Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 36
KAKEK yang
biasanya hanya tersenyum-senyum itu kini menarik napas panjang, wajahnya
bersungguh-sungguh. "Secara tidak sengaja saya sudah melihat dan mendengar
semua yang dialami oleh puterimu dan merasa kasihan sekali pada puterimu,
Taihiap. Namanya telah dicemarkan di depan banyak orang oleh Si Laknat Liong Bu
Kong dan perkumpulan kotor Pek-lian-kauw. Dan sebagai orang tua yang awas akan
gerak-gerik muridnya, saya pun telah melihat sikap muridku kepada Taihiap tadi,
ketika membela puterimu. Muridku sendiri, di tempat itu, telah pula kehilangan
calon isterinya yang sudah tewas membunuh diri..."
"Ahhh,
Suhu! Mengapa teecu tadi sampai terlupa untuk membawa lari mayat Bu Li
Cun?" Tiba-tiba Lie Kong Tek memotong ucapan suhu-nya dengan suara
menyesal dan kaget.
"Biarlah,
Kong Tek. Lebih baik bila mayatnya dikubur oleh mereka supaya selalu menjadi
peringatan akan perbuatan kotor ketua mereka sehingga menginsyafkan para
anggotanya betapa mereka mengabdi kepada seorang yang jahat seperti Thian Hwa
Cinjin itu."
"Kalau
boleh saya mengatakan, bagaimanakah selanjutnya kehendak Hoatsu?" Cia Keng
Hong bertanya, diam-diam dia mempertimbangkan karena dia sudah dapat menduga
apa yang hendak dikatakan selanjutnya oleh kakek sakti ini.
"Melihat
sikap muridku, saya mengambil kesimpulan bahwa di antara mereka memang ada
jodoh, Taihiap. Kalau sekiranya Taihiap percaya pada kami, dan sudi memberikan
pertimbangan yang sebaiknya, perkenankan sekarang juga saya mengajukan pinangan
atas diri puteri Taihiap untuk murid saya, Lie Kong Tek ini."
Mendengar
ucapan suhu-nya itu, Lie Kong Tek menundukkan mukanya yang menjadi merah dan
jantungnya berdebar penuh ketegangan. Dia tidak merasa heran akan sikap
suhu-nya yang memang sangat aneh, bicara tentang jodoh di tengah jalan dan
bicara secara blak-blakan begitu saja!
Cia Keng
Hong tidak menjadi terkejut mendengar pinangan yang memang sudah diduga
sebelumnya itu, maka dia cepat menjura sambil menjawab, "Banyak terima
kasih kepada Hoatsu yang masih menghargai puteriku yang telah tercemar namanya
itu, akan tetapi hendaknya Hoatsu mengerti bahwa dalam soal perjodohan anakku
itu, saya tidak dapat memutuskan kecuali ada persetujuan dari anaknya sendiri.
Oleh karena itu, terpaksa saya sementara ini belum dapat memberi jawaban
menerima atau menolak, tergantung kepada anak saya sendiri kelak. Kalau dia
menerima, atau kalau dia menolak, tentu saya akan mengirim berita kepada
Hoatsu. Ke manakah kelak saya harus mengirim berita?"
"Ha-ha-ha,
Taihiap membuat kami menjadi malu saja. Kami berdua sudah meninggalkan
pegunungan dan sengaja hendak merantau di dunia ramai, karena itu tentu saja
kami tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Maka sebaiknya diatur begini
saja, Taihiap. Setahun dari sekarang kami akan berunjung ke Cin-ling-pai untuk
menerima keputusan Taihiap mengenai pinangan saya."
Cia Keng
Hong mengangguk-angguk. "Baiklah, Hoatsu. Kami akan menanti kunjunganmu
itu dan mempersiapkan jawaban yang tepat, dan mudah-mudahan saja anakku akan
suka menyetujuinya. Sekarang saya terpaksa meninggalkan Ji-wi untuk menyusul
anakku."
Guru serta
murid itu memberi hormat dan Cia Keng Hong berkelebat, sekali loncat dia lenyap
dari pandang mata guru dan murid itu.
Hong Khi
Hoatsu menghela napas sambil menggeleng-geleng kepala. "Kong Tek, engkau
akan beruntung besar apa bila bisa menjadi menantu seorang gagah perkasa
seperti dia itu."
Wajah Lie
Kong Tek menjadi merah dan terpaksa dia menjawab, "Suhu, apakah suhu tidak
terlalu tergesa-gesa mengajukan pinangan itu tadi? Seorang seperti teccu ini,
mana ada harganya untuk berjodoh dengan Nona Cia Giok Keng? Sangat jauh apa
bila saya dibandingkan dengan dia, baik dari tingkat kedudukan, kepandaian mau
pun keadaan."
"Kong
Tek, engkau mempunyai kelebihan yang besar sekali dan mempunyai modal yang
tiada habisnya, yaitu kejujuran, kesetiaan dan cinta kasih. Nah, kau menunggu
apa lagi? Hayo cepat kau pergi menyusul dan mencari nona itu, siapa tahu dia
terancam bahaya. Bila kau berjumpa dengannya, jangan ragu-ragu kau nyatakan isi
hatimu secara langsung sehingga kita tidak perlu lagi ragu-ragu menanti berita
keputusan dari ayahnya. Pergilah!"
"Akan
tetapi... Suhu..."
"Apakah
engkau masih kanak-kanak sehingga harus memerlukan asuhanku terus? Sudah
waktunya engkau terbang sendiri seperti burung yang telah mempunyai sayap yang
kuat. Kalau tiada halangan, setahun kemudian kita sama-sama berjumpa di
Cin-ling-san."
Lie Kong Tek
terharu sekali dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhu-nya.
"Harap Suhu maafkan bahwa teecu sama sekali belum mampu membalas budi
kebaikan Suhu yang berlimpah-limpah."
"Asal
engkau menjadi seorang manusia yang baik dan benar, hal itu sudah merupakan
pembalasan budi yang jauh lebih berharga dari pada engkau memberiku sebuah
gunung emas hasil kejahatan. Nah, kau terimalah ini untuk bekalmu di
perjalanan."
Kakek itu
kemudian menyerahkan sebuah kantung terisi emas dan sebatang pedang yang selama
ini disimpannya saja. Pedang itu adalah pedang pusaka keluarganya, gagangnya
terbuat dari perak dan berukir burung Hong sehingga diberi nama Gin-hong-kiam
(Pedang Burung Hong Perak).
Dengan hati
terharu Lie Kong Tek menerima bekal ini dan setelah menghaturkan terima kasih,
pemuda ini lalu berpisah dari gurunya, hendak pergi mencari Cia Giok Keng, dara
yang merupakan gadis pertama yang pernah merebut hatinya karena sungguh pun dia
bertunangan dengan Bu Li Cung sebenarnya dia belum mengenal gadis itu, apa lagi
jatuh cinta. Sebaliknya, dalam pertemuan pertama, ketika melihat Cia Giok Keng
berhadapan dengan ayahnya, Lie Kong Tek sudah jatuh cinta. Dia merasa kagum dan
juga kasihan pada Giok Keng dan agaknya dari kedua perasaan inilah tumbuhnya
cinta kasih di dalam hatinya.
***************
"Manusia
iblis! Jahanam Liong Bu Kong, kau hendak lari ke mana?" Giok Keng dengan
kemarahan meluap-luap melakukan pengejaran dengan pedang di tangan.
"Keng-moi...
tidak ingatkah kau akan cinta kasih kita...?" Liong Bu Kong berlari terus.
"Keparat!
Jangan bicara tentang cinta, mulutmu tidak ada harganya untuk bicara tentang
itu! Kau hendak lari ke mana? Ke mana pun akan kukejar!" Giok Keng lalu
memaki-maki dengan kemarahan meluap karena sejak tadi dia masih belum mampu
menyusul laki-laki bekas kekasihnya yang kini amat dibencinya itu.
Liong Bu
Kong adalah seorang yang sangat cerdik. Dia maklum bahwa melawan Giok Keng,
tingkat kepandaian mereka seimbang, akan tetapi dalam keadaan marah dan nekat
seperti itu, sukarlah baginya untuk mengalahkan dara perkasa itu.
Dan dia
tidak ingin membunuhnya, dia masih sayang kepada dara yang cantik ini. Kalau
tidak bisa mendapatkannya secara suka rela, tanpa segan-segan dia akan
menggunakan paksaan. Terlalu sayang kalau seorang dara semolek itu, yang tadinya
seumpama daging sudah berada di depan bibirnya akan tetapi lolos, dibiarkan
terlepas begitu saja.
Oleh karena
itu dia terus berlari sambil memanaskan hati Giok Keng dengan kata-kata yang
mengingatkan dara itu akan cinta kasih mereka, mengingatkan dara itu betapa dia
tertipu oleh Liong Bu Kong. Melihat Giok Keng mengejar semakin dekat, diam-diam
Liong Bu Kong memilih jalan memutar sehingga makin lama mereka malah semakin
mendekati Pek-lian-kauw dari arah lain!
Setelah tiba
di sebuah dinding karang di pegunungan itu, Liong Bu Kong segera menarik alat
rahasia yang tersembunyi di antara karang yang menonjol. Itulah alat rahasia
yang akan membunyikan tanda bahaya di sebelah dalam markas Pek-lian-kauw,
melalui lorong rahasia di dalam gunung. Kemudian, sambil tersenyum-senyum Liong
Bu Kong berdiri dengan pedang di tangan menanti Giok Keng yang tak lama
kemudian sudah tiba di situ.
"Keng-moi,
lupakah kau akan saat-saat bahagia ketika kita memadu asmara, saling peluk cium
dengan mesra? Demikian kejamkah hatimu untuk menukar semua itu dengan rasa
permusuhan dan saling membunuh? Moi-moi, aku cinta padamu, Moi-moi. Apa pun
yang terjadi..."
"Tutup
mulutmu yang kotor dan busuk! Kau manusia berhati iblis! Kalau hari ini aku
tidak dapat membunuhmu, biarlah aku mati di ujung pedangmu!"
Giok Keng
membentak dan menerjang dengan dahsyatnya. Liong Bu Kong menangkis sambil
meloncat ke kiri, kemudian terjadilah pertempuran yang amat seru dan
mati-matian di pihak Giok Keng, sedangkan Liong Bu Kong lebih banyak sekuatnya
mempertahankan diri sambil menanti datangnya bala bantuan.
Dia tidak
perlu menanti lama. Isyarat itu telah diterima oleh Pek-lian-kauw yang pada
saat itu sedang menjamu para tokoh kang-ouw di ruangan tamu karena pertempuran
tadi telah selesai. Mendengar tanda bahaya dari balik gunung di belakang ini,
Bong Khi Tosu lalu memimpin sepasukan anggota Pek-lian-kauw yang terdiri dari
dua puluh orang, melalui lorong rahasia cepat berlari menuju ke balik gunung
dan menerobos keluar dari dalam goa rahasia.
Melihat
Liong Bu Kong sedang diserang mati-matian oleh Cia Giok Keng, sejenak Bong Khi
Tosu tercengang. Tak disangkanya bahwa sepasang pengantin gagal itu kini sedang
saling serang sedemikian serunya, maka dia pun tertawa,
"Ha-ha-ha,
mestinya saling serang di dalam kamar pengantin, siapa kira sekarang saling
menyerang dengan pedang di tangan ini!"
"Bong
Khi Tosu, lekas bantu aku menangkap wanita liar ini. Jangan bunuh, tangkap dia
hidup-hidup!" Liong Bu Kong berteriak dan pasukan yang dipimpin oleh Bong
Khi Tosu itu segera mengepung Cia Giok Keng!
Giok Keng
kaget sekali menyaksikan munculnya pasukan Pek-lian-kauw dari sebuah goa yang
sama sekali tidak disangka-sangkanya itu. Dia terheran-heran memikirkan dari
mana datangnya pasukan ini karena dia sama sekali tidak sadar bahwa dia sudah
dipancing mendekati kembali sarang Pek-lian-kauw oleh Liong Bu Kong. Akan
tetapi sedikit pun dia tidak gentar. Sambil mengeluarkan pekik melengking
nyaring sekali dia lalu menyambut pengeroyokan itu dan robohlah dua orang
anggota pengeroyok Pek-lian-kauw.
Hal ini
membuat Bong Khi Tosu marah dan langsung menerjang sambil memimpin anak
buahnya, menyerang dengan ketat hingga hujan senjata menyambar ke arah tubuh
Giok Keng yang memaksa gadis itu tidak mampu menyerang lagi melainkan harus
memutar pedang melindungi tubuhnya dari sambaran senjata yang amat banyak itu,
sedangkan dia pun harus selalu waspada terhadap Liong Bu Kong yang masih
menunggu kesempatan untuk merobohkan dan menangkapnya.
Betapa pun
gagahnya Cia Giok Keng, namun karena di situ terdapat Liong Bu Kong yang amat
lihai, sedangkan Bong Khi Tosu dan dua puluh orang anggota Pek-lian-kauw ini
pun masing-masing bukanlah orang lemah, tentu saja dalam waktu singkat Giok
Keng sudah terdesak hebat. Dahi dan lehernya sudah bercucuran peluh dan
tangannya yang memutar pedang dan selalu menangkis senjata lawan yang
sedemikian banyaknya sudah terasa pegal dan lelah.
"Pergunakan
jala...!" Bong Khi Tosu yang hendak memenuhi permintaan Liong Bu Kong
memberi aba-aba.
Tokoh
Pek-lian-kauw ini tahu betapa pentingnya menangkap hidup-hidup puteri Ketua
Cin-ling-pai itu. Bukan hanya untuk menyenangkan hati Liong Bu Kong yang
dianggapnya sekutu dan diharapkan membantu Pek-lian-kauw, akan tetapi juga
untuk menaklukkan Ketua Cin-ling-pai yang demikian saktinya, jalan terbaik
adalah menawan puterinya ini!
Empat orang
anggota Pek-lian-kauw yang ahli menggunakan jala, sekarang sudah maju mengurung
dari empat penjuru, di antara semua orang yang masih terus mengeroyok dara itu.
Giok Keng
maklum akan bahaya ini maka matanya selalu mengawasi gerak-gerik empat orang
yang mencari kesempatan itu sambil tetap memutar pedang ke kanan kiri, atas dan
bawah untuk menghalau pergi setiap senjata pengeroyok yang datang menyambar.
Tiba-tiba
yang dikhawatirkan itu terjadilah. Sebuah jala dilempar dari arah belakangnya,
mendatangkan suara bersiutan dan jala itu berkembang lebar, menerkam ke arah
dirinya. Maklum bahwa sekali dia terkurung dalam terkaman jala maka keadaannya
akan menjadi sangat berbahaya, Giok Keng kembali mengeluarkan suara lengkingan
tinggi, di antara hujan senjata itu memutar tubuhnya dan pedangnya bergerak ke
arah bayangan lebar hitam yang menerkam itu.
"Trang!
Cringg... krrrttt...!"
Pedangnya
bergerak secara luar biasa sekali dan si pemegang jala berteriak kaget ketika
jala itu terbabat putus-putus sehingga robek oleh pedang Giok Keng yang kembali
sudah memutar senjatanya untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi gerakan tadi
membuat Giok Keng kurang dapat mempertahankan tubuh belakangnya, apa lagi pada
saat jala pertama robek, jala ke dua sudah datang dari arah belakang pula,
menerkam tubuhnya!
Giok Keng
berseru kaget, meronta dan menggunakan pedangnya untuk membabat jala, akan
tetapi karena jala itu sudah menyelimutinya, gerakannya tentu saja menjadi
kacau dan sukar. Betapa pun juga, andai kata dua helai jala yang lain tidak
segera menerkam dirinya, tentu dia akan berhasil meloloskan dirinya dari jala
ke dua tadi. Kini tubuhnya tertutup dan diselimuti tiga helai jala dan dia seperti
seekor ikan yang tak berdaya, hanya dapat meronta-ronta dan memaki-maki.
"Liong
Bu Kong manusia iblis! Pengecut tak tahu malu, menggunakan cara yang curang!
Lepaskan jala ini dan mari kita bertanding sampai mati!"
"Ha-ha-ha-ha,
Keng-moi, manisku. Sayang kalau sampai kau mati sebelum kau menjadi milikku dan
sebelum aku menikmatimu sepuas hatiku, ha-ha-ha!"
"Laki-laki
tak tahu malu, mulutmu kotor sekali!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan
nyaring dan sesosok bayangan manusia berkelebat datang, menyambar ke arah Giok
Keng yang tertutup jala. Kedua tangan orang itu bergerak merenggut jala-jala
itu, terdengarlah suara nyaring dan tiga helai jala itu robek semua, ada pun
pemegang talinya terpelanting dan dalam sekejap mata saja Giok Keng bebas
kembali!
"Terima
kasih, Kun Liong!" Giok Keng berkata dan pedangnya sudah kembali
berkelebat mengamuk sehingga dalam kemarahannya itu gerakannya menjadi luar
biasa sekali dan robohlah dua orang pengeroyok. Dia hendak menerjang Liong Bu
Kong yang kini sangat dibencinya itu, namun dia dihalangi oleh para anggota
Pek-lian-kauw sehingga membuat hati gadis ini makin marah.
Sementara
itu, Kun Liong tersenyum gembira ketika mendengar suara Giok Keng yang
menandakan bahwa gadis itu benar-benar telah pulih kembali ingatannya, kembali
seperti Giok Keng dahulu, dara yang amat cantik jelita, yang sampai sekarang
bentuk hidungnya membuat dia terpesona kagum, dara yang periang, liar dan galak
sekali, yang menyebut namanya begitu saja padahal sudah sepatutnya kalau dara
itu menyebutnya kakak atau suheng, baik dipandang dari segi usia mau pun
hubungan.
Karena
gembiranya, Kun Liong sampai kurang memperhatikan dan baru dia sadar ketika
melihat Liong Bu Kong menekan-nekan batu di dinding karang dan tahulah dia
bahwa pemuda itu tentu menggerakkan alat rahasia, maka secepat kilat dia
meloncat ke arah Liong Bu Kong sambil membentak, "Engkau manusia berakhlak
rendah sekali!"
Liong Bu
Kong menyambut sambaran tubuh Kun Liong itu dengan tusukan pedangnya sambil
membalikkan tubuh sesudah dia berhasil memberi isyarat kepada Pek-lian-kauw
tentang bahaya yang lebih besar lagi! Pedang Lui-kong-kiam di tangannya lalu
berubah menjadi cahaya kilat menyambar ganas, meluncur ke arah dada Kun Liong
yang sedang menerjangnya.
"Singgg...!
Wuuuttt…! Plakk-plakk!"
Tubuh Liong
Bu Kong terbanting keras ke kiri ketika tusukannya itu dapat dihindarkan oleh
Kun Liong yang melempar tubuh ke kiri, kemudian dari samping dia mendorong ke
arah Liong Bu Kong dengan kedua tangannya, mengerahkan sinkang-nya. Liong Bu
Kong terkejut dan berusaha menangkis, akan tetapi dua kali benturan itu membuat
tubuhnya terbanting dan tergetar hebat.
Masih untung
bagi Liong Bu Kong bahwa sampai saat itu, Yap Kun Liong masih saja merasa tidak
suka untuk membunuh, maka dorongan tangannya tadi pun hanya dilakukan dengan
pengerahan tenaga secukupnya saja untuk sekedar mengatasi lawan. Andai kata Kun
Liong berniat membunuh, agaknya dengan pengerahan sinkang sekuatnya, Liong Bu
Kong tentu tak akan dapat bangun kembali.
Namun, harus
diakui bahwa Liong Bu Kong juga lihai. Setelah terbanting keras seperti itu,
dia masih mampu terus menggulingkan tubuhnya menjauhi Kun Liong dan pada saat
dia bergulingan itu dari tangan kirinya menyambar sinar-sinar hijau ke arah
tubuh Kun Liong. Pemuda ini dengan tenangnya mengebutkan kedua lengan bajunya
dan senjata-senjata rahasia kecil-kecil berupa duri hijau yang beracun itu
semua runtuh ke atas tanah.
Pada saat
Liong Bu Kong sudah meloncat berdiri dan siap lagi menghadapi lawan yang dia
tahu sangat lihai ini, muncullah sepasukan orang-orang Pek-lian-kauw yang
jumlahnya belasan orang, dipimpin oleh Loan Khi Tosu, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim
In! Ketika mereka ini melihat betapa Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong mengamuk,
cepat mereka sudah menerjang maju.
"Giok
Keng, hati-hatilah!" Kun Liong berseru sambil melompat jauh ke tempat Giok
Keng.
Dia tidak
khawatir menyaksikan begitu banyak lawan, akan tetapi dia mengkhawatirkan
keselamatan Giok Keng karena melihat betapa Giok Keng bertempur dengan
kemarahan meluap-luap. Hal ini membahayakan dara itu, apa lagi sesudah dia
melihat munculnya lawan-lawan tangguh seperti Ouwyang Bouw, Lauw Kim In, dan
Loan Khi Tosu!
Giok Keng
juga melihat munculnya pasukan baru, maka dia maklum akan maksud hati Kun
Liong. Tanpa bicara apa-apa, kedua orang ini segera memasang kuda-kuda saling
membelakangi, dengan demikian bagian belakang tubuh mereka terlindung, mereka
saling melindungi dan hanya menghadapi lawan yang berada di depan serta kanan
kiri saja.
Dalam
kesempatan selagi menanti datangnya serbuan para pengeroyok yang jumlahnya
sangat banyak itu, Giok Keng berbisik tanpa menoleh, "Kun Liong, kau
maafkan semua kesalahanku dan terima kasih atas bantuanmu."
Terharu hati
Kun Liong mendengar ini. "Hushhhh...!" bisiknya kembali, "bukan
waktunya berbicara, Sayang. Kita sedang menghadapi bahaya..."
Liong Bu
Kong yang menyaksikan betapa kedua orang itu berbisik-bisik, menjadi panas
hatinya dan segera dia berseru, "Serbuuu...!" lalu memelopori
penyerangan itu yang diikuti oleh semua orang.
Yap Kun
Liong telah melihat datangnya seorang anggota Pek-lian-kauw yang memegang toya
dan yang memang telah diincarnya, maka secepat kilat dia mencelat ke kiri, ke
arah orang ini, lalu kedua tangannya bergerak dan orang itu roboh tertotok
sedangkan toyanya telah terampas secara yang dia tidak ketahui bagaimana!
Kun Liong
mempergunakan tenaganya mematahkan toya itu di tengah-tengah dan... di kedua
tangannya telah tampak sepasang tongkat pendek yang segera dimainkan dengan
ilmu Tongkat Siang-liong-pang (Sepasang Naga) yang dahulu dia pelaiari dari Bun
Hwat Tosu.
“Trang-trangg-tranggg…!”
Terdengar
suara ketika banyak senjata lawan terlempar setelah beradu dengan sepasang
tongkat ini. Juga Giok Keng sudah mengamuk hebat dengan pedangnya, merobohkan
dua orang lagi dengan cepatnya.
Melihat ini,
Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In lalu menerjang ke depan, membantu Liong Bu Kong
mengeroyok Kun Liong, sedangkan Bong Khi Tosu bersama Loan Khi Tosu segera
mengeroyok Giok Keng.
Tentu saja
selain mereka, para anak buah Pek-lian-kauw juga ikut pula mengeroyok dan
sungguh pun mereka itu bukan merupakan lawan tangguh bagi Kun Liong dan Giok
Keng, namun jumlah mereka yang sangat banyak itu merepotkan juga. Karena
khawatir akan keselamatan Giok Keng sedangkan dia sendiri didesak oleh tiga
orang yang cukup lihai itu, Kun Liong sengaja menahan pedang Lauw Kim In dengan
tongkatnya sambil berkata,
"Hemmm,
setangkai bunga mawar indah bersih dari Go-bi tercemar dalam lumpur..."
Lauw Kim In
menjadi merah mukanya dan dia menarik pedangnya untuk ditikamkan ke lambung Kun
Liong, dan pada saat itu, Ouwyang Bouw yang juga mengerti akan sindiran ini
sudah menggerakkan pedang ularnya ke arah leher Kun Liong.
"Trang...
cringgg...!"
Kun Liang
menangkis sambil meloncat ke atas untuk mengelak sambaran pedang Liong Bu Kong
yang menggunakan kesempatan tadi untuk membabat ke arah kakinya.
"Kasihan
Sin-kouw... tidak tahu betapa Pek-eng Kiam-hoat ciptaannya itu dipergunakan
untuk membantu pemberontak dan penjahat! Aihhh…, yang menjadi guru, mati pun
tidak bisa meram, apa lagi masih hidup!"
"Iihhhh..."
Kim Lauw Kim In menjerit karena tidak tahan lagi mendengar sindiran itu.
Air matanya
bercucuran dan bagaimana pun kerasnya hati wanita ini, karena selama ini
penderitaan batinnya semenjak ia terpaksa menyerahkan dirinya kepada Ouwyang
Bouw ditekan-tekan, sekarang bendungannya seolah-olah dibuka oleh Kun Liong.
Lauw Kim In mundur-mundur dan mukanya pucat sekali.
Melihat ini,
Ouwyang Bouw marah bukan main. "Manusia bermulut lancang dan
beracun!" Kedua tangannya bergerak dan serangkum sinar merah langsung
menyambar ke arah seluruh tubuh Kun Liong.
Pemuda ini
terkejut sekali karena mengerti bahwa itulah jarum-jarum merah yang pernah
membuat kepalanya gundul! Cepat dia memutar kedua tongkatnya sambil meloncat ke
kiri. Sebagian dari jarum-jarum merah beracun itu dapat dia pukul runtuh dan sebagian
lagi dapat dia elakkan.
"Aduhhhh...!"
Tiba-tiba terdengar Giok Keng menjerit dan bukan main kagetnya hati Kun Liong
karena baru dia teringat bahwa di belakangnya terdapat Giok Keng sehingga
ketika dia mengelak tadi, jarum-jarum merah langsung menyambar tubuh dara itu
dan mengenai bagian belakang tubuhnya!
"Celaka!"
serunya dan cepat dia memutar tongkat membalikkan tubuh.
Melihat Giok
Keng limbung dan hampir saja jatuh, Kun Liong cepat membuang sepasang
tongkatnya, menyambar pedang dari tangan Giok Keng lantas memondong tubuh yang
lemas itu, memanggulnya dan dia melindungi tubuh mereka berdua dengan pedang
Giok Keng yang diputar sangat cepatnya sehingga tampaklah gulungan sinar
berkilauan yang menyelimuti tubuh mereka berdua. Semua senjata yang bertemu
dengan sinar bergulung-gulung ini terpental dan semua pengeroyok menjadi gentar
dan mundur kembali.
"Kepung,
jangan biarkan dia lolos!" Liong Bu Kong berteriak keras, khawatir juga
ketika melihat betapa Lauw Kim In sudah lari dari tempat itu dikejar oleh
suaminya, Ouwyang Bouw.
Dengan
perginya kedua orang yang lihai ini, terutama sekali Ouwyang Bouw, dia merasa
kehilangan tenaga bantuan yang boleh diandalkan. Baiknya Giok Keng sudah
terluka dan Kun Liong sedang memanggul tubuh dara itu, maka dia bersama Loan
Khi Tosu dan Bong Khi Tosu, dibantu oleh hampir tiga puluh orang anak buah
Pek-lian-kauw, yaitu sisa mereka yang belum roboh, lalu mengurung dan mendesak
Kun Liong, tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri.
Repot juga
Kun Liong dikeroyok demikian banyak dalam keadaan seperti itu. Andai kata Giok
Keng tidak terluka, tentu saja mereka berdua masih akan dapat menandingi mereka
semua setelah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In pergi, dan agaknya akan mudah dapat
meloloskan diri. Akan tetapi sekarang, sesudah Giok Keng terluka dan pingsan di
dalam panggulannya, tentu saja membuat gerakannya tidak leluasa lagi.
Kekhawatirannya
terhadap Giok Keng yang sudah terkena jarum merah Ouwyang Bouw yang dia tahu
sangat berbahaya, membuat hatinya terasa tidak karuan sehingga akhirnya dia
menjadi marah. Dengan pekik melengking keras yang merobohkan beberapa orang
anggota Pek-lian-kauw yang kurang kuat, dia lalu membentak,
"Liong
Bu Kong! Apa bila kau tidak menarik mundur semua orang ini, terpaksa aku akan
membunuhmu!"
Liong Bu
Kong terkejut, akan tetapi dia mengira bahwa pemuda itu hanya menggertaknya
saja karena dalam keadaan terdesak, maka dia tertawa. "Kepung dia! Bunuh
pemuda pengacau ini!"
Kun Liong
menjadi mata gelap. Semenjak kecil dia tidak suka akan kekerasan, tidak suka
memukul orang apa lagi membunuh, merupakan pantangan besar baginya. Kini,
gelisah akan keselamatan Giok Keng dan melihat kekejaman hati Liong Bu Kong
yang membuat gadis itu sengsara, dia menjadi mata gelap dan dengan bentakan
nyaring dia menerima semua sambaran pedang ke arah tubuhnya, hanya melindungi
tubuh Giok Keng.
Berbareng
ketika senjata-senjata mengenai tubuhnya dia sudah menerjang maju dengan pedang
Gin-hwa-kiam milik Giok Keng itu, menyerang Liong Bu Kong tanpa peduli akan
hujan senjata mengenai yang tubuhnya. Terdengar suara bak-bik-buk dan semua
senjata itu terpental kembali. Liong Bu Kong amat terkejut melihat sinar perak
menyambar, cepat dia menangkis dengan Lui-kong-kiam.
"Crangggg...!"
Liong Bu
Kong memekik kaget, pedangnya terlepas dari pegangan tangannya dan cepat dia
melempar tubuhnya ke atas tanah. Kalau tidak cepat gerakannya ini, tentu dia
telah menjadi korban pedang Gin-hwa-kiam.
Melihat
serangannya hanya berhasil melepaskan pedang lawan yang dapat dengan cepat
menghindar dengan cara melempar diri ke atas tanah, Kun Liong langsung
mengayunkan kakinya menendang ke arah kepala Liong Bu Kong. Bu Kong cepat
mengangkat kedua lengannya menangkis.
"Dessss…!"
Tubuh Liong
Bu Kong mencelat dan terguling-guling sampai sepuluh meter jauhnya. Dia dapat
bangkit berdiri lagi dengan kepala pening dan mata berkunang, lalu
menggoyang-goyang kepalanya dan keringat dingin bercucuran keluar pada saat dia
melihat Kun Liong yang sudah dikepung lagi.
Atas komando
Loan Khi Tosu yang cerdik, kini para pengeroyok itu menujukan senjata mereka
kepada tubuh Giok Keng! Akal ini benar-benar membuat Kun Liong menjadi repot sekali.
Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri yang dengan pengerahan sinkang-nya
dapat dibuatnya kebal terhadap senjata, akan tetapi Giok Keng yang pingsan itu
tentu akan celaka kalau terkena senjata lawan.
Lega dan
girang juga hati Liong Bu Kong melihat betapa lawan yang amat tangguh itu kini
dikepung ketat. Tadi hampir saja dia celaka, bagaikan lolos dari lubang jarum.
Dengan tulang-tulang tubuh terasa nyeri, dia berjalan terincang-pincang mencari
senjatanya yang tadi terlepas. Akhirnya dia melihat senjata pedangnya itu, maka
dengan cepat dia berlari menghampiri untuk mengambilnya.
Selagi
tangan Bu Kong meraih pedang, tiba-tiba ada sebuah kaki kecil yang menginjak
pedang itu! Bu Kong terkejut akan tetapi dia sudah memegang gagang pedangnya,
maka sekuat tenaga dia membetot gagang pedang itu dan... pedang yang terinjak
kaki kecil itu tidak berkutik sedikit pun! Betapa pun Bu Kong mencabut sambil
mengerahkan tenaga, tetap saja sia-sia karena pedang itu seakan-akan sudah
menjadi satu dengan kaki yang menginjaknya.
Bu Kong
cepat mengangkat mukanya dan kaki itu ternyata milik seorang gadis cantik dan
gagah, seorang dara cantik yang matanya begitu tajam dan bening, indah seperti
mata burung Hong, seorang gadis yang berpakaian ringkas dan tampak dua batang
pedang di tubuhnya, satu di punggungnya dan sebatang lagi di ikat pinggangnya
yang merupakan pedang pendek. Liong Bu Kong terbelalak ketika dia mengenal
wajah gadis yang cantik namun dingin dan angkuh itu.
"Kau...?
Kau... Giok-hong-cu Yo Bi Kiok?" katanya memandang pada hiasan burung Hong
dari kumala yang menghias baju di dada gadis itu.
Rasa
terkejut dan heran bercampur dengan harapan dan kegirangan. Dia terkejut dan
heran melihat kelihaian gadis ini yang mampu menginjak pedangnya sedemikian
kuatnya sehingga dia sendiri tidak dapat menariknya kembali, dan dia girang dan
penuh harapan akan mendapat bantuan gadis ini. Bukankah Yo Bi Kiok ini dapat
dikatakan segolongan dengan dia, bahkan guru gadis ini, yaitu Bu Leng Ci yang
berjuluk Siang-tok Mo-li pernah bersekutu dengan ibunya, dan hiasan burung Hong
kumala di dada gadis itu pun adalah pemberian ibunya? Maka dia segera
melepaskan gagang pedangnya, bangkit berdiri dan berkata sambil tersenyum
girang,
"Aihhh,
kiranya Kiok-moi yang datang...! Dan kau hebat sekali! Kiok-moi, kebetulan kau
datang, marilah membantu kami menaklukkan iblis itu!" Dia menuding ke arah
Kun Liong yang masih mengamuk dan dikepung ketat bagai seekor jengkerik
dikeroyok gerombolan semut.
"Huh, siapa
adikmu? Liong Bu Kong, aku datang untuk mengambil nyawamu!"
Tentu saja
Liong Bu Kong merasa kaget bukan main sampai matanya terbelalak dan dia tidak
dapat menjawab.
"Ambil
pedangmu dan bersiaplah!" kata pula Yo Bi Kiok dengan suara dan pandang
mata dingin.
Terpaksa Bu
Kong mengambil pedangya yang sudah dilepaskan oleh kaki Bi Kiok dan dia
membantah, "Yo Bi Kiok, lupakah engkau bahwa kita segolongan? Lihat,
Giok-hong-cu itu masih berada di dadamu. Bukankah itu pemberian ibuku?"
Yo Bi Kiok
menjebikan bibirnya yang merah. "Hemm, memang kubawa dan tadinya akan
kukembalikan kepada Kwi-eng Niocu, tetapi sayang dia telah mampus, karena itu
biarlah sekarang kukembalikan kepada puteranya. Nih, terimalah kembali!"
Tiba-tiba
sekali, dengan kecepatan yang tak terduga-duga oleh Bu Kong, tangan kiri gadis
itu merenggut hiasan itu dan secepat kilat pula perhiasan dari kumala itu telah
melayang menyambar antara kedua mata Bu Kong! Pemuda ini berseru kaget, cepat
dia mengelak dengan merendahkan tubuh dan menundukkan kepala.
"Sswwiiitttt...!"
Perhiasan
itu melayang lewat di atas kepalanya dan menancap di dinding karang. Dan pada
saat itu, Bi Kiok telah menerjangnya dengan pedang pendek di tangan kiri.
Demikian cepatnya gerakan Bi Kiok, begitu melontarkan perhiasan tadi terus
langsung mencabut pedang di pinggang dan langsung pula menyerang, sehingga Bu
Kong terkejut setengah mati, cepat menangkis.
"Cring-trangggg...!"
"Ehhhh...?!"
Liong Bu Kong kembali terkejut.
Tangannya
sampai tergetar hebat ketika pedangnya bertemu dengan pedang di tangan kiri
gadis itu. Akan tetapi dia tidak sempat terheran lebih lama lagi karena kembali
pedang gadis itu sudah menyambar dengan kecepatan dan kekuatan yang sangat luar
biasa! Bu Kong menangkis dan berusaha untuk balas menyerang, namun hanya dalam
waktu dua puluh jurus lebih saja dia telah terdesak hebat sekali.
Tiba-tiba,
selagi Bu Kong membalas dengan bacokan dahsyat, Bi Kiok menangkis dengan pedang
kirinya sambil mengerahkan sinkang dan pedang itu bergetar sedemikian hebat
lalu diputar-putar sehingga pedang Bu Kong ikut pula terputar tanpa sanggup
ditahannya lagi. Lalu secepat kilat tangan kanan Bi Kiok bergerak dan hanya
tampak sinar berkelebat ketika pedang panjang telah tercabut dari punggungnya
dan di lain saat pedang itu telah menembus dada Liong Bu Kong.
"Augghhhhhh...!"
Tubuh pemuda itu terjengkang ketika Bi Kiok mencabut pedangnya.
Sambil
melihat tubuh pemuda yang berkelojotan di atas tanah itu, Bi Kiok menggunakan
kakinya mencokel pedang Lui-kong-kiam, menyambar gagang pedang dengan tangannya
dan menyelipkan pedang itu pada pinggangnya pula, sementara itu sepasang
pedangnya tadi dengan cepat sudah memasuki sarung pedang. Kemudian, dengan
langkah tenang dia menghampiri dinding karang, mencabut Giok-hong-cu dan sekali
lempar perhiasan itu menancap di dahi Bu Kong, tepat di tengah-tengah dan tubuh
yang berkelojotan itu diam, tak bergerak lagi.
Kini Yo Bi
Kiok memandang ke arah pertempuran, mendengus perlahan lantas tubuhnya mencelat
ke medan pertempuran dan pedang rampasan tadi langsung digerakkan dengan tangan
kirinya dan robohlah empat orang pengeroyok! Selanjutnya, gadis ini mengamuk
dengan pedang Lui-kong-kiam sehingga dalam waktu singkat, terjungkal tidak
kurang dari delapan orang anak buah Pek-lian-kauw!
Tentu saja
semua pengeroyok terkejut sekali dan mereka menjadi gentar. Cepat mereka
meninggalkan Kun Liong dan Bi Kiok, mundur ke dalam goa di mana sudah dipasangi
alat-alat jebakan rahasia.
Akan tetapi
kedua orang muda itu tidak mengejar, melainkan berdiri saling berpandangan, Bi
Kiok dengan pandang mata dingin, Kun Liong dengan mata terbelalak keheranan.
"Engkau...
Bi Kiok...!"
"Kun
Liong, engkau masih belum lupa kepadaku?" suara Bi Kiok amat dingin dan
matanya menatap tajam ke arah gadis yang pingsan di panggulan pemuda itu.
"Melupakan
engkau? Mungkin yang lain-lain aku dapat melupakannya, akan tetapi betapa
mungkin aku melupakan matamu yang bersinar indah seperti bintang pagi
itu?"
Yo Bi Kiok
menjebikan bibirnya dan mendengus, "Huh, perayu yang... mata
keranjang!" Dia memutar tubuhnya dan sekali meloncat dia sudah melayang
jauh ke depan lalu berlari cepat sekali.
"Bi
Kiok...!" Kun Liong memanggil akan tetapi gadis itu berlari terus.
Terpaksa dia
pun berlari membawa tubuh Giok Keng yang masih pingsan. Yang terutama sekali
adalah keselamatan Giok Keng. Biar pun dia merasa terheran-heran melihat Yo Bi
Kiok yang sekarang mempunyai ilmu kepandaian sedemikian tingginya, bahkan Liong
Bu Kong dapat dibunuhnya dalam waktu singkat dan dia ingin sekali bicara dengan
dara itu, namun melihat keadaan Giok Keng, dia harus terlebih dulu
menyelamatkan gadis ini. Dia tahu betapa jahatnya jarum merah Ouwyang Bouw itu.
Setelah
berlarl-larian menuruni bukit dan jauh sekali meninggalkan sarang
Pek-lian-kauw, akhirnya Kun Liong sampai di sebuah dusun dan cepat dia mencari
rumah penginapan. Seorang pelayan menyambutnya dengan mata terbelalak heran
saat memandang kepada wanita muda yang pingsan dalam pondongan pemuda itu.
"Adikku
ini sakit parah, harap kau cepat menyediakan kamar untuk kami agar dia dapat
kuobati," kata Kun Liong, tanpa banyak cakap lagi.
Pelayan itu
seorang tua yang baik hati. Melihat keadaan Giok Keng yang amat pucat dan
pingsan, dia segera membawa mereka ke sebuah kamar yang cukup besar, kemudian
memenuhi permintaan Kun Liong menyediakan sebaskom air mendidih yang dia taruh
di dalam kamar dan cepat dia pergi meninggalkan mereka.
Kun Liong
langsung bekerja, tanpa ragu-ragu lagi dia menanggalkan pakaian Giok Keng
berikut sepatunya dan menyelimuti tubuh yang telanjang itu dengan sehelai
selimut. Dia membalikkan tubuh dara itu menelungkup dan memeriksa tubuh
belakangnya. Terdapat lima batang jarum merah menancap di tubuh belakang dari
punggung sampai ke pinggul! Dan jarum-jarum itu menancap dalam sekali sampai
yang tampak hanya sedikit ujungnya membayang di bawah kulit yang telah mulai
membiru kemerahan!
Setelah
memeriksa sejenak, Kun Liong lalu menggunakan air mendidih untuk membasahi
bagian luka itu sehingga kulit dagingnya pada bagian itu yang terkena air panas
menjadi lemas dan lunak. Kemudian, sambil duduk bersila di pinggir pembaringan,
Kun Liong lalu menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan pada luka itu
sambil mengerahkan sinkang-nya.
Hawa yang
sangat kuat tergetar melalui lengannya dan setibanya di telapak tangannya, hawa
yang merupakan tenaga sakti itu menyedot! Inilah tenaga Thi-khi I-beng yang
sudah dikendalikan sehingga tenaga menyedotnya yang sangat hebat itu dapat
dicurahkan dan dipusatkan pada lubang kecil bekas jarum.
Setelah
kedua lengan itu menggigil beberapa lamanya, Kun Liong menarik kembali kedua
tangannya dan... dua batang jarum menempel di telapak tangannya. Dengan alis
berkerut dia menyimpan dua batang jarum itu, kemudian berturut-turut dia
berhasil menyedot lima batang jarum itu dari tubuh Giok Keng.
Setelah lima
batang jarum itu terambil semua, pekerjaan Kun Liong masih jauh dari pada
selesai. Biar pun jarum-jarum itu telah dikeluarkan, namun racunnya sudah
mengeram di tubuh dan dia tadi sebelum mengambil jarum telah menotok beberapa
bagian jalan darah untuk mencegah racun itu menjalar ke jantung.
Kini kembali
dia mempergunakan sinkang dari kedua telapak tangannya untuk menyedot dan
melebarkan luka-luka itu, kemudian, tanpa ragu-ragu, dia mendekatkan mukanya
dan dengan mulutnya, dia lalu menyedot luka-luka itu satu demi satu. Darah
menghitam yang tersedot keluar dari luka itu diludahkannya ke lantai, kemudian
dia menyedot lagi sampai berkali-kali.
Ketika
melakukan ini, dia bukannya tidak sadar akan keindahan tubuh belakang dara itu
yang polos, dengan kulit putih kuning dan bersih halus. Namun, dengan penuh
keyakinan bahwa dia melakukan semua ini untuk menyelamatkan nyawa Giok Keng,
maka segala bentuk khayal yang mendatangkan nafsu birahi tidak menampakkan
bayangannya sama sekali.
Setelah pada
setiap luka dia menyedot tidak kurang dari lima kali, barulah yang tersedot
keluar dari luka kecil itu darah merah. Pada saat dengan mulutnya melakukan
penyedotan untuk yang terakhir kali, di luka yang berada paling bawah, yaitu di
belahan bukit pinggul, tiba-tiba dia mendengar suara halus di luar jendela dan
melihat berkelebatnya bayangan orang.
Sedikit pun
Kun Liong tak berani memecah perhatian karena pengobatan dengan sinkang itu
memerlukan pengerahan tenaga dan perhatiannya. Dikiranya bahwa tentulah pelayan
tadi yang mengintai untuk melihat bagaimana keadaan wanita sakit itu.
Setelah
melihat bahwa lima luka itu sudah bersih dan menjadi merah darah, dengan amat
hati-hati Kun Liong mencucinya dengan air panas, menutupnya dengan kain bersih
lalu membalikkan tubuh Giok Keng yang masih pingsan. Wajah dara itu masih
sangat pucat, akan tetapi sinar kebiruan telah lenyap dari wajahnya.
KUN LIONG
membetulkan letak selimut yang menutupi seluruh tubuh gadis itu, kemudian dia
memasukkan kedua tangannya ke dalam selimut, meletakkan dua telapak tangannya
ke bawah dada, memusatkan seluruh batinnya agar tidak sampai tergoda oleh
bayangan yang bukan-bukan mengenai tubuh dara yang kini terlentang di depannya,
kemudian dia menyalurkan sinkang. Segera hawa yang hangat memasuki tubuh dara
itu dan membantu kelancaran jalan darahnya, juga mengusir hawa beracun yang
memenuhi rongga dada dan perutnya.
"Ouhhh...!"
Akhirnya terdengar dara itu merintih, pernapasannya menjadi normal kembali,
jalan darahnya juga pulih. Dia masih setengah sadar setengah pingsan.
Cepat Kun
Liong mengeluarkan kedua tangannya dari selimut karena dia tidak ingin gadis
itu ketika sadar mendapatkan kedua tangannya masih terletak di atas dada dan
perutnya! Wajahnya agak pucat ada pun napasnya agak memburu karena dia sudah
mengeluarkan banyak tenaga saktinya.
Pada saat
itulah, setelah perhatiannya terhadap Giok Keng terlepas, dia baru mendengar
bahwa benar-benar ada orang di luar kamar itu, mengintai di depan pintu. Dia
menjadi curiga sekali dan sambil meloncat ke dekat pintu dia membentak,
"Siapa di luar...?!"
Tiba-tiba
saja dari luar terdengar suara orang mendengus marah, daun pintu ditendang
terbuka dan seorang gadis cantik langsung menyerang dengan tusukan pedang
pendek yang dipegang dengan tangan kiri ke dada Kun Liong dengan kecepatan
kilat!
"Bi
Kiok...!" Kun Liong berseru kaget, cepat miringkan tubuhnya ke kiri dan
ketika pedang meluncur di sebelah kanannya, dia cepat menggerakkan tangan kanan
untuk menangkap pergelangan tangan gadis itu sambil mengerahkan sinkang-nya
karena begitu menyentuh lengan dia merasa ada tenaga dahsyat keluar menentang
dari lengan itu.
"Tranggg...!
Plokkk...!"
Pedang itu
terlepas dari pegangan tangan kiri Bi Kiok yang seperti lumpuh oleh pegangan
tangan kanan Kun Liong, namun dengan kemarahan meluap-luap gadis itu
menggunakan telapak tangan kanannya menampar pipi kiri pemuda itu.
Kun Liong
meringis, pipinya terasa panas dan pedih, tentu giginya sudah rontok semua
kalau dia tadi tidak menerima tamparan itu dengan pengerahan tenaga.
"Laki-laki
cabul! Laki-laki mata keranjang!" Yo Bi Kiok memaki ketika melihat Giok
Keng yang sudah sadar dan memandang dengan mata terbelalak itu berada dalam
keadaan telanjang bulat dan hanya menutupi tubuhnya dengan sehelai seilmut.
Kedua kaki yang telanjang itu mencuat keluar dari dalam seilmut!
"Ehh...
ohhh... Bi Kiok... jangan...!" Kun Liong cepat menggunakan tangan kirinya
untuk menangkap lengan kanan gadis itu, melihat betapa Bi Kiok sudah menggerakkan
tangan kanan hendak mencabut pedang panjang di punggungnya. Dengan demikian,
dia sudah menangkap kedua lengan gadis itu yang lantas meronta-ronta hendak
melepaskan kedua tangannya.
"Eh-eh...
Bi Kiok... wah, sabarlah, mari kita bicara baik-baik..." Kun Liong
membujuk saat gadis itu terus meronta-ronta, bahkan mengirim tendangan yang
masih bisa dielakkannya, akan tetapi terpaksa dia tangkis dengan kakinya pula.
"Laki-laki
buaya!" Bi Kiok memaki lirih. "Dan aku selalu mengingat-ingat
engkau... selalu mengharap-harap..." Dan gadis itu terisak, kemudian
meronta-ronta makin kuat. "Kiranya engkau laki-laki cabul yang
mempermainkan setiap wanita yang kau tolong!"
Giok Keng
yang sudah sadar dan sudah bangkit duduk sambil menyelimuti tubuh dengan
selimut itu sudah mendengar cukup banyak dan jelas. Cepat dia melangkah turun
dan sambil menyarungkan selimut itu rapat-rapat, dia berseru,
"Tahan
dulu...! Adik yang baik, engkau salah duga...! Kun Liong telah menolongku dan
karena aku terkena senjata rahasia yang sangat berbahaya, dia tadi telah
mengobatiku... jangan menduga yang bukan-bukan! Aku adalah Cia Giok Keng,
puteri Ketua Cin-ling-pai, apa kau kira aku akan mudah saja dipermainkan orang
seperti itu? Aku..."
Tiba-tiba
Giok Keng menghentikan kata-katanya karena teringat betapa pernyataannya tadi
berlawanan dengan sekali dengan kenyataan. Dia berkata tidak mudah dipermainkan
orang, akan tetapi buktinya, dia sudah dipermainkan oleh Liong Bu Kong sampai
hampir saja menjadi korban!
Akan tetapi
kata-katanya tadi sudah cukup bagi Bi Kiok. Ketika tadi dia mengintai dari
balik jendela dan melihat betapa Kun Liong ‘menciumi’ punggung dan pinggul
telanjang gadis itu, hatinya panas dan marah bukan main.
Selama ini
dia selalu terkenang kepada Kun Liong yang dianggapnya sebagai pria yang paling
baik dan hebat yang pernah dijumpainya, dan yang perjumpaannya ketika melihat
Kun Liong dikeroyok orang-orang Pek-lian-kauw tadi membuat dia gembira sekali.
Akan tetapi godaan Kun Liong yang memuji matanya membuat dia malu dan lari
pergi, namun dia segera membayangi Kun Liong yang membawa pergi dara yang
ditolongnya itu ke sebuah kamar di rumah penginapan.
Dapatlah
dibayangkan betapa kecewa dan marah hatinya melihat Kun Liong ‘menciumi’ tubuh
itu. Kini, mendengar keterangan Giok Keng yang ternyata adalah puteri pendekar
sakti Ketua Cin-ling-pai yang tentu saja namanya sudah dikenal baik itu, dia
pun maklum bahwa dia telah salah sangka!
Kiranya Kun
Liong tadi bukanlah sedang menciumi punggung dan pinggul telanjang, akan tetapi
sedang menyedot racun dari luka-luka di punggung dan pinggul!
"Ahhhh...!"
Dia terkejut dan merasa malu sekali, dan ketika Kun Liong melepaskan kedua
tangannya, dia melangkah mundur, mukanya merah dan matanya terkejap-kejap malu.
Kun Liong
tersenyum lebar. "Bagaimana, Bi Kiok? Apakah kau masih hendak menampar
lagi mukaku? Aihh, sudah lama tak jumpa, engkau sekarang menjadi lihai luar
biasa, ilmu kepandaianmu maju dengan amat pesatnya dan... dan engkau makin
cantik saja, apa lagi kalau engkau memandang seperti itu..."
Mata yang
berkejap-kejap malu itu seketika mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi ketika
bertemu pandang dengan Kun Liong dan melihat betapa mulut dan sepasang mata Kun
Liong seakan mentertawakannya, dia menjadi malu sekali.
"Ihhh!"
dengusnya. Cepat tubuhnya membalik dan dia berkelebat lenyap dari situ setelah
menyambar pedang pendeknya yang tadi terjatuh.
"Bi
Kiok...! Heiii, tunggu dulu!"
Akan tetapi
Yo Bi Kiok tidak peduli dan lari terus dengan amat cepatnya, dan Kun Liong pun
tidak mengejar, hanya berdiri di pintu dengan wajah berseri kemudian menarik
napas panjang. "Hemmm, hebat sekali ilmunya berlari cepat, juga sinkang
dan kepandaiannya. Lebih hebat dari tingkat gurunya sendiri, hemm..."
"Kun
Liong, engkau tidak pernah dapat menghilangkan watakmu yang nakal dan senang
menggoda wanita," terdengar suara Giok Keng, dan ketika Kun Liong hendak
membalik, Giok Keng cepat melanjutkan, "Jangan menengok ke sini! Aku
sedang berpakaian!"
Otomatis Kun
Liong menarik kembali kepalanya yang hendak menengok tadi, kini berdiri
menghadap keluar, bahkan menutupkan daun pintu supaya tidak ada orang yang
dapat melihat ke dalam kamar.
"Aku
sudah selesai, Kun Liong."
Barulah
pemuda itu membuka daun pintu kemudian memasuki kamar. Giok Keng sudah
berpakaian lagi dengan rapi, dan duduk di atas ranjang. Kun Liong lalu duduk di
atas bangku.
"Kun
Liong, apakah kau mencinta gadis tadi?"
"Bi
Kiok? Ah, tidak, mengapa?"
"Yang
jelas, dia mencintamu, Kun Liong."
"Ehhhh...?"
Kun Liong memandang heran tidak percaya.
"Percayalah
kepadaku, seorang wanita lebih awas dalam hal itu. Dia sungguh-sungguh
mencintamu, Kun Liong, karena itu dapatlah dibayangkan betapa godaan-godaanmu
tadi amat menyakitkan hatinya."
"Hemmm,
aku memang seorang yang serba canggung, selalu mendatangkan rasa tidak enak
dalam hati dara-dara muda. Bahkan orang yang benar-benar kucinta pun merasa
tidak senang dan marah..."
Giok Keng
memandang tajam. "Kun Liong, siapakah gadis yang kau cinta itu dan di mana
dia?"

Kun Liong
mengangkat muka memandang, lalu menunduk dan menarik napas panjang lagi.
"Hemmm... dia adalah..."
"Kun
Liong, mengapa engkau tak mau bercerita kepadaku? Aku sudah berhutang nyawa
kepadamu, padahal dulu aku sudah menyakiti hatimu ketika memutuskan tali
perjodohan. Engkau seorang yang sangat baik bagiku, akan tetapi sayang aku
tidak cinta kepadamu. Anggaplah aku ini adikmu sendiri, Kun Liong, atau
setidaknya, engkau masih terhitung suheng-ku, bukan? Nah, kini ceritakanlah
semuanya kepada sumoi-mu ini, siapa tahu aku akan dapat membantumu sebagai
pembalasan budimu."
Terharu juga
hati Kun Liong mendengar ini. Memang, dia pernah merasa terhina ketika Giok
Keng menyatakan tidak setuju akan perjodohan yang diikat ayahnya, apa lagi
ketika ternyata bahwa gadis ini malah memilih seorang pemuda iblis Liong Bu
Kong. Dan kini, mendengar ucapan yang tulus dan terus terang dari gadis itu,
dia merasa terharu.
"Giok
Keng, bukan sama sekali bahwa aku tidak percaya kepadamu, hanya... hal yang
tidak menyenangkan perlukah diceritakan? Betapa pun juga, mengingat bahwa
nasibmu dalam percintaan juga sangat buruk, baiklah aku akan bercerita kepadamu
tentang gadis yang kucinta itu, yang bernama Pek Hong Ing..."
Maka mulailah
Kun liong bercerita secara singkat namun lengkap tentang pengalamannya bersama
Pek Hong Ing, tentu saja tanpa menyinggung-nyinggung tentang sikap Hong Ing
terhadap dirinya pada saat dara itu hendak dibawa pergi oleh tiga orang Lama
yang amat sakti itu.
"Nah,
sebenarnya aku sedang dalam perjalanan mengejar para pendeta Lama yang telah
membawa pergi Hong Ing itu, kalau perlu sampai ke sarang mereka di Tibet."
Kun Liong mengakhiri ceritanya.
Giok Keng
mendengarkan dengan hati terharu, lalu berkata dengan penuh kekhawatiran.
"Agaknya tiga orang pendeta Lama itu lihai bukan main, Kun Liong.
Bagaimana engkau akan dapat berhasil pergi seorang diri ke sana? Apakah tidak
sebaiknya kalau kau minta bantuan Ayah?"
Kun Liong
menggelengkan kepalanya. "Aku akan pergi sendiri, dan aku yakin akan dapat
mengatasi mereka. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Giok Keng? Setelah
peristiwa menggemparkan di Pek-lian-kauw itu..."
Kun Liong
langsung menghentikan kata-katanya karena melihat dara itu menangis. Dia pun
maklum bahwa dia sudah menyentuh bagian yang menyakitkan hati, mengingatkan
gadis itu akan aib yang telah menimpa dirinya, maka dia merasa menyesal sekali
sudah bertanya tadi.
"Maafkan,
Giok Keng. Aku bukan bermaksud..."
"Tidak
apa-apa, Kun Liong. Bukan salahmu.... melainkan aku sendirilah yang seolah-olah
buta hati, mudah saja terbujuk dan tertipu oleh pemuda yang kelihatan tampan
dan baik itu. Siapa mengira bahwa hatinya busuk seperti iblis? Ahhh, aku
menyesal sekali, Kun Liong... ehh, Suheng! Aku harus menyebutmu suheng
sekarang! Aku menyesal sekali dan untung bahwa semua mala petaka itu belum
terlambat, berkat kedatangan Ayah dan juga kedatanganmu."
"Biarlah
kesalahan kita yang lalu menjadi pengalaman, Sumoi, menjadi pelajaran bagi kita
sehingga kesalahan macam itu tidak akan terulang lagi."
"Tidak
mungkin terulang! Aku tidak akan mencinta siapa pun, dan cintaku yang keliru
terhadap iblis itu telah mati. Aku tidak mau sembarangan mencinta pria lagi
sungguh pun banyak yang mencintaku. Sebenarnya, dahulu pun aku tak mudah jatuh
cinta. Semenjak dulu, banyak pria yang jatuh cinta kepadaku, Suheng, dari para
murid ayah di Cin-ling-pai sampai banyak laki-laki yang kutemui selama dalam
perjalananku. Mereka semua selalu bermuka-muka dan berusaha untuk menguasai
hatiku, dan sikap mereka yang palsu dan memikat itu memuakkan hatiku. Cinta
mereka itu semua palsu, sepalsu cinta iblis Liong Bu Kong. Aku muak dengan
cinta kaum pria yang berhati palsu. Aku tidak maksudkan engkau, Suheng. Engkau
adalah orang jujur dan terus terang mengatakan bahwa engkau tidak mencinta aku.
Bagaimana pun juga, nasib kaum wanita memang amat buruk, tidak seperti pria.
Dalam soal perjodohan sekali pun, kaum wanita selalu harus tunduk, dalam soal
cinta pun, kaum wanita harus menerima dan menyesuaikan diri, tidak berhak
memilih seperti pria. Betapa pun besar cinta seorang wanita terhadap seorang
pria, kalau si pria tidak mencintanya akan percuma saja dan tidak mungkin
wanita berani mendesak yang berarti tidak tahu malu! Karena itu, aku merasa
kasihan sekali kepada Bi Kiok dan kepada Hwi Sian. Mereka berdua benar-benar
mencintamu, Suheng, akan tetapi engkau tidak membalas cinta mereka. Betapa
sengsara hati mereka."
Kun Liong
menarik napas panjang, apa lagi saat teringat akan Hwi Sian gadis yang telah
menyerahkan kehormatannya kepadanya dan yang membuatnya menyesal bukan main
kalau teringat akan peristiwa itu.
"Cinta
memang hanya mendatangkan duka nestapa belaka, ataukah... sebenarnya bukan cinta
sejati yang mendatangkan duka itu? Bagaimana pun juga, kalau benar kata-katamu
tadi bahwa Bi Kiok mencintaku..."
"Aku
berani bertaruh apa pun juga, Suheng. Dia pasti mencintamu, baik dari pandang
matanya, kata-katanya, mau pun sikapnya, jelas sekali tampak bahwa dia
mencintamu. Sayang, harapannya akan patah kalau dia tahu bahwa pria yang
dicintanya itu tidak akan membalasnya."
"Hemmm,
kalau begitu aku harus mencarinya, akan kuberi tahukan secara terus terang agar
dia dapat menghapus cinta yang salah alamat itu."
"Memang
sebaiknya begitu, Suheng. Biar pun pahit, namun keterus terangan itu mungkin
akan dapat menjadi obat mujarab, seperti kenyataan yang sangat pahit membuat
mataku terbuka. Akan tetapi, ke manakah kau hendak mencarinya?"
"Melihat
kemunculannya tadi, kurasa tempat tinggalnya tidak jauh dari dusun ini, bahkan
mungkin juga di dusun ini. Betapa pun, aku akan mencarinya, sekarang
juga."
"Baiklah,
kalau begitu kita berpisah di sini, Suheng. Sekarang aku juga akan melakukan
perjalananku."
"Kau
harus beristirahat dulu..."
"Aku
telah sembuh, berkat pertolonganmu."
"Akan
tetapi, kau hendak ke mana?"
"Entahlah,
yang jelas aku tidak akan pulang dulu ke Cin-ling-san sebelum aku berhasil
membunuh iblis Liong Bu Kong itu!"
"Ahh,
dia sudah tewas, Sumoi!" Baru Kun Liong teringat bahwa dia belum
menceritakan akan hal ini dan tentu saja gadis ini tidak tahu akan kematian
Liong Bu Kong karena pada saat itu dia masih pingsan.
Giok Keng
terloncat dan memandang terbelalak, mukanya agak pucat. Betapa pun juga,
laki-laki yang pernah dicintanya itu dikabarkan tewas, dan tanpa disadarinya
dia terkejut bukan main. "Tewas...?"
Kun Liong
mengangguk.
"Tewas
di tanganmu, Suheng?"
"Untung
sekali tidak! Aku merasa ngeri kalau sampai membunuh orang. Dia tewas dalam
tangan Yo Bi Kiok, dalam waktu hanya dalam belasan jurus sehingga aku merasa
heran bukan main menyaksikan kepandaian Bi Kiok. Padahal dahulu, dia tidak akan
sanggup mengalahkan Bu Kong."
Giok Keng
termenung. "Mengapa...? Mengapa Bi Kiok membunuhnya?"
"Mungkin
dendam antara guru. Bi Kiok adalah murid mendiang Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci
yang tewas di tangan ibunya Bu Kong, yaitu Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio. Mungkin
untuk membalas kematian gurunya, Bi Kiok yang sekarang lihai sekali itu
membunuh Bu Kong, dan hal ini menguntungkan kita karena aku sudah payah juga
menghadapi pengeroyokan sambil memondongmu."
Kembali Giok
Keng termenung, lalu dia menarik napas panjang. "Begitulah nasib manusia
yang tersesat, akhirnya mampus di ujung senjata pula. Kalau begitu, tinggal
orang-orang Pek-lian-kauw! Merekalah yang membantu iblis itu hingga aku hampir
saja tertimpa mala petaka hebat, aku harus menghancurkan Pek-lian-kauw,
Suheng."
"Hemm,
berhati-hatilah, Giok Keng. Mereka itu lihai sekali, terutama ketuanya."
"Aku
tidak akan bertindak gegabah, Suheng. Aku akan pergi ke kota raja, minta
bantuan, kalau perlu akan menghadap The-locianpwe."
"Panglima
The Hoo?"
Giok Keng
mengangguk. "Syukur kalau dapat bertemu dengan Ayah, kalau tidak tentu
Locianpwe itu akan tertarik dan suka mengirim pasukan, karena Pek-lian-kauw
adalah perkumpulan pemberontak."
"Terserah
kepadamu, akan tetapi hati-hatilah, Sumoi. Aku sendiri akan menemui Bi Kiok,
kemudian aku akan menyusul dan mencari Hong Ing ke Tibet."
"Aku
hanya bisa mendoakan semoga kau berhasil bertemu kembali dengan dia, Suheng.
Semoga kau tidak akan mengalami kegagalan dalam cinta kasih seperti aku."
Mereka
lantas berpisah, dan melihat gadis itu pergi dengan kepala menunduk, Kun Liong
menarik napas panjang dan hatinya merasa iba sekali. Tidak disangkanya bahwa
puteri Ketua Cin-ling-pai akan mengalami nasib seburuk itu dalam hidupnya.
Kalau saja dalam hatinya ada perasaan cinta kepada Giok Keng seperti
perasaannya terhadap Hong Ing, tentu dia akan mengobati kepatahan hati gadis
itu! Kembali dia menarik napas panjang lalu dia pun mulai dengan
penyelidikannya, mencari Yo Bi Kiok di dusun itu.
Memang tak
mudah mencari seorang dara seperti Yo Bi Kiok yang gerak-geriknya penuh rahasia
itu. Biar pun Kun Liong telah bertanya-tanya kepada semua penghuni dusun itu,
tidak seorang pun mengenal Yo Bi Kiok. Akhirnya Kun Liong mengambil keputusan
untuk mencari sendiri di dua buah dusun yang berada di daerah itu.
Sehari penuh
dia mencari-cari di dusun pertama, kemudian hari berikutnya dia putar-putar di
dusun ke dua yang tidak begitu besar, namun hasilnya sia-sia belaka. Dia sudah
mulai putus ada dan malam itu dia membayangkan ke mana dia harus mencari Bi
Kiok kalau besok, di dusun ke tiga, dia tidak bisa menemukan dara itu. Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali, dia pergi ke dusun ke tiga, dusun terakhir yang
terdapat di daerah itu.
Dusun ini
agak besar, seperti dusun pertama di mana dia mengobati Giok Keng. Hari masih
pagi sekali, akan tetapi sudah banyak penduduk yang hilir-mudik di jalanan,
mulai dengan pekerjaan sehari-hari mereka. Kun Liong memasang mata, melihat
orang-orang yang lalu lalang, juga melihat rumah-rumah dusun itu sebelum dia
mulai bertanya-tanya apakah ada seorang nona bernama Yo Bi Kiok yang tinggal di
dusun ini.
"Huk!
Huk! Hukkk...!"
Kun Liong
tersenyum melihat seekor anjing yang keluar dari lorong dan menyalak-nyalak
kepadanya. Akan tetapi tiba-tiba dia membelalakkan matanya.
"Pek-pek!"
Serunya heran.
Tak salah
lagi, inilah anjing peliharaannya ketika dia masih kecil dahulu! Anjing berbulu
putih yang dulu menumpahkan obat di kamar ayahnya sehingga menjadi awal dari
semua perubahan dalam hidupnya.
"Pek-pek...!"
Kun Liong berlutut dan mengelus kepala anjing itu yang mulai
menggoyang-goyangkan ekornya sambil mengeluarkan suara rintihan. Ternyata
anjing itu pun mulai mengenal Kun Liong kembali!
"Aihhh...
Pek-pek...! Bagaimana kau dapat berada di sini?" Kun Liong berkata dengan
terheran-heran, masih ragu-ragu apakah benar ini anjing kesayangannya dahulu
itu.
Dia mendapat
akal. Untuk mengetahui apakah benar ini adalah anjing kesayangannya itu, dia
harus tahu siapakah kini yang memelihara anjing ini. Dengan gaya seperti ketika
dia masih kecil memerintah anjing itu, dia bangkit berdiri, menuding dan
berseru, "Pek-pek, hayo pulang!"
Anjing itu
mengeluarkan suara berkuik lalu membalikkan tubuhnya dan terus lari. Ketika
beberapa kali dia menoleh dan melihat Kun Liong mengikutinya setengah berlari,
anjing itu kelihatannya girang sekali dan terus berlari keluar dari dusun itu
melalui pintu gerbang dusun bagian selatan. Kun Liong terus mengikutinya dan
terheran-heran. Kalau anjing ini ada yang memeliharanya, mengapa tinggalnya
malah di luar dusun?
Keadaan
mulai sunyi dan anjing itu memasuki sebuah hutan kecil! Tiba-tiba, dari balik
pohon-pohon muncullah dua orang yang membuat Kun Liong terkejut sekali. Mereka
itu adalah Thian Hwa Cinjin Ketua Pek-lian-kauw yang amat lihai bersama Bhong
Khi Tosu, pembantunya! Kun Liong terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa anjing
yang mirip benar dengan Pek-pek itu adalah anjing peliharaan Ketua
Pek-lian-kauw ini untuk memancing dirinya.
Dengan marah
dia lalu memandang kepada Ketua Pek-lian-kauw itu dan... terlambat dia ingat
bahwa inilah kesalahan utamanya, yaitu menatap mata kakek itu. Begitu bertemu
pandang, Kun Liong merasa seakan-akan pandang matanya melekat kepada sepasang
mata yang bersinar aneh itu, kemudian dia mendengar suara Thian Hwa Cinjin yang
amat berpengaruh,
"Yap
Kun Liong, berlututlah engkau! Tak pantas orang muda kurang ajar terhadap orang
tua."
Kun Liong
tahu bahwa dia sedang diserang dengan ilmu sihir, namun karena pandang matanya
telah bertaut dan kepalanya pening, tak tahu harus berbuat apa, kedua kakinya
seperti lumpuh dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut, tetap memandang kepada
wajah kakek itu tanpa berkedip seperti terkena pesona!
Melihat
keadaan Kun Liong yang sudah tidak berdaya ini, Bong Khi Tosu yang memutar dan
sekarang telah berada di belakang Kun Liong mengangkat tongkatnya dan siap
untuk menghantamkan tongkatnya itu di kepala Kun Liong! Akan tetapi pada saat
itu terdengar suara menyalak-nyalak marah, dan anjing berbulu putih yang kecil
itu lantas meloncat dan menerkam Bong Khi Tosu, langsung menggigit ke arah
leher tosu itu.
Tentu saja
Bong Khi Tosu terkejut bukan main, akan tetapi dengan mudah dia menangkis
dengan tangan kirinya, membuat anjing kecil itu terbanting dan jatuh dekat
dengan Thian Hwa Cinjin. Karena marah diserang anjing kecil itu, Bong Khi Tosu
segera meluncurkan tongkatnya ke arah anjing itu.
"Crappppp...!"
Anjing itu menguik satu kali dan roboh tewas, darahnya muncrat-muncrat mengenal
pinggir jubah Thian Hwa Cinjin yang berada di dekat tempat itu.
"Bodoh
kau...!" Thian Hwa Cinjin berteriak kaget dan menegur pembantunya.
Akan tetapi
pada saat itu pula terdengar suara melengking keras dan tampak sinar terang
menyambar ke arah tubuh Bong Khi Tosu. Kakek ini terkejut, cepat berusaha
mengelak dari serangan pedang yang bersinar kilat itu karena tongkatnya telah
dipergunakan untuk membunuh anjing tadi. Namun gerakannya itu kurang cepat
sehingga terdengar teriakan keras dan tubuhnya terjungkal lantas bergulingan
sampai jauh, baru dia meloncat dengan pundak berdarah.
Ternyata
yang menyerangnya tadi adalah seorang dara muda yang memegang pedang berkilauan
dan dia ini bukan lain adalah Yo Bi Kiok, sedangkan pedang yang digunakan
menyerang Bong Khi Tosu adalah Lui-kong-kiam, pedang rampasan dari tangan Liong
Bu Kong itu!
"Keparat,
berani kau membunuh anjingku?" teriak Yo Bi Kiok marah.
Sementara
itu Kun Liong juga sudah sadar dari keadaannya terkena sihir itu, maka dia
cepat meloncat dan menerjang Thian Hwa Cinjin. Kakek ini berusaha mengerahkan
ilmu sihirnya, akan tetapi betapa kagetnya bahwa tenaga sihirnya sudah menjadi
lemah sekali dan bahkan hampir lenyap. Tahulah dia bahwa hal ini disebabkan
oleh darah anjing tadi, maka dia cepat mengerahkan tenaga sinkang-nya
menangkis.
"Dukkk!
Desss…!"
Meski pun
dia berhasil menangkis hantaman tangan kanan Kun Liong, namun dia tidak mampu
menghindarkan tamparan tangan kiri Kun Liong yang mengenai dadanya. Dia
terjengkang dan cepat meloncat lagi lalu melarikan diri diikuti pembatunya
karena dia tahu bahwa melanjutkan pertandingan melawan pemuda itu amatlah
berbahaya. Tamparannya tadi saja sudah membuat napasnya sesak dan muntah darah
yang ditahannya di dalam mulutnya, tanda bahwa dia telah terkena hantaman
sinkang yang membuatnya terluka di sebelah dalam dadanya. Sesudah mereka
berlari jauh, barulah Ketua Pek-lian-kauw ini muntahkan darah dari mulutnya!
Kun Liong
yang sama sekali tak menyangka-nyangka akan kemunculan dara yang tengah
dicari-carinya itu di tempat ini, memandang wajah Yo Bi Kiok. Hatinya penuh
keheranan mendengar teriakan Bi Kiok yang mengaku bahwa anjing putih itu adalah
anjingnya. Juga Bi Kiok memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut
dan sejenak mereka lupa keadaan.
"Pek-pek...
aduhhh, Pek-pek... kenapa kau...? Uhu-hu-huukk, Pek-pek mati... Subo (Ibu
Guru)... Pek-pek mati...!"
Kun Liong
merasa terkejut bagaikan disambar petir mendengar sebutan Pek-pek ini. Dia
menengok dan melihat seorang anak perempuan yang berlutut di dekat bangkai
anjing itu, memeluki bangkai itu sambil menangis. Anak perempuan itu berusia
kurang lebih empat lima tahun dan mendengar betapa anak itu menyebut Yo Bi Kiok
dengan sebutan subo, dia mengerti bahwa anak itu adalah murid dara cantik yang
luar biasa ini.
"Pek-pek?
Apakah nama anjing itu Pek-pek, Bi Kiok?" tanyanya, seperti dalam mimpi.
Yo Bi Kiok
mengangguk.
"Anjingmukah
itu?"
Yo Bi Kiok
menggeleng kepalanya. "Bukan anjingku, melainkan anjing muridku itu."
Kun Liong
memandang anak perempuan itu, jantungnya berdebar tegang. Anjing itu, yang juga
bernama Pek-pek, telah mengenalnya! Tak mungkin salah lagi, anjing itu pasti
anjing kesayangannya dahulu itu!
"Bi
Kiok, siapakah nama muridmu ini?"
Yo Bi Kiok
tersenyum, akan tetapi pandang matanya masih tetap dingin. "Kau tanyalah
sendiri kepadanya."
Kun Liong
menghampiri anak perempuan yang masih terisak-isak menangis itu, lalu dia
berlutut dan menyentuh pundaknya. "Adik kecil, sudahlah jangan menangis.
Walau pun sudah mati, Pek-pek mati dengan gagah perkasa melawan orang
jahat."
Anak
perempuan itu menghapus air matanya dan mengangkat muka, memandang pada Kun
Liong dengan mata dan pipi basah. Wajah anak itu manis sekali dan sekali
pandang saja timbul rasa suka di hati Kun Liong.
"Biarlah
aku akan mencarikan seekor anjing lain untukmu," kata Kun Liong karena
merasa kasihan sekali, akan tetapi sesungguhnya dia ingin tahu dari mana anak
itu mendapatkan Pek-pek yang telah mati.
"Aku
tidak suka anjing lain, yang kusuka hanya Pek-pek..." anak itu menjawab,
kembali air matanya mengucur ketika dia menengok dan memandang anjing yang
ditembusi tongkat itu.
"Adik
yang baik, siapakah namamu dan dari mana engkau dahulu mendapatkan anjing putih
ini?"
"Dia...
dia memang anjingku sejak dulu... Pek-pek adalah anjingku sejak dulu..."
"Dan
namamu...?"
"Namaku
Yap In Hong..."
"Ahhh...!"
Wajah Kun Liong menjadi pucat seketika. "Apa... apa artinya ini...?"
Dia cepat meloncat dan menghadapi Bi Kiok.
Dara itu
tersenyum dan mengangguk. "Dia memang adikmu, Kun Liong," jawab Bi
Kiok tenang.
Kun Liong
kembali memandang kepada anak perempuan itu, hatinya tak karuan rasanya,
dilanda keharuan, keheranan dan juga keraguan. Sungguhkah ini adiknya, adik
kandung yang selamanya belum pernah dilihatnya? Anak inikah peninggalan ayah
bundanya yang telah meninggal dunia? Benarkah? Anak itu pun memandang padanya
dengan sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar setelah tidak menangis
lagi.
"In
Hong, kau masih ingat akan nama Yap Kun Liong?" tanya Bi Kiok kepada
muridnya yang masih kecil itu.
"Yap
Kun Liong yang Subo ceritakan itu, yang kata Subo adalah kakak kandungku? Tentu
saja teecu (murid) ingat..." anak itu menjawab dengan suara yang lucu,
akan tetapi jelas membayangkan kecerdikan. "Apakah Subo hendak mengatakan
bahwa orang ini adalah kakakku itu?"
Yo Bi Kiok
mengangguk dan Kun Liong langsung menghampiri anak itu, berlutut sambil
memegang kedua lengannya. "Yap In Hong... adikku... kau adalah adikku...
engkau adik kandungku..."
Kun Liong
lalu merangkul dan teringatlah dia akan ayah bundanya yang tewas terbunuh orang,
teringatlah dia akan perbuatannya yang melarikan diri dari orang tuanya
sehingga mereka menderita kesengsaraan hingga akhirnya ditewaskan musuh.
Kun Liong
menggigit bibirnya menahan keharuan hatinya, memeluk dan mendekap muka anak
perempuan itu ke dadanya. Akan tetapi In Hong meronta halus sehingga terpaksa
dilepaskan oleh Kun Liong yang kini menatap wajah itu. Tampak olehnya kini
betapa anak perempuan itu amat cantiknya. Teringat dia akan wajah ibunya. Mata
dan mulut anak ini persis mata dan mulut ibunya.
"In
Hong...!" Dia mengeluh dan memondong anak itu penuh kasih sayang.
"Mulai saat ini kita tidak akan saling berpisah lagi, Adikku!"
In Hong juga
memandang wajah Kun Liong penuh perhatian. Dia masih terlalu kecil untuk
mengenal rasa keharuan karena perjumpaan ini. Sejak kecil dia tidak mengenal
lagi ayah bundanya, apa lagi kakaknya ini. Pertemuannya dengan Kun Liong ini
hanya berkesan sebagai pertemuan dengan seorang laki-laki yang aneh dan asing.
Walau pun
dia dipondong, akan tetapi ketika dia membuka mulut bicara, dia menujukan
kata-kata itu kepada Bi Kiok, "Subo, apakah benar dia ini kakak kandungku
seperti yang sering kali Subo ceritakan itu?"
"Benar,
In Hong. Dialah kakak kandungmu," jawab Bi Kiok yang biar pun wajahnya
tidak membayangkan sesuatu dan tetap dingin, namun di dalam hatinya dia merasa
terharu juga menyaksikan pertemuan antara kakak dan adiknya yang selamanya
belum pernah jumpa itu, pertemuan yang amat ganjil. Dia terharu karena teringat
kepada dirinya sendiri yang sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia
ini.
"Tapi...
tapi dia..."
"Dia
kenapa, In Hong? Dia kakakmu!" Bi Kiok agak kecewa menyaksikan sikap
muridnya yang hatinya seperti tidak senang itu.
"Kalau
dia kakakku, kenapa begini jelek?"
Kun Liong
tertawa dan Bi Kiok mengerutkan alisnya. "Jelek? Mengapa kau bilang
jelek?"
"Rambutnya
begitu sih..."
Kun Liong
makin keras tertawa dan mencium pipi anak perempuan itu. "Kau genit,
ya?" Dia menggoda dan mau tidak mau Bi Kiok tersenyum juga menyaksikan
adegan itu.
"Bi
Kiok, aku semakin berhutang budi kepadamu karena perjumpaan dengan adikku ini.
Bagaimana engkau bisa bertemu dengan In Hong?"
"Mari
kita ke pondokku dan akan kuceritakan kepadamu, Kun Liong."
Dengan
memondong adiknya Kun Liong mengikuti Bi Kiok yang membawa pula bangkai anjing
bulu putih yang terbunuh tadi. Mereka memasuki hutan kecil dan di tengah hutan
itu terdapat sebuah pondok kecil dari kayu dan bambu. Sangat sederhana akan
tetapi cukup mungil dan menyenangkan karena dikelilingi oleh bermacam bunga
yang sengaja ditanam oleh Bi Kiok sehingga pondoknya itu lebih menyerupai
sebuah pondok taman yang sedap dipandang.
Sesudah
membantu In Hong mengubur bangkai anjing Pek-pek dan menghibur anak itu yang
menangisi lagi kematian anjingnya, mereka masuk ke dalam pondok. In Hong yang
masih kecil itu sudah pandai menghidangkan minuman dan makanan, lalu atas
perintah gurunya dia disuruh ke kebun belakang untuk memetik sayur dan
menyiapkan masakan untuk siang nanti.
"Liong-ko,
aku telah pandai masak!" katanya sebelum pergi, memamerkan kepandaiannya
kepada kakaknya yang kini sudah tidak begitu asing lagi baginya.
"Wah,
ingin aku mencoba masakanmu, In Hong!" kata Kun Liong dengan sikap memuji.
"Tunggu
saja! Akan kubuatkan masakan sayur yang amat lezat untukmu. Akan
tetapi..."
"Hemm,
mengapa? Teruskan!"
"Lain
kali rambutmu jangan dipotong seperti itu lagi, ya? Biarkan panjang dan
bagus!"
Kun Liong
mengangguk-angguk dan memandang dengan hati gembira betapa adiknya itu
berlompatan meninggalkan mereka berdua, menuju ke belakang pondok.
Dia
termenung dan sambil tersenyum-senyum dia teringat akan semua pengalamannya.
Tanpa disadarinya dia meraba kepala dan rambutnya yang masih pendek, rambut
yang kusut dan kacau, tersembul ke sana-sini. Bi Kiok yang melihat semua itu
tersenyum lagi, agaknya dapat mengikuti jalan pikiran Kun Liong.
"Agaknya
memang sudah nasib kepala dan rambutmu yang selamanya menjadi sasaran celaan
orang, Kun Liong."
"Hee...?
Ohhh, agaknya begitulah."
"Dahulu
engkau berkepala gundul kelimis, mengingatkan orang kepada seorang
pendeta."
"Memang
di mana-mana aku disangka hwesio. Bi Kiok, sekarang ceritakanlah bagaimana
engkau dapat berjumpa dengan adikku dan dengan Pek-pek."
"Perjumpaan
itu secara kebetulan saja, Kun Liong. Pada suatu hari, tiga bulan yang lalu,
aku melihat orang berkerumun di sebuah pasar kota tak jauh dari sini. Pada
waktu aku mendekat, kiranya orang-orang itu mengerumuni seorang nenek tua yang
sedang sakit payah. Yang menarik mereka adalah karena nenek ini sedang
menawarkan seorang anak perempuan dan seekor anjing putih, menawarkan kepada
siapa yang merasa dirinya ahli silat untuk mengambil murid anak itu dan
memelihara aniingnya. Tentu saja hal ini sangat mengherankan semua orang.
Mengapa nenek itu hendak memberikan anak kecil yang diaku sebagai cucunya itu
kepada orang yang pandai ilmu silat? Nah, terjadilah keributan sebab anak
perempuan kecil itu, yaitu adikmu, menarik hati beberapa orang laki-laki yang
kulihat sikapnya ceriwis dan agaknya mempunyai niat buruk terhadap adikmu yang
meski pun masih kecil sudah kelihatan cantik itu. Terjadilah adu kepandaian
karena nenek itu kukuh dengan tuntutannya bahwa siapa yang terpandai ilmu
silatnya, dialah yang berhak memiliki anak dan anjing itu."
"Siapakah
nenek tua yang menawarkan In Hong dan Pek-pek itu?"
"Nanti
dulu, kulanjutkan ceritaku dulu. Karena aku tidak ingin melihat anak perempuan
itu terjatuh ke tangan salah seorang di antara laki-laki yang kasar dan saling
berebutan, yang mengeluarkan kata-kata kotor mengenai diri In Hong, aku lalu
turun tangan merobohkan dan mengusir mereka semua. Kemudian aku membawa Nenek
Phoa itu bersama In Hong dan Pek-pek ke pondokku. Sayang Nenek Phoa hanya dapat
hidup sepekan lamanya, akan tetapi sebelum dia meninggal dunia, dia telah
menceritakan semua riwayat In Hong sehingga tahulah aku bahwa Yap In Hong
adalah adik kandungmu."
"Aduh,
untung ada engkau, Bi Kiok. Andai kata adikku terjatuh ke tangan orang jahat,
betapa mungkin aku dapat bertemu dengannya?"
"Ahh,
belum tentu! Dari cerita Phoa Ma aku mendengar kematian ayah bundamu yang
dikeroyok oleh para datuk..."
"Aku
sudah tahu pula tentang hal itu, dan semua pembunuh ibuku telah tewas, sungguh
pun bukan tewas oleh tanganku, terima kasih kepada Thian untuk itu! Akan tetapi
harap kau ceritakan riwayat In Hong setelah kedua orang tuaku itu tewas di
Tai-goan."
"Menurut
penuturan Phoa Ma, pada saat ayah bundamu tewas bersama semua keluarga Theng
yang budiman, adikmu berhasil dibawa lari oleh Phoa Ma dan Pek-pek yang oleh
ayahmu diam-diam dan secara sembunyi dibawa pula dari kota Leng-kok ke
Tai-goan, mengikuti pelarian ini. Dengan susah payah Phoa Ma menyembunyikan
adikmu itu dan merantau sampai jauh. Namun karena dia sudah tua, maka tentu
saja dia dan adikmu menjalani hidup yang serba kekurangan dan amat sulit,
bahkan akhirnya, setelah adikmu berusia empat tahun lebih, Phoa Ma sering jatuh
sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya sebagai tukang cuci pakaian.
Karena merasa bahwa tak mungkin dia dapat hidup lebih lama lagi, dia mencari
akal dan menawarkan adikmu itu dan Pek-pek kepada orang-orang di pasar itu."
"Aihh,
budi Phoa Ma terhadap adikku sukar dapat dibalas, apa lagi dia sudah meninggal
dunia. Akan tetapi, Bi Kiok, mengapa dia menawarkannya kepada orang yang pandai
ilmu silat?"
"Menurut
pengakuan Phoa Ma ketika kutanya, dia berkata bahwa adikmu itu merupakan
keturunan ayah ibu pendekar, sudah sepantasnya kalau adikmu itu menjadi murid
orang pandai pula supaya kelak dapat membalaskan kematian orang tuanya. Pula,
kalau yang melindungi seorang ahli silat yang lihai, tentu keselamatannya
terjamin."
"Aduh,
sungguh luhur budi Phoa Ma itu." Kun Liong menarik napas panjang dan
merasa terharu sekali.
"Memang
benar, padahal dia hanyalah seorang pelayan di rumah keluarga Theng di kota
Tai-goan."
Kun Liong
menarik napas panjang. "Kebajikan tidak memilih kedudukan mau pun keadaan
harta seseorang, bahkan biasanya, makin tinggi kedudukan seseorang dan makin
banyak jumlah harta seseorang, maka makin jauhlah dia dari kebajikan. Orang
yang tidak pernah merasakan kemiskinan, bagaimana mungkin menaruh rasa belas kasihan
kepada orang miskin? Orang yang tidak pernah merasakan kelaparan, bagaimana
mungkin merasa iba kepada orang kelaparan? Budi yang dilimpahkan Phoa Ma
terhadap In Hong berdasarkan kasih tanpa mengingat lagi akan kepentingan
dirinya sendiri. Sungguh budi yang sukar ditemukan di antara seribu
orang!"
"Aku
yakin bahwa ayah bundamu yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw tentu
merupakan orang-orang gagah yang sudah tak terhitung banyaknya menolong manusia
lain, maka biar pun mereka sendiri mengalami nasib buruk, akan tetapi puterinya
selalu dilindungi oleh bintang penolong."
"Dan
engkau adalah seorang di antara bintang-bintang penolongnya."
"Hemm,
aku tidak masuk hitungan."
"Engkau
terlalu merendahkan diri. Entah sudah berapa kali kau menolongku. Seingatku,
engkau sudah menolongku ketika aku hanyut di sungai, engkau pula menolongku
dengan peringatan tentang bokor setelah engkau dengan gurumu menyelamatkan aku
dari tangan Kwi-eng Niocu, betapa engkau menyembunyikan aku di goa dan..."
"Sudahlah,
semuanya itu tidak ada gunanya untuk dibicarakan kembali. Engkau pun telah
menyelamatkan aku saat aku hendak disiksa dan mukaku hendak dirusak oleh Toat
Beng Hoatsu, kemudian engkau menyelamatkan aku dan malah mengorbankan diri
menyerah pada waktu kita bersembunyi di dalam goa sehingga engkau menjadi
tawanan pasukan pemerintah."
Kun Liong
tersenyum. "Memang di antara kita, siapa pun yang terancam bahaya harus
ditolong oleh yang lain. Bila mana kita tidak saling tolong-menolong, betapa
akan lebih sengsaranya hidup ini. Kalau seluruh manusia di dunia ini saling
menolong dan saling membantu, tentu dunia ini sudah berubah menjadi sorga! Akan
tetapi, satu hal membuat aku kagum bukan main dan terheran-heran, Bi Kiok.
Bagaimana engkau sekarang bisa begitu lihai? Kulihat ilmu kepandaianmu
meningkat sepuluh kali lipat! Bahkan aku berani bertaruh bahwa ilmumu telah
mencapai tingkat lebih tinggi dari pada tingkat yang dimiliki gurumu
dahulu."
Tepat pada
waktu itu, dengan suara nyaring gembira In Hong memberi tahukan bahwa
masakannya telah matang. Mereka bertiga lalu makan dan dengan setulus hati Kun
Liong memuji masakan sayur yang dibuat oleh adiknya. Karena selama beberapa
bulan hidup berdua dengan gurunya, In Hong sudah diajar masak. Dia memang suka
masak, maka anak kecil ini benar-benar sudah pandai membuat masakan sayur yang
bumbunya sedap.
Sehabis
makan, Bi Kiok memberikan kesempatan kepada In Hong untuk ikut bercakap-cakap,
akan tetapi dia melihat bahwa muridnya itu masih belum dapat membiasakan diri
menghadapi seorang kakak maka biar pun dia sudah ramah sekali, tetap saja masih
kaku terhadap Kun Liong.
Rasa kasih
sayang antara saudara sekandung terjalin karena kebiasaan dalam hubungan
sehari-hari, sedangkan dua orang kakak beradik ini selama hidup mereka baru
sekarang saling bertemu. Kemesraan di hati Kun Liong hanya terdorong oleh
keharuannya ketika mendapat kenyataan bahwa anak itu adalah adiknya, adik
kandung satu-satunya! Namun perasaan seperti ini belum terasa oleh In Hong,
maka dia pun hanya menganggap Kun Liong sebagai seorang laki-laki yang manis
budi, yang menganggapnya sebagai adiknya.
Setelah
mereka duduk bercakap-cakap berdua lagi, Kun Liong mengulang pertanyaannya
tentang kelihaian Bi Kiok yang dalam waktu singkat memperoleh kemajuan yang
sangat luar biasa itu.
"Kun
Liong, percayalah, kalau bukan engkau, sampai mati pun aku tidak akan membuka
rahasia ini. Engkaulah satu-satunya orang yang akan mendengar rahasiaku
ini."
Mendengar
ucapan yang dikeluarkan dengan suara dan sikap sungguh-sungguh itu, tak
disadarinya lagi saking herannya Kun Liong bertanya, "Mengapa aku?"
"Yaaah...
justru karena engkaulah..."
Kun Liong
tersenyum. "Terima kasih, Bi Kiok. Ini menunjukkan bahwa engkau percaya
sekali kepadaku. Nah, aku siap mendengar rahasia besar itu."
"Kun
Liong, aku memperoleh kemajuan pesat sesudah aku mempelajari ilmu kesaktian
yang terdapat di dalam... bokor pusaka yang diperebutkan itu."
"Hehhh...?"
Kun Liong mencelat bangun dari bangkunya mendengar ini, saking heran dan
kagetnya.
"Engkau
marah?" Bi Kiok bertanya, sikapnya seperti menantang.
"Kenapa
marah?" Kun Liong menggelengkan kepalanya, matanya menjadi bundar ketika
memandang wajah dara itu. "Aku hanya kaget dan heran sekali karena tidak
menyangka-nyangka. Yang kuketahui adalah bahwa setelah ditemukan ternyata bokor
pusaka yang diperebutkan itu palsu."
"Memang
kami yang memalsukan, mendiang Subo dan aku."
Kun Liong
mengangguk-angguk. "Cerdik sekali! Pantas semuanya tidak berhasil, bahkan
Cia-supek sendiri, dan bahkan Panglima The Hoo sendiri, sampai dapat dikelabui.
Hebat sekali siasatmu itu, Bi Kiok."
"Mana
aku bisa? Semua ini adalah siasat mendiang Subo. Ketika bokor jatuh ke tangan
Subo, Subo cepat membuat tiruannya pada seorang tukang emas yang lalu
dibunuhnya pula setelah pembuatannya selesai dan persis betul. Tidak ada
seorang pun mengetahui akan pembunuhan ini. Lalu Subo menyuruh aku menyimpan
bokor yang tulen sedangkan dia membawa yang palsu, hal ini menurut Subo adalah
karena orang-orang tentu akan mengejar Subo, bukan aku yang hanya seorang
muridnya. Dugaan Subo ternyata benar, bokor palsu yang diperebutkan sedangkan yang
asli berada di tanganku, kusembunyikan baik-baik. Sayang sekali, siasat Subo
yang berhasil baik itu tidak dapat dinikmati oleh Subo sendiri yang keburu
tewas. Maka aku lalu menyelidiki isinya, menemukan rahasia tempat penyimpanan
kitab-kitab dan harta pusaka. Bokor itu kumusnahkan, kitabnya kubawa dan
kupelajari, kemudian sedikit harta kubawa sebagai bekal. Nah, dari sebagian
kitab itulah aku memperoleh kemajuan ilmu silatku."
Kun Liong
menjadi kagum bukan main. "Hebat! Baru sebagian saja sudah sangat luar
biasa, apa lagi kalau kau mempelajarinya semua!"
"Memang
hebat sekali, Kun Liong. Dan harta itu pun cukup banyak. Dan begitu berjumpa
denganmu, tekadku sudah bulat bahwa semua harta pusaka dan kitab-kitab itu
adalah untuk kita. Aku tidak dapat hidup sendiri, menguasai pusaka sedemikian
banyaknya."
"Kita...?"
"Ya,
kau pun berhak. Bukankah engkau yang mula-mula menemukan bokor itu dari dalam
sungai? Engkau yang menemukan, aku yang menyelamatkannya dari tangan
orang-orang yang memperebutkannya, jadi kita berdua, bertiga dengan In Hong,
yang berhak memiliki semua itu. Karena itu, Kun Liong, marilah kita pergi ke
tempat rahasia itu, bersama In Hong dan hidup bertiga penuh kebahagiaan di
sana."
Kun Liong
mengerutkan alisnya, memandang tajam. Sejenak mereka berpandangan, dua pasang
sinar mata bertemu, bertaut, saling menjajaki dan menyelidiki. Kemudian Bi Kiok
menghela napas dan berkata,
"Kun
Liong, aku... aku masih mencintamu, sejak dulu sampai sekarang dan sampai mati.
Selama ini, tidak ada seorang pun pria yang menarik hatiku."
"Bi
Kiok! Jangan kau berkata demikian!"
"Hemm,
Kun Liong, apakah kau tetap tidak cinta padaku, setelah segala yang kulakukan
terhadap adik kandungmu?"
Kun Liong
cepat bangkit berdiri, menjura dan membungkuk. "Untuk budimu itu, sampai
mati pun aku tidak akan melupakannya, Bi Kiok. Akan tetapi cinta...?
Kurasa..." Dia tidak tega untuk berterus terang dengan kata-kata, hanya
menggelengkan kepalanya.
"Kun
Liong..." Suara Bi Kiok gemetar.
"Ya...?"
"Lupakah
kau...?"
"Ya..."
"Ketika
kita bersembunyi di dalam goa gelap itu..."
"Hemmm...
lalu...?"
"Kau
telah menciumku! Engkau telah menciumi mataku! Semenjak saat itulah aku jatuh
cinta padamu sampai sekarang dan sampai selamanya!"
Kun Liong
ingin menampar kepalanya sendiri bila mana dia teringat akan semua watak
ugal-ugalannya dahulu. Karena wataknya itu, suka main-main dan menggoda dara
cantik, dia melibatkan diri dalam pertalian cinta-mencinta yang amat ruwet dan
berekor panjang. Andai kata dia dahulu tidak mencium mata Bi Kiok, tentu tak
akan begini jadinya. Belum tentu gadis yang pada dasarnya berwatak dingin ini
jatuh cinta padanya.
Dia
mengangkat muka memandang. Memang cantik luar biasa dara ini, dan terutama
matanya! Bukan salahnya kalau dia dahulu mencium mata itu. Sekarang pun...
hemm..., jarang ada sepasang mata seindah itu!
"Bi
Kiok, dahulu pun sudah kukatakan bahwa aku tidak mencinta padamu. Pada waktu
itu, aku tidak mencinta siapa-siapa. Cinta tidak mungkin bisa dipaksakan dan
aku tidak sudi menjadi seorang perayu yang menggunakan senjata cinta palsu
untuk menjatuhkan hati seorang wanita. Waktu itu aku sudah berterus terang
kepadamu, dan sekarang aku pun hendak berterus terang bahwa lebih-lebih
sekarang ini, tidak mungkin bagiku untuk dapat mencintamu atau wanita lain
karena aku telah mencinta seorang gadis lain."
"Ouhhhh..."
Wajah itu berubah pucat dan sinar mata yang indah itu seakan-akan lampu yang
menjadi hampir padam, sayu tanpa cahaya lagi.
"Maafkan
aku, Bi Kiok...," bisik Kun Liong sambil menunduk karena menyaksikan sinar
mata itu dia merasa jantungnya seperti ditikam, tidak sampai hatinya untuk
memandang.
"Puteri
Cin-ling-san...?" Akhirnya, sesudah hening beberapa lamanya yang merupakan
keheningan yang mencekam hati Kun Liong, terdengar suara Bi Kiok, suaranya
lirih dan tergetar...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment