Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 12
MELIHAT
sarang yang menjadi pusat Kwi-eng-pang di mana Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio
menjadi ketuanya, hati Bu Leng Ci merasa iri bukan main. Sebagai seorang
perantau dan petualang, melihat keadaan ‘rekannya’ yang amat makmur ini,
hatinya ingin sekali seperti rekannya itu.
Keadaan
Kwi-eng-pang memang kuat sekali. Markas mereka berada di pulau kecil yang
letaknya di tengah-tengah Kwi-ouw, sebuah telaga yang besar dan dikurung
hutan-hutan pegunungan sehingga bayangan hutan-hutan yang gelap membuat air
telaga yang tenang dan dalam itu kelihatan hitam menyeramkan. Karena ini
agaknya maka telaga ini disebut Telaga Setan.
Di atas
pulau ini didirikan rumah-rumah, memenuhi pulau. Rumah gedung yang mewah di
tengah-tengah adalah tempat tinggal Sang Ketua, sedangkan rumah-rumah di
sekitarnya ditinggali para pimpinan dan anggota Kwi-eng-pang yang jumlahnya
lebih dari dua ratus orang, laki-laki dan wanita.
Selain
berlatih silat, para anggota Kwi-eng-pang juga bekerja sebagai nelayan di
telaga, juga ada yang bercocok tanam di sekeliling telaga yang memiliki tanah
subur, dan ada pula yang berburu binatang di dalam hutan-hutan. Akan tetapi
yang menjamin kehidupan mereka hidup mewah dan makmur adalah
‘sumbangan-sumbangan’ dari para penduduk di daerah itu, sumbangan atau ‘pajak’
yang diberikan baik secara suka rela karena takut atau dengan paksaan!
Telaga itu
sendiri sebenarnya sangat dalam dan mengandung banyak ikan. Akan tetapi
semenjak Kwi-eng Niocu bermarkas di tempat itu belasan tahun yang lalu, keadaan
telaga berubah menjadi tempat yang berbahaya sekali. Di sekeliling pulau, di
dalam air telaga dipasangi banyak alat rahasia yang membahayakan para
pendatang, dan setelah banyak penduduk di sekitar daerah itu yang biasanya
mencari ikan di telaga, tewas dalam kedaan mengerikan, kini tidak ada lagi
orang berani mendekati telaga itu.
Hanya para
anggota Kwi-eng-pang saja yang berani mendayung perahunya di atas telaga karena
mereka sudah hafal akan rahasia di sana. Dengan demikian, selain memonopoli
semua ikan yang berada di dalam air telaga, juga keadaan markas di pulau itu
terlindung kuat, tidak mudah diserbu musuh seperti keadaan sebuah benteng saja
layaknya!
Kwi-eng
Niocu Ang Hwi Nio adalah seorang wanita berusia lebih dari lima puluh tahun.
Selama hidupnya belum pernah menikah sehingga orang-orang yang tak suka
kepadanya mengatakan bahwa saking jahatnya maka Ang Hwi Nio menjadi seorang
perawan tua!
Tubuhnya
masih ramping, agak tinggi, dan biar pun usianya sudah mendekati enam puluh
tahun, rambutnya belum ada ubannya sama sekali. Matanya masih terang dan
giginya masih utuh tersusun rapi seperti keadaan seorang perawan muda saja!
Pakaiannya selalu bersih dan rapi, bagaikan pakaian seorang nyonya bangsawan,
juga rambutnya diminyaki dan digelung rapi, dihias emas permata yang mahal-mahal.
Melihat
orangnya, yang tidak mengenalnya tentu akan mengira dia seorang wanita yang
mulai berangkat menjadi nenek-nenek lemah! Akan tetapi sebenarnya dia adalah
seorang yang berilmu tinggi, seorang yang ditakuti dunia kang-ouw.
Bahkan
mendengar namanya disebut saja sudah cukup membuat jantung orang berdebar
tegang dan bulu tengkuk meremang karena nama ini telah terkenal di mana-mana,
telah diketahui semua orang bahwa wanita yang tidak pernah keluar dari pulau
itu, sekali keluar tentu akan ada yang tewas di tangannya.
Hebatnya,
setiap kali dia turun tangan membunuh orang yang dikehendakinya, tidak ada yang
dapat melihatnya, hanya melihat bayangannya serta mendengar suara ketawanya
yang halus saja. Karena sepak terjangnya inilah maka dia dijuluki Kwi-eng Niocu
(Nona Bayangan Hantu). Disebut nona karena dia masih perawan dan disebut
Bayangan Hantu karena yang tampak hanya bayangannya.
Kwi-eng
Niocu Ang Hwi Nio tinggal di pulau telaga itu dan hidup sebagai seorang ratu!
Rumahnya merupakan gedung indah dan mewah seperti sebuah istana saja, setiap
hari dikelilingi pelayan-pelayan cantik dan cara hidupnya royal dan mewah
sekali.
Memang Ang
Hwi Nio ini tidak pernah menikah. Akan tetapi dia mempunyai seorang anak
angkat, sekaligus merupakan murid yang paling pandai. Anak angkat ini bernama
Liong Bu Kong, pada waktu itu berusia sembilan belas tahun. Seorang pemuda yang
berwajah tampan dan gagah sekali sehingga patut tinggal di dalam istana itu,
patut menjadi putera seorang bangsawan, dan amat mengherankan bila pemuda
setampan ini menjadi putera seorang iblis betina seperti Kwi-eng Niocu!
Wajah pemuda
ini tampan dan bibirnya selalu menyungging senyum dikulum, sepasang matanya
bersinar-sinar dan wajahnya selalu berseri-seri. Tapi bagi yang memperhatikan,
di balik sinar mata itu terdapat sesuatu yang membuat orang menjadi curiga dan
ngeri.
Tidak ada
seorang pun yang mengetahui dari mana datangnya pemuda ini. Para anggota
Kwi-eng-pang sendiri hanya mengetahui bahwa ketua mereka itu pada waktu datang
dan membentuk Kwi-eng-pang sudah membawa seorang anak laki-laki yang bernama
Liong Bu Kong, yang menurut pengakuannya adalah anak angkatnya.
Melihat
keadaan ini semua, tidak mengherankan apa bila timbul iri dan keinginan di
dalam hati Bu Leng Ci. Dia merasa suka tinggal di tempat itu, dan melihat
betapa rekannya itu, Ang Hwi Nio, hidup di dalam kemewahan dan kemuliaan,
dihormati sebagai ratu oleh dua ratus orang lebih, serta disegani dan ditakuti
orang-orang di sekitar daerah itu.
"Tempatmu
ini hebat sekali, membuat orang betah berada di sini," kata Bu Leng Ci
ketika pada suatu siang dia bersama muridnya duduk berhadapan dengan Ang Hwa
Nio di tepi telaga, di dalam sebuah taman buatan yang sangat indah, di bawah
pohon yangliu yang bergerak-gerak meliuk-liuk seperti tubuh seorang penari yang
lemah gemulai!
"Engkau
suka dengan tempat ini?" tanya Kwi-eng Niocu tanpa mengangkat muka karena
dia sedang asik memeriksa kuku jari-jari tangannya.
Kukunya
panjang-panjang dan terpelihara baik, diberi warna merah muda, dan dipelihara
meruncing. Kelihatannya memang bagus dan cantik sekali, akan tetapi dalam pandangan
orang kang-ouw tangan dengan kuku jari panjang-panjang menarik itu sama sekali
tidak tampak indah menggairahkan, bahkan sebaliknya mendatangkan rasa ngeri
karena satu di antara kehebatan ilmu wanita ini terletak pada kukunya yang
beracun itu! Jangankan sampai kena dicengkeram, baru tergurat sedikit saja
sudah cukup mengirim nyawa lawan ke neraka!
"Kalau
memang suka mengapa tidak tinggal di sini saja?"
Bu Leng Ci
mengangkat muka, sinar matanya menyambar dan kedua alisnya berkerut.
"Apa
maksudmu, Pangcu (Ketua)?" Bu Leng Ci bertanya, dalam suaranya mengandung
kemarahan. "Engkau begitu berani memandang rendah kepadaku dan hendak
menyuruh aku menjadi kaki tanganmu atau anak buahmu?"
Kwi-eng
Niocu Ang Hwa Nio melirik, dan senyum yang menghias bibirnya menyeramkan
sekali.
"Siapa
yang ingin engkau menjadi anak buahku, Mo-li? Kita adalah rekan dan kedudukan
kita setingkat, sungguh pun aku menjadi seorang pangcu dan engkau hanyalah
seorang petualang tanpa tempat tinggal. Engkau tadi mengatakan suka kepada tempat
ini dan aku menawarkan padamu untuk tinggal di sini, bukan sebagai anak buah,
bukan pula sebagai pembantuku, karena engkau memang bukan anggota
Kwi-eng-pang."
"Habis,
sebagai apa? Tamu? Mana ada tamu tinggal terus-menerus?"
"Juga
bukan tamu, tetapi sebagai adik angkat. Maukah?"
Bu Leng Ci
bangkit berdiri dan mukanya menjadi merah. Bi Kiok yang sejak tadi duduk
mendengarkan dan menonton, diam saja akan tetapi diam-diam dia merasa tegang
juga karena kalau sampai gurunya dan Ketua Kwi-eng-pang itu bertanding, tentu
hebat bukan main akibatnya.
"Kwi-eng
Pangcu! Menjadi adik angkat berarti harus tunduk dan selalu taat kepada kakak
angkatnya, berarti sama saja! Apakah dengan memberi tempat tinggal kepadaku
harus kubayar dengan tunduk dan taat kepadamu?"
Kwi-eng
Niocu Ang Hwi Nio tertawa, suara ketawanya merdu dan halus, akan tetapi ada
sesuatu yang amat dingin dan menyeramkan di balik suara tawa ini, seperti suara
ketawa seekor ibils betina yang merayu dan menjatuhkan hati orang-orang yang
batinnya kurang kuat.
"Siang-tok
Mo-li, tepat sekali apa yang kudengar tentang dirimu. Kau amat keras hati dan
penuh prasangka. Cocok untuk menjadi adikku! Tentu saja sudah sepatutnya kalau
kau menjadi adik angkatku, bukankah aku lebih tua darimu, paling sedikit
sepuluh tahun lebih tua? Apa engkau merasa rendah dengan menjadi adik angkat
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, ketua dari Kwi-eng-pang?"
"Betapa
pun juga, seorang adik angkat tentu lebih rendah dari kakaknya, dan hal ini
sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan usia."
"Hemm,
habis apa yang menentukannya kalau bukan usia? Kau maksudkan kepandaian?
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, apakah engkau tidak percaya bahwa ilmu kepandaianku
lebih tinggi dari pada kepandaianmu?"
"Ahh…,
aku tidak percaya!"
Mereka
berdua kini sudah berdiri saling berhadapan. Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sudah
lupa akan kukunya, sekarang memandang kepada wanita pendek di depannya itu
penuh perhatian.
"Kalau
begitu, biarlah kepandaian yang menentukan!"
"Kwi-eng
Niocu, aku tidak takut kepadamu! Akan tetapi, sekarang aku diundang ke sini
untuk menghadiri pertemuan puncak yang sayangnya gagal. Setelah semua orang
pergi, kau menahan aku untuk tinggal beberapa hari di sini. Sepantasnya aku
berterima kasih kepadamu dan akan ditertawakan orang apa bila aku sekarang
bertanding melawanmu sebagai musuh! Pikirlah baik-baik! Benarkah kita harus
saling bermusuh, bukan bersekutu seperti yang direncanakan semula?"
Kembali
Kwi-eng-cu Ang Hwi Nio tertawa halus. "Hi-hi-hi, Bu Leng Ci, engkau
betul-betul keras seperti baja! Diajak menguji kepandaian, tapi kau anggap
bertempur seperti musuh! Kalau kau tidak mau dikalahkan dengan usia, maka jalan
satu-satunya untuk menentukan siapa yang patut menjadi kakak dan siapa adik,
hanyalah dengan mengukur kepandaian masing-masing!"
Bu Leng Ci
mengerutkan alisnya. Sekarang dia mulai mengerti apa yang dikehendaki oleh
Ketua Kwi-eng-pang yang aneh ini. Akan tetapi, dia tetap merasa ragu-ragu walau
pun dia akan suka sekali tinggal di tempat yang indah itu.
"Tetap
saja tidak baik, Pangcu." Dia menggeleng kepala. "Kalau aku kalah
atau menang, tidak akan berubah, kita tidak mungkin tinggal terus bercampur
menjadi satu di tempat ini. Kalau aku menang, aku tidak mau menjadi Ketua
Kwi-eng-pang."
"Di
sebelah timur pulau ini ada sebuah pulau lain yang lebih kecil, akan tetapi
tidak kalah indahnya. Tempat itu sekarang masih kubiarkan kosong, tetapi kapan
saja dapat dijadikan tempat tinggal salah seorang di antara kita."
Sinar mata
Bu Leng Ci berseri dan dia menoleh ke kiri. Benar saja, dari tempat yang agak
tinggi di taman itu, dia melihat sebuah pulau lain yang penuh dengan
pohon-pohon.
"Hemm,
kalau begitu, lain lagi persoalannya. Bagaimana kita akan mengukur kepandaian
masing-masing? Dengan bertanding? Hemm, besar kemungkinan yang kalah akan tewas
seketika!"
Ang Hwi Nio
mengangguk. "Kau benar, tidak perlu kita bertanding tanpa sebab dan harus
menghadapi bahaya maut secara konyol. Aku mendengar kau memiliki banyak macam
ilmu, akan tetapi yang paling terkenal adalah samuraimu itu. Nah, kita berlomba,
siapa yang lebih unggul, samuraimu ataukah kuku jariku."
"Pangcu,
jangan main-main! Ataukah kau benar-benar memandang rendah samuraiku? Kalau
cuma kuku jarimu yang rusak, itu masih tidak apa-apa, bagaimana jika sampai
jari tanganmu ikut putus?"
"Hi-hik-hik,
kembali kau salah sangka. Jangan membesarkan prasangka. Kataku tadi, kita bukan
bertanding, melainkan berlomba. Lihat permukaan air telaga itu, banyak
ikan-ikan kecil bukan? Nah, kita berlomba cepat, mana yang lebih cepat
menangkap ikan-ikan itu, samuraimu ataukah kuku jariku. Tentu saja hal itu
bukan menjadi tanda siapa yang lebih lihai jika bertanding secara
sungguh-sungguh, akan tetapi setidaknya dapat dipakai untuk menentukan siapa
patut menjadi kakak dan siapa adik."
Bu Leng Ci
mengangguk-angguk. Tentu saja dia berani berlomba seperti itu. Betapa pun juga
samurainya lebih panjang, maka tentu saja dia akan lebih cepat.
"Kalau
sudah ketahuan siapa yang menang bagaimana?"
"Yang
menang akan menjadi kakak angkat dan tetap tinggal di pulau ini, yang kalah
harus mau menjadi adik angkat dan tinggal di pulau yang lebih kecil. Kita tetap
bersaudara."
Apa pun
akibatnya, kalah atau menang, tetapi enak dan menyenangkan hati Bu Leng Ci.
Andai kata kalah sekali pun, bukanlah hal yang merendahkan untuk menjadi adik
angkat Ketua Kwi-eng-pang, bukan berarti menjadi anak buahnya atau menjadi
orang yang lebih rendah tingkat kedudukannya!
Betapa pun
juga, pengalaman hidupnya yang penuh kepahitan membuat wanita iblis ini selalu
penuh prasangka dan amat hati-hati menjaga diri. Maka dia masih belum puas dan
belum mau menerima begitu saja sebelum dia mengetahui apa yang menjadi sebabnya
maka Ang Hwi Nio sebaik itu kepadanya, malah suka mengangkatnya sebagai
saudara.
Dia sudah
terbiasa dengan kehidupan kaum sesat, di antara bajak-bajak. Tidak ada satu pun
perbuatan yang tidak berdasarkan suatu kehendak atau keinginan demi keuntungan
diri sendiri. Perbuatan yang menyimpang dari dasar ini merupakan hal yang tak
mungkin, atau tidak lumrah!
"Aku
dapat menerima usul itu, Pangcu. Akan tetapi, apa sebabnya engkau ingin menjadi
saudara angkatku?"
"Tentu
saja ada sebabnya, Mo-li. Akan tetapi jangan khawatir, hal ini bukan hanya
untuk kepentinganku pribadi, akan tetapi juga keuntunganmu, keuntungan kita
berdua sebagai dua orang wanita yang sama-sama membenci pria."
"Ehh?
Apa maksudmu?"
"Dengarlah
baik-baik. Pada waktu sekarang ini, di dunia kita hanya ada lima orang datuk,
bukan? Dua di antaranya adalah kita, dan yang tiga lagi semua pria. Menurut
pendapatku, tingkat kepandaian kita berlima seimbang dan mungkin sekali tingkat
kepandaian dua di antara mereka, Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, sedikit
lebih tinggi. Sekali waktu di antara kita tentu akan timbul perebutan untuk
diakui sebagai nomor satu, yang akan menjadi pemimpin, dan agaknya seorang di
antara mereka itu tentu akan menang. Akan tetapi, kalau kita menjadi enci dan
adik angkat, dengan maju berdua, siapakah di antara mereka bertiga yang akan
mampu mengalahkan kita? Mengertikah kau?"
Bu Leng Ci
mengangguk-angguk dan diam-diam memuji kecerdikan Ketua Kwi-eng-pang itu.
Memang akan sial sekali kalau sampai seorang pria menjadi pimpinan kelima orang
datuk. Harus tunduk kepada seorang pria. Tidak sudi! Namun melawan seorang diri
akan berat sekali.
"Akan
tetapi, bagaimana kalau mereka pun bersatu seperti kita?"
"Tidak
mungkin! Mereka bertiga bersaing, mana mau bersatu! Nah, bagaimana? Maukah
engkau menjadi saudara angkatku?"
"Baik,
mari kita mulai berlomba!"
Kedua orang
wanita sakti itu lalu berdiri di tepian pulau, memandang ke arah air telaga,
menanti munculnya ikan-ikan kecil yang kadang kala bermain-main di permukaan
air dan kadang-kadang tenggelam. Bi Kiok juga berdiri dan menonton dengan wajah
tak berubah, biar pun diam-diam dia merasa girang juga akan keputusan gurunya.
Dia pun
sudah bosan diajak merantau terus, tidak tentu tempat tinggalnya, kadang kala
tidur di atas pohon, di kuil-kuil kotor. Tempat tinggal itu memang indah dan
dia suka sekali tinggal di situ.
Ketika
ikan-ikan mulai muncul di permukaan air telaga, Ang Hwi Nio berkata lirih.
"Nah, kita mulai sebelum mereka menyelam kembali. Mari!"
Bu Leng Ci
dan Ang Hwi Nio meloncat dengan berbareng. Dengan gerakan kilat Bu Leng Ci
telah mencabut samurainya dan setelah tubuhnya tiba di atas tempat di mana
ikan-ikan berenang, samurainya berkelebat seperti kilat menyambar ke permukaan
air. Ang Hwi Nio berjungkir balik, kepala di bawah dan sepasang lengannya
bergerak cepat sekali hingga sukar diikuti pandang mata, mencengkeram ke arah
air.
Ikan-ikan
itu tentu saja kaget dan segera menyelam kembali. Dengan gerakan berputar di
udara, dua orang wanita sakti itu dapat melayang kembali ke tepi pulau. Gerakan
mereka bagaikan burung walet beterbangan, indah dan sangat cepat membuat Bi
Kiok terbelalak kagum.
"Hemm,
lihat berapa ikan yang mampus oleh samuraiku!" Bu Leng Ci berkata bangga
dan sebelum kakinya menginjak tanah, samurainya telah bersarung kembali.
"Satu-dua-tiga...
aihhh, ada sepuluh ekor yang mati terbelah. Kepandaianmu amat hebat, Moi-moi.
Pasti aku akan berpikir panjang lebih dulu sebelum melawan samuraimu dalam
pertempuran!" Ang Hwi Nio berkata sesudah menghitung bangkai-bangkai ikan
yang telah mengambang di permukaan air dengan tubuh terpotong menjadi dua!
"Apa?!
Kau menyebutku moi-moi (adik perempuan)!" Bu Leng Ci menegur penasaran.
Ang Hwi Nio
tertawa halus kemudian memperlihatkan sepasang tangannya yang tadi dia
sembunyikan di belakang tubuhnya. Sepasang mata Bu Leng Ci memandang
terbelalak, melihat betapa kesepuluh buah kuku jari itu masing-masing sudah
menusuk seekor ikan, dan ikan-ikan itu telah berubah mengering seperti dibakar!
"Bukan
main! Engkau hebat! Akan tetapi, engkau pun hanya mampu membunuh sepuluh ekor,
tidak lebih banyak dan aku!" Bu Leng Ci menegur.
Ang Hwi Nio
menggerakkan kedua tangannya, maka kesepuluh ekor ikan itu terlempar kembali ke
atas air telaga, mengambang dekat ikan-ikan yang menjadi korban samurai Bu Leng
Ci.
"Benar,
kita masing-masing membunuh sepuluh ekor. Akan tetapi aku dapat membawa
ikan-ikan itu ke darat. Apakah kau tadi juga sanggup untuk membawa
korban-korbanmu ke darat? Bukankah hal itu berarti bahwa aku masih menang cepat
sedikit dibandingkan denganmu, Moi-moi?"
Bu Leng Ci
tidak dapat membantah kebenaran ucapan itu, maka dia segera menjura dan
berkata, "Engkau benar, Ang-cici (Kakak Perempuan Ang). Aku mengaku kalah
dan aku senang sekali menjadi adik angkatmu. Bi Kiok, ayo lekas kau memberi
hormat kepada bibi gurumu!"
Yo Bi Kiok
yang semenjak tadi menyaksikan itu semua, lalu melangkah maju menghadapi Ketua
Kwi-eng-pang itu, memberi hormat dengan berlutut dan berkata, "Su-i!"
Ang Hwi Nio
tertawa girang. "Berdirilah, Nak. Muridmu ini manis sekali, Bi-moi.
Siapakah namamu?"
"Nama
teecu (murid) Yo Bi Kiok, Su-i"
"Bagus,
engkau akan menjadi teman baik puteraku. Kau terimalah hadiahku ini, Bi
Kiok." Wanita itu meloloskan hiasan rambutnya yang terbuat dari batu
kemala berbentuk burung Hong dan memberikannya kepada Bi Kiok.
Tentu saja
Bi Kiok girang sekali, menerima benda berharga itu dengan kedua tangan dan
menghaturkan terima kasih. Melihat betapa Bi Kiok hanya memegangi benda itu
sambil memandang dengan mata bersinar-sinar, Ang Hwi Nio tertawa.
"Giok-hong-cu
(Burung Hong Kemala) itu bukan untuk dipegang, melainkan untuk hiasan rambut
atau baju di dada. Sini, kupakaikan di rambutmu!"
Bi Kiok maju
berlutut dan Ang Hwi Nio memasangkan benda itu di atas kepala Bi Kiok. Kemudian
dara itu disuruhnya berdiri.
"Lihat,
muridmu menjadi makin cantik saja, Bu-moi!"
Bu Leng Ci
tersenyum bangga dan kedua orang wanita sakti itu merasa girang karena kini
mereka berdua dapat menjagoi di dunia kaum sesat, tidak takut lagi menghadapi
seorang di antara datuk, yang mana pun juga!
Sebuah rumah
yang cukup indah lalu dibangun di pulau kecil sebelah timur untuk tempat
tinggal Bu Leng Ci beserta muridnya. Dan Bu Leng Ci yang merasa berterima kasih
lalu menceritakan semua pengalamannya kepada kakak angkatnya, juga menuturkan
tentang bokor emas dan mengenai suami isteri lihai yang dijumpainya di tepi
sungai Huang-ho di lereng pegunungan Lu-liang-san.
Ketika Liong
Bu Kong yang pergi memburu binatang bersama beberapa orang anggota Kwi-eng-pang
pulang dan bertemu dengan Bu Leng Ci dan Bi Kiok, dia merasa terheran dan
menjadi girang mendengar bahwa Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang namanya sudah
dikenalnya sebagai seorang di antara lima datuk itu kini telah menjadi adik
angkat ibunya!
Lebih
gembira lagi hatinya melihat Yo Bi Kiok yang cantik manis. Dara remaja itu
sudah menjadi saudara misannya, walau pun hanya saudara angkat! Akan tetapi
sikap Bi Kiok yang selalu berwajah dingin dan amat pendiam itu mengecewakan
hati Bu Kong sehingga pemuda ini membuang niatnya untuk mengajak dara remaja
itu main-main dengannya.
Beberapa
hari kemudian, Kian Ti dan keempat temannya yang mentaati permintaan Bu Leng Ci
pergi mencari suami isteri yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu, kembali ke
pulau itu dengan tangan hampa. Mereka tidak berhasil menemukan suami isteri yang
dicarinya itu. Mereka juga gembira sekali ketika mendengar bahwa Siang-tok
Mo-li yang terkenal itu sekarang menjadi adik angkat ketua mereka. Hal ini
berarti bahwa kedudukan mereka lebih kuat lagi sungguh pun adik angkat ketua
mereka itu tidak menjadi anggota Kwi-eng-pang.
Namun,
beberapa bulan kemudian, pulau kecil yang dijadikan tempat tinggal Bu Leng Ci
itu menjadi tempat yang menyeramkan dan menakutkan bagi para anggota
Kwi-eng-pai karena wanita itu terkenal sebagai pembenci pria sehingga tiada yang
berani mendekati pulau! Bahkan Liong Bu Kong sendiri pun tidak berani mendekat.
Hanya
Kwi-eng Pangcu saja yang berani mengunjungi adik angkatnya. Dan apa bila ada
keperluan mengantarkan sesuatu, Kwi-eng Pangcu akan mengutus pelayan atau
anggota Kwi-eng-pang yang wanita. Dia sendiri pun tidak suka kepada pria, akan
tetapi tidaklah membenci mati-matian seperti Bu Leng Ci.
Dia sudah
merasa puas melihat para pria menjadi muridnya, menjadi anak buahnya, dan
menjadi kaki tangannya yang setia dan selalu taat padanya. Yang tidak
disukainya adalah apa bila pria itu menguasainya atau lebih tinggi tingkatnya
dari pada dia. Karena ini pula maka dia sengaja menarik Bu Leng Ci sebagai adik
angkat sehingga merasa kuat untuk menghadapi tiga orang di antara kelima datuk.
Kurang lebih
dua tahun lamanya Bu Leng Ci bersama muridnya menjadi penghuni pulau kecil itu.
Kini Bi Kiok telah menjadi seorang dara yang cantik manis, berusia enam belas
tahun, akan tetapi makin tampak sikapnya yang dingin dan wataknya yang amat
pendiam.
Hadiah dari
Kwi-eng Niocu berupa hiasan rambut burung hong kemala menjadi benda
kesayangannya yang tak pernah terpisah dari rambutnya atau bajunya. Bu Leng Ci
yang menyayangi dara itu bukan hanya sebagai murid tunggal, bahkan bagaikan
anak sendiri, menurunkan semua ilmunya kepada Yo Bi Kiok sehingga setelah
selama tujuh tahun lebih menjadi muridnya, dara itu kini telah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi.
Pada suatu
pagi, seorang pelayan wanita dari Kwi-eng Niocu menyampaikan undangan ketua ini
kepada Bu Leng Ci. Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci segera berangkat dengan jalan
menumpang perahu kecil pelayan itu bersama Bi Kiok, menghadap kakak angkatnya.
"Seorang
anggota kita sudah menemukan suami isteri yang pernah kau sebut dahulu
itu!" Ang Hwi Nio menyambut kedatangan adik angkatnya dengan pemberi
tahuan ini, dengan suara penuh ketegangan. "Dan isterinya yang menurut
katamu dulu sudah terkena Siang-tok-soa, ternyata tidak mati"
"Ah,
kalau begitu kita harus dapat menawan mereka. Mereka adalah ayah bunda dari Yap
Kun Liong yang tahu di mana adanya bokor emas!"
"Perlukah
itu? Menurut ceritamu, yang tahu mungkin sekali hanyalah bocah itu, dan perlu
apa menawan orang tuanya?"
"Apa
bila kita menawan orang tuanya, tentu kelak anak itu muncul. Sukar sekali
mencari bocah setan itu. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil,
Ang-ci."
"Mungkin
karena selamanya kau belum pernah bertemu dengan anak itu, bagaimana bisa
mencarinya?"
"Memang
aku belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi Bi Kiok tentu akan dapat
mengenal mukanya."
Diam-diam
jantung Bi Kiok berdebar tegang. Tentu saja dia akan mengenal Kun Liong si
gundul itu, dan gurunya pun pernah bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi
gurunya tidak tahu bahwa anak itulah yang kini mereka cari-cari. Entah
bagaimana, dia tidak tega untuk mencelakakan anak itu, bahkan kini dia merasa
tidak enak sekali mendengar bahwa ayah bunda Kun Liong hendak ditawan.
Akan tetapi
ia diam saja, hanya menjawab karena dua orang wanita sakti itu memandang
padanya penuh pertanyaan. "Tentu saja teecu akan mengenalnya kalau bertemu
dengan Kun Liong."
"Biarlah
aku mengutus enam orang murid kepala untuk menangkap mereka. Kita harus menjaga
nama. Tidak perlu aku turun tangan sendiri menghadapi orang-orang yang tidak
terkenal seperti mereka. Aku akan mengundang mereka, kalau mereka tidak mau,
barulah orang-orangku akan menawan mereka. Menurut keterangan penyelidik,
sekarang mereka tinggal di Puncak Cemara di Lu-liang-san."
Bu Leng Ci
hendak mencegah, mengingat bahwa suami isteri itu lihai sekali. Akan tetapi dia
tidak jadi membuka mulutnya sebab tentu saja dia tidak mau menceritakan betapa
dia sendiri tak dapat mengalahkan mereka. Biarlah kakak angkatnya ini
membuktikan sendiri setelah mengirim murid-muridnya.
Demikianlah,
enam orang laki-laki setengah tua yang merupakan murid-murid kepala dari
Kwi-eng Niocu dan tokoh-tokoh Kwi-eng-pang, berangkat ke Lu-liang-san yang
tidak jauh dari Kwi-ouw, hanya makan waktu satu hari perjalanan.
***************
Seperti
telah kita ketahui, Yap Cong San bersama isterinya berada di Puncak Cemara di
Pegunungan Lu-liang-san. Gui Yan Cu sudah sembuh sama sekali dari luka akibat
pasir beracun, dan tidak lama kemudian setelah sembuh, dia mengandung sehingga
terpaksa mereka memperpanjang waktu untuk tinggal dahulu di tempat yang indah
menyenangkan itu.
Pada waktu
itu, kandungan Yan Cu berusia dua bulan. Suami isteri yang berbahagia itu
sedang duduk berdua di atas rumput, tak jauh dari pondok mereka, memandang ke
arah bawah di mana tampak pemandangan yang mempesonakan.
"Ahhh…,
betapa rinduku kepada dunia di bawah sana," Yan Cu menarik napas panjang.
"Betapa rinduku kepada Kun Liong, kepada Cia Keng Hong-suheng dan Enci
Biauw Eng. Betapa rinduku kepada masakan-masakan kota yang lezat...
aaihh..."
Cong San
meraih pundak isterinya lantas memeluknya, hatinya terharu dan dia merasa
kasihan sekali pada isterinya. "Jangan khawatir, isteriku. Kita tinggal
dulu di sini sampai engkau melahirkan. Keadaan seperti sekarang ini tentu saja
amat tidak baik kalau engkau melakukan perjalanan jauh, apa lagi dengan adanya
banyak bahaya di tengah perjalanan. Sesudah nanti anak kita cukup kuat,
kira-kira setahun, kita pergi meninggalkan tempat sunyi ini, langsung ke
Cin-ling-san."
"Ke
tempat Suheng?"
"Ya.
Engkau dan anak kita yang masih kecil biar tinggal dengan isterinya, sedangkan
aku akan minta bantuan Keng Hong untuk bersamaku mencari Kun Liong. Dengan
bantuan Keng Hong, mustahil kalau aku tidak akan dapat menemukan anak
itu."
Yan Cu
menarik napas lega. "Aahhh, anak nakal itu! Tentu akan dapat ditemukan
kalau Suheng membantumu. Ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan Kun Liong
kalau berada di depanku setelah dia pergi selama tujuh tahun ini..."
Tiba-tiba
saja tangan Cong San yang merangkul pundak isterinya itu menegang. Yan Cu
merasakan ini dan keduanya menoleh.
"Ada
orang..." bisik Cong San. Mereka sudah berdiri ketika enam orang laki-laki
setengah tua itu tiba di situ.
"Apakah
kalian yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu?" Salah seorang di antara
mereka bertanya, suaranya kasar dan nyaring.
Cong San dan
Yan Cu bersikap tenang, mengira bahwa tentu orang-orang ini petugas pemerintah
yang hendak menangkap mereka berhubung dengan urusan Ma-taijin di kota Leng-kok
tujuh tahun yang lalu.
"Sayalah
yang bernama Yap Cong San dan ini isteri saya Gui Yan Cu. Siapakah Cuwi (Tuan
Sekalian) dan ada perlu apakah mencari kami?" Cong San menjawab dengan
sikap masih tenang sekali karena dia tidak menyangka akan terjadi hal yang
tidak baik.
Apa bila
benar mereka itu orang-orang pemerintah, urusannya dengan Ma-taijin bukanlah
urusan besar. Dan mustahil kalau untuk urusan begitu saja dan setelah lewat
tujuh tahun masih akan dibesar-besarkan.
"Kami
melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh pangcu kami untuk mengundang Ji-wi
menghadap pangcu."
Berkerut
alis Cong San dan Yan Cu. Jika bukan orang pemerintah, tentu akan terjadi hal
yang gawat.
"Siapa
pangcu (ketua) kalian?" Cong San bertanya, hatinya mulai tegang dan dia
bersikap waspada menghadapi segala kemungkinan buruk.
"Kami
dari Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw. Harap Ji-wi ikut bersama kami menghadap
Pangcu sekarang juga!"
"Kami
berdua tidak pernah mengenal pangcu dari Kwi-eng-pang. Ada keperluan apakah
ketua kalian dengan kami?"
"Hal
ini bukan urusan kami! Tentu ada urusan penting maka Pangcu memanggil
kalian," jawab pemimpin rombongan itu dengan suara tak sabar.
Cong San
dapat menduga bahwa tentu keselamatan mereka berdua takkan terjamin bila dia
bersama isterinya pergi mengunjungi ketua kaum sesat yang sudah sangat terkenal
di dunia kang-ouw itu. Lagi pula, dia tidaklah sedemikian bodohnya untuk datang
memasuki goa harimau.
"Maaf,
Cuwi. Karena kami tidak mengenal Kwi-eng Pangcu dan tidak mempunyai urusan
dengannya, kalau memang pangcu kalian ada urusan dengan kami, harap dia datang
saja ke sini untuk bicara."
Tiba-tiba
keenam orang itu merobah sikap, tidak seramah tadi. Pandangan mata mereka
mengandung kemarahan dan seorang di antara mereka lalu berseru, "Manusia
sombong! Berani membantah perintah Pangcu?"
"Kawan-kawan,
maju!"
"Kalian
mau apa?" Yan Cu membentak marah dan tangannya meraba gagang pedang.
"Ini
perintah Pangcu, kalau kalian mau menghadap, baik. Kalau tidak mau, terpaksa
kami mempergunakan kekerasan menawan kalian!"
"Singggg…!”
“Keparat,
kalian mengira begitu mudah?" Yan Cu telah mencabut senjata pedangnya dan
hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba suaminya menyentuh lengannya.
"Tidak
perlu menyerang. Biarkan mereka yang bergerak, kita lihat saja sampai di mana
kepandaian manusia-manusia sesat ini."
Suami isteri
itu berdiri beradu punggung, sikap mereka tetap tenang walau pun mereka marah
sekali. Yan Cu berdiri dan bersiap dengan pedang di tangan, sedangkan Cong San
sudah mengeluarkan sepasang Im-yang-pit dan memegangnya dengan kedua tangannya.
Dia tadi melarang isterinya bergerak, karena sangat tidak baik bagi kandungan
isterinya kalau banyak mengerahkan sinkang.
Keenam orang
anggota Kwi-eng-pang itu sudah mulai mengurung. Terdengar suara yang
menyeramkan pada saat mereka itu menggerak-gerakkan senjata mereka yang
beraneka macam itu. Melihat betapa kedua orang suami isteri itu mengeluarkan
senjata dan hendak melawan, mereka gembira sekali dan juga tidak
menyangka-nyangka.
Ketua mereka
hanya memberi perintah untuk menangkap dan tidak memberi tahu bahwa suami
isteri itu akan melawan. Kalau mereka tidak melawan, tentu mereka hanya akan
menawan mereka dan tidak akan mengganggu mereka. Tapi sekarang mereka mendapat
kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan menawan suami isteri yang
melawan itu setelah melukai mereka.
Betapa pun
juga, enam orang itu bukanlah orang sembarangan, melainkan murid-murid pilihan
dari Kwi-eng Niocu dan mereka telah berpengalaman dalam banyak pertandingan.
Melihat sikap dan cara suami isteri itu menghadapi mereka, mereka pun dapat
menduga bahwa suami isteri itu ‘berisi’, maka tanpa sungkan-sungkan lagi karena
di tempat sunyi itu tidak ada orang lain, mereka serentak maju berenam,
mengeroyok!
Terdengarlah
suara nyaring hiruk-pikuk ketika mereka menerjang maju, suara beradunya senjata
mereka yang terpental ke sana-sini, ditambah suara teriakan mereka yang penuh
kekagetan sebab dalam beberapa gebrakan saja, selain senjata mereka terlempar
kian ke mari, juga mereka roboh malang-melintang. Empat orang roboh terluka
oleh sepasang pit di tangan Cong San, sedangkan dua orang lagi roboh dengan
terluka paha dan pundak mereka oleh kilatan pedang di tangan Yan Cu! Semua ini
terjadi tanpa suami isteri itu pindah dari tempat mereka!
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati enam orang itu. Muka mereka pucat dan mereka
memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa kalau kedua orang suami isteri
itu menghendaki, pada lain saat mereka semua tentu akan dapat terbunuh dengan
mudah. Mengertilah sekarang mereka bahwa jangankan menghadapi suami isteri itu,
walau pun menghadapi seorang di antara mereka saja, mereka berenam tak akan
mampu menang!
"Pergilah
kalian dari sini!" Cong San membentak dengan sikap kereng. "Katakan
kepada pangcu kalian bahwa karena kami tidak mempunyai urusan dengan dia, maka
kami tidak membunuh kalian dan kami tidak dapat pergi menemuinya. Nah, pergilah
cepat!"
Enam orang
itu merangkak bangun dan dengan penuh rasa syukur karena tidak dibunuh, mereka
itu saling membantu dan pergi secepat mungkin meninggalkan tempat itu.
Cong San dan
Yan Cu saling pandang, masih merasa penasaran dan juga terheran-heran mengapa
secara tiba-tiba mereka itu dimusuhi oleh Kwi-eng-pang. Padahal belum pernah
mereka berurusan dengan Kwi-eng-pang, bahkan belum pernah berjumpa dengan ketua
Kwi-eng-pang yang tersohor itu. Mereka tahu bahwa Ketua Kwi-eng-pang adalah
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio yang kabarnya adalah seorang di antara lima datuk
kaum sesat yang terkenal sebagai manusia-manusia iblis.
"Kita
harus pergi dari sini sekarang juga," kata Cong San. "Mereka itu
berbahaya. Kalau tadi mereka tidak memandang rendah terhadap kita, agaknya
belum tentu kita sanggup mengusir mereka dalam waktu singkat. Kepandaian mereka
rata-rata cukup tangguh."
"Aku
tidak takut!" Yan Cu berkata. "Masa kita harus melarikan diri dari
mereka? Biar pun Kwi-eng Niocu si iblis betina sendiri yang datang, akan
kuhadapi dia!"
Cong San
cepat merangkul isterinya. "Aku percaya, isteriku. Memang kita tak usah
takut menghadapi kaum sesat. Akan tetapi kau harus ingat bahwa selagi engkau
mengandung, tidak semestinya kita melibatkan diri dalam
pertandingan-pertandingan berat. Hal itu amat berbahaya bagi kandunganmu. Ingat,
ketika dahulu kita bertemu dengan Siang-tok Mo-li seorang di antara lima datuk
itu, kau terluka. Apa lagi kabarnya Kwi-eng Niocu lebih jahat dan lihai. Bukan
aku takut, tetapi karena mengingat akan kandunganmu dan keadaanmu, sebaiknya
kali ini kita mengalah. Mudah saja kalau kelak kita mencari Kwi-eng Niocu dan
menghajarnya atas kelakuannya hari ini! Marilah, sayang."
Untuk
kesekian kalinya, Yan Cu tidak dapat membantah. Biar pun hatinya penuh dengan
rasa penasaran dan kemarahan, terpaksa dia menurut, pergi meninggalkan tempat
itu, menuju ke utara. Setelah melakukan perjalanan hampir sebulan dengan lambat
dan amat hati-hati mengingat kandungan Yan Cu, akhirnya mereka tiba di kota
Tai-goan dan di sini Cong San mengajak Yan Cu singgah di rumah seorang kenalannya.
Seorang
laki-laki tua berusia lebih dari enam puluh tahun menyambut kedatangan mereka
dengan ramah. Kakek yang berusia hampir tujuh puluh tahun ini bertubuh tinggi
kurus dan rambutnya sudah putih semua, namun masih kelihatan gesit dan kuat.
Dia ditemani oleh seorang nyonya berusia empat puluhan tahun, serta seorang
laki-laki suami nyonya itu yang usianya hampir lima puluh tahun. Tiga orang ini
menyambut mereka dan Si Kakek Rambut Putih segera berseru girang,
"Ahh,
kiranya Yap-enghiong yang datang! Biar pun hampir dua puluh tahun tidak jumpa,
saya tidak akan pangling (lupa) kepadamu!"
Yap Cong San
cepat memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas kebaikan
Theng-ciangkun (Perwira Theng) dan maaf atas kedatangan kami yang tiba-tiba
tanpa memberi tahu lebih dahulu ini. Ini adalah isteri saya."
Kakek itu
cepat membalas penghormatan Yan Cu dan berkata, "Ahh, Nyonya Muda, kau
kelihatan lelah sekali. Silakan masuk saja beristirahat! Ceng-ji (Anak Ceng),
kau ajaklah Nyonya Yap untuk beristirahat di dalam." Kakek itu
memperkenalkan nyonya itu sebagai puterinya, dan laki-laki itu sebagai mantunya
yang bernama Tan Hoat.
Dengan
ramah-tamah nyonya yang bernama Ceng itu menggandeng tangan Yan Cu dan diajak
masuk ke dalam. Kemudian Kakek Theng bersama mantunya mempersilakan Cong San
duduk di ruangan dalam sambil menyuruh pelayan menghidangkan minuman. Setelah
hidangan disuguhkan dan mereka sudah minum teh, Cong San menghela napas panjang
lalu berkata,
"Saya
harap Theng-ciangkun suka maafkan. Kali ini terpaksa saya hendak minta bantuan
Ciangkun, yaitu supaya memperbolehkan saya bersama isteri saya tinggal di sini
sampai isteri saya melahirkan. Tentu saja kalau Ciangkun tidak keberatan."

Kakek itu
kelihatan terkejut dan heran. Dia pun maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang
hebat menimpa keluarga pendekar bekas murid Siauw-lim-pai ini, yang hanya
dikenalnya sepintas lalu akan tetapi telah diketahui kegagahannya itu. Dia tahu
pula bahwa pendekar ini adalah sahabat baik sekali dari Pendekar Sakti Cia Keng
Hong yang dikaguminya.
Maka tanpa
ragu-ragu dia menjawab, "Tentu saja boleh dan sama sekali tidak keberatan!
Kami hanya tinggal berempat di rumah besar ini, yaitu saya sendiri, anak
perempuan dan mantu saya ini, dan seorang cucu perempuan. Selain itu, hanya ada
dua orang pelayan. Masih ada kamar untuk engkau dan isterimu, Yap-enghiong dan
kami semua menyambut kedatanganmu dengan hati gembira. Saya bukan seorang
perwira pengawal lagi, sudah beberapa tahun mengundurkan diri karena usia tua.
Akan tetapi... kalau saja saya boleh bertanya, bagaimanakah engkau dan isterimu
sampai tiba di sini dan... dan... selama ini tinggal di mana? Sudah lama saya
tidak pernah bertemu dengan Cia Keng Hong taihiap yang kabarnya sekarang berada
di Cin-ling-san sehingga tak dapat bertanya pula tentang keadaanmu."
Cong San
menarik napas panjang, kemudian dengan singkat ia menceritakan riwayatnya yang
lalu. Betapa dia terkena urusan dengan Ma-taijin dan puteranya hilang, dan
betapa dalam mencari puteranya itu mereka mengalami banyak hal yang berbahaya,
sedangkan puteranya masih belum dapat ditemukan.
"Tadinya
kami akan tinggal terus di puncak Pegunungan Lu-liang-san, akan tetapi siapa
kira, muncul mala petaka lain, yaitu orang-orang Kwi-eng-pang." Ia
menceritakan tentang kedatangan enam orang Kwi-eng-pang, kemudian menambahkan,
"Jika tidak cepat-cepat pergi, tentu mereka itu akan datang lagi bersama
lebih banyak teman dan ketua mereka. Bukannya kami takut, akan tetapi... isteri
saya sedang mengandung, maka lebih baik kami mengalah dan pergi. Ketika kami
tiba di kota ini, saya teringat kepada Theng-ciangkun dan timbul pikiran saya
untuk minta pertolongan Ciangkun."
Kakek itu
bengong mendengarkan penuturan itu, kadang kala mengangguk-angguk tetapi ada
kalanya menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian dia berkata, "Harap
tenangkan hatimu, Yap-enghiong. Biarlah isterimu beristirahat di sini sampai
melahirkan. Dan kalau kawanan penjahat Kwi-eng-pang berani mengganggu ke sini,
hemmm... ruyungku belum berkarat dan aku ingin sekali merasai kelihaian Kwi-eng
Niocu yang kabarnya seperti iblis betina itu!"
Cong San
menghaturkan terima kasih dan tersenyum kagum mendengar ucapan yang bersemangat
itu. Kakek she Theng itu bernama Theng Kiu, bekas pengawal yang setia sekali
dari Kaisar Yung Lo semenjak kaisar itu belum menjadi kaisar seperti sekarang
dan masih menjadi raja muda di utara.
Dahulu,
Theng Kiu ini terkenal dengan senjata ruyungnya sehingga dia dijuluki Kim-pian
(Si Ruyung Emas), dan ilmu kepandaiannya, sungguh pun tidak terlampau tinggi,
namun sudah menempatkan dia di golongan orang-orang gagah. Menurut penafsiran
Cong San kalau dia tidak salah ingat, Kakek Theng ini mungkin tidak akan kalah
oleh seorang di antara enam orang Kwi-eng-pang yang menyerangnya di
Lu-liang-san.
Demikianlah,
mulai hari itu, Cong San dan isterinya tinggal menumpang di rumah bekas perwira
pengawal Theng Kiu. Suami isteri itu merasa bersukur dan berterima kasih
sekali. Kakek Theng sangat ramah, akan tetapi juga puterinya dan mantunya,
suami isteri Tan Hoat, amat baik terhadap mereka. Bahkan puteri suami isteri
ini yang bernama Tan Cui Lin, seorang dara berusia lima belas tahun yang manis,
juga bersikap menyenangkan.
Untuk
membalas kebaikan tuan rumah, Cong San berkenan melatih ilmu silat kepada Tan
Cui Lin yang sebagai cucu tunggal kakek Theng, tentu saja sudah pernah
mempelajari dasar-dasarnya sejak kecil. Karena ini, Tan Cui Lin menyebut ‘suhu’
kepada Cong San, dan ‘subo’ kepada Yan Cu.
Sambil
menanti isterinya melahirkan, selain melatih ilmu silat kepada muridnya, juga
Cong San mulai ‘membuka praktek’ pengobatan di Tai-goan. Mula-mula dia
dikenalkan kepada kawan-kawan Kakek Theng, kemudian dalam waktu beberapa bulan
saja namanya telah terkenal sehingga setiap hari ada saja yang datang minta
resep obat kepadanya. Dengan adanya sedikit penghasilan ini, agak lega hati
Cong San karena dia menyerahkan semua hasil ini kepada keluarga Kakek Theng
yang telah menampung mereka.
Waktu
berjalan dengan cepatnya dan beberapa bulan kemudian Yan Cu telah melahirkan
seorang anak perempuan dengan selamat di rumah keluarga Theng Kiu. Mereka
memberi nama Yap In Hong kepada anak itu.
Atas bujukan
dan nasehat Kakek Theng, karena pekerjaan Cong San mulai maju dan sudah banyak
penduduk yang menjadi langganannya, dengan menjual semua perhiasan yang masih
dimiliki Yan Cu, ditambah dengan simpanan sedikit-sedikit selama ini, dan
dibantu pula oleh Kakek Theng, Cong San membeli sebidang tanah di Tai-goan.
Di atas tanah
itu telah ada bangunannya, akan tetapi bangunan kuno yang sudah hampir ambruk.
Oleh karena itu, mulailah dia membangun kembali rumah itu dan setiap hari dia
pergi memimpin para tukang untuk memperbaiki rumah yang dibelinya. Dia dan
isterinya sudah mengambil keputusan untuk tinggal di Tai-goan!
Yang
membantunya adalah Tan Hoat, dan kadang-kadang muridnya, Cui Lin, datang pula
membantu, mengatur ini dan itu, membersihkan dan mengatur kebun di belakang
rumah, menanami kembang-kembang. Membangun kembali rumah yang rusak itu makan
waktu berbulan-bulan, dan In Hong sudah menjadi seorang anak yang mungil dan
sehat berusia setengah tahun lebih ketika akhirnya rumah itu siap untuk
ditempati.
Pada hari
terakhir itu, Cui Lin turut membantu suhu-nya membersihkan rumah baru serta
mengatur perabot rumah sederhana dengan penuh kegembiraan. Dara ini sayang
sekali kepada suhu dan subo-nya, dan merasa beruntung menjadi murid seorang
yang berilmu tinggi seperti mereka. Baru belajar setahun lebih saja, dia sudah
memperoleh kemajuan hebat, dan hal ini dikatakan secara jujur oleh kakeknya
sendiri.
"Ketahuilah,
cucuku. Gurumu itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi,
murid dari manusia sakti Tiong Pek Hosiang. Subo-mu juga bukan orang
sembarangan karena dia itu masih sumoi dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang
kini menjadi Ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san. Maka kau belajarlah baik-baik
dan dalam beberapa tahun lagi kakekmu ini sudah tidak akan kuat
melawanmu."
Maka gembira
sekali hati Cui Lin setelah suhu dan subo-nya mengambil keputusan untuk tinggal
di Tai-goan. Dengan demikian berarti dia akan dapat belajar terus. Dia membantu
suhu-nya memberes-bereskan rumah baru itu dari pagi sampai lewat tengah hari.
Besok pagi keluarga suhu-nya sudah akan pindah ke rumah baru ini.
"Cui
Lin, kau lanjutkanlah memberesi kamar ini dengan Phoa-ma (nama pelayan wanita),
aku akan kembali dulu ke rumah kakekmu."
"Baiklah,
Suhu. Serahkan saja kepada teecu dan Phoa-ma, tentu sore nanti telah
selesai," jawab dara itu gembira.
Akan tetapi
hati Cong San tidak segembira biasanya ketika dia meninggalkan rumah baru itu.
Entah mengapa, hatinya terasa tidak enak, padahal dia tidak terganggu sesuatu.
Ada dorongan di hatinya agar dia cepat pulang ke rumah Kakek Theng. Menurutkan
dorongan hatinya ini, tergesa-gesa Cong San kembali ke rumah keluarga Theng
yang berada di sebelah selatan kota, agak jauh dari rumah baru itu.
Tidaklah
mengherankan kalau hati Yap Cong San merasa tidak enak sekali karena pada saat
dia membersihkan rumah baru bersama muridnya dan seorang pelayan merangkap
pengasuh anaknya, di rumah keluarga Kakek Theng terjadi malapetaka yang hebat
sekali!
Pada waktu
itu, Yan Cu dengan hati gembira sekali sedang berkemas karena besok pagi mereka
akan pindah ke rumah baru. Hatinya gembira sekali dan sudah banyak rencana di
dalam hatinya. Dia akan berusaha membuka toko obat lagi di Tai-gon dan di kota
besar ini tentu dia dan suaminya akan mendapat kemajuan jauh lebih besar dari
pada di kota Leng-kok. Setelah In Hong agak besar dan keadaannya di rumah baru
menjadi baik, dia akan mengajak suaminya pergi ke Cing-ling-san untuk meminta
bantuan suheng-nya, Cia Keng Hong agar bersama suaminya mencari Kun Liong.
Betapa akan
bahagianya kalau Kun Liong masih hidup dan dapat berkumpul lagi dengan ayah
bundanya. Tentu puteranya itu telah besar, telah dewasa! Sudah tujuh belas
tahun tentu usianya! Dan betapa wajah puteranya itu akan penuh keheranan
melihat adiknya!
Tiba-tiba
dia mendengar teriakan Kakek Theng, "Nyonya mantu! Lari...!"
Dia terkejut
sekali. Yang disebut nyonya mantu adalah dia, karena suaminya telah diakui
sebagai anak angkat Kakek Theng. Mendengar suara teriakan yang penuh
kegelisahan dari kakek itu, kemudian mendengar betapa suara teriakan itu
mendadak terhenti, hatinya merasa khawatir sekali. Tentu saja dia tidak mau
lari seperti diminta oleh kakek itu, dan dia menduga bahwa tentu terjadi
sesuatu yang hebat. Cepat dia menyambar pedangnya dan dengan pedang terhunus
Gui Yan Cu meloncat keluar dari kamarnya dan berlari ke ruangan dalam.
Hampir saja
dia berseru kaget, matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat ketika dia
melihat mayat-mayat bergelimpangan! Mayat Tan Hoat dan isterinya dengan leher
hampir putus, mayat dua orang pelayan di luar pintu, dan mayat kakek Theng sendiri
di ruangan tengah, kepala kakek itu pecah dan senjata ruyungnya masih
tergenggam di tangannya. Agaknya kakek ini telah melakukan perlawanan sampai
saat terakhir sambil tadi berteriak menyuruhnya lari.
Dapat
dibayangkan betapa marahnya Gui Yan Cu. Dengan air mata memenuhi pelupuk
matanya dia lalu melompat dan menerobos ke ruangan dalam yang lebar dan dia
terhenti tegak di pintu ketika melihat lima orang enak-enakan duduk di dalam
ruangan itu sambil tersenyum-senyum menyeringai.
Seorang di
antara mereka adalah Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci! Yang empat orang lainnya tidak
dikenalnya, yaitu seorang wanita setengah tua yang masih cantik dan berpakaian
mewah bersama tiga orang laki-laki tua yang keadaannya menyeramkan.
"Apa...
apa yang telah kalian lakukan?" Dia membentak, sedikit pun tak merasa
takut biar di situ terdapat Bu Leng Ci yang lihai, karena kemarahan telah
membuat nyonya ini tidak lagi mengenal takut dan sama sekali tidak ingat akan
bahaya lagi.
"Inilah
dia yang bernama Gui Yan Cu, ibu bocah setan itu," kata Bu Leng Ci.
Wanita
berpakaian mewah itu mengangkat muka. "Eh, Gui Yan Cu. Aku memanggil kau
dan suamimu ke Kwi-ouw, mengapa kau dan suamimu malah menghina anak
buahku?"
Yan Cu
semakin marah setelah mengetahui bahwa wanita itu adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi
Nio. "Hemmm, jadi engkau inikah yang disebut Kwi-eng Niocu, ketua
perkumpulan sesat Kwi-eng-pang?"
"Huh!
Huhh!" Kakek yang matanya sipit lehernya panjang seperti leher ular itu
menahan ketawanya.
"He-heh-heh!"
Kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali terkekeh. "Kalau dia tidak
takut terhadap dua orang datuk betina, tentu tidak gentar pula terhadap kami
tiga orang datuk jantan, dan tentu kepandaiannya setinggi langit!"
Gui Yan Cu
memandang kakek muka hitam itu dan mendengar ucapan ini, dia terkesiap juga.
Jantungnya berdebar tegang dan dia membentak, "Jadi kalian berlima inikah
yang disebut lima Datuk kaum sesat?"
Kakek tua
renta berambut putih panjang yang matanya juling akan tetapi mengeluarkan sinar
aneh dan mengerikan itu terbatuk-batuk, lalu menggumam, "Dan engkau
kabarnya sumoi dari Cia Keng Hong. Benarkah?"
"Benar!
Aku bersama suamiku selamanya tidak pernah berurusan dengan kalian, lenapa
kalian mengganggu kami dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa ini?
Beginikah sepak terjang tokoh-tokoh besar yang mengaku diri sebagai para datuk?
Seperti kelakuan bajingan-bajingan kecil saja!"
Yan Cu
maklum bahwa dia kini berhadapan dengan orang-orang yang tak mungkin dapat
dilawannya, akan tetapi dia sama sekali tidak takut karena kemarahannya melihat
kakek Theng, anaknya, mantunya, dan pelayan-pelayan terbunuh seperti itu.
"Gui
Yan Cu! Tidak perlu banyak cakap. Katakan di mana adanya bokor emas yang dicuri
oleh anakmu yang bernama Kun Liong itu kalau menghendaki agar nyawamu dapat
kami perpanjang beberapa lamanya."
Mendengar
kata-kata ini, wajah yang tadinya pucat itu kelihatan berseri-seri. Pertanyaan
itu membuktikan bahwa Kun Liong masih hidup!
"Aku
tidak tahu apa yang kau maksudkan tadi. Selamanya aku belum pernah mendengar
tentang bokor emas dan andai kata aku mengetahuinya juga, apakah kau kira aku
akan memberi tahukan kepada kalian?"
"Perempuan
sombong! Kalau begitu, mampuslah engkau!" Kwi-eng Niocu sudah hendak
menggerakkan tangan menyerang.
Akan tetapi
kakek tua renta berambut putih itu terbatuk-batuk, kemudian melangkah maju
menghalangi Kwi-eng Niocu sambil berkata, "Nanti dulu, Pangcu. Kalau dia
benar sumoi dari Cia Keng Hong, biarkan aku mencoba Thi-khi I-beng."
Kakek
berambut putih itu bergerak ke depan. Yan Cu yang maklum bahwa tak mungkin dia
menghindarkan diri dari pertandingan mati-matian, segera mengelebatkan
pedangnya dan menyerang dengan tusukan ke dada dilanjutkan dengan bacokan
menyamping ketika kakek itu mengelak.
Tiba-tiba
pedang itu tertahan oleh jubah kakek itu yang dipegang di tangan kiri, kemudian
secara cepat dan aneh sekali, tangan kanannya sudah menyambar dan menampar ke
arah kepala Yan Cu. Gerakan ini amat cepat, maka terpaksa Yan Cu menganglcat
tangan kiri menangkis.
"Plakkk!"
Yan Cu
terhuyung ke belakang, lengannya terasa sakit sekali. Kakek itu tampak kecewa,
tidak melanjutkan gerakannya dan mengomel,
"Mana
itu Thi-khi I-beng yang disohorkan orang? Kalau kepandaian perempuan ini hanya
sedemikian saja, tidak cukup pantas melayani aku!"
Diam-diam
Yan Cu terkejut bukan main. Kakek berambut putih itu benar hebat sekali dan
kalau dilanjutkan pertandingan itu, biar pun dia memegang pedang, agaknya sukar
sekali baginya untuk menang. Dia menduga bahwa tentu kakek berambut putih itu
yang berjuluk Toat-beng Hoatsu, yaitu datuk yang penuh rahasia dan mungkin
sekali yang paling lihai di antara lima orahg itu.
"Aku
pun ingin mencobanya!" berkata kakek muka hitam yang bukan lain adalah
Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu.
Belum habis
ucapannya, tubuhnya sudah bergerak dan sinar kilat sebatang golok besar di
tangannya sudah menyambar dahsyat. Yan Cu cepat memutar pedangnya menangkis.
"Tranggg...!"
Kembali Yan
Cu terkejut bukan main karena pedangnya terpental dan lengannya gemetar saking
kuatnya tenaga yang terkandung pada golok itu. Namun dia tidak menjadi jeri dan
sudah membalas serangan lawan baru ini dengan gerakan pedangnya yang lincah.
Sambil tertawa-tawa
mengejek Si Kakek Muka Hitam itu lantas menyambut dengan golok besarnya dan
terjadilah pertandingan yang seru. Namun dalam belasan jurus saja pedang Yan Cu
sudah tertindih dan beberapa kali pertemuan kedua senjata itu secara kuat sudah
membuat pedangnya hampir terlepas dari tangannya.
Mulailah Yan
Cu merasa khawatir. Dia bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan
mengkhawatirkan puterinya yang kini dia dengar menangis di dalam kamarnya! Ia
sendiri tidak takut mati, akan tetapi bagaimana nasib puterinya yang usianya
belum ada satu tahun itu kalau sampai terjatuh ke dalam tangan iblis-iblis ini?
Mengapa suaminya belum juga pulang?
"Hek-bin
Thian-sin, aku ikut berpesta, ha-ha-ha-ha!" Suara ini keluar dari mulut
Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan pedangnya yang berbentuk ular itu telah
meluncur ke depan.
Pada saat
itu, Yan Cu baru saja menangkis golok besar Hek-bin Thian-sin yang membuat
tangannya gemetar. Maka begitu pedang itu sekarang bertemu dengan pedang ular
yang didorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya, dia tidak dapat
mempertahankan lagi dan pedangnya terlepas dari tangannya.
Suara
terkekeh di belakangnya adalah suara Bu Leng Ci yang sudah menyambar pedang itu
dan pada waktu itu Yan Cu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, panas dan
membuat tubuhnya menggigil saking nyerinya. Maklum bahwa nyawanya terancam, dan
teringat akan nasib puterinya, Yan Cu mengeluarkan pekik melengking yang
dimaksudkan untuk memanggil suaminya.
Guratan kuku
jari tangan Kwi-eng Niocu yang menggores pundak Yan Cu itu membuat wanita
perkasa ini terhuyung dan pening kepalanya. Namun dia masih nekat dan sambil
membalik dia membarengi memukul sebelum Kwi-eng Niocu menarik tangannya.
"Dukkk!"
Sungguh pun
Kwi-eng Niocu tidak roboh oleh pukulan yang menyambar dan mengenai pangkal
lengannya ini, namun cukup membuat dia merasa kesakitan dan lengan kirinya
seperti lumpuh sejenak.
Dia marah
sekali. Sambil mengeluarkan suara menggereng laksana harimau terluka, dia
menubruk maju dan tangannya menampar. Yan Cu yang sudah pening itu hanya mampu
menangkis sebuah tamparan dengan tangan kiri yang kurang cepat gerakannya itu,
akan tetapi tamparan tangan kanan Si Bayangan Hantu mengenai lehernya.
Yan Cu
terpekik dan terjengkang. Sebelum tubuhnya jatuh mengenai tanah, sinar pedang
berkelebat dan pedangnya sendiri yang dipergunakan oleh Bu Leng Ci telah
menembus dada wanita perkasa ini! Gui Yan Cu tidak mengeluh lagi, roboh
telentang dengan dada tertembus pedangnya sendiri, tewas seketika. Darah
muncrat membasahi bajunya.
Pada saat
Yan Cu mengeluarkan suara melengking tadi, Yap Cong San telah tiba dekat rumah
itu. Dia terkejut mengenal lengking isterinya dan cepat sekali dia berlari ke
dalam rumah. Ketika dia mendengar suara tangis puterinya, dia langsung memasuki
kamar dan lega hatinya melihat puterinya itu menangis di atas ranjang dalam
keadaan selamat. Dia menyambar puterinya itu dan dibawanya lari keluar.
Ketika dia
melihat mayat-mayat bergelimpangan, yakni mayat Kakek Theng, puterinya,
menantunya dan dua orang pelayan, Cong San terkejut setengah mati. Dengan
jantung berdebar tegang dia terus berlari ke arah suara pertempuran di ruangan
dalam dan pada waktu dia muncul di ambang pintu ruangan itu dilihatnya
isterinya sudah rebah terlentang dengan dada tertembus pedang!
"Yan
Cuuu...!!" Dia memekik dan meloncat ke dalam.
Sejenak dia
bagai terpesona memandang jenazah isterinya, kemudian pandang matanya menyapu
pada wajah lima orang yang berdiri di situ sambil tersenyum-senyum. Air mata
mengalir di sepanjang kedua pipi pendekar itu, akan tetapi sepasang matanya tak
pernah berkedip ketika dia memandang ke arah mereka satu demi satu, kemudian
kembali dia menoleh kepada jenazah isterinya.
"Yan
Cu... ohh... ohhh... Yan Cu...!" Dia merintih, rintihan yang diselingi
oleh tangis Yap In Hong, anak kecil dalam pondongannya.
Tiba-tiba
saja Cong San membalikkan tubuh menghadapi lima orang itu. Begitu melihat Bu
Leng Ci, mudah saja baginya untuk menduga siapa adanya empat orang yang lain
itu. Walau pun dia belum pernah bertemu muka dengan mereka itu, akan tetapi dia
sudah mendengar berita tentang lima orang datuk kaum sesat.
Biar pun
kemarahan dan kedukaan menyesak di dalam dadanya, namun sebagai seorang
pendekar besar Cong San dapat menekan perasaannya dan dia harus lebih dahulu
tahu siapa sebenarnya mereka dan mengapa mereka membunuh keluarga Kakek Theng
dan isterinya.
"Bukankah
kalian ini Lima Datuk kaum sesat?" tanyanya dengan suara yang terdengar
aneh sekali, agak parau dan nadanya bercampur tangis dan kemarahan.
"Hi-hi-hi-hik,
sudah tahu mengapa tidak lekas berlutut minta ampun?" Bu Leng Ci tertawa
mengejek.
"Mengapa
kalian memusuhi kami?"
"Yap
Cong San, anakmu yang bernama Kun Liong telah mencuri bokor emas. Lekas kau
katakan di mana dia dan di mana adanya bokor emas itu, kalau tidak, terpaksa
engkau akan menyusul isterimu!"
Bu Leng Ci
berkata dengan wajah gembira. Memang wanita iblis ini paling suka melihat orang
berduka dan sengsara. Bukan hanya dia, bahkan demikian juga dengan keempat
orang kawannya, pandang mata mereka seperti mata kanak-kanak melihat seekor
cacing menggeliat-geliat kepanasan dalam sekarat. Sedikit pun tidak ada rasa
kasihan, bahkan gembira dan puas!
Akan tetapi
Cong San tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan pertanyaan ini, dia bahkan
bertanya lagi, "Siapa yang membunuh isteriku?"
"Aku
yang membunuhnya, kau mau apa?" belum habis ucapan ini keluar dari mulut
Bu Leng Ci, Cong San sudah menggerakkan senjata pit hitam di tangan kanannya.
"Siuuuuttt...
wesss!"
Cepat bukan
main serangan maut itu, dilakukan dengan hati sakit dan penuh dendam, menusuk
ke arah dada orang termuda dari Lima Datuk kaum sesat itu. Bu Leng Ci tidak
sempat mencabut samurainya dan hanya dapat mengelak dengan hati kaget sekali
untuk menyelamatkan dirinya.
"Brettt!"
Baju yang menutup dada terobek sedikit berikut sedikit kulit di bagian kanan.
"Keparat!"
Bu Leng Ci marah bukan main, juga malu karena hampir saja dia celaka oleh
serangan itu tadi.
"Srattt…!"
Samurai panjang telah dicabutnya, dan dia menyerang kalang kabut.
"Tring-tring-tranggg…!"
Bunga api
berpijar ketika senjata pit itu menangkis samurai. Kwi-eng Nio-cu membantu adik
angkatnya dengan cengkeraman dari samping ke arah pundak Cong San, akan tetapi
pendekar ini cepat mengelak dan pit-nya langsung berkelebat menyambut untuk
menotok sambungan siku Si Bayangan Hantu.
Gerakannya
cepat dan kuat sekali. Sakit hati, kemarahan dan kedukaan melihat isterinya
yang terkasih tergeletak tak bernyawa dengan dada tertembus pedang, agaknya
melipat gandakan tenaga dan kecepatannya.
Si Bayangan
Hantu terpaksa menarik kembali lengannya dan di lain saat, Yap Cong San telah
dikeroyok oleh empat orang di antara lima datuk hitam itu. Hanya Toat-beng
Hoatsu seorang yang berdiri menonton saja, tidak ikut turun tangan.
Biar pun
demikian, Cong San sudah repot sekali. Jangankan dikeroyok oleh empat orang
yang lihai itu, baru seorang di antara mereka saja sudah merupakan lawan berat
yang belum tentu dapat dikalahkannya. Betapa pun juga, Cong San tidak gentar
dan melawan mati-matian, biar pun gerakannya tidak leluasa karena lengan
kirinya masih memondong puterinya yang menangis nyaring.
Pertandingan
yang berat sebelah! Yap Cong San adalah murid Tiong Pek Ho-siang. Dia sudah
menguasai ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh dan murni. Akan tetapi, dengan
seorang anak kecil dalam pondongannya, menghadapi empat di antara datuk-datuk
kaum sesat itu, tentu saja dia terdesak hebat sekali sehingga beberapa belas
jurus kemudian dia hanya mampu mempertahankan diri dan melindungi puterinya
saja.
Apa lagi
karena empat orang lawannya adalah orang-orang sakti golongan hitam yang tidak
pantang melakukan pengeroyokan dan menggunakan siasat licik. Kini mereka yang
mengeroyok sambil tertawa-tawa seperti hendak mempermainkan lawan, bukan hanya
menyerang Cong San, akan tetapi juga menujukan serangannya kepada anak kecil
dalam podongan pendekar itu.
Hal ini
membuat Cong San selain marah dan duka, juga khawatir sekali. Tadi dia dilanda kedukaan
yang amat dalam sehingga baru sekarang teringat bahwa puterinya yang masih
kecil dan terus menangis ini terancam bahaya maut! Maka dia kini mencurahkan
seluruh daya pertahanannya untuk melindungi puterinya.
"Huhh!
Memalukan!" Toat-beng Hoatsu mengeluarkan seruan keras ketika menyaksikan
betapa sampai tiga puluh jurus lebih empat orang kawannya masih belum juga
mampu merobohkan seorang lawan yang mereka keroyok.
Baru
pengeroyokan itu saja sudah sangat menjengkelkan kakek ini. Disebut datuk-datuk
akan tetapi masih melakukan pengeroyokan! Merendahkan martabat ini namanya!
Untuk mengakhiri pengeroyokan yang memalukan ini, tiba-tiba dia menggerakkan
jubahnya dari belakang, mengarah kepala anak kecil dalam pondongan Cong San!
Terkejut
bukan main hati Cong San ketika merasa angin dahsyat sekali menyambar ke arah
kepala anaknya. Jangankan sampai mengenai langsung, baru sambaran angin yang
dahsyat itu saja sudah cukup untuk membunuh puterinya!
Tidak ada
jalan lain baginya kecuali mengorbankan diri untuk melindungi anaknya. Cepat
Cong San membalik sehingga tubuh anaknya terlindung dan dia memutar pit-nya
untuk menyambut datangnya jubah lebar yang amat dahsyat sambarannya itu.
"Bretttt...!
Desss...!"
"Suhu...!
Subo...!" Terdengar jerit melengking di pintu ruangan.
Cong San
cepat memutar tubuh dan melemparkan Yap In Hong ke arah muridnya sambil
berteriak, "Cui Lin, bawa lari In Hong...!"
Hantaman
jubah di tangan Toat-beng Hoatsu tadi hebat sekali. Memang pit-nya mampu
merobek jubah itu, akan tetapi pit itu sendiri hancur dan lengan kanannya
lumpuh dengan tulang patah-patah. Kini dia sudah mencabut pit putih dengan
tangan kirinya dan bersiap menghadapi lawan-lawan yang amat lihai itu!
Akan tetapi
Cui Lin tidak dapat lari karena sepasang kakinya menggigil ketika dia melihat
subo-nya mati. Apa lagi ketika dia melihat mayat ayahnya, ibunya, kakeknya
berserakan, hampir dia roboh pingsan. Dia hanya berlutut dan menangis sambil
memeluk In Hong!.....
.
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment