Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 04
KUN LIONG
menanti sebentar, melihat ayam yang meronta-ronta dan memekik-mekik itu mulai
lemas, dan beberapa kali moncong ular itu bergerak ke depan secara mendadak,
memaksa tubuh korbannya masuk makin dalam, kemudian dengan gerakan ringan Kun
Liong langsung meloncat ke dekat kepala ular, menubruk dan merangkul leher ular
yang menegakkan kepalanya, menggunakan jari tangannya mengerahkan semua tenaga
untuk memijat dan memukul tengkuk ular.
Bau yang
amis dan wengur membuatnya muak, dan melihat moncong ular yang besar itu dia
merasa ngeri juga. Apa bila moncong ular itu tidak penuh dengan ayam yang mulai
ditelan berikut bulu-bulunya, tentu dia yang menjadi korban dan kiranya ular
itu tidak akan menghadapi kesukaran untuk menelan tubuhnya bulat-bulat.
Ular itu marah
sekali, akan tetapi karena dia tidak dapat menyerang dengan mulutnya yang penuh
ayam, dia hanya mempergunakan tubuhnya untuk membelit. Pukulan pada tengkuknya
mendatangkan rasa nyeri dan ketika Kun Liong akhirnya berhasil menotok urat
kelemahan binatang itu di tengkuk, tubuh ular itu telah berhasil pula membelit
tubuh Kun Liong, menggunakan tenaga dari ekornya!
Kun Liong
menggunakan lengannya melindungi leher karena dia maklum bahwa apa bila sampai
lehernya terbelit dan tercekik, dia tidak akan dapat melepaskan diri lagi dan
tentu akan mati. Dia berhasil melindungi leher, akan tetapi pinggang, kedua
kaki, dada, dan lengannya terhimpit dan terbelit, membuat dia sukar bernapas
dan tidak dapat bergerak!
Saat melihat
betapa kepala dusun dan anak buahnya yang menyaksikan keadaannya itu datang
mendekat dengan senjata di tangan, siap membantunya, Kun Liong menggeleng
kepala dan berkata, "Jangan...!"
Dia merasa
khawatir sekali karena kalau orang-orang itu menyerbu lantas melukai ular besar
ini, tentu ular itu akan makin marah dan memperkuat libatannya dan hal ini
berarti ancaman maut baginya.
Untung bahwa
kepala dusun itu seorang yang cukup cerdik untuk dapat mengerti bahwa kalau
keadaan anak itu terancam bahaya, tidak mungkin anak itu menolak untuk dibantu.
Maka dia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk diam, dan mereka itu kini
hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran dan melihat Kun Liong
bergulat dalam usahanya membebaskan diri dari belitan tubuh ular yang licin dan
amat kuat itu. Biar pun tubuh bagian leher setengah lumpuh, namun tenaga dari
ekornya masih sangat kuat dan agaknya ular itu hendak membuat tubuh Kun Liong
remuk dengan himpitannya.
Kun Liong
maklum bahwa keadaannya berbahaya. Biar pun dia telah berhasil memukul tengkuk
ular itu sehingga untuk sementara ular itu tidak dapat menelan tubuh ayam dan
mulutnya takkan menggigitnya, akan tetapi tenaga pukulannya tidak cukup kuat
sehingga ular itu hanya akan lumpuh untuk beberapa saat lamanya saja. Bila mana
ular itu dapat memulihkan kembali tenaganya, menelan tubuh ayam tadi dan
mulutnya sudah kosong, tentu dia tidak akan tertolong lagi. Sekali gigit dia
akan mati dan tubuhnya akan ditelan perlahan-lahan ke dalam perut yang besar
itu.
Kembali Ilmu
Sia-kut-hoat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya dia pergunakan untuk
menolong dirinya. Dengan menggunakan ilmu ini, biar pun perlahan-lahan karena
belitan ular itu betul-betul amat kuat, akhirnya Kun Liong dapat membebaskan
kedua lengannya. Ekor ular itu ikut membelit ke pinggangnya, maka mudah baginya
untuk menangkap ekor ular itu dan dengan sekuat tenaga dia menarik dan membetot
bagian ekor ular itu sampai terdengar bunyi suara tulang berkerotok, tanda
bahwa sambungan tulang di ekor itu telah terlepas!
Karena kedua
ujung tubuhnya yang menjadi serupa pegangan dan pusat tenaganya telah menjadi
lumpuh, ular itu lalu kebingungan. Tubuhnya bergerak-gerak lemah dan otomatis
libatannya menjadi kendur sehingga dengan mudah Kun Liong dapat melepaskan diri
dan meloncat keluar dari lilitan tubuh ular yang melingkar-lingkar.
"Dia
sudah dapat kujinakkan!" katanya kepada orang-orang yang menonton dengan
heran dan kagum. Akan tetapi karena tubuh ular besar itu masih bergerak-gerak,
orang-orang itu masih merasa takut dan tidak berani datang mendekati.
"Dia
tidak akan dapat menggigit atau melilit lagi. Kita ikat leher dan ekornya, bawa
pulang ke dusun. Dagingnya enak sekali! Juga kulitnya amat berharga" kata
Kun Liong.
Kakek Lo
menjadi orang pertama yang melompat ke depan mendekati ular. Dia mengulur
tangan menepuk-nepuk kepala ular itu dan pada saat melihat betapa ular itu sama
sekali tidak menyerangnya, dia tertawa terkekeh-kekeh sehingga semua orang
menjadi berani. Beramai-ramai mereka mengikat ular itu dengan tali yang memang
sudah mereka bawa dari dusun.
Kun Liong
lalu menangkap-nangkapi ular-ular beracun kecil sampai belasan ekor lebih. Kini
sambil memanggul ular yang sudah diikat dan membawa ular-ular berbisa kecil
yang sudah lumpuh, penduduk dusun yang dipimpin kepala kampung itu tertawa-tawa
gembira dan penuh kebanggaan, berjalan beriring hendak keluar dari dalam hutan.
"Mudah
saja untuk mengusir ular-ular dari hutan ini," Kun Liong sibuk memberi
penjelasan kepada kepala dusun. "Cuwi dapat mempergunakan bubukan garam
untuk mengusir ular. Ular-ular itu paling takut karena garam dapat mencelakakan
mereka, menjadi racun yang merusak kulit mereka. Pertama-tama Cuwi sebarkan
garam di bagian hutan yang dekat dusun, atau dapat juga dipergunakan api untuk
membakar semak-semak. Pasti binatang-binatang itu akan lari ketakutan dan tidak
akan berani datang kembali, mereka akan mencari tempat persembunyian lain yang
lebih aman."
Tiba-tiba
rombongan itu berhenti berjalan ketika terdengar suara yang mirip suara suling,
akan tetapi aneh sekali, tidak seperti suling biasanya. Jelas bahwa suara itu
keluar dari sebuah alat tiup macam suling, hanya suaranya melengking terus
tanpa pernah berhenti sedikit pun dan nadanya naik turun, kalau naik menjadi
tinggi sekali sampai hampir tidak terdengar lagi dan seperti menusuk-nusuk
telinga, tapi kalau turun menjadi amat rendah seperti gerengan seekor harimau
yang menggetarkan jantung.
"Suara
apakah itu...?" Kun Liong bertanya.
Tetapi dia
tidak memerlukan jawaban lagi ketika menoleh dan melihat betapa orang-orang itu
saling pandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, kemudian mereka menahan
seruan kaget pada saat mendengar suara mendesis-desis dari sekeliling mereka,
disusul munculnya puluhan, bahkan ratusan ekor ular besar kecil yang mengurung
mereka!
Tadinya
ular-ular itu bergerak dan mendesis-desis akan tetapi tiba-tiba suara
melengking itu berubah pendek-pendek seperti memberi aba-aba dan... ular-ular
itu lalu berhenti, tak bergerak seperti mati!
"Apa...
apakah ini...?" Kun Liong kembali bertanya, memandang ke sekeliling dan
bergidik melihat betapa ular-ular itu memang telah mengurung mereka, agaknya
datang dari empat penjuru hutan itu dan seolah-olah binatang-binatang itu
terlatih sehingga dapat melakukan pengurungan yang rapat dan rapi! Tentu suara
suling aneh itu yang mengatur ‘barisan’ ular ini. Diam-diam dia kagum bukan
main.
Suara
melengking menghilang dan dapat dibayangkan betapa kaget hati penduduk dusun
itu ketika tiba-tiba saja, entah dari mana dan bagaimana datangnya, tahu-tahu
di hadapan mereka sudah berdiri seorang laki-laki yang luar biasa.
Dia adalah
seorang kakek berusia lima puluh tahun. Pakaiannya lorek-lorek seperti kulit
ular, tubuhnya kurus tinggi dan lehernya sangat panjang, kepalanya lonjong.
Benar-benar seorang manusia yang bentuk tubuhnya sangat ‘mendekati’ bentuk
ular!
Tangan orang
ini memegang sebuah benda yang bentuknya seperti suling, akan tetapi ujung
bagian depan besar dan terbuka seperti corong, agaknya sebuah alat tiup
terompet yang aneh. Di punggungnya tampak gagang sebatang pedang.
"Hahhh!
Siapa kalian ini yang berani mati sekali mengganggu anak buahku, mengganggu
binatang peliharaanku! Lepaskan mereka!"
Tiba-tiba ia
menggetarkan tangan kanannya ke depan. Ujung lengan bajunya menyambar ke depan
dan... semua ular yang dipegang oleh rombongan itu langsung terlepas karena mereka,
termasuk juga Kun Liong, tiba-tiba merasa ada angin menyambar dan membuat
lengan mereka seperti kehilangan tenaga dan lumpuh untuk beberapa detik
lamanya!
Kepala dusun
dan para anak buahnya sudah berdiri menggigil, bahkan ada yang saking takutnya
sudah menjatuhkan diri berlutut. Kun Liong teringat dengan cerita Kakek Lo dan
Akian yang pada saat itu sudah berlutut pula, yaitu cerita tentang ular-ular
hutan itu yang katanya ada yang memelihara. Kiranya cerita itu bukan cerita
bohong belaka karena kini benar-benar ada seorang manusia aneh yang mengakui
ular-ular itu sebagai anak buah dan peliharaannya!
Dia lalu
teringat pula akan penuturan ibunya bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat
manusia-manusia aneh yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki kesaktian.
Maka kini melihat orang aneh yang sekali menggerakkan tangan mampu membuat
mereka semua terpaksa melepaskan ular-ular yang ditangkapnya tadi, Kun Liong
dapat menduga bahwa tentu orang ini adalah seorang di antara manusia-manusia
sakti di dunia kang-ouw. Cepat dia melangkah maju dan memberi hormat dengan
merangkapkan kedua tangan di depan dada sambil berkata,
"Locianpwe
(Orang Tua Perkasa), harap Locianpwe tidak menyalahkan para penduduk dusun ini,
mereka tidak berdosa karena akulah yang telah menangkap ular-ular ini."
Sejenak
manusia aneh itu memandang ke arah ular-ular yang hanya mampu bergerak lambat,
termasuk ular besar yang telah setengah lumpuh, kemudian menoleh kepada Kun
Liong dan memandang dengan heran. "Ular-ularku ditotok dan dilumpuhkan!
Engkau yang melakukan ini? Dari mana engkau memperoleh ilmu menangkap
ular?"
"Pernah
kupelajari dari orang tuaku sendiri."
"Hemmm,
kalian manusia-manusia jahat dan lancang, sungguh berani melumpuhkan dan
menangkapi ular-ularku! Kalian tak berhak hidup lagi karena kalian telah berani
menghina Ban-tok Coa-ong!"
Mendengar
ini, kepala dusun menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh semua anak buahnya.
"Harap Locianpwe sudi mengampunkan kami..."
"Hemmm,
barang kali aku bisa mengampuni, akan tetapi ular-ularku ini pasti tidak!"
kata kakek itu sambil terkekeh, sikapnya kejam sekali.
Kun Liong
menjadi marah. Dia melangkah maju lagi dan berkata, "Locianpwe yang telah
memiliki nama julukan sedemikian menyeramkan tentu bukanlah seorang manusia
biasa, melainkan tokoh besar di dunia kang-ouw. Apakah Locianpwe tidak malu dan
tidak akan ditertawakan orang-orang gagah sedunia kalau Locianpwe membunuh
orang-orang dusun yang tidak mampu melawan?"
Kembali
kakek itu tercengang memandang wajah Kun Liong. Sikap dan ucapan bocah ini
benar-benar membuat dia kaget, heran, dan kagum.
"Kalian
telah mengganggu ular-ularku, karena itu sudah pantas dihukum. Siapa yang akan
mentertawakan aku?"
"Locianpwe
adalah seorang manusia, aku tidak percaya bahwa Locianpwe lebih sayang kepada
ular dari pada kepada manusia, membela ular dan memusuhi manusia!" kembali
Kun Liong membantah penuh penasaran.
"Ho-ho-ho-ha-ha-ha!
Aku disebut Coa-ong (Raja Ular), siapa lagi kalau bukan aku yang membela
ular-ular ini? Aku tidak sudi dimasukkan dalam kelompok manusia! Ular-ular ini
jauh lebih baik dari pada manusia!"
"Locianpwe
agaknya lupa bahwa ular-ular berbisa telah membunuh banyak manusia, dan
merupakan binatang ganas yang berbahaya bagi manusia!" Kun Liong membantah
terus, suaranya sama sekali tidak membayangkan rasa takut, bahkan terdengar
nyaring penuh penasaran.
"Apa
kau bilang?" Kakek itu. mencoba untuk melebarkan matanya, akan tetapi
hasilnya, sepasang matanya itu bertambah sipit hampir terpejam sama sekali.
Lehernya yang amat panjang bergerak-gerak makin memanjang sehingga kelihatannya
lucu sekali. Lengannya yang panjang dan dapat bergerak seperti ular merayap itu
menudingkan telunjuk tangan ke arah Kun Liong.
"Jangan
memutar balikkan kenyataan, ya? Kau hanya mengingat manusia yang terbunuh oleh
ular-ular, sama sekali tak ingat akan ular-ular yang terbunuh oleh manusia!
Mungkin perbandingannya tidak ada seratus lawan satu, seratus ekor ular sudah
dibunuh manusia dan baru seorang manusia yang terbunuh oleh ular! Hal itu pun
terjadi karena si manusia mengganggu ular, jika tidak, tak mungkin ada ular
menyerang manusia, kecuali ular besar yang menyerang apa saja kalau sudah lapar
karena membutuhkan penyambung hidup. Sedangkan manusia-manusia macam engkau
ini, menangkap dan membunuh ular untuk apa? Tanpa makan ular kalian masih dapat
hidup. Kau bilang ular-ular itu berbahaya bagi kehidupan manusia, bukankah itu
terbalik dan sesungguhnya, manusia-manusia macam kalian inilah yang amat
berbahaya bagi kehidupan ular?"
Muka Kun
Liong menjadi merah sekali. Di dalam hati anak yang masih belum rusak benar
oleh kepalsuan-kepalsuan seperti manusia dewasa, dia dapat menerima pendapat
kakek aneh itu dan dalam kewajarannya, dia mau tidak mau harus membenarkan
pendapat itu. Akan tetapi maklum bahwa nyawa kepala dusun beserta anak buahnya
terancam bahaya maut, dia segera membantah,
"Biar
pun pendapat Locianpwe tak dapat kusangkal kebenarannya, akan tetapi Locianpwe
adalah seorang manusia, tak mungkin Locianpwe hendak mengorbankan nyawa manusia
untuk membela ular!"
"Memang
aku raja ular! Bergaul dengan ular jauh lebih menyenangkan dari pada bergaul
dengan manusia-manusia yang palsu!"
Kakek itu
segera mendekatkan ujung terompetnya ke bibir sehingga terdengarlah suara
melengking yang dahsyat sekali, yang membuat Kun Liong dan semua penduduk dusun
itu menggigil kedua kakinya dan tidak dapat melangkah pergi dari tempat mereka
berdiri seolah-olah kaki mereka menjadi lumpuh!
Ternyata
bahwa suara terompet itu bukanlah suara biasa, tapi suara yang mengandung
getaran dahsyat sekali dari tenaga khikang dan diam-diam Kun Liong terkejut
bukan main. Pernah dia mendengar dari ayah bundanya akan kesaktian ini. Hanya
orang yang sudah memiliki sinkang amat kuat saja yang dapat mengerahkan tenaga
dalam suara sehingga melumpuhkan lawan!
Pernah ia
merasakan getaran khikang dari suara nyanyian tosu Pek-lian-kauw, yaitu Loan
Khi Tosu, akan tetapi getaran yang terkandung dalam suara tosu itu tidaklah sedahsyat
suara terompet ini sehingga dia bahkan masih dapat mengacau nyanyian tosu itu
dengan nyanyiannya.
Pernah
ayahnya mendemonstrasikan suara melengkingnya yang mengandung khikang, akan
tetapi agaknya kekuatan khikang ayahnya juga tidak sehebat dan sedahsyat suara
yang terkandung dalam tiupan suling aneh ini!
Empat belas
orang itu, Kun Liong, Kakek Lo, Akian, kepala dusun dan sepuluh orang anak
buahya, hanya berdiri bagaikan arca dengan mata terbelalak lebar memandang ke
arah ular-ular yang kini maju merayap menghampiri mereka! Dapat dibayangkan
betapa ngeri dan takut rasa hati mereka, akan tetapi mereka tak dapat
menggerakkan kaki untuk melarikan diri, bahkan bibir mereka yang bergerak-gerak
tidak dapat mengeluarkan suara, hanya terdengar ah-ah-uh-uh dan ada di antara
mereka yang sudah mengeluarkan air mata saking takutnya.
Hanya Kun
Liong seorang yang berdiri tenang karena dia sama sekali lupa akan keadaan diri
sendiri, lupa akan bahaya yang mengancam nyawanya sendiri, dan yang menjadi
perhatiannya hanyalah keadaan orang-orang yang terancam bahaya maut itu. Di
dalam hatinya dia merasa menyesal bukan main. Semua ini terjadi gara-gara dia!
Kalau dia tidak menangkap ular-ular itu agaknya kakek iblis Ban-tok Coa-ong
takkan membunuh mereka!
Rasa
penasaran dan penyesalan yang besar ini membuat dia sejenak lupa sama sekali
akan suara melengking dari terompet sehingga dia terbebas dari pengaruh khikang
dan berteriak keras,
"Kakek
iblis! Jangan bunuh mereka! Kalau mau bunuh, bunuhlah aku karena akulah yang
menangkap ular-ularmu. Mereka tidak berdosa!"
Kembali
kakek itu tercengang. Dalam perantauannya di dalam dunia kang-ouw, sebagai
seorang di antara lima datuk persilatan yang terkenal, sudah banyak dia bertemu
dengan orang gagah, bukan hanya gagah karena tinggi ilmu kepandaiannya, akan
tetapi gagah karena berjiwa satria, seorang yang tidak gentar menghadapi maut
dan yang selalu siap mengorbankan nyawa untuk orang lain. Akan tetapi, selama
hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang kanak-kanak yang usianya baru
sepuluh tahun sudah memiliki jiwa satria seperti ini!
Dia
benar-benar tercengang, terheran, dan merasa kagum bukan main. Aihhh, kalau
saja puteranya bersikap seperti anak ini, pikirnya. Dia menarik napas panjang
dan menjadi marah karena iri hati kepada ayah anak yang gagah perkasa itu.
Melihat
betapa ular-ular itu sudah tiba dekat sekali di depan kaki para penduduk dusun,
Kun Liong yang sudah terbebas dari suara terompet, melompat ke depan kakek itu
sambil membentak,
"Kakek
iblis, tidak malukah engkau? Sungguh engkau pengecut hina!"
"Plakkk!"
Secara
tiba-tiba sekali tangan kiri kakek itu bergerak dan tubuh Kun Liong terguling
dalam keadaan lumpuh karena dia telah tertotok secara aneh sekali. Dan kakek
itu masih terus meniup terompetnya yang membuat ular-ular itu seperti mabok dan
marah.
Mulailah
ular-ular itu menyerang dan menggigit empat belas orang itu dan pada saat itu,
Ban-tok Coa-ong menghentikan tiupan terompetnya sehingga orang-orang itu kini
kembali dapat bergerak dan dapat berteriak-teriak.
Mereka
berusaha melawan, akan tetapi mana mungkin melawan ular yang sedemikian
banyaknya? Sedikitnya ada sepuluh ekor ular besar kecil menggigit tubuh setiap
orang dan setiap gigitan saja sudah mengandung racun yang cukup untuk mencabut
nyawa!
Hanya Kun
Liong seorang di antara empat belas orang itu yang tetap tidak bergerak biar
pun tubuhnya juga digigit beberapa ekor ular. Ada pun tiga belas orang yang
lain, selain menjerit-jerit dan semakin lama suaranya berubah menjadi rintih
memilukan, juga mereka berkelojotan dan bergulingan ke sana-sini sampai
akhirnya mereka diam tidak bergerak, tubuh mereka bengkak-bengkak dan berwarna
biru kehitaman!
Hal ini
adalah karena di dalam tubuh Kun Liong sudah terdapat racun inti bisa ular.
Ibunya yang sangat sayang kepada puteranya ini telah memberi minum obat yang
mengandung racun anti bisa ular itu kepadanya semenjak kecil, sedikit demi
sedikit sehingga kini Kun Liong telah menjadi kebal terhadap bisa ular.
Gigitan-gigitan itu memang membuat bagian tubuh yang tergigit menjadi bengkak
dan merah, tetapi racun ular itu tidak dapat menjalar ke dalam tubuhnya,
tertolak oleh darahnya yang mengandung racun penolak hingga bisa ular itu hanya
terkumpul di tempat gigitan.
Hal ini tak
diketahui oleh Ban-tok Coa-ong. Ia tertawa-tawa dan bergembira menyaksikan
orang-orang yang disiksanya itu. Kalau saja tidak ada sedemikian banyaknya
orang yang dikeroyok ular-ularnya, andai kata hanya Kun Liong seorang, sebagai
seorang ahli racun ular tentu saja Ban-tok Coa-ong akan dapat mengetahui
keanehan ini.
Sekarang
tidak terdengar suara lagi. Tubuh empat belas orang itu diam tak bergerak lagi,
dan ular-ular itu sudah merayap pergi setelah para korbannya tidak bergerak
lagi. Mereka itu bukanlah ular-ular pemakan bangkai dan mereka hanya menyerang
untuk membunuh, didorong dan dirangsang oleh suara terompet.
"Ayahhh...
jangan bunuh mereka dulu...!" Mendadak terdengar suara teriakan dan gema
suara teriakan itu belum lenyap ketika tahu-tahu di situ telah berdiri seorang
anak laki-laki berambut panjang sampai ke punggung dan dibiarkan terurai begitu
saja. Anak ini paling banyak tiga belas tahun usianya, wajahnya tampan akan
tetapi gerak matanya sangat mengerikan, seperti gerak bola mata seorang yang
tidak waras otaknya!
"Bouw-ji
(Anak Bouw), mau apa kau?" kakek itu bertanya, suaranya penuh dengan kasih
sayang.
Akan tetapi
anak laki-laki ini tidak menjawab hanya tertawa ha-ha-hi-hi, kemudian berjalan
melihat-lihat tubuh empat belas orang yang menggeletak tak bergerak dengan muka
biru menghitam itu. Hanya muka Kun Liong seorang yang tidak menjadi biru
menghitam, cuma bengkak dan merah sedikit di pipi kanan bekas gigitan ular.
Akan tetapi seperti juga tiga belas orang yang lain, dia roboh pingsan setelah
tujuh kali digigit ular berbisa.
Kalau di
dalam tubuh tiga belas orang itu, racun ular mengamuk dan mulai menjalar ke
arah jantung, di dalam tubuh Kun Liong terjadi hal lain lagi. Racun ular
bertemu dengan racun di dalam tubuhnya yang menolak sehingga terjadi
pertempuran, namun racun ular kalah kuat dan hanya berhenti di tempat gigitan.
"He-he-hi-hi,
Ayah. Kehebatan jarum-jarumku dengan racun baru belum pernah dicoba. Mereka ini
hendak kujadikan kelinci percobaan, Ayah!" Anak berambut panjang itu sudah
mengeluarkan sekepal jarum-jarum kecil yang berwama merah.
"Bodoh!
Mereka sudah hampir mati, tidak ada gunanya. Untuk percobaan, harus memilih
korban yang masih sehat," Ayahnya mencela.
"Hi-hi-hi,
mereka belum mati dan dalam keadaan keracunan bisa ular mereka merupakan
kelinci-kelinci percobaan yang amat menarik. Racun di jarumku ini lebih hebat
dari pada racun ular, dan sekarang dapat dibuktikan, Ayah!"
Tanpa
menanti jawaban lagi, anak itu menggerak-gerakkan tangan kanannya dan segera
tampaklah sinar-sinar kecil menyambar ke arah tengkuk keempat belas orang yang
roboh pingsan itu. Agaknya dia sengaja melempar jarum dengan tenaga kecil
terukur sehingga jarum-larum itu hanya menancap setengahnya saja pada tengkuk
empat belas orang itu. Kemudian, sambil tertawa-tawa anak itu meloncat ke dekat
ayahnya dan mereka lantas berpelukan sambil memandang ke arah korban mereka, menanti
apa yang akan terjadi.
Kun Liong
siuman ketika merasa nyeri. Akan tetapi dia segera teringat akan keadaannya,
maka dia diam saja tidak bergerak, apa lagi karena tiba-tiba dari tengkuknya
menjalar hawa panas ke arah kepalanya, kemudian seluruh tubuhnya terasa panas
dan sakit-sakit semua, membuat dia tidak dapat bergerak dan hanya dapat
memandang dengan mata setengah terpejam, mengintai dari balik bulu matanya,
melihat betapa kakek mengerikan itu kini berpelukan sambil tertawa-tawa dengan
seorang anak laki-laki kecil yang tampan akan tetapi amat menyeramkan. Ketika
ia mengerling ke arah tiga belas orang dusun, dia terkejut setengah mati dan
bulu tengkuknya meremang, berdiri satu-satu saking ngerinya.
Apa yang
terjadi dengan tiga belas orang itu benar-benar mengherankan dan mengerikan
sekali. Bagaikan mayat-mayat hidup, tiga belas orang itu satu demi satu bangkit
berdiri dengan gerakan kaku! Mereka itu benar-benar seperti mayat-mayat hidup
dalam dongeng penakut kanak-kanak.
Muka mereka
kehitaman, mata mereka melotot tak pernah berkedip, mulut mereka penuh busa,
berlepotan di sekeliling bibir, napas mereka terengah-engah mengeluarkan suara
‘ngaak-ngiik’ seperti napas orang menderita penyakit mengi (asma). Kemudian,
seperti ada sesuatu yang mendorong mereka dari belakang, tiga belas orang itu
berlari kaku ke depan seperti orang berlomba, akan tetapi agaknya mereka lari
secara ngawur, gerakan mereka kaku sekali dan arahnya tidak sama!
"He-he-hi-hi-hi...!
Racunku menang, Ayah! Mengalahkan racun ular! Mari kita mengikuti mereka dan
melihat!"
Anak
berambut panjang itu bersorak dan meloncat, mengikuti ‘mayat-mayat hidup’ yang
lari berpencar tidak karuan itu. Ban-tok Coa-ong menggeleng-geleng kepala dan
terpaksa mengikuti puteranya.
Untung bagi
Kun Liong karena ayah dan anaknya yang agaknya berotak miring itu tidak
memperhatikannya sehingga tidak melihat keanehan bahwa di antara empat belas
orang itu, hanya Kun Liong seoranglah yang tidak terpengaruh oleh racun merah.
Melihat ayah dan anak itu pergi mengikuti para korban yang berubah mengerikan
itu, Kun Liong lalu menggunakan sisa tenaganya untuk merangkak pergi dari situ,
memasuki semak-semak dan terus merangkak-rangkak karena dia tidak kuat bangkit.
Jauh juga dia merangkak, hingga akhirnya dia roboh terguling, pingsan di dalam
semak-semak yang gelap.
***************
Ban-tok
Coa-ong adalah nama julukan yang diberikan oleh orang-orang kang-ouw kepada
kakek itu. Namanya adalah Ouwyang Kok, seorang pendatang baru di dunia
kang-ouw, akan tetapi sungguh pun baru kurang lebih sepuluh tahun dia terjun ke
dunia kang-ouw, namanya telah dikenal sebagai seorang di antara para datuk
persilatan yang amat ditakuti orang pada waktu itu.
Tidak ada
orang lain yang mengetahui asal-usulnya, akan tetapi kurang lebih sepuluh tahun
yang lalu, manusia aneh ahli ular ini turun dari pegunungan yang asing dan
tidak pernah dikunjungi orang, di perbatasan Nepal, masuk ke Tiongkok
menggendong seorang anak laki-laki yang berusia tiga tahun, kemudian membuat
nama besar di dunia kang-ouw karena kepandaiannya yang sangat tinggi dan sepak
terjangnya yang aneh. Akan tetapi, keganasannya terhadap mereka yang
menantangnya, dan keahliannya bermain dengan ular, menghasilkan nama julukan
Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun)!
Anak yang
dibawanya itu adalah putera tunggalnya, bernama Ouwyang Bouw yang sejak kecil
digemblengnya, namun karena cara hidup Ouwyang Kok tidak lumrah manusia dan
penggemblengan terhadap anaknya pun terlalu hebat, maka anak itu memiliki watak
yang aneh pula, seperti seorang yang agak miring otaknya!
Ibu anak
itu, isteri tercinta dari Ouwyang Kok, telah meninggal dunia di sebuah di
antara puncak-puncak Pegunungan Nepal, tewas sesudah digigit ular beracun yang
sangat luar biasa sehingga tidak tertolong. Agaknya peristiwa inilah yang
membuat Ouwyang Kok kini menjadi seorang ‘Raja Ular’!
Kini anak
dan ayahnya itu berlari-lari sambil tertawa-tawa menyaksikan ulah para korban
yang lari seperti mayat hidup. Suara tertawa mereka makin menjadi ketika mereka
melihat beberapa orang di antara para korban yang lari kaku itu terjerumus ke
dalam jurang, dan ada pula yang menabrak pohon terus memeluk pohon itu dan mati
kaku dalam keadaan memeluk batang pohon, kedua kakinya melingkari batang pohon,
sepuluh jari tangannya mencengkeram pohon dan mulutnya menggigit kulit pohon.
Sungguh mengerikan!
Ada pula dua
orang di antara tiga belas orang dusun yang belum roboh ke dalam jurang dan
juga belum menabrak pohon, sesudah beberapa orang lagi roboh karena kakinya
tersangkut akar kayu, roboh terus mencengkeram rumput-rumput sehingga akhirnya
mati dalam keadaan seperti itu. Dua orang ini adalah Akian dan kepala dusun.
Agaknya
mereka berdua mempunyai tubuh yang lebih kuat, maka dapat berlari kaku dan
belum roboh. Kebetulan sekali mereka lari satu jurusan, yaitu ke jurusan dusun
mereka! Mungkin juga masih ada sedikit sisa ingatan mereka untuk lari pulang ke
dusun mereka.
Ketika
mereka tiba di luar dusun, beberapa orang penduduk dusun yang merasa khawatir
dan telah siap menyusul ke hutan, cepat berlari menyambut dua orang itu.
Setelah dekat mereka itu berdiri bengong dan penuh rasa heran dan ngeri melihat
betapa kepala dusun dan Akian berlari kaku seperti itu, muka mereka biru
kehitaman, mata terbelalak tanpa berkedip dan kemerahan, mulut menyeringai
penuh busa putih!
Keadaan
menjadi geger dan terdengar jerit-jerit mengerikan ketika dua orang mayat hidup
ini menubruk dan memeluk dua orang yang terdekat. Karena kaget dan heran, dua
orang itu tidak sempat mengelak ketika mereka dipeluk oleh dua orang mayat
hidup itu. Mereka hendak meronta, akan tetapi seluruh tubuh merasa panas, dan
pada saat jari-jari tangan mencengkeram mereka, ketika gigi yang sekarang
mengandung racun itu menggigit leher, mereka berdua menjerit-jerit, jerit yang
makin melemah hingga akhirnya mereka berdua roboh terguling bersama mayat hidup
yang menyerang mereka, tewas dalam keadaan masih berpelukan.
"Ha-ha-ha-ho-ho,
lucu sekali...!"
"Hi-hi-hi,
hebat bukan jarum-jarumku, Ayah?"
Para
penduduk dusun terbelalak memandang ayah dan anak yang tahu-tahu telah berada
di situ sambil tertawa-tawa. Melihat keadaan mereka, dan melihat peristiwa
mengerikan yang menimpa diri kepala dusun, Akian, serta dua orang teman mereka
yang menjadi korban, mereka menjadi ketakutan dan serta merta mereka melarikan
diri masuk ke dalam dusun, menyeret keluarga mereka yang berada di luar rumah,
memasuki rumah masing-masing, segera menutup pintu dan saling berpelukan dengan
anak isteri dalam keadaan ketakutan sekali. Kedua kaki mereka menggigil dan
mata mereka terbelalak lebar seperti mata kelinci-kelinci yang mencium bau harimau,
mata mereka memandang ke arah pintu dan muka mereka pucat sekali.
Akan tetapi,
agaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya sudah merasa puas, mereka
bergandengan tangan dan pergi meninggalkan dusun itu. Tadinya mereka hanya
berjalan dengan langkah perlahan, akan tetapi lambat laun gerakan mereka makin
cepat dan akhirnya mereka itu bergerak seperti terbang saja!
Setelah lama
menanti dan mengintai sampai berjam-jam dan merasa yakin bahwa kedua siluman
itu sudah tidak berada di luar dusun mereka lagi, barulah penduduk berani
keluar rumah. Mereka keluar dari dusun itu, berindap-indap berbondong-bondong
sebab mereka membutuhkan semua teman untuk memberanikan diri.
Biar pun
hati mereka merasa ngeri sekali, terpaksa mereka mengurus jenazah Akian dan
kepala dusun bersama dua orang penduduk yang menjadi korban mereka, malah
mereka memberanikan diri untuk mencari ke dalam hutan. Hanya tujuh orang mereka
temukan dalam keadaan amat mengerikan. Ada yang mati dalam keadaan masih
memeluk batang pohon, ada yang mencengkeram rumput!
Penuh rasa
takut dan ngeri hati penduduk. Namun mereka terpaksa mengangkut semua mayat itu
ke dusun untuk diurus sebagaimana mestinya.
Mayat empat
orang lain tidak mereka temukan dan mereka tidak tahu ke mana perginya empat
orang itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa empat orang itu pun sudah menjadi
mayat dengan tubuh remuk-remuk setelah mereka terjungkal ke dalam jurang.
Oleh karena
mereka tidak bisa menemukan Kun Liong, maka mereka menjadi curiga dan
menghubung-hubungkan anak itu dengan siluman besar kecil yang mereka lihat di
luar dusun. Timbullah dugaan mereka bahwa anak yang tadinya datang sebagai
penolong itu tentulah sebangsa siluman pula dan kedatangannya itu hanya
pancingan belaka sehingga teman-temannya mendapatkan korban banyak orang!
Teringat akan ini, mereka menjadi penasaran sekali mengapa tidak mereka keroyok
dan bunuh saja anak kecil yang datang secara aneh itu sehingga mereka dapat
terbujuk, belasan orang ikut memasuki hutan dan menjadi korban.
***************
Kun Liong
merintih lirih kemudian membuka matanya. Melihat daun semak-semak belukar
menyelimuti dirinya, ia teringat dan seketika ia menghentikan rintihannya,
menahan derita yang amat hebat, yaitu rasa gatal-gatal pada kepalanya. Ia
bangkit duduk dan mengintai dari dalam semak-semak, melalui celah-celah antara
daun-daun.
Tidak tampak
sesuatu! Hari sudah menjelang senja dan suasana di hutan itu sunyi sekali. Kun
Liong melupakan rasa gatal pada kepalanya, lalu dengan hati-hati dia bangkit
berdiri, keluar dari semak-semak, dan berindap-indap dia menuju ke tempat yang
ditinggalkannya tadi. Sunyi di situ, dan tidak ada seorang pun, baik yang hidup
mau pun yang mati.
Tidak tampak
lagi semua penduduk dusun yang tadi menjadi korban, dan kakek berjuluk Ban-tok
Coa-ong yang mengerikan tadi pun tidak tampak lagi, demikian pula anak
laki-laki berambut panjang yang melepas jarum.
Jarum!
Teringat ini, Kun Liong meraba tengkuknya dan benar saja, di situ masih
tertancap sebatang jarum kecil, masuk ke dalam daging tengkuk sampai
setengahnya. Cepat Kun Liong mencabut jarum itu, dan ketika melihat jarum merah
itu maklumlah dia bahwa jarum itu mengandung racun yang amat berbahaya. Dengan
jijik dibuangnya jarum itu ke dalam semak-semak.
Ke mana
perginya mereka? Rasa heran ini menambah gatal-gatal pada kepalanya dan Kun
Liong tidak dapat menahan lagi. Dengan kedua tangannya, digaruknya kepala yang
sangat gatal itu dan... dia terbelalak sesudah mengeluarkan teriakan kaget,
memandang rambut kepalanya yang kini berada di antara sepuluh jari tangannya!
Begitu kepalanya digaruk, semua rambutnya tontok!
Dirabanya
kepalanya, dan pada bagian yang ada rambutnya, begitu dipegang, langsung
rambut-rambutnya rontok semua seperti tanaman layu yang akarnya sudah membusuk.
Dengan mata masih terbelalak lebar dia mengelus-elus kepala dengan kedua
tangannya. Kepalanya menjadi licin bersih, tak ada selembar pun rambut yang
masih tumbuh, semua rontok. Dia meraba alisnya. Masih lengkap. Hanya rambut
pada kepala saja yang rontok semua.
"Ahhh...
tidaaaakkk...!" Kun Liong berseru dan berlari-lari mencari air jernih.
Setelah ia
melihat air tergenang di bawah sebatang pohon, sisa air hujan kemarin, cepat
dia berlutut dan melihat bayangannya sendiri. Matanya terpentang lebar dan dua
titik air mata meloncat ke atas pipinya. Kepalanya sudah gundul pelontos! Lebih
bersih dari pada kepala seorang hwesio!
"Ahhhh...
mengapa...?" Dia meraba-raba kepala dengan tangan kanan, dan mengusap air
mata dengan tangan kiri.
Tentu saja
Kun Liong tak akan mengerti karena peristiwa itu terjadi pada saat dia masih
pingsan, terjadi di dalam tubuhnya dan yang biar pun membawa akibat lenyapnya
semua rambut di kepala, akan tetapi sesungguhnya sudah menyelamatkan nyawanya!
Di dalam
tubuhnya terdapat semacam racun anti racun ular yang dicampur obat dan sejak
dia kecil, oleh ibunya sering kali diminumkannya. Ketika dia digigit ular
sampai di tujuh tempat, racun ular tidak mampu melawan racun dalam tubuhnya,
dan ular racun ular itu berkumpul saja di tempat gigitan.
Sesudah
Ouwyang Bouw, putera Ban-tok Coa-ong, menyambit tengkuknya dengan jarum merah
hingga racun jarum merah itu memasuki tubuhnya, maka bertemulah tiga macam
racun dan terjadi perang tanding di antara tiga macam racun yang amat hebat
itu. Sudah menjadi kenyataan bahwa betapa pun jahatnya, namun sifat racun dapat
berubah ketika bertemu dengan racun lainnya, dapat menjadi obat.
Maka, pada
saat tiga macam racun itu bertemu di dalam tubuh Kun Liong, tiga racun itu berubah
menjadi ramuan yang dahsyat, menjadi semacam obat kuat tiada taranya dan tiada
seorang pun manusia yang tahu karena bertemu secara kebetulan, dengan ukuran
yang tepat, atau terlalu keras sedikit sehingga akibatnya, rambut kepala Kun
Liong rontok semua, akan tetapi tubuhnya terbebas sama sekali dari pengaruh
racun, bahkan di luar tahunya sudah tercipta semacam kekuatan dahsyat di dalam
tubuh anak ini!
Hanya
sebentar saja Kun Liong dilanda kekagetan dan penyesalan karena kehilangan
rambut di kepalanya. Dia sudah bangkit lagi dan teringat betapa dia sudah
menimbulkan mala petaka kepada penduduk dusun, Kun Liong tidak berani kembali
ke dusun. Apa lagi rambut kepalanya sudah menjadi habis seperti itu. Dia lalu
melarikan diri meninggalkan hutan itu dan mengambil jurusan timur, tidak berani
ke utara di mana terletak dusun itu. Dia melarikan diri berlawanan dengan
matahari yang sudah condong ke barat.
Sambil
berjalan secepat mungkin, pikirannya penuh dengan peristiwa-peristiwa yang
telah dialaminya. Dia maklum bahwa Ban-tok Coa-ong adalah seorang yang
mempunyai ilmu kepandaian hebat sekali, jauh lebih lihai dari pada kepandaian
Loan Khi Tosu, memiliki watak yang lebih aneh lagi, aneh menyeramkan seperti
orang gila!
Akan tetapi,
kalau dia teringat akan ucapan kakek itu ketika membandingkan watak ular dengan
watak manusia, diam-diam dia menjadi bingung karena mau tidak mau dia harus
membenarkan bahwa watak ular atau binatang apa pun juga jauh lebih wajar dan
bersih dari pada watak manusia. Bahkan ketika barisan ular itu menyerang
penduduk, mereka bergerak bukan karena memang memusuhi manusia, melainkan
karena terpaksa akibat pengaruh bunyi terompet yang ditiup oleh seorang manusia
pula! Bukan ular-ular itu yang berniat membunuh manusia, melainkan manusia yang
berjuluk Ban-tok Coa-ong itulah. Betapa kejamnya manusia! Betapa kejinya!
Dan alangkah
anehnya pengalaman berturut-turut yang menimpa dirinya. Mula-mula dia berjumpa
dengan tosu Pek-lian-kauw, itu sudah hebat. Disusul dengan pengalamannya
dikeroyok penduduk yang hampir saja merenggut nyawanya pada saat dia tanpa
sengaja menimbulkan kebakaran, pengalaman yang lebih hebat lagi di mana dia
hampir saja mati. Kemudian, dia bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan pengalaman
ini benar-benar amat luar biasa dan dia sendiri tidak tahu mengapa dia masih
dapat hidup sampai detik ini, dan hanya rambut-rambutnya yang rontok.
"Hemmm,
masih untung!" Kun Liong berkata dan hatinya yang tadi terasa berat karena
memikirkan rambutnya habis, kini menjadi agak ringan. "Rambut bukan nyawa
dan tanpa rambut aku masih hidup!"
Pengalaman-pengalaman
itu mempertebal keyakinannya bahwa manusia menjadi kejam karena kekuatannya.
Makin kuat manusia, makin kejamlah dia, makin sewenang-wenang karena merasa
berkuasa. Kalau begitu, apakah lebih baik menjadi orang lemah dan tidak
memiliki kepandaian?
Orang yang
lemah hanya akan menjadi injakan yang kuat. Orang lemah mengalah karena tidak
sanggup melawan, dan yang demikian itu bukanlah mengalah namanya, melainkan
pengecut. Yang kuat kejam, yang lemah pengecut!
Pengecut
demikian, kalau diberi kekuatan, diberi kekuasaan, tentu akan berubah menjadi
orang kejam juga. Si kuat kejam dan si lemah pengecut tiada bedanya, keduanya
adalah orang-orang yang belum mengenal dirinya, belum mengenal keadaan
sebenarnya.
Walau pun
masih kecil, Kun Liong sudah banyak dijejali pelajaran tentang hidup, banyak
sudah membaca kitab filsafat. Akan tetapi, karena dia masih kecil, maka dia
belumlah terpengaruh benar oleh segala macam pelajaran kebatinan itu hingga dia
masih memiliki kebebasan, sehingga dia tidak menjiplak begitu saja tetapi
membuka mata dan telinganya menghadapi kenyataan-kenyataan hidup yang
dialaminya. Pikiran-pikiran itu sama sekali tidak membuat dia menjadi bingung
dan berat sebelah.
Dia melihat
kenyataan bahwa tidak semua orang berkepandaian dan kuat memiliki watak kejam.
Ayahnya dan ibunya merupakan orang-orang gagah perkasa yang berkepandaian
tinggi, akan tetapi mereka tidaklah kejam, apa lagi jahat!
Dan penduduk
dusun itu, terutama Kakek Lo dan Akian, biar pun mereka itu orang-orang biasa
yang tidak memiliki ilmu kepandaian, tidak memiliki kekuatan, mereka itu tak
boleh dikatakan pengecut oleh karena mereka berani mengikutinya untuk menentang
ular besar yang sebetulnya amat mereka takuti karena sudah banyak menjatuhkan
korban. Ternyata bukan kekuatan atau kelemahan yang menentukan baik buruknya
seseorang!
Pada
keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Kun Liong tiba di sebuah
kampung nelayan di tepi Sungai Huang-ho. Semalam dia kurang tidur, biar pun dia
tidak melakukan perjalanan semalam suntuk, tetapi dia sukar dapat tidur pula
karena gangguan kepalanya yang masih terasa gatal-gatal. Dengan tubuh lelah,
mata mengantuk, serta perut lapar sekali dia memasuki perkampungan nelayan. Dia
harus mencari pengisi perutnya, kalau tidak, dia tidak akan dapat melanjutkan
perjalanan.
Ke mana dia
akan pergi kelak bukan menjadi persoalan baginya. Ke mana saja, pokoknya tidak
pulang ke Leng-kok. Apa lagi setelah sekarang kepalanya menjadi gundul pelontos
macam ini. Tentu ayahnya akan marah sekali, dan dia sendiri merasa malu. Dia
ingin melanjutkan perjalanan, ke mana saja dan dia mulai merasa suka dengan
cara hidup baru ini, sungguh pun dalam perantauan yang belum lama ini dia telah
mengalami hal-hal yang membuat dia nyaris tewas.
Kun Liong
mendekati sebuah perahu yang agak besar, melihat tiga orang nelayan sedang mempersiapkan
jala dan alat-alat menangkap ikan lainnya. Melihat seorang anak laki-laki
berkepala gundul pelontos yang sama sekali asing dan tidak mereka kenal, tiga
orang itu memandang penuh perhatian, kemudian salah seorang di antara mereka,
yang kumisnya panjang, berkata dengan nada suara halus,

"Apakah
Siauw-suhu (Guru Kecil) membutuhkan sedekah? Kami akan berangkat mencari ikan.
Kalau Siauw-suhu suka mendoakan kami agar hari ini mendapatkan ikan banyak, aku
akan mencarikan makanan untuk sedekah bagi Siauw-suhu."
Kun Liong
mengerutkan kedua alisnya. Hatinya terasa panas sekali. Ia disangka sebagai
seorang hwesio kecil yang minta sedekah tunjangan makanan! Akan tetapi karena
dia menganggap orang itu tidak berniat jahat, dan hanya berbuat karena
kebodohannya, dia menjawab, suaranya tenang,
"Lopek
(Paman Tua) telah membuat dua kesalahan dengan ucapan Lopek tadi."
Melihat
sikap yang tenang, kalimat yang teratur tidak seperti cara berbicara anak
dusun, tiga orang nelayan itu semakin tertarik dan makin keras dugaan mereka
bahwa anak ini tentulah seorang pendeta kecil yang merantau. Akan tetapi,
laki-laki setengah tua yang panjang kumis tadi, menjadi terheran dan bertanya,
"Dua
kesalahan? Apa yang telah kulakukan?"
"Pertama,
Lopek salah duga. Aku bukan seorang pendeta kecil dan tidak minta sedekah,
tidak minta-minta walau pun saat ini perutku lapar sekali. Kesalahan Lopek yang
ke dua lebih hebat lagi. Lopek suka memberi sedekah akan tetapi ditukar dengan
doa supaya memperoleh banyak ikan, itu bukan sedekah namanya, melainkan jual
beli mengharapkan keuntungan!"
Tiga orang
nelayan itu terbelalak dan saling pandang dengan heran. Walau pun anak
berkepala gundul polontos itu menyangkal dirinya seorang pendeta kecil, akan
tetapi cara dia bercakap sungguh tidak seperti anak-anak dusun biasa! Si Kumis
Panjang merasa terpukul dan malu karena seakan-akan sudah mendapat teguran dari
seorang anak kecil, maka dia berkata agak kasar,
"Kalau
kau bukan hwesio kecil, engkau mau apa mendekati kami, bocah asing?"
"Aku
ingin menawarkan tenagaku untuk bekerja membantu kalian."
"Apa?
Engkau minta pekerjaan kepada kami?" Tiga orang itu kembali saling pandang
dan tersenyum lebar.
"Mengapa
tidak?" Kun Liong berkata ketika melihat tiga orang itu agaknya
mentertawakan dirinya. "Aku lapar, sejak kemarin belum makan. Aku perlu
mendapatkan makan, maka aku mau bekerja, sekedar mendapatkan makan."
"Soal
makanan adalah urusan kecil, akan tetapi pekerjaan kami bukanlah pekerjaan yang
ringan, dan seorang bocah halus macam engkau ini..."
"Aku
tidak takut akan pekerjaan berat. Harap Lopek suka menerimaku, Lopek tidak akan
menyesal karena aku tidak mau menerima makanan cuma-cuma, ingin kutukar dengan
bantuan tenagaku!"
Memang
biasanya para nelayan itu membutuhkan bantuan kanak-kanak, pembantu yang
tenaganya murah dan pekerjaannya hanya untuk membantu dan melayani mereka pada
waktu mereka sibuk menjala atau mengail ikan. Pekerjaan yang sebetulnya tidak
berat benar, memasak air, menanak nasi untuk mereka, membantu dengan pembetulan
jala jika ada yang robek, memasang umpan kail, mengumpulkan ikan dan di waktu
mereka sibuk bekerja, menguasai perahu agar jangan terbawa ombak sungai.
Biar pun
pekerjaan itu tidak berat bagi anak-anak nelayan, akan tetapi seorang anak yang
belum pernah mengerjakannya akan merasa berat sekali, apa lagi kalau dibuat
mabok oleh air sungai yang kadang-kadang besar juga ombaknya.
"Bagaimana,
akan kita ajakkah dia?" Salah seorang di antara mereka bertanya kepada dua
orang temannya.
"Hemmm,
boleh kita coba saja," berkata Si Kumis Panjang yang kemudian menoleh dan
berkata kepada Kun Liong sambil tertawa, "Akan tetapi, kalau engkau nanti
mabok dan tidak bisa bekerja, kami tidak akan memberi apa-apa kepadamu."
"Tentu
saja!" Kun Liong menjawab gagah. "Aku pun akan merasa malu untuk
menerima makanan kalau aku tidak mampu bekerja!"
"Kalau
begitu, mari bantu kami!"
Kun Liong
cepat naik ke atas perahu dan dia mulai melakukan pekerjaan seperti yang
diperintahkan oleh tiga orang itu. Tubuhnya lemas, perutnya lapar sekali, akan
tetapi dia merasa betapa tenaganya menjadi besar dan semua pekerjaan dapat dia
lakukan dengan amat mudah. Tiga orang itu kembali saling pandang dan menjadi
girang, ternyata bocah gundul itu tidak membual. Dia benar-benar suka dan rajin
bekerja!
Setelah
mereka siap, perahu didayung ke tengah, kemudian layar dikembangkan. Perahu
nelayan itu meluncur ke tengah sungai yang amat lebar, meluncur cepat karena
didorong oleh angin dan mendahului air sungai yang mengalir. Sambil tersenyum
Si Kumis Panjang memberi roti kering dan air kepada Kun Liong. Namun anak yang
kadang-kadang timbul keangkuhan dari kekerasan hatinya itu, menolak.
"Biar
pun pekerajaanmu belum selesai karena kita belum kembali ke pantai, akan tetapi
engkau tadi sudah membantu kami. Makanlah, anggap saja roti dan air ini adalah
upah bantuanmu tadi. Engkau kelihatan pucat, dan karena kita menghadapi
pekerjaan berat sampai malam nanti, perutmu harus diisi lebih dulu."
Ucapan ini membuat hati Kun Liong terasa ringan dan makanlah dia.
Bukan main
sedapnya roti itu. Bukan main segarnya air jernih dingin itu. Rasanya belum
pernah dia makan roti seenak itu, atau air sesegar itu dan dia tahu bahwa bukan
roti atau airnya yang mendatangkan rasa sedap, melainkan lapar dan hausnya!
Pendapat Kun
Liong memang ada betulnya, akan tetapi tidak mutlak. Hidup akan selalu terasa
bahagia dan nikmat apa bila kita dapat menerima dan menghadapi segala sesuatu
sebagaimana adanya, hidup dalam tiap detik yang dilalui, tidak terapung dalam
keriangan masa lalu atau tenggelam dalam harapan masa datang. Hidup adalah saat
ini, sekarang ini, bukan kemarin dan bukan esok.
Pikiran
selalu mempermainkan kita, membentuk kenangan-kenangan masa lalu dengan segala
suka dukanya, membuat kita selalu mengejar kenangan suka namun sebaliknya
menjauhi kenangan duka, menciptakan corak serta bentuk hidup sekarang dan yang
akan datang hingga kita dibuatnya hidup seperti dalam kurungan yang dibuat oleh
pikiran kita sendiri.
Hidup
seperti itu membuat segala langkah kita tak wajar lagi, melainkan langkah-langkah
kita sudah ditentukan dan diatur berdasarkan pengalaman lalu, berdasarkan
pengetahuan dan kepercayaan yang sudah terbentuk di dalam pikiran kita. Keadaan
seperti itu tidak memungkinkan kita bebas, tidak memungkinkan kita menggunakan
mata serta telinga seperti sewajarnya.
Apa yang
terpandang dan apa yang terdengar, ditutup oleh pendapat dan prasangka, oleh
penilaian yang kesemuanya adalah pekerjaan pikiran, sehingga mata dan telinga
kita tak dapat melihat atau mendengar keadaan sebenarnya dari yang dipandang
dan didengar! Kalau kita memandang sesuatu, yang kita pandang sesungguhnya
bukanlah itu atau dia, melainkan itu atau dia seperti yang terbayang dalam
ingatan kita!
Demikian
pula dengan makanan. Apa bila kita menghadapi sesuatu, dalam hal makanan
seperti pada saat itu, tanpa campur tangan si pikiran yang selalu dapat saja
menciptakan kenang-kenangan akan makanan yang lezat-lezat, maka tidak ada lagi
penilaian apakah makanan yang kita hadapi itu mahal atau murah, berharga atau
tidak, dan tanpa adanya gangguan pikiran ini, maka semua makanan, apa pun juga
macamnya, asal itu memenuhi syarat sebagai makanan pengusir lapar dan penguat
tubuh, akan terasa enak!
Karena
itulah, pendapat Kun Liong bahwa yang membuat makanan terasa enak adalah lapar,
hanya benar sebagian saja, karena betapa pun laparnya, kalau dia makan dengan
pikiran mengenangkan hal-hal lain, misalnya mengenangkan masakan lezat,
memikirkan dan mengenangkan kedukaan dan lain-lain, belum tentu roti sederhana
dan air biasa itu akan terasa enak seperti yang dirasakannya pada saat itu!
Ternyata
kemudian oleh Kun Liong betapa pekerjaan di atas perahu yang kelihatan ringan
itu terasa sangat berat olehnya, karena tidak biasa! Agak pening juga kepalanya
ketika perahu itu dipermainkan ombak sungai yang cukup besar sehingga teroleng
ke kanan kiri. Akan tetapi, dengan tekad teguh Kun Liong bekerja dengan penuh
semangat, sedikit pun tidak pernah mengeluh sehingga memuaskan hati tiga orang
nelayan itu.
Yang lebih
menggirangkan hati para nelayan itu adalah baru hari itu mereka mengalami nasib
yang sedemikian baiknya sehingga sebelum tengah malam, perahu mereka sudah
penuh dengan hasil pekerjaan mereka, ikan-ikan yang besar dan dari mutu
terbaik! Tentu saja sebagai orang orang yang sudah menebal kepercayaannya akan
tahyul, kemujuran ini mereka hubungkan dengan kehadiran Kun Liong, yang sungguh
pun ternyata bukan pendeta, namun memiliki ‘hok-gi’ (kemujuran) besar dan di
samping itu, juga amat rajin bekerja, terlalu rajin dan terlalu aneh bagi
seorang pendatang baru!
Biasanya,
mereka mencari ikan hingga semalam suntuk, dan bia selama sehari semalam itu
mereka memperoleh ikan sebanyak setengah perahu saja mereka sudah merasa amat
beruntung. Sekarang, belum lewat tengah malam, mereka telah kembali ke pantai
dengan perahu penuh ikan terbaik!
Dengan sikap
manis mereka kemudian mengajak Kun Liong bermalam di rumah mereka, memberinya
makan sekenyangnya, malah Si Kumis Panjang membelikan setelan pakaian baru
untuknya. Di samping ini, pada keesokan harinya ketika mereka menjual hasil
kerja mereka semalam ke pasar, mereka menceritakan dengan panambahan
bumbu-bumbu tahyul, bahwa mereka sudah kedatangan seorang bintang penolong,
seorang pembawa rezeki, seorang ‘anak ajaib’! Cerita ini cepat tersiar dan
sebentar saja nama Kun Liong sebagai ‘anak ajaib’ dikenal orang sedusun!
Segala
bentuk penonjolan yang biasanya disebut hasil atau kemajuan pribadi seseorang
selalu menimbulkan persoalan yang lebih menyusahkan dari pada menyenangkan.
Orang yang berhasil memperoleh sesuatu yang dicita-citakan, biasanya hasil itu
tidaklah terasa senikmat saat dibayangkannya dan ketika belum tercapai tangan,
sedangkan hasil atau kemajuan itu yang sudah jelas menimbulkan iri kepada orang
lain sehingga terciptalah pertentangan dan permusuhan!
Karena itu,
segala bentuk cita-cita, sebenarnya hanyalah lamunan orang yang tidak mau
menghadapi keadaan sekarang, orang yang hendak lari dari kenyataan saat ini
kemudian bersembunyi di belakang angan-angan yang diciptakan oleh pikiran,
membangun istana awang-awang yang disebutnya cita-cita! Karena cita-cita ini
hanya merupakan istana asap di awang-awang, maka bila sudah tercapai, akan
segera membuyar dan mengecewakan hingga memaksa orang yang selalu merasa enggan
melihat dan menghadapi kenyataan ‘saat ini’ untuk melamun lagi, dipermainkan
pikiran yang pandai sekali mengkhayalkan bayangan-bayangan indah masa depan.
Oleh karena
itu, berbahagialah orang yang selalu sadar dan dengan penuh kewaspadaan
menghadapi ‘saat ini’ dengan pikiran bebas dari segala ingatan masa lalu serta
harapan masa depan dan menghadapi segala apa yang ada saat ini sebagaimana
adanya, dengan kewajaran yang tidak dibuat-buat atau dipaksakan, tanpa rencana
dan tanpa pendapat, tanpa penilaian, sehingga apa pun yang dihadapinya
merupakan suatu pengalaman yang baru!
Sudah tentu
saja yang dimaksudkan adalah hal-hal mengenai urusan batin, bukan hal-hal lahir
seperti pekerjaan dan lain-lain yang sudah semestinya menggunakan akal budi dan
pikiran supaya dapat dikerjakan dengan baik dan lancar. Akan tetapi mengenai
hubungan antara manusia yang menyangkut rasa serta batin, kalau tidak kosong
bebas, maka hubungan itu sudah tentu menimbulkan pertentangan karena pada
sebelah dalam kita sudah terjadi pertentangan yang ditimbulkan oleh pikiran.
Melihat dan
mendengar sesuatu dengan pikiran bebas dari segala ikatan, penilaian dan
pendapat, lalu mengawasi dengan penuh kewaspadaan terhadap sesuatu di saat ini
dan terhadap tanggapan kita sendiri akan sesuatu itu, dengan demikian kita
belajar mengenal diri sendiri. Mengenal diri sendiri adalah langkah pertama ke
arah kebijaksanaan.
Kun Liong
seolah-olah dijadikan rebutan di antara para nelayan, setelah tersiar dongeng
tentang dirinya yang penuh keanehan, dibujuk dan ditawari upah tinggi dan
hadiah-hadiah berharga. Namun, semua itu ditolak oleh Kun Liong yang sebenarnya
sama sekali tidak berniat menjadi nelayan dan tidak ingin bekerja di tempat itu
untuk selamanya.
Kalau dia
membantu tiga orang nelayan yang dipimpin oleh Si Kumis Panjang itu karena pada
waktu itu dia membutuhkan makanan dan ingin menukar makanan dengan tenaga
bantuannya. Bahkan setelah membantu selama tiga hari, dia sudah mulai merasa
bosan dan ingin pergi melanjutkan perjalanan dan perantauannya yang tidak
bertujuan dan tidak mempunyai arah tertentu.
Pada pagi
hari ke empat, selagi Kun Liong duduk di dekat sebuah perahu kecil di pinggir
pantai dan melamun, berpikir bahwa hari itu hendak pergi dan berpamit dari tiga
nelayan, tiba-tiba tujuh orang yang berusia belasan tahun menghampirinya lantas
mengurungnya. Sikap mereka mengancam, dan di antara mereka ada yang membawa
kayu dan bambu.
Mereka
dipimpin oleh seorang anak laki-laki berusia kurang lebih empat belas tahun
yang dahinya bercodet bekas luka terjatuh ketika masih kecil. Anak codet ini
pun membawa sebatang kayu dan sambil bertolak pinggang dia berdiri di depan Kun
Liong yang masih tenang duduk di atas pasir dekat perahu.
"Heii,
bocah gundul!" seorang anak berteriak mengejek.
"Aahh,
dia bukah bocah, dia anak siluman! Kalau manusia tak mungkin kepalanya gundul
pelontos padahal bukan hwesio!"
"Lihat,
kepalanya licin sekali, lalat-lalat pun pasti terpeleset kalau hinggap di
atasnya!"
"Kalau
bukan anak siluman, tentu dia anak ikan! Lihat, kepalanya tidak berambut
sedikit pun juga, seperti kepala ikan!"
"Heiii,
gundul pacul buruk menjijikkan!"
"Gundul
sombong..."
Mula-mula
Kun Liong hanya memandang heran dan menganggap bahwa mereka adalah anak nakal
yang hendak menggodanya karena dia asing dan bukan teman mereka. Maka dia diam
saja, bahkan tersenyum dan berkata,
"Aihhh,
mengapa kalian begini? Aku seorang anak biasa seperti kalian, rambut kepalaku
habis karena keracunan."
Si Codet
melangkah maju. "Gundul menyebalkan! Sekarang juga engkau harus minggat
dari dusun kami, engkau hanya mendatangkan kesialan bagi kami!"
"Ahhh,
apa maksudmu?" Kun Liong memang sudah mengambil keputusan hendak pergi
meninggalkan tempat itu, akan tetapi kalau disuruh pergi dengan diusir macam
ini, maka kehormatannya merasa tersinggung dan dia pun menjadi marah.
"Maksudku,
gundul buruk, kalau engkau tidak lekas-lekas pergi dari sini, maka kami akan
menghajarmu sampai engkau melolong-lolong minta ampun, baru akan kami
lepaskan!" Kata pula Si Codet dan teman-temannya sudah siap, mengepal
tinju dan kayu dan bambu erat-erat.
Kun Liong
bangkit berdiri. Dengan marah dia membusungkan dada dan mengangkat kaki kanan ke
atas dayung perahu yang disandarkan di sana, lalu menudingkan telunjuknya
kepada mereka. "Hemmm, kalian ini anak-anak malas tak tahu diri! Aku
mengerti kenapa kalian bersikap seperti ini kepadaku. Aku sudah mendengar bahwa
kalian merasa iri hati kepadaku. Kalian melihat para nelayan suka akan tenaga
bantuanku, dan kalian merasa dikesampingkan. Kalian iri melihat keunggulanku,
dan hal itu hanya menandakan bahwa kalian adalah anak-anak bodoh dan
malas!"
"Gundul
sombong!" Si Codet sudah menerjang maju, menghantamkan kayu pemukulnya ke
arah kepala Kun Liong.
Akan tetapi
dengan gerakan cepat Kun Liong dapat mengelak dan berusaha merampas alat
pemukul itu. Akan tetapi, anak-anak yang lain segera bergerak maju menyerang
dan mengeroyoknya.
Tentu saja
anak-anak itu bukanlah lawan Kun Liong yang sejak kecil sudah belajar ilmu
silat dan kalau dia menghendaki, dengan melakukan pemukulan-pemukulan pada
bagian tubuh yang berbahaya, tentu dia akan dapat merobohkan mereka. Akan
tetapi justru dia tidak menghendaki demikian karena sekecil itu, Kun Liong
sudah mempunyai pengertian yang mendalam dan dia tahu bahwa keadaan anak-anak
yang iri hati ini dapat dimengerti dan dimaafkan, maka dia hanya mengelak ke
sana-sini sambil menangkis dan berteriak-teriak menyuruh mereka berhenti.
Melihat
betapa dikeroyok tujuh orang, Kun Liong dapat mengelakkan semua pukulan dan
setiap kali menangkis, anak yang memukul merasa lengannya nyeri ketika beradu
dengan lengan Kun Liong yang menangkisnya. Tujuh orang anak yang mengeroyok itu
menjadi makin penasaran, maka mereka menyerang lebih ganas lagi, terdorong oleh
kemarahan mereka.
Karena Kun
Liong hanya mengelak dan menangkis, pula biar pun sudah bertahun-tahun dia
dilatih ilmu silat oleh ayah bundanya akan tetapi sama sekali belum ada
pengalaman bertempur, pengeroyokan ini merupakan yang ke dua setelah yang
pertama kalinya dia dikeroyok penduduk, Kun Liong terkena pukulan juga hingga
terdengar suara bak-bik-buk ketika kepalan dan kayu pemukul jatuh ke atas
tubuhnya!
Hal ini
membuat dia marah sekali, terutama kepada anak codet yang pukulan kayunya
paling keras dan ketika mengenai kepalanya yang gundul, terasa nyeri. Dia hanya
merasa heran mengapa tubuhnya yang dihujani pukulan itu sama sekali tak terasa
sakit. Dia tidak tahu bahwa kekuatan mukjijat yang ditimbulkan oleh
bercampurnya tiga macam racun telah melindunginya dan membuat tubuhnya kebal,
kecuali kepalanya yang gundul!
Pada waktu
Si Codet menerjang lagi, mengayun kayu pemukul dengan kuat-kuat ke arah
kepalanya, Kun Liong miringkan tubuhnya sehingga kayu itu melayang lewat. Cepat
dia menghantam leher anak codet itu dengan tangan miring.
"Kekkk!"
Anak codet
itu melepaskan kayu pemukulnya dan terguling roboh tanpa bersuara.
"Dia
membunuhnya!"
"Pembunuh...!"
Enam orang
anak yang melihat Si Codet rebah dengan mata terpejam dan muka pucat, mengira
bahwa anak itu mati. Kun Liong terkejut bukan main karena dia pun terpengaruh
oleh teriakan-teriakan mereka, mengira bahwa anak yang dipukulnya tadi tewas.
Padahal dia hanya mempergunakan sedikit tenaga saja dan sebetulnya anak itu
hanya pingsan.
Karena
menyangka anak itu tewas, rasa takut menyelinap di hati Kun Liong. Dia harus
melarikan diri! Kalau para nelayan tahu bahwa dia membunuh tentu dia akan
ditangkap, mungkin mereka pun akan membunuhnya. Dan ia melihat beberapa orang
nelayan telah lari mendatangi melihat perkelahian itu. Tanpa pikir paniang lagi
karena takut dikeroyok nelayan sekampung, Kun Liong lalu melompat ke dalam
sebuah perahu kecil, mendayung perahu ke tengah sungai.
"Heiii!
Dia melarikan perahu...!"
"Kejar...!"
Kun Liong
tidak berani menoleh, tapi terus mendayung perahunya sekuat tenaga. Dalam
keadaan panik itu dia tidak merasa betapa tenaga dayungannya luar biasa sekali.
Perahu meluncur cepat seperti didayung oleh belasan orang dewasa hingga
mengherankan hati pengejarnya.
Juga Kun
Liong tidak sadar betapa mereka itu berteriak-teriak menyuruhnya berhenti dan
dia diteriaki melarikan perahu, sama sekali bukan diteriaki sebagai pembunuh!
Memang para nelayan itu mengejarnya karena dia melarikan perahu, dan Si Codet
itu sudah sejak tadi-tadi sadar kembali.
Karena
tenaga mukjijat di tubuhnya bekerja, perahu yang didayung oleh Kun Liong cepat
bukan main, membuat para pengejar, nelayan-nelayan yang sudah kawakan dan
sangat berpengalaman itu, tertinggal dan mereka berteriak-teriak saking
herannya.
Ketika
sampai di sebuah simpangan, di mana air sungai itu terpecah dua, Kun Liong
terus meluncurkan perahunya ke bagian sungai yang menyimpang ke utara, bukan ke
bagian yang terus mengalir lurus ke timur.
"Haiii...
jangan masuk ke sana...!"
Dia
mendengar teriakan para pengejarnya, akan tetapi tentu saja dia tak peduli,
bahkan mendayung makin cepat. Sungai yang menyimpang ke utara itu merupakan
daerah yang berbahaya hingga tidak ada nelayan yang berani memasukinya. Bukan
hanya berbahaya karena dalam musim hujan seperti itu, sungai liar ini dapat
secara tiba-tiba membanjir, yaitu kemasukan air berlebihan dari sungai-sungai
kecil, akan tetapi juga banyak bagian yang agak dangkal sedangkan di bawah
permukaan airnya banyak terdapat batu karang. Selain ini, di dalam hutan di
kanan kiri sungai ini terkenal sebagai sarang orang-orang jahat!
Bukan hanya
karena sungai yang berbahaya itu saja, akan tetapi melihat betapa Kun Liong
dapat mendayung perahu dengan kecepatan yang tidak lumrah, dan betapa anak itu
berani memasuki daerah berbahaya ini, timbul pula kepercayaan tahyul di dalam
hati para nelayan. Tentu anak itu bukan anak biasa, pikir mereka dan mereka pun
merelakan perahu yang dilarikan, sambil ramai mempercakapkan anak yang
menghilang itu mereka kembali ke dusun, membawa bahan dongengan yang lebih aneh
dan menyeramkan lagi tentang si ‘bocah ajaib’ gundul itu!
Sungai yang
dilalui Kun Liong itu merupakan cabang Sungai Huang-ho. Sungai Huang-ho
bercabang dua di bagian itu, akan tetapi cabangnya ini, setelah menampung
banyak air yang dimuntahkan oleh sungai-sungai kecil dari kanan kiri, akhirnya
dari utara membelok ke timur dan ke selatan untuk kemudian kembali ke induknya,
yaitu Sungai Huang-ho, sungai yang paling besar di Tiongkok.
Sebelum
kembali ke induknya, sungai ini merupakan sungai yang amat berbahaya dan karena
merupakan sungai liar yang tercipta ketika Huang-ho banjir dahulu, maka sering
kali sungai ini meluap pada saat menerima air dari sungai-sungai kecil itu.
Hampir setiap musim hujan, sungai ini pasti meluap dan di bagian-bagian
tertentu, air mengalir deras bukan main, merupakan daerah yang sangat berbahaya
bagi perahu-perahu sehingga sungai ini boleh dikata dijauhi para nelayan dan
tidak pernah dilewati. Lebih aman melalui sungai induk terus ke timur dari pada
melalui sungai cabang yang keluar masuk hutan liar ini.
Akan tetapi
Kun Liong yang tidak mengenal sungai itu, merasa lega ketika melihat bahwa dia
tidak dikejar-kejar lagi. Dia merasa bersalah karena telah melarikan perahu.
Dia telah mencuri! Akan tetapi bukannya mencuri karena dia menginginkan perahu
itu, melainkan karena terpaksa untuk melarikan diri! Alasan ini sudah membuat
dia dapat memaafkan perbuatannya mencuri perahu!
Demikianlah
yang dilakukan oleh kita, manusia! Kita selalu mencari sebab dan alasan untuk
menghibur diri pada waktu kita merasa telah melakukan sesuatu yang kita anggap
salah. Mencari sebab-sebab yang kalau perlu dipaksakan, untuk menutupi
kesalahan kita, bahkan untuk menyulap kesalahan itu berubah menjadi sesuatu
yang tidak salah lagi!
Ada saja
alasannya untuk menutupi sesuatu yang hitam pada diri kita dengan warna putih.
Hal ini terjadi karena kita tidak mau menghadapi kenyataan, tidak mau mengenal
diri pribadi, tidak mau mengakui betapa segala kotoran berada dalam diri kita
sehingga kita dapat membuang semua kotoran itu.
Tidak, kita
bukan melakukan hal itu, sebaliknya kita menutupi kotoran itu dengan segala
akal kita. Tentu saja, dengan demikian, segala macam kotoran masih tertimbun
dalam diri kita, biar pun kotoran itu tidak tampak, ditutupi oleh segala macam
akal yang membuat kita kelihatan bersih! Kebersihan tidak tercapai dengan
menutupi kekotoran, dan kotoran diri sendiri hanya dapat dilenyapkan sesudah
kita melihatnya dengan mata terbuka dan dengan bebas, karena tanpa kebebasan
tak mungkin kita dapat melihat kenyataan dalam diri kita sendiri, tak mungkin
kita dapat mengenal diri sendiri.
Mula-mula
senang juga hati Kun Liong ketika mendayung perahu kecil itu yang meluncur
cepat. Dengan wajah berseri-seri dan mata bersinar-sinar, dia memandang ke
kanan kiri, melihat pohon-pohon hutan di kedua tepi sungai.
Memang,
kalau mata memandang dengan penuh kewaspadaan tanpa gangguan pikiran, semua
akan tampak sempurna! Air yang bergelombang, di depan perahu diterjang ujung
perahu, di dekat tepi beriak menghantam batu-batu, tebing pada kedua pinggir
kelihatan coklat, kadang-kadang tampak akar-akar pohon seperti ular di antara
rumput-rumput dan semak-semak yang tumbuh dengan liar di tebing.
Seekor
bangkai ayam hutan hanyut perlahan di pinggir, dirubung lalat yang mengeluarkan
suara mengiang, kadang-kadang lalat-lalat itu beterbangan panik jika bangkai
itu bergerak tiba-tiba ke bawah karena digigit dan ditarik ikan dari bawah. Bau
bangkai ayam yang membusuk itu tidak berapa keras di tempat terbuka seperti
ini, menipis dan buyar tertiup angin.
Pohon besar
yang banyak tumbuh di hutan seolah-olah menjadi penjaga-penjaga hutan,
melindungi pohon-pohon dan bunga-bunga kecil di bawahnya, memberi tempat
berteduh kepada burung-burung dan tupai-tupai yang berloncatan dari dahan ke
dahan. Pada saat ada angin yang agak besar lewat, daun-daun kuning yang rontok
melayang-layang turun, bagaikan menari-nari ke kanan kiri dan bermalas-malasan,
agaknya segan meninggalkan tempatnya yang tinggi, akan tetapi akhirnya tiba
juga ke atas tanah, diam, mati dan kaku, akhirnya mengering kemudian hancur
menjadi pupuk yang mendatangkan kesuburan bagi pohon itu sendiri.
Terapung di
atas perahunya seorang diri, di tempat sunyi dan indah itu, merasa bebas lepas
bagaikan burung-burung yang terbang di permukaan sungai, menyambar ikan-ikan
kecil yang berenang di permukaan air, ingin Kun Liong bernyanyi!
Akan tetapi,
gelombang air mulai membesar dan air mengalir makin cepat dan kuat ke depan.
Karena perahunya oleng ke kanan-kiri Kun Liong tidak lagi menggunakan dayung
untuk melajukan perahunya, melainkan menggunakannya untuk menahan supaya perahu
tidak terguling, dengan menekan ke kanan-kiri......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment