Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 13
BIARPUN
lengan kanannya sudah lumpuh dan dia hanya mampu melawan dengan pit di tangan
kirinya, akan tetapi Cong San masih mengamuk hebat sehingga pit-nya berhasil
melukai pundak Hek-bin Thian-sin, biar pun dia sendiri sudah menerima
pukulan-pukulan dari senjata lawan yang membuat pakaiannya robek-robek dan
penuh darah.
"Jahanam
Yap Cong San, mampuslah!"
Bu Leng Ci
yang marah sekali karena tadi dia hampir celaka oleh pit di tangan Cong San,
menggerakkan tangan kirinya dan nampak sinar hijau menyambar. Ketika itu Cong
San sedang terhimpit oleh karena Toat-beng Hoatsu yang marah akibat jubahnya
robek sudah mendesaknya. Karena itu pendekar ini tidak dapat menghindarkan diri
lagi dari sambaran Siang-tok-soa (Pasir Beracun Wangi) yang disambitkan oleh Bu
Leng Ci dari jarak dekat.
"Aduhhh...!"
Dia berseru ketika pasir itu memasuki dadanya.
Hidungnya
mencium bau yang wangi sekali dan tahulah dia bahwa nyawanya tidak akan
tertolong lagi. Dengan sekuat tenaga dia lantas menyambitkan pit-nya ke arah
lawan yang terdekat, yaitu Ban-tok Coa-ong. Begitu hebat sambitan ini sehingga
meski pun Ban-tok Coa-ong meloncat ke atas, tetap saja pit yang tadinya
dimaksudkan oleh penyambitnya untuk menembus dadanya itu masih menembus
betisnya!
"Auuuww...
setan kau!" Ban-tok Coa-ong menubruk dan pedang ularnya membacok.
Cong San
mengelak, akan tetapi kurang cepat hingga pinggangnya robek. Dengan luka parah
ini Cong San masih belum roboh, melainkan menubruk ke arah jenazah isterinya
dan memeluk isterinya.
"Yan
Cu... tunggu... Yan Cu...!" Dengan tubuh isterinya dalam pelukan ketat,
pendekar ini menghembuskan napas terakhir!
Suami isteri
pendekar gagah perkasa yang saling mencinta dan yang sepanjang hidupnya banyak
mengalami kemalangan itu tewas dalam keadaan menyedihkan sekali bagi yang
melihatnya.
"Huh,
menjemukan!" Bu Leng Ci yang masih marah itu menendang mayat Cong San.
Mayat itu
terlempar, akan tetapi mayat Yan Cu juga ikut terbawa. Ternyata bahwa pelukan
Cong San itu ketat sekali, seolah-olah sampai mati pun dia tak mau melepaskan
isterinya dan lengannya telah menjadi kaku.
"Ha-ha-ha,
mesra-mesra... auggghh..." Ban-tok Coa-ong mencabut pit dari betisnya dan
mengobati lukanya.
"Suhu...!
Subo...! Uhuhuhuh...!" Cui Lin yang masih memondong tubuh In Hong menangis
mengguguk sambil berlutut di atas lantai.
Di luar
pintu tampak Phoa-ma berlutut. Wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak dan
mulutnya mewek-mewek menahan tangis saking ngeri dan takutnya. Dia tadi bersama
Cui Lin berlari-lari pulang ketika mendengar laporan dari seorang tetangga
bahwa di rumah keluarga Theng terdengar ribut-ribut seperti orang berkelahi.
"Hemm,
bocah ini murid mereka, tidak boleh hidup!" Bu Leng Ci berkata dan
samurainya sudah menggetar di tangannya.
"Mo-li,
jangan! Sayang kalau dibunuh begitu saja. Hemm, berikan dia kepadaku sebelum
dibunuh!" Yang berkata demikian adalah Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu.
Bu Leng Ci
membuang ludah. "Cuhh! Laki-laki kotor!"
"Aahhh,
masa kau tidak mau mengalah kepadaku? Kalau mau bunuh bayi itu, bunuhlah, akan
tetapi sayang jika dara ini dibunuh begitu saja. Aku bukan seorang mata
keranjang, akan tetapi melihat kemulusan seperti ini disia-siakan dan dibunuh
tanpa dimanfaatkan, sungguh amat sayang."
Bu Leng Ci
membuang muka dengan sebal, sedangkan Kwi-eng Nio-cu cemberut. Kedua orang
wanita yang sudah banyak melihat kepalsuan laki-laki terhadap wanita ini merasa
muak dan kebenciannya terhadap pria bertambah dengan sikap Si Muka Hitam itu.
Cui Lin yang
mendengar percakapan itu mengangkat mukanya yang pucat, memandang kelima orang
pembunuh keluarganya dan gurunya itu. Dia maklum bahwa melawan akan percuma.
Yang penting sekarang adalah menyelamatkan In Hong.
Perintah
gurunya terakhir adalah menyelamatkan atau melarikan In Hong. Akan tetapi dia
tak dapat lari dan sekarang dia harus menggunakan segala usaha untuk
menyelamatkan puteri gurunya. Dia tidak takut lagi, yang ada hanya benci.
Dendam sedalam lautan yang sulit untuk ditebusnya, mengingat betapa lihainya
kelima orang itu. Akan tetapi kini yang paling penting adalah menyelamatkan In
Hong.
Dia bangkit
berdiri dengan In Hong di pelukannya. Suaranya tidak gemetar takut ketika dia
berkata,
"Ampunilah
anak kecil yang tidak berdosa ini. Aku bersedia mentaati perintah kalian, biar
disuruh mati sekali pun, asal adikku ini diampuni dan dibiarkan pergi bersama
Phoa-ma."
"Ha-ha-ha,
Nona manis, engkau tabah sekali. Benarkah engkau bersedia menuruti semua
kehendakku?" Si Muka Hitam yang buruk rupa itu terkekeh dan bertanya.
"Asal
adikku dibebaskan." Cui Lin mengangguk.
"Anak
itu tentu anak mereka. Dulu orangku mengatakan bahwa ketika mereka menyerbu,
Gui Yan Cu sedang mengandung. Anak ini harus dibunuh, kalau tidak, kelak hanya
akan mendatangkan kerepotan saja," kata Kwi-eng Nio-cu.
Cui Lin
terkejut. Cepat dia memutar otaknya lalu berkata nyaring dengan nada mengejek,
"Aih, orang-orang lihai macam kalian takut kepada seorang anak bayi, takut
kalau kelak membalas dendam? Tak kusangka kalian penakut seperti itu!"
"Budak
hina!" Kwi-eng Nio-cu telah menggerakkan tangan menampar, akan tetapi
Hek-bin Thian-sin sudah meloncat ke depan menghalangi.
"Nio-cu,
dia tidak boleh dibunuh dulu sebelum aku selesai dengannya."
"Kau...
hendak membelanya? Kau kira aku takut kepadamu, Hek-hin Thian-sin?!"
Kwi-eng Nio-cu membentak.
"Takut
atau tidak bukan urusanmu, akan tetapi tadi sudah kunyatakan bahwa aku tidak
ingin melihat gadis ini dibunuh begitu saja."
"Kalau
begitu, majulah!" Si Bayangan Hantu menantang.
"Uhh-uhhh!"
Toat-beng Hoatsu terbatuk-batuk. "Apakah kalian ini anak-anak kecil yang
karena urusan sepele saja hendak saling hantam?"
Ditegur
demikian oleh orang tertua di antara mereka, keduanya mundur lagi, dan Hek-bin
Thian-sin berkata kepada Cui Lin, "Dara manis, siapa takut kepada bocah
itu? Biarkan dia hidup dan belajar seratus tahun, kami tidak akan takut! Siapa
bilang Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu takut akan pembalasan seorang anak bayi?
Entah kalau yang lain takut!"
"Sombong!
Aku pun tidak takut!" Si Bayangan Hantu membentak.
"Hi-hik,
biarkan bayi itu besar, kelak masih belum terlambat kita membunuhnya. Ingin aku
melihat bagaimana dia hendak membalas dendam!" kata pula Bu Leng Ci.
Hek-bin
Thian-sin tertawa bergelak. "Nah, begitu barulah sikap orang gagah! Tidak
takut dan pantang mundur menghadapi tantangan pendendam! Eh, Nona, benarkah kau
akan menurut segala perintahku kalau kami membebaskan bocah itu?"
"Aku
Tan Cui Lin adalah keturunan orang gagah dan murid pendekar perkasa, sekali
bicara tidak akan ditarik kembali!" Cui Lin yang sudah mengambil keputusan
tetap untuk menyelamatkan In Hong sebagai perbuatan terakhir itu menjawab
dengan sikap gagah.
"Ha-ha-ha-ha,
bagus! Kalau begitu, hayo kau tanggalkan semua pakaianmu, bertelanjang bulat di
depan kami!" Hek-bin Thian-sin memerintah.
Dapat
dibayangkan betapa perasaan seorang dara berusia enam belas tahun seperti Cui
Lin mendengar perintah biadab seperti itu. Hampir dia pingsan membayangkan
betapa dia harus menanggalkan semua pakaian di hadapan mereka. Penghinaan yang
tiada taranya bagi seorang dara. Akan tetapi ketekadan bulat didorong putus asa
dan kedukaan melihat semua orang yang dikasihinya tewas, membuat dia menjawab
dengan suara tenang,
"Bebaskan
dulu adikku. Biarkan dia dibawa pergi Phoa-ma. Ehh, Phoa-ma, bawa pergi In
Hong, jaga baik-baik dan hati-hatilah memelihara dia."
Dengan tubuh
menggigil Phoa-ma menerima In Hong dari tangan Cui Lin, memondong bayi itu,
kemudian bergegas pergi keluar dari rumah itu dengan tubuh gemetar.
Sesudah melihat
Phoa-ma pergi tak tampak lagi, Cui Lin melangkah maju dan perlahan-lahan, jari
jemari tangannya mulai menanggalkan pakaiannya, satu demi satu. Ia sengaja
melakukan ini dengan lambat sekali karena dia hendak menarik perhatian mereka
sambil memberi kesempatan kepada Phoa-ma untuk lari jauh di tempat yang aman.
Tidak akan sulit bagi Phoa-ma untuk bersembunyi dan andai kata iblis-iblis ini
melanggar janji, belum tentu mereka akan dapat mencari Phoa-ma di kota sebesar
Tai-goan.
Andai kata
keadaan tidak seperti itu, dan hatinya tidak seduka itu, agaknya sampai mati
pun dia tidak akan sudi menanggalkan pakaian, lebih baik dia mati. Akan tetapi,
perasaan duka membuat perasaan lain membeku, lupa akan rasa malu dan
lain-lainnya, yang ada hanyalah keinginannya untuk menyelamatkan In Hong
didorong perasaan sengsara dan duka.
Kwi-eng
Nio-cu dan Siang-tok Mo-li membuang muka.
"Menyebalkan,
perempuan hina!" Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci berkata.
"Perempuan
tak tahu malu seperti pelacur!" Kwi-eng Nio-cu juga memaki.
Akan tetapi
Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu menonton pertunjukan itu dengan kedua mata
melotot. Makin lambat dara muda itu menanggalkan pakaian, terasa makin menarik
dan menggairahkan, menimbulkan nafsu birahi yang berkobar-kobar. Toat-beng
Hoatsu hanya terbatuk-batuk sama sekali tidak tertarik, juga tidak membenci
pertunjukan yang baginya sudah tidak ada daya penariknya sama sekali itu.
Akan tetapi
Ban-tok Coa-ong juga tertarik dan tersenyum kagum. Betapa hati pria tidak akan
terpesona menyaksikan tubuh dara muda yang ramun itu tampak sedikit demi
sedikit seperti itu?
Akhirnya Cui
Lin sudah menanggalkan seluruh pakaiannya dan berdiri dengan telanjang bulat.
Bagaikan seorang wanita berpengalaman yang biasa menggoda pria, dara remaja
yang masih mentah ini dan yang mendadak menjadi matang karena himpitan duka
itu, mencabut tusuk konde, membiarkan rambut yang hitam panjang itu terurai
lepas di atas kedua pundaknya, sebagian menutupi dadanya yang padat, akan
tetapi bahkan nampak semakin menggairahkan.
"Aduh,
nona manis, engkau hebat sekali!" Hek-bin Thian-sin meraih pinggang dara
itu dan menarik lalu memeluknya. Tanpa malu-malu lagi dia menciumi bibir Cui
Lin.
Dara itu
hampir pingsan. Selama hidupnya belum pernah dia melakukan semua itu dan belum
pernah pula dicium pria, dalam mimpi pun belum. Kini, muka yang hitam kasar itu
menciuminya, membuat dia hampir muntah. Akan tetapi dia segera mengeraskan
hatinya, memejamkan mata agar tidak melihat muka hitam berkilat itu, tangannya
bergerak.
"Manis,
cantik jelita... ahhh... hemm... aughhhh…!" Hek-bin Thian-sin berteriak
dan cepat mengerahkan sinkang ke ulu hatinya, tangannya dengan jari tangan
miring menghantam kepala Cui Lin.
"Trakkk!"
Tanpa dapat
mengeluh lagi, tubuh Cui Lin yang telanjang bulat itu terpelanting dan roboh
dengan kepala retak dan tewas seketika. Hek-bin Thian-sin menyumpah-nyumpah
ketika dari ulu hatinya dia mencabut tusuk konde yang hampir saja membunuhnya
itu. Untung dia cepat-cepat mengerahkan sinkang sehingga tusuk konde itu hanya
masuk sedalam tiga senti saja. Sambil mengobati lukanya dia memaki-maki.
"Perempuan
jahat! Curang! Ahhh, mana anak kecil itu? Harus dibunuh sekali!" teriaknya
sambil mencak-mencak.
Kwi-eng
Nio-cu dan Siang-tok Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati girang sekali.
"Rasakan
kau sekarang, laki-laki kotor!" Bu Leng Ci bersorak.
"Wah,
sayang. Jika tidak mati, mau rasanya aku mengambil dara ini sebagai
murid!" kata Si Bayangan Hantu.
Orang-orang
berkerumun di depan rumah keluarga Kakek Theng ketika lima orang aneh ini meninggalkan
rumah itu. Tadi Phoa-ma yang membawa lari In Hong, setelah tiba di luar dan
bertemu dengan orang-orang, tidak dapat berkata apa-apa kecuali suara lirih,
"Pembunuhan...!
Pembunuhan...!"
Phoa-ma
berkata tanpa berhenti menoleh dan tidak peduli pertanyaan orang, melainkan
terus melarikan diri sambil memeluk anak itu erat-erat. Karena inilah, maka
orang-orang berkumpul di depan rumah itu. Ketika mereka melihat lima orang aneh
itu keluar dengan sikap angkuh dan seenaknya, tidak ada yang berani bertanya,
dan setelah lima orang itu pergi, barulah berbondong-bondong mereka memasuki
rumah.
Dapat
dibayangkan betapa gegernya pada waktu mereka melihat bahwa rumah itu penuh
dengan darah serta mayat berserakan! Mayat-mayat dalam keadaan mengerikan
sekali, terutama Cui Lin yang mati dalam keadaan telanjang bulat dan kepala
pecah!
Banyak yang
tidak kuat menyaksikan dan ada yang jatuh pingsan, ada pula yang jatuh berlutut
karena kedua kaki terasa lemas dan lumpuh. Akan telapi ada beberapa orang yang
cepat berlari keluar untuk mengejar lima orang aneh itu.
Setibanya di
luar, tidak ada nampak bayangan seorang pun di antara dua orang wanita dan tiga
orang kakek yang menyeramkan tadi. Tentu saja mereka segera berlari melapor
kepada yang berwajib dan gegerlah kota Tai-goan, apa lagi karena Kakek Theng
terkenal sebagai orang terhormat, bekas pengawal kaisar!
"Kejam
sekali!"
"Bukan
manusia!"
"Lebih
kejam dari pada iblis!"
Demikian
komentar para penduduk Tai-goan. Dan agaknya ada pula para pembaca yang memberi
komentar seperti itu.
Kejamkah
Lima Datuk kaum sesat itu? Tentu saja kejam sekali. Akan tetapi marilah kita
menyelidiki keadaan kita manusia hidup ini. Bukankah dengan cara masing-masing
serta menurutkan pendapat masing-masing, kita ini juga merupakan orang-orang
yang kejam? Mari kita tengok di sekeliling kita. Bukankah hidup manusia penuh
dengan segala macam kejahatan?
Pembunuhan
terjadi di mana-mana. Ada pembunuhan karena perkelahian, juga karena iri, karena
perampokan, karena kebencian, karena permusuhan dan lain sebagainya. Banyak
pula pembunuhan massal karena perang. Perang antar bangsa yang pada hakekatnya
mencerminkan perang dan pertentangan antar kelompok, antar perorangan, dan
akhirnya bersumber pada pertentangan dalam diri kita masing-masing!
Tidak
kejamkah kita kalau kita mengiri kepada atasan dan menghina kepada bawahan?
Kalau kita suka kepada yang baik dan jijik terhadap yang buruk, termasuk
manusia? Tidak kejamkah kita kalau milik kita berlimpah dan berlebihan tetapi
hati kita tidak terusik sama sekali melihat sesama manusia kurang makan kurang
pakaian dan tiada tempat tinggal seperti kaum jembel dan gelandangan? Tidak
kejamkah kita jika untuk sebuah kedudukan saja kita sampai hati untuk saling
jegal, saling fitnah, saling benci, dan saling bunuh?
Kalau kita
mau belajar mengalihkan pandangan kita ke dalam diri sendiri, mau mengenal
keadaan hati dan pikiran sendiri secara jujur, akan tampaklah bahwa selain
kejam, kita pun munafik-munafik besar. Mulut bicara tentang saling kasih antar
manusia, namun mata memandang penuh rasa iri dan benci, tangan dikepal siap
saling hantam, hanya untuk memperebutkan uang, kedudukan, nama dan juga
memperebutkan kebenaran yang tidak lain hanyalah kebenaran diri sendiri
masing-masing dan karenanya menjadi kebenaran palsu.
Mari kita
ingat betapa kejamnya kita ini! Digigit seekor nyamuk ingin membunuh semua
nyamuk, berdasarkan dendam dan kebencian. Berdasarkan jijik dan takut akan
terkena penyakit, kalau bisa semua lalat hendak dibasmi! Berdasarkan nafsu
makan enak yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesehatan, kita
membunuh segala binatang untuk kita makan bangkainya. Apakah kita tidak kejam?
Apakah alasan bahwa ‘semua itu sudah umum’ dapat dipakai untuk menghapus
kekejaman ini?
Dapatkah
kita berusaha menghapus kekejaman? Dengan ilmu apa pun tidak akan dapat! Karena
keadaan bebas dari kekejaman bukanlah keadaan yang dibuat dan diusahakan. Orang
tidak akan mungkin dapat berhasil kalau dia berusaha menjadi orang baik!
Usaha
menjadi baik hanya menjadikan orang munafik yang merasa diri baik, dan segala
usaha dan keinginan selalu mengandung pamrih atau tujuan yang semuanya
bersumber kepada keuntungan lahir mau pun batin bagi diri pribadi. Kekejaman
akan terhapus apa bila kita mengerti sampai ke akarnya kenapa kita kejam, apa
bila kita mengenal keadaan diri kita pribadi, mengenal gerak pikiran dan hati
kita pribadi.
Marilah kita
bersama memulai dari detik ini juga. Karena hidup adalah dari detik ke detik.
Hidup adalah sekarang ini. Perubahan adalah saat ini, bukannya ingin mengubah
namun perubahan yang terjadi harus dengan sendirinya sesudah kita membuka mata,
waspada penuh kesadaran tentang keadaan kita lahir batin, keadaan sekeliling
kita.
Apa itu
kemarin? Sudah lalu! Hanya menimbulkan kenangan yang mengeruhkan pikiran. Apa
itu besok? Bukan urusan kita! Hanya menimbulkan bayangan khayal yang kemudian
melahirkan kekhawatiran dan ketakutan. Yang penting sekarang, saat ini!
***************
Marilah kita
kembali ke Siauw-lim-si. Di kuil itu telah dipersiapkan untuk menerima tamu
yang diduga tentu akan membanjiri kuil itu untuk memberi penghormatan terakhir
kepada jenazah Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio.
Yap Kun
Liong masih berada di kuil itu karena dia hendak membantu sampai upacara
pembakaran jenazah dan penguburan selesai. Selain ini, dia pun hendak menanti
ayah bundanya karena menduga bahwa sekali ini ayah bundanya pasti akan datang
ke Siauw-lim-si.
Tiong Pek
Hosiang adalah guru ayahnya, mustahil ayahnya tidak datang bila mendengar
gurunya meninggal dunia. Dan ayahnya pasti akan mendengarnya karena berita ini
tentu tersiar luas di kalangan kang-ouw. Juga dia ingin bertemu dengan
tokoh-tokoh kang-ouw yang diduga akan membanjiri kuil itu.
Kasihan
sekali pemuda ini. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa ayah bundanya yang
dirindukannya itu sudah tewas kurang lebih tiga tahun yang lalu!
Kun Liong
merasa gembira sekali melihat tokoh-tokoh kang-ouw mulai berdatangan. Dia kini
telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh tegap dengan
dada bidang penuh kesehatan dan kekuatan. Wajahnya tampan dan kepala gundulnya
sama sekali tidak menyuramkan ketampanan wajahnya bahkan memberi ciri
ketampanan yang khas!
Sinar
matanya berubah-ubah, kadang--kadang lembut seperti mata kanak-kanak,
kadang-kadang bersinar tajam dan keras. Mata itu lebar, sesuai dengan dahinya
yang lebar dan kepalanya yang bulat. Alisnya hitam tebal dan berbentuk golok,
hidungnya mancung dan mulut serta dagunya membayangkan watak kuat dan kemauan
membaja.
Perangainya
juga aneh dan berubah-ubah. Kadang-kadang dia pelamun, pendiam seperti orang
pemurung, akan tetapi ada kalanya dia lincah jenaka penuh kegembiraan dan kalau
sudah begini, muncul pula kenakalannya seperti ketika masih kanak-kanak.
Karena dia
berdiri seperti orang berjaga di ruangan tamu di mana Ketua Siauw-lim-pai
sendiri menerima tamu, maka dengan jelas dia dapat melihat tokoh-tokoh kang-ouw
yang namanya disebut setiap kali menghadap Ketua Siauw-lim-pai kemudian
bersembahyang di depan kedua peti jenazah. Yang datang adalah tokoh-tokoh
besar, utusan partai-partai Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain
partai persilatan yang terkenal. Juga banyak dari perkumpulan-perkumpulan
silat, dari perorangan yang telah mengenal pribadi kedua orang tokoh
Siauw-lim-pai yang meninggal dunia atau yang hanya datang untuk menghormati
Siauw-lim-pai. Akan tetapi hatinya sangat kecewa karena dia tidak melihat ayah
bundanya.
"Locianpwe,
mengapa ayah bunda teecu belum juga tiba?" akhirnya dia tidak sabar lagi,
bertanya lirih kepada Thian Kek Hwesio.
Hwesio ketua
Siauw-lim-pai ini menarik napas panjang. "Ayahmu bukan lagi murid Siauw-lim-pai,
andai kata berhalangan datang pun tidak mengapa. Lihat, itu Cia-taihiap
datang!" Hwesio tua itu bangkit berdiri menyambut dengan wajah berseri.
Mendengar
disebutnya Cia-taihiap, jantung Kun Liong berdebar keras dan cepat-cepat dia
mengangkat muka memandang. Sinar matanya berseri dan dia menahan senyumnya saat
dia mengenal dara cantik jelita dan gagah perkasa yang berjalan di belakang
suami isteri setengah tua itu. Mana mungkin dia pangling? Wajah itu masih sama
cantik jelita dan berseri-seri penuh kenakalan seperti dahulu, bahkan makin
cantik dan matang! Cia Giok Keng, siapa lagi?
Dara itu pun
memandang kepadanya, kelihatan terkejut dan terheran yang dapat dilihat dari
diangkatnya sepasang alis yang seperti bulan muda itu. Sepasang mata yang
jernih itu berkilat, akan tetapi dara itu segera membuang muka mengalihkan
pandang dengan alis berkerut!
Hampir saja
Kun Liong tertawa karena dia teringat dengan pertemuannya yang pertama dahulu
dengan gadis itu. Mengertilah dia bahwa gadis itu tentu merasa khawatir melihat
Kun Liong di situ, khawatir kalau-kalau pemuda ini akan membuka rahasianya
dahulu, akan wataknya yang buruk menyambut tamu dengan kurang ajar!
Teringat
ini, Kun Liong tersenyum penuh kemenangan. Sedikitnya, ada sesuatu yang dia
kuasai, yang membuat dara itu tidak akan berani lagi berkurang ajar seperti
dahulu, atau memandang rendah kepadanya!
Bagaimana
Giok Keng dapat muncul di Siauw-lim-si? Seperti telah diceritakan di bagian
depan, dara ini disuruh menjaga adiknya di Cin-ling-pai. Akan tetapi, dasar
anak manja, sehari kemudian setelah ayah bundanya pergi, dia tidak dapat lagi
menahan keinginannya untuk pergi.
Karena gadis
ini melakukan perjalanan mengejar ayah bundanya dengan sangat cepat, maka tiga
hari kemudian dia dapat menyusul mereka.
Cia Keng
Hong akan menegur, akan tetapi kembali isterinya yang membela anaknya.
"Dia
sudah menyusul, biarlah dia ikut dengan kita."
"Hmm...
disuruh menjaga rumah malah nekat menyusul! Seperti anak kecil saja engkau,
Keng-ji!"
Giok Keng
memegang lengan ayahnya dan berkata halus manja, "Maaf, Ayah. Saya ingin
sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw untuk menambah pengalaman."
"Hemm...!"
Terpaksa Keng Hong tidak melarang lagi dan berangkatlah mereka ke Siauw-lim-si
bertiga.
Setelah
melalui basa-basi upacara penyambutan di mana Thian Kek Hwesio Ketua
Siauw-lim-pai mengucapkan selamat datang dan pendekar sakti itu menyatakan duka
cita atas kematian Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio, suami isteri dan
puterinya itu lalu memberi hormat dengan memasang hio (dupa wangi) dan
bersembahyang di depan peti mati. Kemudian mereka bertiga dipersilakan duduk di
tempat kehormatan sejajar dengan beberapa orang ketua partai yang berkenan
hadir dan tidak mewakilkan kepada murid-muridnya.
Kun Liong
memperhatikan dengan pandang matanya. Pendekar sakti yang amat dikagumi dan
dijunjung tinggi oleh ayah dan ibunya itu kelihatan seperti seorang laki-laki
sebaya dengan ayahnya sekarang, setengah tua dan pakaiannya sederhana sekali.
Sama sekali tak seperti para ketua partai yang datang diiringkan anak buahnya
yang membawa-bawa bendera tanda partai segala. Ketua Cin-ling-pai ini datang
seperti orang biasa bersama isteri dan puterinya.
Pakaiannya
bagai sastrawan sederhana atau lebih tepat seperti seorang petani terpelajar,
tidak membawa senjata dan kelihatannya biasa saja. Tubuhnya memang tegap
berisi, wajahnya tampan dan kumis serta jenggotnya pendek, masih hitam semua.
Wajah itu
membayangkan kesabaran, dan hanya sepasang alisnya yang membayangkan kegagahan,
alis yang tebal dan bentuknya kereng. Rambutnya masih hitam, digelung ke atas
dan diikat dengan sapu tangan sutera berwama kuning tua. Bajunya yang longgar
berwarna kuning muda dan celananya hitam, ikat pinggangnya juga kuning tua.
Sungguh di
luar perkiraan Kun Liong yang membayangkan supek-nya itu sebagai seorang tokoh
yang hebat dan luar biasa! Kiranya seorang yang sederhana sekali, baik pakaian,
gerak-gerik mau pun sikapnya.
Isterinya
lebih istimewa lagi. Cantik dan penuh semangat, pakaiannya serba putih dengan
hiasan warna merah dan biru di sana sini, sikapnya agak dingin namun justru
menambah kekerengannya.
Pribadi
nyonya ini jelas membayangkan kegagahan penuh, yang membuat orang merasa
sungkan dan jeri untuk berurusan dengannya. Sambaran sinar matanya penuh
wibawa. Melihat wajah nyonya ini, Kun Liong mendapat kenyataan betapa Giok Keng
mirip ibunya, cahtik, gagah, dan jelas menonjol sifat terbuka dan penuh
keberanian.
Dengan
jantung berdebar Kun Liong melangkah perlahan, menghampiri Cia Keng Hong yang
duduk dengan tenang sambil memandang para tamu yang baru saja datang dan
bersembahyang. Pemuda ini melihat betapa Giok Keng menengok padanya dan kembali
alis dara itu berkerut, sinar matanya menyambar penuh peringatan! Hal ini
terasa sekali oleh Kun Liong sehingga tanpa disadarinya, kepalanya yang gundul
itu mengangguk! Dan dia tersenyum ketika melihat dara itu sekilas tersenyum,
kelihatan lega!
"Maafkan
apa bila teecu mengganggu, Supek. Teecu adalah Yap Kun Liong, dan merasa
berbahagia sekali mendapat kesempatan berjumpa dengan Supek berdua
Supek-bo." Dia berlutut di depan Keng Hong dan Biauw Eng.
Keng Hong
dan Biauw Eng terbelalak memandang kepala yang gundul itu karena ketika pemuda
itu berlutut dan menundukkan muka, yang tampak hanya kepalanya yang gundul
licin saja!
"Apa...?
Siauw-suhu (Bapak Pendeta Muda)...?"
Telinga Kun
Liong menjadi merah ketika menangkap suara ketawa ditahan dari sebelah kiri,
Cia Giok Keng yang menahan ketawa itu, tak salah lagi!
"Supek,
teecu bukan hwesio biar pun kepala teecu gundul. Teecu Yap Kun Liong..."
Keng Hong
memegang pundak pemuda itu. Kun Liong mengangkat muka dan melihat betapa wajah
yang tampan dan gagah itu diliputi keharuan.
"Engkau
putera Yan Cu...?" Biauw Eng juga berseru lirih.
Keng Hong
memberi isyarat kepada isterinya dan puterinya, kemudian dia bangkit berdiri.
"Bawa kami ke tempat sunyi agar leluasa bicara."
Kun Liong
mengangguk dan mendahului pergi ke ruangan samping yang sunyi. Ketua
Siauw-lim-pai melihat ini, akan tetapi hanya tersenyum saja karena dia maklum
betapa pentingnya pertemuan antara paman guru dengan murid keponakan itu.
Sesudah tiba di tempat sunyi itu, Keng Hong memegang lengan Kun Liong dan
memandang dengan sinar mata tajam.
"Benarkah
engkau Yap Kun Liong? Di mana ayah bundamu?"
Kun Liong
menunduk dan menarik napas panjang kemudian menggeleng kepalanya yang gundul,
"Teecu tidak tahu, Supek. Sudah sepuluh tahun ini teecu tidak berjumpa
dengan mereka."
Biauw Eng
melangkah ke depan, kedua tangannya yang halus kulitnya itu meraba dagu Kun
Liong, mengangkat muka pemuda yang menjadi kaget dan terheran itu. "Dia
memang putera mereka. Lihat!" Biauw Eng menggunakan telapak tangan kanan
menutupi bagian atas dari muka Kun Liong, memperlihatkan hidung dan mulutnya
saja.
"Persis
Yan Cu sumoi!" Keng Hong berseru kagum.
"Dan
lihat ini!" Sekarang tangan Biauw Eng menurun dan menutupi bagian bawah
muka pemuda itu.
"Benar!
Mata dan dahi itu persis Cong San, hanya bedanya dia gundul. Eh, Kun Liong, ke
mana saja engkau pergi? Kenapa kepalamu gundul? Hemmm... agaknya engkau menjadi
korban hawa beracun! Dan bagaimana pula sampai sepuluh tahun engkau tidak
berjumpa dengan ayah bundamu?"
"Panjang
sekali ceritanya, Supek." Kun Liong menarik napas panjang dan melirik ke
arah Giok Keng. Kalau dia menceritakan pengalaman-pengalamannya, apakah dia
tidak harus bercerita tentang kunjungannya ke Cin-ling-san?
Gerakan ini
dianggap oleh Keng Hong bahwa pemuda itu sungkan bercerita karena di situ ada
Giok Keng yang tentu disangka orang lain karena belum diperkenalkan.
"Kun
Liong, dia ini bukan orang lain, dia adalah puteri kami, bernama Giok Keng.
Keng-ji (Anak Keng), ini adalah Yap Kun Liong, putera pamanmu Yap Cong San
seperti yang telah kami ceritakan kepadamu. Dia lebih tua darimu."
"Glok
Keng, beri salam kepada kakakmu!" Biauw Eng berkata.
Biar pun
hatinya tidak suka karena dia masih curiga kalau-kalau pemuda gundul itu akan
membuka rahasia kesalahannya lima tahun yahg lalu, terpaksa Giok Keng
mengangkat kedua tangan dengan kaku dan berkata lirih, "Liong-ko (Kakak
Liong)!"
Kun Liong
cepat membalas penghormatan itu sambil tersenyum. "Keng-moi (Adik Keng),
maafkan tadi aku diam saja karena tidak mengenal engkau siapa."
Ucapan pemuda
ini seketika membuat wajah Giok Keng menjadi berseri gembira karena hatinya
lega. Setelah mengatakan tidak mengenal berarti pemuda itu akan merahasiakan
pertemuan mereka lima tahun yang lalu. Karena itu dengan ramah dan juga
tersenyum dia menjawab, "Tidak mengapa, Liong-ko. Akulah yang seharusnya
menyapa lebih dulu."
Atas desakan
Keng Hong dan Biauw Eng yang ingin sekali mendengar apa yang sudah dialami
pemuda itu, Kun Liong lantas menuturkan dengan singkat semua pengalamannya
semenjak anjing peliharaannya menumpahkan obat dan karena takut dia melarikan
diri sampai berturut-turut terjadi hal-hal hebat yang menimpa dirinya sehingga
dia makin tidak berani pulang. Dia juga menceritakan betapa dia diambil murid
oleh Bun Hwat Tosu dan dipesan agar jangan mempergunakan nama kakek itu sebagai
gurunya.
"Hanya
kepada Supek, dan Supek-bo, juga Adik Giok Keng, saya berani
menceritakan," sambungnya. Dia tidak menceritakan mengenai bokor emas, dan
juga beberapa hal yang dianggapnya kurang perlu, di antaranya kenakalannya yang
menyebabkan kebakaran dan lain-lain, tidak diceritakannya!
"Kau
beruntung sekali dapat menjadi muridnya sampai lima tahun!" Keng Hong
berseru girang.
Kun Liong
melanjutkan penuturannya, betapa dia kembali ke Leng-kok akan tetapi tidak
dapat berjumpa dengan ayah bundanya yang sudah melarikan diri menjadi orang
buruan karena telah berani menentang Ma-taijin.
"Hemm,
kurasa sekarang manusia busuk she Ma itu tidak akan berani banyak tingkah lagi
sesudah kuhancurkan sebelah telinganya!" Biauw Eng berkata sehingga Kun
Liong amat terkejut.
"Supek-bo
melakukan hajaran itu karena ayah ibu?" tanyanya.
Biauw Eng
mengangguk. "Mestinya engkau yang melakukannya, karena lima tahun yang
lalu mungkin engkau masih terlalu muda, aku mewakilimu."
"Ahh,
Supek-bo, Terima kasih atas pembelaan Supek-bo, akan tetapi teecu rasanya tidak
akan mau melakukan hal itu."
"Kenapa?
Kau takut?" Biauw Eng bertanya dengan kening berkerut penuh kecewa.
"Teecu
tidak takut apa-apa, hanya... teccu tidak akan menggunakan kekerasan ilmu silat
untuk memukul orang..."
Keng Hong
dan Biauw Eng terbelalak dan saling pandang, sedang Giok Keng tersenyum mengejek.
Ketika Biauw Eng yang penasaran hendak membantah, dia sudah didahului Keng
Hong.
"Lanjutkan
ceritamu, Kun Liong. Setelah tidak bertemu dengan orang tuamu, apakah kau tidak
mencari mereka? Mengapa? Kalau ada ibumu, agaknya kepala gundulmu itu dapat
disembuhkan dan dapat tumbuh rambut. Kenapa pula kau bisa berada di sini?"
"Teecu
telah berusaha mencari mereka, akan tetapi sia-sia belaka. Akhirnya teecu pergi
ke Siauw-lim-si dan secara kebetulan sekali teecu diambil murid oleh mendiang
sukong Tiong Pek Hosiang selama lima tahun."
"Apa?"
Kembali Keng Hong dan Biauw Eng sangat terkejut. "Bukankah beliau selama
itu mengurung diri dalam Ruang Kesadaran?"
Kun Liong
lalu menceritakan pengalamannya sampai dia bisa menjadi murid sukong-nya
sendiri. Keng Hong mendengarkan penuh kagum dan diam-diam dia memuji nasib baik
bocah ini yang secara kebetulan saja digembleng oleh dua orang paling sakti di
dunia ini pada jaman itu!
"Hemm,
jadi yang membuatmu keracunan sampai gundul begini adalah Ban-tok Coa-ong dan puteranya?
Dia adalah seorang di antara Lima Datuk kaum sesat! Lalu, sesudah selesai
upacara penyempurnaan jenazah Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio, apa yang
hendak kau lakukan, Kun Liong? Engkau hendak pergi ke mana?"
"Teecu
belum tahu harus pergi ke mana. Yang jelas teecu akan mencari ayah dan ibu,
juga berusaha mencari dua buah pusaka Siauw-lim-si yang hilang seperti
dipesankan oleh mendiang Sukong."
"Tapi,
kalau betul dugaan Ketua Siauw-lim-pai bahwa yang mencuri adalah orang-orang
dari Kwi-eng-pang, berbahaya sekali kalau kau pergi ke sana. Si Bayangan Hantu,
ketua Kwi-eng-pang adalah seorang lihai, seorang di antara Lima Datuk kaum
sesat."
"Teecu
tidak takut, Supek. Teecu harus mencarinya dan dapat membawanya kembali ke sini
untuk membalas budi kebaikan mendiang Sukong."
"Bagus!
Begitu baru pantas menjadi putera Yap Cong San dan Gui Yan Cu sumoi. Akan
tetapi, sebelum berangkat biarlah kulihat dahulu sampai di mana tingkat
kepandaianmu, kalau perlu biar kutambah untuk bekal."
Kun Liong
menghaturkan terima kasihnya. Keng Hong lalu mengajak mereka kembali ke ruangan
tamu. Akan tetapi Giok Keng berkata,
"Ayah,
karena Liong-ko adalah orang dalam kuil ini, saya ingin sekali melihat-lihat
kuil yang disohorkan amat besar dan indah ini. Juga saya ingin melihat Ruang
Kesadaran di mana mendiang Tiong Pek Hosiang bertapa dan di mana Liong-ko
digembleng selama lima tahun."
Keng Hong
mengerutkan alisnya, akan tetapi Biauw Eng mendahuluinya. "Pergilah, dan
kau yang ceritakan kepada kakakmu tentang keadaan kita selama ini agar dia
mengetahui bahwa aku dan ayahmu sudah berusaha pula mencari orang tuanya."
Sesudah
berkata demikian, Biauw Eng mengajak suaminya kembali ke tempat tadi. Ada pun
Giok Keng dan Kun Liong berjalan keluar memasuki kebun di samping kuil.
"Dia
cukup tampan dan gagah, bukan? Kalau saja Keng-ji dan dia dapat saling
cocok..." Biauw Eng berkata lirih setelah mereka duduk berdampingan di tempat
tamu tadi. Hatinya sudah ingin sekali mempunyai seorang mantu, mengingat bahwa
usia puterinya itu sudah sembilan belas tahun. Sudah perawan tua menurut ukuran
waktu itu!
"Tapi...
tapi..."
"Tapi
apa?" Biauw Eng mendesak dan melirik ke arah suaminya.
"Dia...
ehh, kepalanya gundul. Bagaimana kalau sampai selamanya tetap gundul seperti
hwesio?"
"Hemmm,
heran sekali aku, masa engkau meributkan soal kepala gundul atau berambut
gondrong! Tidak biasanya engkau seperti ini. Pula, bukankah engkau masih menyimpan
kitab ilmu pengobatan peninggalan gurumu yang kau temukan di Cin-ling-san pada
waktu membangun pondok itu? Apa bila kau berikan kitab itu kepadanya, tentu dia
akan dapat mencari obatnya sendiri. Suamiku, apa sesungguhnya yang membuat kau
kecewa? Aku yakin bukan soal kepala gundul!" Biauw Eng mendesak. Dia sudah
mengenal betul watak suaminya.
Keng Hong
menarik napas panjang. "Betapa mungkin bagiku menyembunyikan sesuatu
darimu? Sebenarnya, aku agak kecewa mendengar pernyataannya tadi bahwa dia
tidak suka menggunakan ilmu silat untuk memukuli orang. Kurasa ucapan itu
timbul dari hati penakut dan watak yang lemah. Benar-benar aku tidak
suka!"
"Hemm,
suka atau tidak, bukankah yang kita pentingkan adalah perjodohan Giok Keng?
Biarkan dia yang menentukan, bukan kita karena dialah yang akan melaksanakan,
untuk selamanya, yang akan mengalami baik buruknya, suka dukanya."
Keng Hong
menarik napas panjang. "Mudah-mudahan dugaanku itu keliru."
Mereka tidak
melanjutkan percakapan itu karena merasa kurang leluasa setelah kini tamu
berdatangan dan banyak yang duduk dekat mereka…..
***************
Setelah
mereka berdua memasuki kebun, Giok Keng berkata, "Kun Liong, kau baik
sekali tidak..."
Kun Liong
memandang dengan mata melotot dibesarkan, mulut cemberut dan menegur, "Eh,
berani kau menyebut namaku begitu saja? Kalau aku mengutukmu, kau bisa menjadi
kelelawar!"
"Habis,
bukankah namamu Kun Liong?"
"Siapa
menyangkal? Akan tetapi kau juga tidak bisa menyangkal bahwa aku lebih tua dari
pada engkau dan tadi pun kau sudah menyebutku koko. Kau bilang aku baik karena
tidak membuka rahasiamu di depan ayah bundamu, akan tetapi beginikah
balasannya? Kau menyebutku begitu saja seolah-olah kau yang lebih tua!"
Kun Liong tidak marah sungguh-sungguh, hanya untuk menggoda saja karena
dilihatnya bahwa dara ini masih lincah dan nakal! "Ataukah barang kali aku
tidak perlu membohong kepada Supek? Untuk mengaku tentang pertemuan kita dahulu
itu sekarang pun masih belum terlambat!" Kun Liong lalu membalikkan tubuh
seolah-olah hendak pergi menemui supek-nya.
"Eh,
eh... nanti dulu, Kun... ehh, Liong-koko! Maafkan aku, aku terima salah.
Biarlah aku menyebutmu koko! Nah, kau dengar? Koko! Koko! Koko!"
Kun Liong
tertawa dan kembali ke depan dara itu yang sudah cemberut. "Kau ceriwis
dan manja sekali, ah! Benci aku melihatmu! Urusan dulu itu hendak kau pakai
untuk memeras aku selamanya ya? Awas kau, kalau keterlaluan sampai aku
kehabisan kesabaran, sekali ini aku tidak hanya merobohkan engkau, tetapi akan
kuketuk kepala gundulmu itu sampai retak!"
"Wah,
jangan marah, dong, Moi-moi yang baik. Kau manis sekali, tahukah kau? Cantik
bagaikan bidadari, seperti dalam dongeng yang pernah kubaca, tentang dewi yang
turun dari kahyangan melalui tangga pelangi!"
"Kau
mengejek ya?"
"Sungguh
mati disumpah tujuh kali pun mau! Kau memang cantik sekali, Moi-moi. Bukan
mengejek bukan apa, akan tetapi secara jujur. Biar aku bersumpah demi langit
dan bumi bahwa kau memang cantik jelita. Hemmm..."
"Hemm
apa?!" Giok Keng membentak, akan tetapi sebenarnya hatinya berdebar girang
bukan main. Kalau lain orang yang memujinya seperti itu, apa lagi kalau orang
itu laki-laki, tentu akan dianggapnya kurang ajar dan bisa dibunuhnya! Akan
tetapi sikap Kun Liong yang jujur dan sama sekali tidak menjilat itu
mendatangkan kesan lain!
"Ehhh,
aku hanya mau bilang bahwa... selama ini aku tidak pernah dapat melupakanmu,
maka begitu tadi kau muncul, aku terus saja mengenalmu. Yang selalu terbayang
olehku adalah..."
"Apa?
Mengapa bicara putus-putus begitu? Jangan main gila, ya?" Giok Keng
pura-pura marah untuk menutupi kegirangan dan kebanggaan hatinya.
"Yang
tidak pernah kulupakan adalah ketika kau dahulu... menempiling kepalaku tiga
kali! Ha-ha-ha!"
Merah kedua
pipi dara itu. Dahulu itu dia sama sekali bukan menempiling, tetapi hanya
menyentuh saja setelah dia ketakutan setengah mati,.
"Aku
pun tidak dapat lupa kepadamu, terutama... kepalamu."
"Gundul
ini? Ha-ha-ha, memang di dunia tidak ada keduanya, ya?"
Giok Keng
cemberut, lantas menjebikan bibirnya yang merah. "Kau memang manja dan
ceriwis sekali. Kau tadi bilang kalau mengutuk aku maka aku bisa menjadi
kelelawar. Apa maksudmu?"
Kun Liong
tertawa, tertawa bebas dan inilah yang menambah daya tarik pribadinya, tidak
ada pura-pura, tidak ada penahanan diri, bebas dan wajar. "Kau tahu
bagaimana kalau kelelawar tidur? Kakinya tergantung, kepala di bawah, bukan?
Nah, apa bila kau berani kepada aku yang lebih tua, yang mesti kau panggil
kakak, maka kau bisa kualat, seperti kelelawar tidur, kaki di atas kepala di
bawah!"
"Huhh!"
Giok Keng menampar pundak Kun Liong, tamparan main-main, akan tetapi Kun Liong
yang kena ditampar pundaknya mengaduh-aduh.
"Aduhhh...
aduhhh...!"
"Ehh?!"
Giok Keng amat khawatir dan terbelalak. "Aku tidak menggunakan sinkang,
masa sakit?"
Kun Liong
menghentikan aksinya kesakitan. "Untunglah kau tidak mengerahkan tenaga,
kalau demikian, bukankah aku akan menderita nyeri sekali?"
Giok Keng
merasa dipermainkan dan mendongkol. "Dasar sinting!"
Kun Liong
tertawa. "Entah mengapa, biasanya aku tidak begini, Moi-moi. Bila berada
di dekatmu aku merasa gembira sekali dan ingin bersenda gurau saja. Rasanya aku
seperti mau bernyanyi-nyanyi, mau menari-nari!"
"Engkau
bisa gila kalau terus begini. Ehh, Kun Liong... Koko! Kenapa sih kau suka
sekali disebut Koko olehku?"
"Tentu
saja. Engkau anak tunggal, aku pun juga. Engkau tidak punya kakak, dan aku
tidak punya adik, sudah sepatutnya..."
"Ngawur!
Aku bukan anak tunggal! Aku mempunyai seorang adik laki-laki bernama Cia Bun
Houw, sekarang sudah empat tahun usianya."
"Benarkah?
Mana dia?"
"Di
rumah. Di Cin-ling-san. Hemmm, aku sampai lupa menceritakan kepadamu keadaan
kami seperti dipesan ibu tadi." Gadis itu bersama Kun Liong duduk di atas
bangku dan mulailah dia menceritakan keadaan keluarga Cia itu dengan singkat.
Mendengar
penuturan ini, Kun Liong teringat akan keadaan keluarganya sendiri. Seketika
lenyaplah kegembiraannya bagai awan tipis yang ditiup angin. Wajahnya menjadi
muram, matanya sayu dan dia mendadak menjadi pendiam.
Perubahan
sembilan puluh derajat (bumi langit) ini mengherankan Giok Keng yang telah
selesai bercerita. "Ihh, kau kenapa? Kok suram muram seperti lampu
kehabisan minyak?"
Kelakar Giok
Keng yang juga mempunyai watak lincah gembira itu tidak membuyarkan kedukaan
hati Kun Liong.
"Aku
teringat akan ayah bundaku. Sudah sepuluh tahun tidak berjumpa. Harapan
terakhir di sini, akan tetapi mereka tak juga muncul. Aku khawatir sekali,
jangan-jangan ada mala petaka menimpa mereka."

Giok Keng
mengerutkan alis, seketika dia pun tidak bernafsu untuk main-main lagi karena
merasa turut khawatir dan berduka. Entah mengapa, menghadapi sikap Kun Liong
yang tidak pura-pura, wajar dan seadanya itu, dia jadi mudah terseret. Kini dia
merasa kasihan sekali dan tanpa disadarinya, tangannya memegang lengan Kun
Liong sambil berkata,
"Ayah
bundamu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, mala petaka
apa yang dapat menimpa mereka? Tidak perlu khawatir, Liong-ko."
"Aihhh,
kau tidak tahu, Moi-moi. Baru berurusan dengan pembesar rendah Ma-taijin saja
mereka sudah terpaksa harus menjadi pelarian. Dunia sudah kotor dengan polah
tingkah manusia-manusia yang menyalah gunakan kedudukan atau kekuatannya."
Sampai lama
mereka terdiam dan sama sekali tidak sadar bahwa tangan kiri Giok Keng memegang
lengan kanan Kun Liong dan ketika menjawab tadi Kun Liong menumpangkan tangan
kirinya di atas punggung tangan kiri dara itu!
"Ihhh...!"
Tiba-tiba Giok Keng merenggutkan tangannya dan meloncat berdiri, memandang Kun
Liong dengan muka kemerahan.
"Lho,
kenapa?" Kun Liong juga kaget, seketika kedukaannya buyar.
"Kenapa
kau memegang tanganku?"
"Hehhh...?!"
Kun Liong bengong, lalu teringat dan sesudah kedukaannya membuyar, dia tertawa
geli dan sifatnya suka menggoda kembali timbul. "Kau juga memegang
lenganku sejak tadi tidak apa-apa, tetapi kalau aku memegang tanganmu sebentar
saja, kau sudah mencak-mencak. Apakah tanganku kotor? Apakah bau?" Kun
Liong lalu mencium telapak tangannya sendiri, lalu mengangguk-angguk dan
berkata, "Memang bau...!"
"Huh!
Pantas! Menjijikkan, tangannya bau...!"
"Wangi!
Bau wangi kataku! Tentu saja pantas, dan sama sekali tidak menjijikkan."
"Bohong!
Masa tanganmu bau wangi?"
"Ehh,
tidak percaya? Boleh cium sesukamu!" Dia mengulur tangannya.
"Tidak
sudi! Ehh, kenapa kau seperti orang sinting menggoda aku? Bukankah kau mau
memperlihatkan kuil ini dan Ruang Kesadaran kepadaku?"
"Wah,
sampai lupa kita! Bukan aku saja yang lupa, kau juga, jadi sama-sama.
Mari...!"
Mereka
berjalan menuju ke bagian belakang kuil. Di situ amat sunyi karena semua hwesio
sedang berkumpul di tempat upacara sembahyang, dan baru siap-siap untuk
melakukan upacara memperabukan jenazah di tempat yang telah disediakan khusus,
yaitu di sebuah puncak bukit.
Mereka
berjalan perlahan-lahan dan Kun Liong membawa gadis itu melihat-lihat ruangan
perpustakaan, ruangan sembahyang dan bagian-bagian lain di dalam kuil besar itu
yang memang sangat megah dan indah, juga tampak aneh bagi Giok Keng yang belum
pernah melihatnya.
Setelah
mereka meninjau Ruang Kesadaran yang kini terbuka dan bukan menjadi tempat
larangan lagi, hati Kun Liong terharu. Melihat kamar di mana dia hidup selama
lima tahun bersama Tiong Pek Hosiang menimbulkan kenangan yang menggores kalbu.
Giok Keng
merasa ngeri mengenangkan betapa Kun Liong harus tinggal di dalam kamar itu
selama lima tahun, apa lagi Tiong Pek Hosiang yang telah bertapa di kamar itu
selama dua puluh tahun! Seperti orang hukuman saja! Ia bergidik dan cepat-cepat
mengajak Kun Liong meninjau tempat lain.
Tampak asap
mengebul di atas bukit di belakang kuil.
"Pembakaran
jenazah telah dimulai," kata Kun Liong. "Apakah kau tidak ingin
menonton? Ayah bundamu dan semua tamu tentu ikut pergi ke tempat
pembakaran."
Giok Keng
menggelengkan kepalanya. "Apakah itu tontonan? Aku tidak suka melihat hal
yang mengerikan itu. Lebih baik kita menunggu saja di sini."
Kun Liong
tidak berani memaksa walau pun hatinya ingin sekali turut menonton jenazah
sukong-nya diperabukan, takut kalau-kalau gadis ini menjadi marah. Dia merasa
senang sekali berdekatan dan bercakap-cakap dengan dara ini. Hatinya terasa
tenang dan sejuk nyaman. Mengapa manusia tidak bisa saling mengasihi seperti
dia dan gadis itu dalam saat ini? Mengapa di mana-mana timbul permusuhan dan
kebencian, menyebabkan maut seperti yang dialami oleh Thian Lee Hwesio?
"Baiklah
kalau begitu. Memang benar pendapatmu bahwa pembakaran jenazah bukan tontonan,
akan tetapi soalnya manusia selalu ingin melihat dan menonton hal-hal yang
tidak bisa mereka lihat. Mari kita ke kebun belakang itu, di sanalah para
hwesio menanam sayur dan bercocok tanam."
Ladang itu
luas sekali dan dengan kagum Giok Keng melihat segala macam sayur yang hidup
subur gemuk berkat perawatan yang teliti. Mereka duduk di atas sebuah batu
besar sambil menyegarkan mata dengan memandang sayur-sayuran yang
kehijau-hijauan amat sedap dipandang mata.
"Keng-moi,
berapakah usiamu sekarang?"
"Hemm,
menanyakan usia orang mau apa sih?"
"Ah,
jangan terlalu galak, Moi-moi. Kita adalah kakak adik misan seperguruan, aku
adalah piauw-suheng-mu (kakak misan seperguruan) dan engkau adalah
piauw-sumoi-ku (adik misan seperguruan), malah oleh ibumu lebih didekatkan lagi
sehingga aku menyebutmu adik dan engkau menyebutku kakak. Apa salahnya bagi
seorang kakak mengetahui usia adiknya? Aku berusia hampir dua puluh tahun, dan
engkau tentu tidak lebih tua dari aku, biar pun aku ingat ibuku dulu mengatakan
bahwa puteri Cia-supek lebih muda beberapa bulan dariku."
"Kalau
sudah tahu begitu, mengapa bertanya lagi? Usiaku hanya lebih muda beberapa
bulan, nah, berarti sembilan belas tahun."
"Wah,
sudah sembilan belas tahun! Keng-moi, mengapa engkau belum menikah? Tentu sudah
mempunyai tunangan, ya?"
"Wuuuttt...
plakkk!"
Kun Liong
tidak mau mengelak dan pipinya kena ditampar sampai terasa panas dan ada tanda
merah-merah bekas tamparan itu di pipi kirinya. Ia mengelus pipinya dan berkata
sambil tersenyum, "Wah, engkau marah benar agaknya. Tamparanmu tidak seperti
lima tahun yang lalu."
Agaknya Giok
Keng menyesal juga sesudah menampar pemuda yang sama sekali tidak melawan mau
pun mengelak itu. Padahal sebagai seorang ahli silat, dia mengerti bahwa
tamparannya yang biasa tadi tentu akan dapat mudah dielakkan kalau Kun Liong
mau. Dia cemberut, memandang tajam penuh selidik lalu bertanya, "Agaknya
engkau disuruh Ayah dan Ibu untuk membujukku, ya?"
"Eh,
Keng-moi, apa artinya ini? Kau melihat sendiri bahwa mereka tidak berkata
apa-apa kepadaku, dan apa yang harus dibujuk? Pertanyaanku adalah wajar, keluar
dari hatiku sendiri, apa sih salahnya bertanya begitu?"
Dan
tiba-tiba Giok Keng menutupi muka dengan kedua tangan, menangis!
Bingunglah
Kun Liong. Sejenak dipandangnya muka yang bersembunyi di balik sepasang tangan
itu, kemudian tanpa disadarinya dia menggaruk-garuk kepala gundulnya karena
tidak dapat menemukan jawaban atas keanehan ini di dalam kepalanya.
"Adik
Cia Giok Keng, mari kau tampar lagi aku, malah kau boleh pukul kepalaku akan
tetapi jangan menangis! Maafkanlah kalau aku bermulut lancang. Memang aku
seorang yang tolol dan kasar dan kurang ajar! Nah, ini, pukullah!" Kun
Liong sudah mengulur leher mendekatkan kepalanya yang gundul.
Giok Keng
bukan seorang dara cengeng. Sama sekali bukan. Dia memiliki kekerasan hati luar
biasa, berani dan galak seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi dia pun
lincah gembira dan pandai bicara seperti ayahnya pada waktu muda. Sebentar saja
dia sudah dapat menguasai dirinya, menghapus air matanya dan ketika memandang
kepala gundul yang dijulurkan seperti seekor kura-kura menjulurkan kepala itu,
serta sikap Kun Liong yang minta maaf dan menyerahkan kepala untuk dipukul,
kejengkelannya lenyap dan dia tersenyum, menggunakan telapak tangan dengan
halus mendorong kepala Kun Liong.
"Tidak!
Satu kali saja menampar kepalamu aku sudah kapok (jera)!"
Mendengar
suara yang bening dan hangat itu Kun Liong mengangkat muka dan betapa girangnya
melihat wajah itu sudah tersenyum lagi biar pun kedua pipinya masih basah air
mata. Kini dia benar-benar bingung dan tidak mengerti.
Giok Keng
tersenyum lebar sebagai jawaban, kemudian berkata setelah menghela napas
panjang. "Tadi aku memang menangis. Habis pertanyaanmu membuat aku jengkel
sekali sih! Ayah dan Ibuku selalu membujuk-bujukku untuk menikah. Alangkah
menjengkelkan! Mereka marah karena pinangan yang puluhan kali datangnya selama
beberapa tahun ini, semua kutolak mentah-mentah!"
Kun Liong
mengerutkan alisnya. "Hemm... kalau boleh aku bertanya, kenapa kau lakukan
itu, Keng-moi? Tentu saja menolak pinangan merupakan hakmu, akan tetapi jika
sampai berlarut-latut, bukankah engkau menyakitkan hati ayah-bundamu?"
"Yang
mau kawin itu aku ataukah mereka?" Tiba-tiba Giok Keng bertanya dengan
nada keras dan pandang mata penuh tantangan, membuat Kun Liong terkesiap dan
khawatir kalau-kalau membikin marah lagi.
"Ehh, tentu
saja engkau!"
"Kalau
sudah jelas begitu, berarti ini urusanku dan aku sendiri yang akan
menentukan."
"Engkau
benar, Moi-moi. Akan tetapi sampai kapan?"
"Sampai
aku mau dan... dan cocok."
"Apakah
belum juga ada yang cocok?"
Giok Keng
menunduk dengan muka merah, kemudian mengangkat muka secara tiba-tiba dan
cemberut. "Sudahlah, perlu apa membicarakan hal yang bukan-bukan? Kalau
kau bisa menyerangku dengan pertanyaan tentang itu, agaknya engkau sendiri
sudah kawin atau setidaknya tentu sudah bertunangan."
"Aku?"
Kun Liong terbelalak dan menggaruk kepalanya di belakang telinga kanan, sebuah
kebiasaan yang tidak disadarinya. "Siapakah orangnya yang sudi kepada
seorang gundul macam aku?"
"Hemmm...
sssttt, Koko, lihat sana itu...!"
Kun Liong
mengangkat muka memandang ke arah kuil yang ditunjuk oleh Giok Keng. Tampak
olehnya berkelebatnya bayangan beberapa orang di atas atap kuil!
"Ahh,
tentu bukan orang baik-baik kalau datang melalui atap. Aku harus menyelidiki ke
sana!" Setelah berkata demikian, Kun Liong meloncat dan berlari cepat
sekali.
Giok Keng
terkejut, bukan terkejut karena adanya orang-orang yang disangka buruk itu,
melainkan kaget menyaksikan gerakan Kun Liong yang demikian cepatnya!
"Liong-ko,
tunggu!"
Akan tetapi
Kun Liong tidak memperlambat larinya karena dia teringat akan peristiwa lima
tahun yang lalu ketika maling-maling menyerbu Siauw-lim-si dan berhasil
melarikan dua buah benda pusaka. Saat itu, para tokoh Siauw-lim-pai sedang
sibuk menghadiri upacara pembakaran jenazah, demikian pula para tamu yang
terdiri dari tokoh-tokoh besar.
Sekarang
kuil dalam keadaan kosong, hanya tinggal beberapa orang hwesio pelayan dan
kacung-kacung yang hanya mempunyai kepandaian rendah. Agaknya, kekosongan kuil
ini sudah diperhitungkan oleh orang-orang jahat itu sehingga kini dijadikan
kesempatan oleh mereka untuk melaksanakan niat buruk mereka.
Dugaan Kun
Liong tidak meleset sama sekali. Memang demikianlah, di antara para tamu
terdapat serombongan orang-orang dari golongan hitam yang menyelundup, dan
mereka ini terdiri dari sepuluh orang yang merupakan orang-orang berkepandaian
tinggi, yang tergabung dalam persekutuan Pek-lian-kauw dan para anggota
Kwi-eng-pang.
Karena telah
diperhitungkan oleh para pimpinan persekutuan gelap itu bahwa amat sukar untuk
menyerbu Siauw-lim-si yang kuat, apa lagi pada saat sekarang setelah
Siauw-lim-si pernah diseribu oleh orang-orang Kwi-eng-pang lima tahun yang
lalu, maka kaum sesat yang cerdik itu menggunakan siasat yang sangat berani
ini. Mereka bahkan mengutus orang-orang yang dipercaya, mereka yang memiliki
kepandaian tinggi akan tetapi belum dikenal oleh tokoh-tokoh kang-ouw, untuk
menggunakan kesempatan selagi banyak tamu datang ke Siauw-lim-si untuk
melakukan aksi mereka.
Tentu saja
mereka tidak berani berterang. Menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai secara
terang-terangan saja mereka merasa jeri, apa lagi pada saat di kuil itu
berkumpul banyak sekali tokoh-tokoh besar dunia persilatan! Tetapi mereka ini
cerdik sekali, menggunakan kesempatan selagi semua hwesio dan para tamu tengah
melakukan upacara pembakaran jenazah di bukit sebelah belakang kuil yang makan
waktu sedikitnya dua jam.
Mereka
meninggalkan rombongan tamu dan berpencar, lalu menyelundup ke dalam kuil.
Jumlah mereka sepuluh orang, dan yang menjadi pemimpin penyerbuan ini ialah
seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, tampan dan bermata
liar, sikapnya seperti orang yang tidak waras otaknya. Akan tetapi, dia ini
bukanlah orang sembarangan, oleh karena dia bukan lain adalah Ouwyang Bou,
putera tunggal dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara Lima Datuk!
Yang menjadi
sasaran mereka adalah kamar pusaka. Bukan semata-mata untuk mencuri
pusaka-pusaka Siauw-lim-si, melainkan terutama sekali untuk mencari bokor emas
milik Panglima The Hoo yang dijadikan perebutan.
Sesudah
mereka berunding, menurut perhitungan para datuk, besar sekali kemungkinan
bahwa bokor emas itu kini berada di gedung pusaka Siauw-lim-si, karena
kenyataan yang terakhir diketahui oleh Bu Leng Ci adalah bahwa bokor emas itu
dibawa oleh seorang bocah yang ternyata adalah putera Yap Cong San, sedangkan
Yap Cong San yang telah mereka bunuh tiga tahun yang lalu itu adalah seorang
tokoh Siauw-lim-pai.
Besar
kemungkinannya bokor emas itu terjatuh ke tangan Yap Cong San, dan sebagai
seorang tokoh Siauw-lim-pai mungkin saja bokor itu lalu diserahkan kepada
Siauw-lim-pai untuk disimpan di Siauw-lim-si. Pikiran inilah yang membuat
rombongan kaum sesat yang dipimpin Ouwyang Bouw itu menggunakan kesempatan
pelayatan itu untuk turun tangan!
Pada waktu
Kun Liong yang berlari cepat tiba di dalam kuil, dia sudah melihat apa yang
dikhawatirkannya. Empat orang hwesio pelayan rebah di sudut dalam keadaan lemas
tak mampu bergerak karena telah tertotok!
Kun Liong
tidak membuang waktu lagi, cepat meloncat ke dalam lorong yang menuju ke bagian
belakang dan langsung dia lari ke gudang pusaka. Akan tetapi baru saja dia tiba
di ruangan tengah, tiba-tiba sinar merah menyambar dari kiri. Kun Liong cepat
merendahkan diri berjongkok sehingga jarum-jarum merah yang kecil halus itu
menyambar lewat di atas kepalanya.
Ada sesuatu
yang mengingatkannya ketika melihat sambaran-sambaran jarum merah itu. Cepat
dia meloncat lagi, membalik ke kiri dan berhadapan dengan seorang pemuda yang
menyeringai kepadanya.
"Kau...!"
Kun Liong teringat ketika melihat wajah tampan dengan mata liar berputaran itu.
"Kau Ouwyang Bouw anak Ban-tok Coa-ong!"
Akan tetapi
tentu saja Ouwyang Bouw tidak mengenal Kun Liong. Dahulu ketika dia dan ayahnya
bertemu dengan Kun Liong, pemuda gundul ini baru berusia sepuluh tahun dan pada
waktu itu belum gundul. Ada pun Kun Liong dapat mengenal Ouwyang Bouw karena
peristiwa itu menyebabkan kepalanya menjadi gundul, maka tentu saja wajah
Ouwyang Bouw dan ayahnya selalu teringat olehnya. Jarum-jarum merah tadi bahkan
menambah keyakinannya, karena justru jarum-jarum merah itulah yang menjadi
sebagian penyebab kenapa kepalanya tidak mau tumbuh rambut.
"Mau
apa kau datang ke dalam kuil?" Kun Liong membentak
Akan tetapi
pemuda bermata liar itu berterlak, "Bunuh dia!"
Dan dari
belakangnya muncullah enam orang laki-laki yang serta-merta maju menerjang,
mengepung dan mengeroyok Kun Liong dengan senjata pedang dan golok.
"Ehh-ehh,
kalian orang-orang jahat!"
Kun Liong
menggunakan kegesitan gerak tubuhnya mengelak ke kanan dan kiri. Dia tidak
merasa khawatir menghadapi pengeroyokan enam orang itu yang walau pun semuanya
menggunakan senjata, namun dia dapat melihat bahwa gerakan mereka itu masih
terlalu lambat baginya dan dia akan dapat mengatasi mereka. Akan tetapi dia
terkejut melihat bayangan Ouwyang Bouw melesat lantas lenyap dari situ melalui
lorong yang menuju ke gudang pusaka!
Ia hendak
mengejar, akan tetapi enam orang itu mengurungnya ketat dan menghujankan
serangan ke tubuhnya. Semenjak mempelajari ilmu dari Bun Hwat Tosu dan Tiong
Pek Hosiang, Kun Liong belum pernah menggunakan ilmu-ilmunya itu dalam
perkelahian yang sungguh-sungguh. Ketika dahulu sebelum digembleng sukong-nya
di Ruang Kesadaran, dia pernah menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari Bun
Hwat Tosu melawan Cia Giok Keng, akan tetapi dalam pertandingan yang
dianggapnya main-main saja karena dia tidak menganggap Giok Keng sebagai orang
jahat. Ketika beberapa hari yang lalu dia mengadu tenaga dengan utusan Panglima
The Hoo, juga pertandingan itu bukan sungguh-sungguh, apa lagi ketika melawan
Tio Hok Gwan, hanya sekedar mengadu tenaga saja dan keburu dilerai oleh Thian
Kek Hwesio.
Sekarang dia
merasa ragu-ragu. Kalau saja dia mau, banyak sudah dia melihat lowongan untuk
merobohkan enam orang itu. Akan tetapi dia sebetulnya paling tidak suka memukul
orang, bahkan agak benci dengan permusuhan dan perkelahian yang dianggapnya
tidak menyenangkan dan hanya dilakukan oleh orang-orang kejam.
Akan tetapi
sekarang dia diserang oleh empat batang pedang serta dua buah golok yang
semuanya menyerang untuk mencabut nyawanya. Tentu saja dia harus mempertahankan
dan melindungi tubuhnya dari bahaya terkena bacokan atau tusukan. Dia masih
ragu-ragu bagaimana dapat menghentikan enam orang pengeroyoknya itu tanpa
membuat mereka menderita luka berat.
"Kalian
orang-orang tolol, kalau ketahuan para suhu, kalian akan celaka. Lebih baik
lekas pergi melarikan diri sebelum terlambat!" Dia mencoba mengusir mereka
dengan kata-kata nasehat!
Tentu saja
dia malah ditertawakan karena enam orang itu memandang ringan kepadanya. Pemuda
gundul itu hanya mengelak ke sana sini, biar pun gerakannya cepat sekali sukar
diserang, akan tetapi hal itu hanya menandakan bahwa pemuda gundul atau yang
mereka sangka hwesio muda ini ketakutan. Serangan mereka makin gencar dan hebat
sehingga enam batang senjata tajam itu menjadi sinar yang bergulung-gulung
menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah bayangan Kun Liong yang berloncatan
ke sana-sini.
"Aihhh!
Liong-ko...!"
Jeritan Giok
Keng! Pucat wajah Kun Liong mendengar jeritan itu karena dia tahu bahwa dara
itu tentu terancam bahaya. Jeritan itu terdengar dari arah belakang, dan
teringatlah dia bahwa pada saat tadi mengajak gadis itu berkeliling, dia tidak
memberi tahu bahwa di dalam kuil itu banyak dipasangi jebakan-jebakan rahasia
untuk menjaga keamanan kuil itu kalau-kalau dimasuki orang jahat!
Karena
mengkhawatirkan Giok Keng, Kun Liong tak peduli lagi. Kaki tangannya bergerak
sehingga enam batang senjata itu terlempar beterbangan diikuti robohnya enam
orang itu yang mengaduh-aduh karena sedikitnya mereka menderita tulang patah
terkena ketukan jari tangan Kun Liong dan perut mulas oleh ujung kaki pemuda
gundul itu!
Kun Liong
tidak mempedulikan mereka, langsung meloncat dan lari melalui lorong ke arah
Giok Keng tadi. Suara Giok Keng terdengar lagi, kini dari dalam kamar
perpustakaan.
"Maling
keparat!" Akan tetapi disusul suara terbatuk-batuk dara itu.
Ketika Kun
Liong sampai di dalam kamar perpustakaan, dia melihat bayangan Ouwyang Bouw
berlari ke luar. Bukan main kagetnya hati Kun Liong ketika dia meloncat ke
dalam karena hidungnya segera bertemu dengan bau yang harum aneh menyesakkan
napas! Tanulah dia bahwa di situ ada hawa beracun dan tampak olehnya asap hitam
mengepul dari lubang di tengah ruang perpustakaan itu.
Lubang
jebakan! Sudah terbuka dan dari dalam lubang mengepul asap beracun. Celaka,
tentu Giok Keng yang terjebak oleh alat rahasia di situ dan... dia tidak mau
berpikir lagi, langsung dia meloncat turun ke dalam lubang yang gelap itu dari
mana keluar asap hitam.
Dengan
menahan napas seperti yang diajarkan oleh mendiang Tiong Pek Hosiang, Kun Liong
mempergunakan ginkang sehingga dengan ringannya dia melayang turun ke dalam
jebakan yang berupa sumur sedalam empat meter dan tertutup oleh lantai yang
dipasangi jebakan. Samar-samar dia melihat bayangan tubuh rebah miring. Melihat
rambut yang panjang terurai itu, dia tidak ragu-ragu lagi.
Diangkatnya
tubuh Giok Keng yang tidak dapat bergerak itu, dipondongnya kemudian dia pun
meloncat ke atas sambil mengerahkan sinkang-nya. Tanpa pengerahan sinkang yang
kuat, amatlah sulit meloncati sumur sempit sedalam empat meter dan masih
memondong tubuh scorang gadis lagi! Pada saat dia melayang naik, terdengar
suara di atas sumur,
"Bakar
saja! Dan semua berkumpul di gudang pusaka!"
Pada waktu
tubuh Kun Liong sudah tiba di dalam kamar perpustakaan, dengan marah dia
melihat api telah membakar meja dan pintu. Ditendangnya meja itu, dan dua orang
yang sedang membakar-bakar kertas dia robohkan dengan dua kali tendangan
kakinya hingga mereka terlempar dan apinya padam.
Melihat
seorang penjahat lainnya melarikan diri melalui pintu belakang, dia tidak
mengejar melainkan meloncat ke depan di mana seorang penjahat lain sedang
berusaha membakar pintu. Daun pintu itu sudah terbakar dan didorong menutup
dari luar.
"Brakkk!
Augghh...!"
Sambil
memondong tubuh Giok Keng, Kun Liong menerjang daun pintu itu. Daun pintu bobol
dan terlepas, menimpa penjahat yang berdiri di luar sehingga penjahat itu
berteriak-teriak karena rambut dan sebagian pakaiannya terbakar!
Kun Liong
berlari terus. Tubuh Giok Keng masih dipondongnya, hatinya gelisah melihat
gadis itu seperti orang mati, akan tetapi dia juga gelisah memikirkan betapa
penjahat-penjahat itu tentu merampok gudang pusaka. Maka sambil memondong Glok
Keng, larilah dia ke arah gedung pusaka! Hatinya lega karena dia mendengar
teriakan-teriakan dari atas bukit di belakang kuil, tanda bahwa peristiwa itu
sudah ketahuan dan sebentar lagi tentu bala bantuan datang.
Agaknya hal
ini diketahui pula oleh kawanan penjahat. Buktinya ketika Kun Liong tiba di
gudang pusaka yang daun pintunya telah terbuka besar, dia melihat
bayangan-bayangan para penjahat itu berkelebatan melarikan diri sambil
menggendong teman-teman mereka yang terluka.
Dia tidak
mempedulikan mereka lagi karena sibuk memeriksa Giok Keng yang dibawanya ke dalam
taman. Direbahkannya tubuh Giok Keng ke atas bangku taman. Wajah dara itu pucat
dan matanya terpejam, napasnya terhenti!
Kun Liong
cepat memeriksa nadi pergelangan tangan. Ketukan nadi terasa lemah sekali,
seolah-olah sebentar lagi terhenti. Ditempatkannya telinga di dada gadis itu,
disentuhnya bibir dan cuping hidung. Tidak ada pernapasan!
Celaka,
kalau gadis itu tidak cepat-cepat dapat bernapas kembali, tentu takkan
tertolong lagi. Soal keracunan, mudah dan dapat diobati kelak, yang terpenting
sekarang haruslah diusahakan agar supaya Giok Keng dapat bernapas lagi. Tidak
ada cara lain kecuali yang diketahuinya dari pelajaran yang diterima dari
ibunya dahulu.
Tanpa
ragu-ragu lagi Kun Liong menggunakan jari tangannya, memaksa mulut Giok Keng
terbuka, kemudian menjilat dan menutupi kedua lubang hidung yang kecil itu dan
dia pun menunduk. Ditutupnya mulut yang telah dibukanya itu dengan mulutnya
sendiri kemudian ditiupnya, mengerahkan hawa murni hingga tiupannya kuat.
Terasa olehnya betapa dada dara itu membusung. Dilepasnya mulutnya dan
dilepaskannya pula hidung dara itu untuk memberi jalan agar hawa yang sudah
ditiupkannya itu dapat mengalir keluar. Kemudian diulanginya lagi sampai
berkali-kali.
Saking
gelisahnya dan karena seluruh perhatiannya dicurahkan kepada Giok Keng, Kun
Liong sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu dua sosok bayangan berkelebat
dan ayah bunda dara itu telah berdiri tak jauh di sebelah belakangnya!
Biauw Eng
terbelalak, tubuhnya telah bergerak hendak mendorong pergi Kun Liong, akan
tetapi Keng Hong memegang lengannya dan menaruh telunjuk di bibir. Biauw Eng
yang mengira bahwa pemuda gundul itu melakukan penghinaan dan perbuatan kotor
atas diri puterinya, menjadi heran dan dengan mata terbelalak memandang.
Sekali lagi
Kun Liong menempelkan mulutnya di mulut Giok Keng, penuh harapan karena walau
pun tersengal-sengal, dara itu sudah mulai bernapas. Ditiupkannya hawa murni ke
dalam dada Giok Keng, lalu dilepaskannya mulutnya.
Giok Keng
bernapas terengah-engah, kemudian mengeluh dan tubuhnya bergerak. Bukan main
girangnya hati Kun Liong!
"Keng-moi...
Keng-moi... sadarlah...! Ahhh, kau... kau tentu keracunan. Bedebah-bedebah
itu...!"
Giok Keng
membuka matanya, tetapi merasa pening sehingga menutupkannya kembali,
"Liong-ko, mana maling-maling itu...?"
"Mereka
sudah melarikan diri. Sayang aku tidak..." Dia membalikkan tubuh dan
terkejut melihat Keng Hong dan Biauw Eng telah berdiri di situ! Otak di dalam
kepala gundul yang dapat bekerja cepat itu segera teringat cara dia menolong
gadis itu dan seketika mukanya berubah merah, jantungnya berdebar tegang karena
tentu orang tua gadis itu akan marah sekali.
Akan tetapi
Biauw Eng segera menghampiri puterinya dan membangunkannya. "Kau telah
menyedot banyak hawa beracun."
"Aku
tadi mengejar Liong-koko ketika kami melihat berkelebatnya orang-orang jahat.
Aku segera masuk ke kamar perpustakaan, akan tetapi begitu meloncat ke tengah
kamar itu, lantainya terjeblos dan aku terguling ke dalam sumur. Sebelum sempat
meloncat ke luar, ada yang melempar sesuatu ke dalam sumur, baunya wangi dan
aku tidak ingat apa-apa lagi."
"Untung
Kun Liong menolongmu. Sudahlah, mari kubantu engkau membersihkan isi dada dan
paru-parumu," Biauw Eng berkata.
Ibu dan anak
itu lalu duduk bersila. Biauw Eng di belakang anaknya, menempelkan kedua
telapak tangan pada punggung gadis itu yang mengatur napasnya, menyedot hawa
murni untuk mengusir sisa-sisa hawa beracun dari dalam dadanya.
Keng Hong
dan Kun Liong lalu menghampiri para hwesio yang mengadakan pemeriksaan. Thian
Kek Hwesio menarik napas panjang.
"Untung
kebakaran di ruangan perpustakaan tidak melenyapkan kitab-kitab penting, dan
heran sekali. Tidak ada pusaka yang lenyap biar pun keadaannya kacau-balau.
Agaknya mereka mencari sesuatu, tetapi mereka tidak menemukan yang mereka cari.
Betapa pun juga, untuk yang kedua kalinya, sahabat muda Yap Kun Liong kembali
menyelamatkan Siauw-lim-si."
"Ahh,
Locianpwe harap jangan bersikap sungkan. Bukankah teecu adalah orang sendiri?
Bahkan dua buah benda pusaka yang dulu tercuri belum dapat teecu cari. Teecu
sendiri tidak mengerti kenapa mereka tadi datang membikin ribut dan tidak tahu
apa yang dicari, akan tetapi teecu mengenal yang memimpin para perampok
tadi."
Semua orang
memandang kepada Kun Liong.
"Benarkah
hal itu, Liong-ji (Anak Liong)? Kau mengenal pemimpin mereka?" tanya Keng
Hong kagum, bangga dan heran melihat putera sahabat baiknya ini yang selain
ujudnya aneh karena kepala gundulnya, ternyata banyak mengalami hal aneh-aneh.
Pertama dia diambil murid Bun Hwat Tosu, ke dua digembleng sukong-nya sendiri,
dan kini mengenal pimpinan para perusuh itu, pada saat tidak ada orang lain
yang dapat mengenalnya.
"Teecu
pernah berjumpa dengan dia sepuluh tahun yang lalu, Supek. Dia itulah yang dulu
menyerang teecu dengan jarum merah sehingga kepala teecu tidak mau tumbuh
rambut lagi. Dia adalah Ouwyang Bouw, putera dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang
Kok."
Tentu saja
semua orang terkejut mendengar ini.
"Omitohud...!
Sekarang kaum sesat sudah berani memusuhi Siauw-lim-pai!" Thian Kek Hwesio
berkata nyaring, "Sute Thian Lee Hwesio terbunuh, dan kini bahkan kuil
Siauw-lim-si diserbu perampok. Kita harus mempersiapkan diri!" Kata-kata
terakhir ini ditujukan kepada para anak murid Siauw-lim-pai.
Kun Liong
segera melangkah maju dan berkata, "Locianpwe, teecu sudah menyanggupi
tugas untuk mencari serta mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu tercuri.
Juga teecu sudah menyanggupi untuk menyelidiki tentang kematian Thian Lee
Losuhu. Biarlah sekarang teecu berjanji akan mencari Ouwyang Bouw dan
menyelidiki apa yang dicarinya di kuil itu sehingga dia dan kaki tangannya
menimbulkan kekacauan."
"Omitohud...
tidak percuma mendiang Suhu mengangkatmu menjadi ahli waris tunggal, Yap-sicu.
Siauw-lim-pai telah banyak menerima budi dan tidak akan melupakan budi
itu."
"Teecu
tidak mau menganggapnya sebagai budi, karena bukankah teecu juga menerima
kebaikan dari mendiang sukong? Lagi pula, teecu tidak mempunyai pekerjaan
tertentu dan akan berkelana mencari Ayah dan Ibu, maka sekalian teecu dapat
melakukan semua tugas itu."
Para hwesio
Siauw-lim-si sibuk membereskan serta memperbaiki kerusakan yang timbul akibat
kebakaran itu, para tamu sudah mengundurkan diri dan berpamit. Kun Liong juga
berangkat menunaikan tugasnya, ditemani oleh Cia Keng Hong!
"Engkau
pulanglah lebih dahulu bersama Giok Keng." Pendekar sakti ini berkata
kepada isterinya, "Aku akan membantu Kun Liong mencari orang tuanya."
Demikianlah,
Kun Liong dan Keng Hong meninggalkan kuil Siauw-lim-si, ada pun Biauw Eng
mengajak Giok Keng pulang ke Cin-ling-san karena dara itu masih perlu
beristirahat dan minum obat. Cia Giok Keng masih merasa penasaran sekali karena
dia tidak diberi kesempatan memperlihatkan kepandaiannya di kuil Siauw-lim-si
itu, karena sebelum dia sempat menyerang para penjahat, dia sudah terjeblos ke
dalam perangkap rahasia dan dipaksa pingsan akibat lemparan benda meledak yang
mengandung hawa beracun oleh seorang di antara penjahat.
"Liong-ko,
kalau kau bertemu dengan Ouwyang... siapa tadi namanya?"
"Ouwyang
Bouw," jawab Kun Liong.
"Kalau
kau bertemu dengan dia, jangan kau bunuh dia."
"Mengapa?"
Kun Liong bertanya heran. "Aku tidak berniat membunuh siapa-siapa, hanya
ingin bertanya mengapa dia mengacau Siauw-lim-si dan apa yang dicarinya."
"Bagiankulah
untuk membunuhnya!" kata dara itu.
"Sebaiknya
kita pergi ke Ceng-to untuk melakukan penyelidikan," di tengah jalan Keng
Hong berkata kepada Kun Liong.
Kun Liong
menoleh dan memandang wajah tampan dan berwibawa itu. Maka bertanyalah dia,
pertanyaan yang sudah ditahannya sejak mereka meninggalkan Siauw-lim-si.
"Supek, kalau boleh teecu bertanya, dengan menemani teecu dalam perjalanan
ini, apakah yang Supek kehendaki?"
Cia Keng
Hong menoleh, memandang dan mengangkat alisnya yang tebal.
"Maaf,
Supek. Teecu merasa yakin bahwa ada sesuatu yang hendak Supek sampaikan kepada
teecu."
Kini pandang
mata pendekar sakti itu menjadi terheran-heran dan bertanyalah dia dengan
kekaguman yang tidak disembunyikannya. "Kun Liong, bagaimana engkau bisa
menduga demikian?"
"Supek
dan Supek-bo pernah mencari Ayah dan Ibu tanpa hasil, demikian pula teecu. Sekarang
pun teecu hanya mencari dengan mengawur karena memang tidak ada yang mengetahui
di mana adanya mereka. Apa bila memang Supek hendak mencari mereka, karena kita
sama-sama tidak tahu, tentu lebih baik kalau berpencar. Akan tetapi Supek
menemani teecu, berarti bahwa Supek menyembunyikan niat lain. Dugaan ini akan
selalu membayangi teecu kalau belum Supek jelaskan."
Keng Hong
tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau amat cerdik dan jujur. Memang
demikianlah. Mendengar betapa pencuri pusaka Siauw-lim-si mungkin adalah
orang-orang Kwi-eng-pang, dan kini mendengar pula bahwa penyerbu kuil itu
adalah putera Ban-tok Coa-ong, maka engkau yang bertugas mencarinya berarti
akan berhadapan dengan para datuk kaum sesat yang kabarnya memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali. Sedangkan ayah bundamu pun belum diketahui ke mana
perginya, bila engkau sebagai putera tunggalnya terancam bahaya, bagaimana aku
dapat mendiamkannya saja? Aku akan membantumu menghadapi mereka, itulah
tujuanku menemanimu sekarang. Dan apa bila kita beruntung bertemu dengan orang
tuamu, aku pun ingin sekali bicara dengan mereka." Tentu saja Keng Hong
tidak mengaku bahwa dia akan bicara tentang perjodohan puterinya!......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment