Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 32
PADA malam pertama mereka pindah ke pondok, kebetulan malam terang bulan. Hampir dua bulan Kun Liong membangun pondok itu, dibantu oleh Hong Ing yang menganyam dinding dan atap. Sesudah makan malam, mereka berdua duduk di luar pondok, di atas pasir yang bersih dan putih tertimpa sinar bulan purnama.
Hong Ing menarik napas panjang, menggunakan sebuah sisir bambu buatan Kun Liong menyisiri rambutnya yang panjangnya sudah ada sejari.
"Hemm, betapa senangnya. Kita sudah punya rumah! Baru aku merasa sebagai manusia, bukan seperti binatang yang bersarang di dalam goa kotor!"
Kun Liong menoleh dan memandang wajah dara itu. Kebetulan cahaya bulan menimpa wajah itu sepenuhnya, membuat wajah dara itu tampak seperti disepuh emas, cemerlang dan indah sekali. Senyum di bibir yang manis itu kelihatan sangat indahnya, indah dan halus seperti sajak sasterawan di jaman dahulu. Kun Liong terpesona!
Pada waktu Hong Ing melirik, pandang mata mereka bertemu dan dara itu memperlebar senyumnya. Kun Liong gelagapan karena senyum dan pandang mata dara itu membuat dia merasa seperti seorang maling tertangkap basah!
Cepat dia menutupi kecanggungannya dengan pertanyaan. "Benar-benarkah kau merasa senang, Hong Ing?"
Dara itu menunda sisirnya dan memandang wajah Kun Liong, senyumnya masih cerah dan dia mengangguk. "Senang sekali. Engkau pandai sekali, Kun Liong. Apakah tidak ada yang tak dapat kau lakukan? Apa saja engkau bisa! Ilmu silatmu tinggi, kau juga pandai kesusastraan. Bahkan pandai berfilsafat. Dapat mengobati kakiku, pandai menghibur dan sekarang kau bahkan menjadi tukang kayu, tukang batu, pembuat sisir, penangkap ikan dan burung, pemasak daging... wah, apa yang kau tidak bisa?"
Merah wajah Kun Liong saking senangnya dengan pujian ini. Dia menunduk dan sambil tersenyum dia berkata, "Ahh, kau melebih-lebihkannya saja. Sebuah pondok butut seperti ini..."
"Tapi kokoh kuat... bukan, Kun Liong?"
"Ya, cukup kuat. Tak usah kau khawatir. Ular dan segala binatang takkan dapat masuk. Lagi pula, di sini tidak ada binatang buasnya."
"Kau memang pandai dan rendah hati..."
Kun Liong senang sekali, kepalanya menunduk. Hong Ing tidak berbicara lagi, dan ketika diam-diam Kun Liong mengerling, dara itu tidak memandangnya, melainkan sedang sibuk menyisir rambutnya dan memandang ke arah bulan purnama. Betapa indahnya gerakan itu menyisir rambut!
Kepalanya agak dimiringkan sehingga separuh mukanya tertimpa cahaya bulan. Kedua matanya terlihat berkilauan dan memantulkan sinar bulan yang redup dan sejuk. Bibirnya bergerak-gerak, kadang-kadang mulut yang manis itu agak terbuka menahan rasa perih ketika sisirnya macet pada rambut yang lengket. Walau pun rambut itu panjangnya baru sejari, sudah kelihatan berombak, maka sering kali sisirnya macet. Dengan tangan kanan memegang sisir dan tangan kiri menata rambut, dara itu mengangkat kedua lengannya sehingga tampaklah sedikit bulu halus di ketiaknya yang tidak tertutup.
Kun Liong terpesona. Betapa hebatnya daya tarik seorang wanita kalau sedang bersolek! Dan Hong Ing adalah seorang wanita yang luar biasa, memiliki kecantikan yang khas dan aneh. Apa lagi kini hanya mengenakan pakaian yang tidak lengkap itu.
Aku cinta kepadanya! Kun Liong terkejut sendiri. Bodoh, bantah suara lain di kepalanya yang gundul. Kau hanya menganggap saja ini cinta, padahal tak lain dan tak bukan hanya perasaan tertarik oleh keindahan bentuk tubuh yang bulat itu, kecantikan wajah yang telah dipercantik lagi oleh cahaya bulan purnama, dan suasana yang sunyi di mana hanya ada mereka berdua!
Bukan! Bukan cinta! Dia tidak akan dapat mencinta seorang yang bagaimana pun, karena dia tahu sekali bahwa cintanya itu dikotori oleh keinginan memiliki, keinginan membelai dan merayu, keinginan yang terdorong nafsu birahi!
Tidak! Dia tidak mencinta, hanya memang dia suka, bahkan tergila-gila oleh kecantikan Hong Ing. Sama saja dengan rasa sukanya kepada dara-dara yang lain, termasuk Lim Hwi Sian yang bahkan sudah menyerahkan badannya kepadanya.
Hwi Sian telah menyerahkan tubuhnya kepadanya karena mencintanya, kata data itu! Dan bagaimana dengan Hong Ing? Hong Ing telah merasa berhutang budi kepadanya, dan mereka hanya tinggal menyendiri di pulau kosong ini, dengan pakaian yang begitu minim! Bagaimana kalau mereka berdua terseret oleh godaan nafsu birahi?
"Tidak boleh!"
Hong Ing terkejut sekali, sisirnya hampir terlepas ketika mendadak Kun Liong menampar kepala gundulnya sendiri! Kun Liong sendiri merasa terkejut dan baru sadar bahwa dia tadi menjadi begitu gemas kepada dirinya sendiri sampai dia menampar kepalanya!
"Ehh, ada apakah?"
Tentu saja wajah pemuda itu menjadi merah sekali, merah sampai ke kepalanya bukan hanya merah karena tamparannya. "Ehh... ohh... tidak apa-apa, aku hanya termenung..."
"Mengapa termenung sambil menampar kepala sendiri?"
"Eh... anu... tadi ada seekor nyamuk menggigit kepalaku..." Kun Liong menggosok-gosok telapak tangannya seolah-olah ada nyamuk mati mengotori tangan itu.
"Hi-hik, kau memang aneh. Mengapa ada nyamuk diajak bicara dan kau membentak tidak boleh? Lucu sekali!"
"Aku tidak ingat lagi, mungkin karena termenung tadi..."
Kembali terdengar dara itu terkekeh geli. Hemmm, dia mulai menertawakan aku. Aku Si Kepala Gundul ini, pemuda miskin, yatim piatu, mana ada harganya bagi seorang dara seperti Hong Ing? Bayangkan saja! Seorang pangeran gagah tampan, putera seorang Kaisar yang tentu saja kaya raya, namun masih ditolak Hong Ing! Apa lagi dia! Seperti seekor anjing merindukan kelinci di bulan!
"Kun Liong, kau jangan suka melamun seperti itu. Orang melamun, sering bicara sendiri, memukul kepala sendiri hemmm, seperti orang tidak waras saja..."
Ahh, dia bahkan mulai mengatakan aku tidak waras, sama dengan memaki gila!
"Memang, kadang-kadang aku seperti gila, Hong Ing."
Hong Ing cepat-cepat memandang wajah Kun Liong, agaknya dapat menangkap nada marah di dalam ucapan pemuda itu, alisnya diangkat tinggi-tinggi dan matanya menyapu penuh selidik.
Akan tetapi Kun Liong sudah menunduk dan tidak bicara lagi. Dia tidak melihat betapa dara itu tersenyum geli melihat dia menunduk dengan wajah bersungut-sungut dan mulut cemberut.
Hening sampai agak lama. Kadang-kadang apa bila Kun Liong mencuri pandang dengan kerling sekilat, dia melihat dara itu masih bersila dan menengadah, memandang ke bulan.
Rasa mendongkol di hati Kun Liong tidak dapat bertahan lama. Mana mungkin dia dapat marah lama-lama kepada seorang dara yang kelihatan begitu tidak berdaya, yang sudah mengalami penderitaan seperi itu dan amat membutuhkan perlindungan? Tidak mungkin dia bisa sekejam itu.
Heran dia. Kenapa Hong Ing memilih menjadi nikouw, bahkan sekarang memilih menjadi seorang buruan yang terlunta-lunta, dari pada menjadi isteri seorang pangeran yang kaya raya dan berkuasa? Mengapa memilih hidup sengsara kalau kehidupan mulia terbentang di depan kakinya?
Tiba-tiba dia teringat. Sebetulnya dia belumlah mengenal gadis ini sungguh-sungguh, dan dia mengerti dan mengenalnya hanya menurut cerita gadis itu sendiri. Hong Ing adalah murid Go-bi Sin-kouw, seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Siapa tahu isi hati gadis itu?
Kakak seperguruan gadis ini, yaitu nona Lauw Kim In, menurut cerita Hong Ing, juga mau diambil kekasih oleh seorang pemuda iblis macam Ouwyang Bouw! Siapa tahu, gadis ini mendekatinya karena memang ada pamrih sesuatu. Bokor emas! Semua tokoh kang-ouw agaknya menduga keras bahwa dialah yang menyembunyikan bokor emas asli, pusaka Panglima The Hoo yang diperebutkan itu!
Dia mengerling kembali dan melihat bahwa Hong Ing sudah berhenti menyisir rambutnya. Rambut itu hitam mengkilap, menghias kepala dara itu sehingga kepala itu tampak seperti setangkai bunga mawar! Manisnya bukan main!
"Hong Ing..." Kun Liong berhenti sebentar karena jantungnya berdebar oleh dugaan yang bukan-bukan tadi dan oleh ketegangan usahanya untuk memancing dan menyelidiki.
"Hemm..." Hong Ing menoleh, mereka saling berpandangan dan kembali Kun Liong yang terlebih dahulu harus menundukkan kepalanya yang gundul karena pandang mata dara itu seolah-olah memiliki daya menembus sampai ke dalam dadanya.
"Mengapa engkau menolak pinangan Pangeran Han Wi Ong? Dia putera Kaisar dan..."
"...dan aku tidak mencintanya!" Hong Ing menyambung cepat.
"Tapi… dia putera Kaisar, berkuasa dan kaya raya, dia tampan dan gagah pula."
"Biar pun dia seratus kali lebih berkuasa, kaya raya, dan tampan gagah, kalau aku tidak mencinta, apakah aku harus memaksa diri?"
"Agaknya engkau amat mementingkan cinta dalam perjodohan."
"Tentu saja! Menikah tanpa cinta sama dengan memasuki gerbang neraka."
"Hemmm..."
"Apakah kau tidak berpendapat demikian, Kun Liong?"
"Entahlah. Hanya... kasihan Pangeran Han Wi Ong..."
"Ahhh, salah mereka sendiri! Laki-laki yang tidak tahu diri! Betapa banyaknya pria yang hendak memaksakan cintanya kepada seorang wanita. Kalau ditolak, adalah kesalahan mereka sendiri, mengapa harus dikasihani?"
Kun Liong mengangkat muka memandang wajah itu dan tampak olehnya betapa wajah yang cantik itu dihias senyum mengejek, agaknya merasa jijik terhadap cinta kaum pria!
"Banyakkah sudah kau dicinta orang?"
"Banyak sekali!"
"Hemmmm..."
"Mengapa mengeluh?"
"Pantas kau berani menolak cinta seorang pangeran. Kiranya banyak pria yang tergila-gila kepadamu!"
"Apa salahnya?"
"Tidak apa-apa, aku hanya... hemmm, tidak ada seorang pun yang mencintaku."
"Ahh masa?! Kau seorang pemuda yang gagah dan tampan, pandai mengendalikan diri, berbudi mulia suka menolong orang lain tanpa pamrih..."
"Betapa pun, tidak ada yang mencintaku seperti begitu banyak pria mencintamu..."
"Kalau ada yang mencintamu...?"
"Tidak mungkin! Gundul miskin seperti aku, lebih pantas disebut jembel, mana mungkin... Ahh, betapa pun juga aku tidak sudi menikah selama hidupku."
"Heiii! Mengapa?"
"Perempuan di dunia ini sama saja..."
"Wah, agaknya mendalam sekali pengetahuanmu tentang perempuan! Dari mana semua pengetahuanmu itu? Dari buku pula?" Nada suara Hong Ing amat mengejek dan pandang matanya seperti seorang ibu guru memandang seorang murid cilik yang bodoh dan nakal!
Akan tetapi Kun Liong tak mempedulikan nada suara dan pandangan itu, lalu melanjutkan dengan keras kepala, "...sekali seorang laki-laki mengambil perempuan sebagai isterinya, maka akan celakalah dia! Hidupnya akan merupakan siksaan, karena perempuan yang menjadi isterinya akan selalu menguasainya, mengikatnya, merongrongnya. Akhirnya dia akan kehilangan kebebasannya dan menyesal pun sudah terlambat!"
"Wah! Seperti itukah penilaianmu terhadap perempuan? Kau menganggap bahwa semua wanita itu seperti yang kau ceritakan tadi? Dan kau mengira bahwa semua pria memiliki pendirian seperti engkau, hidupnya dirusak oleh isteri? Betapa sombongmu, Kun Liong!"
Akan tetapi Kun Liong tak peduli. Betapa pun menariknya Hong Ing hingga membuat dia terpesona, membuat hatinya lemah, namun yang di hadapannya ini tidak lain juga hanya seorang wanita! Maka dia melanjutkan kembali, suaranya penuh semangat seakan-akan dia mempertahankan pendiriannya mati-matian terhadap serangan dari luar.
"Aku tak akan sudi menikah, kecuali dengan seorang wanita yang selalu menjadi idaman hatiku semenjak aku kecil!"
"Waduh! Kecil-kecil sudah mengidamkan seorang wanita! Hebat kau, Kun Liong!" Suara Hong Ing mengejek sekali, bahkan diperkuat dengan senyum simpulnya, membuat hati Kun Liong makin panas. "Wanita seperti apa sih, idaman hatimu itu?"
"Aku baru mau menikah dengan seorang wanita yang halus budi bahasanya, manis tutur sapanya, lemah lembut geraknya, suaranya seperti nyanyian burung di waktu pagi, tutur sapanya bagaikan hembusan angin lalu sepoi-sopi, gerak-geriknya seperti batang pohon yangliu tertiup angin, tidak hanya cantik jelita pada lahir saja, melainkan lebih cantik lagi di batinnya, penyabar, ramah, tidak pernah cemburu, keibuan, taat, setia, dan..."
"Pendeknya, wanita yang luar biasa tidak ada cacat celanya, seperti bidadari kahyangan yang diceritakan di dalam dongeng! Seperti... seperti Kwan Im Pouwsat sendiri! Seperti... ah, perempuan idamanmu itu harus dilahirkan lebih dulu, Kun Liong. Thian harus membuat perempuan itu khusus untukmu seorang, untuk seorang pria sombong yang sesombong-sombongnya, tolol yang setolol-tololnya dan.. dan..."
"Maaf, Hong Ing..." Kun Liong terkejut juga melihat dara itu bangkit berdiri, menegakkan kepala dan matanya seperti dua bola api hendak membakarnya. Seluruh sikapnya jelas menunjukkan kemarahan yang ditahan-tahan, ada pun suaranya bercampur napas sesak seperti mau menangis!
"...dan... dan... perutku menjadi mual melihatmu!" Setelah melontarkan kata-kata terakhir itu, dengan langkah gontai, dengan pinggul menonjol padat terbayang di balik kain yang sederhana dan pendek itu, Hong Ing pergi meninggalkan Kun Liong, menaiki anak tangga lalu masuk ke pondok kecil itu. Terdengar dia menutupkan pintu kamar keras-keras, dan tampak dari luar daun jendela juga dihempaskan kuat-kuat!
Kun Liong masih duduk di pasir, bengong terlongong memandang ke arah pondok, hatinya bingung sekali. Akhirnya dia pun menarik napas panjang, menekan penyesalan hatinya. Kenapa dia harus menyesal melihat Hong Ing marah-marah? Biarlah, bila dara itu merasa sakit hati, dia sudah menguras isi hatinya, sudah mengemukakan pendapatnya tentang wanita. Dia tidak akan jatuh cinta seperti pria-pria tolol itu, seperti Pangeran Han Wi Ong, seperti Yuan, dan yang lain-lain. Dia ingin terus bebas!
Kembali dia menarik napas panjang. Betapa sunyinya setelah Hong Ing pergi ke pondok. Alangkah menjemukan keadaan sekelilingnya. Cahaya bulan tidak gemilang seperti sinar keemasan lagi, melainkan mendatangkan kepucatan yang hampa!
Mengapa dia menyesal telah menyakitkan hati Hong Ing? Bukankah dara itu malah yang menyakitkan hatinya? Mula-mula mengatakannya tidak waras alias gila! Kemudian apa yang dikatakannya dalam kalimat-kalimat terakhir ketika marah tadi? Bahwa dia adalah seorang pria yang ‘sombong sesombong-sombongnya, tolol setolol-tololnya’ dan bahwa dia ‘memualkan perutnya’!
"Hemmm...!" Keluhan ini keluar dari dadanya menyesak kerongkongannya.
Dia menengadah. Bulan purnama tersenyum mengejek kepadanya, seperti senyum Hong Ing yang tadi mengejeknya. Dia memandang marah. Ingin dia dapat melumuri muka bulan dengan pasir di tangannya. Akan tetapi awan membantunya. Awan putih tebal merayap lewat, menyembunyikan bulan yang kini hanya tampak sebagai bulatan yang pucat tak berdaya. Seperti Hong Ing!
Dara itu menderita hebat! Di pulau kosong, hanya bersama dia, namun apa yang sudah dia lakukan? Menyakitkan hatinya! Ah, betapa kejamnya dia! Biar pun dia tidak mau jatuh cinta kepada wanita mana pun juga, akan tetapi tidak selayaknya dia menyakitkan hati Hong Ing seperti itu!
Kun Liong mulai merasa menyesal, bukan menyesal karena pendiriannya tentang wanita seperti yang telah diucapkannya itu, melainkan menyesal terdorong oleh rasa iba kepada nasib Pek Hong Ing yang tak semestinya dia tambah lagi dengan ucapan yang membuat dara itu sakit hati.
Teringatlah dia akan sekumpulan batu bulat putih yang selama beberapa hari ini sudah dikumpulkannya secara diam-diam, yang didapatnya di dasar laut yang jernih dan dangkal di sudut pulau saat dia mencari ikan. Batu-batu seperti mutiara besar itu dikumpulkannya dengan maksud untuk kelak setelah cukup banyak akan diuntai menjadi kalung dan akan diberikan kepada Hong Ing! Kini, mengingat betapa dara itu mungkin menangis di dalam pondok, perasaan menyesal membuat Kun Liong segera teringat akan benda yang akan dihadiahkannya kepada gadis itu.
Maka dia lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sudut pulau dan di bawah penerangan bulan purnama, mulailah dengan tekun dia mengumpulkan batu-batu bulat putih yang berkilauan itu. Dia melupakan hawa dingin, menanggalkan semua pakaiannya yang hanya berupa celana semacam cawat lebar, menyelam ke dalam air dan mencari batu-batu itu sampai semalam suntuk!
Dia sama sekali tidak tahu bahwa dari tempat yang agak jauh, Hong Ing bersembunyi di balik batu karang sambil mengintai. Berulang kali dara ini menghela napas panjang akan tetapi tak berani mendekat mau pun memanggil karena melihat betapa pemuda itu dalam keadaan telanjang bulat!
Akhirnya Hong Ing pergi meninggalkan tempat persembunyiannya. Ia menggeleng-geleng kepalanya dan terdengar berkata seorang diri, sangat lirih, "Orang aneh dia... apa-apaan malam-malam begini mandi seorang diri dan menyelam sampai begitu lama!"
Hubungan antara kedua orang muda itu agak renggang semenjak pertengkaran di malam bulan purnama itu. Hong Ing bersikap menunggu keramahan Kun Liong, agaknya tak mau tunduk dan tidak mau atau enggan untuk ‘berbaik dulu’. Sebaliknya, Kun Liong merasa malu akan sikap dan kata-katanya pada malam hari itu, karena itu dia seolah menghindari percakapan dengan dara itu.
Mereka hanya tampak berdua di waktu Kun Liong menyerahkan ikan atau burung yang ditangkapnya, dengan beberapa ikat daun yang sudah dipilihnya dan yang ternyata dapat dimasak dan dimakan. Atau mereka berkumpul hanya pada waktu Hong Ing telah selesai memanggang daging atau memasak sayur menggunakan panci-panci tanah yang dibuat oleh Kun Liong. Tetapi mereka berdua seolah-olah membatasi percakapan, mungkin juga khawatir kalau-kalau mereka terpancing dan bentrok lagi dalam perbantahan.
Akan tetapi pada malam hari itu, sepekan setelah mereka seolah-olah saling menjaga diri, Kun Liong berjalan menghampiri Hong Ing yang duduk seorang diri di luar pondok sambil memandangi bulan yang sudah tidak bulat lagi, tapi masih mampu menerangi permukaan laut dan pulau itu, membuat pasir kelihatan putih dan di sana-sini ada kerlipan pasir yang seperti menyembunyikan permata-permata kecil.
"Hong Ing..."
Dara itu terkejut. Kun Liong datang menghampirinya tanpa suara tadi, dan agaknya dia tidak menyangka-nyangka pemuda itu akan menghampirinya dan memanggilnya.
"Ehh, ada apa...?"
Kun Liong menghela napas panjang, duduk di depan dara itu dan mengulurkan tangan kanan yang memegang seuntai kalung batu putih yang berkilauan. Batu-batu itu sudah terkumpul dan sudah diasah sehingga rata dan sama, dilubangi dan diuntai dengan serat kulit pohon yang kuat, merupakan seuntai kalung batu putih yang indah sekali.
"Aku membuatkan kalung ini untukmu. Terimalah..."
Wajah itu berseri, sepasang mata itu terbelalak ketika tangannya menerima kalung itu, mulutnya tersenyum lebar dan hati Kun Liong berbunga!
"Aihhh... bagus sekali kalung ini...! Ehh, jadi selama berhari-hari ini kau tampak murung dan diam, kiranya kau sibuk membuat kalung ini, Kun Liong?"
"Ya... begitulah."
"Ahh, kusangka kau marah-marah."
"Kenapa mesti marah?"
"Malam itu aku telah membuatmu marah, mengatakan sombong dan tolol..."
"Dan bahwa aku memualkan perutmu. Mengapa, Hong Ing?"
"Masih adakah perempuan yang kau angan-angankan itu?"
"He... hemmm..."
"Jangan kau sebut-sebut lagi dia, atau perutku akan mual lagi."
"Maaf..."
"Kun Liong..."
"Hemm...?"
"Kau terlalu... terlalu canggung! Kau laki-laki jantan yang lemah! Kau... orang muda yang berpikiran tua! Kau... pria pandai yang tolol!"
"Hemm... maaf..." Kun Liong gagap dan bingung, tak tahu harus berkata apa.
"Dan engkau..." Hong Ing melanjutkan, matanya sayu menatap wajah Kun Liong seperti mengintai dari balik bulu mata yang hampir saling bertemu bagian atas dan bawahnya, suaranya agak tergetar akan tetapi bibirnya tersenyum mesra, "kau... kelak akan melihat bahwa perempuan khayalmu itu, yang tanpa cacad, akan hancur lebur, membuyar seperti awan tipis tersapu angin, bila mana sudah muncul seorang wanita dari darah daging yang hangat lembut, yang akan membuatmu bertekuk lutut, dan yang akan membuatmu suka mencium tapak kakinya..."
"Hemmm, tak mungkin!" Kun Liong menghardik, ditujukan kepada diri sendiri.
"Lihat sajalah kelak...!" Hong Ing tertawa kecil dan bersenandung, senandung yang dulu itu, tentang cinta. Suaranya merdu sekali, lirih dan seolah-olah bukan dari mulutnya suara itu mengalun, melainkan dari tengah lautan, datang menunggang angin yang bertiup silir semilir.
Cinta adalah Kehidupan
tanpa cinta hidup sama dengan mati
Cinta adalah Cahaya
tanpa cinta hidup gelap gulita
Cinta adalah Suci
tanpa cinta hidup bergelimang dosa
Hanya orang bijaksana saja mengenal Cinta
si dungu hanya mengejar nafsu!
Dahulu ketika Hong Ing menyanyikan lagu cinta ini di atas perahu peti mati, dia hanya mengagumi suara Hong Ing tetapi memandang rendah isi nyanyian itu yang dianggapnya sebagai pantun seorang buta yang memuji-muji setangkai bunga. Akan tetapi sekali ini, isi nyanyian itu seperti menyindirnya, terutama sekali baris terakhir ‘si dungu hanya mengejar nafsu!’
Entah kenapa, karena dia tidak mengakui cinta suci, dia merasa seolah-olah dialah yang dimaki ‘si dungu’ dalam nyanyian itu! Merasa seolah-olah tadi Hong Ing bukan bernyanyi, melainkan menuduh dan memakinya, otomatis dia menjawab,
"Memang aku dungu!"
"Heiiihhh... mengapa, Kun Liong?"
Ketika melihat wajah pemuda itu muram dan bersungut-sungut, Hong Ing tertawa geli sambil menutupi mulutnya. "Kau... ngambek (murung) lagi?"
"Tidak!"
Akan tetapi jawaban Kun Liong itu jelas menunjukkan kejengkelan hatinya, jawaban yang disentakkan dan pendek keras seperti batu karang! Hong Ing tertawa terkekeh, dan dia lalu berkata. "Kau sama sekali tidak dungu! Betapa bodohnya merasa diri dungu!"
Mulut Kun Liong semakin cemberut. Seenak perutnya sendiri saja! Dia memaki di dalam hati. Mengatakan tidak dungu akan tetapi memaki bodoh!
"Kun Liong..."
Tadinya Kun Liong tidak ingin menjawab, begitu marahnya hatinya. Akan tetapi panggilan itu drmikian merdu, terasa olehnya seperti mengelus hatinya, maka mau tidak mau dia menjawab,
"Apa?" Jawaban yang masih kaku.
"Maukah engkau menolongku?"
Kun Liong menoleh, memandang dan mereka saling pandang.
"Menolong apa, Hong Ing?" Lenyap sama sekali kemurungan dari wajah Kun Liong yang mengira bahwa dara itu tentu mengalami suatu kesulitan.
"Tolong kau kalungkan ini di leherku."
Sepasang mata Kun Liong terbelalak. Kalau saja tidak begitu girang hatinya dan begitu berdebar jantungnya, ingin dia menolak mentah-mentah untuk memperlihatkan perasaan marahnya. Akan tetapi dia girang sekali maka tanpa menjawab dia menerima kalung itu. Kalung yang begitu panjang, masa perlu dibantu untuk mengalungkannya?
Diterimanya kalung, didekatinya Hong Ing dan dikalungkannya benda itu melalui kepala yang berambut pendek itu, dikalungkan pada lehernya. Karena gerakan ini, kedua lengan Kun Liong seolah-olah hendak merangkul leher Hong Ing.
Dia menunduk, Hong Ing menengadah. Muka mereka saling berdekatan, begitu dekatnya sehingga terasa oleh Kun Liong hembusan napas hangat pada dagunya. Sepasang mata yang indah itu terpejam, bulu mata yang panjang lentik itu menebal karena merangkap, mulut itu sedikit terbuka.
Hampir Kun Liong tidak kuat menahan. Kalau bukan Hong Ing dara itu, tentu dia takkan sanggup bertahan lagi untuk tidak mendekap tubuh itu, mencium bibir itu. Namun dengan sentakan tiba-tiba dia menarik kedua tangannya dan melangkah mundur.
Hong Ing membuka matanya, tersenyum. "Terima kasih, kau baik sekali, Kun Liong,"
"Hemmm, aku seorang yang bodoh dan kasar, Hong Ing."
"Tidak! Akulah yang suka menggodamu, aku gadis tidak tahu budi orang. Kau maafkan aku, ya? Dan kau maafkan pula kesalahan-kesalahanku yang akan datang, mau kan?"
Kun Liong menjadi gemas, akan tetapi melihat wajah itu berseri dan tersenyum nakal, dia terpaksa tersenyum juga. Kiranya Hong Ing hanya pura-pura saja ketika marah, ketika diam, dan lain-lain. Hanya untuk menggodanya!
"Hong Ing, mari kita mencari telur."
"Ihhh, kau tahu aku tidak suka telur."
"Bukan untuk kau. Aku paling doyan telur. Kemarin aku melihat kura-kura besar sekali mendarat. Tentu dia akan bertelur. Senang sekali mencari telur kura-kura, seperti mencari pusaka saja. Kalau kita tepat menggali dan melihat telur di bawah pasir, aku tanggung kau akan menari kegirangan! Marilah!"
Seperti kanak-kanak keduanya berlari-larian di sepanjang pantai. Bahkan Kun Liong yang sudah terobati kemarahannya, memegang tangan Hong Ing. Mereka bergandeng tangan sambil berlari dan terdengar Hong Ing tertawa-tawa. Suasana memang amat romantis dan menggembirakan. Pasir yang lemas dan bersih. Laut yang tenang. Sinar bulan yang sejuk lembut.
Akan tetapi, tak jauh dari pondok itu Kun Liong sudah berhenti. "Di sinilah."
"Ahh, begini dekat? Kukira jauh!"
"Malam kemarin aku melihat ada kura-kura mendarat di sini."
"Akan tetapi beberapa hari yang lalu aku melihat binatang seperti ular merayap, hitam dan panjang. Ihh, aku masih ngeri kalau mengingatnya."
"Ular? Di sini? Benarkah itu?" Kun Liong bertanya, heran sekali. "Kenapa kau tidak bilang padaku?"
Hong Ing tersenyum lebar dan memicingkan sebelah matanya. "Habis, kau lagi ngambek sih! Aku tidak berani bicara padamu!"
Kun Liong tertawa. "Ahh, mungkin hanya belut atau ular laut yang terdampar dan terbawa oleh ombak ke darat. Hayo kita mencari telur kura-kura."
Kembali mereka bergembira, berlarian ke sana-sini, menggali-gali pasir dengan kaki dan tangan, seperti orang berlomba ingin lebih dulu menemukan telur kura-kura. Tidak mudah mencari telur kura-kura hanya dengan mengira-ngira seperti iiu. Biasanya orang mudah mencari telur kura-kura dengan jalan mengintai kalau ada kura-kura mendarat dan akan bertelur. Akan tetapi kalau tidak tahu di mana binatang itu bertelur, tidak ada terdapat tanda-tanda di mana tempat telur-telur itu. Kini pasir sudah rata kembali, diratakan oleh binatang yang mempunyai kebiasaan yang cerdik untuk menyembunyikan telur mereka terdorong naluri untuk menjaga lancarnya perkembang biakan mereka itu.
"Heii... Hong Ing...! Lihat ini...!"
Hong Ing yang sedang mencari di bagian yang agak jauh, datang berlari-lari menghampiri Kun Liong ketika mendengar teriakan pemuda itu.
"Ahh, kau sudah menemukannya...!" teriaknya sambil berlari.
Kalung panjang itu bergoyang-goyang, rambutnya yang pendek bergerak-gerak dan dua tangannya memegangi ujung kain yang menutupi tubuhnya agar tidak terbuka ketika dia berlari itu.
"Ya, lihat ini. Banyak sekali telur dan... dan lihat apa yang kudapatkan di bawah telur-telur ini...!"
"Ehhh...?" Sepasang mata yang indah itu terbelalak lebar. "Ada sebuah peti? Mengapa...? Bagaimana...?"
"Entahlah, Hong Ing. Mari bantu aku mengumpulkan telur-telur ini. Aku akan mengangkat petinya. Yang jelas, tempat ini dahulu pernah didatangi orang sebelum kita, buktinya peti ini terpendam di sini."
Hong Ing mengumpulkan telur-telur itu sambil memandang peti yang tidak berapa besar, yang sudah diangkat oleh Kun Liong dari dalam lubang itu.
"Apa isinya?"
"Kita bawa ke pondok dan kita buka di sana," kata Kun Liong.
Setelah mengangkat peti itu ke depan pondok, Kun Liong menunggu sampai Hong Ing menyimpan telur-telur itu ke dalam pondok dan keluar lagi. Kemudian mereka berdua membuka peti yang dipaku kuat-kuat itu. Namun dengan pengerahan tenaganya, mudah saja bagi Kun Liong untuk membuka penutup peti yang terbuat dari kayu yang tua dan kuat. Tutup peti terbuka, hati mereka tegang, dan mata mereka menjadi silau oleh cahaya berkeredepan ketika isi peti itu sudah tampak.
"Aihh..., harta pusaka yang amat banyak...!" Hong Ing berseru kaget, heran dan gembira. "Emas, perak, permata..., ahhh, kau menjadi orang kaya raya, Kun Liong!"
Akan tetapi Kun Liong tidak segembira Hong Ing. "Hemmm, untuk apa semua ini? Aku tidak butuh, dan yang menemukan adalah kita berdua. Biarlah semua ini untukmu, Hong Ing. Ambillah."
Hong Ing sudah memeriksa benda-benda itu, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri. Tentu saja dia senang sekali melihat benda-benda yang amat indah itu, yang merupakan perhiasan-perhiasan yang biasanya dipakai oleh puteri kerajaan! Dia tidak memperhatikan ucapan Kun Liong tadi, berkali-kali dia menggelengkan kepala dan mengeluarkan pujian sambil meneliti benda-benda itu berganti-ganti.
"Sayang...!"
Ucapan Kun Liong ini mengejutkan dan menyadarkan Hong Ing. Dia mengangkat muka dan memandang wajah pemuda gundul itu.
"Apa? Mengapa kau mengatakan sayang sesudah menemukan harta pusaka yang tak ternilai harganya ini?"
"Di sini, benda-benda ini tidak ada harganya sama sekali, Hong Ing. Aku akan jauh lebih bergembira kalau saja isi peti ini berupa alat-alat seperti gergaji, linggis, catut, golok dan lain-lain. Aku lebih membutuhkannya. Akan tetapi perhiasan..."
Dia lalu mengeluarkan benda itu satu demi satu dan ternyata pada bagian bawah masih terdapat tumpukan uang emas yang terukir aneh dan belum pernah mereka melihatnya. Kun Liong terus mengeluarkan semua benda itu dan tiba-tiba dia tertarik sekali kemudian mengambil sebuah benda yang terletak paling bawah, di dasar peti dan tadi tertutup oleh segala benda yang berkilauan itu. Sebuah kitab! Kitab yang sampulnya hitam dan sudah tua sekali.
Melihat betapa wajah Kun Liong berseri dan matanya bercahaya ketika melihat kitab tua yang butut itu, Hong Ing tertawa. "Waahhh, dasar kutu buku menemukan sebuah kitab kuno! Hemmm, sudah kubayangkan betapa engkau nanti tentu tak akan pernah berhenti membaca."
Akan tetapi Kun Liong tidak mempedulikan kata-kata Hong Ing. Dengan jantung berdebar tegang dia telah membalik sampul kitab dan membaca judul kitab itu yang tertulis tangan dengan huruf yang sangat kuat coretannya. Seolah-olah bukan tinta lagi yang membuat coretan itu dapat dibaca karena warna tinta hitam ini mulai meluntur, akan tetapi jelas tampak guratan-guratan yang kuat dan dengan kagum Kun Liong dapat melihat betapa tapak mauwpit (pensil bulu) meninggalkan guratan pada kertas seperti ukiran, sehingga andai kata tinta itu lenyap sama sekali pun, huruf-hurufnya masih dapat dibaca dengan jelas!
Judul itu hanya terdiri dari empat huruf saja yang berbunyi KENG LUN TAI PUN. Baru membaca judul ini saja, Kun Liong sudah harus memutar otaknya, alisnya berkerut dan dia berusaha untuk memecahkan artinya.
Huruf-huruf ini memiliki arti yang kalau dipecahkan banyak sekali maknanya, akan tetapi dia mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan Keng Lun adalah mengurai dan mengumpulkan yang dapat pula diartikan dengan menyelidiki atau menyusun setelah mengerti benar. Ada pun Tai Pun adalah pokok dasar atau aslinya!
Mulailah dia membuka-buka dan membalik-balik lembaran kitab itu dan betapa kaget dan girangnya ketika mendapatkan keterangan di sebelah delamnya bahwa kitab itu adalah kitab ilmu peninggalan dari Raja Bun Ong yang sakti dan bijaksana! Tepat seperti yang dikatakan oleh Hong Ing, segera Kun Liong lupa akan segala sesuatu dan ‘tenggelam’ di dalam kitab kuno itu!
Karena Hong Ing maklum akan kesukaan Kun Liong membaca kitab, yang diketahui dari percakapan-percakapan dengan pemuda itu, maka dara ini tidak mau mengganggunya. Setelah menaruh kembali benda-benda berharga itu di dalam peti dan menyimpan peti itu dalam kamarnya, tanpa berkata apa-apa Hong Ing lalu merebus sepuluh butir telur untuk Kun Liong. Setelah telur-telur itu masak, disuguhkannya kepada Kun Liong tanpa berkata apa-apa karena dia tidak mau mengganggu.
Akan tetapi Kun Liong menurunkan kitab itu dan memandang, tersenyum, lalu berkata, "Aihh... sudah kau rebus matang? Engkau juga harus makan telur, Hong Ing, baik untuk kesehatan."
Hong Ing tersenyum. "Tidak, Kun Liong. Aku tidak lapar, dan aku masih ingin menikmati dan mengagumi benda-benda pusaka tadi. Kau teruskanlah membaca kitab. Kitab apa sih itu?"
"Kitab kuno yang sukar sekali dimengerti isinya. Akan tetapi semakin sukar dimengerti, semakin menarik pula. Kitab kuno mempunyai sifat seperti wanita..." Kun Liong tertegun dan berhenti bicara, merasa telah kelepasan kata-kata.
"Hemmm, pendapatmu selalu aneh-aneh. Jadi kau anggap wanita itu sama dengan kitab kuno, makin sukar dimengerti makin menarik? Apakah aku sukar dimengerti, Kun Liong?"
Kun Liong tertawa. "Maaf, aku tidak bermaksud menyindir dirimu, Hong Ing. Wah, sedap baunya telur ini. Benarkah kau tidak mau mencicipi?" Kun Liong mengupas kulit telur yang masih panas itu.
Hong Ing menggerakkan kedua pundaknya. "Ihhh, aku selalu merasa tidak enak kalau menghadapi telur, apa lagi harus dimakan. Dan telur ini... mengapa agak lonjong dan ada bintik-bintiknya? Bukankah telur kura-kura bulat bentuknya? Jangan-jangan telur ular..."
"Ha-ha-ha, telur apa pun sama saja, sama enaknya. Asal jangan telur manusia!"
"Ihh! Jorok kau...!" Hong Ing mendengus lalu lari ke pondok, mengeluarkan perhiasan dari dalam peti dan mengaguminya di bawah sinar bulan.
Kun Liong tertawa-tawa, melanjutkan makan telur yang terasa enak sekali dan tahu-tahu sepuluh butir telur telah habis, pindah semua ke dalam perutnya!
Tengah malam baru saja lewat. Sinar bulan tinggal remang-remang karena tertutup awan. Akan tetapi Kun Liong masih belum memasuki pondok. Sudah sejak tadi Hong Ing rebah di atas dipan, tidak lagi mengagumi benda-benda berharga. Dia merasa heran mengapa Kun Liong belum juga memasuki pondok. Tak mungkin lagi untuk membaca kitab di luar karena sinar bulan terlalu suram. Dia lalu turun dari pembaringannya dan membuka pintu kamar, keluar pondok.
"Ahhh, benar-benar kutu buku." pikirnya ketika melihat Kun Liong rebah terlentang di atas pasir. Dia cepat menghampiri dan betapa herannya melihat Kun Liong tidak lagi membaca kitab, melainkan rebah terlentang, tertidur dengan kitab itu terletak di atas dadanya yang telanjang.
"Hemm, tertidur di sini, angin begini keras bertiup. Bisa masuk angin engkau! Kun Liong, bangunlah!"
Akan tetapi Kun Liong yang biasanya amat peka itu kini sama sekali tidak bergerak.
"Kun Liong...!"
Tetap saja pemuda itu tidak menjawab, bahkan bergerak pun tidak.
"Kun Liong..., bangunlah!" Hong Ing menyentuh lengan pemuda itu, dan dia terkejut bukan main. Lengan pemuda itu panas sekali! Celaka, pikirnya, tentu dia sakit, masuk angin dan terserang demam.
"Kun Liong...!" Dia memanggil dengan suara nyaring, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak sadar, biar pun tubuhnya telah diguncang-guncang.
"Wah, dia pingsan...!" Hong Ing menjadi gelisah sekali.
Diamblinya kitab itu, diselipkan pada dadanya di balik kain, kemudian dia mengerahkan tenaga dan memondong tubuh Kun Liong yang sama sekali tak bergerak, tubuhnya panas dan mukanya merah seperti orang mabuk kebanyakan minum arak!
Semalam itu Kun Liong tidak sadar. Tidak tahu betapa Hong Ing menjaga dan duduk di sebelahnya dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran. Hampir saja gadis ini menangis saking bingung hatinya. Diguncang-guncangnya tubuh Kun Liong, berkali-kali dipanggilnya namanya, dibasahinya muka pemuda itu dengan air, namun semalam suntuk Kun Liong tidak sadar, tenggelam ke dalam kepulasan yang amat dalam.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, barulah Kun Liong siuman. Dia membuka mata dan tiba-tiba mengeluh, "Aduhhh... gatalnya.. bukan main...!"
Bermacam perasaan mengaduk hati Hong Ing. Lega karena melihat pemuda itu siuman, mendongkol karena dia sampai harus menderita kekhawatiran semalam suntuk, dan juga geli mendengar keluh yang aneh itu!
Kun Liong lalu menggaruk-garuk kepalanya dengan sepuluh kuku jari tangannya sampai terdengar suara "kroook-krookk!" seolah-olah kuku jari tangannya itu akan mengupas kulit kepalanya! Akan tetapi mendadak dia meloncat turun dari pembaringan dan memandang kepada Hong Ing dengan mata terbelalak.
"Aihhh...! Kau... kenapa berada di kamarku? Ehhh, dan aku kenapa di sini, tidak di luar pondok?" Dia masih menggaruk-garuk kepalanya yang gatal-gatal akan tetapi matanya memandang Hong Ing penuh selidik.
Dara itu cemberut. "Hemm, kau tidak merasakan susah payahnya orang lain! Aku melihat kau pingsan di luar situ, maka terpaksa kupondong kau ke dalam kamarmu dan semalam suntuk aku tidak dapat tidur, gara-gara engkau yang seperti orang mati! Seluruh tubuhmu panas-panas dan kau sama sekali tidak dapat dibangunkan. Apa sih yang terjadi?"
Kun Liong melongo. "Ehh, mana kitabku?"
"Kitab...?" Tiba-tiba Hong Ing teringat dan dengan muka merah dia mengeluarkan kitab yang saking gelisahnya, semalam suntuk kitab itu masih terus menyelip di balik kainnya, menempel pada dadanya!
Kun Liong menerima kitab itu, merasakan betapa kitab itu hangat, maka mukanya pun menjadi merah, akan tetapi dia segera berkata, "Sungguh aneh. Aku sendiri tidak ingat. Ketika aku membaca kitab sambil makan telur, tiba-tiba aku merasa kepalaku pening dan mataku mengantuk. Tak tertahankan lagi kantuknya maka aku rebah di pasir dan... tidak tahu apa-apa lagi sampai sekarang ini, tahu-tahu sudah berada di sini. Jadi semalam aku pingsan...?"
"Hemm, tentu ada sesuatu dalam kitab itu!" Hong Ing berkata.
Kun Liong membalik-balik lembaran kitab dan menggelengkan kepala. "Kurasa tidak ada apa-apanya yang aneh, meski pun kitab ini adalah sebuah kitab yang mukjijat! Kitab yang mengandung pelajaran mengenai hidup, tentang perbintangan, dan latihan gerakan kaki tangan untuk membuat tubuh sehat dan panjang umur. Juga ada latihan pernapasan akan tetapi tidak mungkin membacanya karena membuat aku pusing dan mengantuk."
"Wah, jangan-jangan telur-telur itu...!"
Kun Liong teringat dan mengangguk-angguk. "Hemmm, mungkin saja, siapa tahu, tetapi... tubuhku terasa enak, hanya kepalaku ini, wah... gatalnya!" Dia menggaruk-garuk lagi.
"Biar kubuang saja telur-telur itu! Mungkin itu telur ular yang kulihat kemarin dulu."
"Eh, jangan! Jangan dibuang, Hong Ing. Buktinya aku tidak apa-apa. Telur itu enak sekali, menyehatkan badan."
"Kau benar-benar tidak apa-apa? Tidak panas lagi tubuhmu?"
"Tidak, aku merasa sehat segar."
"Hemm... syukurlah, aku lelah dan mengantuk, mau tidur..." Hong Ing lalu meninggalkan kamar itu.
"Hong Ing...!" Kun Liong melangkah maju dan memegang lengannya.
"Ada apa?" Dara itu mengerutkan alisnya dan memandang lengannya yang dipegang
Kun Liong melepaskan pegangannya. "Harap jangan marah, aku berterima kasih sekali kepadamu, Hong Ing. Maafkan aku, aku tidak tahu bahwa engkau telah bersusah payah menjagaku. Kau baik sekali dan..."
"Sudahlah, aku senang bahwa kau tidak apa-apa. Aku mau tidur, kau boleh membaca kitabmu sepuas hatimu."
Kun Liong yang ditinggal pergi menjatuhkan diri duduk di atas dipannya. Alisnya berkerut dan dia membolak-balik kitab di tangannya. Benar-benar ada persamaannya antara kitab ini dengan wanita! Mengapa Hong Ing kelihatan tidak senang sesudah melihat dia sehat dan tidak apa-apa, padahal gadis itu semalam suntuk mengkhawatirkan keadaannya?
Tentu saja dia tidak tahu! Memang wanita itu mempunyai sifat yang aneh. Wanita itu ingin sekali merasakan bahwa dia dibutuhkan, bahwa dia diperlukan dan ingin dia lihat bahwa tanpa dia, pria akan kehilangan dan tidak berdaya!
Tanpa disadarinya sendiri, perasaan demikian itu ada pula di dalam lubuk hati Hong Ing. Melihat Kun Liong pingsan dan tak berdaya, dia merasa amat khawatir, akan tetapi dalam melakukan pertolongan itu, dia merasa betapa pemuda itu amat membutuhkan dia. Kini, biar pun hatinya lega bahwa Kun Liong tidak sakit, namun ada juga perasaan kecewa karena kini dia tidak dibutuhkan lagi! Memang aneh, namun demikian kenyataannya.
Dua bulan lewat dengan cepatnya. Semua telur yang ditemukan itu telah habis dimakan Kun Liong, dan dia makin tekun membaca kitab kuno peninggalan Kaisar Bun Ong. Dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika dia mulai melatih diri dengan ilmu pernapasan dan gerakan kaki tangan yang terdapat di dalam kitab, dia merasa tubuhnya makin segar dan kuat, penglihatannya terang dan semangatnya tinggi, membuat wajahnya selanjutnya selalu berseri dan matanya bersinar-sinar, memandang dunia ini sebagai tempat yang amat indah.
Beberapa kali dia membujuk Hong Ing untuk mempelajari isi kitab, akan tetapi dara itu tidak mau, apa lagi setelah mendengar penuturan Kun Liong tentang isi kitab yang hanya mengajarkan urusan kebatinan dan latihan pernapasan. Bahkan gerakan kaki tangan itu sama sekali bukan gerakan ilmu silat, hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh seperti yang dimaksudkan oleh kitab itu.
Bun Ong adalah seorang Kaisar yang maha besar dan amat bijaksana. Kebijaksanaannya amat terkenal semenjak sejarah berkembang, bahkan kebijaksanaan Kaisar Bun Ong ini dipuji-puji dan dijadikan contoh oleh Nabi Khong Hu Cu!
Kaisar Bun Ong adalah Kaisar pertama dari Kerajaan Cou (tahun 1050 sebelum Masehi), lima ratusan tahun sebelum Nabi Khong Hu Cu, seorang Kaisar yang terkenal sebagai seorang manusia setengah dewa, bahkan terkenal pula sebagal Thian-cu (Utusan Tuhan) yang bijaksana dan amat pandai! Juga puteranya, Kaisar Bu Ong, amat terkenal sebagai pengganti dan penerus kebijaksanaan ayahnya. Maka, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi Kun Liong yang secara kebetulan bisa menemukan sebuah kitab peninggalan Kaisar itu!
Kitab itu berisi petunjuk-petunjuk tentang hidup, tentang kebatinan, tentang perbintangan. Semakin terbuka mata hati Kun Liong ketika membaca kitab kuno ini, semakin mendalam pengertiannya tentang kekuasaan yang disebut Tao. Hanya namanya saja yang berbeda, akan tetapi pada hakekatnya, Tao dapat juga disebut Tuhan, Kebenaran, Cinta Kasih, dan sebagainya.
Cinta Kasih tak dapat juga diraba, tak dapat dikejar. tak dapat dimiliki atau digenggam, tak dapat dilatih atau dipelihara. Cinta Kasih tidak mempunyai sasaran seperti benci, duka, marah, iri dan lain-lain. Cinta Kasih yang sudah mempunyai sasaran bukanlah cinta kasih lagi namanya.
Sasaran (object) timbul karena adanya ‘aku’, dan ‘aku’ tidak mungkin mencinta, karena kalau ada ‘aku’ yang mencinta, cinta itu hanya menjadi alat untuk mencapai sesuatu demi keuntungan lahir mau pun batin dari si ‘aku’ ini. Cinta Kasih, Tao, Tuhan, Kebenaran dan sebagainya sudah ada, akan tetapi menjadi tidak ada atau tidak dapat dimengerti karena terselubung oleh asap nafsu keinginan yang dibuat oleh si ‘aku’, asap yang membuat mata kita menjadi buta.
Tentu saja tidak mungkin dalam keadaan seperti buta itu hendak mencari dan mengerti Tao, mengerti Cinta Kasih, mengerti Tuhan. Segala macam asap itu yang dapat berupa kebencian, kemarahan, kekerasan, kekejaman, iri hati, kedukaan, keinginan, semua ini harus lenyap dulu, barulah mata akan menjadi terang untuk dapat melihat Cinta Kasih. Barulah Cahaya itu akan cemerlang dan tampak.
Segala macam bentuk nafsu tidak dapat dilenyapkan dengan paksaan, dengan kemauan, karena hal itu akan sama halnya dengan api dalam sekam, memang tidak bernyala lagi, tapi masih ada dan membara, dan sewaktu-waktu akan bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakarnya!
Untuk terbebas dari itu semua, kita harus menghadapinya langsung, memperhatikannya, mengenalnya dari awal sampai akhir, mengenal sampai ke akar-akarnya segala nafsu itu, berarti kita harus MENGENAL DIRI SENDIRI berikut segala macam nafsu yang bukan lain adalah si ‘aku’ atau si pikiran.
Setiap hari Kun Liong tenggelam ke dalam isi kitab ini, dan sungguh pun itu terlalu dalam, bahkan kadang-kadang membuat dia termangu-mangu, merasa mengerti akan tetapi juga masih merasa bingung dan ruwet, namun dia sadar bahwa isi kitab itu penting bukan main dan bahwa kitab itu merupakan peninggalan yang amat berharga, malah ribuan kali lebih berharga dari pada sepeti emas permata yang disimpan oleh Hong Ing itu. Maka mulailah timbul kekhawatirannya kalau-kalau kitab itu akan terampas oleh orang lain dan mulailah dia mencarikan tempat penyimpanan yang tersembunyi dan rahasia di atas pulau itu.
Pada suatu pagi, Kun Liong bangun sambil menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa, selama dua bulan ini, semenjak dia menemukan kitab dan harta pusaka, kepalanya selalu terasa gatal kalau dia bangun tidur di waktu pagi. Sudah beberapa kali dia memeriksanya, akan tetapi tidak ada perubahan sesuatu pada kepalanya, masih tetap licin dan halus, tidak ada tanda luka atau bintik yang menimbulkan gatal-gatal. Dia menggaruk kepalanya dan perutnya berkeruyuk.
Hemm, sepagi itu, seperti biasa setelah dia mandi, tentu dia akan menghadapi sarapan yang sudah dibuat oleh Hong Ing. Teringat akan ini, dia tersenyum. Sudah terbayang dia akan melihat dara yang makin lama semakin cantik jelita itu, makin panjang rambutnya, dengan pakaian yang sederhana, menampakkan bentuk serta lekuk lengkung tubuhnya yang makin matang sehingga sering kali membuat Kun Liong terpesona dan memaksanya menelan ludah. Tapi anehnya, tidak seperti ketika menghadapi gadis-gadis lain, terhadap Hong Ing dia tak pernah berani menggodanya, bahkan selalu berjaga-jaga agar bersikap sopan!
Dia meloncat turun, lari melalui pintu belakang ke sumber air yang berada di tengah pulau di dalam hutan kecil, menanggalkan pakaiannya dan sebelum terjun ke air, lebih dulu dia berjongkok di tepi kolam air yang jernih untuk memandangi bayangan mukanya sendiri. Kemarin sore dia melihat dari jauh, secara sembunyi, betapa Hong Ing juga berjongkok seperti itu, bercermin di permukaan air sambil mengatur-atur rambutnya.
Seraut wajah yang kurus menyambutnya di air. Yang mula-mula menarik ialah sepasang mata bayangan itu. Mata yang seperti mata setan, celanya di dalam hatinya. Mata yang hitamnya terlalu hitam dan putihnya terlalu putih, seperti mata seorang penyelidik. Tentu mendatangkan rasa tidak senang, terutama sekali Hong Ing, kalau dipandang oleh mata semacam ini! Muka yang dagunya agak meruncing dan terlalu halus untuk seorang pria! Lebih-lebih kepala itu. Menjijikkan! Tak pernah dicukur akan tetapi kelimis. Lalat pun akan terpeleset hinggap di atasnya! Tentu menjijikkan, apa lagi dalam hati seorang dara seperti Hong Ing.
Akan tetapi sikap Hong Ing kadang-kadang manis sekali kepadanya, malah terlalu manis! Mungkinkah wajah yang begini dapat menarik hati seorang dara sejelita Hong Ing? Tidak mungkin! Tentu hanya karena kasihan. Phuhh, dia tidak membutuhkan rasa iba dari siapa pun juga. Meski pun dari Hong Ing sekali pun, dia tidak mau seperti seorang pengemis yang mengulurkan tangan mohon kasihan!
"Hah! Sialan...!" Dia membenamkan kepalanya ke dalam air, dalam-dalam dan lama-lama, sampai dia gelagapan dan mengangkat lagi kepalanya dari dalam air untuk bernapas.
Air kembali diam setelah tadi berombak keras ketika dimasuki kepalanya dan kembali dia memandang ke bawah. Muka itu kini basah kuyup, air menetes-netes dari hidung, dan muka itu agak kemerahan, mata itu menjadi agak merah, dan mulut itu mengejek. Huh, makin buruk!
"Biarlah si buruk rupa tinggal dalam keburukannya!" Dia berkata keras-keras dan kembali dia membenamkan kepalanya, kini bahkan sambil meloncat ke depan.
Air muncrat dan Kun Liong pun mandi, menggosok-gosok keras seluruh tubuhnya dengan penuh semangat, seolah-olah dia hendak melampiaskan kegemasannya kepada daki-daki yang dia bersihkan dari kulit tubuhnya...

Akan tetapi sikap Hong Ing kadang-kadang manis
sekali kepadanya, malah terlalu manis! Mungkinkah wajah yang begini dapat
menarik hati seorang dara sejelita Hong Ing? Tidak mungkin! Tentu hanya karena
kasihan. Phuhh, dia tidak membutuhkan rasa iba dari siapa pun juga. Meski pun
dari Hong Ing sekali pun, dia tidak mau seperti seorang pengemis yang
mengulurkan tangan mohon kasihan!
"Hah!
Sialan...!" Dia membenamkan kepalanya ke dalam air, dalam-dalam dan
lama-lama, sampai dia gelagapan dan mengangkat lagi kepalanya dari dalam air
untuk bernapas.
Air kembali diam setelah tadi berombak keras
ketika dimasuki kepalanya dan kembali dia memandang ke bawah. Muka itu kini
basah kuyup, air menetes-netes dari hidung, dan muka itu agak kemerahan, mata
itu menjadi agak merah, dan mulut itu mengejek. Huh, makin buruk!
"Biarlah si buruk rupa tinggal dalam
keburukannya!" Dia berkata keras-keras dan kembali dia membenamkan
kepalanya, kini bahkan sambil meloncat ke depan.
Air muncrat
dan Kun Liong pun mandi, menggosok-gosok keras seluruh tubuhnya dengan penuh
semangat, seolah-olah dia hendak melampiaskan kegemasannya kepada daki-daki
yang dia bersihkan dari kulit tubuhnya...
SEPERTI
biasa, ketika dia sudah mengeringkan tubuh dan pakaiannya yang tadi dicuci dan
kembali ke pondok, Hong Ing sudah siap dengan sarapan pagi yang terdiri dari
masakan sayur dan ubi-ubian yang didapatkan di hutan, juga panggang daging ikan
sisa kemarin malam, dan air matang dengan ‘teh’ yang terbuat dari daun-daun
yang harum.
"Duduklah
dan mari kita sarapan. Mengapa begitu lama engkau di sumber air? Sampai lelah
aku menanti!" Hong Ing berkata.
Kun Liong
duduk bersila menghadapi meja rendah di mana telah terhidang sarapan pagi itu.
"Aku mencuci pakaianku dulu," cuping hidungnya bergerak-gerak.
"Hemm, sedap! Kau masak daun apa ini?"
"Daun
merah sudah keluar daun mudanya. Makanlah."
Mereka makan
dan Kun Liong tidak tahu betapa sepasang mata dara itu memandangnya dengan
sayu, agaknya terharu menyaksikan dia makan dengan lahapnya. Selesai makan dan
minum air teh istimewa itu, Kun Liong menghela napas lega.
"Nikmat
dan lezat...," katanya.
Biasanya
pujiannya yang jujur ini akan menggirangkan hati Hong Ing. Akan tetapi sekali
ini Hong Ing mengerutkan alisnya dan berkata, suaranya lirih dan penuh duka,
"Ahh, aku ingin menangis kalau melihat kau makan, Kun Liong."
"Ehh,
kenapa? Begitu menyedihkankah caraku makan?"
"Minuman
ini hanya dari air dan daun, bukan teh asli...," suara itu mengeluh.
"Harum
dan sedap melebihi teh yang paling baik!"
"Dan
daging ikan yang itu-itu juga, dipanggang, hanya digarami air laut...,"
suara itu makin merintih.
"Enak
dan gurih sekali, melebihi masakan termahal di restoran!"
"Dan
nasinya... tak pernah ada nasi, hanya ubi dan kentang hutan, dan sayurnya...
aihh... Kun Liong... hanya daun-daun yang biasanya kerbau pun tak akan sudi
memakannya...," suara itu bercampur sedu-sedan.
Kun Liong
tertawa membesarkan hatinya. "Hemmm, enak sekali! Mengenyangkan perut dan
menyehatkan badan!"
"Aihh,
Kun Liong, kenapa kau tak pernah sungguh-sungguh? Tak perlu kau menghiburku
dengan kepura-puraan ini. Kau tentu menderita sekali..."
"Siapa
bilang? Aku senang sekali! Makanku enak, minum pun sedap! Hemm, apakah kau
merasa sedih karena makan minum seadanya ini, Hong Ing?"
"Tidak,
bagi seorang wanita, makan minum tidaklah begitu penting. Yang lebih penting
adalah menghidangkan makan-minum untuk pria, dan melihat kau makan minum
seperti ini... ahhh, hati siapa tidak akan sedih?"
"Sungguh,
Hong Ing. Tidak perlu kau berduka. Aku tidak membohong, bukannya hiburan
kosong. Aku sudah senang, aku merasa bahagia sekali!"
"Apa?
Di tempat seperti ini? Apakah selamanya kita akan berada di tempat ini,
terasing dari dunia ramai? Dan kau bilang kau bahagia?"
"Demi
Tuhan! Aku berbahagia sekali! Aku tidak mau menukar kehidupan di sini seperti
ini dengan kehidupan seorang kaisar di istana yang mewah!"
Hong Ing
menunduk. Kun Liong memandang dan karena muka itu tidak dapat tertampak
olehnya, dia lalu menurunkan pandangan matanya, menatap dada yang jelas
membayang lekuk lengkungnya di balik kain itu, dada yang kini turun naik dengan
keras seakan-akan gelombang lautan yang sedang mengamuk. Tiba-tiba muka itu
diangkat dan Kun Liong merasa bagaikan dibanting dari tempat tinggi,
cepat-cepat dia membanting pula pandang matanya ke samping!
"Kun
Liong, kau tadi mengatakan bahwa kau berbahagia. Benarkah?"
"Mengapa
tidak? Aku tidak berbohong. Aku berbahagia sekali! Dunia begini indah, lautan
begitu cantik, pulau kita ini begini menyenangkan, dan cahaya matahari pagi
itu... lihat... begitu cemerlang dan hangat...."
"Itukah
yang membuatmu bahagia?"
"Ya..."
"Tidak ada
lain lagi?"
"Lain
lagi? Masih banyak! Aku dan kau sehat-sehat saja, makan minum cukup, aku ada
kitab dan kau ada perhiasan-perhiasan itu... dan kita tidak dikejar-kejar
orang..."
"Hanya
itu?"
"Ya..."
Kun Liong meragu. "Apa lagi?"
Kembali Hong
Ing menunduk, menghela napas panjang lalu berkata tanpa mengangkat muka,
"Dahulu... kalau diingat sudah lama sekali, akan tetapi sebenarnya baru
beberapa puluh hari yang lalu... kau pernah mengatakan bahwa kau tidak tahu apa
artinya bahagia itu... akan tetapi sekarang kau berbahagia. Apakah...
apakah..." Hong Ing meragu.
"Apa
yang hendak kau katakan?"
"Apakah
engkau sudah bertemu dengan wanita idamanmu yang dahulu itu maka engkau merasa
berbahagia?"
Wajah itu
menengadah dan mata yang indah itu menatapnya setengah terpejam. Aneh sekali!
Mata itu seperti mau menangis, akan tetapi bibir itu mengandung senyum!
"Aaahhh!
Mengapa kau menanyakan itu, Hong Ing? Aku... aku... tidak memikirkan tentang
wanita, dan tentu saja aku belum bertemu dengan wanita idamanku itu."
Mata itu
tiba-tiba terbelalak, dan muka yang manis itu mendadak menjadi merah padam.
"Apa... apa maksudmu?"
"Mana
mungkin aku dapat bertemu dengan wanita idamanku itu?"
"Kau...
kau maksudkan... wanita itu masih ada di dalam alam khayalmu, dan… masih kau
harapkan kelak akan bertemu?"
"Aihh,
sudahlah, Hong Ing. Kenapa kita bicara tentang hal yang bukan-bukan itu? Adalah
lebih baik kita bicara tentang kita."
"Hemmm,
apa yang hendak kau bicarakan tentang aku?"
"Misalnya,
bahwa agaknya kau tidak betah tinggal di sini."
"Tentu
saja! Tempat ini amat sunyi, aku merasa seperti berada di dalam kuburan! Bukan
di dunia ramai." Tiba-tiba suara Hong Ing berubah seolah-olah menyesali
kata-katanya itu. "Betapa pun juga, ada engkau di sini!"
"Engkau
tentu kehilangan segala kebutuhan wanita. Sisir pun tidak ada."
"Sisir
bambu buatanmu cukup baik."
"Dan
sabun wangi, minyak wangi... ahhh, pakaianmu..."
"Di
sini banyak kembang harum... sudahlah, Kun Liong. Kau pun tidak pernah
mengeluh, tidak pernah membutuhkan apa-apa."
"Aku
sih tidak membutuhkan sisir, kepalaku gundul buruk begini..."
Hong Ing
tertawa. "Memang kepalamu gundul dan lucu!"
"Dan
buruk..."
"Dan
buruk...!" Hong Ing seperti sedang diajar bicara.
"Dan
aku pernah memualkan perutmu."
"Kadang-kadang..."
"Sekarang...?"
"Sekarang
kau paling memualkan perutku!"
"Ehhh...!
Maaf, Hong Ing..."
"Kau
terlalu canggung, terlalu sopan, terlalu terpelajar, terlalu berfilsafat,
terlalu melamun, terlalu... terlalu... engkau terlalu sekali!"
Hong Ing
bangkit dan dengan gerakan cepat penuh kejengkelan hati lalu meninggalkan Kun
Liong, berlari pergi ke tengah pulau dan bayangannya lenyap di dalam hutan.
Untuk
sejenak Kun Liong melongo, kemudian dia menampar kepalanya yang gundul dan
mulutnya menyumpah. "Disambar geledek kalau aku mengerti ini...!"
Dia
menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berjalan perlahan menuju ke rimba di
tengah pulau. Dia menyelinap di antara semak-semak, mendekati sumber air di
mana dia melihat Hong Ing menangis seorang diri di dekat sumber air, di dekat
kolam! Hong Ing menangis! Dan didengarnya suara Hong Ing, lirih dan penuh kedukaan,
bicara pada dirinya sendiri!
"Nah,
puaskanlah hatimu, menangislah sepuas hatimu...!" Hong Ing menjenguk ke
dalam air. "Aduhhh... kasihan kau... biar pun kau menangis sampai kedua
matamu merah dan bengkak-bengkak, biar pun kau menangis sampai mengeluarkan air
mata darah sekali pun, apa gunanya? Lihat hidungmu yang kecil mancung menjadi
merah! Apa perlunya kau menyiksa diri? Biar kau sampai menjadi kurus kering,
atau andai kata engkau bersolek sampai secantik-cantiknya, apa gunanya? Apa
perlunya kau menggosok kedua pipimu pagi tadi sampai pipimu kemerahan... begitu
segar dan mengalahkan kecantiken bidadari, semua itu apa artinya? Tak ada
seorang pun akan melihatnya, apa lagi mengagumi! Si sombong, si pongah itu,
hanya akan mengucapkan selamat pagi dengan suara datar, memuji rambutmu secara
basa-basi, kemudian makan dengan lahap tanpa satu kali pun mengerling kepadamu,
kemudian tenggelam dalam kitab-kitabnya untuk bertemu dengan wanita idamannya!
Kau...? Hah, mungkin hanya menimbulkan sedikit rasa iba... huh-hu-hu...!"
Hong Ing menangis lagi!
Kun Liong
terbelalak dan kesima, tak mampu bergerak, menahan napas dan dia merasa
demikian kaget, bingung, dan heran sehingga dia tidak mengerti apa sebabnya
Hong Ing bicara seperti itu dan menangis demikian sedihnya! Karena khawatir
kalau dia dilihat dara itu, diam-diam dia lalu pergi dari hutan itu, bukan
kembali ke pondok melainkan pergi ke bagian pantai yang berlawanan arah, tempat
yang jarang didatanginya, pantai yang penuh dengan batu karang tidak berpasir
seperti pantai di mana dia membuat pondok mereka.
Dia
menghempaskan diri di atas tanah, bersandar batu karang dan memandang jauh ke
depan, jauh sekali menyeberangi laut yang tak bertepi itu. Apa yang telah
terjadi dengan dirinya menghadapi Hong Ing? Mengapa dia merasa begitu aneh bila
berhadapan dengan dara itu? Terjadi perbantahan sendiri di antara hati dan
pikirannya, membuat dia duduk terlongong, lupa waktu lupa keadaan.
"Kau
cinta padanya, tolol!"
"Hemmm,
apa sih cinta itu? Aku suka padanya karena dia cantik, seperti aku suka kepada
gadis lain."
"Bukan!
Sekali ini lain sama sekali! Kau tidak pernah menggodanya, kau tidak berani
mendekatinya. Dia mendatangkan rasa hormat dan iba di hatimu, dia bagaikan
sebuah benda pusaka yang tidak ternilai harganya bagimu sehingga kau tidak
berani memegang dia terlalu lama khawatir rusak! Sedangkan gadis-gadis lain itu
bagimu hanya merupakan benda-benda indah dan kau jadikan permainan. Gadis-gadis
lain itu bagimu hanya seperti bunga-bunga yang indah harum, kau cium dan kau
petik kemudian dilupakan begitu saja. Akan tetapi dia lain lagi! Bagimu dia
merupakan setangkai kembang yang suci, yang kau kagumi dengan memandang dan
memujanya akan tetapi merasa sayang kalau tersentuh kotor. Kau cinta
padanya!"
"Hemmm...
aku hanya akan mencinta wanita idamanku."
"Wanita
idamanmu itu hanya khayalan, hanya asap, tepat seperti dikatakannya dahulu!
Wanita macam itu tidak ada!"
"Hemmm..."
Kun Liong meremas pasir karang sampai menjadi bubuk halus.
Dia duduk
termenung di tempat itu, tidak pernah berpindah, sampai matahari sudah naik
tinggi kemudian condong ke barat. Baru dia teringat betapa dia telah setengah
hari duduk di tempat itu dan bahwa Hong Ing tentu akan gelisah menantinya
pulang.
Hati dan
pikirannya telah berdamai dan telah bermufakat untuk melakukan sesuatu kalau
dia bertemu dengan Hong Ing nanti! Dia mencinta Hong Ing! Inilah keputusan yang
telah diambil oleh hati dan pikirannya, dan dia akan mengaku terus terang
kepada dara itu!
Setelah dia
mengambil keputusan tetap, dengan jantung berdebar tegang akan tetapi kaki dan
kepala ringan, Kun Liong berlari-lari ke arah pondok. Tahulah dia kini bahwa
segala perasaan aneh yang dideritanya selama ini, kiranya bukan lain adalah
keraguan terhadap hubungannya dengan Hong Ing.
Sekarang
harus ada kepastian! Dia mencinta Hong Ing! Dia harus menyatakan ini terus
terang, dan apakah Hong Ing juga mencinta dia atau tidak, itu merupakan urusan
lain lagi! Besar sekali kemungkinannya gadis itu tidak mencintanya, sebab
terlalu sering perasaan tidak senangnya diperlihatkan.
Akan tetapi,
andai kata benar Hong Ing tidak mencintanya, dia tidak akan penasaran, dan
penjelasan itu akan melegakan hatinya. Tidak seperti sekarang, digerogoti
keraguannya sendiri. Bagaimana nanti jadinya kalau Hong Ing menjawab
pertanyaannya, dia tidak mau membayangkannya. Bagaimana nanti sajalah!
Tiba-tiba
kedua kakinya berhenti dengan tiba-tiba dan matanya terbelalak memandang ke
depan, kedua alisnya berkerut. Dia melihat Hong Ing berdiri di pantai depan
pondok, akan tetapi tidak sendirian! Ada tiga orang lain yang berdiri di depan
dara itu dan melihat mereka, jantung di dalam dada Kun Liong segera berdebar
tegang. Tiga orang itu adalah pendeta-pendeta Lama berkepala gundul dan
berjubah merah!
Teringatlah
dia akan kakek pendeta Lama yang pernah menolong dia dan Hong Ing, yang amat
sakti dan melontarkan mereka yang berada di dalam peti mati ke laut! Apakah
kakek sakti itu yang datang bersama dua orang kawannya?
Melihat
mereka dari jarak jauh, sulit sekali membedakan muka para pendeta Lama itu,
maka dia lantas melanjutkan gerakan kakinya berlari menghampiri. Setelah agak
dekat, tampaklah olehnya bahwa mereka adalah tiga orang pendeta Lama yang
usianya sudah tua, akan tetapi pendeta Lama raksasa yang pernah menolongnya itu
tidak berada di antara mereka. Kini dia sudah tiba dekat dan berdiri memandang.
Ketiga orang
Lama itu bersikap agung dan berwibawa, usia mereka tentu sudah enam puluh tahun
lebih. Mereka berdiri berjajar, yang di tengah-tengah agak berbeda jubahnya,
yaitu pada tepi jubah merahnya memakai garis kuning emas dan kedua tangannya
yang dirangkap di depan dada itu memegang lima batang hio (dupa biting) yang
mengeluarkan asap harum. Ada pun dua orang lainnya berdiri di kanan kirinya,
juga merangkap tangan depan dada dan menundukkan muka seolah-olah mereka berdua
itu selalu berada dalam keadaan bersemedhi dan berdoa!
Hong Ing
berdiri dengan wajah agak pucat di depan mereka, dan jelas tampak betapa dara
itu berada dalam keadaan bimbang ragu dan bingung. Melihat munculnya Kun Liong,
wajah Hong Ing agak berseri seolah-olah dia melihat datangnya pertolongan.
"Kun
Liong, para Locianpwe ini adalah supek dan kedua susiok dari Tibet, datang
diutus oleh... ayahku untuk menjemputku!" suara Hong Ing gugup karena
hatinya merasa tegang sekali.
Kun Liong
mengerutkan alisnya, memandang kepada tiga orang pendeta itu, memandang dengan
sinar mata tajam penuh selidik, kemudian menjura dengan hormat dan berkata,
"Sam-wi Locianpwe adalah paman-paman guru dari Nona Pek Hong Ing?
Bagaimana ini? Saya tidak mengerti, harap Sam-wi sudi menjelaskan."
Dua orang
pendeta di kanan kiri masih menunduk dengan kedua mata terpejam, hanya pendeta
yang berdiri di tengah yang mengangkat muka memandang Kun Liong. Pemuda ini
terkejut sekali saat melihat sinar mata kakek itu menyambar bagaikan
halilintar! Wajah yang penuh keriput itu kelihatan dingin dan penuh wibawa yang
menyeramkan, mulutnya selalu tersenyum sabar dan kepalanya lebih licin dari
pada kepalanya sendiri. Yang amat menarik hatinya, asap dari lima batang hio yang
dipegang oleh sepasang tangannya itu, membubung lurus ke atas, sama sekali
tidak terpengaruh oleh tiupan angin laut!
"Siancai...
pinceng sudah menceritakan kepada yang berkepentingan, dan satu kali saja sudah
cukup." Suara kakek ini lemah lembut, namun di dasarnya terasa sekali
keputusan yang seperti baja, tak dapat digoyahkan pula!
"Kun
Liong, ketahuilah. Mereka ini datang dari Tibet sebagai utusan ayahku yang
katanya kini menjadi calon ketua para pendeta Lama Jubah Merah di Tibet. Untuk
pengesahan dan upacara pengangkatan ayah sebagai ketua, aku sebagai anak
tunggal harus hadir, maka ketiga orang Locianpwe ini datang untuk menjemputku
sebagai utusan ayah. Bagai mana baiknya, Kun Liong? Aku ingin sekali bertemu
dengan ayahku!"
Kun Liong
mengerutkan alisnya. Sungguh tak disangka-sangka timbulnya urusan aneh ini dan
dia menjadi curiga. Mereka itu adalah pendeta-pendeta Lama, dan kalau ayah Hong
Ing adalah suheng dan sute mereka tentu ayah Hong Ing juga seorang pendeta
Lama. Mana mungkin ini? Dan bagaimana pula mereka bertiga itu bisa tahu bahwa
Hong Ing adalah puteri calon ketua mereka?
Agaknya
pendeta Lama yang memegang lima batang hio itu dapat membaca isi hati dan
keraguan Kun Liong. Terdengar dia berkata dengan bahasa pribumi yang baik akan
tetapi dengan lidah agak kaku, tanda bahwa sudah terlalu lama dia tidak
menggunakan bahasa ini.
"Orang
muda, harap jangan ragu-ragu terhadap kami. Kami masih mengenal Pek Hong Ing
yang meninggalkan Tibet ketika dia berusia lima tahun, dan ketika di daratan
besar kami mendengar bahwa Pek Hong Ing meninggalkan daratan dengan seorang
pemuda gundul, kami segera berlayar dan mencari. Akhirnya Sang Buddha menuntun
kami hingga sampai di tempat ini."
Kun Liong
diam-diam harus mengakui bahwa alasan itu memang masuk di akal. Akan tetapi,
jika benar ayah dara itu yang mengutus, mengapa sebagai seorang ayah, setelah
belasan tahun baru ingat untuk mencari puterinya? Pula, dia masih teringat akan
cerita Hong Ing bahwa ibunya dikeroyok oleh para pendeta Lama sehingga
luka-luka parah dan akhirnya tewas di kaki Pegunungan Go-bi-san. Karena itu
kecurigaannya tetap saja tidak meninggalkan lubuk hatinya.
"Kalau
saya boleh bertanya, siapakah nama Sam-wi Locianpwe?"
Sekarang
kedua orang pendeta yang tadi menundukkan muka, mengangkat mukanya dan kembali
Kun Liong terkejut. Dua orang hwesio yang sudah tua ini pun memiliki pandang
mata yang luar biasa, seolah-olah dari pandang matanya itu keluar tenaga
mukjijat yang menyeramkan! Tiga pasang mata yang tajam dan aneh itu memandang
Kun Liong penuh perhatian, dan pendeta yang berdiri di tengah dengan suara
tetap tenang berkata,
"Orang
muda, engkau memiliki nyali besar sekali!"
"Maaf,
Locianpwe. Bukan sekali-kali saya hendak bersikap tidak hormat, tapi hendaknya
diketahui bahwa selama ini, sayalah yang menjaga dan melindungi Nona Pek Hong
Ing, maka saya merasa sudah menjadi tanggung jawab saya untuk membelanya dari
apa pun juga. Kedatangan Sam-wi ini sungguh tidak diduga-duga, bukan saya tidak
percaya, tetapi saya harus tahu lebih dulu siapa yang akan berurusan dengan
None Pek Hong Ing."
Pendeta yang
berdiri di tengah itu tersenyum, sedangkan kedua orang temannya tetap diam
seperti patung.
"Pinceng
disebut Sin Beng Lama, yang di kiri ini adalah Hun Beng Lama, dan di kanan
adalah Lak Beng Lama. Mereka adalah dua orang sute-ku, dan ayah Nona Pek Hong
Ing adalah suheng mereka dan sute-ku yang pertama."
Kun Liong
dan Hong Ing saling pandang dan merasa heran. Mendengar nama-nama itu mereka
teringat akan kakek pendeta Lama yang sudah menolong mereka, maka dengan cepat
Kun Liong bertanya, "Dan siapakah nama ayah Nona Pek Hong Ing?"
"Sute-ku
itu, yang kini sedang dicalonkan sebagai ketua perkumpulan kami, adalah Kok
Beng Lama..."
"Ohhhh...!"
Kun Liong dan Hong Ing berseru heran.
Jadi kakek
pendeta aneh yang amat sakti itu, yang menolong mereka dengan memberi peti mati
sebagai perahu, yang bernama Kok Beng Lama dan muncul seperti setan, yang
bertubuh seperti raksasa, ternyata adalah ayah Hong Ing!
Mendengar
seruan itu, Sin Beng Lama beserta kedua orang sute-nya memandang tajam penuh
selidik. "Apakah kalian pernah bertemu dengan calon ketua kami?"
tanya Sin Beng Lama.
Kedua orang
muda itu mengangguk, dan Kun Liong berkata. "Kalau benar bahwa beliau
adalah ayah Nona Hong Ing, mengapa diam saja dan tidak mengajaknya ketika
bertemu dengan puterinya? Dan menurut cerita Nona Pek Hong Ing, Ibunya pernah
dikeroyok oleh para pendeta Lama, tidak tahu apakah Sam-wi Locianpwe ketika itu
ikut pula mengeroyok beliau?"
Ketiga orang
pendeta itu menggerakkan tubuh sedikit, dan asap lima bateng hio itu kini
bergoyang-goyang.
"Orang
muda! Urusan dalam mana mungkin diceritakan kepada orang luar? Pek Hong Ing,
kami adalah paman-paman gurumu. Mari kau ikut bersama kami menghadap ayahmu dan
engkau akan mendengar selengkapnya tentang riwayatmu. Dia ini sebagai orang
luar tidak berhak mencampuri urusan kami yang merupakan keluarga pendeta Lama
Jubah Merah!"
Hong Ing
kelihatan bingung dan ragu-ragu, sebentar memandang ke arah Kun Liong, lalu
menoleh kepada tiga orang pendeta yang memandangnya dengan ramah itu. Melihat
ini, hati Kun Liong terasa semakin tidak enak. Maka, dengan suara lantang dia
berkata,
"Saya
bukanlah orang luar! Kepentingan Hong Ing adalah kepentingan saya juga, bahkan
lebih lagi! Saya akan membelanya dengan sepenuh jiwa raga saya!"
"Kun
Liong...!" Hong Ing berseru lirih dan memandang dengan mata terbelalak
lebar.
Kun Liong
menghadapi dara itu dan berkata, suaranya lantang karena dia tidak peduli lagi
bahwa ucapannya itu didengarkan oleh tiga orang paman guru dara itu.
"Hong
Ing, biarlah aku mengadakan pengakuan sekarang juga. Aku.. aku cinta padamu!
Nah, kini telah kunyatakan perasaan yang berbulan-bulan ini mencekik leherku.
Aku cinta padamu, Hong Ing, dan aku siap untuk membelamu dengan seluruh jiwaku.
Jangan kau ikut bersama mereka, jika memang ayahmu yang menyuruh, biarlah
ayahmu sendiri yang datang ke sini! Atau, apa bila engkau ingin pergi juga
untuk menemui ayahmu, aku harus mengawalmu!"
Muka yang
cantik itu menjadi merah sekali saat mendengar pengakuan cinta yang begitu
terang-terangan di depan tiga orang pendeta itu. Akan tetapi tanpa dapat
dicegahnya lagi, dua butir air mata meloncat turun dari pelupuk matanya dan dia
memandang Kun Liong dengan mata setengah terpejam, bibirnya gemetar dan
akhirnya sambil melangkah maju sehingga dia berada dekat sekali dengan Kun
Liong. Dia kemudian bertanya,
"Kau...
kau cinta padaku...? Lalu... bagaimana dengan gadis idaman yang kau khayalkan
dahulu itu...?"
Kun Liong
tertawa dan kedua lengannya lalu bergerak, meraih tubuh itu dan dipeluknya,
didekapnya muka dara itu ke dadanya. "Ha-ha, dahulu aku bodoh, aku dungu,
tergila-gila kepada wanita khayal, wanita yang hanya bayangan... aku sungguh
tolol seperti yang kau katakan..."
Hong Ing
merenggutkan tubuhnya menjauh, mukanya pucat dan matanya terbelalak.
"Apa...
apa maksudmu...?" tanyanya dengan suara terputus-putus.
Kun Liong
masih tersenyum dan berusaha meraih lagi, akan tetapi Hong Ing mengelak.
"Dahulu aku tolol, Hong Ing. Yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku
hanyalah engkau, wanita dari darah daging, bukan wanita khayal itu, wanita
dalam mimpi yang tentu saja tidak akan pernah ada." Kembali tangannya
menangkap lengan Hong Ing dan wanita itu hendak dipeluknya.
"Plak-plak!"
Hong Ing
merenggutkan dirinya, menangkis dan menampar dengan muka merah sekali, matanya
bersinar-sinar penuh kemarahan.
"Tidak!
Lepaskan aku!" teriaknya dan wanita itu tersedu, lari mendekati tiga orang
pendeta Lama sambil berkata. "Sam-wi Locianpwe, mari bawa aku menemui
ayahku." Dia tidak menengok lagi kepada Kun Liong yang berdiri dengan muka
pucat dan terheran-heran.
Sin Beng
Lama tersenyum dan mengangguk. "Sebagai puteri Sute yang menjadi calon
Kauwcu (Kepala Agama), engkau bersikap baik dan tepat sekali, Hong Ing. Sute,
harap ambilkan jubah untuk Hong Ing!"
Lak Beng
Lama yang berdiri di sebelah kirinya mengangguk, dan sekali kakinya bergerak,
tubuh hwesio ini telah mencelat dan berada di atas perahu kecil yang didaratkan
di pantai. Sekejap mata kemudian, hwesio ini sudah kembali berkelebat datang
membawa sebuah jubah merah yang lebar. Gerakannya sedemikian gesit dan cepatnya
sehingga Hong Ing sendiri terbelalak kagum.
Juga
diam-diam Kun Liong yang melihat ini maklum bahwa hwesio Lama itu mempunyai
ginkang yang luar biasa tingginya! Akan tetapi dia tidak mempedulikan itu semua
karena dia masih bengong memandang Hong Ing yang kelihatan sangat marah
kepadanya dan kini sama sekali tidak mempedulikannya itu.
Dengan sikap
melindungi Lak Beng Lama lalu menyelimutkan jubah merah itu ke tubuh Hong Ing.
Jubah itu lebar dan panjang sehingga tubuh dara itu tertutup dari leher sampai
ke mata kakinya, tidak lagi setengah telanjang seperti biasanya.
Melihat dara
itu tidak lagi mempedulikannya dan agaknya hendak benar-benar berangkat
meninggalkannya, Kun Liong merasa jantungnya seperti dibetot. Dia meloncat ke
depan dan langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan Hong Ing sambil
berkata, "Hong Ing, jangan pergi... kumohon kau... jangan pergi meninggalkan
aku. Aku cinta padamu...!"
Hong Ing
memandang kepadanya dan kembali mata itu menitikkan air mata dan suaranya
terdengar menyesal sekali.
"Sudahlah,
Kun Liong. Aku hendak mencari ayahku dan biarlah kita tidak saling bertemu
lagi. Betapa pun juga, selama hidup aku tidak akan melupakan semua budi
kebaikanmu kepadaku. Selamat tinggal, Kun Liong..."
"Tidak!
Kau tidak boleh pergi begitu saja! Aku harus ikut dan melindungimu, Hong
Ing!"
"Orang
muda, tak mungkin kau boleh ikut bersama kami. Tempat kami merupakan tempat
terlarang bagi orang luar!" kata Sin Beng Lama dengan suara halus.
"Aku
mau menjumpai ayahmu, Hong Ing! Aku cinta padamu, dan aku akan meminangmu dari
tangan ayahmu!" Kun Liong berkata lagi.
Naik
sedu-sedan dari dada Hong Ing, tetapi dia merenggutkan tangannya yang dipegang
oleh Kun Liong. "Apakah kau lupa bahwa kau tidak akan menikah selamanya,
Kun Liong? Dan aku pun tak akan menerima pinanganmu. Aku tidak membutuhkan perlindunganmu.
Sudahlah, aku mau pergi dan.. jangan kau memikirkan aku lagi, Kun
Liong..."
Dara itu
sudah melangkah menuju ke perahu, diiringkan oleh ketiga orang hwesio Lama itu.
Kun Liong merasa jantungnya seperti diremas-remas. Kemudian, sekali meloncat, dia
sudah melampaui mereka dan menghadang antara mereka dan perahu.
"Tidak
boleh! Kau tidak boleh pergi begitu saja, Hong Ing! Kau tidak boleh
meninggalkan aku!" Suaranya mengandung isak dan matanya liar seperti mata
seekor kelinci ketakutan. Memang dia takut, dia gelisah bukan main melihat
wanita itu hendak meninggalkannya!
"Orang
muda, minggirlah kau!" Sin Beng Lama berkata, kini suaranya dingin dan
keras, tidak lagi disertai senyum sabar.
"Tidak!
Kau tidak berhak mencampuri, Sin Beng Lama! Kalian tiba-tiba saja datang dan
hendak membawa pergi dia begitu saja! Tidak boleh! Dia adalah punyaku, dan
sejak lama aku hidup untuk dia! Sekarang hendak kau bawa pergi begitu saja!
Tidak bisa, selama aku masih hidup!"
"Orang
muda, apa kau sudah gila? Minggirlah!" Lak Beng Lama melangkah maju,
tongkat di tangan kanannya tergetar.
"Tidak!
Kalianlah yang harus cepat pergi dari sini, jangan mengganggu kami berdua
lagi." bentak Kun Liong marah.
"Kun
Liong, jangan kurang ajar terhadap Supek dan Susiok!" Hong Ing berseru.
"Mereka
belum tentu Supek dan Susiok-mu, Hong Ing. Jangan sembarangan percaya terhadap
orang!" Kun Liong membentak.
"Bocah
gila, engkau memang harus dihajar!" Lak Beng Lama menjadi marah sekali dan
tongkatnya sudah menyambar ke arah pundak Kun Liong.
Pemuda ini
juga marah, kemarahan yang timbul karena putus asa dan duka bercampur gelisah
menyaksikan Hong Ing hendak meninggalkannya. Dengan pengerahan tenaga dia
mengangkat lengannya menangkis tongkat itu.
"Desss…!"
“Omitohud...!"
Lak Beng Lama terpelanting dan tentu roboh kalau saja Hun Beng Lama, suheng-nya
tidak cepat menyambar lengannya.
Bukan main
kagetnya tiga orang pendeta Lama itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa bukan
saja pemuda itu dapat menangkis tongkat pusaka di tangan Lak Beng Lama yang
jarang dapat dicari tandingannya itu, bahkan sambil menangkis hampir saja
pemuda itu membuat Lama ini malu dan jatuh. Padahal tiga orang Lama ini
merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet dan memiliki tingkat kepandaian yang amat
tinggi!
"Hemmm,
kiranya engkau juga mempunyai sedikit kepandaian?" Hun Beng Lama sudah
menerjang maju, menggerakkan seuntai tasbih hitam yang sejak tadi dipegangnya.
"Wuuuuttt...
singgg...!"
Kun Liong
cepat mengelak dan dari samping dia mengulur tangan hendak mencengkeram lengan
lawan dan merampas tasbihnya. Juga gerakan ini membuat Hun Beng Lama amat
terkejut sehingga terpaksa dia menarik kembali tasbihnya.
Gerakan
lawan muda itu benar-benar cepat bukan main, dan juga sangat aneh sehingga dia
makin penasaran lalu melangkah maju dan menyerang lagi. Kini tasbihnya meluncur
ke arah kepala Kun Liong, sedangkan tangan kirinya menampar pinggang.
Biar pun
serangan Hun Beng Lama cepat dan mendatangkan angin keras tanda bahwa
gerakannya mengandung sinkang kuat, namun gerakan Kun Liong lebih cepat lagi
ketika mengelak dan pemuda ini pun tidak tinggal diam, melainkan membalas
dengan pukulan tangan terbuka ke arah leher lawan. Sekarang dia marah sekali
karena tiga orang Lama itu dianggapnya hendak melarikan Hong Ing yang akan
dipertahankannya mati-matian, maka dia sampai hati untuk membalas menyerang
dengan dahsyat!
"Heihhh!"
Hun Beng Lama terkejut dan mengelak, tasbihnya menyambar dari bawah.
"Bukkk!"
Tasbih itu
bergerak dan dengan tepat mengenai perut Kun Liong. Akan tetapi pemuda ini
memang sudah bersiap, segera mengerahkan sinkang melindungi perut sambil
berbareng dia menggunakan tamparan tangan menampar ke arah tengkuk.
"Aihhh...
plakk!"
Hun Beng
Lama kaget ketika tasbihnya bertemu dengan perut yang keras seperti karet, apa
lagi ketika tangan lawan sudah menyambar dahsyat memukul tengkuknya. Dia cepat
mengelak, akan tetapi pundaknya kena serempet tangan Kun Liong dan Hun Beng
Lama terhuyung-huyung dengan muka pucat karena tamparan tangan pemuda itu mengandung
hawa panas!
"Pemuda
keparat!" Lak Beng Lama sudah menerjang lagi, dan dari samping, Hun Beng
Lama juga menerjang.
Kini Kun
Liong dikeroyok dua! Dia bertangan kosong, akan tetapi dia tidak menjadi gentar
dan cepat dia mainkan Ilmu Silat Im-yang Sin-kun ciptaan Tiong Pek Hosiang.
Ilmu silat
tangan kosong ini memang hebat sekali, gerakannya mengandung dua unsur tenaga
Im-kang dan Yang-kang. Tenaga Yang-kang panas menghadapi serangan tongkat dan
Im-kang dingin menghadapi senjata tasbih yang lemas sifatnya, maka tepat sekali
sehingga setelah lewat tiga puluh jurus, Kun Liong membuat kedua orang
pengeroyoknya terheran-heran karena belum juga mereka berdua mampu merobohkan
lawan yang muda, seorang diri, dan bertangan kosong pula!
Kun Liong
juga marah sekali. Dia maklum bahwa dua orang Lama itu lihai sekali, maka dia
berseru keras dan kini tubuhnya bergerak makin cepat dan ilmu silatnya berubah.
Kaki tangannya seperti berubah menjadi delapan dan ternyata dia sudah mainkan
Ilmu Silat Tangan Kosong Pat-hong Sin-kun dari Bun Hwat Tosu!
Ilmu ini
memang mengandalkan kecepatan, sesuai dengan namanya Ilmu Silat Delapan Penjuru
Angin! Kembali dua orang Lama itu terkejut dan mereka terpaksa harus memutar
senjata secepat mungkin untuk melindungi tubuh mereka, sebab kini keadaannya
menjadi berbalik, bukan dua orang mengeroyok seorang, melainkan delapan orang
menghadapi dua orang!
Dua orang
pendeta Lama itu mendadak mengeluarkan pekik melengking panjang, pekik yang
mengandung khikang kuat bukan main, membuat jantung Kun Liong tergetar hebat.
Pemuda ini terkejut dan cepat dia menggunakan ginkang-nya meloncat lalu
menyambar tasbih dan tongkat yang sudah dapat dia cengkeram dengan kedua
tangannya!
Melihat
senjata mereka dapat tertangkap, dua orang pendeta itu terkejut dan berbareng
mereka menghantam dengan tangan kiri yang terbuka ke arah tubuh Kun Liong.
"Bukk!
Bukkk!"
Tangan kiri
Hun Beng Lama mengenai punggung Kun Liong, sedangkan tangan kiri Lak Beng Lama
mengenai lambung. Baru sebuah saja dari dua pukulan ini sudah cukup untuk
menewaskan lawan.
Akan tetapi
anehnya, kedua orang pendeta itu berteriak-terlak kaget dan mencoba untuk
menarik-narik tangan kiri mereka yang kini sudah melekat pada punggung dan
lambung! Kiranya Kun Liong sengaja menerima pukulan mereka sambil mengerahkan
sinkang dan menggunakan ilmunya Thi-khi I-beng sehingga bukan saja tubuhnya tak
terpengaruh oleh pukulan, bahkan otomatis tenaga sinkang kedua orang pendeta
itu tersedot oleh pusarnya melalui punggung serta lambungnya! Tentu saja Hun
Beng Lama dan Lak Beng Lama terkejut setengah mati ketika merasa betapa sinkang
mereka membanjir keluar!
"Omitohud...!"
Sin Beng Lama berseru dan tiba-tiba tampak dua sinar api meluncur.
"Aduhhhh...!"
Kun Liong berteriak kaget ketika punggung dan lambungnya terasa panas terbakar.
Kiranya jalan
darahnya di bagian itu telah ditotok oleh Sin Beng Lama yang menggunakan
‘senjata’ istimewa sekali, yaitu dua batang hio yang bernyala! Pada saat merasa
betapa telapak tangan mereka telah terlepas dari hisapan, Lak Beng Lama dan Hun
Beng Lama menarik tangan mereka dan cepat menampar.
"Plak!
Dessss...!" Tubuh Kun Liong terguling-guling oleh tamparan yang mengenai
leher dan dadanya itu.
"Syuuuuttt...
ahhhh...!"
Kun Liong
terkapar dan tubuhnya berkelojotan karena dia merasa tubuhnya sakit-sakit
seperti dibakar api pada waktu lima batang hio itu sudah meluncur dan menancap
di lima bagian jalan darahnya secara luar biasa sekali! Kepalanya pening,
pandangan matanya kabur dan dalam keadaan setengah pingsan, Kun Liong masih
dapat mendengar suara Hong Ing,
"Jangan
bunuh dia... aku tidak sudi pergi kalau dia dibunuh...! Kun Liong...!"
Selanjutnya
gelap dan Kun Liong tidak tahu apa-apa lagi…..!
***************
"Aughhhhh..."
Kun Liong mengeluh, tubuhnya terasa nyeri semua, nyeri dan panas. Dia membuka
matanya dan teringatlah dia bahwa tadi dia roboh oleh Sin Beng Lama yang
menyerangnya dengan sambitan lima batang hio yang merupakan sinar api kuning emas
meluncur seperti kilat menyambar dan yang tepat mengenal lima jalan darah di
tubuhnya.
"Uhhh...!"
Dia mengeluh lagi penuh kengerian ketika melirik dan melihat betapa lima biting
itu telah menancap di kedua pundaknya, kedua pahanya dan yang satu di
lambungnya. Dupa biting itu dapat menancap laksana anak-anak panah baja saja,
dapat dibayangkan betapa lihai kakek pendeta Lama itu!
Kun Liong
mengerahkan tenaganya, akan tetapi dapat dibayangkan alangkah kagetnya ketika
tenaga sinkang-nya yang dilatihnya dari kedua orang gurunya, Bun Hwat Tosu dan
Tiong Pek Hosiang, tak dapat digunakan, seolah-olah sumbernya telah dihimpit
sehingga tenaga sinkang-nya tidak dapat timbul. Juga tenaga Thi-khi I-beng yang
tersimpan pada pusarnya tidak dapat dia gerakkan!
Dengan kaget
sekali tahulah Kun Liong bahwa kelima batang hio itu sudah melumpuhkan
sinkang-nya, dan teringatlah dia betapa dua tusukan hio biting itu pun telah
melenyapkan tenaga sedot dari Thi-khi I-beng pada saat dia menggunakan ilmu itu
terhadap Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama! Bahkan ketika dia berusaha
menggerakkan kedua tangannya untuk mencabut hio-hio itu, kedua tangan itu juga
lumpuh karena hio-hio itu telah menotok kedua pundaknya.
Kun Liong
bersikap tenang. Dia tahu bahwa Hong Ing sudah dibawa pergi oleh mereka, bahwa
dia hanya sendirian di pulau. Musuh-musuh yang tangguh itu telah pergi dan dia
kini terlentang di atas pasir dalam keadaan tertotok oleh hio-hio itu, tak
berdaya sama sekali, sedangkan hio-hio itu agaknya beracun. Hal ini dapat
diduga dari rasa nyeri dan panas yang mengamuk di tubuhnya.
Akan tetapi
dia tidak boleh putus harapan, tidak boleh gugup. Dia harus dapat menolong diri
sendiri dulu, terutama sekali supaya dia dapat mencari Hong Ing. Dia masih
dapat mengingat teriakan Hong Ing yang terakhir ketika menyebut namanya,
teriakan seorang yang berada dalam kesulitan.
Tak mungkin
Hong Ing, betapa pun bencinya kepadanya, meski pun andai kata dara itu tidak
mencintainya, tidak mungkin dara itu meninggalkannya begitu saja dalam keadaan
seperti itu! Tidak mungkin! Dia tahu siapa Hong Ing dan dara macam apa adanya
dia!
Hong Ing, di
balik semua sifat dan wataknya yang aneh sebagai seorang wanita, memiliki hati
yang berbudi. Tak mungkin Hong Ing tega meninggalkan dia dalam keadaan seperti
itu, kalau dara itu tidak dipaksa. Dipaksa! Berarti diculik oleh tiga orang
pendeta Lama itu!
Dan tentu
saja Hong Ing tidak akan sanggup melawan mereka yang demikian lihainya. Karena
itu, jelas bahwa Hong Ing berada dalam kesulitan. Dalam bahaya! Dan dia harus
menolongnya, harus mengejar tiga orang pendeta Lama itu. Akan tetapi, yang
terpenting sekarang, dia harus dapat membebaskan diri sendiri lebih dulu.
Bagaimana caranya?
Kun Liong
mengingat-ingat. Dari gurunya yang ke dua, Tiong Pek Hosiang, dia pernah
mempelajari Ilmu Jiu-kut-keng (Melemaskan Badan), dan dari Bun Hwat Tosu dia
sudah diajari dasar Ilmu I-kiong Hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah). Ilmu yang
pertama itu memungkinkan dia untuk meloloskan diri dari belenggu yang bagaimana
kuat pun, dan ilmu ke dua dapat membuat dia membuyarkan totokan yang menguasai
tubuhnya.
Akan tetapi
sekali ini kedua ilmu itu tidak dapat dia pergunakan karena sumber tenaga
sinkang-nya terhimpit. Sambil terlentang di atas pasir, hanya sepasang biji
matanya yang bergerak-gerak dan dipaksa memandang ke langit yang hitam penuh
terhias bintang, Kun Liong segera mengumpulkan ingatannya, mengenang kembali
semua ilmu yang pernah dipelajarinya, mulai dari kecilnya dia belajar dari ayah
bundanya, lalu kepada Bun Hwat Tosu, Tiong Pek Hosiang dan yang terakhir dari
supek-nya, Pendekar Cia Keng Hong. Kemudian di atas pulau kosong itu, dia
membaca kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Kaisar Bun Ong.
Bintang-bintang
di langit yang jumlahnya tidak terbilang mengingatkan dia akan pelajaran
mengenai letak bintang dan artinya dengan kehidupan manusia yang pernah dia
baca di dalam kitab Keng-lun Tai-pun itu, mengingatkan dia akan semua yang
dipelajarinya dari kitab itu. Otomatis dia langsung teringat akan latihan napas
dalam kitab itu dan segera pernapasannya diatur menurut pelajaran itu tanpa
maksud tertentu.
Alangkah
girang dan kaget hatinya ketika tidak lama sesudah dia mengatur pernapasan
menurut latihan di dalam kitab itu, rasa nyeri serta panasnya banyak berkurang.
Hal ini mendorongnya untuk mengerahkan seluruh perhatian dalam latihan ini,
kemudian dengan semangat yang terbangun secara aneh, Kun Liong mulai
menyalurkan semangat ini untuk menggerakkan kaki tangannya menurut petunjuk
dalam kitab yang telah dihafalkannya.
Dan
hasilnya... benar-benar luar biasa. Dia dapat menggerakkan kaki tangannya!
Bahkan kini himpitan pada pusarnya mulai terangkat dan begitu dia dapat
menggerakkan hawa sinkang-nya dari pusar, sinkang yang dulu dilatihnya dari Bun
Hwat Tosu membuat lima batang hio itu terdorong keluar dari tubuhnya!
Kun Liong
cepat bangkit duduk dan bersila, memejamkan matanya lantas mengerahkan hawa
sinkang, disalurkannya berputaran ke seluruh tubuhnya untuk menghalau semua
hawa beracun, dan mengisi tubuhnya dengan hawa murni melalui pernapasan.
Sampai pada
keesokan harinya, barulah Kun Liong berhasil memulihkan kesehatan dan
tenaganya. Sesudah dia membuka mata, menggerak-gerakkan kedua lengannya sampai
otot-ototnya berbunyi, barulah hatinya merasa puas karena dia telah sembuh sama
sekali. Akan tetapi, sesudah dia sembuh, perhatiannya akan diri sendiri lenyap
dan kembali dia teringat kepada Hong Ing.
"Ahhhh...
Hong Ing...!" Dia mengeluh dan seperti kebiasaannya kalau dia merasa
bingung dan gelisah, tangan kirinya meraba-raba kepalanya yang gundul.
"Heiii...!"
Matanya terbelalak, dan kini tangan kanannya ikut pula meraba-raba kepalanya.
Dia tidak mimpi! Tangan kirinya tidak kehilangan perasaannya. Memang benar
kepalanya tidak kelimis dan licin lagi!
"Hong
Ing...! Kepalaku berambut...!" Dia melompat bangun, akan tetapi segera
terduduk kembali seperti dibanting karena dia baru teringat bahwa Hong Ing
tidak berada di pulau! Kegirangan dan kekagetan saat meraba kepalanya yang
tumbuh rambut itu tadi sejenak membuat dia lupa bahwa Hong Ing telah diculik
orang.
Sekarang
kedua tangannya menyelidiki kepalanya. Benar tumbuh rambut, biar pun masih
pendek akan tetapi jelas terasa oleh rabaan tangan. Teringat dia akan
telur-telur yang berpuluh banyaknya, yang tidak disukai oleh Hong Ing namun
yang oleh dara itu sudah direbus setiap hari untuk dia. Teringat dia betapa
kepalanya menjadi gatal-gatal setelah makan telur-telur itu! Dan teringat pula
dia akan cerita Hong Ing tentang seekor ular hitam yang mendarat dan tentang
bentuk dan warna telur yang oleh dara itu disangka bukan telur kura-kura.
Kini dia
mengerti. Telur-telur itu memang bukan telur kura-kura. Entah telur apa,
mungkin saja telur ular yang dilihat Hong Ing itu. Dia tidak merasa heran kalau
ada telur semacam binatang yang dapat memunahkan racun di tubuhnya sehingga
rambut kepalanya tumbuh kembali. Dia tahu bahwa di dunia ini tidak ada penyakit
yang tidak dapat disembuhkan.
Ibunya,
seorang ahli pengobatan yang pandai, pernah berkata bahwa di dunia ini, segala
sesuatu ada lawannya. Begitu pula penyakit, sudah pasti ada obatnya. Bila ada
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, hal itu hanya terjadi karena manusia
belum menemukan lawan dari penyakit itu!
Dan menurut
ibunya, di udara, di atas dan di dalam tanah, di dalam air, di mana-mana
terdapat bahan obat yang serba lengkap, dan manusia hanya tinggal menyelidiki
serta menemukannya saja. Sekarang, secara kebetulan sekali telur aneh itu
merupakan lawan dari ‘penyakit’ yang membuat rambut kepalanya tidak mau tumbuh,
sehingga kepalanya menjadi normal kembali dan telah tumbuh rambut!
Setelah
keadaan cuaca agak terang oleh sinar matahari pagi, Kun Liong cepat berlari ke
sumber air dan bercermin di kolam. Tidak salah lagi, bintik-bintik hitam di
kepalanya itu adalah rambut-rambut muda! Ah, betapa Hong Ing akan girang sekali
melihatnya, betapa mereka berdua akan tertawa-tawa menyaksikan keanehan yang
amat menguntungkan ini.
Tiba-tiba
dia menarik napas panjang. Hong Ing sudah lenyap! Dia harus mencarinya! Dan dia
tahu ke mana harus mencari Hong Ing. Tidak lain dia harus mengejar tiga orang
kakek pendeta Lama itu dan ke mana lagi mencari mereka kalau bukan ke Tibet?
Mulai pagi
hari itu juga, dengan penuh ketekunan Kun Liong membuat sebuah perahu dari
batang pohon besar yang ditumbangkamya di dalam hutan di tengah pulau. Tentu
saja tak mudah untuk membuat sebuah perahu dari batang demikian besar tanpa
alat apa pun kecuali ujung batu-batu karang yang runcing. Akan tetapi dengan
penuh semangat, dan terdorong oleh kekhawatiran akan keselamatan Hong Ing, Kun
Liong bekerja siang-malam dan hanya berhenti kalau perutnya sudah terlalu lapar
untuk makan atau matanya sudah terlalu mengantuk untuk tidur.
Sambil
bekerja dia mengenang semua peristiwa yang terjadi selama dia bersama dengan
Hong Ing. Dia lalu menarik napas panjang dan harus mengakui bahwa dia
benar-benar mencinta dara itu!
Dan beberapa
kali dia merasa malu kepada diri sendiri kalau dia mengingat akan semua sikap
dan hubungannya dengan gadis-gadis lainnya. Betapa dahulu dia berpemandangan
rendah soal cinta! Betapa dahulu dia menganggap dara-dara itu seperti kembang
yang indah harum untuk dipandang kagum dan dicium. Betapa dahulu dia menganggap
bahwa rasa suka yang menarik hati antara muda-mudi hanyalah dorongan nafsu
birahi semata! Dan sekarang baru dia merasakan benar-benar betapa hebat
kekuasaan perasaan yang disebut cinta asmara ini! Betapa anehnya!
Dia menjadi
bingung apa bila mengenang sikap Hong Ing kepadanya. Kadang-kadang dia seperti
dapat menangkap sinar mata penuh kasih mesra, juga dapat melihat sikap dara itu
yang jelas membayangkan cinta kasih dara itu kepadanya. Akan tetapi, mengapa
Hong Ing sering kali marah-marah kepadanya dan seolah-olah membencinya?
Padahal,
pada saat dara itu melayaninya makan, ketika bercakap-cakap, bersenda gurau,
ketika mereka bersama-sama membuat pondok, ketika mereka berkejaran dan
berlomba mencari telur, semua itu jelas menunjukkan bahwa dara itu berbahagia
di sampingnya, bahwa dara itu suka akan kehadirannya dan mencintanya!
Akan tetapi
dara itu pun pernah memakinya sebagai orang yang sombong, angkuh, tolol, dan
yang lebih hebat lagi... memuakkan perutnya! Dan yang terakhir itu, sebelum
dibawa pergi oleh para pendeta Lama, ketika dengan terus terang dia menyatakan
cinta kasihnya kepada Hong Ing, dara itu mula-mula kelihatan seperti orang yang
terharu dan sangat berbahagia, tapi mengapa kemudian berubah menjadi
marah-marah dan memandangnya penuh kedukaan dan kebencian? Mengapa?
Dia
mengenangkan semua peristiwa itu, satu demi satu. Didengarnya kembali pengakuan
cintanya kepada Hong Ing, didengarnya kembali semua ucapan Hong Ing kepadanya
dan kemarahan dara itu kepadanya.
"Ohhhh...!"
Tiba-tiba saja Kun Liong menghentikan pekerjaannya, duduk termangu-mangu dan
mukanya menjadi pucat. Kembali dia membayangkan adegan tertentu dan kata-kata
tertentu sebelum Hong Ing marah.
"Ahh,
benar-benar tolol kau!" Kun Liong menampar kepalanya yang kini tidak
gundul lagi, melainkan tertutup rambut hitam yang kaya dan hitam, akan tetapi
panjangnya baru satu senti. Terngiang kembali dalam telinganya percakapan
antara dia dan Hong Ing sebelum dara itu marah-marah bahkan telah menamparnya!
"Kau
cinta padaku...? Lalu... bagaimana dengan wanita idaman yang kau khayalkan dulu
itu...?" Hong Ing bertanya kepadanya.
"Ha-ha-ha,
dahulu aku bodoh, aku dungu, tergila-gila kepada wanita khayali, wanita yang
hanya bayangan... aku sungguh tolol seperti yang kau katakan...," dia
menjawab.
Mendengar
itu Hong Ing menjadi pucat. Dia ingat betul akan perubahan ini, kemudian dia
mendengar kembali suara Hong Ing yang terputus-putus. "Apa... apa
maksudmu...?"
Dan dia,
betapa tololnya, ketololan yang amat keterlaluan, dia menjawab seenak perutnya
sendiri saja!
"Dahulu
aku tolol. Yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku hanyalah engkau, wanita dari
darah daging, bukan wanita khayal itu, wanita dalam mimpi yang tentu saja tidak
pernah ada."
Hong Ing
kemudian menamparnya! Tentu saja! Dia sekarang sadar bahwa sepatutnya dia
dipukul, bukan hanya ditampar!
Mengapa dia
begitu tolol? Kini dia dapat menyelami perasaan hati seorang gadis seperti Hong
Ing ketika mendengar pengakuannya yang bodoh bahwa wanita impiannya itu tidak
pernah ada! Padahal Hong Ing melebihi semua wanita impiannya!
Jawabannya
yang bodoh itu tentu saja menyakitkan hati Hong Ing karena seakan-akan baginya
tidak ada wanita yang sempurna, seperti wanita khayalannya itu, bahkan Hong Ing
pun tidak sesempurna wanita impiannya itu. Dia memang patut dipukul mampus!
Perasaan
menyesal terhadap kesalahannya ini, kesalahan yang sudah menyakitkan hati
kekasihnya, membuat Kun Liong makin tekun. Tanpa mengenal lelah dia
menyelesaikan pembuatan perahunya, maka dua bulan kemudian selesailah perahu
itu, sebuah perahu yang sederhana sekali.
Kun Liong
lalu berangkat meninggalkan pulau itu dengan mendayung perahunya. Yang
dibawanya hanyalah kitab Keng-lun Tai-pun yang masih terus dipelajarinya sebab
isi kitab itu amat sukar dimengerti, harus dibaca berulang-ulang. Harta pusaka
berupa emas perak dan permata dia tinggalkan di pulau, dia sembunyikan di dalam
sebuah di antara goa-goa di pulau itu, dan dia hanya membawa beberapa potong
emas dan perak untuk bekal di perjalanan.
Tujuannya
hanya satu, yaitu mencari Hong Ing sampai ketemu! Dan arah perjalanannya
setelah mendarat nanti sudah pasti, kecuali kalau ada jejak dara itu yang
menuju ke lain arah, yaitu ke Tibet......
***************
Terima kasaih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment