Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 27
Hong Ing
masih merasa betapa lengan kanannya tergetar pada saat pedangnya ditangkis
tadi, maka dia terkejut melihat lawan meraih pinggangnya. Dia meloncat ke
belakang dan menjerit karena ternyata bahwa gerakan gadis baju merah itu hanya
merupakan tipuan belaka dan sebenarnya, pada saat itu gadis baju merah yang
lihai ini sudah melakukan tendangan tersembunyi dari bawah yang tepat mengenai
pergelangan tangan kanan Hong Ing yang memegang pedang. Karena lengannya masih
tergetar maka tendangan itu tepat sekali, membuat pedangnya juga terlepas dan
terlempar!
"Hi-hi-hi-hik,
sekarang kita sama-sama tidak bersenjata!" kata gadis berbaju merah yang
mengaku bernama Amoi itu.
Hong ing
menjadi marah serta penasaran sekali. Masakah dia harus kalah menghadapi
seorang pelayan saja? Dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang lihai, maka
tentu saja dia tidak gentar untuk bertanding dengan tangan kosong. Sambil
berseru marah dia lalu menerjang maju.
"Bagus!
Marilah kita berlatih sebentar!" Amoi berseru dan cepat mengelak ke
belakang, menghindarkan diri dari tendangan Hong Ing, kemudian tendangan
berantai itu hendak dia gagalkan dengan sambaran tangannya yang hampir saja
berhasil menangkap sepatu kiri Hong Ing.
Dara ini
terkejut, cepat menarik kembali kakinya dan pada saat itu Amoi sudah membalas
menyerang dengan cengkeraman ke arah leher kanannya yang juga dapat dihindarkan
dengan baik oleh Hong Ing. Terjadilah pertandingan yang amat seru.
Keduanya
sama gesit dan sama lincah sehingga setiap gerakan lawan kalau tidak dapat
dielakkan tentu berhasil ditangkis dengan baik. Berkali-kali terdengarlah suara
beradunya kedua lengan yang berkulit putih dan kelihatan halus lemah akan
tetapi yang sebenarnya mengandung tenaga sinkang yang amat kuat itu, menyelingi
suara gerakan mereka yang menimbulkan angin.
Tadinya dua
orang gadis itu mengandalkan kelincahan mereka untuk saling mengalahkan lawan.
Akan tetapi, sesudah lewat lima puluh jurus, bukan main kagetnya hati Hong Ing,
kaget dan terheran-heran melihat perubahan aneh dalam permainan silat gadis
berbaju merah itu.
Sekarang
lawannya mulai terkekeh-kekeh lagi dan ilmu silatnya amat luar biasa,
kadang-kadang lawannya itu bergerak dengan halus dan lemah gemulai seperti
bukan sedang bertanding melainkan sedang menari-nari bersamanya, akan tetapi
tiba-tiba saja tarian indah itu berubah menjadi gerakan kaku dan buruk sekali
seperti gerakan seekor monyet pincang! Bahkan lebih aneh lagi, kadang-kadang Amoi
menjatuhkan diri ke atas tanah, bergulingan sambil menangis, menjambak-jambak
rambutnya sampai awut-awutan, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, selagi
Hong Ing terbelalak kaget, dia mencelat ke atas dan menyerang dengan hebat!
"Aihhhh...!"
Hong Ing menjerit kaget dan untung masih dapat melempar tubuh ke belakang
terhindar dari hantaman yang amat dahsyat ke arah dadanya.
Mulailah
Hong Ing bersikap hati-hati. Kini dia tahu bahwa ilmu silat aneh seperti gila
itu bukanlah semata-mata ilmu yang dimainkan oleh seorang gila, melainkan ilmu
silat yang terselubung sikap gila-gilaan yang bukan tidak ada gunanya, karena
sikap gila-gilaan itu justru untuk memancing lawan dan mengacaukan perhatian
lawan!
Sekarang dia
bersikap hati-hati sekali bila Amoi menjambak-jambak rambutnya atau jatuh
terduduk dan menangis seperti seorang anak kecil yang merengek minta makanan,
tidak peduli lagi kalau Amoi membanting-banting kaki atau bahkan
merangkak-rangkak seperti anak kecil belajar merangkak! Dan memang dia benar,
karena di tengah-tengah gerakan aneh ini tiba-tiba sekali Amoi mencelat ke atas
dan menyerangnya dengan amat dahsyat. Karena dia tidak mempedulikan
gerakan-gerakan aneh dari lawan, maka kini dia dapat menghadapi serangan
mendadak itu dengan baik sehingga semua serangan Amoi dapat digagalkannya.
"Robohlah!"
Tiba-tiba Hong Ing membentak dan dia menerjang maju dengan tendangan berantai,
tendangan yang hanya dilakukan untuk mengacaukan posisi lawan, dan selagi Amoi
sibuk mengelak serta menangkis, Hong Ing yang melihat lowongan baik langsung
‘memasukinya’, tangan kirinya dengan jari terbuka menampar ke arah leher kanan
lawan.
"Hayaaaa...!"
Amoi
menjerit dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya kena ditampar
sehingga dia terpelanting dan jatuh miring. Akan tetapi, sambil menangis
tersedu-sedu dia sudah meloncat lagi ke atas dan kedua tangannya membentuk
cakar.
Melihat ini,
Hong Ing bersiap-siap karena maklum bahwa lawan hendak mempergunakan ilmu silat
sejenis Eng-jiauw-kang atau Houw-jiauw-kang (Ilmu Silat Cakar Harimau) yang
berbahaya. Dia melihat Amoi menerjang maju, menggerakkan sepasang tangannya
untuk mencakar mukanya.
"Heiiii!"
Hong Ing berteriak kaget dan maju untuk mencegahnya.
Dia merasa
kasihan kepada Amoi yang dikalahkannya dan menangis itu, sikap seperti seorang
anak kecil saja dan kini Amoi yang agaknya merasa kesal dan jengkel, hendak
mencakar muka sendiri. Perbuatan ini tentu saja berbahaya, bisa merobek hidung
atau mencokel mata sendiri!
"Hi-hik-hik...!
Dukkk!"
"Kau
curang...!" Hong Ing berteriak, akan tetapi karena sambungan lututnya kena
disentuh ujung sepatu Amoi, tentu saja dia jatuh berlutut dan pada saat itu
pula terdengar suara bersiutan dan tahu-tahu tali-tali hitam telah menyambar
dan membelenggu tubuhnya.
Kiranya
belasan orang gadis lain telah menggunakan tali hitam yang berbentuk lasso dan
melempar lasso itu dengan baik sekali sehingga semua lemparan tepat mengenai
dirinya. Lingkaran-lingkaran lasso itu semua tepat menelikung tubuhnya. Dia
terkejut sekali, akan tetapi diam-diam tersenyum mengejek pada waktu merasakan
dengan lengannya betapa tali-tali itu tidaklah kuat. Dia akan menanti sampai
rasa kesemutan di lututnya lenyap, baru akan memutuskan semua tali yang
mengikatnya.
Dengan
pura-pura tak berdaya Hong Ing masih berlutut, ditertawakan oleh semua gadis
itu. Kemudian, setelah lututnya tidak kesemutan, dia segera bangkit berdiri
dengan tubuh terbelenggu seperti seekor domba hendak disembelih dan memandang
kepada Amoi dan ketiga belas orang gadis yang tertawa dengan mulut terbuka
lebar, bebas lepas ketawa mereka, seperti segerombolan laki-laki kasar saja.
Hemmm,
tunggu saja kalian, pikir Hong Ing dengan gemas. Diam-diam dia mengerahkan
sinkang-nya kemudian tiba-tiba dia menggerakkan kaki tangannya sambil menjerit
dengan suara melengking nyaring
"Haaaiiittt!"
"Hi-hi-hik!"
"Heh-heh-hi-hik!"
Belasan
orang gadis itu cekikikan tertawa dan merahlah muka Hong Ing. Beberapa kali dia
mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan mencoba lagi, namun sia-sia saja dan
akhirnya dia pun maklum bahwa tak akan mungkin baginya untuk membebaskan diri
dari ikatan tali-tali yang ujungnya masih dipegangi oleh para gadis yang
mengurungnya itu.
Betapa
mungkin memutuskan tali yang sifatnya seperti karet, dapat mulur pada waktu dia
mengerahkan sinkang namun segera mengkeret dengan ketat lagi sesudah itu?
Tenaga hanya bisa menghancurkan atau mematahkan benda-benda keras, betapa
mungkin dapat melawan benda lunak yang sifatnya mulur akan tetapi yang memiliki
keuletan luar biasa?
Seperti
menerima komando tak bersuara, tiba-tiba tiga belas orang gadis itu menyendal
ujung tali dan tubuh Hong Ing melayang ke atas! Ketika tubuhnya yang sudah tak
dapat bergerak itu kembali meluncur turun, beberapa buah lengan menyambutnya
dan sambil tertawa-tawa para gadis itu menggotong tubuh Hong Ing yang sudah
ditelikung bagaikan ayam itu.
Hong Ing
bergidik melihat wajah muda-muda dan cantik-cantik yang tertawa-tawa seperti
siluman-siluman ini. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan
dirinya di tangan orang-orang seperti ini. Dengan dirinya di tangan mereka,
segala hal dapat saja terjadi. Apakah dia akan dipanggang bagai seekor anak
babi (babi guling) hingga kulitnya menjadi kering kemerah-merahan untuk
kemudian mereka makan bersama dengan arak wangi dan dagingnya dikerat-kerat dan
dicocolkan kecap?
Hong Ing
membelalakkan matanya penuh kengerian, apa lagi ketika Amoi Si Gadis Baju Merah
yang lihai itu di tengah perjalanan mengelus kepalanya yang gundul sambil
tertawa dan berkata, "Hi-hik, kepalanya gundul pelontos. Haluuuusss...
hi-hi-hik!"
Hong Ing
bergidik. Celaka. Mereka ini adalah orang-orang yang gila atau setidak-tidaknya
adalah orang-orang yang sudah lama terasing dari dunia ramai sehingga menjadi
seperti orang-orang biadab. Tiba-tiba dia teringat. Gila?
Subo-nya,
Go-bi Sin-kouw, pernah menceritakan bahwa dahulu, dua tiga puluh tahun lalu, di
Go-bi-san terdapat seorang nenek yang saktinya seperti siluman. Kalau dia tidak
salah ingat, julukan nenek yang disebut-sebut oleh gurunya itu adalah Go-bi
Thai-houw (Ratu Pegunungan Go-bi-san).
Ketika Go-bi
Thai-houw masih berada di daerah Pegunungan Go-bi, tidak ada tokoh lain yang
berani tinggal di situ, bahkan gurunya sendiri dulu tidak berani mendekati
Go-bi-san. Akan tetapi menurut gurunya pula, Go-bi Thai-houw dikabarkan sudah
tewas di tangan Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang kini juga sangat terkenal
sebagai ketua Cin-ling-pai. Jangan-jangan nenek sakti yang menurut gurunya
adalah seorang gila itu belum mati dan yang menangkapnya ini anak buahnya! Dia
bergidik lagi.
Akan tetapi
matanya terbelalak kaget ketika rombongan itu tiba di sebuah puncak yang
dikelilingi hutan gelap, oleh karena dari tempat dia digotong tergantung dengan
kepala di bawah itu dia melihat sebuah bangunan besar dan megah di tempat sunyi
itu! Pantas kalau dinamakan sebuah istana dan dugaannya makin tebal bahwa nenek
siluman Go-bi Thai-houw agaknya benar-benar belum mati seperti yang diceritakan
gurunya.
Dia digotong
masuk, melalui lorong yang amat panjang dan dengan dinding yang terhias lukisan-lukisan
indah serta kain sutera yang bergantungan di mana-mana. Akhirnya, Amoi
mengempit tubuh Hong Ing dan meninggalkan tiga belas orang anak buah yang
agaknya tidak diperbolehkan memasuki sebuah ruangan besar di tengah rumah itu.
Amoi masih
terus mengempitnya dengan ringan dan masuklah gadis berbaju merah itu ke dalam
sebuah ruangan yang amat mewahnya. Begitu masuk, hidung Hong Ing mencium bau
dupa wangi yang dibakar orang di dalam ruangan itu.
"Brukkk!"
Tubuhnya
dilempar ke atas lantai yang terbuat dari pada batu marmer putih, begitu bersih
sampai mengkilap. Mata Hong Ing memandang ke sekelilingnya dengan menggerakkan
lehernya. Dia melihat Amoi berlari-larian menghampiri seorang wanita gemuk yang
duduk setengah rebah setengah terlentang di atas kursi yang lebih patut disebut
pembaringan saking lebarnya, kemudian Amoi berlutut dan mencium kaki yang
tertutup sepatu kain sutera itu.
"Siocia..."
"Hemm,
Amoi. Kau baru datang? Agaknya engkau membawa seorang tawanan," berkata
wanita gemuk itu.
Hampir saja
Hong Ing tertawa. Itukah yang menjadi nona majikan istana ini dan yang disebut
Siocia? Ataukah Si Gendut ini puteri dari Go-bi Thai-houw? Dia memperhatikan
wanita itu.
Usianya
kurang lebih tiga puluh tahun. Tubuhnya amat subur, gemuk dan sehat sehingga wajahnya
menjadi seperti buah masak, kemerahan. Perutnya yang gendut itu tidak dapat
disembunyikan di balik jubah yang indah dan mewah, demikian pula buah dadanya
yang amat besar. Wajahnya biasa saja, cantik tidak akan tetapi juga tidak
terlalu buruk, bahkan kulit mukanya putih bersih dan halus.
Ketika
tertawa, mulutnya yang lebar terbuka memperlihatkan gigi besar-besar akan
tetapi putih bersih dan ketika tertawa kepalanya agak diangkat sehingga tampak
jelas gerakan lehernya dan dagunya yang bersusun empat! Telinganya dihias
anting-anting besar yang memang pantas dan sesuai dengan dirinya. Wajahnya
kelihatan ramah, selalu tersenyum akan tetapi dari matanya yang lebar itu
keluar wibawa yang kuat.
Seorang
gadis lain yang juga berpakaian merah seperti Amoi, yang bahkan lebih cantik
dari Amoi dan lebih tinggi tubuhnya, segera menyusul pertanyaan Siocia itu.
"Moi-moi, siapakah tawanan itu? Kelihatannya seperti seorang nikouw?"
Amoi
tersenyum kemudian duduk di dekat majikannya itu, bersanding dengan gadis yang
menegurnya. Hong Ing dapat menduga bahwa tentu gadis itulah yang disebut oleh
Amoi sebagai Acui.
"Siocia,
dia adalah seorang nikouw yang bernama Pek Nikouw. Dia melanggar wilayah kita
dan ketika hendak ditangkap, dia malah melawan. Ilmu kepandaiannya boleh juga,
Siocia. Hampir saja saya kalah olehnya," kata Amoi.
"Ahh,
begitukah? Sungguh kebetulan sekali kalau begitu! Nikouw muda, kau
bangunlah!"
Wanita
gendut itu berkata dan suaranya ramah sekali, tangannya dengan telapak terbuka
bergerak ke depan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar, mendorong sebuah tusuk
sanggul emas yang menyambar seperti kilat, menembus putus tali pengikat tubuh
Hong Ing dan seperti hidup, tusuk sanggul emas itu melayang kembali ke tangan
wanita gendut itu yang mengenakannya kembali ke atas sanggulnya sambil
tersenyum.
Menyaksikan
kepandaian yang seperti sulapan itu, Hong Ing menelan ludah. Bukan main!
Maklumlah dia bahwa dia tidak akan mampu menandingi wanita gendut itu, maka
begitu dia meloloskan tali yang telah putus itu dari tubuhnya, dia lalu berdiri
dan menjura dengan sikap penghormatan seorang pendeta, kedua tangannya
dirangkap di depan dada.
"Harap
maafkan pinni karena pinni telah tanpa sengaja melanggar wilayah Siocia,"
kata Hong Ing.
"Tidak
apa, Pek Nikouw. Engkau datang dari kuil manakah, Pek Nikouw?" tanya
wanita gendut itu dengan suara ramah.
"Pinni
datang dari kuil Kwan-im-bio."
"Aihhh...
sungguh kebetulan sekali. Agaknya Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan In) sendiri yang
mengutusmu untuk menolongku! Di sini aku telah memiliki segala sesuatu dengan
lengkap, kecuali satu, seorang yang berhati suci, seorang nikouw seperti engkau
inilah. Apa lagi kalau memiliki kepandaian yang baik, tidak akan memalukan
istanaku. Hi-hi-hik! Lihat, setiap saat aku berdoa, setiap saat aku membakar
dupa untuk menyenangkan para dewa, akan tetapi agaknya para dewa tidak berhasil
menyampaikan doaku kepada Thian! Maka aku membutuhkan seorang nikouw untuk
berdoa dan kebetulan engkau datang, dan engkau adalah murid Kwan Im Pouwsat,
Dewi Welas Asih yang agaknya menaruh iba kepadaku. Pek Nikouw, demi Dewi Kwan
Im yang welas asih, engkau tentu mau berdoa untukku, tentu mau menolongku agar
Thian mengabulkan permintaanku, bukan?"
Secara
diam-diam Hong Ing bergidik. Wanita ini dengan begitu saja menyebut-nyebut nama
segala dewa. Kwan Im Pouwsat, bahkan Thian, seakan-akan semua itu diadakan
hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan wanita gendut ini! Meski
kata-katanya terdangar ramah dan lembut, namun di balik itu terdapat sesuatu
yang tidak normal dan membuat Hong Ing menduga bahwa otak Siocia ini juga tidak
bisa dibilang waras!
"Siocia,
sebagai seorang nikouw memang pinni bertugas untuk berdoa bagi kesejahteraan
manusia dan sedapat mungkin menolong manusia agar terhindar dari kesengsaraan.
Doa apakah yang harus pinni lakukan untuk Siocia?"
"Ada
dua hal yang bertahun-tahun mengganggu hatiku, Pek Nikouw, dan setiap hari aku
berdoa kepada Thian supaya mengabulkan permohonanku ini, pertama-tama adalah
agar aku bisa menemukan jodohku..." Suara wanita gendut itu menjadi
gemetar oleh keharuan sehingga diam-diam Hong Ing harus menahan geli hatinya
mendengar ini.
Wanita
gendut itu berhenti bicara dan mempergunakan lengan bajunya yang lebar untuk
mengusap air matanya! Kemudian dia pun melanjutkan, "Ada pun hal yang ke
dua adalah agar supaya aku dapat segera membalas dendam kepada musuh
besarku."
"Maaf,
Siocia. Untuk berdoa, pinni harus mengetahui siapakah musuh besar Siocia, dan
mengapa orang itu menjadi musuh besarmu," kata Hong Ing memancing karena
dia ingin sekali mendengar riwayat wanita aneh ini.
"Siapa
lagi kalau bukan Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai! Dahulu dia telah membunuh
majikanku. Kematian Go-bi Thai-houw dulu harus dibalas dan siapa lagi kalau
bukan aku sebagai ahli warisnya yang dapat membalaskan kematiannya?"
Diam-diam
Hong Ing terkejut sekali. Tak salah dugaamya, atau setidaknya tidak meleset
terlalu jauh. Wanita ini, tempat ini, dan pasukan wanita gila itu, ada
hubungannya dengan Go-bi Thai-hou seperti yang sudah diceritakan subo-nya.
Pantas saja mereka begitu lihai. Kiranya wanita ini adalah keturunan nenek
iblis itu.
"Namaku
Kim Seng Siocia (Nona Bintang Emas)," wanita gendut itu menerangkan.
"Dulu ketika Thai-houw masih hidup, aku adalah seorang pelayannya yang
paling kecil. Saat itu aku baru berusia delapan tahun. Akan tetapi sebelum
beliau pergi, beliau meninggalkan semua pusaka dan kitab-kitabnya kepadaku,
maka akulah yang berhak mewarisi semua peninggalannya, termasuk ilmu
kepandaiannya dan juga istananya ini yang sudah kuubah menurut seleraku. Nah,
kau sudah mendengar, Pek Nikouw, sekarang kau harus tinggal di istana ini untuk
berdoa sampai kedua permintaanku itu terkabul. Aku harus menemukan jodohku,
seorang laki-laki yang memiliki ilmu kepandaian tinggi agar dapat membantuku
membunuh Cia Keng Hong. Kalau kau menolak, kau akan kubunuh, namun kalau kau
menerima, kau akan menjadi tamu kehormatan kami, dan hidup terhormat serta
mulia di istana ini."
Hong Ing
tidak dapat menjawab, mukanya agak berubah. Bagaimana mungkin dia berani
menolak? Sekali menolak dan wanita itu turun tangan, tentu dia akan tewas. Akan
tetapi bagaimana pula dia dapat menerima diharuskan tinggal di tempat ini
bercampur dengan orang-orang yang miring otaknya?
"Baiklah,
Siocia. Pinni akan berdoa untukmu dan tinggal sementara di sini. Semoga saja
segera terkabul pormohonanmu itu."
Wanita itu
tertawa dan mukanya berseri gembira. "Yahuuuu...! Sediakan hidangan yang
paling lezat untuk Pek Nikouw!"
Hong Ing
memang bukan seorang nikouw tulen, maka tentu saja dia tidak keberatan makan
daging dan minum arak yang disuguhkan. Sambil makan minum, Kim Seng Siocia lalu
memerintahkan anak buahnya menabuh musik dan menari-nari.
Hong Ing
semakin mengenal keadaan di sana dan tahulah dia bahwa Kim Seng Siocia memang
merupakan seorang ‘ratu’ di tempat ini, dengan anak buahnya yang berjumlah lima
puluh orang lebih, rata-rata pandai ilmu silat seperti pasukan yang menawannya.
Ada pun dua orang pembantunya yang paling dipercaya dan yang paling lihai pula
adalah Acui dan Amoi itulah, yang bukan hanya merupakan pelayan-pelayan
pribadinya, akan tetapi juga wakil-wakilnya dan murid-muridnya!
Benar saja
seperti yang dijanjikan Kim Seng Siocia, Hong Ing diperlakukan dengan penuh
hormat oleh semua orang, mendapatkan sebuah kamar yang bersih dan indah di
dalam istana, diberi pakaian pendeta yang serba indah dan makanan yang lezat.
Pekerjaan
Hong Ing sehari-hari hanyalah membaca liam-keng (doa) dan tentu saja doa yang
keluar dari dalam hatinya bukanlah untuk Si Gendut itu, melainkan dia berdoa
untuk keselamatan suci-nya, Lauw Kim In yang mengorbankan dirinya menjadi
isteri pemuda iblis Ouwyang Bouw, kemudian doa untuk keselamatan dirinya
sendiri supaya dia dapat segera membebaskan diri dari tempat yang mengerikan
ini, dan kadang-kadang kalau dia terbayang wajah Kun Liong yang amat sulit
untuk dapat dilupakannya itu, dia berdoa agar mendapat kesempatan lagi bertemu
dengan pemuda gundul itu! Sedikit pun tidak ada doa di dalam hatinya untuk
permintaan Kim Seng Siocia!
Sesudah
tinggal sebagai tamu terhormat, atau lebih tepat tahanan terhormat di istana
itu belasan hari lamanya, Hong Ing mendapat kenyataan bahwa Kim Seng Siocia
ternyata betu-betul merupakan seorang wanita aneh yang memiliki banyak ilmu
kepandaian tinggi. Bukan hanya mempunyai tenaga sinkang yang sangat luar biasa,
juga wanita ini memiliki kekebalan dan pandai memainkan segala macam senjata,
termasuk ahli pula dalam hal menggunakan anak panah.
Ia pernah
dibuat amat kagum ketika pada suatu sore nona gendut itu mendemonstrasikan
kepandaiannya memanah burung. Ketika itu sekelompok burung sedang terbang di
udara, tinggi sekali sampai hanya terlihat sebagai titik-titik hitam kecil.
Burung-burung itu sedang terbang berkelompok kembali ke sarang mereka arah
selatan.
"Aku
ingin makan panggang burung dara hijau!" nona gendut itu berkata dan Amoi
segera memberikan gendewa dan tempat anak panah yang terisi belasan batang anak
panah.
Walau pun
tubuhnya gendut, ternyata Kim Seng Siocia dapat bergerak cepat sekali, dan
tahu-tahu gendewa telah dipentangnya kemudian berturut-turut dia melepaskan
tiga belas batang anak panah ke udara. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga
sulit diikuti oleh pandang mata dan anak-anak panah itu meluncur beriringan
seperti bersambung.
Tak lama
kemudian, anak panah yang tiga belas batang jumlahnya itu berjatuhan dan…
setiap batang membawa dua ekor burung yang tertembus dadanya! Hampir saja Hong
Ing tidak dapat percaya akan apa yang disaksikannya dan diam-diam dia merasa
ngeri sekali. Demikian hebatnya ilmu memanah nona gendut ini!
Menyaksikan
kelihaian Kim Seng Siocia ini, makin berhati-hatilah Hong Ing. Dia tak berani
sembarangan melarikan diri karena maklum akan keanehan watak nona gendut itu
yang tentu tak akan segan-segan membunuhnya kalau dia melarikan diri dan
tertangkap. Maka dia harus menunggu saat yang paling tepat dan baik, dan dia
hanya akan melarikan diri kalau sudah yakin takkan tertangkap kembali. Pula,
kalau dia berdiam di tempat itu tentu tidak akan dapat dicari oleh subo-nya!
Andai kata subo-nya dapat mencarinya di tempat ini, agaknya subo-nya akan
menghadapi lawan berat sekali dalam diri Kim Seng Siocia dan anak buahnya!
Lebih baik
di sini dari pada bersembunyi di dalam kuil, karena sesungguhnya dia pun tak
suka untuk menjadi nikouw. Akan tetapi, karena dia berada di istana itu dalam
tugasnya sebagai nikouw, terpaksa dia selalu membersihkan rambut dari kepalanya
bila mana ada rambut mulai tumbuh. Dia tidak boleh memancing kecurigaan Kim
Seng Siocia dan harus bersikap seperti seorang nikouw tulen yang saleh!
Pada suatu
senja, dia melihat Acui dan Amoi berlari-larian sambil mengumpulkan anak
buahnya. Karena merasa tertarik dia lalu keluar dari kamarnya dan bertanya
kepada Amoi yang bersikap bersahabat dangannya.
"Amoi,
apakah yang terjadi?"
Amoi tertawa
terkekeh-kekeh. "Hi-hi-hi-hik, pesta besar, Sukouw. Banyak lalat jantan
yang terjebak dalam sarang laba-laba, dan di antaranya adalah seekor lalat bule
(putih) yang tentu menarik perhatian Siocia. Siocia menyuruh kami menangkap
mereka hidup-hidup!" Setelah berkata demikian, dua orang pelayan yang
berpakaian merah itu berlari-lari diikuti anak buah mereka.
Hong Ing
menjadi sangat penasaran dan dia bertanya kepada serombongan pasukan yang
agaknya hendak membantu pula. "Apakah yang terjadi? Banyak lalat terjebak
dalam sarang laba-laba? Apa artinya itu?"
Karena Kim
Seng Siocia menganggap Hong Ing sebagai tamu agung maka telah menjadi kebiasaan
para anak buah di situ untuk menghormati nikouw muda ini, maka seorang di
antaranya menjawab singkat, "Lalat berarti manusia dan lalat jantan adalah
kaum laki-laki. Hi-hi-hik, mudah-mudahan aku mendapat bagian!"
"Cuihh,
laki-laki!" kata wanita ke dua sambil membuang ludah. Entah mengapa
agaknya wanita ini pernah mengalami hal yang tak enak yang ada hubungannya
dengan kaum pria sehingga dia membenci pria.
"Hayo
kita berangkat!" orang ke tiga berkata sambil bertanya kepada Hong Ing,
"Apakah Sukouw hendak menonton?"
Hong Ing
mengangguk dan dia ikut pula berlarian dengan rombongan itu memasuki hutan yang
gelap. Belum pernah dia masuk hutan ini dan ternyata rombongan ini membawanya
ke sebuah daerah di dalam hutan itu yang penuh dengan goa-goa dan Acui serta
Amoi bersama anak buahnya sudah pula berada di situ, menyalakan obor dan mereka
bicara sambil tertawa-tawa dan menuding-nuding ke dalam goa-goa itu.
Hong Ing
melangkah maju dan memandang. Hatinya heran bukan main ketika dia melihat ada
enam orang laki-laki di dalam dua buah goa itu dan mereka ini benar-benar
terjebak dalam sarang laba-laba! Sarang laba-laba yang besar dan yang melekat
di tubuh enam orang itu. Betapa pun enam orang itu meronta-ronta, mereka tidak
dapat melepaskan diri dari lekatan benang yang sebesar tali itu, benang sarang
yang memiliki daya melekat dan membelit!
"Iihhh,
apakah itu sarang laba-laba tulen?" tanya Hong Ing mendekati Acui.
"Lihat
saja di sana, kami sudah membunuh laba-labanya," dia lalu menuding ke kiri
dan hampir saja Hong Ing menjerit.
Benar saja,
di sana terdapat dua bangkai binatang yang mengerikan sekali. Jelas kedua
bangkai itu adalah tubuh binatang laba-laba hitam akan tetapi bentuknya luar
biasa sekali! Sebesar kucing atau anjing kecil! Pantas saja sarangnya demikian
besar dan sangat kuat, sanggup menangkap manusia!
Akan tetapi
dia segera tertarik ketika melihat salah seorang di antara enam pria itu. Dia
mengenal orang yang berkulit putih itu. Itulah orang kulit putih yang bersama
Tok-jiauw Lo-mo pernah menggunakan pasukan pemerintah menangkap Kun Liong dan
menawan pemuda itu! Kalau dia tidak salah ingat, dulu Kun Liong pernah
menyebutkan namanya, Marcus! Ya, Marcus!
Marcus dan
lima orang laki-laki lain yang sama sekali tidak berdaya itu segera ditangkap,
dibelenggu kedua tangannya dan digiring keluar dari goa itu. Marcus
berkata-kata dalam bahasa asing, kelihatannya marah, dan seorang di antara lima
anak buahnya itu berkata dengan penasaran,
"Kami
ini mau dibawa ke mana? Kami tidak bersalah apa-apa terhadap kalian!"
Para gadis
yang menggiring mereka itu tertawa-tawa saja, dan Amoi yang genit segera
membentak. "Hushhh, diamlah! Kalian berenam seharusnya berterima kasih
kepada kami. Apa bila kami tidak membunuh kedua ekor laba-laba hitam raksasa
itu, agaknya sekarang semua darah dan sumsum kalian telah disedot habis!"
Pada saat
melihat Marcus, Hong Ing menyelinap ke belakang. Dia khawatir kalau pemuda
asing itu mengenalnya. Akan tetapi diam-diam dia mengikuti perkembangan karena
ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Kim Seng Siocia dan anak buahnya
terhadap enam orang tawanan itu. Karena itu dia cepat mendahului rombongan yang
sambil tertawa-tawa menggiring enam orang laki-laki itu, berlari dan memasuki
istana bertemu dengan Kim Seng Siocia, disambut oleh wanita gendut itu dengan
senyum ramah.
"Ha-ha-ha,
aku mendengar ada enam orang pria menjadi tawanan. Hi-hi-hik, Pek Nikouw,
apakah ini hasil doamu? Mudah-mudahan saja jodohku berada di antara
mereka."
"Omitohud,
mudah-mudahan begitu, Siocia. Pinni sudah melihat mereka dan harap Siocia yang
menentukan sendiri. Tetapi sebagai seorang pendeta, pinni tidak boleh
berhadapan dengan kaum pria, maka pinni hanya akan menonton dari belakang tirai
saja."
Kim Seng
Siocia tertawa. "Hi-hi-hi-hik, kasihan sekali engkau. Masih begitu muda
sudah harus menjauhkan diri dari pria. Tentu saja boleh, Pek Nikouw, dan kalau
benar di antara mereka terdapat jodohku, berarti doamu manjur luar biasa dan
aku tentu akan memberi hadiah besar kepadamu."
Sesuai
dengan perintah nona gendut itu, enam orang tawanan itu dihadapkan seorang demi
seorang. Betapa kecewa hati Kim Seng Siocia melihat laki-laki yang usianya
sudah empat puluh tahun lebih dan yang hanya terdiri dari orang-orang kasar.
Pada waktu dia menyuruh buka belenggu mereka seorang demi seorang dan
memerintahkan Acui dan Amoi untuk menguji kepandaian mereka, tidak ada seorang
pun di antara lima orang anak buah Marcus yang dapat bertahan melawan seorang
di antara dua pelayan manis itu lebih dari sepuluh jurus!
Dengan hati
kecewa dan juga penasaran, Kim Seng Siocia menghadiahkan lima orang itu kepada
anak-anak buahnya dan terdengarlah sorak-sorai dan tawa ketika lima orang itu
diseret-seret dan dijadikan perebutan di luar istana. Dari tempat sembunyinya
di belakang tirai, Hong Ing hanya dapat mendengar lima orang itu
berteriak-teriak di antara sorak-sorai itu dan dia bergidik. Kemudian dia
melihat Marcus dihadapkan nona gendut.
"Siapa
namamu?" tanya Kim Seng Siocia.
"Marcus,"
jawab pemuda asing itu dengan suara aneh karena memang dia belum begitu pandai
berbahasa pribumi. Kim Seng Siocia kelihatan tertarik dan dia menyuruh Amoi
menguji kepandaian pemuda yang berkulit putih itu. Amoi maju dan tersenyum
genit.
"Apa
kau pandai main silat?" tanya Amoi.
Marcus
mengangguk. "Sedikit-sedikit aku sudah mempelajari ilmu silat ketika aku
menjadi anak buah tuan Legaspi Selado yang berilmu tinggi. Akan tetapi di
negeriku aku terkenal sebagai seorang ahli tinju."
"Tinju?"
Amoi bertanya heran dan tidak mengerti.
Marcus
mengepal kedua tangannya. "Ahli menggunakan ini untuk merobohkan
lawan."
"Aha!
Ilmu silat bangsamu? Bagus, coba kau robohkan aku dengan itu!"
Marcus
menjerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. "Tidak pernah aku merobohkan
wanita dengan tinju!" Dia tertawa. "Biasanya aku merobohkan wanita
dengan cinta!"
Acui, Amoi
dan para penjaga di situ tertawa dan Kim Seng Siocia sudah bangkit berdiri dari
kursinya, melangkah maju dan mengamat-amati Marcus dari kepala sampai ke kaki.
"Marcus,
jadi engkau ini ahli mencinta wanita?" tanyanya.
Didekati
oleh wanita gendut yang agaknya menjadi ketua gerombolan wanita itu, Marcus
kelihatan gelisah. Kalau disuruh merayu Acui atau Amoi, atau beberapa orang di
antara para anak buah yang muda dan cantik, tentu saja dia akan merasa suka
sekali. Akan tetapi wanita ini sungguh berbeda dengan yang lain. Tubuhnya
tinggi besar dan sikapnya begitu penuh wibawa. Dia tidak menjawab, hanya
mengangguk.
"Heh-heh,
kau menarik juga. Tentu saja aku tidak akan suka menjadi isteri orang asing
yang berkulit putih bermata biru. Akan tetapi, kalau kau memenuhi seleraku,
kalau kau menyenangkan dan mencocoki hatiku, kau akan menjadi selirku.
Hi-hik!"
Marcus
membelalakkan matanya. "Apa? Selir? Selir bagaimana?"
Dia pun
sudah pernah mendengar bahwa selir adalah seorang peliharaan, seorang isteri di
luar pernikahan resmi. Akan tetapi biasanya adalah wanita yang menjadi selir
pria, dan sekarang wanita gundul ini hendak mengambilnya sebagai selir!
"Bodoh!"
Amoi berkata tertawa. "menjadi selir berarti menjadi kekasih Siocia."
Marcus
mengerutkan alisnya dan memandang wanita gendut itu. Memang bukan seorang
wanita tua dan wajahnya pun tidak terlalu buruk, hanya terlalu gendut. Dia
adalah seorang laki-laki, seorang petualang, mana mungkin dia tunduk begitu
saja dijadikan ‘selir’ seorang wanita? Biar pun wanita ini agaknya menjadi
kepala di sini, namun menjadi selir amatlah rendah!
"Kalau
aku menolak?" tantangnya.
"Bagaimana
caramu untuk menolak?" Kim Seng Siocia bertanya, matanya bersinar agak
gembira, melihat bahwa pemuda asing ini lumayan juga, memiliki kejantanan.
"Dengan
ini!" Marcus memperlihatkan kepalan tinjunya yang besar. "Biar pun
aku tidak pernah menggunakan ini untuk menghadapi wanita, akan tetapi kalau aku
dipaksa..."
"Heh-heh,
bagus! Ehh, Marcus, apakah kau lebih suka kuberikan kepada laba-laba?"
Marcus
membelalakkan matanya yang biru. "Laba-laba?"
Amoi
tertawa. "Hi-hi-hik, laba-laba kecil yang banyak sekali lebih berbahaya
dari laba-laba besar. Teman-temanmu yang lima orang kini sedang dikeroyok
banyak laba-laba kecil!"
Marcus
mendengarkan dan sayup-sayup dia masih mendengar suara cekikikan ketawa banyak
wanita. Dia menjadi bingung dan kembali dia kelihatan gelisah.
"Begini
saja," kata Kim Seng Siocia. "Apa bila dalam waktu lima jurus aku
belum mampu mengalahkan engkau, biarlah kau akan kuberi kebebasan. Akan tetapi
kalau dalam waktu lima jurus kau roboh,bagaimana?"
"Tidak
mungkin!"
"Siocia
bertanya, cepatlah kau jawab!" Acui membentak, kelihatan marah sekali
sehingga suaranya ketus dan nyaring.
Marcus
terkejut dan dia memandang wanita gendut itu penuh perhatian. Benarkah cerita
teman-temannya yang lebih dahulu merantau ke tanah ini, bahwa di sini terdapat
banyak orang sakti yang aneh, di antaranya ada pula wanita yang mempunyai ilmu
kepandaian tinggi?
"Nona,"
katanya sambil menjura. "Aku akan menerima segala perintahmu, bahkan akan
mengangkatmu sebagai guruku kalau benar-benar kau dapat mengalahkan aku dalam
lima jurus!"
Kim Seng
Siocia tertawa, kemudian berkata, "Bersiaplah kau. Akan kuserang kau
sampai lima jurus dan hendak kulihat apakah kau benar-benar dapat
bertahan."
Marcus mulai
menduga bahwa agaknya nona gendut ini memang mempunyai kepandaian karena kalau
tidak, tak mungkin berani bicara sesombong itu. Karena itu dia pun segera
memasang kuda-kuda, kedua tangan dikepal dan dia sudah siap untuk menangkis
segala serangan lawan. Dia masih merasa ragu untuk memukul wanita ini, maka dia
mengambil keputusan asal dia dapat bertahan selama lima jurus cukuplah. Dan dia
akan menangkis dengan pengerahan tenaga agar lengan wanita itu terasa nyeri!
"Jurus
pertama!" Kim Seng Siocia berkata, tangan kirinya menyambar dengan sebuah
tamparan ke arah kepala Marcus. Gerakannya cepat dan mendatangkan sambaran
angin dahsyat.
Marcus
terkejut sekali. Cepat dia mengangkat lengan kanan ke atas sambil mengerahkan
tenaga agar lengan wanita itu terasa nyeri terkena tangkisannya. Akan tetapi
lengannya hanya menangkis angin kosong belaka dan tahu-tahu tangan wanita itu
menyambar, turun melalui bawah tangannya yang menangkis dan sudah ‘menowel’
jalan darah di ketiaknya sehingga tiba-tiba lengannya lumpuh dan tubuhnya terhuyung!
Selagi
Marcus terheran-heran, nona gendut itu sudah tertawa dan berkata lagi.
"Jurus ke dua!"
Marcus cepat
mempersiapkan diri lebih berhati-hati dari pada tadi. Kini kelihatan wanita itu
menggerakkan kedua tangannya dari kanan kiri seperti hendak menyerangnya dengan
dua tamparan, satu ke arah kepala dan yang ke dua ke arah pinggangnya.
Marcus cepat
mengikuti tangan itu dan begitu melihat berkelebatnya dua tangan dia cepat
menyambar untuk menangkap. Girang hatinya saat dia berhasil menangkap pergelangan
kedua tangan Kim Seng Siocia, akan tetapi mendadak kedua kakinya dibabat oleh
kaki lawan dan tubuhnya menjadi terguling roboh karena nona itu sudah
merenggutkan kedua lengannya terlepas.
"Bukkk!"
Marcus
merayap bangun dan meringis karena pantatnya terasa nyeri ketika dia terbanting
tadi. Mulai marahlah dia, juga malu sekali. Jelas bahwa dalam dua jurus tadi,
dia sudah dua kali jatuh!
Melihat
lelaki ini sudah memasang kuda-kuda lagi dengan mata menjadi agak kemerahan
tanda marah, Kim Seng Siocia tertawa dan berkata, "Kau keras kepala juga,
ha-ha. Jaga ini jurus ke tiga!"
Kim Seng
Siocia yang hanya ingin main-main, secara sembarangan menggerakkan lagi tangan
kirinya menampar, bahkan yang menampar bukan tangan melainkan ujung lengan
bajunya yang panjang dan lebar. Sekali ini Marcus sudah tahu bahwa lawannya
sangat lihai, maka dia menangkis dengan tangan kanan akan tetapi mendahului
dengan tangan kirinya menghantam ke arah dagu wanita itu dengan sebuah pukulan
‘uppercut’.
"Plak-plak...
desss...!"
Cepat sekali
gerakan tangan wanita itu sehingga tidak terlihat oleh Marcus yang menjadi
keheranan akan tetapi segera dia mengaduh-aduh karena tahu-tahu dia sudah
terbanting lebih keras dari pada tadi! Dia hanya merasa betapa siku lengannya
yang memukul tadi disambar dari samping, kemudian tubuhnya terbanting tanpa
dapat ditahannya lagi. Dia merasa penasaran bukan main.
Benarkah
dia, Marcus si jago tinju, sama sekali tak berdaya menghadapi seorang wanita
yang begini gendut? Benar-benar memalukan sekali! Dia mendengus, meloncat
bangun dan memandang dengan mata merah, kedua tangannya terkepal dan dia sudah
siap lagi menghadapi serangan.
"Hi-hi-hik,
kau masih berani? Baiklah, masih tersisa dua jurus lagi dan awas, aku akan
menggunakan dua jurus itu. Siap!"
Tubuh yang
gendut itu bergerak maju. Marcus sudah siap. Dia tidak mau membiarkan wanita
itu mendahuluinya karena kini dia mengerti bahwa betapa pun gendutnya wanita
itu dapat menggerakkan kedua kaki tangan dengan cepat sekali. Maka dia tidak
menanti sampai diserang, melainkan mendahuluinya menyerang dengan pukulan
dahsyat ke arah perut yang gendut itu. Dapat dibayangkan betapa herannya
melihat wanita itu sama sekali tidak menangkis, bahkan tidak mengelak.
"Crotttt…!"
Marcus
merasa betapa kepalannya bertemu dengan benda lunak dan kepalannya itu lalu
menancap sampai ke pergelangan tangannya. Celaka, pikirnya, aku telah
membunuhnya ketika melihat kepalan tangannya ‘masuk’ ke dalam perut gendut itu.
Akan tetapi,
Kim Seng Siocia tertawa dan Marcus yang amat kaget itu menarik kembali
kepalannya. Akan tetapi sia-sia, kepalan tangannya yang menancap di perut itu
tidak bisa dicabutnya kembali! Dia menjadi bingung, malu, marah, juga penasaran
sekali. Tangan kirinya mencengkeram ke depan, ke arah muka wanita itu. Akan
tetapi Kim Seng Siocia menangkap tangan kiri itu, kemudian berseru,
"Naiklah!"
dan... tubuh Marcus telah dilontarkan ke atas.
Markus
memekik ngeri ketika tubuhnya meluncur seperti sebutir peluru pistol ke atas
dan cepat-cepat dia merangkul balok melintang ketika tubuhnya menabrak itu.
Dengan tubuh gemetar dia memandang ke bawah, melihat betapa Kim Seng Siocia
tertawa dan berkata,
"Hayo
turunlah! Apakah kau masih belum mengaku kalah?"
Kini
maklumlah Marcus bahwa kepandaian wanita itu benar-benar hebat sekali. Kiranya
belum tentu kalah oleh Legaspi Selado sendiri. Betapa bodohnya sudah melawan
wanita sepandai itu.
"Aku...
aku mengaku kalah...," katanya dengan ngeri melihat betapa tingginya
tempat dia berada.
"Dan
kau mau menjadi selirku?"
"Ya...
ya, aku mau..."
"Dan
mau juga menjadi muridku?"
"Aku
mau, aku suka sekali..."
"Kalau
begitu lekaslah meloncat turun. Mau apa lama-lama di situ?"
Tubuh Marcus
gemetar. "Lon... loncat...? Kakiku bisa patah..."
"Haiii,
manusia tolol!" Amoi memaki sambil menudingkan telunjuknya ke atas.
"Kau bilang mau menjadi selir dan murid mengapa tidak mentaati perintah?
Kalau Siocia bilang turun, turunlah!"
Marcus
maklum akan kekeliruannya. Wanita gendut yang lihai ini hendak mengambilnya
menjadi kekasih dan murid, tentu saja kalau dapat melontarkannya ke atas, dapat
pula melindunginya apa bila dia meloncat turun. Maka sambil memejamkan matanya,
dengan nekat dia meloncat ke bawah!
Ketika
merasa bahwa tidak ada orang menyambutnya, Marcus membuka matanya dan dia
berteriak ngeri melihat tubuhnya meluncur ke arah lantai marmer dengan kepala
lebih dahulu! Akan tetapi, ketika hidungnya yang panjang itu hampir menyentuh
lantai, tiba-tiba tubuhnya terhenti dan ternyata bahwa tangan kiri yang kuat
dari Kim Seng Siocia sudah mencengkeram baju di punggungnya, kemudian
mendorongnya berdiri.
"Berlututlah,
Marcus."
Mendengar
perintah ini Marcus lalu menjatuhkan diri berlutut di depan wanita gendut itu.
Kim Seng Siocia tersenyum lebar dan memberi isyarat dengan tangannya kepada
para penjaga untuk mengundurkan diri, kemudian berkata kepada Amoi dan Acui,
"Sediakan
air pencuci kaki lalu pergilah kalian keluar."
Amoi dan
Acui mengangguk, cepat menyediakan sebuah bokor emas berisi air hangat berikut
kain bulu yang halus, menaruhnya di dekat kursi yang seperti pembaringan itu,
lalu sambil tersenyum-senyum dan melirik ke arah Marcus yang masih berlutut itu
mereka keluar dari kamar, menutupkan daun pintu ruangan itu dari luar.
"Marcus,
kau cucilah kakiku," kata Kim Seng Siocia sambil merebahkan diri di atas
kursi yang panjang dan lebar itu.
Marcus tidak
merasa terhina lagi. Apa pun yang diperintahkan wanita ini, tidak ada orang
lain yang menyaksikannya. Pula, dia sudah yakin bahwa wanita ini, betapa pun
anehnya, adalah seorang yang mempunyai kesaktian hebat, menjadi kekasihnya dan
juga muridnya merupakan hal yang amat menguntungkan baginya.
Maka tanpa
ragu-ragu lagi dia lalu mengambil bokor air hangat, menghampiri nona gendut
itu, menggunakan kain bulu yang dicelup di air untuk membersihkan kaki nona
ini. Bukan itu saja, bahkan pemuda yang cerdik ini mulai mempergunakan
‘kepandaiannya’ merayu wanita, sambil membersihkan dia memijati dan membelai
kaki itu yang biar pun bentuknya besar namun cukup bersih, padat dan
menggairahkan sehingga Kim Seng Siocia merasa nikmat dan merem melek di atas kursinya.
"Aihh,
Marcus... kau menyenangkan hatiku. Mari... marilah kau layani aku baik-baik,
kau akan kuajari ilmu yang akan membuat kau benar-benar menjadi seorang
jantan." Wanita itu turun dari kursinya, menggandeng tangan Marcus diajak
memasuki kamarnya yang mewah dan indah.
Diam-diam
Hong Ing yang mukanya berubah menjadi merah saking jengah menyaksikan
pemandangan tadi, menjadi lega hatinya melihat mereka memasuki kamar, maka
cepat keluar dari balik tirai dan pergi dari tempat itu. Makin ngeri dia memikirkan
keadaan Kim Seng Siocia dan anak buahhya, apa lagi ketika mendengar betapa lima
orang pria anak buah Marcus itu dikeroyok serta dipaksa bermain cinta oleh
puluhan orang wanita yang sudah seperti gila itu! Dia bergidik, akan tetapi
betapa pun muak hatinya, dia masih belum berani melarikan diri karena di situ
terdapat Acui dan Amoi yang amat lihai.
Hong Ing
memasuki ruangan tempat duduk Kim Seng Siocia dengan hati berdebar. Entah
kenapa hatinya merasa tidak enak ketika malam hari itu Kim Seng Siocka memanggilnya
dan yang disuruh memanggil adalah Acui dan Amoi yang kini mengikutinya dari
belakang.
Ketika dia
masuk ruangan dan melihat Marcus duduk di samping wanita gendut itu, Hong Ing
menghentikan langkahnya. Akan tetapi Acui dan Amoi mendorongnya dari belakang.
Hong Ing cepat menarik turun penutup kepalanya sehingga mukanya terlindung.
"Siocia
memanggil pinni?" tanyanya sambil berdiri di depan wanita itu.
"Bukalah
kerudungmu, perlihatkan mukamu," berkata Kim Seng Siocia, suaranya berbeda
dari biasanya, kereng dan penuh wibawa.
"Tapi...
tapi Siocia, ada seorang pria di sini," Hong Ing membantah.
"Marcus?
Hi-hi-hik, dia adalah orang sendiri, bukan orang luar. Hayo bukalah!"
Karena
maklum bahwa menolak amatlah berbahaya, maka Hong Ing terpaksa membuka kerudungnya
dengan harapan bahwa Marcus sudah lupa kepadanya. Akan tetapi begitu kerudung
dibuka, terdangar suara Marcus,
"Benar
dia! Nikouw cantik yang menolong Yap Kun Liong! Dia mata-mata!"
Tentu saja
Hong Ing terkejut bukan main. Andai kata Marcus tidak menjadi kekasih Kim Seng
Siocia, hal itu masih mending karena tidak ada hubungannya dengan wanita gendut
itu.
"Siocia,
cocok sekali ceritaku. Dialah sekutu Yap Kun Liong dan kalau dia berada di
sini, tentu dia tahu di mana adanya Kun Liong. Kita harus dapat
menangkapnya," kata pula Marcus.
"Hemm,
tapi aku tidak begitu tertarik dengan ceritamu mengenai bokor emas yang dapat
menunjukkan tempat harta pusaka. Aku sudah mempunyai cukup harta," Kim
Seng Siocia membantah.
"Tetapi,
di samping harta, masih ada pusaka yang mengandung ilmu yang mukjijat, begitu
dikatakan orang, bahkan belum lama Tok-jiauw Lo-mo bersamaku berusaha
menyelidiki."
"Siapa?
Tok-jiauw Lo-mo murid Thian-ong Lo-mo?" Wanita itu kelihatan kaget.
"Aihh,
jadi Siocia mengenalnya?"
"Tidak,
akan tetapi aku sudah pernah mendengar tentang nama Thian-ong Lo-mo di kaki
pegunungan ini. Kalau kakek seperti dia juga memperebutkan bokor, agaknya
memang patut diperhatikan."
"Tentu
saja dia juga ikut memperebutkan. Bahkan dia sudah bersekutu dengan Kwi-eng
Niocu yang telah tewas di tangan Yap Kun Liong itu..."
"Apa?
Demikian lihai Yap Kun Liong itu?"
"Lihai
sekali, Siocia. Bahkan kabarnya dia mengalahkan banyak tokoh, biar pun dia
tidak pernah bersungguh-sungguh. Bocah itu aneh dan dulu kami telah berhasil
menangkapnya dengan jalan meracuninya, akan tetapi dia diselamatkan oleh nikouw
cantik ini!"
Kim Seng
Siocia kini memandang Hong Ing penuh perhatian. "Benarkah ceritanya itu,
Pek Nikouw?"
Hong Ing
tidak dapat membohong, maka dengan tenang dia menjawab, "Pinni tidak tahu
menahu tentang bokor dan sebagainya, yang pinni tahu hanyalah bahwa pinni
memang telah menolong seorang pemuda yang menjadi tawanan, pemuda yang terkena
racun..."
"Di
mana dia Yap Kun Liong itu?" Marcus membentak.
TIBA-TIBA
saja terdengar suara laki-laki yang nyaring sekali dari luar istana, suara yang
menggetar dan menggema di seluruh puncak. "Apakah di sini tempat
tinggalnya Go-bi Sin-kouw? Aku minta agar Sin-kouw suka keluar dan kita bicara
tentang Pek Hong Ing..."
Semua orang
terkejut. Orang yang bicara itu telah berada di depan istana! Mana mungkin ada
orang datang tanpa diketahui oleh para penjaga? Akan tetapi yang paling
terkejut adalah Hong Ing. Terkejut dan juga girang mendengar suara itu, suara
Kun Liong!
"Kun
Liong...!" Dia berseru dan meloncat hendak keluar. Akan tetapi, Acui dan
Amoi telah menghadangnya dan dua orang pelayan yang lihai itu sudah
menggerakkan tangan untuk menangkapnya.
Hong Ing
sudah siap, ketika hendak meloncat tadi, dan karena maklum akan kelihaian dua
orang itu, maka dia sudah mendahului, mengirim tendangan kilat sekaligus
menotok. Tendangan mengarah pusar Amoi sedangkan totokannya ditujukan ke arah
pundak Acui. Gerakannya sungguh tidak terduga dan cepat sekali, maka Amoi hanya
dapat miringkan tubuh dan pahanya masih kena tendangan, ada pun jari tangan
Hong Ing dapat menotok tepat di pundak Acui.
"Buukkk!
Cuussss!"
Tubuh Amoi
yang terkena tendangan itu hanya terhuyung sedikit, sedangkan Acui juga hanya
melangkah mundur dan sama sekali tak terpengaruh totokan yang hanya membuat
tubuhnya tergetar. Tetapi detik ini sudah cukup bagi Hong Ing untuk meloncat
dari tempat itu menuju keluar.
"Wuuuiiiit...
brusss!"
Tubuh Hong
Ing tergelimpang kena disambar oleh angin pukulan dahsyat dari samping yang
dilancarkan oleh tangan Kim Seng Siocia! Hong Ing terkejut sekali, akan tetapi
pada saat itu, Acui dan Amoi sudah menubruk dan menangkapnya.
"Ikat
dia!" Kim Seng Siocia membentak dan Amoi segera mengikat kedua tangan Hong
Ing ke belakang, menggunakan tali yang ulet itu, tali yang dapat mulur seperti
karet.
"Kun
Liong...!" Hong Ing berseru nyaring, akan tetapi hanya satu kali itu
karena lehernya sudah ditotok oleh jari tangan Acui yang lihai sehingga dia
menjadi gagu!
"Hong
Ing...! Di mana kau...?" Kun Liong berteriak girang ketika mendengar suara
dara yang dikhawatirkannya itu.
Akan tetapi
mendadak tampak berkelebatnya bayangan banyak orang dan tahu-tahu dia telah
dikurung oleh puluhan orang gadis yang memegang bermacam-macam senjata! Kun
Liong mencari akal, akan tetapi semua gadis itu tidak dikenalnya, bahkan Lauw
Kim In yang diduganya tentu akan muncul malah tidak nampak juga. Melihat sikap
mereka yang penuh ancaman, dan mereka makin mengurung rapat, Kun Liong berseru,
"Haiiii!
Kalian ini mau apa? Aku hendak berjumpa dengan Go-bi Sin-kouw untuk bicara
tentang muridnya! Mundurlah kalian!"
Akan tetapi,
para gadis itu tidak mundur bahkan kini makin banyak yang datang dan ada pula
yang membawa obor sehingga keadaan di situ menjadi terang sekali. Acui dan Amoi
muncul pula, diikuti oleh Marcus.
"Di
sini tak ada Go-bi Sin-kouw, yang ada hanya Siocia kami yang menantimu di
dalam." kata Amoi sambil tersenyum manis. "Hwesio muda yang tampan,
kau menyerahlah untuk kami hadapkan kepada Siocia!"
"Amoi,
hati-hati! Dia bukan hwesio dan dia lihai sekali!" kata Marcus.
Ketika Kun
Liong mengangkat muka memandang, dia mengenal Marcus dan dia tertawa.
"Ahh, kiranya Tuan Marcus yang berdiri di balik ini semua. Dahulu engkau
menggunakan tentara pemerintah, sekarang engkau mempergunakan tentara wanita.
Sungguh kau licik sekali, Marcus. Lebih baik kalian lekas bebaskan nona Pek
Hong Ing yang suaranya tadi telah kudengar, dan kami berdua akan pergi dari
sini dengan aman karena memang tidak ada permusuhan di antara kita."
"Tangkap
dia! Tetapi jangan membunuhnya!" Marcus berseru dan wanita-wanita itu yang
maklum bahwa tentu perintah Marcus ini sudah disetujui oleh Siocia, lalu mulai
menyerbu ke depan. Apa lagi yang disuruh tangkap adalah seorang pemuda tampan
sungguh pun kepalanya gundul, maka mereka sudah menyarungkan senjata
masing-masing, kemudian sambil terkekeh genit mereka menyerbu seperti berebut.
Melihat
tangan yang berjari-jari halus runcing itu, lengan yang bulat dan padat
demikian banyaknya hendak meraihnya, Kun Liong jadi bergidik. Betapa pun
bagusnya tangan dan lengan itu, kalau terlalu banyak menimbulkan jijik dan
ngeri juga! Dia cepat meloncat ke sana-sini untuk menghindar sambil
berteriak-teriak,
"Aku
tidak sudi berkelahi dengan kalian! Aku tidak sudi berkelahi dengan
wanita!"

Namun tentu
saja teriakan-teriakannya tidak dihiraukan, bahkan sekarang para wanita itu
semakin penuh gairah mengejarnya ke mana pun juga. Ditubruk sana sini,
dirangkul dan dicengkeram sampai akhirnya ada beberapa jari tangan yang
berhasil mengait bajunya sehingga baju itu robek di sana-sini.
"Kalian
menjemukan! Pergilah!" Kun Liong berseru dan mengisi kedua lengannya
dengan tenaga sinkang kemudian mendorong ke kanan kiri, dan... robohlah enam
orang wanita, terpelanting seperti dilanda angin badai yang kuat. Mereka
menjerit kaget dan kini Acui dan Amoi yang baru percaya akan ucapan Marcus tadi
bahwa pemuda gundul ini lihai.
"Aihh,
kiranya kau mempunyai juga sedikit kepandaian!" kata Acui dan dara ini
meloncat maju, tubuhnya melambung tinggi lantas dari atas tubuhnya menukik ke
bawah, kedua tangan dibentuk seperti cakar setan, yang kiri mencengkeram
ubun-ubun kepala gundul itu, yang kanan menotok jalan darah di pundak.
"Hemmm,
ganas kau!" Kun Liong mencela dan segera dia memutar lengannya ke atas
sambil mengerahkan tenaga.
"Bruuukkk...!"
Tubuh Acui
terlempar dan hanya berkat keringanan tubuhnya yang lihai saja membuat Acui
tidak sampai terbanting. Tentu saja dara ini terkejut bukan main, lalu dia
menerjang lagi dibantu oleh Amoi. Melihat dua orang ini maju, maka para anak
buah mereka hanya mengurung dengan ketat sambil berteriak-teriak dan
tertawa-tawa karena mereka semua kagum dan suka kepada pemuda gundul yang lihai
ini.
Kun Liong
menjadi bingung dan gemas juga. Sebenarnya dia tidak senang kalau harus menggunakan
kekerasan, apa lagi jika disuruh berkelahi dengan wanita-wanita muda itu! Akan
tetapi, melihat betapa pukulan serta cengkeraman kedua orang gadis itu bukanlah
serangan yang boleh dipandang ringan dan benar-benar berbahaya sekali, maka
terpaksa dia mengelak dan kadang-kadang menangkis, bahkan di waktu menangkis,
dia gunakan tenaga sinkang sehingga dua orang gadis itu berkali-kali terdorong
mundur dan menjerit kesakitan ketika beradu lengan.
Mereka makin
kagum dan juga terkejut. Acui memberi isyarat dan keduanya mencelat ke
belakang, Amoi di belakang dan Acui di depan pemuda itu. Keduanya telah
mengeluarkan tali hitam yang ulet dan panjang, dan di ujung tali-tali itu
terdapat lingkaran lasso. Begitu kedua gadis itu menggerakkan tangan, terdengar
bunyi bercuitan dan dua batang lasso itu meluncur seperti ular hidup menuju ke
arah kepala Kun Liong!
Kun Liong
maklum bahwa dia hendak ditangkap dengan lasso, maka kedua tangannya siap.
Ketika merasa betapa angin telah meniup kepalanya, tanda bahwa dua tali itu
sudah menyambar turun, secepat kilat kedua tangannya menangkap lasso dan dengan
gerakan tiba-tiba dia menarik sambil mengerahkan tenaga.
"Aiihhhh...!"
Acui dan Amoi menjerit berbareng karena tubuh mereka sudah terbawa oleh tali
yang mereka pegang erat-erat, terbawa oleh tarikan Kun Liong hingga tubuh
mereka melayang ke atas dan saling bertubrukan di atas.
Baiknya
keduanya lihai sekali. Sambil melepaskan tali, mereka saling berpegang tangan,
kemudian dengan meminjam tenaga masing-masing, keduanya sudah melayang turun ke
depan Kun Liong. Wajah mereka agak pucat.
Kun Liong
tersenyum tenang menghadapi mereka, lalu berkata. "Nona-nona harap sabar.
Aku datang bukan untuk berkelahi, melainkan untuk minta kepada siapa pun yang
sudah menahan Nona Pek Hong Ing agar supaya membebaskannya."
"Pergunakan
senjata!" Acui yang merasa marah dan penasaran membentak.
"Sing-sing-sing!
Wuuuttt!"
Di antara
sinar obor, tampak kilatan banyak senjata yang tercabut.
"Jangan...!
Jangan bunuh dia... tangkap saja...!" Marcus berseru, tapi agaknya
seruannya tidak dihiraukan oleh Acui, Amoi, dan anak buah mereka.
Selagi para
pengurung itu bergerak dengan senjata di tangan dan mengelilingi Kun Liong yang
makin bingung dan siap untuk menyelamatkan diri, tiba-tiba saja pintu depan
istana terbuka dan terdengar seruan halus, "Tahan dan mundur semua!"
Suara ini
berpengaruh sekali karena semua wanita itu serentak mundur dan membiarkan Kun
Liong menghadapi orang yang baru datang, seorang wanita gemuk yang bermuka
ramah dan tersenyum.
Melihat
wajah orang, Kun Liong menjadi lega dan cepat dia menjura. "Aku Yap Kun
Liong mohon agar dapat bertemu dengan Nona Pek Hong Ing..."
Akan tetapi
wanita gemuk itu, yang bukan lain adalah Kim Seng Siocia, tidak menjawab,
melainkan tetap tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar dan pandang matanya
tajam menjelajahi seluruh tubuh Kun Liong, dari sepatunya yang berdebu sampai
kepalanya yang gundul kelimis dan berkeringat. Dipandang seperti itu, Kun Liong
merasa malu dan hanya menunduk, akan tetapi matanya diangkat untuk melihat
serta mengawasi setiap gerak-gerik orang ini.
"Engkau
bukan hwesio?" tiba-tiba Kim Seng Siocia bertanya.
Pertanyaan
macam ini sudah terbiasa oleh Kun Liong, maka dia tidak banyak rewel dan
menggelengkan kepalanya yang gundul mengkilap terkena sinar obor yang banyak
itu.
"Mengapa
kepalamu gundul?" kembali Kim Seng Siocia bertanya.
"Terkena
penyakit!" jawab Kun Liong tak acuh dan jelas dia mulai kelihatan
mendongkol karena kembali kepalanya yang dijadikan persoalan dan bahan
percakapan pada saat yang genting itu.
Kim Seng
Siocia agaknya merasa pula bahwa pemuda itu marah, maka dia memperlebar
senyumnya. "Aku suka kepala gundul, bersih dan lain dari pada yang
lain!"
Biar pun
ucapan ini dikeluarkan dengan kesungguhan hati, namun tetap saja menambah
kemengkalan hati Kun Liong. Apakah tidak ada lain ‘acara’ lagi selain berbicara
tentang kepalanya?
"Toanio
siapakah?" dia bertanya untuk mengalihkan percakapan.
"Hishhh,
jangan menyebutku Toanio (Nyonya Besar). Aku masih perawan..., ehhh…, aku belum
menikah, aku masih Siocia (Nona), hi-hik!"
Kun Liong
mengkirik. Bulu tengkuknya meremang karena dia melihat sesuatu yang tidak wajar
dan aneh dalam sikap dan kata-kata ‘nona’ gemuk itu.
"Baiklah.
Siapakah Siocia?"
"Aku?
Aku disebut Kim Seng Siocia, dan kalau aku sudah kawin kelak, tentu saja sebutan
nona harus diganti dengan nyonya besar."
"Sekali
lagi aku berharap agar Siocia tidak salah menduga tentang kedatanganku ke sini,
sama sekali bukan untuk berkelahi apa lagi mencari musuh. Aku datang untuk
bertemu dengan Nona Pek Hohg Ing."
"Tidak
ada Nona Pek Hong Ing di sini, yang ada hanya Pek Nikouw."
Berseri
wajah Kun Liong. Kalau begitu tidak salah lagi. Hong Ing berada di sini!
"Benar,
dialah yang kumaksudkan!" jawabnya penuh gairah dan penuh harapan.
Akan tetapi
dia terkejut melihat betapa wajah gemuk yang tadinya berseri dan ramah itu kini
cemberut, sepasang mata yang lebar itu melotot dan suaranya nyaring mengandung
kemarahan, "Apamukah dia itu?"
"Bukan
apa-apa, hanya sahabat biasa..."
"Apa
dia kekasihmu?"
Kun Liong
terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba yang seperti serangan mendadak ini,
"Tidak... tidak, dia seorang nikouw, tidakkah Siocia sudah tahu?"
"Hemm,
dia nikouw atau tidak, apa bedanya? Dia tetap wanita dan kau laki-laki!"
Alis Kun
Liong berkerut tak senang. Nona gendut ini sama saja dengan Lauw Kim In, suci
dari Hong Ing, pikirannya kotor penuh prasangka buruk!
"Sekali
lagi aku menyatakan bahwa Nona Pek Hong Ing atau Pek Nikouw adalah sahabat
baikku dan aku ingin bertemu dengannya. Terserah prasangka Siocia, yang penting
aku minta bertemu dengan dia."
Kun Liong
lalu memandang ke arah dalam istana kemudian berteriak nyaring. "Hong Ing,
keluarlah kau menemuiku! Aku Yap Kun Liong, sengaja datang mencarimu!"
Akan tetapi
tidak ada jawaban dari dalam dan Kim Seng Siocia tertawa. "Dia tidak akan
menjawab sebelum aku menghendakinya. Ehh, Kun Liong, apakah kau tidak mempunyai
kekasih atau tunangan?"
Kun Liong
sangat terkejut dan memandang dengan bengong, mukanya berubah merah. Pertanyaan
apakah ini? Akan tetapi melihat betapa pertanyaan itu diajukan dengan sikap
sungguh-sungguh, dia menjawab juga,
"Tidak!"
sambil menggelengkan kepalanya yang gundul.
"Jadi
engkau belum kawin?"
Kun Liong
makin bingung. Mengapa Siocia gendut ini demikian ugal-ugalan? Kembali dia
menggelengkan kepala dan berkata, "Belum!"
Setelah itu,
dia melangkah maju kemudian berkata, "Kim Seng Siocia, kalau kau tidak
memperbolehkan Nona Pek Hong Ing keluar menemuiku, biarlah aku mencari sendiri ke
dalam!" Dia lalu meloncat ke depan.
"Bresss!
Dukkk!"
Tubuh Kun
Liong terguling karena kakinya dijegal (dikait) oleh kaki Kim Seng Siocia dan
nona itu tertawa bergelak. "Hi-hik, heh-heh-heh, tidak boleh. Kau harus
melayaniku lebih dahulu, hendak kuuji sampai di mana tingkat kepandaianmu.
Melihat kau dikeroyok tadi, agaknya engkau mempunyai kepandaian yang lumayan.
Siapa tahu engkaulah orangnya yang kutunggu-tunggu dan kini datang atas
kekuatan doa Pek Nikouw. Hi-hik! Sambutlah ini!" Kim Seng Siocia sudah
menyerang Kun Liong dengan dahsyat sekali!
Kun Liong
tadi terguling karena dia sama sekali tidak mengira bahwa nona gendut itu mau
menjegalnya. Maka dengan penasaran dia sudah meloncat bangun dan kini
menghadapi serangan nona itu, dia benar-benar merasa kaget sekali. Nona gendut
itu ternyata dapat bergerak cepat bukan main, dan dari kedua lengan bajunya
yang lebar itu menyambar angin pukulan yang amat kuat!
"Plak-plak-plak!"
Tiga kali Kun Liong menangkis dan terpaksa dia mengerahkan tenaga sinkang-nya agar
tidak terluka oleh hawa pukulan yang dahsyat itu.
"Aihhh...
hik-hik-hik, benar saja, kau hebat!" Kim Sim Siocia tertawa ketika
tangkisan itu berhasil menggempur kuda-kudanya dan membuat tubuhnya condong ke
belakang, tanda bahwa dia masih tidak mampu menandingi kekuatan sinkang pemuda
itu!
Akan tetapi
dia menyerang terus, sekarang menggunakan ujung kedua lengan bajunya mengirim
totokan-totokan ke arah jalan darah di seluruh tubuh Kun Liong dan gerakannya
cepat bukan main, ilmu silatnya aneh, kadang-kadang malah kelihatan lamban dan
lambat sekali seperti seekor gajah mencoba untuk mencari-nari!
Namun Kun
Liong terkejut bukan main. Di luar persangkaannya, nona gemuk ini adalah
seorang yang memiliki kepandaian luar biasa dan memiliki tenaga sinkang sangat
kuat, serta gerakannya terlalu cepat dibandingkan dengan tubuhnya yang begitu
gendut. Tentu saja Hong Ing bukanlah lawan wanita ini dan dia mulai khawatir
karena mengira bahwa tentu Hong Ing menjadi seorang tawanan di tempat ini.
Lagi pula
dia kini mulai mengerti bahwa dia telah tersesat, bukan berada di tempat
tinggal Go-bi Sin-kouw melainkan di tempat tinggal golongan lain yang dipimpin
oleh nona gendut yang lihai ini, sungguh pun kesalahannya ini malah kebetulan
karena ternyata Hong Ing juga berada di tempat asing ini!
Dia tentu
saja tidak ada niat untuk memukul atau melukai wanita gemuk ini, karena sama
sekali tidak ada urusan dan juga tidak ada permusuhan dengannya. Akan tetapi
karena serangan-serangan wanita itu benar-benar luar biasa sekali dan amat
berbahaya, maka dia terpaksa harus melindungi dirinya. Karena itu dia lalu
mainkan Im-yang Sin-kun dan menggunakan pukulan Pek-in-ciang untuk menghadapi
serangan dahsyat lawannya.
Melihat cara
bersilat pemuda ini dan merasakan betapa lengannya beberapa kali tergetar hebat
apa bila bertemu dengan lengan lawan, Kim Seng Siocia berkali-kali mengeluarkan
seruan kaget, heran, dan juga gembira sekali!
"Kau
hebat... ahh, kau hebat...!" Dia berseru memuji dengan pandang mata penuh
kagum dan girang.
Agaknya nona
gendut itu masih belum puas dan dia mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan
semua ilmu silatnya yang aneh-aneh. Hampir saja Kun Liong kena diakali seperti
Hong Ing melawan Amoi dan roboh oleh ilmu silat Amoi yang aneh.
Apa lagi Kim
Seng Siocia yang menjadi ‘guru’ Amoi, bukan main aneh dan hebatnya ilmu
silatnya. Ada kalanya Kim Seng Siocia mencekik leher sendiri sampai matanya
mendelik dan lidahnya keluar, hal ini dilakukan di tengah pertandingan itu.
Tentu saja
Kun Liong sangat terkejut dan cepat menubruk maju untuk mencegah nona yang
kelihatannya seperti hendak membunuh diri itu! Akan tetapi betapa kagetnya
ketika tiba-tiba kedua tangan nona itu bergerak menotoknya, menotok dua jalan
darahnya yang dapat membuat dia lumpuh!
Namun,
dengan hawa sakti yang timbul karena ilmunya Thi-khi I-beng, totokan-totokan
yang tepat mengenai jalan darah itu ‘hanyut’ dan tidak membekas sehingga Kim
Seng Siocia terkejut sekali.
"Hong
Ing...!" Kun Liong memanggil lagi sambil meninggalkan lawan meloncat ke
dalam.
"Aduh
mati aku...!" Tiba-tiba nona gendut itu berteriak dan terguling!
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Kun Liong melihat tubuh gendut itu terguling
dan dari mulut nona itu menyembur darah segar. Dia tidak merasa memukul, akan
tetapi jelas nona itu muntah darah.
"Eihh, kenapa
kau, Siocia?" Hatinya yang penuh kelembutan itu merasa tidak tega dan dia
meloncat kembali menghampiri Kim Seng Siocia.
Tiba-tiba
terdengar nona itu terkekeh dan tubuhnya sudah meloncat dengan sigapnya,
mendahului Kun Liong memasuki istananya!
"Ihhh...
penipu!" Kun Liong berseru marah dan mengejar dengan khawatir. Tahulah dia
bahwa nona gendut itu tadi sengaja menipunya dan entah bagaimana dapat
muntahkan darah seperti itu, untuk mencegahnya memasuki istana lebih dulu.
Kekhawatirannya
terbukti ketika dia memasuki ruangan yang besar itu. Hong Ing dalam keadaan
terikat kedua lengannya ke belakang, berdiri di dekat kursi besar sedangkan Kim
Seng Siocia memegangi tali panjang sisa pengikatnya dan memegang tengkuk Hong
Ing sambil tersenyum manis memandang Kun Liong yang melangkah masuk.
"Kun
Liong...!" Hong Ing berkata lemah sesudah melihat pemuda itu. Totokan yang
tadi membuatnya gagu telah dibebaskan akan tetapi dia hanya mampu mengeluarkan
suara lemah setelah sekian lamanya gagu.
"Hong
Ing...!" Kun Liong berseru penuh kemarahan. Namun hatinya menjadi lega
melihat bahwa Hong Ing masih hidup. Dia berpaling kepada Kim Seng Siocia, dan
berkata,
"Kim
Seng Siocia, kenapa engkau menawan Pek Hong Ing? Apakah kesalahannya maka
engkau menawannya?"
"HI-hik,
kesalahannya banyak, tapi tidak perlu dibicarakan. Yang penting sekarang adalah
membicarakan urusan antara kita! Sahabatmu, Pek Nikouw ini sudah berdoa supaya
aku bisa lekas dapat jodoh dan ternyata doanya terkabul hari ini! Engkau datang
dan engkau memenuhi semua syarat untuk menjadi suamiku."
Kun Liong
melongo, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. "A... apa...?"
"Hi-hik!
Aku hanya mau menjadi isteri seorang pemuda tampan dan gagah yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Dan kau ganteng, biar kepalamu gundul tapi kau tampan dan
aku suka padamu, aku cinta padamu. Kau adalah calon suamiku!"
"Tidak!"
Kun Liong berseru marah, mukanya menjadi merah sekali. "Aku tak akan
menjadi suami siapa pun juga! Lebih baik kau lepaskan Hong Ing!" katanya
pula mengancam.
"Eiiit-eiiittt...
jangan bergerak! Kalau kau bergerak, lebih dahulu aku akan membunuh Pek
Nikouw!" Jari-jari tangan wanita itu mengancam tengkuk Hong Ing maka
lemaslah tubuh Kun Liong karena dia maklum bahwa sekali jari tangan itu bergerak,
tentu akan tewaslah Hong Ing!
"Kim
Seng Siocia, apakah kehendakmu?"
"Engkau
harus menyerah dan menjadi suamiku. Kalau kau menyerah, barulah aku akan
membebaskan Pek Nikouw. Betapa pun juga, jika kau menjadi suamiku, berarti dia
telah berjasa. Aku tidak akan mengganggunya, hi-hik. Tetapi kalau kau melawan,
dia akan mati lebih dulu!"
Kun Liong
memutar otaknya. Betapa pun cepat dia bergerak, tidak mungkin dia mampu
mendahului tangan yang sudah menempel di tengkuk Hong Ing itu, maka dia sama
sekali tidak berdaya.
"Baiklah,
aku menyerah. Akan tetapi kau berjanjilah dulu tidak akan mengganggu dia dan
akan membebaskannya."
"Tentu
saja, aku berjanji. Acui dan Amoi, ikat dia dulu!"
Sambil
tersenyum-senyum dua orang pelayan yang cantik dan lihai itu lalu menghampiri
Kun Liong dan mengikat kedua lengan Kun Liong ke belakang tubuhnya.
"Kun
Liong! Jangan mau tertipu...!" Tiba-tiba Hong Ing berteriak.
Akan tetapi
karena Kun Liong sudah dibelenggu, pemuda itu tidak dapat berbuat sesuatu, apa
lagi karena dia memang tidak berani bergerak, takut kalau-kalau Hong Ing
dibunuh oleh Kim Seng Siocia yang aneh itu.
"Hi-hi-hik,
nikouw lancang. Siapa yang mau menipunya? Aku bahkan mau mengambilnya sebagai
suami, dan engkau adalah pendetanya yang akan memberkati dan berdoa untuk kami
suami isteri, sepasang pengantin baru. Hi-hi-hik!" Kim Seng Siocia
tertawa-tawa dan sudah tidak ‘menodong’ Hong Ing lagi karena melihat bahwa Kun
Liong telah terbelenggu erat-erat.
"Kun
Liong...!" Hong Ing yang merasa tidak diancam lagi, melihat Kun Liong
dibelenggu, lalu berlari menghampiri pemuda itu. "Kun Liong, selagi masih
ada kesempatan, larilah. Jangan kau hiraukan aku. Kau terjebak, di sini ada
Marcus..."
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa bergelak dan Marcus muncul dari pintu samping. Kim Seng
Siocia sudah mencelat dari tempat duduknya, dengan cepatnya dia menggunakan
sisa tali pengikat Hong Ing yang masih panjang untuk dilibat-libatkan di tubuh
Kun Liong dan Hong Ing hingga kedua orang ini sekarang diikat menjadi satu,
saling membelakangi. Keadaan ini membuat mereka tak dapat berkutik lagi!
Kun Liong
terkejut pada saat melihat Marcus, akan tetapi dia bersikap tenang saja karena betapa
pun juga dia kini harus mengalah untuk menyelamatkan Hong Ing yang tadi sudah
terancam. Sekarang, dia berusaha melepaskan diri dari belenggu secara
diam-diam, akan tetapi terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa tali
yang mengikat mereka itu tak mungkin dapat dipatahkan karena mulur dan ulet
seperti karet. Maka dia tenang kembali dan ingin melihat perkembangan keadaan
sambil menanti terbukanya kesempatan untuk menolong Hong Ing.
Maka dia
lalu berkata lirih dan jari tangannya menyentuh serta memberi isyarat kepada
lengan dara itu yang menempel pada lengannya sendiri. "Tenanglah, Hong
Ing. Aku yakin bahwa Kim Seng Siocia tidak berniat buruk terhadap kita
berdua."
"Tentu
saja tidak, Kun Liong. Aku akan mengangkatmu menjadi suamiku, apakah itu niat
buruk?" Nona gendut itu berteriak.
"Bagus
sekali! Aku mengucapkan selamat, Siocia. Memang dia pantas menjadi suamimu,
tampan, gagah dan... berharga sekali! Dan Pek Nikouw itu hanya seorang nikouw
palsu, dia gadis cantik dan... biarlah dia untuk aku saja," kata Marcus.
"Marcus,
kubunuh kau kalau..." Kun Liong membentak, kemudian menoleh kepada Kim
Seng Siocia yang sudah duduk lagi di atas kursi besar itu. "Siocia, kau
telah berjanji akan membebaskan Hong Ing! Kalau kau melanggar janji dan berani
menyerahkan Nona Pek Hong Ing kepada babi putih itu, sampai mati pun aku tak
akan sudi menyerah kepadamu."
"Bocah
gundul, kau masih banyak lagak, ya?" Marcus melangkah maju, hendak memukul
kepala Kun Liong.
"Marcus,
apakah kau sudah bosan hidup, berani hendak memukul calon suamiku? Hayo keluar
kau dari sini!" Kim Seng Siocia membentak dan pemuda berkulit putih itu
segera meninggalkan ruangan sambil bersungut-sungut tidak puas.
Setelah
Marcus pergi, Kim Seng Siocia dengan muka ramah menuding kepada Kun Liong sambil
berkata, "Yap Kun Liong, apakah engkau benar-benar telah menyerah
kepadaku?"
"Kim
Seng Siocia, buktinya aku tidak melakukan perlawanan."
"Bagus,
kalau begitu, akan kupersiapkan pesta untuk upacara pernikahan kita
dan..."
"Apa?!"
Kun Liong bergerak-gerak sehingga Hong Ing turut terbawa. Keduanya terhuyung
karena diikat menjadi satu seperti itu membuat kaki-kaki mereka amat sukar
bergerak dan sedikit gerakan saja akan membuat mereka kehilangan keseimbangan
tubuh.
"Kau
bilang... pernikahan?"
"Hemmm,
Yap Kun Liong, seorang laki-laki sejati tidak akan menjilat kembali ludah yang
sudah dikeluarkannya. Engkau bilang menyerah, tapi..."
"Siocia!
Menyerah dan menikah tidaklah sama! Aku hanya menyerah dan tidak melawan
seperti kukatakan tadi, dan aku berjanji akan membebaskan Hong Ing."
"Kalau
begitu, engkau tidak mau menjadi suamiku?" Mulut lebar yang tadinya
tersenyum ramah itu, kini mewek seperti mau menangis.
"Siocia,
maafkan aku. Aku tidak ingin menikah, tidak ingin menjadi suami siapa pun juga."
Sepasang
mata wanita itu menyinarkan api kemarahan. "Begitukah? Kalau begitu, Pek
Nikouw akan kusiksa sampai mati di depan matamu!"
Dia meloncat
mendekat, menggunakan tali lain lagi untuk membelenggu kedua kaki Kun Liong,
bahkan kini leher pemuda itu juga dikalungi tali dan tubuhnya dibelenggu
erat-erat seperti seekor kerbau hendak disembelih, kemudian dibantu oleh Acui
dan Amoi mereka bertiga memisahkan Hong Ing dan Kun Liong.
"Ambil
cambukku!" bentaknya dengan marah.
Amoi segera
berlari masuk, tak lama lagi keluar membawa sebatang cambuk hitam yang panjang.
Cambuk itu kecil panjang mengerikan karena ujungnya dipasangi benda-benda kecil
tajam meruncing!
"Tar-tar-tarrr…!"
Cambuk itu meledak-ledak ketika diayun di atas kepala Kim Seng Siocia.
Hong Ing
sudah memejamkan matanya, berdiri tegak dan siap menerima siksaan, siap pula
menerima kematian. Dia tidak mau mendengar Kun Liong menerima menjadi suami
wanita gendut itu. Lebih baik dia mati dari pada Kun Liong berkorban seperti
itu!
"Siocia,
tahan dulu...!" Kun Liong berteriak dengan dua mata terbelalak penuh
kengerian membayangkan betapa kulit Hong Ing yang halus akan cabik-cabik
digigit ujung cambuk mengerikan itu.
Cambuk yang
sudah diputar-putar itu turun dan Kim Seng Siocia memandang Kun Liong dengan
senyum simpul. "Kun Liong, tadi ketika aku bertanding denganmu, aku
sengaja mengalah. Apa bila aku menggunakan cambukku ini, senjata maut yang
kuandalkan, kau tak akan mampu menang. Akan tetapi mana aku tega melukaimu, kau
calon suamiku!"
"Kim
Seng Siocia, kau bebaskan Hong Ing dan aku menerima permintaanmu."
"Kun
Liong, jangan!" Hong Ing menjerit dan mukanya merah sekali, terasa panas
karena kemarahannya. "Biar pun aku dia bunuh, jangan kau penuhi
permintaannya yang gila itu!"
Sesudah
mengeluarkan kata-kata keras ini, diam-diam Hong Ing menjadi terheran-heran
sendiri. Mengapa dia peduli amat apakah Kun Liong akan menjadi suami wanita itu
atau tidak? Mengapa dia tidak rela melihat Kun Liong menjadi suami Kim Seng
Siocia, bahkan dia lebih suka mati?
"Hong
Ing, diamlah!" Kun Liong berkata, hatinya gelisah sekali sehingga dia
sendiri pun tidak ingat lagi akan keanehan sikap Hong Ing. Satu-satunya yang
penting bagi Kun Liong hanya menyelamatkan Hong Ing, dengan tebusan apa pun
juga!
"Kau...
kau mau menurut? Kau mau menjadi suamiku?"
Kun Liong
menganggukkan kepalanya yang gundul ditambah kata-kata lirih, "Asal engkau
membebaskan Hong Ing."
"Horeee...!
Kau mau menjadi suamiku? Ha-ha-ha, yahuuuu...!" Kim Seng Siocia meloncat
turun, menari-nari mengelilingi Kun Liong, lalu berhenti di depan pemuda itu,
memegangi kepala Kun Liong, menariknya ke depan lalu...
"Cuuuppp...!"
Kepala pemuda itu diciumnya sedemikian rupa sehingga Kun Liong merasa
seolah-olah kepalanya dicap dengan besi panas!
"Terima
kasih, calon suamiku! Acui, Amoi, persiapkan pesta untuk..."
"Siocia,
aku menerima hanya dengan satu syarat, kalau tidak, biar kau membunuh kami
berdua, aku tidak peduli lagi!"
"Wah-wah-wah,
laki-laki kalau muda dan tampan, ada juga rewelnya, minta syarat segala macam.
Anak bagus, syaratmu apakah? Tentu akan kupenuhi, jangan khawatir, Kim Seng
Siocia adalah ratu di sini. Kau mau selir? Tinggal pilih! Acui ini yang cantik
tenang, atau Amoi yang manis panas, atau jika memang kau kehendaki, kau boleh
mengambil nikouw ini sebagai selirmu, seperti juga aku akan mengambil
selir-selir yang kusukai. Mau harta benda? Sebut saja apa yang kau inginkan,
tentu akan kupenuhi! Atau kau punya musuh? Akan kubantu kau sampai musuhmu
hancur binasa. Kita suami isteri harus saling bantu membantu, bukan?"
Kun Liong
menjadi muak mendengar ini, akan tetapi dia bersikap tenang dan berkata
sungguh-sungguh, "Bukan itu semua. Syaratku yang terutama, nona Pek Hong
Ing harus dibebaskan, dan ke dua, tidak perlu diadakan pesta dan
pernikahan."
Kim Seng
Siocia membelalakkan matanya. "Waaah, lha ini... ini bagaimana?"
"Pendeknya,
kau terima atau tidak, aku tidak mau tawar-menawar lagi."
Kim Seng
Siocia memutar biji matanya, lalu menarik napas panjang dan menggerakkan kedua
pundaknya yang besar dan lebar. "Apa boleh buat, asalkan engkau suka
menjadi suamiku. Aku pun punya syarat dan kalau engkau adil, engkau harus
menerima syarat ini."
"Apa
itu?" Kun Liong bertanya, hatinya tidak enak karena dia menduga bahwa di
dalam sikapnya yang ketolol-tololan itu, wanita gendut ini agaknya cerdik
sekali.
"Terlebih
dulu engkau harus membuktikan kesanggupanmu menjadi suamiku, malam ini.
Sementara itu, Pek Nikouw akan dijaga ketat oleh Acui dan Amoi. Kalau sedikit
saja kau bergerak melawan, sekali aku berteriak, mereka akan membunuh Pek
Nikouw dan aku akan menempurmu mati-matian dengan cambukku. Akan tetapi bila
engkau benar-benar sudah membuktikan kemauanmu menjadi suamiku yang baik dan
yang tercinta, barulah pada besok pagi dia kubebaskan!"
Kun Liong
mengerutkan alisnya. Benar saja dugaannya. Perempuan ini cerdik sekali dan
agaknya telah mencurigai dirinya. Memang dia tadi mengandung niatan hati bahwa
sekali Hong Ing sudah bebas, sampai mati pun dia tidak mau ‘diperkosa’ atau
dipaksa menjadi suami wanita ini diluar kehendak hatinya! Sekarang wanita itu
telah menggunakan Hong Ing sebagai sandera!
Terpaksa dia
mengangguk dan berbisik, "Baiklah, akan tetapi kau harus bersumpah tidak
akan membohong bahwa besok pagi pasti akan membebaskan Hong Ing."
Sepasang
mata itu melotot. "Yap Kun Liong, kau kira aku orang macam apa? Aku adalah
pewaris dari Go-bi Thai-houw, sekali bicara tentu tak akan kulanggar
sendiri!"
"Kun
Liong, jangan percaya kepadanya!" Kembali Hong Ing berseru, hatinya panas
sekali. "Aku tidak takut mati, jangan kau korbankan diri untukku!"
"Cusss!"
Tangan Acui bergerak dan Hong Ing sudah menjadi gagu karena tertotok jalan
darahnya di leher.
"Hi-hi-hik,
bagus, Acui. Nah, Kun Liong, kalau kau banyak rewel, akan kusuruh Acui turun
tangan membunuh Pek Nikouw. Aku berjanji akan membebaskannya besok pagi apa
bila malam ini kau benar-benar dengan suka rela suka menjadi suamiku!"
Pucat wajah
Kun Liong. Di dalam hatinya, tentu saja dia tidak sudi menjadi suami orang
dengan paksaan seperti itu. Dia tidak sudi diperkosa wanita! Akan tetapi dia
melihat jelas bahwa kalau dia menolak, tentu wanita gemuk yang aneh dan lihai
ini tidak segan-segan untuk melaksanakan ancamannya, yaitu membunuh Hong Ing.
Karena itu, dengan muka muram dan tubuh lesu dia mengangguk, "Baik, aku
menyerah."
"Bawalah
dia pergi dan siaplah kalian membunuhnya kalau Kun Liong main gila hendak
melawan."
Acui dan
Amoi mengangguk, kemudian mereka membawa Hong Ing yang terikat kuat itu pergi
meninggalkan ruangan, diikuti oleh suara tawa Kim Sim Siocia yang kemudian
turun dari kursinya, langsung dia melepaskan tali yang mengikat tubuh serta
kedua lengan Kun Liong.
Pemuda
gundul ini sudah tidak berdaya, tidak tahu harus bertindak bagaimana. Dia sudah
dibebaskan dari belenggu, namun ada belenggu yang jauh lebih kuat dari pada
tali-tali itu, yaitu Hong Ing yang dijadikan sandera dan dia tidak tahu ke mana
dara itu dibawa. Tentu saja dia dapat memberontak dan melawan setelah tali itu
terlepas dari kedua lengannya, akan tetapi hal itu sama artinya dengan membunuh
Hong Ing!
"Suamiku
yang baik, marilah kita berbincang di dalam kamarku, supaya kita dapat saling
mengenal lebih baik lagi." Kim Seng Siocia tersenyum, menggandeng tangan
Kun Liong dengan sikap mesra dan setengah menarik pemuda itu memasuki kamarnya
yang megah dan mewah serta berbau harum. Kun Liong tidak berani membantah dan
kedua kakinya menggigil karena dia merasa seakan-akan dia sudah menjadi seekor
domba yang digiring memasuki tempat jagal di mana dia akan disembelih!
"Duduklah,
Koko..." Kim Seng Siocia mempersilakan Kun Liong dengan suara merdu dan
mengandung kemanjaan yang membuat Kun Liong merasa bulu tengkuknya meremang.
Begitu mesranya wanita ini menyebutnya koko (kakanda)!
Dia tidak
menjawab, hanya mengangguk dan duduk di atas sebuah bangku menghadapi meja yang
terukir indah. Kim Seng Siocia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi pintu
kamarnya, bertepuk tangan tiga kali. Muncullah dua orang wanita muda yang
cantik, dua orang pelayan yang menggantikan Acui dan Amoi karena kedua orang
pelayan kepala itu sedang membawa pergi Hong Ing.
"Sediakan
makan minum yang paling istimewa untuk kami berdua. Cepat!"
Dua orang
pelayan itu memberi hormat, meninggalkan kamar dan menutupkan daun pintu kamar
perlahan-lahan dari luar.
"He-he-he,
hatiku riang gembira bukan main, Koko. Inilah saat yang kunanti-nanti selama
hidupku. Aku benar-benar bahagia sekali." Dia menjatuhkan dirinya duduk di
atas sebuah bangku dekat Kun Liong dan pemuda ini dengan hati ngeri mendengar
suara bangku itu menjerit saking beratnya beban yang menghimpitnya.
"Koko
yang baik, engkau dari manakah dan siapa kedua orang tuamu? Kelak aku tentu
ingin sekali bertemu dan menyampaikan hormatku kepada ayah dan ibu
mertua."
Kun Liong
bergidik. Aih, bagaimana akan sikap ayah bundanya andai kata mereka masih hidup
dan melihat ‘anak mantunya’ ini? Mukanya menjadi merah sekali dan dia berkata,
"Aku tidak mempunyai tempat tinggal dan ayah bundaku sudah meninggal
dunia, Siocia."
"Emmm...!"
Kim Seng Siocia membanting-banting kedua kaki di lantai dan menggoyang-goyang
tubuhnya dengan sikap kemanjaan seorang anak kecil yang sedang ‘ngambek’.
"Tidak mau ahh kalau begitu! Aku sudah menyebutmu Koko, mengapa kau masih
terus menyebutku Siocia? Suami isteri harus lebih mesra sebutannya!"
Aduh
manjanya! Kun Liong bengong dan ingin sekali menampar kepala gundulnya sendiri
mengapa dia terpaksa harus melayani wanita seperti ini. Sudah tubuhnya seperti
gajah, usianya tentu sudah tiga puluhan tahun, masih manja seperti seorang
kanak-kanak, atau seperti seorang wanita cantik yang dipuja-puja seorang pria yang
tergila-gila kepadanya! Bukan main!
Akan tetapi
karena khawatir kalau-kalau wanita ini menjadi marah benar-benar, dia cepat
berkata, "Baiklah, aku akan menurut, akan tetapi aku tidak tahu sebutan
apa yang harus kupakai."
"Ihhh...
hi-hik, suamiku masih bodoh! Ehh, kau tentu mesih perjaka tulen, ya? Hi-hik,
kau sebut aku Moi-moi!"
Ampun!
Demikian jerit hati Kun Liong. Pantas menjadi bibinya dan dia disuruh menyebut
moi-moi (adinda)!
"Baiklah,
Moi-moi!" Kun Liong mengucapkan sebutan ini dengan suara sumbang karena
baru pertama kali itulah dia menyebut wanita dengan sebutan adinda!
Tiba-tiba
Kim Seng Siocia menangis! Menangis terisak-isak dan memegang kedua tangan Kun
Liong. Pemuda ini makin kaget dan heran, mengira bahwa dia tentu telah
melakukan kesalahan lagi diluar pengetahuannya.
"Hu-huu-huuk...
sungguh kasihan engkau, Koko... hu-huuk, dan sungguh sial sekali aku... belum
apa-apa sudah kematian ayah dan ibu mertuaku..."
Disinggung
mengenai kematian ayah bundanya, kalau dalam keadaan biasa tentu paling sedikit
hati Kun Liong akan merasa terharu juga. Akan tetapi sikap wanita ini
keterlaluan, pakai menangis segala! Hanya anehnya, wanita ini menangis
sungguh-sungguh dan air matanya bercucuran, bukan dibuat-buat. Diam-diam Kun
Liong merasa makin ngeri sebab menduga bahwa tentu ada gejala-gejala tidak
beres pada otak wanita ini.
Oleh karena
Kun Liong memang tidak mau berbicara banyak, akhirnya Kim Seng Siocia
menceritakan semua riwayatnya sendiri kepada Kun Liong yang didengarkan oleh
pemuda ini dengan penuh perhatian. Penuturan wanita itu begitu menarik hatinya
sehingga dia tak mempedulikan dan tidak merasa lagi betapa telapak tangan Kim
Seng Siocia yang besar itu kadang-kadang membelai tangannya dengan mesra,
bahkan kadang kala tangan yang berjari besar itu merayap naik dan mengelus
kepalanya yang gundul!
Memang
cerita wanita itu amat menarik hatinya. Dia sudah pernah mendengar penuturan
ibunya tentang seorang datuk wanita yang berjuluk Go-bi Thai-houw dan menurut
ibunya memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, akan tetapi datuk ini
adalah seorang yang miring otaknya.
Ibunya
bercerita betapa datuk wanita gila itu telah menimbulkan kekacauan besar,
bahkan hampir saja berhasil merusak kehidupan ayah bundanya sendiri dan
kehidupan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, yaitu Sie Biauw Eng.
Kemudian, berkat kesaktian Cia Keng Hong, akhirnya datuk wanita yang merupakan
nenek iblis itu berhasil dibinasakan oleh Cia Keng Hong.
Dan sekarang
Kim Seng Siocia mengaku bahwa dia merupakan bekas pelayan kecil dari Go-bi
Thai-houw yang tersayang dan yang dijadikan ahli waris oleh nenek iblis itu!
"Thai-houw
amat sayang kepadaku, Koko. Semua pusaka warisannya disimpan di sebuah tempat
rahasia dan hanya aku yang diberi tahu. Oleh karena itu, hanya akulah yang
dapat mewarisi kepandaiannya dan aku menjadi pemimpin di bekas istananya ini.
Akan tetapi... u-hu-huuu... dia dibunuh mati orang, Koko!" Kembali Kim
Seng Siocia menangis.
Kun Liong
makin tertarik. "Jadi... apa yang kau kehendaki, Sio... ehh,
Moi-moi?"
"Apa
lagi? Tentu membalas dendam atas kematian Thai-houw! Aku mendapatkan semua ini
dari Thai-houw dan dia dibunuh orang!"
"Kalau
begitu, dengan kepandaianmu yang tinggi, kenapa kau tidak sejak dulu membalas
dendam, Moi-moi"
"Aku...
aku takut..."
"Ehh...?"
Kun Liong benar-benar terheran mengapa wanita aneh ini mempunyai rasa takut
juga, karena itu dia pun melanjutkan pancingannya, "Begitu lihaikah
musuhmu yang telah membunuh Go-bi Thai-houw?"
"Aku
tidak takut kepadanya! Hemm, biar dia memiliki Thi-khi I-beng sekali pun!
Dahulunya memang aku tak berani mengingat akan ilmunya itu, akan tetapi setelah
aku mempelajari kitab peninggalan Thai-houw, dengan mempergunakan cambuk ini,
aku dapat membuat Thi-khi I-beng tidak ada artinya! Kau lihatlah, Koko!"
Setelah berkata demikian, wanita ini meloncat dari bangkunya, menyambar
cambuknya dan menuding ke atas, ke arah dinding di mana terdapat dua ekor cecak
yang sedang bercumbuan dan saling berkejaran.
"Lihat
dua ekor cecak itu!" katanya pula.
Tiba-tiba
terdengar suara meledak-ledak beberapa kali bersama sinar hitam menyambar-nyambar
dan ketika Kun Liong memandang, ternyata dua ekor cecak itu tubuhnya sudah
terpotong-potong menjadi empat dan jatuh ke atas meja, sedangkan pada dinding
itu tidak nampak sedikit pun darah! Diam-diam Kun Liong terkejut.
Ternyata
tadi wanita ini tidak menyombong kosong pada saat mengatakan bahwa dengan
cambuknya dia amat lihai. Kalau dalam pertempuran tadi Kim Seng Siocia
menggunakan cambuk seperti itu, dia tentu akan repot menghadapinya! Dan dia
harus mengakui bahwa dengan senjata cambuk seperti itu, Thi-khi I-beng tidak
akan dapat dipergunakan karena tak mungkin untuk menempel ujung cambuk dan
menyedot sinkang lawan lewat cambuk lemas yang panjang itu!
"Wah,
kau hebat sekali, Moi-moi..." Kun Liong cepat menekan hatinya karena dia
bergidik melihat bangkai dua ekor cecak yang kini masing-masing telah menjadi
empat potong dan tergeletak di atas meja itu. "Dengan kepandaianmu itu,
tentu engkau akan dapat menang melawan musuhmu, akan tetapi mengapa tidak juga
kau lakukan?"
"Sudah
kukatakan tadi, aku takut, aku takut gagal. Aku ingin yakin akan kemenanganku,
oleh karena itu... bertahun-tahun aku berdoa kepada Thian agar bisa mendapatkan
jodoh seorang yang lihai dan yang akan dapat membantuku menghadapi musuhku yang
sakti. Dan hari ini aku telah mendapatkan jodoh yang kutunggu-tunggu itu, Koko
yang tampan!"
Wanita itu
hendak merangkulnya. Cepat-cepat Kun Liong mundur dan berkata, "Moi-moi,
semenjak tadi belum kau katakan siapakah musuhmu itu, dia yang sanggup membunuh
seorang lihai seperti Go-bi Thai-houw?"
"Dia?
Dia adalah si keparat Cia Keng Hong, yang kabarnya sekarang telah menjadi Ketua
Cin-ling-pai di Cin-ling-san! Kau tunggulah, keparat Cia Keng Hong! Tunggulah
saat-saat kematianmu kalau Kim Seng Siocia bersama suaminya Yap Kun Liong
datang membalas dendam! Koko, dengan bantuanmu, aku merasa yakin bahwa kita
akan dapat membunuh Cia Keng Hong. Aku melihat gerakan-gerakanmu tadi hebat
sekali. Orang seperti engkau inilah yang kutunggu-tunggu!"
Kembali Kim
Seng Siocia hendak merangkul dan Kun Liong sudah bingung. Tiba-tiba saja datang
pertolongan ketika pintu kamar terbuka dan dua orang pelayan tadi datang sambil
membawa hidangan yang masih panas, yang serba mewah dan lezat. Dengan senyum
manis dua orang pelayan itu menurunkan piring mangkok dan panci ke atas meja,
juga seguci arak wangi.
"Harap
singkirkan bangkai cecak ini...," kata Kun Liong kepada dua orang pelayan
itu.
"Eihhh,
mengapa? Dua ekor cecak itu merupakan lalap yang sedaaap…!" kata Kim Seng
Siocia yang mengusir kedua orang pelayannya dengan gerakan tangan. Mereka pergi
dan kembali menutupkan pintu kamar.
Kun Liong
hampir muntah. Bangkai cecak dipakai lalap? Biasanya orang melalap dengan sayur
segar dan mentah! Akan tetapi dia tidak mencela karena dia mulai bersikap
hati-hati sekali terhadap wanita ini sesudah diketahuinya bahwa wanita ini
adalah musuh besar Cia Keng Hong dan berniat mempergunakan dia sebagai teman
untuk membunuh pendekar sakti yang masih terhitung supek-nya sendiri, bahkan
yang sudah mengajarkan Thi-khi I-beng kepadanya itu!
Dengan
menekan perasaannya, dia menemani wanita itu makan minum. Hanya dengan kekuatan
luar biasa saja dia dapat bertahan ketika Kim Seng Siocia menggunakan sumpit
menjepit bangkai cecak dan melalapnya dengan bunyi "kriuk! kriuk!"
ketika giginya yang kuat mengunyah bangkai itu berikut tulang-tulangnya. Yang
lebih menjijikkan lagi adalah ketika Kim Seng Siocia menyumpit ekor cecak yang
masih bergerak-gerak menggeliat itu, memasukkan benda yang masih hidup itu ke
dalam mulut lalu mengunyahnya!
Tahulah dia
bahwa wanita ini benar-benar tidak waras otaknya! Namun Kun Liong makan sampai
kenyang tanpa berbicara, hanya diam-diam dia mengasah otaknya mencari jalan
keluar dari bahaya ini, terutama sekali bagaimana caranya dia akan bisa
menolong Hong Ing yang keselamatannya sedang terancam bahaya maut. Bukan hanya
dari Kim Seng Siocia datangnya bahaya mengancam yang sewaktu-waktu dapat
membunuh Hong Ing, melainkan juga dari Marcus yang jelas adalah seorang
laki-laki yang tidak baik.
Sesudah
selesai makan minum yang bagi Kim Seng Siocia sangat menggembirakan itu, wanita
ini bertepuk tangan dan dua orang pelayan itu cepat-cepat muncul. Mereka
disuruh membersihkan meja dan pada waktu itu, hari telah mulai menjadi petang.
Salah seorang di antara mereka menyalakan lampu untuk menerangi kamar yang
sudah mulai gelap.
Sesudah
kedua orang pelayan itu selesai membersihkan meja, menyalakan lampu serta
membereskan pembaringan, menyapu lantai kamar, sambil tersenyum-senyum Kim Seng
Siocia berkata kepada mereka,
"Sekarang
panggil Acui dan Amoi ke sini, sementara itu, Pek Nikouw harus dijaga oleh
selosin orang penjaga yang siap turun tangan membunuhnya begitu ada tanda
rahasia dariku."
Dua orang
pelayan itu mengangguk, kemudian mengundurkan diri setelah mengerling dan
tersenyum geli ke arah Kun Liong yang duduk bagai arca di atas bangku. Kim Seng
Siocia duduk kembali.
"Koko,
hanya Acui dan Amoi itulah pelayan-pelayanku yang paling boleh kuandalkan dan
kupercaya. Mereka menjadi pembantu dan juga muridku. Mereka yang memandikan
aku, menggantikan pakaian, pendeknya, hanya mereka yang bisa kupercaya. Karena
itu, pada malam pengantin ini... hi-hi-hik, aku pun hanya mau dilayani oleh
mereka..."
Kun Liong
hanya mengangguk-angguk, padahal dia tidak mengerti apa yang dikehendaki dan
dimaksudkan oleh ‘isterinya’ itu, isteri paksaan. Sementara itu, pada bagian
lain dari istana itu, Marcus sedang membujuk-bujuk kepada Acui dan Amoi.
"Mengapa
kalian hendak melindunginya? Serahkan dia kepadaku sebentar saja, dan aku akan
bersikap manis kepadamu, Acui dan Amoi."
"Hushh!
Cepat pergilah! Kalau ketahuan Siocia, apakah kau masih dapat menyelamatkan
kepalamu yang berambut kuning itu?" Acui membentak, ada pun Amoi hanya
tersenyum-senyum genit kepada pemuda asing yang tampan itu.
"Ehh,
Marcus, apakah kau sudah lupa kepada lima orang teman-temanmu? Apakah kau ingin
pula dilempar kepada anak buah yang merupakan serigala-serigala kelaparan
itu?" kata Amoi mengejek, akan tetapi di balik ejekannya itu, sinar
matanya memandang ke arah tubuh yang tegap dan kuat itu dengan penuh gairah.
Marcus
merasa ngeri kalau mengingat kepada lima orang itu. Mereka telah mati konyol,
mati dengan tubuh mengering akibat kehabisan darah, bagai matinya lima ekor
lalat yang semua darahnya telah habis dihisap oleh laba-laba yang banyak itu!
Akan tetapi dia amat cerdik dan tidak memperlihatkan kengeriannya, bahkan dia
tertawa,
"Ahh,
seperti kalian tidak tahu saja! Siocia suka kepadaku dan memang kemarin aku
tidak berani main gila dengan wanita lain, betapa pun rindu dan inginku kepada
kalian berdua yang cantik jelita ini! Akan tetapi sekarang, Siocia sudah
mendapatkan seorang kekasih baru, tentunya aku menjadi bebas pula untuk bermain
cinta dengan siapa juga. Acui dan Amoi, nikouw ini tidak urung akan dibunuh
juga, maka apa salahnya kalau membiarkan aku mempermainkannya sebentar?"
Amoi
melangkah maju. "Hemm, apa sih menariknya perempuan gundul ini? Ehh
Marcus, apakah kami berdua kalah cantik oleh nikouw gundul ini?"
Marcus
tersenyum lebar. "Tentu saja tidak, dan aku berjanji, jika kalian suka
memberikan nikouw itu kepadaku sebentar, setelah aku selesai dengan dia, aku
akan menemui kalian berdua bersenang-senang. Bagaimana?"
"Huh!
Kau temani kami dulu, baru kami berikan dia kepadamu."
"Baiklah,
aku memang sudah lama rindu kepada kalian. Mari!"
"Enci
Acui, kau bersenanglah dulu, biar aku yang menjaganya," kata Amoi.
Acui yang
masih khawatir kalau-kalau Siocia-nya akan marah, mengerutkan alisnya akan
tetapi hatinya pun tertarik sekali. Sudah terlalu lama bagi dia dan Amoi tak
pernah dirayu oleh seorang pria, apa lagi pria semuda dan setampan Marcus yang
memiliki ketampanan khas pula sebagai seorang berkulit putih.
"Engkau
saja dulu, Amoi, biar aku yang menjaganya."
Amoi
tersenyum genit dan mengangguk kepada Marcus yang tertawa-tawa girang lantas
merangkulnya dan hendak menariknya pergi dari tempat penjagaan rahasia itu.
Tapi pada saat itu muncullah dua belas orang penjaga yang bersenjata lengkap,
dipimpin oleh dua orang pelayan yang diperintah oleh Kim Seng Siocia tadi.
Mereka berkata dengan suara nyaring bahwa Acui dan Amoi dipanggil oleh Kim Seng
Siocia dan bahwa dua belas orang itu ditugaskan untuk menggantikan dua orang
pelayan kepercayaan itu supaya menjaga tawanan.
Amoi
kelihatan kecewa, akan tetapi dia melepaskan Marcus sambil berkata, "Kau
tidak boleh di sini. Keluarlah dulu dan menunggu kami. Awas, sebelum kami
kembali, kau tidak boleh menyentuhnya. Hai, para penjaga! Selama kami berdua
pergi, kalian jaga tawanan baik-baik dan jangan membolehkan siapa pun juga,
termasuk dia ini, menyentuh tawanan. Mengerti?"
Para penjaga
itu menyatakan taat kepada Amoi yang menjadi orang kepercayaan majikan mereka
dan Marcus yang kecewa juga tidak berani membantah lalu pergi keluar. Dia akan
sabar menanti.
Acui dan
Amoi memasuki kamar majikan mereka dan keduanya langsung terkekeh genit saat
melihat Kun Liong duduk seperti arca di atas bangkunya, sedangkan Siocia
kelihatan begitu gembira, mukanya kemerahan tanda bahwa dia sudah banyak minum
arak wangi.
"Acui...
Amoi..., aihhh, aku menjadi gugup di malam pengantin ini. Kalian bantulah
aku...," kata Kim Seng Siocia sambil tersenyum. "Bagaimana sih
baiknya? Sin-liang (pengantin pria) kelihatan malu-malu... ihhh, dia memang
masih perjaka tulen..."
Acui dan
Amoi cekikikan. "Benarkah, Siocia? Ah, kalau begitu kau bahagia sekali,
Siocia. Kionghi (selamat)!" kata Amoi. Keduanya lalu menghampiri Kun Liong
dan berkata,
"Kongcu
(Tuan Muda), mengapa Kongcu belum juga menanggalkan pakaian luar? Sudah
waktunya sepasang pengantin tidur, maka harap Kongcu tidak malu-malu lagi,
karena hal itu dapat mendatangkan kesalah pahaman bagi pengantin wanita, dapat
dianggap bahwa pengantin pria menolak dan ini merupakan penghinaan besar,"
kata Acui.
"Benar
itu, Kongcu. Mari kami membantumu menanggalkan pakaian...," kata Amoi
genit dan keduanya lalu menyerbu, menanggalkan pakaian luar Kun Liong sehingga
pemuda ini menjadi bingung dan malu. Untuk melawan tentu saja dia dapat, akan
tetapi teringat akan keselamatan Hong Ing, dia diam saja.
Akhirnya
semua pakaian luarnya termasuk sepatunya telah ditanggalkan dan dia dituntun
setengah paksa duduk di tepi tempat tidur yang lebar panjang dan berbau harum
itu. Kaki dan tubuh atasnya menjadi segundul kepalanya, dan hanya tersisa
sebuah celana dalam panjang yang tipis saja yang masih menutup tubuhnya.
Kini matanya
terbelalak memandang ke depan di mana Kim Seng Siocia sedang dibantu oleh dua
orang pelayannya itu menanggalkan pakaian luar. Agak sukar juga bagi wanita
gendut itu untuk menanggalkan pakaian luarnya dan pekerjaan ini mereka lakukan
bertiga sambil tertawa cekikikan.
Sesudah
banyak sekali kancing yang ketat itu dilepaskan, maka mulailah pakaian luar itu
diperosotkan dari atas hingga mulai tampaklah tubuh yang kini hanya dibungkus
pakaian dalam yang tipis sekali itu. Dengan pakaian luar menutupi tubuhnya, bentuk
tubuh Kim Seng Siocia masih tertolong, masih terlindung oleh pakaian luar yang
lebar, akan tetapi setelah kini pakaian luar itu sedikit demi sedikit merosot
dari atas, mata Kun Liong juga menjadi makin besar dan makin lebar, tubuhnya
menggigil seperti orang diserang demam malaria, sampai kedua bibirnya pun ikut
bergerak-gerak seperti orang kedinginan.
Mulailah
tampak tubuh Kim Seng Siocia. Mula-mula lehernya, lalu tampak pundaknya di
balik pakaian dalam yang amat tipis sehingga tembus pandangan itu, kemudian
mulailah tampak tonjolan dadanya yang... aduhai! Dua onggok daging yang
bergumpal besar luar biasa, sebuah saja sudah sebesar dua kali kepala Kun
Liong! Makin merosot ke bawah pakaian luar itu, semakin ngerilah hati Kun
Liong, matanya terbelalak, mulutnya celangap dan semua jari tangannya menahan
bibirnya yang gemetaran keras. Akhirnya atas isyarat majikan mereka, sambil
cekikikan Acui dan Amoi meninggalkan kamar dan menutupkan pintu kamar
rapat-rapat.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment