Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 34
DUA hari
kemudian, sudah empat hari empat malam Kun Liong melalui padang pasir. Hari itu
panasnya bukan main, tubuhnya sudah mulai lemah, kerongkongannya terasa kering
dan haus, dan perutnya lapar.
"Uh-uhh...
masih berapa jauhnya?" dia menggumam, berhenti di dekat batu besar untuk
berteduh di bayangan batu itu, menghapus keringatnya dengan kain leher yang
sudah basah. Tubuhnya gemetar dan matanya setengah terpejam karena silau oleh
pasir yang berkilauan tertimpa panas terik matahari!
Kun Liong
menjatuhkan diri duduk di atas pasir yang panas. Dikeluarkannya bungkusan emas
permata dari sakunya.
"Sialan!"
gerutunya memandang bungkusan itu dan mengantonginya kembali. "Aku akan
senang sekali menukar bungkusan ini dengan semangkok bubur dan sepoci air
jernih!"
Teringatlah
dia betapa nilai sesuatu benda ditentukan oleh kebutuhan. Pada saat seperti
itu, dalam keadaan kehausan dan kelaparan, semangkok bubur dan sepoci air
jernih lebih berharga dari pada emas permata!
Betapa
tololnya manusia di tempat ramai. Untuk memperebutkan emas permata mereka tidak
segan-segan untuk saling bunuh! Padahal, dalam keadaannya sekarang ini, semua
harta benda tidak ada gunanya, tidak lebih berharga dari pada semangkok bubur
sepoci air.
Dia bangkit
lagi. Makin lama dia beristirahat, makin berbahayalah keadaannya. Dia harus
cepat-cepat keluar dari gurun pasir itu, kalau tidak, besar kemungkinannya dia
akan mati konyol di tempat ini. Di depan sudah nampak pegunungan dan di balik
pegunungan pasir ini, tampak samar-samar puncak sebuah gunung menghijau, akan
tetapi masih amat jauh. Dia harus cepat-cepat mencapai gunung menghijau itu
sebelum dirinya roboh dan mati di atas pasir.
Makin tinggi
matahari naik, makin panaslah sinarnya menimpa pasir sehingga Kun Liong merasa
makin tersiksa karena dia diserang hawa panas dari atas dan bawah. Pasir yang
tertimpa sinar matahari menjadi panas dan hawa dari dalam bumi yang keluar
membuat tubuh Kun Liong terasa seperti dipanggang. Peluhnya bercucuran dan
pandang matanya berkunang-kunang.
"Celaka...!"
keluhnya ketika dia terpaksa menjatuhkan tubuhnya yang kehabisan tenaga akibat
terlalu banyak mengeluarkan keringat itu ke atas pasir.
Sejenak dia
merebahkan dirinya di belakang batu besar yang agak teduh, rebah miring,
pipinya menyentuh pasir hangat. Betapa nikmatnya! Betapa nikmatnya melepaskan
lelah di tempat itu, tidak bangkit lagi, rebah di dalam pelukan bayangan batu,
ditilami pasir yang lembut dan hangat. Dia memejamkan matanya, tubuhnya terasa
nikmat, mengendur dan lepas semua urat tubuhnya.
"Eh, apakah
aku harus mati dalam keadaan begini?" Tiba-tiba terbayang wajah Hong Ing
dan cepat dia membuka mata dan bangkit duduk.
"Tidak!
Aku tidak boleh mati seperti ini!" hardiknya di dalam hati kepada dirinya
sendiri. Dia meloncat berdiri, akan tetapi terguling lagi karena matanya
berkunang dan kepalanya pening sekali.
"Aku
harus cepat keluar dari neraka ini! Aku harus mencari Hong Ing!" Ketekadan
hati ini membuat Kun Liong merangkak-rangkak meninggalkan tempat itu. Kepalanya
pening, dia tidak dapat berdiri dan berjalan, maka merangkak pun jadilah asal
dia dapat melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat berbahaya itu, menuju ke gunung
menghijau di depan itu.
Akan tetapi,
pasir tertimpa matahari yang membuat matanya silau, kembali memaksa dia
menghentikan usahanya merangkak. Ia rebah lagi dan memejamkan matanya.
Terlampau nikmat rebah begini, dan terlampau sengsara melanjutkan perjalanan!
Tiba-tiba
dia menjadi terkejut. Telinganya yang menempel di atas pasir mendengar suara
bergemuruh. Dia segera mengangkat tubuhnya dan terdengarlah lapat-lapat suara
derap kaki kuda. Tak lama kemudian, dari sebelah depan muncullah sepasukan
orang, sebagian kecil berkuda, menuju ke tempat itu! Di depan sendiri tampak
seorang laki-laki bangsa asing dengan rambut putih kekuningan membalapkan
kudanya.
Ketika tiba
di tempat di mana Kun Liong masih berlutut dan menyangga tubuhnya dengan kedua
tangan seperti orang merangkak, laki-laki itu berseru keras, meloncat turun
dari kuda dan menghampiri. Dia berkata dalam bahasa asing yang tidak dimengerti
oleh Kun Liong. Ketika Kun Liong menoleh, orang itu memaki,
"Keparat!
Tentu orang ini sudah merampok anak buahku, lalu membunuh dan merampas
pakaiannya!" Dengan gerakan sangat cepat, orang itu mencabut beberapa
batang anak panah yang tergantung di punggung, memasangnya di busur.
"Wir-wir-wir...
cuat-cuat-cuatt!"
Bukan main
cepatnya orang itu mainkan anak panah dengan busur.
Kun Liong
yang masih pening itu hanya melihat sinar-sinar kilat berkelebat dan anak anak
panah menyambar lantas menancap di sekeliling tempat dia berlutut! Dia telah
dikurung pagar anak panah. Bukan main pandainya orang asing itu menggunakan
busur dan anak panah dan teringatlah dia akan pesan orang asing yang
ditolongnya beberapa hari yang lalu. Dewa Panah! Agaknya orang inilah yang
dijuluki Dewa Panah, dan ilmu panahnya memang hebat!
Kemudian
orang yang memegang anak panah itu meloncat dan hanya dengan dua kali loncatan
saja dia sudah berdiri di hadapan Kun Liong yang kini sudah berhasil bangkit
berdiri di dalam pagar anak panah yang menancap di atas pasir di sekelilingnya
itu. Loncatan orang itu pun membuktikan bahwa selain lihai ilmu panahnya, orang
asing yang masih muda itu juga memiliki kepandaian yang tinggi.
Akan tetapi
hal ini tidak menarik hati Kun Liong yang tentu saja menganggap kepandaian
seperti itu tidak ada artinya. Yang menarik hati Kun Liong adalah ketika dia
mengenal orang asing itu yang bukan lain adalah Marcus, bekas kekasih Kim Seng
Siocia!
Dugaannya
ini memang tidak keliru. Orang itu adalah Marcus, pemuda bangsa Portugis bekas
anak buah Legaspi yang tadinya menjadi kekasih Kim Seng Siocia kemudian ketika
Kim Seng Siocia tewas, dia berhasil melarikan diri sambil membawa kitab-kitab
pusaka dan barang berharga dari nona gemuk itu. Dan di antara ilmu
kepandaiannya Kim Seng Siocia yang dapat dia warisi, di antaranya adalah ilmu
panah yang lihai!
Marcus
berhasil pula menghimpun beberapa orang bekas rekannya sehingga terkumpul lima
orang Portugis yang masih berkeliaran, kemudian bersama lima orang anak buahnya
itu dia menggabungkan diri dengan gerombolan orang Mongol yang berniat
memberontak dan menyerbu ke selatan.
Gerombolan pemberontak
ini terdiri dari ribuan orang dan merupakan pasukan yang kuat, dan sudah siap
untuk bergerak ke selatan. Dalam usaha pemberontakan ini, gerombolan orang
Mongol yang disebut Pasukan Tombak Maut mengadakan kontak dan persekutuan
dengan kaum Pek-lian-kauw!
Berkat ilmu
silat dan ilmu panahnya yang cukup lihai, Marcus memperoleh kedudukan terhormat
di dalam Pasukan Tombak Maut dan sebentar saja dia terkenal sebagai Dewa Panah
karena ilmu panahnya memang hebat dan dikagumi oleh semua orang Mongol.
Pada hari
itu Marcus sedang mengiringi komandannya bersama sepasukan orang Mongol
berjumlah dua puluh orang lebih dan pasukan ini secara kebetulan melalui gurun
pasir di antara pegunungan itu dan bertemu dengan Kun Liong yang telah terancam
bahaya maut karena lelah, lapar dan terutama sekali haus.
Melihat Kun
Liong mengenakan pakaian seorang anak buahnya, dia menjadi curiga dan langsung
mengancam Kun Liong dengan anak panahnya. Kini dia menghadapi Kun Liong ada pun
di belakangnya, duduk di atas kuda sambil memandang tajam, Sang Komandan
Pasukan Tombak Maut menyaksikan tanpa membuka suara. Komandan ini masih muda,
tampan dan gagah, matanya tajam dan gerakan biji matanya liar.
Kun Liong
masih nanar dan pening, pandang matanya masih berkunang sehingga ketika dia
memandang kepada Marcus dan kepada komandan itu, hatinya terkejut sekali dan
dia mengira berada dalam mimpi. Dia mengenal pula komandan itu. Tentu saja dia
tidak akan pernah dapat melupakan wajah Ouwyang Bouw putera Ban-tok Coa-ong
Ouwyang Kok Si Raja Ular!
"Hemm,
dia tentu mata-mata dari selatan yang menyamar. Tangkap saja dia, kita periksa
di markas!" bentak Ouwyang Bouw tanpa turun dari kudanya.
Agaknya baik
Ouwyang Bouw mau pun Marcus tidak mengenal Kun Liong, bukan hanya karena
pakaiannya yang aneh akan tetapi terutama sekali karena Kun Liong yang dulunya
gundul pelontos itu kini telah memiliki rambut hitam lebat.
Ketika
beberapa orang anggota Pasukan Tombak Maut, yaitu orang-orang Mongol anak buah
Ouwyang Bouw, berhasil menghampiri dan mentaati perintah Ouwyang Bouw untuk
menangkapnya, Kun Liong sama sekali tak mau melawan. Dia maklum bahwa andai
kata dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk melawan, tak mungkin dia yang
kelaparan dan kehausan itu mampu mengalahkan Ouwyang Bouw yang dia tahu amat
lihai.
Pula, begitu
melihat Ouwyang Bouw, teringatlah dia akan cerita Hong Ing mengenai suci dara
itu, yaitu Lauw Kim In, wanita cantik manis pendiam yang berhati keras dan
galak. Menurut cerita Hong Ing, Nona Lauw Kim In sudah ditangkap oleh Ouwyang
Bouw dan sudah dibawa pergi menjadi isteri orang berotak miring ini. Teringat
akan ini, selain tidak kuat untuk melawan, Kun Liong membiarkan dirinya
diringkus dan ditawan karena dia pun ingin sekali mengetahui bagaimana dengan
nasib suci dari Hong Ing, di samping ingin memulihkan tenaganya lebih dulu
sebelum melawan.
"Beri
dia makan dan minum, jangan sampai dia mati kelaparan dan kehausan. Kita perlu
mengorek semua rahasia musuh dari mulutnya!" kata pula Ouwyang Bouw dan
diam-diam Kun Liong merasa berterima kasih dengan perintah ini.
Dapat
dibayangkan betapa segar rasanya air dari guci yang diberikan kepadanya, betapa
nikmat roti kering dan daging yang dimakannya. Diam-diam di dalam hatinya dia
berjanji sendiri bahwa untuk makan dan minum saja dia sudah berhutang nyawa
pada Ouwyang Bouw.
Biar pun
dahulu Ouwyang Bouw menggunakan jarum merah beracun menyerangnya dan membuat
kepalanya menjadi gundul, namun sekali ini Ouwyang Bouw dianggapnya telah
menyelamatkannya maka dia pun berjanji takkan mengganggu keselamatan putera
Raja Ular itu.
Kun Liong
dibawa oleh rombongan itu sebagai seorang tawanan, dan melihat bahwa dia tidak
melakukan perlawanan bahkan sama sekali tidak membayangkan sebagai seorang yang
pandai ilmu silat, biar pun dia dianggap sebagai seorang mata-mata musuh namun
dia tidak diperlakukan kasar, hanya disuruh berjalan kaki mengikuti rombongan
itu, tanpa dibelenggu kedua tangannya, hanya rantai yang dihubungkan dengan
belenggu sebelah kakinya dipegang oleh seorang anggota pasukan.
Kiranya
markas Pasukan Tombak Maut itu berada di pegunungan yang dari jauh tampak
kehijauan tadi. Perjalanan untuk menuju ke pegunungan itu masih memakan waktu
sehari semalam sehingga diam-diam Kun Liong bergidik. Kalau saja dia tidak
bertemu dengan gerombolan ini, menjadi tawanan dan diberi makan, agaknya belum
tentu dia akan dapat tiba di pegunungan ini dalam keadaan masih bernyawa.
Barulah dia mengalami sendiri betapa bahayanya melakukan perjalanan melintasi
gurun pasir tandus tanpa membawa bekal secukupnya.
Ketika rombongan
itu sampai di puncak gunung, dengan kaget Kun Liong melihat bahwa puncak itu
merupakan sebuah perkampungan gerombolan yang sangat besar dan kuat.
Bangunan-bangunan yang kokoh kuat dilingkari tembok benteng dan dijaga bagai
sebuah benteng tentara saja. Dia dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan dan
didorong masuk ke dalam sebuah kamar itu, pintu ditutup rapat dan tempat itu
dijaga kuat.
Pada
keesokan harinya, barulah dia diambil oleh empat orang penjaga dan dia
diiringkan memasuki sebuah ruangan besar di mana tampak duduk Marcus, Ouwyang
Bouw, serta beberapa orang Mongol berpakaian perwira dan di tengah-tengah
mereka, di atas sebuah kursi tinggi dan berukir indah, duduk seorang wanita
cantik yang berpakaian indah seperti seorang ratu.
Melihat
wanita ini, Kun Liong terkejut karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain
adalah Lauw Kim In! Wanita cantik ini, dengan sikapnya yang agung,
kecantikannya yang dingin, memandang dan dari sinar matanya yang bercahaya itu
Kun Liong dapat menduga bahwa suci dari Hong Ing itu agaknya mengenalnya.
Bagaimanakah
Lauw Kim In dapat berada di sana dan agaknya menjadi tokoh tertinggi, menjadi
pucuk pimpinan di antara gerombolan orang Mongol itu? Seperti telah diceritakan
di bagian depan, Lauw Kim In dan sumoi-nya, Pek Hong Ing, bertemu dengan
Ouwyang Bouw di tengah hutan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Ouwyang Bouw
berhasil merobohkan dua orang kakak beradik seperguruan itu.
Ouwyang Bouw
jatuh cinta kepada Kim In, maka dia mengancam untuk membunuh Hong Ing dan
akhirnya secara tidak terduga-duga oleh Hong Ing sendiri, suci-nya itu menyerah
dan menerima menjadi isteri Ouwyang Bouw! Hong Ing dibebaskan oleh Ouwyang Bouw
yang kegirangan dan sambil tertawa-tawa, Ouwyang Bouw lalu berlari cepat
memondong tubuh Lauw Kim In meninggalkan Pek Hong Ing.
Kim In
memejamkan matanya dan menguatkan hatinya. Dia menerima semua perlakuan Ouwyang
Bouw kepadanya, bahkan dia tak membantah atau melawan sedikit pun ketika
Ouwyang Bouw mencumbunya, menciuminya dan menjadikan dia sebagai isterinya pada
malam hari itu juga, di dalam hutan, di sebuah kuil tua.
Kim In
sengaja mengorbankan kehormatannya, bukan semata-mata untuk menolong dan
menyelamatkan sumoi-nya, bukan pula semata-mata hendak menyelamatkan nyawanya
sendiri melainkan karena dia melihat keuntungan jika dia menjadi isteri pemuda
tampan akan tetapi setengah gila ini.
Dia melihat
betapa Ouwyang Bouw mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Dia ingin
mempelajari ilmu dari pemuda yang menjadi suaminya ini, suami yang diterimanya
bukan karena cinta. Sama sekali bukan. Bahkan dia merasa muak dan jijik setiap
kali Ouwyang Bouw mendekatinya dan menidurinya, namun semua itu
dipertahankannya dengan tabah dan dengan mematikan segala perasaannya.
Bagi Ouwyang
Bouw sendiri, kerelaan hati Kim In menerimanya sebagai seorang suami meski
tanpa pernikahan resmi, membuat dia makin tergila-gila sehingga pemuda sinting
ini benar-benar jatuh cinta kepada Lauw Kim In.
Setelah
menderita siksaan batin pada masa ‘pengantin baru’ tanpa menjadi pengantin ini,
Kim In mulai mempergunakan pengaruh kekuasaan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw. Dia
minta diajari ilmu-ilmu tertinggi dari suaminya itu dan Ouwyang Bouw dengan
suka hati mengajarinya, bahkan dapat dikatakan dia terpaksa menuruti permintaan
isterinya karena Kim In selalu mengancam tidak mau melayaninya kalau tidak mau
menurunkan ilmunya yang paling tinggi!
Kim Ing
mulai mempergunakan tubuhnya yang membuat Ouwyang Bouw tergila-gila itu sebagai
alat untuk memeras! Semua ini dilakukannya hanya dengan satu niat, yaitu untuk
membalas dendam terhadap musuh yang dibencinya, yang dianggapnya mendatangkan
segala malapetaka yang dideritanya sampai sekarang. Dan musuh itu adalah
Thian-ong Lo-mo!
Dahulu, Lauw
Kim In telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tampan dan yang diam-diam
sudah menjatuhkan hati Lauw Kim In. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa
hancur hati dara ini ketika mendengar berita bahwa tunangannya itu tewas
dibunuh oleh Thian-ong Lo-mo akibat tertangkap basah sedang bercinta dengan
selir muda yang cantik dari Thian-ong Lo-mo!
Peritiwa itu
akhirnya mendatangkan dua akibat di dalam hati Lauw Kim In. Pertama, dia
menjadi seorang dara yang berwatak dingin dan bahkan selalu kelihatan membenci
kaum pria yang dianggapnya semua hidung belang dan tidak setia seperti
tunangannya itu. Kedua, dia menaruh dendam yang amat mendalam terhadap
Thian-ong Lo-mo yang sudah membunuh tunangannya.
Anggapannya
bahwa kalau tidak ada Thian-ong Lo-mo, tentu tak ada pula selirnya yang cantik
sehingga tunangannya tidak berjinah dan tidak akan terbunuh mati. Akan tetapi,
pada saat itu untuk dapat membalas dendam merupakan hal yang mustahil sebab
tingkat kepandaian kakek itu adalah setingkat kepandaian subo-nya sendiri, mana
mungkin dia dapat menang menghadapi kakek itu?
Itulah yang
menyebabkan Kim In tidak peduli lagi bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya
kepada seorang pria seperti Ouwyang Bouw yang sama sekali tidak dicintanya.
Baginya, semua pria sama saja! Dan dia lalu mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi
dari ‘suaminya’ itu dengan tekun sampai dia merasa bahwa ilmu kepandaiannya
sudah maju pesat sekali. Terutama dia mempelajari pukulan-pukulan beracun dari
suaminya yang ahli dalam hal ini.
Setahun
kemudian, dengan memaksa suaminya yang semakin tunduk dan semakin takut
kepadanya karena makin tergila-gila, Lauw Kim In dapat membujuk Ouwyang Bouw
untuk pergi ke kaki Pegunungan Go-bi-san mencari Thian-ong Lo-mo! Pada saat
itu, Thian-ong Lo-mo telah melarikan diri karena gagal membantu Kwi-eng Niocu.
Dia berhasil lolos dari maut ketika pasukan pemerintah menyerbu Kwi-eng-pang
dan karena merasa telah putus harapan, dia segera melarikan diri kembali ke
tempat pertapaannya semula, yaitu di kaki Pegunungan Go-bi-san.
Kagetlah
hati Thian-ong Lo-mo ketika pagi hari itu, di depan goanya muncul dua orang
muda, seorang pria dan seorang wanita. Tempat itu biasanya sunyi sekali dan dia
tidak mengharapkan kedatangan siapa pun juga. Apa lagi dia sama sekali tidak
mengenal pria dan wanita muda itu. Dia baru memandang penuh perhatian ketika
wanita itu membentak,
"Thian-ong
Lo-mo, aku datang untuk mencabut nyawamu!"
Thian-ong
Lo-mo menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang keluar dari goa, berdiri
menghadapi dua orang itu dan dia memandang penuh perhatian kepada Lauw Kim In.
Akhirnya dia ingat akan dara ini dan dia menegur, "Ehh, bukankah engkau
ini seorang di antara dua orang murid Go-bi Sin-kow?"
"Benar,
aku Lauw Kim In, dan aku datang untuk mencabut nyawamu, membalas kematian
tunanganku!"
Thian-ong
Lo-mo mengangguk-angguk maklum. Teringatlah dia akan tunangan dara yang telah
berani bermain gila dengan selirnya sehingga terpaksa dibunuhnya. Tertawalah
dia.
"Ha-ha-ha,
sungguh lucu, murid Go-bi Sin-kouw berani mengancam hendak membunuh aku! Ehhh,
bocah. Kau lumayan juga, selain manis juga pemberani. Akan tetapi, melihat
engkau telah memperoleh seorang tunangan baru, kenapa engkau masih meributkan
soal kematian tunanganmu yang lama? Apakah tunanganmu yang baru ini kurang
mampu? Kalau begitu, lebih baik kau berganti pacar lagi, dan bagaimana kalau
dengan aku saja? Ha-ha-ha, biar pun aku sudah tua, kiranya kemampuanku tidak
akan kalah dibandingkan dengan pacarmu yang pucat ini, ha-ha-ha!"
"Thian-ong
Lo-mo, kematian sudah di depan mata, engkau masih mengeluarkan kata-kata
sombong. Makanlah ini!" Ouwyang Bouw berkata tenang akan tetapi tahu-tahu
dari kedua tangannya menyambar sinar-sinar merah. Itulah jarum-jarum merah
beracun yang dilepas dan digerakkan dengan sentilan jari-jari tangannya secara
lihai sekali.
"Heiii...!"
Thian-ong Lo-mo terkejut sekali ketika dia mengelak, tercium olehnya bau harum
memuakkan, dan jarum itu sedemikian cepat luncurannya sehingga meski pun dia
sudah cepat mengelak, ada sebatang yang hampir mengenai lehernya. Dia memandang
dengan mata terbelalak kaget lalu bertanya, "Engkau siapa...?"
Ouwyang Bouw
tidak menjawab segera, melainkan mencabut pedangnya perlahan-lahan, pedangnya
yang berbentuk seekor ular. Kemudian dia berkata, suaranya seperti orang tidak
acuh, akan tetapi nadanya penuh ancaman. "Dia adalah isteriku, engkau tua
bangka berani menghina isteriku, karenanya harus mampus!"
Thian-ong Lo-mo
kini mulai memandang orang muda yang tadinya dipandang rendah itu dengan penuh
perhatian. Sikap orang muda itu membuat dia marah, akan tetapi serangan jarum
itu tadi sangat mengejutkannya dan pada waktu dia melihat pedang berbentuk ular
di tangan Ouwyang Bouw, dia mengerutkan alisnya.
"Apa
hubunganmu dengan Ban-tok Coa-ong?" tanyanya karena dia langsung mengenal
pedang ular itu.
"Mau
apa kau menyebut-nyebut nama julukan ayahku?"
Thian-ong
Lo-mo terkejut sekali. Kiranya gadis murid Go-bi Sian-kouw yang mendendam
kepadanya karena tunangannya dahulu dibunuhnya itu telah menjadi isteri putera
Ban-tok Coa-ong! Dia merasa gentar juga karena dia sudah mendengar betapa
lihainya putera Raja Ular itu, tidak berbeda dengan ayahnya!
"Ahh,
kalau begitu kita adalah orang sendiri!" serunya. "Orang muda, kalau
engkau putera Ouwyang Kok, tentu engkau yang bernama Ouwyang Bouw dan
ketahuilah bahwa antara ayahmu dan aku terdapat tali persahabatan yang
erat."
"Hemmm,
tidak seerat tali hubungan antara aku dan isteriku!" bantah Ouwyang Bouw.
"Kau
keliru! Antara ayahmu dan aku terdapat hubungan seperjuangan! Ayahmu tewas di
tangan Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo, dan aku pun musuh dari pemerintah
lalim yang sekarang berkuasa. Bahkan kita harus bersatu padu untuk merobohkan
pemerintah ini, untuk membalas dendam kematian ayahmu. Jangan kau sampai
terseret oleh urusan pribadi isterimu. Sebetulnya antara dia dan aku pun tidak
terdapat permusuhan apa-apa. Tunangannya dulu kubunuh karena tunangannya itu
telah berani berjinah dengan selirku, mereka tertangkap basah, maka
kubunuh."
Mendengar
ucapan ini, Ouwyang Bouw kelihatan meragu. Memang dia menaruh dendam kepada Cia
Keng Hong dan Panglima The Hoo atas kematian ayahnya.
"Ouwyang
Bouw, kau masih diam seperti patung? Hayo cepat bantu aku merobohkan tua bangka
ini, akan tetapi awas, jangan sampai dia terbunuh di dalam tanganmu. Aku harus
membunuhnya dengan tanganku sendiri." Lauw Kim In berkata dengan suara
dingin dan pandang mata marah kepada suaminya.
Mendengar
kata-kata ini, lenyaplah semua keraguan dari wajah Ouwyang Bouw. Pedang ularnya
berkelebat dan dia sudah menyerang Thian-ong Lo-mo dengan tusukan maut.
"Tranggg...!"
Kakek tinggi
besar brewok ini sudah menggunakan sabuk rantai gergaji untuk menangkis.
"Ouwyang Bouw jangan bodoh kau! Ingat, banyak orang gagah yang roboh hanya
karena bujukan mulut wanita!"
"Tua
bangka keparat!" Lauw Kim In memekik nyaring lantas pedangnya berubah
menjadi sinar putih ketika meluncur ke arah leher Thian-ong Lo-mo dengan
kecepatan kilat.
Kakek itu
cepat meloncat dan mengelak, diam-diam terkejut karena mendapat kenyataan bahwa
gerakan wanita itu hebat bukan main. Mengertilah dia bahwa wanita itu tentu
telah memperdalam ilmunya setelah menjadi isteri Ouwyang Bouw. Dia adalah
seorang tokoh dunia kaum sesat yang terkenal, memiliki banyak pengalaman dan
tentu saja dia menjadi marah melihat dua orang muda itu mendesaknya.
"Bagus!
Jangan kira Thian-ong Lo-mo takut kepada kalian!" Dia lalu memutar
senjatanya sabuk rantai gergaji yang mengeluarkan bunyi berkerincing nyaring
itu, segera membalas serangan lawan sehingga terjadilah pertandingan yang seru,
hebat dan mati-matian.
"Cringgg...
wuuuttt…! Wuuutttt…!"
Senjata
rantai gergaji itu menyambar dahsyat ke arah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In
dengan suara berdencingan nyaring, akan tetapi kedua orang muda itu dapat
mengelak dengan baik, bahkan meloncat ke kanan kiri dan dari dua jurusan ini
pedang mereka menusuk ke lambung kiri dan leher kanan! Diserang dari dua
jurusan ini, Thian-ong Lo-mo meloncat ke belakang, memutar senjatanya ke kanan
kiri dengan cepat untuk menangkis.
"Cringg…!
Tranggg...!"
Namun,
pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang tertangkis itu sudah meluncur seperti
ular hidup, membalik dan menusuk ke arah pelipis kanan lawan, sedangkan Lauw
Kim In dengan gerakan yang sama, juga sudah membacokkan pedangnya ke arah mata
kaki kiri kakek brewok itu.
"Cring…
cringgg...! Wuuut…! Wuuuttt…!"
Hanya dengan
kecepatan luar biasa dan dengan susah payah saja kakek itu baru berhasil
menangkis serangan dua batang pedang dari kanan kiri itu. Dia lalu memutar
senjatanya, namun juga dapat dielakkan oleh dua orang pengeroyoknya yang
mempunyai keringanan tubuh mengagumkan sekali.
Kini
terjadilah serang-menyerang dengan gencar, kedua pihak mengeluarkan jurus-jurus
maut dan berkali-kali terdengar suara berdencingan senjata yang saling bertemu
dengan kerasnya diselingi bersiutnya senjata menyambar yang membelah udara
karena berhasil dielakkan oleh sasarannya.
Thian-ong
Lo-mo yang maklum bahwa dua orang lawannya itu, sungguh pun masih muda akan
tetapi memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, telah mengeluarkan semua tenaga
dan kepandaiannya. Berkat pengalamannya yang amat banyak selama puluhan tahun
malang melintang di dunia kang-ouw, dia masih dapat mempertahankan diri, biar
pun usia tuanya mulai memperlihatkan kelemahan daya tahannya dan napasnya yang
mulai memburu.
"Hyaaahhhh…!"
Tiba-tiba saja kakek itu memekik nyaring, pekik yang dikeluarkan dengan
pengerahan khikang sehingga mengandung tenaga mukjijat yang menggetarkan lawan,
sementara rantai gergaji di tangannya menyambar-nyambar ganas sekali.
"Sing-sing...
wuuuttt... brettt!"
"Aihhh...!"
Saking
dahsyatnya serangan Thian-ong Lo-mo tadi, meski Lauw Kim In sudah menangkis dan
mengelak seperti yang dilakukan suaminya, tetap saja baju di punggungnya
tercium rantai dan terobek lebar.
"Ha-ha-ha!"
Thian-ong Lo-mo tertawa, sengaja mengeluarkan suara tawa untuk mengejek lawan,
sungguh pun dia merasa kecewa bahwa senjatanya hanya berhasil merobek baju,
tidak melukai tubuh lawan.
Di lain
pihak, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In marah bukan main. Sambil berteriak keras
mereka maju mendesak, mengirim serangan-serangan bertubi dan mengerahkan tenaga
sinkang mereka. Thian-ong Lo-mo terpaksa memutar senjatanya melindungi
tubuhnya.
"Cring-cring-cringggg...!"
Thian-ong
Lo-mo dan Lauw Kim In berteriak keras sambil meloncat ke belakang. Senjata
rantai gergaji itu patah, juga pedang Kim In patah. Hanya pedang ular di tangan
Ouwyang Bouw yang masih utuh. Melihat senjatanya sudah patah dan rusak,
Thian-ong Lo-mo lalu membuang senjatanya. Juga Lauw Kim In membuang pedang yang
tinggal sepotong.
"Ha-ha-ha,
bersiaplah kau untuk mampus, tua bangka Thian-ong Lo-mo!" Ouwyang Bouw
tertawa bergelak sambil menyimpan pedang ularnya.
Menyaksikan
kesombongan Ouwyang Bouw yang tidak mau menghadapi dia yang sudah bertangan
kosong itu dengan pedangnya, diam-diam hati Thian-ong Lo-mo menjadi amat
girang. Pemuda sombong, pikimya, kesombonganmu ini akan kau tebus dengan
jiwamu!
Tanpa banyak
cakap lagi Thian-ong Lo-mo menggereng, kemudian maju menyerang dua orang
pengeroyoknya dengan kedua tangannya. Hebat bukan main serangan kakek ini.
Mula-mula
dia menggerak-gerakkan sepasang tangannya saling bersilang dengan jari-jari
tangan terbuka. Jari-jari tangan itu tergetar, menggigil terisi penuh dengan
tenaga sinkang yang sangat kuat sehingga dalam keadaan seperti itu, bahkan
kuku-kuku jari tangannya berubah menjadi sekuat cakar baja! Thian-ong Lo-mo
lantas menyerbu ke depan, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala
Ouwyang Bouw sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada Kim In.
Gerakannya benar-benar berupa serangan maut!
Akan tetapi
kedua orang lawannya sudah siap. Mereka berdua maklum bahwa dalam hal kekuatan
sinkang mungkin mereka masih kalah setingkat melawan kakek yang amat lihai itu.
Akan tetapi keduanya memiliki andalan dan andalan ini pula yang membuat Ouwyang
Bouw berani memandang rendah hingga tadi dia menyimpan pedangnya. Mereka berdua
mengandalkan tok-ciang (tangan beracun) mereka!
Baru kurang
lebih setahun bersama-sama dengan suaminya, Lauw Kim In telah memiliki sepasang
tangan beracun yang amal lihai. Hal ini hanya dapat terjadi karena bujukannya
terhadap Ouwyang Bouw yang sebetulnya merahasiakan ilmu keturunan ini. Akan
tetapi karena dia sudah tergila-gila kepada Kim In, dia memenuhi permintaan
isterinya tercinta itu dan setiap hari dia merendam kedua tangan dan lengan
istrinya sampai ke batas siku dengan cairan ramuan obat yang mengandung racun
ular Cobra!
Di samping
ini dia melatih istrinya dengan pukulan-pukulan dari tok-ciang itu. Baru
berlatih setahun saja, dengan sekali pukul, tangan kiri atau kanan wanita muda
ini dapat membuat lawan roboh dan tewas dengan tubuh bengkak-bengkak seperti
tergigit ular Cobra! Dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya kedua
tangan Ouwyang Bouw yang sudah dilatih belasan tahun itu!
"Dukk!
Dukkk!" Kedua lengan kakek Thian-ong Lomo tertangkis oleh lengan kedua
orang lawannya.
Ketika tadi
dia melihat dua orang muda itu berani menangkisnya, diam-diam dia menjadi
girang sehingga dia cepat mengerahkan sinkang-nya. Benturan lengan mereka
membuat Ouwyang Bouw dan Kim In terhuyung ke belakang dan segera terdengarlah
suara ketawa Thian-ong Lo-mo yang merasa girang karena benturan lengan tadi
membuktikan bahwa sinkang-nya masih lebih kuat dari pada kedua orang lawannya.
"Ha-ha-ha...
ehhh...?" Suara ketawanya tiba-tiba terhenti dan berganti teriakan kaget.
Dia
memandang kedua buah lengannya dan matanya terbelalak. Ketika menyingsingkan
lengan baju, dia melihat lengannya merah dan terasa gatal-gatal. Kini tahulah
dia bahwa kedua kulit tengannya telah terkena hawa beracun!
"Ha-ha-ha-ha!"
Ouwyang Bouw tertawa.
"Hi-hik-hik,
tua bangka, bersiaplah untuk mampus!" Kim In juga mengejek dan wanita ini
sudah menerjang maju bersama suaminya.
"Haiiitit...
hehhh!" Thian-ong Lo-mo cepat mengelak kesana kemari, lantas membalas
dengan pukulan-pukulan maut.
Namun dia
segera terdesak hebat karena kakek ini merasa ragu-ragu untuk menangkis
pukulan-pukulan lawan. Dia hanya mengelak ke sana-sini sehingga tentu saja hal
ini tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk balas menyerang, tidak
seperti kalau dia menangkis lalu membalas langsung.
Kadang-kadang,
secara terpaksa Thian-ong Lo-mo menangkis juga, namun kalau hal ini dilakukan,
dia mengisi lengannya dengan hawa sinkang sepenuhnya untuk menolak hawa beracun
dari lengan lawan. Betapa pun juga, tetap saja kulit lengan yang terbentur
lengan lawan terasa gatal-gatal, tanda bahwa biar pun hawa beracun itu tidak
meresap ke daging dan tulang, namun tetap saja meracuni kulitnya. Semakin
banyak dia menangkis, makin hebat pula rasa gatal yang menyiksa kedua
lengannya.
Di antara
perasaan yang biar pun tidak berapa nyeri namun sukar dipertahankan manusia
adalah rasa gatal. Mungkin kalau kedua lengan Thian-ong Lo-mo itu terasa nyeri
betapa hebat pun, kakek ini masih dapat mempertahankan. Akan tetapi diserang
rasa gatal yang membuat seluruh bulu di tubuhnya bangkit meremang, sukar untuk
dipertahankan tanpa digaruk, maka hal ini tentu saja sangat menyiksanya dan
membuat gerakan ilmu silatnya menjadi kacau balau tidak karuan.
Dia sudah
terkena pukulan sampai tiga kali, dua kali oleh Ouwyang Bouw dan sekali oleh
Kim In. Namun, berkat ilmunya I-kiong Hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah)
yang sempurna, Thian-ong Lo-mo sanggup membuat tubuhnya kebal dan jalan
darahnya tidak terluka oleh pukulan-pukulan itu, hanya bagian kulitnya yang
terkena pukulan saja yang menjadi merah kehitaman dan terasa gatal bukan main.
"Hyaaahhhh...
robohlah...!" Tiba-tiba Thian-ong Lo-mo membentak dan kedua tangannya
bergerak ke depan.
Ouwyang Bouw
dan Kim In cepat mengelak ketika melihat berkelebatnya sinar dari kedua tangan
kakek itu dan mendengar suara bercuitan. Namun karena jaraknya sangat dekat,
meski pun mereka mengelak, tetap saja pangkal lengan kiri Ouwyang Bouw
keserempet dan betis kanan Kim In ketika meloncat terkena senjata rahasia yang
dilepas oleh kakek itu. Kiranya senjata rahasia itu hanyalah kancing-kancing
baju kakek itu sendiri.
Karena tadi
terdesak hebat, terutama sekali disiksa rasa gatal-gatal, Thian-ong Lo-mo kemudian
memperoleh akal. Tanpa diketahui kedua lawannya, diam-diam dia mencabuti
kancing-kancing bajunya dan menanti kesempatan baik, lalu secara tiba-tiba
menyerang kedua lawannya dengan kancing-kancing itu. Sayang baginya, kedua
lawannya terlampau gesit sehingga hanya terluka ringan saja.
Celakanya,
menyerang kedua orang suami isteri ini dengan senjata rahasia sama halnya
dengan menantang ikan berlomba renang! Penggunaan kancing-kancing sebagai
senjata rahasia oleh Thian-ong Lo-mo itu sama saja dengan menantang Ouwyang
Bouw dan Kim In, padahal kedua suami isteri ini adalah ahli-ahli senjata
rahasia jarum merah beracun!
Maka mereka
berdua langsung menggerakkan kedua lengan bergantian dan sinar-sinar merah
menyambar ke arah tubuh Thian-ong Lo-mo. Kakek ini masih berusaha mengelak,
namun terlalu banyak jarum-jarum kecil halus itu menyambar, dan terlalu dekat
jaraknya sehingga akhirnya dia berteriak keras dan roboh bergulingan di atas
tanah.
Ouwyang Bouw
tertawa dan dua kali tangannya bergerak. Seketika tubuh itu tidak dapat
bergerak lagi, telentang di atas tanah karena pada sambungan lutut dan paha,
masing-masing telah dimasuki sebatang jarum merah yang amat beracun, membuat
kaki tangan kakek itu menjadi lumpuh tak mampu digerakkan lagi!
"Ha-ha-ha,
isteriku sayang. Dia sudah tak berdaya, sekarang lakukanlah apa yang ingin kau
lakukan!" Ouwyang Bouw berkata sambil mencari tempat duduk di atas sebuah
batu untuk mengaso dan menonton isterinya membalas dendam.
Lauw Kim In
memang merasa sakit hati sekali terhadap Thian-ong Lo-mo. Kakek inilah yang
dianggapnya sudah menjadi biang keladi perubahan hidupnya. Betapa dia tak akan
menyesal. Sampai saat itu pun, kalau diingat, dia menjadi berduka dan penasaran
sekali.
Dia seorang
murid Go-bi Sin-kouw, seorang wanita yang tergolong gagah perkasa dan cantik,
terpaksa harus menyerahkan dirinya menjadi isteri seorang berotak miring
seperti Ouwyang Bouw, dan semua itu adalah gara-gara kakek Thian-ong Lo-mo ini!
Kalau saja dulu tunangannya tidak dibunuh, tentu dia telah menjadi isteri
tunangannya itu dan hidup bahagia! Dengan dendam membara di dada wanita ini
lalu mengambil pedangnya yang tinggal sepotong, kemudian menghampiri tubuh
kakek yang rebah telentang itu.
Melihat Lauw
Kim In datang membawa pedang buntung, Thian-ong Lo-mo maklum bahwa dia tentu
akan dibunuh, maka dia berkata, "Aku sudah kalah oleh kecurangan kalian
yang menggunakan racun. Nah, mau bunuh lekas bunuh, aku sudah tua, tidak kau
bunuh pun tak lama lagi tentu mati!" Ucapan ini dikeluarkan untuk menutupi
rasa ngeri dan takutnya.
Tanpa
mengeluarkan kata-kata tetapi kedua matanya mengeluarkan sinar menyeramkan, Kim
In melangkah maju menghampiri tubuh yang telentang tidak berdaya itu. Tangannya
menggenggam gagang pedang erat-erat, pedang yang buntung, tidak runcing akan
tetapi tentu saja masih amat tajam. Tangannya lalu bergerak, pedang pun
berkelebat ke depan.
"Haiiittt...!"
Tiba-tiba saja tubuh yang sudah tak berdaya dan lumpuh itu mencelat ke atas,
mulutnya terpentang lebar dan ternyata kakek yang amat lihai itu kini
menggunakan mulut untuk menyerang dan menggigit ke arah tenggorokan Kim In!
"Plakk!
Desss...!"
Untung Kim
In bersikap waspada dan dapat melihat serangan lawan, lalu tangan kirinya
menampar dan memukul, membuat tubuh itu terbanting keras dalam keadaan
telentang lagi. Kalau saja dia tidak waspada dan lehernya sampai tergigit,
tentu gigitan itu tak akan dilepaskan sebelum kakek itu tewas, dan ini dapat
berarti tewasnya Kim In pula! Dengan penuh kemarahan Kim In melangkah maju,
tangan kanannya yang memegang pedang bergerak.
"Blesss...
rettt...!"
Kim In
meloncat muncur pada saat darah muncrat-muncrat dari tubuh depan kakek itu.
Dari dada sampai ke bawah perut, tubuh itu terobek dan terkuak lebar, darah
muncrat dan isi perutnya keluar.
Mata kakek
itu terbelalak melotot, kaki tangannya yang lumpuh berkelojotan sebentar lalu
dia pun terdiam. Hanya isi perutnya yang keluar itu masih sedikit
bergerak-gerak bersama gerakan darah muncrat dan mengalir.
"Ha-ha-ha!"
Ouwyang Bouw tertawa bergelak-gelak, menambah seramnya pemandangan di saat itu.
Lauw Kim In
hanya menunduk, berdiri dengan muka pucat dan menunduk, tanpa berkata apa-apa
lalu membuang pedang buntung yang berlumuran darah, kemudian membalikkan
tubuhnya dan berkelebat pergi dari tempat itu, diikuti oleh suaminya yang
tertawa-tawa.
Mayat
Thian-ong Lo-mo ditinggalkan menggeletak di tempat itu, dengan dada dan perut
terbuka. Dari jauh terdengar suara gerengan binatang hutan dan nampak beberapa
ekor burung nazar pemakan bangkai yang beterbangan di atas tempat itu,
binatang-binatang itu agaknya dapat mencium bau darah dan mayat.
Sementara
itu, puas karena telah berhasil membalas dendam, Kim In bersama Ouwyang Bouw
hendak kembali ke timur. Namun, serombongan orang Mongol dan beberapa orang barat
yang dikepalai oleh Marcus yang dikenal sebagai Dewa Panah telah menghadang
mereka di tengah jalan! Dengan amat mudah, Ouwyang Bouw dan Kim In merobohkan
para pimpinan gerombolan ini.
Oleh karena
Marcus mendengar bahwa laki-laki tampan gagah yang memiliki kepandaian amat
tinggi itu adalah putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia
Keng Hong yang membantu Panglima The Hoo, dia menggunakan kesempatan itu untuk
menarik tenaga Ouwyang Bouw. Dia lalu menyatakan takluk dan membawa semua anak
buahnya beserta para pemberontak Mongol, mengangkat Ouwyang Bouw sebagai kepala
dari gerombolan yang semuanya berjumlah tidak kurang dari seribu orang Mongol!
Demikianlah,
suami isteri ini menjadi pimpinan gerombolan orang Mongol. Dan tentu saja
puncak pimpinan segera berada di tangan Lauw Kim In sebab suaminya tunduk
padanya, sehingga Ouwyang Bouw yang memiliki kepandaian tinggi itu seakan-akan
hanya menjadi pembantunya!
Setelah
dendamnya terlaksana dan dia dapat membunuh musuhnya, Kim In menganggap bahwa
hidupnya tidak ada artinya lagi. Tapi, mengingat betapa suaminya telah bersikap
baik kepadanya, biar pun dia tidak mencintanya, bahkan telah membantunya
membunuh Thian-ong Lo-mo, dia merasa kasihan juga mendengar bahwa suaminya itu
tidak akan tenteram hatinya sebelum membalas kematian ayahnya.
Ouwyang Bouw
maklum bahwa agaknya tidak akan mungkin baginya untuk membunuh Cia Keng Hong
dan Panglima Sakti The Hoo, namun setidaknya dia akan merongrong kewibawaan
panglima itu, akan mengganggu pemerintah!
Dan Kim In
merasa berhutang budi kepada Ouwyang Bouw, maka dari pada menderita hidup yang
kosong, dia lalu membantu suaminya, bahkan kini dia menikmati kedudukan sebagai
orang paling terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut yang dipimpin suaminya. Ia
diperlakukan seperti ratu dan lama-kelamaan kedudukan atau kemuliaan ini
merupakan kebutuhan baginya, membuat dirinya mabok dan tidak ingin
melepaskannya lagi karena menganggapnya sebagai kebahagiaan hidupnya!
Memang
demikianlah kehidupan manusia, seperti Lauw Kim In itu…..
Kita manusia
dibikin mabok oleh pikiran kita sendiri, oleh kenangan yang melahirkan
keinginan. Kita melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang menyenangkan,
lalu kita ingin hal itu berlangsung terus atau berulang kembali, dan kita takut
kehilangan itu sehingga kita mati-matian membelanya atau mencarinya kalau yang
menyenangkan itu meninggalkan kita. Dalam membela atau mencari ini, kita tak
segan-segan merobohkan siapa saja yang menghalang di tengah jalan.
Dan
celakanya, kita menganggap bahwa yang menyenangkan itu adalah kebahagiaan! Kita
lupa bahwa kesenangan tidak akan terpisah dari kekecewaan, kekhawatiran mau pun
kedukaan. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh menikmati kesenangan, tetapi
bodohlah bila kita mengikatkan diri pada kesenangan yang berarti kita
menghambakan diri kepada nafsu kesenangan.
Hanya dia
yang bebas dari segala ikatan lahir mau pun batin, dialah yang benar-benar
hidup, karena bagi dia yang bebas dari segala ikatan tidak membutuhkan apa-apa
lagi, juga tidak membutuhkan kebahagiaan karena sudah bahagia!
Demikianlah
pengalaman Lauw Kim In sampai pada suatu hari ketika suaminya dengan Marcus
menangkap seorang tawanan dan pada keesokan harinya pagi-pagi tawanan itu
dibawa menghadap ke dalam satu ruangan di mana dia hadir bersama Ouwyang Bouw,
Marcus, dan lima orang pemimpin bangsa Mongol yang siap hendak memeriksa
tawanan yang mencurigakan itu.
Ketika Lauw
Kim In mengangkat mukanya memandang wajah tawanan itu, seketika dia teringat.
Tawanan itu adalah Yap Kun Liong, bocah gundul yang dahulu menjadi sahabat sumoi-nya!
Biar pun Kun Liong memakai pakaian bangsa kulit putih, biar pun kepala yang
dulunya gundul pelontos itu kini sudah berambut, Kim In tidak pangling lagi.
Jantungnya berdebar tegang. Betapa pun juga, bertemu dengan pemuda ini membuat
dia teringat akan sumoi-nya, satu-satunya orang yang dikasihinya.
"Kalian
sudah salah menangkap orang!" mendadak terdengar Kim In berkata, "Dia
adalah teman sumoi-ku." Ia menoleh kepada suaminya kemudian berkata,
"Harap kau buka dulu belenggunya dan biar aku yang menanyainya."
Ouwyang Bouw
tidak membantah. Sekali tangannya bergerak meraba belenggu, patahlah belenggu
kaki tangan Kun Liong. Diam-diam Kun Liong mencatat di dalam hatinya bahwa
Ouwyang Bouw akan merupakan lawan yang sangat tangguh. Akan tetapi dia bersikap
tenang, tersenyum dan menjura ke arah Lauw Kim In.
"Nona
Lauw Kim In sungguh bermata tajam, dapat mengenalku. Apakah selama ini Nona
berada dalam keadaan baik-baik saja?"
"Heh,
dia itu isteriku, bukan nona lagi. Hati-hati menjaga mulutmu, jangan kau kurang
ajar terhadap isteriku!" Ouwyang Bouw menegur dengan hati cemburu melihat
tawanan itu tersenyum-senyum dan bicara kepada isterinya.
Kun Liong
lalu menoleh kepada laki-laki yang memandangnya dengan biji mata
berputar-putaran liar itu, masih tersenyum dan berkata, "Saudara Ouwyang
Bouw, engkau makin galak saja sekarang. Aku tidak bermaksud kurang ajar kepada
isterimu."
"Kau...
kau mengenal namaku?" Ouwyang Bouw berseru kaget dan memandang penuh
perhatian.
Kun Liong
mengelus rambut di kepalanya. "Siapa tidak mengenal engkau dan ayahmu,
Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok? Sampai sekarang masih terbayang di hadapan mataku
kematian semua orang dusun yang dahulu bersama aku menangkap ular-ular berbisa,
kematian mengerikan dan masih terasa olehku jarum-jarum merahmu yang amat
hebat. Tentu sekarang Ang-tok-ciam (Jarum Merah Beracun) milikmu itu semakin
hebat saja! Jarum merah yang membuat kepalaku gundul sampai bertahun-tahun
lamanya!"
Ouwyang Bouw
semakin terheran dan dia merenung, mengingat-ingat, akan tetapi tentu saja
tidak dapat teringat olehnya. Sudah terlampau banyak dia dan ayahnya membunuhi
orang, tentu saja dia tidak teringat lagi akan peristiwa pembunuhan orang-orang
dusun ketika Kun Liong masih kecil, belasan tahun yang lalu. Hal ini membuat
dia penasaran dan dia tidak bicara lagi, melainkan termenung-menung dan
berusaha mengingat kembali peristiwa yang dikatakan orang tawanan itu.
Sementara
itu, Marcus yang mendengarkan dan melihat dengan penuh perhatian, begitu
mendengar tawanan itu mengatakan bahwa kepalanya pernah gundul, segera
teringat, "Haiiit! Bukankah engkau Si Gundul itu? Yap Kun Liong?"
Kun Liong
berpaling kepadanya sambil tersenyum lebar. "Dan engkau Marcus yang kini
berjuluk Si Dewa Panah, ya? Bagus, agaknya tak percuma pula engkau pernah menjadi
kekasih Kim Seng Siocia, kiranya telah mewarisi ilmu kepandaiannya."
Merahlah
muka Marcus mendengar kata-kata itu. "Kalau begitu engkau tentu mata-mata
musuh! Engkau perlu dihajar agar suka mengaku!" Marcus meloncat ke depan,
langsung menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah muka Kun Liong.
Tanpa
mengelak tanpa berkedip pemuda ini menghadapi serangan itu. Sesudah kepalan
tangan Marcus menyambar dekat sekali dengan mukanya, mendadak jari tangan
kirinya bergerak menyambar dari bawah.
"Takkk...!
Augghhh...!" Marcus berteriak kesakitan dan melangkah mundur, tangan
kirinya memegang pergelangan tangan kanan yang terasa seperti patah tulangnya.
Ternyata Kun Liong telah mendahuluinya dan menotok pergelangan tangan yang
memukul itu sehingga tangan itu menjadi lumpuh dan terasa nyeri sekali.
"Hemm,
berani engkau kurang ajar?" Ouwyang Bouw berseru dan tangannya menyambar
ke depan.
Kun Liong
maklum akan kelihaian orang ini, maka dia segera menggerakkan tubuhnya miring
dan dari samping dia menyampok lengan yang menyambar dahsyat itu.
"Dukkk...!"
Tubuh
Ouwyang Bouw tergeser ke belakang dan wajahnya menjadi merah sekali ketika dia
memandang kepada lawannya. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa tawanan itu
ternyata memiliki kepandaian hebat, mampu menangkis pukulannya, bahkan
tangkisan itu membuat dia tergeser!
"Ouwyang
Bouw, aku tidak ingin bertanding dengan orang yang telah menyelamatkan aku dari
padang pasir. Bahkan pertolonganmu itu telah memaafkan semua perbuatanmu yang
lalu terhadap diriku." Kun Liong berkata, suaranya nyaring.
"Manusia
sombong!" Ouwyang Bouw meraba gagang pedangnya, juga Marcus dan lima orang
pimpinan gerombolan Mongol sudah bangkit dari tempat duduk masing-masing dan
menyambar senjata.
"Tahan,
jangan bertempur!" Tiba-tiba Lauw Kim In berseru.
MENDENGAR
bentakan isterinya ini, Ouwyang Bouw memasukkan lagi pedang ularnya dan duduk
kembali sambil bersungut-sungut. Hatinya merasa tidak puas. Dia penasaran
sekali mendapat kenyataan bahwa tawanan itu lihai, maka hatinya ingin sekali
untuk mencoba kepandaian si tawanan dan terutama sekali merobohkannya,
membuktikannya bahwa dia lebih pandai!
Akan tetapi
dia tidak berani membantah kehendak isterinya! Kalau isterinya marah-marah,
seperti yang pernah beberapa kali dilakukan oleh Kim In, kemudian mati-matian
isterinya mempertahankan diri, tidak mau mendekatinya, tidak mau melayani
cintanya, dia merasa tersiksa setengah mati! Sejak itulah, dia tidak lagi
berani membantah kehendak isterinya. Tidak ada kesengsaraan lebih besar baginya
dari pada kalau isterinya marah dan mogok, tidak mau mendekati dan melayaninya!
Terutama
sekali Marcus merasa penasaran sehingga diam-diam dia marah sekali. Jelas
baginya bahwa Yap Kun Liong adalah seorang yang berbahaya, seorang musuh, entah
musuh yang berpihak mana saja, akan tetapi yang jelas, bukanlah seorang yang
boleh dianggap sebagai seorang sahabat. Bagi dia, Kun Liong harus dibunuh dan
sama sekali tidak boleh diberi ampun. Akan tetapi, melihat betapa Ouwyang Bouw,
tokoh pertama dan utama dalam gerombolan mereka itu tidak berani membantah
kehendak Lauw Kim In, dia pun tidak berani berkutik dan langsung duduk kembali
sambil memandang tajam penuh perhatian.
"Yap
Kun Liong, duduklah!" kata Kim In sesudah melihat bahwa semua orang
mentaati permintaannya.
"Terima
kasih, engkau baik sekali Nona... ehh, Nyonya," katanya sambil melirik ke
arah Ouwyang Bouw yang makin cemberut.

Suasana di
ruangan itu menjadi hening sejenak. Kun Liong menujukan pandang matanya ke
sekeliling. Tampak olehnya betapa tempat itu, walau pun dalam jarak agak jauh,
telah dijaga ketat oleh banyak sekali anggota pasukan yang memegang tombak.
Penjagaan yang amat rapi dan ketat, seperti dalam benteng tentara saja.
"Yap
Kun Liong, engkau melihat sendiri betapa engkau sudah dikurung dengan rapat di
tempat ini. Betapa pun lihaimu, engkau takkan mungkin dapat keluar dengan
selamat apa bila kami menghendaki. Karena itu, kau ceritakanlah dengan
sejujurnya dan sebenarnya, apa yang kau lakukan di tempat ini dan kenapa pula
engkau mengenakan pakaian salah seorang anak buah sahabat kulit putih."
Kata-kata
yang dikeluarkan oleh Kim In itu agaknya ditujukan untuk mendinginkan hati
mereka yang merasa panas dan marah kepada Kun Liong. Kun Liong mengerti bahwa
sesungguhnya Kim In ingin bicara hal lain dengan dia, akan tetapi sebelumnya
minta agar dia suka menceritakan keadaannya itu supaya menghilangkan kecurigaan
para pimpinan pasukan, terutama sekali Marcus dan Ouwyang Bouw.
"Aku
tak sengaja memasuki daerah ini, karena aku sedang melakukan perjalanan menuju
ke barat dan melalui tempat ini. Aku hampir mati di padang pasir yang tidak
kukenal dan kebetulan di dalam perjalanan aku melihat seorang lelaki berkulit
putih sedang dikeroyok oleh tiga belas orang Mongol yang dipimpin oleh seorang
raksasa Mongol bermata sipit ahli gulat..."
"Hemm,
tentu Si Tula yang memberontak!" Tiba-tiba seorang di antara pemimpin
Mongol berseru.
"Laki-laki
kulit putih itu luka-luka parah. Aku menolongnya dan berhasil menghalau para
pengeroyoknya. Akan tetapi dia tidak tertolong lagi. Aku lalu mengubur
jenazahnya, akan tetapi karena pakaianku sudah robek-robek sehingga aku hampir
telanjang dan aku amat membutuhkan pakaian, maka aku mengambil pakaiannya
sebelum kukuburkan jenazah itu."
"Laki-laki
kulit putih? Tahukah engkau siapa dia?" Kim In bertanya.
"Tidak,
dia tidak sempat menyebutkan namanya, usianya kurang lebih tiga puluh tahun,
kumisnya panjang melintang dan berwarna kemerahan..."
"Alberto...!"
Tiba-tiba saja Marcus berkata dan semua orang saling pandang dengan alis
berkerut.
Alberto
adalah utusan mereka, orang yang penting untuk menghubungi Pek-lian-kauw. Akan
tetapi Kun Liong tidak mau bicara tentang pesan orang yang hampir mati itu
ketika menyebut-nyebut nama Pek-lian-kauw. Dia tidak mau mencampuri urusan
orang lain.
"Aku
tidak tahu siapa dia. Aku memang sudah mengambil pakaiannya, akan tetapi hal
itu kulakukan karena terpaksa, karena aku harus melindungi tubuhku dari
serangan panas, dan kuanggap sebagai pembalasan perbuatanku yang sudah mengurus
serta mengubur jenazahnya."
"Si
Keparat Tula! Dia harus kita hajar!" Marcus berkata dan lima orang Mongol
itu lantas mengangguk-angguk.
"Yap Kun
Liong, sekarang ceritakanlah, ke mana engkau hendak pergi dan mengapa kau
melalui tempat asing di luar Tembok Besar ini?"
Kun Liong
amat terkejut dan memandang wajah Kim In dengan mata terbelalak. "Di luar
Tembok Besar? Wah, pantas adanya hanya padang pasir melulu dan gunung-gunung
liar! Aku tidak tahu, tidak mengenal jalan. Aku hanya tahu bahwa aku harus ke
barat, karena aku hendak pergi ke Tibet."
Semua orang
menjadi terkejut dan pandang mata Marcus tajam menyelidik, agaknya dia mulai
curiga lagi.
"Ke
Tibet?" Lauw Kim In bertanya.
Kun Liong
dapat menduga bahwa sebenarnya wanita itu ingin mendengar berita tentang
sumoi-nya, maka dia lalu berkata terus terang, "Benar, ke Tibet untuk
mencari Pek Hong Ing."
Tepat dugaan
Kun Liong, karena begitu mendengar nama sumoi-nya, wajah Kim In lantas berubah
dan perhatiannya tercurah sepenuhnya.
"Apa
yang terjadi dengan Sumoi?" tanyanya tidak sabar.
"Tiga
orang pendeta Lama yang sangat lihai sudah membawanya pergi dan aku tidak
berdaya mencegahnya, bahkan aku hampir mati oleh mereka yang sangat lihai.
Setelah aku sembuh, aku sekarang pergi menyusul dan hendak mencarinya. Karena
mereka itu adalah pendeta-pendeta Lama, maka aku hendak mencari mereka ke
Tibet."
"Ahhhh...!"
Wajah yang cantik itu menjadi pucat, agaknya dia merasa cemas sekali akan nasib
sumoi-nya.
Melihat ini,
Kun Liong merasa kasihan dan juga senang bahwa wanita ini masih mencinta
sumoi-nya. Maka berkatalah dia dengan suara menghibur, "Harap kau jangan
khawatir. Aku pasti akan mencarinya sampai dapat, dan aku merasa yakin bahwa
aku akan dapat menyelamatkannya dari ancaman siapa pun juga!"
Kim In
menggerakkan bibirnya, akan tetapi tidak mengatakan sesuatu, lalu dia menunduk.
Kemudian terdengar dia menghela napas dan berkata, "Kalau begitu, engkau
sama sekali tidak melakukan suatu kesalahan terhadap kami. Kau boleh pergi
sekarang juga."
Kun Liong
bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. Dia melihat betapa sinar mata
Marcus melahapnya seperti hendak membunuhnya dengan sinar mata akan tetapi
orang kulit putih itu tidak berani bergerak.
Melihat
keraguan Kun Liong, Kim In lalu berkata kepada lima orang pemimpin Mongol,
"Biarkan dia pergi. Dia hendak mencari sumoi-ku."
Lima orang
Mongol itu lalu mengeluarkan teriakan sebagai aba-aba dan di luar ruangan
terdengar teriakan-teriakan menyambut dalam bahasa Mongol. Dua orang prajurit
masuk lalu mengawal Kun Liong keluar dari situ. Kun Liong hanya tersenyum dan
tidak berkata apa-apa, hanya mengikuti dua orang prajurit itu keluar dari
benteng ini.
Tak lama kemudian
setelah Kun Liong pergi, Kim In berkata kepada suaminya, "Aku lupa untuk
berpesan sesuatu kepadanya supaya disampaikan kepada Sumoi-ku! Kalian tunggu
sebentar, aku hendak menyusulnya!"
Tanpa
memberi kesempatan orang lain untuk menjawab, tubuh Kim In sudah mencelat dan
seperti terbang cepatnya dia sudah berlari keluar mengejar.
Kun Liong
sudah keluar dari pintu gerbang dan selagi dia berjalan dengan hati ringan
karena tak disangkanya bahwa urusan dengan orang macam Ouwyang Bouw dan Marcus
dapat diselesaikan sedemikian mudahnya berkat Lauw Kim In, tiba-tiba terdengar
suara wanita itu dari belakang,
"Kun
Liong, tunggu dulu!"
Kun Liong
membalikkan tubuhnya, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum sungguh pun
hatinya berdebar tegang karena dia khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang
tidak menguntungkan dirinya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dia memandang
wanita itu dengan mata penuh pertanyaan.
"Aku
ingin bertanya sesuatu kepadamu," kata Lauw Kim In setelah dia berdiri di
depan pemuda itu. "Mengapa engkau pergi bersusah payah mencari
Sumoi?"
Kun Liong
tersenyum. Kiranya hanya persoalan itu yang membuat wanita ini berlari-lari
menyusulnya. "Tentu saja aku mencarinya karena dia terancam bahaya, meski
pun para pendeta Lama itu tidak menyatakan demikian. Bahkan... bahkan... ada
hal yang amat luar biasa yang membuka rahasia Hong Ing... tentang
ayahnya..." Kun Liong masih ragu-ragu apakah dia akan menceritakan semua
peristiwa yang terjadi di pulau kosong itu.
"Hmm,
tentang ayahnya? Seorang pendeta Lama? Aku sudah tahu sedikit-sedikit tentang
riwayatnya, Kun Liong. Ingat, aku bersama dengan Subo ketika kami menemukan
ibunya dan dia."
Kun Liong
sekarang tidak ragu-ragu lagi dan diceritakanlah semua peristiwa yang terjadi
di pulau itu, tentang pertemuan mereka dengan pendeta Lama sakti yang ternyata
adalah ayah Pek Hong Ing, yaitu pendeta yang ternyata bernama Kok Beng Lama,
tentang tiga orang pendeta Lama lain yang membawa pergi Hong Ing.
"Demikianlah,
biar pun mereka itu mengaku supek dan susiok Hong Ing, aku masih curiga dan aku
harus mencari Hong Ing sampai ketemu." Kun Liong mengakhiri penuturannya.
Lauw Kim In
merasa kagum dan terheran-heran, lalu menghela napas dan bertanya, "Yap
Kun Liong, katakanlah. Apakah engkau mencinta sumoi?"
Kun Liong
mengangguk, menjawab dengan sepenuh hatinya, "Aku cinta kepadanya, dan aku
siap mengorbankan nyawa demi untuk keselamatannya. Aku cinta kepada Pek Hong
Ing, mencintanya dengan seluruh jiwa dan ragaku!"
Terdengar
isak atau sedu sedan naik dari dada Lauw Kim In. "Syukurlah..." dia
berbisik, "Semoga dia berbahagia..." dan tiba-tiba sekali, tanpa
disangka-sangka, tangan kanannya bergerak dan sudah mencengkeram ke arah
ubun-ubun kepala Kun Liong!
Akan tetapi
Kun Liong tidak mengelak dan kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tak
pernah terjadi sesuatu.
"Hemmm...
apa bila aku menghendaki, bukankah nyawamu telah melayang, Kun Liong?" katanya
sambil memperlihatkan segumpal rambut di dalam cengkeraman tangannya.
Memang ilmu
kepandaian Lauw Kim In hebat bukan main. Tangannya dapat memutuskan segumpal
rambut tanpa terasa sedikit pun oleh Kun Liong.
Akan tetapi
pemuda itu tersenyum. "Kalau aku menghendaki, engkaulah yang akan roboh
dulu, akan tetapi aku tahu bahwa engkau hanya ingin mengujiku, dan melihat
apakah aku cukup dapat diandalkan untuk menolong Sumoi-mu. Bukankah
begitu?"
Lauw Kim In
terkejut. "Apa... apa maksudmu?"
"Lihat
saja itu... sayang engkau yang secantik ini mau mengorbankan diri menjadi
isteri Ouwyang Bouw."
Kim In yang
dituding dadanya itu cepat menunduk dan menahan jeritnya. Bajunya telah
berlubang, baju luar dan dalam sehingga sebuah di antara ujung buah dadanya
mencuat keluar tanpa dirasakannya sama sekali! Dia mendengar angin menyambar
dan ketika dia mengangkat mukanya, ternyata yang tampak hanya bayangan Kun
Liong berkelebat dan pemuda itu sudah lenyap dari depannya!
Kim In
menjatuhkan diri duduk di atas tanah, menutupi buah dada yang menjenguk keluar
seperti melalui jendela itu dengan tangan kirinya, termenung dan
termangu-mangu. Akan tetapi pada wajahnya yang cantik tersungging senyum. Dia
merasa ikut bahagia bahwa sumoi-nya, satu-satunya orang yang dicintanya
bagaikan adiknya sendiri, ternyata sudah memperoleh seorang kekasih yang
demikian lihai, demikian lucu namun agak sayang…, demikian kurang ajar! Akan
tetapi kekurang ajaran yang dapat dia maafkan dan bahkan membuat dia tersenyum
geli.
Gara-gara dia
hendak memperlihatkan kepandaiannya, ternyata dia malah mendapatkan malu. Kalau
saja Kun Liong menghendaki, setelah dapat merobek baju luar dalam di dada tanpa
dirasainya, tentu pemuda itu dapat melakukan apa pun juga terhadap dirinya
tadi!
Pada saat Kim
In kembali ke markas dengan pikiran masih tenggelam ke alam lamunan memikirkan
sumoi-nya yang tidak disangka-sangkanya bertemu dengan ayahnya dan kini malah
dibawa oleh para Lama sakti ke Tibet, terjadilah hal lain yang tidak diketahui
oleh wanita ini. Diam-diam, dengan persetujuan Ouwyang Bouw, Marcus dan para
pimpinan orang Mongol mengerahkan seratus lebih Pasukan Tombak Maut melakukan
pengejaran terhadap Kun Liong dengan maksud membunuh pemuda itu!
Kun Liong
berjalan seorang diri, hatinya gembira karena dia telah terlepas dari bencana.
Dia tersenyum-senyum kalau mengingat pertemuannya yang terakhir dengan Lauw Kim
In, akan tetapi wajahnya menjadi merah dan dia merasa malu sendiri bila
teringat akan kekurang ajarannya telah merobek baju wanita itu hingga tampak
sebuah di antara buah dadanya. Sayang, pikirnya. Wanita secantik itu, dengan
bentuk tubuh seindah itu, harus menyerahkan diri kepada seorang pria semacam
Ouwyang Bouw!
Dia menghela
napas dan jantungnya berdebar tegang, mencela diri sendiri yang harus mengaku
bahwa darah mudanya bergelora ketika dia mengingat akan penglihatan yang
menggairahkan hatinya itu.
Gairah
hatinya membuat dia mengingat yang bukan-bukan, teringat akan malam yang tak
akan pernah terlupakan olehnya, di malam sunyi, di dalam kuil tua di mana dia
tenggelam dalam buaian cinta bersama Hwi Sian! Jantungnya berdebar makin keras
dan begitu dia teringat kepada Hong Ing, semua bayangan itu lenyap dan ingin
dia menampar mukanya sendiri. Sialan! Mata keranjang! Demikian dia memaki diri
sendiri.
Tiba-tiba
terdengar olehnya derap kaki banyak kuda dari belakang. Kun Liong tersenyum dan
menghentikan langkahnya, bahkan dia lalu duduk di atas sebuah batu besar sambil
menghapus keringatnya di leher dan muka. Dia mengira bahwa tentu Lauw Kim In
yang mengejarnya lagi, entah sekarang mau apa wanita itu. Dia tidak khawatir
akan celaka di tangan wanita itu.
Akan tetapi
ketika seratus orang lebih itu tiba dekat, dia mengerutkan alisnya. Pasukan
Mongol yang menunggang kuda itu mengurungnya, semua meloncat turun dari atas
kuda dengan sikap mengancam dan dengan senjata tombak di tangan. Marcus berada
paling depan, sudah menodongkan anak panah yang telah dipasang pada busurnya,
sikapnya mengancam dan senyumnya menyeringai.
"Yap
Kun Liong, cepat engkau katakan di mana disimpannya bokor emas, baru aku mau
mengampuni nyawamu!" bentak Marcus sambil menodongkan anak panahnya.
Wajah Kun
Liong menjadi merah. Maklumlah dia bahwa di dalam persekutuan ini pun, Marcus
hanya mencari keuntungannya sendiri dan tentu perbuatannya ini di luar tahunya
Ouwyang Bouw mau pun Lauw Kim In.
"Hemm,"
Kun Liong tersenyum. "Marcus, engkau memang seorang yang licin dan curang.
Tadinya engkau bersekutu dengan Tok-jiauw Lo-mo, kemudian rela menjadi gendak
Kim Seng Siocia, sekarang engkau membohongi dan menipu orang-orang
Mongol."
"Jangan
banyak cakap! Nyawamu berada di tanganku! Hayo katakan di mana bokor itu?"
"Aku
tidak tahu di mana benda pusaka itu. Andai kata aku tahu sekali pun, tak
mungkin akan kuberi tahukan padamu," jawab Kun Liong tenang, akan tetapi
diam-diam tangannya telah mencengkeram hancur ujung batu dan digenggamnya
dengan tangan kanan.
"Keparat!
Kalau begitu mampuslah!"
"Wit-wir-wirrr...!"
Tiga batang anak panah meluncur dari busur itu dengan cepat sekali.
"Siuuuuttt...
singggg... tak-tak-takkk!"
Tiga batang
anak panah itu runtuh dan patah-patah disambar oleh hancuran batu yang
disambitkan tangan kanan Kun Liong. Pemuda itu masih duduk dengan tenang dan
tidak mempedulikan sikap Marcus yang terkejut dan memandang anak panahnya
dengan muka pucat.
"Serbu...!
Bunuh...!" Marcus berteriak marah sekali, karena untuk menyerang lagi
dengan anak panah dia tidak berani. Sekali saja gagal seperti itu sudah cukup
memalukan.
Meski pun
dikepung oleh seratus orang lebih yang bertubuh tinggi besar, bersikap ganas
dan bersenjata tombak panjang, Kun Liong tidak menjadi gentar dan dia masih
enak-enak duduk di atas batu besar.
"Wah-wah-wah,
tidak adil sama sekali! Hei, jangan kalian tidak tahu malu!" tiba-tiba
saja terdengar teriakan dari atas!
Semua orang
juga Kun Liong memandang ke atas dan kiranya di atas pohon tak jauh dari situ
terdapat dua orang laki-laki sedang duduk nongkrong di atas dahan pohon dan
yang berteriak-teriak adalah lelaki yang tua, yang usianya tentu sudah enam
puluh tahun lebih.
Pakaiannya
amat aneh, pakaian longgar kebesaran, celananya berkotak-kotak sedangkan
bajunya berkembang, kepalanya memakai kopyah seperti yang biasanya dipakai
seorang anak kecil, mukanya riang dan tersenyum-senyum, matanya yang amat tajam
itu kocak dan penuh kegembiraan hidup.
Ada pun
orang ke dua adalah seorang laki-laki muda, usianya tentu tidak lebih dari dua
puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan serta gagah sekali
membuat Kun Liong kagum memandangnya, sikap pemuda ini pendiam dan tenang.
Melihat dua
orang itu, Marcus lalu membentak, "Siapa kalian dan perlu apa mencampuri
urusan kami?"
"Wah-wah-wah,
tentu saja kami mencampuri!" Kakek itu berkata lagi, "Kalian ini
tidak tahu malu sekali! Tunggu aku turun dulu baru bicara, di atas sini
mengerikan!" Kakek itu lalu merayap turun.
Akan tetapi
Si Pemuda lantas memegang lengannya dan membawanya melayang turun. Gerakan
pemuda itu cukup lumayan. Ketika dibawa meloncat turun, kakek itu menjerit
ketakutan. Namun sesudah turun di atas tanah, dengan langkah gagah dia
menghampiri Marcus dan kawan-kawannya, ada pun pemuda gagah itu hanya melangkah
penuh hormat di belakangnya!
Kun Liong
merasa tertarik sekali dan diam-diam dia merasa geli. Mau apakah kakek yang
seperti badut ini? Betul-betul mencari penyakit, pikirnya. Mana mungkin
mengajak bicara orang macam Marcus dan gerombolan Mongol itu secara baik-baik?
Akan tetapi dia diam saja, tetap duduk di atas batu besar sambil memandang
penuh perhatian. Diam-diam dia memperhatikan pemuda yang berjalan di belakang
kakek itu.
Seorang
pemuda yang hebat, pikirnya. Tubuhnya tegap dan terlihat kuat, apa lagi karena
wajahnya yang tampan itu serius dan tenang sekali. Mungkin pemuda inilah yang
hebat, pikirnya kagum. Baru melihat saja sudah timbul rasa sukanya kepada
pemuda itu.
Si Kakek
Aneh itu kini sudah berhadapan dengan Marcus dan lima orang raksasa Mongol yang
menjadi pimpinan pasukan itu. Wajahnya gembira ria dan senyumnya melebar, akan
tetapi Kun Liong melihat sinar aneh memancar keluar dari sepasang mata kakek
itu.
"Aihh,
kiranya yang memimpin adalah seorang berkulit putih bermata biru! Eh, Tuan,
kami tidak bisa tinggal diam saja melihat kalian ini mau membunuh pemuda itu.
Kalian adalah manusia-manusia yang beradab, bukan? Mana mungkin boleh
menyembelih seorang manusia lain? Sungguh buas dan hal ini sama sekali tidak
boleh dilakukan. Sama sekali tidak boleh!"
Kun Liong
menahan ketawanya. Kakek ini sungguh-sungguh mencari penyakit, pikirnya.
Mengajukan ceng-li (aturan) seperti itu kepada orang-orang semacam Marcus!
Alangkah menggelikan! Sama saja dengan berpidato di depan segerombolan serigala
liar! Mencari penyakit namanya.
Marcus marah
bukan main. "Kakek tua bangka gila! Engkau sungguh lancang! Aku mau
membunuh siapa pun, engkau peduli apa? Bahkan bila sudah bosan hidup kalian
berdua juga akan kubunuh sekalian!"
Kun Liong
memperhatikan sikap pemuda di belakang kakek itu, namun pemuda itu tetap diam
saja, sedikit pun tidak berubah air mukanya, seolah-olah ancaman hebat itu sama
sekali tidak didengarnya. Kun Liong makin kagum. Pemuda itu bernyali besar!
Akan tetapi yang lebih mengherankan adalah sikap kakek aneh itu. Dia ini
diancam bukan menjadi takut, malah gilanya menjadi semakin hebat!
"Kalian
tidak mau mundur? Wahh! Kalian malah hendak membunuh kami berdua juga?
Uh-uhhh... dari pada melihat kekejaman yang tiada taranya ini, biarlah kalian
bunuh kami guru dan murid lebih dulu. Setelah kalian membunuh kami berdua
terserah hendak kalian apakan pemuda yang duduk di atas batu itu!"
Gila, pikir
Kun Liong. Akan tetapi dia terharu. Biar pun kakek itu gila, akan tetapi
gilanya adalah gilanya orang budiman! Dan kakek itu mengaku sebagai guru pemuda
tegap itu. Benar-benar mengherankan dan dia menjadi semakin ingin tahu, ingin
melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, maka dia merosot turun dari batu dan
bersiap untuk melindungi mereka berdua andai kata mereka terancam oleh
gerombolan ganas itu.
Marcus dan
teman-temannya kini tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha!" Marcus tertawa
sambil memegangi perutnya. "Kiranya tua bangka ini miring otaknya! Kau
minta mati?"
Kun Liong
merasa geli akan tetapi juga sangat khawatir. Dia sudah ingin meloncat maju
mencegah kakek aneh itu yang membelanya secara luar biasa. Mana ada orang
membela dengan cara menyerahkan nyawa sendiri? Akan tetapi pada waktu dia
hendak bergerak maju, dia melihat pemuda tegap tampan itu memandang tajam
kepadanya dan pemuda itu menggoyang kepalanya, jelas memberi isyarat agar dia
tidak melakukan apa-apa!
Semakin
tertarik dan terheranlah hati Kun Liong. Apa maunya guru dan murid itu? Kalau
mereka itu orang-orang lihai dan benar hendak menolongnya, kenapa bersikap
demikian aneh? Akan tetapi dia melihat pemuda itu dengan sikap sungguh-sungguh
menggoyang kepalanya mencegah dia bergerak.
Kun Liong
lalu mengangguk, tanda bahwa dia akan mentaati permintaan pemuda itu, lalu dia
duduk kembali di atas batu besar, menonton penuh perhatian dan dengan hati amat
tertarik. Dia melihat bahwa pemuda itu kini aneh sekali, memejamkan mata dan
mengatur pernapasan! Akan tetapi hal itu dilakukan sambil berdiri, dengan kedua
lengan bersilang di depan dada.
Dengan
terheran-heran Kun Liong memperhatikan kakek itu. Kakek itu tertawa dan Kun
Liong merasa tengkuknya meremang ketika mendengar suara ketawa ini. Suara
ketawa yang mengandung tenaga mukjijat, yang membuat jantungnya bergetar hebat!
Kemudian suara ketawa itu disusul dengan kata-kata yang lebih menggetarkan
lagi, kata-kata yang menembus sampai ke ulu hati.
"Ha-ha-ha-ha-ha,
kalian semua lihatlah baik-baik, apakah kalian bisa membikin aku mati. Nah, ini
kepalaku, penggallah kepalaku sepuas hati kalian. Kalau aku sudah dapat kalian
bunuh, juga muridku, baru kalian boleh mengeroyok pemuda itu, ha-ha-ha!"
Dengan mata
terbelalak penuh keheranan Kun Liong melihat betapa kini kakek itu sudah
berbaring di atas sebuah batu besar, menjulurkan kepalanya sehingga nampak
lehernya yang panjang, menantang untuk dipenggal lehernya!
Marcus dan
lima orang pemimpin Mongol tertawa geli, kemudian salah seorang di antara
pemimpin itu mencabut goloknya, sambil tertawa-tawa menghampiri tubuh kakek
yang rebah telentang. Jantung Kun Liong berdebar keras, akan tetapi anehnya,
dia tak mampu menggerakkan kakinya, maka dia hanya melihat dengan mata
terbelalak pada saat golok yang amat tajam berkilauan itu diayunkan dengan kuat
ke arah leher kakek itu.
"Crakkkk!"
Sekali babat
leher itu putus! Darah muncrat-muncrat.
Akan tetapi
Kun Liong semakin terbelalak dan semua orang mengeluarkan seruan kaget ketika
darah yang muncrat-muncrat itu berkumpul di atas leher yang buntung kemudian
perlahan-lahan darah itu berubah menjadi kepala yang baru! Kini kepala kakek
itu masih menempel, atau lebih tepat lagi, dari leher yang buntung itu ‘tumbuh’
kepala yang baru, sedangkan kepalanya yang pertama masih menggelinding di atas
tanah, di bawah batu!
"Ilmu
siluman...!" Marcus dan beberapa orang berteriak kaget. Akan tetapi algojo
Mongol itu menjadi penasaran. Goloknya diayun lagi ke bawah.
"Crakkkk!"
Kembali
kepala itu terpisah dari badannya, terpenggal dan darah muncrat-muncrat. Akan
tetapi, darah itu kembali berubah menjadi sebuah kepala yang baru, menggantikan
kepala ke dua yang terpenggal. Mulailah semua orang menggigil dan muka mereka
pucat, mata mereka terbelalak.
"Ha-ha-ha-ha,
hayo kalian boleh penggal kepalaku sepuas hatimu!" terdengar suara kakek
itu mengejek dan hebatnya, yang bersuara bukan hanya mulut dari kepala yang
masih menempel di leher, bahkan dua buah kepala yang sudah menggelinding dan
berada di atas tanah itu pun menggerakkan mulut mengeluarkan kata-kata itu dan
matanya merem melek, bibirnya tersenyum!
"Setan...!"
"Ilmu
iblis...!"
"Siluman...!"
"Biar
kupenggal lagi kepalanya!" Orang Mongol itu masih nekat dan mengayun
goloknya.
Akan tetapi
ketika berulang-ulang dia memenggal kepala dan selalu tumbuh kepala baru dari
leher yang buntung, orang Mongol itu yang sejak tadi menahan rasa takutnya,
kini tak kuat lagi melihat banyak kepala berserakan di dekat kakinya, kepala
yang masih hidup, tertawa dan melotot. Dia mengeluh, goloknya terlepas dan dia
roboh pingsan!
Seperti
tawon diusir dari sarangnya, seratus lebih Pasukan Tombak Maut itu kini
berlomba melarikan diri, didahului oleh Marcus dan empat orang pemimpin Mongol!
Debu mengebul tinggi ketika mereka tergesa-gesa membalapkan kuda dan membawa
pergi algojo Mongol yang masih pingsan!
Kun Liong
masih duduk dengan mata terbelalak pada saat pundaknya ditepuk orang dari
belakang. Dia lalu menoleh dan melihat bahwa yang menepuk pundaknya adalah
pemuda tampan gagah tadi. Dia terkejut, mukanya masih pucat dan ketika dia
memandang lagi ke arah ‘mayat’ yang lehernya dipenggal berkali-kali itu,
ternyata bahwa kakek itu pun sudah bangkit berdiri dan kepala-kepala yang tadi
berserakan di atas tanah sudah lenyap. Yang ada hanyalah kakek itu, sedang
tersenyum-senyum tenang seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
"Eh,
apa yang terjadi...? Bagaimana... mengapa..." Kun Liong masih bingung dan
dengan gagap bertanya.
"Sudah
kuberi isyarat, akan tetapi engkau tak mau meniru apa yang kulakukan, sehingga
engkau terpengaruh pula oleh hoatsut yang dikerahkan Suhu untuk menakut-nakuti
dan mengusir mereka," kata pemuda itu.
"Hoatsut
(ilmu sihir)...? Ahh... kiranya begitu?" Kun Liong kagum bukan main dan
kini dia memandang kakek itu dengan sikap hati-hati.
Tak
disangkanya kakek itu memiliki kekuatan batin yang demikian hebat sehingga
dapat bermain sulap dan mempengaruhi sedemikian banyaknya orang. Kemudian dia
menjura dengan sikap hormat sambil berkata,
"Kiranya
saya sedang berhadapan dengan orang pandai! Terima kasih atas pertolongan
Locianpwe. Saya Yap Kun Liong dan bolehkan saya mengetahui nama besar Locianpwe
dan saudara gagah perkasa?"
"Ha-ha-ha!"
Kakek itu tertawa bergelak. "Yap-sicu terlalu merendahkan diri dan
bersikap sungkan. Kami guru dan murid sama sekali tidak menolong Sicu yang
gagah perkasa. Kalau mau bicara tentang pertolongan, agaknya lebih tepat kalau
dikatakan bahwa aku telah menolong orang-orang Mongol bodoh itu dari kematian
di tangan Sicu yang amat lihai. Karena tak ingin menyaksikan Sicu yang perkasa
melakukan pembunuhan terhadap ratusan orang, maka terpaksa dengan lancang aku
menakut-nakuti mereka agar mereka dapat diusir tanpa dibunuh."
Kun Liong
terkejut. Selain lihai ilmu sihirnya, kiranya kakek itu juga bermata tajam dan
berpandangan luas, membuat dia makin tunduk sehingga cepat dia berkata,
"Locianpwe terlalu memuji. Harap sudi memperkenalkan nama."
"Aku
disebut Hong Khi Hoatsu, seorang pertapa yang berkelana tak tentu tempat
tinggal dan arah tujuan. Dia ini adalah Lie Kong Tek, muridku yang juga menjadi
anak angkatku. Yap-sicu, kalau boleh aku bertanya, kenapa Sicu dimusuhi oleh
gerombolan orang-orang Mongol dan orang kulit putih itu? Sedangkan Sicu sendiri
memakai pakaian orang kulit putih."
Kun Liong
menunduk memandang pakaiannya sendiri. Dia tidak ingin berpanjang cerita, apa
lagi menyangkut diri Lauw Kim In yang telah bersikap baik kepadanya itu.
"Mungkin
karena pakaian inilah yang membuat aku dimusuhi mereka, Locianpwe. Mereka
mengira bahwa aku mencuri pakaian salah seorang di antara teman mereka, juga
dituduh membunuh orang itu."
"Hemm,
memang aneh melihat Sicu memakai pakaian seperti ini."
"Memang
aku mengambil pakaian ini dari mayat seorang kulit putih yang terbunuh oleh
gerombolan Mongol." Dengan singkat Kun Liong menuturkan pengalamannya
ketika dia menolong seorang kulit putih yang dikeroyok orang-orang Mongol akan
tetapi yang tidak berhasil diselamatkan nyawanya itu.
"Aku
disangka membunuhnya dan dikejar-kejar, untung muncul Locianpwe dan Lie-twako
yang menolongku."
Hong Khi
Hoatsu tertawa. "Jangan Sicu mengulangi kata-kata menolong. Kalau boleh
aku mengetahui, Yap-sicu hendak menuju ke manakah? Mengapa sampai tersesat di
tempat terasing di luar Tembok Besar ini?"
"Aku
hendak pergi ke Tibet untuk suatu urusan yang amat penting, urusan
pribadi."
Berseri
wajah kakek itu. "Bagus, kalau begitu kita dapat melakukan perjalanan
bersama!"
"Mana
saya berani mengganggu Locianpwe?"
"Ahh,
pertemuan ini berarti bahwa ada jodoh di antara kita, Yap-sicu. Apabila Sicu
tidak bertemu dengan kami, tentu tidak ada yang memberi tahu bahwa sebenarnya
Sicu sudah keliru mengambil jalan!"
"Apa
maksud Locianpwe?"
"Perjalanan
menuju Tibet sebaiknya dilakukan melalui pedalaman. Dari sini menyeberang
Tembok Besar memasuki pedalaman terus ke selatan, setelah tiba di Propinsi
Shantung, barulah ke barat melalui Secuan. Dengan demikian, selain perjalanan
lebih cepat, juga jauh lebih aman. Melalui pegunungan dan padang pasir di luar
Tembok Besar merupakan perjalanan yang amat sukar, berbahaya, dan karenanya
akan makan waktu lebih lama."
"Aihh!
Begitukah?" Kun Liong berseru kaget dan juga girang.
"Karena
itu, marilah Sicu melakukan perjalanan bersama kami. Selain Sicu memperoleh
petunjuk jalan, juga kalau Sicu sudi membantu kami membutuhkan bantuan
Sicu."
Kun Liong
tidak segera menyanggupi. "Ji-wi hendak pergi ke manakah?"
"Kami
bertujuan pergi ke muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning..."
"Ahhh...!"
Kun Liong terkejut sekali karena dia segera teringat akan orang kulit putih
yang dia rampas pakaiannya, kata-kata pesanan orang itu sebelum mati.
"Mengapa
Yap-sicu terkejut?" kakek itu bertanya.
"Apakah
ada hubungannya dengan Pek-lian-kauw?" Kun Liong memancing.
Kini kakek
dan pemuda ganteng itu yang kaget. Hong Khi Hoatsu memandang tajam lalu bertanya,
"Yap-sicu, kita adalah orang-orang sendiri sehingga tidak perlu
merahasiakan sesuatu. Dari mana Sicu tahu akan Pek-lian-kauw yang berada di
muara Sungai Huai?"
"Aku
mendengar dari pemilik pakaian ini. Sebelum dia mati, dia meninggalkan
kata-kata tentang Pek-lian-kauw di muara Sungai Huai di pantai Laut
Kuning."
"Bagus
sekali! Jadi jelas bahwa Sicu bukanlah sahabat Pek-lian-kauw, bukan?"
"Tentu
saja bukan, Locianpwe. Bahkan di waktu kecil dahulu, hampir saja saya dibunuh
seorang tosu Pek-lian-kauw bernama Loan Khi Tosu."
"Hemm,
kalau begitu kebetulan sekali. Sicu tentu sudi membantu kami untuk suatu usaha
menolong orang dan berhadapan dengan Pek-lian-kauw, bukan?"
"Harap
Locianpwe menceritakan persoalannya terlebih dahulu sebelum saya menyatakan
kesanggupan saya."
"Kami
benar-benar mengharapkan bantuan Sicu karena menyaksikan gerakan Sicu tadi kami
merasa sangat yakin bahwa hanya seorang dengan kepandaian seperti Sicu yang
akan dapat membantu. Ketahuilah, Yap-sicu. Ketika aku bersama muridku
mengunjungi salah seorang sahabat baikku di luar Tembok Besar, kami melihat dia
berada di ambang kematian karena luka-lukanya. Dia telah bentrok dengan
Pek-lian-kauw, dan dalam suatu pertandingan yang hebat, dia terluka parah dan
puterinya telah tertawan dan diculik oleh kaum Pek-lian-kauw yang berkedudukan
di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning. Sebelum mati, sahabatku itu
berpesan agar kami suka menolong puterinya itu, bahkan dia menyerahkan
puterinya itu kepadaku untuk dijodohkan dengan muridku."
"Hemmm..."
Kun Liong mengangguk-angguk sambil melirik ke arah pemuda tampan itu yang sejak
tadi diam saja. Mereka bertemu pandang dan Lie Kong Tek berkata,
"Saudara
Yap, pesan seorang yang sedang sekarat merupakan pesan keramat. Biar pun saya
tidak setuju dengan ikatan jodoh yang mendadak ini, namun saya tidak tega untuk
menolak, dan terserah kepada Suhu. Betapa pun juga, kami harus menolong gadis
yang belum pernah kami lihat itu. Kami hanya mengetahui namanya, yaitu Bu Li
Cun."
Mendengar
ini, tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong berkata, "Kalau demikian persoalannya,
tentu saja saya dengan senang hati akan membantu Ji-wi!"
"Bagus!
Dengan bantuan dari Yap-sicu maka tugas kami menjadi lebih ringan dan makin
besar pula harapannya akan berhasil baik!" Kakek itu tertawa-tawa gembira.
Lie Kong Tek
lalu membuka bungkusan pakaiannya dan menyerahkan satu stel pakaian kepada Kun
Liong sambil berkata, "Saudara Yap, harap kau suka memakai pakaian ini.
Pakaianmu itu hanya akan menimbulkan kecurigaan dan keributan saja."
Kun Liong
tersenyum. Tanpa membantah dia menerima pakaian itu, langsung mengganti
pakaiannya yang memang aneh itu. Setelah mengenakan pakaian biasa, barulah
hatinya terasa enak dan lega maka sambil tersenyum dia lalu mengucapkan terima
kasih kepada sahabat baru itu.
"Eh,
Yap-sicu. Aku merasa heran sekali melihat bentuk rambut kepalamu dan aku takkan
puas sebelum mendengar darimu kenapa rambutmu menjadi begitu pendek,"
kakek yang suka berkelakar dan suka mengobrol itu bertanya.
Kun Liong
meraba-raba kepalanya, merasa beruntung bahwa sekarang kepalanya sudah
berambut. Kini sudah berambut saja, karena masih pendek, tetap menjadi
perhatian dan pertanyaan orang, apa lagi kalau masih gundul!
"Panjang
ceritanya, Locianpwe."
"Jika
begitu, mari kita melanjutkan perjalanan dan harap kau suka menceritakan di
dalam perjalanan, Yap-sicu."
Sambil
bercakap-cakap berangkatlah ketiga orang itu ke selatan dan Kun Liong merasa
makin suka kepada guru dan murid itu. Dia mulai membuka sedikit perihal dirinya
dengan menceritakan betapa rambutnya pernah gundul karena pengaruh racun, namun
sekarang telah sembuh.
Beberapa
hari kemudian Kun Liong sudah menjadi sahabat baik Lie Kong Tek. Diam-diam dia
merasa kagum dan heran. Kagum karena baik si guru mau pun si murid merupakan
orang-orang gagah dan budiman, jujur dan ramah, akan tetapi dia juga heran mengapa
terdapat perbedaan seperti bumi dan langit antara guru dan murid itu. Kalau
gurunya suka mengobrol, gembira dan jenaka, adalah si murid terlampau pendiam
dan serius sehingga sukar sekali mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Lie
Kong Tek ini.
Setelah
mereka melewati Tembok Besar, mulailah Kun Liong melihat peradaban, melihat
lagi kota-kota dan penduduknya, bertemu dengan manusia-manusia biasa di dunia
ramai. Namun, berbeda dengan dahulu, semua itu hanya merupakan hiburan sepintas
lalu saja karena hati dan pikirannya selalu penuh dengan bayangan wajah Pek
Hong Ing sehingga sering kali dia merasa gelisah memikirkan keselamatan wanita
yang dicintanya itu.
***************
Dunia
kang-ouw gempar dengan tersebarnya undangan dari Pek-lian-kauw wilayah timur
yang hendak merayakan pernikahan antara Cia Giok Keng, puteri dari Ketua
Cin-ling-pai dengan Liong Bu Kong, putera bekas Ketua Kwi-eng-pang.
Pek-lian-kauw menjadi wali dari Liong Bu Kong sehingga dengan demikian berarti
bahwa Pek-lian-kauw kini berbesan dengan Cin-ling-pai!
Tentu saja
berita ini menggemparkan para orang gagah di dunia kang-ouw dan pada hari
pernikahan yang telah ditentukan, berbondong-bondong orang-orang gagah dari
segenap penjuru membanjiri muara Sungai Huai, markas besar Pek-lian-kauw di
wilayah timur itu. Semua orang ingin menyaksikan peristiwa yang sangat aneh
ini, karena setahu mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai
adalah seorang gagah yang selalu membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw.
Bagaimana mungkin sekarang malah berbesan dengan Pek-lian-kauw, dan mengambil
mantu seorang pemuda putera seorang datuk kaum sesat?
Pada pagi
hari yang telah ditentukan, mulai dari ruangan depan Pek-lian-kauw sampai ke
pekarangan penuh dengan para tamu yang sebagian besar terdiri dari orang-orang
dari dunia kang-ouw dan liok-lim. Baik golongan putih mau pun hitam hadir,
karena mereka semua tertarik oleh peristiwa yang luar biasa ini.
Pihak
Pek-lian-kauw yang ingin menarik sebanyak mungkin orang gagah untuk membantu
perjuangannya melawan pemerintah, sekali ini mengadakan pesta besar-besaran.
Daging dan arak diobral sampai berlimpah-limpah.
Di antara
para tamu itu terdapat Hong Khi Hoatsu, Lie Kong Tek, serta Yap Kun Liong.
Mereka bertiga bukan merupakan tamu-tamu yang diundang. Mereka sengaja
menyelinap di antara sekian banyaknya tamu. Tentu saja tidak ada yang mengenal
mereka sehingga tidak ada pula yang mencurigai.
Seperti
diketahui, tadinya kedatangan mereka adalah hendak menyelidiki serta menolong
seorang gadis bernama Bu Li Cun yang sudah terculik oleh orang-orang
Pek-lian-kauw. Akan tetapi, pada waktu tiba di situ dan melihat Pek-lian-kauw
sedang mengadakan pesta pernikahan yang didatangi ratusan orang tamu, mereka
bertiga tidak berani sembarangan turun tangan dan menyelinap di antara para
tamu untuk melihat keadaan sambil menanti kesempatan baik. Mereka baru saja
tiba di sana, maka tidak mendengar siapa yang akan menikah di markas
Pek-lian-kauw itu. Juga mereka tak menganggap penting hal ini maka tidak
menyelidiki.
Ketika
sepasang pengantin keluar dari dalam untuk melakukan upacara pernikahan dan
sembahyangan, para tamu memandang dengan penuh perhatian. Suasana menjadi sunyi
karena semua orang tidak mengeluarkan suara, bahkan makan minum dihentikan
dengan sendirinya.
Cia Giok
Keng yang memakai pakaian pengantin, mencucurkan air mata karena terharu dan
berduka. Dia tidak ingat hal-hal yang baru saja terjadi. Yang diingatnya
hanyalah bahwa hari ini dia menikah dengan pemuda pilihannya, Liong Bu Kong
yang upacaranya dilakukan oleh Pek-lian-kauw yang sudah menolong mereka.
Dan dia
ingat pula bahwa pernikahan ini tidak disetujui oleh ayahnya, dan bahwa dia
telah diusir oleh ayahnya sehingga terpaksa menikah secara ini. Ia berduka
sekali, akan tetapi sebagai seorang dara yang berhati keras, dia dapat menahan
kedukaannya dan bertekad untuk melanjutkan keinginannya menikah dengan seorang
pilihan hatinya sendiri.
Ketika
keluar dan dituntun ke depan meja sembahyang yang sudah dipersiapkan secara
mewah di ruangan depan untuk melakukan upacara pernikahan dengan disaksikan
oleh semua tamu, Giok Keng tidak memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan para
tamu. Di bawah pengaruh obat perampas ingatan, dia hanya menurut saja pada saat
dituntun dan disuruh berlutut di depan meja sembahyang berdampingan dengan
Liong Bu Kong yang mengenakan pakaian pengantin yang gagah dan indah.
Hati pemuda
ini girang sekali. Hari ini cita-citanya terlaksana. Dia dapat memperisteri Cia
Giok Keng secara sah! Dan malam nanti, dara yang cantik jelita ini akan
menyerahkan diri kepadanya sebagai isterinya, dengan suka rela dan secara
resmi! Selain kebahagiaan ini, dia pun memperoleh kedudukan yang kuat dan baik
di Pek-lian-kauw! Kemujuran yang sama sekali tidak disangka-sangkanya setelah
kesialan yang dialami ketika ibunya tewas dan Kwi-eng-pang hancur.
Seorang pendeta
tua Pek-lian-kauw ditugaskan memimpin upacara sembahyang untuk meresmikan
pernikahan itu. Hio sudah dipasang, dupa telah dibakar, dan pendeta tua itu
siap membaca doa liam-keng.
Namun, baru
saja hio dibakar dan hendak diberikan kepada sepasang mempelai, tiba-tiba
terdengar suara melengking nyaring. Lengking yang panjang mengerikan, dan
tampaklah sinar putih berkelebat diikuti pekik pendeta tua itu. Hio-hio
terlepas dari tangannya karena dupa-dupa biting itu sudah patah semua. Tersusul
suara keras dan meja sembahyang itu terguling berantakan!
Gegerlah
semua orang, apa lagi ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki gagah perkasa
yang berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, matanya mengeluarkan
sinar berapi-api dan meja sembahyang tadi terguling oleh dorongan tangannya
dari jarak jauh! Semua orang terkejut apa lagi ketika banyak di antara mereka
yang mengenal laki-laki setengah tua yang gagah perkasa itu.
"Cia
Keng Hong Taihiap...!"
"Ketua
Cin-ling-pai...!"
Bisikan-bisikan
ini menjadi berantai dan semua orang langsung memandang dengan mata terbelalak.
Ternyata yang muncul adalah pendekar sakti ini, ayah dari pengantin wanita yang
kelihatan marah bukan main.
Tentu saja
belasan orang anggota Pek-lian-kauw yang bertugas menjaga di situ menjadi
marah. Mereka ini tidak mengenal siapa adanya laki-laki yang datang mengacau
ini dan mereka pun tidak menerima perintah sesuatu. Maka, melihat ada orang
mengacau pesta, bahkan sudah menggulingkan meja sembahyang, belasan orang
anggota Pek-lian-kauw sudah menyerbu dan mengeroyok dengan senjata golok
mereka.
Terdengar
suara berkerontangan disusul pekik mereka, kemudian seorang demi seorang
robohlah delapan belas orang pengeroyok itu, roboh pingsan dan golok mereka
terlempar ke sana-sini. Ketika mereka semua sudah roboh, pendekar sakti itu
masih berdiri bertolak pinggang di tengah-tengah antara mereka seolah-olah dia
tadi tidak bergerak sama sekali dan para pengeroyoknya berjatuhan sendiri tanpa
dia bergerak!
Ada pun
sepasang pengantin kini sudah bangkit berdiri dan memandang dengan wajah pucat
kepada laki-laki perkasa yang bukan lain adalah Cia Keng Hong Ketua
Cin-ling-pai itu! Cia Giok Keng sudah menyingkap tirai dari mukanya, dan
memandang pada ayahnya dengan mata terbelalak penuh kemarahan!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment