Tuesday, August 14, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Kayu Harum Jilid 31



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
       Serial Pedang Kayu Harum
                 Jilid 31


SEPERTI sudah dituturkan pada bagian depan, secara kebetulan saja Biauw Eng bertemu dengan Hun Bwee dan Go-bi Thai-houw, kemudian dia diambil murid dan digembleng secara aneh dan hebat oleh nenek yang gila namun luar biasa lihainya itu, bersama Hun Bwee yang menjadi suci-nya. Biar pun Hun Bwee sudah lebih dulu menjadi murid Go-bi Thai-houw dan menjadi suci Biauw Eng, akan tetapi karena dasar kepandaiannya jauh kalah tinggi oleh Biauw Eng, maka setelah Biauw Eng digembleng oleh Go-bi Thai-houw, dalam waktu beberapa bulan saja Biauw Eng sudah memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga melampaui tingkat suci-nya!

Biar pun Go-bi Thai-houw otaknya miring, akan tetapi dalam hal silat, dia sangat lihai dan awas sekali sehingga dia dapat melihat bahwa murid barunya ini paling boleh diandalkan. Setelah menggembleng dua orang muridnya secara tekun dan luar biasa, pada suatu hari ia memanggil mereka menghadap dan dengan suara tegas nenek gila ini berkata,

"Hun Bwee dan Biauw Eng, sekarang juga kalian harus pergi mencari Sin-jiu Kiam-ong dan membunuhnya mewakili aku!"

Hun Bwee dan Biauw Eng yang sedang berlutut di hadapan nenek gila ini saling pandang dan diam-diam mereka terkejut karena baru sekarang mereka mendengar suara nenek itu seperti orang normal.

"Subo, Sin-jiu Kiam-ong telah mati," jawab Hun Bwee.

"Betul, Subo. Sin-jiu Kiam-ong telah mati," Biauw Eng membantu suci-nya.

"Kalau begitu, kalian berdua pergi sana mencari kuburannya dan bawa tengkoraknya ke sini!"

Kembali dua orang gadis itu saling lirik. Mereka berdua sudah mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong meninggal dunia di puncak Kiam-kok-san dan kabarnya jenazah kakek raja pedang itu telah di perabukan, dibakar oleh muridnya.

"Subo, semua orang di dunia kang-ouw mengatakan bahwa jenazah Sin-jiu Kiam-ong tidak dikubur, melainkan di perabukan," kata pula Biauw Eng.

"Bukkk!" Kaki kiri nenek itu dibanting ke atas tanah sehingga dua orang gadis itu merasa betapa tanah di bawah mereka tergetar, seperti ada gempa bumi!

"Kau tidak bohong? Berani mempertaruhkan apa kalau bohong?"

"Teecu berani mempertaruhkan kepala teecu bila teecu membohong, Subo," jawab Biauw Eng.

"Teecu juga sudah mendengar urusan itu sebelum teecu tiba di sini dan menjadi murid Subo," kata pula Hun Bwee.

"Hoahhh, sial dangkalan! Siapa yang berani lancang membakar mayatnya sehingga aku tidak membalas orangnya, tidak mampu pula membalas tulangnya? Hayo katakan, siapa yang berani lancang demikian?"

Kedua orang gadis itu sudah biasa menyaksikan watak yang aneh dan edan-edanan ini, maka mereka pula melayani terus. "Menurut kabar di dunia kang-ouw, yang membakar jenazahnya adalah murid tunggalnya," berkata pula Biauw Eng dan jantungnya berdebar keras karena percakapan ini tanpa disengaja telah menyinggung diri Keng Hong!

"Hayaaaah-ha-ha-ha! Murid tunggalnya? Dia punya murid? Yahuuuu! Bagus sekali! Siapa nama muridnya itu? Siapa yang tahu?"

"Cia Keng Hong..!" Dua orang gadis itu saling lirik dengan heran karena nama itu mereka sebutkan dengan berbareng!

"Baik, sekarang kuperintah kalian pergi dan lekas tangkap muridnya yang bernama Cia Keng Hong itu. Seret dia ke sini! Mengerti?"

"Baik, Subo!" kata Hun Bwee penuh gairah.

"Baik, Subo!" Biauw Eng juga menjawab, pikirannya melayang jauh.

"Awas, jangan sampai gagal. Kalau kalian pulang tidak membawa Cia Keng Hong, kalian berdua akan kubunuh!"

"Sumoi, mari kita berangkat!"

Demikianlah, kedua orang gadis itu meninggalkan guru mereka dan turun gunung, mulai dengan perjalanan mereka untuk mencari dan menangkap Cia Keng Hong.

"Ke mana kita akan mencari dia?" tanya Biauw Eng setelah mereka tiba di kaki gunung.

"Aku pun tidak tahu. Kita nanti tanya-tanya kepada orang-orang kang-ouw."

"Kurasa sebaiknya mencari ke kota raja, di sana tentu kita dapat mendengar banyak."

Di pagi hari itu mereka melanjutkan perjalanan dengan naik perahu di sepanjang sungai Huang-ho. Mereka tentu tidak akan bertemu Siauw Lek kalau tidak melihat mayat tukang perahu terapung-apung.

Meski pun kedua orang gadis ini tidak peduli, akan tetapi sedikit banyak mereka tertarik. Maka, ketika mereka melihat perahu kosong di tempat sunyi itu, Biauw Eng mendayung perahu dan meloncat ke darat. Kedua orang gadis ini tiba pada saat puteri bangsawan yang diperkosa itu menggigit leher Siauw Lek sehingga dipukul mati oleh penjahat keji itu. Demikianlah kenapa Biauw Eng dan Hun Bwee dapat tiba di tempat sunyi itu.

Biauw Eng kini mendayung perahu meninggalkan tempat itu dengan cepat. Jantungnya berdebar keras, teringat dia akan teriakan Hun Bwee yang menyiksa Siauw Lek. Dahulu di depan Go-bi Thai-houw dia tidak merasa terlalu heran mendengar gadis itu menyebut nama Keng Hong sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong yang amat terkenal dan diketahui oleh semua tokoh kang-ouw karena memang menjadi perhatian sehubungan dengan adanya Siang-bhok-kiam yang dijadikan rebutan.

Akan tetapi, ketika menyiksa Siauw Lek, mengapa suci-nya menyebut nama Keng Hong? Apakah karena pikirannya yang sudah tidak waras itu tanpa disadarinya telah mencampur adukkan nama-nama orang?

"...Cia Keng Hong... kubunuh kau... ahhh...!"

Mendengar ini, Biauw Eng cepat menengok dan ia melihat Hun Bwee sudah siuman dan suci-nya itu menangis sambil menyebut nama Keng Hong berkali-kali! Jantung Biauw Eng berdebar keras. Cepat dia mendayung perahunya ke pinggir, lalu mengikat tali perahu ke batang pohon kemudian ia cepat merangkul suci-nya yang masih menangis sedih.

"Suci... sadarlah... engkau kenapakah, Suci?"

"Ahhh, Cia Keng Hong… betapa kejamnya engkau...!" Kembali Biauw Eng terkejut sekali.

"Suci, ingatlah. Kita sedang berada di perahu dan yang kau bunuh tadi adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek."

Hun Bwee mengangkat muka memandang sumoi-nya dan Biauw Eng makin heran sebab pandang mata suci-nya wajar, sama sekali tidak membayangkan keruwetan batin. Hun Bwee memegang lengan Biauw Eng dan berkata perlahan sambil menyusut air matanya.

"Jangan khawatir, Sumoi. Aku tidak apa-apa dan aku sadar. Aku tahu bahwa anjing yang kusiksa itu adalah Siauw Lek. Akan tetapi semua kejadian itu membuat aku teringat akan pengalamanku dahulu, teringat akan... Cia Keng Hong dan hatiku sakit sekali."

"Cia Keng Hong..?" Biauw Eng mengulang nama ini penuh pertanyaan.

Tan Hun Bwee menghela napas panjang dan mengangguk. "Di luar kesadaranku, karena hati sakit, aku sudah menyebut namanya. Tadinya hendak kurahasiakan dari siapa pun juga, Sumoi, bahkan Subo sendiri tidak tahu. Akan tetapi... biarlah, karena engkau sudah tahu sekarang. Dan memang Cia Keng Hong itulah, orang yang akan kita tangkap atas perintah Subo, murid Sin-jiu Kiam-ong itulah yang telah memperkosaku.." Dan kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Hun Bwee. "Ah, sungguh tidak kusangka... betapa sakit hatiku memikirkan hal itu... hu-hu-huuuuukkk...!"

Hun Bwee tersedu-sedu dan Biauw Eng cepat merangkulnya. Sepasang mata Biauw Eng sendiri menitikkan dua butir air mata dan gadis ini menggigit bibir bawahnya. Lagi-lagi Keng Hong!

"Pemuda yang begitu tampan... begitu gagah perkasa... begitu halus budi... mengapa...? Mengapa…? Ahhh...!" Hun Bwee terisak-isak sambil mencengkeram pundak Biauw Eng, menangis di atas dada sumoi-nya.

"Sudahlah, Suci, tenangkan hatimu. Tak perlu kau ceritakan kalau memang hal itu hanya membangkitkan kenangan pahit..."

"Biar kau dengar, Sumoi, supaya kau betapa buruknya nasib Suci-mu ini...!" Hun Bwee mengangkat mukanya dan Biauw Eng segera mengusap air matanya sendiri kemudian mendengar sambil menundukkan mukanya.

"Ayah bundaku mengandung dendam terhadap Sin-jiu Kiam-ong karena dahulu pernah diganggu ketika ayah bundaku mengawal seorang puteri. Akan tetapi ayah bundaku tidak pernah berhasil membalas dendam, sehingga ayah bundaku meninggal dalam keadaan mengenaskan, menanggung dendam. Aku yang ditinggal mati dan hidup sebatang kara lalu berusaha membalas dendam, atau paling tidak merampas kembali barang-barang berharga yang dulu dirampas Sin-jiu Kiam-ong. Kemudian aku bertemu dengan Cia Keng Hong! Tutur sapanya yang manis, nasehat-nasehatnya yang amat berharga menyentuh sanubariku, membuat aku insyaf dan dapat menerima nasehatnya untuk menghapuskan permusuhan." Ia berhenti sebentar dan Biauw Eng mendengarkan dengan hati berdebar.

Terbayang di depan matanya wajah Keng Hong, terngiang suara yang selalu tak pernah ia lupakan. Kalau suci-nya tahu akan semua pengalamannya, akan kekecewaan dan akan penghinaan-penghinaan yang dideritanya, akan cintanya kepada Keng Hong, kemudian betapa cintanya dihancur leburkan, ahhh, pengalaman suci-nya itu masih belum apa-apa, masih terlampau ringan!

"Malah aku... aku tertarik... dan ketika itu muncul dua orang tosu Kun-lun-pai yang hendak menangkapnya. Aku mati-matian membelanya, malah aku sendiri sampai dirobohkan oleh tokoh Kun-lun-pai. Akan tetapi... apa yang dia lakukan sebagai balas jasa...? Aku dalam keadaan pingsan... dan agaknya dia berhasil mengusir dua orang tosu Kun-lun-pai itu... ketika aku sadar... aku telah diperkosa...!"

"Hemmm...!!" Biauw Eng menggigit bibirnya. Awas engkau, Keng Hong! Demikian hatinya berbisik.

"Kalau saja dia berterus terang... Ahh, aku sudah seperti gila... masih dapat diselesaikan dengan baik... akan tetapi dia... si pengecut itu... Dia menyangkalnya...!" Hun Bwee kelihatan berduka sekali, menghapus air matanya lalu berkata, "Itulah sebabnya mengapa ketika Subo menyuruh kita pergi mencari Keng Hong, aku bersemangat sekali. Ketika tadi aku menyiksa dan membunuh Siauw Lek, terbayang olehku bahwa yang kusiksa itu ialah Keng Hong dan... dan aku... uhu-hu-huuuh... aku... tidak tega... Sumoi...!"

Biauw Eng memeluk pundak suci-nya dan termenung. Hemmmmmm, betapa besar rasa cinta kasih yang berakar di dalam hati suci-nya ini terhadap Keng Hong! Biar pun sudah diperkosa dan disangkal pula, sekarang rasa cinta kasih itu masih belum lenyap sehingga membayangkan betapa dia akan membalas dendam kepada pemuda itu saja membuat ia berduka dan tidak tega!

"Suci, katakanlah terus terang. Aku mohon kepadamu, katakanlah terus terang kepadaku. Apakah engkau mencinta Cia Keng Hong?"

Hun Bwee mengangguk. "Semenjak dia menasehati aku untuk menghapus permusuhan, aku kagum kepadanya, aku tertarik dan aku sudah jatuh cinta kepadanya. Walau pun dia telah memperkosaku, jika dia mau mengakui perbuatannya, sejak dulu pun aku bersedia mengampuninya... tapi dia... dia menyangkal..."

"Suci, katakanlah lagi secara terus terang. Andai kata dia suka mengakui perbuatannya terhadap dirimu, lalu mohon ampun kepadamu, apakah... apakah Suci suka mengampuni dia dan suka pula menerimanya sebagai... sebagai suamimu?"

Hun Bwee memandang sumoi-nya dengan mata terbelalak. "Mungkinkah...? Mungkinkah dia... mau... melakukan hal itu?"

"Aku akan memaksa dia, Suci! Akulah orangnya yang akan memaksa dia supaya jangan bersikap pengecut, supaya suka mengakui perbuatannya yang keji terhadap dirimu, dan supaya minta maaf kepadamu dan mempertanggung jawabkan perbuatannya itu dengan mengawinimu!" Biauw Eng berkata penuh semangat dengan sepasang mata bersinar dan kedua tangan dikepal.

"Aaahhhh, Sumoi...!" Hun Bwee merangkulnya sambil menangis. "Aku... aku lemah. Aku cinta padanya...! Hi-hi-hi-hi-hik! Aku... aku cinta Keng Hong, ha-ha-ha-ha-ha-hah-hah!"

Biauw Eng bergidik. Hatinya penuh keharuan. Keng Hong benar-benar manusia keparat, pikirnya. Sudah merusak hatinya, merusak cintanya, sekarang menyebabkan Hun Bwee menjadi gila seperti ini! Ia terus menghibur dan akhirnya Hun Bwee yang kadang-kadang menangis kadang-kadang tertawa itu dapat tidur pulas di dalam perahu.

Biauw Eng melanjutkan perjalanan itu, mendayung kembali perahu itu perlahan-lahan. Wajahnya yang cantik itu sekarang kelihatan keruh, pandang matanya sayu dan muram. Batinnya makin tertekan dan kalau ia mengenangkan wajah Keng Hong, tak mungkin dia melenyapkan cinta kasihnya itu yang bersemi semenjak pertama kali dia bertemu Keng Hong.

Bahkan ketika dia mengira bahwa Keng Hong sudah mati sekali pun, bertahun-tahun dia menyembahyangi arwahnya dengan hati masih penuh cinta kasih! Siapa mengira, Keng Hong telah menghancurkan hatinya, memandang rendah dan hina kepadanya ketika dia mencoba hati pemuda itu dengan mengatakan bahwa tubuhnya sudah dimiliki Sim Lai Sek.

Ternyata bahwa cinta Keng Hong kepadanya tiada bedanya dengan cinta pemuda itu kepada perempuan-perempuan lain, kepada Cui Im misalnya, hanya mencinta tubuhnya dan wajahnya yang cantik! Dan kini, ternyata Keng Hong bukan hanya mata keranjang seperti... gurunya atau ayahnya sendiri, akan tetapi bahkan lebih jahat lagi, dia sudah memperkosa Hun Bwee!

"Aahhhh... Keng Hong, mengapa engkau menjadi begitu...?" hatinya mengeluh dan hidup ini serasa kosong melompong baginya.

Betapa senangnya kalau dia menjadi air Sungai Huang-ho ini saja, tidak mengenal susah tidak mengenal kecewa! Akan tetapi, dia masih mempunyai kewajiban yaitu mencari Cui Im dan membalas dendam atas kematian ibunya! Dia sudah berhasil membalas kepada Siauw Lek, tinggal Cui Im dan... dan... memaksa Keng Hong mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap Hun Bwee. Ia percaya bahwa suci-nya ini akan sembuh dari pada serangan kegilaan itu kalau Keng Hong yang dicintanya itu suka menerimanya sebagai isteri.

Perahu yang didayung Biauw Eng meluncur cepat, tetapi lebih cepat lagi pikiran Biauw Eng yang hanyut mendahului perahu berlomba dengan riak air Sungai Huang-ho.


                  ***************


Ternyata peristiwa menyiksa Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek di tepi Sungai Huang-ho itu mendatangkan pengaruh yang hebat atas jiwa Hun Bwee. Pada saat masih belajar silat dibawah asuhan nenek gila Go-bi Thai-houw, Hun Bwee hanya berpura-pura gila kalau berada di antara anak buah gurunya atau di depan gurunya, namun kalau sedang bicara berbisik-bisik di dalam kamar bersama Biauw Eng, dia amat waras. Akan tetapi sekarang, setelah penyiksaan atas diri penjahat cabul itu, Hun Bwee benar-benar sudah mengalami perubahan dan hal ini amat kentara oleh Biauw Eng.

Di sepanjang jalan, Hun Bwee kadang-kadang merenung, tertawa atau menangis sendiri, akan tetapi ada kalanya pula dia sembuh dan normal. Kalau sedang normal Hun Bwee mudah diajak berbicara dan memang dasar watak Hun Bwee peramah, halus dan cerdik. Akan tetapi kalau sudah kumat, Biauw Eng kewalahan dan satu-satunya cara adalah ikut menggila!

Sesudah melewati Cin-an, Biauw Eng yang kini selalu menjadi pelopor, mengajak Hun Bwee melanjutkan perjalanan ke utara, ke arah kota raja. Di setiap tempat yang mereka lalui, dua orang wanita muda yang cantik ini tentu saja menarik perhatian orang, terutama mata kaum pria. Akan tetapi sikap mereka yang gagah perkasa, terutama sekali pandang mata Hun Bwee yang liar serta wajah Biauw Eng yang dingin, membuat hati pria yang terbakar menjadi padam kembali.

Hari sudah menjelang tengah hari, matahari sangat panasnya ketika dua orang gadis ini melalui jalan yang lengang. Tak nampak seorang pun manusia di tengah hari yang panas di sekitar tempat itu. Akan tetapi selagi mereka berdua jalan cepat agar segera sampai di hutan yang tampak di depan di mana perjalanan dapat dilakukan dalam keadaan tidak begitu panas terbakar matahari, tiba-tiba ada derap kaki kuda dari belakang mereka.

Setelah Biauw Eng dan Hun Bwee berjalan minggir, lewatlah seorang penunggang kuda. Penunggang kuda itu adalah seorang laki-laki setengah tua. Pada saat kudanya lewat dia menengok dan sejenak pandang matanya bertemu dengan wajah Biauw Eng.

"Aihh...!" Demikian terdengar penunggang kuda itu bersuara, akan tetapi kudanya dibedal makin cepat, meninggalkan debu mengebul di sepanjang jalan.

"Siapakah orang itu, Sumoi?" Hun Bwee bertanya. Suaranya normal.

Hati Biauw Eng lega karena sudah tiga hari ini Hun Bwee tidak kumat gilanya! Apa bila sudah kumat, dia merasa cemas dan bingung.

"Entahlah, Suci. Aku merasa seperti pernah melihatnya, akan tetapi lupa lagi di mana."

"Hemmm, dia mencurigakan. Ketika melihatmu, dia seperti melihat setan, kelihatan takut dan terkejut sekali."

Biauw Eng tersenyum. "Mungkin dia seorang di antara mereka yang pernah mengalami hajaranku dahulu, Suci."

"Mungkin, akan tetapi betapa pun juga, kita harus hati-hati, Sumoi."

Biauw Eng mengangguk.

Hari itu tidak terjadi apa-apa dan mereka bermalam pada sebuah rumah penginapan di dusun dekat perbatasan Propinsi Shan-tung dan Hopak. Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke utara.

Matahari belum naik tinggi ketika mereka tiba di perbatasan. Di sebuah jalan hutan yang sunyi Biauw Eng melihat empat orang kakek yang tua berdiri menghadang perjalanan! Melihat bahwa mereka itu adalah tosu-tosu tua sedangkan sikap mereka membayangkan kewibawaan, Biauw Eng lantas maklum bahwa mereka bukan orang-orang sembarangan dan dia lalu menduga-duga sambil meneliti dari jauh.

Seorang di antara mereka, yang paling tua dan rambutnya yang jarang itu sudah putih semua, memegang sebatang tongkat bambu dan mata kirinya buta. Dia inilah agaknya yang menjadi pemimpin karena kelihatan dia menggerakkan tangan kiri memberi isyarat kepada tiga orang kakek lain yang kelihatannya marah ketika mereka memandang Biauw Eng.

Biauw Eng dan Hun Bwee hendak melewati saja empat orang tosu tua itu, akan tetapi tiba-tiba saja tongkat bambu di tangan kakek setengah buta dilonjorkan ke depan hingga merintangi jalan.

"Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng, tibalah saatnya orang berdosa menebus kedosaannya dan menerima hukuman. Engkau sudah membunuh sute-ku yang termuda, Kok Cin Cu, dan sekarang engkau harus menyerahkan nyawamu kepada kami supaya roh sute kami tidak selalu penasaran!"

Biauw Eng terkejut. Mendengar disebutnya nama Kok Cin Cu, dia dapat menduga siapa mereka ini. Terbayang di depan matanya peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia membantu Keng Hong menghadapi orang-orang Kong-thong-pai ini. Karena Keng Hong terancam bahaya dia turun tangan membantu dan dalam pertandingan itu dia berhasil menotok Kok Cin Cu dengan sabuknya yang mengakibatkan tewasnya tosu itu.

Kalau ia kenangkan hal itu ia merasa menyesal. Kok Cin Cu adalah tokoh Kong-thong-pai yang terkenal sebagai salah seorang di antara kelima Kong-thong Ngo-lo-jin (Lima Kakek Kong-thong-pai) dan dia telah kesalahan tangan membunuhnya untuk membela seorang seperti Keng Hong! Sedangkan orang yang dibelanya itu akhirnya hanya menghancurkan perasaannya!

"Ahh, kiranya Su-wi adalah tokoh-tokoh Kong-thong Lo-jin? Aku Sie Biauw Eng merasa menyesal bahwa dahulu telah kesalahan tangan menewaskan Kok Cin Cu Totiang. Akan tetapi apakah anehnya kalah menang, terluka atau tewas di dalam sebuah pertandingan? Yang jelas, dahulu sampai sekarang, aku tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan Kong-thong-pai. Karena itu harap Locianpwe berempat suka menghabiskan saja urusan ini dan membiarkan aku bersama Suci lewat dengan aman."

"Hemmm...! Suci-mu kau bilang?" Kok Kim Cu, tosu ke tiga dari Kong-thong Ngo-lo-jin, berkata sambil memandang Hun Bwee dengan penuh selidik. "Song-bun Siu-li! Siapakah yang tidak tahu bahwa engkau adalah puteri Lam-hai Sin-ni dan sumoi dari si iblis betina Ang-kiam Tok-sian-li yang sekarang berjuluk Ang-kiam Bu-tek? Dan nona ini sama sekali bukanlah Ang-kiam Bu-tek!"

"Sumoi, siapakah empat orang kakek tua bangka yang usianya sudah tidak seberapa lagi akan tetapi suka sekali mencari urusan ini? Dan mengapa mereka ini menghadangmu di sini?"

Biauw Eng lega bahwa saat ini suci-nya benar-benar waras. Apa bila sedang kumat dan menghadapi halangan seperti ini, bisa berabe sekali!

"Suci, empat orang Locianpwe ini adalah tokoh-tokoh besar Kong-thong-pai. Dulu dalam sebuah pertandingan yang terjadi tanpa dasar permusuhan pribadi, aku sudah kesalahan tangan membunuh salah seorang di antara mereka, maka sekarang mereka ini hendak menghukum aku."

Hun Bwee mengarahkan pandang matanya pada empat orang tosu itu, kemudian berkata, "Kalian empat orang tosu ini benar-benar memiliki pandangan yang sangat dangkal dan cupat! Di antara kaum persilatan, sudah lumrah bila terjadi kematian dalam pertandingan mengadu ilmu. Kalau setiap orang yang tewas dalam pertandingan lalu dijadikan urusan dendam, tentu dunia ini akan penuh dengan orang yang saling dendam! Sumoi-ku sudah mengatakan bahwa ketika dia bertanding sampai berakhir dengan tewasnya temanmu, tidak ada dasar urusan pribadi, tidak ada permusuhan. Kenapa kalian tak mau mengerti? Bagaimana kalau dalam pertandingan itu kebetulan Sumoi-ku yang kalah lihai dan tewas, lalu apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian juga mengharapkan balas dendam dari keluarga Sumoi?"

Keempat orang tosu itu menjadi merah mukanya. Memang mereka juga maklum bahwa antara Kong-thong-pai dan puteri Lam-hai Sin-ni tidak ada permusuhan pribadi dan yang mereka musuhi adalah Cia Keng Hong, yaitu murid Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi musuh Kong-thong-pai. Akan tetapi puteri Lam-hai Sin-ni itu dulu membela Keng Hong sehingga mengakibatkan tewasnya salah seorang di antara Lima Kakek Kong-thong-pai. Sekarang, kebetulan sekali ada seorang anak murid Kong-thong-pai melihat Biauw Eng di jalan dan melapor, masa mereka harus tinggal diam saja?

"Song-bun Siu-li! Kami berempat datang menemuimu di sini bukan untuk mengobrol dan berdebat! Lekas kau membunuh diri di hadapan kami, atau terpaksa kami yang akan mengantar nyawamu menghadap sute kami!" Kembali si buta sebelah menghardik dan tongkat bambunya ditodongkan ke arah Biauw Eng.

Biauw Eng tersenyum mengejek. "Totiang, ucapanmu benar-benar takabur sekali. Dan kurasa karena kesombongan ini pula maka dahulu Kok Cin Cu tewas! Aku tidak bersalah, tidak membunuhnya dengan sengaja karena membencinya. Jika kalian tak menerimanya dan hendak membalas, silakan. Aku tidak takut menghadapi kalian dan kalau saja dalam pertandingan ini kalian nanti sampai tewas pula, hal itu terjadi bukan karena aku sengaja membunuh kalian. Tidak ada dendam dan benci di hatiku, seperti yang terdapat di hati kalian!"

"Hemmm... mendiang Sin-jiu Kiam-ong banyak dosanya terhadap kami, muridnya akan kami hukum, tetapi engkau membelanya! Engkau puteri Lam-hai Sin-ni, mana bisa bicara tentang sopan-santun kalangan kang-ouw? Engkau adalah tokoh golongan sesat!" Teriak Kok Liong Cu, tosu ke dua sambil menerjang maju dengan tangannya. Terdengar bunyi berkerotokan dan tangannya telah berubah merah, mencengkeram ke arah pundak Biauw Eng.

Biauw Eng maklum akan kelihaian empat orang tosu itu, maka cepat ia meloncat jauh ke belakang sambil melolos sabuk suteranya. Empat orang tosu itu memang lihai. Mereka ini adalah empat di antara Kong-thong Ngo-lo-jin yang sangat terkenal dengan ilmu pukulan mereka yang disebut Ang-liong Jiauw-kang (Cakar Naga Merah)!

Betapa pun lihainya mereka itu, kalau maju seorang demi seorang, tentu saja bukanlah lawan Biauw Eng! Dahulu pun, sebelum Biauw Eng digembleng oleh Go-bi Thai-houw, seorang di antara mereka, yaitu Kok Cin Cu, tewas di tangan dara perkasa ini. Apa lagi sekarang setelah ilmu kepandaian Biauw Eng menanjak dengan hebatnya. Akan tetapi, empat orang kakek itu tidak maju satu per satu, melainkan berbareng mereka menerjang Biauw Eng.

Kok Sian Cu yang tertua dan paling lihai sudah menggerakkan tongkat bambunya yang ternyata hebat sekali, cepat dan menjadi gulungan sinar dengan getaran yang amat kuat mengeluarkan suara mencicit. Kok Liong Cu, orang ke dua, mempergunakan pedang dan gerakannya pun hebat, berdesing-desing bunyi mata pedang memecah udara. Kok Kim Cu orang ke tiga juga menggunakan pedang, ada pun Kok Seng Cu lebih mengandalkan sepasang tangannya yang membentuk cakar naga!

Diserang oleh empat orang pandai ini, Biauw Eng mengeluarkan pekik melengking dan sabuk suteranya sudah bergulung-gulung begitu hebatnya, menyambut dengan tangkisan dan membalas dengan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya. Namun, pengeroyokan empat orang tokoh Kong-thong-pai yang lihai itu terlalu berat sehingga terpaksa Biauw Eng menggunakan ginkang-nya berkelebatan ke kanan kiri.

"Tosu-tosu tua yang tak tahu malu, mengeroyok seorang gadis muda!" Tiba-tiba saja Hun Bwee berseru keras dan tampaklah sinar pedang hitam bergulung-gulung menimbulkan angin yang dahsyat.

Empat orang kakek itu terkejut dan maklum bahwa suci Biauw Eng ini ternyata juga amat lihai. Karena itu dua orang di antara mereka, yaitu Kok Kim Cu dan Kok Seng Cu, sudah memisahkan diri dan menyambut terjangan wanita baju merah ini.

Biauw Eng juga terkejut melihat majunya Hun Bwee. Kalau dia teringat betapa Hun Bwee menyiksa Siauw Lek, dia masih merasa ngeri. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan suci-nya itu kalau sudah kumat. Sekarang, selagi masih waras, lebih baik dia cepat memberi peringatan.

"Suci, mereka ini bukan musuh. Harap kau tidak membunuh mereka!"

"Hemmm... baiklah, Sumoi."

Empat orang tosu itu marah bukan main. Kata-kata kedua orang gadis itu benar-benar merupakan tamparan bagi mereka. Merupakan penghinaan karena jelas bahwa kedua orang gadis ini memandang rendah! Seakan-akan kedua orang itu dapat mengatur untuk mengalahkan, untuk membunuh atau tidak membunuh, seenaknya saja!

Akan tetapi, ternyata dua orang gadis itu bukannya memandang rendah atau menghina, melainkan bicara sewajarnya. Hal ini terasa oleh empat orang kakek itu setelah mereka berempat dibikin pening dan bingung oleh sinar hitam pedang Hun Bwee dan sinar putih sabuk sutera Biauw Eng! Benar-benar bingung mereka karena ilmu silat yang dimainkan dua orang gadis itu benar-benar aneh dan gila!

Setelah lewat seratus jurus dan kepala Kok Sian Cu berdua Kok Liong Cu sudah pening oleh gulungan sinar putih yang seolah-olah berada di semua jurusan, tiba-tiba kedua tosu ini mengeluarkan seruan kaget melihat betapa kedua kaki Biauw Eng sudah terlibat oleh sabuknya sendiri sampai roboh terguling!

Tadinya kedua orang kakek yang sudah terdesak hebat itu hanya memutar senjata untuk melindungi tubuh. Akan tetapi kini melihat betapa sabuk yang bergulung-gulung aneh itu ternyata menjadi kacau-balau dan mejegal kaki gadis itu sendiri sampai terguling roboh, mereka terkejut dan otomatis menghentikan gerakan pedang dan siap menyerang lawan yang sudah roboh itu.

Akan tetapi tiba-tiba mereka berdua berteriak kaget dan tubuh mereka terguling karena kaki mereka sudah terbelit ujung sabuk yang mendekati kaki mereka ketika Biauw Eng roboh tadi dan kini seperti ular, tahu-tahu sudah melibat kaki mereka dan dibetot dengan tenaga kuat bukan main.

Biauw Eng melompat bangun dan cepat menggerakkan ujung sabuk yang tadi membelit kakinya, yang tentu saja dilakukan dengan sengaja, dan dua kali ujung sabuk itu menotok tepat di jalan darah yang membuat tubuh Kok Sian Cu dan Kok Liong Cu menjadi lumpuh!

Biauw Eng meloncat untuk membantu suci-nya. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Kok Kim Cu terguling, pedangnya terlepas karena pangkal lengannya tergores pedang Hek-sin-kiam. Kok Seng Cu pun tiba-tiba roboh terkena totokan ujung sabuk sutera Biauw Eng yang meluncur secara tiba-tiba lantas menotoknya selagi Kok Seng Cu sibuk memperhatikan nona baju merah yang sudah melukai suheng-nya. Dengan demikian, pertandingan itu selesai. Tiga orang tosu tertotok lumpuh, yang seorang terluka lengannya.

Biauw Eng cepat menggerakkan lagi sabuknya dan ujung sabuk itu berkelebat ke kanan kiri, menotok ke arah tubuh Kok Sian Cu, Kok Liong Cu dan Kok Seng Cu dengan tepat sehingga di lain saat ketiga orang tosu ini sudah dapat bergerak kembali. Mereka bangkit berdiri dan menarik napas panjang, wajah mereka menjadi pucat.

Mereka berempat benar-benar merasa malu sekali karena sebagai tokoh-tokoh terkenal Kong-thong-pai mereka terpaksa harus mengakui keunggulan dua orang muda! Biar pun kekalahan yang amat memalukan ini tidak disaksikan oleh orang lain, akan tetapi mereka maklum bahwa dengan kekalahan mutlak ini mereka tidak ada muka lagi untuk muncul di dunia kang-ouw sebagai jago-jago tua yang sukar dikalahkan!

Biauw Eng maklum akan perasaan mereka. Maka dia lalu menjura dan berkata, "Harap Su-wi suka memaafkan kami. Adalah Su-wi sendiri yang terlalu mendesak. Akan tetapi, harap Su-wi tidak kecil hati karena Su-wi tidaklah kalah di tangan musuh. Kuulangi lagi, aku bukanlah musuh Su-wi. Kalau dahulu aku kelepasan tangan membunuh Kok Cin Cu, hal itu adalah gara-gara Keng Hong. Dan sekarang, kami berdua sedang mencari Keng Hong untuk menangkapnya kemudian menghukumnya! Dengan demikian, akan lenyaplah rasa penasaran Su-wi. Agar memudahkan usaha kami berdua menemukan Keng Hong, sukalah kiranya Su-wi memberitahukan, di mana kami dapat mencarinya."

Kok Sian Cu menghela napas panjang. "Mungkin engkau benar, Nona. Apa bila engkau musuh kami, tentunya engkau sudah membunuh kami dan sikapmu tidak seperti ini. Dan memang semula penasaran hati kami tertuju kepada Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong. Nona hanya terbawa-bawa karena dahulu membantunya. Apa bila sekarang Nona sendiri memusuhinya, biarlah pinto sekalian tahu diri dan menghabiskan persoalan kami dengan Nona. Akan tetapi kami sendiri pun tidak tahu di mana adanya murid Sin-jiu Kiam-ong itu."

Biauw Eng kecewa, akan tetapi dia teringat akan tugasnya ke dua, yaitu mencari Cui Im untuk membalas kematian ibunya. Oleh karena itu, setelah bertemu dengan tokoh-tokoh Kong-thong-pai ini, mengapa tidak sekalian bertanya?

"Locianpwe, dapatkah Locianpwe mengatakan kepadaku apakah Locianpwe tahu di mana adanya Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im?"

Mendengar disebutnya nama tokoh wanita iblis yang dibenci dan ditakuti ini, wajah empat orang tosu itu membayangkan hati tidak senang dan kembali mereka merasa menyesal mengapa mereka kini berbaik dengan adik seperguruan wanita iblis Ang-kiam Bu-tek itu. Biauw Eng cerdik sekali dan dia dapat menduga isi hati mereka, maka dia cepat berkata,

"Locianpwe, aku sedang mencari dia untuk membalas dendam atas kematian ibuku di tangannya."

"Ahhhhh...!" Kok Sian Cu berseru. "Pinto teringat sekarang, menurut kabar, dia menjadi pengawal di istana kaisar. Kalau Nona pergi ke kota raja, agaknya tentu akan mendengar tentang iblis betina itu."

Girang hati Biauw Eng. Ia lalu berpamit kepada empat orang tosu itu kemudian mengajak suci-nya untuk melanjutkan perjalanan. Empat orang tosu tua itu memandang kagum dan berulang kali menghela napas panjang. Benar-benar mereka tidak menyangka bahwa di dunia kang-ouw kini bermunculan tokoh-tokoh muda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa.

"Lihiap...! Tunggu dulu...!" Mendadak Kok Sian Cu berseru sambil mengerahkan khikang sehingga kedua orang gadis itu terkejut, segera menghentikan langkah dan cepat mereka itu kembali menghampiri empat orang tosu tua itu.

"Ada apakah, Locianpwe?" tanya Biauw Eng sambil memandang tajam.

"Sesudah menyaksikan sepak terjangmu, kami menyesali kekasaran sendiri dan maklum bahwa Lam-hai Sin-ni ternyata telah melahirkan seorang wanita gagah perkasa yang tidak tergolong kaum sesat! Lihiap, pinto nasehatkan agar engkau tidak membuat keributan di istana, karena hal itu membuat Lihiap dianggap sebagai pengacau atau pemberontak. Di istana terdapat banyak sekali orang sakti..."

"Terima kasih, Locianpwe. Akan tetapi aku tidak takut. Biar dia bersembunyi di neraka, aku akan mencari dan membunuh Cui Im!"

"Jangan salah mengerti, Nona. Kini kaisar sudah melakukan hal yang menyusahkan hati para tokoh kang-ouw, yaitu karena Kaisar telah menerima tenaga-tenaga dari kaum sesat untuk menjadi pengawal. Hal itu berbahaya sekali. Apa lagi sesudah mendengar bahwa orang-orang semacam Ang-kiam Bu-tek, Pak-san Kwi-ong, dan banyak lainnya dijadikan pengawal pribadi. Orang-orang macam itu tidak bisa dipercaya. Karena itu, akan diadakan pertemuan antara partai-partai besar dan tokoh-tokoh terkemuka di puncak Tai-hang-san, semua tokohnya, bahkan ketua-ketua partai, akan hadir untuk membicarakan urusan itu, kemudian akan mengajukan permohonan dan peringatan kepada Kaisar akan bahayanya tenaga dari kaum sesat yang dipergunakan itu. Karena itu, untuk menghadapi Ang-kiam Bu-tek, tidakkah sebaiknya Nona hadir di pertemuan itu? Jika bertindak sendiri, memang pinto percaya akan kemampuanmu, akan tetapi pinto khawatir kalau-kalau iblis betina itu berlindung di balik kekuasaan Kaisar sehingga Nona akan dicap sebagai pemberontak!"

Biauw Eng mengangguk-angguk, maklum akan pentingnya ucapan kakek itu.

"Terima kasih, Locianpwe. Nasehat Locianpwe tentu akan kuperhatikan. Aku akan ke kota raja lebih dulu mencari Keng Hong dan kalau mungkin menghadapi Cui Im di luar istana. Akan tetapi andai kata aku menemui kesulitan, tentu aku akan ingat pesan Locianpwe untuk berkunjung ke Puncak Tai-hang-san bekerja sama dengan para Locianpwe."

Biauw Eng dan Hun Bwee lalu memberi hormat dan pergi menuju ke utara. Sedangkan keempat orang tosu itu melanjutkan perjalanan menuju ke Tai-hang-san karena memang mereka bermaksud hendak menghadiri pertemuan puncak antara tokoh-tokoh persilatan itu, mewakili ketua Kong-thong-pai yang sedang sakit sehingga berhalangan hadir.

Empat orang tosu Kong-thong-pai itu melakukan perjalanan perlahan karena waktu untuk pertemuan itu masih cukup lama. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap membicarakan kelihaian Biauw Eng juga keanehan bahwa puteri seorang tokoh utama datuk hitam yang dikenal sebagai iblis betina Lam-hai Sin-ni, kini bersikap baik sekali dan agaknya tidak akan melanjutkan jejak ibunya.

Belum lama empat orang kakek Kong-thong-pai ini melanjutkan perjalanan, tiba-tiba saja mereka berhenti kemudian memandang dua orang yang datang dari depan dengan mata terbelalak. Kok Seng Cu berbisik,

"Cia Keng Hong...!"

Kok Sian Cu si kakek setengah buta sudah berkelebat bersama putaran tongkatnya ke depan Keng Hong yang berjalan bersama Yan Cu, menodongkan tongkatnya kemudian membentak,

"Cia Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong, pengacau muda yang jahat! Sekali ini kami tak akan melepaskan engkau!"

Melihat tosu tua itu menerjang dengan tongkatnya yang berubah menjadi sinar kehijauan bergulung-gulung, Yan Cu cepat melangkah maju dan berkata,

"Eiiitt, eittttt..., sabar dulu, Totiang!" gadis ini melihat bahwa tiga orang tosu tua yang lain juga sudah melesat ke depan dan mereka berempat itu memandang Keng Hong dengan sinar mata penuh kemarahan. "Kalian ini empat orang tosu yang sudah tua, mengapa bersikap begini pemarah? Ada urusan boleh dibicarakan, mengapa begitu bertemu terus hendak menggunakan kekerasan seperti sikap rombongan tukang pukul yang brengsek?"

Dengan matanya yang tinggal satu, Kok Sian Cu memandang Yan Cu. Karena Yan Cu hanyalah seorang gadis muda yang cantik dan tosu itu belum pernah melihatnya, tentu saja Kok Sian Cu merasa tidak perlu melayani gadis itu, karena merasa bahwa gadis itu hanya akan menjadi penghalang saja dan tidak ingin kalau ada orang lain yang terseret dalam urusan Kong-thong-pai menghadapi musuh besar murid Sin-jiu Kiam-ong.

"Nona, jangan ikut campur. Minggirlah!"

Sambil berkata demikian, orang pertama dari Kong-thong-pai mendorong ke arah pundak Yan Cu. Dorongan itu bukan merupakan serangan berat, karena maksudnya pun hanya ingin mendorong tubuh nona itu agar terdorong ke pinggir.

"Wusssss…!"

Dorongan tongkat itu mengenai tempat kosong karena dengan gerakan mudah saja Yan Cu dapat mengelak tanpa menggerakkan kedua kakinya.

Kok Sian Cu terkejut. Dia adalah seorang tokoh yang lihai dari Kong-thong-pai. Biar pun dia tidak ingin melukai nona muda ini, namun dorongan tongkatnya tadi tidak akan dapat dielakkan oleh sembarang orang! Dan bocah ini hanya mengelak dengan sikap begitu tenang, tanpa menggerakkan kaki seolah-olah memandang rendah serangan itu. Hal ini tentu saja membuatnya menjadi penasaran sekali.

"Bagus, biarlah pinto membuat engkau tak mampu bergerak untuk sementara agar jangan mengganggu!" Setelah berkata demikian, kembali tongkatnya bergerak.

Akan tetapi sekali ini bukan bergerak sekedar untuk mendorong, melainkan melakukan totokan untuk menotok jalan darah Yan Cu agar tidak mampu bergerak. Karena dia tidak mau gagal lagi seperti tadi, maka sekali ini totokannya bukan hanya berhenti pada sekali totokan saja, melainkan ada lanjutannya untuk menyusul totokan pertama apa bila gagal, bahkan merupakan rangkaian totokan dengan ujung tongkatnya sampai beruntun lima kali.

"Wuuuuuuttt…! Cus-cus-cus-cus-cus...!"

Merah bukan main muka Kok Sian Cu karena serangannya yang amat hebat itu, totokan beruntun selama lima kali susul menyusul, amat cepat dan mengarah jalan darah di tubuh bagian depan gadis itu, semuanya dapat dielakkan oleh Yun Cu tanpa gugup sedikit pun juga. Bahkan gadis ini melakukan elakan-elakan itu sambil tersenyum mengejek dan berkata,

"Aihhh... aiiiihhhhh... benar-benar galak sekali tosu ini! Ehh, Totiang, apa sih kesalahanku engkau datang-datang terus saja mainkan tongkatmu yang buruk dan bau itu?"

Kok Sian Cu yang tadi terkejut itu kini dapat menduga bahwa gadis ini ternyata bukanlah orang sembarangan. Ia makin penasaran. Baru beberapa jam yang lalu dia dan tiga orang sute-nya bertemu dengan Biauw Eng dan Hun Bwee, dua orang gadis muda yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga mereka berempat tidak mampu menandingi dua orang gadis itu. Kini, lagi-lagi muncul seorang gadis yang sama sekali tidak terkenal dan yang ternyata mampu menghadapi totokan-totokannya secara memandang rendah sekali!

Mukanya menjadi merah, ada pun mata tunggalnya itu memancarkan cahaya kemarahan, tongkat di tangannya tergetar dan dia sudah siap menerjang dengan sungguh-sungguh, mengirim terjangan maut.

"Totiang, tahan dulu!" Keng Hong cepat berkata dan menarik lengan Yan Cu ke belakang sambil berkata, "Sumoi, kau mundurlah. Mereka ini adalah keempat orang Locianpwe dari Kong-thong Ngo-lojin dan memang benar, mereka tidak ada urusan denganmu, Sumoi. Biarkan aku menghadapi meeka."

Yan Cu cemberut dan memandang empat orang kakek itu dengan matanya yang lebar dan bening, lalu mengomel, "Aku pun tidak ingin berurusan dengan orang-orang tua yang begini galak, akan tetapi mendengar kau disebut pengacau jahat, mana bisa aku diam saja?"

Keng Hong tersenyum lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada empat orang tosu itu. "Su-wi Locianpwe, saya mengerti akan kemarahan Locianpwe sekalian terhadap diriku. Tentu karena peristiwa-peristiwa yang lalu yang berhubungan dengan mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi, seperti yang telah para Locianpwe dengar dahulu di Kun-lun-pai, semua peristiwa yang terjadi itu adalah kesalah pahaman belaka, dan sejak dahulu pun saya tidak ingin melanjutkan permusuhan yang timbul antara Kong-thong-pai dengan mendiang suhu. Bahkan sebaliknya saya ingin memperbaiki hubungan dan kalau sampai terjadi korban-korban roboh di antara anak murid Kong-thong-pai, hal itu terjadi dalam pertandingan dan bukan kehendak saya. Dulu, di puncak Kun-lun-pai saya pernah menuduhkan perbuatan itu sebagai perbuatan nona Sie Biauw Eng, akan tetapi baru-baru kemudian saya tahu bahwa pembunuhan terhadap anak-anak murid Kong-thong-pai yang diracun adalah perbuatan keji dari Bhe Cui Im!"

Kok Sian Cu menggerakkan tongkat di depan dada dan berkata mewakili para sute-nya yang memandang marah, "Orang muda, betapa pun pandai engkau berputar lidah untuk membela diri, tapi kenyataannya baik gurumu mau pun engkau adalah orang yang telah melakukan perbuatan-perbuatan tidak benar, dan di antaranya telah berkali-kali menghina Kong-thong-pai dengan hebat. Gurumu menewaskan lima orang murid Kong-thong-pai dalam pertandingan, engkau sendiri sudah menyebabkan kematian sute-ku Kok Cin Cu dan empat orang muridnya..."

"Maaf, hal itu terjadi karena Kok Cin Cu Totiang dan murid-muridnya mendesakku dan muncul orang yang membantuku sehingga mereka tewas..."

"Hemmmm, kami pun sudah tahu bahwa nona Sie Biauw Eng melakukannya demi untuk membantu dan menolongmu. Akan tetapi tetap saja kematian murid-murid Kong-thong-pai terjadi karena engkau! Kemudian, karena engkau pula yang tak tahu malu merayu dua orang murid wanita Kong-thong-pai, enam orang murid Kong-thong-pai mati keracunan!"

"Totiang! Hal itu adalah perbuatan busuk Bhe Cui Im!"

Kok Sian Cu melotot. "Kau kira kami begitu bodoh tidak mengetahui hal itu? Kami telah menyelidiki ke dusun dan kami tahu semuanya. Akan tetapi, semua itu tidak terjadi kalau engkau tidak menjadi biang keladinya, menjadi sebab timbulnya urusan-urusan itu. Pula, engkau sudah bersekutu dengan Ang-kiam Bu-tek, engkau pemuda yang tidak berakhlak, engkau menjadi kekasih iblis betina itu, siapakah yang tidak tahu? Engkau malah sudah membiarkan semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong jatuh ke tangan iblis betina itu sehingga dia menjadi amat lihai, dan semua pusaka milik partai-partai besar telah terjatuh di tangannya! Ahhh, dosamu terlalu besar, Cia Keng Hong! Semua korban yang jatuh di pihak kami, memang benar bukan terjadi karena sengaja engkau yang membunuhnya dan mengingat akan dasar itu, boleh saja kami meniadakan tuntutan. Akan tetapi, engkau penyebab segala bencana dan yang paling hebat adalah turut lenyapnya pula pusaka Kong-thong-pai yang selama ini memang kami rahasiakan supaya tidak diketahui orang bahwa pusaka kami pun terjatuh ke tangan Sin-jiu Kiam-ong!" Setelah berkata demikian, Kok Sian Cu menggerakkan tongkatnya menotok ke arah dada Keng Hong.

Pemuda ini sama sekali tidak mengelak seperti yang dilakukan Yan Cu tadi, melainkan memasang dadanya untuk ditotok ujung tongkat yang menjadi cahaya kehijauan saking cepatnya gerakan kakek itu.

"Tukkk!"

Totokan ujung tongkat itu tepat mengenai jalan darah di dada Keng Hong, akan tetapi yang ditotok tidak apa-apa, sebaliknya tongkat itu membalik dan Kok Sian Cu merasa betapa tangannya tergetar dan lengannya hampir lumpuh! Ia terkejut sekali dan meloncat mundur.

Tiga orang sute-nya sudah siap menerjang. Akan tetapi Keng Hong cepat mengangkat ke dua tangan ke atas sambil berkata,

"Sabarlah, para Locianpwe dari Kong-thong-pai yang terhormat! Dengarlah dulu kata-kata keteranganku. Tidak benar kalau dikatakan bahwa saya bersekutu dengan Bhe Cui Im si wanita jahat! Sebaliknya malah! Pusaka-pusaka peninggalan guruku itu tidak saya berikan kepadanya, melainkan dicurinya dariku! Kemudian dengan susah payah aku telah berhasil merampasnya kembali."

Empat orang tosu itu memandang penuh harapan dan Keng Hong cepat menghampiri Kok Sian Cu sambil bertanya, "Totiang, yang dimaksudkan dengan pusaka Kong-thong-pai yang telah diambil suhu dan dirahasiakan itu bukankah sepasang golok emas yang amat indah?"

Kok Sian Cu mengangguk-angguk, menelan ludah untuk menekan ketegangan hatinya sambil berkata, "Betul... betul..."

Keng Hong merogoh baju dalamnya kemudian mengeluarkan sepasang golok emas dan menyerahkan kedua golok indah itu kepada Kok Sian Cu sambil berkata, "Inikah pusaka Kong-thong-pai? Kalau benar, nah, terimalah disertai permohonan maaf sebesarnya dari mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong!"

Empat orang tosu Kong-thong-pai terbelalak begitu melihat sepasang golok emas itu. Kok Sian Cu menerima dengan dua tangan gemetar, tongkatnya terlepas dan begitu sepasang golok emas itu sudah dipegangnya, kedua lututnya lalu ditekuk dan tiga orang sute-nya pun menjatuhkan diri berlutut pula.

"Kong-thong Siang-sin-to (Sepasang Golok Sakti Kong-thong-pai)..." Terdengarlah mulut empat orang tosu itu berkata penuh keharuan sambil memandang sepasang golok emas yang dipegang Kok Sian Cu dan diangkat tinggi-tinggi.

Keng Hong dan Yan Cu saling memandang dan mengertilah dua orang muda ini bahwa sepasang golok itu ternyata merupakan pusaka yang sangat dihormati oleh tokoh-tokoh Kong-thong-pai, maka pantaslah kalau semenjak dulu mereka memusuhi Sin-jiu Kiam-ong dan menyimpan rahasia kehilangan sepasang golok itu karena hal ini akan menurunkan nama besar Kong-thong-pai! Dan Keng Hong dapat pula membayangkan betapa besar rasa syukur di hati empat orang tosu itu.

Akan tetapi tiba-tiba saja Kok Sian Cu meloncat bangun dan berseru marah, "Siapa telah menodai Siang-sin-to kami dengan darah?"

Tiga orang sute-nya terkejut dan melompat bangun pula, mendekati Kok Sian Cu lantas meneliti sepasang golok emas itu. Mereka semuanya kelihatan marah dan Kok Sian Cu segera membalikkan tubuh menghadapi Keng Hong kemudian bertanya,

"Orang muda yang telah berjasa besar mengembalikan Siang-sin-to, apakah engkau pula yang begitu keji mempergunakan pusaka Kong-thong-pai yang suci ini untuk membunuh orang?"

Keng Hong menjawab tenang dan sabar, "Sepasang kim-to (golok emas) itu memang sudah mencium darah orang, Totiang, namun bukan darah orang lain melainkan darahku sendiri! Setelah berhasil merampas semua pusaka dari Bhe Cui Im, saya bertemu dengan Ang-bin Kwi-bo dan saya ditangkap, pusaka-pusaka itu dirampasnya..."

"Ahhhh...!" Empat orang kakek Kong-thong-pai itu terkejut sekali mendengar disebutnya nama iblis betina yang menjadi datuk hitam itu.

"Sepasang golok emas pusaka Kong-thong-pai itu digunakan oleh Ang-bin Kwi-bo untuk membuat saya tak berdaya, yaitu dibengkokkan menjadi kaitan kemudian dikaitkan pada tulang-tulang pundak saya. Untung kemudian pusaka-pusaka itu, termasuk juga sepasang kim-to ini berhasil saya rampas kembali berkat pertolongan Subo dan Sumoi ini. Jangan khawatir, Totiang, golok pusaka yang suci itu tidak pernah digunakan membunuh manusia dan darah itu adalah darahku sendiri."

Empat orang tosu yang merasa girang dan amat bersyukur bisa mendapatkan kembali sepasang golok emas itu menjadi terharu dan merasa ngeri mendengarkan pengalaman Keng Hong yang nyaris tewas mempertahankan semua pusaka itu, termasuk juga pusaka Kong-thong-pai yang berhasil diselamatkan. Mereka bergidik apa bila memikirkan betapa pusaka suci ini bisa terjatuh ke tangan seorang manusia iblis seperti Ang-bin Kwi-bo dan tentu akan kotor dan berubah menjadi pusaka maut yang haus akan darah manusia!

"Orang muda, jasamu tidak kecil dengan mengembalikan pusaka ini, dan biarlah kami membalas budimu dengan menghabiskan semua permusuhan yang pernah timbul. Kami bisa percaya bahwa dalam peristiwa-peristiwa itu, engkau tidak berdosa, atau setidaknya engkau tidak sengaja melakukan kejahatan. Tetapi betapa pun juga, kami kira perbuatan-perbuatan yang sudah engkau lakukan itu, bagaikan tanaman pohon, pasti akan berbuah pula. Siapa menanam dia akan memetik buahnya. Begitu pula dengan perbuatan baikmu mengembalikan pusaka kami ini, maka biarlah sekarang juga kami membalasmu dengan peringatan bahwa engkau sedang terancam bahaya dan sebaiknya sekarang juga segera pergi dari sini, jangan menuju ke kota raja."

Keng Hong mengerutkan alisnya, kemudian bertanya, "Kalau Totiang sudi menjelaskan, mengapa Totiang melarang saya ke kota raja dan bahaya apakah yang mengancam saya di kota raja?"

Keempat orang tosu itu saling pandang, agaknya ragu-ragu. Akan tetapi setelah kembali memandang sepasang golok emas di tangannya, Kok Sian Cu lalu berkata, "Baru saja beberapa jam yang lalu ada dua orang mencarimu, Cia-sicu. Mereka itu mencarimu bukan dengan niat baik, melainkan hendak menangkap atau membunuhmu, dan... dan mereka itu lihai bukan main... mungkin engkau tak akan dapat melawan mereka dan akan celaka kalau bertemu mereka. Mereka menuju ke kota raja mencarimu, maka demi membalas kebaikanmu yang telah mengembalikan pusaka kami ini, kami memperingatkan Sicu agar cepat-cepat pergi dari sini menjauhi kota raja."

"Eh, Totiang!" Yan Cu tidak sabar lagi menjawab. "kami berdua memang hendak ke kota raja dan kami berdua sama sekali tidak takut menghadapi ancaman musuh yang mana pun juga. Apakah dua orang yang mengancam Suheng itu bukan manusia? Kalau hanya manusia biasa seperti kami, hemmmm... kami tidak takut sedikit pun juga!"

Baru sekarang empat orang tosu itu dapat memandang Yan Cu tanpa kemarahan di hati, bahkan empat orang kakek ini diam-diam harus mengakui bahwa gadis itu amat ayu dan menggairahkan. Secara diam-diam mereka berpikir, dari mana murid Sin-jiu Kiam-ong ini memperoleh seorang sumoi? Dan hingga di mana kehebatan ilmu kepandaian gadis yang begini cantik jelita seperti sekuntum bunga mawar?

Mereka memandang kagum dan menduga-duga. Apakah dara jelita ini pun memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan mengejutkan seperti yang dimiliki oleh puteri Lam-hai Sin-ni dan suci-nya yang aneh berpakaian merah itu?

"Mereka itu memang kelihatannya seperti manusia-manusia biasa, bahkan merupakan dua orang dara yang cantik, akan tetapi yang memiliki ilmu kepandaian seperti iblis!"

"Dua orang wanita muda?" Keng Hong memandang tajam. "Siapakah mereka, Totiang? Dan mengapa mengancam saya?"

"Mereka itu adalah dua orang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian hebat sekali. Kami tak mengenal orang ke dua, akan tetapi yang pertama adalah puteri Lam-hai Sin-ni, nona Sie Biauw Eng... ehhh, Sicu...!"

Akan tetapi Keng Hong tidak mempedulikan panggilan itu karena dia telah menggandeng tangan Yan Cu dan sekali berkelebat kedua orang ini telah lenyap dari depan mata empat orang tosu yang melongo.

Kemudian Kok Sian Cu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Hebat sekali..., gerakan mereka begitu cepat... hemmm, tentu akan terjadi geger kalau mereka berempat itu saling jumpa. Tidak dapat dibayangkan alangkah akan hebatnya pertandingan antara mereka!" Kemudian dia menghela napas dan berkata kepada tiga orang sute-nya, "Kita sudah ketinggalan jauh oleh orang-orang muda itu. Sebaiknya kalau mulai sekarang, kita mencurahkan lebih banyak lagi perhatian kepada anak-anak murid Kong-thong-pai yang muda-muda supaya mereka itu tekun berlatih dan dapat memperoleh kemajuan-kemajuan hebat seperti orang-orang muda ini... karena hanya dengan adanya orang-orang muda yang pandai saja maka perkumpulan kita akan memperoleh kemajuan dan mereka kelak akan dapat menggantikan kita yang sudah makin tua dan makin mundur..."

Begitu Keng Hong mendengar disebutnya nama Biauw Eng, dia sudah tidak dapat lagi menahan hatinya yang tiba-tiba berdebar keras saking girangnya. Tanpa pamit dia sudah meninggalkan empat orang tosu itu. Juga Yan Cu sangat girang mendengar bahwa dua orang yang mencari Keng Hong dan baru beberapa jam lewat menuju ke kota raja itu adalah Biauw Eng bersama seorang wanita lain. Memang mereka berdua sedang mencari Biauw Eng!

Pertemuan dengan Biauw Eng amatlah penting bagi mereka berdua, karena pertemuan itu akan menentukan nasib mereka berdua dan akan menjadi keputusan apakah mereka akan melanjutkan ikatan jodoh seperti yang diperintahkan dan dipaksakan subo mereka itu ataukah tidak! Maka ketika Keng Hong menarik tangannya, Yan Cu pun mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk berlari cepat sekali mengimbangi suheng-nya.


                    ***************


Biauw Eng dan Hun Bwee melakukan perjalanan seenaknya. Kota raja sudah tidak begitu jauh lagi dan perjalanan mereka tinggal melalui dusun serta hutan yang tidak liar karena daerah dekat kota raja sudah mulai ramai.

Hati Biauw Eng tenang dan lega bahwa Hun Bwee tidak kumat lagi gilanya. Diam-diam ia menaruh kasihan sekali kepada suci-nya ini, dan mulailah ia mengutuk Keng Hong dalam hatinya, sungguh pun tadinya ia merasa ragu-ragu apakah benar Keng Hong sampai hati melakukan perbuatan sekeji itu.

Dia sering kali termenung dan menjadi bingung sendiri, apakah yang harus dia lakukan terhadap Keng Hong jika dia bertemu dengan pemuda yang dicarinya itu. Bila dia bertemu dengan Cui Im yang dicarinya, memang sudah jelas akan dia serang mati-matian. Akan tetapi kalau dia bertemu dengan Keng Hong, bagaimana?

Subo-nya menghendaki agar Keng Hong sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong ditangkap dan diseret ke hadapan kaki Go-bi Thai-houw yang gila itu. Suci-nya sendiri ingin membalas dendamnya sebab pernah diperkosa oleh Keng Hong, hal yang memang telah semestinya dan dia sendiri yang akan memaksa Keng Hong untuk bertanggung jawab dan mengawini suci-nya yang sudah diperkosanya itu!

Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Ahhh, di antara dia dan Keng Hong memang tidak ada urusan apa-apa! Dia mencinta Keng Hong, dan pemuda itu juga menyatakan cinta kepadanya. Akan tetapi betapa dangkal dan palsu cinta kasih Keng Hong padanya! Tidak seperti cintanya, yang mendalam dan tulus ikhlas, cintanya tidak akan luntur oleh kejadian apa pun juga. Benar, sama sekali tidak pernah berubah. Kemarahannya karena kepalsuan Keng Hong menimbulkan benci seketika saja, akan tetapi tetap tidak mampu menghapus cinta kasihnya terhadap pemuda itu.

Akan tetapi, apakah yang akan ia lakukan? Bagaimana kalau ia nanti berhadapan dengan Keng Hong? Dapatkah ia menguasai hatinya untuk tidak menjadi lemah bila berhadapan dengan pemuda itu? Ataukah ia tidak akan mampu menguasai kemarahan dan hatinya yang sakit karena cintanya di sia-siakan lalu turun tangan membunuh pemuda itu?

Ahhh, tidak! Tidak! Dia harus dapat menguasai dan mengatasi perasaan pribadinya. Dia harus menangkap Keng Hong sesuai dengan perintah gurunya. Dia harus bisa memaksa Keng Hong untuk bertanggung jawab dan mengawini suci-nya yang sudah diperkosanya! Setelah itu... dia... dia akan pergi. Jauh! Entah ke mana!

Akan tetapi, sebuah ingatan lantas menyelinap di dalam kepalanya, membuyarkan semua angan-angan tadi. Betapa ia memudahkan persoalan. Seolah-olah ia berani memastikan bahwa dia akan dapat memperlakukan Keng Hong sebagaimana yang dia kehendaki! Seolah-olah Keng Hong merupakan sebuah boneka yang dapat ia bunuh atau tidak!

Sejenak ia tadi lupa bahwa yang dia hadapi bukan Keng Hong yang telah menyia-nyiakan cintanya, bukan hanya Keng Hong yang sudah memperkosa Hun Bwee, akan tetapi juga Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Memang, dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, apa lagi ada Hun Bwee di sampingnya, ia tidak takut dan percaya akan dapat mengatasi Keng Hong, namun betapa pun juga, dia tidak boleh merasa terlalu yakin akan dapat menangkap pemuda itu.

"Biauw Eng...!"

Otomatis Biauw Eng menahan kakinya, berdiri dengan muka pucat. Suara itu! Suara itu! Suara laki-laki yang akan ia kenal di antara suara seribu orang laki-laki lain! Suara Keng Hong! Apakah karena semenjak tadi melamunkan Keng Hong, kini telinganya mendengar yang bukan-bukan?

"Biauw Eng...!"

Biauw Eng meloncat dan membalikkan tubuhnya sambil berbisik, "Keng Hong...!"

Melihat sikap Biauw Eng dan mendengar bisikan itu, Hun Bwee juga terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya. Amatlah menarik untuk memperhatikan wajah dua orang gadis cantik ini pada saat mereka membalikkan tubuh dan melihat Keng Hong datang bersama seorang dara jelita.




Wajah Biauw Eng pucat bukan main. Mula-mula sekali, begitu ia membalik dan matanya menangkap wajah serta tubuh Keng Hong, tampak sinar memancar keluar dari pandang matanya, sinar penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Namun sinar itu segera menyuram dan lenyap, terganti oleh sinar kilatan penuh cemburu ketika ia melihat dara yang amat cantik jelita di samping Keng Hong.


Kilatan cemburu yang terpancar dari sepasang matanya itu pun sebentar saja dan segera wajahnya yang pucat itu tidak membayangkan apa-apa, tetap dingin tidak membayangkan sesuatu. Wajah dan matanya kosong memandang kepada Keng Hong dan Yan Cu yang datang berlari-lari menuju ke tempat mereka berdiri menanti, di dalam hutan yang sunyi itu.

Ada pun wajah Hun Bwee berubah menjadi merah sekali. Sulit untuk menduga apa yang bergolak di dalam hati dan pikiran gadis ini. Dia segera mengenal Keng Hong, terbelalak memandang pemuda itu, sama sekali tidak mempedulikan gadis jelita yang ikut berlari di samping Keng Hong dan wajahnya menjadi merah sekali.

Entah perasaan apa yang berkecamuk di dalam hatinya. Akan tetapi yang sudah jelas sekali, gadis baju merah ini merasa malu dan jengah sekali bertemu dengan orang yang dahulu telah memperkosanya, orang yang dikagumi dan dicintanya akan tetapi kemudian merusak hatinya. Mungkin saat itu pernyataan Biauw Eng hendak memaksa pemuda itu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap dirinya itulah yang membuat ia menjadi malu dan bingung!

"Biauw Eng...!" Untuk ketiga kalinya Keng Hong menyerukan nama ini dan kini dia dan Yan Cu telah berdiri berhadapan dengan Biauw Eng dan Hun Bwee.

Keng Hong hanya menujukan pandang matanya kepada Biauw Eng, kepada wajah yang tak pernah dia lupakan barang sedetik pun, kepada mata yang membuat hatinya terharu, mata yang indah dan dingin, terbayang kedukaan sangat hebat di dalamnya.

Keng Hong memandang Biauw Eng, tidak melihat apa-apa lagi, tidak pula melihat Hun Bwee. Dadanya turun naik, terengah-engah, bukan karena kelelahan, melainkan karena menahan gejolak hatinya yang menggetarkan seluruh tubuhnya.

Yan Cu juga berdiri terengah, namun gadis ini terengah karena kelelahan, karena ia tadi harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengimbangi kecepatan lari suheng-nya. Sekarang Yan Cu berdiri memandang dua orang gadis itu dengan penuh perhatian dan penyelidikan.

Kedua orang gadis itu sama cantik, sama menarik dan sama gagah perkasa. Akan tetapi amat mudah bagi matanya yang tajam itu untuk menduga yang manakah Biauw Eng. Bukan hanya karena kecantikan Biauw Eng yang indah dingin bagaikan lautan salju di utara, melainkan juga ia dapat melihat ke manakah sasaran pandang mata suheng-nya yang seperti orang kena pesona.

Dia tidak heran mengapa suheng-nya jatuh cinta kepada Biauw Eng yang memang cantik luar biasa itu, akan tetapi keningnya berkerut menyaksikan sikap Biauw Eng yang begitu dingin sehingga tidak wajar dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Wanita sedingin ini, mana mungkin dapat dicairkan dengan panasnya api cinta?

Baik Biauw Eng mau pun Keng Hong belum dapat menemukan suara mereka kembali yang lenyap akibat gelora hati yang membadai, badai yang timbul di saat mereka saling bertemu. Dua pasang mata itu bertemu dan seolah-olah bertanding mengadu kekuatan, ataukah saling peluk dan tak ingin dilepaskan kembali? Keduanya tidak berkedip, seperti terkena sihir.

"Apakah engkau yang bernama Sie Biauw Eng?" Tiba-tiba suara Yan Cu yang nyaring membuat Keng Hong dan Biauw Eng sadar.

Gadis ini segera memandang kepada Yan Cu. Sejenak pandang matanya mengeluarkan sinar kilat penuh cemburu sehingga mengejutkan Yan Cu. Akan tetapi dara ini tersenyum ketika melihat Biauw Eng mengangguk dan dia bertanya dengan suara wajar.

"Jadi kalau begitu Enci Biauw Eng dan Cici inikah yang sedang mencari-cari Suheng Cia Keng Hong?"

Kembali Biauw Eng mengangguk, tidak bernafsu untuk berbicara dengan dara jelita yang entah mengapa menyebut Keng Hong sebagai suheng-nya itu.

Wajah Yan Cu berseri gembira. "Sungguh kebetulan sekali! Susah payah kami berdua mencari Enci Biauw Eng sampai ke mana-mana, sekarang dapat bertemu di sini sungguh amat menggirangkan hatiku."

"Hemmm...!" Biauw Eng mengeluarkan suara, sikapnya makin dingin. "Kami mencari dia ada sebab-sebabnya yang penting. Kalian mencari aku ada apakah?"

Heran, pikir Yan Cu. Gadis yang sungguh pun cantik akan tetapi sikapnya sedingin es dan agaknya sangat galak ini bagaimana bisa menjatuhkan hati Keng Hong? Akan tetapi dia tetap tersenyum dan bertanya,

"Enci Biauw Eng, kami mencarimu hanya untuk bertanya apakah Enci Biauw Eng masih mencinta Suheng Keng Hong?"

"Sumoi...!" Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. Sungguh sumoi-nya ini terlalu sekali, masa pertanyaan seperti itu diajukan secara kasar dan langsung, seperti orang bertanya tentang hal sehari-hari yang biasa saja!

Juga Biauw Eng kaget bukan main. Pertanyaan itu datangnya begitu tiba-tiba dan sama sekali tidak pernah disangkanya sehingga seakan merupakan serangan tusukan pedang yang langsung mengenai jantungnya. Wajahnya yang tadinya pucat itu menjadi merah sekali. Ia balas bertanya dengan suara membentak,

"Bocah lancang mulut! Apa sangkut pautnya denganmu?"

Yan Cu memutar bola matanya, mengerling ke arah Biauw Eng. "Lebih baik aku bicara terang-terangan saja, Enci Biauw Eng. Ketahuilah bahwa subo kami sudah memutuskan bahwa aku dan Suheng harus menjadi suami isteri. Tetapi kami berdua masih tidak dapat mengambil kepastian karena kami tidak tahu apakah kami berdua saling mencinta, apa lagi karena Suheng menyatakan bahwa dia mencintaimu. Karena itu kami berdua sengaja mencarimu untuk bertanya dan jika kalian berdua masih tetap saling mencinta tentu saja Suheng hanya dapat menikah dengan engkau. Sebaliknya, bila engkau tak mencintainya, tentu saja Suheng baru akan bisa mengambil keputusan apakah dia akan dapat menikah denganku atau tidak, sedangkan aku sendiri pun baru akan dapat memutuskan apakah aku mencinta dia atau tidak. Apa bila dia mencinta orang lain, tentu saja aku tidak akan membiarkan hatiku mencintainya. Nah, sekali lagi aku bertanya, sebagai seorang wanita terhadap wanita lain, tanpa bermaksud menghinamu. Apakah Enci mencinta dia, ataukah tidak?"

Mau tidak mau, hati Biauw Eng tersentuh rasa gagum terhadap dara jelita ini. Seorang dara yang jujur, tegas dan tidak berpura-pura sehingga bertanya soal cinta secara begini terbuka. Sifat seperti ini memang cocok sekali dengan sifatnya sendiri, namun sekarang, setelah ia menderita racun cinta yang membuatnya bertahun-tahun merana, berduka dan akhir-akhir ini mengisi perasaannya dengan rasa kebencian, membuat hatinya mengeras dan menjawab ketus,

"Pertanyaanmu itu tidak perlu dijawab lagi karena sekarang, Cia Keng Hong tidak akan menikah siapa pun juga, tidak dengan aku atau tidak pula dengan engkau, melainkan dia harus menjadi suami Suci-ku ini!"

"Aiiihhhhh, mana bisa begitu?" Yan Cu berteriak heran dan juga penasaran.

Mendengar ucapan Biauw Eng, Keng Hong merasa terkejut dan baru sekarang dia sadar bahwa di samping Biauw Eng ada seorang wanita lain yang memakai pakaian merah. Ia cepat mengalihkan pandang matanya dan memandang Hun Bwee. Ia melihat wajah yang cantik dari gadis ini merah sekali, akan tetapi kedua matanya mengeluarkan air mata.

"Apa artinya ini?" Keng Hong berkata perlahan, "Nona ini siapakah...?"

"Hemmmm... Cia Keng Hong, apakah engkau benar-benar sudah lupa kepada Suci-ku ini, ataukah memang berpura-pura lupa?" Biauw Eng berkata, suaranya penuh kepahitan dan kemarahan ditekan.

"Biauw Eng, aku... aku merasa pernah melihat Nona ini, akan tetapi entah di mana dan kapan. Siapakah dia?"

"Memang beginilah laki-laki yang berwatak bejat! Menganggap wanita seperti boneka atau bunga yang hanya dinikmati keharumannya, setelah dipermainkan lalu menjadi bosan dan akan dilempar dan dilupakan begitu saja!"

"Biauw Eng...!" Keng Hong mengeluh, memprotes.

Biauw Eng tersenyum, senyum yang menikam uluhati Keng Hong. "Hendak menyangkal? Suci-ku ini adalah Tan Hun Bwee, gadis bernasib malang yang dulu telah kau perkosa kemudian kau tingalkan pergi dan kau lupakan begitu saja! Cia Keng Hong, tak kusangka bahwa engkau sekeji itu. Sekarang kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang terkutuk! Engkau harus menjadi suaminya yang sah!"

"Aaaaaaahhh... Suheng... betulkah ini...?" Yan Cu memandang Keng Hong dengan mata terbelalak dan wajah pucat.

Keng Hong memandang Hun Bwee dan teringkatlah dia kini akan gadis baju hijau yang dahulu diperkosa oleh Lian Ci Tojin. "Ahhh, kiranya Tan-sioca..."

Ia memandang penasaran, lalu menoleh kepada Biauw Eng, hendak membantah. Namun melihat betapa sinar mata gadis yang dicintanya itu penuh kebencian serta penyesalan yang ditujukan kepadanya, dia menahan kembali protesnya dan menarik napas panjang, lalu memandang Yan Cu dan berkata,

"Sumoi, aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Kuharap engkau dapat percaya kepadaku..."

"Pengecut!" Biauw Eng langsung membentak marah. "Untuk merayu hati gadis ini, tentu saja kau hendak menutupi segala cacatmu, bersikap seolah-olah engkau adalah seorang laki-laki yang baik. Hemmm..., pemuda mata keranjang berhati palsu!"

Keng Hong memandang Biauw Eng, sinar matanya penuh penyesalan dan suaranya lirih sekali ketika dia berkata, "Aku menerima semua penyesalan dan makianmu, Biauw Eng. Memang aku seorang yang sudah melakukan banyak sekali kesalahan terhadap dirimu. Aku bersedia kau hukum, aku siap kalau engkau hendak membunuhku, akan tetapi aku tetap mencintaimu, Biauw Eng. Mencintaimu seorang dan tidak mungkin aku mencinta orang lain lagi."

Tiba-tiba terdengar jerit melengking yang mendirikan bulu roma dan Biauw Eng terkejut sekali melihat suci-nya karena dia tahu bahwa tiba-tiba penyakit gila suci-nya kumat lagi! Sepasang mata yang tadi mengucurkan air mata itu kini terbelalak liar, lantas mulutnya membentak,

"Sumoi, tukang perkosa ini bukan orang baik-baik! Sudah kukatakan kepadamu, mengapa melayani dia bicara? Hi-hi-hik, akan kusiksa dia sampai mati! Ha-ha-ha-ha-heh-heh, akan kusayat-sayat alat kelaminnya agar dia tidak mampu mengganggu wanita lagi!"

Tiba-tiba Hun Bwee menubruk Keng Hong dengan cengkeraman pada muka pemuda itu. Keng Hong miringkan tubuh mengelak, namun tangan Hun Bwee sudah mencengkeram lagi ke arah bawah pusar! Keng Hong meloncat mundur, dan sambil terkekeh-kekeh Hun Bwee menerjang lagi, kini mengirim hantaman dengan kedua tangan bertubi-tubi, cepat bukan main dan pukulan-pukulannya mengandung tenaga yang amat kuat.

Diam-diam Keng Hong terkejut juga. Ternyata kepandaian Nona gila ini amat luar biasa, dan pantas saja kalau menjadi suci Biauw Eng! Padahal seingatnya, puteri Tan-piauwsu ini dulu tidaklah begini hebat kepandaiannya.

Serangan Hun Bwee amat berbahaya. Akan tetapi tentu saja Keng Hong tidak tega untuk merobohkannya, juga merasa tak enak bila melawannya, maka dia hanya menggerakkan tubuhnya, mengelak dari serangan Hun Bwee yang bertubi-tubi itu.

"Suci, jangan...!" Biauw Eng mencegah Hun Bwee yang makin lama menjadi makin ganas itu.

"Apa?! Engkau membelanya, Sumoi? Kalau begitu engkau benar mencinta Jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini?" Hun Bwee menunda serangannya dan menoleh ke arah Biauw Eng.

Wajah Biauw Eng menjadi merah sekali dan jantungnya berdebar keras. Dalam detik itu, hatinya sendiri membisikkan pertanyaan yang sama. Adakah dia masih mencinta Keng Hong? Kata-kata Keng Hong yang menyatakan cinta tadi mencengkeram hatinya, meski pun belum sama sekali menghapus rasa bencinya yang timbul karena sakit hatinya akan sikap Keng Hong yang sudah-sudah terhadap dirinya.

"Suci, aku tidak membelanya. Akan tetapi engkau pun tak boleh membunuhnya. Apakah engkau lupa akan perintah subo untuk menangkapnya hidup-hidup?"

Hun Bwee kelihatan seperti orang terkejut dan dia cepat mundur, akan tetapi matanya tetap memandang kepada Keng Hong dengan liar. Melihat ini, Keng Hong menarik napas panjang dan menjadi terharu sekali.

Dia merasa kasihan melihat Hun Bwee yang agaknya kini menjadi gila karena peristiwa perkosaan dahulu itu, akan tetapi dia pun terheran-heran mengapa dalam gilanya itu Hun Bwee kini menjadi begitu lihai! Kalau begitu Biauw Eng tentu telah memperoleh kemajuan hebat pula dalam ilmu silatnya kalau gadis itu kini menjadi sumoi dari gadis gila ini!

Keng Hong kembali memandang Biauw Eng dan kembali mereka saling pandang dengan perasaan hati yang tidak karuan sehingga sinar mata mereka laksana orang bermimpi. Akhirnya Keng Hong berkata lirih,

"Biauw Eng, aku tak pernah merasa bersalah terhadap siapa pun juga di dunia ini kecuali terhadap engkau, karena itu, kalau engkau yang mengambil keputusan mengenai diriku, sedikit pun aku tak akan membantah atau melawan. Aku menyerah, Biauw Eng, aku siap menyerahkan jiwa raga kepadamu sebagai tebusan atas dosaku yang berkali-kali berbuat salah kepada engkau yang sekarang aku yakin adalah satu-satunya wanita yang kucinta sepenuh hatiku..."

"Tak perlu engkau merayuku!" Biauw Eng membentak dengan hati seperti diremas-remas karena ia menganggap betapa kata-kata yang amat menyenangkan dan membahagiakan hatinya itu tidak lain hanyalah rayuan kosong belaka dari pemuda yang cintanya palsu ini.

"Aku tidak merayu, dan kalau memang engkau menghendaki bukti, sekarang juga engkau boleh membunuhku dan aku takkan menggerakkan sebuah jari pun untuk melawanmu."

Biauw Eng tersenyum dingin mengejek. "Engkau lupa bahwa tubuhku telah dimiliki orang lain..."

Senyuman dan ucapan itu menusuk jantung Keng Hong. Dia merasa betapa dia dahulu sangat kejam dan tidak adil terhadap Biauw Eng. Dengan suara tergetar dia menjawab, "Aku tidak peduli akan itu, Biauw Eng". Telah lama aku sadar bahwa cinta bukanlah nafsu semata, jauh lebih tinggi dan lebih agung... seperti cintamu terhadap aku..."

"Cukup!" Biauw Eng membentak, namun bentakannya mengandung isak tertahan. "Aku dan Suci mencarimu untuk menangkapmu atas perintah subo kami. Kalau kau melawan pun boleh, kami hendak menggunakan kekerasan!"

Keng Hong menggelengkan kepalanya, wajahnya penuh duka. "Tidak, Biauw Eng. Sudah kukatakan bahwa aku menyerahkan jiwa raga kepadamu. Kalau orang lain yang hendak menangkapku tanpa kesalahan, demi Tuhan, akan kulawan mati-matian. Akan tetapi jika engkau yang hendak menangkapku, nah, silakan aku tak akan melawanmu..."

"Berlutut!" Biauw Eng membentak sambil mengeluarkan sabuk suteranya. "Engkau harus dibelenggu!"

Keng Hong tidak membantah, lalu menjatuhkan diri berlutut. Biauw Eng melangkah maju.

"Tidak boleh!" Tiba-tiba Yan Cu meloncat ke depan Keng Hong dan berdiri tegak dengan sikap melindunginya. "Tidak boleh Suheng ditangkap begini saja tanpa kesalahan!"

Biauw Eng memandang Yan Cu dengan mata bersinar marah, akan tetapi Yan Cu tidak takut dan membalas pandangan mata Biauw Eng dengan marah pula. Dua orang dara cantik jelita ini saling berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata berapi.

Keduanya sama cantik, sama gagah, dan sama marahnya hendak memperebutkan Keng Hong! Bukan memperebutkan cintanya, melainkan memperebutkan orangnya. Yang satu ingin menangkapnya, yang lain ingin membebaskannya.

"Hemmmm... kau mau apa?" Biauw Eng bertanya pendek dan suaranya dingin sekali.

Yan Cu memandang dengan sepasang mata terbelalak lebar penuh rasa penasaran dan kemarahan. "Sie Biauw Eng, engkau ini wanita apa? Hatimu keras seperti batu, dingin seperti es! Padahal di dalamnya mengandung api cinta yang bernyala-nyala dan panas membara terhadap Suheng! Engkau mencinta Suheng! Mengapa...?"

"Tutup mulutmu yang lancang!!" Biauw Eng membentak marah.

Yan Cu tersenyum lebar. "Hemmmm, Enci Biauw Eng, cinta itu bagaikan matahari di hari cerah! Sinarnya memancar ke mana-mana dan biar pun engkau bersikap dingin kasar dan kejam terhadap Suheng, namun sinar matamu, gerak bibirmu, semua mengandung sinar itu! Entah aku yang buta karena salah lihat ataukah engkau yang buta tidak melihat cintamu sendiri, akan tetapi jelas engkau mencinta Suheng dan Suheng pun mencintamu! Tak perlu lagi engkau menawannya karena hati kalian sudah saling menawan! Tidak perlu lagi engkau membelenggunya karena cinta kalian sudah saling membelenggu!"

"Pergilah!" Biauw Eng membentak lantas tangan kirinya menampar. Gerakannya sangat cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat sekali.

Akan tetapi Yan Cu juga bukan orang lemah. Melihat datangnya tamparan ini, dia segera menggerakkan tangan kanannya menangkis.

"Plakkkk!"

Dua buah lengan yang kecil halus saling bertemu dan akibatnya Biauw Eng terdorong mundur dua langkah, akan tetapi Yan Cu juga terdorong sampai tiga langkah. Biauw Eng mengerutkan keningnya. Ternyata dara jelita ini memiliki kepandaian yang tidak rendah, pikirnya. Yan Cu terkejut bukan main ketika merasa betapa kuatnya tamparan Biauw Eng tadi.

"Tidak perlu engkau mencampuri urusanku!" Biauw Eng membentak.

Yan Cu meraba gagang pedangnya dan berkata, "Bila engkau memaksakan kehendakmu untuk menawan Suheng yang tidak melawan, terpaksa akulah yang akan melawanmu!"

Sinar mata Biauw Eng menyambar tajam. Sabuk suteranya yang sudah berada di tangan itu tergetar, siap untuk dipakai menyerang dara yang cantik jelita itu, akan tetapi mulutnya bertanya,

"Bocah! Engkau mencinta Cia Keng Hong?"

Wajah yang halus putih itu menjadi merah, akan tetapi Yan Cu menggeleng kepalanya. "Setelah aku yakin bahwa dia dan engkau saling mencinta, bagaimana aku akan menjadi begitu bodoh untuk mencintanya? Tidak, aku tidak mencintanya seperti cinta seorang wanita terhadap calon suaminya! Kuhilangkan jauh-jauh nafsu jasmani dalam cinta itu dan berubahlah menjadi cinta saudara! Memang aku mencinta dan suka sekali kepada Cia Keng Hong, akan tetapi cinta dan rasa suka seorang sumoi kepada suheng-nya, seorang adik terhadap kakaknya! Sie Biauw Eng, apakah kau kira seorang sumoi akan diam saja melihat suheng-nya akan ditawan? Adakah seorang adik yang akan membolehkan saja kakaknya ditangkap?" Yan Cu menggerakkan tangan mencabut pedangnya.

Keng Hong meloncat ke depan Yan Cu, memegang lengan gadis itu dan berkata, "Sumoi, jangan...! Jangan kau merusak lagi usahaku untuk menebus dosa terhadap Biauw Eng. Apakah engkau mau membuat aku menjadi lebih sengsara lagi? Jangan, Sumoi. Memang aku sengaja membiarkan dia melakukan apa saja terhadap diriku sebagai pembalasan atas dosa-dosaku terhadapnya."

Wajah Yan Cu menjadi pucat. Biauw Eng begitu dingin dan galak, dalam kebencian tentu dapat berlaku kejam, sedangkan wanita yang seorang lagi adalah seorang gila.

"Suheng, aku tetap tidak percaya bahwa engkau bersalah terhadap Enci Biauw Eng. Dan aku sama sekali tidak percaya bahwa engkau sudah melakukan perbuatan terkutuk itu terhadap Enci berpakaian merah itu. Mereka tidak boleh mengganggumu, Suheng..."

"Hushhh, engkau adikku, bukan? Adik harus menurut kata-kata kakaknya! Syukur engkau tidak mempercayai hal itu, akan tetapi engkau menurutlah kata-kataku, Sumoi. Kau harus mewakili aku untuk membagi-bagikan benda pusaka ini kepada mereka yang berhak. Berjanjilah engkau akan melakukan tugas berat ini dengan taruhan nyawamu."

Sejenak Yan Cu memandang wajah suheng-nya, lalu menarik napas panjang, menyimpan kembali pedangnya dan mengangguk. Karena anggukan ini, dua titik air mata jatuh ke atas pipinya.

"Baiklah, Suheng."

Keng Hong lalu merogoh saku bajunya, mengeluarkan pusaka-pusaka yang dicurinya dari kamar Cui Im itu satu demi satu sambil menerangkannya kepada Yan Cu.

"Pedang ini adalah pusaka Hoa-san-pai, harap kau sampaikan lebih dahulu kepada ketua Hoa-san-pai karena aku sudah menjanjikannya. Kitab ini adalah kitab milik Go-bi-pai, dan karena tempatnya jauh, biarlah kau kembalikan ke sana paling akhir saja. Ada pun tujuh buah kitab pusaka peninggalan suhu ini harap kau simpan dahulu, boleh juga dititipkan subo. Jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain."

Yan Cu menerima benda-benda pusaka itu sambil mengangguk dan menyimpannya ke dalam baju.

"Dan perhiasan-perhiasan ini..." Keng Hong segera teringat, lalu membalikkan tubuhnya dan menyerahkan sekotak kecil perhiasan itu kepada Hun Bwee sambil berkata, "Nona Tan, perhiasan-perhiasan inilah yang dulu dirampas oleh mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong dari tangan ayah bundamu, Tan-piauwsu dan isterinya. Sekarang kukembalikan padamu. Bukankah Nona dahulu mencari suhu untuk mendapatkan kembali perhiasan ini?"

Pada waktu tutup kotak kecil itu dibuka dan pandang mata Hun Bwee bertemu dengan benda-benda terbuat dari emas permata itu, matanya segera terbelalak dan terdengarlah isak tangisnya ketika ia menerima kotak itu. Matanya yang tadi liar kini berubah, ia terharu dan memeluk kotak kecil itu sambil menangis.

"Ayah... ibu..."

Keng Hong terharu. Dia mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk dan berkata, "Nona Tan, saya mengembalikan barang-barang itu disertai permohonan maaf atas perbuatan mendiang suhu terhadap ayah bunda Nona, dan mudah-mudahan dengan mengembalikan ini, semua rasa permusuhan lama dapatlah dihabiskan."

Hun Bwee mengangkat mukanya memandang. Dari kedua matanya bercucuran air mata, akan tetapi ketika dia memandang Keng Hong, terbayanglah pengalamannya yang amat menyakitkan hatinya, betapa ia dalam keadaan pingsan itu diperkosa dan setelah sadar ia melihat pemuda yang dikaguminya itu menyangkal telah melakukan perbuatan itu.

Akan tetapi kembali teringat oleh pikirannya yang kacau bahwa pemuda ini akan dipaksa menjadi suaminya. Tiba-tiba pandang matanya kembali aneh dan liar seperti tadi dan ia tersenyum dengan air mata masih bercucuran!

"Kau... kau memberikan ini sebagai emas kawin...? Ahhhh, terima kasih..." Dengan sikap manja seperti anak kecil mendapat barang mainan, Hun Bwee membuka kotak, berlutut dan mengeluarkan perhiasan-perhiasan itu, terus saja dipakainya.

Sepasang anting-anting batu giok berbentuk kupu-kupu, hiasan rambut berbentuk burung hong terbuat dari mutiara, kalung, gelang, cincin, serta ikat pinggang dari emas ditaburi intan. Semua perhiasan dipakainya, kemudian ia bangkit berdiri, memasang aksi di depan Biauw Eng sambil berkata,

"Lihat, Sumoi. Dengan perhiasan ini sebagai pengantin, bukankah aku kelihatan cantik sekali?"

Semua orang memandang dengan hati terharu sekali. Diam-diam Yan Cu sendiri merasa terharu sekali, dalam hati dia mengutuk orang yang telah memperkosa gadis itu. Dia tidak sangsi lagi bahwa tentulah Hun Bwee mengalami guncangan batin hebat hingga menjadi gila, akan tetapi dia tetap merasa yakin bahwa perbuatan terkutuk itu bukan Keng Hong yang melakukannya.

Keng Hong juga memandang terharu. Diam-diam dia merasa menyesal kenapa dia tidak mendapat kesempatan untuk menyeret Lian Ci Tojin, kemudian memaksanya mengakui perbuatannya yang terkutuk atas diri gadis bernasib malang ini. Dia hanya memandang dengan kening berkerut.

Di dalam hati kecilnya, Biauw Eng juga masih belum percaya kalau Keng Hong yang melakukan perkosaan itu. Semenjak bertemu pemuda ini dan hatinya tertarik sekaligus jatuh cinta, dia merasa yakin bahwa murid ayahnya ini adalah seorang yang tidak mau melakukan perbuatan keji. Kalau toh akhirnya ia melihat pemuda ini selalu melayani cinta setiap orang wanita yang tergila-gila kepadanya, hal ini masih tidak dapat disamakan lagi dengan perbuatan memperkosa yang merupakan perbuatan jahat dan keji terkutuk.

Perbuatan Keng Hong yang menyambut uluran cinta para wanita, baginya adalah hanya menandakan kelemahan hati dan watak romantis yang sudah menjadi watak mendiang ayahnya pula. Hal itu memang menyakitkan hatinya, namun ia telah memaafkannya asal saja Keng Hong mencintanya dengan cinta kasih murni, tidak dengan cinta birahi seperti terhadap wanita-wanita itu!

Akan tetapi kemudian ternyata bahwa Keng Hong membuktikan cintanya itu tidak murni, bahkan menghadapinya dengan kemarahan dan kebencian ketika mendengar bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Sim Lai Sek, padahal pernyataan itu hanya sebagai ujian belaka. Biauw Eng merasa sakit hati sekali.

Kini ditambah pengakuan Hun Bwee bahwa dia sudah diperkosa Keng Hong. Kalau hal ini benar, tentu saja dia tidak akan dapat mengampuni Keng Hong dan akan memaksanya mengawini Hun Bwee atau... membunuhnya dengan tangannya sendiri!

"Sudahlah, Suci. Marilah kita pulang dan membawa tawanan ini!" Kemudian dia menoleh kepada Keng Hong. "Berlututlah!"

Dengan hati sakit seperti disayat-sayat Yan Cu melihat betapa suheng-nya itu berlutut di depan Biauw Eng sambil memandang nona itu dengan tersenyum dan pandang matanya penuh kasih sayang! Biauw Eng juga melihat pandang mata ini, namun dia mendengus, membuang muka dan menggunakan sabuk suteranya mengikat kedua lengan Keng Hong di belakang tubuhnya.

"Mari kita berangkat, Suci!" Kemudian kepada Keng Hong yang dibelenggu kedua tangan dengan ujung sabuk dipegang Biauw Eng, gadis ini menghardik, "Hayo jalan!"

Yan Cu berdiri dengan muka pucat, melihat suheng-nya yang gagah perkasa itu berjalan dengan kedua tangan terbelenggu, bagaikan seekor kerbau dituntun. Gadis ini mengepal tangannya, menekan hatinya yang hendak memaksa dia menerjang maju menyerang dua orang gadis itu dan membebaskan suheng-nya.

"Suheng...!" Ia terisak dan hendak mengejar maju.

Keng Hong menoleh dan tersenyum kepadanya, "Sumoi, engkau pergilah dan penuhilah permintaanku tadi. Pergilah dan selamat berpisah. Percayalah bahwa biar sampai mati sekali pun, kalau mati di tangan Biauw Eng, aku rela dan tidak akan merasa penasaran. Selamat tinggal, Sumoi, semoga kelak dalam cintamu engkau lebih berbahagia dari pada aku!"

Yan Cu menutupi mulutnya untuk menahan isak tangis, sejenak memandang Keng Hong dengan air mata berlinang, kemudian memandang Biauw Eng dengan marah, akhirnya dia meloncat pergi dari tempat itu sambil menangis.

Keng Hong menoleh dan memandang ke arah berkelebatnya bayangan Yan Cu, namun tiba-tiba saja terdengar suara bergeletar.

"Tar-tar!" dan ujung sabuk sutera di tangan Biauw Eng sudah menampar pipinya dibarengi bentakan gadis itu. "Berangkat!"

Keng Hong merasa pipinya pedas, akan tetapi dia malah tersenyum. Kelirukah kalau dia menduga bahwa tamparan ini tadi timbul dari rasa cemburu? Ia masih merasa yakin akan kemurnian cinta kasih Biauw Eng dan percaya bahwa akan tiba saatnya gadis ini akan dapat memaafkannya.

Memang jika disuruh memilih, dia akan lebih suka memilih mati di tangan Biauw Eng dari pada hidup menjadi musuh gadis yang dicintanya ini. Sekarang makin jelaslah dia bahwa di dalam sanubarinya, sesungguhnya hanya kepada Biauw Eng seoranglah dia mencinta dengan seluruh jiwa raganya! Hanya kepada Biauw Eng-lah ada rasa hormat dan cinta murni dalam hatinya, tidak ingin mempermainkan, dan rasa cinta ini jauh lebih tinggi dan murni dari pada rasa nafsu birahi yang ditimbulkan pada waktu dia menghadapi rayuan gadis-gadis cantik seperti Cui Im, mendiang Sim Ciang Bi, dan kedua orang murid wanita Kong-thong-pai!

"Sumoi, jangan siksa calon suamiku!" tiba-tiba Hun Bwee berkata.

Keng Hong tersenyum pahit. Dia tidak tahu nasib apa yang akan dia alami. Persoalannya menjadi ruwet. Hun Bwee yang kini sudah menjadi gila itu merasa yakin bahwa dia yang memperkosanya. Agaknya Biauw Eng percaya akan hal ini, maka hendak memaksanya mengawini Hun Bwee!

Jalan satu-satunya hanyalah meyakinkan Hun Bwee bahwa yang melakukan perbuatan terkutuk itu bukan dia melainkan Lian Ci Tojin, akan tetapi untuk meyakinkan hati gadis itu tidaklah mudah. Terutama harus dapat menangkap Lian Ci Tojin. Akan tetapi kalau dia membebaskan diri untuk mencari tosu itu, tentu Biauw Eng akan merasa makin sakit hati! Biarlah, dia menyerahkan diri ke tangan Biauw Eng, hanya tentu saja dia akan menolak mati-matian kalau hendak dinikahkan dengan Hun Bwee.

Maka berangkatlah rombongan yang aneh ini menuju ke tempat tinggal Go-bi Thai-houw, melakukan perjalanan yang sangat jauh. Di sepanjang jalan, Biauw Eng bersikap dingin, sukar dijajaki hatinya karena air mukanya tidak membayangkan sesuatu. Keng Hong tetap tenang-tenang saja dan Hun Bwee kadang-kadang memperlihatkan sikap membenci dan marah-marah kepada Keng Hong, akan tetapi kadang-kadang mesra sekali.


                  ***************


 “Suheng... ahhh, Suheng...!"

Yan Cu jalan sambil menangis. Air matanya bercucuran deras sekali di sepanjang kedua pipinya. Semenjak kecil gadis ini sudah ikut dengan subo-nya belajar ilmu, belum pernah merasakan kegembiraan dan kebahagian seperti ketika ia berada di samping Keng Hong. Ia merasa amat suka kepada suheng-nya itu, menganggapnya seperti kakaknya sendiri.

Gadis yang memiliki watak periang dan jenaka ini sama sekali tidak merasa cemburu atau iri hati mendapat kenyataan bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng. Bahkan sebaliknya. Dia akan merasa girang sekali andai kata Biauw Eng membalas cinta kasih Keng Hong.

Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Keng Hong dijadikan tawanan dan pemuda itu menurut saja! Maka ia menjadi gelisah dan berduka sekali, merasa amat kasihan kepada suheng-nya. Dia tahu bahwa di tangan Biauw Eng yang cintanya bercampur rasa benci yang hebat, dan di tangan suci Biauw Eng yang gila itu, tentu Keng Hong akan celaka. Lebih celaka lagi, Keng Hong agaknya menyerahkan mati hidupnya dengan rela kepada mereka berdua!

Makin diingat makin gelisah dan makin sedih hati Yan Cu, membuat tubuhnya lemas dan akhirnya ia menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon besar dan menangis tersedu-sedu memikirkan nasib Keng Hong. Apakah dayanya? Untuk menolong, tak mungkin. Selain kedua orang gadis itu lihai bukan main, juga Keng Hong sendiri tidak mau di tolong.

Setelah berpisah dari Keng Hong, hidup terasa sunyi dan tidak menyenangkan. Kembali kepada subo-nya? Selain akan mendapat marah, juga tentu saja dia tidak akan betah lagi tinggal di puncak gunung yang sunyi, setelah mencicipi kesenangan merantau bersama Keng Hong.

Melaksanakan tugas mewakili Keng Hong dan menyampaikan pusaka-pusaka itu? Selain tidak menarik, juga hal itu malah akan terus-menerus mengingatkan dia kepada Keng Hong sehingga hatinya akan selalu tersiksa. Ah, suheng, mengapa engkau begitu bodoh? Mengapa hendak memaksakan cinta kasih seseorang? Kalau memang Biauw Eng sudah membenci setengah mati, mengapa mengorbankan diri dan nyawa secara sia-sia?

Yan Cu berduka sekali. Selama hidupnya, yaitu selama ia ikut dengan gurunya semenjak kecil, belum pernah Yan Cu mengalami duka nestapa seperti ini. Dan memanglah hal ini sudah sewajarnya dan sudah semestinya.

Hidup ini merupakan perimbangan dua kekuatan. Dahulu Yan Cu hidup bersama gurunya bersunyi diri di gunung, tidak mengalami kesenangan terlalu besar, karenanya pun tidak mengalami kesusahan terlalu besar. Setelah bertemu dengan Keng Hong dan merantau bersama suheng-nya ia mulai menikmati kesenangan. Oleh karena itu sekali kesenangan direnggut darinya, muncullah kesusahan hati karena kehilangan!

Memang senang dan susah merupakan perimbangan yang adil, dibentuk oleh hati sang manusia sendiri. Suka akan sesuatu itu sudah pasti berekor duka, karena kalau sesuatu yang amat disayang atau disuka itu hilang, maka akan timbullah rasa sedih. Sebaliknya, barang yang tidak disayang apa bila hilang pun tidak akan menimbulkan kesedihan yang besar.

Kalau saja Yan Cu tidak suka kepada Keng Hong, tentulah perpisahan itu tidak akan menyusahkan hatinya, bahkan menyenangkan! Akan tetapi dia suka sekali kepada Keng Hong, suka kagum dan kasihan. Perasaannya terhadap Keng Hong itu akan mudah saja berubah menjadi cinta kasih.

Tubuh Yan Cu yang lelah dan lapar, tidak kuat menahan tekanan kesusahan itu. Setelah puas menangisi Keng Hong, Yan Cu tertidur pulas di bawah pohon itu! Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak dia memasuki hutan sambil menangis, ada sepasang mata yang memandangnya dengan penuh heran dan kasihan, dan tidak tahu pula betapa pemilik mata itu seperti orang terkena pesona, seperti disihir membayanginya, dan ketika dia menangis di bawah pohon, orang itu mendekam di balik semak-semak, memandang melongo dengan dada penuh sesak ikut berduka dan ingin menangis pula!

Yan Cu tidak tahu pula betapa setelah dia tidur, ada tiga belas pasang mata orang yang memandangnya dari balik pohon-pohon, mata yang liar memandangnya penuh gairah dan diikuti mulut-mulut yang menyeringai seperti mulut anjing kelaparan melihat daging.

Ketiga belas pasang mata itu merupakan milik tiga belas orang perampok yang memang bersarang di hutan itu. Ketika mereka melihat seorang gadis demikian cantiknya tertidur pulas di bawah pohon, tentu saja perampok ini menjadi terheran-heran, akan tetapi juga girang sekali.

Mereka adalah orang-orang kasar yang hidup liar, dan menggagahi wanita-wanita muda yang cantik merupakan satu di antara kesukaan mereka. Telah gatal-gatal tangan mereka untuk menjamah tubuh yang rebah terlentang di bawah pohon itu, dan mereka bagaikan sekumpulan kucing yang hendak berlomba menubruk seekor tikus.

Akan tetapi, gerakan tangan pemimpin mereka membuat mereka itu menahan nafsu dan wajah mereka menjadi kecewa. Mereka sudah tahu bahwa sekali ini mereka tidak akan kebagian! Tahu bahwa pemimpin mereka, yang bertubuh tinggi kurus bermuka pucat, tergila-gila kepada gadis yang tidur itu dan menghendaki gadis itu untuk dirinya sendiri!

Bila sudah terjadi begini, maka terpaksa anak buah perampok yang berjumlah dua belas orang itu hanya dapat menelan ludah dan bersabar menanti sampai sang kepala menjadi bosan dan melemparkan wanita itu kepada mereka untuk dijadikan pesta-pora sampai mati seperti yang sering kali terjadi!

Sambil menyeringai kepala perampok yang tinggi kurus itu keluar dari tempat sembunyi, berindap-indap menghampiri Yan Cu yang tertidur pulas, dipandang oleh anak buahnya yang ketawa cekikikan, seolah-olah mereka menyaksikan pertunjukan yang amat lucu dan menyenangkan hati. Memang, jantung orang-orang kasar ini sudah berdebar-debar ingin menyaksikan kepala mereka menubruk gadis itu, seperti seekor harimau yang menubruk seekor domba.

Selain dua belas pasang mata anak buah perampok itu, juga sepasang mata orang yang sejak tadi membayangi Yan Cu, ikut pula memandang. Sepasang mata ini mengeluarkan sinar berapi saking marahnya. Akan tetapi pemilik mata ini dapat menduga bahwa dara jelita yang melakukan perjalanan seorang diri di dalam hutan itu tentulah seorang dara yang memiliki kepandaian, maka dia tidak tergesa-gesa meloncat keluar menolong, hanya bersiap-siap untuk menolong apa bila dara itu terancam bahaya.

Yan Cu yang sedang tidur pulas itu berkali-kali menarik napas panjang, bahkan kadang terisak. Ia bermimpi melihat Keng Hong disiksa oleh dua orang gadis yang menawannya, kemudian dia melihat Keng Hong merangkak mendekatinya, mengulurkan tangan seperti orang meminta pertolongan. Tangan suheng-nya itu menyentuh jari tangannya dan ia pun cepat memegang tangan suheng-nya yang minta tolong itu, dan bibirnya mengeluarkan seruan penuh rasa kasihan, "Suheng Cia Keng Hong...!"

Yan Cu tersentak kaget ketika mendengar suara orang ketawa. Ia terbangun, membuka matanya dan betapa kagetnya ketika melihat bahwa yang memegang tangannya adalah seorang laki-laki yang mukanya pucat, matanya bersinar liar dan mulutnya menyeringai kurang ajar, tertawa-tawa dan sama sekali bukan Keng Hong!

"Ihhh! Siapa engkau...?!" Bentaknya dan sekali renggut saja dia sudah dapat melepaskan tangannya sambil melompat berdiri.

Kepala perampok itu tertawa-tawa dan bangkit berdiri pula. Sekarang ia terbelalak kagum. Selama dia menjadi kepala perampok, entah sudah berapa orang wanita yang menjadi korbannya dan korban anak buahnya, akan tetapi selama itu belum pernah dia bertemu dengan seorang dara yang secantik ini!

"Ha-ha-ha-ha, bidadari yang cantik jelita! Sungguh pantas sekali engkau menjadi ratuku. Ketahuilah, aku adalah raja di hutan ini. Ha-ha-ha!"

Yan Cu mengerutkan keningnya, akan tetapi keheranannya mengatasi kemarahannya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi dia bertanya, "Engkau raja hutan? Aku mendengar bahwa raja hutan adalah harimau..."

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Suara ketawa ini tidak hanya keluar dari mulut si kepala perampok, melainkan juga dari mulut para anak buah perampok yang kini sudah muncul keluar dari tempat persembunyian mereka.

Yan Cu memandang sekeliling dan dia dapat menduga bahwa orang-orang itu tentulah bukan orang baik-baik.

"Nona manis! Memang nama julukanku adalah Tiat-jiauw-houw (Harimau Cakar Besi), akulah harimau hutan ini dan mereka ini adalah anak buahku."

"Hemmmm, jadi engkau ini perampok-perampok? Mau apakah menggangguku? Aku tidak mempunyai barang berharga."

Kepala perampok itu tertawa bergelak dan menoleh kepada para anak buahnya sambil berkata, "Dia bilang tidak mempunyai barang berharga! Ha-ha-ha-ha-ha-ha! Nona manis, tubuhmu merupakan barang yang paling berharga di dunia ini! Marilah, Nona... apa bila engkau menjadi isteriku, engkau akan hidup senang..."

"Apa...?" Yan Cu terbelalak, mukanya berubah merah, sebagian kecil karena jengah dan sebagian besar karena marah. "Aku menjadi isterimu? Ehhh, kepala perampok, apakah engkau sudah bosan hidup?"

Kini giliran si kepala perampok yang terbelalak. Gadis ini bertanya dengan sikap begitu wajar, seperti orang bertanya apakah dia sudah makan atau belum, pertanyaan yang tidak seperti ejekan atau ancaman. Tentu saja dia menjadi heran dan menjawab, "Wah, tentu saja belum, Nona! Kalau aku bosan hidup tentu harus mati, dan kalau mati mana bisa menikmati hidup senang di sampingmu? Ha-ha-ha!"

Hati Yan Cu sedang berduka, dia kehilangan kegembiraan. Andai kata dia tidak sedang berduka, tentu dia ingin mempermainkan perampok-perampok ini. Sekarang dia menarik napas panjang, dan berkata jengkel, "Kepala perampok, kau ajaklah anak buahmu pergi dari sini dan jangan menggangguku lagi. Kalau kau nekad dan membuat aku marah, kalian semua akan mampus. Padahal aku tidak suka membunuh orang. Pergilah!"

Yan Cu memang terlalu cantik dan sikapnya terlalu halus sehingga ucapannya itu pun tidak kelihatan seperti ancaman, kedengarannya lebih lucu dari pada menyeramkan hati para perampok yang kasar itu. Tentu saja mereka itu tertawa geli mendengar ini. Kepala perampok itu pun bahkan tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha-ha, wanita yang cantik seperti bidadari! Tidur pun manis, sadar lebih cantik, dan marah-marah makin denok! Ha-ha-ha-ha, nona manis calon isteriku, tidak usah kau turun tangan membunuhku, kecantikanmu sudah membuat aku setengah mati! Marilah, manis, kau obati aku, kalau tidak aku bisa mati di depan kakimu karena rindu. Ha-ha-ha!" Kepala perampok itu menubruk maju seperti seekor harimau kelaparan, karena nafsunya membuat dia ingin sekali menerkam dara jelita ini......

























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12