Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 30
SERU dan
hebat sekali pertandingan berat sebelah yang berlangsung di tepi pantai yang
berhutan itu. Hong Ing telah berhasil merampas sebatang pedang milik seorang di
antara pengeroyok dan kini dia mengamuk seperti seekor singa betina. Hanya
subo-nya seorang saja yang diseganinya dan dia sama sekali tidak mau melawan
subo-nya, maka setiap kali gurunya ini menerjang, dia selalu lari ke lain
bagian untuk mengamuk di antara para pengeroyoknya.
Melihat ini
Kun Liong mengerti bahwa kalau Go-bi Sian-kouw mendesak dan memaksa Hong Ing
melayaninya, dara itu tentu akan mengalah dan akhirnya dapat tertawan. Maka dia
selalu menggerakkan sepasang rantingnya untuk menghadang dan mendesak Go-bi
Sin-kouw sehingga nenek ini tidak sempat lagi mengejar Hong Ing.
Biar pun dia
sudah memiliki tingkat kepandaian silat yang tinggi sekali, namun Kun Liong
merasa kewalahan juga menghadapi pengeroyokan orang-orang pandai itu. Apa lagi
dia tidak mau membunuh orang! Kim Seng Siocia dengan cambuk hitamnya, Go-bi
Sin-kouw dengan tongkat bututnya, dan tujuh orang kang-ouw yang memegang
bermacam senjata dan rata-rata mempunyai kepandaian tinggi, membuat Kun Liong
repot sekali.
Namun dia
terheran-heran mengapa di antara mereka ini tidak terdapat orang sakti yang
telah mengganggunya dengan suara ketawa itu dan hal ini melegakan hatinya.
Kalau ada orang itu, agaknya dia tidak akan dapat lama bertahan. Akan tetapi
sekarang dia makin terdesak juga karena untuk menggunakan Thi-khi I-beng yang
diandalkannya, tidak ada kesempatan baginya. Berulang kali Kim Seng Siocia
memperingatkan kawan-kawannya dengan teriakan agar jangan sampai menjadi korban
Thi-khi I-beng.
"Awas…!"
teriaknya. "Dia pandai Ilmu Mukjijat Thi-khi I-beng! Jangan biarkan tubuh
kalian menyentuhnya, gunakan saja ujung senjata untuk mendesak! Tangkap
dia!"
Dengan
peringatan ini, memang para pengeroyok hanya mengurung saja, tidak berani
terlalu mendesak sehingga dia tidak terancam bahaya oleh senjata lawan, namun
dengan dikurung ketat seperti itu, dia juga takkan dapat meloloskan diri dan
pula dia tentu akan kehabisan tenaga. Di samping ini, yang menggelisahkan
hatinya adalah bahwa dia tidak dapat menolong Hong Ing dan hanya dapat melihat
dengan hati gelisah betapa dara itu pun dikeroyok oleh banyak sekali panglima
dan prajurit.
Selagi Kun
Liong merasa bingung sekali, mendadak dia melihat bayangan seorang gadis yang
membuatnya girang dan jantungnya berdebar. Akan tetapi hatinya yang gembira itu
segera berubah heran dan bingung, juga kecewa ketika melihat bahwa gadis itu
yang bukan lain adalah Cia Giok Keng, datang bersama dengan Liong Bu Kong,
putera dari Ketua Kwi-eng-pang! Saking herannya, dia tidak jadi berteriak
memanggil dan dia melihat betapa dara itu bercakap-cakap dengan Pangeran Han Wi
Ong.
Tidak lama
kemudian terjadilah hal yang sama sekali tidak disangkanya akan tetapi yang
segera dapat dimengertinya. Cia Giok Keng bersama Liong Bu Kong sudah menyerbu
ke medan pertandingan dan ikut pula mengeroyoknya!
Tanpa
menegur pun tahulah dia mengapa Giok Keng membantu Pangeran Han Wi Ong. Ayah
dara itu, supek-nya Si Pendekar Sakti Cia Keng Hong, adalah orang yang terkenal
sering membantu pemerintah. Maka sekarang puterinya tentu saja membantu pasukan
pemerintah, apa lagi karena agaknya pangeran itu sudah memutar balikkan
kenyataan ketika bicara dengan Giok Keng tadi.
Benar saja
dugaannya. Sambil menudingkan pedangnya Giok Keng memaki, "Yap Kun Liong!
Kenapa kau menjadi begini tersesat? Lebih baik kau menyerah agar mendapatkan
pengadilan yang resmi! Kau telah melarikan isteri orang? Sungguh terlalu
kau!"
"Jangan
dengarkan obrolan pangeran konyol itu, Giok Keng!" teriak Kun Liong
penasaran. "Gadis ini mau dipaksanya menjadi isterinya, aku hanya
menolong...!"
"Aku tahu
akan watak mata keranjangmu!". Giok Keng membentak dan kini pedangnya ikut
bicara. Juga Liong Bu Kong yang diam-diam tersenyum girang ikut pula menerjang
maju.
Tentu saja
Kun Liong menjadi semakin kewalahan. Baru menghadapi pengeroyokan tadi saja dia
sudah repot bukan main, kini ditambah dua orang yang mempunyai kepandaian
begini tinggi, tentu saja dia menjadi makin sibuk.
Seperti
diceritakan pada bagian depan, Giok Keng dan Bu Kong sedang meninggalkan Pantai
Pohai, baru saja mereka mengambil pusaka-pusaka yang disembunyikan pemuda itu
dan hendak berangkat ke Siauw-lim-si. Di tepi pantai ini, dekat muara karena
mereka bermaksud mempergunakan perahu, mereka melihat ramai-ramai dan ternyata
Yap Kun Liong si pemuda gundul yang dikeroyok oleh pasukan tentara.
Tepat
seperti diduga oleh Kun Liong, Giok Keng yang bicara dengan Pangeran Han Wi Ong
dan menanyakan peristiwa itu, mendengar bahwa Kun Liong melarikan gadis yang
menjadi isteri pangeran itu. Tentu saja Giok Keng menjadi marah dan langsung
menyerbu bersama Bu Kong.
Tubuh Kun
Liong sudah basah semua oleh keringat, seperti juga tubuh Hong Ing yang membela
diri mati-matian. Hanya bedanya, kalau orang-orang yang dirobohkan oleh Kun
Liong hanya menderita tulang patah atau tertotok lumpuh, tetapi mereka yang
roboh oleh pedang Hong Ing tidak dapat bangkit lagi, bahkan banyak yang tewas
seketika! Namun Hong Ing sendiri juga sudah menderita beberapa luka-luka ringan
di lengan dan pahanya. Betapa pun juga, dara ini mengamuk terus, mengambil
keputusan untuk mempertahankan diri sampai titik darah terakhir!
Diam-diam
Cia Giok Keng heran bukan main, juga kagum sekali. Baru sekarang ini dia
menyaksikan dengan matanya sendiri betapa lihainya pemuda gundul itu.
Ilmu tongkat
yang dimainkan oleh kedua tangan Kun Liong yang menggunakan sepasang ranting
benar-benar sangat luar biasa, aneh dan juga tangguh sekali. Belum pernah Giok
Keng menyaksikan ilmu tongkat sehebat itu. Ke mana pun tongkat berkelebat,
tentu ada pengeroyok yang terdesak hebat, dan dari mana pun datangnya hujan
senjata tentu dapat ditangkis oleh sebatang di antara dua ranting itu!
Dan
kekebalan tubuh Kun Liong juga mengagumkan sekali. Beberapa kali tubuh pemuda
itu terkena bacokan, akan tetapi hanya bajunya saja yang robek sedangkan kulit
tubuhnya sama sekali tidak terluka. Tentu saja bacokan dan gebukan itu hanya
dilakukan dengan senjata biasa. Buktinya, pemuda itu sama sekali tidak pernah
berani menerima dengan tubuhnya sambaran pedangnya, Gim-hwa-kiam, dan pedang
Lui-kong-kiam di tangan Bu Kong. Jelas bahwa kekebalan tubuh Kun Liong masih
belum sanggup menahan pedang pusaka!
Dan sekali
ini Giok Keng yang cerdik ternyata salah duga. Ketika tubuh Kun Liong terkena
hantaman golok, pedang atau tombak, bukan sekali-kali dia menerima senjata itu
dengan sengaja, melainkan karena terlalu banyaknya senjata yang datang
menyerangnya hingga membuat dia tak sempat mengelak atau menangkis lagi. Maka
terpaksa dia mengerahkan sinkang melindungi tubuhnya sehingga kulitnya menjadi
kebal.
Dan kalau
dia menghendaki, belum tentu pedang pusaka itu dapat pula melukai tubuhnya!
Tentu saja Kun Liong tidak mau mencoba-coba, karena selain berbahaya, juga dia
tidak menghendaki kalau puteri supek-nya ini merasa terhina.
Maklumlah
Kun Liong bahwa dia dan Hong Ing tak akan tertolong lagi. Pihak pengeroyok
terlampau kuat. Karena dia tahu bahwa tak mungkin bagi Hong Ing untuk menyerah
yang berarti dia harus mau menjadi isteri pangeran itu, maka tak akan ada
gunanya pula untuk membujuk dara itu menyudahi perlawanan.
Dia lalu
memekik nyaring, pekik dahsyat yang mengejutkan para pengeroyoknya, apa lagi
ketika dari tangan kiri Kun Liong menyambar pukulan yang mengeluarkan uap putih
dan yang menyambar dengan kekuatan dahsyat, bahkan Giok Keng sendiri sampai
meloncat mundur. Kim Seng Siocia yang memandang rendah, terkena hantaman hawa
pukulan ini dan dia langsung menjerit sambil terhuyung mundur, mulutnya
mengeluarkan darah segar tanda bahwa isi dadanya terguncang oleh Pukulan
Pek-in-ciang yang dilakukan Kun Liong tadi.
Memperoleh
kesempatan selagi para lawannya mundur, cepat bagaikan kilat menyambar tubuhnya
segera mencelat ke dekat Hong Ing yang sudah payah. Datangnya pemuda ini tentu
saja merubah keadaan Hong Ing yang timbul kembali semangatnya melihat betapa
enam orang pengeroyok terlempar ke sana-sini oleh kaki tangan Kun Liong yang
marah menyaksikan dara itu terdesak dan terancam.
"Kun
Liong, mari kita mati bersama...," Hong Ing berbisik.
"Tidak,
kita harus hidup! Kita lawan mereka!" teriak Kun Liong penasaran.
Kini para
pengeroyok itu menerjang maju dan mengurung Kun Liong dan Hong Ing yang berdiri
saling membelakangi, dengan punggung hampir mepet beradu, dan dengan sikap
gagah, siap menanti setiap terjangan lawan dari mana pun juga datangnya.
Tiba-tiba
saja terdengar suara ketawa yang luar biasa. Ketawa itu sambung menyambung
bagaikan halilintar di musim hujan, bergema ke seluruh penjuru dan membawa
kekuatan yang menggetarkan jantung setiap orang yang berada di situ. Bahkan ada
belasan orang prajurit yang kurang kuat, merasa kakinya lumpuh dan mereka ini
menggigil hampir roboh mendengar suara ketawa penuh dengan tenaga khikang itu.
"Ha-ha-ha-ha!
Bermacam-macam orang mengeroyok seorang hwesio muda dan seorang nikouw muda!
Dunia ini akan menjadi apa kalau orang-orang telah mengeroyok dua orang alim?
Ha-ha-ha-ha!"
Semua orang,
termasuk Kun Liong dan Hong Ing, mengangkat muka memandang. Dari dalam hutan
itu muncullah seorang yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, berkepala
gundul dan berpakaian seperti pendeta Lama dengan jubah lebar berwarna merah!
Lama jubah merah!
Sudah
terkenal bahwa pendeta Lama jubah merah merupakan segolongan pendeta yang
berilmu tinggi dan sangat berpengaruh di Tibet! Anehnya, pendeta Lama tinggi
besar ini memanggul sebuah peti mati! Peti mati yang sederhana sekali, hanya
sebuah peti lonjong bertutup, terbuat dari kayu yang hitam mengkilap.
"Ha-ha-ha,
siapa pun yang hendak mengeroyok nikouw dan hwesio sama artinya dengan
menantang aku! Mundurlah kalian semua, kalau tidak, terpaksa pinceng (aku)
melakukan pelanggaran pantangan membunuh hari ini, ha-ha-ha! Sayang peti matiku
hanya sebuah, sedangkan kalian begitu banyak, mana cukup?"
"Hwesio
gila...!" Lima orang kang-ouw beserta belasan orang prajurit yang tadi
berada di bagian luar pengepungan dan kini paling dekat dengan hwesio raksasa
itu, lalu menyerbu dengan senjata mereka yang bermacam-macam.
Pendeta Lama
itu hanya tertawa tanpa menurunkan peti mati yang dipanggul di pundak kanannya.
Ketika belasan orang itu mendekat, pendeta Lama ini menggerakkan lengan kirinya
yang berjubah lebar. Angin yang dahsyat segera menyambar seperti badai dan...
lima orang kang-ouw bersama belasan orang prajurit itu roboh dan tidak mampu
bangun kembali!
"Ha-ha-ha-ha,
segala macam tikus busuk hendak melawan pinceng? Tidak ada gunanya! Pinceng
baru mau bertanding sungguh-sungguh kalau yang maju adalah lawan pinceng yang
seimbang. Hayo, mana dia yang berjuluk Go-bi Thai-houw? Mana dia Bun Hwat Tosu
dan Tiong Pek Hosiang? Suruh mereka maju, atau Sin-jiu Kiam-ong dan Panglima
The Hoo! Ha-ha-ha, apakah mereka itu tidak ada yang berani melawan Kok Beng
Lama?"
Semua orang,
terutama sekali Kun Liong dan Giok Keng, terkejut bukan main mendengar ucapan
itu. Lama ini menantang-nantang semua orang sakti yang amat terkenal, bahkan
yang sebagian besar sudah meninggal dunia! Bahkan guru dari Pendekar Sakti Cia
Keng Hong yang berjuluk Sin-jiu Kiam-ong juga ditantangnya, termasuk pula
Panglima The Hoo yang sakti luar biasa!
Mendengar
disebutnya nama bekas majikannya yang dipuja-puja, yaitu Go-bi Thai-houw, maka
marahlah Kim Seng Siocia. Dia berteriak nyaring dan melompat ke depan. Tubuh
yang gendut itu ternyata dapat bergerak gesit sekali dan terdengarlah bunyi
ledakan kecil berturut-turut ketika cambuk hitamnya melecut-lecut di udara
kemudian meluncur ke arah kakek pendeta Lama itu.
"Ha-ha-ha,
bagus juga Si Gendut ini!"
Kakek Lama
itu menerima lecutan cambuk hitam dengan mengangkat tangan kirinya saja, dan...
seperti besi disedot semberani, ujung cambuk hitam itu melayang ke arah tangan
Si Kakek lihai lalu ditangkapnya.
"Lepaskan
cambukku! Aihhhhh...!" Kim Seng Siocia mengerahkan tenaganya membetot,
akan tetapi cambuknya bagai telah berakar di tangan kakek itu yang masih
tertawa-tawa, kemudian tiba-tiba dilepaskanlah cambuk itu sehingga tubuh yang
gendut dari Kim Seng Siocia itu terjengkang dan terguling-guling, diikuti suara
ketawa kakek itu!
Kim Seng
Siocia telah berdiri lagi, lantas memutar-mutar cambuknya mengikuti sepasang
matanya yang juga terputar-putar. Kemudian dia menerjang maju, bersama dengan
yang lain. Melihat permainan senjata bukan saja dari Kim Seng Siocia, akan
tetapi juga Go-bi Sin-kouw dan terutama sekali gerakan pedang di tangan Giok
Keng dan Bu Kong, kakek itu diam-diam merasa kagum. Ia tertawa panjang dan
tubuhnya sudah meluncur ke dekat Kun Liong dan Hong Ing.
"Selagi
masih hidup kalian tidak lekas-lekas masuk ke dalam peti mati, apakah menunggu
sampai mampus baru dimasukkan? Ha-ha-ha!"
Kun Liong
dan Hong Ing maklum bahwa kakek inilah agaknya yang tertawa di dalam hutan
kemarin, dan dapat menduga bahwa kakek ini datang hendak menolong mereka.
Karena itu, Kun Liong segera menyambar tangan Hong Ing dan ketika melihat peti
yang dipanggul oleh Si Kakek itu tahu-tahu sudah terbuka sendiri tutupnya, dia
lalu membawa Hong Ing meloncat ke dalam peti mati yang segera tertutup kembali!
Biar pun
para lawannya sudah menerjang maju, pendeta Lama itu tidak melepaskan peti
mati, bahkan dia lalu tertawa dan sekarang lengking tawanya mengandung tenaga
yang sedemikian dahsyatnya sehingga Giok Keng, Bu Kong, Kim Seng Siocia, Go-bi
Sin-kouw dan beberapa orang kang-ouw, cepat meloncat mundur, lalu mengerahkan
sinkang untuk menahan pengaruh suara yang menggetarkan jantung mereka itu.
Pangeran Han
Wi Ong sendiri yang tadi berdiri agak jauh, langsung terjungkal roboh dan
pingsan, sedangkan para prajurit banyak yang roboh dan tewas seketika, telinga
mereka mengeluarkan darah segar! Sesudah kakek itu menghentikan suara
lengkingannya yang hebat itu, keadaan menjadi amat sunyi dan kesempatan ini
dipergunakan oleh kakek yang mengaku bernama Kok Beng Lama itu untuk berbisik
ke dalam peti,
"Kalian
adalah orang-orang buruan pemerintah. Berbahaya sekali. Lebih baik kalian untuk
sementara waktu pergi bersembunyi ke sebuah pulau kosong dan jangan mendarat
dulu. Nah, sekarang pergilah!" Tiba-tiba kakek itu menggunakan kedua
lengannya yang berbulu untuk melontarkan peti mati itu. Peti melayang dan
meluncur jauh menuju lautan.
"Byuuurrr...!"
Peti mati
itu terbanting ke atas air, Kun Liong dan Hong Ing sampai bertumpang tindih di
dalam peti namun Kun Liong masih teringat untuk merangkul Hong Ing dan
melindunginya sehingga ketika peti terbanting, kepala dara itu tidak sampai
terbentur peti. Juga pemuda ini sudah menarik tubuh Hong Ing ke atas tubuhnya
ketika peti melayang sehingga dialah yang berada di bawah ketika peti
terbanting.
Setelah peti
yang terbanting tidak melayang lagi, Kun Liong menggunakan tangan kirinya
membuka peti dari dalam. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka berdua
ketika mendapat kenyataan bahwa peti mati itu telah berada di atas permukaan
air laut yang bergelombang!
Pada saat
mereka memandang ke daratan yang agak jauh, mereka melihat para pengejar mereka
berdiri di pantai. Untunglah di situ tidak tersedia perahu sehingga mereka
tidak mampu melakukan pengejaran.
Ada pun
pendeta Lama bernama Kok Beng Lama itu sudah tidak tampak mata hidungnya di
pantai. Memang pendeta itu segera melangkah lebar pergi meninggalkan pantai
setelah melemparkan peti mati ke lautan dan tidak ada yang berani mengejarnya
karena semua orang maklum betapa lihainya pendeta Lama itu.
Kun Liong
kemudian membuka peti. Tutup peti yang berengsel itu dapat terbuka sampai
telentang sehingga peti itu merupakan dua perahu kecil berjajar. Di sudut dia
menemukan sehelai layar tergulung, terbuat dari kain tipis akan tetapi kuat
sekali, lengkap berikut tali temali dan bambu sebagai tiang. Kiranya peti mati
itu bukanlah peti mati biasa, melainkan peti mati yang bisa digunakan sebagai
perahu dan agaknya memang menjadi kendaraan kakek itu! Dibantu oleh Hong Ing,
Kun Liong kemudian memasang layar dan meluncurlah ‘perahu’ mereka, menerjang
ombak menuju ke timur, ke tengah samudera yang luas!
Sesudah
pantai hanya kelihatan sebagai garis yang tidak jelas dan para pengejar sudah
tak tampak lagi, legalah hati kedua orang muda itu.
"Ke
mana kita pergi?" Tiba-tiba terdengar suara Hong Ing, suara yang lemah dan
penuh kekhawatiran.
Kun Liong
menarik napas panjang. Sebegitu jauh, nasib mereka masih mujur, ada saja
bintang penolong yang datang membebaskan mereka dari bahaya. Akan tetapi dia
sendiri pun tidak tahu harus pergi ke mana!
"Sebaiknya
kita mentaati nasehat Kok Beng Lama tadi. Kalau berada di darat, tentu kita
akan terus menjadi orang buruan sebelum aku bisa bertemu dan mendapat
pertolongan Supek. Akan tetapi melihat sikap Giok Keng tadi... ahhh…, tipis
harapanku..."
"Giok
Keng? Apakah kau maksudkan dara cantik jelita yang amat gagah perkasa tadi?
Yang menyerangmu dengan pedang bersinar perak?"
"Benar."
"Engkau
sudah mengenalnya, mengapa dia menyerangmu? Siapakah dia?"
"Dia itu...
tunanganku..."
"Ihhhh...!"
Hong Ing membuang muka, tidak memandang lagi kepada Kun Liong dan tidak bicara
lagi.
Sampai lama
keduanya berdiam saja dan suasana menjadi amat hening, hening yang
menggelisahkan hati.
"Dia
adalah puteri Supek Keng Hong..." Akhirnya Kun Liong berkata.
Dia tidak
tahu mengapa Hong Ing menjadi pendiam, mengira tentu dara itu tenggelam ke
dalam kegelisahan karena keadaan mereka.
Hong Ing
kelihatan tercengang dan menengok. "Ehhhh...?"
"Tapi
pertunangan kami itu telah putus..."
"Hemm..."
Hong Ing berusaha untuk duduk sejauh mungkin dari Kun Liong, akan tetapi mana
bisa kalau tempat itu hanya sedemikian sempitnya? Apa lagi Kun Liong duduknya
di tengah karena pemuda itu harus memegang tali layar dan mengatur arah perahu
yang melaju didorong angin itu. Betapa pun dia menggeser tubuhnya, tetap saja
mereka duduk berdekatan!
"Kenapa...?"
Kun Liong
yang termenung, agaknya turut kecewa dan berduka menyaksikan keadaan Hong Ing
yang bagaikan orang bingung dan bersedih itu, terkejut mendengar pertanyaan
tiba-tiba ini.
"Kenapa
apanya...?"
"Kenapa
pertunangan itu putus?"
"Dia
yang menghendaki demikian, karena dia tidak cinta kepadaku."
Hong Ing
mengangguk-angguk dan kini wajahnya kembali agak merah, matanya bersinar dan
mulutnya tersenyum mengejek. "Aku sudah melihat itu. Kalau cinta tidak
mungkin dia ikut mengeroyokmu. Kulihat dia datang bersama pemuda tampan itu,
tentu pemuda itulah yang menggagalkan pertunanganmu."
"Tidak!
Mudah-mudahan tidak. Pemuda itu adalah putera datuk sesat, putera dari Kwi-eng
Niocu, tak mungkin Giok Keng jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti
itu."
"Mengapa
tidak mungkin? Pemuda itu tampan dan menarik, dan seorang yang mencinta tidak
mungkin dapat melihat keburukan orang yang dicinta."
"Tapi
Giok Keng seorang dara perkasa yang cerdik dan bijaksana."
"Tidak!
Dia gadis tolol!" Tiba-tiba Hong Ing berkata dengan nada suara keras.
Kun Liong
memandang tajam, agak panas perutnya. "Hong Ing, dia bukan gadis tolol,
dia puteri Supek..."
"Puteri
dewa sekali pun, tetap saja dia tolol!" Hong Ing juga memandang tajam
seakan menantang, seolah-olah dia sengaja hendak memanaskan hati pemuda gundul
itu.
Kun Liong
hendak membantah, akan tetapi melihat sinar mata dara itu, dia menunduk dan
menghela napas. Perlu apa bertengkar karena urusan tetek-bengek? Kini mereka
masih terancam bahaya, berada di dalam perahu yang aneh dan di tengah samudera,
tak tentu arah tujuan.
Lama mereka
tenggelam di dalam keheningan, hanya beberapa kali Kun Liong menarik napas
panjang karena suasana hening yang mencekam itu sangat tidak mengenakkan
hatinya. Mau bicara, bicara apa lagi? Lagi pula, Hong Ing tentu masih marah.
Mengapa dara ini marah-marah? Dia benar-benar tidak mengerti. Apakah karena
kedukaannya dan kegelisahannya?
"Kun
Liong..."
"Hemm...?"
Dia mengangkat muka dan hatinya menjadi lega melihat wajah dara itu sudah
berseri kembali, sama sekali tidak ada tanda-tanda kemarahan atau kedukaan.
"Benarkah
Giok Keng tidak mencintamu?"
Sebenarnya
di dalam hatinya Kun Liong merasa tidak senang sekali diajak bicara urusan ini,
akan tetapi karena dia tak ingin melihat dara itu marah-marah lagi, maka dia
terpaksa menjawab, "Tentu saja dia tidak cinta kepadaku, dia sendiri yang
menyatakan hal ini dan memutuskan tali perjodohan kami."
"Mengapa
tidak cinta padamu?"
"Ehh,
apa anehnya itu, Hong Ing? Mana mungkin seorang seperti dia mencinta seorang
gundul seperti aku? Di dunia ini mana mungkin ada seorang dara cantik yang bisa
jatuh cinta kepada seorang lelaki gundul tak berharga seperti aku ini? Paling-paling
yang jatuh cinta kepadaku hanyalah orang-orang semacam Kim Seng Siocia..."
Kun Liong mencoba berkelakar akan tetapi terdengar masam dan hambar.
"Kasihan
kau, Kun Liong..."
"Tidak
perlu kau kasihani, aku sudah menyadari keadaanku yang buruk," kata Kun
Liong sambil cemberut.
Kau tidak
tahu, katanya dalam hati, betapa banyaknya gadis yang jatuh cinta kepadanya!
Terbayanglah wajah Bi Kiok, Li Hwa, dan terutama sekali wajah Hwi Sian! Biar
pun dia tak berani memastikan bahwa Bi Kiok dan Li Hwa mencintanya, akan tetapi
yang jelas, Hwi Sian sungguh-sungguh mencintanya sehingga dara itu rela
menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepadanya!
"Benar-benarkah
tidak ada wanita yang mencintamu?"
Kun Liong
menggelengkan kepalanya. "Yang jelas hanya seorang..."
"Siapa?"
Hong Ing kelihatan bernafsu dan ingin tahu sekali ketika mengajukan pertanyaan
ini.
"Mendiang
ibuku..."
"Hemm...
kasihan engkau. Giok Keng memutuskan perjodohan karena tidak mencintamu,
padahal engkau tentu cinta sekali padanya..."
"Tidak
sama sekali."
"Heiii?"
"Aku
tidak cinta padanya! Dan aku tidak mencinta siapa pun! Aku tidak percaya kepada
cinta!"
"Ehhh...?"
"Cinta
adalah palsu belaka! Cinta hanyalah dipergunakan untuk memenuhi keinginan hati
sendiri, untuk memuaskan hati sendiri. Betapa tololnya laki-laki yang jatuh
cinta! Semua wanita sama saja. Mereka itu mempesolek diri, membuat dirinya
cantik menarik seperti bunga yang memancing datangnya kumbang, dengan
pernyataan cinta palsunya wanita hanya ingin agar pria tunduk kepadanya,
menuruti segala kehendaknya, menyenangkan hatinya! Pria pun berlomba menarik
perhatian wanita dengan segala cinta palsu di mulut, hanya untuk menjadikan
wanita sebagai pemuas nafsu birahi saja! Aku muak! Aku tidak cinta siapa pun
dan tidak akan mencinta siapa pun!"
Mata Hong
Ing terbelalak, napasnya terengah, dan sukar sekali kata-kata yang keluar dari
mulutnya, "Jadi kau... tidak suka kepada wanita?"
"Aku
suka! Tapi aku tidak cinta! Aku suka kepada wanita cantik seperti aku suka
kepada bunga yang indah dan harum, suka membelai dan menciumnya, akan tetapi
untuk jatuh cinta, nanti dulu! Cinta adalah perasaan yang palsu, hanya indah
dalam lamunan... seperti mimpi... tapi kenyataannya, tahu-tahu diri terikat dan
tak dapat bergerak lagi, kehilangan kebebasan, kemudian selama hidupnya menjadi
hamba dari ikatan cinta yang menjadi pernikahan, suka atau tidak. Betapa
bodohnya pria yang jatuh cinta!"
"Dan
engkau tentu tidak sebodoh itu, bukan?"
"Tidak!"
"Dan
semua pengetahuanmu tentang cinta ini kau pelajari dari kitab?"
"Hemmm...
mungkin juga! Banyak kitab lama menceritakan tentang kejatuhan kaisar dan
orang-orang besar hanya karena cinta kepada wanita. Pertapa-pertapa gagal juga
karena cinta kepada wanita. Wanita seperti kembang..."
"Kata-katamu
seperti syair... teruskan..."
"Wanita
seperti kembang, hanya boleh dipandang, boleh dijamah dan dicium, akan tetapi
sekali dipetik, akan menjadi layu dan menjemukan... harumnya hilang berubah
menjadi bau yang tidak enak, keindahannya mengeriput dan melayu sehingga
berubah buruk..."
Kun Liong
segera menghentikan kata-katanya karena pandang matanya bertemu dengan pandang
mata Hong Ing yang membuatnya terkejut setengah mati. Pandang mata Hong Ing
seperti ujung pedang runcing yang menusuk matanya!
Teringatlah
dia sekarang betapa tadi dia bicara mengeluarkan isi hatinya seperti bicara
kepada dirinya sendiri, membicarakan dan mencela wanita di depan Hong Ing,
seorang wanita pula, bahkan seorang wanita remaja yang sangat cantik jelita!
Barulah dia teringat betapa dia telah kelepasan bicara, telah melepaskan
kata-kata keras yang terdorong oleh rasa penasaran di dalam hatinya terhadap
Giok Keng, puteri supek-nya yang selain telah bersama-sama Liong Bu Kong, juga
telah mengeroyoknya tadi.
"Yap
Kun Liong..."
Panggilan
nama lengkap ini membuat hati Kun Liong berdebar kencang, namanya disebut
lengkap dengan suara yang begitu dingin! Dari dada Hong Ing keluar isak
tertahan dan tiba-tiba dara itu membuang muka, mengalihkan pandang matanya ke
air di luar perahu, kemudian kedua tangannya menyapu-nyapu air laut seolah-olah
dia bicara dengan lautan.
"Yap
Kun Liong pemuda yang gagah perkasa dan terpelajar itu berbicara seperti
seorang kakek tua renta tentang wanita, padahal segala ilmu silatnya dia dapat
dari guru-gurunya, segala ilmu sastranya dia dapat dari kitab-kitab, semua itu
dia hanya menjiplak saja dan sekarang... dengan kesombongan yang dahsyat
melebihi halilintar dia mengutuk wanita, seolah-olah wanita disamakannya dengan
isi keranjang sampah!"
"Hong
Ing..." Kun Liong mengeluh, menyesali kata-katanya tadi.
"Seolah-olah
dialah satu-satunya laki-laki yang paling hebat... yang terlampau tinggi bagi
makhluk wanita yang lemah dan hina..."
"Hong
Ing... aku tidak bermaksud begitu..."
"Yap
Kun Liong pemuda pongah, pemuda sombong itu... pantasnya berada di kahyangan
tanpa wanita... dan baginya, agaknya hanya neraka sajalah tempat tinggal
wanita... begitu hebat dia memandang rendah wanita sampai dia lupa bahwa
neneknya dan ibunya pun seorang wanita..."
"Hong
Ing...!" Kun Liong membentak, mukanya menjadi pucat. Mengapa dara itu
begitu berlebih-lebihan menambah-nambah ucapannya tadi?
Akan tetapi
Hong Ing sudah memalingkan muka, membelakanginya dan dara itu lantas merapikan
kain putih penutup kepalanya yang sedikit terbuka oleh angin, kemudian gadis
ini bersenandung!
Kun Liong
tenganga bengong. Suara Hong Ing amat merdunya, jernih melebihi air di luar
perahu peti mati dan halus mengimbangi hembusan angin. Nyanyiannya lirih akan
tetapi kata-katanya terdengar jelas, diiringi oleh suara air laut yang memercik
pada peti hingga mendatangkan irama kacau namun pada waktu itu merupakan latar
belakang nyanyian yang menambah keindahan nyanyiannya itu.
Mula-mula
Kun Liong terpesona oleh suara yang merdu sekali itu, yang menjadi istimewa
karena dinyanyikan di tempat seperti itu, pada saat seperti itu pula. Akan
tetapi, alisnya langsung berkerut dan matanya terbelalak ketika dia mulai
memperhatikan kata-kata yang diucapkan dalam nyanyian itu. Hong Ing bernyanyi
tentang... cinta!
Dan sesudah
dengan penuh perhatian dia mengikuti isi nyanyian, teringatlah dia bahwa yang
dinyanyikan itu merupakan sajak kuno yang ditulis oleh seorang sastrawan di
jaman Kerajaan Han, ratusan tahun yang lalu. Dia merasa amat kagum, kagum dan
heran sekali. Kagum karena tidak disangkanya dara ini selain mempunyai suara
merdu juga mengenal sajak itu, dan heran kenapa dara murid Go-bi Sin-kouw yang
sejak kecil berada di puncak gunung ini demikian pandai bernyanyi.
Cinta adalah
Kehidupan
tanpa cinta
hidup sama dengan mati
Cinta adalah
Cahaya
tanpa cinta
hidup gelap gulita
Cinta adalah
Suci
tanpa cinta
hidup bergelimang dosa
Hanya orang
bijaksana saja mengenal Cinta
si dungu
hanya mengejar nafsu!
"Suaramu
indah sekali!"
Akan tetapi
Hong Ing tidak menjawab, menoleh pun tidak, hanya mengulang nyanyiannya lagi.
Kun Liong merasa seolah-olah disindir hebat oleh nyanyian itu, terutama sekali
baris terakhir yang mengatakan bahwa si dungu hanya mengejar nafsu, maka dia
menjadi agak mendongkol juga.
Karena
pujiannya tadi tidak dipedulikan, dia lalu mencari bahan untuk menggoda dara
itu. Akhirnya dia memperoleh akal dan berteriak keras melawan angin, agar
mengatasi suara nyanyian dara itu.
"Hai
lucunya! Ada nikouw kok menyanyi!"
Pancingannya
berhasil. Hong Ing menoleh dan dengan mata berkilat penuh penasaran dia
menjawab, "Nikouw juga manusia yang mempunyai mulut dan suara! Apa
salahnya bila nikouw menyanyi?"
Girang hati
Kun Liong melihat bahwa dia telah berhasil memancing kemarahan Hong Ing itu
sehingga membantahnya. Masih lebih baik melihat dara ini marah-marah dan
memaki-makinya sekali pun dari pada melihat dia didiamkan dan tidak diacuhkan
seperti patung.
Kun Liong
tertawa. "Tentu saja semua nikouw juga boleh bernyanyi, akan tetapi
biasanya nikouw hanya menyanyikan lagu doa untuk liam-keng, bukan menyanyikan
lagu tentang cinta!"
Sepasang
mata yang bening itu makin mendelik marah. "Aku bukan nikouw! Aku bukan
nikouw asli, melainkan nikouw palsu, nikouw terpaksa! Sekarang aku bukan nikouw
lagi!" Berkata demikian, Hong Ing lalu merenggut lepas kain putih penutup
kepalanya sehingga tampaklah kepalanya yang gundul dan licin mengkilap, bersih
dan bentuknya bulat.
Melihat
kepala ini, tak dapat ditahan lagi Kun Liong tersenyum lebar dan kedua matanya
memandang kepala itu. Melihat betapa mata pemuda itu ditujukan pada kepalanya,
baru Hong Ing teringat bahwa kepalanya gundul pelontos. Mukanya menjadi merah
sekali, dia merasa seolah-olah kepalanya berada dalam keadaan ‘telanjang’, maka
dia menutupkan kembali kain putih itu ke atas kepalanya dengan tergesa-gesa.
Tentu saja
gerakan dan sikap dara ini membuat Kun Liong menjadi semakin geli dan dia pun
mencela, "Heii, mengapa ditutup kembali?"
In Hong
tentu saja tidak mau mengatakan malu karena kepalanya ‘telanjang’, dan dengan
cemberut dia berkata, "Siapa melarang aku menutupi kepalaku? Matahari amat
teriknya, kepalaku menjadi panas terkena sinar matahari."
Kun Liong
tidak mau menggoda lebih jauh lagi. Dia sudah merasa girang bahwa Hong Ing
sudah mau bicara dengan dia. Maka dia berkata, "Hong Ing, kau maafkanlah
atas semua kata-kataku yang tidak karuan. Harap kau tidak marah lagi
kepadaku."
Hong Ing
menjawab tidak acuh, "Siapa marah? Aku tidak marah."
"Ahh,
kau tadi mengatakan aku pongah dan sombong..."
"Kau
juga mengatakan bahwa wanita amat buruk dan hina...!"
Kun Liong
menjadi semakin tidak mengerti akan sikap wanita pada umumnya dan dara ini pada
khususnya. Namun karena dia tidak mau bermusuhan dengan satu-satunya kawan
seperahu yang senasib sependeritaan dengannya pada saat itu, maka dia diam
saja. Dia murung dan betapa pun dia menekan perasaannya, tetap saja mulutnya
cemberut.
Sampai lama
mereka berdiam diri. Kun Liong mengatur arah perahu, terus ke timur dan
kemudian membelok ke utara. Dia sengaja tidak mau bicara dan juga tidak
memandang kepada Hong Ing, khawatir kalau-kalau mendatangkan keributan lagi.
Heran dia mengapa setelah terlepas dari bencana dan menghadapi bencana baru
yang tidak berketentuan ini, dia dan Hong Ing selalu berbantahan. Tiba-tiba
terdengar suara dara itu,
"Kun
Liong..." Suaranya begitu merdu dan ketika dia menengok, dia melihat wajah
dara itu berseri. Bukan main manisnya!
"Hemmm...?"
Kun Liong juga tersenyum, terseret oleh senyum dara itu.
"Lihat
ini..."
Tangan kanan
dara itu memegang seekor ikan sebesar betis, ikan segar yang masih menggelepar
dan berusaha meronta terlepas dari pegangan tangan kecil yang amat kuat itu.
"Aku
menyambarnya ketika dia berenang dekat perahu. Kupanggang dia, ya?"
"Wah,
tentu enak sekali!" kata Kun Liong dan mereka tertawa-tawa gembira, lupa
akan percekcokan mereka tadi.
Karena di
sana tidak terdapat bahan bakar, terpaksa Hong Ing menggunakan tenaganya untuk
mematahkan sedikit ujung tiang layar dan mengambil sedikit potongan kayu dengan
menghancurkan pinggir tutup peti, kemudian dengan menggosok-gosokkan kayu
kering dia berhasil membuat api dan memanggang ikan itu.
Akan tetapi
sesudah mereka makan daging ikan yang lezat itu, mereka bingung karena mereka
tidak dapat minum. Mereka merasa haus sekali dan memandang sedih ke arah air
laut. Demikian banyaknya air di sekeliling mereka, terlampau banyak, namun
mereka tidak dapat minum sama sekali! Air laut berlimpah tinggal ambil namun
tiada gunanya, yang mereka butuhkan hanyalah seteguk air tawar!
Setelah
mengalami hal ini, barulah dengan amat terkejut keduanya sadar bahwa mereka
sedang terancam bahaya maut yang mengerikan di tengah laut! Dan mereka tadi
sempat bercekcok!
"Hong
Ing, kita harus segera dapat mendarat di sebuah pulau yang ada airnya. Kalau
tidak, celakalah kita."
Hong Ing
mengangguk dan dara ini lalu membantu Kun Liong memegang tali-temali layar.
Angin bertiup kencang dan keduanya melihat-lihat ke empat jurusan, mencari-cari
dengan pandangan mata disertai penuh harapan akan melihat bayangan sebuah pulau
dari jauh. Akan tetapi, di empat penjuru yang tampak hanya air dan air sampai
ke kaki langit, air yang tiada tepinya!
Menjelang
senja, perahu peti itu sudah berlayar jauh sekali. Angin semakin kencang dan
tiba-tiba saja dari langit yang tertutup awan hitam itu turunlah air
bertitik-titik besar. Kedua orang muda itu dengan gembira dan lega memuaskan
dahaga mereka dengan air hujan. Akan tetapi hujan segera turun begitu lebatnya,
angin bertiup amat kencangnya sehingga mereka cepat-cepat menurunkan layar.
Angin badai mengamuk!
"Celaka...!
Lebih baik kita tutup peti ini...!" Kun Liong berkata dan dengan cepat
mereka berdua menutupkan peti setelah membuang air keluar dari peti.
Peti itu
mulai diombang-ambingkan gelombang yang dahsyat dan tidak lama kemudian, Kun
Liong dan Hong Ing terbanting-banting dan saling berpelukan di dalam peti yang
kini tidak hanya diombang-ambingkan, melainkan dilempar ke atas dan
diguling-gulingkan! Di dalam peti yang gelap itu, Kun Liong mendengar suara
dahsyat dari badai dan di antara suara dahsyat ini, terdengar tangis Hong Ing
yang lemah, tangis ketakutan.
Dia memeluk
tubuh dara itu, mendekapnya dan dengan seluruh jiwa raganya dia berniat
melindunginya. Akan tetapi apa dayanya? Mereka berada di dalam sebuah peti mati
yang tertutup, peti yang kecil sehingga mereka tidak mampu bergerak, peti yang
dipermainkan oleh badai dan setiap saat dapat saja peti itu ditenggelamkan atau
dihempaskan hancur lebur di batu karang sehingga riwayat mereka akan habis
sampai di situ saja.
Hong Ing
menangis dan merintih-rintih saking takutnya, ada pun Kun Liong sendiri yang
selama ini tak pernah mengenal takut, kini merasa ngeri juga sehingga tanpa
disadarinya, timbul kembali pengalaman pada waktu dia masih kanak-kanak dan
tanpa terasa lagi dia meneriakkan panggilan kepada ayah bundanya seperti
seorang anak kecil yang sedang menderita ketakutan.
Tiba-tiba
Kun Liong merasa terguncang hebat dan berbareng dengan suara keras sekali
tubuhnya terlempar kemudian keadaan menjadi gelap. Pada saat terlempar itu dia
seperti mendengar suara wanita memanggil namanya, "Kun Liong...!"
Akan tetapi
dia tidak tahu pasti apakah itu suara ibunya, ataukah suara Hong Ing karena dia
sudah tidak ingat apa-apa lagi.

Pada waktu
Kun Liong membuka kedua matanya, dia mendapatkan dirinya sudah rebah
menggeletak di atas pasir. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, tiap gerakan kaki
atau tangan mendatangkan rasa nyeri sekali. Dia mengeluh, akan tetapi begitu
teringat akan Hong Ing, dia cepat bangkit dan duduk, sama sekali tidak lagi
merasakan rasa nyeri-nyeri tubuhnya.
Malam masih
gelap dan suara badai masih menggelora. Akan tetapi dia selamat! Dia telah
berada di daratan. Dengan tangan kaki meraba-raba dia bangkit berdiri,
melangkah maju. Kiranya dia berada di pantai yang penuh dengan batu-batu karang
dan pasir. Untung dia terhempas di pasir, kalau saja terhempas di batu-batu,
tentu tubuhnya sudah hancur lebur. Kembali dia teringat kepada Hong Ing!
"Hong
Ing...!" Dia memanggil dengan pengerahan khikang-nya. Suaranya dihembus
pergi oleh angin badai, akan tetapi dia terus memanggil-manggil sambil meraba
ke kanan kiri dalam kegelapan.
Tak ada yang
menjawabnya! Dia berteriak lagi, melangkah maju tersaruk-saruk, kadang-kadang
jatuh, bangkit lagi dan memanggil kembali. Akhirnya, setelah suaranya habis dan
serak, setelah untuk berjam-jam dia memanggil tanpa ada jawaban, dia
menjatuhkan diri berlutut di atas pasir, berpegang kepada batu karang dan
menangis!
Baru sekali
ini Kun Liong menangis seperti itu, menangis sesenggukan karena terbayang di
depan matanya betapa tubuh dara itu tentu hancur lebur dihempaskan di atas
batu-batu karang. Baru kali ini dia merasakan kedukaan yang amat hebat.
Merasakan kebimbangan yang membuat hidupnya sekaligus terasa sunyi dan hampa.
Sambil
menangis dia akhirnya duduk bersandarkan batu karang. Hatinya mengutuk badai,
mengutuk batu karang, mengutuk lautan, mengutuk Kok Beng Lama yang melontarkan
mereka ke laut, mengutuk semua orang yang mengeroyok mereka, mengutuk dunia dan
mengutuk alam! Dia tidak merasakan lagi tubuhnya yang sakit-sakit.
Namun dia
masih belum hilang harapan. Sekali-kali dia memekik memanggil nama Hong Ing
tanpa ada jawaban. Dia terus duduk di situ, menanti sampai pagi. Dia menanti
sampai cuaca menjadi terang agar dia dapat mencari Hong Ing, hidup atau mati.
Sambil menanti, telinganya dibuka lebar-lebar, mendengarkan kalau-kalau ada
suara Hong Ing memanggil namanya.
Akan tetapi
yang terdengar hanyalah lengking panjang suara badai yang mengiuk-ngiuk,
diseling suara air berdeburan dan ada kalanya air meledak bergemuruh saat menghantam
batu karang, didasari suara air laut yang mendidih dan mengerikan hati. Di
dalam semua keributan suara badai, seolah-olah terdengar suara segala macam
hantu dan setan yang muncrat dari dalam laut, suara mereka yang tertawa-tawa
dan menangis melolong-lolong bercampur aduk menjadi satu.
Menjelang
pagi, badai berhenti, akan tetapi cuaca masih sangat gelap. Betapa pun juga,
Kun Liong sudah merangkak-rangkak di antara batu karang, telinganya dibuka
lebar dan matanya dibelalakkan dalam usahanya menembus kegelapan malam,
mencari-cari Hong Ing. Mulutnya mulai lagi memekikkan nama dara ini dengan
disertai pengerahan khikang sekuatnya.
"Hong
Ing...!"
Sampai
matahari terbit, Kun Liong berkeliaran di pantai, merangkak-rangkak melalui
pasir dan batu karang yang tajam, terus mencari-cari. Akhirnya, di bawah batu
karang yang menonjol, dia melihat peti mati yang menjadi perahu mereka itu.
Sudah hancur dan pecah berantakan!
Cepat dia
merangkak mendekati, menuruni batu karang, tidak merasa lagi betapa tangan kakinya
yang telanjang itu pecah-pecah kulitnya tertusuk batu karang. Akan tetapi
setelah dekat, yang ada hanya pecahan-pecahan peti mati itu saja, berikut kain
layar yang sudah robek-robek. Tidak ada Hong Ing di sekitar tempat itu.
Bekasnya pun tidak ada!
Kun Liong
lemas dan kembali air matanya bercucuran. Tentu Hong Ing sudah dimakan ikan!
Betapa ngerinya!
"Hong
Ing...!" Dia mengeluh dan seperti orang gila, kembali dia merangkak ke
sana-sini, memanggil-manggil.
Tiba-tiba
matanya terbelalak memandang ke depan. Ada sebuah benda putih terapung di air!
Cepat dia menghampiri dan lari ke pantai yang sedalam lutut. Dia menyambar
benda itu dan memandang dengan mata terbelalak. Kain penutup kepala Hong Ing!
"Hong
Ing...!" Kun Liong menjerit, kain itu dipeluknya, ditangisi dan
diciuminya, terhuyung-huyung dia kembali ke darat sambil menangis, kemudian dia
terguling roboh di atas pasir dan pingsan! Kain itu masih dicengkeramnya!
***************
Kita
tinggalkan dulu Kun Liong yang pingsan dan kini marilah kita menengok keadaan
di Cin-ling-san. Di pegunungan ini, Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya,
Sie Biauw Eng, hidup dengan tenteram, aman dan penuh kebahagiaan di samping dua
orang anak mereka, yaitu Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw. Sebagai seorang ketua
perkumpulan Cin-ling-pai yang sudah mulai terkenal itu, tentu saja pendekar ini
hidup serba cukup dan terjamin, dilayani para anggota yang juga menjadi
murid-muridnya.
Giok Keng
kini sudah menjadi seorang dara remaja yang telah mereka tunangkan dengan Yap
Kun Liong, ada pun Bun Houw sudah berusia hampir lima tahun, merupakan seorang
anak laki-laki yang tampan dan bertubuh sehat. Apa lagi yang dikehendaki?
Cia Keng
Hong adalah seorang pendekar besar yang amat dihormati dan disegani orang,
bahkan namanya dihormati sampai ke kota raja, dianggap sebagai seseorang yang
sudah berjasa terhadap pemerintah, hidup serba cukup, dan keluarganya sehat
sejahtera. Tentu akan dianggap sebagai seorang yang hidupnya berbahagia. Namun,
benarkah demikian? Apakah benar Cia Keng Hong merasa dirinya bahagia?
Biasanya
hanya orang lain sajalah yang menganggap seseorang itu bahagia. Orang yang
tidak mempunyai uang akan menganggap bahwa si pemilik uang berbahagia. Orang
yang sedang sakit menganggap bahwa si sehat itu berbahagia. Orang yang sedang
cekcok dengan isterinya menganggap bahwa suami isteri yang rukun itu
berbahagia. Demikian pula selanjutnya. Akan tetapi betulkah bahwa semua itu
dapat dijadikan ukuran seseorang apakah dia hidup bahagia atau tidak?
Selama orang
masih mempunyai keinginan untuk mendapatkan sesuatu, mungkinkah dia berbahagia?
Selama orang masih melakukan perbandingan, tentu akan timbul rasa iri dan
kecewa yang melahirkan pertentangan-pertentangan dalam batin yang kemudian
meledak keluar. Mungkinkah orang berbahagia kalau masih ada pertentangan, baik
lahir mau pun batin?
Bahagia
tidak terletak pada harta, kedudukan, kewarasan, kesenangan, atau kehormatan.
Bahagia haruslah lengkap dan bulat, tidak terpecah-pecah. Bahagia tidak mungkin
dapat dikejar dan dijangkau, tidak mungkin dapat dicari dan dipaksakan untuk
dimiliki!
Bahagia
adalah suatu keadaan yang datang sendiri tanpa dipanggil, tanpa dikehendaki,
tanpa dirasakan! Bahagia tidak mengenal susah senang, suka duka, puas kecewa
dan segala macam keadaan berkebalikan yang memenuhi kehidupan manusia dan
karenanya mendatangkan segala pertentangan itu. Kebahagiaan berada di atas
segala itu.
Demikianlah,
maka hanya menjadi harapan dan mimpi setiap orang saja jika kita bicara tentang
bahagia yang seolah-olah ada dan nampak akan tetapi selalu hampa kalau diraih.
Semua orang mencari jalan menuju kebahagiaan, seolah-olah kebahagiaan merupakan
suatu tujuan yang tertentu dan mati sehingga kita tersesat tanpa obor, seperti
orang yang mencari sumbernya angin, mencari ujungnya piring!
Kehidupan
Cia Keng Hong bersama keluarganya di Cin-ling-san juga hanya kelihatannya saja
hidup bahagia dalam pandangan mata orang-orang tertentu. Untuk melihat apakah
mereka benar-benar berbahagia, marilah kita mengikuti pengalaman mereka
selanjutnya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan
mereka. Bukankah hidup ini merupakan perubahan setiap saat, merupakan
pergerakan yang terus-menerus dan tidak pernah sama?
Pada pagi
hari itu, setelah melakukan latihan pagi, Cia Keng Hong bersama isterinya, Sie
Biauw Eng, duduk bercakap-cakap sambil menghadapi sarapan pagi dalam taman
bunga mereka yang cukup indah dan luas di sebelah belakang rumah. Bun Houw yang
berusia empat tahun lebih dan tidak pernah mau diam itu berada di taman pula,
mengejar-ngejar kupu-kupu yang banyak beterbangan di sekeliling bunga-bunga
yang ketika itu sedang mekar mengharum.
"Giok
Keng sudah cukup dewasa," terdengar Pendekar Cia Keng Hong berkata kepada
isterinya. "Bahkan sudah agak terlambat untuk menikah, maka nanti
sekembalinya anak itu, kita harus cepat-cepat membuat persiapan untuk merayakan
pernikahannya dengan Kun Liong. Karena puteri kita hanya seorang itu, maka kita
harus mengundang semua dan biarlah perayaan itu diadakan sebesarnya sesuai
dengan kemampuan kita." Berkata demikian, wajah pendekar itu berseri dan
hatinya sangat gembira membayangkan betapa dia akan menjadi ayah mertua yang
berbahagia, menerima ucapan selamat dari sahabat-sahabatnya, para tokoh besar
di kota raja dan di dunia kang-ouw.
Sie Biauw
Eng mengerutkan alisnya. Biar pun usianya sendiri sudah empat puluh tahun
lebih, nyonya ini masih kelihatan muda dan cantik sekali.
"Aku
pun gembira dapat memperoleh mantu putera mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu
yang bernasib malang itu. Akan tetapi... apakah keputusan ini sudah kau pikir
dengan matang? Apakah sudah cukup bijaksana? Kita tahu bahwa pernikahan baru
akan berhasil kalau dua orang yang bersangkutan sudah menyetujuinya. Kenapa kau
tidak menanyakan dulu kepada Keng-ji untuk mengetahui isi hatinya?"
"Ahhh,
kurasa tidak perlu, dan Keng-ji sendiri juga sudah tahu siapa dan orang macam
apa adanya Kun Liong! Adakah pemuda lain yang lebih hebat dan lebih memuaskan
dari pada dia? Dia keturunan orang baik-baik, bahkan masih sahabat baik kita
sendiri, ibunya masih sumoi-ku sendiri. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi,
bahkan Thi-khi I-beng hanya diberikan kepada dia seorang. Juga melihat sepak
terjangnya, dia mempunyai watak yang gagah perkasa dan budiman, biar pun agak
lemah dan terlalu mudah memaafkan orang, terlalu mengalah. Pula kalau dipikir
secara mendalam, perjodohan atas pilihan orang tua belum tentu selamanya
buruk."
"Hemmm,
mengapa kau tidak ingat akan keadaan kita sendiri? Perjodohan harus didasari
cinta kasih kedua pihak yang bersangkutan. Hanya kasih sayang kedua pihaklah
yang penting, selebihnya tidak ada artinya lagi. Orang tua hanyalah
melaksanakan saja."
"Hemmm,
ucapanmu memang benar. Akan tetapi kupikir, bagi orang muda yang belum
mempunyai pengalaman, pilihan jodoh mereka bisa saja meleset dan gagal! Orang
muda yang masih hijau hanya melihat keindahan muka dan mendengar kemanisan
kata-kata! Banyak terjadi ketika saling mengenal, mereka bersumpah saling
menyatakan cinta, akan tetapi sesudah menikah, timbul perpecahan karena watak
mereka tidak cocok. Bagaikan membeli barang, orang muda hanya memperhatikan
keindahan lahirnya saja, sama sekali tidak memperhatikan mutu dalamnya, hanya
melihat kulit tanpa mempedulikan isi. Maka setelah menikah, baru
menyesal..."
"Belum
tentu! Buktinya kita yang berjodoh karena saling mencinta sampai sekarang tetap
berjalan baik. Juga Cong San dan Yan Cu. Orang tua mana bisa disamakan orang
muda? Apa yang dianggap baik oleh pandang mata orang tua, belum tentu baik bagi
mata orang muda. Lagi pula, yang hendak menikah bukan orang tuanya, melainkan
orang mudanya! Merekalah yang akan menanggung akibatnya selama hidup, karena
itu mereka pula yang berhak memilih."
"Siapa
bilang orang tua tidak ikut menanggung akibatnya? Kalau anaknya hidup bahagia
dengan mantunya, orang tua hanya ikut bersyukur, akan tetapi kalau melihat
kehidupan rumah tangga anaknya hancur, orang tua lebih berduka dari pada si
anak sendiri. Karena itu, kita harus berhati-hati dan menurut pandanganku,
pilihanku terhadap Kun Liong sudah tepat."
"Aku
tidak mengatakan bahwa pilihanmu tidak tepat, dan aku pun suka kepada pemuda
itu. Hanya aku katakan bahwa kita belum bertanya kepada Keng-ji. Kalau memang
dia juga mencinta Kun Liong, tentu saja hatiku akan merasa puas dan
lega..."
Perdebatan
antara suami isteri ini, perdebatan yang merupakan lagu lama antara suami
isteri dan antara orang tua dan orang muda, tentu akan berkepanjangan kalau
saja pada waktu itu tidak tampak datang pembantu utama atau murid kepala mereka
yang bernama Kwee Kin Ta. Mereka menghentikan perdebatan itu dan memandang
kepada Kin Ta yang berdiri dengan sikap hormat kepada suhu dan subo-nya.
"Harap
Suhu dan Subo memaafkan teecu yang datang menghadap tanpa dipanggil. Teecu
hendak melaporkan bahwa teecu melihat Sumoi pulang bersama..." Sampai di
sini murid itu berhenti bicara. Cia Keng Hong dan isterinya yang menjadi
gembira sekali mendengar kedatangan puteri mereka itu memandang dengan heran.
"Bersama
siapa?" Keng Hong mendesak karena tidak biasanya murid kepala yang biasa
bersikap tenang itu kelihatan bingung dan ragu-ragu.
"Bersama...
pemuda yang dahulu pernah datang ke sini dan membikin kacau beberapa waktu yang
lalu..."
"Siapa...?!"
Biauw Eng membentak marah.
"Putera...
putera Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang..."
"Apa...?"
Keng Hong meloncat bangun, mukanya berubah, akan tetapi dia saling pandang
dengan isterinya, menekan perasaannya kemudian berkata, "Kin Ta, kau ajak
Bun Houw bermain-main di luar dan kalau Keng-ji datang, suruh mereka berdua
menghadap kami di taman ini."
Kwee Kin Ta
mengangguk, lalu mengajak Bun Houw pergi dari situ dengan menjanjikan permainan
bagus kepada anak itu. Sesudah murid kepala ini membawa putera mereka pergi,
Keng Hong dan Biauw Eng kembali duduk, lalu saling pandang dan alis mereka
berkerut, tidak mengeluarkan kata-kata karena hati mereka penuh dengan dugaan
yang tidak-tidak.
"Tenanglah,
kita belum tahu apa yang telah terjadi," akhirnya Biauw Eng berkata kepada
suaminya, khawatir kalau-kalau suaminya tidak dapat menahan kesabarannya dan
marah kepada puteri mereka.
Keng Hong
mengangguk. "Tentu sudah terjadi sesuatu yang aneh dan hebat....,"
katanya, menarik napas panjang. "Apa pun yang terjadi, agaknya tak mungkin
Keng-ji mau berbaik dengan putera seorang datuk sesat."
"Harap
tenang dan bersabar, tentu ada alasannya," isterinya membela puteri
mereka.
Percakapan
terputus karena pada saat itu tampak Giok Keng dan Liong Bu Kong sudah muncul
dari pintu dan langsung kedua orang muda itu memasuki taman dan melangkah cepat
tanpa ragu-ragu menghampiri mereka.
Memang
sebelumnya Giok Keng yang cerdik itu telah mengaturnya bersama kekasihnya,
bagaimana kalau mereka bertemu dengan ayah bundanya. Maka kini keduanya
langsung menghadap dan menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti dan
isterinya itu.
Dengan sikap
hormat sekali Bu Kong berlutut dan tidak berani mengangkat muka, ada pun Giok
Keng sesudah menyebut ‘ayah dan ibu’ lalu mencabut keluar pedangnya dan berkata
kepada ayahnya dengan suara penuh ketegangan, "Ayah, harap Ayah periksa
pedangku ini."
Benar saja,
perhatian Keng Hong dan Biauw Eng segera tertarik. Kalau tadinya mereka berdua
ini menatap wajah Bu Kong dengan pandang mata heran dan penuh pertanyaan, kini
sekaligus mereka mengalihkan pandangan dan menatap pedang yang diberikan oleh
Giok Keng kepada ayahnya itu.
Pedang itu
adalah pedang Gin-hwa-kiam pemberian Cia Keng Hong kepada puterinya, sebatang
pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi begitu melihat pedang yang terhunus itu,
Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main.
Di badan
pedang itu tampak jelas bekas jari tangan orang, seolah-olah pedang itu terbuat
dari tanah liat yang basah saja sehingga garis-garis jari tangan itu terlukis
jelas di batang pedang! Hal itu menandakan bahwa ada orang mempunyai tenaga
sinkang mukjijat yang sudah berani menangkis atau melawan Gin-hwa-kiam dengan
jari tangannya! Orang yang memiliki kepandaian sehebat itu benar-benar belum
pernah mereka temukan.
Sebagai
seorang pendekar sakti yang sulit dicari tandingannya, tentu saja Cia Keng Hong
merasa tertarik sekali untuk mengetahui siapa orangnya yang mampu menangkis
pedang Gin-hwa-kiam dengan tangan kosong itu, maka dia bertanya kepada
puterinya,
"Siapa
yang melakukan ini?"
Memang hal
inilah yang dikehendaki Giok Keng dengan mencabut serta memperlihatkan Gin-hwa-kiam
kepada ayahnya. Ia ingin mengalihkan perhatian ayah bundanya sehingga urusan
dirinya dengan Bu Kong dapat diceritakan melalui jalan berputar dan tidak
secara langsung.
"Orangnya
aneh dan amat sakti, Ayah. Namanya Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama berjubah
merah. Dia datang dan menantang-nantang Bun Hwat Tosu, Tiong Pek Hosiang, Go-bi
Thai-houw, dan juga menantang Sucouw (Kakek Guru) Sin-jiu Kiam-ong!"
Dengan
panjang lebar Giok Keng menceritakan tentang munculnya kakek itu yang telah
membunuh banyak prajurit pemerintah hanya dengan suara ketawanya saja, dan
betapa kakek Lama itu dengan jari tangan kosong telah menangkis pedangnya pada
saat dia ikut mengeroyok dan membuat cap jari tangan pada Gin-hwa-kiam.
"Kok
Beng Lama...?" Cia Keng Hong dan isterinya saling pandang, mengerutkan
alis dan mengingat-ingat. "Seingatku, belum pernah aku mendengar nama ini
di dunia kang-kouw! Mengapa dia menentang prajurit pemerintah?"
"Semua
ini gara-gara Yap Kun Liong! Pemuda itu telah melakukan penyelewengan besar,
Ayah. Dia telah menjadi seorang buronan dan kini dikejar-kejar oleh pasukan
pemerintah. Pendeta Lama itu muncul menolong Kun Liong pada saat dia sudah
dikepung dan hampir dapat tertawan."
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Keng Hong dan isterinya mendengar berita ini.
"Mengapa?
Apa yang sudah dilakukannya?" Biauw Eng bertanya dengan mata terbelalak
penasaran.
"Dia
telah menentang Pangeran Han Wi Ong, melarikan calon isteri pangeran itu…"
Giok Keng langsung menceritakan pula keadaan Yap Kun Liong bersama seorang
gadis cantik jelita yang sudah menjadi nikouw, calon isteri pangeran yang
agaknya dilarikan oleh Kun Liong.
Ketika
menuturkan hal ini, beberapa kali dia dibantu oleh Liong Bu Kong yang
menuturkan betapa mereka berdua melihat pasukan pemerintah yang dipimpin oleh
Pangeran Han Wi Ong dengan dibantu oleh beberapa orang perwira beserta
orang-orang kang-ouw sedang mengeroyok Kun Liong. Setelah mereka berdua
mendengar bahwa Kun Liong melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, mereka
segera membantu pasukan. Namun ketika Kun Liong sudah hampir tertangkap,
muncullah kakek Lama yang sangat sakti itu, yang membantu Kun Liong bersama
dara yang dilarikannya itu sehingga mereka berdua dapat melarikan diri, dan
kakek itu sendiri pun lalu pergi setelah membunuh banyak prajurit.
Mendengar
penuturan mereka, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main sehingga mereka
berdua tak mampu berkata-kata. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa Yap Kun
Liong sudah melakukan perbuatan demikian rendahnya, melarikan calon isteri
orang sehingga menjadi orang buruan pemerintah! Kalau bukan puteri mereka yang
bercerita, tentu mereka tidak mau percaya. Namun, hati Keng Hong menjadi tak
senang mengingat bahwa puterinya turut pula mengeroyok Kun Liong. Bukankah
pemuda itu menjadi calon suaminya?
"Giok
Keng!" tiba-tiba pendekar ini membentak, suaranya terdengar dingin
menyeramkan. "Boleh jadi saja Kun Liong melakukan penyelewengan, akan
tetapi mengapa engkau ikut pula mengeroyok dia? Hal itu menunjukkan
kelancanganmu. Yang lebih mengherankan hati kami, mau apa engkau mengajak dia
ini ke Cin-ling-san? Bukankah dia adalah anak Kwi-eng Niocu?"
Giok Keng
sudah menduga pertanyaan seperti ini, bahkan yang lebih lagi, dan dia sudah
siap menghadapinya. Maka begitu mendengar percakapan beralih tentang diri Bu
Kong, dia lalu menjawab,
"Ayah,
memang benar dia adalah Liong Bu Kong, akan tetapi dia hanyalah putera angkat
dari mendiang Kwi-eng Niocu. Walau pun Kwi-eng Niocu terkenal sebagai seorang
datuk sesat, akan tetapi dia ini tidak seperti ibu angkatnya, ayah. Diam-diam
dia menentang ibu angkatnya, sebab itu ketika sarang ibu angkatnya diserbu, ia
cepat pergi menyelamatkan pusaka-pusaka..."
"Harap
Ji-wi Locianpwe sudi mengampunkan teecu yang telah berani datang
menghadap," terdengar Bu Kong berkata dengan suara halus dan penuh
penghormatan. "Memang tidak teecu sangkal bahwa ibu angkat teecu adalah
Ketua Kwi-eng-pang yang selalu melakukan pelanggaran. Teecu sendiri sebagai
anak angkat tentu saja terpaksa dan tidak berani membantah kehendak ibu angkat
teecu. Akan tetapi setelah kini ibu angkat teecu tewas, teecu bersumpah ingin
mulai hidup baru yang bersih, dan untuk membuktikannya, teecu sudah membawa dua
buah pusaka Siauw-lim-pai yang akan teecu kembalikan."
"Harap
Ayah dan Ibu tidak merasa ragu lagi. Aku sudah menyaksikan sendiri betapa dia
melawan Thian-ong Lo-mo ketika akan mengambil pusaka, bahkan dia telah
menewaskan lima orang anggota Kwi-eng-pang. Dia tidaklah jahat seperti ibu
angkatnya."
"Giok
Keng...!" Cia Keng Hong membentak, suaranya berwibawa sekali hingga Giok
Keng dan Bu Kong terkejut setengah mati, wajah mereka berubah pucat. "Apa
kehendakmu maka engkau menceritakan ini semua kepadaku? Mengapa kau bicara
seperti seorang hendak menjual sebuah benda dan membujuk kami agar menyukai
benda itu? Mengapa engkau membela bocah ini?"
Wajah Giok
Keng pucat. Dia memang sudah memperhitungkan bahwa dia akan terpaksa untuk
mengaku, akan tetapi tak disangkanya bahwa ketika tiba saatnya, ia merasa
begitu gugup. Dengan suara lirih dia lalu menjawab,
"Ayah...
aku sudah bicara dengan Kun Liong... tentang perjodohan... kami berdua sudah
saling setuju untuk membatalkan ikatan jodoh itu karena di antara dia dan aku
tidak ada rasa cinta... dan aku hanya mau dijodohkan dengan orang… orang yang
kucinta, Ayah. Harap Ayah dan Ibu ampunkan..."
Wajah
pendekar Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Seperti pandang mata seekor burung
rajawali hendak menyambar korbannya, dia memandang puterinya itu dan hanya
dengan pengerahan tenaga hatinya yang kuat saja maka dia masih dapat
mengeluarkan suara bertanya, "Siapa itu orang yang kau cinta?"
Giok Keng
yang memang sudah ‘nekat’ ini tidak menjawab, hanya melirik kepada Liong Bu
Kong. Isyarat ini diterima oleh Bu Kong dan sambil berlutut dan
menyembah-nyembah dia berkata,
"Mohon
Locianpwe sudi mengampunkan kelancangan teecu. Sebenarnya, di antara puteri
Locianpwe, Cia Giok Keng dan teecu, kami berdua telah... saling
mencinta..."
Teriakan
yang melengking nyaring keluar dari kerongkongan Keng Hong lantas tubuhnya
sudah berkelebat ke depan. Dalam kemarahannya yang meluap-luap, ucapan pemuda
itu dianggapnya merupakan penghinaan sangat besar, maka dia sudah menerjang ke
depan dan memukul pemuda yang berlutut di depannya. Pukulan maut!
"Dessss...!"
Tubuh Giok
Keng terpental dan terguling-guling. Lengan tangannya terasa nyeri sampai
menusuk jantung pada waktu dia tadi menangkis pukulan ayahnya yang ditujukan
kepada kekasihnya. Akan tetapi dia lupa akan rasa nyeri dan kekerasan hatinya
bangkit. Dengan mata bernyala-nyala dan wajah merah dia meloncat bangun, sekali
meloncat dia sudah berada di depan ayahnya lalu dengan suara menentang dan
nyaring dia berkata,
"Ayah
keterlaluan! Mengapa hendak membunuh Liong Bu Kong yang tidak berdosa? Dia
cinta kepadaku, dan aku juga cinta kepadanya! Apakah salahnya dengan ini? Kalau
Ayah hendak membunuh, bunuhlah aku!"
Mata Cia
Keng Hong terbelalak. Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri.
Puterinya telah menantangnya untuk dibunuh!
"Kau...
kau...! Memang lebih baik melihat kau mati...!"
"Tahan...!"
Biauw Eng sudah melompat seperti seekor singa betina ke depan suaminya,
kepalanya dikedikkan, matanya seperti sepasang bintang, mukanya merah seperti
sedang mengeluarkan bara api, dadanya diangkat penuh tantangan.
"Mungkinkah
kau ini suamiku yang begitu kuat dan tahan segala derita? Engkau hendak
membunuh anak sendiri? Benarkah ini?" Suara ini bercampur dengan isak dan
Biauw Eng sudah menangis sambil berdiri menantang suaminya.
Mendengar
ucapan isterinya dan menyaksikan sikap Biauw Eng itu, Keng Hong merasa
seolah-olah kepalanya disiram air dingin. Hampir dia tadi mata gelap. Dengan
sedu sedan naik dari dadanya, dia segera memeluk isterinya, memejamkan mata
sebentar, kemudian membuka matanya dan tangan kanannya dengan telunjuk menuding
keluar digerakkan tiba-tiba, mulutnya berkata lantang, "Pergi...! Engkau
bukan anakku lagi! Aku tidak peduli lagi apa yang akan kau lakukan.
Pergi...!"
Dapat
dibayangkan betapa hancur hati Giok Keng. Tadi dia menentang dan menantang
ayahnya. Akan tetapi menyaksikan kedukaan serta kehancuran hati ayah bundanya,
kini melihat sikap ayahnya, mendapat kenyataan bahwa dia telah diusir, tidak
diaku anak lagi, hal ini lebih menyakitkan hati dari pada dibunuh!
"Ayah...!"
Dia menjerit, kemudian menjatuhkan diri berlutut di dekat Bu Kong yang hanya
memandang dengan wajah pucat.
"Jangan
menyebut aku ayah! Pergilah dan bawalah semua barangmu, bawa semua harta kami
secukupmu. Pergi dan jangan kembali lagi!" Keng Hong berkata lagi, kini
suaranya dingin dan sikapnya tidak keras, namun hal ini malah semakin menusuk
perasaan karena selama hidupnya Giok Keng belum pernah melihat sikap dan
mendengar suara ayahnya sedingin itu.
"Ibu...!"
Dia tersedu memanggil ibunya.
Biauw Eng
masih menangis dalam pelukan suaminya. Dia maklum betapa hancur hati suaminya
menghadapi peristiwa ini. Dia cinta kepada puterinya, tentu saja, akan tetapi
dia lebih cinta kepada suaminya. Biar pun dia merasa kasihan kepada Giok Keng,
akan tetapi dia lebih kasihan kepada suaminya. Kini Giok Keng sudah ada yang
punya, sedangkan suaminya hanya mempunyai dia!
"Giok
Keng, pergilah dulu... pergilah... jangan bicara apa-apa lagi...," katanya
terisak.
Bu Kong
mengerti akan isyarat dari calon ibu mertuanya ini. Memang dalam keadaan seperti
itu, selagi pendekar sakti itu dibakar kemarahan, tidak mungkin dapat bicara
lagi. Dia segera membimbing kekasihnya bangun, menjura sebagai tanda
penghormatan lalu menuntun Giok Keng yang menangis tersedu-sedu itu keluar dari
dalam taman, diikuti pandang mata Keng Hong yang terbelalak marah dan pandang
mata sayu dari Biauw Eng...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment