Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 09
DARA ini
takut kepada ibunya yang keras, dan tentu tidak tahu betapa dia pun amat takut
kepada ayahnya yang keras pula! Tidak, dia tidak boleh menyuruh Giok Keng
mencium kepalanya. Tiba-tiba dia mendapat akal dan menjawab sambil tersenyum.
"Tadi
engkau amat menghinaku karena kepalaku yang gundul, bahkan engkau juga telah
menampar kepalaku. Nah, sekarang aku baru mau menghabiskan urusan ini sampai di
sini saja kalau engkau suka menampar kepalaku sampai tiga kali lagi!"
Mata Giok
Keng terbelalak lebar. "Apa...?! Sudah gilakah engkau? Kalau kupukul
dengan sungguh-sungguh, tentu akan pecah kepalamu. Jangankan sampai tiga kali,
satu kali saja cukup..."
"Sudahlah,
menyombong lagi! Biar pecah, lebih baik supaya ayah bundamu tahu bahwa puteri
mereka bahkan sudah menyambut kedatangan Piauw-suheng-nya dengan pukulan maut
sampai kepalanya pecah!"
"Aihhh...
habis bagaimana?"
"Terserah
kepadamu. Pendek kata, aku ingin kau mempergunakan tanganmu menampar kepalaku
sampai tiga kali!"
Giok Keng
menatap kepala gundul itu dengan muka menunjukkan kebingungan hatinya.
Tangannya memang telah gatal-gatal rasanya, betapa inginnya dia menampari
kepala itu, akan tetapi kalau dia menampar sampai Kun Liong terluka atau
mampus, tentu dia tidak akan mendapat ampun dari ibunya. Dia memutar otak dan
akhirnya dengan wajah berseri dia berkata, "Baik, akan kutampar kepalamu
tiga kali, akan tetapi luput!"
"Eh,
mana bisa? Aku tidak menangkis tidak mengelak, mana bisa luput? Padahal engkau
puteri Ketua Cin-ling-pai! Siapa mau percaya?"
"Habis
bagaimana?"
"Terserah,
asal menampar kepala." Kun Liong diam-diam girang sekali dan merasa sudah
dapat membalas dendam mempermainkan dara galak itu.
"Kalau
pelan-pelan boleh, kan?"
"Pokoknya
asal mempergunakan tangan menampar kepala." Jantung Kun Liong berdebar
karena dia sudah membayangkan betapa kepalanya akan dielus-elus oleh telapak
tangan yang halus itu!
"Baiklah.
Nah, awas, aku akan mulai!"
Giok Keng
lalu menggerakkan tangan kanannya dan tepat seperti yang dikehendaki dan diduga
Kun Liong, telapak tangan yang halus dan hangat itu menjamah kepala gundul itu
tiga kali.
"Sudah
cukup tiga kali!" berkata Giok Keng sambil melangkah mundur, geli juga
meraba kepala yang gundul kelimis itu.
"Terima
kasih, enak sekali!" kata Kun Liong sambil membungkuk dan tersenyum lebar.
"Pringas-pringis
(menyeringai), bilang saja ingin diusap kepalanya, pakai pura-pura minta
ditampar!"
"Sudah
pantas saja, Piauw-sumoi, untuk obat kepalaku yang masih terasa nyeri karena
tamparanmu tadi. Jadi Cia-supek dan Supek-bo tidak berada di rumah?"
"Tidak,
karena itu, lain kali saja kau datang menjumpai mereka. Akan tetapi awas, kau
sudah berjanji tidak akan mengadu kepada mereka!"
"Wah,
kau tidak percaya kepadaku? Ehh, sumoi, namamu Cia Giok Keng, ya? Sekarang aku
ingat. Indah sekali namamu, seindah... orangnya... ehh, maksudku... ehh, kau
cantik sekali, Piauw-moi, dan ilmu silatmu lihai bukan main. Aku kagum sekali
kepadamu."
"Dan
aku benci kepadamu!"
"Oh,
ya? Sebaliknya, aku sangat cinta kepada diriku ini!"
"Aku
benci, terutama kepalamu."
"Dan
aku terutama sekali sayang kepada kepalaku ini." Kun Liong mengelus
kepalanya. Betapa dia tidak sayang? Kepalanya mendatangkan banyak ‘untung’ tiap
kali dia bertemu dengan dara~dara jelita!
Sambil
tersenyum lebar dia lalu menjura dan berkata lagi, "Nah, aku pergi,
Piauw-sumoi yang cantik dan galak. Sampai bertemu lagi, ya?"
"Tidak
sudi! Sekali pun cukuplah."
"Uihhh,
jangan begitu! Bagaimana kalau kelak orang tuarnu minta kau berjumpa dengan
aku?"
"Tidak
usah, ya!"
Kun Liong
tertawa bergelak lalu meninggalkan nona itu yang masih membanting-banting kaki
saking jengkelnya.
Biar pun
mulutnya tertawa-tawa dan hatinya lega karena sudah berhasil membalas dara
galak itu, menggodanya dan berhasil pula dielus-elus kepalanya oleh tangan
halus itu, tetapi secara diam-diam Kun Liong merasa penasaran sekali. Harus dia
akui bahwa ilmu kepandaian Giok Keng amat hebat dan agaknya kalau bertempur
sungguh-sungguh, dia tidak akan mampu menandingi dara itu yang sejak kecil
tentu digembleng ayah bundanya yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi,
jauh lebih tinggi dari pada kepandaian ayah bundanya sendiri.
Dia harus
mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi! Kalau tidak, apa dayanya untuk dapat
mencegah perbuatan jahat kalau dia bertemu dengan orang-orang semacam Ban-tok
Coa-ong Ouwyang Kok dan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?
Akan tetapi,
ke manakah dia harus belajar ilmu? Kalau saja dia dapat menjadi murid dari
supek-nya, Cia Keng Hong, tentu dia akan memperoleh kemajuan hebat. Akan tetapi
dia bergidik apa bila mengingat akan kegalakan Giok Keng. Baru bertemu saja
sudah cekcok dan berkelahi, apa lagi kalau tinggal serumah. Tentu seperti
kucing dengan anjing!
Teringat
ini, Kun Liong tertawa. Dara itu dimakinya seperti kucing, dan memang pantas!
Dan dia anjingnya. Ha-ha-ha! Mana ada anjing gundul? Kembali dia mengelus
kepalanya dan teringatlah dia akan Pek-pek, anjingnya yang berbulu putih
seperti kapas, yang dulu menumpahkan obat ayahnya.
Ke manakah
anjing itu pergi? Sudah matikah? Kata ayahnya, Pek-pek dahulu ditemukan di
dekat Kuil Siauw-lim-si. Ahhh...! Benar! Kuil Siauw-lim-si! Siauw-lim-pai adalah
sebuah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang sakti. Ayahnya sendiri pun
bekas murid Siauw-lim-pai. Dia harus pergi ke Kuil Siauw-lim-si lalu belajar
kepada tokoh-tokoh Siauw-lim-pai!
Bukan niat
ini saja yang mendorong Kun Liong pergi mengunjungi Kuil Siauw-lim-si, akan
tetapi juga ada dugaan bahwa ayah dan ibunya tentu mengunjungi kuil itu pula.
Kalau tidak ada di rumah Cia Keng Hong, ke mana lagi ayah dan ibunya akan
pergi? Setidaknya tentu akan singgah di Siauw-lim-si, karena ketika ayahnya
mencarikan obat untuk para perwira yang terluka, bukankah ayahnya juga pergi ke
Siauw-lim-si?
Bekal
pemberian kakek pamannya tinggal tak berapa lagi, akan tetapi dengan berhemat,
kadang-kadang hanya makan buah-buah dan binatang hutan saja, cukup juga sisa
bekal itu mengantarnya sampai ke Kuil Siauw-lim-si. Kuil besar yang berada di
lereng bukit itu kelihatan megah, membesarkan hati Kun Liong akan tetapi juga
menimbulkan ketegangan karena menduga duga apakah dia akan berhasil mendapatkan
keterangan tentang ayah bundanya di kuil itu, dan apakah dia akan dapat menjadi
murid Siauw-lim-si.
Menjadi
murid Siauw-lim-pai? Tidak mungkin, pikirnya ketika dia tiba-tiba teringat
bahwa ayahnya sendiri sudah keluar dari Siauw-lim-si dan tidak diakui sebagai
murid. Meski pun ayahnya tidak pernah menceritakan sebabnya, namun dia tahu
bahwa dengan menyebut dirinya ‘bekas murid Siauw-lim-pai’ berarti ayahnya tidak
lagi diakui sebagai murid.
Kalau para
hwesio tokoh Siauw-lim-pai tahu bahwa dia adalah anak Yap Cong San yang sudah
tak diakui lagi sebagai murid, mana mungkin Siauw-lim-pai mau menerima dirinya.
Pikiran ini membuat dia mengambil keputusan untuk menyelidiki ayah ibunya di
kuil itu tanpa mengaku bahwa dia adalah putera mereka.
Demikianlah,
pada suatu hari menjelang senja, dia sudah berdiri di depan pintu gerbang Kuil
Siauw-lim-si yang menjadi pusat dari Siauw-lim-pai yang terkenal. Berbeda
dengan kuil-kuil Siauw-lim-si yang menjadi cabang Siauw lim-pai, kuil pusat ini
selain besar, juga amat luas dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi dengan
pintu pintu gerbang yang dijaga siang malam oleh dua orang hwesio, seperti
sebuah benteng saja!
"Apa?
Engkau hendak mengabdi kepada kuil kami, orang muda? Dan untuk keperluan itu
engkau telah mendahului membuang rambutmu?" tanya kepala penjaga yang
telah diberi laporan oleh penjaga pintu gerbang akan datangnya seorang pemuda
tanggung berkepala gundul yang datang untuk mengabdi dan menjadi kacung kuil
itu.
Karena tidak
ingin banyak rewel, Kun Liong menjawab, "Demikianlah, Losuhu, sungguh pun
teecu tidak sengaja. Harap saja Suhu sudi menerima teecu."
"Hemm,
urusan menerima seorang kacung harus diputuskan oleh ketua sendiri, karena kami
tidak berani bertanggung jawab kalau-kalau ada pihak musuh yang
menyelundup."
Dalam
hatinya, Kun Liong mencela hwesio ini. Orang yang sudah menjadi hwesio, berarti
menyerahkan jiwa raganya kepada agama, dan orang beragama berarti orang yang
harus melakukan hidup suci, mengapa masih mengaku punya musuh?
Akan tetapi
karena niatnya hanya ingin menyelidiki kalau-kalau ayah bundanya berada di situ
dan untuk mencari kesempatan belajar limu silat tinggi, Kun Liong tidak banyak
rewel dan mengikuti kepala penjaga yang membawanya menghadap Ketua
Siauw-lim-pai. Dia telah mendengar dari ayahnya bahwa Ketua Siauw-lim-pai
adalah bekas suheng ayahnya sendiri yang berilmu tinggi dan bernama Thian Kek
Hwesio, karena itu dengan jantung berdebar dia menghadap ketua ini.
Memang benar
demikian, ternyata Thian Kek Hwesio sendiri yang menerima pelaporan kepala
penjaga. Hati Kun Liong menjadi kecut ketika melihat bahwa ketua kuil itu
adalah seorang hwesio yang amat menakutkan, berusia lebih dari delapan puluh
tahun, tubuhnya tinggi besar dan berkulit hitam, matanya bagaikan kelereng
besar, dan sikapnya kereng, kelihatan galak bukan main! Memang demikianlah
keadaan Thian Kek Hwesio, wataknya sesuai dengan tubuhnya, kasar dan jujur
namun memiliki hati emas!
"Saudara
muda, kepalamu kenapakah?"
Suara Thian
Kek Hwesio besar dan kasar, namun nada suaranya tidak menyinggung hati Kun
Liong yang berlutut di hadapan hwesio itu, di samping hwesio kepala penjaga.
"Teecu
makan jamur di hutan dan rambut teecu lalu rontok semua, Lo-suhu." Kun
Liong membohong. Dia terpaksa membohong karena kalau dia bicara terus terang,
tentu akan berkepanjangan dan dia pun tak akan dapat menyembunyikan keadaannya
lagi sehingga akan sia-sialah usahanya.
"Omitohud...!
Engkau keracunan, orang muda. Racun yang dapat membuat rambut rontok seperti
itu adalah racun yang hebat sekali! Biasanya, racun yang tidak merenggut nyawa
hanya merontokkan rambut, berarti bahwa racun itu bertemu dengan racun lain
sehingga daya mautnya punah. Engkau masih beruntung!"
Diam-diam
Kun Liong kagum sekali. Kini dia mengerti mengapa rambut kepalanya habis. Tentu
racun ular dan racun jarum Ouwyang Bouw saling bertanding di dalam tubuhnya,
urung mencabut nyawanya akan tetapi berhasil menghabiskan rambutnya!
Kalau dia
dapat berguru kepada kakek ini, akan tetapi ahh, tentu tidak banyak selisihnya
dengan kepandaian ayahnya. Hubungan mereka hanya sute dan suheng. Bukan, bukan
kepada Ketua Siauw-lim-pai ini dia ingin berguru, akan tetapi kepada Tiong Pek
Hosiang, guru ayahnya atau sukong-nya (kakek gurunya)!
Dia sudah
mendengar dari ayahnya bahwa kakek sakti itu sudah mengasingkan diri di dalam
Kuil Siauw-lim-si ini, di dalam sebuah kamar yang disebut Ruang Kesadaran! Dan
menurut ayahnya, sampai sekarang kakek sakti itu masih hidup. Tentu sudah amat
tua, sedikitnya seratus tahun usianya. Kepada sukong-nya itulah dia ingin
berguru!
"Sebetulnya
di sini sudah tidak lagi membutuhkan bantuan seorang kacung, karena sudah
banyak anak murid yang melakukan semua pekerjaan, akan tetapi karena secara
mukjijat sekali rambut kepalamu menjadi habis tanpa dicukur, seakan-akan Tuhan
sendiri yang menakdirkan engkau untuk menjadi calon hwesio, maka biarlah
pinceng (aku) menerima pengabdianmu. Kau bekerjalah di sini membantu para
hwesio kecil, kelak bila memenuhi syarat, engkau boleh menjadi anak murid dan
masuk menjadi hwesio. Siapa namamu?"
"Teecu
she Liong, bernama Kun," Kun Liong membohong.
"Baiklah,
kami sebut engkau Liong-ji (Anak Liong). Kau ikutlah kepada kepala penjaga ini.
Berikan sebuah kamar untuk dia bersama para hwesio kecil dan serahkan pula
beberapa pekerjaan harian suruh dia bantu," kata ketua itu yang kemudian
duduk bersila kembali sambil memejamkan mata. Kepala penjaga itu memberi
hormat, lalu menyentuh lengan Kun Liong diajak keluar dari kamar ketua itu.
Demikianlah,
Kun Liong yang di situ terkenal dengan sebutan Liong-ji, bekerja di dalam Kuil
Siauw-lim-si, membantu tukang kebun. Pekerjaan ini menyenangkan hatinya karena
dia lebih bebas.
Dari
percakapannya dengan para hwesio kecil yang dipancing-pancingnya secara lihai,
Kun Liong mendengar bahwa ayah dan ibunya tidak pernah datang ke kuil ini
semenjak yang terakhir ayahnya datang minta obat. Juga dia mendengar bahwa
Tiong Pek Hosiang masih bertapa di dalam Ruang Kesadaran tanpa ada yang berani
mengusiknya. Dia telah tahu pula di mana letak kamar itu, di dekat kamar gudang
penyimpanan pusaka Siauw-lim-pai yang siang malam dijaga oleh empat orang
hwesio secara bergilir.
Kecewa juga
hati Kun Liong mendengar bahwa ayah bundanya tidak pernah datang ke kuil itu.
Apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa siapa pun juga, baik dia anggota
Siauw-lim-pai atau pun orang luar, tanpa ijin dari ketua sendiri dilarang keras
memasuki dua tempat, pertama adalah kamar Ruang Kesadaran yang pintunya selalu
tertutup dan kabarnya ketua sendiri tak berani mengusiknya, dan ke dua adalah
gudang pusaka yang hanya jarang-jarang dibuka oleh ketua sendiri untuk
mengambil atau menyimpan sesuatu. Hilanglah harapannya untuk dapat berguru
kepada Tiong Pek Hosiang yang telah belasan tahun lamanya bertapa di dalam
kamar itu!
Sebulan
telah lewat. Malam itu gelap dan sunyi. Agaknya semua hwesio telah tidur pulas,
kecuali tentu saja mereka yang bertugas jaga. Akan tetapi Kun Liong tak dapat
tidur. Dia telah membuang waktu sia-sia selama sebulan dan dia sudah mengambil
keputusan tetap untuk mencoba menghadap Tiong Pek Hosiang, apa pun juga yang
menjadi risikonya.
Ia mendengar
bahwa siapa berani melanggar dua larangan itu akan dihukum mati. Biarlah bila
dia ketahuan dan dihukum mati. Biarlah jika orang-orang yang sudah menjadi hwesio,
berarti memasuki penghidupan suci masih mau menghukum mati orang!
Kalau dalam
hal ini dia gagal, besok pagi dia akan minggat dari tempat ini. Hal ini mudah
dilakukan karena tugasnya sebagai pembantu tukang kebun memang memungkinkan dia
untuk keluar dari pintu gerbang, membersihkan halaman di luar pintu gerbang.
Menjelang
tengah malam, setelah keadaan sunyi benar, dengan amat hati-hati Kun Liong
keluar dari kamarnya. Dua orang hwesio kecil yang menjadi kawannya sekamar
sudah tidur meringkuk di bawah selimut karena malam itu dingin sekali, juga di
luar penuh kabut sehingga malam bertambah gelap.
Karena telah
hafal akan tempat-tempat penjagaan, Kun Liong dapat menyelinap ke dekat dua
kamar terlarang yang letaknya berdekatan itu. Kamar pusaka dan kamar pertapaan
Tiong Pek Hosiang. Dia tahu bahwa seperti biasa, tentu ada empat orang hwesio
penjaga di depan dan belakang kamar pusaka itu, maka dia sudah mempunyai
rencana untuk menyelinap dan menghampiri Ruang Kesadaran dari samping sehingga
tidak tampak oleh keempat orang hwesio penjaga. Dia hendak memasuki kamar itu
melalui jendela yang selalu tertutup pula.
Akan tetapi
ketika dia menyelinap di balik tembok dan mengintai untuk melihat dua orang
penjaga di depan kamar pusaka, dia terbelalak kaget melihat dua orang hwesio
penjaga itu menggeletak tak bergerak! Tidurkah mereka? Tidak mungkin!
Tertidur di
waktu menjaga kamar pusaka bisa mendapat hukuman yang amat berat! Andai kata
tertidur, masa dua-duanya? Tentu ada apa-apa yang tidak beres, pikirnya.
Dia lalu menyelinap
dengan hati-hati sekali, memutari dua kamar itu dan mengintai untuk melihat dua
penjaga yang biasanya duduk di sebelah belakang kamar pusaka. Hampir dia
berseru heran dan kaget ketika melihat bahwa kedua orang hwesio ini pun
keadaannya sama dengan para penjaga di depan. Tertidur! Atau lebih tepat lagi,
menggeletak di lantai seperti orang tidur!
Musuh! Dia
teringat akan ucapan kepala penjaga akan kekhawatiran mereka ada musuh
menyelundup. Apakah malam ini ada musuh Siauw-lim-pai yang menyelundup masuk ke
Siauw-lim-pai? Kun Liong lalu menghampiri kamar pusaka. Terdengar suara
perlahan dan dia melihat jendela kamar pusaka sudah terbuka, dan ada cahaya
penerangan menyorot dari dalam.
Cepat namun
hati-hati sekali Kun Liong menghampiri jendela itu dan mengintai. Tak salah apa
yang dikhawatirkannya! Ada tiga orang laki-laki berada di dalam kamar pusaka!
Tiga orang lelaki yang membongkar lemari dan sedang mengumpulkan benda-benda
pusaka, dibuntal kain dan muka mereka memakai kain penutup.
"Maling...!"
Kun Liong berteriak sambil meloncat ke dalam kamar pusaka melalui jendela yang
terbuka.
Tiga orang
itu terkejut, melepaskan buntalan, bahkan pemimpin mereka yang walau pun
mukanya ditutup sebagian dengan sapu tangan namun tampak sebagai seorang pemuda
tampan, melepaskan pula buntalannya.
"Robohkan
dia, hwesio cilik itu!" katanya kepada seorang di antara mereka.
Orang ini
menerjang ke depan dengan totokan yang lihai sekali. Akan tetapi kini Kun Liong
telah siap karena dia berhadapan dengan maling-maling yang dianggapnya sangat
berbahaya. Melihat totokan ini, dia memasang tubuhnya dan mengerahkan
sinkang-nya, menggoyang sedikit tubuhnya sehingga totokan itu meleset mengenai
tubuh yang kebal, sedangkan dia sendiri segera membarengi dengan pukulan dari
jurus Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, mendorong perut orang itu. Maksudnya hanya
mendorong, akan tetapi karena sinkang-nya masih tersalur, orang yang didorong
perutnya itu mengeluarkan suara…
"Hekkkhh!"
dan roboh pingsan.
"Crattt!
Augghh...!"
Kun Liong
terhuyung-huyung ketika ada sebuah benda merah menancap di leher kirinya.
Pandang matanya gelap dan dia terjungkal keluar dari jendela kamar. Sebelum
pingsan dia melihat banyak bayangan hwesio-hwesio berkelebatan masuk ke dalam
kamar itu.
Dan memang
teriakannya tadi telah menggegerkan Siauw-lim-si. Thian Lee Hwesio, sute Thian
Kek Hwesio atau wakil Ketua Siauw-lim-si, memimpin sendiri para muridnya menuju
ke kamar pusaka.
Akan tetapi,
pemuda yang memimpin pencurian itu lihai bukan main. Dia menyebar jarum
merahnya, mencelat ke atas genteng dengan membobol langit-langit kamar itu dan
meski pun dikejar, dia sempat menghilang keluar dari Siauw-lim-si. Anak buahnya
yang seorang lagi dapat dirobohkan dan ditangkap, bersama seorang lainnya yang
telah dibikin pingsan oleh Kun Liong dengan dorongan pada perutnya.
Thian Lee
Hwesio merasa cemas melihat buntalan-buntalan yang berserakan. Kalau saja tidak
ketahuan, tentu banyak pusaka penting Siauw-lim-pai tercuri. Dia cepat
melakukan pemeriksaan dan ternyata ada dua buah benda pusaka yang hilang,
agaknya terbawa oleh pencuri yang lihai tadi. Kedua benda itu adalah sebuah
pedang dan sebuah hio-louw (tempat abu hio) yang amat berharga karena merupakan
pusaka kuno dari Siauw-lim-si! Akan tetapi masih untung bahwa bukan semua yang
berada di buntalan terbawa. Hal ini berkat kewaspadaan Liong-ji, karena empat
orang hwesio telah tewas!
"Liong-ji,
ke mana dia? Suruh dia ke sini!" Thian Lee Hwesio berkata.
Para hwesio
mencari-cari, namun mereka tidak dapat menemukan Kun Liong. Thian Lee Hwesio
sendiri turut pergi mencari, namun hasilnya kosong sehingga dia termangu dan
terheran-heran penuh kekhawatiran. Apakah memergoki maling, lalu pimpinan
maling itu menaruh dendam dan membawa lari anak itu? Dengan hati cemas dia lalu
menghadap suheng-nya, Thian Kek Hwesio Ketua Siauw-lim-pai untuk membuat
laporan.
Ke manakah
sebenarnya Kun Liong pergi? Tentu saja pemuda itu tidak dapat pergi ke
mana-mana kalau tidak ada yang membawanya karena dia tadi terguling pingsan
terkena jarum merah pemuda berkedok sapu tangan yang lihai tadi. Dia terhuyung
ke belakang dan terjungkal keluar dari jendela kamar pusaka.
Pada saat
siuman kembali, Kun Liong mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah
kamar yang luas dan kamar ini kosong tak ada perabotnya, hanya lantainya bersih
sekali, ditilami permadani kuning dan di atas permadani itu duduk bersila
seorang kakek yang sangat tua, dengan rambut putih dan jenggot panjang.
Lehernya masih terasa sakit dan saat dia meraba lehernya, luka di lehernya
telah tertutup obat. Mengertilah dia bahwa dia telah tertolong oleh kakek ini.
Otaknya yang
cerdik cepat bekerja. Kakek ini sudah tua sekali, dan bukan hwesio karena
rambutnya panjang. Siapa lagi yang dapat menolong dirinya seperti itu selagi
dia berada dalam kuil Siauw-lim-si tanpa diketahui orang? Cepat dia bangkit dan
berlutut di depan kakek itu sambil berkata,
"Sukong
(Kakek Guru), teecu (murid) Yap Kun Liong menghaturkan banyak terima kasih atas
pertolongan Sukong dan membawa teecu ke dalam Ruang Kesadaran ini."
Kakek itu
tercengang dan mengelus jenggotnya. "Aihhh…, bagaimana engkau bisa tahu
bahwa kau berada di Ruang Kesadaran? Tahukah kau siapa aku?"
"Sukong
adalah Tiong Pek Hosiang..."
"Hemmm,
anak cerdik. Agaknya engkau bukan kacung biasa di kuil. Aku melihat engkau
berindap-indap bagaikan maling, tetapi malah memergoki maling-maling itu.
Kelakuanmu aneh, aku menolongmu selagi kau pingsan akan tetapi kau dapat
mengenalku. Siapakah engkau dan mengapa kau menyebut aku kakek guru?"
"Harap
Sukong sudi mengampunkan teecu. Sebenarnya karena ingin menghadap Sukong
sematalah maka teecu berani melakukan kelancangan serta membohong kepada para
losuhu. Teecu bernama Yap Kun Liong, ayah teecu Yap Cong San murid
Sukong..."
"Aha!
Kiranya engkau anak Cong San? Engkau menyamar sebagai kacung karena ingin
bertemu denganku? Apakah kau disuruh oleh ayahmu?"
"Tidak,
Sukong. Teecu menghadap Sukong untuk berguru kepada Sukong."
Kakek itu
tersenyum lebar. "Wah, agaknya engkau nakal sekali, sampai-sampai rambut
di kepalamu habis karena racun. Mengapa engkau ingin berguru kepadaku? Bukankah
ayah dan ibumu memiliki kepandaian juga, apa lagi engkau dapat minta petunjuk
supek-mu Cia Keng Hong?"
"Teecu
tidak berani minta petunjuk Supek! Teecu sudah dibimbing selama lima
tahun..." Tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada Bun Hwat Tosu, maka
cepat dia menyambung. "Maaf, teecu tidak dapat menyebutkan namanya karena
sudah berjanji."
"Ha-ha-ha,
Bun Hwat Tosu sungguh tua bangka yang aneh. Mengapa justru kepadamu dia
menurunkan ilmunya?"
"Aihhh...!
Teecu tidak pernah menyebut nama beliau...!"
"Jangan
khawatir, engkau tidak melanggar janji. Dari gerakanmu ketika kau merobohkan
seorang maling, ada dasar gerakan rahasia dari Hoa-san-pai. Dahulu dia pernah
berkata kepadaku hendak menciptakan sebuah ilmu silat yang mempunyai dasar
delapan penjuru. Benarkah?"
"Sukong
sungguh waspada. Memang demikianlah. Selama lima tahun teecu sudah diajar oleh
beliau dan diberi ilmu silat tongkat Siang-liong-pang serta ilmu silat tangan
kosong Pat-hong Sin-kun, juga latihan tenaga sinkang yang mempunyai daya
membetot."
"Ha-ha-ha!
Tentu untuk melawan Thi-khi I-beng, bukan?"
"Ehh...!
Sukong tahu juga?"
"Kakek
tua Hoa-san-pai itu terlalu jujur sehingga segalanya dapat dilihat dari perubahan
mukanya. Dahulu dia merasa penasaran sekali kenapa sampai tidak ada ilmu yang
dapat menandingi Thi-khi I-beng, maka kalau dia menurunkan sinkang kepadamu
dengan daya membetot, tentu dia tujukan untuk melawan Thi-khi I-beng."
Kun Liong
mengangguk-angguk sampai dahinya membentur lantai. "Mohon petunjuk dari
Sukong."
"Baiklah.
Bun Hwat Tosu yang tidak mempunyai hubungan apa-apa denganmu telah rela
melatihmu selama lima tahun. Engkau yang masih putera muridku yang paling baik,
tentu saja berhak mewarisi ilmu-ilmuku, terutama ilmu yang selama ini
kuciptakan di sini. Apa artinya ilmu itu kalau aku mati? Tak dapat kubawa, maka
biar engkau yang mewarisinya."
Bukan main
girangnya hati Kun Liong. Mulai hari itu, di luar pengetahuan para penghuni
kuil, Kun Liong mendapat gemblengan ilmu silat tinggi dari kakek sakti itu.
Kenapa hal ini sampai tidak ketahuan oleh para penghuni kuil? Karena memang
tidak ada seorang pun hwesio yang berani memasuki ruangan itu, dan setiap hari
seorang hwesio pelayan kecil mengantar makanan dan minuman serta semua
keperluan Tiong Pek Hosiang, kemudian meletakkannya dengan penuh hormat di
depan pintu ruangan yang tertutup lalu pergi lagi. Ransum makanan dan minuman
ini cukup untuk makan minum mereka berdua, apa lagi karena kakek itu jarang
sekali makan.
***************
Sementara
itu, dua orang tawanan diseret ke depan kaki Ketua Siauw-lim-pai dan dengan
suara halus Thian Kek Hwesio, Ketua Siauw-lim-pai, lalu berkata, "Siapakah
ji-wi (kalian berdua) dan siapakah pula pemimpin kalian yang sudah mencuri
pedang dan bokor kami? Kalian dari golongan mana?"
Biar pun
Thian Kek Hwesio bicara dengan suara halus, namun mendatangkan rasa takut dan
ngeri di dalam hati dua orang maling itu karena sikapnya memang angker sekali,
apa lagi dengan tubuh yang tinggi besar bermuka hitam dan matanya lebar. Mereka
mencoba menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia belaka karena tubuh mereka
sudah lemas dan lumpuh oleh totokan lihai.
"Bebaskan
totokan mereka," kata pula Ketua Siauw-lim-pai itu kepada sute-nya, Thian
Lee Hwesio yang menggerakkan tangan dan ujung lengannya yang panjang menyambar
dua kali ke arah punggung kedua orang tawanan. Mereka mengeluh dan dapat
bergerak kembali.
"Nah,
sekarang katakan siapa yang menyuruh kalian. Kalau kalian suka berterus terang,
tentu pinceng akan memaafkan kalian dan membolehkan kalian pergi dengan
aman."
Dua orang
itu kembali mengeluh, kemudian saling pandang dan tangan mereka merogoh saku
dalam baju. Semua tokoh Siauw-lim-pai yang hadir di situ sudah siap untuk
menjaga diri kalau-kalau kedua orang tawanan itu hendak menyerang mereka, atau
bersiap untuk menangkapnya kembali kalau mereka mencoba untuk melarikan diri. Akan
tetapi, tiba-tiba saja dua orang itu mencabut lagi tangan mereka, meraba leher
lantas keduanya terguling, berkelojotan dan mati.
Thian Lee
Hwesio meloncat mendekat, memeriksa leher mereka yang menjadi bengkak
menghijau. Dengan ails berkerut hwesio tua ini mengeluarkan sapu tangan dan
mencabut benda kecil dari leher kedua orang itu, lalu berkata,
"Omitohud... kalau tidak salah ini duri kembang hijau...!"
Dia
melangkah maju dan memperlihatkan dua batang duri itu kepada suheng-nya, Ketua
Siauw-lim-pai. Thian Kek Hwesio memeriksanya sebentar, lalu mengangguk-angguk
dan berkata, "Engkau benar, Sute. Tentu inilah duri kembang hijau dan
kembang itu hanya tumbuh di tepi Kwi-ouw (Telaga Setan)."
"Kalau
begitu mereka adalah orang-orang Kwi-eng-pai (Perkumpulan Bayangan
Hantu)!" Thian Lee Hwesio berseru kaget. "Kita harus segera
mengejarnya ke sana dan menuntut kepada ketuanya!"
Pada saat
itu pula, Thian Kek Hwesio duduk memejamkan matanya dan sikapnya penuh
perhatian sehingga sute-nya, Thian Lee Hwesio memandang heran dan tidak
mendesak. Memang pada saat itu Thian Kek Hwesio sedang mencurahkan perhatian
terhadap suara bisikan halus yang memasuki telinganya seperti hembusan angin
lalu, suara yang amat dikenalnya karena suara itu adalah suara gurunya, suara
Tiong Pek Hosiang!
"Kacung
itu kini menjadi sute kalian yang termuda, dan biarlah urusan pusaka hilang
kelak dia yang akan mencarinya."
Thian Kek
Hwesio membuka matanya dan berkata, "Sute, tidak usah kita menyusul ke
sana. Kelak akan ada orang yang bertugas mengambilnya kembali. Sekarang harap
Sute menyuruh para murid memakamkan dua jenazah ini sebagaimana mestinya."
Thian Lee
Hwesio memandang dengan penasaran, akan tetapi tentu saja dia tidak berani
membantah kehendak ketuanya, mengangguk lantas mengundurkan diri untuk memimpin
para anak buah Siauw-lim-pai untuk mengubur dua jenazah maling itu. Diam-diam
hwesio tua ini merasa tidak puas dan penasaran sekali.
Boleh jadi
Kwi-eng-pai adalah perkumpulan kaum sesat yang amat terkenal dan ditakuti, apa
lagi ketuanya yang berjuluk Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang kabarnya
menjadi seorang di antara datuk-datuk kaum hitam di waktu itu. Akan tetapi
Siauw-lim-pai juga sebuah perkumpulan bersih yang sangat besar. Kalau sampai
terdengar oleh dunia kang-ouw betapa Siauw-lim-pai dihina, pusakanya dicuri
oleh orang dari Kwi-eng-pai tanpa berani membalas atau mencari, bukankah
Siauw-lim-pai akan ditertawakan orang-orang dan para tokoh Siauw-lim-pai
dianggap penakut?
Betapa pun
juga, Thian Lee Hwesio masih tidak berani membantah kehendak suheng-nya yang
menjadi ketua, dan hanya menanti kesempatan baik untuk merebut kembali pedang
dan hio-louw pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri orang itu. Ada pun Thian Kek
Hwesio yang maklum bahwa kini di dunia kang-ouw timbul pertentangan dan
persaingan antara mereka yang pro dan anti pemerintah, bersikap bijaksana.
Tidak saja
dia hendak mentaati pesan gurunya yang berdiam di Ruangan Kesadaran, dan yang
kini menggembleng sute-nya yang termuda, Si Bekas Kacung itu, akan tetapi juga
Ketua Siauw-lim-pai yang amat bijaksana ini tidak mau melibatkan Siauw-lim-pai
ke dalam gelanggang pertentangan hanya karena dua buah pusaka saja. Kalau dia
atau Thian Lee Hwesio atau para tokoh Siauw-lim-pai yang lain maju menyerbu
Kwi-eng-pai, tentu berarti melibatkan Siauw-lim-pai ke dalam pertentangan.
Sebaliknya, jika kacung yang sekarang digembleng suhu-nya itu yang kelak
menyerbu, karena bocah itu bukan menjadi anggota resmi Siauw-lim-pai dan tak
ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai, tentu Siauw-lim-pai akan bebas dari
libatan permusuhan.
***************
Lima tahun
lewat dengan sangat cepatnya. Di dalam Ruang Kesadaran yang terdapat di bagian
belakang kompleks bangunan Kuil Siauw-lim-si terasing dari dunia luar, Kun
Liong digembleng setiap hari oleh Tiong Pek Hosiang yang sudah menjadi makin
tua. Selama lima tahun itu Kun Liong hanya menerima dua macam ilmu yang amat
tinggi, yaitu Ilmu Silat Im-yang Sin-kun yang dapat dipergunakan untuk main
silat tangan kosong mau pun dengan sepasang senjata apa saja, dan ilmu sinkang
yang disebut Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sinkang yang amat lembut namun
mempunyai kekuatan yang amat dahsyat.
Siang malam
Kun Liong terus berlatih. Tubuhnya menjadi kurus akibat kurang makan dan
mukanya agak pucat karena tak pernah kenyang menerima sinar matahari, tapi
matanya kini mengeluarkan cahaya yang aneh dan tajam menusuk seolah-olah
menembus jantung orang yang dipandangnya. Yang tidak pernah berubah adalah
kepalanya. Tetap gundul, tidak ada sehelai pun rambutnya tumbuh!
Dia sudah
menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun, tampan wajahnya, amat
sederhana gerak-geriknya, dan yang paling menarik adalah kepala gundulnya. Jika
melihat kepalanya, semua orang tentu akan menganggapnya sebagai seorang hwesio,
akan tetapi pakaiannya sama sekali bukan pakaian hwesio.
Pada suatu
pagi, Tiong Pek Hosiang berkata kepada Kun Liong yang sudah menghadap dan
berlutut di depannya, "Kun Liong, tibalah saatnya engkau keluar dari ruangan
ini dan beritahukan kepada Ketua Siauw-lim-pai agar menyediakan sebuah peti
mati sederhana untukku, dan kelak membakar jenazahku di puncak bukit belakang
kuil tanpa upacara, tak perlu mengundang orang-orang kang-ouw."
"Sukong...!"
Kun Liong terkejut bukan kepalang mendengar pesan kakek itu, memandang
terbelalak dan mukanya pucat.
Kakek itu
tersenyum lebar. "Mengapa, Kun Liong? Mengapa mendengar aku akan mati
engkau menjadi terkejut dan mukamu pucat seperti orang takut?"
"Sukong,
siapakah yang tidak ngeri dan takut menghadapi kematian?"
"Mengapa
timbul takut, Kun Liong?"
"Karena
kita tidak mengetahui apa dan bagaimana kematian itu, Sukong. Kita menjadi
ngeri membayangkan apa yang akan terjadi dengan kita."
"Ha-ha-ha,
benarkah demikian? Kalau kematian itu sesuatu yang tidak kita kenal, mana
mungkin kita menjadi takut akan sesuatu yang tidak kita ketahui? Takut baru
timbul kalau kita mengetahui sesuatu akan kematian yang kita ketahui dari
dongeng nenek moyang kita, dari tahyul, mengenal siksaan-siksaan setelah mati,
semua itulah yang menimbulkan rasa takut, bayangan kita sendiri yang timbul
dari dongeng-dongeng itu."
"Tidak
hanya itu, Sukong. Teecu sendiri tidak percaya akan adanya dongeng mengenai
neraka, akan tetapi teecu merasa ngeri kalau membayangkan kematian."
"Hemmm,
kalau begitu, yang kau takutkan bukanlah kematian itu sendiri, melainkan kau
takut untuk berpisah dari hidup yang kau kenal ini, takut untuk meninggalkan
segala yang kau kenal di dunia kehidupan ini. Andai kata orang-orang yang kau
sayang, benda-benda yang kau sukai di dunia ini, dapat bersamamu pergi ke
kematian, agaknya takut itu pun akan lenyap. Bukankah begitu?"
Kun Liong
berpikir dan mengangguk, "Agaknya teecu tidak akan takut lagi,
Sukong."
"Jelas
bahwa orang takut akan kematian karena sesungguhnya dia takut akan berpisah
dari isi dunia kehidupan yang disukainya. Bagi seseorang yang sudah dapat
mematikan akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati.
Yang berbeda hanya sebutannya saja karena bagi dia yang tiada lagi ber-aku,
setiap saat adalah sama, apa pun yang akan terjadi dengan dia. Mengertikah
engkau, Kun Liong?"
Kun Liong
mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul, akan tetapi mulutnya berkata terus
terang, "Teecu mengerti, akan tetapi masih sukar untuk menyelami wejangan
ini, Sukong. Akan tetapi, jika benar Sukong hendak pergi meninggalkan kehidupan
ini, maka perkenankanlah teecu merawat Sukong sampai saat terakhir."
"Jangan,
Kun Liong. Sudah tiba waktunya engkau keluar dari sini, biarlah aku melewatkan
sisa waktuku yang tinggal beberapa hari lagi ini seorang diri saja di sini.
Nah, sekarang keluarlah dan sampaikan pesanku kepada Thian Kek Hwesio.
Pergilah!" Kakek itu sudah memejamkan matanya kembali sambil duduk
bersila.
Kun Liong
merasa terharu juga. Selama lima tahun dia tidak pernah berpisah dari kakek itu
dan setiap hari menerima gemblengan-gemblengan yang amat hebat. Dia berlutut
dan membentur-benturkan dahinya di atas lantai di depan kaki sukong-nya itu,
menitikkan air mata, kemudian sambil menarik napas panjang dia pun membuka daun
pintu, keluar dari ruangan itu, menutupkan lagi dari luar dan melangkah ke
ruangan dalam.
Dua orang
hwesio penjaga terkejut sekali melihat ada seorang pemuda gundul keluar dari
Ruangan Kesadaran. Cepat mereka melompat menghampiri dan siap untuk menerjang,
akan tetapi mereka melongo ketika mengenal Kun Liong, apa lagi karena Kun Liong
cepat menjura kepada mereka dan berkata,
"Ji-wi
Suhu apakah sudah lupa kepada Liong-ji? Aku mendapat pesan dari Sukong untuk
disampaikan kepada Thian Kek-losuhu."
"Kau...
kau kacung Liong-ji...? Bagaimana bisa keluar dari Ruangan Kesadaran?"
Salah seorang di antara dua hwesio itu bertanya, membelalakkan kedua matanya
dan hampir tidak percaya.
"Panjang
ceritanya, akan tetapi Thian Kek Losuhu tentu mengerti, karena itu harap bawa
aku menghadap beliau."
Dua orang
hwesio itu saling pandang, kemudian mereka mengiringkan Kun Liong pergi
menghadap Thian Kek Hwesio yang tentu saja tidak kaget melihat munculnya Kun
Liong. Kakek tinggi besar ini memandang penuh kagum, juga diam-diam dia girang
mempunyai seorang sute (adik seperguruan) begini muda dan gagah.
"Liong-ji,
engkau baru keluar sekarang?" Ketua Siauw-lim-pai itu menyambut Kun Liong
dengan kata-kata ini.
Kun Liong
segera berlutut di depan kakek itu dan berkata, "Pertama-tama teecu mohon
maaf sebanyaknya bahwa teecu telah membohong kepada Locianpwe. Teecu sebetulnya
she Yap bernama Kun Liong, teecu adalah putera tunggal Ayah Yap Cong San di
kota Leng-kok."
Para hwesio
yang kebetulan berada di kamar itu terbelalak kaget, akan tetapi Thian Kek
Hwesio tersenyum dan mengangguk-angguk. "Pengakuanmu ini semakin
menggirangkan hatiku, Yap-sicu karena berarti bahwa Sicu adalah orang sendiri.
Tentu saja pinceng (aku) memaafkan hal itu."
"Terima
kasih atas kebijaksanaan Locianpwe. Dan hal ke dua yang perlu teecu laporkan
adalah bahwa selama lima tahun ini, teecu berada di dalam Ruangan Kesadaran
bersama Sukong."
"Hal
itu pun pinceng sudah tahu, Yap-sicu, dan pinceng merasa girang sekali
mendengar bahwa Suhu berkenan menurunkan ilmunya kepada seorang pilihan seperti
Sicu. Mudah-mudahan saja Sicu dapat menggunakan pelajaran dari Suhu itu untuk
membela keadilan dan kebenaran."
"Tentu
saja teecu akan memperhatikan pesan Locianpwe. Dan laporan ke tiga dari teecu
adalah pesan dari Sukong bahwa Sukong minta supaya Locianpwe suka menyediakan
sebuah peti mati yang sederhana untuk Sukong dan kelak Sukong minta agar
jenazahnya diperabukan di puncak bukit di belakang kuil tanpa upacara dan tidak
perlu memberi tahu orang-orang kang-ouw."
"Omitohud...!"
Thian Kek Hwesio merangkapkan kedua tangan ke depan dada kemudian memejamkan
kedua matanya. "Pinceng akan melaksanakan semua perintah Suhu."
"Sekarang
teecu mohon diri dari Locianpwe, akan meninggalkan Siauw-lim-si," kata Kun
Liong sambil memberi hormat.
"Nanti
dulu, Sicu. Tidakkah Suhu memerintahkan sesuatu untuk Sicu kerjakan?"
"Tidak,
Locianpwe."
"Jika
begitu, agaknya Suhu menghendaki agar pinceng yang minta bantuan Sicu. Dahulu
ketika Suhu memberi tahu kepada pinceng bahwa Sicu diambilnya sebagai murid,
Suhu mengatakan bahwa Sicu-lah yang kelak akan ditugaskan untuk mencari kembali
dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh maling-maling itu. Karena itu, kini
pinceng mengharapkan bantuan Sicu untuk mendapatkan kembali dua buah pusaka
yang dicuri itu."
"Ahh,
jadi maling-maling itu berhasil membawa pergi dua buah pusaka? Pusaka apakah
yang dibawanya dan siapakah maling itu, Locianpwe?"
"Yang
diambil adalah sebatang pedang Liong-bwe-kiam (Pedang Ekor Naga) dan sebuah
hio-louw emas berukirkan burung hong bermata kemala. Ada pun pencurinya, kalau
tidak salah dugaan kami adalah tokoh-tokoh dari Kwi-eng-pai yang berpusat di
pulau di tengah-tengah Telaga Kwi-ouw (Telaga Hantu)." Hwesio tua itu lalu
menceritakan mengenai dua orang anggota maling yang tertangkap dan betapa
mereka membunuh diri dengan duri kembang hijau sehingga tidak sempat mengaku.
"Yang
mengkhawatirkan hati kami adalah Sute Thian Lee Hwesio. Suhu telah memesan
bahwa Sicu yang akan mencari kembali pusaka-pusaka yang tercuri, akan tetapi
Sute tak sabar lagi dan dua bulan yang lalu Sute Thian Lee Hwesio secara
diam-diam sudah meninggalkan kuil dan menurut para murid, katanya Sute
menyatakan bahwa dia pergi untuk merampas kembali pusaka-pusaka itu. Oleh
karena itu, pinceng harap sukalah Sicu membantu dan menyusul Sute ke Kwi-ouw
untuk membantunya mengambil kembali dua pusaka yang tercuri."
"Baikiah,
Locianpwe. Teecu akan berusaha sedapat mungkin untuk mendapatkan kembali dua
pusaka itu."
Setelah
Thian Kek Hwesio memberi petunjuk kepada Kun Liong di mana letaknya Telaga
Hantu, maka Kun Liong pun berangkat meninggalkan kuil itu. Setelah berada di
luar dan melihat pemandangan alam yang amat indah, terlupalah olehnya akan
hal-hal yang tidak menyenangkan, akan kematian sukong-nya, akan tugas berat
yang dipikulnya, dan yang terasa olehnya hanyalah kelegaan hati yang membuat
dadanya seperti melembung dan ringan.
Betapa
indahnya pemandangan alam yang telah dipisahkan darinya selama lima tahun!
Keluar dari Ruangan Kesadaran yang hanya berupa empat dinding tembok itu
kemudian memasuki dunia luas ini, dia seolah-olah seperti hidup lagi, seperti
memasuki dunia baru! Hawa yang amat sejuk segar terasa, nikmat dan sedap sekali
memasuki paru-parunya, membawa keharuman bau tanah, rumput, pohon dan
kembang-kembang.
Ingin dia
bernyanyi-nyanyi, begitu senang dan gembira hatinya. Begini agaknya perasaan
seekor burung yang dilepas dari kurungan selama bertahun-tahun.
***************
Hati yang
gembira, tubuh yang ringan karena tanpa disadarinya sendiri dia kini sudah
memiliki ilmu kepandaian yang hebat, membuat Kun Liong dapat bergerak cepat
sekali menuruni bukit. Pagi hari itu sangat indah dan cerah dan suasana di
pegunungan sunyi sekali.
Menjelang
tengah hari, Kun Liong melihat enam orang laki-laki yang kelihatannya kuat dan
gagah mengawal sebuah kereta naik ke puncak gunung dan di atas kereta itu
tampak berkibar bendera yang menandakan bahwa para pengawal itu adalah para
piauwsu dari Sam-to Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Tiga Golok).
Enam orang
itu memandang dengan sinar mata tajam menyelidiki ketika bertemu dengan Kun
Liong, akan tetapi karena pemuda gundul itu tidak mempedulikan mereka, maka
tidak terjadi sesuatu. Kun Liong hanya menganggap bahwa ada barang kiriman
untuk Siauw-lim-pai, maka tentu saja dia tidak berani bertanya-tanya, dan dia
tidak tahu barang apa yang berada di dalam kereta yang ditarik oleh empat ekor
kuda itu. Dia melanjutkan perjalanannya turun gunung sambil bersenandung dengan
hati riang.
Sukong-nya
benar, pikirnya sambil menikmati hawa udara yang jernih sejuk. Hidup adalah
saat sekarang ini, yang sesungguhnya nikmat apa bila pikiran kita tidak kita
biarkan untuk mengenang hal-hal lalu atau hal-hal mendatang, bahkan kematian
bukan merupakan hal yang menakutkan atau mendukakan.
Apa sih
kematian? Kita tidak tahu bagaimana kematian itu, dan tidak mungkin kita takut
akan sesuatu yang kita belum tahu. Ketakutan timbul dari bayangan-bayangan,
atau dari angan-angan tentang hal yang kita ketahui atau yang kita anggap sudah
kita ketahui dari kitab atau dari orang lain. Kalau kematian hanya menjadi
kelanjutan dari hidup, perlu apa takut?
Hidup
sendiri pun sesungguhnya bukanlah suatu keadaan yang sangat menyenangkan. Lihat
saja pengalamannya sejak dia meninggalkan rumah. Betapa hidup manusia penuh
dengan pertentangan, penuh dengan persoalan yang agaknya sambung menyambung tak
kunjung henti.
Dan apa bila
dia pelajari persoalan-persoalan itu, kesemuanya timbul dari nafsu keinginan
manusia memperebutkan sesuatu, baik yang diperebutkan itu benda atau kebenaran!
Semua demi si-akunya manusia, sampai-sampai kebenaran sekali pun ingin
dimonopoli. Kebenaran-Ku! Dan Si aku inilah sumber dari segala persengketaan,
sumber dari segala pertentangan dan permusuhan, sehingga membuat hidup menjadi
semacam gelanggang pertempuran demi si aku masing-masing.
Memang benar
sukong-nya yang berkata bahwa bagi orang yang sudah dapat mematikan AKU-nya
sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati!
Setelah hari
senja baru Kun Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Dari jauh dia melihat
sebuah warung makan di dekat sebuah rumah penginapan kecil sederhana.
Dirogohnya bajunya yang lebar dan sederhana. Tadi dia diberi bekal uang sekedarnya
oleh Thian Kek Hwesio.
Lima tahun
lamanya dia tidak pernah makan masakan yang enak, hanya makan sayur-sayuran
sederhana saja seperti yang dimakan sukong-nya. Minumnya pun selama lima tahun
itu hanya air jernih.
Ada tercium
bau arak dan daging panggang dari warung itu, membangkitkan seleranya. Maka
masuklah dia ke dalam warung itu, warung kecil yang hanya mempunyai beberapa
bangku panjang, meja reyot dan diterangi oleh lampu minyak kecil tergantung di
bawah genteng.
Tiga orang
tamu yang sudah terlebih dahulu duduk di dalam warung, mengangkat muka
memandang Kun Liong dengan penuh perhatian. Melihat orang-orang itu
memandangnya penuh selidik, hati Kun Liong merasa tidak enak, akan tetapi
dengan sikap tidak peduli dia menoleh kepada seorang pelayan yang sedang
melayani mereka dan berkata sederhana, "Bung pelayan, tolong sediakan arak
dan bakmi semangkuk!"
Pelayan itu
menoleh, kelihatan ragu-ragu dan mengulang lagi, "Arak? Dan bakmi dengan
daging?"

Kun Liong
mengangguk, kemudian dia mengambil tempat duduk di ujung sebuah bangku panjang
karena tidak ada tempat duduk lain yang kosong. Bangku ini di ujung sana telah
diduduki oleh salah satu di antara ketiga tamu itu, seorang setengah tua yang
berjenggot pendek dan agaknya sudah terlampau banyak minum arak karena mukanya
merah dan wajahnya berseri. Dengan menggerakkan kedua pundak sambil bertukar
pandang dengan tiga orang tamunya, pelayan itu segera pergi ke belakang untuk
mengambilkan arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong.
"Aku
mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan partai persilatan yang paling besar dan
sudah terkenal sekali bahwa hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah para hwesio yang
tidak pernah menyeleweng." Terdengar suara yang tinggi sekali seperti kaleng
digurat sampai menyakitkan anak telinga.
Kun Liong
melirik dan melihat bahwa yang bicara ini adalah seorang di antara tiga tamu
tadi, orang yang mukanya kecil, bertopi kain dan bermuka pucat.
"Ha-ha-ha-ha,
apa yang kau dengar itu memang benar, Kui-suheng (Kakak Seperguruan Kui). Kalau
ada seorang hwesio melakukan pelanggaran, sudah hampir dapat dipastikan dia itu
bukan seorang anggota Siauw-lim-pai!" kata orang yang duduk sebangku
dengan Kun Liong.
Arak dan
bakmi yang dipesan Kun Liong tiba, dan pemuda ini segera mulai makan tanpa
mempedulikan tiga orang tamu itu. Orang ke tiga di antara tamu itu sudah tua,
kurus dan lucu sekali karena kelihatan selalu mengantuk. Biar pun kadang-kadang
dia mengangkat cawan araknya, akan tetapi matanya seperti terus tidur melenggut
dan tidak pernah ikut berbicara dengan kedua orang kawannya, bahkan sama sekali
tidak mempedulikan Kun Liong.
"Benarkah
bahwa setiap ada anak murid yang melanggar, Siauw-lim-si bertindak keras sekali
dengan hukumannya?" tanya pula Si Muka Pucat yang disebut Kui-suheng oleh
Si Jenggot Pendek tadi.
"Kabarnya
demikian. Bahkan seorang murid tidak akan diijinkan keluar sebelum lulus dari
ujian yang diadakan. Apakah Suheng tidak mendengar betapa ketuanya yang lama,
Tiong Pek Hosiang yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw itu, terpaksa harus
mengundurkan diri karena pelanggaran?"
"Ya,
kabarnya begitu. Bahkan murid Siauw-lim-pai yang paling lihai, Yap Cong San
yang kabarnya mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu, terpaksa pula harus
meninggalkan keanggotaannya dari Siauw-lim-pai karena pelanggaran."
"Urusan
apakah?"
"Entahlah,
Sute. Aku sendiri pun tidak tahu jelas. Tentu Tio-taihiap (Pendekar Besar Tio)
yang lebih tahu," jawab Si Muka Pucat sambil memandang kepada teman yang
sejak tadi seperti orang mengantuk itu. Kedua orang itu kini memandang
kepadanya dan diam-diam Kun Liong juga memperhatikan dengan kerling matanya
kepada Si Pengantuk yang tadi disebut Pendekar Besar Tio itu.
"Sudahlah,
perlu apa berbicara tentang urusan orang lain? Yang penting malam ini kita
mengaso di losmen dan baru besok pagi kita naik ke Siauw-lim-si. Mudah-mudahan
saja perjalanan jauh kita akan berhasil."
Mendengar
ini, timbul kecurigaan di dalam hati Kun Liong. Tiga orang ini sikapnya amat
mencurigakan dan mereka ini besok hendak naik ke Siauw-lim-si! Mau apakah
mereka? Apakah ada hubungan mereka dengan Kwi-eng-pai yang sudah mencuri pusaka
Siauw-lim-si?
"Ucapan
Tio-taihiap benar," Si Jenggot Pendek berkata. "Kita harus
menghormati para pendeta Siauw-lim-pai yang terhormat, tetapi bagaimana mungkin
aku dapat menghormat pendeta munafik yang terang-terangan melanggar pantangan
di depan umum?" Setelah berkata demikian, Si Muka Merah yang berjenggot
pendek ini mengangkat cawan araknya melirik ke kiri ke arah Kun Liong sambil
mengerahkan tenaga sinkang ke tubuh bagian bawah.
Kun Liong
terkejut bukan main ketika tiba-tiba bangku yang didudukinya itu bergetar dan
bergerak terangkat naik! Maklumlah dia bahwa Si Muka Merah ini sengaja bermain
gila hendak mempermainkan dia yang tentu dianggap seorang hwesio yang sudah
melanggar pantangan makan daging dan minum arak.
Perutnya
terasa panas! Akan tetapi dia bersikap tenang saja seolah-olah tidak tahu apa
yang terjadi, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan sinkang sehingga ujung
bangku yang didudukinya itu, yang tadinya sudah terangkat sampai sejengkal
lebih dari lantai, kini turun kembali!
Si Muka
Merah terbelalak dan terheran, lalu menjadi penasaran. Sinkang-nya dikerahkan
dengan sekuatnya, dan andai kata Kun Liong bukan seorang yang telah memiliki
sinkang kuat, tentu dia akan terlempar jauh oleh getaran ujung bangku yang
didudukinya! Akan tetapi, tubuh pemuda ini sama sekali tidak berguncang, bahkan
ketika dia mengerahkan tenaganya, segera terdengar suara…
"Krakkk!"
Bangku itu
patah pada tengahnya dan tubuh Si Muka Merah itu terlempar ke atas seperti
dilontarkan oleh sebuah tenaga raksasa yang tidak tampak! Cawan araknya
terlepas dari tangannya dan tentu akan terbanting tumpah di atas meja kalau
saja Si Pengantuk yang disebut Tio-taihiap itu tidak mengulurkan tangan
menyambar cawan itu dan aneh sekali... arak yang tumpah itu seakan-akan tersedot
dan melayang kembali ke dalam cawan itu!
Sedangkan Si
Muka Merah sudah berjungkir-balik dan tidak sampai terbanting. Dia sudah
mengepal tinjunya sambil memandang kepada Kun Liong dengan mata mendelik,
melihat pemuda gundul itu tetap enak-enak duduk di ujung bangku yang sudah
patah tengahnya, menghabiskan sisa arak dalam cawannya!
"Pendeta
palsu, hayo lawan aku orang she Song kalau kau ada kepandaian!" Si Muka
Merah itu membentak marah.
Kun Liong
menghabiskan sisa arak dalam cawan, kemudian meletakkan cawan kosong di atas
meja dan bangkit berdiri. Tentu saja bangku yang sudah patah tengahnya itu
lantas terguling roboh ketika dia bangkit, mengeluarkan bunyi nyaring memecah
kesunyian yang menegangkan itu. Ia merogoh saku bajunya dan menggapai kepada pelayan
yang datang membungkuk-bungkuk dengan ketakutan, lalu membayar harga makanan
serta minuman setelah menanyakan harganya.
Sesudah
pelayan itu bergegas pergi, dia berpaling kepada Si Muka Merah dan berkata,
"Semenjak tadi aku makan dan minum di sini dengan aman, tanpa pernah
mengganggu orang, baik dengan ucapan atau dengan tingkah laku. Engkau hampir
jatuh oleh tingkah sendiri, mengapa sekarang ribut-ribut hendak menantang
orang?"
"Pendeta
palsu, tak usah banyak cakap. Keluarlah kalau kau berani!"
"Saudara
Song, duduklah!" Tiba-tiba Si Pengantuk itu berseru nyaring.
Kun Liong
melihat betapa Si Muka Merah itu, biar pun bersungut-sungut, mengangguk tak
berani membantah, sudah duduk lagi di sudut dengan muka merah. Si Pengantuk itu
lalu berdiri menghadapi Kun Liong, mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil
berkata,
"Siauw-suhu,
harap suka memaafkan kekasaran kawanku. Akan tetapi aku pun tak dapat terlalu
menyalahkannya karena dia memang paling tidak suka menyaksikan sesuatu yang
ganjil, misalnya ada seorang pendeta yang melanggar pantangan di depan umum,
makan daging dan minum arak."
Kun Liong
tersenyum lebar dan memandang Si Pengantuk itu dengan wajah berseri. Dia kini
tidak marah lagi, bahkan merasa betapa lucunya keadaan. Sambil balas menjura
dia pun menjawab, "Sudahlah, tidak ada apa-apa yang harus diributkan kalau
hanya karena kesalah pahaman diakibatkan oleh kepalaku yang gundul. Taihiap,
aku bukanlah seorang hwesio dan tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang
berhak melarang aku untuk berkepala gundul, minum arak dan makan daging!"
Si Muka
Pucat tertawa dan sungguh aneh. Walau pun dia kelihatan mengantuk, namun
sesudah tertawa wajahnya yang tua kurus itu berseri dan sepasang mata yang
sipit itu mengeluarkan sinar mata yang menyambar amat tajamnya, membuat Kun
Liong terkejut sekali dan diam-diam pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan
dengan orang pandai.
"Ha-ha-ha,
Song-laote, kau lihat betapa lucunya dan betapa merugikan kalau kau tidak
teliti, menyangka orang yang bukan-bukan dan sudah tergesa-gesa turun tangan
sebelum yakin akan kesalahan orang. Saudara muda ini sama sekali bukan hwesio,
tentu saja bukan merupakan hal aneh kalau dia makan daging dan minum
arak."
Orang she
Song itu kini berubah sikapnya. Dia cepat bangkit dan menjura ke arah Kun Liong
sambil berkata, "Aihhh, mataku seperti buta! Harap suka memaafkan
kecurigaan saya tadi, Siauw-enghiong. Semuda ini engkau telah memiliki
kepandaian hebat, sungguh mengagumkan hatiku. Pertemuan ini harus dilanjutkan
dengan persahabatan dan sudilah engkau menjadi tamu kami!"
Kun Liong
cepat menjura, "Maaf, saya tidak dapat menerima kehormatan itu. Saya
adalah seorang petualang biasa yang tidak ada artinya, dan saya lelah sekali
hendak mengaso. Maaf!"
Dia lalu
melangkah keluar dari warung itu, memasuki losmen sederhana, memesan kamar dan
merebahkan dirinya di atas dipan di dalam kamar yang sempit itu, melupakan lagi
urusan tadi. Akan tetapi diam-diam dia masih menaruh hati curiga terhadap
ketiga orang yang hendak naik ke Siauw-lim-si.
Kecurigaannya
ini membuat Kun Liong gelisah. Maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali,
dia mendahului tiga orang itu naik ke puncak, kembali ke Siauw-lim-si.
Sedikitnya dia harus memberi tahukan Thian Kek Hwesio mengenai ketiga orang
aneh yang hendak mengunjungi kuil dan yang keadaannya mencurigakan agar supaya
Siauw-lim-pai dapat berjaga-jaga.
Meski pun
sekarang Kun Liong melalui jalan yang jauh lebih sukar dari pada ketika dia
meninggalkan puncak, yaitu jalannya terus mendaki, namun karena dia
tergesa-gesa dan mempergunakan ilmu berlari cepat, maka menjelang senja sampai
juga dia ke puncak dan memasuki halaman kuil Siauw-lim-si yang amat luas.
Heran hati
pemuda ini menyaksikan kesibukan anak murid Siauw-lim-pai, dan setelah dia
bertemu dengan ketua dan para tokoh Siauw-lim-pai di ruangan depan, bisa
dibayangkan betapa kagetnya mendengar berita bahwa Thian Lee Hwesio telah tewas
terbunuh orang dan baru saja kemarin jenazahnya tiba, dibawa oleh rombongan
piauwsu yang kemarin dijumpai di tengah jalan. Kiranya yang berada di dalam
kereta adalah sebuah peti yang terisi jenazah Thian Lee Hwesio!
Di dalam
ruangan itu terdapat dua buah peti mati dan Kun Liong segera berlutut memberi
hormat di depan kedua peti mati itu setelah dia mengetahui bahwa dua peti mati
itu berisi jenazah sukong-nya, Tiong Pek Hosiang, dan jenazah Thian Lee Hwesio!
"Bukan
pinceng tidak mentaati pesan terakhir dari Suhu," kata Thian Kek Hwesio
kepada Kun Liong setelah mempersilakan pemuda itu duduk. "Akan tetapi
sebelum kami dapat melaksanakan perintah Suhu dan memperabukan jenazahnya,
telah datang jenazah Sute. Maka biarlah kita sekarang mengadakan upacara kepada
dua jenazah, apa lagi karena sudah sepatutnya bila jenazah Suhu mendapat
kehormatan dan menerima penghormatan para tokoh kang-ouw yang tentu akan
berdatangan mendengar berita kematian Suhu dan Sute. Pinceng harap Sicu akan
suka menunggu di sini sampai kedua jenazah ini selesai disempurnakan."
Kun Liong
mengangguk. "Tentu saja, teecu akan menanti di sini karena teecu juga
ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw. Sudah menjadi kewajiban teecu
pula untuk menunggu jenazah Sukong sampai diperabukan. Akan tetapi yang sangat
mengherankan hati teccu, bagaimanakah Thian Lee-losuhu yang katanya mencari
pusaka yang hilang, tahu-tahu kembali dalam keadaan sudah tewas dan siapa pula
yang mengantar dengan kereta piauw-kiok itu?"
"Yap-sicu
telah kami beri tugas untuk mencari kembali dua pusaka sesuai dengan pesan
Suhu. Sekarang dengan terjadinya kematian Sute, tugas Sicu menjadi lebih berat.
Agar jelas, baiknya Sicu mendengar sendiri penuturan para piauwsu yang mengawal
jenazah Sute," kata Ketua Siauw-lim-pai yang segera memanggil enam orang
piauwsu itu masuk ke ruangan, sedangkan dia sendiri melanjutkan memimpin para
anak murid melakukan upacara sembahyangan terhadap dua peti mati terisi
jenazah.
Enam orang
piauwsu itu tercengang juga ketika diperkenalkan kepada Kun Liong yang mereka
kenal sebagai pemuda gundul yang kemarin berjumpa dengan mereka di tengah
jalan. Pada saat mendengar bahwa pemuda itu adalah sahabat baik Ketua
Siauw-lim-pai, mereka segera memberi hormat, apa lagi ketika Ketua
Siauw-lim-pai minta agar mereka menceritakan semua kepada Kun Liong, pimpinan piauwsu
yang bermuka hitam segera mulai dengan penuturannya.
Sam-to
Piauwkiok adalah sebuah perusahaan pengawalan dan pengiriman barang di kota
Lam-san-bun yang sudah amat terkenal karena perusahaan ini dipimpin tiga orang
kakak beradik yang tinggi ilmu silatnya, terutama sekali ilmu golok mereka yang
sukar dicari tandingannya, sehingga terkenallah sebutan Sam-to-eng (Tiga
Pendekar Golok). Karena itu, perkumpulan yang juga memakai nama Tiga Golok ini
sangat dipercaya orang untuk mengawal pelancong atau barang-barang berharga.
Pada suatu
hari, seorang pemuda tampan datang berkereta dan membawa sebuah peti yang
panjang besar, menyerahkan peti itu kepada Sam-to Piauwkiok dan minta agar peti
itu dikirimkan secepatnya ke Siauw-lim-pai dengan biaya mahal dan dibayar
kontan pula!
"Karena
pada waktu peti itu datang tiga orang pimpinan kami sedang tidak ada di rumah,
maka sebagai pembantu-pembantunya kami menerima barang itu. Kami tidak mengutus
para anak buah, melainkan kami mengawalnya sendiri mengingat akan baiknya
hubungan antara tiga orang pemimpin kami dengan Siauw-lim-pai. Karena barang
kiriman itu untuk Siauw-lim-si, maka harus kami jaga agar jangan sampai terjadi
sesuatu di tengah jalan. Sama sekali kami tidak pernah menyangka bahwa peti itu
berisi... berisi..."
"Jenazah
Thian Lee-losuhu?" Kun Liong melanjutkan sebab pemimpin para piauwsu yang
bermuka bitam itu kelihatan gagap.
"Benar,
Yap-sicu. Kalau kami tahu apa isinya, hemmm... tentu kami akan menahan
dia!"
"Siapakah
dia yang mengirim peti itu?"
"Seorang
pemuda tampan, namun sekarang, melihat bahwa peti itu berisi jenazah wakil
Ketua Siauw-lim-pai, timbul dugaan kami bahwa agaknya pemuda itu adalah
penyamaran dari dia..." Si Muka Hitam yang biasanya bersikap gagah itu
kelihatan ragu-ragu dan jeri, tampak dari matanya yang otomatis melirik ke
kanan kiri, seakan-akan dia merasa takut kalau-kalau suaranya terdengar orang
lain!
"Siapakah
dia yang kau maksudkan?"
"Giok...
hong... cu..."
Kun Liong
mengerutkan sepasang alisnya karena dia sama sekali tidak mengenal nama julukan
Giok-hong-cu (Si Burung Hong Kemala) itu. "Hemmm, dia itu orang
apakah?"
Pemimpin
rombongan piauwsu itu memandang dengan muka heran, kemudian dia dapat menduga
bahwa pemuda gundul yang diakui sebagai sahabat oleh Ketua Siauw-lim-pai itu
agaknya adalah seorang yang sama sekali belum mengenal keadaan dunia kang-ouw,
maka dengan penuh gairah seorang yang suka bercerita dia berkata,
"Dia
adalah seorang wanita muda yang selama dua tahun ini namanya tersohor di
seluruh dunia kang-ouw. Ilmu kepandaiannya hebat dan mengerikan, sepak
terjangnya pun ganas sekali. Melihat betapa banyaknya tokoh-tokoh golongan
putih yang sudah menjadi korban keganasan tangannya, agaknya dia adalah seorang
tokoh baru golongan hitam, sungguh pun ada pula golongan hitam yang dibasminya.
Dia adalah seorang tokoh penuh rahasia dan melihat bahwa isi peti adalah
jenazah wakil Ketua Siauw-lim-pai, segera saja kami ingat kepadanya."
"Hemm,
sungguh tidak baik kalau menuduh orang tanpa bukti, siapa pun juga orang
itu," Kun Liong membantah. Hatinya merasa tidak rela ada orang menuduh
seorang wanita muda yang melakukan pembunuhan keji terhadap Thian Lee Hwesio.
"Kami
tidak menuduh sembarangan!" Si Muka Hitam itu membantah. "Sungguh pun
dia berpakaian seperti seorang pemuda, akan tetapi wajahnya demikian tampan dan
suara serta gerak-geriknya demikian halus. Dia pasti seorang wanita muda yang
menyamar."
"Akan
tetapi, bagaimana kau dapat memastikan bahwa dia itu tokoh wanita yang berjuluk
Giok-hong-cu?"
"Karena
Giok-hong-cu juga seorang dara muda yang cantik jelita, dan... di baju pemuda
itu, pada bagian dada kiri, terdapat sebuah hiasan burung hong terbuat dari
batu kemala. Kami sendiri belum pernah bertemu dengan Giok-hong-cu, tetapi
kabarnya tokoh itu pun selalu menghias rambutnya dengan burung hong batu
kemala, maka benda itu dijadikan julukannya karena tidak ada seorang pun tahu
siapa namanya."
Kun Liong
mengerutkan alisnya makin dalam. Blarpun dia tidak yakin benar akan tuduhan
ini, namun dia mencatat semua itu di dalam hatinya untuk bahan penyelidikannya
kelak. Dia bertugas dan ini perintah dari mendiang sukong-nya, untuk
mendapatkan kembali dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri orang. Dan
karena Thian Lee Hwesio tewas dalam usahanya mencari pula pusaka itu, maka
agaknya pembunuh hwesio tua itu tentu orang yang mempunyai hubungan dengan
pencurian pusaka itu.
Dahulu pun
orang yang memimpin pencurian, yang sudah melukainya, adalah seorang pemuda
yang amat lihai sehingga tidak dapat tertangkap oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai.
Akan tetapi, pemuda itu dulu berkedok sapu tangan, dan tubuhnya memang kecil
namun tegap dan gagah. Menurut penuturan Ketua Siauw-lim-pai, dua orang pencuri
yang dapat tertangkap kemudian membunuh diri, mungkin sekali merupakan anggota
Kwi-eng-pai di Kwi-ouw, melihat dari duri yang mereka pakai membunuh diri.
"Apakah
Giok-hong-cu yang kau sebut itu seorang anggota Kwi-eng-pai?" tanyanya.
Kembali
piauwsu itu kelihatan kaget dan jeri, menggeleng kepala dengan kuat. "Ahh,
saya rasa ini… tidak ada hubungannya dengan Kwi-eng-pai... akan tetapi
entahlah, sepanjang pendengaran kami, Giok-hong-cu selalu bergerak sendiri.
Kwi-eng-pai terlalu besar untuk hanya diwakili oleh satu orang saja yang tidak
pernah menyebut nama perkumpulan itu."
Kun Liong
lalu mengangguk-angguk. "Jadi orang yang mungkin sekali menyamar sebagai
Giok-hong-cu itu mendatangi Sam-to Piauwkiok di Lam-san-bun? Apakah memang dia
tinggal di Lam-san-bun?"
"Yap-sicu,
siapakah yang dapat mengetahui di mana tempat tinggalnya? Tetapi memang pada
bulan-bulan terakhir ini sepak terjangnya berbekas di antara Lam-san-bun sampai
ke kota raja."
Kun Liong
merasa lega mendengar keterangan ini. Biar pun dia belum yakin benar bahwa
tokoh wanita terkenal itu yang membunuh wakil Ketua Siauw-lim-pai, namun
sedikitnya dia dapat menyelidikinya dan mencarinya antara Lam-san-bun dan kota
raja.
Para piauwsu
Sam-to Piauwkiok itu tidak lama berada di kuil Siauw-lim-si. Mereka segera
berpamit untuk kembali ke Lam-san-bun dan melaporkan peristiwa hebat itu kepada
tiga orang pimpinan mereka.
Setelah para
piauwsu itu pergi, teringatlah Kun Liong akan tiga orang yang ditemuinya di
warung, dan kecurigaannya bertambah. Dalam keadaan seperti pada waktu itu,
setelah peristiwa hebat yang menimpa diri wakil Ketua Siauw-lim-pai, maka
setiap orang yang datang ke Siauw-lim-si tentu mengandung niat yang meragukan.
Siapa tahu kalau-kalau ketiga orang yang dijumpainya itu, yang jelas bukanlah
orang-orang biasa, adalah anak buah Kwi-eng-pai atau setidaknya mempunyai
hubungan dengan pembunuh Thian Lee Hwesio.
Pikiran ini
mendorong Kun Liong untuk meninggalkan kuil dan menghadang di depan kuil,
menanti kemunculan tiga orang yang dicurigai itu. Dia tidak menanti lama,
karena segera tampak olehnya tiga orang yang ditunggu-tunggu itu berlari-lari
mendaki puncak dengan gerakan cepat.
Diam-diam
dia terkejut juga. Dia memang tahu bahwa mereka bertiga adalah orang-orang
berkepandaian, terutama sekali Si Pengantuk yang telah dia saksikan
kelihaiannya ketika Si Pengantuk yang disebut Tio-taihiap itu menyambar cawan
arak yang terlempar dan menyedot arak yang tumpah keluar untuk kembali ke dalam
cawan, membuktikan tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi melihat tiga
orang itu menaiki puncak sambil berlari sedemikian cepatnya, dia benar-benar
tercengang dan kecurigaannya bertambah.
Sekarang
Siauw-lim-pai telah kedatangan tiga orang lawan berat, pikirnya. Lebih baik dia
menghalangi mereka itu di luar supaya tidak mengacaukan dalam kuil di mana
sedang diadakan upacara sembahyang terhadep dua jenazah dalam peti-peti mati.
Hari masih
pagi di waktu itu. Kun Liong berdiri di tengah lorong kecil yang menuju ke
kuil, membelakangi pintu kuil yang terbuka sebelah. Keadaan di luar kuil sunyi
karena semua hwesio amat sibuk di sebelah dalam, melayani ketua dan para
pimpinan yang melakukan sembahyangan. Dari luar terdengar bunyi liam-keng (doa)
mereka dengan suara ketukan-ketukan mengiringi doa sembahyang seperti nyanyian
puji-puji yang penuh khidmat.
Tiga orang
itu menghentikan gerakan kaki mereka dan berdiri berhadapan dengan Kun Liong.
Si Pengantuk berusaha melebarkan matanya yang sipit ketika melihat Kun Liong,
sedangkan Si Muka Merah dan yang seorang lagi memandang dengan penuh keheranan
dan juga mereka terlihat marah ketika mengenal bahwa yang menghadang di tengah
jalan itu bukanlah seorang hwesio yang menyambut kedatangan mereka, melainkan
pemuda gundul yang pernah ribut dengan Si Muka Merah di dalam warung! Kalau
tadinya mereka itu sudah menghabiskan kecurigaan mereka setelah mendengar bahwa
pemuda itu bukan seorang hwesio, kini mereka menjadi curiga lagi melihat pemuda
itu menghadang mereka di depan pintu gerbang kuil Siauw-lim-si!
Orang she
Tio yang tinggi kurus dan seperti mengantuk itu sudah mendahului dua orang
kawannya, maju dan menjura kepada Kun Liong sambil berkata, "Kiranya
sahabat muda yang menghadang kami di sini. Harap kau orang muda suka minggir
dan membiarkan kami pergi memasuki kuil Siauw-lim-si, dan kalau ada urusan
dengan kami, biarlah akan kita bicarakan kelak kalau urusan kami di
Siauw-lim-si sudah selesai."
Kun Liong
bersikap tenang, akan tetapi dia menggeleng kepalanya. "Pada saat ini
Siauw-lim-si sedang tidak menerima kunjungan orang-orang asing. Harap Sam-wi
kembali saja dari mana Sam-wi datang dan jangan memasuki kuil karena para suhu
sedang sibuk."
"Ehh,
ehhh, omongan apa ini?" Orang she Song yang bermuka merah menegur dengan
suaranya yang galak. Dia memang termasuk orang yang wataknya berangasan.
"Engkau bilang bahwa kau bukan seorang hwesio walau pun kepalamu gundul.
Sekarang engkau menghalangi kami hendak memasuki Siauw-lim-si. Sebenarnya
siapakah engkau dan apa kehendakmu terhadap kami?"
"Aku
adalah seorang sahabat baik dari para pimpinan Siauw-lim-pai, karena itu aku
harus mencegah kalian melakukan pengacauan di Siauw-lim-si."
"Manusia
sombong! Apakah engkau menantang berkelahi?" Si Muka Merah membentak.
Kun Liong
menggeleng kepalanya. "Aku tidak menantang siapa pun, akan tetapi aku
tidak ingin melihat orang-orang menggunakan kepandaian untuk melakukan
kejahatan, apa lagi terhadap Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, harap Sam-wi (Tuan
Bertiga) suka pergi lagi dan jangan mengganggu para pimpinan Siauw-lim-pai yang
sedang sibuk."
"Bocah
lancang! Engkau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! Manusia sombong
seperti engkau memang layak dlhajar!" Si Muka Merah sudah mengepal tinju
dan hendak menerjang maju, akan tetapi Si Pengantuk melarangnya,
"Saudara
Song, jangan!"
Si Muka
Merah itu mundur kembali, akan tetapi mukanya menjadi makin merah karena dia
marah bukan main. Sekarang Si Pengantuk melangkah maju menghadapi Kun Liong dan
memandang penuh selidik, kemudian berkata,
"Sahabat
muda, dengan tegas engkau melarang kami memasuki kuil Siauw-lim-si dan menuduh
kami hendak mengadakan pengacauan. Agaknya engkau salah sangka. Kami bukan
berniat melakukan kekacauan, karena itu harap engkau jangan menghalangi
kami."
Kun Liong
menggeleng kepalanya. "Melihat sikap kalian, aku tidak dapat percaya dan
aku menduga bahwa tentu engkau tidak mempunyai niat baik. Akan tetapi, kalau
engkau suka memberi tahu kepadaku apa niat kedatangan kalian bertiga, aku akan
melaporkan kepada Ketua Siauw-lim-pai dan kalian menanti dulu di sini."
Akan tetapi
Si Pengantuk masih kelihatan tenang dan sabar. "Orang muda, kami memang
ada urusan penting sekali dengan Ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi urusan ini
tidak dapat kuberi tahukan kepada siapa pun juga."
"Kalau
begitu menyesal sekali, kuharap kalian suka pergi lagi saja." Kun Liong
berkata tegas.
"Kalau
kami tidak mau dan hendak terus memasuki kuil?"
"Terpaksa
aku mencegah kalian."
"Orang
muda, engkau menantang kami?"
"Nah,
lagi-lagi aku dituduh menantang!" Kun Liong tersenyum. "Engkau ini
orang tua yang disebut taihiap yang berarti pendekar besar, maka dengan
sendirinya seorang pendekar tentu maklum akan duduknya perkara. Sam-wi datang
hendak memaksa memasuki kuil, aku sebagai seorang yang merasa pula bertanggung
jawab akan keselamatan kuil Siauw-lim-si, menolak kedatangan Sam-wi dan minta
supaya Sam-wi pergi lagi saja, akan tetapi Sam-wi hendak memaksa. Tentu saja
aku akan mencegah kalau Sam-wi memaksa. Ehh, kini Sam-wi menuduh aku menantang!
Benarkah pendapat seperti itu?"
Si Pengantuk
she Tio berkata, kini suaranya terdengar dingin serta tegas. "Orang muda,
agaknya engkau mempunyai sedikit kepandaian dan terlalu mengandalkan kepandaian
itu sehingga berani bicara main-main dengan kami. Minggir dan jangan mencari
perkara!"
"Kalian
yang terlalu, aku tidak mau minggir."
"Kalau
begitu bersiaplah kau, orang muda. Mari kita putuskan urusan ini dengan mengadu
kepandalan."
"Aku
tidak mau berkelahi."
Si Pengantuk
tercegang dan bingung juga bagaimana harus bersikap terhadap pemuda gundul yang
aneh ini. Si Muka Merah sudah membentak lagi,
"Dia
pengecut!"
"Aku
tidak takut kepada kalian bertiga, pasti aku bukan pengecut," bantah Kun
Liong yang tersinggung juga disebut pengecut.
"Kalau
berani, majulah!" tantang Si Muka Merah.
"Tentu
saja berani, akan tetapi aku tidak suka berkelahi!"
"Ehh,
orang muda! Engkau bersikap menantang kami akan tetapi menyatakan tidak suka
berkelahi, sebenarnya apakah maksudmu!"
"Maksudku
sudah jelas, Taihiap. Aku minta supaya kalian bertiga tidak memasuki kuil dan
suka pergi dengan aman dan damai. Nah, bukankah kita tidak saling mengganggu
dan urusan dapat dihabiskan sampai di sini saja?"
"Bocah
sombong! Tio-taihiap, biarkan aku menghajarnya!" orang she Song yang
bermuka merah tak dapat menahan kemarahannya lagi karena merasa bahwa pemuda
gundul itu sengaja mempermainkan mereka. Teriakannya ini disusul dengan gerakan
tubuhnya yang sudah menerjang maju dan mengirim pukulan tangan kanannya ke arah
dada Kun Liong.
Biar pun
pukulan kasar ini dilakukan dengan pengerahan sinkang dan cepat serta keras
sekali datangnya, tapi bagi Kun Liong yang sudah dapat mengukurnya bukan
merupakan serangan yang berbahaya. Karena itu, pemuda ini sama sekali tidak mau
mengelak atau menangkis, melainkan dia menerima pukulan itu dengan dadanya
sambil mengerahkan tenaga sinkang yang dahulu dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu.
Dengan
sinkang yang sama pula, dahulu Bun Hwat Tosu juga pernah menerima pukulan
Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) dari Ketua Ui-hong-pang tanpa terluka,
bahkan Si Ketua itu sendiri yang terluka tangannya oleh pukulan sendiri yang
membalik hawanya.
"Bukkkk!"
Keras sekali
datangnya pukulan itu, tepat mengenai dada Kun Liong sehingga membuat tubuh
pemuda gundul itu terguncang. Namun berkat tenaga sinkang yang membetot dan
menolak, tangan yang memukul itu meleset seolah-olah memukul karet yang amat
keras.
Dan Si Muka
Merah itu meringis ketika tangannya menyeleweng dan tubuhnya terpental sampai
terhuyung ke kiri! Ketika dia melihat ke arah tangan kanannya, tangannya itu
telah bengkak-bengkak! Dan ketika dia melirik ke arah pemuda gundul itu, Si
Pemuda masih berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum.
"Hemm,
tukang pukul orang! Masih ada lagikah pukulanmu yang lunak seperti tahu
tadi?" Kun Liong mempermainkan Si Muka Merah yang menjadi marah sekali.
Dengan tangan kirinya, Si Muka Merah sudah meraba punggung dan tampaklah sinar
berkilauan ketika dia telah mencabut pedangnya.
"Saudara
Song, jangan main senjata!" Si Pengantuk menegur.
"Sute,
mundurlah!"
Orang
bermuka pucat she Kui yang menjadi suheng dari Si Muka Merah sudah meloncat ke
depan. Gerakannya lincah, ringan dan cepat bukan main. Sekaii pandang saja,
tahulah Kun Liong bahwa kepandaian Si Muka Pucat ini lebih lihai darlpada Si
Muka Merah yang kasar. Begitu menyerang, Si Muka Pucat she Kui itu telah
mengirim totokan halus yang cepat sekali ke arah leher dan pundak Kun Liong.
Biar pun dia
sama sekali belum berpengalaman, namun berkat bimbingan dua orang sakti yang
berilmu tinggi, pandang mata Kun Liong menjadi awas sekali. Dia maklum bahwa
amat berbahayalah untuk melindungi tubuhnya dengan sinkang seperti yang
dilakukannya tadi karena kini yang menjadi sasaran serangan lawan adalah jalan
darah yang lemah dan totokan lawan itu selain cepat juga mengandung hawa
pukulan yang amat kuat.
Maka dia pun
lalu menggerakkan tubuh mengelak dan begitu dia bergerak, Si Pengantuk menahan
seruannya saking kagumnya. Gerakan Kun Liong ini jauh lebih cepat dari pada
gerakan Si Muka Pucat dan serangan bertubi-tubi yang dilanjutkan oleh orang she
Kui itu selalu tidak pernah berhasil, kalau tidak dielakkan tentu kena ditangkis
secara tepat sekali oleh Kun Liong. Tidaklah mengherankan bila semua serangan
itu gagal karena Kun Liong telah melindungi dirinya dengan gerakan-gerakan Ilmu
Silat Sakti Im-yang Sin-kun bagian pertahanan.
Si Pengantuk
yang memperhatikan dengan teliti gerakan Kun Liong, terkejut menangkap
dasar-dasar Ilmu Silat Siauw-lim-pai. Akan tetapi ilmu silat yang dimainkan
oleh pemuda itu hanya memiliki dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, ada pun
perkembangan dan gerakannya sama sekali tidak dapat dia kenali! Padahal,
biasanya dia boleh berbangga bahwa jarang ada ilmu silat yang tidak dikenalnya,
apa lagi ilmu silat yang berdasar Siauw-lim-pai.
Ketika kakek
pengantuk itu melihat betapa pemuda gundul itu sama sekali tak membalas
serangan temannya, akan tetapi semua serangan temannya itu sama sekali tidak
pernah berhasil, tahulah dia bahwa temannya she Kui itu pun bukan lawan pemuda
gundul yang ilmu silatnya amat aneh itu. Maka dengan gerakan ringan sekali
bagaikan seekor burung terbang dia sudah meloncat ke depan, menyambar lengan
temannya, lalu menarik sambil berseru, "Mundurlah, Saudara Kui!"
Tubuh orang
she Kui yang bermuka pucat itu tertarik dan melayang meninggalkan lawan. Kun
Liong yang kehilangan lawan itu memandang kaget ketika melihat betapa tahu-tahu
lawannya telah berganti orang, yaitu Si Pengantuk yang dia tahu amat lihai.
"Sam-wi
betul-betul keras kepala dan mau mengandalkan kepandaian untuk memaksakan
kehendak sendiri!" Kun Liong mencela, namun tetap siap siaga menghadapi
lawan yang dia tahu tak boleh dipandang ringan itu.
"Orang
muda, engkaulah yang keras kepala. Pergilah!" Si Pengantuk sudah
menyerang, akan tetapi gaya serangannya jauh berbeda dengan gerakan kedua orang
temannya tadi, Si Pengantuk ini hanya menggerakkan tangan kirinya saja, dan
ujung jari tangan kirinya melecut seperti ujung cambuk yang lemas, mengarah
leher dan pundak Kun Liong.
Pemuda itu
terkejut bukan main. Biar pun serangan itu kelihatannya bersahaja dan tidak
sungguh-sungguh, namun kepretan tangan itu mendatangkan hawa pukulan yang panas
sekali! Tentu saja dia tidak berani menerima serangan sehebat itu, maka cepat
dia pun mengerahkan tenaganya ke arah tangan lalu menggerakkan tangan kanannya
menangkis jari-jari tangan lawan itu dan dari tangannya mengepul uap putih.
"Plak!
Plakkk!"
Kakek
pengantuk itu mencelat mundur dengan terkejut sekali. Ternyata bahwa lengan
pemuda gundul itu mampu menangkis kepretan ujung jari tangannya, padahal dia
tahu benar bahwa jarang ada orang kang-ouw yang sanggup menangkisnya tanpa
terdorong mundur atau terluka tangannya.
Pemuda itu
menangkis dengan kekuatan dahsyat dan sama sekali tak terlihat menderita!
Bahkan tangan pemuda itu mengeluarkan uap putih yang aneh! Lagi-lagi dia tadi
sudah mempergunakan Pek-in-ciang yang dipelajarinya dari Tiong Pek Hosiang.
Kalau
lawannya terkejut dan terheran, Kun Liong juga kagum sekali ketika merasa
betapa hawa tamparan ujung jari itu membuat lengannya tergetar hebat. Makin
yakinlah hatinya bahwa lawannya ini benar-benar berilmu tinggi!
"Orang
muda, terpaksa aku tidak boleh mengalah lagi kepadamu!" Kakek pengantuk
itu berkata.
Kedua
lengannya lalu bergerak dan terdengarlah suara berkerotokan seolah-olah seluruh
tulang-tulang lengannya patah-patah! Kun Liong yang belum terlalu banyak
pengalaman memandang dengan dua mata terbelalak dan hati ngeri karena dia dapat
menduga bahwa tentu kakek itu mengeluarkan ilmunya yang mukjijat.
"Omitohud...
harap tahan dulu, Tio-taihiap...!"
Si Pengantuk
dan Kun Liong yang telah siap untuk bertanding secara mati-matian karena maklum
bahwa lawannya tidak boleh dibuat main-main, segera melangkah mundur dan
menoleh. Ternyata Thian Kek Hwesio sendiri, Ketua Siauw-lim-pai yang sudah
berada di situ.
Melihat
kakek ini, Si Pengantuk cepat menjura dengan hormat diikuti dua orang temannya
dan Si Pengantuk berkata,
"Harap
Thian Kek-suhu suka memaafkan kami..."
Thian Kek
Hwesio memandang Kun Liong dengan wajah terheran-heran, lalu bertanya,
"Yap-sicu, apakah yang telah terjadi?"
Kun Liong
sudah merasa terkejut dan menyesal sekali karena ternyata bahwa tiga orang itu
betul-betul mengenal Ketua Siauw-lim-pai! Dengan terus terang dia menjawab,
"Karena teecu curiga kepada mereka dan mengira mereka datang untuk
mengacau Siauw-lim-si, maka teecu melarang mereka memasuki kuil sehingga terjadi
pertengkaran."
Hwesio tua
itu tampak kaget sekali. "Aihh... engkau tidak tahu siapa yang kau tentang
ini, Sicu!"
Dia kembali
menghadapi Si Pengantuk dan menjura sambil berkata, "Harap Taihiap sudi
memaafkan Yap-sicu yang masih amat muda. Sesungguhnya Yap-sicu berniat baik
untuk membela Siauw-lim-pai. Dia merupakan seorang sahabat kami yang baik...
dan Yap-sicu, ketahuilah bahwa taihiap ini adalah Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan dan
Tio-taihiap ini adalah pengawal kepala yang mulia Panglima Besar The Hoo!"
Si Pengantuk
yang ternyata bukan orang sembarangan itu mengangkat tangan ke atas, mencegah
Ketua Siauw-lim-pai itu melanjutkan perkenalan itu sambil berkata,
"Losuhu, marilah kita bicara di dalam saja."
Hwesio itu
mengangguk-angguk, kemudian mempersilakan mereka semua memasuki kuil. Kun Liong
juga ikut masuk sambil memandang dengan penuh perhatian, diam-diam dia terkejut
mendengar disebutnya nama Panglima Besar The Hoo tadi.
Kiranya
kakek pengantuk itu seorang yang berpangkat tinggi! Dan mendengar julukannya,
Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) dapat diduga bahwa kakek pengantuk
itu tentu mempunyai sinkang yang amat kuat. Meski pun dia belum pernah
mendengar nama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, akan tetapi melihat sikap Ketua
Siauw-lim-pai itu terhadap Si Pengantuk ini, dia mengerti bahwa kakek pengantuk
ini tentu seorang tokoh kang-ouw yang terkenal....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment