Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 16
MEREKA
berjalan berdampingan menuruni bukit itu. Kelihatan bagaikan dua orang sahabat
baik, atau lebih pantas lagi seorang kakek dengan cucunya yang sedang bergegas
pulang ke kampungnya, kalau saja orang tidak melihat bahwa kedua tangan pemuda
gundul itu terbelenggu!
Melakukan
perjalanan berhari-hari di samping Toat-beng Hoatsu amat melelahkan tubuh dan
hati Kun Liong. Dia tidak kekurangan makan karena setiap kakek itu berhenti
makan atau minum, dia selalu mendapat bagiannya. Akan tetapi kakek itu berwatak
aneh bukan main, kadang-kadang sampai sehari penuh tidak pernah mengeluarkan
sepatah pun kata dan dia sama sekali tidak dipedulikan. Hal ini amat
mengesalkan hatinya.
Dia tahu
bahwa bila kakek ini kumat gilanya, kemungkinan besar dia akan dibunuh begitu saja
tanpa sebab! Bukan sekali-kali karena dia merasa takut akan hal ini, hanya dia
tahu bahwa masih banyak hal yang harus dia lakukan di dalam hidupnya sebelum
mati konyol begitu saja.
Ayah
bundanya belum diketahuinya berada di mana. Tugas yang diberikan oleh mendiang
gurunya, Tiong Pek Ho-siang, untuk mendapatkan kembali dua buah kitab
Siauw-lim-pai yang hilang juga belum dia penuhi. Oleh karena itu dia harus
berpikir seratus kali sebelum memancing bahaya kematian di tangan kakek aneh,
datuk nomor satu kaum sesat itu!
"Toat-beng
Hoatsu, engkau adalah datuk nomor satu yang terkenal, bahkan Siang-tok Mo-li Bu
Leng Ci yang mempunyai ilmu kepandaian dahsyat itu pun sama sekali bukan
tandinganmu. Akan tetapi, mengapa kau sekarang membawaku dengan kedua tanganku
terbelenggu?" Akhirnya Kun Liong tidak mampu menahan diri untuk berdiam
lagi karena melakukan perjalanan ada kawannya akan tetapi bersunyi seperti ini
sangat melelahkan tubuh dan mengesalkan hati.
Kakek itu
melirik kepadanya, akan tetapi tidak menjawab, dan mempercepat langkahnya.
Terpaksa Kun Liong juga mempercepat langkahnya, karena dia tidak mau ditampar
lagi kepalanya seperti kemarin dulu ketika dia mogok berjalan, kepalanya
ditampar dua kali. Tamparan itu tidak terlalu menyakitkan, akan tetapi batinnya
yang sakit. Apa lagi kalau dia mengingat betapa kepalanya itu pernah diciumi
oleh seorang gadis! Kepalanya itu sangat berharga, tentu dia tidak rela kalau
sekarang dijadikan sasaran tamparan!
"Toat-beng
Hoatsu," Kun Liong berkata lagi dengan nekatnya. "Engkau mengingatkan
aku akan Kongkong-ku (Kakekku)."
Kembali
kakek itu melirik tanpa menjawab.
"Aku
tidak pernah mengenal kakekku, baik kakek dalam (ayah dari ayah) atau kakek
luar (ayah dari ibu), akan tetapi kalau mereka itu masih hidup, tentu setua
engkau. Berjalan denganmu, aku merasa seperti berjalan dengan seorang
kakekku."
Karena
Toat-beng Hoatsu sama sekali tidak menjawab, tapi kelihatannya memperhatikan,
Kun Liong bertanya lagi, "Apakah engkau tidak mempunyai cucu? Anak? Atau
keluarga lain seorang pun? Apakah engkau hanya hidup seorang diri, sebatang
kara di dunia yang ramai penuh manusia ini?"
Tiba-tiba
kakek itu berhenti dan membalikkan tubuh memandang Kun Liong. Pemuda itu sudah
siap untuk mengelak dan akan melawan kalau dia ditampar lagi. Meski pun kedua
pergelangannya dibelenggu menjadi satu, akan tetapi jika hanya untuk membela
diri saja dia masih sanggup. Adanya dia tidak lari dan tidak menyerang kakek
itu karena memang dia sudah berjanji untuk membawa kakek itu ke tempat dia
menyimpan bokor!
"Duduk!"
Kakek itu berkata dengan nada memerintah.
Kun Liong
mengangkat kedua alisnya, menggerakkan pundak dan duduk di atas sebuah batu
besar. Kakek itu pun duduk di depannya, menghapus peluh karena hari amat panas,
kemudian berkata,
"Kau
ingin sekali mendengar riwayatku? Nah, dengarlah baik-baik."
Dengan suara
lambat dan parau berceritalah kakek itu, "Dahulu aku pun seorang yang
mempunyai nama sejati, mempunyai tiga orang anak, seorang isteri yang tercinta,
hidup terhormat sebagai seorang pedagang ikan di suatu kota nelayan di tepi
Sungai Huang-ho. Kepandaian silatku, sungguh pun tidak amat tinggi, membuat aku
sekeluarga hidup aman tenteram. Akan tetapi, banjir besar melanda kotaku, dan
membuat aku kehilangan semua keluargaku! Aku melihat dengan mata kepala sendiri
betapa tiga orang anak-anakku dan isteriku dihanyutkan air, dihempaskan, aku
mendengar mereka menjerit-jerit minta tolong, melihat mereka mengangkat tangan
hendak meraihku. Namun aku sendiri tidak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan
air bah yang dahsyat. Aku kehilangan segala-galanya. Kehilangan kebahagiaanku,
yang lenyap bersama hilangnya keluarga dan seluruh milikku. Aku kehilangan pula
kepercayaan kepada Thian, kepada keadilan, dan dalam usia tiga puluh tahun aku
menjadi gila. Aku merantau sampai ke luar negeri, mempelajari berbagai ilmu,
dan aku membenci semua manusia."
Kun Liong
mendengar dengan mata terbelalak. Timbul rasa iba di dalam hatinya terhadap
kakek tua renta ini. "Akan tetapi, Locianpwe, mengapa membenci semua
manusia? Tidak ada seorang pun manusia yang bersalah dalam mala petaka yang
telah menghancurkan kebahagiaanmu itu. Yang bersalah adalah air banjir, mengapa
kau membenci manusia?"
"Habis,
apakah aku harus membenci dan membasmi air banjir? Mana aku bisa melawan alam?
Aku benci terhadap setiap manusia, membenci kebahagiaan mereka, membenci
keadaan mereka. Aku membenci mereka tanpa pilih-pilih bulu, seperti bencinya
air banjir kepada manusia, siapa pun diterjangnya. Maka siapa pun yang
menghalang di depanku, kuterjang dan kubunuh!"
Kun Liong
bergidik. Jelas bahwa mala petaka itu telah merusak jiwa orang ini, membuat dia
menjadi gila dan sampai sekarang pun masih gila, biar pun ilmu kepandaiannya
sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
"Jadi
kau juga benci kepadaku, Locianpwe?"
"Kau
juga manusia!"
"Karena
bencimu itukah maka kedua tanganku kau belenggu?"
"Hemmm,
ketika malam itu kau menangkisku, kau mempunyai kepandaian lumayan. Jika
kulepaskan belenggu itu, tentu kau membikin repot aku, tentu kau hendak
melarikan diri sehingga aku harus lebih memperhatikanmu. Aku tidak mau
repot!"
Kun Liong
bangkit berdiri dan memandang kakek itu dengan dua mata terbelalak penuh
kemarahan. "Locianpwe, kau menganggap aku ini orang macam apa? Aku sudah
berjanji membawamu ke tempat bokor yang kusembunyikan, dan kini kau telah
membebaskan Bi Kiok. Lebih baik mati bagiku dari pada melanggar janjiku.
Mengerti? Sekarang tak peduli engkau membelenggu aku atau tidak, mau membunuh
aku atau tidak, bagiku sama saja kerena ternyata engkau seorang yang tidak
mengenal artinya kemurnian sebuah janji!"
Kakek itu
memandang penuh heran, lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Kau memang aneh,
orang muda yang aneh sekali, aneh dan berbahaya. Kalau sudah selesai urusan
bokor ini, aku harus membunuhmu!"
Kun Liong
menggerakkan hidungnya. "Huhh! Kau kira begitu mudah, Toat-beng Hoatsu?
Biar pun kedua tanganku terbelenggu, belum tentu kau akan dapat membunuhku
dengan mudah saja!"
Kembali
kakek itu terbelalak dan tangan kanannya sudah bergerak hendak menampar. Akan
tetapi melihat pemuda itu berdiri tegak memandangnya dengan sepasang mata tak
berkedip, dengan sikap menantang, dia kemudian menurunkan kembali tangannya
sambil menggeleng-geleng kepalanya. "Aneh...! Luar biasa...! Biar disambar
geledek aku kalau pernah bertemu dengan orang muda seperti engkau!"
"Dan
aku pun belum pernah melihat seorang kakek yang sangat patut dikasihani seperti
engkau! Kedukaan membuat kau menjadi gila dan jahat, masih engkau murka akan
harta benda ingin memperebutkan bokor. Hemm, kau lupa diri, lupa usia, untuk
apakah semua kepandaianmu, nama besarmu, dan segala macam pusaka? Tentu semua
itu tidak akan dapat mencegah kematian karena usia tua!"
"Cerewet,
hayo jalan lagi!"
Mereka
berjalan lagi tanpa berkata-kata dan Kun Liong terbenam di dalam lamunannya.
Percakapan tadi sangat berguna baginya, membuka matanya melihat sesuatu yang
ganjil dalam hidup manusia. Mengapa manusia menderita begitu hebat setelah
ditinggal oleh semua miliknya, keluarganya, dan semua yang dicintanya di dunia
ini? Demikian hebat deritanya sampai gila seperti kakek ini, dan yang lebih
celaka lagi, kegilaan karena duka kehilangan itu membuatnya menjadi jahat,
pembenci manusia dan menjadikannya datuk nomor satu di dunia?
Dia juga
sebatang kara. Andai kata dia betul-betul kehilangan ayah bundanya, kehilangan
segala-galanya, apakah dia pun akan merasa demikian berduka hingga menderita
seperti kakek ini? Mengapa mesti demikian?
Kini
jelaslah tampak olehnya bahwa ketergantungan terhadap sesuatu akan menimbulkan
derita kalau sesuatu itu direnggutkan darinya. Dalam hidup, tidak boleh
mengikatkan diri kepada sesuatu, baik itu orang lain berupa orang tua,
keluarga, kekasih dan lain-lain mau pun kepada benda, nama, kedudukan dan lain-lain.
Sebab mengikatkan diri sama artinya membiarkan sesuatu itu, keluarga, benda,
dan lain-lain, berakar di dalam dirinya. Dan apa bila tiba saatnya sesuatu yang
berakar itu tercabut, akar itu akan menimbulkan kerusakan dan penderitaan!
Jelas!
Kenapa kita
sampai terikat oleh sesuatu? Karena kesenangan! Keluarga kita, harta benda
kita, nama baik dan kedudukan kita, kemuliaan kita, semua mendatangkan
kesenangan, kenikmatan, kepuasan dan kita ingin agar semua itu tetap kekal
bersama dengan kita! Karena itu kita mengikatkan diri jiwa raga kepada semua
yang menimbulkan kesenangan kita, baik jasmaniah mau pun batiniah.
Dan sekali
terkait, sekali yang kita senangi itu berakar di hati, bila tiba saatnya
dipisahkan dari kita dan ini pasti akan terjadi sebab tidak ada yang kekal
dalam setiap keadaan, akan selalu berubah, maka perpisahan itu akan menimbulkan
penderitaan karena akar yang direnggutkan itu menimbulkan ikatan di hati.
Lalu apa
yang harus kita lakukan? Kalau kita melakukan sesuatu untuk membebaskan diri
dari ikatan, berarti kita takkan bebas karena tindakan itu merupakan paksaan,
merupakan perbuatan pura-pura dan munafik. Akan tetapi kalau persoalan derita
yang timbul karena ikatan ini kita sadari benar-benar, kita mengerti pokok
pangkalnya, pengertian ini sendiri akan bertindak membebabskan kita.
***************
Pada suatu
pagi mereka tiba di suatu lembah Sungai Huang-ho yang merupakan daerah tandus
penuh dengan pasir. Pasir-pasir ini tadinya terbawa oleh banjir, dan oleh
karena banyaknya dan seringnya, membuat lembah sungai itu seperti sebuah padang
pasir yang tandus!
Selagi
mereka berdua berjalan dengan kepala tunduk, menuju ke utara ke arah Sungai
Huang-ho untuk melanjutkan perjalanan dengan perahu seperti yang diusulkan Kun
Liong karena dia hanya dapat mengenal tempat itu kalau melakukan perjalanan
dengan perahu, tiba-tiba di tempat sunyi itu muncul Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu
Yo Bi Kiok.
Kakek itu
menyeringai dan mengejek, “Wah, nyawamu ulet juga!”
“Toat-beng
Hoatsu!” Bu Leng Ci membentak sambil mencabut samurainya.
Ternyata
wanita ini sudah sembuh sama sekali, pikir Kun Liong yang menonton dengan hati
tertarik.
“Bocah ini
akulah yang menemukannya. Bagaimana mungkin aku membiarkan engkau membawanya
begitu saja? Serahkan dia kepadaku!”
“Heh-heh-heh,
kalau tidak kuberikan?”
“Aku akan
memaksamu dengan samuraiku!”
“Hemm, boleh
coba!” kata kakek itu sambil melepaskan kancing-kancing jubahnya yang berarti
bahwa dia telah siap dengan ‘senjatanya’.
Bu Leng Ci
cepat menggerakkan samurainya dan dua orang datuk ini sudah bertanding dengan
hebat dan serunya. Sekarang barulah Bu Leng Ci dapat mengadakan perlawanan
setelah luka dalam di tubuhnya sembuh dan ternyata oleh kakek itu bahwa
kepandaian wanita ini benar-benar dahsyat, pantas menjadi saingannya dalam
kedudukannya sebagai datuk.
Bu Leng Ci
sekarang benar-benar mengeluarkan kepandaiannya, dan serangannya tidak hanya
terbatas pada pedang samurainya, akan tetapi juga dibantu oleh sambaran rambut
dan kadang-kadang tangan kirinya menyambitkan Siang-tok-soa, pasir berwarna
hijau yang berbau harum akan tetapi mengandung racun jahat itu.
“Kun Liong,
mari lari bersamaku!” Bi Kiok meloncat ke dekat Kun Liong.
Kun Liong
berseru kepada kakek yang sedang bertanding itu, “Toat-beng Hoatsu, karena
keadaan, terpaksa kita berpisah di sini! Bukan berarti aku melanggar janji!”
“Kalau
begitu mampuslah!”
Saat itu Bi
Kiok sudah menarik lengan Kun Liong dan tiba-tiba tubuh kakek itu menerjang Bu
Leng Ci dan langsung meloncat tinggi ke atas ketika lawannya mundur oleh
terjangan jubah yang dahsyat itu, kemudian dari atas dia melayang ke arah Bi
Kiok.
“Desss!
Desss!”
Bi Kiok
terhuyung oleh angin sambaran jubah, akan tetapi jubah itu membalik ketika Kun
Liong mengangkat lengannya yang terbelenggu itu untuk menangkis.
Bu Leng Ci
sudah menyerangnya lagi dengan hebat sekali, memaksa Toat-beng Hoatsu
melayaninya, ada pun Bi Kiok sudah menggandeng tangan Kun Liong dan mereka
berdua cepat lari dari situ ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu. Kun Liong
hanya menurut saja. Mereka berlari ke pantai Huang-ho, daerah yang berbatu-batu
karang, kemudian Bi Kiok membawanya masuk ke sebuah goa di antara batu-batu
karang.
"Kita
menanti di sini..." Gadis itu berbisik sambil terengah-engah.
Hatinya
masih tegang karena tadi hampir saja dia celaka oleh jubah Toat-beng Hoatsu,
kalau Kun Liong tidak menangkis jubah itu.
Kun Liong
memandang kepadanya sambil tersenyum. "Bi Kiok yang manis, entah sudah
berapa kali kau menolong nyawaku. Pertama, ketika dulu kau menolongku di kuil
itu pada waktu aku ditawan orang-orang Pek-lian-kauw. Kemudian, pada waktu aku
ditawan oleh orang-orang Kwi-eng-pang, kau pun membawa gurumu untuk
menolongku..."
"Hemm,
bagaimana kau tahu?"
"Mudah
saja, dengan menggunakan otak di dalam kepalaku ini. Dan sekarang, lagi-lagi
kau menolongku. Ehh, anak baik, mengapa kau begini baik kepadaku?"
Gadis itu
mengerutkan kedua alisnya, menunduk kemudian tiba-tiba dia meloncat bangkit
dari duduknya di atas batu ketika melihat kedua tangan pemuda itu sudah
terbebas dari belenggu. "Aihhh...! Kau sudah dapat mematahkan belenggu
itu!"
Kun Liong
mengangkat kedua tangannya ke atas dan tersenyum. "Wah, aku lupa ketika
menangkis jubah kakek siluman tadi sehingga aku mematahkan belenggu."
"Kun
Liong...! Kau... kau ternyata lihai... kau memiliki kepandaian yang hebat. Aku
sendiri tak akan dapat mematahkan belenggu tali sutera hitam dari Subo itu,
dan... dan tadi kau mampu menangkis hantaman jubah Toat-beng Hoatsu!"
Kun Liong
memandang dan tersenyum. Sungguh hebat dara ini, pikirnya. Wajah Cia Giok Keng
yang cantik jelita menonjol daya tariknya karena hidungnya, wajah Lim Hwi Sian
membuatnya tergila-gila karena mulutnya yang indah, sedangkan wajah Yo Bi Kiok
ini... hemmm, kedua matanya itulah yang membuat dia tak dapat mengalihkan
pandangannya. Mata itu demikian… indah, bening, hidup! Ataukah karena tarikan
muka itu dingin sekali maka hanya matanya yang tampak hidup dan indah?
Entahlah, akan tetapi benar-benar dia senang sekali memandangi mata itu!
"Begitukah...?"
komentarnya atas dugaan Bi Kiok.
"Akan
tetapi, kenapa engkau tidak membebaskan diri dari tawanan kakek itu? Mengapa
kau mandah saja dibawa pergi?"
"Karena
aku sudah berjanji kepadanya, Nona yang baik, bahwa apa bila kau dibebaskan,
aku suka membawanya ke tempat bokor. Dan dia telah membebaskanmu!"
"Ehh,
kau aneh sekali...! Dan terutama sekali kepalamu, kenapa sampai sekarang gundul
terus?"
"Dan
kau cantik manis sekali! Terutama matamu, Bi Kiok!"
"Ceriwis!"
Bi Kiok berkata dan membungkam, alisnya berkerut dan matanya menyorotkan
kemarahan. Akan tetapi malah menambah manis dalam pandangan Kun Liong.
Kun Liong
terus menatap kedua mata yang indah itu sehingga membuat Bi Kiok menjadi
gelisah dan jengah, juga marah. Dia sendiri merasa heran sekali mengapa dia
selalu ingin menolong pemuda gundul ini! Apakah karena pengalaman mereka
bersama pada waktu kakeknya terbunuh itu merupakan hal yang tidak pernah mampu
dilupakannya? Ataukah karena pemuda ini menjadi kunci rahasia bokor emas yang
diperebutkan?
"Ehh!
Kau... kau Giok-hong-cu...?" Tiba-tiba Kun Liong berseru ketika tanpa
disengaja dia melihat hiasan rambut yang indah di kepala dara itu.
Dara itu
mengerling kepadanya dan di balik kekagetannya, masih saja keindahan kerling
itu berkesan di hati Kun Liong!
"Kalau
benar mengapa?"
Kun Liong
bangkit berdiri, alisnya berkerut, matanya memandang tak senang, telunjuknya
menuding ke arah hidung Bi Kiok ketika dia berkata, "Giok-hong-cu Yo Bi
Kiok, mengapa engkau membunuh Thian Lee Hwesio?"
Bi Kiok
menarik napas panjang. "Hemmm, ternyata engkau sudah tahu pula? Bukan aku
pembunuhnya, Kun Liong. Aku hanya mengantar jenazahnya kepada Perusahaan Sam-to
Piauwkiok di Lam-san-bun untuk membawa jenazah dalam peti itu ke
Siauw-lim-si."
"Siapa
menyuruhmu?"
"Siapa
lagi kalau bukan Subo."
"Subo-mu
Siang-tok Mo-li yang membunuhnya?"
Gadis itu
menggeleng kepalanya. "Bukan. Ehhh, Kun Liong. Mengapa engkau melibatkan
diri dengan segala macam urusan yang tiada sangkut pautnya denganmu?"
"Urusan
Siauw-lim-pai sama dengan urusanku sendiri!"
"Hemmm..."
Dara itu makin terheran-heran. "Kalau begitu, gundulmu itu ada hubungannya
dengan engkau menjadi hwesio Siauw-lim-si?"
Kun Liong
meringis kemudian meraba kepalanya. "Sama sekali tidak, Bi Kiok, siapa
yang membunuhnya dan mengapa?"
"Kau
cari sendiri!"
Tiba-tiba
terdengar seruan panjang dan nyaring, dari jauh, "Bi Kiok...!"
Seruan itu
segera disusul oleh teriakan lain yang parau akan tetapi tak kalah nyaringnya.
"Kun Liong...!"
Yang pertama
adalah teriakan Siang-tok Mo-li, yang ke dua teriakan Toat-beng Hoatsu.
Mendengar namanya dipanggil, Kun Liong bangkit berdiri, akan tetapi tangannya
segera dipegang dan ditarik oleh Bi Kiok. Dia menoleh, kaget melihat tubuh dara
itu menggigil, wajahnya pucat sekali.
"Kau
kenapa...?"
"Sssttt...!"
Bi Kiok berbisik dan menarik lengan Kun Liong masuk makin dalam di goa itu,
sampai mereka tidak kelihatan dari luar, kemudian dia berbisik, "Kalau
sampai Subo atau Toat-beng Hoatsu menemukan engkau, engkau akan celaka, Kun Liong."
"Aku...?
Celaka...? Mengapa? Paling hebat mereka akan memaksaku untuk menunjukkan tempat
aku menyembunyikan bokor tua itu. Biar aku menjumpai mereka."
"Bodoh
kau! Kau kira begitu mudah kau akan menyelamatkan diri? Setelah salah seorang
di antara mereka menemukan bokor, engkau akan dibunuh!"
"Heh?
Mengapa? Tak mungkin!"
"Hemm,
kau masih belum tahu watak mereka. Kalau mereka menemukan bokor, engkau merupakan
orang yang berbahaya karena engkau dapat memberitakan hal itu di luaran. Apa
kau kira percuma saja aku membujuk dan menipu Subo sendiri, kemudian dengan
berani mati aku melarikan engkau ke sini selagi mereka saling bertempur?"
Kun Liong
memandang dan sambil memegang kedua tangan dara itu, dia berseru dengan hati
terharu, "Aihhh... mengapa, Bi Kiok? Mengapa engkau selalu menolongku,
sekali ini bahkan membahayakan dirimu sendiri?"
"Bukan
diriku sendiri, juga engkau. Kau kira kita akan selamat kalau seorang di antara
mereka menemukan kita di sini?"
"Tapi..."
"Ssstttt...!"
Tangan Bi Kiok mendekap mulut Kun Liong dan sejenak mereka berdua tidak
mengeluarkan suara.
"Bi
Kiok...!" Suara itu jelas suara Bu Leng Ci, kemudian terdengar wanita itu
mengomel di depan goa. "Ke mana bocah itu? Mungkinkah dia yang melarikan
Kun Liong? Hemmm..., mungkinkah dia terserang penyakit cinta? Celaka...!"
Kemudian terdengar langkah wanita itu yang amat ringan dari depan goa.
Dari jauh
terdengar gema suara Toat-beng Hoatsu, "Kun Liong...! Hayo lekas ke sini
untuk memenuhi janjimu! Tempat ini sudah terkepung tentara pemerintah, kalau
kita tidak lekas pergi bisa celaka!"
Bi Kiok
memegang lengan Kun Liong erat-erat, seakan-akan dara ini tidak menghendaki
pemuda itu pergi. Kemudian, setelah menanti beberapa lama, keadaan menjadi
sunyi di sekitar situ, akan tetapi dari kejauhan terdengar bunyi terompet dan
ringkik banyak sekali kuda.
Kun Liong
yang masih saling berpegang lengan dengan Bi Kiok, menunduk dan dengan perlahan
dia memegang dagu dara itu, mengangkat muka yang menunduk, memandang wajah itu
kemudian bertanya, "Bi Kiok, mengapa kau melakukan semua ini
untukku?"
"Aku...
aku..." Gadis itu merenggutkan kepalanya dan menunduk kembali. Akan tetapi
Kun Liong kini menggunakan kedua tangannya, memegang kepala gadis itu kemudian
memaksanya menengadah, memandang sepasang mata itu penuh selidik.
"Apakah
benar dugaan gurumu di luar tadi bahwa kau... terserang penyakit cinta? Bi
Kiok, mungkinkah engkau... jatuh cinta kepadaku?"
"Aku...
aku tidak tahu... aku hanya selalu merasa... kasihan padamu dan suka padamu.
Aku... tak pernah dapat melupakanmu, Kun Liong... dan hidup dengan orang-orang
yang tidak disukai di Telaga Kwi-ouw itu... membuat aku selalu teringat padamu.
Tak mungkin aku diam saja melihat kau terancam bahaya..."
Makin
terharu hati Kun Liong. Ditatapnya wajah yang sangat manis itu, mata yang indah
mempesona itu. "Bi Kiok, betapa indahnya matamu..."
Bi Kiok
memejamkan matanya dan terpengaruh oleh rasa haru dan berterima kasih yang
meluap-luap di dalam perasaannya, Kun Liong tidak dapat menahan kemesraan
terhadap gadis itu, dia menunduk dan mencium kedua mata yang terpejam itu!
Naik
sedu-sedan dari dada Bi Kiok. Sejenak dia menggigil seolah-olah seluruh
perasaan kewanitaannya hendak meronta, akan tetapi kemudian dia menjadi lemas,
merangkul dan menyembunyikan muka di dada Kun Liong sambil terisak, "Kun
Liong..."
Pada saat
dia mendekap tubuh dara itu, merasa betapa kepala dengan rambut halus itu
menempel ketat di dadanya, barulah Kun Liong sadar akan perbuatannya tadi. Dia
tidak menyesal, akan tetapi timbul rasa herannya mengapa dia sekarang menjadi
suka sekali mencium sesuatu yang disenanginya!
Dia tadi
mencium sepasang mata indah yang terpejam itu di luar kesadarannya, seperti
otomatis tanpa dikehendakinya, terdorong oleh rasa tertarik yang luar biasa,
kemesraan yang memenuhi hatinya sehingga sekarang pun sepasang lengannya tanpa
disadarinya sedang mendekap tubuh itu dengan kuat. Hal ini baru disadarinya
pula sesudah Bi Kiok terengah-engah dan merintih lirih, "Kun
Liong..."
Kun Liong
mengendurkan dekapannya lantas berbisik, "Bi Kiok, betapa baiknya
hatimu... betapa buruknya nasibmu, sesudah kehilangan segalanya engkau menjadi
murid seorang datuk kaum sesat..."
"Aku
menerima nasib, Kun Liong... dan kuanggap nasibku sangat baik, karena bukankah
masih ada engkau yang mencintaku?"
Perasaan
hati Kun Liong tersentuh oleh pertanyaan ini. Dia lalu balas bertanya, "Bi
Kiok, apakah engkau cinta kepadaku?"
Gadis itu
menarik napas panjang. "Entahlah, aku belum tahu apa itu cinta. Akan
telapi semestinya aku cinta kepadamu karena aku senang sekali berada di
dekatmu, aku ingin selamanya tidak akan terpisah dari sampingmu, aku merasa
kasihan kepadamu, aku suka kepadamu. Ya, kukira aku cinta kepadamu, Kun
Liong."
"Hemm...
sayang sekali. Sebaiknya kalau kau tidak cinta kepadaku."
"Heh?
Mengapa?"
"Karena...
aku tidak bisa membohongimu dengan pengakuan cinta. Tidak! Aku memang suka dan
kasihan kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi, cintakah ini? Kurasa bukan..."
"Tapi...
tapi... kau telah menciumku!"
Kun Liong
tersenyum pahit. Persis sama seperti Hwi Sian! Apakah seperti ini anggapan
semua wanita yang menentukan bahwa ciuman adalah tanda cinta? Apakah orang yang
hanya suka, tanpa cinta yang dimaksudkan itu, tidak boleh mencium? Walau pun
yang mencium dan yang dicium sama-sama rela dan suka?
"Bi
Kiok, aku suka padamu, dan aku suka menciummu, terutama sekali kedua matamu
yang amat indah. Matamu luar biasa sekali, Bi Kiok, seolah-olah aku melihat
telaga bening yang amat dalam di situ, seolah-olah aku melihat angkasa biru
cerah yang amat tinggi... dan aku melihat keindahan terkandung di dalamnya. Aku
suka menciummu, apakah hal ini harus kujadikan alasan membohong bahwa aku cinta
kepadamu?"
"Kun
Liong...!" Bi Kiok merintih dan dua titik air mata mengalir turun dari
matanya.
"Bi
Kiok, jangan menangis...!" Kun Liong meraih kepala itu, didekapnya dan
kembali dia mencium kedua mata itu, mengisap dua butir air mata yang menetes di
pipi. "Aku tidak bisa melihat kau menangis. Maafkan aku kalau aku
menyakiti hatimu, tapi aku lebih suka berterus terang dari pada
membohongimu."
Bi Kiok
merenggutkan kepalanya, menggeser duduknya agak menjauh, kemudian menarik napas
panjang sambil menatap wajah Kun Liong.
"Aku
mengerti... dan aku menerima nasib. Mungkin aku cinta kepadamu, mungkin juga
tidak. Kau lebih tegas dan jujur. Ada pun tentang ciuman tadi... kau tidak
bersalah karena aku pun senang menerimanya, dan..."
"Ssssttt...!"
Kini Kun Liong yang menaruh telunjuk di depan mulutnya.
Kini dia
yang merasa khawatir kalau-kalau Bi Kiok akan celaka karena dia. Hal ini tidak
boleh terjadi. Seribu kali tidak boleh! Kalau seorang di antara dua datuk itu,
atau malah keduanya, menemukan mereka, dia akan melindungi Bi Kiok. Bila mana
perlu dia akan melawan mereka untuk menyelamatkan Bi Kiok.
Akan tetapi
yang terdengar adalah suara derap kaki kuda dan ringkik banyak kuda. Suara kaki
kuda itu berhenti di depan goa dan terdengarlah bentakan nyaring seorang
wanita, jelas bukan suara Bu Leng Ci, "Pemberontak yang berada di dalam
goa! Keluarlah!"
"Ssst...!"
Kembali Kun Liong memberi isyarat kepada Bi Kiok untuk tidak bergerak.
"Hayo
keluar, kalau tidak kami akan membakar dan mengasapi kamu! Kami sudah tahu
bahwa kau berada di dalam goa, ada tapak tangan kakimu di luar!" Kembali
suara wanita yang nyaring itu membentak dari luar goa.
"Bi
Kiok, biarkan aku keluar. Kau bersembunyi di sini saja, sesudah aman kau keluar
dan apa bila bertemu subo-mu, bilang saja bahwa kau tidak melihatku atau kau
karang cerita lain."
Bi Kiok
menggeleng kepala dan kembali dua titik air matanya menetes. Kun Liong cepat
mencium kembali kedua mata itu, lalu berseru keras sambil melangkah keluar.
"Jangan bakar! Aku keluar dan tidak akan melawan!"
Pada saat
dia sampai di depan goa, Kun Liong melihat banyak sekali tentara pemerintah
memenuhi tempat itu, kelihatan gagah menunggang kuda pilihan dan di belakang
masih tampak pasukan berjalan kaki. Yang sudah berada di depan goa agaknya
adalah perwira-perwiranya, akan tetapi semua itu tidak menarik perhatiannya
karena matanya langsung melekat pada tubuh seorang gadis cantik jelita dan
gagah perkasa yang duduk di atas seekor kuda besar, berpakaian indah dan gagah
sekali.
Usia gadis
itu tak akan lebih dari sembilan belas tahun, tubuhnya ramping dan padat dan
jelas mengandung isi tenaga yang kuat. Pakaiannya adalah pakaian seorang
pendekar wanita, seorang perantau atau petualang wanita yang membumbui
kejelitaannya dengan kegagahan yang membuat orang menjadi segan.
Kedua
pergelangan tangannya dilindungi oleh pelindung dari kulit dengan tombol-tombol
besi. Mantelnya berwarna merah jingga, membuat bajunya yang kuning tampak
gemilang. Rambutnya digelung ke atas, tinggi, dengan hiasan untaian mutiara.
Wajah dara ini amat jelita, dan bagi Kun Liong, begitu memandang segera saja
dia terpesona oleh kecantikan itu, terutama sekali oleh bentuk dagu yang
meruncing dan agak menjulur ke depan seperti menantang, dan leher yang panjang
berkulit putih kuning itu.
Ketika dara
itu melihat munculnya Kun Liong, dia segera memerintah para perwira yang berada
di dekatnya, "Tangkap dan belenggu dia!"
"Wah,
wah, nanti dulu, Nona yang cantik jelita! Apa salahku...?"
Sepasang
mata dara yang gagah itu terbelalak, terheran-heran mendengar suara serta
ucapan Kun Liong yang penuh keberanian itu, kemudian pandang matanya berhenti
pada kepalanya yang gundul.
"Jadi
engkaukah ini...?" Dia menegur, alisnya berkerut dan dagunya semakin ke
depan. Manis bukan main bagi Kun Liong!
"Engkau
Kun Liong!"
Kun Liong
melebarkan matanya yang sudah besar, alisnya yang tebal berbentuk golok itu
bergerak-gerak, otak di dalam kepala gundulnya mengingat-ingat, akan tetapi
tetap saja dia tidak dapat mengenal nona yang dagu dan lehernya membuat dia terpesona
itu.
"Nona...
siapakah...?"
Dara itu
langsung merengut. "Huhh! Sungguh memalukan! Yang tidak berubah hanyalah
kepala gundulmu, akan tetapi watakmu telah berubah seperti bumi dengan langit.
Betapa akan malu dan menyesalnya hati Bun Hwat Tosu jika melihat bahwa pemuda
yang diaku murid itu ternyata sekarang telah gulung-gulung dengan segala macam
pemberontak dan orang jahat!"
"Eh-ehh-ehhh,
nanti dulu, Nona! Enak saja memaki-maki orang!"
"Kau
kelihatan sebagai sahabat seorang seperti Toat-beng Hoatsu, melakukan
perjalanan bersama. Masih hendak kau sangkalkah itu?"
"Memang
benar melakukan perjalanan bersama, akan tetapi bukan sahabat. Aku hanya hendak
mengantarkan dia ke tempat bokor... ehhh..." Kun Liong terkejut.
Sikap gadis
itu membuat dia merasa penasaran dan marah sehingga dalam memberikan keterangan
untuk membela diri, dia sampai lupa dan menyebut-nyebut tentang bokor.
Gadis itu
dan para perwira jelas kelihatan terkejut mendengar ini. "Tangkap
dia!" Gadis itu membentak.
Para perwira
segera melompat turun dari kuda dan ada lima perwira mengulurkan tangan
mencengkeram pundak dan lengan Kun Liong. Seorang yang membawa tali kuat segera
mengikat kedua lengan pemuda itu.
Akan tetapi
Kun Liong membentak, "Mundurlah kalian!" Sekali dia menggerakkan
kedua lengan, tali itu putus dan lima orang itu terjengkang ke belakang!
"Hemmm,
Yap Kun Liong! Kau hendak melawan pasukan pemerintah? Kau pemberontak
rendah!"
"Aku
bukan pemberontak dan aku tidak ingin melawan siapa-siapa. Kalau kau
betul-betul hendak menawan aku, katakan sebab-sebabnya dan apa
kesalahanku!"
"Pertama,
kau sudah bergaul dengan datuk kaum sesat, berarti kau tentu anak buahnya dan
karena kaum sesat menjadi pemberontak, kau pun kucurigai menjadi pemberontak.
Kedua, kau mengaku sendiri bahwa kau hendak menunjukkan tempat penyimpanan
bokor emas milik Suhu, karena itu engkau harus kutangkap, selain untuk
menunjukkan tempat bokor, juga untuk diadili sebagai seorang pembantu
pemberontak!"
"Apa...?
Bokor emas milik... suhu-mu...?" Aihhh, sekarang aku ingat! Engkau adalah
anak perempuan yang berani dahulu itu, murid Panglima Besar The Hoo! Kau... kau
Souw Li Hwa!"
Gadis itu
mencibirkan bibir yang kecil mungil dan di dagunya timbul lesung pipit. Manis
sekali!
"Kalau
sudah tahu, apakah engkau masih juga hendak melawan?"
"Wah,
dasar untungku...! Aku tak akan melawan, akan tetapi karena engkau yang hendak
menangkap aku, harus engkau sendiri pula yang membelengguku. Kalau orang lain,
aku tidak mau!"
"Kurang
ajar! Hayo, tangkap dia!"
Dia itu
memang benar adalah Souw Li Hwa, murid Panglima Besar The Hoo yang kini telah
menjadi seorang dara dewasa yang sangat lihai. Dia mendapat tugas dari suhu-nya
untuk membantu pemerintah, turut mengawal sepasukan tentara untuk mengepung
para pemberontak yang menurut suhu-nya berpangkalan di Ceng-to dan di sepanjang
Sungai Huang-ho dekat muara.
Mendengar
perintah nona itu, sepuluh orang tentara dan perwira meloncat turun dari atas
kuda masing-masing lantas menubruk maju. Akan tetapi berturut-turut sepuluh
orang ini terlempar dan Kun Liong masih berdiri tegak di depan goa sambil
tersenyum memandang kepada Souw Li Hwa!
Para perwira
marah bukan main. Salah seorang perwira tinggi besar yang brewok sudah
menggerakkan goloknya membacok kepala pemuda itu.
"Heii,
jangan...!" Li Hwa terkejut dan membentak ketika melihat betapa pemuda
berkepala gundul itu sama sekali tidak mengelak, dan dia melihat betapa golok
besar yang tajam berkilau itu menyambar ke arah kepala itu. Namun seruannya
terlambat, karena golok itu sudah menyambar, tepat mengenai kepala Kun Liong
yang sama sekali tak bergerak dari tempatnya.
"Krookk!"
Perwira
brewok tinggi besar itu segera melongo memandang goloknya yang telah rompal seolah-olah
tadi telah dipakai membacok sebuah bola baja! Tangan Kun Liong mendekap mukanya
yang melongo itu dan sekali Kun Liong mendorong, perwira itu terjengkang ke
belakang!
"Mundur
semua!" Li Hwa membentak.
Dara ini
marah bukan main akan tetapi diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian
pemuda kepala gundul itu. Semua perwira yang sudah marah dan mencabut
senjatanya terpaksa mundur lagi mendengar bentakan Li Hwa dan mereka hanya
mengurung serta memandang dengan marah.
Li Hwa
meloncat turun dari kuda, tangan kanannya meraba gagang pedang dan dia pun
menghampiri Kun Liong. Sambil tersenyum Kun Liong merangkap kedua tangannya dan
menjulurkan kedua lengan itu ke depan, ke arah Li Hwa!
"Kenapa
kalau kepadaku kau tidak melawan, tetapi kepada orang lain melawan?" Li
Hwa tidak dapat menahan ke-inginan tahunya, bertanya.
"Banyak
sebabnya," kata Kun Liong, dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa Bi
Kiok yang berada di dalam goa tidak mengeluarkan suara. "Pertama, karena
kita sudah saling mengenal, ke dua karena agaknya aku tak tega untuk menolak
permintaan seorang gadis cantik, dan ke tiga, aku hendak membuktikan bahwa
semua tuduhanmu itu kosong."
"Bawa
tali ke sini!" Li Hwa memerintah.
Seorang
perwira datang berlari sambil membawa sehelai tali panjang yang kuat! Dengan
gerakan cepat Li Hwa membelenggu kedua pergelangan tangan Kun Liong.
"Bawa
seekor kuda ke sini!" Kembali dia memerintah.

Sesudah
seekor kuda dituntun dekat, Li Hwa berkata kepada Kun Liong, "Sekarang kau
naiklah ke kuda ini."
"Wah,
terima kasih. Aku seperti tamu agung saja, disediakan kuda untukku!" Kun
Liong tersenyum sambil memandang dagu yang manis itu.
"Cerewet
kau! Sekarang engkau menjadi tawananku, tahu?" Li Hwa menggunakan sisa
tali untuk mengikat kedua kaki Kun Liong yang berada di kanan kiri perut kuda,
kemudian sisanya dia ikatkan di leher pemuda itu, agak kendur, lalu melempar
ujung tali ke arah perwira brewok yang tadi membacok kepala Kun Liong.
"Kwan-ciangkun,
kau tuntun dia!" katanya. Gadis itu lalu melompat ke atas kudanya dan
memberi isyarat dengan tangan kepada pasukannya untuk meninggalkan tempat itu.
"Aihhh!"
Perwira brewok itu berseru kaget dan tali yang dipegang ujungnya tadi terlepas
dari tangannya. Dia meloncat turun lagi dari kuda, menyambar tali dan begitu
dia naik ke atas kudanya, Kun Liong segera menggerakkan kepalanya dan... tali
itu kembali terlepas dari tangan Si Perwira Brewok.
Tentu saja
dia marah sekali dan setelah dia meloncat turun dan menyambar tali, dia lalu
melibat-libatkan ujung tali itu pada tangan kanannya sebelum dia melompat naik
ke atas kuda. Kembali Kun Liong menggerakkan kepalanya, ada pun Si Perwira
mempertahankan sehingga terjadi tarik-menarik dan akhirnya tubuh perwira itu
terpelanting dari atas kuda, jatuh berdebuk.
Sungguh sial
baginya, dia jatuh dengan pinggul menimpa sebutir batu sebesar kepalan tangan,
maka dia mengaduh sambil meringis kesakitan. Beberapa orang perwira lainnya
yang tadinya ikut marah, kini hampir tidak dapat menahan ketawa menyaksikan
peristiwa yang aneh akan tetapi juga lucu itu.
"Yap
Kun Liong, apakah kau benar-benar hendak memberontak dan melawan?" Li Hwa
membentak marah.
"Terserah
penilaianmu, akan tetapi karena kau yang mencurigai aku, kau yang menawan dan
membelengguku, maka harus kau pula yang menuntunku."
"Manusia
aneh dan gila!" Li Hwa mengomel.
Akan tetapi
karena dia tahu bahwa para perwira bawahannya tidak ada yang sanggup menandingi
Si Gundul ini, agar tidak menghambat perjalanan dia cepat menyambar ujung tali,
meloncat naik ke atas kuda dan dengan demikian menuntun Kun Liong yang duduk
sambil tersenyum di atas kudanya dan pandang matanya tidak pernah terlepas dari
wajah dara yang menawannya itu.
"Tunjukkan
aku di mana tempat bokor itu," kata Li Hwa.
"Memang
aku hendak mengembalikan bokor itu kepada gurumu..."
"Bohong!
Siapa percaya omonganmu?"
"Percaya
atau tidak terserah."
"Kau
tadi bilang hendak menyerahkannya kepada Toat-beng Hoatsu."
"Siapa
bilang aku hendak menyerahkan? Aku hanya bilang bahwa aku akan menunjukkan dia
tempat di mana aku menyembunyikan bokor itu."
"Hemmm...
omongan plintat-plintut! Bukankah itu sama saja?"
"Sama
sekali tidak sama. Jika telah kutunjukkan tempatnya, belum tentu aku membiarkan
dia mengambilnya."
"Hemm,
kalau begitu mengapa kau hendak menunjukkan tempatnya kepada iblis tua
itu?"
"Karena...
perjanjian!"
Li Hwa
menoleh dan memandang Kun Liong dengan penuh selidik. Akan tetapi pemuda itu
tetap tenang dan kini dia memperoleh kesempatan banyak untuk menikmati
keindahan dagu dan leher itu.
"Kau
cantik, Li Hwa..."
Li Hwa
mendengus. "Huh! Lagakmu tiada ubahnya seorang jai-hwa-cat, seorang
penjahat golongan hitam yang cabul dan hina!"
"Wah-wah-wah,
mengatakan kau cantik apakah merupakan perbuatan jahat, Li Hwa? Kau memang
cantik, habis bagaimana? Apakah kau lebih senang kalau aku membohong dan
mengatakan bahwa kau buruk?"
"Jangan
mengatakan apa-apa!" Li Hwa membentak dan
Kun Liong
hanya mengangkat pundak dan alis, menggeleng kepalanya yang gundul, di dalam
hatinya makin heran terhadap sikap wanita. Makhluk yang aneh memang, pikirnya.
Setiap berjumpa dengan seorang wanita, lain lagi wataknya dan makin lama makin
aneh!
"Hayo
jawab!" Setelah agak lama berdiam, Li Hwa membentak.
Dengan
tangan kirinya Li Hwa membetot tali sehingga kuda yang ditunggangi pemuda itu
tersentak maju ke depan. Hal ini adalah karena Kun Liong menggunakan tenaga
sinkang untuk menjepit perut kuda sehingga biar pun dia yang dibetot ke depan,
yang merasakan adalah kuda yang ditungganginya!
Kun Liong
diam saja.
"Kun
Liong, hayo lekas kau jawab pertanyaanku tadi, di mana tempat bokor itu.
Tunjukkan kepadaku!"
Tiada
jawaban. Li Hwa menengok marah dan matanya mendelik lebar ketika dia melihat
pemuda gundul itu duduk tenang di atas kudanya dan tersenyum kepadanya.
"Mesam-mesem
jual lagak kau! Ditanya tidak mau menjawab malah tersenyum-senyum. Memangnya
kau gagu?"
"Hayaaa...
sudah nasibku, jatuh dari tangan dara manis yang satu kepada tangan dara cantik
yang lain, makin lama makin aneh dan makin menarik! Souw Li Hwa, baru saja kau
bilang kepadaku bahwa aku jangan mengatakan apa-apa, setelah aku diam tidak
berkata apa-apa, kau bahkan marah-marah dan memaki aku gagu. Sebenarnya
bagaimana sih kehendakmu, Nona cantik?"
Li Hwa
menggigit bibirnya. Ingin dia memaki-maki akan tetapi takut kalau didengar oleh
para perwira yang berada di belakang. Dia memang mendahului mereka dengan jarak
antara sepuluh meter.
"Kun
Liong, jangan main-main kaul! Memang kau kira aku ini siapa?"
"Engkau
adalah Souw Li Hwa, seorang dara remaja yang cantik jelita seperti bidadari dan
gagah perkasa seperti Hoan Lee Hwa (tokoh dalam dongeng Sie Jin Kwi), murid
panglima besar yang sakti The Hoo."
"Kalau
sudah tahu, mengapa kau berani kurang ajar?"
"Aihhhh...
benar-benar aku menjadi bingung menghadapimu, Li Hwa, ataukah aku harus
menyebutmu Lihiap, atau Li-ciangkun? Apa sih kekurang ajaranku?"
"Beberapa
kali kau menyebut aku nona cantik!"
"Lagi-lagi
itu! Habis kalau memangnya engkau cantik jelita..."
"Sudahlah...
sudahlah!" Li Hwa berkata kewalahan. "Katakan saja di mana adanya
bokor emas milik Suhu itu."
"Kau
pimpin pasukanmu melalui sepanjang pantai Sungai Huang-ho sampai... ehh…, apa
kau masih ingat ketika dahulu kau ditawan? Nah, di dekat sanalah, di pantai
Huang-ho yang airnya tidak begitu dalam, banyak batu-batu besar."
Li Hwa
mengerutkan alisnya. "Kalau begitu, tidak jauh lagi dari sini."
Dia kemudian
memberi aba-aba kepada pasukannya dan pasukan itu bergerak menuju ke tepi
Sungai Huang-ho, lalu melanjutkan perjalanan di sepanjang sungai. Dalam
perjalanan ini, Kun Liong diminta menceritakan bagaimana dia dapat menemukan
bokor itu.
Pemuda itu
menceritakannya dengan singkat tanpa menyebut nama Bi Kiok beserta yang
lain-lainnya. Hanya diceritakan bahwa bokor itu tadinya dicuri oleh Phoa Sek
It, kemudian hilang di sungai Huang-ho dan secara kebetulan dia menemukannya,
betapa kemudian hampir terjatuh ke tangan Phoa Sek It kembali, akan tetapi dia
berhasil melarikannya dan menyembunyikannya di tempat itu.
Li Hwa
merasa terheran-heran mendengar cerita Kun Liong itu. Semua orang di dunia
kang-ouw mencari bokor itu, dan suhu-nya juga sudah menyebar orang untuk
mencarinya karena suhu-nya khawatir bahwa kalau bokor terjatuh ke tangan orang
jahat, tentu akan membahayakan. Siapa sangka, bokor yang menimbulkan heboh itu
ditemukan oleh bocah gundul aneh yang lalu menyimpannya begitu saja di pinggir
sungai dan membiarkannya sampai sepuluh tahun!
"Engkau
telah salah menangkap orang, Li Hwa. Bukan aku tak suka menjadi tawananmu, akan
tetapi engkau sungguh keliru kalau menyangka aku pemberontak. Apakah Paman Cia
Keng Hong tidak melaporkan ke kota raja?"
Mendengar
disebutnya nama pendekar ini, Li Hwa amat terkejut. "Kami justru mendengar
tentang pemberontakan dari beliau."
"Ha-ha!
Dan tahukah engkau dengan siapa Paman Cia Keng Hong tiba di Ceng-to dan
mengintai para pemberontak mengadakan perundingan? Dengan aku! Cia-supek (Paman
Guru Cia) berpisah dariku setelah kami berhasil menyelamatkan seorang gadis
yang tentu kau kenal karena dia mengaku masih cucu murid gurumu, orangnya
cantik manis seperti engkau, terutama bibirnya."
Li Hwa
membelalakkan matanya. "Siapa yang percaya omonganmu? Yang jelas menurut
penyelidikan orangku, engkau melakukan perjalanan bersama Toat-beng Hoatsu, dan
kau bermaksud menyerahkan bokor kepadanya."
"Hanya
untuk menyelamatkan seorang gadis."
"Hemmm...
gadis lagi!"
"Ya,
seorang gadis lain, juga cantik jelita, dibandingkan dengan engkau... hemmm,
sukar juga mengatakan siapa lebih manis, seperti bunga mawar dengan bunga
seruni!" Tentu saja yang dimaksudkannya bunga seruni adalah Bi Kiok
(Seruni Cantik), sesuai dengan namanya.
"Engkau
memang mata keranjang!"
Kun Liong
tertawa. "Kalau dimaksudkan suka melihat wanita cantik, semua laki-laki
mata keranjang! Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita cantik?"
"Yang
kau katakan cucu murid guruku itu, siapakah namanya?"
"Gadis
dengan bibir manis sekali itu? Liem Hwi Sian..."
"Wah,
murid Gak-suheng (Kakak Seperguruan Gak) di Secuan?"
"Mungkin
masih ada lagi dua orang suheng-nya, kalau tidak salah namanya Poa Su It dan
Tan Swi Bu. Dan Liem Hwi Sian itu, selain bibirnya manis sekali, juga dia suka
kepada... kepalaku yang gundul. Mungkin kau benci kepada kepa-laku, ya?"
"Di
mana dia sekarang?" Li Hwa tak mempedulikan pertanyaan yang dianggapnya
kurang ajar itu.
"Sudah
diselamatkan oleh Tan Swi Bu. Nah, apakah engkau masih menuduh aku seorang
pemberontak?"
"Kita
lihat saja nanti keputusan pengadilan di kota raja."
"Wah-wah,
setelah kutunjukkan kepadamu tempat bokor emas itu, engkau masih hendak
menawanku dan membawaku ke kota raja?"
"Tentu
saja!"
"Biar
pun sudah kuceritakan semua kepadamu?"
"Aku
tidak percaya ceritamu."
"Biar
pun aku sudah menunjukkan tempat aku menyimpan bokor kepadamu?"
"Tadinya
kau pun menunjukkan kepada datuk kaum sesat."
"Ha-ha-ha-ha,
Nona manis! Mengapa engkau masih menggunakan segala macam alasan kosong? Bilang
saja bahwa engkau senang sekali dengan kehadiranku ini dan tidak ingin segera
berpisah dari sampingku. Bukan demikiankah sebenarnya? Aku pun suka sekali
berdampingan denganmu, Li Hwa."
Li Hwa marah
sekali, menahan kudanya sehingga kuda Kun Liong menyusul dekat, lalu tangannya
menampar kepala Kun Liong. Dari tamparan itu pemuda ini dapat mengukur bahwa Li
Hwa bukan menyerangnya, namun hanya sekedar melepas kemarahan dengan
menamparnya dan hanya menggunakan tenaga biasa. Maka dia pun sama sekali tidak
mengelak, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sinkang.
Akan tetapi,
jika tadi dia menggunakan Pek-in-sinkang yang dipelajarinya dari Tiong Pek
Hosiang hingga kepalanya mampu menahan bacokan golok, sekarang dia menggunakan
sinkang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, yang diciptakan oleh kakek sakti
itu untuk melawan Thi-khi I-beng, yaltu yang mengandung tenaga membetot
berdasarkan Im-kang lemas.
"Plakkk!"
Dan telapak tangan kiri dara itu melekat pada kulit kepala Kun Liong!
Li Hwa
berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi benar-benar telapak tangannya
telah melekat ketat sehingga wajah gadis ini segera berubah pucat karena baru
sekarang dia mengalami hal yang seaneh ini!
"He-heh-heh,
engkau pun agaknya amat suka dengan kepala gundulku, seperti Hwi Sian, maka kau
mengelusnya tiada hentinya."
Muka Li Hwa
menjadi merah sekali dan dia mengerling ke belakang. Kalau para perwira melihat
hal ini, tentu mengira bahwa dia benar-benar membelai Si Kepala Gundul! Maka dia
cepat menggunakan jari tangan kirinya untuk menotok ke arah pundak Kun Liong.
"Wahhh...
begini kejamkah engkau, Li Hwa?" Kun Liong berkata dan segera melepaskan
pengerahan sinkang-nya sehingga telapak tangan kanan gadis itu terlepas
kembali.
Mendengar ucapan
ini, Li Hwa mengurungkan niatnya menotok. Dia tadi menggunakan Ilmu Menotok
It-ci-sian yang amat hebat dari gurunya, yaitu ilmu menotok dengan sebuah jari
yang dilakukan dengan pengerahan sinkang khas sehingga totokan itu mengeluarkan
angin dingin yang luar biasa!
Li Hwa
memandang wajah Kun Liong dan diam-diam dia merasa kagum dan juga kaget sekali
di dalam hatinya. Demonstrasi tenaga sinkang yang diperlihatkan Kun Liong tadi
ketika kepalanya menerima bacokan golok tidaklah terlalu mengherankan, karena
kepala pemuda itu gundul sehingga tentu saja tidak takut rambutnya rusak.
Akan tetapi
apa yang diperlihatkannya tadi, pada saat kepala itu dapat ‘menangkap’ dan
menempel telapak tangannya, benar-benar sudah membuktikan bahwa pemuda gundul
yang ugal-ugalan ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!
Beberapa
hari kemudian, pasukan yang dipimpin Souw Li Hwa dan berkekuatan seratus lima
puluh orang itu sampai di tepi sungai seperti yang ditunjukkan oleh Kun Liong.
Akan tetapi betapa kaget dan heran hati pemuda itu melihat perubahan besar yang
terjadi di tempat itu.
Tepi sungai
yang dahulunya penuh dengan batu-batu besar itu, kini telah menjadi sebuah
perkampungan yang dikelilingi pagar tembok! Dan agaknya batu bulat yang
berbentuk kepala manusia itu, di mana dia menyimpan bokor emas dahulu, berada
tepat di tengah-tengah dusun itu.
"Wah,
kenapa sekarang menjadi perkampungan? Agaknya perkampungan nelayan dan benda
itu kusimpan di situ..."
Li Hwa
mengerutkan alisnya. "Sungguh ceroboh sekali! Hayo kita cepat menyelidiki
ke dalam dusun itu."
Dia segera
menyuruh para perwiranya dan berbondong-bondong pasukan itu memasuki
perkampungan di pinggir sungai itu. Li Hwa dan Kun Liong yang menjalankan
kudanya paling depan, makin terheran-heran melihat betapa kampung itu sunyi
sekali dan agaknya kosong.
Akan tetapi,
setelah semua memasuki dusun, mendadak terdengar teriakan-teriakan dari segenap
penjuru. Dari semua pintu gerbang datang menyerbu banyak sekali orang, ada yang
berpakaian biasa, ada yang berseragam, dan bahkan ada juga sedikitnya tiga
puluh orang asing berkulit putih yang turut menyerbu dengan pedang panjang
melengkung di tangan kanan dan senjata api di tangan kiri!
Tentu saja
pasukan yang dipimpin oleh Li Hwa menjadi kaget dan langsung kacau-balau karena
mengalami serangan tiba-tiba yang sama sekali tidak disangkanya itu. Barulah Li
Hwa tahu bahwa tempat itu ternyata sekarang sudah dijadikan sarang oleh
gerombolan pemberontak! Maka sambil berseru keras dia lantas bergerak ke depan
sambil mencabut pedang, merobohkan dua orang musuh sekaligus. "Basmi para
pemberontak!"
Perang yang
kacau-balau terjadi di perkampungan nelayan yang kini telah menjadi sarang para
pemberontak yang bersekutu dengan orang-orang kulit putih itu. Ledakan-ledakan
senjata api terdengar, akan tetapi karena pertempuran itu terjadi dalam jarak
dekat, maka senjata-senjata api yang memerlukan waktu untuk mengisi mesiu itu
kurang praktis, dan karena itu suara ledakan makin mengurang, diganti teriakan
yang diseling suara senjata tajam bertemu!
Li Hwa sudah
meloncat turun dari kudanya dan dara perkasa ini lalu mengamuk dengan
pedangnya. Sepak terjangnya hebat bukan main, menggetarkan hati para
pemberontak karena ke mana pun pedangnya berkelebat, sinar pedang itu menyambar
dan seorang lawan tentu roboh.
"Darr!
Darr!"
Dua orang
asing yang menyaksikan sepak terjang Li Hwa sudah menyerangnya dengan senjata
api. Namun dara itu sudah mendengar dari gurunya tentang bahayanya senjata
rahasia orang kulit putih ini, maka begitu tadi dia melihat dua orang itu
mengacungkan senjata api ke arahnya, dia sudah melempar diri ke bawah, dan
langsung dari bawah tubuhnya meluncur ke depan didahului sinar pedangnya.
Sebelum dua
orang kulit putih itu sempat mengisi pistol mereka dan masih terheran-heran
melihat betapa dara cantik yang luar biasa itu tiba-tiba lenyap, sinar pedang
menyambar mereka. Mereka berteriak dan langsung roboh dengan perut mengucurkan
darah, karena ujung pedang Li Hwa telah menembus perut mereka yang gendut!
"Singggg...
trang-trang...!"
Li Hwa
terkejut juga pada saat pedangnya bertemu dengan pedang seorang lawan yang
mempunyai tenaga kuat juga sehingga pedangnya terpental. Cepat dia memandang
dan ternyata yang memegang pedang dan menyerangnya dengan hebat tadi adalah
seorang pemuda kulit putih yang bertubuh tinggi dan tampan, berpakaian mewah
dan pemuda itu memandangnya dengan mulut tersenyum dan mata jalang.
"Sungguh
hebat...!" Pemuda kulit putih itu berkata dengan lancar biar pun suaranya
agak kaku, "Pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang dara yang cantik
jelita!"
"Anjing
putih biadab, engkaukah yang membujuk para pemberontak untuk mengkhianati
negaranya?" Li Hwa membentak marah.
"Ha-ha-ha-ha,
urusan pemberontakan adalah urusan mereka sendiri. Kami hanya sahabat mereka.
Nona, sayang sekali kalau kau yang begini muda belia dan cantik jelita menjadi
korban di dalam perang ini. Mari kau ikut saja bersamaku, jangan khawatir, aku
adalah Hendrik Selado, dan engkau akan senang sekali menjadi sahabat
baikku!"
"Mampuslah!"
Li Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi, pedangnya bergerak menyambar
ke depan.
Hendrik
Selado terkejut, silau matanya melihat sinar pedang yang bergulung-gulung itu.
Akan tetapi, dia mampu menangkisnya dan balas menyerang karena dia maklum bahwa
betapa pun muda dan cantiknya, dara itu adalah seorang pendekar wanita yang
memiliki kepandaian tinggi.
Terjadilah
pertandingan antara kedua orang ini dan dapat dibayangkan betapa kaget hati
Hendrik ketika dia mendapat kenyataan bahwa pedang dara itu amat sukar dilawan.
Biar pun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan sudah mengeluarkan semua
jurus ilmu pedangnya yang dia pelajari dari ayahnya, namun tetap saja dia terus
terdesak sehingga dia harus mempertahankan diri sambil mundur-mundur. Kemudian
Hendrik membalikkan tubuh dan melarikan diri!
"Keparat,
hendak lari ke mana kau?"
Oleh karena
Li Hwa menduga bahwa tentu pemuda asing yang lihai itu yang memimpin rombongan
orang asing yang membantu para pemberontak, maka dia cepat melakukan
pengejaran.
Sementara
itu, ketika tadi Kun Liong melihat perang kecil terjadi dan melihat betapa
sepak terjang Li Hwa hebat sekali, dan meski pun berhadapan dengan pemuda asing
bernama Hendrik itu dara perkasa ini sama sekali tidak terdesak, secara
diam-diam Kun Liong telah mematahkan belenggu kaki tangannya, meloncat turun
dari kudanya lantas pergi mencari tempat di mana dia dahulu menyembunyikan
bokor emas.
Dia tertegun
dan merasa bingung ketika melihat betapa tempat di mana dahulu terdapat
sebongkah batu bulat berbentuk kepala, kini sudah dibangun sebuah rumah papan
yang besar! Agaknya batu bulat itu selama bertahun-tahun ini sudah teruruk
tanah sehingga hanya kelihatan menonjol sedikit dan kelihatan di luar dinding
rumah itu.
Kun Liong
meneliti tempat itu dan dia merasa yakin bahwa memang batu yang menonjol
sedikit itulah batu yang dahulu dijadikan tanda. Di bawah batu itulah
disimpannya bokor emas. Akan tetapi batu itu telah teruruk, paling sedikit
teruruk sampai hampir dua meter dalamnya, dan di situ didirikan rumah.
Bagaimana dia dapat mencari benda pusaka itu yang tersembunyi di bawah batu
tanpa membongkar rumah itu dan menggali tanah yang menguruk batu? Sedangkan di
tempat itu pun terjadi perang campuh antara para prajurit anak buah Li Hwa
melawan tentara pemberontak yang dibantu orang-orang asing.
Selagi Kun
Liong berdiri bingung bagaimana dia akan bisa mendapatkan kembali benda pusaka
yang terpendam di bawah bangunan itu, tiba-tiba saja dia melihat Hendrik
berlari memasuki pondok itu, dikejar oleh Li Hwa yang berteriak nyaring,
"Manusia
biadab, hendak lari ke mana kau?"
Kun Liong
melihat betapa Hendrik sudah keluar lagi dari pintu samping dan membidikkan
senjata apinya ke dalam rumah yang dimasuki Li Hwa. Pemuda itu sangat terkejut,
dapat menduga bahwa pemuda asing itu menjebak Li Hwa, maka dia berteriak,
"Li
Hwa, hati-hati...!"
"Darrr...
blungggg...!"
Kun Liong
cepat membuang diri ke atas tanah ketika terjadi ledakan hebat itu. Kiranya
Hendrik telah meledakkan mesiu yang berada di dalam rumah itu dan agaknya rumah
itu merupakan gudang mesiu! Rumah besar itu hancur, dan batu bulat juga
terbongkar lalu terlempar sehingga tanah di mana batu beserta rumah tadi
berdiri, kini menjadi semacam kubangan besar. Air sungai segera membanjir masuk
ke dalam lubang ini.
"Bokor...!
Di situ...!" Terdengar teriakan-teriakan dan tempat yang kini penuh dengan
air sedalam pinggang itu sekarang diserbu oleh para prajurit kedua pihak, bukan
hanya untuk melanjutkan perang, melainkan terutama sekali untuk memperebutkan
bokor emas yang tadi tampak di dalam kubangan sebelum air membanjirinya.
Orang-orang
asing yang membantu pemberontak juga berlompatan memasuki kubangan penuh air
dan ikut pula berebutan, memperebutkan benda yang telah mereka kenal akan
tetapi yang kini tidak tampak lagi karena tertutup air. Mereka memperebutkan
bokor emas yang tadi hanya tampak sekelebatan sebelum terendam air dan yang
hanya terlihat oleh beberapa orang yang berteriak tadi.
Akan tetapi
pertempuran itu tidak berlangsung lama. Senja sudah mendatang dan para prajurit
anak buah Li Hwa terpaksa diperintahkan mundur oleh para perwiranya karena
mereka merasa amat berat menghadapi serbuan para pemberontak yang jumlahnya
lebih banyak, apa lagi karena mereka juga tidak lagi melihat Souw Li Hwa, dara
perkasa yang mereka andalkan dan yang menjadi pemimpin mereka.
Dengan
meninggalkan teman-teman yang menjadi korban, dan menolong mereka yang terluka,
sisa pasukan yang kurang lebih tinggal seratus orang lagi itu melarikan diri
keluar dari perkampungan yang menjadi sarang pemberontak itu, dikejar oleh para
pemberontak yang akhirnya membiarkan mereka pergi setelah mereka jauh dari
perkampungan.
Di tempat
bekas pondok yang kini menjadi kubangan air masih tampak orang-orang asing dan
para prajurit pemberontak mencari-cari, akan tetapi akhirnya mereka
terheran-heran mengapa tidak ada yang berhasil menemukan pusaka itu.
Yuan de
Gama, pemuda tampan putera pemilik Kapal Kuda Terbang yang juga turut bertempur
dalam perang kecil tadi, memimpin sendiri pencarian di dalam kubangan, akan
tetapi segera melepaskan harapan, meloncat keluar dari kubangan dan mengomel.
"Heran
sekali, ke mana perginya Hendrik? Hentikan semua pencarian yang sia-sia ini,
akan tetapi lakukan penjagaan di sekitar kubangan, jangan biarkan orang
mendekatinya."
Yuan de Gama
segera mengatur penjagaan beberapa orang prajurit secara bergantian di
sekeliling kubangan, lalu dia memasuki pondok dan berganti pakaian karena
pakaiannya kotor penuh lumpur, juga pundaknya terluka sedikit. Sesudah itu dia
keluar dari pondok untuk mencari Hendrik.
Dia dan
Hendrik kebetulan sekali berada di situ memimpin rombongan orang-orangnya
mewakili gurunya, Legaspi Selado ketika tadi datang pasukan pemerintah sehingga
terjadi perang kecil di situ dan mereka berhasil mengusir pasukan musuh itu.
Sekarang dia
harus cepat mengadakan perundingan dengan Hendrik, putera gurunya itu, karena
tempat itu merupakan tempat yang sangat berbahaya. Sesudah pihak pemerintah
mengetahui bahwa tempat itu mereka jadikan sarang, tentu akan datang pasukan
yang lebih besar untuk menghancurkan mereka. Namun batang hidung Hendrik sama
sekali tak nampak.
Ketika ada
seorang anak buahnya yang disebar untuk mencari Hendrik datang kepadanya dan
berbisik-bisik sambil tersenyum menyeringai, Yuan de Gama memukul telapak
tangan kirinya sendiri dan memaki gemas,
"Terkutuk!
Dia selalu merusak tugas dengan kesenangan pribadi yang kotor!"
Sesudah
berkata demikian Yuan de Gama kemudian berjalan cepat, pergi menuju ujung
perkampungan itu, bekas hutan yang sudah dibabat, akan tetapi masih menjadi
tempat sunyi di mana terdapat sebuah pondok kecil yang di depannya terpasang
sebuah lampu. Sunyi bukan main di situ.
Yuan de Gama
menghampiri pondok dari belakang dan ketika dia menyelinap dari balik pohon dan
memandang ke samping pondok, dia pun berusaha menahan makiannya. Dia melihat
gadis cantik yang tadi dikenalnya sebagai pemimpin pasukan pemerintah sedang
terbelenggu dengan rantai besi di tiang pondok, ada pun di dekat gadis itu
bernyala api unggun yang makin lama makin mendekati sebungkus mesiu yang
ditaruh di dekat kaki Si Gadis!
Gadis itu
bukan lain adalah Souw Li Hwa! Bagaimana dia dapat terbelenggu di sana? Ketika
dia meloncat ke dalam pondok mengejar Hendrik, pemuda asing yang cerdik itu
telah meledakkan mesiu dengan pistolnya. Ledakan dahsyat itu secara aneh sekali
tidak menewaskan Li Hwa, karena dia telah terlempar oleh hawa ledakan dan
terbanting jatuh pingsan. Dalam keadaan pingsan ini, Hendrik yang kagum dan
sudah tergila-gila melihat kecantikannya, lalu menyambarnya dan memondongnya
pergi ke dalam pondok sunyi itu.
Ketika dia
siuman, Li Hwa mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dengan kaki tangan
terbelenggu dan dia melihat bekas lawannya, pemuda asing tadi, duduk di pinggir
pembaringan sambil tersenyum-senyum.
"He,
kau sudah sadar, manis?"
Sejenak Li
Hwa bingung, kemudian dia teringat akan semua pengalamannya dan segera
membentak, "Anjing biadab! Hayo bunuh aku, atau segera lepaskan aku dan
melanjutkan pertandingan kalau kau memang jantan!"
"Aihhh...
mengapa begitu keras hati, manis? Aku cinta padamu, Nona. Kau begini cantik...
rambutmu begini indah..." Hendrik membelai rambut yang halus dan panjang
itu. Li Hwa mengggerakkan kepalanya merenggutkan rambut.
"Dan
matamu bagai sepasang bintang... kau cantik jelita... dari pada bermusuh,
bukankah lebih baik kalau kita bersahabat? Kau akan kubawa ke negeriku,
sayang..."
"Phuhhh!
Manusia biadab, lebih baik aku mati!" Li Hwa berteriak lagi.
"Wah,
sayang kalau kau mati. Aku sungguh cinta kepadamu! Jangan kau berpura-pura,
benarkah kau tidak suka kepadaku? Sudah banyak sekali wanita yang menyatakan
cinta kepadaku, yang ingin menjadi kekasihku, akan tetapi engkaulah yang
benar-benar sudah menjatuhkan hatiku... ehh, sayang, siapakah namamu?"
"Persetan
dengan kamu!" Li Hwa memalingkan mukanya.
"Heran!
Engkau bertambah manis kalau marah, tidak tahan aku untuk tidak
menciummu!" Hendrik segera memeluk tubuh yang terbelenggu kaki tangannya
itu dan bibirnya yang rakus itu mengecup bibir Li Hwa.
Li Hwa
terbelalak, sejenak seperti akan pingsan mengalami hal yang sama sekali tidak
diduganya dan yang belum pernah dialaminya biar pun dalam mimpi. Karena dia
hendak memaki, mulutnya terbuka dan hal ini oleh Hendrik dianggap bahwa wanita
itu membalas ciumannya, maka dia mencium makin ganas.
"Auuuughhh...
aduuuhhh..."
Hendrik
meloncat ke belakang dan mengaduh-aduh, bibir bawahnya pecah oleh gigitan Li
Hwa tadi. Gadis yang saking ngeri dan muaknya namun tak dapat berbuat apa-apa
untuk menyerang itu, telah menggigit bibir yang sedang mengecup-ngecup bibirnya
secara amat mengerikan!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment