Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 33
"Sudahlah,
Keng-moi... sudahlah kekasihku yang tercinta. Perlu apa kau menangis lagi?
Tangismu menghancurkan hatiku, Keng-moi. Bukankah aku berada di sini, di
sampingmu selalu?"
"Liong-koko...!"
Giok Keng menangis semakin terisak, menyandarkan kepalanya di atas dada Liong
Bu Kong yang mengelus-elus rambutnya dengan penuh kemesraan. "Engkau tidak
merasakan betapa sakit hatiku... betapa sengsaranya hati orang yang diusir dan
tak diakui lagi oleh ayah bundanya... hu-hu-huuk..."
"Aku
mengerti, Moi-moi... aku mengerti... Memang tak semestinya engkau mengorbankan
diri sedemikian rupa hanya untuk seorang seperti aku... maka sekarang belum
terlambat kalau kau tinggalkan aku dan pulang, minta ampun kepada ayah bundamu,
Moi-moi..."
Cia Giok
Keng mengangkat mukanya yang basah air mata dan matanya yang agak merah karena
tangis itu memandang wajah yang tampan dari Bu Kong. Malam itu bulan sudah
muncul dan di bawah sinar bulan wajah itu kelihatan tampan sekali.
"Apa...
apa maksudmu...? Meninggalkanmu...?"
Bu Kong menundukkan
mukanya dan berkata, suaranya halus menggetar, "Keng-moi, aku cinta
kepadamu, aku cinta kepadamu dengan seluruh jiwa ragaku... dan demi cinta
kasihku yang murni, aku tidak ingin melihat kau menderita. Tidak! Aku hanya
ingin melihat engkau berbahagia, maka melihat engkau menangis dan bersengsara
seperti ini... ahhh, biarlah aku yang menderita, Moi-moi, kau kembalilah kepada
orang tuamu..."
"Koko...!"
Giok Keng menangis lagi sambil merangkul leher pemuda itu. Hatinya merasa perih
dan terharu, juga sangat bahagia karena ucapan pemuda itu meyakinkan hatinya
akan cinta kasih yang murni dari pemuda itu kepada dirinya. "Aku rela
berkorban apa pun, Koko... biarlah aku tidak diakui anak lagi oleh ayah bundaku
asalkan engkau benar-benar mencintaku..."
"Moi-moi...!"
Bu Kong mendekap tubuh itu dan mencium pipinya, "…aku bersumpah demi bumi
dan langit bahwa aku benar mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Biarlah aku
bersumpah, kalau ternyata aku berhati palsu kepadamu, kelak Thian akan
menghukumku dengan..."
"Husshh,
tidak perlu bersumpah, aku percaya kepadamu, Koko..." Giok Keng menutup
mulut pemuda itu dengan telapak tangan kanannya.
"Moi-moi...
ahhh…, Moi-moi tersayang..."
Bu Kong
memegang dan menciumi tangan itu, kemudian ciumannya berpindah-pindah, dari tangan
ke leher dan akhirnya dia menciumi bibir Giok Keng dengan penuh nafsu.
Mula-mula Giok Keng membalas ciuman pemuda itu dengan sepenuh hati karena cinta
kasihnya, penuh penyerahan dan kemesraan. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman
penuh nafsu yang membuat dia terengah-engah itu disusul dengan gerakan
jari-jari tangan Bu Kong yang nakal, dia menjadi sangat terkejut.
"Moi-moi...
ahhh... Moi-moi yang tercinta...!" Bu Kong berkata dengan napas
mendengus-dengus, kemudian dengan gerakan halus dia mendorong kedua pundak dara
itu sehingga Giok Keng rebah terlentang di atas tanah berumput.
Giok Keng
merangkulnya, menciumnya, dan jari-jari tangan Bu Kong mulai meraba-raba dan
hendak membuka pakaian Giok Keng.
"Koko...
jangan...!" Giok Keng tiba-tiba bangkit duduk, menolak kedua tangan pemuda
itu yang meraba dada dan pahanya. "Jangan begitu, Koko...!" suaranya
penuh permohonan dan nafasnya masih terengah-engah dibakar nafsu birahi.
"Mengapa,
Moi-moi? Bukankah kita berdua saling mencinta?" Bu Kong mengecup pipi yang
kemerahan dan halus serta panas karena terbakar darah muda yang menggelora
tadi.
"Memang
aku cinta padamu, Koko, dan aku yakin bahwa engkau pun mencintaku, akan tetapi
kita... kita... tidak boleh begini... sebelum kita menikah dengan sah!"
Bu Kong
melepaskan kedua tangannya dan usahanya, membelai dan memegang kedua pundak
dara itu, lalu memandang wajah yang jelita itu dengan mata tajam dan suaranya
terdengar mencela, "Aihh, kenapa pendirianmu begini kuno, Moi-moi? Di mana
ada cinta, di situ tidak ada pelanggaran apa-apa lagi, apa pun boleh kita
lakukan kalau kita saling mencinta! Bahkan cinta tidak selalu harus dihubungkan
dengan pernikahan! Cinta dan pernikahan itu adalah dua hal yang berlainan,
Moi-moi!"
Giok Keng
cemberut dan menggerakkan pundaknya hingga pegangan Bu Kong terlepas. Dia
menggeser duduknya agak menjauhi pemuda itu, kemudian berkata, suaranya juga sungguh-sungguh,
"Liong-koko,
memang enak saja berkata demikian karena engkau adalah seorang lelaki! Kau
bilang bahwa cinta dan pernikahan adalah dua hal yang berlainan, dan sungguh
pun anggapanmu ini ada benarnya, namun lebih benar lagi adalah bahwa cinta dan
bermain cinta adalah dua hal yang lebih berlainan lagi! Bermain cinta hanyalah
permainan nafsu birahi, dan seperti juga pernikahan, hanya merupakan pelengkap
dari cinta kasih belaka."
"Moi-moi,
kita saling mencinta, kita berdua seakan-akan sudah tidak memiliki orang tua
lagi, perlu apa urusan pernikahan direpotkan lagi? Kita saling mencinta,
sehidup semati, dan kalau aku ingin memiliki dirimu, demi cinta kita, apa
salahnya itu?"
"Karena
engkau seorang laki-laki, maka pendapatmu mengenai hal ini menjadi demikian
mudah, Koko. Bagi pria, memang tidak ada cacad celanya melakukan hubungan di
luar nikah, akan tetapi begitukah bagi wanita? Memang dunia ini kejam, terutama
sekali kejam terhadap wanita! Bila sepasang muda-mudi, karena cinta mereka,
karena dorongan nafsu birahi mereka, melakukan hubungan dan bermain cinta di
luar nikah, selalu si wanita yang menjadi korban. Ia diejek, diolok-olok,
dianggap manusia rendah. Sebaliknya, si pria tidak apa-apa, malah perbuatannya
itu akan dijadikan kebanggaan di antara kawan-kawannya, dipamerkan sebagai
bukti kejantanan! Sekali saja seorang wanita terpeleset dan bermain cinta di
luar nikah, kehormatannya akan cemar, namanya akan buruk. Sebaliknya, walau pun
seorang laki-laki melakukan hubungan di luar nikah sampai seribu kali, tetap
tak akan berbekas apa-apa! Apa lagi kalau hubungan itu sampai menghasilkan
kandungan, maka celakalah si wanita!"
"Ahh,
Moi-moi, kau berpikir terlampau jauh dan mengkhawatirkan hal yang bukan-bukan.
Apakah kau kira aku yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku akan
meninggalkanmu begitu saja? Kita sudah sehidup semati, Moi-moi!"
"Bukan
aku tidak percaya kepadamu, Koko. Hanya aku tidak ingin kehilangan harga diriku
yang merupakan kehormatan bagi seorang wanita, biar pun hanya kita berdua saja
yang mengetahui. Aku akan merasa sangat rendah dan murah! Pula, kalau engkau
memang mencintaku, mengapa engkau tidak mau menaruh hormat akan pendirianku
ini? Mengapa engkau tidak mau menjaga supaya kehormatanku tetap terjunjung
tinggi dan kita dapat benar-benar menikmati masa pengantin baru? Koko, aku
hanya mau menyerahkan diriku kepadamu setelah kita menikah, sungguh pun hatiku
sudah kuserahkan kepadamu."
"Keng-moi...
kau mengecewakan hatiku, akan tetapi demi cintaku yang murni, biarlah aku akan
menahan diri dan akan mentaati permintaanmu itu."
"Koko,
engkau memang baik sekali!" Giok Keng merangkul dan mereka saling
berciuman dengan penuh kemesraan, akan tetapi api nafsu birahi yang tadinya
hampir membakar mereka berdua itu kini dapat dipadamkan atau setidaknya
diperkecil sehingga tidak akan timbul bahaya kebakaran.
Bu Kong
duduk di atas tanah bersandarkan pohon, Giok Keng duduk dan menyandarkan tubuh
di atas dada pemuda itu. Sampai lama keduanya tidak berkata-kata, hanya duduk
seperti itu dengan hati tenang, masing-masing tenggelam dalam lamunan.
Tidak lama
kemudian terdengar Bu Kong berkata, "Moi-moi, aku heran sekali bagaimana
seorang dara remaja seperti engkau ini dapat memiliki pandangan sedemikian
mendalam tentang hubungan antara pemuda dan pemudi seperti yang kita bicarakan
tadi."
"Ibu
yang telah bicara kepadaku tentang semua itu, Koko. Dan Ibu adalah seorang
wanita yang keras hati, seorang wanita yang telah mempunyai banyak pengalaman
hidup, tahu akan pahit getirnya hidup sebagai seorang wanita. Semua yang
dikatakannya memang tepat dan benar, menurut kenyataan. Betapa banyak
kenyataannya bahwa wanita selalu terancam di dalam hidupnya, banyak sekali
bahaya menghadang di depan langkah hidup kaki wanita. Sebutan-sebutan yang
merendahkan kaum wanita sudah menjadi kembang bibir. Ada gadis kehilangan
keperawanannya tetapi tidak ada sebutan perjaka kehilangan keperjakaannya. Ada
sebutan isteri tidak setia, akan tetapi suami yang tidak setia tidak
disebut-sebut. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami saja, tapi
seorang pria boleh saja mempunyai seratus orang isteri! Sebagai akibat
hubungan, wanitalah yang harus mengandung, melahirkan dengan segala
penderitaannya, sedangkan pria hanya tahu enaknya saja. Ada makian pelacur dan
sampah masyarakat bagi wanita, akan tetapi laki-laki hidung belang tukang
melacur tetap dianggap sebagai manusia terhormat."
Liong Bu
Kong mengangguk-angguk dan mengelus rambut kekasihnya dengan mesra.
"Engkau
memang hebat dan pantas menjadi puteri suami isteri pendekar seperti ayah
bundamu itu. Sayang sekali ayahmu keras dan tidak suka kepadaku, Moi-moi,
sehingga aku menjadi bingung sekali kalau memikirkan hubungan kita ini. Aku
sendiri sudah tidak mempunyai orang tua, lalu bagaimanakah dengan perjodohan
antara kita?"
"Sebagai
seorang laki-laki engkau harus dapat mencari jalan, Koko. Betapa pun besarnya
cintaku kepadamu, hubungan kita ini harus dilanjutkan dengan pernikahan,
barulah aku secara syah menjadi isterimu, dan aku tidak akan mengingkari lagi
kewajibanku sebagai seorang isteri yang mencinta. Bersama-sama kita akan
membentuk keluarga, karena itu pertama-tama kita harus dapat menjaga kehormatan
diri kita sendiri dulu. Kita harus dapat menjaga nama baik keturunan kita
kelak, karena engkau tentu juga mengerti apa sebutan bagi keturunan orang di
luar nikah. Hanya penderitaan batin saja yang akan kita rasakan sebagai
akibatnya."
Karena Giok
Keng duduk bersandar pada Bu Kong, dia tidak tahu betapa ucapannya tadi,
terutama tentang anak yang lahir di luar nikah, membuat wajah Bu Kong menjadi
pucat dan pemuda ini memejamkan matanya. Dia segera teringat akan keadaan
dirinya sendiri dan ucapan dara itu seolah-olah menyindir dan mengejeknya!
Dia sendiri
pun tidak pernah mengenal ayah kandungnya, dan biar pun dia diaku sebagai anak
angkat oleh Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, akan tetapi sesungguhnya dia adalah anak
kandung Ketua Kwi-eng-pang itu, anak yang terlahir tanpa ayah yang syah!
Seorang anak haram!
Pandang mata
Bu Kong melirik ke arah jalan darah di tengkuk dan pundak kekasihnya. Betapa
akan mudah kalau pada saat itu dia menotok jalan darah dan membuat Giok Keng
lemas tak berdaya. Betapa mudahnya kalau dia hendak menikmati tubuh kekasihnya
ini dengan kekerasan.
Akan tetapi
tidak, dia tidak ingin berbuat demikian. Dia tergila-gila kepada Giok Keng, dia
harus memiliki tubuh dara ini, akan tetapi Giok Keng harus menyerahkan diri
secara suka rela. Dia terlampau mencinta dara ini dan ingin memiliki selamanya,
bukan hanya sekedar memenangkannya dengan kekerasan yang pasti berakibat dengan
permusuhan.
"Engkau
benar sekali, Moi-moi. Dan karena aku sudah tiada ayah bunda lagi, sedangkan
orang tuamu tidak bersedia menikahkan kita, maka jalan satu-satunya kita harus
minta pertolongan sebuah perkumpulan besar agar menikahkan kita secara
syah."
"Terserah
padamu, Koko. Bagiku, asal ikatan jodoh antara kita disyahkan dalam sebuah
pernikahan dan disaksikan oleh umum, semua itu sudah cukup. Akan tetapi
perkumpulan manakah yang akan mau menikahkan kita, Koko?"
"Tentu
perkumpulan besar sekali yang akan mengatur pernikahan kita dengan meriah dan
mengundang seluruh tokoh dunia kang-ouw sehingga pemikahan kita akan menjadi
syah benar-benar."
"Bagus
sekali, perkumpulan manakah itu, Koko?"
"Perkumpulan
terbesar saat ini, yaitu Pek-lian-kauw."
"Heh...?"
Giok Keng langsung meloncat bangun, membalikkan tubuhnya dan memandang
kekasihnya dengan mata terbelalak kaget. "Pek-lian-kauw...? Perkumpulan
pemberontak itu?"
"Keng-moi,
tenanglah dan duduklah. Mari kita bicara dengan tenang dan berpikir secara
wajar."
Sesudah Giok
Keng duduk di depan kekasihnya, Bu Kong baru berkata. "Engkau jangan
memandang dari sebelah pihak saja. Ketahuilah bahwa memang pemerintah
menganggap Pek-lian-kauw sebagai pemberontak, akan tetapi banyak rakyat
menganggapnya sebagai pejuang melawan pemerintah yang lalim. Kita jangan turut
menjerumuskan diri ke dalam pertikaian yang sebenarnya hanyalah perebutan
kekuasaan antara orang-orang kalangan atas saja. Permusuhan antara
Pek-lian-kauw dengan pemerintah sama sekali tidak ada hubungannya dengan
pernikahan kita bukan? Aku yakin hanya Pek-lian-kauw yang akan sanggup
menikahkan kita, karena kalau kita memilih perkumpulan yang menjadi sahabat
orang tuamu, mereka tentu akan menolak tanpa ijin orang tuamu. Pek-lian-kauw
adalah perkumpulan yang besar dan diakui, maka kalau perkumpulan ini yang
menikahkan kita, yang diundang tentulah orang-orang besar dan yang akan
menyaksikan pernikahan kita adalah tokoh-tokoh kang-ouw, sehingga pernikahan
itu akan menjadi syah sama sekali!"
"Tapi...
tapi... apakah kita lalu menjadi anggota Pek-lian-kauw?"
"Ha-ha-ha,
tentu saja tidak, Moi-moi!"
"Dan...
aku tidak diharuskan membantu mereka menjadi pemberontak?"
“Ahh, tentu
saja tidak. Hal seperti itu timbul dari hati sendiri, mana bisa diharuskan dan
dipaksa?"
"Kalau
begitu... terserah padamu, Koko. Aku percaya kepadamu dan bagiku yang paling
penting, asal pernikahan kita disyahkan dan disaksikan banyak orang,
cukuplah."
"Kalau
begitu, mari kita mengunjungi Pek-lian-kauw dan menghadap kepada Thian Hwa Cinjin."
"Thian
Hwa Cinjin? Siapa itu, Koko?"
"Ha-ha-ha,
engkau belum mendengar namanya? Memang dia tidak pernah maju sendiri, akan
tetapi dialah yang mengatur segalanya, dialah Ketua Pek-lian-kauw yang memiliki
ilmu kepandaian yang amat luar biasa, sukar diukur berapa tingginya. Dia adalah
Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur dan bertempat tinggal di tepi pantai Laut
Kuning, di muara Sungai Huang-ho. Besok pagi kita berangkat ke sana,
Moi-moi."
"Baiklah,
Liong-koko, akan tetapi hanya dengan syarat yaitu..."
"Kita
tidak akan bermain cinta sebelum menikah!" Bu Kong memotong sambil
tertawa.
"Bukan
itu saja, Koko, melainkan bahwa pengesahan pernikahan kita oleh Pek-lian-kauw
itu tidak mengharuskan kita bersekutu dengan Pek-lian-kauw. Aku tak sudi
terlibat dalam pemberontakan."
"Baik,
aku mengerti, Moi-moi. Sekarang tidurlah, biar aku membuat api unggun dulu
untuk mengusir nyamuk."
Giok Keng
merebahkan diri dan Bu Kong membuat api unggun, lalu menyelimuti tubuh
kekasihnya dengan mantelnya. Hatinya merasa amat kecewa sebab hasrat hatinya,
nafsu birahinya, tidak dapat terlaksana. Tapi karena Giok Keng sudah setuju
untuk bersamanya pergi menghadap Thian Hwa Cinjin, hatinya merasa lega. Memang
lebih baik kalau dia memiliki Giok Keng sebagai isteri syah, sehingga tidak
akan ada yang menggugatnya lagi pada kemudian hari!
Pada waktu
itu memang Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang amat terkenal dan kuat,
mempunyai banyak cabang serta anggota. Pek-lian-kauw dipimpin oleh orang-orang
pandai dan mereka ini mengadakan pemberontakan serta menentang pemerintah
dengan dalih membela rakyat dari pemerintah lalim.
Karena
pengaruhnya yang besar, boleh dibilang seluruh tokoh kaum sesat berlindung di
bawah sayap Pek-lian-kauw dan para orang gagah juga segan untuk berurusan
dengan perkumpulan yang berpengaruh dan sangat kuat ini. Biar pun
perkumpulan-perkumpulan bersih dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw tidak
sudi menggabung dan bersekutu dengan pemberontak, akan tetapi mereka pun tidak
mau melibatkan diri dan tidak mau bermusuhan dengan Pek-lian-kauw yang amat
kuat.
Hampir di
setiap kota-kota besar terdapat ranting Pek-lian-kauw. Pimpinan Pek-lian-kauw
terbagi menjadi empat, yaitu utara, barat, selatan, dan timur. Pek-lian-kauw
wilayah timur ini dipimpin oleh Thian Hwa Cinjin, yaitu seorang tokoh baru yang
belum lama muncul dan merupakan tokoh besar di wilayah timur.
Setelah
Pek-lian-kaw wilayah timur ini berada di bawah pimpinan Thian Hwa Cinjin, maka
terjadilah perubahan besar yang menyenangkan anggota-anggotanya. Dahulu,
sebelum dipegang oleh Thian Hwa Cinjin, Pek-lian-kauw di wilayah timur ini
hanya mementingkan pemberontakan dan urusan agama saja. Akan tetapi, sesudah
Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, kepentingan para anggota diperhatikan dan
terdapat banyak peraturan baru yang menyenangkan para anggotanya. Bahkan ada
kecenderungan bahwa Pek-lian-kauw yang tadinya khusus memusatkan kekuatannya untuk
perjuangan menentang pemerintah yang dianggapnya lalim dan menindas rakyat,
kini menjadi perkumpulan yang mementingkan kesejahteraan pribadi.
Thian Hwa
Cinjin adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh kurus
jangkung, berpakaian seperti tosu dan dia datang dari seberang lautan. Tidak
ada yang tahu jelas dari mana dia datang, akan tetapi ada kabar bahwa dia
datang dari Korea. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga dia memiliki
kepandaian sihir yang membuat para anggotanya menjadi makin tunduk dan takut.
Tadinya
sebelum munculnya ketua baru ini, di Pek-lian-kauw hanya ada pendeta-pendeta
pria saja yang mempraktekkan ajaran agama campuran antara Buddha dengan
To-kauw. Setelah Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, dia memperbolehkan masuknya
pendeta wanita. Anehnya, pendeta-pendeta wanita Pek-lian-kauw semuanya muda dan
cantik, dan hanya pakaian pendeta saja yang menunjukkan bahwa mereka adalah
pendeta Pek-lian-kauw. Padahal sebetulnya pendeta-pendeta wanita ini merupakan
wanita-wanita yang bertugas menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw dan sebutan
pendeta itu hanya sebagai kedok belaka.
Juga Thian
Hwa Cinjin menghapuskan pantangan menikah bagi pendeta Pek-lian-kauw, bahkan
dibolehkan pula memelihara selir sesuai dengan kekuatan tubuh dan isi kantung
mereka. Thian Hwa Cinjin sendiri tidak beristeri, akan tetapi dia memiliki dua
orang selir yang cantik sekali di samping pelayan-pelayan wanita yang terdiri
dari gadis-gadis muda cantik yang diakuinya sebagai pelayan, juga murid, juga
penghibur di dalam kamarnya sebagai selingan kedua orang selirnya!
Dua orang
selir itu pun bukan orang sembarangan dan mereka diambil sebagai bukti dari
ketua itu bahwa dia adalah seorang yang anti pembesar pemerintah dan memusuhi
para pembesar pemerintah. Belum lama sesudah dia menjadi ketua, dia menculik
dua orang wanita itu, yaitu puteri dari seorang pembesar di kota Sin-yang,
seorang dara muda yang masih gadis, dan juga selir pembesar itu, selir termuda
dan tercantik! Dia memperkosa kedua orang wanita muda dan cantik itu, kemudian
dengan paksa membawa mereka ke markas Pek-lian-kauw dan mengangkat mereka
menjadi selir-selirnya.
Dua orang
wanita itu hanya dapat menangisi nasib mereka, karena mereka sama sekali tidak
berdaya untuk melawan, bahkan hendak membunuh diri pun tidak mungkin karena
selalu terjaga. Kemudian, di bawah kekuasaan sihir Thian Hwa Cinjin, kedua
orang wanita itu akhirnya malah menurut dan dengan senang hati melayani Si
Kakek sebagai suami mereka yang tercinta!
Dengan dalih
berjuang demi kepentingan rakyat jelata dan demi pembebasan rakyat dari
penindasan pemerintah yang lalim, Pek-lian-kauw dapat mengumpulkan banyak dana
dari sumbangan rakyat. Terutama sekali rakyat yang kaya banyak menyumbangkan
hartanya, bukan semata-mata karena demi perjuangan, namun karena mereka ini
mengharapkan jaminan bahwa harta bendanya tidak akan diganggu oleh
Pek-lian-kauw!
Demikianlah,
kata-kata ‘perjuangan’ kehilangan kemurnian maknanya, kemudian dijadikan
‘modal’ bagi mereka yang menghendaki cita-citanya tercapai, cita-cita demi
kepentingan diri sendiri, baik berupa ambisi mencapai kedudukan tinggi mau pun
mencari kekayaan. Hal seperti ini terjadi semenjak sejarah berkembang, dari
jaman dahulu sampai sekarang, dan di seluruh pelosok dunia.
Pada suatu
hari, saat menjelang tengah hari, sepasang orang muda datang mengunjungi markas
Pek-lian-kauw wilayah timur itu. Mereka berdua bukan lain adalah Liong Bu Kong
dan Cia Giok Keng. Ketika tiba di pintu gerbang perkumpulan itu, dara ini
terheran-heran dan kagum melihat keadaan Pek-lian-kauw.
Tempat itu
merupakan sebuah perkampungan di pinggir pantai laut, perkampungan yang
terkurung oleh pagar tembok yang kokoh kuat dan tinggi, dengan pintu-pintu
gerbang yang terjaga kuat dalam bentuk benteng yang terjaga siang malam dengan
kuatnya.
Ketika Liong
Bu Kong memperkenalkan namanya pada pintu gerbang pertama, mereka berdua
diharuskan menunggu sampai seorang penjaga melapor ke dalam melalui pintu
gerbang yang berlapis lima dan terjaga kuat menuju ke dalam. Mereka harus
menunggu agak lama karena untuk menentukan apakah seorang tamu diperbolehkan
masuk, apa lagi tamu yang ingin berjumpa dengan ketua, haruslah diputuskan oleh
ketua sendiri dan pelaporan kepada ketua harus melalui beberapa orang komandan
jaga!
Thian Hwa
Cinjin sedang makan siang, ditemani oleh dua orang selirnya yang cantik dan
dilayani oleh gadis-gadis muda yang cantik pula. Mendengar pelaporan bahwa
seorang bernama Liong Bu Kong, putera Ketua Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw
hendak berjumpa dengannya, ketua ini mengangguk-angguk.
Dia belum
pernah bertemu dengan pemuda itu, akan tetapi dia sudah mendengar akan nama
Kwi-eng-pang, bahkan dia pernah mendengar betapa perkumpulan kaum sesat itu
pernah bersekutu dengan Pek-lian-kauw, meski pun persekutuan itu belum
menghasilkan sesuatu.
Tadinya dia
agak malas untuk bertemu dengan pemuda putera datuk kaum sesat itu. Akan tetapi
karena teringat akan cerita tentang perebutan bokor emas milik Panglima The Hoo
dan kabarnya bokor emas itu pernah terjatuh ke tangan ibu pemuda yang datang
ini, hatinya jadi tertarik dan mengatakan kepada pengawal agar Liong Bu Kong
dipersilakan menunggunya di ruangan tamu.
Dengan cara
berantai, perintah ini akhirnya disampaikan kepada Liong Bu Kong yang bersama
Cia Giok Keng masih menunggu di luar pintu gerbang pertama dengan hati tidak
sabar. Mereka dikawal masuk pintu gerbang pertama sampai di pintu gerbang ke
dua, di mana mereka dikawal oleh penjaga yang lain lagi menuju ke pintu gerbang
ke tiga dan seterusnya sampai mereka melalui pintu gerbang ke lima. Di sini
mereka disambut oleh tiga orang pendeta laki-laki dan tiga orang pendeta wanita
yang lantas mengawal mereka ke ruangan tamu di bangunan khusus.
Giok Keng
terheran-heran. Tiga orang pendeta pria itu rata-rata berusia lima puluh tahun,
sikap mereka halus dan terang membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian
silat tinggi. Akan tetapi tiga orang pendeta wanita itu masih muda, paling tua
tiga puluh tahun usianya, dan wajah mereka cantik-cantik! Biar pun mereka juga
kelihatan halus pendiam, namun Giok Keng dapat menangkap kerling mata yang
menyambar tajam dan penuh arti ke arah wajah Bu Kong yang tampan!
Setibanya di
ruang tamu dan dipersilakan duduk, Giok Keng makin kagum. Kalau tadi dia
mengagumi kekuatan dan ketertiban penjagaan di benteng Pek-lian-kauw, sekarang
dara ini mengagumi keindahan ruangan itu. Selain meja dan kursi-kursinya
terbuat dari kayu berukir dan merupakan perabot rumah yang sangat mahal, juga
tiga ruangan itu terhias oleh lukisan-lukisan dan tulisan indah-indah yang
tentu tidak murah pula harganya, seperti ruang tamu gedung seorang hartawan
atau bangsawan saja layaknya!
Lapat-lapat
di sebelah kiri, dari sebuah bangunan di mana nampak asap hio mengepul,
terdengar suara merdu orang membaca doa, suara yang menggetarkan kalbu dan
seperti biasanya suara orang berdoa, selalu mendatangkan keharuan yang khas.
Di sebelah
kanan, agak jauh dari tempat yang sangat luas itu, nampak beberapa orang sedang
berlatih silat di sebuah lapangan rumput yang luas. Gerakan mereka sigap dan
kuat, dan biar pun dari jauh, Giok Keng dapat mengenal ilmu silat yang baik.
Diam-diam
dia menjadi makin kagum. Tak disangkanya sama sekali bahwa Pek-lian-kauw yang
terkenal sebagai perkumpulan pemberontak, dan amat dibenci oleh ayah bundanya,
ternyata merupakan perkumpulan yang teratur rapi dan agaknya memiliki keuangan
yang kuat!
"Selamat
datang, sepasang orang muda yang tampan dan cantik, yang keduanya gagah
perkasa!"
Suara ini
datang dari dalam dan sepertinya orang yang bicara sudah berada di hadapan
mereka, akan tetapi Giok Keng tidak melihat apa-apa! Bulu tengkuknya lantas
meremang. Setankah yang bicara itu?
Akan tetapi,
Bu Kong segera memegang tangannya dan mengajaknya berdiri. Pemuda ini sudah
menjura ke depan, ke arah pintu lalu berkata, "Mohon Locianpwe sudi memaafkan
kedatangan kami yang lancang ini dan sudi memperlihatkan diri. Harap Locianpwe
tidak mempermainkan kami berdua yang muda dan bodoh."
"Ha-ha-ha,
engkau boleh juga, orang muda. Merendahkan diri, menghormat, akan tetapi
sekaligus juga menegur. Nah, kalian pandanglah Pinto (aku)!"
"Wussshhh...!"
Tampak asap
putih mengepul tebal dan dari dalam asap itu, seorang kakek berusia enam puluh
tahun, jenggotnya panjang, pakaiannya model pakaian pendeta tosu dan berwarna
kuning dengan gambar bunga teratai putih di depan dadanya. Biar pun jenggotnya
sudah banyak ubannya, akan tetapi rambut, jenggot serta pakaian kakek ini
terpelihara rapi dan bersih, bahkan sepatunya juga masih baru. Ada bau harum
keluar dari kakek itu, tanda bahwa kakek ini masih pesolek, suka memakai
wangi-wangian di tubuhnya.
Tetapi, kakek
kurus jangkung itu mempunyai sepasang mata yang amat tajam, sepasang mata yang
mengandung wibawa amat kuat sehingga dalam pertemuan pandang pertama, Giok Keng
merasa jantungnya berdebar dan bulu tengkuknya meremang sehingga dia cepat
menundukkan mukanya.
"Tok!
Tok! Tok!" Tongkat hitam mengkilap di tangan kanan kakek itu mengeluarkan
bunyi ketika dia melangkah maju menghampiri Bu Kong dan Giok Keng.
"Saya
Liong Bu Kong bersama Nona Cia Giok Keng ini menyampaikan hormat kepada
Tung-kauwcu (Ketua Agama Timur)." Kembali Bu Kong berkata sambil menjura
dengan hormat, diturut oleh Giok Keng.
"Ha-ha-ha-ha,
tidak perlu banyak sungkan, orang-orang muda. Kita adalah orang sendiri, bukan?
Benarkah engkau putera Kwi-eng Pangcu?"
"Benar,
Locianpwe. Mendiang ibu saya adalah Ketua Kwi-eng-pang."
Ketua
Pek-lian-kauw itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.
"Hemmm, pinto sudah mendengar akan kematian itu... kalau pinto tidak
salah, dalam perebutan bokor pusaka bukan? Hemmm, sayang sekali...! Mari
silakan duduk agar enak kita mengobrol!"
Dua orang
muda itu lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan tuan rumah dan tak lama
kemudian muncullah pelayan-pelayan wanita menghidangkan minuman. Giok Keng amat
terheran melihat betapa pelayan-pelayan wanita ini masih muda-muda dan
cantik-cantik, juga gerak-gerik para pelayan ini serta lirikan mata mereka yang
dilontarkan kepada Bu Kong membayangkan sikap genit.
Setelah
dipersilakan minum, Thian Hwa Cinjin, kakek itu, kemudian menanyakan maksud
kedatangan kedua orang muda itu dan apa keperluan mereka minta bertemu dengan
dia sendiri.
Bu Kong lalu
bangkit berdiri, memegang tangan Giok Keng dan mengajak dara itu untuk
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, "Kami berdua
sengaja datang menghadap Locianpwe dengan harapan agar Locianpwe sudi menolong
kami, dan atas budi kebaikan Locianpwe, kami berdua tidak akan
melupakannya."
Sejenak
kakek itu kelihatan tercengang, lalu tertawa, "Ha-ha-ha, bangkitlah,
duduklah dan ceritakan apa kehendak kalian. Mengingat akan hubungan baik antara
Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pang, tentu saja Pinto akan memperhatikan
permintaanmu dan kalau mungkin tentu saja kami akan suka sekali membantu
Sicu."
Bu Kong dan
Giok Keng bangkit, kemudian duduk kembali. "Permohonan kami tidak lain
agar Locianpwe sudi menikahkan kami berdua di sini secara resmi."
Kakek itu
membelalakkan matanya kemudian tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, ternyata
hanya untuk keperluan itu! Aihh, mengapa kalian hendak menikah memilih tempat
ini dan minta perantaraan Pek-lian-kauw? Bukankah urusan pernikahan adalah
urusan orang tua dan keluarga kalian?"
"Locianpwe,
saya sudah tidak mempunyai orang tua dan keluarga, saya sebatang kara di dunia
ini..."
"Akan
tetapi, sesudah ibumu meninggal, bukankah sekarang engkau yang menggantikan
ibumu memimpin Kwi-eng-pang?"
"Seperti
Locianpwe tentu telah mendengar, perkumpulan kami itu sudah dihancurkan oleh
pemerintah dan di samping sekarang saya belum berkesempatan untuk menghimpunnya
kembali, juga dalam pernikahan ini, jika bukan Pek-lian-kauw yang mengadakan,
kiranya tidak ada lagi yang akan berani..."
"Hemm,
mengapakah?" Kakek itu sekarang menoleh dan memandang kepada Giok Keng
dengan penuh perhatian.
"Karena
calon isteri saya, Nona Cia Giok Keng ini... dia... adalah puteri dari
Locianpwe Cia Keng Hong..."
"Hahh...?"
Thian Hwa Cinjin terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak.
"Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai...?"
Tentu saja
dia terkejut bukan main. Meski pun dia sendiri belum pernah bertemu dengan
Pendekar Sakti Cia Keng Hong, namun nama besar pendekar itu telah didengarnya
lama sekali. Dengan sinar mata penuh selidik dia memandang kepada Giok Keng dan
kini tentu saja dengan pandang mata lain setelah dia mendengar bahwa dara yang
cantik jelita dan bersikap gagah perkasa ini merupakan puteri dari Pendekar
Sakti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai.
Giok Keng
mengangkat mukanya dan memandang kakek itu. "Benar, Ketua Cin-ling-pai
adalah ayah saya, akan tetapi karena dia tidak menyetujui perjodohan kami, maka
kami datang ke sini mohon pertolongan Pek-lian-kauw."
"Tapi...
tentu ayahmu akan marah kepada Pek-lian-kauw dan menuduhnya lancang..."
"Saya
yang akan bertanggung jawab kalau orang tua saya marah. Mereka telah mencuci
tangan mengenai perjodohan saya, maka saya sendiri yang bertanggung jawab
mengenai urusan jodoh saya, Locianpwe," Giok Keng menjawab dengan suara
mengandung rasa penasaran mengingat akan sikap ayahnya terhadap perjodohannya
dengan pemuda yang dipilihnya sendiri.
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Bukan karena kami takut terhadap Cin-ling-pai,
hanya... ahhh, biarlah urusan ini kami bicarakan lebih dahulu. Urusan ini
bukanlah urusan remeh, maka kami persilakan kepada Nona Cia untuk beristirahat,
dan kami akan mengadakan perundingan dulu dengan Liong-Sicu."
Ketua itu
lalu memanggil pelayan wanita, memerintahkan para pelayan untuk mengantar Giok
Keng ke dalam sebuah kamar tamu yang cukup mewah dan bersih. Dara ini tidak
berani membantah, maka setelah bertukar pandang dengan Bu Kong, dia mengikuti
para pelayan itu menuju ke sebuah kamar tamu yang berada di sebelah belakang
bangunan besar itu.
Giok Keng
mendapat pelayanan istimewa, disuguhi hidangan makan siang yang lengkap dan
lezat, bahkan ada dua orang pendeta wanita Pek-lian-kauw yang menemaninya dan
ternyata mereka itu selain muda dan cantik, juga mempunyai pengetahuan luas
mengenai ilmu silat dan ilmu sastra. Makin kagumlah hati Giok Keng terhadap
Pek-lian-kauw yang sebelumnya dianggap sebagai perkumpulan para pemberontak
liar.
Akan tetapi,
hatinya mulai khawatir ketika malam tiba dan belum juga ada kabar tentang
kekasihnya yang tadi ditinggalkannya karena hendak berunding dahulu dengan
pimpinan Pek-lian-kauw mengenai permintaan mereka untuk menikah di perkumpulan
itu.
"Di
manakah adanya Liong-koko? Aku ingin bicara dengan dia dan mendengar keputusan
perundingannya dengan pimpinan Pek-lian-kauw." tanyanya kepada dua orang
pendeta wanita yang baru datang menggantikan dua pelayan yang pertama.
Seorang di
antara mereka tersenyum manis. "Harap Kownio tenangkan hati, Liong-sicu
sedang beristirahat di kamar sebelah dan dia berpesan supaya malam ini Kouwnio
suka beristirahat melepaskan lelah dalam perjalanan."
"Hi-hik,
baru berpisah sehari saja masa sudah rindu?" kata pendeta wanita ke dua.
Merah sekali
muka Giok Keng mendengar ini dan dia makin curiga. Sikap dan kata-kata para
pelayan muda serta pendeta wanita di tempat ini benar-benar mencurigakan,
begitu genit!
"Harap
suka panggil dia ke sini atau antarkan aku ke kamarnya, aku mau bicara sedikit
dengan dia!" katanya pula tanpa mempedulikan dua orang pendeta wanita yang
masih tersenyum-senyum penuh arti itu.
"Aih,
Kouwnio. Apa tidak kasihan padanya? Dia baru beristirahat dan
bersenang-senang... dia... tidak memilih kami dan menyuruh kami menemani Nona
di sini..."
Mendengar
ini hati Giok Keng semakin curiga dan merasa tidak enak. Namun karena dia
mengharapkan pertolongan dari pihak Pek-lian-kauw untuk urusan pernikahannya
dengan Bu Kong, maka dia berusaha menahan sabar. Bahkan dia lalu memijat
pelipis kepalanya dengan alis berkerut dan berkata, "Harap Ji-wi (Kalian)
suka meninggalkan saya karena saya merasa pening dan hendak tidur..."
"Perlukah
kami pijiti badan dan kepalamu, Kouwnio?" seorang pendeta wanita bertanya
dengan manis.
"Tidak
usah, harap Ji-wi jangan repot-repot dan harap suka meninggalkan saya
sendiri..."
Dua orang
pendeta wanita itu lantas bertepuk tangan memanggil pelayan, membersihkan meja
bekas perjamuan, kemudian sambil tersenyum-senyum mereka pergi meninggalkan
kamar Giok Keng dan menutupkan daun pintu kamar itu.
"Selamat
tidur, Kouwnio!"
"Selamat
bermimpi, calon pengantin!"
"Jangan
khawatir, pengantin pria akan tetap utuh..."
"Kecuali
agak lemas tentunya, hi-hik!"
Giok Keng
meloncat ke pintu dan memasang palang pintu, mukanya merah dan alisnya
berkerut. Sikap dua orang wanita itu benar-benar mencurigakan. Apa yang terjadi
dengan kekasihnya? Jangan-jangan Pek-lian-kauw berlaku curang dan mencelakai Bu
Kong. Dia harus menyelidiki! Siapa tahu kalau-kalau dia dan Bu Kong terjebak ke
dalam perangkap musuh.
Akan tetapi
dia harus berlaku hati-hati. Tempat ini merupakan sarang orang-orang pandai.
Baru para pendeta wanita genit yang menemaninya tadi saja jelas memiliki ilmu
silat yang tinggi. Apa lagi ketuanya. Bergidik dia kalau mengingat kelihaian
kakek itu, yang dalam pertemuan pertama siang tadi sudah mendemonstrasikan
kepandaiannya, ilmu sihir yang mengerikan, yang membuat kakek itu pandai ‘menghilang’.
Giok Keng
mengatur bantal guling di atas pembaringan, diseilmutinya sehingga kelihatan
seperti orang tengah tidur, memadamkan lampu kamar, kemudian dengan gerakan
ringan dan hati-hati sekali dia menyelinap keluar dari jendela kamar meloncat
dengan gerakan seperti seekor burung.
Malam sudah
larut, karena memang dia menanti sampai sepi dahulu barulah keluar dari
kamarnya itu. Tidak kelihatan seorang pun manusia dan lorong-lorong di
perkampungan Pek-lian-kauw itu cukup gelap sehingga dia dapat menyelinap di dalam
bayang-bayang yang gelap sambil memandang ke kanan kiri dengan waspada.
Pertama-tama
dia hendak mencari kamar di mana Bu Kong bermalam karena dia harus berbicara
dengan kekasihnya itu, memperingatkan Bu Kong agar berhati-hati karena dia
menaruh curiga terhadap Pek-lian-kauw dengan pendeta-pendeta wanitanya yang
genit. Setelah mengintai di beberapa kamar dalam rumah-rumah yang berjajar di
sekitar ruang tamu, akhirnya dia mendengar suara yang keluar dari salah satu
kamar yang lampunya masih bernyala.
Mula-mula
dia mendengar suara wanita saja, dan karena dia menganggap bahwa kamar itu
tentulah kamar pendeta-pendeta wanita yang lihai, maka dia ingin melewatinya
saja. Akan tetapi, ketika dia mendengar suara laki-laki yang dikenalnya seperti
suara Bu Kong, dia terkejut dan cepat mendekati jendela kamar, merunduk sambil
mendengarkan.
"Sudah
cukup... ahh, sudah terlampau banyak aku minum... Ji-wi terlalu baik dan
manis... ha-ha-ha...!" terdengar suara Bu Kong, suara orang yang sudah
mulai mabok!
"Hayaaaa...
seorang gagah seperti Sicu, masa mudah saja mabok? Sudah terlalu lama kami
tidak bertemu dengan seorang lelaki jantan dan ganteng seperti Sicu... marilah
Sicu, kupilihkan daging yang paling empuk...," terdengar suara merdu
merayu seorang wanita.
"Dan
minumlah secawan lagi, Sicu. Lihat, biar setengahnya aku yang minum... aihh,
Sicu sungguh tampan sehingga gemas hatiku dibuatnya. Ingin aku menjadi
cawan..."
"Ha-ha-ha-ha,
sungguh aneh kau ini! Mengapa ingin menjadi cawan?" terdengar Bu Kong
bertanya kepada wanita ke dua yang suaranya terdengar lebih halus dari pada
wanita pertama.
"Hi-hik,
kalau aku menjadi cawan, tentu akan berkenalan dengan bibir sicu..."
"Hih,
Kui Lan, kalau memang kepingin dicium, bilang saja...!" kata wanita
pertama sambil terkekeh genit.
"Ha-ha-ha,
kenapa kalian berdua begini menantang? Ingat, aku sedang kelaparan, sudah
berbulan-bulan tak pernah berdekatan dengan wanita. Kalau kalian menggoda
terus, bisa kumakan habis kalian, ha-ha-ha!"
"Aihh,
calon pengantin pria bicara bohong! Selama ini mengadakan perjalanan berduaan
saja dengan calon pengantin wanita, asyik masyuk, tentu sampai kekenyangan.
Masakah sekarang bilang kelaparan?"
"Sungguh
mati! Biar pun dia calon isteriku, namun sialan sekali! Dia tidak mau disentuh
sebelum kami menikah."
"Aihhh,
benarkah itu?"
"Aku
mau bersumpah, masa aku suka berbohong kepada dua orang nona manis seperti
kalian?"
"Hi-hik,
kalau begitu, kau benar-benar lapar sekali..."
"Lapar
seperti harimau kelaparan!"
"Hi-hik
benarkah itu?"
"Tentu
saja aku mampu menerkam kalian berdua sekaligus."
"Aihhh,
coba saja, Sicu! Kau kira kami berdua orang-orang lemah? Coba kau lawan kami,
hendak kami lihat apakah benar calon pengantin prianya sudah siap dan kuat,
hi-hik-hik!"
Wajah Giok
Keng menjadi merah sekali, matanya bersinar-sinar mengeluarkan cahaya berapi.
Hampir dia tidak dapat mempercayai pendengaran telinganya sendiri. Benarkah itu
suara Bu Kong? Benarkah Bu Kong yang bicara seperti itu? Dia merasa penasaran
karena dia tak percaya bahwa pria yang dicintanya, tunangannya, calon suaminya,
dapat bicara seperti itu bersama dua orang wanita.
Maka dia
lalu membuat lubang di jendela dengan jari yang dibasahi dengan lidahnya, lalu
mengintai ke dalam. Hampir saja dia menjerit ketika menyaksikan apa yang nampak
di dalam! Kamar itu masih terang, meja bekas makan minum yang kacau balau dan
di atas pembaringan, Bu Kong sedang bergumul dengan dua orang pendeta wanita!
Hampir saja
Giok Keng menghantam jendela kemudian menyerbu ke dalam. Akan tetapi sebagai
puteri seorang pendekar besar, dia menekan perasaannya. Kalau dia membuat
ribut, berarti dia akan mencoret hitam di mukanya sendiri! Semua orang di
Pek-lian-kauw tentu akan tahu kalau dia membuat ribut di saat itu, dan dia akan
menjadi buah tertawaan.
HATINYA
sakit sekali, wajahnya yang tadi merah laksana dibakar, sekarang menjadi pucat.
Air mata bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Kiranya orang yang dicintanya
adalah seorang laki-laki semacam itu! Membicarakan dia di depan dua orang
wanita yang tiada bedanya dengan pelacur-pelacur!
Dengan
perasaan muak dan jijik, Giok Keng meninggalkan tempat itu. Akan tetapi karena
kepalanya terasa pusing, pandang matanya berkunang sesudah menyaksikan apa yang
terjadi di dalam kamar itu, dia salah jalan dan tanpa disengaja dia tiba di
ruangan tamu di mana siang tadi dia dan Bu Kong berjumpa dengan Thian Hwa
Cinjin. Dan di ruangan tamu itu tampak lampu masih bernyala, bahkan ada suara
orang-orang bercakap-cakap di situ.
Timbul
keinginan tahu hati Giok Keng yang sudah kacau dan perih tersayat kekecewaan
dan cemburu itu, maka dengan hati-hati dia menyelinap mendekati ruangan tamu
dan melihat bahwa yang berada di sana adalah Thian Hwa Cinjin sendiri bersama
beberapa orang tosu Pek-lian-kauw, dia lalu menyelinap mendengarkan dengan
penuh perhatian. Ketika mendengarkan percakapan itu, wajah Giok Keng
berubah-ubah, sebentar merah sebentar pucat dan kedua tangannya dikepal. Hampir
saja dia menjerit dan memaki-maki saking marahnya.
"Akan
tetapi, Kauwcu, kami percaya sekali bahwa putera Kwi-eng-pang itu tentu saja
mau membantu kita. Hanya anak Cia Keng Hong itu, mana mungkin dia mau membantu
kita? Jangan-jangan kelak dia hanya akan menimbulkan bencana!" kata
seorang tosu.
"Jangan-jangan
dia malah mata-mata pemerintah untuk menyelidiki kita!" kata yang ke dua.
"Mungkin
Liong Bu Kong sudah menjadi kaki tangan mereka pula! Kita harus ingat bahwa Cia
Keng Hong selalu membantu The Hoo, malah beberapa kali sudah menghancurkan
usaha perjuangan kita. Persekutuan kita dengan orang-orang Portugal juga
dihancurkan dengan bantuan Cia Keng Hong! Kita harus waspada..."
"Memang,
kita harus betul-betul waspada," kata Ketua Pek-lian-kauw. "Dan
justru karena kewaspadaan inilah maka kedatangan Bu Kong amat baik bagi kita.
Pemuda itu sudah berjanji bahwa kalau puteri Ketua Cin-ling-pai itu sudah
menjadi isterinya tentu dia akan menurut segala kehendaknya. Dan baiknya,
setelah puterinya berada di sini dan kita yang menikahkan, berarti bahwa
Pek-lian-kauw sudah berbesan dengan Cin-ling-pai. Kita akan mengumumkan hal
ini! Kenyataannya tidak akan ada yang bisa membantah bahwa puteri Cin-ling-pai
itu menjadi pengantin di sini, dan Pek-lian-kauw yang mengurusnya. Setelah
kenyataan ini, mau tak mau Cin-ling-pai tentu akan berbaik dengan kita dan akan
mudah kita tarik sebagai sekutu karena pemerintah sendiri tentu akan mencurigai
Cin-ling-pai."
"Hemm,
kalau begitu bagus juga siasat ini, Kauwcu. Mudah-mudahan saja berhasil baik.
Betapa pun juga, pinto merasa khawatir harus berurusan dengan Ketua
Cin-ling-pai yang lihai itu."
"Ha-ha-ha,
takut apa? Tentu dia tidak akan mau mencelakakan puterinya sendiri. Untung
puterinya itu tergila-gila kepada Liong Bu Kong. Andai kata Ketua Cin-ling-pai
berkeras kepala dan mengorbankan puterinya, tidak usah khawatir, pinto sanggup
menghadapinya. Kalau pinto masih kalah kuat dalam ilmu silat, dengan Hoatsut
(ilmu sihir) pinto tentu akan dapat menguasainya."
"Bagaimana
apabila sesudah menikah, puteri Cin-ling-pai itu tetap tidak mau membantu
kita?"
"Liong-sicu
sudah setuju bahwa kalau isterinya membandel, kita diperbolehkan menawan
isterinya dan menggunakannya sebagai sandera terhadap ayahnya."
Hampir saja
Giok Keng pingsan mendengar semua itu. Kalau tadi hatinya sudah tertusuk melihat
Liong Bu Kong bermain cinta, berzina dengan dua orang pendeta wanita, setelah
mendengar percakapan itu dan tahu akan pengkhianatan yang sudah dilakukan Bu
Kong terhadap dirinya, kini dia merasa ulu hatinya tertikam dan membuatnya
hampir tak dapat bernapas.
Kemarahannya
memuncak dan dia sudah lupa akan segala kewaspadaannya lagi. Yang ada hanyalah
kemarahannya terhadap Liong Bu Kong. Sekarang baru terbuka matanya, orang macam
apa adanya Liong Bu Kong! Baru dia tahu bahwa ternyata ayahnya benar! Dia sudah
salah pilih, dia sudah salah menjatuhkan hatinya, menjatuhkan cinta kasihnya
kepada seorang laki-laki keji dan jahat. Dari perbuatannya di Pek-lian-kauw
terbukalah kedok Liong Bu Kong bahwa pemuda itu sesungguhnya tidak mencintanya
dengan murni.
Dia lari
menuju ke kamar Liong Bu Kong dan masih terdengar suara orang bercumbu di dalam
kamar itu.
"Bu
Kong, engkau jahanam, keparat! Keluarlah untuk menerima kematianmu!" Giok
Keng membentak dengan suara parau.
Giok Keng
berdiri di luar kamar, wajahnya tertimpa sinar lampu penerangan yang suram,
kelihatan menyeramkan. Mukanya pucat dan penuh dengan air mata yang bercucuran,
bibirnya digigit dan tangan kanannya memegang sebatang pedang terhunus yang
berkilat, pedang Gin-hwa-kiam, sedangkan tangan kirinya memegang sarung pedang.
Sepasang mata yang telah menjadi merah karena tangisnya itu memancarkan sinar
maut!
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Bu Kong yang berada di dalam kamar pada waktu
mendengar bentakan suara Giok Keng itu. Hal ini sama sekali tidak pernah
disangkanya. Dikiranya bahwa dara itu sudah nyenyak karena gembira dan lega
hatinya mendapatkan persetujuan Ketua Pek-lian-kauw untuk menikah di situ! Dia
sedang bermain cinta dengan dua orang pendeta wanita yang manis dan menarik,
maka begitu mendengar bentakan kekasihnya, dia menjadi pucat.
Cepat dia
mengenakan pakaiannya, menyambar pedangnya dan meloncat keluar, tangan kirinya
masih membetulkan kancing terakhir dari bajunya. Melihat Giok Keng sudah
berdiri di luar dengan pedang Gin-hwa-kiam di tangan, Bu Keng cepat berkata,
"Moi-moi...
ada... ada apakah?"
Dia bertanya
gugup, melirik ke arah kamarnya dan dengan lega dia tak melihat dua orang
pendeta wanita itu keluar.
"Huh,
keparat keji, manusia berhati iblis, kau masih pura-pura bertanya lagi?"
Giok Keng hampir menjerit dan langsung menerjang maju dengan hebatnya,
menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam menusuk.
"Cringgg...!
Plakkk!"
Bu Kong
terhuyung ke belakang. Dia berhasil menangkis tusukan pedang yang mengenai
punggungnya.
"Keng-moi,
bicaralah dulu. Ada apakah...?"
"Anjing
tak tahu malu!" Giok Keng memaki lagi sambil menudingkan pedangnya ke arah
muka pemuda itu. "Pantas saja engkau anak datuk sesat, kiranya engkau
adalah seorang yang cabul dan tak bermalu, engkau seorang berhati palsu!
Bersiaplah untuk mampus di ujung pedangku!"

Giok Keng
menerjang lagi dengan hebatnya, dan pada saat itu, dua orang pendeta wanita
sudah meloncat ke luar dari kamar. Melihat mereka itu, hati Giok Keng bagaikan
dibakar rasanya, dia meninggalkan Bu Kong yang sibuk menangkis, tubuhnya
melayang ke arah dua orang pendeta wanita itu dan pedangnya menyambar ganas.
"Aihhhhh...!"
Dua orang
pendeta wanita Pek-lian-kauw itu adalah murid-murid Thian Hwa Cinjin dan mereka
cepat mengelak. Akan tetapi, dibandingkan dengan Giok Keng, tentu saja tingkat
mereka masih jauh di bawah tingkat dara perkasa itu, maka dengan dua kali
gebrakan saja mereka itu sudah terluka hebat, seorang di leher dan seorang lagi
di lambung.
"Mampuslah,
perempuan jalang...!" Giok Keng membentak dan pedangnya lalu mengirim
tusukan maut.
"Trangg...!
Cringgg...!"
Dua kali
pedang Gin-hwa-kiam tertangkis dan terpental. Ketika Giok Keng mengangkat muka
memandang, ternyata yang menangkis pedangnya adalah tongkat hitam di tangan
Thian Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw yang sudah berada di sana bersama beberapa
orang tosu Pek-lian-kauw dan puluhan orang anak buah Pek-lian-kauw yang
mengurung tempat itu.
"Ha-ha-ha,
kebetulan sekali. Memang kami ingin sekali melihat sampai di mana hebatnya
kepandaian puteri Ketua Cin-ling-pai. Liong-sicu, tangkap dia hidup-hidup untuk
kami!"
Liong Bu
Kong menggelengkan kepala kemudian berkata duka, "Maaf Locianpwe. Untuk
mengalahkan dia, terus terang saja kepandaian saya masih terlampau rendah, apa
lagi untuk menangkap hidup-hidup."
"Ha-ha-ha,
engkau merasa sayang kalau sampai membunuh calon isterimu yang tercinta ini?
Ha-ha-ha, Bong Khi Tosu, kau tangkap dia!" katanya kepada seorang tosu
kurus yang berdiri di sebelahnya.
"Baik,
Kauwcu." Tosu ini meloncat maju menghadapi Giok Keng.
Dara ini
sudah dapat menekan hatinya. Dia mengerti bahwa menghadapi banyak orang pandai
seperti para tokoh Pek-lian-kauw itu, ia harus bersikap amat waspada dan
tenang. Maka dia mengusir kemarahannya terhadap Bu Kong dan kini memusatkan
perhatiannya kepada lawan yang sudah menghampirinya.
Tosu yang
bernama Bhong Khi Tosu ini usianya hampir enam puluh tahun. Tubuhnya kurus
sekali seperti kucing kelaparan, punggungnya agak bongkok dan bila melihat
begitu saja, dia seperti seorang penderita busung lapar karena tubuhnya kurus
kering, perutnya buncit, mukanya pucat dan agaknya akan terguling kalau tertiup
angin kencang! Tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang panjangnya hanya
tiga kaki, tongkat terbuat dari bambu kuning hanya sebesar ibu jari tangan.
"He-heh-heh,
Nona muda. Mengapa kau marah-marah melihat kekasihmu bermain cinta dengan
wanita lain? Hal itu sudah biasa bagi seorang laki-laki, kenapa kau
marah-marah? Sudahlah, untuk apa kau mengamuk dan melawan kami? Percuma saja,
lebih baik kau melepaskan pedang dan berlutut minta maaf kepada Kauwcu, tentu
kau dimaafkan."
"Benar...
ha-ha-ha, benar sekali ucapan Bong Khi Tosu! Perlu apa marah-marah? Kalau
kekasihmu dapat bermain cinta dengan orang lain, apakah kau juga tidak bisa?
Dan pinto akan memaafkanmu kalau kau suka bersikap manis kepada pinto."
Ucapan Ketua
Pek-lian-kauw ini membuat dada Giok Keng terasa panas seperti dibakar. Tahulah
dia bahwa dia telah terjebak dalam tempat pecomberan di mana orang-orangnya
adalah manusia yang tak tahu malu, cabul, dan jahat. Diam-diam dia bergidik
memikirkan bagaimana dia sampai dapat tergila-gila kepada seorang manusia
seperti Liong Bu Kong yang kini hanya berdiri tersenyum-senyum di situ!
"Kauwcu,
sekali ini saya hendak mohon pertolongan Kauwcu untuk dapat menangkap dan
menjinakkan calon isteri saya ini. Untuk budi itu, saya akan menghadiahkan dua
buah benda pusaka dari Siauw-lim-pai kepada Kauwcu!" kata Liong Bu Kong
dan mendengar ini, tentu saja kemarahan Giok Keng memuncak.
Memang
benda-benda pusaka itu belum dikembalikan ke Siauw-lim-pai oleh Bu Kong yang
pernah mengatakan bahwa setelah mereka menikah, mereka akan pergi ke
Siauw-lim-pai mengembalikan dua benda pusaka sambil minta maaf. Kiranya pemuda
itu bukan hanya membohonginya, bahkan kini hendak menghadiahkan dua buah benda
pusaka itu kepada Ketua Pek-lian-kauw!
"Bu
Kong manusia berhati iblis!" Dia menjerit dan tubuhnya sudah berkelebat
menerjang pemuda itu.
"Trang-tranggg...!"
Bu Kong
menangkis satu kali lalu meloncat ke belakang dan tangkisan kedua kalinya
dilakukan oleh Bong Khi Tosu.
"Heh-heh,
Nona manis. Pintolah lawanmu!"
Tiba-tiba
Bong Khi Tosu mengeluarkan pekik yang amat dahsyat. Pekik melengking tinggi
menimbulkan getaran hebat yang langsung menyerang jantung di dalam dada Giok
Keng. Dara perkasa ini terkejut sekali, dan sebagai puteri pendekar sakti tentu
saja dia segera mengenal pekik ini.
Dia tahu
bahwa lawannya adalah seorang ahli Sai-cu Ho-kang (Pekik Auman Singa) yang
dikeluarkan dengan khikang kuat untuk menggetarkan jantung lawan dan
merobohkannya. Maka cepat dia mengerahkan sinkang-nya disalurkan melindungi isi
dada, kemudian dia membentak dengan suara melengking tinggi.
"Pendeta
palsu, majulah!"
Bong Khi
Tosu terkejut sekali ketika suara dara yang mengandung khikang yang tak kalah
kuatnya itu, menyerangnya seperti pisau runcing menusuk ulu hatinya. Maklum bahwa
dia tak akan dapat mengalahkan dara itu dengan Ilmu Sai-cu Ho-kang, dia lalu
mengeluarkan suara gerengan bagai seekor harimau terluka, dan tangan kanannya
telah menggerakkan tongkatnya untuk menyerang tubuh Giok Keng.
Dara ini
melihat betapa ujung tongkat lawan tergetar dan seperti berubah menjadi banyak,
kemudian ujung tongkat itu meluncur dan melakukan serangan totokan ke arah
tujuh jalan darah di sebelah depan tubuhnya!
"Haiittttt...!”
“Trang-cring-cring-tranggg...!"
Bertubi-tubi
datangnya serangan totokan yang dapat melumpuhkan lawan itu, akan tetapi dengan
baiknya Giok Keng dapat menangkis semua totokan tongkat itu dan bukan hanya
menangkis, bahkan dara ini juga dapat membalas secara kontan keras dengan
serangan-serangannya yang dahsyat.
Pertandingan
berlangsung seru dan hebat. Pedang serta tongkat lenyap bentuknya dan yang
tampak hanya gulungan sinar perak dari pedang Gin-hwa-kiam, dan sinar hitam
dari tongkat di tangan tosu itu. Namun segera tampak nyata betapa gulungan
sinar perak itu makin lama menjadi makin meluas dan membesar, sedangkan sinar
hitam menjadi makin menyempit. Ini menandakan bahwa gerakan tongkat itu menjadi
terbatas dan hanya dapat menangkis saja karena terdesak dan terhimpit oleh
pedang di tangan Cia Giok Keng.
Memang
segera ternyata bahwa Bong Khi Tosu bukanlah lawan Giok Keng. Tosu ini lihai
sekali, merupakan pembantu atau murid yang pilihan dari Thian Hwa Cinjin, akan
tetapi menghadapi puteri pendekar sakti Ketua Cin-ling-pai ini dia ‘mati kutu’
sehingga selalu terdesak.
Apa lagi dia
tidak berani melanggar perintah ketuanya, yaitu agar dia menangkap gadis ini
hidup-hidup. Masih mending apa bila dia diperbolehkan merobohkannya atau
membunuh, walau pun hal itu juga tidak dapat memastikan apakah dia akan menang.
Kini dia hanya menggunakan tongkatnya untuk merobohkan lawan tanpa membunuh,
sebaliknya pedang Gin-hwa-kiam terus menyambar-nyambar seperti seekor naga yang
haus darah!
"Aaahhhh!"
Tiba-tiba tosu yang selalu terdesak itu mengeluarkan bentakan nyaring, suara
khikang dari dalam perutnya yang menggetarkan semua orang yang mendengarnya,
lalu tongkatnya meluncur ke depan dengan serangan dahsyat ke arah ulu hati Giok
Keng.
Melihat
datangnya serangan, dara ini tidak mau menangkis melainkan mengelak dengan
loncatan ringan ke kiri, membiarkan tongkat itu lewat untuk kemudian membalas
dengan sabetan pedang dari samping. Akan tetapi tiba-tiba ujung tongkat itu
membalik!
"Wuuuttttt…!"
Terdengar
suara dan jarum-jarum hitam menyambar dari ujung tongkat mengarah kedua kaki
Giok Keng!
Inilah
kelihaian tongkat para tokoh Pek-lian-kauw. Ternyata tongkat di tangan Bong Khi
Tosu yang terbuat dari bambu itu, pada bagian dalamnya berlubang dan kini oleh
tosu itu dipergunakan sebagai sebatang sumpit yang pelurunya terdiri dari
jarum-jarum hitam dan beracun! Hanya, mengingat akan perintah ketuanya, tosu
ini menujukan jarum-jarumnya ke arah kedua kaki Giok Keng!
"Hyaaahhhhh!"
Giok Keng mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mencelat ke atas
dengan kecepatan seperti seekor burung walet, berjungkir balik beberapa kali
dan tubuh itu melayang turun sambil menyerang dengan pedangnya ke arah
ubun-ubun Bong Khi Tosu!
"Hayaaaaa...!"
Bong Khi Tosu terkejut bukan main.
Tak
disangkanya dara itu akan dapat bergerak secepat itu. Bukan hanya menghindarkan
diri dari jarum-jarumnya, bahkan loncatan itu merupakan serangan yang sangat
cepat dan tak terduga-duga. Dia menangkis dan mencoba untuk mengelak.
"Srattt...!
Aduhhh...!" Tubuh Bong Khi Tosu terjungkal karena biar pun dia telah
mengelak dan menangkis, tetap saja ujung pedang Gin-hwa-kiam merobek baju pada
punggungnya berikut kulit punggung dan sedikit daging!
"Trangggg...!"
Untung bagi
Bong Khi Tosu bahwa pada saat itu sebatang tongkat hitam yang panjang telah
menangkis pedang Gin-hwa-kiam yang sudah meluncur untuk mengirim tusukan maut
kepadanya.
Giok Keng
meloncat mundur dengan kaget. Tangannya yang memegang pedang tergetar hebat
oleh tangkisan itu dan ternyata bahwa yang menangkisnya adalah Thian Hwa Cinjin
sendiri! Tangkisan itu saja sudah menunjukkan bahwa kakek itu mempunyai sinkang
yang amat kuat.
Namun tentu
saja Giok Keng tak menjadi gentar. Sejak kecil dara perkasa ini digembleng oleh
ayah bundanya sehingga dia menjadi seorang dara yang di samping berkepandaian
tinggi, juga berwatak berani dan gagah, tidak mengenal artinya takut.
"Thian
Hwa Cinjin!" Dia membentak sambil menudingkan pedangnya ke arah muka kakek
itu. "Aku Cia Giok Keng tidak mempunyai urusan apa-apa dengan
Pek-lian-kauw, dan aku hanya ingin membunuh si jahanam laknat Liong Bu Kong!
Aku minta agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan antara kami! Akan tetapi,
hal ini bukan berarti bahwa aku takut terhadap Pek-lian-kauw. Mundurlah, dan
biarkan aku berhadapan dengan anjing busuk Liong Bu Kong!"
Thian Hwa
Cinjin tertawa, suara ketawanya terdengar halus dan menggetarkan hati Giok
Keng. Sambil memutar-mutar tongkatnya, kakek itu lalu berkata, "Cia Giok
Keng, engkau seorang wanita muda yang cantik, mengapa mempergunakan kekerasan
seperti itu? Dan engkau berhadapan dengan pinto, Ketua Pek-lian-kauw yang
memiliki tingkat jauh lebih tinggi darimu, baik dipandang dari kedudukan, usia,
mau pun kepandaian, mengapa kau tidak menaruh hormat? Hayo kau lekas berlutut!
Kuperintahkan engkau untuk berlutut, Cia Giok Keng...!"
Suara itu
demikian penuh wibawa dan sepasang mata itu seperti melumpuhkan semangat Giok
Keng sehingga dara ini, di luar kehendaknya sendiri, tiba-tiba saja menjatuhkan
diri berlutut. Begitu lututnya menyentuh lantai, barulah Giok Keng terkejut dan
sadar.
Pernah dia
mendengar penuturan ayahnya tentang kekuatan sinkang yang sangat hebat, yang
disalurkan melalui pandangan mata dan suara, sehingga pandang mata dan suara
itu dapat mempengaruhi hati serta pikiran lawan dan dengan mudah dapat
mengalahkan lawan tanpa menggerakkan tangan. Ilmu ini adalah ilmu sihir yang
oleh ayahnya disebut ilmu I-hun To-hoat (semacam Hypnotism), yaitu ilmu
menguasai hati dan pikiran orang.
Giok Keng
menjadi sadar, mengerahkan sinkang-nya dari pusar dan dengan hawa murni di
tubuhnya dia mengerahkan kemauannya melawan kekuasaan yang mencekamnya itu, dan
sambil memekik nyaring laksana orang baru sadar dari mimpi, Giok Keng meloncat
bangkit berdiri dan membentak,
"Tosu
siluman, aku tidak takut kepadamu!" lalu tanpa banyak cakap lagi dara
pendekar ini telah menyerang Thian Hwa Cinjin dengan pedang peraknya!
"Aahhh...!"
Kakek itu berseru kagum melihat betapa dara itu dapat membebaskan diri dari
pengaruh sihirnya.
Terpaksa dia
mengangkat tongkatnya menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya untuk membuat
pedang lawan terlepas dari pegangan. Akan tetapi, betapa kaget dan kagumnya
melihat pedang itu sudah berubah gerakannya dan kini menyerang ke arah perutnya
dari bawah.
Hati Ketua
Pek-lian-kauw ini menjadi gembira sekali. Dia mengelak dengan loncatan ke
belakang sambil tertawa dan berkata, "Ha-ha-ha, aku ingin sekali melihat
sampai di mana hebatnya ilmu silat dari Cin-ling-pai!"
Giok Keng
maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun tidak mau berlaku sungkan lagi,
begitu pedangnya digerakkan, dia telah menyerang dengan ilmu simpanannya, yaitu
ilmu Silat Thai-kek Sin-kun!
"Wuuuttt...
sing-sing-sing...!"
"Heiii...!
Hayaaaa...!"
Thian Hwa
Cinjin berteriak-teriak saking kaget dan kagumnya menghadapi pedang yang
gerakannya demikian cepat dan aneh. Gerakannya kelihatan lambat, tapi daya
serangnya lebih cepat dari pada ilmu pedang yang pernah dikenalnya.
Tadinya dia
hendak mengelak saja sambil memperhatikan ilmu pedang lawan karena dia telah
mendengar bahwa pada waktu itu Pendekar Sakti Cia Keng Hong merupakan tokoh
pertama di dunia persilatan dan kabarnya mempunyai ilmu silat yang luar biasa.
Kini dia bertemu dengan puterinya, maka maksud hati kakek ini hendak
menyaksikan kehebatan ilmu silat Cin-ling-pai untuk sekedar mempelajari
dasarnya sehingga kelak dapat berguna kalau dia sampai bertemu dan bertanding
melawan Ketua Cin-ling-pai.
Akan tetapi,
baru belasan jurus saja dia menjadi kaget setengah mati karena dia maklum bahwa
kalau hanya mengandalkan pengelakan saja, besar kemungkinan dia akan roboh oleh
pedang yang digerakkan secara ajaib itu! Terpaksa dia mulai memainkan
tongkatnya dan dalam waktu singkat, kedua orang itu sudah bertanding dengan
hebatnya!
Dapatlah
dibayangkan betapa kagetnya hati Thian Hwa Cinjin ketika mendapat kenyataan
bahwa dia sama sekali tidak dapat mendesak lawan! Ilmu silat yang dimainkan
dara itu terlalu hebat, terlalu aneh sehingga dia sendiri harus berhati-hati
supaya jangan sampai ‘dicium’ ujung pedang.
Sementara
itu, para tokoh Pek-lian-kauw memandang dengan kagum dan terheran-heran pada
saat menyaksikan kelihaian nona muda itu. Hanya Liong Bu Kong yang memandang
dengan sinar mata biasa saja karena dia memang maklum akan kelihaian gadis itu
yang harus diakuinya memiliki ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya dari pada
dia.
Dia merasa
kecewa dan menyesal sekali mengapa dia menuruti nafsu birahinya, bermain gila
dengan dua orang pendeta wanita itu di tempat di mana Giok Keng juga bermalam
sehingga ketahuan oleh kekasihnya itu. Kini semuanya sudah terlanjur dan dia
tahu akan kekerasan hati Giok Keng, maklum bahwa tak mungkin dia akan
mendapatkan maaf, tak mungkin hubungannya dengan dara itu menjadi baik kembali
seperti yang sudah-sudah.
Sekarang, satu-satunya
kemungkinan baginya untuk tetap mendapatkan dan menguasai dara cantik jelita
yang membuatnya tergila-gila itu, hanyalah dengan bantuan dari Ketua
Pek-lian-kauw. Tetapi, melihat pertandingan yang amat hebat itu, timbul
kekhawatirannya kalau-kalau Thian Hwa Cinjin akan membunuh dara yang dicintanya
itu.
"Locianpwe,
harap jangan kesalahan tangan membunuh dia!" teriak Bu Kong dengan hati
khawatir.
Tadinya,
Thian Hwa Cinjin memang merasa penasaran bukan main sebab dia tidak dapat
mendesak Giok Keng. Masa dia, Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur, seorang yang
sudah terkenal memiliki kepandaian hebat, sekarang tidak sanggup merobohkan
seorang gadis remaja? Hal ini dianggapnya amat memalukan dan tadi dia sudah
mengambil keputusan untuk merobohkan Giok Keng dan membunuhnya kalau perlu!
Kini, begitu
mendengar suara Bu Kong, timbul kembali kecerdikannya serta perhatiannya akan
cita-citanya meraih kedudukan tinggi melalui Pek-lian-kauw. Dia harus membuang
jauh-jauh rasa penasaran pribadinya.
Memang dara
ini tidak boleh dibunuh. Pertama, untuk menarik tenaga Liong Bu Kong dan sisa
perkumpulan Kwi-eng-pang agar membantu Pek-lian-kauw, ke dua dia akan dapat
mempergunakan dara ini sebagai sandera kelak untuk melumpuhkan Cia Keng Hong
apa bila pendekar sakti itu membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw.
Setelah
mendapat pikiran ini, tiba-tiba Thian Hwa Cinjin berteriak nyaring dan
tongkatnya menusuk ke depan. Giok Keng yang sudah tahu akan tenaga sinkang
lawan yang sangat kuat, seperti telah dilakukannya sejak mereka bertanding
hebat, tidak mau menangkis melainkan mengelak dan bersiap untuk melanjutkan
elakannya dengan serangan balasan dari sudut yang tidak terduga-duga oleh
lawan. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara mendesis dan dari ujung
tongkat lawan itu meluncur asap hitam!
Setelah tadi
mengalami penyerangan gelap dari ujung tongkat Bong Khi Tosu, Giok Keng sudah
berlaku amat hati-hati karena dia memang sudah menyangka bahwa tentu di ujung
tongkat Ketua Pek-lian-kauw ini pun terdapat senjata rahasia yang amat
berbahaya. Akan tetapi tidak disangkanya sama sekali bahwa yang meluncur keluar
hanyalah asap hitam!
Giok Keng
cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, bergulingan menjauh kemudian
meloncat bangun sambil memutar pedang melindungi dirinya. Asap itu tertiup
angin dan membuyar, ada pun Giok Keng yang cerdik tadi sudah menutup
pernapasannya sehingga dia tidak sampai menyedot asap beracun itu.
Thian Hwa
Cinjin berteriak marah, kemudian meloncat maju mengejar sambil menyerang dengan
tongkatnya. Hebat sekali serangan ini sehingga terpaksa Giok Keng menangkis
dengan pedang.
"Cringgg....!"
Kedua
senjata bertemu dan tiba-tiba Giok Keng menjerit kaget. Hidungnya mencium bau
yang sangat harum dan mencurigakan. Meski pun dia cepat menahan napas, namun
dia telah menyedot asap yang tidak tampak, dan inilah kelihaian Ketua
Pek-lian-kauw itu.
Asap hitam
yang pertama kali keluar dari ujung tongkatnya tadi hanyalah asap biasa yang
tidak berbahaya, dan itu dikeluarkan hanya untuk menipu lawan. Sesudah asap
hitam itu keluar, maka tentu saja Giok Keng tidak begitu memperhatikan lagi dan
ketika pedangnya menangkis tongkat, asap putih tipis yang keluar dari tongkat tentu
saja tidak diperhatikan olehnya dan dia telah menyedot asap yang harum beracun
ini!
Racun asap
putih itu tidak mematikan orang, hanya mengandung pengaruh memabokkan. Giok
Keng hanya merasa mengantuk, akan tetapi dara yang cerdik ini maklum bahwa dia
sudah terkena hawa beracun, maka dia tidak mau menuruti rasa kantuk ini dan
gerakan pedangnya lebih cepat lagi melindungi tubuhnya.
"Ha-ha-ha,
Cia Giok Keng, kau bertanding dengan siapa? Aku tidak ada lagi di
depanmu!"
Giok Keng
terkejut sekali. Dia memandang ke depan dan melihat betapa tubuh lawannya itu
berubah menjadi asap dan menghilang! Namun dia masih menggerakkan pedangnya,
menyerang ke depan sambil melindungi tubuhnya sendiri dengan sinar pedangnya
yang bergulung-gulung.
"Ha-ha-ha,
kau lihatlah padaku, Cia Giok Keng, lihatlah!"
Giok Keng
menjadi bingung, apa lagi ketika dia melihat bahwa sebagai ganti tubuh kakek
itu, sekarang yang tampak hanya sepasang mata yang seolah-olah tergantung di
udara tanpa kepala tanpa badan! Dia terheran-heran dan sekali perhatiannya
tertarik, dia sudah tercengkeram ke dalam kekuasaan gaib dari sinar mata yang
luar biasa itu.
"Cia
Giok Keng, kita adalah keluarga sendiri... keluarga sendiri... keluarga
sendiri..." suara ini bergema secara aneh, seolah-olah keluar dari dalam
tanah dan membuat seluruh tubuh Giok Keng tergetar.
Giok Keng
berdiri bingung, sepasang tangannya hanya tergantung dan sama sekali tidak
menggerakkan pedangnya lagi, memandang ke arah sepasang mata itu, ada pun
bibirnya berkomat-kamit,
"Keluarga
sendiri...? Ya, kita adalah keluarga sendiri... keluarga sendiri..." Dia
kemudian berbisik-bisik menirukan suara yang amat berwibawa itu.
"Ha-ha-ha,
bagus sekali, Cia Giok Keng. Engkau harus menurut... harus menurut... harus
menurut..."
"Aku
harus menurut... harus menurut...," bibir Cia Giok Keng berbisik-bisik.
"Lemparkan
pedangmu, kita keluarga sendiri, tak ada yang memusuhimu, tenanglah dan
lemparkan pedangmu...!"
Giok Keng
melemparkan pedang dan sarung pedangnya ke atas tanah tanpa membantah sedikit
pun juga. Kedua matanya terbelalak memandang ke depan, ke arah mata Thian Hwa
Cinjin yang sebenarnya masih berdiri di depannya, akan tetapi yang hanya tampak
matanya saja oleh dara yang telah dikuasai dengan sihir oleh kakek itu.
"Engkau
lelah, Cia Giok Keng, engkau mengantuk, tidurlah... tidurlah dengan nikmat...
tidak ada apa-apa lagi, kau lelah dan mengantuk tidurlah...!"
Sepasang
mata Cia Giok Keng yang tadinya terbelalak, kini perlahan-lahan terpejam dan
tubuhnya bergoyang-goyang, lalu dia roboh tergelimpang dalam keadaan tidur
nyenyak! Akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai, Bu Kong sudah
melangkah maju dan memeluknya.
"Ha-ha-ha-ha!"
Thian Hwa Cinjin tertawa girang. "Sekarang bawalah pengantinmu itu ke
dalam kamar, Liong-sicu. Akan tetapi, sungguh merepotkan sekali bila pinto
selalu harus menguasai dia dengan sihir. Pinto masih mempunyai banyak urusan,
maka sebaiknya dia dijinakkan dengan obat ini. Berilah dia satu sendok teh
setiap hari, dicampurkan ke dalam minumannya, tentu dia akan selalu menurut
kehendak Sicu."
Liong Bu
Kong menerima bungkusan obat dari kakek itu, lalu dia berkata, "Terima
kasih banyak atas bantuan Locianpwe. Akan tetapi, bagaimana dengan pernikahan
kami...?"
"Ha-ha-ha-ha,
kau jangan khawatir. Pinto akan laksanakan, dan sekarang juga kita akan menyebar
undangan. Ha-ha-ha-ha, Pek-lian-kauw berbesan dengan Cin-ling-pai, sungguh
merupakan berita paling hebat di dunia kang-ouw! Ingin pinto melihat bagaimana
wajah Kaisar dan Panglima The Hoo ketika mendengar berita ini! Dan semua tokoh
kang-ouw akan menyaksikan pernikahan ini, pernikahan tanpa paksaan,
ha-ha-ha!"
Liong Bu
Kong menjadi girang sekali. "Kapankah hari baik itu diadakan,
Locianpwe?"
"Untuk
menyebar undangan memerlukan waktu. Nanti saja kita tentukan harinya, kira-kira
sebulan lagi. Nah, kini bawalah nona ini ke kamarnya, Sicu. Engkau beruntung
sekali bisa mendapatkan dara seperti ini, hemmm... dia akan menjadi seorang
isteri yang tak akan pernah membosankan, ha-ha-ha!"
Liong Bu
Kong memondong tubuh Giok Keng yang tidur pulas secara tidak wajar itu ke
kamarnya. Hatinya gembira sekali, akan tetapi juga timbul kekecewaan besar di
hatinya. Dia ingin mendapatkan diri dara ini secara suka rela, tidak hanya
ingin memperoleh dan menguasai tubuhnya, akan tetapi juga hatinya, cinta
kasihnya. Kini terpaksa dia hanya akan mendapatkan tubuhnya saja, dan dia
merasa seolah-olah tubuh dara yang telentang pulas di atas pembaringan itu
bukan lagi Cia Giok Keng, melainkan boneka hidup!
Obat bubuk
yang diberikan Bu Kong kepada Giok Keng, benar-benar amat manjur. Obat itu
membuat Cia Giok Keng bagaikan seorang yang hilang ingatan dan tidak mempunyai
semangat sama sekali! Dia hanya menurut dan mengangguk, disuruh makan dia
makan, disuruh tidur dia tidur, tidak pernah membantah.
Akan tetapi,
ketika Bu Kong berusaha untuk bermain cinta dengannya, dara itu menolak dan
menggelengkan kepala. Bahkan dapat berkata, "Kita belum menikah."
Hal ini
menggirangkan hati Bu Kong. Ternyata bahwa naluri gadis itu amat kuat sehingga
meski pun berada dalam keadaan mabuk, dara itu masih tetap menolak hubungan
badan sebelum menikah dengan resmi! Kiranya gadis itu sudah lupa sama sekali
akan peristiwa malam itu! Timbul pula harapan di hati Bu Kong. Siapa tahu, kelak
kalau sudah menikah dengan resmi, Giok Keng akan benar-benar dapat mencintanya
kembali dan melupakan pengalaman malam itu, juga tidak perlu lagi menggunakan
obat perampas ingatan!
Harapan ini
membuat Bu Kong dengan tekun dan sabar melayani Giok Keng. Dia tak lagi
menurutkan nafsu birahinya, tidak lagi mencoba untuk menggagahi gadis yang
dicintanya itu. Sebulan bukanlah waktu yang lama, pikirnya, dan betapa akan
manisnya kalau Giok Keng menyerahkan diri secara suka rela, sebagai isterinya
yang syah!
Membayangkan
kenikmatan saat seperti itu membuat Bu Kong menjadi sabar, bahkan dia menahan
diri tidak mau melayani godaan para pendeta wanita yang haus lelaki itu!
***************
Perahu kecil
yang sangat sederhana ini dengan susah payah didayung oleh Kun Liong melawan
ombak yang kembali dari pantai. Ketika perahu tiba pada bagian di mana air dari
tengah laut bertemu dengan air yang kembali dari tepi pantai sehingga air
memecah dan membuih, mengeluarkan suara berdebur keras, perahu kecil itu
terangkat dan terombang-ambing, hampir terbalik.
Kun Liong
segera mengerahkan tenaga sambil mendayung perahunya, meluncur hampir seperti
ikan meloncat, melalui buih ombak dan meluncur terus menuju pantai. Sesudah
dayungnya dapat menyentuh pasir, dia sudah tidak sabar lagi, meloncat dari atas
perahu, kakinya mendarat dan meninggalkan perahu buatannya sendiri yang amat
sederhana itu, membiarkannya terbawa ombak, sebentar ke tengah sebentar ke
pinggir.
Karena Kun
Liong meninggalkan pulau kosong itu tanpa mengenal jalan, hanya selalu
mengarahkan perahunya menuju ke barat, maka dia tersesat jalan dan tidak tahu
bahwa perahunya telah mendarat di bagian paling utara, yaitu di sebelah utara
Tembok Besar di sebelah selatan kota Cin-sian. Karena itu, begitu mendarat dan
melakukan perjalanan cepat menuju ke barat di mana menurut perkiraannya tentu
terdapat Tibet, dia langsung bertemu dengan pegunungan yang sambung-menyambung
dan kadang-kadang diselingi padang pasir yang luas!
Kun Liong
sama sekali tidak menyangka bahwa dia berada di luar Tembok Besar, yaitu berada
di perbatasan antara daerah Mongolia Dalam dengan daerah Mancuria yang pada
waktu itu kesemuanya tentu saja berada dalam kekuasaan Pemerintah Ceng. Maka
dia sendiri menjadi terheran-heran dan juga bingung sesudah selama berhari-hari
melakukan perjalanan, dia tidak pernah bertemu dengan dusun, tak pernah
berjumpa manusia dan perjalanan yang ditempuhnya sangat sukar karena selain
harus melalui pegunungan yang tinggi dan hutan-hutan yang liar, juga
kadang-kadang dia harus melalui padang pasir yang amat luas sehingga sampai dua
tiga hari pasir yang dilaluinya belum juga habis!
Pada suatu
pagi, sesudah bermalam di dalam sebuah goa di kaki bukit, dia melanjutkan
perjalanan, memasuki sebuah hutan yang sangat lebat. Namun dia nampak gembira
dan wajahnya selalu berseri.
Memang,
baginya tentu saja jauh lebih baik melakukan perjalanan melalui hutan-hutan
liar dari pada melalui padang pasir yang mengerikan itu. Pernah dia hampir mati
kelaparan dan kehausan ketika melalui padang pasir selama tiga hari tiga malam.
Di mana-mana pasir melulu! Kalau di dalam hutan, dia tidak akan kekurangan air,
tidak akan kekurangan makan dan minum. Andai kata tidak ada binatang hutan, dia
dapat saja makan daun-daun muda, buah-buahan atau akar. Dia sudah biasa akan
penghidupan sederhana seperti itu! Akan tetapi pasir…?!
Pada saat
dia meninggalkan pulau, selama berhari-hari hatinya terhimpit kedukaan akibat
memikirkan Hong Ing. Hatinya penuh kerinduan sehingga hampir setiap tidur dia
bermimpi dan bertemu dengan dara yang dikasihinya itu. Hampir gila dia
merindukan dara itu. Akan tetapi lambat laun dia dapat menekan hatinya, dapat
menenangkan perasaannya dan dia percaya bahwa kalau memang dia berjodoh dengan
Hong Ing, pasti pada suatu hari dia akan bertemu dengan dara pujaan hatinya
itu.
Sambil
berjalan memasuki hutan, Kun Liong mengenang semua pengalamannya. Tampak nyata
dalam ingatannya alangkah bodohnya dia dahulu. Betapa sombongnya dia dahulu
terhadap cinta kasih! Betapa dia meremehkan cinta kasih yang dianggapnya
hanyalah cinta yang mengandung nafsu birahi belaka! Betapa dia tidak percaya
akan cinta kasih yang sesungguhnya, cinta kasih yang dapat menciptakan sorga
mau pun neraka bagi orang yang dihinggapinya, seperti yang dia rasakan
sekarang!
Dan
mengingat ini semua, sering kali dia termenung dengan muka pucat, mengingat
akan dara-dara yang pernah dikenalnya selama petualangannya di dalam dunia ini.
Terutama sekali dia merasa terharu dan berduka, merasa menyesal sekali kalau
dia teringat kepada Hwi Sian.
Dia
satu-satunya gadis yang telah menyerahkan tubuhnya, menyerahkan kehormatannya
kepadanya! Satu-satunya gadis yang sudah membuktikan cintanya melalui
pengorbanan yang paling hebat bagi seorang wanita. Dan dia telah tega
meninggalkan gadis itu begitu saja! Seperti seekor kumbang yang terbang pergi
begitu saja sesudah menikmati madu kembang itu, setelah dihisapnya habis.
Dia merasa
menyesal sekarang. Dia tidak mencinta Hwi Sian, hanya suka, mengapa dia mau
melakukan hubungan badan dan tentu akan membuat hati dara itu semakin rusak?
Hwi Sian yang mengaku akan menikah dengan suheng-nya, telah sengaja menyerahkan
diri kepadanya, untuk membuktikan cinta kasihnya. Akan tetapi dia yang tidak
mencinta, mengapa mau menerimanya?
"Bodoh
kau!" Dia menampar kepalanya sendiri, akan tetapi telapak tangannya itu
tinggal di kepalanya karena baru teringat sekarang bahwa kepalanya sudah
berambut!
Dia
tersenyum geli. Mengapa sekarang jalan pikirannya berubah sesudah kepalanya ada
rambutnya? Apakah semua ketololannya dahulu itu adalah akibat dari kepalanya
yang tak terlindung rambut sehingga mudah sekali dimasuki angin jahat?
Dia
menggosok-gosok kepalanya. Rambutnya sudah mulai panjang, panjangnya ada satu
jari dan tumbuh dengan subur. Akan tetapi karena baru sejari rambut itu masih
kaku dan kacau tumbuhnya, mencuat ke sana-sini tidak teratur.
Dan
pakaiannya! Merah mukanya pada saat dia menunduk dan memandang pakaiannya.
Lebih pantas seorang jembel kotor! Atau seorang manusia liar yang belum lagi
mengenal peradaban, seorang manusia biadab! Betapa mungkin dia dapat menjumpai
orang di kota atau dusun dengan pakaian seperti ini? Tentu dia akan dianggap
seorang jembel yang sudah terlantar, atau mungkin akan dicurigai orang. Ahhh,
dia tidak khawatir, di sakunya terdapat emas dan permata, dia akan membeli
pakaian begitu ada kesempatan.
Tiba-tiba
saja Kun Liong menghentikan langkah kakinya. Di sebelah kanannya terbentang
jurang yang dalam dan luas. Dia mendengar suara dari bawah, dari bawah jurang!
Suara orang berteriak minta tolong atau semacam itu karena hanya terdengar gema
suaranya saja, tidak begitu jelas.
Dua macam
perasaan mengaduk hati Kun Liong. Girang dan cemas. Girang karena dia mendengar
suara orang, dan cemas karena dari suara itu, biar pun tidak jelas, dia dapat
menangkap ketakutan hebat seolah-olah orang itu sedang terancam bahaya besar.
Cepat dia
menuruni jurang yang curam itu. Dia harus berhati-hati karena sekali
terpeleset, atau sekali pegangannya terlepas, tubuhnya tentu akan melayang ke
bawah dan dia taksir bahwa tebing itu dalamnya tak kurang dari seribu kaki!
Tubuhnya tentu akan hancur, atau setidaknya akan robek-robek kulitnya apa bila
dia sampai terguling-guling ke bawah sana!
Kembali dia
mendengar suara teriakan. Benar-benar teriakan minta tolong! Dia langsung
mempercepat gerakannya merayap turun, bergantungan pada akar-akar dan batu-batu
di sepanjang tebing dan akhirnya sampailah dia di bawah. Ternyata di bawah
tebing itu pun terdapat sebuah hutan dan suara tadi keluar dari hutan itulah.
Dengan
gerakan yang cepat sekali Kun Liong berlari memasuki hutan. Hatinya berdebar ketika
dia melihat belasan orang mengeroyok seorang laki-laki asing! Seorang laki-laki
sebangsa Yuan de Gama yang memegang sebatang golok dan membela diri mati-matian
terhadap pengeroyokan tiga orang itu!
Akan tetapi,
orang asing itu sudah terluka parah. Pakaiannya penuh darah dan tubuhnya sudah
lemah. Gerakannya tidak leluasa lagi sehingga pada waktu Kun Liong tiba di
situ, sekaligus orang asing itu menerima bacokan-bacokan yang membuatnya roboh.
"Heiii,
jangan bunuh orang...!" Kun Liong berteriak sambil meloncat ke depan.
Tiga belas
orang itu menengok dan mereka segera mengeluarkan kata-kata yang tidak
dimengerti oleh Kun Liong. Sebelum Kun Liong dapat mencegahnya, ketiga belas
orang laki-laki bertubuh tegap kuat dan bersenjata golok dan pedang itu telah
lari menyerbunya sambil mengeluarkan teriakan-teriakan liar!
Kun Liong
terkejut sekali, maklum bahwa dia kini berhadapan dengan suku bangsa yang
berbeda bahasanya, segerombolan orang-orang kasar dan liar, maka dia mengerti
bahwa bicara pun tak akan ada gunanya. Maka dia menggunakan kepandaiannya,
ketika mereka datang menyerbu, dia mengerahkan ginkang-nya melompat melewati
atas kepala mereka dan berlutut memeriksa orang asing yang sudah rebah dan mengerang
kesakitan itu.
"Aduhhh...
mati aku... tolong aku...!" Orang asing itu, seorang laki-laki berusia
tiga puluh tahun lebih, merintih dan dengan suara kaku minta tolong kepada Kun
Liong.
Logat bicara
orang ini mengingatkan Kun Liong kepada Yuan de Gama, maka dia berkata
menghibur, "Jangan khawatir, aku akan mencegah mereka
menyerangmu...!"
Akan tetapi
di dalam hatinya, Kun Liong maklum bahwa orang ini tidak dapat ditolong lagi.
Luka-lukanya terlalu parah, bahkan leher kanannya yang pecah mengucurkan darah
yang takkan dapat dibendung lagi.
Tiga belas
orang Mongol itu terkejut ketika melihat lawan mereka berkelebat dan ‘terbang’
di atas kepala mereka. Cepat mereka membalikkan tubuh dan sekarang mereka
kembali menyerbu sambil berlari dan mengeluarkan pekik dahsyat.
Kun Liong
menoleh, tangan kanannya mencengkeram tanah dan batu pasir, kemudian dia
menyambit sambil mengerakkan sinkang-nya.
"Siuuuttttt...!”
“Aughhh…!
Ahhh…! Aduhhh…!"
Empat orang
Mongol yang berlari paling depan jatuh bergelimpangan, menjerit-jerit sambil
memegangi kaki mereka yang terasa perih, pedih, dan ngilu karena tanah dan
pasir itu menembus kulit memasuki daging sampai ke tulang kering kaki mereka!
Melihat
empat orang kawannya roboh, sembilan orang Mongol yang lainnya terkejut sekali
dan langsung menghentikan gerakan kaki mereka, memandang dengan mata terbelalak
seakan-akan tak percaya bahwa pemuda berambut pendek itu dapat merobohkan empat
orang kawan mereka dari jarak jauh, hanya sambil berlutut dan menyambitkan
tanah!
Pemimpin
mereka, seorang tinggi besar bermata sipit sekali, agaknya merasa penasaran.
Dia adalah seorang jago silat bangsa Han, sungguh pun pakaiannya seorang
jembel. Dia melangkah maju dan berkata dalam bahasa Han yang kaku sekali,
"Engkau
seorang jagoan, ya? Hayo kau lawan aku, tanpa menggunakan senjata rahasia!
Tanpa menggunakan ilmu setan!"
Kun Liong
maklum bahwa berhadapan dengan orang-orang kasar seperti ini, dia hanya dapat
mengandalkan kepandaian silatnya untuk menundukkan mereka. Maka dia segera
bangkit berdiri menghadapi raksasa bermata sipit itu.
"Hemm,
aku menggunakan pasir kau cela, akan tetapi engkau tadi menggunakan senjata
tajam dan mengandalkan jumlah banyak mengeroyok orang!"
Mulut
raksasa itu cemberut, dan dia melempar goloknya kepada seorang teman.
"Lihat,
aku hanya mengandalkan tangan dan kaki. Beranikah kau melawanku?"
Kun Liong
bangkit berdiri, menghampiri dan berkata, "Tentu saja aku berani,
majulah!"
Raksasa
Mongol itu menerjang maju, memukul dengan kedua tangannya. Bagaikan dua buah
cakar beruang raksasa, sepasang tangan itu menyambar dari kanan kiri. Kun Liong
mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya menangkis.
"Plakk!
Plakk!"
Raksasa
Mongol itu telah memegang kedua lengan Kun Liong yang terlalu kecil bagi jari
jari tangannya yang panjang dan besar! Tahu-tahu, Kun Liong merasa tubuhnya
terangkat ke atas.
Akan tetapi,
ketika raksasa itu berusaha melontarkan tubuh Kun Liong, pemuda ini sudah
memegang pula lengan lawan sehingga mereka saling berpegangan dan tubuh Kun
Liong tidak dapat terlempar! Bahkan ketika raksasa itu mengerahkan seluruh
tenaga dan untuk kesekian kalinya melontarkan, Kun Liong meminjam tenaganya,
ditambah tenaga sendiri sambil memperberat tubuhnya dan... kini justru tubuh
raksasa itulah yang melayang ke atas begitu kaki Kun Liong menyentuh tanah.
Tubuh yang tinggi besar itu terlempar lantas terbanting keras ke atas tanah.
"Brukkkk!"
Debu
mengebul tinggi dan raksasa sipit itu merangkak bangun, menggoyang-goyangkan
kepalanya untuk mengusir kepeningan, kemudian bangkit berdiri lagi dan berjalan
maju setengah berbongkok seperti seekor beruang besar hendak menerkam!
Kun Liong
menanti dengan tenang. Dia tahu bahwa lawannya ini hanyalah mengandalkan tenaga
luar saja, bukan merupakan lawan berbahaya. Namun dia pun harus meyakinkan
mereka semua akan kepandaiannya, karena dengan demikian barulah mereka itu akan
mundur.
"Haarrrggghhh...!"
Raksasa sipit itu menggereng dan tubuhnya sudah meloncat langsung menubruk ke
arah Kun Liong.
"Duk!
Duk! Dessss!"
Orang-orang
Mongol itu hanya melihat tubuh pemimpin mereka terjengkang lalu roboh tak
berkutik lagi! Mereka tidak tahu bahwa Kun Liong tadi memapaki lawan dengan dua
kali totokan yang melumpuhkan kaki tangan orang itu, kemudian menampar keras
membuat lawannya pingsan.
"Bawa
dia pergi!" bentak Kun Liong kepada mereka.
Dengan muka
membayangkan rasa takut, orang-orang Mongol itu cepat-cepat menolong pemimpin
serta teman-teman yang kakinya terluka, kemudian berlari-larian meninggalkan
tempat itu.
Sesudah
melihat orang-orang Mongol itu pergi jauh, Kun Liong kembali berlutut di dekat
orang asing yang kini hanya mengerang lemah sekali karena kehabisan darah.
Sekali lagi Kun Liong meneliti, akan tetapi hanya mendapat keyakinan bahwa
nyawa orang itu tidak akan dapat tertolong lagi. Mukanya sudah mulai memucat
karena kekurangan darah.
Dia tidak
mampu menolong lagi, maka dia hanya dapat bertanya, "Apakah yang terjadi,
Tuan?"
Orang itu
membuka matanya, lalu bibirnya menggumam, "...terima kasih... terima
kasih... mereka adalah gerombolan Mongol yang membenci kami orang-orang kulit
putih... aku... aku utusan... Dewa Panah..."
"Dewa
Panah? Siapakah dia? Dan diutus ke mana?"
Dengan susah
payah orang itu mencoba menjawab, akan tetapi yang terdengar oleh Kun Liong
hanyalah bisikan lemah, "...Pek-lian-kauw... di muara Sungai Huai... tepi
pantai Laut Kuning..." sampai di situ habislah napas orang asing itu,
meninggalkan Kun Liong yang segera termangu-mangu karena tidak mengerti apa
yang dimaksudkan.
Setelah
menghela napas panjang berulang-ulang, menyesal bahwa perjumpaannya yang
pertama dengan manusia ternyata begini tak menyenangkan dan tiada gunanya
baginya, Kun Liong kemudian menggali tanah, membuat lubang untuk mengubur
jenazah orang itu.
Sesudah
lubang yang digalinya cukup dan dia hendak mengangkat tubuh orang itu, dia
tiba-tiba teringat akan pakaiannya. Kun Liong mengerutkan alisnya. Berdosakah
dia kalau dia mengambil pakaian orang ini? Sesosok mayat tidak membutuhkan
pakaian luar, akan tetapi dia amat membutuhkan karena pakaiannya sudah tidak
karuan macamnya.
Ahhh,
kiranya tidak berdosa, dan si mati tentu akan memaafkannya. Setidaknya, dia
telah menguburkan jenazahnya! Mulailah Kun Liong menanggalkan pakaian orang
itu, pakaian luarnya saja dan hal ini masih mudah dilakukannya karena mayat itu
masih belum kaku.
Sesudah dia
melepaskan baju kemeja lengan panjang dan celana, sepatu boot dan kain leher
orang itu sehingga yang masih menempel di tubuh mayat itu hanya pakaian dalam,
Kun Liong berkata, "Terima kasih dan maafkan aku, Tuan!"
Kemudian dia
pun mengubur jenazah itu dan mengenakan pakaian model barat. Untung baginya
bahwa tubuh orang asing itu kecil, tidak berbeda banyak dengan tubuhnya, maka
pakaiannya itu pas sekali, hanya lengannya lebih panjang sehingga terpaksa
digulungnya sampai ke siku.
Tidak lama
kemudian, pemuda itu tertawa-tawa seorang diri dengan hati geli ketika dia
bercermin di atas air jernih di dalam hutan. Mula-mula dia terkejut ketika
menjenguk ke air dan melihat mukanya sendiri. Tak disangkanya mukanya seperti
itu! Sudah lama dia tidak bercermin, dan sekali bercermin, melihat kepala yang
biasanya gundul hingga dia sudah terbiasa itu kini berambut, melihat seorang
pemuda berambut pendek berpakaian aneh, dia kelihatan seperti seorang ‘sinyo’
yang asing!
Dua hari
kemudian, Kun Liong tidak dapat tertawa-tawa lagi. Dia berada di tengah padang
pasir yang tidak kelihatan tepinya. Yang tampak hanya pasir dan gunung pasir,
batu-batu kering dan tanah tandus! Tidak terlihat ada setetes pun air kecuali
peluhnya sendiri yang bercucuran karena panasnya. Tidak ada tempat berteduh dan
kerongkongannya terasa kering dan haus sekali!
"Celaka...!"
pikirnya.
Tak
disangkanya bahwa padang pasir itu seluas itu. Untuk kembali dia enggan. Dia
harus melanjutkan perjalanannya ke barat, harus cepat mencari Hong Ing di
Tibet. Akan tetapi kalau dilanjutkan, berapa lama dia akan dapat melewati
padang pasir itu?...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment