Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 03
DENGAN
mempergunakan ilmunya berlari cepat, tanpa mempedulikan seruan-seruan dan
pandang mata penuh keheranan dari para penduduk Leng-kok yang kebetulan melihat
nyonya ini berlari demikian cepatnya bagaikan terbang, Yan Cu menuju gedung
kepala daerah yang berada di ujung kota sebelah utara. Sebuah rumah gedung yang
mewah dan megah, paling besar di dalam kota Leng-kok.
"Berhenti!"
Seorang penjaga pintu gerbang di depan gedung itu membentak.
Lima orang
kawannya sudah muncul ke luar dari tempat penjagaan menghadapi Yan Cu dengan
tombak ditodongkan. Pada saat mereka mengenal nyonya itu, timbul dua macam
perasaan yang tampak dalam sikap mereka yang ragu-ragu.
Mereka itu
sedikit banyak merasa segan dan menghormat nyonya cantik jelita yang telah
terkenal banyak menolong orang sakit di kota Leng-kok ini, bahkan di antara
mareka tidak ada seorang pun yang tidak pernah ditolong, ketika seorang di
antara keluarga mereka atau mereka sendiri sakit.
Di samping
ini, mereka juga sudah tahu bahwa suami nyonya ini sudah ditahan dan kini
dimasukkan di dalam rumah penjara, dijaga ketat atas perintah Ma-taijin sendiri
dengan tuduhan memberontak dan bersekutu dengan Pek-lian-kauw! Tuduhan yang
sangat berat dan menakutkan, sehingga tidak ada seorang pun di antara para
penjaga ini yang berani memperlihatkan sikap yang lunak dan bersahabat terhadap
seorang sekutu Pek-lian-kauw karena khawatir dituduh bersekutu pula.
"Eh...
Toanio... hendak ke manakah?" Komandan jaga, yang berkumis tebal dan
bertubuh tinggi besar, menegur ragu-ragu.
"Aku
hendak bertemu dan bicara dengan Ma-taijin!" jawab Yan Cu singkat.
"Tapi...
tapi..." Komandan jaga itu membantah, semakin meragu dan bingung karena
dia maklum bahwa kalau dia melapor ke dalam tentu dia akan didamprat oleh
atasannya.
"Tidak
ada tapi, tinggal kau pilih saja. Kau akan melapor ke dalam minta Ma-taijin
keluar menyambutku, atau aku yang akan langsung masuk untuk mencarinya sendiri
di dalam gedungnya!"
"Wah,
Toanio membuat kami serba susah. Untuk menemui Ma-taijin tentu saja tak begitu
mudah. Jika memang Toanio ada keperluan dan ingin menghadap, harap suka membuat
surat permohonan dan besok siang, sesudah Ma-taijin berada di kantornya, Toanio
boleh saja menghadap melalui peraturan biasa. Sekarang, sudah malam
begini..."
"Dia
pun hanya manusia biasa, mengapa aku tidak bisa bertemu dan bicara dengan dia
sekarang juga? Sudahlah, biar aku mencarinya sendiri!"
Yan Cu
segera melangkah memasuki halaman depan gedung itu, akan tetapi enam orang
penjaga itu sudah melompat ke depan, menghadangnya dengan tombak di tangan yang
dipalangkan agar menghalangi majunya nyonya itu.
"Toanio,
kami tak bermaksud bersikap kasar terhadap seorang wanita, apa lagi terhadap
Toanio. Akan tetapi, jangan Toanio mendesak kami dan membuat kami tersudut...,
kami hanya memenuhi kewajiban kami..."
"Minggirlah!"
Yan Cu berseru nyaring, kedua tangannya bergerak secepat kilat ke kanan kiri
dan enam orang penjaga itu roboh terpelanting ke kanan kiri bagai segenggam
rumput tertiup angin! Pada saat mereka merangkak bangun dengan mata terbelalak
mencari-cari, ternyata bayangan nyonya itu telah lenyap dari situ!
Dengan cepat
sekali, sesudah berhasil merobohkan enam orang penjaga dengan sekali dorong,
Yan Cu meloncat ke depan, langsung dia menyerbu ke ruangan depan gedung yang
megah itu. Akan tetapi, baru saja kedua kakinya yang tadinya melompat dari jauh
itu menyentuh lantai, belasan orang penjaga telah muncul lantas menghadangnya
dengan golok di tangan.
Komandan
pengawal di ruangan depan itu pun mengenal nyonya itu, dan memang dia telah
mendapat perintah dari atasan untuk berjaga-jaga dengan anak buahnya berhubung
dengan ditangkapnya Yap Cong San. Mereka semua telah mendengar bahwa tidak
hanya Yap-sinshe yang pandai ilmu silat, juga isterinya adalah seorang pendekar
wanita yang lihai.
"Tangkap
isteri pemberontak!" Komandan itu berseru dan anak buahnya yang berjumlah
selosin orang itu telah bergerak mengurung Yan Cu dengan golok di tangan, sikap
mereka mengancam sekali karena betapa pun juga, mereka memandang rendah kalau
lawannya hanya seorang wanita cantik seperti ini.
Biar pun
mereka telah mendengar bahwa wanita ini pandai main silat, akan tetapi mereka
yang berjumlah tiga belas orang itu, masih ditambah pula dengan para pengawal
yang dipersiapkan di dalam menjaga keselamatan Ma-taijin, tentu saja tidak
perlu merasa jeri terhadap seorang wanita!
Yan Cu
mengerling ke kanan kiri, sikapnya angker penuh wibawa, sepasang pipinya yang
halus itu menjadi merah ada pun matanya yang indah mengeluarkan sinar berkilat.
Sudah bertahun-tahun dia hidup aman tenteram di sisi suaminya, tidak pernah
lagi menggunakan ilmu silatnya untuk bertempur dan dia hampir lupa akan semua
pengalamannya dulu pada waktu dia masih seorang gadis, pengalaman yang penuh
dengan pertempuran hebat dan mati-matian.
Sudah
sebelas tahun dia tidak pernah memukul orang, dan tadi di pintu gerbang adalah
gerakan pertama selama ini, gerakan untuk merobohkan orang biar pun dia
merobohkan enam orang tadi bukan dengan maksud membunuh, hanya cukup untuk
membuat mereka agar tidak menghalanginya. Kini, dikurung oleh belasan orang,
timbul kembali semangat kependekarannya.
Kini dia
bergerak untuk membela suaminya. Jangankan hanya belasan orang pengawal, biar
di sana ada barisan setan dan iblis sekali pun dia tidak akan menjadi gentar
dan akan dilawannya! Timbulnya semangat ini menimbulkan pula kegembiraannya!
Kegembiraan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang pendekar, atau seorang
tentara dalam medan perang yang sudah kebal akan rasa takut.
"Apakah
kalian sudah bosan hidup?" Pertanyaan ini keluar dari mulutnya dengan
suara halus, bagaikan suara seorang ibu menegur anaknya, akan tetapi nadanya
mengandung penghinaan dan sindiran. "Aku mau bertemu dan bicara dengan
Ma-taijin! Dia mau atau tidak tetap harus menjumpai aku, dan jika kalian hendak
mencoba menghalangiku, jangan persalahkan aku bila kaki tanganku yang tidah
bermata akan membuat kalian jatuh untuk tidak bangun kembali!"
"Tangkap
pemberontak sombong!" Komandan yang bertubuh tinggi gendut dan mukanya
penuh bopeng bekas penyakit cacar itu kembali berteriak.
Komandan ini
adalah seorang perwira pengawal yang baru saja datang dari kota raja. Dia belum
mengenal Yap-sinshe dan isterinya, maka dia pun tidak merasa sungkan terhadap
suami isteri itu seperti yang dirasakan oleh banyak pengawal yang sudah
mengenal dan sedikit banyak berhutang budi kepada mereka.
Dua belas
orang anak buahnya yang semua bersenjata golok karena memang mereka adalah
anggota pasukan bergolok besar, segera maju menyerbu, akan tetapi mereka itu
masih merasa sungkan, hanya menggerakkan tangan kiri yang tidak bersenjata,
berlomba menangkap nyonya yang meski pun usianya sudah tiga puluh tahun namun
masih amat cantik jelita dan kelihatan seperti seorang dara berusia dua puluh
tahun saja!
Dahulu,
ketika masih dara remaja, Gui Yan Cu mempunyai watak halus namun jenaka dan
juga tegas menghadapi penjahat atau musuh. Akan tetapi, sekarang, setelah
sepuluh tahun lebih menjadi isteri Yap Cong San, setelah dia menjadi seorang
ibu dan sudah lama tidak pernah bertempur atau bermusuhan, walau pun dia masih
memiliki keberanian dan ketegasan bertindak, akan tetapi hatinya menjadi makin
lembut dan dia tidak tega untuk menjatuhkan tangan besi terhadap para pengawal
ini.
Dia bukan
seorang dara muda yang ganas lagi, yang berpemandangan sempit dan suka
merobohkan orang tanpa perhitungan lagi. Dia kini berpemandangan luas dan jauh,
maka dia maklum bahwa semua pengawal ini hanya menjalankan tugas masing-masing,
sama sekali tidak mempunyai permusuhan pribadi terhadap dirinya atau suaminya.
Melihat cara
mereka bergerak menyerbunya, tidak menggunakan golok melainkan hanya
menggunakan tangan kiri untuk menangkapnya saja sudah membuktikan bahwa mereka
itu sedikit banyak memiliki rasa segan terhadap dirinya. Hal ini mengurangi
banyak nafsu amarahnya dan meniup lenyap niatnya memberi hajaran keras kepada
mereka.
Melihat
semua orang menubruk maju, Yan Cu menggerakkan dua kakinya menekan lantai dan
tiba-tiba saja tubuhnya melesat serta meluncur ke atas, melewati kepala mereka
dan gegerlah para pengawal yang saling tubruk dan saling pandang karena
tahu-tahu ‘burung’ di tengah yang mereka kurung tadi telah terbang lenyap
begitu saja! Cepat-cepat mereka membalikkan tubuh mencari-cari dan
berlari-larian menyerbu ke arah komandan gemuk mereka yang berteriak-teriak
kesakitan karena sedang ditampari oleh Yan Cu, seperti seorang anak kecil yang
nakal dipukuli ibunya!
"Plak!
Plak! Plak!"
Kedua pipi
komandan gendut itu menjadi bengkak-bengkak dan dari ujung kedua bibirnya
mengalir darah yang keluar dari bekas tempat gigi yang coplok!
Yan Cu
menendang tubuh komandan Itu yang terlempar dan terbanting mengaduh-aduh meraba
sepasang pipinya dengan kedua tangan, matanya terbelalak memandang kepada
nyonya itu karena dia masih kaget dan heran akan serangan itu. Tadi dia melihat
betapa tubuh nyonya itu melayang melalui kepala para pengepungnya, menyambar ke
arahnya. Dia cepat menggerakkan goloknya menyambut dengan bacokan ke arah muka
nyonya itu, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu goloknya direnggut lepas
dari pegangannya, dan seperti kilat menyambar-nyambar, kedua tangan nyonya itu
telah menggaplok kedua pipinya sampai matanya menjadi gelap dan
berkunang-kunang!
"Biarlah
itu menjadi pelajaran bagimu agar jangan lancang menggunakan mulut!" Yan
Cu berkata.
Akan tetapi
pada waktu itu, dua belas pengawal yang melihat betapa komandan mereka
ditampari dan dirobohkan, menjadi kaget sekali dan terpaksa mereka kini
menerjang maju dengan golok besar mereka di tangan. Kalau mereka tidak
menyerang dengan sungguh-sungguh, tentu mereka akan ditegur dan dihukum, dikira
menaruh kasihan dan membela seorang isteri pemberontak!
Terjadilah
pengeroyokan yang kacau balau, diselingi suara hiruk-pikuk teriakan-teriakan
mereka. Yan Cu melompat ke sana sini mengelak sambaran-sambaran golok, kemudian
dengan sentuhan ujung kaki mengenai pergelangan tangan seorang pengeroyok,
cukup membuat jari tangan yang memegang terbuka dan goloknya terlepas.
Yan Cu
menyambar golok ini dan terdengarlah suara berdenting-denting nyaring disusul
teriakan-teriakan para pengeroyok karena begitu nyonya itu telah menggerakkan
goloknya menghadapi para pengeroyok, dalam beberapa jurus saja, empat batang
golok yang kena ditangkis terlempar ke sana sini, dua orang lagi terpaksa
melepaskan golok karena lengan mereka tergores ujung golok Yan Cu dan berdarah
sungguh pun bukan merupakan luka yang parah.
Dalam
sekejap mata saja tujuh orang pengeroyok dibuat tidak berdaya. Tentu saja lima
orang yang lainnya menjadi gentar, dan dengan muka pucat mereka itu masih mengurung
tanpa berani bergerak! Pada saat itu tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dan
muncullah puluhan orang pengawal dari dalam, diikuti oleh Ma-taijin sendiri!
Pembesar ini
tentu saja berani keluar dari kamarnya karena dia dijaga oleh empat puluh orang
pengawal yang berkepandaian tinggi! Dengan sikap tenang tapi jelas menyinarkan
kemarahan dia mengikuti pasukan pengawal itu keluar ke ruangan depan,
"Tangkap
pemberontak itu!" Terdengar Ma-taijin sendiri mengeluarkan aba-aba.
"Tahan
semua...!"
Bentakan Yan
Cu mengandung tenaga khikang yang hebat, membuat semua pengawal yang sudah
mulai bergerak itu terkejut dan terguncang jantungnya, memandang kepada nyonya
yang sudah berdiri tegak dan memalangkan golok rampasan di depan dada, tidak
mempedulikan para pengawal yang sudah membuat gerakan mengurungnya, melainkan
menunjukkan perhatian dan pandang matanya ke arah Ma-taijin.
"Ma-taijin,
aku datang bukan untuk berkelahi, bukan untuk mengamuk, akan tetapi untuk
bertemu dan bicara denganmu!"
"Hemmm,
perempuan tak berbudi!" Pembesar itu membentak karena merasa sangat malu
mendengar kata-kata dan melihat sikap yang sama sekali tidak menghormatinya
itu, malu kepada para pengawalnya oleh karena sikap wanita itu benar-benar
telah menyeret turun wibawa dan derajatnya! "Seorang pemberontak dan
berdosa besar seperti suamimu dan engkau, apa lagi setelah berani datang
mengacau di sini, mau bicara apa lagi?"
"Ma-taijn,
seorang pembesar tentu mengerti akan hukum pemerintah, akan tetapi kenapa
engkau berbicara tanpa bukti, melainkan fitnah yang bukan-bukan? Engkau tahu
sendiri bahwa suamiku dan aku telah menjadi penduduk Leng-kok selama sebelas
tahun. Siapa di antara penduduk Leng-kok yang pernah melihat perbuatan kami
yang memberontak? Pernahkan kami melakukan sesuatu yang merugikan negara dan
rakyat? Baru sekarang ini ada orang yang melakukan fitnah, menuduh kami
pemberontak, dan orang itu adalah engkau, Taijin. Apakah engkau tidak takut
terhadap bayangan sendiri menjatuhkan fitnah palsu kepada kami?"
"Berani
benar engkau berkata demikian, perempuan berdosa! Sudah terang bahwa Yap Sinshe
suamimu telah melakukan dua kali pelanggaran dosa terhadap pemerintah, dan
sekarang ditambah lagi dengan sebuah pelanggaran yang dilakukan olehmu
sendiri!"
"Sebutkan
dosa-dosa itu, Ma-taijin, agar tidak membikin hati penasaran!" Yan Cu
berkata, menahan kemarahannya.
"Dosa
pertama suamimu adalah bahwa dia tidak mau membunuh tosu Pek-lian-kauw, dia
melindungi Pek-lian-kauw atau kemungkinan besar dia bersekutu dengan
Pek-lian-kauw."
"Bohong
besar!" Yan Cu berteriak, "Adakah dalam hukum pemerintah bahwa setiap
orang warga diharuskan dan berkewajiban untuk membunuh tiap orang anggota
Pek-lian-kauw? Pek-lian-kauw adalah musuh pemerintah, dan menjadi tugas
orang-orang seperti engkau dan para pengawalmulah untuk memusuhi serta
membasminya! Kami, atau dalam hal ini suamiku, sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya dengan Pek-lian-kauw, bahkan sebagai seorang warga negara yang
baik sudah menolong ketiga orang perwira pengawalmu yang akan dibunuh. Mencegah
pembunuhan merupakan kewajiban setiap orang, apa lagi kami yang berjiwa
Pendekar. Tetapi, membunuh tosu Pek-lian-kauw bukanlah tugas suamiku."
"Dosa
kedua adalah kegagalan suamimu menyembuhkan tiga orang perwiraku. Tiga orang
perwira pemerintah."
"Sungguh
tak masuk akal! Sejak kapan pemerintah mengeluarkan undang-undang bahwa
kegagalan menyembuhkan merupakan dosa dan pelanggaran hukum?"
"Suamimu,
terutama engkau, sudah terkenal sekali di Leng-kok sebagai ahli pengobatan.
Jarang ada penyakit yang tidak terobati sampai sembuh oleh kalian berdua! Akan
tetapi justru mengobati tiga orang perwira pemerintah, kalian gagal! Bukankah
ini merupakan kesengajaan dan perbuatan yang condong membantu Pek-lian-kauw?
Dosa yang ke tiga adalah engkau yang berani memberontak dan melawan kami!"
"Bohong
semua! Suamiku dan aku bukanlah seorang malaikat pengatur nyawa yang bisa
memanjangkan usia manusia! Juga kami bukanlah malaikat maut yang dapat mencabut
nyawa! Selama ini kami sudah berusaha mati-matian mengobati, akan tetapi tiga
perwira yang menderita luka pukulan beracun Pek-tok-ci tak dapat ditolong dan
mati, itu bukanlah urusan dan wewenang kami. Mengatur nyawa sendiri pun tidak
mampu, bagaimana harus mengatur nyawa orang lain? Ada pun aku ke sini dengan
maksud untuk bicara denganmu dan minta supaya suamiku yang tidak berdosa
dibebaskan, akan tetapi para anjing-anjing penjagamu menghalangi sehingga aku
menggunakan kekerasan, siapakah yang bersalah dalam hal ini? Ma-taijin, sekali
lagi kuminta, karena suamiku tidak berdosa, sekarang juga harus kau bebaskan
dia!"
"Sombong!
Pemberontak rendah! Tangkap dia...!"
Akan tetapi
sebelum para pengawal bergerak mentaati perintah ini, tubuh Yan Cu sudah
berkelebat dengan kecepatan yang tidak tersangka-sangka oleh semua orang.
Tahu-tahu wanita perkasa itu telah meloncat ke dekat Ma-taijin!
"Toloooonggg...
tangkap... ahhhh!" Ma-taijin tak berani bergerak atau berteriak lagi
karena golok tajam telah menempel di kulit lehernya, terasa dingin sekali!
"Mundur
semua!!" Yan Cu melengking dengan suara mengandung getaran hebat.
"Kalau kalian maju, dia akan kubunuh lebih dulu sebelum kubasmi kalian
semua!""
Para
pengawal menjadi bingung, sementara Ma-taijin merasa ngeri dan takut bukan
main. Terbayang di depan matanya selir-selir yang masih muda-muda dan banyak,
gedungnya, gudangnya, harta benda dan kedudukannya, dan tiba-tiba perutnya
terasa mulas dan air matanya bercucuran.
"Jangan
bunuh aku...," ratapnya.
"Suruh
mereka mundur, dan suruh kepala pengawal membebaskan suamiku, kemudian
membawanya ke sini. Cepat, apa bila aku kehabisan sabar, lehermu akan putus dan
aku sanggup membebaskan suamiku dengan kekerasan!" Yan Cu membentak dan
memberi sedikit tekanan pada goloknya sehingga pembesar itu merasa kulit
lehernya perih dan sedikit darah mengucur!
"Aihhhh...
jangan... haiiiii, semua mundur, dengar tidak? Mundur semua kataku, bedebah!
Dan kau, Kwa-ciangkun, lekas kau pergi ke penjara dan bebaskan Yap-sinshe,
ehh... ajak dia ke sini... cepat!"
Semua
pengawal terpaksa mengundurkan diri dan hanya menjaga dari sekeliling ruangan
depan itu sambil saling pandang dengan bingung. Sebagian besar antara mereka
merasa lega dengan perintah Ma-taijin itu, karena tadi mereka merasa khawatir
sekali, menyerbu berarti membahayakan keselamatan Ma-taijin, jika tidak
bergerak bagaimana pula melihat pembesar itu diancam!
"Duduklah,
Ma-taijin, kita menunggu suamiku datang. Engkau lihat, bagaimana mudahnya untuk
membunuhmu bersama pengawal-pengawalmu kalau kami benar-benar merupakan
pemberontak-pemberontak atau sekutu Pek-lian-kauw. Kami bukan pemberontak,
namun aku tahu bahwa dengan perbuatan ini, kami takkan dapat tinggal di
Leng-kok lagi. Hanya pesanku, lain kali janganlah engkau sebagai kepala daerah
mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata.
Aku bersama suamiku terpaksa menjadi orang-orang kang-ouw lagi karena engkau,
dan sesudah kami kembali ke dunia kang-ouw, begitu aku mendengar bahwa engkau
bertindak sewenang-wenang menindas dan menjatuhkan fitnah kepada rakyat, aku
akan datang sendiri untuk mencabut jiwamu!"
Ma-taijin
tidak dapat menjawab dan berterima kasih sekali dibolehkan duduk di atas kursi
karena kedua kakinya menggigil dan terutama sekali, yang sangat menyiksanya
adalah perutnya yang mulas sejak tadi dan hampir dia tidak dapat menahan segala
kotoran yang hendak membanjir keluar dari dalam perutnya! Dia hanya
mengangguk-angguk saja tanpa bicara, seperti seekor ayam makan jagung.
Yan Cu
berdiri di dekatnya, menodongkan ujung golok pada lehernya sambil mengawasi
gerak-gerik para pengawal. Diam-diam dia mengharapkan supaya jangan ada
pengawal yang lancang berani menyerangnya, karena sesungguhnya dia tidak ingin
membebaskan suaminya dengan jalan melakukan pembunuhan. Semua ini dia lakukan
hanya sebagai ancaman belaka, agar suaminya dapat segera bebas.
Tidak lama
kemudian, datang kepala pengawal bersama Yap Cong San. Melihat isterinya
menodong Ma-taijin, Cong San melompat dan menegur,
"Aihhh,
apa yang kau lakukan, isteriku? Aku sengaja tidak mau menggunakan kekerasan.
Aku yakin akan dibebaskan karena tidak bersalah. Akan tetapi engkau..."
"Hemm,
orang seperti dia ini mana bisa dipercaya akan menggunakan keadilan suamiku?
Pula, aku ingin engkau segera bebas, sekarang juga karena aku tidak berhasil
mencari Liong-ji! Mari kita pergi!"
Sebelum Cong
San sempat membantah, Yan Cu sudah menarik tangan suaminya lantas mengajaknya
melompat pergi dari tempat itu, melemparkan golok rampasan tadi yang langsung
menancap di hadapan kaki Ma-taijin sampai ke gagangnya! Demikian cepatnya
gerakan suami isteri itu sehingga yang tampak hanya dua bayangan mereka
berkelebat dan lenyap.
"Kejar
mereka! Kumpulkan semua pengawal! Minta bantuan pasukan! Tangkap, cepattt…!
Tolol kalian semuanya!" Ma-taijin berteriak-teriak sambil
menuding-nudingkan telunjuknya, akan tetapi dia sendiri memasuki ruangan dalam,
terus ke kamar kecil karena perutnya yang memberontak sudah mengeluarkan
sebagian isinya ke dalam celananya!
Para
pengawal tersebar dan berlari-lari mencari, akan tetapi tentu saja dengan hati
kebat kebit dan penuh keraguan. Setelah bala bantuan datang dan jumlah mereka
ada seratus orang, barulah mereka berani melakukan pengejaran dan mendatangi
rumah obat tempat tinggal Yap-sinshe.
Akan tetapi
tentu saja mereka hanya mendapatkan sebuah toko yang kosong, tak ada lagi
penghuninya kecuali dua orang pelayan yang tidak tahu apa-apa. Dalam
kemarahannya, Ma-taijin hanya menyita toko itu, merampas barang-barang di toko
serta mengumumkan nama Yap Cong San dan Gui Yan Cu sebagai dua orang pelarian.
***************
"Aihh,
semua ini gara-gara Kun Liong, anak bengal itu! Jika saja dia tidak menumpahkan
obat, tentu tidak terjadi semua ini! Dan setelah melakukan perbuatan yang
menimbulkan bencana kepada ayah bundanya, dia malah lari minggat, mendatangkan
kepusingan baru bagi kita!"
Yan Cu cemberut.
Mereka telah berlari ke luar dari kota Leng-kok, menuju ke selatan dan tadi dia
sudah menceritakan suaminya tentang kegagalan usahanya mencari Kun Liong
sehingga dia terpaksa pulang dulu karena mengkhawatirkan suaminya. Dia sengaja
tidak menceritakan suaminya tentang perbuatan Kun Liong yang terbaru, yang
dilakukannya di dusun yang ditemuinya, yaitu menjadi penyebab terbakarnya rumah
kepala dusun yang sedang berpesta! Tanpa membicarakan hal itu pun suaminya
sudah marah-marah dan mengomel tentang anak mereka.
"Siapa
bilang gara-gara Kun Liong? Memang anak itu menumpahkan obat, akan tetapi
apakah dia sengaja menumpahkannya? Kalau dipikir-pikir semua peristiwa ada
sebabnya dan jangan kau menyalahkan peristiwa itu. Kalau aku ikut-ikut engkau,
tentu aku mencari sebabnya dan kiranya engkaulah yang menjadi
gara-garanya."
"Aku....?"
Cong San bertanya mengalah dan selalu bersikap sabar kepada isterinya sejak
terjadinya peristiwa hebat yang hampir saja menghancurkar cinta kasih di antara
mereka karena dia telah dibuat gila oleh cemburu.
Oleh karena
dia merasa berdosa dan bersalah kepada isterinya yang tercinta, maka dia
bertobat dan bersikap hati-hati sekali, selalu mengalah kepada isterinya
sebagai tebusan dosanya pada masa lalu. Akan tetapi ketika dalam urusan dengan
Ma-taijin ini isterinya mengatakan bahwa dia yang menjadi gara-gara, dia
terkejut juga dan merasa penasaran sehingga dia menghentikan langkah kakinya.
"Ya,
engkau..." Yan Cu berkata.
Mereka telah
lari jauh dan malam telah hampir pagi, kedua kakinya sudah lelah. Yan Cu berhenti
dan duduk di atas sebuah batu besar di dalam hutan itu. Suaminya juga duduk di
depannya. Sinar matahari pagi sudah mulai mengusir kegelapan malam, disambut
dengan riang gembira oleh suara burung hutan.
"Mengapa
aku...?"
"Kalau
dicari-cari sebabnya menjadi panjang sekali. Kun Liong melarikan diri karena
takut padamu, karena engkau terlalu keras padanya. Engkau marah karena dia
menumpahkan obat. Dia menumpahkan obat karena dia bermain-main dengan Pek-pek,
dan dia murung dan merasa bosan di kamamya, bermain-main dengan Pek-pek sebab
dia merasa betapa engkau memarahinya ketika dia pergi dan berjumpa dengan tosu
Pek-lian-kauw. Andai kata engkau tidak marah kepadanya, tentu dia tidak murung
dan juga tidak bermain-main dengan anjing, lalu tidak menumpahkan obat, dan
para perwira tidak mati, dan aku tidak mengamuk di gedung Ma-taijin, dan anak
itu tidak minggat, dan..."
"Stoppp...!"
Cong San mengangkat kedua tangan ke atas, lalu merangkul dan menciumi
isterinya. "Pusing aku! Sudah... jangan bicara tentang sebab akibat, kalau
ditelusur terus, bisa-bisa akibatnya dimulai semenjak nenek moyang
kita..."
"Mungkin
dimulai sejak dunia ada, sejak manusia pertama..." Yan Cu juga tertawa.
Keduanya
lantas tertawa, saling rangkul dan saling berciuman, kemudian saling pandang
dengan sinar mata penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh keheranan, dan
akhirnya menjadi penuh pengertian.
"Aihhh...
apa yang kita lakukan ini...?" Yan Cu berkata lirih.
Cong San
melepaskan pelukannya dan memandang isterinya. "Mengertikah engkau apa
yang kumengerti? Apakah engkau merasakan apa yang kurasakan saat ini?"
Yan Cu
mengangguk. Suaminya mengangguk. Akan tetapi suaminya penasaran sehingga
mendesak,
"Kalau
memang mengerti, apa?"
"Keanehan
yang sama kita rasakan! Peristiwa hebat melanda kita, memaksa kita menjadi
orang-orang pelarian, dianggap seperti pemberontak, kehilangan rumah,
kehilangan toko, kehilangan harta benda, bahkan anak tunggal lari entah ke
mana. Akan tetapi sesaat tadi yang terasa hanya kegembiraan. Aneh!"
"Memang
aneh bagi umum, akan tetapi sebenarnya tidaklah aneh. Setiap peristiwa yang
terjadi, terjadilah! Tergantung kita yang menghadapinya, kita yang tertimpa
oleh peristiwa itu. Diterima dengan marah, boleh. Diterima dengan susah, juga
tak ada yang melarang. Diterima dengan sikap tenang seperti kita sekarang ini
pun bisa. Tidak perlu kita saling menyalahkan, kita hadapi saja segala yang
terjadi sebagai kewajaran dan kita bertindak sesuai dengan gerak hati dan
pikiran yang benar."
"Nah,
itu baru cocok! Engkau suamiku yang hebat!" Yan Cu menarik leher suaminya
dan mencium bibir suaminya penuh kasih sayang. Cong San membalasnya penuh rasa
terima kasih dan bersyukur atas pernyataan cinta yang demikian mesra.
"Dari
pada ribut-ribut saling menyalahkan, lebih baik kita pergi mencari Kun Liong
dan melanjutkan perjalanan bertiga. Betapa senangnya!"
"Wah-wah,
alangkah anehnya. Kehilangan segala-galanya, engkau malah bergembira! Di dunia
ini mana ada wanita ke dua sehebat engkau, isteriku?"
"Hemm,
wajahmu juga berseri-seri, engkau malah lebih bergembira dari pada aku! Uang
tiada, rumah tak punya, pakaian pun hanya yang berada di dalam buntalan kita.
Hayo jawab, mengapa engkau malah gembira?"
Cong San
mengerutkan kulit di antara kedua alisnya, berpikir. "Hemmm... agaknya,
yang paling menggirangkan adalah kini terbebas dari orang-orang penyakitan itu.
Setiap saat mereka mengganggu kita, datang minta obat, minta periksa
penyakitnya, membosankan!"
"Iihhhh,
kalau begitu tipis peri kemanusiaanmu!" Isterinya mencela.
"Mungkin!
Akan tetapi sebutan peri kemanusiaan itu pun hanya palsu saja, isteriku. Hanya
digunakan untuk kedok, padahal sesungguhnya yang terpenting bagi kita kalau
mengobati orang adalah jika orang itu sembuh. Kita merasa bangga, merasa
senang, merasa lega dan puas. Bukan hanya karena upah dan keuntungannya, namun
terutama sekali karena bangga itulah. Akan tetapi lambat laun menjadi
membosankan juga..."
"Dan
kau tidak menyesal kehilangan rumah dan harta benda?"
"Tidak
sama sekali! Bahkan aku merasa lega! Seolah-olah semua harta benda itu tadinya
menindih di atas kedua pundakku, membebani aku dengan penjagaan, rasa sayang,
rasa khawatir kehilangan, dan lain-lain. Sekarang, habis semua, habis pula
seluruh beban itu! Dan engkau, apa yang membuatmu begini gembira?"
"Agaknya,
kebebasan seperti yang kau katakan tadi itulah. Akan tetapi terutama sekali,
aku merasa bagaikan burung terbang di udara, seperti dahulu lagi, hidup bebas
lepas di dunia kang-ouw menghadapi segala rintangan dan bahaya, mempergunakan
ilmu untuk melindungi diri sendiri dan membela kebenaran, hidup malang
melintang di dunia, tidak dikurung di dalam rumah seperti seorang nyonya sinshe
yang setiap hari harus memasak obat!"
"Wah,
celaka tiga belas!" Cong San memegang kepalanya.
"Mengapa?"
"Isteriku
petualang! Dasar engkau berdarah petualang!"
"Ihhhh!"
Yan Cu mencubiti lengan dan paha suaminya yang mengaduh-aduh, akan tetapi
senda-gurau ini berakhir dengan peluk kasih sayang yang saling mereka curahkan
di atas rumput tebal di bawah pohon pada waktu pagi itu. Tidak terasa lagi oleh
mereka akan dinginnya embun yang berada di ujung-ujung rumput dan yang
menyambut tubuh mereka. Matahari yang baru muncul tersenyum ria dan menyiram
suami isteri itu dengan sinarnya yang keemasan.
"Aihhh,
masa di tempat terbuka begini...? Seperti orang terlantar...," bisik Yan
Cu.
"Memang
kita adalah orang-orang terlantar... petualang-petualang yang tak
berumah..." terdengar suara Cong San lirih. "Ingatkah kau saat
malam-malam kita baru saja menikah? Beberapa malam kita berbulan madu di dalam
hutan, di alam terbuka seperti ini... aihh... mesra...!"
"Ihhh,
sudah tua tak tahu malu! ah!"
"Cinta
tak mengenal usia..."
Demikianlah,
suami isteri itu tenggelam dalam madu asmara yang membuat mereka lupa segala,
membuat mereka seperti ketika berbulan madu dalam suasana pengantin baru yang mereka
lewatkan di dalam hutan juga, seperti keadaan mereka pada saat itu.
Setelah
matahari naik tinggi, barulah tampak suami isteri ini melanjutkan perjalanan
lagi. Wajah mereka berseri-seri, mata bersinar-sinar, bibir pun tersenyum dan
tangan mereka saling bergandengan pada waktu mereka melangkah keluar dari dalam
hutan. Cong San mendengarkan cerita isterinya dengan sabar dan tenang.
"Dia
melepas ular beracun di dalam pesta tentu karena lapar, dan secara tidak
sengaja menimbulkan kebakaran. Menurut penuturan orang-orang di dusun depan,
dia ditangkap dan dipukuli sampai bengkak-bengkak dan koyak-koyak pakaiannya,
akan tetapi dia bisa membebaskan diri dan lari entah ke mana."
"Hemm,
untung dia masih bisa melarikan diri. Dia mengalami banyak kesukaran, biarlah,
hitung-hitung untuk gemblengan jiwanya."
"Tetapi
kasihan sekali dia. Kita harus dapat cepat-cepat menemukannya, kalau tidak, aku
khawatir dia akan mengalami bencana. Dia masih terlalu kecil untuk merantau
seorang diri, dan kepandaiannya juga masih terlalu rendah untuk dipakai
melindungi diri."
"Tentu
saja kita akan mencarinya sampai dapat, isteriku. Akan tetapi, biarlah
kesempatan ini kita pergunakan untuk membicarakan pendidikan terhadap anak kita
itu. Biasanya, aku menuduhmu terlalu memanjakan dia, sedangkan kau menuduhku
terlalu keras. Ketika kita beristirahat tadi, aku meneropong kenyataan ini dan
agaknya kita berdua sudah berlaku terlalu mementingkan diri sendiri,
isteriku."
"Apa
maksudmu?" Yan Cu memegang tangan suaminya dan menengadah, memandang wajah
orang yang berjalan di sampingnya.
"Baik
caramu yang menyatakan kasih sayang kepada anak dengan cara terang-terangan
sehingga kelihatan memanjakannya, mau pun aku yang ingin melihat anak kita
menjadi seorang anak baik sehingga aku kelihatan keras terhadap dia,
sesungguhnya sikap kita berdua yang lalu itu hanya mencerminkan pendahuluan
kepentingan kita sendiri."
"Coba
terangkan, aku masih belum mengerti. Bukankah apa pun cara yang kita berdua
pergunakan, sebagai ayah dan ibu, kita mementingkan anak kita? Bukankah kita,
dengan cara kita masing-masing, ingin melihat dia menjadi seorang anak yang
baik?"
Cong San
menarik napas panjang. "Itulah dia, isteriku sayang. Itulah salahnya, dan
itulah kesalahan kita. Kita INGIN MELIHAT dia menjadi ini, menjadi itu. Kita
ingin MEMBENTUK dia sesuai dengan keinginan dan selera kita sehingga kita lupa
bahwa dia itu, sebagai seorang yang hanya kebetulan terlahir sebagai anak kita,
dia memiliki hak untuk tumbuh sendiri, dia mempunyai kepribadian sendiri, dia
berhak menentukan sendiri, bukan hanya menjiplak seperti yang kita paksakan
untuk membentuk dia. Dia bukan boneka, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk
sekehendak hati kita! Kita sudah keliru dalam mendidik putera kita itu, Yan
Cu!"
Yan Cu
termenung. Dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Memang harus dia
akui bahwa selama ini, baginya yang terpenting hanyalah keinginan hatinya
sendiri! Dia ingin melihat puteranya begini, begitu, penurut, tekun belajar,
dan sebagainya. Tidak pernah satu kali juga dia memperhatikan, apa sebenarnya
yang disukai dan dikehendaki puteranya! Segala ingin dia atur sehingga jejak
langkah hidup puteranya itu harus tepat seperti yang digariskannya! Betapa
picik dan terlalu mementingkan diri sendiri itu! Dia mulai merasa menyesal dan
terharu.
"Habis,
bagaimana baiknya dalam mendidik anak-anak kita, suamiku?"
"Anak-anak
kita? Anak kita hanya seorang Yan Cu."
"Hemmm,
siapa tahu? Apakah engkau sudah merasa puas dan cukup hanya mempunyai seorang
anak saja?"
Cong San
tersenyum dan merangkulkan lengannya pada pundak isterinya, lalu mereka
melangkah lagi perlahan-lahan.
"Kita
harus memberi kebebasan kepada anak kita, kita harus menuntun mereka supaya
mereka mengerti dan tahu akan arti dan pentingnya hidup bebas! Agar dia tahu
belajar mengenai dirinya sendiri sehingga di dalam dirinya dia akan menemukan
guru. Agar dia hidup wajar, tidak berpura-pura, tidak munafik dan yang
terpenting, tidak seperti seekor kambing yang dituntun, atau seperti batang
pohon lemah yang hanya bergerak mengikuti ke mana angin bertiup. Agar dia
berkepribadian, kepribadiannya sendiri, bukan menjiplak kepribadianku atau
kepribadianmu, karena kalau hidupnya hanya kita bentuk supaya dia menjadi
penjiplak saja, tiada bedanya dengan membentuk dia menjadi sebuah boneka hidup.
Mengertikah engkau, isteriku?"
Yan Cu tidak
menjawab, mengerutkan alisnya, kemudian baru berkata ragu-ragu.
"Entah
suamiku, aku tidak berani bilang sudah mengerti, akan tetapi rasanya aku dapat
menerima, aku dapat melihat kebenarannya."
Cong San
menunduk dan mencium dahi muka yang terangkat itu, mesra dan penuh rasa kasih.
"Syukurlah, aku sendiri pun tak mengerti betul. Pendapat ini begitu
tiba-tiba, bukan merupakan pendapatku, melainkan aku seperti melihat
kesalahan-kesalahan kita di dalam mendidik dan kita harus melakukan
perubahan."
"Sudahlah,
tentang mendidik Kun Liong kita bicarakan kelak saja. Anaknya pun belum
ketemu!"
Cong San
menarik napas panjang. "Kau benar aku sudah melamun terlalu jauh."
"Memang
kau saja yang melamun? Aku pun sudah melamun, bukan urusan pendidikan,
melainkan ke mana kita harus pergi kalau sudah mendapatkan Kun Liong."
"Ke
mana?"
"Kurasa
dalam keadaan seperti kita ini, sebagai pelarian, tidak ada tempat lain yang
kita tuju kecuali satu, yaitu Cin-ling-san."
"Keng
Hong dan Biauw Eng...?"
Yan Cu
mengangguk.
Hening
sejenak. "Engkau benar. Siapa lagi yang akan dapat kita titipi Kun Liong
kalau bukan mereka? Aihh, aku rindu sekali kepada mereka."
Suami isteri
itu melanjutkan perjalanan dan kini mereka menuju ke dusun seperti yang
diceritakan Yan Cu, dan di depan mata mereka terbayanglah wajah sepasang suami
isteri yang sakti, yang menjadi sahabat baik mereka, bukan hanya sahabat,
bahkan melebihi saudara kandung! Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng!
Siapakah Cia
Keng Hong dan Sie Biauw Eng isterinya, sepasang suami isteri sakti yang membuat
Cong San dan Yan Cu termenung penuh kerinduan hati itu? Cia Keng Hong dapat
dikatakan masih suheng (kakak seperguruan) dari Yan Cu, akan tetapi dalam hal
ilmu kepandaian, tingkat pendekar sakti itu jauh di atas tingkat Yan Cu, bahkan
jauh pula di atas tingkat kepandaian Cong San sendiri!
Cia Keng
Hong adalah seorang pendekar sakti yang pada waktu itu merupakan pendekar
besar, seorang di antara datuk-datuk atau ‘raja’ dunia persilatan! Pendekar
sakti itulah yang telah berhasil mewarisi semua ilmu kepandaian manusia sakti
Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong (Raja Pedang Kepalan Sakti), ayah kandung dari
Sie Biauw Eng yang telah menjadi isterinya sendiri. Ilmu kepandaiannya hebat
bukan main.
Di
sampingnya, isterinya juga terkenal sebagai wanita yang berilmu tinggi sekali
sehingga dalam dunia kang-ouw, nama Gunung Cin-ling-san yang menjadi tempat
tinggal mereka amatlah disegani dan jarang ada orang berani datang ke tempat
itu kalau tidak memiliki kepentingan yang sangat mendesak. Maka tidaklah
terlalu mengherankan apa bila dalam keadaan mereka sedang mengalami kesukaran
seperti itu Yan Cu dan Cong San, suami isteri ini segera teringat kepada
pendekar sakti di Cin-ling-san itu.
***************
Tubuh anak
itu penuh luka-luka, bukan luka yang berbahaya, akan tetapi cukup membuat
seluruh tubuh terasa nyeri, bengkak-bengkak dan matang biru, dan ada pula yang
terobek kulitnya hingga mengeluarkan sedikit darah yang kini sudah mengering
dan menghitam. Pakaiannya robek-robek sehingga keadaan Kun Liong pada waktu dia
melarikan diri itu seperti seorang anak pengemis.
Kini dia
tidak berlari lagi karena tidak ada orang mengejarnya. Setengah malam penuh dia
melarikan diri, naik turun bukit dan masuk keluar hutan. Kini matahari telah
naik tinggi dan dia berjalan dengan tubuh sakit-sakit dan lelah. Dia
bersungut-sungut.
Betapa
kejamnya manusia, pikirnya. Manusia seakan-akan merupakan tungku berisikan api
panas yang mudah sekali mengeluarkan asap dan membakar siapa saja yang datang
mendekatinya. Mudah sekali manusia marah dan berubah menjadi seperti binatang
buas.
Ahh, lebih
buruk dan lebih jahat lagi. Binatang buas menyerang bukan semata-mata untuk
menyakiti, membalas dendam, atau pun karena marah, melainkan karena membutuhkan
mangsa, untuk dimakan, seperti manusia menuai gandum untuk dimakan.

Akan tetapi
manusia, hanya karena tersinggung hatinya atau dirinya atau rumahnya atau
miliknya, bisa menjadi marah, sakit hati dan siap untuk membunuh! Ayahnya
sendiri tidak terkecuali. Karena tanpa disengaja menyebabkan tumpahnya obat,
sudah pasti ayahnya akan marah sekali kepadanya.
Dan
orang-orang kampung itu! Kepala kampung itu! Dia tidak sengaja membakar rumah,
juga Kepala Koki tidak sengaja. Namun, hampir kepala koki itu dibunuh oleh
mereka. Dan jika dia tidak dapat cepat melarikan diri, tentu sekarang dia sudah
tak nyawa lagi! Hanya akibat rumahnya terbakar oleh kecelakaan yang tak disengaja
olehnya. Seolah-olah kalau membunuhnya, rumah yang terbakar itu akan pulih
kembali! Betapa kejamnya manusia!
Karena
pikirannya terganggu oleh rasa penasaran, Kun Liong tidak ingat akan perutnya
yang lapar. Setelah terjadi peristiwa kebakaran di dusun itu, dia makin tidak
berani pulang betapa pun ingin hatinya. Kalau saja tidak terjadi peristiwa yang
tentu akan membuat ayahnya makin marah kepadanya itu, dia akan nekat pulang dan
rela menerima hukuman ayahnya karena menumpahkan obat.
Dia sudah
rindu kepada ibunya, rindu kepada kamarnya yang nyaman. Akan tetapi dia tahu
betapa ayahnya akan marah besar bila mana mendengar bahwa dia telah menjadi
penyebab kebakaran sehingga hampir saja dia dikeroyok mati oleh orang-orang
sedusun! Kesalahan terhadap ayah bundanya sendiri, ayahnya masih bersikap
lunak. Akan tetapi kesalahan kepada orang lain pasti akan membuat ayahnya marah
bukan main.
Masih
berdengung di telinganya betapa ayahnya secara keras, dan ibunya secara halus
selalu memperingatkannya agar dia menjadi seorang anak baik, rajin dan pandai
supaya kelak dia menjadi seorang pendekar budiman! Pendekar budiman, sampai
hafal dia akan sebutan itu! Hafal dengan penuh rasa muak! Dia tidak ingin
menjadi pendekar budiman! Dia tidak sudi! Biarlah dia menjadi Kun Liong yang
biasa saja!
Menjelang
senja dia tiba di luar sebuah dusun. Barulah terasa olehnya betapa perutnya
lapar bukan main, tubuhnya sakit-sakit dan kedua kakinya lelah dan lemas.
Teringat akan pakaiannya dan sakunya yang kosong sama sekali, timbul pikirannya
untuk mencontoh perbuatan dua orang anak pengemis di dusun yang kebakaran. Akan
tetapi pemikiran ini segera dilawannya. Dia akan bekerja, apa saja membantu
orang sebagai pengganti nasi pengisi perutnya!
Karena
melamun, kakinya yang sudah lelah terantuk batu dan ia pun jatuh menelungkup.
Sejenak dia tinggal berbaring menelungkup, meletakkan pipinya di atas tanah.
Bau tanah yang sedap, hawa dari tanah yang hangat, membuat dia merasa senang
dan nyaman sekali. Betapa nikmatnya rebah seperti itu selamanya, tidak bangun
lagi!
Rasa lapar
di perutnya berkurang ketika perutnya dia tekankan kuat-kuat kepada tanah. Dia
merasa seolah dipeluk dan dibelai tanah, seperti kalau dia dipeluk ibunya. Tak
terasa dua titik butir air mata turun dari pelupuk matanya. Betapa rindu dia
kepada ibunya.
"Ibu...,"
dia berbisik, memejamkan mata menahan isak.
Tiba-tiba
dia mengangkat muka lalu bangkit duduk dan memandang ke depan. Ketika dia rebah
dengan pipi di atas tanah tadi, telinganya menangkap suara langkah-langkah
kaki. Dia cepat bangun berdiri ketika melihat serombongan orang berjalan keluar
dari dalam dusun itu mengiringkan sebuah peti mati yang dipikul oleh delapan
orang.
Penglihatan
ini serta-merta mengusir semua persoalan dirinya. Ada orang mati diantar ke
tempat penguburan! Kun Liong memandang bengong pada waktu iring-iringan itu
lewat di depannya menuju ke sebuah tanah kuburan yang tampak dari situ, di
lereng sebuah bukit.
Dia melihat
beberapa orang mengiringkan peti jenazah sambil menangis sesenggukan. Ada pula
yang diam saja, tidak memperlihatkan muka susah atau senang, akan tetapi ada
pula beberapa orang pengiring yang saling bercakap-cakap diselingi mulut
tertawa tanpa mengeluarkan suara.
Sering pula
Kun Liong menyaksikan keadaan serupa itu di kota. Dalam satu iring-iringan
kematian, memang sanak keluarga si mati ada yang menangis, entah menangis
sungguh-sungguh atau hanya menangis buatan, akan tetapi banyak pula di antara
para pengiring yang melayat sambil bersendau-gurau, sungguh pun suara ketawa
mereka selalu mereka tahan.
Tiba-tiba
Kun Liong memandang bengong kepada seorang kakek yang berjalan paling akhir.
Kakek ini kelihatan gembira sekali! Wajahnya berseri dan walau pun sudah penuh
keriput, jelas bahwa kakek itu tertawa-tawa gembira, seolah-olah bukan tengah
mengiringi kematian, melainkan mengiringkan mempelai!
Lupa akan
rasa nyeri, lelah dan lapar karena tertarik oleh iring-iringan kematian,
terutama sekali akan sikap kakek yang tertawa-tawa, Kun Liong menggerakkan
kaki, melangkah maju mengikuti iring-iringan yang menuju ke tanah kuburan di
lereng bukit itu.
Upacara
pemakaman dilakukan dengan sederhana dan cepat seperti biasanya penduduk dusun
dan setelah peti mati itu dikubur, semua pengiring lalu bubar meninggalkan
tanah kuburan karena senja telah mulai larut. Hanya ada tiga orang yang masih
tinggal di tanah kuburan yaitu Si Kakek Tua yang masih nampak gembira, seorang
laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang masih berlutut menangis di depan
gundukan tanah kuburan baru, dan Kun Liong yang berdiri menonton dari jauh.
"Aihhh,
Akian, mengapa engkau menangis terus tiada hentinya?" Si Kakek itu
melangkah maju mendekati lelaki itu, duduk di atas batu nisan dekat kuburan
baru, menegur dengan nada suara mengejek.
Orang yang
bernama Akian itu mengangkat mukanya yang agak pucat, dan sepasang matanya yang
merah akibat terlalu banyak menangis itu memandang tak senang pada Si Kakek.
Akan tetapi agaknya dia sudah biasa menghormat kakek itu, maka jawabnya,
"Paman
Lo, orang menangis merupakan tanda berduka, dan seorang anak yang kematian
ayahnya, tentu saja berduka. Apa anehnya jika aku menangisi kematian ayahku?
Paman hanya sahabatnya, tentu saja tidak dapat merasakan seperti saya."
Kakek itu
meraba-raba jenggotnya yang panjang dan sudah berwarna dua. "Heh-heh-heh,
sebetulnya siapakah yang kau kutangisi itu, Akian?"
"Tentu
saja Ayah yang kutangisi, Paman!" jawabnya penasaran karena dia merasa
betapa pertanyaan itu bodoh dan tidak perlu.
"Benarkah?
Kalau ayahmu yang kau tangisi, mengapa kau tangisi?"
Kalau saja
tidak ingat bahwa kakek itu adalah sahabat baik ayahnya, dan sudah biasa
dihormatnya, tentu akan dimaki atau bahkan dipukul. Akan tetapi kakek itu sudah
terlalu tua, agaknya sudah pikun, maka dengan suara terpaksa dia menjawab,
"Dia
kutangisi karena dia mati!"
"Hemm,
kalau dia mati, mengapa ditangisi?" kakek itu mendesak.
Kun Liong
menjadi penasaran seperti orang yang ditanya, karena dalam tanya jawab itu anak
ini menangkap sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuka kesadaran sehingga
membuatnya merasa betapa pertanyaan-pertanyaan kakek itu sama sekali bukan
bodoh atau ngawur, melainkan pertanyaan yang penting dan perlu diselidiki
jawabnya.
"Aihh,
Paman. Kenapa Paman masih bertanya lagi? Tentu saja karena mati dia kutangisi,
sebab dia meninggalkan kami untuk selamanya, dia meninggalkan aku untuk
selamanya dan kami tak akan saling dapat berjumpa selamanya."
"Ha-ha-ha-ha-ha!
Nah, sekarang baru ternyata bahwa yang kau tangisi bukanlah ayahmu, melainkan
engkau sendiri, Akian! Engkau menangis dan berduka bukan karena ayahmu mati,
bukan karena melihat ayahmu menghadapi kesulitan, melainkan menangisi dirimu
sendiri yang ditinggal pergi!"
Mendengar
ini, Akian terbelalak, terkejut bukan main dihadapkan dengan kenyataan yang
sulit dibantahnya ini. Hatinya lantas merasa ngeri dan dia merasa berdosa besar
terhadap ayahnya jika benar bahwa dia menangis bukan menangisi ayahnya,
melainkan menangisi dan mengasihani dirinya sendiri! Maka dia cepat membantah
untuk membela diri,
"Akan
tetapi aku menangis tanpa mengingat diri sendiri, Paman. Aku merasa kasihan
terhadap ayah yang meninggal dunia!"
"Hemmm,
benarkah itu? Apakah engkau tahu bagaimana keadaan ayahmu setelah mati? Apakah
engkau yakin bahwa ayahmu menghadapi kesengsaraan setelah meninggal dunia
sehingga engkau merasa kasihan dan menangis penuh duka melihat kesengsaraannya?
Ataukah engkau menangis karena engkau kehilangan ayahmu, tak dapat melihatnya
lagi, tidak akan dapat berbicara dengannya lagi, tidak ada lagi yang dapat kau
sandari sebagai seorang ayah? Ha-ha-ha-ha, aku tidak mau menangis melihat dia
mati, Akian, padahal dia sahabatku yang paling baik. Engkau tahu sendiri,
setiap hari dia jalan-jalan dengan aku, minum arak, main kartu, mengobrol
dengan aku. Akan tetapi aku tidak mau menangisi kehilanganku, aku malah girang
karena sahabat baikku itu telah terbebas dari pada hidup yang serba sulit ini,
terhindar dari kesengsaraan hidup."
"Benarkah
itu, Paman Lo?" tiba-tiba saja Akian membantah dan menyerang.
"Bagaimana Paman bisa tahu bahwa ayah terbebas dari kesulitan hidup,
terhindar dari kesengsaraan? Apakah Paman melihat sendiri dan sudah yakin akan
hal itu maka Paman tertawa-tawa gembira? Ataukah semua itu pun hanya merupakan
harapan dan hiburan bagi hati Paman sendiri belaka?"
Mulut kakek
yang tadinya tersenyum lebar itu tiba-tiba saja kehilangan serinya, matanya
terbuka lebar dan dia melongo, memandang jauh seperti orang melamun, ragu-ragu
dan tanpa disadarinya, jari tangannya mencabut-cabut jenggot sampai akhirnya
dia menarik napas panjang berulang-ulang. "Aihhh... aku tidak ingat akan
hal itu... hemmm... sekarang aku pun bingung dan ragu apakah aku tertawa demi
ayahmu, ataukah hanya demi diriku sendiri..."
Dua orang
itu duduk melamun di depan kuburan baru itu, tidak tahu betapa seorang anak
laki-laki kecil melangkah perlahan-lahan mendekati mereka. Kun Liong yang
mendengar percakapan itu, merasa tertarik sekali dan dia merasa betapa benarnya
mereka berdua itu, membuka mata masing-masing akan kepalsuan dan kekeliruan
mereka sehingga dia sendiri pun dapat melihat betapa picik, penuh rasa iba
diri, pura-pura dan palsu adanya sikap orang-orang yang kematian. Akan tetapi
dia sendiri pun tidak tahu apa yang menjadi penyebab orang-orang itu bersikap
seperti itu.
"Aku
hanya merasa kasihan dan menyesal kalau teringat betapa Ayah mati karena
gigitan ular berbisa...," terdengar suara Akian memecah kesunyian.
"Tak
perlu disesalkan, sudah terlalu banyak penduduk dusun kita itu mati oleh
gigitan ular beracun yang memenuhi hutan di selatan itu. Memang menggemaskan
ular-ular itu..."
"Mengapa
tidak dilawan saja ular-ular itu?"
Mereka kaget
dan menengok, lebih heran lagi ketika melihat bahwa yang menganjurkan melawan
ular-ular itu hanyalah seorang anak laki-laki yang masih kecil, yang tubuhnya
bengkak-bengkak dan matang biru, pakaiannya koyak-koyak dan kelihatannya lemas
dan pucat.
"Aihhh,
siapakah engkau?" Akian bertanya, agak seram melihat munculnya seorang
anak laki-laki yang tak dikenal di tanah kuburan, pada waktu senja larut dan
cuaca mulai agak gelap itu.
"Siapa
aku tidak penting, Paman. Akan tetapi kenapa sampai ada ular membunuh orang?
Mengapa ular-ular berbisa itu tidak ditangkap?"
Kakek itu
bangkit berdiri. "Bocah, kau bicara sembarangan saja! Siapa berani
menangkap ular berbisa?"
"Hemmm,
sejak kecil aku sudah biasa menangkap ular!" Kun Liong berkata, "Dan
sudah biasa pula makan daging ular berbisa."
"Aku
tidak percaya!" Akian juga bangkit berdiri.
Tiba-tiba
hidung Kun Liong mencium sesuatu dan cuping hidungnya berkembang-kempis.
"Harap kalian mundur, ada ular berbisa di sini, akan kutangkap agar kalian
dapat melihat bahwa manusia tidak kalah oleh ular yang mana pun juga!"
Biar pun
ular itu belum tampak, kakek dan laki-laki itu meloncat ke belakang Kun Liong
dengan ketakutan. Kun Liong lalu melangkah maju, menghampiri sebelah bawah
sebuah kuburan tua yang berada dekat dengan kuburan baru itu.
Kun Liong
mendekatkan hidungnya pada sebuah lubang dan ternyata benar dugaannya. Bau ular
itu keluar dari lubang ini. Kun Liong segera mempergunakan tangan kanannya
menepuk-nepuk sebelah atas lubang dengan telapak tangan dan mulutnya
mengeluarkan bunyi mencicit seperti bunyi anak tikus.
Dua orang
itu berdiri dengan mata terbuka lebar, dan mata mereka menjadi lebih lebar lagi
ketika tiba-tiba dari dalam lubang itu keluar kepala seekor ular hitam yang
lidahnya merah! Semakin lama semakin panjang tubuh ular itu tersembul keluar,
dan secepat kilat tangan kiri Kun Liong menyambar dan ular itu sudah ditangkap
pada lehernya, kemudian dibuat tidak berdaya dan lumpuh seperti biasa.
"Wah,
kiranya engkau benar-benar dapat menangkap ular!" Akian berseru girang
seperti bersorak.
"Eh,
anak kecil, bagaimana engkau berani melakukan ini? Ular-ular di sini... eh,
maksudku di hutan sebelah selatan, adalah ular-ular peliharaan...," kata
Si Kakek.
"Apa...?"
Kun Liong bertanya tidak percaya. "Siapa yang memelihara ular?"
"Ssstt,
Paman, harap jangan main-main..." Akian berkata, memandang ke kanan kiri
dan kelihatan takut-takut.
"Tidak
ada yang tahu betul siapa yang memelihara, anak aneh, akan tetapi ular raksasa
yang berada di tengah hutan tentu akan membunuhmu karena engkau sudah berani
menangkap ular ini."
"Ular
raksasa? Di mana binatang itu?"
"Di
tengah hutan sebelah selatan dusun kami," kata Si kakek, tanpa
mempedulikan Akian yang beberapa kali menaruh telunjuk di depan bibir yang
mendesis-desis sebagai isyarat menyuruh kakek itu diam.
"Kalau
benar ada ular raksasa yang suka mengganggu penduduk, biarlah besok pagi aku
akan menangkapnya!" Kun Liong berkata dengan nada suara gagah.
Kakek itu
saling pandang dengan Akian, kemudian dia mengejap-ngejapkan sepasang matanya.
Kepada Kun Liong dia berkata, "Benarkah itu, anak yang ajaib? Dan engkau
juga bisa mengobati orang yang kena digigit ular berbisa?"
"Aku
dapat, Kek. Apakah masih ada korban ular berbisa?"
"Ada
dua orang, di dusun kami!" Akian kini berkata tergesa-gesa dan penuh
harapan.
"Antarkan
aku kepada mereka, akan kuobati. Cepat, jangan sampai terlambat!" kata Kun
Liong.
Kakek Lo dan
Akian lalu mengajak Kun Liong berlari-lari menuju ke dusun dan mereka disambut
oleh penduduk dusun yang terheran-heran memandang Kun Liong yang masih memegang
seekor ular hitam, apa lagi ketika mereka mendengar penuturan Si Kakek Tua
bahwa anak ajaib itu akan mengobati dua orang yang terkena gigitan ular
berbisa.
Kun Liong
diantar kepada ayah dan anak yang siang tadi digigit ular berbisa pada waktu
mereka sedang mencari kayu kering di pinggir hutan. Keduanya digigit ular pada
betis kaki mereka yang kini menjadi bengkak dan biru. Anak yang usianya sebaya
dengan Kun Liong itu pingsan, ada pun si ayah rebah gelisah, mengigau dengan
tubuh panas seperti anaknya.
Ibu anak itu
menangis, akan tetapi tangisnya dipaksa berhenti ketika mendengar bahwa anak
yang tampan dan berpakaian koyak-koyak itu datang untuk mengobati suami serta
anaknya. Berbondong-bondong orang dusun mengikuti Kun Liong memasuki rumah
petani itu.
Sesampainya
di depan pintu kamar, Kun Liong berhenti, membalikkan tubuh dan berkata,
"Harap para paman dan bibi suka menunggu di luar saja. Tidak baik kalau
kamar yang menderita sakit dipenuhi orang."
Kakek Lo
segera melangkah maju mendekati Kun Liong, lantas berkata dengan suara lantang,
"Tabib kecil ini berkata benar! Hayo kalian keluar semua! Apa dikira ini
tontonan? Susah payah aku yang menemukan anak ajaib ini berhasil membawanya ke
sini untuk menyelamatkan dusun kita. Hayo pergi kataku, pergi keluar!"
Dengan lagak
bangga kakek itu mendesak mereka keluar dan hanya memperbolehkan nyonya rumah,
dia sendiri, dan Akian yang dianggap sekutunya dalam menemukan Kun Liong,
mengantar anak itu memasuki kamar dua orang korban gigitan ular berbisa itu.
Dengan sikap
sungguh-sungguh Kun Liong memeriksa luka di kaki ayah dan anak itu. Dia memang
sudah agak matang memperoleh pelajaran tentang racun ular dari ibunya yang
menganggap betapa pentingnya pengetahuan ini, maka sekali pandang saja
maklumlah Kun Liong bahwa kedua orang itu digigit ular belang. Cepat dia
menuliskan nama-nama obat yang harus dibelinya dari kota, kemudian dia minta
sebuah pisau yang runcing tajam, merobek kulit bagian kaki yang menggembung serta
mengeluarkan darah hitam dengan jalan memijat dan mengurut.
Kakek Lo
segera menyuruh seorang penduduk lari ke kota membeli obat. Setelah orang itu
kembali membawa obat, menurutkan petunjuk Kun Liong obat itu sebagian dimasak
dan diminumkan yang sakit, sebagian yang berupa bubuk merah dicampur air panas
dan ditaruh di atas luka lalu luka itu dibalut. Dapat dibayangkan betapa lega
dan girang hati nyonya rumah ketika melihat suami dan puteranya itu dapat tidur
pulas dan tubuh mereka tidak terasa panas lagi. Serta merta dia menjatuhkan
diri berlutut di depan Kun Liong yang cepat-cepat membangunkan kembali.
Kakek Lo
dengan bangga dan girang berkata, "Aihh, Siauw-sinshe, kepandaianmu
seperti dewa! Harap saja engkau benar-benar akan dapat membersihkan ular-ular
itu dari hutan di selatan agar keselamatan kami di dusun ini dapat
terjamin,"
Kun Liong
mengangguk. "Jangan khawatir, Kakek yang baik. Besok aku akan mencoba
menangkap ular raksasa yang kau ceritakan tadi. Sekarang aku perlu sebuah
tempat tidur dan... hemm, perutku lapar bukan main. Sejak kemarin malam aku
belum makan..."
"Aihhh!
Kenapa tidak dari tadi bilang? Marilah ke rumahku, kami sediakan kamar untukmu
dan tentang makan, tidak perlu khawatir. Marilah!" Dia menggandeng tangan
Kun Liong, menariknya ke luar untuk diajak menuju ke rumahnya. Ketika sampai di
luar pintu, dia berkata kepada orang-orang yang menanti di luar.
"Kini
mereka telah sembuh, disembuhkan oleh anak ajaib ini! Dan ketahuilah, besok
pagi anak dewa yang kutemukan ini, yang malam ini akan makan dan tidur di
rumahku, akan menangkap ular raksasa dan membasmi semua ular berbisa di hutan
selatan!"
Tanpa
menanti jawaban kakek itu menarik tangan Kun Liong pergi dari situ, tidak
peduli akan seruan-seruan heran dan takjub dari orang-orang yang menimbulkan
kebanggaan di dalam hatinya. Betapa dia tidak akan bangga? Dia yang menemukan
anak ajaib ini!
Akian
memperoleh kesempatan untuk mendongeng tentang ‘anak ajaib’ yang ia dapatkan
bersama Kakek Lo. Kalau saja Kun Liong mendengar bagaimana Akian bercerita
tentang dirinya, tentang kemunculannya yang dikatakan melayang turun dari
angkasa, betapa dia menangkap ular dengan mantera, dan beberapa macam keanehan
lagi, tentu Kun Liong sendiri akan terheran-heran, lebih heran dari pada
orang-orang dusun itu sendiri!
Kakek Lo
tidak kekurangan hidangan untuk menjamu Kun Liong karena begitu mereka memasuki
rumah kakek itu, berbondong-bondong para penduduk mengantar hidangan seadanya
yang masih mereka punyai sehingga tidak lama kemudian Kun Liong sudah duduk menghadapi
meja yang penuh dengan hidangan, dilayani sendiri oleh Kakek Lo dan keluarganya
yang terdiri dari anak laki-laki, mantu dan tiga orang cucu.
Sesudah
makan kenyang, malam itu Kun Liong tidur dengan nyenyak sekali dan pada
keesokan harinya, Kakek Lo menyambutnya dengan pakaian baru yang ukurannya
tepat sekali bentuknya. "Pakaianmu sudah koyak-koyak semua, pakailah
pakaian ini, pakaian cucuku yang masih baru, belum pernah dipakainya sama
sekali."
Kun Liong
tak menolak dan setelah mandi, dia mengenakan pakaian baru itu. Rambutnya
disisir rapi lalu digelung dan diikat dengan sehelai sapu tangan sutera. Juga
pemberian sepatu baru dipakainya.
"Hebat!
Engkau tentu seorang kongcu, seorang putera bangsawan!" Kakek Lo berseru
dan memandang kagum kepada anak yang berdiri di depannya, segar dan tampan
sekali.
"Bukan,
Kek. Aku bukan anak bangsawan, Ayah bundaku hanyalah ahli-ahli obat biasa
saja."
"Siapakah
namamu, Siauw-sinshe?"
"Aku
she Yap, namaku Kun Liong."
"Yap-kongcu
(Tuan Muda Yap)...!"
"Wah,
aku bukan seorang kongcu, aku anak biasa. Panggil saja namaku, Kek."
"Ahhh,
tidak, siapa percaya? Yap-kongcu, silakan keluar, di depan rumah sudah menanti
para penduduk, bahkan kepala dusun ini sendiri datang untuk bertemu
denganmu."
Kun Liong
kaget dan merasa betapa penduduk telah menghormatinya secara berlebihan. Ketika
dia keluar, benar saja dia melihat penduduk sudah berkumpul di depan rumah itu,
dipimpin oleh kepala dusun yang menjura dengan sikap hormat kepada Kun Liong
sambil berkata,
"Kami mewakili
penduduk dusun Coa-tong-cung berterima kasih sekali kepada Siauw-kongcu yang
telah menolong kami menyembuhkan dua penduduk yang terluka dan akan menangkap
ular raksasa yang banyak mengganggu kami."
"Harap
Cuwi tidak bersikap sungkan," kata Kun Liong malu-malu. "Aku hanya
melakukan apa yang dapat kulakukan, dan memang sudah biasa aku menangkap ular.
Hanya saja, terus terang kukatakan bahwa selamanya aku belum pernah menangkap
ular yang besar. Akan kucoba menundukkannya dan kuharap supaya disediakan
seekor ayam betina yang gemuk dengan tali panjang mengikat kakinya untuk
umpan."
Kepala dusun
cepat memerintahkan orangnya untuk menyediakan permintaan Kun Liong, kemudian
beramai-ramai mereka mengantarkan anak itu ke dalam hutan di selatan Dusun
Coa-tong-cung (Dusun Goa Ular). Akan tetapi tidak seorang pun berani memasuki
hutan, hanya berdiri saja di luar hutan yang kelihatan gelap itu dengan wajah
membayangkan kengerian.
"Mengapa
Cuwi (Kalian) berhenti? Siapa yang akan menunjukkan kepadaku tempat ular raksasa
itu?"
Semua orang
menunduk, akan tetapi Kakek Lo langsung melangkah maju dan berkata dengan suara
dipaksakan dan dada dibusungkan, "Aku akan menemanimu, Yap-kongcu!"
"Aku
juga!" Akian melangkah maju pula.
"Hemmm…,
memang sebaiknya ada yang mengawal kalau-kalau Siauw-kongcu ini perlu
bantuan," kata kepala dusun yang menggunakan wibawanya lalu memilih
sepuluh orang pemuda-pemuda yang bertubuh kuat dan membawa senjata, dan dia
sendiri memimpin sepuluh orang itu mengikuti Kun Liong, Kakek Lo, dan Akian
memasuki hutan.
Setelah tiba
di tengah hutan, di bagian yang berbatu-batu, Akian menuding ke depan dan semua
pengikut itu tiba-tiba berhenti, wajah mereka berubah. pucat dan tak seorang
pun berani maju lagi.
Kun Liong
memandang ke depan. Hidungnya sudah mencium bau keras, bau wengur yang
menandakan bahwa di dekat situ terdapat seekor ular besar. "Harap Cuwi
menanti saja di sini," katanya.
Dia lalu
membawa ayam betina yang telah diikat kakinya itu, perlahan-lahan menghampiri
sebuah goa di antara batu-batu gunung. Setelah dia menyelinap di antara
batu-batu dan tiba di mulut goa, tampaklah olehnya seekor ular yang amat besar
dan panjang.
Mula-mula
ketika dia tiba di situ, ular itu sedang melingkar, akan tetapi agaknya ular
itu telah melihat kedatangannya. Ular itu mendesis kemudian tubuhnya yang
melingkar mulai bergerak-gerak, lingkarannya terlepas sehingga tampaklah tubuh
yang panjang sekali, tak kurang dari empat meter panjangnya, dan besar perutnya
melebihi paha Kun Liong!
Sesudah
berada di depan ular yang mendesis-desis dan lidah merahnya keluar masuk mulut
dengan cepat sekali itu, Kun Liong berhenti. Terlalu berbahaya kalau mendekat
lagi. Dia mengukur jarak antara dia dan ular, dan mengingat apa yang telah dipelajarinya
dari ibunya.
Ibunya
pernah menundukkan seekor ular besar, meski pun tidak sebesar ular di depannya
ini. Menurut pelajaran yang diberikan oleh ibunya, seekor ular besar berbeda
bahayanya dengan ular kecil yang beracun. Ular kecil gigitannya mematikan
karena mengandung bisa. Akan tetapi seekor ular besar yang tak berbisa seperti
ini, bahayanya terletak pada mulut yang dapat menjadi lebar sekali, yang
gigitannya tidak mungkin dapat dilepaskan oleh Si Korban, dan juga terletak
pada belitan tubuhnya yang amat kuat.
Untuk
membuat mulut lebar itu tidak berdaya, harus dipergunakan umpan, karena sekali
ular itu menggigit korbannya, gigi-giginya yang melengkung ke dalam itu akan
merupakan kaitan yang sukar melepaskan si korban dan dalam keadaan menggigit
korbannya, ular itu tidak dapat menyerang lawan dengan mulutnya. Mudah untuk
membuat mulut itu tidak berdaya, pikir Kun Liong, yang berbahaya adalah belitan
tubuh ular itu. Harus cepat dapat menotok tengkuk di belakang kepala sehingga
tubuh itu menjadi setengah lumpuh.
Ular itu
kini mengeluarkan desis keras sesudah Kun Liong melepaskan ayamnya. Ayam betina
gemuk itu mengenal bahaya. Dia meronta-ronta dan menggerakkan sayap hendak lari
dan terbang, akan tetapi tali yang mengikat kaki itu menahannya. Dengan mata
yang memandang tanpa berkedip, Kun Liong menggerakkan talinya sehingga tubuh
ayam itu terlempar ke depan, ke dekat ular.
Menakjubkan
melihat ular sebesar itu, membayangkan kelambanan, dapat menggerakkan kepala
dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu ayam itu sudah memekik-mekik serta
meronta-ronta, namun tak mungkin dapat melepaskan diri dari gigi-gigi runcing
yang telah menancap pada tubuhnya dan mengait daging serta tulangnya.......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment