Tuesday, August 21, 2018

Cerita Silat Serial Petualang Asmara Jilid 37



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
        Serial Petualang Asmara
                  Jilid 24


KUN LIONG menggelengkan kepala. "Bukan dia, Bi Kiok dan kuceritakan pun engkau tidak akan mengenalnya. Kami pun dipisahkan secara keji dan sekarang aku sedang hendak mencarinya, mungkin ke Tibet, entah akan berjumpa lagi dengan dia atau tidak aku belum bisa memastikannya. Memang sudah nasibku harus selalu berpisah dengan orang-orang yang kucinta. Mula-mula dengan ayah bundaku, lalu dengan adik kandungku, kemudian dengan gadis yang kucinta..."

"Dan sekarang dengan adik kandungmu lagi!"

Kun Liong mengangkat mukanya memandang. Wajah dara itu tetap cantik, tetapi pucat dan bertambah dingin, namun suaranya tidak tergetar lagi, bahkan terdengar nyaring dan penuh tantangan!

"Apa maksudmu?"

"Maksudku sudah amat jelas, Kun Liong! Engkau tidak mau hidup bersama kami berdua di tempatku. Baik, nah, pergilah sekarang juga."

"Tapi adikku… In Hong...?"

"Dia itu aku yang menemukannya, dan dia adalah muridku. Apa bila engkau hendak berkumpul dengan dia, nah, ikutlah dengan kami. Kalau tidak, pergilah! Akan tetapi kau ingat selalu, aku tetap cinta kepadamu, sampai mati pun aku akan tetap cinta padamu, maka setiap wanita yang merebutmu dari tanganku, dia akan mati di tanganku pula!"

"Bi Kiok...!"

"Aku sudah bicara! Pergilah!"

"Aku harus membawa adikku bersamaku!"

"Tidak boleh!"

"Bi Kiok, harap kau suka berpikir panjang, suka berlaku adil dan bersikap bijaksana. Dia adalah adikku, adik kandungku!"

"Kakak kandung macam apa kau ini? Aku yang menemukannya, kalau tidak entah apa jadinya dengan dia. Dia muridku, tidak boleh kau bawa seenakmu begitu saja!"

"Akan tetapi, dia adik kandungku. Dia adalah satu-satunya manusia yang kucinta di dunia ini..."

"Dan kaulah satu-satunya manusia yang kucinta, akan tetapi kau tega menghancurkan pengharapan dan kebahagiaanku. Tidak, aku tidak akan membiarkan engkau membawa pergi In Hong!"

"Bi Kiok, aku amat tidak suka kalau terpaksa harus bertengkar denganmu. Engkau adalah sahabatku yang paling baik! Harap jangan memaksa aku agar menggunakan kekerasan terhadapmu..."

"Huh, sombongnya! Kau kira aku takut kau menggunakan kekerasan? Jangan harap akan dapat membawa pergi In Hong tanpa melalui mayatku!"

Keduanya berdiri saling pandang, Kun Liong penuh permohonan, Bi Kiok penuh kedukaan dan kemarahan. Sampai lama keduanya hanya saling pandang, kemudian baru terdengar kata-kata Kun Liong yang bernada membujuk dan halus, "Bi Kiok, kumohon padamu, ikhlaskanlah seorang kakak berkumpul kembali dengan adik kandungnya."

"Hemmm, Kun Liong, aku pun mengharapkan agar kau suka memenuhi hasrat seorang wanita yang mencinta pria idaman hatinya, namun hasilnya sia-sia. Pendeknya, engkau hanya memiliki dua pilihan. Pertama, engkau tinggal bersama dengan kami, hidup bertiga dan kita bersama membesarkan serta mendidik In Hong, suka menerima pelayananku sebagai seorang kekasih, sebagai seorang... isteri yang mencintamu dengan seluruh jiwa raganya, atau... kau pergi dari sini dan kita tidak akan saling bertemu lagi. Kecuali kalau kau membela calon isterimu yang tentu akan kucari dan kubunuh."

"Bi Kiok! Kau kejam...!" Kun Liong mulai marah.

"Kau lebih kejam lagi!" bentak Bi Kiok.

"Kalau begitu, aku akan menggunakan kekerasan!"

"Silakan!"

Kun Liong menerjang ke depan, maksudnya untuk merobohkan Bi Kiok dengan totokan dan membuat dara itu tidak berdaya lagi supaya dia dapat membawa pergi In Hong dari tempat itu. Betapa pun kagumnya terhadap pribadi dara ini, baik kecantikan lahirnya mau pun budi pertolongannya, namun dia tidak merelakan adiknya berpisah lagi darinya dan dididik oleh Bi Kiok yang betapa pun adalah murid dari datuk kaum sesat yang terkenal sebagai seorang iblis betina yang amat kejam dan mengerikan. Dia harus membawa pergi adiknya, mendidiknya menjadi seorang wanita yang penuh kelembutan, halus lembut lahir batinnya, wanita seratus persen, tidak seperti Bi Kiok yang menyembunyikan kekerasan dan keganasan di balik kelembutan dan kecantikan.

"Plak-plak-plak!"

Kun Liong terkejut sekali. Lengannya bertemu dengan lengan gadis itu yang menangkis dan balas memukul, lantas ditangkisnya. Pertemuan kedua lengan itu membuat dia dapat merasakan kehebatan tenaga sinkang yang keluar lewat lengan itu, tenaga sinkang yang mengandung hawa panas seperti api membara!

"Hebat...!" Serunya karena harus diakuinya bahwa tingkat sinkang dari gadis ini tak kalah oleh tingkat para datuk kaum sesat yang pernah dilawannya!

Kun Liong mendesak dengan gerakan cepat, mainkan Im-yang Sin-kun dan mengerahkan tenaga Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) sehingga mengepul uap putih dari dua telapak tangannya. Tentu saja dia hanya mengerahkan tenaga dan mengarahkan pukulan untuk membuat gadis itu tidak berdaya, sama sekali tidak ingin melukainya dengan hebat, apa lagi membunuhnya.

"Wuuutt! Syuuuuuuttt…!"

Dua telapak tangan yang mengeluarkan uap putih itu menyambar, yang kiri menotok ke arah lambung, yang kanan mencengkeram ke arah pundak.

"Heiiiiitttt...!" Bi Kiok memekik, tubuhnya mencelat ke belakang, berjungkir balik dan ketika Kun Liong melanjutkan serangannya dengan mengejar terus, dia menggerakkan kedua tangannya menyambut dengan sampokan dari samping yang keras sekali.

"Plak! Dukk!"

Kembali Kun Liong merasa betapa sepasang lengannya terpental, akan tetapi dia melihat gadis itu terhuyung sedikit. Kalau Kun Liong mempergunakan seluruh sinkang-nya, tentu akibatnya lebih hebat lagi. Akan tetapi hanya sebentar saja Bi Kiok terhuyung karena dia sudah cepat membalik dan tiba-tiba dia meloncat ke atas, seperti seekor burung garuda menyambar turun, tubuhnya menerjang dari atas, kedua tangannya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan leher, dibarengi dengan lengking tajam menggetarkan jantung!

"Hyaaaaatttt...!"

"Uhhhh!" Kun Liong mendengus dan cepat menangkis dengan kedua lengannya karena dia melihat betapa aneh dan ganasnya serangan dari atas ini. Kini dia mengerahkan lebih banyak tenaga karena maksudnya agar dara itu terpelanting sehingga dapat ditotoknya.

Namun betapa kagetnya ketika baru saja lengannya menyentuh lengan gadis itu dalam tangkisan, lengan gadis itu meleset seperti seekor belut licinnya dan pada waktu tubuh gadis itu turun, kedua tangannya yang berhasil menyelinap licin itu menotok ke arah jalan darah di dada dan leher Kun Liong.

"Hemmm...!" Kun Liong mendengus penasaran.

Dia yang ingin menotok, malah diserang totokan. Betapa cepat dan hebatnya gerakan gadis ini! Dia berhasil juga menangkis dan kini, sambil menangkis dia mempergunakan sinkang yang dilatihnya dari Bun Hwat Tosu, yaitu yang mengandung tenaga membetot!

Dengan sinkang ini, begitu kedua lengannya menangkis, dia dapat melakukan gerakan yang sama dengan yang dilakukan Bi Kiok tadi, yaitu kedua lengannya menyelinap. Dua lengan gadis itu seperti tersentak kaget dan gadis itu tidak berdaya pada saat dengan cepatnya kedua tangan Kun Liong melakukan totokan pada kedua pundak Bi Kiok sambil berkata, "Maafkan aku, Bi Kiok!"

"Cuss! Cusssi!"

"Plak! Plak!"

Betapa kagetnya hati Kun Liong.!

Kedua totokannya itu tepat mengenai sasaran, yaitu pada jalan darah di bawah pundak depan, agak di sebelah atas kedua buah dada gadis itu, akan tetapi jari-jari tangannya bertemu dengan kulit dan daging lunak halus seolah-olah tidak ada jalan darahnya dan gadis itu tidak apa-apa, malah sebagai ‘hadiahnya’ dua kali telapak tangan gadis itu menampar pipinya.

Tamparan ini mengenai sasaran dengan tepat sekali karena Kun Liong sedang melongo keheranan saat totokan-totokannya tidak membawa hasil sama sekali. Setelah ditampar, barulah dia sadar bahwa ternyata Bi Kiok telah memiliki ilmu memindahkan jalan darah dan melindungi bagian yang tertotok sehingga totokannya tadi mengenai tempat hampa!

Bi Kiok yang sudah marah itu menyerang kalang kabut dan harus diakui oleh Kun Liong bahwa gadis ini mempunyai dasar ilmu silat yang sangat aneh dan ampuh, hanya belum terlatih baik. Diam-diam dia bergidik. Katanya tadi baru mempelajari sebagian saja, kalau sudah mempelajari seluruh kitab pusaka milik Panglima The Hoo yang berada di tempat rahasia, kitab pusaka yang tentu belum pernah ditemukan oleh panglima itu sendiri, entah bagaimana hebatnya gadis ini!

Dia terus mengelak dan menangkis, kadang kala membalas dengan totokan yang selalu gagal, sambil berpikir-pikir bagaimana sebaiknya menjatuhkan gadis yang sangat lihai ini. Biar kuhabiskan saja napasnya, pikir Kun Liong.

Kun Liong kini main mundur, bahkan membuat langkah-langkah yang inti sarinya diambil dari kitab Keng-lun Tai-pun dari Bun Ong. Langkah ini pendek-pendek saja, amat ringan baginya, namun membuat Bi Kiok yang terus menerus mengejarnya itu harus berputaran dan menggunakan banyak tenaga ginkang!

Sampai seratus jurus lebih Kun Liong ‘mempermainkan’ Bi Kiok, berputaran dan membuat gadis itu seakan-akan seorang kanak-kanak yang bermain-main mengejar bayangannya sendiri! Namun hebatnya, Bi Kiok terus menyerang dan serangannya tidak pernah terlihat mengendor!

Dua ratus jurus telah lewat! Kun Liong mulai berkeringat, akan tetapi Bi Kiok masih terus menerjangnya dan tidak terdengar napas gadis itu memburu. Celaka, pikir Kun Liong. Dia gagal lagi. Agaknya ada suatu cara latihan napas di dalam kitab di tempat rahasia yang ditunjukkan oleh bokor itu, yang membuat napas gadis itu menjadi amat kuatnya melebihi kuatnya napas seekor kuda!

"Wah, kalau begini tak mungkin aku dapat merobohkannya," pikir Kun Liong sambil cepat menghindarkan diri dari terjangan kedua kaki yang bentuknya indah membayang di balik kain celana sutera tipis itu akan tetapi keindahan yang berbahaya karena mengandung tendangan maut!

Memang sempat terpikir olehnya untuk mempergunakan satu-satunya ilmu yang menjadi simpanannya, yaitu Thi-khi I-beng, akan tetapi dia tidak tega. Ilmu ini apa bila digunakan akibatnya akan menyedot sinkang lawan dan tentu saja dia tidak tega menggunakan ini dalam menghadapi Bi Kiok. Dia maklum betapa sukar dan lamanya menghimpun sinkang, apa lagi sinkang seperti yang dimiliki Bi Kiok.

Kalau saja dia menghendaki agar Bi Kiok roboh tanpa memperdulikan keselamatannya, kiranya tidak nanti gadis itu sampai dapat menyerangnya terus selama dua ratus jurus. Yang sulit adalah karena dia ingin merobohkan gadis ini tanpa melukai atau menyakiti.

Sesudah selama hampir tiga ratus jurus mereka bertanding dengan hebat dan cepatnya sehingga bagi orang lain yang nampak hanyalah dua bayangan berkelebatan saja, namun tidak nampak gadis itu lelah atau mau mengalah sedikit pun, Kun Liong baru mengambil keputusan untuk mempergunakan Thi-khi I-beng!

"Maafkan aku, Bi Kiok!"

"Plakk! Plakk!"

"Oughhhhh...!" Bi Kiok mengeluh. Matanya yang sangat indah itu terbelalak memandang wajah Kun Liong pada saat kedua tangannya yang bertemu dengan lengan Kun Liong itu melekat pada lengan dan tidak dapat ditariknya kembali, dan yang amat mengejutkannya adalah ketika dia merasa betapa tenaga sinkang-nya menerobos keluar seperti air hujan membanjir!

Melihat sepasang mata yang amat indah dan amat dikaguminya itu terbelalak kaget dan terbayang kengerian, Kun Liong menjadi tidak tega dan memejamkan matanya agar tidak melihat mata itu!

"Berani kau menyerang Subo (Ibu Guru)...?" Tiba-tiba terdengar bentakan anak kecil dari belakang dan…

"Buk! Buk!" dua buah kepalan menghantami pinggulnya!

"Kau orang jahat! Kau bukan kakak kandungku! Kakak kandungku takkan jahat terhadap Subo! Lepaskan Subo! Lepaskan!”

“Buk-buk-buk-buk!" Kedua kepalan kecil itu terus menghantam pinggul Kun Liong.

Kun Liong terkejut sekali mendengar suara In Hong ini. Segera dia menyimpan kembali tenaga Thi-khi I-beng sambil melompat mundur. Yo Bi Kiok berdiri dengan napas sedikit memburu, wajahnya agak pucat dan sejenak ia memejamkan mata sambil membereskan napasnya. Kemudian dia membuka matanya, memandang Kun Liong dengan terbelalak penuh rasa penasaran akan tetapi juga kagum.

"Kau... kau...!" Bi Kiok tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena dia tidak tahu harus berkata apa.

"Kau orang jahat, aku tidak mau dekat denganmu!" kembali In Hong berteriak sambil lari mendekati Bi Kiok dan merangkul pinggang dara ini seperti hendak melindungi gurunya.

Kun Liong menarik napas panjang. "Maafkan aku, Bi Kiok..."

"Sudahlah, pergilah... akan tetapi ingat akan semua kata-kataku!" Bi Kiok berkata.

Kun Liong memandang kepada adiknya. Tanpa banyak cakap, mengertilah dia bahwa tak mungkin dia dapat memaksa adiknya pergi bersamanya. Perbuatan itu sama saja dengan menghancurkan hati Bi Kiok dan adiknya sendiri. Dia akan menjadi seorang yang sangat kejam kalau dia lakukan hal itu. Betapa pun juga dia ingin kepastian, maka dengan muka manis dia berkata kepada adiknya,

"In Hong aku adalah kakak kandungmu. Aku hendak mengajak engkau pergi sebab sudah semestinya engkau ikut aku yang menjadi kakakmu."

"Tidak! Tidak sudi...!"

"In Hong, dengarlah baik-baik. Aku sama sekali tidak berbuat jahat terhadap gurumu. Tadi kami sedang memperebutkan engkau. Sekarang engkau boleh pilih. Aku sebagai kakak kandungmu dan dia sebagai gurumu, engkau hendak memilih yang mana dan hendak ikut yang mana?"

"Dia benar, In Hong. Kau pilihlah. Dia bukan orang jahat, akan tetapi kau boleh memilih antara kami berdua."

"Aku memilih Subo! Aku ikut Subo!" In Hong berteriak penuh semangat dan memandang kepada Kun Liong dengan mata bernyala marah.

Kun Liong dan Bi Kiok saling pandang, lalu pemuda itu menghela napas panjang.

"Apa boleh buat, terpaksa aku harus meninggalkannya kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi, setiap saat aku akan mengunjunginya dan melihat keadaannya. Harap saja engkau tetap baik kepadanya dan mendidiknya menjadi seorang manusia yang baik..., tidak... tidak seperti kakaknya..." tambahnya, "Selamat tinggal!"

"Kun Liong...!"

Suara mengandung isak itu menahan kakinya. Dia lalu membalik. Tidak nampak Bi Kiok menangis, akan tetapi wajahnya pucat, matanya sayu ketika memandangnya. "Kun Liong, sekali lagi aku mohon padamu, apakah engkau tidak dapat merubah pendirianmu? Kita bertiga akan hidup bahagia..." Ucapan itu tidak dilanjutkannya karena Kun Liong sudah menggeleng kepalanya, kemudian sekali berkelebat, Kun Liong sudah lenyap dari tempat itu.

"In Hong... dia terlalu...! Kakakmu terlalu...!" Bi Kiok menjatuhkan diri berlutut, memeluk muridnya dan baru sekarang air matanya tertumpah.


                  ***************


"Aku tidak mau...! Aku tidak mau ikut pergi sebelum merawatnya! Harap Sam-wi (Anda Bertiga) jangan memaksaku!" Hong Ing meronta-ronta.

Akan tetapi tangisnya itu tidak dipedulikan, bahkan Hun Beng Lama, pendeta Lama yang selalu memegang tasbih itu menggerakkan tangan kirinya menyentuh belakang telinganya dan Hong Ing seketika menjadi lemas. Dia sama sekali tidak dapat mengeluh lagi, apa lagi berontak, hanya memandang ke arah Kun Liong yang rebah seperti mati itu ketika tubuhnya yang lumpuh dikempit oleh Hun Beng Lama bersama dua orang Lama lainnya menuju ke perahu mereka.

Mulailah Hong Ing melakukan perjalanan yang sama sekali tidak menyenangkan hatinya. Bukan karena sikap para paman gurunya itu, sama sekali tidak. Sikap mereka itu cukup baik, bahkan lemah lembut terhadap dirinya, dan kalau saja tidak teringat pada Kun Liong yang ditinggalkan dalam keadaan terluka seperti mati, tentu dia senang sekali melakukan perjalanan dengan ketiga orang paman gurunya yang memiliki kesaktian-kesaktian seperti dewa itu.

Di samping mereka bersikap ramah dan baik, bahkan jarang mengeluarkan kata-kata dan semua keperluan dan kebutuhannya pada sepanjang perjalanan dicukupi, juga hati siapa yang takkan senang mendengar bahwa dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang selama hidupnya belum pernah dijumpainya itu?

Ayahnya adalah suheng (kakak seperguruan) mereka, dan ayahnya adalah ketua mereka, dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian ayahnya! Dia tentu akan girang sekali pergi menjumpai ayahnya. Akan tetapi, kalau dia teringat kepada Kun Liong yang rebah seperti mati, hatinya seperti disayat-sayat.

Pemuda itu dalam keadaan terluka parah dan hanya seorang diri saja di pulau kosong itu. Membayangkan betapa pemuda itu akan mati dengan menyedihkan dan tersiksa, hatinya lantas menjadi ngeri, berduka dan terutama sekali dia merasa menyesal karena dia pergi meninggalkan Kun Liong yang sedang berduka.

Ia meninggalkan Kun Liong selagi pemuda itu hancur, setelah dia menampar pipi pemuda itu! Tentu Kun Liong akan menganggap bahwa dia membencinya! Aihh, padahal dia amat mencinta Kun Liong! Tidak ada seorang pun manusla lain yang akan dicintanya melebihi cintanya kepada Kun Liong.

Akan tetapi, pada saat-saat terakhir sebelum mereka berpisah, sebelum Kun Liong roboh ketika melawan tiga orang Lama itu, dia terpaksa menampar pipi Kun Liong saking tidak kuat menahan kemarahan dan kepanasan hatinya! Siapa yang kuat menahan! Dia amat dikecewakan, disakitkan hatinya. Kun Liong yang mengaku mencintanya dengan sepenuh jiwa raganya itu terlalu memandang rendah dirinya.

Dia dikalahkan dalam sebuah perbandingan dengan seorang wanita bayangan, seorang gadis khayal. Hanya seorang gadis khayal! Kalau dia bukan gadis impian Kun Liong itu, mengapa Kun Liong menyatakan cinta kepadanya? Apa bila dia tidak seperti gadis khayal itu yang menurut Kun Liong tanpa cacad, kenapa Kun Liong berani menyatakan cintanya?

Dia tidak sudi menjadi seorang yang dijadikan tempat pelarian setelah Kun Liong merasa bahwa di dunia ini tidak ada gadis yang diimpi-impikan itu. Dia tak sudi menjadi pengganti belaka, menjadi penghibur lara belaka. Padahal cinta kasihnya terhadap Kun Liong mutlak dan lengkap, tanpa perbandingan karena memang tiada bandingan dalam cinta kasihnya.

Perjalanan yang amat jauh, melelahkan dan juga membuat dirinya kurus karena batinnya selalu tertekan setiap teringat kepada kekasihnya itu, memakan waktu berbulan-bulan dan akhirnya tibalah mereka di tempat yang dituju. Sebuah dusun besar di pegunungan dan di luar dusun itu, di dekat puncak, terdapat sekelompok bangunan besar yang dikurung oleh pagar tembok seperti benteng. Itulah pusat dari perkumpulan agama para Lama Jubah Merah yang terkenal di seluruh Tibet sebagai perkumpulan yang menyendiri dan dipimpin oleh orang-orang yang sakti.

Kuil mereka terdapat di tengah-tengah kelompok bangunan itu dan setiap hari, semenjak pagi sampai sore hari, pintu gerbang tembok benteng itu terbuka dan semua orang dari dusun-dusun di daerah tempat itu, diperkenankan memasuki dan mengunjungi kuil besar untuk bersembahyang dan memohon berkah. Konon dikabarkan bahwa kuil Lama Jubah Merah ini amat sakti dan manjur sehingga sangat terkenal, banyak dikunjungi orang dan banyak pula menerima dana bantuan dari rakyat di daerah itu yang juga terkenal memiliki penghasilan besar sebagai peternak-peternak.

Memang bukan hanya tempat tinggalnya saja yang luar biasa kuat, dengan pagar tembok kokoh menyerupai benteng, akan tetapi juga anggotanya cukup banyak, tidak kurang dari seratus orang! Karena rata-rata mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja seratus orang Pendeta Jubah Merah ini merupakan sebuah pasukan yang hebat!

Secara diam-diam perkembangan mereka sudah lama diikuti oleh Pemerintah Tibet yang dipegang oleh Dalai Lama. Akan tetapi, karena tidak ada bukti nyata bahwa Lama Jubah Merah menentang Pemerintah Tibet yang sah, maka tidak pernah ada tindakan.

Kedatangan tiga orang Lama, yaitu Sin Beng Lama yang ditemani kedua orang sute-nya, Hun Beng Lama serta Lak Beng Lama, disambut dengan penuh penghormatan oleh para anggota perkumpulan agama itu, bahkan diadakan pesta sebagai penyambutan mereka yang telah meninggalkan Tibet selama berbulan-bulan itu. Terlebih lagi karena tiga orang tokoh utama itu telah berhasil membawa pulang Pek Hong Ing!

Begitu tiba di situ, gadis ini lalu menanyakan tentang ayahnya. "Mana ayahku? Aku ingin sekali bertemu dengan ayahku!"

Memang pada waktu melakukan perjalanan yang amat jauh itu, setelah dapat mengatasi kedukaan hatinya karena meninggalkan Kun Liong, hanya satu tujuan hati Hong Ing, yaitu dapat secepatnya berjumpa dengan ayahnya, kemudian hendak minta bantuan kepada ayahnya untuk mengirim orang menjenguk dan menolong Kun Liong!

Sin Beng Lama sendiri lalu membawa Hong Ing ke sebuah kamar yang besar dan cukup lengkap. Setelah mereka memasuki kamar itu yang ternyata kosong tidak ada siapa pun di dalamnya, kakek ini berkata, "Engkau tinggallah di sini dan ayahmu pasti akan segera datang asal engkau suka bekerja sama dengan kami."

Hong Ing memandang penuh selidik kepada pendeta tua berjubah merah itu, dan mulailah dia merasa curiga.

"Apa artinya ini? Susiok... di mana Ayah?"

Sin Beng Lama mengerutkan alisnya. "Jika kami tahu dia berada di mana, agaknya kami tak akan membawamu jauh-jauh ke sini, Pek Hong Ing. Kami membawamu ke sini hanya untuk memancing agar ayahmu mencarimu ke sini."

Pucatlah wajah Hong Ing mendengar Ini. "Apa...? Bukankah kalian katakan bahwa Ayah adalah Suheng kalian?"

"Benar demikian. Ayahmu adalah Kok Beng Lama, Suheng kami."

"Dan katanya Ayah adalah ketua di sini..."

"Sayang tidak demikian sesungguhnya. Sebaliknya malah, ayahmu adalah seorang yang berdosa besar, seorang pelarian yang harus menerima hukuman karena telah melakukan dosa-dosa yang amat banyak."

Terbelalak mata Hong Ing memandang kakek itu. "Apa... apa yang terjadi? Mengapa para Susiok menipuku, membiarkan aku pergi meninggalkan Kun Liong yang terluka di pulau itu...? Ahhh, apa yang telah kulakukan ini...?"

"Tenanglah, dan duduklah. Dengarkan cerita pinceng (aku)."

Karena kedua kakinya memang menggigil saking tegang hatinya yang diliputi bermacam perasaan itu, Hong Ing lantas menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan kakek itu lalu duduk di atas bangku menghadapi pembaringan.

"Ibumu bernama Pek Cu Sian, yaitu seorang pendekar wanita dari Tionggoan yang berani lancang tangan mencampuri urusan dalam perkumpulan agama kami sehingga terpaksa kami tangkap dan kami tawan. Karena dia masih perawan dan sangat cantik, maka para pimpinan perkumpulan kami mengambil keputusan untuk menjadikan dia sebagai korban tahun itu, korban kepada Dewa Syiwa. Tapi, pada malam sebelum upacara pengorbanan dilakukan, Pek Cu Sian lenyap dari kamar tahanan. Kami semua mengira bahwa dia telah dapat meloloskan diri, maka hal ini terlupalah sudah sampai lima tahun kemudian ketika engkau, yang ketika itu seorang anak perempuan kecil berusia empat tahun, terlihat oleh seorang anggota kami. Barulah kami tahu bahwa Pek Cu Sian, ibumu itu, ternyata telah diselamatkan oleh Suheng Kok Beng Lama sendiri yang menyembunyikannya dan juga mengambilnya sebagai isteri! Betapa besar dosa Kok Beng Lama dapat kau bayangkan sendiri!"

"Tidak! Dia tidak berdosa!" Hong Ing membantah setelah mendengar penuturan itu. "Dia adalah seorang manusia, tidak seperti kalian yang bagaikan segerombolan binatang buas hendak membunuh mendiang ibuku! Ayah adalah seorang lelaki sejati, orang yang berani mempertanggung jawabkan perbuatannya!"

Namun kakek itu tidak mempedulikan bantahan ini dan melanjutkan ceritanya.

"Karena dosanya itu, Kong Beng Lama dihukum sepuluh tahun dan ibumu yang melarikan diri bersamamu itu kami kejar atau lebih tepat dikejar oleh anak buah kami karena kalau kami sendiri yang mengejar dia tentu sudah dapat kami tawan kembali bersamamu. Dia dapat melarikan engkau dan lolos."

"Ibu adalah seorang pendekar wanita yang amat gagah perkasa!" Hong Ing berkata penuh semangat. "Biar pun dikeroyok oleh para pendeta palsu, masih dapat menyelamatkan aku sampai tiba di Go-bi-san kemudian ditemukan oleh Subo dalam keadaan hampir mati oleh luka-lukanya akibat pengeroyokan para pendeta yang curang!"

Kakek itu kembali tidak mempedulikan, seolah-olah tidak mendengar kata-kata Hong Ing. "Sesudah Kok Beng Lama keluar dari hukuman, dia melakukan dosa ke dua yang lebih hebat. Dia telah membunuh ketua kami, yaitu Twa-suheng kami! Kemudian dia melarikan diri..."

"Tentu untuk mencari Ibu dan aku!"

"Dosanya yang besar harus dihukum, maka pinceng sendiri bersama kedua orang Sute..."

"Kalian tiga orang pendeta jahat!"

"Kami turun gunung untuk mencarinya, namun tak berhasil. Untung kami bertemu dengan Go-bi Sin-kouw dan dengan tusukan-tusukan hio (dupa biting) akhirnya dia mau bercerita tentang dirimu."

"Kau... kau telah menyiksa Subo!" Walau pun dia tidak suka kepada ibu gurunya, namun Hong Ing masih ingat betapa sejak kecil dia dipelihara serta dididik oleh Go-bi Sin-kouw, maka mendengar subo-nya disiksa untuk mengaku, dia menjadi marah.

"Kami mencari jejakmu, dari sungai di mana menurut penuturan Go-bi Sin-kouw engkau dan pemuda gundul itu terlempar ke muara sungai, masuk ke laut oleh Kok Beng Lama."

"Aihhh…, tidak kusangka bahwa pendeta yang gagah perkasa itu adalah ayah kandungku sendiri..." Hong Ing menutupi mukanya mengenangkan kembali peristiwa itu.

"Akhirnya kami berhasil menemukan engkau di pulau kosong bersama pemuda aneh itu dan karena kami tak sampai hati menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda seperti engkau, maka kami pun terpaksa menjalankan siasat agar engkau suka ikut pergi dengan suka rela."

Sin Beng Lama bangkit berdiri, melangkah ke pintu lalu membalik memandang kepada gadis itu, berkata lagi, suaranya halus, "Kami akan menyebar berita ke Tiong-goan agar ayahmu mendengar bahwa puterinya telah berada di tangan kami. Dengan demikian dia pasti akan datang ke sini. Kami harap engkau tidak banyak rewel dan berdiam saja di sini dengan baik. Kalau tidak, terpaksa kami akan memperlakukan engkau sebagai tawanan yang dikurung di dalam kamar tahanan dan dibelenggu kaki tangannya." Setelah berkata demikian, Sin Beng Lama melangkah keluar dari kamar dengan tenang.

Sejenak Hong Ing tertegun, mukanya pucat. Mengertilah dia sekarang bahwa dia sudah dijadikan sandera untuk menjebak ayahnya sendiri! Dan dia telah pergi dengan suka rela, bahkan sudah meninggalkan Kun Liong dalam keadaan terluka parah! Akan tetapi apa yang dapat dilakukannya? Tiga orang pendeta itu sakti sekali, bahkan Kun Liong yang demikian gagah pun tak berdaya, apa lagi dia.

Aku harus pergi dari sini! Demikianlah suara hati Hong Ing. Dia harus pergi dan kembali ke Tiong-goan, kembali ke laut mencari pulau kosong, mencari Kun Liong juga mencari ayahnya! Betapa rindu hatinya kepada Kun Liong, juga kepada ayahnya, pendeta raksasa yang baik hati dan sakti itu.

Akan tetapi ketika berindap-indap dia keluar dari kamar, dia melihat dua orang Pendeta Jubah Merah berdiri di luar pintu, mata mereka memandang dengan bengis kepadanya! Sesudah dia kembali memasuki kamamya dan menjenguk ke jendela, juga di luar jendela terdapat dua orang pendeta! Kamarnya telah dikurung dan dijaga!

Malam itu kembali Hong Ing kecelik pada saat dia menyelidiki pintu dan jendela kamarnya karena ternyata olehnya kemudian bahwa penjagaan ketat itu diadakan siang dan malam dengan bergilir! Semalam suntuk itu dia tidak tidur, mencari kesempatan untuk melarikan diri, akan tetapi akhirnya dia mengerti bahwa kesempatan itu tidak pernah ada.

Selain kamarnya yang dikurung, juga penjagaan di pagar tembok menyerupai benteng itu amat kuatnya sehingga andai kata dia dapat keluar dari kamar, kiranya tidak mungkin dia akan dapat keluar dari markas itu! Di samping ini, sekiranya terjadi keajaiban dan dia bisa keluar dari markas itu, apa dayanya menghadapi para pendeta sakti itu kalau dia dikejar dan disusul?

Dia tidak mengenal daerah pegunungan itu, apa lagi pada waktu melakukan perjalanan mengikuti tiga orang pendeta menuju ke Tibet, dia melihat gurun pasir seolah-olah tanpa tepi. Tanpa penunjuk jalan, di daerah yang mengerikan itu dia akan mati kehausan dan kelaparan.

Terpaksa Hong Ing hanya bisa menunggu dan dia bukanlah seorang gadis bodoh yang hanya mengubur diri dalam kedukaan dan keputus asaan. Tidak. Dia sudah bersiap-siap dan karena itu dia menjaga kesehatan dirinya dengan baik, makan setiap hari, bahkan membaiki para pendeta di situ dan minta petunjuk ketika dia melatih ilmu silatnya setiap hari. Dia harus berada dalam keadaan kuat dan terlatih kalau saat yang ditunggu-tunggu itu tiba, yaitu saat ayahnya yang dijebak itu muncul di sini!

Dan saat yang dinanti-nanti itu tiba beberapa bulan kemudian! Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, di antara suara orang berdoa, suara liam-keng (doa) yang diselingi suara ketukan berirama yang mengiringi doa, terdengarlah teriakan yang amat gaduh.

Hong Ing sudah bangun tidur dan juga telah mencuci muka, siap untuk melakukan latihan pagi ketika mendengar suara gaduh itu. Akan tetapi ketika dia meloncat ke pintu, hampir dia bertumbukan dengan Lak Beng Lama yang menghadang dengan tongkat di tangan. Melihat sikap susiok-nya ini, Hong Ing sudah merasa curiga dan dapat menduga bahwa inilah agaknya saat-saat yang dinanti-nantinya. Agaknya ayahnya sudah tiba! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan dengan suara heran dan nadanya halus dia bertanya,

"Lak Beng Susiok, apakah ribut-ribut itu?"

"Hemm, kau tidak perlu tahu dan tidak boleh keluar dari kamar ini. Pinceng sendiri yang menjaga di sini!"

Jantung Hong Ing berdebar keras. Tidak salah lagi, tentu ayahnya sudah datang! Kalau tidak, mengapa susiok-nya ini sendiri yang menjaganya?

"Susiok, aku mau pergi berlatih."

"Engkau tidak boleh meninggalkan kamar!"

"Ehh, siapa itu di sana? Bukankah itu Ayah...?" Tiba-tiba saja gadis itu menuding ke atas genteng yang tampak dari pintu kamarnya.

Lak Beng Lama terkejut sekali, cepat memutar tubuh menghadapi arah yang ditunjuk dan siap dengan tongkatnya. Pada saat itu Hong Ing sudah meloncat keluar dari kamarnya.

"Bocah setan! Hendak lari ke mana kau?" Lak Beng Lama langsung mengejar dan dalam beberapa loncatan saja pendeta yang sakti ini sudah dapat menyusul dan menghadang di depan Hong Ing dengan alis berkerut.

Suara ribut-ribut di bagian depan semakin menghebat dan mendadak Hong Ing berteriak, "Ayaaaahhhh...! Aku Pek Hong Ing berada di sini...!" Akan tetapi dia segera roboh terkena totokan ujung tongkat yang amat cepat, dan tubuhnya yang lumpuh sudah dikempit oleh Lak Beng Lama.

Di bagian depan markas itu sedang terjadi keributan. Memang tepat sekali dugaan Hong Ing bahwa ayahnyalah yang muncul.

Pagi itu, pada waktu semua pendeta sedang sibuk membaca doa dan bersembahyang sehingga penjagaan agak berkurang ketatnya, sesosok bayangan berkelebat melompati pagar tembok tinggi itu dan ketika beberapa orang penjaga melihat dan mengurungnya, dalam beberapa gebrakan saja empat orang di antara mereka sudah roboh! Mulailah mereka berteriak-teriak memberi tanda bahaya dan ributlah semua pendeta yang sedang berdoa, termasuk Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama.

"Lak Beng Sute, kau cepat menjaga Hong Ing!" kata Sin Beng Lama yang bersama Hun Beng Lama cepat berlari-lari ke luar.

Kiranya Kok Beng Lama yang bertubuh tinggi besar bagai raksasa itu sedang mengamuk. Kaki tangannya bergerak secara luar biasa hingga angin besar bersiut dari kedua ujung lengan bajunya yang lebar. Setiap kali kaki tangannya bergerak, tentu ada pendeta yang terpelanting atau terlempar.

Namun pengeroyokan semakin ketat dan kini semua pendeta telah menggunakan senjata masing-masing. Hujan senjata menjatuhi tubuh pendeta raksasa itu, akan tetapi semua hantaman senjata yang tajam mau pun yang tumpul tidak ada yang membekas pada kulit tubuh Kong Beng Lama, kecuali hanya merobek pakaiannya saja.

"Hayo bebaskan anakku, kalau tidak... demi Tuhan, kubunuh semua orang di tempat ini!" Kok Beng Lama berteriak-teriak sambil dengan dua tangannya menangkap empat orang pengeroyok bagaikan garuda mencengkeram empat ekor anak ayam saja layaknya, lalu melemparkan empat orang itu kepada para pengeroyoknya sehingga mereka morat-marit.

"Pemberontak hina! Berlututlah untuk menerima hukuman!" Tiba-tiba terdengar bentakan lemah lembut, lalu para pengeroyok membuka jalan untuk Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama.

Seperti biasa kalau menghadapi lawan berat, Sin Beng Lama membawa lima batang hio membara, ada pun Hun Beng Lama memutar-mutar biji tasbih di antara jari-jari tangannya. Bila dilihat seperti itu, kedua orang pendeta ini lebih pantas hendak bersembahyang dan membaca doa dari pada bersiap-siap menghadapi lawan tangguh.

Akan tetapi tentu saja Kok Beng Lama sudah mengenal kedua orang sute-nya ini dan dia menjawab bentakan Sin Beng Lama dengan suaranya yang nyaring, dan sinar matanya mengandung penuh ancaman maut.

"Sin Beng Sute...!"

"Pinceng bukan sute-mu lagi dan engkau tidak berhak menyebut Sute kepada pinceng!"

"Hemmm, sesukamulah, Sin Beng Lama! Akan tetapi dengar baik-baik. Aku datang untuk minta anakku, Pek Hong Ing. Kalau kalian menolak, aku akan membunuh kalian semua, tidak ada kecualinya!"

"Omitohud...!" Sin Beng Lama berseru sambil mengacungkan lima batang hio di depan dadanya. "Ucapan yang keluar dari mulut iblis! Pemberontak dan pengkhianat hina, kau sudah melanggar undang-undang agamamu sendiri, engkau telah melakukan dosa besar, membunuh ketua yang menjadi Twa-suheng (Kakak Tertua Seperguruan) sendiri berikut beberapa orang saudara lain. Dan sekarang engkau tidak bertaubat, tidak minta ampun bahkan mengancam hendak membunuh kami semua! Tidak malukah engkau yang sudah puluhan tahun tekun mempelajari semua ajaran agama yang suci?"

"Hemmm, Sin Beng Lama! Kita sama-sama adalah tua bangka-tua bangka, bukan anak kecil yang mudah saja dibujuk dengan omongan manis dan dengan kedok agama! Agama dan semua pelajarannya adalah untuk dilaksanakan, bukan sekedar dipakai untuk senjata menekan orang lain, bukan pula dipergunakan sebagai jembatan untuk mencari kekayaan, kedudukan, kesenangan lahir batin, bukan diperalat sebagai pencari sorga dan nirwana! Kalian mempelajari kasih, akan tetapi hati kalian penuh sesak dengan kebencian. Kalian menjaga kebersihan lahiriah akan tetapi batin kalian kotornya melebihi keranjang sampah! Menghadapi tua bangka seperti aku, tidak perlu lagi kalian menakut-nakuti dengan agama yang dibikin palsu oleh tingkah laku pemeluknya sendiri semacam kalian! Hayo bebaskan anakku, berikan kepadaku, dan aku akan pergi dari sini dengan aman, bahkan bersumpah takkan menginjak tempat ini lagi. Kalau tidak, kalian akan kubunuh semua dan tempat ini akan kubasmi, kuhancurkan!"

"Pemberontak keparat!" Hun Beng Lama membentak marah dan dia sudah melangkah maju perlahan-lahan, tasbihnya diputar-putar di atas kepalanya yang gundul.

"Trikk... trikk... trikkk...!" terdengar suara dengan irama tertentu dan biar pun tidak begitu keras, akan tetapi seperti jarum tajam menusuk anak telinga sehingga para anggota Lama Jubah Merah yang kurang kuat sinkang-nya cepat-cepat mundur sambil menutupi telinga mereka. Hanya yang sudah agak tinggi tingkatnya saja, yang jumiahnya paling banyak tiga puluh orang, yang berani maju mengurung Kok Beng Lama.

Sin Beng Lama juga melangkah maju, lima batang hio pindah ke tangan kiri dan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebatang pedang bersinar hijau yang sangat tipis, yang panjangnya ada empat kaki dan gagangnya terbuat dari perak, sebatang pedang pusaka yang amat indah dan ampuh.

Melihat ini sinar mata Kok Beng Lama menjadi ganas dan mulutnya tersenyum mengejek, tubuhnya tetap berdiri tegak tak bergerak, yang bergerak hanya biji matanya yang melirik ke kanan dan kiri, telinganya seolah-olah berdiri dengan penuh perhatian mendengarkan setiap suara yang ada di sekelilingnya. Dalam keadaan seperti itu, pendengaran pendeta Lama raksasa ini luar biasa tajamnya sehingga setiap tarikan napas para pengeroyoknya dapat ditangkapnya dengan jelas, bahkan suara detak jantung lawan terdengar olehnya!

"Serbuuuu...!" Sin Beng Lama memberi aba-aba.

"Hyaaaatttt...!" suara bentakan para pengeroyok menjadi satu, terdengar nyaring bergema ketika mereka serentak menerjang ke depan dengan senjata masing-masing yang seperti hujan menyambar ke arah seluruh tubuh Kok Beng Lama, dari semua penjuru. Apa bila semua senjata itu mengenai tubuh Kok Beng Lama dan kalau tubuh pendeta raksasa ini biasa saja seperti tubuh orang-orang lain, tentulah dia akan roboh dengan tubuh hancur lebur, tidak ada bagian sedikit pun yang masih utuh.

"Hoouuuuhhh...!" Kok Beng Lama mengeluarkan suara yang amat dalam dan lebar, bukan seperti suara manusia lagi, suara yang seakan-akan keluar dari dalam bumi! Tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak memutar, lenyap bentuk tubuhnya sehingga yang tampak hanyalah gulungan yang amat cepat seperti angin puyuh mengamuk.

"Trangggg...!"

"Krekkkkk...!"

"Bukkkk...!"

"Dessss...!"

"Aughhh...! Aduhhh...! Ahhhh!"

Akibatnya hebat bukan main! Tidak kurang dari enam orang yang terlempar dan roboh pingsan! Selain itu, banyak pula yang kehilangan senjata mereka, ada yang patah dan banyak yang lepas dari tangan, terlempar entah ke mana. Bukan main hebatnya sepak terjang Kok Beng Lama yang selama sepuluh tahun di dalam sel telah menciptakan dan mematangkan banyak ilmu-ilmu yang mukjijat dan dahsyat itu. Dengan putaran kedua ujung lengan bajunya saja dia telah berhasil merobohkan enam orang pengeroyoknya dan merampas banyak senjata!

Melihat ini, Hun Beng Lama menjadi marah sekali, demikian pula Sin Beng Lama. Dalam gebrakan pertama tadi, mereka berdua memang membiarkan para anak buah lain yang maju menerjang karena mereka merasa yakin bahwa dengan mengandalkan jumlah besar, tentu Kok Beng Lama yang dianggap pemberontak itu akan dapat dikuasai. Siapa kira, raksasa itu memang hebat bukan main, maka terpaksa mereka harus turun tangan sendiri.

"Omitohud...! Haaaaiiiikkkk!" Hun Beng Lama sudah menerjang maju dengan tasbihnya yang menyambar ke pelipis kiri sedangkan tangan kirinya yang membentuk cakar garuda itu mencengkeram ke arah perut lawan. Gerakannya amat cepat sehingga mendatangkan angin pukulan yang berdesing-desing saking kerasnya. Pada detik berikutnya, terdengar suara tajam menulikan telinga pada waktu sinar hijau berkeredepan menyambar-nyambar seperti seekor naga hijau bermain-main dan itulah pedang di tangan Sin Beng Lama yang dalam satu jurus sudah mengirim lima bacokan serta delapan tusukan yang mengancam tiga belas jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan!

"Bagus...!" teriak Kok Beng Lama sambil menggerakkan kepalanya mengelak sambaran tasbih ke pelipisnya, kemudian mengangkat kaki menendang ke arah tangan kanan Hun Beng Lama, sedangkan sepuluh kuku jari tangannya sibuk menyentil ke arah sinar-sinar hijau yang menyambar-nyambar itu. Dia sudah berhasil menangkis ketiga belas serangan pedang hijau itu dengan sentilan jari tangannya dan setiap kali dia menyentil terdengarlah suara nyaring.

"Tring-tring-tring-tring-tring...!"

Sin Beng Lama sangat terkejut ketika merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar hebat akibat sentilan kuku jari tangan lawannya itu! Dengan seruan halus dia mencelat ke belakang sampai tiga meter jauhnya, tangan kirinya bergerak kemudian tampaklah sinar api menyambar ke arah tubuh Kok Beng Lama! Itulah serangan hio-hio membara yang amat luar biasa dan amat berbahaya pula karena biar pun hanya berupa hio, namun dilepas dengan pengerahan tenaga sinkang yang amat ampuh sehingga kalau mengenai tubuh lawan dapat menancap dengan api masih membara!

"Keji, alat sembahyang dipakai untuk membunuh!" Kok Beng Lama berseru keras, segera menggerakkan kedua tangan bergantian didorongkan ke depan dengan telapak tangan terbuka.

Menyambarlah hawa dingin dari kedua telapak tangannya dan itulah inti tenaga Im-kang yang amat dingin. Tampak asap mengepul dan lima batang hio itu padam apinya, bahkan runtuh semua ke atas tanah, masih mengepulkan asap putih yang harum baunya.

Tentu saja Sin Beng Lama menjadi makin marah. Bersama sute-nya, Hun Beng Lama dia menerjang maju, menggerakkan pedangnya secara luar biasa sekali sehingga tubuhnya lenyap digulung sinar pedang yang merupakan gulungan cahaya hijau menyilaukan mata yang kini bergulung-gulung menyelimuti tubuh Kok Beng Lama pula. Di antara sinar hijau ini tampak sinar putih dari tasbih Hun Beng Lama.

“Trik-trik-trik!” tasbih Hun Beng Lama mengeluarkan suara, makin lama makin nyaring.

Maka terdengarlah paduan suara yang menyeramkan karena semua orang yang kurang kuat sinkang-nya merasa betapa jantung mereka laksana ditarik-tarik dan telinga seperti ditusuk-tusuk oleh suara berdetrik dari tasbih, bercampur dengan suara berdesingan dari pedang hijau, diseling geraman-geraman marah dari dada Kok Beng Lama yang bidang.

Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi dengan serunya, dilakukan oleh tiga orang sakti, membuat para Lama yang berada di situ tidak berani lagi turun tangan membantu karena mereka maklum bahwa bantuan mereka tidak akan menguntungkan pihak kawan juga tidak merugikan pihak lawan melainkan membahayakan nyawa sendiri.

Apa bila dibuat ukuran, tingkat kepandaian Kok Beng Lama dahulu pun setingkat dengan Sin Beng Lama. Akan tetapi semenjak dia menjalani hukuman selama sepuluh tahun, kepandaiannya bertambah hebat sedangkan Sin Beng Lama hanya mendapat kemajuan biasa saja.

Orang yang berada di dalam tahanan seperti Kok Beng Lama, kehilangan kebebasannya dan tidak melakukan suatu pekerjaan tertentu, lebih tekun dalam berlatih, apa lagi karena memang dia mempunyai dendam. Sedangkan tingkat kepandaian Hun Beng Lama masih kalah setingkat dari Sin Beng Lama, maka pertempuran hebat itu lebih tepat dikatakan bahwa yang bertanding mati-matian adalah Sin Beng Lama melawan Kok Beng Lama, sedangkan Hun Beng Lama hanya merupakan tenaga pengacau saja yang mengacaukan pertahanan Kok Beng Lama.

Namun, meski dia bertangan kosong dikeroyok oleh dua orang yang memiliki kepandaian tinggi dan bersenjatakan senjata-senjata pusaka ampuh pula, ternyata Kok Beng Lama memiliki kesaktian yang sangat luar biasa. Semua ini diperhebat lagi oleh kemarahannya karena dia mengkhawatirkan nasib puterinya, maka seakan-akan dia sudah menjadi iblis sendiri yang mengamuk dan sukar ditandingi oleh dua orang pendeta Lama itu!

"Kalian bosan hidup! Kalian bosan hidup! Akan kubunuh semua...!" Demikian terdengar Kok Beng Lama menggereng.

"Brettt! Plakk! Aughh...! Aduhhh...!"

Para pendeta yang menonton tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata mereka apa yang baru saja terjadi karena yang tampak hanyalah sinar-sinar dan bayangan saja yang campur aduk menjadi satu. Tahu-tahu, tubuh Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama telah terlempar dan terbanting keras, sedangkan tubuh Kok Beng Lama terhuyung ke belakang, dadanya terluka pedang dan pakaian pada pundaknya hancur oleh pukulan tasbih, akan tetapi kedua orang lawannya muntah darah terkena hawa pukulan kedua telapak tangan Kok Beng Lama.

DENGAN muka buas Kok Beng Lama sudah hendak menerjang kembali dua orang bekas sute-nya yang sudah terluka itu dan agaknya tidak akan dapat dihidarkan lagi dua orang Lama Jubah Merah itu tentu akan tewas sebab mereka belum sempat bangun sedangkan para anggota yang lain tidak ada yang berani menghadapi Kok Beng Lama.

"Pemberontak hina! Jangan bergerak atau pinceng akan membunuh puterimu ini di depan matamu!"

Kok Beng Lama tersentak kaget, menengok dan memandang dengan diam seperti arca. Lak Beng Lama telah berada di situ, tangan kanan memegang tongkat yang ditodongkan ke ubun-ubun seorang dara remaja yang dikempit dengan lengan kirinya. Gadis itu sama sekali tidak dapat bergerak, tanda bahwa dia telah menjadi korban totokan.

Kok Beng Lama mengenal gadis yang pernah ditolongnya di muara Sungai Huang-ho itu, dan sekarang nampak nyata olehnya betapa mirip wajah gadis itu dengan wajah bekas kekasihnya yang telah tewas, Pek Cu Sian! Dia mengeluarkan suara gerengan keras dan matanya seperti mengeluarkan api memandang kepada tiga orang pendeta itu.

Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama telah mendapat kesempatan menguasai diri mereka dan sudah berdiri di dekat Lak Beng Lama yang mengempit tubuh Pek Hong Ing.

"Kok Beng Lama, sebelum engkau bergerak, puterimu akan pinceng bunuh!"

Kok Beng Lama tak mempedulikan ucapan itu, dengan suara gemetar seperti orang sakit demam dia berkata kepada Hong Ing yang sejak tadi dipandangnya tanpa berkejap mata, "Nona muda, siapakah namamu?"

Hong Ing yang tidak dapat bergerak itu semenjak tadi pun memandang kepada Kok Beng Lama dengan wajah pucat. Dia pun meragukan apakah benar pendeta tua yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, yang sikapnya amat mengerikan ini, adalah betul-betul ayah kandungnya?

Mendengar pertanyaan itu, dia diam saja sebab urat gagunya telah tertotok, membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara. Mendadak Sin Beng Lama menggerakkan ujung lengan bajunya, menyambar ke arah leher Hong Ing, dan terbebaslah dara itu dari totokan yang membuatnya gagu.

"Aku... namaku Pek Hong Ing..."

Hong Ing menjawab dengan suara agak kaku karena baru saja dia terbebas.

"Siapa gurumu?" Kembali Kok Beng Lama bertanya.

"Go-bi Sin-kouw..."

"Siapa nama ibumu?" Pertanyaan ini keluar dengan lirih dan parau.

"Nama ibu, Pek Cu Sian..."

"Cu Sian...!" pengulangan nama dari mulut Kok Beng Lama ini terdengar menyerupai keluhan. "Tahukah engkau siapa ayahmu?"

"Ibu tidak pernah sempat memberi tahuku tapi... tapi... tiga orang Locianpwe itu mengaku para susiok-ku dan membawaku ke sini, katanya hendak dipertemukan dengan ayahku, ternyata aku diperlakukan sebagai tawanan. Kata mereka, ayahku bernama Kok Beng Lama..."

Kok Beng Lama menggereng dan tiga orang kakek itu sudah siap-siap melawan, ada pun Lak Beng Lama telah menempelkan tongkatnya di ubun-ubun kepala Hong Ing, juga para anggota Lama sudah mengurung lagi tempat itu.

"Akulah Kok Beng Lama! Hong Ing, setidaknya usiamu sudah empat lima tahun ketika engkau masih kecil engkau tinggal di ruang di mana aku terhukum. Ingatkah engkau akan sesuatu di tempat itu?"

"Aku... aku hanya ingat berada di dalam satu ruangan yang luas bersama ibu dan seorang laki-laki yang selalu bersemedhi, hal yang tidak dapat kulupakan adalah bahwa laki-laki itu sering kali menari-nari di sekeliling sebuah arca besar sebesar manusia..."

"Engkau anakku...!" Tiba-tiba Kok Beng Lama menggereng keras. "Akulah laki-laki itu... sedang berlatih silat, Hong Ing, engkau anakku...!" Seperti gila kakek itu lalu memandang ke sekelilingnya. "Hayo bebaskan dia! Kalau tidak, kubasmi kalian semua!"

"Kok Beng Lama, puterimu berada di dalam kekuasaan kami, sepantasnya bila kami yang mengajukan usul, bukan engkau yang menuntut. Engkau telah membuat dosa besar dan untuk menjaga kehormatan serta wibawa perkumpulan, engkau sebagai seorang anggota pimpinan yang menyeleweng harus dihukum. Menyerahlah dan engkau akan kami hukum sesuai dengan peraturan, dan puterimu yang memang tidak berdosa apa-apa tidak akan kami ganggu bahkan akan kami perlakukan sebagai murid keponakan kami yang tercinta. Sebaliknya kalau kau melawan, terpaksa kami akan membunuh dulu puterimu sebelum membunuhmu." Suara halus Sin Beng Lama itu terdengar jelas oleh semua orang karena keadaan di situ amat tegang dan sunyi.

Kok Beng Lama memandang ragu kepada Hong Ing, dan dara itu cepat berkata dengan suara lantang, "Locianpwe, jika benar engkau adalah ayah kandungku, jangan dengarkan bujukan mereka! Aku tidak takut mati, tidak perlu engkau menyerah kepada mereka dan berkorban untuk aku!"

Mendengar ini, sepasang mata yang tadinya mengeluarkan sinar kemarahan dan wajah yang keruh serta merah itu berubah. Sinar matanya lembut memandang Hong Ing dan wajahnya berseri. "Engkau adalah anakku, tak salah lagi! Keberanianmu, sikapmu, persis sikap ibumu Pek Cu Sian! Sin Beng Lama, ajukan usulmu agar kupertimbangkan!"

Sin Beng Lama kelihatan lega sekali. Dia dan Hun Beng Lama sudah terluka cukup parah dan kalau pertandingan terus dilanjutkan, bukan tidak mungkin akan terjadi seperti yang diancamkan oleh Kok Beng Lama, yaitu mereka semua akan terbasmi habis.!

"Kok Beng Lama, betapa pun besar dosa-dosamu, akan tetapi mengingat engkau adalah bekas pimpinan dan telah banyak berjasa demi kemajuan perkumpulan kita puluhan tahun yang lalu, maka kami pun akan bertindak seadil-adilnya. Perbuatanmu yang sesat akan menghancurkan kehormatan perkumpulan kalau engkau masih berkeliaran di dunia luar, seakan-akan perkumpulan kami tidak mampu bertindak terhadap dirimu. Oleh karena itu, engkau akan kami jatuhi hukuman bertapa di dalam sel penjara selama hidupmu. Usiamu sudah tinggi, maka hukumanmu tentu juga tidak berapa lamanya dan hukuman itu hanya untuk mencegah engkau merusak nama perkumpulan di luar Tibet."

"Hemmm, kalau aku menerima hukuman itu, apa imbalannya?"

"Puterimu akan kami pelihara baik-baik. Dia bisa tinggal di sini sebagai keluarga sehingga sewaktu-waktu dapat menjengukmu di dalam penjara."

Kok Beng Lama mengerutkan alisnya dan berpikir keras, kemudian mengangguk. "Cukup adil... cukup adil... aku pun tidak ada niat berkelana, kalau aku dahulu pergi hanya untuk mencari Pek Cu Sian dan puterinya. Setelah Hong Ing berada di sini, perlu apa aku pergi? Akan tetapi, bagaimana kalau kalian mengkhianati dan kelak mengganggu anakku?"

"Kok Beng Lama!" Sin Beng Lama berteriak marah. "Engkau sendiri sudah tahu betapa Lama Jubah Merah lebih menghargai janji dari pada nyawa! Pinceng sendiri yang berjanji tidak akan mengganggu Pek Hong Ing, tak akan memaksanya melakukan sesuatu di luar kehendaknya kalau engkau suka menyerah dan menjalani hukuman itu!"

"Bagus! Aku percaya akan janjimu, Sin Beng Lama."

"Akan tetapi, pinceng belum mendengar janjimu, Kok Beng Lama."

"Ha-ha-ha, engkau memang selalu cerdik, Sute! Nah, dengarlah. Aku, Kok Beng Lama, berjanji tak akan memberontak lagi selamanya dan akan mentaati perintah para pimpinan Lama Jubah Merah."


Cerita Silat Online Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo


"Omitohud...! Para dewa menjadi saksinya!" kata Sin Beng Lama dengan girang dan dia berkata kepada sute-nya, "Lak Beng Lama, bebaskan Pek Hong Ing supaya dia dapat bertemu dengan ayah kandungnya!"


Lak Beng Lama segera membebaskan totokan Hong Ing dan melepaskan gadis itu dari kempitannya. Begitu dia terlepas, dengan terhuyung-huyung Hong Ing lari menghampiri Kok Beng Lama, kemudian menjatuhkan diri di hadapan kakek itu sambil berseru penuh keharuan, "Ayaaaahhh...!"

Kok Beng Lama menunduk, memandang pada gadis yang sedang berlutut itu, kemudian menengadah ke langit sambil tertawa bergelak, kedua tangannya meraih ke bawah dan tubuh Hong Ing lantas terangkat, tahu-tahu sudah dirangkul dan dipeluknya.

"Ha-ha-ha-ha! Kau... anakku...! Ha-ha-ha, akhirnya kita berkumpul juga di tempat di mana kau dilahirkan. Biarlah kau tetap memakai she Pek seperti ibumu, she yang sangat bagus dan terhormat. Pek Hong Ing, kau maafkanlah ayahmu yang tidak becus membahagiakan ibumu, akan tetapi setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk anaknya, yaitu engkau, Anakku!" Lalu diciumnya ubun-ubun kepala Hong Ing dengan penuh kasih sayang.

Hong Ing sudah cepat menghapus air matanya dan sambil menyandarkan kepala di dada ayahnya yang amat bidang dan kuat itu, dia berbisik, "Ayah, setelah aku dibebaskan, mari kita pergi saja dari sini. Aku... aku tidak akan betah tinggal di tempat ini, Ayah." Dia tidak berani bicara terus terang betapa dia merasa amat rindu kepada seorang pemuda yang dicintanya.

Ayahnya menggelengkan kepala. "Janji lebih penting dari pada segalanya, Anakku. Kau tinggallah di sini, sebagai keluarga terhormat dan lebih dari semua itu, setiap hari engkau dapat menjengukku di penjara karena aku akan mewariskan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu!"

Hong Ing merasa kecewa dan berduka sekali sehingga air matanya mengalir lagi. Akan tetapi Kok Beng Lama mengira bahwa anaknya menangis saking senangnya, maka dia tertawa-tawa lagi.

"Kok Beng Lama, sudah cukup kiranya pertemuan dengan puterimu. Setiap hari engkau masih akan dapat bertemu dengannya. Sekarang, marilah kami antar engkau memasuki tempat hukumanmu!"

Karena hatinya merasa gembira, Kok beng Lama mengangguk dan sambil tertawa-tawa dia diantar ke tempat hukuman, di mana dulu dia mendekam selama sepuluh tahun. Bila dahulu dia menghabiskan waktu hukuman dengan memperdalam ilmu-ilmunya, sekarang dia hendak menghabiskan waktu hukuman dan sisa hidupnya untuk mewariskan seluruh ilmunya itu kepada anak tunggalnya, Pek Hong Ing.


                  ***************


“Susiok, aku tidak bicara main-main. Aku ingin menebus dosa ibuku!"

Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saling pandang mendengar ucapan Hong Ing yang pagi hari itu datang menghadap mereka di ruangan dalam setelah mereka selesai melakukan upacara sembahyang dan membaca doa pagi.

"Kenapa, Hong Ing? Bukankah kau hidup cukup terhormat dan senang di sini? Bukankah kami memperlakukan engkau dengan baik seperti janji kami dan semua anggota bersikap hormat kepadamu?" tanya Sin Beng Lama.

"Benar Susiok, akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku melakukannya untuk menebus dosa ibuku. Ibu telah melakukan dosa kepada agama kita dan untuk dosa itu sekarang Ayah yang menanggung derita dan hukumannya. Semua ini terjadi karena kutukan Dewa, sehingga aku pun hidup sengsara dan hatiku disakiti orang. Maka, aku hendak menebus dosa dengan mengorbankan diri kepada Dewa sebagai pengganti ibuku. Karena ibuku melarikan diri dari tangan Dewa, maka Dewa telah mengutuknya dan sebagai puterinya tentu aku akan mereka kutuk pula."

"Omitohud... engkau hebat sekali, Pek Hong Ing. Engkau seorang wanita yang suci dan bersih hatimu, dan engkau memang pantas sekali menjadi kekasih Dewa," kata Sin Beng Lama dengan pandang mata penuh kagum.

"Aku memang sudah ditakdirkan menjadi kekasih Dewa, Susiok. Hampir setiap malam aku sudah bermimpi dan selalu bertemu dan dicumbu rayu oleh Dewa yang bertangan enam bermuka tiga..."

"Siancai...!"

"Omitohud...!"

Tiga orang pendeta Lama itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada dan mulut mereka berkemak-kemik membaca doa. Ketika mereka memandang lagi kepada Hong Ing, pandang mata mereka berubah, amat kagum dan menghormat sekali!

"Keponakanku yang baik, Pek Hong Ing. Semua itu adalah tanda-tanda dari Dewa dan sudah semestinya kalau kita semua mentaatinya. Akan tetapi, kami tidak berani karena ayahmu pasti akan mengamuk bila mana mendengar engkau akan mengorbankan dirimu kepada Dewa."

"Ayah sudah berjanji tidak akan memberontak lagi, Susiok. Ada pun urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ayah. Sesungguhnya, perbuatan Ayah itulah yang membuat aku mengambil keputusan ini. Ibu sudah berdosa kepada Dewa, juga Ayah sudah berdosa, maka terlahirlah aku yang harus menebus dosa mereka itu dengan mengorbankan diri kepada Dewa."

"Bagus, bagus! Pinceng yakin bahwa seorang perawan seperti engkau ini tentu dapat menjadi kekasih Dewa, Hong Ing."

"Akan kuusahakan supaya Dewa mencintaku, Susiok, sehingga aku dapat membujuknya mengampuni ayah-ibuku, juga agar Dewa memberkahi para Susiok dan agama kita ini..."

"Omitohud...!" Tiga orang itu berseru dengan girang sekali.

"Akan tetapi," Sin Beng Lama berkata lagi, meragu. "Kami telah berjanji kepada ayahmu untuk memperlakukanmu dengan baik, tidak akan mengganggumu..."

"Susiok, urusan ini tidak ada pihak yang mendesak atau didesak. Susiok sekalian sudah memperlakukan aku dengan baik, Susiok sekalian juga tidak melanggar janji kepada Ayah. Aku mau mengorbankan diriku kepada Dewa atas kehendakku sendiri, secara suka rela. Kelak kalau sudah tiba masanya, biar aku sendiri yang akan memberi penjelasan kepada Ayah dan aku tanggung dia tidak akan dapat melakukan apa pun kecuali hanya menyesali dosa-dosanya dahulu."

"Ahh, engkau hebat dan baik sekali, Anakku..." Sin Beng Lama sampai harus mengusap dua titik air matanya saking terharu hatinya.

Tentu saja apa yang diusulkan oleh dara itu amat besar artinya bagi mereka. Bayangkan saja. Keponakannya akan menjadi kekasih Dewata! Menjadi kekasih Dewa Syiwa yang maha sakti dan hal itu tentu akan mengangkat kedudukan rohani mereka! Dengan adanya seorang keponakan mereka yang menjadi kekasih Dewa, maka sorga dan nirwana sudah berada di telapak tangan mereka!

"Bukan aku yang baik, Susiok, sebab hal itu hanyalah merupakan kewajibanku menebus dosa orang tua. Akan tetapi aku mengharapkan kebaikan dari Susiok agar bisa memenuhi permohonanku yang terakhir yang juga merupakan syarat tunggalku untuk melaksanakan pengorbanan diri."

"Permohonan terakhir seorang perawan suci merupakan perintah! Katakan saja apa yang harus kami lakukan?" Hun Beng Lama cepat berkata penuh semangat sebab berdasarkan kepercayaannya dia merasa yakin bahwa nanti dia pun akan menerima anugerah dan ikut memperoleh sepercik berkah dari Dewa.

"Aku mendengar bahwa seseorang yang dengan setulus hatinya hendak berbakti kepada Dewa haruslah dengan hati bersih dari segala perasaan dendam, benci dan kemarahan."

"Benar sekali! Memang Dewa menghendaki seorang anak perawan yang suci dan bersih lahir batin."

"Itulah yang menjadi penghalang, Susiok. Aku pernah mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia sudah memarahkan hatiku, membuatku menaruh dendam dan merubah cintaku menjadi kebencian. Oleh karena itu, sebelum melihat dia diseret ke depan kedua kakiku, perasaan itu akan terus berada di dalam hatiku, membuat aku kurang bersih jika kelak menghadap Dewa yang agung. Maka, aku mohon kepada Susiok agar suka turun gunung dan menangkap pemuda yang menyakitkan hatiku itu. Sesudah melihat dia tertangkap di sini, barulah dengan hati lapang dan bersih aku akan mengorbankan diri dengan suka rela dan biar dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri sebagai hukumannya."

"Pemuda itu... yang menemanimu di pulau kosong itu?" tanya Sin Beng Lama.

"Benar dialah orangnya. Bagaimana Susiok dapat menduganya demikian tepat?"

"Pinceng sudah mendengar kata-katanya saat dia membelamu, dan juga melihat engkau menampar mukanya..."

"Memang dia amat menyakitkan hatiku, Susiok. Karena itu, kalau Susiok sekalian dapat memenuhi permintaanku, yaitu menangkap pemuda itu dan membawanya ke sini, maka siaplah aku untuk mengorbankan diri kepada Dewa."

"Benarkah kata-katamu itu?"

"Aku berjanji dan janji lebih berharga dari pada mati!"

"Baik, kalau begitu, biarlah kedua Sute Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama memenuhi permintaanmu itu, menangkap pemuda yang kau maksudkan dan menyeretnya ke depan kakimu. Hun Beng Sute dan Lak Beng Sute, pemuda itu cukup lihai akan tetapi pinceng yakin bahwa Sute berdua akan mampu membekuknya."

"Baik, Suheng," Hun Beng Lama menjawab. "Hong Ing, siapakah nama pemuda itu dan di mana adanya dia? Apakah masih di pulau kosong itu?"

"Bukan, bukan di sana. Kami berdua hanya menggunakan tempat itu sementara saja, Susiok. Sesudah aku pergi ikut dengan Sam-wi Susiok (Paman Guru Bertiga) dia pasti segera meninggalkan tempat itu."

"Habis, di mana kami harus mencarinya?"

"Aku tahu di mana adanya pemuda itu. Yap Kun Liong, nama pemuda itu, sekarang pasti berada di puncak Cin-ling-san. Dia adalah murid keponakan dari Ketua Cin-ling-pai dan dia bermain cinta dengan puteri ketua yang menjadi paman gurunya itu. Karena itulah aku menjadi sakit hati. Karena itu harap Ji-wi Susiok (Paman Guru Berdua) suka mencarinya di Cin-ling-san."

Tiga orang Lama itu sama sekali tidak pernah mendengar nama Ketua Cin-ling-pai, maka mereka tidak menaruh curiga apa-apa. Karena sudah pernah bertemu dengan Yap Kun Liong, maka Sin Beng Lama merasa yakin bahwa dua orang sute-nya sudah cukup untuk menangkap pemuda itu. Maka berangkatlah kedua orang pendeta Lama itu meninggalkan Tibet dengan hati penuh semangat dan kegembiraan karena menganggap perintah dari ‘perawan suci’ ini merupakan tugas yang mulia bagi mereka.

Tentu saja semua itu adalah siasat yang sangat cerdik dari Hong Ing. Dara ini tentu saja tidak betah tinggal di tempat itu, dan meski pun dia mulai menerima gemblengan ayahnya yang sakti, namun ayahnya tidak mau melanggar janji dan tidak mau pergi bersamanya meninggalkan tempat itu, bahkan ayahnya mengambil keputusan hendak menghabiskan sisa hidupnya di tempat hukuman itu!

Karena maklum bahwa sia-sia saja untuk membujuk ayahnya, Hong Ing lalu mencari akal. Dia tahu dengan pasti bahwa Kun Liong tentu berusaha menyusul dan mencarinya, maka dia lalu mempergunakan siasat untuk menghubungi Kun Liong, bahkan dengan cerdik dia memberikan alamat Cin-ling-pai dengan tujuan untuk menarik perhatian Ketua Cin-ling-pai yang sangat sakti sehingga Kun Liong memperoleh bala bantuan yang amat kuat. Kalau ada Lama mencari Kun Liong di Cin-ling-pai, tentu Pendekar Sakti Cia Keng Hong akan tertarik dan akan ikut turun tangan, apa lagi karena dua orang Lama yang mengandalkan kepandaiannya itu tentu akan berterus terang untuk menangkap Kun Liong.

Sesudah kedua orang Lama itu berangkat, legalah hati Hong Ing dan dia hanya menanti dengan sikap gembira. Membayangkan Kun Liong akan datang ke tempat itu memberi kekuatan yang ajaib kepadanya, membuatnya gembira sekali karena andai kata siasatnya gagal dan Kun Liong benar-benar ditangkap dan dibawa ke situ, dia akan rela menderita atau mati sekali pun asal berada di dekat pemuda itu. Dalam kegembiraan yang didorong harapan bisa bertemu kembali dengan pemuda yang dicintainya itu, Hong Ing mulai tekun mempelajari serta melatih ilmu yang diajarkan oleh ayahnya yang sama sekali tidak tahu akan siasat yang dijalankan oleh puterinya.


                  ***************

"Ibu mengapa Ayah belum juga pulang?" anak laki-laki berusia lima tahun itu merengek kepada ibunya.

Wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan masih amat cantik itu menarik napas panjang, lalu menjawab dengan nada suara yang merasa kesal hatinya. "Semua ini gara-gara enci-mu! Akan tetapi kurasa tak lama lagi dia akan pulang Bun Houw!"

Wanita itu adalah Sie Biauw Eng atau Nyonya Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai, ada pun anak laki-laki itu adalah Cia Bun Houw, anak ke dua atau putera tunggal suami isteri pendekar ini. Cin-ling-pai yang mempunyai banyak anggota atau anak murid itu kelihatan sunyi setelah Cia Keng Hong pergi, apa lagi setelah terlebih dahulu Giok Keng lolos dari tempat itu.

"Akan tetapi aku sudah rindu kepada Ayah dan Cici, Ibu."

"Sabarlah, Houw-ji (Anak Houw). Seorang calon pendekar harus memiliki kesabaran yang besar, dan pula, ayahmu tentu baru akan pulang kalau sudah berjumpa dengan enci-mu Giok Keng."

"Dasar Enci yang nakal, pergi saja kerjanya! Ibu, kalau aku sudah besar, apa aku juga boleh merantau seperti Enci Keng?"

"Tentu saja boleh, akan tetapi engkau harus sudah dewasa dan ilmu kepandaianmu untuk menjaga diri sudah cukup kuat. Karena itu kau harus rajin berlatih, Houw-ji. Mari kita ke tempat latihan, pasangan kuda-kuda yang kau latih kemarin itu masih belum baik benar, juga gerakan langkah kakimu masih kurang tepat."

Ibu dan anak itu lalu pergi ke kebun belakang di mana mereka biasanya berlatih silat. Sebagai putera suami isteri pendekar yang berilmu tinggi itu, tentu saja sejak kecil Bun Houw telah dilatih dasar-dasar ilmu silat oleh orang tuanya dan pada saat ayahnya pergi sampai berbulan-bulan lamanya, ibunyalah yang melatihnya. Tentu saja selain pelajaran ilmu silat yang baru dilatih dasar-dasarnya, anak itu juga diberi pelajaran membaca dan menulis.

Selagi ibu yang memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat ini memberi petunjuk kepada puteranya, di luar rumah tempat tinggal Ketua Cin-ling-pai itu terjadi hal yang menarik pula. Lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang dikepalai oleh Kwee Kin Ta, berhadapan dengan dua orang pendeta gundul yang berjubah kotak-kotak merah.

Lima orang itu tentu saja menyambut kedatangan kedua orang pendeta itu dengan sikap hormat, apa lagi melihat bahwa dua orang itu sudah tua dan terlihat saleh. Yang seorang memegang sebatang tongkat untuk membantunya berjalan mendaki puncak, yang ke dua sambil melangkah tiada hentinya mempermainkan biji-biji tasbihnya seperti orang yang sedang membaca doa.

Setelah menyambut dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada, menjura sebagai penghormatan, Kwee Kin Ta lalu bertanya, "Bolehkah kami mengetahui siapa nama Ji-wi Losuhu (Dua Bapak Pendeta) yang terhormat, dari kuil mana dan ada keperluan apakah mengunjungi Cin-ling-pai?"

Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Hun Beng Lama yang membawa tasbih dan Lak Beng Lama yang memegang tongkat. Dengan sikap dan suara halus Hun Beng Lama menjawab, "Apakah Sicu sekalian ini murid-murid Cin-ling-pai?"

"Benar, Losuhu."

"Kedatangan kami adalah hendak mencari seorang yang bernama Yap Kun Liong," kata pula Hun Beng Lama.

Lima orang murid Cin-ling-pai itu memandang heran dan beberapa orang anak murid yang melihat dari jauh kini datang mendekat karena ingin tahu. Maklumlah, tempat yang sunyi dan tenteram itu jarang menerima kunjungan orang luar. Tentu saja Kwee Kin Ta dan para sute-nya sekarang sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong itu, nama yang dipuji-puji guru dan ibu guru mereka.

"Dia tidak berada di sini, Losuhu," jawab Kwee Kin Ta tanpa ragu-ragu lagi.

"Kalau begitu di mana dia?" Tiba-tiba Hun Beng Lama bertanya dan pandang matanya tajam penuh selidik. Melihat sinar mata yang amat tajam berpengaruh itu, Kwee Kin Ta menjadi terkejut, juga merasa curiga.

"Kami tidak tahu dia berada di mana," jawabnya.

"Agaknya kalian tidak tahu apa-apa, baiklah pinceng hendak menemui Ketua Cin-ling-pai saja!" Kedua orang pendeta itu segera melangkah hendak memasuki pintu depan rumah tinggal Cia Keng Hong.

"Ehh, nanti dulu, Ji-wi Losuhu! Guru kami juga sedang tidak ada, akan tetapi kalau hanya urusan derma untuk kuil saja cukup dapat diselesaikan dengan kami sebagai wakil ketua kami."

"Hemm, pinceng tidak membutuhkan derma, akan tetapi hendak bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai...!" kata pula Hun Beng Lama dan bersama sute-nya dia terus saja masuk ke dalam rumah.

"Tahan dulu...!" Kwee Kin Ta berseru marah. "Harap sebagai orang-orang beribadat Ji-wi Losuhu tahu sedikit aturan dan tidak menyelonong masuk begitu saja tanpa ijin! Biarlah kami laporkan kepada Subo (Ibu Guru) kami!"

Dua orang pendeta itu berhenti dan saling pandang, kemudian mereka mengikuti Kwee Kin Ta dan para sute-nya yang pergi menuju ke taman bunga di belakang rumah, di mana ibu guru mereka biasanya sedang melatih puteranya.

Melihat betapa kedua orang pendeta tua yang aneh itu mengikuti mereka, mereka tidak dapat melarang dan cepat-cepat memasuki taman.

"Heii, ada apakah kalian datang ke sini, Kin Ta?" Sie Biauw Eng menegur tidak senang karena merasa terganggu.

"Maaf, Subo. Ada dua orang pendeta yang hendak berjumpa dengan Kun Liong. Setelah teecu beri tahu tidak ada, lalu memaksa hendak bertemu dengan Suhu."

Sie Biauw Eng mengangkat muka dan melihat dua orang pendeta tua yang memasuki taman. Sekelebatan saja mengertilah nyonya ini bahwa dua orang pendeta yang kelihatan lemah dan halus itu tentunya mempunyai urusan penting sekali dan agaknya merupakan orang-orang yang biasa diturut kehendaknya hingga sekarang mereka berani memasuki taman tanpa ijin.

"Kalian minggirlah!" katanya kepada para anggota Cin-ling-pai yang sekarang memenuhi taman, kemudian dengan langkah tenang nyonya ketua ini maju menyambut kedatangan dua orang pendeta itu. Melihat pakaian mereka, Sie Biauw Eng dapat menduga bahwa dia kini berhadapan dengan pendeta-pendeta Lama dari barat, maka dia bersikap hati-hati karena maklum bahwa pendeta-pendeta Lama banyak yang memiliki kepandaian tinggi.

Setelah berhadapan, Sie Biauw Eng yang berpemandangan tajam itu dapat melihat dari sinar mata kedua orang pendeta itu bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai sinkang kuat sekali, maka diam-diam dia terkejut dan cepat mengangkat dua tangannya memberi hormat yang dibalas oleh mereka.

"Selamat datang di Cin-ling-san, Ji-wi Losuhu. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah Ji-wi hendak menemui suamiku?" Sie Biauw Eng bertanya dengan suara lembut namun pandang matanya penuh selidik.

"Maafkan pinceng, Toanio. Kedatangan kami berdua ini adalah untuk mencari seseorang yang bernama Yap Kun Liong karena urusan pribadi. Kami tidak memiliki urusan dengan Cin-ling-pai."

"Silakan Ji-wi duduk di ruangan tamu di mana kita dapat bicara dengan sebaiknya."

Hun Beng Lama menggerakkan tangan kirinya, digoyang-goyang. "Tidak usah, Toanio. Terima kasih atas kebaikanmu. Di sini pun sama saja."

"Losuhu, di sini tidak ada orang yang bernama Yap Kun Liong."

Kedua orang pendeta itu memandang dengan tajam penuh selidik. "Benarkah demikian? Bukankah ada hubungan antara Ketua Cin-ling-pai dengan pemuda yang bernama Yap Kun Liong itu?"

"Tidak salah. Dia memang murid keponakan suamiku, akan tetapi pada saat ini Yap Kun Liong tidak berada di sini. Sebagai Bibi Gurunya, bolehkah aku mengetahui apa maksud Ji-wi mencari Yap Kun Liong."

"Kami hendak menangkapnya," jawab Hun Beng Lama dengan tenang. Pendeta ini terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri, karena itu dia merasa tidak perlu menyembunyikan niatnya dari siapa pun yang toh tidak akan dapat menghalanginya.

Jawaban ini tentu saja mengejutkan semua orang, terutama sekali Sie Biauw Eng. Tetapi kalau para murid Cin-ling-pai kelihatan kaget adalah nyonya cantik ini tenang-tenang saja.

"Ibu..., kata Ibu para pendeta adalah orang-orang suci, mengapa dua orang ini hendak menangkap orang? Apakah mereka pendeta-pendeta palsu?"

"Hushh, Houw-ji, diamlah kau dan jangan turut campur." Sie Biauw Eng kaget mendengar kelancangan mulut puteranya.

Dua orang pendeta itu menjadi merah mukanya dan mereka melirik ke arah Bun Houw, diam-diam mereka terkejut dan kagum melihat anak laki-laki yang dari jauh saja sudah nampak memiliki tulang baik dan bakat untuk menjadi seorang pandai!

"Ji-wi Losuhu sudah jauh-jauh datang ke Cin-ling-pai dengan sia-sia belaka karena yang dicari tidak ada di sini. Bolehkah aku mengetahui nama julukan Ji-wi yang mulia dan dari golongan manakah?"

"Pinceng adalah Hun Beng Lama dan ini adalah Sute Lak Beng Lama. Kami datang dari jauh sekali, dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet, sengaja datang untuk menangkap pemuda yang bernama Yap Kun Liong. Apa bila dia tidak ada, biarlah kami bicara dengan Ketua Cin-ling-pai yang menjadi paman gurunya, karena sebagai paman gurunya tentu akan tahu di mana adanya pemuda itu."

"Sayang sekali, Losuhu. Suamiku pun sedang turun gunung dan sudah beberapa bulan belum pulang. Aku sendiri pun tidak tahu di mana adanya Yap Kun Liong dan suamiku pada saat ini."

Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saling pandang dengan hati kesal. Hun Beng Lama menarik napas panjang.

"Huhhh... sungguh tidak kebetulan sekali...!" Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berseri dan dia menoleh ke arah Cia Bun Houw yang berdiri di dekat ibunya. "Ada jalan baik! Toanio, urusan kami dengan Yap Kun Liong amat penting. Apa pun yang terjadi di dunia ini, Yap Kun Liong harus menjadi tawanan kami. Karena dia tidak ada, suamimu tidak ada, dan engkau juga tidak tahu di mana adanya mereka, maka suamimu sebagai paman gurunya harus bertanggung jawab. Sebab itu, sebagai gantinya, pinceng akan membawa puteramu ini, dan kelak kalau suamimu datang ke Tibet mengantarkan Yap Kun Liong, kami akan mengembalikan puteramu."

"Pendeta iblis keparat!" Sie Biauw Eng tidak dapat menahan lagi kemarahan hatinya.

Memang pada dasarnya, Biauw Eng adalah seorang wanita yang berwatak keras, berani dan bahkan agak ganas. Di dalam cerita Pedang Kayu Harum digambarkan dengan jelas akan watak dan sepak terjang Sie Biauw Eng ketika masih muda. Kini dia sudah menjadi ibu dari dua orang anak, bahkan anak yang pertama, yaitu Cia Giok Keng, telah dewasa sehingga dia telah menjadi setengah tua. Usia dan kedudukannya sebagai isteri Ketua Cin-ling-pai membuat dia dapat bersikap tenang dan sabar.

Akan tetapi, begitu tersentuh dan tersinggung perasaan marahnya, dia bagaikan sebatang mercon yang dinyalakan sumbunya, meledak dengan hebat dan berubah menjadi seekor singa betina! Begitu mendengar niat pendeta itu hendak menculik puteranya untuk kelak ‘ditukar’ dengan Yap Kun Liong, dia memaki lalu mengeluarkan pekik melengking, sekali kakinya terayun tubuh puteranya mencelat ke arah Kwee Kin Ta dibarengi seruannya,

"Kin Ta, jaga adikmu!" kemudian dia telah menerjang dengan kedua tangannya, mengirim pukulan-pukulan dengan jari tangan terbuka berturut-turut tujuh kali ke arah jalan darah di bagian tubuh yang paling berbahaya dari Hun Beng Lama!

"Omitohud...!" Hun Beng Lama terkejut bukan main.

Tak disangkanya bahwa nyonya cantik ini memiliki kecepatan yang sedahsyat itu. Hanya dengan susah payah, mencelat ke sana-sini sambil menggerakkan tasbihnya, dia dapat menghindarkan diri, kemudian tasbihnya diputar mengeluarkan suara berketrik menulikan telinga mereka yang mendengarnya.

Elakan-elakan kakek itu membuat Biauw Eng maklum akan kebenaran dugaannya bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, karena itu dia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, melainkan telah menerjangnya dengan serangan-serangan dahsyat, memainkan ilmu silatnya yang sangat cepat dan mengerahkan pukulan-pukulan berdasarkan sinkang yang amat ditakuti orang ketika dahulu dia masih malang-melintang di dunia kang-ouw, yaitu Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun). Pukulan ini sangat hebat, jangankan sampai telapak tangan nyonya cantik itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan tangguh!

Mengapa isteri seorang pendekar sakti seperti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai sampai memiliki ilmu pukulan beracun sekeji itu? Hal ini tidaklah aneh bagi yang telah membaca cerita Pedang Kayu Harum, karena memang di waktu mudanya Sie Biauw Eng adalah puteri dan murid tokoh atau datuk kaum sesat! Bahkan pada waktu itu dia sendiri dijuluki orang Song-bun-kwi (Wanita Cantik Berkabung) karena pakaiannya selalu putih.

Dahulu pada waktu masih gadis saja Sie Biauw Eng telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat luar biasa, apa lagi setelah menjadi isteri Pendekar Sakti Keng Hong dia mendapat petunjuk suaminya, maka dapat dibayangkan betapa lihai adanya wanita ini.

"Trik-trrriiiikkk...!"

Tasbih di tangan Hun Beng Lama mengeluarkan bunyi berdetrik nyaring lantas senjata itu menyambar ke arah tubuh lawan dengan tenaga mukjijat dan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.

“Wuuuttt... wirrr... tar-tar-tar...!"

"Hebat...!" Hun Beng Lama memuji lagi dengan kagetnya ketika serangan tasbihnya itu tiba-tiba dihadang oleh selembar cahaya putih halus yang tidak saja menangkis sambaran tasbihnya, malah cahaya yang ternyata hanyalah sehelai sabuk sutera tipis itu membalas dengan sambaran dahsyat dan ujung sabuk itu mengeluarkan suara meledak-ledak bagai halilintar menyambar.

Inilah senjata istimewa nyonya itu yang hanya dikeluarkan apa bila dia menghadapi lawan tangguh yang sukar dikalahkannya dengan tangan kosong. Sabuk sutera itu terkenal di dunia kang-ouw dengan nama Pek-in Sin-pian (Cambuk Sakti Awan Putih) karena kalau dimainkan oleh Sie Biauw Eng bentuk sabuk sutera itu lenyap sama sekali, yang tampak hanyalah cahaya bergulung-gulung seperti awan putih, namun dari awan itu menyambar-nyambar sinar kilat yang dapat membawa maut!

Melihat betapa nyonya yang lihai itu dapat menandingi suheng-nya, Lak Beng Lama lalu meloncat ke arah Kwee Kin Ta yang menggandeng tangan Cia Bun Houw dan melindungi putera subo-nya ini. Melihat gerakan ini, Kwee Kin Ci, adik dari Kwee Kin Ta dan sembilan orang murid kepala lainnya menerjang maju sambil berteriak marah.

Terdengar suara senjata berkerontangan disusul robohnya lima enam orang murid kepala Cin-ling-pai yang terlempar ke kanan kiri karena kena disapu oleh tongkat di tangan Lak Beng Lama yang sangat lihai! Kwee Kin Ci membacokkan pedangnya dari samping kiri, sedangkan para sute-nya yang lain kembali sudah menyerang dari segala jurusan.

"Plakkk...!"

Tubuh Kwee Kin Ci lantas tersungkur dan pedangnya patah setelah ditangkis oleh tangan kiri kakek itu! Dapatlah dibayangkan betapa tingginya tingkat kepandaian Lak Beng Lama dibandingkan dengan para anak murid Cin-ling-pai itu ketika dengan tangan kosong saja dia mampu mematahkan pedang bahkan terus merobohkan pemiliknya dengan hantaman hawa pukulan telapak tangannya.

Melihat adiknya roboh dan kakek itu jelas hendak merampas Cia Bun Houw, Kwee Kin Ta sebagai murid kepala yang kepandaiannya paling tinggi mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya menusuk ke arah dada kakek itu, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka membuat gerakan menusuk ke arah perut.

"Ceppp! Cepppp!"

Dua tusukan pedang dan jari tangan itu terhenti pada waktu dengan dua jari telunjuk dan tengah kiri Lak Beng Lama menjepit pedang yang menusuk dadanya, sedangkan tangan kiri Kwee Kin Ta itu dibiarkan memasuki perutnya!

"Augghhhhh...!" Kwee Kin Ta menjerit saat merasa betapa tangan yang memasuki rongga perut sedalam pergelangan itu tidak dapat dicabutnya kembali dan terasa panas laksana dibakar!

"Wirrrr... siuuuuut... tar-tarrr...!"

"Omitohud...!" Lak Beng Lama berseru kaget dan terpaksa dia melepaskan jepitan tangan dengan perutnya, membuat Kwee Kin Ta terhuyung ke belakang dengan muka pucat.

Sambaran sinar putih tadi betul-betul amat berbahaya dan begitu dia mengelak terhadap ledakan yang menyambar ke arah pelipis kepala sebelah kiri serta ubun-ubunnya, ujung sabuk sutera putih itu masih mampu melecut pundaknya, membuat jubah di pundaknya pecah dan kulit pundaknya terasa panas dan perih!

Dalam keadaan bertanding menghadapi Hun Beng Lama yang lihai masih bisa menolong Kwee Kin Ta dan menghalangi Lak Beng Lama menangkap puteranya, kehebatan nyonya Ketua Cin-ling-pai itu benar-benar mengejutkan hati kedua orang Lama itu.

Teringatlah mereka akan kelihaian Kun Liong dan tahulah mereka bahwa mereka berada di goa harimau yang amat berbahaya. Baru nyonyanya sudah begini lihai, apa lagi Ketua Cin-ling-pai itu sendiri! Andai kata Ketua Cin-ling-pai berada di situ, dan Kun Liong juga, agaknya mereka akan terjebak dan akan celaka!

Pada saat itu pula Lak Beng Lama yang cerdik sudah dapat menduga bahwa mungkin ini adalah siasat dari Pek Hong Ing! Maka dia cepat berseru, "Suheng, harap desak dia...!"

Mendengar ini, Hun Beng Lama langsung mengeluarkan suara menggereng yang aneh. Tidak keras namun suara itu terdengar memenuhi udara, kemudian berbareng dengan gerengannya itu, tiba-tiba tasbihnya bergerak lebih hebat dan kuat. Kadang-kadang tasbih itu melayang di udara, menyambar ke arah kepala Biauw Eng seperti benda yang hidup, disusul oleh sepasang tangan kakek itu yang menyerang ganas dan bertubi-tubi, kadang kala malah dibantu pula oleh serangan kedua kakinya.

Didesak sedemikian rupa oleh kakek yang luar biasa lihai ini, terpaksa Biauw Eng harus mencurahkan seluruh tenaganya sehingga dia tidak lagi dapat mencegah perhatiannya ke arah Lak Beng Lama yang sedang dikeroyok oleh para anak murid Cin-ling-pai.

Tiba-tiba terdengar teriakan Bun Houw, "Ibuuu...! Bebaskan aku...!"

Hati Biauw Eng kaget sekali dan ketika dia meloncat ke belakang memandang, ternyata anaknya itu telah berada di dalam pondongan Lak Beng Lama! Tentu saja mudah sekali bagi pendeta yang lihai ini untuk merampas Bun Houw dari dalam perlindungan para anak murid Cin-ling-pai dan begitu berhasil memondong Bun Houw, dia lalu berkata,

"Toanio, hentikan perlawananmu kalau kau ingin melihat puteramu selamat!"

Menggigil seluruh tubuh Biauw Eng dan kedua tangannya meremas-remas sabuk sutera putihnya dalam usahanya mencegah sepasang tangannya bergerak menyerang Lak Beng Lama. Maklumlah dia sekarang bahwa setelah puteranya tertawan, dia tidak boleh secara sembarangan saja turun tangan karena hal ini akan membahayakan nyawa puteranya. Dia memandang dengan bernyala dan gigi berkerot,

"Manusia iblis...! Kalau kau mencelakakan puteraku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sebelum dapat mencincang hancur tubuhmu!" Ucapannya yang penuh kesungguhan hati ini membuat dua orang Lama itu bergidik karena mereka maklum bahwa seorang wanita sehebat itu tentu akan memenuhi ancamannya.

"Omitohud...! Toanio gagah perkasa dan hebat luar biasa! Terimalah rasa hormat serta kagum dari pinceng." Hun Beng Lama menjura dengan penuh kagum karena harus dia akui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang wanita sebagai lawan yang sedemikian hebatnya.

Semenjak dulu Sie Biauw Eng bukan hanya terkenal sebagai seorang wanita yang amat lihai dan penuh keberanian tanpa pernah mengenal rasa takut, juga dia terkenal sangat cerdik. Baru sekarang, saat melihat puteranya berada di tangan musuh, dia merasa takut sekali. Akan tetapi dia dapat menekan perasaannya, lalu berkata kepada Bun Houw,

"Houw-ji, seorang calon pendekar pantang untuk menangis dan dapat menghadapi segala bahaya dengan tenang, yang penting bukan mati atau hidup, melainkan benar dan salah!"

Mendengar ini, Bun Houw mengangguk dan tidak meronta-ronta lagi di dalam pondongan Lak Beng Lama karena dia mengerti bahwa melawan dan meronta pun tak ada gunanya sama sekali.

"Hun Beng Lama, sikap dan pakaianmu saja seperti seorang pendeta Lama yang suci, tetapi perbuatanmu curang seperti penjahat kecil yang hina. Kenapa kau membawa-bawa anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Kalau memang gagah dan berani, bebaskan anakku dan majulah kalian dua orang pendeta-pendeta palsu, kita bertanding sampai salah satu pihak mati!" Dengan suara lantang dan gagah Biauw Eng menantang.

"Omitohud...! Toanio memang hebat! Kami sama sekali tidak suka bermusuhan dengan orang-orang gagah seperti Toanio. Kami terpaksa menangkap puteramu ini justru karena kami tidak suka bermusuhan. Kami tidak akan mencelakakan putera Toanio ini, hanya akan kami ajak ke Tibet untuk bermain-main dan pesiar. Kelak, kalau Toanio atau suami Toanio datang mengantarkan Kun Liong kepada kami, tentu putera Toanio akan kami serahkan kembali disertai permohonan maaf kami sekalian. Kami tidak suka bermusuhan dan bertanding melawan Toanio, karena itu jalan satu-satunya hanyalah menahan putera Toanio. Nah, selamat tinggal dan sampai jumpa pula di Tibet di mana Toanio akan dapat mengajak pulang putera Toanio. Mudah-mudahan waktu itu tidaklah terlalu lama."

Maka pergilah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama meninggalkan puncak itu. Kwee Kin Ta yang tulang tangan kirinya patah-patah itu membuat gerakan untuk menyerbu, begitu pula para anak murid Cin-ling-pai, akan tetapi Biauw Eng langsung menggerakkan tangan mencegah mereka.

Wanita ini hanya berdiri memandang, matanya bernyala dan alisnya berkerut, sepasang tangannya mengepal akan tetapi tak berani membuat gerakan sesuatu. Setelah bayangan kedua orang pendeta itu lenyap, barulah dia mengeluarkan suara mengeluh panjang dan tubuhnya terguling roboh. Pingsan!


                    ***************

“In-moi (Dinda In)...! Tunggu...!"

Teriakan ini keluar dari mulut Ouwyang Bouw yang sedang mengejar Lauw Kim In yang berlari-lari. Akan tetapi Kim In tidak menjawabnya, juga tidak menengok, melainkan berlari terus sambil kadang-kadang mengusap air matanya.

Biasanya, wanita yang berhati keras dan dingin seperti baja ini pantang menangis, akan tetapi ucapan yang tadi keluar dari mulut Kun Liong menikam ulu hatinya dan menyentuh perasaan hatinya yang memang selalu tertekan. Sama sekali dia tidak mencinta kepada Ouwyang Bouw dan menyerahkan tubuhnya kepada pemuda setan itu secara terpaksa. Hanya dia seorang yang merasakan betapa tersiksa dan menderita hatinya setiap kali dia harus menyerahkan tububnya kepada Ouwyang Bouw yang menganggapnya isterinya itu.

Makin lama dekat dengan Ouwyang Bouw, maka makin sadarlah dia bahwa ‘suaminya’ itu adalah seorang yang otaknya tidak waras, otaknya agak miring, bahkan di balik ketidak wajarannya itu terdapat watak yang luar biasa kejam dan jahatnya!

Seperti diketahui, dahulu dia menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw karena terpaksa, yaitu untuk menyelamatkan sumoi-nya, Pek Hong Ing, dan dirinya sendiri karena mereka berdua kalah melawan Ouwyang Bouw, dan kedua kalinya karena dia hendak menggunakan kelihaian orang muda gila ini agar dapat membalas dendamnya terhadap musuh besar yang dahulu membunuh tunangannya, yaitu Thian-ong Lo-mo.

Dia berhasil menyelamatkan Pek Hong Ing, bahkan berhasil pula membunuh Thian-ong Lo-mo di samping berhasil meningkatkan ilmu kepandaiannya atas petunjuk ‘suaminya’. Akan tetapi, setiap kali apa bila teringat akan keadaan dirinya, apa lagi setiap kali harus melayani cumbu rayu dan permainan cinta suaminya yang kadang-kadang tidak lumrah dan mengerikan itu, batinnya makin tertekan.

Ucapan-ucapan Kun Liong laksana ujung pedang runcing yang menikam jantungnya. Dia diumpamakan bagai setangkai mawar indah dari Go-bi yang berlumur noda dan lumpur kehinaan. Betapa tepatnya ucapan itu, maka dia merasa jantungnya tertikam dan sakit sekali.

Memang kalau dia pikir, hidupnya sekarang tidak ada artinya sama sekali, hanya menjadi permainan dan bahan penghinaan seorang laki-laki berotak miring seperti Ouwyang Bouw saja! Menjadi barang permainan karena dia pun tahu persis betapa anehnya cinta kasih Ouwyang Bouw kepadanya yang lebih condong kepada sebuah benda permainan yang tak pernah membosankan hati pemuda gila itu.

Ouwyang Bouw yang menganggap dia isterinya itu kadang-kadang bermain gila dengan wanita lain, baik secara suka rela di pihak wanita itu atau memaksa dan memperkosanya, dilakukan begitu saja di depan matanya tanpa rasa malu sedikit pun! Ouwyang Bouw tak mengenal apa artinya kesetiaan suami isteri. Bahkan gilanya, Ouwyang Bouw pernah pula menganjurkan agar dia bermain cinta dengan pria lain di depan mata suami gila itu!

Ouwyang Bouw menangkap seorang pemuda tampan, kemudian dengan ancaman maut memaksa pemuda itu supaya bermain cinta dengan isterinya! Ouwyang Bouw membujuk terus agar dia suka melakukan hal yang tidak senonoh itu di depan matanya. Tentu saja dia tidak sudi dan hal itu membuat Ouwyang Bouw marah-marah dan membunuh pemuda yang tidak berdosa itu! Teringat akan semua ini, hancurlah perasaan hati Kim In ketika mendengar celaan dan sindiran Kun Liong.

"Isteriku yang manis...! Dinda Lauw Kim In... tunggulah..., larimu amat cepat seperti kuda! Ha-ha-ha!" kembali terdengar suara suaminya itu, kini sudah dekat di belakangnya. Lauw Kim In mempercepat larinya, mengerahkan seluruh ginkang-nya yang sudah memperoleh banyak kemajuan setelah dia dilatih oleh suami gila itu.

"Wah-wah, larimu makin kencang! Ha-ha, lucu dan manis sekali dari belakang! Ha-ha-ha, bagus sekali! Kita menjadi dua ekor kuda yang berkejaran, kau kuda betina dan aku kuda jantan. Kalau dapat terpegang, kau harus memberi hadiah kepadaku, ha-ha-ha!"

Lauw Kim In bergidik, mengerti bahwa suaminya itu ‘kumat’ lagi gilanya, gila birahi yang kadang-kadang penyalurannya membuat dia merasa ngeri dan jijik. Maka makin cepatlah dia berlari dengan tekad kalau mampu hendak membebaskan diri dari manusia itu. Akan tetapi, betapa pun cepat dia lari, naik turun gunung dan keluar masuk hutan, akhirnya dia tersusul juga.

"Ha-ha-ha, kau kalah!" Ouwyang Bouw menubruknya dari belakang sehingga Lauw Kim In terguling di atas rumput. Ouwyang Bouw segera menggelutnya dan memaksanya sambil terkekeh-kekeh, "Kita memang sepasang kuda... heh-heh, sepasang kuda yang bermain cinta..."

Dapat dibayangkan betapa tersiksanya hati wanita itu, namun terpaksa dia harus mandah saja diperlakukan sesuka hati pria yang mempunyai tingkat kepandaian tinggi ini. Dia tahu bahwa kalau dia melawan dengan kekerasan, berarti bunuh diri dan dia tidak mau bunuh diri secara sia-sia. Tubuhnya telah tercemar, telah kotor, jika ditambah dengan beberapa kali penderitaan lagi sebelum ada kesempatan baik, tidak mengapalah.

"Isteriku yang manis... kau hebat..." Ouwyang Bouw merangkul dan mencium mulut Lauw Kim In yang rebah kelelahan dan mukanya agak pucat itu. Ouwyang Bouw kemudian ikut tergelimpang dan rebah pula terlentang di dekat Kim In, juga kelelahan dan dengan mulut tersenyum kepuasan...























Terima kasih telah membaca Serial ini.





No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12