Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 15
KINI mereka
saling berhadapan. Seorang pemuda tampan gundul dan seorang pemuda tampan
bermata biru berkulit putih. Hendrik memandang tajam karena dia tidak mengenal
pemuda gundul ini, akan tetapi dia sudah dapat menduga bahwa tentunya ‘pendeta’
muda inilah yang semalam sudah menolong gadis tawanan itu. Maka dia lalu
membungkuk dan sambil tersenyum berkata,
"Bapak
Pendeta datang dari kuil manakah dan apakah hubungan Bapak Pendeta dengan gadis
pemberontak itu?"
Kun Liong
tersenyum masam. Bangsanya sendiri saja, juga seorang gadis seperti Hwi Sian
bisa salah menduga bahwa dia seorang hwesio, apa lagi seorang asing seperti
yang dihadapinya ini! Dia tidak mau berbantah mengenai kepala gundulnya yang
menimbulkan salah kira, maka dia menjawab,
"Aku
tidak datang dari kuil mana pun juga, akan tetapi yang jelas, aku adalah
seorang yang mengetahui benar siapa pemberontak siapa bukan! Nona ini bukan
pemberontak, maka tidak perlu kau orang asing ini menjadi maling berteriak
maling!"
Tentu saja
Hendrik menjadi kaget sekali mendengar ini, karena ucapan itu berarti bahwa
pemuda gundul ini tahu akan rahasia pemberontakan di Ceng-to dan berarti pula
bahwa tentu pendeta muda inilah yang semalam telah menolong gadis tawanan.
"Pendeta
muda sombong, engkaulah yang pemberontak!" Hendrik sudah menerjang maju
dengan gerakan yang dahsyat.
Pemuda asing
itu ternyata menguasai ilmu silat yang aneh dan mempunyai tenaga yang dahsyat,
kedua tangannya lalu bergerak bergantian dan bertubi-tubi mengirim
serangan-serangan berbahaya diseling tendangan kedua kakinya bergantian pula.
"Hemm...
kau ganas...!"
Kun Liong
menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan menangkis dan untuk
mengimbangi kecepatan gerak lawannya, dia segera mainkan ilmu silat Pat-hong
Sin-kun yang dulu dia pelajari dari Bun Hwat Tosu. Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun
(Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini memang mengandalkan kecepatan dan
bayangan Kun Liong seolah-olah berubah menjadi delapan dan bayangan ini
mengeroyok Hendrik dari delapan penjuru!
"Kau
pendeta sombong hebat juga!" Hendrik berkata, kemudian memaki dalam bahasa
asing dan tangannya telah mencabut keluar sebatang pedang tipis yang kecil dan
lemas sekali. Pedang itu sangat runcing, tajam dan ringan, dan begitu
digerakkan, tampak sinar bergulung dan suaranya bercuitan mengerikan hati!
Kun Liong
cepat menghindarkan diri, meloncat ke sana-sini dan dia mulai marah. Tadinya
dia tak ingin memukul lawan, hanya membela diri saja. Akan tetapi pedang kecil
panjang di tangan lawannya merupakan bahaya baginya.
Pada saat
itu, dia mendengar teriakan Hwi Sian. Dia menoleh dan melihat betapa gadis itu
dikeroyok oleh banyak orang, di antaranya yang paling hebat adalah seorang
panglima yang menggunakan pedang. Agaknya gadis itu terancam bahaya maut dan
teriakan tadi menandakan bahwa Hwi Sian telah terkena senjata lawan.
"Cuit-cuit-cuit-singg...!"
Kun Liong
cepat melompat ke belakang. Hampir saja dia menjadi korban pedang lawan ketika
dia menoleh ke arah Hwi Sian tadi karena saat itu telah dipergunakan oleh
Hendrik untuk mengirim serangan kilat secara bertubi-tubi. Karena khawatir
dengan keadaan Hwi Sian, Kun Liong mengeluarkan teriakan nyaring, lantas kedua
tangannya mendorong dan tampak uap putih keluar dari kedua telapak tangannya,
menyambar ke arah Hendrik.
"Ougghhh...!"
Pemuda asing itu terjengkang dan cepat membanting diri ke belakang terus
bergulingan, cara yang paling tepat untuk menghindarkan diri. Kesempatan ini
digunakan oleh Kun Liong untuk melompat ke arah Hwi Sian.
Ternyata Hwi
Sian telah terluka pada paha dan pundak, dan dara itu telah roboh miring,
agaknya pingsan. Akan tetapi di dekatnya tampak seorang lelaki yang mengamuk
dengan pedangnya melindungi tubuh dara yang sudah pingsan itu. Kun Liong
mengenal orang itu yang bukan lain adalah Tan Swi Bu, laki-laki tinggi besar
yang menjadi ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Hwi Sian.
Maka cepat
dia meloncat mendekat dan kedua kakinya langsung merobohkan dua orang
pengeroyok. Tendangannya tepat mengenai tulang kering kaki kedua orang itu yang
lalu berteriak-teriak dan mengaduh-aduh sambil berloncatan dan memegangi kaki
yang tulang keringnya rusak!
Tan Swi Bu
menoleh sambil berkata, "Harap siauw-suhu (Pendeta Muda) sudi menolong
sumoi-ku dan menyelamatkannya pergi dari sini lebih dulu!"
Kun Liong
kembali tersenyum pahit. Kepalanya yang sial kembali mendapat korban! Tan Swi
Bu tidak mengenalnya dan mengira dia seorang hwesio. Akan tetapi dia tidak
peduli, langsung menghampiri Hwi Sian yang pingsan, memondongnya dan dia
meloncat ke kiri sambil mendorong roboh seorang prajurit yang menunggang kuda,
kemudian ia meloncat ke atas kuda sambil memondong tubuh Hwi Sian.
"Tan-enghiong,
lekas lari!" Dia berseru.
Melihat
betapa ‘hwesio’ itu telah berhasil melarikan sumoi-nya, Tan Swi Bu lalu memutar
pedangnya, kemudian menyerang seorang penunggang kuda lainnya yang berada di luar
lingkungan para pengeroyok, merobohkannya dan dia pun meloncat ke atas kuda itu
lalu membalapkan kudanya menyusul Kun Liong.
"Kejar...!
Siapkan kuda...!" Terdengar panglima itu berteriak.
Pasukan itu
segera melakukan pengejaran dan tidak kurang dari tiga puluh orang prajurit
dipimpin oleh Bhong-ciangkun Si Panglima dan Hendrik Si Pemuda Asing lalu
melakukan pengejaran.
Setelah
membalapkan kudanya keluar dari hutan dan pegunungan itu, dan melihat betapa
Hwi Sian masih belum sadar dari pingsannya sementara para pengejar berada tak
jauh di belakangnya, Kun Liong merasa khawatir sekali. Dia memberi isyarat
kepada Tan Swi Bu yang membalapkan kuda sehingga sejajar dengan Kun Liong,
kemudian berkata,
"Tan-enghiong
harap bawa Nona Hwi Sian pergi lebih dulu. Biarlah saya yang mencegah mereka
melakukan pengejaran!"
"Akan
tetapi...," Tan Swi Bu membantah ragu-ragu.
"Harap
jangan ragu lagi, cepat terimalah dia!"
Dengan
tangan kirinya Kun Liong melemparkan tubuh Hwi Sian yang pingsan ke kiri, ke
arah Tan Swi Bu yang tentu saja menjadi terkejut dan cepat menerima tubuh
sumoi-nya. Dari lontaran itu saja tahulah dia bahwa pemuda gundul itu amat
lihai, dan kini sesudah melihat wajahnya, dia pun teringat kembali kepada
pemuda gundul yang dahulu pernah dilihatnya.
"Jadi
engkau... Siauw-hiap..."
"Pergilah
cepat!"
Kun Liong
meraih ke depan dan menepuk pinggul kuda yang ditunggangi oleh Tan Swi Bu. Kuda
itu terkejut, lalu membalap dan sebentar saja pemuda serta sumoi-nya itu telah
jauh mendahului Kun Liong. Ketika melihat suheng Hwi Sian itu telah memasuki
sebuah hutan di depan, Kun Liong segera menahan kudanya, membalikkan kuda,
meloncat turun dan menggunakan kedua lengannya mendorong roboh dua batang pohon
besar.
Dua batang
pohon itu malang melintang di tengah jalan sehingga pada saat para pengejar
sampai di situ, mereka harus menahan kuda. Melihat bahwa pemuda gundul lihai
itu yang menghadang mereka, Hendrik dan Bhong-ciangkun berteriak keras lantas
meloncat turun dari kuda, memimpin anak buah mereka untuk mengurung dan
mengeroyok Kun Liong!
"Tuan
Muda Hendrik, jangan biarkan dia lolos. Aku akan mengejar gadis itu!" seru
Bhong-ciangkun sesudah Kun Liong terkurung dan dia lalu mengajak belasan orang
anak buah untuk mengejar ke depan.
Namun
tiba-tiba tubuh Kun Liong yang terkurung tadi berkelebat, dua orang pengeroyok
roboh dan hanya Hendrik seorang yang dapat melihat betapa pemuda gundul yang
lihai itu telah melompat melampaui kepala para pengeroyok di belakangnya sambil
mendorong roboh dua orang, dan langsung menerjang Bhong-ciangkun yang baru saja
meloncat ke atas kuda.
Serangan ini
dahsyat sekali, karena Kun Liong menggunakan Im-yang Sin-kun dari Tiong Pek
Hosiang. Walau pun panglima itu menggunakan pedangnya membabat ketika tubuh
pemuda itu menerjang dari atas, namun ujung kaki Kun Liong dengan tepat
menendang pergelangan tangan yang memegang pedang dan jari tangannya menghantam
leher!
Bhong-ciangkun
berteriak, pedangnya terlempar dan dia secara terpaksa cepat melempar diri dari
atas kuda untuk menghindarkan totokan pada lehernya. Walau pun dia berhasil
menyelamatkan diri, akan tetapi dia pun gagal melakukan pengejaran dan memang
inilah yang dikehendaki oleh Kun Liong ketika menyerangnya.
Kun Liong
segera dikurung dan pemuda ini sengaja berlompatan ke sana ke mari hingga
pasukan itu tak dapat memusatkan pengeroyokan dan keadaan menjadi kacau-balau.
Tak ada kesempatan bagi Bhong-ciangkun dan Hendrik untuk melakukan pengejaran.
Hal ini membuat mereka marah sekali dan dua orang itu kini memusatkan semua
kekuatan untuk mengeroyok dan membunuh Kun Liong!
Kun Liong
melayani mereka hanya untuk memberi kesempatan kepada Tan Swi Bu untuk dapat lari
menjauh membawa sumoi-nya. Sebetulnya tak ada gairah sedikit pun di dalam
hatinya untuk berkelahi, maka dia hanya mengelak dan menangkis, dan apa bila
terpaksa sekali baru dia merobohkan dua tiga orang pengeroyok tanpa melukai
berat. Biar pun dia dikeroyok puluhan orang, tetap saja Kun Liong masih
memegang pendiriannya bahwa dia tidak akan menggunakan ilmu silat untuk memukul
orang, kecuali hanya untuk membela dan mempertahankan diri!
Kini
mulailah Kun Liong melarikan diri, tetapi bukan lari untuk meninggalkan
pertandingan, melainkan lari untuk memancing mereka menjauhi tempat itu dan
membawa mereka ke arah yang berlawanan dengan larinya Tan Swi Bu. Dia lari
beberapa ratus meter jauhnya, lalu sengaja membiarkan mereka menyusulnya dan
dia dikeroyok lagi.
Kurang lebih
satu jam dia main kucing-kucingan seperti ini, kemudian dia meloncat ke
belakang dan berkata, "Aku sudah lelah, lain kali saja kita main-main
lagi!" Kun Liong lalu melarikan diri.
Hendrik dan
Bhong-ciangkon marah sekali, berusaha mengejar, akan tetapi sebentar saja
bayangan pemuda gundul itu sudah lenyap. Mereka merasa marah sekali dan merasa
dipermainkan. Pemuda gundul itu memang lihai, tetapi mereka berdua, terutama
Hendrik, belum mendapatkan kesempatan untuk mengadu kepandaian sampai mati-matian
karena pemuda gundul itu selalu lari ke sana ke mari, bagai seekor kucing yang
mempermainkan pengeroyokan segerombolan tikus.
***************
Hutan di
dekat telaga itu amat lebat dan liar, tidak nampak seorang pun manusia kecuali
Kun Liong sendiri. Celakanya, malam keburu tiba dan sebelum dia memperoleh
tempat untuk melewatkan malam itu, hujan turun dengan derasnya seperti
dituangkan dari langit. Bukan hanya hujan yang mengamuk, akan tetapi juga angin
kencang yang membuat air hujan menampar muka seperti jarum-jarum runcing dan
membuat pohon-pohon bergerak menggila sambil mengeluarkan suara yang
menyeramkan.
Kun Liong
memicingkan mata untuk melindungi mata dari hantaman air hujan dan untuk
menembus kegelapan malam. Dia sudah terjebak ke dalam hutan yang tidak
dikenalnya. Ketika sore tadi dia memasuki hutan ini, dari seorang petani dia
memperoleh keterangan bahwa telaga yang dicarinya itu berada di seberang hutan
ini. Maka dia berani memasuki hutan karena petani itu mengatakan bahwa hutan
ini tidak terlalu besar.
Akan tetapi
agaknya dia salah jalan, tersesat dan tidak menyeberangi hutan, melainkan
memasuki hutan dan berjalan sepanjang hutan itu yang agaknya tiada habisnya
sampai malam tiba dan sampai hujan badai datang menyerang hutan itu.
Dia tersaruk-saruk,
terhuyung dan mencari jalan dengan kedua tangan, kaki dan pandang matanya yang
tidak mampu melihat jelas karena terus menerus diserang oleh air hujan.
Pohon-pohon kecil bergerak menggila, ranting-ranting bagaikan berubah menjadi
tangan-tangan setan yang hendak menjangkau, menyergap dan mencekik dirinya!
Pohon-pohon besar yang kadang kala tampak hanya kalau ada kilat menyambar,
seolah-olah iblis-iblis raksasa yang sedang berlomba hendak menerkamnya. Suara
air hujan bercampur desis angin menerjang daun-daun pohon menimbulkan
pendengaran yang sangat mengerikan, seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit
memasuki hutan itu.
"Desss…!"
Sebuah ranting yang agak besar melecut tengkuknya.
"Aduhhh...!"
Kun Liong meraba tengkuknya.
Sungguh
celaka. Dalam keadaan seperti itu, semua ilmu kepandaian yang telah dilatihnya
selama ini tak ada gunanya sama sekali. Betapa pun pandainya manusia,
benar-benar tak ada artinya ketika menghadapi kekuatan dan kebesaran alam. Mana
mungkin ketajaman pendengarannya dapat dipergunakan kalau suara air hujan dan
angin mengamuk seperti itu? Mana mungkin dia dapat menangkap angin pukulan
ranting yang melecut tengkuknya tadi kalau badai mengamuk dan menghembuskan
angin yang bergulung-gulung bagaikan menenggelamkan dirinya seperti itu?
Akhirnya dia
menjatuhkan diri duduk di bawah pohon besar. Setidaknya di tempat ini, air
hujan tidak begitu buas menyerangnya, terlindung oleh daun-daun yang sangat
lebat dari pohon itu, juga tetumbuhan di bawah pohon raksasa itu tidak begitu
lebat, sungguh pun tanahnya tertutup rumput tipis yang basah semua sehingga
tanah basah itu berlumpur mengotori semua pakaiannya.
Kun Liong
menggunakan kedua tangannya mengusap air yang membasahi kepala serta mukanya.
Bajunya basah kuyup dan hawa dingin membuat tubuhnya menggigil. Cepat dia duduk
bersila dan menggunakan tenaga dalam untuk melawan dingin. Tenaga yang dia
terima dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong benar-benar sudah membuat sinkang yang
dikumpulkannya berkat latihan dari Bun Hwat Tosu dan Tiong Pek Hosiang menjadi
amat kuat sehingga sebentar saja tubuhnya terasa hangat.
Hujan tidak
selebat tadi turunnya, akan tetapi angin badai masih mengamuk biar pun kini
tempatnya bermain agak di atas, membuat pohon-pohon besar masih menari-nari
seperti menggila. Hanya pohon-pohon kecil yang rendah sudah tak terlalu keras
bergoyang lagi, berdiri miring dan kelelahan, cabang, ranting dan daunnya layu
seolah kehabisan tenaga.
Suara angin
yang mempermainkan daun-daun pohon di atas benar-benar sangat berisik dan
menyeramkan. Kun Liong merasa seram hingga bulu tengkuknya bangun satu-satu
karena dia teringat akan dongeng-dongeng tentang hantu. Kalau dia memandang ke
atas, di antara sinar kilat seperti tampak olehnya iblis-iblis yang menakutkan,
wajah-wajah yang seperti di dalam dongeng berada di atasnya dan sedang
menyeringai kepadanya dengan bermacam-macam lagak, seakan-akan iblis-iblis itu hanya
menunggu saatnya saja untuk menerkam dan memperebutkannya.
Kun Liong
tersenyum sendiri. Kenapa dia harus takut, pikirnya? Betul-betul adakah hantu
seperti yang didengarnya dan dibacanya dari dongeng? Selama hidupnya ini dia
belum pernah melihat hantu dengan matanya sendiri. Dan andai kata malam ini dia
melihatnya, apakah yang dilihatnya itu benar-benar hantu dan iblis? Bukankah
yang dilihatnya itu, kalau benar dia dapat melihatnya tak lain hanya bayangan
pikirannya sendiri yang telah membentuk wajah iblis dari dongeng-dongeng yang
didengar dan dibacanya?
Andai kata
sejak kecil dia tidak pernah mendengar cerita orang, tidak pernah membaca kitab
tentang setan dan hantu sehingga dia sama sekali tidak mengenal sebutan iblis
dan hantu, apakah dia akan dapat melihat bayangan hantu dan mungkinkah dia akan
merasa takut kepada hantu? Tak mungkin! Karena dia tak akan dapat mengenal dan
mengetahui apakah yang dilihatnya itu.
Bahkan
mungkin sekali dalam keadaan tidak pernah mengenal sebutan iblis sama sekali
seperti itu, kalau dia kebetulan bertemu sungguh-sungguh dengan iblis, dia akan
tertarik sekali seperti orang yang tertarik saat melihat sebuah tanaman atau
seekor makhluk yang selama hidup belum pernah didengar dan dilihat sebelumnya!
Hanya karena dia pernah mendengar dongeng tentang iblis, mendengar bahwa iblis
itu jahat pengganggu manusia, dan lain-lain dongeng menyeramkan mengenai iblis,
maka timbullah rasa takut dan timbul pula bayangan-bayangan iblis di antara
kegelapan yang samar-samar!
Tolol bila
aku takut! Takut timbul karena tidak mengerti! Takut timbul karena ikatan masa
lalu tentang sesuatu yang ditakutkan, atau ikatan pengalaman yang tidak
menyenangkan sehingga pikiran merenungkan semua itu kemudian membayangkan
kalau-kalau hal-hal itu akan timbul lagi pada masa datang!
"Tidak!
Aku tidak takut iblis dan setan! Hai... semua hantu dan iblis yang berada di
hutan. Keluarlah bertemu dengan Yap Kun Liong. Marilah kita beramah-tamah dan
mengobrol!" Pemuda itu berteriak-teriak, akan tetapi suaranya hanyut dalam
desau angin dan desau daun-daun pohon.
Badai
mereda. Air yang menitik turun bukan air hujan lagi, melainkan air yang jatuh
dari daun-daun yang basah kuyup. Setiap kali ada angin halus berhembus,
butiran-butiran air di ujung daun-daun itu rontok semua ke bawah.
Kun Liong
berjalan perlahan-lahan, kedua tangannya meraba-raba di antara pohon-pohon
menuju ke arah suara yang didengarnya tadi. Suara yang mendorong dirinya untuk
pergi meninggalkan tempat berteduh itu walau pun malam masih gelap pekat. Suara
itu, arah suara itu, yang menjadi petunjuk jalannya. Maka ia pun terus
melangkah dengan hati-hati, menggunakan kedua tangannya untuk meraba ke depan
agar dia tidak sampai terjatuh, persis seperti laku seorang buta melangkah
melalui jalan yang tidak dikenalnya.
Ketika dia
duduk tadi, dia mendengar ada suara orang bernyanyi! Kalau saja dia belum
menyadari sepenuhnya mengenai hantu dan rasa takut akan hantu, tentu suara itu
akan menimbulkan rasa seram dan takut. Bayangkan saja! Di dalam hutan lebat dan
sehabis hujan badai seperti itu, ada suara orang bernyanyi!
Suara itu
tadinya hanya lapat-lapat, sayup sampai kadang-kadang timbul dan sering kali
tenggelam lalu lenyap kembali. Akan tetapi sekarang mulai terdengar jelas, dan
Kun Liong tiba-tiba menghentikan langkahnya untuk dapat menangkap kata-kata
yang dinyanyikan dengan suara parau itu.
“Berani
hidup mengapa takut mati?
siapa bilang
hidup senang
dan mati
sengsara?
Lihat mereka
semua hidup dan mati!
si
bangsawan, si hartawan
si rakyat,
si miskin
yang kuat,
yang lemah,
yang mulia,
yang hina.
Mereka semua
telah mati,
sedang mati
dan akan
mati,
dalam
kematian tiada bedanya
menjadi
bangkai kotor membusuk!
Yang hidup,
yang mati,
yang lahir
silih berganti,
tetapi ‘aku’
tetap berkuasa!
di antara
mati dan hidup
aku tetap
mempermainkan manusia,
ha-ha-ha-ha!”
Kun Liong
melangkah mendekat. Jika saja dia belum mengerti akan timbulnya rasa takut
terhadap hantu, mungkin saat itu dia akan ketakutan dan menyangka bahwa itulah
hantu yang tengah dia hadapi sekarang. Bukankah ada dongeng mengatakan bahwa
hantu bisa mengambil bentuk seorang kakek-kakek, atau bahkan seorang dara
cantik sekali pun?
Dia itu
seorang kakek tua, usianya sulit ditaksir berapa, akan tetapi tentu lebih dari
enam puluh tahun. Pakaiannya bersahaja seperti pakaian orang terlantar,
rambutnya yang telah berwarna dua itu tak terpelihara, demikian pula dengan
kumis dan jenggotnya yang masih basah dan berjuntai ke bawah. Akan tetapi
gambaran kakek ini berkurang kelayuannya karena di depannya bernyala api
unggun. Hal ini mengherankan hati Kun Liong. Betapa mungkin orang membuat api
unggun di hutan yang baru saja diamuk hujan dan badai?
Kakek itu
menengok. Mereka berpandangan sebentar, kakek tua yang duduk dan pemuda gundul
yang berdiri.
"Maaf,
Kek, kalau aku mengganggumu," Kun Liong berkata sambil tersenyum ramah.
"Kau
mau apa?"
"Aku
dingin, api unggunmu dan nyanyianmu menarik hatiku sehingga aku datang ke
sini."
"Kau
hwesio?"
"Bukan,
Kek, sungguh pun kepalaku gundul. Aku bukan pendeta."
"Hemmm,
kalau begitu duduklah. Kalau engkau pendeta, tentu engkau sudah mati begitu
engkau mengucapkan pengakuanmu. Aku benci hwesio!"
Kun Liong
duduk di dekat api unggun dan baru dia tahu bahwa kakek itu menyalakan api
unggun dengan bantuan minyak. Hal ini dapat dia cium baunya. Hangat serta
nyaman sekali duduk di dekat api unggun pada waktu malam sedingin itu. Kun
Liong menghela napas penuh nikmat sambil memeras ujung bajunya yang basah.
"Mengapa
kau membenci hwesio, Kek?"
"Mereka
itu munafik."
"Mengapa
kau mengatakan begitu, Kek?"
"Mereka
itu pura-pura menjadi orang baik, akan tetapi semua itu hanya untuk menutupi
kebobrokan watak mereka!"
"Ahh,
tidak semua begitu, Kek! Memang dunia penuh dengan keganjilan dan kekecualian.
Ada orang berkedudukan tinggi yang batinnya rendah, tapi ada pula orang
berkedudukan rendah yang batinnya tinggi. Ada orang kaya yang hatinya miskin,
dan ada orang miskin yang hatinya kaya. Ada pendeta yang batinnya kotor, tetapi
ada penjahat yang batinnya bersih. Apa anehnya itu?"
"Akan
tetapi pendetalah yang paling kotor karena dia berpura-pura! Orang bertubuh
kotor berpakaian kotor, apa anehnya? Akan tetapi pendeta adalah seorang
bertubuh kotor tapi berpakaian bersih!"
"Tidak
semua, Kek. Dan mereka telah berusaha menjadi orang baik."
"Phuah!
Berusaha menjadi orang baik adalah usaha yang buruk!"
"Aku
tidak mengerti, Kek."
"Tidak
mengerti ya sudah. Kau tadi bilang bahwa api unggunku menarik perhatianmu, hal
itu lumrah sekali karena kau membutuhkannya. Akan tetapi benarkah nyanyianku
menarik perhatianmu?"
"Benar,
karena nyanyianmu amat indah!"
"Kau
suka mendengarnya?"
"Sama
sekali tidak!"
Kakek itu
mendengus. Matanya yang sipit itu melirik ke arah wajah Kun Liong, kemudian dia
mendengus lagi. "Mengapa tidak suka?"
"Karena
dalam nyanyianmu terdapat tertalu banyak soal kematian!"
Tiba-tiba
saja kakek itu tertawa sehingga Kun Liong terkejut bukan main. Suara ketawa itu
melengking dan membuat dia tergetar, tanda bahwa suara itu mengandung khikang
yang amat kuat! Mendadak kakek itu menghentikan suara ketawanya dan dia kini
menoleh ke arah Kun Liong, menatap wajah itu dengan penuh perhatian.
Biar pun
tidak kentara, agaknya kakek itu pun melihat pemuda gundul itu tidak terjungkal
oleh suara ketawanya. Padahal ketawanya itu disertai pengerahan khikang dan
menjadi semacam ilmu untuk menyerang lawan. Ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa)
yang mampu merobohkan orang yang memiliki sinkang lumayan sekali pun!
"Orang
muda, memang nyanyianku itu dibuat oleh orang yang hampir mati dan bercerita
tentang kematian, dibuat untuk orang mati seperti engkau, karena engkau pun
akan mati!"
Tiba-tiba
kakek itu menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah kepala Kun Liong.
Tamparan yang sangat hebat, cepat sekali dan mengandung tenaga sinkang yang
amat kuat!
Kun Liong
terkejut bukan main karena dia tidak menduga akan diserang oleh kakek aneh itu.
Maka terpaksa dia lalu mengangkat lengan kirinya, menangkis sambil mengerahkan
sinkang-nya.
"Dessss...!
Haiiiih!!"
Kedua orang
itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang. Kakek itu terkejut bukan main.
Tangkisan pemuda gundul itu sedemikian kuatnya sehingga dia sampai terlempar!
Hal ini tidaklah aneh karena memang Kun Liong sudah mengerahkan sinkang
gabungan yang dia latih dari kedua orang gurunya yang sakti ditambah gemblengan
Pendekar Sakti Cia Keng Hong!
Sebetulnya,
ketika mengadu tenaga sinkang tadi, bisa saja jika dia hendak menggunakan
Thi-khi-i-beng, akan tetapi hal ini tidak dilakukannya karena memang dia tidak
bermusuh dengan kakek itu. Akibatnya, karena dia kalah latihan, pertemuan dua
tenaga sinkang itu membuat tubuhnya juga terlempar sampai jauh.
Kun Liong
mengerti bahwa kakek itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi, karena itu
dia tidak ingin terlibat dalam permusuhan dengan kakek yang agaknya miring
otaknya itu. Maka dia segera meloncat dan cepat sekali dia menyelinap ke dalam
hutan yang gelap yang tak dapat dijangkau oleh sinar api unggun.
"Hee,
pemuda gundul aneh! Ke mana kau...?!" Kakek itu melompat pula dan
melakukan pengejaran.
Kun Liong
menyelinap di belakang sebatang pohon besar. Karena tempat itu gelap sekali
kakek itu tidak mampu mencarinya. Setelah berputar-putar tanpa hasil, kakek itu
kembali ke tempat tadi sambil mengomel panjang pendek. Sesudah itu barulah Kun
Liong berani keluar dari tempat sembunyinya dan berindap-indap menjauhi tempat
itu sampai akhirnya secara kebetulan sekali dia berada di luar hutan! Dia lalu
duduk di bawah pohon, tidak berani tertidur karena kakek gila itu masih berada
di hutan, dan menanti datangnya fajar.
Setelah
sinar matahari pagi menerangi tempat itu, tampak oleh Kun Liong bekas amukan
badai semalam. Baru sekarang tampak olehnya betapa banyak pohon yang tumbang
dan roboh malang melintang dilanda badai, terutama pohon-pohon yang tumbuh di
pinggir hutan. Karena di luar hutan tidak ada pohon besar dan tidak tampak
bekas amukan badai, maka melihat ke arah hutan itu tampak seakan-akan ada
iblis-ibils mengamuk semalam, mengamuk di dalam hutan itu. Atau di dalam hutan
seperti telah terjadi perkelahian antara raksasa yang menggunakan batang
pohon-pohon besar untuk saling menghantam.
Kun Liong
bangkit berdiri dan memandang ke arah telaga yang sudah tampak dari tempat yang
agak tinggi itu. Di situlah telaga yang dicarinya. Telaga Kwi-ouw, Telaga
Setan. Dan di tengah-tengah telaga nampak pula pulau-pulau kecil kehijauan.
Salah sebuah di antara pulau-pulau itu adalah tempat perkumpulan Kwi-eng-pang
yang dicarinya.
Ya, dia
harus menemui Ketua Kwi-eng-pang, kemudian secara jujur menanyakan tentang
perbuatan anak buah Kwi-eng-pang yang sudah menyerbu ke kuil Siauw-lim-si. Dia
masih menaruh harapan besar bahwa sebagai sebuah perkumpulan besar yang sudah
terkenal, Kwi-eng-pang akan memandang Siauw-lim-pai dan akan suka mengembalikan
dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh anak buah Kwi-eng-pang.
Dia akan
mengemukakan kebenaran, kemudian akan membujuk Kwi-eng Pangcu supaya tidak
menanam bibit permusuhan dengan suatu perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai
hanya karena urusan dua buah pusaka saja! Biar pun dia mendengar dari Pendekar
Sakti Cia Keng Hong bahwa amat berbahaya menjumpai seorang di antara
datuk-datuk kaum sesat seperti Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio Ketua Kwi-eng-pang
itu, akan tetapi dia tidak takut.
Dia datang
bukanlah untuk mencari permusuhan! Dia datang untuk menuntut hak Siauw-lim-pai
mendapatkan kembali pusaka-pusakanya yang dulu dicuri. Dan dia melaksanakan
tugas yang diperintahkan oleh mendiang gurunya, Tiong Pek Hosiang!
Setelah tiba
di tepi telaga, tempat itu sunyi sekali. Diam-diam dia merasa heran, mengapa
tempat itu demikian sunyi? Mengapa tidak tampak nelayan-nelayan dan pelancong
seperti pada telaga-telaga besar yang lain? Dari tepi telaga kini nampak
olehnya pulau besar di tengah telaga dan kelihatan pula dari situ tembok serta
genteng bangunan tertutup oleh batu-batu karang dan pohon-pohon. Agak jauh di
belakang pulau besar itu tampak pula sebuah pulau lain di tengah telaga, pulau
yang agak kecil.
Tiada angin
pada pagi itu. Air telaga tenang tak bergoyang sedikit pun, seperti permadani
beludru biru yang sangat lebar dibentang dari darat ke pulau itu. Cahaya
matahari pagi mulai menyapu permukaan telaga dan agaknya cahaya ini menggugah
air telaga yang sedang tidur.
Mulai tampak
perubahan pada air telaga. Mulai ada kehidupan pada warna biru yang kini sebagian
kejatuhan warna kuning emas kemerahan dari cahaya matahari. Agaknya bukan hanya
makhluk darat dan makhluk udara saja yang memulai kesibukan hidup pada saat
matahari muncul, akan tetapi juga makhluk air penghuni telaga.
Ikan-ikan
mulai tampak bergurau, menjenguk dari permukaan air, dan yang nakal malah
meloncat ke atas permukaan air, seperti tingkah anak-anak yang meloncat ke air
untuk mandi! Tiap kali ada moncong ikan menjenguk ke permukaan air, apa lagi
jika ada yang meloncat ke atas, air bergerak dan terbentuklah
lingkaran-lingkaran yang makin melebar, lengkungan bundar yang amat sempuma,
tak mungkin dibuat oleh tangan manusia.
Kun Liong
terpesona menyaksikan semua ini. Dia lupa diri, bahkan dirinya sudah tak ada
lagi. Yang ada hanya penglihatan yang serba indah itu dan dia yang melihat
sudah tidak ada lagi, tenggelam dalam keasyikan yang amat dalam.
Kalau saja
dia tidak membutuhkan penyeberangan, agaknya perahu kecil yang tampak bergerak
didayung oleh seseorang itu akan menjadi penambah keindahan pemandangan di pagi
hari yang cerah itu. Akan tetapi kebutuhannya mengingatkan dia dan menyeretnya
kepada dunia yang penuh dengan kebutuhan si aku. Lenyaplah semua keindahan
karena perhatiannya kini tercurah penuh kepada perahu itu, dan harapannya
timbul untuk dapat segera pergi ke pulau itu, ke pusat Kwi-eng-pang! Dan tepat
seperti yang dikehendakinya, perahu itu didayung ke arah daratan.
Akan tetapi
setelah dekat, dia merasa heran dan juga ragu-ragu. Pendayungnya ternyata
adalah seorang wanita! Dan bukan wanita nelayan atau wanita dusun yang
sederhana. Sama sekali bukan!
Jelas nampak
dari dandanan rambutnya, dari pakaiannya, dan dari gayanya, bahwa yang
mendayung perahu itu, yaitu wanita berusia tiga puluhan tahun yang berwajah
cantik dan bertubuh ramping itu, tentulah wanita kota, atau setidaknya, paling
sedikit tentu pelayan orang bangsawan! Hanya anehnya, wanita yang segalanya
kelihatan halus itu mengapa sampai mendayung perahu sendiri?
Betapa pun
juga, kesempatan ini tidak boleh dia sia-siakan. Tidak ada perahu lain tampak
di daratan yang begitu sunyi, maka ia pun cepat-cepat menghampiri wanita dalam
perahu yang sudah mendekati pantai.
"Kouwnio,
bolehkah saya menumpang perahumu?" Ia bertanya sambil tersenyum ramah,
senyum orang yang minta tolong!
Wanita itu
mengangkat mukanya memandang sejenak, memandang kepada pemuda itu, kemudian
pakaiannya. Agaknya wanita itu teliti juga maka melihat pakaian Kun Liong, dia
dapat menduga bahwa pemuda tampan itu bukan hwesio, melainkan seorang yang
entah kenapa sengaja menggunduli kepalanya. Namun kepala gundul itu tidak
buruk. Memang lucu, akan tetapi tidak buruk. Sebaiknya malah, mempunyai daya
tarik yang aneh karena kepala itu begitu bersih, begitu... telanjang hingga
wanita itu memandang dengan kedua pipi menjadi merah!
"Siapakah
engkau dan kenapa kau minta menumpang di perahuku?" Dengan kerling genit
wanita itu membalas bertanya.
Kun Liong
merasa bahwa tidak baik kalau dia memperkenalkan diri kepada semua orang karena
dia sedang menghadapi urusan besar dengan Ketua Kwi-eng-pang. Karena itu dia
menjawab, "Saya datang dari jauh sekali dan hendak pergi menghadap Kwi-eng
Pangcu. Maka, saya harap Kouwnio (Nona) yang baik suka menolong saya. Saya mau
ikut dengan perahu Kouwnio pergi ke pulau itu."
Senyum dan
kerling genit itu tiba-tiba saja lenyap dari wajah yang cukup cantik itu, dan
pandang matanya penuh curiga pada waktu dia bertanya, "Apakah engkau
sahabat dari Kwi-eng Pangcu?"
Kun Liong
tidak biasa membohong, maka dia menggeleng kepala. "Bukan!"
"Habis,
apa maksudmu hendak bertemu dengan pangcu?"
"Aku
mempunyai sedikit urusan yang akan kubicarakan dengan Kwi-eng Pangcu. Urusan
penting yang hendak kusampaikan sendiri kepadanya. Kouwnio, harap suka
membawaku, Kouwnio yang baik. Biarlah aku yang akan mendayung perahunya."
Mendengar
pemuda gundul itu telah beberapa kali menyebut ‘kouwnio yang baik’ sambil
tersenyum-senyum, wanita itu berkata, "Sebenarnya aku sedang mempunyai
kepentingan berbelanja, akan tetapi karena engkau seorang tamu, biarlah kau
kuantar ke pulau. Aku adalah pelayan dari Ang-pangcu."
Kun Liong
merasa terkejut, akan tetapi juga girang. Ternyata Kwi-eng-pang tidak seperti
yang disohorkan orang. Kata orang, Kwi-eng-pang adalah perkumpulan iblis yang
sangat berbahaya, sarang dari golongan hitam. Namun kini buktinya sama sekali
tidak demikian. Baru pelayannya saja begini cantik dan halus budi, peramah dan
manis!
Kun Liong
menjura dan berkata girang, "Banyak terima kasih, Kouwnio yang baik."
Perahu
menepi dan Kun Liong lalu melangkah memasuki perahu. Perahu kecil itu sedikit
bergoyang-goyang, akan tetapi wanita itu dapat berdiri dengan tegak, tanda
bahwa walau pun kelihatan lemah dan hanya seorang pelayan, akan tetapi wanita
itu tentu ‘berisi’!
"Biarlah
saya yang mendayungnya, Kouwnio."
Wanita itu
menyerahkan dayung kepada Kun Liong, kemudian duduk berhadapan dengan pemuda
itu yang mulai mendayung perahu. Kun Liong bersikap sabar, meski pun hatinya
tegang dan dia ingin segera tiba di pulau. Dia mendayung biasa saja, tidak
mengerahkan sinkang-nya, padahal kalau dia menggunakan tenaga saktinya, tentu
perahu akan dapat meluncur jauh lebih cepat.
Wanita itu
menatap wajah Kun Liong dan terang-terangan kelihatan rasa kagumnya akan
ketampanan wajah Kun Liong. Beberapa kali Kun Liong memandangnya hingga pandang
mata mereka bertemu. Kun Liong merasa malu sendiri sampai mukanya menjadi
merah!
"Itu
teman-temanku sudah menanti dan melihat kita." Wanita itu menuding.
Kun Liong
melihat beberapa orang wanita berdiri di pantai pulau.
"Mereka
tentu terheran-heran kenapa aku tidak pulang membawa barang belanjaan, tapi
membawa seorang tamu." Wanita itu terkekeh genit. "Kita sudah dekat,
biarlah aku yang mendayung karena daerah di dekat pulau terdapat banyak rahasia
yang dapat membuat perahu terbalik."
Kun Liong
terkejut mendengar ini sehingga cepat menyerahkan dayung. Ketika menerima
dayung, mendadak jari tangan wanita itu bergerak menotok jalan darah di bawah
pangkal lengan Kun Liong. Pemuda ini kaget akan tetapi pura-pura tidak tahu.
Wanita itu
hampir menjerit saat ujung jari tangannya bertemu dengan ketiak yang berbulu
dan totokannya tepat sekali, akan tetapi pemuda gundul itu tidak apa-apa!
Dayung sudah diambil dan tiba-tiba dia membalikkan dayung, gagangnya digunakan
untuk menghantam kepala yang gundul itu. Kun Liong mengangkat lengan ke atas,
menangkis.
"Krakkk!"
Ujung dayung itu patah!
"Ihhhhhh...!"
Wanita itu berseru kaget lalu tiba-tiba dia meloncat ke air sambil membawa
dayungnya.
"Eihhh.
Toanio, kau mengapa...?" Kun Liong berseru kaget.
Akan tetapi
tiba-tiba perahu itu terbalik dan tentu saja tubuhnya juga turut terlempar ke
dalam air. Dia masih sempat melihat betapa ketiga orang wanita di pantai itu
mendayung sebuah perahu yang meluncur cepat sekali.
"Byuurrr...!"
Kun Liong gelagapan, menahan napas dan cepat menggerakkan kaki tangan untuk
berenang.
Dia bukan
seorang ahli, akan tetapi kalau hanya berenang sekedar mencegah tubuhnya agar
tidak tenggelam saja, dia masih bisa. Akan tetapi tiba-tiba kakinya dipegang
orang, dan tubuhnya diseret ke bawah.
"Ahhauupppp!"
Dia lupa dan hendak berteriak, tentu saja air telaga membanjiri mulutnya dan
terus mengalir ke perutnya!
Dia lalu
menggerakkan kakinya dan berhasil membebaskan kakinya yang terpegang dari
bawah. Tubuhnya meluncur ke atas sesudah dia menjejak dasar telaga. Akan tetapi
baru saja kepalanya yang gundul tersembul di atas permukaan air dan dia
mengambil napas, tiba-tiba kedua kakinya terlibat sesuatu dan dia ditarik lagi
ke bawah!
Walau pun
dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya tidak dapat terlepas dari libatan
sehelai tali yang kuat. Kun Liong menjadi panik sekali. Dia menahan napas, akan
tetapi lama-lama dia terpaksa harus minum air juga dan ketika tubuhnya terasa
lemas, dadanya bagaikan hendak meledak dan kepalanya pening, dia merasa betapa
ada banyak tangan memeganginya, dan betapa kedua tangannya lantas diikat
kuat-kuat, kemudian tubuhnya diseret.

Dengan perut
kembung penuh air dan setengah pingsan, napas terengah-engah hampir putus, Kun
Liong masih bisa melihat dirinya diseret keluar dari telaga dan naik ke daratan
pulau. Yang menyeretnya ialah seorang wanita yang cantik juga, sedang di
belakangnya masih ada tiga orang wanita lagi, yaitu seorang ialah wanita yang
membawanya tadi dan kini berdiri di atas perahu memegang dayung yang sudah
patah gagangnya, sedang yang dua orang wanita lagi tadinya berenang dan kini
sudah mendarat sambil tertawa-tawa dan bersenda-gurau.
"Hi-hi-hi-hik,
sekali ini pancinganmu berhasil, Adik Biauw! Kau mendapat seekor ikan yang
gemuk!" Seorang di antara mereka berkata kepada wanita yang menyeret Kun
Liong.
"Bukan
dapat mengail, akan tetapi Enci Kun yang mendapat dari pasar!"
"Wah,
ikan apa ini? Kepalanya gundul dan bersih sekali tiada rambutnya selembar
pun!"
"Malah
enak, tinggal mengupas kulitnya saja, tentu gurih. Hi-hi-hik!"
"Sayang
Pangcu benci laki-laki, tentu dia dibunuh."
Wanita yang
menyeret berkata, "Aku akan mohon kepada Pangcu, sebelum dibunuh biar dia
tidur bersamaku satu malam!"
"Enaknya!
Apa kau lupa kepadaku, Adik Biauw? Aku yang menemukannya, tahu?"
"Sudah
jangan ribut, itu Enci Siu datang, biar kita minta Pangcu agar dia diberikan
kepada kita berlima sampai dia mati kehabisan."
"Kehabisan
apa?"
"Ih,
tanya-tanya. Seperti tidak tahu saja. Hi-hi-hik!"
Mereka
berlima tertawa-tawa. Kun Liong yang setengah pingsan masih dapat mendengar
percakapan mereka tadi dan dia benar-benar merasa kecelik dan tertipu oleh
sikap wanita tadi! Kiranya mereka ini tiada ubahnya bagai serombongan siluman
seperti yang terdapat dalam dongeng. Cantik-cantik, genit-genit, cabul dan
kejam!
Setelah
tubuhnya diseret dan tiba di bawah sebatang pohon, wanita cantik yang bernama
Biauw tadi tiba-tiba menggerakkan tangannya dan tubuh Kun Liong terlempar naik
melalui sebatang dahan pohon hingga tubuhnya tentu saja tergantung dengan
kepala di bawah! Wanita pelayan pertama yang namanya disebut Kun tadi meloncat,
menggerakkan tangan memukul perut Kun Liong.
Tanpa dapat
ditahan lagi Kun Liong memuntahkan air yang membanjir keluar dari dalam
perutnya melalui mulut dan hidung. Kemudian dia ditotok pingsan dan sama sekali
tidak dapat melawan karena seluruh tubuhnya terasa lemas dan oleh lima orang
pelayan itu dia dilemparkan ke dalam kamar tahanan!
Lima orang
wanita itu memang pelayan-pelayan dari Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sendiri! Pada
waktu itu, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sedang tidak berada di pulau dan lima
orang pelayan ini memiliki kekuasaan yang besar juga sehingga para anggota dan
para murid Kwi-eng-pang tidak ada yang berani turut campur ketika melihat
mereka itu menangkap Kun Liong.
Murid-murid
kepala dari Si Bayangan Hantu Ang Hwi Nio ada belasan orang, terdiri dari
laki-laki dan perempuan. Tentu saja kedudukan mereka lebih tinggi dari pada
lima orang pelayan itu. Akan tetapi karena lima orang itu adalah kepercayaan
subo mereka, apa lagi mereka berlima itu adalah orang-orang dalam, mereka pun
hanya dapat bertanya. Ketika mendengar bahwa Si Gundul itu katanya hendak
bertemu dan sikapnya mencurigakan, mereka membenarkan tindakan lima orang
pelayan itu dan memutuskan bahwa pemuda itu harus ditahan sampai ketua mereka
pulang.
Akan tetapi,
mereka tidak tahu bahwa peristiwa itu menarik perhatian seorang gadis yang
mereka segani, yaitu Yo Bi Kiok, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tinggal
di pulau kecil! Yo Bi Kiok kini sudah menjadi seorang dara yang cantik sekali
akan tetapi sikapnya pendiam dan dingin, dan ilmu kepandaiannya tinggi.
Memang dara
ini mempunyai bakat yang sangat baik sehingga Bu Leng Ci yang merasa amat
sayang kepadanya telah menggemblengnya hingga tingkat kepandaian gadis itu tak
berselisih banyak dari tingkat gurunya, dan tentu saja jauh lebih lihai
dibandingkan semua murid kepala Si Bayangan Hantu. Bagi penghuni Pulau Telaga
Setan itu, gadis ini lebih dikenal dengan julukannya, yaitu Giok-hong-cu
(Burung Hong Kemala) yang diambil dari mainan burung hong dari kemala yang
dahulu dia terima sebagai hadiah dari Si Bayangan Hantu dan yang sekarang
selalu dipakai di rambutnya.
Ketika Yo Bi
Kiok atau Giok-hong-cu mendengar bahwa para pelayan Si Bayangan Hantu sudah
berhasil menawan seorang laki-laki gundul yang bukan hwesio, yang didengarnya
dari para anak murid Kwi-eng-pang perempuan, dia merasa tertarik sekali. Maka
dia lalu menemui lima pelayan itu dan menyatakan keinginannya untuk melihat Si
Tawanan dari lubang rahasia.
"Hi-hi-hik,
mau apa kau melihatnya, Nona? Dia tampan sekali, namun sayang kepalanya
telanjang!"
"Telanjang...?"
Giok-hong-cu Yo Bi Kiok berseru heran.
"Hi-hik,
maksudku tidak ada selembar rambut pun menutupi kepalanya. Bersih dan bagus
sekali kepalanya!"
Bi Kiok
mengerutkan alisnya. Para pelayan ini adalah wanita-wanita yang genit dan tidak
tahu malu. Akan tetapi karena dia ingin membuktikan apakah tawanan ini adalah
benar orang yang disangkanya, maka dia mendesak dan akhirnya dia diperbolehkan
mengintai dari lubang rahasia.
"Kun
Liong...!" Hati Bi Kiok berseru kaget pada saat dia mengintai dan mengenal
pemuda gundul yang rebah telentang kelihatannya lemas dan lemah itu.
Bi Kiok
maklum bahwa di pulau itu, biar pun bibi gurunya, Si Bayangan Hantu tidak ada,
amatlah sukar dan berbahaya untuk menolong Kun Liong seperti yang pernah dia
lakukan dahulu. Kalau ketahuan tentu terjadi ribut dan kalau sampai gurunya
mendengar tentu dia akan dimarahi dan tentu Kun Liong takkan tertolong lagi.
Sebaiknya menggunakan akal.
Setelah
memutar otak, Bi Kiok lalu bergegas mendayung perahunya kembali ke pulaunya
sendiri di mana dia tinggal bersama Bu Leng Ci dan hanya ditemani oleh beberapa
orang pelayan wanita.
"Subo,
ada kabar penting sekali dan apa bila Subo tidak cepat-cepat turun tangan
selagi Ang-su-i (Bibi Guru Ang) tidak ada, tentu kita didahului orang."
"Hemm,
ceritakanlah."
"Akah
tetapi, sebelumnya teecu minta agar Subo suka mengampunkan kesalahan teecu yang
pernah teecu lakukan kepada Subo."
"Bi
Kiok, engkau tidak pernah berbuat salah kepadaku, muridku."
"Memang
sesudah itu teecu menyesal sekali, apa lagi mengingat akan segala kebaikan
Subo. Hal itu lalu menjadi ganjalan hati teecu dan sekarang tiba saatnya teecu
menebus kesalahan itu. Sesungguhnya, dahulu ketika Subo membunuh orang-orang
Pek-lian-kauw dan mengalahkan Kiang-pangcu murid Ang-su-i, Subo sudah berjumpa
dengan seorang anak laki-laki yang berkepala gundul. Ingatkah Subo?"
Bu Leng Ci
mengerutkan alisnya. Sudah terlalu banyak orang dibunuhnya, dan peristiwa itu
baginya biasa saja, maka dia tidak dapat mengingat lagi. Dia menggeleng
kepalanya. "Aku sudah tidak ingat lagi, muridku."
"Biar
pun begitu, teecu tetap hendak mengakui kesalahan teecu yang amat besar kepada
Subo. Ketahuilah bahwa bocah gundul dahulu itu adalah Yap Kun Liong yang dulu
telah menemukan bokor emas."
Bu Leng Ci
meloncat bangun. "Mengapa baru kau ceritakan sekarang? Di manakah
dia?" Siluman betina itu membentak.
"Teecu
memang merasa bersalah, karena dahulu teecu diam-diam menginginkan bokor itu
sendiri. Sesudah melihat betapa Subo amat sayang kepada teecu, amat baik kepada
teecu, maka teecu tahu bahwa tiada bedanya kalau bokor itu terjatuh ke tangan
Subo atau teecu sendiri. Maka teecu merasa menyesal bukan main. Dan sekarang...
sekarang Yap Kun Liong itu telah berada di Pulau Telaga Setan, menjadi tawanan
para pelayan Bibi Guru Ang!"
"Apa?!"
"Subo,
teecu merasa bersyukur sekali bahwa Subo tidak marah kepada teecu. Sekarang
sebaiknya kalau Subo cepat pergi ke sana dan minta tawanan itu dengan alasan
bahwa tawanan itu amat penting dan khawatir kalau-kalau dirampas orang karena
Ang-su-i tidak berada di pulau. Kalau sudah berada di tangan kita, akan kubujuk
agar dia suka memberi tahu di mana adanya bokor emas itu."
"Bagus!
Dan kalau dia tidak bisa dibujuk, dapat saja kupaksa dia! Mari kita pergi
sekarang juga, Bi Kiok!" Kegirangan hati Bu Leng Ci dengan timbulnya
harapan akan mendapatkan bokor emas membuat hatinya ringan dan dia tidak marah
kepada muridnya yang pernah menyembunyikan adanya pemuda penemu bokor itu.
Ketika Bu
Leng Ci dan muridnya tiba di Pulau Telaga Setan itu, mereka terkejut melihat
keadaan yang ribut di pulau itu, bahkan ada pertempuran terjadi di depan rumah
Kwi-eng Pangcu. Kelihatan tiga orang laki-laki tua sedang dikeroyok oleh anak
buah Kwi-eng-pang dan mereka itu lihai sekali, terutama orang tua yang tubuhnya
tinggi kurus. Anak buah Kwi-eng-pang laki perempuan seperti puluhan ekor semut
mengeroyok tiga ekor jangkerik saja, kadang-kadang tampak tubuh beberapa orang
pengeroyok terlempar atau terbanting roboh.
"Mundur
semua!" Bu Leng Ci berteriak.
Karena kakak
angkatnya tidak ada, maka boleh dibilang dialah yang mewakilinya. Melihat ada
orang-orang luar datang mengacau Kwi-eng-pang, tentu saja dia marah. Para anak
buah Kwi-eng-pang segera mundur ketika melihat munculnya Siang-tok Mo-li Bu
Leng Ci dan Giok-hong-cu, dan timbul kembali harapan mereka karena tadi mereka
benar-benar dibikin repot oleh tiga orang tamu yang lihai itu.
Sekali
menggerakkan kakinya, Bu Leng Ci sudah berkelebat dan berdiri di hadapan tiga
orang itu. Si Kakek tinggi kurus dan yang mukanya seperti orang mengantuk
saking sipit kedua matanya, sejenak memandang wanita itu penuh selidik dan
setelah melihat pedang panjang melengkung yang tergantung di pinggang Bu Leng
Ci, dia lantas menjura sambil bertanya,
"Apakah
aku berhadapan dengan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?"
"Kalau
sudah tahu mengapa kalian berani main gila dan mengacau di sini? Apakah kalian
sudah bosan hidup?" Bu Leng Ci tidak segera turun tangan karena dia tadi
telah melihat gerakan mereka, terutama Si Tinggi Kurus ini dan maklum bahwa dia
berhadapan dengan orang pandai.
"Maaf,
aku tidak mempunyai urusan denganmu, Siang-tok Mo-li. Aku bernama Tio Hok Gwan
dan ini kedua orang kawanku Song Kin dan Kwi Siang Han. Kami hanya sedang
melaksanakan tugas mencari sesuatu, karena itu kami datang untuk menemui
Kwi-eng Pangcu hendak menanyakan tentang benda yang kami cari itu. Sayang bahwa
Kwi-eng Pangcu tidak berada di sini dan anak buahnya agaknya ingin mencoba-coba
kami!"
"Kalian
utusan siapa?"
"Utusan
Panglima Besar The Hoo..."
"Hemmm,
kalau begitu engkaukah yang berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa
Kati)?"
"Benar."
"Dan
yang kau cari itu, bukankah bokor emas milik The-ciangkun yang hilang?"
Tio Hok Gwan
kelihatan kaget dan curiga. "Kau tahu...?"
"Siapa
yang tidak mendengar tentang hal itu? Engkau percuma saja mencari di sini, dan
kedatanganmu ini menunjukkan bahwa engkau tidak memandang kepada kami, mengira
kami telah mencuri bokor itu. Hemm, orang she Tio, apa kau kira kami takut
kepadamu? Majulah, aku ingin melihat sampai di mana kebenaran julukanmu
itu!"
Ban-kin-kwi
Tio Hok Gwan mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin bermusuhan dengan para datuk
sesat dan dia sudah tahu bahwa wanita yang masih cantik ini adalah seorang di
antara lima datuk kaum sesat. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar dunia
kang-ouw, dan terutama sekali sebagai seorang pengawal Panglima Besar The Hoo
yang tentu saja harus mempertahankan nama dan kehormatannya, kakek ini pun
tidak mungkin menolak tantangan orang karena hal itu akan merendahkan namanya
sendiri.
"Siang-tok
Mo-li, aku hanya menjadi utusan mencari keterangan tentang bokor. Aku tidak
ingin bermusuhan denganmu. Akan tetapi kalau kau menantang, silakan, mau satu
lawan satu atau mau mengeroyok!"
Tio Hok Gwan
adalah seorang tokoh besar yang sudah mempunyai pengalaman banyak sekali, maka
biar pun dia tidak pandai bicara dan wataknya pendiam, akan tetapi sekali
mengeluarkan suara tentu ada hasilnya! Dia tadi sengaja menantang untuk
dikeroyok dan hal ini tentu saja menyinggung perasaan Bu Leng Ci sebagai
seorang datuk! Karena itu dengan muka merah wanita itu membentak,
"Manusia
sombong! Perlu apa mengeroyokmu? Kedua tanganku sudah lebih dari cukup untuk
membunuhmu!"
Bentakan ini
ditutup dengan serangannya yang dahsyat. Dua lengannya meluncur seperti dua
ekor ular, yang kiri menusuk mata lawan, yang kanan mencengkeram ke arah pusar,
sedangkan kepalanya digerakkan sehingga rambutnya yang panjang itu menyambar
pula ke arah leher!
"Hemm...
perempuan ganas!" Tio Hok Gwan berseru, menangkis kedua tangan lawan dan
sambil mengelak ke samping dia cepat menggunakan tangan yang baru saja
menangkis untuk menyambar rambut hitam itu. Akan tetapi Bu Leng Ci sudah cepat
menarik kembali rambutnya.
"Dukkk!"
Dia
menangkis dan keduanya kaget bukan main. Bu Leng Ci merasa betapa lengan yang
menangkisnya itu kokoh kuat seperti baja, ada pun Tio Hok Gwan merasa betapa
lengan wanita itu berubah lunak ketika ditangkis, tanda bahwa wanita itu telah
memiliki tenaga sakti yang kuat, dan tadi menghadapi kekuatannya dengan tenaga
lemas sehingga lengan itu tidak terasa nyeri atau terluka.
Terjadilah
pertandingan yang sangat hebat antara kedua orang tokoh itu. Semua pukulan
dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang, gerakannya juga cepat bukan main
hingga pukulan itu menerbitkan angin mendesir, akan tetapi selalu dapat
dielakkan atau ditangkis dengan kecepatan kilat pula. Mereka saling serang dan
sukar dikatakan siapa yang lebih unggul karena Bu Leng Ci juga membalas setiap
serangan lawannya dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Diam-diam Yo
Bi Kiok menonton dengan hati kagum sekali terhadap ilmu kepandaian Si Pengantuk
itu. Gerakannya demikian mantap dan dari setiap pertemuan lengan, dia dapat
melihat dengan hati terkejut bahwa dalam hal kekuatan sinkang subo-nya masih
kalah setingkat melawan kakek itu!
Para anak
buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani bergerak dan mereka memandang dengan
mata kabur dan kepala pening, oleh karena bagi mereka gerakan kedua orang itu
terlalu cepat untuk dapat diikuti oleh pandang mata. Juga kedua orang pembantu
Tio Hok Gwan tidak berani bergerak, hanya menonton dengan hati tegang.
Pertandingan
itu benar-benar amat menegangkan dan kedua pihak maklum bahwa tingkat mereka
tak banyak selisihnya, sungguh pun gaya limu silat mereka jauh sekali bedanya,
seperti bumi dan langit. Hanya bedanya, apa bila Tio Hok Gwan sebagai seorang
gagah menganggap pertandingan itu semata-mata untuk mengukur kepandaian,
sebaliknya Bu Leng Ci setiap kali menyerang didasari niat membunuh sehingga
hanya jurus-jurus maut saja yang dia keluarkan.
"Plak-plak-desss...
aihhh...!"
Pertemuan
dua pasang tangan yang bertubi-tubi itu akhirnya membuktikan bahwa tenaga
sinkang Tio Hok Gwan memang lebih kuat. Bu Leng Ci menjerit ketika tubuhnya
terlempar ke belakang. Dari mulut wanita ini keluar darah yang mengalir dari
ujung bibir.
"Singgg...!"
Tampak sinar
berkilat pada saat pedang samurai telah dicabutnya dan kini dengan kedua tangan
memegang gagang pedang panjang itu, Bu Leng Ci menerjang sambil memekik nyaring
mengerikan, "Haaiiittt...!"
Terpaksa Tio
Hok Gwan meloncat dengan amat cepatnya, menggunakan ginkang untuk menyelamatkan
diri dari pedang samurai yang menyambar-nyambar ganas itu. Pada saat melihat
betapa lawannya yang galak dan marah sekali itu mengejarnya dengan samurai
diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, Tio Hok Gwan cepat melolos sabuknya.
Kelihatannya seperti sabuk, akan tetapi sebetuinya bukan sembarang sabuk,
karena itu adalah sebuah senjata joan-pian (ruyung lemas atau semacam pecut)
yang terbuat dari baja biru yang amat kuat!
Pengawal
Panglima Besar The Hoo ini mengikuti panglima sakti itu berlayar mengelilingi
dunia menjelajah ke negeri-negeri asing di selatan dan barat dan dia pandai
memainkan segala macam senjata. Joan-pian itu didapatkannya pada waktu dia
mengikuti rombongan panglima besar menjelajah ke negeri Sailan dan menjadi
sebuah di antara senjata yang disenanginya karena selain dapat digunakannya
dengan baik, juga dapat dibawa dengan mudah dan tidak kentara karena dililitkan
di pinggang seperti sebuah sabuk!
"Trang-trang-cring...!"
Bunga api
berpijar menyilaukan mata ketika berkali-kali samurai itu tertangkis joan-pian
di tangan Tio Hok Gwan. Biar pun pendekar pengantuk itu selalu dapat menangkis,
tapi dia membarengi dengan elakan karena joan-piannya masih kurang kuat
menangkis samurai yang gerakannya amat kuat itu.
Bu Leng Ci
memang seorang ahli bermain samurai. Kepandaian dari bekas suaminya yang tua,
seorang pendekar samurai kenamaan di Jepang telah diwarisinya dan samurai di
tangannya berkelebat ke sana-sini sangat mengerikan, bagaikan halilintar
menyambar-nyambar di angkasa.
Akan tetapi
Tio Hok Gwan yang sudah pernah beberapa kali bertanding melawan jagoan samurai
Jepang, sudah mengenal sifat ilmu pedang dari Jepang itu, karena itu dia dapat
mengimbanginya dengan permainan joan-piannya yang lihai. Sungguh pun senjatanya
itu kalah kuat serta kalah berat, dia mampu menutup kerugiannya ini dengan
kemenangan dalam kecepatan.
"Tringgg...
tringg...!"
Cepat sekali
pertemuan kedua senjata yang disusul berkelebatnya samurai dan joan-pian itu
sehingga sukar diikuti pandang mata. Tubuh Tio Hok Gwan terhuyung ke belakang
sedangkan tubuh Bu Leng Ci terlempar dan terbanting miring. Akan tetapi wanita
ini dapat mencelat bangun kembali, mukanya agak pucat dan darah yang mengalir
dari mulutnya lebih banyak lagi. Ada pun Tio Hak Gwan yang terluka pundaknya
oleh ujung samurai, cepat merobek ujung baju dan membalutnya dibantu oleh Song
Kin. Lukanya hanya luka kulit yang ringan saja.
Akan tetapi
Bu Leng Ci mengalami luka yang lebih berat, karena selain tadi sebelum
mempergunakan senjata dia telah terkena hantaman angin pukulan lawan, tadi baru
saja pinggangnya juga kena disambar joan-pian sehingga dalam dadanya terasa
sakit, tanda bahwa sinkang yang dia pergunakan untuk melindungi tubuh masih
kalah kuat sehingga membalik dan melukai dirinya sendiri. Maklumlah Bu Leng Ci
bahwa kalau dilanjutkan, dia tidak akan menang.
Ada pun Tio
Hok Gwan yang memang tidak ingin menanam permusuhan, sudah menjura sambil
berkata, "Kepandaian Siang-tok Mo-li memang hebat dan namamu bukan kosong
belaka. Aku orang she Tio merasa kagum. Harap kau suka berbaik hati untuk
memberi tahu tentang bokor agar aku memiliki bahan untuk dilaporkan kepada
The-tai-ciangkun."
"Ban-kin-kwi,
apakah kau masih tidak percaya omonganku? Tadi aku sudah mengatakan bahwa kami
tidak tahu-menahu mengenai bokor emas yang hilang, apa lagi melihatnya! Kalau
kau tidak percaya, mari kita lanjutkan pertempuran sampai salah seorang di
antara kita menggeletak tak bernyawa!"
Tio Hok Gwan
menjura. "Kalau begitu, terima kasih dan selamat berpisah." Ia memberi
isyarat kepada dua orang pembantunya, lalu dengan langkah lebar meninggalkan
tempat itu, menuiu ke perahu kecil mereka di pantai pulau. Kemudian mereka
mendayung perahu meninggalkan pulau itu menuju ke darat.
Sambil
menahan rasa nyeri di dadanya Bu Leng Ci lalu memanggil para murid kepala dan
lima orang pelayan Kwi-eng Niocu dan berkata, "Pemuda yang kalian tawan
itu adalah seorang yang amat penting sekali bagi Pangcu dan aku. Karena itu,
untuk menjaga agar dia tidak sampai lolos dan ditolong orang, selagi Enci Ang
Hwi Nio tidak berada di rumah, aku yang akan menjaganya dan membawanya ke
pulau. Hayo bawa aku kepadanya!"
Tentu saja
para murid dan anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani membantah. Mereka
percaya penuh kepada wanita iblis ini, apa lagi baru saja mereka melihat
sendiri betapa wanita ini mati-matian membela Kwi-eng-pang ketika datang lawan
yang amat lihai tadi. Segera guru dan murid ini dibawa ke kamar tahanan di mana
Kun Liong masih rebah telentang dalam keadaan lemah dan setengah pingsan.
Bu Leng Ci
cepat menotok beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu, lalu mengempit tubuh
yang selain dalam keadaan tertotok juga sudah dibelenggu kaki tangannya itu dan
bersama muridnya dia membawa Kun Liong ke atas perahu kemudian mendayung perahu
kembali ke pulaunya sendiri.
Ketika Kun
Liong siuman, dia mengeluh dan membuka matanya. Dia masih ingat betapa tadi dia
ditawan oleh lima orang wanita pelayan Kwi-eng Pangcu yang cantik. Kemudian dia
setengah ingat dengan samar-samar betapa dia dibawa orang naik perahu.
Tahu-tahu kini dia sudah rebah di atas sebuah dipan kayu dan di dalam kamar itu
duduk dua orang wanita memandangnya penuh perhatian.
Kun Liong
mengangkat muka dan memandang wajah dua orang itu, dan diam-diam dia mengeluh
ketika mengenal wajah wanita pendek yang tersenyum mengejek kepadanya itu.
Wajah Siang-tok Mo-li! Dan di sebelah iblis betina itu duduk seorang dara
cantik yang bersikap dingin.
"Mengapa
aku dibawa ke sini...?" Dia berkata dan menahan keinginan memanggil nama
Yo Bi Kiok. Tentu saja dia mengenal Bi Kiok dan hampir dia memanggilnya kalau
saja dia tidak ingat bahwa dara itu bersikap tidak mengenalnya di depan gurunya
yang kejam.
Akan tetapi
betapa kaget dan herannya pada saat dia mendengar suara Bi Kiok berkata
kepadanya, "Yap Kun Liong, Subo sudah mengenalmu sebagai anak yang
menemukan bokor emas. Lebih baik engkau segera mengatakan di mana kau simpan
bokor itu agar Subo dapat mempertimbangkan pengampunan bagi nyawamu!"
Berkerut
alis Kun Liong. Hemm, dara ini telah berubah banyak sekali, pikirnya. Wajahnya
memang makin cantik menarik, tubuhnya makin padat dan matang setelah dewasa,
akan tetapi wataknya sudah berubah.
Dia tidak
mengharapkan agar dara ini membantunya atau menolongnya. Satu kali Bi Kiok
menolongnya sudah cukup baginya dan dia tidak mengharapkan terus-menerus
ditolong. Akan tetapi, yang membuat hatinya kecewa bukan karena dara itu tidak
menolongnya, melainkan melihat perubahan itu.
Agaknya Bi
Kiok bukan hanya mewarisi kepandaian gurunya, akan tetapi juga wataknya. Siapa
lagi kalau bukan dara ini yang membuka rahasianya tentang bokor emas itu kepada
Bu Leng Ci? Hanya Bi Kiok seoranglah yang tahu bahwa dia yang menemukan bokor
emas dan yang mungkin melarikan bokor itu pada waktu Phoa Sek It, bekas
Pengawal Panglima The Hoo, dibunuh oleh Bu Leng Ci.
Kun Liong
tersenyum lebar. "Bi Kiok, engkau makin cantik dan manis saja."
"Ihhh...!"
Bu Leng Ci membentak dan memandang penuh kebencian.
Wajah Yo Bi
Kiok menjadi merah sekali dan sekilas tampak oleh Kun Liong sepasang bibir itu
tergetar. "Kun Liong, harap kau jangan main-main. Harap kau mengingat akan
persahabatan kita dan mengingat pula bahwa kau telah menjadi tawanan Subo.
Katakan saja di mana adanya bokor itu atau bawa kami ke sana..."
"Katakan
saja, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!" Bu Leng Ci cepat memotong usul Bi
Kiok agar Kun Liong mengantar mereka ke tempat di mana bokor disembunyikan.
Sedikit
sinar mata Kun Liong bertemu dengan pandang mata Bi Kiok, dan ini cukup bagi
Kun Liong. Hampir dia bersorak girang! Kiranya Bi Kiok sama sekali tidak
berubah. Masih Bi Kiok yang dulu, walau pun kini lebih cantik manis, lebih
dewasa dan kelihatan dingin pendiam, namun hatinya masih seperti dulu.
Mengertilah
dia sekarang kenapa dara itu membujuknya. Kiranya dara itu melihat bahwa dia
berada di dalam cengkeraman Bu Leng Ci, dan dia tentu akan dibunuh, maka dara
itu mengemukakan persoalan bokor untuk mencegah Bu Leng Ci membunuhnya, dan
untuk memberi kesempatan padanya agar bisa membebaskan diri, maka dara itu
mengusulkan supaya dia membawa mereka ke tempat bokor disembunyikan. Jelas
semuanya!
Dalam
keadaan tertotok dan terbelenggu seperti itu, memang tak mungkin baginya untuk
melepaskan diri. Akan tetapi kalau sudah dikeluarkan dari pulau, agaknya akan
muncul kesempatan! Ingin dia, kalau bisa, bangkit merangkul dan mencium gadis
itu!
Kun Liong
tertawa makin keras dan dengan suara sengaja dibuat bernada mengejek dia
berkata, "Bi Kiok, meski pun kau cantik manis dan bujukanmu halus merayu,
meski pun gurumu bengis dan kejam, jangan kira bahwa bujukanmu dan ancaman
Siang-tok Mo-li akan dapat membujukku atau menakutkan aku!"
"Kun
Liong...!" Bi Kiok berseru, benar-benar kaget.
"Bedebah,
apa kau minta kusiksa dulu?" Bu Leng Ci sudah bangkit menghampiri.
"Ha-ha-ha!
Kiranya bokor berada di tangan bocah gundul ini, pantas saja kau bergegas
memindahkannya dari tangan para pelayan Kwi-eng Niocu!" Mendadak terdengar
suara halus dan tahu-tahu, seperti hantu saja layaknya, di sana sudah muncul
seorang kakek tinggi kurus dan kakek itu lalu terbatuk-batuk.
Melihat
kakek ini, Kun Liong terkejut sekali. Itulah kakek yang dia jumpai dalam badai
di hutan semalam! Kakek di dekat api unggun yang bernyanyi tentang kematian dan
yang kemudian hendak membunuhnya. Kakek yang aneh dan sangat lihai, yang
dianggapnya sebagai orang gila!
Kiranya
kakek itu terus mengikutinya karena agaknya tahu akan semua pengalamannya,
betapa dia ditawan pelayan-pelayan Kwi-eng Niocu, dan betapa dibawa ke pulau
ini oleh Bu Leng Ci, semua telah diketahuinya karena agaknya kakek itu memang
terus mengikuti dirinya!
Sementara
itu, ketika Bu Leng Ci menoleh dan melihat kakek di ambang pintu kamar itu,
seketika wajahnya berubah pucat.
"Toat
Beng Hoatsu...!" teriaknya dan tangannya meraba gagang samurai.
Mendengar
disebutnya nama ini, Kun Liong makin terkejut. Dia sudah mendengar nama ini,
nama datuk nomor satu dari sekalian datuk golongan sesat! Ternyata kakek yang
dianggapnya orang gila itu adalah datuk nomor satu! Karena itu dia memandang
penuh kekhawatiran sebab ia maklum bahwa sebagai datuk nomor satu, tentu kakek
itu memiliki keanehan dan kekejaman nomor satu pula!
"Bagaimana
kau bisa masuk ke sini...?" Bu Leng Ci bertanya dan matanya mengerling ke
luar pintu. Ke mana perginya para pelayannya?
"Ha-ha-ha-ha,
kau mencari ini?" Tangan kakek itu merogoh jubahnya dan melemparkan benda
hitam ke atas lantai.
Benda itu
berserakan dan Kun Liong menelan ludahnya saking ngeri dan tegang ketika
melihat bahwa benda-benda itu adalah rambut kepala manusia, agaknya rambut
wanita dan rambut itu masih melekat pada kulit kepala yang berdarah. Agaknya
rambut-rambut itu sudah dijebol berikut kulit kepalanya dari kepala tujuh orang
wanita!
"Ihhh...!"
Bi Kiok sendiri yang sudah mempunyai ketabahan luar biasa menjadi pucat dan
ngeri membayangkan betapa tujuh orang pelayan wanita itu sudah mengalami
kematian yang luar biasa mengerikan, dijebol rambutnya berikut kulit kepala
sampai terkupas dari kepalanya.
"Singggg...!"
Bu Leng Ci mencabut samurainya.
"Toat-beng
Hoatsu, mengapa kau melakukan hal ini? Apakah di antara kita sekarang ada
pertentangan dan menjadi musuh?"
"Ha-ha-ha,
sama sekali tidak, Siang-tok Mo-li. Terserah kepadamu... he-heh-heh, terserah
kepadamu mau berkawan atau berlawan dengan aku. Aku hanya menghendaki supaya
bocah gundul ini bersama bokornya diserahkan kepadaku, barulah kau pantas
kusebut kawan."
"Keparat!”
“Singgggg...!"
Samurai itu menyambar, akan tetapi dengan sangat mudahnya Toat-beng Hoatsu
mengelak.
"Hemmm,
sabar dan tenanglah, Tio Hok Gwan tadi terlalu berat dan lihai bagimu, engkau
sudah terluka parah, perlu apa melawanku?"
"Aku
masih cukup kuat untuk melawan seribu orang macam engkau!" Bu Leng Ci
kembali menyerang dengan samurainya, akan tetapi karena dia memang sudah
terluka di sebelah dalam tubuhnya, maka saat dia menggerakkan samurai dengan
pengerahan sinkang dan serangannya itu dielakkan, hampir saja dia terhuyung
roboh.
"Toat-beng
Hoatsu, akulah lawanmu!"
Tiba-tiba Bi
Kiok menerjang dengan pedangnya. "Subo, mengasolah!"
Serangan
pedang di tangan Bi Kiok ini hebat sekali, berdesing menyambar ke arah leher
kakek itu. Toat-beng Hoatsu terkejut dan maklum bahwa gadis itu ternyata lebih
lihai dari pada Bu Leng Ci yang sudah terluka parah.
"Hemmm,
siapa kau?"
"Orang
menyebutku Giok-hong-cu!" jawab Bi Kiok sambil menerjang lagi.
"Ha-ha-ha,
kiranya murid Bu Leng Ci? Gurumu saja tidak mampu menandingiku, apa lagi
engkau? Ha-ha-ha, bocah kurang ajar macam engkau harus dihajar!"
Pada saat
pedang Bi Kiok menusuk dada, gadis itu girang sekali melihat betapa gerakan
mengelak dari kakek itu kurang cepat sehingga pedangnya masih mengenai pinggir
dada. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja jubah itu terlepas dari
tubuh Toat-beng Hoatsu dan sekali kakek itu menggerakkan jubah, pedangnya yang
tadi menusuk jubah itu dipaksa terlepas dari tangannya!
Inilah
kelihaian Toat-beng Hoatsu yang memang tidak pernah mempergunakan senjata
kecuali jubahnya. Jubahnya adalah senjata yang sangat ampuh, bahkan selagi
jubahnya dipakai, dia dapat menipu Bi Kiok yang kalah pengalaman itu. Memang
pedang gadis itu tadi sengaja ‘diterimanya’ dengan jubahnya yang tertusuk,
namun sekaligus jubahnya itu dipergunakan untuk merampas pedang!
"Aihhh...!"
Bi Kiok berseru kaget.
Pada saat
itu, Bu Leng Ci sudah menyerang lagi dengan samurainya. Akan tetapi, jubah itu
cepat menyambar, menyambut samurai dan dari balik jubah, tangan Toat-beng
Hoatsu memukul.
"Dukkk!"
Bu Leng Ci
yang sudah terluka dan gerakannya menjadi lambat itu terpukul lehernya dan dia
roboh tak dapat bangkit kembali, hanya memandang kepada kakek itu dengan mata
mendelik penuh kebencian.
Melihat
gurunya roboh, Bi Kiok amat marah dan berlaku nekat, menyerang dengan tangan
kosong. Tetapi serangannya segera disambut oleh sambaran jubah yang
mendatangkan angin keras sehingga gadis itu terlempar dan terbanting ke kanan.
"Ha-ha-ha,
kau bocah nakal, mukamu terlalu cantik untuk menjadi murid seorang datuk, harus
dibikin buruk dahulu!" Dengan tangan kirinya Toat-beng Hoatsu memegang
pedang rampasan tadi dan melangkah maju hendak merusak muka Bi Mok. Gadis itu
sudah tidak berdaya, hanya mengangkat kedua tangan melindungi mukanya.
"Tahan
dulu, Toat-beng Hoatsu!" Kun Liong berteriak dari tempat dia berbaring.
"Engkau menghendaki bokor emas pusaka Panglima The Hoo, bukan?"
Pedang itu
berhenti bergerak dan Si Kakek menoleh ke arahnya.
"Kalau
kau membunuh atau melukai nona itu, biar aku kau pukul mampus, aku tidak akan
sudi memberi tahukan tentang bokor. Bokor itu kusimpan dan kau akan kuantar ke
tempat itu kalau kau membebaskan nona itu!"
Kakek itu
tertawa bergelak. "Huah-ha-ha-ha! Pemuda gundul! Kau jatuh cinta kepada
dara ini, ya?"
Muka Kun
Liong menjadi merah. "Tidak usah banyak cakap. Bebaskan dia dan kau akan
kuantar ke tempat penyimpanan bokor. Bagaimana?"
Kakek itu
menggerakkan tangan kirinya, pedang rampasan meluncur lantas menancap di atas
lantai, hanya berselisih setengah jengkal saja dari pipi Bi Kiok!
"Huh,
kau masih beruntung, bocah kurang ajar. Lain kali akan kubuntungi hidungmu dan
kedua daun telingamu, dan hendak kulihat, apa yang akan dapat dilakukan oleh
gurumu, biar pun dia dalam keadaan tidak terluka."
Kakek itu
lalu menyambar tubuh Kun Liong, dikempitnya dan dia hendak pergi dari situ.
"Toat-beng
Hoatsu, manusia pengecut!"`Bu Leng Ci berteriak marah. "Kau datang
ketika aku terluka! Coba kau datang lagi kelak kalau aku sudah sembuh!"
Kakek itu
menoleh dan tertawa. "Heh-heh-heh, boleh saja!"
"Kau
sudah mengkhianati kerja sama lima datuk!" Bu Leng Ci yang merasa marah
dan kecewa sekali melihat Kun Liong dirampas, kembali menyerang dengan
kata-kata penuh kebencian.
"Huhh!
Siapa sudi melanjutkan persekutuan busuk itu? Pek-lian-kauw membiarkan dirinya
diperalat oleh anjing-anjing asing bermata biru. Siapa yang sudi? Boleh saja
aku melawan pemerintah, akan tetapi aku tak sudi menjadi pengkhianat bangsa dan
mengekor kepada orang-orang asing!" Setelah berkata demikian, kakek itu
meloncat dan lenyap dari situ.
"Subo...!"
Bi Kiok menghampiri gurunya dan membantu gurunya bangun.
"Hemm...
sayang aku terluka dan harus menyembuhkan lukaku lebih dulu, Si Keparat Tio Hok
Gwan yang menjadi gara-gara! Kalau aku tidak luka, andai kata tikus tua itu
berhasil miarikan Kun Liong, aku masih dapat membayanginya."
"Teecu
rasa tempat itu tentulah di sekitar daerah Sungai Huang-ho. Teecu akan mencoba
untuk menyelidiki dan membayanginya."
"Hemnm,
kau bukan lawannya. Biar kita pergi bersama dan sambil melakukan perjalanan aku
mengobati lukaku. Perjalanan ke Sungai Huang-ho sangat jauh dan memakan waktu
lama, masih banyak waktu bagiku untuk menyembuhkan diri dan turun tangan kalau
tikus tua itu benar-benar dapat menemukan tempat persembunyian bokor itu."
Dengan
dibimbing oleh muridnya, Siang-tok Mo-li meninggalkan pulau itu dan mereka lalu
menggunakan perahu untuk mendarat. Tentu saja kakek itu sudah tidak nampak lagi
dan sebelum meninggalkan Telaga Kwi-ouw, Bu Leng Ci singgah dahulu di pulau
besar dan menyuruh murid-murid kepala Kwi-eng-pang untuk mengurus mayat-mayat
ketujuh orang pelayannya yang semua tewas dengan kepala terkupas bersih, juga
minta agar mereka menyampaikan kepada Ketua Kwi-eng-pang kalau Kwi-eng Niocu
pulang bahwa tawanan itu telah dirampas dan dibawa pergi oleh Toat-beng Hoatsu.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment