Sunday, August 19, 2018

Cerita Silat Serial Petualang Asmara Jilid 27



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
        Serial Petualang Asmara
                  Jilid 27


Hong Ing masih merasa betapa lengan kanannya tergetar pada saat pedangnya ditangkis tadi, maka dia terkejut melihat lawan meraih pinggangnya. Dia meloncat ke belakang dan menjerit karena ternyata bahwa gerakan gadis baju merah itu hanya merupakan tipuan belaka dan sebenarnya, pada saat itu gadis baju merah yang lihai ini sudah melakukan tendangan tersembunyi dari bawah yang tepat mengenai pergelangan tangan kanan Hong Ing yang memegang pedang. Karena lengannya masih tergetar maka tendangan itu tepat sekali, membuat pedangnya juga terlepas dan terlempar!

"Hi-hi-hi-hik, sekarang kita sama-sama tidak bersenjata!" kata gadis berbaju merah yang mengaku bernama Amoi itu.

Hong ing menjadi marah serta penasaran sekali. Masakah dia harus kalah menghadapi seorang pelayan saja? Dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang lihai, maka tentu saja dia tidak gentar untuk bertanding dengan tangan kosong. Sambil berseru marah dia lalu menerjang maju.

"Bagus! Marilah kita berlatih sebentar!" Amoi berseru dan cepat mengelak ke belakang, menghindarkan diri dari tendangan Hong Ing, kemudian tendangan berantai itu hendak dia gagalkan dengan sambaran tangannya yang hampir saja berhasil menangkap sepatu kiri Hong Ing.

Dara ini terkejut, cepat menarik kembali kakinya dan pada saat itu Amoi sudah membalas menyerang dengan cengkeraman ke arah leher kanannya yang juga dapat dihindarkan dengan baik oleh Hong Ing. Terjadilah pertandingan yang amat seru.

Keduanya sama gesit dan sama lincah sehingga setiap gerakan lawan kalau tidak dapat dielakkan tentu berhasil ditangkis dengan baik. Berkali-kali terdengarlah suara beradunya kedua lengan yang berkulit putih dan kelihatan halus lemah akan tetapi yang sebenarnya mengandung tenaga sinkang yang amat kuat itu, menyelingi suara gerakan mereka yang menimbulkan angin.

Tadinya dua orang gadis itu mengandalkan kelincahan mereka untuk saling mengalahkan lawan. Akan tetapi, sesudah lewat lima puluh jurus, bukan main kagetnya hati Hong Ing, kaget dan terheran-heran melihat perubahan aneh dalam permainan silat gadis berbaju merah itu.

Sekarang lawannya mulai terkekeh-kekeh lagi dan ilmu silatnya amat luar biasa, kadang-kadang lawannya itu bergerak dengan halus dan lemah gemulai seperti bukan sedang bertanding melainkan sedang menari-nari bersamanya, akan tetapi tiba-tiba saja tarian indah itu berubah menjadi gerakan kaku dan buruk sekali seperti gerakan seekor monyet pincang! Bahkan lebih aneh lagi, kadang-kadang Amoi menjatuhkan diri ke atas tanah, bergulingan sambil menangis, menjambak-jambak rambutnya sampai awut-awutan, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, selagi Hong Ing terbelalak kaget, dia mencelat ke atas dan menyerang dengan hebat!

"Aihhhh...!" Hong Ing menjerit kaget dan untung masih dapat melempar tubuh ke belakang terhindar dari hantaman yang amat dahsyat ke arah dadanya.

Mulailah Hong Ing bersikap hati-hati. Kini dia tahu bahwa ilmu silat aneh seperti gila itu bukanlah semata-mata ilmu yang dimainkan oleh seorang gila, melainkan ilmu silat yang terselubung sikap gila-gilaan yang bukan tidak ada gunanya, karena sikap gila-gilaan itu justru untuk memancing lawan dan mengacaukan perhatian lawan!

Sekarang dia bersikap hati-hati sekali bila Amoi menjambak-jambak rambutnya atau jatuh terduduk dan menangis seperti seorang anak kecil yang merengek minta makanan, tidak peduli lagi kalau Amoi membanting-banting kaki atau bahkan merangkak-rangkak seperti anak kecil belajar merangkak! Dan memang dia benar, karena di tengah-tengah gerakan aneh ini tiba-tiba sekali Amoi mencelat ke atas dan menyerangnya dengan amat dahsyat. Karena dia tidak mempedulikan gerakan-gerakan aneh dari lawan, maka kini dia dapat menghadapi serangan mendadak itu dengan baik sehingga semua serangan Amoi dapat digagalkannya.

"Robohlah!" Tiba-tiba Hong Ing membentak dan dia menerjang maju dengan tendangan berantai, tendangan yang hanya dilakukan untuk mengacaukan posisi lawan, dan selagi Amoi sibuk mengelak serta menangkis, Hong Ing yang melihat lowongan baik langsung ‘memasukinya’, tangan kirinya dengan jari terbuka menampar ke arah leher kanan lawan.

"Hayaaaa...!"

Amoi menjerit dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya kena ditampar sehingga dia terpelanting dan jatuh miring. Akan tetapi, sambil menangis tersedu-sedu dia sudah meloncat lagi ke atas dan kedua tangannya membentuk cakar.

Melihat ini, Hong Ing bersiap-siap karena maklum bahwa lawan hendak mempergunakan ilmu silat sejenis Eng-jiauw-kang atau Houw-jiauw-kang (Ilmu Silat Cakar Harimau) yang berbahaya. Dia melihat Amoi menerjang maju, menggerakkan sepasang tangannya untuk mencakar mukanya.

"Heiiii!" Hong Ing berteriak kaget dan maju untuk mencegahnya.

Dia merasa kasihan kepada Amoi yang dikalahkannya dan menangis itu, sikap seperti seorang anak kecil saja dan kini Amoi yang agaknya merasa kesal dan jengkel, hendak mencakar muka sendiri. Perbuatan ini tentu saja berbahaya, bisa merobek hidung atau mencokel mata sendiri!

"Hi-hik-hik...! Dukkk!"

"Kau curang...!" Hong Ing berteriak, akan tetapi karena sambungan lututnya kena disentuh ujung sepatu Amoi, tentu saja dia jatuh berlutut dan pada saat itu pula terdengar suara bersiutan dan tahu-tahu tali-tali hitam telah menyambar dan membelenggu tubuhnya.

Kiranya belasan orang gadis lain telah menggunakan tali hitam yang berbentuk lasso dan melempar lasso itu dengan baik sekali sehingga semua lemparan tepat mengenai dirinya. Lingkaran-lingkaran lasso itu semua tepat menelikung tubuhnya. Dia terkejut sekali, akan tetapi diam-diam tersenyum mengejek pada waktu merasakan dengan lengannya betapa tali-tali itu tidaklah kuat. Dia akan menanti sampai rasa kesemutan di lututnya lenyap, baru akan memutuskan semua tali yang mengikatnya.

Dengan pura-pura tak berdaya Hong Ing masih berlutut, ditertawakan oleh semua gadis itu. Kemudian, setelah lututnya tidak kesemutan, dia segera bangkit berdiri dengan tubuh terbelenggu seperti seekor domba hendak disembelih dan memandang kepada Amoi dan ketiga belas orang gadis yang tertawa dengan mulut terbuka lebar, bebas lepas ketawa mereka, seperti segerombolan laki-laki kasar saja.

Hemmm, tunggu saja kalian, pikir Hong Ing dengan gemas. Diam-diam dia mengerahkan sinkang-nya kemudian tiba-tiba dia menggerakkan kaki tangannya sambil menjerit dengan suara melengking nyaring

"Haaaiiittt!"

"Hi-hi-hik!"

"Heh-heh-hi-hik!"

Belasan orang gadis itu cekikikan tertawa dan merahlah muka Hong Ing. Beberapa kali dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan mencoba lagi, namun sia-sia saja dan akhirnya dia pun maklum bahwa tak akan mungkin baginya untuk membebaskan diri dari ikatan tali-tali yang ujungnya masih dipegangi oleh para gadis yang mengurungnya itu.

Betapa mungkin memutuskan tali yang sifatnya seperti karet, dapat mulur pada waktu dia mengerahkan sinkang namun segera mengkeret dengan ketat lagi sesudah itu? Tenaga hanya bisa menghancurkan atau mematahkan benda-benda keras, betapa mungkin dapat melawan benda lunak yang sifatnya mulur akan tetapi yang memiliki keuletan luar biasa?

Seperti menerima komando tak bersuara, tiba-tiba tiga belas orang gadis itu menyendal ujung tali dan tubuh Hong Ing melayang ke atas! Ketika tubuhnya yang sudah tak dapat bergerak itu kembali meluncur turun, beberapa buah lengan menyambutnya dan sambil tertawa-tawa para gadis itu menggotong tubuh Hong Ing yang sudah ditelikung bagaikan ayam itu.

Hong Ing bergidik melihat wajah muda-muda dan cantik-cantik yang tertawa-tawa seperti siluman-siluman ini. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya di tangan orang-orang seperti ini. Dengan dirinya di tangan mereka, segala hal dapat saja terjadi. Apakah dia akan dipanggang bagai seekor anak babi (babi guling) hingga kulitnya menjadi kering kemerah-merahan untuk kemudian mereka makan bersama dengan arak wangi dan dagingnya dikerat-kerat dan dicocolkan kecap?

Hong Ing membelalakkan matanya penuh kengerian, apa lagi ketika Amoi Si Gadis Baju Merah yang lihai itu di tengah perjalanan mengelus kepalanya yang gundul sambil tertawa dan berkata, "Hi-hik, kepalanya gundul pelontos. Haluuuusss... hi-hi-hik!"

Hong Ing bergidik. Celaka. Mereka ini adalah orang-orang yang gila atau setidak-tidaknya adalah orang-orang yang sudah lama terasing dari dunia ramai sehingga menjadi seperti orang-orang biadab. Tiba-tiba dia teringat. Gila?

Subo-nya, Go-bi Sin-kouw, pernah menceritakan bahwa dahulu, dua tiga puluh tahun lalu, di Go-bi-san terdapat seorang nenek yang saktinya seperti siluman. Kalau dia tidak salah ingat, julukan nenek yang disebut-sebut oleh gurunya itu adalah Go-bi Thai-houw (Ratu Pegunungan Go-bi-san).

Ketika Go-bi Thai-houw masih berada di daerah Pegunungan Go-bi, tidak ada tokoh lain yang berani tinggal di situ, bahkan gurunya sendiri dulu tidak berani mendekati Go-bi-san. Akan tetapi menurut gurunya pula, Go-bi Thai-houw dikabarkan sudah tewas di tangan Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang kini juga sangat terkenal sebagai ketua Cin-ling-pai. Jangan-jangan nenek sakti yang menurut gurunya adalah seorang gila itu belum mati dan yang menangkapnya ini anak buahnya! Dia bergidik lagi.

Akan tetapi matanya terbelalak kaget ketika rombongan itu tiba di sebuah puncak yang dikelilingi hutan gelap, oleh karena dari tempat dia digotong tergantung dengan kepala di bawah itu dia melihat sebuah bangunan besar dan megah di tempat sunyi itu! Pantas kalau dinamakan sebuah istana dan dugaannya makin tebal bahwa nenek siluman Go-bi Thai-houw agaknya benar-benar belum mati seperti yang diceritakan gurunya.

Dia digotong masuk, melalui lorong yang amat panjang dan dengan dinding yang terhias lukisan-lukisan indah serta kain sutera yang bergantungan di mana-mana. Akhirnya, Amoi mengempit tubuh Hong Ing dan meninggalkan tiga belas orang anak buah yang agaknya tidak diperbolehkan memasuki sebuah ruangan besar di tengah rumah itu.

Amoi masih terus mengempitnya dengan ringan dan masuklah gadis berbaju merah itu ke dalam sebuah ruangan yang amat mewahnya. Begitu masuk, hidung Hong Ing mencium bau dupa wangi yang dibakar orang di dalam ruangan itu.

"Brukkk!"

Tubuhnya dilempar ke atas lantai yang terbuat dari pada batu marmer putih, begitu bersih sampai mengkilap. Mata Hong Ing memandang ke sekelilingnya dengan menggerakkan lehernya. Dia melihat Amoi berlari-larian menghampiri seorang wanita gemuk yang duduk setengah rebah setengah terlentang di atas kursi yang lebih patut disebut pembaringan saking lebarnya, kemudian Amoi berlutut dan mencium kaki yang tertutup sepatu kain sutera itu.

"Siocia..."

"Hemm, Amoi. Kau baru datang? Agaknya engkau membawa seorang tawanan," berkata wanita gemuk itu.

Hampir saja Hong Ing tertawa. Itukah yang menjadi nona majikan istana ini dan yang disebut Siocia? Ataukah Si Gendut ini puteri dari Go-bi Thai-houw? Dia memperhatikan wanita itu.

Usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Tubuhnya amat subur, gemuk dan sehat sehingga wajahnya menjadi seperti buah masak, kemerahan. Perutnya yang gendut itu tidak dapat disembunyikan di balik jubah yang indah dan mewah, demikian pula buah dadanya yang amat besar. Wajahnya biasa saja, cantik tidak akan tetapi juga tidak terlalu buruk, bahkan kulit mukanya putih bersih dan halus.

Ketika tertawa, mulutnya yang lebar terbuka memperlihatkan gigi besar-besar akan tetapi putih bersih dan ketika tertawa kepalanya agak diangkat sehingga tampak jelas gerakan lehernya dan dagunya yang bersusun empat! Telinganya dihias anting-anting besar yang memang pantas dan sesuai dengan dirinya. Wajahnya kelihatan ramah, selalu tersenyum akan tetapi dari matanya yang lebar itu keluar wibawa yang kuat.

Seorang gadis lain yang juga berpakaian merah seperti Amoi, yang bahkan lebih cantik dari Amoi dan lebih tinggi tubuhnya, segera menyusul pertanyaan Siocia itu. "Moi-moi, siapakah tawanan itu? Kelihatannya seperti seorang nikouw?"

Amoi tersenyum kemudian duduk di dekat majikannya itu, bersanding dengan gadis yang menegurnya. Hong Ing dapat menduga bahwa tentu gadis itulah yang disebut oleh Amoi sebagai Acui.

"Siocia, dia adalah seorang nikouw yang bernama Pek Nikouw. Dia melanggar wilayah kita dan ketika hendak ditangkap, dia malah melawan. Ilmu kepandaiannya boleh juga, Siocia. Hampir saja saya kalah olehnya," kata Amoi.

"Ahh, begitukah? Sungguh kebetulan sekali kalau begitu! Nikouw muda, kau bangunlah!"

Wanita gendut itu berkata dan suaranya ramah sekali, tangannya dengan telapak terbuka bergerak ke depan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar, mendorong sebuah tusuk sanggul emas yang menyambar seperti kilat, menembus putus tali pengikat tubuh Hong Ing dan seperti hidup, tusuk sanggul emas itu melayang kembali ke tangan wanita gendut itu yang mengenakannya kembali ke atas sanggulnya sambil tersenyum.

Menyaksikan kepandaian yang seperti sulapan itu, Hong Ing menelan ludah. Bukan main! Maklumlah dia bahwa dia tidak akan mampu menandingi wanita gendut itu, maka begitu dia meloloskan tali yang telah putus itu dari tubuhnya, dia lalu berdiri dan menjura dengan sikap penghormatan seorang pendeta, kedua tangannya dirangkap di depan dada.

"Harap maafkan pinni karena pinni telah tanpa sengaja melanggar wilayah Siocia," kata Hong Ing.

"Tidak apa, Pek Nikouw. Engkau datang dari kuil manakah, Pek Nikouw?" tanya wanita gendut itu dengan suara ramah.

"Pinni datang dari kuil Kwan-im-bio."

"Aihhh... sungguh kebetulan sekali. Agaknya Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan In) sendiri yang mengutusmu untuk menolongku! Di sini aku telah memiliki segala sesuatu dengan lengkap, kecuali satu, seorang yang berhati suci, seorang nikouw seperti engkau inilah. Apa lagi kalau memiliki kepandaian yang baik, tidak akan memalukan istanaku. Hi-hi-hik! Lihat, setiap saat aku berdoa, setiap saat aku membakar dupa untuk menyenangkan para dewa, akan tetapi agaknya para dewa tidak berhasil menyampaikan doaku kepada Thian! Maka aku membutuhkan seorang nikouw untuk berdoa dan kebetulan engkau datang, dan engkau adalah murid Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih yang agaknya menaruh iba kepadaku. Pek Nikouw, demi Dewi Kwan Im yang welas asih, engkau tentu mau berdoa untukku, tentu mau menolongku agar Thian mengabulkan permintaanku, bukan?"

Secara diam-diam Hong Ing bergidik. Wanita ini dengan begitu saja menyebut-nyebut nama segala dewa. Kwan Im Pouwsat, bahkan Thian, seakan-akan semua itu diadakan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan wanita gendut ini! Meski kata-katanya terdangar ramah dan lembut, namun di balik itu terdapat sesuatu yang tidak normal dan membuat Hong Ing menduga bahwa otak Siocia ini juga tidak bisa dibilang waras!

"Siocia, sebagai seorang nikouw memang pinni bertugas untuk berdoa bagi kesejahteraan manusia dan sedapat mungkin menolong manusia agar terhindar dari kesengsaraan. Doa apakah yang harus pinni lakukan untuk Siocia?"

"Ada dua hal yang bertahun-tahun mengganggu hatiku, Pek Nikouw, dan setiap hari aku berdoa kepada Thian supaya mengabulkan permohonanku ini, pertama-tama adalah agar aku bisa menemukan jodohku..." Suara wanita gendut itu menjadi gemetar oleh keharuan sehingga diam-diam Hong Ing harus menahan geli hatinya mendengar ini.

Wanita gendut itu berhenti bicara dan mempergunakan lengan bajunya yang lebar untuk mengusap air matanya! Kemudian dia pun melanjutkan, "Ada pun hal yang ke dua adalah agar supaya aku dapat segera membalas dendam kepada musuh besarku."

"Maaf, Siocia. Untuk berdoa, pinni harus mengetahui siapakah musuh besar Siocia, dan mengapa orang itu menjadi musuh besarmu," kata Hong Ing memancing karena dia ingin sekali mendengar riwayat wanita aneh ini.

"Siapa lagi kalau bukan Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai! Dahulu dia telah membunuh majikanku. Kematian Go-bi Thai-houw dulu harus dibalas dan siapa lagi kalau bukan aku sebagai ahli warisnya yang dapat membalaskan kematiannya?"

Diam-diam Hong Ing terkejut sekali. Tak salah dugaamya, atau setidaknya tidak meleset terlalu jauh. Wanita ini, tempat ini, dan pasukan wanita gila itu, ada hubungannya dengan Go-bi Thai-hou seperti yang sudah diceritakan subo-nya. Pantas saja mereka begitu lihai. Kiranya wanita ini adalah keturunan nenek iblis itu.

"Namaku Kim Seng Siocia (Nona Bintang Emas)," wanita gendut itu menerangkan. "Dulu ketika Thai-houw masih hidup, aku adalah seorang pelayannya yang paling kecil. Saat itu aku baru berusia delapan tahun. Akan tetapi sebelum beliau pergi, beliau meninggalkan semua pusaka dan kitab-kitabnya kepadaku, maka akulah yang berhak mewarisi semua peninggalannya, termasuk ilmu kepandaiannya dan juga istananya ini yang sudah kuubah menurut seleraku. Nah, kau sudah mendengar, Pek Nikouw, sekarang kau harus tinggal di istana ini untuk berdoa sampai kedua permintaanku itu terkabul. Aku harus menemukan jodohku, seorang laki-laki yang memiliki ilmu kepandaian tinggi agar dapat membantuku membunuh Cia Keng Hong. Kalau kau menolak, kau akan kubunuh, namun kalau kau menerima, kau akan menjadi tamu kehormatan kami, dan hidup terhormat serta mulia di istana ini."

Hong Ing tidak dapat menjawab, mukanya agak berubah. Bagaimana mungkin dia berani menolak? Sekali menolak dan wanita itu turun tangan, tentu dia akan tewas. Akan tetapi bagaimana pula dia dapat menerima diharuskan tinggal di tempat ini bercampur dengan orang-orang yang miring otaknya?

"Baiklah, Siocia. Pinni akan berdoa untukmu dan tinggal sementara di sini. Semoga saja segera terkabul pormohonanmu itu."

Wanita itu tertawa dan mukanya berseri gembira. "Yahuuuu...! Sediakan hidangan yang paling lezat untuk Pek Nikouw!"

Hong Ing memang bukan seorang nikouw tulen, maka tentu saja dia tidak keberatan makan daging dan minum arak yang disuguhkan. Sambil makan minum, Kim Seng Siocia lalu memerintahkan anak buahnya menabuh musik dan menari-nari.

Hong Ing semakin mengenal keadaan di sana dan tahulah dia bahwa Kim Seng Siocia memang merupakan seorang ‘ratu’ di tempat ini, dengan anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang lebih, rata-rata pandai ilmu silat seperti pasukan yang menawannya. Ada pun dua orang pembantunya yang paling dipercaya dan yang paling lihai pula adalah Acui dan Amoi itulah, yang bukan hanya merupakan pelayan-pelayan pribadinya, akan tetapi juga wakil-wakilnya dan murid-muridnya!

Benar saja seperti yang dijanjikan Kim Seng Siocia, Hong Ing diperlakukan dengan penuh hormat oleh semua orang, mendapatkan sebuah kamar yang bersih dan indah di dalam istana, diberi pakaian pendeta yang serba indah dan makanan yang lezat.

Pekerjaan Hong Ing sehari-hari hanyalah membaca liam-keng (doa) dan tentu saja doa yang keluar dari dalam hatinya bukanlah untuk Si Gendut itu, melainkan dia berdoa untuk keselamatan suci-nya, Lauw Kim In yang mengorbankan dirinya menjadi isteri pemuda iblis Ouwyang Bouw, kemudian doa untuk keselamatan dirinya sendiri supaya dia dapat segera membebaskan diri dari tempat yang mengerikan ini, dan kadang-kadang kalau dia terbayang wajah Kun Liong yang amat sulit untuk dapat dilupakannya itu, dia berdoa agar mendapat kesempatan lagi bertemu dengan pemuda gundul itu! Sedikit pun tidak ada doa di dalam hatinya untuk permintaan Kim Seng Siocia!

Sesudah tinggal sebagai tamu terhormat, atau lebih tepat tahanan terhormat di istana itu belasan hari lamanya, Hong Ing mendapat kenyataan bahwa Kim Seng Siocia ternyata betu-betul merupakan seorang wanita aneh yang memiliki banyak ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya mempunyai tenaga sinkang yang sangat luar biasa, juga wanita ini memiliki kekebalan dan pandai memainkan segala macam senjata, termasuk ahli pula dalam hal menggunakan anak panah.

Ia pernah dibuat amat kagum ketika pada suatu sore nona gendut itu mendemonstrasikan kepandaiannya memanah burung. Ketika itu sekelompok burung sedang terbang di udara, tinggi sekali sampai hanya terlihat sebagai titik-titik hitam kecil. Burung-burung itu sedang terbang berkelompok kembali ke sarang mereka arah selatan.

"Aku ingin makan panggang burung dara hijau!" nona gendut itu berkata dan Amoi segera memberikan gendewa dan tempat anak panah yang terisi belasan batang anak panah.

Walau pun tubuhnya gendut, ternyata Kim Seng Siocia dapat bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu gendewa telah dipentangnya kemudian berturut-turut dia melepaskan tiga belas batang anak panah ke udara. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga sulit diikuti oleh pandang mata dan anak-anak panah itu meluncur beriringan seperti bersambung.

Tak lama kemudian, anak panah yang tiga belas batang jumlahnya itu berjatuhan dan… setiap batang membawa dua ekor burung yang tertembus dadanya! Hampir saja Hong Ing tidak dapat percaya akan apa yang disaksikannya dan diam-diam dia merasa ngeri sekali. Demikian hebatnya ilmu memanah nona gendut ini!

Menyaksikan kelihaian Kim Seng Siocia ini, makin berhati-hatilah Hong Ing. Dia tak berani sembarangan melarikan diri karena maklum akan keanehan watak nona gendut itu yang tentu tak akan segan-segan membunuhnya kalau dia melarikan diri dan tertangkap. Maka dia harus menunggu saat yang paling tepat dan baik, dan dia hanya akan melarikan diri kalau sudah yakin takkan tertangkap kembali. Pula, kalau dia berdiam di tempat itu tentu tidak akan dapat dicari oleh subo-nya! Andai kata subo-nya dapat mencarinya di tempat ini, agaknya subo-nya akan menghadapi lawan berat sekali dalam diri Kim Seng Siocia dan anak buahnya!

Lebih baik di sini dari pada bersembunyi di dalam kuil, karena sesungguhnya dia pun tak suka untuk menjadi nikouw. Akan tetapi, karena dia berada di istana itu dalam tugasnya sebagai nikouw, terpaksa dia selalu membersihkan rambut dari kepalanya bila mana ada rambut mulai tumbuh. Dia tidak boleh memancing kecurigaan Kim Seng Siocia dan harus bersikap seperti seorang nikouw tulen yang saleh!

Pada suatu senja, dia melihat Acui dan Amoi berlari-larian sambil mengumpulkan anak buahnya. Karena merasa tertarik dia lalu keluar dari kamarnya dan bertanya kepada Amoi yang bersikap bersahabat dangannya.

"Amoi, apakah yang terjadi?"

Amoi tertawa terkekeh-kekeh. "Hi-hi-hi-hik, pesta besar, Sukouw. Banyak lalat jantan yang terjebak dalam sarang laba-laba, dan di antaranya adalah seekor lalat bule (putih) yang tentu menarik perhatian Siocia. Siocia menyuruh kami menangkap mereka hidup-hidup!" Setelah berkata demikian, dua orang pelayan yang berpakaian merah itu berlari-lari diikuti anak buah mereka.

Hong Ing menjadi sangat penasaran dan dia bertanya kepada serombongan pasukan yang agaknya hendak membantu pula. "Apakah yang terjadi? Banyak lalat terjebak dalam sarang laba-laba? Apa artinya itu?"

Karena Kim Seng Siocia menganggap Hong Ing sebagai tamu agung maka telah menjadi kebiasaan para anak buah di situ untuk menghormati nikouw muda ini, maka seorang di antaranya menjawab singkat, "Lalat berarti manusia dan lalat jantan adalah kaum laki-laki. Hi-hi-hik, mudah-mudahan aku mendapat bagian!"

"Cuihh, laki-laki!" kata wanita ke dua sambil membuang ludah. Entah mengapa agaknya wanita ini pernah mengalami hal yang tak enak yang ada hubungannya dengan kaum pria sehingga dia membenci pria.

"Hayo kita berangkat!" orang ke tiga berkata sambil bertanya kepada Hong Ing, "Apakah Sukouw hendak menonton?"

Hong Ing mengangguk dan dia ikut pula berlarian dengan rombongan itu memasuki hutan yang gelap. Belum pernah dia masuk hutan ini dan ternyata rombongan ini membawanya ke sebuah daerah di dalam hutan itu yang penuh dengan goa-goa dan Acui serta Amoi bersama anak buahnya sudah pula berada di situ, menyalakan obor dan mereka bicara sambil tertawa-tawa dan menuding-nuding ke dalam goa-goa itu.

Hong Ing melangkah maju dan memandang. Hatinya heran bukan main ketika dia melihat ada enam orang laki-laki di dalam dua buah goa itu dan mereka ini benar-benar terjebak dalam sarang laba-laba! Sarang laba-laba yang besar dan yang melekat di tubuh enam orang itu. Betapa pun enam orang itu meronta-ronta, mereka tidak dapat melepaskan diri dari lekatan benang yang sebesar tali itu, benang sarang yang memiliki daya melekat dan membelit!

"Iihhh, apakah itu sarang laba-laba tulen?" tanya Hong Ing mendekati Acui.

"Lihat saja di sana, kami sudah membunuh laba-labanya," dia lalu menuding ke kiri dan hampir saja Hong Ing menjerit.

Benar saja, di sana terdapat dua bangkai binatang yang mengerikan sekali. Jelas kedua bangkai itu adalah tubuh binatang laba-laba hitam akan tetapi bentuknya luar biasa sekali! Sebesar kucing atau anjing kecil! Pantas saja sarangnya demikian besar dan sangat kuat, sanggup menangkap manusia!

Akan tetapi dia segera tertarik ketika melihat salah seorang di antara enam pria itu. Dia mengenal orang yang berkulit putih itu. Itulah orang kulit putih yang bersama Tok-jiauw Lo-mo pernah menggunakan pasukan pemerintah menangkap Kun Liong dan menawan pemuda itu! Kalau dia tidak salah ingat, dulu Kun Liong pernah menyebutkan namanya, Marcus! Ya, Marcus!

Marcus dan lima orang laki-laki lain yang sama sekali tidak berdaya itu segera ditangkap, dibelenggu kedua tangannya dan digiring keluar dari goa itu. Marcus berkata-kata dalam bahasa asing, kelihatannya marah, dan seorang di antara lima anak buahnya itu berkata dengan penasaran,

"Kami ini mau dibawa ke mana? Kami tidak bersalah apa-apa terhadap kalian!"

Para gadis yang menggiring mereka itu tertawa-tawa saja, dan Amoi yang genit segera membentak. "Hushhh, diamlah! Kalian berenam seharusnya berterima kasih kepada kami. Apa bila kami tidak membunuh kedua ekor laba-laba hitam raksasa itu, agaknya sekarang semua darah dan sumsum kalian telah disedot habis!"

Pada saat melihat Marcus, Hong Ing menyelinap ke belakang. Dia khawatir kalau pemuda asing itu mengenalnya. Akan tetapi diam-diam dia mengikuti perkembangan karena ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Kim Seng Siocia dan anak buahnya terhadap enam orang tawanan itu. Karena itu dia cepat mendahului rombongan yang sambil tertawa-tawa menggiring enam orang laki-laki itu, berlari dan memasuki istana bertemu dengan Kim Seng Siocia, disambut oleh wanita gendut itu dengan senyum ramah.

"Ha-ha-ha, aku mendengar ada enam orang pria menjadi tawanan. Hi-hi-hik, Pek Nikouw, apakah ini hasil doamu? Mudah-mudahan saja jodohku berada di antara mereka."

"Omitohud, mudah-mudahan begitu, Siocia. Pinni sudah melihat mereka dan harap Siocia yang menentukan sendiri. Tetapi sebagai seorang pendeta, pinni tidak boleh berhadapan dengan kaum pria, maka pinni hanya akan menonton dari belakang tirai saja."

Kim Seng Siocia tertawa. "Hi-hi-hi-hik, kasihan sekali engkau. Masih begitu muda sudah harus menjauhkan diri dari pria. Tentu saja boleh, Pek Nikouw, dan kalau benar di antara mereka terdapat jodohku, berarti doamu manjur luar biasa dan aku tentu akan memberi hadiah besar kepadamu."

Sesuai dengan perintah nona gendut itu, enam orang tawanan itu dihadapkan seorang demi seorang. Betapa kecewa hati Kim Seng Siocia melihat laki-laki yang usianya sudah empat puluh tahun lebih dan yang hanya terdiri dari orang-orang kasar. Pada waktu dia menyuruh buka belenggu mereka seorang demi seorang dan memerintahkan Acui dan Amoi untuk menguji kepandaian mereka, tidak ada seorang pun di antara lima orang anak buah Marcus yang dapat bertahan melawan seorang di antara dua pelayan manis itu lebih dari sepuluh jurus!

Dengan hati kecewa dan juga penasaran, Kim Seng Siocia menghadiahkan lima orang itu kepada anak-anak buahnya dan terdengarlah sorak-sorai dan tawa ketika lima orang itu diseret-seret dan dijadikan perebutan di luar istana. Dari tempat sembunyinya di belakang tirai, Hong Ing hanya dapat mendengar lima orang itu berteriak-teriak di antara sorak-sorai itu dan dia bergidik. Kemudian dia melihat Marcus dihadapkan nona gendut.

"Siapa namamu?" tanya Kim Seng Siocia.

"Marcus," jawab pemuda asing itu dengan suara aneh karena memang dia belum begitu pandai berbahasa pribumi. Kim Seng Siocia kelihatan tertarik dan dia menyuruh Amoi menguji kepandaian pemuda yang berkulit putih itu. Amoi maju dan tersenyum genit.

"Apa kau pandai main silat?" tanya Amoi.

Marcus mengangguk. "Sedikit-sedikit aku sudah mempelajari ilmu silat ketika aku menjadi anak buah tuan Legaspi Selado yang berilmu tinggi. Akan tetapi di negeriku aku terkenal sebagai seorang ahli tinju."

"Tinju?" Amoi bertanya heran dan tidak mengerti.

Marcus mengepal kedua tangannya. "Ahli menggunakan ini untuk merobohkan lawan."

"Aha! Ilmu silat bangsamu? Bagus, coba kau robohkan aku dengan itu!"

Marcus menjerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. "Tidak pernah aku merobohkan wanita dengan tinju!" Dia tertawa. "Biasanya aku merobohkan wanita dengan cinta!"

Acui, Amoi dan para penjaga di situ tertawa dan Kim Seng Siocia sudah bangkit berdiri dari kursinya, melangkah maju dan mengamat-amati Marcus dari kepala sampai ke kaki.

"Marcus, jadi engkau ini ahli mencinta wanita?" tanyanya.

Didekati oleh wanita gendut yang agaknya menjadi ketua gerombolan wanita itu, Marcus kelihatan gelisah. Kalau disuruh merayu Acui atau Amoi, atau beberapa orang di antara para anak buah yang muda dan cantik, tentu saja dia akan merasa suka sekali. Akan tetapi wanita ini sungguh berbeda dengan yang lain. Tubuhnya tinggi besar dan sikapnya begitu penuh wibawa. Dia tidak menjawab, hanya mengangguk.

"Heh-heh, kau menarik juga. Tentu saja aku tidak akan suka menjadi isteri orang asing yang berkulit putih bermata biru. Akan tetapi, kalau kau memenuhi seleraku, kalau kau menyenangkan dan mencocoki hatiku, kau akan menjadi selirku. Hi-hik!"

Marcus membelalakkan matanya. "Apa? Selir? Selir bagaimana?"

Dia pun sudah pernah mendengar bahwa selir adalah seorang peliharaan, seorang isteri di luar pernikahan resmi. Akan tetapi biasanya adalah wanita yang menjadi selir pria, dan sekarang wanita gundul ini hendak mengambilnya sebagai selir!

"Bodoh!" Amoi berkata tertawa. "menjadi selir berarti menjadi kekasih Siocia."

Marcus mengerutkan alisnya dan memandang wanita gendut itu. Memang bukan seorang wanita tua dan wajahnya pun tidak terlalu buruk, hanya terlalu gendut. Dia adalah seorang laki-laki, seorang petualang, mana mungkin dia tunduk begitu saja dijadikan ‘selir’ seorang wanita? Biar pun wanita ini agaknya menjadi kepala di sini, namun menjadi selir amatlah rendah!

"Kalau aku menolak?" tantangnya.

"Bagaimana caramu untuk menolak?" Kim Seng Siocia bertanya, matanya bersinar agak gembira, melihat bahwa pemuda asing ini lumayan juga, memiliki kejantanan.

"Dengan ini!" Marcus memperlihatkan kepalan tinjunya yang besar. "Biar pun aku tidak pernah menggunakan ini untuk menghadapi wanita, akan tetapi kalau aku dipaksa..."

"Heh-heh, bagus! Ehh, Marcus, apakah kau lebih suka kuberikan kepada laba-laba?"

Marcus membelalakkan matanya yang biru. "Laba-laba?"

Amoi tertawa. "Hi-hi-hik, laba-laba kecil yang banyak sekali lebih berbahaya dari laba-laba besar. Teman-temanmu yang lima orang kini sedang dikeroyok banyak laba-laba kecil!"

Marcus mendengarkan dan sayup-sayup dia masih mendengar suara cekikikan ketawa banyak wanita. Dia menjadi bingung dan kembali dia kelihatan gelisah.

"Begini saja," kata Kim Seng Siocia. "Apa bila dalam waktu lima jurus aku belum mampu mengalahkan engkau, biarlah kau akan kuberi kebebasan. Akan tetapi kalau dalam waktu lima jurus kau roboh,bagaimana?"

"Tidak mungkin!"

"Siocia bertanya, cepatlah kau jawab!" Acui membentak, kelihatan marah sekali sehingga suaranya ketus dan nyaring.

Marcus terkejut dan dia memandang wanita gendut itu penuh perhatian. Benarkah cerita teman-temannya yang lebih dahulu merantau ke tanah ini, bahwa di sini terdapat banyak orang sakti yang aneh, di antaranya ada pula wanita yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi?

"Nona," katanya sambil menjura. "Aku akan menerima segala perintahmu, bahkan akan mengangkatmu sebagai guruku kalau benar-benar kau dapat mengalahkan aku dalam lima jurus!"

Kim Seng Siocia tertawa, kemudian berkata, "Bersiaplah kau. Akan kuserang kau sampai lima jurus dan hendak kulihat apakah kau benar-benar dapat bertahan."

Marcus mulai menduga bahwa agaknya nona gendut ini memang mempunyai kepandaian karena kalau tidak, tak mungkin berani bicara sesombong itu. Karena itu dia pun segera memasang kuda-kuda, kedua tangan dikepal dan dia sudah siap untuk menangkis segala serangan lawan. Dia masih merasa ragu untuk memukul wanita ini, maka dia mengambil keputusan asal dia dapat bertahan selama lima jurus cukuplah. Dan dia akan menangkis dengan pengerahan tenaga agar lengan wanita itu terasa nyeri!

"Jurus pertama!" Kim Seng Siocia berkata, tangan kirinya menyambar dengan sebuah tamparan ke arah kepala Marcus. Gerakannya cepat dan mendatangkan sambaran angin dahsyat.

Marcus terkejut sekali. Cepat dia mengangkat lengan kanan ke atas sambil mengerahkan tenaga agar lengan wanita itu terasa nyeri terkena tangkisannya. Akan tetapi lengannya hanya menangkis angin kosong belaka dan tahu-tahu tangan wanita itu menyambar, turun melalui bawah tangannya yang menangkis dan sudah ‘menowel’ jalan darah di ketiaknya sehingga tiba-tiba lengannya lumpuh dan tubuhnya terhuyung!

Selagi Marcus terheran-heran, nona gendut itu sudah tertawa dan berkata lagi. "Jurus ke dua!"

Marcus cepat mempersiapkan diri lebih berhati-hati dari pada tadi. Kini kelihatan wanita itu menggerakkan kedua tangannya dari kanan kiri seperti hendak menyerangnya dengan dua tamparan, satu ke arah kepala dan yang ke dua ke arah pinggangnya.

Marcus cepat mengikuti tangan itu dan begitu melihat berkelebatnya dua tangan dia cepat menyambar untuk menangkap. Girang hatinya saat dia berhasil menangkap pergelangan kedua tangan Kim Seng Siocia, akan tetapi mendadak kedua kakinya dibabat oleh kaki lawan dan tubuhnya menjadi terguling roboh karena nona itu sudah merenggutkan kedua lengannya terlepas.

"Bukkk!"

Marcus merayap bangun dan meringis karena pantatnya terasa nyeri ketika dia terbanting tadi. Mulai marahlah dia, juga malu sekali. Jelas bahwa dalam dua jurus tadi, dia sudah dua kali jatuh!

Melihat lelaki ini sudah memasang kuda-kuda lagi dengan mata menjadi agak kemerahan tanda marah, Kim Seng Siocia tertawa dan berkata, "Kau keras kepala juga, ha-ha. Jaga ini jurus ke tiga!"

Kim Seng Siocia yang hanya ingin main-main, secara sembarangan menggerakkan lagi tangan kirinya menampar, bahkan yang menampar bukan tangan melainkan ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar. Sekali ini Marcus sudah tahu bahwa lawannya sangat lihai, maka dia menangkis dengan tangan kanan akan tetapi mendahului dengan tangan kirinya menghantam ke arah dagu wanita itu dengan sebuah pukulan ‘uppercut’.

"Plak-plak... desss...!"

Cepat sekali gerakan tangan wanita itu sehingga tidak terlihat oleh Marcus yang menjadi keheranan akan tetapi segera dia mengaduh-aduh karena tahu-tahu dia sudah terbanting lebih keras dari pada tadi! Dia hanya merasa betapa siku lengannya yang memukul tadi disambar dari samping, kemudian tubuhnya terbanting tanpa dapat ditahannya lagi. Dia merasa penasaran bukan main.

Benarkah dia, Marcus si jago tinju, sama sekali tak berdaya menghadapi seorang wanita yang begini gendut? Benar-benar memalukan sekali! Dia mendengus, meloncat bangun dan memandang dengan mata merah, kedua tangannya terkepal dan dia sudah siap lagi menghadapi serangan.

"Hi-hi-hik, kau masih berani? Baiklah, masih tersisa dua jurus lagi dan awas, aku akan menggunakan dua jurus itu. Siap!"

Tubuh yang gendut itu bergerak maju. Marcus sudah siap. Dia tidak mau membiarkan wanita itu mendahuluinya karena kini dia mengerti bahwa betapa pun gendutnya wanita itu dapat menggerakkan kedua kaki tangan dengan cepat sekali. Maka dia tidak menanti sampai diserang, melainkan mendahuluinya menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah perut yang gendut itu. Dapat dibayangkan betapa herannya melihat wanita itu sama sekali tidak menangkis, bahkan tidak mengelak.

"Crotttt…!"

Marcus merasa betapa kepalannya bertemu dengan benda lunak dan kepalannya itu lalu menancap sampai ke pergelangan tangannya. Celaka, pikirnya, aku telah membunuhnya ketika melihat kepalan tangannya ‘masuk’ ke dalam perut gendut itu.

Akan tetapi, Kim Seng Siocia tertawa dan Marcus yang amat kaget itu menarik kembali kepalannya. Akan tetapi sia-sia, kepalan tangannya yang menancap di perut itu tidak bisa dicabutnya kembali! Dia menjadi bingung, malu, marah, juga penasaran sekali. Tangan kirinya mencengkeram ke depan, ke arah muka wanita itu. Akan tetapi Kim Seng Siocia menangkap tangan kiri itu, kemudian berseru,

"Naiklah!" dan... tubuh Marcus telah dilontarkan ke atas.

Markus memekik ngeri ketika tubuhnya meluncur seperti sebutir peluru pistol ke atas dan cepat-cepat dia merangkul balok melintang ketika tubuhnya menabrak itu. Dengan tubuh gemetar dia memandang ke bawah, melihat betapa Kim Seng Siocia tertawa dan berkata,

"Hayo turunlah! Apakah kau masih belum mengaku kalah?"

Kini maklumlah Marcus bahwa kepandaian wanita itu benar-benar hebat sekali. Kiranya belum tentu kalah oleh Legaspi Selado sendiri. Betapa bodohnya sudah melawan wanita sepandai itu.

"Aku... aku mengaku kalah...," katanya dengan ngeri melihat betapa tingginya tempat dia berada.

"Dan kau mau menjadi selirku?"

"Ya... ya, aku mau..."

"Dan mau juga menjadi muridku?"

"Aku mau, aku suka sekali..."

"Kalau begitu lekaslah meloncat turun. Mau apa lama-lama di situ?"

Tubuh Marcus gemetar. "Lon... loncat...? Kakiku bisa patah..."

"Haiii, manusia tolol!" Amoi memaki sambil menudingkan telunjuknya ke atas. "Kau bilang mau menjadi selir dan murid mengapa tidak mentaati perintah? Kalau Siocia bilang turun, turunlah!"

Marcus maklum akan kekeliruannya. Wanita gendut yang lihai ini hendak mengambilnya menjadi kekasih dan murid, tentu saja kalau dapat melontarkannya ke atas, dapat pula melindunginya apa bila dia meloncat turun. Maka sambil memejamkan matanya, dengan nekat dia meloncat ke bawah!

Ketika merasa bahwa tidak ada orang menyambutnya, Marcus membuka matanya dan dia berteriak ngeri melihat tubuhnya meluncur ke arah lantai marmer dengan kepala lebih dahulu! Akan tetapi, ketika hidungnya yang panjang itu hampir menyentuh lantai, tiba-tiba tubuhnya terhenti dan ternyata bahwa tangan kiri yang kuat dari Kim Seng Siocia sudah mencengkeram baju di punggungnya, kemudian mendorongnya berdiri.

"Berlututlah, Marcus."

Mendengar perintah ini Marcus lalu menjatuhkan diri berlutut di depan wanita gendut itu. Kim Seng Siocia tersenyum lebar dan memberi isyarat dengan tangannya kepada para penjaga untuk mengundurkan diri, kemudian berkata kepada Amoi dan Acui,

"Sediakan air pencuci kaki lalu pergilah kalian keluar."

Amoi dan Acui mengangguk, cepat menyediakan sebuah bokor emas berisi air hangat berikut kain bulu yang halus, menaruhnya di dekat kursi yang seperti pembaringan itu, lalu sambil tersenyum-senyum dan melirik ke arah Marcus yang masih berlutut itu mereka keluar dari kamar, menutupkan daun pintu ruangan itu dari luar.

"Marcus, kau cucilah kakiku," kata Kim Seng Siocia sambil merebahkan diri di atas kursi yang panjang dan lebar itu.

Marcus tidak merasa terhina lagi. Apa pun yang diperintahkan wanita ini, tidak ada orang lain yang menyaksikannya. Pula, dia sudah yakin bahwa wanita ini, betapa pun anehnya, adalah seorang yang mempunyai kesaktian hebat, menjadi kekasihnya dan juga muridnya merupakan hal yang amat menguntungkan baginya.

Maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mengambil bokor air hangat, menghampiri nona gendut itu, menggunakan kain bulu yang dicelup di air untuk membersihkan kaki nona ini. Bukan itu saja, bahkan pemuda yang cerdik ini mulai mempergunakan ‘kepandaiannya’ merayu wanita, sambil membersihkan dia memijati dan membelai kaki itu yang biar pun bentuknya besar namun cukup bersih, padat dan menggairahkan sehingga Kim Seng Siocia merasa nikmat dan merem melek di atas kursinya.

"Aihh, Marcus... kau menyenangkan hatiku. Mari... marilah kau layani aku baik-baik, kau akan kuajari ilmu yang akan membuat kau benar-benar menjadi seorang jantan." Wanita itu turun dari kursinya, menggandeng tangan Marcus diajak memasuki kamarnya yang mewah dan indah.

Diam-diam Hong Ing yang mukanya berubah menjadi merah saking jengah menyaksikan pemandangan tadi, menjadi lega hatinya melihat mereka memasuki kamar, maka cepat keluar dari balik tirai dan pergi dari tempat itu. Makin ngeri dia memikirkan keadaan Kim Seng Siocia dan anak buahhya, apa lagi ketika mendengar betapa lima orang pria anak buah Marcus itu dikeroyok serta dipaksa bermain cinta oleh puluhan orang wanita yang sudah seperti gila itu! Dia bergidik, akan tetapi betapa pun muak hatinya, dia masih belum berani melarikan diri karena di situ terdapat Acui dan Amoi yang amat lihai.

Hong Ing memasuki ruangan tempat duduk Kim Seng Siocia dengan hati berdebar. Entah kenapa hatinya merasa tidak enak ketika malam hari itu Kim Seng Siocka memanggilnya dan yang disuruh memanggil adalah Acui dan Amoi yang kini mengikutinya dari belakang.

Ketika dia masuk ruangan dan melihat Marcus duduk di samping wanita gendut itu, Hong Ing menghentikan langkahnya. Akan tetapi Acui dan Amoi mendorongnya dari belakang. Hong Ing cepat menarik turun penutup kepalanya sehingga mukanya terlindung.

"Siocia memanggil pinni?" tanyanya sambil berdiri di depan wanita itu.

"Bukalah kerudungmu, perlihatkan mukamu," berkata Kim Seng Siocia, suaranya berbeda dari biasanya, kereng dan penuh wibawa.

"Tapi... tapi Siocia, ada seorang pria di sini," Hong Ing membantah.

"Marcus? Hi-hi-hik, dia adalah orang sendiri, bukan orang luar. Hayo bukalah!"

Karena maklum bahwa menolak amatlah berbahaya, maka Hong Ing terpaksa membuka kerudungnya dengan harapan bahwa Marcus sudah lupa kepadanya. Akan tetapi begitu kerudung dibuka, terdangar suara Marcus,

"Benar dia! Nikouw cantik yang menolong Yap Kun Liong! Dia mata-mata!"

Tentu saja Hong Ing terkejut bukan main. Andai kata Marcus tidak menjadi kekasih Kim Seng Siocia, hal itu masih mending karena tidak ada hubungannya dengan wanita gendut itu.

"Siocia, cocok sekali ceritaku. Dialah sekutu Yap Kun Liong dan kalau dia berada di sini, tentu dia tahu di mana adanya Kun Liong. Kita harus dapat menangkapnya," kata pula Marcus.

"Hemm, tapi aku tidak begitu tertarik dengan ceritamu mengenai bokor emas yang dapat menunjukkan tempat harta pusaka. Aku sudah mempunyai cukup harta," Kim Seng Siocia membantah.

"Tetapi, di samping harta, masih ada pusaka yang mengandung ilmu yang mukjijat, begitu dikatakan orang, bahkan belum lama Tok-jiauw Lo-mo bersamaku berusaha menyelidiki."

"Siapa? Tok-jiauw Lo-mo murid Thian-ong Lo-mo?" Wanita itu kelihatan kaget.

"Aihh, jadi Siocia mengenalnya?"

"Tidak, akan tetapi aku sudah pernah mendengar tentang nama Thian-ong Lo-mo di kaki pegunungan ini. Kalau kakek seperti dia juga memperebutkan bokor, agaknya memang patut diperhatikan."

"Tentu saja dia juga ikut memperebutkan. Bahkan dia sudah bersekutu dengan Kwi-eng Niocu yang telah tewas di tangan Yap Kun Liong itu..."

"Apa? Demikian lihai Yap Kun Liong itu?"

"Lihai sekali, Siocia. Bahkan kabarnya dia mengalahkan banyak tokoh, biar pun dia tidak pernah bersungguh-sungguh. Bocah itu aneh dan dulu kami telah berhasil menangkapnya dengan jalan meracuninya, akan tetapi dia diselamatkan oleh nikouw cantik ini!"

Kim Seng Siocia kini memandang Hong Ing penuh perhatian. "Benarkah ceritanya itu, Pek Nikouw?"

Hong Ing tidak dapat membohong, maka dengan tenang dia menjawab, "Pinni tidak tahu menahu tentang bokor dan sebagainya, yang pinni tahu hanyalah bahwa pinni memang telah menolong seorang pemuda yang menjadi tawanan, pemuda yang terkena racun..."

"Di mana dia Yap Kun Liong itu?" Marcus membentak.

TIBA-TIBA saja terdengar suara laki-laki yang nyaring sekali dari luar istana, suara yang menggetar dan menggema di seluruh puncak. "Apakah di sini tempat tinggalnya Go-bi Sin-kouw? Aku minta agar Sin-kouw suka keluar dan kita bicara tentang Pek Hong Ing..."

Semua orang terkejut. Orang yang bicara itu telah berada di depan istana! Mana mungkin ada orang datang tanpa diketahui oleh para penjaga? Akan tetapi yang paling terkejut adalah Hong Ing. Terkejut dan juga girang mendengar suara itu, suara Kun Liong!

"Kun Liong...!" Dia berseru dan meloncat hendak keluar. Akan tetapi, Acui dan Amoi telah menghadangnya dan dua orang pelayan yang lihai itu sudah menggerakkan tangan untuk menangkapnya.

Hong Ing sudah siap, ketika hendak meloncat tadi, dan karena maklum akan kelihaian dua orang itu, maka dia sudah mendahului, mengirim tendangan kilat sekaligus menotok. Tendangan mengarah pusar Amoi sedangkan totokannya ditujukan ke arah pundak Acui. Gerakannya sungguh tidak terduga dan cepat sekali, maka Amoi hanya dapat miringkan tubuh dan pahanya masih kena tendangan, ada pun jari tangan Hong Ing dapat menotok tepat di pundak Acui.

"Buukkk! Cuussss!"

Tubuh Amoi yang terkena tendangan itu hanya terhuyung sedikit, sedangkan Acui juga hanya melangkah mundur dan sama sekali tak terpengaruh totokan yang hanya membuat tubuhnya tergetar. Tetapi detik ini sudah cukup bagi Hong Ing untuk meloncat dari tempat itu menuju keluar.

"Wuuuiiiit... brusss!"

Tubuh Hong Ing tergelimpang kena disambar oleh angin pukulan dahsyat dari samping yang dilancarkan oleh tangan Kim Seng Siocia! Hong Ing terkejut sekali, akan tetapi pada saat itu, Acui dan Amoi sudah menubruk dan menangkapnya.

"Ikat dia!" Kim Seng Siocia membentak dan Amoi segera mengikat kedua tangan Hong Ing ke belakang, menggunakan tali yang ulet itu, tali yang dapat mulur seperti karet.

"Kun Liong...!" Hong Ing berseru nyaring, akan tetapi hanya satu kali itu karena lehernya sudah ditotok oleh jari tangan Acui yang lihai sehingga dia menjadi gagu!

"Hong Ing...! Di mana kau...?" Kun Liong berteriak girang ketika mendengar suara dara yang dikhawatirkannya itu.

Akan tetapi mendadak tampak berkelebatnya bayangan banyak orang dan tahu-tahu dia telah dikurung oleh puluhan orang gadis yang memegang bermacam-macam senjata! Kun Liong mencari akal, akan tetapi semua gadis itu tidak dikenalnya, bahkan Lauw Kim In yang diduganya tentu akan muncul malah tidak nampak juga. Melihat sikap mereka yang penuh ancaman, dan mereka makin mengurung rapat, Kun Liong berseru,

"Haiiii! Kalian ini mau apa? Aku hendak berjumpa dengan Go-bi Sin-kouw untuk bicara tentang muridnya! Mundurlah kalian!"

Akan tetapi, para gadis itu tidak mundur bahkan kini makin banyak yang datang dan ada pula yang membawa obor sehingga keadaan di situ menjadi terang sekali. Acui dan Amoi muncul pula, diikuti oleh Marcus.

"Di sini tak ada Go-bi Sin-kouw, yang ada hanya Siocia kami yang menantimu di dalam." kata Amoi sambil tersenyum manis. "Hwesio muda yang tampan, kau menyerahlah untuk kami hadapkan kepada Siocia!"

"Amoi, hati-hati! Dia bukan hwesio dan dia lihai sekali!" kata Marcus.

Ketika Kun Liong mengangkat muka memandang, dia mengenal Marcus dan dia tertawa. "Ahh, kiranya Tuan Marcus yang berdiri di balik ini semua. Dahulu engkau menggunakan tentara pemerintah, sekarang engkau mempergunakan tentara wanita. Sungguh kau licik sekali, Marcus. Lebih baik kalian lekas bebaskan nona Pek Hong Ing yang suaranya tadi telah kudengar, dan kami berdua akan pergi dari sini dengan aman karena memang tidak ada permusuhan di antara kita."

"Tangkap dia! Tetapi jangan membunuhnya!" Marcus berseru dan wanita-wanita itu yang maklum bahwa tentu perintah Marcus ini sudah disetujui oleh Siocia, lalu mulai menyerbu ke depan. Apa lagi yang disuruh tangkap adalah seorang pemuda tampan sungguh pun kepalanya gundul, maka mereka sudah menyarungkan senjata masing-masing, kemudian sambil terkekeh genit mereka menyerbu seperti berebut.

Melihat tangan yang berjari-jari halus runcing itu, lengan yang bulat dan padat demikian banyaknya hendak meraihnya, Kun Liong jadi bergidik. Betapa pun bagusnya tangan dan lengan itu, kalau terlalu banyak menimbulkan jijik dan ngeri juga! Dia cepat meloncat ke sana-sini untuk menghindar sambil berteriak-teriak,

"Aku tidak sudi berkelahi dengan kalian! Aku tidak sudi berkelahi dengan wanita!"


Cerita Silat Online Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo


Namun tentu saja teriakan-teriakannya tidak dihiraukan, bahkan sekarang para wanita itu semakin penuh gairah mengejarnya ke mana pun juga. Ditubruk sana sini, dirangkul dan dicengkeram sampai akhirnya ada beberapa jari tangan yang berhasil mengait bajunya sehingga baju itu robek di sana-sini.


"Kalian menjemukan! Pergilah!" Kun Liong berseru dan mengisi kedua lengannya dengan tenaga sinkang kemudian mendorong ke kanan kiri, dan... robohlah enam orang wanita, terpelanting seperti dilanda angin badai yang kuat. Mereka menjerit kaget dan kini Acui dan Amoi yang baru percaya akan ucapan Marcus tadi bahwa pemuda gundul ini lihai.

"Aihh, kiranya kau mempunyai juga sedikit kepandaian!" kata Acui dan dara ini meloncat maju, tubuhnya melambung tinggi lantas dari atas tubuhnya menukik ke bawah, kedua tangan dibentuk seperti cakar setan, yang kiri mencengkeram ubun-ubun kepala gundul itu, yang kanan menotok jalan darah di pundak.

"Hemmm, ganas kau!" Kun Liong mencela dan segera dia memutar lengannya ke atas sambil mengerahkan tenaga.

"Bruuukkk...!"

Tubuh Acui terlempar dan hanya berkat keringanan tubuhnya yang lihai saja membuat Acui tidak sampai terbanting. Tentu saja dara ini terkejut bukan main, lalu dia menerjang lagi dibantu oleh Amoi. Melihat dua orang ini maju, maka para anak buah mereka hanya mengurung dengan ketat sambil berteriak-teriak dan tertawa-tawa karena mereka semua kagum dan suka kepada pemuda gundul yang lihai ini.

Kun Liong menjadi bingung dan gemas juga. Sebenarnya dia tidak senang kalau harus menggunakan kekerasan, apa lagi jika disuruh berkelahi dengan wanita-wanita muda itu! Akan tetapi, melihat betapa pukulan serta cengkeraman kedua orang gadis itu bukanlah serangan yang boleh dipandang ringan dan benar-benar berbahaya sekali, maka terpaksa dia mengelak dan kadang-kadang menangkis, bahkan di waktu menangkis, dia gunakan tenaga sinkang sehingga dua orang gadis itu berkali-kali terdorong mundur dan menjerit kesakitan ketika beradu lengan.

Mereka makin kagum dan juga terkejut. Acui memberi isyarat dan keduanya mencelat ke belakang, Amoi di belakang dan Acui di depan pemuda itu. Keduanya telah mengeluarkan tali hitam yang ulet dan panjang, dan di ujung tali-tali itu terdapat lingkaran lasso. Begitu kedua gadis itu menggerakkan tangan, terdengar bunyi bercuitan dan dua batang lasso itu meluncur seperti ular hidup menuju ke arah kepala Kun Liong!

Kun Liong maklum bahwa dia hendak ditangkap dengan lasso, maka kedua tangannya siap. Ketika merasa betapa angin telah meniup kepalanya, tanda bahwa dua tali itu sudah menyambar turun, secepat kilat kedua tangannya menangkap lasso dan dengan gerakan tiba-tiba dia menarik sambil mengerahkan tenaga.

"Aiihhhh...!" Acui dan Amoi menjerit berbareng karena tubuh mereka sudah terbawa oleh tali yang mereka pegang erat-erat, terbawa oleh tarikan Kun Liong hingga tubuh mereka melayang ke atas dan saling bertubrukan di atas.

Baiknya keduanya lihai sekali. Sambil melepaskan tali, mereka saling berpegang tangan, kemudian dengan meminjam tenaga masing-masing, keduanya sudah melayang turun ke depan Kun Liong. Wajah mereka agak pucat.

Kun Liong tersenyum tenang menghadapi mereka, lalu berkata. "Nona-nona harap sabar. Aku datang bukan untuk berkelahi, melainkan untuk minta kepada siapa pun yang sudah menahan Nona Pek Hong Ing agar supaya membebaskannya."

"Pergunakan senjata!" Acui yang merasa marah dan penasaran membentak.

"Sing-sing-sing! Wuuuttt!"

Di antara sinar obor, tampak kilatan banyak senjata yang tercabut.

"Jangan...! Jangan bunuh dia... tangkap saja...!" Marcus berseru, tapi agaknya seruannya tidak dihiraukan oleh Acui, Amoi, dan anak buah mereka.

Selagi para pengurung itu bergerak dengan senjata di tangan dan mengelilingi Kun Liong yang makin bingung dan siap untuk menyelamatkan diri, tiba-tiba saja pintu depan istana terbuka dan terdengar seruan halus, "Tahan dan mundur semua!"

Suara ini berpengaruh sekali karena semua wanita itu serentak mundur dan membiarkan Kun Liong menghadapi orang yang baru datang, seorang wanita gemuk yang bermuka ramah dan tersenyum.

Melihat wajah orang, Kun Liong menjadi lega dan cepat dia menjura. "Aku Yap Kun Liong mohon agar dapat bertemu dengan Nona Pek Hong Ing..."

Akan tetapi wanita gemuk itu, yang bukan lain adalah Kim Seng Siocia, tidak menjawab, melainkan tetap tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar dan pandang matanya tajam menjelajahi seluruh tubuh Kun Liong, dari sepatunya yang berdebu sampai kepalanya yang gundul kelimis dan berkeringat. Dipandang seperti itu, Kun Liong merasa malu dan hanya menunduk, akan tetapi matanya diangkat untuk melihat serta mengawasi setiap gerak-gerik orang ini.

"Engkau bukan hwesio?" tiba-tiba Kim Seng Siocia bertanya.

Pertanyaan macam ini sudah terbiasa oleh Kun Liong, maka dia tidak banyak rewel dan menggelengkan kepalanya yang gundul mengkilap terkena sinar obor yang banyak itu.

"Mengapa kepalamu gundul?" kembali Kim Seng Siocia bertanya.

"Terkena penyakit!" jawab Kun Liong tak acuh dan jelas dia mulai kelihatan mendongkol karena kembali kepalanya yang dijadikan persoalan dan bahan percakapan pada saat yang genting itu.

Kim Seng Siocia agaknya merasa pula bahwa pemuda itu marah, maka dia memperlebar senyumnya. "Aku suka kepala gundul, bersih dan lain dari pada yang lain!"

Biar pun ucapan ini dikeluarkan dengan kesungguhan hati, namun tetap saja menambah kemengkalan hati Kun Liong. Apakah tidak ada lain ‘acara’ lagi selain berbicara tentang kepalanya?

"Toanio siapakah?" dia bertanya untuk mengalihkan percakapan.

"Hishhh, jangan menyebutku Toanio (Nyonya Besar). Aku masih perawan..., ehhh…, aku belum menikah, aku masih Siocia (Nona), hi-hik!"

Kun Liong mengkirik. Bulu tengkuknya meremang karena dia melihat sesuatu yang tidak wajar dan aneh dalam sikap dan kata-kata ‘nona’ gemuk itu.

"Baiklah. Siapakah Siocia?"

"Aku? Aku disebut Kim Seng Siocia, dan kalau aku sudah kawin kelak, tentu saja sebutan nona harus diganti dengan nyonya besar."

"Sekali lagi aku berharap agar Siocia tidak salah menduga tentang kedatanganku ke sini, sama sekali bukan untuk berkelahi apa lagi mencari musuh. Aku datang untuk bertemu dengan Nona Pek Hohg Ing."

"Tidak ada Nona Pek Hong Ing di sini, yang ada hanya Pek Nikouw."

Berseri wajah Kun Liong. Kalau begitu tidak salah lagi. Hong Ing berada di sini!

"Benar, dialah yang kumaksudkan!" jawabnya penuh gairah dan penuh harapan.

Akan tetapi dia terkejut melihat betapa wajah gemuk yang tadinya berseri dan ramah itu kini cemberut, sepasang mata yang lebar itu melotot dan suaranya nyaring mengandung kemarahan, "Apamukah dia itu?"

"Bukan apa-apa, hanya sahabat biasa..."

"Apa dia kekasihmu?"

Kun Liong terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba yang seperti serangan mendadak ini, "Tidak... tidak, dia seorang nikouw, tidakkah Siocia sudah tahu?"

"Hemm, dia nikouw atau tidak, apa bedanya? Dia tetap wanita dan kau laki-laki!"

Alis Kun Liong berkerut tak senang. Nona gendut ini sama saja dengan Lauw Kim In, suci dari Hong Ing, pikirannya kotor penuh prasangka buruk!

"Sekali lagi aku menyatakan bahwa Nona Pek Hong Ing atau Pek Nikouw adalah sahabat baikku dan aku ingin bertemu dengannya. Terserah prasangka Siocia, yang penting aku minta bertemu dengan dia."

Kun Liong lalu memandang ke arah dalam istana kemudian berteriak nyaring. "Hong Ing, keluarlah kau menemuiku! Aku Yap Kun Liong, sengaja datang mencarimu!"

Akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam dan Kim Seng Siocia tertawa. "Dia tidak akan menjawab sebelum aku menghendakinya. Ehh, Kun Liong, apakah kau tidak mempunyai kekasih atau tunangan?"

Kun Liong sangat terkejut dan memandang dengan bengong, mukanya berubah merah. Pertanyaan apakah ini? Akan tetapi melihat betapa pertanyaan itu diajukan dengan sikap sungguh-sungguh, dia menjawab juga,

"Tidak!" sambil menggelengkan kepalanya yang gundul.

"Jadi engkau belum kawin?"

Kun Liong makin bingung. Mengapa Siocia gendut ini demikian ugal-ugalan? Kembali dia menggelengkan kepala dan berkata, "Belum!"

Setelah itu, dia melangkah maju kemudian berkata, "Kim Seng Siocia, kalau kau tidak memperbolehkan Nona Pek Hong Ing keluar menemuiku, biarlah aku mencari sendiri ke dalam!" Dia lalu meloncat ke depan.

"Bresss! Dukkk!"

Tubuh Kun Liong terguling karena kakinya dijegal (dikait) oleh kaki Kim Seng Siocia dan nona itu tertawa bergelak. "Hi-hik, heh-heh-heh, tidak boleh. Kau harus melayaniku lebih dahulu, hendak kuuji sampai di mana tingkat kepandaianmu. Melihat kau dikeroyok tadi, agaknya engkau mempunyai kepandaian yang lumayan. Siapa tahu engkaulah orangnya yang kutunggu-tunggu dan kini datang atas kekuatan doa Pek Nikouw. Hi-hik! Sambutlah ini!" Kim Seng Siocia sudah menyerang Kun Liong dengan dahsyat sekali!

Kun Liong tadi terguling karena dia sama sekali tidak mengira bahwa nona gendut itu mau menjegalnya. Maka dengan penasaran dia sudah meloncat bangun dan kini menghadapi serangan nona itu, dia benar-benar merasa kaget sekali. Nona gendut itu ternyata dapat bergerak cepat bukan main, dan dari kedua lengan bajunya yang lebar itu menyambar angin pukulan yang amat kuat!

"Plak-plak-plak!" Tiga kali Kun Liong menangkis dan terpaksa dia mengerahkan tenaga sinkang-nya agar tidak terluka oleh hawa pukulan yang dahsyat itu.

"Aihhh... hik-hik-hik, benar saja, kau hebat!" Kim Sim Siocia tertawa ketika tangkisan itu berhasil menggempur kuda-kudanya dan membuat tubuhnya condong ke belakang, tanda bahwa dia masih tidak mampu menandingi kekuatan sinkang pemuda itu!

Akan tetapi dia menyerang terus, sekarang menggunakan ujung kedua lengan bajunya mengirim totokan-totokan ke arah jalan darah di seluruh tubuh Kun Liong dan gerakannya cepat bukan main, ilmu silatnya aneh, kadang-kadang malah kelihatan lamban dan lambat sekali seperti seekor gajah mencoba untuk mencari-nari!

Namun Kun Liong terkejut bukan main. Di luar persangkaannya, nona gemuk ini adalah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa dan memiliki tenaga sinkang sangat kuat, serta gerakannya terlalu cepat dibandingkan dengan tubuhnya yang begitu gendut. Tentu saja Hong Ing bukanlah lawan wanita ini dan dia mulai khawatir karena mengira bahwa tentu Hong Ing menjadi seorang tawanan di tempat ini.

Lagi pula dia kini mulai mengerti bahwa dia telah tersesat, bukan berada di tempat tinggal Go-bi Sin-kouw melainkan di tempat tinggal golongan lain yang dipimpin oleh nona gendut yang lihai ini, sungguh pun kesalahannya ini malah kebetulan karena ternyata Hong Ing juga berada di tempat asing ini!

Dia tentu saja tidak ada niat untuk memukul atau melukai wanita gemuk ini, karena sama sekali tidak ada urusan dan juga tidak ada permusuhan dengannya. Akan tetapi karena serangan-serangan wanita itu benar-benar luar biasa sekali dan amat berbahaya, maka dia terpaksa harus melindungi dirinya. Karena itu dia lalu mainkan Im-yang Sin-kun dan menggunakan pukulan Pek-in-ciang untuk menghadapi serangan dahsyat lawannya.

Melihat cara bersilat pemuda ini dan merasakan betapa lengannya beberapa kali tergetar hebat apa bila bertemu dengan lengan lawan, Kim Seng Siocia berkali-kali mengeluarkan seruan kaget, heran, dan juga gembira sekali!

"Kau hebat... ahh, kau hebat...!" Dia berseru memuji dengan pandang mata penuh kagum dan girang.

Agaknya nona gendut itu masih belum puas dan dia mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan semua ilmu silatnya yang aneh-aneh. Hampir saja Kun Liong kena diakali seperti Hong Ing melawan Amoi dan roboh oleh ilmu silat Amoi yang aneh.

Apa lagi Kim Seng Siocia yang menjadi ‘guru’ Amoi, bukan main aneh dan hebatnya ilmu silatnya. Ada kalanya Kim Seng Siocia mencekik leher sendiri sampai matanya mendelik dan lidahnya keluar, hal ini dilakukan di tengah pertandingan itu.

Tentu saja Kun Liong sangat terkejut dan cepat menubruk maju untuk mencegah nona yang kelihatannya seperti hendak membunuh diri itu! Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba kedua tangan nona itu bergerak menotoknya, menotok dua jalan darahnya yang dapat membuat dia lumpuh!

Namun, dengan hawa sakti yang timbul karena ilmunya Thi-khi I-beng, totokan-totokan yang tepat mengenai jalan darah itu ‘hanyut’ dan tidak membekas sehingga Kim Seng Siocia terkejut sekali.

"Hong Ing...!" Kun Liong memanggil lagi sambil meninggalkan lawan meloncat ke dalam.

"Aduh mati aku...!" Tiba-tiba nona gendut itu berteriak dan terguling!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kun Liong melihat tubuh gendut itu terguling dan dari mulut nona itu menyembur darah segar. Dia tidak merasa memukul, akan tetapi jelas nona itu muntah darah.

"Eihh, kenapa kau, Siocia?" Hatinya yang penuh kelembutan itu merasa tidak tega dan dia meloncat kembali menghampiri Kim Seng Siocia.

Tiba-tiba terdengar nona itu terkekeh dan tubuhnya sudah meloncat dengan sigapnya, mendahului Kun Liong memasuki istananya!

"Ihhh... penipu!" Kun Liong berseru marah dan mengejar dengan khawatir. Tahulah dia bahwa nona gendut itu tadi sengaja menipunya dan entah bagaimana dapat muntahkan darah seperti itu, untuk mencegahnya memasuki istana lebih dulu.

Kekhawatirannya terbukti ketika dia memasuki ruangan yang besar itu. Hong Ing dalam keadaan terikat kedua lengannya ke belakang, berdiri di dekat kursi besar sedangkan Kim Seng Siocia memegangi tali panjang sisa pengikatnya dan memegang tengkuk Hong Ing sambil tersenyum manis memandang Kun Liong yang melangkah masuk.

"Kun Liong...!" Hong Ing berkata lemah sesudah melihat pemuda itu. Totokan yang tadi membuatnya gagu telah dibebaskan akan tetapi dia hanya mampu mengeluarkan suara lemah setelah sekian lamanya gagu.

"Hong Ing...!" Kun Liong berseru penuh kemarahan. Namun hatinya menjadi lega melihat bahwa Hong Ing masih hidup. Dia berpaling kepada Kim Seng Siocia, dan berkata,

"Kim Seng Siocia, kenapa engkau menawan Pek Hong Ing? Apakah kesalahannya maka engkau menawannya?"

"HI-hik, kesalahannya banyak, tapi tidak perlu dibicarakan. Yang penting sekarang adalah membicarakan urusan antara kita! Sahabatmu, Pek Nikouw ini sudah berdoa supaya aku bisa lekas dapat jodoh dan ternyata doanya terkabul hari ini! Engkau datang dan engkau memenuhi semua syarat untuk menjadi suamiku."

Kun Liong melongo, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. "A... apa...?"

"Hi-hik! Aku hanya mau menjadi isteri seorang pemuda tampan dan gagah yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan kau ganteng, biar kepalamu gundul tapi kau tampan dan aku suka padamu, aku cinta padamu. Kau adalah calon suamiku!"

"Tidak!" Kun Liong berseru marah, mukanya menjadi merah sekali. "Aku tak akan menjadi suami siapa pun juga! Lebih baik kau lepaskan Hong Ing!" katanya pula mengancam.

"Eiiit-eiiittt... jangan bergerak! Kalau kau bergerak, lebih dahulu aku akan membunuh Pek Nikouw!" Jari-jari tangan wanita itu mengancam tengkuk Hong Ing maka lemaslah tubuh Kun Liong karena dia maklum bahwa sekali jari tangan itu bergerak, tentu akan tewaslah Hong Ing!

"Kim Seng Siocia, apakah kehendakmu?"

"Engkau harus menyerah dan menjadi suamiku. Kalau kau menyerah, barulah aku akan membebaskan Pek Nikouw. Betapa pun juga, jika kau menjadi suamiku, berarti dia telah berjasa. Aku tidak akan mengganggunya, hi-hik. Tetapi kalau kau melawan, dia akan mati lebih dulu!"

Kun Liong memutar otaknya. Betapa pun cepat dia bergerak, tidak mungkin dia mampu mendahului tangan yang sudah menempel di tengkuk Hong Ing itu, maka dia sama sekali tidak berdaya.

"Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi kau berjanjilah dulu tidak akan mengganggu dia dan akan membebaskannya."

"Tentu saja, aku berjanji. Acui dan Amoi, ikat dia dulu!"

Sambil tersenyum-senyum dua orang pelayan yang cantik dan lihai itu lalu menghampiri Kun Liong dan mengikat kedua lengan Kun Liong ke belakang tubuhnya.

"Kun Liong! Jangan mau tertipu...!" Tiba-tiba Hong Ing berteriak.

Akan tetapi karena Kun Liong sudah dibelenggu, pemuda itu tidak dapat berbuat sesuatu, apa lagi karena dia memang tidak berani bergerak, takut kalau-kalau Hong Ing dibunuh oleh Kim Seng Siocia yang aneh itu.

"Hi-hi-hik, nikouw lancang. Siapa yang mau menipunya? Aku bahkan mau mengambilnya sebagai suami, dan engkau adalah pendetanya yang akan memberkati dan berdoa untuk kami suami isteri, sepasang pengantin baru. Hi-hi-hik!" Kim Seng Siocia tertawa-tawa dan sudah tidak ‘menodong’ Hong Ing lagi karena melihat bahwa Kun Liong telah terbelenggu erat-erat.

"Kun Liong...!" Hong Ing yang merasa tidak diancam lagi, melihat Kun Liong dibelenggu, lalu berlari menghampiri pemuda itu. "Kun Liong, selagi masih ada kesempatan, larilah. Jangan kau hiraukan aku. Kau terjebak, di sini ada Marcus..."

Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan Marcus muncul dari pintu samping. Kim Seng Siocia sudah mencelat dari tempat duduknya, dengan cepatnya dia menggunakan sisa tali pengikat Hong Ing yang masih panjang untuk dilibat-libatkan di tubuh Kun Liong dan Hong Ing hingga kedua orang ini sekarang diikat menjadi satu, saling membelakangi. Keadaan ini membuat mereka tak dapat berkutik lagi!

Kun Liong terkejut pada saat melihat Marcus, akan tetapi dia bersikap tenang saja karena betapa pun juga dia kini harus mengalah untuk menyelamatkan Hong Ing yang tadi sudah terancam. Sekarang, dia berusaha melepaskan diri dari belenggu secara diam-diam, akan tetapi terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa tali yang mengikat mereka itu tak mungkin dapat dipatahkan karena mulur dan ulet seperti karet. Maka dia tenang kembali dan ingin melihat perkembangan keadaan sambil menanti terbukanya kesempatan untuk menolong Hong Ing.

Maka dia lalu berkata lirih dan jari tangannya menyentuh serta memberi isyarat kepada lengan dara itu yang menempel pada lengannya sendiri. "Tenanglah, Hong Ing. Aku yakin bahwa Kim Seng Siocia tidak berniat buruk terhadap kita berdua."

"Tentu saja tidak, Kun Liong. Aku akan mengangkatmu menjadi suamiku, apakah itu niat buruk?" Nona gendut itu berteriak.

"Bagus sekali! Aku mengucapkan selamat, Siocia. Memang dia pantas menjadi suamimu, tampan, gagah dan... berharga sekali! Dan Pek Nikouw itu hanya seorang nikouw palsu, dia gadis cantik dan... biarlah dia untuk aku saja," kata Marcus.

"Marcus, kubunuh kau kalau..." Kun Liong membentak, kemudian menoleh kepada Kim Seng Siocia yang sudah duduk lagi di atas kursi besar itu. "Siocia, kau telah berjanji akan membebaskan Hong Ing! Kalau kau melanggar janji dan berani menyerahkan Nona Pek Hong Ing kepada babi putih itu, sampai mati pun aku tak akan sudi menyerah kepadamu."

"Bocah gundul, kau masih banyak lagak, ya?" Marcus melangkah maju, hendak memukul kepala Kun Liong.

"Marcus, apakah kau sudah bosan hidup, berani hendak memukul calon suamiku? Hayo keluar kau dari sini!" Kim Seng Siocia membentak dan pemuda berkulit putih itu segera meninggalkan ruangan sambil bersungut-sungut tidak puas.

Setelah Marcus pergi, Kim Seng Siocia dengan muka ramah menuding kepada Kun Liong sambil berkata, "Yap Kun Liong, apakah engkau benar-benar telah menyerah kepadaku?"

"Kim Seng Siocia, buktinya aku tidak melakukan perlawanan."

"Bagus, kalau begitu, akan kupersiapkan pesta untuk upacara pernikahan kita dan..."

"Apa?!" Kun Liong bergerak-gerak sehingga Hong Ing turut terbawa. Keduanya terhuyung karena diikat menjadi satu seperti itu membuat kaki-kaki mereka amat sukar bergerak dan sedikit gerakan saja akan membuat mereka kehilangan keseimbangan tubuh.

"Kau bilang... pernikahan?"

"Hemmm, Yap Kun Liong, seorang laki-laki sejati tidak akan menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkannya. Engkau bilang menyerah, tapi..."

"Siocia! Menyerah dan menikah tidaklah sama! Aku hanya menyerah dan tidak melawan seperti kukatakan tadi, dan aku berjanji akan membebaskan Hong Ing."

"Kalau begitu, engkau tidak mau menjadi suamiku?" Mulut lebar yang tadinya tersenyum ramah itu, kini mewek seperti mau menangis.

"Siocia, maafkan aku. Aku tidak ingin menikah, tidak ingin menjadi suami siapa pun juga."

Sepasang mata wanita itu menyinarkan api kemarahan. "Begitukah? Kalau begitu, Pek Nikouw akan kusiksa sampai mati di depan matamu!"

Dia meloncat mendekat, menggunakan tali lain lagi untuk membelenggu kedua kaki Kun Liong, bahkan kini leher pemuda itu juga dikalungi tali dan tubuhnya dibelenggu erat-erat seperti seekor kerbau hendak disembelih, kemudian dibantu oleh Acui dan Amoi mereka bertiga memisahkan Hong Ing dan Kun Liong.

"Ambil cambukku!" bentaknya dengan marah.

Amoi segera berlari masuk, tak lama lagi keluar membawa sebatang cambuk hitam yang panjang. Cambuk itu kecil panjang mengerikan karena ujungnya dipasangi benda-benda kecil tajam meruncing!

"Tar-tar-tarrr…!" Cambuk itu meledak-ledak ketika diayun di atas kepala Kim Seng Siocia.

Hong Ing sudah memejamkan matanya, berdiri tegak dan siap menerima siksaan, siap pula menerima kematian. Dia tidak mau mendengar Kun Liong menerima menjadi suami wanita gendut itu. Lebih baik dia mati dari pada Kun Liong berkorban seperti itu!

"Siocia, tahan dulu...!" Kun Liong berteriak dengan dua mata terbelalak penuh kengerian membayangkan betapa kulit Hong Ing yang halus akan cabik-cabik digigit ujung cambuk mengerikan itu.

Cambuk yang sudah diputar-putar itu turun dan Kim Seng Siocia memandang Kun Liong dengan senyum simpul. "Kun Liong, tadi ketika aku bertanding denganmu, aku sengaja mengalah. Apa bila aku menggunakan cambukku ini, senjata maut yang kuandalkan, kau tak akan mampu menang. Akan tetapi mana aku tega melukaimu, kau calon suamiku!"

"Kim Seng Siocia, kau bebaskan Hong Ing dan aku menerima permintaanmu."

"Kun Liong, jangan!" Hong Ing menjerit dan mukanya merah sekali, terasa panas karena kemarahannya. "Biar pun aku dia bunuh, jangan kau penuhi permintaannya yang gila itu!"

Sesudah mengeluarkan kata-kata keras ini, diam-diam Hong Ing menjadi terheran-heran sendiri. Mengapa dia peduli amat apakah Kun Liong akan menjadi suami wanita itu atau tidak? Mengapa dia tidak rela melihat Kun Liong menjadi suami Kim Seng Siocia, bahkan dia lebih suka mati?

"Hong Ing, diamlah!" Kun Liong berkata, hatinya gelisah sekali sehingga dia sendiri pun tidak ingat lagi akan keanehan sikap Hong Ing. Satu-satunya yang penting bagi Kun Liong hanya menyelamatkan Hong Ing, dengan tebusan apa pun juga!

"Kau... kau mau menurut? Kau mau menjadi suamiku?"

Kun Liong menganggukkan kepalanya yang gundul ditambah kata-kata lirih, "Asal engkau membebaskan Hong Ing."

"Horeee...! Kau mau menjadi suamiku? Ha-ha-ha, yahuuuu...!" Kim Seng Siocia meloncat turun, menari-nari mengelilingi Kun Liong, lalu berhenti di depan pemuda itu, memegangi kepala Kun Liong, menariknya ke depan lalu...

"Cuuuppp...!" Kepala pemuda itu diciumnya sedemikian rupa sehingga Kun Liong merasa seolah-olah kepalanya dicap dengan besi panas!

"Terima kasih, calon suamiku! Acui, Amoi, persiapkan pesta untuk..."

"Siocia, aku menerima hanya dengan satu syarat, kalau tidak, biar kau membunuh kami berdua, aku tidak peduli lagi!"

"Wah-wah-wah, laki-laki kalau muda dan tampan, ada juga rewelnya, minta syarat segala macam. Anak bagus, syaratmu apakah? Tentu akan kupenuhi, jangan khawatir, Kim Seng Siocia adalah ratu di sini. Kau mau selir? Tinggal pilih! Acui ini yang cantik tenang, atau Amoi yang manis panas, atau jika memang kau kehendaki, kau boleh mengambil nikouw ini sebagai selirmu, seperti juga aku akan mengambil selir-selir yang kusukai. Mau harta benda? Sebut saja apa yang kau inginkan, tentu akan kupenuhi! Atau kau punya musuh? Akan kubantu kau sampai musuhmu hancur binasa. Kita suami isteri harus saling bantu membantu, bukan?"

Kun Liong menjadi muak mendengar ini, akan tetapi dia bersikap tenang dan berkata sungguh-sungguh, "Bukan itu semua. Syaratku yang terutama, nona Pek Hong Ing harus dibebaskan, dan ke dua, tidak perlu diadakan pesta dan pernikahan."

Kim Seng Siocia membelalakkan matanya. "Waaah, lha ini... ini bagaimana?"

"Pendeknya, kau terima atau tidak, aku tidak mau tawar-menawar lagi."

Kim Seng Siocia memutar biji matanya, lalu menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundaknya yang besar dan lebar. "Apa boleh buat, asalkan engkau suka menjadi suamiku. Aku pun punya syarat dan kalau engkau adil, engkau harus menerima syarat ini."

"Apa itu?" Kun Liong bertanya, hatinya tidak enak karena dia menduga bahwa di dalam sikapnya yang ketolol-tololan itu, wanita gendut ini agaknya cerdik sekali.

"Terlebih dulu engkau harus membuktikan kesanggupanmu menjadi suamiku, malam ini. Sementara itu, Pek Nikouw akan dijaga ketat oleh Acui dan Amoi. Kalau sedikit saja kau bergerak melawan, sekali aku berteriak, mereka akan membunuh Pek Nikouw dan aku akan menempurmu mati-matian dengan cambukku. Akan tetapi bila engkau benar-benar sudah membuktikan kemauanmu menjadi suamiku yang baik dan yang tercinta, barulah pada besok pagi dia kubebaskan!"

Kun Liong mengerutkan alisnya. Benar saja dugaannya. Perempuan ini cerdik sekali dan agaknya telah mencurigai dirinya. Memang dia tadi mengandung niatan hati bahwa sekali Hong Ing sudah bebas, sampai mati pun dia tidak mau ‘diperkosa’ atau dipaksa menjadi suami wanita ini diluar kehendak hatinya! Sekarang wanita itu telah menggunakan Hong Ing sebagai sandera!

Terpaksa dia mengangguk dan berbisik, "Baiklah, akan tetapi kau harus bersumpah tidak akan membohong bahwa besok pagi pasti akan membebaskan Hong Ing."

Sepasang mata itu melotot. "Yap Kun Liong, kau kira aku orang macam apa? Aku adalah pewaris dari Go-bi Thai-houw, sekali bicara tentu tak akan kulanggar sendiri!"

"Kun Liong, jangan percaya kepadanya!" Kembali Hong Ing berseru, hatinya panas sekali. "Aku tidak takut mati, jangan kau korbankan diri untukku!"

"Cusss!" Tangan Acui bergerak dan Hong Ing sudah menjadi gagu karena tertotok jalan darahnya di leher.

"Hi-hi-hik, bagus, Acui. Nah, Kun Liong, kalau kau banyak rewel, akan kusuruh Acui turun tangan membunuh Pek Nikouw. Aku berjanji akan membebaskannya besok pagi apa bila malam ini kau benar-benar dengan suka rela suka menjadi suamiku!"

Pucat wajah Kun Liong. Di dalam hatinya, tentu saja dia tidak sudi menjadi suami orang dengan paksaan seperti itu. Dia tidak sudi diperkosa wanita! Akan tetapi dia melihat jelas bahwa kalau dia menolak, tentu wanita gemuk yang aneh dan lihai ini tidak segan-segan untuk melaksanakan ancamannya, yaitu membunuh Hong Ing. Karena itu, dengan muka muram dan tubuh lesu dia mengangguk, "Baik, aku menyerah."

"Bawalah dia pergi dan siaplah kalian membunuhnya kalau Kun Liong main gila hendak melawan."

Acui dan Amoi mengangguk, kemudian mereka membawa Hong Ing yang terikat kuat itu pergi meninggalkan ruangan, diikuti oleh suara tawa Kim Sim Siocia yang kemudian turun dari kursinya, langsung dia melepaskan tali yang mengikat tubuh serta kedua lengan Kun Liong.

Pemuda gundul ini sudah tidak berdaya, tidak tahu harus bertindak bagaimana. Dia sudah dibebaskan dari belenggu, namun ada belenggu yang jauh lebih kuat dari pada tali-tali itu, yaitu Hong Ing yang dijadikan sandera dan dia tidak tahu ke mana dara itu dibawa. Tentu saja dia dapat memberontak dan melawan setelah tali itu terlepas dari kedua lengannya, akan tetapi hal itu sama artinya dengan membunuh Hong Ing!

"Suamiku yang baik, marilah kita berbincang di dalam kamarku, supaya kita dapat saling mengenal lebih baik lagi." Kim Seng Siocia tersenyum, menggandeng tangan Kun Liong dengan sikap mesra dan setengah menarik pemuda itu memasuki kamarnya yang megah dan mewah serta berbau harum. Kun Liong tidak berani membantah dan kedua kakinya menggigil karena dia merasa seakan-akan dia sudah menjadi seekor domba yang digiring memasuki tempat jagal di mana dia akan disembelih!

"Duduklah, Koko..." Kim Seng Siocia mempersilakan Kun Liong dengan suara merdu dan mengandung kemanjaan yang membuat Kun Liong merasa bulu tengkuknya meremang. Begitu mesranya wanita ini menyebutnya koko (kakanda)!

Dia tidak menjawab, hanya mengangguk dan duduk di atas sebuah bangku menghadapi meja yang terukir indah. Kim Seng Siocia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi pintu kamarnya, bertepuk tangan tiga kali. Muncullah dua orang wanita muda yang cantik, dua orang pelayan yang menggantikan Acui dan Amoi karena kedua orang pelayan kepala itu sedang membawa pergi Hong Ing.

"Sediakan makan minum yang paling istimewa untuk kami berdua. Cepat!"

Dua orang pelayan itu memberi hormat, meninggalkan kamar dan menutupkan daun pintu kamar perlahan-lahan dari luar.

"He-he-he, hatiku riang gembira bukan main, Koko. Inilah saat yang kunanti-nanti selama hidupku. Aku benar-benar bahagia sekali." Dia menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah bangku dekat Kun Liong dan pemuda ini dengan hati ngeri mendengar suara bangku itu menjerit saking beratnya beban yang menghimpitnya.

"Koko yang baik, engkau dari manakah dan siapa kedua orang tuamu? Kelak aku tentu ingin sekali bertemu dan menyampaikan hormatku kepada ayah dan ibu mertua."

Kun Liong bergidik. Aih, bagaimana akan sikap ayah bundanya andai kata mereka masih hidup dan melihat ‘anak mantunya’ ini? Mukanya menjadi merah sekali dan dia berkata, "Aku tidak mempunyai tempat tinggal dan ayah bundaku sudah meninggal dunia, Siocia."

"Emmm...!" Kim Seng Siocia membanting-banting kedua kaki di lantai dan menggoyang-goyang tubuhnya dengan sikap kemanjaan seorang anak kecil yang sedang ‘ngambek’. "Tidak mau ahh kalau begitu! Aku sudah menyebutmu Koko, mengapa kau masih terus menyebutku Siocia? Suami isteri harus lebih mesra sebutannya!"

Aduh manjanya! Kun Liong bengong dan ingin sekali menampar kepala gundulnya sendiri mengapa dia terpaksa harus melayani wanita seperti ini. Sudah tubuhnya seperti gajah, usianya tentu sudah tiga puluhan tahun, masih manja seperti seorang kanak-kanak, atau seperti seorang wanita cantik yang dipuja-puja seorang pria yang tergila-gila kepadanya! Bukan main!

Akan tetapi karena khawatir kalau-kalau wanita ini menjadi marah benar-benar, dia cepat berkata, "Baiklah, aku akan menurut, akan tetapi aku tidak tahu sebutan apa yang harus kupakai."

"Ihhh... hi-hik, suamiku masih bodoh! Ehh, kau tentu mesih perjaka tulen, ya? Hi-hik, kau sebut aku Moi-moi!"

Ampun! Demikian jerit hati Kun Liong. Pantas menjadi bibinya dan dia disuruh menyebut moi-moi (adinda)!

"Baiklah, Moi-moi!" Kun Liong mengucapkan sebutan ini dengan suara sumbang karena baru pertama kali itulah dia menyebut wanita dengan sebutan adinda!

Tiba-tiba Kim Seng Siocia menangis! Menangis terisak-isak dan memegang kedua tangan Kun Liong. Pemuda ini makin kaget dan heran, mengira bahwa dia tentu telah melakukan kesalahan lagi diluar pengetahuannya.

"Hu-huu-huuk... sungguh kasihan engkau, Koko... hu-huuk, dan sungguh sial sekali aku... belum apa-apa sudah kematian ayah dan ibu mertuaku..."

Disinggung mengenai kematian ayah bundanya, kalau dalam keadaan biasa tentu paling sedikit hati Kun Liong akan merasa terharu juga. Akan tetapi sikap wanita ini keterlaluan, pakai menangis segala! Hanya anehnya, wanita ini menangis sungguh-sungguh dan air matanya bercucuran, bukan dibuat-buat. Diam-diam Kun Liong merasa makin ngeri sebab menduga bahwa tentu ada gejala-gejala tidak beres pada otak wanita ini.

Oleh karena Kun Liong memang tidak mau berbicara banyak, akhirnya Kim Seng Siocia menceritakan semua riwayatnya sendiri kepada Kun Liong yang didengarkan oleh pemuda ini dengan penuh perhatian. Penuturan wanita itu begitu menarik hatinya sehingga dia tak mempedulikan dan tidak merasa lagi betapa telapak tangan Kim Seng Siocia yang besar itu kadang-kadang membelai tangannya dengan mesra, bahkan kadang kala tangan yang berjari besar itu merayap naik dan mengelus kepalanya yang gundul!

Memang cerita wanita itu amat menarik hatinya. Dia sudah pernah mendengar penuturan ibunya tentang seorang datuk wanita yang berjuluk Go-bi Thai-houw dan menurut ibunya memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, akan tetapi datuk ini adalah seorang yang miring otaknya.

Ibunya bercerita betapa datuk wanita gila itu telah menimbulkan kekacauan besar, bahkan hampir saja berhasil merusak kehidupan ayah bundanya sendiri dan kehidupan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, yaitu Sie Biauw Eng. Kemudian, berkat kesaktian Cia Keng Hong, akhirnya datuk wanita yang merupakan nenek iblis itu berhasil dibinasakan oleh Cia Keng Hong.

Dan sekarang Kim Seng Siocia mengaku bahwa dia merupakan bekas pelayan kecil dari Go-bi Thai-houw yang tersayang dan yang dijadikan ahli waris oleh nenek iblis itu!

"Thai-houw amat sayang kepadaku, Koko. Semua pusaka warisannya disimpan di sebuah tempat rahasia dan hanya aku yang diberi tahu. Oleh karena itu, hanya akulah yang dapat mewarisi kepandaiannya dan aku menjadi pemimpin di bekas istananya ini. Akan tetapi... u-hu-huuu... dia dibunuh mati orang, Koko!" Kembali Kim Seng Siocia menangis.

Kun Liong makin tertarik. "Jadi... apa yang kau kehendaki, Sio... ehh, Moi-moi?"

"Apa lagi? Tentu membalas dendam atas kematian Thai-houw! Aku mendapatkan semua ini dari Thai-houw dan dia dibunuh orang!"

"Kalau begitu, dengan kepandaianmu yang tinggi, kenapa kau tidak sejak dulu membalas dendam, Moi-moi"

"Aku... aku takut..."

"Ehh...?" Kun Liong benar-benar terheran mengapa wanita aneh ini mempunyai rasa takut juga, karena itu dia pun melanjutkan pancingannya, "Begitu lihaikah musuhmu yang telah membunuh Go-bi Thai-houw?"

"Aku tidak takut kepadanya! Hemm, biar dia memiliki Thi-khi I-beng sekali pun! Dahulunya memang aku tak berani mengingat akan ilmunya itu, akan tetapi setelah aku mempelajari kitab peninggalan Thai-houw, dengan mempergunakan cambuk ini, aku dapat membuat Thi-khi I-beng tidak ada artinya! Kau lihatlah, Koko!" Setelah berkata demikian, wanita ini meloncat dari bangkunya, menyambar cambuknya dan menuding ke atas, ke arah dinding di mana terdapat dua ekor cecak yang sedang bercumbuan dan saling berkejaran.

"Lihat dua ekor cecak itu!" katanya pula.

Tiba-tiba terdengar suara meledak-ledak beberapa kali bersama sinar hitam menyambar-nyambar dan ketika Kun Liong memandang, ternyata dua ekor cecak itu tubuhnya sudah terpotong-potong menjadi empat dan jatuh ke atas meja, sedangkan pada dinding itu tidak nampak sedikit pun darah! Diam-diam Kun Liong terkejut.

Ternyata tadi wanita ini tidak menyombong kosong pada saat mengatakan bahwa dengan cambuknya dia amat lihai. Kalau dalam pertempuran tadi Kim Seng Siocia menggunakan cambuk seperti itu, dia tentu akan repot menghadapinya! Dan dia harus mengakui bahwa dengan senjata cambuk seperti itu, Thi-khi I-beng tidak akan dapat dipergunakan karena tak mungkin untuk menempel ujung cambuk dan menyedot sinkang lawan lewat cambuk lemas yang panjang itu!

"Wah, kau hebat sekali, Moi-moi..." Kun Liong cepat menekan hatinya karena dia bergidik melihat bangkai dua ekor cecak yang kini masing-masing telah menjadi empat potong dan tergeletak di atas meja itu. "Dengan kepandaianmu itu, tentu engkau akan dapat menang melawan musuhmu, akan tetapi mengapa tidak juga kau lakukan?"

"Sudah kukatakan tadi, aku takut, aku takut gagal. Aku ingin yakin akan kemenanganku, oleh karena itu... bertahun-tahun aku berdoa kepada Thian agar bisa mendapatkan jodoh seorang yang lihai dan yang akan dapat membantuku menghadapi musuhku yang sakti. Dan hari ini aku telah mendapatkan jodoh yang kutunggu-tunggu itu, Koko yang tampan!"

Wanita itu hendak merangkulnya. Cepat-cepat Kun Liong mundur dan berkata, "Moi-moi, semenjak tadi belum kau katakan siapakah musuhmu itu, dia yang sanggup membunuh seorang lihai seperti Go-bi Thai-houw?"

"Dia? Dia adalah si keparat Cia Keng Hong, yang kabarnya sekarang telah menjadi Ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san! Kau tunggulah, keparat Cia Keng Hong! Tunggulah saat-saat kematianmu kalau Kim Seng Siocia bersama suaminya Yap Kun Liong datang membalas dendam! Koko, dengan bantuanmu, aku merasa yakin bahwa kita akan dapat membunuh Cia Keng Hong. Aku melihat gerakan-gerakanmu tadi hebat sekali. Orang seperti engkau inilah yang kutunggu-tunggu!"

Kembali Kim Seng Siocia hendak merangkul dan Kun Liong sudah bingung. Tiba-tiba saja datang pertolongan ketika pintu kamar terbuka dan dua orang pelayan tadi datang sambil membawa hidangan yang masih panas, yang serba mewah dan lezat. Dengan senyum manis dua orang pelayan itu menurunkan piring mangkok dan panci ke atas meja, juga seguci arak wangi.

"Harap singkirkan bangkai cecak ini...," kata Kun Liong kepada dua orang pelayan itu.

"Eihhh, mengapa? Dua ekor cecak itu merupakan lalap yang sedaaap…!" kata Kim Seng Siocia yang mengusir kedua orang pelayannya dengan gerakan tangan. Mereka pergi dan kembali menutupkan pintu kamar.

Kun Liong hampir muntah. Bangkai cecak dipakai lalap? Biasanya orang melalap dengan sayur segar dan mentah! Akan tetapi dia tidak mencela karena dia mulai bersikap hati-hati sekali terhadap wanita ini sesudah diketahuinya bahwa wanita ini adalah musuh besar Cia Keng Hong dan berniat mempergunakan dia sebagai teman untuk membunuh pendekar sakti yang masih terhitung supek-nya sendiri, bahkan yang sudah mengajarkan Thi-khi I-beng kepadanya itu!

Dengan menekan perasaannya, dia menemani wanita itu makan minum. Hanya dengan kekuatan luar biasa saja dia dapat bertahan ketika Kim Seng Siocia menggunakan sumpit menjepit bangkai cecak dan melalapnya dengan bunyi "kriuk! kriuk!" ketika giginya yang kuat mengunyah bangkai itu berikut tulang-tulangnya. Yang lebih menjijikkan lagi adalah ketika Kim Seng Siocia menyumpit ekor cecak yang masih bergerak-gerak menggeliat itu, memasukkan benda yang masih hidup itu ke dalam mulut lalu mengunyahnya!

Tahulah dia bahwa wanita ini benar-benar tidak waras otaknya! Namun Kun Liong makan sampai kenyang tanpa berbicara, hanya diam-diam dia mengasah otaknya mencari jalan keluar dari bahaya ini, terutama sekali bagaimana caranya dia akan bisa menolong Hong Ing yang keselamatannya sedang terancam bahaya maut. Bukan hanya dari Kim Seng Siocia datangnya bahaya mengancam yang sewaktu-waktu dapat membunuh Hong Ing, melainkan juga dari Marcus yang jelas adalah seorang laki-laki yang tidak baik.

Sesudah selesai makan minum yang bagi Kim Seng Siocia sangat menggembirakan itu, wanita ini bertepuk tangan dan dua orang pelayan itu cepat-cepat muncul. Mereka disuruh membersihkan meja dan pada waktu itu, hari telah mulai menjadi petang. Salah seorang di antara mereka menyalakan lampu untuk menerangi kamar yang sudah mulai gelap.

Sesudah kedua orang pelayan itu selesai membersihkan meja, menyalakan lampu serta membereskan pembaringan, menyapu lantai kamar, sambil tersenyum-senyum Kim Seng Siocia berkata kepada mereka,

"Sekarang panggil Acui dan Amoi ke sini, sementara itu, Pek Nikouw harus dijaga oleh selosin orang penjaga yang siap turun tangan membunuhnya begitu ada tanda rahasia dariku."

Dua orang pelayan itu mengangguk, kemudian mengundurkan diri setelah mengerling dan tersenyum geli ke arah Kun Liong yang duduk bagai arca di atas bangku. Kim Seng Siocia duduk kembali.

"Koko, hanya Acui dan Amoi itulah pelayan-pelayanku yang paling boleh kuandalkan dan kupercaya. Mereka menjadi pembantu dan juga muridku. Mereka yang memandikan aku, menggantikan pakaian, pendeknya, hanya mereka yang bisa kupercaya. Karena itu, pada malam pengantin ini... hi-hi-hik, aku pun hanya mau dilayani oleh mereka..."

Kun Liong hanya mengangguk-angguk, padahal dia tidak mengerti apa yang dikehendaki dan dimaksudkan oleh ‘isterinya’ itu, isteri paksaan. Sementara itu, pada bagian lain dari istana itu, Marcus sedang membujuk-bujuk kepada Acui dan Amoi.

"Mengapa kalian hendak melindunginya? Serahkan dia kepadaku sebentar saja, dan aku akan bersikap manis kepadamu, Acui dan Amoi."

"Hushh! Cepat pergilah! Kalau ketahuan Siocia, apakah kau masih dapat menyelamatkan kepalamu yang berambut kuning itu?" Acui membentak, ada pun Amoi hanya tersenyum-senyum genit kepada pemuda asing yang tampan itu.

"Ehh, Marcus, apakah kau sudah lupa kepada lima orang teman-temanmu? Apakah kau ingin pula dilempar kepada anak buah yang merupakan serigala-serigala kelaparan itu?" kata Amoi mengejek, akan tetapi di balik ejekannya itu, sinar matanya memandang ke arah tubuh yang tegap dan kuat itu dengan penuh gairah.

Marcus merasa ngeri kalau mengingat kepada lima orang itu. Mereka telah mati konyol, mati dengan tubuh mengering akibat kehabisan darah, bagai matinya lima ekor lalat yang semua darahnya telah habis dihisap oleh laba-laba yang banyak itu! Akan tetapi dia amat cerdik dan tidak memperlihatkan kengeriannya, bahkan dia tertawa,

"Ahh, seperti kalian tidak tahu saja! Siocia suka kepadaku dan memang kemarin aku tidak berani main gila dengan wanita lain, betapa pun rindu dan inginku kepada kalian berdua yang cantik jelita ini! Akan tetapi sekarang, Siocia sudah mendapatkan seorang kekasih baru, tentunya aku menjadi bebas pula untuk bermain cinta dengan siapa juga. Acui dan Amoi, nikouw ini tidak urung akan dibunuh juga, maka apa salahnya kalau membiarkan aku mempermainkannya sebentar?"

Amoi melangkah maju. "Hemm, apa sih menariknya perempuan gundul ini? Ehh Marcus, apakah kami berdua kalah cantik oleh nikouw gundul ini?"

Marcus tersenyum lebar. "Tentu saja tidak, dan aku berjanji, jika kalian suka memberikan nikouw itu kepadaku sebentar, setelah aku selesai dengan dia, aku akan menemui kalian berdua bersenang-senang. Bagaimana?"

"Huh! Kau temani kami dulu, baru kami berikan dia kepadamu."

"Baiklah, aku memang sudah lama rindu kepada kalian. Mari!"

"Enci Acui, kau bersenanglah dulu, biar aku yang menjaganya," kata Amoi.

Acui yang masih khawatir kalau-kalau Siocia-nya akan marah, mengerutkan alisnya akan tetapi hatinya pun tertarik sekali. Sudah terlalu lama bagi dia dan Amoi tak pernah dirayu oleh seorang pria, apa lagi pria semuda dan setampan Marcus yang memiliki ketampanan khas pula sebagai seorang berkulit putih.

"Engkau saja dulu, Amoi, biar aku yang menjaganya."

Amoi tersenyum genit dan mengangguk kepada Marcus yang tertawa-tawa girang lantas merangkulnya dan hendak menariknya pergi dari tempat penjagaan rahasia itu. Tapi pada saat itu muncullah dua belas orang penjaga yang bersenjata lengkap, dipimpin oleh dua orang pelayan yang diperintah oleh Kim Seng Siocia tadi. Mereka berkata dengan suara nyaring bahwa Acui dan Amoi dipanggil oleh Kim Seng Siocia dan bahwa dua belas orang itu ditugaskan untuk menggantikan dua orang pelayan kepercayaan itu supaya menjaga tawanan.

Amoi kelihatan kecewa, akan tetapi dia melepaskan Marcus sambil berkata, "Kau tidak boleh di sini. Keluarlah dulu dan menunggu kami. Awas, sebelum kami kembali, kau tidak boleh menyentuhnya. Hai, para penjaga! Selama kami berdua pergi, kalian jaga tawanan baik-baik dan jangan membolehkan siapa pun juga, termasuk dia ini, menyentuh tawanan. Mengerti?"

Para penjaga itu menyatakan taat kepada Amoi yang menjadi orang kepercayaan majikan mereka dan Marcus yang kecewa juga tidak berani membantah lalu pergi keluar. Dia akan sabar menanti.

Acui dan Amoi memasuki kamar majikan mereka dan keduanya langsung terkekeh genit saat melihat Kun Liong duduk seperti arca di atas bangkunya, sedangkan Siocia kelihatan begitu gembira, mukanya kemerahan tanda bahwa dia sudah banyak minum arak wangi.

"Acui... Amoi..., aihhh, aku menjadi gugup di malam pengantin ini. Kalian bantulah aku...," kata Kim Seng Siocia sambil tersenyum. "Bagaimana sih baiknya? Sin-liang (pengantin pria) kelihatan malu-malu... ihhh, dia memang masih perjaka tulen..."

Acui dan Amoi cekikikan. "Benarkah, Siocia? Ah, kalau begitu kau bahagia sekali, Siocia. Kionghi (selamat)!" kata Amoi. Keduanya lalu menghampiri Kun Liong dan berkata,

"Kongcu (Tuan Muda), mengapa Kongcu belum juga menanggalkan pakaian luar? Sudah waktunya sepasang pengantin tidur, maka harap Kongcu tidak malu-malu lagi, karena hal itu dapat mendatangkan kesalah pahaman bagi pengantin wanita, dapat dianggap bahwa pengantin pria menolak dan ini merupakan penghinaan besar," kata Acui.

"Benar itu, Kongcu. Mari kami membantumu menanggalkan pakaian...," kata Amoi genit dan keduanya lalu menyerbu, menanggalkan pakaian luar Kun Liong sehingga pemuda ini menjadi bingung dan malu. Untuk melawan tentu saja dia dapat, akan tetapi teringat akan keselamatan Hong Ing, dia diam saja.

Akhirnya semua pakaian luarnya termasuk sepatunya telah ditanggalkan dan dia dituntun setengah paksa duduk di tepi tempat tidur yang lebar panjang dan berbau harum itu. Kaki dan tubuh atasnya menjadi segundul kepalanya, dan hanya tersisa sebuah celana dalam panjang yang tipis saja yang masih menutup tubuhnya.

Kini matanya terbelalak memandang ke depan di mana Kim Seng Siocia sedang dibantu oleh dua orang pelayannya itu menanggalkan pakaian luar. Agak sukar juga bagi wanita gendut itu untuk menanggalkan pakaian luarnya dan pekerjaan ini mereka lakukan bertiga sambil tertawa cekikikan.

Sesudah banyak sekali kancing yang ketat itu dilepaskan, maka mulailah pakaian luar itu diperosotkan dari atas hingga mulai tampaklah tubuh yang kini hanya dibungkus pakaian dalam yang tipis sekali itu. Dengan pakaian luar menutupi tubuhnya, bentuk tubuh Kim Seng Siocia masih tertolong, masih terlindung oleh pakaian luar yang lebar, akan tetapi setelah kini pakaian luar itu sedikit demi sedikit merosot dari atas, mata Kun Liong juga menjadi makin besar dan makin lebar, tubuhnya menggigil seperti orang diserang demam malaria, sampai kedua bibirnya pun ikut bergerak-gerak seperti orang kedinginan.

Mulailah tampak tubuh Kim Seng Siocia. Mula-mula lehernya, lalu tampak pundaknya di balik pakaian dalam yang amat tipis sehingga tembus pandangan itu, kemudian mulailah tampak tonjolan dadanya yang... aduhai! Dua onggok daging yang bergumpal besar luar biasa, sebuah saja sudah sebesar dua kali kepala Kun Liong! Makin merosot ke bawah pakaian luar itu, semakin ngerilah hati Kun Liong, matanya terbelalak, mulutnya celangap dan semua jari tangannya menahan bibirnya yang gemetaran keras. Akhirnya atas isyarat majikan mereka, sambil cekikikan Acui dan Amoi meninggalkan kamar dan menutupkan pintu kamar rapat-rapat.....























Terima kasih telah membaca Serial ini.







No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12