Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 19
HEK-BIN-THIAN-SIN
diam saja dan terus mengejar. Dia mendongkol sekali kenapa Legaspi Selado,
tokoh asing botak yang sangat lihai itu, yang sudah berjanji akan membantunya
memperebutkan bokor emas, masih juga belum muncul. Apa bila ada Si Botak Asing
itu bersama pasukannya, tentu dia akan dapat merampas bokor dan mengatasi empat
orang datuk lainnya.
Siang-tok
Mo-li Bu Leng Ci yang mengejar di sebelah belakang, tiba-tiba mengeluarkan
suara melengking tinggi dua kali. Dari jauh terdengar lengkingan tinggi yang
hampir sama, juga dua kali.
Bu Leng Ci
tersenyum girang dan dia mempercepat larinya, akan tetapi tidak mengambil jalan
yang sama seperti yang dilalui Kwi-eng Niocu dan tiga orang pengejarnya.
Kwi-eng Niocu mengambil jalan mendaki naik ke pegunungan, ada pun Siang-tok
Mo-li memotong jalan melalui sebelah bawah dari mana tadi dia mendengar suara
melengking tinggi yang menyambut tanda rahasianya. Pada waktu dia tiba di
seberang sebuah jurang, tampaklah olehnya di sebelah atas, terhalang oleh
jurang itu, bayangan Kwi-eng Niocu sedangkan tiga orang pengejarnya sudah
hampir menyusul Ketua Kwi-eng-pang itu.
"Ang-cici...!
Lekas lemparkan ke sini...!" Bu Leng Ci berseru.
Ang Hwi Nio
sedang gelisah karena tiga orang datuk itu sudah dekat sedangkan dia tidak
melihat bayangan adik angkatnya. Saat mendengar suara ini dia menengok dan
giranglah hatinya melihat orang yang dicari-carinya itu berada di sebelah
bawah, terhalang jurang yang amat curam dan cukup lebar. Dia percaya bahwa dia
mampu melemparkan bokor itu sampai ke seberang jurang dan dia percaya pula
bahwa adik angkatnya cukup lihai untuk dapat menangkap bokor itu.
Melihat
betapa tiga orang datuk pria sudah dekat, dia segera melontarkan bokor itu ke
seberang jurang. Benda itu meluncur dengan cepat sekali ke arah Bu Leng Ci yang
sudah berdiri dan siap menyambut. Bagaikan seekor burung garuda menyambar
seekor burung dara, Siang-tok Mo-li meloncat dan berhasil menangkap bokor emas
yang melayang dari atas itu.
"Ehh,
ke mana kau membuang pusaka itu?" Toat-beng Hoatsu berteriak kaget,
mengira bahwa Kwi-eng Niocu membuang bokor yang mereka perebutkan. Juga Ban-tok
Coa-ong dan Hek-bin Thian-sin terkejut.
Bukan hanya
tiga orang kakek itu yang terkejut, bahkan Kwi-eng Niocu juga kaget sekali
ketika melihat betapa Siang-tok Mo-li setelah menerima bokor itu lalu
melemparkan bokor itu ke seberang jurang lain dan bokor itu lenyap! Siang-tok
Mo-li menoleh dan tersenyum lebar penuh ejekan, kemudian membalikkan tubuh dan
sekali melompat tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon!
Timbul
kecurigaan di dalam hati Ang Hwi Nio, akan tetapi dia sudah dapat menghadapi
tiga orang kakek itu sambil berkata mengejek, "Kalian ini tua-tua bangka
mau apa lagi? Kalian tak akan dapat merampas bokor itu!"
Tiga orang
kakek itu maklum bahwa mereka tidak mungkin melompati jurang ini tanpa bahaya
maut mengancam mereka, namun untuk melakukan pengejaran, mereka harus menuruni
bukit dan mengambil jalan memutar yang makan waktu lama dan tentu orang termuda
dari lima datuk itu sudah pergi jauh entah ke mana!
"Ha-ha-ha-ha,
sekali ini Kwi-eng Niocu menjadi seorang yang amat tolol dan mudah saja ditipu
orang. Ha-ha-ha!"
Kwi-eng
Niocu memandang Kakek Raja Ular itu dengan mata mendelik. Biar pun hatinya
makin tidak enak, akan tetapi dia membentak, "Ban-tok Coa-ong! Engkau
bicara seenak perutmu sendiri. Apa kau kira Kwi-eng Niccu takut menghadapi
ular-ularmu yang hanya dapat kau pakai menakuti kanak-kanak itu?"
Akan tetapi
kini Toat-beng Hoatsu juga berkata penuh penyesalan. "Ucapan Si Raja Ular
benar sekali. Kwi-eng Niocu, apa kau kira Siang-tok Mo-li akan sedemikian lemah
hatinya untuk membagi bokor itu denganmu? Hemmm…, aku berani bertaruh dua jari
tangan! Dia tentu sudah lari minggat dengan membawa bokor itu bersama seorang
sekutunya yang tadi menyambut bokor di seberang jurang di bawah itu."
Wajah
Kwi-eng Niocu menjadi pucat sekali. "Celaka...! Giok-hong-cu...!"
"Siapa?
Siapa itu Giok-hong-cu?" Hek-bin Thian-sin berseru.
"Siapa
lagi? Muridnya. Celaka, perempuan iblis itu telah menipuku. Kalian benar. Mari
kita kejar mereka sebelum mereka berlari terlalu jauh!" Kwi-eng Niocu
segera meloncat dan berlari cepat turun dari bukit. Tiga orang kakek itu juga
tidak mau ketinggalan dan mereka berempat segera lari bersicepat seperti
berlomba menuruni bukit untuk mencari Bu Leng Ci dimulai di tempat di mana tadi
Siang-tok Mo-li menerima bokor.
Empat orang
datuk sesat ini laksana orang-orang yang lupa diri dan mereka melakukan
pengejaran dan pencarian tanpa mengenal lelah. Seolah-olah hidup mereka
bergantung kepada bokor emas itu! Seolah-olah hidup mereka akan menjadi hampa
dan tak berarti apa bila mereka tidak mendapatkan bokor emas yang diperebutkan
itu.
Bokor emas
itu, yang mengandung rahasia besar yang didongengkan orang, pusaka dari
Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia, merupakan
satu-satunya tujuan bagi para datuk ini. Mereka merasa yakin bahwa bila mereka
berhasil menguasai bokor emas, tentu mereka menjadi orang yang terkuat,
terpandai, dan terkaya di dunia ini, dan tentu mereka tak akan kekurangan
apa-apa lagi, dan karenanya dapat hidup bahagia!
Betapa
tersesatnya pendapat seperti ini, dan betapa menyedihkan bahwa kita semua ini,
disadari mau pun tidak, kita hidup dalam cengkeraman tujuan dan cita-cita
seperti para datuk itu! Kita mengharapkan sesuatu, selalu mengharapkan,
menginginkan sesuatu yang kita beri nama cita-cita muluk!
Padahal,
mengapa kita harus bercita-cita? Mengapa kita harus mengharap dan beringin?
Bukankah pengharapan dan keinginan ini akan menjadi penyebab dari kekecewaan dan
kekhawatiran? Bila kita mengejar sesuatu yang dinamakan cita-cita, maka hati
kita selalu diliputi kekhawatiran kalau-kalau kita gagal! Dan kalau sampai
gagal, kita akan dirundung kecewa, merasa sengsara.
Padahal,
kalau kita berhasil menguasai apa yang kita kejar dan kita namakan cita-cita
itu, benarkah kita akan menemukan kebahagiaan? Berhasilnya cita-cita yang kita
kejar itu, benarkah akan membebaskan kita dari duka dan kecewa, dari bosan dan
dari khawatir?
Biasanya,
sesuatu yang amat diinginkan, kalau sudah tergenggam tangan, hanya akan
mendatangkan kepuasan sejenak saja, kemudian kita menjadi bosan dan kita
mengejar yang lain lagi sehingga cita-cita menjadi lingkaran setan yang tiada
putusnya, yang selalu mencengkeram selama hidup kita dan membuat hidup kita tak
pernah bebas dan tenang!
Pengejaran
cita-cita menandakan bahwa kita masih tidak dapat menghadapi dan mengerti
keadaan apa adanya, dan sekali kita tidak merasa puas dengan keadaan apa
adanya, maka selamanya kita takkan pernah merasa puas, apa dan bagaimana pun
keadaan kita. Sekali kita dicengkeram oleh pengejaran cita-cita, maka hidup
hanyalah merupakan derita karena kita tidak pernah dapat melihat dan menikmati
saat sekarang, saat demi saat di mana kita sesungguhnya hidup, karena mata kita
hanya ditujukan jauh ke depan, kepada esok, lusa, dan masa depan, sehingga saat
ini, sekarang, tidak ada artinya lagi. Padahal saat ini atau sekarang inilah
kita hidup!
Para datuk
kaum sesat itu, demi untuk memperoleh bokor emas yang menjadi tujuan dan
cita-cita mereka, tak segan-segan melakukan apa pun juga. Tak segan untuk
membunuh, kalau perlu antara kawan sendiri.
Dan demikian
pula dengan kita yang berlomba dalam mengejar cita-cita. Untuk berhasil dalam
pengejaran ini, kita pun akan selalu menyingkirkan segala aral yang melintang
di tengah jalan! Maka timbullah pertentangan, permusuhan, dan kebencian, dan
semua itu dilapisi dengan kedok kebenaran dan keadilan yang pada hakekatnya
adalah kebenaran dan keadilan demi kepentingan pribadi dan karenanya palsu.
Bahkan di dalam kesesatan kita, tak segan-segan pula di antara kita manusia ada
yang berpegang kepada semboyan ‘tujuan menghalalkan segala cara’!
Semboyan dan
pendapat yang sungguh tidak patut! Cara tidaklah berbeda garis dengan tujuan.
Mungkinkah mengusahakan perdamaian dengan peperangan? Apakah mungkin
menghilangkan permusuhan dengan penindasan? Mengusahakan persahabatan dengan
kemenangan? Cara yang buruk tidak mungkin sama sekali memperoleh tujuan yang
baik, demikian pula, tujuan yang buruk tidak mungkin dilakukan dengan cara yang
baik!
Sebulan
kemudian, usaha pencaharian yang tekun dari keempat orang datuk itu dibagi
menjadi dua kelompok. Sebetulnya mereka itu berpencar, akan tetapi karena
saling curiga dan tidak ingin kalau orang lain menemukan tempat persembunyian
Siang-tok Mo-li tanpa yang lain mengetahuinya, maka diam-diam mereka saling
membayangi, atau lebih tepat lagi, Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin melanjutkan
pencaharian mereka dengan arah yang sama, demikian pula Toat-beng Hoatsu dan
Ban-tok Coa-ong saling membayangi.
Hek-bin
Thian-sin dan Kwi-eng Niocu lebih tepat menentukan arahnya. Karena itu setelah
mencari keterangan di sana sini, akhirnya pada suatu hari mereka tiba di depan
goa di Bukit Burung Walet. Bukit itu terkenal sebagai sarang burung walet, maka
dinamakan demikian, dan di situ terdapat banyak goa dan di dalam goa-goa inilah
burung-burung itu bersarang. Sebuah di antara goa-goa itu kini dijadikan tempat
sembunyi Siang-tok Mo-li dan Giok-hong-cu muridnya!
Hari sudah
sore dan burung-burung walet beterbangan memasuki goa-goa yang sangat banyak
itu. Kedua orang datuk kaum sesat itu masih belum tahu benar goa yang mana yang
dijadikan tempat sembunyi orang yang dicarinya. Mereka berdiri di depan goa-goa
dan memasuki goa yang gelap.
"Hemm,
tak salah lagi, tentu di sana dia bersembunyi." Akhirnya Kwi-eng Nio-cu
berkata sambil menuding ke arah sebuah goa yang agak besar di tengah-tengah
kumpulan goa itu.
Hek-bin
Thian-sin memandang. Mula-mula dia tidak dapat menduga mengapa Kwi-eng Niocu
dapat menentukan demikian, akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan segera dia
dapat melihat perbedaan keadaan goa yang satu ini dengan yang lain.
Burung-burung walet yang beterbangan itu, memasuki goa-goa yang lain dengan
cepat tanpa ragu-ragu, akan tetapi burung-burung yang hendak memasuki goa yang
dimaksudkan itu, tak segera terbang masuk melainkan beterbangan ke sana-sini di
depan goa, seakan-akan mereka segan masuk atau ada sesuatu di dalam goa itu
yang mereka takuti.
"Memang,
di sanalah dia bersembunyi!"
Seperti
dikomando saja, keduanya berloncatan dan dengan beberapa loncatan saja, dua
orang datuk yang berilmu tinggi itu telah tiba di depan goa yang dimaksudkan
tadi. Goa itu besar dan gelap, juga karena agak dalam maka ujungnya tidak
kelihatan dari luar.
"Bu
Leng Ci, keluarlah engkau! Kami telah tahu bahwa engkau bersembunyi di dalam
goa ini! Apa kau minta kami membakar dan mengasapi goa lebih dulu sehingga kau
terpaksa keluar seperti seekor kelinci dari dalam lubang? Ha-ha-ha!"
Hek-bin Thian-sin berteriak.
"Plok!
Plok!"
Dua ekor
burung walet yang sedang beterbangan di atas kepala kedua orang datuk itu,
tiba-tiba jatuh di depan kaki mereka dan ternyata dua ekor burung itu telah
tewas dengan tubuh berlubang-lubang terkena Siang-tok-soa (Pasir Beracun
Wangi).
"Bu
Leng Ci, engkau anjing betina, pengkhianat!" Kwi-eng Niocu memaki dengan
marah.
"Ang-cici,
aku sudah menantimu sampai lama sekali di sini! Aku tetap menjadi sekutumu!
Mari kita bunuh Si Muka Hitam itu dan bokor ini kita nikmati berdua!"
Akan tetapi
Kwi-eng Niocu sudah terlalu marah karena dikhianati dan dia tidak percaya lagi
kepada Siang-tok Mo-li, maka dia berkata, "Tidak perlu banyak cerewet. Aku
datang untuk membunuhmu dan merampas bokor!"
"Serrr...
serrr...!"
Sinar hijau
menyambar ke arah kedua orang datuk itu. Tentu saja dua orang sakti yang sudah
bersiap sedia ini dapat cepat mengelak dan menghindarkan diri dari ancaman maut
Siang-tok-soa. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dengan nada mengejek.
"Hek-bin
Thian-sin!" terdengar teriakan Bu Leng Ci dari dalam goa, "Mari kau
bantu aku membunuh Kwi-eng Niocu, dan bokor kita nikmati berdua! Kalau kau
tidak mau bersekutu dengan aku, mana mungkin engkau menghadapi dia dan dua
orang kakek tua bangka yang lain?"
Kwi-eng
Niocu terkejut sekali dan dia sudah siap menghadapi kalau-kalau Si Muka Hitam
itu dapat terkena bujukan Bu Leng Ci yang amat licik itu. Hek-bin Thian-sin
meraba-raba dagunya sambil mengerutkan alisnya, kelihatan ragu-ragu sekali
kembali memandang ke arah Kwi-eng Niocu. Kemudian dia mengomel,
"Hemm...
hemm, usulmu itu sebetulnya baik juga... tapi..."
"Thian-sin,
jangan gila kau!" Kwi-eng Niocu langsung berseru. "Begitu bodoh
tertipu oleh anjing betina itu!"
Saat itu
dari dalam goa berkelebat bayangan Bu Leng Ci, didahului pedang samurainya yang
menjadi sinar terang menyambar ke arah Kwi-eng Niocu. Tentu saja Kwi-eng Niocu
sudah cepat meloncat ke belakang untuk menghindar, kemudian kembali menerjang
maju mempergunakan senjatanya yang tidak kalah ampuhnya dengan segala macam
senjata tajam, yaitu kuku-kuku tangannya yang panjang dan beracun!
"Hek-bin
Thian-sin, kau pilih saja! Mau tikus betina tua yang berbahaya ini atau aku
yang memegang bokor emas!" Bu Leng Ci masih berteriak sambil menggerakkan
samurainya menghadapi Kwi-eng Niocu.
Hek-bin
Thian-sin masih berdiri termangu dan memandang dua orang wanita yang sudah
bertanding dengan hebat itu.
Di dalam
pikirannya terjadi perang sendiri. Membantu yang mana? Kalau dia membantu,
tentu seorang di antara dua wanita ini akan kalah dan tewas, dan dia
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinannya, tentu saja dengan menekankan
keuntungan bagi dirinya sendiri. Senjatanya yang sangat menyeramkan, yakni
sebatang golok besar yang tajam mengkilap, telah siap di tangan kanannya.
Pertandingan
yang terjadi antara dua orang wanita lihai itu, amat seru dan mati-matian.
Pedang samurai yang panjang melengkung sedikit itu sudah lenyap bentuknya,
berubah menjadi segulung cahaya terang yang berkeredepan.
Akan tetapi,
gerakan Kwi-eng Niocu bukan main gesitnya. Memang, datuk wanita ini amat
terkenal dengan ilmu ginkang-nya sehingga tubuhnya menjadi amat ringan,
gerakannya cepat sampai bayangannya lenyap dan karena kelihaian ilmu
ginkang-nya inilah maka dia dijuluki Si Bayangan Hantu!
Biar pun dia
tidak memegang senjata, tapi sepuluh buah kuku jari tangannya merupakan
senjata-senjata yang amat ampuh, karena jangankan sampai terkena tusukan, tapi
baru terkena guratan sebuah di antaranya saja sudah cukup untuk merobohkan
lawan! Namun, menghadapi Bu Leng Ci yang dia tahu amat lihai ilmu pedang
samurainya yang tajam itu, dia harus berhati-hati, karena betapa pun kuat
kukunya, kalau sampai terkena sabetan samurai tentu akan patah.
Kedua orang
wanita ini bertanding dengan bimbang, terutama sekali Kwi-eng Niocu yang
khawatir kalau-kalau Si Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci sehingga akan
maju mengeroyoknya. Rasa bimbang inilah yang membuat pertandingan itu menjadi
seimbang, biar pun sebenarnya tingkat kepandaian Ketua Kwi-eng-pang ini masih
menang setingkat dibandingkan dengan lawannya.
Tiba-tiba
Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dan berseru nyaring, "Ha-ha-ha!
Mampuslah kau!" Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher Kwi-eng Niocu!
Ketua
Kwi-eng-pang ini kaget dan cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu golok itu
sudah menyeleweng dan dengan kecepatan yang tidak terduga-duga sudah membacok
ke arah tubuh Bu Leng Ci! Kiranya kakek muka hitam itu tadi hanya menyerang
Kwi-eng Niocu secara palsu untuk mengalihkan perhatian Bu Leng Ci, padahal yang
menjadi sasaran goloknya sebenarnya adalah Siang-tok Mo-li.
Keputusan
ini diambil dan membuktikan kelihaian dan kecerdikan Si Muka Hitam ini. Biar
pun bokor berada di tangan Bu Leng Ci, akan tetapi dia telah mengambil
keputusan untuk membantu Kwi-eng Niocu. Dia teringat akan keterangan Kwi-eng
Niocu bahwa Bu Leng Ci mempunyai seorang murid yang berjuluk Giok-hong-cu, dan
dia sudah mendengar pula akan kelihaian Giok-hong-cu.
Bu Leng Ci
muncul sendirian dan bokor emas tidak berada di tangannya, tentu berada di
tangan Giok-hong-cu itu. Kalau dia membantu Bu Leng Ci dan mereka berdua
berhasil membunuh Kwi-eng Niocu, berarti bahwa dia akan berhadapan dengan Bu
Leng Ci dan muridnya itu. Ilmu kepandaiannya hanya menang setingkat
dibandingkan dengan Bu Leng Ci, maka kalau Siang-tok Mo-li itu dibantu oleh
muridnya yang lihai juga, mana dia akan mampu menang?
Sebaliknya,
kalau dia membantu Kwi-eng Niocu, tentu Bu Leng Ci serta muridnya dapat dirobohkan,
dan kemudian dia hanya akan berhadapan dengan Kwi-eng Niocu seorang! Tentu saja
lebih ringan dan lebih besar harapannya untuk dapat merampas bokor.
Bu Leng Ci
terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Si Muka Hitam
itu akan menyerangnya. Tadi ketika mendengar seruan kakek itu dan melihat golok
menyambar ke arah Kwi-eng Niocu, dia sudah merasa girang bukan main. Siapa
mengira bahwa golok itu tiba-tiba membalik dan menyerangnya sedemikian cepat
dan hebatnya! Karena itu dia agak terlambat menggerakkan samurainya menangkis.
"Cringggg...!"
Bu Leng Ci
berhasil menyelamatkan diri dari sambaran golok dengan tangkisannya, akan
tetapi karena dia terlambat menangkis dan kedudukannya tidak baik, maka dia
terhuyung dan pada saat itu dia merasa pundaknya perih dan panas!
"Siluman
betina...!" Dia memaki dan terdengar suara ketawa Kwi-eng Niocu yang sudah
berhasil mencengkeram dan melukai pundak Bu Leng Ci.
Dengan
kemarahan meluap, Bu Leng Ci tak mempedulikan lagi sambaran golok di tangan Hek-bin
Thian-sin, samurainya lantas meluncur bagai sambaran halilintar ke arah Kwi-eng
Niocu. Serangan nekat ini membuat Kwi-eng Niocu terkejut, dan terpaksa dia
mengelak. Melihat samurai masih mengancamnya, terpaksa dia menggunakan ujung
kuku tangan kirinya menangkis.
"Trakkk...!"
Dia berhasil
menyelamatkan dirinya, akan tetapi dia harus mengorbankan lima kuku jari tangan
kirinya yang terbabat putus semua! Dan pada saat itu, golok Hek-bin Thian-sin
telah melukai paha kanan Bu Leng Ci. Wanita ini terguling, akan tetapi sambil
memutar samurainya, dia sudah meloncat lagi, tidak mempedulikan darah yang
muncrat-muncrat keluar dari luka di pahanya.
"Bi
Kiok...! Lari...!" Dia menjerit.
Tepat
seperti diduga oleh Hek-bin Thian-sin, murid Siang-tok Mo-li memang bersembunyi
di dalam goa sambil menunggu tanda dari gurunya. Kalau bujukan gurunya berhasil
dan Kwi-eng Niocu dapat dirobohkan, dia akan keluar untuk membantu gurunya
mengeroyok Hek-bin Thian-sin.
Akan tetapi
betapa terkejutnya ketika dari tempat pengintaiannya dara ini melihat keadaan
berubah dan terbalik sama sekali. Malah gurunya yang dikeroyok oleh dua orang
datuk itu, dan kini gurunya terluka hebat. Sebetulnya ingin dia mengamuk,
membela gurunya, akan tetapi karena memang semua telah diatur gurunya, semenjak
mereka melarikan diri setelah berhasil menguasai bokor emas, Bi Kiok tidak
berani melanggar perintah dan dia lalu melompat keluar dari dalam goa dan terus
melarikan diri.
"Haii,
hendak ke mana engkau?!"
Hek-bin
Thian-sin yang memang telah memperhitungkan hal ini bisa bergerak lebih cepat
dari pada Kwi-eng Niocu. Dia sengaja mendekati mulut goa sambil membiarkan
Kwi-eng Niocu melampiaskan kemarahannya kepada Bu Leng Ci karena kehilangan
kuku-kuku jari tangan kiri, sedangkan dia sendiri begitu melihat berkelebatnya
bayangan seorang dara cantik, cepat menubruk maju.
"Singggg...!"
Sinar terang
meluncur ke arah kakek itu saat Yo Bi Kiok atau yang berjuluk Giok-hong-cu
menusukkan pedangnya kepada kakek yang menghadang di depannya.
"Trangggg...!"
Golok besar
itu menangkis dengan pengerahan tenaga hebat sekali, membuat pedang itu
terpental dan hampir terlepas dari tangan Bi Kiok! Dara itu maklum bahwa dia
tidak boleh terlalu lama melayani lawannya yang amat tangguh, maka sesuai
dengan rencana yang telah diatur gurunya, dia melemparkan bokor emas jauh ke
kiri.
Melihat hal
ini, Hek-bin Thian-sin segera mendorongkan tangan kirinya ke arah Bi Kiok.
Pukulan jarak jauh ini dahsyat sekali dan Bi Kiok yang tidak menyangkanya,
dilanda hawa pukulan sehingga terjengkang. Dadanya terasa panas dan napasnya
sesak, akan tetapi dia dapat meloncat bangun dan cepat melarikan diri dari
tempat itu. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak ketika dia menyambar bokor emas
dengan tangan kirinya, lalu cepat membalikkan tubuh ke arah Kwi-eng Niocu
dengan golok siap di tangan kanan.
Kwi-eng
Niocu sudah berhasil merobohkan Bu Leng Ci. Kegemasannya terhadap adik angkat
yang sebenarnya diangkat adik hanya untuk memenuhi muslihat masing-masing,
karena Bu Leng Ci telah mengkhianatinya dan telah mematahkan lima kuku jari
tangan kirinya, membuat Ketua Kwi-eng-pang ini seperti gila.
Mula-mula,
sebuah tangannya berhasil melemparkan samurai dari genggaman tangan Bu Leng Ci
yang terluka parah, terkena racun kuku jari Kwi-eng-pang dan pahanya terluka
hebat oleh golok Hek-bin Thian-sin. Namun Bu Leng Ci yang sudah maklum akan
bahaya maut yang mengancam nyawanya, masih nekat melakukan perlawanan, justru
menubruk maju dengan kedua tangan hendak mencengkeram, kedua tangan yang sudah
merobek banyak dada pria untuk mengambil jantungnya dan memakannya itu, jari
tangan yang amat kuat seperti baja.
Akan tetapi
karena dia sudah terluka, maka gerakannya kurang cepat dan Kwi-eng Niocu yang
maklum pula betapa bahayanya lawan yang sudah menjadi nekat, cepat miringkan
tubuh mengelak sehingga tubuh Bu Leng Ci terdorong ke depan oleh gerakannya
sendiri. Saat itu dipergunakan oleh Kwi-eng Niocu untuk mencengkeram ubun-ubun
kepala lawan dari samping.
"Krekkk...!
Auuugghhh...!"
Bu Leng Ci
yang sangat terkenal dengan julukan Siang-tok Mo-li, yang di daerah pantai laut
selatan namanya amat terkenal dan ditakuti seperti iblis, kini menjerit
mengerikan dan agaknya nyawanya melayang pergi bersama jeritannya itu.
Setelah
melihat lawannya tewas, Kwi-eng Niocu lalu memandang Hek-bin Thian-sin yang
tersenyum-senyum memandangi bokor emas di tangannya.
"Hek-bin
Thian-sin, karena kita berdua yang menemukan bokor itu, dan aku pula yang
membunuh Siang-tok Mo-li, maka sudah sepatutnya kalau kita berdua yang berhak
atas pusaka itu."
"Ha-ha-ha,
Kwi-eng Niocu. Terhadap Siang-tok Mo-li saja aku sudah tidak dapat terbujuk,
apa lagi menghadapi engkau. Tentu saja aku tidak percaya. Jika kau mampu, boleh
kau coba merampas bokor ini dari tanganku!" Kakek muka hitam itu memegang
bokor dengan tangan kiri sedangkan golok di tangan kanannya dikelebatkan.
Kwi-eng
Niocu bukanlah seorang bodoh. Ketika dalam keadaan tidak terluka sekali pun,
kekuatannya seimbang dibandingkan dengan Si Muka Hitam itu dan meski pun dia
tidak takut, agaknya dia harus mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk
memenangkan datuk timur ini.
Akan tetapi
sekarang dia sudah kehilangan lima buah kuku jari tangan kirinya. Meski pun dia
tak terluka, akan tetapi mala petaka ini baginya lebih hebat dari pada kalau
dia terluka karena kini dia kehilangan separuh dari senjatanya dan karenanya
dia tidak akan dapat bergerak secara leluasa.
Dalam
keadaan seperti sekarang ini, melawan Hek-bin Thian-sin sama artinya dengan
membunuh diri secara konyol. Tentu saja dia tidak sudi membunuh diri. Masih
banyak waktu untuk kelak berusaha merampas bokor itu dari tangan Si Muka Hitam.
Bukankah tidak ada orang lain yang tahu bahwa bokor yang diperebutkan itu kini
berada di tangan Hek-bin Thian-sin? Maka dia tidak menjawab, bahkan cepat dia
membalikkan tubuh dan lari pergi dari tempat itu sebelum datuk dari timur itu
berpikir lain.
Dan memang
kepergian Kwi-eng Niocu ini tidak terlambat dan tepat sekali karena setelah
datuk wanita itu pergi, Hek-bin Thian-sin mengerutkan alis dan merasa menyesal
kenapa dia tidak membunuh saja Kwi-eng Niocu yang ketika itu sudah kehilangan semua
kuku tangan kirinya. Sekarang dia maklum bahwa setidaknya masih ada bahaya
mengancam kepadanya dari satu jurusan, yaitu dari Kwi-ouw tempat tinggal Ketua
Kwi-eng-pang itu.
Akan tetapi
kegembiraan memperoleh bokor emas yang diidam-idamkan itu membuat dia segera
melupakan hal ini dan cepat dia pun lari pergi menuju ke timur karena dia
berniat untuk bersembunyi di pantai timur, tempat di mana dia menjadi datuknya
dan diam-diam memeriksa rahasia bokor emas yang kabarnya di samping mengandung
rahasia tempat penyimpanan harta karun yang jumlahnya amat besar, juga
mengandung rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab pelajaran kesaktian dari
Panglima Besar The Hoo!
Dia harus
cepat-cepat menyelamatkan diri dan menghindarkan diri dari pengejaran dua orang
kakek datuk lainnya, yaitu Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, dua orang yang
dia tahu sangat sakti dan lebih lihai dari pada dia sendiri. Di samping ini,
juga dia harus menghindarkan pertemuan dengan kakek asing botak Legaspi Selado
yang selain lihai juga mempunyai banyak kaki tangan, bahkan bersekutu dengan
pasukan pemberontak.
Tadinya
memang dia telah menceritakan tentang bokor kepada Legaspi sehingga menarik
perhatian kakek itu yang telah berjanji untuk membantunya. Akan tetapi setelah
kini bokor terjatuh ke dalam tangannya, dia merasa tidak perlu lagi untuk
berurusan dengan kakek asing itu!
Ternyata
bahwa Hek-bin Thian-sin terlalu memandang rendah pada Legaspi Selado. Dia sama
sekali tidak mengira bahwa kakek asing yang botak itu selain berkepandaian
tinggi, juga sangat cerdik, jauh lebih cerdik dari pada datuk timur ini! Maka,
dapat dibayangkan betapa kaget hati Hek-bin Thian-sin ketika dia menuruni bukit
dan sampai di hutan yang mengurung kaki bukit, mendadak muncul Legaspi Selado
di depannya sambil tersenyum lebar!
Terlambat
bagi Hek-bin Thian-sin untuk menyembunyikan bokor emas itu, maka dengan jantung
berdebar dia mendengar kakek asing botak itu menegurnya. "Ahai sahabatku
yang baik Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu! Siapa mengira bahwa kita bertemu di
sini dan ternyata engkau sudah berhasil menemukan bokor emas itu. Bagus! Mari
kita bawa ke kapalku dan di sana kita mencari rahasia bokor itu, sahabatku yang
baik!"
Biar pun dia
terkejut dan khawatir melihat munculnya kakek asing yang sama sekali tidak
disangka-sangkanya ini, namun mendengar ucapan itu, Hek-bin Thian-sin menjadi
marah. Dia maklum bahwa Legaspi memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak
takut.
"Legaspi
Selado, bokor ini adalah aku sendiri yang mendapatkannya, maka tidak mungkin
dapat kubagi dengan siapa pun juga."
"Hemmm,
begitukah...?" Kakek botak itu tiba-tiba mengeluarkan suara bersuit
nyaring dan bermunculanlah belasan orang dari balik pohon-pohon di sekeliling
tempat itu.
Mereka ini
adalah para perwira pemberontak yang berhasil menyelamatkan diri dan lari pada
saat Ceng-to diserbu oleh pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh
Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Bekas perwira ini menyamar dengan pakaian preman,
kemudian dipergunakan oleh Legaspi Selado yang juga dapat melarikan diri
bersama teman-teman sebangsanya. Kini, atas isyarat yang diberikan kakek botak
itu, mereka sudah mencabut senjata golok dan pedang, mengurung Hek-bin
Thian-sin.
"Legaspi
Selado, mau apa kau?!" Hek-bin Thian-sin membentak.
"Ha-ha-ha,
Tuan Low Ek Bu! Engkau memang seorang yang murka dan khianat. Ketika di Ceng-to
engkau telah meninggalkan kami. Sekarang, dengan baik aku mengajakmu untuk
bersama-sama menyelidiki rahasia bokor, akan tetapi engkau ingin menguasainya
sendiri saja. Karena itu, aku tidak sudi lagi bersahabat denganmu. Engkau
adalah musuhku dan kau harus menyerahkan bokor atau nyawamu!"
"Anjing
biadab asing keparat!" Hek bin Thian-sin memaki dan golok di tangannya
sudah diputar cepat sekali, berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata dan
datuk timur ini pun mengamuk.
Dua orang
bekas perwira yang menangkis goloknya, berteriak pada saat pedang mereka
patah-patah dan golok terus menyambar ke arah tubuh mereka, merobek dada dan
perut sehingga mereka roboh dan tewas seketika. Seorang lain yang menusukkan
pedang dari belakang dapat dielakkan oleh Hek-bin Thian-sin, dan goloknya
menyambar lagi. Pedang itu kena dihantam dari samping sehingga mencelat dan
pedang itu menancap di dada kiri seorang pengeroyok yang memekik nyaring dan
roboh telentang, tewas pula.
Amukan
Hek-bin Thian-sin amat hebat. Kepandaian datuk ini tak dapat dilawan oleh para
bekas perwira. Melihat ini, Legaspi menjadi marah sekali. Segera dilolosnya
pecut dari pinggangnya, lalu pecut itu digerakkan cepat sekali, meledak-ledak,
menyambar ke atas kepala Hek-bin Thian-sin.
"Tar-tar-tar-tarrr...!"
Hek bin
Thian-sin cepat mengelak dan membabatkan golok di sekeliling tubuhnya dengan
kecepatan luar biasa. Kembali ada tiga orang pengeroyok roboh dan darah muncrat
dari luka-luka mereka.
"Mundur
semua...!" Legaspi Selado berteriak marah melihat enam orang anak buahnya
tewas akibat sepak terjang lawan yang hebat itu. Dia sendiri sudah menerjang
maju dan terjadilah kini pertandingan yang amat seru.
Legaspi
Selado memperoleh ilmu cambuknya dari Nepal, dilatih oleh seorang ahli cambuk
yang banyak terdapat di negara itu. Selain ini, Legaspi sudah banyak
mempelajari ilmu silat dan mempunyai sinkang serta ginkang yang tinggi.
Namun,
Hek-bin Thian-sin adalah seorang datuk timur yang lihai. Dengan bokor di tangan
kiri kakek ini menggerakkan goloknya, kadang-kadang bertubi-tubi menyerang,
kadang kala golok diputarnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya terlindung oleh
gulungan sinar, membuat ancaman dan serangan ujung cambuk gagal semua.
Selama
berkenalan dengan Hek-bin Thian-sin, baru sekali ini Legaspi Selado bertanding
melawan bekas sekutu ini. Maka, dia yang terlalu mengandalkan kepandaian
sendiri dan memandang rendah orang lain, ketika melihat betapa cambuk saktinya
yang selama ini sukar menemukan tanding namun kini tak dapat berbuat banyak
menghadapi datuk timur ini, menjadi terkejut bukan main.
"Tar-tar-tar...
wuuttttt...!"
Sekarang dia
merobah gerakan pecutnya. Ujung cambuk itu menjadi cahaya hitam yang
melingkar-lingkar di atas, kemudian meluncur ke bawah dan tahu-tahu telah
melibat golok Hek-bin Thian-sin. Datuk ini kaget sekali, tentu saja
mempertahankan goloknya dengan pengerahan sinkang-nya. Terjadi tarik-menarik,
keduanya mengerahkan tenaga sinkang.
"Trakkk...!
Brettt...!"
Golok patah
tengahnya, ada pun cambuk juga putus bagian tengahnya. Kedua orang itu
mendengus marah, melempar gagang golok dan gagang cambuk, lantas mereka saling
menerjang dengan tangan kosong!
Akan tetapi
karena Hek-bin Thian-sin menggunakan tangan kirinya untuk memeluk bokor emas,
maka dia hanya mempergunakan tangan kanan dan hal ini membuat dia terdesak
hebat. Selagi kakek ini mencari jalan ke luar untuk melarikan diri, tiba-tiba
terdengar suara tertawa halus dan dari atas melayang sesosok tubuh yang
langsung menerjang dua orang yang sedang bertanding. Begitu terjun dari atas,
tangan kiri orang itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hek-bin Thian-sin
dengan gerakan yang dahsyat sekali.
"Aihhh...!"
Hek-bin
Thian-sin berteriak kaget, maklum bahwa serangan ke arah ubun-ubun kepalanya
itu dapat mendatangkan maut! Maka segera dia menangkis dengan tangan kirinya
dan pada saat itu juga, tangan kanan Toat-beng Hoatsu sudah merampas bokor emas
yang dipegang erat-erat oleh tangan kiri datuk timur.
"Heii...
kembalikan!" Hek-bin Thian-sin berseru.
"Serahkan
bokor itu kepadaku!" Legaspi Selado juga berteriak.
Dua orang
kakek ini mengulurkan tangan untuk merampas bokor, akan tetapi dengan gerakan
sangat ringan, Toat-beng Hoatsu sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan
tertawa melihat betapa Legaspi dan Hek-bin Thian-sin bertumbukan pada waktu
berebut merampas bokor.
Tubrukan ini
digunakan oleh Legaspi untuk menghantam ke arah dada Hek-bin Thian-sin. Melihat
gerakan ini, Toat-beng Hoatsu yang sudah meluncur turun itu pun menggunakan
telapak tangan kirinya untuk menghantam punggung Hek-bin Thian-sin. Diserang
secara berbareng oleh kedua orang kakek sakti itu, dari depan dan belakang,
Hek-bin Thian-sin terkejut, mengerahkan sinkang dan berusaha menangkis.
Namun
terlambat. Dada dan punggungnya terpukul, dia berkelojot, matanya terbelalak,
mulutnya menyemburkan darah segar, kedua tangannya masih berusaha untuk memukul
kedua orang lawan itu. Namun, begitu Legaspi dan Toat-beng Hoatsu meloncat
mundur, Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu terguling roboh dan tewas seketika. Tentu
saja isi dadanya remuk terkena hantaman dua orang sakti dari depan dan belakang
itu.
Legaspi
Selado memandang kepada Toat-beng Hoatsu dengan mata terbelalak lebar. Dia
belum pernah bertemu dengan kakek ini, akan tetapi dari keterangan Hek-bin
Thian-sin ketika masih menjadi sekutunya, dia telah mendengar tentang empat
orang datuk kaum sesat lainnya, maka kini melihat Toat-beng Hoatsu, segera dia
dapat menduganya.
"Toat-beng
Hoatsu, berikan bokor itu kepadaku!" bentaknya sambil meloncat ke depan
dan serta merta dia memukul dengan kedua tangannya bergantian.
"Ha-ha-ha,
anjing asing kau hendak ikut-ikut memperebutkan bokor?!" Toat-beng Hoatsu menangkis.
"Dess!
Dess! Plak-plak-plakkk!"
Pertemuan
kedua tangan secara bertubi ini membuat keduanya terhuyung ke belakang dan
keduanya terkejut sekali. Pertemuan tangan mereka tadi telah membuktikan betapa
masing-masing memiliki tenaga sinkang yang berimbang atau kalau ada selisihnya
pun tidak banyak. Toat-beng Hoatsu yang sudah berhasil merampas bokor, segera
meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri keluar dari hutan itu.
"Kejar...!"
Legaspi Selado berseru sambil lari mengejar, diikuti oleh sisa anak buahnya.
Akan tetapi,
tiba-tiba tampak beberapa orang yang riap-riapan rambutnya melepas anak panah
berapi sehingga terjadilah kebakaran di hutan itu yang menghadang Legaspi dan
anak buahnya. Ternyata mereka itu adalah orang-orang Nepal yang menjadi anak
buah Toat-beng Hoatsu!
Pada saat
Toat-beng Hoatsu bersama tiga orang datuk lain secara berpencar menyelidiki
larinya Siang-tok Mo-li, dia bersama Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok telah
berunding dan bermufakat untuk bekerja sama. Mereka maklum bahwa kalau seorang
di antara mereka berhasil mendapatkan bokor, tentu mereka akan terpaksa saling
bunuh dan mereka tidak akan pernah dapat hidup aman dengan bokor di tangan.
Maka, mereka
mengambil keputusan untuk bekerja sama sehingga kedudukan mereka kuat, dan
Ban-tok Coa-ong malah menawarkan tempat persembunyiannya di Pulau Ular.
Orang-orang Nepal itu merupakan para pembantu Ban-tok Coa-ong pula yang
kemudian dibagi menjadi dua, sebagian membantu Toat-beng Hoatsu dan sebagian
pula membantu Ban-tok Coa-ong untuk mencari secara terpisah.
Akhirnya
Toat-beng Hoatsu yang berhasil lebih dulu dan bersama anak buah orang-orang
Nepal itu dia melarikan diri ke pantai di mana sudah menanti sebuah perahu
besar yang diberi nama Angin Barat. Toat-beng Hoatsu beserta anak buahnya
disambut oleh Ban-tok Coa-ong yang telah kembali ke perahu dulu. Tentu saja
Ban-tok Coa-ong menjadi girang sekali.
"Biarkan
Angin Barat berangkat sendiri, kita berdua menggunakan perahu kecilku!"
kata Ouwyang Kok Si Raja Ular itu.
"Mengapa
begitu? Bukankah lebih aman naik Angin Barat yang besar?" Toat-beng Hoatsu
bertanya.
"Benda
ini dicari oleh banyak sekali orang pandai di dunia kang-ouw dan menurutkan
ceritamu tadi, tentu Legaspi Selado tak akan tinggal diam begitu saja.
Orang-orang asing itu memiliki kapal besar yang jauh lebih kuat dari pada
perahu kita, maka kalau sampai kita tersusul di tengah lautan, tentu akan
berbahaya sekali. Kapal asing itu mempunyai senjata api besar berupa meriam dan
kalau perahu besar kita tenggelam, apa yang dapat kita lakukan? Lebih baik kita
naik perahu kecil, perahu nelayan sehingga tidak ada yang menaruh curiga. Kalau
kita sudah tiba di Pulau Ular, kita tidak perlu khawatir lagi terhadap serbuan
musuh."
Toat-beng
Hoatsu mengangguk-angguk, memuji kecerdikan dan sikap yang berhati-hati ini.
Mereka mendahului berangkat dengan sebuah perahu layar kecil yang meluncur
cepat walau pun pagi itu tiada angin, karena dua batang dayung digerakkan oleh
dua pasang tangan yang memiliki kekuatan dahsyat.
Enam orang
Nepal itu segera memasang layar, memberangkatkan perahu Angin Barat yang
meluncur seenaknya di atas air laut meninggalkan pantai. Akan tetapi, sebelum
jauh dari pantai, orang-orang Nepal yang rambutnya riap-riapan tertiup angin
laut itu melihat perahu kecil dengan penumpang tiga orang. Orang yang tadinya
duduk di tengah, yaitu seorang kakek kurus, tiba-tiba merampas dayung dari
tangan temannya dan dialah yang kini mendayung perahu itu mendekati perahu
besar Angin Barat.
"Wah,
jangan-jangan mereka adalah mata-mata musuh!" Pemimpin orang Nepal
berkata. "Jelas bukan perahu nelayan, akan tetapi, kalau perahu pelancong
kenapa sampai begini jauh meninggalkan pantai?"
"Kita
tabrak saja biar terguling dan menjadi mangsa ikan!" kata temannya.
Pemimpin
orang-orang Nepal itu memegang kemudi perahu, lalu diputarnya perahu Angin
Barat sehingga kini membelok dan dengan lajunya meluncur ke arah perahu kecil.
Kakek yang memegang dayung segera menggunakan kedua tangan mendayung perahu
untuk menghindari tubrukan. Perahu kecil itu memang terhindar, akan tetapi
ombak yang dibuat oleh Angin Barat membuat perahu kecil oleng.
"Berpegang
erat-erat!" kakek itu berseru, kemudian dayung di tangannya bergerak cepat
dan... perahu kecil itu meluncur terbang ke atas perahu besar Angin Barat!
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya orang-orang Nepal itu melihat perahu kecil itu
dapat ‘terbang’ ke atas perahu besar mereka. Tentu saja perahu kecil itu bukan
terbang, akan tetapi terlempar ke atas ketika kakek kurus itu menggunakan
dayungnya untuk menekan langkan perahu Angin Barat dan menggunakan kakinya
untuk mengait papan di dalam perahu kecilnya. Dari kenyataan ini saja dapat
dibayangkan betapa lihainya kakek kurus itu.
Dua orang
Nepal hendak menyerbu, akan tetapi kakek itu mempergunakan dayungnya menampar
sehingga kedua orang itu roboh pingsan! Terdengar suara keras ketika perahu
kecil itu mendarat di atas dek perahu Angin Barat, dan empat orang Nepal dengan
marah datang menerjang. Kembali dayung itu bergerak empat kali dan keempat
orang ini pun roboh tak dapat bangkit kembali!
Tentu saja
pemimpin orang Nepal yang roboh dan patah tulang pundaknya itu terkejut sekali
sehingga timbul rasa takut di hatinya pada saat kakek tinggi kurus itu
melangkah menghampirinya.
"Hayo
katakan, di mana adanya Toat-beng Hoatsu!"
Pemimpin
orang Nepal itu makin terkejut pada waktu mendengar orang tinggi kurus ini
membentak kepadanya dalam bahasa Nepal yang cukup baik! Tahulah dia bahwa orang
tinggi kurus ini adalah seorang aneh yang berkepandaian tinggi, maka sambil
merintih dia berkata, "Ampunkan... hamba... hamba tidak tahu... kami
hanyalah nelayan-nelayan..."
"Hemmm...
masih berani membohong? Kalian tentu pelarian dari penjara di Nepal yang belum
lama ini memberontak dengan bantuan Ban-tok Coa-ong, bukan? Jangan mengira aku
tidak mengerti. Kau berhadapan dengan pengawal pertama dari Panglima Besar The
Hoo."
Mendengar
ini, orang Nepal itu dan juga kawan-kawannya yang sudah siuman menjadi sangat
terkejut dan mereka langsung menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun. Orang
kurus tinggi itu bukan lain adalah Pengawal Tio Hok Gwan, Si Pengantuk yang
lihai itu! Dan orang yang datang bersamanya dalam perahu itu adalah dua orang
pengawal yang selalu menemaninya, yaitu Si Muka Pucat Kui Siang Han dan Si Muka
Merah Song Kim!
Sesudah
selesai menggempur para pemberontak di Sungai Huang-ho, dan mendengar bahwa
bokor emas dilarikan Kwi-eng Niocu, Si Pengantuk ini mengajak dua orang teman
itu untuk segera melakukan pengejaran dan hal itu disetujui oleh Souw Li Hwa.
Memang pengawal suhu-nya itu bertugas untuk mencari kembali bokor emas, maka
dia mengalah dan dialah yang akan mengawal tawanan ke kota raja, setelah dia
membebaskan Yuan de Gama.
"Aku
sudah tahu bahwa pagi tadi Kakek Toat-beng Hoatsu telah kalian bantu di hutan,
kemudian lari ke perahu Angin Barat ini. Hayo katakan, ke mana dia pergi
bersembunyi."
Tahulah kini
orang-orang Nepal itu bahwa mereka tidak mungkin dapat membohong lagi.
"Dia bersama dengan Ban-tok Coa-ong sudah pergi dengan perahu layar kecil
ke Pulau Ular."
"Pulau
Ular? Di mana itu? Tempat apa?" Tio Gwan membentak.
"Kami
sendiri belum lama ini dibawa oleh Ban-tok Coa-ong ke tempat itu, dan letaknya
di bagian selatan Teluk Pohai. Pulau kosong yang amat berbahaya, penuh ular
berbisa."
Tio Hok Gwan
tidak berani sembrono melakukan pengejaran ke pulau itu. Dia tahu betapa
lihainya Toat-beng Hoatsu. Menghadapi datuk pertama ini saja belum tentu dia
dan dua orang pembantunya dapat menang, apa lagi di sana masih ada Ban-tok
Coa-ang yang amat lihai dan berbahaya, bahkan kabarnya putera dari Raja Ular
itu juga amat lihai, dan ditambah lagi dengan tempat berbahaya penuh ular dan
mungkin anak buah mereka yang banyak jumlahnya.
Dia lantas
memerintahkan dua orang pembantunya untuk melayarkan perahu Angin Barat itu ke
tepi pantai, kemudian menyerahkan enam orang Nepal itu sebagai tahanan di kota
terdekat dan dia sendiri bersama dua orang pembantunya, segera kembali ke kota
raja untuk melaporkan kepada Panglima Besar The Hoo akan bokor emas yang kini
berada di Pulau Ular.
***************
Kun Liong
berjalan seorang diri sambil kadang-kadang tersenyum geli. Dia masih teringat
akan nikouw yang diobatinya dan merasa geli bila mana teringat betapa tanpa
disangka-sangkanya, dia berkesempatan untuk meraba-raba pinggul seorang wanita
yang demikian halus dan mulus! Biar pun dia tidak berniat melakukan perbuatan
itu melainkan terpaksa untuk mengobatinya, namun kini teringat akan itu,
teringat pula betapa nikouw itu menjadi malu, dia tersenyum sendiri.
Betapa
anehnya semua hal yang dialaminya, pikirnya. Hal-hal yang berhubungan dengan
wanita! Dia selalu merasa senang berurusan dengan kaum wanita! Banyak sudah
terjadi hal yang menyenangkan.
Dengan Liem
Hwi Sian yang diciumnya dan yang ternyata menyatakan cinta kepadanya! Dengan
Cia Giok Keng yang cantik jelita akan tetapi galak dan gagah perkasa. Dengan Yo
Bi Kiok yang juga menyatakan cinta kepadanya! Dengan Souw Li Hwa yang angkuh.
Kemudian dengan nikouw yang hanya dikenal sebelah pinggulnya saja! Aneh semua
itu! Sudah ada dua orang dara cantik jelita yang mengaku cinta kepadanya. Akan
tetapi mana mungkin dia membohongi mereka dan mengaku cinta? Tidak, dia tidak
sekejam itu! Dia tidak mau membohongi dara-dara yang amat disukanya itu.
Mengenangkan
kedua orang dara itu, dia merasa kasihan kepada Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengapa
dua orang dara itu begitu bodoh dan jatuh cinta kepadanya? Benarkah bahwa
mereka mencintanya? Mengapa ketika dia berterus terang menyatakan bahwa dia
suka akan tetapi tidak cinta, ketika ternyata bahwa dia tidak membalas cinta
mereka, kedua orang dara itu menjadi marah dan berduka? Apakah cinta itu
menuntut balasan?
Cintakah
atau nafsu birahikah itu yang mendorong pria dan wanita saling mendekat dan
masing-masing mencurahkan perasaannya dengan tuntutan yang menjadi dasar,
tuntutan untuk saling memiliki, saling menguasai, saling menyenangkan dan
disenangkan? Kalau ada tuntutan seperti itu, sudah pasti sekali akan tercipta
rasa kecewa, duka, cemburu dan benci. Benarkah bahwa cinta dapat menimbulkan
semua kesengsaraan ini? Kalau begitu, bukanlah cinta namanya, karena yang
menimbulkan kecewa, duka, cemburu, benci dan iri adalah pikiran, ingatan.
Apa bila
pikiran memasuki hati, semuanya akan menjadi keruh dan rusak, karena pikiran
memperkuat si aku sehingga segala gerak tubuh, segala gerak hati serta pikiran
selalu ditujukan demi kepentingan dan kesenangan si aku. Maka cinta pun menjadi
bukan cinta lagi karena di situ terkandung tuntutan agar aku dicinta, aku
diperhatikan, aku dipuaskan, engkau menjadi milikku, dan aku menggantungkan
semua harapan akan kepuasan serta kenikmatan hidup kepadamu.
Selama
engkau melayani segala kebutuhan lahir batin, selama engkau memuaskan aku,
selama engkau menyenangkan aku, selama engkau menjadi milikku pribadi, mulut
ini tak segan-segan menyatakan ‘aku cinta padamu’. Akan tetapi bila engkau
mengingkari semua tuntutanku itu, kalau engkau tak mau melayani kebutuhan lahir
batin dariku, kalau engkau mengecewakan aku, kalau engkau tidak menyenangkan
aku, kalau engkau melepaskan diri dariku dan lari kepada orang lain, cintaku
berubah menjadi cemburu dan benci!
Kun Liong
menggaruk-garuk kepalanya. Yang begitukah cinta? Betapa rendah, dangkal, tipis
dan tidak bermutu! Betapa pun juga, dia menyesal teringat bahwa dia menyebabkan
dua orang dara itu merasa berduka dan kecewa. Akan tetapi, nanti dulu! Benarkah
dia yang menyebabkan mereka merasa berduka? Bukankah yang menjadi penyebab
adalah pikiran mereka sendiri?
Di dunia ini
apa pun yang menimpa diri secara batiniah, yang menimbulkan perasaan
girang-sedih, cinta-benci, puas-kecewa dan suka-duka, sama sekali tidak
disebabkan dari luar, melainkan disebabkan oleh ingatannya sendiri. Ingatanlah
yang menimbulkan semua itu. Kalau orang tidak mengingat akan masa lalu apakah
ada itu yang dinamakan benci, duka dan sebagainya? Membenci seorang lain tentu
ditimbulkan oleh ingatan akan masa lalu, apa yang sudah dilakukan oleh orang
itu terhadap dirinya, tentu saja yang merugikan aku-nya. Ingatannya yang
menjadi gara-gara kesengsaraan hidup. Dapatkah manusia hidup bebas dari ingatan,
bebas dari pikiran?
Kun Liong
menggerakkan kedua pundaknya dan melanjutkan perjalanannya memasuki hutan
terakhir di kota Liok-bun. Agaknya kota ini dinamakan Liok-bun (Enam Pintu)
oleh karena pintu gerbangnya berjumlah enam buah.
Ingatan
memang ada perlunya, dia menjawab pertanyaannya sendiri sambil melangkah ke
dalam hutan yang indah itu. Akan tetapi ingatan itu hanya perlu untuk
menghadapi urusan lahiriah yang nyata, untuk keperluan pemeliharaan dan
kelangsungan hidup ini. Tanpa ingatan tentu akan kacau-balau kehidupan lahiriah
ini. Akan tetapi, sekali ingatan membayangkan segala hal yang lalu dan yang
akan datang, membayangkan peristiwa-peristiwa yang dibagi dua sebagai hal yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan, kalau pikiran memasuki batin, maka terciptalah
segala perasaan yang bertentangan dan menjadikan hidup manusia ini seperti
dalam neraka yang diceritakan dongeng.

Tiba-tiba
Kun Liong sadar dari lamunannya oleh suara yang datang terbawa angin. Suara
tambur dan terompet, suara banyak orang, suara pasukan yang besar! Suara itu
datang dari arah depan, dari dalam kota Liok-bun. Agaknya di kota itu terdapat
banyak pasukan, pikirnya sambil mempercepat langkahnya karena dia menjadi ingin
sekali tahu mengapa tempat itu penuh dengan pasukan.
Pada saat dia
sedang melangkah secara tergesa-gesa itu, tiba-tiba terdengar suara orang
memanggilnya. "Ehh, bukankah kau Kun Liong...?"
Kun Liong
cepat menahan langkahnya dan menoleh ke kiri. Betapa girangnya ketika dia
mengenal Pendekar Sakti Cia Keng Hong sedang duduk seorang diri di bawah pohon!
Cepat dia menghampiri dan memberi hormat.
"Cia-supek...!
Mengapa Supek berada di sini seorang diri?"
Cia Keng
Hong yang berpakaian sederhana dan membungkus rambut kepalanya dengan sutera
kuning itu tersenyum. "Duduklah, Kun Liong. Aku sekarang sedang mengaso
dan menjauhkan diri dari kesibukan pasukan. Betapa indah menyenangkan di tempat
sunyi ini sesudah berpekan-pekan sibuk menghadapi banyak orang, juga melihat
kekerasan dan perang. Sungguh benar ucapan seorang pujangga kuno bahwa di mana
ada manusia, di situ tentu timbul kekerasan, kekejaman, dan kekacauan.
Kebenaran itu terasa sekali kalau kita duduk menyendiri di tempat yang sunyi
dari kehadiran manusia seperti di tempat ini."
Kun Liong
duduk di atas rumput, di depan pendekar sakti itu. "Memang tepat sekali
apa yang Supek katakan. Teecu (murid) sendiri juga telah berkali-kali
menyaksikan kekerasan dan kekejaman yang terjadi antara manusia. Apakah
semenjak kita berpisah di Ceng-to dahulu itu keadaan Supek baik-baik
saja?"
Cia Keng
Hong menarik napas panjang.
"Entah
bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu itu. Sesudah aku melapor ke kota
raja, pasukan dikirim dan aku ditugaskan untuk membantu. Pasukan pemerintah
berhasil menghancurkan pemberontak, sisanya melarikan diri cerai-berai memasuki
hutan-hutan. Mereka sudah terpecah belah, jadi tidak membahayakan keamanan
negara lagi. Bahkan orang-orang asing itu sudah menghubungi pemerintah dan
dengan perintah langsung dari kota raja mereka diperbolehkan untuk mendarat dan
berdagang, akan tetapi terbatas di sekitar pantai Pohai saja. Aku melihat
perang, melihat ratusan orang roboh dan tewas, saling bunuh dan saling
sembelih. Entah keadaan seperti itu baik atau buruk." Pendekar sakti itu
menarik napas panjang lagi.
Kun Liong
juga menghela napas. Dia sendiri merasa ngeri saat menyaksikan keganasan
manusia saling bunuh.
"Bagaimana
dengan engkau sendiri?" Cia Keng Hong bertanya. "Apa yang terjadi
dengan gadis yang kita tolong dari rumah Hek-bin Thian-sin di Ceng-to dahulu
itu?"
"Nona
itu bernama Liem Hwi Sian dan bersama kedua orang suheng-nya dia menerima tugas
dari gurunya yang bernama Gak Liong di Secuan supaya membantu pemerintah untuk
menyelidiki para pemberontak."
"Hemmm,
jadi murid dari pendekar Secuan itu! Pantas dia gagah dan berani sekali, biar
pun kurang perhitungan dan hampir celaka. Pendekar Gak Liong di Secuan adalah
murid keponakan dari Panglima Besar The Hoo dan namanya sudah terkenal, sungguh
pun dia sendiri tidak pernah terjun ke dunia ramai. Bagaimana dengan usahamu
mencari kedua orang tuamu?"
Kun Liong
mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya yang gundul.
"Belum
ada hasilnya sama sekali, Supek. Teecu merasa heran sekali ke mana perginya
Ayah dan Ibu."
Cia Keng
Hong memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam, kemudian terdengar dia
berkata, "Kun Liong, aku merasa khawatir sekali akan keadaan orang tuamu.
Apa bila mereka itu masih hidup, tidak mungkin mereka berdua terus
menyembunyikan diri selama bertahun-tahun, setidaknya mereka tentu akan datang
mengunjungi kami di Cin-ling-san."
Kun Liong
terkejut dan memandang wajah pendekar itu. "Maksud... maksud
Supek...?"
"Aku
khawatir bahwa telah terjadi sesuatu dengan mereka, Kun Liong."
"Bagaimana
Supek dapat menduga begitu?" Kun Liong bertanya, wajahnya agak pucat.
"Pertama,
ayah bundamu adalah orang-orang gagah yang tak mungkin menyembunyikan diri
karena takut sampai bertahun-tahun. Ke dua, kalau mereka menghadapi kesukaran,
ada dua tempat di mana mereka dapat datang, yaitu di Cin-ling-san atau di
Siauw-lim-si. Akan tetapi di kedua tempat itu mereka tidak pernah muncul. Dan
ke tiga, kedaan dunia makin kacau, orang-orang golongan sesat bermunculan dan
mereka memiliki kepandaian yang tinggi, apa lagi dengan munculnya orang-orang
asing. Oleh karena itu, sesudah aku sendiri berusaha menyelidiki dan
mendengar-dengar tentang mereka, namun tanpa hasil seolah-olah orang tuamu itu
lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan jejak, maka mulailah aku ragu-ragu
apakah mereka itu masih hidup."
"Supek...!"
"Kun
Liong, sebagai manusia kita harus berani menghadapi kenyataan hidup yang bagai
mana pun juga. Kita tidak perlu melarikan diri dari kenyataan, kita harus
berani membuka mata menyambut datangnya segala sesuatu yang kita hadapi, baik
itu merupakan hal yang semanis-manisnya atau sepahit-pahitnya. Tidak perlu
mencari-cari hiburan kosong bagi hati yang dirundung kekhawatiran, karena
dengan demikian rasa takut akan makin menggerogoti hati. Kenyataannya adalah
orang tuamu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas, dan ini adalah tidak wajar sama
sekali kecuali tentu saja kalau mereka itu sudah tewas."
Kun Liong
memejamkan kedua mata-nya. Sampai lama dia duduk mengatur napas untuk menahan
pukulan batin yang timbul dari kekhawatirannya mendengar kata-kata pendekar
sakti itu. Cia Keng Hong memandang dengan penuh rasa terharu dan juga kagum.
Pemuda ini
menarik hatinya dan makin condong hatinya untuk menjodohkan puterinya dengan
pemuda ini. Dia mendiamkan saja sampai pemuda itu membuka kembali kedua matanya
dan sepasang mata yang tajam itu kelihatan membasah.
"Supek
benar. Kita harus berani menghadapi kenyataan hidup, betapa pun pahitnya. Dan
setelah teecu pikir-pikir, memang tidak mungkin kalau Ayah dan Ibu bersembunyi
sampai bertahun-tahun ini. Besar sekali kemungkinan bahwa kedua orang tua teecu
itu, telah... telah tewas. Namun tetap teecu akan mencarinya, setidaknya
mencari tahu bagaimana hal itu terjadi, kalau benar-benar mereka telah
tewas."
Cia Keng
Hong mengangguk. "Memang semestinya begitu, dan aku pun akan berusaha
mencari keterangan dari kenalan-kenalanku. Kini engkau hendak ke mana, Kun
Liong?"
"Pertama-tama,
teecu akan melanjutkan usaha teecu untuk mengambil kembali dua buah pusaka
Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Kwi-eng-pang. Selain itu, juga teecu harus minta
kembali pusaka bokor emas yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu."
"Bokor
emas? Pusaka The-taiciangkun yang hilang?" Cia Keng Hong bertanya.
Kun Liong
mengangguk dan dengan singkat dia segera menceritakan tentang perebutan pusaka
yang telah berada di tangannya itu namun terpaksa dia melemparkannya kepada
Kwi-eng Niocu dengan harapan kelak dapat dia minta kembali.
Mendengar
penuturan itu, Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Aihhhh, tugasmu ini
sungguh amat berbahaya dan berat, Kun Liong. Telaga Kwi-ouw sangat terkenal
sebagai tempat yang amat berbahaya, sesuai dengan namanya. Dan entah sudah
berapa hanyak tokoh kang-ouw tewas ketika berusaha mendatangi pulau di tengah
telaga yang dijadikan sarang Kwi-eng-pang."
"Teecu
pernah mendarat di pulau itu, Supek."
Cia Keng
Hong kelihatan terkejut. "Heh? Benarkah?"
Kun Liong
lalu menceritakan pengalamannya ketika dia pergi ke pulau di tengah Telaga
Setan itu, betapa di tepi telaga dalam hutan dia bertemu dengan Toat-beng
Hoatsu yang tidak dikenalnya, kemudian betapa dia ditipu oleh pelayan wanita
Kwi-eng Niocu sehingga tertawan dan dia dijadikan rebutan antara Siang-tok
Mo-li dan Toat-beng Hoatsu sehingga akhirnya dia menjadi tawanan kakek datuk
kaum sesat nomor satu itu.
"Aihhhh,
kalau begitu engkau sama sekali belum mengenal Telaga Setan dan pulaunya
itu," kata Cia Keng Hong. "Dan masih untung engkau tertawan secara
itu karena andai kata engkau yang belum mengenal rahasia Telaga Setan itu
datang sendiri ke sana dan melakukan pendaratan, mungkin engkau akan celaka dan
tewas dalam jebakan-jebakan rahasia yang amat berbahaya. Aku pernah mendengar
penuturan seorang sahabat yang telah berhasil menyelidiki rahasia itu maka bila
kau hendak mendarat ke sana, sebaiknya engkau mempelajari rahasia-rahasia yang
akan kulukiskan untukmu."
Pendekar
sakti itu lalu bertepuk tangan dan menggapai kepada seorang penjaga di luar
pintu gerbang kota Liok-bun yang tampak dari situ. Prajurit yang memegang
tombak itu lari mendatangi dan memberi hormat kepada pendekar ini. Cia Keng
Hong menyuruhnya mengambilkan kertas dan alat tulis.
Penjaga itu
cepat berlari memasuki pintu gerbang kota Liok-bun. Tak lama kemudian dia
datang berlari-lari membawa kertas lebar bergulung dan alat tulis yang diminta
pendekar itu. Kemudian, penjaga itu melangkah agak menjauh lalu berdiri dengan
tombak tetap di tangan, berjaga dan menanti perintah selanjutnya dari pendekar
itu.
Cia Keng
Hong lalu mulai membuat gambaran telaga beserta pulaunya sambil memberi
petunjuk kepada Kun Liong yang memandang penuh perhatian.
"Tepi
Telaga Kwi-ouw dari tiga jurusan, yaitu barat, selatan dan timur, merupakan
daerah yang kelihatannya datar dan aman, tetapi justru tiga bagian inilah yang
paling berbahaya bagi para pendatang dari luar. Tiga daerah ini penuh dengan
alat-alat jebakan yang amat berbahaya sekali."
"Akan
tetapi, Supek. Ketika teecu ikut dengan perahu pelayan itu, teecu juga melalui
dari selatan."
"Karena
pelayan itu sudah sangat mengenal daerahnya, tentu saja dia dapat mendayung
perahunya dengan aman. Di bagian selatan itu, di bawah permukaan air terdapat
banyak sekali ranjau yang berupa batu karang di bawah permukaan air, akan
tetapi sekali saja disentuh oleh perahu asing, anak panah yang banyak sekali
dan yang sudah dipasang di dalam batu karang buatan itu akan meluncur ke luar dan
menyerang penumpang perahu secara tiba-tiba dan hebat sekali. Di samping itu,
begitu orang mendarat di pulau itu dari selatan, walau pun di situ penuh pasir,
namun terdapat bagian pasir yang berputar dan menyedot kaki orang yang
menginjaknya sehingga tanpa petunjuk orang yang mengenal daerah itu, sekali
kakimu terseret, sukarlah bagimu untuk menyelamatkan diri."
Kun Liong
terbelalak dan bergidik ngeri.
"Daerah
barat juga sangat berbahaya karena penuh dengan lubang-lubang jebakan yang
tertutup dengan rumput hidup, dan di dalam setiap lubang terisi banyak ular
berbisa yang siap menyambut setiap orang yang terjeblos masuk. Juga air di
bagian itu banyak sekali terdapat ganggang yang hidup di bawah permukaan air,
penuh dan dapat mendamparkan perahu yang lewat. Tentu saja bagi mereka yang
sudah hafal, mereka tahu bagian mana yang tumbuhan ganggangnya tak begitu
banyak sehingga dapat dilalui perahu. Kemudian bagian timur, biar pun tidak
dipasangi jebakan pada permukaan air telaga, namun di situ terdapat air berpusing
yang amat berbahaya, dapat menyeret dan menyedot perahu ke dalam pusingan air.
Agaknya ada sebuah lubang besar di bagian ini yang menciptakan air berpusing.
Sedangkan di daratan pulau di timur ini terdapat alat-alat rahasia yang kalau
dilanggar kaki asing, akan membuat timbunan batu besar yang menggunung di
bagian ini runtuh ke bawah dan tentu saja akan langsung menyerang para
pendatang, sukar untuk menyelamatkan diri dari serangan batu-batu besar
itu."
"Ihhh,
keji sekali!" Kun Liong berseru dan merasa lega bahwa dia telah diberi
tahu akan hal-hal yang membahayakan itu sehingga dia dapat lebih berhati-hati.
"Satu-satunya
jalan adalah melalui utara. Akan tetapi bagian yang bersih dari jebakan ini
merupakan daerah yang sangat sukar didatangi. Tepi daratan pulau pada bagian
ini amat terjal, merupakan tebing tinggi yang curam sekali dan tidak mudah
didaki dari bawah." Cia Keng Hong membuat lukisan tebing tinggi itu sambil
memberi penjelasan. "Akan tetapi, sahabatku itu pernah melihat beberapa
kera memanjat ke atas dan hal ini memberi dia petunjuk bagaimana caranya
mendatangi pulau dengan aman. Yaitu dengan memanjat akar-akar yang menonjol
keluar di dinding tebing itu, memanjat melalui akar dan batu menonjol. Tentu
saja hal ini harus dilakukan dengan hati-hati, membutuhkan keringanan tubuh dan
kecekatan, karena biasanya hanya monyet saja yang dapat memanjat ke atas.
Sekali injakan kaki atau pegangan tangan terlepas, engkau akan terjatuh ke
bawah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri lagi dari maut."
"Agaknya,
memang jalan melalui tebing itu yang paling aman," Kun Liong berkata
sambil memandang lukisan supek-nya.
"Betapa
pun juga, engkau harus berhati-hati sekali karena siapa tahu kalau Kwi-eng-pang
yang kuat itu kini telah memasangi jebakan pula pada jalan paling sukar akan
tetapi paling aman ini."
Mendadak
prajurit yang tadi berdiri berjaga dengan tombak di tangan berseru,
"Taihiap, Liu-ciangkun datang menghadap!"
Kun Liong
menoleh dan Cia Keng Hong memandang seorang perwira yang bertubuh tinggi besar.
Perwira itu cepat memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan berkata,
"Ada seorang utusan dari kerajaan datang membawa sepucuk surat untuk
disampaikan kepada Taihiap, dari Panglima Besar The Hoo sendiri."
Cia Keng
Hong menggulung gambar itu, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian dia
bangkit berdiri dan menerima sampul tertutup. Setelah mengucapkan terima kasih
dan perwira itu pergi pula, kemudian berdua dengan Kun Liong, pendekar itu
kembali duduk di bawah pohon dan membuka surat dari Panglima Besar The Hoo.
Wajahnya
yang masih tampan dan gagah tidak membayangkan sesuatu ketika membaca surat itu
sehingga sukar bagi Kun Liong untuk menduga apakah surat itu membawa berita
baik ataukah buruk. Setelah selesai membaca, Cia Keng Hong melipat surat,
menyimpan ke dalam saku jubahnya, memandang Kun Liong dan berkata,
"Ahh,
sungguh hebat luar biasa, bokor emas itu benar-benar menimbulkan geger di dunia
kang-ouw. Kun Liong, bokor itu telah terlepas lagi dari tangan Kwi-eng Niocu
seperti yang kau ceritakan kepadaku dan sekarang bokor itu berada di tangan
Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong. Mereka membawa bokor itu ke Pulau Ular!
Panglima Besar The Hoo mendengar laporan ini dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan.
Hemm, Pulau Ular di Teluk Pohai. Berbahaya sekali! Dan Nona Souw secara lancang
pergi sendiri melakukan penyelidikan ke sana!"
Kun Liong
terkejut. "Apakah Supek maksudkan Nona Souw Li Hwa?"
"Engkau
sudah mengenalnya?"
"Sudah
beberapa kali teecu berjumpa dengan Nona Souw Li Hwa," Kun Liong menjawab
singkat. Dia merasa malu kalau harus menceritakan betapa dia pernah menjadi
tawanan nona cantik itu! "Bukankah dia murid Panglima Besar The Hoo?"
"Memang
dari gurunya dia mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Akan tetapi dia masih amat
muda dan belum berpengalaman. Bagaimana dia begitu lancang untuk pergi seorang
diri ke Pulau Ular? Betapa mungkin dia dapat melawan dua orang datuk kaum sesat
yang lihai itu? Ahh, sungguh mengkhawatirkan sekali. Panglima The Hoo minta
kepadaku untuk merampas kembali bokor itu, akan tetapi berita tambahan tentang
kepergian nona itu ke Pulau Ular, benar-benar membikin gelisah."
"Supek,
kalau begitu, biarlah teecu lebih dulu menyusulnya ke sana."
Cia Keng
Hong memandang kepadanya. Dia maklum bahwa pemuda ini mempunyai ilmu kepandaian
yang hebat, apa lagi kini telah menjadi pewaris Thi-khi I-beng sehingga boleh
diandalkan. Dia sendiri harus mengepung Pulau Ular itu sebab kalau dia menyerbu
begitu saja, kedua orang datuk itu akan dapat melarikan diri dan membawa bokor
emas. Maka dia harus mengepung ketat pulau itu, barulah dia akan turun tangan.
Dengan demikian, dua orang datuk itu tidak akan mendapat kesempatan untuk
membawa lari bokor emas milik Panglima The Hoo itu.
"Bagus
sekali kalau kau suka membantu, Kun Liong. Memang bokor itu perlu sekali untuk
diselamatkan. Jika sampai terjatuh ke tangan penjahat, bisa berbahaya. Bokor
itu selain mengandung petunjuk tempat rahasia penyimpan harta pusaka terpendam
yang sangat besar jumiahnya, juga penyimpanan kitab-kitab pusaka pelajaran ilmu
silat yang mukjijat. Demikian menurut keterangan yang kuperoleh dari Panglima
The Hoo sendiri. Bokor itu dahulu milik seorang pendeta perantau berilmu tinggi
yang kemudian meninggal dunia di Nepal. Sesudah berpindah-pindah tangan,
akhirnya bokor itu terjatuh ke tangan Panglima The Hoo dan hingga kini belum
ada yang dapat membuka rahasia tempat penyimpanan pusaka itu."
Kun Liong
mengangguk-angguk. "Memang teecu harus ikut berusaha mendapatkannya
kembali, bukan hanya mengingat bahwa teecu ikut bersalah membiarkan bokor
terjatuh ke tangan datuk kaum sesat, juga dahulu teecu sudah berjanji kepada
perwira pengawal Tio Hok Gwan untuk kelak menghaturkan bokor itu kepada
Panglima The Hoo sendiri!"
Kun Liong
tidak mendapat keterangan sejelasnya tentang letak Pulau Ular, kemudian dia
menerima bekal secukupnya dari Cia Keng Hong, karena untuk keperluan itu dia
harus membeli sebuah perahu di pantai Pohai. Setelah menerima petunjuk dan
nasehat, Kun Liong berangkat secepatnya seorang diri menuju ke daerah Teluk
Pohai, sedangkan Cia Keng Hong segera berunding dengan para perwira yang
memimpin pasukan pemerintah untuk mengatur siasat, mengepung Pulau Ular dan
mengatur persiapan.
***************
Air laut
bergelombang amatlah indah dan megahnya. Mempunyai keindahan yang khas. Air
laut itu seolah-olah bernafas, tak kunjung henti bergerak dan terayun-ayun,
bersenda gurau tertawa-tawa. Anak-anak ombak bagai sekumpulan kanak-kanak yang
masih belum mengenal pikiran susah, kepala ombak memercik dan membuih putih
menari-nari dengan riangnya.
Akan tetapi,
di balik keriangan yang nampak di atas gulungan ombak itu, bersembunyilah
keangkeran dan kebesaran yang sangat dalam dan menyeramkan, penuh rahasia,
penuh kediaman, namun penuh pengertian.
Air laut
itu, yang oleh manusia dikatakan benda mati, sesungguhnya hidup. Itulah baru
hidup yang sungguh-sungguh hidup namanya! Sangat bebas dan hidup, melakukan apa
saja, bergerak bagaimana saja sewajarnya, bebas tanpa ikatan, tanpa perintah,
tidak ada yang terpecahkan antara gerakan salah dan gerakan benar.
Justru kita
manusia ini yang hidupnya seperti boneka. Segala gerak kita tidak wajar, tidak
bebas. Setiap gerak kita adalah gerakan menjiplak atau gerakan yang
dikendalikan, bagai boneka yang digerakkan dengan tali-tali pengikat,
‘didalangi’ oleh tradisi dan kebudayaan uang, hukum yang sudah karatan,
peradaban tua, sedemikian tuanya sehingga semua gerak-gerik kita hanya
merupakan kepalsuan, kedok-kedok yang tidak wajar!
Kita berbuat
baik bukan karena memang baik, melainkan karena ingin baik. Keinginan selalu
berpamrih (menyembunyikan kehendak tertentu) sehingga perbuatan itu sendiri
lalu menjadi kedok kebaikan yang menyembunyikan pamrih yang sebenarnya. Kita
bersikap manis dan ramah kepada orang bukan karena keadaan kita memang
demikian, melainkan karena kita ingin mentaati hukum sopan santun dan
kesusilaan sehingga sikap manis kita itu adalah palsu, dan hidup kita seperti
benda mati yang digerakkan. Alangkah bedanya dengan air laut itu!
Matahari
baru saja muncul dari permukaan laut sebelah timur. Cahaya bola api yang amat
besar itu membuat segala benda menjadi berkilau seperti diselaput emas, kuning
merah keemasan. Cahaya yang hangat ini menyelimuti permukaan air laut yang
bergerak rata dan halus seperti napas seorang bayi tidur.
Sebuah
perahu kecil berbentuk meruncing meluncur cepat ke arah selatan, digerakkan
oleh hembusan angin pada layar yang berkembang dan melengkung penuh menampung
angin. Perahu itu meluncur di atas permukaan air yang keemasan, menuju ke
sebuah pulau yang sudah nampak dari perahu itu, sebuah pulau memanjang yang
kelihatannya bagai sepotong balok dan di atasnya terdapat sebuah bukit yang
berbentuk seperti seekor ular melingkar di atas balok itu. Itulah Pulau Ular!
Dara yang
berada seorang diri di perahu itu cantik jelita. Sepasang pipinya kemerahan,
karena mengemudi perahu yang mula-mula didayungnya dari daratan itu membutuhkan
pengerahan tenaga. Setelah perahu meluncur dekat pulau yang ditujunya, ia
menggulung layar dan membiarkan perahunya terkatung-katung sambil memandang
penuh perhatian ke arah Pulau Ular.
Dara ini
bukan lain adalah Souw Li Hwa, dara cantik jelita yang gagah perkasa itu, murid
Panglima Besar The Hoo yang sakti. Li Hwa memang terkenal memiliki keberanian
yang luar biasa. Pada saat mendengar dari pengawal Tio Hok Gwan bahwa bokor
emas milik gurunya itu telah terampas oleh datuk kaum sesat Toat-beng Hoatsu
dan disembunyikan di Pulau Ular, serta merta dia pergi seorang diri untuk
melakukan penyelidikan ke pulau itu.
Gurunya,
Panglima Besar The Hoo, merasa terkejut dan khawatir sekali mendengar akan
kelancangan muridnya ini. Karena itu panglima besar ini lalu cepat minta
bantuan kepada Pendekar Sakti Cia Keng Hong, bahkan dia sendiri lantas memimpin
pasukan istimewa untuk menyusul muridnya.
Li Hwa
dengan nekat melakukan ke Pulau Ular begitu mendengar berita tentang bokor itu,
karena dia merasa penasaran sekali. Bokor itu seakan-akan sudah berada di
tangannya ketika dia telah berhasil menawan Kun Liong, karena hanya pemuda
gundul itu sajalah yang tahu di mana adanya pusaka itu. Akan tetapi pada
saat-saat terakhir dia pun gagal mendapatkan bokor, maka begitu mendengar bahwa
benda pusaka itu sekarang berada di Pulau Ular, tanpa mengingat bahayanya, dia
cepat melakukan pengejaran ke tempat berbahaya itu.
Keadaan
pulau itu memang menyeramkan. Sebuah pulau yang tadinya kosong sebelum
ditemukan oleh Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan dijadikan sarangnya. Ketika Si
Raja Ular ini menemukan pulau itu, dia girang bukan main melihat bahwa pulau
yang kosong itu di samping memiliki tanah yang subur juga penuh dengan ular
berbisa dan pulau itu merupakan sebuah benteng yang kuat.
Memang dulu,
ratusan tahun yang lalu, pulau ini pernah dijadikan benteng oleh
pasukan-pasukan daratan Tiongkok ketika barisan menyerang ke Kolekok (Korea) di
jaman cerita Sam-kok. Karena beberapa kali pasukan daratan terpukul mundur oleh
pasukan Kolekok yang dipimpin oleh panglima wanita yang sakti bernama Hoan Lee
Hwa, maka pulau itu dijadikan benteng ketika mereka mundur, demikianlah menurut
dongeng.
Kini pulau
itu menjadi sebuah tempat tinggal yang indah akan tetapi juga menyeramkan bagi
orang luar. Pulau itu bertanah subur, bahkan sebagian tanahnya telah diolah
menjadi ladang yang subur dan yang menghasilkan bahan makanan, dikerjakan oleh
anak buah Ban-tok Coa-ong.
Akan tetapi,
datuk kaum sesat ini pun telah menangkap banyak ular-ular beracun dan ular-ular
ini kemudian dilepas di pulaunya sehingga beberapa tahun kemudian, pulau ini
penuh dengan ular dari segala macam ukuran dan warna, kesemuanya mengandung
bisa yang amat jahat. Maka terkenallah Pulau Ular dan tidak ada seorang pun
pelancong atau nelayan yang berani mendekati pulau itu.
Oleh karena
sudah bertahun-tahun tak ada orang berani mendekati pulau, ditambah pula dengan
keadaan pulau yang terlindung oleh tembok benteng tebal, serta mengandalkan
nama besarnya yang ditakuti, maka Ban-tok Coa-ong tidak melakukan penjagaan dan
membiarkan pulau itu ‘terbuka’. Namun, semenjak Toat-beng Hoatsu datang dan berhasil
membawa bokor emas, anak buah Ban-tok Coa-ong segera dikerahkan untuk melakukan
penjagaan di sekeliling pulau, di atas tembok-tembok benteng.
Anak buah
Ban-tok Coa-ong yang tinggal di Pulau Ular terdiri dari orang-orang Nepal dan
pribumi, tentu saja mereka adalah orang-orang dari golongan hitam. Mereka
berjumlah kurang lebih lima puluh orang dan sebagian di antara mereka ada pula
yang membawa keluarga mereka. Bahkan di antara orang-orang Nepal ada pula yang
membawa isteri dan tinggal di Pulau Ular dengan beberapa orang anak mereka.
Karena
bertahun-tahun tak ada orang luar berani memasuki Pulau ular, maka anak buah
Ban-tok Coa-ong tidak pernah menghadapi serangan musuh. Hal ini membuat mereka
sangat percaya kepada kekuatan sendiri, terutama mengandalkan nama besar
pemimpin mereka.
Walau pun
kini mereka menerima tugas untuk berjaga-jaga, namun karena mereka tidak
percaya akan ada orang yang berani datang ke pulau itu, mereka melakukan
penjagaan dengan malas-malasan. Apa lagi di pulau itu selain pemimpin mereka,
Ban-tok Coa-ong yang sangat sakti, masih terdapat pula putera pemimpin mereka
itu yang mereka sebut Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang), bahkan masih ada lagi
kakek tua renta yang kabarnya tidak kalah lihai dibandingkan pemimpin mereka,
yaitu Toat-beng Hoatsu.
Penjagaan
yang tidak ketat itu memudahkan Li Hwa untuk mendaratkan perahunya di tepi
Pulau Ular tanpa diketahui oleh para penjaga. Sesudah menyembunyikan perahunya
di dalam semak-semak di pinggir telaga, Li Hwa lalu mulai dengan
penyelidikannya, menuju ke tengah pulau di mana tampak olehnya
bangunan-bangunan pondok.
Dia melihat
para penjaga, makin ke tengah makin banyak, akan tetapi para penjaga itu sedang
bercakap-cakap dan agaknya sama sekali tak memperhatikan penjagaan mereka. Apa
lagi ketika dia tiba di antara pondok-pondok yang berdiri berjajar di tengah
pulau, dia melihat betapa banyak penjaga sedang tertarik dengan sebuah peristiwa
yang terjadi di tempat terbuka depan sebuah pondok terbesar.
Li Hwa
segera menyelinap di antara pobon-pohon dan pondok-pondok, kemudian berhasil
meloncat naik ke atas sebuah pohon besar dan mengintai ke bawah. Ada belasan
orang laki-laki membentuk sebuah lingkaran lebar tempat itu. Mereka itu terdiri
dari tujuh orang Nepal yang berambut panjang dan selebihnya adalah orang Han
biasa. Mereka rata-rata bersikap kasar dan ketika itu mereka tersenyum
menyeringai lebar seakan-akan sedang menghadapi sebuah tontonan yang menarik
hati.
Di ujung
sana duduk seorang pemuda berwajah tampan yang menyeringai lebar dan mata
pemuda tampan ini bergerak-gerak liar menyeramkan. Melihat sikap dan pakaiannya
yang seperti pakaian seorang putera bangsawan itu, mudah diduga bahwa dia
tentulah seorang yang tinggi kedudukannya di antara mereka, dan bahkan Li Hwa
dapat menduga bahwa agaknya pemuda itu adalah Ouwyang Bouw, yaitu pemuda iblis
putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang kabarnya memiliki kekejaman melebihi
ayahnya.
Akan tetapi
pada saat itu, yang menarik perhatian Li Hwa adalah tontonan yang membuat
belasan orang itu tertarik, yaitu yang terdapat di tengah-tengah lingkaran
mereka. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita. Melihat bentuk wajah dan
model rambut mereka, mudah diketahui bahwa laki-laki dan wanita itu tentulah
bangsa asing Nepal seperti tujuh orang pria yang menonton di situ.
Laki-laki
itu tinggi besar, usianya antara empat puluh tahun, sedangkan wanitanya
berkulit putih tidak seperti kaum prianya, berusia antara tiga puluh tahun.
Yang mengherankan hati Li Hwa adalah bahwa bahwa kedua orang itu bertelanjang
bulat sama sekali! Wanita itu kelihatan takut, wajahnya pucat dan matanya
terbelalak lebar memandang ke sana-sini seperti orang minta tolong. Sedangkan yang
pria hanya menunduk, kelihatannya seperti orang yang sudah putus harapan dan
menyerahkan diri kepada nasib.
Tiba-tiba
pemuda tampan yang bermata liar, yang memang bukan lain adalah Ouwyang Bouw
itu, mengangkat tangan ke atas dan agaknya ini merupakan isyarat karena semua
orang yang tadinya menonton sambil berbisik-bisik, sekarang terdiam semua, dan
hanya memandang ke arah wanita telanjang bulat.
Wanita ini
berusaha sedapat mungkin mempergunakan kedua tangannya untuk menutupi tubuhnya.
Lengan kirinya melintang di depan dada dan tangan kanannya menutupi bagian
bawah pusarnya, kedua kaki dirapatkan dan wanita itu berlutut setengah
menelungkup, hanya mukanya diangkat ke atas memandang kepada para penonton
dengan sinar mata minta pertolongan. Ada pun laki-laki telanjang itu hanya
mempergunakan kedua tangan menutupi bawah pusarnya sambil berlutut dan
menundukkan muka.
"Hemmm,
kalian sudah tertangkap basah. Sanghida, kau mau bilang apa lagi? Mengapa
engkau berjinah dengan isteri Rajid?"
Laki-laki
telanjang itu semakin menunduk dan dengan suara lemah dia menjawab, "Saya
mencinta dia, Ouwyang-kongcu."
"Betulkah?
Apa engkau menganggap dia cukup berharga untuk kau bela dengan nyawa?"
Sanghida,
orang Nepal itu, mengangguk. "Saya bersedia membelanya dengan nyawa."
"Ha-ha-ha,
agaknya Madhula pandai sekali melayanimu hingga engkau sudah tergila-gila,
ha-ha-ha!" Ouwyang Bouw tertawa dan semua orang yang menonton ikut pula
tertawa, kecuali seorang di antara mereka yang bertubuh gemuk, seorang Nepal
yang mukanya merah.
"Heii,
Madhula! Engkau yang berjinah dengan laki-laki lain, apakah lebih senang kepada
Sanghida dari pada kepada suamimu sendiri?" Kembali Ouwyang Bouw bertanya
dan kini ditujukan kepada wanita itu.
Wanita itu
menoleh dan memandang kepada Ouwyang Bouw dengan sinar mata penuh kemarahan.
Dari atas Li Hwa dapat melihat bahwa wanita itu ternyata memang cantik sekali,
kecantikan yang aneh, khas dan menarik.
"Ouwyang-kongcu,
engkau tentu lebih tahu apa yang sudah terjadi! Karena aku sudah menolak
cintamu, menolak bujukan dan rayuanmu untuk berjinah denganmu karena aku selalu
setia kepada suamiku, maka engkau telah mempergunakan Si Jahanam Sanghida ini
untuk memperkosaku! Engkau menaruh racun dalam minuman kami sehingga kami
berdua teracun dan mabok, melakukan perbuatan di luar kesadaran kami berdua
selagi suamiku kau suruh berjaga di luar. Kemudian kau sendiri yang sengaja
menangkap kami dan menuduh kami berjinah. Tentu semua ini kau lakukan untuk
membalas penolakanku terhadap bujukanmu!"
"Tutup
mulutmu!" Ouwyang Bouw membentak marah sekali, akan tetapi kemudian dia
tertawa-tawa lagi.
Sikap yang
berubah-ubah ini amat menyeramkan, dan Li Hwa yang berada di atas pohon menduga
bahwa agaknya pemuda itu memang benar-benar gila seperti disohorkan dunia
kang-ouw.
"Semua
tuduhan itu tidak ada buktinya. Akan tetapi perjinahan kalian sudah jelas
terbukti. Kalau kalian tidak berjinah, mana mungkin kalian berdua berada di
dalam satu kamar dan satu pembaringan tanpa pakaian sama sekali?" Dia
tertawa dan semua orang tertawa pula.
Wanita itu
tidak menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan kepada
Ouwyang Bouw.
Pemuda ini
kembali tertawa bergelak, kemudian secara tiba-tiba menghentikan tawanya,
memandang wanita itu dan berkata, "Madhula, engkau memang cantik sekali
dan pantas diperebutkan oleh kaum pria. Heii, Rajid, apa katamu? Setelah kau
melihat sendiri betapa isterimu dipeluk dan ditiduri oleh Sanghida, beranikah
engkau mempertahankannya dan melawan Sanghida?"
Orang Nepal
yang bermuka merah dan bertubuh gemuk, yang sejak tadi bermuka muram dan tidak
ikut tertawa seperti yang lain, meloncat ke depan, memandang kepada dua orang
yang telanjang itu, kemudian meludah ke bawah dan berkata, "Perbuatan
mereka yang terkutuk ini sudah jelas! Anjing jantan ini harus dibunuh dan
anjing betina ini pun tak patut dibiarkan hidup!"
"Ha-ha-ha,
kalau begitu, kuberikan Sanghida kepadamu, Rajid!" kata Ouwyang Bouw.
Mendengar
ucapan ini, orang Nepal yang gemuk itu mengeluarkan suara teriakan keras dan
tubuhnya sudah cepat menerjang maju, mengirim pukulan dengan tangan terkepal ke
arah kepala Sanghida yang telanjang. Biar pun tubuhnya gemuk, akan tetapi orang
Nepal bermuka merah ini gerakannya amat cepat, menunjukkan bahwa dia memiliki
kepandaian tinggi.
Akan tetapi,
dengan tangan kiri masih menutupi bawah pusarnya, Sanghida mengelak dengan
meloncat ke belakang. Gerakannya sigap sekali dan ketika Rajid menerjang lagi,
Sanghida menangkis dengan lengan kanan. Tubuh Rajid terhuyung-huyung ke
belakang dan ternyata bahwa dia kalah tenaga.
"Rajid...
aku tak ingin bertempur denganmu...!" Sanghida berkata dan dia menangkis
lagi, kini sambil menangkis, tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan
tangan Rajid dan sekali menariknya, tubuh Rajid terdorong ke depan dan hampir
terbanting jatuh. Rajid makin marah, mukanya makin merah pada saat dia meloncat
membalik sambil mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang golok melengkung
dan tajam sekali...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment