Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 05
KETIKA Kun
Liong melihat ke depan, Matanya terbelalak dan mukanya menjadi agak pucat. Dia
melihat betapa sungai memuntahkan airnya dari arah kiri hingga membanjir. Air
yang masuk ke sungai itu berwarna coklat kemerahan, amat keruh.
Dia harus
membawa perahunya ke pinggir. Akan tetapi terlambat! Arus sudah demikian
kuatnya sehingga betapa pun dia mendayung perahunya agar minggir, perahu itu
masih terseret ke dalam dan akhirnya disambar oleh air bah ketika sampai di
tempat pertemuan antara anak sungai dan sungai itu.
Kun Liong
berusaha mengatur keseimbangan perahunya. Tapi tenaga air yang menyeret
perahunya terlalu besar, gelombang terlalu hebat dan dia lalu berteriak keras
pada waktu perahunya terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air!
Kun Liong
gelagapan, cepat dia menahan napas dan menggerakkan kakinya. Tubuhnya timbul ke
permukaan air, melihat perahunya tadi sudah pecah, agaknya terbanting pada batu
karang. Melihat sepotong papan pecahan perahu di dekatnya, Kun Liong segera
menyambarnya dan berpegang erat-erat pada papan itu. Arus air bukan main
derasnya, dan gelombang amat besar sehingga dia tidak dapat berdaya apa-apa
kecuali bergantung pada papan yang membawanya hanyut cepat sekali.
Entah berapa
lamanya dia hanyut itu, dia sendiri tidak ingat lagi. Akan tetapi setelah hari
hampir senja, air sungai tidak sehebat tadi gelombangnya, sungguh pun arusnya
masih kuat. Sudah hampir seharian dia hanyut!
Kun Liong
berusaha untuk berenang ke pinggir sambil berpegang pada papan itu. Namun
usahanya gagal. Arus masih terlalu kuat, apa lagi dibebani papan itu, tidak
mungkin dia sanggup melawan arus berenang ke pinggir. Untung sedikit banyak dia
dapat berenang, kalau tidak, tentu dia akan celaka!
Setelah tiba
pada bagian yang airnya tidak bergelombang lagi, hanya arusnya masih agak kuat,
Kun Liong segera mencari akal. Dia melepaskan papan yang dianggapnya sudah
menyelamatkan nyawanya tadi, kemudian menyelam. Niatnya hendak berenang ke tepi
sambil menyelam, tentu arus di bawah tidak sekuat di permukaan.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia sudah menyelam sampai ke
dasar sungai, arus di bawah makin kuat! Dia terseret dan melihat benda putih di
dekat kakinya, disangkanya batu karang maka cepat dia menangkap benda yang
putih itu dan berpegang kuat-kuat. Akan tetapi, ‘batu karang’ itu jebol dan dia
terbawa hanyut.
Dalam
kepanikannya, dia masih merangkul batu itu sambil menendang-nendangkan dua
kakinya sehingga tubuhnya mumbul lagi dan timbul di permukaan air. Dia
gelagapan dan menyemburkan air dari mulut. Banyak juga air terminum olehnya
tadi. Jika tidak tertolong, dia tentu tewas sekarang, pikirnya.
"Tolooonggg...!"
Tanpa disadarinya lagi, dia berteriak dengan sekuat tenaga, kemudian
menggerakkan kaki tangan agar tidak tenggelam, terpaksa membiarkan tubuhnya
terseret dan hanyut. Masih tak disadarinya bahwa lengan kirinya tetap saja
memeluk ‘batu karang’ putih tadi!
Dia hanyut
memperhatikan ke sekeliling dan alangkah girangnya ketika tiba-tiba tampak
sebuah perahu tak jauh dari situ.
"Pegang
tali ini...!"
Dia
mendengar ada orang berteriak dan melihat seorang laki-laki tua melempar tali
sambil berdiri membungkuk di pinggir perahu. Seorang anak perempuan dengan mata
terbelalak memandang dan agaknya anak itu khawatir sekali, dia berpegang pada
ujung baju di belakang tubuh kakek tua, telunjuknya menuding ke arah Kun Liong
yang sudah berhasil menyambar dan memegang tali dengan tangan kanannya.
Kakek itu
memandang Kun Liong yang sedang berpegang pada tali dengan muka penuh
keheranan, apa lagi ketika dia melihat benda yang berada dalam pelukan lengan
kiri anak itu.
"Heiiii!
Engkau ini bocah yang luar biasa sekali! Bagaimana engkau bisa berada di tengah
sungai dan apa yang kau bawa itu?"
Hati Kun
Liong mendongkol. Kakek yang luar biasa masih mengatakan dia yang luar biasa.
Masa menolong orang, belum juga orangnya naik sudah menghujaninya dengan
pertanyaan-pertanyaan. Dan dia baru teringat bahwa batu dari dasar sungai tadi
masih dipeluknya!
"Naikkan
aku dulu, baru kita bicara!" katanya marah. "Dan batu ini..."
Tiba-tiba
dia terbelalak dan tidak melanjutkan kata-katanya karena ketika dia melirik ke
arah batu yang sudah hampir dilemparkannya itu, dia mendapat kenyataan bahwa
batu itu sama sekali bukanlah batu, melainkan sebuah benda yang aneh, agaknya
sebuah bokor atau tempat abu, terbuat dari benda mengkilap kuning dan dihias
batu-batu putih yang berkilauan!
"Kakek
yang baik, tolong naikkan aku dulu!" kembali dia berkata.
Tiba-tiba
tubuhnya melayang ke atas dan sebuah tangan yang kuat menyambutnya dari udara
dan dia diturunkan dengan tenang oleh kakek itu. Kiranya kakek itu bukan orang
sembarangan! Dia tidak ditarik naik seperti biasa, melainkan dilontarkan ke
atas dengan renggutan kuat sekali sehingga tubuhnya terlempar ke atas.
Mereka
saling pandang penuh perhatian. Bagi Kun Liong, tidak ada apa-apa yang aneh
pada diri kakek itu dan anak perempuan yang berdiri dengan matanya yang
terbelalak itu.
Seorang
kakek yang usianya tentu ada enam puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap dan
terlihat kuat. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan membayangkan kemiskinan,
seperti pakaian nelayan-nelayan miskin, tak bersepatu pula! Rambutnya sudah
banyak putihnya, disatukan menjadi gelung kecil di atas kepala, jenggot dan
kumisnya juga kelabu dan pendek, tidak terpelihara. Akan tetapi gerak-gerik
kakek ini, dan caranya menaikkan Kun Liong ke perahu, jelas membuktikan bahwa
kakek ini bukan seorang nelayan biasa.
Ada pun anak
perempuan itu terlihat manis sekali, rambutnya hitam dan gemuk panjang,
dikepang dua, akan tetapi angin membuat rambutnya awut-awutan menambah manis.
Pakaiannya juga sederhana dan kakinya tidak bersepatu.
Kakek itu
menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan masih tidak mau percaya dengan pandang
matanya sendiri. "Heran... ajaib... engkau siapakah, Nak?"
"Namaku
Yap Kun Liong, tadinya aku berperahu, perahuku pecah dan aku terguling ke dalam
air, hanyut sampai hampir satu hari lamanya. Untung di tempat ini engkau dapat
menyelamatkan aku, Kek. Siapakah engkau dan mengapa tidak takut berperahu di
tempat berbahaya ini?"
"Aku
Kakek Yo, orang menyebutku Yo-lokui (Setan Tua Yo) dan ini cucuku bernama Yo Bi
Kiok."
"Kun
Liong, Kong-kong (Kakek) memang tinggal di daerah ini dan sudah biasa
berperahu, tidak aneh kalau kami berperahu di sini. Akan tetapi engkau, seorang
diri berperahu di tempat ini yang ditakuti orang, telah hanyut sehari masih
hidup dan membawa benda itu, benar-benar engkau seorang yang aneh sekali!"
"Bokor
itu... dari mana engkau mendapatkannya?" Kakek itu bertanya sambil
memandang kagum. Sekilas pandang saja dia sudah tahu bahwa benda itu terbuat
dari emas murni dan hiasannya adalah batu-batu kemala putih yang amat berharga!
"Ah,
ini? Aku menyelam untuk membebaskan diri dari gelombang dan arus, tapi malah
terseret arus di bawah yang amat kuat. Aku berpegang pada batu karang dan
ternyata batu itu adalah benda inilah. Aku sendiri tidak tahu benda apa ini,
akan tetapi sungguh indah..."
"Coba
aku melihat sebentar," kakek itu berkata.
Kun Liong
menyerahkan benda itu dan selagi Yo-lokui memeriksa bokor itu, Kun Liong duduk
di atas papan berhadapan dengan Bi Kiok, menatap wajah anak perempuan itu yang
memandang kepadanya dengan mata lebar dan jeli bersinar-sinar dan bibir anak
itu tersenyum. Hemmm...
"Bi
Kiok, engkau manis sekali!" Kun Liong berkata dengan tulus.
Sepasang
mata itu makin melebar, senyumnya makin manis dan Bi Kiok menjawab, "Kun
Liong engkau... lucu sekali!"
Hati Kun
Liong agak tersinggung. Dia dianggap apakah? Masa disebut lucu? Akan tetapi dia
melanjutkan, "Engkau memang manis, terutama sekali rambutmu dan
matamu."
"Dan
engkau memang amat lucu, terutama sekali kepalamu."
Kedua pipi
Kun Liong menjadi merah dan ingin dia menampar anak itu kalau tidak ingat bahwa
anak itu adalah cucu Yo-lokui yang telah menyelamatkannya dan bahwa anak itu
adalah seorang perempuan. Akan tetapi, disinggung kepalanya, dia lalu membuang
muka dan cemberut, tidak lagi mempedulikan Bi Kiok dan kini memandang kakek
yang agaknya menjadi arca memandang kepada bokor di kedua tangannya.
"Bagaimana,
Kek? Berhargakah benda yang kutemukan itu?"
Kakek itu
membalikkan tubuh memandang pada Kun Liong, mukanya berubah sungguh-sungguh,
dan dia berkata dengan suara gemetar. "Berharga? Aihhh, anak baik. Engkau
telah menemukan pusaka yang tak ternilai harganya!"
"Hemm...
pusaka? Apa sih harganya benda kuno seperti itu? Hanya mengkilap dan bagus
dipandang, akan tetapi tidak dapat mengenyangkan perutku."
"Ahhh,
laparkah engkau, Kun Liong?" tiba-tiba Bi Kiok bertanya.
Kemarahannya
terhadap anak itu masih mengganjal di dalam perutnya, maka cepat-cepat Kun
Liong menggeleng kepalanya dan menjawab dingin, "Tidak!"
"Tadi
kau bilang..."
"Bi
Kiok, perlukah kau bertanya lagi? Dia hanyut di sungai selama sehari dan kau
masih bertanya apakah dia lapar?" Kakek itu mencela cucunya dan diam-diam
dia memandang Kun Liong penuh perhatian.
Maklumlah
dia bahwa anak laki-laki ini bukanlah bocah sembarangan, bukan anak dusun yang
bermain-main dengan perahu dan hanyut. Sikapnya jauh berbeda, dan kata-katanya
menunjukkan bekas pendidikan orang pandai.
"Yap-kongcu,
pakaianmu basah semua, engkau tentu sangat lelah dan lapar. Marilah ikut bersama
kami. Ketua kami tentu akan gembira sekali kalau melihat bokor ini, dan akan
memberimu apa saja sebagai penukarannya. Engkau telah menemukan harta yang
tidak ternilai harganya dan yang sudah bertahun-tahun dicari oleh ketua
kami."
Kun Liong
mengerutkan alisnya. "Apakah sesungguhnya bokor ini, Kek? Apanya yang
berharga?"
"Kalau
hanya dinilai dari emas dan batu kemalanya saja, sudah cukup membuat orang
kaya. Akan tetapi bukan itulah sebabnya. Lihat, Kongcu, lihat melalui celah
tutupnya ini."
Kun Liong
menerima bokor itu dan mengintai melalui celah penutup bokor yang terbuka
sedikit. Dia melihat coret-coret seperti huruf-huruf dan goresan-goresan di
sebelah dalam. Karena dari celah itu tidak mungkin melihat jelas, apa lagi
membaca huruf-hurufnya, Kun Liong hendak membuka penutup bokor, ternyata tutup
itu melekat kuat sekali seolah-olah menjadi satu dengan bokornya! Kakek itu
cepat mencegah,
"Tidak
mungkin dibuka oleh yang tidak mengetahui rahasianya, Yap-kongcu. Ketua kami
tentu mengetahui rahasia untuk membukanya. Ketahuilah, kalau aku tak salah
menduga, bokor inilah yang oleh ketua kami dicari-cari selama bertahun-tahun.
Entah sudah berapa ratus kali kami bergantian menyelam dan mencari namun selalu
tanpa hasil. Siapa kira, engkau yang tidak sengaja mencari, malah berhasil
menemukannya. Benar-benar yang dinamakan jodoh tak dapat ditolak oleh
manusia!"
Kakek itu
lalu mendayung perahunya dan Kun Liong tidak berkeberatan diajak oleh kakek
penolongnya itu. Akan tetapi ucapan kakek itu membuat dia duduk bengong
memandangi bokor yang dipangkunya. Ahhh, tentu sebuah pusaka kuno yang amat
langka, pikirnya.
"Kakek
yang baik, apakah engkau tahu akan asal-usul bokor ini?"
Kakek itu
menghela napas panjang sebelum menjawab. Sambil tetap mendayung perahu, dia
kemudian berkata perlahan, "Yap-kongcu, keadaan ini sungguh-sungguh luar
biasa anehnya. Selama bertahun-tahun kami semua menutup mulut dan bokor ini
tidak pernah disebut-sebut, sungguh pun kami tak pernah berhenti mencarinya.
Orang luar sama sekali tidak tahu akan bokor ini karena kami dilarang untuk
menceritakannya kepada siapa saja dengan ancaman hukuman mati! Akan tetapi,
karena engkaulah orang yang kebetulan menemukan bokor ini, agaknya engkau juga
berhak untuk mengetahui riwayatnya. Tentu saja kalau dugaanku betul bahwa bokor
inilah yang kami cari-cari selama ini. Yang dapat memastikan asli atau pun
tidaknya hanyalah ketua kami, satu-satunya orang yang pernah melihat bokor
ini."
Sejenak Kun
Liong melupakan rasa dingin serta laparnya. Hatinya tertarik sekali karena dari
kata-kata dan sikap kakek ini, dia dapat menduga bahwa tentu bokor ini
mempunyai riwayat yang amat menarik. Pula, sikap dan kata-kata kakek itu
mendatangkan rasa suka di hatinya terhadap kakek itu yang dia duga tentulah
orang yang berwatak jujur dan baik.
"Bokor
ini mula-mula dikenal orang ketika Panglima Besar The Hoo yang diangkat oleh
Kaisar menjadi laksamana memimpin armada yang berlayar ke barat dan selatan
belasan tahun yang lalu. Karena mengandung rahasia yang amat berharga, bokor
ini lalu dijadikan rebutan orang-orang dunia persilatan yang memiliki kesaktian
tinggi dan akhirnya lenyap. Laksamana The Hoo sendiri mengutus para pembantunya
mencari, akan tetapi hasilnya kosong belaka. Menurut penuturan kepala kami,
akhirnya bokor itu berhasil didapatkan oleh kepala kami yang menjadi seorang di
antara anggota pengawal Laksamana The Hoo yang bertugas mencari bokor. Akan
tetapi malang baginya, ketika dia membawa bokor itu dengan perahu melalui
sungai ini, perahunya diserang banjir seperti yang baru kau alami, perahunya
pecah dan bokor itu terjatuh ke dalam sungai. Demikianlah, ketua kami tidak berani
melapor, takut menerima hukuman. Dia mengajak kami dan para anak buah untuk
mencari bokor, sampai sekarang sudah berjalan lima enam tahun tanpa hasil, dan
hari ini tahu-tahu engkau muncul dengan bokor di tangan, muncul dari dalam air!
Bukankah hal itu amat ajaib dan mengejutkan sekali?"
Kun Liong
memandang bokor di tangannya. "Rahasia apakah yang dikandung benda
ini?" Dia mengintai lagi dari celah di bawah tutup, akan tetapi sesudah
air yang membasahi sebelah dalam bokor mengering, huruf-huruf itu lenyap dan
tidak tampak lagi.
Kakek itu
menggeleng kepala. "Aku sendiri pun tidak tahu apa rahasianya, hanya yang
pasti, rahasia itu amat berharga sehingga orang-orang seluruh kang-ouw saling
berlomba mendapatkan bokor ini."
Tidak lama
kemudian mereka mendarat di sebelah kiri sungai, di dalam sebuah hutan. Tampak
beberapa orang laki-laki menyambut dan begitu mereka mendengar penuturan
singkat dari Yo-lokui, mereka lantas berlari-lari dengan air muka berubah
tegang. Sambil memondong bokornya dan tahu bahwa benda itu sangat dihargai
sehingga dia merasa dirinya penting, Kun Liong mendarat dan mengikuti kakek Yo
bersama cucunya. Dengan wajah berseri-seri Kun Liong melihat betapa ada belasan
orang muncul dan mengiringkan mereka sambil berbisik-bisik dan mata semua orang
itu memandang ke arah bokor di tangannya dengan penuh takjub.
Mereka
memasuki sebuah rumah papan yang amat besar dan agaknya rumah itu adalah
satu-satunya bangunan di tempat sunyi itu sehingga diam-diam Kun Liong menjadi
heran sekali. Tempat itu sangat sunyi, hanya ada sebuah rumah besar dan tampak
tiga buah perahu lainnya di pinggir sungai. Tak mungkin perkampungan nelayan
hanya dihuni oleh belasan orang ini dengan sebuah rumah! Juga dia tidak melihat
wanita atau anak-anak di tempat itu kecuali Bi Kiok, cucu kakek Yo! Tempat
apakah ini?
Seorang
laki-laki setengah tua yang gemuk menyambut mereka. Yo-lokui cepat memberi
hormat kepada laki-laki gendut ini sambil berkata, "Saya membawa berita
baik sekali untuk Phoa-sicu!"
"Ahh,
aku sudah mendengar pelaporan orang-orang kita, Yo-twako. Inikah anak itu? Dan
bokor itu... hemmm, harus diperiksa dulu asli atau tidaknya." Si Gendut
itu tertawa-tawa ramah dan wajahnya berseri.
Akan tetapi
ketika sepasang matanya memandang ke arah bokor, Kun Liong menangkap cahaya
berkilat yang aneh dan kejam sehingga dia terkejut bukan main dan mengambil
keputusan untuk bersikap waspada terhadap Si Gemuk yang mencurigakan ini. Lagi
pula, dia benar-benar tidak mengerti apa hubungan Kakek Yo dengan Si Gendut,
yang disebut Phoa-sicu (tuan yang gagah she Phoa) ini.
"Kakek
Yo, siapakah dia ini?" tanyanya dan kelihatan ragu-ragu untuk memasuki
rumah besar itu.
"Yap-kongcu,
inilah ketua kami, Phoa Sek It Si Golok Maut yang amat terkenal di dunia
kang-ouw," jawab Yo-lokui, kelihatan tidak enak menyaksikan sikap Kun
Liong demikian kurang hormat terhadap ketuanya.
Akan tetapi
Phoa Sek It tersenyum lebar dan membungkuk ke arah Kun Liong, berkata ramah,
"Silakan, Yap-kongcu. Silakan masuk dan harap jangan khawatir. Kita berada
di antara sahabat-sahabat sendiri dan kedatanganmu seperti kedatangan seorang
malaikat pembawa berkah terhadap kami. Heii! Lekas carikan pakaian pengganti
Yap-kongcu yang basah dan persiapkan hidangan panas untuk kita sekalian, juga
bersihkan kamar untuk tempat tidur tamu kita!" Teriakan itu ditujukan
kepada anak buahnya yang segera pergi melaksanakan perintah itu.
"Biarlah
aku tidur bersama Kakek Yo saja, harap tidak perlu repot-repot, Paman
Phoa," kata Kun Liong kepada Si Gendut itu.
Si Gendut
mengangguk-angguk. "Terserah kepadamu, Yap-kongcu, sesuka hatimulah.
Bolehkah aku melihat bokor itu?"
Kun Liong
yang masih curiga, menoleh ke arah kakek itu dan kakek itu mengangguk
kepadanya. Kun Liong menyerahkan bokor yang dipegangnya kepada Si Gendut yang
menerimanya dengan mulut tersenyum lebar, akan tetapi kembali tampak oleh Kun
Liong cahaya mata aneh yang menyeramkan menyorot keluar dari sepasang mata Si
Gendut ketika dia menerima bokor.
"Yo-twako,
harap suka melayani dan menjamu makan Yap-kongcu. Aku harus meneliti bokor ini
dengan tenang di dalam kamar, untuk menentukan apakah benda ini asli atau
bukan. Engkau tahu, sudah bertahun-tahun aku tak melihatnya sehingga aku hampir
lupa lagi." Tanpa menanti jawaban, Si Gendut membawa bokor masuk ke dalam
dan lenyap di ruangan dalam.
Yo-lokui,
ditemani oleh cucunya dan para anggota rombongan itu, mengajak Kun Liong makan
minum setelah memberinya serangkai pakaian yang lantas dipakai oleh Kun Liong
sebagai pengganti pakaiannya yang basah kuyup. Mereka makan minum sambil
ngobrol gembira dan kembali Kun Liong merasa heran karena masakan yang
dihidangkan cukup mewah seperti masakan kota. Padahal tempat itu amat sunyi.
Dari mana
mereka mendapatkan bumbu-bumbu yang lengkap ini? Mungkin membeli dari kota,
pikirnya. Betapa pun juga, dia merasa makin terheran benar karena di tempat itu
ternyata benar-benar hanya ada sebuah rumah ini yang dihuni bersama-sama
sebanyak lima belas orang termasuk Kakek Yo beserta cucunya, sedangkan Si
Gendut itu menjadi pimpinan mereka. Semua ini dia ketahui dari percakapan
antara mereka.
"Mengapa
Cuwi (Kalian) tinggal di tempat yang amat sunyi ini, tinggal serumah dan tidak
mempunyai keluarga?" Ia mengajukan pertanyaan sambil memandang ke arah
sekeliling.
Orang-orang
itu terdiam, tidak dapat menjawab. Yo-lokui yang duduk di sebelah kanannya
segera menjawab,
"Kami
memang tidak memiliki keluarga, dan tanpa keluarga, perlu apa membuat rumah
sendiri-sendiri? Satu-satunya keluarga hanyalah cucuku ini yang sudah yatim
piatu pula."
"Akan
tetapi pekerjaan Cuwi sebenarnya apakah?"
"Aihhh,
perlukah kau bertanya lagi, Kongcu? Kami adalah nelayan-nelayan dan... seperti
telah kau ketahui, di samping mencari ikan, kami pun berusaha mencari bokor
itu..."
Tiba-tiba
kakek Yo menghentikan kata-katanya, karena tanpa mereka ketahui, Phoa Sek It
yang gemuk itu telah berdiri di pintu dan memandang ke arah Kakek Yo dengan
mata mengandung sinar menakutkan! Di dalam pandangan itu sudah tercurah semua
teguran ketua ini, maka Kakek Yo cepat berkata dengan suara gugup,
"Phoa-sicu,
saya rasa sebagai penemu benda itu, dia berhak untuk..."
"Cukup!
Kalau sudah selesai makan, kalian tidurlah dulu. Aku sedang sibuk mengadakan
penelitian, tak suka diganggu suara-suara ribut!" kata Si Gendut yang
kembali menghilang ke dalam.
Suasana
menjadi hening seketika, dan agaknya semua orang merasa takut bukan main
terhadap Sang Ketua itu. Kembali Kun Liong merasa heran dan tidak senang. Dia
melihat betapa semua orang mulai menyingkirkan sisa-sisa makanan tanpa banyak
cakap lagi dan mulai mengundurkan diri.
"Yap-kongcu,
marilah kita mengaso ke kamarku," berkata Kakek Yo sambil menyentuh tangan
Kun Liong.
Anak itu
mengerutkan alisnya dan membantah perlahan, "Kakek Yo, aku minta supaya
bokor tadi dikembalikan dulu kepadaku."
Kakek itu kelihatan
terkejut dan khawatir, memegang tangan anak itu sambil berkata lirih,
"Benda itu sedang diteliti oleh ketua kami, Kongcu. Percayalah, besok
tentu akan ditukar dengan benda-benda berharga lain. Jangan kau khawatir, aku
yang menanggung bahwa benda itu tidak akan hilang."
Mendengar
ini, terpaksa Kun Liong menurut. Dia memandang kepada Bi Kiok dan timbul rasa
kasihan di hatinya. Anak ini tinggal tanpa kawan di antara orang-orang ini! Bi
Kiok juga memandang kepadanya dengan matanya yang lebar dan jernih. Seketika
lenyaplah kemarahan Kun Liong terhadap anak perempuan itu dan digandengnya
tangan Bi Kiok. Gadis cilik itu tersenyum dan kelihatan girang sekali pada saat
mereka berdua mengikuti Yo-lokui masuk ke dalam sebuah kamar di bagian belakang
rumah itu.
Kamar itu
cukup bersih, akan tetapi amat sederhana dan baunya tidak enak, amis karena di
sudut-sudut kamar itu terdapat keranjang-keranjang, jala, peti-peti, dayung dan
lain-lain perlengkapan mencari ikan. Agaknya keranjang-keranjang kosong bekas
ikan itulah yang bau amis. Akan tetapi karena sudah biasa, Bi Kiok dan Yo-lokui
tidak terganggu oleh bau ini, berbeda dengan Kun Liong yang begitu masuk kamar,
cuping hidungnya berkembang-kempis diserang bau amis.
Di sudut
kamar itu terdapat sebuah pembaringan yang dikerudung tirai tua, dan di situlah
Bi Kiok tidur. Sedangkan Kakek Yo sendiri tidur di sebuah pembaringan yang
terbuat dari bambu, beralaskan tikar, berbeda dengan pembaringan Bi Kiok yang
diberi kasur tipis dari daun kering.
"Pakailah
pembaringan Bi Kiok, biarlah dia sementara tidur bersamaku, Yap-kongcu,"
kata kakek itu.
"Ahh,
tidak, Kek. Aku tidak mau mengganggu Adik Bi Kiok."
"Tidak
apa, Kun Liong..."
"Ihh,
jangan kurang ajar engkau, Bi Kiok. Sebut dia Yap-kongcu!" kakeknya
menghardik.
"Aaahhh,
biarlah, Kakek Yo. Aku pun tak ingin disebut kongcu."
"Setidaknya
dia lebih tua dari pada kau, Bi Kiok."
"Kalau
begitu biarlah aku menyebutnya twako (kakak), bolehkah Kongkong?"
"Aaahh,
tentang sebutan, mengapa repot-repot benar? Tentu saja kau boleh menyebutku apa
saja, Bi Kiok."
"Kalau
begitu, aku seperti adikmu sendiri, Liong-twako (Kakak Liong). Maka, jangan kau
sungkan-sungkan, pakailah pembaringanku. Aku tidur bersama Kongkong, dan memang
kadang-kadang aku mengungsi ke pembaringan Kongkong kalau aku takut."
"Takut?
Takut apa?" Kun Liong bertanya.
"Hi-hi-hik,
kadang-kadang aku takut pada... pada setan. Apa lagi sehabis diceritakan oleh
Kongkong tentang siluman dan iblis."
Kakek
beserta cucunya itu tertawa sehingga Kun Liong juga ikut tertawa. Berada di
antara kakek dan cucunya ini, mendengarkan kata-kata Bi Kiok yang lucu dengan
suaranya yang merdu, maka lenyaplah segala ketegangan dan kekhawatiran yang
tadi timbul di ruangan tengah ketika Sang Ketua muncul tadi.
"Biarlah
aku tidur bersama kakekmu, Bi Kiok. Kau tidurlah di pembaringanmu sendiri. Aku
tidak malu atau sungkan, melainkan aku masih ingin bercakap-cakap dengan Kakek
Yo."
Akhirnya Kun
Liong berbaring di dekat kakek itu dan tak lama kemudian sudah terdengar
pernapasan yang panjang halus dari Bi Kiok, anak itu telah tidur pulas.
"Kasihan
sekali cucumu itu, Kek. Mengapa kau ajak dia hidup di tempat seperti ini?"
Kun Liong berbisik, menegur Kakek di sebelahnya itu.
Yo-lokui
menghela napas paniang, "Ya, memang kasihan sekali dia. Akan tetapi, aku
tak dapat berbuat lain, Kongcu. Karena terpaksalah maka aku membawanya hidup
tempat ini. Akan tetapi tidak lama lagi. Benda itu telah ditemukan, selain kau
akan menerima hadiah besar, juga kami akan mendapat bagian sehingga aku dapat
mengajak Bi Kiok pindah ke kota besar, hidup cukup dan seperti manusia lumrah,
tidak seperti sekarang ini." Kembali kakek itu menarik napas panjang penuh
harapan.
"Mengapa
engkau terpaksa harus mengajaknya hidup di tempat ini, Kek? Dan siapakah
sebetulnya Phoa Sek It itu? Kulihat dia bukan manusia baik-baik..."
"Ssstt...
perlahan bicara dan berhati-hatilah. Dengarkan baik-baik, saya akan menuturkan
segalanya kepadamu, akan tetapi hanya dengan bisik-bisik. Saya melihat engkau
bukan anak biasa, Kongcu. Biar pun aku telah menyelamatkanmu tanpa sengaja dan
hal itu tak perlu kuingat-ingat lagi, akan tetapi besar sekali harapanku bahwa
kelak engkau akan dapat membantuku mengawasi cucuku, kalau aku sudah tidak ada
lagi..."
Kun Liong
mengangguk dan mulailah kakek itu bercerita dengan berbisik-bisik. Ternyata
bahwa kakek itu bersama putera dan mantunya adalah bekas bajak-bajak sungai
yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah setelah perang saudara berakhir dan
Kaisar Yung Lo memegang tampuk pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw. Putera dan
mantunya tewas dalam perlawanan dan dia sendiri dalam keadaan luka-luka
berhasil melarikan diri sambil membawa cucunya, Yo Bi Kiok yang waktu itu baru
berusia tiga tahun.
Sebagai
seorang pelarian dia terpaksa mengajak cucunya untuk hidup secara
sembunyi-sembunyi. Keadaannya yang miskin itu tentu akan menimbulkan kecurigaan
orang, tidak demikian kiranya kalau kakek ini memiliki banyak uang, tentu dia
akan berani mengajak cucunya ke kota dan tinggal di kota seperti keluarga
baik-baik.
Dalam
perantauannya inilah dia bertemu dengan Phoa Sek It! Orang gendut ini memiliki
kepandaian lihai sekali dan perkenalan mereka pun sangat luar biasa, karena
Kakek Yo berusaha merampok Si Gemuk ini dan dia bahkan dikalahkan, ditaklukkan
dan dijadikan pembantu oleh Phoa Sek It yang berjuluk Golok Maut.
Si Gemuk ini
adalah salah seorang bekas anggota pasukan pengawal yang mengiringkan Laksamana
The Hoo. Pada saat mendapat kesempatan, Phoa Sek It yang menyeleweng karena
ingin menjadi seorang kaya raya ini, mencuri dan membawa lari bokor emas yang
mengandung rahasia penyimpanan harta pusaka terpendam yang tak ternilai
harganya!
Tidak ada
orang yang tahu, juga Laksamana The Hoo sendiri tidak mengira, bahwa dialah
orangnya yang mencuri dan membawa lari bokor. Dunia persilatan geger karena
memang bokor itu sudah terkenal sekali, bahkan ada pula tokoh-tokoh penjahat
sakti yang berani mencoba untuk mencari bokor, akan tetapi mereka kesemuanya
gagal, bahkan ada juga yang tewas di tangan pengawal-pengawal dan para pembantu
Laksamana The Hoo yang berilmu tinggi.
Phoa Sek It
melarikan diri dan karena takut dikejar, dia menggunakan perahu memasuki sungai
yang berbahaya itu, mengandalkan kepandaiannya mengemudikan perahu. Akan
tetapi, banjir menyerang perahunya sehingga terguling, bokornya hilang dan Phoa
Sek It menjadi bingung.
Sesudah
berbulan-bulan mencari dan menyelam di sekitar tempat itu tanpa hasil, dia lalu
mengambil keputusan untuk mencari anak buah dan pada waktu itulah dia dirampok
oleh Yo-lokui yang kemudian dijadikan pembantunya. Mereka berdua berhasil
mengumpulkan bekas bajak-bajak sungai, tiga belas orang jumlahnya dan semenjak
itulah, lima belas orang itu tinggal di tempat tersembunyi, menyambung hidupnya
dengan menangkap ikan atau kadang-kadang juga membajak ke Sungai Huang-ho.
"Selama
bertahun-tahun kami terus mencari bokor itu. Karena janji-janji yang muluk dari
Phoa-sicu, maka kami terus bertahan dan sekarang bokor sudah ditemukan, berarti
akan berakhirlah penderitaan kami. Aku telah dijanjikan pembagian yang cukup
untuk kumakan selama hidup bersama cucuku. Kami akan pindah ke kota!"
Kakek itu menutup ceritanya dengan wajah yang keriput itu berseri penuh harapan
dan kebahagiaan untuk cucunya.
"Mudah-mudahan
saja engkau dan Bi Kiok akan berhasil dan bahagia, Kek," Kun Liong
berkata.
Akan tetapi
kakek itu sudah mulai mendengkur. Agaknya dia lelah bercerita dan harapan yang amat
baik membuat hatinya lega dan puas sehingga mudah dia jatuh pulas.
Sebaliknya
Kun Liong tidak dapat tidur, gelisah bergulingan di atas pembaringan. Dengkur
kakek itu sangat mengganggunya. Apa lagi hawanya panas di dalam kamar itu,
ditambah pula bau amis keranjang bekas ikan, membuatnya semakin gelisah.
Akhirnya
dengan perlahan supaya jangan mengagetkan kakek dan cucunya itu, dia turun dari
atas pembaringan, dengan maksud untuk keluar dari rumah itu mencari hawa segar
di tepi sungai. Akan tetapi baru saja dia sampai di pintu kamar, lapat-lapat
dia mendengar suara orang mengeluh dari kamar di depan, kemudian tampak
bayangan yang berkelebat keluar dari kamar itu, bayangan seorang yang mukanya
ditutup oleh kain hitam mulai dari bawah mata, terus ke bawah dan tangannya
membawa sebatang golok yang berlepotan darah!
Melihat
betapa bayangan itu berkelebat lari ke arah kamar Kakek Yo, Kun Liong cepat
meloncat ke dalam dan keadaan yang tiba-tiba itu membuat dia tidak sempat
berpikir lagi, terus saja dia membuka tutup peti bundar, memasukinya kemudian
menutup kembali dari dalam!
Setelah
mendekam di dalam peti teringat olehnya bahwa seharusnya dia membangunkan Kakek
Yo lebih dahulu. Akan tetapi baru saja dia mau membuka tutup peti, pintu kamar
terbuka, bayangan hitam berkelebat masuk dan dari bentuk tubuh yang gendut itu
Kun Liong dapat menduga bahwa itu tentulah Phoa Sek It. Dia hendak berteriak
mengagetkan dan membangunkan Yo-lokui, namun terlambat!
Orang
berkedok itu telah melompat ke dekat pembaringan Kakek Yo, lalu menggerakkan
golok besar dengan kedua tangan dan... Kun Liong merasa kepalanya pening dan
hampir pingsan ketika melihat darah muncrat dari perut Kakek Yo yang dihujam
golok. Kakek itu tampak terkejut kaku, terbelalak dan seperti hendak bangkit, tetapi
kembali golok terayun dan kali ini membacok leher sehingga hampir putus.
Cepat
seperti ketika masuk, bayangan hitam itu sudah melompat dan menyingkap tirai,
melihat Bi Kiok yang menjadi kaget dan bingung lalu menoleh ke kanan kiri
mencari-cari. Agaknya dia mencari Kun Liong, lalu mendengus marah dan menyambar
lengan tangan Bi Kiok.
"Aihhh...,
lepaskan aku...! Kongkong...!" Bi Kiok menjerit-jerit, akan tetapi orang
gendut berkedok itu telah membawanya lari keluar.
Kun Liong
cepat keluar dari peti. Melihat kakek itu sudah tewas dalam keadaan sangat
mengerikan, dia cepat menyelinap keluar. Terdengar suara gaduh dan
teriakan-teriakan di kamar-kamar lain seperti suara orang berkelahi.
Kun Liong
cepat berlari keluar menuju ke sungai. Tanpa banyak pikir lagi karena maklum
bahwa kalau Phoa Sek It melihatnya tentu dia akan dibunuh, dia meloncat ke atas
sebuah perahu, melepas tali ikatan dan mendayung perahu ke tengah, mendayung
sekuat tenaga mengikuti aliran sungai.
Untung
baginya bahwa bagian berbahaya dari sungai ini sudah lewat, yaitu bagian yang
dilewatinya ketika sehari lamanya dia hanyut kemarin. Air di bagian ini cukup
dalam dan tidak begitu deras arusnya sehingga dia dapat menguasai perahunya.
Ketika hatinya telah merasa lega dan aman karena tidak melihat adanya orang
mengejarnya, Kun Liong yang merasa betapa kedua lengannya kaku dan lelah karena
tadi mendayung sekuat tenaga, mengatur tempat duduk yang lebih enak dan
mendayung perahunya agak di pinggir agar aman.
Pada saat
dia pindah tempat duduk inilah kakinya menyentuh sesuatu. Karena gelap, dia
tidak dapat melihat benda apa itu, maka dia mengambil dan mengangkatnya. Hampir
dia tertawa bergelak dan membayangkan betapa lucu wajah Si Gendut nanti.
Kiranya benda itu adalah bokor emas!
Dia mulai
dapat menduga apa yang terjadi. Karena ingin memiliki bokor itu sendiri tanpa
membagi-bagi kepada anak buahnya, timbullah pikiran jahat di dalam hati Si
Gemuk itu. Karena dia memang lihai, maka dia melakukan pembunuhan-pembunuhan
dan bokor itu sudah disembunyikannya ke dalam perahu ini. Agaknya, kalau sudah
selesai membunuh semua bekas anak buahnya, Si Gendut itu akan melarikan diri
dengan perahu ini.
Siapa
sangka, dia mendahuluinya dan tanpa disengaja, kembali bokor terjatuh ke dalam
tangannya! Ingin dia mentertawakan Si Gendut, akan tetapi teringat akan nasib
Kakek Yo, dan akan nasib Bi Kiok, alis Kun Liong pun berkerut dan dia merasa
kasihan sekali. Akan tetapi, apa yang dapat dia lakukan?
Memang tepat
dugaan Kun liong, orang gemuk bertopeng itu bukan lain adalah Phoa Sek It.
Begitu melihat bokor emas itu, Phoa Sek It segera mengenalnya sebagai bokor
pusaka milik bekas atasannya, Laksamana The Hoo, benda berharga yang menjadi
rebutan, yang dahulu berhasil dia curi dan larikan kemudian lenyap di sungai
ketika perahunya terguling diterjang air bah.
Begitu
melihat benda itu, timbul sudah kemurkaannya, timbul niat jahat untuk membunuh
semua pembantunya termasuk anak yang datang membawa bokor itu. Mereka itu harus
dibunuhnya karena dia tak ingin kehilangan sebagian dari harta benda untuk
menghadiahi mereka.
Akan tetapi
terutama sekali karena mereka sudah tahu akan rahasia bokor itu. Apa bila
mereka tidak dibunuh kemudian rahasia itu sampai tersiar, tentu dia akan
menjadi buruan orang-orang sakti sedunia kang-ouw dan yang lebih mengerikan
lagi, tentulah Laksamana The Hoo yang banyak dibantu orang-orang sakti itu akan
mencari, lalu menemukan, dan menghukumnya.
Tadi Phoa
Sek It telah berhasil membunuh Kakek Yo-lokui selagi kakek ini tidur sehingga
satu-satunya orang yang dapat melakukan perlawanan itu dibunuhnya secara mudah,
dan ketiga belas orang pembantu lainnya dengan mudah saja menjadi korban
goloknya tanpa mereka dapat memberi perlawanan yang berarti.
Akan tetapi
ketika melihat Bi Kiok, dia tidak membunuhnya. Bukan karena dia tidak tega atau
hatinya menaruh iba melihat anak perempuan itu, melainkan karena timbul
birahinya kalau dia membayangkan betapa Bi Kiok beberapa tahun lagi akan
menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena inilah dia tidak membunuh
Bi Kiok!
Dapat
dibayangkan betapa takut, duka dan ngeri rasa hati anak perempuan itu ketika
dia melihat kongkong-nya sudah tewas dalam keadaan sangat mengerikan, dan
betapa orang bertopeng yang dia tahu adalah Phoa Sek It, orang yang selama dia
tinggal di situ paling dia takuti, sambil menggandengnya membunuh paman-paman
yang lain hingga bajunya sendiri terkena percikan darah yang muncrat dari tubuh
setiap orang korban.
"Lepaskan
aku...! Lepaskan...! Kongkong...!" Dia menjerit-jerit sampai suaranya
menjadi parau.
"Diam!
Anak bodoh! Engkau sudah beruntung sekali tidak kubunuh, tahu? Apakah minta
kubunuh juga?" Dia mendekatkan golok yang berlepotan darah ke depan muka
Bi Kiok hingga anak itu terbelalak dengan muka pucat, hampir pingsan ketika
hidungnya mencium bau darah yang memuakkan.
"Katakan
di mana adanya bocah iblis gundul itu?"
Bi Kiok
menggelengkan kepala dan menelan ludah karena sukar sekali dia mengeluarkan
suara, lehernya seperti tercekik dan mulutnya tiba-tiba menjadi kering saking
takutnya.
"Ti...
tidak tahu...," akhirnya dapat juga dia bersuara.
"Bukankah
dia juga tidur di kamar kakekmu?" kembali Si Gemuk menghardik dan kini dia
merenggut penutup mukanya. Semua pembantunya sudah dibunuhnya sehingga dia
tidak perlu lagi menyembunyikan muka.
"Aku
tidak tahu... tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kongkong... uhu-hu-huuu...
!" Bi Kiok menangis lagi, teringat akan kakeknya yang telah tewas.
"Diam!
Kalau kau menangis terus dan kesabaranku habis, golok ini akan minum darahmu!
Hayo kita pergi!"
"Tidak
mau... hu-hu-huhhh... tidak mau...!"
"Plakkk!"
Pipi anak
perempuan itu ditampar sehingga tubuhnya terguling ke atas lantai. "Engkau
hendak membandel, ya? Baik, lebih baik begitu, kau mampus sekalian supaya kelak
tidak merepotkan. Akan tetapi sebelum mati, sayang kalau dibunuh begitu saja.
Engkau masih kecil, akan tetapi sudah manis sekali!"
Laksana
seekor harimau yang buas menubruk seekor anak domba yang ketakutan, Phoa Sek It
menubruk Bi Kiok, tangannya merenggut, terdengar kain terkoyak ketika dengan
penuh nafsu binatang buas dia merenggut pakaian gadis cilik itu.
"Breetttt...!
Aihhhh... tolong...!" Bi Kiok menjerit, tidak mengerti bahaya apa yang
sedang mengancam dirinya, hanya mengira bahwa Phoa Sek it tentu hendak
membunuhnya.
"Babi
gendut memuakkan! Plakkk!"
Phoa Sek It
terkejut bukan main. Pundaknya terasa seperti akan remuk ketika menerima sebuah
tamparan yang datangnya tiba-tiba dan tak mungkin dapat dielakkannya tadi, apa
lagi karena dia sedang diamuk nafsu. Ketika dia menyambar golok yang tadi
diletakkan di atas tanah ketika ia hendak memperkosa gadis cilik itu, melompat
sambil membacokkan golok dengan tubuh diputar, dia melihat seorang wanita
berdiri dengan sikap tenang.
Wanita itu
pakaiannya amat indah dan bersih. Rambutnya yang panjang tersisir rapi dan
digelung seperti model puteri bangsawan, di punggungnya tampak sebatang pedang
yang panjang melengkung dan aneh, tubuhnya kecil pendek dan meski pun usianya
sudah tiga puluh tahun lebih, akan tetapi masih kelihatan cantik menarik, dan
kerling matanya serta senyumnya kelihatan genit sekali. Dia berdiri memandang
Phoa Sek It sambil mengerling dan tersenyum-senyum!
"Iblis
betina!" Phoa Sek It membentak marah. "Siapakah engkau berani main
gila dengan Golok Maut?"
"Babi
kotor, anjing hina yang hendak memperkosa anak kecil! Aku tahu engkau Phoa Sek
It bekas pengawal Laksamana The Hoo! Sudah lama kuawasi engkau dan setelah
malam ini kau membunuhi anak buahmu, tentu engkau telah menemukan bokor itu!
Hayo cepat keluarkan bokor itu dan serahkan kepada Nona Bu!"

Seketika
pucat wajah Phoa Sek It mendengar ucapan itu. Bukan hanya rahasianya telah
bocor, bahkan wanita ini adalah orang yang tak pernah disangka-sangkanya akan
pernah berhadapan dengan dia.
"...kau...
kau... Siang-tok Mo-li...?"
Wanita itu
menjebikan bibirnya yang merah segar dengan lagak genit sekali, kemudian
mengulur tangan kiri minta bokor tanpa bicara lagi. Tentu saja Phoa Sek It
terkejut dan merasa ngeri karena wamta cantik yang biasanya menyebut dirinya
sendiri ‘Nona Bu’ ini bukan lain adalah Bu Leng Ci yang berjuluk Siang-tok
Mo-li (Iblis Betina Racun Wangi), yang pada waktu itu merupakan datuk ke lima
di dunia persilatan, sangat terkenal bukan hanya karena kesaktiannya saja, akan
tetapi juga karena banyak sepak terjangnya yang menggegerkan dan kekejamannya
terhadap lawan-lawannya!
"Aku...
ehh, siauwte... tidak tahu tentang bokor... harap Nona yang sakti
mengampuni..." Phoa Sek It berkata dengan suara gemetar, namun sepasang
matanya bergerak-gerak mencari akal. Meski pun nama perempuan ini menggegerkan
dunia kang-ouw, akan tetapi dia belum begitu percaya apakah seorang wanita yang
cantik dan terlihat lemah ini tidak dapat dilawannya.
"Bohong!
Lekas serahkan!" Wanita itu melangkah maju sehingga kini berdiri dekat
sekali, dan lengan kirinya masih diulurkannya ke depan untuk menerima bokor
yang agaknya dia merasa yakin pasti akan diserahkan oleh Phoa Sek It kepadanya.
Karena dia
sudah mendengar akan keganasan dan kekejaman wanita iblis ini, Phoa Sek It yang
sejak tadi sudah siap, begitu tangan wanita itu berada dekat sekali sehingga
tidak mungkin menghindar lagi, secepat kilat dia menyabetkan golok besarnya ke
arah lengan yang terulur itu!
"Siuuuuttt...!"
Golok lenyap berubah menjadi sinar saking cepat gerakannya.
"Capppp!"
Mata Phoa
Sek It terbelalak. Dia merasa seperti dalam mimpi dan dia memandang tak
percaya, biar pun dia sudah melotot dan melihat jelas betapa jari tangan yang
halus kecil dengan kuku meruncing terpelihara bagus itu ‘menjemput’ goloknya
tadi dan kini jari-jari tangan itu menangkap mata goloknya seperti lagak
seorang dara jelita menangkap seekor kupu-kupu pada sayapnya!
Dengan hati
penuh rasa tak percaya sehingga perasaan ini mengalahkan kegentarannya, Phoa
Sek It mengerahkan tenaganya menarik untuk membetot lepas goloknya dari jepitan
jari-jari tangan yang kecil mungil itu.
"Hemmm...!"
Suara ini keluar sebagai ejekan dari tenggorokan wanita itu dan mendadak
terdengar suara.
"Krekkkk!"
dan golok itu telah diremasnya patah-patah menjadi tiga potong!
Phoa Sek It
menjadi bengong, kemudian dia bergidik, bulu tengkuknya berdiri dan dia pun
mengeluarkan suara bagai keluhan penuh rasa gentar dan ngeri, kemudian
membalikkan tubuhnya dan melarikan diri seperti seorang anak kecil takut
melihat bayangan setan.
"Wuuuuttt...!
Krekkk....!"
Tubuh Phoa
Sek It yang gendut dan sedang melarikan diri itu tiba-tiba saja gerakannya
terhenti dan matanya mendelik karena mendadak dia tidak dapat bernapas lagi,
lehernya terasa tercekik. Ketika dia meraba lehernya, ternyata lehernya telah
terlibat benda yang lemas sekali. Tiba-tiba ada tenaga raksasa yang menarik
tubuhnya ke belakang, tanpa dapat dilawannya hingga akhirnya dia terbanting ke
belakang, terjengkang ke depan kaki wanita itu.
Ketika dia
sempat melihat, ternyata rambut wanita ini sudah terurai lepas, panjang halus
dan harum, dan rambut itulah yang tadi menangkapnya dengan membelit lehernya.
Tanpa menggunakan kaki tangan, hanya menggunakan rambutnya yang halus panjang
itu saja, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci telah berhasil merobohkannya! Seketika
lenyaplah nyali Phoa Sek It dan dia merangkak, berlutut di depan kedua kaki
yang kecil dan bersepatu baru itu.
"Ampunkan
nyawa hamba...," suaranya seperti orang merengek dan menangis.
"Crottt!
Augghhh...!"
Phoa Sek It
mendekam dan tubuhnya menggigil saking nyerinya. Pundak kanannya telah
berlubang dengan tulang pundak remuk ketika wanita ltu mempergunakan jari
telunjuknya menusuk pundak itu. Jari yang tadi meremas patah golok itu kini
dengan mudah sekali menembus kulit daging, bahkan meremukkan tulang pundaknya!
"Katakan
di mana bokor itu dan cepat serahkan kepadaku!" Kembali Bu Leng Ci
berkata, suaranya masih merdu dan kerling mata serta senyumnya masih genit,
tapi justru itulah yang membuat dia amat menyeramkan.
Sungguh pun
diancam maut, akan tetapi tentu saja tidak mudah buat Phoa Sek It untuk
melepaskan bokornya. Bertahun-tahun dia dengan susah payah mencari benda pusaka
itu dan bahkan sampai saat ini pun kiranya belum dapat ia temukan kalau tidak
kebetulan bocah gundul itu datang membawa pusaka itu. Mana mungkin sekarang
diberikan begitu saja kepada wanita iblis ini?
"Ham...
hamba... tidak tahu..."
"Adduuuhhh...
am... ampuuuunnnn...!" jerit yang keluar dari mulut Phoa Sek It terdengar
mengerikan sekali, melengking atau melolong bagaikan serigala menangis dan rasa
nyeri yang dideritanya ini membuat dia hampir tidak kuat bertahan.
Dengan masih
tersenyum wanita iblis itu sudah menggerakkan jari tangannya yang amat kuat.
Sebelum Si Gendut tahu apa yang terjadi, tahu-tahu jari tangan itu dengan
kukunya yang runcing sudah mencubit dan merobek kulit kepalanya bagian pelipis,
terus merobek ke atas sehingga kulit kepalanya dari pelipis ke atas, sepanjang
sepuluh senti, terkupas dari kepala.
Bukan main
hebat kenyerian yang dideritanya, sulit dilukiskan, perih dan panas, kiut-miut
rasanya sampai ke jantung yang seperti ditusuk-tusuk, isi kepala seperti
diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil.
Dengan kedua
mata terbelalak dan muka pucat sekali penuh kengerian, Bi Kiok melihat siksaan
ini. Sambil memegangi bajunya yang koyak-koyak menutupi tubuh bagian depan yang
terbuka, gadis cilik itu melihat Phoa Sek It. Segera lenyaplah segala
kebenciannya terhadap orang gendut itu. Lupa lagi dia betapa Si Gendut itu
telah membunuh kakeknya secara keji dan biadab, betapa semua pembantunya telah
dibunuh pula, dan betapa tadi Phoa Sek It akan membunuhnya juga. Dia lupa akan
semua itu, kebenciannya berubah menjadi perasaan tidak tega dan kasihan
menyaksikan Si Gendut itu mengalami siksaan yang mengerikan itu.
"Paman
Phoa Sek It, mengapa kau tidak mengaku? Engkau telah membunuh Kakek dan semua
pembantumu, engkau telah menyembunyikan bokor itu. Katakan saja di mana!"
Bi Kiok berkata.
Mendengar
ini, Phoa Sek It terkejut dan dia masih sempat memandang ke arah Bi Kiok dengan
mata mendelik penuh kemarahan, dan saking marahnya dia sampai lupa diri dan
keadaan, bahkan dia memaki, "Anjing kecil, tutup mulutmu...!"
Akan tetapi
kembali dia meraung karena jari-jari tangan yang seperti ujung-ujung pisau
runcing itu telah mencengkeram dadanya, menghujam ke dalam kulit daging, akan
tetapi gerakan itu tidak dilanjutkan dan terdengar suara wanita itu,
"Di
mana bokor itu?"
"Di...
dalam perahu... di tepi sungai..." Kata-katanya disusul suaranya
melengking, lantas tubuhnya berkelojotan.
Bi Kiok
menutupi muka dengan kedua tangannya. Terlampau hebat dan mengerikan apa yang
dia lihat dan saksikan itu. Wanita itu menggerakkan tangannya yang mencengkeram
sehingga lima jari tangan itu berikut lengannya telah memasuki rongga dada Phoa
Sek It, kemudian setelah tangan dicabut kembali, jari-jari tangan itu telah
menggenggam sebuah benda merah yang berlepotan darah dan terus benda itu dimakannya!
Itulah
jantung yang masih hangat dan agak bergerak menggelepar, yang dicabutnya dari
dalam rongga dada Phoa Sek It. Dan beginilah salah satu di antara cara-cara Bu
Leng Ci membunuh lawannya. Tidak mengherankan apa bila dia menjadi tokoh atau
datuk ke lima dari dunia persilatan, dan dijuluki Mo-li (Iblis Betina) karena
memang dia berhati keras dan ganas seperti iblis!
"Mari
kita cari bokor itu."
Bi Kiok yang
merasa betapa pundaknya disentuh oleh tangan halus dan mendengar suara yang
merdu ramah, lalu menurunkan kedua tangan dan memandang. Wanita itu kelihatan
ramah dan cantik sekali, tersenyum kepadanya dan kedua tangan wanita itu bersih
putih, entah ke mana perginya darah yang tadi membasahi tangannya.
Bagaikan
dalam mimpi, Bi Kiok melangkah dan menurut saja ketika diajak oleh wanita itu,
digandeng tangannya. Wanita itu melangkahi mayat Phoa Sek It hingga Bi Kiok
terpaksa meloncatinya juga tanpa memandangnya.
"Di
sini hanya ada empat buah perahu... ehh…, mengapa hanya ada tiga? Mana yang
sebuah lagi?" Bi Kiok berkata ketika mereka tiba di tepi sungai.
"Mari
kita mencari bokor itu," kata Bu Leng Ci.
Mereka
segera memeriksa tiga buah perahu itu, akan tetapi tentu saja mereka tak dapat
menemukan bokor yang telah terbawa ke dalam perahu yang dilarikan Kun Liong!
"Hemm,
tentu berada di dalam perahu ke empat yang tidak ada lagi di sini. Anak yang
baik, siapakah di antara kalian yang tidak mati terbunuh oleh Phoa Sek It,
kecuali engkau sendiri?"
Bi Kiok
menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya, "Semua sudah mati, termasuk
kakekku. Aku melihat sendiri, semuanya berjumlah empat belas orang dengan
kakekku, dibunuh oleh Paman Phoa... ehh, agaknya dia yang membawa perahu! Aihh!
Benar, aku sampai lupa! Tentu Liong-twako dan dia telah selamat. Syukurlah! Ia
bisa menyelamatkan diri, membawa perahu dan..." Tiba-tiba Bi Kiok berhenti
bicara dan memandang wanita itu dengan kaget.
"Dan
bokor itu dibawanya pula?" Wanita itu mendesak.
"Aku
tidak tahu..."
"Siapa
itu Liong-twako?"
"Liong-twako
adalah anak laki-laki yang telah menemukan bokor..."
"Ehh?
Coba ceritakan yang jelas!"
Bi Kiok
kemudian menuturkan bagaimana dia dan kakeknya secara kebetulan menolong Yap
Kun Liong yang sedang hanyut di sungai dan betapa tanpa disengaja Kun Liong
telah menemukan bokor itu di dasar sungai. Semua dia tuturkan dengan jelas dan
didengarkan oleh Bu Leng Ci dengan penuh perhatian.
"Demikianlah.
Semalam dia masih bercakap-cakap dengan Kakek, kemudian aku tertidur dan entah
ke mana perginya Liong-twako. Pada waktu aku terbangun tahu-tahu dia telah
lenyap, Kakek terbunuh oleh Paman Phoa dan aku ditariknya keluar dari
kamar."
Iblis betina
itu mengangguk-angguk. "Aku yakin sekarang. Tentu Yap Kun Liong itu yang
membawa bokor. Entah bagaimana dia dapat mengambilnya dari tangan Phoa Sek It,
akan tetapi seorang bocah seaneh dia, yang telah menemukan bokor dan selama
sehari hanyut di sungai yang banjir tapi bisa keluar dalam keadaan selamat,
bukan tak mungkin dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Mari kita cari
dia!"
"Aku...
apakah aku... harus ikut?"
"Anak
baik. Siapa namamu?"
"Namaku
Yo Bi Kiok."
"Hemmm,
nama yang manis seperti orangnya. Engkau hanya berdua dengan kakekmu, bukan?
Sudah lama kulihat engkau bersama rombongan itu."
Bi Kiok
mengangguk. "Aku yatim piatu."
"Bagus!"
"Mengapa
bagus?" Bi Kiok memandang dengan penasaran. Yatim piatu, tak berayah tak
beribu sekarang kehilangan kakek pula, dikatakan bagus!
"Jadi
engkau sebatang kara, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia?"
Bi Kiok
masih memandang penasaran, akan tetapi dia mengangguk juga.
"Bagus!"
Bi Kiok
merenggut lepas tangannya yang digandeng wanita itu, kepalanya ditegakkan dan
suaranya nyaring penuh keberanian saat dia berkata, "Bibi, engkau sungguh
kejam sekali, mengejek dan mempermainkan seorang anak-anak seperti aku! Aku
memang yatim piatu, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia, akan
tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan Bibi. Tidak perlu Bibi mengejek dan
mengatakan bagus!"
Sepasang
mata wanita cantik itu bersinar-sinar, kemudian dia mengangkat kedua tangan ke
atas, dibentuk bagaikan sepasang cakar garuda, agaknya siap untuk mencengkeram
kepala Bi Kiok. Gadis cilik itu menatap tajam, sedikit pun tidak takut.
"Hi-hi-hik,
engkau tidak takut? Kalau tanganku ini turun, kepalamu akan pecah-pecah!"
"Aku
tidak takut! Aku tidak takut mati, tidak takut padamu!" Bi Kiok berkata
lantang.
"Heh-heh-heh,
bagus!" Wanita itu kembali memuji dan menurunkan kedua tangannya lagi.
"Lagi-lagi
bagus! Apanya yang bagus?!" Bi Kiok membentak, kini marah sekali, sepasang
tangannya dikepal seolah-olah dia hendak menyerang iblis betina itu!
"Tentu
saja bagus, anak baik. Engkau hidup seorang diri di dunia, seperti aku! Tadinya
kukira engkau penakut, tidak tahunya tadi engkau kelihatan takut karena dilanda
duka dan ngeri, sebenarnya engkau seorang pemberani yang bernyali besar. Orang
seperti engkau ini sungguh sudah pantas sekali menjadi muridku."
"Muridmu?"
"Ya,
muridku, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, hal yang belum tentu terjadi di
antara selaksa orang anak perempuan!"
Bi Kiok
seorang yang cerdik sekali. Biar pun usianya baru delapan tahun, akan tetapi
dia maklum bahwa keadaannya yang sebatang kara itu akan sukar sekali, dari
mana-mana akan muncul bahaya yang mengancamnya. Kini muncul wanita cantik ini,
yang biar pun kejam seperti iblis akan tetapi mempunyai ilmu kepandaian yang
menakjubkan, sehingga orang seperti Phoa Sek It dibuat permainan, dan wanita
ini mengambilnya sebagai murid. Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut dan
berkata,
"Teecu
(murid) senang sekali menjadi murid Subo (Ibu Guru)!"
Siang-tok
Mo-li Bu Leng Ci tertawa gembira. Ia menarik bangun muridnya, menggandeng
tangan muridnya sambil meloncat ke atas sebuah di antara tiga perahu itu sambil
berkata, "Mari kita kejar bocah she Yap itu!"
Perahu Kun
Liong sudah memasuki sungai Huang-ho. Hatinya merasa tenteram karena sudah lama
dia berlayar tetapi tidak ada yang tampak mengejarnya. Hari telah siang dan
sinar matahari yang terik membuat seluruh tubuhnya berpeluh. Akan tetapi dia
tidak mau berhenti dan terus melayarkan perahunya.
Pagi tadi
ada empat orang yang ikut dengan perahunya dan untuk itu dia telah menerima
sedikit uang dan makanan. Kini perutnya tidak lapar lagi dan sewaktu-waktu dia
dapat berhenti untuk membeli makanan.
Menjelang
sore, tampak dua orang di pinggir sungai yang memanggilnya. "Harap
minggir! Kami hendak ikut menumpang!" Demikian teriakan laki-laki itu.
Yang seorang lagi, wanita masih muda, berdiri di dekat laki-laki itu.
Kun Liong
meminggirkan perahunya. Lumayan, pikirnya. Semakin banyak penghasilannya
semakin baik pula karena melakukan perjalanan tanpa bekal sungguh berbahaya
sekali, kadang-kadang dia menderita kelaparan. Lagi pula, melihat bahwa yang
ingin menumpang di perahunya adalah sepasang suami isteri, dia merasa kasihan.
Hari sangat panas dan amat tidak patut membiarkan seorang wanita kepanasan
menanti perahu.
"Bisakah
engkau mengantarkan kami ke kota Liok-ek-tung? Perahumu hendak ke sana,
bukan?" tanya laki-laki itu dengan ramah.
Kun Liong
hanya mengangguk. Dia tidak tahu di mana itu Liok-ek-tung, akan tetapi karena
laki-laki itu menudingkan jari telunjuknya ke depan, berarti arah yang mereka
tuju sama karena dia pun tidak mempunyai tujuan tertentu, asal menurutkan ke
mana air Sungai Huang-ho mengalir!
"Silakan,
Ji-wi naik," kata Kun Liong tanpa banyak komentar.
Laki-laki
itu kelihatan galak. Wajahnya biasa saja, mungkin pedang yang tergantung pada
punggungnya itulah yang membuat dia kelihatan galak. Akan tetapi isterinya,
yang paling banyak berusia dua puluh tahun, sepuluh tahun lebih muda dari pada
suaminya, amat cantik dengan pakaian sederhana namun tidak menyembunyikan
bentuk tubuhnya yang bagus.
Sang suami
dengan sikap penuh kasih sayang membantu isterinya melangkah naik ke dalam
perahu. Setelah isterinya naik dan duduk di bangku perahu, barulah dia sendiri
naik sambil membawa buntalan besar yang agaknya bekal pakaian mereka.
Setelah
mereka duduk, Kun Liong menggerakkan dayungnya, hendak mendayung perahu ke
tengah. Kini dia sudah mulai biasa mengemudikan perahu, sesudah beberapa kali
dia terpaksa menjadi tukang perahu, sejak membantu para nelayan, sampai
terpaksa harus melarikan perahu dua kali!
"Heeei,
bung cilik gundul tukang perahu! Tunggu dulu, aku mau ikut!" Tiba-tiba
terdengar teriakan dan Kun Liong menghentikan dayungnya, menoleh dan melihat
seorang laki-laki berpakaian sastrawan naik ke atas perahunya.
Sekali
pandang saja, dia merasa tidak suka kepada sastrawan muda itu, dan mungkin
sekali rasa tidak suka ini timbul ketika mendengar sebutan ‘gundul’. Lagi pula,
seorang sastrawan semestinya tahu aturan, tidak sekasar itu, apa lagi bila
melihat bahwa di dalam perahu itu sudah ada seorang wanita yang menumpang.
Dia melihat
bahwa sastrawan itu lebih muda dari pada orang yang membawa pedang. Usianya
antara dua puluh lima dan tiga puluh tahun. Pakaiannya indah, dari kain halus,
wajahnya tampan dengan kulit muka putih, sepasang matanya selalu
bersinar-sinar. Akan tetapi mulut yang agak terlalu lebar dan selalu tersenyum
itu menimbulkan rasa tidak suka di hati Kun Liong. Gerak senyum pada mulut
lebar itu mengandung ejekan, bahkan terbayang kekejaman! Akan tetapi dia tidak
peduli dan bertanya,
"Tuan
hendak ke mana?"
"Ke
mana saja perahumu menuju, heh-heh-heh!"
Kun Liong
tak bertanya lagi, terus mendayung perahunya ke tengah dan memasang layar.
Setelah perahunya meluncur, dia segera duduk memegang kemudi dan mengambil
sikap seolah-olah tidak memperhatikan tiga orang penumpangnya itu.
Si Sastrawan
itu sudah menghadapi suami-isteri yang duduk di atas papan, membungkuk dan
mengangkat kedua tangan di depan dada, akan tetapi matanya mengerling tajam ke
arah dada membusung yang tertutup pakaian sederhana wanita itu. "Harap
Ji-wi (Kalian Berdua) sudi memaafkan saya kalau kehadiran saya mengganggu Ji-wi."
Dengan muka
merah dan malu-malu wanita itu hanya menunduk, membiarkan suaminya yang
menjawab. Dia tidak biasa berhadapan dengan laki-laki asing, apa lagi seorang
pria muda dan tampan menarik seperti sastrawan ini!
"Ah,
harap Kongcu jangan bersikap sungkan. Kita sama-sama hanya penumpang perahu
ini. Kami suami-isteri hendak pergi ke Liok-ek-tung, tidak tahu Kongcu hendak
pergi ke manakah?" Lelaki berpedang itu membalas penghormatan dan menjawab
dengan suara ramah pula.
"Ah,
saya hanya seorang pelancong, ke mana pun baik saja. Dan kalau perahu ini pergi
ke Liok-ek-tung, ke sanalah saya pergi. Sungguh merupakan keuntungan dan
kehormatan besar sekali bagi saya dapat bersama Ji-wi naik perahu. Sungguh
menyenangkan sekali!"
Isteri itu
mencuri pandang, mengangkat mata yang tadinya menunduk saja dan kebetulan
siucai (sastrawan) itu pun mengerling ke arahnya sehingga dalam waktu satu dua
detik, dua pasang mata itu bertemu pandang. Wanita itu semakin merah mukanya
dan cepat melempar pandang ke bawah lagi, memandangi lantai perahu kemudian ke
luar perahu, seolah-olah dia tertarik oleh bayangan ikan-ikan yang berenang di
pinggir perahu, bibirnya yang tipis merah itu tersenyum-senyum dikulum.
"Kami
yang merasa terhormat sekali dapat melakukan perjalanan bersama Kongcu,"
Si Suami berkata lagi. "Silakan duduk, Kongcu."
"Terima
kasih." Sastrawan itu lantas mengambil tempat duduk di atas papan,
berhadapan dengan suami isteri itu. "Congsu (Tuan) sungguh baik hati.
Perkenalkan, saya Ouw Ciang Houw, tinggal di Nam-cu di selatan dan sekarang
setelah selesai menempuh ujian dengan hasil baik, sebelum pulang, saya hendak
melancong dulu."
"Ahh,
kiranya seorang siucai (sastrawan lulus ujian), harap maafkan kalau kami
berlaku kurang hormat, Ouw-siucai. Nama saya Gui Tiong, dan ini isteri saya.
Kami tinggal di kota Liok-ek-tung dan di sana saya membuka perguruan
silat."
Ouw-siucai
membelalakkan matanya, kelihatan terkejut. "Wah, kiranya saya berhadapan
dengan seorang ahli silat yang lihai dan menjadi guru! Maaf, maafkan saya,
Gui-kauwsu (Guru Silat Hui)."
"Ahh...,
Ouw-siucai terlalu merendah. Saya hanya membuka perguruan silat kecil-kecilan
saja karena kebisaanku pun tidak seberapa. Pula, kata orang, sekarang ini
kepandaian bun (sastra) lebih berharga dari pada bu (silat), dan gerakan
sebatang pit (alat tulis) jauh lebih berbahaya dari pada gerakan sebatang
pedang!"
Yang
dimaksudkan dengan ucapan ini adalah bahwa kepandaian menulis lebih berbahaya
dari pada pedang, karena dengan kepandaian menulis seorang dapat menjatuhkan
fitnah yang lebih berbahaya dari pada serangan pedang, lagi pula kepandaian
menulis dapat pula membawa orang kepada kedudukan yang lebih tinggi.
Ouw-siucai
tertawa, sengaja dibuat-buat agar terdengar enak dan gagah, dan tentu saja ini
dimaksudkan untuk mendatangkan kesan di hati wanita cantik yang duduk menunduk
di depannya. "Ha-ha-ha, Gui-kauwsu bisa saja! Akan tetapi, mungkin benar
juga kata-kata itu. Aku tidak memiliki kepandaian apa-apa kecuali sedikit
coret-coret dan kesenanganku yang lain adalah bermain dadu dan minum arak"
"Wah,
kesenangan itu cocok dengan kesenanganku. Sayang tidak ada dadu dan jika ada
tentu kita berdua dapat melewatkan waktu dengan gembira sambil menunggu
sampainya perahu ini ke Liok-ek-tung..."
"Jangan
khawatir, Gui-kauwsu. Saya selalu membawa bekal!" Seperti orang main sulap
saja, dari dalam saku jubahnya yang lebar siucai itu mengeluarkan seguci besar
arak dan sebuah dadu dengan mangkoknya.
Melihat ini,
guru silat itu tertawa bergelak dan dengan gembira mereka lalu bermain dadu.
Mula-mula mereka bermain dengan taruhan minum arak, dan dalam hal ini,
peruntungan mereka agaknya seimbang karena mereka yang menang menerima secawan
arak hampir bergantian. Karena kemasukan arak, mereka berdua menjadi makin
gembira dan sering kali terdengar suara mereka tertawa bergelak.
Isteri guru
silat itu hanya menonton dan kadang-kadang dia pun ikut tersenyum sehingga
tampak deretan giginya yang putih dan kadang-kadang juga tampak ujung lidah
yang kecil merah. Beberapa kali dia bertemu pandang dengan Si Siucai, tadinya
secara tak sengaja, akan tetapi lambat laun terjadi permainan mata di antara
keduanya, sungguh pun nyonya muda itu bersikap malu-malu dan hal ini baru
pertama kali dia lakukan selama hidupnya.
Kesempatan
memang merupakan penggoda yang amat kuat dan berbahaya. Kalau tidak ada
kesempatan seperti ini, agaknya sampai mati pun nyonya muda itu tidak ada
pikiran untuk bermain mata dan bertukar senyum dengan seorang laki-laki muda!
Sekarang
arak sudah habis, kegembiraan mereka berdua memuncak sehingga akhirnya, atas
persetujuan berdua, mereka melanjutkan permainan dadu dengan taruhan uang! Kun
Liong yang mengemudikan perahu hanya menonton dari jauh, dari ujung perahu dan
dia pun terbawa oleh kegembiraan mereka berdua itu.
Akan tetapi
setelah mereka berdua mempertaruhkan uang, dia mengerutkan alisnya dan
diam-diam merasa tidak senang. Sekarang wajah kedua orang itu sungguh-sungguh
dan tegang, tidak segembira tadi, dan bagaimana kalau seorang di antara mereka
kalah dan kehabisan uang? Tentu tidak akan mampu membayar upah kepadanya!
Sesudah kini
permainan dadu disertai taruhan uang, agaknya bintang peruntungan siucai itu
lebih terang dan dia lebih sering menarik uang guru silat itu sampai-sampai Si
Guru Silat kehabisan uang dari saku bajunya dan harus mengambil bekal dari
buntalan pakaian. Sementara itu, sore telah mendatang dan sungai mulai sunyi
karena perahu-perahu telah kembali ke pelabuhan masing-masing. Hanya ada tampak
beberapa buah perahu nelayan agak jauh...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment