Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 31
SETELAH
bayangan dua orang muda itu lenyap barulah Keng Hong merasa betapa lemas
tubuhnya. Dia cepat menjatuhkan diri terduduk di atas bangku, duduk diam
seperti arca, matanya tak pernah berkedip akan tetapi dua butir air mata keluar
dari pelupuk matanya, perlahan-lahan dua butir air mata ini mengalir turun
melalui kedua pipinya.
Melihat
suaminya seperti itu, Biauw Eng lalu menubruknya dan menangis sesenggukan di
atas dada suaminya. Tanpa disangka-sangka, seperti datangnya hujan tanpa
mendung, kedukaan hebat melanda suami isteri ini. Mereka dilanda duka dan
kecewa hebat sekali sehingga hampir terjadi peristiwa hebat, hampir terjadi
mala petaka ketika ayah ini hampir membunuh puterinya sendiri!
Memang
demikianlah hidup! Manusia, hampir tidak disadarinya lagi karena telah menjadi
tradisi dan kebiasaan, hidup dalam suasana kepalsuan. Mata manusia seolah-olah
buta dengan kenyataan, dibutakan oleh nafsu keinginan mementingkan diri
pribadi. Kita hidup tanpa membuka mata, dituntun oleh nafsu keinginan kita yang
membentuk si aku hingga setiap gerak, setiap perbuatan, dan setiap sikap selalu
mencerminkan kekuasaan si aku yang hendak menang sendiri. Bahkan dalam cinta,
si aku paling berkuasa sehingga cinta menjadi sebutan hampa, menjadi kepalsuan
yang diselimuti kata-kata mutiara yang serba indah!
Seorang
pendekar besar seperti Cia Keng Hong, kini merasa berduka. Karena apa? Kalau
dia ditanya, tentu dia mengatakan bahwa dia berduka karena puterinya! Tentu dia
akan menjawab bahwa karena puterinya memilih anak datuk sesat sebagai kekasih
dan calon suami, maka dia berduka!
Benarkah
demikian? Benarkah dia berduka demi Giok Keng? Tidakkah sesungguhnya dia
berduka demi dirinya sendiri? Berduka karena keinginan hatinya sendiri tidak
terpenuhi. Karena puterinya memilih seorang pria yang tidak berkenan di
hatinya? Benarkah sebagai seorang bapak dia mencinta anaknya kalau dia ingin
memaksakan kehendak hatinya agar ditaati anaknya! Cintakah itu kalau tadi dia
sampai hampir membunuh anaknya? Dan kini dia berduka, menangis, kecewa!
Bukankah kecewa dan berduka karena nafsu keinginan di hatinya tidak tercapai?
Sebenarnya bukan menangisi Giok Keng, melainkan menangisi dirinya sendiri?
Semua ini
dapat kita lihat dengan mata dan hati terbuka sebagai suatu kenyataan. Akan
tetapi, betapa kita hidup bergelimang kepalsuan sehingga kenyataan ini pun
sulit diterima! Betapa pandainya si aku ini bersandiwara sehingga setiap
perbuatan yang sesungguhnya demi si aku dapat disulap seolah-olah bukan
demikian. Betapa kita sudah dicengkeram sepenuhnya oleh si lapuk tua ‘aku’ yang
bukan lain adalah pikiran kita, pikiran gudang pengalaman masa lalu, sehingga
mata kita tertutup oleh bayangan masa lalu, tidak dapat lagi menikmati
kenyataan yang baru karena segala sesuatu diukur dengan perbandingan masa lalu,
enak tidak enak, senang tidak senang bagi si aku! Sedemikian menebalnya
pemupukan si aku ini sehingga setiap sesuatu yang nampak mau pun yang tidak
nampak, segala apa di dunia ini, dari debu sampai kepada sebutan Tuhan,
ditujukan semata-mata demi si aku, demi kepentingan aku. Demikian pula cinta,
juga demi aku!
"Kau
sungguh terlalu, masa engkau begitu tega terhadap Keng-ji..." Biauw Eng
menangis. "Sekarang engkau telah mengusirnya... ahh, bagaimana akan
jadinya dengan dia?"
"Hemmm,
anak itu terlalu manja!" Keng Hong berkata dengan kemarahan yang masih
membakar hati, mengatasi kedukaan dan kekecewaannya. "Terlalu memandang
rendah kepada orang tua. Mana boleh dia membatalkan ikatan jodoh begitu saja?
Mana boleh dia membutakan mata memilih pemuda golongan sesat menjadi calon
suaminya? Selain dia akan menghancurkan hidupnya sendiri, juga dia akan
menyeret nama baik orang tua ke lubang pecomberan!"
Biauw Eng
mengangkat muka, matanya bersinar-sinar. "Lupakah engkau? Ingat baik-baik,
pergunakan pikiranmu dengan adil dan jujur! Siapakah aku ini? Bukankah aku pun
puteri Lam-hai Sin-ni, seorang datuk kaum sesat. Apakah Lam-hai Sin-ni kalah
tersohor dengan Kwi-eng Niocu? Ingat, aku pun seorang puteri datuk sesat, aku
pun orang dari golongan hitam! Dan engkau toh sudah memperisteri aku!"
"Aihhh...
engkau lain lagi..."
"Apanya
yang lain? Aku tidak hendak mengatakan bahwa aku suka mempunyai menantu seperti
pemuda putera Kwi-eng Niocu itu! Akan tetapi apa bila penolakanmu itu engkau
dasarkan bahwa kau merasa derajat puterimu terlalu tinggi dan kau merendahkan
orang dari golongan sesat, kau benar-benar tidak adil! Urusan ini semestinya
ditangani dengan halus. Giok Keng masih hijau dan bodoh, semestinya diberi
nasehat dan dibujuk dengan halus, tidak dengan kekerasan seperti itu! Sekarang
kau sudah mengusirnya, sama saja dengan kau semakin melekatkan dia dengan
pemuda itu!" Kembali Biauw Eng menangis terisak-isak.
Hati Keng
Hong menjadi bingung sekali. Sekarang terbukalah matanya dan dia mau tidak mau
harus membenarkan ucapan isterinya. Isterinya ini juga puteri seorang datuk
kaum sesat, bahkan lebih tersohor dan lebih tinggi tingkatnya dari pada Kwi-eng
Niocu, namun buktinya, puterinya tidaklah sesat seperti ibunya (baca cerita
Pedang Kayu Harum).
Sungguh
tidak adil kalau sekarang dia membenci Liong Bu Kong hanya karena ibunya adalah
datuk kaum sesat. Apa lagi Kwi-eng Niocu bukan ibu kandung pemuda itu, akan
tetapi hanya ibu angkat. Siapa tahu kalau puterinya itu lebih benar dari pada
dia!
Akan tetapi
puterinya telah ditunangkan dengan Yap Kun Liong bantah hatinya! Yap Kun Liong
adalah putera sumoi-nya yang sudah tewas secara mengenaskan. Masa sekarang tali
ikatan jodoh yang diusulkan itu boleh diputuskan begitu saja?
"Aku
mau pergi mencari Kun Liong!" Tiba-tiba dia berkata.
Biauw Eng
mengangkat mukanya yang basah dan merah. "Mau apa mencari dia?"
"Dia
harus memberi penjelasan! Kalau benar dia membatalkan ikatan jodoh, berarti dia
tidak menghargai kita! Kalau benar dia melarikan calon isteri Pangeran Han Wi
Ong, dia patut kuberi hajaran!"
"Akan
tetapi kita tahu bahwa Han Wi Ong adalah seorang pangeran tua yang terkenal
mata keranjang!"
"Mata
keranjang atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya! Kalau betul Kun Liong
melarikan calon isteri orang, berarti dia itu melakukan perbuatan sesat dan aku
sebagai supek-nya wajib menghajarnya! Pula, aku akan menyelidiki tentang Kok
Beng Lama!"
Melihat
sikap suaminya yang terbenam dalam kemarahan dan kedukaan, Biauw Eng tidak
kuasa membantah. Pula, dia maklum bahwa biar pun suaminya itu tidak
mengatakannya, tentu suaminya itu akan menyusul dan mencari Giok Keng. Dia tahu
betapa suaminya amat mencinta puteri mereka itu dan suaminya yang telah
mengusir puterinya itu hanya terdorong oleh kemarahan, akan tetapi sama sekali
tidak akan membencinya.
Setelah
Pendekar Sakti Cia Keng Hong pergi, Biauw Eng menanti di Cin-ling-san dengan
hati gelisah sekali, memikirkan puterinya dan suaminya. Juga para anggota
Cin-ling-pai yang tentu saja mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa
keluarga guru atau ketua mereka menjadi prihatin, membuat suasana di
Cin-ling-san nampak sunyi.
***************
"Go-bi
Thai-houw...! Keluarlah dan mari tandingi pinceng! Mari bertanding sampai
selaksa jurus! Hendak kulihat sampai di mana kepandaian Go-bi Thai-houw yang
kabarnya sama dengan dewi, ha-ha-ha!"
Kakek
raksasa gundul berjubah merah itu menantang-nantang sambil berdiri di atas batu
gunung yang sebesar rumah. Suaranya bergelora dan bergema di empat penjuru,
hingga terdengar dari permukaan Pegunungan Go-bi-san. Beberapa kali dia kembali
mengulangi tantangannya itu dengan suara yang mengandung khikang kuat bukan
main!
Karena tidak
ada yang menjawab pertanyaannya, kakek ini sambil tertawa-tawa melayang turun
dari atas batu besar, kemudian melangkah lebar menuju ke puncak Pegunungan
Go-bi-san. Tidak lama kemudian sampailah dia di depan sarang tempat tinggal Kim
Seng Siocia beserta para anak buahnya! Sambil bertolak pinggang dia berdiri dan
memandangi bangunan megah itu dan tertawa,
"Ha-ha-ha-ha,
tidak salah lagi! Di sinilah tentu tempat tinggal Go-bi Thai-houw yang amat
disohorkan orang itu! Haii, Go-bi Thai-houw, mengapa engkau begitu pengecut dan
tidak berani keluar melayani tantanganku?"
"Kakek
berotak miring!" Mendadak terdengar bentakan nyaring.
Dan
keluarlah Kim Seng Siocia, wanita gendut yang lihai itu diiringi semua anak buahnya
yang jumlahnya lima puluh orang, dipimpin oleh Acui dan Amoi, dua orang
pembantunya yang setia dan yang paling lihai, merupakan murid-murid kepala yang
menjadi tangan kanannya.
Melihat
munculnya barisan wanita ini, dan mengenal Kim Seng Siocia yang pernah ikut
mengeroyoknya pada saat dia menyelamatkan Kun Liong dan Hong Ing, kakek itu
tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, tentu ini barisan dari Ratu Go-bi! Hayo,
suruh keluar ratumu Go-bi Thai-houw!"
Kim Seng
Siocia meloncat ke depan dan menudingkan senjata cambuk hitamnya sambil
membentak, "Kakek gila, mau apa engkau mencari mendiang Thai-houw?"
"Hah...?!
Dia sudah mampus?"
"Thai-bouw
sudah meninggal dunia belasan tahun yang lalu dan aku, Kim Seng Siocia adalah
pewarisnya. Mengapa engkau menantang-nantang Thai-houw?"
Kakek itu
menarik napas panjang, kelihatannya menyesal sekali.
"Ahhhh,
aku terlambat! Sialan benar kalau mereka semua sudah mampus! Lama sudah pinceng
(aku) mendengar bahwa di dunia ini, orang-orang yang paling pandai hanyalah
Sin-jiu Kiam-ong, Go-bi Thai-houw, Bun Hwat Tosu, dan Tiong Pek Hosiang!
Jangan-jangan yang lain itu pun sudah mampus. Lalu siapa lawanku di dunia
ini?"
Kim Seng
Siocia sudah maklum akan kelihaian kakek pendeta Lama yang seperti gila ini.
Akan tetapi, karena dia dibantu oleh semua anak buahnya, dan karena dia
menganggap junjungannya, Go-bi Thai-houw dipandang rendah serta dihina, maka
dia menjadi marah sekali.
"Kok
Beng Lama! Engkau terlalu sombong! Biar pun Thai-houw sudah meninggal dunia,
akan tetapi aku, pewaris satu-satunya, tidak gentar untuk melawanmu!"
Sesudah berkata demikian, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya sehingga
terdengar suara ledakan-ledakan kecil di udara.
"Jadi
engkau murid satu-satunya? Ha-ha-ha, tidak ada gurunya, melihat tingkat
muridnya pun sudah bisa menilai sampai di mana kepandaian gurunya!" Kok
Beng Lama melangkah maju memapaki gulungan sinar hitam dari cambuk itu!
"Tar-tar-tar...
wuuuutttt...!"
Gulungan
sinar hitam itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar. Bukan main lihainya
senjata ini, karena selain panjang dan terbuat dari bahan yang aneh dan kuat
sekali, juga ujung cambuk ini mengikat sebatang piauw yang runcing tajam dan
beracun.
"Ha-ha-ha,
bagus, bagus! Keluarkan semua kepandaianmu, Gendut!" Pendeta Lama itu
berkata dengan gembira.
Pertandingan
ini segera membuktikan betapa keadaan mereka berat sebelah. Kim Seng Siocia
langsung mengeluarkan semua kepandaiannya yang dia dapatkan dari kitab-kitab
peninggalan Go-bi Thai-houw. Tidak hanya cambuknya yang menyambar-nyambar, juga
tangan kirinya yang mengandung tenaga sinkang yang amat kuat itu menyelingi
serangan cambuknya.
Namun,
pendeta Lama itu hanya tertawa-tawa saja, menggerakkan kedua lengannya dan
ujung lengan bajunya melayang-layang menangkis semua serangan lawan. Hebatnya,
setiap kali cambuk bertemu dengan ujung lengan baju, ujung cambuk itu terpental
keras, dan setiap kali tangan kiri wanita gendut itu dicium ujung lengan baju,
Kim Seng Siocia meringis kesakitan karena seluruh lengan kirinya tergetar
hebat!
Tiba-tiba
saja, dengan gerakan yang tidak terduga-duga, Kim Seng Siocia menggerakkan
cambuknya berputaran dan ujung cambuk yang ada piauw-nya itu menyambar ke arah
perutnya sendiri, dan berbareng dengan itu, tangan kirinya juga mencengkeram ke
arah kepalanya sendiri.
"Heiii...,
gilakah...?"
Baru saja
Kok Beng Lama berseru dan tubuhnya melayang ke depan untuk mencegah wanita
gendut itu ‘membunuh diri’ secara aneh tiba-tiba cambuk itu membalik dan ujung
cambuk tahu-tahu melepaskan piauw yang terikat. Piauw beracun meluncur secepat
kilat menyambar ke arah leher Kok Beng Lama, sedangkan tangan kiri wanita lihai
itu sudah membalik pula, mengirim pukulan yang ganas ke arah pusar lawan yang
kaget setengah mati itu!
"Plakkk...
desss...!"
Piauw
bertemu dengan telapak tangan Kok Beng Lama dan pukulan tangan kiri Kim Seng
Siocia tepat mengenal pusar pendeta Lama itu. Akan tetapi, dapat dibayangkan
betapa kagetnya wanita gendut itu melihat bahwa selain piauw-nya tidak melukai
tangan lawan, juga pukulannya mengenai bagian tubuh lunak dan yang sekaligus membuat
sinkang yang terkandung di tangan kirinya itu ‘tenggelam’ dan lenyap tak
berbekas.
Selagi dia
terheran dan terkejut, terdengar kakek itu berseru, "Ilmu
siluman...!" dan…
Wanita
gendut itu tidak keburu mengelak lagi ketika ada sinar hitam menyambar, lantas
terdengarlah jeritan melengking mengerikan ketika piauw-nya sendiri itu
menghujam dan menembus pelipis kepalanya.
Kim Seng
Siocia masih berusaha untuk menendangkan kaki kanannya, namun dengan mudah Kok
Beng Lama menangkis tendangan ini, bahkan sekaligus dia menangkap kaki itu dan
mendorong tubuh lawannya sampai terlempar beberapa meter jauhnya! Kim Seng
Siocia tewas seketika!
Anak buahnya
memandang dengan mata terbelalak kaget. Tak mereka duga sama sekali bahwa ketua
mereka, juga majikan atau guru mereka, yang mereka anggap memiliki ilmu
kepandaian luar biasa dan tiada bandingannya itu, kini tewas sedemikian
mudahnya di tangan kakek pendeta Lama itu!
Acui dan
Amoi yang amat mencinta majikan mereka, melihat Kim Seng Siocia tewas, menjadi
marah dan berduka sekali. Mereka sudah mencabut pedang masing-masing dan dengan
teriakan marah kedua orang wanita muda yang cantik ini sudah menerjang maju
mengeroyok Kok Beng Lama, dibantu oleh empat orang teman mereka yang terdekat.
Melihat dia
dikeroyok enam orang wanita muda, pendeta Lama itu kelihatan jemu dan dengan
marah dia menggerakkan kedua lengannya ke kanan kiri sambil membentak,
"Pergilah
kalian!"
"Plakk-plakk!"
Terdengar
suara susul menyusul dan dengan jerit tertahan enam orang itu, termasuk Acui dan
Amoi yang lihai, roboh dan tak mungkin dapat bangun kembali karena kepala
mereka retak-retak disambar ujung lengan baju kakek yang luar biasa lihainya
itu!
"Mundur
kalian! Apakah kalian sudah bosan hidup?" Tiba-tiba terdengar suara
bentakan halus dan muncullah seorang nenek bertongkat butut hitam, berpakaian
hitam pula dan berwajah bengis. Dia ini bukan lain Go-bi Sin-kouw!
Seperti
diketahui nenek ini adalah guru Pek Hong Ing dan Lauw Kim In dan tinggal di
atas sebuah di antara puncak-puncak Go-bi-san. Seperti juga Kim Seng Siocia,
dia mendengar teriakan yang merupakan tantangan dari Kok Beng Lama, akan tetapi
dia tidak melayani karena bukan dia yang ditantang, pula dia maklum betapa
lihainya kakek itu.
Betapa pun
juga, dia ingin tahu dan karena merasa bahwa dia sanggup menanggulangi kakek
sakti itu, dia segera mengikuti dan menyaksikan kakek itu membunuh Kim Seng
Siocia, Acui, Amoi dan empat orang murid lainnya. Melihat bahwa masih ada
puluhan orang bekas anak buah Kim Seng Siocia hendak maju mengeroyok, dia cepat
mencegah mereka karena dia mempunyai niat yang dianggapnya baik sekali melihat
kematian Kim Seng Siocia dan para pembantu utamanya.
Dua orang
muridnya telah pergi. Pek Hong Ing telah murtad, melawan kehendaknya, tidak mau
menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, bahkan telah menjadi nikouw dan melarikan
diri dengan pemuda gundul itu. Sedangkan murid pertamanya, Lauw Kim In, juga
minggat entah ke mana. Cita-citanya untuk menjadi mertua seorang pangeran
gagal, maka kini dia melihat kesempatan yang baik sekali.
Dia akan
memperoleh kedudukan tinggi dan mewarisi harta benda yang banyak jika dia
menggantikan Kim Seng Siocia yang sudah mati! Karena inilah dia mencegah sisa
anak buah Kim Seng Siocia yang diharapkan kelak menjadi anak buahnya, supaya
tidak nekat melawan pendeta Lama yang lihai itu.
Kok Beng
Lama memutar tubuhnya menghadapi Go-bi Sin-kouw. Dia sudah mengenal pula nenek
ini yang pernah mengeroyoknya di tepi Pantai Pohai.
"Ha-ha-ha,
apakah engkau hendak mewakili Go-bi Thai-houw pula melawan pinceng?"
Go-bi
Sin-kouw menggerakkan tangan kirinya menyangkal.
"Aku
Go-bi Sin-kouw tidak pernah bermusuhan dengan Kok Beng Lama. Kita adalah dua
orang tua yang sudah kenyang mengalami pertandingan, mengapa seperti anak kecil
saja hendak mengadu kepandaian?"
"Ha-ha-ha-ha!
Omitohud... wanita memang pandai menyelimuti perasaannya sendiri...!"
Dengan ucapan ini Kok Beng Lama hendak menyindir bahwa nenek itu sangat pandai
menyembunyikan rasa jerinya untuk bertanding dengannya.
"Habis,
mau apa engkau datang menemuiku?"
"Kok
Beng Lama, aku tadi mendengar suaramu, dan aku mengenal namamu ketika untuk
pertama kali kau muncul di tepi Pohai. Aku hanya hendak memperlihatkan sebuah
benda. Lihat ini baik-baik, apakah engkau mengenal benda ini?" Sambil
berkata demikian, Go-bi Sin-kouw mempergunakan tangan kanan mengambil sebuah
benda yang mengkilap dari dalam saku bajunya, dan mengangkat benda itu
tinggi-tinggi agar dapat terlihat oleh Kok Beng Lama.
Benda itu
adalah sehelai kalung emas terukir indah dan mainannya merupakan sebuah
ukir-ukiran arca Buddha kecil bermata indah terbuat dari mutiara biru!
Ketika Kok
Beng Lama melihat benda ini, dia mengeluarkan seruan tertahan, mukanya berubah
pucat dan mendadak dia menerjang ke depan dengan kedua lengan terpentang dan
kedua tangannya membentuk cakar setan!
Go-bi
Sin-kouw terkejut setengah mati. Cepat nenek ini menggerakkan tongkat bututnya,
menyambut dengan tusukan dahsyat ke arah dada kakek pendeta berjubah merah itu.
"Plak!
Plak!" Tangan kanan Kok Beng Lama sudah menangkap ujung tongkat, sedangkan
tangan kirinya telah mencengkeram tangan kanan nenek yang menggenggam kalung
itu.
"Katakan,
dari mana kau mendapatkan benda ini?!" Bentak Kok Beng Lama.
Namun dengan
senyum menyelimuti rasa nyeri yang membuat seluruh lengan kanannya seperti
lumpuh oleh cengkeraman kakek pendeta itu, Go-bi Sin-kouw berkata lirih,
"Kau bunuhlah, akan tetapi akulah satu-satunya orang yang akan dapat
bercerita tentang Pek Cu Sian...!"
Ucapan ini
membuat Kok Beng Lama mencelat mundur seolah-olah ditampar oleh benda keras.
"Pek...
Cu... Sian... ? Di... di mana dia...?" Dia terbelalak memandang nenek itu
dengan sinar mata penuh permohonan, tubuhnya gemetar karena hatinya tegang bukan
main.
"Dia
kudapati terluka parah, tubuhnya penuh luka-luka dan sebelum meninggal dunia,
dia meninggalkan benda ini dan puterinya..."
"Ouhhh...!"
Kok Beng Lama jatuh terduduk, mukanya pucat sekali dan matanya terpejam,
alisnya berkerut, wajahnya kelihatan berduka sekali. Terbayang dalam ingatannya
semua peristiwa yang terjadi belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu di
Tibet!
Ketika itu,
dia merupakan seorang di antara tokoh-tokoh golongan Lama Jubah Merah yang
terdapat di Tibet. Golongan Lama Jubah Merah ini adalah segolongan pendeta yang
menganut Agama Buddha yang sudah dicampur dengan Agama Hindu, maka di samping
memuja pelajaran Buddha, juga mereka masih memuja para dewa Agama Hindu.
Golongan
Lama Jubah Merah terutama sekali memuja Dewa Syiwa yang dipuja sebagai dewa
pembasmi dan penghancur, karena itu sangat ditakuti dan sudah menjadi tradisi
di golongan mereka untuk setiap tahun, yaitu pada hari ulang tahun dewa itu,
mereka selalu menyerahkan beberapa macam korban, di antaranya korban seorang
dara cantik yang masih perawan.
Golongan
yang fanatik ini menanam banyak permusuhan dengan golongan lain, bahkan
perbuatan mereka memaksa gadis menjadi korban tiap tahun mendatangkan
permusuhan pula dengan banyak orang yang terdiri dari rakyat jelata. Namun
karena golongan Lama Jubah Merah ini memiliki banyak tokoh yang berilmu tinggi
sekali, tidak ada golongan lain yang berani berterang menentang mereka. Ada
beberapa orang gagah, diantaranya ada yang datang dari Tiongkok, yang mencoba
untuk menentang pengorbanan anak perawan tiap tahun, namun mereka ini seorang
demi seorang dikalahkan dan ditewaskan oleh para tokoh Lama Jubah Merah.
Di antara
para tokoh kang-ouw yang terbunuh dalam usaha ini adalah seorang pendekar
bernama Pek Jwan Ki yang gagah perkasa. Setelah pendekar ini tewas, puterinya
yang baru berusia delapan belas tahun, bernama Pek Cu Sian, menyerbu markas
Lama Jubah Merah untuk membalas dendam. Akan tetapi, betapa pun lihainya dara
ini, akhirnya dia dapat tertawan.
Kemudian,
melihat bahwa dara itu sangat cantik dan masih perawan, dia lalu dipilih untuk
menjadi calon korban, akan dipersembahkan kepada Dewa dalam pesta pemujaan
tahun depan! Pemujaan itu dilakukan dengan cara membakar anak perawan itu dalam
keadaan telanjang bulat, dengan demikian jiwa raganya akan diterima oleh Dewa
pujaan mereka!
Pada waktu
Pek Cu Sian yang cantik menjadi tawanan inilah terjadi peristiwa hebat yang
menggegerkan Tibet, terutama di lingkungan kaum Lama Jubah Merah. Kok Beng
Lama, seorang di antara para tokoh Lama Jubah Merah yang bertingkat dua,
sebagai orang ke dua terlihai di antara mereka, seorang pendeta yang baru
berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tampan serta gagah perkasa,
tergila-gila dan jatuh cinta ketika melihat Pek Cu Sian! Maka, dengan kecerdikan
dan kelihaiannya, secara diam-diam Kok Beng Lama menolong perawan itu,
mengeluarkannya dari dalam tempat tahanan dan kemudian menyembunyikannya di
dalam kamar rahasia.
Pek Cu Sian
yang telah berada di ambang maut yang mengerikan itu, merasa berhutang budi dan
timbul pula kagum dan sukanya kepada penolong yang gagah perkasa ini, biar pun
penolong itu usianya sudah setengah tua dan pantas menjadi ayahnya. Apa bila
dua orang insan, pria dan wanita sudah saling suka, maka terjadilah hal yang
lumrah, yaitu keduanya saling mendekati dan karena Pek Cu Sian tidak memiliki
orang lain yang dapat dipercaya, maka kepercayaannya tercurah kepada Kok Beng
Lama.
Keduanya
melakukan hubungan rahasia di dalam kamar itu, tempat di mana perawan itu
disembunyikan. Semua berjalan rapi tanpa ada yang mengetahuinya, dan oleh para
tokoh Lama Jubah Merah dara itu dianggap hilang atau berhasil melarikan diri.
Akan tetapi,
sebetulnya Pek Cu Sian hidup sebagai suami isteri dengan Kok Beng Lama, bahkan
setahun kemudian Pek Cu Sian melahirkan seorang anak perempuan di dalam kamar
rahasianya itu. Wanita tua yang membantu berlangsungnya kelahiran ini, setelah
tenaganya tidak dibutuhkan lagi, dibunuh oleh Kok Beng Lama agar rahasia mereka
tidak membocor keluar!
Akan tetapi,
betapa pun rapatnya mereka menyimpan rahasia, akhirnya hal ini terbuka juga.
Anak perempuan itu mereka beri nama Pek Hong Ing, dan pada suatu hari, seorang
pendeta Lama melihat anak berusia lima tahun itu keluar dari kamar rahasia
sehingga terbukalah rahasia yang selama hampir enam tahun itu disimpan oleh Kok
Beng Lama dan Pek Cu Sian!
Akibatnya,
Kok Beng Lama ditangkap dan Pek Cu Sian melarikan diri bersama puterinya,
dikejar-kejar oleh para Lama Jubah Merah. Selama enam tahun di dalam kamar rahasia,
Pek Cu Sian sudah mempelajari ilmu silat tinggi dari kekasihnya, maka dia
melakukan perlawanan gigih dan berhasil membunuh beberapa orang pendeta Lama
Jubah Merah. Akan tetapi dia sendiri terluka parah dan meski pun akhirnya dia
berhasil melarikan diri meninggalkan Tibet, ketika tiba di Go-bi-san, dia roboh
dan tewas. Baiknya pada waktu peristiwa pengejaran itu terjadi, Kok Beng Lama
tidak tahu karena dia sedang ‘diadili’, maka tidak terjadi hal yang lebih hebat
lagi.
Oleh ketua
golongan Lama Jubah Merah Kok Beng Lama dijatuhi hukuman sepuluh tahun lamanya.
Selama sepuluh tahun di dalam kamar tahanan ini, dengan tekunnya Kok Beng Lama
memperdalam ilmu kepandaiannya sehingga ketika hukumannya sudah habis, dia
memiliki ilmu kepandaian yang sangat hebat. Bahkan dia telah mempunyai khikang
yang luar biasa kuatnya, juga sinkang-nya membuat kedua tangannya kebal
sehingga berani melawan senjata pusaka yang bagaimana pun juga ampuhnya!
Akan tetapi,
ketika dia keluar dari hukuman dan mendengar bahwa kekasihnya bersama puterinya
pergi melarikan diri, dia menjadi marah sekali. Didatanginya ketua golongan dan
dimintanya pertanggungan jawabnya.
"Pinceng
telah menerima dosa dan juga sudah menanggung semua kesalahan dengan menerima
hukuman sepuluh tahun tanpa membantah. Mengapa Pek Cu Sian dan puteri kami yang
tidak berdosa tetap dikejar-kejar? Tentu mereka telah kalian bunuh!"
teriaknya marah.
Dengan
kepandaiannya, dia menangkap seorang Lama dan menyiksanya sampai Lama itu
mengaku betapa Pek Cu Sian serta puterinya melarikan diri dan dikejar,
dikeroyok sampai luka-luka parah dan biar pun dapat melarikan diri, akan tetapi
luka-luka yang amat hebat yang dideritanya tentu tidak akan dapat ditahannya.
Mendengar
ini, Kok Beng Lama mengamuk sehingga ketua golongan Lama Jubah Merah tewas di
tangannya! Masih banyak lagi Lama Jubah Merah yang tewas oleh Kok Beng Lama
yang mengamuk itu, kemudian dia melarikan diri dari Tibet dengan maksud hendak
mencari tahu perihal kekasih dan puterinya.
Kedukaan
hatinya mendengar akan nasib kekasihnya membuat dia seperti telah gila, dan
karena dia sudah lama mendengar nama-nama besar dari Sin-jiu Kiam-ong, Bun Hwat
Tosu, Tiong Pek Hosiang, dan yang terdekat adalah Go-bi Thai-houw, maka di
sepanjang jalan dia menantang empat orang ini. Dia percaya bahwa dengan tingkat
kepandaiannya sekarang, dia akan mampu mengalahkan empat orang tokoh besar itu!
Demikianlah
riwayat singkat dari Kok Beng Lama. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya
ketika tanpa disangka-sangkanya, dia mendengar mengenai kekasihnya itu dari
Go-bi Sin-kouw! Apa lagi ketika dia mendengar bahwa kekasihnya, Pek Cu Sian,
seperti yang dikhawatirkannya selama ini, telah meninggal dunia akibat
luka-lukanya, dia menjadi demikian berduka sampai hampir pingsan. Sampai lama
dia duduk bersila, memejamkan kedua matanya dan ketika kedua matanya itu
akhirnya dibukanya kembali, sinar matanya menjadi suram dan layu.
"Bagaimana
matinya?" Ucapan apa yang menjadi pesan terakhirnya? Bagaimana dengan
Puteri Pinceng?" Suara pendeta Lama yang biasanya gembira dan tenang itu
sekarang terdengar parau dan tidak jelas.
"Kok
Beng Lama! Pertama-tama yang disebut adalah namamu, maka begitu mendengar kau
menyebutkan namamu di Pantai Pohai aku segera mengenalmu. Tetapi, sebelum aku
melanjutkan ceritaku, kau harus berjanji lebih dulu bahwa selanjutnya engkau
tidak akan memusuhi atau mengganggu lagi kepada Go-bi Sin-kouw."
Kakek itu
dengan tidak sabar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah, aku Kok Beng
Lama berjanji tak akan mengganggu Go-bi Sin-kouw."
"Dan
kau harus menyetujui kalau aku menggantikan kedudukan Kim Seng Siocia di sini
dan memimpin semua wanita ini."
"Baik,
baik. Memang sudah selayaknya, engkau yang telah menemukan Cu Sian."
Berseri
wajah Go-bi Sin-kouw. Yang lain-lain dia tidak takut, apa lagi anak buah Kim
Seng Siocia tentu akan tunduk kepadanya. Dia hanya jeri menghadapi pendeta Lama
ini karena dia maklum bahwa pendeta ini hebat bukan main, sama sekali bukan
tandingannya!
"Kalau
begitu, sebagai majikan dari markas ini, sekarang aku mempersilakan kau masuk
ke istanaku di mana kita dapat bicara dengan tenang, Kok Beng Lama."
Pendeta yang
sudah ingin sekali mendengar cerita tentang kekasihnya dan puterinya itu,
mengangguk dan mereka berdua lalu memasuki rumah besar yang megah bekas tempat
tinggal Kim Seng Siocia setelah Go-bi Sin-kouw dengan suara lantang
memerintahkan ‘anak buahnya’ untuk mengurus jenazah Kim Seng Siocia, Acui, Amoi
dan empat orang gadis yang menjadi korban kelihaian Kok Beng Lama.
Setelah
duduk berhadapan dan minum arak yang disuguhkan oleh anak buah yang kini
memperoleh majikan baru itu, Go-bi Sin-kouw lantas bercerita, "Aku sedang
melakukan perjalanan bersama muridku yang bemama Lauw Kim In ketika aku bertemu
dengan Pek Cu Sian. Dia menggeletak tak berdaya, kehabisan darah yang keluar
dari luka-lukanya, sedangkan seorang anak perempuan berusia lima tahun menangis
di sampingnya. Aku berusaha mengobatinya, namun percuma karena dia telah
kehabisan darah. Sebelum dia meninggal dunia, dia menyerahkan kalung ini dan
mengatakan bahwa kalau aku bertemu dengan seorang bernama Kok Beng Lama, agar
supaya aku menyerahkan benda ini dan anak perempuan yang bernama Pek Hong
Ing."
Kok Beng
Lama menciumi kalung itu dan dua titik air mata membasahi pipinya, kemudian dia
bertanya penuh gairah, "Budi pertolonganmu amat besar, Go-bi Sin-kouw. Aku
amat berterima kasih kepadamu. Dan di mana sekarang adanya anakku itu? Di mana
puteriku Pek Hong Ing...?"
Go-bi
Sin-kouw menarik napas panjang, "Itulah yang sedang menyusahkan hatiku.
Anak itu kupelihara dan kudidik sampai menjadi dewasa, kemudian hendak
kujodohkan dengan seorang pangeran. Dengar baik-baik! Dengan seorang pangeran
putera dari Kaisar! Akan tetapi, dia malah melarikan diri, agaknya terbujuk
oleh seorang pemuda berkepala gundul yang lihai! Engkau malah sudah bertemu
dengan puterimu itu, Kok Beng Lama."
"Hehhh...?!"
Mata yang lebar itu terbelalak makin lebar. "Di mana? Yang mana?"
"Ingatkah
engkau ketika engkau muncul di Pantai Pohai? Ada seorang pemuda gundul dan
seorang nikouw muda yang kami keroyok untuk kami tangkap, bahkan engkau telah
membantu mereka melarikan diri."
"Yaaaa,
dan mana puteriku?"
"Nikouw
muda itulah!"
"Aihhh...!"
Pendeta Lama itu mencelat ke atas dan matanya menjadi liar dan ganas sekali
memandang kepada Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini menjadi terkejut, bersiap
sedia dan dengan cepat dia berkata,
"Ingat,
kau tidak akan memusuhi aku, Kok Beng Lama."
Kakek itu
mengepal sepasang tinju tangannya yang besar, kemudian menghardik, "Go-bi
Sin-kouw, kenapa kau memusuhi puteriku yang katanya menjadi muridmu?"
"Ahh,
duduklah baik-baik dan dengarkan dulu dengan tenang," Go-bi Sin-kouw
membujuk dan kakek itu duduk kembali dengan sikap kasar karena hatinya masih
marah.
"Sudah
kukatakan bahwa Pek Hong Ing, puterimu atau muridku itu, hendak kujodohkan
dengan Pangeran Han Wi Ong yang mencintanya. Bukankah aku bermaksud baik dan
mengangkat derajatnya setinggi mungkin? Bayangkan, engkau akan menjadi ayah
mertua seorang pangeran, putera Kaisar! Akan tetapi apa yang terjadi kemudian?
Hong Ing kena dibujuk oleh seorang pemuda, Si Gundul itu sehingga Hong Ing
melarikan diri mencukur rambutnya seperti nikouw, bahkan kemudian dia bersama
pemuda itu melawan kami dan tidak mau menyerah ketika hendak ditangkap.
Maksudku hanya menangkap mereka dan menyerahkan kepada pengadilan, kemudian
membujuk Hong Ing agar suka menjadi isteri pangeran. Sayang, sebelum mereka
tertangkap, tiba-tiba engkau muncul dan membikin kacau, engkau malah membantu
pemuda yang hendak mencelakakan puterimu itu."
"Brakkkk!"
Meja itu
terbuat dari pada batu putih yang sangat keras, akan tetapi tidak kuat menahan
kepalan tangan Kok Beng Lama, retak-retak dan nyaris hancur lebur!
“Siapa
pemuda gundul itu?"
"Namanya
Yap Kun Liong dan dia lihai sekali!"
"Tak
peduli betapa lihainya, dia akan kuhancurkan kepalanya seperti meja ini!"
"Tapi
kabarnya pemuda itu memiliki Ilmu Thi-khi I-beng, dan menurut kabar orang-orang
kang-ouw, dia murid keponakan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan dia pula yang
tahu di mana adanya pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo."
Berkerut
alis Kok Beng Lama. "Apa itu Thi-khi I-beng?"
"Ahh,
orang selihai engkau masih belum mengenal Thi-khi I-beng? Itulah ilmu yang amat
dahsyat dan mukjijat, sinkang yang dapat menyedot tenaga dalam lawan, yang
tadinya hanya dimiliki oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong!"
"Huh,
siapa itu Cia Keng Hong?"
"Dialah
murid tunggal orang yang kau cari-cari, Sin-jiu Kiam-ong."
"Bagus!
Di mana dia?"
"Dia
menjadi Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san. Dan bokor emas milik
Panglima The Hoo yang dijadikan rebutan oleh seluruh orang dunia kang-ouw,
kabarnya juga hanya diketahui tempatnya oleh pemuda itu. Dan sekarang, puterimu
dibawa olehnya, entah ke mana."
"Keparat!
Akan kucari mereka semua!" Tiba-tiba kakek itu meloncat dan sekali
berkelebat dia lenyap dari dalam gedung itu.
Go-bi
Sin-kouw menahan napas saking kagumnya. Akan tetapi dia tidak mempedulikan lagi
kepada pendeta Lama yang amat lihai itu, karena dia sudah sibuk mengatur tempat
tinggalnya yang baru! Dia mengumpulkan semua anak buahnya yang empat puluh
orang lebih jumlahnya, dan mulai saat itu, Go-bi Sin-kouw menjadi majikan
tempat itu, tinggal di dalam gedung yang sangat mewah dan megah, dan diterima
sebagai ketua oleh bekas anak buah Kim Seng Siocia.
Tentu saja
dia merasa girang sekali. Biar pun dia kehilangan dua orang muridnya, akan
tetapi sebagai gantinya dia memperoleh empat puluh orang murid lebih, dan
memperoleh tempat tinggal yang amat indah. Hanya sedikit kecewa hatinya ketika
mendengar bahwa bekas kekasih Kim Seng Siocia, pemuda asing bermata biru yang
bernama Marcus, telah melarikan diri sambil membawa kitab-kitab pusaka
peninggalan Go-bi Thai-houw berikut banyak harta berupa emas dan perak!
Akan tetapi,
karena yang masih berada di sana jauh lebih banyak, maka nenek ini tidak ambil
peduli. Lagi pula, dia tidak menginginkan kitab pusaka karena merasa bahwa ilmu
kepandaiannya tidak kalah oleh Kim Seng Siocia.
***************
Kun Liong
baru sadar dari pingsannya. Sejenak dia nanar dan matanya silau oleh cahaya
matahari yang langsung menimpa kepala serta mukanya. Akan tetapi ketika dia
bangkit duduk dan melihat kain putih di tangannya, dia pun teringat dan
mengeluh, lalu mendekap kain itu dan menciuminya.
"Hong
Ing.... ahhh, Hong Ing...!" demikian keluh hatinya.
Dia hampir
merasa yakin bahwa dara itu tentu telah tewas, menjadi korban badai yang
mengamuk ganas semalam. Akan tetapi karena yang ditemukannya hanya kain penutup
kepala gadis itu, hatinya masih penasaran. Sehari penuh tiada hentinya dia
berkeliaran di sepanjang pantai mengelilingi pulau kecil itu untuk mencari
kalau-kalau jenazah dara itu terdampar di pantai. Akan tetapi hasilnya sia-sia
belaka.
Akhirnya,
dengan tubuh lemas dan sakit-sakit, dengan hati kosong dan tertekan hebat, Kun
Liong terpaksa harus melihat kenyataan bahwa dara yang dicari-carinya itu
memang tidak ada. Tentu sudah ditelan lautan yang mengganas semalam, atau ditelan
ikan besar.
Dia berdiri
tegak memandang ke arah lautan, giginya berkerot, kedua tangan dikepal dan
matanya menyinarkan penasaran dan kebencian ke arah lautan. Kalau lautan
merupakan makhluk, tentu akan diserangnya pada saat itu!
Kemudian dia
sadar bahwa tidak baik menenggelamkan dirinya ke dalam kedukaan yang tidak ada
gunanya. Jelaslah kenyataannya bahwa Pek Hong Ing telah lenyap! Sedangkan dia
masih hidup!
Teringat
akan dirinya sendiri, masih terasalah nyeri pada seluruh tubuhnya dan ketika
dia melihat keadaannya, baru dia sadar bahwa pakaiannya sudah koyak-koyak tidak
karuan, juga sepasang sepatu yang dipakainya. Dan terasa pula betapa perutnya
sangat lapar.
Maka dia
lalu meninggalkan pantai yang kosong sunyi itu, sekosong dan sesunyi hatinya, dan
dia pun menuju ke tengah pulau untuk melakukan penyelidikan dan mencari pengisi
perutnya yang juga kosong dan terasa sangat lapar itu. Sedapat mungkin dia
mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu pikirannya, dan kadang-kadang
dia harus menyusut air mata yang meloncat keluar setiap kali dia teringat
kepada dara itu.
Sesudah
diselidikinya, jelas ternyata bahwa pulau itu merupakan sebuah pulau kecil yang
kosong. Pada tengah pulau terdapat sebuah bukit kecil yang penuh dengan
pepohonan. Akan tetapi, kecuali belasan ekor jenis burung laut yang beterbangan
di atas pulau, tidak ada seekor pun binatang di pulau itu.
Dan
tumbuh-tumbuhan yang berada di bukit itu pun terdiri dari jenis tetumbuhan yang
tak dapat dimakan. Di antaranya terdapat pohon-pohon besar yang sudah amat tua,
dengan batang yang besar-besar. Hutan kecil itu liar dan gelap sekali, dan di
situ terdapat banyak batu-batu karang yang merupakan goa-goa besar. Tetapi dia
tak ingin menyelidiki tempat yang buruk dan sukar didatangi karena banyaknya
semak-semak belukar itu.
Terpaksa,
untuk mengisi perutnya yang kelaparan, Kun Liong menangkap seekor burung besar
dengan jalan menyambitnya dengan pecahan batu karang. Dipanggangnya daging
burung itu dan biar pun rasanya tidak terlalu sedap, lumayan untuk mengatasi
kelaparan.

Akan tetapi,
makan daging burung panggang ini mengingatkan dia kepada Pek Hong Ing ketika
mereka berdua makan ikan panggang di dalam perahu peti mati! Teringat akan ini,
teringat pula akan kemungkinan besar kematian dara itu secara menyedihkan,
leher Kun Liong seperti dicekik rasanya. Daging yang dimakannya berhenti di
kerongkongan dan dia tidak dapat melanjutkan makannya.
Sambil minum
air tawar yang didapatnya di dekat rimba di tengah pulau, dia membuang sisa
daging burung panggang itu ke laut, kemudian menghela napas dan dengan tubuh
lemas dia mencari tempat teduh di belakang sebuah batu karang besar,
menjatuhkan diri di atas pasir dan tak lama kemudian dia sudah jatuh pulas.
Matahari
sudah naik tinggi dan beberapa jam kemudian cahaya matahari telah melewati batu
karang itu dan menimpa tubuh Kun Liong. Namun pemuda yang sudah mengalami
kelelahan lahir batin yang amat hebat itu seperti sudah mati, tak merasakan
lagi sengatan sinar matahari, tidur dengan nyenyaknya, sedikit pun tidak pernah
bergerak.
Akan tetapi
sesungguhnya hanya tubuhnya saja yang tidur dan tidak bergerak, karena pemuda
yang dihimpit oleh penderitaan batin ini, yang menahan kedukaan hebat dengan
kekuatan batinnya, sesudah tertidur diterbangkan ke alam mimpi oleh perasaan
bawah sadarnya yang kini setelah dia tidur memperoleh kesempatan untuk timbul.
Mimpi hanya
datang dan mengganggu seseorang yang pada waktu siangnya diamuk oleh pikirannya
sendiri, pikiran yang mendatangkan pertentangan di dalam batin. Orang yang
pikirannya terbebas dari segala macam ingatan masa lalu, yang tidak terpengaruh
oleh suatu peristiwa, tidak menyimpan suatu pengalaman di dalam pikirannya,
tentu akan tidur nyenyak tanpa mimpi!
Di alam
mimpinya, Kun Liong melihat ada beberapa orang dara cantik melayang-layang mendekatinya
dan seperti dewi-dewi kahyangan, mereka lalu menari-nari di sekelilingnya,
tersenyum simpul sambil mengerling tajam kepadanya, seolah-olah mereka itu
berlomba untuk memikat hatinya. Dan dia mengenal semua dara itu karena mereka
itu bukan lain adalah wanita-wanita yang selama ini telah dijumpainya dalam
hidupnya.
Yo Bi Kiok
dengan sepasang matanya yang amat indah seperti mata bintang kejora itu, Souw
Li Hwa dengan lehernya yang panjang putih dan dagunya yang meruncing amat
manisnya, Cia Giok Keng dengan hidungnya yang amat indah bentuknya, Lim Hwi
Sian dengan mulutnya yang menggairahkan, Yuanita de Gama dengan matanya yang
biru dan rambutnya yang seperti benang sutera emas, Nina Selado yang cantik
genit dan panas, Lauw Kim In yang cantik pendiam dan dingin namun memikat hati,
Kim Seng Siocia yang gendut dan lucu, dan akhirnya tampak juga Pek Hong Ing
yang baginya tidak mempunyai keistimewaan tertentu karena segala sesuatu yang
ada pada Hong Ing semuanya amat menarik hatinya!
Semua wanita
ini menari-nari dan Hong Ing berada di belakang sendiri, kadang-kadang nampak
kadang-kadang tidak. Akan tetapi dia hanya memandang mereka itu sepintas lalu
saja, akhirnya dia mencari-cari dengan matanya ke arah Hong Ing. Dia ingin
sekali agar dara yang berkepala gundul itu mendekat, akan tetapi apa daya, dia
sendiri tidak dapat menggerakkan kaki tangannya.
Tiba-tiba
datang angin besar bertiup dan dara-dara jelita yang menari-nari itu terhembus
angin lalu melayang-layang pergi sambil melambaikan tangan kepadanya, dan tersenyum
manis. Akan tetapi hanya Hong Ing seorang yang melawan hembusan angin. Gadis
itu tidak seperti dara lain yang terbang melayang menunggang angin, Hong Ing
meronta dan melawan. menjulurkan kedua lengan ke arahnya, seperti meminta
bantuan dan terdengar jeritnya,
"Kun
Liong...! Kun Liong...!"
Kun Liong
tersadar tanpa membuka matanya. Hemm, dia tertidur enak sekali, dan semua itu
ternyata hanya mimpi. Hanya mimpi kosong. Tanpa membuka mata dia menarik napas
panjang, menikmati tubuh yang mengaso. Tidak perlu memikirkan mimpi, demikian
suara berbisik di kepalanya yang berbantal gundukan pasir.
"Mengapa
tidak perlu?" bantah suara di dalam dadanya, "Mimpi ada artinya, apa
lagi yang muncul adalah wanita-wanita yang selama ini mendatangkan kesan
mendalam di hatinya. Pasti mimpi tadi ada artinya!"
"Ahhh,
celoteh nenek bawel!" suara di kepalanya membantah. "Mimpi hanya
kembangnya orang tidur! Tidak ada artinya, kalau pun ada, maka artinya itu
direka-reka dan dicari-cari, dibuat dan dipaksakan."
"Sombong!
Si dungu berlagak pintar!" Hatinya memaki. "Pasti ada artinya.
Bukankah para wanita itu pergi dengan senyum dan sebaliknya Hong Ing meronta
dan minta pertolongan kepadanya? Itu tandanya cinta?"
"Cinta
hidungmu!" bantah pula suara di kepala. "Tidak ada cinta yang murni,
semua cinta palsu! Betapa banyaknya orang menderita karena cinta. Hanya orang
tolol saja yang membiarkan dirinya terjerat cinta! Hanya orang totol yang
akhirnya akan menderita karena cinta. Dia suka kepada wanita, kepada semua
wanita yang cantik dalam mimpi tadi, dia suka kepada mereka seperti suka akan
bunga yang indah dan harum, seperti suka akan makanan yang lezat, suka akan
pemandangan alam yang permai. Akan tetapi cinta...? Huhhhh!”
"Sombong!
Kalau tidak cinta, kenapa kau menderita setengah mampus akibat kehilangan Hong
Ing? Itu tandanya cinta, tahukah kau, sombong?" Hatinya menjerit marah.
"Hemmm,
apa sih artinya cinta? Aku memang kasihan kepadanya, aku berduka teringat akan
nasibnya yang buruk. Apa salahnya itu?" Suara di kepalanya melemah, akan
tetapi masih membantah dan meragu.
"Kun
Liong...!"
Terkejutlah
dia. Sekarang suara itu begitu jelas, di antara suara angin ribut. Angin ribut?
Mimpikah dia tadi? Kun Liong membuka matanya namun cepat menutupkannya kembali
karena ada debu pasir menyerangnya. Maklumlah dia bahwa sekali ini dia tidak
mimpi. Memang benar ada angin ribut mengamuk!
Dia cepat
meloncat bangun, dengan kedua tangannya meraba batu karang lalu berjalan
setengah merangkak memutari batu karang, berlindung di balik batu-batu sehingga
tidak terserang debu pasir lagi. Dia membuka mata. Gelap!
Kun Liong
termangu-mangu. Sudah malamkah? Dia mengingat-ingat. Tadi saat matahari telah
naik tinggi dia makan daging burung panggang, kemudian dia mulai merebahkan
diri berlindung di balik batu karang setelah matahari mulai condong ke barat.
Dan sekarang sudah gelap! Demikian lamakah dia tertidur? Sampai setengah hari
lebih!
Dan semua
itu tadi hanyalah mimpi. Termasuk suara orang memanggil namanya. Seperti suara
Hong Ing! Hemm, tak mungkin suara Hong Ing yang sesungguhnya, kecuali hanya di
dalam mimpi. Hong Ing sudah tewas. Hal ini sudah jelas, karena dia sudah
mencari di sekeliling pulau.
"Kun
Liong...!"
Kun Liong
terperanjat dan meloncat ke atas. Itu suara Hong Ing! Mungkinkah?
Bulu
tengkuknya pun meremang. Suara Hong Ing? Tentu suara arwahnya! Aduh, kasihan
Hong Ing...! Kun Liong memandang ke kanan kiri, jantungnya berdegup aneh,
tengkuknya terasa tebal. Dia sudah siap untuk melihat roh dara itu
memperlihatkan diri, seperti asap, seperti yang pernah didengarnya di dalam
cerita dongeng. Apakah yang menjumpainya di dalam mimpi tadi juga roh para
gadis itu? Dan memang Li Hwa sudah mati, juga Hong Ing, akan tetapi yang
lain-lain bukankah masih hidup?
"Kun
Liong...! Ahh... Kun Liong...!" Suara itu merupakan jerit melengking,
disusul rintihan dan isak tangis, lapat-lapat terdengar lalu lenyap lagi.
Datang terbawa angin! Dari tengah pulau!
"Hong
Ing...!" Kun Liong meloncat.
Tidak peduli
lagi akan kegelapan, dia berlari terus ke depan, ke arah suara tadi, ke arah
tengah pulau, tidak peduli dia tersaruk-saruk, jatuh bangun beberapa kali. Tak
peduli lagi apakah yang menjerit itu setan ataukah iblis. Yang jelas, itu
adalah suara Hong Ing! Dan Hong Ing menangis! Dia harus menolong Hong Ing, baik
Hong Ing yang masih hidup atau Hong Ing yang sudah menjadi roh. Jelas bahwa
Hong Ing memanggilnya, membutuhkan pertolongannya.
"Hong
Ing...!" Dia berteriak-teriak memanggil ketika sudah berada di atas bukit,
di dalam hutan yang kecil namun lebat itu, menghadapi goa-goa di batu karang
yang membukit.
"Kun
Liong...!"
Biar pun
hatinya girang bukan main mengenal suara dara itu, namun meremang juga bulu
tengkuk Kun Liong. Suara setankah yang menirukan suara Hong Ing? Atau roh gadis
itu yang menjadi penasaran lantas berkeliaran di pulau dan menemukan tempat
tinggal di dalam goa itu?
"Hong
Ing...!" Dia memanggil lagi sambil melangkah mendekati goa.
"Kun
Liong...!"
Kun Liong
meloncat masuk. Dia tidak peduli suara setan atau iblis, suara roh atau arwah,
yang jelas itu adalah suara Hong Ing memanggilnya. Dia masuk dan kakinya
tersandung batu. Dia terjatuh dan tangannya menyentuh benda lunak dan hangat,
dan tiba-tiba dua buah lengan merangkulnya, mendekap kepalanya dan di antara
suara terengah-engah dan isak tangis, jelas terdengar suara Hong Ing,
"Kun
Liong... ahhh, Kun Liong...!"
"Hong
Ing...!" Mereka saling berdekapan, lupa akan segala, yang ada hanya
keharuan, kegembiraan.
"Hong
Ing... kau... kau masih hidup...! Ya Tuhan, syukurlah...!"
"Kun
Liong... ahhh, alangkah lamanya aku menantimu di sini. Sampai serak suaraku terus
memanggil-manggilmu... kukira engkau sudah mati... aku tidak mempunyai harapan
lagi... kakiku terkilir, tak dapat berjalan, tubuhku nyeri semua, perutku lapar
bukan main...!"
"Ya
Tuhan...!" Kun Liong kembali berseru dan air matanya turun bercucuran.
Untung di
dalam gelap, kalau tidak tentu dia akan merasa malu kepada Hong Ing. Dan
teringat betapa dia memeluki tubuh itu, bahkan kalau tidak salah ingat dia tadi
menciumi muka itu, mengecupi air mata yang asin itu, dia merasa malu dan cepat
dia melepaskan rangkulannya.
"Hong
Ing, kau suka... makan... daging burung laut?"
Biar pun
keadaan gelap di situ, namun terasa oleh Kun Liong betapa Hong Ing terbelalak
heran, dan dia girang sekali.
"Daging
burung laut?" Gadis itu bertanya, suaranya ragu-ragu seakan-akan dia
merasa sangsi apakah pemuda itu waras pikirannya.
"Ya,
daging burung laut dipanggang! Aku sudah makan daging itu siang tadi. Kalau kau
suka, aku akan menangkap seekor untukmu."
Hong Ing
menghela napas panjang, sangat jelas terdengar oleh Kun Liong, mengingatkan dia
bahwa di luar goa angin ribut sedang mengamuk. Mengingatkan dia betapa canggung
dan lucu penawarannya tadi. Malam gelap begitu, angin ribut pula, bagaimana
mungkin dia bisa menangkap seekor burung untuk Hong Ing? Mengapa orang yang
berada dalam kegirangan besar, seperti juga dalam kedukaan besar, bicaranya
lalu menjadi kacau tidak karuan?
"Besok
sajalah, Kun Liong. Aku belum mati kelaparan, hanya kakiku... aughhh...!"
"Kakimu
kenapa...?" Otomatis Kun Liong mengulurkan tangan meraba, akan tetapi
cepat ditariknya kembali karena di dalam gelap itu dia tidak dapat melihat dan
tanpa disengaja, tangannya yang diulurkan tadi meraba daging yang gempal,
meraba... paha dara itu yang tidak tertutup pakaian!
"Maaf...
ahhh, Hong Ing. Bagaimana kau dapat sampai di sini? Dan bagaimana kakimu?
Bagaimana keadaanmu...? Aihhh, terkutuk tempat begini gelap sehingga aku tidak
dapat melihatmu!"
Tubuh dara
itu menggigil. "Mengapa tidak kau buat api unggun? Dingin benar malam
ini..."
Kun Liong
ingin menampar kepalanya sendiri yang gundul. "Bodohnya aku!" makinya
dan dia cepat merangkak keluar, mencari kayu dan daun kering.
Untung angin
ribut tidak membawa hujan sehingga daun dan ranting kering yang banyak terdapat
di depan goa tidak menjadi basah. Dengan pengerahan tenaga, mudah saja dia
membuat api dengan batu karang, dan tidak lama kemudian, di dalam goa itu
menyala seonggok api unggun yang terang dan indah.
Sekarang
mereka dapat saling melihat. Mereka duduk berhadapan dan saling pandang.
Sepasang mata dara itu bercucuran air mata, dan Kun Liong berusaha sekuat
tenaganya untuk mencegah air matanya turun dari pelupuk mata yang panas, bahkan
dia berusaha untuk tersenyum, lalu berkata,
"Kita
masih hidup..."
"Ahh,
Kun Liong... pakaianmu koyak-koyak..." Suara Hong Ing lirih seperti orang
merintih.
Kun Liong
melihat kepada pakaiannya dan tersenyum, lalu memandang pakaian dara itu,
menuding dan berkata. "Pakaianmu sendiri pun tidak utuh, Hong Ing."
Walau pun pakaian dara itu tidak sehebat pakaiannya mengalami kerusakan, akan
tetapi tak dapat dikatakan utuh pula, banyak bagian yang terobek lebar sampai
paha dan pundaknya kelihatan.
"Dan
tubuhmu... ahhh…, babak belur dan lecet-lecet... Lihat dahimu itu, berdarah...
dan lengan kirimu, ahhh... paha kananmu juga mengeluarkan darah sampai celanamu
merah semua... Kun Liong...!" Suara dara itu semakin gemetar dan pandang
matanya penuh iba ditimpakan ke seluruh tubuh Kun Liong.
Kun Liong
merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, akan tetapi bukan meremang karena ngeri
seperti tadi, melainkan karena terharu menyaksikan sikap Hong Ing dan mendengar
suara dara itu.
"Hong
Ing... kau sendiri pun babak bundas... ujung bibir kirimu pecah-pecah...
pundakmu dan lenganmu... dan... dan bagaimanakah dengan kakimu?"
"Uhhh...
kaki kiriku... agaknya terkilir di belakang mata kaki, tidak dapat dipakai
berjalan, digerakkan sedikit pun sakit."
"Coba
kuperiksa... maaf..." Kun Liong memegang kaki itu dan Hong Ing menggigit
bibirnya menahan rasa nyeri. Memang terkilir. Agak hebat. Membengkak di bagian
mata kaki itu, dan biru kehitaman oleh darah yang terkumpul di dalamnya.
"Hong
Ing, maukah engkau menahan sakit sedikit? Tulang kaki ini keseleo dan tergeser
sehingga letaknya harus segera dibetulkan kembali. Kalau tidak, akan lama
sembuhnya dan mungkin menjadi cacat."
Hong Ing
mengangguk dan memandang kepada Kun Liong yang sekarang menggunakan kedua
tangannya memegang kaki itu. Tangan kanan memegang bagian atas dan tangan kiri
memegang bagian bawah.
"Siaplah,
Hong Ing, sakit akan tetapi hanya sebentar." Tiba-tiba dia membuat gerakan
menarik dan…
"Krekk..."
Terdengar
suara dan teriakan Hong Ing yang merasa nyeri bukan main. Perasaan nyeri yang
rasanya menusuk sampai ke ulu hati, membuat seluruh tubuh dara ini menggigil
dan keringat dingin membasahi dahinya. Matanya terbelalak dan di atas pipinya
yang pucat nampak air mata.
"Sekarang
letaknya sudah baik. Harus dibalut erat-erat."
Kun Liong
lalu merobek bajunya yang memang sudah koyak-koyak, lalu membalut mata kaki itu
dengan ketat. Ketika dia selesai dan mengangkat muka, dia melihat betapa dara
itu tadi menderita nyeri yang hebat, napasnya masih naik turun, bibirnya
berdarah sedikit karena pecah digigitnya sendiri.
"Kasihan
kau... Hong Ing..." Kun Liong mendekat dan menggunakan tangannya menyapu
keringat dari dahi yang halus itu.
"Terima
kasih, Kun Liong... kau memang baik sekali."
"Hemmm,
dalam keadaan seperti ini kau tidak perlu memuji, Hong Ing. Yang ingin sekali
kudengar adalah ceritamu, bagaimana engkau bisa sampai di tempat ini. Kukira
tadinya kau..."
"Mati?
Memang aku lebih baik mati dari pada hidup, bahkan sebelum bertemu dengan
engkau aku mengharapkan kematian saja, Kun Liong."
"Mengapa?"
"Mengapa?
Hemm... kau tidak tahu betapa ngeri rasa hatiku, betapa tidak berdaya sama
sekali, seolah-olah menanti datangnya maut tanpa daya sedikit pun juga. Pada
waktu kita diamuk badai dan agaknya perahu kita dihempaskan pada batu karang,
aku tidak tahu apa-apa lagi..."
Hong Ing
mulai bercerita, dan Kun Liong tentu saja maklum akan keadaan ini karena dia
sendiri pun tidak ingat apa-apa lagi setelah itu, tahu-tahu dia berada di atas
pasir pantai.
"Ketika
aku siuman, aku sudah berada di pantai, untung bahwa kepalaku berada di luar
jangkauan air sehingga aku tidak mati tenggelam. Aku memanggil-manggilmu,
keadaan gelap sekali malam itu, akan tetapi suaraku lenyap ditelan angin dan
kau tidak menjawab. Aku menyeret kaki kiriku yang nyeri sekali ke darat, dan
karena aku takut akan diserang binatang buas, aku terus merangkak sekuat tenaga
sambil terus memanggil-manggilmu. Akhirnya aku berhasil masuk ke goa ini dan
kembali aku tidak ingat apa-apa lagi. Setelah siuman untuk kedua kalinya,
matahari sudah naik tinggi. Kakiku tidak dapat digerakkan, seluruh tubuh sakit,
perut lapar sekali dan... dan... pada saat itu aku ingin mati saja, Kun Liong.
Aku mengira bahwa engkau tentu telah mati! Aku sendiri tidak mampu bergerak.
Tentu aku akan mati kelaparan. Betapa ngerinya. Maka aku lalu menangis sampai
habis air mataku. Aku menjerit-jerit memanggil namamu, tapi percuma saja. Malam
tiba dan aku masih tetap menjerit dan menangis dan akhirnya... akhirnya... kau
datang juga..."
Sepasang
mata itu terbuka lebar, kembali dua titik air mata turun, gigi yang rapi dan
putih itu menggigit bagian dalam dari bibir bawah, sedangkan cuping hidungnya
bergerak-gerak membayangkan keharuan hati.
"Aduh…,
kasihan sekali kau, Hong Ing. Tahukah engkau betapa aku juga sudah merasa putus
harapan, mengira engkau tentu telah tewas ketika aku menemukan kain penutup
kepalamu? Dan tahukah engkau betapa suara panggilanmu tadi terbawa di dalam
mimpi sehingga aku mengira bahwa rohmu yang memanggilku?" Kun Liong lalu
menceritakan pengalamannya dan tentu saja dia tidak menyebut-nyebut tentang
mimpinya dan tentang perbantahan antara pikiran dan hatinya.
Berkat
rawatan Kun Liong yang penuh ketelitian, belasan hari kemudian sembuhlah kaki
kiri Hong Ing yang terkilir. Dia sudah dapat berjalan walau pun masih agak
terpincang-pincang. Mereka berdua kini berusaha untuk menyesuaikan diri di
pulau kosong itu.
"Jika
memang pulau ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan tempat tinggal selama
kita bersembunyi, kita akan mencari pulau lain," demikian kata Kun Liong.
"Bagaimana
cara mencarinya? Perahu peti mati itu sudah lenyap, lagi pula aku merasa ngeri
kalau harus masuk ke dalam perahu peti mati itu lagi."
Kun Liong
tersenyum. "Aku dapat membuat perahu dari batang pohon besar di rimba itu.
Akan tetapi jika ada bahan makanan lain di pulau ini, kita tidak perlu mencari
pulau lain. Pulau ini cukup indah dan hawanya pun nyaman."
"Dan
kita hidup di sini seperti orang-orang hutan? Seperti orang liar tak
beradab?"
Kun Liong
tersenyum memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya keduanya tertawa
geli.
"Engkau
memang pantas sekali menjadi seorang puteri hutan. Pakaianmu tak karuan dan
ringkas akan tetapi... pantas dan manis sekali. Kakimu tidak bersepatu, dan rambutmu...
hemmm.... rambutmu mulai tumbuh dengan suburnya, Hong Ing."
"Dan
kau... kau memang seperti seorang manusia di jaman batu! Hanya memakai celana
yang pantasnya disebut cawat, badan tanpa baju, kulit terbakar sinar matahari.
Wah, kau kelihatan kuat dan sehat, Kun Liong. Dan kepalamu... hi-hik-hik,
kepalamu bersih sekali sampai mengkilap!"
Kun Liong
tersenyum lebar. "Baru saja aku mandi dan kugosok dengan bunga karang.
Segar sejuk rasanya." Dia mengelus-elus kepala gundulnya.
Mereka duduk
berteduh di dekat batu karang besar, berlindung dari sinar matahari yang sudah
mulai naik tinggi. Hong Ing memanggang daging ikan yang baru saja ditangkap
oleh Kun Liong. Selama belasan hari ini, mereka hanya makan daging ikan atau
burung laut, dan mereka mulai rindu akan makanan sayuran.
Mereka hanya
makan akibat lapar saja. Makan untuk perut, bukan untuk mulut. Di tempat
seperti itu, terasing dari dunia ramai, mereka tidak mungkin dapat memilih
makanan yang enak. Sehabis makan dan minum air tawar, mereka duduk dan
memandang ke laut. Dari pulau itu tidak kelihatan pulau lain, apa lagi daratan
besar.
"Enak
juga di sini, kita dapat makan setiap hari dan tidak perlu khawatir akan
pengejaran Pangeran Han Wi Ong."
Hong Ing
menarik napas panjang. "Sayang tidak ada pondok. Setiap malam aku merasa
ngeri tidur di goa itu, takut kalau-kalau ada kalajengking atau kelabang,
lebih-lebih ular... hiiih...!"
"Aku
akan membuatkan pondok untukmu, Di mana baiknya?"
Wajah manis
itu berseri. "Benarkah, Kun Liong? Aku sudah terlalu banyak menyusahkan
engkau."
"Tidak
sama sekali. Memang kita berdua membutuhkan pondok..."
"Dengan
dua kamar..."
"Cukup
satu saja, untukmu. Aku bisa tidur di mana saja..."
"Ahh,
kalau begitu aku tidak mau! Masa yang membuatnya tidur di mana saja? Kalau kau
tidak membuat pondok dengan dua kamar, aku juga tidak mau tidur di situ."
Kun Liong
tersenyum dan merasa geli hatinya. "Lucunya kita ini. Pondok belum jadi,
pembangunannya dimulai pun belum, tapi kita sudah cekcok tentang jumlah
kamarnya!"
Hong Ing
teringat akan ini dan dia pun tertawa. Ketawanya bebas dan diam-diam Kun Liong
kagum dan terheran-heran. Mengapa gadis yang pakaiannya tidak karuan, hanya
sedikit kain menutupi dari atas buah dada sampai ke paha, tanpa sepatu, dengan
rambut mulai tumbuh masih awut-awutan, mengapa gadis seperti ini kelihatan
begini menarik?
Padahal, apa
bila dalam keadaan seperti itu Hong Ing berada di dalam kota yang ramai,
tentulah dia akan diikuti dan digoda oleh banyak anak kecil, dianggap seorang
gila! Akan tetapi baginya, pada saat itu tak ada bidadari di kahyangan yang
lebih cantik, lebih manis, lebih menarik dan lebih menggairahkan dari pada Pek
Hong Ing!
Mulailah Kun
Liong membuat alat-alat untuk membangun pondok. Alat-alatnya sederhana sekali
dan tidak salah kalau Hong Ing membandingkan dia dengan seorang manusia dari
jaman batu karena Kun Liong terpaksa membuat alat-alat dari batu karang! Kapak,
pisau, semua dari batu karang yang tajam!
Biar pun
dengan sukar, namun akhirnya jadi juga sebuah pondok berdiri di belakang batu
karang besar di tepi laut itu. Sebuah pondok yang modelnya menurut kehendak
Hong Ing. Agak tinggi dari tanah, sebuah pondok panggung karena Hong Ing takut
kalau-kalau ada ular memasuki pondok dan kamarnya.
Di depannya
dipasangi anak tangga, atapnya dari daun, dindingnya dari bambu. Pintunya dua,
di depan dan belakang, kamar Hong Ing di depan, ada jendelanya yang menghadap
ke laut! Kamar Kun Liong di belakang.
Selain
pondok itu, Kun Liong juga membuat perabot rumahnya. Sebuah dipan kayu untuk
Hong Ing, berikut sebuah bangku kayu, kemudian sebuah dipan bambu untuknya
sendiri. Sebuah meja dengan dua bangkunya di depan kamar. Tong-tong tempat
menampung air tawar......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment