Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 35
SEMENTARA
itu, melihat bahwa yang menjadi pengantin adalah Giok Keng, dan melihat
munculnya Cia Keng Hong, tentu saja Kun Liong menjadi terkejut bukan main.
Sungguh seujung rambut pun dia tak pernah menyangka bahwa sepasang pengantin
yang sedang dirayakan di Pek-lian-kauw dan sejak tadi ditontonnya itu adalah
Cia Giok Keng dan Liong Bu Kong! Bila supek-nya tidak muncul, tentu dia tidak
akan pernah tahu bahwa pengantin wanita adalah Giok Keng, gadis manis galak
yang indah bentuk hidungnya itu!
Melihat
betapa Hong Khi Hoatsu juga terkejut dan terheran-heran karena kakek ini pernah
mendengar nama besar Cia Keng Hong, Kun Liong berbisik, "Dia adalah
supek-ku Cia Keng Hong, dan ternyata yang menjadi pengantin wanita itu adalah
puterinya. Tentu ada sesuatu yang tidak beres di sini, dan aku takkan dapat
mendiamkannya saja..."
Hong Khi
Hoatsu mengangguk-anggukkan kepala dan menjawab dengan bisikan, "Lebih
baik kita melihat gelagat terlebih dahulu. Seorang sakti seperti supek-mu itu
belum tentu membutuhkan bantuan kita, dan tanpa permintaannya berarti lancang
apa bila kau turun tangan, Sicu."
Kakek ini
memandang Kun Liong dengan kagum. Baru dia tahu bahwa pemuda yang dia sudah
duga amat lihai ini adalah murid keponakan dari Ketua Cin-ling-pai yang
terkenal sekali itu.
Kun Liong
mengangguk maklum. Memang pendapat kakek ini tepat sekali. Supek-nya itu adalah
seorang pendekar sakti yang memiliki nama besar dan kedudukan tinggi sekali di
dunia kang-ouw. Sekarang urusan yang dihadapi supek-nya adalah urusan pribadi
yang menyangkut puterinya, maka sudah semestinya kalau dibereskan oleh pendekar
besar itu sendiri. Apa bila dia lancang turun tangan membantu tanpa diminta,
hal ini tentu akan menyinggung kehormatan supek-nya.
Akan tetapi
dia juga merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kekerasan hati Giok Keng yang
tentu akan melawan siapa pun, bahkan ayahnya sendiri, untuk mempertahankan
pendiriannya sendiri. Dan dia terheran-heran mengapa Giok Keng memilih Liong Bu
Kong sebagai suami! Benar-benar wanita berwatak aneh sekali, wanita
mendatangkan hal-hal yang luar biasa di dunia ini!
Lauw Kim In,
dara yang manis dan... hemm, indah sekali tubuhnya, telah mengorbankan diri
menjadi isteri seorang laki-laki berotak miring seperti Ouwyang Bouw! Dan
sekarang, Giok Keng, puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, seorang dara yang
cantik jelita, memilih Liong Bu Kong, putera datuk sesat Ketua Kwi-eng-pang
yang sangat jahat untuk menjadi jodohnya! Betapa anehnya kelakuan dara-dara
cantik itu!
Akan tetapi,
di samping ketegangan hatinya diam-diam dia merasa gembira bahwa tanpa
disengajanya, dalam mengikuti Hong Khi Hoatsu yang hendak menolong seorang
gadis dari sarang Pek-lian-kauw, dia telah bertemu dengan Cia Keng Hong dan Cia
Giok Keng.
Sesudah
secara luar biasa delapan belas orang anggota Pek-lian-kauw yang tadi berani
lancang menyerang Cia Keng Hong roboh terbanting dan pingsan, keadaan menjadi
sunyi dan menegangkan. Terdengar bisik-bisik di antara para tamu yang semua
memandang penuh perhatian.
"Giok
Keng...!" Bentakan ini mengandung tenaga khikang yang sangat hebat dan
terasa menggetarkan jantung semua orang yang mendengarnya.
Akan tetapi
pengantin wanita itu berdiri tegak memandang ayahnya dengan mata terbuka lebar
penuh tantangan!
"Ayah,
kau tidak berhak berbuat begini...," terdengar Giok Keng berkata, suaranya
penuh duka namun juga penuh penyesalan.
"Giok
Keng, aku melarang engkau menikah di sini dan dengan seorang tokoh sesat!"
"Cia
Locianpwe...!" Liong Bu Kong meloncat ke depan.
"Wuuuuttt...
plakkkk! Bruuukk...!"
Tubuh Bu
Kong terlempar lantas terbanting roboh terdorong oleh hawa pukulan dahsyat yang
keluar dari telapak tangan pendekar sakti itu. Akan tetapi karena dia telah
memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, bantingan keras itu tidak
membuat Liong Bu Kong pingsan seperti delapan belas orang anggota
Pek-lian-kauw, hanya membuat dia pening dan dia sudah meloncat berdiri dengan
muka pucat dan mata merah.
Akan tetapi
pemuda ini tentu saja maklum akan kelihaian ‘calon mertua’ yang tidak mau
mengakuinya itu, maka dia tidak berani bergerak lagi, melainkan mulai menengok
dan mencari-cari Thian Hwa Cinjin dengan pandang matanya karena untuk
menghadapi Cia Keng Hong yang sakti, dia hanya mengandalkan Ketua Pek-lian-kauw
wilayah timur itu. Namun dia melihat betapa Thian Hwa Cirijin tersenyum
kepadanya dan menggelengkan kepala, memberi isyarat agar dia jangan lancang
turun tangan!
"Ayah,
kau tidak berhak memukul calon suami pilihanku! Karena engkau sudah menolak dan
mengusir kami, kau tidak berhak mencampuri lagi!" Cia Giok Keng berseru
keras dan dengan penuh kemarahan kepada ayahnya. Hatinya masih sakit karena
teringat olehnya betapa dia diusir oleh ayahnya karena jatuh cinta kepada Liong
Bu Kong dan kini melihat ayahnya datang mengacaukan pernikahannya.
"Cia
Giok Keng! Kau menikah dengan seorang penjahat dan di Pek-lian-kauw pula? Kau
hendak menodai nama keluarga kita? Lebih baik kau mati saja!" pendekar itu
membentak marah.
"Locianpwe,
harap Locianpwe sudi bersikap sabar dan tenang!" Tiba-tiba terdengar suara
lantang dan di hadapan pendekar sakti itu berdiri dengan tegak dan dengan sikap
gagah seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah.
Kun Liong
terkejut sekali ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Lie Kong Tek!
Ketika dia menoleh kepada Hong Khi Hoatsu, dia melihat kakek ini mula-mula juga
terkejut, akan tetapi kakek itu lalu tersenyum dan mengangguk-angguk, kelihatan
bangga sekali atas sikap muridnya. Namun Kun Liong merasa khawatir sekali dan
menganggap pemuda itu terlampau lancang.
Cia Keng
Hong juga kaget dan memandang pemuda itu dengan mata bernyala dan alis
berkerut. "Siapa kau?! Mau apa kau mencampuri?" bentaknya, suaranya
penuh tenaga khikang yang amat kuat.
Namun Lie
Kong Tek tidak mundur setapak pun, wajahnya yang tampan gagah itu masih tetap
tenang dan sinar matanya tajam menentang pandang mata pendekar yang sedang
marah itu.
"Nama
saya Lie Kong Tek, dan saya tidak pernah mengenal Locianpwe mau pun puteri
Locianpwe. Saya juga tidak hendak mencampuri urusan pribadi Locianpwe. Akan
tetapi, karena saya sudah lama mendengar nama besar Locianpwe sebagai Ketua
Cin-ling-pai, seorang pendekar besar yang selalu bersikap gagah perkasa, dan
pula karena di dalam hati saya timbul rasa iba melihat puteri Locianpwe, maka
saya memberanikan diri untuk mengingatkan Locianpwe bahwa dalam urusan ini
kalau Locianpwe tidak menggunakan kesabaran dan ketenangan, akan menimbulkan
urusan yang memalukan."
Muka Cia
Keng Hong sebentar menjadi merah. Kemarahannya membuat dadanya seperti dibakar.
"Kau...
kau manusia lancang...!" Keng Hong yang sudah marah sekali itu
menggerakkan tangannya mendorong.
Lie Kong Tek
maklum bahwa dia diserang dengan pukulan jarak jauh, maka meski pun sikapnya
tetap tenang, dia terpaksa mengangkat kedua tangannya juga untuk menangkis.
Sambaran hawa pukulan dahsyat menyambar ke arahnya dan biar pun sudah dia
tangkis dengan pengerahan sinkang sekuatnya, tetap saja tubuhnya terlempar dan
terjengkang, seperti sehelai daun kering tertiup angin.
Lie Kong Tek
bergulingan dan sesudah dia meloncat bangun lagi, mukanya pucat sekali, ujung
bibirnya berdarah, akan tetapi dengan tenang dan gagah pemuda ini telah
mencelat ke depan Cia Keng Hong lagi!
Cia Keng
Hong terbelalak heran. Biar pun dia tadi tidak memukul sampai mati pemuda itu,
namun hanya sedikit selisihnya. Dan pemuda itu masih berani maju lagi!
"Apa
kau telah gila? Apa kau minta mati?!" bentaknya marah.
"Bila
betul apa yang saya dengar tentang diri Locianpwe, saya tidak khawatir akan
dipukul mati. Andai kata dipukul mati sekali pun saya lebih beruntung dari pada
Locianpwe yang tentu akan menjadi jatuh nama secara hebat," kata Lie Kong
Tek dengan tenang.
"Kau...!
Kau...!" Cia Keng Hong marah dan jengkel sekali, maka kembali dia mengayun
tangannya.
Pada saat
itu, Hong Khi Hoatsu memegang lengan Kun Liong ketika melihat pemuda itu hendak
meloncat maju. Memang Kun Liong merasa penasaran dan ingin melindungi Lie Kong
Tek dari pukulan maut supek-nya. Akan tetapi kakek ahli sihir itu melarangnya
dan menggelengkan kepalanya.
"Pendekar
sehebat dia tidak akan membunuh orang sembarangan saja," bisik kakek itu.
"Desssss...!"
Tubuh Lie
Kong Tek kembali terlempar lantas terbanting keras, bergulingan sampai jauh.
Ketika dia meloncat bangun dan terhuyung-huyung maju lagi, dahinya benjol dan
bibirnya pecah-pecah.
"Locianpwe
tidak boleh membenci puteri sendiri. Menikah harus mendapatkan restu orang tua,
dan memilih jodoh adalah hak si anak," Lie Kong Tek berkata.
"Jahanam
bermulut besar! Kau mau ikut-ikutan? Kalau anakku menikah dengan seorang
penjahat, dirayakan di tempat penjahat dan pemberontak, apakah aku harus diam
saja?" Dada Cia Keng Hong terasa seperti mau meledak dan matanya kini
memandang kepada Giok Keng seperti hendak menelan puterinya itu bulat-bulat!
"Ayah,
engkau terlalu!" Giok Keng kini berteriak, air matanya bercucuran namun
sikapnya sama sekali tidak lemah, bahkan jari telunjuk kanannya menuding ke
arah mata ayahnya. "Tidak saja Ayah menolak pilihan hatiku dan mengusir
kami, bahkan sekarang sesudah kami berusaha sendiri untuk menikah, Ayah
tiba-tiba datang menghalang dan mengacau. Begitukah sikap seorang pendekar?
Ayah, ingat bahwa aku menjadi anakmu bukan atas permintaanku! Aku adalah
manusia tersendiri, bukan boneka yang harus taat atas segala kehendak Ayah demi
kesenangan hati Ayah sendiri!"
Hebat bukan
main kata-kata yang keluar dari mulut dara yang sedang marah itu. Bahkan lebih
hebat dari pada pukulan dahsyat yang mana pun, lebih tajam meruncing dari pada
pedang pusaka yang bagaimana pun.
"Bressss!"
Kedua kaki
pendekar itu menghantam tanah di depannya. Tanah terlindung lantai tembok itu
ambrol dan kedua kakinya amblas sampai selutut.
"Kau...!
Kau...! Anak durhaka... auhhh...!" Pendekar itu terkulai lemas dan roboh
terguling!
"Ayah...!"
Giok Keng menjerit, akan tetapi ternyata ayahnya sudah roboh pingsan saking
marahnya.
Keadaan
menjadi kacau, akan tetapi tiba-tiba saja Thian Hwa Cinjin menyuruh dua orang
pembantunya mengangkat tubuh Cia Keng Hong masuk ke dalam dan kepada para tamu
dia berkata lantang,
"Harap
Cuwi sekalian tenang saja. Urusan ini adalah urusan antara ayah dan puterinya,
kita semua tak boleh mencampurinya. Biarlah Cia-taihiap beristirahat di dalam
dan harap Cuwi duduk kembali. Upacara pernikahan akan segera dilanjutkan."
Suaranya terdengar halus dan ramah, serta mengandung kekuatan gaib yang membuat
para pendengarnya tunduk dan taat.
Kun Liong
merasa betapa lengan tangannya dicengkeram tangan Hong Khi Hoatsu dan terdengar
kakek itu berbisik, "Celaka... Cia-taihiap dipengaruhi hoat-sut dan... dan
kulihat puterinya juga berada dalam keadaan tidak wajar... tentu ada yang main
sihir di sini...!"
Mendengar
ini, Kun Liong terkejut sekali dan dia menjadi marah. "Kalau begitu, aku
harus turun tangan..."
"Sssttt,
sabarlah, Sicu. Kulihat persiapan Pek-lian-kauw sudah dibuat dengan sangat
baik, kedudukan mereka kuat. Walau pun banyak juga orang gagah di sini, akan
tetapi tanpa adanya Cia-taihiap, kita akan kalah kuat. Harap kau usahakan agar
keadaan di sini kacau balau atau setidaknya perhatian mereka tertarik di sini.
Aku sendiri akan mencoba untuk menyadarkan Cia-taihiap di dalam."
Percaya akan
kesaktian kakek itu, Kun Liong segera mengangguk dan kakek itu telah menyelinap
dan pergi dari situ, bercampur di antara meja-meja tamu yang penuh dengan tamu
dari berbagai golongan. Sebentar saja kakek itu telah lenyap, entah menyelinap
ke mana. Kun Liong teringat akan pesan kakek itu, maka dia lalu memandang ke
depan.
Ternyata di
ruangan itu, di depan meja sembahyang yang sudah porak poranda itu, terjadi
kegaduhan dan keributan baru. Liong Bu Kong, dengan pakaian pengantinnya yang
kusut karena tadi dia dibuat jatuh bangun oleh Cia Keng Hong, berdiri dengan
muka merah dan mata melotot, bertolak pinggang lantas menudingkan telunjuknya
ke arah muka Lie Kong Tek sambil membentak nyaring,
"Manusia
rendah yang tidak tahu malu! Berani engkau menjual lagak di sini dan membela
isteriku?"
Lie Kong Tek
mengusap darah dari ujung bibir serta peluh dari dahi dan lehernya. Dia berdiri
tegak dan tenang, menatap kepada Liong Bu Kong yang sedang marah-marah itu
seperti seorang dewasa memandang seorang kanak-kanak. Memang perawakan pemuda
ini tinggi besar sehingga berhadapan dengan dia, Bu Kong kelihatan kurus kecil.
Padahal Bu Kong tak dapat dikatakan seorang pemuda yang bertubuh pendek.
Pandang mata
Lie Kong Tek penuh selidik, oleh karena dia memang sedang menyelidiki pengantin
pria yang dinyatakan sebagai seorang penjahat oleh Pendekar Sakti Cia Keng
Hong, pemuda yang telah menjatuhkan cinta kasih puteri pendekar itu, hal yang
membuat dia ikut pula merasa penasaran dan heran. Kemudian terdengar dia
menjawab, suaranya tenang dan halus,
"Aku
tidak membela isteri siapa pun, melainkan membela seorang gadis yang menerima
perlakuan buruk dari ayahnya sendiri."
Lie Kong Tek
meraba benjol di dahinya, diam-diam mencela diri sendiri kenapa tiba-tiba
timbul rasa iba yang amat hebat pada diri pengantin puteri sehingga tadi
mati-matian dia membelanya. Tadi perbuatannya telah membuat marah ayah
pengantin wanita, sekarang menimbulkan kemarahan pengantin pria!
"Keparat!
Kau hendak mengambil hati isteriku, ya? Engkau hendak mencari muka?" Liong
Bu Kong yang merasa cemburu dan marah-marah itu lupa diri, lupa bahwa di situ
terdapat banyak sekali tamu dan timbullah wataknya yang kasar dan kotor.
"Saudara
pengantin!" Lie Kong Tek membentak, marah melihat betapa pengantin wanita
memandangnya dengan muka pucat. Entah mengapa, wajah Giok Keng yang cantik dan
pucat itu mengundang rasa ibanya yang luar biasa. "Mengapa kau begini
tidak tahu malu, tega mencemarkan nama isteri sendiri?"
"Tutup
mulutmu!" Liong Bu Kong yang sudah marah itu menerjang dan mengirim
pukulan maut.
"Desss...!"
Kong Tek
menangkis, akan tetapi dia kalah tenaga sehingga tubuhnya kembali terlempar dan
terbanting. Namun dia sudah bangkit berdiri lagi dan memandang dengan
penasaran, sedikit pun tidak merasa takut.
"Liong-koko,
jangan memukul orang!" Giok Keng berseru ketika melihat Bu Kong sudah
menerjang maju lagi.
"Mundurlah,
Moi-moi, orang ini harus dihajar sampai mampus!" Bu Kong berseru semakin
marah karena menganggap bahwa calon isterinya itu sudah membela pemuda gagah
dan ganteng itu.
"Liong-sicu,
tidak boleh membikin ribut pada hari baik ini!" Tiba-tiba terdengar suara
Thian Hwa Cinjin. "Orang muda itu berniat baik, dan sebagai tamu dia tidak
boleh diperlakukan kasar. Marilah, upacara pernikahan agar dapat dilanjutkan
sampai selesai."
Para pendeta
Pek-lian-kauw sekarang sibuk membereskan meja sembahyang yang tadi sudah
kocar-kacir hingga suasana menjadi berisik. Giok Keng berdiri dengan muka pucat
dan bingung, Bu Kong bersungut-sungut, kadang-kadang melirik marah ke arah Lie
Kong Tek yang sudah duduk kembali di antara para tamu.
Kun Liong
menarik tangan pemuda tinggi besar itu agar duduk di tempat agak belakang,
kemudian berbisik-bisik menceritakan dugaan guru pemuda itu yang membuat Kong
Tek terkejut sekali dan memandang kepada Kun Liong dengan mata terbelalak
lebar.
Meja
sembahyang sudah dibereskan sekedarnya, dan lilin-lilin yang tadi padam kembali
telah dipasang. Sepasang pengantin telah disuruh mendekat meja, dan pengantin
wanita telah menutupkan lagi kerudungnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara
nyaring setelah muncul seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang
berdiri di depan rombongan tamu,
"Kauwcu
(Ketua Agama), harap tahan dulu!"
Thian Hwa
Cinjin, para pendeta Pek-lian-kauw, berikut sepasang pengantin amat terkejut
dan menengok. Laki-laki itu bersikap gagah, pakaiannya ringkas dan jelas tampak
bahwa pria ini adalah seorang kang-ouw yang biasa bersikap tegas, jujur, dan
menjunjung tinggi kegagahan.
Sambil
melangkah maju, Thian Hwa Cinjin berkata dengan suara halus dan tenang, “Sicu,
mengapa menahan dilakukannya upacara dan apakah kehendak Sicu?”
Laki-laki
itu mengangkat kedua tangan di depan dada, sambil menjura dengan hormat.
"Saya Phoa Lee It sama sekali bukan berniat mencampuri urusan orang lain.
Akan tetapi karena saya termasuk seorang undangan yang mewakili Go-bi-pai,
untuk dijadikan saksi pernikahan ini, maka saya melihat sesuatu yang ganjil dan
tidak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar upacara
ditunda lebih dulu."
Suasana
menjadi berisik. Para tamu saling berbisik, ada yang pro dan ada yang kontra
terhadap pendapat ini. Ketua Pek-lian-kauw mengerutkan alisnya, namun suaranya
masih halus ketika dia bertanya, "Apakah maksud Phoa-sicu yang mengatakan
bahwa ada yang ganjil dan tidak sebagaimana mestinya?"
Phoa Lee It
adalah seorang tokoh perguruan Go-bi-pai, seorang yang biar pun tidak amat
terkenal di dunia kang-ouw, namun sebagai utusan Go-bi-pai tentu saja mempunyai
ilmu kepandalan tinggi, maka kini menjadi perhatian semua tamu.
"Kauwcu,
ketika kami melihat bahwa tidak ada yang menjadi wali pengantin wanita, kami
sudah merasa heran karena bukankah dikabarkan bahwa pengantin wanita adalah
puteri Ketua Cin-ling-pai? Akan tetapi karena ketua itu tidak hadir, tadinya
kami mengira bahwa perwaliannya dipegang oleh Pek-lian-kauw. Kiranya Ketua
Cin-ling-pai muncul dan terjadi keributan antara ayah dan anak. Sesudah ayah
dari pengantin wanita hadir, upacara ini tentu saja tidak syah kalau tidak
disaksikan oleh ayah pengantin wanita itu. Maka saya harap upacara ini ditunda
dan ayah pengantin wanita dipersilakan keluar."
Makin
berisiklah para tamu mendengar hal ini. Tokoh Go-bi-pai itu bernyali besar
sekali, berani mengusulkan hal yang merupakan protes dan pencelaan terhadap
kebijaksanaan Pek-lian-kauw. Namun, melihat bahwa pendapat itu mengandung
ceng-li (aturan), banyak tokoh kang-ouw yang menganggukkan kepala tanda setuju.
Tentu saja banyak pula yang tidak setuju, terutama yang pro kepada
Pek-lian-kauw. Keadaan makin berisik ketika para tamu saling mengeluarkan
pendapat masing-masing sehingga terjadi perbantahan kecil di antara mereka.
Di dalam
hatinya, Thian Hwa Cinjin marah sekali, akan tetapi karena menghadapi banyak
tamu dan dasar tujuannya adalah untuk menarik sebanyak mungkin orang kang-ouw
agar bersahabat dengan Pek-lian-kauw, dia menahan sabar, lalu mengangkat tangan
sebagai isyarat agar para tamu suka tenang. Kemudian dia membalik dan
menghadapi Phoa Lee It sambil tersenyum.
"Phoa-sicu,
kami mengerti akan maksud hati Sicu yang baik. Akan tetapi hendaknya Sicu
mengetahui bahwa Pek-lian-kauw melaksanakan upacara pernikahan ini atas
permintaan sepasang calon suami isteri ini. Urusan keluarga mereka adalah urusan
pribadi, dan kami sendiri tidak akan mencampurinya karena tugas kami hanyalah
melaksanakan upacara pernikahan. Dan apa pun yang terjadi, tugas ini akan kami
tetap laksanakan, juga kami tidak menghendaki adanya campur tangan pihak
luar."
"Kalau
begitu, aku tidak berani mewakili Go-bi-pai menjadi tamu!" Phoa Lee It
berseru marah sebab dia langsung merasa curiga sekali. Mana mungkin pengantin
ditemukan dan dilakukan upacara sembahyang pengantin tanpa persetujuan ayah
pengantin wanita?
Tanpa
diketahui orang lain, Ketua Pek-lian-kauw sudah memberi isyarat kepada seorang
pembantunya. Yang ditunjuk untuk menanggulangi halangan ini adalah seorang
pendeta tua yang tadi hadir di sebelah dalam, tidak kelihatan dari ruangan
tamu. Dia merupakan seorang utusan yang mewakili Pek-lian-kauw pusat dan
termasuk rombongan para tokoh Pek-lian-kauw yang dipersiapkan untuk menghadapi
segala rintangan yang timbul.
Pendeta yang
diberi isyarat oleh Thian Hwa Cinjin itu usianya sudah tujuh puluh tahun lebih,
pakaiannya sederhana, tangannya memegang sebatang tongkat pendek terbuat dari
bambu, gerakannya amat lambat dan seperti tidak memiliki tenaga, akan tetapi
begitu kakinya bergerak, tubuhnya melayang dan sudah menghadang di depan Phoa
Lee It dan tongkatnya yang tiga kaki panjangnya itu melintang di depan dada.
Melihat
munculnya pendeta ini, para tamu yang mengenalnya menjadi kaget. Pendeta itu
adalah seorang tosu yang murtad dan masuk menjadi anggota Pek-lian-kauw, bahkan
kini sudah menjadi seorang tokoh Pek-lian-kauw yang terkenal kejam terhadap
musuh-musuh Pek-lian-kauw, juga terkenal sebagai seorang tosu yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Diam-diam kakek ini dijuluki sebagai algojo
Pek-lian-kauw karena sudah biasa membunuh orang-orang yang menentang
Pek-lian-kauw tanpa mengenal belas kasihan. Dia bukan lain adalah Loan Khi
Tosu!
Di bagian
depan cerita ini sudah dituturkan tentang Loan Khi Tosu. Dia adalah seorang
tokoh Pek-lian-kauw kawakan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Meski pun dia
sudah tua, dan matanya yang kelihatan putih itu lamur semenjak muda, tetapi
tosu tua ini amat lihai dan juga hatinya kejam sekali terhadap musuh-musuh
Pek-lian-kauw.
Selain ilmu
silatnya sangat lihai, juga dia adalah seorang ahli Sai-cu Ho-kang, yaitu ilmu
menggereng seperti singa yang disertai tenaga khikang. Penggunaan Sai-cu
Ho-kang itu saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat
sinkang-nya. Selain itu, juga dia amat terkenal dengan ilmu pukulan atau ilmu
totokan jari tangan beracun yang disebut Pek-tok-ci (Ilmu Jari Tangan Racun
Putih), semacam ilmu menotok yang dilakukan oleh jari tangan yang mengandung
racun!
Tosu ini
sudah menghadang di depan Phoa Lee It tokoh Go-bi-pai, menjura dan berkata
sambil tersenyum, "Phoa Sicu dari Go-bi-pai sungguh memandang rendah
Pek-lian-kauw! Sebagai tamu, semestinya Sicu tunduk terhadap tuan rumah. Apakah
setelah minum arak pengantin Sicu akan dapat menghina kami begitu saja? Kalau
begitu, Sicu benar-benar tidak memandang sebelah mata kepada
Pek-lian-kauw."
Phoa Lee It
yang sudah merasa penasaran itu menegakkan kepala dan membusungkan dadanya.
Dengan tangannya dia memberi isyarat kepada empat orang pengikutnya, yaitu para
sute-nya, murid-murid Go-bi-pai yang menyertainya, untuk minggir supaya dia
dapat menghadapi tosu Pek-lian-kauw itu sendiri.
"Memandang
rendah atau tidak hanyalah soal penilaian. Kami dari Go-bi-pai tidak pernah
memandang rendah siapa pun, akan tetapi juga tidak menghendaki kebebasan kami
ada yang menghalanginya."
"Siancai...!
Omongan Phoa-sicu sungguh keras! Jika memang Go-bi-pai tak memandang
persahabatan dengan Pek-lian-kauw, kenapa Sicu sekalian suka datang dan
menghadiri undangan kami?"
"Karena
tadinya Go-bi-pai menganggap bahwa pihak Pek-lian-kauw benar-benar hendak
berkeluarga dan bersahabat dengan Cin-ling-pai, maka kami berlima mewakili
Go-bi-pai untuk hadir. Akan tetapi, melihat betapa keadaan sesungguhnya tidak
demikian yang baru kami ketahui setelah Ketua Cin-ling-pai muncul, kami tidak
lagi mau mencampuri urusan ini. Kiranya para tamu yang berpikiran waras pun
akan sependirian dengan kami."
"Ho-ho-ho,
Sicu benar-benar bicara besar. Pendeknya, kami sebagai tuan rumah berhak
menentukan semua peraturan dan para tamu sudah sepatutnya tunduk kepada
peraturan kami. Silakan Sicu berlima duduk kembali dan jangan menimbulkan
keributan." Berkata demikian, Loan Khi Tosu melintangkan tongkatnya
seolah-olah hendak menghadang dan mencegah lima orang tokoh Go-bi-pai itu
meninggalkan ruangan pesta.
Kini
marahlah Phoa Lee It. Dia mengerti akan pendirian para pimpinan Go-bi-pai,
yaitu tidak ingin mencampuri segala urusan Pek-lian-kauw yang terkenal sebagai
perkumpulan pemberontak. Kalau tidak sangat terpaksa, tentu dia juga tidak mau
bermusuhan dengan Pek-lian-kauw. Akan tetapi sekarang, ketika melihat betapa
dia dan empat orang sute-nya hendak diikat kebebasannya, betapa Pek-lian-kauw
hendak menghina Go-bi-pai, maka hal ini tentu saja akan ditentangnya mati-matian.
"Loan
Khi Tosu, aku mengenal siapa engkau! Akan tetapi, jangan dikira bahwa aku takut
padamu. Hanya karena kami menjadi utusan Go-bi-pai, kami masih menahan sabar
dan tidak ingin mengikatkan Go-bi-pai dengan Pek-lian-kauw dalam permusuhan.
Minggirlah dan biarkan kami pergi."
"Ha-ha-ha,
tidak semudah itu, Phoa Lee It. Pinto juga mengenalmu dan kebetulan sekali
berjumpa di sini, pinto sudah lama ingin sekali mencoba betapa lihainya ilmu
pedangmu yang membuat kau dijuluki orang Go-bi Kiam-hiap (Pendekar Pedang dari
Go-bi)."
"Bagus!
Kau menantang? Secara pribadi ataukah atas nama perkumpulan? Kalau atas nama
perkumpulan, aku tidak sudi melayani, akan tetapi kalau tantanganmu mengenai
pribadi, tentu saja tidak akan kutolak!" jawab Phoa Lee It dengan sikap
gagah.
Semua tamu
menjadi tegang hatinya. Dua orang itu, Loan Khi Tosu dan Phoa Lee It keduanya
sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan dan sebagai
orang-orang yang sangat lihai. Kini mereka saling menantang. Tentu saja hal ini
sangat menarik hati dan menegangkan.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa dari tempat para tamu dan seorang kakek yang sudah
ompong mulutnya tertawa-tawa, kemudian mendengus dan dengan suara sombong
sekali berkata, "Totiang, mengapa banyak cakap menghadapi dia ini? Aku
mendengar bahwa semakin besar julukannya, makin rendahlah kepandaiannya. Kurasa
Go-bi Kiam-hiap ini belum tentu benar-benar mampu memainkan Ilmu Pedang Go-bi
Kiam-sut. Heh-heh-heh!" Kakek itu mengurut-urut kumisnya dan semua orang
memandang dengan alis berkerut.
Mereka itu
sebagian besar mengenal kakek ini, seorang tokoh dunia hitam yang tentu saja
semenjak lama menjadi sahabat Pek-lian-kauw. Dia berjuluk Hwa-i Lojin (Kakek
Baju Kembang) karena memang pakaiannya selalu rapi dan terbuat dari kain
berkembang.
Kakek yang
usianya enam puluh tahun ini pesolek sekali selain pakaiannya rapi dan baru
dengan kembang-kembang berwarna mencolok, juga kumis serta jenggotnya
terpelihara rapi dan rambutnya selalu mengkilap oleh minyak! Kiranya kakek yang
tua badannya ini masih muda hatinya! Karena kakek ini selalu berlagak sombong,
biar pun dia terkenal lihai sebagai seorang ahli pedang yang jarang bertemu
tanding, maka para tamu memandang dia dengan hati tidak senang. Akan tetapi
karena maklum akan kelihaiannya, tidak ada yang berani memperlihatkan ketidak
senangan hatinya secara berterang.
Phoa Lee It
tahu siapa kakek yang menghinanya itu, akan tetapi karena yang berhadapan
dengan dia adalah Loan Khi Tosu, dia tidak mempedulikan dan berkata lagi kepada
Loan Khi Tosu,
"Kalau
tantanganmu bersifat pribadi, nah, aku telah siap!" berkata demikian,
orang gagah ini mengisyaratkan para sute-nya untuk mundur ada pun dia sendiri
berdiri tegak dengan jari-jari tangan meraba gagang pedangnya yang tergantung
di punggung.
"Bagus,
majulah! Sungguh pun tantangan pinto ini ada hubungannya dengan peraturan Pek-lian-kauw
sebagai tuan rumah, namun biarlah kutujukan sebagai tantangan pribadi,
disaksikan oleh para tamu yang hadir sebagai pi-bu (adu silat) yang adil."
"Singggg...!"
Phoa Lee It
sudah mencabut pedangnya dan gerakannya ini memang nampak tangkas sekali.
Pedang itu berkilauan dan sedikit pun tak bergerak berada di tangannya yang
kuat dan mantap.
"Jaga
seranganku, Totiang!"
"Wirrr...
takkk... tringgg...!"
Dua orang
itu masing-masing meloncat mundur dan memeriksa senjata masing-masing.
Pertemuan tongkat dengan pedang tadi membuat telapak tangan mereka terasa panas
dan tergetar, tanda bahwa kekuatan mereka sangat berimbang. Mereka saling
pandang, menggeser kaki, lalu keduanya menerjang maju. Terjadilah pertandingan
yang seru dan hebat. Bentakan-bentakan mereka diseling suara bertemunya tongkat
dan pedang.
Setelah
lewat lima puluh jurus, diam-diam Loan Khi Tosu harus mengakui kehebatan Ilmu
Pedang Go-bi Kiam-sut yang dimainkan oleh Phoa Lee It. Ilmu pedang itu memiliki
dasar pertahanan yang sangat kuat, membuat tongkatnya sama sekali tidak mampu
mendekati tubuh lawan, bahkan kadang-kadang sinar pedang mencuat dan nyawanya
terancam.
"Hyaaaahhh...!"
Tiba-tiba tosu itu memekik, menangkis pedang dan mengerahkan sinkang untuk
membuat pedang melekat pada tongkatnya, kemudian tangan kirinya melancarkan
totokan ke tubuh lawan dengan Ilmu Totok Pek-tok-ci!
"Heiiittt...!"
Phoa Lee It juga memekik, pedangnya diputar sehingga terlepas dari lekatan,
tubuhnya miring mengelak dari totokan dan sekali pedangnya berkelebat, sinar
pedang menyambar ke arah lengan kiri lawan.
"Aahhhh...!"
Loan Khi Tosu meloncat mundur dan memutar tongkatnya.
"Trang-trang...!"
Kembali
keduanya meloncat mundur lagi, dan karena pertemuan tongkat dengan pedang
sedemikian hebatnya, membuat keduanya terhuyung. Akan tetapi Loan Khi Tosu
sudah menempelkan ujung tongkat bambu ke mulutnya dan melihat ini, Phoa Lee It
memutar pedangnya yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung melindungi
seluruh tubuhnya.
Belasan
batang jarum yang ditiupkan melalui tongkat bambu yang dipergunakan sebagai
tulup (senjata peniup) itu terpukul runtuh oleh cahaya pedang, dan Phoa Lee It
langsung menyerbu lagi kepada lawannya. Pedangnya digerakkan makin gencar dan
kecepatannya tidak dapat diatasi oleh lawan yang terdesak dan terus
mundur-mundur.
"Tranggg...
krekk!"
Loan Khi
Tosu berseru kaget dan cepat meloncat jauh ke belakang. Tongkatnya tinggal
sejengkal saja di tangannya karena sudah patah, dan lengan bajunya yang sebelah
kanan robek, tampak kulitnya berdarah sedikit karena kulit itu sudah tercium
pedang!
Biar pun
tidak roboh, jelas sudah disaksikan oleh para tamu bahwa dalam pi-bu itu, Loan
Khi Tosu telah dikalahkan oleh Phoa Lee It, jago dari Go-bi-pai itu. Empat
orang sute dari Phoa Lee It bertepuk tangan dan bersorak, dan perbuatan ini
segera diikuti oleh sebagian dari para tamu yang diam-diam berpihak kepada
Go-bi-pai.
"Ha-ha-ha-ha,
Loan Khi Tosu benar-benar tidak dapat meninggalkan watak pendeta yang selalu
mengalah!" Mendadak Hwa-i Lojin meloncat ke depan, mengebut-ngebutkan baju
kembangnya dengan lagak angkuh. "Kalau Loan Khi Tosu tadi tidak mengalah,
tentu saja dengan mudah dapat menjatuhkan Phoa Lee It karena ternyata bocah ini
sama sekali belum becus mainkan Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut, hanya ngawur
saja!"
Ucapan ini
takabur dan menghina bukan main sehingga empat orang sute dari Phoa Lee It
sudah mencabut pedang masing-masing dan meloncat maju hendak menyerang.
"Sute,
mundur...!" Phoa Lee It membentak empat orang itu yang terpaksa mundur
lagi sambil menyimpan pedang masing-masing.
"Ha-ha-ha-ha,
mengapa mundur? Phoa Lee It, coba kau pamerkan ilmu pedangmu yang rendah itu,
boleh kau dibantu oleh empat orang sute-mu, biar agak seimbang. Aku akan
menghadapimu dengan tangan kosong saja. Ilmu pedangmu masih kosong, tanpa isi,
bila tadi Loan Khi Tosu tidak mengalah, dalam beberapa jurus saja kau tentu
kalah!"
Phoa Lee It
melangkah maju, mukanya merah sekali. Karena penghinaan atas dirinya sebagai
utusan Go-bi-pai merupakan penghinaan yang dilontarkan pula kepada Go-bi-pai,
maka dia lalu berkata lantang, "Hwa-i Lojin, engkau adalah seorang tua
yang tidak patut dihormat oleh yang lebih muda! Aku tahu mengapa engkau
berlagak seperti sekarang ini. Karena engkau pernah dikalahkan oleh suhu-ku,
dan karena tak berani membalas kepada Suhu, maka kini engkau hendak menebus
rasa malu itu dengan berlagak di hadapanku. Akan tetapi jangan disangka aku
takut menghadapi lagakmu!"
Muka kakek
itu berubah menjadi merah sekali. Dia merasa terpukul dan karena apa yang
diucapkan oleh Phoa Lee It itu memang kenyataan, dia tidak mampu membantah
lagi. Memang, setahun yang lalu dia sudah roboh dalam pertandingan melawan Kauw
Kong Hwesio, guru jago Go-bi-pai itu.
Sebetulnya,
mengingat bahwa Kauw Kong Hwesio merupakan tokoh ke dua di Go-bi-pai, kekalahan
itu tidaklah amat memalukan. Akan tetapi dasar watak Hwa-i Lojin amat tinggi
hati, kekalahannya itu membuat hatinya penasaran dan mendendam.
Dia lalu
memperdalam ilmu pedangnya, dan secara diam-diam mempelajari ilmu Pedang Go-bi
Kiam-sut untuk mencari tahu kelemahan ilmu pedang ini. Namun, karena maklum
akan kelihaian Kauw Kong Hwesio, dia tidak berani sembrono membalas dendamnya
dan sekarang, di Pek-lian-kauw, begitu bertemu dengan murid-murid musuhnya itu,
tentu saja dia mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya
dan membalas kekalahannya.
Dapat
dibayangkan betapa marahnya ketika ternyata Phoa Lee It sudah tahu pula akan
kekalahannya itu, bahkan menghinanya di hadapan orang banyak. "Phoa Lee
It, manusia sombong!" Bentaknya dan tangan kanannya bergerak cepat meraba
punggung sehingga tampak sinar berkelebat karena dia sudah mencabut pedangnya.
"Majulah dan aku akan membuktikan bahwa ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut hanyalah
kosong belaka. Lihat, dengan pedangku ini aku akan melucutimu tanpa melukaimu,
sebab itu tak perlu kau takut akan terluka, ha-ha-ha!"
Phoa Lee It
yang masih memegang pedangnya itu sudah melangkah maju. "Orang-orang
Go-bi-pai tak pernah takut mati atau terluka. Kalau kau menantang, majulah,
Hwa-i Lojin!"
"Ha-ha-ha,
seranglah. Majulah dan jaga baik-baik. Aku akan merampas pedangmu dan
mematahkannya seperti sebatang lidi!" kakek itu mengejek.
Phoa Lee It
maklum bahwa meski pun sombong, Kakek Baju Kembang ini memiliki ilmu pedang
yang lihai, maka dia tidak mau bersikap sungkan lagi, segera saja dia menerjang
dengan dahsyat, menggunakan jurus pilihan.
Hwa-i Lojin
menyambut sambil tertawa. "Ha-ha-ha, inikah jurusmu yang terlihai? Aih,
tidak seberapa!"
Kakek itu
menggerakkan pedangnya menangkis dan begitu dua batang pedang bertemu dia
membuat gerakan memutar sambil mengerahkan sinkang-nya. Phoa Lee It terkejut
bukan main karena pedangnya melekat dan terbawa oleh putaran pedang lawan.
Betapa pun dia berusaha mempertahankan, dia kalah tenaga sehingga pedangnya
terus berputar sampai akhirnya dengan bentakan nyaring, kakek itu membuat
gerakan membetot secara mendadak dan Phoa Lee It berteriak kaget, pedangnya
terlempar ke atas!
Hwa-i Lojin
menyambar pedang lawan itu dengan tangan kirinya, sambil tertawa ha-ha he-he
menekuk pedang itu di lututnya.
"Pletakkkk!"
Pedang patah menjadi dua dan tiba-tiba menyambitkan patahan pedang ke arah Phoa
Lee It.
Pada saat
itu pula tampak dua sinar kecil menyambar dan dua batang patahan pedang
disambar runtuh. Sebelum Hwa-i Lojin dapat mencari siapa penolong lawannya ini,
dari rombongan tamu tahu-tahu keluar dua orang pemuda, keduanya memegang
sebatang kayu kurang lebih satu meter panjangnya dan mereka seperti berkejaran
menghadang di antara Phoa Lee It dan Hwa-i Lojin.
Phoa Lee It
maklum bahwa ada dua orang yang diam-diam menolongnya. Dia menghela napas
panjang mengingat akan kelihaian Hwa-i Lojin, lalu melangkah mundur mendekati
para sute-nya. Sementara itu, semua orang tertarik memandang dua orang pemuda
yang berkejaran itu. Mereka ini bukan lain adalah Kun Liong dan Kong Tek.
Tadi pada
saat Lie Kong Tek berani membela pengantin wanita dari kemarahan ayahnya,
pemuda tinggi besar dan gagah ini sudah menarik perhatian banyak orang. Kini
melihat dia muncul kembali dan mengejar-ngejar seorang pemuda tampan lain yang
cukup aneh, pemuda yang rambut kepalanya amat pendek dan awut-awutan, tentu
saja semua tamu menjadi terheran-heran maka semua mata memandang penuh
perhatian. Yang menarik hati mereka adalah sikap pemuda berambut pendek yang
dikejar-kejar, karena sikapnya mengejek dan jelas sekali meniru lagak Hwa-i
Lojin!
"Ha-ha,
majulah dan aku akan membuktikan bahwa ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut hanyalah
kosong belaka. Lihat, dengan pedangku ini aku akan melucutimu tanpa melukaimu,
sebab itu tak perlu kau takut akan terluka, ha-ha-ha!" kata Kun Liong
sambil berdiri dengan lagak persis seperti lagak Hwa-i Lojin ketika menantang Phoa
Lee It tadi!
Kong Tek
yang telah dibisiki oleh Kun Liong untuk melakukan sandiwara mengejek Hwa-i
Lojin dan memancing perhatian orang agar Hong Khi Hoatsu bisa bekerja dengan
leluasa di sebelah dalam, segera menanggapi dan menjawab, "Seorang gagah
tidak takut mati, tidak seperti engkau!"
"Aku
sih bukan orang gagah, kalau untuk mati nanti dulu, akan tetapi ilmu pedangku
tiada bandingannya di kolong langit. Majulah!" Dengan lagak dibuat-buat
Kun Liong menantang.
"Awas...
haiiiittttt!" Kong Tek menyerang dengan pedang kayunya, persis lagak
seorang badut.
"Hyaaaahhhh,
lihat ilmu pedangku Monyet Tua Mabuk Madat!" Kun Liong berteriak sambil
menangkis, lagaknya persis seperti yang dilakukan Hwa-i Lojin tadi.
Melihat ini,
banyak tamu tertawa terpingkal-pingkal, apa lagi ketika dua orang pemuda itu
sudah ‘bertanding’ dengan lagak dibuat-buat. Siapa tidak akan tertawa melihat
Kong Tek menyerang dengan gerakan lambat sekali sehingga tentu saja sangat
mudah dielakkan, kemudian melihat Kun Liong membalas dengan gerakan pedang kayu
itu perlahan-lahan ‘menempel’ pedang lawan, kemudian sambil berteriak nyaring
dia memutar-mutar kayu di tangannya. Kong Tek membiarkan ranting pada tangannya
ikut berputar-putar, kemudian melepaskan ranting yang terlempar ke atas. Kun Liong
meniru gerakan Hwa-i Lojin tadi, menyambar kayu itu, lalu mematahkannya di atas
lututnya!
"Pletakkkk!"
Kayu itu patah menjadi dua dan seperti gerakan Hwa-i Lojin tadi, Kun Liong
melemparkan patahan kayu.
Kemudian,
seperti dua batang anak panah, dua potong kayu itu meluncur ke arah... meja
sembahyang dan tosu Pek-lian-kauw yang baru saja menyalakan lilin melongo
terkejut karena tiba-tiba dua batang lilin yang dinyalakannya itu padam dan
patah-patah!
Keadaan
menjadi gaduh dan kacau. Liong Bu Kong dan Cia Giok Keng yang tadi dibujuk oleh
Thian Hwa Cinjin untuk melakukan upacara sembahyang, segera bangkit berdiri dan
memandang ke arah Kun Liong dan Kong Tek. Akan tetapi mereka tidak dapat
mengenal Kun Liong yang sekarang kepalanya sudah berambut, dan sepasang calon
mempelai itu memandang marah karena mengangap bahwa kedua orang pemuda itu
sengaja hendak mengacau pesta pernikahan mereka.
Juga Ketua
Pek-lian-kauw memandang penuh curiga, dua alisnya berkerut dan sepasang matanya
yang mengeluarkan sinar aneh berpengaruh itu memandang penuh selidik. Para tamu
banyak yang tertawa geli menyaksikan lagak Kun Liong, secara diam-diam mereka
merasa puas bahwa Hwa-i Lojin yang bersikap sombong dan tidak mereka suka itu sekali
ini dipermainkan orang, sungguh pun mereka merasa khawatir juga bahwa tentu
kakek itu akan turun tangan dan akan celakalah dua orang pemuda yang main-main
itu.
Dan memang
Hwa-i Lojin sudah memandang dengan muka merah dan mata mendelik ke arah Kun
Liong. Tadinya, pada saat melihat dua orang muda itu muncul dan berlagak, dia
mundur dan berdiri di pinggir sambil ikut menonton, menyangka bahwa mereka
memang hendak bertanding silat dan sengaja hendak menggembirakan pesta
pernikahan.
Tetapi
ketika melihat lagak Kun Liong yang jelas dibuat-buat dan sengaja meniru
gerakan-gerakannya tadi, mukanya langsung menjadi pucat saking marahnya dan
sekarang dia memandang dengan mata mendelik seolah-olah hendak menelan pemuda
itu bulat-bulat! Melihat betapa semua tamu, juga Ketua Pek-lian-kauw dan
sepasang mempelai sedang memperhatikan, Hwa-i Lojin merasa semakin malu dan
terhina. Tahulah dia bahwa dua orang pemuda itu sengaja mempermainkannya.
"Jahanam
keparat!" gerutunya sambil melangkah maju.
Kun Liong
pura-pura tidak melihat kakek ini dan dengan memutar-mutar pedang kayunya
seperti lagak Hwa-i Lojin sesudah tadi menang bertanding, dia melintangkan
pedang itu dengan gerakan aksi di depan dada sambil membusungkan dadanya dan
berkata, "Siapa bilang aku si tua bangka tidak hebat? Siapa bilang aku
pernah dikalahkan seorang ketua? Ha-ha-ha, di samping lihai, akulah si manusia
sombong, tua bangka yang suka berlagak, ha-ha-ha!"
"Mampuslah!"
Kun Liong
cepat miringkan tubuhnya ketika ada hawa hangat menyambar dari samping, maka
pukulan Hwa-i Lojin meleset, hanya mengenai angin saja.
"Tokk!"
Pedang di tangan Kun Liong sudah menyambar keras dan dari samping sudah memukul
tulang lengan Hwa-i Lojin.
Kakek itu
menggigit bibir menahan seruan kesakitan, kemudian menggosok-gosok lengan yang
terpukul, lalu menyerang lagi sambil membentak, "Bangsat keparat!"
Kun Liong
pura-pura kaget dan seperti baru melihat bahwa ada orang mengamuk dan
menyerangnya. Dia cepat meloncat ke belakang dan berseru, "Eihh-eihhh...!
Kenapa kau tua bangka marah-marah?"
Semua orang
menahan senyum. Biar pun mereka merasa khawatir sekali, mereka juga merasa geli
menyaksikan sikap pemuda tampan itu yang jelas sengaja mempermainkan kakek
pesolek itu. Betapa beraninya pemuda ini, pikir mereka.
Hwa-i Lojin
semakin marah. Tadinya dia ingin memaksa pemuda itu mengaku nama dan mengapa
memusuhinya, akan tetapi kemarahan membuat dia tidak sabar lagi dan ingin
lekas-lekas merobohkan pemuda kurang ajar ini. Dia menerjang kembali dengan
tangan kosong, menghantam bertubi-tubi dengan kedua tangannya sambil
mengerahkan seluruh sinkang-nya.
"Wuuut-wuuuttt...
wirrr... takkkk! Dess...!"
Orang-orang
bersorak gembira. Memang lucu sekali. Kun Liong yang diserang kalang kabut itu
kelihatan terdesak, lari sana-sini, meloncat kacau ke kanan kiri, tongkatnya
atau pedang kayunya bergerak tidak karuan, akan tetapi akibatnya, dahi Hwa-i
Lojin terkena pukulan sampal menjendol dan punggungnya kena gebuk satu kali,
cukup keras sehingga debu mengebul dari punggung baju!
"Kun-hoat
(ilmu silat tangan kosong) bagus! Kun-hoat bagus." Kun Liong berseru
sambil memuji-muji.
Jelas bahwa
pujian ini merupakan ejekan. Ilmu silat tangan kosong yang dimainkan Hwa-i
Lojin sama sekali tidak berhasil memukulnya, bahkan dalam segebrakan saja kakek
itu telah dihadiahi satu kali kemplangan di kepala dan satu kali gebukan pada
punggungnya, mana bisa disebut kun-hoat bagus?
Dalam
kemarahannya yang meluap-luap, Hwa-i Lojin juga terkejut. Pemuda itu meski pun
gerakannya kacau balau seperti seekor monyet menari, akan tetapi sudah jelas
semua pukulannya meleset, bahkan secara aneh dia telah dihajar dengan tongkat!
Sebenarnya tidaklah
mengherankan kalau kakek itu dengan mudah bisa dihajar oleh Kun Liong. Memang
harus diakui bahwa Hwa-i Lojin telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan
tetapi, seperti halnya dalam ilmu ketangkasan apa pun juga, apa bila berhadapan
dengan lawan yang tingkatnya lebih tinggi, maka semua ilmunya menjadi tidak ada
artinya karena dia kalah cepat, kalah tenaga, dan kalah lihai. Kun Liong
sekarang telah menjadi seorang yang tingkat ilmu kepandaiannya sulit diukur
sampai di mana tingginya, sebab itu dengan mudah dia mempermainkan Hwa-i Lojin.
"Srattt...
singgg...!"
Hwa-i Lojin
yang amat marah sekarang telah mencabut pedangnya dan tanpa membuang waktu lagi
dia sudah menggerakkan pedang menyerang Kun Liong dengan ganas sekali.
Terdengar suara berdesing-desing dan pedang di tangannya berubah menjadi
segulung sinar terang yang menyambar-nyambar ke arah Kun Liong.
Kun Liong
melihat datangnya serangan pedang, cepat-cepat menghindarkan diri dengan
mengelak cepat ke kanan kiri, melompat ke depan belakang, menangkis dengan
ranting sambil berseru, "Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus...! Kiam-hoat
bagus...!"
Akan tetapi
seruannya ini bernada mengejek dan tiba-tiba saja dia menggetarkan kayu di
tangannya, menangkis pedang sambil mengerahkan sinkang istimewa yang dahulu dia
latih dari Bun Hwat Tosu sehingga pedang lawan itu melekat pada rantingnya dan
tidak dapat dilepaskan kembali. Selagi lawannya terkejut, dia telah
menggerakkan ranting itu, diputar-putar seperti gerakan Hwa-i Lojin ketika
merampas pedang di tangan Phoa Lee It tadi.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan heran rasa Hwa-i Lojin ketika tanpa dapat dia
tahan lagi, pedangnya ikut terbawa oleh putaran ranting, makin lama semakin
cepat. Dia sudah mencoba untuk mempertahankan pedangnya dengan mengerahkan
sinkang pada tangan kanan, namun makin lama gerakan memutar itu makin kuat
sehingga dia maklum bahwa tidak mungkin lagi dia mempertahankan pedangnya.
KAKEK ini
sangat terkejut dan kini maklumlah dia bahwa ternyata pemuda ugal-ugalan itu
mempunyai ilmu kepandaian yang hebat sekali. Untuk menjaga gengsinya, dia tidak
mau menyerah kalah begitu saja dan tiba-tiba tangan kirinya dengan jari terbuka
menotok ke arah lambung lawan.
"Dukkk!"
Hwa-i Lojin
makin kaget. Totokannya bertemu dengan daging kenyal yang ulet dan kuat seperti
karet! Dan pada saat itu pula tangan kiri pemuda yang menjadi lawannya juga
bergerak cepat dua kali dan Hwa-i Lojin merasa betapa kaki dan tangannya tidak
dapat digerakkannya lagi. Dia telah tertotok lumpuh! Pada saat yang sama,
pedangnya sudah terampas, terlepas dari pegangannya dan menghunjam ke atas
tanah, kemudian tiba-tiba pemuda itu menendang dan... tubuhnya yang sudah tidak
mampu bergerak itu terlempar jauh ke belakang.
"Jadilah
kau toa-pek-kong di meja sembahyang itu!" seru Kun Liong sambil menendang
hingga tubuh kakek itu mencelat ke arah meja sembahyang, di mana atas anjuran
Ketua Pek-lian-kauw, sepasang mempelai sedang berlutut karena hendak melakukan
upacara sembahyang tanpa mempedulikan pertempuran!
"Bresss...!
Braaakkkk...!"
Meja
sembahyang ringsek dan tubuh Hwa-i Lojin terbanting di atas meja, terlentang
dan mukanya berlepotan kuah masakan, matanya terbelalak dan mulutnya terbuka
lebar. Biar pun ilmu kepandaian Kun Liong amat mengejutkan orang, namun
peristiwa itu kelihatan lucu sehingga terdengar suara ketawa di sana-sini
mentertawakan Hwa-i Lojin.
Karena untuk
beberapa kali meja sembahyang terganggu, Liong Bu Kong dan Cia Ciok Keng
menjadi marah sekali. Terutama sekali Liong Bu Kong yang merasa bahwa upacara
sembahyang yang akan mengesahkan pernikahannya dengan Giok Keng selalu menjadi
terhalang. Sambil berseru keras tubuhnya mencelat ke arah Kun Liong dan tanpa
banyak cakap lagi tangannya menampar ke arah pelipis Kun Liong. Sebuah tamparan
yang amat keras dan mengandung tenaga sinkang yang akan dapat membikin pecah
kepala orang yang ditampar.
"Plak-plak-plak!"
Tiga kali
Kun Liong menangkis pukulan bertubi-tubi itu dan pada yang ketiga kalinya dia
sengaja mengerahkan tenaga sehingga Bu Kong hampir terpelanting. Bu Kong
terkejut sekali. Tidak disangkanya pengacau muda ini lihai bukan main. Namun
dia tidak menjadi takut dan sudah menerjang lagi dengan pukulan yang lebih
dahsyat lagi.
"Orang
jahat, beraninya engkau mengganggu kami!" Bentakan ini keluar dari mulut
Giok Keng yang telah ikut menerjang maju dan menyerang Kun Liong.
Melihat Giok
Keng menyerangnya, Kun Liong yang sedang menghadapi Bu Kong menjadi terkejut
sekali. Pundaknya terpukul dan dia terpelanting, namun dapat meloncat bangun
kembali. Kakinya cepat menyambar dan ujung kakinya menotok lutut Bu Kong.
Selagi Bu Kong hampir roboh, dia sudah mendorong dengan telapak tangannya,
membuat Bu Kong terlempar dan terbanting ke atas tanah.
"Giok
Keng...!" Kun Liong menegur, suaranya memperingatkan.
Tetapi Giok
Keng yang sedang berada dalam pengaruh obat tidak mengenalnya, bahkan
menganggap bahwa pemanggilan namanya itu adalah sebuah kekurang ajaran. Apa
lagi melihat betapa Bu Kong terpukul sampai terjengkang, dia menjadi makin
marah. Sambil berseru keras Giok Keng memukul lagi.
Kun Liong
menggerakkan kedua tangannya, menangkap kedua pergelangan tangan dara itu
sambil berbisik, "Giok Keng...!"
Pada waktu
itu, lima orang tosu Pek-lian-kauw sudah datang dan menerjang Kun Liong dengan
senjata tongkat di tangan. Mereka adalah pembantu-pembantu yang disuruh oleh
Ketua Pek-lian-kauw untuk turun tangan menangkap pemuda pengacau itu.
Lie Kong Tek
berteriak keras, meloncat lantas menyambut mereka dengan pukulan dan tendangan.
Melihat ini, pihak tamu menjadi ribut dan mereka langsung terpecah menjadi dua
bagian, ada yang menentang dan ada pula yang membantu Pek-lian-kauw sehingga
tempat pesta itu segera berubah menjadi medan pertempuran yang kacau balau!
Kesempatan
ini tentu saja segera dipergunakan oleh mereka yang memang sudah saling bermusuhan
dan saling mendendam untuk melampiaskan kebencian mereka dan untuk saling
serang. Akan tetapi sebagian besar dari para tamu tidak mau turut mencampuri
pertempuran itu, hanya mundur dan menonton di pinggiran, bahkan yang tak mau
terlibat, diam-diam telah meninggalkan tempat itu.
Sementara
itu, di sebelah dalam bangunan juga terjadi peristiwa yang luar biasa. Ketika
Pendekar Sakti Cia Keng Hong dalam keadaan pingsan digotong ke dalam, para tosu
Pek-lian-kauw lalu merebahkannya di atas pembaringan. Mereka sudah menerima
tugas dari ketua mereka dan tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap
pendekar yang berbahaya itu.
Maka, begitu
merebahkan tubuh Cia Keng Hong di atas pembaringan, seorang siap untuk menotok
jalan darah membuat lumpuh, ada yang sudah siap dengan belenggu, dan ada pula
yang telah mengeluarkan obat cair untuk dicekokkan kepada pendekar itu, yaitu
obat racun perampas ingatan.
Tiba-tiba
terdengar bentakan dari luar. "Tahan dulu...!"
Empat orang
tosu tua itu terkejut dan menengok. Ketika mereka melihat seorang kakek yang
pakaiannya kedodoran, celananya kotak-kotak, bajunya kembang, kepalanya ditutup
kopyah bayi, mereka terkejut dan siap untuk menyerang.
Akan tetapi
kakek itu mengangkat tangan kanannya ke atas, dan terdengarlah suaranya yang
penuh wibawa, "Tolol, apa kalian tidak mengenal ketua kalian sendiri? Aku
adalah Thian Hwa Cinjin...!"
Sungguh aneh
sekali. Tiba-tiba saja penglihatan empat orang tosu tua itu berubah dan cepat
mereka menjura kepada kakek itu yang sekarang kelihatan seperti ketua mereka!
Padahal kakek itu sesungguhnya adalah Hong Khi Hoatsu yang sudah mempergunakan
hoat-sut yang amat kuat untuk mempengaruhi orang-orang Pek-lian-kauw dan
menolong Cia Keng Hong.
"Keluarlah
kalian berempat dan biarkan aku berdua dengan Cia-taihiap," kembali Hong
Khi Hoatsu berkata kereng.
Empat orang
tosu itu mengangguk. Tanpa berkata sesuatu seperti dalam mimpi mereka lalu
melangkah keluar dari dalam kamar.
Sesudah
empat orang tosu Pek-lian-kauw itu keluar dan pintu kamar kembali ditutup dari
luar, Hong Khi Hoatsu segera bergerak. Sebenarnya, dengan bantuan totokan dia
dapat lebih cepat menyadarkan Cia Keng Hong, akan tetapi kakek aneh ini sudah
mendengar pula bahwa Pendekar Sakti itu mempunyai ilmu mukjijat yang disebut
Thi-khi I-beng, yaitu ilmu yang dapat menyedot sinkang orang lain. Karena itu
dia sudah memutuskan untuk tidak menggunakan totokan, melainkan hendak
mengandalkan kekuatan batinnya melalui suara.
Akan tetapi,
Hong Khi Hoatsu tidak mau turun tangan secara tergesa-gesa. Dia adalah seorang
yang sudah lama berkelana di dunia kang-ouw, maka dia tahu pasti bahwa Ketua
Cin-ling-pai yang hendak disadarkannya ini mempunyai kekuatan batin yang amat
tinggi. Kalau tadi pendekar ini sampai terkena pengaruh sihir dari Ketua
Pek-lian-kauw, hal itu hanya terjadi karena sebelumnya dia sudah menderita
pukulan batin yang sangat hebat. Sebagai seorang ahli hoat-sut (ilmu sihir),
tentu saja dia pun tahu bahwa tidaklah mudah menggunakan ilmu sihir untuk
mempengaruhi orang yang memiliki kekuatan batin tinggi, salah-salah pengaruh
itu dapat membalik sehingga menghantam dan membahayakan diri sendiri.
Karena itu
Hong Khi Hoatsu segera duduk bersila dan memeramkan mata, bersemedhi di atas
lantai di samping pembaringan, di mana tubuh Cia Keng Hong tergeletak telentang
dalam keadaan tidak sadar. Hening sekali kamar itu, bahkan tidak terdengar
suara napas dua orang yang berada di dalam kamar itu.
Mendadak
Hong Khi Hoatsu membuka matanya. Segera tampak sinar yang sangat tajam dan
berpengaruh menyorot dari sepasang mata itu, lalu bibirnya bergerak,
mengeluarkan suara lirih namun terdengar tajam laksana mengiris telinga.
“Cia Keng
Hong Pendekar Sakti Ketua Cin-ling-pai… engkau tidak mengantuk tidak pula
sakit, mengapa tidur? Bangunlah… bangkitlah…!”
Kakek ahli
sihir itu terus mengulang-ulang ucapan yang sama hingga beberapa kali, tetap
dengan suara menggetar yang makin lama makin berpengaruh. Dia sudah
mengeluarkan seluruh kemampuan dan kekuatan batinnya, terlihat dari uap tipis
yang mulai mengebul di atas kepalanya.
Dan
akhirnya, sesudah pada dahinya muncul beberapa butir keringat sebesar biji
kedelai, tubuh pendekar ini mulai sedikit bergerak, perlahan-lahan membuka
matanya, dan ketika dia melihat seorang kakek aneh berada di situ dan dia sudah
berada di atas pembaringan, dia memandang dengan penuh curiga.
“Tenanglah,
Cia-taihiap. Saya bernama Hong Khi Hoatsu, seorang sahabat. Taihiap baru saja
sadar dari pengaruh sihir yang dilakukan Thian Hwa Cinjin atas diri Taihiap.”
“Keparat
dia…!” Keng Hong meloncat turun.

Akan tetapi
kakek berpakaian aneh itu mencegahnya keluar dengan kata-kata lirih. “Harap
tenang. Hendaknya kau ketahui, Cia-taihiap, bahwa puterimu pun kini sedang
berada di bawah pengaruh sihir. Oleh karena itu, sebelum Taihiap membuat
perhitungan dengan dia, lebih baik Taihiap menolong puterimu dulu. Kalau
Taihiap suka menotok jalan darah tai-hwi-hiat dengan saluran sinkang yang kuat,
agaknya puterimu itu dapat dibikin sadar. Dan hati-hatilah ketika menghadapi
Thian Hwa Cinjin, Taihiap jangan langsung menatap matanya, dan juga jangan
memperhatikan suaranya. Sekarang agaknya muridku bersama murid keponakan
Taihiap tengah membikin kacau di luar, memberi kesempatan kepadaku untuk
menyadarkan Taihiap di sini…”
“Murid
keponakanku…?” Keng Hong bertanya heran.
“Yap Kun
Liong…” Kakek itu lalu menceritakan tentang si pemuda dengan singkat.
“Aihh…, dia
datang juga?”
Kakek itu
mengangguk. “Dia sedang mengacau di luar bersama muridku.”
Cia Keng
Hong mengerutkan sepasang alisnya. “Kalau begitu, sebaiknya kita cepat keluar
untuk membantu mereka. Tempat ini sungguh berbahaya bagi mereka.”
Hong Khi
Hoatsu mengangguk dan berjalan mendahului menuju pintu. Betapa pun juga dia
lebih mengetahui keadaan tempat ini dari pada Cia Keng Hong yang tadi digotong
masuk dalam keadaan tidak sadar, karena itu dia menjadi penunjuk jalan keluar.
Ketika Cia
Keng Hong dan Hong Khi Hoatsu memasuki ruangan tempat di mana upacara
sembahyang dilakukan, keadaan di ruangan itu sungguh kacau balau dan berisik
sekali sehingga kehadiran dua orang ini tidak langsung menarik perhatian. Di
situ sedang terjadi pertempuran tidak teratur yang juga melibatkan banyak tamu,
baik yang membela mau pun yang menyerang orang-orang Pek-lian-kauw. Bahkan ada
pula sesama tamu yang saling bertempur sendiri karena di dalam hati mereka
telah tersimpan dendam lama yang hendak diselesaikan pada kesempatan ini.
Pandang mata
Keng Hong dengan tajam menyapu seluruh ruangan, tentu saja hendak mencari Giok
Keng puterinya dan Kun Liong murid keponakannya. Karena pada saat itu Giok Keng
mengenakan pakaian pengantin serba merah yang sangat menyolok, dengan mudah
pandang mata pendekar itu dapat menemukan puterinya.
Alisnya
segera berkerut ketika melihat Giok Keng bersama seorang pemuda yang lantas
dikenalnya sebagai Liong Bu Kong putera datuk sesat Kwi-eng Niocu, tengah
mengeroyok seorang pemuda lain yang rambutnya sangat aneh, begitu pendek dan
awut-awutan, yang bukan lain Kun Liong adanya. Akan tetapi, Ketua Cin-ling-pai
ini lantas teringat akan ucapan kakek aneh yang menolongnya tadi, bahwa
puterinya itu sedang dalam pengaruh sihir.
Pada waktu
itu Kun Liong sedang terdesak karena pemuda ini tidak ingin melawan Giok Keng
yang menyerangnya dengan pukulan-pukulan maut, ditambah lagi serbuan gencar
dari Liong Bu Kong yang sangat marah karena pernikahannya terhambat oleh pemuda
ini. Melihat ini, Keng Hong memekik nyaring hingga menggetarkan ruangan dan
orang-orang di dalamnya, lalu tubuhnya berkelebat, tangannya menepis sambil
mendorong Giok Keng sedangkan kakinya melayang ke arah lambung Bu Kong.
Walau pun Bu
Kong sudah menangkis, tetap saja tenaga tendangan yang amat dahsyat itu membuat
dia terhuyung ke belakang dengan terkejut sekali. Pendekar Sakti itu cepat
merangkul puterinya yang nampak bingung, kemudian dia cepat melakukan totokan
tepat seperti petunjuk yang diterimanya dari Hong Khi Hoatsu.
“Aughhh…,”
tubuh Giok Keng menjadi lemas dan dia tentu roboh terguling kalau tubuhnya
tidak dipeluk ayahnya.
Sejenak dara
ini memejamkan matanya, kemudian membuka mata lagi seperti orang baru bangun
dari tidur. Ketika dengan terkejut mendapatkan dirinya dalam pelukan orang, dia
cepat memandang. Begitu mengenal ayahnya, dara ini segera membenamkan kepalanya
di dada ayahnya sambil kedua tangannya memeluk pinggang yang kokoh itu,
kemudian tubuhnya terkulai pingsan. Keng Hong memejamkan matanya, tangannya
mengelus-elus rambut di kepala yang menempel pada dadanya.
Tiba-tiba
terdengar suara lengking yang nyaring sekali, lengking yang dikeluarkan dengan
pengerahan khikang sepenuhnya dan dibantu oleh pengaruh sihir, membuat semua
orang terkesiap dan terdiam tak bergerak hingga sejenak suasana di dalam
ruangan itu berubah sangat hening, kemudian baru terdengar suara lagi, “Semua
tahan senjata…!”
Memang hebat
sekali kekuatan sihir dari Ketua Pek-lian-kauw ini. Suaranya mengandung getaran
yang sangat kuat sehingga otomatis semua tamu, termasuk Phoa Lee It dan para
sute-nya, menahan senjata lantas melompat mundur, tidak kuat melawan perintah
yang terkandung dalam ucapan yang menyusul lengking nyaring itu. Bahkan semua
tamu, juga termasuk Kun Liong dan Kong Tek, selain menahan gerakan pertempuran,
juga sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah kakek yang bertongkat
hitam itu!
Sambil
tertawa Thian Hwa Cinjin sekarang melangkah menghampiri Kun Liong dan Kong Tek,
kedua matanya mengeluarkan sinar buas. Hatinya marah sekali karena dianggapnya
kedua orang muda inilah yang sudah menimbulkan kekacauan, yang menjadi biang
keladi pertempuran yang merubah suasana pesta pernikahan menjadi gelanggang
pertempuran itu.
"Orang-orang
muda yang bosan hidup!" bentaknya setelah dia berada di depan dua orang
pemuda yang masih berlutut itu. "Kalian berdua sudah melakukan dosa besar
terhadap Pek-lian-kauw, karena itu terimalah hukuman dari kami!" Sambil
berkata demikian, kakek ini sudah mengangkat tongkat hitamnya ke atas, siap
untuk dihantamkan ke arah kepala dua orang pemuda itu. Tentu saja hantaman
seorang yang lihai seperti Thian Hwa Cinjin, dengan tongkat yang diarahkan ke
kepala, akan menimbulkan maut.
Tiba-tiba
kedua orang pemuda itu bergerak. Mula-mula Lie Kong Tek yang bergerak dan dari
bawah, pemuda tinggi besar ini sudah menggerakkan kakinya menendang ke arah
kedua lutut kaki Thian Hwa Cinjin! Ada pun Kun Liong sambil tertawa juga
bangkit dan tangannya mencengkeram ke arah tenggorokan Ketua Pek-lian-kauw itu.
Tentu saja
Thian Hwa Cinjin menjadi kaget bukan main. Mereka berdua itu, seperti semua
tamu, jelas telah dipengaruhi kekuatan sihirnya, mengapa mereka berdua
tahu-tahu dapat melawan?
Sesungguhnya
tidaklah demikian, sebelum meninggalkan kedua orang pemuda itu, Hong Khi Hoatsu
telah meninggalkan ‘bekal’ kepada mereka, yaitu cara-cara menolak pengaruh
sihir sehingga pada waktu Thian Hwa Cinjin mengeluarkan suara melengking
nyaring tadi, Kong Tek dan Kun Liong sudah ‘menutup’ perhatian mereka dan
menggunakan sinkang untuk menolak seperti yang diajarkan oleh Hong Khi Hoatsu.
Namun, untuk mengelabui mata Thian Hwa Cinjin, mereka berdua ikut-ikut berlutut
seperti orang lain. Ketika melihat kakek itu mendekati mereka dan jelas hendak
melakukan serangan maut, mereka tentu saja segera bergerak dan mendahului
menyerang kakek itu.
Selain lihai
ilmu sihirnya, Thian Hwa Cinjin juga memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi
tingkatnya. Ketika diserang oleh Kong Tek seperti itu, tentu saja dia dengan
mudah dapat meloncat dan menghindarkan tendangan dahsyat itu.
Yang membuat
dia terkejut adalah gerakan Kun Liong. Tidak disangka-sangkanya bahwa pemuda
itu dapat menyerang dengan gerakan secepat itu. Dia sudah mengelak dengan
menarik tubuh atasnya ke belakang, namun sungguh di luar dugaannya, jari-jari
tangan pemuda itu masih berhasil mencengkeram ujung jenggotnya yang panjang dan
dipelihara baik-baik itu. Dia berteriak kesakitan ketika ujung jenggot itu
dibetot dan putus!
Sementara
itu, Giok Keng yang dipeluk ayahnya ternyata sudah sadar dan tiba-tiba saja dia
merenggutkan diri dari pelukan ayahnya dan bertanya, "Mana dia? Mana si
jahanam keparat Liong Bu Kong itu?"
Tentu saja
Cia Keng Hong amat terkejut dan girang melihat sikap puterinya yang tiba-tiba
membalik dan memaki pemuda yang tak disukanya itu. "Apa maksudmu?"
tanyanya.
"Ayah,
dia si keparat laknat itu, dia telah menipuku! Aku harus membunuhnya! Ayah
bagai mana aku bisa memakai pakaian keparat ini?" Dia merenggutkan hiasan
kepala dan jubah pengantinnya, mencabut pedangnya dan begitu dia melihat Liong
Bu Kong langsung dia meloncat dan memaki, "Bangsat hina dina, hari ini
engkau mampus di tanganku!"
Melihat
puterinya sudah menyerang kalang kabut kepada pemuda yang masih berpakaian
pengantin itu, Keng Hong terbelalak. Hatinya bersyukur bahwa akhirnya puterinya
terbuka matanya dan bisa melihat bahwa pilhan hatinya itu adalah keliru sama
sekali, bisa melihat bahwa pemuda putera Ketua Kwi-eng-pang itu bukanlah
manusia baik-baik seperti yang telah diketahuinya.
Karena dia
merasa yakin bahwa puterinya akan sanggup menandingi pemuda itu, Keng Hong lalu
mencari-cari dengan pandang matanya. Tak perlu waktu lama dia telah melihat
orang yang dicarinya, yang dianggap menjadi biang keladi sehingga hampir saja
puterinya itu menikah dengan Liong Bu Kong di bawah pengaruh sihir, yaitu Ketua
Pek-lian-kauw, Thian Hwa Cinjin!
Pada waktu
itu, dia melihat betapa seorang pemuda berambut pendek yang segera dia kenal
sebagai Yap Kun Liong yang dahulu gundul itu, telah menyerang Thian Hwa Cinjin
dan berhasil menarik putus sebagian jenggotnya. Akan tetapi hati Keng Hong
kaget sekali ketika tiba-tiba saja kakek itu mendorongkan kedua tangannya ke
depan dan membentak, "Orang muda, berlututlah engkau! Berlutut...!"
Bagaikan
lumpuh seketika kedua kakinya, Kun Liong langsung berlutut! Biar pun dia telah
memperoleh ‘bekal’ dari Hong Khi Hoatsu untuk menolak pengaruh sihir, namun
kekuatan sihir yang langsung diterimanya dan menyerang dirinya melalui gerakan
kedua telapak tangan, suara dan pandang mata Ketua Pek-lian-kauw itu terlalu
berat bagi Kun Liong sehingga dia tidak sanggup mempertahankan dirinya dan
sudah jatuh berlutut tanpa daya sama sekali.
Lie Kong Tek
yang tidak langsung terserang ilmu sihir itu, hanya terbelalak memandang karena
dia melihat kakek itu berubah menjadi seorang raksasa yang tinggi dan besarnya
tiga kali manusia biasa! Namun, ketabahan pemuda ini memang amat luar biasa.
Biar pun ada rasa ngeri di hatinya, namun melihat temannya berlutut dan tidak
berdaya, dia sudah menerjang ke depan dengan pukulan kanannya mengarah ke pusar
Ketua Pek-lian-kauw yang di dalam pandang matanya berubah menjadi raksasa itu.
"Plakkk...!
Desss…!"
Tubuh Kong
Tek terlempar dan terguling-guling ketika sebuah tendangan kilat menyambut
tubuhnya. Dadanya yang terkena tendangan terasa sesak sehingga untuk beberapa
lama pemuda itu tak dapat bangkit berdiri, hanya bangun duduk dan mengelus
dadanya sambil mengatur pernapasan.
"Wuuuuttt...
bukkk!"
Thian Hwa
Cinjin sudah berusaha mengelak, namun tetap saja ujung kaki Cia Keng Hong
menyentuh pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang. Serangan Keng Hong yang
dahsyat ini, yang dilakukan dengan tubuh melayang dari jauh, sudah
menyelamatkan Kun Liong karena pada saat itu pula, Thian Hwa Cinjin sudah
mengangkat tongkatnya hendak memukul kepala Kun Liong.
Melihat
majunya pendekar sakti ini, Thian Hwa Cinjin menjadi sangat terkejut. Dia sudah
lama mendengar akan kelihaian Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai, maka
cepat-cepat dia mengerahkan ilmu sihirnya, mengangkat tongkatnya dan berseru,
"Cia Keng Hong, berani kau melawan? Hadapilah ular saktiku ini!"
Keng Hong
cepat meloncat ke belakang, matanya terbelalak saat melihat betapa tongkat
hitam di tangan kakek itu berubah menjadi seekor ular hitam yang sangat besar,
panjang dan mengerikan. Dia meraba punggungnya dan tampaklah sinar hijau
berkelebat ketika sebatang pedang telah berada di tangan pendekar ini. Sebatang
pedang yang biasa saja, bahkan bukan pedang logam melainkan sebatang pedang
kayu! Akan tetapi itulah pedang Siang-bhok-kiam, Pedang Kayu Harum yang dulu
pernah menggegerkan dunia persilatan!
Betapa pun
juga, sekarang menghadapi orang yang menggunakan ilmu sihir, merupakan
pengalaman baru bagi Cia Keng Hong, maka dia bersikap waspada dan sangat
hati-hati, hanya menanti dengan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi
serangan lawan.
"Ha-ha-ha,
Thian Hwa Cinjin! Tidak ada gunanya semua ilmu sulapmu ini! Tongkat tetap
tongkat, mana mungkin bisa menjadi ular? Asal tanah kembali menjadi tanah asal
kayu kembali menjadi kayu! Cia-taihiap, jangan mau dikelabui ilmu sulap
murahan!"
Thian Hwa
Cinjin terkejut dan Cia Keng Hong girang sekali karena kini ular mengerikan di
tangan lawan itu lenyap dan yang tampak hanya tongkat biasa kembali.
Thian Hwa
Cinjin membentak sambil tangan kirinya digerakkan ke atas, dan... terdengar
ledakan keras kemudian muncul gumpalan asap yang membentuk diri menjadi manusia
berkepala singa yang amat menyeramkan! Ujud setan ini dengan buasnya lalu
melayang dan menerkam ke arah Keng Hong!
Pendekar ini
adalah seorang yang sakti dan tidak mengenal takut, namun menyaksikan ujud yang
aneh itu dia menjadi terkejut bukan main dan cepat dia sudah melempar tubuh ke
belakang, bergulingan sampai jauh sambil memutar Siang-bhok-kiam untuk
melindungi tubuhnya. Ketika dia meloncat bangun dengan sigapnya, dia melihat
gumpalan asap itu masih mengejarnya!
Kembali Hong
Khi Hoatsu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, lihat baik-baik, Cia-taihiap. Asap
itu hanyalah jadi-jadian yang diciptakan oleh tukang sulap itu, bukan apa-apa
dan hanya gertak sambal saja!" Hong Khi Hoatsu bertepuk tangan tiga kali
dan... setan asap itu pun lenyap.
Bukan main
marahnya hati Thian Hwa Cinjin. Dengan tongkat hitamnya dia menuding ke arah
Cia Keng Hong dan Hong Khi Hoatsu sambil berteriak, "Jadi kalian telah
bersekutu untuk datang memusuhi Pek-lian-kauw? Cia Keng Hong, mengapa engkau
begini tak tahu malu? Puterimu datang dengan calon suaminya dan mereka memohon
kepada kami agar suka merayakan pernikahan mereka sebab engkau tak menyetujui
pernikahan itu. Melihat namamu dan nama Cin-ling-pai, kami telah berbaik hati
untuk menolongnya dan bersusah payah merayakan pernikahan mereka. Siapa tahu
engkau, ayahnya sendiri, malah datang mengacau dan memusuhi kami. Aturan mana
ini? Apakah budi kebaikan kami hendak kau balas dengan permusuhan?"
Cia Keng
Hong mengerutkan alisnya, lalu menengok ke kiri dan melihat betapa puterinya
mendesak Liong Bu Kong dengan serangan-serangan maut, kemudian betapa pemuda
itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan melarikan diri, terus dikejar oleh Ciok
Keng. Dia merasa khawatir sekali lalu berteriak, "Keng-ji, jangan kejar
dia! Kembalilah ke sini!"
Tapi Giok
Keng yang sudah amat marah kepada Liong Bu Kong, mana mau melepaskan pemuda
yang kini amat dibencinya itu? Dia mengejar terus, bahkan membentak nyaring,
"Jahanam keparat, lari ke neraka pun akan kukejar kau sampai dapat!"
Melihat ini,
Yap Kun Liong yang sudah berhasil merobohkan para pengeroyoknya lantas berseru.
"Cia-supek, jangan khawatir, biar teecu yang menyusul dan membantu
Sumoi!"
Tanpa
menanti jawaban, pemuda itu lalu melesat pergi dengan kecepatan yang amat luar
biasa sehingga Keng Hong sendiri bengong dan kagum dibuatnya. Hatinya lega
mellhat Kun Liong melindungi puterinya, maka dia kembali menghadapi Thian Hwa
Cinjin dengan tenang, kemudian menjawab kata-katanya tadi dengan suara lantang,
"Thian Hwa Cinjin, bukankah engkau sendiri yang memutar balik omongan?
Puteriku melaksanakan upacara pernikahan yang sudah kau atur, bukan atas
kehendaknya sendiri, melainkan karena dia berada di bawah pengaruh sihirmu yang
keji!"
Thian Hwa
Cinjin terkejut sekali, dan semua tamu yang tadinya saling serang kini telah
menghentikan pertempuran mereka karena melihat bahwa orang-orang yang mereka
bela kini sedang bertengkar. Sekarang mereka datang mendekat dan mendengarkan
penuh perhatian, sedangkan para anak buah Pek-lian-kauw hanya mengurung tempat
itu karena sebelum menerima perintah dari ketuanya, mereka pun tidak berani
sembarangan turun tangan.
Para tamu
yang tadi tidak mau mencampuri keributan dan tidak turut bertempur, hanya
memandang dari jauh, kini diam-diam meninggalkan tempat itu karena tidak ingin
terlibat ke dalam permusuhan. Orang-orang kang-ouw yang berpihak pada Cia Keng
Hong hanya ada dua puluh lebih saja, termasuk tokoh-tokoh Go-bi-pai, sedangkan
selebihnya, lebih dari lima puluh orang kang-ouw, adalah teman-teman
Pek-lian-kauw.
"Ketua
Cin-ling-pai membohong!" Thian Hwa Cinjin yang sudah berhasil
menenteramkan hatinya membantah dengan teriakan keras, kemudian dia menengok ke
arah semua tamu yang kini masih berada di situ. "Cu-wi sekalian para tamu
yang terhormat menjadi saksi! Apakah ada permainan paksaan dalam upacara
pernikahan tadi? Apakah ada orang yang memaksa pengantin wanita melakukan
upacara sembahyang?"
"Tidak
ada! Tidak ada!" Serentak terdengar jawaban puluhan buah mulut para tamu,
ada pun mereka yang pro kepada Cia Keng Hong tidak ada yang mampu menjawab
karena mereka itu secara diam-diam harus mengakui bahwa tadi tidak ada
pemaksaan terhadap pengantin wanita.
Cia Keng
Hong tersenyum mengejek, memutar tubuh menghadapi para tamu kemudian berkata,
suaranya lantang, "Cu-wi sekalian mana tahu akan kelicikan pendeta hitam
ini? Puteriku tadi berada dalam keadaan tidak sadar, berada di bawah pengaruh
sihir dan obat perampas ingatan! Semua sudah diatur oleh Thian Hwa Cinjin.
Bahkan ketika aku datang, diam-diam dia menggunakan ilmu sihir yang membuat aku
tidak sadar! Kalau tidak ada Hong Khi Hoatsu yang menolong, tentu aku pun telah
dicelakakannya tanpa ada seorang pun tamu yang menduga dan mengetahuinya."
"Bohong!
Semua mata melihat! Semua telinga mendengar betapa Ketua Cin-ling-pai telah
ribut mulut dengan puterinya dan karena marahnya lalu roboh pingsan! Kami
bahkan telah menolong Cia-taihiap dan menggotongnya ke dalam, bagaimana kini
kau bisa menuduh yang bukan-bukan? Cu-wi sekalian harap jangan mudah dibohongi
orang. Pek-lian-kauw sudah terlalu banyak dikabarkan jelek. Padahal,
Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang gagah yang membela rakyat yang tertindas
oleh pemerintah lalim! Pek-lian-kauw selalu mengutamakan kegagahan, mana kami
sudi berbuat keji dan buruk?"
"Ha-ha-ha,
omongan Ketua Pek-lian-kauw seperti kentut!" Tiba-tiba terdengar suara
orang berkata nyaring dan kembali Hong Khi Hoatsu yang bicara itu.
Kini dia
didampingi oleh Lie Kong Tek dan seorang dara muda yang cantik akan tetapi
mukanya pucat, matanya merah oleh tangis, dan pakaian serta rambutnya kusut
seperti orang menderita sakit berat. Siapakah dara itu? Dia bukan lain adalah
Bu Li Cun!
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, ketika berkenalan dengan Hong Khi Hoatsu dan
Lie Kong Tek, Yap Kun Liong telah mendengar penuturan mereka tentang seorang
gadis yang diculik oleh Pek-lian-kauw. Untuk keperluan mencari gadis yang
menjadi tunangan Lie Kong Tek itulah maka guru dan murid itu menuju ke
Pek-lian-kauw dan minta bantuan Yap Kun Liong.
Tadi, ketika
terjadi ribut mulut, diam-diam Lie Kong Tek disuruh oleh gurunya untuk pergi
menyelinap dan mencari tunangannya yang mereka duga berada di tempat itu. Lie
Kong Tek menyelinap memasuki bangunan besar itu dari pintu samping tanpa
diketahui oleh para anak buah Pek-lian-kauw yang sedang tertarik oleh keributan
di luar.
Sesudah
sampai di ruangan dalam, Kong Tek lantas menangkap seorang pelayan wanita dan
mengancamnya untuk menunjukkan tempat tahanan wanita. Pelayan yang ketakutan
itu terpaksa membawa pemuda perkasa ini ke belakang dan di dalam sebuah kamar,
dia melihat beberapa orang dara yang keadaannya menyedihkan sekali.
"Siapakah
di antara kalian yang bernama Bu Li Cun?" tanyanya halus, sebab sebenarnya
baru satu kali Lie Kong Tek melihat tunangannya, itu pun ketika tunangannya
masih kecil beberapa tahun yang lalu.
Seorang dara
berusia delapan belas tahun, cantik dan pucat, keadaannya menyedihkan seperti
para tawanan lain, melangkah maju dan memandang kepada Lie Kong Tek penuh
selidik dan penuh rasa takut.
Hati pemuda
itu sangat terharu dan cepat dia maju, lalu memegang kedua tangan dara itu.
"Jangan khawatir, aku datang untuk menolongmu. Aku Lie Kong Tek..."
Mendengar
ini, gadis itu teringat dan segera menangis terisak-isak dan tentu sudah roboh
kalau tidak segera dirangkul oleh pemuda itu. Lie Kong Tek lalu membawanya
keluar dan menjumpai gurunya.
Hong Khi
Hoatsu girang sekali melihat muridnya telah berhasil membebaskan gadis yang
mereka cari-cari itu, dan pada saat Thian Hwa Cinjin mendesak Cia Keng Hong
dengan omongannya, dia sudah mentertawakan kakek itu.
"Thian
Hwa Cinjin Ketua Pek-lian-kauw, selain pandai mempergunakan ilmu sulap secara
curang juga pandai menggerakkan bibir dan lidah menyebar racun yang manis
rasanya!" Hong Khi Hoatsu melanjutkan kata-katanya yang lantang.
"Harap
Cu-wi sekalian lihat Nona ini. Dia adalah seorang gadis baik-baik yang telah
diculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw! Apakah dengan perbuatan keji itu Thian
Hwa Cinjin masih mau mengelabui mata semua orang dengan mengatakan bahwa
Pek-lian-kauw adalah orang-orang gagah yang berjiwa patriot?"
Terdengar
suara kemarahan yang berisik di antara para tamu. Thian Hwa Cinjin sendiri
menjadi pucat mukanya ketika melihat Bu Li Cun sudah berdiri di dekat Hong Khi
Hoatsu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang amat cerdik. Dia dapat mengenal
watak wanita yang selalu berusaha memegang teguh nama baiknya serta menyimpan
rahasia kesuciannya sebagai seorang perawan. Maka sambil tersenyum lebar dia
berkata,
"Ha-ha-ha-ha,
kakek pengemis yang hendak berlagak! Aku tidak mengenal siapa adanya engkau
yang berlagak aneh ini, akan tetapi engkaulah yang memutar balikkan omongan!
Gadis ini adalah Nona Bu Li Cun, dan dia adalah seorang di antara dara-dara
perkasa yang secara suka rela ingin menjadi anggota Pek-lian-kauw sebab dia pun
berjiwa patriot! Dia menjadi tamu kami di sini, dan siapa pun boleh bertanya
kepadanya, apakah selama berada di sini dia sebagai seorang perawan terhormat
sudah ada yang mengganggunya? Bu-siocia, harap suka menjawab. Apakah selama ini
Nona diganggu oleh orang-orang di Pek-lian-kauw?"
"Lie-koko,
aku pinjam pedangmu sebentar," mendadak Bu Li Cun berkata halus sambil
meloloskan pedang yang tergantung di pinggang tunangannya.
Lie Kong Tek
tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh gadis itu, dan karena itu dia tidak
mencegahnya. Dengan pedang di tangannya, Bu Li Cun lalu berlari menghampiri
Thian Hwa Cinjin, dan kakek ini memandang sambil tersenyum, maklum bahwa dara
ini tentu tidak akan begitu tebal muka untuk mengakui keadaannya, dan di
samping ini, meski pun dara itu memegang pedang, dia tidak merasa terancam dan
tidak pula merasa takut.
"Bu-siocia,
bukankah engkau ingin menjadi murid Pek-lian-kauw, menjadi muridku secara suka
rela tanpa paksaan?" kembali dia berkata dengan suara menggetarkan wibawa
kuat.
Dengan muka
tunduk tanpa memandang kakek yang kini berdiri di sampingnya, Bu Li Cun
mengangkat muka dan memandang kepada semua tamu dengan air mata bercucuran!
Kemudian terdengar suaranya yang lantang, "Saat seperti ini telah lama
kutunggu-tunggu! Aku Bu Li Cun hanya dapat membalas sakit hati secara begini.
Cu-wi sekalian dengarlah baik-baik! Aku telah diculik oleh Pek-lian-kauw dan
aku telah diperkosa oleh tua bangka keparat ini!"
Tiba-tiba
setelah meneriakkan pengakuan hebat ini, yang tidak mungkin dikeluarkan oleh
mulut seorang gadis yang menganggap lebih baik mati dari pada mengaku telah
diperkosa orang, Bu Li Cun menggerakkan pedang tunangannya, menggorok leher
sendiri!
"Haiii...!
Tranggg...!"
Pedang itu
mencelat terlepas dari tangan Bu Li Cun, akan tetapi setelah terlebih dahulu
mengerat kulit leher dara itu. Kulit leher yang tadi putih itu seketika berubah
merah, darah muncrat-muncrat dan terdengar suara aneh dari leher Bu Li Cun yang
mempergunakan kedua tangan memegang lehemya, tubuhnya terguling ke atas tanah.
"Bu-moi...!"
Lie Kong Tek yang tadi kurang cepat bergerak sehingga sambitan piauw-nya yang
membuat pedang terlepas itu masih tidak dapat menolong tunangannya, meloncat
dan berlutut, mengangkat tubuh dara itu, dipangkunya. Mukanya pucat sekali pada
waktu dia melihat betapa leher itu terkuak lebar dan darah muncrat-muncrat
mengerikan. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa dia telah terlambat, bahwa
nyawa gadis tunangannya ini tak mungkin dapat ditolong lagi.
Bu Li Cun
membuka kedua matanya, memandang pemuda gagah itu, tersenyum dan bibirnya
bergerak-gerak namun tidak ada suara yang keluar, kemudian dia terkulai lemah
dalam pelukan Lie Kong Tek.
Berisiklah
semua orang sesudah menyaksikan peristiwa mengerikan itu dan pada wajah banyak
tokoh kang-ouw terbayang kemarahan hebat mendengar pengakuan gadis yang
membunuh diri itu telah diperkosa oleh Thian Hwa Cinjin! Akan tetapi mereka
tidak berani langsung bergerak karena mereka maklum akan kelihaian kakek itu.
"Ha-ha-ha-ha,
agaknya gadis ini adalah kaki tangan musuh yang sengaja dikirim ke sini untuk
memburukkan nama pinto! Sungguh perbuatan yang curang sekali kalau
begitu!" Thian Hwa Cinjin yang cerdik itu masih tidak kekurangan akal
untuk memutar balikkan kenyataan. Kemudian dia memandang ke arah mayat Bu Li
Cun yang masih dipeluk oleh Lie Kong Tek dan terdengar suaranya penuh getaran
aneh, "Harap Cu-wi lihat baik-baik. Gadis itu kelihatannya saja membunuh
diri, akan tetapi sesungguhnya tidak. Dia waras dan sehat, pedang tadi tidak
mengenai lehernya dan dia hanya pura-pura mati saja. Lihat baik-baik, semua
tadi hanyalah perbuatan kakek gila tukang sihir itu!"
Semua mata
terbelalak, termasuk mata Cia Keng Hong yang karena keinginan tahu dan
keheranannya, sudah menunda niatnya menerjang Ketua Pek-lian-kauw itu dan
memutar leher memandang ke arah Bu Li Cun. Dan, seperti juga orang lain kecuali
Lie Kong Tek dan gurunya, dia pun melihat betapa leher gadis itu kini putih
bersih tidak ada darahnya sedikit pun juga, dan gadis itu masih bernapas,
sambil tersenyum-senyum dengan mata terbuka lebar!
"Ti...
tidak... mungkin...!" Pendekar sakti ini berbisik sambil menggoyang
kepalanya untuk mengusir pandangan yang tidak semestinya itu.
Dia tadi
melihat sendiri betapa pertolongan Lie Kong Tek agak terlambat, betapa sebelum
terlempar, pedang itu telah menggorok leher Bu Li Cun dan betapa leher itu
telah terluka, terkuak lebar dengan darah muncrat-muncrat dan gadis itu telah
menghembuskan napas terakhir di dalam pelukan Lie Kong Tek!
"Hemm,
Thian Hwa Cinjin! Lagi-lagi kau hendak mengelabui para tamu yang terhormat ini
dengan ilmu sulapmu! Gadis itu jelas telah tewas, membunuh diri dengan pedang
karena sudah kau perlakukan hal yang terkutuk atas dirinya. Cu-wi sekalian
harap jangan mudah dikelabui dan lihatlah baik-baik. Bu Li Cun sudah tewas
membunuh diri! Darahnya pun belum kering!" Hong Khi Hoatsu berteriak,
suaranya juga mengandung getaran hebat dan kedua tangannya dengan jari terbuka
didorongkan ke depan, ke arah Bu Li Cun dan... terdengar teriakan-teriakan di
sana-sini ketika semua mata, termasuk mata Cia Keng Hong, melihat gadis itu
benar-benar telah menjadi mayat dengan luka besar di leher dan darahnya masih
mengalir keluar, sedangkan Lie Kong Tek dengan muka pucat dan alis berkerut
memangku dan memandang gadis itu.
Thian Hwa
Cinjin menjadi marah bukan main. Kembali ilmu sihirnya yang digunakan untuk
menyelamatkan nama dan dirinya, sudah digagalkan oleh kakek aneh yang muncul
tanpa diduga-duganya dalam pesta pernikahan yang sudah diaturnya itu. Dengan
alis berkerut dan mata mengeluarkan sinar berapi-api dan penuh kekuatan sihir
dia menghadapi Hong Khi Hoatsu dan membentak, "Pendeta yang lancang
mencampuri urusan orang! Siapakah engkau dan apa sebabnya engkau memusuhi
kami?"
Hong Khi
Hoatsu menggeleng-gelengkan kepalanya yang ditutup kopyah bayi itu sambil
tersenyum dan menjawab, "Thian Hwa Cinjin, engkau sudah menggunakan
julukan Cinjin, namun ternyata masih mengumbar nafsu angkara murka serta gila
akan kedudukan dan kemuliaan duniawi! Ketahuilah, aku disebut orang Hong Khi
Hoatsu, pekerjaanku hanya bertapa. Akan tetapi karena melihat betapa tunangan
dari muridku itu sudah diculik oleh anak buah Pek-lian-kauw, terpaksa aku turun
gunung dan mencarinya. Jejaknya menuju ke sarangmu ini dan ternyata benar bahwa
tunangan muridku itu sudah diculik oleh orang-orangmu bahkan telah menjadi
korban kebiadabanmu! Hemmm, entah berapa banyaknya wanita baik-baik yang
menjadi korban kekejianmu yang kau lakukan mengandalkan nama Pek-lian-kauw dan
mengandalkan ilmu sihirmu yang jahat!"
"Hong
Khi Hoatsu pendeta keparat! Ingatlah kau di mana kau bicara?"
"Ha-ha-ha!
Tentu saja! Aku bicara di depan Ketua Pek-lian-kauw bagian timur, berada di
sarang Pek-lian-kauw dan tengah dikepung oleh para anak buah Pek-lian-kauw! Dan
baru sekarang aku tahu, juga para enghiong yang hadir di sini tentu tahu bahwa
Pek-lian-kauw yang dikenal sebagai perkumpulan pejuang rakyat itu sesungguhnya
hanya ditunggangi oleh orang-orang jahat sehingga berubah menjadi perkumpulan
orang-orang jahat yang pekerjaannya merampok harta benda, menculik wanita, dan
memberontak untuk mengejar kedudukan."
"Keparat!"
Thian Hwa Cinjin membentak, tidak dapat menahan kemarahannya, kemudian memberi
tanda dengan tongkatnya sebagai aba-aba untuk menyerbu.
Anak buah
Pek-lian-kauw yang sudah mengurung tempat itu segera berteriak-teriak dan
menerjang maju.
"Manusia
busuk berkedok nama rakyat pejuang! Engkau harus mampus!" Cia Keng Hong
sudah menerjang ke depan dan menyambut gerakan Thian Hwa Cinjin yang tadi masih
menyerang ke arah Hong Khi Hoatsu.
"Trakk!
Plak!"
Tubuh Thian
Hwa Cinjin terhuyung ke belakang pada waktu tongkatnya bertemu dengan
Siang-bhok-kiam, berbareng dengan telapak tangan kirinya disambut oleh telapak
tangan Cia Keng Hong. Terkejutlah Thian Hwa Cinjin.
Dia sudah
lama mendengar nama besar Cia Keng Hong sebagai Ketua Cin-ling-pai yang berilmu
tinggi sekali. Memang dia sudah merasa gentar mendengar nama besar pendekar
ini, akan tetapi dia menjadi besar hati karena dia mengandalkan kekuatan
sihirnya untuk mengatasi pendekar sakti itu.
Namun
sekarang di samping Cia Keng Hong terdapat Hong Khi Hoatsu yang agaknya
merupakan seorang ahli dalam ilmu sihir sehingga beberapa kali ilmu sihirnya
melempem dibikin buyar dan punah oleh Hong Khi Hoatsu. Terpaksa dia tidak mau
menggunakan ilmu sihir lagi, karena kalau Hong Khi Hoatsu maju menghadapi ilmu
sihirnya, berarti dia dikeroyok dua dan harus memecah kekuatan sinkang-nya
Dengan nekat
dia lalu memutar tongkatnya dan mengeluarkan ilmu tongkatnya yang amat dahsyat
sehingga Cia Keng Hong yang mengenal lawan tangguh tak memandang rendah
kepadanya. Segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang sakti itu.
Sedangkan
Hong Khi Hoatsu yang maklum bahwa keselamatan Cia Keng Hong tentu terancam apa
bila dia tidak berjaga-jaga untuk melawan ilmu sihir Ketua Pek-lian-kauw, hanya
menonton di pinggir sambil kadang-kadang menggunakan kaki tangan merobohkan
anggota Pek-lian-kauw yang berani mencoba untuk menyerangnya.
Dia tidak
berani ikut menyerang Thian Hwa Cinjin, karena dalam beberapa jurus saja kakek
yang ahli dalam ilmu sihir ini maklum bahwa dibandingkan dengan kedua orang
yang sedang bertempur itu, tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh sehingga
bantuannya tidak akan ada artinya, bahkan akan mengacaukan gerakan serangan
Ketua Cin-ling-pai itu.
Kini keadaan
para tamu menjadi berbalik. Kalau tadinya orang-orang yang memihak pada
Pek-lian-kauw jumlahnya jauh lebih banyak, sekarang mereka sebagian besar
membalik dan menentang Pek-lian-kauw! Mengapa demikian?
Sebagian
besar tamu yang hadir adalah orang-orang kang-ouw dan tadinya mereka suka
bekerja sama dengan Pek-lian-kauw bukan semata-mata karena perkumpulan ini royal
dalam menjamu dan menghormati mereka, melainkan karena mereka sungguh-sungguh
menganggap bahwa Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pejuang rakyat yang menentang
pemerintah lalim dan membela rakyat tertindas.
Sekarang
barulah terbuka mata mereka, dan mereka sudah melihat bukti betapa kejinya
Ketua Pek-lian-kauw yang menyuruh anak buahnya menculik gadis lalu
memperkosanya! Setelah melihat kenyataan ini, dan sebagai pendekar-pendekar
gagah di dunia persilatan, tentu saja mereka tak sudi lagi bersekutu dengan
kakek keji itu. Maka kini sebagian besar di antara mereka berpihak kepada Cia
Keng Hong dan menyambut serbuan para anak buah Pek-lian-kauw!
Tentu saja
di antara para tamu masih ada juga yang memihak Pek-lian-kauw dan mereka ini
memanglah orang-orang dari golongan sesat yang terdiri dari perampok, bajak,
serta orang-orang yang tak pernah merasa segan melakukan perbuatan jahat demi
mengumbar hawa nafsu mereka.
Anggota
Pek-lian-kauw yang kebetulan berada di situ dan kini maju menyerbu berjumlah
kurang lebih seratus orang dan setelah ditambah dengan para tamu golongan sesat
yang membela mereka, maka jumlah mereka antara seratus dua puluh lima orang!
Sedangkan pihak yang menjadi lawan mereka hanya berjumlah kurang lebih empat
puluh orang saja.
Karena itu,
dengan perimbangan kekuatan yang berat sebelah ini, setiap orang kang-ouw akan
dikeroyok oleh dua atau tiga orang Pek-lian-kauw, padahal di antara para
anggota Pek-lian-kauw terdapat pula banyak tokoh yang berilmu tinggi.
Terdesaklah mereka yang menentang Pek-lian-kauw dan sudah beberapa orang yang
roboh terluka sungguh pun di pihak Pek-lian-kauw juga banyak yang terluka.
Lie Kong Tek
mengangkat mayat tunangannya lalu merebahkannya di tempat yang aman, kemudian
bagaikan seekor harimau kelaparan, pemuda tinggi besar yang sangat berduka dan
marah ini mengamuk. Sepak terjangnya menggiriskan para anggota Pek-lian-kauw
dan baru sesudah dia dikeroyok oleh lima orang pimpinan Pek-lian-kauw tingkat
rendah, terjangan pemuda ini dapat dibendung dan terjadilah pertempuran yang
sangat seru dan mati-matian.
Pertandingan
antara Thian Hwa Cinjin dan Cia Keng Hong juga berlangsung dengan amat hebatnya
sehingga Hong Khi Hoatsu yang menonton sambil menjaga kalau-kalau Ketua
Pek-lian-kauw itu berlaku curang mempergunakan sihirnya, menjadi sangat kagum.
Baru sekali selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan ilmu silat yang
sedemikian hebat dan bermutu. Diam-diam dia merasa bersyukur bahwa di saat itu
muncul pendekar Ketua Cin-ling-pai ini, karena bila tidak demikian, dia sulit dapat
percaya apakah Yap Kun Liong yang diandalkannya itu akan mampu menandingi Ketua
Pek-lian-kauw yang sedemikian lihainya!
Bagi Cia
Keng Hong sendiri yang selama belasan tahun ini baru beberapa kali bertanding
melawan datuk-datuk kaum sesat pada saat dia membantu pemerintah membasmi kaum
pemberontak, kini merasa menemukan lawan yang benar-benar tangguh sekali. Ketua
Pek-lian-kauw wilayah timur ini ternyata masih lebih lihai dari pada lima datuk
kaum sesat yang pernah dilawannya!
Sesudah dia
menggerakkan Pedang Kayu Harum di tangannya itu dengan ilmu pedang yang khas
untuk pedang itu, yaitu Siang-bhok Kiam-sut, serta mendasari gerak kaki dan
tangan kirinya dengan Thai-kek Sin-kun, sesudah lewat seratus jurus barulah dia
mampu mendesak Thian Hwa Cinjin yang sekarang mundur-mundur dan baru berhasil
membalas setiap tiga kali serangan lawan dengan satu serangannya sendiri yang
tidak begitu berarti. Padahal setiap serangan yang dilancarkan lawannya, baik
dengan Pedang Kayu Harum itu mau pun dengan pukulan tangan kiri yang terbuka,
sangat dahsyat dan membuatnya mengeluarkan keringat dingin dan terus main
mundur.
Tiba-tiba
terdengar sorak-sorai dan berbondong-bondong masuklah banyak orang melalui
pintu gerbang Pek-lian-kauw. Dapat dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Keng
Hong, Hong Khi Hoatsu, dan para orang kang-ouw yang menentang Pek-lian-kauw
saat puluhan orang yang baru datang itu serta merta membantu pihak
Pek-lian-kauw dan menyerang mereka! Bahkan kini Keng Hong sendiri langsung
diserang oleh seorang pemuda tampan yang berpedang ular dan memiliki ilmu silat
lihai sekali!
Pemuda ini
bukan lain adalah Ouwyang Bouw! Dia telah datang bersama isterinya, yaitu Lauw
Kim In, dan Marcus bekas anak buah Legaspi Selado diiringkan oleh hampir
seratus orang anak buahnya!
Seperti
sudah diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan Ouwyang Bouw memimpin para
pemberontak Mongol kemudian membentuk Pasukan Tombak Maut. Bersama-sama dengan
Marcus yang ikut pula menggabungkan diri dengan mereka, pasukan ini hendak
bergabung dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak terhadap pemerintah.
Pertempuran
yang sudah berat sebelah itu menjadi semakin tidak berimbang lagi ketika
Pasukan Tombak Maut turut menyerbu dan membantu Pek-lian-kauw! Kini setiap
orang dikeroyok oleh banyak lawan.
Cia Keng
Hong sendiri selain harus menghadapi Thian Hwa Cinjin dan Ouwyang Bouw juga
diserang oleh Lauw Kim In yang membantu suaminya. Namun pendekar Cin-ling-pai
ini ternyata hebat sekali kepandaiannya. Dengan marah Siang-bhok-kiam di
tangannya bergerak seperti kilat, tampak sinar hijau menyambar-nyambar dan...
Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In berteriak kaget, mencelat mundur karena pundak
mereka berdarah tercium sinar pedang Siang-bhok-kiam!
Mereka
merasa terkejut dan penasaran sekali. Mereka adalah orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi, akan tetapi hanya dalam beberapa gebrakan saja sudah terluka
oleh lawan Ketua Pek-lian-kauw ini!
"Ji-wi,
berhati-hatilah! Ketua Cin-ling-pai ini lihai sekali ilmu pedangnya!"
Thian Hwa Cinjin yang sudah mengenal Owyang Bouw berkata memperingatkan.
Diam-diam
Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In terkejut sekali. Terutama sekali Lauw Kim In. Jadi
inikah pendekar sakti yang selama ini dipuji-puji subo-nya dan selama ini
merupakan nama yang dia junjung tinggi? Ada pun Ouwyang Bouw juga terkejut
karena tentu saja dia sudah mengenal nama Ketua Cin-ling-pai.
Dia tahu
bahwa pendekar yang sakti ini bernama Cia Keng Hong dan menjadi sahabat baik
serta selalu membantu gerakan Panglima Besar The Hoo dalam menghadapi para
pemberontak. Bersama Panglima The Hoo, pendekar ini telah mengobrak-abrik
beberapa sarang pemberontak seperti di Telaga Setan (Kwi-ouw), Pulau Ular, dan
lain tempat lagi. Bahkan datuk hitam Toat-beng Hoatsu yang lihai itu kabarnya
tewas di tangan Panglima The Hoo, sedangkan ayahnya sendiri, Ban-tok Coa-ong
Ouwyang Kok, tewas di tangan Cia Keng Hong. Sekarang, pendekar ini kembali
telah menyerbu Pek-lian-kauw!
Dengan hati
giras Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In maju lagi, sekarang lebih berhati-hati
mengeroyok Cia Keng Hong. Sementara itu, Hong Khi Hoatsu yang bantu-membantu
dengan muridnya, Lie Kong Tek, dikeroyok oleh Marcus beserta belasan orang
pimpinan Pek-lian-kauw dan jagoan-jagoan Mongol. Guru dan murid ini saling
beradu punggung dan melawan mereka mati-matian.
"Cia
Keng Hong, berlututlah kau... lihat naga saktiku hendak menelanmu!"
tiba-tiba saja terdengar bentakan Ketua Pek-lian-kauw.
Cia Keng
Hong maklum bahwa lawannya mempergunakan sihir. Dia sudah mengerahkan
sinkang-nya untuk melawan pengaruh itu, namun karena tadi dia mau memandang
muka kakek itu sehingga sinar matanya bertaut dengan sinar mata penuh kekuatan
mukjijat itu, pendekar ini tidak mampu menahan kakinya yang seperti memaksa
diri berlutut!
"Cia-taihiap,
bangkitlah!" Pekik nyaring ini keluar dari mulut Hong Khi Hoatsu.
Walau pun
dia sedang dikeroyok banyak lawan, kakek ini masih memperhatikan keadaan Keng
Hong sehingga menolongnya dari pengaruh sihir lawan. Seketika Keng Hong sadar
dan dengan pekik melengking nyaring sekali dia menerjang maju, pedangnya
berkelebat.
"Trangg-tranggg...
krekkk!"
Pedang di
tangan Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In terpental hingga hampir terlepas dari
pegangan, sedangkan ujung tongkat hitam di tangan Thian Hwa Cinjin patah. Kakek
ini merasa kaget sekali sehingga dia meloncat ke belakang dengan muka pucat.
"Kalian
berani melawan aku? Lihat, aku adalah Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)
dari langit! Hayo kalian berlutut! Hayo kalian berlutut!" Hong Khi Hoatsu
membentak dan semua pengeroyoknya, kecuali Marcus berlutut dengan taat!
Mengapa
Marcus tidak terpengaruh oleh bentakan yang mengandung kekuatan mukjijat ini?
Hal ini adalah karena Marcus belumlah begitu paham dengan bahasa Han sehingga
bentakan yang dikeluarkan di antara suara hiruk-pikuk pertempuran itu tidaklah
terdengar jelas olehnya dan karenanya dia pun tidak terpengaruh.
Akan tetapi
melihat betapa semua temannya berlutut, dia terkejut sekali dan sebelum dia
sempat mengelak, Hong Khi Hoatsu sudah berhasil menotoknya roboh. Kakek ini
segera berteriak, "Cia-taihiap, Kong Tek, dan Cu-wi sekalian, mari kita
pergi!"
Teriakan ini
segera menyadarkan Cia Keng Hong dan yang lain-lain bahwa tiada gunanya melawan
terus menghadapi jumlah lawan yang jauh lebih banyak itu. Terlebih lagi yang
menjadi pokok persoalan, yaitu Nona Cia Giok Keng, kini sudah pergi dari situ
mengejar pengantin pria tadi.
"Pergi...!"
Terdengar teriakan-teriakan mereka.
Cia Keng
Hong maklum bahwa beberapa kali dia ditolong oleh Hong Khi Hoatsu, maka dia
lalu memutar Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga tiga orang pengeroyoknya
terpaksa bergerak mundur. Kesempatan ini dia pergunakan untuk meloncat jauh ke
arah Lie Kong Tek yang terdesak hebat oleh para pengeroyoknya.
"Singgg...
tranggg... krek-krek-krekkk!"
Senjata-senjata
para pengeroyok Lie Kong Tek patah-patah sehingga mereka terpaksa mundur,
memberi kesempatan kepada Lie Kong Tek untuk lolos dari kepungan. Mereka berdua
lalu meloncat ke dekat Hong Khi Hoatsu, lalu bersama para tokoh kang-ouw yang
tadi ikut menentang Pek-lian-kauw mereka mulai mundur.
Pihak
Pek-lian-kauw mengejar, akan tetapi mendadak Hong Khi Hoatsu berteriak nyaring
dan aneh sekali bagi para pengejar itu, tiba-tiba saja tampaklah awan hitam
yang tebal bergerak turun dan membuat pemandangan menjadi gelap. Tentu saja
mereka menjadi bingung dan tidak melihat lagi ke mana orang-orang kang-ouw itu
melarikan diri.
Setelah
Thian Hwa Cinjin yang mengerahkan ilmunya juga memekik nyaring, awan hitam itu
lenyap, akan tetapi para musuh juga sudah lenyap. Mereka itu melarikan diri
dengan berpencaran sehingga sukarlah untuk mengejar.
"Jangan
kejar!" Thian Hwa Cinjin berseru.
Kakek ini
maklum bahwa dengan berpencar, pengejaran menjadi berbahaya sekali karena
kekuatan anak buahnya menjadi terpecah-pecah pula sedangkan pihak musuh
demikian lihainya, terutama Ketua Cin-ling-pai tadi. Masih ngeri dia memikirkan
kehebatan Pedang Kayu Harum di tangan Cia Keng Hong yang membuat ujung tongkat
wasiatnya sampai patah.
Semua orang
tentu saja mentaati Perintah Ketua Pek-lian-kauw dan berbondong mereka memasuki
kembali markas Pek-lian-kauw dan para anak buahnya merawat teman-teman yang
terluka. Pihak orang-orang kang-ouw yang terluka juga tidak ada lagi karena
mereka sudah dibawa lari oleh teman masing-masing. Sedangkan para orang
kang-ouw yang tadi membantu mereka, dipersilakan masuk ke ruangan tamu kemudian
dijamu sebagai tanda terima kasih Pek-lian-kauw dan untuk mengikat hati mereka
supaya selanjutnya menjadi sekutu mereka.
***************
Sementara
itu, dalam pelarian yang dilakukan secara berpencaran tadi, Cia Keng Hong tetap
berlari bersama Hong Khi Hoatsu dan Lie Kong Tek. Di tengah perjalanan Lie Kong
Tek berkata, "Terima kasih kepada Cia-locianpwe yang telah membantu saya
tadi."
Mereka
berhenti berlari karena tidak ada yang mengejar, dan andai kata ada juga yang
mengejar, asalkan jumlah lawan itu tidak terlalu banyak, tentu akan mereka
basmi dengan mudah.
"Tidak
perlu berterima kasih, bahkan maafkan atas sikapku tadi ketika engkau membela
anakku. Engkau memang benar!" Berkata Cia Keng Hong dengan muka agak
merah.
Dia teringat
betapa tadi hampir membunuh pemuda ini, yang telah mati-matian membela Giok
Keng biar pun sama sekali tidak mengenalnya. Kemudian ternyata bahwa pemuda ini
dan gurunya yang telah menolong dia, dan telah menyadarkan Giok Keng. Andai
kata tidak ada guru dan murid ini, entah apa jadinya, akan tetapi yang jelas,
Giok Keng akan menjadi korban kekejian Pek-lian-kauw dan Liong Bu Kong,
sedangkan dia sendiri tentu tidak terluput dari mala petaka.
"Kalau
mau bicara tentang budi, akulah yang berhutang budi kepada gurumu, dan juga
kepadamu, orang muda!"
"Ha-ha-ha-ha-ha,
Cia-taihiap mengapa menjadi begini sungkan-sungkan? Di antara orang sendiri
yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan,
bantu-membantu merupakan hal yang lumrah, bahkan sudah semestinya! Kalau tadi
tidak ada Cia-taihiap, juga kalau tak ada Yap-sicu yang keduanya memiliki ilmu
kepandaian setinggi langit, mana kami mampu menghadapi orang-orang
Pek-lian-kauw itu?"
Mendengar
disebutnya nama Yap Kun Liong, Cia Keng Hong teringat akan puterinya, maka
sambil menjura dia berkata, "Sekarang saya hendak pergi menyusul dan
mencari puteriku, kita terpaksa berpisah di sini. Saya harap saja bila ada
waktu dan kesempatan, Hoatsu sudi memberi kehormatan kepada saya dengan
mengunjungi Cin-ling-san."
Hong Khi
Hoatsu mengangkat tangannya ke atas sambil berkata, "Nanti dulu, Taihiap.
Saya mempunyai niat hati yang perlu saya kemukakan kepada Taihiap."
"Ada
petunjuk apakah yang Hoatsu hendak berikan kepadaku?" jawab Cia Keng Hong
sambil memandang tajam.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment