Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 18
TUBUH
atasnya tidak berbaju, telanjang memperlihatkan kulit yang putih kemerahan,
dada yang bidang dan terhias bulu-bulu pirang yang lembut. Kedua lengannya
berotot dan di lehernya masih terbelit kain leher, tubuh bawahnya memakai
celana dengan sabuk kulit. Rambutnya yang pirang itu masih rapi, matanya penuh
semangat, mata yang warnanya biru itu memandang tajam dan dengan sikap angkuh
melirik ke arah Li Hwa.
Akan tetapi
begitu dia mengenal gadis itu, sikap angkuhnya lantas berubah. Kedua lengan
yang tadinya bersedakap dengan sikap tak acuh segera dilepaskan dan dia
membalikkan tubuh memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan bibir
membentuk senyum. Dagu yang terbelah dua itu bergerak-gerak menandakan bahwa
perasaannya bergelora ketika dia bertemu dengan dara ini.
"Nona
Souw...! Ahh, betapa gembira hatiku melihat nona dalam selamat dan tidak
terluka dalam perang yang dahsyat itu."
Kedua pipi
Li Hwa menjadi merah. Alangkah anehnya pemuda asing ini, dalam keadaan terluka
dan tertawan masih menyatakan kegembiraannya bahwa dirinya selamat! Padahal
dialah yang memimpin pasukan yang menghancurkan pemberontakan dan yang sudah
menawan pemuda itu.
"Kau...
kau terluka...!" Li Hwa melirik ke arah dada yang terbalut itu, akan
tetapi segera mengalihkan pandangan. Tidak kuat dia terlalu lama memandang dada
telanjang yang terhias bulu pirang halus itu.
"Aku...?
Ahh, hanya terluka sedikit. Kau hebat sekali, Nona. Baru saja dikalahkan,
tetapi sudah cepat sekali dapat menyusun kekuatan dan sebaliknya menghancurkan
kami. Aku benar-benar kagum!" Sepasang mata biru itu benar-benar
memandangnya penuh kagum, tanpa disembunyikan lagi penuh kagum dan penuh sayang
yang dirasakan benar oleh Li Hwa, membuat dia makin tertunduk dengan hati
bingung.
"Mengapa
kau menolak makanan? Dalam keadaan seperti ini, menyesal sekali kami tidak
dapat menyediakan hidangan yang lebih baik."
Muka pemuda
itu menjadi merah dan dia kelihatan tersipu malu, kemudian menjawab,
"Maafkan aku Nona. Sebetulnya bukan hidangannya yang menjadi soal, akan
tetapi ada dua hal yang membuat aku sengaja bersikap buruk menolak makanan.
Pertama, karena sikap para penjaga yang amat menghina sehingga aku lebih senang
kelaparan dari pada menerima hidangan seperti orang memberi kepada anjing. Dan
ke dua, dalam keadaan tertawan dan tidak berdaya seperti ini, apa lagi yang
kuharapkan? Tidak urung aku akan dihukum mati dan aku tidak ingin memperpanjang
hidup seperti ini. Kalau pintu kamar ini dibuka, aku akan mengamuk sampai mati.
Aku telah meninggalkan kapalku di mana aku menjadi kaptennya, berarti aku akan
mati konyol di sini. Ahh... semua ini adalah karena Ayah telah keliru
menyewakan kapal kepada petualang-petualang seperti keluarga Selado itu."
Li Hwa
merasa tertarik sekali. Pemuda ini bukanlah orang biasa, bukan pula orang
jahat.
"Di
mana kapalmu?"
"Di
tepi teluk Po-hai. Ahh, betapa ingin aku mati di atas kapalku sebagai seorang
kapten yang tak terpisahkan dari kapal yang dikuasainya."
Hening
sejenak dan beberapa kali mereka saling berpandangan.
"Yuan..."
Wajah pemuda
itu berseri mendengar namanya disebut oleh bibir yang dikaguminya itu.
"Apa
yang hendak kau katakan, Li Hwa?"
"Kau
pernah menyelamatkan aku, membebaskan dari tawanan bangsamu. Maka jangan kau
khawatir, aku pasti akan berusaha untuk membebaskanmu untuk membalas budimu
itu."
"Jangan...!"
Yuan de Gama cepat memegang kedua tangan Li Hwa yang memegangi ruji besi.
"Jangan kau korbankan dirimu untukku, Li Hwa!"
Untuk
sejenak Li Hwa membiarkan jari-jari tangan pemuda asing itu menggenggam kedua
tangannya yang kecil. Kemudian secara perlahan-lahan ia menarik kedua tangannya
dan berkata, "Jangan khawatir, aku tak akan membebaskanmu dengan cara
menggelap, akan tetapi terang-terangan."
"Akan
tetapi... ada empat orang temanku yang kini juga tertawan. Aku tidak takut mati
terhukum, akan tetapi jika engkau membebaskan aku dan empat orang temanku itu
tidak dibebaskan, tentu aku akan dianggap sebagai pengecut. Tidak, Li Hwa,
terima kasih atas kebaikanmu..."
Li Hwa makin
kagum. Tepat perkiraannya bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Seorang
yang halus tutur sapanya, baik budi bahasanya, juga tampan dan gagah serta
memiliki setia kawan yang besar.
"Kalau
begitu, aku akan membebaskan pula empat orang temanmu itu."
Yuan de Gama
membelalakkan matanya dan memandang Li Hwa yang sudah melangkah pergi dari
tempat itu.
"Wanita
yang hebat... betapa aku cinta kepadamu...." bisiknya.
Lapat-lapat
dia mendengar perintah diucapkan oleh dara itu kepada kepala penjaga, dan
agaknya dara itu menegur para penjaga yang bersikap kasar karena buktinya, tak
lama kemudian kepala penjaga sendiri datang membawa hidangan dengan sikap
biasa, tidak memperlihatkan sikap menghina seperti yang sudah-sudah.
Oleh karena
maklum bahwa semua ini adalah hasil usaha dara yang dicintanya, biar pun
hidangan itu masih serupa, sangat sederhana, Yuan de Gama lalu makan dengan
lahap, kadang-kadang tersenyum dan matanya bersinar-sinar penuh bahagia.
Dia bukan girang
mengingat bahwa dia akan dibebaskan sungguh pun hal ini merupakan berita yang
sangat mengejutkan dan baik. Akan tetapi yang amat menggirangkan hatinya adalah
bahwa yang akan membebaskannya adalah Souw Li Hwa, yaitu dara yang telah
menjatuhkan hatinya karena kegagahan dan kecantikannya.
Bukankah hal
itu mendatangkan harapan dalam hatinya bahwa cinta kasihnya tak sia-sia, bahwa
setidaknya dara itu juga menaruh perhatian kepada dirinya? Tentu saja dia belum
berani mengharapkan bahwa Li Hwa mencintanya. Hal ini merupakan ketidak
mungkinan. Li Hwa adalah murid Panglima Besar The Hoo, mana mungkin jatuh cinta
kepadanya, seorang pemuda asing yang dianggap bangsa ‘biadab’ oleh para
pribumi? Akan tetapi belum tentu, bantah suara hatinya. Cinta kasih mengalahkan
apa pun di dunia ini!
Sementara
itu, di dalam pondok yang dipergunakan sebagai pusat komando dan ditinggali
untuk sementara oleh para pemimpin pasukan termasuk Li Hwa dan Tio Hok Gwan,
dara itu bercakap-cakap dengan pengawal tua pengantuk itu.
"Nona
Souw, apakah sudah kau pikir baik-baik keputusanmu untuk membebaskan para orang
asing yang menjadi tawanan itu?" tanya Tio Hok Gwan sambil mengerutkan
alisnya.
"Sudah
saya pertimbangkan masak-masak, Lopek, dan saya berani menanggung semua
akibatnya. Dalam penyerbuan pertama, saya kurang hati-hati, pingsan oleh
ledakan dan tertawan musuh. Dalam keadaan tidak berdaya sama sekali itu, saya
telah ditolong oleh Yuan de Gama. Kini dia sendiri menjadi tawanan kita, maka
sudah sepatutnya kalau saya membalas kebaikannya dan membebaskannya."
"Akan
tetapi empat yang lain?"
"Lopek,
andai kata engkau menjadi tawanan musuh, saya akan rela menukarkan Lopek dengan
sepuluh orang tawanan dari pihak musuh. Maka, saya menganggap bahwa saya sudah
ditukar dengan Yuan de Gama dan empat orang temannya. Saya kira hal itu tidak
terlalu merugikan kita. Di samping itu, kita hanya berurusan dengan para
pemberontak. Merekalah yang harus kita hukum. Orang-orang asing itu hanyalah
pedagang-pedagang, apa bila kita menawan mereka, berarti kita melibatkan
pemerintah ke dalam permusuhan dengan bangsa dan negara lain."
Tio Hok Gwan
mengelus dagunya dan menarik napas panjang. "Hemm, semenjak dahulu aku tak
mengerti tentang urusan pemerintah. Yang jelas saja, andai kata engkau tertawan
oleh musuh, dengan rela aku tentu akan menukar pembebasanmu dengan pembebasan
sepuluh orang musuh yang tertawan olehku, Nona. Karena itu terserah, lakukan
apa yang kau kehendaki."
Lega hati Li
Hwa setelah mendapat persetujuan rekannya itu, meski pun dia tahu bahwa
perbuatan membebaskan tawanan ini adalah tanggung jawabnya sendiri. Malam hari
itu dia sendiri mengawal lima orang tawanan keluar dari tempat tahanan dan
menuju ke luar kota. Setiba mereka di luar pintu gerbang dusun itu, empat orang
teman Yuan de Gama mendahului pergi sedangkan Yuan de Gama berhenti dan bicara
dengan Li Hwa.
"Nona
Souw... tak tahu aku bagaimana aku harus berterima kasih kepadamu..."
"Yuan,
tak perlu berterima kasih. Aku hanya membalas budimu."
"Li
Hwa, ketika aku membebaskanmu, hal itu lain lagi kedudukannya. Engkau terancam
oleh kekejian niat Hendrik, maka aku harus membebaskanmu atau membebaskan
wanita mana saja yang terancam olehnya. Akan tetapi aku adalah seorang tawanan
resmi..."
"Sudahlah,
tidak perlu kita bicara tentang itu."
"Li
Hwa, betapa akan kagum hati Ayah dan adik perempuanku kelak kalau mendengar penuturanku
tentang dirimu. Mereka akan datang menyusul dengan kapal lain."
"Engkau
punya adik perempuan? Tentu cantik sekali..."
"Cantik
jelita seperti bidadari, Li Hwa. Akan tetapi... ahh, tidak secantik
engkau..."
"Hemmm,
ceritakan tentang dia." Li Hwa memotong dan mukanya terasa panas.
"Ayahku
adalah Richardo de Gama, seorang duda yang sudah tua dan seorang juragan kapal
di negara kami. Adikku bernama Yuanita de Gama, berusia sembilan belas tahun.
Kapal Kuda Terbang milik Ayah telah disewa oleh Legaspi Selado..."
"Hemm,
pimpinan orang asing yang membantu pemberontak?"
Yuan menarik
napas panjang. "Memang demikianlah. Akan tetapi... dia adalah guruku.
Legaspi Selado adalah seorang bekas panglima di negeri kami, seorang perantau
yang sudah menjelajah banyak negara dan sudah belasan tahun tinggal di India
dan Nepal, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Hendrik Selado adalah
puteranya. Ketika guruku itu menyewa kapal Ayah, tentu saja Ayah tidak
mengetahui bahwa kapalnya dan anaknya akan dibawa oleh Legaspi Selado terlibat
dalam urusan pemberontakan di negeri ini. Aku merasa menyesal sekali karena
sebagai muridnya, aku tak bisa membantah perintahnya. Aku merasa sangat
menyesal bahwa guruku bersekutu dengan pemberontak di negeri yang indah dengan
rakyatnya yang ramah. Akan tetapi aku pun merasa bahagia karena hal ini
memungkinkan aku berjumpa dengan engkau, Li Hwa."
"Hemm..."
Li Hwa tidak mampu menjawab dan merasa betapa mukanya semakin panas. Untung
malam itu cukup gelap sehingga tidak tampak dua titik air mata membasahi bulu
matanya.
"Aku
cinta kepadamu, Li Hwa. Demi Tuhan, aku cinta kepadamu, dan apa bila keadaan
mengijinkan... tidak dalam keadaan sebagai musuh dalam perang, alangkah ingin
hatiku untuk meminangmu kepada orang tuamu, sebagai isteriku..."
Tiba-tiba Li
Hwa terisak, tak dapat menahan keharuan hatinya karena selain pernyataan Yuan
itu mengharukan, juga dia diingatkan kepada orang tuanya yang telah tiada.
"Li
Hwa... maafkan aku... ah, harap jangan menangis, sayang..." Yuan segera
merangkul pundak dara itu penuh kasih sayang.
Sejenak Li
Hwa membenamkan kepalanya di dada pemuda itu. Setelah keharuan hatinya agak
mereda, dia cepat merenggangkan diri dan berkata lirih, "Yuan, ayah
bundaku telah meninggal dunia. Aku yatim piatu..."
"Aduhhh...
maafkan aku, Li Hwa... kau kasihan sekali."
"Tidak,
Yuan. Aku telah mempunyai pengganti orang tuaku, yaitu guruku, Panglima Besar
The Hoo yang bijaksana. Karena ini pula, maka harap kau jangan melamun yang
bukan-bukan. Aku adalah murid dan seperti anak sendiri dari Panglima Besar The
Hoo, panglima dan pahlawan negara kami, sedangkan kau... biar pun di dalam
hatimu kau tidak setuju, akan tetapi engkau adalah seorang di antara
orang-orang yang membantu pemberontak. Dan aku adalah seorang asing. Tidak
mungkin lagi bicara tentang jodoh."
"Akan
tetapi... kalau aku tidak salah menduga... bukankah engkau pun cinta kepadaku,
Li Hwa? Sungguh pun masih ragu-ragu, dan mungkin hanya sedikit, tidakkah kau
cinta pula kepadaku seperti aku mencintaimu dengan sepenuh jiwa ragaku?"
"Sudahlah,
jangan bicara tentang itu, Yuan. Kau tahu bahwa aku suka kepadamu karena kau
adalah orang yang sangat baik dalam pandanganku. Pergilah, kita bersahabat
dalam kenangan saja!"
"Li
Hwa...!" Yuan meloncat ke depan, menjatuhkan diri berlutut dan memegang
kedua tangan Li Hwa. "Mungkinkah hal ini? Mungkinkah cinta kasih
dihancurkan dan diputuskan secara demikian saja? Hanya disebabkan kedudukan
kita? Li Hwa, cinta kasih tidak dapat dikalahkan oleh apa pun juga. Bahwa
kematian pun tidak akan dapat mengalahkan cinta kasih. Aku cinta padamu, Li
Hwa, apa pun yang akan terjadi!"
"Yuan...!"
Dengan hati terharu, di luar kesadarannya jari tangan Li Hwa memegang tangan
pemuda itu erat-erat.
"Li
Hwa, sayang...!" Yuan bangkit berdiri, memeluk dara itu dan sebelum Li Hwa
mampu menguasai dirinya, mulutnya sudah dicium dengan penuh kemesraan oleh
pemuda itu.
Sejenak Li
Hwa menjadi lemas, tidak dapat menguasai dirinya dan hatinya yang berdebar tak
karuan, kemudian, ketika Yuan merenggangkan bibir untuk bernapas, dia mendorong
dada yang tak berbaju itu sambil meloncat ke belakang.
"Yuan,
jangan!"
Mendengar
bentakan ini, Yuan hanya mengulurkan kedua lengannya. Akan tetapi Li Hwa
melangkah mundur dan berkata, "Yuan, aku suka kepadamu, akan tetapi aku
pun melihat jelas hubungan antara kita tidak mungkin dilanjutkan dan kalau kau
memaksa, aku akan menganggap engkau sama saja dengan Hendrik..."
"Li
Hwa! Engkau tahu bahwa cintaku kepadamu murni dan aku bersumpah tidak akan
meninggalkan bumi Tiongkok dalam keadaan bernyawa bila aku tidak bisa menggandeng
engkau sebagai isteriku yang tercinta. Li Hwa, selamat berpisah dan sampai
jumpa pula." Pemuda ini membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi menyusul
teman-temannya.
Li Hwa
berdiri seperti arca di tempat itu, pipinya basah air mata. Diangkatnya
perlahan tangan kanannya menyentuh bibir yang masih berdenyut panas oleh ciuman
pemuda itu. Kemudian ia terisak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya dan
menunduk, dari mulutnya terdengar bisikan bingung, "... aku cinta
padanya... aihhh... aku cinta padanya..."
***************
Kun Liong
berjalan seorang diri memasuki hutan lebat itu. Berkali-kali dia menghela napas
panjang bila dia mengenangkan semua pengalamannya. Kenapa nasibnya demikian
sial?
Sejak
sepuluh tahun lebih yang lalu dia meninggalkan rumah orang tuanya di Leng-kok,
dia selalu mengalami bermacam kesialan dalam hidupnya. Akhir-akhir ini pun tak
pernah ada hasil baik dalam setiap usahanya.
Mencari ayah
bundanya masih belum ada hasilnya sama sekali. Mencari dua buah benda pusaka
Siauw-lim-pai juga masih belum berhasil. Bahkan bokor emas yang sudah berada di
tangannya, terpaksa harus dia serahkan kepada Kwi-eng Niocu!
Sekali ini
dia tidak mau gagal lagi. Sekarang dia akan pergi ke Kwi-ouw, memasuki pulau
yang menjadi sarang Kwi-eng-pang. Secara terang-terangan dia akan menemui
Kwi-eng Niocu minta dua benda pusaka Siauw-lim-pai, bokor emas milik Panglima
The Hoo, dan bertanya siapa yang membunuh Thian Lee, sekalian menegur
Kwi-eng-pang yang sudah mengacau di Siauw-lim-si! Setelah itu, baru dia akan
mencurahkan semua perhatiannya untuk mencari ayah bundanya.
Ketika dia
tiba di tengah hutan, tiba-tiba Kun Liong mendengar suara ribut-ribut banyak
orang. Cepat dia menuju ke tempat suara itu dan di sebuah tikungan tampaklah
olehnya seorang kakek tua duduk bersila di atas sebuah batu besar dikurung oleh
dua puluh orang lebih yang mengeluarkan suara ribut-ribut tadi.
Kun Liong
menyelinap di balik sebuah pohon tak jauh dari tempat itu dan memandang penuh
perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang
sudah berwarna putih digelung ke atas. Melihat cara dia berpakaian dan melihat
sanggul rambutnya, tentu dia seorang pertapa atau seorang pendeta To. Di
punggung kakek itu tergantung sebuah buntalan kain kuning yang besar. Kakek itu
duduk bersila diam seperti orang tidur, duduk dengan tegak dan kedua tangan di
atas pangkuannya, agaknya sama sekali tidak mendengar suara ribut-ribut dari
orang-orang yang mengurungnya.
"Hee,
Kakek tua bangka! Apa kau sudah mampus?"
"Tosu
hidung kerbau! Serahkan buntalan di punggungmu!"
"Kita
ambil bungkusannya dan pakaian yang dipakainya!"
"Benar!
Kita tinggalkan dia telanjang bulat di sini, ha-ha-ha!"
Dalam
pandangan Kun Liong yang sudah menjadi marah sekali, tingkah dua puluh orang
itu seperti segerombolan anjing liar.
"Dia
diam saja, berarti menghina kita! Biar kuhantam kepalanya!" Salah seorang
di antara mereka berteriak, tangannya bergerak memukul kepala kakek itu.
"Desss...!
Auuduhhh... tanganku..." Orang itu meringis dan mengaduh-aduh memegangi
kepalan tangan kanannya yang tadi menghantam kepala itu dan menjadi bengkak.
"Dia
melawan! Bunuh saja!"
Orang-orang
kasar itu adalah perampok-perampok rendahan yang biasanya mengganggu orang
lewat di hutan yang lebat dan amat sunyi itu. Kini mereka telah mencabut
senjata, masing-masing ada golok, pedang dan toya, dan beramai-ramai mereka
menerjang kakek yang duduk bersila tanpa bergerak itu.
"Heiii...!
Kalian jahat...!" Kun Liong cepat keluar dari tempat persembunyiannya
tetapi dia terlambat, karena senjata-senjata itu telah menyambar ke arah tubuh
si kakek tua seperti hujan.
Dan
akibatnya, orang-orang itu langsung mundur ketakutan karena semua bacokan yang
mengenai tubuh kakek itu membuat senjata mereka terpental sedangkan tubuh kakek
itu sedikit pun tidak terluka, seakan-akan mereka menyerang sebuah arca baja
yang amat kuat. Hanya pakaian kakek itu yang terobek di sana-sini.
"Siluman...
dia siluman...!"
"Wah,
golokku malah rompal..."
"Toyaku
bengkok!"
"Celaka...!
Dia setan..."
Orang-orang
kasar itu ketakutan dan tiba-tiba mereka mendengar bentakan Kun Liong yang
sudah melompat dekat, "Kalian ini manusia-manusia kejam!"
Ketika
mereka menoleh dan melihat Kun Liong mereka makin kaget.
"Wah
ini tentu temannya!"
"Setan
gundul...!"
"Lari
kawan-kawan...!"
Maka larilah
dua puluh orang lebih itu tunggang-langgang sebab kesaktian kakek itu telah
membuat mereka benar-benar menyangka bahwa Si Kakek adalah sebangsa setan, dan
pemuda gundul yang muncul itu adalah setan gundul.
Kun Liong
menjadi geli menyaksikan tingkah mereka itu dan dia tertawa. Akan tetapi dia
segera menghentikan suara tawanya pada saat mendengar suara halus di
belakangnya, "Mereka itu patut dikasihani, bukan ditertawakan."
Kiranya
kakek itu telah membuka matanya, akan tetapi masih tetap duduk bersila di atas
batu. Sejenak mereka berpandangan dan diam-diam Kun Liong merasa terkejut
melihat sinar mata kakek itu. Biar pun orangnya sudah amat tua, akan tetapi
sinar matanya tajam bukan main.
"Totiang,
pakaianmu robek-robek..."
Kakek itu
menunduk dan memandangi bajunya yang robek di sana-sini, kemudian dia tersenyum
dan menjawab, "Pakaian rusak dan robek bisa dijahit, orang muda. Akan
tetapi kalau watak yang rusak..."
"Maaf,
Totiang. Kurasa watak yang rusak pun dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri.
Saya kira tidak benar kalau dikatakan bahwa sekali rusak watak orang, selamanya
akan tetap rusak."
Kakek itu
membelalakkan matanya dan mengangguk-angguk. "Kau benar, orang muda.
Sungguh engkau aneh sekali. Engkau bukan hwesio akan tetapi kepalamu tak
berambut, agaknya engkau telah keracunan."
Tahulah Kun
Liong bahwa kakek ini seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya
karena tadi kebal terhadap senjata orang-orang kasar itu, akan tetapi hanya
sekali pandang dapat menduga bahwa dia keracunan, hal ini membutuhkan pandangan
seorang yang ahli. Maka dia lalu duduk di atas batu di depan kakek itu, juga
bersila karena dia ingin sekali bercakap-cakap dengan kakek aneh itu.
"Totiang,
mengapa Totiang tadi mengatakan bahwa orang-orang jahat itu bahkan patut
dikasihani?"
"Orang
muda, dahulu aku memang seorang tosu, akan tetapi semenjak aku menyadari bahwa
ikatan terhadap sesuatu agama merampas kebebasanku, aku bukanlah seorang tosu
lagi. Namun tidak mengapa kalau kau menyebutku Totiang karena semua sebutan
adalah kosong, dan nama bukanlah menunjukkan keadaan yang dinamainya. Aku
merasa kasihan kepada mereka karena mereka itu buta akibat nafsu keinginan
mereka. Kita hidup biasanya menjadi boneka permainan nafsu keinginan kita
sendiri, tidak menyadari bahwa nafsu keinginan, betapa pun baiknya menurut
pendapat orang, tetap saja merupakan penyeret ke arah kesesatan dan kepalsuan,
maka akhirnya hanya akan mendorong kita ke dalam lembah kesengsaraan."
"Akan
tetapi, Totiang. Apakah semua perbuatan yang mengandung keinginan itu buruk?
Bagaimana kalau keinginan yang terkandung dalam perbuatan itu merupakan
keinginan yang baik?"
"Baik
dan buruknya keinginan hanya tergantung Si Penilai, padahal sesungguhnya sama
saja. Keinginan tetaplah keinginan, merupakan hasrat dari seseorang untuk
mendapatkan sesuatu. Keinginan yang bersembumyi di balik sebuah perbuatan
dinamakan pamrih dan perbuatan itu akan menjadi perbuatan paisu kalau
berpamrih."
"Mengapa
palsu, Totiang?"
"Kalau
kita melakukan suatu perbuatan dan ada pamrihnya, bukankah si pamrih itu yang
penting, bukan si perbuatan? Padahal kita harus tahu apa pamrih itu! Apakah
sebenarnya pamrih itu? Bukankah pamrih itu adalah keinginan untuk menguntungkan
diri sendiri, baik lahiriah mau pun batiniah? Dengan pamrih maka perbuatan itu
adalah munafik, pura-pura, hanya dijadikan jembatan untuk memperoleh yang
diinginkannya. Katakanlah perbuatan menolong. Kalau menolong dengan ada pamrih,
apakah itu menolong namanya? Apa bila yang dipamrihkan atau yang diinginkan
untuk didapat itu tidak ada, apakah masih mau menolong? Hati-hati orang muda,
jangan kita tertipu oleh pikiran kita yang pandai sekali memabokkan kita dengan
segala macam ujar-ujar mau pun pelajaran yang kita kenal dari kitab-kitab.
Bukalah mata dan mengenal dirimu sendiri, mengenal segala gerak hati dan
pikiranmu, bukan hanya mengenal wajahmu, dan baru engkau akan bisa melihat
betapa segala macam kepalsuan diciptakan oleh pikiran. Pikiran memperkuat si
aku, dan sekali kita dikuasai oleh ini, segala macam gerakan dalam hidup ini
ditujukan demi keuntungan si aku, sehingga seperti perbuatan mereka tadi,
sering kali menimbulkan kekerasan dan pertentangan."
Kun Liong
mengangguk-angguk. Walau pun belum jelas benar, namun dia merasa dapat melihat
dan mengerti isi pembicaraan itu.
"Jadi
untuk menguasai pengaruh nafsu keinginan, maka orang-orang seperti Totiang ini
lalu bertapa, dan menekan segala macam nafsu?"
Kakek itu
menggeleng kepalanya. "Bertapa menjauhkan diri dari dunia ramai, apa bila
hal itu dilakukan untuk menghindarkan nafsu keinginan, adalah perbuatan yang
sama sekali salah. Nafsu keinginan timbul dari pikiran sendiri, penciptanya
adalah diri sendiri. Betapa mungkin kita melarikan diri dari nafsu keinginan?
Meski pun kita melarikan diri ke puncak Himalaya, nafsu keinginan takkan pernah
dapat kita tinggalkan, bahkan melarikan diri ke puncak Himalaya itu pun telah
merupakan pelaksanaan keinginan kita, bukan? Keinginan untuk menghindar dari
nafsu keinginan!"
"Jadi
harus ditekan setiap kali nafsu keinginan timbul, Totiang?"
Kembali
kakek itu menggelengkan kepala. "Sekali kita mengalahkan nafsu, maka
setiap kali kita harus mengalahkan nafsu itu. Sekali kita menekan, harus setiap
kali kita kembali menekannya. Nafsu yang ditekan mirip seperti kuda yang
dipasangi kendali, harus selalu dikendalikan. Nafsu yang ditekan seperti api
dalam sekam, setiap kali bisa berkobar lagi. Tiada gunanya melarikan diri dari nafsu,
tiada guna pula menekannya. Yang penting kita menghadapinya, mengawasinya, dan
mengerti akan nafsu keinginan kita, mengawasinya tanpa menyetujui, tanpa
menentang, hanya mengawasi saja tanpa memikirkannya. Sebab sekali pikiran
masuk, lantas kita menyetujui, menentang atau pun mengambil kesimpulan, maka
terciptalah si aku yang mengawasi si nafsu dan timbul pertentangan! Akan tetapi
tanpa adanya si aku dan si nafsu, yang ada hanya pengawasan itu sendiri dan di
sana tidak akan ada lagi nafsu keinginan!"
Kun Liong
mengerutkan alisnya. Baru sekali ini dia mendengar itu. Dia mencari ke dalam
dirinya sendiri berdasarkan keterangan kakek itu. Kemudian dia bertanya,
"Akan tetapi, Totiang. Biasanya setiap gerak perbuatan kita didorong oleh
suatu keinginan tertentu. Bila nafsu keinginan tidak ada, habis apa yang
menjadi dasar dan pendorong perbuatan kita?"
"Lakukan
saja maka engkau akan menyatakan sendiri, orang muda! Engkau akan melihat
perbuatan yang wajar, bersih tanpa pamrih karena perbuatan itu hanya bergerak
dalam kasih."
"Kalau
begitu, Kasih adalah kebalikan atau lawan dari Nafsu Keinginan, Totiang?"
"Kukira
tidak demikian, orang muda. Kasih bukanlah lawan Nafsu, tetapi untuk mengenal
kasih, nafsu haruslah pergi. Nafsu keinginan menimbulkan iri, dengki, benci dan
kecewa. Untuk mengenal nafsu, maka iri, dengki, benci, kecewa ini harus tidak
ada. Akan tetapi bukan berarti bahwa Cinta Kasih adalah kebalikan dari semua
itu."
Hening
sejenak. Kun Liong memejamkan matanya. Tiba-tiba saja dia mengangkat muka memandang
kakek itu yang juga menatapnya dengan senyum halus penuh keagungan.
"Totlang
siapakah?"
"Dulu
orang memanggilku Kiang Tojin, Ketua dari Kun-lun-pai, akan tetapi sekarang aku
hanyalah seorang pengembara yang menikmati hidup dalam alam yang amat indah
ini."
Kun Liong
terkejut sekali dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut. "Harap
Locianpwe sudi memaafkan teecu yang bersikap kurang hormat kepada
Locianpwe."
Kakek itu
tertawa, menyentuh pundak pemuda itu dan menyuruhnya bangkit. "Duduklah
kembali seperti tadi, orang muda. Lihat, alangkah palsunya segala perbuatan
kita dalam hidup, karena kita telah menjadi boneka-boneka yang digerakkan oleh
segala tradisi dan pengetahuan mati. Engkau tadi bersikap biasa kepadaku,
kemudian sesudah mengetahui bahwa aku Kiang Tojin dari Kun-lun-pai, engkau lalu
merobah sikap dan menghormatiku berlebih-lebihan! Kepada kakek biasa engkau
bersikap biasa, tetapi kepada kakek Ketua Kun-lun-pai engkau bersikap
menghormat. Kenapa ada perbedaan ini? Kenapa kita selalu memandang rendah pada
orang biasa dan memandang tinggi pada orang yang dianggap pandai atau
berkedudukan tinggi? Bukankah kenyataan hidup yang membelenggu cara hidup kita
ini merupakan pelajaran yang dapat membuka mata dan berharga sekali untuk
dimengerti? Apa bila kita membuka mata, orang muda, maka setiap lembar daun
kering yang rontok, setiap ekor burung, hembusan angin, senyum seorang
anak-anak, setitik air mata seorang wanita, semua itu dapat menjadi guru bagi
kita! Hidup berarti berhubungan dengan sesuatu, baik makhluk hidup mau pun
benda mati. Kalau selalu membuka mata terhadap hubungan kita dengan semua yang
kita hadapi setiap hari, dan kita membuka mata terhadap tanggapan kita akan
hubungan kita dengan semua itu setiap saat, maka kita akan mengenal diri sendiri.
Dan mengenal diri sendiri merupakan langkah pertama kepada kebijaksanaan, orang
muda."
"Teecu
menghaturkan terima kasih atas segala wejangan Locianpwe yang berharga
ini."
Kakek itu
tersenyum lebar. "Tak ada yang mewejang dan tidak ada yang diwejang, orang
muda. Engkau adalah muridnya dan engkau pula gurunya, dan seluruh isi alam ini
adalah guru yang dapat memberikan petunjuk. Sudah terlampau lama aku duduk di
sini, mari kita bejalan-jalan menikmati keindahan alam, orang muda. Cobalah
engkau membuka mata untuk melihat segala keindahan itu tanpa penilaian dan
tanpa perbandingan. Belajarlah menggunakan mata sebagaimana sewajarnya dan
jangan biarkan pikiran mengaduk dan mengacaunya maka engkau akan melihat."
Mereka kini
berjalan perlahan-lahan di dalam hutan itu. Kun Liong menggunakan matanya
memandang dan nampaklah olehnya keindahan alam yang menyejukkan hati dan yang
serba baru, lain dari pada sebelumnya! Pohon-pohon besar dengan daun-daun yang
hijau segar, seperti bernapas ketika angin menghembus, daun-daun kering yang
membusuk di bawah pohon, menjadi pupuk bagi pertumbuhan pohon. Pohon berbunga,
bunga berbuah, buah akan tua dan jatuh, membusuk di atas tanah kemudian berseri
dan tumbuh menjadi pohon!

Tidak ada
yang baik tidak ada yang buruk, semua indah, semua berguna, semua hidup menurut
kewajaran masing-masing, akan tetapi semuanya merupakan kesatuan yang tak
terpisahkan. Semua itu, pohon, rumput, burung, awan, dia sendiri, kakek itu,
semua itu merupakan kesatuan. Hanya pikiran yang memisah-misahkan hingga timbul
pertentangan dan bentrokan yang dimulai dari dalam diri sendiri, kemudian
tercetus ke luar menjadi pertentangan antara manusia, antara golongan, antara
bangsa dan antara ras!
"Locianpwe,
teecu Yap Kun Liong selama hidup baru sekarang ini mengalami seperti di pagi
ini!" Kun Liong tak dapat menahan dirinya berseru.
Kakek itu
menoleh dan tersenyum, akan tetapi senyumnya mengandung keheranan.
"Namamu
Yap Kun Liong? Mengingatkan aku akan seorang she Yap... kalau tidak salah dia
adalah sahabat baik Cia Keng Hong-taihiap..."
"Aihh!
Dia adalah ayah teecu, Locianpwe. Ayah teecu bemama Yap Cong San."
"Haiii,
sungguh kebetulan sekali. Kiranya engkau adalah puteranya? Bagaimana dengan
ayahmu sekarang?"
Kun Liong
menghela napas. "Sudah sepuluh tahun lebih teecu tidak pernah bertemu lagi
dengan Ayah dan Ibu." Kemudian dengan singkat dia menceritakan riwayatnya,
namun yang penting-penting saja.
Setelah
mendengar penuturan itu Kiang Tojin lalu berkata, "Memang demikianlah.
Hidup diombang-ambingkan antara suka duka. Semua adalah karena diri sendiri,
akan tetapi orang menyalahkannya kepada nasib."
"Memang
banyak suka duka yang teecu alami dan teecu merasa bahwa semua kesukaan itu
bukanlah kebahagiaan. Apakah Locianwe seorang yang berbahagia?"
Kakek itu
tertawa. "Kalau kau maksudkan apakah aku seorang yang tidak sengsara, maka
aku dapat mengatakan bahwa aku bukan seorang yang sengsara."
"Locianpwe,
mohon petunjuk dari Locianpwe. Bagaimanakah caranya supaya teecu dapat
berbahagia?"
"Ha-ha-ha-ha,
orang muda. Bahagia, seperti juga cinta, tidak mempunyai jalan atau cara!
Bahagia tidak dapat dikejar. Pengejaran bahagia menciptakan bermacam jalan atau
cara ini, dan pengejaran adalah kelanjutan dari nafsu keinginan memiliki
sesuatu, dalam hal ini memiliki kebahagiaan! Dan seperti telah kita bicarakan
tadi, nafsu keinginan menimbulkan iri, dengki, kecewa, benci! Apa bila kita
mengejar kebahagiaan, berarti kita menggunakan nafsu untuk mengenal bahagia.
Mungkinkah ini? Jangan engkau menanyakan cara untuk berbahagia, sebaiknya kau
cari di dalam dirimu sendiri, apa yang membuat engkau tidak berbahagia. Sesudah
mengerti apa yang membuat engkau terbebas dari penyebab tidak berbahagia, maka
perlukah kau mencari lagi kebahagiaan?"
Kun Liong
tercengang hingga tak mampu bicara lagi. Segala sesuatu telah dibentangkan oleh
kakek itu, semua persoalan telah ditelanjangi dan dia hanya tinggal membuka
mata untuk melihat!
Tiba-tiba
dari depan tampak datang serombongan Nikouw (pendeta wanita). Empat orang
memanggul sebuah joli (tandu) dan tiga orang lagi berjalan mengiringkan joli
yang tertutup sutera kuning. Para nikouw ini mengerudungi kepala gundul mereka
dengan kain kuning pula dan wajah mereka kelihatan muram. Mereka itu terdiri
dari wanita-wanita antara usia tiga puluh dan empat puluh tahun, dan sikap
mereka pendiam dan serius.
Ketika
rombongan itu tiba dekat, Kiang Tojin dan Kun Liong mendengar suara rintihan
dari dalam joli. Kiang Tojin lalu menghadang di tengah jalan, menjura sambil
bertanya, "Cu-wi, harap tahan dulu dan perkenankan saya memeriksa
penderita sakit yang Cuwi angkat, siapa tahu saya akan dapat menolongnya."
Dengan
gerakan yang cepat bukan main sehingga mengejutkan Kun Liong, ketiga orang
pengiring tandu itu meloncat ke depan. Sejenak mereka memandang tajam kepada
Kiang Tojin, kemudian seorang di antara mereka menjura dan berkata.
"Omitohud...! Bukankah pinni (saya) berhadapan dengan Kiang Tojin dari Kun-lun-pai?"
Kiang Tojin
tersenyum. "Sekarang saya telah mengundurkan diri, bukan Ketua Kun-lun-pai
lagi dan hanya menjadi seorang kakek biasa saja."
Para nikouw
itu cepat memberi hormat dan menyuruh teman-teman mereka menurunkan tandu.
Nikouw pertama memberi hormat lagi sambil berkata, "Terima kasih banyak
atas kebaikan hati Locianpwe. Memang Twa-suci (Kakak Seperguruan Pertama) kami
sedang menderita luka yang cukup parah. Akan kami tanyakan dulu kepadanya
apakah dia mau menerima pertolongan Locianpwe."
Nikouw itu
lalu menghampiri tandu, menyingkap tenda sutera sedikit dan berbisik-bisik.
Terdengar jawaban suara halus dari dalam tandu,
"Persilakan
dia untuk memeriksa nadi tanganku." Kemudian sebuah lengan yang kecil dan
berkulit putih halus diulur dari balik tenda sutera.
Melihat
lengan ini, Kiang Tojin tersenyum, melangkah ke dekat tandu kemudian berkata,
"Maafkan saya..."
Dipegangnya
pergelangan tangan itu dan tak lama kemudian dilepaskannya kembali. Dia
melangkah mundur tiga tindak, menggelengkan kepala dan berkata, "Sungguh
menyesal sekali. Luka itu diakibatkan oleh racun ular yang amat jahat dan
berbahaya, kalau tidak salah, racun dari ular yang hanya ada di Pegunungan
Himalaya, namanya Ngo-tok-coa (Ular Lima Racun). Bukankah di sekitar luka itu
terdapat warna-warna hitam, merah, biru, kuning dan hijau?"
"Benar
demikian...!" Terdengar suara halus dari balik tirai sutera.
"Ahh,
seperti telah kuduga," kata Kiang Tojin. "Sayang sekali, saya tidak
dapat mengobati luka beracun dari Ngo-tok-coa dan saya kira agak sukar untuk
mencari obat penawarnya di sini. Obat penawarnya hanyalah berburu akar pohon
ular hijau yang hanya terdapat di Himalaya, dan ke dua adalah darah ular
beracun lainnya yang cukup kuat..."
Tujuh orang
nikouw itu mengeluh, akan tetapi terdengar teguran dari dalam tandu,
"Sumoi sekalian mengapa mengeluh? Kalau ada obat penyembuhnya syukur.
Kalau tidak ada, ya sudah. Apa bedanya?"
Mendengar
ini, wajah Kiang Tojin berseri. "Perkataan yang hebat...!"
"Terima
kasih atas kebaikan Locianpwe. Sumoi, mari kita berangkat!" kembali
terdengar ucapan halus dari dalam tandu. Empat orang nikouw sudah menggotong
lagi joli itu dan hendak melangkah pergi.
"Tahan
dulu...!" Kun Liong meloncat ke depan. "Mendengar keterangan
Locianpwe tadi, aku yakin akan dapat mengobatinya!"
Mendengar
ini, para nikouw itu berhenti dan memandang pada Kun Liong dengan penuh
keraguan. Kalau kakek bekas Ketua Kun-lun-pai yang amat sakti itu saja
menyatakan tak sanggup, bagaimana hwesio muda itu menyanggupi untuk mengobati
twa-suci mereka?
Kiang Tojin
juga merasa heran, kemudian dia bertanya, "Yap-sicu, benarkah Sicu dapat
mengobatinya? Racun Ngo-tok-coa sangat lihai dan racun itu tidak dapat disedot
keluar dengan mulut karena hal itu akan membahayakan nyawa si penyedot..."
"Locianpwe,
sedikit-sedikit teecu pernah menerima pelajaran ilmu pengobatan dari ayah bunda
teecu, terutama mengenai racun ular. Teecu akan mengeluarkan racun itu dengan
tangan, kemudian akan memberi catatan obat yang tidak begitu sukar didapat,
bisa dibeli di toko obat."
Nikouw
pertama yang mengawal tandu itu sudah menjura kepada Kun Liong lalu berkata,
"Kalau Siauw-suhu dapat mengobati Twa-suci, kami sebelumnya menghaturkan
banyak terima kasih dan semoga Sang Buddha mengangkat Siauw-suhu ke tingkat
yang lebih bersih dan sempurna."
Kun Liong
meringis. Lagi-lagi dia disangka hwesio, bahkan sekali ini yang menyangkanya
adalah seorang Nikouw! Saking gemasnya dia kemudian nekat bersikap seperti
hwesio, merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, "Omitohud,
semoga saja Sang Buddha akan membantu pinceng (saya) untuk mengobati suci
kalian."
Kiang Tojin
melongo, kemudian menahan senyum dan mengerutkan alisnya mendengar ucapan dan
melihat sikap Kun Liong ini. Pemuda putera Yap Cong San ini ternyata aneh dan
ugal-ugalan sungguh pun sikap itu hanya dipergunakan untuk melucu, atau mungkin
karena mendongkol disangka hwesio!
Tapi betapa
pun juga, Kiang Tojin ingin sekali untuk melihat bagaimana caranya pemuda
gundul aneh ini mengobati luka akibat Racun Ngo-tok-coa yang dia tahu amat
hebat dan sukar disembuhkan itu. Kalau pemuda yang sikapnya ugal-ugalan ini
ternyata bermaksud mempermainkan orang sakit, mengingat pemuda itu adalah
putera Yap Cong San, maka dia patut menegur pemuda itu!
"Harap
buka tirai ini dan biarkan saya memeriksa Si Sakit," berkata Kun Liong
sambil menggerakkan tangan hendak menyentuh tirai.
"Ohhh,
jangan buka...!" terdengar seruan halus dari dalam.
Dan nikouw
pertama segera berkata kepada Kun Liong, "Harap Siauw-suhu melakukan
pemeriksaan nadi seperti yang dilakukan oleh Locianpwe tadi. Twa-suci adalah
seorang wanita, bagaimana mungkin membiarkan lengannya disentuh sambil
memperlihatkan diri? Biar pun Siauw-suhu seorang hwesio, akan tetapi tetap saja
Siauw-suhu adalah seorang laki-laki."
Lengan yang
kecil mungil dengan kulit halus putih itu sudah kembali dijulurkan ke luar dari
balik tirai. Akan tetapi Kun Liong hanya memandang saja dan tidak menyentuh
tangan itu. Dia mengomel, "Tadi Locianpwe telah memeriksa nadi dan saya
juga sudah mendengar keterangan hasil pemeriksaannya. Untuk mengobati luka
akibat racun, maka saya harus memeriksa lukanya terlebih dahulu, baru kemudian
mengeluarkan racun dari luka itu dan menentukan obatnya."
"Aihhhh...
tak mungkin...!" terdengar jerit tertahan dari dalam tandu.
Kun Liong sudah
melangkah mundur tiga tindak. "Sungguh aku tak mengerti sama sekali sikap
Si Sakit" katanya dengan alis berkerut. "Memang benar aku seorang
laki-laki dan Si Sakit seorang wanita, akan tetapi Si Sakit adalah seorang
nikouw, sedang aku seorang... hemm, katakanlah hwesio. Pula Si Sakit adalah
penderita dan aku adalah yang berusaha menolongnya. Mengapa hanya bertemu muka
saja diharamkan?"
Mendengar
suara Kun Liong yang marah, nikouw pertama segera melangkah maju dan berkata
lirih seakan-akan khawatir kalau suaranya terdengar orang lain, padahal di situ
tidak ada orang lain kecuali para nikow, Kiang Tojin dan Kun Liong sendiri.
"Harap
Siauw-suhu dapat memaafkan dan memaklumi. Tentu saja Twa-suci merasa berat dan
malu karena luka itu berada di... di sini..." Nikouw itu tidak melanjutkan
kata-katanya melainkan menepuk pinggul kanannya yang tipis.
Hampir saja
Kun Liong tertawa bergelak, akan tetapi langsung ditahannya dan dia hanya
menutupi mulut dengan tangan kanannya, kemudian berkata, suaranya menjadi
sabar, "Hemmm... sebetulnya tak perlu merasa berat dan malu. Akan tetapi
kalau memang malu, ya sudahlah."
Hening
sejenak. Tirai itu bergoyang sedikit, agaknya orang yang duduk di dalam tandu
itu mengintai ke arah Kun Liong. Kemudian terdengar lagi suara halus itu.
"Sumoi, mari kita pergi..."
Para nikouw
saling pandang dan kemudian nikouw pertama memandang kepada Kun Liong, menggerakkan
pundak dan joli itu diangkat kembali.
"Tahan
dulu...!" kini Kiang Tojin yang melangkah maju dan mengangkat tangan,
"Sungguh sikap orang-orang muda amat sulit dimengerti. Mengapa perasaan
malu yang tidak pada tempatnya itu lebih dihargai dari pada nyawa? Mengapa
tidak dapat diambil usaha yang tepat untuk pengobatan ini? Misalnya, muka Si
Sakit diberi kerudung sehingga tidak akan dikenal oleh yang mengobati, dan yang
diperlihatkan hanya sedikit bagian yang terluka saja. Dengan cara begini,
karena mukanya tidak dikenal, masih perlukah Si Sakit merasa malu-malu
lagi?"
Kembali joli
diturunkan dan sekarang para nikouw berbisik-bisik dengan penumpang joli.
Mereka mengerumuni joli dan terjadilah ‘percakapan’ bisik-bisik yang menjadi
ciri khas wanita, biar pun mereka telah menjadi nikouw berkepala gundul!
Kiang Tojin
saling pandang dengan Kun Liong, kemudian kakek itu mengangguk-angguk perlahan.
Kun Liong tersenyum dan memuji kecerdikan kakek itu yang dapat mencarikan
‘jalan keluar’ yang baik.
Kini terjadi
kesibukan di dalam joli itu. Tak lama kemudian, nikouw pertama menghadapi Kun
Liong dan berkata, "Twa-suci bisa menerima usul Locianpwe dan kini
mempersilakan Siauw-suhu untuk melakukan pemeriksaan dan mengobatinya."
Kun Liong
tersenyum lebar. Karena wajahnya memang tampan, senyumnya juga manis sekali dan
para nikouw itu mengerutkan alis, di dalam hati mereka memaki,
"Hwesio
genit!"
Pada waktu
Kun Liong mendekati joli, tirai itu disingkapkan sedikit oleh nikouw pertama,
memberi kesempatan kepada Kun Liong untuk memasukkan tubuh atasnya ke sebelah
dalam joli. Begitu memandang Kun Liong terbelalak dengan hati geli, kasihan,
dan juga kagum sekali.
Geli hatinya
melihat Nikouw di dalam itu benar-benar tidak kelihatan orangnya. Mukanya
dikerudung dan dia menelungkup di atas bangku joli sehingga yang tampak tidak
tertutup hanya sebuah pinggul kanan sehingga kelihatan lucu sekali. Dan kasihan
karena melihat pinggul itu, tepat di tengah-tengah bagian yang menggunung
melengkung, terdapat luka yang kecil saja, akan tetapi bagian itu membengkak
dan pada sekitar lubang luka kecil itu berwarna lima macam akan tetapi lebih
banyak hitam dan merahnya!
Dan yang
membuatnya kagum adalah panggul itu sendiri. Padat dan montok, tidak seperti
pinggul nikouw pertama yang tipis, pinggul ini penuh seperti buah semangka,
akan tetapi kulitnya putih halus seperti kulit bayi, demikian tipis kulitnya
sehingga terbayang jalur-jalur urat kecil berwarna merah dan biru!
Melihat
bentuk pinggul ini, timbullah dugaannya bahwa nikouw yang menjadi twa-suci ini
bukan seorang nenek tua, meski pun para sumoi-nya ada yang sudah berusia
mendekati empat puluh tahun. Memang sulit menduga usia seseorang tanpa melihat
wajahnya, akan tetapi, biar pun selama hidupnya baru satu kali dia melihat
pinggul seorang wanita muda, yaitu pinggul Li Hwa yang hanya terlihat sedikit
karena sebagian tertutup oleh air sungai, namun dia dapat melihat bahwa pinggul
yang hanya kelihatan sebelah kanan ini adalah pinggul yang amat bagus!
"Hemmm,
memang benar terkena senjata rahasia, agaknya jarum yang mengandung lima macam
racun," kata Kun Liong perlahan. Tubuh yang berkerudung itu bergerak
sedikit tanpa menjawab.
Kun Liong
mulai memeriksa. Pada saat pertama kali jari-jari tangannya menyentuh kulit
pinggul, pinggul itu tergetar hebat hingga jari tangan Kun Liong ikut pula
menggigil karena jantungnya berdebar. Baru sekali ini selama hidupnya dia
menyentuh pinggul orang, apa lagi pinggul telanjang seorang wanita! Dia
cepat-cepat menenteramkan perasaannya dan melanjutkan pemeriksaan.
Kun Liong
kaget. Ternyata jalan darah di sekeliling pinggul sudah ditotok dan dihentikan
sehingga racun itu tidak menjalar jauh, dan juga ada tenaga sinkang yang
menahan dari sebelah dalam untuk mendorong racun itu tetap berdiam di dalam
pinggul itu saja dan tidak menjalar. Kiranya nikouw berkerudung ini adalah
seorang yang memiliki kepandaian tinggi!
"Harap
jangan mengerahkan sinkang. Saya hendak mengeluarkan jarum dan racun. Bisa
berbahaya kalau Suthai (sebutan pendeta wanita) mengerahkan sinkang."
Kerudung di
bagian kepala itu mengangguk dan Kun Liong melihat dua buah mata dari lubang di
kerudung itu, sepasang mata yang jeli bening, dan tajam bukan main!
Kun Liong
lalu menempelkan telapak tangannya menutupi luka itu. Telapak tangannya merasa
alangkah halus dan hangatnya bagian tubuh itu. Dia harus melenyapkan pikiran
yang menimbulkan guncangan pada hatinya ini, dan mulailah dia mengerahkan
sinkang, mempergunakan Thi-khi I-beng!
Hanya dengan
ilmu ini saja dia dapat mengharapkan berhasil mengeluarkan jarum dan racun. Dia
pun maklum bahwa ngo-tok merupakan campuran lima racun yang berbahaya sekali
kalau memasuki mulut, maka menyedot dengan mulut membahayakan nyawanya, tepat
seperti dikatakan Kiang Tojin tadi. Dan obat penyedot yang ampuh tidak ada,
maka jalan satu-satunya hanya mempergunakan Thi-khi I-beng.
"Ihhhh...!"
Nikouw berkerudung itu mengeluarkan seruan tertahan ketika merasa betapa dari
telapak tangan hwesio muda itu muncul tenaga sedotan yang sangat kuat dan yang
seakan-akan hendak menyedot seluruh bagian dalam tubuhnya! Secara otomatis
nikouw yang mempunyai kepandaian tinggi ini mengerahkan sinkang-nya untuk
melawan dan... tenaga sinkang-nya segera membanjir keluar tersedot oleh telapak
tangan Kun Liong.
"Ahhh,
bodoh...!" Kun Liong berseru kaget dan cepat menggunakan tenaga sinkang
yang dilatihnya dari Bun Hwat Tosu untuk dapat melepaskan telapak tangan yang
melekat dan menyedot itu. Apa bila dia tidak melakukan ini, tentu tenaga sakti
nikouw itu akan habis disedot olehnya!
Nikouw itu
terengah-engah kaget di dalam kerudungnya, dan dari luka kecil di pinggulnya
keluar darah berwarna hitam!
"Kenapa
mengerahkan sinkang?" Kun Liong mengomel.
"Maaf...
maafkan... pinni (saya) terlupa..." Nikouw berkerudung itu berkata.
"Sudahlah,
tetapi sekarang jangan terlupa lagi!" Kun Liong kembali menempelkan
telapak tangan kanannya ke kulit pinggul halus hangat yang mulai berdarah itu,
lalu mengerahkan Thi-khi I-beng.
Makin lama
darah hitam keluar makin banyak, dan akhirnya Kun Liong menarik kembali telapak
tangannya. Kini pada telapak tangannya menempel sebuah jarum kecil berwarna
merah.
"Hmmm...
jarum putera Ban-tok Coa-ong..." Kun Liong berseru keras ketika melihat
jarum itu.
"Siauw-suhu
juga mengenalnya?" Nikouw berkerudung itu bertanya sambil melirik ke arah
pinggulnya. Dari luka kecil itu kini keluar darah merah agak kekuningan, akan
tetapi tidak hitam macam tadi.
"Saya
pernah bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan puteranya yang bernama Ouwyang
Bouw."
"Pinni
memang terkena jarum yang dilepas oleh seorang laki-laki yang seperti gila dan
yang mengaku bernama Ouwyang Bouw," Nikouw itu berkata.
"Hemmm,
dia memang jahat dan kejam. Racun sudah keluar, tinggal sedikit yang dapat
disembuhkan dengan obat minum."
Kun Liong
lalu menuliskan resep obat minum dan obat luar untuk nikouw yang terluka itu.
Resep itu dituliskan di atas kain putih yang disediakan oleh para nikouw, ada pun
untuk pensilnya dia menggunakan ranting dan getah pohon.
Nikouw itu
kini duduk di dalam jolinya dan tirai di depan joli disingkapkan. Dari dua
lubang di kerudungnya, sepasang matanya yang bening memandang ke luar, ke arah
Kun Liong dan terdengar suaranya yang halus, "Pinni telah menerima budi
pertolongan Siauw-suhu, harap sudi memperkenalkan gelar (nama julukan) dan di
mana kuil Siauw-suhu."
Setelah
tugasnya mengobati selesai dengan hasil baik, sambil meneliti jarum merah pada
telapak tangannya, kemudian menyimpannya dengan hati-hati di saku bajunya
sesudah membungkuskan rapi dengan sisa robekan kain putih, Kun Liong tak dapat
menahan geli hatinya. Dia tertawa, melepaskan kegelian dan kemengkalan hatinya
karena selalu orang menyangkanya seorang hwesio!
"Ha-ha-ha!
Benarkah kepala gundul menjadi ciri khas seorang hwesio? Benarkah bentuk
pakaian menjadi ciri khas para pendeta dan pertapa? Kalau begitu, alangkah
mudahnya setiap orang mengaku hwesio dan pendeta suci! Menilai isi dengan
melihat kulitnya saja, betapa menyesatkan! Saya bukan seorang hwesio sungguh
pun secara tidak kusengaja kepalaku gundul. Nama saya Yap Kun Liong dan tidak
memiliki tempat tinggal tertentu." Dia menjura ke arah nikouw di dalam
tandu.
Para nikouw
terkejut dan muka mereka yang tidak berkerudung menjadi merah. Kiranya mereka
semua telah salah menduga dan menganggap pemuda gundul itu seorang rekan
mereka!
Nikouw di
dalam tandu lebih-lebih lagi terkejut dan merasa makin malu. Pinggulnya telah
diraba-raba oleh seorang pria muda tampan, bukan seorang hwesio yang hatinya
sudah bersih!
"Sumoi
sekalian, mari kita pergi!"
Tirai segera
ditutup dan tandu diangkat, dari dalam tandu terdengar suara halus itu,
"Yap Kun Liong-sicu, pinni menghaturkan terima kasih atas budi
pertolonganmu, semoga Thian yang akan membalasnya."
Rombongan
nikouw itu pergi dan Kun Liong berdiri memandang dengan senyum lebar dan juga
merasa sedikit curiga dan heran mengapa nikouw yang terluka itu sama sekali
tidak mau memperlihatkan mukanya! Benarkah karena tak ingin dikenal setelah
terpaksa memperlihatkan pinggulnya yang telanjang? Ataukah ada hal lain yang
membuat nikouw itu segan dikenal orang?
"Yap-sicu,
kiranya Cia Keng Hong-taihiap telah mengajarkan ilmu mukjijat Thi-khi I-beng
kepadamu!"
Kun Liong
membalikkan tubuh dengan cepat dan memandang heran. "Bagaimana Totiang
dapat mengetahuinya?"
Kiang Tojin
tersenyum lebar. "Hanya Thi-khi I-beng saja yang mampu menyedot racun dan
jarum tadi melalui telapak tangan, Sicu masih muda sudah memiliki ilmu
kepandaian tinggi, sungguh menguntungkan akan tetapi sekaligus juga berbahaya
sekali. Kalau boleh saya mengetahui, apakah Sicu menjadi murid
Cia-taihiap?"
Kun Liong
menggeleng kepalanya dan dia tahu bahwa terhadap bekas ketua Kun-lun-pai ini
dia tak perlu berbohong. "Hanya kebetulan saja Cia-supek mengajarkan
Thi-khi I-beng kepada teecu, Locianpwe. Sebenarnya teecu adalah murid dari Bun
Hwat Tosu selama lima tahun dan murid Tiong Pek Hosiang selama lima tahun
pula."
Kiang Tojin
membelalakkan kedua matanya, kemudian menarik napas panjang. "Aaihhh...
kiranya Sicu adalah murid orang-orang sakti! Kalau boleh saya bertanya,
sekarang Sicu hendak pergi ke manakah?"
"Banyak
sekali hal yang harus teecu kerjakan, Locianpwe. Pertama-tama teecu harus
mencari kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai yang dirampas oleh Kwi-eng-pang,
dan berusaha mendapatkan kembali pusaka bokor emas kepunyaan Panglima The Hoo
yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu. Ke dua, teecu harus mencari kedua orang
tua teecu yang sampai kini tidak teecu ketahui di mana adanya. Dan ke tiga...
hemmm, teecu harus mencari Ban-tok Coa-ong dan menegur puteranya atas
kekejamannya melukai nikouw tadi dengan jarum merah beracun."
Kiang Tojin
makin terkejut dan heran. "Sicu memang berkepandaian tinggi, akan tetapi
Sicu hendak menentang datuk-datuk kaum sesat, sungguh merupakan pekerjaan yang
amat berbahaya dan berat. Betapa juga, mengingat akan guru-guru Sicu, saya
tidak akan heran kalau kelak mendengar bahwa mereka itu tewas di tangan
Sicu."
"Wah,
siapa yang mau membunuh orang, Locianpwe? Teecu sama sekali tak ada pikiran
untuk membunuh siapa pun juga."
"Ehh?
Jika menentang mereka, bukankah berarti memancing pertandingan
mati-matian?"
Kun Liong
menggelengkan kepalanya. "Sama sekali tidak, Locianpwe. Teecu hanya akan
mendatangi Kwi-eng pangcu, lalu minta kembali pusaka-pusaka Siauw-lim-pai dan
bokor emas, mengajukan cengli (aturan yang beralasan) menegur kepadanya. Juga
keluarga Ouwyang Raja Ular itu hanya akan teecu tegur agar lain kali jangan
bersikap demikian kejam."
Kiang Tojin
melongo. Sejenak dia tidak dapat berkata-kata. Kemudian dia menarik napas panjang
dan menggelengkan kepalanya. "Aihh, banyak sudah aku bertemu dengan orang
muda yang luar biasa, di antaranya dahulu aku kagum kepada Pendekar Sakti Cia
Keng Hong, akan tetapi belum pernah aku mendengar atau berjumpa dengan seorang
muda seperti engkau, Sicu. Mau mendatangi datuk-datuk kaum sesat lantas menegur
mereka dengan menggunakan cengli! Apa bila tidak mendengar sendiri mana aku
dapat percaya? Mudah-mudahan saja kau berhasil, Sicu."
Kakek itu
benar-benar kagum sekali terhadap pemuda gundul itu. Kiang Tojin tahu bahwa
pemuda itu sudah digembleng oleh dua orang kakek sakti, bahkan sudah mewarisi
Thi-khi I-beng, sukar diukur sampai di mana kelihaiannya. Akan tetapi yang
membuat dia kagum adalah pendirian pemuda ini yang agaknya tidak mau mempergunakan
kepandaian untuk membunuh orang, melainkan bermaksud Dulu dia kagum sekali pada
Cia Keng Hong, akan tetapi kini dia dibikin bengong menyaksikan sikap Yap Kun
Liong.
"Terima
kasih atas kebaikanmu, Locianpwe, terutama sekali terima kasih atas percakapan
yang sangat berguna tadi sebelum para nikouw muncul. Uraian Locianpwe tentang
hidup tadi banyak membuka mata teecu. Kini teecu akan melanjutkan perjalanan
teecu."
"Selamat
jalan, orang muda yang luar biasa. Kuharap saja bila mana kelak kebetulan kau
lewat di Kun-lun-san, kau suka singgah di Kun-lun-pai"
"Mudah-mudahan,
Locianpwe. Selamat berpisah."
Kun Liong
memberi hormat, kemudian pergi meninggalkan kakek itu yang masih berdiri
memandangnya dengan sikap penuh kagum dan terheran-heran.
***************
"Bu-moi
(Adik Bu)... terima ini...!"
Kwi-eng
Niocu Ang Hwi Nio melemparkan bokor emas itu kepada adik angkatnya ketika dia
terdesak oleh tiga orang datuk pria, yaitu Toat-beng Hoatsu, Ban-tok Coa-ong,
serta Hek-bin Thian--sin yang sudah berhasil menyusulnya pada waktu Ketua
Kwi-eng-pang itu melarikan diri sambil membawa bokor emas yang diterimanya dari
Kun Liong.
Siang-tok
Mo-li Bu Leng Ci tentu saja cepat menyambut bokor emas yang melayang ke arahnya
itu dan membawanya lari, sedangkan Kwi-eng Niocu berusaha mencegah tiga orang
datuk yang hendak mengejar. Akan tetapi, tentu saja dia tidak sanggup menahan
mereka bertiga dan kini Siang-tok Mo-li yang menjadi kejaran mereka. Tiga orang
datuk pria mengejar untuk merampas bokor, ada pun Kwi-eng Niocu mengejar untuk
membantu adik angkatnya itu.
Betapa
cepatnya lari Siang-tok Mo--li, tetap saja dia tidak mampu membebaskan diri
dari pengejaran para datuk itu. Tiga orang datuk pria itu mempunyai tingkat
kepandaian yang amat tinggi, bahkan sedikit lebih tinggi dari pada tingkat
kepandaian Siang-tok Mo-li, maka tidak lama kemudian ketiga orang datuk pria
itu sudah berhasil menyusulnya dan segera mengepungnya.
"Siang-tok
Mo-li, serahkan bokor itu kepadaku!" Toat-beng Hoatsu menubruk ke depan.
Siang-tok
Mo-li terkejut, cepat dia meloncat ke kiri menghindar, akan tetapi sambil
tertawa menyeramkan, Ban-tok Coa-ong sudah menyambutnya dengan lengannya yang
panjang seperti ular itu menyambar untuk merampas bokor! Bu Leng Ci terkejut
sekali, apa lagi melihat betapa Hek-bin Thian-sin juga sudah menerkamnya.
"Ang-cici
(Kakak Ang), terimalah bokor ini...!" Dia berseru dan cepat melemparkan
bokor melambung tinggi ke arah Kwi-eng Niocu yang sudah tiba di tempat itu.
Tentu saja
Kwi-eng Niocu cepat menyambar bokor dan melarikan diri secepatnya. Ia ingin
cepat-cepat tiba di Kwi-ouw, karena kalau dia sudah tiba di tempat
perkumpulannya itu, dengan mengandalkan telaga yang penuh rahasia dan bantuan
anak buahnya, tentu dia akan dapat melawan tiga orang datuk pria itu. Akan
tetapi sayang sekali, Kwi-ouw (Telaga Setan) masih sangat jauh dan kini tiga
orang datuk pria itu sudah mengejar lagi sambil berteriak-teriak.
"Wah,
curang! Kalian berdua bersekongkol!" Ban-tok Coa-ong berteriak.
"Dasar
perempuan. licik dan selalu hendak menipu kita kaum pria!" Toat-beng
Hoatsu ikut mengomel sambil mempercepat larinya mengejar...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment