Tuesday, August 21, 2018

Cerita Silat Serial Petualang Asmara Jilid 35



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
        Serial Petualang Asmara
                  Jilid 35


SEMENTARA itu, melihat bahwa yang menjadi pengantin adalah Giok Keng, dan melihat munculnya Cia Keng Hong, tentu saja Kun Liong menjadi terkejut bukan main. Sungguh seujung rambut pun dia tak pernah menyangka bahwa sepasang pengantin yang sedang dirayakan di Pek-lian-kauw dan sejak tadi ditontonnya itu adalah Cia Giok Keng dan Liong Bu Kong! Bila supek-nya tidak muncul, tentu dia tidak akan pernah tahu bahwa pengantin wanita adalah Giok Keng, gadis manis galak yang indah bentuk hidungnya itu!

Melihat betapa Hong Khi Hoatsu juga terkejut dan terheran-heran karena kakek ini pernah mendengar nama besar Cia Keng Hong, Kun Liong berbisik, "Dia adalah supek-ku Cia Keng Hong, dan ternyata yang menjadi pengantin wanita itu adalah puterinya. Tentu ada sesuatu yang tidak beres di sini, dan aku takkan dapat mendiamkannya saja..."

Hong Khi Hoatsu mengangguk-anggukkan kepala dan menjawab dengan bisikan, "Lebih baik kita melihat gelagat terlebih dahulu. Seorang sakti seperti supek-mu itu belum tentu membutuhkan bantuan kita, dan tanpa permintaannya berarti lancang apa bila kau turun tangan, Sicu."

Kakek ini memandang Kun Liong dengan kagum. Baru dia tahu bahwa pemuda yang dia sudah duga amat lihai ini adalah murid keponakan dari Ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali itu.

Kun Liong mengangguk maklum. Memang pendapat kakek ini tepat sekali. Supek-nya itu adalah seorang pendekar sakti yang memiliki nama besar dan kedudukan tinggi sekali di dunia kang-ouw. Sekarang urusan yang dihadapi supek-nya adalah urusan pribadi yang menyangkut puterinya, maka sudah semestinya kalau dibereskan oleh pendekar besar itu sendiri. Apa bila dia lancang turun tangan membantu tanpa diminta, hal ini tentu akan menyinggung kehormatan supek-nya.

Akan tetapi dia juga merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kekerasan hati Giok Keng yang tentu akan melawan siapa pun, bahkan ayahnya sendiri, untuk mempertahankan pendiriannya sendiri. Dan dia terheran-heran mengapa Giok Keng memilih Liong Bu Kong sebagai suami! Benar-benar wanita berwatak aneh sekali, wanita mendatangkan hal-hal yang luar biasa di dunia ini!

Lauw Kim In, dara yang manis dan... hemm, indah sekali tubuhnya, telah mengorbankan diri menjadi isteri seorang laki-laki berotak miring seperti Ouwyang Bouw! Dan sekarang, Giok Keng, puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, seorang dara yang cantik jelita, memilih Liong Bu Kong, putera datuk sesat Ketua Kwi-eng-pang yang sangat jahat untuk menjadi jodohnya! Betapa anehnya kelakuan dara-dara cantik itu!

Akan tetapi, di samping ketegangan hatinya diam-diam dia merasa gembira bahwa tanpa disengajanya, dalam mengikuti Hong Khi Hoatsu yang hendak menolong seorang gadis dari sarang Pek-lian-kauw, dia telah bertemu dengan Cia Keng Hong dan Cia Giok Keng.

Sesudah secara luar biasa delapan belas orang anggota Pek-lian-kauw yang tadi berani lancang menyerang Cia Keng Hong roboh terbanting dan pingsan, keadaan menjadi sunyi dan menegangkan. Terdengar bisik-bisik di antara para tamu yang semua memandang penuh perhatian.

"Giok Keng...!" Bentakan ini mengandung tenaga khikang yang sangat hebat dan terasa menggetarkan jantung semua orang yang mendengarnya.

Akan tetapi pengantin wanita itu berdiri tegak memandang ayahnya dengan mata terbuka lebar penuh tantangan!

"Ayah, kau tidak berhak berbuat begini...," terdengar Giok Keng berkata, suaranya penuh duka namun juga penuh penyesalan.

"Giok Keng, aku melarang engkau menikah di sini dan dengan seorang tokoh sesat!"

"Cia Locianpwe...!" Liong Bu Kong meloncat ke depan.

"Wuuuuttt... plakkkk! Bruuukk...!"

Tubuh Bu Kong terlempar lantas terbanting roboh terdorong oleh hawa pukulan dahsyat yang keluar dari telapak tangan pendekar sakti itu. Akan tetapi karena dia telah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, bantingan keras itu tidak membuat Liong Bu Kong pingsan seperti delapan belas orang anggota Pek-lian-kauw, hanya membuat dia pening dan dia sudah meloncat berdiri dengan muka pucat dan mata merah.

Akan tetapi pemuda ini tentu saja maklum akan kelihaian ‘calon mertua’ yang tidak mau mengakuinya itu, maka dia tidak berani bergerak lagi, melainkan mulai menengok dan mencari-cari Thian Hwa Cinjin dengan pandang matanya karena untuk menghadapi Cia Keng Hong yang sakti, dia hanya mengandalkan Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu. Namun dia melihat betapa Thian Hwa Cirijin tersenyum kepadanya dan menggelengkan kepala, memberi isyarat agar dia jangan lancang turun tangan!

"Ayah, kau tidak berhak memukul calon suami pilihanku! Karena engkau sudah menolak dan mengusir kami, kau tidak berhak mencampuri lagi!" Cia Giok Keng berseru keras dan dengan penuh kemarahan kepada ayahnya. Hatinya masih sakit karena teringat olehnya betapa dia diusir oleh ayahnya karena jatuh cinta kepada Liong Bu Kong dan kini melihat ayahnya datang mengacaukan pernikahannya.

"Cia Giok Keng! Kau menikah dengan seorang penjahat dan di Pek-lian-kauw pula? Kau hendak menodai nama keluarga kita? Lebih baik kau mati saja!" pendekar itu membentak marah.

"Locianpwe, harap Locianpwe sudi bersikap sabar dan tenang!" Tiba-tiba terdengar suara lantang dan di hadapan pendekar sakti itu berdiri dengan tegak dan dengan sikap gagah seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah.

Kun Liong terkejut sekali ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Lie Kong Tek! Ketika dia menoleh kepada Hong Khi Hoatsu, dia melihat kakek ini mula-mula juga terkejut, akan tetapi kakek itu lalu tersenyum dan mengangguk-angguk, kelihatan bangga sekali atas sikap muridnya. Namun Kun Liong merasa khawatir sekali dan menganggap pemuda itu terlampau lancang.

Cia Keng Hong juga kaget dan memandang pemuda itu dengan mata bernyala dan alis berkerut. "Siapa kau?! Mau apa kau mencampuri?" bentaknya, suaranya penuh tenaga khikang yang amat kuat.

Namun Lie Kong Tek tidak mundur setapak pun, wajahnya yang tampan gagah itu masih tetap tenang dan sinar matanya tajam menentang pandang mata pendekar yang sedang marah itu.

"Nama saya Lie Kong Tek, dan saya tidak pernah mengenal Locianpwe mau pun puteri Locianpwe. Saya juga tidak hendak mencampuri urusan pribadi Locianpwe. Akan tetapi, karena saya sudah lama mendengar nama besar Locianpwe sebagai Ketua Cin-ling-pai, seorang pendekar besar yang selalu bersikap gagah perkasa, dan pula karena di dalam hati saya timbul rasa iba melihat puteri Locianpwe, maka saya memberanikan diri untuk mengingatkan Locianpwe bahwa dalam urusan ini kalau Locianpwe tidak menggunakan kesabaran dan ketenangan, akan menimbulkan urusan yang memalukan."

Muka Cia Keng Hong sebentar menjadi merah. Kemarahannya membuat dadanya seperti dibakar.

"Kau... kau manusia lancang...!" Keng Hong yang sudah marah sekali itu menggerakkan tangannya mendorong.

Lie Kong Tek maklum bahwa dia diserang dengan pukulan jarak jauh, maka meski pun sikapnya tetap tenang, dia terpaksa mengangkat kedua tangannya juga untuk menangkis. Sambaran hawa pukulan dahsyat menyambar ke arahnya dan biar pun sudah dia tangkis dengan pengerahan sinkang sekuatnya, tetap saja tubuhnya terlempar dan terjengkang, seperti sehelai daun kering tertiup angin.

Lie Kong Tek bergulingan dan sesudah dia meloncat bangun lagi, mukanya pucat sekali, ujung bibirnya berdarah, akan tetapi dengan tenang dan gagah pemuda ini telah mencelat ke depan Cia Keng Hong lagi!

Cia Keng Hong terbelalak heran. Biar pun dia tadi tidak memukul sampai mati pemuda itu, namun hanya sedikit selisihnya. Dan pemuda itu masih berani maju lagi!

"Apa kau telah gila? Apa kau minta mati?!" bentaknya marah.

"Bila betul apa yang saya dengar tentang diri Locianpwe, saya tidak khawatir akan dipukul mati. Andai kata dipukul mati sekali pun saya lebih beruntung dari pada Locianpwe yang tentu akan menjadi jatuh nama secara hebat," kata Lie Kong Tek dengan tenang.

"Kau...! Kau...!" Cia Keng Hong marah dan jengkel sekali, maka kembali dia mengayun tangannya.

Pada saat itu, Hong Khi Hoatsu memegang lengan Kun Liong ketika melihat pemuda itu hendak meloncat maju. Memang Kun Liong merasa penasaran dan ingin melindungi Lie Kong Tek dari pukulan maut supek-nya. Akan tetapi kakek ahli sihir itu melarangnya dan menggelengkan kepalanya.

"Pendekar sehebat dia tidak akan membunuh orang sembarangan saja," bisik kakek itu.

"Desssss...!"

Tubuh Lie Kong Tek kembali terlempar lantas terbanting keras, bergulingan sampai jauh. Ketika dia meloncat bangun dan terhuyung-huyung maju lagi, dahinya benjol dan bibirnya pecah-pecah.

"Locianpwe tidak boleh membenci puteri sendiri. Menikah harus mendapatkan restu orang tua, dan memilih jodoh adalah hak si anak," Lie Kong Tek berkata.

"Jahanam bermulut besar! Kau mau ikut-ikutan? Kalau anakku menikah dengan seorang penjahat, dirayakan di tempat penjahat dan pemberontak, apakah aku harus diam saja?" Dada Cia Keng Hong terasa seperti mau meledak dan matanya kini memandang kepada Giok Keng seperti hendak menelan puterinya itu bulat-bulat!

"Ayah, engkau terlalu!" Giok Keng kini berteriak, air matanya bercucuran namun sikapnya sama sekali tidak lemah, bahkan jari telunjuk kanannya menuding ke arah mata ayahnya. "Tidak saja Ayah menolak pilihan hatiku dan mengusir kami, bahkan sekarang sesudah kami berusaha sendiri untuk menikah, Ayah tiba-tiba datang menghalang dan mengacau. Begitukah sikap seorang pendekar? Ayah, ingat bahwa aku menjadi anakmu bukan atas permintaanku! Aku adalah manusia tersendiri, bukan boneka yang harus taat atas segala kehendak Ayah demi kesenangan hati Ayah sendiri!"

Hebat bukan main kata-kata yang keluar dari mulut dara yang sedang marah itu. Bahkan lebih hebat dari pada pukulan dahsyat yang mana pun, lebih tajam meruncing dari pada pedang pusaka yang bagaimana pun.

"Bressss!"

Kedua kaki pendekar itu menghantam tanah di depannya. Tanah terlindung lantai tembok itu ambrol dan kedua kakinya amblas sampai selutut.

"Kau...! Kau...! Anak durhaka... auhhh...!" Pendekar itu terkulai lemas dan roboh terguling!

"Ayah...!" Giok Keng menjerit, akan tetapi ternyata ayahnya sudah roboh pingsan saking marahnya.

Keadaan menjadi kacau, akan tetapi tiba-tiba saja Thian Hwa Cinjin menyuruh dua orang pembantunya mengangkat tubuh Cia Keng Hong masuk ke dalam dan kepada para tamu dia berkata lantang,

"Harap Cuwi sekalian tenang saja. Urusan ini adalah urusan antara ayah dan puterinya, kita semua tak boleh mencampurinya. Biarlah Cia-taihiap beristirahat di dalam dan harap Cuwi duduk kembali. Upacara pernikahan akan segera dilanjutkan." Suaranya terdengar halus dan ramah, serta mengandung kekuatan gaib yang membuat para pendengarnya tunduk dan taat.

Kun Liong merasa betapa lengan tangannya dicengkeram tangan Hong Khi Hoatsu dan terdengar kakek itu berbisik, "Celaka... Cia-taihiap dipengaruhi hoat-sut dan... dan kulihat puterinya juga berada dalam keadaan tidak wajar... tentu ada yang main sihir di sini...!"

Mendengar ini, Kun Liong terkejut sekali dan dia menjadi marah. "Kalau begitu, aku harus turun tangan..."

"Sssttt, sabarlah, Sicu. Kulihat persiapan Pek-lian-kauw sudah dibuat dengan sangat baik, kedudukan mereka kuat. Walau pun banyak juga orang gagah di sini, akan tetapi tanpa adanya Cia-taihiap, kita akan kalah kuat. Harap kau usahakan agar keadaan di sini kacau balau atau setidaknya perhatian mereka tertarik di sini. Aku sendiri akan mencoba untuk menyadarkan Cia-taihiap di dalam."

Percaya akan kesaktian kakek itu, Kun Liong segera mengangguk dan kakek itu telah menyelinap dan pergi dari situ, bercampur di antara meja-meja tamu yang penuh dengan tamu dari berbagai golongan. Sebentar saja kakek itu telah lenyap, entah menyelinap ke mana. Kun Liong teringat akan pesan kakek itu, maka dia lalu memandang ke depan.

Ternyata di ruangan itu, di depan meja sembahyang yang sudah porak poranda itu, terjadi kegaduhan dan keributan baru. Liong Bu Kong, dengan pakaian pengantinnya yang kusut karena tadi dia dibuat jatuh bangun oleh Cia Keng Hong, berdiri dengan muka merah dan mata melotot, bertolak pinggang lantas menudingkan telunjuknya ke arah muka Lie Kong Tek sambil membentak nyaring,

"Manusia rendah yang tidak tahu malu! Berani engkau menjual lagak di sini dan membela isteriku?"

Lie Kong Tek mengusap darah dari ujung bibir serta peluh dari dahi dan lehernya. Dia berdiri tegak dan tenang, menatap kepada Liong Bu Kong yang sedang marah-marah itu seperti seorang dewasa memandang seorang kanak-kanak. Memang perawakan pemuda ini tinggi besar sehingga berhadapan dengan dia, Bu Kong kelihatan kurus kecil. Padahal Bu Kong tak dapat dikatakan seorang pemuda yang bertubuh pendek.

Pandang mata Lie Kong Tek penuh selidik, oleh karena dia memang sedang menyelidiki pengantin pria yang dinyatakan sebagai seorang penjahat oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong, pemuda yang telah menjatuhkan cinta kasih puteri pendekar itu, hal yang membuat dia ikut pula merasa penasaran dan heran. Kemudian terdengar dia menjawab, suaranya tenang dan halus,

"Aku tidak membela isteri siapa pun, melainkan membela seorang gadis yang menerima perlakuan buruk dari ayahnya sendiri."

Lie Kong Tek meraba benjol di dahinya, diam-diam mencela diri sendiri kenapa tiba-tiba timbul rasa iba yang amat hebat pada diri pengantin puteri sehingga tadi mati-matian dia membelanya. Tadi perbuatannya telah membuat marah ayah pengantin wanita, sekarang menimbulkan kemarahan pengantin pria!

"Keparat! Kau hendak mengambil hati isteriku, ya? Engkau hendak mencari muka?" Liong Bu Kong yang merasa cemburu dan marah-marah itu lupa diri, lupa bahwa di situ terdapat banyak sekali tamu dan timbullah wataknya yang kasar dan kotor.

"Saudara pengantin!" Lie Kong Tek membentak, marah melihat betapa pengantin wanita memandangnya dengan muka pucat. Entah mengapa, wajah Giok Keng yang cantik dan pucat itu mengundang rasa ibanya yang luar biasa. "Mengapa kau begini tidak tahu malu, tega mencemarkan nama isteri sendiri?"

"Tutup mulutmu!" Liong Bu Kong yang sudah marah itu menerjang dan mengirim pukulan maut.

"Desss...!"

Kong Tek menangkis, akan tetapi dia kalah tenaga sehingga tubuhnya kembali terlempar dan terbanting. Namun dia sudah bangkit berdiri lagi dan memandang dengan penasaran, sedikit pun tidak merasa takut.

"Liong-koko, jangan memukul orang!" Giok Keng berseru ketika melihat Bu Kong sudah menerjang maju lagi.

"Mundurlah, Moi-moi, orang ini harus dihajar sampai mampus!" Bu Kong berseru semakin marah karena menganggap bahwa calon isterinya itu sudah membela pemuda gagah dan ganteng itu.

"Liong-sicu, tidak boleh membikin ribut pada hari baik ini!" Tiba-tiba terdengar suara Thian Hwa Cinjin. "Orang muda itu berniat baik, dan sebagai tamu dia tidak boleh diperlakukan kasar. Marilah, upacara pernikahan agar dapat dilanjutkan sampai selesai."

Para pendeta Pek-lian-kauw sekarang sibuk membereskan meja sembahyang yang tadi sudah kocar-kacir hingga suasana menjadi berisik. Giok Keng berdiri dengan muka pucat dan bingung, Bu Kong bersungut-sungut, kadang-kadang melirik marah ke arah Lie Kong Tek yang sudah duduk kembali di antara para tamu.

Kun Liong menarik tangan pemuda tinggi besar itu agar duduk di tempat agak belakang, kemudian berbisik-bisik menceritakan dugaan guru pemuda itu yang membuat Kong Tek terkejut sekali dan memandang kepada Kun Liong dengan mata terbelalak lebar.

Meja sembahyang sudah dibereskan sekedarnya, dan lilin-lilin yang tadi padam kembali telah dipasang. Sepasang pengantin telah disuruh mendekat meja, dan pengantin wanita telah menutupkan lagi kerudungnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring setelah muncul seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang berdiri di depan rombongan tamu,

"Kauwcu (Ketua Agama), harap tahan dulu!"

Thian Hwa Cinjin, para pendeta Pek-lian-kauw, berikut sepasang pengantin amat terkejut dan menengok. Laki-laki itu bersikap gagah, pakaiannya ringkas dan jelas tampak bahwa pria ini adalah seorang kang-ouw yang biasa bersikap tegas, jujur, dan menjunjung tinggi kegagahan.

Sambil melangkah maju, Thian Hwa Cinjin berkata dengan suara halus dan tenang, “Sicu, mengapa menahan dilakukannya upacara dan apakah kehendak Sicu?”

Laki-laki itu mengangkat kedua tangan di depan dada, sambil menjura dengan hormat. "Saya Phoa Lee It sama sekali bukan berniat mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi karena saya termasuk seorang undangan yang mewakili Go-bi-pai, untuk dijadikan saksi pernikahan ini, maka saya melihat sesuatu yang ganjil dan tidak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar upacara ditunda lebih dulu."

Suasana menjadi berisik. Para tamu saling berbisik, ada yang pro dan ada yang kontra terhadap pendapat ini. Ketua Pek-lian-kauw mengerutkan alisnya, namun suaranya masih halus ketika dia bertanya, "Apakah maksud Phoa-sicu yang mengatakan bahwa ada yang ganjil dan tidak sebagaimana mestinya?"

Phoa Lee It adalah seorang tokoh perguruan Go-bi-pai, seorang yang biar pun tidak amat terkenal di dunia kang-ouw, namun sebagai utusan Go-bi-pai tentu saja mempunyai ilmu kepandalan tinggi, maka kini menjadi perhatian semua tamu.

"Kauwcu, ketika kami melihat bahwa tidak ada yang menjadi wali pengantin wanita, kami sudah merasa heran karena bukankah dikabarkan bahwa pengantin wanita adalah puteri Ketua Cin-ling-pai? Akan tetapi karena ketua itu tidak hadir, tadinya kami mengira bahwa perwaliannya dipegang oleh Pek-lian-kauw. Kiranya Ketua Cin-ling-pai muncul dan terjadi keributan antara ayah dan anak. Sesudah ayah dari pengantin wanita hadir, upacara ini tentu saja tidak syah kalau tidak disaksikan oleh ayah pengantin wanita itu. Maka saya harap upacara ini ditunda dan ayah pengantin wanita dipersilakan keluar."

Makin berisiklah para tamu mendengar hal ini. Tokoh Go-bi-pai itu bernyali besar sekali, berani mengusulkan hal yang merupakan protes dan pencelaan terhadap kebijaksanaan Pek-lian-kauw. Namun, melihat bahwa pendapat itu mengandung ceng-li (aturan), banyak tokoh kang-ouw yang menganggukkan kepala tanda setuju. Tentu saja banyak pula yang tidak setuju, terutama yang pro kepada Pek-lian-kauw. Keadaan makin berisik ketika para tamu saling mengeluarkan pendapat masing-masing sehingga terjadi perbantahan kecil di antara mereka.

Di dalam hatinya, Thian Hwa Cinjin marah sekali, akan tetapi karena menghadapi banyak tamu dan dasar tujuannya adalah untuk menarik sebanyak mungkin orang kang-ouw agar bersahabat dengan Pek-lian-kauw, dia menahan sabar, lalu mengangkat tangan sebagai isyarat agar para tamu suka tenang. Kemudian dia membalik dan menghadapi Phoa Lee It sambil tersenyum.

"Phoa-sicu, kami mengerti akan maksud hati Sicu yang baik. Akan tetapi hendaknya Sicu mengetahui bahwa Pek-lian-kauw melaksanakan upacara pernikahan ini atas permintaan sepasang calon suami isteri ini. Urusan keluarga mereka adalah urusan pribadi, dan kami sendiri tidak akan mencampurinya karena tugas kami hanyalah melaksanakan upacara pernikahan. Dan apa pun yang terjadi, tugas ini akan kami tetap laksanakan, juga kami tidak menghendaki adanya campur tangan pihak luar."

"Kalau begitu, aku tidak berani mewakili Go-bi-pai menjadi tamu!" Phoa Lee It berseru marah sebab dia langsung merasa curiga sekali. Mana mungkin pengantin ditemukan dan dilakukan upacara sembahyang pengantin tanpa persetujuan ayah pengantin wanita?

Tanpa diketahui orang lain, Ketua Pek-lian-kauw sudah memberi isyarat kepada seorang pembantunya. Yang ditunjuk untuk menanggulangi halangan ini adalah seorang pendeta tua yang tadi hadir di sebelah dalam, tidak kelihatan dari ruangan tamu. Dia merupakan seorang utusan yang mewakili Pek-lian-kauw pusat dan termasuk rombongan para tokoh Pek-lian-kauw yang dipersiapkan untuk menghadapi segala rintangan yang timbul.

Pendeta yang diberi isyarat oleh Thian Hwa Cinjin itu usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya sederhana, tangannya memegang sebatang tongkat pendek terbuat dari bambu, gerakannya amat lambat dan seperti tidak memiliki tenaga, akan tetapi begitu kakinya bergerak, tubuhnya melayang dan sudah menghadang di depan Phoa Lee It dan tongkatnya yang tiga kaki panjangnya itu melintang di depan dada.

Melihat munculnya pendeta ini, para tamu yang mengenalnya menjadi kaget. Pendeta itu adalah seorang tosu yang murtad dan masuk menjadi anggota Pek-lian-kauw, bahkan kini sudah menjadi seorang tokoh Pek-lian-kauw yang terkenal kejam terhadap musuh-musuh Pek-lian-kauw, juga terkenal sebagai seorang tosu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Diam-diam kakek ini dijuluki sebagai algojo Pek-lian-kauw karena sudah biasa membunuh orang-orang yang menentang Pek-lian-kauw tanpa mengenal belas kasihan. Dia bukan lain adalah Loan Khi Tosu!

Di bagian depan cerita ini sudah dituturkan tentang Loan Khi Tosu. Dia adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw kawakan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Meski pun dia sudah tua, dan matanya yang kelihatan putih itu lamur semenjak muda, tetapi tosu tua ini amat lihai dan juga hatinya kejam sekali terhadap musuh-musuh Pek-lian-kauw.

Selain ilmu silatnya sangat lihai, juga dia adalah seorang ahli Sai-cu Ho-kang, yaitu ilmu menggereng seperti singa yang disertai tenaga khikang. Penggunaan Sai-cu Ho-kang itu saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat sinkang-nya. Selain itu, juga dia amat terkenal dengan ilmu pukulan atau ilmu totokan jari tangan beracun yang disebut Pek-tok-ci (Ilmu Jari Tangan Racun Putih), semacam ilmu menotok yang dilakukan oleh jari tangan yang mengandung racun!

Tosu ini sudah menghadang di depan Phoa Lee It tokoh Go-bi-pai, menjura dan berkata sambil tersenyum, "Phoa Sicu dari Go-bi-pai sungguh memandang rendah Pek-lian-kauw! Sebagai tamu, semestinya Sicu tunduk terhadap tuan rumah. Apakah setelah minum arak pengantin Sicu akan dapat menghina kami begitu saja? Kalau begitu, Sicu benar-benar tidak memandang sebelah mata kepada Pek-lian-kauw."

Phoa Lee It yang sudah merasa penasaran itu menegakkan kepala dan membusungkan dadanya. Dengan tangannya dia memberi isyarat kepada empat orang pengikutnya, yaitu para sute-nya, murid-murid Go-bi-pai yang menyertainya, untuk minggir supaya dia dapat menghadapi tosu Pek-lian-kauw itu sendiri.

"Memandang rendah atau tidak hanyalah soal penilaian. Kami dari Go-bi-pai tidak pernah memandang rendah siapa pun, akan tetapi juga tidak menghendaki kebebasan kami ada yang menghalanginya."

"Siancai...! Omongan Phoa-sicu sungguh keras! Jika memang Go-bi-pai tak memandang persahabatan dengan Pek-lian-kauw, kenapa Sicu sekalian suka datang dan menghadiri undangan kami?"

"Karena tadinya Go-bi-pai menganggap bahwa pihak Pek-lian-kauw benar-benar hendak berkeluarga dan bersahabat dengan Cin-ling-pai, maka kami berlima mewakili Go-bi-pai untuk hadir. Akan tetapi, melihat betapa keadaan sesungguhnya tidak demikian yang baru kami ketahui setelah Ketua Cin-ling-pai muncul, kami tidak lagi mau mencampuri urusan ini. Kiranya para tamu yang berpikiran waras pun akan sependirian dengan kami."

"Ho-ho-ho, Sicu benar-benar bicara besar. Pendeknya, kami sebagai tuan rumah berhak menentukan semua peraturan dan para tamu sudah sepatutnya tunduk kepada peraturan kami. Silakan Sicu berlima duduk kembali dan jangan menimbulkan keributan." Berkata demikian, Loan Khi Tosu melintangkan tongkatnya seolah-olah hendak menghadang dan mencegah lima orang tokoh Go-bi-pai itu meninggalkan ruangan pesta.

Kini marahlah Phoa Lee It. Dia mengerti akan pendirian para pimpinan Go-bi-pai, yaitu tidak ingin mencampuri segala urusan Pek-lian-kauw yang terkenal sebagai perkumpulan pemberontak. Kalau tidak sangat terpaksa, tentu dia juga tidak mau bermusuhan dengan Pek-lian-kauw. Akan tetapi sekarang, ketika melihat betapa dia dan empat orang sute-nya hendak diikat kebebasannya, betapa Pek-lian-kauw hendak menghina Go-bi-pai, maka hal ini tentu saja akan ditentangnya mati-matian.

"Loan Khi Tosu, aku mengenal siapa engkau! Akan tetapi, jangan dikira bahwa aku takut padamu. Hanya karena kami menjadi utusan Go-bi-pai, kami masih menahan sabar dan tidak ingin mengikatkan Go-bi-pai dengan Pek-lian-kauw dalam permusuhan. Minggirlah dan biarkan kami pergi."

"Ha-ha-ha, tidak semudah itu, Phoa Lee It. Pinto juga mengenalmu dan kebetulan sekali berjumpa di sini, pinto sudah lama ingin sekali mencoba betapa lihainya ilmu pedangmu yang membuat kau dijuluki orang Go-bi Kiam-hiap (Pendekar Pedang dari Go-bi)."

"Bagus! Kau menantang? Secara pribadi ataukah atas nama perkumpulan? Kalau atas nama perkumpulan, aku tidak sudi melayani, akan tetapi kalau tantanganmu mengenai pribadi, tentu saja tidak akan kutolak!" jawab Phoa Lee It dengan sikap gagah.

Semua tamu menjadi tegang hatinya. Dua orang itu, Loan Khi Tosu dan Phoa Lee It keduanya sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan dan sebagai orang-orang yang sangat lihai. Kini mereka saling menantang. Tentu saja hal ini sangat menarik hati dan menegangkan.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari tempat para tamu dan seorang kakek yang sudah ompong mulutnya tertawa-tawa, kemudian mendengus dan dengan suara sombong sekali berkata, "Totiang, mengapa banyak cakap menghadapi dia ini? Aku mendengar bahwa semakin besar julukannya, makin rendahlah kepandaiannya. Kurasa Go-bi Kiam-hiap ini belum tentu benar-benar mampu memainkan Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut. Heh-heh-heh!" Kakek itu mengurut-urut kumisnya dan semua orang memandang dengan alis berkerut.

Mereka itu sebagian besar mengenal kakek ini, seorang tokoh dunia hitam yang tentu saja semenjak lama menjadi sahabat Pek-lian-kauw. Dia berjuluk Hwa-i Lojin (Kakek Baju Kembang) karena memang pakaiannya selalu rapi dan terbuat dari kain berkembang.

Kakek yang usianya enam puluh tahun ini pesolek sekali selain pakaiannya rapi dan baru dengan kembang-kembang berwarna mencolok, juga kumis serta jenggotnya terpelihara rapi dan rambutnya selalu mengkilap oleh minyak! Kiranya kakek yang tua badannya ini masih muda hatinya! Karena kakek ini selalu berlagak sombong, biar pun dia terkenal lihai sebagai seorang ahli pedang yang jarang bertemu tanding, maka para tamu memandang dia dengan hati tidak senang. Akan tetapi karena maklum akan kelihaiannya, tidak ada yang berani memperlihatkan ketidak senangan hatinya secara berterang.

Phoa Lee It tahu siapa kakek yang menghinanya itu, akan tetapi karena yang berhadapan dengan dia adalah Loan Khi Tosu, dia tidak mempedulikan dan berkata lagi kepada Loan Khi Tosu,

"Kalau tantanganmu bersifat pribadi, nah, aku telah siap!" berkata demikian, orang gagah ini mengisyaratkan para sute-nya untuk mundur ada pun dia sendiri berdiri tegak dengan jari-jari tangan meraba gagang pedangnya yang tergantung di punggung.

"Bagus, majulah! Sungguh pun tantangan pinto ini ada hubungannya dengan peraturan Pek-lian-kauw sebagai tuan rumah, namun biarlah kutujukan sebagai tantangan pribadi, disaksikan oleh para tamu yang hadir sebagai pi-bu (adu silat) yang adil."

"Singggg...!"

Phoa Lee It sudah mencabut pedangnya dan gerakannya ini memang nampak tangkas sekali. Pedang itu berkilauan dan sedikit pun tak bergerak berada di tangannya yang kuat dan mantap.

"Jaga seranganku, Totiang!"

"Wirrr... takkk... tringgg...!"

Dua orang itu masing-masing meloncat mundur dan memeriksa senjata masing-masing. Pertemuan tongkat dengan pedang tadi membuat telapak tangan mereka terasa panas dan tergetar, tanda bahwa kekuatan mereka sangat berimbang. Mereka saling pandang, menggeser kaki, lalu keduanya menerjang maju. Terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Bentakan-bentakan mereka diseling suara bertemunya tongkat dan pedang.

Setelah lewat lima puluh jurus, diam-diam Loan Khi Tosu harus mengakui kehebatan Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut yang dimainkan oleh Phoa Lee It. Ilmu pedang itu memiliki dasar pertahanan yang sangat kuat, membuat tongkatnya sama sekali tidak mampu mendekati tubuh lawan, bahkan kadang-kadang sinar pedang mencuat dan nyawanya terancam.

"Hyaaaahhh...!" Tiba-tiba tosu itu memekik, menangkis pedang dan mengerahkan sinkang untuk membuat pedang melekat pada tongkatnya, kemudian tangan kirinya melancarkan totokan ke tubuh lawan dengan Ilmu Totok Pek-tok-ci!

"Heiiittt...!" Phoa Lee It juga memekik, pedangnya diputar sehingga terlepas dari lekatan, tubuhnya miring mengelak dari totokan dan sekali pedangnya berkelebat, sinar pedang menyambar ke arah lengan kiri lawan.

"Aahhhh...!" Loan Khi Tosu meloncat mundur dan memutar tongkatnya.

"Trang-trang...!"

Kembali keduanya meloncat mundur lagi, dan karena pertemuan tongkat dengan pedang sedemikian hebatnya, membuat keduanya terhuyung. Akan tetapi Loan Khi Tosu sudah menempelkan ujung tongkat bambu ke mulutnya dan melihat ini, Phoa Lee It memutar pedangnya yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung melindungi seluruh tubuhnya.

Belasan batang jarum yang ditiupkan melalui tongkat bambu yang dipergunakan sebagai tulup (senjata peniup) itu terpukul runtuh oleh cahaya pedang, dan Phoa Lee It langsung menyerbu lagi kepada lawannya. Pedangnya digerakkan makin gencar dan kecepatannya tidak dapat diatasi oleh lawan yang terdesak dan terus mundur-mundur.

"Tranggg... krekk!"

Loan Khi Tosu berseru kaget dan cepat meloncat jauh ke belakang. Tongkatnya tinggal sejengkal saja di tangannya karena sudah patah, dan lengan bajunya yang sebelah kanan robek, tampak kulitnya berdarah sedikit karena kulit itu sudah tercium pedang!

Biar pun tidak roboh, jelas sudah disaksikan oleh para tamu bahwa dalam pi-bu itu, Loan Khi Tosu telah dikalahkan oleh Phoa Lee It, jago dari Go-bi-pai itu. Empat orang sute dari Phoa Lee It bertepuk tangan dan bersorak, dan perbuatan ini segera diikuti oleh sebagian dari para tamu yang diam-diam berpihak kepada Go-bi-pai.

"Ha-ha-ha-ha, Loan Khi Tosu benar-benar tidak dapat meninggalkan watak pendeta yang selalu mengalah!" Mendadak Hwa-i Lojin meloncat ke depan, mengebut-ngebutkan baju kembangnya dengan lagak angkuh. "Kalau Loan Khi Tosu tadi tidak mengalah, tentu saja dengan mudah dapat menjatuhkan Phoa Lee It karena ternyata bocah ini sama sekali belum becus mainkan Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut, hanya ngawur saja!"

Ucapan ini takabur dan menghina bukan main sehingga empat orang sute dari Phoa Lee It sudah mencabut pedang masing-masing dan meloncat maju hendak menyerang.

"Sute, mundur...!" Phoa Lee It membentak empat orang itu yang terpaksa mundur lagi sambil menyimpan pedang masing-masing.

"Ha-ha-ha-ha, mengapa mundur? Phoa Lee It, coba kau pamerkan ilmu pedangmu yang rendah itu, boleh kau dibantu oleh empat orang sute-mu, biar agak seimbang. Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong saja. Ilmu pedangmu masih kosong, tanpa isi, bila tadi Loan Khi Tosu tidak mengalah, dalam beberapa jurus saja kau tentu kalah!"

Phoa Lee It melangkah maju, mukanya merah sekali. Karena penghinaan atas dirinya sebagai utusan Go-bi-pai merupakan penghinaan yang dilontarkan pula kepada Go-bi-pai, maka dia lalu berkata lantang, "Hwa-i Lojin, engkau adalah seorang tua yang tidak patut dihormat oleh yang lebih muda! Aku tahu mengapa engkau berlagak seperti sekarang ini. Karena engkau pernah dikalahkan oleh suhu-ku, dan karena tak berani membalas kepada Suhu, maka kini engkau hendak menebus rasa malu itu dengan berlagak di hadapanku. Akan tetapi jangan disangka aku takut menghadapi lagakmu!"

Muka kakek itu berubah menjadi merah sekali. Dia merasa terpukul dan karena apa yang diucapkan oleh Phoa Lee It itu memang kenyataan, dia tidak mampu membantah lagi. Memang, setahun yang lalu dia sudah roboh dalam pertandingan melawan Kauw Kong Hwesio, guru jago Go-bi-pai itu.

Sebetulnya, mengingat bahwa Kauw Kong Hwesio merupakan tokoh ke dua di Go-bi-pai, kekalahan itu tidaklah amat memalukan. Akan tetapi dasar watak Hwa-i Lojin amat tinggi hati, kekalahannya itu membuat hatinya penasaran dan mendendam.

Dia lalu memperdalam ilmu pedangnya, dan secara diam-diam mempelajari ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut untuk mencari tahu kelemahan ilmu pedang ini. Namun, karena maklum akan kelihaian Kauw Kong Hwesio, dia tidak berani sembrono membalas dendamnya dan sekarang, di Pek-lian-kauw, begitu bertemu dengan murid-murid musuhnya itu, tentu saja dia mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya dan membalas kekalahannya.

Dapat dibayangkan betapa marahnya ketika ternyata Phoa Lee It sudah tahu pula akan kekalahannya itu, bahkan menghinanya di hadapan orang banyak. "Phoa Lee It, manusia sombong!" Bentaknya dan tangan kanannya bergerak cepat meraba punggung sehingga tampak sinar berkelebat karena dia sudah mencabut pedangnya. "Majulah dan aku akan membuktikan bahwa ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut hanyalah kosong belaka. Lihat, dengan pedangku ini aku akan melucutimu tanpa melukaimu, sebab itu tak perlu kau takut akan terluka, ha-ha-ha!"

Phoa Lee It yang masih memegang pedangnya itu sudah melangkah maju. "Orang-orang Go-bi-pai tak pernah takut mati atau terluka. Kalau kau menantang, majulah, Hwa-i Lojin!"

"Ha-ha-ha, seranglah. Majulah dan jaga baik-baik. Aku akan merampas pedangmu dan mematahkannya seperti sebatang lidi!" kakek itu mengejek.

Phoa Lee It maklum bahwa meski pun sombong, Kakek Baju Kembang ini memiliki ilmu pedang yang lihai, maka dia tidak mau bersikap sungkan lagi, segera saja dia menerjang dengan dahsyat, menggunakan jurus pilihan.

Hwa-i Lojin menyambut sambil tertawa. "Ha-ha-ha, inikah jurusmu yang terlihai? Aih, tidak seberapa!"

Kakek itu menggerakkan pedangnya menangkis dan begitu dua batang pedang bertemu dia membuat gerakan memutar sambil mengerahkan sinkang-nya. Phoa Lee It terkejut bukan main karena pedangnya melekat dan terbawa oleh putaran pedang lawan. Betapa pun dia berusaha mempertahankan, dia kalah tenaga sehingga pedangnya terus berputar sampai akhirnya dengan bentakan nyaring, kakek itu membuat gerakan membetot secara mendadak dan Phoa Lee It berteriak kaget, pedangnya terlempar ke atas!

Hwa-i Lojin menyambar pedang lawan itu dengan tangan kirinya, sambil tertawa ha-ha he-he menekuk pedang itu di lututnya.

"Pletakkkk!" Pedang patah menjadi dua dan tiba-tiba menyambitkan patahan pedang ke arah Phoa Lee It.

Pada saat itu pula tampak dua sinar kecil menyambar dan dua batang patahan pedang disambar runtuh. Sebelum Hwa-i Lojin dapat mencari siapa penolong lawannya ini, dari rombongan tamu tahu-tahu keluar dua orang pemuda, keduanya memegang sebatang kayu kurang lebih satu meter panjangnya dan mereka seperti berkejaran menghadang di antara Phoa Lee It dan Hwa-i Lojin.

Phoa Lee It maklum bahwa ada dua orang yang diam-diam menolongnya. Dia menghela napas panjang mengingat akan kelihaian Hwa-i Lojin, lalu melangkah mundur mendekati para sute-nya. Sementara itu, semua orang tertarik memandang dua orang pemuda yang berkejaran itu. Mereka ini bukan lain adalah Kun Liong dan Kong Tek.

Tadi pada saat Lie Kong Tek berani membela pengantin wanita dari kemarahan ayahnya, pemuda tinggi besar dan gagah ini sudah menarik perhatian banyak orang. Kini melihat dia muncul kembali dan mengejar-ngejar seorang pemuda tampan lain yang cukup aneh, pemuda yang rambut kepalanya amat pendek dan awut-awutan, tentu saja semua tamu menjadi terheran-heran maka semua mata memandang penuh perhatian. Yang menarik hati mereka adalah sikap pemuda berambut pendek yang dikejar-kejar, karena sikapnya mengejek dan jelas sekali meniru lagak Hwa-i Lojin!

"Ha-ha, majulah dan aku akan membuktikan bahwa ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut hanyalah kosong belaka. Lihat, dengan pedangku ini aku akan melucutimu tanpa melukaimu, sebab itu tak perlu kau takut akan terluka, ha-ha-ha!" kata Kun Liong sambil berdiri dengan lagak persis seperti lagak Hwa-i Lojin ketika menantang Phoa Lee It tadi!

Kong Tek yang telah dibisiki oleh Kun Liong untuk melakukan sandiwara mengejek Hwa-i Lojin dan memancing perhatian orang agar Hong Khi Hoatsu bisa bekerja dengan leluasa di sebelah dalam, segera menanggapi dan menjawab, "Seorang gagah tidak takut mati, tidak seperti engkau!"

"Aku sih bukan orang gagah, kalau untuk mati nanti dulu, akan tetapi ilmu pedangku tiada bandingannya di kolong langit. Majulah!" Dengan lagak dibuat-buat Kun Liong menantang.

"Awas... haiiiittttt!" Kong Tek menyerang dengan pedang kayunya, persis lagak seorang badut.

"Hyaaaahhhh, lihat ilmu pedangku Monyet Tua Mabuk Madat!" Kun Liong berteriak sambil menangkis, lagaknya persis seperti yang dilakukan Hwa-i Lojin tadi.

Melihat ini, banyak tamu tertawa terpingkal-pingkal, apa lagi ketika dua orang pemuda itu sudah ‘bertanding’ dengan lagak dibuat-buat. Siapa tidak akan tertawa melihat Kong Tek menyerang dengan gerakan lambat sekali sehingga tentu saja sangat mudah dielakkan, kemudian melihat Kun Liong membalas dengan gerakan pedang kayu itu perlahan-lahan ‘menempel’ pedang lawan, kemudian sambil berteriak nyaring dia memutar-mutar kayu di tangannya. Kong Tek membiarkan ranting pada tangannya ikut berputar-putar, kemudian melepaskan ranting yang terlempar ke atas. Kun Liong meniru gerakan Hwa-i Lojin tadi, menyambar kayu itu, lalu mematahkannya di atas lututnya!

"Pletakkkk!" Kayu itu patah menjadi dua dan seperti gerakan Hwa-i Lojin tadi, Kun Liong melemparkan patahan kayu.

Kemudian, seperti dua batang anak panah, dua potong kayu itu meluncur ke arah... meja sembahyang dan tosu Pek-lian-kauw yang baru saja menyalakan lilin melongo terkejut karena tiba-tiba dua batang lilin yang dinyalakannya itu padam dan patah-patah!

Keadaan menjadi gaduh dan kacau. Liong Bu Kong dan Cia Giok Keng yang tadi dibujuk oleh Thian Hwa Cinjin untuk melakukan upacara sembahyang, segera bangkit berdiri dan memandang ke arah Kun Liong dan Kong Tek. Akan tetapi mereka tidak dapat mengenal Kun Liong yang sekarang kepalanya sudah berambut, dan sepasang calon mempelai itu memandang marah karena mengangap bahwa kedua orang pemuda itu sengaja hendak mengacau pesta pernikahan mereka.

Juga Ketua Pek-lian-kauw memandang penuh curiga, dua alisnya berkerut dan sepasang matanya yang mengeluarkan sinar aneh berpengaruh itu memandang penuh selidik. Para tamu banyak yang tertawa geli menyaksikan lagak Kun Liong, secara diam-diam mereka merasa puas bahwa Hwa-i Lojin yang bersikap sombong dan tidak mereka suka itu sekali ini dipermainkan orang, sungguh pun mereka merasa khawatir juga bahwa tentu kakek itu akan turun tangan dan akan celakalah dua orang pemuda yang main-main itu.

Dan memang Hwa-i Lojin sudah memandang dengan muka merah dan mata mendelik ke arah Kun Liong. Tadinya, pada saat melihat dua orang muda itu muncul dan berlagak, dia mundur dan berdiri di pinggir sambil ikut menonton, menyangka bahwa mereka memang hendak bertanding silat dan sengaja hendak menggembirakan pesta pernikahan.

Tetapi ketika melihat lagak Kun Liong yang jelas dibuat-buat dan sengaja meniru gerakan-gerakannya tadi, mukanya langsung menjadi pucat saking marahnya dan sekarang dia memandang dengan mata mendelik seolah-olah hendak menelan pemuda itu bulat-bulat! Melihat betapa semua tamu, juga Ketua Pek-lian-kauw dan sepasang mempelai sedang memperhatikan, Hwa-i Lojin merasa semakin malu dan terhina. Tahulah dia bahwa dua orang pemuda itu sengaja mempermainkannya.

"Jahanam keparat!" gerutunya sambil melangkah maju.

Kun Liong pura-pura tidak melihat kakek ini dan dengan memutar-mutar pedang kayunya seperti lagak Hwa-i Lojin sesudah tadi menang bertanding, dia melintangkan pedang itu dengan gerakan aksi di depan dada sambil membusungkan dadanya dan berkata, "Siapa bilang aku si tua bangka tidak hebat? Siapa bilang aku pernah dikalahkan seorang ketua? Ha-ha-ha, di samping lihai, akulah si manusia sombong, tua bangka yang suka berlagak, ha-ha-ha!"

"Mampuslah!"

Kun Liong cepat miringkan tubuhnya ketika ada hawa hangat menyambar dari samping, maka pukulan Hwa-i Lojin meleset, hanya mengenai angin saja.

"Tokk!" Pedang di tangan Kun Liong sudah menyambar keras dan dari samping sudah memukul tulang lengan Hwa-i Lojin.

Kakek itu menggigit bibir menahan seruan kesakitan, kemudian menggosok-gosok lengan yang terpukul, lalu menyerang lagi sambil membentak, "Bangsat keparat!"

Kun Liong pura-pura kaget dan seperti baru melihat bahwa ada orang mengamuk dan menyerangnya. Dia cepat meloncat ke belakang dan berseru, "Eihh-eihhh...! Kenapa kau tua bangka marah-marah?"

Semua orang menahan senyum. Biar pun mereka merasa khawatir sekali, mereka juga merasa geli menyaksikan sikap pemuda tampan itu yang jelas sengaja mempermainkan kakek pesolek itu. Betapa beraninya pemuda ini, pikir mereka.

Hwa-i Lojin semakin marah. Tadinya dia ingin memaksa pemuda itu mengaku nama dan mengapa memusuhinya, akan tetapi kemarahan membuat dia tidak sabar lagi dan ingin lekas-lekas merobohkan pemuda kurang ajar ini. Dia menerjang kembali dengan tangan kosong, menghantam bertubi-tubi dengan kedua tangannya sambil mengerahkan seluruh sinkang-nya.

"Wuuut-wuuuttt... wirrr... takkkk! Dess...!"

Orang-orang bersorak gembira. Memang lucu sekali. Kun Liong yang diserang kalang kabut itu kelihatan terdesak, lari sana-sini, meloncat kacau ke kanan kiri, tongkatnya atau pedang kayunya bergerak tidak karuan, akan tetapi akibatnya, dahi Hwa-i Lojin terkena pukulan sampal menjendol dan punggungnya kena gebuk satu kali, cukup keras sehingga debu mengebul dari punggung baju!

"Kun-hoat (ilmu silat tangan kosong) bagus! Kun-hoat bagus." Kun Liong berseru sambil memuji-muji.

Jelas bahwa pujian ini merupakan ejekan. Ilmu silat tangan kosong yang dimainkan Hwa-i Lojin sama sekali tidak berhasil memukulnya, bahkan dalam segebrakan saja kakek itu telah dihadiahi satu kali kemplangan di kepala dan satu kali gebukan pada punggungnya, mana bisa disebut kun-hoat bagus?

Dalam kemarahannya yang meluap-luap, Hwa-i Lojin juga terkejut. Pemuda itu meski pun gerakannya kacau balau seperti seekor monyet menari, akan tetapi sudah jelas semua pukulannya meleset, bahkan secara aneh dia telah dihajar dengan tongkat!

Sebenarnya tidaklah mengherankan kalau kakek itu dengan mudah bisa dihajar oleh Kun Liong. Memang harus diakui bahwa Hwa-i Lojin telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, seperti halnya dalam ilmu ketangkasan apa pun juga, apa bila berhadapan dengan lawan yang tingkatnya lebih tinggi, maka semua ilmunya menjadi tidak ada artinya karena dia kalah cepat, kalah tenaga, dan kalah lihai. Kun Liong sekarang telah menjadi seorang yang tingkat ilmu kepandaiannya sulit diukur sampai di mana tingginya, sebab itu dengan mudah dia mempermainkan Hwa-i Lojin.

"Srattt... singgg...!"

Hwa-i Lojin yang amat marah sekarang telah mencabut pedangnya dan tanpa membuang waktu lagi dia sudah menggerakkan pedang menyerang Kun Liong dengan ganas sekali. Terdengar suara berdesing-desing dan pedang di tangannya berubah menjadi segulung sinar terang yang menyambar-nyambar ke arah Kun Liong.

Kun Liong melihat datangnya serangan pedang, cepat-cepat menghindarkan diri dengan mengelak cepat ke kanan kiri, melompat ke depan belakang, menangkis dengan ranting sambil berseru, "Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus...! Kiam-hoat bagus...!"

Akan tetapi seruannya ini bernada mengejek dan tiba-tiba saja dia menggetarkan kayu di tangannya, menangkis pedang sambil mengerahkan sinkang istimewa yang dahulu dia latih dari Bun Hwat Tosu sehingga pedang lawan itu melekat pada rantingnya dan tidak dapat dilepaskan kembali. Selagi lawannya terkejut, dia telah menggerakkan ranting itu, diputar-putar seperti gerakan Hwa-i Lojin ketika merampas pedang di tangan Phoa Lee It tadi.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa Hwa-i Lojin ketika tanpa dapat dia tahan lagi, pedangnya ikut terbawa oleh putaran ranting, makin lama semakin cepat. Dia sudah mencoba untuk mempertahankan pedangnya dengan mengerahkan sinkang pada tangan kanan, namun makin lama gerakan memutar itu makin kuat sehingga dia maklum bahwa tidak mungkin lagi dia mempertahankan pedangnya.

KAKEK ini sangat terkejut dan kini maklumlah dia bahwa ternyata pemuda ugal-ugalan itu mempunyai ilmu kepandaian yang hebat sekali. Untuk menjaga gengsinya, dia tidak mau menyerah kalah begitu saja dan tiba-tiba tangan kirinya dengan jari terbuka menotok ke arah lambung lawan.

"Dukkk!"

Hwa-i Lojin makin kaget. Totokannya bertemu dengan daging kenyal yang ulet dan kuat seperti karet! Dan pada saat itu pula tangan kiri pemuda yang menjadi lawannya juga bergerak cepat dua kali dan Hwa-i Lojin merasa betapa kaki dan tangannya tidak dapat digerakkannya lagi. Dia telah tertotok lumpuh! Pada saat yang sama, pedangnya sudah terampas, terlepas dari pegangannya dan menghunjam ke atas tanah, kemudian tiba-tiba pemuda itu menendang dan... tubuhnya yang sudah tidak mampu bergerak itu terlempar jauh ke belakang.

"Jadilah kau toa-pek-kong di meja sembahyang itu!" seru Kun Liong sambil menendang hingga tubuh kakek itu mencelat ke arah meja sembahyang, di mana atas anjuran Ketua Pek-lian-kauw, sepasang mempelai sedang berlutut karena hendak melakukan upacara sembahyang tanpa mempedulikan pertempuran!

"Bresss...! Braaakkkk...!"

Meja sembahyang ringsek dan tubuh Hwa-i Lojin terbanting di atas meja, terlentang dan mukanya berlepotan kuah masakan, matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar. Biar pun ilmu kepandaian Kun Liong amat mengejutkan orang, namun peristiwa itu kelihatan lucu sehingga terdengar suara ketawa di sana-sini mentertawakan Hwa-i Lojin.

Karena untuk beberapa kali meja sembahyang terganggu, Liong Bu Kong dan Cia Ciok Keng menjadi marah sekali. Terutama sekali Liong Bu Kong yang merasa bahwa upacara sembahyang yang akan mengesahkan pernikahannya dengan Giok Keng selalu menjadi terhalang. Sambil berseru keras tubuhnya mencelat ke arah Kun Liong dan tanpa banyak cakap lagi tangannya menampar ke arah pelipis Kun Liong. Sebuah tamparan yang amat keras dan mengandung tenaga sinkang yang akan dapat membikin pecah kepala orang yang ditampar.

"Plak-plak-plak!"

Tiga kali Kun Liong menangkis pukulan bertubi-tubi itu dan pada yang ketiga kalinya dia sengaja mengerahkan tenaga sehingga Bu Kong hampir terpelanting. Bu Kong terkejut sekali. Tidak disangkanya pengacau muda ini lihai bukan main. Namun dia tidak menjadi takut dan sudah menerjang lagi dengan pukulan yang lebih dahsyat lagi.

"Orang jahat, beraninya engkau mengganggu kami!" Bentakan ini keluar dari mulut Giok Keng yang telah ikut menerjang maju dan menyerang Kun Liong.

Melihat Giok Keng menyerangnya, Kun Liong yang sedang menghadapi Bu Kong menjadi terkejut sekali. Pundaknya terpukul dan dia terpelanting, namun dapat meloncat bangun kembali. Kakinya cepat menyambar dan ujung kakinya menotok lutut Bu Kong. Selagi Bu Kong hampir roboh, dia sudah mendorong dengan telapak tangannya, membuat Bu Kong terlempar dan terbanting ke atas tanah.

"Giok Keng...!" Kun Liong menegur, suaranya memperingatkan.

Tetapi Giok Keng yang sedang berada dalam pengaruh obat tidak mengenalnya, bahkan menganggap bahwa pemanggilan namanya itu adalah sebuah kekurang ajaran. Apa lagi melihat betapa Bu Kong terpukul sampai terjengkang, dia menjadi makin marah. Sambil berseru keras Giok Keng memukul lagi.

Kun Liong menggerakkan kedua tangannya, menangkap kedua pergelangan tangan dara itu sambil berbisik, "Giok Keng...!"

Pada waktu itu, lima orang tosu Pek-lian-kauw sudah datang dan menerjang Kun Liong dengan senjata tongkat di tangan. Mereka adalah pembantu-pembantu yang disuruh oleh Ketua Pek-lian-kauw untuk turun tangan menangkap pemuda pengacau itu.

Lie Kong Tek berteriak keras, meloncat lantas menyambut mereka dengan pukulan dan tendangan. Melihat ini, pihak tamu menjadi ribut dan mereka langsung terpecah menjadi dua bagian, ada yang menentang dan ada pula yang membantu Pek-lian-kauw sehingga tempat pesta itu segera berubah menjadi medan pertempuran yang kacau balau!

Kesempatan ini tentu saja segera dipergunakan oleh mereka yang memang sudah saling bermusuhan dan saling mendendam untuk melampiaskan kebencian mereka dan untuk saling serang. Akan tetapi sebagian besar dari para tamu tidak mau turut mencampuri pertempuran itu, hanya mundur dan menonton di pinggiran, bahkan yang tak mau terlibat, diam-diam telah meninggalkan tempat itu.

Sementara itu, di sebelah dalam bangunan juga terjadi peristiwa yang luar biasa. Ketika Pendekar Sakti Cia Keng Hong dalam keadaan pingsan digotong ke dalam, para tosu Pek-lian-kauw lalu merebahkannya di atas pembaringan. Mereka sudah menerima tugas dari ketua mereka dan tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap pendekar yang berbahaya itu.

Maka, begitu merebahkan tubuh Cia Keng Hong di atas pembaringan, seorang siap untuk menotok jalan darah membuat lumpuh, ada yang sudah siap dengan belenggu, dan ada pula yang telah mengeluarkan obat cair untuk dicekokkan kepada pendekar itu, yaitu obat racun perampas ingatan.

Tiba-tiba terdengar bentakan dari luar. "Tahan dulu...!"

Empat orang tosu tua itu terkejut dan menengok. Ketika mereka melihat seorang kakek yang pakaiannya kedodoran, celananya kotak-kotak, bajunya kembang, kepalanya ditutup kopyah bayi, mereka terkejut dan siap untuk menyerang.

Akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kanannya ke atas, dan terdengarlah suaranya yang penuh wibawa, "Tolol, apa kalian tidak mengenal ketua kalian sendiri? Aku adalah Thian Hwa Cinjin...!"

Sungguh aneh sekali. Tiba-tiba saja penglihatan empat orang tosu tua itu berubah dan cepat mereka menjura kepada kakek itu yang sekarang kelihatan seperti ketua mereka! Padahal kakek itu sesungguhnya adalah Hong Khi Hoatsu yang sudah mempergunakan hoat-sut yang amat kuat untuk mempengaruhi orang-orang Pek-lian-kauw dan menolong Cia Keng Hong.

"Keluarlah kalian berempat dan biarkan aku berdua dengan Cia-taihiap," kembali Hong Khi Hoatsu berkata kereng.

Empat orang tosu itu mengangguk. Tanpa berkata sesuatu seperti dalam mimpi mereka lalu melangkah keluar dari dalam kamar.

Sesudah empat orang tosu Pek-lian-kauw itu keluar dan pintu kamar kembali ditutup dari luar, Hong Khi Hoatsu segera bergerak. Sebenarnya, dengan bantuan totokan dia dapat lebih cepat menyadarkan Cia Keng Hong, akan tetapi kakek aneh ini sudah mendengar pula bahwa Pendekar Sakti itu mempunyai ilmu mukjijat yang disebut Thi-khi I-beng, yaitu ilmu yang dapat menyedot sinkang orang lain. Karena itu dia sudah memutuskan untuk tidak menggunakan totokan, melainkan hendak mengandalkan kekuatan batinnya melalui suara.

Akan tetapi, Hong Khi Hoatsu tidak mau turun tangan secara tergesa-gesa. Dia adalah seorang yang sudah lama berkelana di dunia kang-ouw, maka dia tahu pasti bahwa Ketua Cin-ling-pai yang hendak disadarkannya ini mempunyai kekuatan batin yang amat tinggi. Kalau tadi pendekar ini sampai terkena pengaruh sihir dari Ketua Pek-lian-kauw, hal itu hanya terjadi karena sebelumnya dia sudah menderita pukulan batin yang sangat hebat. Sebagai seorang ahli hoat-sut (ilmu sihir), tentu saja dia pun tahu bahwa tidaklah mudah menggunakan ilmu sihir untuk mempengaruhi orang yang memiliki kekuatan batin tinggi, salah-salah pengaruh itu dapat membalik sehingga menghantam dan membahayakan diri sendiri.

Karena itu Hong Khi Hoatsu segera duduk bersila dan memeramkan mata, bersemedhi di atas lantai di samping pembaringan, di mana tubuh Cia Keng Hong tergeletak telentang dalam keadaan tidak sadar. Hening sekali kamar itu, bahkan tidak terdengar suara napas dua orang yang berada di dalam kamar itu.

Mendadak Hong Khi Hoatsu membuka matanya. Segera tampak sinar yang sangat tajam dan berpengaruh menyorot dari sepasang mata itu, lalu bibirnya bergerak, mengeluarkan suara lirih namun terdengar tajam laksana mengiris telinga.

“Cia Keng Hong Pendekar Sakti Ketua Cin-ling-pai… engkau tidak mengantuk tidak pula sakit, mengapa tidur? Bangunlah… bangkitlah…!”

Kakek ahli sihir itu terus mengulang-ulang ucapan yang sama hingga beberapa kali, tetap dengan suara menggetar yang makin lama makin berpengaruh. Dia sudah mengeluarkan seluruh kemampuan dan kekuatan batinnya, terlihat dari uap tipis yang mulai mengebul di atas kepalanya.

Dan akhirnya, sesudah pada dahinya muncul beberapa butir keringat sebesar biji kedelai, tubuh pendekar ini mulai sedikit bergerak, perlahan-lahan membuka matanya, dan ketika dia melihat seorang kakek aneh berada di situ dan dia sudah berada di atas pembaringan, dia memandang dengan penuh curiga.

“Tenanglah, Cia-taihiap. Saya bernama Hong Khi Hoatsu, seorang sahabat. Taihiap baru saja sadar dari pengaruh sihir yang dilakukan Thian Hwa Cinjin atas diri Taihiap.”

“Keparat dia…!” Keng Hong meloncat turun.


Cerita Silat Online Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo


Akan tetapi kakek berpakaian aneh itu mencegahnya keluar dengan kata-kata lirih. “Harap tenang. Hendaknya kau ketahui, Cia-taihiap, bahwa puterimu pun kini sedang berada di bawah pengaruh sihir. Oleh karena itu, sebelum Taihiap membuat perhitungan dengan dia, lebih baik Taihiap menolong puterimu dulu. Kalau Taihiap suka menotok jalan darah tai-hwi-hiat dengan saluran sinkang yang kuat, agaknya puterimu itu dapat dibikin sadar. Dan hati-hatilah ketika menghadapi Thian Hwa Cinjin, Taihiap jangan langsung menatap matanya, dan juga jangan memperhatikan suaranya. Sekarang agaknya muridku bersama murid keponakan Taihiap tengah membikin kacau di luar, memberi kesempatan kepadaku untuk menyadarkan Taihiap di sini…”


“Murid keponakanku…?” Keng Hong bertanya heran.

“Yap Kun Liong…” Kakek itu lalu menceritakan tentang si pemuda dengan singkat.

“Aihh…, dia datang juga?”

Kakek itu mengangguk. “Dia sedang mengacau di luar bersama muridku.”

Cia Keng Hong mengerutkan sepasang alisnya. “Kalau begitu, sebaiknya kita cepat keluar untuk membantu mereka. Tempat ini sungguh berbahaya bagi mereka.”

Hong Khi Hoatsu mengangguk dan berjalan mendahului menuju pintu. Betapa pun juga dia lebih mengetahui keadaan tempat ini dari pada Cia Keng Hong yang tadi digotong masuk dalam keadaan tidak sadar, karena itu dia menjadi penunjuk jalan keluar.

Ketika Cia Keng Hong dan Hong Khi Hoatsu memasuki ruangan tempat di mana upacara sembahyang dilakukan, keadaan di ruangan itu sungguh kacau balau dan berisik sekali sehingga kehadiran dua orang ini tidak langsung menarik perhatian. Di situ sedang terjadi pertempuran tidak teratur yang juga melibatkan banyak tamu, baik yang membela mau pun yang menyerang orang-orang Pek-lian-kauw. Bahkan ada pula sesama tamu yang saling bertempur sendiri karena di dalam hati mereka telah tersimpan dendam lama yang hendak diselesaikan pada kesempatan ini.

Pandang mata Keng Hong dengan tajam menyapu seluruh ruangan, tentu saja hendak mencari Giok Keng puterinya dan Kun Liong murid keponakannya. Karena pada saat itu Giok Keng mengenakan pakaian pengantin serba merah yang sangat menyolok, dengan mudah pandang mata pendekar itu dapat menemukan puterinya.

Alisnya segera berkerut ketika melihat Giok Keng bersama seorang pemuda yang lantas dikenalnya sebagai Liong Bu Kong putera datuk sesat Kwi-eng Niocu, tengah mengeroyok seorang pemuda lain yang rambutnya sangat aneh, begitu pendek dan awut-awutan, yang bukan lain Kun Liong adanya. Akan tetapi, Ketua Cin-ling-pai ini lantas teringat akan ucapan kakek aneh yang menolongnya tadi, bahwa puterinya itu sedang dalam pengaruh sihir.

Pada waktu itu Kun Liong sedang terdesak karena pemuda ini tidak ingin melawan Giok Keng yang menyerangnya dengan pukulan-pukulan maut, ditambah lagi serbuan gencar dari Liong Bu Kong yang sangat marah karena pernikahannya terhambat oleh pemuda ini. Melihat ini, Keng Hong memekik nyaring hingga menggetarkan ruangan dan orang-orang di dalamnya, lalu tubuhnya berkelebat, tangannya menepis sambil mendorong Giok Keng sedangkan kakinya melayang ke arah lambung Bu Kong.

Walau pun Bu Kong sudah menangkis, tetap saja tenaga tendangan yang amat dahsyat itu membuat dia terhuyung ke belakang dengan terkejut sekali. Pendekar Sakti itu cepat merangkul puterinya yang nampak bingung, kemudian dia cepat melakukan totokan tepat seperti petunjuk yang diterimanya dari Hong Khi Hoatsu.

“Aughhh…,” tubuh Giok Keng menjadi lemas dan dia tentu roboh terguling kalau tubuhnya tidak dipeluk ayahnya.

Sejenak dara ini memejamkan matanya, kemudian membuka mata lagi seperti orang baru bangun dari tidur. Ketika dengan terkejut mendapatkan dirinya dalam pelukan orang, dia cepat memandang. Begitu mengenal ayahnya, dara ini segera membenamkan kepalanya di dada ayahnya sambil kedua tangannya memeluk pinggang yang kokoh itu, kemudian tubuhnya terkulai pingsan. Keng Hong memejamkan matanya, tangannya mengelus-elus rambut di kepala yang menempel pada dadanya.

Tiba-tiba terdengar suara lengking yang nyaring sekali, lengking yang dikeluarkan dengan pengerahan khikang sepenuhnya dan dibantu oleh pengaruh sihir, membuat semua orang terkesiap dan terdiam tak bergerak hingga sejenak suasana di dalam ruangan itu berubah sangat hening, kemudian baru terdengar suara lagi, “Semua tahan senjata…!”

Memang hebat sekali kekuatan sihir dari Ketua Pek-lian-kauw ini. Suaranya mengandung getaran yang sangat kuat sehingga otomatis semua tamu, termasuk Phoa Lee It dan para sute-nya, menahan senjata lantas melompat mundur, tidak kuat melawan perintah yang terkandung dalam ucapan yang menyusul lengking nyaring itu. Bahkan semua tamu, juga termasuk Kun Liong dan Kong Tek, selain menahan gerakan pertempuran, juga sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah kakek yang bertongkat hitam itu!

Sambil tertawa Thian Hwa Cinjin sekarang melangkah menghampiri Kun Liong dan Kong Tek, kedua matanya mengeluarkan sinar buas. Hatinya marah sekali karena dianggapnya kedua orang muda inilah yang sudah menimbulkan kekacauan, yang menjadi biang keladi pertempuran yang merubah suasana pesta pernikahan menjadi gelanggang pertempuran itu.

"Orang-orang muda yang bosan hidup!" bentaknya setelah dia berada di depan dua orang pemuda yang masih berlutut itu. "Kalian berdua sudah melakukan dosa besar terhadap Pek-lian-kauw, karena itu terimalah hukuman dari kami!" Sambil berkata demikian, kakek ini sudah mengangkat tongkat hitamnya ke atas, siap untuk dihantamkan ke arah kepala dua orang pemuda itu. Tentu saja hantaman seorang yang lihai seperti Thian Hwa Cinjin, dengan tongkat yang diarahkan ke kepala, akan menimbulkan maut.

Tiba-tiba kedua orang pemuda itu bergerak. Mula-mula Lie Kong Tek yang bergerak dan dari bawah, pemuda tinggi besar ini sudah menggerakkan kakinya menendang ke arah kedua lutut kaki Thian Hwa Cinjin! Ada pun Kun Liong sambil tertawa juga bangkit dan tangannya mencengkeram ke arah tenggorokan Ketua Pek-lian-kauw itu.

Tentu saja Thian Hwa Cinjin menjadi kaget bukan main. Mereka berdua itu, seperti semua tamu, jelas telah dipengaruhi kekuatan sihirnya, mengapa mereka berdua tahu-tahu dapat melawan?

Sesungguhnya tidaklah demikian, sebelum meninggalkan kedua orang pemuda itu, Hong Khi Hoatsu telah meninggalkan ‘bekal’ kepada mereka, yaitu cara-cara menolak pengaruh sihir sehingga pada waktu Thian Hwa Cinjin mengeluarkan suara melengking nyaring tadi, Kong Tek dan Kun Liong sudah ‘menutup’ perhatian mereka dan menggunakan sinkang untuk menolak seperti yang diajarkan oleh Hong Khi Hoatsu. Namun, untuk mengelabui mata Thian Hwa Cinjin, mereka berdua ikut-ikut berlutut seperti orang lain. Ketika melihat kakek itu mendekati mereka dan jelas hendak melakukan serangan maut, mereka tentu saja segera bergerak dan mendahului menyerang kakek itu.

Selain lihai ilmu sihirnya, Thian Hwa Cinjin juga memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi tingkatnya. Ketika diserang oleh Kong Tek seperti itu, tentu saja dia dengan mudah dapat meloncat dan menghindarkan tendangan dahsyat itu.

Yang membuat dia terkejut adalah gerakan Kun Liong. Tidak disangka-sangkanya bahwa pemuda itu dapat menyerang dengan gerakan secepat itu. Dia sudah mengelak dengan menarik tubuh atasnya ke belakang, namun sungguh di luar dugaannya, jari-jari tangan pemuda itu masih berhasil mencengkeram ujung jenggotnya yang panjang dan dipelihara baik-baik itu. Dia berteriak kesakitan ketika ujung jenggot itu dibetot dan putus!

Sementara itu, Giok Keng yang dipeluk ayahnya ternyata sudah sadar dan tiba-tiba saja dia merenggutkan diri dari pelukan ayahnya dan bertanya, "Mana dia? Mana si jahanam keparat Liong Bu Kong itu?"

Tentu saja Cia Keng Hong amat terkejut dan girang melihat sikap puterinya yang tiba-tiba membalik dan memaki pemuda yang tak disukanya itu. "Apa maksudmu?" tanyanya.

"Ayah, dia si keparat laknat itu, dia telah menipuku! Aku harus membunuhnya! Ayah bagai mana aku bisa memakai pakaian keparat ini?" Dia merenggutkan hiasan kepala dan jubah pengantinnya, mencabut pedangnya dan begitu dia melihat Liong Bu Kong langsung dia meloncat dan memaki, "Bangsat hina dina, hari ini engkau mampus di tanganku!"

Melihat puterinya sudah menyerang kalang kabut kepada pemuda yang masih berpakaian pengantin itu, Keng Hong terbelalak. Hatinya bersyukur bahwa akhirnya puterinya terbuka matanya dan bisa melihat bahwa pilhan hatinya itu adalah keliru sama sekali, bisa melihat bahwa pemuda putera Ketua Kwi-eng-pang itu bukanlah manusia baik-baik seperti yang telah diketahuinya.

Karena dia merasa yakin bahwa puterinya akan sanggup menandingi pemuda itu, Keng Hong lalu mencari-cari dengan pandang matanya. Tak perlu waktu lama dia telah melihat orang yang dicarinya, yang dianggap menjadi biang keladi sehingga hampir saja puterinya itu menikah dengan Liong Bu Kong di bawah pengaruh sihir, yaitu Ketua Pek-lian-kauw, Thian Hwa Cinjin!

Pada waktu itu, dia melihat betapa seorang pemuda berambut pendek yang segera dia kenal sebagai Yap Kun Liong yang dahulu gundul itu, telah menyerang Thian Hwa Cinjin dan berhasil menarik putus sebagian jenggotnya. Akan tetapi hati Keng Hong kaget sekali ketika tiba-tiba saja kakek itu mendorongkan kedua tangannya ke depan dan membentak, "Orang muda, berlututlah engkau! Berlutut...!"

Bagaikan lumpuh seketika kedua kakinya, Kun Liong langsung berlutut! Biar pun dia telah memperoleh ‘bekal’ dari Hong Khi Hoatsu untuk menolak pengaruh sihir, namun kekuatan sihir yang langsung diterimanya dan menyerang dirinya melalui gerakan kedua telapak tangan, suara dan pandang mata Ketua Pek-lian-kauw itu terlalu berat bagi Kun Liong sehingga dia tidak sanggup mempertahankan dirinya dan sudah jatuh berlutut tanpa daya sama sekali.

Lie Kong Tek yang tidak langsung terserang ilmu sihir itu, hanya terbelalak memandang karena dia melihat kakek itu berubah menjadi seorang raksasa yang tinggi dan besarnya tiga kali manusia biasa! Namun, ketabahan pemuda ini memang amat luar biasa. Biar pun ada rasa ngeri di hatinya, namun melihat temannya berlutut dan tidak berdaya, dia sudah menerjang ke depan dengan pukulan kanannya mengarah ke pusar Ketua Pek-lian-kauw yang di dalam pandang matanya berubah menjadi raksasa itu.

"Plakkk...! Desss…!"

Tubuh Kong Tek terlempar dan terguling-guling ketika sebuah tendangan kilat menyambut tubuhnya. Dadanya yang terkena tendangan terasa sesak sehingga untuk beberapa lama pemuda itu tak dapat bangkit berdiri, hanya bangun duduk dan mengelus dadanya sambil mengatur pernapasan.

"Wuuuuttt... bukkk!"

Thian Hwa Cinjin sudah berusaha mengelak, namun tetap saja ujung kaki Cia Keng Hong menyentuh pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang. Serangan Keng Hong yang dahsyat ini, yang dilakukan dengan tubuh melayang dari jauh, sudah menyelamatkan Kun Liong karena pada saat itu pula, Thian Hwa Cinjin sudah mengangkat tongkatnya hendak memukul kepala Kun Liong.

Melihat majunya pendekar sakti ini, Thian Hwa Cinjin menjadi sangat terkejut. Dia sudah lama mendengar akan kelihaian Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai, maka cepat-cepat dia mengerahkan ilmu sihirnya, mengangkat tongkatnya dan berseru, "Cia Keng Hong, berani kau melawan? Hadapilah ular saktiku ini!"

Keng Hong cepat meloncat ke belakang, matanya terbelalak saat melihat betapa tongkat hitam di tangan kakek itu berubah menjadi seekor ular hitam yang sangat besar, panjang dan mengerikan. Dia meraba punggungnya dan tampaklah sinar hijau berkelebat ketika sebatang pedang telah berada di tangan pendekar ini. Sebatang pedang yang biasa saja, bahkan bukan pedang logam melainkan sebatang pedang kayu! Akan tetapi itulah pedang Siang-bhok-kiam, Pedang Kayu Harum yang dulu pernah menggegerkan dunia persilatan!

Betapa pun juga, sekarang menghadapi orang yang menggunakan ilmu sihir, merupakan pengalaman baru bagi Cia Keng Hong, maka dia bersikap waspada dan sangat hati-hati, hanya menanti dengan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi serangan lawan.

"Ha-ha-ha, Thian Hwa Cinjin! Tidak ada gunanya semua ilmu sulapmu ini! Tongkat tetap tongkat, mana mungkin bisa menjadi ular? Asal tanah kembali menjadi tanah asal kayu kembali menjadi kayu! Cia-taihiap, jangan mau dikelabui ilmu sulap murahan!"

Thian Hwa Cinjin terkejut dan Cia Keng Hong girang sekali karena kini ular mengerikan di tangan lawan itu lenyap dan yang tampak hanya tongkat biasa kembali.

Thian Hwa Cinjin membentak sambil tangan kirinya digerakkan ke atas, dan... terdengar ledakan keras kemudian muncul gumpalan asap yang membentuk diri menjadi manusia berkepala singa yang amat menyeramkan! Ujud setan ini dengan buasnya lalu melayang dan menerkam ke arah Keng Hong!

Pendekar ini adalah seorang yang sakti dan tidak mengenal takut, namun menyaksikan ujud yang aneh itu dia menjadi terkejut bukan main dan cepat dia sudah melempar tubuh ke belakang, bergulingan sampai jauh sambil memutar Siang-bhok-kiam untuk melindungi tubuhnya. Ketika dia meloncat bangun dengan sigapnya, dia melihat gumpalan asap itu masih mengejarnya!

Kembali Hong Khi Hoatsu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, lihat baik-baik, Cia-taihiap. Asap itu hanyalah jadi-jadian yang diciptakan oleh tukang sulap itu, bukan apa-apa dan hanya gertak sambal saja!" Hong Khi Hoatsu bertepuk tangan tiga kali dan... setan asap itu pun lenyap.

Bukan main marahnya hati Thian Hwa Cinjin. Dengan tongkat hitamnya dia menuding ke arah Cia Keng Hong dan Hong Khi Hoatsu sambil berteriak, "Jadi kalian telah bersekutu untuk datang memusuhi Pek-lian-kauw? Cia Keng Hong, mengapa engkau begini tak tahu malu? Puterimu datang dengan calon suaminya dan mereka memohon kepada kami agar suka merayakan pernikahan mereka sebab engkau tak menyetujui pernikahan itu. Melihat namamu dan nama Cin-ling-pai, kami telah berbaik hati untuk menolongnya dan bersusah payah merayakan pernikahan mereka. Siapa tahu engkau, ayahnya sendiri, malah datang mengacau dan memusuhi kami. Aturan mana ini? Apakah budi kebaikan kami hendak kau balas dengan permusuhan?"

Cia Keng Hong mengerutkan alisnya, lalu menengok ke kiri dan melihat betapa puterinya mendesak Liong Bu Kong dengan serangan-serangan maut, kemudian betapa pemuda itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan melarikan diri, terus dikejar oleh Ciok Keng. Dia merasa khawatir sekali lalu berteriak, "Keng-ji, jangan kejar dia! Kembalilah ke sini!"

Tapi Giok Keng yang sudah amat marah kepada Liong Bu Kong, mana mau melepaskan pemuda yang kini amat dibencinya itu? Dia mengejar terus, bahkan membentak nyaring, "Jahanam keparat, lari ke neraka pun akan kukejar kau sampai dapat!"

Melihat ini, Yap Kun Liong yang sudah berhasil merobohkan para pengeroyoknya lantas berseru. "Cia-supek, jangan khawatir, biar teecu yang menyusul dan membantu Sumoi!"

Tanpa menanti jawaban, pemuda itu lalu melesat pergi dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga Keng Hong sendiri bengong dan kagum dibuatnya. Hatinya lega mellhat Kun Liong melindungi puterinya, maka dia kembali menghadapi Thian Hwa Cinjin dengan tenang, kemudian menjawab kata-katanya tadi dengan suara lantang, "Thian Hwa Cinjin, bukankah engkau sendiri yang memutar balik omongan? Puteriku melaksanakan upacara pernikahan yang sudah kau atur, bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan karena dia berada di bawah pengaruh sihirmu yang keji!"

Thian Hwa Cinjin terkejut sekali, dan semua tamu yang tadinya saling serang kini telah menghentikan pertempuran mereka karena melihat bahwa orang-orang yang mereka bela kini sedang bertengkar. Sekarang mereka datang mendekat dan mendengarkan penuh perhatian, sedangkan para anak buah Pek-lian-kauw hanya mengurung tempat itu karena sebelum menerima perintah dari ketuanya, mereka pun tidak berani sembarangan turun tangan.

Para tamu yang tadi tidak mau mencampuri keributan dan tidak turut bertempur, hanya memandang dari jauh, kini diam-diam meninggalkan tempat itu karena tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan. Orang-orang kang-ouw yang berpihak pada Cia Keng Hong hanya ada dua puluh lebih saja, termasuk tokoh-tokoh Go-bi-pai, sedangkan selebihnya, lebih dari lima puluh orang kang-ouw, adalah teman-teman Pek-lian-kauw.

"Ketua Cin-ling-pai membohong!" Thian Hwa Cinjin yang sudah berhasil menenteramkan hatinya membantah dengan teriakan keras, kemudian dia menengok ke arah semua tamu yang kini masih berada di situ. "Cu-wi sekalian para tamu yang terhormat menjadi saksi! Apakah ada permainan paksaan dalam upacara pernikahan tadi? Apakah ada orang yang memaksa pengantin wanita melakukan upacara sembahyang?"

"Tidak ada! Tidak ada!" Serentak terdengar jawaban puluhan buah mulut para tamu, ada pun mereka yang pro kepada Cia Keng Hong tidak ada yang mampu menjawab karena mereka itu secara diam-diam harus mengakui bahwa tadi tidak ada pemaksaan terhadap pengantin wanita.

Cia Keng Hong tersenyum mengejek, memutar tubuh menghadapi para tamu kemudian berkata, suaranya lantang, "Cu-wi sekalian mana tahu akan kelicikan pendeta hitam ini? Puteriku tadi berada dalam keadaan tidak sadar, berada di bawah pengaruh sihir dan obat perampas ingatan! Semua sudah diatur oleh Thian Hwa Cinjin. Bahkan ketika aku datang, diam-diam dia menggunakan ilmu sihir yang membuat aku tidak sadar! Kalau tidak ada Hong Khi Hoatsu yang menolong, tentu aku pun telah dicelakakannya tanpa ada seorang pun tamu yang menduga dan mengetahuinya."

"Bohong! Semua mata melihat! Semua telinga mendengar betapa Ketua Cin-ling-pai telah ribut mulut dengan puterinya dan karena marahnya lalu roboh pingsan! Kami bahkan telah menolong Cia-taihiap dan menggotongnya ke dalam, bagaimana kini kau bisa menuduh yang bukan-bukan? Cu-wi sekalian harap jangan mudah dibohongi orang. Pek-lian-kauw sudah terlalu banyak dikabarkan jelek. Padahal, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang gagah yang membela rakyat yang tertindas oleh pemerintah lalim! Pek-lian-kauw selalu mengutamakan kegagahan, mana kami sudi berbuat keji dan buruk?"

"Ha-ha-ha, omongan Ketua Pek-lian-kauw seperti kentut!" Tiba-tiba terdengar suara orang berkata nyaring dan kembali Hong Khi Hoatsu yang bicara itu.

Kini dia didampingi oleh Lie Kong Tek dan seorang dara muda yang cantik akan tetapi mukanya pucat, matanya merah oleh tangis, dan pakaian serta rambutnya kusut seperti orang menderita sakit berat. Siapakah dara itu? Dia bukan lain adalah Bu Li Cun!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika berkenalan dengan Hong Khi Hoatsu dan Lie Kong Tek, Yap Kun Liong telah mendengar penuturan mereka tentang seorang gadis yang diculik oleh Pek-lian-kauw. Untuk keperluan mencari gadis yang menjadi tunangan Lie Kong Tek itulah maka guru dan murid itu menuju ke Pek-lian-kauw dan minta bantuan Yap Kun Liong.

Tadi, ketika terjadi ribut mulut, diam-diam Lie Kong Tek disuruh oleh gurunya untuk pergi menyelinap dan mencari tunangannya yang mereka duga berada di tempat itu. Lie Kong Tek menyelinap memasuki bangunan besar itu dari pintu samping tanpa diketahui oleh para anak buah Pek-lian-kauw yang sedang tertarik oleh keributan di luar.

Sesudah sampai di ruangan dalam, Kong Tek lantas menangkap seorang pelayan wanita dan mengancamnya untuk menunjukkan tempat tahanan wanita. Pelayan yang ketakutan itu terpaksa membawa pemuda perkasa ini ke belakang dan di dalam sebuah kamar, dia melihat beberapa orang dara yang keadaannya menyedihkan sekali.

"Siapakah di antara kalian yang bernama Bu Li Cun?" tanyanya halus, sebab sebenarnya baru satu kali Lie Kong Tek melihat tunangannya, itu pun ketika tunangannya masih kecil beberapa tahun yang lalu.

Seorang dara berusia delapan belas tahun, cantik dan pucat, keadaannya menyedihkan seperti para tawanan lain, melangkah maju dan memandang kepada Lie Kong Tek penuh selidik dan penuh rasa takut.

Hati pemuda itu sangat terharu dan cepat dia maju, lalu memegang kedua tangan dara itu. "Jangan khawatir, aku datang untuk menolongmu. Aku Lie Kong Tek..."

Mendengar ini, gadis itu teringat dan segera menangis terisak-isak dan tentu sudah roboh kalau tidak segera dirangkul oleh pemuda itu. Lie Kong Tek lalu membawanya keluar dan menjumpai gurunya.

Hong Khi Hoatsu girang sekali melihat muridnya telah berhasil membebaskan gadis yang mereka cari-cari itu, dan pada saat Thian Hwa Cinjin mendesak Cia Keng Hong dengan omongannya, dia sudah mentertawakan kakek itu.

"Thian Hwa Cinjin Ketua Pek-lian-kauw, selain pandai mempergunakan ilmu sulap secara curang juga pandai menggerakkan bibir dan lidah menyebar racun yang manis rasanya!" Hong Khi Hoatsu melanjutkan kata-katanya yang lantang.

"Harap Cu-wi sekalian lihat Nona ini. Dia adalah seorang gadis baik-baik yang telah diculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw! Apakah dengan perbuatan keji itu Thian Hwa Cinjin masih mau mengelabui mata semua orang dengan mengatakan bahwa Pek-lian-kauw adalah orang-orang gagah yang berjiwa patriot?"

Terdengar suara kemarahan yang berisik di antara para tamu. Thian Hwa Cinjin sendiri menjadi pucat mukanya ketika melihat Bu Li Cun sudah berdiri di dekat Hong Khi Hoatsu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang amat cerdik. Dia dapat mengenal watak wanita yang selalu berusaha memegang teguh nama baiknya serta menyimpan rahasia kesuciannya sebagai seorang perawan. Maka sambil tersenyum lebar dia berkata,

"Ha-ha-ha-ha, kakek pengemis yang hendak berlagak! Aku tidak mengenal siapa adanya engkau yang berlagak aneh ini, akan tetapi engkaulah yang memutar balikkan omongan! Gadis ini adalah Nona Bu Li Cun, dan dia adalah seorang di antara dara-dara perkasa yang secara suka rela ingin menjadi anggota Pek-lian-kauw sebab dia pun berjiwa patriot! Dia menjadi tamu kami di sini, dan siapa pun boleh bertanya kepadanya, apakah selama berada di sini dia sebagai seorang perawan terhormat sudah ada yang mengganggunya? Bu-siocia, harap suka menjawab. Apakah selama ini Nona diganggu oleh orang-orang di Pek-lian-kauw?"

"Lie-koko, aku pinjam pedangmu sebentar," mendadak Bu Li Cun berkata halus sambil meloloskan pedang yang tergantung di pinggang tunangannya.

Lie Kong Tek tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh gadis itu, dan karena itu dia tidak mencegahnya. Dengan pedang di tangannya, Bu Li Cun lalu berlari menghampiri Thian Hwa Cinjin, dan kakek ini memandang sambil tersenyum, maklum bahwa dara ini tentu tidak akan begitu tebal muka untuk mengakui keadaannya, dan di samping ini, meski pun dara itu memegang pedang, dia tidak merasa terancam dan tidak pula merasa takut.

"Bu-siocia, bukankah engkau ingin menjadi murid Pek-lian-kauw, menjadi muridku secara suka rela tanpa paksaan?" kembali dia berkata dengan suara menggetarkan wibawa kuat.

Dengan muka tunduk tanpa memandang kakek yang kini berdiri di sampingnya, Bu Li Cun mengangkat muka dan memandang kepada semua tamu dengan air mata bercucuran! Kemudian terdengar suaranya yang lantang, "Saat seperti ini telah lama kutunggu-tunggu! Aku Bu Li Cun hanya dapat membalas sakit hati secara begini. Cu-wi sekalian dengarlah baik-baik! Aku telah diculik oleh Pek-lian-kauw dan aku telah diperkosa oleh tua bangka keparat ini!"

Tiba-tiba setelah meneriakkan pengakuan hebat ini, yang tidak mungkin dikeluarkan oleh mulut seorang gadis yang menganggap lebih baik mati dari pada mengaku telah diperkosa orang, Bu Li Cun menggerakkan pedang tunangannya, menggorok leher sendiri!

"Haiii...! Tranggg...!"

Pedang itu mencelat terlepas dari tangan Bu Li Cun, akan tetapi setelah terlebih dahulu mengerat kulit leher dara itu. Kulit leher yang tadi putih itu seketika berubah merah, darah muncrat-muncrat dan terdengar suara aneh dari leher Bu Li Cun yang mempergunakan kedua tangan memegang lehemya, tubuhnya terguling ke atas tanah.

"Bu-moi...!" Lie Kong Tek yang tadi kurang cepat bergerak sehingga sambitan piauw-nya yang membuat pedang terlepas itu masih tidak dapat menolong tunangannya, meloncat dan berlutut, mengangkat tubuh dara itu, dipangkunya. Mukanya pucat sekali pada waktu dia melihat betapa leher itu terkuak lebar dan darah muncrat-muncrat mengerikan. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa dia telah terlambat, bahwa nyawa gadis tunangannya ini tak mungkin dapat ditolong lagi.

Bu Li Cun membuka kedua matanya, memandang pemuda gagah itu, tersenyum dan bibirnya bergerak-gerak namun tidak ada suara yang keluar, kemudian dia terkulai lemah dalam pelukan Lie Kong Tek.

Berisiklah semua orang sesudah menyaksikan peristiwa mengerikan itu dan pada wajah banyak tokoh kang-ouw terbayang kemarahan hebat mendengar pengakuan gadis yang membunuh diri itu telah diperkosa oleh Thian Hwa Cinjin! Akan tetapi mereka tidak berani langsung bergerak karena mereka maklum akan kelihaian kakek itu.

"Ha-ha-ha-ha, agaknya gadis ini adalah kaki tangan musuh yang sengaja dikirim ke sini untuk memburukkan nama pinto! Sungguh perbuatan yang curang sekali kalau begitu!" Thian Hwa Cinjin yang cerdik itu masih tidak kekurangan akal untuk memutar balikkan kenyataan. Kemudian dia memandang ke arah mayat Bu Li Cun yang masih dipeluk oleh Lie Kong Tek dan terdengar suaranya penuh getaran aneh, "Harap Cu-wi lihat baik-baik. Gadis itu kelihatannya saja membunuh diri, akan tetapi sesungguhnya tidak. Dia waras dan sehat, pedang tadi tidak mengenai lehernya dan dia hanya pura-pura mati saja. Lihat baik-baik, semua tadi hanyalah perbuatan kakek gila tukang sihir itu!"

Semua mata terbelalak, termasuk mata Cia Keng Hong yang karena keinginan tahu dan keheranannya, sudah menunda niatnya menerjang Ketua Pek-lian-kauw itu dan memutar leher memandang ke arah Bu Li Cun. Dan, seperti juga orang lain kecuali Lie Kong Tek dan gurunya, dia pun melihat betapa leher gadis itu kini putih bersih tidak ada darahnya sedikit pun juga, dan gadis itu masih bernapas, sambil tersenyum-senyum dengan mata terbuka lebar!

"Ti... tidak... mungkin...!" Pendekar sakti ini berbisik sambil menggoyang kepalanya untuk mengusir pandangan yang tidak semestinya itu.

Dia tadi melihat sendiri betapa pertolongan Lie Kong Tek agak terlambat, betapa sebelum terlempar, pedang itu telah menggorok leher Bu Li Cun dan betapa leher itu telah terluka, terkuak lebar dengan darah muncrat-muncrat dan gadis itu telah menghembuskan napas terakhir di dalam pelukan Lie Kong Tek!

"Hemm, Thian Hwa Cinjin! Lagi-lagi kau hendak mengelabui para tamu yang terhormat ini dengan ilmu sulapmu! Gadis itu jelas telah tewas, membunuh diri dengan pedang karena sudah kau perlakukan hal yang terkutuk atas dirinya. Cu-wi sekalian harap jangan mudah dikelabui dan lihatlah baik-baik. Bu Li Cun sudah tewas membunuh diri! Darahnya pun belum kering!" Hong Khi Hoatsu berteriak, suaranya juga mengandung getaran hebat dan kedua tangannya dengan jari terbuka didorongkan ke depan, ke arah Bu Li Cun dan... terdengar teriakan-teriakan di sana-sini ketika semua mata, termasuk mata Cia Keng Hong, melihat gadis itu benar-benar telah menjadi mayat dengan luka besar di leher dan darahnya masih mengalir keluar, sedangkan Lie Kong Tek dengan muka pucat dan alis berkerut memangku dan memandang gadis itu.

Thian Hwa Cinjin menjadi marah bukan main. Kembali ilmu sihirnya yang digunakan untuk menyelamatkan nama dan dirinya, sudah digagalkan oleh kakek aneh yang muncul tanpa diduga-duganya dalam pesta pernikahan yang sudah diaturnya itu. Dengan alis berkerut dan mata mengeluarkan sinar berapi-api dan penuh kekuatan sihir dia menghadapi Hong Khi Hoatsu dan membentak, "Pendeta yang lancang mencampuri urusan orang! Siapakah engkau dan apa sebabnya engkau memusuhi kami?"

Hong Khi Hoatsu menggeleng-gelengkan kepalanya yang ditutup kopyah bayi itu sambil tersenyum dan menjawab, "Thian Hwa Cinjin, engkau sudah menggunakan julukan Cinjin, namun ternyata masih mengumbar nafsu angkara murka serta gila akan kedudukan dan kemuliaan duniawi! Ketahuilah, aku disebut orang Hong Khi Hoatsu, pekerjaanku hanya bertapa. Akan tetapi karena melihat betapa tunangan dari muridku itu sudah diculik oleh anak buah Pek-lian-kauw, terpaksa aku turun gunung dan mencarinya. Jejaknya menuju ke sarangmu ini dan ternyata benar bahwa tunangan muridku itu sudah diculik oleh orang-orangmu bahkan telah menjadi korban kebiadabanmu! Hemmm, entah berapa banyaknya wanita baik-baik yang menjadi korban kekejianmu yang kau lakukan mengandalkan nama Pek-lian-kauw dan mengandalkan ilmu sihirmu yang jahat!"

"Hong Khi Hoatsu pendeta keparat! Ingatlah kau di mana kau bicara?"

"Ha-ha-ha! Tentu saja! Aku bicara di depan Ketua Pek-lian-kauw bagian timur, berada di sarang Pek-lian-kauw dan tengah dikepung oleh para anak buah Pek-lian-kauw! Dan baru sekarang aku tahu, juga para enghiong yang hadir di sini tentu tahu bahwa Pek-lian-kauw yang dikenal sebagai perkumpulan pejuang rakyat itu sesungguhnya hanya ditunggangi oleh orang-orang jahat sehingga berubah menjadi perkumpulan orang-orang jahat yang pekerjaannya merampok harta benda, menculik wanita, dan memberontak untuk mengejar kedudukan."

"Keparat!" Thian Hwa Cinjin membentak, tidak dapat menahan kemarahannya, kemudian memberi tanda dengan tongkatnya sebagai aba-aba untuk menyerbu.

Anak buah Pek-lian-kauw yang sudah mengurung tempat itu segera berteriak-teriak dan menerjang maju.

"Manusia busuk berkedok nama rakyat pejuang! Engkau harus mampus!" Cia Keng Hong sudah menerjang ke depan dan menyambut gerakan Thian Hwa Cinjin yang tadi masih menyerang ke arah Hong Khi Hoatsu.

"Trakk! Plak!"

Tubuh Thian Hwa Cinjin terhuyung ke belakang pada waktu tongkatnya bertemu dengan Siang-bhok-kiam, berbareng dengan telapak tangan kirinya disambut oleh telapak tangan Cia Keng Hong. Terkejutlah Thian Hwa Cinjin.

Dia sudah lama mendengar nama besar Cia Keng Hong sebagai Ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi sekali. Memang dia sudah merasa gentar mendengar nama besar pendekar ini, akan tetapi dia menjadi besar hati karena dia mengandalkan kekuatan sihirnya untuk mengatasi pendekar sakti itu.

Namun sekarang di samping Cia Keng Hong terdapat Hong Khi Hoatsu yang agaknya merupakan seorang ahli dalam ilmu sihir sehingga beberapa kali ilmu sihirnya melempem dibikin buyar dan punah oleh Hong Khi Hoatsu. Terpaksa dia tidak mau menggunakan ilmu sihir lagi, karena kalau Hong Khi Hoatsu maju menghadapi ilmu sihirnya, berarti dia dikeroyok dua dan harus memecah kekuatan sinkang-nya

Dengan nekat dia lalu memutar tongkatnya dan mengeluarkan ilmu tongkatnya yang amat dahsyat sehingga Cia Keng Hong yang mengenal lawan tangguh tak memandang rendah kepadanya. Segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang sakti itu.

Sedangkan Hong Khi Hoatsu yang maklum bahwa keselamatan Cia Keng Hong tentu terancam apa bila dia tidak berjaga-jaga untuk melawan ilmu sihir Ketua Pek-lian-kauw, hanya menonton di pinggir sambil kadang-kadang menggunakan kaki tangan merobohkan anggota Pek-lian-kauw yang berani mencoba untuk menyerangnya.

Dia tidak berani ikut menyerang Thian Hwa Cinjin, karena dalam beberapa jurus saja kakek yang ahli dalam ilmu sihir ini maklum bahwa dibandingkan dengan kedua orang yang sedang bertempur itu, tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh sehingga bantuannya tidak akan ada artinya, bahkan akan mengacaukan gerakan serangan Ketua Cin-ling-pai itu.

Kini keadaan para tamu menjadi berbalik. Kalau tadinya orang-orang yang memihak pada Pek-lian-kauw jumlahnya jauh lebih banyak, sekarang mereka sebagian besar membalik dan menentang Pek-lian-kauw! Mengapa demikian?

Sebagian besar tamu yang hadir adalah orang-orang kang-ouw dan tadinya mereka suka bekerja sama dengan Pek-lian-kauw bukan semata-mata karena perkumpulan ini royal dalam menjamu dan menghormati mereka, melainkan karena mereka sungguh-sungguh menganggap bahwa Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pejuang rakyat yang menentang pemerintah lalim dan membela rakyat tertindas.

Sekarang barulah terbuka mata mereka, dan mereka sudah melihat bukti betapa kejinya Ketua Pek-lian-kauw yang menyuruh anak buahnya menculik gadis lalu memperkosanya! Setelah melihat kenyataan ini, dan sebagai pendekar-pendekar gagah di dunia persilatan, tentu saja mereka tak sudi lagi bersekutu dengan kakek keji itu. Maka kini sebagian besar di antara mereka berpihak kepada Cia Keng Hong dan menyambut serbuan para anak buah Pek-lian-kauw!

Tentu saja di antara para tamu masih ada juga yang memihak Pek-lian-kauw dan mereka ini memanglah orang-orang dari golongan sesat yang terdiri dari perampok, bajak, serta orang-orang yang tak pernah merasa segan melakukan perbuatan jahat demi mengumbar hawa nafsu mereka.

Anggota Pek-lian-kauw yang kebetulan berada di situ dan kini maju menyerbu berjumlah kurang lebih seratus orang dan setelah ditambah dengan para tamu golongan sesat yang membela mereka, maka jumlah mereka antara seratus dua puluh lima orang! Sedangkan pihak yang menjadi lawan mereka hanya berjumlah kurang lebih empat puluh orang saja.

Karena itu, dengan perimbangan kekuatan yang berat sebelah ini, setiap orang kang-ouw akan dikeroyok oleh dua atau tiga orang Pek-lian-kauw, padahal di antara para anggota Pek-lian-kauw terdapat pula banyak tokoh yang berilmu tinggi. Terdesaklah mereka yang menentang Pek-lian-kauw dan sudah beberapa orang yang roboh terluka sungguh pun di pihak Pek-lian-kauw juga banyak yang terluka.

Lie Kong Tek mengangkat mayat tunangannya lalu merebahkannya di tempat yang aman, kemudian bagaikan seekor harimau kelaparan, pemuda tinggi besar yang sangat berduka dan marah ini mengamuk. Sepak terjangnya menggiriskan para anggota Pek-lian-kauw dan baru sesudah dia dikeroyok oleh lima orang pimpinan Pek-lian-kauw tingkat rendah, terjangan pemuda ini dapat dibendung dan terjadilah pertempuran yang sangat seru dan mati-matian.

Pertandingan antara Thian Hwa Cinjin dan Cia Keng Hong juga berlangsung dengan amat hebatnya sehingga Hong Khi Hoatsu yang menonton sambil menjaga kalau-kalau Ketua Pek-lian-kauw itu berlaku curang mempergunakan sihirnya, menjadi sangat kagum. Baru sekali selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan ilmu silat yang sedemikian hebat dan bermutu. Diam-diam dia merasa bersyukur bahwa di saat itu muncul pendekar Ketua Cin-ling-pai ini, karena bila tidak demikian, dia sulit dapat percaya apakah Yap Kun Liong yang diandalkannya itu akan mampu menandingi Ketua Pek-lian-kauw yang sedemikian lihainya!

Bagi Cia Keng Hong sendiri yang selama belasan tahun ini baru beberapa kali bertanding melawan datuk-datuk kaum sesat pada saat dia membantu pemerintah membasmi kaum pemberontak, kini merasa menemukan lawan yang benar-benar tangguh sekali. Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur ini ternyata masih lebih lihai dari pada lima datuk kaum sesat yang pernah dilawannya!

Sesudah dia menggerakkan Pedang Kayu Harum di tangannya itu dengan ilmu pedang yang khas untuk pedang itu, yaitu Siang-bhok Kiam-sut, serta mendasari gerak kaki dan tangan kirinya dengan Thai-kek Sin-kun, sesudah lewat seratus jurus barulah dia mampu mendesak Thian Hwa Cinjin yang sekarang mundur-mundur dan baru berhasil membalas setiap tiga kali serangan lawan dengan satu serangannya sendiri yang tidak begitu berarti. Padahal setiap serangan yang dilancarkan lawannya, baik dengan Pedang Kayu Harum itu mau pun dengan pukulan tangan kiri yang terbuka, sangat dahsyat dan membuatnya mengeluarkan keringat dingin dan terus main mundur.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan berbondong-bondong masuklah banyak orang melalui pintu gerbang Pek-lian-kauw. Dapat dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Keng Hong, Hong Khi Hoatsu, dan para orang kang-ouw yang menentang Pek-lian-kauw saat puluhan orang yang baru datang itu serta merta membantu pihak Pek-lian-kauw dan menyerang mereka! Bahkan kini Keng Hong sendiri langsung diserang oleh seorang pemuda tampan yang berpedang ular dan memiliki ilmu silat lihai sekali!

Pemuda ini bukan lain adalah Ouwyang Bouw! Dia telah datang bersama isterinya, yaitu Lauw Kim In, dan Marcus bekas anak buah Legaspi Selado diiringkan oleh hampir seratus orang anak buahnya!

Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan Ouwyang Bouw memimpin para pemberontak Mongol kemudian membentuk Pasukan Tombak Maut. Bersama-sama dengan Marcus yang ikut pula menggabungkan diri dengan mereka, pasukan ini hendak bergabung dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak terhadap pemerintah.

Pertempuran yang sudah berat sebelah itu menjadi semakin tidak berimbang lagi ketika Pasukan Tombak Maut turut menyerbu dan membantu Pek-lian-kauw! Kini setiap orang dikeroyok oleh banyak lawan.

Cia Keng Hong sendiri selain harus menghadapi Thian Hwa Cinjin dan Ouwyang Bouw juga diserang oleh Lauw Kim In yang membantu suaminya. Namun pendekar Cin-ling-pai ini ternyata hebat sekali kepandaiannya. Dengan marah Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak seperti kilat, tampak sinar hijau menyambar-nyambar dan... Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In berteriak kaget, mencelat mundur karena pundak mereka berdarah tercium sinar pedang Siang-bhok-kiam!

Mereka merasa terkejut dan penasaran sekali. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi hanya dalam beberapa gebrakan saja sudah terluka oleh lawan Ketua Pek-lian-kauw ini!

"Ji-wi, berhati-hatilah! Ketua Cin-ling-pai ini lihai sekali ilmu pedangnya!" Thian Hwa Cinjin yang sudah mengenal Owyang Bouw berkata memperingatkan.

Diam-diam Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In terkejut sekali. Terutama sekali Lauw Kim In. Jadi inikah pendekar sakti yang selama ini dipuji-puji subo-nya dan selama ini merupakan nama yang dia junjung tinggi? Ada pun Ouwyang Bouw juga terkejut karena tentu saja dia sudah mengenal nama Ketua Cin-ling-pai.

Dia tahu bahwa pendekar yang sakti ini bernama Cia Keng Hong dan menjadi sahabat baik serta selalu membantu gerakan Panglima Besar The Hoo dalam menghadapi para pemberontak. Bersama Panglima The Hoo, pendekar ini telah mengobrak-abrik beberapa sarang pemberontak seperti di Telaga Setan (Kwi-ouw), Pulau Ular, dan lain tempat lagi. Bahkan datuk hitam Toat-beng Hoatsu yang lihai itu kabarnya tewas di tangan Panglima The Hoo, sedangkan ayahnya sendiri, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, tewas di tangan Cia Keng Hong. Sekarang, pendekar ini kembali telah menyerbu Pek-lian-kauw!

Dengan hati giras Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In maju lagi, sekarang lebih berhati-hati mengeroyok Cia Keng Hong. Sementara itu, Hong Khi Hoatsu yang bantu-membantu dengan muridnya, Lie Kong Tek, dikeroyok oleh Marcus beserta belasan orang pimpinan Pek-lian-kauw dan jagoan-jagoan Mongol. Guru dan murid ini saling beradu punggung dan melawan mereka mati-matian.

"Cia Keng Hong, berlututlah kau... lihat naga saktiku hendak menelanmu!" tiba-tiba saja terdengar bentakan Ketua Pek-lian-kauw.

Cia Keng Hong maklum bahwa lawannya mempergunakan sihir. Dia sudah mengerahkan sinkang-nya untuk melawan pengaruh itu, namun karena tadi dia mau memandang muka kakek itu sehingga sinar matanya bertaut dengan sinar mata penuh kekuatan mukjijat itu, pendekar ini tidak mampu menahan kakinya yang seperti memaksa diri berlutut!

"Cia-taihiap, bangkitlah!" Pekik nyaring ini keluar dari mulut Hong Khi Hoatsu.

Walau pun dia sedang dikeroyok banyak lawan, kakek ini masih memperhatikan keadaan Keng Hong sehingga menolongnya dari pengaruh sihir lawan. Seketika Keng Hong sadar dan dengan pekik melengking nyaring sekali dia menerjang maju, pedangnya berkelebat.

"Trangg-tranggg... krekkk!"

Pedang di tangan Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In terpental hingga hampir terlepas dari pegangan, sedangkan ujung tongkat hitam di tangan Thian Hwa Cinjin patah. Kakek ini merasa kaget sekali sehingga dia meloncat ke belakang dengan muka pucat.

"Kalian berani melawan aku? Lihat, aku adalah Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa) dari langit! Hayo kalian berlutut! Hayo kalian berlutut!" Hong Khi Hoatsu membentak dan semua pengeroyoknya, kecuali Marcus berlutut dengan taat!

Mengapa Marcus tidak terpengaruh oleh bentakan yang mengandung kekuatan mukjijat ini? Hal ini adalah karena Marcus belumlah begitu paham dengan bahasa Han sehingga bentakan yang dikeluarkan di antara suara hiruk-pikuk pertempuran itu tidaklah terdengar jelas olehnya dan karenanya dia pun tidak terpengaruh.

Akan tetapi melihat betapa semua temannya berlutut, dia terkejut sekali dan sebelum dia sempat mengelak, Hong Khi Hoatsu sudah berhasil menotoknya roboh. Kakek ini segera berteriak, "Cia-taihiap, Kong Tek, dan Cu-wi sekalian, mari kita pergi!"

Teriakan ini segera menyadarkan Cia Keng Hong dan yang lain-lain bahwa tiada gunanya melawan terus menghadapi jumlah lawan yang jauh lebih banyak itu. Terlebih lagi yang menjadi pokok persoalan, yaitu Nona Cia Giok Keng, kini sudah pergi dari situ mengejar pengantin pria tadi.

"Pergi...!" Terdengar teriakan-teriakan mereka.

Cia Keng Hong maklum bahwa beberapa kali dia ditolong oleh Hong Khi Hoatsu, maka dia lalu memutar Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga tiga orang pengeroyoknya terpaksa bergerak mundur. Kesempatan ini dia pergunakan untuk meloncat jauh ke arah Lie Kong Tek yang terdesak hebat oleh para pengeroyoknya.

"Singgg... tranggg... krek-krek-krekkk!"

Senjata-senjata para pengeroyok Lie Kong Tek patah-patah sehingga mereka terpaksa mundur, memberi kesempatan kepada Lie Kong Tek untuk lolos dari kepungan. Mereka berdua lalu meloncat ke dekat Hong Khi Hoatsu, lalu bersama para tokoh kang-ouw yang tadi ikut menentang Pek-lian-kauw mereka mulai mundur.

Pihak Pek-lian-kauw mengejar, akan tetapi mendadak Hong Khi Hoatsu berteriak nyaring dan aneh sekali bagi para pengejar itu, tiba-tiba saja tampaklah awan hitam yang tebal bergerak turun dan membuat pemandangan menjadi gelap. Tentu saja mereka menjadi bingung dan tidak melihat lagi ke mana orang-orang kang-ouw itu melarikan diri.

Setelah Thian Hwa Cinjin yang mengerahkan ilmunya juga memekik nyaring, awan hitam itu lenyap, akan tetapi para musuh juga sudah lenyap. Mereka itu melarikan diri dengan berpencaran sehingga sukarlah untuk mengejar.

"Jangan kejar!" Thian Hwa Cinjin berseru.

Kakek ini maklum bahwa dengan berpencar, pengejaran menjadi berbahaya sekali karena kekuatan anak buahnya menjadi terpecah-pecah pula sedangkan pihak musuh demikian lihainya, terutama Ketua Cin-ling-pai tadi. Masih ngeri dia memikirkan kehebatan Pedang Kayu Harum di tangan Cia Keng Hong yang membuat ujung tongkat wasiatnya sampai patah.

Semua orang tentu saja mentaati Perintah Ketua Pek-lian-kauw dan berbondong mereka memasuki kembali markas Pek-lian-kauw dan para anak buahnya merawat teman-teman yang terluka. Pihak orang-orang kang-ouw yang terluka juga tidak ada lagi karena mereka sudah dibawa lari oleh teman masing-masing. Sedangkan para orang kang-ouw yang tadi membantu mereka, dipersilakan masuk ke ruangan tamu kemudian dijamu sebagai tanda terima kasih Pek-lian-kauw dan untuk mengikat hati mereka supaya selanjutnya menjadi sekutu mereka.


                  ***************


 Sementara itu, dalam pelarian yang dilakukan secara berpencaran tadi, Cia Keng Hong tetap berlari bersama Hong Khi Hoatsu dan Lie Kong Tek. Di tengah perjalanan Lie Kong Tek berkata, "Terima kasih kepada Cia-locianpwe yang telah membantu saya tadi."

Mereka berhenti berlari karena tidak ada yang mengejar, dan andai kata ada juga yang mengejar, asalkan jumlah lawan itu tidak terlalu banyak, tentu akan mereka basmi dengan mudah.

"Tidak perlu berterima kasih, bahkan maafkan atas sikapku tadi ketika engkau membela anakku. Engkau memang benar!" Berkata Cia Keng Hong dengan muka agak merah.

Dia teringat betapa tadi hampir membunuh pemuda ini, yang telah mati-matian membela Giok Keng biar pun sama sekali tidak mengenalnya. Kemudian ternyata bahwa pemuda ini dan gurunya yang telah menolong dia, dan telah menyadarkan Giok Keng. Andai kata tidak ada guru dan murid ini, entah apa jadinya, akan tetapi yang jelas, Giok Keng akan menjadi korban kekejian Pek-lian-kauw dan Liong Bu Kong, sedangkan dia sendiri tentu tidak terluput dari mala petaka.

"Kalau mau bicara tentang budi, akulah yang berhutang budi kepada gurumu, dan juga kepadamu, orang muda!"

"Ha-ha-ha-ha-ha, Cia-taihiap mengapa menjadi begini sungkan-sungkan? Di antara orang sendiri yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, bantu-membantu merupakan hal yang lumrah, bahkan sudah semestinya! Kalau tadi tidak ada Cia-taihiap, juga kalau tak ada Yap-sicu yang keduanya memiliki ilmu kepandaian setinggi langit, mana kami mampu menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw itu?"

Mendengar disebutnya nama Yap Kun Liong, Cia Keng Hong teringat akan puterinya, maka sambil menjura dia berkata, "Sekarang saya hendak pergi menyusul dan mencari puteriku, kita terpaksa berpisah di sini. Saya harap saja bila ada waktu dan kesempatan, Hoatsu sudi memberi kehormatan kepada saya dengan mengunjungi Cin-ling-san."

Hong Khi Hoatsu mengangkat tangannya ke atas sambil berkata, "Nanti dulu, Taihiap. Saya mempunyai niat hati yang perlu saya kemukakan kepada Taihiap."

"Ada petunjuk apakah yang Hoatsu hendak berikan kepadaku?" jawab Cia Keng Hong sambil memandang tajam.....























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12