi yang pertama adalah puteri Lam-hai
Sin-ni, nona Sie Biauw Eng... ehhh, Sicu...!"
Akan tetapi
Keng Hong tidak mempedulikan panggilan itu karena dia telah menggandeng tangan
Yan Cu dan sekali berkelebat kedua orang ini telah lenyap dari depan mata empat
orang tosu yang melongo.
Kemudian Kok
Sian Cu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Hebat sekali...,
gerakan mereka begitu cepat... hemmm, tentu akan terjadi geger kalau mereka
berempat itu saling jumpa. Tidak dapat dibayangkan alangkah akan hebatnya
pertandingan antara mereka!" Kemudian dia menghela napas dan berkata
kepada tiga orang sute-nya, "Kita sudah ketinggalan jauh oleh orang-orang
muda itu. Sebaiknya kalau mulai sekarang, kita mencurahkan lebih banyak lagi
perhatian kepada anak-anak murid Kong-thong-pai yang muda-muda supaya mereka
itu tekun berlatih dan dapat memperoleh kemajuan-kemajuan hebat seperti
orang-orang muda ini... karena hanya dengan adanya orang-orang muda yang pandai
saja maka perkumpulan kita akan memperoleh kemajuan dan mereka kelak akan dapat
menggantikan kita yang sudah makin tua dan makin mundur..."
Begitu Keng
Hong mendengar disebutnya nama Biauw Eng, dia sudah tidak dapat lagi menahan
hatinya yang tiba-tiba berdebar keras saking girangnya. Tanpa pamit dia sudah
meninggalkan empat orang tosu itu. Juga Yan Cu sangat girang mendengar bahwa
dua orang yang mencari Keng Hong dan baru beberapa jam lewat menuju ke kota
raja itu adalah Biauw Eng bersama seorang wanita lain. Memang mereka berdua
sedang mencari Biauw Eng!
Pertemuan
dengan Biauw Eng amatlah penting bagi mereka berdua, karena pertemuan itu akan
menentukan nasib mereka berdua dan akan menjadi keputusan apakah mereka akan
melanjutkan ikatan jodoh seperti yang diperintahkan dan dipaksakan subo mereka
itu ataukah tidak! Maka ketika Keng Hong menarik tangannya, Yan Cu pun
mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk berlari cepat sekali mengimbangi
suheng-nya.
***************
Biauw Eng
dan Hun Bwee melakukan perjalanan seenaknya. Kota raja sudah tidak begitu jauh
lagi dan perjalanan mereka tinggal melalui dusun serta hutan yang tidak liar
karena daerah dekat kota raja sudah mulai ramai.
Hati Biauw
Eng tenang dan lega bahwa Hun Bwee tidak kumat lagi gilanya. Diam-diam ia
menaruh kasihan sekali kepada suci-nya ini, dan mulailah ia mengutuk Keng Hong
dalam hatinya, sungguh pun tadinya ia merasa ragu-ragu apakah benar Keng Hong
sampai hati melakukan perbuatan sekeji itu.
Dia sering
kali termenung dan menjadi bingung sendiri, apakah yang harus dia lakukan
terhadap Keng Hong jika dia bertemu dengan pemuda yang dicarinya itu. Bila dia
bertemu dengan Cui Im yang dicarinya, memang sudah jelas akan dia serang
mati-matian. Akan tetapi kalau dia bertemu dengan Keng Hong, bagaimana?
Subo-nya
menghendaki agar Keng Hong sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong ditangkap dan diseret
ke hadapan kaki Go-bi Thai-houw yang gila itu. Suci-nya sendiri ingin membalas
dendamnya sebab pernah diperkosa oleh Keng Hong, hal yang memang telah
semestinya dan dia sendiri yang akan memaksa Keng Hong untuk bertanggung jawab
dan mengawini suci-nya yang sudah diperkosanya itu!
Akan tetapi
bagaimana dengan dia sendiri? Ahhh, di antara dia dan Keng Hong memang tidak
ada urusan apa-apa! Dia mencinta Keng Hong, dan pemuda itu juga menyatakan
cinta kepadanya. Akan tetapi betapa dangkal dan palsu cinta kasih Keng Hong
padanya! Tidak seperti cintanya, yang mendalam dan tulus ikhlas, cintanya tidak
akan luntur oleh kejadian apa pun juga. Benar, sama sekali tidak pernah
berubah. Kemarahannya karena kepalsuan Keng Hong menimbulkan benci seketika
saja, akan tetapi tetap tidak mampu menghapus cinta kasihnya terhadap pemuda
itu.
Akan tetapi,
apakah yang akan ia lakukan? Bagaimana kalau ia nanti berhadapan dengan Keng
Hong? Dapatkah ia menguasai hatinya untuk tidak menjadi lemah bila berhadapan
dengan pemuda itu? Ataukah ia tidak akan mampu menguasai kemarahan dan hatinya
yang sakit karena cintanya di sia-siakan lalu turun tangan membunuh pemuda itu?
Ahhh, tidak!
Tidak! Dia harus dapat menguasai dan mengatasi perasaan pribadinya. Dia harus
menangkap Keng Hong sesuai dengan perintah gurunya. Dia harus bisa memaksa Keng
Hong untuk bertanggung jawab dan mengawini suci-nya yang sudah diperkosanya!
Setelah itu... dia... dia akan pergi. Jauh! Entah ke mana!
Akan tetapi,
sebuah ingatan lantas menyelinap di dalam kepalanya, membuyarkan semua
angan-angan tadi. Betapa ia memudahkan persoalan. Seolah-olah ia berani
memastikan bahwa dia akan dapat memperlakukan Keng Hong sebagaimana yang dia
kehendaki! Seolah-olah Keng Hong merupakan sebuah boneka yang dapat ia bunuh
atau tidak!
Sejenak ia
tadi lupa bahwa yang dia hadapi bukan Keng Hong yang telah menyia-nyiakan
cintanya, bukan hanya Keng Hong yang sudah memperkosa Hun Bwee, akan tetapi
juga Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi!
Memang, dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, apa lagi ada Hun Bwee di
sampingnya, ia tidak takut dan percaya akan dapat mengatasi Keng Hong, namun
betapa pun juga, dia tidak boleh merasa terlalu yakin akan dapat menangkap
pemuda itu.
"Biauw
Eng...!"
Otomatis
Biauw Eng menahan kakinya, berdiri dengan muka pucat. Suara itu! Suara itu!
Suara laki-laki yang akan ia kenal di antara suara seribu orang laki-laki lain!
Suara Keng Hong! Apakah karena semenjak tadi melamunkan Keng Hong, kini
telinganya mendengar yang bukan-bukan?
"Biauw
Eng...!"
Biauw Eng
meloncat dan membalikkan tubuhnya sambil berbisik, "Keng Hong...!"
Melihat
sikap Biauw Eng dan mendengar bisikan itu, Hun Bwee juga terkejut dan cepat
membalikkan tubuhnya. Amatlah menarik untuk memperhatikan wajah dua orang gadis
cantik ini pada saat mereka membalikkan tubuh dan melihat Keng Hong datang
bersama seorang dara jelita.
Wajah Biauw
Eng pucat bukan main. Mula-mula sekali, begitu ia membalik dan matanya
menangkap wajah serta tubuh Keng Hong, tampak sinar memancar keluar dari
pandang matanya, sinar penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Namun sinar itu
segera menyuram dan lenyap, terganti oleh sinar kilatan penuh cemburu ketika ia
melihat dara yang amat cantik jelita di samping Keng Hong.
Kilatan
cemburu yang terpancar dari sepasang matanya itu pun sebentar saja dan segera
wajahnya yang pucat itu tidak membayangkan apa-apa, tetap dingin tidak
membayangkan sesuatu. Wajah dan matanya kosong memandang kepada Keng Hong dan
Yan Cu yang datang berlari-lari menuju ke tempat mereka berdiri menanti, di
dalam hutan yang sunyi itu.
Ada pun
wajah Hun Bwee berubah menjadi merah sekali. Sulit untuk menduga apa yang
bergolak di dalam hati dan pikiran gadis ini. Dia segera mengenal Keng Hong,
terbelalak memandang pemuda itu, sama sekali tidak mempedulikan gadis jelita
yang ikut berlari di samping Keng Hong dan wajahnya menjadi merah sekali.
Entah
perasaan apa yang berkecamuk di dalam hatinya. Akan tetapi yang sudah jelas
sekali, gadis baju merah ini merasa malu dan jengah sekali bertemu dengan orang
yang dahulu telah memperkosanya, orang yang dikagumi dan dicintanya akan tetapi
kemudian merusak hatinya. Mungkin saat itu pernyataan Biauw Eng hendak memaksa
pemuda itu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap dirinya itulah
yang membuat ia menjadi malu dan bingung!
"Biauw
Eng...!" Untuk ketiga kalinya Keng Hong menyerukan nama ini dan kini dia
dan Yan Cu telah berdiri berhadapan dengan Biauw Eng dan Hun Bwee.
Keng Hong
hanya menujukan pandang matanya kepada Biauw Eng, kepada wajah yang tak pernah
dia lupakan barang sedetik pun, kepada mata yang membuat hatinya terharu, mata
yang indah dan dingin, terbayang kedukaan sangat hebat di dalamnya.
Keng Hong
memandang Biauw Eng, tidak melihat apa-apa lagi, tidak pula melihat Hun Bwee.
Dadanya turun naik, terengah-engah, bukan karena kelelahan, melainkan karena
menahan gejolak hatinya yang menggetarkan seluruh tubuhnya.
Yan Cu juga
berdiri terengah, namun gadis ini terengah karena kelelahan, karena ia tadi
harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengimbangi kecepatan lari
suheng-nya. Sekarang Yan Cu berdiri memandang dua orang gadis itu dengan penuh
perhatian dan penyelidikan.
Kedua orang
gadis itu sama cantik, sama menarik dan sama gagah perkasa. Akan tetapi amat
mudah bagi matanya yang tajam itu untuk menduga yang manakah Biauw Eng. Bukan
hanya karena kecantikan Biauw Eng yang indah dingin bagaikan lautan salju di
utara, melainkan juga ia dapat melihat ke manakah sasaran pandang mata
suheng-nya yang seperti orang kena pesona.
Dia tidak
heran mengapa suheng-nya jatuh cinta kepada Biauw Eng yang memang cantik luar
biasa itu, akan tetapi keningnya berkerut menyaksikan sikap Biauw Eng yang
begitu dingin sehingga tidak wajar dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Wanita
sedingin ini, mana mungkin dapat dicairkan dengan panasnya api cinta?
Baik Biauw
Eng mau pun Keng Hong belum dapat menemukan suara mereka kembali yang lenyap
akibat gelora hati yang membadai, badai yang timbul di saat mereka saling
bertemu. Dua pasang mata itu bertemu dan seolah-olah bertanding mengadu
kekuatan, ataukah saling peluk dan tak ingin dilepaskan kembali? Keduanya tidak
berkedip, seperti terkena sihir.
"Apakah
engkau yang bernama Sie Biauw Eng?" Tiba-tiba suara Yan Cu yang nyaring
membuat Keng Hong dan Biauw Eng sadar.
Gadis ini
segera memandang kepada Yan Cu. Sejenak pandang matanya mengeluarkan sinar
kilat penuh cemburu sehingga mengejutkan Yan Cu. Akan tetapi dara ini tersenyum
ketika melihat Biauw Eng mengangguk dan dia bertanya dengan suara wajar.
"Jadi
kalau begitu Enci Biauw Eng dan Cici inikah yang sedang mencari-cari Suheng Cia
Keng Hong?"
Kembali
Biauw Eng mengangguk, tidak bernafsu untuk berbicara dengan dara jelita yang
entah mengapa menyebut Keng Hong sebagai suheng-nya itu.
Wajah Yan Cu
berseri gembira. "Sungguh kebetulan sekali! Susah payah kami berdua
mencari Enci Biauw Eng sampai ke mana-mana, sekarang dapat bertemu di sini
sungguh amat menggirangkan hatiku."
"Hemmm...!"
Biauw Eng mengeluarkan suara, sikapnya makin dingin. "Kami mencari dia ada
sebab-sebabnya yang penting. Kalian mencari aku ada apakah?"
Heran, pikir
Yan Cu. Gadis yang sungguh pun cantik akan tetapi sikapnya sedingin es dan
agaknya sangat galak ini bagaimana bisa menjatuhkan hati Keng Hong? Akan tetapi
dia tetap tersenyum dan bertanya,
"Enci
Biauw Eng, kami mencarimu hanya untuk bertanya apakah Enci Biauw Eng masih
mencinta Suheng Keng Hong?"
"Sumoi...!"
Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. Sungguh sumoi-nya ini terlalu sekali,
masa pertanyaan seperti itu diajukan secara kasar dan langsung, seperti orang
bertanya tentang hal sehari-hari yang biasa saja!
Juga Biauw
Eng kaget bukan main. Pertanyaan itu datangnya begitu tiba-tiba dan sama sekali
tidak pernah disangkanya sehingga seakan merupakan serangan tusukan pedang yang
langsung mengenai jantungnya. Wajahnya yang tadinya pucat itu menjadi merah
sekali. Ia balas bertanya dengan suara membentak,
"Bocah
lancang mulut! Apa sangkut pautnya denganmu?"
Yan Cu
memutar bola matanya, mengerling ke arah Biauw Eng. "Lebih baik aku bicara
terang-terangan saja, Enci Biauw Eng. Ketahuilah bahwa subo kami sudah
memutuskan bahwa aku dan Suheng harus menjadi suami isteri. Tetapi kami berdua
masih tidak dapat mengambil kepastian karena kami tidak tahu apakah kami berdua
saling mencinta, apa lagi karena Suheng menyatakan bahwa dia mencintaimu. Karena
itu kami berdua sengaja mencarimu untuk bertanya dan jika kalian berdua masih
tetap saling mencinta tentu saja Suheng hanya dapat menikah dengan engkau.
Sebaliknya, bila engkau tak mencintainya, tentu saja Suheng baru akan bisa
mengambil keputusan apakah dia akan dapat menikah denganku atau tidak,
sedangkan aku sendiri pun baru akan dapat memutuskan apakah aku mencinta dia
atau tidak. Apa bila dia mencinta orang lain, tentu saja aku tidak akan
membiarkan hatiku mencintainya. Nah, sekali lagi aku bertanya, sebagai seorang
wanita terhadap wanita lain, tanpa bermaksud menghinamu. Apakah Enci mencinta
dia, ataukah tidak?"
Mau tidak
mau, hati Biauw Eng tersentuh rasa gagum terhadap dara jelita ini. Seorang dara
yang jujur, tegas dan tidak berpura-pura sehingga bertanya soal cinta secara
begini terbuka. Sifat seperti ini memang cocok sekali dengan sifatnya sendiri,
namun sekarang, setelah ia menderita racun cinta yang membuatnya bertahun-tahun
merana, berduka dan akhir-akhir ini mengisi perasaannya dengan rasa kebencian,
membuat hatinya mengeras dan menjawab ketus,
"Pertanyaanmu
itu tidak perlu dijawab lagi karena sekarang, Cia Keng Hong tidak akan menikah
siapa pun juga, tidak dengan aku atau tidak pula dengan engkau, melainkan dia
harus menjadi suami Suci-ku ini!"
"Aiiihhhhh,
mana bisa begitu?" Yan Cu berteriak heran dan juga penasaran.
Mendengar
ucapan Biauw Eng, Keng Hong merasa terkejut dan baru sekarang dia sadar bahwa
di samping Biauw Eng ada seorang wanita lain yang memakai pakaian merah. Ia
cepat mengalihkan pandang matanya dan memandang Hun Bwee. Ia melihat wajah yang
cantik dari gadis ini merah sekali, akan tetapi kedua matanya mengeluarkan air
mata.
"Apa
artinya ini?" Keng Hong berkata perlahan, "Nona ini
siapakah...?"
"Hemmmm...
Cia Keng Hong, apakah engkau benar-benar sudah lupa kepada Suci-ku ini, ataukah
memang berpura-pura lupa?" Biauw Eng berkata, suaranya penuh kepahitan dan
kemarahan ditekan.
"Biauw
Eng, aku... aku merasa pernah melihat Nona ini, akan tetapi entah di mana dan
kapan. Siapakah dia?"
"Memang
beginilah laki-laki yang berwatak bejat! Menganggap wanita seperti boneka atau
bunga yang hanya dinikmati keharumannya, setelah dipermainkan lalu menjadi
bosan dan akan dilempar dan dilupakan begitu saja!"
"Biauw
Eng...!" Keng Hong mengeluh, memprotes.
Biauw Eng
tersenyum, senyum yang menikam uluhati Keng Hong. "Hendak menyangkal?
Suci-ku ini adalah Tan Hun Bwee, gadis bernasib malang yang dulu telah kau
perkosa kemudian kau tingalkan pergi dan kau lupakan begitu saja! Cia Keng
Hong, tak kusangka bahwa engkau sekeji itu. Sekarang kau harus mempertanggung
jawabkan perbuatanmu yang terkutuk! Engkau harus menjadi suaminya yang
sah!"
"Aaaaaaahhh...
Suheng... betulkah ini...?" Yan Cu memandang Keng Hong dengan mata
terbelalak dan wajah pucat.
Keng Hong
memandang Hun Bwee dan teringkatlah dia kini akan gadis baju hijau yang dahulu
diperkosa oleh Lian Ci Tojin. "Ahhh, kiranya Tan-sioca..."
Ia memandang
penasaran, lalu menoleh kepada Biauw Eng, hendak membantah. Namun melihat
betapa sinar mata gadis yang dicintanya itu penuh kebencian serta penyesalan
yang ditujukan kepadanya, dia menahan kembali protesnya dan menarik napas
panjang, lalu memandang Yan Cu dan berkata,
"Sumoi,
aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Kuharap engkau dapat percaya
kepadaku..."
"Pengecut!"
Biauw Eng langsung membentak marah. "Untuk merayu hati gadis ini, tentu
saja kau hendak menutupi segala cacatmu, bersikap seolah-olah engkau adalah
seorang laki-laki yang baik. Hemmm..., pemuda mata keranjang berhati
palsu!"
Keng Hong
memandang Biauw Eng, sinar matanya penuh penyesalan dan suaranya lirih sekali
ketika dia berkata, "Aku menerima semua penyesalan dan makianmu, Biauw
Eng. Memang aku seorang yang sudah melakukan banyak sekali kesalahan terhadap
dirimu. Aku bersedia kau hukum, aku siap kalau engkau hendak membunuhku, akan
tetapi aku tetap mencintaimu, Biauw Eng. Mencintaimu seorang dan tidak mungkin
aku mencinta orang lain lagi."
Tiba-tiba
terdengar jerit melengking yang mendirikan bulu roma dan Biauw Eng terkejut
sekali melihat suci-nya karena dia tahu bahwa tiba-tiba penyakit gila suci-nya
kumat lagi! Sepasang mata yang tadi mengucurkan air mata itu kini terbelalak
liar, lantas mulutnya membentak,
"Sumoi,
tukang perkosa ini bukan orang baik-baik! Sudah kukatakan kepadamu, mengapa
melayani dia bicara? Hi-hi-hik, akan kusiksa dia sampai mati!
Ha-ha-ha-ha-heh-heh, akan kusayat-sayat alat kelaminnya agar dia tidak mampu
mengganggu wanita lagi!"
Tiba-tiba
Hun Bwee menubruk Keng Hong dengan cengkeraman pada muka pemuda itu. Keng Hong
miringkan tubuh mengelak, namun tangan Hun Bwee sudah mencengkeram lagi ke arah
bawah pusar! Keng Hong meloncat mundur, dan sambil terkekeh-kekeh Hun Bwee
menerjang lagi, kini mengirim hantaman dengan kedua tangan bertubi-tubi, cepat
bukan main dan pukulan-pukulannya mengandung tenaga yang amat kuat.
Diam-diam
Keng Hong terkejut juga. Ternyata kepandaian Nona gila ini amat luar biasa, dan
pantas saja kalau menjadi suci Biauw Eng! Padahal seingatnya, puteri
Tan-piauwsu ini dulu tidaklah begini hebat kepandaiannya.
Serangan Hun
Bwee amat berbahaya. Akan tetapi tentu saja Keng Hong tidak tega untuk
merobohkannya, juga merasa tak enak bila melawannya, maka dia hanya
menggerakkan tubuhnya, mengelak dari serangan Hun Bwee yang bertubi-tubi itu.
"Suci,
jangan...!" Biauw Eng mencegah Hun Bwee yang makin lama menjadi makin
ganas itu.
"Apa?!
Engkau membelanya, Sumoi? Kalau begitu engkau benar mencinta Jai-hwa-cat (penjahat
pemerkosa) ini?" Hun Bwee menunda serangannya dan menoleh ke arah Biauw
Eng.
Wajah Biauw
Eng menjadi merah sekali dan jantungnya berdebar keras. Dalam detik itu,
hatinya sendiri membisikkan pertanyaan yang sama. Adakah dia masih mencinta
Keng Hong? Kata-kata Keng Hong yang menyatakan cinta tadi mencengkeram hatinya,
meski pun belum sama sekali menghapus rasa bencinya yang timbul karena sakit
hatinya akan sikap Keng Hong yang sudah-sudah terhadap dirinya.
"Suci,
aku tidak membelanya. Akan tetapi engkau pun tak boleh membunuhnya. Apakah
engkau lupa akan perintah subo untuk menangkapnya hidup-hidup?"
Hun Bwee
kelihatan seperti orang terkejut dan dia cepat mundur, akan tetapi matanya
tetap memandang kepada Keng Hong dengan liar. Melihat ini, Keng Hong menarik
napas panjang dan menjadi terharu sekali.
Dia merasa
kasihan melihat Hun Bwee yang agaknya kini menjadi gila karena peristiwa
perkosaan dahulu itu, akan tetapi dia pun terheran-heran mengapa dalam gilanya
itu Hun Bwee kini menjadi begitu lihai! Kalau begitu Biauw Eng tentu telah
memperoleh kemajuan hebat pula dalam ilmu silatnya kalau gadis itu kini menjadi
sumoi dari gadis gila ini!
Keng Hong
kembali memandang Biauw Eng dan kembali mereka saling pandang dengan perasaan
hati yang tidak karuan sehingga sinar mata mereka laksana orang bermimpi.
Akhirnya Keng Hong berkata lirih,
"Biauw
Eng, aku tak pernah merasa bersalah terhadap siapa pun juga di dunia ini
kecuali terhadap engkau, karena itu, kalau engkau yang mengambil keputusan
mengenai diriku, sedikit pun aku tak akan membantah atau melawan. Aku menyerah,
Biauw Eng, aku siap menyerahkan jiwa raga kepadamu sebagai tebusan atas dosaku
yang berkali-kali berbuat salah kepada engkau yang sekarang aku yakin adalah
satu-satunya wanita yang kucinta sepenuh hatiku..."
"Tak
perlu engkau merayuku!" Biauw Eng membentak dengan hati seperti
diremas-remas karena ia menganggap betapa kata-kata yang amat menyenangkan dan
membahagiakan hatinya itu tidak lain hanyalah rayuan kosong belaka dari pemuda
yang cintanya palsu ini.
"Aku
tidak merayu, dan kalau memang engkau menghendaki bukti, sekarang juga engkau
boleh membunuhku dan aku takkan menggerakkan sebuah jari pun untuk
melawanmu."
Biauw Eng
tersenyum dingin mengejek. "Engkau lupa bahwa tubuhku telah dimiliki orang
lain..."
Senyuman dan
ucapan itu menusuk jantung Keng Hong. Dia merasa betapa dia dahulu sangat kejam
dan tidak adil terhadap Biauw Eng. Dengan suara tergetar dia menjawab,
"Aku tidak peduli akan itu, Biauw Eng". Telah lama aku sadar bahwa
cinta bukanlah nafsu semata, jauh lebih tinggi dan lebih agung... seperti
cintamu terhadap aku..."
"Cukup!"
Biauw Eng membentak, namun bentakannya mengandung isak tertahan. "Aku dan
Suci mencarimu untuk menangkapmu atas perintah subo kami. Kalau kau melawan pun
boleh, kami hendak menggunakan kekerasan!"
Keng Hong
menggelengkan kepalanya, wajahnya penuh duka. "Tidak, Biauw Eng. Sudah
kukatakan bahwa aku menyerahkan jiwa raga kepadamu. Kalau orang lain yang
hendak menangkapku tanpa kesalahan, demi Tuhan, akan kulawan mati-matian. Akan
tetapi jika engkau yang hendak menangkapku, nah, silakan aku tak akan
melawanmu..."
"Berlutut!"
Biauw Eng membentak sambil mengeluarkan sabuk suteranya. "Engkau harus
dibelenggu!"
Keng Hong
tidak membantah, lalu menjatuhkan diri berlutut. Biauw Eng melangkah maju.
"Tidak
boleh!" Tiba-tiba Yan Cu meloncat ke depan Keng Hong dan berdiri tegak
dengan sikap melindunginya. "Tidak boleh Suheng ditangkap begini saja
tanpa kesalahan!"
Biauw Eng
memandang Yan Cu dengan mata bersinar marah, akan tetapi Yan Cu tidak takut dan
membalas pandangan mata Biauw Eng dengan marah pula. Dua orang dara cantik
jelita ini saling berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata berapi.
Keduanya
sama cantik, sama gagah, dan sama marahnya hendak memperebutkan Keng Hong!
Bukan memperebutkan cintanya, melainkan memperebutkan orangnya. Yang satu ingin
menangkapnya, yang lain ingin membebaskannya.
"Hemmmm...
kau mau apa?" Biauw Eng bertanya pendek dan suaranya dingin sekali.
Yan Cu
memandang dengan sepasang mata terbelalak lebar penuh rasa penasaran dan
kemarahan. "Sie Biauw Eng, engkau ini wanita apa? Hatimu keras seperti
batu, dingin seperti es! Padahal di dalamnya mengandung api cinta yang
bernyala-nyala dan panas membara terhadap Suheng! Engkau mencinta Suheng!
Mengapa...?"
"Tutup
mulutmu yang lancang!!" Biauw Eng membentak marah.
Yan Cu
tersenyum lebar. "Hemmmm, Enci Biauw Eng, cinta itu bagaikan matahari di
hari cerah! Sinarnya memancar ke mana-mana dan biar pun engkau bersikap dingin
kasar dan kejam terhadap Suheng, namun sinar matamu, gerak bibirmu, semua
mengandung sinar itu! Entah aku yang buta karena salah lihat ataukah engkau
yang buta tidak melihat cintamu sendiri, akan tetapi jelas engkau mencinta
Suheng dan Suheng pun mencintamu! Tak perlu lagi engkau menawannya karena hati
kalian sudah saling menawan! Tidak perlu lagi engkau membelenggunya karena
cinta kalian sudah saling membelenggu!"
"Pergilah!"
Biauw Eng membentak lantas tangan kirinya menampar. Gerakannya sangat cepat dan
mengandung tenaga sinkang yang kuat sekali.
Akan tetapi
Yan Cu juga bukan orang lemah. Melihat datangnya tamparan ini, dia segera
menggerakkan tangan kanannya menangkis.
"Plakkkk!"
Dua buah
lengan yang kecil halus saling bertemu dan akibatnya Biauw Eng terdorong mundur
dua langkah, akan tetapi Yan Cu juga terdorong sampai tiga langkah. Biauw Eng
mengerutkan keningnya. Ternyata dara jelita ini memiliki kepandaian yang tidak
rendah, pikirnya. Yan Cu terkejut bukan main ketika merasa betapa kuatnya
tamparan Biauw Eng tadi.
"Tidak
perlu engkau mencampuri urusanku!" Biauw Eng membentak.
Yan Cu
meraba gagang pedangnya dan berkata, "Bila engkau memaksakan kehendakmu
untuk menawan Suheng yang tidak melawan, terpaksa akulah yang akan
melawanmu!"
Sinar mata
Biauw Eng menyambar tajam. Sabuk suteranya yang sudah berada di tangan itu
tergetar, siap untuk dipakai menyerang dara yang cantik jelita itu, akan tetapi
mulutnya bertanya,
"Bocah!
Engkau mencinta Cia Keng Hong?"
Wajah yang
halus putih itu menjadi merah, akan tetapi Yan Cu menggeleng kepalanya.
"Setelah aku yakin bahwa dia dan engkau saling mencinta, bagaimana aku
akan menjadi begitu bodoh untuk mencintanya? Tidak, aku tidak mencintanya seperti
cinta seorang wanita terhadap calon suaminya! Kuhilangkan jauh-jauh nafsu
jasmani dalam cinta itu dan berubahlah menjadi cinta saudara! Memang aku
mencinta dan suka sekali kepada Cia Keng Hong, akan tetapi cinta dan rasa suka
seorang sumoi kepada suheng-nya, seorang adik terhadap kakaknya! Sie Biauw Eng,
apakah kau kira seorang sumoi akan diam saja melihat suheng-nya akan ditawan?
Adakah seorang adik yang akan membolehkan saja kakaknya ditangkap?" Yan Cu
menggerakkan tangan mencabut pedangnya.
Keng Hong
meloncat ke depan Yan Cu, memegang lengan gadis itu dan berkata, "Sumoi,
jangan...! Jangan kau merusak lagi usahaku untuk menebus dosa terhadap Biauw
Eng. Apakah engkau mau membuat aku menjadi lebih sengsara lagi? Jangan, Sumoi.
Memang aku sengaja membiarkan dia melakukan apa saja terhadap diriku sebagai
pembalasan atas dosa-dosaku terhadapnya."
Wajah Yan Cu
menjadi pucat. Biauw Eng begitu dingin dan galak, dalam kebencian tentu dapat
berlaku kejam, sedangkan wanita yang seorang lagi adalah seorang gila.
"Suheng,
aku tetap tidak percaya bahwa engkau bersalah terhadap Enci Biauw Eng. Dan aku
sama sekali tidak percaya bahwa engkau sudah melakukan perbuatan terkutuk itu
terhadap Enci berpakaian merah itu. Mereka tidak boleh mengganggumu, Suheng..."
"Hushhh,
engkau adikku, bukan? Adik harus menurut kata-kata kakaknya! Syukur engkau
tidak mempercayai hal itu, akan tetapi engkau menurutlah kata-kataku, Sumoi.
Kau harus mewakili aku untuk membagi-bagikan benda pusaka ini kepada mereka
yang berhak. Berjanjilah engkau akan melakukan tugas berat ini dengan taruhan
nyawamu."
Sejenak Yan
Cu memandang wajah suheng-nya, lalu menarik napas panjang, menyimpan kembali
pedangnya dan mengangguk. Karena anggukan ini, dua titik air mata jatuh ke atas
pipinya.
"Baiklah,
Suheng."
Keng Hong
lalu merogoh saku bajunya, mengeluarkan pusaka-pusaka yang dicurinya dari kamar
Cui Im itu satu demi satu sambil menerangkannya kepada Yan Cu.
"Pedang
ini adalah pusaka Hoa-san-pai, harap kau sampaikan lebih dahulu kepada ketua
Hoa-san-pai karena aku sudah menjanjikannya. Kitab ini adalah kitab milik
Go-bi-pai, dan karena tempatnya jauh, biarlah kau kembalikan ke sana paling
akhir saja. Ada pun tujuh buah kitab pusaka peninggalan suhu ini harap kau
simpan dahulu, boleh juga dititipkan subo. Jangan sampai terjatuh ke tangan
orang lain."
Yan Cu
menerima benda-benda pusaka itu sambil mengangguk dan menyimpannya ke dalam
baju.
"Dan
perhiasan-perhiasan ini..." Keng Hong segera teringat, lalu membalikkan
tubuhnya dan menyerahkan sekotak kecil perhiasan itu kepada Hun Bwee sambil
berkata, "Nona Tan, perhiasan-perhiasan inilah yang dulu dirampas oleh
mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong dari tangan ayah bundamu, Tan-piauwsu dan
isterinya. Sekarang kukembalikan padamu. Bukankah Nona dahulu mencari suhu
untuk mendapatkan kembali perhiasan ini?"
Pada waktu
tutup kotak kecil itu dibuka dan pandang mata Hun Bwee bertemu dengan
benda-benda terbuat dari emas permata itu, matanya segera terbelalak dan
terdengarlah isak tangisnya ketika ia menerima kotak itu. Matanya yang tadi
liar kini berubah, ia terharu dan memeluk kotak kecil itu sambil menangis.
"Ayah...
ibu..."
Keng Hong
terharu. Dia mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk dan
berkata, "Nona Tan, saya mengembalikan barang-barang itu disertai
permohonan maaf atas perbuatan mendiang suhu terhadap ayah bunda Nona, dan
mudah-mudahan dengan mengembalikan ini, semua rasa permusuhan lama dapatlah dihabiskan."
Hun Bwee
mengangkat mukanya memandang. Dari kedua matanya bercucuran air mata, akan
tetapi ketika dia memandang Keng Hong, terbayanglah pengalamannya yang amat
menyakitkan hatinya, betapa ia dalam keadaan pingsan itu diperkosa dan setelah
sadar ia melihat pemuda yang dikaguminya itu menyangkal telah melakukan
perbuatan itu.
Akan tetapi
kembali teringat oleh pikirannya yang kacau bahwa pemuda ini akan dipaksa
menjadi suaminya. Tiba-tiba pandang matanya kembali aneh dan liar seperti tadi
dan ia tersenyum dengan air mata masih bercucuran!
"Kau...
kau memberikan ini sebagai emas kawin...? Ahhhh, terima kasih..." Dengan
sikap manja seperti anak kecil mendapat barang mainan, Hun Bwee membuka kotak,
berlutut dan mengeluarkan perhiasan-perhiasan itu, terus saja dipakainya.
Sepasang
anting-anting batu giok berbentuk kupu-kupu, hiasan rambut berbentuk burung
hong terbuat dari mutiara, kalung, gelang, cincin, serta ikat pinggang dari
emas ditaburi intan. Semua perhiasan dipakainya, kemudian ia bangkit berdiri,
memasang aksi di depan Biauw Eng sambil berkata,
"Lihat,
Sumoi. Dengan perhiasan ini sebagai pengantin, bukankah aku kelihatan cantik
sekali?"
Semua orang
memandang dengan hati terharu sekali. Diam-diam Yan Cu sendiri merasa terharu
sekali, dalam hati dia mengutuk orang yang telah memperkosa gadis itu. Dia
tidak sangsi lagi bahwa tentulah Hun Bwee mengalami guncangan batin hebat
hingga menjadi gila, akan tetapi dia tetap merasa yakin bahwa perbuatan
terkutuk itu bukan Keng Hong yang melakukannya.
Keng Hong
juga memandang terharu. Diam-diam dia merasa menyesal kenapa dia tidak mendapat
kesempatan untuk menyeret Lian Ci Tojin, kemudian memaksanya mengakui
perbuatannya yang terkutuk atas diri gadis bernasib malang ini. Dia hanya
memandang dengan kening berkerut.
Di dalam
hati kecilnya, Biauw Eng juga masih belum percaya kalau Keng Hong yang
melakukan perkosaan itu. Semenjak bertemu pemuda ini dan hatinya tertarik
sekaligus jatuh cinta, dia merasa yakin bahwa murid ayahnya ini adalah seorang
yang tidak mau melakukan perbuatan keji. Kalau toh akhirnya ia melihat pemuda
ini selalu melayani cinta setiap orang wanita yang tergila-gila kepadanya, hal
ini masih tidak dapat disamakan lagi dengan perbuatan memperkosa yang merupakan
perbuatan jahat dan keji terkutuk.
Perbuatan
Keng Hong yang menyambut uluran cinta para wanita, baginya adalah hanya
menandakan kelemahan hati dan watak romantis yang sudah menjadi watak mendiang
ayahnya pula. Hal itu memang menyakitkan hatinya, namun ia telah memaafkannya
asal saja Keng Hong mencintanya dengan cinta kasih murni, tidak dengan cinta
birahi seperti terhadap wanita-wanita itu!
Akan tetapi
kemudian ternyata bahwa Keng Hong membuktikan cintanya itu tidak murni, bahkan
menghadapinya dengan kemarahan dan kebencian ketika mendengar bahwa dia telah
menyerahkan tubuhnya kepada Sim Lai Sek, padahal pernyataan itu hanya sebagai
ujian belaka. Biauw Eng merasa sakit hati sekali.
Kini
ditambah pengakuan Hun Bwee bahwa dia sudah diperkosa Keng Hong. Kalau hal ini
benar, tentu saja dia tidak akan dapat mengampuni Keng Hong dan akan memaksanya
mengawini Hun Bwee atau... membunuhnya dengan tangannya sendiri!
"Sudahlah,
Suci. Marilah kita pulang dan membawa tawanan ini!" Kemudian dia menoleh
kepada Keng Hong. "Berlututlah!"
Dengan hati
sakit seperti disayat-sayat Yan Cu melihat betapa suheng-nya itu berlutut di
depan Biauw Eng sambil memandang nona itu dengan tersenyum dan pandang matanya
penuh kasih sayang! Biauw Eng juga melihat pandang mata ini, namun dia
mendengus, membuang muka dan menggunakan sabuk suteranya mengikat kedua lengan
Keng Hong di belakang tubuhnya.
"Mari
kita berangkat, Suci!" Kemudian kepada Keng Hong yang dibelenggu kedua
tangan dengan ujung sabuk dipegang Biauw Eng, gadis ini menghardik, "Hayo
jalan!"
Yan Cu
berdiri dengan muka pucat, melihat suheng-nya yang gagah perkasa itu berjalan
dengan kedua tangan terbelenggu, bagaikan seekor kerbau dituntun. Gadis ini
mengepal tangannya, menekan hatinya yang hendak memaksa dia menerjang maju
menyerang dua orang gadis itu dan membebaskan suheng-nya.
"Suheng...!"
Ia terisak dan hendak mengejar maju.
Keng Hong
menoleh dan tersenyum kepadanya, "Sumoi, engkau pergilah dan penuhilah
permintaanku tadi. Pergilah dan selamat berpisah. Percayalah bahwa biar sampai
mati sekali pun, kalau mati di tangan Biauw Eng, aku rela dan tidak akan merasa
penasaran. Selamat tinggal, Sumoi, semoga kelak dalam cintamu engkau lebih
berbahagia dari pada aku!"
Yan Cu
menutupi mulutnya untuk menahan isak tangis, sejenak memandang Keng Hong dengan
air mata berlinang, kemudian memandang Biauw Eng dengan marah, akhirnya dia
meloncat pergi dari tempat itu sambil menangis.
Keng Hong
menoleh dan memandang ke arah berkelebatnya bayangan Yan Cu, namun tiba-tiba
saja terdengar suara bergeletar.
"Tar-tar!"
dan ujung sabuk sutera di tangan Biauw Eng sudah menampar pipinya dibarengi
bentakan gadis itu. "Berangkat!"
Keng Hong
merasa pipinya pedas, akan tetapi dia malah tersenyum. Kelirukah kalau dia
menduga bahwa tamparan ini tadi timbul dari rasa cemburu? Ia masih merasa yakin
akan kemurnian cinta kasih Biauw Eng dan percaya bahwa akan tiba saatnya gadis
ini akan dapat memaafkannya.
Memang jika
disuruh memilih, dia akan lebih suka memilih mati di tangan Biauw Eng dari pada
hidup menjadi musuh gadis yang dicintanya ini. Sekarang makin jelaslah dia
bahwa di dalam sanubarinya, sesungguhnya hanya kepada Biauw Eng seoranglah dia
mencinta dengan seluruh jiwa raganya! Hanya kepada Biauw Eng-lah ada rasa
hormat dan cinta murni dalam hatinya, tidak ingin mempermainkan, dan rasa cinta
ini jauh lebih tinggi dan murni dari pada rasa nafsu birahi yang ditimbulkan
pada waktu dia menghadapi rayuan gadis-gadis cantik seperti Cui Im, mendiang
Sim Ciang Bi, dan kedua orang murid wanita Kong-thong-pai!
"Sumoi,
jangan siksa calon suamiku!" tiba-tiba Hun Bwee berkata.
Keng Hong
tersenyum pahit. Dia tidak tahu nasib apa yang akan dia alami. Persoalannya
menjadi ruwet. Hun Bwee yang kini sudah menjadi gila itu merasa yakin bahwa dia
yang memperkosanya. Agaknya Biauw Eng percaya akan hal ini, maka hendak
memaksanya mengawini Hun Bwee!
Jalan
satu-satunya hanyalah meyakinkan Hun Bwee bahwa yang melakukan perbuatan
terkutuk itu bukan dia melainkan Lian Ci Tojin, akan tetapi untuk meyakinkan
hati gadis itu tidaklah mudah. Terutama harus dapat menangkap Lian Ci Tojin.
Akan tetapi kalau dia membebaskan diri untuk mencari tosu itu, tentu Biauw Eng
akan merasa makin sakit hati! Biarlah, dia menyerahkan diri ke tangan Biauw
Eng, hanya tentu saja dia akan menolak mati-matian kalau hendak dinikahkan
dengan Hun Bwee.
Maka
berangkatlah rombongan yang aneh ini menuju ke tempat tinggal Go-bi Thai-houw,
melakukan perjalanan yang sangat jauh. Di sepanjang jalan, Biauw Eng bersikap
dingin, sukar dijajaki hatinya karena air mukanya tidak membayangkan sesuatu.
Keng Hong tetap tenang-tenang saja dan Hun Bwee kadang-kadang memperlihatkan
sikap membenci dan marah-marah kepada Keng Hong, akan tetapi kadang-kadang
mesra sekali.
***************
“Suheng...
ahhh, Suheng...!"
Yan Cu jalan
sambil menangis. Air matanya bercucuran deras sekali di sepanjang kedua
pipinya. Semenjak kecil gadis ini sudah ikut dengan subo-nya belajar ilmu,
belum pernah merasakan kegembiraan dan kebahagian seperti ketika ia berada di
samping Keng Hong. Ia merasa amat suka kepada suheng-nya itu, menganggapnya
seperti kakaknya sendiri.
Gadis yang
memiliki watak periang dan jenaka ini sama sekali tidak merasa cemburu atau iri
hati mendapat kenyataan bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng. Bahkan sebaliknya.
Dia akan merasa girang sekali andai kata Biauw Eng membalas cinta kasih Keng
Hong.
Akan tetapi
kenyataannya tidak demikian. Keng Hong dijadikan tawanan dan pemuda itu menurut
saja! Maka ia menjadi gelisah dan berduka sekali, merasa amat kasihan kepada
suheng-nya. Dia tahu bahwa di tangan Biauw Eng yang cintanya bercampur rasa
benci yang hebat, dan di tangan suci Biauw Eng yang gila itu, tentu Keng Hong
akan celaka. Lebih celaka lagi, Keng Hong agaknya menyerahkan mati hidupnya
dengan rela kepada mereka berdua!
Makin
diingat makin gelisah dan makin sedih hati Yan Cu, membuat tubuhnya lemas dan
akhirnya ia menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon besar dan menangis
tersedu-sedu memikirkan nasib Keng Hong. Apakah dayanya? Untuk menolong, tak
mungkin. Selain kedua orang gadis itu lihai bukan main, juga Keng Hong sendiri
tidak mau di tolong.
Setelah
berpisah dari Keng Hong, hidup terasa sunyi dan tidak menyenangkan. Kembali
kepada subo-nya? Selain akan mendapat marah, juga tentu saja dia tidak akan
betah lagi tinggal di puncak gunung yang sunyi, setelah mencicipi kesenangan
merantau bersama Keng Hong.
Melaksanakan
tugas mewakili Keng Hong dan menyampaikan pusaka-pusaka itu? Selain tidak
menarik, juga hal itu malah akan terus-menerus mengingatkan dia kepada Keng
Hong sehingga hatinya akan selalu tersiksa. Ah, suheng, mengapa engkau begitu
bodoh? Mengapa hendak memaksakan cinta kasih seseorang? Kalau memang Biauw Eng
sudah membenci setengah mati, mengapa mengorbankan diri dan nyawa secara
sia-sia?
Yan Cu
berduka sekali. Selama hidupnya, yaitu selama ia ikut dengan gurunya semenjak
kecil, belum pernah Yan Cu mengalami duka nestapa seperti ini. Dan memanglah
hal ini sudah sewajarnya dan sudah semestinya.
Hidup ini
merupakan perimbangan dua kekuatan. Dahulu Yan Cu hidup bersama gurunya
bersunyi diri di gunung, tidak mengalami kesenangan terlalu besar, karenanya
pun tidak mengalami kesusahan terlalu besar. Setelah bertemu dengan Keng Hong
dan merantau bersama suheng-nya ia mulai menikmati kesenangan. Oleh karena itu
sekali kesenangan direnggut darinya, muncullah kesusahan hati karena
kehilangan!
Memang
senang dan susah merupakan perimbangan yang adil, dibentuk oleh hati sang
manusia sendiri. Suka akan sesuatu itu sudah pasti berekor duka, karena kalau
sesuatu yang amat disayang atau disuka itu hilang, maka akan timbullah rasa
sedih. Sebaliknya, barang yang tidak disayang apa bila hilang pun tidak akan
menimbulkan kesedihan yang besar.
Kalau saja
Yan Cu tidak suka kepada Keng Hong, tentulah perpisahan itu tidak akan
menyusahkan hatinya, bahkan menyenangkan! Akan tetapi dia suka sekali kepada
Keng Hong, suka kagum dan kasihan. Perasaannya terhadap Keng Hong itu akan
mudah saja berubah menjadi cinta kasih.
Tubuh Yan Cu
yang lelah dan lapar, tidak kuat menahan tekanan kesusahan itu. Setelah puas
menangisi Keng Hong, Yan Cu tertidur pulas di bawah pohon itu! Gadis ini sama
sekali tidak tahu bahwa semenjak dia memasuki hutan sambil menangis, ada
sepasang mata yang memandangnya dengan penuh heran dan kasihan, dan tidak tahu
pula betapa pemilik mata itu seperti orang terkena pesona, seperti disihir
membayanginya, dan ketika dia menangis di bawah pohon, orang itu mendekam di
balik semak-semak, memandang melongo dengan dada penuh sesak ikut berduka dan
ingin menangis pula!
Yan Cu tidak
tahu pula betapa setelah dia tidur, ada tiga belas pasang mata orang yang
memandangnya dari balik pohon-pohon, mata yang liar memandangnya penuh gairah
dan diikuti mulut-mulut yang menyeringai seperti mulut anjing kelaparan melihat
daging.
Ketiga belas
pasang mata itu merupakan milik tiga belas orang perampok yang memang bersarang
di hutan itu. Ketika mereka melihat seorang gadis demikian cantiknya tertidur
pulas di bawah pohon, tentu saja perampok ini menjadi terheran-heran, akan
tetapi juga girang sekali.
Mereka
adalah orang-orang kasar yang hidup liar, dan menggagahi wanita-wanita muda
yang cantik merupakan satu di antara kesukaan mereka. Telah gatal-gatal tangan
mereka untuk menjamah tubuh yang rebah terlentang di bawah pohon itu, dan
mereka bagaikan sekumpulan kucing yang hendak berlomba menubruk seekor tikus.
Akan tetapi,
gerakan tangan pemimpin mereka membuat mereka itu menahan nafsu dan wajah
mereka menjadi kecewa. Mereka sudah tahu bahwa sekali ini mereka tidak akan
kebagian! Tahu bahwa pemimpin mereka, yang bertubuh tinggi kurus bermuka pucat,
tergila-gila kepada gadis yang tidur itu dan menghendaki gadis itu untuk
dirinya sendiri!
Bila sudah
terjadi begini, maka terpaksa anak buah perampok yang berjumlah dua belas orang
itu hanya dapat menelan ludah dan bersabar menanti sampai sang kepala menjadi
bosan dan melemparkan wanita itu kepada mereka untuk dijadikan pesta-pora
sampai mati seperti yang sering kali terjadi!
Sambil
menyeringai kepala perampok yang tinggi kurus itu keluar dari tempat sembunyi,
berindap-indap menghampiri Yan Cu yang tertidur pulas, dipandang oleh anak
buahnya yang ketawa cekikikan, seolah-olah mereka menyaksikan pertunjukan yang
amat lucu dan menyenangkan hati. Memang, jantung orang-orang kasar ini sudah
berdebar-debar ingin menyaksikan kepala mereka menubruk gadis itu, seperti
seekor harimau yang menubruk seekor domba.
Selain dua
belas pasang mata anak buah perampok itu, juga sepasang mata orang yang sejak
tadi membayangi Yan Cu, ikut pula memandang. Sepasang mata ini mengeluarkan
sinar berapi saking marahnya. Akan tetapi pemilik mata ini dapat menduga bahwa
dara jelita yang melakukan perjalanan seorang diri di dalam hutan itu tentulah
seorang dara yang memiliki kepandaian, maka dia tidak tergesa-gesa meloncat
keluar menolong, hanya bersiap-siap untuk menolong apa bila dara itu terancam
bahaya.
Yan Cu yang
sedang tidur pulas itu berkali-kali menarik napas panjang, bahkan kadang
terisak. Ia bermimpi melihat Keng Hong disiksa oleh dua orang gadis yang
menawannya, kemudian dia melihat Keng Hong merangkak mendekatinya, mengulurkan
tangan seperti orang meminta pertolongan. Tangan suheng-nya itu menyentuh jari
tangannya dan ia pun cepat memegang tangan suheng-nya yang minta tolong itu,
dan bibirnya mengeluarkan seruan penuh rasa kasihan, "Suheng Cia Keng
Hong...!"
Yan Cu
tersentak kaget ketika mendengar suara orang ketawa. Ia terbangun, membuka
matanya dan betapa kagetnya ketika melihat bahwa yang memegang tangannya adalah
seorang laki-laki yang mukanya pucat, matanya bersinar liar dan mulutnya
menyeringai kurang ajar, tertawa-tawa dan sama sekali bukan Keng Hong!
"Ihhh!
Siapa engkau...?!" Bentaknya dan sekali renggut saja dia sudah dapat
melepaskan tangannya sambil melompat berdiri.
Kepala
perampok itu tertawa-tawa dan bangkit berdiri pula. Sekarang ia terbelalak
kagum. Selama dia menjadi kepala perampok, entah sudah berapa orang wanita yang
menjadi korbannya dan korban anak buahnya, akan tetapi selama itu belum pernah
dia bertemu dengan seorang dara yang secantik ini!
"Ha-ha-ha-ha,
bidadari yang cantik jelita! Sungguh pantas sekali engkau menjadi ratuku.
Ketahuilah, aku adalah raja di hutan ini. Ha-ha-ha!"
Yan Cu
mengerutkan keningnya, akan tetapi keheranannya mengatasi kemarahannya sehingga
tanpa dapat ditahannya lagi dia bertanya, "Engkau raja hutan? Aku
mendengar bahwa raja hutan adalah harimau..."
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Suara ketawa ini tidak hanya keluar dari mulut si kepala perampok, melainkan
juga dari mulut para anak buah perampok yang kini sudah muncul keluar dari tempat
persembunyian mereka.
Yan Cu
memandang sekeliling dan dia dapat menduga bahwa orang-orang itu tentulah bukan
orang baik-baik.
"Nona
manis! Memang nama julukanku adalah Tiat-jiauw-houw (Harimau Cakar Besi),
akulah harimau hutan ini dan mereka ini adalah anak buahku."
"Hemmmm,
jadi engkau ini perampok-perampok? Mau apakah menggangguku? Aku tidak mempunyai
barang berharga."
Kepala
perampok itu tertawa bergelak dan menoleh kepada para anak buahnya sambil
berkata, "Dia bilang tidak mempunyai barang berharga! Ha-ha-ha-ha-ha-ha!
Nona manis, tubuhmu merupakan barang yang paling berharga di dunia ini!
Marilah, Nona... apa bila engkau menjadi isteriku, engkau akan hidup
senang..."
"Apa...?"
Yan Cu terbelalak, mukanya berubah merah, sebagian kecil karena jengah dan
sebagian besar karena marah. "Aku menjadi isterimu? Ehhh, kepala perampok,
apakah engkau sudah bosan hidup?"
Kini giliran
si kepala perampok yang terbelalak. Gadis ini bertanya dengan sikap begitu
wajar, seperti orang bertanya apakah dia sudah makan atau belum, pertanyaan
yang tidak seperti ejekan atau ancaman. Tentu saja dia menjadi heran dan
menjawab, "Wah, tentu saja belum, Nona! Kalau aku bosan hidup tentu harus
mati, dan kalau mati mana bisa menikmati hidup senang di sampingmu? Ha-ha-ha!"
Hati Yan Cu
sedang berduka, dia kehilangan kegembiraan. Andai kata dia tidak sedang
berduka, tentu dia ingin mempermainkan perampok-perampok ini. Sekarang dia
menarik napas panjang, dan berkata jengkel, "Kepala perampok, kau ajaklah
anak buahmu pergi dari sini dan jangan menggangguku lagi. Kalau kau nekad dan
membuat aku marah, kalian semua akan mampus. Padahal aku tidak suka membunuh
orang. Pergilah!"
Yan Cu
memang terlalu cantik dan sikapnya terlalu halus sehingga ucapannya itu pun
tidak kelihatan seperti ancaman, kedengarannya lebih lucu dari pada menyeramkan
hati para perampok yang kasar itu. Tentu saja mereka itu tertawa geli mendengar
ini. Kepala perampok itu pun bahkan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha-ha,
wanita yang cantik seperti bidadari! Tidur pun manis, sadar lebih cantik, dan
marah-marah makin denok! Ha-ha-ha-ha, nona manis calon isteriku, tidak usah kau
turun tangan membunuhku, kecantikanmu sudah membuat aku setengah mati! Marilah,
manis, kau obati aku, kalau tidak aku bisa mati di depan kakimu karena rindu.
Ha-ha-ha!" Kepala perampok itu menubruk maju seperti seekor harimau
kelaparan, karena nafsunya membuat dia ingin sekali menerkam dara jelita ini......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment