Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 24
KUN LIONG
menggelengkan kepala. "Bukan dia, Bi Kiok dan kuceritakan pun engkau tidak
akan mengenalnya. Kami pun dipisahkan secara keji dan sekarang aku sedang
hendak mencarinya, mungkin ke Tibet, entah akan berjumpa lagi dengan dia atau
tidak aku belum bisa memastikannya. Memang sudah nasibku harus selalu berpisah
dengan orang-orang yang kucinta. Mula-mula dengan ayah bundaku, lalu dengan
adik kandungku, kemudian dengan gadis yang kucinta..."
"Dan
sekarang dengan adik kandungmu lagi!"
Kun Liong
mengangkat mukanya memandang. Wajah dara itu tetap cantik, tetapi pucat dan
bertambah dingin, namun suaranya tidak tergetar lagi, bahkan terdengar nyaring
dan penuh tantangan!
"Apa
maksudmu?"
"Maksudku
sudah amat jelas, Kun Liong! Engkau tidak mau hidup bersama kami berdua di
tempatku. Baik, nah, pergilah sekarang juga."
"Tapi
adikku… In Hong...?"
"Dia
itu aku yang menemukannya, dan dia adalah muridku. Apa bila engkau hendak
berkumpul dengan dia, nah, ikutlah dengan kami. Kalau tidak, pergilah! Akan
tetapi kau ingat selalu, aku tetap cinta kepadamu, sampai mati pun aku akan
tetap cinta padamu, maka setiap wanita yang merebutmu dari tanganku, dia akan
mati di tanganku pula!"
"Bi
Kiok...!"
"Aku
sudah bicara! Pergilah!"
"Aku
harus membawa adikku bersamaku!"
"Tidak
boleh!"
"Bi
Kiok, harap kau suka berpikir panjang, suka berlaku adil dan bersikap bijaksana.
Dia adalah adikku, adik kandungku!"
"Kakak
kandung macam apa kau ini? Aku yang menemukannya, kalau tidak entah apa jadinya
dengan dia. Dia muridku, tidak boleh kau bawa seenakmu begitu saja!"
"Akan
tetapi, dia adik kandungku. Dia adalah satu-satunya manusia yang kucinta di
dunia ini..."
"Dan
kaulah satu-satunya manusia yang kucinta, akan tetapi kau tega menghancurkan
pengharapan dan kebahagiaanku. Tidak, aku tidak akan membiarkan engkau membawa
pergi In Hong!"
"Bi
Kiok, aku amat tidak suka kalau terpaksa harus bertengkar denganmu. Engkau
adalah sahabatku yang paling baik! Harap jangan memaksa aku agar menggunakan
kekerasan terhadapmu..."
"Huh,
sombongnya! Kau kira aku takut kau menggunakan kekerasan? Jangan harap akan
dapat membawa pergi In Hong tanpa melalui mayatku!"
Keduanya
berdiri saling pandang, Kun Liong penuh permohonan, Bi Kiok penuh kedukaan dan
kemarahan. Sampai lama keduanya hanya saling pandang, kemudian baru terdengar
kata-kata Kun Liong yang bernada membujuk dan halus, "Bi Kiok, kumohon
padamu, ikhlaskanlah seorang kakak berkumpul kembali dengan adik
kandungnya."
"Hemmm,
Kun Liong, aku pun mengharapkan agar kau suka memenuhi hasrat seorang wanita
yang mencinta pria idaman hatinya, namun hasilnya sia-sia. Pendeknya, engkau
hanya memiliki dua pilihan. Pertama, engkau tinggal bersama dengan kami, hidup
bertiga dan kita bersama membesarkan serta mendidik In Hong, suka menerima
pelayananku sebagai seorang kekasih, sebagai seorang... isteri yang mencintamu
dengan seluruh jiwa raganya, atau... kau pergi dari sini dan kita tidak akan
saling bertemu lagi. Kecuali kalau kau membela calon isterimu yang tentu akan
kucari dan kubunuh."
"Bi
Kiok! Kau kejam...!" Kun Liong mulai marah.
"Kau
lebih kejam lagi!" bentak Bi Kiok.
"Kalau
begitu, aku akan menggunakan kekerasan!"
"Silakan!"
Kun Liong
menerjang ke depan, maksudnya untuk merobohkan Bi Kiok dengan totokan dan
membuat dara itu tidak berdaya lagi supaya dia dapat membawa pergi In Hong dari
tempat itu. Betapa pun kagumnya terhadap pribadi dara ini, baik kecantikan
lahirnya mau pun budi pertolongannya, namun dia tidak merelakan adiknya
berpisah lagi darinya dan dididik oleh Bi Kiok yang betapa pun adalah murid
dari datuk kaum sesat yang terkenal sebagai seorang iblis betina yang amat
kejam dan mengerikan. Dia harus membawa pergi adiknya, mendidiknya menjadi
seorang wanita yang penuh kelembutan, halus lembut lahir batinnya, wanita
seratus persen, tidak seperti Bi Kiok yang menyembunyikan kekerasan dan
keganasan di balik kelembutan dan kecantikan.
"Plak-plak-plak!"
Kun Liong
terkejut sekali. Lengannya bertemu dengan lengan gadis itu yang menangkis dan
balas memukul, lantas ditangkisnya. Pertemuan kedua lengan itu membuat dia
dapat merasakan kehebatan tenaga sinkang yang keluar lewat lengan itu, tenaga
sinkang yang mengandung hawa panas seperti api membara!
"Hebat...!"
Serunya karena harus diakuinya bahwa tingkat sinkang dari gadis ini tak kalah
oleh tingkat para datuk kaum sesat yang pernah dilawannya!
Kun Liong
mendesak dengan gerakan cepat, mainkan Im-yang Sin-kun dan mengerahkan tenaga
Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) sehingga mengepul uap putih dari dua telapak
tangannya. Tentu saja dia hanya mengerahkan tenaga dan mengarahkan pukulan
untuk membuat gadis itu tidak berdaya, sama sekali tidak ingin melukainya
dengan hebat, apa lagi membunuhnya.
"Wuuutt!
Syuuuuuuttt…!"
Dua telapak
tangan yang mengeluarkan uap putih itu menyambar, yang kiri menotok ke arah
lambung, yang kanan mencengkeram ke arah pundak.
"Heiiiiitttt...!"
Bi Kiok memekik, tubuhnya mencelat ke belakang, berjungkir balik dan ketika Kun
Liong melanjutkan serangannya dengan mengejar terus, dia menggerakkan kedua
tangannya menyambut dengan sampokan dari samping yang keras sekali.
"Plak!
Dukk!"
Kembali Kun
Liong merasa betapa sepasang lengannya terpental, akan tetapi dia melihat gadis
itu terhuyung sedikit. Kalau Kun Liong mempergunakan seluruh sinkang-nya, tentu
akibatnya lebih hebat lagi. Akan tetapi hanya sebentar saja Bi Kiok terhuyung
karena dia sudah cepat membalik dan tiba-tiba dia meloncat ke atas, seperti
seekor burung garuda menyambar turun, tubuhnya menerjang dari atas, kedua
tangannya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan leher, dibarengi dengan lengking
tajam menggetarkan jantung!
"Hyaaaaatttt...!"
"Uhhhh!"
Kun Liong mendengus dan cepat menangkis dengan kedua lengannya karena dia
melihat betapa aneh dan ganasnya serangan dari atas ini. Kini dia mengerahkan
lebih banyak tenaga karena maksudnya agar dara itu terpelanting sehingga dapat
ditotoknya.
Namun betapa
kagetnya ketika baru saja lengannya menyentuh lengan gadis itu dalam tangkisan,
lengan gadis itu meleset seperti seekor belut licinnya dan pada waktu tubuh
gadis itu turun, kedua tangannya yang berhasil menyelinap licin itu menotok ke
arah jalan darah di dada dan leher Kun Liong.
"Hemmm...!"
Kun Liong mendengus penasaran.
Dia yang
ingin menotok, malah diserang totokan. Betapa cepat dan hebatnya gerakan gadis
ini! Dia berhasil juga menangkis dan kini, sambil menangkis dia mempergunakan
sinkang yang dilatihnya dari Bun Hwat Tosu, yaitu yang mengandung tenaga
membetot!
Dengan
sinkang ini, begitu kedua lengannya menangkis, dia dapat melakukan gerakan yang
sama dengan yang dilakukan Bi Kiok tadi, yaitu kedua lengannya menyelinap. Dua
lengan gadis itu seperti tersentak kaget dan gadis itu tidak berdaya pada saat
dengan cepatnya kedua tangan Kun Liong melakukan totokan pada kedua pundak Bi
Kiok sambil berkata, "Maafkan aku, Bi Kiok!"
"Cuss!
Cusssi!"
"Plak!
Plak!"
Betapa
kagetnya hati Kun Liong.!
Kedua
totokannya itu tepat mengenai sasaran, yaitu pada jalan darah di bawah pundak
depan, agak di sebelah atas kedua buah dada gadis itu, akan tetapi jari-jari
tangannya bertemu dengan kulit dan daging lunak halus seolah-olah tidak ada
jalan darahnya dan gadis itu tidak apa-apa, malah sebagai ‘hadiahnya’ dua kali
telapak tangan gadis itu menampar pipinya.
Tamparan ini
mengenai sasaran dengan tepat sekali karena Kun Liong sedang melongo keheranan
saat totokan-totokannya tidak membawa hasil sama sekali. Setelah ditampar,
barulah dia sadar bahwa ternyata Bi Kiok telah memiliki ilmu memindahkan jalan
darah dan melindungi bagian yang tertotok sehingga totokannya tadi mengenai
tempat hampa!
Bi Kiok yang
sudah marah itu menyerang kalang kabut dan harus diakui oleh Kun Liong bahwa
gadis ini mempunyai dasar ilmu silat yang sangat aneh dan ampuh, hanya belum
terlatih baik. Diam-diam dia bergidik. Katanya tadi baru mempelajari sebagian
saja, kalau sudah mempelajari seluruh kitab pusaka milik Panglima The Hoo yang
berada di tempat rahasia, kitab pusaka yang tentu belum pernah ditemukan oleh
panglima itu sendiri, entah bagaimana hebatnya gadis ini!
Dia terus
mengelak dan menangkis, kadang kala membalas dengan totokan yang selalu gagal,
sambil berpikir-pikir bagaimana sebaiknya menjatuhkan gadis yang sangat lihai
ini. Biar kuhabiskan saja napasnya, pikir Kun Liong.
Kun Liong
kini main mundur, bahkan membuat langkah-langkah yang inti sarinya diambil dari
kitab Keng-lun Tai-pun dari Bun Ong. Langkah ini pendek-pendek saja, amat
ringan baginya, namun membuat Bi Kiok yang terus menerus mengejarnya itu harus
berputaran dan menggunakan banyak tenaga ginkang!
Sampai
seratus jurus lebih Kun Liong ‘mempermainkan’ Bi Kiok, berputaran dan membuat
gadis itu seakan-akan seorang kanak-kanak yang bermain-main mengejar
bayangannya sendiri! Namun hebatnya, Bi Kiok terus menyerang dan serangannya
tidak pernah terlihat mengendor!
Dua ratus
jurus telah lewat! Kun Liong mulai berkeringat, akan tetapi Bi Kiok masih terus
menerjangnya dan tidak terdengar napas gadis itu memburu. Celaka, pikir Kun
Liong. Dia gagal lagi. Agaknya ada suatu cara latihan napas di dalam kitab di
tempat rahasia yang ditunjukkan oleh bokor itu, yang membuat napas gadis itu
menjadi amat kuatnya melebihi kuatnya napas seekor kuda!
"Wah,
kalau begini tak mungkin aku dapat merobohkannya," pikir Kun Liong sambil
cepat menghindarkan diri dari terjangan kedua kaki yang bentuknya indah
membayang di balik kain celana sutera tipis itu akan tetapi keindahan yang
berbahaya karena mengandung tendangan maut!
Memang
sempat terpikir olehnya untuk mempergunakan satu-satunya ilmu yang menjadi
simpanannya, yaitu Thi-khi I-beng, akan tetapi dia tidak tega. Ilmu ini apa
bila digunakan akibatnya akan menyedot sinkang lawan dan tentu saja dia tidak
tega menggunakan ini dalam menghadapi Bi Kiok. Dia maklum betapa sukar dan
lamanya menghimpun sinkang, apa lagi sinkang seperti yang dimiliki Bi Kiok.
Kalau saja
dia menghendaki agar Bi Kiok roboh tanpa memperdulikan keselamatannya, kiranya
tidak nanti gadis itu sampai dapat menyerangnya terus selama dua ratus jurus.
Yang sulit adalah karena dia ingin merobohkan gadis ini tanpa melukai atau
menyakiti.
Sesudah
selama hampir tiga ratus jurus mereka bertanding dengan hebat dan cepatnya
sehingga bagi orang lain yang nampak hanyalah dua bayangan berkelebatan saja,
namun tidak nampak gadis itu lelah atau mau mengalah sedikit pun, Kun Liong
baru mengambil keputusan untuk mempergunakan Thi-khi I-beng!
"Maafkan
aku, Bi Kiok!"
"Plakk!
Plakk!"
"Oughhhhh...!"
Bi Kiok mengeluh. Matanya yang sangat indah itu terbelalak memandang wajah Kun
Liong pada saat kedua tangannya yang bertemu dengan lengan Kun Liong itu
melekat pada lengan dan tidak dapat ditariknya kembali, dan yang amat
mengejutkannya adalah ketika dia merasa betapa tenaga sinkang-nya menerobos
keluar seperti air hujan membanjir!
Melihat
sepasang mata yang amat indah dan amat dikaguminya itu terbelalak kaget dan
terbayang kengerian, Kun Liong menjadi tidak tega dan memejamkan matanya agar
tidak melihat mata itu!
"Berani
kau menyerang Subo (Ibu Guru)...?" Tiba-tiba terdengar bentakan anak kecil
dari belakang dan…
"Buk!
Buk!" dua buah kepalan menghantami pinggulnya!
"Kau
orang jahat! Kau bukan kakak kandungku! Kakak kandungku takkan jahat terhadap
Subo! Lepaskan Subo! Lepaskan!”
“Buk-buk-buk-buk!"
Kedua kepalan kecil itu terus menghantam pinggul Kun Liong.
Kun Liong
terkejut sekali mendengar suara In Hong ini. Segera dia menyimpan kembali
tenaga Thi-khi I-beng sambil melompat mundur. Yo Bi Kiok berdiri dengan napas
sedikit memburu, wajahnya agak pucat dan sejenak ia memejamkan mata sambil
membereskan napasnya. Kemudian dia membuka matanya, memandang Kun Liong dengan
terbelalak penuh rasa penasaran akan tetapi juga kagum.
"Kau...
kau...!" Bi Kiok tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena dia tidak
tahu harus berkata apa.
"Kau
orang jahat, aku tidak mau dekat denganmu!" kembali In Hong berteriak
sambil lari mendekati Bi Kiok dan merangkul pinggang dara ini seperti hendak
melindungi gurunya.
Kun Liong
menarik napas panjang. "Maafkan aku, Bi Kiok..."
"Sudahlah,
pergilah... akan tetapi ingat akan semua kata-kataku!" Bi Kiok berkata.
Kun Liong
memandang kepada adiknya. Tanpa banyak cakap, mengertilah dia bahwa tak mungkin
dia dapat memaksa adiknya pergi bersamanya. Perbuatan itu sama saja dengan
menghancurkan hati Bi Kiok dan adiknya sendiri. Dia akan menjadi seorang yang
sangat kejam kalau dia lakukan hal itu. Betapa pun juga dia ingin kepastian,
maka dengan muka manis dia berkata kepada adiknya,
"In
Hong aku adalah kakak kandungmu. Aku hendak mengajak engkau pergi sebab sudah
semestinya engkau ikut aku yang menjadi kakakmu."
"Tidak!
Tidak sudi...!"
"In
Hong, dengarlah baik-baik. Aku sama sekali tidak berbuat jahat terhadap gurumu.
Tadi kami sedang memperebutkan engkau. Sekarang engkau boleh pilih. Aku sebagai
kakak kandungmu dan dia sebagai gurumu, engkau hendak memilih yang mana dan
hendak ikut yang mana?"
"Dia
benar, In Hong. Kau pilihlah. Dia bukan orang jahat, akan tetapi kau boleh
memilih antara kami berdua."
"Aku
memilih Subo! Aku ikut Subo!" In Hong berteriak penuh semangat dan
memandang kepada Kun Liong dengan mata bernyala marah.
Kun Liong
dan Bi Kiok saling pandang, lalu pemuda itu menghela napas panjang.
"Apa
boleh buat, terpaksa aku harus meninggalkannya kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi,
setiap saat aku akan mengunjunginya dan melihat keadaannya. Harap saja engkau
tetap baik kepadanya dan mendidiknya menjadi seorang manusia yang baik...,
tidak... tidak seperti kakaknya..." tambahnya, "Selamat
tinggal!"
"Kun
Liong...!"
Suara
mengandung isak itu menahan kakinya. Dia lalu membalik. Tidak nampak Bi Kiok
menangis, akan tetapi wajahnya pucat, matanya sayu ketika memandangnya.
"Kun Liong, sekali lagi aku mohon padamu, apakah engkau tidak dapat
merubah pendirianmu? Kita bertiga akan hidup bahagia..." Ucapan itu tidak
dilanjutkannya karena Kun Liong sudah menggeleng kepalanya, kemudian sekali
berkelebat, Kun Liong sudah lenyap dari tempat itu.
"In
Hong... dia terlalu...! Kakakmu terlalu...!" Bi Kiok menjatuhkan diri
berlutut, memeluk muridnya dan baru sekarang air matanya tertumpah.
***************
"Aku
tidak mau...! Aku tidak mau ikut pergi sebelum merawatnya! Harap Sam-wi (Anda
Bertiga) jangan memaksaku!" Hong Ing meronta-ronta.
Akan tetapi
tangisnya itu tidak dipedulikan, bahkan Hun Beng Lama, pendeta Lama yang selalu
memegang tasbih itu menggerakkan tangan kirinya menyentuh belakang telinganya
dan Hong Ing seketika menjadi lemas. Dia sama sekali tidak dapat mengeluh lagi,
apa lagi berontak, hanya memandang ke arah Kun Liong yang rebah seperti mati
itu ketika tubuhnya yang lumpuh dikempit oleh Hun Beng Lama bersama dua orang
Lama lainnya menuju ke perahu mereka.
Mulailah
Hong Ing melakukan perjalanan yang sama sekali tidak menyenangkan hatinya.
Bukan karena sikap para paman gurunya itu, sama sekali tidak. Sikap mereka itu
cukup baik, bahkan lemah lembut terhadap dirinya, dan kalau saja tidak teringat
pada Kun Liong yang ditinggalkan dalam keadaan terluka seperti mati, tentu dia
senang sekali melakukan perjalanan dengan ketiga orang paman gurunya yang
memiliki kesaktian-kesaktian seperti dewa itu.
Di samping
mereka bersikap ramah dan baik, bahkan jarang mengeluarkan kata-kata dan semua
keperluan dan kebutuhannya pada sepanjang perjalanan dicukupi, juga hati siapa
yang takkan senang mendengar bahwa dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang
selama hidupnya belum pernah dijumpainya itu?
Ayahnya
adalah suheng (kakak seperguruan) mereka, dan ayahnya adalah ketua mereka,
dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian ayahnya! Dia tentu akan girang
sekali pergi menjumpai ayahnya. Akan tetapi, kalau dia teringat kepada Kun
Liong yang rebah seperti mati, hatinya seperti disayat-sayat.
Pemuda itu
dalam keadaan terluka parah dan hanya seorang diri saja di pulau kosong itu.
Membayangkan betapa pemuda itu akan mati dengan menyedihkan dan tersiksa,
hatinya lantas menjadi ngeri, berduka dan terutama sekali dia merasa menyesal
karena dia pergi meninggalkan Kun Liong yang sedang berduka.
Ia
meninggalkan Kun Liong selagi pemuda itu hancur, setelah dia menampar pipi
pemuda itu! Tentu Kun Liong akan menganggap bahwa dia membencinya! Aihh,
padahal dia amat mencinta Kun Liong! Tidak ada seorang pun manusla lain yang
akan dicintanya melebihi cintanya kepada Kun Liong.
Akan tetapi,
pada saat-saat terakhir sebelum mereka berpisah, sebelum Kun Liong roboh ketika
melawan tiga orang Lama itu, dia terpaksa menampar pipi Kun Liong saking tidak
kuat menahan kemarahan dan kepanasan hatinya! Siapa yang kuat menahan! Dia amat
dikecewakan, disakitkan hatinya. Kun Liong yang mengaku mencintanya dengan
sepenuh jiwa raganya itu terlalu memandang rendah dirinya.
Dia
dikalahkan dalam sebuah perbandingan dengan seorang wanita bayangan, seorang
gadis khayal. Hanya seorang gadis khayal! Kalau dia bukan gadis impian Kun
Liong itu, mengapa Kun Liong menyatakan cinta kepadanya? Apa bila dia tidak
seperti gadis khayal itu yang menurut Kun Liong tanpa cacad, kenapa Kun Liong
berani menyatakan cintanya?
Dia tidak
sudi menjadi seorang yang dijadikan tempat pelarian setelah Kun Liong merasa
bahwa di dunia ini tidak ada gadis yang diimpi-impikan itu. Dia tak sudi
menjadi pengganti belaka, menjadi penghibur lara belaka. Padahal cinta kasihnya
terhadap Kun Liong mutlak dan lengkap, tanpa perbandingan karena memang tiada
bandingan dalam cinta kasihnya.
Perjalanan
yang amat jauh, melelahkan dan juga membuat dirinya kurus karena batinnya
selalu tertekan setiap teringat kepada kekasihnya itu, memakan waktu
berbulan-bulan dan akhirnya tibalah mereka di tempat yang dituju. Sebuah dusun
besar di pegunungan dan di luar dusun itu, di dekat puncak, terdapat sekelompok
bangunan besar yang dikurung oleh pagar tembok seperti benteng. Itulah pusat
dari perkumpulan agama para Lama Jubah Merah yang terkenal di seluruh Tibet
sebagai perkumpulan yang menyendiri dan dipimpin oleh orang-orang yang sakti.
Kuil mereka
terdapat di tengah-tengah kelompok bangunan itu dan setiap hari, semenjak pagi
sampai sore hari, pintu gerbang tembok benteng itu terbuka dan semua orang dari
dusun-dusun di daerah tempat itu, diperkenankan memasuki dan mengunjungi kuil
besar untuk bersembahyang dan memohon berkah. Konon dikabarkan bahwa kuil Lama
Jubah Merah ini amat sakti dan manjur sehingga sangat terkenal, banyak
dikunjungi orang dan banyak pula menerima dana bantuan dari rakyat di daerah
itu yang juga terkenal memiliki penghasilan besar sebagai peternak-peternak.
Memang bukan
hanya tempat tinggalnya saja yang luar biasa kuat, dengan pagar tembok kokoh
menyerupai benteng, akan tetapi juga anggotanya cukup banyak, tidak kurang dari
seratus orang! Karena rata-rata mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi,
maka tentu saja seratus orang Pendeta Jubah Merah ini merupakan sebuah pasukan
yang hebat!
Secara
diam-diam perkembangan mereka sudah lama diikuti oleh Pemerintah Tibet yang
dipegang oleh Dalai Lama. Akan tetapi, karena tidak ada bukti nyata bahwa Lama
Jubah Merah menentang Pemerintah Tibet yang sah, maka tidak pernah ada
tindakan.
Kedatangan
tiga orang Lama, yaitu Sin Beng Lama yang ditemani kedua orang sute-nya, Hun
Beng Lama serta Lak Beng Lama, disambut dengan penuh penghormatan oleh para
anggota perkumpulan agama itu, bahkan diadakan pesta sebagai penyambutan mereka
yang telah meninggalkan Tibet selama berbulan-bulan itu. Terlebih lagi karena
tiga orang tokoh utama itu telah berhasil membawa pulang Pek Hong Ing!
Begitu tiba
di situ, gadis ini lalu menanyakan tentang ayahnya. "Mana ayahku? Aku
ingin sekali bertemu dengan ayahku!"
Memang pada
waktu melakukan perjalanan yang amat jauh itu, setelah dapat mengatasi kedukaan
hatinya karena meninggalkan Kun Liong, hanya satu tujuan hati Hong Ing, yaitu
dapat secepatnya berjumpa dengan ayahnya, kemudian hendak minta bantuan kepada
ayahnya untuk mengirim orang menjenguk dan menolong Kun Liong!
Sin Beng
Lama sendiri lalu membawa Hong Ing ke sebuah kamar yang besar dan cukup
lengkap. Setelah mereka memasuki kamar itu yang ternyata kosong tidak ada siapa
pun di dalamnya, kakek ini berkata, "Engkau tinggallah di sini dan ayahmu
pasti akan segera datang asal engkau suka bekerja sama dengan kami."
Hong Ing
memandang penuh selidik kepada pendeta tua berjubah merah itu, dan mulailah dia
merasa curiga.
"Apa
artinya ini? Susiok... di mana Ayah?"
Sin Beng
Lama mengerutkan alisnya. "Jika kami tahu dia berada di mana, agaknya kami
tak akan membawamu jauh-jauh ke sini, Pek Hong Ing. Kami membawamu ke sini
hanya untuk memancing agar ayahmu mencarimu ke sini."
Pucatlah
wajah Hong Ing mendengar Ini. "Apa...? Bukankah kalian katakan bahwa Ayah
adalah Suheng kalian?"
"Benar
demikian. Ayahmu adalah Kok Beng Lama, Suheng kami."
"Dan
katanya Ayah adalah ketua di sini..."
"Sayang
tidak demikian sesungguhnya. Sebaliknya malah, ayahmu adalah seorang yang berdosa
besar, seorang pelarian yang harus menerima hukuman karena telah melakukan
dosa-dosa yang amat banyak."
Terbelalak
mata Hong Ing memandang kakek itu. "Apa... apa yang terjadi? Mengapa para
Susiok menipuku, membiarkan aku pergi meninggalkan Kun Liong yang terluka di
pulau itu...? Ahhh, apa yang telah kulakukan ini...?"
"Tenanglah,
dan duduklah. Dengarkan cerita pinceng (aku)."
Karena kedua
kakinya memang menggigil saking tegang hatinya yang diliputi bermacam perasaan
itu, Hong Ing lantas menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan kakek
itu lalu duduk di atas bangku menghadapi pembaringan.
"Ibumu
bernama Pek Cu Sian, yaitu seorang pendekar wanita dari Tionggoan yang berani
lancang tangan mencampuri urusan dalam perkumpulan agama kami sehingga terpaksa
kami tangkap dan kami tawan. Karena dia masih perawan dan sangat cantik, maka
para pimpinan perkumpulan kami mengambil keputusan untuk menjadikan dia sebagai
korban tahun itu, korban kepada Dewa Syiwa. Tapi, pada malam sebelum upacara
pengorbanan dilakukan, Pek Cu Sian lenyap dari kamar tahanan. Kami semua
mengira bahwa dia telah dapat meloloskan diri, maka hal ini terlupalah sudah
sampai lima tahun kemudian ketika engkau, yang ketika itu seorang anak
perempuan kecil berusia empat tahun, terlihat oleh seorang anggota kami.
Barulah kami tahu bahwa Pek Cu Sian, ibumu itu, ternyata telah diselamatkan
oleh Suheng Kok Beng Lama sendiri yang menyembunyikannya dan juga mengambilnya
sebagai isteri! Betapa besar dosa Kok Beng Lama dapat kau bayangkan
sendiri!"
"Tidak!
Dia tidak berdosa!" Hong Ing membantah setelah mendengar penuturan itu.
"Dia adalah seorang manusia, tidak seperti kalian yang bagaikan
segerombolan binatang buas hendak membunuh mendiang ibuku! Ayah adalah seorang
lelaki sejati, orang yang berani mempertanggung jawabkan perbuatannya!"
Namun kakek
itu tidak mempedulikan bantahan ini dan melanjutkan ceritanya.
"Karena
dosanya itu, Kong Beng Lama dihukum sepuluh tahun dan ibumu yang melarikan diri
bersamamu itu kami kejar atau lebih tepat dikejar oleh anak buah kami karena
kalau kami sendiri yang mengejar dia tentu sudah dapat kami tawan kembali
bersamamu. Dia dapat melarikan engkau dan lolos."
"Ibu
adalah seorang pendekar wanita yang amat gagah perkasa!" Hong Ing berkata
penuh semangat. "Biar pun dikeroyok oleh para pendeta palsu, masih dapat
menyelamatkan aku sampai tiba di Go-bi-san kemudian ditemukan oleh Subo dalam
keadaan hampir mati oleh luka-lukanya akibat pengeroyokan para pendeta yang
curang!"
Kakek itu
kembali tidak mempedulikan, seolah-olah tidak mendengar kata-kata Hong Ing.
"Sesudah Kok Beng Lama keluar dari hukuman, dia melakukan dosa ke dua yang
lebih hebat. Dia telah membunuh ketua kami, yaitu Twa-suheng kami! Kemudian dia
melarikan diri..."
"Tentu
untuk mencari Ibu dan aku!"
"Dosanya
yang besar harus dihukum, maka pinceng sendiri bersama kedua orang
Sute..."
"Kalian
tiga orang pendeta jahat!"
"Kami
turun gunung untuk mencarinya, namun tak berhasil. Untung kami bertemu dengan
Go-bi Sin-kouw dan dengan tusukan-tusukan hio (dupa biting) akhirnya dia mau
bercerita tentang dirimu."
"Kau...
kau telah menyiksa Subo!" Walau pun dia tidak suka kepada ibu gurunya,
namun Hong Ing masih ingat betapa sejak kecil dia dipelihara serta dididik oleh
Go-bi Sin-kouw, maka mendengar subo-nya disiksa untuk mengaku, dia menjadi
marah.
"Kami
mencari jejakmu, dari sungai di mana menurut penuturan Go-bi Sin-kouw engkau
dan pemuda gundul itu terlempar ke muara sungai, masuk ke laut oleh Kok Beng
Lama."
"Aihhh…,
tidak kusangka bahwa pendeta yang gagah perkasa itu adalah ayah kandungku
sendiri..." Hong Ing menutupi mukanya mengenangkan kembali peristiwa itu.
"Akhirnya
kami berhasil menemukan engkau di pulau kosong bersama pemuda aneh itu dan
karena kami tak sampai hati menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda
seperti engkau, maka kami pun terpaksa menjalankan siasat agar engkau suka ikut
pergi dengan suka rela."
Sin Beng
Lama bangkit berdiri, melangkah ke pintu lalu membalik memandang kepada gadis
itu, berkata lagi, suaranya halus, "Kami akan menyebar berita ke
Tiong-goan agar ayahmu mendengar bahwa puterinya telah berada di tangan kami.
Dengan demikian dia pasti akan datang ke sini. Kami harap engkau tidak banyak
rewel dan berdiam saja di sini dengan baik. Kalau tidak, terpaksa kami akan
memperlakukan engkau sebagai tawanan yang dikurung di dalam kamar tahanan dan
dibelenggu kaki tangannya." Setelah berkata demikian, Sin Beng Lama
melangkah keluar dari kamar dengan tenang.
Sejenak Hong
Ing tertegun, mukanya pucat. Mengertilah dia sekarang bahwa dia sudah dijadikan
sandera untuk menjebak ayahnya sendiri! Dan dia telah pergi dengan suka rela,
bahkan sudah meninggalkan Kun Liong dalam keadaan terluka parah! Akan tetapi
apa yang dapat dilakukannya? Tiga orang pendeta itu sakti sekali, bahkan Kun
Liong yang demikian gagah pun tak berdaya, apa lagi dia.
Aku harus
pergi dari sini! Demikianlah suara hati Hong Ing. Dia harus pergi dan kembali
ke Tiong-goan, kembali ke laut mencari pulau kosong, mencari Kun Liong juga
mencari ayahnya! Betapa rindu hatinya kepada Kun Liong, juga kepada ayahnya,
pendeta raksasa yang baik hati dan sakti itu.
Akan tetapi
ketika berindap-indap dia keluar dari kamar, dia melihat dua orang Pendeta
Jubah Merah berdiri di luar pintu, mata mereka memandang dengan bengis
kepadanya! Sesudah dia kembali memasuki kamamya dan menjenguk ke jendela, juga
di luar jendela terdapat dua orang pendeta! Kamarnya telah dikurung dan dijaga!
Malam itu
kembali Hong Ing kecelik pada saat dia menyelidiki pintu dan jendela kamarnya
karena ternyata olehnya kemudian bahwa penjagaan ketat itu diadakan siang dan
malam dengan bergilir! Semalam suntuk itu dia tidak tidur, mencari kesempatan
untuk melarikan diri, akan tetapi akhirnya dia mengerti bahwa kesempatan itu
tidak pernah ada.
Selain
kamarnya yang dikurung, juga penjagaan di pagar tembok menyerupai benteng itu
amat kuatnya sehingga andai kata dia dapat keluar dari kamar, kiranya tidak
mungkin dia akan dapat keluar dari markas itu! Di samping ini, sekiranya
terjadi keajaiban dan dia bisa keluar dari markas itu, apa dayanya menghadapi
para pendeta sakti itu kalau dia dikejar dan disusul?
Dia tidak
mengenal daerah pegunungan itu, apa lagi pada waktu melakukan perjalanan
mengikuti tiga orang pendeta menuju ke Tibet, dia melihat gurun pasir
seolah-olah tanpa tepi. Tanpa penunjuk jalan, di daerah yang mengerikan itu dia
akan mati kehausan dan kelaparan.
Terpaksa
Hong Ing hanya bisa menunggu dan dia bukanlah seorang gadis bodoh yang hanya
mengubur diri dalam kedukaan dan keputus asaan. Tidak. Dia sudah bersiap-siap
dan karena itu dia menjaga kesehatan dirinya dengan baik, makan setiap hari,
bahkan membaiki para pendeta di situ dan minta petunjuk ketika dia melatih ilmu
silatnya setiap hari. Dia harus berada dalam keadaan kuat dan terlatih kalau
saat yang ditunggu-tunggu itu tiba, yaitu saat ayahnya yang dijebak itu muncul
di sini!
Dan saat
yang dinanti-nanti itu tiba beberapa bulan kemudian! Pada suatu hari, pagi-pagi
sekali, di antara suara orang berdoa, suara liam-keng (doa) yang diselingi
suara ketukan berirama yang mengiringi doa, terdengarlah teriakan yang amat
gaduh.
Hong Ing
sudah bangun tidur dan juga telah mencuci muka, siap untuk melakukan latihan
pagi ketika mendengar suara gaduh itu. Akan tetapi ketika dia meloncat ke
pintu, hampir dia bertumbukan dengan Lak Beng Lama yang menghadang dengan
tongkat di tangan. Melihat sikap susiok-nya ini, Hong Ing sudah merasa curiga
dan dapat menduga bahwa inilah agaknya saat-saat yang dinanti-nantinya. Agaknya
ayahnya sudah tiba! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan dengan suara heran
dan nadanya halus dia bertanya,
"Lak
Beng Susiok, apakah ribut-ribut itu?"
"Hemm,
kau tidak perlu tahu dan tidak boleh keluar dari kamar ini. Pinceng sendiri
yang menjaga di sini!"
Jantung Hong
Ing berdebar keras. Tidak salah lagi, tentu ayahnya sudah datang! Kalau tidak,
mengapa susiok-nya ini sendiri yang menjaganya?
"Susiok,
aku mau pergi berlatih."
"Engkau
tidak boleh meninggalkan kamar!"
"Ehh,
siapa itu di sana? Bukankah itu Ayah...?" Tiba-tiba saja gadis itu
menuding ke atas genteng yang tampak dari pintu kamarnya.
Lak Beng
Lama terkejut sekali, cepat memutar tubuh menghadapi arah yang ditunjuk dan
siap dengan tongkatnya. Pada saat itu Hong Ing sudah meloncat keluar dari
kamarnya.
"Bocah
setan! Hendak lari ke mana kau?" Lak Beng Lama langsung mengejar dan dalam
beberapa loncatan saja pendeta yang sakti ini sudah dapat menyusul dan
menghadang di depan Hong Ing dengan alis berkerut.
Suara
ribut-ribut di bagian depan semakin menghebat dan mendadak Hong Ing berteriak,
"Ayaaaahhhh...! Aku Pek Hong Ing berada di sini...!" Akan tetapi dia
segera roboh terkena totokan ujung tongkat yang amat cepat, dan tubuhnya yang
lumpuh sudah dikempit oleh Lak Beng Lama.
Di bagian
depan markas itu sedang terjadi keributan. Memang tepat sekali dugaan Hong Ing
bahwa ayahnyalah yang muncul.
Pagi itu,
pada waktu semua pendeta sedang sibuk membaca doa dan bersembahyang sehingga
penjagaan agak berkurang ketatnya, sesosok bayangan berkelebat melompati pagar
tembok tinggi itu dan ketika beberapa orang penjaga melihat dan mengurungnya,
dalam beberapa gebrakan saja empat orang di antara mereka sudah roboh! Mulailah
mereka berteriak-teriak memberi tanda bahaya dan ributlah semua pendeta yang
sedang berdoa, termasuk Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama.
"Lak
Beng Sute, kau cepat menjaga Hong Ing!" kata Sin Beng Lama yang bersama
Hun Beng Lama cepat berlari-lari ke luar.
Kiranya Kok
Beng Lama yang bertubuh tinggi besar bagai raksasa itu sedang mengamuk. Kaki
tangannya bergerak secara luar biasa hingga angin besar bersiut dari kedua
ujung lengan bajunya yang lebar. Setiap kali kaki tangannya bergerak, tentu ada
pendeta yang terpelanting atau terlempar.
Namun pengeroyokan
semakin ketat dan kini semua pendeta telah menggunakan senjata masing-masing.
Hujan senjata menjatuhi tubuh pendeta raksasa itu, akan tetapi semua hantaman
senjata yang tajam mau pun yang tumpul tidak ada yang membekas pada kulit tubuh
Kong Beng Lama, kecuali hanya merobek pakaiannya saja.
"Hayo
bebaskan anakku, kalau tidak... demi Tuhan, kubunuh semua orang di tempat
ini!" Kok Beng Lama berteriak-teriak sambil dengan dua tangannya menangkap
empat orang pengeroyok bagaikan garuda mencengkeram empat ekor anak ayam saja
layaknya, lalu melemparkan empat orang itu kepada para pengeroyoknya sehingga
mereka morat-marit.
"Pemberontak
hina! Berlututlah untuk menerima hukuman!" Tiba-tiba terdengar bentakan
lemah lembut, lalu para pengeroyok membuka jalan untuk Sin Beng Lama dan Hun
Beng Lama.
Seperti
biasa kalau menghadapi lawan berat, Sin Beng Lama membawa lima batang hio
membara, ada pun Hun Beng Lama memutar-mutar biji tasbih di antara jari-jari
tangannya. Bila dilihat seperti itu, kedua orang pendeta ini lebih pantas
hendak bersembahyang dan membaca doa dari pada bersiap-siap menghadapi lawan
tangguh.
Akan tetapi
tentu saja Kok Beng Lama sudah mengenal kedua orang sute-nya ini dan dia
menjawab bentakan Sin Beng Lama dengan suaranya yang nyaring, dan sinar matanya
mengandung penuh ancaman maut.
"Sin
Beng Sute...!"
"Pinceng
bukan sute-mu lagi dan engkau tidak berhak menyebut Sute kepada pinceng!"
"Hemmm,
sesukamulah, Sin Beng Lama! Akan tetapi dengar baik-baik. Aku datang untuk
minta anakku, Pek Hong Ing. Kalau kalian menolak, aku akan membunuh kalian
semua, tidak ada kecualinya!"
"Omitohud...!"
Sin Beng Lama berseru sambil mengacungkan lima batang hio di depan dadanya.
"Ucapan yang keluar dari mulut iblis! Pemberontak dan pengkhianat hina,
kau sudah melanggar undang-undang agamamu sendiri, engkau telah melakukan dosa
besar, membunuh ketua yang menjadi Twa-suheng (Kakak Tertua Seperguruan) sendiri
berikut beberapa orang saudara lain. Dan sekarang engkau tidak bertaubat, tidak
minta ampun bahkan mengancam hendak membunuh kami semua! Tidak malukah engkau
yang sudah puluhan tahun tekun mempelajari semua ajaran agama yang suci?"
"Hemmm,
Sin Beng Lama! Kita sama-sama adalah tua bangka-tua bangka, bukan anak kecil
yang mudah saja dibujuk dengan omongan manis dan dengan kedok agama! Agama dan
semua pelajarannya adalah untuk dilaksanakan, bukan sekedar dipakai untuk
senjata menekan orang lain, bukan pula dipergunakan sebagai jembatan untuk
mencari kekayaan, kedudukan, kesenangan lahir batin, bukan diperalat sebagai
pencari sorga dan nirwana! Kalian mempelajari kasih, akan tetapi hati kalian
penuh sesak dengan kebencian. Kalian menjaga kebersihan lahiriah akan tetapi
batin kalian kotornya melebihi keranjang sampah! Menghadapi tua bangka seperti
aku, tidak perlu lagi kalian menakut-nakuti dengan agama yang dibikin palsu
oleh tingkah laku pemeluknya sendiri semacam kalian! Hayo bebaskan anakku,
berikan kepadaku, dan aku akan pergi dari sini dengan aman, bahkan bersumpah
takkan menginjak tempat ini lagi. Kalau tidak, kalian akan kubunuh semua dan
tempat ini akan kubasmi, kuhancurkan!"
"Pemberontak
keparat!" Hun Beng Lama membentak marah dan dia sudah melangkah maju
perlahan-lahan, tasbihnya diputar-putar di atas kepalanya yang gundul.
"Trikk...
trikk... trikkk...!" terdengar suara dengan irama tertentu dan biar pun
tidak begitu keras, akan tetapi seperti jarum tajam menusuk anak telinga
sehingga para anggota Lama Jubah Merah yang kurang kuat sinkang-nya cepat-cepat
mundur sambil menutupi telinga mereka. Hanya yang sudah agak tinggi tingkatnya
saja, yang jumiahnya paling banyak tiga puluh orang, yang berani maju mengurung
Kok Beng Lama.
Sin Beng
Lama juga melangkah maju, lima batang hio pindah ke tangan kiri dan tangan
kanannya sudah mengeluarkan sebatang pedang bersinar hijau yang sangat tipis,
yang panjangnya ada empat kaki dan gagangnya terbuat dari perak, sebatang
pedang pusaka yang amat indah dan ampuh.
Melihat ini
sinar mata Kok Beng Lama menjadi ganas dan mulutnya tersenyum mengejek,
tubuhnya tetap berdiri tegak tak bergerak, yang bergerak hanya biji matanya
yang melirik ke kanan dan kiri, telinganya seolah-olah berdiri dengan penuh
perhatian mendengarkan setiap suara yang ada di sekelilingnya. Dalam keadaan
seperti itu, pendengaran pendeta Lama raksasa ini luar biasa tajamnya sehingga
setiap tarikan napas para pengeroyoknya dapat ditangkapnya dengan jelas, bahkan
suara detak jantung lawan terdengar olehnya!
"Serbuuuu...!"
Sin Beng Lama memberi aba-aba.
"Hyaaaatttt...!"
suara bentakan para pengeroyok menjadi satu, terdengar nyaring bergema ketika
mereka serentak menerjang ke depan dengan senjata masing-masing yang seperti
hujan menyambar ke arah seluruh tubuh Kok Beng Lama, dari semua penjuru. Apa
bila semua senjata itu mengenai tubuh Kok Beng Lama dan kalau tubuh pendeta
raksasa ini biasa saja seperti tubuh orang-orang lain, tentulah dia akan roboh
dengan tubuh hancur lebur, tidak ada bagian sedikit pun yang masih utuh.
"Hoouuuuhhh...!"
Kok Beng Lama mengeluarkan suara yang amat dalam dan lebar, bukan seperti suara
manusia lagi, suara yang seakan-akan keluar dari dalam bumi! Tubuhnya yang
tinggi besar itu bergerak memutar, lenyap bentuk tubuhnya sehingga yang tampak
hanyalah gulungan yang amat cepat seperti angin puyuh mengamuk.
"Trangggg...!"
"Krekkkkk...!"
"Bukkkk...!"
"Dessss...!"
"Aughhh...!
Aduhhh...! Ahhhh!"
Akibatnya
hebat bukan main! Tidak kurang dari enam orang yang terlempar dan roboh
pingsan! Selain itu, banyak pula yang kehilangan senjata mereka, ada yang patah
dan banyak yang lepas dari tangan, terlempar entah ke mana. Bukan main hebatnya
sepak terjang Kok Beng Lama yang selama sepuluh tahun di dalam sel telah
menciptakan dan mematangkan banyak ilmu-ilmu yang mukjijat dan dahsyat itu.
Dengan putaran kedua ujung lengan bajunya saja dia telah berhasil merobohkan
enam orang pengeroyoknya dan merampas banyak senjata!
Melihat ini,
Hun Beng Lama menjadi marah sekali, demikian pula Sin Beng Lama. Dalam gebrakan
pertama tadi, mereka berdua memang membiarkan para anak buah lain yang maju
menerjang karena mereka merasa yakin bahwa dengan mengandalkan jumlah besar,
tentu Kok Beng Lama yang dianggap pemberontak itu akan dapat dikuasai. Siapa
kira, raksasa itu memang hebat bukan main, maka terpaksa mereka harus turun
tangan sendiri.
"Omitohud...!
Haaaaiiiikkkk!" Hun Beng Lama sudah menerjang maju dengan tasbihnya yang
menyambar ke pelipis kiri sedangkan tangan kirinya yang membentuk cakar garuda
itu mencengkeram ke arah perut lawan. Gerakannya amat cepat sehingga
mendatangkan angin pukulan yang berdesing-desing saking kerasnya. Pada detik
berikutnya, terdengar suara tajam menulikan telinga pada waktu sinar hijau
berkeredepan menyambar-nyambar seperti seekor naga hijau bermain-main dan
itulah pedang di tangan Sin Beng Lama yang dalam satu jurus sudah mengirim lima
bacokan serta delapan tusukan yang mengancam tiga belas jalan darah utama di
bagian depan tubuh lawan!
"Bagus...!"
teriak Kok Beng Lama sambil menggerakkan kepalanya mengelak sambaran tasbih ke
pelipisnya, kemudian mengangkat kaki menendang ke arah tangan kanan Hun Beng
Lama, sedangkan sepuluh kuku jari tangannya sibuk menyentil ke arah sinar-sinar
hijau yang menyambar-nyambar itu. Dia sudah berhasil menangkis ketiga belas
serangan pedang hijau itu dengan sentilan jari tangannya dan setiap kali dia
menyentil terdengarlah suara nyaring.
"Tring-tring-tring-tring-tring...!"
Sin Beng
Lama sangat terkejut ketika merasa betapa telapak tangannya yang memegang
pedang tergetar hebat akibat sentilan kuku jari tangan lawannya itu! Dengan
seruan halus dia mencelat ke belakang sampai tiga meter jauhnya, tangan kirinya
bergerak kemudian tampaklah sinar api menyambar ke arah tubuh Kok Beng Lama!
Itulah serangan hio-hio membara yang amat luar biasa dan amat berbahaya pula
karena biar pun hanya berupa hio, namun dilepas dengan pengerahan tenaga
sinkang yang amat ampuh sehingga kalau mengenai tubuh lawan dapat menancap
dengan api masih membara!
"Keji,
alat sembahyang dipakai untuk membunuh!" Kok Beng Lama berseru keras,
segera menggerakkan kedua tangan bergantian didorongkan ke depan dengan telapak
tangan terbuka.
Menyambarlah
hawa dingin dari kedua telapak tangannya dan itulah inti tenaga Im-kang yang
amat dingin. Tampak asap mengepul dan lima batang hio itu padam apinya, bahkan
runtuh semua ke atas tanah, masih mengepulkan asap putih yang harum baunya.
Tentu saja
Sin Beng Lama menjadi makin marah. Bersama sute-nya, Hun Beng Lama dia
menerjang maju, menggerakkan pedangnya secara luar biasa sekali sehingga
tubuhnya lenyap digulung sinar pedang yang merupakan gulungan cahaya hijau
menyilaukan mata yang kini bergulung-gulung menyelimuti tubuh Kok Beng Lama
pula. Di antara sinar hijau ini tampak sinar putih dari tasbih Hun Beng Lama.
“Trik-trik-trik!”
tasbih Hun Beng Lama mengeluarkan suara, makin lama makin nyaring.
Maka
terdengarlah paduan suara yang menyeramkan karena semua orang yang kurang kuat
sinkang-nya merasa betapa jantung mereka laksana ditarik-tarik dan telinga
seperti ditusuk-tusuk oleh suara berdetrik dari tasbih, bercampur dengan suara
berdesingan dari pedang hijau, diseling geraman-geraman marah dari dada Kok
Beng Lama yang bidang.
Pertempuran
hebat dan mati-matian terjadi dengan serunya, dilakukan oleh tiga orang sakti,
membuat para Lama yang berada di situ tidak berani lagi turun tangan membantu
karena mereka maklum bahwa bantuan mereka tidak akan menguntungkan pihak kawan
juga tidak merugikan pihak lawan melainkan membahayakan nyawa sendiri.
Apa bila
dibuat ukuran, tingkat kepandaian Kok Beng Lama dahulu pun setingkat dengan Sin
Beng Lama. Akan tetapi semenjak dia menjalani hukuman selama sepuluh tahun,
kepandaiannya bertambah hebat sedangkan Sin Beng Lama hanya mendapat kemajuan
biasa saja.
Orang yang
berada di dalam tahanan seperti Kok Beng Lama, kehilangan kebebasannya dan
tidak melakukan suatu pekerjaan tertentu, lebih tekun dalam berlatih, apa lagi
karena memang dia mempunyai dendam. Sedangkan tingkat kepandaian Hun Beng Lama
masih kalah setingkat dari Sin Beng Lama, maka pertempuran hebat itu lebih
tepat dikatakan bahwa yang bertanding mati-matian adalah Sin Beng Lama melawan
Kok Beng Lama, sedangkan Hun Beng Lama hanya merupakan tenaga pengacau saja
yang mengacaukan pertahanan Kok Beng Lama.
Namun, meski
dia bertangan kosong dikeroyok oleh dua orang yang memiliki kepandaian tinggi
dan bersenjatakan senjata-senjata pusaka ampuh pula, ternyata Kok Beng Lama
memiliki kesaktian yang sangat luar biasa. Semua ini diperhebat lagi oleh
kemarahannya karena dia mengkhawatirkan nasib puterinya, maka seakan-akan dia
sudah menjadi iblis sendiri yang mengamuk dan sukar ditandingi oleh dua orang
pendeta Lama itu!
"Kalian
bosan hidup! Kalian bosan hidup! Akan kubunuh semua...!" Demikian
terdengar Kok Beng Lama menggereng.
"Brettt!
Plakk! Aughh...! Aduhhh...!"
Para pendeta
yang menonton tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata mereka apa yang baru
saja terjadi karena yang tampak hanyalah sinar-sinar dan bayangan saja yang
campur aduk menjadi satu. Tahu-tahu, tubuh Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama
telah terlempar dan terbanting keras, sedangkan tubuh Kok Beng Lama terhuyung
ke belakang, dadanya terluka pedang dan pakaian pada pundaknya hancur oleh
pukulan tasbih, akan tetapi kedua orang lawannya muntah darah terkena hawa
pukulan kedua telapak tangan Kok Beng Lama.
DENGAN muka
buas Kok Beng Lama sudah hendak menerjang kembali dua orang bekas sute-nya yang
sudah terluka itu dan agaknya tidak akan dapat dihidarkan lagi dua orang Lama
Jubah Merah itu tentu akan tewas sebab mereka belum sempat bangun sedangkan
para anggota yang lain tidak ada yang berani menghadapi Kok Beng Lama.
"Pemberontak
hina! Jangan bergerak atau pinceng akan membunuh puterimu ini di depan
matamu!"
Kok Beng
Lama tersentak kaget, menengok dan memandang dengan diam seperti arca. Lak Beng
Lama telah berada di situ, tangan kanan memegang tongkat yang ditodongkan ke
ubun-ubun seorang dara remaja yang dikempit dengan lengan kirinya. Gadis itu
sama sekali tidak dapat bergerak, tanda bahwa dia telah menjadi korban totokan.
Kok Beng
Lama mengenal gadis yang pernah ditolongnya di muara Sungai Huang-ho itu, dan
sekarang nampak nyata olehnya betapa mirip wajah gadis itu dengan wajah bekas
kekasihnya yang telah tewas, Pek Cu Sian! Dia mengeluarkan suara gerengan keras
dan matanya seperti mengeluarkan api memandang kepada tiga orang pendeta itu.
Sin Beng
Lama dan Hun Beng Lama telah mendapat kesempatan menguasai diri mereka dan
sudah berdiri di dekat Lak Beng Lama yang mengempit tubuh Pek Hong Ing.
"Kok
Beng Lama, sebelum engkau bergerak, puterimu akan pinceng bunuh!"
Kok Beng
Lama tak mempedulikan ucapan itu, dengan suara gemetar seperti orang sakit
demam dia berkata kepada Hong Ing yang sejak tadi dipandangnya tanpa berkejap
mata, "Nona muda, siapakah namamu?"
Hong Ing yang
tidak dapat bergerak itu semenjak tadi pun memandang kepada Kok Beng Lama
dengan wajah pucat. Dia pun meragukan apakah benar pendeta tua yang bertubuh
tinggi besar seperti raksasa, yang sikapnya amat mengerikan ini, adalah
betul-betul ayah kandungnya?
Mendengar
pertanyaan itu, dia diam saja sebab urat gagunya telah tertotok, membuat dia
tidak dapat mengeluarkan suara. Mendadak Sin Beng Lama menggerakkan ujung
lengan bajunya, menyambar ke arah leher Hong Ing, dan terbebaslah dara itu dari
totokan yang membuatnya gagu.
"Aku...
namaku Pek Hong Ing..."
Hong Ing
menjawab dengan suara agak kaku karena baru saja dia terbebas.
"Siapa
gurumu?" Kembali Kok Beng Lama bertanya.
"Go-bi
Sin-kouw..."
"Siapa
nama ibumu?" Pertanyaan ini keluar dengan lirih dan parau.
"Nama
ibu, Pek Cu Sian..."
"Cu
Sian...!" pengulangan nama dari mulut Kok Beng Lama ini terdengar
menyerupai keluhan. "Tahukah engkau siapa ayahmu?"
"Ibu
tidak pernah sempat memberi tahuku tapi... tapi... tiga orang Locianpwe itu
mengaku para susiok-ku dan membawaku ke sini, katanya hendak dipertemukan
dengan ayahku, ternyata aku diperlakukan sebagai tawanan. Kata mereka, ayahku
bernama Kok Beng Lama..."
Kok Beng
Lama menggereng dan tiga orang kakek itu sudah siap-siap melawan, ada pun Lak
Beng Lama telah menempelkan tongkatnya di ubun-ubun kepala Hong Ing, juga para
anggota Lama sudah mengurung lagi tempat itu.
"Akulah
Kok Beng Lama! Hong Ing, setidaknya usiamu sudah empat lima tahun ketika engkau
masih kecil engkau tinggal di ruang di mana aku terhukum. Ingatkah engkau akan
sesuatu di tempat itu?"
"Aku...
aku hanya ingat berada di dalam satu ruangan yang luas bersama ibu dan seorang
laki-laki yang selalu bersemedhi, hal yang tidak dapat kulupakan adalah bahwa
laki-laki itu sering kali menari-nari di sekeliling sebuah arca besar sebesar
manusia..."
"Engkau
anakku...!" Tiba-tiba Kok Beng Lama menggereng keras. "Akulah
laki-laki itu... sedang berlatih silat, Hong Ing, engkau anakku...!" Seperti
gila kakek itu lalu memandang ke sekelilingnya. "Hayo bebaskan dia! Kalau
tidak, kubasmi kalian semua!"
"Kok
Beng Lama, puterimu berada di dalam kekuasaan kami, sepantasnya bila kami yang
mengajukan usul, bukan engkau yang menuntut. Engkau telah membuat dosa besar
dan untuk menjaga kehormatan serta wibawa perkumpulan, engkau sebagai seorang
anggota pimpinan yang menyeleweng harus dihukum. Menyerahlah dan engkau akan
kami hukum sesuai dengan peraturan, dan puterimu yang memang tidak berdosa
apa-apa tidak akan kami ganggu bahkan akan kami perlakukan sebagai murid
keponakan kami yang tercinta. Sebaliknya kalau kau melawan, terpaksa kami akan
membunuh dulu puterimu sebelum membunuhmu." Suara halus Sin Beng Lama itu
terdengar jelas oleh semua orang karena keadaan di situ amat tegang dan sunyi.
Kok Beng
Lama memandang ragu kepada Hong Ing, dan dara itu cepat berkata dengan suara
lantang, "Locianpwe, jika benar engkau adalah ayah kandungku, jangan
dengarkan bujukan mereka! Aku tidak takut mati, tidak perlu engkau menyerah
kepada mereka dan berkorban untuk aku!"
Mendengar
ini, sepasang mata yang tadinya mengeluarkan sinar kemarahan dan wajah yang
keruh serta merah itu berubah. Sinar matanya lembut memandang Hong Ing dan
wajahnya berseri. "Engkau adalah anakku, tak salah lagi! Keberanianmu,
sikapmu, persis sikap ibumu Pek Cu Sian! Sin Beng Lama, ajukan usulmu agar
kupertimbangkan!"
Sin Beng
Lama kelihatan lega sekali. Dia dan Hun Beng Lama sudah terluka cukup parah dan
kalau pertandingan terus dilanjutkan, bukan tidak mungkin akan terjadi seperti
yang diancamkan oleh Kok Beng Lama, yaitu mereka semua akan terbasmi habis.!
"Kok
Beng Lama, betapa pun besar dosa-dosamu, akan tetapi mengingat engkau adalah
bekas pimpinan dan telah banyak berjasa demi kemajuan perkumpulan kita puluhan
tahun yang lalu, maka kami pun akan bertindak seadil-adilnya. Perbuatanmu yang
sesat akan menghancurkan kehormatan perkumpulan kalau engkau masih berkeliaran
di dunia luar, seakan-akan perkumpulan kami tidak mampu bertindak terhadap
dirimu. Oleh karena itu, engkau akan kami jatuhi hukuman bertapa di dalam sel
penjara selama hidupmu. Usiamu sudah tinggi, maka hukumanmu tentu juga tidak
berapa lamanya dan hukuman itu hanya untuk mencegah engkau merusak nama
perkumpulan di luar Tibet."
"Hemmm,
kalau aku menerima hukuman itu, apa imbalannya?"
"Puterimu
akan kami pelihara baik-baik. Dia bisa tinggal di sini sebagai keluarga
sehingga sewaktu-waktu dapat menjengukmu di dalam penjara."
Kok Beng
Lama mengerutkan alisnya dan berpikir keras, kemudian mengangguk. "Cukup
adil... cukup adil... aku pun tidak ada niat berkelana, kalau aku dahulu pergi
hanya untuk mencari Pek Cu Sian dan puterinya. Setelah Hong Ing berada di sini,
perlu apa aku pergi? Akan tetapi, bagaimana kalau kalian mengkhianati dan kelak
mengganggu anakku?"
"Kok
Beng Lama!" Sin Beng Lama berteriak marah. "Engkau sendiri sudah tahu
betapa Lama Jubah Merah lebih menghargai janji dari pada nyawa! Pinceng sendiri
yang berjanji tidak akan mengganggu Pek Hong Ing, tak akan memaksanya melakukan
sesuatu di luar kehendaknya kalau engkau suka menyerah dan menjalani hukuman
itu!"
"Bagus!
Aku percaya akan janjimu, Sin Beng Lama."
"Akan
tetapi, pinceng belum mendengar janjimu, Kok Beng Lama."
"Ha-ha-ha,
engkau memang selalu cerdik, Sute! Nah, dengarlah. Aku, Kok Beng Lama, berjanji
tak akan memberontak lagi selamanya dan akan mentaati perintah para pimpinan
Lama Jubah Merah."

"Omitohud...!
Para dewa menjadi saksinya!" kata Sin Beng Lama dengan girang dan dia
berkata kepada sute-nya, "Lak Beng Lama, bebaskan Pek Hong Ing supaya dia
dapat bertemu dengan ayah kandungnya!"
Lak Beng
Lama segera membebaskan totokan Hong Ing dan melepaskan gadis itu dari
kempitannya. Begitu dia terlepas, dengan terhuyung-huyung Hong Ing lari
menghampiri Kok Beng Lama, kemudian menjatuhkan diri di hadapan kakek itu
sambil berseru penuh keharuan, "Ayaaaahhh...!"
Kok Beng
Lama menunduk, memandang pada gadis yang sedang berlutut itu, kemudian
menengadah ke langit sambil tertawa bergelak, kedua tangannya meraih ke bawah
dan tubuh Hong Ing lantas terangkat, tahu-tahu sudah dirangkul dan dipeluknya.
"Ha-ha-ha-ha!
Kau... anakku...! Ha-ha-ha, akhirnya kita berkumpul juga di tempat di mana kau
dilahirkan. Biarlah kau tetap memakai she Pek seperti ibumu, she yang sangat
bagus dan terhormat. Pek Hong Ing, kau maafkanlah ayahmu yang tidak becus
membahagiakan ibumu, akan tetapi setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk
anaknya, yaitu engkau, Anakku!" Lalu diciumnya ubun-ubun kepala Hong Ing
dengan penuh kasih sayang.
Hong Ing
sudah cepat menghapus air matanya dan sambil menyandarkan kepala di dada
ayahnya yang amat bidang dan kuat itu, dia berbisik, "Ayah, setelah aku
dibebaskan, mari kita pergi saja dari sini. Aku... aku tidak akan betah tinggal
di tempat ini, Ayah." Dia tidak berani bicara terus terang betapa dia
merasa amat rindu kepada seorang pemuda yang dicintanya.
Ayahnya
menggelengkan kepala. "Janji lebih penting dari pada segalanya, Anakku.
Kau tinggallah di sini, sebagai keluarga terhormat dan lebih dari semua itu,
setiap hari engkau dapat menjengukku di penjara karena aku akan mewariskan
seluruh ilmu kepandaianku kepadamu!"
Hong Ing
merasa kecewa dan berduka sekali sehingga air matanya mengalir lagi. Akan
tetapi Kok Beng Lama mengira bahwa anaknya menangis saking senangnya, maka dia
tertawa-tawa lagi.
"Kok
Beng Lama, sudah cukup kiranya pertemuan dengan puterimu. Setiap hari engkau
masih akan dapat bertemu dengannya. Sekarang, marilah kami antar engkau
memasuki tempat hukumanmu!"
Karena
hatinya merasa gembira, Kok beng Lama mengangguk dan sambil tertawa-tawa dia
diantar ke tempat hukuman, di mana dulu dia mendekam selama sepuluh tahun. Bila
dahulu dia menghabiskan waktu hukuman dengan memperdalam ilmu-ilmunya, sekarang
dia hendak menghabiskan waktu hukuman dan sisa hidupnya untuk mewariskan
seluruh ilmunya itu kepada anak tunggalnya, Pek Hong Ing.
***************
“Susiok, aku
tidak bicara main-main. Aku ingin menebus dosa ibuku!"
Sin Beng
Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saling pandang mendengar ucapan Hong Ing
yang pagi hari itu datang menghadap mereka di ruangan dalam setelah mereka
selesai melakukan upacara sembahyang dan membaca doa pagi.
"Kenapa,
Hong Ing? Bukankah kau hidup cukup terhormat dan senang di sini? Bukankah kami
memperlakukan engkau dengan baik seperti janji kami dan semua anggota bersikap
hormat kepadamu?" tanya Sin Beng Lama.
"Benar
Susiok, akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku melakukannya untuk menebus dosa
ibuku. Ibu telah melakukan dosa kepada agama kita dan untuk dosa itu sekarang
Ayah yang menanggung derita dan hukumannya. Semua ini terjadi karena kutukan
Dewa, sehingga aku pun hidup sengsara dan hatiku disakiti orang. Maka, aku
hendak menebus dosa dengan mengorbankan diri kepada Dewa sebagai pengganti
ibuku. Karena ibuku melarikan diri dari tangan Dewa, maka Dewa telah
mengutuknya dan sebagai puterinya tentu aku akan mereka kutuk pula."
"Omitohud...
engkau hebat sekali, Pek Hong Ing. Engkau seorang wanita yang suci dan bersih
hatimu, dan engkau memang pantas sekali menjadi kekasih Dewa," kata Sin
Beng Lama dengan pandang mata penuh kagum.
"Aku
memang sudah ditakdirkan menjadi kekasih Dewa, Susiok. Hampir setiap malam aku
sudah bermimpi dan selalu bertemu dan dicumbu rayu oleh Dewa yang bertangan
enam bermuka tiga..."
"Siancai...!"
"Omitohud...!"
Tiga orang
pendeta Lama itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada dan mulut mereka
berkemak-kemik membaca doa. Ketika mereka memandang lagi kepada Hong Ing,
pandang mata mereka berubah, amat kagum dan menghormat sekali!
"Keponakanku
yang baik, Pek Hong Ing. Semua itu adalah tanda-tanda dari Dewa dan sudah
semestinya kalau kita semua mentaatinya. Akan tetapi, kami tidak berani karena
ayahmu pasti akan mengamuk bila mana mendengar engkau akan mengorbankan dirimu
kepada Dewa."
"Ayah
sudah berjanji tidak akan memberontak lagi, Susiok. Ada pun urusan ini tidak
ada sangkut pautnya dengan Ayah. Sesungguhnya, perbuatan Ayah itulah yang
membuat aku mengambil keputusan ini. Ibu sudah berdosa kepada Dewa, juga Ayah
sudah berdosa, maka terlahirlah aku yang harus menebus dosa mereka itu dengan
mengorbankan diri kepada Dewa."
"Bagus,
bagus! Pinceng yakin bahwa seorang perawan seperti engkau ini tentu dapat
menjadi kekasih Dewa, Hong Ing."
"Akan
kuusahakan supaya Dewa mencintaku, Susiok, sehingga aku dapat membujuknya
mengampuni ayah-ibuku, juga agar Dewa memberkahi para Susiok dan agama kita
ini..."
"Omitohud...!"
Tiga orang itu berseru dengan girang sekali.
"Akan
tetapi," Sin Beng Lama berkata lagi, meragu. "Kami telah berjanji
kepada ayahmu untuk memperlakukanmu dengan baik, tidak akan
mengganggumu..."
"Susiok,
urusan ini tidak ada pihak yang mendesak atau didesak. Susiok sekalian sudah
memperlakukan aku dengan baik, Susiok sekalian juga tidak melanggar janji
kepada Ayah. Aku mau mengorbankan diriku kepada Dewa atas kehendakku sendiri,
secara suka rela. Kelak kalau sudah tiba masanya, biar aku sendiri yang akan
memberi penjelasan kepada Ayah dan aku tanggung dia tidak akan dapat melakukan
apa pun kecuali hanya menyesali dosa-dosanya dahulu."
"Ahh,
engkau hebat dan baik sekali, Anakku..." Sin Beng Lama sampai harus
mengusap dua titik air matanya saking terharu hatinya.
Tentu saja
apa yang diusulkan oleh dara itu amat besar artinya bagi mereka. Bayangkan
saja. Keponakannya akan menjadi kekasih Dewata! Menjadi kekasih Dewa Syiwa yang
maha sakti dan hal itu tentu akan mengangkat kedudukan rohani mereka! Dengan
adanya seorang keponakan mereka yang menjadi kekasih Dewa, maka sorga dan
nirwana sudah berada di telapak tangan mereka!
"Bukan
aku yang baik, Susiok, sebab hal itu hanyalah merupakan kewajibanku menebus
dosa orang tua. Akan tetapi aku mengharapkan kebaikan dari Susiok agar bisa
memenuhi permohonanku yang terakhir yang juga merupakan syarat tunggalku untuk
melaksanakan pengorbanan diri."
"Permohonan
terakhir seorang perawan suci merupakan perintah! Katakan saja apa yang harus
kami lakukan?" Hun Beng Lama cepat berkata penuh semangat sebab
berdasarkan kepercayaannya dia merasa yakin bahwa nanti dia pun akan menerima
anugerah dan ikut memperoleh sepercik berkah dari Dewa.
"Aku
mendengar bahwa seseorang yang dengan setulus hatinya hendak berbakti kepada
Dewa haruslah dengan hati bersih dari segala perasaan dendam, benci dan
kemarahan."
"Benar
sekali! Memang Dewa menghendaki seorang anak perawan yang suci dan bersih lahir
batin."
"Itulah
yang menjadi penghalang, Susiok. Aku pernah mencinta seorang pemuda, akan
tetapi dia sudah memarahkan hatiku, membuatku menaruh dendam dan merubah
cintaku menjadi kebencian. Oleh karena itu, sebelum melihat dia diseret ke
depan kedua kakiku, perasaan itu akan terus berada di dalam hatiku, membuat aku
kurang bersih jika kelak menghadap Dewa yang agung. Maka, aku mohon kepada
Susiok agar suka turun gunung dan menangkap pemuda yang menyakitkan hatiku itu.
Sesudah melihat dia tertangkap di sini, barulah dengan hati lapang dan bersih
aku akan mengorbankan diri dengan suka rela dan biar dia menyaksikan dengan
mata kepalanya sendiri sebagai hukumannya."
"Pemuda
itu... yang menemanimu di pulau kosong itu?" tanya Sin Beng Lama.
"Benar
dialah orangnya. Bagaimana Susiok dapat menduganya demikian tepat?"
"Pinceng
sudah mendengar kata-katanya saat dia membelamu, dan juga melihat engkau
menampar mukanya..."
"Memang
dia amat menyakitkan hatiku, Susiok. Karena itu, kalau Susiok sekalian dapat
memenuhi permintaanku, yaitu menangkap pemuda itu dan membawanya ke sini, maka
siaplah aku untuk mengorbankan diri kepada Dewa."
"Benarkah
kata-katamu itu?"
"Aku
berjanji dan janji lebih berharga dari pada mati!"
"Baik,
kalau begitu, biarlah kedua Sute Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama memenuhi
permintaanmu itu, menangkap pemuda yang kau maksudkan dan menyeretnya ke depan
kakimu. Hun Beng Sute dan Lak Beng Sute, pemuda itu cukup lihai akan tetapi
pinceng yakin bahwa Sute berdua akan mampu membekuknya."
"Baik,
Suheng," Hun Beng Lama menjawab. "Hong Ing, siapakah nama pemuda itu
dan di mana adanya dia? Apakah masih di pulau kosong itu?"
"Bukan,
bukan di sana. Kami berdua hanya menggunakan tempat itu sementara saja, Susiok.
Sesudah aku pergi ikut dengan Sam-wi Susiok (Paman Guru Bertiga) dia pasti
segera meninggalkan tempat itu."
"Habis,
di mana kami harus mencarinya?"
"Aku
tahu di mana adanya pemuda itu. Yap Kun Liong, nama pemuda itu, sekarang pasti
berada di puncak Cin-ling-san. Dia adalah murid keponakan dari Ketua
Cin-ling-pai dan dia bermain cinta dengan puteri ketua yang menjadi paman
gurunya itu. Karena itulah aku menjadi sakit hati. Karena itu harap Ji-wi
Susiok (Paman Guru Berdua) suka mencarinya di Cin-ling-san."
Tiga orang
Lama itu sama sekali tidak pernah mendengar nama Ketua Cin-ling-pai, maka
mereka tidak menaruh curiga apa-apa. Karena sudah pernah bertemu dengan Yap Kun
Liong, maka Sin Beng Lama merasa yakin bahwa dua orang sute-nya sudah cukup
untuk menangkap pemuda itu. Maka berangkatlah kedua orang pendeta Lama itu
meninggalkan Tibet dengan hati penuh semangat dan kegembiraan karena menganggap
perintah dari ‘perawan suci’ ini merupakan tugas yang mulia bagi mereka.
Tentu saja
semua itu adalah siasat yang sangat cerdik dari Hong Ing. Dara ini tentu saja
tidak betah tinggal di tempat itu, dan meski pun dia mulai menerima gemblengan
ayahnya yang sakti, namun ayahnya tidak mau melanggar janji dan tidak mau pergi
bersamanya meninggalkan tempat itu, bahkan ayahnya mengambil keputusan hendak
menghabiskan sisa hidupnya di tempat hukuman itu!
Karena
maklum bahwa sia-sia saja untuk membujuk ayahnya, Hong Ing lalu mencari akal.
Dia tahu dengan pasti bahwa Kun Liong tentu berusaha menyusul dan mencarinya,
maka dia lalu mempergunakan siasat untuk menghubungi Kun Liong, bahkan dengan
cerdik dia memberikan alamat Cin-ling-pai dengan tujuan untuk menarik perhatian
Ketua Cin-ling-pai yang sangat sakti sehingga Kun Liong memperoleh bala bantuan
yang amat kuat. Kalau ada Lama mencari Kun Liong di Cin-ling-pai, tentu
Pendekar Sakti Cia Keng Hong akan tertarik dan akan ikut turun tangan, apa lagi
karena dua orang Lama yang mengandalkan kepandaiannya itu tentu akan berterus
terang untuk menangkap Kun Liong.
Sesudah
kedua orang Lama itu berangkat, legalah hati Hong Ing dan dia hanya menanti
dengan sikap gembira. Membayangkan Kun Liong akan datang ke tempat itu memberi
kekuatan yang ajaib kepadanya, membuatnya gembira sekali karena andai kata
siasatnya gagal dan Kun Liong benar-benar ditangkap dan dibawa ke situ, dia
akan rela menderita atau mati sekali pun asal berada di dekat pemuda itu. Dalam
kegembiraan yang didorong harapan bisa bertemu kembali dengan pemuda yang
dicintainya itu, Hong Ing mulai tekun mempelajari serta melatih ilmu yang
diajarkan oleh ayahnya yang sama sekali tidak tahu akan siasat yang dijalankan
oleh puterinya.
***************
"Ibu
mengapa Ayah belum juga pulang?" anak laki-laki berusia lima tahun itu
merengek kepada ibunya.
Wanita yang
usianya kurang lebih empat puluh tahun dan masih amat cantik itu menarik napas
panjang, lalu menjawab dengan nada suara yang merasa kesal hatinya. "Semua
ini gara-gara enci-mu! Akan tetapi kurasa tak lama lagi dia akan pulang Bun
Houw!"
Wanita itu
adalah Sie Biauw Eng atau Nyonya Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai, ada pun anak
laki-laki itu adalah Cia Bun Houw, anak ke dua atau putera tunggal suami isteri
pendekar ini. Cin-ling-pai yang mempunyai banyak anggota atau anak murid itu
kelihatan sunyi setelah Cia Keng Hong pergi, apa lagi setelah terlebih dahulu
Giok Keng lolos dari tempat itu.
"Akan
tetapi aku sudah rindu kepada Ayah dan Cici, Ibu."
"Sabarlah,
Houw-ji (Anak Houw). Seorang calon pendekar harus memiliki kesabaran yang
besar, dan pula, ayahmu tentu baru akan pulang kalau sudah berjumpa dengan
enci-mu Giok Keng."
"Dasar
Enci yang nakal, pergi saja kerjanya! Ibu, kalau aku sudah besar, apa aku juga
boleh merantau seperti Enci Keng?"
"Tentu
saja boleh, akan tetapi engkau harus sudah dewasa dan ilmu kepandaianmu untuk
menjaga diri sudah cukup kuat. Karena itu kau harus rajin berlatih, Houw-ji.
Mari kita ke tempat latihan, pasangan kuda-kuda yang kau latih kemarin itu
masih belum baik benar, juga gerakan langkah kakimu masih kurang tepat."
Ibu dan anak
itu lalu pergi ke kebun belakang di mana mereka biasanya berlatih silat.
Sebagai putera suami isteri pendekar yang berilmu tinggi itu, tentu saja sejak
kecil Bun Houw telah dilatih dasar-dasar ilmu silat oleh orang tuanya dan pada
saat ayahnya pergi sampai berbulan-bulan lamanya, ibunyalah yang melatihnya.
Tentu saja selain pelajaran ilmu silat yang baru dilatih dasar-dasarnya, anak
itu juga diberi pelajaran membaca dan menulis.
Selagi ibu
yang memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat ini memberi petunjuk kepada
puteranya, di luar rumah tempat tinggal Ketua Cin-ling-pai itu terjadi hal yang
menarik pula. Lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang dikepalai oleh Kwee Kin
Ta, berhadapan dengan dua orang pendeta gundul yang berjubah kotak-kotak merah.
Lima orang
itu tentu saja menyambut kedatangan kedua orang pendeta itu dengan sikap
hormat, apa lagi melihat bahwa dua orang itu sudah tua dan terlihat saleh. Yang
seorang memegang sebatang tongkat untuk membantunya berjalan mendaki puncak,
yang ke dua sambil melangkah tiada hentinya mempermainkan biji-biji tasbihnya
seperti orang yang sedang membaca doa.
Setelah
menyambut dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada, menjura sebagai
penghormatan, Kwee Kin Ta lalu bertanya, "Bolehkah kami mengetahui siapa
nama Ji-wi Losuhu (Dua Bapak Pendeta) yang terhormat, dari kuil mana dan ada
keperluan apakah mengunjungi Cin-ling-pai?"
Dua orang
pendeta itu bukan lain adalah Hun Beng Lama yang membawa tasbih dan Lak Beng
Lama yang memegang tongkat. Dengan sikap dan suara halus Hun Beng Lama
menjawab, "Apakah Sicu sekalian ini murid-murid Cin-ling-pai?"
"Benar,
Losuhu."
"Kedatangan
kami adalah hendak mencari seorang yang bernama Yap Kun Liong," kata pula
Hun Beng Lama.
Lima orang
murid Cin-ling-pai itu memandang heran dan beberapa orang anak murid yang
melihat dari jauh kini datang mendekat karena ingin tahu. Maklumlah, tempat
yang sunyi dan tenteram itu jarang menerima kunjungan orang luar. Tentu saja
Kwee Kin Ta dan para sute-nya sekarang sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong
itu, nama yang dipuji-puji guru dan ibu guru mereka.
"Dia
tidak berada di sini, Losuhu," jawab Kwee Kin Ta tanpa ragu-ragu lagi.
"Kalau
begitu di mana dia?" Tiba-tiba Hun Beng Lama bertanya dan pandang matanya
tajam penuh selidik. Melihat sinar mata yang amat tajam berpengaruh itu, Kwee
Kin Ta menjadi terkejut, juga merasa curiga.
"Kami
tidak tahu dia berada di mana," jawabnya.
"Agaknya
kalian tidak tahu apa-apa, baiklah pinceng hendak menemui Ketua Cin-ling-pai
saja!" Kedua orang pendeta itu segera melangkah hendak memasuki pintu
depan rumah tinggal Cia Keng Hong.
"Ehh,
nanti dulu, Ji-wi Losuhu! Guru kami juga sedang tidak ada, akan tetapi kalau
hanya urusan derma untuk kuil saja cukup dapat diselesaikan dengan kami sebagai
wakil ketua kami."
"Hemm,
pinceng tidak membutuhkan derma, akan tetapi hendak bertemu dengan Ketua
Cin-ling-pai...!" kata pula Hun Beng Lama dan bersama sute-nya dia terus
saja masuk ke dalam rumah.
"Tahan
dulu...!" Kwee Kin Ta berseru marah. "Harap sebagai orang-orang
beribadat Ji-wi Losuhu tahu sedikit aturan dan tidak menyelonong masuk begitu
saja tanpa ijin! Biarlah kami laporkan kepada Subo (Ibu Guru) kami!"
Dua orang
pendeta itu berhenti dan saling pandang, kemudian mereka mengikuti Kwee Kin Ta
dan para sute-nya yang pergi menuju ke taman bunga di belakang rumah, di mana
ibu guru mereka biasanya sedang melatih puteranya.
Melihat
betapa kedua orang pendeta tua yang aneh itu mengikuti mereka, mereka tidak
dapat melarang dan cepat-cepat memasuki taman.
"Heii,
ada apakah kalian datang ke sini, Kin Ta?" Sie Biauw Eng menegur tidak
senang karena merasa terganggu.
"Maaf,
Subo. Ada dua orang pendeta yang hendak berjumpa dengan Kun Liong. Setelah
teecu beri tahu tidak ada, lalu memaksa hendak bertemu dengan Suhu."
Sie Biauw
Eng mengangkat muka dan melihat dua orang pendeta tua yang memasuki taman.
Sekelebatan saja mengertilah nyonya ini bahwa dua orang pendeta yang kelihatan
lemah dan halus itu tentunya mempunyai urusan penting sekali dan agaknya
merupakan orang-orang yang biasa diturut kehendaknya hingga sekarang mereka
berani memasuki taman tanpa ijin.
"Kalian
minggirlah!" katanya kepada para anggota Cin-ling-pai yang sekarang
memenuhi taman, kemudian dengan langkah tenang nyonya ketua ini maju menyambut
kedatangan dua orang pendeta itu. Melihat pakaian mereka, Sie Biauw Eng dapat
menduga bahwa dia kini berhadapan dengan pendeta-pendeta Lama dari barat, maka
dia bersikap hati-hati karena maklum bahwa pendeta-pendeta Lama banyak yang
memiliki kepandaian tinggi.
Setelah
berhadapan, Sie Biauw Eng yang berpemandangan tajam itu dapat melihat dari
sinar mata kedua orang pendeta itu bahwa mereka adalah orang-orang yang
mempunyai sinkang kuat sekali, maka diam-diam dia terkejut dan cepat mengangkat
dua tangannya memberi hormat yang dibalas oleh mereka.
"Selamat
datang di Cin-ling-san, Ji-wi Losuhu. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah
Ji-wi hendak menemui suamiku?" Sie Biauw Eng bertanya dengan suara lembut
namun pandang matanya penuh selidik.
"Maafkan
pinceng, Toanio. Kedatangan kami berdua ini adalah untuk mencari seseorang yang
bernama Yap Kun Liong karena urusan pribadi. Kami tidak memiliki urusan dengan
Cin-ling-pai."
"Silakan
Ji-wi duduk di ruangan tamu di mana kita dapat bicara dengan sebaiknya."
Hun Beng
Lama menggerakkan tangan kirinya, digoyang-goyang. "Tidak usah, Toanio.
Terima kasih atas kebaikanmu. Di sini pun sama saja."
"Losuhu,
di sini tidak ada orang yang bernama Yap Kun Liong."
Kedua orang
pendeta itu memandang dengan tajam penuh selidik. "Benarkah demikian?
Bukankah ada hubungan antara Ketua Cin-ling-pai dengan pemuda yang bernama Yap
Kun Liong itu?"
"Tidak
salah. Dia memang murid keponakan suamiku, akan tetapi pada saat ini Yap Kun
Liong tidak berada di sini. Sebagai Bibi Gurunya, bolehkah aku mengetahui apa
maksud Ji-wi mencari Yap Kun Liong."
"Kami
hendak menangkapnya," jawab Hun Beng Lama dengan tenang. Pendeta ini
terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri, karena itu dia merasa tidak perlu
menyembunyikan niatnya dari siapa pun yang toh tidak akan dapat menghalanginya.
Jawaban ini
tentu saja mengejutkan semua orang, terutama sekali Sie Biauw Eng. Tetapi kalau
para murid Cin-ling-pai kelihatan kaget adalah nyonya cantik ini tenang-tenang
saja.
"Ibu...,
kata Ibu para pendeta adalah orang-orang suci, mengapa dua orang ini hendak
menangkap orang? Apakah mereka pendeta-pendeta palsu?"
"Hushh,
Houw-ji, diamlah kau dan jangan turut campur." Sie Biauw Eng kaget
mendengar kelancangan mulut puteranya.
Dua orang
pendeta itu menjadi merah mukanya dan mereka melirik ke arah Bun Houw, diam-diam
mereka terkejut dan kagum melihat anak laki-laki yang dari jauh saja sudah
nampak memiliki tulang baik dan bakat untuk menjadi seorang pandai!
"Ji-wi
Losuhu sudah jauh-jauh datang ke Cin-ling-pai dengan sia-sia belaka karena yang
dicari tidak ada di sini. Bolehkah aku mengetahui nama julukan Ji-wi yang mulia
dan dari golongan manakah?"
"Pinceng
adalah Hun Beng Lama dan ini adalah Sute Lak Beng Lama. Kami datang dari jauh
sekali, dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet, sengaja datang untuk
menangkap pemuda yang bernama Yap Kun Liong. Apa bila dia tidak ada, biarlah
kami bicara dengan Ketua Cin-ling-pai yang menjadi paman gurunya, karena
sebagai paman gurunya tentu akan tahu di mana adanya pemuda itu."
"Sayang
sekali, Losuhu. Suamiku pun sedang turun gunung dan sudah beberapa bulan belum
pulang. Aku sendiri pun tidak tahu di mana adanya Yap Kun Liong dan suamiku
pada saat ini."
Hun Beng
Lama dan Lak Beng Lama saling pandang dengan hati kesal. Hun Beng Lama menarik
napas panjang.
"Huhhh...
sungguh tidak kebetulan sekali...!" Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berseri
dan dia menoleh ke arah Cia Bun Houw yang berdiri di dekat ibunya. "Ada
jalan baik! Toanio, urusan kami dengan Yap Kun Liong amat penting. Apa pun yang
terjadi di dunia ini, Yap Kun Liong harus menjadi tawanan kami. Karena dia
tidak ada, suamimu tidak ada, dan engkau juga tidak tahu di mana adanya mereka,
maka suamimu sebagai paman gurunya harus bertanggung jawab. Sebab itu, sebagai
gantinya, pinceng akan membawa puteramu ini, dan kelak kalau suamimu datang ke
Tibet mengantarkan Yap Kun Liong, kami akan mengembalikan puteramu."
"Pendeta
iblis keparat!" Sie Biauw Eng tidak dapat menahan lagi kemarahan hatinya.
Memang pada
dasarnya, Biauw Eng adalah seorang wanita yang berwatak keras, berani dan
bahkan agak ganas. Di dalam cerita Pedang Kayu Harum digambarkan dengan jelas
akan watak dan sepak terjang Sie Biauw Eng ketika masih muda. Kini dia sudah
menjadi ibu dari dua orang anak, bahkan anak yang pertama, yaitu Cia Giok Keng,
telah dewasa sehingga dia telah menjadi setengah tua. Usia dan kedudukannya
sebagai isteri Ketua Cin-ling-pai membuat dia dapat bersikap tenang dan sabar.
Akan tetapi,
begitu tersentuh dan tersinggung perasaan marahnya, dia bagaikan sebatang
mercon yang dinyalakan sumbunya, meledak dengan hebat dan berubah menjadi
seekor singa betina! Begitu mendengar niat pendeta itu hendak menculik
puteranya untuk kelak ‘ditukar’ dengan Yap Kun Liong, dia memaki lalu
mengeluarkan pekik melengking, sekali kakinya terayun tubuh puteranya mencelat
ke arah Kwee Kin Ta dibarengi seruannya,
"Kin
Ta, jaga adikmu!" kemudian dia telah menerjang dengan kedua tangannya,
mengirim pukulan-pukulan dengan jari tangan terbuka berturut-turut tujuh kali
ke arah jalan darah di bagian tubuh yang paling berbahaya dari Hun Beng Lama!
"Omitohud...!"
Hun Beng Lama terkejut bukan main.
Tak
disangkanya bahwa nyonya cantik ini memiliki kecepatan yang sedahsyat itu.
Hanya dengan susah payah, mencelat ke sana-sini sambil menggerakkan tasbihnya,
dia dapat menghindarkan diri, kemudian tasbihnya diputar mengeluarkan suara
berketrik menulikan telinga mereka yang mendengarnya.
Elakan-elakan
kakek itu membuat Biauw Eng maklum akan kebenaran dugaannya bahwa dia
berhadapan dengan orang pandai, karena itu dia tidak memberi kesempatan kepada
lawan untuk balas menyerang, melainkan telah menerjangnya dengan
serangan-serangan dahsyat, memainkan ilmu silatnya yang sangat cepat dan
mengerahkan pukulan-pukulan berdasarkan sinkang yang amat ditakuti orang ketika
dahulu dia masih malang-melintang di dunia kang-ouw, yaitu Ilmu Pukulan
Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun). Pukulan ini sangat hebat, jangankan sampai
telapak tangan nyonya cantik itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya
saja sudah cukup untuk merobohkan lawan tangguh!
Mengapa
isteri seorang pendekar sakti seperti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai sampai
memiliki ilmu pukulan beracun sekeji itu? Hal ini tidaklah aneh bagi yang telah
membaca cerita Pedang Kayu Harum, karena memang di waktu mudanya Sie Biauw Eng
adalah puteri dan murid tokoh atau datuk kaum sesat! Bahkan pada waktu itu dia
sendiri dijuluki orang Song-bun-kwi (Wanita Cantik Berkabung) karena pakaiannya
selalu putih.
Dahulu pada
waktu masih gadis saja Sie Biauw Eng telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat
luar biasa, apa lagi setelah menjadi isteri Pendekar Sakti Keng Hong dia
mendapat petunjuk suaminya, maka dapat dibayangkan betapa lihai adanya wanita
ini.
"Trik-trrriiiikkk...!"
Tasbih di
tangan Hun Beng Lama mengeluarkan bunyi berdetrik nyaring lantas senjata itu
menyambar ke arah tubuh lawan dengan tenaga mukjijat dan dengan kecepatan
seperti kilat menyambar.
“Wuuuttt...
wirrr... tar-tar-tar...!"
"Hebat...!"
Hun Beng Lama memuji lagi dengan kagetnya ketika serangan tasbihnya itu
tiba-tiba dihadang oleh selembar cahaya putih halus yang tidak saja menangkis
sambaran tasbihnya, malah cahaya yang ternyata hanyalah sehelai sabuk sutera
tipis itu membalas dengan sambaran dahsyat dan ujung sabuk itu mengeluarkan
suara meledak-ledak bagai halilintar menyambar.
Inilah
senjata istimewa nyonya itu yang hanya dikeluarkan apa bila dia menghadapi
lawan tangguh yang sukar dikalahkannya dengan tangan kosong. Sabuk sutera itu
terkenal di dunia kang-ouw dengan nama Pek-in Sin-pian (Cambuk Sakti Awan
Putih) karena kalau dimainkan oleh Sie Biauw Eng bentuk sabuk sutera itu lenyap
sama sekali, yang tampak hanyalah cahaya bergulung-gulung seperti awan putih,
namun dari awan itu menyambar-nyambar sinar kilat yang dapat membawa maut!
Melihat
betapa nyonya yang lihai itu dapat menandingi suheng-nya, Lak Beng Lama lalu
meloncat ke arah Kwee Kin Ta yang menggandeng tangan Cia Bun Houw dan
melindungi putera subo-nya ini. Melihat gerakan ini, Kwee Kin Ci, adik dari
Kwee Kin Ta dan sembilan orang murid kepala lainnya menerjang maju sambil
berteriak marah.
Terdengar
suara senjata berkerontangan disusul robohnya lima enam orang murid kepala
Cin-ling-pai yang terlempar ke kanan kiri karena kena disapu oleh tongkat di
tangan Lak Beng Lama yang sangat lihai! Kwee Kin Ci membacokkan pedangnya dari
samping kiri, sedangkan para sute-nya yang lain kembali sudah menyerang dari
segala jurusan.
"Plakkk...!"
Tubuh Kwee
Kin Ci lantas tersungkur dan pedangnya patah setelah ditangkis oleh tangan kiri
kakek itu! Dapatlah dibayangkan betapa tingginya tingkat kepandaian Lak Beng
Lama dibandingkan dengan para anak murid Cin-ling-pai itu ketika dengan tangan
kosong saja dia mampu mematahkan pedang bahkan terus merobohkan pemiliknya
dengan hantaman hawa pukulan telapak tangannya.
Melihat
adiknya roboh dan kakek itu jelas hendak merampas Cia Bun Houw, Kwee Kin Ta
sebagai murid kepala yang kepandaiannya paling tinggi mengeluarkan bentakan
nyaring dan pedangnya menusuk ke arah dada kakek itu, sedangkan tangan kirinya
dengan jari tangan terbuka membuat gerakan menusuk ke arah perut.
"Ceppp!
Cepppp!"
Dua tusukan
pedang dan jari tangan itu terhenti pada waktu dengan dua jari telunjuk dan
tengah kiri Lak Beng Lama menjepit pedang yang menusuk dadanya, sedangkan
tangan kiri Kwee Kin Ta itu dibiarkan memasuki perutnya!
"Augghhhhh...!"
Kwee Kin Ta menjerit saat merasa betapa tangan yang memasuki rongga perut
sedalam pergelangan itu tidak dapat dicabutnya kembali dan terasa panas laksana
dibakar!
"Wirrrr...
siuuuuut... tar-tarrr...!"
"Omitohud...!"
Lak Beng Lama berseru kaget dan terpaksa dia melepaskan jepitan tangan dengan
perutnya, membuat Kwee Kin Ta terhuyung ke belakang dengan muka pucat.
Sambaran
sinar putih tadi betul-betul amat berbahaya dan begitu dia mengelak terhadap
ledakan yang menyambar ke arah pelipis kepala sebelah kiri serta ubun-ubunnya,
ujung sabuk sutera putih itu masih mampu melecut pundaknya, membuat jubah di
pundaknya pecah dan kulit pundaknya terasa panas dan perih!
Dalam
keadaan bertanding menghadapi Hun Beng Lama yang lihai masih bisa menolong Kwee
Kin Ta dan menghalangi Lak Beng Lama menangkap puteranya, kehebatan nyonya
Ketua Cin-ling-pai itu benar-benar mengejutkan hati kedua orang Lama itu.
Teringatlah
mereka akan kelihaian Kun Liong dan tahulah mereka bahwa mereka berada di goa
harimau yang amat berbahaya. Baru nyonyanya sudah begini lihai, apa lagi Ketua
Cin-ling-pai itu sendiri! Andai kata Ketua Cin-ling-pai berada di situ, dan Kun
Liong juga, agaknya mereka akan terjebak dan akan celaka!
Pada saat
itu pula Lak Beng Lama yang cerdik sudah dapat menduga bahwa mungkin ini adalah
siasat dari Pek Hong Ing! Maka dia cepat berseru, "Suheng, harap desak
dia...!"
Mendengar
ini, Hun Beng Lama langsung mengeluarkan suara menggereng yang aneh. Tidak
keras namun suara itu terdengar memenuhi udara, kemudian berbareng dengan
gerengannya itu, tiba-tiba tasbihnya bergerak lebih hebat dan kuat.
Kadang-kadang tasbih itu melayang di udara, menyambar ke arah kepala Biauw Eng
seperti benda yang hidup, disusul oleh sepasang tangan kakek itu yang menyerang
ganas dan bertubi-tubi, kadang kala malah dibantu pula oleh serangan kedua
kakinya.
Didesak
sedemikian rupa oleh kakek yang luar biasa lihai ini, terpaksa Biauw Eng harus
mencurahkan seluruh tenaganya sehingga dia tidak lagi dapat mencegah
perhatiannya ke arah Lak Beng Lama yang sedang dikeroyok oleh para anak murid
Cin-ling-pai.
Tiba-tiba
terdengar teriakan Bun Houw, "Ibuuu...! Bebaskan aku...!"
Hati Biauw
Eng kaget sekali dan ketika dia meloncat ke belakang memandang, ternyata
anaknya itu telah berada di dalam pondongan Lak Beng Lama! Tentu saja mudah
sekali bagi pendeta yang lihai ini untuk merampas Bun Houw dari dalam perlindungan
para anak murid Cin-ling-pai dan begitu berhasil memondong Bun Houw, dia lalu
berkata,
"Toanio,
hentikan perlawananmu kalau kau ingin melihat puteramu selamat!"
Menggigil
seluruh tubuh Biauw Eng dan kedua tangannya meremas-remas sabuk sutera putihnya
dalam usahanya mencegah sepasang tangannya bergerak menyerang Lak Beng Lama.
Maklumlah dia sekarang bahwa setelah puteranya tertawan, dia tidak boleh secara
sembarangan saja turun tangan karena hal ini akan membahayakan nyawa puteranya.
Dia memandang dengan bernyala dan gigi berkerot,
"Manusia
iblis...! Kalau kau mencelakakan puteraku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti
sebelum dapat mencincang hancur tubuhmu!" Ucapannya yang penuh kesungguhan
hati ini membuat dua orang Lama itu bergidik karena mereka maklum bahwa seorang
wanita sehebat itu tentu akan memenuhi ancamannya.
"Omitohud...!
Toanio gagah perkasa dan hebat luar biasa! Terimalah rasa hormat serta kagum
dari pinceng." Hun Beng Lama menjura dengan penuh kagum karena harus dia
akui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang wanita
sebagai lawan yang sedemikian hebatnya.
Semenjak
dulu Sie Biauw Eng bukan hanya terkenal sebagai seorang wanita yang amat lihai
dan penuh keberanian tanpa pernah mengenal rasa takut, juga dia terkenal sangat
cerdik. Baru sekarang, saat melihat puteranya berada di tangan musuh, dia
merasa takut sekali. Akan tetapi dia dapat menekan perasaannya, lalu berkata
kepada Bun Houw,
"Houw-ji,
seorang calon pendekar pantang untuk menangis dan dapat menghadapi segala
bahaya dengan tenang, yang penting bukan mati atau hidup, melainkan benar dan
salah!"
Mendengar
ini, Bun Houw mengangguk dan tidak meronta-ronta lagi di dalam pondongan Lak
Beng Lama karena dia mengerti bahwa melawan dan meronta pun tak ada gunanya
sama sekali.
"Hun
Beng Lama, sikap dan pakaianmu saja seperti seorang pendeta Lama yang suci,
tetapi perbuatanmu curang seperti penjahat kecil yang hina. Kenapa kau
membawa-bawa anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Kalau memang gagah dan berani,
bebaskan anakku dan majulah kalian dua orang pendeta-pendeta palsu, kita
bertanding sampai salah satu pihak mati!" Dengan suara lantang dan gagah
Biauw Eng menantang.
"Omitohud...!
Toanio memang hebat! Kami sama sekali tidak suka bermusuhan dengan orang-orang
gagah seperti Toanio. Kami terpaksa menangkap puteramu ini justru karena kami
tidak suka bermusuhan. Kami tidak akan mencelakakan putera Toanio ini, hanya
akan kami ajak ke Tibet untuk bermain-main dan pesiar. Kelak, kalau Toanio atau
suami Toanio datang mengantarkan Kun Liong kepada kami, tentu putera Toanio
akan kami serahkan kembali disertai permohonan maaf kami sekalian. Kami tidak
suka bermusuhan dan bertanding melawan Toanio, karena itu jalan satu-satunya
hanyalah menahan putera Toanio. Nah, selamat tinggal dan sampai jumpa pula di
Tibet di mana Toanio akan dapat mengajak pulang putera Toanio. Mudah-mudahan
waktu itu tidaklah terlalu lama."
Maka
pergilah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama meninggalkan puncak itu. Kwee Kin Ta
yang tulang tangan kirinya patah-patah itu membuat gerakan untuk menyerbu,
begitu pula para anak murid Cin-ling-pai, akan tetapi Biauw Eng langsung
menggerakkan tangan mencegah mereka.
Wanita ini
hanya berdiri memandang, matanya bernyala dan alisnya berkerut, sepasang
tangannya mengepal akan tetapi tak berani membuat gerakan sesuatu. Setelah
bayangan kedua orang pendeta itu lenyap, barulah dia mengeluarkan suara
mengeluh panjang dan tubuhnya terguling roboh. Pingsan!
***************
“In-moi
(Dinda In)...! Tunggu...!"
Teriakan ini
keluar dari mulut Ouwyang Bouw yang sedang mengejar Lauw Kim In yang
berlari-lari. Akan tetapi Kim In tidak menjawabnya, juga tidak menengok,
melainkan berlari terus sambil kadang-kadang mengusap air matanya.
Biasanya,
wanita yang berhati keras dan dingin seperti baja ini pantang menangis, akan
tetapi ucapan yang tadi keluar dari mulut Kun Liong menikam ulu hatinya dan
menyentuh perasaan hatinya yang memang selalu tertekan. Sama sekali dia tidak
mencinta kepada Ouwyang Bouw dan menyerahkan tubuhnya kepada pemuda setan itu
secara terpaksa. Hanya dia seorang yang merasakan betapa tersiksa dan menderita
hatinya setiap kali dia harus menyerahkan tububnya kepada Ouwyang Bouw yang
menganggapnya isterinya itu.
Makin lama
dekat dengan Ouwyang Bouw, maka makin sadarlah dia bahwa ‘suaminya’ itu adalah
seorang yang otaknya tidak waras, otaknya agak miring, bahkan di balik ketidak
wajarannya itu terdapat watak yang luar biasa kejam dan jahatnya!
Seperti
diketahui, dahulu dia menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw
karena terpaksa, yaitu untuk menyelamatkan sumoi-nya, Pek Hong Ing, dan dirinya
sendiri karena mereka berdua kalah melawan Ouwyang Bouw, dan kedua kalinya
karena dia hendak menggunakan kelihaian orang muda gila ini agar dapat membalas
dendamnya terhadap musuh besar yang dahulu membunuh tunangannya, yaitu
Thian-ong Lo-mo.
Dia berhasil
menyelamatkan Pek Hong Ing, bahkan berhasil pula membunuh Thian-ong Lo-mo di
samping berhasil meningkatkan ilmu kepandaiannya atas petunjuk ‘suaminya’. Akan
tetapi, setiap kali apa bila teringat akan keadaan dirinya, apa lagi setiap
kali harus melayani cumbu rayu dan permainan cinta suaminya yang kadang-kadang
tidak lumrah dan mengerikan itu, batinnya makin tertekan.
Ucapan-ucapan
Kun Liong laksana ujung pedang runcing yang menikam jantungnya. Dia diumpamakan
bagai setangkai mawar indah dari Go-bi yang berlumur noda dan lumpur kehinaan.
Betapa tepatnya ucapan itu, maka dia merasa jantungnya tertikam dan sakit
sekali.
Memang kalau
dia pikir, hidupnya sekarang tidak ada artinya sama sekali, hanya menjadi
permainan dan bahan penghinaan seorang laki-laki berotak miring seperti Ouwyang
Bouw saja! Menjadi barang permainan karena dia pun tahu persis betapa anehnya
cinta kasih Ouwyang Bouw kepadanya yang lebih condong kepada sebuah benda
permainan yang tak pernah membosankan hati pemuda gila itu.
Ouwyang Bouw
yang menganggap dia isterinya itu kadang-kadang bermain gila dengan wanita
lain, baik secara suka rela di pihak wanita itu atau memaksa dan memperkosanya,
dilakukan begitu saja di depan matanya tanpa rasa malu sedikit pun! Ouwyang
Bouw tak mengenal apa artinya kesetiaan suami isteri. Bahkan gilanya, Ouwyang
Bouw pernah pula menganjurkan agar dia bermain cinta dengan pria lain di depan
mata suami gila itu!
Ouwyang Bouw
menangkap seorang pemuda tampan, kemudian dengan ancaman maut memaksa pemuda
itu supaya bermain cinta dengan isterinya! Ouwyang Bouw membujuk terus agar dia
suka melakukan hal yang tidak senonoh itu di depan matanya. Tentu saja dia
tidak sudi dan hal itu membuat Ouwyang Bouw marah-marah dan membunuh pemuda
yang tidak berdosa itu! Teringat akan semua ini, hancurlah perasaan hati Kim In
ketika mendengar celaan dan sindiran Kun Liong.
"Isteriku
yang manis...! Dinda Lauw Kim In... tunggulah..., larimu amat cepat seperti
kuda! Ha-ha-ha!" kembali terdengar suara suaminya itu, kini sudah dekat di
belakangnya. Lauw Kim In mempercepat larinya, mengerahkan seluruh ginkang-nya
yang sudah memperoleh banyak kemajuan setelah dia dilatih oleh suami gila itu.
"Wah-wah,
larimu makin kencang! Ha-ha, lucu dan manis sekali dari belakang! Ha-ha-ha,
bagus sekali! Kita menjadi dua ekor kuda yang berkejaran, kau kuda betina dan
aku kuda jantan. Kalau dapat terpegang, kau harus memberi hadiah kepadaku,
ha-ha-ha!"
Lauw Kim In
bergidik, mengerti bahwa suaminya itu ‘kumat’ lagi gilanya, gila birahi yang
kadang-kadang penyalurannya membuat dia merasa ngeri dan jijik. Maka makin
cepatlah dia berlari dengan tekad kalau mampu hendak membebaskan diri dari
manusia itu. Akan tetapi, betapa pun cepat dia lari, naik turun gunung dan
keluar masuk hutan, akhirnya dia tersusul juga.
"Ha-ha-ha,
kau kalah!" Ouwyang Bouw menubruknya dari belakang sehingga Lauw Kim In
terguling di atas rumput. Ouwyang Bouw segera menggelutnya dan memaksanya
sambil terkekeh-kekeh, "Kita memang sepasang kuda... heh-heh, sepasang
kuda yang bermain cinta..."
Dapat
dibayangkan betapa tersiksanya hati wanita itu, namun terpaksa dia harus mandah
saja diperlakukan sesuka hati pria yang mempunyai tingkat kepandaian tinggi
ini. Dia tahu bahwa kalau dia melawan dengan kekerasan, berarti bunuh diri dan
dia tidak mau bunuh diri secara sia-sia. Tubuhnya telah tercemar, telah kotor,
jika ditambah dengan beberapa kali penderitaan lagi sebelum ada kesempatan
baik, tidak mengapalah.
"Isteriku
yang manis... kau hebat..." Ouwyang Bouw merangkul dan mencium mulut Lauw
Kim In yang rebah kelelahan dan mukanya agak pucat itu. Ouwyang Bouw kemudian
ikut tergelimpang dan rebah pula terlentang di dekat Kim In, juga kelelahan dan
dengan mulut tersenyum kepuasan...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment