Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 14
KUN LIONG
segera membungkuk dengan hormat. "Terima kasih banyak atas perhatian dan
pembelaan Supek terhadap teecu. Akan tetapi, Supek. Tugas ini sudah teecu
sanggupi, mana teecu berani membawa-bawa Supek apa lagi melibatkan diri Supek?
Supek adalah seorang ketua yang terhormat dan terkenal, kalau sampai
pusaka-pusaka Siauw-lim-pai didapatkan kembali dengan mengandalkan tenaga
bantuan Supek, bukankah hal itu akan membuat Siauw-lim-pai menjadi tertawaan
orang? Tentu Siauw-lim-pai dianggap lemah dan hanya berani minta bantuan
seorang sakti seperti Supek. Berbeda lagi dengan teecu. Teecu sama sekali tidak
terkenal, dan teecu juga murid dari Sukong, apa lagi ayah teecu pun murid
Siauw-lim-pai. Sudah sepatutnya jika teecu mewakili Siauw-lim-pai menghadapi
para pencuri."
Keng Hong
memandang dengan mata bersinar dan wajah berseri-seri. Dia kagum kepada pemuda
gundul itu. Biar pun belum dia saksikan, namun agaknya kepandaian Kun Liong
tentu tinggi. Wajahnya tampan meski pun kepalanya gundul, dan pandangannya jauh
dan luas, wataknya pemberani, cerdik dan jujur sehingga terhadap dia berani
pula berbicara terang-terangan seperti itu tanpa takut menyinggung perasaan.
Soal
kepandaian, dapat dia selidiki kelak, biar pun agaknya tak mungkin kalau murid
Bun Hwat Tosu dan Tiong Pek Hosiang tidak lihai. Hanya ada dua hal yang masih
meragukan hati pendekar sakti ini apakah pemuda ini memang patut menjadi jodoh
puterinya, yaitu pertama sikap lunak Kun Liong yang tidak hanya dinyatakan
dengan mulut bahwa dia tidak suka melukai orang, juga dinyatakan dalam
peristiwa keributan di Siauw-lim-si.
Kun Liong
berhasil menolong Giok Keng dari dalam sumur, tapi mengapa dia tidak dapat
menangkap seorang pun dari para perampok itu? Hal ke dua adalah cara pengobatan
yang dilakukan Kun Liong terhadap Giok Keng. Biar pun meniupkan hawa dari mulut
ke mulut merupakan pertolongan darurat, akan tetapi kenapa berani lancang
melakukannya dan tidak memberi tahu kepada dia atau isterinya lebih dulu?
"Pandanganmu
memang tepat, Kun Liong. Aku hanya bertindak karena kekhawatiranku terhadap
tugasmu yang berat. Akan tetapi sedikitnya aku harus melihat dulu sampai di
mana tingkat kepandaianmu, apakah kiranya sudah cukup kuat untuk dapat
menghadapi datuk-datuk kaum sesat seperti mereka? Jika diperlukan, aku dapat
melatihmu beberapa macam ilmu sebagai bekal."
"Terima
kasih atas kebaikan Supek. Tapi teecu bukan bermaksud untuk menghadapi para
datuk itu dalam pertandingan atau permusuhan. Teecu hanya akan minta kembali
pusaka dan mereka tentu akan melihat muka para pimpinan Siauw-lim-pai untuk
mengembalikan pusaka-pusaka dengan baik. Ada pun Ouwyang Bouw akan teccu tanya,
apa yang dicari di Siauw-lim-si."
Berkerut
kedua alis pendekar sakti itu. Kembali pemuda yang mengagumkan hatinya itu
mengemukakan pendapat yang mengecewakan, yang dianggapnya sebagai pencerminan
watak penakut.
"Hemmm,
Kun Liong. Engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat, terutama sekali lima
tahun di Ruang Kesadaran bersama mendiang sukong-mu, sesungguhnya hendak kau
pergunakan untuk apakah ilmu-ilmu itu?"
"Tentu
saja untuk... untuk kesehatan, dan untuk menjaga diri, Supek."
"Menjaga
diri dari apa?"
"Dari
kesukaran-kesukaran yang menimpa tubuh teecu ini. Dari serangan binatang buas,
manusia-manusia yang suka menggunakan ilmu untuk menindas dan lain-lain."
"Dan
kau tidak akan memukul orang, biar pun orang itu jahat terhadapmu?"
"Kalau
bisa... sedapat mungkin teecu tak akan menggunakan ilmu silat untuk menyerang
orang lain, hanya untuk mempertahankan diri."
"Bukan
karena kau takut?"
"Tidak,
Supek."
"Nah,
kalau begitu aku hendak menyerangmu. Hendak kulihat sampai di mana engkau dapat
mempertahankan dirimu!"
Bukan main
kagetnya Kun Liong mendengar ini. "Tapi... Supek..."
"Awas!"
Keng Hong sudah berseru nyaring dan menyerang dengan tamparan ke arah kepala
yang gundul ini.
Kun Liong
merasa betapa ada angin dahsyat menyambar. Meski tangan itu masih jauh, sudah
terasa angin pukulannya, membuat kulit kepala yang kena sambar terasa dingin.
Cepat dia secara otomatis menundukkan kepalanya dan menyelinap ke kiri. Keng
Hong telah melanjutkan serangannya dengan pukulan-pukulan dahsyat dan datang
bertubi-tubi yang setiap pukulan mengeluarkan angin dahsyat.
Bukan main
kagum dan kagetnya hati Kun Liong. Belum pernah selamanya dia melihat gerakan
serangan yang demikian dahsyatnya. Namun dia tidak diberi kesempatan untuk
berpikir karena serangan itu terus datang bertubi-tubi.
Kun Liong
mengerahkan ginkang-nya dan mengelak ke sana ke mari dengan kecepatan laksana
seekor burung walet. Tubuhnya mencelat ke sana sini untuk menghindarkan diri.
Akan tetapi ternyata kecepatan gerakannya mampu diimbangi oleh Keng Hong
sehingga akhirnya, mau tidak mau Kun Liong dipaksa untuk menangkis, karena apa
bila dia hanya mengandalkan kecepatan mengelak saja tidak cukup dan tentu dia
akan kena dipukul.
"Duk!
Plak! Dukkk!"
Tiga kali
berturut-turut Kun Liong menangkis. Karena dia maklum bahwa pukulan-pukulan
yang membawa angin dahsyat itu tentu mengandung sinkang yang amat kuat, maka
dia pun mengerahkan sinkang-nya dan menggunakan ilmu Pek-in-ciang (Tangan Awan
Putih) yang dipelajarinya dari Tiong Pek Hosiang. Ketika kedua tangan bertemu,
dari tangan Kun Liong mengepul uap putih dan benturan tangan itu hanya membuat
Kun Liong tergoyang-goyang tubuhnya, akan tetapi Keng Hong juga merasa betapa
tangannya tergetar.
"Bagus!"
Dia memuji dengan kagum dan kini ilmu silatnya berubah.
Tadi
pendekar sakti itu telah mainkan San-in Kun-hoat yang ampuh. Akan tetapi karena
ilmu silat ini hanya terdiri dari delapan jurus, biar pun merupakan ilmu silat
tinggi namun masih kurang dapat untuk dipakai mendesak agar pemuda itu balas
menyerang!
Inilah yang
dikehendaki oleh Keng Hong. Dia masih tidak percaya apakah Kun Liong akan mampu
mempertahankan pendiriannya, tidak akan menyerang orang! Maka dia berusaha
memaksa pemuda itu untuk mengeluarkan semua kepandaian, selain bertahan juga
balas menyerang. Dan ternyata San-in Kun-hoat tidak berhasil memaksa pemuda itu
membalas.
"Aihhhh...!"
Kun Liong terkesiap ketika melihat perubahan gerakan supek-nya.
Ilmu silat
yang dimainkan supek-nya ini aneh sekali. Gerakannya sederhana, akan tetapi
daya serangnya ampuh dan dahsyat sekali. Kadang-kadang gerakan supek-nya lambat
saja, akan tetapi angin pukulan yang datang lebih dahsyat dari pada tadi.
Itulah Thai-kek Sin-kun!
Namun Keng
Hong betul-betul dibuat kaget. Pemuda itu masih mampu mempertahankan diri dan
dia bisa mengenal dasar-dasar Pat-hong Sin-kun dari Bun Hwat Tosu, kemudian
Im-yang Sin-kun yang hanya dia kenal dasarnya saja karena kedua ilmu itu
agaknya telah diubah dan diperbaiki oleh kedua orang kakek sakti itu sehingga
menjadi ilmu yang amat hebat.
Hawa yang
kuat sekali berputaran di sekitar diri Kun Liong ketika pemuda itu memainkan
ilmu-ilmu itu dengan kedua tangan yang selalu diisi dengan sinkang
Pek-in-ciang. Selama seratus jurus Keng Hong menyerang, dan uap putih yang tadi
hanya mengepul dari kedua tangan Kun Liong, kini mengepul dari tubuh dan
kepalanya yang gundul, mendatangkan kekuatan yang makin dahsyat. Hebatnya,
sampai seratus jurus lebih, belum pernah satu kali pun Kun Liong membalas!
Keng Hong
maklum bahwa apa bila dia menggunakan gerakan maut, tentu pemuda itu terpaksa
akan membalas untuk mempertahankan diri, akan tetapi percobaan ini terlau
berbahaya bagi pemuda itu. Maka dia pun menggunakan akal terakhir, yaitu Ilmu
Thi-khi I-beng! Sebagai seorang ahli yang memiliki kesaktian, tentu saja tidak
ada bahayanya lagi bagi pendekar ini menggunakan Thi-khi I-beng.
Dahulu,
sebelum dia menjadi ahli, ilmu ini sangat mengerikan. Siapa saja yang terkena
betotan ilmu Thi-khi I-beng, maka sinkang-nya akan tersedot dan Keng Hong
sendiri tidak mampu menghentikannya sampai tenaga lawan tersedot habis dan
tewas! Kini tentu saja dia dapat menggunakan sesuka hatinya dan mengaturnya
sehingga sewaktu-waktu dapat menghentikan daya sedot ilmu itu.
"Awassss...!"
Serunya lagi sambil memukul dengan kecepatan yang tidak memungkinkan Kun Liong
mengelak, kecuali menangkis.
"Plakkk!
Hyaaaat!"
Kun Liong
mengeluarkan teriakan melengking keras pada saat merasa betapa lengannya
menempel pada lengan lawan dan tenaga sinkang-nya molos keluar. Sambil
melengking itu dia menggunakan sinkang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu
dahulu, yaitu yang memiliki tenaga membetot dan yang oleh kakek sakti itu
sengaja diciptakan khusus untuk menghadapi Thi-khi I-beng yang kabarnya tidak
ada lawannya di dunia ini.
"Eiiihhhh...!"
Kini Keng Hong yang berteriak saking kaget dan herannya.
Pemuda itu
mampu membebaskan lengannya dari sedotan Thi-khi I-beng! Bukan main! Sukar
untuk dapat dipercaya! Saking kaget dan herannya, dia menghentikan serangannya
dan meloncat mundur.
Kun Liong
merasa sangat lega. Napasnya sudah senin kemis, dan dia harus mengakui bahwa
kalau saja yang menyerangnya seperti itu bukan supek-nya, sudah sejak tadi dia
terpaksa balas menyerang untuk menyelamatkan diri. Dia cepat menjatuhkan diri
berlutut di hadapan supek-nya dan berkata, "Terima kasih atas kemurahan Supek
dan maafkan teecu."
Dengan sinar
mata penuh selidik Keng Hong bertanya, "Siapa yang sudah mengajarkan
kepadamu cara membetot seperti tadi? Apakah mendiang Tiong Pek Hosiang?"
Kun Liong
menggeleng kepala. "Bun Hwat Totiang-locianpwe yang mengajar teecu."
Keng Hong
mengangguk-angguk dan hatinya lega. Kakek sakti bekas Ketua Hoa-san-pai itu
memang seorang yang berilmu tinggi sekali, dan agaknya kakek itu dalam usia
tuanya masih merasa penasaran akan keampuhan Thi-khi I-beng yang tidak ada
lawannya maka diam-diam telah menciptakan sinkang untuk menghadapi Thi-khi
I-beng dan menurunkan ilmu mukjijat itu kepada Kun Liong! Untung kepada Kun
Liong!
"Pernahkah
dia menyebut tentang Ilmu Thi-khi I-beng kepadamu?"
Kun Liong
tak berani membohong. "Pernah, Supek, dan memang sinkang tadi diciptakan
oleh beliau untuk menghadapi Thi-khi I-beng."
Keng Hong
tertawa. "Orang tua itu benar-benar tak mau mengalah! Kun Liong, ilmu yang
kau miliki itu memang hebat, akan tetapi tenagamu masih belum cukup untuk
melawan aku jika aku benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dalam ilmu Thi-khi
I-beng. Akan tetapi engkau telah berhasil memiliki dasar ilmu itu, berarti
engkau memang berbakat baik sekali dan sekarang aku telah mengerti siapa yang
dapat kuberi ilmu Thi-khi I-beng, yaitu engkau sendiri!"
Kun Liong
terkejut. Dia mendengar bahwa ilmu Thi-khi I-beng adalah ilmu mukjijat yang
hanya dikuasai oleh supek-nya ini dan tiada taranya di seluruh dunia
persilatan. Dan kini supek-nya hendak menurunkannya kepadanya!
"Terima
kasih atas kepercayaan dan kebaikan Supek. Akan tetapi... bukankah ilmu ini
semestinya supek berikan kepada Adik Giok Keng?"
Kembali Keng
Hong kagum di dalam hatinya. Ucapan itu saja sudah membuktikan bahwa pemuda
gundul itu benar-benar berani dan jujur. Berani karena ucapan itu dapat
diartikan menolak! Dan jujur karena penolakan itu berdasarkan perasaaan tidak
adil terhadap Giok Keng.
"Tidak,
dia masih kurang berbakat dan tidak akan kuat menerimanya. Ilmu Thi-khi I-beng
bukan sembarang ilmu. Akan membahayakan dunia dan membahayakan orang itu
sendiri kalau pemiliknya tidak memiliki dasar yang amat kuat, dan tidak
memiliki watak pendekar sejati!"
Kun Liong
merasa makin jeri. "Supek... bukan teecu menolak, hanya teecu... teecu
takut kalau-kalau teecu bukan pendekar sejati seperti yang Supek maksudkan
itu... dan teecu tidak berani kelak menyia-nyiakan ilmu itu. Harap Supek
pertimbangkan baik-baik."
Keng Hong
tertawa. Bocah ini memiliki bakat dan watak yang baik sekali, sayang sekali
kurang kepercayaan terhadap diri sendiri. Sikap ini memang baik, membuat orang
tidak menyombongkan diri dan selalu rendah hati, akan tetapi juga menjadikannya
seorang yang kurang tegas dan berani. Betapa pun juga, dia tidak mempunyai
pandangan orang lain dan agaknya memang tepat kalau dia menurunkan ilmunya
kepada putera sumoi-nya dan sahabat baiknya ini.
"Bersiaplah
engkau menerima ilmu Thi-khi I-beng. Engkaulah pewaris satu-satunya sebab ilmu
ini tidak boleh dimiliki orang lain kecuali engkau seorang dan kelak pun jika
engkau menurunkan ilmu ini tidak boleh kepada lebih dari satu orang saja."
Kun Liong bertutut
dan tidak membantah ketika disuruh duduk bersila di hadapannya. Di dalam hutan
yang sunyi itu, Keng Hong memberikan ilmu yang mukjijat itu kepada Kun Liong.
Di samping cara untuk mengendalikan hawa mukjijat di dalam tubuh ini, Keng Hong
harus mengoperkan sebagian dari hawa mukjijat itu ke dalam tubuh Kun Liong,
seperti yang dahulu dilakukan oleh gurunya kepadanya.
Dia menyuruh
pemuda itu ‘membuka’ tubuhnya, yaitu siap menerima dan sedikit pun tidak boleh
melawan, kemudian dia meletakkan kedua tangan di atas ubun-ubun kepala yang
gundul dan mengerahkan sinkang yang bagaikan air bah membanjir memasuki tubuh
Kun Liong.
Pemuda
gundul ini sampai roboh pingsan ketika pertama kali Keng Hong mengoperkan
sinkang-nya. Kemudian sedikit demi sedikit dia dilatih mengemudikan hawa
mukjijat yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya sampai dia dapat menguasainya
dan mengurung hawa ini ke dalam pusarnya dan dapat membangkitkannya
sewaktu-waktu. Juga dia dilatih cara bersemedhi untuk mengumpulkan hawa murni
yang menjadi penambah kekuatan tenaga mukjijat Thi-khi-i-beng di tubuhnya.
Sampai dua
pekan lamanya dia berlatih di dalam hutan itu, sedangkan Keng Hong juga
bersemedhi terus menerus untuk mengisi kembali tenaga mukjijat yang sebagian
telah dia ‘operkan’ kepada Kun Liong.
Dua pekan
kemudian, dua orang itu melanjutkan perjalanannya. Kun Liong masih agak pening
oleh pengaruh kekuatan mukjijat yang dimilikinya, mukanya agak kemerahan, ada
pun Keng Hong kelihatan agak pucat.
"Supek,
mengapa kita pergi ke kota Ceng-to? Ada apakah di sana?" di tengah
perjalanan Kun Liong bertanya.
"Kota
Ceng-to berada di tepi Laut Timur, dan tempat itu kabarnya adalah menjadi
tempat tinggal salah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang menguasai
bagian timur, yaitu Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu. Mengingat betapa Siauw-lim-si
sudah diganggu dua kali, pertama oleh orang Kwi-eng-pang dan kedua kalinya oleh
putera Ban-tok Coa-ong, sangat boleh jadi kalau Lima Datuk kaum sesat yang
tersohor itu sekarang mengadakan persekutuan. Hek-bin Thian-sin seorang di
antara mereka, maka kiranya dia akan dapat memberi keterangan, karena tempatnya
yang terdekat dari sini. Kedua kalinya, di Ceng-to terdapat banyak tokoh
persilatan baik golongan putih mau pun hitam, dan menjadi cabang besar dari
Pek-lian-kauw, maka tepatlah kalau kita menyelidiki orang tuamu di sana. Di
antara mereka agaknya tentu ada yang mendengar tentang ayah bundamu."
Mendengar
ucapan ini, giranglah hati Kun Liong dan dia semakin kagum dan suka kepada
supek-nya. Tahulah dia bahwa supek-nya adalah seorang yang budiman, gagah
perkasa dan mulia. Pantas kalau ayah dan ibunya menjunjung tinggi supek-nya
ini!
Di dalam
perjalanan, berkali-kali Keng Hong mengajak Kun Liong berlatih dan dia gembira
sekali pada saat mendapat kenyataan bahwa pemuda itu telah berhasil menguasai
Thi-khi I-beng, sungguh pun tenaga menyedot itu belum sekuat dia. Melihat bakat
pemuda itu, banyak harapan kelak pemuda ini akan lebih kuat dari pada dia
sendiri! Apa lagi pemuda itu telah memiliki ilmu-ilmu tinggi dan pilihan dari
dua orang kakek sakti.
"Kun
Liong, apakah dulu ayah bundamu pernah bicara denganmu tentang
perjodohan?"
"Perjodohan
siapa, Supek?"
"Perjodohanmu,
siapa lagi?"
"Ahh,
belum pernah, Supek." Muka Kun Liong menjadi merah sampai ke kulit
kepalanya.
"Jadi
jelas bahwa engkau belum ditunangkan?"
"Belum."
"Dan
engkau sendiri, apakah sudah mempunyai pilihan seorang dara untuk kelak menjadi
jodohmu?"
Diberondong
oleh pertanyaan-pertanyaan yang terus terang ini, Kun Liong menjadi gugup dan
malu sekali. "Be... belum, Supek. Teecu sama sekali tidak memikirkan
tentang jodoh."
"Hemmm,
usiamu sudah dua puluh tahun, sudah waktunya memikirkan soal jodoh," kata
Keng Hong, namun pendekar ini tidak melanjutkan percakapan tentang jodoh itu
sehingga membikin lega hati Kun Liong.
Diam-diam
pemuda yang cerdik ini menduga-duga. Kenapa supek-nya berbicara tentang jodoh?
Dan menurut Giok Keng, dara itu pun belum ada jodohnya meski orang tuanya
selalu mendesak dan membujuknya. Ahh, agaknya ada udang di balik batu, pikirnya,
ada maksud di balik pertanyaan-pertanyaan supek-nya itu.
Dia
membayangkan wajah Giok Keng. Cantik jelita, manis dan menggairahkan. Teringat
dia akan mulut yang berkali-kali bertemu dengan mulutnya pada waktu dia
menolong Giok Keng. Betapa bibir yang lunak dan halus itu bertemu dengan
bibirnya. Baru sekarang dia dapat membayangkan kenikmatan yang luar biasa
mengingat pengalamannya dahulu itu, padahal ketika dia melakukan hal itu, sama
sekali dia tidak ingat apa-apa!
Kini
terbayanglah semuanya itu. Bahkan teringat akan hal-hal yang sekecil-kecilnya.
Akan lidah kecil meruncing, ingat betapa giginya beradu dengan gigi Giok Keng
dalam usahanya yang tergesa-gesa dan gugup saat itu. Jantungnya berdebar,
tubuhnya seperti kemasukan getaran panas. Nafsu birahinya terusik oleh kenangan
dan bayangan ini.
"Hemmm..."
"Ada
apa, Liong-ji?" Keng Hong menoleh.
Kun Liong
kaget sekali. Tak disadarinya, mulutnya mengeluarkan suara menggeram tadi!
"Ohh... ahh, tidak apa-apa, Supek."
Sungguh
tolol kau, dia memaki diri sendiri. Pikiranmu busuk, kotor! Akan tetapi
kotorkah mengenangkan seorang dara jelita bagi seorang pemuda? Mengenangkan
seorang dara memang tidak kotor, bantahnya sendiri, akan tetapi kalau sudah
berlarut-larut memikirkan hal yang bukan-bukan, bisa berbahaya!
Beberapa
hari kemudian, tibalah mereka di jalan besar yang menuju ke kota Ceng-to di
tepi laut timur. Dari jauh sudah tampak perahu-perahu di tepi pantai, bukan
hanya perahu nelayan, akan tetapi juga perahu-perahu besar yang nampak aneh dan
asing. Kun Liong terpesona melihat laut. Belum pernah dia pergi ke pantai laut.
Melihat dari tempat yang agak tinggi ke arah lautan bebas yang tiada bertepi
itu, melihat gelombang ombak yang bergerak-gerak tiada hentinya, dia menahan
napas saking kagumnya.
Akan tetapi
setelah mereka tiba di pintu gerbang, Kun Liong merasa penasaran dan tidak
senang. Pintu gerbang itu dijaga oleh prajurit-prajurit yang bersenjata tombak.
Baru kini dia melihat keadaan seperti ini. Dan setiap orang yang akan memasuki
kota itu diperiksa, ditanyai dan dicatatkan namanya di atas sehelai kertas!
Ketika Keng
Hong dan Kun Liong tiba di pintu gerbang, di sana sedang ada rombongan penari
silat yang diperiksa, dan terjadi perselisihan kecil.
"Kami
sudah merantau dan mengadakan pertunjukan silat hampir di seluruh daerah, akan
tetapi baru sekarang ini kami diperiksa dan dicurigai!" Pemimpin rombongan
itu, seorang kakek berusia lima puluh tahun memprotes.
"Tak
perlu banyak cerewet! Di sini berkeliaran banyak mata-mata pemberontak dan
orang jahat. Bila engkau tidak mau diperiksa, apakah kalian ini termasuk orang
jahat atau kaum pemberontak?" bentak kepala penjaga.
Sungguh pun
sambil mengomel, rombongan penari silat yang terdiri dari tujuh orang itu
diperiksa, dicatat nama-nama mereka, bahkan alat-alat permainan mereka
diperiksa dan digeledah. Yang membuat Kun Liong penasaran adalah pada saat dia
melihat dua orang asing yang aneh pakaiannya, aneh pula keadaannya karena
matanya biru, kulitnya pucat seperti mayat, rambutnya dipotong sampai di pundak
dan ada yang rambutnya berwarna kuning, memasuki pintu gerbang tanpa diperiksa
sama sekali!
Keng Hong
juga melihat hal ini, akan tetapi dia diam saja. Hanya diam-diam dia lantas
memperhatikan dua orang itu dan mendapat kenyataan bahwa dua orang itu sebangsa
dengan orang asing lihai yang ditemuinya di Leng-kok, di rumah Ma-taijin, hanya
mereka ini lebih muda. Benarlah dongeng orang bahwa kini banyak terdapat bangsa
asing yang aneh itu, terutama di sepanjang pantai selatan dan timur. Tentu
mereka datang dengan perahu-perahu besar itu.
Karena
mereka memasuki kota berbareng dengan rombongan penari silat, agaknya para
penjaga mengira bahwa mereka berdua juga anggota rombongan itu, maka setelah
pihak penjaga dan pemimpin rombongan selesai berdebat, Keng Hong dan Kun Liong
diijinkan masuk tanpa banyak pemeriksaan lagi. Juga karena sikap dan pakaian
Keng Hong tidak mencolok, seperti orang biasa saja, sedangkan Kun Liong yang
menarik perhatian karena kepala gundulnya itu mudah saja lolos, oleh karena dia
dianggap seorang badut di antara rombongan penari silat itu!
Ternyata di
dalam kota pelabuhan Ceng-to itu terdapat banyak orang asing bermata biru! Di
sana-sini terdapat rombongan mereka tertawa-tawa dan berbicara dalam bahasa
yang bagi pendengaran Kun Liong aneh luar biasa. Agaknya seperti itulah
bicaranya iblis-iblis dan para setan!
Mendesis-desis
serta mengeluarkan suara tajam-tajam menusuk telinga, kadang-kadang nadanya
naik turun seperti orang bernyanyi! Dia merasa geli dan ingin tertawa mendengar
mereka itu bercakap-cakap riuh rendah sambil berjalan di tengah jalan, bersikap
seakan jalan itu adalah jalan mereka sendiri dan semua orang yang berjalan di
kanan kiri jalan itu mereka anggap seperti patung saja! Hemm, mereka ini
orang-orang yang tinggi hati, yang memandang rendah pada orang lain dan merasa
diri pandai sendiri, demikian Kun Liong mengambil kesimpulan setelah melihat
sikap dan gerak-gerik mereka.
Akan tetapi
harus dia akui bahwa orang-orang itu rata-rata mempunyai bentuk tubuh yang
baik, tinggi besar dan kelihatannya kuat. Usia mereka rata-rata antara tiga
puluh tahun. Yang aneh adalah potongan rambut mereka. Semuanya dipotong
sepanjang pundak dan rambut itu berombak, dibelah bagian tengah-tengah.
Selain
rambut mereka yang potongannya lucu dan warnanya bermacam-macam itu, ada
kuning, coklat, putih, serta ada yang kehitaman, juga warna mata mereka membuat
bulu tengkuk meremang. Hanya iblis-iblis saja yang matanya tidak hitam, tapi
berwarna-warni seperti itu.
Kun Liong
tidak dapat menghitung berapa banyaknya orang-orang asing ini, kesemuanya pria.
Tetapi yang dijumpainya di jalan tentu tidak kurang dari lima belas orang
banyaknya. Keng Hong mengajak pemuda itu memasuki sebuah warung nasi, kemudian
memesan makanan dan minuman.
Warung atau
restoran kecil ini cukup ramai dan yang menarik perhatian Kun Liong adalah tiga
orang laki-laki asing yang tengah ramai bercakap-cakap dalam bahasa mereka
sambil minum arak. Muka ketiga orang ini sudah merah sekali, tanda bahwa mereka
sudah agak mabok.
Kun Liong
tertegun melihat dari dekat, kini jelas tampak betapa orang-orang ini memang
aneh. Tubuh mereka yang berkulit putih itu tertutup bulu-bulu halus yang
berwarna putih kekuningan, tidak kentara dari jauh, dan kulit yang putih itu
dihias totol-totol merah. Harus diakui bahwa wajah mereka seperti wajah
orang-orang ramah, hampir selalu tersenyum dan tertawa, mata mereka yang
berwarna aneh itu selalu berseri. Akan tetapi tetap saja di balik sinar mata
ini tampak kesombongan dan pandangan yang merendahkan orang lain, terutama
terhadap penduduk pribumi.
Mendadak
seorang di antara tiga orang asing itu, yang kepalanya agak botak, bangkit
berdiri dan berteriak memanggil dengan bahasa asing ke bagian dalam, di mana
tampak seorang wanita muda, agaknya keluarga dari pemilik restoran itu. Melihat
dirinya dituding dan dipanggil, tentu saja wanita itu menjadi ketakutan dan
berlari masuk, melepaskan baki yang dibawanya sehingga terdengar suara nyaring
ketika dua buah mangkuk kosong pecah-pecah.
Pemilik
restoran segera berlari datang menghampiri lelaki asing yang sekarang
berteriak-teriak dan memukuli meja, kelihatannya marah itu. Pemilik restoran
menjura dan berkata, "Harap Tuan tidak marah, apakah yang Tuan kehendaki
dan pesan?"
Akan tetapi
lelaki asing itu, kini dibantu oleh dua orang kawannya, berteriak-teriak dalam
bahasa asing sambil menuding-nuding ke dalam dan mengepal tinju, dan ada
terdengar terselip dalam rangkaian bahasa asingnya itu kata-kata ‘perempuan’.
Tentu saja
pemilik restoran tidak mengerti, dan seorang tamu yang duduknya di belakang Kun
Liong, di meja yang berdekatan, berkata kepada pemilik restoran itu, "Dia
minta agar dilayani wanita yang kelihatan tadi."
Mendengar
ini, pemilik restoran menjadi merah mukanya. Dengan bahasa gerak tangan dia
menggoyang-goyangkan tangannya di depan hidung laki-laki asing itu sambil
berkata, "Tidak bisa! Tuan jangan kurang ajar! Dia itu bukan pelayan akan
tetapi anakku dan dia tidak boleh diganggu!"
"Desss…!"
Kepalan
tangan laki-laki itu menghantam, tepat mengenai dada pemilik restoran sehingga
pemilik restoran itu terjengkang dan roboh menimpa meja kursi kosong!
Keadaan
menjadi kalut. Kun Liong bangkit berdiri, akan tetapi tangannya dipegang Keng
Hong yang segera memberi isyarat agar pemuda itu duduk kembali. Kun Liong
merasa penasaran sekali, akan tetapi pada saat itu dia melihat tiga orang asing
itu sudah bangkit dari tempat duduknya masing-masing, berdiri dengan muka
ketakutan sambil ditundukkan menghadap seorang asing lain yang telah berada di
pintu restoran.
Orang yang
baru datang ini juga seorang asing, akan tetapi Kun Liong memandangnya kagum.
Orang itu masih muda, belum ada tiga puluh tahun. Tubuhnya tegap jangkung,
pinggangnya kecil tidak seperti yang lain yang rata-rata berperut besar,
rambutnya kuning emas terpelihara bersih dan disisir rapi, dibelah tengah dan
panjangnya sampai ke bawah telinga sedangkan yang belakang agak panjang diikat
dengan pita!
Wajah pemuda
asing ini tampan dan gagah, pandang matanya yang biru itu tenang dan tidak
memandang rendah orang lain meski pun di balik itu tersembunyi keangkuhan yang
membayangkan tinggi hati! Pakaiannya aneh dan indah, jubahnya yang lebar
berwarna kuning, kemejanya putih dan celananya abu-abu. Sepatunya yang aneh
bentuknya dan tinggi sampai ke lutut itu terbuat dari kulit yang mengkilap,
pada pinggangnya tergantung sarung sebatang pedang yang kecil panjang.
Dengan suara
lantang orang muda asing itu berkata-kata kepada ketiga orang tadi yang
menjawab hanya dengan kata-kata pendek dan mengangguk-angguk. Setelah pemuda
itu mengangkat telunjuk kanannya ke atas dengan gaya memperingatkan, dia lalu
memutar tubuh dan pergi dari situ.
Tiga orang
laki-laki tadi lalu duduk kembali, dan orang yang memukul pemilik restoran
menghampiri orang yang dipukulnya, menjabat tangannya sambil
digoncang-goncangkan dengan gaya minta maaf.
"Twako,
dia minta maaf atas kekasarannya tadi," kata pula orang di belakang Kun
Liong yang agaknya mengerti bahasa mereka.
Si Pemilik
Restoran tersenyum kemudian mengangguk-angguk. Dia menganggap bahwa peristiwa
itu timbul karena salah pengertian akibat perbedaan bahasa mereka.
Keng Hong
berkata kepada laki-laki muda yang duduk di belakang Kun Liong, "Agaknya
Hiante mengerti bahasa mereka."
Orang itu
mengangguk dan tersenyum. "Mereka itu bangsa Portugis. Kerena sudah lama
kota ini kedatangan orang-orang bangsa itu, dan pernah ada yang bersahabat
dengan saya, maka sedikit-sedikit saya mempelajari dan mengerti bahasa mereka.
Mereka adalah pelaut-pelaut yang biasanya bersikap kasar, terlebih lagi kalau
melihat wanita. Maklumlah, selama berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun mereka
berada di atas kapal mengarung samudera, haus akan wanita."
"Mengertikah
Hiante apa yang diucapkan oleh orang asing muda tadi, dan siapakah dia?"
"Dia
adalah Tuan Muda Yuan, putera pemilik kapal Kuda Terbang. Sering kali dia
datang bersama kapalnya, dan dia ditakuti oleh semua orang asing itu. Agaknya
dia mempunyai pengaruh besar di antara mereka. Dia tadi memarahi mereka dan
memperingatkan bahwa untuk kebutuhan mereka akan perempuan telah disediakan
tempat khusus maka mereka dilarang keras mengganggu wanita baik-baik."
Keng Hong
mengangguk-angguk, namun hatinya merasa tidak enak sekali. Mau apakah
orang-orang asing ini berkeliaran di sini? Karena penasaran dia bertanya lagi,
"Tahukah Saudara, mereka itu berada di Ceng-to mau apa?"
"Biasanya
mereka adalah pedagang-pedagang, membawa barang-barang aneh dari dunia mereka
dan di sini mereka membeli rempah-rempah, obat-obatan dan juga barang-barang
buatan pribumi. Mereka, tentu saja para pemimpin mereka, mempunyai hubungan
baik dengan pembesar-pembesar di sini."
Keng Hong
tak bertanya-tanya lagi. Sehabis makan dia dan Kun Liong keluar dari rumah
makan, dan menyewa sebuah kamar di hotel sederhana.
"Biarlah
malam nanti saja kita melakukan penyelidikan. Aku sendiri mungkin akan dikenal
orang apa bila aku keluar siang ini. Lebih baik engkau saja yang siang ini
berjalan-jalan, memasang mata dan telinga. Engkau tentu tidak akan ada yang
mengenal dan tidak akan menimbulkan curiga."
Kun Liong
mengangguk, kemudian dia keluar seorang diri meninggalkan supek-nya yang tetap
tinggal di dalam kamar. Keng Hong lalu bersemedhi di dalam kamar hotel itu
untuk memulihkan tenaganya, sebab tenaganya belum pulih seluruhnya sejak dia
mengoperkan sebagian sinkang-nya untuk melatih Thi-khi I-beng kepada Kun
Liong,.
Kun Liong
yang tertarik sekali melihat laut, begitu mendapat kesempatan ini, tentu saja
langsung dia berjalan-jalan ke tepi laut! Ketika dia tiba pada bagian pantai yang
sunyi, agaknya pantai ini adalah tempat para nelayan meminggirkan perahu dan
menjemur jala, ikan dan sebagainya, dia melihat seorang laki-laki tua tengah
menambal jaring yang bocor seorang diri.
Ia
mendekati, dan orang itu pun mengangkat mukanya, lantas melanjutkan
pekerjaannya. Agaknya orang ini telah biasa ditonton orang, karena kota
pelabuhan itu memang banyak kedatangan tamu, baik pribumi dari luar kota mau
pun orang asing.
"Lopek,
ramaikah penangkapan ikan musim ini?"
Kakek itu
mengangkat muka, agaknya tercengang, lalu menjawab, "Yaah, lumayan saja.
Penghasilan ikan berkurang, akan tetapi harga ikan naik, berarti sama saja.
Semua ini gara-gara kapal-kapal asing yang datang itu!" Kakek itu kedua
tangannya memegang jala, karena itu dia menunjuk ke arah kapal-kapal asing
dengan hidungnya pada saat mukanya digerakkan ke arah laut.
"Mengapa
gara-gara mereka?"
"Kapal-kapal
besar itu mengacaukan lautan dan menakutkan ikan-ikan. Agaknya dewa penjaga
lautan juga ketakutan melihat rambut kuning, mata biru, dan kulit putih itu.
Hasil tangkapan ikan akhir-akhir ini menurun. Akan tetapi, orang-orang asing
itu doyan sekali makan ikan dan mereka berani membeli mahal sehingga harga ikan
naik keras."
Dengan penuh
gairah kakek itu lalu bercerita tentang kehidupan nelayan di kota itu yang
didengar penuh perhatian oleh Kun Liong yang memang sedang memancing
percakapan. Kemudian pemuda itu bertanya sambil lalu, "Ehhh, Lopek. Engkau
yang sudah puluhan tahun tinggal di Ceng-to, tentu telah mengenal semua orang sini,
bukan?"
"Tidak
semua! Hanya yang lama tinggal di sini saja. Sekarang banyak pendatang baru,
terutama orang-orang dari daerah selatan yang datang bersama kapal-kapal asing
itu. Siapa mengenal mereka?" Kakek itu mengomel, agaknya di dalam hatinya
dia tak senang dengan kedatangan kapal-kapal itu.
"Akan
tetapi saya kira Lopek tentu mengenal seorang yang bemama Louw Ek Bu." Kun
Liong melihat betapa wajah kakek itu berubah seketika. "Tahukah Lopek di
mana tempat tinggalnya?"
Sejenak
kakek itu tidak menjawab, bahkan kedua tangannya yang semenjak tadi bekerja
ketika dia bicara, kini terhenti. Jelas tampak betapa tangan itu agak gemetar!
"Kau...
kau... sahabatnya, orang muda?"
Kun Liong
menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku hanya ingin tahu di mana tinggalnya
orang yang tersohor itu."
"Rumah
dia itu, siapa yang tidak tahu? Di tepi kota sebelah utara, rumah gedung besar
yang di atas atapnya ada ukiran naga, seperti rumah kuil. Sudahlah, aku masih
banyak pekerjaan, maafkan, orang muda."
Bergegas
kakek itu meninggalkan Kun Liong lalu menghampiri perahunya dan memeriksa
perahu itu. Kun Liong maklum bahwa kakek itu menjadi ketakutan untuk
bercakap-cakap dengan orang yang mengenal atau mencari datuk kaum sesat itu,
akan tetapi apa yang dikehendakinya, alamat datuk itu, telah terpegang. Maka
dia pun pergi dari situ, menuju ke utara.
Belum lama
dia berjalan, sebelum sampai di tepi kota sebelah utara, dia melihat
ribut-ribut di pinggir sebuah pasar dekat pantai. Cepat-cepat dia menghampiri
dan melihat betapa rombongan penari silat yang pagi tadi bersama-sama dia
memasuki kota dan agaknya membuka pertunjukan di tempat itu, sedang berhantam
melawan tiga orang asing yang tadi dia lihat dalam restoran! Agaknya tiga orang
asing itu sudah mabok, muka mereka merah sekali dan mereka berhantam melawan
tiga orang dari rombongan penari silat.
Kun Liong
menonton penuh perhatian dan melihat betapa tiga orang asing itu gerakannya
tidaklah selincah tiga orang lawannya, akan tetapi mereka itu rata-rata mempunyai
tubuh yang kuat dan kebal. Beberapa pukulan yang mereka terima tidak merobohkan
mereka dan sekarang mereka mengamuk dengan pukulan-pukulan yang keras sekali.
Dua orang anggota rombongan penari silat kena dipukul dan roboh untuk tak dapat
bangun kembali, pingsan! Keras benar pukulan orang-orang itu!
Melihat ini,
Kun Liong sudah meloncat ke depan. Oleh karena dia tadi melihat betapa tiga
orang asing itu bersikap kasar dan mengacau, maka kini dia berpendapat bahwa
tentulah tiga orang asing itu yang menimbulkan perkelahian.
"Hee,
berhenti! Kalian ini orang-orang asing yang kasar dan kurang ajar sekali!
Mengapa mengganggu orang yang sedang mengadakan pertunjukan?" Kun Liong
berteriak sambil meloncat ke depan dan cepat menangkis pukulan orang asing ke tiga
yang sudah hampir merobohkan lawannya. Sambil menangkis, Kun Liong mengerahkan
sinkang-nya.
"Dukkk...!"
Orang asing
itu mencak-mencak, berjingkrak sambil memegangi lengan tangannya yang terkena
tangkisan Kun Liong. Ternyata tulang lengannya telah patah!
Dua orang
temannya menjadi marah sekali. Sambil memaki-maki dalam bahasa mereka, dua
orang asing itu menerjang maju. Pukulan kedua tangan mereka yang keras itu
lantas menyambar-nyambar. Sikap mereka seperti dua ekor kerbau mengamuk.
Kun Liong
tidak menjadi gentar. Dengan mudah saja dia mengelak dengan loncatan ke atas.
Tubuhnya mencelat bagai dilontarkan ke atas kepala kedua orang lawannya, kedua
kakinya menginjak punggung dan mendorong. Dia tetap tidak hendak menyerang
orang, maka dorongan kakinya hanya membuat dua orang itu terhuyung.
Dua orang
asing itu makin marah. Mereka membalik dan menyeruduk kembali dengan ganas. Kun
Liong mengelak ke samping, kakinya dilonjorkan ketika dia berjongkok hingga
kedua orang itu terjungkal, roboh menelungkup mencium tanah.
Terdengar
sorak-sorai orang--orang yang menonton. Baru sekali ini mereka melihat ada
orang asing ‘biadab’ itu dihajar. Biasanya, tidak ada yang berani melawan
orang-orang asing ini karena pembesar setempat sudah mengeluarkan pengumuman
supaya jangan mengganggu mereka yang disebut ‘tamu-tamu agung’ itu.
Memang benar
bahwa orang-orang asing itu royal mengeluarkan uang dalam membeli sesuatu, akan
tetapi sikap mereka itu angkuh dan memandang rendah kepada penduduk pribumi.
Begitu angkuhnya sehingga kadang-kadang mereka itu melakukan hal-hal yang
sangat menghina, misalnya, orang-orang asing itu berani secara main-main
menowel pipi atau menjamah dada seorang dara yang bertemu di tengah jalan!
Kun Liong
mengambil keputusan bahwa kalau dua orang itu masih nekat, begitu memukul lagi
dia akan menangkis dengan pengerahan tenaga. Akan tetapi begitu kedua orang itu
bangkit, tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan betapa kaget hati Kun Liong
ketika di depan kedua orang itu tiba-tiba telah berdiri pemuda asing yang tadi!
Dia terheran-heran menyaksikan gerakan pemuda itu yang jelas menunjukkan
gerakan seorang ahli ginkang!
PEMUDA itu
kembali bicara nyaring sekali, agaknya memarahi ketiga orang asing itu dan
telunjuknya menuding ke luar. Dengan kepala tunduk dan muka kemerahan, ketiga
orang asing itu langsung berjalan pergi, yang patah lengannya tadi masih
mengerang kesakitan.
Setelah
ketiga orang itu pergi, pemuda itu membalikkan tubuhnya, membungkuk kepada Kun
Liong dan berkata dalam bahasa pribumi yang cukup lancar biar pun nada suaranya
terdengar lucu dan asing,
"Harap
Saudara maafkan kalau tiga orang kasar tadi mengganggu pertunjukan
saudara-saudara di sini. Maklumlah, mereka itu belum pernah melihat orang-orang
mengadakan pertunjukan di tempat terbuka."
Kun Liong
juga membungkuk. Diam-diam dia tidak mengira sama sekali bahwa pemuda asing ini
pandai bicara dalam bahasa pribumi dan sikapnya sama sekali tidak sombong,
bahkan ramah dan merendah.
"Saya
bukan dari rombongan penari silat, harap Tuan minta maaf kepada mereka
itu."
Mendengar
ucapan Kun Liong ini, pemuda asing itu mengangkat dada dan memandang tajam,
mengerutkan alisnya yang berwarna agak kuning, tidak sekuning rambutnya.
"Tuan
bukan anggota mereka?" Dia mengulang. "Kalau begitu, kenapa Tuan
menyerang orang kami?"
"Saya
tidak menyerang, merekalah yang menyerang saya. Saya melihat mereka memukul
para penari silat, maka saya berusaha mencegahnya dan mereka menyerang
saya."
Sikap pemuda
asing itu berubah, agaknya dia penasaran, dan juga tertarik sekali. "Hem,
kau bilang tidak menyerang akan tetapi seorang di antara mereka sampai patah
tulang lengannya. Agaknya Tuan seorang pendekar, ya?"
"Sama
sekali bukan!" jawab Kun Liong. "Saya bukan pendekar, akan tetapi
ketiga orang sahabat Tuan tadi adalah orang-orang jahat yang tidak semestinya
dibiarkan berkeliaran seperti binatang buas yang suka mengganggu orang."
Akan tetapi
pemuda asing itu tidak memperhatikan kata-kata ini, hanya memandang penuh
perhatian, kemudian berkata, "Saya ingin sekali melihat kepandaian Tuan.
Marilah kita menguji kepandaian masing-masing secara bersahabat."
"Apa?
Tuan menantang saya untuk bertanding? Orang saling pukul, mana bisa secara
bersahabat?"
"Saya
tidak menantang untuk bermusuhan, akan tetapi untuk... ehh…, apa namanya itu,
untuk pibu! Ya, untuk pibu! Marilah Tuan sambut serangan saya!"
Dan pemuda
asing itu dengan penuh semangat lalu menerjang maju, menyerang dengan pukulan
tangan terkepal, akan tetapi gerakannya lincah sekali dan pukulannya membawa
angin pukulan yang mengandung tenaga dalam!
"Aihh!"
Kun Liong mengelak cepat, semakin terheran-heran karena jelas dari pukulan itu
bahwa Si Pemuda Asing yang tadi dia lihat pandai menggunakan ginkang, kini
ternyata memiliki tenaga sinkang yang hebat pula!
"Wut-wutt...
siuuuttt…!"
Pemuda asing
itu sudah melanjutkan serangannya, kedua tangannya secara bertubi-tubi memukul
dan saat Kun Liong mengelak dua kali dengan cepat, kaki kanan pemuda asing itu
menyusul dengan sebuah tendangan yang amat berbahaya, karena seluruh tubuhnya
ikut ‘terbang’ dan kaki kirinya menyusul tendangan kaki kanan itu. Inilah ilmu
tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang amat lihai!
Kun Liong
tidak dapat mengelak, lalu bergerak menangkis sambil mendorong.
"Dessss!
Aughhhh…!"
Pemuda asing
itu terlempar, akan tetapi dapat berjungkir balik dan turun sambil berdiri. Dia
tadi berteriak karena kakinya yang tertangkis terasa nyeri, sungguh pun tidak
sampai patah seperti lengan temannya tadi.
"Bagus,
kau hebat! Sambutlah!"
Dia maju
menyerang lagi, kini betul-betul mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan
kepandaian silatnya yang aneh namun cukup hebat. Gerakannya seperti seekor
burung garuda menyambar-nyambar, kedua tangan dikembangkan, kadang-kadang
dikepal tetapi kadang-kadang dibuka seperti cengkeraman.
Kun Liong
makin kagum dan dia pun cepat mengimbangi kelincahan lawan, mengelak ke
sana-sini dan berusaha menghentikan serangan-serangan itu dengan menjatuhkan
lawan tanpa melukai sampai parah.
Ketika untuk
kesekian kalinya pemuda asing itu menubruk dengan dua tangan terpentang, Kun
Liong menyambut kedua tangan itu sambil mengerahkan sinkang untuk menempel,
akan tetapi dia tidak mau menggunakan Thi-khi I-beng, hanya sekedar membuat
kedua tangan lawan melekat pada tangannya.
"Ahhhh...!"
Pemuda asing itu terkejut, berusaha menarik kembali kedua tangannya tetapi
sia-sia belaka, kedua telapak tangannya seperti melekat pada tangan pemuda itu.
Kembali dia
membetot dan kesempatan itu digunakan oleh Kun Liong untuk mengerahkan tenaga
mendorong dan... tubuh pemuda asing itu terlempar ke belakang sampai empat
meter dan jatuh terbanting! Akan tetapi dia dapat cepat meloncat bangun
kembali, lantas tersenyum kagum sambil mengebut-ngebutkan jubahnya yang kotor.
Dari tempat
dia terjatuh, dia membungkuk ke arah Kun Liong dan berkata, "Saudara hebat
sekali! Saya Yuan de Gama mengaku kalah. Siapakah nama Saudara?"
Menyaksikan
sikap pemuda asing yang dengan jujur dan wajah berseri sudah mengakui
kekalahannya, hati Kun Liong menjadi tertarik dan senang. Dia pun membungkuk
sambil berkata, "Tuan juga hebat. Nama saya Yap Kun Liong."
"Terima
kasih, sampai jumpa lagi!" Pemuda asing itu membalikkan tubuhnya dan
berjalan dengan cepatnya menuju ke utara!
Kun Liong
tidak mau memberi kesempatan kepada orang-orang yang mendekatinya untuk memuji
dan bertanya-tanya, dia pun cepat melangkah dan menuju utara, bukan sekali-kali
membayangi Si Pemuda Asing, tetapi karena dia hendak melanjutkan
penyelidikannya di rumah Hek-bin Thian-sin seperti yang telah ditunjukkan oleh
nelayan tua tadi. Agar tidak disangka membayangi pemuda bekas lawannya, dia
sengaja memperlambat langkahnya sampai pemuda di depan itu lenyap di sebuah
tikungan.
Kun Liong
hanya melihat-lihat dari luar. Rumah Hek-bin Thian-sin memang sangat besar dan
megah. Agak aneh juga sebab di bagian atapnya terdapat ukiran seekor naga
seperti yang biasanya terdapat pada bangunan kuil.
Agaknya
datuk kaum sesat itu hendak menyesuaikan rumahnya dengan julukannya. Dia
berjuluk Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) maka sudah sepatutnya kalau
rumah seorang ‘malaikat’ mempunyai penjaga seekor naga!
Setelah
mempelajari keadaan rumah gedung itu dari luar, Kun Liong langsung kembali ke
rumah penginapan. Hari telah mulai senja ketika dia tiba kembali di kamar
penginapan di mana Keng Hong telah menantinya. Kun Liong segera menceritakan
tentang rumah datuk kaum sesat itu dan sama sekali tidak mau menceritakan
tentang peristiwa yang terjadi dengan pemuda asing, karena hal itu dianggapnya
tidak ada sangkut-pautnya dengan supek-nya mau pun dengan maksud kedatangan
mereka berdua di kota itu.
"Setelah
kau pergi tadi, secara diam-diam aku pun pergi mengunjungi beberapa orang tokoh
kang-ouw yang berada di sini. Mereka itu sama sekali tidak tahu dan tidak
pernah mendengar di mana adanya orang tuamu. Jalan satu-satunya untuk mencari
keterangan agaknya harus dari golongan hitam. Dan menurut cerita mereka, ada
hal-hal aneh di kota ini. Sikap para orang asing itu mencurigakan sekali karena
menurut keterangan yang aku peroleh, selain mereka itu berhubungan dengan para
pembesar, juga kelihatan ada orang asing yang mengunjungi Hek-bin
Thian-sin!"
"Hemmm,
katanya mereka itu hanya pedagang biasa. Jangan-jangan mereka terlibat pula
dalam urusan kejahatan,"
Kun Liong
berkata dan teringatlah dia pada pemuda asing bernama Yuan de Gama tadi.
Melihat sikap pemuda itu, agaknya sama sekali dia bukan dari golongan penjahat,
namun ilmu kepandaiannya benar-benar tak boleh dipandang ringan!
Malam hari
itu, Keng Hong dan Kun Liong keluar dari rumah penginapan. Hari telah jauh malam
dan kota Ceng-to sudah mulai sepi, rumah-rumah sudah menutupkan daun pintu.
"Jangan
sembarangan turun tangan. Kita menyelidiki saja dulu, dan andai kata di sana
tidak ada apa-apa, biarkan aku yang langsung menjumpai Hek-bin Thian-sin dan
secara berterang menanyakan kepadanya tentang ayah bundamu, juga tentang
penyerbuan ke Siauw-lim-si. Mengingat akan kedudukan dirinya sebagai datuk dan
aku sebagai Ketua Cin-ling-pai, kiranya dia akan suka bicara berterus
terang."
Kun Liong
mengangguk karena memang dia pun tidak ingin melakukan sesuatu, kecuali kalau
terjadi apa-apa yang memaksanya melakukan sesuatu.
Dengan mudah
saja dua orang ini meloncati pagar ruji besi yang melingkari rumah besar itu.
Kemudian, dengan gerakan ringan tanpa menimbulkan suara, mereka menggunakan
ginkang untuk menyelinap mendekati rumah, mengitari rumah itu kemudian
menghampiri bagian belakang.
Atas isyarat
Keng Hong, tanpa menimbulkan suara mereka melompat ke atas genteng di bagian
belakang, kemudian merayap ke bagian di mana tampak penerangan dan di bawah itu
terdengar suara orang bercakap-cakap. Dengan amat hati-hati Keng Hong menggeser
genteng dan dari celah-celah atap mereka mengintai ke bawah.
Ruangan itu
lebar dan perabot-perabotnya mewah. Di sepanjang dinding terdapat tempat lilin
dari kayu berukir, sedangkan lilin yang menyala tertutup kaca bulat yang membuat
cahaya lilin menjadi terang. Karena banyaknya lilin serta lampu minyak dari
perak yang tergantung di ruangan itu, maka ruangan itu terang sekali seperti
siang hari.
Banyak
lukisan-lukisan indah tergantung pada dinding dan di sana-sini terhias tirai sutera
berwarna-warni, membuat suasana kamar itu kelihatan indah dan menyenangkan. Ada
dua jendela di kamar besar itu yang berada di kanan kiri, keduanya menembus ke
udara terbuka sebuah taman sehingga hawa di kamar itu cukup sejuk. Meja kursi
yang terdapat di ruangan itu semua mengkilap dan buatannya halus, sedangkan
kedua jendela itu pun langkannya terhias kayu ukir-ukiran yang dicat indah
sekali.
Ada tujuh
orang yang berada di dalam ruangan itu, duduk seenaknya di atas kursi-kursi dan
bangku-bangku yang letaknya agak berjauhan. Mereka duduk berhadapan sehingga
merupakan setengah lingkaran, masing-masing menghadapi meja kecil di mana
terdapat tempat bunga yang berisi bunga-bunga segar dan cawan-cawan terisi
arak.
Pada saat
Kun Liong memperhatikan orang-orang itu, dia terkejut melihat bahwa di antara
mereka terdapat dua orang asing bermata biru berkulit putih. Yang seorang sudah
tua, kepalanya bagian atas botak pelontos seperti kepalanya sendiri, bahkan
lebih licin seperti kaca yang menutupi lilin-lilin itu, sangat mengkilap,
rambutnya hanya tumbuh di sekeliling kepalanya saja, akan tetapi anehnya rambut
yang tumbuh ini cukup lebat, demikian pula jenggotnya dan kumisnya.
Kun Liong
bergidik membayangkan bagaimana jadinya bila kelak kepalanya yang gundul itu
dapat tumbuh rambut, tetapi yang tumbuh hanya sekeliling kepala seperti kakek
asing ini! Lebih baik gundul kalau begitu! Orang asing ke dua tadinya dia kira
Yuan de Gama, akan tetapi setelah dipandang dengan teliti, ternyata bukan.
Orang-orang
asing ini begitu sama mukanya! Orang ini pun masih muda, paling banyak tiga
puluh tahun, juga tampan seperti yang lain, akan tetapi jauh bedanya dengan
Yuan de Gama. Lekukan dagu dan tarikan mulut orang ini membayangkan hati yang
kejam dan kesombongan, sedangkan sinar matanya yang biru kehijauan itu galak
sekali.
Bentuk
hidungnya yang seperti burung kakaktua itu serupa benar dengan bentuk hidung si
kakek botak. Pakaian mereka berdua sama anehnya, sama pula dengan pakaian yang
dipakai Yuan de Gama tadi siang, hanya bedanya, jubah kakek botak itu lebih
besar dan panjang, dengan kantung-kantung besar sekali.
Keng Hong
juga terkejut karena dia mengenal kakek asing botak itu sebagai kakek yang
pernah dijumpainya ketika dia bersama isterinya menghajar Ma-taijin di Leng-kok
kurang lebih lima tahun yang lalu! Yang lain-lain dia tidak mengenalnya, hanya
dapat menduga bahwa lelaki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang duduk di
atas kursi tuan rumah, membelakangi pintu dalam, tentulah Hek-bin Thian-sin
Louw Ek Bu, selain diketahui dari kedudukannya, juga dapat diduga dari mukanya
yang berkulit hitam.
Seorang lain
yang berpakaian seperti pembesar kiranya adalah pembesar yang berkuasa di
Ceng-to, sedangkan di sebelahnya yang berpakaian seperti seorang panglima
tentulah komandan pasukan yang memimpin penjagaan di pantai sebelah timur, yang
markasnya berada tidak jauh dari kota Ceng-to. Dua orang lagi adalah tosu-tosu
yang kalau dia tidak salah menduga, adalah orang-orang Pek-lian-kauw!
Dugaan Keng
Hong memang tidak keliru dan ketika dia mendengar percakapan mereka itu,
berubah wajah pendekar ini. Kiranya mereka itu merupakan persekutuan yang
hendak melakukan pemberontakan!
"Kami
hanya bermaksud membantu saja, sebab Kaisar telah menolak untuk mengadakan
perdagangan dengan kami, menolak kami untuk membuat pangkalan dagang di negeri
ini. Kalian tahu bahwa kami hanyalah pedagang, tidak berniat menjajah. Kami
membutuhkan sutera, teh, dan barang-barang kerajinan untuk kami beli, ada pun
kami datang membawa dagangan hasil bumi. Juga kami membutuhkan rempah-rempah
dan bahan-bahan obat. Jangan khawatir, kami akan membantu mengeluarkan biaya
untuk perjuangan saudara-saudara, dan kelak kalau berhasil, kami hanya minta
agar diijinkan membuka pangkalan perdagangan di sini," kata kakek asing
botak dengan suara lancar.
"Kami
percaya akan kerja sama dan bantuan Tuan Legaspi Selado," jawab orang yang
berpakaian sebagai pembesar sipil. "Akan tetapi kedudukan kerajaan kuat
sekali, ada pun kami kekurangan pasukan. Pasukan-pasukan penjaga yang ada di
pantai timur ini tidak terlalu besar ditambah dengan para anggota
Pek-lian-kauw, jumlahnya masih belum ada sepersepuluh tentara kerajaan.
Melakukan pemberontakan secara berterang merupakan hal yang berbahaya sekali,
karena menjadi perang terbuka."
"Memang
betul apa yang dikatakan Tung-taijin," berkata panglima berpakaian
komandan pasukan. "Selain jumlah pasukan pemerintah besar sekali, juga di
sana terdapat banyak pemimpin yang lihai ilmu kepandaiannya." Jelas bahwa
panglima ini merasa jeri.
"Hemm,
tentang hal itu, kenapa Ciangkun (Panglima) harus merasa khawatir? Kami dari
Pek-lian-pai juga mempunyai banyak orang sakti untuk menghadapi mereka dan kami
pun berhubungan pula dengan tokoh-tokoh perbatasan di Nepal."
"Ha-ha-ha-ha!"
Kakek asing yang namanya disebut Legaspi Selado itu tertawa bergelak sambil
memandang ke atas hingga perutnya yang gendut terguncang-guncang. "Memang
Taijin dan Ciangkun terlalu kecil hati. Orang-orang petualang seperti kita,
mengapa mesti takut? Jika tidak berani menempuh risiko, mana mungkin akan bisa
berhasil? Bagaimana katamu, ehh, sahabatku Hek-bin Thian-sin?"
Si Muka
Hitam menyeringai. "Memang tidak dapat disangkal kebenaran pendapat kalian
semua. Tung-taijin dan Bhong-ciangkun keduanya benar karena kita harus
berhati-hati, pihak lawan terlalu kuat. Dan Saudara Legaspi Selado juga tidak
salah bahwa kita harus berani. Akan tetapi, kalau orang-orang kang-ouw yang
sakti membantu pemerintah, dan para datuk tidak mau bersatu, agaknya memang
berat bagi kita. Sayangnya, empat orang datuk yang tadinya telah bersemangat,
sekarang semangatnya kendur lagi, menganggap perjuangan ini terlalu berbahaya,
tidak sesuai dengan hasilnya untuk mereka nanti."
"Ha-ha-ha,
kalau memang kalah kuat, mengapa harus takut? Kami sanggup menyediakan
senjata-senjata api dan melatih pasukan kalian. Dengan senjata api ini, kiranya
kita akan jauh lebih kuat. Kami membawa meriam-meriam di kapal, kalau perlu masih
dapat kami datangkan lagi dari barat."
Tiba-tiba
saja terdengar bentakan nyaring. "Pemberontak-pemberontak hina!" Dan
tampak sesosok bayangan yang gerakannya cepat sekali melayang masuk ke dalam
kamar itu.
Kun Liong
dan Keng Hong terkejut sekali melihat bahwa yang meloncat masuk itu adalah
seorang gadis muda yang cantik, dan begitu masuk gadis itu sudah mencabut
pedangnya dan menyerang Tung-taijin sambil memaki,
"Pembesar
terkutuk! Pengkhianat bangsa! Orang macam engkau harus mati!"
"Trang-trang...!"
Bhong-ciangkun
yang duduk dekat Tung-taijin sudah mencabut goloknya dan menangkis tusukan
pedang ini. Sedangkan seorang tosu dari Pek-lian-kauw yang duduknya dekat,
cepat menubruk maju untuk menangkap gadis itu. Tetapi agaknya dia terlalu
memandang rendah kepada dara yang muda usia itu, maka dia hendak menangkapnya
begitu saja.
"Tosu
pemberontak, robohlah!" tiba-tiba saja gadis itu membalikkan tubuh, tangan
kirinya memukul dengan kecepatan yang luar biasa.
"Dukkk!"

Tosu
Pek-lian-kauw yang sama sekali tidak menduga akan serangan ini, kena dihantam
dadanya sehingga dia roboh terjengkang, meringis menahan nyeri, akan tetapi
tetap saja dia muntahkan darah segar tanda bahwa pukulan itu telah mendatangkan
luka di dalam dadanya.
"Cringgg...!
Aihhh...!"
Dara itu
menjerit kaget ketika sebuah golok besar menghantam pedangnya dan... pedang itu
terlepas dari pegangannya. Kiranya Hek-bin Thian-sin sudah turun tangan dan
sekali pukul saja pedang di tangan dara itu telah terlepas. Si Muka Hitam ini
tertawa bergelak melihat hasil golok besarnya yang lihai.
Maklum bahwa
pihak lawan sangat lihai, secepat burung walet terbang dara itu sudah meloncat
ke arah jendela yang terbuka dari mana tadi dia meloncat masuk, dengan niat
untuk melarikan diri setelah pedangnya terlempar.
"Uiii...!
Hendak lari ke manakah, Nona?" Kakek asing berkepala botak bertanya,
suaranya nyaring disusul suara bergeletar dan tampaklah sinar putih bagaikan
ular menyambar ke arah jendela.
Ujung pecut
yang berwarna putih itu telah melibat kedua kaki dara itu yang menjerit kaget
dan sekali tarik, tubuh dara itu terbanting ke atas lantai di depan kakek asing
itu! Kakek itu memberi aba-aba dalam bahasa asing kepada pemuda asing yang
berdiri memandang. Pemuda itu menubruk ke depan, sambil tersenyum tangannya
bergerak menyambar.
"Plakkkk!"
tengkuk belakang telinga kiri dara itu ditampar dan dara itu pingsan, tak dapat
bergerak lagi!
"Ha-ha-ha,
beginikah yang kau maksudkan orang-orang lihai yang membantu pemerintah,
Tong-taijin?" Legaspi Selado berkata sambil tertawa. "Kalau hanya
begini saja, biar ada sepuluh orang masih dapat dihadapi oleh anakku Hendrik
ini!"
Hendrik,
atau lengkapnya Hendrik Selado, tertawa sambil memandang tubuh dara yang
terlentang di atas lantai itu dengan penuh gairah. Gadis itu memang cantik dan
bentuk tubuhnya padat langsing menarik hati.
Sementara
itu Keng Hong berbisik, "Tunggu aku kacaukan mereka. Kalau mereka sudah
mengejarku, kau tolong dara itu, bawa lari lebih dulu ke luar kota. Tunggu aku
di luar kota sebelah barat."
Begitu Kun
Liong mengangguk, sekali berkelebat supek-nya itu sudah lenyap. Kun Liong
memandang ke dalam ruangan itu dengan jantung berdebar tegang, tidak tahu apa
yang akan dilakukan supek-nya, namun dia sudah siap untuk menolong dara cantik
itu.
Tidak lama
kemudian, tampak sinar berkelebat ke beberapa penjuru di dalam ruangan itu dan
disusul suara nyaring. Ruangan itu menjadi remang-remang karena kaca lilin
sudah pecah, lilinnya padam! Semua ini terjadi amat cepatnya dan mereka yang
berada di dalam ruangan menjadi panik ketika tampak bayangan dua orang melayang
ke dalam ruangan itu.
"Tar-tar-tar!"
"Wuuuutttt...!"
Pecut di
tangan Legaspi dan golok besar di tangan Hek-bin Thian-sin langsung bergerak
menyambut bayangan dua orang itu. Dua orang itu memekik ngeri lantas roboh,
tewas seketika! Akan tetapi dapat dibayangkan betapa marahnya kedua orang sakti
ini ketika melihat bahwa yang menjadi korban senjata mereka itu adalah dua
orang penjaga yang menjadi pengawal Tung-taijin!
Kembali ada
dua orang melayang masuk. Namun sekali ini dua orang sakti itu tidak mau
sembrono turun tangan, akan tetapi dua orang itu terbanting ke atas lantai
dalam keadaan sudah pingsan.
"Keparat,
siapa berani main gila di rumahku?" Hek-bin Thian-sin sudah melayang ke
luar melalui jendela kiri dari mana tadi para penjaga itu melayang masuk,
disusul oleh Legaspi serta puteranya yang bernama Hendrik itu. Bhong-ciangkun
sudah mengawal Tung-taijin untuk mundur dan masuk ke dalam melalui pintu,
sedangkan dua orang tosu Pek-lian-pai menjaga di situ agar dara yang tertawan
itu tidak melarikan diri.
Di luar
terdengar suara melengking tinggi yang menggetarkan seluruh tempat itu, bahkan
rumah itu bagaikan turut tergetar! Mendengar ini Kun Liong menduga bahwa inilah
suara supek-nya yang menantang dan memancing keluar orang-orang yang lihai dari
dalam ruangan.
Maka dia
kemudian melayang masuk melalui jendela. Dua orang tosu terkejut. Keadaan
remang-remang, sebab itu mereka tak berani lancang turun tangan, khawatir kalau-kalau
salah tangan seperti yang terjadi tadi. Akan tetapi betapa terkejut dan
marahnya ketika bayangan yang melayang masuk itu langsung menyambar tubuh dara
yang telah menjadi tawanan itu.
Mereka
hendak mengejar, akan tetapi dua kali tangan kiri Kun Liong mendorong disertai
sinkang-nya, sedangkan tangan kanannya dipakai memanggul tubuh dara itu, dan...
dua orang tosu itu terpental dan terjengkang. Mereka tidak terluka karena Kun
Liong memang tidak mau melukai mereka.
Akan tetapi
mereka terkejut setengah mati karena dorongan hawa mukjijat yang dapat
merobohkan mereka tadi saja sudah membuktikan bahwa ‘hwesio’ yang menyelamatkan
dara itu adalah lawan yang terlalu tangguh bagi mereka. Betapa pun juga, merasa
bahwa hal itu menjadi kewajiban mereka, mereka cepat meloncat lalu mengejar
sambil berteriak.
"Tahan
penjahat yang melarikan tawanan!"
Mereka semua
berkumpul di atas genteng, bingung karena mereka kehilangan ‘penjahat’ yang
mengacau tadi!
"Eh, ke
mana perginya setan itu tadi?" Legaspi bertanya penuh penasaran.
Tadi dia
juga ikut mendengar lengking yang luar biasa itu dan tahulah dia bahwa yang
mengeluarkan suara itu memiliki khikang yang sangat hebat, yang membuat dia
merasa seram juga. Akan tetapi karena dia bukan seorang penakut, maka dia telah
mengejar ke tempat itu, dibayangi oleh Hek-bin Thian-sin yang memiliki gerakan
tidak kalah cepatnya. Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan orang
berkelebat dan lenyap!
"Celaka,
tawanan telah dilarikan orang...!" Teriakan dua orang tosu Pek-lian-pai
ini makin mengejutkan mereka.
"Siapa
yang melarikan?!" bentak Hek-bin Thian-sin penasaran.
"Kami
tidak mengenal karena cuaca agak gelap, akan tetapi dia seorang hwesio gundul.
Dia lihai sekali, merobohkan kami hanya dengan hawa dorongan tangannya."
Dengan marah
sekali Bhong-ciangkun lantas mengumpulkan pengawalnya dan pengawal Tung-taiiin,
memaki-maki mereka kemudian memerintahkan untuk melakukan pengejaran dan
pencarian di seluruh kota!
Dengan wajah
murung mereka kembali ke ruangan tadi, kemudian menyuruh orang untuk
menyingkirkan dua orang pengawal yang tewas dan dua orang lagi yang pingsan.
"Apa
yang kukatakan tadi!" Bhong-ciangkun berkata, suaranya terdengar gemetar
karena dia merasa tidak enak sekali. "Gadis itu memang tidak seberapa,
akan tetapi baru muncul dua orang itu saja kita sudah kacau balau!"
Legaspi
Selado juga masih terkejut sekali. "Hemmm... orang yang mengeluarkan suara
melengking itu memang hebat kepandaiannya, dan kurasa belum tentu ada keduanya
di negeri ini..."
"Harap
Saudara Legaspi jangan berpendapat demikian," Hek-bin Thian-sin membantah.
"Memang kepandaiannya tadi hebat, akan tetapi di negeri ini terdapat
banyak sekali orang sakti yang melebihi dia tadi! Kalau mau disebut nama
Pendekar Sakti Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai, sudah hebat bukan main. Dia
memiliki Ilmu Thi-khi I-beng yang tidak dapat dilawan dengan ilmu yang mana pun
juga. Masih ada lagi yang hebat-hebat, seperti pengawal Panglima Besar The Hoo
yang bernama Tio Hok Gwan berjuluk Ban-kin-kwi dan yang lain-lain. Itu semua
masih belum seberapa hebat kalau dibandingkan dengan kesaktian Panglima Besar
The Hoo sendiri, dan pembantunya yang bernama Ma Huan..."
"Hemmm...
kalau saja aku tadi membawa senjata api, agaknya dia tak akan begitu mudah
melarikan diri!" Hendrik berkata dengan nada suara gemas dan kecewa. Tadi
dia sudah membayangkan betapa kalau gadis tawanan itu diserahkan kepada dia,
hemmm... tentu akan asyik dan menyenangkan sekali malam ini baginya.
Peristiwa di
rumah Hek-bin Thian-sin malam itu membikin kecut hati dua orang pembesar itu
dan mereka segera berpamit pulang. Agak berkurang gairah semangat mereka untuk
menjadikan persekutuan pemberontak yang dipelopori oleh Pek-lian-pai dan
orang-orang asing itu.
***************
Kun Liong
kagum bukan main karena baru saja dia tiba di luar kota sebelah barat, baru
saja dia meloncat turun dari atas tembok kota karena dia tidak mau melewati
penjagaan di pintu gerbang, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ
telah berdiri supek-nya! Baru sekarang dia mendapat bukti akan kesaktian
supek-nya yang berhasil mengacaukan rumah Hek-bin Thian-sin Si Datuk Kaum
Sesat, padahal di situ terdapat orang lihai seperti kakek asing bemama Legaspi
Selado, orang-orang Pek-lian-pai dan lain-lain itu.
"Supek!"
katanya kagum.
Melihat dara
itu masih pingsan, Keng Hong menjamah lehernya. "Dia tidak terluka, hanya
terkena guncangan oleh tamparan yang lihai tadi. Agaknya itulah cara mereka
membikin pingsan lawan. Kun Liong, kita harus berpisah di sini. Ada perkara
hebat timbul seperti yang kau telah dengar tadi. Kau larikan dara ini,
sebaiknya ke barat memasuki hutan agar jangan sampai dapat dikejar mereka.
Kemudian kalau dia siuman, tanya siapa dia dan di mana tinggalnya. Kalau perlu
antarkan dia pulang sampai selamat dan pesan kepadanya supaya jangan lancang
lagi menyerbu goa harimau. Aku sendiri harus cepat-cepat pergi ke kota raja,
menghadap Panglima Besar The Hoo untuk melaporkan bahwa ada bahaya
pemberontakan di Ceng-to agar jangan sampai berlarut-larut. Kemudian, kalau ada
waktu pergilah ke Cin-ling-san di mana kita dapat bicara lebih lanjut."
Kun Liong
tak dapat membantah biar pun dia masih ingin melakukan perjalanan bersama
supek-nya yang sakti itu. "Baiklah, Supek."
Dia tidak
mau bilang bahwa dia akan melanjutkan penyelidikan-penyelidikannya sendirian
saja, karena takut kalau supek-nya tidak setuju dan melarangnya.
Mereka
berpisah dari tempat itu. Kun Liong masih memanggul tubuh dara itu lari ke
barat sedangkan Keng Hong segera menuju ke utara, ke kota raja. Karena maklum
bahwa besar kemungkinan pihak Hek-bin Thian-sin akan melakukan pengejaran, maka
Kun Liong berjalan terus tidak mau berhenti sampai dia memasuki hutan yang
besar.
Dia memilih
tempat yang baik, lalu merebahkan tubuh dara itu di bawah sebatang pohon besar.
Dara itu masih pingsan, maka dia lalu membuat api unggun. Karena hawa dingin
sekali, biar pun di situ ada api unggun, dia tetap membuka jubahnya dan
menyelimutkan jubahnya itu ke atas tubuh Si Dara. Kemudian dia duduk termenung,
memandang wajah yang telentang itu.
Wajah yang
cantik. Kulit muka itu halus sekali, dan kedua pipinya kemerahan, apa lagi
bibirnya yang setengah terbuka itu! Sinar api unggun bermain-main di atas wajah
cantik, menimbulkan penglihatan yang luar biasa indahnya.
Setelah puas
menjelajahi wajah itu dengan pandang matanya, akhirnya pandang mata itu
terhenti pada mulut yang setengah terbuka itu, terpesona! Teringat dia akan
Giok Keng, teringat dia akan mulut Giok Keng ketika diadu dengan mulutnya
sendiri untuk ditiup dan jantungnya berdebar aneh. Mulut gadis ini tidak kalah
manisnya dengan mulut Giok Keng! Bibirnya nampak begitu segar, bagaikan buah
angco merah yang masak, mendatangkan gairah kepadanya untuk menggigitnya!
"Plakk!"
Kepala gundul itu ditamparnya sendiri. "Gila kau!" Dia memaki ketika
mengenal pikirannya sendiri tadi.
Beginikah
yang dikatakan orang timbulnya nafsu seseorang yang mata keranjang? Mata
keranjangkah dia? Salahkah dia kalau dia terpesona dan tertarik, kalau dia suka
sekali melihat wajah seorang gadis ayu, terutama melihat mulutnya? Dia bukan
tertarik karena dibuat-buat atau disengaja! Dia memang benar-benar tertarik,
seperti orang tertarik ketika melihat setangkai bunga yang indah! Dia ingin
menciumnya, seperti orang ingin mencium setangkai mawar yang harum. Salahkah
itu?
Bibir
setengah terbuka itu seolah-olah memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga
tanpa terasa lagi olehnya sendiri, kepala Kun Liong menunduk lalu mendekati
muka gadis yang pingsan itu. Ingin dia menciumnya.
Dia tidak
tahu dan tidak pernah ada yang memberi tahu pula bagaimana harus mencium
seorang gadis. Akan tetapi pengalamannya ketika dia mengadu mulut dengan Giok
Keng pada waktu dia menolong gadis itu, mendatangkan kenangan yang mesra dan
nikmat luar biasa. Ketika bibirnya hampir menyentuh bibir dara itu, tiba-tiba
dia tersadar dan menarik kembali kepalanya.
"Plakkkk!"
Kembali kepala gundulnya menjadi korban tamparannya, sekali ini agak keras
sampai muncul bintang-bintang menari di depan matanya.
Tidak boleh!
Demikian teriak pikirannya. Ini namanya mencuri! Aku memang ingin sekali
menciumnya, akan tetapi hal itu harus terjadi secara terang-terangan. Jika yang
punya bibir memperbolehkan dicium, baru dia mau mencium. Memaksa, dia tidak
sudi, karena itu merupakan perkosaan yang kotor. Mencuri juga kotor!
Dahulu
dengan Giok Keng lain lagi. Bukan mencium namanya karena dia menolong dan pada
saat itu pun dia tak merasa apa-apa. Baru setelah menjadi kenangan menimbulkan
kemesraan nikmat.
Akan tetapi,
kalau terang-terangan mungkinkah Giok Keng mau? Mungkinkah dara ini mau?
Mengadu mulut, mengadu bibir merupakan hal yang aneh, tentu dara-dara itu juga
merasa aneh. Dia hanya tahu bahwa mencium adalah penyentuhan pipi yang dicium
dengan hidung! Demikianlah kalau ibunya dahulu menciumnya. Pikiran ini
mengingatkan dia akan ibunya dan ayahnya, dan dia menjadi berduka, lalu
merebahkan diri di dekat api unggun dan tertidur!
Malam sudah
berganti pagi. Kun Liong menggeliat kemudian menelungkup. Tiba-tiba saja dia
terbangun, akan tetapi tidak berani bergerak karena jalan darahnya di tengkuk
sudah diancam oleh orang. Jalan darah di tengkuk adalah jalan darah kematian,
dan kini ada dua buah jari tangan yang sudah menempel pada tengkuknya, lantas
terdengar bentakan,
"Jangan
bergerak kalau masih ingin hidup!"
Mengendur
kembali urat syaraf Kun Liong mendengar bentakan yang halus merdu ini. Ternyata
dara itu yang menodongnya! Tadinya dia hendak bergerak menangkap tangan lawan
yang berbahaya itu sambil menggunakan sinkang-nya untuk menutup jalan darah di
tengkuk. Akan tetapi begitu mendengar suara dara itu, dia membatalkan niatnya.
"Eh,
eh, kau mau apa?" tanyanya tanpa menoleh, mukanya masih tersembunyi di
antara kedua lengannya.
"Hayo
lekas katakan, engkau hwesio dari mana dan bagaimana aku bisa berada di sini?
Engkau tentu kawan pemberontak-pemberontak itu, ya?"
"Hi-hi-hik!"
Kun Liong tertawa geli.
"Ehh,
pendeta ceriwis! Mengapa engkau malah tertawa? Hayo jawab, atau engkau lebih
ingin mampus?"
"Mampus
ya mampus, mau bunuh ya boleh saja, tetapi dengar dulu kata-kataku, Nona galak!
Aku tertawa karena engkau telah tiga kali keliru!"
Gadis itu
marah bukan main, jari tangannya yang menempel di tengkuk itu gemetar sedikit
sehingga diam-diam Kun Liong sudah siap dengan sinkang-nya. Kalau diperlukan,
untuk menyelamatkan nyawanya, dia akan menggunakan Thi-khi I-beng!
Akan tetapi
agaknya dara itu curiga mendengar ucapan orang yang dianggapnya hwesio itu,
maka dia mendesak, "Jangan kurang ajar! Kekeliruan apa yang sudah
kulakukan?"
"Pertama,
aku bukan anggota mau pun kawan para pemberontak itu. Ke dua, akulah yang telah
melarikanmu ketika engkau pingsan di dalam ruangan rumah Hek-bin Thian-sin dan
bahwa ancamanmu di tengkuk ini pun sia-sia belaka, kemudian yang terakhir,
kekeliruan mutlak yang tak boleh diampunkan lagi, aku bukan seorang
hwesio!"
"Tapi
kau gundul... aihhh... engkaukah ini?" Dara itu cepat membalikkan tubuh
Kun Liong sehingga pemuda itu telentang dan... kini Kun Liong pun teringat
ketika melihat sepasang mata itu.
"Engkau...?!
Aku... aku seperti pernah mengenalmu, tapi siapa... ya?" Dia merasa yakin
sudah mengenal dara ini, akan tetapi benar-benar tidak ingat lagi siapa dia.
Dara itu
tertawa. Bukan main manisnya. Bibir merah itu merekah dan tampak giginya yang
kecil dan putih teratur, dan ujung lidah yang merah meruncing tampak sekilas.
"Hi-hik-hik, kau... kau... pemuda gundul itu. Mana aku bisa melupakan
kepalamu? Aku Lim Hwi Sian."
Kun Liong
meloncat berdiri dan bertolak pinggang, pura-pura marah. "Jadi engkau ini,
ya? Kesalahanmu semakin bertumpuk-tumpuk! Dahulu engkau menghinaku karena
kepalaku, sekarang kau ulangi lagi! Benar-benar tidak mau bertobat kau
ini!"
Dara itu
menahan ketawanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Maafkanlah
aku. Aku tadi salah sangka... ahh, sungguh aku tidak mengenal budi. Engkau
malah yang kembali menolongku dari bahaya maut. Sudah dua kali kau
menyelamatkan aku, dan dua kali aku menghinamu tanpa kusengaja. Maafkan aku,
Taihiap (Pendekar Besar)...!"
Kun Liong
sengaja hendak menggoda, akan tetapi juga karena dia gemas mendengar sebutan
itu, dia membanting kakinya dan melotot sehingga matanya yang memang lebar itu
membulat.
"Kau
ini mengangkat atau membanting! Minta maaf malah menambah penghinaan!"
"Eihhh?
Apa salahku?"
"Kau
menyebut aku taihiap segala macam. Kau mengejek, ya?"
Dara itu
menggeleng-geleng kepalanya, alisnya berkerut. Manis sekali!
"Tidak!
Tidak! Aku tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi biar
pun kau pura-pura... ehh, bodoh dan kepalamu kau cukur gundul. Dahulu pun aku
sudah menduga. Kalau kau tidak berilmu tinggi, mana bisa kali ini kau
menolongku dari rumah seorang datuk sesat seperti Hek-bin Thian-sin?"
Kun Liong
merasa terdesak. "Ya sudahlah, tapi jangan menyebut aku taihiap. Sekali
lagi, aku benar-benar akan marah!"
Dara itu
tersenyum dikulum, tahulah dia bahwa tadi pemuda gundul ini hanya pura-pura
marah. Maka timbul juga kenakalannya. "Habis, aku harus menyebut situ
apa?"
"Kok
situ? Situ mana?"
Hwi Sian
menggigit bibir bawahnya. Manis sekali! "Kau jangan main-main lagi! Tentu
saja yang kumaksudkan situ adalah engkau."
"Hemm,
omongan model mana ini? Namaku Yap Kun Liong. Aku menyebutmu Hwi Sian begitu
saja, kau pun menyebut namaku, tak usah pakai pendekar-pendekar, ya?"
"Hi-hi-hik...
Kau lucu!" Hwi Sian merasa geli dan tertawa, akan tetapi menggunakan jari
telunjuknya untuk menutupi bibir. Manis sekali!
"Hwi
Sian, ingatkah engkau lima tahun yang lalu saat kita mula-mula bertemu? Kau
masih seorang perempuan yang manis, sekarang..."
"Sekarang
apa?"
"Sekarang
kau telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita."
Dara itu
mengerutkan alisnya. "Yap Kun Liong, jika aku tak yakin bahwa engkau
memang seorang pemuda yang lucu dan aneh tetapi baik budi, tentu kau kuanggap
ceriwis dengan ucapanmu itu."
"Terserah
penilaianmu. Mungkin aku memang ceriwis. Akan tetapi aku tidak akan pernah
melupakan betapa engkau telah mencium kepala gundulku yang kau benci ini sampai
tiga kali!"
Seketika
wajah Hwi Sian menjadi merah bukan main. "Kun Liong, kenapa engkau berkata
begitu? Aku tidak benci kepala-mu dan soal itu... ahhh…, itu soal lalu, karena
aku merasa menyesal telah menyakiti hatimu padahal engkau dahulu itu telah
menyelamatkan aku."
"Hemm,
kalau sekarang bagaimana? Aku pun telah mati-matian menolongmu, akan tetapi apa
upahnya? Engkau menodongku, hampir membunuhku, dan masih mengnina lagi!"
"Kun
Liong, maafkan aku... sungguh mati aku tidak tahu... ehh, kenapa kau menatapku
seperti itu?"
"Tidak
cukup dengan maaf! Kalau dahulu kau menyatakan penyesalan dengan mencium
kepalaku, sekarang aku akan menghukummu dengan ciuman pula. Akan tetapi aku yang
akan menciummu, bukan kau yang menciumku."
Sepasang
mata yang bening itu terbelalak, kedua pipinya bertambah merah. "Apa...
apa maksudmu...? Kau...? Kau... kau mau kurang ajar kepadaku?"
"Terserah
kau mau menganggap bagaimana. Pokoknya, kau tadi minta maaf, kan? Dan aku hanya
mau memberi maaf jika kau suka kucium. Dengar baik-baik, aku sudah sejak
semalam ingin menciummu, akan tetapi hal itu tidak kulakukan walau pun kau
sedang pingsan karena aku tidak sudi melakukan hal kepada orang yang tidak tahu
atau tidak suka. Nah, aku hanya akan memaafkanmu dengan menciummu, akan tetapi
hanya kalau kau suka, bukan paksaan!"
Muka yang
cantik itu sebentar pucat dan sebentar merah, agaknya bingung bukan main.
"Kalau... kalau aku tidak mau?"
"Kalau
tidak mau ya sudah, aku tidak akan memaksamu. Akan tetapi terus terang saja,
aku pun tidak mau memaafkanmu dan akan selalu menganggap kau seorang gadis tak
tahu membalas budi!"
"Kun
Liong..." Suara itu seperti memohon agar pemuda itu tak menganggapnya
demikian. "Kau tahu betapa besar rasa syukur dan terima kasihku kepadamu.
Akan tetapi… tetapi permintaanmu... sungguh aneh... bagaimana aku dapat
melakukannya?"
"Bukan
kau yang melakukan, melainkan aku."
"Maksudku...
ehh…, kau membikin aku bingung. Aku... aku..."
"Dengarkan,
Nona yang baik! Kalau kau merasa jijik kepadaku, kalau kau merasa benci
kepadaku karena kepalaku gundul, kalau kau merasa jijik kucium, katakan saja
kau tidak mau. Habis perkara."
"Kau
mendesak, seperti memaksa."
"Sama
sekali tidak. Kau harus jujur. Jika kau tidak suka, katakan saja tidak mau dan
kita berpisah takkan bertemu lagi. Habis perkara, kan?"
"Kun
Liong, aku... aku tidak benci kepadamu, akan tetapi... soal itu... eihhh, aku
malu, ah!"
"Malu
kepada siapa? Di sini tidak ada orang!"
"Kalau
di sini tidak ada orang, maka aku adalah siluman hutan dan kau setan..."
"...gundul!"
Kun Liong menyambung.
Keduanya
tertawa gembira dan sejenak lenyaplah ketegangan di antara mereka karena
permintaan Kun Liong yang luar biasa itu.
"Nah,
bagaimana?" Kun Liong teringat lagi dan bertanya.
"Bagaimana,
ya? Dahulu aku mencium kepalamu tiga kali..."
"Sekarang
pun aku akan menciummu tiga kali!" Kun Liong memotong cepat.
"Tiga
kali?" Kedua mata itu terbelalak, tangannya meraba-raba rambutnya.
"Bagaimana kalau rambutku bau tidak enak? Sudah beberapa hari aku tidak
keramas."
"Siapa
mau mencium rambutmu?"
Sepasang
mata itu terbelalak, mulutnya ternganga, dan Kun Liong terpaksa memejamkan
matanya. Manis sekali wajah itu!
"Tidak
mencium... kepalaku? Habis... ihhh, Kun Liong, jangan main gila kau, ya?"
Kun Liong
membuka matanya, tersenyum. "Siapa main gila? Aku main sungguhan! Tidak
perlu banyak berbantahan, Hwi Sian. Kau hanya tinggal menjawab, mau atau tidak
kau kucium?"
"Mau
sih... mau, akan tetapi..."
"Kalau
sudah mau masih ada tetapinya, namanya bukan mau..."
"Kau
sih aneh! Dulu aku mencium kepalamu, sekarang engkau hendak mencium...
apa?"
"Hwi
Sian, memang agak sulit memberi pengakuan. Pokoknya aku baru suka memaafkan
engkau kalau engkau suka kucium tiga kali, kucium di mana saja, terserah aku!
Apa bila engkau mau, aku akan menciumnya dan tak perlu kukatakan mana yang akan
kucium. Pokoknya engkau mau dan kalau mau berarti tidak pilih-pilih di bagian
mana... ahh, aku jadi bingung sendiri. Mau atau tidak?"
Sepasang
mata itu masih terbelalak menatap wajah yang tampan dan lucu karena gundul itu.
Sepasang pipi dara itu menjadi merah sekali, dan sejenak sepasang mata itu
menyipit, hampir terpejam dan bibir yang merah membasah itu tersenyum aneh!
Kemudian Hwi
Sian menganggukkan kepala dan menunduk, matanya mengerling tajam, sikapnya
menanti dengan takut-takut dan malu-malu, agaknya ingin sekali dara itu melihat
bagian tubuh yang mana yang akan dicium pemuda aneh ini!
Kun Liong
menjadi girang sekali. "Kau benar-benar mau?"
Hwi Sian
mengangguk.
"Dengan
suka rela? Dengan senang hati? Tidak terpaksa?"
Kembali Hwi
Sian mengangguk dan jantung dara ini berdebar-debar tak karuan, mukanya terasa
panas. Dia tidak tahu betapa seluruh mukanya menjadi merah jambon, luar biasa
manisnya!
Kun Liong
mendekatkan mukanya, kedua tangannya memegang pundak dara itu, lalu dia
mendekatkan mulut. Sepasang mata gadis itu terbelalak bagaikan kelinci
ketakutan akan diterkam harimau. Kun Liong menjadi malu sendiri!
"Hwi Sian,
kau benar-benar mau?"
Hwi Sian
tidak berani menjawab sebab jantungnya yang berdebar itu tentu akan membuat
suaranya tidak karuan. Suara Kun Liong ketika bertanya terakhir ini pun sudah
tak karuan, gemetar dan nadanya sumbang! Maka dia hanya mengangguk, kini dia
benar-benar ingin dicium, ingin melihat bagaimana kalau dicium dan apanya yang
akan dicium!
"Kalau
mau..." Suara Kun Liong makin gemetar seperti orang sakit demam.
"Kalau mau, kau pejamkan matamu..."
Dua mata itu
malah terbelalak, agaknya heran, kemudian sepasang mata yang indah itu tertutup
rapat. Hilang rasa malu di hati Kun Liong, bahkan dia menjadi lega dan kembali
dia mendekatkan mulutnya sampai bibirnya menyentuh bibir yang setengah terbuka
itu. Sentuhan ini mendatangkan getaran sangat hebat sehingga tanpa dapat
ditahannya lagi, mulutnya mencium dan mengecup. Hwi Sian kaget setengah mati,
hendak berteriak akan tetapi mulutnya yang baru terbuka sedikit sudah tertutup
dan diterkam bibir Kun Liong.
Kun Liong
melepaskan bibirnya dan napasnya terengah. Kini tanpa disadarinya sepasang
lengannya telah memeluk pinggang Hwi Sian.
"Satu
kali...," bisiknya dan kembali dia merapatkan mulut.
Hwi Sian
tidak memejamkan mata lagi, sudah terbelalak lebar saking heran dan kagetnya.
Ketika melihat muka Kun Liong mendekat lagi, dia menjadi ngeri dan cepat
memejamkan mata. Kembali teriakannya gagal karena mulut yang baru terbuka
sedikit sudah disumbat oleh sepasang bibir Kun Liong.
Sekali ini,
setelah melepaskan bibirnya, Kun Liong tak mau menghitung lagi dan ketika dia
mencium untuk ketiga kalinya, Kun Liong memejamkan matanya, tak merasa lagi
betapa kedua lengan Hwi Sian sudah merangkul lehernya!
Ciuman yang
ketiga kalinya amat lama, seolah-olah keduanya tidak mau melepaskannya lagi.
Pada waktu Kun Liong melepaskannya karena tidak kuat menahan napas, mereka
terengah-engah dan baru Kun Liong tahu betapa kedua lengan yang halus itu
seperti dua ekor ular membelit lehernya. Dia terheran, dan lebih-lebih lagi
herannya ketika Hwi Sian terisak menangis dengan muka merapat di dadanya.
"Ehh...
ehhh... kok menangis? Ada apa ini...?"
Pertanyaan
itu membuat Hwi Sian makin sesenggukan.
"Wah,
jangan begitu, Hwi Sian! Kau membikin aku merasa bersalah besar saja. Bukankah
kau tadi sudah menyatakan mau dan tidak terpaksa? Kenapa sekarang menangis
dan... ehhh..." Kun Liong segera menghentikan kata-katanya dan terbelalak
memandang wajah yang kini diangkat itu.
Gadis itu
masih sesenggukan akan tetapi matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan
mulutnya tersenyum! Mulut yang setengah terbuka, begitu segar seakan-akan
setangkai bunga yang baru saja mendapat siraman air!
"Eh...
apa pula ini? Kau ini menangis atau tertawa? Kau marah atau tidak? Senang atau
susah?"
"Kun
Liong... hemmm... Kun Liong, aku… aku juga cinta kepadamu!"
Kun Liong
terkejut seperti mendengar suara guntur di tengah hari. "Apa ini? Mengapa
kau mengatakan begitu?"
"Artinya,
aku juga cinta kepadamu seperti kau cinta kepadaku..."
Kun Liong
melepaskan pelukannya dan melangkah mundur setelah melompat berdiri. Dia
memandang dengan alis berkerut dan sikap sungguh-sungguh, "Hwi Sian, siapa
bilang... ehhh…, bagaimana engkau tahu bahwa aku cinta kepadamu?"
Sekarang
gadis ini pun meloncat berdiri, matanya menatap tajam dan alisnya berkerut.
"Tentu saja! Sesudah apa yang kau lakukan tadi... tentu engkau cinta
padaku... ahhh…, tidakkah begitu?"
Kun Liong
menunduk, berpikir, kemudian menggeleng kepala. "Aku tidak tahu apakah aku
cinta padamu, Hwi Sian."
"Kun
Liong! Apa artinya ucapanmu itu? Setelah kau... kau menciumku seperti
itu..."
"Hemmm...
tidak kusangkal, aku senang sekali menciummu, Hwi Sian, dan kalau engkau mau,
agaknya aku tidak akan bosan-bosan menciummu. Akan tetapi, hal itu bukan sudah
berarti bahwa aku cinta kepadamu atau kau cinta kepadaku!"
Pucat wajah
gadis itu dan matanya memandang dengan sinar penuh kemarahan.
"Yap
Kun Liong! Jadi kau... kau hanya mau mempermainkan aku?"
Kun Liong
menarik napas panjang, memandang dara itu dan menggelengkan kepalanya yang
gundul. "Kau tahu benar bahwa aku tidak mempermainkan siapa pun juga.
Sebelum aku menciummu, bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku mau melakukannya
kalau memang kau mau dan rela? Apa hubungannya itu dengan cinta? Kalau kita
berdua saling pandang, saling menyentuh tangan, saling bicara, apakah itu sudah
menjadi bukti bahwa kita saling mencinta?"
"Tapi...
tapi... itu beda lagi! Semua itu biasa saja, akan tetapi ciuman... dan seperti
yang kau lakukan tadi..."
"Apa
bedanya kalau kita melakukannya dengan dasar sama-sama suka dan rela?"
"Kun
Liong, jangan kau main gila! Ciuman, apa lagi seperti yang kau lakukan tadi,
hanya patut dilakukan oleh sepasang suami isteri!"
"Ehh! Siapa
bilang begitu? Kita tadi pun telah melakukannya walau pun kita bukan suami
isteri, dan tidak ada yang memaksa kau atau aku, bukan? Hwi Sian, apa sih
bedanya bersentuhan tangan dengan bersentuhan bibir dan mulut? Apa benar
bedanya? Asal saja hal itu dilakukan dengan kerelaan kedua pihak..."
"Tapi
aku cinta padamu! Kalau kau tidak cinta kepadaku, aku tidak akan sudi melakukan
perbuatan tadi, dengan siapa pun juga. Lebih baik aku mati!"
Kun Liong
terkejut, memandang dan menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. "Kau aneh
sekali..."
"Justru
kau yang aneh, kau yang gila! Kau telah menciumku seperti itu, kalau kau tidak
mencintaku, berarti kau menghinaku!"
"Mungkin
aku gila, akan tetapi aku tidak menghinamu, dan aku juga tidak mencintamu biar
pun aku suka sekali kepadamu dan suka sekali menciummu. Ehhh..."
Kun Liong
cepat mengelak karena Hwi Sian sudah menyerangnya secara kalang-kabut! Dia
berusaha menyabarkan, akan tetapi gadis itu sambil menangis terus menerjangnya
dengan pukulan-pukulan maut, membuat Kun Liong repot mengelak dan menangkis.
"Nanti
dulu... ehhh... heiiittt... ehh, luput! Wah, nanti dulu, Hwi Sian. Apakah
engkau sudah gila?"
"Aku
memang gila karena sakit hati, dan aku akan membunuhmu, Yap Kun Liong!"
Hwi Sian terus menyerang dengan air mata bercucuran.
"Waaahhh...
celaka! Nah, kau lihat. Cinta hanya membikin orang menjadi gila! Mengapa kau
mau mengorbankan dirimu kepada cinta? Heiiittt...!"
Kun Liong
terpaksa melempar diri ke belakang dan bergulingan, kemudian dia melompat
bangun dan melihat Hwi Sian benar-benar menyerangnya mati-matian, dia lalu
melompat jauh dan melarikan diri!
"Yap
Kun Liong laki-laki keparat! Kau hendak lari ke mana?" Hwi Sian mengejar.
"Wahh,
aku hanya suka berciuman denganmu, Hwi Sian, akan tetapi tidak suka apa bila
harus berkelahi denganmu. Sampai jumpa pula dalam suasana yang lebih
aman!"
Dia
mengerahkan ginkang-nya dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah lenyap
meninggalkan Hwi Sian yang masih menangis sambil mengepal tinjunya. Sesudah
berlari ke sana-sini mengejar tanpa hasil, akhirnya gadis itu menjatuhkan diri
ke atas tanah dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis sesenggukan.
Gadis itu
tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Tahu-tahu sebuah tangan
dengan halus menyentuh pundaknya lantas suara yang sama halusnya berkata,
"Hwi Sian, jangan menangis. Kau maafkan aku kalau memang kau anggap aku
bersalah."
Mendengar
suara ini, tanpa menengok tahulah Hwi Sian bahwa pemuda gundul itu sudah datang
lagi! Dia menjadi makin berduka oleh perasaan girang yang aneh luar biasa, yang
menyelinap di hatinya ketika melihat orang yang akan dibunuhnya tadi datang
kembali, dan tangisnya semakin menjadi-jadi!
Kun Liong
duduk di atas rumput di dekat gadis itu. Berulang-ulang dia menarik napas
panjang, lalu berkata, "Hwi Sian, aku bersumpah bahwa aku tidak berniat
menggodamu, tidak berniat menghinamu. Semua yang kulakukan kuanggap begitu
wajar, sama sekali tidak kusangka bahwa kau akan merasa terhina. Akan tetapi,
kalau aku harus mengaku cinta begitu saja, berarti aku membohong, dan kurasa
engkau tentu tidak ingin kubohongi, bukan?"
Hwi Sian
menghapus air matanya. Dia memandang pemuda itu dengan mata merah dan pipi
basah. Kun Liong mengeluarkan sapu tangannya dan menggunakan sapu tangan itu
menghapus pipi yang basah. Tanpa disengajanya sama sekali, maksud baik Kun
Liong ini bagaikan meremas hati Hwi Sian sehingga kembali gadis itu menangis
dan merebahkan kepalanya di atas pundak Kun Liong!
"Sudahlah
Hwi Sian," Kun Liong mengelus kepala gadis itu, "Mengapa engkau
bersedih sampai begini macam?"
"Kun
Liong... kau yang begini baik kepadaku... kau yang suka menciumku seperti
tadi... mengapa kau tidak bisa mencintaku? Mengapa?"
"Hwi
Sian, duduklah baik-baik, mari kita bicara tentang itu."
Gadis itu
kembali mengusap air matanya dan duduk di atas tanah berhadapan dengan pemuda
itu. Kini kemarahannya agak mereda karena dia tahu bahwa sebetulnya pemuda ini
tidak berniat buruk dan sama sekali tidak ingin menghinanya sungguh pun apa
yang dilakukannya sangat aneh. Kalau memang pemuda ini berniat menghinanya,
tentu tidak akan datang kembali!
"Nah,
sekarang kita bicara sungguh-sungguh, Hwi Sian. Aku tidak suka berbohong apa
lagi kepadamu, biar pun aku suka bergurau denganmu. Yang mengganggu hatimu
adalah soal cinta. Coba katakan, cinta itu apakah?"
Hwi Sian
memandang bingung. "Aku sendiri juga tidak pernah mendengar tentang itu,
dan tidak pernah memikirkannya. Hanya saja… ketika aku... tadi... aku merasa
bahwa kau mencintaku dan aku..."
"Hmm,
jadi menurut perasaanmu, cinta adalah kecondongan hati seseorang yang merasa
suka kepada orang lain. Begitukah?"
"Ya,
ya, begitulah. Memang sejak dahulu aku suka kepadamu, karena kau... lucu dan...
ehh…, baik hati. Aku suka kepadamu dan tadi aku merasa sesuatu yang aneh, aku
akan merasa bahagia kalau kau selalu dapat berdekatan dengan aku. Agaknya,
itulah cinta!"
"Hemmm,
jadi menurut pendapatmu, cinta adalah perasaan suka kepada seseorang dan
mendapat balasan dari orang itu? Buktinya, saat aku menyatakan tidak cinta
kepadamu, kau marah-marah dan cintamu berubah benci, malah kau hendak
membunuhku..."
"Maafkan
aku, Kun Liong. Aku tahu bahwa aku takkan menang bertanding denganmu dan tadi
aku menyerang serta memakimu hanya untuk melampiaskan kekecewaan dan rasa
kemarahanku saja."
"Jadi
kalau begitu cinta bukanlah benci, cinta tak akan mendatangkan benci! Cinta
bukan pula suka akan sesuatu, karena biasanya suka akan sesuatu itu akan
berakhir dengan kebosanan. Cinta bukan benci, bukan marah, bukan suka atau
gairah nafsu. Cinta tentu pantasnya lebih luhur lagi, lebih bersih, tiada awal
tiada akhir."
"Ihhh!
Kalau begitu, apa cinta itu?"
"Entahlah,
aku sendiri pun belum tahu. Agaknya hatiku dan pikiranku masib terlalu kotor
sehingga belum mengenal cinta itu, Hwi Sian."
"Tapi,
engkau suka kepadaku, bukan?"
"Aku
suka kepadamu, aku suka menciummu, seperti aku suka melihat setangkai bunga
yang cantik jelita, seperti aku suka mencium bunga yang harum. Akan tetapi itu
bukan cinta, dan kalau kita menganggapnya cinta, maka kita akan menyesal dan
kecewa. Nah, maukah kau melupakan semua itu dan tinggal bersahabat denganku?
Percayalah, aku masih suka memandangmu, suka bergurau denganmu, bahkan aku
masih suka sekali untuk... menciummu, tentu saja kalau kau juga rela dan
mau!"
Hwi Sian
menunduk dan terjadi perang di dalam hatinya. Sejak kecil dia telah mendengar
banyak tentang kesopanan, tentang kesusilaan, tentang hukum-hukum kesopanan
yang sama sekali tidak boleh dilanggar, terutama oleh wanita! Banyak dia
mendengar nasehat tentang bahayanya menurutkan nafsu, terutama nafsu birahi.
Apakah tadi itu nafsu birahi yang mendorong sehingga dia merasakan nikmat dalam
pelukan dan menerima ciuman Kun Liong?
Tiba-tiba
Kun Liong memegang tangannya. "Ehh, ada banyak orang datang berkuda!"
Mereka
bangkit berdiri kemudian menoleh ke belakang. Benar saja, tidak lama kemudian
muncullah serombongan orang berkuda. Kun Liong sangat terkejut ketika melihat
bahwa rombongan itu adalah sepasukan tentara yang jumlahnya tidak kurang dari
lima puluh orang, dipimpin oleh panglima yang dilihatnya semalam di rumah
Hek-bin Thian-sin dan di samping panglima itu terdapat pula seorang pemuda
asing yang juga dilihatnya di rumah Hek-bin Thian-sin! Pemuda asing yang tampan
dan gagah, yang bernama Hendrik Selado, putera dari Legaspi Selado si kakek
asing botak yang amat lihai.
"Aihhh...
pemberontak-pemberontak itu...!" Hwi Sian berseru marah dan juga kaget.
"Hwi
Sian, mari kita lari!" Kun Liong berbisik.
"Tidak
sudi! Aku harus membasmi mereka! Aku dan kedua orang suheng-ku memang bertugas
menyelidiki mereka, dan karena kami berpencar, maka akulah yang kebetulan dapat
membongkar rahasia mereka. Aku harus lawan mereka!"
Tanpa
menanti jawaban Kun Liong, dara yang gagah perkasa itu sudah lari menyambut
rombongan itu, dan langsung dia meloncat lalu menyerang panglima yang
menunggang kuda terdepan bersama Hendrik pemuda asing.
"Pemberontak
hina!" Hwi Sian membentak marah.
Diserang
secara tiba-tiba dengan dahsyatnya, panglima yang sudah berpengalaman itu
maklum bahwa dara itu tidak boleh dipandang ringan. Maka dia lalu menjatuhkan
diri dari atas kuda, bergulingan lalu meloncat bangun.
"Ha-ha-ha,
bagus sekali! Memang kami sedang mencari-carimu, Nona!" katanya sambil
mencabut sebatang pedang.
"Tangkap
dia!" Panglima itu membentak dan dua orang prajurit lalu menggunakan
pedang mereka menubruk.
Hwi Sian
menghadapi dua orang ini dengan tenang. Biar pun dia bertangan kosong dia sama
sekali tidak merasa gentar. Pada saat dua orang itu menubruk, secepat kilat dia
mendahului, menggeser ke kanan, kakinya menyambar dan tangannya meraih.
Seorang
prajurit berteriak, tubuhnya terjengkang dan pedangnya terampas dan pada lain
saat, disusul teriakan keras oleh temannya yang juga tersungkur jatuh dengan
pundak terluka oleh pedang rampasan di tangan Hwi Sian.
Segera dara
itu dikeroyok oleh para tentara! Namun dara itu mengamuk dengan pedang
rampasannya dan dalam beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil merobohkan
empat orang lawan lagi.
"Mundurlah
kalian, biarlah aku menangkap kuda betina liar ini!" Hendrik Selado
berteriak dengan suaranya yang nyaring dan kaku. Kini tubuhnya sudah melangkah
maju dengan langkah seperti seekor harimau kelaparan.
"Tak
tahu malu! Mengeroyok seorang gadis!" Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat
dan Kun Liong sudah berdiri di depan pemuda asing itu.
Sejak tadi
Kun Liong sudah melihat dan siap untuk membantu Hwi Sian. Melihat betapa Hwi
Sian dapat merampas pedang dan mampu melayani pengeroyokan para prajurit, dia
berdiam diri saja. Akan tetapi saat melihat gerakan pemuda asing yang maju,
tahulah dia bahwa pemuda ini adalah sebangsa Yuan de Gama yang cukup tangguh,
maka dia sudah mendahului pemuda itu, menghadangnya dan mencelanya....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment