Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 08
PADA
keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu sudah siap untuk meninggalkan
kuil tua melanjutkan perjalanan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan kaget
seorang di antara para anggota Pek-lian-kauw di luar! Semua orang kecuali Kun
Liong yang masih terbelenggu dan rebah meringkuk di atas lantai dingin,
berlarian ke luar.
Kun Liong
mendengar ada suara orang yang berbantahan di luar kuil, akan tetapi dia tidak
dapat mendengar jelas dan tidak dapat melihat karena tak dapat bergerak dari
tempat itu. Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat masuk. Cuaca masih suram
karena hari masih sangat pagi dan sinar matahari baru sedikit menyinari ruangan
dalam kuil itu di mana dia berada.
"Engkau
Kun Liong, bukan?" Terdengar suara bayangan itu yang tidak begitu jelas
bentuk wajahnya, namun bentuk tubuhnya jelas menunjukkan seorang dara remaja.
Tentu Hwi
Sian, siapa lagi? Berdebar rasa jantung Kun Liong dan mukanya terasa panas
sekali karena jengah teringat akan ciuman di kepalanya. Sebelum dia sempat
menjawab pertanyaan aneh itu, karena kalau dia Hwi Sian perlu apa bertanya lagi
apakah dia Kun Liong, dara remaja itu menggerakkan sebatang pedang panjang yang
mengeluarkan sinar berkeredepan dan... sekali tebas saja belenggu kaki di
tangan Kun Liong putus semua! Bukan main hebatnya gerakan pedang ini!
Kun Liong
menggosok-gosok pergelangan kedua tangannya yang terasa nyeri dan hampir mati
rasa. Malam tadi totokan pada tubuhnya telah terbebas dengan sendirinya.
Sekarang dia memandang terbelalak.
Dara ini
bukan Hwi Sian! Sama sekali bukan, biar pun dara remaja yang agak lebih muda
ini juga cantik sekali, cantik dan sikapnya tenang, bahkan agak dingin. Sikap
dingin itu terasa sekali pada bentuk mulut dan dagunya yang mengeras, dan
matanya yang keras seperti baja, memandang seperti tanpa perasaan.
"Kau...
kau siapakah?"
"Engkau
tentu lupa lagi kepadaku, setelah berpisah lima tahun. Aku Yo Bi Kiok."
"Aihh!
Tentu saja aku lupa! Engkau sudah... eh, besar sekarang, sudah menjadi seorang
dara yang... ahhh, cantik jelita!" Kun Liong berhenti ketika melihat sinar
mata itu tiba-tiba menjadi tajam sekali ditujukan padanya. Maka cepat dia
menyambungnya, "Dan engkau menjadi lihai sekali dengan pedangmu. Bi Kiok,
bagaimana engkau bisa mengenalku?"
Bi Kiok
menggerakkan pandang matanya dan tahulah Kun Liong. Kepalanya! Tentu saja, di
dunia ini mana ada kepala gundul lain kecuali dia? Kalau ada pemuda gundul,
tentu para hwesio.
Tak terasa
lagi ia menggerakkan tangan mengelus kepalanya, memandang Bi Kiok sambil
tersenyum.
"Terima
kasih, Bi Kiok. Engkau telah dua kali menyelamatkan nyawaku. Yang pertama di
sungai dahulu dan kini..."
"Sudahlah.
Harap engkau cepat-cepat pergi dari sini. Kalau terlambat, aku benar-benar tak
akan dapat menyelamatkan nyawamu lagi. Cepat pergi, Kun Liong dan jangan banyak
bertanya!"
"Ah,
mengapa begitu? Apakah aku tidak boleh bicara denganmu setelah pertemuan yang
tak tersangka-sangka ini?"
"Tidak,
jangan! Pergilah!"
"Hanya
untuk mengucapkan terima kasih juga tidak boleh?"
Dara itu
menghela napas. "Engkau bandel. Mereka semua akan mati, dan engkau juga
kalau tidak lekas pergi!"
Melihat dara
itu gelisah bukan main, Kun Liong menjadi tidak tega. Dia tidak takut akan
ancaman maut, akan tetapi dia tidak mau menyusahkan hati dara yang sudah dua
kali menolongnya ini.
"Baiklah,
Bi Kiok. Aku pergi, akan tetapi terimalah ucapan terima kasihku kepadamu!"
Rasa terima
kasih membuat Kun Liong memegang tangan kanan dara itu, lalu membawa tangan itu
kepada... kepalanya yang gundul hingga terasa olehnya betapa telapak tangan
yang halus hangat itu menyentuh gundulnya! Di dalam hatinya dia heran sekali,
mengapa dia ingin sekali gundulnya disentuh oleh tangan dara ini? Akan tetapi
Bi Kiok merasa geli dan menarik tangannya biar pun secara halus.
"Pergilah,
Kun Liong."
"Kapan
kita bertemu lagi, Bi Kiok?"
"Tidak
mungkin bertemu lagi. Selamat berpisah!" Sesudah berkata demikian, dara
itu lalu melangkah ke luar, di pintu membalik dan berkata, "Kau ambil
jalan dari pintu belakang. Cepat!" Barulah dara itu meloncat ke depan dan
tak nampak lagi.
Kun Liong
segera menyelinap melalui belakang kuil, akan tetapi dia tidak pergi seperti
sudah dipesan oleh Bi Kiok, melainkan berindap-indap menyelinap di antara
pohon-pohon menuju ke luar kuil. Tak lama kemudian dia telah bersembunyi di
belakang semak-semak sambil mengintai ke halaman kuil. Sepasang matanya
terbelalak penuh kengerian ketika dia menyaksikan apa yang terjadi di halaman
kuil tua itu.
Seorang
wanita yang bertubuh pendek, sama tingginya dengan Bi Kiok yang baru berusia
tiga belas tahun, akan tetapi wajah wanita itu menunjukkan bahwa dia telah
berusia dua kali lebih, tampak berdiri di tengah halaman. Wajah wanita itu
cantik dengan muka bulat, di punggungnya tampak sebatang pedang panjang agak
melengkung, rambutnya panjang digelung secara aneh. Yang mengerikan adalah
tangannya yang berlepotan darah itu menggenggam sepotong benda berdarah yang
dimakannya dengan gigitan-gigitan kecil!
Di hadapan
kakinya menggeletak sesosok mayat anak buah Pek-lian-kauw dengan dada robek,
ada pun empat orang anggota Pek-lian-kauw lainnya masih mengurungnya dengan
senjata di tangan, bersama Loan Khi Tosu, Ouw Ciang Houw dan Kiang Ti yang
semua telah memegang senjata masing-masing menghadapi wanita cantik itu. Bi
Kiok berdiri di pinggir, bersedakap dan menonton dengan wajah dingin!
Tiba-tiba
saja Loan Khi Tosu mengeluarkan suara pekik dahsyat, itulah Sai-cu Ho-kang
(Auman Singa) yang dapat melumpuhkan lawan. Akan tetapi wanita itu tidak
bergoyang sedikit pun, bahkan menghadapi terjangan Loan Khi Tosu yang disusul
teman-temannya, dia hanya bersikap seenaknya, menghabiskan benda berdarah yang
dimakannya.
Setelah
senjata tujuh orang itu berkelebatan dekat hampir mengenai tubuhnya, barulah
wanita itu menyambutnya. Sisa benda berdarah itu digigitnya, kemudian kedua
tangannya bergerak-gerak dan tiba-tiba sanggul rambutnya terlepas, rambut itu
lalu berubah menjadi bayangan hitam yang menyambar ke sekelilingnya, jari-jari
tangannya juga menyambar sehingga tampaklah darah muncrat-muncrat disusul pekik
mengerikan berkali-kali.
Sebentar
saja semua gerakan berhenti, dan Kun Liong yang bersembunyi memandang dengan
muka pucat sekali, matanya terbelalak dan mulutnya terasa kering! Penglihatan
di depannya itu terlalu menyeramkan!
Hanya Loan
Khi Tosu dan Kiang Ti dua orang saja yang masih hidup, bangkit duduk dan cepat
mengatur pernapasan. Lima orang yang lain, yaitu Ouw Ciang Houw Si Sastrawan
Cabul dan empat orang anggota Pek-lian-kauw yang tadi mengeroyok, telah
menggeletak malang-melintang dengan dada terobek dan jantung mereka kini sudah
berada di tangan wanita itu!
"Tahukah
engkau mengapa aku tidak membunuh kalian berdua?" Terdengar suara wanita
itu sesudah dia menyemburkan sisa jantung pertama yang tadi digigitnya ke atas
tanah. Mulutnya yang berlepotan darah itu amat mengerikan.
"Loan
Khi Tosu, karena aku ingin engkau pergi dan menghadap Ketua Pek-lian-kauw lalu
mengatakan bahwa kalau dia menghendaki bantuan Siang-tok Mo-li, dia harus
bersikap lebih hormat dan mengundangku sendiri, dan kematian lima orang anak
buahnya ini untuk peringatan bahwa meski pun aku suka bekerja sama, namun sama
sekali aku bukanlah anak buah atau kaki tangan Pek-lian-kauw!"
Dengan susah
payah Loan Khi Tosu bangkit, tongkatnya sudah patah-patah serta tulang
pundaknya patah pula. "Pinto mengerti dan pesan Locianpwe akan pinto
sampaikan pada ketua kami."
"Tolol
kau, tosu busuk! Setua engkau menyebut aku Locianpwe? Aku adalah Nona Bu,
mengerti?"
Tosu itu
mengangguk-angguk dan menyeringai.
"Dan
engkau orang she Kiang, aku tidak membunuhmu bukan karena aku takut terhadap
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, melainkan aku ingin engkau menyampaikan pesan kepada
gurumu itu bahwa kalau aku memang mau, mudah saja aku membunuh murid kepalanya.
Nah, kalian minggatlah!"
Dua orang
itu melangkah pergi dengan terhuyung-huyung dan wanita itu terkekeh genit,
kemudian dia memandang sambil menegur kepada Bi Kiok yang sejak tadi berdiri
dengan kedua lengan bersedakap tanpa bergerak bagaikan patung, "Bi Kiok,
mengapa engkau menolong Si Gundul itu?"
Bukan main
kagetnya hati Kun Liong. Juga Bi Kiok diam-diam merasa kaget sekali biar pun
wajahnya tidak membayangkan sesuatu.
"Dia
bukan segolongan dengan orang-orang ini, Subo," jawab Bi Kiok, suaranya
dingin dan sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
"Hemm,
kau kira aku tidak tahu akan hal itu? Semalam kulihat dia seorang pemuda yang
bertulang baik dan berdarah bersih, tentu jantungnya lebih bermanfaat bagiku.
Akan tetapi engkau sudah menolongnya dan membebaskannya. Ehh, Bi Kiok jangan
main-main kau. Apakah engkau jatuh cinta kepada pemuda gundul yang tampan
itu?"
Kembali Kun
Liong kaget hingga tubuhnya terguncang. Bukan main perempuan itu. Amat
mengerikan dan ganas, juga cerdik luar biasa. Entah mengapa dan bagaimana Bi
Kiok sampai bisa menjadi murid Iblis betina yang menyeramkan itu.
"Tidak,
Subo. Jangan Subo menyangka yang bukan-bukan. Karena melihat dia menjadi
tawanan orang-orang ini, maka teecu menganggap bahwa Subo tak menghendakinya
dan teecu melepaskan belenggunya."
"Untung
bahwa kau tidak mencintanya. Kalau kau mencintanya, sekarang juga dia akan
kubunuh dari tempat ini!"
Untuk ketiga
kalinya Kun Liong kaget setengah mati. Celaka, agaknya wanita mengerikan itu
tahu bahwa dia bersembunyi di situ. Jika tidak, mana mungkin wanita itu
mengatakan dapat membunuh Kun Liong dari tempat dia berdiri?
"Mengapa
begitu, Subo? Teecu tidak mencinta pada siapa-siapa, akan tetapi jika teecu
mencintanya mengapa Subo hendak membunuhnya?"
"Pertanyaan
yang tolol! Jatuh cinta kepada seorang pria berarti membunuh diri sekerat demi
sekerat, tahukah engkau? Mencinta pria tidak ada gunanya sama sekali, karena di
dunia ini tidak ada pria yang setia! Sebelum mendapatkan dirimu, pria bersumpah
setinggi langit sedalam lautan, tetapi kalau sudah mendapatkan, matanya liar mencari
perempuan lain. Tahu? Karena itu, jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada
pria, dan kalau kelak engkau jatuh cinta jalan satu-satunya yang baik adalah
membunuhnya, merubah cintamu menjadi benci. Mengerti?"
Bi Kiok
tidak menjawab dan agaknya iblis betina itu pun tidak membutuhkan jawaban
karena dia sudah mulai mengganyang lima buah jantung yang masih basah oleh
darah itu, masing-masing digigit sepotong lalu dibuang sambil mengomel,
"Ihhh,
jantung manusia-manusia celaka ini sama sekali tidak enak, terutama jantung dia
yang berpakaian sastrawan ini!" Dia menggerakkan kakinya menendang.
"Prokkk!"
Kepala mayat Ouw siucai remuk dan otaknya berantakan!
"Uweeekk…!"
Tak dapat
ditahan lagi Kun Liong muntah-muntah di tempat persembunyiannya! Dia muak bukan
main, tak dapat ditahannya lagi, bukan hanya muak melihat iblis betina itu
makan jantung mentah, juga amat muak mendengar ucapannya.
"Ihhhh...!"
Bi Kiok tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya karena dia sungguh tidak
menyangka bahwa Kun Liong masih bersembunyi di tempat itu!
"Nah,
kau lihat betapa menjemukan laki-laki!" Gurunya berkata lagi, "Untung
engkau tidak mencintanya, kalau kau mencintanya, engkau kuharuskan membunuhnya
sekarang juga. Karena kau sudah membebaskannya, kita harus menjaga gengsi!
Biarlah dia bebas, akan tetapi sekali lagi kita berjumpa dengan bocah gundul
itu, engkau ketuk kepala gundulnya sampai pecah!"
Kun Liong
tak dapat menahan rasa panas yang membakar di dalam perutnya. Dia boleh mati
dibunuh, akan tetapi tidak mungkin dia diam saja menelan penghinaan orang,
meski pun orang itu sekejam iblis betina ini! Dia tidak bersalah apa-apa,
mengapa dihina?
"Ehh,
ehhh, nanti dulu! Aku tidak melakukan suatu kesalahan, mengapa tiada hujan
tiada angin, tiada api tiada air, Bibi datang-datang lantas memaki-maki aku?"
Kun Liong sudah melompat keluar dari balik semak-semak sambil mengusap mulutnya
yang tadi muntah, memandang kepada iblis betina itu tanpa berkedip dan sedikit
pun tidak merasa takut.
"Gundul
buruk! Siapa bibimu?!" Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci membentak, terheran juga
menyaksikan keberanian bocah gundul ini.
"Siapa
lagi kalau bukan Siang-tok Mo-li, seorang di antara para datuk kaum sesat?
Kalau tidak boleh disebut bibi, habis aku disuruh menyebut apa?"
"Swinggg...
siuuuuttt...!"
Kun Liong
sudah meramkan mata melihat sinar hitam dari rambut wanita itu menyambar dengan
kecepatan yang mengerikan. Benar saja, dia merasa ada rambut-rambut halus
panjang dan harum membelit seluruh tubuhnya, kemudian tubuhnya terangkat ke
atas lalu berputar-putar seperti kitiran angin. Celaka, pikirnya. Dia tidak
mampu menggerakkan kaki dan tangan karena keempat anggota tubuhnya itu ikut
terbelit. Sekali saja dibanting, akan remuk dia!
"Aku
adalah Nona Bu, tahu?"
"Aku
tahu, Nona Bu yang bisanya hanya membunuh orang yang tidak mampu melawan!
Bisanya hanya menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan di atas
tanah!"
"Apa
kau bilang ? Bedebah busuk, kusiksa engkau sampai minta-minta ampun!"
"Siksalah.
Siapa takut? Hal itu hanya akan menambah bukti bahwa Siang-tok Mo-li yang terkenal
sebagai salah seorang di antara datuk-datuk hanyalah bernama kosong, yang suka
melanggar janji sendiri!"
"Brukkk!"
Tubuh Kun Liong dibanting ke atas tanah, akan tetapi tidak terlalu keras karena
kata-kata pemuda itu sudah menikam ke dalam dada iblis betina itu.
"Bocah
setan! Siapa bilang aku melanggar janji? Engkau tak akan kubunuh sekarang, hal
itu tidak akan kulanggar, akan tetapi aku tidak pernah berjanji untuk tidak
membuntungi kedua kakimu! Aku akan membiarkan kau hidup, akan tetapi
tulang-tulang kedua buah kakimu akan kubikin remuk sehingga engkau akan menjadi
seorang buntung yang tidak ada gunanya!"
"Aku
hanya bisa mengatakan sayang, karena hal itu menunjukkan bahwa engkau tidak
berani menghadapi kenyataan!" Kun Liong menjawab dengan sikap tenang,
seakan-akan ancaman dibuntungi kedua kakinya itu hanya seperti mendengar
dibuntungi rambut atau kuku jarinya saja!
"Kenyataan
apa yang kau maksudkan?"
Kun Liong
yang cerdik sudah mendapatkan akal dan dia menjawab tenang. "Aku sudah
pernah bertemu dengan seorang di antara datuk-datuk yang tersohor itu selain
engkau."
"Ihhh…!
Benarkah? Siapa yang kau jumpai?"
"Yang
amat sakti Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok sendiri, bersama puteranya, Ouwyang
Bouw!"
Iblis betina
itu benar benar tertarik sekali. Dia tahu akan kelihaian raja ular itu, dan
merasa heran bahwa pemuda itu masih hidup setelah bertemu dengan ayah dan anak
itu.
"Bohong
kau! Kau hanya mendengar nama mereka dari orang lain saja! Hemmm, untuk
kebohonganmu itu, bukan hanya kedua kaki, juga salah sebuah lenganmu akan
kubikin buntung!"
Kalau Kun
Liong mengenal wanita iblis ini, tentu dia akan menjadi pucat seperti Bi Kiok,
karena iblis betina ini tidak pernah mengancam dan selalu akan melaksanakan
semua kata-katanya. Akan tetapi Kun Liong tetap tenang dan menjawab,
"Siapa
bohong? Ban-tok Coa-ong orangnya tinggi kurus seperti ular, dia memiliki
terompet aneh dan pedang ular, matanya sipit, lehernya panjang dapat
berputar-putar."
Dia lalu
menceritakan dengan jelas keadaan kakek raja ular itu dan puteranya. Karena dia
memang pernah bertemu dengan mereka, tentu saja dia dapat bercerita dengan
tepat sehingga wanita iblis itu percaya.
"Akan
tetapi dibandingkan dengan Siang-tok Mo-li, Raja Ular itu masih kalah jauh,
kalah kejam, kalah menyeramkan, dan agaknya melihat gerakan-gerakan tadi, dia
masih kalah sakti. Hanya aku ingin sekali bertemu dengan para datuk yang lain,
Kukira engkau tidak akan sehebat mereka itu, terutama Si Bayangan
Hantu..."
"Boleh!
Aku membiarkan engkau pergi dan boleh kau saksikan sendiri. Kelak masih belum
terlambat bagiku untuk mencari bocah gundul macam engkau untuk kuganyang otak
dan jantungmu! Bi Kiok, hayo pergi, bocah ini menjemukan sekali!"
Iblis betina
itu kemudian menggandeng tangan muridnya dan sekali berkelebat dia lenyap.
Agaknya dia ingin memamerkan ginkangnya yang luar biasa kepada Kun Liong!
Kun Liong
tersenyum seorang diri. Akalnya berhasil. Untung bahwa dia tadi mengintai dan
mendengarkan ucapan iblis betina itu terhadap Kiang Ti dan Loan Khi Tosu. Kalau
tidak tentu dia tidak akan dapat menggunakan akal itu, karena dia tentu tidak
mengenal watak iblis itu.
Dari ucapan
iblis tadi dia dapat mengerti bahwa di samping kelihaian dan kekejamannya,
iblis betina itu memiliki watak angkuh dan tinggi hati, tidak mau dikalahkan.
Karena itulah maka dia sengaja membakar hati iblis betina itu yang tentu saja
menjadi penasaran dan membebaskan pemuda itu hanya untuk memberinya kesempatan melihat
dengan mata kepala sendiri bahwa Siang-tok Mo-li tidak kalah dibandingkan
dengan datuk lainnya!
Akan tetapi
Kun Liong juga merasa menyesal sekali mengapa dara seperti Bi Kiok sampai
menjadi murid iblis itu.
"Aihh,
kasihan engkau, Bi Kiok." Kun Liong mengeluh dan memandang ke arah tempat
dara itu tadi berdiri seperti arca.
Tampak
olehnya sesuatu di atas lantai batu depan kuil di mana tadi dara itu berdiri.
Cepat dia menghampiri dan ternyata di atas lantai di mana Bi Kiok tadi berdiri
terdapat guratan-guratan huruf yang agaknya dibuat dengan kaki dara itu.
Menggurat lantai dengan kaki mengukir huruf itu saja sudah membuktikan betapa
lihai dara itu, agaknya jauh lebih lihai dari pada Lim Hwi Sian, dara remaja pendekar
Secuan itu! Kun Liong cepat membaca guratan huruf-huruf itu.
‘Jangan
bicara tentang bokor kepada siapa pun juga agar nyawamu selamat!’.
Kun Liong
menggaruk kepalanya yang gundul. Dia sudah cukup cerdik untuk mengerti betapa
bokor yang dia temukan di dasar Sungai Huang-ho itu dijadikan perebutan orang,
dan tentu saja dia tak mau sembarangan membicarakannya. Bokor itu telah
disimpannya dengan aman.
Akan tetapi
dia juga merasa heran sekali mengapa Bi Kiok yang tadinya terancam oleh gurunya
yang seperti iblis, masih mempedulikan dia bahkan meninggalkan pesan yang
berbahaya ini? Tentu saja akan menjadi berbahaya sekali kalau iblis betina itu
tahu akan perbuatan muridnya itu. Mengapa Bi Kiok selalu menolongnya?
Teringat dia
akan pertanyaan Si Iblis Betina kepada muridnya apakah dara remaja itu mencinta
dia! Dan teringat akan ini, Kun Liong melebarkan matanya dan tersenyum kecut.
Mana mungkin seorang dara secantik Bi Biok jatuh cinta kepada seorang gundul
plontos seperti dia! Akan tetapi mengapa pula Bi Kiok selalu menolongnya,
bahkan berani mati meninggalkan pesan itu? Betulkah dia mencinta? Atau
setidak-tidaknya kasihan atau suka kepadanya.
"Plakkk!"
Gundul yang bersih itu kembali dicium tamparan telapak tangannya sendiri.
"Wah,
gundul! Untungmu memang besar sekali!" Kun Liong berkata demikian dengan
wajah berseri-seri.
Dia teringat
akan Souw Li Hwa yang bersikap manis dan memuji gundulnya, teringat akan Lim
Hwi Sian yang bahkan suka mencium gundulnya, kini teringat akan Bi Kiok yang
juga suka kepadanya. Aihhhh, mengapa hanya gadis-gadis cantik melulu yang
bersikap manis kepadanya?
Dengan
langkah-langkah ringan, seringan hatinya yang mengenangkan wajah tiga orang
dara remaja yang cantik-cantik itu, Kun Liong lalu melanjutkan perjalanannya ke
selatan, menuju Cin-ling-san yang tak berapa jauh lagi.
***************
Cin-ling-san
merupakan pegunungan yang tidak berapa tinggi, tidak setinggi Pegunungan
Kun-lun-san, Tang-la-san, Heng-tuan-san atau bahkan Ci-lian-san yang konon
kabarnya puncak-puncaknya menjulang tinggi sampai memasuki langit! Akan tetapi,
justru karena tinggi puncaknya tidak menembus awan itulah yang membuat
Pegunungan Cin-ling-san merupakan daerah yang selain indah juga sangat subur
tanahnya, sangat sejuk nyaman hawanya.
Beberapa
tahun yang lalu, sebelum Cin-ling-pai (Perkumpulan Cin-ling) terbentuk oleh
Pendekar Besar Cia Keng Hong dan isterinya, pegunungan ini merupakan daerah
angker sehingga tak ada orang berani mendaki pegunungan ini yang selain penuh
dengan hutan yang dihuni binatang liar itu, juga menjadi sarang kawanan
perampok.
Apa lagi
ketika mendiang Nenek Tung Sin Nio tinggal di lereng sebelah timur
Cin-ling-san, tidak ada seorang pun, baik orang berilmu golongan bersih mau pun
sesat, yang berani mendekati daerah itu. Nenek Tung Sun Nio adalah guru ke dua
dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong.
Memang di
seluruh daerah Pegunungan Cin-ling-san ini, lereng timur merupakan bagian yang
paling indah pemandangannya dan paling subur tanahnya. Karena itu, di tempat
ini pula, yakni di bekas tempat pertapaan Nenek Tung Sun Nio, Cia Keng Hong
mendirikan perkumpulan Cin-ling-pai.
Mula-mula
perkumpulan ini hanya merupakan kelompok petani yang berlindung di bawah wibawa
suami isteri pendekar itu. Seiring berjalannya waktu, jumlah mereka makin lama
makin membesar sehingga terkenallah Perkumpulan Cin-ling-pai karena Cia Keng
Hong juga menurunkan ilmu silat kepada pemuda-pemuda yang tinggal di situ.
Pemandangan
dari lereng timur Cin-ling-san menakjubkan sekali. Memandang ke utara tampak
samar-samar bagai seekor ular biru yang panjang, yang bukan lain adalah Sungai
Wei-ho yang mengalir ke timur. Bila memandang ke timur tampak pula kaki
Pegunungan Ta-pa-san di mana mengalir Sungai Han-shui. Di selatan tampaklah
puncak Pegunungan Ta-pa-san dan Sungai Cia-ling yang airnya agak kuning. Di
barat tampak menjulang tinggi puncak Pegunungan Min-san yang terkenal itu.
Yang disebut
Cin-ling-pai adalah sebuah dusun di lereng timur Cin-ling-san. Sedangkan
Pendekar Sakti Cia Keng Hong serta isterinya yang diangkat menjadi Ketua
Cin-ling-pai, juga merupakan semacam kepala dusun yang sangat disegani dan dihormati,
akan tetapi juga dicinta oleh semua penduduk dusun di situ. Penduduk dusun ini
juga menyebut diri mereka anggota Cin-ling-pai, mulai dari kanak-kanak yang
baru belajar berbicara sampai kakek-kakek yang sudah pikun!
Cia Keng
Hong adalah seorang pendekar yang usianya pada waktu itu sudah mendekati empat
puluh tahun. Wajahnya masih tampak gagah dan tampan, dengan tubuh sedang dan
biar pun sudah mendekati empat puluh tahun, tidak seperti sebagian besar kaum
pria setengah tua, pinggangnya masih ramping dan dadanya bidang.
Baik
pakaiannya, sikap mau pun tutur sapanya sederhana sekali sehingga bila
dipandang sepintas lalu, tidaklah pantas kalau dia itu Cia Keng Hong yang
dikenal oleh setiap orang di dunia persilatan, lebih patut apa bila dia itu
seorang sastrawan dusun, atau seorang terpelajar yang mengundurkan diri dan
hidup sebagai petani sederhana. Hanya jika orang memperhatikan sinar matanya
dan mendengarkan ucapannya, barulah orang tahu bahwa dia bukanlah orang biasa
dan dari pribadinya mencuat keluar wibawa yang berpengaruh.
Isteri
pendekar itu pun bukan orang biasa. Bahkan mungkin sekali namanya lebih banyak
dikenal, terutama di kalangan kaum sesat sebab namanya pernah membuat setiap
orang yang mendengar menjadi ketakutan. Isteri pendekar itu bernama Sie Biauw
Eng dan dulu di waktu masih gadis berjuluk Song-bun Siu-li (Dara Jelita
Berkabung) karena pakaiannya selalu serba putih. Namanya terkenal sekali karena
dia merupakan murid sekaligus puteri datuk golongan sesat, mendiang Lam-hai
Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan)!
Di dalam
cerita Siang Bhok Kiam atau Pedang Kayu Harum diceritakan riwayat Song-bun
Siu-li Sie Biauw Eng ini sebelum menjadi isteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong!
Kini usia Sie Biauw Eng sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun, akan tetapi
dia masih kelihatan muda dan cantik, seperti seorang wanita muda berusia kurang
dari tiga puluh tahun saja. Tubuhnya masih tetap ramping, tegap berisi dengan
kulit halus tanpa noda keriput.
Sikapnya
kadang-kadang masih agak dingin dan kadang-kadang amat galak, akan tetapi apa
bila sudah timbul ramahnya, dia halus budi dan lemah gemulai seperti seorang
dewi. Biar pun tingkat ilmu silatnya tidak setinggi suaminya, namun di dunia
kang-ouw namanya terkenal sekali dan agaknya tidak banyak tokoh-tokoh dunia
persilatan yang akan mampu menandinginya. Cantik dan halus gerak-geriknya,
wanita cantik yang lemah tampaknya, akan tetapi sekali dia mengamuk, jarang ada
pendekar yang berani mendekatinya!
Suami isteri
yang gagah perkasa dan seperti petani yang hidup rukun saling mencinta ini
mempunyai seorang anak perempuan yang mereka namakan Cia Giok Keng yang pada
saat itu telah berusia empat belas tahun lebih. Dara remaja ini amat cantik
seperti ibunya, juga berani mati, tidak mengenal takut dan galaknya seperti harimau,
persis ibunya pada waktu muda. Namun berbeda dengan ibunya yang pendiam dan
kelihatan dingin, Giok Keng ini lincah gembira dan pandai sekali bicara, pandai
berdebat seperti ayahnya.
Pada pagi
hari itu, Giok Keng berada di rumah dan duduk melamun. Seperti biasanya
pagi-pagi sekali dia sudah bangun, mandi dan mengenakan pakaian bersih. Dia
bukanlah pesolek, akan tetapi seperti ibunya, dia suka akan pakaian yang bersih
dan rapi.
Rambutnya
dibelah menjadi dua dikuncir di sebelah belakang, anak rambutnya berjuntai di
depan, menutupi dahi dengan rapi sekali. Telinganya dihias oleh anting-anting
bermata kemala hijau, sepatunya tinggi, terbuat dari kulit. Cantik dan mungil
dara remaja ini, segar bagaikan sekuntum bunga mawar hutan yang menguncup dan
mulai mekar.
Akan tetapi
pagi itu, tidak seperti biasanya, dia duduk melamun, mulutnya agak cemberut dan
alisnya berkerut. Hatinya memang kesal sekali. Ayah dan ibunya pergi dan dia
tidak diperbolehkan ikut. Sudah tiga hari mereka pergi, katanya hendak pergi ke
kota Leng-kok, mengunjungi Yap Cong San.
"Mengapa
saya tidak boleh ikut mengunjungi Paman Yap Cong San, Ayah?" dia menuntut
manja. "Bukankah kata Ayah dan Ibu, Paman Yap adalah keluarga terdekat,
dan sampai sekarang pun saya belum pernah bertemu dengan mereka?"
"Lain
kali saja, manis," jawab ayahnya penuh kasih sayang. "Kalau kau ikut
pergi, siapa yang akan menjaga rumah dan bertanggung jawab di sini? Sekali ini,
kau harus mewakili Ayah Ibumu, menjaga Cin-ling-pai. Engkau sudah cukup dewasa!"
Jawaban yang
cerdik ini menyudutkan Giok Keng. Dia ditinggalkan, akan tetapi sekaligus
diangkat menjadi wakil! Tentu saja dia tidak sanggup membantah lagi dan pada
pagi hari itu, setelah tiga hari lamanya dia merasakan kesunyian yang membuat
hatinya mengkal, pagi-pagi dia sesudah mandi duduk di ruangan depan rumahnya
sambil bertopang dagu dan termenung.
***************
Sementara
itu, tidak jauh dari situ, di luar dusun Kun Liong bertemu dengan beberapa
orang penduduk yang sedang menuju ke sawah dengan wajah gembira karena pada
pagi hari itu udara cerah dan hawanya sangat sejuk. Dengan susah payah,
bertanya-tanya, akhirnya pagi hari itu Kun Liong sudah sampai di luar dusun itu
sesudah malam tadi dia melewatkan malam dingin di dalam hutan di lereng bukit.
Empat orang
petani itu menghentikan langkah mereka, kemudian memandang Kun Liong dengan
heran. Jarang ada orang luar daerah datang berkunjung, kecuali para pedagang
yang hendak membeli daun-daun dan akar-akar obat, yang ditukar dengan segala
macam benda dari kota yang mereka butuhkan. Karena mereka tidak tahu apakah
pemuda itu seorang hwesio yang berpakaian biasa ataukah seorang pemuda biasa
yang berkepala gundul, empat orang itu hanya memandang dan bersikap waspada.
Semua penduduk atau anggota Cin-ling-pai sudah biasa bersikap waspada dan
berhati-hati sesuai dengan petunjuk ketua mereka.
Kun Liong
segera mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan dibalas
oleh empat orang itu dengan gerakan yang sama. "Sudikah Cuwi (Anda
Sekalian) menunjukkan kepada saya di mana adanya Cin-ling-pai?"
Mendengar
tutur sapa Kun Liong, empat orang dusun itu saling pandang. Mereka tidak pernah
mengenal huruf dan kesopan santunan kota, dan ketua mereka pun tidak berniat
mengubah kewajaran orang-orang dusun itu. Akan tetapi mereka maklum bahwa
mereka sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang baik, maka seorang di
antara mereka menjawab sederhana, "Dusun kami itulah Cin-ling-pai dan kami
adalah anggota-anggota Cin-ling-pai. Ada keperluan apakah engkau mencari
Cin-ling-pai?"
Kun Liong
menyembunyikan rasa herannya. Cin-ling-pai merupakan nama perkumpulan,
bagaimana mungkin sebuah dusun disebut perkumpulan? Dia hanya tersenyum saja
dan berkata pula, "Tak ada keperluan dengan Cin-ling-pai, hanya saja ingin
menghadap Ketua Cin-ling-pai. Bukankah ketuanya bernama Cia Keng Hong?"
Kini empat
orang itu memandang penuh kecurigaan, dan orang yang tertua tadi bertanya
kembali dengan hati-hati, "Kalau boleh aku bertanya, ada hubungan apakah
antara Anda dengan ketua kami?"
"Dengan
Pendekar Sakti Cia Keng Hong? Ahh, saya hanyalah murid keponakannya, ibu saya
adalah sumoi dari Cia-supek."

Empat orang
itu kelihatan terkejut sekali dan cepat-cepat mereka memberi hormat dengan
membungkuk. "Aihh, harap Sicu (Tuan Yang Gagah) sudi memaafkan kami. Rumah
Cia taihiap berada di dalam dusun kami, rumah besar yang bercat kuning di
tengah dusun. Maaf, kami tidak dapat mengantar karena kami hendak melaksanakan
tugas pekerjaan kami di sawah."
"Tidak
mengapa, Paman, dan terima kasih atas kebaikan Paman, saya akan mencarinya
sendiri," kata Kun Liong.
Empat orang
dusun itu bergegas pergi menuju ke sawah. Mereka khawatir kalau-kalau pemuda
itu melaporkan bahwa mereka kurang pagi berangkat atau bermalas-malasan. Nona
muda sangat galak, dan meski pun hidup mereka di situ tidak ditekan, namun nona
muda paling tidak suka melihat orang malas karena dia sendiri sangat rajin dan
suka bekerja!
Kun Liong
memasuki dusun dan mudah saja dia menemukan rumah besar bercat kuning karena
dusun itu ternyata hanyalah merupakan sebuah dusun kecil dengan tidak banyak
rumah-rumah, paling banyak ada lima puluh buah rumah saja. Dia memasuki
pekarangan rumah yang lebar dan penuh dengan tanaman bunga yang amat indah.
Bunga-bunga di sini segar dan sehat seperti umumnya di tempat-tempat dingin,
dan dia harus mengagumi kepandaian orang yang mengatur taman depan rumah itu.
Tidak kalah oleh taman-taman milik orang bangsawan di kota agaknya!
"Heeeiii!
Mau apa kau longak-longok di tamanku? Apakah engkau mau mencuri bunga? Mau
malas-malasan tidak bekerja, ya?"
Kun Liong
terkejut sekali. Tadi dia berjongkok dan mencium setangkai bunga mawar yang
amat indahnya, warna merah muda dan berbau harum. Dia bangkit berdiri dan
memutar tubuhnya.
"Ehhh...!
Siapa kau...?" Dara remaja yang berdiri di ruangan depan rumah itu
bertolak pinggang dan mengerutkan alisnya.
Kun Liong
cepat melangkah maju dan naik anak tangga ke ruangan depan, menghadapi dara
remaja itu dengan sinar mata kagum. Dara remaja ini bukan main cantiknya!
Seperti bunga mawar tadi, segar kemerahan dan harum! Dan seperti mawar yang
berduri, dara ini pun agak galak! Entah mengapa, pribadi dara ini mengeluarkan
daya tarik yang membetot semangatnya, membuat Kun Liong hanya berdiri terlongong
di depannya.
"Mau
apa engkau? Kalau engkau adalah hwesio yang hendak minta derma, sebutkan di
mana kuilmu dan siapa ketua kuil yang mengutusmu!"
Merah muka
Kun Liong, merah juga kepalanya yang gundul dan perutnya terasa panas!
Datang-datang dia disambut penghinaan oleh dara cantik ini! Sombongnya! Hmm,
apakah karena dia cantik jelita dan agaknya menjadi orang penting di rumah
Pendekar Sakti Cia Keng Hong, bocah ini boleh menghinanya sembarangan saja? Dia
seorang laki-laki yang tidak takut apa-apa, masa datang-datang dihina oleh
seorang bocah perempuan, betapa pun cantiknya dia?
"Eh,
eh, jangan sembarangan menyangka orang. Aku bukan hwesio dan aku sama sekali
bukan datang hendak minta derma!" Kata-kata ini diucapkan dengan marah
karena Kun Liong merasa terhina sekali disangka minta derma!
Sepasang
mata yang seperti mata burung hong itu mengeluarkan cahaya berapi, dan alis
yang melengkung indah itu berkerut semakin dalam, sedangkan bibir yang merah
serta berbentuk gendewa terpentang itu mencibir runcing, kemudian membentak,
"Kalau
bukan hwesio mengapa kepalamu gundul? Tentu engkau hwesio yang menyamar dan
kalau ada pendeta menyamar berarti hatinya mengandung niat buruk.
Berbahaya!"
"Sialan!
Aku bukan seorang hwesio!" Kun Liong juga membentak marah, matanya yang
lebar terbelalak.
Giok Keng
tersenyum. Manis sekali senyumnya, akan tetapi juga menusuk jantung karena di
balik senyum manis ini tampak jelas maksud mengejek. "Bukan hwesio ya
sudah, tidak perlu menggonggong! Kalau bukan hwesio, tentu engkau seorang
pemuda yang memiliki banyak kutu rambut, atau mungkin juga kepalamu penuh kudis
maka semua rambutmu kau buang!"
"Bocah
perempuan sombong! Engkau menghina, ya?" Kun Liong lantas melangkah maju
setindak.
Senyum
ejekan itu makin melebar dan tampak jelas dara itu mengangkat dada ke depan,
membusungkan dada yang sudah mulai membusung itu, sambil berkata, "Kalau
benar aku menghina, habis engkau mau apa?"
Makin panas
rasa perut Kun Liong. Bocah ini benar-benar kurang ajar, pikirnya.
"Kalau
engkau menghina, aku pun bisa menghinamu!"
"Coba
saja kalau berani!"
"Wah,
sombongnya! Masa aku tak berani membalas seorang bocah perempuan sombong
seperti engkau? Engkau memang cantik seperti hmm... bunga mawar, akan tetapi
banyak sekali durinya. Engkau cantik akan tetapi galak seperti...
hemmm..." Kun Liong memutar otak untuk mencari perbandingan agar dapat
balas menghina.
Muka Giok
Keng sudah mulai merah dan dia membanting kaki kanannya. "Seperti apa?!
Hayo katakan kalau berani!" Kedua tangan yang tadinya bertolak pinggang
sudah turun dan dikepal menjadi dua tinju kecil.
Senang hati
kun Liong melihat dara itu mulai marah. Makin manis kalau marah, pikirnya,
sepasang pipi itu menjadi kemerahan, persis bunga mawar. Biar dia bertambah
marah, pikirnya dan dia berkata, "Seperti... kucing betina kehilangan
tanduk!"
"Keparat
kau!"
Giok Keng
sudah menerjang maju dengan pukulan kilat ke arah kepala gundul Kun Liong.
Pemuda ini mengelak, namun kalah cepat karena gerakan gadis ini benar-benar
sangat cepat luar biasa.
"Takkk!"
Kepala Kun Liong yang gundul kena diketak (dipukul dengan buku jari) tangan
kanan Giok Keng.
Berkat
sinkang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, kepala itu terlindung dan tidak
terluka, akan tetapi kulit kepalanya terasa nyeri sehingga Kun Liong meringis.
Akan tetapi Giok Keng juga menyeringai kesakitan ketika buku jari tangannya
bertemu dengan batok kepala yang amat keras!
"Aihhh,
ternyata kepala gundulmu keras juga, ya?" Ucapan ini sengaja dikeluarkan
bukan untuk mengejek, melainkan karena terheran dan dengan sungguh-sungguh,
akan tetapi membuat Kun Liong makin marah. Tidak saja kepalanya diketak, akan
tetapi juga diejek!
"Pukulanmu
seperti tahu saja!" Dia balas mengejek sekaligus balas pula menyerang,
akan tetapi karena dia tidak ingin memukul, dia hanya menggunakan tangan
kanannya untuk mendorong pundak dara itu dengan tangan terbuka.
"Cih,
kiranya engkau manusia cabul!" Giok Keng mengelak.
"Cabul
hidungmu!" Kun Liong makin marah. "Siapa yang cabul?" Ia menjadi
makin marah dan mukanya makin merah. Dorongan ke pundak dikatakan cabul, apakah
dia disangka akan menggunakan tangannya untuk memegang apa?
"Gundul
cabul tidak tahu malu! Rasakan hajaran Nona Cia!" Giok Keng kini menyerang
dengan gerakan yang sangat cepatnya sehingga Kun Liong sibuk mengelak ke sana
sini. Juga dia kaget setengah mati mendengar bahwa dara di depannya ini adalah
Nona Cia. Berarti puteri supek-nya! Dia sudah mendengar sepintas lalu dari ayah
ibunya bahwa Cia Keng Hong mempunyai seorang puteri kalau tidak salah ingat
namanya pakai Keng keng begitu.
"Ehh,
tahan dulu...!”
“Plakk!"
Karena
lengah, pundaknya kena dipukul dan membuat dia terhuyung, akan tetapi tidak
apa-apa. Hal ini membuat Giok Keng heran dan penasaran, maka dia menerjang
lagi.
"Nanti
dulu…!”
“Desss…!"
Kun Liong menangkis dengan keras sehingga kini Giok Keng yang terhuyung karena
Kun Liong menggunakan sinkang.
"Apakah
engkau Keng?"
Giok Keng
menghentikan serangannya, dahinya berkeringat sehingga anak rambut pada dahi
itu kacau-balau dan melekat seperti dilukis, matanya berkilat dan pipinya
bertambah merah. "Apa Keng?!" Dia membentak.
"Bukankah
namamu memakai Keng-keng begitu? Kau puteri Ketua Cin-ling-pai?"
"Banyak
cerewet! Rasakan tanganku!"
Giok Keng
sudah menyerang lagi dan karena dia dapat menduga bahwa pemuda gundul ini lihai
juga serta memiliki kekebalan sehingga dapat menahan pukulannya, maka kini dia
mempergunakan dua jari tangan kanan kiri, melakukan serangan dengan
totokan-totokan yang cepat sekali. Biar pun kebal, jalan darahnya tentu tidak
kebal, pikirnya.
"Cusss!"
Serangan
bertubi tubi itu akhirnya berhasil dan dada kanan Kun Liong kena ditotok. Akan
tetapi karena jalan darah yang ditotoknya itu tidak kena dengan tepat, tubuh
Kun Liong tidak menjadi kaku seperti bila terkena secara tepat, melainkan
bergoyang dan menggigil sedikit.
Pemuda itu
telah meloncat mundur kemudian berkata, "Hemm, engkau hendak mengajak
berkelahi, ya? Aku adalah seorang laki-laki sejati, tidak mau memukul
perempuan, akan tetapi aku harus membela diri."
"Kau
laki-laki apa? Cerewetnya melebihi seorang nenek bawel. Mampuslah!"
"Wuussss...!"
Kedua tangan
Giok Keng sudah menerjang kembali dengan totokan-totokan lihai sekali dan hal
ini tidaklah mengherankan karena dara itu mainkan jurus-jurus San-in Kun-hoat
(Ilmu Silat Awan Gunung), semacam ilmu silat tinggi sekali yang dipelajari dari
Cia Keng Hong. Ilmu silat San-in Kun-hoat ini hanya terdiri dari delapan jurus,
akan tetapi setiap jurusnya merupakan gerakan-gerakan yang luar biasa lihainya.
Kalau saja
Giok Keng sudah memiliki sinkang yang kuat, tentu dia dapat merobohkan Kun
Liong dengan ilmu silat tinggi ini. Akan tetapi karena dara itu menyangka bahwa
pemuda gundul itu memiliki kekebalan luar biasa, dia mengganti kepalan dengan
totokan.
Namun
kecepatan dan keanehan gerakannya membuat Kun Liong sibuk sekali. Terpaksa
pemuda ini segera mainkan jurus dari Pat-hong Sin-kun untuk menjaga diri dan
memang daya tahan dari ilmu silat ini luar biasa. Jangankan hanya dua buah
tangan Giok Keng yang datang dari dua jurusan, andai kata dia diserang dari
delapan jurusan sekali pun, dia akan dapat melindungi dirinya sesuai dengan
sifat Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).
Setelah
beberapa lama Giok Keng tak dapat mengenai sasaran tubuh lawannya, dara itu
menjadi semakin marah dan timbullah kenakalan Kun Liong untuk mengejeknya,
"Hayo, keluarkan Thi-khi I-beng, hendak kulihat bagaimana lihainya."
"Eihhh...!"
Giok Keng tak dapat menahan kemarahannya.
Thi-khi
I-beng adalah ilmu sakti yang hanya dimiliki ayahnya. Tentu saja dia belum
diajar ilmu itu, atau selamanya belum tentu akan diajar ilmu itu yang menurut
ayahnya tak boleh sembarangan dimiliki orang yang dasar lahir batinnya belum
kuat benar. Tapi kini pemuda gundul ini menantang Ilmu Thi-khi I-beng. Hati
siapa tidak menjadi gemas?
"Jahanam
gundul keparat sombong! Tak perlu dengan Thi-khi I-beng jika hanya melawan
manusia semacam engkau!"
Kini dara
itu merobah ilmu silatnya dan gerakannya menjadi aneh sekali. Baru beberapa jurus
saja, dengan gerakan memutar setelah dapat mendesak Kun Liong dengan
totokan-totokan mautnya, dara itu berhasil menendang pinggul Kun Liong sehingga
pemuda itu terlempar dan terbanting.
"Wah,
curang! Kusangka hanya menotok terus, tahu-tahu menendang pinggul!"
"Mampuslah!"
Giok Keng sudah menubruk maju.
"Ciaaattt…!"
Dua buah jari tangan kirinya menusuk ke arah mata Kun Liong yang masih
telentang dan baru hendak bangkit duduk.
"Aihhhh...!"
Kun Liong
meloncat ke atas, menghindarkan totokan dan tangannya sudah dikepal untuk balas
menghantam kepala dara itu dari atas. Akan tetapi entah mengapa, dia tidak tega
memukul dan kepalannya segera dibuka berubah menjadi cengkeraman dan dia
berhasil menjambak sebuah di antara dua kuncir rambut dan menariknya.
"Aduhhh...
curang kau, setan!" Giok Keng yang dijambak rambutnya menjerit, akan
tetapi berbarengan dia pun menggunakan jari tangannya menotok pundak sambil
mengerahkan tenaga.
"Dukkk!"
Tubuh Kun
Liong menjadi lemas dan dia roboh terguling!
Sambil
bertolak pinggang dan berdiri di dekat tubuh Kun Liong yang rebah telentang,
Giok Keng tersenyum mengejek, menggerakkan kepala untuk memindahkan rambutnya
yang agak awut-awutan akibat dijambak Kun Liong tadi ke belakang punggung,
napasnya agak terengah, muka dan lehernya berkeringat, pipinya merah segar.
"Hemmm,
kalau hendak membunuhmu, betapa mudahnya!" Dia mengejek.
Biar pun
tubuhnya masih lemas dan tak dapat digerakkan, namun Kun Liong masih dapat
menggerakkan mulut untuk berbicara dan pandang matanya sama sekali tidak takut
atau menyerah, bahkan mengejek!
"Kalau
begitu, mengapa tidak kau bunuh? Hemmm, kau tidak berani membunuhku, ya? Karena
kalau kau membunuh orang yang kau curangi sehingga tanpa tersangka-sangka kena
totokan, berarti engkau seorang dara pengecut paling besar!"
"Setan
gundul! Kau masih berani membuka mulut besar?"
"Mengapa
tidak? Engkau seorang dara yang cantik namun galak, berhati baik akan tetapi
pura-pura keras. Engkau puteri seorang pendekar besar yang tentu saja berjiwa
pendekar pula, akan tetapi kau memperlakukan seorang tamu dengan kurang ajar
dan menghina. Tunggu saja kau, akan kulihat bagaimana sikapmu kalau kelak
kuceritakan kepada ayah bundamu!"
Sepasang
mata yang indah itu terbelalak. "Ehh...? Kau... kau siapa?"
"Ayahmu
adalah Supek-ku (Uwa Guru) karena ibuku adalah sumoi-nya."
"Apa?
Engkau... engkau she Yap?"
"Tidak
ada keduanya!"
"Engkau
yang bernama Yap Kun Liong putera Paman Yap Cong San?"
"Hanya
inilah orangnya!"
"Celaka!
Mengapa kau tidak bilang semenjak tadi?" Tergopoh-gopoh Giok Keng menotok
kembali pundak Kun Liong sehingga pemuda itu terbebas dan dapat bangkit berdiri
lagi.
Mereka
berdiri saling berhadapan, saling pandang. Akhirnya Giok Keng yang membuka
mulut berkata dengan nada suara penuh permintaan. "Eh, kau jangan..."
"Namaku
bukan eh!"
"Orang
she Yap..."
"Mengapa
kau sombong amat, sih? Memangnya aku seorang penjahat sampai kau tidak sudi
menyebut namaku?"
Giok Keng
membanting-banting kakinya dengan hati jengkel, gerakan yang dia warisi dari
ibunya. Biasanya dia amat pandai berbantah, dan dimanja oleh siapa pun,
sekarang dia selalu dibantah dan dicela habis-habisan oleh Si Gundul ini!
Akan tetapi
dia takut kalau-kalau Si Gundul ini mengadu kepada ayah-ibunya, terutama sekali
kepada ibunya. Mereka memanjakannya, akan tetapi ibunya amat keras dan kalau
ibunya sudah marah, dia amat takut kepada ibunya.
"Kun
Liong..."
"Eh,
ehh, engkau memang kurang ajar, tidak tahu aturan, ya?"
"Kenapa
lagi? Cerewet benar kau!"
"Bukan
cerewet, akan tetapi ayahmu adalah suheng ibuku, itu berarti di antara kita
masih ada hubungannya."
"Hubungan
apa? Keluarga bukan, kenal pun baru sekarang!"
"Eeehh,
orang tua kita adalah saudara seperguruan, berarti kita masih ada
bau-bau..."
"Bau
apa? Kurang ajar kau!"
"Maksudku,
masih bau-bau... ehhh… hubungan sanak. Engkau keponakan ibuku dan aku keponakan
ayahmu, berarti kita masih saudara misan seperguruan. Bukan begitukah? Jadi,
karena engkau masih kecil..."
"Sombong!
Apa kau kira engkau ini sudah kakek-kakek? Aku bukan anak kecil!"
"Kalau
begitu engkau nenek-nenek!"
"Aku
bukan anak kecil, usiaku sudah empat belas tahun lebih, hampir lima belas
tahun!"
"Dan
aku sudah lima belas tahun. Nah, berarti aku lebih tua. Engkau adalah
piauw-sumoi, sedang aku adalah piauw-suheng-mu (kakak misan seperguruan).
Engkau jangan kurang aturan menyebut namaku begitu saja, ya?"
Kembali Giok
Keng membanting kaki dengan gemas. Dia merasa kalah bicara. Dengan susah payah
dia menekan perasaannya dan berulang kali menghela napas, menahan tangannya
agar jangan menampar kepala gundul itu. Entah kenapa, tangannya gatal-gatal
untuk menampar kepala gundul licin itu.
"Baiklah,
Piauw-suheng!" Dia mengejek sambil membungkuk dengan lagak dibuat-buat.
"Aku minta engkau jangan mengadu kepada ayah bundaku, ya?"
Kun Liong
menggerakkan hidung. Rasakan engkau sekarang, pikirnya! Bocah galak harus
dihajar! Dengan angkuh dia menegakkan tubuh mengangkat muka.
"Salah
siapa? Engkau telah menyambutku dengan cara yang kurang ajar sekali, bahkan
berani memukul aku. Biar kuberitahukan kepada Supek dan Supek-bo, aku ingin
melihat bagaimana kalau kau dimarahi, mungkin dipukul!"
"Aihhh...
janganlah, Piauw-suheng... ibuku keras sekali. Apa kau tidak kasihan terhadap
piauw-sumoi-mu?"
"Huh,
enak dan gampangnya. Sudah menghina, sudah memukul, sekarang malah minta tolong
segala. Kiranya aku ini orang apa, hah?"
"Piauw-suheng
yang baik, kau maafkan aku, ya? Aku tidak marah lagi kepadamu, aku tidak
menghinamu lagi. Habis engkau sendiri juga salah. Siapa yang menyangka bahwa
engkau putera Paman Yap Cong San kalau melihat... ehhh..."
"Bilang
saja kepala gundulku! Kenapa sih ragu-ragu?" Kun Liong menghardik sampai
Giok Keng kaget.
"Ya,
ya... karena kepalamu yang gundul itu tadi mendatangkan keraguan dan kecurigaan
padaku sehingga aku bersikap keras. Ketahuilah, ayah dan ibuku sedang pergi,
bahkan pergi ke tempat ayahmu dan aku diberi tugas untuk mewakili mereka
menjaga di sini, memimpin Cin-ling-pai. Bayangkan saja alangkah beratnya! Maka
begitu melihat engkau yang kucurigai akan mengacau Cin-ling-san, aku terus
turun tangan. Maafkan aku, ya?"
Kun Liong
merasa bagaikan dielus-elus, enak sekali rasanya. Akan tetapi mulutnya tetap
diruncingkan agar kelihatan cemberut dan marah. "Kalau aku membiarkan
semua orang menampar kepalaku kemudian cukup dengan permintaan maaf saja,
agaknya kepalaku akan remuk dalam waktu singkat. Tidak cukup hanya dengan
permintaan maaf."
"Habis,
harus bagaimana?" Giok Keng bertanya penasaran. "Apakah aku harus
berlutut di depan kakimu?"
Kun Liong
ingin sekali menuntut hukuman seperti yang dia lakukan terhadap Hwi Sian, yaitu
supaya dara ini pun mencium kepalanya. Akan tetapi dia berpikir panjang. Apa
bila sampai dara ini marah, karena wataknya begini keras, bisa berabe. Dan
lebih hebat lagi kalau dara ini mengadu kepada ayah bundanya, lebih celaka
sekali kalau sampai ayahnya mendengar akan hal itu!......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment