Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 20
Li Hwa yang
besembunyi di atas pohon, memandang dengan sepasang alis berkerut. Dia tidak
merasa ngeri menonton pertempuran karena gadis ini sudah sangat terbiasa dengan
pertempuran dan perang, apa lagi dia sendiri sudah sering kali menghadapi
pertandingan. Akan tetapi yang membuat dia merasa ngeri dan canggung karena
malu adalah melihat betapa Sanghida bertanding dengan tubuh telanjang bulat!
Selama
hidupnya belum pernah dia melihat laki-laki telanjang dan kini dia melihat
seorang laki-laki tinggi besar bertelanjang bulat dan berkelahi pula! Kalau
saja mungkin, dia ingin menjauhkan pandang matanya dari tubuh bawah laki-laki
telanjang itu, akan tetapi karena dia ingin pula melihat bagaimana kesudahan
perkelahian itu, terpaksa dia menonton terus dan sedapat mungkin selalu
menghindarkan pandang matanya dari bagian yang dianggap mendatangkan rasa malu
luar biasa itu.
"Rajid...
aku tidak mau bertanding melawanmu. Aku telah bersalah kepadamu, kau adalah
sahabatku dan... dan Madhula..."`
"Tutup
mulutmu!" Rajid membentak dan goloknya sudah menyambar lagi.
"Singgg...!"
Sinar
menyilaukan mata dari golok itu agaknya tentu akan dapat membabat tubuh tinggi
besar itu buntung menjadi dua kalau mengenai sasaran, akan tetapi Sanghida
ternyata amat tangkasnya. Kini menghadapi penyerangan lawan yang memegang
golok, biar pun tingkat kepandaiannya lebih tinggi, dia terpaksa harus
mempergunakan kedua tangannya sehingga dia sama sekali tidak lagi dapat
menutupi bagian tubuh bawahnya. Tentu saja hal ini mendatangkan penglihatan yang
luar biasa lucu bagi para penonton pria, akan tetapi mendirikan bulu roma bagi
Li Hwa!
"Rajid...
maafkan aku...! Aku seorang laki-laki sejati, harus membela diri kalau
diserang... dan kami... aku dan Madhula... kami melakukan hal itu tanpa kami
sengaja..."
"Siuuutttt...
plak! Plak!"
Sambil
mengelak, Sanghida berhasil menampar lengan kanan Rajid sehingga sambaran golok
menyeleweng dan tamparan ke dua mengenai pundak Rajid, membuat suami yang penuh
cemburu dan kemarahan ini terhuyung pula.
"Sanghida…!
Engkau atau aku yang harus mampus untuk mendapatkan Madhula!" Rajid
membentak pula. "Kalau aku mati, kau boleh mengambil dia, kalau kau yang
mati, dia harus kuhukum mampus pula!"
"Rajid...!
Kau boleh membunuh aku, tapi jangan membunuh dia! Dia tak berdosa... seperti
yang dikatakannya tadi, kami terkena racun perangsang... auuhhh...!"
Tiba-tiba Sanghida terhuyung ke belakang dan Rajid menubruk ke depan, goloknya
menyambar.
"Crapppp....
Aduuhhh...!"
Perut
Sanghida terobek oleh golok, tubuhnya terjengkang dan darah muncrat keluar dari
perut itu, diikuti oleh isi perut yang keluar dari luka lebar itu. Tubuh
Sanghida berkelojotan, tetapi tidak lama karena Rajid telah membacokkan
goloknya dua kali yang membuat leher lawannya putus!
Li Hwa
melihat betapa Ouwyang Bouw tadi telah menyerang Sanghida dari jauh, dengan
gerakan jari tangan dan tampak sinar merah kecil menyambar ke arah orang Nepal
tinggi besar itu sehingga dia terhuyung lantas terkena bacokan golok Rajid.
Tahulah Li Hwa bahwa memang Ouwyang Bouw sengaja ingin membunuh Sanghida dan
mungkin sekali karena dia tidak suka mendengar rahasianya dibocorkan.
Li Hwa yang
menjadi penonton tak diundang ini segera dapat menyimpulkan peristiwa itu.
Jelas baginya bahwa memang agaknya semua ini sudah diatur oleh pemuda iblis
itu.
Mungkin
betul pula tuduhan Madhula yang cantik bahwa telah berkali-kali Ouwyang Bouw membujuk
rayunya, akan tetapi selalu ditolak oleh isteri Rajid itu. Hal ini lantas
membuat Ouwyang Bouw menjadi sakit hati dan dengan curangnya pemuda itu lalu
menaruh racun perangsang ke dalam makanan atau minuman Sanghida dan Madhula
sehingga terjadilah perjinahan di antara mereka, perjinahan di luar kesadaran
mereka yang terpengaruh oleh racun, pada saat Rajid disuruh berjaga oleh
Ouwyang Bouw. Tentu saja pemuda iblis ini sudah mengatur perangkapnya dan
begitu kedua orang mabok itu melakukan perjinahan, dia menangkap basah mereka!
Semua orang
yang menonton kelihatan puas dengan pertunjukan kekejaman ini, dan Li Hwa
bergidik melihat wajah mereka yang seakan-akan haus darah dan kini semua mata
ditujukan kepada tubuh telanjang Madhula laksana serombongan serigala
kelaparan. Dia sedang berhadapan dengan orang-orang yang telah mati perasaan
kemanusiaan mereka, manusia-manusia yang haus darah dan yang menganggap
kekejaman merupakan suatu kesenangan yang mengasyikkan. Maka timbullah perasaan
kasihan kepada wanita yang bernasib malang itu.
Li Hwa
adalah seorang yang masih amat muda, maka tentu saja perasaannya amat halus dan
mudah tersinggung. Ketika melihat peristiwa ini di depan mata, dia telah
melupakan tugasnya, tugas sebagai seorang penyelidik yang ingin menyelidiki
tentang bokor emas. Sekarang baginya yang terpenting hanyalah urusan yang
terjadi di depan matanya, yaitu menolong Madhula!
Kelemahannya
sebagai seorang muda inilah yang mengkhawatirkan hati Panglima The Hoo dan
Pendekar Cia Keng Hong ketika mendengar bahwa dara itu pergi melakukan
penyelidikan seorang diri, sungguh pun mereka juga tahu bahwa ilmu kepandaian
dara itu sudah cukup tinggi untuk bekal penyelidikan berbahaya itu.
Madhula
roboh telentang menyaksikan kematian Sanghida yang demikian menyedihkan. Dia
tidak mencinta laki-laki tinggi besar itu. Dia mencinta suaminya, dan karena
cintanya ini pula maka tidak seperti kaum wanita lainnya di pulau itu yang
bahkan mengharapkan rayuan Ouwyang-kongcu, dia menolak godaan pemuda itu.
Akan tetapi
dia pun tahu kini bahwa Sanghida mencintanya. Sahabat baik suaminya dan dia itu
sesungguhnya mencintanya, dan kini menjadi korban karena kelicikan Ouwyang
Bouw. Semua mata para penonton kini dapat berpesta pora dan melahap tubuh
wanita cantik yang telentang polos itu, tidak terlindung lagi oleh kedua
lengannya.
"Perempuan
hina ini pun harus mampus!" Rajid yang bagaikan kemasukan setan karena
dendam dan cemburu segera mengangkat goloknya membacok ke arah tubuh isterinya
yang biasanya merupakan sebuah benda hidup yang paling disayangnya di dunia
ini.
"Singg...
tringggg…!"
Golok itu
terlempar ketika terbentur oleh sebuah batu kecil yang dilemparkan oleh tangan
Ouwyang Bouw. Melihat ini, Li Hwa menjadi kagum dan maklumlah dia bahwa pemuda
itu merupakan lawan yang tak lemah!
"Ehh...
Ouwyang-kongcu... kenapa...?" Rajid memandang pemuda itu dengan mata penuh
penasaran.
"Heh-heh,
sabarlah, Rajid. Memang dia harus dihukum, akan tetapi hukuman seperti yang
hendak kau lakukan itu kurang menarik. Pokoknya engkau menghendaki dia mati,
bukan? Nah, biarlah dia dihukum dengan caraku dan panggil semua wanita ke sini
agar mereka ikut menyaksikan pula betapa berat hukuman bagi mereka yang berani
melanggar hukum kami di sini!"
Rajid
mengangguk-angguk dan beberapa orang laki-laki sudah berlari memanggil semua
wanita yang berada di pulau itu. Hanya ada dua puluh orang wanita tua dan muda
yang datang ke situ dengan muka pucat. Para suami merasa girang, dengan hal ini
mengharap isteri-isteri mereka takut dan tidak berani berjinah dengan laki-laki
lain. Akan tetapi, para wanita yang memandang dengan muka pucat itu mempunyai
pengertian lain pada waktu mendengar kata-kata Ouwyang-kongcu.
"Kalian
lihatlah. Beginilah nasib wanita yang berani melanggar hukum kami di
sini!" kata Ouwyang-kongcu sesudah menyuruh Rajid mengikat tubuh telanjang
Madhula di sebuah tiang, diikat kaki serta tangannya pada tiang itu sehingga
tubuh bagian depannya tampak nyata, sedikit pun tidak terlindung, kecuali
rambut hitam panjang terurai yang sebagian menggantung ke depan. Para wanita
itu dapat mengerti bahwa yang dimaksudkan oleh Ouwyang-kongcu, hukuman ini akan
jatuh menimpa wanita yang berani menolak majikan muda itu!
Ouwyang Bouw
yang agak miring otaknya itu memang mempunyai kegemaran yang aneh dan
mengerikan. Dia sudah tergila-gila oleh wanita, baik cantik mau pun tidak
cantik. Dia pernah tergila-gila oleh seorang wanita nenek-nenek, bahkan pernah
pula dia tergila-gila pada seorang anak perempuan yang masih kecil! Dan mereka
semua harus menyerahkan diri kepadanya!
Dia sama
sekali tidak pernah memperkosa, dia tak mau memperkosa wanita. Akan tetapi dia
mempunyai cara lain untuk membuat setiap orang wanita tunduk kepadanya dan mau
menyerahkan diri, yaitu dengan ancaman dan bayangan penyiksaan yang mengerikan.
Hampir semua
wanita, besar kecil, tua muda yang menyerah kepadanya tentu didorong oleh rasa
takut dan ngeri, bukan secara suka rela karena biar pun wajahnya tampan dan
tubuhnya menarik, namun sikap pemuda ini terang menunjukkan gejala otak miring
yang mendatangkan rasa ngeri dan menjijikkan!
Madhula
masih pingsan pada saat Ouwyang-kongcu mengeluarkan sebatang suling kecil yang
panjangnya hanya dua jengkal. Mulailah pemuda itu menyuling. Suara suling yang
melengking dengan nada tinggi membuat Li Hwa terkejut karena dia maklum bahwa
suara melengking yang menggetar itu mengandung tenaga khikang yang kuat sekali.
Dia melihat
betapa semua penonton sekarang berkumpul di belakang Ouwyang-kongcu,
seakan-akan menanti sesuatu dengan penuh ketegangan. Ada pun tubuh Madhula yang
diikat pada tiang itu pun menghadap kepada mereka, sedangkan mayat Sanghida
yang berlumuran darah menggeletak tak jauh diri kaki Madhula.
Sebelum ular
itu tiba, Li Hwa sudah dapat menduga dengan hati diliputi penuh kengerian bahwa
suara dari suling yang ditiup pemuda iblis itu tentulah merupakan tanda
panggilan kepada ular-ularnya. Hal ini tidak sulit diduga karena pertama,
pemuda itu adalah putera Si Raja Ular! Ke dua, mereka berada di Pulau Ular, dan
memang biasanya para ahli ular mengundang ular-ular mereka dengan suara
melengking tinggi, biasanya suara suling.
Memang tepat
dugaan Li Hwa. Akan tetapi ketika ular-ular itu datang, biar pun dia sudah menduganya,
dia menjadi kaget bukan main karena tidak menyangka bahwa yang datang demikian
banyaknya! Rombongan demi rombongan ular berdatangan dari empat penjuru, dan
warna kulit mereka pun berbeda-beda, ada yang hitam kemerah-merahan, ada yang
hijau, kuning, dan ada yang belang-belang. Biar pun Li Hwa tidak mengenal
banyak ular, namun dia dapat menduga bahwa ular-ular itu tentulah ular berbisa
yang amat berbahaya.
Ular-ular
yang lewat di dekat Ouwyang-kongcu dan anak buahnya kelihatan takut seperti
menghadapi api, dan binatang yang merayap dekat cepat menyingkir lantas
mengambil jalan memutar. Sesudah ular-ular itu tiba di tempat itu, Li Hwa
hampir tidak kuat melihat lebih lama lagi.
Ular-ular
yang mendesis-desis itu kini berebut menyerang mayat Sanghida, melahap dan
merobek-robek mayat itu sehingga mayat itu seperti hidup kembali karena
bergerak-gerak ke sana sini, seperti berkelojotan. Hanya dalam waktu sebentar
saja habislah semua kulit, daging serta isi perut mayat itu, tinggal rangka
yang kering, tanpa ada setetes pun darah yang tampak karena semua telah dijilat
habis!
Kini
ular-ular itu mulai merayap ke arah Madhula, dan wanita ini pun baru saja
siuman dari pingsannya. Dengan mata terbelalak ia sempat melihat betapa
potongan-potongan daging terakhir dari Sanghida dibuat perebutan ular-ular itu.
Ia pun maklum akan nasibnya, akan tetapi betapa pun ia berusaha untuk
memejamkan kedua matanya menerima maut, kedua mata itu malah selalu terbelalak
dan kembali memandang ke arah ular-ular yang sedang merayap-rayap di
sekelilingnya.
Ular-ular
itu adalah ular-ular kecil, paling besar dua kaki panjangnya dan jumlahnya ada
empat puluh ekor lebih, menggeliat-geliat seperti sekumpulan cacing, akan
tetapi tak ada yang berani menyerang Madhula, agaknya menunggu ‘perintah’ suara
suling yang masih terus melengking sejak tadi.
Memang benar
demikian. Ular-ular itu seolah-olah bergerak menurut getaran suara suling dan
tiba-tiba suara suling itu berubah merendah. Ular-ular itu kelihatan gelisah,
kemudian seekor demi seekor, ular-ular itu pergi meninggalkan tempat itu hingga
membuat semua penonton menjadi heran.
"Mengapa
dia tidak dihukum?" Rajid membanting kaki dan memandang penasaran.
Ouwyang Bouw
telah melepas sulingnya dan sambil memandang ke arah tubuh Madhula dia lalu berkata,
"Kurang menarik apa bila ular-ular kecil yang sudah kenyang itu disuruh
mengeroyok. Dia yang sudah mau berjinah dengan Sanghida, tentu takkan puas
dengan ular-ular kecil itu. Kau lihatlah saja." Sambil berkata dia lalu
menempelkan lubang suling di depan bibirnya.
Kini
terdengar lengking suara suling yang berbeda dari tadi. Suaranya naik turun
dengan nada rendah, namun mengandung getaran yang amat kuat sehingga para
penonton ada yang kelihatan menggigil kedua kakinya.
Tak lama
kemudian terdengarlah suara mendesis-desis. Li Hwa terkejut dan memandang ke
bawah. Seekor ular yang sangat besar sedang merayap lewat di bawah pohon. Dia
menggigil jijik. Ulat ini berkulit hitam kehijauan, sepasang matanya seperti
mata manusia, lidahnya merah menjilat-jilat keluar, besar tubuhnya sama dengan
pahanya, sedangkan panjangnya ada sepuluh kaki!
Madhula juga
telah melihat ular itu dan wanita ini lantas mengeluarkan rintihan panjang,
mukanya makin pucat dan matanya terbelalak, penuh kengerian. Suara suling
menuntun ular itu mendekat dan terdengarlah suara berbisik orang-orang yang
menonton karena tegang dan tertarik ketika melihat betapa dengan perlahan ular
besar itu mendekati tiang di mana tubuh Madhula terikat.
Ular itu
mendesis-desis, lidahnya yang merah semakin sering menjilat-jilat. Melihat
bentuk mulutnya yang besar agaknya dia akan sanggup menelan tubuh wanita Nepal
itu! Suara suling makin meninggi dan kini moncong ular mulai naik dan lidah itu
mulai menjilati kaki yang telanjang.
Madhula
mengeluarkan suara rintihan pada saat merasa betapa ular mulai merayap naik
melalui betisnya! Semua penonton menahan napas, mata mereka memandang melotot
seperti hendak meloncat keluar dari pelupuknya.
Para
penonton menelan ludah penuh nafsu birahi dan gairah saat suara rintihan
Madhula makin sering dan ular itu mentaati suara suling, kini merayapi seluruh
tubuh telanjang itu, membelit-belit hingga tampak seolah-olah ular itu
membelai-belai tubuh Madhula seperti hendak mengajak wanita itu bermain cinta.
Makin hebat suara suling yang ditiup Ouwyang Bouw, semakin cepat ular itu
bergerak-gerak, mengeliat-geliat menyelusuri seluruh tubuh Madhula yang kini
telah memejamkan mata dan merapatkan kedua bibirnya, sama sekali tidak bersuara
lagi.
Li Hwa menunggu
saat baik dan ketika kepala ular itu kebetulan merayap naik dan lebih tinggi
dari kepada Madhula, tangan kirinya bergerak dan tampaklah sinar perak meluncur
ke arah kepala ular itu. Ular itu menggerakkan kepala seperti gila,
berkelojotan dan tanpa disengaja dia mempererat belitannya pada tubuh Madhula.
Kembali ada
sinar perak menyambar dan kepala ular yang sudah ditembusi dua batang jarum
perak itu terkulai, tubuhnya perlahan-lahan melepaskan belitan. Akan tetapi
betapa kagetnya hati Li Hwa ketika dia melihat darah bertetesan dari kedua
bibir Madhula yang dirapatkan. Dia cepat meloncat turun dari atas pohon sambil
berteriak,
"Ouwyang
Bouw manusia iblis yang kejam!"
Ouwyang Bouw
sudah meloncat bangun. Semua pembantunya yang tadi terheran-heran melihat ular
itu menghentikan permainannya bahkan lalu berkelojotan di bawah, kini juga
marah dan sudah siap untuk mengeroyok orang yang menjadi pengacau. Namun ketika
mereka melihat seerang dara yang sangat cantik jelita melayang turun dari atas
pohon, mencabut pedang dan membabat putus belenggu kaki tangan Madhula, mereka
menjadi tercengang dan memandang kagum!
Madhula
membuka mata, membuka mulut, akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar karena
begitu mulutnya dibuka, darah menyembur keluar dan dengan penuh kengerian Li
Hwa maklum bahwa wanita itu telah menggigit putus lidahnya sendiri!
Dalam
keadaan ngeri dan tersiksa, Madhula mengambil keputusan nekat, membunuh diri
dengan menggigit lidahnya. Lidah itu putus di tengahnya, dan tak mungkin
jiwanya dapat tertolong lagi, apa lagi karena dia telah mengeluarkan banyak
sekali darah yang tadi dia paksa menelan darahnya sendiri agar jangan sampai
Ouwyang-kongcu menyelamatkan nyawanya.
Melihat
keadaan wanita itu, Li Hwa yang masih memeluk tubuh yang terguling sesudah
belenggunya terlepas, perlahan-lahan menurunkan tubuh Madhula. Tubuh itu lemas
dan orangnya sudah tidak ingat apa-apa lagi, darah terus mengalir keluar dari
lidahnya yang buntung. Madhula dalam sekarat, seperti juga tubuh ular yang
sekarat, hanya bedanya, kalau tubuh Madhula sama sekali tidak bergerak, tubuh
ular itu berkelojotan, menggeliat-geliat dan darah mengalir keluar dari dua
lubang kecil di antara kedua matanya.
Ouwyang Bouw
tadi juga merasa amat terkejut. Gadis cantik itu telah dapat menyelundup ke
dalam pulau tanpa ada yang tahu, bahkan telah berada di atas pohon tanpa dia
sendiri mengetahuinya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dara cantik itu
tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Apa lagi
ketika dibuktikannya dengan membunuh ularnya menggunakan jarum, ini menjadi
tanda pula bahwa dalam hal penggunaan senjata rahasia jarum dara itu belum
tentu kalah lihai olehnya yang juga mahir menggunakan senjata rahasia jarum
kecil merah yang amat berbisa.
Akan tetapi,
kini Ouwyang Bouw telah dapat menguasai rasa kagetnya. Kedua matanya
terputar-putar menggerayangi seluruh tubuh Li Hwa dan dia tertegun penuh
kekaguman. Seorang dara yang masih muda, seorang perawan yang amat jelita, akan
tetapi juga amat gagah perkasa! Begitu melihat Li Hwa, sekaligus hati Ouwyang
Bouw telah jatuh!
Selama
petualangannya dengan wanita dari segala macam bentuk dan usia, dia merasa
belum pernah dia memperoleh seorang dara muda seperti yang kini berdiri di
hadapannya dengan sikap gagah perkasa itu! Dan dia harus memperolehnya, dengan
cara bagaimana pun juga!
"Aihh,
harap Nona sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan seorang tamu
agung seperti Nona sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana
layaknya!" Ouwyang Bouw berkata sambil melangkah maju dan memberi hormat
dengan menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada.
Diam-diam Li
Hwa merasa terkejut dan terheran. Tak disangkanya bahwa pemuda yang disohorkan
sebagai seorang iblis muda yang kejam dan gila ini ternyata pandai bersikap
demikian sopan-santun seperti seorang terpelajar dan bersusila!
Terseret
oleh sikap yang demikian hormat, otomatis dia pun mengangkat kedua tangan,
membalas penghormatan. Teringat akan hal ini, dia terkejut dan cepat-cepat
menurunkan lagi tangannya. Diam-diam dia maklum betapa berbahaya dan lihainya
pemuda ini yang dengan gerak dan kata-kata sudah dapat menyeretnya!
"Aku
Souw Li Hwa bukan tamu dan tidak mengharap sambutan. Akan tetapi menyaksikan
kekejaman yang biadab tadi, aku tidak mungkin mendiamkannya saja. Bukankah
engkau yang disebut Ouwyang Bouw, pemuda iblis yang gila?"
Walau pun
anak buahnya sudah mengeluarkan suara marah, Ouwyang Bouw tersenyum saja
mendengar makian ini, bahkan memandang semakin kagum dan sesaat kedua bola matanya
seperti lupa untuk berputaran seperti biasa.
"Dugaanmu
benar, Nona Souw Li Hwa. Aku adalah Ouwyang Bouw, majikan muda dari Pulau Ular
ini, dan aku merasa senang sekali dapat berkenalan denganmu. Bolehkah aku
mengetahui apa sebenarnya kehendak Nona memberi kehormatan kepada kami dengan
mengunjungi pulau ini?"
Ditanya
demikian, barulah Li Hwa teringat kemudian terkejut. Celaka! Rusaklah usahanya
menyelidiki bokor emas yang katanya telah dibawa ke pulau itu! Akan tetapi
karena sudah terlanjur, maka dia lalu membentak, "Cih! Siapa sudi
berkenalan denganmu? Aku datang ke sini hendak membunuhmu dan membersihkan
pulau ini dari iblis-iblis semacam kalian dan ular-ular jahat!"
"Hayaaa...!
Dari manakah datangnya nona cantik yang sombong ini?" Tiba-tiba terdengar
seruan orang dan muncullah dua orang kakek yang dipandang oleh Li Hwa dengan
penuh perhatian.
Yang berseru
tadi adalah seorang kakek tua berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi
sekali, tinggi kurus dengan leher panjang sehingga kalau dia bergerak-gerak,
tubuhnya kelihatan seperti seekor ular. Matanya sipit memandang tajam penuh
selidik dan melihat kakek kurus itu, hati Li Hwa tidak ragu lagi menduganya
bahwa tentu kakek inilah Si Raja Ular Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok.
Ada pun
kakek ke dua adalah seorang kakek yang lebih tua lagi, tujuh puluh tahun lebih
usianya, juga tubuhnya tinggi kurus. Kakek ini tidak berkata-kata, hanya
terbatuk-batuk. Rambutnya tidak terpelihara, panjang dan penuh uban, juga
jenggot dan kumisnya tidak terpelihara. Karena pakaiannya sederhana, kakek ini
makin kelihatan jorok (kotor).
Diam-diam Li
Hwa menduga dengan hati penuh ketegangan bahwa tentu kakek ini yang disebut
datuk sesat nomor satu Toat-beng Hoatsu. Tahulah dia bahwa dia telah dikurung
oleh orang-orang jahat yang berlimu tinggi, namun sedikit pun hatinya tidak
merasa takut, bahkan dia tidak mau berpura-pura lagi. Maka dengan sikap gagah
dan suara lantang dia bertanya,
"Apakah
kalian berdua orang tua Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoatsu?"
"Hemmm,
bocah sombong. Engkau sudah mengenal kami. Siapakah engkau dan engkau yang
masih amat muda dan cantik ini mengapa hendak membunuh diri dengan lancang
memasuki Pulau Ular tanpa ijin?" kata Ban-tok Coa-ong, suaranya mengandung
ancaman karena kakek ini telah menjadi marah sekali.
Apa bila ada
orang luar berani memasuki pulaunya tanpa ijin, hal itu selain merupakan
pelanggaran yang harus dihukum mati, juga merupakan penghinaan kepadanya karena
menunjukkan bahwa Si Pelanggar itu memandang rendah kepadanya.
"Ayah,
Nona ini bernama Souw Li Hwa, cantik jelita dan gagah perkasa. Ayah, sekarang
aku mengambil keputusan untuk menikah. Bukankah Ayah sering mengatakan bahwa
aku sudah cukup dewasa untuk menikah dan bahwa Ayah ingin sekali menimang cucu?
Ayah, dia itulah calon isteriku!"
Mendengar
ucapan yang jelas membayangkan kegilaan ini, Li Hwa menjadi marah bukan main.
Dia melangkah maju, menudingkan telunjuk kirinya kepada Toat-beng Hoatsu dan
Ban-tok Coa-ong lalu membentak, "Ban-tok Coa-ong, aku mendengar bahwa engkau
dan Toat-beng Hoatsu sudah merampas bokor emas, maka aku datang untuk minta
kembali bokor emas itu. Mungkin saja Suhu akan suka mengampuni kalian apa bila
kalian mau mengembalikan pusaka itu secara baik-baik kepadaku. Kalian tahu,
kalau Suhu marah dan mendengar kalian tidak mau mengembalikan benda pusaka
milik Suhu itu, kemana pun kalian hendak melarikan diri dan bersembunyi,
akhirnya kalian tentu akan menerima hukuman dari Suhu."
Mula-mula
Ban-tok Coa-ong marah sekali mendengar ucapan nona itu yang dianggapnya
sombong. Akan tetapi ketika mendengar kalimat-kalimat selanjutnya, dia dan
Toat-beng Hoatsu terkejut.
"Kau...
kau murid The Hoo?" Toat-beng Hoatsu bertanya dengan alis berkerut dan
hati masih ragu-ragu. The Hoo adalah seorang panglima besar yang sangat
terkenal sebagai seorang yang memiliki kesaktian hebat. Benarkah dara jelita
yang muda ini muridnya?
"Panglima
Besar The Hoo adalah guruku dan aku menerima tugas dari Suhu untuk minta
kembali bokor emas yang terjatuh ke tangan kalian." Li Hwa menjawab dengan
suara lantang.
Muka Ban-tok
Coa-ong berubah merah. "Bagus, kau kira aku mudah menyerahkan begitu saja?
Bocah lancang yang sombong, jangan kau mempergunakan nama The Hoo untuk
menakut-nakuti Ban-tok Coa-ong!"
"Wuuuuttt...!"
Angin keras
yang dahsyat menerjang ke arah Li Hwa ketika tahu-tahu kakek bertubuh ular itu
telah menyerangnya. Kedua kakinya masih tidak bergeser, akan tetapi tubuh
atasnya melengkung dan kedua tangannya dengan jari terbuka mencengkeram ke arah
dara itu. Panjang tubuh disambung lengan cukup untuk menjangkau dan mencapai
tubuh Li Hwa.
"Ayah,
jangan lukai calon isteriku!" Ouwyang Bouw berseru.
Akan tetapi,
betapa pun lihai serangan itu, dengan mudah saja Li Hwa mengelak dengan gerakan
cekatan sekali, kemudian lengannya bergerak, tangannya mengebut ke samping
mengenai lengan tangan kanan kakek itu.
"Plakkk!"
Walau pun Li
Hwa harus meloncat ke belakang karena pertemuan tenaga itu membuat lengannya
tergetar, akan tetapi juga kakek Raja Ular itu merasa betapa kulit lengannya
panas, tanda bahwa dara muda itu benar-benar memiliki kepandaian hebat dan
tenaga sinkang yang kuat!
Dengan marah
dan penasaran sekali, tanpa mempedulikan seruan puteranya, Ouwyang Kok sudah
hendak menerjang lagi. Akan tetapi Toat-beng Hoatsu segera mendekatinya dan
membisikkan siasatnya,
"Tunggu...
dia merupakan sandera yang baik dan berharga sekali... mungkin dapat ditukar
dengan bokor...!"
Mendengar
ini, Ban-tok Coa-ong menghentikan gerakannya hendak menyerang, lantas dengan
wajah berseri kakek ini menghadapi Li Hwa dan berkata lantang "Nona Souw
Li Hwa. Engkau sanggup menghindarkan seranganku, hal ini saja sudah membuat
engkau cukup berharga untuk bicara denganku. Engkau mengaku murid The Hoo, dan
puteraku jatuh cinta kepadamu. Semua itu baik-baik saja, akan tetapi engkau
harus diuji lebih dulu apakah benar engkau murid The Hoo dan apakah engkau
cukup berharga untuk menjadi mantuku, ha-ha-ha!"
Kakek Raja
Ular itu menggapai kepada seorang Nepal yang tubuhnya tinggi besar seperti
raksasa dan kumis jenggotnya lebat sekali sehingga hampir menutupi seluruh
mukanya, sambil berkata, "Maju dan lawanlah nona ini!"
Orang Nepal
itu menyeringai sehingga tampaklah giginya yang besar-besar, dan dengan sikap
jumawa sekali dia melangkah ke dalam lapangan itu menghadapi Li Hwa. Sengaja
dia mengerahkan tenaga pada kedua kakinya hingga langkahnya seperti langkah
gajah, membuat tanah tergetar setiap kali dia membanting kakinya!
Dapat
dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa mendengar ucapan Ban-tok Coa-ong tadi.
Ucapan itu dianggap amat menghinanya, akan tetapi karena dia pun cukup maklum
bahwa dia berada di sarang harimau dan menghadapi banyak lawan pandai, dia
tidak mau terseret oleh kemarahannya.
Gurunya
pernah mengatakan kepadanya bahwa dalam menghadapi lawan tangguh, yang
terpenting sekali adalah sikap tenang dan sikap tenang ini akan rusak bila
membiarkan diri dikuasai oleh pikiran yang mendatangkan kemarahan, ketakutan,
atau kesombongan. Maka kini menghadapi raksasa Nepal itu, dia bersikap tenang,
sedikit pun tidak merasa takut, juga tidak memandang rendah dan sama sekali
bebas dari kemarahan.
Dengan
sikapnya yang tenang ini, dia dapat memandang tajam dan segera dapat melihat
bahwa lawannya adalah orang yang memiliki tenaga kasar yang amat kuat, dan
otot-otot yang menggembung di seluruh tubuh raksasa ini sudah terlatih. Namun,
sekilas pandang saja Li Hwa sudah dapat menduga kelemahan lawan ini yaitu kelambanan
gerak sehingga dia sudah tahu bahwa untuk mengalahkannya dia harus mengandalkan
kecepatannya.
Dengan
pikiran ini, tanpa memberikan kesempatan kepada lawan untuk menyerangnya, Li
Hwa sudah menerjang maju dan mengirim dua kali pukulan beruntun ke arah dada
dan lambung. Gerakannya cepat bukan main karena dara ini telah mempergunakan
jurus Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat. Dua pukulan yang dilakukan kedua
tangan itu mengandung dua macam tenaga keras dan lembut, akan tetapi keduanya
amat berbahaya karena yang keras dapat meremukkan tulang, dan yang lembut dapat
merusak urat syaraf!
"Plakk!
Blukk!"
Li Hwa
terkejut bukan main karena kedua pukulannya, baik yang mengandung tenaga
Yang-kang (keras) mau pun Im-kang (lembut) telah bertemu dengan kulit dada dan
kulit lambung yang kerasnya seperti baja! Tidak disangkanya sama sekali bahwa
raksasa itu memiliki tubuh yang kebal dan kuat bukan main. Dan lebih-lebih
kagetnya ketika tiba-tiba kedua lengannya telah ditangkap oleh raksasa itu dan
dengan tenaga yang seperti tarikan gajah, tubuh Li Hwa telah diangkat ke atas!
"Jangan
bunuh dia...!"
Bentakan
Ouwyang Bouw itu dijawab dengan suara tertawa bergelak oleh raksasa Nepal itu
yang cepat melontarkan tubuh Li Hwa ke atas kemudian sambil bertolak pinggang
dia tertawa-tawa menanti turunnya tubuh itu. Dia jelas bendak mempermainkan
tubuh dara itu seperti sebuah bola yang dilempar-lemparkan ke atas!
Li Hwa sudah
menggunakan ginkang-nya. Ketika tubuhnya meluncur ke atas seperti anak panah
meluncur, cepat dia berjungkir balik sampai lima kali untuk mematahkan tenaga
luncuran itu, kemudian melayang turun. Dari atas dia melihat betapa lawannya
sudah siap menyambutnya dengan kedua lengannya yang berbulu dan kuat sekali
itu, kedua lengan yang telah dikembangkan dan diacungkan ke atas. Sudah
terdengar pula suara lawannya tertawa bergelak.
Li Hwa
maklum bahwa kalau dia tidak dapat merobohkan lawan dari atas, dia akan tak
berdaya sama sekali begitu tubuhnya tertangkap oleh kedua tangan yang kuat itu.
Untuk mempergunakan jarum peraknya, dara ini tidak sudi karena hal itu berarti
bahwa dia jeri menghadapi lawan dengan terbuka. Pula, dengan kehadiran dua
orang datuk kaum sesat itu, menggunakan senjata rahasia pun takkan ada gunanya.
Maka dia lalu menggunakan akal dan sengaja membuat tubuhnya melayang turun
seperti seorang yang tidak berdaya dan ketakutan.
"Ha-ha-ha,
Nona manis, marilah kita main-main!" Orang Nepal itu berkata dengan logat
bicaranya yang kaku.
Ketika
tubuhnya sudah meluncur dekat, tiba-tiba Li Hwa membalik, kepalanya di bawah
dan sepasang tangannya seperti seorang yang kebingungan hendak mencari
pegangan, akan tetapi begitu kedua tangan raksasa itu menangkap pinggang dan
pundaknya, Li Hwa sudah menggerakkan kedua jari telunjuknya untuk menotok ke
arah pundak dan tengkuk.
"Cusss!
Cusss!"
"Auggghhh...!"
Tubuh
raksasa itu segera terguling dan cengkeraman kedua tangannya terlepas. Dia
telah terkena serangan Ilmu Menotok Jalan Darah It-ci-san yang amat lihai. Biar
pun tubuhnya kebal, namun totokan satu jari yang amat hebat itu dengan tepat
sudah mengenai jalan darahnya sehingga untuk sesaat tubuhnya seperti lumpuh
yang menyebabkan tubuhnya terguling.
Kesempatan
ini tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh Li Hwa. Jari-jari tangan kirinya
cepat menjambak rambut panjang lawannya, kemudian dengan pengerahan tenaganya,
tubuh itu ditariknya ke atas dan tangan kanannya yang dimiringkan lantas
menghantam ke arah tengkuk.
"Krekkkk!"
Tubuh itu
terkulai dan raksasa Nepal itu roboh pingsan! Semua orang yang menonton
pertandingan itu terbelalak, sama sekali tak mengira bahwa raksasa Nepal yang
terkenal hebat dan amat kuat itu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja!
"Tidak
salah lagi, dia murid The Hoo...!" Toat-beng Hoatsu berkata lirih.
Ban-tok
Coa-ong mengangguk. "Benar, tadi tentu It-ci-san yang terkenal dari The
Hoo..."

Ban-tok
Coa-ong kini menggapai kepada seorang Han yang tubuhnya pendek kecil, amat
kurus seperti rangka hidup, mukanya pucat dan sepasang matanya yang cekung itu
amat mengerikan.
"Pek-mo
(Iblis Putih), tangkap dia!"
Laki-laki
bermuka pucat yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu mengangguk,
mengeluarkan suara rintihan panjang seperti orang menangis dan tiba-tiba saja
tubuhnya sudah mencelat ke depan Li Hwa, matanya yang cekung bersinar
mengerikan dan ketika mulutnya meringis, ternyata di dalam mulutnya tidak
terdapat gigi sepotong pun!
Li Hwa
memandang penuh perhatian. Keadaan tubuh orang ini benar-benar merupakan
kebalikan dari keadaan raksasa Nepal tadi. Apa bila raksasa Nepal tadi
membayangkan kekuatan dahsyat, orang ini sebaliknya terlihat seperti seorang
berpenyakitan yang sudah berdiri di ambang kuburan. Kelihatan sangat lemah dan
agaknya hembusan angin yang agak besar saja sudah akan cukup untuk
merobohkannya.
Akan tetapi
Li Hwa tidak tertipu oleh keadaan luar, dan dia sudah dapat menduga bahwa orang
yang kecil bagaikan mayat hidup ini tentulah memiliki kepandaian yang tinggi
dan mempunyai tenaga sinkang yang kuat. Baru caranya meloncat ke depan tadi
saja sudah membuktikan betapa Si Mayat Hidup ini mempunyai kegesitan yang tak
boleh dipandang ringan! Karena itu, tanpa menanti gerakan lawan, tanpa
sungkan-sungkan lagi dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Si Mayat Hidup
itu dengan totokan-totokan maut!
Orang kurus
kecil itu mengeluarkan pekik menyeramkan, kemudian tubuhnya bergerak dan
bersilat dengan cara yang aneh tetapi gesit sekali. Bagaikan gerakan seekor
monyet, orang itu dapat menghindarkan totokan-totokan Li Hwa dan membalas
dengan serangan yang berupa cengkeraman-cengkeraman.
Yang hebat,
bila tadi jari tangannya kelihatan biasa, kini jari tangan itu menjadi
bertambah panjang oleh kuku-kukunya! Ternyata orang itu memiliki kuku-kuku jari
yang aneh, yang dapat digulung dan apa bila diperlukan, dengan kekuatan
sinkang-nya, kuku yang tadinya bergulung itu dapat menegang sehingga panjang
setiap kukunya tak kurang dari sepuluh senti!
"Brettt...!"
"Aihhhhh...!"
Li Hwa
menjerit kaget ketika ujung bajunya kena dicakar dan robek. Hal ini adalah
karena dia tidak mengira bahwa kuku jari itu dapat memanjang maka ketika
cengkeraman lawan dapat dielakkan, kuku-kuku yang memanjang itu masih mampu
mencakar ujung bajunya. Untung bukan kulit lambungnya yang kena dicakar!
Marahlah Li
Hwa. Sekarang dia tahu bahayanya lawan ini, maka dia cepat menggerakkan
tubuhnya dan memainkan jurus-jurus pilihan dari Jit-goat Sin-ciang-hoat yang
sukar dicari tandingannya itu. Gerakan dua tangannya yang menyerang terisi
dengan tenaga Im-yang Sinkang, dan kadang-kadang pukulannya dicampur dengan
It-ci-sian dan mengarah jalan darah yang berbahaya.
Ternyata
bagi Li Hwa bahwa lawannya ini hanya kelihatannya saja sangat menyeramkan dan
berbahaya. Padahal ilmu silatnya hanyalah ilmu silat golongan hitam yang
tampaknya saja berbahaya akan tetapi tidak memiliki dasar yang kuat. Kalau
berhadapan dengan ahli silat biasa, tentu Si Mayat Hidup ini merupakan lawan
yang berbahaya sekali dan setiap serangannya dapat mendatangkan maut. Akan
tetapi terhadap dia yang sudah menerima gemblengan seorang sakti seperti The
Hoo, segera dara ini dapat melihat kelemahannya.
Setelah
bertanding selama tiga puluh jurus, tiba-tiba saja Li Hwa mengerahkan khikang,
membentak keras sekali. Bagai kitiran angin kedua kakinya lantas melakukan
tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) hingga lawannya merintih
panjang dan terpaksa mengelak ke kanan kiri untuk menghindarkan tendangan
bertubi-tubi yang berbahaya itu. Tiba-tiba tangan kiri Li Hwa bergerak dari
atas, dikebutkan ke arah pundak lawan.
"Krekkk!"
Si Mayat
Hidup mengeluh, lantas sebuah tendangan tepat mengenai pinggulnya sehingga
tubuh yang ringan itu terlempar sampai empat meter dan terbanting roboh. Di
sana dia merintih karena tulang pundaknya terlepas dan pinggul yang tidak
berdaging itu menjadi biru!
Terdengar
orang bersorak. Kiranya Ouwyang Bouw yang bersorak. "Hidup calon isteriku
yang perkasa!" Dia berlari menghampiri Li Hwa dan menjura dengan hormat.
"Terimalah rasa kagum dan hormatku, Nona Souw calon isteriku yang cantik
dan gagah perkasa!"
Biar pun dia
sudah menjaga diri agar tidak terserang marah, menghadapi pemuda ini, naik juga
darah Li Hwa. Mukanya menjadi merah, dua matanya mendelik mengeluarkan sinar
berapi dan dia pun membentak. "Orang gila menjemukan! Mampuslah!"
Tamparan
tangan kiri Li Hwa itu sama sekali tidak ditangkis oleh Ouwyang Bouw yang hanya
mengangkat kepalanya sedikit ke atas sehingga telapak tangan kiri Li Hwa yang
menampar kepala itu mengenai pipinya.
"Plakkk...!"
"Wah,
terima kasih, Nona. Telapak tanganmu sungguh halus, hangat, dan harum
sekali!" kata Ouwyang Bouw sambil mengelus-elus pipinya yang kena tampar.
Bukan main
marahnya hati Li Hwa, apa lagi mendengar suara ketawa anak buah Pulau Ular yang
tertawa-tawa. Dia maklum bahwa pemuda gila ini tak beleh disamakan dengan
jagoan Nepal dan Si Mayat Hidup tadi, dan dia pun maklum bahwa dia tidak bisa
mundur lagi. Melarikan diri tak mungkin, maka jalan satu-satunya hanyalah
mengadu kepandaian untuk menuntut dikembalikannya bokor emas, atau kalau perlu
berkorban nyawa.
"Srattt...!"
Li Hwa sudah mencabut pedangnya.
Dengan sikap
gagah dia lalu berkata kepada Ban-tok Coa-ong, "Ban-tok Coa-ong, engkau
sebagai tuan rumah di pulau ini, majulah. Mari kita tentukan di ujung pedang
siapa yang berhak membawa bokor emas. Jangan mengajukan anakmu yang gila!"
"Ha-ha-ha-ha,
Nona Souw yang manis, calon isteriku yang cantik. Jangan begitu, ahh!
Menggodaku beleh saja, tetapi jangan keterlaluan. Aku memang gila, siapa yang
tak akan tergila-gila memandang wajahmu yang cantik manis? Engkau hendak
main-main dengan pedang? Baik, mari kulayani. Memang calon suami isteri
terlebih dahulu harus mengenal kelihaian masing-masing!"
Pemuda
sinting itu menggerakkan tangan kanannya dan sebatang pedang yang berbentuk
tubuh ular sudah tercabut keluar. Sambil melintangkan pedang ular yang
mengerikan itu di depan dada, Ouwyang Bouw memasang kuda-kuda dengan lagak yang
dibuat gagah sehingga kelihatan lucu namun menjemukan bagi Li Hwa karena pemuda
itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik kepadanya!
"Iblis
bermulut busuk!" Dia memaki dengan marah, pedangnya sudah bergerak
menerjang dengan kecepatan laksana kilat.
"Trang-trang-cringgg...!"
Bunga api
berpijar ketika kedua senjata itu bertemu berkali-kali. Merasa betapa pedangya
tergetar oleh tangkisan pemuda itu, Li Hwa maklum bahwa tenaga sinkang lawannya
tidak lemah, maka cepat dia menggunakan tenaga lawan ketika menangkis lagi
untuk mencelat ke atas, berjungkir balik dan dari atas tangan kirinya diayun.
Cahaya putih
berkeredepan menyambar ke arah Ouwyang Bouw. Itulah gin-ciam (jarum perak),
senjata rahasia Li Hwa yang amat lihai.
"Aihhh...
engkau pandai main jarum. Bagus...!"
Ouwyang Bouw
menggerakkan tangan kirinya dan lengan bajunya menerima jarum-jarum perak yang
menancap dan berjajar rapi pada ujung lengan bajunya! Sambil tersenyum dia
menggerakkan lengan baju itu, dan sinar perak segera menyambar ke arah kaki Li
Hwa yang masih belum turun ke atas tanah.
Dara ini
cepat menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian rupa sehingga gulungan sinar
pedang menggulung jarum-jarum peraknya sendiri itu, kemudian dia menggerakkan
pedang dan jarum-jarum itu kembali melesat ke arah Ouwyang Bouw.
"Cuiiitttt...
trakkk...!"
Sinar perak
itu bertemu dengan sinar merah dan runtuhlah jarum-jarum perak itu bertemu
dengan jarum-jarum merah yang dilepaskan oleh Ouwyang Bouw.
Li Hwa
terkejut. Kiranya dalam kepandaian melemparkan jarum, pemuda sinting itu tidak
kalah pandai olehnya. Maka dia berteriak nyaring dan segera menerjang maju,
memutar pedangnya dengan hebat karena dara ini telah mengambil keputusan untuk
merobohkan lawannya.
"Kau
hebat... kau cantik menarik, kau gagah perkasa... heeeiiitttt!"
Ouwyang Bouw
terpaksa melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Karena dia tadi bicara dan
menggoda, maka hampir saja dia celaka oleh sinar pedang dara itu yang amat
hebat. Dia cepat meloncat lagi melihat pedang lawan terus mengejarnya,
menangkis dan terpaksa balas menyerang pada saat mendapat kenyataan bahwa ilmu
pedang dara itu benar-benar amat lihai dan sama sekali tidak boleh dia lawan
sambil bersenda gurau!
Pertandingan
itu berlangsung dengan seru sekali dan ternyata oleh kedua pihak bahwa tingkat
kepandaian mereka seimbang, baik mengenai kecepatan maupun tenaga sinkang.
Hanya bedanya, kalau ilmu pedang Li Hwa mengandung dasar yang amat kuat dan
asli, mempunyai daya tahan yang kokoh dan daya serang langsung dan menekan,
sebaliknya ilmu pedang yang dimainkan oleh Ouwyang Bouw mengandung perkembangan
yang penuh tipu muslihat, banyak gerakan pancingan dan pura-pura yang amat
curang.
Akan tetapi,
karena Li Hwa selalu menyerang dengan niat membunuh lawan sedangkan sebaliknya
pemuda yang tergila-gila itu tidak ingin melukai apa lagi membunuh lawan,
perlahan-lahan pemuda itu terdesak dan gulungan sinar pedangnya makin tertekan.
"Jelas
dia murid The Hoo dan kalau dia dapat dijadikan tawanan sebagai sandera, tentu
The Hoo tidak berani mengganggu kita!" Toat-beng Hoatsu barkata.
"Benar
sekali," jawah Ban-tok Coa-ong sambil memperhatikan pertandingan antara
dara itu dengan puteranya. "Bouw-ji (Anak Bouw) tidak tega melukainya,
keadaannya sangat berbahaya. Kalau sampai dia terluka, tentu dia akan lupa diri
dan jangan-jangan dia akan membunuh dara itu. Sebaiknya kita turun tangan
menangkapnya."
Toat-beng
Hoatsu tidak percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Li Hwa, akan
tetapi dia diam saja, hanya mengangguk dan kedua kakek ini lalu bergerak maju
ke medan pertandingan.
Pada saat
itu, pedang di tangan Li Hwa sedang bertemu dengan pedang ular di tangan
Ouwyang Bouw. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang datuk yang lihai itu
untuk turun tangan, Ban-tok Coa-ong mengetuk pergelangan tangan kanan Li Hwa
sehingga pedangnya terlepas sedangkan Toat-beng Hoatsu menepuk pundaknya.
Li Hwa
mengeluh dan roboh, tubuhnya disambar oleh pelukan Ouwyang Bouw. Dara yang
lumpuh kedua tangannya itu menggerakkan kaki menendang pusar, akan tetapi
pemuda itu menangkap kakinya dan menotok punggungnya sehingga kini kedua
kakinya lumpuh pula. Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw memondong tubuh dara itu
dengan tangan kanannya masih memegang pedang ular, kemudian membawa dara itu
lari.
"Bouw-ji...
awas jangan kau sampai membunuhnya!" teriak Ban-tok Coa-ong.
Ouwyang Bouw
sejenak menoleh sambil tertawa. "Apakah Ayah telah menjadi gila? Aku cinta
kepadanya, mana mungkin membunuhnya? Ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha,
engkau memang sudah pantas kawin, Anakku!"
"Setahun
lagi Ayah akan memondong cucu!" Pemuda gila itu tertawa-tawa sambil terus
berlari membawa Li Hwa memasuki pondok yang menjadi tempat kediamannya.
Ban-tok
Coa-ong menyuruh anak buahnya menyingkirkan mayat Madhula serta mayat Sanghida
yang tinggal tulang kemudian bersama Toat-beng Hoatsu dia kembali ke dalam
pondok besar.
"Harus
dicegah agar puteramu jangan sampai membunuh tawanan penting itu," berkata
Toat-beng Hoatsu, khawatir juga menyaksikan kelakuan pemuda yang edan-edanan
itu.
"Jangan
khawatir. Agaknya anakku sekali ini benar-benar jatuh cinta. Alangkah baiknya
kalau aku dapat berbesan dengan The Hoo. Tentu soal bokor emas bukan hal yang
perlu dia ributkan lagi."
"Dan
yang lebih penting lagi, dia tentu akan mau membuka rahasia bokor itu. Sungguh
menjengkelkan. Susah payah dicari dan diperebutkan, setelah berada di tangan
kita, kita tidak mampu membuka rahasianya." kata Toat-beng Hoatsu dengan
wajah kesal.
Berhari-hari
mereka berdua menyelidiki bokor emas, membolak-balik, menekan sana-sini, akan
tetapi belum juga dapat menemukan rahasianya. Padahal kabarnya bokor emas itu
mengandung petunjuk tempat penyimpanan harta pusaka kitab-kitab pusaka yang
amat luar biasa. Bila tidak takut bokor itu rusak dan rahasianya ikut pula
terusak, tentu mereka sudah membanting pecah benda pusaka itu!
Kini mereka
memasuki kamar rahasia dan kembali dua orang kakek yang menjadi datuk kaum
sesat itu melanjutkan penyelidikan mereka tentang bokor emas. Memang terlihat
ada guratan-guratan aneh di sebelah dalam bokor, akan tetapi mereka tetap tidak
dapat memecahkan rahasia guratan-guratan ini karena guratan-guratan itu
bukanlah merupakan huruf-huruf yang dapat terbaca, juga bukan merupakan peta
yang dapat dimengerti.
Sementara
itu, Li Hwa yang sadar akan tetapi tak mampu menggerakkan kaki tangannya itu
terus dipondong oleh Ouwyang Bouw dan dibawa masuk ke dalam pondoknya, lalu
memasuki kamarnya dan dengan amat hati-hati, bahkan dengan lemah lembut dan
mesra dibaringkannya tubuh dara itu di atas pembaringannya yang mewah, bersih
dan harum baunya.
Akan tetapi
diam-diam Li Hwa bergidik melihat betapa di dalam kamar itu penuh dengan
belasan ekor ular-ular berbisa yang melingkar di sana-sini, merayap di
sana-sini dalam keadaan jinak seakan-akan ular berbisa itu adalah binatang
peliharaan dan kesayangan! Diam-diam dia sudah mengambil keputusan bahwa kalau
dia sempat dia akan memukul mati pemuda ini, kemudian mengamuk dan kalau perlu
mengadu nyawa karena dia pun mengerti bahwa keselamatannya terancam hebat,
bukan nyawanya saja yang terancam, tetapi juga kehormatannya!
Sesudah
merebahkan tubuh Li Hwa, Ouwyang Bouw duduk di pinggir pembaringan itu, menatap
wajah yang cantik itu penuh kekaguman, penuh kasih sayang, bahkan dengan
pandang mata mesra. Pandang mata yang membuat Li Hwa bergidik karena pandangan
mata itu seolah-olah dapat dia rasakan menyelusuri seluruh tubuhnya, seakan
pandang mata itu mampu menelanjanginya!
"Moi-moi
yang manis... kau menurutlah menjadi isteriku, hidup dengan makmur dan mulia di
pulau ini, sebagai ratu! Ya, aku akan memuliakanmu sebagai seorang ratu...
adikku yang tercinta...!"
Namun Li Hwa
memandang dengan mata mendelik penuh kebencian, biar pun di dalam hatinya dia
merasa khawatir sekali. Dia maklum bahwa jika pemuda gila itu pada saat dia
lumpuh kaki tangannya melakukan segala kekejian terhadap dirinya, dia tak akan
mampu mempertahankan kehormatannya, tidak akan mampu membela diri. Hampir dia
pingsan memikirkan kemungkinan yang mengerikan ini.
Akan tetapi
untung baginya pemuda itu memang tidak suka memperkosa wanita. Biar pun dia
ingin sekali menguasai tubuh Li Hwa, namun dia memiliki perasaan lain terhadap
dara ini, tidak seperti perasaannya terhadap wanita-wanita lain yang telah
menjadi korbannya. Dia sudah jatuh cinta kepada Li Hwa dan ingin mengambil Li
Hwa ini sebagai isterinya! Oleh karena itu, dia tidak akan menggunakan
cara-cara yang keji untuk sementara waktu ini, hanya ingin mengandalkan bujukan
dan rayuannya.
Setelah dia
membelenggu kaki tangan dara itu menggunakan tali kain sutera yang halus akan
tetapi kuat sekali, dia membebaskan totokan pada tubuh Li Hwa sehingga dara itu
tidak terlalu tersiksa, dapat menggerakkan kaki dan tangannya sungguh pun tak
berdaya melawan karena kaki dan tangannya dibelenggu di belakang tubuhnya.
"Adikku
sayang, kalau menurut, engkau akan kubebaskan dan kita akan merayakan pesta
pernikahan kita di pulau ini."
"Huh,
lebih baik aku mati!" Li Hwa menjawab sambil membuang muka.
Ouwyang Bouw
tersenyum. "Kita sama-sama lihat saja apakah engkau akan dapat terus
berkeras kepala, Adikku. Engkau menolak orang seperti aku? Ha-ha-ha, hendak
memilih yang macam bagaimana? Lihat baik-baik, bukankan aku seorang pemuda yang
tampan dan gagah?"
Melihat
betapa Li Hwa tidak mau menoleh, Ouwyang Bouw lalu meloncat dekat dan sekali
menotok, dia membuat Li Hwa tidak mampu menggerakkan lehernya lagi sehingga
ketika mukanya dihadapkan kepada pemuda itu, dia tidak dapat membuang muka.
Terpaksa dia
melihat pemuda itu bergaya di depannya, dengan senyum dibuat-buat dan dada
diangkat. Bahkan pemuda itu kemudian menyelinap ke kamar lain dan pada saat
muncul kembali, dia sudah mengenakan pakaian lain yang lebih mewah. Sampai tiga
kali pemuda itu bertukar pakaian dan bergaya di hadapan Li Hwa seperti lagaknya
seorang peragawan memamerkan pakaian.
"Lihat,
bukankah aku tidak kalah tampan oleh para pangeran di istana? Banyak wanita
yang tergila-gila kepadaku, akan tetapi aku hanya memilih engkau, Li Hwa! Aku
cinta kepadamu dan kau sudah tahu akan kelihaian ilmuku."
Li Hwa
mencibirkan bibirnya, sengaja memperlihatkan muka dan sinar mata mengejek dan
memandang rendah.
"Apa
engkau belum puas? Bukan hanya pakaianku saja yang membuat aku kelihatan tampan
dan gagah, bahkan seluruh tubuhku pun tidak ada cacadnya! Nah, coba kau lihat
baik-baik!" Pemuda yang sinting itu kini menanggalkan pakaiannya satu demi
satu!
Tadinya Li
Hwa mengira pemuda itu hanya hendak memamerkan bentuk tubuhnya yang memang
tegap berotot. Akan tetapi matanya yang terbelalak itu kemudian dipejamkannya
ketika tenyata bahwa pemuda itu menanggalkan seluruh pakaiannya, termasuk
pakaian dalamnya sehingga pemuda itu berdiri telanjang bulat di depannya, hanya
mengenakan sepatunya!
"Ha-ha-ha,
engkau tidak tahan melihatku dan memejamkan mata? Bagus, kalau engkau tidak
memejamkan mata, engkau tentu akan tergila-gila kepadaku!"
Dapat
dibayangkan betapa ngeri dan jijik rasa hati Li Hwa menghadapi pemuda gila ini.
Ketika sebelum dia memejamkan mata tadi dan melihat pemuda itu menanggalkan
baju dalamnya, dia melihat dada yang telanjang, dan anehnya, begitu dia
memejamkan mata, tampaklah dada telanjang dari Yuan de Gama! Lebih aneh lagi,
muncul rasa rindu hatinya kepada Yuan, pemuda yang bersikap sopan santun kepadanya,
menjadi kebalikan dari pemuda sinting ini. Tanpa disadarinya, dalam keadaan
terancam seperti itu, dia kemudian membayangkan wajah Yuan dan hatinya
menjeritkan nama pemuda asing itu!
Sambil
tertawa-tawa Ouwyang Bouw mengenakan kembali pakaiannya lalu meninggalkan kamar
setelah menyuruh beberapa orang penjaga melakukan penjagaan di luar kamar. Li
Hwa ditinggalkan seorang diri di dalam kamar itu dan dia termenung, memutar
otaknya mencari akal untuk dapat meloloskan diri dari tempat berbahaya ini.
Satu-satunya
harapannya adalah gurunya. Gurunya sudah tahu akan bokor emas, sudah menerima
laporan pengawal Tio Hok Gwan dan gurunya tahu pula bahwa dia sendirian
melakukan penyelidikan. Gurunya tentu mengirim orang-orang pandai, mungkin Tio
Hok Gwan sendiri, mungkin pula Pendekar Sakti Cia Keng Hong, untuk menyerbu
Pulau Ular.
Dan saat
itulah yang ditunggu-tunggunya, karena hanya itu yang mungkin akan memberi
harapan baginya untuk lolos dari bahaya ini. Oleh karena itu Li Hwa juga tidak
mengambil keputusan pendek sesudah dengan jelas dia melihat gelagat bahwa
Ouwyang Bouw tak akan memperkosanya, melainkan hanya akan membujuknya supaya
dia suka tunduk dan menyerahkan diri.
Kini dia
dipindahkan ke dalam sebuah kamar tahanan. Belenggu kaki dan tangannya telah dilepaskan,
akan tetapi sepasang kakinya diikat dengan rantai baja yang panjang, yang
memungkinkan untuk bergerak dan berjalan di dalam kamar tahanan itu, akan
tetapi tidak memungkinkan dia untuk melarikan diri. Juga kedua tangannya
dibelenggu dengan rantai baja yang panjang.
Hanya rantai
itu yang menyatakan bahwa dia menjadi tawanan. Akan tetapi selain dari rantai
itu dia diperlakukan dengan amat baik, diberi kesempatan untuk mandi dan makan,
bahkan para penjaga bersikap hormat kepadanya sebab dia dianggap sebagai calon
isteri Ouwyang Bouw!
Sampai
berhari-hari lamanya Li Hwa tidak mau tunduk dan selalu menyambut kedatangan
Ouwyang Bouw ke kamarnya dengan caci maki. Selain ini, dia berlaku hati-hati
sekali, selalu mempergunakan jarum peraknya untuk memeriksa setiap makanan dan
minuman agar jangan sampai dia dipengaruhi racun.
Akan tetapi,
ternyata bahwa usaha Ouwyang Bouw untuk menguasainya belum sampai sejauh itu.
Ouwyang Bouw menghendaki agar wanita yang telah membuatnya tergila-gila itu
benar-benar tunduk, bukan karena terpaksa akibat dipengaruhi racun atau karena
dia perkosa. Dan kesabaran seorang glia seperti dia memang luar biasa sekali.
***************
Tiga hari
kemudian sejak Li Hwa ditangkap, sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke
Pulau Ular dari daratan Teluk Pohai. Di dalam perahu itu hanya ada seorang pemuda
berkepala gundul yang bukan lain adalah Kun Liong.
Pemuda ini
mulai dengan penyelidikannya untuk membantu Li Hwa yang dikabarkan telah
terlebih dahulu melakukan penyelidikan. Kun Liong maklum betapa berbahayanya
tempat tinggal orang-orang seperti Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, karena
itu dia sangat mengkhawatirkan keselamatan Li Hwa.
Dia mulai
mencari Pulau Ular dan hari sudah malam ketika dia melihat bayangan pulau yang
bentuknya seperti ular melingkar di atas batok di sebelah selatan itu, persis
seperti penjelasan dan gambaran yang didapatkannya dari keterangan Cia Keng
Hong sebelum dia berangkat.
Tiba-tiba
Kun Liong terkejut. Hampir perahunya terguling ketika ombak mendadak datang
bergelombang! Dan malam itu mendadak saja menjadi gelap, bintang-bintang yang
tadi menghias angkasa kini lenyap tertutup awan hitam.
Wah, celaka!
Benarkah datuk-datuk kaum sesat itu menggunakan ilmu hitam seperti yang
didongengkan orang, sehingga sesudah perahunya mendekati Pulau Ular dia
langsung diserang badai? Ilmu hitam atau bukan, dia harus berjuang melawan
ombak yang datang bergulung-gulung!
Dia memegang
dayungnya dan sejenak pemuda yang biasanya tabah ini menjadi bingung juga.
Pulau tadi tak tampak lagi, tidak tampak pula dratan. Di sekelilingnya air
menghitam dengan suara menderu-deru. Perahunya diombang-ambingkan ombak,
arahnya tak tentu lagi.
Betapa pun
tabahnya, Kun Liong menjadi gelisah. Selama ini, pengalamannya dengan air hanya
di sepanjang Sungai Huang-ho, dan betapa pun lebar Sungai Huang-ho, tetapi bila
dibandingkan dengan laut ini bukan apa-apa. Bagaimana kalau perahunya
terguling? Dulu dia pernah hanyut di sungai. Baru hanyut di sungai saja sudah
sulit sekali baginya untuk berenang ke tepi. Apa lagi sampai hanyut di laut!
Tiba-tiba
saja tampak olehnya sinar api di depan. Terlambat dia mengetahui bahwa sinar
itu adalah sinar lampu yang bergantungan pada sebuah perahu yang besar.
Tahu-tahu di depannya muncul tubuh perahu besar sekali, seperti iblis lautan
hendak melawannya.
"Heiii...
di sini ada perahu.. minggir...!" Kun Liong menggunakan suara yang
didorong oleh tenaga khikang yang amat kuat untuk berseru.
Suaranya
melengking tinggi melawan gemuruh air laut yang bergelombang. Akan tetapi
terlambat. Terdengar suara keras, perahunya pecah terguling dan dia sendiri
terlempar ke dalam air!
"Heiiiiii...!
Tolooongg, auuupp...!" Kun Liong gelagapan ketika mulutnya yang menjerit
itu kemasukan air yang rasanya sampai pahit saking asinnya!
Dia
menggerakkan kaki tangan dan terasa betapa tubuhnya ringan sekali sehingga
lebih mudah baginya untuk mengambang di permukaan air. Ini pengalaman yang baru
baginya karena dia tidak tahu bahwa air yang asin membuat tubuhnya lebih
ringan, tidak seperti di air tawar.
Teriakan-teriakan
Kun Liong yang amat nyaring tadi akibat didorong oleh tenaga khikang ternyata
ada juga gunanya karena terdengar oleh mereka yang berada di atas perahu.
Segera tampak beberapa sosok bayangan orang di langkan pinggir perahu,
menjenguk ke bawah dan ada suara orang dalam bahasa asing. Kemudian tampak
segulung tambang dilontarkan ke bawah.
Melihat ini,
Kun Liong cepat menyambar tambang itu dan dengan gembira dia merasa betapa
tubuhnya diseret, kemudian ditarik naik ke tubuh perahu. Beberapa pasang tangan
membantunya naik.
Kun Liong
duduk terengah-engah di atas dek perahu, tidak peduli kepada beberapa orang
yang datang membawa lampu perahu yang bergoyang-goyang. Dia mengerahkan hawa di
perut untuk mendorong keluar air laut yang membuat perutnya membusung. Beberapa
kali dia muntahkan air laut sampai perutnya kosong kembali. Terlalu kosong
sampai lapar! Barulah dia memperhatikan muka orang-orang yang merubungnya.
Muka-muka
yang asing dan berkulit putih. Mata yang biru! Akan tetapi pandang matanya
terpikat dan melekat pada sepasang mata biru indah yang... bukan main! Bulu
matanya panjang, alisnya melengkung dan hidungnya mancung bukan main di atas
sepasang bibir yang... bukan main! Baru sekarang Kun Liong menyaksikan
kecantikan seorang wanita yang hebat dan aneh dan... khas. Tahulah dia bahwa
wanita muda yang memandangnya dengan mata setengah terpejam itu adalah seorang
wanita yang sebangsa dengan Yuan de Gama, akan tetapi cantik bukan main.
"Engkau
siapakah? Kenapa malam-malam begini naik perahu kecil seorang diri? Apakah kau
seorang nelayan?" Bibir yang merah manis itu menghujankan pertanyaan.
Kun Liong
tidak dapat menjawab, terpesona oleh gerak bibir manis yang kadang-kadang
memperlihatkan kilauan gigi putih tertimpa sinar lampu merah.
"Ahh,
apakah bahasaku tidak jelas? Aku baru saja belajar bahasa pribumi, maafkan
kalau kaku..."
"Aku
mengerti semua, Nona. Bahasamu baik sekali... terima kasih... aku bukan
nelayan, aku... aku sedang melancong..."
"Ha-ha-ha,
melancong pada malam hari di atas perahu kecil di tengah laut! Bukan main
anehnya bangsa pribumi!" Terdengar suara parau besar dan suara tertawa itu
bergelak seperti gelora ombak gemuruh tidak terkekang.
Kun Liong
menoleh dan melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh
tinggi besar dan berwajah tampan, namun rambutnya yang keemasan sudah mulai
memutih di atas kedua telinga. Kumisnya tebal melintang di atas mulut dan sinar
matanya lembut.
Mendadak
terdengar seruan-seruan keras dalam bahasa asing, disusul jeritan beberapa
orang wanita muda yang berlari mendatangi. Keadaan di atas perahu besar itu
menjadi kacau balau. Dara jelita tadi bersama teman-teman perempuan lainnya
lantas berlarian memasuki bilik perahu, sedangkan laki-laki setengah tua yang
gagah tadi mengeluarkan suara memerintah. Anak buah perahu yang terdiri dari
belasan orang laki-laki asing yang berkaos loreng, sibuk hilir-mudik di atas
perahu.
Kun Liong
merasa heran. Kini kesehatannya sudah pulih kembali dan dia bangkit berdiri.
Sekarang keadaan di atas perahu itu terang benderang karena para anak buah
perahu menyalakan banyak lampu yang digantungkan pada sekeliling perahu.
Kiranya di
dekat perahu besar itu sekarang nampak muncul enam buah perahu kecil yang
seperti iblis serentak bermunculan dari dalam gelap, dan di atas perahu-perahu
kecil itu berdiri orang-orang yang memegang senjata golok dan pedang. Di setiap
perahu terdapat tiga orang sehingga semuanya ada delapan belas orang.
Setelah
perahu-perahu kecil itu menempel pada perahu besar seperti sekumpulan lintah,
tampak tali-tali melayang dari bawah, pada ujungnya terdapat kaitan dan
orang-orang itu segera memanjat ke atas, bahkan ada yang langsung meloncat dari
perahu kecil ke atas perahu besar dengan gerakan ringan sekali.
"Hemmm,
bajak-bajak laut," pikir Kun Liong dan cepat dia melangkah maju.
Cepat sekali
para bajak itu sudah berada di atas perahu besar dan terjadilah perkelahian
seru antara para bajak laut dan anak buah perahu. Kakek tua gagah perkasa itu
pun ikut berkelahi. Dengan kedua tangan terkepal dia mengamuk.
Seorang
bajak menyerangnya dengan golok. Kakek asing itu mengelak, akan tetapi bahu
kirinya terserempet golok sehingga terluka. Tanpa pedulikan lukanya, kakek itu
langsung menghantam dada bajak itu dengan kepalan tangan kanannya, sehingga
membuat bajak itu terjengkang dan terbatuk-batuk.
Bajak ke dua
sudah datang menyerbu, pedangnya diputar-putar di atas kepala, langsung
membacok. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku karena dari belakang dia
sudah ditotok oleh Kun Liong. Pemuda ini lalu menarik lengan bajak itu dan
sekali dia mengayun tangan, tubuh bajak itu terlempar ke luar perahu besar!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment