Tuesday, August 21, 2018

Cerita Silat Serial Petualang Asmara Jilid 34



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
        Serial Petualang Asmara
                  Jilid 34


DUA hari kemudian, sudah empat hari empat malam Kun Liong melalui padang pasir. Hari itu panasnya bukan main, tubuhnya sudah mulai lemah, kerongkongannya terasa kering dan haus, dan perutnya lapar.

"Uh-uhh... masih berapa jauhnya?" dia menggumam, berhenti di dekat batu besar untuk berteduh di bayangan batu itu, menghapus keringatnya dengan kain leher yang sudah basah. Tubuhnya gemetar dan matanya setengah terpejam karena silau oleh pasir yang berkilauan tertimpa panas terik matahari!

Kun Liong menjatuhkan diri duduk di atas pasir yang panas. Dikeluarkannya bungkusan emas permata dari sakunya.

"Sialan!" gerutunya memandang bungkusan itu dan mengantonginya kembali. "Aku akan senang sekali menukar bungkusan ini dengan semangkok bubur dan sepoci air jernih!"

Teringatlah dia betapa nilai sesuatu benda ditentukan oleh kebutuhan. Pada saat seperti itu, dalam keadaan kehausan dan kelaparan, semangkok bubur dan sepoci air jernih lebih berharga dari pada emas permata!

Betapa tololnya manusia di tempat ramai. Untuk memperebutkan emas permata mereka tidak segan-segan untuk saling bunuh! Padahal, dalam keadaannya sekarang ini, semua harta benda tidak ada gunanya, tidak lebih berharga dari pada semangkok bubur sepoci air.

Dia bangkit lagi. Makin lama dia beristirahat, makin berbahayalah keadaannya. Dia harus cepat-cepat keluar dari gurun pasir itu, kalau tidak, besar kemungkinannya dia akan mati konyol di tempat ini. Di depan sudah nampak pegunungan dan di balik pegunungan pasir ini, tampak samar-samar puncak sebuah gunung menghijau, akan tetapi masih amat jauh. Dia harus cepat-cepat mencapai gunung menghijau itu sebelum dirinya roboh dan mati di atas pasir.

Makin tinggi matahari naik, makin panaslah sinarnya menimpa pasir sehingga Kun Liong merasa makin tersiksa karena dia diserang hawa panas dari atas dan bawah. Pasir yang tertimpa sinar matahari menjadi panas dan hawa dari dalam bumi yang keluar membuat tubuh Kun Liong terasa seperti dipanggang. Peluhnya bercucuran dan pandang matanya berkunang-kunang.

"Celaka...!" keluhnya ketika dia terpaksa menjatuhkan tubuhnya yang kehabisan tenaga akibat terlalu banyak mengeluarkan keringat itu ke atas pasir.

Sejenak dia merebahkan dirinya di belakang batu besar yang agak teduh, rebah miring, pipinya menyentuh pasir hangat. Betapa nikmatnya! Betapa nikmatnya melepaskan lelah di tempat itu, tidak bangkit lagi, rebah di dalam pelukan bayangan batu, ditilami pasir yang lembut dan hangat. Dia memejamkan matanya, tubuhnya terasa nikmat, mengendur dan lepas semua urat tubuhnya.

"Eh, apakah aku harus mati dalam keadaan begini?" Tiba-tiba terbayang wajah Hong Ing dan cepat dia membuka mata dan bangkit duduk.

"Tidak! Aku tidak boleh mati seperti ini!" hardiknya di dalam hati kepada dirinya sendiri. Dia meloncat berdiri, akan tetapi terguling lagi karena matanya berkunang dan kepalanya pening sekali.

"Aku harus cepat keluar dari neraka ini! Aku harus mencari Hong Ing!" Ketekadan hati ini membuat Kun Liong merangkak-rangkak meninggalkan tempat itu. Kepalanya pening, dia tidak dapat berdiri dan berjalan, maka merangkak pun jadilah asal dia dapat melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat berbahaya itu, menuju ke gunung menghijau di depan itu.

Akan tetapi, pasir tertimpa matahari yang membuat matanya silau, kembali memaksa dia menghentikan usahanya merangkak. Ia rebah lagi dan memejamkan matanya. Terlampau nikmat rebah begini, dan terlampau sengsara melanjutkan perjalanan!

Tiba-tiba dia menjadi terkejut. Telinganya yang menempel di atas pasir mendengar suara bergemuruh. Dia segera mengangkat tubuhnya dan terdengarlah lapat-lapat suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian, dari sebelah depan muncullah sepasukan orang, sebagian kecil berkuda, menuju ke tempat itu! Di depan sendiri tampak seorang laki-laki bangsa asing dengan rambut putih kekuningan membalapkan kudanya.

Ketika tiba di tempat di mana Kun Liong masih berlutut dan menyangga tubuhnya dengan kedua tangan seperti orang merangkak, laki-laki itu berseru keras, meloncat turun dari kuda dan menghampiri. Dia berkata dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Kun Liong. Ketika Kun Liong menoleh, orang itu memaki,

"Keparat! Tentu orang ini sudah merampok anak buahku, lalu membunuh dan merampas pakaiannya!" Dengan gerakan sangat cepat, orang itu mencabut beberapa batang anak panah yang tergantung di punggung, memasangnya di busur.

"Wir-wir-wir... cuat-cuat-cuatt!"

Bukan main cepatnya orang itu mainkan anak panah dengan busur.

Kun Liong yang masih pening itu hanya melihat sinar-sinar kilat berkelebat dan anak anak panah menyambar lantas menancap di sekeliling tempat dia berlutut! Dia telah dikurung pagar anak panah. Bukan main pandainya orang asing itu menggunakan busur dan anak panah dan teringatlah dia akan pesan orang asing yang ditolongnya beberapa hari yang lalu. Dewa Panah! Agaknya orang inilah yang dijuluki Dewa Panah, dan ilmu panahnya memang hebat!

Kemudian orang yang memegang anak panah itu meloncat dan hanya dengan dua kali loncatan saja dia sudah berdiri di hadapan Kun Liong yang kini sudah berhasil bangkit berdiri di dalam pagar anak panah yang menancap di atas pasir di sekelilingnya itu. Loncatan orang itu pun membuktikan bahwa selain lihai ilmu panahnya, orang asing yang masih muda itu juga memiliki kepandaian yang tinggi.

Akan tetapi hal ini tidak menarik hati Kun Liong yang tentu saja menganggap kepandaian seperti itu tidak ada artinya. Yang menarik hati Kun Liong adalah ketika dia mengenal orang asing itu yang bukan lain adalah Marcus, bekas kekasih Kim Seng Siocia!

Dugaannya ini memang tidak keliru. Orang itu adalah Marcus, pemuda bangsa Portugis bekas anak buah Legaspi yang tadinya menjadi kekasih Kim Seng Siocia kemudian ketika Kim Seng Siocia tewas, dia berhasil melarikan diri sambil membawa kitab-kitab pusaka dan barang berharga dari nona gemuk itu. Dan di antara ilmu kepandaiannya Kim Seng Siocia yang dapat dia warisi, di antaranya adalah ilmu panah yang lihai!

Marcus berhasil pula menghimpun beberapa orang bekas rekannya sehingga terkumpul lima orang Portugis yang masih berkeliaran, kemudian bersama lima orang anak buahnya itu dia menggabungkan diri dengan gerombolan orang Mongol yang berniat memberontak dan menyerbu ke selatan.

Gerombolan pemberontak ini terdiri dari ribuan orang dan merupakan pasukan yang kuat, dan sudah siap untuk bergerak ke selatan. Dalam usaha pemberontakan ini, gerombolan orang Mongol yang disebut Pasukan Tombak Maut mengadakan kontak dan persekutuan dengan kaum Pek-lian-kauw!

Berkat ilmu silat dan ilmu panahnya yang cukup lihai, Marcus memperoleh kedudukan terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut dan sebentar saja dia terkenal sebagai Dewa Panah karena ilmu panahnya memang hebat dan dikagumi oleh semua orang Mongol.

Pada hari itu Marcus sedang mengiringi komandannya bersama sepasukan orang Mongol berjumlah dua puluh orang lebih dan pasukan ini secara kebetulan melalui gurun pasir di antara pegunungan itu dan bertemu dengan Kun Liong yang telah terancam bahaya maut karena lelah, lapar dan terutama sekali haus.

Melihat Kun Liong mengenakan pakaian seorang anak buahnya, dia menjadi curiga dan langsung mengancam Kun Liong dengan anak panahnya. Kini dia menghadapi Kun Liong ada pun di belakangnya, duduk di atas kuda sambil memandang tajam, Sang Komandan Pasukan Tombak Maut menyaksikan tanpa membuka suara. Komandan ini masih muda, tampan dan gagah, matanya tajam dan gerakan biji matanya liar.

Kun Liong masih nanar dan pening, pandang matanya masih berkunang sehingga ketika dia memandang kepada Marcus dan kepada komandan itu, hatinya terkejut sekali dan dia mengira berada dalam mimpi. Dia mengenal pula komandan itu. Tentu saja dia tidak akan pernah dapat melupakan wajah Ouwyang Bouw putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok Si Raja Ular!

"Hemm, dia tentu mata-mata dari selatan yang menyamar. Tangkap saja dia, kita periksa di markas!" bentak Ouwyang Bouw tanpa turun dari kudanya.

Agaknya baik Ouwyang Bouw mau pun Marcus tidak mengenal Kun Liong, bukan hanya karena pakaiannya yang aneh akan tetapi terutama sekali karena Kun Liong yang dulunya gundul pelontos itu kini telah memiliki rambut hitam lebat.

Ketika beberapa orang anggota Pasukan Tombak Maut, yaitu orang-orang Mongol anak buah Ouwyang Bouw, berhasil menghampiri dan mentaati perintah Ouwyang Bouw untuk menangkapnya, Kun Liong sama sekali tak mau melawan. Dia maklum bahwa andai kata dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk melawan, tak mungkin dia yang kelaparan dan kehausan itu mampu mengalahkan Ouwyang Bouw yang dia tahu amat lihai.

Pula, begitu melihat Ouwyang Bouw, teringatlah dia akan cerita Hong Ing mengenai suci dara itu, yaitu Lauw Kim In, wanita cantik manis pendiam yang berhati keras dan galak. Menurut cerita Hong Ing, Nona Lauw Kim In sudah ditangkap oleh Ouwyang Bouw dan sudah dibawa pergi menjadi isteri orang berotak miring ini. Teringat akan ini, selain tidak kuat untuk melawan, Kun Liong membiarkan dirinya diringkus dan ditawan karena dia pun ingin sekali mengetahui bagaimana dengan nasib suci dari Hong Ing, di samping ingin memulihkan tenaganya lebih dulu sebelum melawan.

"Beri dia makan dan minum, jangan sampai dia mati kelaparan dan kehausan. Kita perlu mengorek semua rahasia musuh dari mulutnya!" kata pula Ouwyang Bouw dan diam-diam Kun Liong merasa berterima kasih dengan perintah ini.

Dapat dibayangkan betapa segar rasanya air dari guci yang diberikan kepadanya, betapa nikmat roti kering dan daging yang dimakannya. Diam-diam di dalam hatinya dia berjanji sendiri bahwa untuk makan dan minum saja dia sudah berhutang nyawa pada Ouwyang Bouw.

Biar pun dahulu Ouwyang Bouw menggunakan jarum merah beracun menyerangnya dan membuat kepalanya menjadi gundul, namun sekali ini Ouwyang Bouw dianggapnya telah menyelamatkannya maka dia pun berjanji takkan mengganggu keselamatan putera Raja Ular itu.

Kun Liong dibawa oleh rombongan itu sebagai seorang tawanan, dan melihat bahwa dia tidak melakukan perlawanan bahkan sama sekali tidak membayangkan sebagai seorang yang pandai ilmu silat, biar pun dia dianggap sebagai seorang mata-mata musuh namun dia tidak diperlakukan kasar, hanya disuruh berjalan kaki mengikuti rombongan itu, tanpa dibelenggu kedua tangannya, hanya rantai yang dihubungkan dengan belenggu sebelah kakinya dipegang oleh seorang anggota pasukan.

Kiranya markas Pasukan Tombak Maut itu berada di pegunungan yang dari jauh tampak kehijauan tadi. Perjalanan untuk menuju ke pegunungan itu masih memakan waktu sehari semalam sehingga diam-diam Kun Liong bergidik. Kalau saja dia tidak bertemu dengan gerombolan ini, menjadi tawanan dan diberi makan, agaknya belum tentu dia akan dapat tiba di pegunungan ini dalam keadaan masih bernyawa. Barulah dia mengalami sendiri betapa bahayanya melakukan perjalanan melintasi gurun pasir tandus tanpa membawa bekal secukupnya.

Ketika rombongan itu sampai di puncak gunung, dengan kaget Kun Liong melihat bahwa puncak itu merupakan sebuah perkampungan gerombolan yang sangat besar dan kuat. Bangunan-bangunan yang kokoh kuat dilingkari tembok benteng dan dijaga bagai sebuah benteng tentara saja. Dia dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan dan didorong masuk ke dalam sebuah kamar itu, pintu ditutup rapat dan tempat itu dijaga kuat.

Pada keesokan harinya, barulah dia diambil oleh empat orang penjaga dan dia diiringkan memasuki sebuah ruangan besar di mana tampak duduk Marcus, Ouwyang Bouw, serta beberapa orang Mongol berpakaian perwira dan di tengah-tengah mereka, di atas sebuah kursi tinggi dan berukir indah, duduk seorang wanita cantik yang berpakaian indah seperti seorang ratu.

Melihat wanita ini, Kun Liong terkejut karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Lauw Kim In! Wanita cantik ini, dengan sikapnya yang agung, kecantikannya yang dingin, memandang dan dari sinar matanya yang bercahaya itu Kun Liong dapat menduga bahwa suci dari Hong Ing itu agaknya mengenalnya.

Bagaimanakah Lauw Kim In dapat berada di sana dan agaknya menjadi tokoh tertinggi, menjadi pucuk pimpinan di antara gerombolan orang Mongol itu? Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan sumoi-nya, Pek Hong Ing, bertemu dengan Ouwyang Bouw di tengah hutan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Ouwyang Bouw berhasil merobohkan dua orang kakak beradik seperguruan itu.

Ouwyang Bouw jatuh cinta kepada Kim In, maka dia mengancam untuk membunuh Hong Ing dan akhirnya secara tidak terduga-duga oleh Hong Ing sendiri, suci-nya itu menyerah dan menerima menjadi isteri Ouwyang Bouw! Hong Ing dibebaskan oleh Ouwyang Bouw yang kegirangan dan sambil tertawa-tawa, Ouwyang Bouw lalu berlari cepat memondong tubuh Lauw Kim In meninggalkan Pek Hong Ing.

Kim In memejamkan matanya dan menguatkan hatinya. Dia menerima semua perlakuan Ouwyang Bouw kepadanya, bahkan dia tak membantah atau melawan sedikit pun ketika Ouwyang Bouw mencumbunya, menciuminya dan menjadikan dia sebagai isterinya pada malam hari itu juga, di dalam hutan, di sebuah kuil tua.

Kim In sengaja mengorbankan kehormatannya, bukan semata-mata untuk menolong dan menyelamatkan sumoi-nya, bukan pula semata-mata hendak menyelamatkan nyawanya sendiri melainkan karena dia melihat keuntungan jika dia menjadi isteri pemuda tampan akan tetapi setengah gila ini.

Dia melihat betapa Ouwyang Bouw mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Dia ingin mempelajari ilmu dari pemuda yang menjadi suaminya ini, suami yang diterimanya bukan karena cinta. Sama sekali bukan. Bahkan dia merasa muak dan jijik setiap kali Ouwyang Bouw mendekatinya dan menidurinya, namun semua itu dipertahankannya dengan tabah dan dengan mematikan segala perasaannya.

Bagi Ouwyang Bouw sendiri, kerelaan hati Kim In menerimanya sebagai seorang suami meski tanpa pernikahan resmi, membuat dia makin tergila-gila sehingga pemuda sinting ini benar-benar jatuh cinta kepada Lauw Kim In.

Setelah menderita siksaan batin pada masa ‘pengantin baru’ tanpa menjadi pengantin ini, Kim In mulai mempergunakan pengaruh kekuasaan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw. Dia minta diajari ilmu-ilmu tertinggi dari suaminya itu dan Ouwyang Bouw dengan suka hati mengajarinya, bahkan dapat dikatakan dia terpaksa menuruti permintaan isterinya karena Kim In selalu mengancam tidak mau melayaninya kalau tidak mau menurunkan ilmunya yang paling tinggi!

Kim Ing mulai mempergunakan tubuhnya yang membuat Ouwyang Bouw tergila-gila itu sebagai alat untuk memeras! Semua ini dilakukannya hanya dengan satu niat, yaitu untuk membalas dendam terhadap musuh yang dibencinya, yang dianggapnya mendatangkan segala malapetaka yang dideritanya sampai sekarang. Dan musuh itu adalah Thian-ong Lo-mo!

Dahulu, Lauw Kim In telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tampan dan yang diam-diam sudah menjatuhkan hati Lauw Kim In. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hati dara ini ketika mendengar berita bahwa tunangannya itu tewas dibunuh oleh Thian-ong Lo-mo akibat tertangkap basah sedang bercinta dengan selir muda yang cantik dari Thian-ong Lo-mo!

Peritiwa itu akhirnya mendatangkan dua akibat di dalam hati Lauw Kim In. Pertama, dia menjadi seorang dara yang berwatak dingin dan bahkan selalu kelihatan membenci kaum pria yang dianggapnya semua hidung belang dan tidak setia seperti tunangannya itu. Kedua, dia menaruh dendam yang amat mendalam terhadap Thian-ong Lo-mo yang sudah membunuh tunangannya.

Anggapannya bahwa kalau tidak ada Thian-ong Lo-mo, tentu tak ada pula selirnya yang cantik sehingga tunangannya tidak berjinah dan tidak akan terbunuh mati. Akan tetapi, pada saat itu untuk dapat membalas dendam merupakan hal yang mustahil sebab tingkat kepandaian kakek itu adalah setingkat kepandaian subo-nya sendiri, mana mungkin dia dapat menang menghadapi kakek itu?

Itulah yang menyebabkan Kim In tidak peduli lagi bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya kepada seorang pria seperti Ouwyang Bouw yang sama sekali tidak dicintanya. Baginya, semua pria sama saja! Dan dia lalu mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari ‘suaminya’ itu dengan tekun sampai dia merasa bahwa ilmu kepandaiannya sudah maju pesat sekali. Terutama dia mempelajari pukulan-pukulan beracun dari suaminya yang ahli dalam hal ini.

Setahun kemudian, dengan memaksa suaminya yang semakin tunduk dan semakin takut kepadanya karena makin tergila-gila, Lauw Kim In dapat membujuk Ouwyang Bouw untuk pergi ke kaki Pegunungan Go-bi-san mencari Thian-ong Lo-mo! Pada saat itu, Thian-ong Lo-mo telah melarikan diri karena gagal membantu Kwi-eng Niocu. Dia berhasil lolos dari maut ketika pasukan pemerintah menyerbu Kwi-eng-pang dan karena merasa telah putus harapan, dia segera melarikan diri kembali ke tempat pertapaannya semula, yaitu di kaki Pegunungan Go-bi-san.

Kagetlah hati Thian-ong Lo-mo ketika pagi hari itu, di depan goanya muncul dua orang muda, seorang pria dan seorang wanita. Tempat itu biasanya sunyi sekali dan dia tidak mengharapkan kedatangan siapa pun juga. Apa lagi dia sama sekali tidak mengenal pria dan wanita muda itu. Dia baru memandang penuh perhatian ketika wanita itu membentak,

"Thian-ong Lo-mo, aku datang untuk mencabut nyawamu!"

Thian-ong Lo-mo menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang keluar dari goa, berdiri menghadapi dua orang itu dan dia memandang penuh perhatian kepada Lauw Kim In. Akhirnya dia ingat akan dara ini dan dia menegur, "Ehh, bukankah engkau ini seorang di antara dua orang murid Go-bi Sin-kow?"

"Benar, aku Lauw Kim In, dan aku datang untuk mencabut nyawamu, membalas kematian tunanganku!"

Thian-ong Lo-mo mengangguk-angguk maklum. Teringatlah dia akan tunangan dara yang telah berani bermain gila dengan selirnya sehingga terpaksa dibunuhnya. Tertawalah dia.

"Ha-ha-ha, sungguh lucu, murid Go-bi Sin-kouw berani mengancam hendak membunuh aku! Ehhh, bocah. Kau lumayan juga, selain manis juga pemberani. Akan tetapi, melihat engkau telah memperoleh seorang tunangan baru, kenapa engkau masih meributkan soal kematian tunanganmu yang lama? Apakah tunanganmu yang baru ini kurang mampu? Kalau begitu, lebih baik kau berganti pacar lagi, dan bagaimana kalau dengan aku saja? Ha-ha-ha, biar pun aku sudah tua, kiranya kemampuanku tidak akan kalah dibandingkan dengan pacarmu yang pucat ini, ha-ha-ha!"

"Thian-ong Lo-mo, kematian sudah di depan mata, engkau masih mengeluarkan kata-kata sombong. Makanlah ini!" Ouwyang Bouw berkata tenang akan tetapi tahu-tahu dari kedua tangannya menyambar sinar-sinar merah. Itulah jarum-jarum merah beracun yang dilepas dan digerakkan dengan sentilan jari-jari tangannya secara lihai sekali.

"Heiii...!" Thian-ong Lo-mo terkejut sekali ketika dia mengelak, tercium olehnya bau harum memuakkan, dan jarum itu sedemikian cepat luncurannya sehingga meski pun dia sudah cepat mengelak, ada sebatang yang hampir mengenai lehernya. Dia memandang dengan mata terbelalak kaget lalu bertanya, "Engkau siapa...?"

Ouwyang Bouw tidak menjawab segera, melainkan mencabut pedangnya perlahan-lahan, pedangnya yang berbentuk seekor ular. Kemudian dia berkata, suaranya seperti orang tidak acuh, akan tetapi nadanya penuh ancaman. "Dia adalah isteriku, engkau tua bangka berani menghina isteriku, karenanya harus mampus!"

Thian-ong Lo-mo kini mulai memandang orang muda yang tadinya dipandang rendah itu dengan penuh perhatian. Sikap orang muda itu membuat dia marah, akan tetapi serangan jarum itu tadi sangat mengejutkannya dan pada waktu dia melihat pedang berbentuk ular di tangan Ouwyang Bouw, dia mengerutkan alisnya.

"Apa hubunganmu dengan Ban-tok Coa-ong?" tanyanya karena dia langsung mengenal pedang ular itu.

"Mau apa kau menyebut-nyebut nama julukan ayahku?"

Thian-ong Lo-mo terkejut sekali. Kiranya gadis murid Go-bi Sian-kouw yang mendendam kepadanya karena tunangannya dahulu dibunuhnya itu telah menjadi isteri putera Ban-tok Coa-ong! Dia merasa gentar juga karena dia sudah mendengar betapa lihainya putera Raja Ular itu, tidak berbeda dengan ayahnya!

"Ahh, kalau begitu kita adalah orang sendiri!" serunya. "Orang muda, kalau engkau putera Ouwyang Kok, tentu engkau yang bernama Ouwyang Bouw dan ketahuilah bahwa antara ayahmu dan aku terdapat tali persahabatan yang erat."

"Hemmm, tidak seerat tali hubungan antara aku dan isteriku!" bantah Ouwyang Bouw.

"Kau keliru! Antara ayahmu dan aku terdapat hubungan seperjuangan! Ayahmu tewas di tangan Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo, dan aku pun musuh dari pemerintah lalim yang sekarang berkuasa. Bahkan kita harus bersatu padu untuk merobohkan pemerintah ini, untuk membalas dendam kematian ayahmu. Jangan kau sampai terseret oleh urusan pribadi isterimu. Sebetulnya antara dia dan aku pun tidak terdapat permusuhan apa-apa. Tunangannya dulu kubunuh karena tunangannya itu telah berani berjinah dengan selirku, mereka tertangkap basah, maka kubunuh."

Mendengar ucapan ini, Ouwyang Bouw kelihatan meragu. Memang dia menaruh dendam kepada Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo atas kematian ayahnya.

"Ouwyang Bouw, kau masih diam seperti patung? Hayo cepat bantu aku merobohkan tua bangka ini, akan tetapi awas, jangan sampai dia terbunuh di dalam tanganmu. Aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri." Lauw Kim In berkata dengan suara dingin dan pandang mata marah kepada suaminya.

Mendengar kata-kata ini, lenyaplah semua keraguan dari wajah Ouwyang Bouw. Pedang ularnya berkelebat dan dia sudah menyerang Thian-ong Lo-mo dengan tusukan maut.

"Tranggg...!"

Kakek tinggi besar brewok ini sudah menggunakan sabuk rantai gergaji untuk menangkis. "Ouwyang Bouw jangan bodoh kau! Ingat, banyak orang gagah yang roboh hanya karena bujukan mulut wanita!"

"Tua bangka keparat!" Lauw Kim In memekik nyaring lantas pedangnya berubah menjadi sinar putih ketika meluncur ke arah leher Thian-ong Lo-mo dengan kecepatan kilat.

Kakek itu cepat meloncat dan mengelak, diam-diam terkejut karena mendapat kenyataan bahwa gerakan wanita itu hebat bukan main. Mengertilah dia bahwa wanita itu tentu telah memperdalam ilmunya setelah menjadi isteri Ouwyang Bouw. Dia adalah seorang tokoh dunia kaum sesat yang terkenal, memiliki banyak pengalaman dan tentu saja dia menjadi marah melihat dua orang muda itu mendesaknya.

"Bagus! Jangan kira Thian-ong Lo-mo takut kepada kalian!" Dia lalu memutar senjatanya sabuk rantai gergaji yang mengeluarkan bunyi berkerincing nyaring itu, segera membalas serangan lawan sehingga terjadilah pertandingan yang seru, hebat dan mati-matian.

"Cringgg... wuuuttt…! Wuuutttt…!"

Senjata rantai gergaji itu menyambar dahsyat ke arah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In dengan suara berdencingan nyaring, akan tetapi kedua orang muda itu dapat mengelak dengan baik, bahkan meloncat ke kanan kiri dan dari dua jurusan ini pedang mereka menusuk ke lambung kiri dan leher kanan! Diserang dari dua jurusan ini, Thian-ong Lo-mo meloncat ke belakang, memutar senjatanya ke kanan kiri dengan cepat untuk menangkis.

"Cringg…! Tranggg...!"

Namun, pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang tertangkis itu sudah meluncur seperti ular hidup, membalik dan menusuk ke arah pelipis kanan lawan, sedangkan Lauw Kim In dengan gerakan yang sama, juga sudah membacokkan pedangnya ke arah mata kaki kiri kakek brewok itu.

"Cring… cringgg...! Wuuut…! Wuuuttt…!"

Hanya dengan kecepatan luar biasa dan dengan susah payah saja kakek itu baru berhasil menangkis serangan dua batang pedang dari kanan kiri itu. Dia lalu memutar senjatanya, namun juga dapat dielakkan oleh dua orang pengeroyoknya yang mempunyai keringanan tubuh mengagumkan sekali.

Kini terjadilah serang-menyerang dengan gencar, kedua pihak mengeluarkan jurus-jurus maut dan berkali-kali terdengar suara berdencingan senjata yang saling bertemu dengan kerasnya diselingi bersiutnya senjata menyambar yang membelah udara karena berhasil dielakkan oleh sasarannya.

Thian-ong Lo-mo yang maklum bahwa dua orang lawannya itu, sungguh pun masih muda akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, telah mengeluarkan semua tenaga dan kepandaiannya. Berkat pengalamannya yang amat banyak selama puluhan tahun malang melintang di dunia kang-ouw, dia masih dapat mempertahankan diri, biar pun usia tuanya mulai memperlihatkan kelemahan daya tahannya dan napasnya yang mulai memburu.

"Hyaaahhhh…!" Tiba-tiba saja kakek itu memekik nyaring, pekik yang dikeluarkan dengan pengerahan khikang sehingga mengandung tenaga mukjijat yang menggetarkan lawan, sementara rantai gergaji di tangannya menyambar-nyambar ganas sekali.

"Sing-sing... wuuuttt... brettt!"

"Aihhh...!"

Saking dahsyatnya serangan Thian-ong Lo-mo tadi, meski Lauw Kim In sudah menangkis dan mengelak seperti yang dilakukan suaminya, tetap saja baju di punggungnya tercium rantai dan terobek lebar.

"Ha-ha-ha!" Thian-ong Lo-mo tertawa, sengaja mengeluarkan suara tawa untuk mengejek lawan, sungguh pun dia merasa kecewa bahwa senjatanya hanya berhasil merobek baju, tidak melukai tubuh lawan.

Di lain pihak, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In marah bukan main. Sambil berteriak keras mereka maju mendesak, mengirim serangan-serangan bertubi dan mengerahkan tenaga sinkang mereka. Thian-ong Lo-mo terpaksa memutar senjatanya melindungi tubuhnya.

"Cring-cring-cringggg...!"

Thian-ong Lo-mo dan Lauw Kim In berteriak keras sambil meloncat ke belakang. Senjata rantai gergaji itu patah, juga pedang Kim In patah. Hanya pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang masih utuh. Melihat senjatanya sudah patah dan rusak, Thian-ong Lo-mo lalu membuang senjatanya. Juga Lauw Kim In membuang pedang yang tinggal sepotong.

"Ha-ha-ha, bersiaplah kau untuk mampus, tua bangka Thian-ong Lo-mo!" Ouwyang Bouw tertawa bergelak sambil menyimpan pedang ularnya.

Menyaksikan kesombongan Ouwyang Bouw yang tidak mau menghadapi dia yang sudah bertangan kosong itu dengan pedangnya, diam-diam hati Thian-ong Lo-mo menjadi amat girang. Pemuda sombong, pikimya, kesombonganmu ini akan kau tebus dengan jiwamu!

Tanpa banyak cakap lagi Thian-ong Lo-mo menggereng, kemudian maju menyerang dua orang pengeroyoknya dengan kedua tangannya. Hebat bukan main serangan kakek ini.

Mula-mula dia menggerak-gerakkan sepasang tangannya saling bersilang dengan jari-jari tangan terbuka. Jari-jari tangan itu tergetar, menggigil terisi penuh dengan tenaga sinkang yang sangat kuat sehingga dalam keadaan seperti itu, bahkan kuku-kuku jari tangannya berubah menjadi sekuat cakar baja! Thian-ong Lo-mo lantas menyerbu ke depan, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Ouwyang Bouw sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada Kim In. Gerakannya benar-benar berupa serangan maut!

Akan tetapi kedua orang lawannya sudah siap. Mereka berdua maklum bahwa dalam hal kekuatan sinkang mungkin mereka masih kalah setingkat melawan kakek yang amat lihai itu. Akan tetapi keduanya memiliki andalan dan andalan ini pula yang membuat Ouwyang Bouw berani memandang rendah hingga tadi dia menyimpan pedangnya. Mereka berdua mengandalkan tok-ciang (tangan beracun) mereka!

Baru kurang lebih setahun bersama-sama dengan suaminya, Lauw Kim In telah memiliki sepasang tangan beracun yang amal lihai. Hal ini hanya dapat terjadi karena bujukannya terhadap Ouwyang Bouw yang sebetulnya merahasiakan ilmu keturunan ini. Akan tetapi karena dia sudah tergila-gila kepada Kim In, dia memenuhi permintaan isterinya tercinta itu dan setiap hari dia merendam kedua tangan dan lengan istrinya sampai ke batas siku dengan cairan ramuan obat yang mengandung racun ular Cobra!

Di samping ini dia melatih istrinya dengan pukulan-pukulan dari tok-ciang itu. Baru berlatih setahun saja, dengan sekali pukul, tangan kiri atau kanan wanita muda ini dapat membuat lawan roboh dan tewas dengan tubuh bengkak-bengkak seperti tergigit ular Cobra! Dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan Ouwyang Bouw yang sudah dilatih belasan tahun itu!

"Dukk! Dukkk!" Kedua lengan kakek Thian-ong Lomo tertangkis oleh lengan kedua orang lawannya.

Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu berani menangkisnya, diam-diam dia menjadi girang sehingga dia cepat mengerahkan sinkang-nya. Benturan lengan mereka membuat Ouwyang Bouw dan Kim In terhuyung ke belakang dan segera terdengarlah suara ketawa Thian-ong Lo-mo yang merasa girang karena benturan lengan tadi membuktikan bahwa sinkang-nya masih lebih kuat dari pada kedua orang lawannya.

"Ha-ha-ha... ehhh...?" Suara ketawanya tiba-tiba terhenti dan berganti teriakan kaget.

Dia memandang kedua buah lengannya dan matanya terbelalak. Ketika menyingsingkan lengan baju, dia melihat lengannya merah dan terasa gatal-gatal. Kini tahulah dia bahwa kedua kulit tengannya telah terkena hawa beracun!

"Ha-ha-ha-ha!" Ouwyang Bouw tertawa.

"Hi-hik-hik, tua bangka, bersiaplah untuk mampus!" Kim In juga mengejek dan wanita ini sudah menerjang maju bersama suaminya.

"Haiiitit... hehhh!" Thian-ong Lo-mo cepat mengelak kesana kemari, lantas membalas dengan pukulan-pukulan maut.

Namun dia segera terdesak hebat karena kakek ini merasa ragu-ragu untuk menangkis pukulan-pukulan lawan. Dia hanya mengelak ke sana-sini sehingga tentu saja hal ini tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk balas menyerang, tidak seperti kalau dia menangkis lalu membalas langsung.

Kadang-kadang, secara terpaksa Thian-ong Lo-mo menangkis juga, namun kalau hal ini dilakukan, dia mengisi lengannya dengan hawa sinkang sepenuhnya untuk menolak hawa beracun dari lengan lawan. Betapa pun juga, tetap saja kulit lengan yang terbentur lengan lawan terasa gatal-gatal, tanda bahwa biar pun hawa beracun itu tidak meresap ke daging dan tulang, namun tetap saja meracuni kulitnya. Semakin banyak dia menangkis, makin hebat pula rasa gatal yang menyiksa kedua lengannya.

Di antara perasaan yang biar pun tidak berapa nyeri namun sukar dipertahankan manusia adalah rasa gatal. Mungkin kalau kedua lengan Thian-ong Lo-mo itu terasa nyeri betapa hebat pun, kakek ini masih dapat mempertahankan. Akan tetapi diserang rasa gatal yang membuat seluruh bulu di tubuhnya bangkit meremang, sukar untuk dipertahankan tanpa digaruk, maka hal ini tentu saja sangat menyiksanya dan membuat gerakan ilmu silatnya menjadi kacau balau tidak karuan.

Dia sudah terkena pukulan sampai tiga kali, dua kali oleh Ouwyang Bouw dan sekali oleh Kim In. Namun, berkat ilmunya I-kiong Hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) yang sempurna, Thian-ong Lo-mo sanggup membuat tubuhnya kebal dan jalan darahnya tidak terluka oleh pukulan-pukulan itu, hanya bagian kulitnya yang terkena pukulan saja yang menjadi merah kehitaman dan terasa gatal bukan main.

"Hyaaahhhh... robohlah...!" Tiba-tiba Thian-ong Lo-mo membentak dan kedua tangannya bergerak ke depan.

Ouwyang Bouw dan Kim In cepat mengelak ketika melihat berkelebatnya sinar dari kedua tangan kakek itu dan mendengar suara bercuitan. Namun karena jaraknya sangat dekat, meski pun mereka mengelak, tetap saja pangkal lengan kiri Ouwyang Bouw keserempet dan betis kanan Kim In ketika meloncat terkena senjata rahasia yang dilepas oleh kakek itu. Kiranya senjata rahasia itu hanyalah kancing-kancing baju kakek itu sendiri.

Karena tadi terdesak hebat, terutama sekali disiksa rasa gatal-gatal, Thian-ong Lo-mo kemudian memperoleh akal. Tanpa diketahui kedua lawannya, diam-diam dia mencabuti kancing-kancing bajunya dan menanti kesempatan baik, lalu secara tiba-tiba menyerang kedua lawannya dengan kancing-kancing itu. Sayang baginya, kedua lawannya terlampau gesit sehingga hanya terluka ringan saja.

Celakanya, menyerang kedua orang suami isteri ini dengan senjata rahasia sama halnya dengan menantang ikan berlomba renang! Penggunaan kancing-kancing sebagai senjata rahasia oleh Thian-ong Lo-mo itu sama saja dengan menantang Ouwyang Bouw dan Kim In, padahal kedua suami isteri ini adalah ahli-ahli senjata rahasia jarum merah beracun!

Maka mereka berdua langsung menggerakkan kedua lengan bergantian dan sinar-sinar merah menyambar ke arah tubuh Thian-ong Lo-mo. Kakek ini masih berusaha mengelak, namun terlalu banyak jarum-jarum kecil halus itu menyambar, dan terlalu dekat jaraknya sehingga akhirnya dia berteriak keras dan roboh bergulingan di atas tanah.

Ouwyang Bouw tertawa dan dua kali tangannya bergerak. Seketika tubuh itu tidak dapat bergerak lagi, telentang di atas tanah karena pada sambungan lutut dan paha, masing-masing telah dimasuki sebatang jarum merah yang amat beracun, membuat kaki tangan kakek itu menjadi lumpuh tak mampu digerakkan lagi!

"Ha-ha-ha, isteriku sayang. Dia sudah tak berdaya, sekarang lakukanlah apa yang ingin kau lakukan!" Ouwyang Bouw berkata sambil mencari tempat duduk di atas sebuah batu untuk mengaso dan menonton isterinya membalas dendam.

Lauw Kim In memang merasa sakit hati sekali terhadap Thian-ong Lo-mo. Kakek inilah yang dianggapnya sudah menjadi biang keladi perubahan hidupnya. Betapa dia tak akan menyesal. Sampai saat itu pun, kalau diingat, dia menjadi berduka dan penasaran sekali.

Dia seorang murid Go-bi Sin-kouw, seorang wanita yang tergolong gagah perkasa dan cantik, terpaksa harus menyerahkan dirinya menjadi isteri seorang berotak miring seperti Ouwyang Bouw, dan semua itu adalah gara-gara kakek Thian-ong Lo-mo ini! Kalau saja dulu tunangannya tidak dibunuh, tentu dia telah menjadi isteri tunangannya itu dan hidup bahagia! Dengan dendam membara di dada wanita ini lalu mengambil pedangnya yang tinggal sepotong, kemudian menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang itu.

Melihat Lauw Kim In datang membawa pedang buntung, Thian-ong Lo-mo maklum bahwa dia tentu akan dibunuh, maka dia berkata, "Aku sudah kalah oleh kecurangan kalian yang menggunakan racun. Nah, mau bunuh lekas bunuh, aku sudah tua, tidak kau bunuh pun tak lama lagi tentu mati!" Ucapan ini dikeluarkan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya.

Tanpa mengeluarkan kata-kata tetapi kedua matanya mengeluarkan sinar menyeramkan, Kim In melangkah maju menghampiri tubuh yang telentang tidak berdaya itu. Tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat, pedang yang buntung, tidak runcing akan tetapi tentu saja masih amat tajam. Tangannya lalu bergerak, pedang pun berkelebat ke depan.

"Haiiittt...!" Tiba-tiba saja tubuh yang sudah tak berdaya dan lumpuh itu mencelat ke atas, mulutnya terpentang lebar dan ternyata kakek yang amat lihai itu kini menggunakan mulut untuk menyerang dan menggigit ke arah tenggorokan Kim In!

"Plakk! Desss...!"

Untung Kim In bersikap waspada dan dapat melihat serangan lawan, lalu tangan kirinya menampar dan memukul, membuat tubuh itu terbanting keras dalam keadaan telentang lagi. Kalau saja dia tidak waspada dan lehernya sampai tergigit, tentu gigitan itu tak akan dilepaskan sebelum kakek itu tewas, dan ini dapat berarti tewasnya Kim In pula! Dengan penuh kemarahan Kim In melangkah maju, tangan kanannya yang memegang pedang bergerak.

"Blesss... rettt...!"

Kim In meloncat muncur pada saat darah muncrat-muncrat dari tubuh depan kakek itu. Dari dada sampai ke bawah perut, tubuh itu terobek dan terkuak lebar, darah muncrat dan isi perutnya keluar.

Mata kakek itu terbelalak melotot, kaki tangannya yang lumpuh berkelojotan sebentar lalu dia pun terdiam. Hanya isi perutnya yang keluar itu masih sedikit bergerak-gerak bersama gerakan darah muncrat dan mengalir.

"Ha-ha-ha!" Ouwyang Bouw tertawa bergelak-gelak, menambah seramnya pemandangan di saat itu.

Lauw Kim In hanya menunduk, berdiri dengan muka pucat dan menunduk, tanpa berkata apa-apa lalu membuang pedang buntung yang berlumuran darah, kemudian membalikkan tubuhnya dan berkelebat pergi dari tempat itu, diikuti oleh suaminya yang tertawa-tawa.

Mayat Thian-ong Lo-mo ditinggalkan menggeletak di tempat itu, dengan dada dan perut terbuka. Dari jauh terdengar suara gerengan binatang hutan dan nampak beberapa ekor burung nazar pemakan bangkai yang beterbangan di atas tempat itu, binatang-binatang itu agaknya dapat mencium bau darah dan mayat.

Sementara itu, puas karena telah berhasil membalas dendam, Kim In bersama Ouwyang Bouw hendak kembali ke timur. Namun, serombongan orang Mongol dan beberapa orang barat yang dikepalai oleh Marcus yang dikenal sebagai Dewa Panah telah menghadang mereka di tengah jalan! Dengan amat mudah, Ouwyang Bouw dan Kim In merobohkan para pimpinan gerombolan ini.

Oleh karena Marcus mendengar bahwa laki-laki tampan gagah yang memiliki kepandaian amat tinggi itu adalah putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong yang membantu Panglima The Hoo, dia menggunakan kesempatan itu untuk menarik tenaga Ouwyang Bouw. Dia lalu menyatakan takluk dan membawa semua anak buahnya beserta para pemberontak Mongol, mengangkat Ouwyang Bouw sebagai kepala dari gerombolan yang semuanya berjumlah tidak kurang dari seribu orang Mongol!

Demikianlah, suami isteri ini menjadi pimpinan gerombolan orang Mongol. Dan tentu saja puncak pimpinan segera berada di tangan Lauw Kim In sebab suaminya tunduk padanya, sehingga Ouwyang Bouw yang memiliki kepandaian tinggi itu seakan-akan hanya menjadi pembantunya!

Setelah dendamnya terlaksana dan dia dapat membunuh musuhnya, Kim In menganggap bahwa hidupnya tidak ada artinya lagi. Tapi, mengingat betapa suaminya telah bersikap baik kepadanya, biar pun dia tidak mencintanya, bahkan telah membantunya membunuh Thian-ong Lo-mo, dia merasa kasihan juga mendengar bahwa suaminya itu tidak akan tenteram hatinya sebelum membalas kematian ayahnya.

Ouwyang Bouw maklum bahwa agaknya tidak akan mungkin baginya untuk membunuh Cia Keng Hong dan Panglima Sakti The Hoo, namun setidaknya dia akan merongrong kewibawaan panglima itu, akan mengganggu pemerintah!

Dan Kim In merasa berhutang budi kepada Ouwyang Bouw, maka dari pada menderita hidup yang kosong, dia lalu membantu suaminya, bahkan kini dia menikmati kedudukan sebagai orang paling terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut yang dipimpin suaminya. Ia diperlakukan seperti ratu dan lama-kelamaan kedudukan atau kemuliaan ini merupakan kebutuhan baginya, membuat dirinya mabok dan tidak ingin melepaskannya lagi karena menganggapnya sebagai kebahagiaan hidupnya!

Memang demikianlah kehidupan manusia, seperti Lauw Kim In itu…..

Kita manusia dibikin mabok oleh pikiran kita sendiri, oleh kenangan yang melahirkan keinginan. Kita melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang menyenangkan, lalu kita ingin hal itu berlangsung terus atau berulang kembali, dan kita takut kehilangan itu sehingga kita mati-matian membelanya atau mencarinya kalau yang menyenangkan itu meninggalkan kita. Dalam membela atau mencari ini, kita tak segan-segan merobohkan siapa saja yang menghalang di tengah jalan.

Dan celakanya, kita menganggap bahwa yang menyenangkan itu adalah kebahagiaan! Kita lupa bahwa kesenangan tidak akan terpisah dari kekecewaan, kekhawatiran mau pun kedukaan. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh menikmati kesenangan, tetapi bodohlah bila kita mengikatkan diri pada kesenangan yang berarti kita menghambakan diri kepada nafsu kesenangan.

Hanya dia yang bebas dari segala ikatan lahir mau pun batin, dialah yang benar-benar hidup, karena bagi dia yang bebas dari segala ikatan tidak membutuhkan apa-apa lagi, juga tidak membutuhkan kebahagiaan karena sudah bahagia!

Demikianlah pengalaman Lauw Kim In sampai pada suatu hari ketika suaminya dengan Marcus menangkap seorang tawanan dan pada keesokan harinya pagi-pagi tawanan itu dibawa menghadap ke dalam satu ruangan di mana dia hadir bersama Ouwyang Bouw, Marcus, dan lima orang pemimpin bangsa Mongol yang siap hendak memeriksa tawanan yang mencurigakan itu.

Ketika Lauw Kim In mengangkat mukanya memandang wajah tawanan itu, seketika dia teringat. Tawanan itu adalah Yap Kun Liong, bocah gundul yang dahulu menjadi sahabat sumoi-nya! Biar pun Kun Liong memakai pakaian bangsa kulit putih, biar pun kepala yang dulunya gundul pelontos itu kini sudah berambut, Kim In tidak pangling lagi. Jantungnya berdebar tegang. Betapa pun juga, bertemu dengan pemuda ini membuat dia teringat akan sumoi-nya, satu-satunya orang yang dikasihinya.

"Kalian sudah salah menangkap orang!" mendadak terdengar Kim In berkata, "Dia adalah teman sumoi-ku." Ia menoleh kepada suaminya kemudian berkata, "Harap kau buka dulu belenggunya dan biar aku yang menanyainya."

Ouwyang Bouw tidak membantah. Sekali tangannya bergerak meraba belenggu, patahlah belenggu kaki tangan Kun Liong. Diam-diam Kun Liong mencatat di dalam hatinya bahwa Ouwyang Bouw akan merupakan lawan yang sangat tangguh. Akan tetapi dia bersikap tenang, tersenyum dan menjura ke arah Lauw Kim In.

"Nona Lauw Kim In sungguh bermata tajam, dapat mengenalku. Apakah selama ini Nona berada dalam keadaan baik-baik saja?"

"Heh, dia itu isteriku, bukan nona lagi. Hati-hati menjaga mulutmu, jangan kau kurang ajar terhadap isteriku!" Ouwyang Bouw menegur dengan hati cemburu melihat tawanan itu tersenyum-senyum dan bicara kepada isterinya.

Kun Liong lalu menoleh kepada laki-laki yang memandangnya dengan biji mata berputar-putaran liar itu, masih tersenyum dan berkata, "Saudara Ouwyang Bouw, engkau makin galak saja sekarang. Aku tidak bermaksud kurang ajar kepada isterimu."

"Kau... kau mengenal namaku?" Ouwyang Bouw berseru kaget dan memandang penuh perhatian.

Kun Liong mengelus rambut di kepalanya. "Siapa tidak mengenal engkau dan ayahmu, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok? Sampai sekarang masih terbayang di hadapan mataku kematian semua orang dusun yang dahulu bersama aku menangkap ular-ular berbisa, kematian mengerikan dan masih terasa olehku jarum-jarum merahmu yang amat hebat. Tentu sekarang Ang-tok-ciam (Jarum Merah Beracun) milikmu itu semakin hebat saja! Jarum merah yang membuat kepalaku gundul sampai bertahun-tahun lamanya!"

Ouwyang Bouw semakin terheran dan dia merenung, mengingat-ingat, akan tetapi tentu saja tidak dapat teringat olehnya. Sudah terlampau banyak dia dan ayahnya membunuhi orang, tentu saja dia tidak teringat lagi akan peristiwa pembunuhan orang-orang dusun ketika Kun Liong masih kecil, belasan tahun yang lalu. Hal ini membuat dia penasaran dan dia tidak bicara lagi, melainkan termenung-menung dan berusaha mengingat kembali peristiwa yang dikatakan orang tawanan itu.

Sementara itu, Marcus yang mendengarkan dan melihat dengan penuh perhatian, begitu mendengar tawanan itu mengatakan bahwa kepalanya pernah gundul, segera teringat, "Haiiit! Bukankah engkau Si Gundul itu? Yap Kun Liong?"

Kun Liong berpaling kepadanya sambil tersenyum lebar. "Dan engkau Marcus yang kini berjuluk Si Dewa Panah, ya? Bagus, agaknya tak percuma pula engkau pernah menjadi kekasih Kim Seng Siocia, kiranya telah mewarisi ilmu kepandaiannya."

Merahlah muka Marcus mendengar kata-kata itu. "Kalau begitu engkau tentu mata-mata musuh! Engkau perlu dihajar agar suka mengaku!" Marcus meloncat ke depan, langsung menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah muka Kun Liong.

Tanpa mengelak tanpa berkedip pemuda ini menghadapi serangan itu. Sesudah kepalan tangan Marcus menyambar dekat sekali dengan mukanya, mendadak jari tangan kirinya bergerak menyambar dari bawah.

"Takkk...! Augghhh...!" Marcus berteriak kesakitan dan melangkah mundur, tangan kirinya memegang pergelangan tangan kanan yang terasa seperti patah tulangnya. Ternyata Kun Liong telah mendahuluinya dan menotok pergelangan tangan yang memukul itu sehingga tangan itu menjadi lumpuh dan terasa nyeri sekali.

"Hemm, berani engkau kurang ajar?" Ouwyang Bouw berseru dan tangannya menyambar ke depan.

Kun Liong maklum akan kelihaian orang ini, maka dia segera menggerakkan tubuhnya miring dan dari samping dia menyampok lengan yang menyambar dahsyat itu.

"Dukkk...!"

Tubuh Ouwyang Bouw tergeser ke belakang dan wajahnya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada lawannya. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa tawanan itu ternyata memiliki kepandaian hebat, mampu menangkis pukulannya, bahkan tangkisan itu membuat dia tergeser!

"Ouwyang Bouw, aku tidak ingin bertanding dengan orang yang telah menyelamatkan aku dari padang pasir. Bahkan pertolonganmu itu telah memaafkan semua perbuatanmu yang lalu terhadap diriku." Kun Liong berkata, suaranya nyaring.

"Manusia sombong!" Ouwyang Bouw meraba gagang pedangnya, juga Marcus dan lima orang pimpinan gerombolan Mongol sudah bangkit dari tempat duduk masing-masing dan menyambar senjata.

"Tahan, jangan bertempur!" Tiba-tiba Lauw Kim In berseru.

MENDENGAR bentakan isterinya ini, Ouwyang Bouw memasukkan lagi pedang ularnya dan duduk kembali sambil bersungut-sungut. Hatinya merasa tidak puas. Dia penasaran sekali mendapat kenyataan bahwa tawanan itu lihai, maka hatinya ingin sekali untuk mencoba kepandaian si tawanan dan terutama sekali merobohkannya, membuktikannya bahwa dia lebih pandai!

Akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak isterinya! Kalau isterinya marah-marah, seperti yang pernah beberapa kali dilakukan oleh Kim In, kemudian mati-matian isterinya mempertahankan diri, tidak mau mendekatinya, tidak mau melayani cintanya, dia merasa tersiksa setengah mati! Sejak itulah, dia tidak lagi berani membantah kehendak isterinya. Tidak ada kesengsaraan lebih besar baginya dari pada kalau isterinya marah dan mogok, tidak mau mendekati dan melayaninya!

Terutama sekali Marcus merasa penasaran sehingga diam-diam dia marah sekali. Jelas baginya bahwa Yap Kun Liong adalah seorang yang berbahaya, seorang musuh, entah musuh yang berpihak mana saja, akan tetapi yang jelas, bukanlah seorang yang boleh dianggap sebagai seorang sahabat. Bagi dia, Kun Liong harus dibunuh dan sama sekali tidak boleh diberi ampun. Akan tetapi, melihat betapa Ouwyang Bouw, tokoh pertama dan utama dalam gerombolan mereka itu tidak berani membantah kehendak Lauw Kim In, dia pun tidak berani berkutik dan langsung duduk kembali sambil memandang tajam penuh perhatian.

"Yap Kun Liong, duduklah!" kata Kim In sesudah melihat bahwa semua orang mentaati permintaannya.

"Terima kasih, engkau baik sekali Nona... ehh, Nyonya," katanya sambil melirik ke arah Ouwyang Bouw yang makin cemberut.



Cerita Silat Online Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo


Suasana di ruangan itu menjadi hening sejenak. Kun Liong menujukan pandang matanya ke sekeliling. Tampak olehnya betapa tempat itu, walau pun dalam jarak agak jauh, telah dijaga ketat oleh banyak sekali anggota pasukan yang memegang tombak. Penjagaan yang amat rapi dan ketat, seperti dalam benteng tentara saja.

"Yap Kun Liong, engkau melihat sendiri betapa engkau sudah dikurung dengan rapat di tempat ini. Betapa pun lihaimu, engkau takkan mungkin dapat keluar dengan selamat apa bila kami menghendaki. Karena itu, kau ceritakanlah dengan sejujurnya dan sebenarnya, apa yang kau lakukan di tempat ini dan kenapa pula engkau mengenakan pakaian salah seorang anak buah sahabat kulit putih."

Kata-kata yang dikeluarkan oleh Kim In itu agaknya ditujukan untuk mendinginkan hati mereka yang merasa panas dan marah kepada Kun Liong. Kun Liong mengerti bahwa sesungguhnya Kim In ingin bicara hal lain dengan dia, akan tetapi sebelumnya minta agar dia suka menceritakan keadaannya itu supaya menghilangkan kecurigaan para pimpinan pasukan, terutama sekali Marcus dan Ouwyang Bouw.

"Aku tak sengaja memasuki daerah ini, karena aku sedang melakukan perjalanan menuju ke barat dan melalui tempat ini. Aku hampir mati di padang pasir yang tidak kukenal dan kebetulan di dalam perjalanan aku melihat seorang lelaki berkulit putih sedang dikeroyok oleh tiga belas orang Mongol yang dipimpin oleh seorang raksasa Mongol bermata sipit ahli gulat..."

"Hemm, tentu Si Tula yang memberontak!" Tiba-tiba seorang di antara pemimpin Mongol berseru.

"Laki-laki kulit putih itu luka-luka parah. Aku menolongnya dan berhasil menghalau para pengeroyoknya. Akan tetapi dia tidak tertolong lagi. Aku lalu mengubur jenazahnya, akan tetapi karena pakaianku sudah robek-robek sehingga aku hampir telanjang dan aku amat membutuhkan pakaian, maka aku mengambil pakaiannya sebelum kukuburkan jenazah itu."

"Laki-laki kulit putih? Tahukah engkau siapa dia?" Kim In bertanya.

"Tidak, dia tidak sempat menyebutkan namanya, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, kumisnya panjang melintang dan berwarna kemerahan..."

"Alberto...!" Tiba-tiba saja Marcus berkata dan semua orang saling pandang dengan alis berkerut.

Alberto adalah utusan mereka, orang yang penting untuk menghubungi Pek-lian-kauw. Akan tetapi Kun Liong tidak mau bicara tentang pesan orang yang hampir mati itu ketika menyebut-nyebut nama Pek-lian-kauw. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain.

"Aku tidak tahu siapa dia. Aku memang sudah mengambil pakaiannya, akan tetapi hal itu kulakukan karena terpaksa, karena aku harus melindungi tubuhku dari serangan panas, dan kuanggap sebagai pembalasan perbuatanku yang sudah mengurus serta mengubur jenazahnya."

"Si Keparat Tula! Dia harus kita hajar!" Marcus berkata dan lima orang Mongol itu lantas mengangguk-angguk.

"Yap Kun Liong, sekarang ceritakanlah, ke mana engkau hendak pergi dan mengapa kau melalui tempat asing di luar Tembok Besar ini?"

Kun Liong amat terkejut dan memandang wajah Kim In dengan mata terbelalak. "Di luar Tembok Besar? Wah, pantas adanya hanya padang pasir melulu dan gunung-gunung liar! Aku tidak tahu, tidak mengenal jalan. Aku hanya tahu bahwa aku harus ke barat, karena aku hendak pergi ke Tibet."

Semua orang menjadi terkejut dan pandang mata Marcus tajam menyelidik, agaknya dia mulai curiga lagi.

"Ke Tibet?" Lauw Kim In bertanya.

Kun Liong dapat menduga bahwa sebenarnya wanita itu ingin mendengar berita tentang sumoi-nya, maka dia lalu berkata terus terang, "Benar, ke Tibet untuk mencari Pek Hong Ing."

Tepat dugaan Kun Liong, karena begitu mendengar nama sumoi-nya, wajah Kim In lantas berubah dan perhatiannya tercurah sepenuhnya.

"Apa yang terjadi dengan Sumoi?" tanyanya tidak sabar.

"Tiga orang pendeta Lama yang sangat lihai sudah membawanya pergi dan aku tidak berdaya mencegahnya, bahkan aku hampir mati oleh mereka yang sangat lihai. Setelah aku sembuh, aku sekarang pergi menyusul dan hendak mencarinya. Karena mereka itu adalah pendeta-pendeta Lama, maka aku hendak mencari mereka ke Tibet."

"Ahhhh...!" Wajah yang cantik itu menjadi pucat, agaknya dia merasa cemas sekali akan nasib sumoi-nya.

Melihat ini, Kun Liong merasa kasihan dan juga senang bahwa wanita ini masih mencinta sumoi-nya. Maka berkatalah dia dengan suara menghibur, "Harap kau jangan khawatir. Aku pasti akan mencarinya sampai dapat, dan aku merasa yakin bahwa aku akan dapat menyelamatkannya dari ancaman siapa pun juga!"

Kim In menggerakkan bibirnya, akan tetapi tidak mengatakan sesuatu, lalu dia menunduk. Kemudian terdengar dia menghela napas dan berkata, "Kalau begitu, engkau sama sekali tidak melakukan suatu kesalahan terhadap kami. Kau boleh pergi sekarang juga."

Kun Liong bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. Dia melihat betapa sinar mata Marcus melahapnya seperti hendak membunuhnya dengan sinar mata akan tetapi orang kulit putih itu tidak berani bergerak.

Melihat keraguan Kun Liong, Kim In lalu berkata kepada lima orang pemimpin Mongol, "Biarkan dia pergi. Dia hendak mencari sumoi-ku."

Lima orang Mongol itu lalu mengeluarkan teriakan sebagai aba-aba dan di luar ruangan terdengar teriakan-teriakan menyambut dalam bahasa Mongol. Dua orang prajurit masuk lalu mengawal Kun Liong keluar dari situ. Kun Liong hanya tersenyum dan tidak berkata apa-apa, hanya mengikuti dua orang prajurit itu keluar dari benteng ini.

Tak lama kemudian setelah Kun Liong pergi, Kim In berkata kepada suaminya, "Aku lupa untuk berpesan sesuatu kepadanya supaya disampaikan kepada Sumoi-ku! Kalian tunggu sebentar, aku hendak menyusulnya!"

Tanpa memberi kesempatan orang lain untuk menjawab, tubuh Kim In sudah mencelat dan seperti terbang cepatnya dia sudah berlari keluar mengejar.

Kun Liong sudah keluar dari pintu gerbang dan selagi dia berjalan dengan hati ringan karena tak disangkanya bahwa urusan dengan orang macam Ouwyang Bouw dan Marcus dapat diselesaikan sedemikian mudahnya berkat Lauw Kim In, tiba-tiba terdengar suara wanita itu dari belakang,

"Kun Liong, tunggu dulu!"

Kun Liong membalikkan tubuhnya, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum sungguh pun hatinya berdebar tegang karena dia khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan dirinya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dia memandang wanita itu dengan mata penuh pertanyaan.

"Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu," kata Lauw Kim In setelah dia berdiri di depan pemuda itu. "Mengapa engkau pergi bersusah payah mencari Sumoi?"

Kun Liong tersenyum. Kiranya hanya persoalan itu yang membuat wanita ini berlari-lari menyusulnya. "Tentu saja aku mencarinya karena dia terancam bahaya, meski pun para pendeta Lama itu tidak menyatakan demikian. Bahkan... bahkan... ada hal yang amat luar biasa yang membuka rahasia Hong Ing... tentang ayahnya..." Kun Liong masih ragu-ragu apakah dia akan menceritakan semua peristiwa yang terjadi di pulau kosong itu.

"Hmm, tentang ayahnya? Seorang pendeta Lama? Aku sudah tahu sedikit-sedikit tentang riwayatnya, Kun Liong. Ingat, aku bersama dengan Subo ketika kami menemukan ibunya dan dia."

Kun Liong sekarang tidak ragu-ragu lagi dan diceritakanlah semua peristiwa yang terjadi di pulau itu, tentang pertemuan mereka dengan pendeta Lama sakti yang ternyata adalah ayah Pek Hong Ing, yaitu pendeta yang ternyata bernama Kok Beng Lama, tentang tiga orang pendeta Lama lain yang membawa pergi Hong Ing.

"Demikianlah, biar pun mereka itu mengaku supek dan susiok Hong Ing, aku masih curiga dan aku harus mencari Hong Ing sampai ketemu." Kun Liong mengakhiri penuturannya.

Lauw Kim In merasa kagum dan terheran-heran, lalu menghela napas dan bertanya, "Yap Kun Liong, katakanlah. Apakah engkau mencinta sumoi?"

Kun Liong mengangguk, menjawab dengan sepenuh hatinya, "Aku cinta kepadanya, dan aku siap mengorbankan nyawa demi untuk keselamatannya. Aku cinta kepada Pek Hong Ing, mencintanya dengan seluruh jiwa dan ragaku!"

Terdengar isak atau sedu sedan naik dari dada Lauw Kim In. "Syukurlah..." dia berbisik, "Semoga dia berbahagia..." dan tiba-tiba sekali, tanpa disangka-sangka, tangan kanannya bergerak dan sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong!

Akan tetapi Kun Liong tidak mengelak dan kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.

"Hemmm... apa bila aku menghendaki, bukankah nyawamu telah melayang, Kun Liong?" katanya sambil memperlihatkan segumpal rambut di dalam cengkeraman tangannya.

Memang ilmu kepandaian Lauw Kim In hebat bukan main. Tangannya dapat memutuskan segumpal rambut tanpa terasa sedikit pun oleh Kun Liong.

Akan tetapi pemuda itu tersenyum. "Kalau aku menghendaki, engkaulah yang akan roboh dulu, akan tetapi aku tahu bahwa engkau hanya ingin mengujiku, dan melihat apakah aku cukup dapat diandalkan untuk menolong Sumoi-mu. Bukankah begitu?"

Lauw Kim In terkejut. "Apa... apa maksudmu?"

"Lihat saja itu... sayang engkau yang secantik ini mau mengorbankan diri menjadi isteri Ouwyang Bouw."

Kim In yang dituding dadanya itu cepat menunduk dan menahan jeritnya. Bajunya telah berlubang, baju luar dan dalam sehingga sebuah di antara ujung buah dadanya mencuat keluar tanpa dirasakannya sama sekali! Dia mendengar angin menyambar dan ketika dia mengangkat mukanya, ternyata yang tampak hanya bayangan Kun Liong berkelebat dan pemuda itu sudah lenyap dari depannya!

Kim In menjatuhkan diri duduk di atas tanah, menutupi buah dada yang menjenguk keluar seperti melalui jendela itu dengan tangan kirinya, termenung dan termangu-mangu. Akan tetapi pada wajahnya yang cantik tersungging senyum. Dia merasa ikut bahagia bahwa sumoi-nya, satu-satunya orang yang dicintanya bagaikan adiknya sendiri, ternyata sudah memperoleh seorang kekasih yang demikian lihai, demikian lucu namun agak sayang…, demikian kurang ajar! Akan tetapi kekurang ajaran yang dapat dia maafkan dan bahkan membuat dia tersenyum geli.

Gara-gara dia hendak memperlihatkan kepandaiannya, ternyata dia malah mendapatkan malu. Kalau saja Kun Liong menghendaki, setelah dapat merobek baju luar dalam di dada tanpa dirasainya, tentu pemuda itu dapat melakukan apa pun juga terhadap dirinya tadi!

Pada saat Kim In kembali ke markas dengan pikiran masih tenggelam ke alam lamunan memikirkan sumoi-nya yang tidak disangka-sangkanya bertemu dengan ayahnya dan kini malah dibawa oleh para Lama sakti ke Tibet, terjadilah hal lain yang tidak diketahui oleh wanita ini. Diam-diam, dengan persetujuan Ouwyang Bouw, Marcus dan para pimpinan orang Mongol mengerahkan seratus lebih Pasukan Tombak Maut melakukan pengejaran terhadap Kun Liong dengan maksud membunuh pemuda itu!

Kun Liong berjalan seorang diri, hatinya gembira karena dia telah terlepas dari bencana. Dia tersenyum-senyum kalau mengingat pertemuannya yang terakhir dengan Lauw Kim In, akan tetapi wajahnya menjadi merah dan dia merasa malu sendiri bila teringat akan kekurang ajarannya telah merobek baju wanita itu hingga tampak sebuah di antara buah dadanya. Sayang, pikirnya. Wanita secantik itu, dengan bentuk tubuh seindah itu, harus menyerahkan diri kepada seorang pria semacam Ouwyang Bouw!

Dia menghela napas dan jantungnya berdebar tegang, mencela diri sendiri yang harus mengaku bahwa darah mudanya bergelora ketika dia mengingat akan penglihatan yang menggairahkan hatinya itu.

Gairah hatinya membuat dia mengingat yang bukan-bukan, teringat akan malam yang tak akan pernah terlupakan olehnya, di malam sunyi, di dalam kuil tua di mana dia tenggelam dalam buaian cinta bersama Hwi Sian! Jantungnya berdebar makin keras dan begitu dia teringat kepada Hong Ing, semua bayangan itu lenyap dan ingin dia menampar mukanya sendiri. Sialan! Mata keranjang! Demikian dia memaki diri sendiri.

Tiba-tiba terdengar olehnya derap kaki banyak kuda dari belakang. Kun Liong tersenyum dan menghentikan langkahnya, bahkan dia lalu duduk di atas sebuah batu besar sambil menghapus keringatnya di leher dan muka. Dia mengira bahwa tentu Lauw Kim In yang mengejarnya lagi, entah sekarang mau apa wanita itu. Dia tidak khawatir akan celaka di tangan wanita itu.

Akan tetapi ketika seratus orang lebih itu tiba dekat, dia mengerutkan alisnya. Pasukan Mongol yang menunggang kuda itu mengurungnya, semua meloncat turun dari atas kuda dengan sikap mengancam dan dengan senjata tombak di tangan. Marcus berada paling depan, sudah menodongkan anak panah yang telah dipasang pada busurnya, sikapnya mengancam dan senyumnya menyeringai.

"Yap Kun Liong, cepat engkau katakan di mana disimpannya bokor emas, baru aku mau mengampuni nyawamu!" bentak Marcus sambil menodongkan anak panahnya.

Wajah Kun Liong menjadi merah. Maklumlah dia bahwa di dalam persekutuan ini pun, Marcus hanya mencari keuntungannya sendiri dan tentu perbuatannya ini di luar tahunya Ouwyang Bouw mau pun Lauw Kim In.

"Hemm," Kun Liong tersenyum. "Marcus, engkau memang seorang yang licin dan curang. Tadinya engkau bersekutu dengan Tok-jiauw Lo-mo, kemudian rela menjadi gendak Kim Seng Siocia, sekarang engkau membohongi dan menipu orang-orang Mongol."

"Jangan banyak cakap! Nyawamu berada di tanganku! Hayo katakan di mana bokor itu?"

"Aku tidak tahu di mana benda pusaka itu. Andai kata aku tahu sekali pun, tak mungkin akan kuberi tahukan padamu," jawab Kun Liong tenang, akan tetapi diam-diam tangannya telah mencengkeram hancur ujung batu dan digenggamnya dengan tangan kanan.

"Keparat! Kalau begitu mampuslah!"

"Wit-wir-wirrr...!" Tiga batang anak panah meluncur dari busur itu dengan cepat sekali.

"Siuuuuttt... singggg... tak-tak-takkk!"

Tiga batang anak panah itu runtuh dan patah-patah disambar oleh hancuran batu yang disambitkan tangan kanan Kun Liong. Pemuda itu masih duduk dengan tenang dan tidak mempedulikan sikap Marcus yang terkejut dan memandang anak panahnya dengan muka pucat.

"Serbu...! Bunuh...!" Marcus berteriak marah sekali, karena untuk menyerang lagi dengan anak panah dia tidak berani. Sekali saja gagal seperti itu sudah cukup memalukan.

Meski pun dikepung oleh seratus orang lebih yang bertubuh tinggi besar, bersikap ganas dan bersenjata tombak panjang, Kun Liong tidak menjadi gentar dan dia masih enak-enak duduk di atas batu besar.

"Wah-wah-wah, tidak adil sama sekali! Hei, jangan kalian tidak tahu malu!" tiba-tiba saja terdengar teriakan dari atas!

Semua orang juga Kun Liong memandang ke atas dan kiranya di atas pohon tak jauh dari situ terdapat dua orang laki-laki sedang duduk nongkrong di atas dahan pohon dan yang berteriak-teriak adalah lelaki yang tua, yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih.

Pakaiannya amat aneh, pakaian longgar kebesaran, celananya berkotak-kotak sedangkan bajunya berkembang, kepalanya memakai kopyah seperti yang biasanya dipakai seorang anak kecil, mukanya riang dan tersenyum-senyum, matanya yang amat tajam itu kocak dan penuh kegembiraan hidup.

Ada pun orang ke dua adalah seorang laki-laki muda, usianya tentu tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan serta gagah sekali membuat Kun Liong kagum memandangnya, sikap pemuda ini pendiam dan tenang.

Melihat dua orang itu, Marcus lalu membentak, "Siapa kalian dan perlu apa mencampuri urusan kami?"

"Wah-wah-wah, tentu saja kami mencampuri!" Kakek itu berkata lagi, "Kalian ini tidak tahu malu sekali! Tunggu aku turun dulu baru bicara, di atas sini mengerikan!" Kakek itu lalu merayap turun.

Akan tetapi Si Pemuda lantas memegang lengannya dan membawanya melayang turun. Gerakan pemuda itu cukup lumayan. Ketika dibawa meloncat turun, kakek itu menjerit ketakutan. Namun sesudah turun di atas tanah, dengan langkah gagah dia menghampiri Marcus dan kawan-kawannya, ada pun pemuda gagah itu hanya melangkah penuh hormat di belakangnya!

Kun Liong merasa tertarik sekali dan diam-diam dia merasa geli. Mau apakah kakek yang seperti badut ini? Betul-betul mencari penyakit, pikirnya. Mana mungkin mengajak bicara orang macam Marcus dan gerombolan Mongol itu secara baik-baik? Akan tetapi dia diam saja, tetap duduk di atas batu besar sambil memandang penuh perhatian. Diam-diam dia memperhatikan pemuda yang berjalan di belakang kakek itu.

Seorang pemuda yang hebat, pikirnya. Tubuhnya tegap dan terlihat kuat, apa lagi karena wajahnya yang tampan itu serius dan tenang sekali. Mungkin pemuda inilah yang hebat, pikirnya kagum. Baru melihat saja sudah timbul rasa sukanya kepada pemuda itu.

Si Kakek Aneh itu kini sudah berhadapan dengan Marcus dan lima orang raksasa Mongol yang menjadi pimpinan pasukan itu. Wajahnya gembira ria dan senyumnya melebar, akan tetapi Kun Liong melihat sinar aneh memancar keluar dari sepasang mata kakek itu.

"Aihh, kiranya yang memimpin adalah seorang berkulit putih bermata biru! Eh, Tuan, kami tidak bisa tinggal diam saja melihat kalian ini mau membunuh pemuda itu. Kalian adalah manusia-manusia yang beradab, bukan? Mana mungkin boleh menyembelih seorang manusia lain? Sungguh buas dan hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan. Sama sekali tidak boleh!"

Kun Liong menahan ketawanya. Kakek ini sungguh-sungguh mencari penyakit, pikirnya. Mengajukan ceng-li (aturan) seperti itu kepada orang-orang semacam Marcus! Alangkah menggelikan! Sama saja dengan berpidato di depan segerombolan serigala liar! Mencari penyakit namanya.

Marcus marah bukan main. "Kakek tua bangka gila! Engkau sungguh lancang! Aku mau membunuh siapa pun, engkau peduli apa? Bahkan bila sudah bosan hidup kalian berdua juga akan kubunuh sekalian!"

Kun Liong memperhatikan sikap pemuda di belakang kakek itu, namun pemuda itu tetap diam saja, sedikit pun tidak berubah air mukanya, seolah-olah ancaman hebat itu sama sekali tidak didengarnya. Kun Liong makin kagum. Pemuda itu bernyali besar! Akan tetapi yang lebih mengherankan adalah sikap kakek aneh itu. Dia ini diancam bukan menjadi takut, malah gilanya menjadi semakin hebat!

"Kalian tidak mau mundur? Wahh! Kalian malah hendak membunuh kami berdua juga? Uh-uhhh... dari pada melihat kekejaman yang tiada taranya ini, biarlah kalian bunuh kami guru dan murid lebih dulu. Setelah kalian membunuh kami berdua terserah hendak kalian apakan pemuda yang duduk di atas batu itu!"

Gila, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia terharu. Biar pun kakek itu gila, akan tetapi gilanya adalah gilanya orang budiman! Dan kakek itu mengaku sebagai guru pemuda tegap itu. Benar-benar mengherankan dan dia menjadi semakin ingin tahu, ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, maka dia merosot turun dari batu dan bersiap untuk melindungi mereka berdua andai kata mereka terancam oleh gerombolan ganas itu.

Marcus dan teman-temannya kini tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha!" Marcus tertawa sambil memegangi perutnya. "Kiranya tua bangka ini miring otaknya! Kau minta mati?"

Kun Liong merasa geli akan tetapi juga sangat khawatir. Dia sudah ingin meloncat maju mencegah kakek aneh itu yang membelanya secara luar biasa. Mana ada orang membela dengan cara menyerahkan nyawa sendiri? Akan tetapi pada waktu dia hendak bergerak maju, dia melihat pemuda tegap tampan itu memandang tajam kepadanya dan pemuda itu menggoyang kepalanya, jelas memberi isyarat agar dia tidak melakukan apa-apa!

Semakin tertarik dan terheranlah hati Kun Liong. Apa maunya guru dan murid itu? Kalau mereka itu orang-orang lihai dan benar hendak menolongnya, kenapa bersikap demikian aneh? Akan tetapi dia melihat pemuda itu dengan sikap sungguh-sungguh menggoyang kepalanya mencegah dia bergerak.

Kun Liong lalu mengangguk, tanda bahwa dia akan mentaati permintaan pemuda itu, lalu dia duduk kembali di atas batu besar, menonton penuh perhatian dan dengan hati amat tertarik. Dia melihat bahwa pemuda itu kini aneh sekali, memejamkan mata dan mengatur pernapasan! Akan tetapi hal itu dilakukan sambil berdiri, dengan kedua lengan bersilang di depan dada.

Dengan terheran-heran Kun Liong memperhatikan kakek itu. Kakek itu tertawa dan Kun Liong merasa tengkuknya meremang ketika mendengar suara ketawa ini. Suara ketawa yang mengandung tenaga mukjijat, yang membuat jantungnya bergetar hebat! Kemudian suara ketawa itu disusul dengan kata-kata yang lebih menggetarkan lagi, kata-kata yang menembus sampai ke ulu hati.

"Ha-ha-ha-ha-ha, kalian semua lihatlah baik-baik, apakah kalian bisa membikin aku mati. Nah, ini kepalaku, penggallah kepalaku sepuas hati kalian. Kalau aku sudah dapat kalian bunuh, juga muridku, baru kalian boleh mengeroyok pemuda itu, ha-ha-ha!"

Dengan mata terbelalak penuh keheranan Kun Liong melihat betapa kini kakek itu sudah berbaring di atas sebuah batu besar, menjulurkan kepalanya sehingga nampak lehernya yang panjang, menantang untuk dipenggal lehernya!

Marcus dan lima orang pemimpin Mongol tertawa geli, kemudian salah seorang di antara pemimpin itu mencabut goloknya, sambil tertawa-tawa menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang. Jantung Kun Liong berdebar keras, akan tetapi anehnya, dia tak mampu menggerakkan kakinya, maka dia hanya melihat dengan mata terbelalak pada saat golok yang amat tajam berkilauan itu diayunkan dengan kuat ke arah leher kakek itu.

"Crakkkk!"

Sekali babat leher itu putus! Darah muncrat-muncrat.

Akan tetapi Kun Liong semakin terbelalak dan semua orang mengeluarkan seruan kaget ketika darah yang muncrat-muncrat itu berkumpul di atas leher yang buntung kemudian perlahan-lahan darah itu berubah menjadi kepala yang baru! Kini kepala kakek itu masih menempel, atau lebih tepat lagi, dari leher yang buntung itu ‘tumbuh’ kepala yang baru, sedangkan kepalanya yang pertama masih menggelinding di atas tanah, di bawah batu!

"Ilmu siluman...!" Marcus dan beberapa orang berteriak kaget. Akan tetapi algojo Mongol itu menjadi penasaran. Goloknya diayun lagi ke bawah.

"Crakkkk!"

Kembali kepala itu terpisah dari badannya, terpenggal dan darah muncrat-muncrat. Akan tetapi, darah itu kembali berubah menjadi sebuah kepala yang baru, menggantikan kepala ke dua yang terpenggal. Mulailah semua orang menggigil dan muka mereka pucat, mata mereka terbelalak.

"Ha-ha-ha-ha, hayo kalian boleh penggal kepalaku sepuas hatimu!" terdengar suara kakek itu mengejek dan hebatnya, yang bersuara bukan hanya mulut dari kepala yang masih menempel di leher, bahkan dua buah kepala yang sudah menggelinding dan berada di atas tanah itu pun menggerakkan mulut mengeluarkan kata-kata itu dan matanya merem melek, bibirnya tersenyum!

"Setan...!"

"Ilmu iblis...!"

"Siluman...!"

"Biar kupenggal lagi kepalanya!" Orang Mongol itu masih nekat dan mengayun goloknya.

Akan tetapi ketika berulang-ulang dia memenggal kepala dan selalu tumbuh kepala baru dari leher yang buntung, orang Mongol itu yang sejak tadi menahan rasa takutnya, kini tak kuat lagi melihat banyak kepala berserakan di dekat kakinya, kepala yang masih hidup, tertawa dan melotot. Dia mengeluh, goloknya terlepas dan dia roboh pingsan!

Seperti tawon diusir dari sarangnya, seratus lebih Pasukan Tombak Maut itu kini berlomba melarikan diri, didahului oleh Marcus dan empat orang pemimpin Mongol! Debu mengebul tinggi ketika mereka tergesa-gesa membalapkan kuda dan membawa pergi algojo Mongol yang masih pingsan!

Kun Liong masih duduk dengan mata terbelalak pada saat pundaknya ditepuk orang dari belakang. Dia lalu menoleh dan melihat bahwa yang menepuk pundaknya adalah pemuda tampan gagah tadi. Dia terkejut, mukanya masih pucat dan ketika dia memandang lagi ke arah ‘mayat’ yang lehernya dipenggal berkali-kali itu, ternyata bahwa kakek itu pun sudah bangkit berdiri dan kepala-kepala yang tadi berserakan di atas tanah sudah lenyap. Yang ada hanyalah kakek itu, sedang tersenyum-senyum tenang seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.

"Eh, apa yang terjadi...? Bagaimana... mengapa..." Kun Liong masih bingung dan dengan gagap bertanya.

"Sudah kuberi isyarat, akan tetapi engkau tak mau meniru apa yang kulakukan, sehingga engkau terpengaruh pula oleh hoatsut yang dikerahkan Suhu untuk menakut-nakuti dan mengusir mereka," kata pemuda itu.

"Hoatsut (ilmu sihir)...? Ahh... kiranya begitu?" Kun Liong kagum bukan main dan kini dia memandang kakek itu dengan sikap hati-hati.

Tak disangkanya kakek itu memiliki kekuatan batin yang demikian hebat sehingga dapat bermain sulap dan mempengaruhi sedemikian banyaknya orang. Kemudian dia menjura dengan sikap hormat sambil berkata,

"Kiranya saya sedang berhadapan dengan orang pandai! Terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Saya Yap Kun Liong dan bolehkan saya mengetahui nama besar Locianpwe dan saudara gagah perkasa?"

"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa bergelak. "Yap-sicu terlalu merendahkan diri dan bersikap sungkan. Kami guru dan murid sama sekali tidak menolong Sicu yang gagah perkasa. Kalau mau bicara tentang pertolongan, agaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa aku telah menolong orang-orang Mongol bodoh itu dari kematian di tangan Sicu yang amat lihai. Karena tak ingin menyaksikan Sicu yang perkasa melakukan pembunuhan terhadap ratusan orang, maka terpaksa dengan lancang aku menakut-nakuti mereka agar mereka dapat diusir tanpa dibunuh."

Kun Liong terkejut. Selain lihai ilmu sihirnya, kiranya kakek itu juga bermata tajam dan berpandangan luas, membuat dia makin tunduk sehingga cepat dia berkata, "Locianpwe terlalu memuji. Harap sudi memperkenalkan nama."

"Aku disebut Hong Khi Hoatsu, seorang pertapa yang berkelana tak tentu tempat tinggal dan arah tujuan. Dia ini adalah Lie Kong Tek, muridku yang juga menjadi anak angkatku. Yap-sicu, kalau boleh aku bertanya, kenapa Sicu dimusuhi oleh gerombolan orang-orang Mongol dan orang kulit putih itu? Sedangkan Sicu sendiri memakai pakaian orang kulit putih."

Kun Liong menunduk memandang pakaiannya sendiri. Dia tidak ingin berpanjang cerita, apa lagi menyangkut diri Lauw Kim In yang telah bersikap baik kepadanya itu.

"Mungkin karena pakaian inilah yang membuat aku dimusuhi mereka, Locianpwe. Mereka mengira bahwa aku mencuri pakaian salah seorang di antara teman mereka, juga dituduh membunuh orang itu."

"Hemm, memang aneh melihat Sicu memakai pakaian seperti ini."

"Memang aku mengambil pakaian ini dari mayat seorang kulit putih yang terbunuh oleh gerombolan Mongol." Dengan singkat Kun Liong menuturkan pengalamannya ketika dia menolong seorang kulit putih yang dikeroyok orang-orang Mongol akan tetapi yang tidak berhasil diselamatkan nyawanya itu.

"Aku disangka membunuhnya dan dikejar-kejar, untung muncul Locianpwe dan Lie-twako yang menolongku."

Hong Khi Hoatsu tertawa. "Jangan Sicu mengulangi kata-kata menolong. Kalau boleh aku mengetahui, Yap-sicu hendak menuju ke manakah? Mengapa sampai tersesat di tempat terasing di luar Tembok Besar ini?"

"Aku hendak pergi ke Tibet untuk suatu urusan yang amat penting, urusan pribadi."

Berseri wajah kakek itu. "Bagus, kalau begitu kita dapat melakukan perjalanan bersama!"

"Mana saya berani mengganggu Locianpwe?"

"Ahh, pertemuan ini berarti bahwa ada jodoh di antara kita, Yap-sicu. Apabila Sicu tidak bertemu dengan kami, tentu tidak ada yang memberi tahu bahwa sebenarnya Sicu sudah keliru mengambil jalan!"

"Apa maksud Locianpwe?"

"Perjalanan menuju Tibet sebaiknya dilakukan melalui pedalaman. Dari sini menyeberang Tembok Besar memasuki pedalaman terus ke selatan, setelah tiba di Propinsi Shantung, barulah ke barat melalui Secuan. Dengan demikian, selain perjalanan lebih cepat, juga jauh lebih aman. Melalui pegunungan dan padang pasir di luar Tembok Besar merupakan perjalanan yang amat sukar, berbahaya, dan karenanya akan makan waktu lebih lama."

"Aihh! Begitukah?" Kun Liong berseru kaget dan juga girang.

"Karena itu, marilah Sicu melakukan perjalanan bersama kami. Selain Sicu memperoleh petunjuk jalan, juga kalau Sicu sudi membantu kami membutuhkan bantuan Sicu."

Kun Liong tidak segera menyanggupi. "Ji-wi hendak pergi ke manakah?"

"Kami bertujuan pergi ke muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning..."

"Ahhh...!" Kun Liong terkejut sekali karena dia segera teringat akan orang kulit putih yang dia rampas pakaiannya, kata-kata pesanan orang itu sebelum mati.

"Mengapa Yap-sicu terkejut?" kakek itu bertanya.

"Apakah ada hubungannya dengan Pek-lian-kauw?" Kun Liong memancing.

Kini kakek dan pemuda ganteng itu yang kaget. Hong Khi Hoatsu memandang tajam lalu bertanya, "Yap-sicu, kita adalah orang-orang sendiri sehingga tidak perlu merahasiakan sesuatu. Dari mana Sicu tahu akan Pek-lian-kauw yang berada di muara Sungai Huai?"

"Aku mendengar dari pemilik pakaian ini. Sebelum dia mati, dia meninggalkan kata-kata tentang Pek-lian-kauw di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning."

"Bagus sekali! Jadi jelas bahwa Sicu bukanlah sahabat Pek-lian-kauw, bukan?"

"Tentu saja bukan, Locianpwe. Bahkan di waktu kecil dahulu, hampir saja saya dibunuh seorang tosu Pek-lian-kauw bernama Loan Khi Tosu."

"Hemm, kalau begitu kebetulan sekali. Sicu tentu sudi membantu kami untuk suatu usaha menolong orang dan berhadapan dengan Pek-lian-kauw, bukan?"

"Harap Locianpwe menceritakan persoalannya terlebih dahulu sebelum saya menyatakan kesanggupan saya."

"Kami benar-benar mengharapkan bantuan Sicu karena menyaksikan gerakan Sicu tadi kami merasa sangat yakin bahwa hanya seorang dengan kepandaian seperti Sicu yang akan dapat membantu. Ketahuilah, Yap-sicu. Ketika aku bersama muridku mengunjungi salah seorang sahabat baikku di luar Tembok Besar, kami melihat dia berada di ambang kematian karena luka-lukanya. Dia telah bentrok dengan Pek-lian-kauw, dan dalam suatu pertandingan yang hebat, dia terluka parah dan puterinya telah tertawan dan diculik oleh kaum Pek-lian-kauw yang berkedudukan di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning. Sebelum mati, sahabatku itu berpesan agar kami suka menolong puterinya itu, bahkan dia menyerahkan puterinya itu kepadaku untuk dijodohkan dengan muridku."

"Hemmm..." Kun Liong mengangguk-angguk sambil melirik ke arah pemuda tampan itu yang sejak tadi diam saja. Mereka bertemu pandang dan Lie Kong Tek berkata,

"Saudara Yap, pesan seorang yang sedang sekarat merupakan pesan keramat. Biar pun saya tidak setuju dengan ikatan jodoh yang mendadak ini, namun saya tidak tega untuk menolak, dan terserah kepada Suhu. Betapa pun juga, kami harus menolong gadis yang belum pernah kami lihat itu. Kami hanya mengetahui namanya, yaitu Bu Li Cun."

Mendengar ini, tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong berkata, "Kalau demikian persoalannya, tentu saja saya dengan senang hati akan membantu Ji-wi!"

"Bagus! Dengan bantuan dari Yap-sicu maka tugas kami menjadi lebih ringan dan makin besar pula harapannya akan berhasil baik!" Kakek itu tertawa-tawa gembira.

Lie Kong Tek lalu membuka bungkusan pakaiannya dan menyerahkan satu stel pakaian kepada Kun Liong sambil berkata, "Saudara Yap, harap kau suka memakai pakaian ini. Pakaianmu itu hanya akan menimbulkan kecurigaan dan keributan saja."

Kun Liong tersenyum. Tanpa membantah dia menerima pakaian itu, langsung mengganti pakaiannya yang memang aneh itu. Setelah mengenakan pakaian biasa, barulah hatinya terasa enak dan lega maka sambil tersenyum dia lalu mengucapkan terima kasih kepada sahabat baru itu.

"Eh, Yap-sicu. Aku merasa heran sekali melihat bentuk rambut kepalamu dan aku takkan puas sebelum mendengar darimu kenapa rambutmu menjadi begitu pendek," kakek yang suka berkelakar dan suka mengobrol itu bertanya.

Kun Liong meraba-raba kepalanya, merasa beruntung bahwa sekarang kepalanya sudah berambut. Kini sudah berambut saja, karena masih pendek, tetap menjadi perhatian dan pertanyaan orang, apa lagi kalau masih gundul!

"Panjang ceritanya, Locianpwe."

"Jika begitu, mari kita melanjutkan perjalanan dan harap kau suka menceritakan di dalam perjalanan, Yap-sicu."

Sambil bercakap-cakap berangkatlah ketiga orang itu ke selatan dan Kun Liong merasa makin suka kepada guru dan murid itu. Dia mulai membuka sedikit perihal dirinya dengan menceritakan betapa rambutnya pernah gundul karena pengaruh racun, namun sekarang telah sembuh.

Beberapa hari kemudian Kun Liong sudah menjadi sahabat baik Lie Kong Tek. Diam-diam dia merasa kagum dan heran. Kagum karena baik si guru mau pun si murid merupakan orang-orang gagah dan budiman, jujur dan ramah, akan tetapi dia juga heran mengapa terdapat perbedaan seperti bumi dan langit antara guru dan murid itu. Kalau gurunya suka mengobrol, gembira dan jenaka, adalah si murid terlampau pendiam dan serius sehingga sukar sekali mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Lie Kong Tek ini.

Setelah mereka melewati Tembok Besar, mulailah Kun Liong melihat peradaban, melihat lagi kota-kota dan penduduknya, bertemu dengan manusia-manusia biasa di dunia ramai. Namun, berbeda dengan dahulu, semua itu hanya merupakan hiburan sepintas lalu saja karena hati dan pikirannya selalu penuh dengan bayangan wajah Pek Hong Ing sehingga sering kali dia merasa gelisah memikirkan keselamatan wanita yang dicintanya itu.


                  ***************


Dunia kang-ouw gempar dengan tersebarnya undangan dari Pek-lian-kauw wilayah timur yang hendak merayakan pernikahan antara Cia Giok Keng, puteri dari Ketua Cin-ling-pai dengan Liong Bu Kong, putera bekas Ketua Kwi-eng-pang. Pek-lian-kauw menjadi wali dari Liong Bu Kong sehingga dengan demikian berarti bahwa Pek-lian-kauw kini berbesan dengan Cin-ling-pai!

Tentu saja berita ini menggemparkan para orang gagah di dunia kang-ouw dan pada hari pernikahan yang telah ditentukan, berbondong-bondong orang-orang gagah dari segenap penjuru membanjiri muara Sungai Huai, markas besar Pek-lian-kauw di wilayah timur itu. Semua orang ingin menyaksikan peristiwa yang sangat aneh ini, karena setahu mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai adalah seorang gagah yang selalu membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw. Bagaimana mungkin sekarang malah berbesan dengan Pek-lian-kauw, dan mengambil mantu seorang pemuda putera seorang datuk kaum sesat?

Pada pagi hari yang telah ditentukan, mulai dari ruangan depan Pek-lian-kauw sampai ke pekarangan penuh dengan para tamu yang sebagian besar terdiri dari orang-orang dari dunia kang-ouw dan liok-lim. Baik golongan putih mau pun hitam hadir, karena mereka semua tertarik oleh peristiwa yang luar biasa ini.

Pihak Pek-lian-kauw yang ingin menarik sebanyak mungkin orang gagah untuk membantu perjuangannya melawan pemerintah, sekali ini mengadakan pesta besar-besaran. Daging dan arak diobral sampai berlimpah-limpah.

Di antara para tamu itu terdapat Hong Khi Hoatsu, Lie Kong Tek, serta Yap Kun Liong. Mereka bertiga bukan merupakan tamu-tamu yang diundang. Mereka sengaja menyelinap di antara sekian banyaknya tamu. Tentu saja tidak ada yang mengenal mereka sehingga tidak ada pula yang mencurigai.

Seperti diketahui, tadinya kedatangan mereka adalah hendak menyelidiki serta menolong seorang gadis bernama Bu Li Cun yang sudah terculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Akan tetapi, pada waktu tiba di situ dan melihat Pek-lian-kauw sedang mengadakan pesta pernikahan yang didatangi ratusan orang tamu, mereka bertiga tidak berani sembarangan turun tangan dan menyelinap di antara para tamu untuk melihat keadaan sambil menanti kesempatan baik. Mereka baru saja tiba di sana, maka tidak mendengar siapa yang akan menikah di markas Pek-lian-kauw itu. Juga mereka tak menganggap penting hal ini maka tidak menyelidiki.

Ketika sepasang pengantin keluar dari dalam untuk melakukan upacara pernikahan dan sembahyangan, para tamu memandang dengan penuh perhatian. Suasana menjadi sunyi karena semua orang tidak mengeluarkan suara, bahkan makan minum dihentikan dengan sendirinya.

Cia Giok Keng yang memakai pakaian pengantin, mencucurkan air mata karena terharu dan berduka. Dia tidak ingat hal-hal yang baru saja terjadi. Yang diingatnya hanyalah bahwa hari ini dia menikah dengan pemuda pilihannya, Liong Bu Kong yang upacaranya dilakukan oleh Pek-lian-kauw yang sudah menolong mereka.

Dan dia ingat pula bahwa pernikahan ini tidak disetujui oleh ayahnya, dan bahwa dia telah diusir oleh ayahnya sehingga terpaksa menikah secara ini. Ia berduka sekali, akan tetapi sebagai seorang dara yang berhati keras, dia dapat menahan kedukaannya dan bertekad untuk melanjutkan keinginannya menikah dengan seorang pilihan hatinya sendiri.

Ketika keluar dan dituntun ke depan meja sembahyang yang sudah dipersiapkan secara mewah di ruangan depan untuk melakukan upacara pernikahan dengan disaksikan oleh semua tamu, Giok Keng tidak memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan para tamu. Di bawah pengaruh obat perampas ingatan, dia hanya menurut saja pada saat dituntun dan disuruh berlutut di depan meja sembahyang berdampingan dengan Liong Bu Kong yang mengenakan pakaian pengantin yang gagah dan indah.

Hati pemuda ini girang sekali. Hari ini cita-citanya terlaksana. Dia dapat memperisteri Cia Giok Keng secara sah! Dan malam nanti, dara yang cantik jelita ini akan menyerahkan diri kepadanya sebagai isterinya, dengan suka rela dan secara resmi! Selain kebahagiaan ini, dia pun memperoleh kedudukan yang kuat dan baik di Pek-lian-kauw! Kemujuran yang sama sekali tidak disangka-sangkanya setelah kesialan yang dialami ketika ibunya tewas dan Kwi-eng-pang hancur.

Seorang pendeta tua Pek-lian-kauw ditugaskan memimpin upacara sembahyang untuk meresmikan pernikahan itu. Hio sudah dipasang, dupa telah dibakar, dan pendeta tua itu siap membaca doa liam-keng.

Namun, baru saja hio dibakar dan hendak diberikan kepada sepasang mempelai, tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. Lengking yang panjang mengerikan, dan tampaklah sinar putih berkelebat diikuti pekik pendeta tua itu. Hio-hio terlepas dari tangannya karena dupa-dupa biting itu sudah patah semua. Tersusul suara keras dan meja sembahyang itu terguling berantakan!

Gegerlah semua orang, apa lagi ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki gagah perkasa yang berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, matanya mengeluarkan sinar berapi-api dan meja sembahyang tadi terguling oleh dorongan tangannya dari jarak jauh! Semua orang terkejut apa lagi ketika banyak di antara mereka yang mengenal laki-laki setengah tua yang gagah perkasa itu.

"Cia Keng Hong Taihiap...!"

"Ketua Cin-ling-pai...!"

Bisikan-bisikan ini menjadi berantai dan semua orang langsung memandang dengan mata terbelalak. Ternyata yang muncul adalah pendekar sakti ini, ayah dari pengantin wanita yang kelihatan marah bukan main.

Tentu saja belasan orang anggota Pek-lian-kauw yang bertugas menjaga di situ menjadi marah. Mereka ini tidak mengenal siapa adanya laki-laki yang datang mengacau ini dan mereka pun tidak menerima perintah sesuatu. Maka, melihat ada orang mengacau pesta, bahkan sudah menggulingkan meja sembahyang, belasan orang anggota Pek-lian-kauw sudah menyerbu dan mengeroyok dengan senjata golok mereka.

Terdengar suara berkerontangan disusul pekik mereka, kemudian seorang demi seorang robohlah delapan belas orang pengeroyok itu, roboh pingsan dan golok mereka terlempar ke sana-sini. Ketika mereka semua sudah roboh, pendekar sakti itu masih berdiri bertolak pinggang di tengah-tengah antara mereka seolah-olah dia tadi tidak bergerak sama sekali dan para pengeroyoknya berjatuhan sendiri tanpa dia bergerak!

Ada pun sepasang pengantin kini sudah bangkit berdiri dan memandang dengan wajah pucat kepada laki-laki perkasa yang bukan lain adalah Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai itu! Cia Giok Keng sudah menyingkap tirai dari mukanya, dan memandang pada ayahnya dengan mata terbelalak penuh kemarahan!....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12