Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 07
BETAPA pun
juga, selama lima tahun dia tinggal di kuil bersama gurunya, berlatih silat di
samping melayani gurunya, mencari kebutuhan mereka sehari-hari. Selama lima
tahun itu hubungannya dengan guru yang tidak mau diakui sebagai guru itu,
berjalan baik sehingga ada pula ikatan batin antara dia dan gurunya dan begitu
gurunya pergi, Kun Liong merasa terharu dan merasa betapa sunyi dan tidak
menyenangkan tempat yang indah itu!
Ia bangkit
berdiri, memandang ke sekelilingnya dan menghela napas panjang. Terngiang di
telinganya ucapan Bun Hwat Tosu ketika bicara dengannya tentang keindahan,
ketika dia memuji keindahan tamasya alam di situ.
"Memang
indah sekali tamasya alam di sini, Kun Liong. Akan tetapi apakah engkau kira
hanya di sini saja yang indah pemandangan alamnya? Di mana pun juga, di dalam
kota yang ramai dan sibuk, di dusun-dusun yang kotor dan miskin, di mana saja
adalah indah kalau orang yang melihatnya berada dalam keadaan bebas pikirannya.
Keindahan hanya terasa dan tampak oleh orang yang tidak terganggu pikirannya.
Akan tetapi sekali pikiran manusia dimasuki hal-hal yang menimbulkan suka atau
duka sehingga pikiran itu menjadi penuh sesak, mata orang itu tak akan dapat
melihat lagi keindahan di sekelilingnya. Yang bersenang-senang akan buta oleh kesenangannya,
ada pun yang berduka juga akan buta oleh kedukaannya!"
Sebagai
seorang pemuda tanggung lebih mudah bagi Kun Liong untuk memenuhi semua
kebutuhan perutnya dengan jalan bekerja di sepanjang perjalanannya. Ia bisa
membantu para pelancong membawakan barang-barangnya, ada kalanya membantu
penebang kayu dan akhirnya dia membantu tukang perahu muatan di sepanjang
Sungai Huang-ho. Dan dengan cara ini, akhirnya dia sampai juga ke Leng-kok.
Tidak ada
seorang pun yang mengenali pemuda tanggung berkepala gundul ini, karena lima
tahun yang silam, Kun Liong masih merupakan seorang anak kecil yang berpakaian
indah dan berambut panjang hitam mengkilap! Sekarang dia merupakan seorang
pemuda tanggung berkepala gundul, berpakaian sederhana dan agak butut, mukanya
agak kurus dan gerak-geriknya sederhana.
Bahkan Liok
Siu Hok, kakek yang sudah tua itu sama sekali tidak lagi mengenali cucu
keponakannya ini ketika Kun Liong berdiri di depan toko citanya. Dikiranya
hanya seorang tamu yang hendak berbelanja, walau pun dia memandang heran
melihat seorang pemuda aneh. Disebut hwesio akan tetapi biar pun gundul
pakaiannya bukan seperti pendeta, jika bukan hwesio mengapa kepalanya gundul?
Barulah dia kaget ketika Kun Liong memberi hormat dan berkata,
"Kukong
(Paman kakek), apakah Kukong tidak mengenal padaku lagi? Aku adalah Kun
Liong."
Mata tua
yang terbelalak itu makin melebar, kemudian mata itu mengenal wajah di bawah
kepala gundul. "Aihhhh... Kun Liong... engkau...?"
Tergopoh-gopoh
dan tebongkok-bongkok Kakek Liok Siu Hok segera keluar dari tokonya, memegang
tangan Kun Liong lantas menarik pemuda gundul itu masuk ke dalam rumah setelah
memerintahkan seorang pegawai untuk menjaga toko.
"Engkau
ke mana saja? Dan mengapa kepalamu...?"
"Kukong,
aku tadi pulang ke rumah. Mengapa rumahku ditutup? Dan ke mana perginya Ayah
dan Ibuku?" Kun Liong justru balas bertanya tanpa menjawab pertanyaan
paman kakeknya.
"Aihhh...
mengapa baru sekarang engkau pulang? Telah begitu lama... bertahun-tahun... aku
sendiri tidak tahu ke mana perginya mereka setelah terjadi peristiwa hebat
itu..."
"Kukong,
apa yang telah terjadi?" Kun Liong bertanya.
Liok Siu Hok
menyuruh cucu keponakannya minum teh yang disuguhkan pelayan, barulah dia
menceritakan semua yang terjadi semenjak Kun Liong pergi. Dia menceritakannya
semua, mengenai pengobatan gagal, tentang ditangkapnya Yap Cong San dan
kemudian dibebaskan dengan paksa oleh Gui Yan Cu, dan betapa rumah keluarga Yap
disita oleh pemerintah dan toko obatnya ditutup. Ceritanya diselingi dengan
tarikan napas panjang penuh penyesalan.
"Sayang
ibumu terlampau keras hati. Kalau menurut nasehatku, kita dapat menggunakan
uang untuk membebaskan ayahmu dengan jalan halus sehingga mereka tidak perlu
lagi melarikan diri dan rumah mereka disita."
Akan tetapi
Kun Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia telah menangis! Bukan main
menyesal hatinya dan tampaklah dengan jelas sekarang betapa perbuatannya yang
nakal dahulu itu ternyata telah menimbulkan mala petaka yang menimpa ayah
bundanya! Ayah bundanya celaka karena dia!
Kegagalan
mengobati itu tentulah karena tertumpahnya obat, ditumpahkan oleh Pek-pek,
anjing peliharaan yang lari dikejar dan ditakut-takuti dengan mengikatkan
kaleng-kaleng pada ekornya. Tentu ayahnya ditahan karena gagal mengobati,
kemudian ibunya sudah membebaskan ayahnya. Oleh karena itu, ayah bundanya
terpaksa melarikan diri. Mereka menjadi orang-orang buruan, menjadi pelarian
dan rumah beserta toko disita pemerintah. Semua gara-gara dia!
"Sudahlah,
Kun Liong, engkau jangan menangis. Masih untung bahwa mereka itu dapat
menyelamatkan diri dan bahwa engkau ternyata juga selamat. Ke mana saja engkau
pergi dari mengapa kepalamu gundul? Apakah engkau masuk menjadi hwesio?"
Kun Liong
menggeleng-geleng kepalanya. "Aku pergi belajar ilmu, Kukong, dan tentang
kepalaku... aku baru senang gundul, begitulah. Sekarang aku akan pergi menyusul
ayah ibuku. Ke mana kiranya mereka pergi, Kukong?"
"Mana
aku tahu? Mereka pergi tanpa memberi tahu dan sejak itu tidak pernah memberi
kabar. Aihhh, semenjak kecil ayahmu memang berdarah perantau dan
petualang!" Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya,
kelihatan berduka sekali. "Dan engkau jangan pergi, biarlah menunggu saja
di sini."
"Tidak,
Kukong. Sekarang juga aku akan pergi mencari ayah ibuku." Kun Liong
bangkit dari duduknya.
"Eh-eeehhh...
nanti dulu, baru saja datang masa mau pergi lagi?"
"Biarlah,
Kukong. Aku harus cepat dapat menemukan ayah bundaku."
Memang di
dalam hatinya Kun Liong ingin segera menghadap ayah dan bundanya untuk
menyatakan penyesalannya dan untuk minta ampun atas segala kesalahannya.
"Hemm,
kau keras hati seperti ayahmu. Setidaknya engkau harus menerima bekal dariku,
dan biar kusuruh carikan seekor kuda untukmu..."
"Tidak
usah, Kukong. Aku dapat berjalan kaki, pula, tidak biasa menunggang
kuda..."
"Aihhh,
kalau begitu, kau harus membawa bekal uang, untuk keperluan di jalan."
Tanpa menunggu jawaban, tergopoh-gopoh kakek itu berlari ke dalam kamarnya dan
tidak lama kemudian dia sudah keluar membawa sebuah buntalan yang agak besar.
"Terimalah ini, pakaian dan uang. Pakaian baru, mungkin agak kebesaran
bagimu, akan tetapi engkau sih, terburu-buru, kalau tidak tentu dapat kusuruh
buatkan beberapa stel."
Kun Liong
tidak berani menolaknya, takut menyinggung perasaan paman kakeknya yang sudah
tua itu. Dia menerima bungkusan dan mengangkat kedua tangan memberi hormat,
mengucapkan terima kasih, kemudian meninggalkan rumah kakek itu yang mengantar
sampai di depan toko sambil menarik napas berulang-ulang dan menggelengkan
kepala dengan muka muram.
Setelah
keluar dari kota Leng-kok, sejenak Kun Liong hanya berdiri bingung. Ke mana dia
hendak menuju? Ke mana harus mencari ayah bundanya yang menjadi orang pelarian?
Ke Cin-ling-san, bisik hatinya. Tak salah lagi, dalam menghadapi kesukaran itu
tentu saja ayah bundanya pergi kepada supek-nya, Cia Keng Hong, Ketua
Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san!
Dengan
langkah tegap dan hati mantap Kun Liong mulai melakukan perjalanan menuju ke
Cin-ling-san. Memang dia belum pernah pergi ke tempat itu, akan tetapi ayahnya
pernah menceritakan kepadanya di mana arah dan letaknya Cin-ling-san, yaitu
tempat kediaman supek-nya yarig dipuji-puji oleh ayahnya dan terutama ibunya
itu.
Kun Liong
dapat melakukan perjalanan secara cepat karena sekarang dia tidak perlu lagi
menunda-nunda perjalanan untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan perutnya. Bekal
uang yang diterima dari kukong-nya cukup banyak, malah lima stel pakaian dalam
buntalannya itu cukup untuk dipakai ganti pakaiannya yang kotor dan sudah
butut.
Beberapa
pekan kemudian, karena hari sudah mulai gelap, dia berhenti di kota Taibun di
sebelah selatan kota Tai-goan, di pinggir Sungai Fen-ho. Pegunungan
Cin-ling-san sudah tidak terlalu jauh lagi. Kini dia sudah sampai di sebelah
utara kota Sian dan Pegunungan Cin-ling-san terletak di sebelah selatan kota
Sian, memanjang ke barat.
Ketika dia
mengikuti pelayan menuju ke sebuah kamar di losmen kecil kota Taibun, dia
menjadi perhatian para tamu lain. Dengan acuh tak acuh Kun Liong melangkah
terus biar pun dia maklum bahwa seperti biasa, kepala gundulnya yang menarik
perhatian orang.
Dia sudah
terlalu biasa dengan hal ini sehingga tidak merasa mendongkol lagi seperti
dahulu ketika mula-mula kepalanya menjadi gundul. Betapa pun juga, dia melirik
dengan muka terasa panas sekali ketika melihat bahwa di antara mereka yang
memandangnya dengan senyum ditahan, tampak juga seorang dara remaja yang cantik
manis.
Biar pun
dara itu cepat menutupi mulutnya dengan sapu tangan sutera ketika dia lewat,
namun Kun Liong maklum bahwa seperti yang lain, tentu dara itu pun merasa lucu
melihat seorang pemuda bukan pendeta berkepala gundul pelontos! Dia merasa malu
dan juga jengkel.
Kalau orang
lain yang mentertawakannya masih tidak mengapa. Akan tetapi seorang dara
remaja! Buruk benarkah kepalanya? Dia menghampiri meja di mana terdapat tempat
air yang disediakan pelayan tadi untuk mencuci muka. Melihat bayangan kepala
gundulnya di dalam air, Kun Liong menyeringai dengan hati kesal. Celakanya,
ketika dia menyeringai ini mukanya kelihatan makin tidak menyenangkan baginya,
seolah-olah wajah berkepala gundul di dalam baskom air itu pun ikut-ikutan
mengejek!
"Sialan
kamu!" Dia memaki dan mencelupkan kepalanya ke dalam air baskom, sengaja
membenamkannya sangat lama untuk menghukum muka yang mengejeknya itu sampai
akhirnya terpaksa diangkatnya kembali mukanya dari dalam air dengan napas
terengah-engah!
Digosoknya
muka beserta kepala gundulnya kuat-kuat dengan sapu tangan. Air baskom sudah
diam lagi sehingga dapat menampung bayangannya. Akan tetapi bayangan muka dan
kepala yang kemerahan karena digosok kuat-kuat itu makin menyebalkan hatinya.
"Biarlah
dia tertawa sampai mulas! Kepala dan mukaku sudah begini, siapa mau
peduli?" Pikiran ini agak mendinginkan hatinya, akan tetapi dia masih
merasa sebal dan melempar tubuhnya ke atas pembaringan.
Terbayanglah
wajah yang ayu, lesung pipit yang manis bila mana wajah itu tertawa, dan
terdengarlah seperti bisik-bisik di telinganya, "Tidak buruk, bahkan
kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah penuh kutu. Hi-hik!"
Ahhh…, Li
Hwa memang seorang dara yang ayu manis! Mungkin dia satu-satunya anak perempuan
yang tidak membenci gundulnya, yang tidak mentertawakan gundulnya! Di manakah
anak itu sekarang? Tentu sudah menjadi seorang dara remaja yang cantik! Dan
tentu lihai bukan kepalang, karena dara itu adalah murid dari The Hoo, panglima
yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa itu!
Kun Liong
menarik napas panjang, agak kecewa. Dia sadar dan kaget. Aihh, kenapa dia
kecewa? Kenapa dia seperti menyesal dan berduka begitu teringat bahwa Li Hwa
adalah murid The Hoo?
Dia bangkit
duduk dan termenung, lalu meneliti diri sendiri. Ada apa dengan dia? Tadi,
bayangan wajah Li Hwa, gema suara dara itu membuatnya gembira dan senang karena
dahulu anak perempuan itu tidak mencela kepala gundulnya. Akan tetapi mengapa
tanpa disadarinya, tiba-tiba dia menarik napas panjang dengan penuh sesal dan
kecewa?
"Wah,
apakah aku tiba-tiba merasa iri hati?" demikian celanya.
Tidak, bukan
iri hati karena anak itu menjadi murid seorang sakti, karena dia sendiri juga
telah diajar ilmu silat oleh Bun Hwat Tosu yang juga bukan manusia sembarangan.
Habis kenapa? Karena putus harapan akibat melihat kedudukan Li Hwa terlalu
tinggi untuk dia? Terlalu tinggi untuk apa? Pertanyaan ini seperti mengejek dan
kembali Kun Liong merasa bimbang dan jengkel.
"Plakk!"
Kepala gundulnya ditamparnya sendiri.
"Uhhh!
Tolol benar! Tentu saja terlalu tinggi untuk menjadi temanmu. Habis apa lagi?
Dan masih belum tentu lagi! Yang berteman bukan gurunya melainkan dia. Kalau
memang dia mau berteman dengan aku, siapa berhak melarang? Dan kalau dia... wah
celaka, aku sudah gila!" Kun Liong terbelalak.
"Plakk!"
Gundulnya menjadi sasaran tangannya lagi.
"Apa-apaan
ini mengenang dan bicara sendiri tentang Li Hwa sedangkan gadis itu tidak
berada di sini? Tolol!"
Setelah
menempiling gundulnya sekali lagi, Kun Liong pun tertidur pulas!
Dua jam
kemudian dia terbangun oleh rasa laparnya. Cepat dia mencuci muka kembali,
membawa bekal uang dan keluar dari losmen untuk mencari makanan. Melihat sebuah
restoran yang cukup besar tak jauh dari losmen, dia segera melangkah masuk.
Seorang pelayan menyambutnya.
"Apakah
Siauw-suhu (pendeta cilik) hendak makan? Maaf, di restoran ini tidak disediakan
makanan ciak-jai (sayur tanpa daging), harap Siauw-suhu mencari di warung lain
saja."
Kun Liong
menelan ludah berikut kata-kata makian yang sudah berada di ujung lidahnya.
Setelah kemarahannya tertelan, dia berkata, "Aku bukan hwesio!"
"Ahh,
maaf... Tuan. Apakah Tuan hanya sendirian saja? Sayang meja telah penuh semua,
kecuali kalau Tuan suka makan dengan membonceng di meja tamu lain..."
Kun Liong
mendengar suara ketawa ditahan dan cepat dia menoleh. Benar saja! Gadis remaja
di losmen tadi yang kini lagi-lagi mendekap mulut dengan sapu tangan suteranya,
menahan suara ketawa biar pun pundaknya bergoyang-goyang! Dan dua orang
laki-laki yang duduk semeja dengan nona muda itu juga tersenyum.
Salah
seorang di antara mereka, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, segera
mengangkat tangan berkata pada pelayan yang sedang longak-longok untuk
mencarikan tempat duduk bagi Kun Liong. "Heii, bung pelayan! Biarlah Tuan
muda itu duduk makan bersama kami, meja kami masih kosong!"
Pelayan itu
tertawa lebar, mengajak Kun Liong menghampiri meja itu dan membungkuk
mengucapkan terima kasih kepada orang yang menawarkan tempat duduk bagi Kun
Liong itu, kemudian Si Pelayan menoleh kepada Kun Liong, bertanya, "Tuan
hendak memesan makanan apa?"
"Ahh,
tambah saja makanan yang kami pesan tadi untuk seorang lagi. Dia menjadi tamu
kami!" kata seorang laki-laki yang ke dua dengan suara ramah. Si Pelayan
mengangguk-angguk kemudian pergi.
Kun Liong
masih berdiri di dekat meja mereka. Dua orang laki-laki itu kelihatan peramah.
Yang lebih tua berusia empat puluh tahun, orang ke dua kurang lebih tiga puluh
tahun, sedangkan dara remaja yang ternyata bermuka segar dengan sepasang pipi
kemerahan, sepasang mata yang membayangkan kelincahan dan kejenakaan itu tentu
tak akan lebih dari dia sendiri. Mungkin baru empat belas tahun. Akan tetapi
seperti dua orang laki-laki itu, dara remaja itu pun membawa sebatang pedang di
punggungnya!
Melihat dari
sinar mata dan sikap dua orang laki-laki itu ramah dan bersungguh-sungguh
menawarkan tempat untuknya, dan betapa dara remaja itu sudah tidak tertawa dan
geli lagi, dia pun mengangguk dan berkata sederhana, "Terima kasih!"
Kemudian duduk di atas bangku dekat meja, berhadapan dengan dara remaja itu.
Sepasang
pipi Kun Liong masih tampak kemerahan karena tadi dia menahan kemarahan
terhadap pelayan yang menyebutnya pendeta cilik. Melihat ini, laki-laki yang
berusia tiga puluh tahun, berkata,
"Memang
pelayan itu mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan, akan tetapi dia
tidak sengaja, harap saja tidak dipusingkan lagi."
Kun Liong
mengangguk tanpa menjawab. Matanya mengerling kepada dara remaja di hadapannya
dan ternyata gadis kecil itu memandang kepadanya penuh perhatian secara
terbuka, tidak seperti dara-dara lainnya yang dijumpainya di dalam perjalanan
yang selalu memandang pada pria dengan cara sembunyi-sembunyi, bahkan
memandangi gundulnya pun mereka lakukan dengan sembunyi. Kini dara ini tidak
saja menatap wajahnya dengan sepasang mata yang jeli dan terang-terangan,
bahkan agaknya mengagumi kepalanya yang gundul. Terlalu sekali! Dia menjadi
malu dan terpaksa menundukkan muka seperti seorang kanak-kanak yang melakukan
sesuatu yang terlarang.
Melihat ini
laki-laki yang tertua berkata dengan suara menghibur, "Harap saja
Siauw-suhu tidak usah malu sebab sekarang banyak saja hwesio yang melepaskan
pantangan makan daging dan minum arak, dan..."
"Saya
bukan hwesio!" Tiba-tiba Kun Liong memotong dan suaranya agak kaku karena
dapat dibayangkan betapa sebal hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa orang
yang disangkanya ramah ini pun ternyata menduga dia seorang pendeta cilik!
Mengertilah
dia sekarang kenapa dia menjadi bahan tertawaan. Tentu dia dikira seorang
hwesio yang sengaja menyamar dengan pakaian biasa agar dapat leluasa makan
daging, minum arak, lupa kepada kepalanya yang gundul!
"Saya
bukan hwesio, apa lagi hwesio yang berpura-pura suci tetapi diam-diam menyamar
untuk dapat makan daging dan minum arak!"
Tiga orang
itu saling pandang dengan mata terbuka lebar, dan tiba-tiba dara itu pun tak
dapat menahan ketawanya. Biar pun dia cepat menutupi mulutnya dengan sapu
tangan sutera hijaunya, namun masih tampak oleh Kun Liong betapa sepasang bibir
yang merah itu terbuka, memperlihatkan rongga mulut yang lebih merah lagi
dengan deretan gigi putih mengkilap.
"Brakkk!"
Kun Liong menggebrak meja di hadapannya dengan kedua telapak tangannya, tidak
terlalu keras akan tetapi cukup menyatakan kemendongkolan hatinya.
"Mengapa
engkau mentertawakan aku?" Berbeda dengan sikapnya kepada laki-laki itu,
dengan kata-kata cukup sopan biar pun penasaran, terhadap dara ini yang
dianggapnya tidak lebih tua dari pada dia, Kun Liong bersikap kasar dan biasa
saja, apa lagi karena dia marah mengira nona muda itu mentertawakannya.
Dara itu
memandang Kun Liong, merasa semakin geli melihat pemuda remaja gundul itu
marah-marah sehingga dari dekapan sapu tangannya masih terdengar kekehnya.
"Aihh,
harap suka maafkan sumoi yang masih muda dan suka bergurau," laki-laki
tertua berkata, kemudian dia menoleh kepada dara remaja itu sambil berkata,
"Sumoi, sudahlah jangan tertawa sehingga menimbulkan salah paham."
Laki-laki ke
dua juga cepat-cepat berkata, "Maafkanlah kami yang salah menduga karena
sesungguhnya kami mengira bahwa engkau adalah seorang hwesio muda."
Dara remaja
itu menurunkan sapu tangannya dan biar pun mulutnya tidak tersenyum lagi, akan
tetapi sepasang matanya bersinar-sinar nakal, mulutnya cemberut sebab dia
ditegur suheng-nya, lalu dia berkata sambil mengerling ke arah Kun Liong,
"Salahnya sendiri! Orang semuda dia memakai potongan gundul, mana pantas?
Sepatutnya dia memelihara rambut seperti orang muda pada umumnya."
"Punya
hak apa engkau hendak mengurus kepala dan rambut orang? Ini adalah kepalaku
sendiri, hendak kugundul, atau kupelihara rambut hingga ke kaki, engkau peduli
apa? Apa bila engkau hendak mengatur kepalaku, aku pun bisa saja bilang bahwa
kau tidak pantas mengatur rambutmu seperti itu, pantasnya engkau gundul seperti
aku!"
"Ihhhhh...!"
Dara remaja itu melompat berdiri dari bangkunya kemudian meraba gagang
pedangnya. "Engkau... engkau menghina, ya?" bentaknya.
"Nah,
itu! Kepala orang untuk main-main sesukanya, dibalas satu kali saja sudah mau
mengamuk!"
"Gundul
plontos! Kapan aku main-main dengan kepalamu?"
"Sumoi!
Jangan lancang, simpan pedangmu!" Laki-laki tertua membentak sumoi-nya dan
anak perempuan itu sudah menyarungkan kembali pedangnya, duduk di atas bangku
dan cemberut, akan tetapi memandang kepada Kun Liong dengan mendelik.
Kun Liong
bingung juga. Memang kalau dipikir, dara remaja ini tidak pernah main-main
dengan kepalanya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan
berkata, "Sudah dua kali engkau mentertawakan kepalaku, di losmen tadi dan
di sini..."
"Hemm,
apakah kalau aku tertawa itu berarti mempermainkan gun... eh, anumu? Apakah
kalau aku hendak tertawa harus minta ijin lebih dulu darimu? Begitukah?"
Kun Liong
termangu, tak dapat menjawab lagi. Dara ini ternyata pandai berdebat dan dia
sudah didesak ke sudut.
"Sudahlah,
Laote (Adik), harap maafkan kami. Nah, makanan sudah datang, marilah kita
makan. Silakan!"
Akan tetapi
Kun Liong sudah bangkit berdiri, menjura kepada dua orang laki-laki itu sambil
berkata, "Harap Ji-wi twako (Kedua Kakak) sudi memaafkan saya. Setelah
saya diundang makan oleh Ji-wi yang ramah, saya malah marah-marah, hal ini
sangatlah kurang ajar, bagaimana siauwte (adik) berani menerimanya?
Maafkanlah!"
Kun Liong
mundur, mengangguk dan melangkah keluar dari restoran itu.
"Sian-sumoi,
jangan!"
Kun Liong
yang mendengar suara laki-laki tertua mencegah sumoi-nya ini, tidak menoleh.
Jadi namanya pakai huruf Sian, ya? Hemm, anak perempuan yang sombong! Awas kau,
ya? Ehhh, mengapa awas? Dia mau apa?
Ingin Kun
Liong menampar kepalanya sendiri. Untung dia teringat bahwa banyak mata
mengikutinya ke luar dari restoran itu. Tak lama kemudian dia memasuki restoran
lain tak jauh dari situ, restoran yang lebih besar. Seorang pelayan
menyambutnya dan cepat Kun Liong mendahuluinya berkata,
"Aku
bukan hwesio. Aku mau pesan makanan dan minuman yang terbaik!"
Pelayan itu
tercengang dan menatap gundulnya, kemudian tersenyum lebar dan dengan ramah
mempersilakannya duduk. Di restoran ini masih ada banyak meja kosong dan Kun
Liong duduk sendiri menghadap meja, tidak peduli akan pandangan mata para tamu
yang sedang makan minum di ruangan itu.
Karena tidak
mengenal nama-nama masakan, apa lagi yang mahal-mahal dan yang tidak pernah
dimakannya, dia memesan yang mudah saja, yaitu nasi, bakmi, daging panggang dan
arak! Mulailah dia makan dengan lahapnya karena memang perutnya sudah sangat
lapar. Dia tidak ingat lagi kepada tiga orang di restoran tadi, meski pun suara
dara remaja yang bernama Sian itu masih mengiang di telinganya.
"Yakinkah
engkau bahwa mereka adalah kaki tangan pemerintah?" Suara ini halus dan
kata-katanya teratur baik, bukan suara orang-orang kasar.
"Tentu
saja yakin, Ouw-twako. Mereka bertiga sebenarnya adalah murid-murid Pendekar
Gak Liong di Secuan, sedangkan Pendekar Gak adalah murid keponakan orang she
The itu. Bahkan yang termuda, Nona Hwi Sian, biar pun usianya baru belasan
tahun pernah menewaskan salah seorang anggota kami. Sekarang inilah saatnya
Twako membuat jasa untuk Kwi-eng-pai."
"Hemm,
mudah saja. Cantikkah nona itu?"
"Aih,
Twako hanya memikirkan wanita cantik saja. Nona itu cantik jelita, hanya
usianya baru empat belas tahun."
"Ha,
lebih muda lebih menyenangkan. Benarkah mereka berada di restoran itu?"
"Benar,
aku melihat mereka masuk tadi."
"Hayo,
tunggu apa lagi? Kita datangi mereka."
"Jangan,
Twako. Kota ini cukup besar dan karena mereka masih kaki tangan orang she The,
tentu pembesar setempat akan membela mereka dan apa bila pasukan dikerahkan
rencana kita bisa gagal. Sebaiknya kita membayangi mereka dan kalau mereka
berada di tempat sunyi..."
"Sssttt...
cukup. Mari minum!"
Diam-diam
Kun Liong terkejut bukan main. Tadinya dia tidak tertarik akan percakapan dua
orang yang duduk di meja sebelah belakangnya itu, akan tetapi ketika mereka
menyebut-nyebut nama Hwi Sian, nona yang berusia empat belas tahun, segera dia
teringat kepada dara remaja bernama Sian yang tadi cekcok dengan dia.
Apa lagi
mendengar disebutnya Kwi-eng-pai, dia teringat akan anak buah Si Bayangan Hantu
yang dulu menculik Li Hwa. Bukankah Kwi-eng-pai berarti Perkumpulan Bayangan
Hantu dan besar kemungkinannya adalah orang-orang yang dulu menculik Li Hwa?
Dan isi percakapan tadi sungguh mencurigakan sekali.
"Trakkk..."
Sebuah di antara sumpit Kun Liong terjatuh, menggelinding di bawah mejanya.
Tentu saja
hal ini dia sengaja dan dia pun telah merangkak ke kolong meja mengambil
sumpitnya. Kesempatan ini dia pergunakan untuk berpaling dan memandang kepada
dua orang yang duduk di sebelah belakangnya. Betapa kagetnya ketika dia
mengenal dua orang itu.
Yang satu
ialah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan. Berpakaian
seperti seorang sastrawan kaya, yang dikenalnya sebagai Ouw Ciang Houw
sastrawan yang dahulu pernah ikut di perahunya, kemudian memperkosa isteri guru
silat Gui Tong yang kemudian mengakibatkan kematian suami isteri itu!
Ada pun
orang ke dua adalah seorang laki-laki yang usianya lebih tua beberapa tahun,
berpakaian serba kuning yang dikenalnya sebagai pemimpin gerombolan atau Ketua
dari Ui-hong-pang di lembah Sungai Huang-ho, yang dulu menculik Li Hwa!
Tidak salah
dugaannya. Teringat dia betapa orang ini, kalau tidak salah bernama Kiang Ti
dan menurut Bun Hwat Tosu merupakan murid kepala Si Bayangan Hantu, dengan Ilmu
Pukulan Hek-tok-ciang pernah menghantam Bun Hwat Tosu akan tetapi yang akibatnya
payah bagi orang ini sendiri.
Kini dua
orang jahat itu agaknya sudah bersekutu dan mempunyai niat yang tidak baik
terhadap nona bernama Sian yang agaknya lengkapnya bernama Hwi Sian itu dan dua
orang suheng-nya (kakak seperguruannya)! Menghadapi hal ini, berdebar-debar
jantung Kun Liong dan lupa lagi dia akan percekcokannya dengan dara remaja itu.
Dia menekan perasaannya dan dengan tenang dia segera membayar makanannya,
keluar dari rumah makan dan diam-diam dia membayangi nona muda dan dua orang suheng-nya
itu untuk melindungi mereka!
Semalam
suntuk Kun Liong tidak tidur! Dia melakukan penjagaan secara diam-diam, siap
untuk melindugi tiga orang yang menurut pendengarannya tadi adalah cucu
keponakan murid dari ‘orang she The’ yang diduganya tentulah Panglima Besar The
Hoo, mengingat bahwa panglima itu dimusuhi oleh Si Bayangan Hantu seperti yang
diceritakan oleh Bun Hwat Tosu kepadanya.
Akan tetapi,
pada malam hari itu tidak terjadi sesuatu kecuali dia sendiri yang dikeroyok
nyamuk karena melakukan penjagaan di luar kamar. Akan tetapi Kun Liong tak
menyesal, bahkan merasa lega bahwa pagi-pagi sekali tiga orang itu sudah
berangkat meninggalkan losmen. Dia pun segera membayar uang sewa kamar,
kemudian dengan diam-diam dia terus membayangi tiga orang itu yang keluar dari
kota Taibun menuju ke timur!
Biar pun Kun
Liong mempunyai tujuan perjalanan ke selatan, akan tetapi pada saat itu dia
sama sekali tidak ingat akan hal ini dan terus membayangi tiga orang itu keluar
dari kota dan tidak lama kemudian mereka melalui sebuah hutan yang sunyi di
kaki Pegunungan Thai-hang-san.
Tiga orang
itu melakukan perjalanan tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan mereka
bersenda gurau, atau lebih tepat lagi, dara remaja itu yang selalu mengajak
kedua orang suheng-nya untuk bersenda gurau. Dilihat dari jauh, jelas bahwa
dara remaja itu memang berwatak lincah gembira, dan diam-diam ada juga dugaan
di dalam hati Kun Liong bahwa dara remaja itu bergurau tentang kepala
gundulnya!
Tiba-tiba
terjadilah seperti yang diduganya. Lima orang meloncat keluar dari balik batang
pohon! Kenapa ada lima orang? Kun Liong cepat menyelinap di antara pohon-pohon
dan bersembunyi, mengambil keputusan untuk tidak langsung turun tangan membela
sebelum tenaganya dibutuhkan.
Dia maklum
bahwa tiga orang yang ‘dilindungi’ itu adalah orang-orang yang pandai ilmu
silat dan pandai pula menjaga diri. Yang membuat dia heran adalah lima orang
yang muncul itu. Kenapa di antara mereka tidak ada Kiang Ti dan Ouw-siucai
(Sastrawan Ouw) yang cabul? Atau barang kali lima orang ini adalah anak buah
Ui-hong-pang yang disuruh turun tangan lebih dulu?
"Siapakah
kalian? Apakah perampok-perampok buta yang tidak bisa melihat orang?" Dara
remaja itu sudah membentak dan berdiri dengan sikap gagah, sedikit pun tidak
kelihatan takut sehingga mengagumkan hati Kun Liong.
Pemuda
gundul ini pun memandang dengan penuh perhatian pada lima orang itu. Mereka ini
semua berpakaian serba putih seperti orang-orang berkabung. Mendengar pertanyaan
dara itu, lima orang tadi menggerakkan kedua tangan.
"Singgggg...!"
Lima batang
golok besar tercabut mengeluarkan suara berdesing dan tangan kiri mereka
masing-masing telah mengeluarkan sebuah benda berwarna biru sebesar telapak
tangan yang mereka pasangkan di baju mereka sebelah kiri depan dada. Kini
nampaklah oleh Kun Liong bahwa benda itu adalah sebuah ukiran bunga teratai
putih pada dasar biru. Perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)!
"Aihh,
kiranya Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pek-lian-kauw? Ada maksud apakah Ngo-wi
menghadang perjalanan kami tiga saudara?"
"Hemm,
apakah kalian masih perlu bertanya lagi?" Seorang di antara lima orang
itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit sekali berkata, "Bukankah
kalian bertiga adalah tiga pendekar dari Secuan, murid-murid Gak Liong dan
kalian sedang membantu pemerintah memusuhi kami?"
Laki-laki
tinggi kurus itu kini berdiri tegak di dekat sumoi-nya dan berkata dengan suara
lantang, "Benar! Aku bernama Poa Su It, ini suteku Tan Swi Bu, dan sumoi-ku
Lim Hwi Sian. Kami bertiga adalah murid-murid Pendekar Gak di Secuan. Akan
tetapi kami bukan orangnya pemerintah sungguh pun harus kami akui bahwa Suhu
menugaskan kami untuk membantu Susiok-couw (Paman Kakek Guru) The Hoo untuk
membersihkan negara dari para pengacau yang membuat negara kacau dan rakyat
menderita!"
"Bagus!
Karena itulah maka kami menghadang dan minta nyawa kalian!" Teriak orang
Pek-lian-kauw yang berjenggot panjang dan ucapannya itu agaknya merupakan
komando karena tiba-tiba saja lima orang Pek-lian-kauw itu sudah menyambit
dengan tangan kiri, disusul gerakan mereka menerjang ke depan.
Tiga orang
pendekar Secuan itu menggerakkan tubuh, dengan ringan sekali meloncat ke kanan
dan kiri menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia yang berbentuk kuncup
teratai itu, kemudian mereka pun sudah mencabut pedang masing-masing menghadapi
para pengeroyok.
Kun Liong
memandang kagum. Terutama sekali ia kagum bukan main menyaksikan dara remaja
yang kini sudah dia ketahui namanya, Lim Hwi Sian, menggerakkan pedangnya
menghadapi seorang anggota Pek-lian-kauw, sedangkan dua orang suheng-nya
masing-masing dikeroyok dua oleh lawan.
Dara remaja
itu ternyata lihai ilmu pedangnya. Pada waktu dia melirik ke arah dua orang
laki-laki yang dikeroyok empat orang Pek-lian-kauw, mengertilah ia mengapa dara
remaja itu jauh lebih muda dari pada dua orang itu, menjadi adik seperguruan
mereka, hal yang tadinya amat mengherankan hatinya. Kiranya ilmu pedang dara
itu tidak kalah lihai oleh kedua orang suheng-nya, dan bahkan dalam ilmu
meringankan tubuh melebihi mereka. Mungkin dara itu kalah dalam hal tenaga
saja.
Pertandingan
itu tidak berlangsung lama, karena lima orang itu segera terdesak hebat.
Terdengar seorang di antara mereka, mungkin Si Jenggot, mengeluarkan bunyi
bersuit nyaring. Lima orang yang sudah menderita luka-luka goresan pedang itu
membanting senjata di atas tanah dan terdengar ledakan-ledakan disusul asap
putih tebal.
Tiga orang
pendekar Secuan cepat melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau terkena
senjata rahasia atau asap beracun. Ketika mereka akan mengejar dengan jalan
menghindari asap, ternyata lima orang itu telah lenyap.
Kun Liong
bernapas lega. Tidak perlu dia turut campur. Untung dia tadi masih bertahan dan
tidak muncul. Kalau dia muncul, melihat betapa dara remaja itu dan kedua orang
suheng-nya dengan mudah dapat menghalau lawan, tentu dia akan mendapat malu dan
bukan tidak mungkin dia akan menjadi bahan ejekan dara manis itu! Selain itu,
dia sendiri belum tahu apakah dia mampu melawan seorang saja dari kelima
anggota Pek-lian-kauw tadi!
Sungguh pun
dia telah mendapat gemblengan dasar ilmu silat tinggi dari ayah bundanya,
kemudian dilatih oleh Bun Hwat Tosu yang sangat sakti, namun dia sendiri tidak
dapat mengukur hingga di mana keampuhan ilmu yang dia miliki. Tanpa bertanding
menghadapi lawan, bagaimana dia mampu mengukur diri sendiri? Akan tetapi, dia
amat benci dengan perkelahian. Dia mempelajari ilmu bukannya untuk berkelahi,
melainkan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang mengandalkan ilmu silat.
"Orang-orang
Pek-lian-kauw sungguh menjemukan!" Lim Hwi Sian berkata sambil kembali
menyarungkan pedang dan mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena debu.
"Merekalah
yang memusuhi orang-orang yang tidak berdosa, akan tetapi mereka selalu
mengatakan bahwa pemerintah memusuhi mereka. Apa bila mereka tidak memberontak,
kiranya Susiok-couw tidak akan memerintahkan para pembantu untuk menentangnya
dan Suhu tentu tidak menugaskan kita," Tan Swi Bu juga berkata.
"Kata-kata
yang baik!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu di situ telah
muncul dua orang laki-laki yang tersenyum-senyum.
Jantung Kun
Liong berdebar tegang pada saat melihat dua orang yang memang sedang
dinanti-nantikan kemunculannya itu. Ouw Ciang Houw Si Sastrawan cabul dan Kiang
Ti, Ketua Ui-hong-pang.
Melihat dua
orang yang tidak terkenal akan tetapi kemunculannya yang secara tiba-tiba
membuktikan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, tiga orang pendekar Secuan
menjadi kaget. Lim Hwi Sian sudah mencabut pedangnya dan membentak dengan suara
nyaring, "Apakah kalian juga orang-orang Pek-lian-kauw?!"
Ouw-siucai
tersenyum lebar dan memandang Hwi Sian dengan sinar mata kagum penuh gairah.
"Nona kecil yang manis dan pandai ilmu pedang, sungguh mengagumkan
sekali!"
"Cih!
Keparat bermulut lancang!" Hwi Sian sudah menyerang dengan tusukan
pedangnya. Akan tetapi dengan gerakan amat ringan Ouw-siucai miringkan tubuhnya
dan mendorong pundak dara itu sehingga terhuyung ke depan.
"Ihhhh...
iblis keparat!"
"Sumoi,
tunggu dulu!" menyaksikan ketangkasan sastrawan itu, Poa Sut It
cepat-cepat mencegah sumoi-nya, kemudian dia berkata kepada mereka,
"Melihat pakaian dan sikap Ji-wi, agaknya Ji-wi bukan dari Pek-lian-kauw.
Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah dengan kami?"
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Kiang Ti tertawa bergelak. "Kalian adalah kaki tangan The Hoo seperti yang
kami dengar dalam percakapan kalian dengan orang-orang Pek-lian-kauw tadi, dan
karena itulah maka kalian semua harus kami bunuh, kecuali nona ini yang sudah
lancang membunuh seorang anggota kami, maka dia harus menebus dosa lebih dahulu
di dalam tangan Ouw-siucai, ha-ha-ha!"
Kun Liong
merasa sebal mendengar ini dan kini dia mengerti kenapa Ketua Ui-hong-pang yang
usianya lebih tua itu menyebut twako (kakak) terhadap Ouw-siucai, agaknya untuk
menghormat karena dia memerlukan tenaga bantuan siucai cabul itu. Diam-diam dia
ingin sekali keluar lalu membuka kejahatan mereka, akan tetapi dia takut
menjadi bahan ejekan Hwi Sian, juga dia ingin melihat apakah tiga orang itu
sanggup menghadapi dua orang ini yang agaknya lebih lihai dari pada kelima
orang Pek-lian-kauw tadi. Karena itu dia tetap bersembunyi sambil menonton penuh
perhatian.
Poa Sut It
dan kedua orang adik seperguruannya memandang kepada Kiang Ti dengan tajam,
kemudian terdengar Hwi Sian membentak, "Kiranya engkau orang Ui-hong-pang,
kaki tangan iblis betina Si Bayangan Hantu!"
"Bocah
bermulut lancang!" bentak Kiang Ti. "Engkau berani memaki guruku? Aku
adalah Ketua Ui-hong-pang!" Berkata demikian, dia sudah menubruk maju
untuk menyerang Hwi Sian.
"Eiiit,
ingat, dia untukku, Kiang-pangcu (Ketua Kiang)!" Ouw-siucai berkata dan langsung
menghadang sehingga Ketua Ui-hong-pang itu kini menggunakan kedua tangannya
untuk menyerang Poa Sut It dan Tan Swi Bu.
Melihat
pukulan yang hebat dari tangan yang berubah menghitam, dua orang ini maklum
bahwa pukulan yang ini tidak boleh dipandang ringan. Mereka cepat mengelak
kemudian memutar tubuh membalas dengan serangan pedang mereka dari kanan kiri.
Kiang Ti
terkejut sekali melihat berkelebatnya dua sinar pedang yang amat cepat itu,
dari kiri menyambar ke arah lehernya sedangkan sinar pedang dari kanan
menyambar ke arah kaki. Tak ada jalan lain baginya kecuali meloncat ke belakang
dengan cepat, menjatuhkan diri bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Pada
saat dia meloncat kembali, tangan kanannya telah memegang senjatanya yang
tadinya dililitkan di pinggang, yaitu sebatang rantai baja lemas yang pada
ujungnya dipasangi bola baja. Mukanya agak pucat karena serangan kedua orang
lawannya tadi benar-benar amat dahsyat.
"Hiaaaattttt…!"
Ketua
Ui-hong-pang ini mengeluarkan pekikan panjang dan dia sudah menerjang maju
sambil memutar senjata rantai bajanya.
"Cringgg…!
Tranggg…!"
Dua orang
lawannya menangkis dengan pedang hingga tampak bunga api berpijar ketika
senjata rantai itu bertemu dengan pedang-pedang itu. Selanjutnya terjadilah
pertandingan yang seru antara mereka, namun segera rantai baja terhimpit dan
terdesak oleh kedua sinar pedang, membuat Kiang Ti terpaksa harus mengeluarkan
seluruh tenaganya dan sebentar saja dia sudah mandi keringat.
Hati Kun
Liong merasa lega ketika dia melihat keadaan kedua orang suheng dari Hwi Sian
itu karena dia maklum bahwa keadaan mereka tidak perlu dikhawatirkan. Akan
tetapi ketika dia melihat keadaan Hwi Sian sendiri, dia menjadi amat terkejut
dan diam-diam dia mencari tempat pengintaian yang lebih dekat.
Walau pun
ilmu pedang dara itu sangat tangkas, namun ternyata dia bukanlah tandingan
Ouw-siucai atau Ouw Ciang Houw yang amat lihai. Sambil tersenyum-senyum
sastrawan cabul itu mempermainkan Hwi Sian, hanya dengan tangan kosong
menghadapi pedang dara remaja itu, mengelak ke sana ke mari sambil mengejek dan
menggoda,
"Aih,
luput lagi, Nona manis! Kalau marah begini engkau bertambah cantik saja. Aihhh,
tidak kena! Wah, kedua pipimu menjadi merah jambon, ingin aku menciumnya!"
Ketika
pedang menyambar ke dada, siucai itu membuat sedikit gerakan dan pedang itu
sudah dijepitnya di bawah lengan, kemudian dia mendekatkan mukanya hendak
mencium pipi Hwi Sian sambil memperdengarkan suara menyedot.
"Biadab...!"
Hwi Sian memaki dan cepat-cepat menarik tubuh atasnya ke belakang sambil
menendangkan kakinya ke arah perut lawan dan menarik pedangnya dengan sepenuh
tenaganya.
"Wahhh,
galaknya! Makin galak semakin menyala!" Ouw-siucai melepaskan pedang yang
dijepit lengan, kemudian menyambar kaki yang menendang.
Nyaris kaki
itu tertangkap, akan tetapi ternyata Hwi Sian cukup cerdik. Sebelum kakinya
tertangkap, pedangnya sudah berkelebat membabat dari samping ke arah tangan
yang hendak menangkap kakinya. Pada waktu lawan menarik tangannya, dia pun
meloncat ke belakang dengan muka amat merah, siap untuk bertanding mati-matian
sebab dia maklum bahwa lawannya benar-benar amat lihai.
"Ouw-twako...
lekas robohkan dia dan bantulah aku...!" terdengar Kiang Ti berseru minta
bantuan kepada temannya.
"Ha-ha-ha-ha,
baiklah, Kiang-pangcu. Nah, kau tidurlah dulu, Nona manis, nanti aku akan
menemanimu!"
Sambil
berkata demikian, Ouw Ciang Houw menerjang dengan hebatnya, menggunakan
jari-jari tangannya untuk menotok dengan sasaran jalan-jalan darah pada tubuh
nona itu. Repot sekali Hwi Sian mengelak dan melindungi tubuh dengan pedang,
akan tetapi dia terdesak hebat dan agaknya tidak lama lagi benar-benar dia
harus tidur dulu oleh totokan!
"Ouw-siucai
sastrawan keparat!" Tiba-tiba Kun Liong sudah melompat keluar dari tempat
sembunyinya dan langsung dia mengulur tangannya hendak menangkap dan mendorong
pundak Ouw Ciang Houw. Gerakannya bukanlah serangan berdasarkan ilmu silat,
tetapi hanya sekedar untuk menyuruh siucai itu mundur dan tidak mendesak Hwi
Sian.
Melihat
munculnya seorang pemuda tanggung yang berkepala gundul, Ouw Ciang Houw
menyangka seorang hwesio muda, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi tanpa
disadari sendiri oleh Kun Liong, pemuda itu telah memiliki gerakan yang amat
luar biasa. Karena hatinya ingin memegang pundak dan mendorong, otomatis
gerakannya pun mengandung unsur Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun yang dapat memotong
jalan delapan penjuru, karena itu pengelakan Ouw Ciang Houw sia-sia saja,
tahu-tahu pundak siucai itu dapat didorongnya sehingga tubuh Ouw-siucai
terhuyung ke belakang!
"Ehhh...!"
Ouw-siucai berseru kaget bukan main karena dia sendiri tidak tahu bagaimana
elakannya sampai gagal, hanya dia merasa lega bahwa tenaga dorongan ‘hwesio’
muda itu ternyata tidaklah begitu hebat. "Hwesio busuk dari mana berani
berlancang tangan mencampuri urusanku?" bentaknya sambil memandang dengan
mata melotot kepada Kun Liong.
Kalau saja
tidak disebut hwesio masih mending, akan tetapi kini bahkan disebut hwesio
busuk, tentu saja perut Kun Liong terasa panas. Maka sepasang matanya memandang
dengan sinar mata bercahaya aneh dan tajam menusuk sehingga Ouw-siucai sekali
lagi terkejut setengah mati. Mata itu tiba-tiba menjadi mata setan, pikirnya
seram.
"Engkau
ini seorang sastrawan, akan tetapi berwatak cabul, genit, dan tersesat. Apakah
engkau akan mengulangi perbuatanmu yang biadab di perahu itu lima tahun yang
lalu?" Kun Liong menegur. "Bukankah sudah banyak kitab kuno yang kau
baca, yang mengajar bagaimana orang harus hidup benar? Sudah lima tahun namun belum
bertobat, belum sadar malah semakin gila!"
Untuk ke
tiga kalinya siucai itu terkejut dan heran. "Siauw-suhu dari kuil dan
golongan mana? Harap tidak mencampuri urusan ini karena urusan ini adalah
persoalan pribadi dan permusuhan dari kedua golongan!"
Makin
mendalam kerut alis Kun Liong, apa lagi ketika mendengar suara ketawa tertahan
di belakangnya. Dia sudah hafal benar suara ketawa tertahan dari Hwi Sian itu!
"Aku
bukan dari kuil dan golongan mana pun juga!" Dia membentak. "Bahkan
aku sama sekali bukan hwesio. Engkau Ouw Ciang Houw sastrawan sesat yang dulu
memperkosa isteri guru silat Gui Tiong di perahuku, kemudian mengakibatkan
matinya suami isteri itu. Ingat?"
Untuk ke
empat kalinya Ouw Ciang Houw terbelalak heran. "Wah-wah...!" Kemudian
dia menggaruk-garuk kepalanya. "Jadi kau... Si Gundul bocah tukang perahu
itu...?"
"Wuuuuttt,
plakkk!"
Kembali Ouw
Ciang Houw terhuyung karena Kun Liong telah menampar pipinya dan biar pun tadi
dia mengelak, tetap saja pipinya kena tampar! Hal ini amat mengherankan bagi
Ouw Ciang Houw yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sama sekali tak
mengherankan bagi Kun Liong.
Pemuda
gundul ini hanya mengira bahwa sastrawan itu barusan tidak sungguh-sungguh
mengelak, maka dorongannya tadi dan tamparannya mengenai sasaran! Dia tidak
sadar bahwa sesudah memiliki Ilmu Silat Tinggi Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti
Delapan Penjuru Angin), setiap gerakannya memang mengandung gaya yang luar
biasa sehingga sukar diduga lawan ke mana hendak meluncur!
"Bocah
setan, agaknya kau sudah bosan hidup!" Ouw Ciang Houw menjadi marah sekali
dan dengan pengerahan tenaganya dia lalu memukul ke arah kepala dan dada Kun
Liong secara cepat sekali dengan kedua tangannya.
Kun Liong
paling anti apa bila kepalanya dibuat permainan, apa lagi dipukul. Sesudah dia
gundul, segala sesuatu yang menyinggung kepalanya benar-benar menyakitkan
hatinya, maka kini dia mengangkat tangan menangkis pukulan yang mengancam
kepalanya. Akan tetapi, pukulan ke arah dadanya tak sempat ditangkisnya lagi,
maka otomatis bergeraklah tenaga sinkang yang dilatih selama lima tahun.
"Bukkk!
Auuuuwww... duhhh...!"
Ouw Ciang
Houw memegangi tangan kirinya yang seolah-olah remuk rasanya pada saat
membentur dada Kun Liong tadi.
"Engkau
malah berani memukul kepalaku, ya? Benar-benar engkau orang jahat dan perlu
dihajar!" Kun Liong sudah maju dan tangan kirinya bergerak dari depan
memukul dada lawan.
Biar pun
kesakitan, Ouw Ciang Houw yang dapat menduga bahwa Si Gundul ini memiliki
kepandaian aneh. Dia segera menangkis, akan tetapi sungguh di luar dugaannya
ketika tiba-tiba kepalanya ditempiling oleh tangan kanan Kun Liong dari
belakang.
"Plenggg…!"
Dan dia terguling!
Inilah
keistimewaan gerak Pat-hong Sin-kun! Serangan pertama dari depan hanya untuk
memancing perhatian, sedangkan serangan susulan datang dari arah berlawanan.
Dalam ilmu silat sakti ini banyak serangan macam ini yang datang dari delapan
penjuru!
Ouw Ciang
Houw hanya merasa kepalanya pening saja, maka begitu terguling dia dapat
meloncat berdiri lagi. Kemarahannya membuat mukanya berubah pucat sekali,
tangannya lantas meraba punggung dan tampaklah cahaya berkilat ketika dia mencabut
pedangnya menerjang Kun Liong.
"Trangggg…!"
Hwi Sian
telah menangkis pedang itu, padahal tentu saja Kun Liong pun sudah siap untuk
menghindarkan serangan tadi. Terjadilah pertandingan pedang yang seru antara
Hwi Sian dan sastrawan itu.

Melihat betapa
hanya dalam belasan jurus dara itu langsung terdesak hebat, Kun Liong menjadi
khawatir sekali. Untuk maju dengan tangan kosong saja dia merasa ngeri, maka
dia lalu meloncat ke atas pohon, mematahkan sebuah dahan pohon dan meloncat
turun terus langsung menerjang Ouw-siucai dengan senjata dahan di tangan.
Begitu menerjang tentu saja dia menggunakan gerakan dari Ilmu Siang-liong-pang
dan hebat bukan main akibatnya!
Bukan hanya
Ouw-siucai yang cepat berloncatan mundur, bahkan Hwi Sian juga bingung melihat
tiba-tiba banyak sekali tongkat melayang ke sana-sini dengan ganasnya sehingga
dara itu pun segera meloncat mundur! Akan tetapi, tongkat dahan itu terus
menyerang Ouw-siucai yang berusaha menangkis dengan pedangnya.
Celaka
baginya, tongkat yang ditangkis itu seperti dapat mengelak dan tahu-tahu lengan
kanannya yang memegang pedang terpukul tongkat. Bukan main nyeri rasanya
sehingga kalau saja dia tidak mempertahankan pedangnya dengan tenaga sinkang,
tentu pedang itu akan terlepas. Akan tetapi, gebukan kedua menyusul tanpa dapat
diduganya.
“Bukk!”
terdengar suara dan tubuhnya kembali terguling karena pantatnya sudah terpukul
sehingga daging pinggul rasanya remuk-remuk!
Kini
maklumlah Ouw-siucai bahwa kalau dia melanjutkan pertandingan, dia dan temannya
akan mati konyol. Maka dia bersuit keras, tubuhnya mencelat ke dekat temannya
yang sedang didesak hebat, lalu pedangnya bergerak menangkis memberi kesempatan
kepada Kiang Ti untuk melepaskan diri dari kepungan sinar pedang lawan,
kemudian keduanya melompat jauh dan melarikan diri tanpa berani menoleh sama
sekali!
Tiga orang
itu hendak mengejar, akan tetapi Kun Liong segera berkata, "Mereka sudah
mendapatkan pelajaran, tentu sudah bertobat. Perlu apa dikejar lagi?"
Poa Su It
menyuruh kedua adiknya berhenti, kemudian mereka menghampiri Kun Liong dan
orang tertua di antara mereka itu lantas menjura, "Ah, kiranya Laote
adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi!"
"Sungguh
kami telah bersikap kurang hormat!" kata pula Tan Swi Bu.
"Ji-wi
Suheng (Kakak Seperguruan Berdua), kalau tidak ada dia, tentu sumoi-mu ini
telah celaka di tangan siucai busuk tadi!" kata Lim Hwi Sian yang kini
memandang kepada Kun Liong dengan sinar mata penuh kagum.
Kun Liong
mengerutkan alisnya dan membuang tongkatnya dengan hati mengkal. Masih
berdengung di telinganya suara ketawa Hwi Sian tadi pada saat dia disebut
hwesio busuk oleh Ouw-siucai. Kini mereka memuji-mujinya. Siapa tahu di balik
pujian bibir manis dari dara itu tersembunyi ejekan terhadap kepala gundulnya!
Dengan suara
dingin dia berkata, "Aku hanyalah seorang gundul yang tidak ada artinya.
Selamat tinggal!" Sesudah berkata demikian, dia lalu melangkah pergi tanpa
menengok lagi.
"Ehhh,
sungguh aneh!" kata Tan Swi Bu.
"Hemm,
dia marah, agaknya masih marah karena engkau pernah mentertawai kepalanya,
Sumoi!" Poa Sut It berkata menyesal. Dia tahu bahwa pemuda tanggung yang
gundul itu adalah seorang yang luar biasa, dan sebetulnya dia ingin sekali tahu
siapakah pemuda itu dan murid siapa.
Lim Hwi Sian
juga merasa menyesal, apa lagi ketika dia teringat betapa tadi belum lama ini
dia terpaksa tertawa lagi melihat Ouw-siucai yang jahat juga salah duga,
menganggap pemuda itu seorang hwesio!
"Biarlah
aku minta maaf kepadanya!" katanya lalu berlari mengejar Kun Liong yang
sudah lenyap di balik sebuah tikungan.
Kedua orang
suheng-nya hanya saling pandang dan membiarkannya saja, bahkan tetap menunggu
di sana dengan harapan mudah-mudahan sumoi mereka dapat menyabarkan hati pemuda
gundul yang luar biasa itu sehingga mereka dapat saling berkenalan.
"Taihiap,
tunggu dulu...!"
Kun Liong
amat terkejut dan heran mendengar suara wanita ini. Sebelum dia menengok,
tampak bayangan berkelebat dari belakangnya dan kiranya Hwi Sian kini sudah
berdiri di depannya dengan wajah sungguh-sungguh.
Dia menyebut
aku ‘taihiap’! Jantung Kun Liong berdebar. Sebuah ejekan barukah ini? Dia
disebut pendekar besar! Bila dara itu kembali mengejeknya, pasti akan
dimakinya! Diejek orang lain tidak apa-apa, akan tetapi diejek dara ini! Sakit
hatinya! Kini dia sadar bahwa sikap pemarahnya akhir-akhir ini mengenai kepala
gundulnya adalah karena orang-orang melakukannya di depan dara ini.
"Kau...
kau mau apakah menyusul aku?" tanyanya, gagap karena pandangan mata dara
itu benar-benar membuat dia canggung, malu dan bingung.
"Kami
tahu bahwa Taihiap marah, dan memang sepantasnyalah kalau Taihiap..."
"Ahh,
sebutanmu ini ejekan ataukah pujian kosong? Kalau ejekan, tidak perlu kita
bicara lagi, kalau pujian kosong, kuharap jangan lakukan itu. Aku tidak suka
disebut Taihiap, baik ejekan mau pun pujian."
Sepasang mata
yang jeli dan indah itu terbuka lebar-lebar, memandang bingung. "Habis
disuruh menyebut apakah aku ini?"
"Namaku
Kun Liong, Yap Kun Liong, bukan pendekar besar, bahkan bukan pula pendekar
kecil. Sebut saja namaku, beres!"
"Wah,
mana aku berani? Bia aku menyebut Yap-enghiong (Orang Gagah Yap) saja."
"Aku
bukanlah enghiong, bukan pula bu-hiap (pendekar silat), aku hanya seorang
gundul yang..."
"Stop!
Kau benar-benar marah besar dan semua adalah karena kesalahanku! Kami sudah
berhutang budi padamu, bahkan mungkin aku berhutang nyawa, dan aku telah
membuat engkau marah besar dan sakit hati. Tidak... tidak adakah maaf
bagiku?"
Melihat
sinar mata itu sayu penuh penyesalan dan suara itu demikian minta dikasihani,
kekerasan hati Kun Liong akibat kemarahannya tadi hancur luluh, mencair
bagaikan salju digodok! Cepat dia mengangguk dan menjawab, "Tentu saja aku
memaafkanmu, bahkan tidak perlu kau minta maaf karena sebetulnya aku tidak
marah kepadamu, hanya... ehhh, malu karena kepalaku..."
"Mengapa
dengan kepalamu? Kepalamu tidak apa-apa, bahkan... hemmm... baik sekali
bentuknya!"
"Sesungguhnyakah?"
"Aku
berani bersumpah tidak membohongimu. Yap-enghiong, ehhh..."
"Jangan
sebut enghiong segala, namaku Kun Liong, tanpa embel-embel."
"Kun...
Kun Liong, kini aku telah berhutang nyawa kepadamu, bagaimana aku akan dapat
membalasmu?"
"Hemmm,
berkali-kali kau menyatakan hutang nyawa, nama pun belum kau perkenalkan
kepadaku, Lim Hwi Sian!"
"Ehh,
engkau tahu...?"
Kun Liong
tersenyum dan sinar matanya kini sudah berseri penuh kenakalan.
"Setan
gundul tentu saja tahu segala!"
Mata yang
jernih itu terbelalak. "Engkau sangat aneh, orang sudah berhati-hati untuk
tidak menyinggungmu, engkau malah memaki-maki diri sendiri setan gun..."
"Teruskan
saja! Ha-ha-ha, memang kepalaku gundul. Nih, halus bersih, kan?" Kun Liong
menundukkan kepalanya dan mengelus-elusnya. "Kau boleh menyebut aku gundul
seribu kali asal jangan mentertawakan. Asal engkau tidak jijik
melihatnya."
"Siapa
yang jijik? Aku bahkan senang melihatnya. Memang lucu, akan tetapi lucu bukan
berarti buruk. Contohnya, seorang bayi selalu lucu, dan tidak pernah buruk!
Semua orang ingin memeluk dan menciumnya."
"Wah,
apakah kepalaku juga menimbulkan hasrat orang untuk menciumnya?" Kun Liong
memandang nakal dan senyumnya melebar ketika dia melihat dara itu tersipu-sipu
malu dan sepasang pipinya berubah kemerahan, apa lagi bibirnya yang menjadi
merah sekali. Tiba-tiba saja Kun Liong ingin kepalanya dicium oleh bibir
seperti itu!
"Engkau
memang orang yang lucu dan gagah, Kun Liong. Aku sudah kau tolong, entah
bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu."
"Benarkah
engkau ingin membalasnya? Dan engkau tidak akan marah kalau aku minta kau
melakukan sesuatu untuk membalasnya?"
"Tidak,
Kun Liong. Bagaimana aku bisa marah kepadamu?"
"Sumpah?"
"Sumpah
apa?"
"Bahwa
engkau tidak akan marah kepadaku?"
"Aku
bersumpah!"
"Wah,
engkau mudah sekali bersumpah, Hwi Sian."
"Tentu
saja, karena memang aku sungguh-sungguh. Sudahlah, lekas katakan saja, apa
permintaanmu itu?"
"Aku...
aku... ehhh... aku ingin kau... hemmm..."
"Mau
apa sih engkau ini? Ah-ah eh-eh, ham-ham hem-hem seperti orang gagu."
"Hwi
Sian, aku ingin kau... ehh…, mencium gundulku satu kali saja!"
Hwi Sian
terbelalak, hidungnya kembang kempis, kedua pipinya merah sekali akan tetapi
matanya mengeluarkan cahaya aneh, tersipu dan berseri. "Dekatkan
kepalamu," katanya lirih.
Kun Liong
hampir tidak percaya. Dia sudah khawatir kalau dara remaja itu marah dan kalau
marah, dia pun tidak akan menyalahkan Hwi Sian. Siapa sangka dara itu menerima
permintaannya! Dengan kulit muka merah sampai ke kepalanya, dia menundukkan
kepala dan agak membungkuk di depan Hwi Sian.
Dengan kedua
tangan, tanpa ragu-ragu gadis itu memegang pinggiran kepalanya, lantas menunduk
dan mencium kepala gundul itu, mencium lagi, mencium lagi. Tiga kali, bukan
hanya satu kali seperti yang dimintanya!
Berdebar
tidak karuan rasa jantung Kun Liong. Kepalanya yang disentuh hidung dan bibir
hangat basah itu terasa geli seperti digelitik, rasa geli yang menembus seluruh
tubuhnya, membakar darahnya hingga membuat mukanya merah, napasnya agak
terburu. Dengan mendadak dia mengangkat mukanya menengadah, kemudian dengan
tubuh masih agak membungkuk dia berkata, "Kau baik sekali...
uppphh..."
Karena dia
membuat gerakan menengadah sedangkan Hwi Sian masih menunduk di atas kepalanya,
tanpa disengaja mulut mereka bersentuhan, membuat keduanya meloncat ke belakang
dengan muka merah padam!
"Ehh...
ohhh... maafkan, aku, Hwi Sian, aku tak sengaja...! Terima kasih, engkau...
engkau sungguh baik sekali, selama hidup takkan kulupakan saat ini..."
"Ihhh...
huu-hukk..." Dara itu tiba-tiba terisak, membalikkan tubuh lalu melompat
dan lari pergi meninggalkan Kun Liong!
"Hwi
Sian...!" Kun Liong memanggil, akan tetapi dara itu terus lari dan lenyap
di tikungan.
Kun Liong
tak berani mengejar, merasa malu sekali kalau peristiwa tadi sampai diketahui
kedua orang suheng dara itu. Dia pun lalu melanjutkan perjalanannya sambil
mengangkat kedua pundak beberapa kali, kemudian tersenyum-senyum bila mana
teringat betapa Hwi Sian sudah mencium kepalanya sampai tiga kali, bahkan ada
tambahannya yang sangat hebat, yaitu pertemuan bibir mereka tanpa sengaja.
Dia
memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Diusapnya kepala yang dicium tadi
dan dibawanya jari tangan yang mengusap itu ke depan hidung dan mulut, menyedot
penuh kegirangan karena seolah-olah tercium olehnya bau harum seperti yang
diciumnya ketika Hwi Sian berada di dekatnya tadi. Semua ini dilakukan dengan
mata terpejam dan kaki masih melangkah berjalan.
"Bruuuusss…!"
Kun Liong
jatuh menelungkup karena kakinya tertumbuk pada akar pohon. Dahinya benjol
sedikit, dia bangkit berdiri dan diusapnya benjolan itu, akan tetapi mulutnya
masih tetap tersenyum ketika dia melanjutkan perjalanan.
Ternyata
kegembiraan hati Kun Liong tidak berlangsung lama karena kurang lebih dua jam
kemudian setelah dia berpisah dari Hwi Sian dan memasuki hutan ke dua,
tiba-tiba dia bertemu dengan serombongan orang yang membuat dia terkejut bukan
main.
Rombongan
ini terdiri dari delapan orang dan semua orang ini sudah dikenalnya. Dua orang
sudah jelas adalah Ouw Ciang Houw dan Kiang Ti yang tadi melarikan diri, dan
lima orang lagi adalah anggota Pek-lian-kauw yang tadi pun melarikan diri
setelah dihajar oleh Hwi Sian dan dua orang suheng-nya.
Akan tetapi
yang seorang lagi adalah seorang berpakaian seperti tosu, usianya tentu lebih
dari enam puluh tahun, memegang tongkat yang panjangnya hanya tiga kaki saja.
Yang mengejutkan hati Kun Liong sehingga membuat dia bisa mengenal tosu ini
adalah karena mata tosu itu seperti mata orang buta, hanya tampak putih saja
tanpa ada manik mata yang hitam. Tidak salah lagi, tosu ini tentulah Loan Khi
Tosu, tokoh Pek-lian-kauw yang pernah diusir oleh ayahnya pada waktu hendak
membunuh tiga orang perwira pengawal di Leng-kok!
"Nah,
itu dia setan cilik gundul!" Kiang Ti dan Ouw Ciang Houw membentak ketika
mereka melihat Kun Liong berjalan seenaknya. "Dialah yang terlihai di
antara mereka!"
Kun Liong
berdiri dan menenangkan hatinya yang sebenarnya tidak tenang karena dia maklum
bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang kejam. Akan tetapi karena dia
tidak merasa bersalah, seujung rambut pun dia tidak merasa takut.
Dengan tegak
dia berdiri sambil membiarkan delapan orang itu mengurungnya, kemudian dia pun
bertanya kepada Ouw Ciang Houw, Kiang Ti, dan Loan Khi Tosu yang berdiri di
depannya, "Cu-wi (Anda Sekalian) ini mau apakah mengurung aku yang tidak
bersalah apa-apa?"
Mendengar
suara ini, Loan Khi Tosu menggerak-gerakkan dua biji matanya dan berusaha
memandang lebih jelas. Sungguh pun matanya yang lamur hanya dapat melihat
bentuk seorang pemuda tanggung berkepala gundul, namun telinganya mampu
menangkap lebih jelas lagi, membuat dia merasa yakin bahwa yang berdiri di
hadapannya adalah seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam belas
tahun.
Yang membuat
dia heran adalah karena di dalam suara itu terkandung keberanian dan ketenangan
yang tak dibuat-buat dan dalam keadaan dikurung lawan sikap tenang seperti ini
hanyalah sikap seorang jagoan yang mempunyai kepandaian tinggi dan sudah
percaya penuh akan kemampuannya. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kun Liong
bersikap tenang bukan karena mengandalkan kemampuannya, melainkan karena tidak
merasa bersalah.
"Ah,
dia hanya seorang anak laki-laki yang belum dewasa benar," Loan Khi Tosu
berkata dengan nada mencela. Menghadapi seorang anak-anak saja, mengapa
teman-temannya ini kewalahan dan kelihatan jeri benar?
"Biar
pun dia masih kecil, dialah yang melindungi tiga pendekar Secuan itu dan karena
dia maka mereka dapat lolos!" kata Kiang Ti.
"Hemm,
bocah. Engkau siapakah dan mengapa engkau mencampuri urusan kami?" Tosu
itu kini bertanya.
"Loan
Khi Tosu, aku tidak pernah suka mencampuri urusan orang lain, hanya tidak ingin
melihat orang menggunakan ilmu silat untuk menyerang, melukai atau membunuh
orang seperti yang kau lakukan di kuil di luar kota Leng-kok dahulu itu!"
"Siancai...!"
Loan Khi Tosu mengerutkan sepasang alisnya. "Engkaukah setan cilik itu?
Saudara-saudara tangkap dia ini! Dia adalah putera Yap Cong San di
Leng-kok!"
"Ehh...?"
Kiang Ti yang banyak mengenal tokoh-tokoh persilatan karena dia adalah ketua
perkumpulan Ui-hong-pang, berseru kaget, "Tetapi, bukankah Yap-sinshe
(Tabib Yap) itu adalah murid Siauw-lim-pai?"
"Bukan
murid Siauw-lim-pai lagi," kata Loan Khi Tosu. "Dia sudah tidak
diakui lagi dan hal ini tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan
Siauw-lim-pai."
"Tapi...
sekarang ayahnya menjadi pelarian, dimusuhi pemerintah!" Kembali ada
bantahan dan sekali ini dari mulut Ouw Ciang Houw datangnya.
"Benar,
dan karena itulah maka kita tak akan membunuhnya, hanya akan menangkapnya
sebagai sandera. Kita perlu bantuan orang pandai, dan dengan dia sebagai umpan,
maka kita dapat memancing tenaga bantuan dari ayah bundanya, dan siapa tahu,
kelak Siauw-lim-pai juga..."
Mengertilah
para teman tosu itu sehingga serentak mereka lantas menubruk maju hendak
menangkap Kun Liong. Kun Liong sendiri masih tidak mengerti akan maksud
percakapan mereka, maka dia sibuk mengelak dan menangkis.
"Ehh,
ehhh, kalian ini mau apa? Aku tidak ingin berkelahi! Di antara kita tidak ada
urusan apa-apa!"
Akan tetapi,
percuma saja Kun Liong berteriak-teriak dan karena ada tujuh orang yang
mengeroyoknya, semua mempunyai kepandaian tinggi, repot juga dia dan beberapa
kali tubuhnya kena hantaman. Meski pun semua pukulan itu meleset karena secara
otomatis sinkang-nya yang istimewa itu membuat setiap pukulan meleset, tapi
kulit tubuhnya terasa panas dan nyeri-nyeri juga, apa lagi setelah beberapa
kali ada pukulan mengenai kepala dan mukanya, mulai terasa panas perut Kun
Liong.
Dia sendiri
tidak tahu kenapa semenjak belajar pada Bun Hwat Tosu, terutama semenjak dia
mempelajari sinkang yang aneh itu, setiap kali datang kemarahan, perutnya
menjadi panas. Dia tidak tahu bahwa ini adalah akibat latihan sinkang istimewa
dari bekas Ketua Hoa-san-pai itu!
Tadinya para
pengeroyok itu tidak ingin memukul karena sesuai dengan perintah Loan Khi Tosu
yang memimpin rombongan itu, mereka hanya ingin menangkap. Akan tetapi setelah
beberapa kali tangan mereka yang hendak mencengkeram dan menangkap selalu
meleset, mereka menjadi penasaran dan mulai mempergunakan kepalan!
"Hiaaaatttttt…!"
Tiba-tiba
Kun Liong berseru, tubuhnya digoyangkan seperti seekor anjing menggoyang
tubuhnya yang basah, dan tujuh orang yang mengeroyoknya seperti semut itu
terdorong mundur semua. Marahlah pemuda gundul itu sesudah mukanya biru-biru
dan kepalanya benjol-benjol, tubuhnya nyeri semua.
Mulailah dia
memainkan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dengan teratur. Dapat dibayangkan betapa
heran hatinya setelah dia mainkan ilmu ini, hanya dalam beberapa gebrakan saja
serangannya langsung membuat tiga orang pengeroyok jatuh tersungkur dan
terdengar teriakan kaget dari mulut para pengeroyoknya!
Akan tetapi
karena dia tidak mempunyai niat melukai lawan, apa lagi membunuh, maka
dorongan-dorongan sebagai pengganti pukulan itu hanya membuat lawannya roboh
saja tanpa terluka sehingga mereka bisa bangkit kembali. Jika saja setiap
pukulannya disertai tenaga sinkang-nya yang istimewa, agaknya sekali saja
terkena pukulannya, setiap lawan itu tentu tak akan mudah untuk bangkit
kembali!
Melihat
sepak terjang pemuda gundul itu, Loan Khi Tosu terheran-heran. Dia tahu bahwa
ayah anak ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari padanya, akan
tetapi ilmu silat yang dimainkan anak ini luar biasa anehnya dan sama sekali
bukan ilmu silat Siauw-lim-pai biar pun ada terasa olehnya dasar-dasar gerakan
ilmu silat Siauw-lim-pai.
Demikian
tajam pendengaran tosu setengah buta ini sehingga pendengarannya bisa lebih
tajam menangkap setiap gerakan dari pada pandang mata seorang yang awas! Cepat
dia menggerakkan tongkatnya pada waktu yang tepat, dan robohlah Kun Liong,
tertotok jalan darah pada pundaknya. Beberapa orang segera menindih tubuhnya
dan kaki tangannya dibelenggu dengan tali terbuat dari kulit kerbau yang kuat!
"Wah,
kalian ini orang-orang sesat yang jahat sekali ! Apakah kalian tidak
mempedulikan hukum lagi? Di mana peri kemanusiaan kalian? Tidak tahukah kalian
akan hukum dunia dan akhirat?"
Akan tetapi
delapan orang itu hanya tertawa seolah-olah mendengar kelakar yang lucu. Perut
Kun Liong makin terasa panas. Kalau saja tubuhnya dapat digerakkan, tidak
lumpuh oleh totokan Loan Khi Tosu yang lihai, kiranya dia masih sanggup
meloloskan diri dari belenggu itu. Kini tidak ada lain jalan untuk melampiaskan
kemarahannya selain dengan suara mulutnya.
"Loan
Khi Tosu, engkau berpakaian pendeta akan tetapi hatimu amat kejam melebihi
iblis. Engkau seorang munafik tak tahu malu. Pakaian pendeta yang kau pakai itu
hanya untuk menutupi kekotoran batinmu. Engkau membunuhi manusia tanpa berkejap
mata, bukan karena matamu lamur, melainkan karena mata batinmu sudah buta sama
sekali!"
"Bukkkk!"
Untung bagi
Kun Liong bahwa Loan Khi Tosu masih ingat kalau pemuda gundul itu amat penting
bagi Pek-lian-kauw, jika tidak tentu dia sudah membunuhnya dengan tongkatnya,
bukan hanya menggebuk punggung pemuda itu. Akan tetapi karena Kun Liong tak
dapat mengerahkan sinkang-nya, gebukan itu cukup membuat punggungnya seperti
patah dan rasanya nyeri bukan main sampai menembus ke tulang sumsum.
Biar pun
demikian, dia tidak mengeluh, hanya memejamkan mata sebentar menahan rasa
nyeri, kemudian membuka mata setelah rasa nyerinya berkurang dan memaki lagi.
"Ouw Ciang Houw manusia cabul! Engkau pun munafik besar, aksinya saja
berpakaian indah mewah seperti sastrawan, berlagak seperti orang terpelajar dan
sudah kenyang membaca kitab, akan tetapi agaknya engkau menghafal semua ayat
kitab suci hanya untuk pamer, padahal sebetulnya, di balik semua keindahan itu
terdapat kebusukan yang menjijikkan! Engkau tukang memperkosa wanita, perampas
isteri orang dan tidak segan membunuh mereka. Agaknya, isteri semua temanmu ini
pun sudah kau incar..."
"Desss…!"
Ouw Ciang
Houw mengirim pukulan keras ke arah dada. Karena tidak ingin membunuh, walau
pun sangat marah, sastrawan itu hanya menggunakan tenaga kasar sehingga Kun
Liong menjadi pingsan! Pukulan itu seperti mengusir semua hawa dari dalam
dadanya, menghentikan napasnya.
"Siancai...
kau terlalu sembrono, Ouw-sicu! Dia bisa mati kalau tidak segera kubebaskan
totokannya!" Dengan tongkatnya, tosu itu menotok pundak Kun Liong sehingga
terbebas dari totokan. Biar pun masih pingsan, pemuda gundul itu dapat bernapas
lagi dan bebas dari cengkeraman maut.
Sesudah
siuman, Kun Liong mendapatkan dirinya dipanggul oleh salah seorang di antara
para anggota Pek-lian-kauw. Rombongan itu telah melanjutkan perjalanan dan hari
sudah mulai gelap sehingga mereka berjalan dengan tergesa-gesa untuk dapat
keluar dari hutan itu sebelum gelap.
Kun Liong
mendongkol bukan main. Dia dipanggul seperti seekor babi yang dibelenggu
kuat-kuat. Kepalanya tergantung di belakang punggung orang tinggi besar itu, di
dekat ketiak sehingga terpaksa hidungnya tersiksa oleh bau yang keluar dari
ketiak penuh bulu dan keringat itu! Dia tahu bahwa ketiak berkeringat
mengeluarkan bau tidak sedap, akan tetapi belum pernah hidungnya tersiksa
seperti ini, terus-menerus begitu dekat dengan ketiak yang bukan tak sedap lagi
baunya, melainkan keras menyengat membuat dia ingin muntah! Apa lagi kepalanya
tergantung terus sehingga mendatangkan pusing!
Tapi betapa
girangnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa totokannya telah terbebas! Dengan
hati-hati dia menggerakkan sinkang dari pusarnya, dan dengan bantuan sinkang
ini dia mengerahkan ilmu melemaskan diri Sia-kut-hoat maka berhasillah dia
meloloskan tangannya yang dapat dilemaskan itu dari belenggu. Karena sudah
merasa tak tahan lagi, pertama-tama yang dilakukan adalah menampar pundak orang
yang memanggulnya.
"Krekkk!"
Tamparan itu
membuat sambungan tulang pundak orang itu terlepas. Orang itu memekik dan tubuh
Kun Liong terlepas. Tentu saja dia terbanting karena dua kakinya masih dalam
keadaan terbelenggu. Sebelum dia sempat melepaskan belenggu kakinya, Loan Khi
Tosu sudah menotoknya kembali dan kedua tangannya langsung dibelenggu lagi
dengan lebih erat dari pada tadi!
Sekali lagi
dia dipanggul oleh orang lain, bahkan kini oleh Kiang Ti sendiri, dengan tubuh
bagian atas di depan supaya kedua tangannya dapat selalu diawasi oleh
pemanggulnya. Kembali kepalanya tergantung, akan tetapi hidungnya tidak tersiksa
lagi biar pun hidung itu kini sering terbentur pada perut Kiang Ti!
Rombongan
itu bermalam di sebuah kuil di luar hutan. Mereka membagi-bagi makanan, akan
tetapi Kun Liong tidak mau makan. Dia tidak memaki lagi, hanya diam saja namun
diam-diam dia mencari akal bagaimana dapat lolos dari orang-orang lihai itu.
Dia maklum
bahwa yang amat lihai hanyalah tiga orang, yaitu Loan Khi Tosu, Ouw Ciang Houw,
dan Kiang Ti. Kalau bisa lolos dari tiga orang ini, mudah saja mengalahkan lima
orang anggota Pek-lian-kauw.
Dia
mendengarkan percakapan mereka, karena itu tahulah dia bahwa ternyata ada
kontak hubungan antara Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pai yang dipimpin oleh Si
Bayangan Hantu. Sedangkan Kiang Ti sebagai murid Si Bayangan Hantu yang sudah
berdiri sendiri dan mengetuai Ui-hong-pang, menjadi perantara. Inilah sebabnya
mereka bisa bekerja sama.
Sedangkan
Ouw Ciang Houw berniat untuk membantu atau menghambakan diri kepada Si Bayangan
Hantu yang terkenal sebagai seorang di antara Lima Datuk Kaum Sesat yang sakti
dan berpengaruh. Karena dia juga menggunakan Kiang Ti sebagai perantara, maka
tentu saja dengan senang hati dia bergabung dengan Pek-lian-kauw.
"Dengan
bantuan yang sangat berharga dari Ketua Kwi-eng-pai, pinto yakin bahwa dalam
waktu singkat perjuangan rakyat akan berhasil!" kata Loan Khi Tosu dengan
suara penuh semangat.
Ingin sekali
Kun Liong berteriak membantah, akan tetapi tubuhnya terlampau lemah dan lemas
sehingga dia hanya membantah dalam hati saja. Huh, betapa banyaknya di dunia
ini orang-orang seperti Loan Khi Tosu. Dunia ini penuh dengan manusia-manusia
yang mencuri dan membonceng nama rakyat demi kepentingan diri pribadi. Sungguh
tak tahu malu manusia-manusia seperti itu.
Sejarah
sudah menunjukkan betapa kekuasaan-kekuasaan jatuh bangun di dunia ini, dan
semua kekuasaan itu, pada waktu bangkit, pada waktu berusaha merenggut
kekuasaan, selalu menggunakan nama rakyat jelata! Demi rakyat! Pencinta rakyat!
Dan masih banyak lagi nama-nama yang dipakai untuk tercapainya cita-cita
mereka.
Pemerintah
yang sekarang ini, di bawah kekuasaan Kaisar Yung Lo, saat memperebutkan tahta
kerajaan dengan keponakannya sendiri ketika perang saudara, juga menggunakan
nama rakyat untuk mendapat dukungan. Sebaliknya, pemerintah lama sebelumnya
juga selalu membonceng kepada nama rakyat.
Dengan
sendirinya rakyat menjadi pecah belah, karena yang mendukung dianggap rakyat
sedangkan yang tidak mendukung tentu saja dianggap musuh! Dan musuh ini tentu
saja dianggap rakyat oleh pihak lawan. Maka dengan sendirinya rakyat yang
menjadi korban. Rakyat menjadi bingung dijadikan permainan orang-orang seperti
Loan Khi Tosu dan para pimpinan Pek-lian-kauw.
Setelah kini
Yung Lo menang dan menjadi kaisar, timbul lagi penentangnya, yang paling hebat
adalah Pek-lian-kauw yang kembali mempergunakan nama rakyat sebagai dasar
perjuangannya! Akan dibawa ke manakah rakyat ini? Apakah selama dunia
berkembang rakyat hanya akan menjadi permainan belaka untuk memuaskan nafsu
ambisi beberapa gelintir manusia yang menamakan diri sebagai pemimpin-pemimpin
rakyat?
Pernahkah
ditemui mereka yang tadinya menggunakan nama rakyat dalam perjuangan, sesudah
berhasil dalam perjuangannya, benar-benar ingat kepada rakyat jelata? Ataukah
mereka itu lalu menjadi lupa karena mabok akan kemenangan, mabok akan kedudukan
dan kemuliaan, seperti pemetik buah lupa akan bangku yang diinjaknya untuk
mengambil buah setelah buah itu terdapat olehnya? Rakyat hanya dianggap sebagai
bangku tempat berpijak, atau sebagai batu loncatan, atau sebagai boneka-boneka!
"Harap
Totiang jangan khawatir! Saya berani pastikan bahwa Subo (Ibu Guru) tentu akan
suka bekerja sama dengan Pek-lian-kauw, karena cita-cita Subo hanya untuk
membikin hancur manusia she The itu, dan juga pemerintah yang banyak merugikan
golongan kami. Kalau Subo sendiri turun tangan, siapa yang berani menentang?
Kwi-eng-pai terkenal di seluruh dunia, dan nama besar Kwi-eng Niocu Ang Hwi
Nio, siapakah yang tidak gentar mendengarnya?" kata Kiang Ti dengan
bangga, menyombongkan nama besar gurunya.
"Sayang
saya sendiri belum beruntung berhadapan dengan gurumu itu, Saudara Kiang. Akan
tetapi saya yakin, dengan perantaraanmu ini saya akan dapat menghadap Kwi-eng
Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang namanya sudah lama kudengar sebagai seorang di
antara para datuk dunia persilatan. Kabarnya, di antara para datuk, ada dua
orang wanita, pertama adalah Kwi-eng Niocu, dan yang ke dua ialah Siang-tok
Mo-li. Benarkah?" tanya Ouw Ciang Houw.
Kiang Ti,
Ketua Ui-hong-pang itu mengangguk-angguk. "Benar demikian, akan tetapi aku
sendiri pun belum pernah bertemu dengan Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun
Wangi). Kabarnya dia masih belum tua benar dan amat lihai, sungguh pun aku
tidak percaya akan lebih lihai dari Subo."
"Dan
siapakah datuk-datuk yang lain, Kiang pangcu?"
"Yang saya
ketahui hanya tiga orang. Pertama adalah Subo, ke dua Siang-tok Mo-li, dan ke
tiga Ban-tok Coa-ong. Yang dua orang lagi entah siapa. Akan tetapi, saya
sendiri juga belum pernah bertemu dengan mereka dan hanya mendengar dari Subo
saja. Sudahlah, kita tidak perlu membicarakan mereka, bahkan Subo sendiri
pernah melarang saya untuk menyebut-nyebut nama mereka. Menurut desas-desus,
dengan menyebut nama mereka saja sudah cukup untuk mengundang mereka."
"Ihhh...!"
Ouw Ciang Houw yang berwatak kejam itu merasa ngeri!
"Siancai...
ketua kami ingin sekali dapat mengadakan kontak dengan para datuk.
Mudah-mudahan melalui hubungan dengan Kwi-eng-pai, kami akan bisa pula
menghubungi para datuk yang lain," kata Loan Khi Tosu.
Percakapan
segera dihentikan. Mereka mengaso dan Kun Liong yang amat tertarik akan
percakapan tadi pun mencoba untuk tidur. Akan tetapi dia tidak dapat tidur.
Percakapan tadi membuat dia teringat pada Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, kakek
yang mengerikan seperti ular itu. Si Raja Ular (Coa ong) itu patut menjadi
datuk kaum sesat, kekejamannya luar biasa, lebih-lebih puteranya yang bernama
Ouwyang Bouw itu.
Meremang
bulu tengkuk Kun Liong kalau dia teringat akan ayah dan anak raja ular itu.
Kepalanya kini menjadi gundul gara-gara ayah dan anak itulah. Setelah ia
digigit oleh ular beracun dan terkena jarum beracun Ouwyang Bouw, rambutnya
rontok semua! Kelak dia harus memberi hajaran kepada Ouwyang Bouw agar tidak
ada orang yang dibikin gundul seperti dia lagi, memberi hajaran sampai bertobat
betul-betul baru dia mau sudah!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment