Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 26
Kun Liong
menciumi seluruh tubuh Hwi Sian, mulai dari ubun-ubun kepala sampai telapak
kakinya bahkan mereka berdua sudah tidak merasa atau melihat lagi betapa api
unggun menjadi padam, keadaan di dalam kuil menjadi gelap sama sekali,
seolah-olah sang api sengaja melarikan diri karena tidak tahan menyaksikan
peristiwa yang amat mengharukan itu, peristiwa di mana dua insan hanyut oleh
dorongan hasrat dan nafsu, yang membuat mereka lupa akan diri... lupa akan
segala sehingga lenyaplah sang aku, lenyaplah segala pikiran, segala ingatan,
segala keruwetan dan lenyap pula batas antara suka dan duka.
Di dalam
kegelapan kuil dalam hutan itu, tidak tampak apa-apa. Hutan itu pun sunyi tidak
disentuh angin. Namun terdengar suara-suara di dalam hutan. Suara malam yang
penuh rahasia, suara makhluk-makhluk kecil yang tak tampak, kutu-kutu belalang
dan jengkerik, burung malam dan segala macam binatang. Suara yang bersatu padu
tanpa diatur, yang menciptakan suara yang aneh penuh rahasia, kadang-kadang
terdengar seperti rintihan lirih dan desah napas manusia dalam derita dan
siksa, kadang kala terdengar seperti jerit kemenangan, jerit kesukaan dan penuh
kegembiraan. Sukar menentukan garis pemisah antara kecewa dan kepuasan, antara
derita dan nikmat kesenangan!
Pada
keesokan harinya, sesudah cahaya matahari pertama memasuki kuil, nampak Kun
Liong duduk bersandar di dinding, dan Hwi Sian rebah terlentang di atas lantai.
Keduanya tak mengeluarkan kata-kata, dan Kun Liong membelai rambut Hwi Sian
yang kusut masai itu.
Wajah
keduanya agak pucat, tapi di balik kepucatan wajah Hwi Sian, terbayang kepuasan
dan kebahagiaan yang membuat bibirnya tersenyum, ada pun mata yang masih
kelihatan mengantuk itu mengeluarkan cahaya berseri, biar pun ada air mata di
pipinya.
Kun Liong
kelihatan tidak sebahagia Hwi Sian. Walau pun dia kelihatan masih terpesona
oleh pengalaman luar biasa yang baru pertama kali dialaminya selama hidupnya,
namun terbayang kekhawatiran dan keraguan pada wajahnya yang agak pucat.
Barulah teringat olehnya sekarang betapa mereka berdua sudah menjadi seperti
orang mabuk, tidak ingat akan sesuatu kecuali pencurahan gairah hati, menuruti
nafsu birahi tak kunjung berhenti sampai semalam suntuk.
Baru dia
meragukan, apakah yang diperbuatnya bersama Hwi Sian itu bukan merupakan suatu
perbuatan yang amat kotor dan jahat? Dengan keras dia menggeleng kepalanya! Dia
tidak melakukan sesuatu paksaan! Dan bahkan lebih dari itu, dia terpaksa oleh
Hwi Sian yang mengancam akan membunuh dirl!
Dan bagi Hwi
Sian sendiri? Berdosakah dia? Kotorkah perbuatannya itu? Hinakah wanita ini
yang ingin menyerahkan tubuhnya dengan suka rela kepada laki-laki yang
dikasihinya sebelum dia terpaksa menyerahkan diri kepada pria lain yang tidak
dicintanya akan tetapi yang harus menjadi suaminya? Entahlah, Kun Liong tak
mampu menjawabnya.
"Kun
Liong..." Suara Hwi Sian lirih dan serak, suara orang yang kurang tidur
dan amat kelelahan.
"Hemmm..."
"Aku...
aku tidak bisa berpisah darimu lagi...!"
"Heiii!"
Kun Liong melepaskan pelukannya, lalu menjauhkan diri dan cepat membereskan
pakaiannya. "Jangan begitu kau, Hwi Sian! Betapa pun aku masih percaya
bahwa kau adalah seorang wanita gagah yang takkan melanggar janji!"
Hwi Sian
tersenyum masam, membereskan pakaiannya dan duduk berhadapan dengan Kun Liong,
lalu dia mengangkat kedua tangan membereskan rambutnya. Melihat gadis itu
mengangkat kedua lengan membereskan rambut, melihat wajah kusut yang agak
pucat, melihat mulut yang membayangkan kepahitan, merupakan penglihatan yang
amat mesra dan hampir meluluhkan hati Kun Liong. Ingin dia mendekap Hwi Sian,
menciuminya dan menghiburnya, mengatakan bahwa dia selamanya takkan
meninggalkannya. Akan tetapi dia tahu bahwa hal ini hanyalah seretan perasaan
sejenak saja, maka dia tidak membuka mulut.
"Kun
Liong," berkata Hwi Sian setelah selesai menyanggul rambutnya sehingga
kelihatan manis sekali. "Aku tadinya mengharap, sesudah peristiwa semalam,
kalau-kalau engkau akan jatuh cinta kepadaku. Akan tetapi aku lupa bahwa engkau
adalah seorang pria yang luar biasa, yang jujur dan tidak pernah mengingkari
kata-kata sendiri. Akan tetapi aku.... ahhh, betapa makin mendalamnya perasaan
cintaku mengukir di dalam hatiku. Betapa mungkin aku dapat berpisah darimu, Kun
Liong?"
"Hwi
Sian!" Kun Liong berkata agak keras. "Ingatlah bahwa engkau yang
minta sehingga terjadi peristiwa tadi malam. Engkau tahu bahwa aku melakukannya
bukan semata-mata karena aku memang suka kepadamu, bahwa aku memang suka
melakukannya, akan tetapi terutama sekali karena hendak menolongmu terhindar
dari kenekatanmu. Karena itu, sekarang berjanjilah bahwa engkau takkan membunuh
diri dan akan baik-baik menjadi isteri Tan-enghiong."
Mata itu
terpejam dan air matanya tertumpah keluar seperti diperas oleh bulu-bulu mata
yang panjang itu. Kepalanya mengangguk dan bibirnya berbisik, "Aku
berjanji."
"Kau
bersumpah?"
"Aku
bersumpah."
"Nah,
begitulah baru Hwi Sian seperti yang kukenal dan kupercaya! Kau yakinlah bahwa
selamanya aku takkan lupa kepadamu, Hwi Sian, dan dengan sepenuh hatiku aku
doakan semoga kau dapat menemukan bahagia bersama Tan-enghiong. Percayalah
bahwa cinta yang kau kira terukir dalam hatimu terhadap aku itu akan mudah
terhapus oleh ukiran cinta lain yang mungkin kau temukan bersama
Tan-enghiong..."
"Tidak
mungkin!" Hwi Sian berseru dengan suara merintih dan dia menangis!
"Jangan
bilang tidak mungkin. Cinta seperti ini, yaitu mencintai sesuatu akan tertutup
oleh cinta kepada sesuatu yang lainnya lagi. Cinta seperti yang kau rasakan
terhadap diriku hanyalah nafsu birahi yang didorong oleh rasa suka dan
kecocokan, yang kita sebut cinta dan cinta seperti itu takkan kekal. Hari ini
cinta, besok bisa berubah menjadi benci. Aku tidak cinta kepadamu, aku hanya
suka dan kasihan kepadamu, karena itu apa pun yang terjadi, aku tidak akan bisa
benci kepadamu. Cinta yang bersifat memiliki bukanlah cinta, karena memiliki
berarti kehilangan, memiliki berarti kecewa dan sengsara apa lagi menjadi
benci. Nah, lebih baik kita berpisah di sini, Hwi Sian. Selamat tinggal."
"Kun
Liong...!"
Kun Liong
yang sudah melangkah itu terhenti di pintu bekas kamar kuil itu dan menoleh
sambil tersenyum.
"Sudahlah,
Hwi Sian. Ingat, engkau akan jauh lebih bahagia bila mana hidup di samping
Tan-enghiong dari pada di sampingku. Mencinta tanpa balasan merupakan siksaan
yang jauh lebih berat dari pada dicinta tanpa membalas. Selamat tinggal!"
Kun Liong meloncat jauh dan cepat lari meninggalkan tempat itu.
"Kun
Liong...!" Hwi Sian mengeluh dan menangis.
Tidak lama
kemudian dia sudah terjun ke dalam sungai tak jauh dari kuil itu, merendam
tubuhnya sebatas dada dan masih terus menangis sampai matanya menjadi merah.
***************
Sesudah
berlari cepat keluar masuk beberapa buah hutan, baru legalah hati Kun Liong,
tidak khawatir kalau-kalau Hwi Siap mengejarnya. Dia lalu berjalan seenaknya di
dalam hutan yang sunyi itu.
Pikirannya
melayang-layang, mengenangkan kejadian semalam. Kejadian luar biasa yang
merupakan pengalaman pertamanya, begitu pula bagi Hwi Sian, dan seribu satu
macam pikiran mengaduk diotaknya.
Berdosakah
dia dengan perbuatannya itu? Bagaimana kalau kelak Tan-enghiong, calon suami
Hwi Sian, mengetahuinya? Bagaimana kalau sampai peristiwa semalam bersama Hwi
Sian itu berbuah menjadi anak? Bagaimana kalau... kalau... kalau... dan semakin
dibayangkan, maka makin khawatir pula hati Kun Liong sehingga mulailah dia
menyesali kelemahannya, mengapa dia sampai membiarkan dirinya terseret.
Itu bukan
cinta! Itu hanyalah nafsu birahi yang menyeret dia dan Hwi Sian. Berdosakah
kalau dia menikmati akibat dorongan nafsu birahi? Hwi Sian mengajaknya dengan
suka rela, menyerahkan dirinya. Kalau dia menolak dan gadis itu benar-benar
membunuh diri, apakah penolakannya itu bukan merupakan dosa pula? Kalau
diterima dosa, ditolak dosa, lalu bagaimana?
Dia
bergidik. Bergidik dan merasa ngeri membayangkan kembali perbuatan dia dan Hwi
Sian semalam. Celaka, dia dan Hwi Sian telah seperti gila semalam, menikmati
bujukan nafsu birahi tanpa kenal puas. Akan dapatkah dia menahan diri kalau
kelak berhadapan dengan wanita cantik? Jangan-jangan dia memang mata keranjang,
menjadi hamba nafsu birahi, jangan-jangan kelak dia akan menjadi seorang
jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa)! Memperkosa wanita? Tidak sudi!
"Dessss!
Kraaaakkkk!"
Suara
hatinya ‘tidak sudi’ tadi disuarakan melalui mulutnya, lantas diikuti dengan
meninju sebatang pohon di dekatnya sehingga pohon itu patah dan tumbang!
"Tentu
aku telah gila!" katanya sambil menjatuhkan diri duduk di atas rumput,
mengangkat kedua lutut ke atas dan menunjang dagunya dengan telapak tangan
kanan, termenung seperti patung.
Harus
diakuinya bahwa sejak dulu dia suka berdekatan dengan wanita, suka menyentuh,
mendekap dan mencium wanita. Dan sekarang, setelah dia mengalaminya semalam,
dia harus mengakui pula bahwa dia suka bermain cinta dengan wanita! Akan tetapi
semua itu harus terjadi dengan suka rela dan dia tidak akan sudi memaksa siapa
pun juga, betapa pun cantiknya, betapa pun menariknya!
Salahkah
ini? Inikah yang dikatakan mata keranjang? Gila wanita? Salahkah dia kalau dia
suka memandang yang indah-indah, dan di antaranya adalah wajah dara yang cantik
dan bentuk tubuhnya yang menggairahkan? Salahkah dia apa bila dia senang
mencium yang harum-harum dan sedap, di antaranya mencium bunga dan mencium
bibir seorang dara? Salahkah dia kalau dia suka mendengar yang merdu-merdu, di
antaranya suara seorang gadis manis? Salahkah kalau dia merasakan yang
lezat-lezat, salahkah kalau dia senang menikmati hidup? Salah siapa? Semua itu
sudah ada padanya, dan dia sama sekali tidak mengada-ada, tidak mencari-cari!
Rasa suka akan semua itu memang telah ada padanya!
Kalau tidak
ada dara yang suka kepadanya, tentu semua itu tidak akan terjadi. Semua
pengalamamya dengan Yuanita, dengan Nina, dengan Li Hwa, Giok Keng, Hwi Sian
dan Bi Kiok, biar pun semua itu tidaklah sejauh dengan Yuanita, atau terutama
sekali dengan Hwi Sian. Apa bila dara-dara itu tidak suka kepadanya, tentu dia
pun tidak akan berani mendekati mereka! Betapa pun cantik menariknya, kalau
tidak suka kepadanya dia tidak akan memaksa! Memperkosa?
"Tidak
sudi! Desss... pyuuuurr...!" Sebuah batu besar yang berada di sampingnya
pecah berantakan terkena hantaman kepalan tangannya!
Dan sesudah
debu yang mengepul tebal karena pecahan batu itu menghilang, muncul seorang
dara jelita yang langsung menegur. "Apakah engkau sudah menjadi gila?
Pohon dan batu dipukuli sampai tumbang dan pecah!"
Tadinya Kun
Liong terkejut sekali, mengira bahwa Hwi Sian yang menyusulnya. Dia tidak ingin
berkepanjangan dengan dara itu, sesudah apa yang mereka perbuat bersama tadi
malam. Akan tetapi setelah melihat bahwa ternyata yang muncul adalah Cia Giok
Keng, dia menjadi gugup dan wajahnya berubah merah!
"Ahh,
tidak... Nona. Saya... sedang latihan... dan... ehh…, bagaimana Nona dapat tiba
di sini? Saya sudah mengkhawatirkan dirimu..."
Giok Keng
meragu untuk menjawab. Bagaimana dia dapat menjawab setelah apa yang terjadi
kemarin? Seperti diketahui, dara perkasa ini terus mengejar Liong Bu Kong yang
melarikan diri. Bu Kong sengaja melarikan diri menjauh dan akhirnya berhasil
memancing Giok Keng untuk mengejarnya dengan perahu, meninggalkan pulau di
Telaga Kwi-ouw dan mendarat memasuki hutan.
Giok Keng
terus mengejarnya. Hati gadis ini merasa penasaran sekali apa bila dia tidak
dapat merobohkan atau menawan pemuda putera Ketua Kwi-eng-pang itu. Hari sudah
menjadi senja ketika akhirnya Giok Keng dapat menyusul Liong Bu Kong di dalam
sebuah hutan lebat.
Pemuda itu
sengaja menantinya dan begitu Giok Keng muncul, pemuda itu menjura dan berkata,
"Nona Cia Giok Keng, mengapa Nona mengejarku terus? Apakah Nona begitu
benci kepadaku? Padahal aku cinta padamu, Nona. Hingga kini pun belum pernah
lenyap harapan hatiku untuk bisa berjodoh dengan seorang dara jelita dan
perkasa seperti Nona. Aku cinta kepadamu dengan sepenuh jiwa ragaku, apakah
Nona tega untuk mengejarku dan hendak membunuhku?"
Wajah Giok
Keng menjadi merah sekali. Entah mengapa, semenjak pemuda ini datang ke
Cin-ling-san dahulu itu untuk meminangnya, dia tidak pernah dapat melupakan
pemuda ini yang sekarang kelihatan lebih matang dan lebih gagah dari pada
dahulu! Dia sendiri sangat heran mengapa segala gerak-gerik pemuda itu, gerak
mulutnya, gerak matanya, dan suaranya, semua amat menyenangkan hatinya. Apa
lagi pengakuan cinta pemuda itu, membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan
diam-diam hatinya telah terpikat!
Akan tetapi,
sebagai puteri pendekar sakti ketua dari Cin-ling-pai, tentu saja dia tidak
sudi tunduk begitu saja, maka dia pura-pura marah dan membentak, "Manusia
jahat! Siapa sudi bicara denganmu? Engkau adalah anak dari datuk sesat Kwi-eng
Niocu, dan aku adalah puteri dari Ketua Cin-ling-pai yang selalu bertugas
membasmi kaum sesat. Antara engkau dan aku terdapat jurang yang sangat dalam,
dan kita hanya dapat berhadapan sebagai musuh!"
"Aku
memusuhimu? Demi Tuhan, tidak! Aku cinta padamu, bagaimana aku tega untuk
mengangkat senjata melawanmu? Jangankan kepandaianku tidak mungkin menandingi
ilmu kepandaian puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, andai kata kepandaianku
lebih tinggi sekali pun, aku tidak akan tega untuk melawanmu, Nona."
"Singggg...!"
Giok Keng
sudah mencabut pedangnya sehingga nampaklah sinar putih berkilau ketika
Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) sudah terhunus.
"Hayo
cabut pedangmu, tak perlu banyak bicara!" Dara itu membentak.
"Srettt...!"
Liong Bu Kong mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat, akan tetapi dia
melemparkan pedang Lui-kong-kiam yang ampuh itu ke atas tanah.
"Lihat,
aku telah membuang pedangku, Nona. Aku tak akan melawan seorang dara yang
kucintai sepenuh jiwa ragaku."
Giok Keng
terkejut bukan main. Tadinya dia masih meragukan ketulusan hati pemuda putera
datuk sesat ini, maka dia masih mempertahankan hatinya dan menekan perasaan.
Kini melihat pemuda itu benar-benar tidak mau melawannya bahkan membuang
pedang, hatinya menjadi terguncang. Namun dia bukanlah seorang dara yang bodoh
dan mudah dibujuk orang. Biar pun hatinya terguncang, dia masih membentak,
"Ambil
pedangmu dan lawanlah, kalau tidak... hemmm, aku akan membunuhmu!"
Liong Bu
Kong tersenyum dan memang pemuda ini sangat tampan dan gagah sehingga senyumnya
menambah ketampanan wajahnya. "Silakan serang dan bunuhlah aku, Nona. Mati
di tangan seorang dara yang kucinta merupakan kematian yang amat bahagia."
"Siapa
yang percaya bujukanmu? Mampuslah!" Giok Keng sudah menerjang maju, cepat
menggerakkan pedangnya menyerang dahsyat dengan tusukan ke arah leher pemuda
itu.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Giok Keng melihat betapa pemuda itu sama sekali
tidak mengelak, hanya memandang kepadanya dengan senyum di bibir.
"Aihhhhh...!"
Giok Keng
yang terkejut itu berusaha menyelewengkan tusukannya karena tentu saja dia
sebagai seorang dara perkasa tidak mau membunuh orang yang tidak melawan, namun
usahanya itu tidak berhasil sepenuhnya dan pedangnya sudah menembus pundak kiri
Bu Kong!
Pada saat
Gin-hwa-kiam dicabutnya dan ditariknya kembali, darah mengucur dari pundak
pemuda itu yang berdiri dengan tubuh bergoyang menahan rasa nyeri yang hebat
akan tetapi yang masih memandang Giok Keng dengan pandang mata mesra penuh
cinta dan mulut tetap tersenyum.
"Ahhh...
apa yang kau lakukan...? Kenapa kau tidak mengelak? Kenapa tidak menangkis?
Kenapa...?" Giok Keng terbelalak, cepat melepaskan pedangnya jatuh ke atas
tanah dan bagaikan dalam mimpi dia menghampiri pemuda itu, merobek baju di
bagian pundak yang terluka dan ternyata pedangnya itu sudah mengakibatkan luka
yang cukup hebat karena pedang yang runcing tajam itu telah menembus pundak
kiri pemuda itu!
"Celaka...
kau... kau membiarkan aku melukai seorang yang tidak melawan... darahnya mengucur
deras, kalau tidak dihentikan, bisa berbahaya..."
"Hemmm,
biarlah, Nona. Kalau kau memang benci kepadaku, apa artinya luka ini? Kau bunuh
pun aku akan rela, karena biar pun kau benci, aku tetap cinta padamu..."
Giok Keng
telah mengeluarkan sapu tangannya. "Bodoh! Siapa benci padamu?"
katanya.
Tanpa
berbicara lagi dia membalut luka di pundak itu dengan sapu tangannya. Mula-mula
ditaruhnya obat luka yang selalu dibawanya ke atas luka di depan dan belakang
pundak, kemudian dia menggunakan sapu tangannya yang bersih untuk menutupi luka
itu, lantas membalutnya dengan robekan baju pemuda itu sendiri sampai erat
sekali sehingga darah berhenti mengucur dari luka itu.
"Nona...
nona... Giok Keng... benarkah hal itu? Benarkah kau tidak membenciku?"
Kedua tangan Bu Kong menekan kedua pundak dara itu dengan gemetar semua jari
tangannya, suaranya juga terdengar menggetar penuh perasaan. "Kalau
begitu... kalau begitu engkau pun... cinta kepadaku seperti aku cinta
padamu...?"
Wajah Giok
Keng menjadi pucat, kemudian merah sekali. Dia telah selesai membalut dan
menghadapi pertanyaan itu, dia menundukkan mukanya. "Entahlah..."
Jari-jari
tangan yang gemetar itu memegang muka dara itu, dipaksanya secara halus agar
muka itu tengadah. "Giok Keng... Moi-moi... kau pandanglah aku... kau...
kau... kau juga cinta kepadaku? Benarkah ini? Demi Tuhan... kau juga cinta
padaku seperti aku cinta padamu...?"
Sejenak
mereka berpandangan, dan Giok Keng lalu memejamkan matanya, dan dua butir air
mata bertitik turun.
"Moi-moi...!"
Bu Kong mengecup kedua pipi dara itu, mengecup air mata itu, kemudian dia
mencium bibir Giok Keng.
Kalau hati
sudah tertarik memang membuat orang atau tepatnya seorang dara muda gampang
sekali jatuh! Giok Keng menggigil, seluruh tubuhnya menggigil ketika mula-mula
merasa betapa air mata di pipinya dikecup pemuda itu, kemudian bumi serasa
goyah seperti ada gempa bumi hebat, dunia seperti berputar ketika dia merasa
betapa mulutnya dicium oleh pemuda itu, dicium dengan mesra sekali. Hampir dia
pingsan dan sejenak dia menyerah, menyerah bulat-bulat dengan setulus hati,
dengan hati yang penuh bahagia, merasa dicinta dan mencinta.
Akan tetapi
dia segera teringat, meronta dan melangkah mundur. Dengan muka pucat
dipandangnya pemuda itu yang kini menunduk, dengan kedua lengan tergantung
lepas di kanan kiri tubuh, lalu berkata dengan suara penuh penyerahan.
"Ampunkan
aku, Giok Keng. Aku... aku cinta kepadamu... dan kalau kau anggap bahwa
perbuatanku tadi terlalu kurang ajar, ambillah pedangmu, jangan berlaku
kepalang. Kalau kau tidak membalas cintaku, bunuhlah aku. Tusuklah tembus dada
ini agar penderitaanku berakhir...!"
Wajah yang
pucat itu kembali menjadi merah lagi. Giok Keng cepat menyambar pedang
Gin-hwa-kiam, disarungkannya dan dia memaksa hatinya agar dapat berbicara,
suaranya gemetar, "Aku... aku tidak benci padamu... aku tidak tahu apakah
cinta... akan tetapi aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Selamat
tinggal...!"
Giok Keng
lalu melarikan diri secepatnya. Ia mendengar suara pemuda itu memanggilnya, dan
hampir saja dara itu berlari kembali, akan tetapi ditahannya hatinya dan
ditulikannya telinganya. Air matanya bercucuran dan dia lalu mempercepat
larinya sehingga tak lama kemudian panggilan pemuda itu lenyap, tak terdengar
lagi olehnya.
Semalam
suntuk dia terus melanjutkan perjalanannya sampai pada keesokan harinya dia
mendengar suara tangis di dalam sungai dekat kuil tua. Ketika dia menghampiri
sungai itu, dilihatnya Hwi Sian sedang merendam tubuh di dalam air sungai yang
jernih sambil menangis!
"Hwi
Sian...! Mengapa kau? Mengapa pula kau menangis?" Giok Keng menegur penuh
keheranan, dan seketika dia lupa akan urusannya sendiri yang selama semalaman
telah mengganggu pikirannya.
Hwi Sian
terkejut, menengok dan melihat Giok Keng, dia merasa makin berduka sehingga
tangisnya mengguguk, dari mulutnya hanya terdengar suara tangis dan kata-kata
yang tak dapat dimengerti oleh Giok Keng.
"Hwi
Sian, ada apakah?" kembali dara ini mendesak penuh keheranan.
"...aku
cinta kepadanya... hu-hu-huuh, aku cinta kepadanya..." Akhirnya Hwi Sian
dapat menjawab, akan tetapi jawabannya hanya ‘aku cinta padanya’ yang dikatakan
berkali-kali.
Ucapan ini
merupakan ujung pedang yang menusuk hati Giok Keng karena seolah-olah merupakan
sindiran akan cintanya kepada Liong Bu Kong! Akan tetapi melihat bahwa Hwi Sian
sungguh-sungguh menangis, dia segera memutar otak dan menduga-duga siapakah
gerangan yang dicinta oleh gadis itu!
"Siapa?
Siapa yang kau cinta itu?"
"Aku
cinta kepadanya... aaahhh, aku cinta kepadanya!" Hwi Sian berkata lagi.
Giok Keng
menjadi tidak sabar. "Ke mana dia sekarang?"
"Dia
pergi... meninggalkan aku... huhuuhhh, aku cinta kepadanya tapi dia
pergi..."
"Ke
mana?"
Hwi Sian
seperti seorang anak kecil, hanya menudingkan telunjuknya ke depan dan Giok
Keng segera meloncat dan berlari cepat, menuju ke arah yang ditunjuk oleh gadis
itu.
Tak lama
kemudian, di dalam sebuah hutan, dia mendengar suara keras disusul robohnya
sebatang pohon. Dia cepat menghampiri dan melihat Kun Liong yang merobohkan
pohon dengan pukulannya tadi. Kemudian dia melihat pemuda itu menjatuhkan diri
duduk di atas tanah, termenung-menung, kemudian berteriak.
"Tidak
sudi!" dan memukul hancur sebuah batu besar di dekatnya. Maka muncullah
Giok Keng sambil menegur karena perbuatan Kun Liong itu amat mengherankan
hatinya.
Demikianlah,
Kun Liong yang ditegur menjadi gugup dan menjawab bahwa dia memukul pohon dan
batu untuk latihan! Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendengar dara itu
berkata dengan suara bernada penuh teguran,
"Yap
Kun Liong, engkau sungguh seorang yang berhati kejam!"
"Cia
Giok Keng, apa maksudmu?" Kun Liong bertanya dan memandang heran.
"Mengapa
engkau begitu kejam terhadap Hwi Sian!"
Seketika
pucatlah wajah Kun Liong mendengar ini. Celaka, pikirnya. ternyata Hwi Sian
seorang yang tidak bisa dipercaya! Betapa mudahnya Hwi Sian menceritakan
peristiwa itu kepada orang lain begitu saja! Saking kaget dan bingungnya, dia
tidak mampu menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak.
"Kenapa
kau pergi meninggalkan Hwi Sian begitu saja, padahal dia sangat mencintamu? Aku
melihat dia menangis dan seperti orang kehilangan ingatan, hanya bilang bahwa
dia mencintaimu berkali-kali dan bahwa engkau pergi meninggalkan dia. Apakah
itu tidak kejam?"
Lega hati
Kun Liong dan dia merasa kasihan sekali kepada Hwi Sian. Kiranya dara itu tidak
menceritakan peristiwa semalam, hanya mengatakan cinta kepadanya dan ditinggal
pergi karena ketahuan menangis oleh Giok Keng. Dia menarik napas panjang
kemudian berkata,
"Giok
Keng, betapa cinta kasih dapat dipaksakan? Betapa mungkin cinta kasih dapat
memilih orangnya? Memang Hwi Sian menyatakan cinta kepadaku, akan tetapi kalau
tak ada perasaan seperti itu di dalam hatiku kepadanya, salahkah aku?"
"Kun
Liong, Hwi Sian adalah seorang dara yang cantik dan gagah, seorang wanita yang
baik. Bagaimana mungkin engkau tak dapat membalas cintanya?"
"Dia
sudah bertunangan dengan Ji-suheng-nya..."
"Pertunangan
bisa saja diputuskan! Ikatan jodoh haruslah diadakan oleh dua orang yang
bersangkutan, oleh pria dan wanita itu sendiri karena hal itu akan menyangkut
kehidupan mereka selamanya! Mereka berdua yang akan menghadapinya, yang akan
berdampingan selama hidupnya, bukan orang tua atau guru yang menjodohkan!"
Ucapan ini dikeluarkan dengan penuh semangat oleh Giok Keng sehingga
mengherankan hati Kun Liong. "Apa lagi, engkau sendiri pun sudah
bertunangan. Sebaliknya engkau dan dia, kalau memang saling mencinta,
membatalkan pertunangan masing-masing dan..."
"Giok
Keng, apa maksudnya ucapan ini? Aku sudah bertunangan? Bagaimana ini, aku tidak
mengerti."
Giok Keng
menarik napas panjang. "Tentu saja kau tidak mengerti. Nah, kau bacalah ini
dulu." Dia mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya, menyerahkannya
kepada Kun Liong kemudian meninggalkan pemuda itu, duduk di atas sebuah batu
besar tak jauh dari situ, termenung dan membelakangi Kun Liong.
Pemuda
gundul ini menjadi semakin heran. Dengan hati berdebar dan merasa tidak enak
dia membuka sampul dan membaca surat yang ditulis dengan gaya coretan yang
indah dan gagah. Tulisan Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang ditujukan kepadanya!
Membaca kalimat-kalimat terakhir, mukanya berubah menjadi merah sekali, dan
matanya terbelalak.
"Karena
ayah ibumu telah meninggal dunia, sebagai supek-mu boleh dibilang aku adalah
walimu. Karena itulah, maka kuharap kau datang ke Cin-ling-san bersama Giok
Keng, dan kita dapat membicarakan tentang perjodohan antara kau dan Giok
Keng."
Dia
dijodohkan dengan Cia Giok Keng! Otomatis dia memandang ke arah punggung dara
yang duduk termenung di atas batu besar itu. Sepatutnya dia bersyukur!
Sepatutnya dia menerima berita ini dengan girang. Cia Giok Keng adalah seorang
dara yang cantik jelita, berkepandaian tinggi, dan puteri pendekar sakti yang
terkenal. Dan dia harus mengakui bahwa dia suka kepada Giok Keng, terutama
sekali kepada hidung dara itu yang amat manis bentuknya!
Namun,
membayangkan betapa selamanya dia akan hidup berdampingan dengan Giok Keng sebagai
sepasang suami isteri, tidak bebas hidup lagi, terikat dan diancam bahaya
pertengkaran karena cemburu dan kesalah pahaman yang lain, dia merasa ngeri
juga!
Kemudian dia
teringat akan bujukan Giok Keng agar supaya dia membatalkan perjodohan ini dan membalas
cinta Hwi Sian! Apa artinya ini? Hanya satu, ialah bahwa Giok Keng sendiri di
dalam hatinya menentang perjodohan ini!
Cepat dia
menghampiri Giok Keng dan duduk pula di atas batu, di depan dara itu, setelah
menyimpan surat di sakunya. Mereka saling berhadapan, saling berpandangan
sejenak, kemudian Kun Liong bertanya,
"Engkau
sudah tahu tentang ini?" Dia menepuk saku bajunya. Giok Keng mengangguk.
"Dan
bagaimana pendapatmu?"
Giok Keng
menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu."
"Engkau
agaknya tidak setuju."
"Memang,
mana bisa hal perjodohan diatur orang lain? Pula, engkau dicinta oleh Hwi Sian
yang mengaku sendiri kepadaku. Mana mungkin aku merampas orang yang sudah
dicinta oleh dara lain?"
"Giok
Keng, aku sudah menjawab bahwa aku tidak membalas cinta Hwi Sian."
"Dan
kau... kau... ehh, bagaimana pendapatmu dengan surat ayah?"
"Tidak
tahulah. Aku menjadi bingung, urusan ini dikemukakan begini tiba-tiba."
Sepasang
mata dara itu yang amat jernih dan tajam sekarang memandang penuh selidik
seakan-akan hendak menembus dan menjenguk isi hati Kun Liong, kemudian
terdengar pertanyaannya yang terang-terangan, "Kun Liong, apakah engkau
cinta kepadaku?"
Kun Liong
cepat menggelengkan kepalanya yang gundul. "Aku tidak mencinta siapa pun,
Giok Keng. Hati dan pikiranku jauh dari pada cinta seperti yang kau maksudkan
itu. Tidak, aku rasa aku tidak cinta padamu, walau pun hal ini bukan berarti
bahwa aku tidak suka kepadamu, terutama kalau aku memandang... hidungmu. Aku
suka padamu, akan tetapi cinta? Entahlah, kukira tidak!"
Sepasang
mata itu memandang makin tajam pada saat Giok Keng bertanya lagi, "Kalau
begitu, mengapa dahulu itu di Siauw-lim-si engkau... menciumku?"
Bukan main
kaget hati Kun Liong mendengar ini. "Kau... bagaimana kau bisa tahu? Kau
pingsan dan..."
"Sebetulnya
aku telah siuman ketika engkau menciumku, karena terlampau kaget melihat
perbuatanmu dan melihat pula Ayah datang, aku diam saja dan pura-pura masih
pingsan. Kenapa engkau dulu menciumku seperti itu dan sekarang kau bilang tidak
cinta padaku?"
"Aihh…,
harap kau jangan salah paham, Giok Keng. Kau pingsan dan aku melihat bahwa
pernapasanmu sudah terhenti oleh serangan asap, maka jalan satu-satunya pada
saat itu adalah pernapasan bantuan. Aku tidak menciummu, melainkan meniupkan
hawa melalui mulutmu untuk jalankan kembali paru-parumu yang berhenti bekerja.
Mengertikah kau?"
Giok Keng
mengangguk-angguk, di dalam hatinya timbul dua macam perasaan. Lega dan kecewa!
Dia merasa lega karena ternyata bahwa Kun Liong tidak mencintanya sehingga
perjodohan itu dapat dibatalkan, karena dia harus mengaku bahwa dia jatuh cinta
kepada Liong Bu Kong. Namun pada saat itu pula dia kecewa karena ternyata Kun
Liong yang disangkanya menciumnya karena cinta kepadanya, ternyata tidak!
Wanita memang ingin sekali digilai dan dicinta oleh semua pria di dunia ini,
meski dia hanya akan menjatuhkan hatinya kepada seorang saja di antara mereka!
"Kun
Liong, aku ingin sekali tahu. Apakah engkau suka menciumku?"
Mata Kun
Liong terbelalak. Betapa anehnya dara ini! Begitu terus terang, maka dia pun
harus bersikap jujur dan dia mengangguk. "Tentu saja aku suka!"
Mata Giok
Keng mengeluarkan sinar marah. "Kau bilang tidak cinta kepadaku akan
tetapi mengapa kau suka menciumku?"
"Mengapa
tidak?" Kun Liong cepat menjawab dengan terus terang pula. "Aku suka
sekali melihat bunga yang indah, aku suka mencium bunga yang harum sungguh pun
aku tidak berniat memiliki bunga itu. Aku suka mencium dara yang cantik
menarik, apa lagi seperti engkau, Giok Keng, akan tetapi kesukaanku itu bukan
berarti bahwa aku ingin memilikimu sebagai jodohku. Aku akan bohong kalau aku
bilang bahwa aku cinta kepadamu."
Diam-diam
Giok Keng menjadi heran sekali dan juga kagum akan kejujuran Kun Liong.
Agaknya, semua pemuda di dunia ini takkan segan-segan mengaku cinta dengan
sumpah seribu macam untuk memancing dan mendapatkan sekedar ciuman seorang
dara, apa lagi kalau untuk mendapatkan tubuhnya! Akan tetapi Kun Liong dengan
terang-terangan pula menyatakan tidak cinta! Dia pun mulai merasa bingung dan
menduga-duga, apakah rasa sukanya kepada Liong Bu Kong itu benar-benar cinta
seperti yang diduganya?
"Kun
Liong, sebetulnya bagaimanakah cinta itu? Tadinya kukira bahwa kalau seorang
pria suka kepada seorang wanita atau pun sebaliknya adalah cinta. Bagaimanakah
sebetulnya dan apakah cinta itu?"
Kembali
kepala yang gundul itu bergerak digelengkan. "Aku sendiri pun tidak tahu.
Aku hanya tahu bahwa kalau orang ingin selamanya bersanding dengan seorang
dara, berarti dia mengundang datangnya penderitaan karena sudah pasti di dalam
hatinya akan timbul kebosanan, pertentangan, cemburu, kemarahan dan mungkin
kebencian. Kalau perasaan suka itu cinta, maka aku tidak berani jatuh cinta
seperti itu! Tidak, aku tak akan jatuh cinta. Aku tidak mau mengikatkan diriku
kepada seorang wanita. Apa lagi menikah! Setahuku, wanita merupakan makhluk
lemah akan tetapi aneh dan luar biasa sekali. Satu kali aku menikah dan
mengikatkan diri, tentu aku akan sengsara, tidak bisa bebas lagi, setiap hari
menghadapi kerewelannya, cemburunya, kemanjaannya, maka celakalah aku. Tidak,
aku tidak akan mencinta wanita, sungguh pun aku suka sekali kepada mereka,
terutama yang cantik seperti kau, Giok Keng."
Sepasang
alis Giok Keng berkerut. Betapa tak menyenangkan ucapan Kun Liong! Betapa
meremehkan dan merendahkan wanita. Betapa bedanya dengan ucapan Bu Kong!
"Kun
Liong...!" Tegurnya dengan kemarahan ditahan.
"Hemmm..."
"Kurasa
engkau ini seorang yang..."
"Ya...?"
"Seorang
pemuda yang sombong, memandang rendah wanita, terlalu tinggi hati, merasa suci
dan bersih sendiri, dan kepala angin!"
Makin lebar
mata Kun Liong, apa lagi mendengar makian terakhir itu. "Kepala angin?"
"Ya!
Kepalamu hanya terisi angin kosong belaka! Tadi kau bilang tidak pernah
mencinta seorang wanita, akan tetapi kau pandai berceramah mengenai cinta,
ceramah tolol dan ngawur. Betapa bodohnya Hwi Sian yang menangisi dan jatuh
cinta kepada seorang tolol macam engkau. Engkau memualkan perutku! Betapa benci
aku kepadamu!"
"Eh?
Benci? Sayang sekali, Giok Keng. Itulah yang tak kusukai tentang cinta. Kalau
tidak cinta, lalu benci. Apakah di dalam hati wanita hanya ada dua macam
perasaan itu? Kalau tidak cinta, benci? Apakah tidak ada perasaan di antara
cinta dan benci? Tidak cinta akan tetapi juga tidak benci?"
Giok Keng
merasa semakin bingung dan marah. "Sudahlah, dari mana kau mendapatkan
kepandaian hebat dan pengertian tentang cinta bila kau sendiri tidak pernah
jatuh cinta?"
"Ehh,
dari... dari kitab-kitab dan dari kesadaran..."
"Huh,
kitab! Mempelajari cinta dari kitab! Aku muak dan benci kepadamu!"
"Benarkah?
Sayang sekali."
"Akan
tetapi aku pun amat berterima kasih kepadamu bahwa kau tidak cinta padaku, Kun
Liong."
"Ehh,
apa pula ini? Muak dan benci akan tetapi berterima kasih?"
"Setelah
kau menyatakan dengan jujur bahwa kau tidak cinta kepadaku, tentu kita tidak
setuju dengan ikatan jodoh di antara kita yang diadakan oleh ayah ibuku."
"Ya,
begitulah."
"Dan
kau tentu suka untuk menyatakan secara terus terang pula kepada ayahku bahwa
kau tidak bisa menerima ikatan jodoh ini karena kau tidak cinta padaku, dan aku
pun tidak cinta padamu."
Kepala Kun
Liong mengangguk-angguk. "Sudah sepatutnya begitu. Aku akan menghadap
ayahmu dan aku akan minta agar ikatan jodoh kita ini dibatalkan."
Giok Keng
bersorak girang, meloncat dan merangkul Kun Liong, lalu... mencium kepala
gundulnya!
"Terima
kasih, Kun Liong. Terima kasih!"
Dia meloncat
pergi dan berlari dari tempat itu, sehingga Kun Liong yang termangu-mangu,
bengong meringis bingung dan mengusap-usap kepala gundulnya yang dicium tadi.
Dia makin tidak mengerti akan perangai wanita, terutama Giok Keng!
***************
Dua orang
wanita muda itu beristirahat di bawah sebatang pohon besar di dalam hutan itu.
Mereka telah tiba di kaki Pegunungan Go-bi-san yang amat luas, penuh dengan
hutan lebat dan amat sunyi itu. Mereka adalah Pek Hong Ing dan suci-nya, Lauw
Kim In.
Wajah
keduanya muram dan Pek Hong Ing masih mengenakan pakaian seorang nikouw. Juga
wajah Kim In yang cantik manis itu kelihatan muram sekali dan pandang matanya
selalu menghindar dari sumoi-nya.
Semenjak
kecil mereka berdua sudah menjadi murid Go-bi Sin-kouw, tinggal bersama di
pegunungan sunyi, selalu rukun dan saling mencinta bagaikan kakak beradik. Maka
dapat dibayangkan betapa duka hati Kim In bahwa dia terpaksa harus menangkap
sumoi-nya dan memaksanya menghadap subo mereka, padahal dia tahu benar bahwa
sumoi-nya itu tidak suka dinikahkan dengan Pangeran Han Wi Ong yang usianya
telah lima puluh tahun itu. Sedih hatinya memikirkan nasib sumoi-nya.

Akan tetapi
dia pun marah dan penasaran sekali melihat sumoi-nya yang sudah menjadi nikouw
itu bersenda gurau dengan seorang pemuda tampan berkepala gundul! Andai kata
dia tidak melihat mereka dan hatinya yakin bahwa mereka bermain gila, agaknya
dia tetap tidak akan tega menangkap sumoi-nya dan dia akan pulang dengan tangan
kosong, nekat akan membohongi gurunya bahwa dia gagal mencari sumoi-nya! Akan
tetapi, perbuatan sumoi-nya bermain cinta dengan pemuda gundul aneh yang luar
biasa itu membuat dia merasa penasaran dan marah sekali.
"Suci,
telah berkali-kali kukatakan kepadamu bahwa Kun Liong bukan seorang
hwesio...," terdengar suara Hong Ing penuh kedukaan.
Suci-nya
tidak menoleh, hanya menghela napas dan diam saja. Hening sekali keadaan di
situ dan akhirnya Kim In berkata lirih,
"Mungkin
dia bukan hwesio, mungkin hanya seorang pemuda ugal-ugalan yang sengaja
menggunduli kepalanya. Akan tetapi apa bedanya? Tetap saja engkau bermain
dengan dia, padahal engkau sudah menjadi nikouw. Betapa memalukan hal ini,
Sumoi. Sebagai enci-mu, tentu saja hal ini merupakan tamparan hebat dan aku
malu sekali. Apa bila aku tak sayang kepadamu, bukankah perbuatan itu sudah
cukup bagiku untuk menjadi alasan membunuhmu? Akan tetapi aku tidak tega, maka
aku hanya akan membawamu kembali kepada Subo. Selanjutnya terserah kepada Subo,
dan aku pun tidak akan menceritakan tentang peristiwa di balik semak-semak
itu."
"Suci,
engkau benar kejam sekali! Pernahkah aku membohong kepadamu semenjak kita
menjadi saudara di Go-bi-san! Kami tidak bermain gila seperti yang Suci sangka.
Memang aku tidak dapat menahan ketawa, dan kami berdua tertawa itu sama sekali
bukan sedang main gila, bermain cinta atau bersenda gurau seperti yang kau
duga. Dia memang lucu sekali..."
"Ya,
lucu dan tampan!"
"Aihhh
Suci. Bukan demikian maksudku. Kalau engkau sendiri mendengar kata-katanya,
sikap dan pandangan hidupnya, tentu engkau akan tertawa juga. Kun Liong seorang
yang baik, Suci. Pertama-tama aku bertemu dengannya adalah ketika aku terluka
parah oleh jarum beracun dari Ouwyang Bouw putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok
dan dia yang telah mengobatiku secara luar biasa! Dan tahukah engkau bagaimana
aneh dan lucunya? Katanya, kepalanya menjadi gundul juga karena jarum beracun
Ouwyang Bouw itu! Aku telah berhutang budi kepadanya, maka ketika aku melihat
dia tertawan pasukan, aku lalu menolongnya. Dan kau melihat sendiri betapa dia
kembali mengorbankan diri menolongku ketika huito-mu menyambar."
Kim In
membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi sumoi-nya kemudian menatap wajah
sumoi-nya dengan tajam penuh selidik, lalu bertanya lantang, "Sumoi,
apakah kau jatuh cinta kepada pemuda gundul itu?"
Seluruh
wajah yang cantik jelita dan kepala yang gundul kelimis itu menjadi merah
sekali. Dengan suara gemetar Hong Ing menjawab, "Mengapa Suci bertanya
demikian? Aku baru saja bertemu dengan dia. Aku kagum kepadanya, aku suka...
akan tetapi, aku tidak tahu... tentang cinta... hemmm, entahlah."
"Itu
tandanya kau mulai jatuh cinta. Hemm, laki-laki semua penipu, tidak dapat
dipercaya! Jangan kau mudah menjatuhkan hati kepada seorang pria, Sumoi. Kau
akan kecewa!"
Hong Ing
memandang suci-nya dengan sinar mata penuh iba. "Aku tahu, Suci. Kau sakit
hati karena kau pernah tertipu. Akan tetapi aku yakin sekali bahwa sampai detik
ini pun kau masih... masih mencintanya."
Berubah
wajah Kim In dan cepat dia menghapus dua titik air mata yang membasahi bulu
matanya. "Memang, tetapi dia sudah mati. Andai kata dia masih hidup, belum
tentu aku dapat memaafkan perbuatannya yang terkutuk itu! Berjinah dengan
isteri muda Thian-ong Lo-mo! Cihh! Akan tetapi dia sudah mati dan bagaimana pun
juga aku akan membalaskan kematiannya kepada Thian-ong Lo-mo."
"Tapi
kabarnya kakek itu lihai sekali, Suci. Bahkan kabarnya tingkatnya seimbang
dengan Subo."
"Pasti
akan tiba masanya aku dapat membalaskan kematian tunanganku kepada kakek
itu!" kata Kim In berkeras.
Tiba-tiba
saja dua orang dara yang cantik itu meloncat berdiri dan memutar tubuh. Mereka
mendengar suara langkah kaki orang, akan tetapi ketika mereka meloncat dan
memutar tubuh, tidak ada bayangan orangnya! Selagi mereka terheran-heran dan
saling pandang, di sebelah belakang mereka terdengar suara orang tertawa, suara
tawa seorang laki-laki!
Cepat mereka
kembali memutar tubuh dan... mereka tidak melihat apa-apa di situ kecuali
pohon-pohon yang lebat dan sunyi. Padahal gema suara ketawa itu masih terdengar
oleh mereka.
Kim In dan
Hong Ing saling pandang dan merasa ngeri. Mereka tak percaya akan adanya setan.
Telah belasan tahun mereka tinggal di Pegunungan Go-bi-san, telah belasan tahun
mereka mengenal hutan-hutan lebat tetapi belum pernah mereka bertemu setan.
Sebagai murid-murid orang pandai, mereka tahu bahwa mereka kini berhadapan
dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Harap
Locianpwe suka memperlihatkan diri kalau ada keperluan dengan kami berdua murid
Subo Go-bi Sin-kouw!" Kim In berkata dengan sikap hormat akan tetapi
dengan suara berwibawa mengandalkan nama besar subo-nya.
Tiba-tiba
saja kembali terdengar suara tertawa bergelak di belakang mereka. Pada waktu
mereka memutar tubuh, mereka berdua menjadi bengong keheranan karena yang
disebut locianpwe (orang tua gagah) oleh Kim In itu ternyata adalah seorang
lelaki muda, berusia paling banyak dua puluh lima tahun, berwajah tampan, bertubuh
tegap, dan pakaiannya mewah!
"Ha-ha-ha-ha,
kukira tadi dua orang bidadari penunggu hutan yang berada di sini, kiranya dua
orang wanita yang cantiknya bahkan melebihi bidadari. Hemmm, meski yang seorang
menjadi nikouw, namun cantik juga."
Melihat
pemuda itu, segera muka Hong Ing berubah dan dengan desis marah dia berkata,
"Engkau... Ouwyang Bouw!"
Pemuda itu
memang Ouwyang Bouw. Terkejut juga dia mendengar namanya disebut oleh nikouw
muda itu, akan tetapi dia tersenyum kemudian berkata, "Engkau telah
mengenal namaku, Nikouw muda? Bagus sekali. Aku memang Ouwyang Bouw."
Kim In
langsung mencabut pedangnya, bahkan dia melemparkan pedang ke dua kepada
sumoi-nya. Mendengar bahwa pemuda inilah yang pernah melukai sumoi-nya, apa
lagi bahwa pemuda ini adalah putera datuk sesat Ban-tok Coa-ong, dia sudah
menjadi marah sekali walau pun diam-diam dia kagum bukan main menyaksikan
kepandaian pemuda ini yang dapat muncul tanpa mereka ketahui.
"Kiranya
anak datuk kaum sesat yang pernah melukaimu, Sumoi. Mari kita hajar dia!"
Sambil
berkata demikian, tubuh Kim In sudah berkelebat ke depan. Dia sudah menyerang
dengan pedangnya, mengirim tusukan kilat ke arah tenggorokan Ouwyang Bouw.
Namun sambil terkekeh, dengan mudahnya Ouwyang Bouw mengelak dan memang pemuda
ini memiliki ginkang yang amat tinggi.
Pada saat
Hong Ing juga menerjang maju, pemuda itu masih enak-enak melayani kakak beradik
seperguruan itu dengan mengandalkan kegesitannya, mengelak dan berloncatan ke
sana-sini sambil tertawa-tawa.
"Ehh,
tahan dulu! Aku mau bicara!" Tiba-tiba saja dia meloncat ke belakang
sedemikian cepatnya sehingga dua orang dara itu mendadak kehilangan lawan, dan
baru tahu setelah Ouwyang Bouw berdiri belasan meter jauhnya di depan mereka.
"Hemm,
bicara apa lagi?" bentak Kim In, dan dia melintangkan pedangnya di depan
dada, sikapnya gagah sekali.
"Aku
baru datang, tidak merasa mengganggu kalian, mengapa kalian memusuhiku?"
"Tidak
mengganggu, ya?" Hong Ing menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda itu.
"Lupakah kau ketika bersama ayahmu kau datang ke Kuil Kwan-im-bio,
membunuh Biauw Kui Nikouw ketua kuil, kemudian secara menggelap menyerangku
dengan jarum merah beracun?"
Berkerut
alis Ouwyang Bouw dan sepasang matanya yang liar itu sejenak menghentikan
gerakannya, seolah-olah sedang mengingat-ingat. Kemudian dia
mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata,
"Aihh,
kiranya engkaukah itu? Aku tidak tahu, kalau aku tahu bahwa dia itu engkau yang
cantik jelita ini, tentu aku tak akan menyerangmu dengan jarum! Wah, kau lihai
juga dapat menyelamatkan diri dari jarumku. Dengar, jangan menyerang dulu.
Kalian tak akan dapat menang. Dengar lebih dulu kata-kataku. Aku sekarang hidup
sebatang kara. Teringat aku betapa Ayah dahulu sering kali membujukku untuk
memilih seorang gadis yang baik dan menikah. Tadi aku melihatmu, Nona, dan
mendengar engkau menaruh dendam kepada Thian-ong Lo-mo." Dia memandang Kim
In dengan sinar mata kagum. "Ha-ha, tua bangka itu sudah hampir mampus di
Telaga Kwi-ouw, akan tetapi kakek licin itu masih berhasil menyelamatkan diri
dari kepungan pasukan pemerintah dan kini bersembunyi. Hanya aku yang tahu
tempatnya. Nona, begitu melihatmu, aku tertarik sekali kepadamu. Kau gagah dan
cantik, terbayang kekerasan hati di balik kelembutan dan kehalusan kulitmu.
Hebat! Aku sudah jatuh cinta padamu, Nona, dan aku tahu, hanya engkaulah yang
pantas untuk menjadi isteriku!"
"Tutup
mulutmu, keparat!" Kim In sudah menerjang dengan dahsyat, dan sumoi-nya
juga cepat membantu suci-nya mengeroyok pemuda yang lancang mulut dan kurang
ajar itu.
"Trang-cringgg...!"
Dua orang
dara itu meloncat mundur ke belakang dengan terkejut ketika merasa betapa
telapak tangan mereka terasa panas sesudah pedang mereka tertangkis oleh
sebatang pedang yang bentuknya seperti ular.
"Ha-ha-ha,
percuma saja kalian melawan. Biar subo kalian tak akan menang bertanding
melawanku!" Ouwyang Bouw mengejek.
Kim In yang
sudah marah sekali, kembali menerjang dibantu oleh Hong Ing. Terjadilah
pertandingan yang hebat, namun Ouwyang Bouw hanya menggunakan pedangnya untuk
melindungi tubuh, sama sekali tidak mau membalas. Bahkan dia masih dapat
berbicara seenaknya.
"Nona,
sampai mati kau tak akan mampu melawan Thian-ong Lo-mo. Jadilah isteriku dan
aku akan menyeret tua bangka itu ke depan kakimu!"
"Keparat!"
Kim In berteriak lagi dengan marah.
Kini dia
menggunakan jurusnya yang paling ampuh untuk menyerang lawan yang tangguh ini.
Juga Hong Ing menjadi marah dan membantu suci-nya, menyerang sekuat tenaga.
"Cring!
Cringgg... aughhh...!"
Dua orang
dara itu roboh tak dapat bergerak lagi karena telah terkena totokan jari tangan
kiri Ouwyang Bouw yang lihai bukan main itu.
Kedua orang
dara itu memandang dengan mata melotot, setengah ngeri ketika Ouwyang Bouw
berlutut di dekat mereka sambil tertawa-tawa. Dengan tangan kiri Ouwyang Bouw
mengelus dagu Kim In, memandang penuh kagum dan dia berkata,
"Bagaimana,
Nona? Apakah aku masih kurang lihai dan kurang berharga untuk menjadi suamimu?
Maukah kau menjadi isteriku, isteri tercinta dan aku bersumpah untuk menjadi
seorang suami yang setia, yang baik, yang akan menuruti segala kehendakmu,
manis?"
"Tidak
sudi!" bentak Kim In yang memang sudah merasa sakit hati terhadap pria
setelah tunangannya itu menyeleweng. Dia dapat bicara akan tetapi tidak mampu
menggerakkan kaki tangannya lagi.
"Hemm,
begitukah? Aku jatuh cinta padamu, tidak seperti kepada wanita lain. Aku tidak
suka memaksamu, juga tidak tega memperkosamu. Akan tetapi jika kau tidak
menerima lamaranku secara baik-baik, apa boleh buat! Apa bila kau tetap
berkeras tidak mau, akan kubunuh sumoi-mu ini, sebab aku ngeri untuk memperkosa
seorang nikouw, takut kelak di neraka mengalami hukuman yang terlampau berat!
Sesudah membunuh sumoi-mu, aku akan memperkosamu, biar pun dengan hati terluka,
dan hendak kulihat apakah kau akan terus berkeras hati menolakku." Setelah
berkata demikian, Ouwyang Bouw menghampiri Hong Ing.
Dara ini
sama sekali tidak takut menghadapi kematian, tapi mati secara konyol demikian
sungguh mengerikan dan membuat dia penasaran. Kalau dia mati dalam
pertandingan, hal itu bukan apa-apa. Namun benar-benar mengerikan juga untuk
mati dalam keadaan tertotok seperti itu, maka dia memandang pemuda yang
menghampirinya itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Ha-ha-ha,
dahulu engkau dapat menyelamatkan diri dari jarum-jarumku, bukan? Mungkin hanya
mengenai bagian yang tidak berbahaya. Sekarang hendak kulihat, apakah goresan
jarum-jarumku di dadamu akan dapat kau pertahankan. Ha-ha-ha!"
Sambil
tertawa-tawa, Ouwyang Bouw mengeluarkan dua batang jarum kecil merah. Jari
tangan kirinya bergerak cepat dan... jubah pendeta yang menutupi dada Hong Ing
sudah terbuka, memperlihatkan pakaian dalamnya berikut belahan dadanya yang
membusung keluar. Ketika pemuda itu sudah mengangkat jarum ke atas hendak
diguratkan pada kulit dada yang membusung dan halus itu, tiba-tiba Kim In
menjerit.
"Tahan
dulu!"
"Ha-ha-ha,
kau kasihan kepada sumoi-mu, Manis? Baik benar hatimu, dan aku menjadi makin
cinta kepadamu."
Kim In
mengerutkan alisnya sambil memutar otaknya yang sejak tadi sudah
menimbang-nimbang. Jelas bahwa pemuda ini amat lihai, mungkin tidak kalah oleh
subo-nya dan tidak kalah oleh Thian-ong Lo-mo! Keadaan dia dan sumoi-nya sudah
tak berdaya sama sekali. Sumoi-nya tentu akan tewas dalam keadaan tersiksa dan
mengerikan, dan bagaimana dia akan dapat menghindarkan dirinya dari perkosaan
dan penghinaan? Kini hanya ada satu jalan, yaitu menerima lamaran pemuda itu
yang betapa pun juga merupakan seorang pemuda yang tampan, tegap dan gagah.
"Aku
mau menerima pinanganmu, akan tetapi dengan tiga syarat!" katanya.
Sekali
meloncat, Ouwyang Bouw sudah menghampiri Kim In, tangannya bergerak dan dara
itu telah terbebas dari totokan. Kim In bangkit berdiri, dibantu oleh Ouwyang
Bouw dengan gerakan lemah lembut dan mesra, kelihatannya gembira bukan main
mendengar kesanggupan Kim In.
"Apakah
syaratnya, Manis!"
"Pertama,
kau harus membebaskan sumoi."
"Suci!
Jangan korbankan diri untukku!" Hong Ing berseru ngeri.
"Tidak,
Sumoi. Hanya inilah jalan terbaik, untukmu dan juga untukku. Kau bebas dan asal
kau menjadi nikouw dan bersembunyi di dalam bio yang terasing, kiranya Subo
tidak akan dapat menemukanmu," kata Kim In sambil menarik napas panjang.
"Dan...
kau...?" Hong Ing berbisik dengan mata terbelalak.
"Aku...?
Tak perlu kau memikirkan aku. Aku akan menjadi isterinya kemudian aku akan
membalas dendam kepada musuh-musuhku."
"Apakah
syaratnya yang ke dua dan ke tiga? Syarat pertama tentu saja kulaksanakan
sekarang juga!" Ouwyang Bouw yang kegirangan itu sudah meloncat ke dekat
Hong Ing dan berkata, "Adikku yang baik, sumoi-ku. Maafkanlah cihu-mu
(kakak iparmu), ya?" Dia membebaskan totokan Hong Ing dan dengan sopan
menutupkan kembali jubah Hong Ing yang terbuka!
Hong Ing
bangkit berdiri, cepat menalikan lagi ikat pinggangnya dan memandang suci-nya
dengan muka pucat. Sungguhkah suci-nya hendak mengorbankan diri seperti itu,
menjadi isteri pemuda gila putera datuk sesat itu?
"Syarat
ke dua, mulai saat ini engkau harus tunduk kepada semua keinginanku."
"Baik,
baik, tentu aku akan tunduk kepada keinginan isteriku yang tercinta."
"Dan
syarat ke tiga, engkau harus menurunkan seluruh kepandaianmu kepadaku."
"Ha-ha-ha,
isteriku yang manis. Tentu saja! Aku menerima semua syarat itu!"
"Bersumpahlah!"
Ouwyang Bouw
lalu berlutut dan bersumpah. "Disaksikan Langit dan Bumi, aku Ouwyang Bouw
bersumpah untuk memenuhi semua keinginan isteriku yang bernama... ehh, siapa
namamu?"
Mau tak mau
Kim In merasa geli hatinya sedangkan Hong Ing memandang ngeri.
"Namaku
Lauw Kim In."
"Wah,
namanya seindah orangnya!"
"Teruskan
sumpahmu."
"O
ya... aku bersumpah untuk memenuhi semua keinginan isteriku yang bernama Lauw
Kim In dan mengajarkan semua ilmuku kepadanya. Kalau aku melanggar sumpah, biar
aku tidak akan lama menjadi suaminya!"
Dia meloncat
bangun dan langsung merangkul dan mencium pipi Kim In! Muka gadis ini menjadi
merah sekali, segera berpaling kepada sumoi-nya dan berkata, "Nah, Sumoi.
Kau pergilah, dan semoga kau berbahagia dengan... Kun Liong..." Dia
mengusap air matanya dan berkata kepada Owyang Bouw. "Mari kita
pergi!"
"Isteriku
yang tercinta!" Owyang Bouw bersorak dan langsung memondong tubuh Kim In,
berjingkrak seperti anak kecil. "Isteri yang manis, Kim In... Moi-moi...,
mari kita berbulan madu di puncak gunung... di tepi telaga...
ha-ha-ha-ha...!" Cepat seperti terbang pemuda yang memondong tubuh Kim In
itu berlari dan lenyap dari depan Hong Ing yang masih bengong dengan air mata
mengalir turun membasahi kedua pipinya.
Peristiwa
itu seperti mimpi saja bagi Hong Ing. Sungguh merupakan hal yang sama sekali
tak terduga-duga. Begitu saja pemuda itu datang, dan begitu saja terjadi
perubahan hebat dalam hidup Kim In dan dia sendiri! Dalam beberapa menit saja
keadaan hidup mereka telah berubah sama sekali, dan sedikit pun hal itu tidak
pernah mereka sangka. Betapa anehnya hidup! Begitu saja kini suci-nya menjadi
isteri Ouwyang Bouw, ada pun dia yang sudah putus asa kini bebas sama sekali!
Dengan
jantung berdebar-debar Hong Ing menjatuhkan diri dan duduk di atas rumput. Dia
memikirkan keadaan suci-nya. Kenapa suci-nya demikian mudahnya menerima
pinangan Ouwyang Bouw, pemuda yang meski pun tampan dan lihai sekali namun
seperti berotak miring itu? Dia mengenangkan lagi apa yang baru saja terjadi,
dan dia merasa terharu setelah dia mengerti akan keputusan yang diambil
suci-nya.
Suci-nya
ialah seorang yang telah patah dan hancur hatinya, patah oleh penyelewengan
tunangan yang dicintanya, kemudian hancur oleh kematiannya. Hatinya penuh
dirundung dendam terhadap Thian-ong Lo-mo yang sukar untuk dibalas dan dia
selalu menantikan kesempatan untuk membalasnya. Lalu terjadilah peristiwa
pertemuan dengan Ouwyang Bouw itu.
Agaknya
dalam waktu singkat, suci-nya sudah dapat mempertimbangkan dan mengambil
keputusan yang bulat. Kalau dia menolak, tentu Ouwyang Bouw akan membunuh Hong
Ing dan kemudian akan memperkosanya, mungkin kemudian membunuhnya pula. Dan di
samping bahaya ini, juga suci-nya menghadapi keadaan yang sangat tidak enak
dengan memaksa Hong Ing kembali menghadapi subo mereka.
Kalau dia
menerima, tidak saja Hong Ing akan terbebas, juga dia mendapat kesempatan baik
untuk membalas dendam kepada Thian-ong Lo-mo dan memperoleh ilmu-ilmu yang
hebat! Keuntungannya jauh lebih besar kalau dia menerima dan kerugiannya amat
hebat kalau dia menolak. Itulah sebabnya!
Hong Ing
menarik napas panjang. "Terima kasih atas pengorbananmu ini, Suci...
semoga engkau berbahagia..."
Sambil
menghapus air matanya, nikouw muda ini meninggalkan hutan, meninggalkan kaki
Pegunungan Go-bi-san, menjauhkan diri dari tempat tinggal subo-nya di sebuah di
antara puncak-puncak Pegunungan Go-bi-san.
Akan tetapi
karena pikirannya masih terpengaruh oleh peristiwa tadi dan dia merasa amat
berduka mengenangkan nasib suci-nya, Hong Ing salah jalan. Benar dia menjauhi
puncak tempat tinggal subo-nya, akan tetapi dia malah memasuki daerah lain dari
Pegunungan Go-bi-san yang belum dikenalnya, daerah selatan yang penuh dengan
hutan-hutan besar dan kabarnya merupakan daerah yang sukar dan sangat berbahaya
sehingga subo-nya sendiri sering kali mengatakan agar kedua orang muridnya itu
jangan memasuki daerah ini.
Hong Ing
sadar bahwa dia salah jalan setelah malam tiba dan dia terseret dalam sebuah
hutan yang amat lebat. Karena tidak mungkin mencari jalan keluar dalam cuaca
gelap itu, terpaksa Hong Ing bermalam di hutan itu setelah mendapatkan sebuah
goa yang cukup besar. Ia lalu membuat api unggun dan dapat pulas sejenak, cukup
untuk menghilangkan lelahnya.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hong Ing sudah keluar dari goa dengan niat
mencari buah yang dapat dimakan. Perutnya terasa lapar sekali. Setelah makan,
baru dia akan mencari jalan keluar dari hutan itu.
Akan tetapi
tiba-tiba saja terdengar suara berkeredepan disusul berkelebatnya bayangan
banyak orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri tiga belas orang wanita muda
yang cantik-cantik mengurungnya! Melihat sikap mereka yang galak dan seperti
arca hidup itu, Hong Ing terheran dan teringat bahwa dia adalah seorang nikouw,
maka cepat dia merangkap kedua telapak tangannya dan berkata.
"Omitohud,
mau apa Cuwi (Anda Sekalian) mengurung pinni (aku) yang sedang mencari buah
untuk menghilangkan rasa lapar?"
Seorang di
antara mereka melangkah maju. Mereka itu adalah gadis-gadis berusia antara lima
belas sampai dua puluh lima tahun, ada yang membawa pedang, golok atau tombak,
sikap mereka membuktikan bahwa mereka itu rata-rata pandai limu silat akan
tetapi ada sesuatu yang aneh pada pandangan mata mereka yang seperti pandang
mata sebuah boneka!
"Nikouw
(Nona pendeta) siapakah? Dan tidak tahukah bahwa engkau sudah melanggar wilayah
kami tanpa ijin?" tanya wanita yang melangkah maju. Seperti semua
temannya, pakaiannya amat indah akan tetapi berwarna kuning semua, dan
rambutnya digelung dua di kanan kiri dan dibungkus sutera merah merupakan
sepasang bunga mawar.
"Pinni
adalah Pek Nikouw dan maafkan kalau pinni telah melanggar wilayah Cuwi karena
sesungguhnya pinni tidah sengaja."
Wanita yang
memimpin pasukan aneh ini bermain mata dengan teman-temannya, lalu berkata,
"Kalau engkau bukan seorang nikouw, tentu sudah kami tangkap dan kami
seret ke depan Siocia. Akan tetapi, karena engkau seorang nikouw, maka kami
harap Sukouw suka ikut bersama kami menghadap Siocia (Nona) supaya nanti Siocia
sendiri yang memutuskan."
Hong Ing
adalah seorang dara perkasa, yang tentu saja memiliki keberanian besar dan
mempunyai watak tidak mau dihina atau ditundukkan orang begitu saja. Sungguh
pun dia berpakaian nikouw dan kepalanya gundul, akan tetapi dia menjadi nikouw
akibat terpaksa, maka wataknya sebagai seorang dara perkasa masih tetap ada.
Dia mengerutkan alisnya dan berdiri dengan tegak, memandang mereka dan berkata,
"Aturan
apakah ini? Andai kata benar ini wilayah kalian, mana tanda-tandanya? Dan aku
masuk ke sini bukan sengaja, kenapa hendak ditangkap? Kalau aku tidak mau
ditangkap, kalian mau apa?"
Mendengar
ini, tiga belas orang gadis itu berseru marah dan pemimpin mereka segera
membentak, "Tangkap dia!"
Dua orang
segera menubruk, akan tetapi dengan mudahnya Hong Ing mengelak sambil
menggerakkan kaki tangannya menendang dan memukul. Akan tetapi alangkah
kagetnya pada waktu melihat bahwa dua orang itu dapat pula mengelak dan
menangkis serangan balasannya dan mulailah dia dikeroyok!
Dengan marah
Hong Ing mencabut pedang pemberian suci-nya dan membentak. "Mundur semua,
kalau tidak ingin mati di ujung pedangku!"
"Phuihh,
perempuan sombong!" mereka membentak dan tiga belas orang wanita itu
lantas menggunakan senjata masing-masing untuk mengeroyok Hong Ing.
Hong Ing
cepat memutar pedangnya dan diam-diam dia terkejut karena ternyata olehnya
bahwa biar pun kepandaiannya masih lebih tinggi dibandingkan dengan mereka ini,
tetapi sebagai anak buah, tingkat mereka sudah cukup hebat dan jumlah mereka
yang banyak membuat dia repot juga. Apa lagi karena senjata yang mereka gunakan
ada tiga macam, ada yang menggunakan pedang, ada yang mainkan golok dan ada
pula yang bersenjata tombak gagang panjang dan mereka semua merupakan ahli-ahli
dalam mainkan senjata mereka.
Dia harus
mengerahkan seluruh tenaga dan memainkan jurus-jurus yang terpilih dari ilmu
pedangnya supaya dapat melindungi diri dengan baik dan balas menyerang. Akan
tetapi, setelah lewat seratus jurus lebih, dia hanya dapat melukai pundak dua
orang pengeroyok dan ini bukan berarti dia menjadi ringan karena dua orang itu
walau pun sudah terluka, masih terus ikut mengeroyoknya!
Mulailah
Hong Ing merasa khawatir dan menyesal mengapa dia tidak menyerah saja tadi.
Kalau sekarang, dia pantang menyerah sebelum kalah karena sudah terlanjur
bertanding. Siapa tahu, meski pun aneh mereka itu bukanlah golongan jahat dan
orang yang mereka sebut siocia itu ternyata adalah seorang wanita sakti yang
baik-baik! Dengan demikian, dialah yang kelihatan buruk, sebagai seorang
melanggar ‘wilayah’ yang melawan dengan kekerasan ketika ditegur dan hendak
dihadapkan kepada yang berkuasa di daerah itu!
"Hi-hi-hi,
bodoh kalian, sekian lama mengeroyok seekor anjing gundul saja tidak mampu
mengalahkannya. Mundurlah!"
Seruan ini
disusul berkelebatnya bayangan merah dan tahu-tahu di sana sudah berdiri
seorang gadis berpakaian serba merah yang lebih cantik dari pada tiga belas
orang tadi, seorang gadis berusia dua puluh tahun yang memegang sebatang golok
yang berkilauan saking tajamnya. Tiga belas orang yang mengeroyok Hong Ing tadi
sudah mundur semua dan membentuk lingkaran lebar, berdiri sambil menonton.
Hong Ing
memandang dara baju merah itu penuh perhatian, kemudian merangkapkan kedua
tangannya sambil berkata, "Omitohud... agaknya Nona yang disebut Siocia
oleh mereka tadi."
Gadis itu
tertawa terkekeh dan kagetlah hati Hong Ing melihat betapa gigi yang bentuknya
bagus berderet rapi itu semua berwarna hitam, hitam mengkilap! Betapa sayang,
pikirnya, gadis secantik itu giginya hitam semua. Dia tidak tahu bahwa warna
giginya itulah yang menjadi kebanggaan gadis itu.
"Hi-hi-hik,
bukan, Sukouw. Aku adalah Amoi, hanya pelayan ke dua dari Siocia. Pelayan pertama
adalah Cici Acui. Mengapa engkau berkelahi dengan pasukan peronda kami?"
Hanya
pasukan peronda! Dan hanya tiga belas orang dan dia tidak mampu menangkan
mereka! Benar-benar hal ini membuat Hong Ing penasaran sekali. Dia sudah
kepalang melawan, kalau sekarang berhadapan hanya dengan seorang pelayan saja
dia bersikap mengalah, sungguh-sungguh amat memalukan. Lain lagi kalau
umpamanya yang datang adalah Si Siocia yang menjadi kuasa daerah itu, kiranya
lebih baik dia mengalah karena tentu Siocia itu lihai bukan main melihat betapa
pasukan perondanya saja sudah begitu lihai.
"Aku
hendak ditangkap, tentu saja aku tak mau karena tidak merasa bersalah."
jawabnya.
"Hi-hi-hik,
ada nikouw bersikap kasar dan suka memainkan pedang. Sungguh lucu! Siocia tentu
akan suka sekali melihatmu. Sukouw, siapa pun yang lewat di sini tanpa ijin
harus ditangkap, maka tidak ada kecualinya, biar pun engkau seorang nikouw muda
berkepala gundul, tetap saja harus menghadap Siocia."
"Aku
tidak mau, kecuali kalau Siocia kalian itu datang sendiri ke sini, jika hendak
bicara dengan pinni," kata Hong Ing dengan sikap angkuh.
"Bagus,
ingin kulihat sampai di mana sih kepandaianmu! Sambut golokku ini!" Wanita
baju merah itu telah menerjang dengan goloknya. Gerakannya cepat dan mantap,
maka Hong Ing tidak berani memandang rendah, langsung dia melangkah mundur
sambil menangkis dengan pedangnya.
"Cringgg…!"
Bunga api
berpijar dan keduanya terpental mundur, membuat Hong Ing semakin terkejut
karena ternyata tenaga sinkang yang dikerahkannya tadi hanya seimbang saja
dengan lawannya.
"Hi-hi-hik,
bagus sekali! Tenagamu lumayan! Mari kita main-main sebentar!"
Gadis
berbaju merah itu menyerang kembali setelah tertawa-tawa dan Hong Ing kini
cepat mainkan ilmu pedangnya, memutar pedangnya secepat kitiran, menjaga diri
sambil balas menyerang dengan dahsyat. Karena dia maklum bahwa biar pun hanya
seorang pelayan, tetapi kepandaian Amoi ini benar-benar hebat dan amatlah
memalukan kalau dia sampai kalah oleh seorang pelayan saja!
Hong Ing
memainkan Ilmu Pedang Pek-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Putih) yang
merupakan ilmu pedang kebanggaan subo-nya. Dan benar saja, begitu dia mainkan
ilmu pedang yang bersumber pada ilmu pedang Go-bi-pai ini, wanita baju merah
menjadi kaget dan mengeluarkan seruan nyaring, kemudian goloknya dimainkan
sedemikian rupa yang membuat Hong Ing terheran-heran dan kagum.
Ilmu golok
itu sangatlah aneh dan lucunya, kelihatannya kacau-balau akan tetapi justru
kekacau balauan gerakan ini yang membuat lawan menjadi bingung! Di balik
kekacauan ini terdapat gerakan inti yang sangat kuat, membuat gadis itu mampu
menangkis semua serangan pedang Hong Ing, bahkan membalas dengan tiba-tiba, tak
terduga-duga dan tak kalah dahsyatnya! Semua ini dilakukan oleh gadis baju
merah itu sambil terkekeh-kekeh genit!
Dengan
penasaran sekali Hong Ing lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, lantas
menerjang maju sambil memainkan jurus yang paling berbahaya dari Pek-eng
Kiam-hoat. Pedang itu mula-mula menangkis golok lawan yang menyambar, lalu dari
tenaga lawan yang dipinjamnya, pedangnya meluncur ke atas, berputaran dan
berubah menjadi sinar bergulung-gulung, kemudian sinar ini kembali meluncur ke
bawah dengan gerakan masih membentuk lingkaran akan tetapi dari lingkaran itu
menyambar cahaya kilat ke arah dua tempat secara bertubi dan susul-menyusul,
demikian cepatnya hingga hampir berbareng, yaitu ke arah ubun-ubun kepala lawan
dengan tusukan yang disambung dengan babatan ke arah leher. Inilah jurus yang
dinamakan Pek-eng To-coa (Garuda Putih Mematuk Ular), sebuah jurus pilihan yang
amat sukar dihindarkan lawan saking cepatnya dua serangan susul-menyusul itu.
"Hi-hi-hik...
haiii...!”
“Cringgg...
trangg...!"
Gadis baju
merah yang tadinya terkekeh itu menjerit kaget, cepat menggunakan goloknya
menangkis dua kali, namun karena agak terlambat, goloknya terlepas dari
pegangannya dan pada saat itu juga, sambil terkekeh lagi gadis itu sudah
menubruk maju dan hendak memeluk pinggang Hong Ing!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment