Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 25
WANITA ini
usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi pantasnya dan kelihatannya baru
kurang dari empat puluh tahun. Tubuhnya masih ramping dan gerakannya masih
lemah gemulai ketika melangkah menuruni anak tangga di depan pondoknya.
Di sebelah
kirinya tampak seorang pemuda tampan tinggi besar yang selain tampan juga gagah
sikapnya, pakaiannya indah dan mewah. Tentu itulah putera angkat Kwi-eng Niocu
yang kabarnya bernama Liong Bu Kong, tinggi kepandaiannya dan yang diduga oleh
Kun Liong sebagai pemimpin para pencuri di Siauw-lim-pai.
Dan di
sebelah kanan wanita itu berjalan seorang kakek yang hebat sekali keadaannya.
Kakek ini sekepala lebih tinggi dari Liong Bu Kong yang sudah tinggi besar itu,
tubuhnya seperti raksasa dan jelas tampak kuat seperti gajah! Usianya tentu
amat tinggi, namun sukar ditaksir berapa! Brewoknya menutupi sebagian besar
mukanya dan brewok itu, seperti rambutnya, sudah putih semua berikut alis dan
bulu matanya!
Namun
langkah kakek ini masih gagah seperti langkah seekor harimau, kedua lengannya
diayun agak jauh dari tubuhnya dan kakinya menginjak bumi dengan mantap seperti
kaki gajah berjalan! Matanya lebar dan sinar matanya tajam luar biasa,
menandakan bahwa kakek aneh ini cerdik sekali dan tentunya amat lihai, melihat
sikap ibu dan anak itu yang menghormatinya sebagai tamu yang berjalan paling
kanan.
Melihat
pemuda gundul ini, seketika wajah cantik nenek itu berseri-seri kemudian
seperti berbisik dia berkata kepada kakek raksasa di sebelah kanannya,
"Inilah dia yang bernama Yap Kun Liong!"
Kakek itu
memandang dengan matanya yang lebar, kemudian tertawa bergelak, suara ketawa
yang keluar dari perut dan mengejutkan Kun Liong karena suara ini mengandung
khikang yang kuat sekali!
"Hua-ha-hah-ho-hoh!
Ini namanya ular mencari penggebuk, ikan menghampiri sujen!"
"Aku
yakin dia ini yang telah menyembunyikan bokor emas yang asli. Hai, orang muda,
bukankah engkau yang memalsukan bokor emas? Bocah tampan, katakanlah di mana
adanya bokor yang asli dan engkau akan kujadikan muridku, hidup mewah dan mulia
di pulau ini!"
Kun Liong
cemberut, menyembunyikan hatinya yang panas mengingat bahwa wanita ini adalah
seorang di antara mereka yang membunuh ayah bundanya, satu-satunya orang yang
masih hidup dan yang akan dibunuhnya untuk membalas kemaitian ayah bundanya.
Akan tetapi dia dapat bersikap tenang karena terlebih dulu dia ingin
mendapatkan pusaka Siauw-lim-si, maka dia berkata,
"Kwi-eng
Niocu, dahulu aku sudah melemparkan bokor emas kepadamu, aku tidak tahu menahu
tentang bokor palsu atau tulen dan aku juga tidak peduli lagi. Yang penting aku
datang menagih janjimu karena bukankah dahulu kau berjanji akan mengembalikan
dua buah pusaka Siauw-lim-si yang dicuri oleh orang-orangmu kalau aku
memberikan bokor kepadamu? Nah, sekarang aku datang untuk menerima sebatang
pedang pusaka beserta sebuah hiolouw, keduanya merupakan benda kuno yang
menjadi pusaka Siauw-lim-si. Aku harap engkau sebagai seorang yang terkenal,
sebagai seorang Pangcu (Ketua) dari Kwi-eng-pang, suka memegang janji dan
menyerahkan kedua benda pusaka itu kepadaku untuk kukembalikan ke
Siauw-lim-si."
"Yap
Kun Liong, seorang Ketua Kwi-eng-pang takkan pernah melanggar janjinya. Dahulu
memang aku berjanji akan mengembalikan dua buah pusaka Siauw-lim-si kalau
ditukar dengan bokor emas pusaka The Hoo. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa
pusaka yang terlepas kembali dari tanganku itu adalah pusaka palsu! Oleh karena
itu, tak mungkin aku menukarkan dua buah pusaka itu dengan sebuah benda
palsu."
"Hemmm,
tentang bokor emas aku tidak tahu-menahu, akan tetapi pedang dan hiolouw itu
jelas adalah milik Siauw-lim-si yang telah kalian curi. Maka sekarang aku
datang mewakili Siauw-lim-pai untuk minta kembali dua buah benda itu, apa pun
yang terjadi!" Kun Liong sengaja bicara dengan nada marah dan bersikap
menantang.
"Gundul
sombong!" Tiba-tiba Liong Bu Kong, pemuda tampan gagah putera angkat Ketua
Kwi-eng-pang itu sudah meloncat maju ke depan. "Ketahuilah dahulu aku yang
mencuri dua buah pusaka itu dan semua orang di dunia tahu bahwa untuk mengambil
pusaka dari gudang pusaka Siauw-lim-si membutuhkan kepandaian dan harus
menempuh kesukaran yang mengandalkan kepandaian. Jika memang engkau ada
kepandaian, boleh kau coba merampasnya kembali dari tanganku!"
Liong Bu
Kong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah tiga orang pelayan cantik manis
akan tetapi yang seorang lagi mukanya bopeng biar pun potongon mukanya paling
cantik di antara mereka bertiga. Totol-totol hitam di muka pelayan ketiga ini
benar-benar amat disayangkan, pikir Kun Liong dan diam-diam merasa heran
mengapa dia seperti pernah melihat pelayan bopeng yang cantik ini!
Akan tetapi
dia segera tertarik kepada dua buah benda yang dibawa oleh salah seorang di
antara tiga pelayan itu, yaitu yang tertua dan yang matanya bergerak genit.
Perempuan ini membawa sebuah baki dan di atas baki terdapat benda yang ditutup
sutera kuning.
Setelah
mereka bertiga datang dekat dan berlutut di pinggiran, Liong Bu Kong merenggut
lepas kain kuning hingga tampaklah dua benda yang dicari-cari Kun Liong, yaitu
sebatang pedang kuno dan sebuah hiolouw kuno, dua buah benda pusaka
Siauw-lim-si yang dulu dicuri oleh pemuda putera angkat Kwi-eng Niocu ini!
Kun Liong
memandang Bu Kong dan berkata, "Aku menerima tantanganmu! Kalau aku dapat
menangkan engkau, berarti dua buah benda pusaka itu dikembalikan
kepadaku?"
Liong Bu
Kong tertawa mengejek. "Kita lihat saja nanti, tetapi coba lebih dulu kau
lawan aku, Gundul!" Sambil berkata demikian, Liong Bu Kong telah mencabut
sebatang pedang yang membuat mata Kun Liong silau karena pedang itu
mengeluarkan sinar kilat yang amat terang. Itulah pedang pusaka Lui-kong-kiam
(Pedang Kilat) yang ampuh!
"Bu
Kong, jangan bunuh dia dulu. Aku masih membutuhkannya!" Kwi-eng Niocu
berseru khawatir melihat putera angkatnya itu menghunus Lui-kong-kiam.
"Ha-ha-ha-ha,
jangan khawatir, Ibu. Aku hanya hendak menggurat beberapa garis di atas
kepalanya yang gundul pelontos itu. Yap Kun Liong bocah gundul, sambutlah
ini!"
Tanpa
memberi kesempatan kepada lawan untuk menggunakan suatu senjata, Bu Kong sudah
menyerang dengan pedangnya. Pedang itu berubah menjadi gulungan sinar kilat
yang menyambar ke arah leher Kun Liong.
Kun Liong
mengenal pedang ampuh, akan tetapi dia pun mengenal gerakan yang tidak begitu berbahaya
seperti yang mula-mula dikhawatirkannya. Bagi umum, boleh jadi ilmu kepandaian
Liong Bu Kong ini sudah hebat sekali, akan tetapi bagi dia, pemuda itu bukan
merupakan lawan yang terlalu berbahaya sungguh pun dibantu dengan sebatang
pedang seampuh itu. Dengan mudah dia lalu mengelak dan meloncat ke sana-sini
sambil dikejar oleh bayangan pedang.
Setelah
belasan jurus menyerang tanpa dapat mengenai sasarannya, Liong Bu Kong lalu
menjadi penasaran, malu dan marah. Jangankan untuk menggurat-gurat kepala
lawan, sedangkan ujung baju lawan saja sekian lamanya belum juga mampu disentuh
dengan ujung pedangnya. Maka dikeluarkanlah semua jurus-jurus maut dan dia
mengurung tubuh Kun Liong dengan lingkaran sinar pedang yang bergulung-gulung.
Sungguh pun
Kun Liong tidak memegang senjata apa-apa, akan tetapi karena dia sudah
memainkan ilmu silatnya yang sakti, yaitu Pat-hong Sin-kun, andai kata ia harus
menjaga diri dengan elakan dan tangkisan saja, kiranya dia akan dapat bertahan
sampai ratusan jurus tanpa membalas. Namun, yang menjadi pokok perhatiannya
bukanlah mengalahkan pemuda ini.
Dia sama
sekali tidak mempunyai urusan atau permusuhan dengan Bu Kong, maka perlu apa
mengalahkannya, apa lagi melukainya? Yang terpenting baginya adalah merampas
kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, kemudian baru dia akan menandingi
Kwi-eng Niocu dan menuntut balas atas kematian ayah bundanya.
Oleh karena
pikiran ini, maka sambil mengelak ke sana-sini sehingga dia kelihatan repot
terdesak hebat, dia melirik ke arah pelayan yang membawa baki terisi dua benda
pusaka. Dia sengaja mengelak dan membiarkan dirinya terdesak mundur mendekati
pelayan dan tiba-tiba, bagaikan gerakan seekor burung walet, tangannya
menyambar dan di lain detik dua buah benda pusaka itu telah dapat dirampasnya!
"Eiiihhh...!"
Pelayan itu menjerit dan terjengkang pingsan, buru-buru ditolong oleh pelayan
bopeng dan temannya yang seorang lagi, kemudian digotong masuk ke dalam.
Liong Bu
Kong marah bukan main. "Kurang ajar! Kembalikan benda itu!" Teriaknya
dan pedangnya menusuk dada Kun Liong.
Pemuda
gundul ini membiarkan pedang lawan meluncur, menggoyang sedikit tubuhnya
sehingga pedang itu menusuk tempat kosong di bawah lengannya dan sekali
lengannya dirapatkan, pedang terjepit dan kakinya menendang perlahan ke arah
lutut Bu Kong.
"Auhhhhh...!"
Seketika kaki Bu Kong lumpuh dan pemuda ini jatuh berlutut, pedangnya masih
dikempit oleh Kun Liong.
Sesudah
menyimpan dua benda pusaka itu dengan cara mengikatkan kain kuning yang
membungkusnya ke belakang pundak, Kun Liong lalu mengambil pedang Lui-kong-kiam,
melempar pedang itu ke bawah dan pedang menancap di depan kaki Bu Kong, amblas
sampai hampir ke gagangnya!
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Kwi-eng Niocu ketika menyaksikan
kekalahan puteranya yang memalukan itu. Melawan pemuda gundul bertangan kosong
yang sama sekali tidak balas menyerang saja, sampai puluhan jurus puteranya tak
dapat menang, bahkan akhirnya dua benda pusaka juga pedang Lui-kong-kiam dapat
dirampas, dan puteranya roboh berlutut! Betapa memalukan hal ini!
Betapa pun
juga, sebagai seorang Ketua Kwi-eng-pang yang berkuasa, dia merasa malu kalau
harus menarik kembali janjinya, maka dia membentak, "Serahkan dulu bokor
emas yang tulen, baru boleh pergi!" Sesudah berkata demikian, dengan
gerakan yang dahsyat sekali Kwi-eng Niocu sudah menyerang Kun Liong dengan
cengkeraman kuku tangannya yang panjang.
"Wussss...
brettt!"
Kun Liong
terpekik kaget. Dia tadi telah mengelak cepat, namun tetap saja kuku itu masih
merobek pinggir bajunya di dekat pundak. Padahal tadi sampai puluhan jurus
pedang di tangan Liong Bu Kong tak pernah mampu menyentuhnya, dan sekarang ibu
pemuda ini, begitu menyerang telah merobek bajunya! Dari bukti ini saja sudah
dapat diketahui betapa lihainya Ketua Kwi-eng-pang ini. Tidak percuma nenek ini
mendapat julukan Si Bayangan Hantu karena memang ilmu kepandaiannya hebat.
Kun Liong
kini siap siaga dan hendak melawan mati-matian. Berbeda dengan tadi ketika
menghadapi Bu Kong, dia tadi tidak mau melukai berat apa lagi membunuh pemuda
itu, akan tetapi sekarang, maklum bahwa nenek ini adalah orang terakhir yang
membunuh ayah bundanya, dia tidak hanya mengelak dan menangkis, namun juga
balas menyerang!
"Siuuuuttt...!"
Kedua lengan
Kwi-eng Niocu bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong,
ada pun yang kiri mencengkeram ke arah bawah pusar. Dua serangan sekaligus yang
merupakan cengkeraman maut dan yang datangnya amat cepat.
Kun Liong
menggerakkan kedua lengannya ke atas dan ke bawah menangkis.
"Duk!
Dukkk!"
Tangkisan
yang amat kuat sehingga kedua lengan lawan terpental, namun dengan amat
cepatnya Kwi-eng Niocu sudah menyerang lagi dengan cakar ke arah mata dan dada.
"Plak!
Dukkk...! Haittt...!"
Kun Liong
menangkis dua kali dan dalam detik berikutnya melanjutkan dengan hantaman
tangan kiri dan dengan tangan terbuka. Tangan kirinya mengeluarkan uap putih
dan itulah pukulan Pek-in-ciang yang sangat ampuh, yang dia pelajari dari
manusia sakti Tiong Pek Hosiang.
Kwi-eng
Niocu cepat menangkis dengan kedua tangannya sambil melempar tubuh ke kiri,
akan tetapi tetap saja hawa pukulan membuat dia terjengkang dan bergulingan.
Dia tidak terluka parah, tetapi mengalami kekagetan hebat sekali. Tak
disangkanya bahwa pemuda itu benar-benar amat lihai!
Dia sudah
meloncat bangun lagi, dan berseru "Lo-mo, kenapa kau diam saja? Bantulah
aku!"
Kakek
raksasa itu tertawa bergelak. "Huah-ha-ha-ha! Niocu, hanya menghadapi
seorang bocah gundul saja kenapa harus minta bantuanku? Engkau sendiri tidak
mau memenuhi permintaanku, bagaimana aku bisa memenuhi permintaanmu sekali
ini?"
Kwi-eng
Niocu sudah kembali menyambut serangan Kun Liong. Sekali ini Kun Liong yang
menyerang dan serangannya itu adalah pukulan dari jurus Im-yang Sin-kun dan
masih menggunakan tenaga Pek-in-ciang. Dia mengambil keputusan untuk
menggunakan ilmu yang didapatnya dari Tiong Pek Hosiang tokoh besar
Siauw-lim-pai itu untuk merampas kembali dan mempertahankan benda pusaka
Siauw-lim-pai.
"Plak-plak...!"
Kwi-eng
Niocu masih mampu menangkis, akan tetapi kembali dia terhuyung. Dia masih
sempat mengirim cakar mautnya dan melihat kuku-kuku meruncing itu menyambar
dekat mukanya, dengan gemas Kun Liong menyentil dengan jari telunjuknya.
"Krakkk!"
Dan patahlah sebuah kuku runcing dari ibu jari tangan kiri Kwi-eng Niocu.
"Aihhhh...
Lo-mo, bantulah aku, dan aku akan melayanimu semalam nanti. Keparat!"
"Ha-ha-ha-ha!
Begitu baru sepadan namanya!"
Kini raksasa
itu sudah bergerak maju, sepasang lengannya yang sebesar paha orang dan panjang
berbulu itu sudah menyambar dari kanan kiri dengan membawa angin pukulan yang
dahsyat.
"Aihhhh…!"
Kun Liong kaget bukan main.
Cepat dia
mengelak ke belakang, kemudian tangannya menampar ke arah leher lawan. Raksasa
itu tidak mengelak, hanya mengangkat bahunya ke atas menerima tamparan itu.
"Desss…!"
Tamparan
amat hebat yang dilakukan oleh Kun Liong itu akibatnya membuat pemuda ini
terpelanting sendiri seolah-olah dia tadi menampar sebuah gunung baja!
"Huah-ha-ha-hah!"
Kakek itu tertawa dan dengan cepatnya menubruk seperti sikap seekor harimau
menubruk seekor domba.
Dengan
menggunakan kedua tangan menekan bumi, Kun Liong mencelat ke atas untuk
menghindarkan, namun lengan kakek raksasa itu terlalu panjang sehingga tetap
saja dia dapat dirangkul dan dipeluk erat-erat. Dua lengan panjang besar itu
seperti dua ekor ular membelit tubuhnya, melingkari leher serta pinggangnya
dengan kekuatan belalai seekor gajah! Terpaksa Kun Liong menggunakan Thi-khi
I-beng karena kalau tidak, dia tentu tak akan dapat bernapas dan jangan-jangan
tulang-tulang iganya akan remuk!
"Aduhhh...
auuughhh...!" Raksasa itu berteriak-teriak dengan mata melotot ketika
merasa betapa tenaganya memberobot keluar disedot oleh tubuh pemuda yang
dipeluknya itu.
Melihat ini,
Kwi-eng Niocu segera melolos sapu tangannya dan sekali dia menggerakkan tangan,
sapu tangan itu meluncur ke arah leher Kun Liong.
"Prattttt!"
Tubuh Kun
Liong menjadi lemas karena jalan darahnya telah tertotok secara tepat sekali.
Andai kata Kwi-eng Niocu menggunakan tangannya, tentu tenaga sinkang nenek ini
pun akan ikut tersedot oleh Thi-khi I-beng. Namun sebagai Ketua Kwi-eng-pang
dan sebagai seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang sudah luas
pengetahuannya, melihat keadaan raksasa tadi dia sudah dapat menduga, sungguh
pun penuh keheranan, maka dia menggunakan sapu tangannya sebagai pengganti jari
tangan.
Raksasa itu
adalah Thian-ong Lo-mo. Dia bukan lain adalah guru dari Tok-jiauw Lo-mo, dan
dia adalah suheng dari mendiang Thian-te Sam-lo-mo. Tempat tinggalnya adalah di
kaki Pegunungan Go-bi-san dan pada hari itu dia sedang menjadi tamu Kwi-eng
Niocu yang merasa kehilangan teman-teman, sengaja mendekati kakek raksasa yang
lihai ini untuk diajak bersekutu mencari bokor emas yang tulen, juga untuk
membalas dendamnya kepada Panglima The Hoo.
Thian-ong
Lo-mo melepaskan pelukannya dan mengusap keringatnya dari kening. "Hebat
benar... ilmu apa itu tadi? Seperti setan saja, tahu-tahu tenagaku disedotnya
tanpa dapat kutahan."
"Hemm,
ilmu itu kalau bukan Thi-khi I-beng apa lagi?" kata Kwi-eng Niocu.
"Thi-khi
I-beng?" Liong Bu Kong menghampiri dan bertanya kaget.
Dia pun
terheran-heran menyaksikan kelihaian Kun Liong sehingga setelah dikeroyok dua
oleh ibunya dan Thian-ong Lo-mo, baru dapat ditangkap.
"Thi-khi
I-beng? Bukankah katanya hanya Pendekar Cia Keng Hong yang memilikinya?"
tanya pula Thian-ong Lo-mo.
"Hemm,
siapa tahu bocah ini telah mewarisinya. Bocah ini amat penting..."
"Bunuh
saja dia, Ibu! Dia berbahaya!" kata Bu Kong.
"Hushhh!
Bodoh kau. Dia ini penting sekali. Pertama, dialah yang agaknya tahu di mana
letaknya bokor yang tulen. Ke dua, kalau dia mengerti Thi-khi I-beng, hemmm,
kita bisa siksa dan paksa dia untuk mengajarkannya kepada kami."
"Ha-ha-ha-ha!
Pikiran bagus sekali! Dia harus ditahan dan dibelenggu kuat-kuat. Jangan
khawatir, pergunakan ini untuk mengikatnya, dia tidak akan mampu lolos!"
Kakek raksasa itu segera melepaskan ‘kolor’ celananya yang berwarna hitam.
Benda ini terbuat dari otot binatang ajaib di Go-bi, dan uletnya tidak ada yang
dapat menandinginya.
Kaki dan
tangan Kun Liong lalu dibelenggu dengan tali otot itu, dan dia dilempar ke
dalam kamar tahanan, dijaga ketat oleh selosin orang penjaga.
Malam itu
sunyi sekali. Tiap dua jam sekali selosin penjaga yang menjaga di luar kamar
tahanan Kun Liong diganti dan di antara mereka itu dipilih para anak murid yang
sudah tinggi tingkat kepandaiannya.
Sementara
itu, di kamar para pelayan, tidak jauh dari kamar Kwi-eng Niocu, tiga orang
pelayan wanita muda saling berbisik-bisik,
"Malam
ini Niocu tak mau diganggu, kita menganggur...," kata seorang yang paling
genit.
"Hemm,
kenapa Niocu suka melayani kakek seperti itu? Idihh, menjijikkan sekali,
raksasa seperti itu... bisa mati aku kalau harus melayaninya!" kata yang
ke dua sambil terkekeh genit.
"Kalian
jangan main-main, apa bila terdengar Niocu kalian bisa dibunuh," kata
pelayan ke tiga yang mukanya bopeng.
"Sebaiknya
kita pergi saja ke kamar Kongcu, dia tentu membutuhkan kita. Lebih senang
melayani dia, biar pun hanya untuk memijati tubuhnya yang kuat dan
gagah..." kata orang pertama.
"Cocok!
Mari kita menghadap Kongcu. Sudah lebih sepekan dia tidak mengundang
kita."
"Pergilah
kalian. Aku sih tidak dibutuhkan Kongcu," kata yang bopeng.
"Aihhh,
A-hwi, kau sebenarnya cantik sekali, lebih manis dari pada kami berdua, sayang
mukamu banyak totol-totol hitam. Kau sih tidak mau menurut, kalau kau mau
berobat dan totol-totolmu itu bersih, tentu Kongcu akan tergila-gila
kepadamu."
"Huh,
aku tidak memikirkan soal itu. Pergilah kalian kepadanya, aku sendiri akan
menjaga di kamar ini, kalau-kalau Niocu membutuhkan sesuatu. Jika nanti dia
memanggil dan kita bertiga tidak ada semua, bukankah celaka?"
"Kau
mau menjaga di sini untuk kami? Ahh, A-hwi kau baik sekali."
"Pergi
dan bersenanglah," kata A-hwi yang bopeng.
Dua orang
pelayan itu cepat berdandan, menambah bedak dan gincu di muka dan bibir,
memakai beberapa tetes minyak wangi, membereskan rambut serta pakaian, kemudian
sambil tersenyum-senyum dan tertawa-tawa genit mereka pun menuju ke kamar Liong
Bu Kong yang memang sudah menjadikan mereka berdua sebagai kekasihnya dan
kadang-kadang memanggil mereka ke kamarnya untuk melayaninya bersenang-senang.
Sesudah dua
orang pelayan itu pergi, A-hwi yang mukanya bopeng itu cepat meloncat keluar
dari kamar, tangannya mengusap mukanya dan... ada selaput tipis terlepas atau
terkupas dari kulit mukanya yang halus dan sedikit pun tidak ada totol
hitamnya. Dara ini sama sekali bukan bopeng, melainkan mempunyai wajah yang
cantik jelita dan tidak ada cacat bopengnya setitik pun! Gerakannya berubah
lincah sekali pada saat dia berkelebat lenyap dalam gelap.
Siapakah
dara jelita ini? Dia bukan lain adalah Lim Hwi Sian, dara cantik murid Gak
Liong di Secuan, atau masih terhitung cucu keponakan murid dari Panglima The
Hoo karena Gak Liong adalah murid keponakan panglima besar itu. Sudah sebulan
lebih Hwi Sian menyelundup ke Kwi-ouw dan diterima sebagai pelayan. Dia dapat
melindungi dirinya dari Bu Kong yang mata keranjang itu dengan jalan
menyelaputi mukanya dengan selaput tipis sehingga mukanya yang cantik jelita
itu menjadi bopeng. Dan semua ini dikerjakan untuk memenuhi rencana dan siasat
Cia Giok Keng, puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong!
Setelah
menyelinap di tempat gelap agak jauh dari kelompok bangunan, terdengar suara
burung malam. Hwi Sian cepat menghampiri dan ternyata Giok Keng telah berada di
situ, tepat seperti telah mereka janjikan.
Giok Keng
sudah mendengar dari ayahnya tentang ayah bunda Kun Liong yang dibunuh oleh
lima datuk, juga mengenai bokor yang dipalsukan dan yang diduga dilakukan oleh
Kwi-eng Niocu. Karena merasa marah mendengar kematian bibi gurunya Gui Yan Cu
dan suaminya, Giok Keng lalu minggat untuk menyelidiki Kwi-ouw dan di jalan dia
berjumpa dengan Hwi Sian yang tentu saja sudah dikenalnya.
"Bagaimana,
Hwi Sian? Sudah dapatkah kau menyelidiki tentang bokor?"
"Sssttt...
Cia-lihiap," Hwi Sian menyebut lihiap kepada Giok Keng mengingat bahwa
nona ini adalah puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan yang dia tahu memiliki
tingkat ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri.
"Ada berita hebat sekali..."
Dengan suara
bisik-bisik Hwi Sian lalu menuturkan mengenai munculnya Yap Kun Liong yang
hendak merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai.
"Dia
sudah berhasil mengalahkan Liong Bu Kong dan merampas pusaka, akan tetapi dia
dikeroyok oleh Kwi-eng Niocu dan Thian-ong Lo-mo, tertawan dan dijebloskan di
dalam kamar tahanan bawah tanah."
Giok Keng
membanting-banting kakinya dengan gemas. "Si tolol itu! Sungguh tidak tahu
diri, berani mendatangi goa harimau. Biar dia rasakan kelancangannya sendiri
itu!"
"Tetapi...
Lihiap... dia itu orang baik. Kita harus menolongnya. Dengan adanya dia yang
membantu kita, agaknya pekerjaan kita akan lebih ringan. Pula, bukankah dia pun
berhak untuk membalas kematian orang tuanya?"
Oleh karena
suara ini dilakukan dalam bisik-bisik, maka Giok Keng tak dapat menangkap
getaran aneh dalam suara Hwi Sian ini. Akhirnya, mengingat bahwa betapa pun
juga dia tetap harus menolong Kun Liong, dia mengangguk dan keduanya lalu
berindap mendekati kelompok bangunan.
Tidak
percuma selama sebulan Hwi Sian menjadi pelayan di situ. Selama itu dia sudah
menyelidiki semua tempat rahasia dan tahu di mana Kun Liong disekap. Dengan
hati-hati dua orang dara perkasa ini menyelinap, Hwi Sian di depan dan Giok
Keng di belakang. Giok Keng telah menyerahkan sebatang pedang kepada Hwi Sian,
sedangkan dia sendiri memegang pedang Gin-hwa-kiam yang berkilauan, sebatang
pedang pusaka perak yang ampuh.
Ketika kedua
orang dara itu menuruni anak tangga menuju ke kamar tahanan di bawah tanah,
mereka bengong melihat betapa pintu menembus ke anak tangga itu telah terbuka
dan dua orang penjaga pintu telah menggeletak dan ‘tidur’ alias pingsan tanpa
luka. Lebih besar lagi keheranan mereka pada saat mereka melihat dua belas
orang penjaga di luar kamar tahanan sudah rebah malang-melintang, kesemuanya
pingsan dan kamar tahanan itu sendiri sudah kosong! Tampak ‘kolor’ hitam
terbuat dari otot yang sangat dibanggakan oleh Thian-ong Lo-mo itu menggeletak
di tengah kamar tahanan, akan tetapi Kun Liong si Pemuda Gundul sudah tidak
berada di tempat itu!
"Ke
mana dia?" Giok Keng bertanya heran.
"Entah,
tapi itu tadi tali pengikatnya..., tentu dia telah dapat mololoskan diri, atau
mungkin ada yang menolongnya. Mari kita cepat keluar sebelum ada penjaga yang
melihatnya." Dua orang dara itu bergegas keluar dari kamar tahanan bawah
tanah.
Ke manakah
perginya Kun Liong? Dugaan Hwi Sian memang benar. Pemuda itu mampu meloloskan
diri, akan tetapi bukan karena pertolongan orang lain. Thian-ong Lo-mo terlalu
memandang rendah pemuda ini, tidak tahu bahwa pemuda ini adalah murid
gemblengan dari tokoh sakti Siauw-lim-pai Tiong Pek Hosiang.
Sebagai
murid Siauw-lim-pai tentu saja dia telah mempelajari Ilmu Jiu-kut-kang, yaitu
ilmu melemaskan tulang dan tubuh dari Siauw-lim-pai, bahkan dia sudah
mempelajari bagian tingkat tinggi ilmu ini karena digembleng oleh Tiong Pek
Hosiang sendiri. Oleh karena itu, ketika dia dimasukkan ke dalam kamar tahanan,
sebentar saja dia sudah bisa meloloskan kaki tangannya dari belenggu otot hitam
itu tanpa mematahkan belenggu karena untuk mematahkan belenggu yang ulet dan
mulur itu memang tidak mungkin.
Ketika
melihat malam tiba dan para penjaga sudah mengantuk, dengan gerakan secepat
kilat Kun Liong lalu mematahkan pintu besi kamar tahanan dan sebelum dua belas
orang penjaga yang sebagian besar sudah setengah pulas itu dapat berteriak,
tubuhnya segera menyambar ke sana-sini dan totokan-totokannya membuat tubuh
selosin orang penjaga itu malang melintang dan tumpang tindih dalam keadaan
‘ngorok’ tapi bukan tertidur pulas melainkan pingsan!
Cepat dia
lari ke pintu di atas anak tangga yang menuju ke jalan keluar. Di sini terdapat
pula dua orang penjaga dan mereka ini pun dibikin ‘pulas’ sebelum sempat
berteriak. Kun Liong kini mengerti bahwa kalau dia hanya menggunakan ‘cengli’
(aturan) saja terhadap Ketua Kwi-eng-pang akan percuma. Terpaksa dia harus
menggunakan kekerasan, yaitu dengan paksa dia akan berusaha mencuri kembali
pusaka-pusaka Siauw-lim-pai itu, lalu dia akan berusaha membunuh orang terakhir
yang menjadi pembunuh ayah bundanya.
Gerakannya
ringan serta cepat sekali, dan tak lama kemudian dia telah mengintai di luar
jendela sebuah kamar. Kamar Kwi-eng Niocu! Memang Kun Liong tidak dapat melihat
ke dalam, namun telinganya yang berpendengaran tajam mampu menangkap suara
Kwi-eng Niocu dan Kakek Thian-ong Lo-mo yang bercakap-cakap di dalam kamar itu.
"Ahhh,
Ang Hwi Nio, sungguh aku tidak menyangka bahwa engkau yang terkenal sebagai
seorang gadis itu ternyata hanya kabar kosong belaka!" Suara kakek itu
penuh kecewa dan penyesalan.
"Cih,
tua bangka tak tahu malu! Bagimu apa sih bedanya? Engkau tergila-gila kepadaku
dan karena engkau sudah membantu dan aku pun telah berjanji, maka aku
menyerahkan diriku kepadamu dan kau masih berani mengomel!"
"Aku
bukannya mengomel. Engkau hebat dan aku cinta kepadamu, Niocu, akan tetapi aku
hanya heran bahwa kenyataannya..."
"Bodoh!
Aku terkenal sebagai seorang perawan karena aku tidak pernah menikah, bukan
berarti bahwa aku tidak pernah berhubungan dengan laki-laki. Bahkan aku telah
menjadi seorang ibu..."
"Hehhh...?!"
"Engkau
kuanggap sebagai seorang sahabat baik, Lo-mo, dan kuharap selanjutnya kita
dapat bekerja sama untuk memperoleh bokor pusaka itu. Maka biarlah kubuka
rahasiaku kepadamu seorang. Ketahuilah bahwa dulu, aku berhubungan dengan
seorang pemuda she Liong. Hubungan kami sangat akrab dan karena bujuk rayunya
aku tidak dapat lagi mempertahankan diri sampai aku mengandung. Akan tetapi apa
yang dilakukan pemuda keparat itu? Dia tak mau mengakui kandunganku karena dia
merasa malu menjadi suami seorang anggota kaum sesat, katanya. Nah, aku lalu
membunuhnya dan setelah anak itu terlahir, kuangkat dia menjadi anakku. Padahal
dia anakku sendiri, hasil dari hubunganku dengan pemuda she Liong itu, anak
terlahir tidak sah..."
"Liong
Bu Kong...?"
"Benar.
Nah, kau sudah mendengar dan kuharap saja engkau dapat menyimpan rahasia ini
baik-baik."
"Tentu
saja selama engkau suka melayaniku, manis."
"Aku
akan melayanimu sepuasmu asal engkau selalu suka membantuku."
Kun Liong
yang mendengarkan penuturan wanita itu menjadi bengong, karena itu tanpa
disadarinya timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap Kwi-eng Niocu Ang Hwi
Nio! Kembali ada seorang manusia menjadi korban apa yang tadinya dianggapnya
‘cinta’!
Benarkah
cinta itu selalu mendatangkan mala petaka? Betapa banyaknya peristiwa yang
disaksikannya sendiri, peristiwa menyedihkan akibat perasaan yang terkenal
dinamakan cinta. Hwi Sian mencintanya dan karena dia tidak dapat membalasnya,
dara itu merana. Demikian pula dengan Yuanita. Dan Li Hwa, demi cintanya pada
Yuan, keduanya menjadi korban dan binasa.
Sekarang,
ternyata Kwi-eng Niocu, seorang di antara datuk kaum sesat yang namanya
terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan ditakuti, yang terkenal sebagai seorang
gadis tua, kiranya hanyalah seorang wanita korban cinta sehingga melahirkan
seorang anak yang terpaksa dianggap sebagai anak angkat!
Tiba-tiba
terdengar bentakan keras di sebelah belakangnya. "Keparat, jadi engkau
dapat meloloskan diri? Kalau begitu engkau memang layak mampus!"
Ucapan ini
disusul menyambarnya sebatang pedang kilat yang mengejutkan Kun Liong. Akan
tetapi pemuda gundul ini sudah bisa menghindarkan diri, mengelak dengan
loncatan ke kiri dan dia pun berhadapan dengan Liong Bu Kong yang sudah
memegang pedang Lui-cong-kiam.

Terdengar
bentakan-bentakan dan sebentar saja Kun Liong sudah dikurung, bahkan kini
Kwi-eng Niocu sendiri dengan rambut masih kusut dan muka masih kemerahan, sudah
datang pula bersama Thian-ong Lo-mo, kakek raksasa bermata lebar yang mulai
malam itu telah menjadi kekasihnya itu!
"Kepung!
Tangkap dia! Jangan biarkan dia lolos!" teriak Kwi-eng Niocu yang merasa
amat terkejut melihat tawanan penting itu telah dapat lolos.
Akan tetapi
karena semua anggota Kwi-eng-pang tahu betapa lihainya pemuda gundul ini,
mereka hanya mengepung dari jarak jauh dengan membentuk lingkaran dan memegang
obor sehingga tempat itu menjadi terang sekali, sedangkan yang maju menyerang
Kun Liong tentu saja adalah Kwi-eng Niocu sendiri yang kini mempergunakan
sebuah kebutan bulu panjang berwarna kuning di samping cengkeraman kukunya yang
beracun.
Sedangkan
Thian-ong Lo-mo sudah pula mengeluarkan senjatanya yang luar biasa dan
mengerikan, yaitu sehelai sabuk terbuat dari baja lemas berbentuk runcing tajam
penuh dengan gigi seperti gergaji. Sebuah senjata yang sangat mengerikan, apa
lagi dimainkan oleh seorang yang bertenaga gajah seperti kakek itu, senjata
aneh ini lenyap bentuknya dan hanya terdengar suara mengaung dan tampak sinar
bergulung-gulung seperti seekor naga bermain di angkasa! Selain dua orang tokoh
sakti ini, Liong Bu Kong juga ikut pula mengeroyok dengan pedang pusakanya yang
ampuh.
Karena
maklum bahwa kini dia menghadapi orang-orang pandai dan nyawanya terancam
bahaya, maka sekali ini Kun Liong tidak hanya menjaga diri seperti tadi pertama
kali dia dikeroyok, melainkan tubuhnya mencelat ke sana ke mari mengerahkan
ginkang-nya dan dia sudah membalas dengan pukulan-pukulan yang tak kalah
berbahayanya pula kepada tiga orang pengeroyoknya.
Tapi, karena
tiga orang itu masing-masing menggunakan senjata ampuh dan hebat, tentu saja
Kun Liong tidak mendapat kesempatan untuk menggunakan Thi-khi I-beng, terpaksa
hanya mengerahkan dan mengandalkan kecepatan gerakannya. Tubuhnya berkelebatan
seperti seekor burung walet yang beterbangan di antara sinar-sinar senjata
lawan yang bergulung-gulung.
Tiba-tiba
timbul kekacauan di bagian kiri para pengepung karena beberapa orang anggota
Kwi-eng-pang mendadak roboh, kemudian berkelebatlah bayangan dua orang gadis
yang keduanya sama-sama memegang sebatang pedang dan gerakannya amat gesit,
terutama sekali gadis yang pedangnya mengeluarkan sinar perak.
Mereka ini
bukan lain adalah Cia Giok Keng dengan pedang Gin-hwa-kiam dan Lim Hwi Sian
yang memegang sebatang pedang yang baik pula. Keduanya sudah menerjang dan
memasuki kepungan, lantas tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerbu ke
medan pertandingan membantu Kun Liong!
"Kun
Liong, mari kita basmi ibils-iblis ini!" kata Hwi Sian sambil memutar
pedangnya menyerang Thian-ong Lo-mo.
"Hwi
Sian!" Kun Liong berseru kaget dan girang, kemudian dia melihat pula Giok
Keng dan berseru, "Nona Cia...!"
Akan tetapi
Giok Keng tidak menjawab. Hatinya malah mendongkol. Mengapa Kun Liong tadi
menyebut Hwi Sian dengan namanya begitu saja, dengan suara mesra, sedangkan
kepadanya menyebut Nona Cia segala macam? Dia tidak mengerti bahwa sengaja Kun
Liong menyebutnya nona untuk mengangkatnya, untuk menghormatinya sebagai puteri
Pendekar Sakti Cia Keng Hong, apa lagi mereka berada di depan banyak orang.
Cia Giok
Keng cepat melepaskan anak panah berapi. Anak panah itu meluncur ke udara,
tinggi sekali dan tampak api kehijauan menyala-nyala. Itulah tanda rahasia yang
diberikan kepada pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tio Hok Gwan dan sudah
siap menanti di pantai untuk menyerbu begitu ada tanda dari Cia Giok Keng!
Setelah itu,
Giok Keng membantu Hwi Sian yang segera terdesak oleh senjata berbentuk gergaji
di tangan Thian-ong Lo-mo. Ada pun Kun Liong kini menghadapi Kwi-eng Niocu
seorang diri, cepat dia mendesaknya dan berkata. "Kwi-eng Niocu, sekarang
tiba saatnya aku membalaskan kematian ayah bundaku! Kaulah salah seorang di
antara mereka yang membunuh ayah bundaku!"
Wajah
Kwi-eng Niocu menjadi pucat. "Kau... sudah tahu? Hi-hi-hi-hik!" Dia
memaksa diri tertawa untuk menutupi rasa gentarnya melihat betapa lihainya
pemuda gundul ini. "Kalau begitu biar kau kukirim menyusul ayah
bundamu!"
Sementara
itu, begitu Liong Bu Kong melihat munculnya Cia Glok Keng, seketika kumat
gilanya. Dia tergila-gila kepada nona ini dan kini melihat wajah cantik itu di
bawah cahaya penerangan obor yang kemerahan, dia terpesona sehingga sampai lama
dia diam saja berdiri tegak dengan pedang di tangan.
"Bu
Kong, cepat bantulah aku!" Kwi-eng Niocu berseru minta bantuan puteranya
karena sebagian besar bulu kebutannya kena ditampar tangan Kun Liong hingga
membodol dan berhamburan! Demikian kuatnya jari-jemari tangan pemuda itu
sehingga kebutannya yang biasanya dapat menghancurkan batu karang itu kini
membodol kena tamparan jari tangan Kun Liong.
Akan tetapi
seperti orang mabuk, Bu Kong sama sekali tak mempedulikan ibunya, bahkan dia
lalu meloncat ke depan Giok Keng dan berkata, "Nona Cia Giok Keng, selamat
datang di tempatku yang buruk. Nona, mengapa Nona datang sebagai penyerbu?
Bukankah kita sahabat baik dan bukankah aku mempunyai niat baik terhadap
dirimu. Nona, aku masih cinta kepadamu, selamanya aku cinta kepadamu...!"
"Keparat!"
Giok Keng menjadi merah sekali mukanya.
Harus dia
akui bahwa dia dahulu tertarik kepada pemuda tampan ini, dan andai kata Bu Kong
tidak bersikap semanis itu di hadapan banyak orang, agaknya dia pun akan lebih
merasa bangga dari pada marah. Akan tetapi, di depan banyak orang, apa lagi di
depan Kun Liong dan Hwi Sian, pemuda ini berani menyatakan cintanya. Oleh
karena itu sambil membentak pedangnya berkelebat menyerang dengan tusukan
kilat.
"Cringgg…!"
Bu Kong
menangkis dan Giok Keng menjadi makin marah. Kepandaiannya kini tentu saja
tidak dapat disamakan dengan dahulu, ketika Liong Bu Kong datang ke
Cin-ling-san. Dia sudah memperoleh kemajuan hebat dan begitu dia memutar pedang
mendesak, Bu Kong menjadi terkejut dan hanya dapat menangkis sambil mundur.
Bagaimana
pun juga pemuda ini bukanlah orang sembarangan dan dia sudah mewarisi
kepandaian ibunya. Hanya dia benar-benar jatuh hati kepada Giok Keng dan tidak
mau melukainya, maka dalam pertandingan itu, dia terus main mundur didesak oleh
Giok Keng sehingga makin lama keduanya makin menjauh dari medan pertandingan.
Setelah
ditinggalkan Giok Keng, tentu saja Hwi San menjadi repot sekali. Walau pun dia
juga seorang dara yang berilmu tinggi, akan tetapi ilmunya kalah jauh kalau
dibandingkan dengan Giok Keng, apa lagi dibandingkan dengan kepandaian
Thian-ong Lo-mo! Dia lalu terdesak hebat sekali dan beberapa kali hampir saja
dia menjadi korban senjata gergaji di tangan lawannya yang tertawa-tawa
mengejek.
"Huah-ha-ha,
mukamu yang halus akan kugurat-gurat malang melintang, tubuhmu yang montok akan
kurobek dengan senjataku, huah-ha-ha-ha!" kakek itu agaknya girang sekali
dapat mendesak Hwi Sian yang merupakan makanan empuk baginya.
Namun Hwi
Sian menggigit bibir dan tak pernah mau menyerah, bahkan lantas memutar
pedangnya dengan gerakan nekat.
"Wirrrrrr...!"
Senjata gergaji
itu menyambar dengan gerakan berputar. Hwi Sian menangkis.
"Plak...
krekkk!"
Hwi Sian
mengeluh karena hampir saja kulit telapak tangannya terkupas saat dia hendak
mempertahankan pedangnya yang kena dikait dan diputar oleh senjata lawan
sehingga akhirnya patah-patah. Tangan kiri kakek itu menyambar ke arah kepala
Hwi Sian. Ketika dara itu mengelak, tiba-tiba saja tangan itu menghantam ke
bawah.
"Plakkk!"
Telapak
tangan kiri kakek itu telah menampar paha kanan Hwi Sian dengan sikap kurang
ajar sekali, akan tetapi karena tamparan itu mengandung hawa sinkang yang
beracun, akibatnya Hwi Sian terpelanting.
"Huah-ha-ha!"
Kakek itu maju dengan senjatanya digerakkan ke arah muka Hwi Sian.
"Plak!
Bukkk...! Aadouuuhhh...!"
Kakek
raksasa itu terhuyung mundur. Baru saja lengannya yang memegang senjata kena
ditampar tangan Kun Liong kemudian pinggangnya dihantam pemuda itu. Untunglah
Kun Liong masih sempat melihat saat Hwi Sian terancam maut, maka pemuda ini
cepat-cepat meninggalkan Kwi-eng Niocu yang sesungguhnya telah terdesak, untuk
menolong nyawa Hwi Sian dan dia berhasil.
"Kun
Liong, aku... aku terluka... ahhh..." Hwi Sian mengeluh tidak dapat
bangkit kembali, pahanya terasa panas dan kakinya lumpuh.
"Jangan
khawatir, aku melindungimu!" Kini Kun Liong menyambar pedang buntung bekas
milik Hwi Sian dan dengan senjata ini, dia mainkan ilmu Silat Siang-liong-pang,
diimbangi oleh tangan kirinya yang dipergunakan sebagai tongkat. Hebat bukan
main permainan ini sehingga meski pun kakek raksasa dan Kwi-eng Niocu mengeroyoknya,
dia tetap dapat mempertahankan diri dan sekaligus juga melindungi tubuh Hwi
Sian yang rebah miring.
Tiba-tiba
saja terdengar sorak-sorai dan muncullah pasukan yang dipimpin oleh Tio Hok
Gwan! Jumlah mereka banyak sekali dan terjadilah perang campuh yang seru dan
kacau balau di mana anak-anak buah Kwi-eng-pang mengalami himpitan yang luar
biasa hingga mereka menjadi panik.
Ada pun Tio
Hok Gwan ketika melihat Kun Liong dikeroyok dan Hwi Sian menggeletak dilindungi
oleh Kun Liong, segera menerjang maju. Di tangannya terpegang sabuk pecut,
yaitu senjata joan-pian (ruyung lemas) yang sangat lihai. Pada waktu dia
menggerakkan pecutnya, terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan terdengar dia
berseru, "Tua bangka Thian-ong Lo-mo, tak tahu malu melakukan
pengeroyokan, Akulah lawanmu!"
Jelas nampak
betapa kakek raksasa ini jeri ketika melihat kakek tinggi kurus yang seperti
orang pengantuk itu. Dia sudah mengenal Tio Hok Gwan, mengenal pengawal nomor
satu dari Panglima The Hoo yang berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa
Kati) dan amat lihai ini. Tetapi dia juga menggereng keras, dan senjatanya yang
juga berupa sabuk akan tetapi berbentuk gergaji, digerakkan dengan sangat
cepat. Terjadilah pertandingan antara dua orang sakti ini.
Kini Kun
Liong kembali menyerang Kwi-eng Niocu yang menjadi makin panik.
"Kun
Liong... kuserahkan pusaka Siauw-lim-pai... tetapi engkau bebaskan aku dari
sini..." Nenek itu memohon, akan tetapi Kun Liong tidak menjawab,
melainkan mendesak terus dengan pedang buntungnya.
"Cring-trak-trakkk...
aihhh...!"
Kwi-eng
Niocu memekik ngeri ketika kuku jari tangan kanannya semua buntung terbabat
pedang buntung! Dengan nekat dia lalu menghantamkan kebutannya ke arah kepala
Kun Liong. Pemuda ini menggerakkan pedang buntungnya dan segera bulu kebutan
melibat pedangnya sehingga tidak dapat ditarik kembali, sedangkan tangan kiri
nenek itu sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya.
Kun Liong
juga menggerakkan tangan kiri, menyambut. Dia merasa sakit sekali ketika
kuku-kuku runcing mencengkeram telapak tangannya, namun segera nenek itu
menjerit dan jatuh berlutut ketika tenaga sinkang-nya membanjir keluar disedot
melalui telapak tangan pemuda yang dicengkeramnya.
"Auuughhh...
celaka...!" Dia berseru dan berusaha untuk menarik kembali tangannya.
Celakanya
kebutannya melibat pedang buntung dan tak dapat digerakkan pula dan ketika dia
mengerahkan seluruh tenaga sinkang untuk menarik tangannya yang melekat, makin
banyak sinkang-nya memberobot keluar. Makin dia mengerahkan sinkang, makin
banyak pula tenaga saktinya keluar.
"Oughhh...
lepaskan aku... ampunkan aku..." Tanpa malu-malu lagi nenek itu memohon.
Kun Liong
mengeraskan hatinya dan tidak mau menghentikan Thi-khi I-beng sambil terus
membayangkan kematian ayah dan ibunya di tangan nenek ini dan datuk-datuk hitam
lain yang telah tewas.
Wajah nenek
itu menjadi pucat sekali dan dia merasa betapa tenaga sinkang-nya makin lama
makin habis membanjir keluar melalui tangannya yang melekat pada telapak tangan
pemuda itu. Tahulah dia apa artinya ini. Dia maklum pula bahwa pemuda ini tak
mungkin mau mengampuninya, sebab sudah tahu bahwa ayah bundanya dibunuh oleh
dia beserta teman-temannya ketika itu.
Maka sebagai
seorang yang berkedudukan tinggi, sebagai Ketua Kwi-eng-pang, sebagai seorang
di antara para datuk kaum sesat, Kwi-eng Niocu tidak mau terbunuh oleh lawan
seorang pemuda seperti ini. Lebih baik bunuh diri! Dilepasnya gagang kebutannya
dan secepat kilat dia mengerahkan seluruh tenaga yang masih ada, mempergunakan
tangan kanan yang sudah tidak ada kukunya itu mencengkeram ke arah kepalanya
sendiri.
Pada saat
itu, Kun Liong sudah melepaskan Ilmu Thi-khi I-beng karena di dalam hatinya
timbul perasaan tidak tega untuk membunuh nenek itu. Tepat pada saat dia
melepaskan tangan nenek yang menempel pada telapak tangannya, nenek itu sudah
mencengkeram ubun-ubun kepalanya sendiri dengan tangan kanan.
"Crottt..
aughhh...!"
Nenek itu
roboh, kepalanya pecah dan otak serta darahnya berhamburan. Dua matanya melotot
memandang ke arah Kun Liong!
Kun Liong
berdiri bagaikan arca, matanya terbelalak memandang mayat Kwi-eng Niocu,
hatinya merasa ngeri dan menyesal sekali. Dia maklum bahwa nenek itu membunuh
diri sendiri, akan tetapi dia merasa bahwa dialah yang membunuh nenek ini. Dia
membunuh karena nenek ini telah membunuh ayah bundanya.
Kalau dia
menganggap nenek ini jahat karena sudah membunuh ayah bundanya, lalu apa
bedanya dengan dia sendiri apa bila dia sekarang membunuh nenek itu? Baik nenek
itu, mau pun dia, apa pun alasannya, keduanya adalah sama-sama pembunuh! Kun
Liong menutupi muka dengan kedua tangannya.
"Kun
Liong... aduh... kakiku...!"
Keluhan suara
Hwi Sian ini menyadarkan Kun Liong. Dia menurunkan kedua tangannya, membalik
dan tidak melihat lagi kepada mayat Kwi-eng Niocu. Ketika melihat betapa Tio
Hok Gwan mendesak hebat kakek brewok tinggi besar yang sangat lihai itu,
sementara para prajurit kerajaan juga mendesak anak buah Kwi-eng-pang, dia lalu
membungkuk dan membangunkan Hwi Sian. Dilihatnya paha kanan dara itu terluka
parah dan matang biru, tahulah dia bahwa Hwi Sian telah menderita pukulan
beracun, maka dipondongnya tubuh dara itu.
"Ke mana
Nona Cia Giok Keng?" tanyanya sambil menoleh ke kanan kiri karena dia
tidak melihat gadis itu.
"Dia...
tadi kulihat dia mengejar Liong Bu Kong ke sana... aduh..." Hwi Sian
merintih dan merangkul leher Kun Liong.
"Hemmm,
jangan-jangan dia terjebak musuh. Mari kita kejar dia!"
Kun Liong
berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Hwi Sian sambil memondong tubuh dara
ini. Akan tetapi sampai di pantai pulau, mereka tidak melihat bayangan Giok
Keng dan Bu Kong yang dikejar gadis itu.
"Mereka
tentu telah menyeberang ke darat, sebaiknya kita kejar mereka!" Kun Liong
lalu merebahkan tubuh Hwi Sian ke dalam sebuah perahu kecil, kemudian mendayung
perahu itu dengan sangat cepat, dengan harapan mereka akan dapat menyusul Cia
Giok Keng yang dikhawatirkannya.
Melihat
kegelisahan Kun Liong, Hwi Sian yang merasa makin lemah dan tubuhnya panas
semua itu berkata, "Kun Liong... jangan takut... dia... dia memiliki ilmu
kepandaian tinggi... takkan kalah oleh Liong Bu Kong... aku... aku...
ahhh..." Dara ini tak dapat bertahan lagi dan pingsan.
Barulah Kun
Liong terkejut. Cepat-cepat dia memeriksa dan diam-diam dia memaki kakek
raksasa yang memukul gadis ini. Paha itu matang biru dan menghitam, dan seluruh
tubuh Hwi Sian panas sekali. Jika dia tidak cepat mendapatkan obat pemunahnya
tentu akan berbahaya sekali keadaannya.
Karena itu
dia menghentikan usahanya mencari Giok Keng dan mendayung perahunya menuju ke
sebuah hutan di seberang. Setelah perahunya mendarat, dia lalu memondong tubuh
Hwi Sian dan meloncat ke darat, terus membawa dara itu memasuki hutan karena
dia harus cepat-cepat berusaha mengobatinya sebelum terlambat.
***************
Hwi Sian
merintih lirih, perlahan-lahan membuka matanya. Pertama-tama yang menarik
pandang matanya adalah nyala api unggun di sebelah kanannya, api unggun yang
bukan hanya mendatangkan hawa hangat nyaman, akan tetapi juga mendatangkan
penerangan sehingga dia bisa melihat bahwa dia berada di dalam kamar sebuah
kuil tua, di atas lantai yang agaknya baru saja disapu bersih. Dan Kun Liong
duduk di atas lantai, di dekat dia, memeriksa dan mengobati paha kanannya
dengan cara menempelkan telapak tangannya ke atas paha.
Hwi Sian
merasa heran sekali. Dia dapat merasakan betapa dari telapak tangan pemuda itu
keluar hawa yang menyedot pahanya, dan dia merasa betapa hawa panas yang tadi
menyerangnya telah menurun, kepalanya tidak pening lagi, dan rasa nyeri pada
pahanya sudah mengurang.
Ketika Kun
Liong menghentikan pengobatannya menyedot hawa beracun dari paha dara itu, dia
lalu memandang Hwi Sian, tersenyum dan berkata, "Tenanglah, Hwi Sian. Hawa
beracun telah lenyap dan untung tidak ada tulang dan urat yang rusak oleh
pukulan keji itu."
Sejenak Hwi
Sian tidak menjawab, hanya memandang wajah pemuda berkepala gundul itu,
bibirnya tersenyum akan tetapi dari matanya keluar dua titik air mata.
Mula-mula
Kun Liong juga hanya memandang. Mereka saling pandang di bawah cahaya nyala api
unggun yang kemerahan dan yang membuat wajah mereka nampak indah dan aneh.
Kemudian pemuda itu melihat keluarnya dua titik air mata, maka dia berseru,
"Heiii!
Ada apa lagi ini? Mengapa kau sekarang berubah menjadi amat cengeng (mudah
menangis)?"
Ditanya
dengan suara senda gurau ini, makin bertambah air mata mengalir di atas kedua
pipi yang halus itu, bahkan kini Hwi Sian terisak.
"Eh-eh...!
Kau kenapakah?" Kun Liong mengangkat bangun dara itu sehingga terduduk,
dan menggunakan tangannya menghapus air mata yang membasahi pipi. Tak diduganya
bahwa perbuatannya ini bahkan membuat Hwi Sian semakin tersedu-sedu dan dara
itu menjatuhkan mukanya di atas dada Kun Liong.
Kun Liong
bingung dan bengong, tak tahu dia apa yang berada di dalam hati dara ini dan
tak tahu pula apa yang harus dilakukannya. Maka dia diam saja, hanya mengelus
rambut yang halus dan harum itu.
"Kun
Liong...," akhirnya Hwi Sian dapat juga bicara setelah tangisnya mereda.
"Hemmm...?"
Kun Liong tidak berani bicara banyak, khawatir kalau kata-katanya bahkan akan
mendatangkan lebih banyak air mata lagi.
"Kau
terlampau baik kepadaku..."
"Ehh...?
Masa...?" Dia masih belum berani bicara banyak, karena belum tahu
kata-kata bagaimana yang harus dia keluarkan agar tidak mendatangkan tangis
lagi.
"Berkali-kali
kau menolongku, menyelamatkan aku dari mala petaka, seolah-olah engkau
memberikan kembali nyawaku yang sudah terancam maut, sementara aku... aku hanya
menghinamu..."
Kun Liong
tersenyum di balik rambut-rambut yang harum itu. Kini lega hatinya. Kiranya itu
yang membuat Hwi Sian menangis. Ternyata dara ini diserang perasaan terharu!
Untuk membuyarkan perasaan haru, satu-satunya jalan adalah senda gurau.
"Ahh, masa? Kan engkau sudah memberi upah berkali-kali kepadaku! Engkau
pernah memberi upah cium, ingatkah?"
Seketika Kun
Liong dapat merasa betapa tubuh yang merapat di dadanya itu menggigil, kemudian
terdengar suara Hwi Sian dari dadanya. "Itulah dia... dan aku menganggapmu...
ahhh..." Kembali dara itu menangis!
Celaka,
pikir Kun Liong. Dibawa senda gurau, malah menangis lagi. Apa akalnya? Bagai
mana kalau dipancing agar dara ini marah saja? Kemarahan dapat menghilangkan
haru dan duka, biasanya begitu.
"Ehh,
Hwi Sian! Kau menangis lagi?"
"Aku...
berhutang budi terlalu banyak kepadamu..."
"Budi
apa? Sudah lunas! Dan sekarang juga akan lunas kalau kau mau memberi upah cium
kepadaku!" Ucapan ini sengaja dikeluarkan oleh Kun Liong, bukan hanya
karena setiap kali melihat Hwi Sian, melihat mulut dara ini yang luar biasa
manisnya membuat dia ingin menciumnya, akan tetapi juga dia keluarkan dengan
maksud agar dara itu menjadi marah kepadanya.
Benar saja.
Tubuh itu meregang di dalam pelukannya, akan tetapi Kun Liong yang telah
mengharapkan gadis itu marah dan menampar atau memakinya, merasa betapa tubuh
itu lemah kembali dan terdengar suara halus menggetar, "Kalau begitu...
kau... kau ciumlah aku, Kun Liong..."
Kun Liong
terkejut dan menunduk. Inilah salahnya. Begitu menunduk, dia melihat wajah
gadis itu yang diangkat sehingga dia pun melihat mulut yang bibirnya merah
membasah, terbuka sedikit dan seperti menantang itu. Tidak kuat dia bertahan
lagi, apa lagi ciuman ini disetujui dan diminta oleh Hwi Sian! Dan dia memang
suka menciumnya. Apa salahnya?
Tanpa bicara
lagi, dia menunduk dan bertemulah dua buah mulut itu dalam ciuman yang mesra
dan lama. Kun Liong merasa betapa mulut dara itu menggetar, lalu mengeluarkan
rintihan dan kedua lengan Hwi Sian merangkulnya ketat sehingga ciuman mereka
makin melekat.
Setelah
mereka menghentikan ciuman dengan napas terengah-engah, Hwi Sian segera
merangkul Kun Liong dan berkata dengan suara merintih, dengan tubuh panas dan
mata terpejam, "Kun Liong... Kun Liong... aku cinta padamu..."
"Aihh,
Hwi Sian, jangan bicara tentang cinta. Kau sudah tahu..."
"Memang,
aku sudah tahu. Engkau tidak cinta padaku. Engkau hanya suka menciumku.
Bukankah begitu?"
"Maafkan
aku..."
"Kun
Liong, aku... aku akan membunuh diri saja..."
"Heiii!
Gila kau...!"
"Ketahuilah,
aku... telah ditunangkan dengan Ji-suheng (Kakak Seperguruan ke dua)..."
"Ahhh,
dengan Tan Swi Bu? Bagus sekali! Tan-enghiong itu seorang laki-laki yang gagah
perkasa!" Ucapan ini keluar dengan setulus hatinya.
"Tidak,
setelah ini, aku tidak mungkin dapat menjadi isterinya atau isteri siapa pun
juga. Aku... aku akan membunuh diri saja!"
"Hushh,
jangan bicara ugal-ugalan kau!" Kun Liong menegur setengah menggoda.
"Aku takkan membiarkan engkau membunuh diri."
"Dengan
kepandaianmu, engkau tentu bisa mencegahku, akan tetapi apakah selamanya engkau
akan menjagaku? Tidak, Kun Liong. Engkau takkan dapat mencegahku, dan aku bukan
bicara main-main, aku benar-benar akan membunuh diri. Aku cinta kepadamu, aku
diam-diam telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, akan tetapi bila aku terpaksa
harus berpisah darimu dan menjadi isteri orang lain yang tidak kucinta, biarlah
aku membunuh diri saja dari pada membikin susah hati orang lain."
"Wah-wah-wah,
kau bikin aku bingung, Hwi Sian. Kau tahu aku tidak mencintamu, tidak mencinta
siapa-siapa dan aku jujur dalam hal ini. Aku suka kepadamu, akan tetapi tidak
mencinta seperti yang kau maksudkan, cinta yang membawa pernikahan antara pria
dan wanita. Aku... aku... wah…, aku jadi bingung karena khawatir. Jangan kau bunuh
diri, Hwi Sian. Berjanjilah, bersumpahlah bahwa kau tak akan pernah membunuh
diri. Kalau tidak, selamanya aku tak akan dapat nyenyak tidur dan enak
makan!"
"Kun
Liong, keputusanku ini sudah bulat. Aku pasti akan membunuh diri begitu kita
saling berpisah, kecuali... kecuali kalau kau menaruh kasihan kepadaku."
"Lho!
Kau ini benar-benar aneh! Ataukah iblis penjaga hutan dan kuil tua ini yang
sudah menggoda pikiranmu? Tentu saja aku menaruh kasihan kepadamu,
Sayang."
"Benarkah?
Kau kasihan kepadaku dan mau melakukan apa saja untuk menolong diriku dari
kenekatan membunuh diri?" Hwi Sian memandang wajah itu.
Kun Liong
juga memandang tajam penuh selidik, hendak menjenguk seluruh isi hati yang
tersembunyi di balik wajah yang basah oleh air mata itu. Dia tahu bahwa Hwi
Sian tidak main-main bahkan belum pernah dia melihat dara yang berwatak jenaka
dan periang itu bersikap serius seperti saat ini. Akan tetapi dia harus cerdik,
tidak boleh membiarkan diri diakali.
"Aku
memang kasihan kepadamu, suka kepadamu, dan tentu saja aku suka melakukan apa
saja untuk dapat menolongmu dari kenekatan gila itu, asal saja bukan untuk...
untuk menikah denganmu!" Bangga hati Kun Liong karena dia sudah dapat
mendahului gadis itu sehingga menutup jalan bagi Hwi Sian untuk mengakalinya.
Akan tetapi dia kecele ketika mendengar dara itu berkata.
"Tidak,
aku pun tahu bahwa tak mungkin aku menikah denganmu, karena selain engkau tidak
mencintaku, juga aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Aku hanya minta
tolong kepadamu agar engkau suka menjadikan aku sebagai isterimu..."
"Heiii!
Gila kau! Tidak ingin menikah denganku tapi ingin menjadi isteriku, apa artinya
ini?"
"Kun
Liong, hanya... hanya untuk malam ini... kau penuhilah hasrat hatiku, aku hanya
bisa menyerahkan hati dan tubuhku kepadamu. Kalau saja kau sudi memenuhi
permintaanku, aku... aku bersumpah tidak akan membunuh diri... bahkan aku akan
rela menjadi isteri Ji-suheng..."
"Wah,
apa-apaan ini? Aku..."
Hwi Sian
sudah merangkulnya lagi. "Kau suka kepadaku, bukan? Kau suka menciumku,
bukan? Kun Liong..." Dara itu mendekap dan menciuminya.
Gairah yang
membuat Hwi Sian seperti berkobar-kobar itu akhirnya membakar Kun Liong juga.
Pemuda yang pada dasarnya memang romantis ini tidak dapat menahan gelombang
dahsyat yang menyerangnya, yang datang dari dara yang mencintanya lahir batin
itu. Tak mampu dia menahan diri dan sebentar saja keduanya sudah dikuasai oleh
birahi yang amat kuat dan tidak ada seorang pun manusia yang kuat bertahan apa
bila sudah diamuk birahi.
Sekali nafsu
mencengkeram manusia, akan mendatangkan keadaan yang tidak mengenal puas.
Diberi sejengkal ingin sedepa. Belaian dan dekapan serta ciuman mesra sudah tak
memuaskan lagi, ingin lebih, ingin yang terakhir, bagaikan mabuk, dan memang
dia sudah mabuk oleh nafsu yang membuatnya buta akan segala hal, lupa akan
segala hal, dengan mata seolah-olah terselubung...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment