Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 17
HENDRIK
mengangkat tinjunya hendak memukul muka yang menantangnya dengan penuh
keberanian itu. Biar pun maklum bahwa dia akan dipukul, mungkin juga dibunuh,
Li Hwa memandang dengan mata tak berkedip. Melihat sikap ini, memandang wajah
yang cantik manis itu, Hendrik menjadi lemas dan menurunkan lagi kepalan
tangannya.
"Bedebah!
Setan betina! Hendak kulihat apakah engkau masih tetap berkeras tidak mau
melayani cintaku!"
Hendrik
sudah betul-betul tergila-gila kepada Li Hwa. Kalau menghadapi wanita lain yang
menolak cintanya, seperti biasanya, tentu ia akan menggunakan kekerasan,
memperkosa gadis yang sedang terbelenggu itu. Akan tetapi sungguh aneh, dia
merasa berat untuk melakukan hal ini terhadap Li Hwa.
Dia tahu
bahwa gadis perkasa ini merupakan seorang dara pilihan, dan alangkah akan
senang hatinya kalau dia dapat memperolehnya dengan cara yang baik, dengan
sukarela. Betapa akan bahagianya apa bila gadis ini membalas cintanya, bukan
menyerahkan diri karena terpaksa dan karena diperkosa.
Dipondongnya
tubuh gadis itu keluar pondok, diletakkan dan dirantai pada tiang sebelah
rumah. Kemudian dia membuat api unggun dan meletakkan sebungkus mesiu di dekat
kaki Li Hwa yang terbelenggu.
"Kau
lihat ini? Mesiu yang akan meledak begitu api itu menjalar sampai ke dekatnya.
Kau sudah lihat tadi. Rumah dan batu itu hancur oleh ledakan, dan kalau kau
tidak menurut, bungkusan mesiu ini cukup untuk menghancurkan tubuhmu menjadi
berkeping-keping. Kalau berubah pikiranmu, sebelum terlambat, kau terimalah
pinanganku, Nona."
"Huh,
biarkan aku mati!"
"Baik,
aku akan menanti di dalam. Kau berteriak saja panggil aku bila pikiranmu
berubah, jika kau memilih bersenang-senang denganku dan hidup bahagia dari pada
mati dengan tubuh hancur oleh ledakan obat mesiu ini."
"Jahanam
kotor! Seribu kali lebih baik mampus dari pada menyerah kepadamu!" Li Hwa
membentak.
Hendrik
tersenyum akan tetapi menyeringai karena bibirnya yang digerakkan terasa perih.
Diusapnya bibir yang pecah oleh gigitan dara tawanannya itu, kemudian dia
bangkit dan membalikkan tubuhnya, melangkah lebar menuju ke pondok, menaiki
anak tangga depan pondok dan lenyap ke dalam pondok itu.
Li Hwa
ditinggalkan seorang diri dalam keadaan tidak berdaya. Rantai besi yang sudah
membelenggu kaki tangannya amat kuat, tidak mampu dipatahkannya dan dia pun
tidak dapat mencegah api unggun yang bernyala makin besar, dan lidah api makin
mendekati bungkusan mesiu di dekat kakinya.
Dalam
keadaan seperti itulah gadis itu ketika Yuan de Gama menghampiri pondok dan
melihatnya. Dengan hati-hati Yuan lalu menghampiri gadis itu.
Li Hwa yang
berpendengaran tajam tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Dia
menoleh dan melihat Yuan, mengira bahwa pemuda asing itu adalah Hendrik yang
menawannya. Di dalam pandangannya, orang-orang asing itu seperti sama semua!
Maka dia lalu menghardik, "Jangan harap aku mau menyerah, manusia hina!
Bunuhlah kalau kau mau membunuhku..."
"Sssttt...!"
Melihat
pemuda itu menaruh telunjuk di depan bibir dan mengeluarkan seruan tanda agar
dia tak mengeluarkan suara, Li Hwa terheran dan memandang lebih teliti kepada
pemuda itu. Sekarang sesudah cahaya api unggun menerangi wajah itu, barulah dia
sadar bahwa pemuda ini bukanlah pemuda asing yang tadi menawannya.
Tubuh pemuda
itu lebih jangkung, perutnya tidak gendut dan pada wajah yang tampan ini tidak
terdapat sinar mata yang penuh nafsu. Tidak, bahkan sinar mata yang berwarna
biru itu amat lembutnya, kini memandangnya dengan penuh iba.
"Nona,
aku datang untuk menolongmu..." Pemuda itu berbisik, kemudian berjongkok
di belakangnya.
Namun, di
dalam hati Li Hwa sudah terdapat bibit kebencian terhadap orang-orang asing.
Pertama karena kenyataan bahwa orang-orang itu bersekutu dengan para
pemberontak. Kedua kalinya, dia sudah mengalami penghinaan dari Hendrik yang
menawannya. Maka terhadap pemuda yang hendak menolongnya ini pun dia lalu
bersikap angkuh dan tidak bersahabat.
"Aku
tidak minta pertolonganmu!"
Pemuda itu
menghela napas panjang. "Aku tahu, dan engkau memang seorang wanita
perkasa yang hebat, Nona. Seorang berjiwa panglima yang patut dihormati. Dan
karena itulah maka aku harus menolongmu." Sambil berkata demikian, Yuan de
Gama mulai berusaha membuka belenggu itu dari kedua tangan Li Hwa.
Oleh karena
gembok yang dipakai mematikan mata rantai belenggu itu cukup kuat, maka
tidaklah mudah bagi Yuan untuk membukanya sehingga dia harus mengerahkan
seluruh tenaganya.
"Mengapa
kau menolongku?" Melihat usaha pemuda itu, Li Hwa tak dapat menahan diri
untuk tidak bertanya karena bukankah di antara mereka terdapat permusuhan?
"Aku
kagum akan kegagahanmu, Nona. Dan aku muak melihat perbuatan Hendrik yang
menyimpang dari tugasnya, hanya mementingkan kesenangan pribadi."
Akhirnya,
sesudah terlebih dahulu menjauhkan bungkusan mesiu dari api, Yuan de Gama
berhasil melepaskan belenggu pada kaki dan tangan Li Hwa. Gadis itu melompat
berdiri, akan tetapi karena kepalanya masih nanar oleh hantaman ledakan tadi,
dan kakinya juga kaku karena lama dibelenggu, dia terhuyung dan tentu terguling
kalau tidak cepat-cepat dia dipeluk oleh Yuan de Gama.
"Lepaskan
aku!" Li Hwa meronta. "Apa kau kira setelah menolongku, kau boleh
memeluk aku sesuka hatimu?"
Yuan
cepat-cepat melepaskan pelukannya dan melangkah mundur, alisnya berkerut dan
pandang matanya tajam menusuk. "Nona, harap jangan menyama ratakan orang
begitu saja. Kalau tidak melihat engkau hendak jatuh, tentu aku tidak berani
menyentuhmu."
Sejenak
mereka berpandangan dan Li Hwa menunduk, kedua pipinya menjadi merah. Dia tahu
bahwa betapa sikapnya tadi memang sangat buruk. Akan tetapi, bukankah pemuda
asing ini juga musuhnya? Musuh negaranya? Ingatan itu mengeraskan hatinya dan
dia mendengus, melempar muka ke samping, membalikkan tubuh lantas melangkah
hendak pergi.
"Tahan
dulu, Nona...!" Yuan de Gama cepat mengejar. "Nona, kau masih amat
lelah... dan pasukanmu telah melarikan diri keluar dari tempat ini. Apa bila
kau pergi begitu saja, tentu kau akan tertangkap kembali. Di mana-mana terdapat
penjaga..."
"Haii...
Nona yang manis, apakah engkau belum merobah pikiranmu?" Tiba-tiba
terdengar teriakan Hendrik dari dalam pondok.
Yuan de Gama
terkejut, cepat dia menyambar tangan Li Hwa sambil berkata, "Mari ikut
dengan aku. Cepat...!"
Sekarang
mengertilah Li Hwa bahwa pemuda ini benar-benar hendak menolongnya dan agaknya
tidak mempunyai niat buruk di balik itu, maka dia membiarkan dirinya ditarik
dan dibawa pergi menyelinap di antara pohon-pohon serta kegelapan malam sampai
mereka berada jauh dari pondok terpencil itu.
Namun
kembali mereka terpaksa harus berhenti dan bersembunyi di balik pohon-pohon
ketika mereka melihat belasan orang prajurit meronda tidak jauh dari situ.
Sesudah para peronda itu lewat, Yuan berbisik,
"Nona,
sangat berbahaya bagimu bila mencoba keluar dari perkampungan ini. Ketahuilah,
setelah terjadi perang siang tadi, seluruh perkampungan diadakan perondaan dan
sekitar perkampungan dijaga ketat. Tapi malam ini juga engkau harus dapat lolos
dari sini, sebab kalau sampai besok engkau tak dapat keluar, tentu tidak
mungkin lagi menyembunyikan diri."
"Aku
tidak takut! Aku akan melawan sampai titik darah terakhir!"
Yuan
memandang kagum sekali sungguh pun wajah dara itu tidak kelihatan jelas di
dalam gelap, "Selama aku hidup, baru sekarang ini aku bertemu dengan
seorang wanita gagah seperti engkau, Nona. Banyak sudah kubaca dalam kitab
mengenai pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa di negerimu yang aneh ini,
tetapi aku masih belum percaya. Sekarang baru aku percaya, dan aku kagum sekali
kepadamu. Aku harus menolongmu keluar dari tempat ini, malam ini juga."
Kata-kata
pemuda itu juga amat mengherankan hati Li Hwa. Betapa pun kagumnya, mana
mungkin ada musuh menolong musuhnya? Apa lagi pemuda itu tahu bahwa dia adalah
pemimpin pasukan pemerintah yang akan membasmi kaum pemberontak!
"Engkau
siapakah?"
Yuan de Gama
membungkuk dengan lengan kanan melintang di depan perutnya. "Aku bemama
Yuan de Gama. Ayahku adalah Richardo de Gama, pemilik Kapal Kuda Terbang
dan..."
"Dan
kalian orang-orang asing membantu para pemberontak!"
Yuan de Gama
menggeleng kepala dengan penuh penyesalan. "Aku tak berniat demikian,
Nona. Juga kawan-kawanku tak berniat membantu pemberontak. Akan tetapi kami
hanya ingin mengadakan kontak dagang dengan penduduk pribumi. Tapi karena
pejabat-pejabat pemerintahmu melarang, dan karena para pembesar yang kami bantu
ini menyanggupi untuk membolehkan kami berdagang..."
"Sudahlah,
apa pun alasannya, yang jelas kalian adalah orang-orang asing yang sudah
membantu pihak pemberontak!"
"Memang
tak ada gunanya kita berdebat tentang hal itu, Nona. Kita hanyalah
pelaksana-pelaksana belaka, yang mengatur semua itu adalah orang-orang atasan.
Yang penting sekarang, aku harus menolongmu keluar dari sini dan pada saat
seperti ini, kuharap kau tidak menganggapku sebagai musuh, Nona."
Li Hwa
mengerutkan alisnya. Kalau keadaan tidak seperti itu, tentu sudah sejak tadi dia
menyerang dan membunuh pemuda musuh negara ini!
"Kalau
sampai kau ketahuan menolongku lolos?"
Yuan
tersenyum sambil menggerakkan pundaknya yang bidang. "Yahhh, apa boleh
buat! Sudah nasibku mati diberondong senapan oleh bekas anak-anak buahku
sendiri sebagai seorang pengkhianat."
Li Hwa
bergidik. Ia sudah pernah melihat seorang anak buahnya yang terluka oleh peluru
senapan, senjata rahasia yang sangat mengerikan dari pihak orang-orang asing
itu. Dan akibatnya benar-benar mengerikan. Anak buahnya itu meraung-raung
karena nyeri dan lukanya itu seperti dibakar rasanya.
"Dan
kau rela terancam bahaya untuk menolong aku, seorang musuh?"
"Hiishh,
Nona. Sudah kukatakan, pada saat ini kau bukan musuhku, dan mudah-mudahan aku
bukan musuhmu. Engkau bagiku adalah seorang pendekar wanita yang amat hebat dan
amat kukagumi. Marilah..."
Kembali Yuan
menggandeng tangan Li Hwa dan dara ini menurut saja ketika dia dibawa
menyelinap ke sana sini, ada kalanya mendekam dibalik rumah-rumah atau
pohon-pohon. Dan tak lama kemudian mereka sudah berada di sekitar pagar tembok
yang mengelilingi pekarangan itu.
Tiba-tiba
terdengar suara dalam bahasa asing. Mendengar ini, Yuan cepat menarik Li Hwa
dan keduanya bertiarap, menelungkup di balik rumpun alang-alang. Suara itu
adalah suara Hendrik yang berteriak-teriak kepada para penjaga,
"Jangan
sampai dia lolos! Tawananku itu adalah pemimpin pasukan musuh yang siang tadi
menyerbu. Awas, siapa yang bisa menangkapnya, hidup atau mati, tentu akan
kuberi hadiah besar, akan tetapi yang membiarkannya lolos, akan kuhukum!"
Yuan dan Li
Hwa bersembunyi sampai suara Hendrik itu lenyap dan orangnya pergi, lalu dengan
lirih Yuan berbisik, "Tadi itu adalah Hendrik yang menawanmu. Sekarang
semua penjaga di sekeliling perkampungan ini telah tahu bahwa engkau sudah
lolos dari tahanan Hendrik dan mereka tentu mengerahkan seluruh perhatian untuk
menemukanmu. Hal ini membuat usaha kita menjadi makin sulit. Akan tetapi
sebelum aku melanjutkan usahaku meloloskanmu, aku ingin mengetahui apakah
sekarang engkau betul-betul telah percaya kepadaku, Nona?"
"Hemmm...
percaya dalam hal apa?"
"Bahwa
aku hanya ingin menolongmu, karena kekagumanku terhadap dirimu, tidak ada lain
hal yang tersembunyi di balik itu."
Sampai lama
mereka berpandangan di dalam gelap, jarak muka mereka tidak begitu jauh karena
mereka berdua bertiarap di dalam semak-semak. Akhirnya Li Hwa mengangguk.
"Aku
percaya kepadamu, sungguh pun aku sendiri heran mengapa aku harus percaya
kepada seorang asing, seorang musuh pula."
Yuan
tersenyum. "Bagus, Nona. Bolehkah aku mengetahui namamu?"
Kembali Li
Hwa meragu. Sampai lama, dan setelah dia menimbang-nimbang, barulah dia
menjawab, "Namaku Souw Li Hwa, dan guruku adalah Panglima Besar The
Hoo."
"Ya
Tuhan...!" Yuan de Gama berseru lirih dan pandang matanya semakin kagum
lagi. "Nama besar gurumu itu siapa yang tidak tahu? Pantas saja kalau
begitu! Kiranya Nona adalah murid orang luar biasa itu!"
"Sekarang
bagaimana engkau akan meloloskan aku dari sini? Kurasa jalan satu-satunya hanya
menerjang ke luar. Aku tidak takut, biar aku menerjang ke luar dan tidak perlu
kau mengkhianati teman-temanmu sendiri."
"Tidak...!
Jangan lakukan itu, Nona...! Sekarang penjagaan amat ketat dan mereka sudah
mempersiapkan senjata api, kau tentu akan tertawan kembali atau tertembak mati.
Kalau hal itu terjadi, aku akan menyesal dan hidup menderita selamanya!
Marilah, aku memiliki akal asal engkau benar-benar percaya kepadaku.
Mari!"
Yuan
kemudian menggandeng tangan dara itu menyelinap melalui tempat gelap menuju ke
sebuah pintu gerbang yang dijaga belasan orang penjaga terdiri dari
prajurit-prajurit pemberontak dan beberapa orang asing. Li Hwa dapat melihat
betapa orang-orang asing itu memegang senjata api mereka dalam keadaan siap.
Andai kata
dia tidak gentar menghadapi senjata rahasia itu, karena kalau hanya belasan
orang yang menjaga di situ, tentu dia akan sanggup merobohkan mereka, atau
setidaknya meloloskan diri dari pintu gerbang itu. Akan tetapi kini dia bersama
Yuan. Apa bila sampai mereka mengenalnya bersama-sama pemuda asing yang
menolongnya ini, tentulah Yuan akan dianggap pengkhianat dan pemuda itu akan
celaka. Sebab itu dia diam dan menurut saja ketika Yuan menggandengnya
mendekati pintu gerbang, masih tidak tahu bagaimana pemuda itu akan
menyelamatkannya.
Ketika Yuan
dan Li Hwa sudah sampai dekat sekali dengan pintu gerbang, di bagian yang agak
gelap, karena tidak tertimpa langsung oleh lampu yang tergantung di pintu
gerbang, terdengar seorang di antara para penjaga menghardik, "Heiii!
Berhenti! Siapa di situ?"
Semua urat
syaraf di tubuh Li Hwa sudah menegang dan dara ini juga sudah siap untuk
menerjang maju. Akan tetapi Yuan merangkulnya lantas berbisik, "Nona,
jangan bergerak. Ingat, kau sudah percaya kepadaku, kau menurut saja..."
Empat orang
penjaga berlari mendekati dan pada saat itu, Yuan merangkul leher Li Hwa dan
mencium bibir dara ini, mendekap muka itu dengan ketat sehingga muka Li Hwa
tidak tampak, tertutup oleh mukanya sendiri. Kemudian dia mendekap kepala Li
Hwa lalu wajah dara itu disembunyikan di dadanya, dan dia pun membentak,
"Kurang ajar! Berani kalian mengganggu kesenanganku?"
"Ohh...
ahhh... Tuan Yuan de Gama... maafkan kami! Kami telah menerima perintah agar
melakukan penjagaan keras...!"
"Aku
tahu!" Yuan membentak. "Dan kalian harus menjaga baik-baik agar
panglima wanita musuh itu jangan sampai lolos. Dia pandai sekali, mungkin akan
melompati pagar tembok. Tidak mungkin dia melalui pintu gerbang. Hemm, sungguh
menjemukan, tidak ada tempat yang aman untuk bermain cinta. Aku mau keluar
saja, mencari tempat yang sunyi. Hayo, manis..."
Yuan de Gama
menggunakan mantelnya untuk menyelimuti Li Hwa dan dia membawa Li Hwa yang
masih terus dirangkulnya itu keluar melalui pintu gerbang, ditonton oleh
belasan orang itu yang saling lirik dan menyeringai.
Li Hwa
sendiri sudah hampir pingsan sejak dia diciumi oleh Yuan de Gama tadi. Tubuh
dara ini menggigil, kaki tangannya menjadi dingin dan jantungnya berdebar tidak
karuan. Dalam waktu satu malam, dia telah diciumi oleh dua orang laki-laki, dua
orang asing dan dicium dengan cara yang sama sekali belum pernah didengarnya,
apa lagi dialaminya!
Ketika
Hendrik mencium dan mengecup bibirnya, dia merasa sangat marah, benci, dan muak
sehingga dia menggigit bibir pemuda asing itu untuk menyerangnya, membuat bibir
Hendrik terluka berdarah dan hampir terobek putus! Akan tetapi, ketika Yuan de
Gama menciumnya, meski pun dia merasa terkejut sekali namun dia maklum bahwa
pemuda ini menciumnya bukan karena dorongan nafsu dan bukan untuk berkurang
ajar, melainkan untuk menyelamatkannya. Pula, dia merasa bedanya ciuman antara
kedua orang pria itu. Ketika Yuan menciumnya, dia merasa seolah-olah tubuhnya
melayang naik ke angkasa, tubuhnya lemas dan dia seperti di alam mimpi!
"Ha-ha-ha...!"
Terdengar empat orang asing yang berjaga di situ tertawa-tawa dan bicara dalam
bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Li Hwa.
"Heran
sekali," kata seorang di antara para penjaga bersenjata tombak, "Tuan
Yuan de Gama lebih senang bercinta di tempat terbuka, padahal sudah disediakan
kamar-kamar dan tempat tidur yang lunak. Aneh...!"
"Kenapa
aneh?" yang lain membantah. "Mereka itu memang mempunyai kebiasaan
dan kesukaan yang berbeda dengan kita. Yang untung adalah wanita itu. Hemm...
Tuan Yuan de Gama adalah seorang pemuda yang biasanya pantang bercinta dengan
wanita-wanita yang disediakan untuk mereka, dan selain paling tampan, juga
paling baik budi dan paling kaya!"
Mendengar
ucapan antara kedua orang penjaga itu, bermacam perasaan mengaduk hati Li Hwa.
Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya sampai mereka tiba jauh dari pintu
gerbang dan tiba-tiba Yuan melepaskan rangkulannya.
"Nah,
sekarang sudah aman, Nona Li Hwa."
Keduanya
berdiri berhadapan. Bintang-bintang memenuhi angkasa, mencurahkan cahaya redup
dingin sehingga mereka dapat saling memandang dalam keadaan remang-remang.
"Yuan
de Gama...," akhirnya Li Hwa mampu mengeluarkan suaranya. Lirih namun
penuh perasaan. "Aku akan menganggapmu sebagai..."
"Yaaa...?"
"Seorang
yang baik hati dan..."
"Hemmm...?"
"...sebagai
seorang yang kurang ajar!"
"Begitukah,
Nona Li Hwa?"
"Untuk
kebaikan hatimu, aku berterima kasih kepadamu."
"Tidak
usah berterima kasih!"
"Dan
untuk kekurang ajaranmu..."
"Kekurang
ajaran yang mana?"
"...ketika
kau... kau menciumku tadi..."
"Aahhh,
aku tidak berniat kurang ajar..."
"Betapa
pun juga, Yuan de Gama, kau sudah berlaku sangat tidak sopan, dan untuk itu...
aku akan..."
"Yaaa...?"
"Plakkkk!"
Pipi kiri
Yuan de Gama ditampar oleh telapak tangan Li Hwa. Dara itu tidak mengerahkan
sinkang-nya, akan tetapi tetap saja tamparan itu membuat pipi Yuan menjadi
kemerahan dan tampak bekas jari-jari tangan kecil di atas kulit pipi itu.
"Nona,
terima kasih atas kebaikanmu..."
"Jangan
kau mengejek. Aku menamparmu karena mengingat akan kekurang ajaranmu
tadi."
"Untuk
ciuman-ciuman itu Nona, walau pun kulakukan bukan karena hendak kurang ajar
kepadamu atau hendak menghinamu, aku rela menerima tamparanmu, bahkan kalau kau
masih penasaran, boleh kau tampar lagi sesukamu..."
"Ehhh...,"
Li Hwa berseru heran, tidak menyangka pemuda itu akan berkata demikian.
"Benar
Nona. Karena... semenjak pertama aku melihatmu, apa lagi setelah menyaksikan
kegagahanmu, tahulah aku bahwa aku jatuh cinta kepadamu, Nona."
"Ihhh...!"
"Terserah
kepadamu kalau kau anggap aku kurang ajar. Meski kau hendak membunuhku sekali
pun, tak akan dapat kau memaksaku untuk menarik kembali kata-kataku. Aku cinta
kepadamu, Souw Li Hwa…”
“Aihhh…!"
Li Hwa mundur-mundur dengan muka pucat, jantungnya berdebar tak karuan,
kemudian terdengar isak naik dari dadanya, tubuhnya berkelebat dan dia sudah
meloncat pergi dari tempat itu.
"Souw
Li Hwa, aku cinta kepadamu...!" Yuan de Gama berteriak
Naik
sedu-sedan di tenggorokan dara itu, akan tetapi dia terus melarikan diri
secepatnya, tidak mempedulikan beberapa butir air mata yang turun di atas kedua
pipinya. Dia merasa takut. Takut kepada dirinya sendiri.
Kenapa dia
tidak membenci Yuan seperti dia membenci Hendrik sesudah Yuan mencium bibirnya?
Bahkan ada rasa senang dicium oleh pemuda itu? Mengapa hatinya berdebar dengan
perasaan nyaman akan tetapi tegang ketika Yuan menyatakan cinta kepadanya?
Padahal ketika Hendrik menyatakan cintanya, dia merasa muak dan terhina?
Li Hwa
berlari cepat dan pada keesokan harinya barulah dia dapat bertemu dengan sisa
pasukannya. Para perwira menjadi girang sekali ketika melihat munculnya dara
itu, dan Li Hwa mendengar dengan hati penuh penasaran betapa pasukannya
terpaksa melarikan diri karena kalah banyak dan kalah kuat, apa lagi setelah
pemimpin mereka, dara perkasa itu lenyap.
"Pasukan
mereka jauh lebih besar. Kita harus mencari bantuan. Dan bagaimana dengan
tawanan kita, Yap Kun Liong si gundul itu?"
"Kami tidak
melihatnya lagi dalam keributan itu, Nona," jawab seorang perwira tua.
"Hemm,
apa yang terjadi setelah terjadi ledakan yang membuat aku pingsan dan tertawan
musuh?"
Para perwira
lalu menceritakan betapa ledakan itu telah membuat tempat bekas rumah itu
berlubang sehingga sekilas tampak sebuah bokor emas. Karena ada yang berteriak
ketika melihat benda itu sebelum air sungai membanjir masuk menutupi lubang,
maka terjadilah perebutan dan pertempuran di air yang menutupi tempat itu.
"Lalu,
bagaimana? Di mana bokor itu sekarang?" Li Hwa bertanya penuh ketegangan
dan tahu bahwa Kun Liong tidak berbohong dan benar-benar bokor emas berada di
tempat itu.
"Itulah
anehnya, Nona. Tidak ada yang melihat siapa yang sudah berhasil mendapatkan
bokor itu. Mungkin juga sudah terjatuh ke dalam tangan seseorang. Kami terpaksa
harus mengundurkan diri keluar dari tempat itu karena apa bila dilanjutkan,
tanpa adanya Nona yang memimpin kami, tentu kami semua akan binasa. Andai kata
ada Nona di sana, biar pun diharuskan bertempur sampai hancur semua, tentu saja
kami bersiap sedia."
Li Hwa
mengerutkan alisnya. Celaka sekali kalau bokor yang sudah hampir ditemukannya
itu terjatuh ke tangan orang lain. Sementara itu pasukannya sudah lelah, juga
berkurang kekuatannya untuk menyerang sarang pemberontak kurang kuat.
"Kalian
tunggu saja di sini, awasi gerak-gerik musuh. Aku sendiri akan melapor kepada
Suhu dan mendatangkan bala bantuan." Akhirnya dia mengambil keputusan.
Pada pagi
hari itu juga Li Hwa berangkat menunggang kuda ke kota raja untuk melapor
kepada suhu-nya, Panglima Besar The Hoo.
***************
Ke mana
perginya Yap Kun Liong? Pada saat terjadi ledakan, dia dapat menyelamatkan diri
dengan bertiarap. Dari tempat dia bertiarap itu, tampak jelas bahwa bekas rumah
itu berubah menjadi sebuah kubangan yang dalam dan ketika ada orang berteriak
tentang bokor, dia cepat melihat dan dia pun menyaksikan bokor itu sebelum air
sungai datang menerjang!
Kun Liong
membiarkan dirinya ditelan air sungai dan terus merangkak sambil menyelam ke
arah tempat disimpannya bokor emas itu. Sebelum orang lain sempat mencari bokor
akibat mereka itu sudah sibuk saling serang di air sedalam pinggang itu, Kun
Liong telah berhasil mengambil bokor emas itu, dimasukkannya di dalam bajunya
yang basah kuyup dan dia menggunakan keadaan kacau-balau itu untuk melarikan
diri keluar dari kubangan.
Apa bila
tidak teringat kepada Li Hwa, tentu dia sudah langsung melarikan diri keluar
dari perkampungan itu. Tetapi dia mengkhawatirkan keadaan Li Hwa, maka dia
mulai mencari gadis itu sesudah pertempuran selesai karena pihak pasukan
pemerintah mengundurkan diri ke luar tempat itu.
Dari tempat
persembunyiannya, dia melihat Li Hwa yang sudah dibelenggu di luar rumah
terpencil oleh Hendrik. Akan tetapi sebelum dia sempat turun tangan menolong.
tiba-tiba muncul Yuan de Gama. Dengan hati penuh rasa suka dan kagum kepada
pemuda asing ini, Kun Liong melihat betapa Yuan menyelamatkan Li Hwa. Bahkan ia
terus membayangi mereka ketika mereka berusaha keluar dari tempat itu melalui
pintu gerbang.
Jantungnya
berdebar tegang pada waktu dia menyaksikan dari tempat gelap betapa Yuan dalam
usahanya menyelamatkan Li Hwa, telah mendekap dan mencium gadis cantik itu
dengan amat mesranya. Ciuman bibir! Hatinya semakin tertarik untuk melihat
bagaimana nanti sikap Li Hwa. Dia menggunakan kegesitannya untuk melompati pagar
tembok selagi para penjaga tertarik perhatian mereka kepada Yuan de Gama.
Ketika dia
melihat Li Hwa menampar Yuan sambil mendengarkan pembicaraan mereka, diam-diam
Kun Liong merasa geli dan dia tertawa sendiri. Akan tetapi hatinya menjadi
terharu ketika mendengar pengakuan Yuan de Gama tentang cintanya kepada dara
itu!
"Hemmm,
Yuan, kau seorang laki-laki tolol!" Kun Liong berbisik sendiri.
"Begitu mudah jatuh cinta! Cinta seperti itu hanya mendatangkan siksaan di
hati sendiri..."
Dia kemudian
meninggalkan tempat itu, di sepanjang jalan termenung. Jika dia bersikap
seperti Yuan, mudah saja menjatuhkan hatinya ke dalam jurang asmara, agaknya
sudah beberapa kali dia jatuh cinta. Kepada Hwi Sian, kepada Bi Kiok, kepada
Giok Keng dan mungkin kepada Li Hwa sendiri.
Tidak, dia
tidak akan mudah saja jatuh cinta, biar pun harus dia akui bahwa dia amat suka
kepada gadis-gadis jelita itu! Mata keranjang? Entahlah, akan tetapi betapa
mata tidak akan merasa nyaman dan sedap memandang, betapa hati tidak akan
merasa suka, kalau melihat bunga-bunga indah dan harum?
Bunga
seruni, bunga mawar, bunga bwee, semua bunga tentu akan mendatangkan rasa suka.
Demikian pula, semua dara yang manis akan menimbulkan rasa suka di dalam
hatinya. Akan tetapi cinta asmara? Nanti dulu! Cinta macam itu berarti
melekatkan diri kepada seseorang, dan sekali melekat berarti menimbulkan
kemungkinan terluka kalau lekatan itu dipaksa terlepas dan putus!
Bokor yang
telah kembali kepadanya itu memberatkan hatinya. Dia harus menyerahkan bokor
itu kepada yang berhak, yaitu kepada Panglima Besar The Hoo. Sungguh sangat
berbahaya kalau terlalu lama berada di tangannya, karena dia tahu betapa semua
orang gagah di dunia kang-ouw dan tokoh kaum sesat saling memperebutkan bokor
emas ini. Dia sendiri sama sekali tidak ingin memilikinya, juga setelah tahu
bahwa benda ini adalah barang curian, dia sama sekali tidak ingin tahu rahasia
apa gerangan yang dikandung benda pusaka yang diperebutkan ini. Makin cepat dia
terlepas dari benda ini makin baik!
Selagi dia
berjalan seorang diri melalui hutan yang lebat, tiba-tiba saja tampak olehnya
bayangan-bayangan orang berkelebatan dan dia memandang terbelalak pada saat
dirinya telah terkurung oleh beberapa orang. Betapa kagetnya ketika dia melihat
bahwa di antara sembilan orang itu terdapat para datuk kaum sesat yang telah
dikenalnya, yaitu empat orang di antara mereka.
Si Kakek
Gila Toat-beng Hoatsu, kakek muka hitam Hek-bin Thian-sin yang bersekutu dengan
pemberontak, kakek gila raja ular Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, dan Siang-tok
Mo-li Bu Leng Ci! Lima orang lainnya tidak dikenalnya, akan tetapi dapat diduga
bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi!
Ketika
melihat bahwa di antara lima orang ini terdapat seorang wanita setengah tua
yang cantik, dengan kuku-kuku tangan yang panjang meruncing, dia cepat
bertanya, "Apakah Lo-cianpwe yang bernama Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio?"
Para datuk
kaum sesat itu, terutama sekali Kwi-eng Niocu, merasa heran sekali melihat
sikap pemuda gundul yang amat berani itu. Sudah jelas dia dikepung oleh
sembilan orang termasuk lima orang datuk kaum sesat sehingga boleh dikatakan
bahwa jiwanya berada di ambang pintu maut, tapi masih bersikap enak-enak bahkan
bertanya kepada Kwi-eng Niocu, seperti orang hendak berkenalan saja!
"Sudah
tahu namaku, lekas berlutut dan serahkan bokor kepadaku!" kata Kwi-eng
Niocu dengan suara halus, akan tetapi suara halus dan senyum manis wanita ini
membuat Kun Liong merasa ngeri karena dia dapat menangkap kekejaman hebat yang
bersembunyi di balik sikap manis itu.
Akan tetapi
dia tidak peduli, lalu menoleh kepada Bu Leng Ci, bertanya, "Aihh,
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci juga hadir! Bagaimana, Locianpwe, apakah baik-baik
saja? Dan kenapa Adik Bi Kiok tidak ikut serta?"
Bu Leng Ci
hanya mendelik dengan pandang mata marah, lantas membentak, "Berikan bokor
kepadaku kalau kau ingin hidup!"
Kun Liong
memandang kepada para datuk itu bergantian sambil berkata, "Hemmm, para
Locianpwe hadir semuanya, Toat-beng Hoatsu, Ban-tok Coa-ong, juga Hek-bin
Thian-sin! Lengkap! Kehormatan apakah yang akan diberikan kepada seorang muda
bodoh seperti aku?"
Ketiga orang
kakek itu saling pandang dan diam-diam mereka ini merasa kagum juga. Bocah
gundul itu benar-benar seorang yang memiliki keberanian luar biasa!
"Serahkan
bokor!" Serentak mereka berseru.
Kun Liong
mengerti bahwa menghadapi lima orang datuk kaum sesat itu, apa lagi masih ada
empat orang kakek lain yang tak dikenalnya, dia takkan dapat menyelamatkan
bokor itu, bahkan dirinya sendiri terancam bahaya maut. Akan tetapi dia tidak
memikirkan hal itu semua karena dia sudah menjadi marah mempertahankan
kebenaran mengenai bokor itu dan berkata nyaring,
"Cuwi
adalah orang-orang pandai yang telah terkenal di dunia, mengapa berpandangan
begitu dangkal?" Dia mengeluarkan bokor dari balik bajunya kerena dia
dapat menduga bahwa mereka itu yang amat lihai tentu sudah tahu bahwa bokor
berada di tangannya, apa lagi kelihatan menjendol di balik bajunya. Dia
mengangkat bokor tinggi-tinggi sambil melanjutkan kata-katanya, "Cuwi (Anda
Sekalian) mengerti semua bahwa bokor emas ini adalah pusaka milik Panglima
Besar The Hoo yang lenyap dicuri orang. Secara kebetulan saja aku menemukan
bokor ini, maka sepatutnya kukembalikan kepada yang berhak."
Melihat
bokor emas itu, mata sembilan orang itu melotot dan tangan mereka langsung
bergerak hendak merampas. Melihat ini, Kun Liong segera maklum bahwa agaknya
tidak terdapat kerja sama di antara mereka! Agaknya mereka itu akan
memperebutkan bokor! Maka dia cepat menpangkat tangan kirinya ke atas dan
berseru, "Tahan! Kwi-eng Niocu, engkau telah menyuruh orang-orangmu
mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai, kenapa masih menghendaki bokor? Maukah
kau menukar dua pusaka itu dengan ini?"
"Berikan
bokor dan akan kukembalikan pusaka Slauw-lim-pai!" jawab wanita itu.
"Dan
bagaimana engkau akan mengembalikan nyawa Thian Lee Hwesio?"
"Bukan
kami yang membunuhnya!"
"Niocu,
kenapa melayani dia mengobrol? Bocah gundul, lekas berikan bokor itu!"
Hek-bin Thian-sin sudah menyambar ke depan untuk merampas bokor itu dari tangan
Kun Liong. Akan tetapi pemuda ini cepat mengelak dengan loncatan ke kiri.
Serbuan Si Muka Hitam itu agaknya merupakan komando karena serentak mereka
semua bergerak menubruk!
"Kwi-eng
Niocu, terimalah...!" Kun Liong berseru, lalu dia melemparkan bokor itu
kepada Ketua Kwi-eng-pang. Tentu saja Kwi-eng Niocu menjadi amat girang dan
cepat menerima bokor itu dan melesat dengan gerakan cepat pergi dari situ.
"Ehh-ehh,
perlahan dulu, Kwi-eng Niocu!" empat orang datuk lainnya juga meloncat dan
mengejar!
Empat orang
kakek lainnya agaknya merasa ragu-ragu untuk ikut mengejar, maka mereka lalu
menubruk Kun Liong sambil berkata, "Engkau ikut dengan kami!"
Kun Liong
tadi sengaja melemparkan bokor emas kepada Kwi-eng Niocu bukan tanpa
perhitungan yang matang. Dia tahu bahwa andai kata dia mempertahankan bokor itu
pun akan percuma saja dan akhirnya bokornya pun tentu akan terampas dari
tangannya. Dia tidak tahu di mana tempat tinggal Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok
Coa-ong, sedangkan Hek-bin Thian-sin telah bersekutu dengan pemberontak dan
orang asing.
Kalau bokor
terjatuh ke tangan seorang di antara tiga orang kakek ini, akan sukar baginya
untuk kelak mendapatkan kembali. Akan tetapi satu-satunya orang di antara
mereka yang dia ketahui alamatnya, adalah Kwi-eng Niocu, dan juga Siang-tok
Mo-li, akan tetapi dia lebih condong untuk menyerahkan bokor kepada Ketua
Kwi-eng-pang, karena dia masih mempunyai urusan dengan wanita itu mengenai dua
buah pusaka Siauw-lim-pai dan juga kematian Thian Lee Hwesio.
Ketika empat
orang kakek yang tak dikenalnya menubruknya, Kun Liong tidak mengelak, akan
tetapi diam-diam dia segera mengerahkan Thi-khi I-beng yang belum lama ini dia
pelajari dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong.
"Plak-plak-plak-plak!!"
Empat buah tangan mencengkeram pundak dan tangan Kun Liong.
"Auuuuhhh...!"
"Heeiiii...!"
"Aduhhh...!"
"Lepaskan...!"
Empat orang
kakek itu kaget setengah mati ketika mereka merasa betapa telapak tangan mereka
menempel dan melekat di tubuh pemuda gundul itu, dan yang membuat mereka
terbelalak meronta-ronta dengan kaget adalah betapa hawa sinkang mereka yang
tersalur melalui tangan yang mencengkeram itu kini membanjir ke luar memasuki
tubuh pemuda gundul itu.
"Ihhhh...
lepaskan... apa yang kalian lakukan? Panaaasss... ihhh, panasss...!" Kun
Liong meronta-ronta.
Dia sudah
mempelajari Thi-khi I-beng, juga telah menguasai ilmu mukjijat ini, akan tetapi
belum pernah dia mempergunakannya. Walau pun dia sudah mendengar penjelasan dan
keterangan Cia Keng Hong, akan tetapi begitu sekarang mengalami sendiri betapa
hawa sinkang empat orang itu menerobos memasuki tubuhnya, dia merasa terkejut,
ngeri, dan juga geli sehingga dia malah berteriak-teriak dan sejenak lupa
bagaimana harus berbuat.
Melihat
keadaan Kun Liong, empat orang itu bahkan semakin mengerahkan tenaga untuk
melepaskan tangan mereka. Celaka bagi mereka, justru makin kuat mereka
mengerahkan tenaga, makin hebat pula hawa sinkang mereka mengalir keluar
memasuki tubuh pemuda itu.
Kun Liong
gelagapan. Terasa benar betapa tenaga sinkang lawan membanjiri tubuhnya,
membuat napasnya sesak dan kepalanya pening. Dengan ubun-ubun terasa
berdenyutan keras, dia mengerahkan ingatan akan pelajaran Thi-khi I-beng dan
terdengarlah kembali olehnya penjelasan Cia Keng Hong.
"Thi-khi
I-beng menciptakan daya sedot yang luar biasa dan amat berbahaya kalau hawa
sinkang lawan tersedot olehmu. Banjir hawa sinkang itu bisa membuat kau menjadi
panik. Kalau kau tidak dapat menguasainya, kelebihan hawa sinkang yang
tiba-tiba memenuhi tubuh itu, kalau menyerang kepala dapat membuat engkau
menjadi gila, kalau menerjang jantung dapat membuat jantung pecah. Selain itu,
yang tersedot sinkang-nya dapat tewas pula. Maka, yang penting sekali,
bersikaplah tenang, gerakkan sinkang yang membanjir itu ke dalam pusar, lalu
kumpulkan di situ dan biarkan berputar-putar di pusar. Akan tetapi jangan lupa
untuk terlebih dahulu membebaskan lawan yang bagian tubuhnya melekat
padamu."
Celaka,
pikir Kun Liong! Dia telah lupa akan hal yang terpenting, yaitu cara melepaskan
mereka. Cepat dia lalu menggoyang tubuhnya, seperti seekor anjing menggoyang
tubuh untuk mengeringkan bulu-bulunya dan... tubuh keempat orang itu terlempar
ke kanan kiri lantas terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan, wajah
pucat sekali dan napas empas-empis!
Kun Liong
terhuyung-huyung ke depan, menghampiri empat orang kakek itu dan matanya
terbelalak ngeri. Celaka, jangan-jangan mereka itu mati! Akan tetapi tidak,
mereka masih bernapas dan dengan hati penuh penyesalan dan ngeri Kun Liong
segera meninggalkan tempat itu.
Ngeri dia
apa bila orang-orang itu sampai mati, mati di tangannya, mati kehabisan hawa
sinkang. Dia merasa seolah-olah menjadi seekor laba-laba yang telah menyedot
kering empat ekor lalat, dihisap semua air dan darahnya!
Dia bergidik
dan terus berlari terhuyung-huyung. Mukanya sampai ke seluruh kepalanya merah
sekali, matanya juga merah, napasnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau
marah. Dia merasa seolah-olah dada dan pusarnya akan meledak karena penuh
dengan hawa sinkang yang berputar-putar. Dia merasa seolah-olah menjadi sebuah
balon karet kepenuhan hawa.
Dengan
pandang mata berkunang dan kepala pening Kun Liong berlari terus, menuju ke
tempat dari mana dia mendengar suara hiruk-pikuk. Dia tidak sadar bahwa dia telah
lari kembali ke arah perkampungan yang dijadikan sarang para pemberontak di
tepi Sungai Huang-ho.
Ketika dia
tiba di tepi sungai di luar perkampungan itu, dia melihat banyak sekali tentara
berperang dengan ramainya. Dia menjadi amat heran karena agaknya kedua pihak
yang berperang itu adalah tentara pemerintah. Dalam kepeningannya dia sampai
lupa bahwa yang memberontak juga tentara pemerintah. Dasar kepalanya lagi
pening dan bingung, melihat perang dia malah mendekati untuk menonton!
Delapan
orang tentara pemerintah segera mengenal Kun Liong sebagai bekas tawanan
pemimpin mereka, maka serentak mereka menyerbu dengan tombak dan golok di
tangan kanan, perisai di tangan kiri.
Kun Liong
berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seperti orang mabok ketika delapan orang
prajurit itu menyerbunya. Melihat banyak senjata ditujukan pada dirinya, Kun
Liong menggerakkan kedua tangannya, menyampok dan menangkis.
Terdengar
suara nyaring berkerontangan. Tombak, golok dan perisai beterbangan disusul
tubuh delapan orang itu terlempar ke sana-sini. Ternyata bahwa dalam keadaan
penuh dengan hawa sinkang itu, gerakan kedua lengan Kun Liong mendatangkan hawa
sinkang yang amat kuat sehingga tanpa disadarinya sendiri, tangkisan itu selain
membuat semua senjata terlempar dan patah-patah juga delapan orang itu kena
dihantam hawa sinkang, terlempar dan roboh pingsan!
Kun Liong
terbelalak, makin panik dia melihat hasil kedua tangannya. Dengan hati penuh
penyesalan dia lalu menghantam sebatang pohon di kirinya.
"Desss...!
Braaakkk...!" Pohon yang besarnya tiga kali tubuh orang itu roboh!
Kun Liong
melanjutkan gerakannya, menghantam sebuah batu besar di sebelah kirinya.
"Desss...
krekk!"
Batu itu
pecah dan dalam kemarahannya terhadap diri sendiri terdorong oleh penyesalan
bahwa kembali dia mencelakai orang dengan pukulannya, pemuda ini terus
menghantami pecahan batu sehingga batu-batu itu menjadi hancur
berkeping-keping.
Anehnya,
kini kepeningannya berkurang dan napasnya menjadi enak kembali. Tahulah dia,
bahwa itu adalah karena kelebihan sinkang liar yang memutari sebelah dalam dada
dan pusarnya telah tersalurkan keluar. Akan tetapi masih ada sinkang yang
‘kelebihan’, sinkang liar yang ditampungnya dari empat orang kakek tadi, yang
masih berputar-putar di dalam perutnya, mengamuk seperti segerombolan setan
mencari tempat tinggal.
"Ihhh,
bocah setan...!" Terdengar seruan perlahan dari belakangnya.
Kun Liong
membalikkan tubuhnya dan melihat ada seorang kakek tinggi kurus menyerang
dirinya dengan tamparan hebat yang ditujukan kepada pundaknya. Maka secara
otomatis dia menggerakkan kedua lengan menangkis.
"Bressss...!
Hayaaaa...!"
Kakek itu
terlempar sampai empat meter dan terbanting, lalu bergulingan dan meloncat
bangun dengan mulut terbuka lebar dan mata terheran-heran. Ada pun Kun Liong
sendiri terpelanting.
"Kun
Liong, pengkhianat engkau!"
Bentakan
halus ini membuat Kun Liong amat terkejut dan dia tidak melawan ketika Li Hwa
memasangkan belenggu di kedua tangannya. Kakek tinggi kurus tadi menghampiri
sambil menggelengkan kepala.
"Hebat
sekali engkau, orang muda... eihhh, bukankah engkau Yap-sicu yang kujumpai di
Siauw-lim-si?"
Dengan kedua
pergelangan tangan dibelenggu rantai baja kuat, Kun Liong cepat menjura kepada
kakek itu. "Harap Tio-taihiap suka memaafkan saya..."
"Aihhh,
justru aku yang sudah menyerangmu, melihat engkau merobohkan delapan orang
prajurit kemudian mengamuk, menghantam pohon dan batu. Engkau hebat bukan main,
Yap-sicu... akan tetapi, ehh, Nona Souw, mengapa dia dibelenggu?"
"Tio-lopek
harap jangan mudah dikelabui bocah ini! Dialah yang telah mendapatkan bokor
emas dan dia pula yang menyembunyikannya."
"Ahhh...!"
Tio Hok Gwan yang berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal kepercayaan The Hoo yang
mengantuk itu, kini berdiri dengan penuh keheranan, bersedakap sambil memandang
Kun Liong dengan matanya yang sipit hampir terpejam.
"Hayo
katakan di mana kau sembunyikan bokor itu!" Li Hwa kini membentak dan
pedang yang telah dicabutnya menodong ulu hati Kun Liong.
Benturan
tenaga sakti melawan pengawal she Tio tadi sudah membikin normal kembali
keadaan Kun Liong. Sekarang dia berdiri dan memandang dara jelita yang
menodongnya dengan sinar mata tajam, alis berkerut dan bibir tersenyum
mengejek.
"Aku
tidak biasa bicara di bawah todongan pedang. Kalau kau bicara setelah ditodong,
sama artinya bahwa aku takut akan pedangmu, Li Hwa. Apa bila kau ingin
membunuhku, teruskan saja tusukkan pedangmu. Mengapa ragu-ragu?"
Li Hwa
merapatkan gigi dengan gemas. "Aku tahu bahwa engkau tentu sudah mengambil
bokor itu dan menyembunyikannya lagi. Engkau manusia palsu dan hatimu kotor,
tidak sebersih kepalamu!"
Panas rasa
perut Kun Liong, akan tetapi dia menekan hatinya. "Masa bodoh, aku baru
mau bicara tentang bokor kalau engkau bersikap lebih manis kepadaku. Kalau
tidak, mau bunuh, mau tusuk, mau bacok, terserah!" Dia lalu membalikkan
tubuhnya membelakangi gadis itu!
"Bedebah!
Kalau kau tidak mengaku di mana kau simpan bokor itu, kau akan kubunuh!"
"Nona
Souw... nanti dulu... Yap-sicu ini..."
"Tio-lopek,
harap jangan mencampuri urusan ini. Suhu sendiri yang menyerahkan tugas ini
kepadaku!" Li Hwa berkata agak kaku.
Kakek itu
mengangkat pundak. "Kalau begitu... aku akan membantu pasukan membasmi
para pemberontak!" Setelah berkata demikian, kakek itu lantas berkelebat
pergi ke medan pertempuran yang berlangsung ramai.

Mereka kini
hanya berdua. Li Hwa sudah meloncat ke depan Kun Liong, mengelebatkan
pedangnya. "Yap Kun Liong, kau masih keras kepala?"
"Souw
Li Hwa, apa yang kau kehendaki?"
"Katakan
di mana kau simpan bokor itu!"
"Simpan
dulu pedangmu dan bersikaplah manis!"
"Tidak
sudi!"
"Aku
pun tidak sudi memberi keterangan."
"Kau
menantang?"
"Kau
yang keterlaluan!"
"Kubunuh
kau!"
"Terserah!"
Li Hwa
dengan gemas menggerak-gerakkan pedangnya. Sinar pedang bergulung-gulung
menyambar ke sekeliling tubuh Kun Liong. Pemuda ini berkali-kali mendengar
suara kain robek, pandang matanya kabur oleh sinar pedang dan tak lama kemudian,
ketika pedang berhenti bergerak, masih tampak robekan bajunya beterbangan ke
bawah ada pun tubuh atasnya sudah telanjang sama sekali!
Ternyata
dara yang amat lihai ilmu pedangnya itu telah ‘mengupasnya’ bulat-bulat. Kun
Liong merasa kagum sekali karena gerakan pedang tadi memang luar biasa dan
sudah berhasil mengupas tubuh atasnya dengan merobek-robek bajunya tanpa
sedikit pun juga mengenai kulit tubuhnya!
Akan tetapi
dia menyembunyikan rasa kagumnya, bahkan tersenyum lebar dan berkata dengan nada
mengejek sekali. "Nah, apakah engkau sudah puas? Lihat bentuk tubuhku,
baguskah? Li Hwa, sesudah engkau melibat tubuhku tanpa tertutup baju, aku jadi
ingin sekali melihat tubuhmu..."
"Plakkk!"
Pipi kanan Kun Liong ditampar oleh telapak tangan kiri yang halus namun penuh
terisi tenaga itu sehingga ada warna merah bekas tangan dara itu di pipi Kun
Liong.
"Laki-laki
ceriwis!"
"Ha-ha-ha-ha,
memang aku ceriwis. Akan tetapi engkau yang sudah menelanjangi aku ini entah
apa namanya. Sekali waktu akan kubalas engkau!"
"Apa?
Mau membalas tamparanku?"
"Bukan.
Membalas karena engkau menelanjangiku."
Sepasang
mata yang bening itu terbelalak, dagu yang meruncing manis itu dijulurkan ke
depan. "Kau... kau... hendak menelanjangi... bedebah, manusia kurang ajar
kau!" Kembali tangan kiri Li Hwa bergerak, akan tetapi ditahannya dengan
alis berkerut dan marah.
"Souw
Li Hwa, engkau menelanjangiku dengan perbuatan, aku hanya dengan kata-kata dan
engkau sudah mengatakan kurang ajar. Engkau sungguh terlalu dan tidak
adil!"
Sejenak Li
Hwa memandang pemuda itu dengan hati yang tidak karuan rasanya. Selama hidupnya
belum pernah dia bertemu dengan orang seperti pemuda gundul ini yang begini
berani, kurang ajar, akan tetapi juga tak dapat disangkal kebenaran ucapannya.
Teringat akan bokor emas dan bahwa pemuda ini murid Bun Hwat Tosu, dia bersabar
kembali dan bertanya,
"Kun
Liong, jangan engkau main-main. Aku sungguh tak mengerti akan sikapmu. Engkau
ini kawan ataukah lawan, engkau membela pemerintah ataukah memihak pemberontak.
Sesungguhnya, di manakah adanya bokor itu?"
Kun Liong
menarik napas panjang. "Nah, kalau begitu lebih baik. Kalau sikapmu ramah
dan halus, maka pada wajahmu terbayang kecantikan asli dan engkau bertambah
manis. Sungguh, Li Hwa. Seorang dara jelita seperti engkau ini tidak patut
kalau mudah marah dan bersikap kejam. Aku akan memberi penjelasan, akan tetapi
sebelumnya aku minta supaya diberi sebuah baju lebih dahulu. Aku tidak mau
bicara denganmu dalam keadaan setengah telanjang begini!"
Li Hwa
merapatkan giginya, akan tetapi dia kehabisan akal, tidak mau marah lagi karena
memang kalau dipikir, dia telah bertindak keterlaluan dengan menghancurkan
semua baju bagian atas dari tubuh pemuda itu. Dengan nyaring dia lalu memanggil
seorang perwira dan memerintahkan perwira ini mengambilkan sepotong baju untuk
‘tawanan’ ini. Perwira itu memandang Kun Liong, tersenyum, lalu mengambil
sepotong baju, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian pergi lagi untuk
melanjutkan pertempuran yang masih terus berlangsung di luar perkampungan.
"Li
Hwa, kau lepaskan dulu belenggu ini. Tanpa dilepaskan, bagaimana aku bisa
memakai baju ini?"
Karena apa
yang diucapkan pemuda itu memang benar, meski pun hatinya gemas bukan main, Li
Hwa terpaksa membuka belenggu itu dengan kunci belenggu. Akan tetapi begitu
belenggu terputus, segera tampak sinar berkilat dan pedangnya sudah menodong
lagi ke lambung pemuda itu.
Kun Liong
melirik pedang, memandang wajah dara itu dan tersenyum lebar, kemudian
menggerakkan kedua pundak dan mengenakan pakaian itu seenaknya seperti mengulur
waktu.
"Hayo,
cepat!" Li Hwa menghardik.
Sesudah Kun
Liong selesai mengenakan baju, kembali belenggu itu dipasangkan kepada kedua
pergelangan tangannya. Kun Liong tidak membantah, bahkan memandang dengan
tersenyum, seolah-olah menghadapi seorang anak yang bengal.
"Nah,
sekarang katakan di mana bokor itu."
"Kalau
sudah kukatakan, kau akan membebaskan aku?"
"Enak
saja! Kalau aku sudah mendapatkan bokor itu, baru kau akan kubebaskan."
"Wah-wah,
kalau begitu akan lama kita berkumpul. Hemm, aku senang berkumpul dengan
seorang dara yang cantik menyenangkan seperti engkau, Li Hwa, heh-heh..."
"Lekas
katakan di mana!" Li Hwa menghardik lagi dan kembali pedangnya sudah
dicabut.
"Aduhh,
galak benar kau. Bokor itu telah terampas oleh Ketua dari Kwi-eng-pang..."
"Apa?
Kwi-eng Niocu?"
"Benar.
Tadi ada lima orang datuk kaum sesat, lengkap dan masih ditambah empat orang
kakek yang tak kukenal. Mereka mengurungku dan karena aku merasa tak sanggup
untuk menghadapi mereka, terpaksa aku tidak dapat mempertahankan bokor itu dan
terampas oleh Kwi-eng Niocu. Dan memang sengaja kulemparkan kepadanya."
"Kau
sengaja?" Mata yang indah itu terbelalak, penuh keheranan dan kemarahan.
"Mengapa
kau berikan dia?"
"Karena
aku menggunakan ini!" Dengan sepasang tangannya yang dibelenggu, Kun Liong
mengusap kepalanya.
"Hemm,
gundul seperti itu mana ada otaknya!" Li Hwa mengomel. "Hayo katakan,
kenapa kau berikan wanita iblis itu?"
"Karena
di antara lima orang datuk kaum sesat itu, hanya dialah yang sudah kuketahui
dengan betul sarangnya, dan selain itu, juga aku masih mempunyai perhitungan
dengan dia yang telah mencuri dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai. Karena itu,
biar sementara kutitipkan bokor itu kepadanya."
"Kau
titipkan? Tolol! Bodoh sekali! Jika dia mengetahui rahasia bokor, celaka
sekali. Aku harus cepat merampasnya kembali. Dasar kau tolol!"
"Memang
aku tolol, habis mengapa?"
"Huhh!"
Li Hwa mendengus, kemudian dia memanggil seorang perwira, memerintahkan perwira
itu untuk mengumpulkan sepasukan kecil untuk menjaga Kun Liong.
"Jangan
biarkan dia lari, kalau perlu bunuh saja!" dia memerintah.
"Wah,
galaknya, Li Hwa, jangan khawatir, aku tidak akan lari darimu, apa lagi karena
aku belum membalas perbuatanmu tadi." Kun Liong tertawa pada saat melihat
belasan orang prajurit pemerintah mengepungnya dan menjaganya dengan senjata
terhunus.
Wajah Li Hwa
menjadi merah sekali karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Kun Liong dengan
pembalasan itu, maka tanpa bicara lagi dengan pedang terhunus di tangan dia
sudah berlari cepat ke arah pertempuran untuk membantu pengawal Tio Hok Gwan
bersama pasukannya membasmi pemberontak, dan hal ini tidak sulit karena
pemberontak telah mulai terdesak dan sudah ada yang melarikan diri.
Ketika Li
Hwa meninggalkan pasukannya yang tadinya mengalami kekalahan, di tengah jalan
dia bertemu dengan pengawal tua pengantuk yang lihai itu bersama pasukannya,
maka dia lalu mendapat bantuan dan bersama-sama pasukannya yang menanti, mereka
kemudian menyerbu perkampungan pemberontak dan sekali ini, karena jumlah
pasukan pemerintah lebih besar, mereka berhasil mendesak kaum pemberontak yang
dibantu oleh orang-orang asing itu.
Karena kini
jumlah pasukan pemerintah lebih banyak, terutama sekali karena amukan Tio Hok
Gwan dan Souw Li Hwa, maka perang itu tak berlangsung terlalu lama dan pasukan
pemberontak dipukul hancur, banyak jatuh korban, banyak para pimpinan
pemberontak ditawan dan banyak pula yang melarikan diri, termasuk Hendrik.
Perkampungan nelayan yang dijadikan sarang pemberontak itu dapat direbut dan Li
Hwa segera bersama Tio Hok Gwan mengerahkan pasukan mengadakan pembersihan dan
mengumpulkan tawanan di sebuah pondok besar dan dijaga ketat.
Sesudah
perang selesai dan anak buahnya sibuk mengurus korban, karena pakaiannya kotor
ternoda darah musuh dan tubuhnya terasa lelah, Li Hwa lalu pergi ke sebuah
tempat sunyi yang terlindung oleh tebing-tebing batu dan pepohonan. Dia
menanggalkan semua pakaiannya yang kotor dan menaruh pakaian bersih pengganti
di tepi sungai, kemudian dia terjun ke air sungai yang amat tenang dan cukup
jernih di bagian itu.
Sambil
berendam di air yang sejuk sedalam pinggang, Li Hwa mencuci seluruh tubuhnya,
merasa segar dan gembira sekali. Akan tetapi sambil menggosok-gosok tubuhnya,
dara ini termenung dan alisnya berkerut ketika dia teringat akan semua yang
terjadi selama beberapa hari ini. Di depan matanya terbayang wajah tiga orang
pemuda yang sangat mengesankan hatinya dan yang menimbulkan bermacam perasaan.
Wajah
Hendrik yang telah menawannya serta menciumnya dengan paksa, mendatangkan
perasaan benci yang amat besar dan diam-diam mengharapkan agar pemuda asing
yang dibencinya itu tewas dalam perang atau setidaknya berada di antara para
tawanan!
Wajah ke dua
adalah wajah Yuan de Gama, pemuda asing yang telah menolongnya dan teringat
akan Yuan, kedua pipi Li Hwa menjadi merah. Yuan juga menciumnya, mencium
mulutnya dengan sangat mesra, akan tetapi bukan mencium dengan paksa atau
sengaja untuk berbuat kurang sopan, tapi ciuman untuk menghindarkan kecurigaan
para penjaga, ciuman untuk menolongnya dan membebaskannya. Dan entah mengapa,
teringat akan ini Li Hwa merasa malu sekali, jantungnya berdebar aneh dan ada
keinginan mendesak di hatinya, keinginan untuk bertemu lagi dengan Yuan de
Gama!
Wajah ke
tiga adalah wajah seorang pemuda berkepala gundul, Yap Kun Liong. Wajah ini menimbulkan
kegemasan dalam hatinya, geram kecewa, akan tetapi juga kagum. Belum pernah
selama hidupnya dia bertemu dengan dua orang pemuda seperti Yuan de Gama dan
Yap Kun Liong.
Bila
teringat akan bokor emas, hatinya menjadi makin gemas kepada Kun Liong. Celaka
benar pemuda itu. Bokor telah didapat, malah diserahkan kepada Kwi-eng Niocu!
Dia ingin
sekali mendapatkan bokor emas itu. Dia tahu alangkah akan gembiranya hati
gurunya, Panglima Besar The Hoo kalau saja dia dapat menyerahkan bokor itu
kepada gurunya. Gurunya merupakan satu-satunya orang di dunia ini yang sangat
dihormatinya, pengganti orang tuanya yang telah tiada.
Li Hwa sudah
menjadi seorang yatim piatu karena ayah bundanya telah meninggal dunia beberapa
tahun yang lampau. Ayahnya, Souw Bun Hok, bekas juru mudi suhu-nya, telah
meninggal lebih dulu tujuh tahun yang lalu. Kemudian ibunya terserang penyakit
menular, meninggal dua tahun yang lalu. Karena dia tidak mempunyai keluarga
lain, maka hanya Panglima The Hoo, gurunya itulah yang menjadi pengganti orang
tuanya.
Bahkan kini
dia meninggalkan rumah orang tuanya di Liok-ek-tung, diminta oleh suhu-nya
untuk tinggal di istana panglima itu, sebagai murid, juga seperti anak sendiri
oleh karena suhu-nya tidak mempunyai anak. Tentu saja dia ingin menggembirakan
hati gurunya yang sudah dianggap seperti orang tua sendiri itu. Celakanya,
semua menjadi gagal karena ketololan Kun Liong!
Memang The
Hoo yang tidak mempunyai anak merasa amat suka kepada muridnya ini. Semenjak
kecil, Li Hwa yang mempunyai bakat dan tulang baik itu sudah diambil murid oleh
The Hoo. Biar pun orang sakti ini tidak sempat menurunkan seluruh kepandaiannya
yang tinggi dan hanya di waktu dia datang ke rumah juru mudinya saja dia
mengajar Li Hwa, namun dara ini sudah memiliki ilmu kepandaian hebat sekali,
terutama sekali Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat yang menggunakan tenaga
Im-yang Sinkang dan yang lebih menakutkan lawannya adalah ilmunya It-ci-san,
yaitu ilmu menotok yang lihai.
Ketika
melihat betapa dara itu ditinggal mati ayah bundanya, The Hoo merasa semakin
kasihan dan memanggil muridnya untuk tinggal di kota raja, di dalam istananya.
Di tempat ini, selain menjadi pengurus rumah tangga gurunya, mengepalai semua
pelayan dalam, juga kadang-kadang Li Hwa mewakili gurunya dalam urusan besar
seperti menumpas kaum penjahat dan pemberontak.
Pada waktu
The Hoo menerima laporan dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong mengenai
pemberontakan yang timbul di Ceng-to, dia lalu mengerahkan tenaga para
pembantunya, bahkan Li Hwa sendiri disuruh mengepalai pasukan untuk mengadakan
pembersihan di sepanjang Sungai Huang-ho! Tio Hok Gwan, pengawal kepala yang
sangat lihai itu pun mengepalai pasukan, sedangkan pasukan besar yang menyerbu
ke Ceng-to, di samping dipimpin panglima-panglima perang yang berpengalaman,
juga dibantu oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri atas permintaan Panglima
Besar The Hoo!
Sambil mandi
membersihkan tubuhnya, Li Hwa mengenangkan ini semua, dan dia pun menjadi
kecewa karena gagal mendapatkan bokor emas. Dia bermaksud untuk memimpin
pasukannya untuk menyerbu ke Telaga Kwi-ouw, hendak menyerang Kwi-eng-pang
untuk merampas kembali bokor emas, ada pun para tawanan pemberontak akan dia
serahkan kepada Tio Hok Gwan agar digiring ke kota raja sebagai tawanan perang.
Suara orang
berdehem membuat Li Hwa terkejut sekali. Dia menoleh dan...
“Ihhh...!"
Dara itu langsung menjerit ketika melihat Kun Liong si kepala gundul telah
duduk metongkrong di atas sebuah batu di pinggir sungai, dekat tumpukan pakaian
Li Hwa!
"Heh-heh-heh,
indah dan sedap sekali pemandangan di sini!" Kun Liong berkata ke arah
punggung Li Hwa yang putih mulus itu.
"Bedebah!
Setan iblis siluman keparat kau, Kun Liong!" Li Hwa menjerit-jerit sambil
cepat merendam tubuhnya semakin dalam. Dia berjongkok di dalam air sehingga air
sampai ke lehernya, barulah dia berani memutar tubuh dan memandang pemuda itu
dengan mata terbelalak penuh kemarahan.
Yang
dimarahi tersenyum-senyum lebar, menggerak-gerakkan alis dan matanya seperti
orang tidak mengerti. "Lho, mengapa marah-marah tidak karuan? Apa salahku
sekali ini, Nona manis?"
"Yap
Kun Liong manusia cabul! Hayo lekas pergi kau, kalau tidak... hemmmm... aku
bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!"
"Heh-heh-heh..."
Kun Liong terkekeh dan menjadi makin gembira. Kini dia merasa dapat membalas
dendam terhadap dara yang sudah beberapa kali menghinanya itu. "Engkau
memang seorang dara yang jelita, manis dan galak, dan engkau memang juga
menjadi pemimpin pasukan. Akan tetapi aku belum mendengar bahwa kau telah
menjadi siluman penunggu Sungai Huang-ho."
"Apa...
apa maksudmu?" Li Hwa membentak dengan kedua tangan sibuk menutupi dada,
seakan-akan air yang menutupi dadanya itu masih belum cukup untuk
menyembunyikan bagian tubuh ini dari pandang mata Kun Liong yang tajam.
"Kau
mengusir aku pergi seolah-olah tempat ini menjadi hakmu, maka agaknya engkau
telah menjadi siluman penunggu sungai maka kau menghaki tempat ini dan mengusir
aku pergi!"
"Jahanam
kau! Sengaja mengintai orang mandi, ya? Tak tahu malu! Cihhh, laki-laki mata
keranjang, cabul, muka tembok!"
"Ha,
hendak kulihat siapa yang lebih kuat bertahan. Kau yang memaki-maki di sana
atau aku yang duduk di sini. Aku akan duduk di sini selama engkau masih
memaki-maki aku."
Kun Liong
duduk seenaknya dan kini dia mengambil baju Li Hwa, mempermainkan baju itu
sambil mengomel, "Bagaimana ya rasanya kalau baju dirobek-robek
orang?" Dan dia membuat gerakan seperti hendak merobek-robek baju itu.
"Kun
Liong keparat kau! Jangan robek-robek bajuku!" Saking marahnya, Li Hwa
sampai lupa diri, bangkit berdiri sehingga tubuh bagian atasnya tampak.
Lengan
kirinya dilingkarkan sebisanya untuk menutupi dadanya yang membusung, tangan
kanannya menuding ke arah Kun Liong di sebelah belakangnya dengan marah. Kun
Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini
memegang baju Li Hwa.
"Sabar
Nona manis, aku tidak merobek bajumu. Aku hanya ingin melihat tubuhmu seperti
kau telah melihat tubuh. Duhaiii... indahnya, halusnya... hemmm..."
"Cluppp...!"
Li Hwa sudah berjongkok lagi.
"Kun
Liong... jangan... jangan kau goda aku begini..." Dia hampir menangis,
kedua pipinya kemerahan. Amarahnya yang memuncak masih kalah oleh rasa malu dan
bingungnya.
"Siapa
menggoda siapa? Kau merobek-robek bajuku dengan sengaja, kau pun menampar
pipiku, kau juga membelenggu tanganku. Apa saja yang tidak kau lakukan
terhadapku? Dan aku datang bukan sengaja menelanjangimu, kau bertelanjang
sendiri, tidak ada yang menyuruhmu. Siapa menggoda?"
"Kun
Liong... demi Tuhan! Kasihanilah aku, pergilah kau... biarkan aku berpakaian
lebih dulu..."
"Kau
mau berpakaian? Siapa yang melarang? Nah, berpakaianlah!" Kun Liong
kembali mengulurkan kedua tangannya yang memegang baju sambil tersenyum
mengoda, penuh kegembiraan, matanya bersinar-sinar, mukanya berseri dan
diam-diam dia kagum bukan main karena baru sekarang dia melihat keindahan tubuh
seorang dara, biar pun ditutup-tutupi akan tetapi menambah keindahan yang
melampaui apa yang pernah diimpikannya itu.
"Lemparkan
pakaianku ke sini!" Li Hwa berteriak.
Kun Liong
menggelengkan kepala dan kembali duduk di atas batu. "Tidak, kau harus
mengambilnya ke sini."
"Kun
Liong, tidak malukah kau dengan perbuatanmu ini? Kau tidak sopan, kau cabul!"
"Heh-heh,
apanya yang cabul? Aku tak berniat menjamahmu, tak berniat menggagahimu. Aku
hanya ingin melihat dan mengagumi keindahan tubuhmu, seperti engkau yang sudah
melihat dan menghina keburukan tubuhku. Nah, apa salahnya?"
"Kun
Liong, aku... aku malu sekali. Pergilah kau lebih dahulu. Atau kau berpaling,
jangan menghadap ke sini. Setelah aku berpakaian, baru kita bicara."
Kun Liong
tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya yang gundul. Kemudian dia
bersenandung! Rantai yang membelenggu dua tangannya dipukul-pukulkan ke atas
batu sehingga menimbulkan suara berdencing dan berirama mengikuti suara
senandungnya.
Li Hwa masih
berjongkok. Kedua pipinya basah, akan tetapi Kun Liong mengira bahwa yang
membasahi pipi itu adalah air sungai. Dia belum tahu bahwa sebetulnya sudah ada
beberapa butir air mata yang meloncat turun dari sepasang mata yang kebingungan
dan kehabisan akal itu.
Betapa pun
lihainya Li Hwa, betapa pun galaknya dia, dalam keadaan bertelanjang bulat di
dalam air dan pakaiannya dikuasai oleh Kun Liong, membuat gadis ini sama sekali
kehabisan akal dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Satu-satunya hal yang
dapat dia lakukan hanya memaki-maki dan menangis! Akan tetapi, dia tahu bahwa
memaki-maki tidak ada gunanya, sedangkan untuk terang-terangan menangis, dia
tidak sudi!
Kini Kun
Liong bernyanyi! Suaranya memang cukup merdu, karena sejak kecil dia gemar
bernyanyi, dan dia menguasai lagu nyanyian itu, tidak sumbang.
“Sang Dewi
mandi di telaga
duhai cantik
jelita
perawan
remaja!”
"Kun
Liong, lemparkan pakaianku ke sini!" Li Hwa kembali menjerit.
“Rambutnya
awan tipis di angkasa
matanya
sepasang bintang bercahaya
dagu dan
lehernya... amboiii…!”
"Kun
Liong, kasihanilah aku...!"
“Tubuhnya
batang pohon yangliu
penuh lekuk
lengkung sempurna
kulitnya
lilin putih diraut...”
"Kun
Liong...!"
"Hidung
mancung bibir...
haiii...
gendewa terpentang...
dadanya..."
"Kun
Liong!"
"Dadanya...
wah, dadanya..."
"Kun
Liong..."
Pemuda itu
terkejut karena panggilan ini disertai isak. Dia memandang penuh perhatian dan
melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata itu. Dara itu menangis!
"Datanglah
seorang penggembala
melarikan
pakaian Si Juwita
menangislah
perawan remaja..."
Tangis Li
Hwa makin mengguguk. Dengan tubuh terendam air sampai ke leher, dara itu
menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya.
"Li
Hwa, jangan menangis. Aku hahya main-main... wah, maafkan aku. Jangan menangis,
tak tahan aku melihatnya. Nah, ini pakaianmu. Aku akan berdiri membelakangimu
kalau kau malu. Padahal tidak semestinya malu. Kalau saja aku memiliki tubuh
seperti engkau, hemmm... sebaliknya dari pada malu, aku malah akan merasa
bangga sekali, Li Hwa."
Melihat
pemuda itu sudah berdiri membelakanginya, Li Hwa melangkah keluar dari air,
matanya tidak pernah berkejap memandang punggung pemuda itu dan untuk mencegah
pemuda itu menoleh, dia cepat berkata sambil menyambar pakaiannya. "Jadi
engkau menjadi penggembala itu?"
"Heh-heh!"
Kun Liong terkekeh dan mengangguk.
"Pantas
kau berbau kerbau." Li Hwa berkata asal saja, sebab maksudnya untuk
menarik perhatian Kun Liong agar jangan menoleh sebelum dia selesai berpakaian.
Akan tetapi
karena tergesa-gesa, kedua tangannya menggigil dan dia menjadi panik. Baru
sekali ini selama hidupnya dia merasa betapa sukarnya berpakaian! Seolah-olah
pakaian itu membantu Kun Liong menggodanya, mencekik di bagian leher, buntu
ketika dimasuki kaki tangannya.
"Sudah
selesaikah?" Kun Liong bertanya.
"Nanti
dulu...!"
Akan tetapi
dengan ketajaman pendengarannya, Kun Liong maklum bahwa dara itu telah selesai
mengenakan pakaian dalamnya, maka dia lalu memutar tubuhnya. Dengan penuh kagum
dia memandang dara yang kini sudah memakai pakaian dalam yang serba ketat dan
berwarna merah muda itu.
"Betapa
cantiknya engkau, Li Hwa..."
Li Hwa
semakin panik. Dia membalikkan tubuh dan karena paniknya, dia mengenakan
pakaian luarnya dengan terbalik! Setelah selesai, dia melibat Kun Liong tertawa
bergelak, maka marahlah dia.
"Jahanam
keparat!"
"Ha-ha-ha,
pakaian luarmu terbalik. Ho-ho, lucunya! Jahitannya di luar... eh, lucu
benar... ha-ha-ha!"
Li Hwa
memandang pakaiannya dan merapatkan giginya ketika melihat bahwa pakaian
luarnya benar-benar terbalik. "Hihhh... kubunuh kau...!" gerutunya.
Pakaian
luarnya direnggutnya terlepas lagi, kini saking marahnya tidak peduli lagi
kepada Kun Liong, tidak membalikkan tubuh sehingga Kun Liong dapat menikmati
tubuh depan yang hanya tertutup oleh pakaian dalam yang tipis merah muda itu.
Setelah mengenakan pakaian luarnya, Li Hwa lalu menggelung rambutnya dan
memandang Kun Liong dengan mata bernyala.
Kun Liong
amat terpesona. Baru sekarang dia melihat seorang dara menggelung rambut di
depannya. Gerakan kedua tangan, sepasang lengan diangkat di atas kepala. Betapa
manisnya!
"Li
Hwa, tahukah engkau akan dongeng penggembala dan puteri yang mandi? Setelah Si
Penggembala melarikan pakaian Si Puteri, puteri itu menangis, Si Penggembala
merasa kasihan, mengembalikan pakaian dan akhirnya mereka... kawin!"
"Kau...
kau...!" Muka Li Hwa merah sekali.
"Aahh,
jangan marah, Li Hwa. Penggembala itu mengawini Si Puteri Mandi, akan tetapi
jangan khawatir, aku tidak akan mengawinimu. Tidak, kita tidak akan menjadi
suami isteri seperti mereka."
Alangkah
kaget dan heran hati Kun Liong ketika dia melihat betapa kata-katanya ini malah
membuat dara itu marah bukan main. Li Hwa melangkah maju dan dengan kedua mata
berapi-api dia berkata,
"Kun
Liong, penghinaanmu kepadaku sudah tiada taranya dan hanya bisa ditebus dengan
nyawa! Biar pun engkau mencurigakan dan mungkin bersekutu dengan pemberontak,
dan walau pun engkau sudah berkhianat dengan menyerahkan bokor kepada Kwi-eng
Niocu, namun mengingat engkau murid Bun Hwat Tosu, aku masih segan untuk
membunuhmu dan akan menyerahkanmu kepada Suhu. Akan tetapi,
penghinaan-penghinaan yang kau lakukan kepadaku merupakan urusan kita pribadi
dan harus diselesaikan sekarang juga!"
"Aihh,
Li Hwa. Apa maksudmu?"
"Aku
tahu bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian dan sebagai murid Bun Hwat
Tosu, kiranya engkau tidak diajarkan menjadi seorang pengecut oleh kakek
terhormat itu. Mungkin engkau bukanlah pemberontak, akan tetapi yang jelas,
engkau sudah bersikap kurang ajar dan menghinaku. Mari kita bereskan persoalan
antara kita dengan mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, aku berjanji tidak akan
menawanmu lagi dan bokor itu akan kucari sendiri."
"Kalau
aku yang kalah?"
"Engkau
harus berlutut minta ampun atas kekurang ajaranmu, selanjutnya menurut segala
kehendakku tanpa membantah, atau kau akan kubunuh."
"Hemm,
keputusan yang adil juga. Dan memang aku mempunyai banyak urusan sehingga sudah
mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat ini. Engkau tentu akan merasa
penasaran kalau belum berhasil memukul jatuh aku, meski pun kau sudah beberapa kali
menampar dan memaki. Nah, aku sudah siap!" Kun Liong bangkit berdiri lalu
meloncat ke belakang, ke tempat yang datar.
Li Hwa
segera menyusul dengan loncatan ringan, akan tetapi dara ini tidak mencabut
pedangnya yang sudah diikat pada punggungnya. Bahkan dia tidak menyerang, hanya
memandang pemuda gundul itu, kemudian berkata, "Dekatkan kedua tanganmu,
akan kubuka dulu belenggumu."
Akan tetapi
Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Biarlah, Li Hwa, kukira hal itu tidak
perlu."
"Hemm,
kau kira aku berwatak pengecut hendak melawan orang yang kedua tangannya
terbelenggu? Akan kubebaskan dulu kau."
"Tidak
usah, aku dapat membebaskan kedua tanganku sendiri." Kun Liong
menggerakkan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Krekkrekkk...!"
belenggu kedua tangannya itu patah-patah!
Li Hwa
memandang dengan kaget dan kagum, akan tetapi juga marah sekali karena dia tahu
bahwa selama ini, Kun Liong sengaja membiarkan dirinya ditawan dan dibelenggu
sehingga diam-diam tentu mentertawakannya dan hal itu sama dengan mempermainkan
dirinya.
"Bagus!
Sekarang tidak perlu kau berpura-pura lagi. Sambutlah!"
Li Hwa
langsung menerjang maju, gerakannya cepat bukan main seperti seekor burung
walet menyambar, tangan kirinya menampar ke arah ubun-ubun kepala lawan
sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Sebuah serangan yang
amat dahsyat serta berbahaya karena selain cepat, juga mengandung hawa pukulan
yang antep dan kuat. Tidaklah mengherankan karena memang dia telah mengeluarkan
jurus ampuh dari Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga
sakti Im-yang Sinkang.
"Hayaaaaa...!"
Kun Liong
terkejut sekali, cepat-cepat membuang tubuh ke kanan untuk menghindarkan
tamparan, lantas lengan kirinya menangkis cengkeraman tangan kanan lawannya
yang lihai.
Akan tetapi,
begitu jurus pertama gagal, dengan kecepatan mengagumkan Li Hwa sudah menerjang
dengan jurus susulan yang lebih ampuh lagi. Gerakan dara ini memang gesit
sekali dan ilmu silat yang dimainkannya adalah limu silat tinggi yang
dipelajarinya dari gurunya, The Hoo yang sakti, maka tentu saja semua
serangannya merupakan serangan maut yang berbahaya.
Kun Liong
tidak sempat main-main lagi karena dia pun maklum bahwa tingkat kepandaian dara
ini sudah sangat tinggi sehingga sekali saja dia terkena cium tangan dara itu,
belum tentu kekebalannya akan dapat melindunginya baik-baik. Maka dia pun lalu
mengimbangi semua terjangan dara itu dengan permainan Ilmu Silai Pat-hong
Sin-kun.
Dia sengaja
memilih Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) ini karena ilmu
inilah yang paiing cepat gerakannya di antara semua ilmu yang diketahuinya dan
paling tepat untuk mengimbangi gerakan Li Hwa yang demikian gesitnya. Betapa
pun juga, dia terus terdesak karena memang Kun Liong tidak pernah dan tidak mau
membalas, hanya menjaga diri dengan elakan dan tangkisan.
Setelah
lewat lima puluh jurus belum juga dapat merobohkan lawan, apa lagi merobohkan
bahkan satu kali pun belum pernah dia dapat memukul tubuh Kun Liong, padahal
pemuda itu sama sekali tidak pernah membalas serangannya, Li Hwa menjadi
terkejut, heran, kagum dan juga penasaran! Dia sudah menduga bahwa sebagai
murid Bun Hwat Tosu, pemuda gundul itu tentu memiliki kepandaian tinggi sekali.
Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda itu akan dapat
melawannya tanpa balas menyerang sama sekali, padahal dia sudah mempergunakan
seluruh sinkang dan ginkang yang dilatihnya bertahun-tahun, dan mainkan Ilmu
Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat ciptaan suhu-nya yang amat dahsyat!
Sebenarnya
tidak mengherankan kalau saja Li Hwa mengetahui bahwa selain menerima latihan
dari Bun Hoat Tosu yang sakti selama lima tahun, lawannya juga telah digembleng
secara hebat di dalam kamar rahasia oleh tokoh utama Siauw-lim-pai, yaitu Tiong
Pek Hosiang! Dari kakek luar blasa ini, selain ilmu-ilmu khusus seperti Im-yang
Sin-kun dan Pek-in Ciang-hoat, juga Kun Liong telah digembleng dengan ilmu yang
menjadi inti sari dari semua ilmu Siauw-lim-pai, yaitu Ilmu Mukjijat
I-kin-keng!
I-kin-keng
adalah ilmu silat mukjijat yang dulunya diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, pendiri
Siauw-lim-pai. Mula-mula I-kin-keng diajarkan oleh Tat Mo Couwsu untuk
mendatangkan kesehatan dan kekuatan kepada para pendeta yang menjadi muridnya
ketika dia melihat murid-murid ini lesu dan mengantuk selagi mendengarkan
pelajaran kebatinan. Maklumlah Tat Mo Couwsu betapa pentingnya olah raga untuk
menjaga kesehatan para pendeta itu, maka mulailah Tat Mo Couwsu mengajarkan
olah raga yang dinamakan I-kin-keng dan yang harus dilatih oleh semua anak
murid setiap pagi.
Pada
mulanya, hanya ada dua belas gerakan atau jurus saja yang diciptakan oleh Tat
Mo Couwsu, akan tetapi kedua belas jurus ini kemudian berkembang biak menjadi
delapan belas, bahkan kemudian oleh pendeta Chueh Yuan dikembangkan menjadi
tujuh puluh dua jurus, yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai.
Kemudian,
bersama-sama dua orang kakek sakti yang bemama Li Cheng dan Pai Yu Feng dari
Kansu dan Shansi, Chueh Yuan mengembangkan lagi, dari tujuh puluh dua jurus
menjadi seratus tujuh puluh gerakan. Semua ini dibagi menjadi lima kelompok
yang disebut Gaya Naga, Gaya Harimau, Gaya Macan Tutul, Gaya Ular dan Gaya
Bangau. Gaya Naga Melatih Semangat, Gaya Harimau Melatih Tulang, Gaya Macan
Tutul Melatih Kekuatan, Gaya Ular Melatih Khikang, Gaya Bangau Melatih Otot.
Oleh Tiong
Pek Hosiang Kun Liong telah digembleng dengan I-kin-keng yang asli hingga
selain tubuhnya kuat, juga dia mempunyai kecepatan yang didasari khikang dan
ginkang. Oleh karena inilah, meski pun Li Hwa adalah murid The Hoo yang sakti,
dia tetap dapat mengimbangi gerakan dara itu.
Apa bila dibuat
perbandingan, meski pun gerakan Li Hwa kelihatan lebih lincah dan indah, tetapi
dia kalah gemblengan! Kun Liong terus-menerus digembleng oleh dua orang kakek
sakti selama sepuluh tahun, ada pun Li Hwa hanya kadang-kadang saja bertemu
dengan gurunya yang mempunyai kedudukan tinggi dan tugas yang amat berat dan
banyak. Apa lagi karena berhubung dengan tugasnya, The Hoo sering kali
mengadakan pelayaran ke negeri-negeri jauh di seberang lautan sehingga Li Hwa
harus berlatih sendiri.
Saking
merasa penasaran dan marah, Li Hwa mengeluarkan lengking panjang kemudian dia
menyerang dengan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu ilmu It-ci-san yang
ampuh. It-ci-san ialah ilmu tiam-hiat-hoat (menotok jalan darah) menggunakan
sebuah jari, hebat bukan main karena dengan totokan satu jari ini dia dapat
merobohkan orang, bahkan jika mengenai sasaran jalan darah kematian, dapat
mendatangkan maut. Dua tangan yang mungil itu kini seakan-akan memegang senjata
yang amat ampuh dan berbahaya, dan tusukan-tusukannya sampai mengeluarkan desir
angin dingin!
"Waduhhh,
kau memang hebat, Li Hwa...!"
Li Hwa tidak
mempedulikan pujian Kun Liong yang terus mengelak ke sana-sini, dia tetap
mengejar dan mengambil keputusan untuk merobohkan lawan dengan cara apa pun
juga, karena kalau tidak, dia tidak akan berhenti merasa penasaran sekali.
"Plak-plak-plak!"
Bertubi-tubi
datangnya serangan totokan Li Hwa, akan tetapi semua dapat ditangkis oleh Kun
Liong. Sekali ini pemuda itu mengerahkan sinkang-nya sehingga kedua tangannya
mengandung tenaga Pek-in Ciang-hoat. Uap putih mengepul dari dua telapak
tangannya sehingga ketika dia menangkis, tubuh Li Hwa segera terdorong ke
belakang dan hampir terjengkang.
"Aihhh...!"
Li Hwa menjadi marah sekali.
"Singgg...!"
Dia sudah mencabut pedang.
"Nah,
ini dia... dia lari ke sini...!"
Lima belas
orang prajurit bermunculan dan serta-merta mengepung dan mengeroyok Kun Liong.
Mereka adalah orang-orang yang tadi ditugaskan untuk menjaga Kun Liong ketika
Li Hwa pergi mandi. Melihat mereka, timbul rasa gemas di hati dara itu dan dia
bertanya kepada perwira yang memimpin pasukan kecil itu.
"Bagaimana
dia sampai dapat lolos?"
"Maaf,
Lihiap. Dia bilang ingin kencing, maka terpaksa kami antar ke pinggir sungai,
dan tiba-tiba dia meloncat ke atas pohon, ketika kami mencarinya, dia telah
lenyap. Tahu-tahu berada di sini dan untung ada Lihiap yang menahannya..."
"Sudahlah,
kalian semua tolol!" Li Hwa membentak dan dengan hati kesal dia menyimpan
kembali pedangnya.
Dia merasa
malu apa bila harus mengeroyok, bahkan dia harus mengakui bahwa dalam
pertandingan tadi, walau pun dia tidak sampai roboh, akan tetapi terang bahwa
dia kalah lihai oleh Kun Liong. Jika tadi dia mencabut pedang hanya karena
dorongan amarahnya, akan tetapi setelah dia menyadari bahwa dia tidak akan
mampu menang, dia pun teringat janjinya untuk membebaskan Kun Liong, maka dia
menyimpan pedangnya dan tidak mau ikut mengeroyok.
Sesudah Li
Hwa tidak menyerangnya, legalah hati Kun Liong. Biar pun kini ada lima belas
orang prajurit yang mengeroyok dirinya dengan bermacam senjata, dengan enak
saja dia dapat mengelak ke sana sini, meloncat tinggi melampaui kepala mereka,
turun ke depan Li Hwa, menjura dan berkata,
"Terima
kasih atas kebaikanmu, Li Hwa. Kulihat Yuan de Gama itu amat baik terhadapmu
akan tetapi hati-hatilah terhadap Hendrik. Nah, selamat tinggal dan sampai
jumpa pula!"
Sesudah
berkata demikian, melihat para prajurit sudah mengejarnya lagi, Kun Liong lalu
melompat jauh dan lari dari tempat itu.
Para
prajurit mengejar, akan tetapi Li Hwa lalu kembali ke perkampungan pemberontak
yang telah mereka duduki. Dia bertemu dengan Tio Hok Gwan yang mengatakan bahwa
lebih dari lima puluh orang pemberontak tertawan, termasuk lima orang asing.
"Apa
yang harus kita lakukan dengan mereka?" Tio Hok Gwan bertanya.
"Jumlah mereka terlalu banyak dan kiranya hanya akan mendatangkan
kesukaran saja bagi kita."
"Habis,
apakah kita harus membunuh mereka begitu saja?" Li Hwa berkata,
"Tio-lopek, tawanan tetap saja tawanan apa lagi kalau diingat bahwa mereka
itu pun adalah prajurit-prajurit pemerintah. Jika mereka dapat diinsyafkan,
tentu mereka tidak akan melanjutkan penyelewengan. Sebaiknya Lopek memimpin
sebagian pasukan Lopek untuk mengawal para tawanan ke kota raja. Terserah
bagaimaria keputusan pengadilan di kota raja. Ada pun aku sendiri akan memimpin
pasukan untuk mengejar orang yang sudah merampas bokor emas."
"Hehh?
Siapa dia?"
"Kwi-eng
Niocu Ketua Kwi-eng-pang." Li Hwa lalu menceritakan pengakuan Kun Liong
tentang bokor yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu.
"Memang
bokor itu harus cepat dikejar dan dirampas kembali," berkata kakek
pengantuk yang lihai ini, "Akan tetapi amatlah berbahaya kalau kau
mengejar ke sana, Nona Souw, Kwi-eng Niocu lihai bukan main, anak buahnya juga
banyak, belum lagi dengan adanya Siang-tok Mo-li yang juga tinggal di
Kwi-ouw."
"Aku
tahu, Lopek. Aku pun tidak akan bertindak sembrono. Apa bila Lopek sudah
selesai mengawal tawanan sampai ke kota raja, Lopek dapat segera menyusulku dan
membantu pencarian kembali bokor yang terampas oleh mereka."
Terpaksa
kakek itu setuju dan Li Hwa lalu memasuki tempat tawanan. Ketika dia sedang
berjalan-jalan memeriksa, di sudut terdengar ribut-ribut.
"Manusia
biadab, apa engkau sudah bosan hidup? Kubunuh engkau!" seorang penjaga
berteriak marah sambil mengacungkan goloknya di luar sebuah kerangkeng tahanan.
"Hemmm,
mau bunuh boleh saja. Siapa yang takut mati? Sesudah aku berada di dalam
cengkeraman kalian, memang mati hidupku terserah kepada kalian. Akan tetapi
jangan mengira bahwa sesudah tertawan aku boleh diperlakukan sembarangan saja!
Aku bukan anjing dan aku tak sudi makan makanan anjing!" Terdengar suara
berkerontangan ketika piring dilempar ke luar dari tempat tahanan itu.
"Bedebah,
mampuslah engkau!" Penjaga yang marah itu hendak membacok ke dalam
kerangkeng.
"Tahan...!"
Li Hwa meloncat dan memegang lengan penjaga itu, kemudian mendorongnya mundur.
Penjaga yang marah-marah itu penasaran, akan tetapi tidak berani membantah dan
segera pergi ketika Li Hwa menyuruhnya.
Ketika
mendengar suara tawanan yang menolak makanan tadi, seperti telah diduga oleh Li
Hwa, ketika dia tiba di depan kerangkeng, dia melihat Yuan de Gama berdiri di
sana dengan sikap angkuh! Dada pemuda asing yang tampan itu terluka, dan
lukanya dibalut dengan robekan bajunya sendiri......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment