Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 10
MEMANG
demikianlah, kakek berusia lima puluh tahun yang kelihatannya seperti seorang
pengantuk itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang yang amat terkenal dan
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Siapakah yang tidak mengenal nama besar
Panglima The Hoo? Dan pengawal panglima itu adalah Si Pengantuk ini yang
merupakan pengawal paling setia, paling dipercaya oleh Panglima The dan paling
lihai.
Melihat
orangnya memang sama sekall tidak pantas kalau dia seorang kepala pengawal yang
berkedudukan tinggi, lebih patut seorang pemalas yang selalu kurang tidur! Akan
tetapi, pengawal itulah yang selalu mengawal Sang Panglima ketika Panglima
Besar The Hoo melakukan pelayaran dan memimpin armada sampai jauh menyeberangi
lautan dan menjelajah di negara-negara asing.
Sedangkan
kedua orang kawannya itu adalah dua orang pengawal yang menjadi anak buahnya.
Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan kakak beradik seperguruan yang
tentu saja sudah memiliki kepandaian tinggi untuk dapat diterima menjadi
pengawal-pengawal Panglima The Hoo. Si Muka Pucat itu bernama Kui Siang Han,
berusia empat puluh lima tahun sedangkan sute-nya, Si Muka Merah bernama Song
Kin berusia empat puluh tahun.
Ketika Tio
Hok Gwan dan dua orang temannya memasuki kuil dan melihat dua buah peti jenazah,
dia terkejut bukan main. Apa lagi ketika mendapat keterangan bahwa peti-peti
itu terisi jenazah Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio!
"Ahh...
maafkan kami yang sama sekali tidak tahu akan hal yang menyedihkan ini dan
berani datang mengganggu!" katanya dan cepat dia bersama dua orang anak
buahnya lalu menyalakan hio (dupa) dan bersembahyang di depan kedua peti mati
dengan penuh khidmat.
Setelah
selesai sembahyang, tiga orang pengawal itu segera bertanya apa yang menjadi
penyebab kematian dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Thian Kek Hwesio
memejamkan mata dan menarik napas panjang sambil merangkap kedua tangan di
depan dada.
"Omitohud...
mati hidup manusia berada di tangan Tuhan, tak ada yang harus disesalkan dalam
menghadapi kematian seseorang. Akan tetapi, jika Suhu meninggal dunia dengan
wajar karena usia beliau sudah terlampau tua, adalah Sute Thian Lee Hwesio
meninggal secara menyedihkan sekali."
Dia kemudian
menceritakan betapa rombongan piauwsu yang tidak tahu-menahu datang membawa
peti yang terisi jenazah Thian Lee Hwesio yang terbunuh orang!
"Sungguh
penasaran sekali!" Tio Hok Gwan berseru. "Ini merupakan tanda bahwa
kaum sesat di dunia kang-ouw sudah mulai berani bergerak lagi!" Tentu saja
hati pengawal ini menjadi penasaran karena semenjak Panglima The Hoo melakukan
pembersihan, kaum sesat di dunia persilatan banyak yang terbasmi dan tidak
berani sembarangan bergerak. Kini, wakil Ketua Siauw-lim-pai terbunuh, berarti
bahwa kaum sesat agaknya sudah mulai berani unjuk gigi dan merupakan tantangan
tak langsung kepada pemerintah!
Pada waktu
diperkenalkan kepada tiga orang pengawal itu, Kun Liong lalu menjura dan
berkata, "Harap Tio-taihiap bertiga suka memaafkan saya yang karena tidak
mengenal telah bersikap kurang hormat."
Orang she
Tio itu memandang Kun Liong dengan kedua mata hampir terpejam, kemudian
mengangguk-angguk dan memuji, "Yap-sicu tidak usah bersikap sungkan. Kami
kagum sekali melihat kegagahan Sicu, dan tidak merasa heran setelah mendengar
bahwa Sicu adalah putera tunggal Yap Cong San yang sudah kami kenal.
Siauw-lim-pai boleh merasa beruntung memiliki seorang sahabat seperti Sicu yang
setia dan menjaga Siauw-lim-pai dengan gagah."
Sebagai
tamu-tamu yang dihormati, ketiga orang itu dijamu makan oleh para pimpinan
Siauw-lim-pai dan mereka pun tidak bersikap sungkan dan menerima undangan
makan, sungguh pun hidangannya hanya terdiri dari masakan tak berdaging yang
bersahaja dan minumnya hanya air dan teh tanpa setetes pun arak! Kun Liong yang
dianggap ‘keluarga sendiri’ juga hadir. Setelah selesai makan, barulah Ketua
Siauw-lim-pai bertanya,
"Pinceng
mengerti bahwa kedatangan Sam-wi tentu membawa urusan yang amat penting.
Pinceng harap Sam-wi tidak bersikap sungkan, dan sungguh pun di sini sedang
tertimpa mala petaka, namun kami selalu siap untuk membantu Sam-wi. Maka harap
Sam-wi suka menjelaskan urusan apa yang Sam-wi bawa dari kota raja."
Tio Hok Gwan
menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk membuka mulut dan
menceritakan keperluan kedatangannya. Setelah beberapa kali meragu, akhirnya
dia pun berkata,
"Memang
benar apa yang Losuhu katakan. Apa bila kami tahu bahwa di Siauw-lim-pai
terjadi hal yang sangat menyedihkan ini, tentulah kedatangan kami khusus untuk
melayat dan berkabung saja. Akan tetapi karena kami tidak tahu, sebaiknya kami
berterus terang saja. Kami memang sedang melaksanakan tugas, Losuhu, dan kini
kami datang sebagai utusan pribadi dari Panglima The sendiri."
Thian Kek
Hwesio cepat bangkit berdiri dan menjura penuh hormat kepada tiga orang itu,
"Pinceng beserta para anak murid Siauw-lim-pai siap untuk melaksanakan perintah
Yang Mulia Panglima The."
"Terima
kasih atas kebaikan Losuhu. Sebenarnya tidak ada permintaan sesuatu kepada
Losuhu maupun Siauw-lim-pai, hanya kami diutus melakukan penyelidikan dan
mengingat akan luasnya pengaruh dan hubungan Siauw-lim-pai dengan dunia
kang-ouw, kami ingin mohon bantuan Siauw-lim-pai dalam hal ini."
Thian Kek
Hwesio menarik napas lega. Jelas bahwa urusan itu tak langsung menyangkut
Siauw-lim-pai sehingga tidak akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan.
Dengan sikap
ramah Thian Kek Hwesio lantas berkata, "Harap Tio-taihiap tidak bersikap
sungkan dan ceritakanlah, bantuan apakah yang dapat kami berikan kepada Taihiap
demi terlaksananya perintah yang mulia itu."
Tio Hok Gwan
segera bercerita dengan suara perlahan namun jelas, "Panglima The telah
kehilangan sebuah pusaka, belasan tahun yang lalu dan hal ini tadinya
dirahasiakan saja dan tidak dibocorkan ke luar karena sudah diketahui bahwa
yang mencuri dan melarikan pusaka itu adalah salah seorang pengawal panglima
sendiri. Secara diam-diam panglima sudah mengutus orang-orang kepercayaannya
untuk melakukan pengejaran dan mencari pengawal yang mencuri pusaka itu. Akan
tetapi semua usaha itu sia-sia belaka, sampai terdengar kabar bahwa pengawal
yang berkhianat itu ternyata sudah kehilangan pusaka yang dicurinya, dan
kabarnya pusaka itu lenyap tenggelam di Sungai Huang-ho. Sepuluh tahun yang
lalu, pengawal khianat itu terbunuh bersama anak-anak buahnya yang sudah
menjadi bajak sungai, dan pusaka itu masih belum diketahui berada di mana. Hanya
ada kabar angin yang mengatakan bahwa pusaka itu sudah diangkat dari dasar
sungai, akan tetapi tak seorang pun tahu siapa yang membawanya. Kemudian kami
mendengar berita pula bahwa pada waktu pergawal khianat dan anak buahnya tewas,
di sekitar daerah itu nampak bayangan Siang-tok Mo-li. Kami masih meragukan
semua berita itu dan karena mengingat akan pengetahuan Losuhu yang sangat luas,
kami sengaja datang menghadap mohon petunjuk."
Jantung Kun
Liong berdebar tegang mendengar penuturan itu. Tidak salah lagi, tentulah bokor
emas yang dimaksudkan oleh Tio Hok Gwan ini. Dia mendengar disebutnya nama
Siang-tok Mo-li, teringat dia kepada Bi Kiok yang manis!
Sekarang Bi
Kiok tentu sudah menjadi seorang dara yang cantik manis! Dan dara itu dulu
pernah monolongnya, bahkan sudah dua kali menolong dirinya. Pertama ketika
bersama mendiang kakeknya, Bi Kiok menyelamatkannya dari gelombang air di
Sungai Huang-ho. Kedua kalinya ketika Bi Kiok membebaskannya pada waktu dia
menjadi tawanan para tokoh Pek-lian-kauw dan Ketua Ui-hong-pang. Betapa
manisnya anak itu! Tanpa sengaja Kun Liong tersenyum ketika membayangkan wajah
Bi Kiok.
Melihat
pemuda gundul itu tersenyum-senyum, diam-diam Tio Hok Gwan melirik dengan penuh
perhatian dan selidik. Sementara itu, Thian Kek Hwesio sudah berkata,
"Pinceng
sendiri belum pernah mendengar akan urusan itu, Taihiap. Akan tetapi pinceng
akan mengumpulkan semua anak murid dan memperingatkan mereka supaya memasang
mata telinga, juga bertanya-tanya di dunia kang-ouw kepada sahabat-sahabat.
Tentu saja kami akan segera melapor kalau ada berita, bahkan pinceng akan
memerintahkan kepada para anak murid untuk membantu Taihiap mendapatkan kembali
pusaka itu."
"Terima
kasih atas kebaikan hati Losuhu. Ehh, Yap-sicu, agaknya Sicu mempunyai suatu pendapat
yang ada hubungannya dengan urusan ini, bukan?"
Kun Liong
yang sedang termenung membayangkan wajah Bi Kiok yang manis itu, terkejut
mendengar teguran ini. "Ahh, saya hanya merasa heran mengapa seperti yang
sering kali saya dengar, di dunia kang-ouw banyak sekali terjadi perebutan
pusaka-pusaka. Pusaka apa pula yang Taihiap ceritakan tadi? Sebuah senjatakah
ataukah sebuah kitab?"
"Benar
sekali pertanyaan Yap-sicu, pinceng sendiri pun perlu mengetahui apa macamnya
pusaka yang hilang itu." Thian Kek Hwesio berkata.
"Pusaka
dari The-ciangkun itu adalah sebuah bokor emas kuno yang amat berharga."
"Sebuah
bokor emas...?" Thian Kek Hwesio berkata sambil mengangguk-angguk.
"Kalau
hanya emas yang merupakan harta, kenapa orang-orang gagah di dunia kang-ouw
sampai berebutan? Sungguh sikap ini tak ada bedanya dengan para perampok
saja!" Kun Liong berkata lagi. Diam-diam jantung pemuda ini berdebar makin
keras karena ternyata dugaannya tepat, pusaka yang dimaksudkan itu adalah bokor
emas yang sekarang telah dia sembunyikan!
Tio Hok Gwan
menghela napas panjang. "Agaknya engkau tidak tahu, Yap-sicu. Apa bila
hanya emas belaka, kiranya Panglima The tidak akan menyimpan dan menganggapnya
sebagai sebuah pusaka yang berharga. Kami hanya mengharapkan bantuan Losuhu,
juga bantuan Yap-sicu yang telah kami anggap sebagai orang sendiri sehingga
kami ceritakan semua tentang pusaka."
"Jangan
khawatir, Taihiap. Sesudah kami selesai dengan perkabungan kami, tentu kami
akan bekerja keras membantu melakukan penyelidikan mengenai bokor emas
itu," kata Thian Kek Hwesio.
"Saya
pun akan berusaha membantu, Tio-taihiap. Saya akan membantu menyelidiki dan
jika saya beruntung dapat menemukan benda pusaka itu, tentu akan saya
persembahkan sendiri kepada Panglima The yang mulia."
Tio Hok Gwan
menghaturkan terima kasih, kemudian bersama dua orang pembantunya, dia segera
berpamit dan meninggalkan kuil yang sedang berkabung itu. Kun Liong tetap
tinggal di dalam kuil, membantu persiapan yang diadakan oleh pihak
Siauw-lim-pai untuk menerima kedatangan para tamu yang tentu akan membanjiri
Siauw-lim-si untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dua orang tokoh
besar itu.
Selain
merasa berkewajiban untuk membantu, dengan penuh harapan Kun Liong sengaja
hendak menanti ayah bundanya yang semoga akan datang pula ke Siauw-lim-si.
Ayahnya adalah murid Tiong Pek Hosiang dan bekas tokoh Siauw-lim-pai, maka dia
merasa yakin ayahnya akan datang kalau mendengar akan kematian Tiong Pek
Hosiang dan Thian Lee Hwesio yang menjadi suheng-nya.
Kecuali
mengharapkan kedatangan ayah bundanya di kuil Siauw-lim-si, juga Kun Liong
ingin sekali mellhat dan berjumpa dengan para tokoh kang-ouw yang diduga tentu
akan datang dan memberi penghormatan terakhir kepada jenazah seorang tokoh
besar seperti Tiong Pek Hosiang.
***************
Kita
tinggalkan dahulu kuil Siauw-lim-si yang kini sedang berkabung dan mari kita
tengok keadaan Pendekar Sakti Cia Keng Hong serta keluarganya yang merupakan
tokoh-tokoh penting dalam cerita ini.
Seperti
sudah diceritakan di bagian depan, lima tahun yang lalu, ketika Kun Liong masih
berusia lima belas tahun dan dia pergi ke Cin-ling-san untuk mencari ayah bundanya,
dan hanya bertemu dengan Cia Giok Keng, puteri tunggal keluarga pendekar itu,
karena pada waktu itu Cia Keng Hong dan isterinya sedang turun gunung dan
mereka justru pergi ke kota Leng-kok, mengunjungi sahabat baik mereka, yaitu
Yap Cong San suami isteri.
Dengan
perasaan penuh harap dan gembira sebab akan dapat berjumpa kembali dengan
sahabat-sahabat mereka, Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, memasuki
kota Leng-kok. Mereka berjalan kaki memasuki kota itu dengan wajah berseri
gembira. Kalau orang melihat mereka sepintas lalu, tentu akan mengira bahwa
mereka itu hanyalah dua orang pelancong biasa saja karena tidak ada apa-apa
yang menonjol pada diri mereka, kecuali bahwa mereka merupakan sepasang suami
isteri setengah tua yang tampan dan cantik.
Cia Keng
Hong sudah berusia empat puluh tahun, kelihatan gagah serta tampan dengan kumis
dan jenggotnya yang panjang, akan tetapi tak terlalu panjang. Rambutnya
digelung ke atas dan dibungkus sehelai kain kepala berwarna kuning. Tubuhnya
masih tegap dan langkahnya seperti seekor harimau.
Pakaiannya
longgar dan sederhana, jubah yang panjang menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam
yang terselip di pinggangnya. Pedang Kayu Harum ini pernah menggegerkan dunia
kang-ouw pada belasan tahun yang lalu. Kalau ada yang dapat menduga bahwa dia
pandai ilmu silat, agaknya hanya karena melihat sepatunya, sepatu kulit yang
tinggi, kuat dan biasa dipergunakan untuk merantau.
Isterinya,
Sie Biauw Eng, masih tampak cantik jelita walau pun usianya sudah mendekati
empat puluh tahun. Tubuhnya masih ramping dan padat, kedua pipinya belum
diserang keriputan, masih halus putih dan agak kemerahan karena seharian itu
dia sudah berjalan kaki sampai jauh.
Juga nyonya
cantik ini tidak terlihat membawa senjata. Siapa yang akan mengira bahwa sabuk
sutera putih yang dengan indahnya membelit di pinggang ramping itu merupakan
senjata maut yang belasan tahun lalu menimbulkan kengerian di dalam hati setiap
orang lawan? Pakaiannya juga sederhana, akan tetapi bersih dan tidak dapat
menyembunyikan bentuk tubuhnya yang matang dan padat itu. Seperti suaminya, dia
pun memakai sepatu kulit yang tinggi.
Biar pun
kenyataan bahwa suami isteri ini melakukan perjalanan jauh berdua saja sudah
menimbulkan dugaan bahwa mereka itu bukanlah orang-orang lemah, akan tetapi
kiranya tidak akan ada orang yang pernah mimpi bahwa pria itu adalah Pendekar
Sakti Cia Keng Hong yang lebih terkenal dengan julukan yang diberikan kepada
pedangnya, yaitu Siang-bhok-kiam. Dan siapa yang akan mengira bahwa wanita
cantik yang wajahnya berseri dan bibirnya selalu tersenyum itu adalah Sie Biauw
Eng, yang pada waktu masih gadis dahulu berjuluk Song-bun Siu-li (Dara Cantik
Berkabung)? Nama julukan yang sangat terkenal di kalangan kaum sesat?
Pada waktu
itu, kiranya tidak ada tokoh kang-ouw mau pun datuk kaum sesat yang lebih
terkenal dari pada Siang-bhok-kiam Cia Keng Hong serta isterinya, Song-bun
Siu-li Sie Biauw Eng. Bahkan Cin-ling-pai yang sebenarnya hanyalah sekumpulan
penduduk dusun pegunungan, karena diketuai dan dipimpin oleh Cia Keng Hong,
menjadi sangat terkenal dan disegani oleh dunia kang-ouw.
Sambil
menoleh ke kanan kiri memandangi bangunan-bangunan di dalam kota Leng-kok, Sie
Biauw Eng berkata, "Aihhh, sungguh banyak kemajuan yang terjadi di dalam
kota ini. Hampir aku tidak mengenalnya lagi, padahal baru beberapa tahun kita
tidak melihat kota Leng-kok."
Cia Keng
Hong tersenyum, "Kau kira baru berapa tahun? Jangan mimpi, sudah lima
belas tahun kita tidak pernah ke sini dan lima belas tahun bukanlah waktu yang
singkat, tentu saja banyak terjadi perubahan."
"Hemmm,
waktu berlalu dengan amat cepatnya, tanpa terasa belasan tahun sudah lewat!
Betapa pun juga, kemajuan di Leng-kok mengagumkan dan aku yakin bahwa jasa Cong
San dan Yan Cu dalam kota ini tidaklah kecil."
"Tentu
saja! Mereka merupakan tabib-tabib yang terkenal di sini, agaknya tentu tidak
ada seorang pun penduduk yang belum pernah mereka tolong. Kuharap saja putera
mereka mewarisi kegagahan ayah bundanya sehingga tidak akan mengecewakan hati
kita."
"Hemmm,
mengapa kita akan kecewa andai kata anak mereka itu tidak seperti yang kita
harapkan?" Sie Biauw Eng bertanya, "Anak itu bukan anak kita, dan
harapan kita belum tentu sama dengan harapan orang tuanya. Apa yang kita anggap
tidak baik, belum tentu dianggap buruk pula oleh orang lain."
"Wah,
isteriku yang baik, lagi-lagi engkau berfilsafat!" Keng Hong menggoda.
"Bukan
filsafat. Kau tahu bahwa aku tidak suka dengan filsafat muluk-muluk yang hanya
menjadi permainan kata-kata kosong belaka. Yang baru kukatakan tadi adalah
kenyataan. Telah menjadi kesalahan kita pada umumnya bahwa kita selalu digoda
harapan-harapan akan sesuatu, ingin melihat sesuatu sesuai dengan yang kita
kehendaki. Inilah salahnya maka sering kali kita mengalami puas dan kecewa.
Kita tidak dapat menerima apa adanya sehingga tidak pernah tenang. Anak Cong
San itu... ehh, siapa namanya...?"
"Yap
Kun Liong, masa kau lupa lagi?"
"Oh ya,
Kun Liong, seperti apa pun dia, kita harus dapat menerima dan melihat dia
seperti keadaannya, bebas dari prasangka dan harapan kosong."
"Ahh,
mana mungkin begitu, isteriku? Dia bukan orang lain, dia calon mantu
kita..."
"Hemm,
belum juga melihat orangnya, bagaimana sudah hendak memastikan bahwa dia calon
jodoh Giok Keng? Kita harus melihatnya dulu, apa sekiranya cocok bila
dijodohkan dengan anak kita. Selain itu, kita pun harus menanyakan pendapat dua
orang anak yang bersangkutan itu pula."
"Hemmm...
hemmm..."
"Hemm-hemm
apa maksudmu?" Biauw Eng memandang suaminya.
"Kalau
engkau terlalu memanjakan Keng-ji, bahkan dalam soal perjodohan, engkau hanya
akan merusak hidupnya..."
"Ehh!
Apakah yang kau katakan ini? Mari kita bicarakan hal ini dulu sebelum kita
bertemu Cong San dan Yan Cu."
"Sudahlah,
isteriku. Perlukah kita bertengkar setelah sampai di tempat ini? Kita bicarakan
urusan jodoh perlahan-lahan..."
"Tidak
bisa! Harus sekarang kita bicarakan lebih dulu. Aku mau ketegasan dalam hal
ini, itu di sana ada warung, kita berhenti dulu di sana!"
"Tenanglah...
ingat akan kandunganmu...," Keng Hong memperingatkan.
"Engkau
sih yang bicara tidak beres. Hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ini...
apa lagi baru dua bulan... ahh, semua gara-gara engkau!"
Mereka
memasuki warung dan memilih tempat duduk di sudut, jauh dari tamu lainnya.
Setelah hidangan yang mereka pesan disediakan, baru mereka bicara bisik-bisik
namun kelihatan serius sekali.
"Semua
salahmu! Sampai bingung memikirkan bagaimana harus memberi tahukan Giok Keng!
Dia sudah lima belas tahun dan... akan mempunyai adik! Betapa terlambatnya! Dan
aku sudah tua! Salahmu...!" Suara Biauw Eng mengandung isak tertahan.
"Husshhh!
Mengapa hanya aku saja yang salah? Bukankah hal ini akibat perbuatan kita
berdua? Sudahlah, isteriku. Perlukah hal seperti ini dibuat cekcok? Engkau
masih muda! Siapa bilang engkau sudah tua? Engkau masih patut mempunyai anak
lima orang lagi!"
"Ngacau...!"
Blauw Eng membentak sambil mendelik, akan tetapi melihat suaminya yang tercinta
itu tersenyum-senyum, perlahan-lahan kemarahannya mereda dan kedua pipinya
menjadi merah.
"Tak
perlu kau bingung, Keng-ji tentu akan menari kegirangan bila mana mendengar
akan mempunyai seorang adik yang sudah bertahun-tahun diinginkannya."
"Sebetulnya
aku pun tidak ingin membicarakan hal kandungan. Aku sudah menerimanya sebagai
anugerah dari Tuhan, akan tetapi engkau sih, membawa-bawa dalam persoalan
perjodohan Giok Keng. Apa engkau akan berkeras kepala mengambil keputusan
tentang perjodohan anak kita tanpa mempedulikan perasaan hatinya sendiri?"
Keng Hong
lalu menarik napas panjang. "Isteriku, Giok Keng masih kanak-kanak, mana
mungkin dia mempunyai pendapat tentang jodoh? Kita adalah ayah bundanya, andai
kata aku salah pilih, kiranya engkau tidak akan membiarkan saja. Pilihan kita
tentu sudah kita pikirkan masak-masak, dan kita tujukan semata demi kebahagiaan
anak kita."
"Aku
percaya, akan tetapi harus kita sadari pula bahwa pendapat kita belum tentu
sama dengan pendapat Giok Keng. Pemuda yang kita anggap baik belum tentu
menyenangkan hatinya. Suamiku, mengapa engkau tidak bersikap bijaksana dalam
hal ini? Ingatlah akan riwayat kita sendiri. Perjodohan tak boleh dipaksakan.
Perjodohan harus terjadi atas dasar dorongan hasrat kedua orang anak yang
hendak berjodoh itu sendiri. Perjodohan bukan hal main-main, melainkan
dilakukan satu kali untuk selama hidup. Sekali salah pilih, akan menderita
selamanya."
"Nah,
itulah! Karena tidak ingin anak kita salah pilih, sebaiknya kita yang
memilihkan, dan kurasa anak suami isteri seperti Cong San dan Yan Cu tentulah
baik!"
"Betapa
pun juga, biarkan dia memilih sendiri."
"Kalau
dia yang masih hijau dan bodoh itu salah pilih?"
"Kewajiban
kita untuk turun tangan menyadarkannya!"
"Hemm,
aku tetap ingin berbesan dengan Cong San."
"Mungkin
saja, kalau Keng-ji cocok dan suka kepada Kun Liong. Kenapa engkau bingung
seperti kucing hendak bertelur? Jika memang sudah jodoh, apa lagi yang
dikhawatirkan? Kelak mereka pasti akan bertemu!"
Keng Hong
merengut. "Gila kau! Masa aku disamakan kucing hendak bertelur? Mana ada
kucing bisa bertelur?"
Biauw Eng
tertawa, girang dapat membalas dan membikin suaminya marah.
"Karena
bingungnya, kau seperti kucing hendak bertelur! Soal jodoh kita bicarakan nanti
kalau semua pihak sudah setuju. Kenapa harus tergesa-gesa? Bukankah kedatangan
kita ini untuk mengunjungi mereka dan sekalian melihat bagaimana macamnya
putera mereka itu?"
"Ya,
sudahlah, asal engkau jangan berkokok ribut seperti ayam hendak beranak!"
"Hehhh?
Mana ada ayam beranak...? Wah, engkau membalas, ya?" Biauw Eng mencubit
lengan suaminya dan keduanya tertawa. Dalam keadaan seperti itu, suami isteri
itu masih seperti ketika mereka berbulan madu dahulu!
Memang
demikianlah cinta kasih di antara suami isteri yang benar-benar saling
mencinta. Tidak ada usia tua, tidak ada keriput, tidak ada uban, tidak ada dan
tidak akan pernah ada istilah buruk bagi mereka yang saling mencinta!
"Husshhh!
Malu dilihat orang! Kalau tiba-tiba Cong San dan Yan Cu muncul dan melihat kita
bukan langsung ke rumah mereka melainkan bersenda gurau di warung arak, bisa
kita dicap sombong!" Keng Hong segera membayar harga makanan, kemudian
mereka bergegas keluar dari warung dan langsung menuju ke rumah Yap Cong San
yang di kota itu terkenal sebagai Yap-sinshe (Tabib Yap).
Dapat
dibayangkan alangkah kaget hati mereka mendengar bahwa suami isteri sahabat
baik mereka itu telah kurang lebih lima tahun meninggalkan Leng-kok tanpa pamit
dan tak seorang pun mengetahui ke mana mereka pergi.
"Ji-wi
(Kalian Berdua) sudah lama sekali terlambat. Yap-sinshe serta isterinya,
sekaligus juga puteranya, telah bertahun-tahun pergi."
"Mengapa?
Apa yang terjadi?" Keng Hong bertanya, masih dicekam keheranan.
"Mereka...
melarikan diri..." Seorang kakek bekas tetangga Yap-sinshe menjelaskan.
"Tak
mungkin!" Biauw Eng berseru. "Mereka bukan orang-orang pengecut yang
melarikan diri begitu saja! Siapa yang mereka takutkan?"
"Mereka
menjadi orang-orang buruan pemerintah."
"Ehhh...?"
Keng Hong segera memegang tangan kakek itu dan berbisik, "Harap Loheng
sudi menceritakan kepada kami."
Kakek itu
mengangguk. "Marilah, mari singgah di rumahku dan nanti kuceritakan kepada
Ji-wi."
Dengan hati
berdebar penuh kekhawatiran, Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti kakek itu
memasuki rumahnya yang sederhana dan miskin. Setelah mereka dipersilakan duduk
dan disuguhi air teh, kakek itu lalu bercerita tentang kesalahan Yap-sinshe
tidak berhasil mengobati para perwira yang terluka hingga ditangkap dan
kemudian bersama isterinya, Yap-sinshe melarikan diri dari tahanan dan menjadi
orang buruan.
"Mengapa
tidak berhasil mengobati sampai ditangkap?" Keng Hong bertanya.
Kakek itu
menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundaknya. "Aku tidak tahu,
akan tetapi agaknya sudah pasti sekali Yap-sinshe bentrok dengan Pembesar Ma,
kepala daerah di Leng-kok ini. Apa sebabnya aku tidak tahu, dan agaknya tidak
ada orang yang tahu kecuali mereka sendiri."
"Dan
puteranya? Ke mana perginya putera mereka, Yap Kun Liong?"
"Ahhh,
Yap-kongcu sudah lebih dulu pergi sebelum ayahnya ditangkap. Entah ke mana.
Sampai sekarang mereka bertiga tidak pernah muncul. Bahkan ketika kakek Liok
Siu Hok meninggal dunia dua minggu yang lalu, mereka tidak muncul."
Keng Hong
dan isterinya teringat bahwa Kakek Liok Siu Hok adalah paman tua dari Cong San,
satu-satunya keluarga sahabat mereka itu yang tinggal, karena itu, agak aneh
kalau sampai Cong San seanak isteri tidak muncul ketika kakek itu meninggal
dunia.
"Bagaimana
matinya?"
"Mati
tua... dan agaknya karena duka. Kasihan kakek itu tidak mempunyai keluarga
lagi, mati dalam kesunyian."
Keng Hong
dan isterinya menghaturkan terima kasih, lalu keluar dari rumah kakek itu.
"Ke mana kita harus mencari mereka?" katanya dengan suara kecewa.
"Tak
ada gunanya dicari kalau mereka itu melarikan diri. Apa bila mereka ingin
berjumpa dengan kita, tentu mereka yang akan datang mengunjungi
Cin-ling-san."
"Benar
kata-katamu. Kalau begitu kita pulang saja."
"Tidak,
aku masih belum puas. Aku harus mengerti duduknya perkara ini dan memaksa dia
mengaku!" kata Biauw Eng gemas.
"Dia?
Siapa?"
"Siapa
lagi kalau bukan pembesar jahat she Ma itu!"
"Wah-wah!
Isteriku, ingatlah, kita bukan orang muda petualang seperti dahulu lagi! Kita
adalah pemimpin Cin-ling-pai dan orang she Ma itu adalah orangnya pemerintah!
Apa kau ingin dicap pemberontak?"
"Serahkan
saja kepadaku. Mari ikut!"
"Ehhh,
ke mana?" Keng Hong tidak berdaya menghadapi isterinya yang dia tahu
sedang marah dan penasaran itu!
"Ke
gedung Kepala Daerah!"
Keng Hong
tidak membantah dan diam-diam dia gembira melihat betapa isterinya sama sekali
belum berubah. Dia masih seperti Song-bun Siu-li dahulu, dara cantik jelita
yang kadang-kadang disebut dewi akan namun ada kalanya disebut iblis betina
yang ganas!
Isterinya
ini, walau pun usianya sudah tiga puluh tujuh lebih, ibarat gunung berapi belum
kehilangan kawahnya, bagaikan merica belum kehilangan pedasnya, dan bagaikan
bunga mawar harum belum kehilangan durinya! Tanpa disadarinya, mulut Cia Keng
Hong lantas tersenyum-senyum dan dia tidak tahu betapa isterinya sedang
mengerling kepadanya dan mengerutkan alis penuh curiga ketika melihat
senyumnya. Tiba-tiba Biauw Eng berhenti melangkah.
"Mengapa
kau mesam-mesem? Mentertawakan aku, ya?"
"Wah,
tidak! Aku hanya..."
"Hanya
apa...?"
"Kasihan
kepada Ma-taijin!"
"Huh!
Lihat saja nanti, si keparat itu!"
Pada waktu
itu hari sudah sore dan kantor pembesar kepala daerah sudah lama ditutup.
Pembesar Ma sedang beristirahat di dalam kamar salah seorang di antara selirnya,
tidur nyenyak kelelahan. Semalam pembesar ini kurang tidur, menjamu beberapa
orang tamu rahasia yang kini masih berada di dalam gedungnya dan juga tengah
beristirahat di dalam kamar-kamar tamu yang disediakan untuk mereka.
Ketika Keng
Hong dan isterinya tiba di halaman gedung pembesar Ma, tentu saja mereka
dihadang oleh para penjaga. Akan tetapi kepala penjaga bersikap hormat ketika
melihat sikap suami isteri itu yang tenang dan gagah. Dia menjura dan bertanya,
"Ada
keperluan apakah Ji-wi (Anda Berdua) datang ke sini? Tanpa ijin, siapa pun
dilarang memasuki halaman ini."
Pada waktu
itu, Biauw Eng masih marah dan penasaran sekali mengingat akan nasib Yap Cong
San dan isterinya. Akan tetapi dia masih ingat akan kedudukannya sebagai isteri
Ketua Cin-ling-pai, maka ia menahan diri dan tidak terlalu ringan tangan
seperti wataknya ketika masih gadis dahulu. Akan tetapi suaranya ketus dan
dingin ketika dia berkata,
"Laporkan
kepada Ma-taijin bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengannya!"
Kepala
penjaga mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang mendengar suara ketus serta
melihat sikap yang sangat tidak menghormat terhadap Ma-taijin itu, maka dia
menjawab, "Tidak mungkin begitu mudah. Siapa pun yang hendak menghadap,
harus terlebih dahulu mengajukan permohonan disertai keterangan nama, tempat
tinggal dan keperluannya. Lagi pula, permintaan itu baru dapat diajukan besok
pagi karena sekarang kantor sudah tutup dan Taijin sedang beristirahat, tidak
boleh diganggu."
"Apa
kau bilang?" Biauw Eng menudingkan telunjuknya ke arah muka kepala penjaga
itu. "Apa kau kira tanpa laporanmu kami tidak bisa menemui orang she Ma
itu?"
Para penjaga
terkejut dan delapan orang penjaga sudah datang mendekat dan siap untuk
menghadapi suami isteri itu. Akan tetapi Keng Hong segera menjura dan berkata
halus, "Harap kalian suka melaporkan kepada Ma-taijin bahwa Cia Keng Hong
beserta isterinya mohon bertemu dan bicara dengan Ma-taijin."
Akan tetapi
para penjaga itu tidak mengenal nama ini. Meski pun nama ini amat terkenal,
akan tetapi tentu saja yang mengenalnya hanyalah tokoh-tokoh kang-ouw saja dan
tidak sembarangan orang seperti para penjaga itu mengenalnya. Karena itu,
disebutnya nama ini sama sekali tidak ada artinya bagi mereka.
"Siapa
pun adanya Ji-wi, tanpa surat ijin khusus, tak berani kami mengganggu Taijin,
dan sebaliknya Ji-wi segera pergi dan jangan membikin ribut di sini. Kami masih
bersikap sabar, kalau sampai para pengawal tahu, tentu Ji-wi akan mendapat
susah. Kalau Ji-wi ada urusan penting dengan Taijin, harap besok pagi saja
mengajukan surat permohonan menghadap."
"Keparat!
Kalau begini kami tidak perlu dengan kalian!" Biauw Eng sudah tidak sabar
lagi, langsung dia melangkah ke depan, sama sekali tidak mempedulikan para
penjaga yang menghadang di depannya.
Delapan
orang itu tentu saja agak segan untuk menyerang seorang wanita, maka mereka
hanya berdiri menghadang dan menghalangi di depan Biauw Eng sambil melintangkan
tombak dan golok di tangan.
"Pergi!"
Biauw Eng membentak.
Maka
terdengar suara senjata-senjata itu terlempar disusul tubuh delapan orang
penjaga itu terpelanting ke kanan dan kiri. Mereka berteriak kaget dan marah.
Ketika mereka cepat melompat bangun lagi dan siap menerjang, mereka terbelalak
melihat Keng Hong sudah berdiri tegak di depan mereka.
Tangan
pendekar ini menyambar sebatang golok yang tadi terlempar, kemudian sambil
memandang mereka dengan senyum di bibir, kedua tangannya mematah-matahkan golok
itu demikian mudahnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat
demonstrasi kehebatan kedua tangan ini delapan orang itu terbelalak dengan muka
pucat, kedua kaki mereka mundur-mundur dan tak ada seorang pun di antara mereka
berani menerjang ke depan.
"Anjing-aniing
pengacau dari mana berani membikin ribut di sini?!" Bentakan ini disusul
munculnya tiga orang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bersikap garang.
Melihat
munculnya tiga orang pengawal yang terkenal jagoan ini, delapan orang penjaga
itu lantas berbesar hati. Kepala penjaga segera berkata, "Mereka memukul
kami, mereka hendak membunuh Taijin,"
Mendengar
ini, Keng Hong dan Biauw Eng marah sekali, sedangkan tiga orang pengawal itu
terkejut bukan kepalang. Tampak sinar berkilat ketika mereka mencabut pedang
dan meloncat ke depan menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng. Karena khawatir
kalau-kalau isterinya tidak mampu mengendalikan dirinya kemudian membunuh alat
pemerintah, Keng Hong sudah mendahului isterinya, melangkah ke depan,
mendorongkan tangan kirinya ke arah tiga orang pengawal yang menerjang maju itu
sambil membentak,
"Mundur
kalian!"
Tentu saja
tiga orang pengawal itu tidak mempedulikan bentakan ini dan sama sekali tak
peduli akan dorongan tangan Keng Hong. Akan tetapi segera mereka itu berteriak
kaget pada saat merasa betapa tubuh mereka terdorong oleh angin yang amat
dahsyat, yang membuat mereka tidak mampu mempertahankan diri dan terjengkang ke
belakang! Ketika mereka merangkak bangun dan memandang, ternyata kedua orang
suami isteri itu telah lenyap.
"Heii,
ke mana mereka...?" tanya mereka.
"Celaka...
mereka memasuki gedung...," jawab para penjaga yang tadi hanya memandang
dengan mata terbelalak.
"Hayo
kejar...!" Berbondong mereka mengejar ke dalam gedung dan seorang di
antara para pengawal langsung membunyikan kentungan tanda bahaya, memanggil
berkumpul semua pengawal dan penjaga.
Keng Hong
dan Biauw Eng memang telah berlari memasuki gedung. Mereka tidak rnau membuang
waktu melayani para penjaga dan pengawal. Biauw Eng menangkap seorang pelayan
wanita yang berlari ketakutan, menjambak rambutnya, dan menghardik,
"Lekas
katakan di mana kamar Taijin!"
Jari-jari
tangan Biauw Eng sengaja mencengkeram pundak pelayan itu yang merasa nyeri
bukan main, sampai mukanya yang pucat mengeluarkan peluh dingin. Akan tetapi
saking takutnya dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya menudingkan telunjuknya
ke arah kamar besar di dekat ruangan tengah. Biauw Eng melepaskan tubuh pelayan
itu yang lalu mendeprok berlutut dan tidak mampu bergerak lagi saking takutnya,
hanya menangis di atas lantai tanpa berani mengangkat muka.
Ketika Biauw
Eng dan Keng Hong sampai di depan pintu kamar itu, Keng Hong berbisik,
"Isteriku, jangan membunuh orang..."
Biauw Eng
mengangguk lalu menggunakan kakinya menendang daun pintu.
"Brakkk…!"
Daun pintu
jebol dan tampaklah seorang laki-laki tua, berusia hampir enam puluh tahun
berdiri dengan mata terbelalak marah. Seorang wanita muda dan cantik dengan
pakaian tidak lengkap menjerit kecil dan cepat-cepat bersembunyi di atas
pembaringan, di bawah selimut. Kakek itu sudah berpakaian lengkap, agaknya tadi
terkejut mendengar kentungan tanda bahaya. Dia adalah Ma-taijin yang tentu saja
menjadi marah sekali, terganggu dari istirahatnya yang asyik bersama selirnya.
"Apa
ini? Siapa kalian yang berani kurang ajar? Pengawal! Tangkap mereka...!"
Ma-taijin berseru marah.
Biauw Eng
sudah melangkah masuk kamar. "Apakah engkau Ma-taijin?" tanyanya.
Pembesar itu
mengangkat muka membusungkan dada. "Sudah tahu aku Ma-taijin, hayo lekas
berlutut minta ampun!"
"Manusia
rendah!"
Biauw Eng
telah menyambar sehelai sabuk merah, agaknya sabuk milik wanita muda selir
pembesar itu yang tadi ditanggalkan dan mungkin dalam keadaan tergesa dilempar
begitu saja di atas lantai! Sekali tangan nyonya perkasa ini bergerak,
tampaklah cahaya merah berkelebat kemudian bergulung-gulung dan ujung sabuk
telah menjerat leher Ma-taijin.
Begitu sabuk
ditarik dengan satu sentakan mendadak, pembesar itu berteriak dan roboh
menelungkup di atas lantai. Karena sabuk yang menjerat lehernya itu ditarik
terus oleh Biauw Eng, terpaksa pembesar itu merangkak dan terseret sampai ke
depan kaki Biauw Eng.
"Hayo
katakan, apa yang telah kau lakukan lima tahun yang lalu terhadap Yap-sinshe
dan isterinya!" Biauw Eng membentak. Dia sengaja menarik ujung sabuk merah
hingga libatan yang mencekik leher makin ketat, membuat pembesar itu hampir
mendelik dan napasnya terengah-engah.
"Yap-sinshe...
dia... dia dan isterinya... pemberontak...!" katanya dengan kedua tangan
sia-sia mencoba melepaskan libatan yang mencekik leher.
Biauw Eng
menarik ujung sabuk.
"Uukhhh!"
Pembesar itu terengah, lidahnya terjulur ke luar.

"Tak
mungkin! Kalau kau tidak berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu,
mereka tentu tak akan pernah memberontak! Mereka tidak berhasil menyembuhkan
para pengawalmu, kenapa hal itu harus kau salahkan? Mereka bukanlah dewa atau
iblis yang berkuasa atas kesembuhan atau kematian seseorang!"
"Am...
ampun, Lihiap..." Pembesar itu terpaksa mengeluh karena libatan pada
lehernya makin mencekik erat.
"Orang
macam engkau ini sepatutnya dikirim ke neraka! Akan tetapi mengingat bahwa
engkau hanya seorang pejabat rendahan saja, biarlah kuberi peringatan!"
Setelah berkata demikian, Biauw Eng mengebutkan ujung sabuk merah itu ke arah
telinga Ma-taijin.
"Prettt...
aduuuuhhh...!"
Ma-taijin
bergulingan mendekap pinggir kepalanya sebelah kanan yang bercucuran darah
karena daun telinganya telah hancur dan lenyap terpukul ujung sabuk merah tadi.
Bukan main nyeri rasanya hingga menusuk jantung, pandang matanya berkunang dan
ubun-ubun kepala rasanya berdenyut seperti hendak pecah. Dia merintih-rintih
sedangkan selirnya sudah roboh pingsan di bawah selimut.
"Sebagai
peringatan, kuambil telingamu. Apa bila aku mendengar lagi kau masih berlaku
sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu, maka aku akan datang dan mengambil
kepalamu!"
"Tar-tar-tarrr...!"
Biauw Eng
maklum bahwa ada orang yang menyerangnya dari belakang dengan senjata lemas.
Dia sendiri adalah seorang ahli cambuk, maka tahulah dia bahwa penyerangnya
mempergunakan cambuk dan memiliki tenaga kuat, maka cepat-cepat dia
menggerakkan tangannya sehingga gulungan sinar merah dari sabuk sutera langsung
melayang ke atas kepalanya dan meluncur cepat ke belakang kemudian menyambut
datangnya sinar putih yang menyambar ke arah kepalanya dengan bunyi
meledak-ledak tadi.
"Tarrr...
bretttt!!"
Biauw Eng
meloncat ke samping dan memandang dengan kaget sekali. Sabuk merah di tangannya
telah hancur ujungnya saat bertemu dengan ujung cambuk penyerangnya dan kini
dia melihat betapa ujung cambuk putih itu seperti seekor ular hidup melayang ke
arah pinggang Ma-taijin dan di lain saat tubuh Ma-taijin telah melayang ke arah
penyerangnya tadi lalu diterima dengan tangan kiri yang sangat besar dan kuat,
disusul suaranya yang nyaring akan tetapi terdengar asing dan kaku,
"Ma-taijin
harap suka mundur dan mengobati lukanya, biarlah saya yang menghadapi dua orang
penjahat ini."
Keng Hong
dan Biauw Eng memandang orang itu dengan mata terbelalak penuh kaget dan
keheranan. Kiranya sudah datang tiga orang di dalam kamar itu. Dua orang di kanan
kiri adalah kakek-kakek yang berusia enam puluh tahun dan pakaian mereka
sederhana, memandang tak acuh. Akan tetapi orang yang berdiri di tengah-tengah
sambil memegang cambuk putih itu yang amat mengherankan kedua suami isteri itu.
Walau pun
mereka adalah tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan Cia Keng Hong
terkenal sebagai datuk muda yang belum dapat dicari tandingannya, namun dia
sendiri belum pernah bertemu dengan seorang manusia yang seaneh seperti
pemegang cambuk itu sehingga dia sendiri pun sampai bengong terlongong!
Orangnya
tinggi besar berukuran raksasa. Keng Hong yang bertubuh sedang itu hanyalah
setinggi pundaknya. Tubuh orang itu amat besar dan perutnya berbentuk seperti
gentong. Punggung tangannya penuh bulu kuning yang panjang-panjang laksana
tangan monyet.
Kepalanya
botak kelimis di bagian atasnya, akan tetapi di bagian bawah sekeliling kepala
tumbuh rambut yang warnanya amat luar biasa, seperti uban putih akan tetapi
bercampur kuning emas berombak amat indah, seolah-olah bukan rambut melainkan
benang-benang perak dan emas ditempelkan di sekeliling kepala. Demikian pula
kumis serta jenggotnya, walau pun ada yang agak gelap warnanya, tetap saja
bercampur dengan warna kuning emas dan putih, juga alis matanya. Alisnya tebal,
matanya lebar sekali dan mata itu bukan seperti mata biasa, karena maniknya
bukan hitam melainkan biru! Biru laut!
Selama
hidupnya, baru satu kali itulah Keng Hong dan Biauw Eng melihat orang dengan
mata yang berwarna biru laut! Hidungnya amat panjang, bukan mancung lagi
namanya, bibir yang sebagian tertutup kumis itu terbentuk manis seperti bibir
wanita, benar-benar seorang laki-laki yang amat aneh dan sukar ditaksir
usianya.
Akan tetapi
pakaiannya lebih aneh lagi! Sepatu kulitnya mengkilap dan tinggi sampai ke
bawah lutut. Celananya sangat sempit dan membungkus ketat tubuh bawahnya
sehingga memandangnya saja membuat wajah Biauw Eng menjadi merah. Betapa tidak
sopannya, pikir pendekar wanita itu.
Pakaian
bagian atasnya yang lebih aneh. Di sebelah dalam merupakan baju pendek yang
berkancing emas. Pada bagian luar tertutup oleh jubah lebar dan panjang sampai
ke lutut, berlengan panjang pula dengan saku-saku yang besar, akan tetapi
lucunya, bagian depan jubah ini terbuka sama sekali dan lehernya diikat dengan
sehelai kain seperti kapas.
Keng Hong
dan Biauw Eng saling pandang. Mereka pernah mendengar dongeng bahwa di beberapa
tempat di sebelah selatan orang-orang geger mengabarkan adanya manusia asing
yang aneh, yang kabarnya datang dari tempat yang amat jauh dari seberang
lautan, manusia ‘biadab’ yang pakaiannya aneh-aneh, rambutnya pun ada yang
putih, ada yang kuning dan ada pula yang coklat atau biru, matanya juga
bermacam-macam warnanya.
Akan tetapi
tadinya mereka menganggap kabar itu kosong dan seperti dongeng tentang iblis
dan setan saja untuk menakuti anak-anak atau orang yang penakut. Akan tetapi
kini mereka sedang berhadapan dengan seorang yang bahkan keanehannya jauh
melampaui dongeng yang pernah mereka dengar
Lelaki asing
itu memandang Keng Hong dan Biauw Eng dengan sinar mata penuh selidik kemudian
terdengar dia bertanya, "Siapakah Anda berdua yang berani mati mengganggu
seorang pembesar pemerintah?"
Keng Hong
mewakili isterinya, melangkah maju dan menjawab, "Kami tidak mengganggu
seorang pembesar, oleh karena urusan kami tidak ada hubungannya dengan
pemerintah, melainkan urusan pribadi. Orang she Ma itu sudah berlaku
sewenang-wenang terhadap saudara kami, karena itu kami perlu memberi hajaran
agar dia lain kali tidak lagi berani mengandalkan kedudukannya dan bertindak
sewenang-wenang. Kami tidak ada urusan dengan kalian."
Sepasang
mata biru itu berkilat dan wajah yang kemerahan itu berseri. "Hemm,
sepasang pendekar, ya? Bagus sekali, ingin kami berkenalan dengan kalian!"
Karena
ucapan itu dikeluarkan dengan lidah asing, maka Biauw Eng telah salah mengira.
Dalam istilah kang-ouw, kalau dua orang berkepandaian tinggi saling berhadapan,
maka kata-kata ‘berkenalan’ dapat juga diartikan tantangan mengadu kepandaian,
karena yang akan dikenal bukan orangnya melainkan ilmunya. Maka dia sudah
membentak,
"Iblis
bermata biru! Siapa takut menghadapi tantanganmu?"
Akan tetapi
Keng Hong yang sudah melihat pembesar she Ma yang menjadi biang keladi mala
petaka yang menimpa keluarga Yap Cong San sudah dihukum oleh isterinya, tidak
menghendaki urusan berlarut-larut dan timbul permusuhan antara mereka berdua
dengan pemerintah, telah menggandeng tangan isterinya dan berkata, "Mari
kita pergi dari sini!"
Biauw Eng
sadar kembali saat merasa tangan suaminya menggandengnya. Dia menekan
kemarahannya dan tidak membantah. Sambil bergandeng tangan suami isteri ini
segera melangkah ke luar dari dalam kamar itu, tidak mempedulikan tiga orang
itu beserta para pengawal yang berkerumun di luar kamar.
"Eh-eh,
sahabat gagah... tunggu dulu!" Suara asing itu berseru dan tangannya
diulurkan ke depan seperti hendak mencegah suami isteri itu pergi.
Walau pun
gerakan ini biasa saja, namun diam-diam Biauw Eng dan Keng Hong terkejut juga
karena ada sambaran angin yang dahsyat dari tangan itu! Namun angin pukulan ini
bukan merupakan serangan, melainkan lebih merupakan ‘ujian’ karena tangan itu
tidak menampar atau pun memukul, melainkan mencengkeram untuk memegang lengan
Keng Hong. Karena itu pendekar sakti ini pun tidak mau balas menyerang, hanya
menggoyang tangannya seperti menolak dan berkata,
"Kami
tidak ada waktu untuk melayani Tuan!"
"Plak!
Plakk!"
Meski pun
kedua tangan itu tidak saling sentuh, namun pertemuan dua hawa pukulan di
antara kedua telapak tangan itu mengeluarkan bunyi nyaring dan orang asing
botak itu terkejut bukan kepalang ketika merasa betapa tangannya terpental dan
terasa panas. Dia berdiri bengong menatap suami isteri yang terus melangkah ke
luar itu, terheran-heran dan akhirnya membentak teman-temannya yang sudah
bergerak mengejar,
"Biarkan
mereka pergi, jangan ganggu!"
Dua orang
temannya menghentikan gerakan kaki mereka, kembali kepada orang asing botak
dengan pandang mata penuh pertanyaan. Si Botak ini menghela napas panjang,
menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengomel, "Hebat...! Semuda itu sudah
demikian hebat tenaganya...! Aihhh, ternyata benar cerita guruku bahwa bagian
lain dunia ini penuh dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi."
Kemudian dia
menoleh kepada dua orang temannya tadi dan berkata, "Amat keliru kalau
kita mulai pekerjaan kita dengan menanam bibit permusuhan dengan orang-orang
pandai seperti mereka. Tugas kita bahkan harus mendekati orang-orang pandai,
bukan malah memusuhi mereka."
"Akan
tetapi, mereka telah melukai Taijin…," bantah seorang temannya.
"Hanya
luka ringan saja. Ma-taijin tentu mau menyudahi perkara ini, demi tugas yang
lebih penting. Lagi pula, kehilangan sebuah daun telinga untuk menebus
kesalahan lalu, masih murah!" Dua orang temannya mengangguk dan mereka
bertiga segera menuju ke kamar Ma-taijin untuk bantu mengobati luka yang
diderita pembesar itu.
***************
Keng Hong
dan isterinya terus meninggalkan Leng-kok pada malam hari itu juga, menuju
pulang ke Cin-ling-san. Di sepanjang perjalanan suami isteri ini dengan penuh
keheranan membicarakan tentang orang asing yang lihai itu.
"Sungguh
membuat orang penasaran sekali!" kata Keng Hong. "Jelas dia adalah
seorang asing biadab seperti yang kita dengar dari berita angin tentang
munculnya orang-orang seperti itu di sepanjang pantai selatan dan timur. Akan
tetapi kenapa dia menguasai ilmu kita? Sambaran tangannya tadi di samping
mengandung sinkang yang cukup kuat, juga merupakan gerakan Eng-jiauw-kang
(Cengkeraman Garuda) yang cepat dan baik sekali!"
"Hanya
tokoh-tokoh golongan sesat saja yang sudi mengajarkan ilmu bangsa kita kepada
orang asing!" kata Biauw Eng.
"Belum
tentu!" berkata pula suaminya. "Kau lihat tadi selain gerakannya amat
lihai, ilmu cambuknya juga hebat, sikapnya amat baik, tidak kejam dan tidak
pula kasar. Kalau dia termasuk anggota kaum sesat, tentu dia tidak akan
demikian mudah saja membiarkan kita pergi. Agaknya sudah banyak terjadi
perubahan di dunia kang-ouw. Sudah terlalu lama kita mengubur diri dalam
kesunyian di puncak Cin-ling-san. Sebaiknya kita menggunakan kesempatan ini,
dalam perjalanan pulang singgah di tempat tokoh-tokoh kang-ouw yang kita kenal,
selain untuk mendengar tentang keadaan kang-ouw, juga mencari keterangan
tentang di mana adanya Yap Cong San, isterinya, dan puteranya."
"Memang
sebaiknya begitu. Sekarang ini kesempatan terakhir bagiku karena beberapa bulan
lagi, dengan seorang bayi mana aku mampu berpergian lagi sebelum dia berusia
dua tiga tahun?"
Demikianlah,
sekarang kedua suami isteri itu melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai sambil
beberapa kali berhenti dan singgah di rumah tokoh-tokoh kang-ouw yang mereka
kenal. Akan tetapi mereka kecewa sekali karena tidak ada seorang pun di antara
para kenalan itu yang tahu di mana adanya Yap Cong San dan isterinya!
Betapa pun
juga, mereka berdua sudah mendengar jelas mengenai perubahan di dunia kang-ouw
pada waktu itu. Mereka mendengar bahwa kini muncul lima orang datuk kejam sesat
yang sepak terjangnya mengerikan, tidak saja menjagoi dunia kaum sesat, bahkan
sering kali mengacau dunia kang-ouw dan merobohkan banyak orang gagah.
Mereka itu
adalah Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, Kwi-eng Niocu
Ang Hwi Nio, Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) Louw Ek Bu, dan seorang
lagi yang hanya dikenal namanya akan tetapi belum pernah ada yang bertemu
dengannya dan terkenal julukannya saja, yaitu Toat-beng Hoatsu (Kakek Ajaib
Pencabut Nyawa).
Mendengar
penuturan para tokoh kang-ouw yang menceritakan kepada mereka tentang kelihaian
lima orang datuk kaum sesat ini, maka timbul keinginan di hati Keng Hong dan
terutama Biauw Eng untuk berjumpa dengan mereka lantas mencoba kesaktian
mereka. Keinginan seperti ini memang wajar dimiliki oleh ahli-ahli seperti
mereka, bukan keinginan untuk menundukkan dan menjagoi, tetapi keinginan untuk
mengukur kepandaian masing-masing. Akan tetapi Keng Hong mencegah isterinya
sambil menyabarkan diri dan berkata bahwa tidak semestinya mereka yang sudah
memimpin sebuah partai seperti Cin-ling-pai merendahkan diri berkenalan dengan
tokoh-tokoh yang dianggap jahat seperti iblis itu.
"Lagi
pula, dalam keadaan dirimu sedang mengandung, amat berbahaya untuk bertanding
menghadapi lawan yang sakti, selain itu tidak baik apa bila kita terlalu lama
meninggalkan Giok Keng seorang diri saja di Cin-ling-san. Sebaiknya kita lekas
pulang dan mengingat akan munculnya banyak orang pandai di kalangan kaum sesat,
kita harus lebih tekun lagi menggembleng Giok Keng dan meningkatkan kepandaian
para anggota Cin-ling-pai."
Mendengar
ucapan suaminya yang tak dapat dibantah kebenarannya, Biauw Eng pun tak
membantah. Maka pulanglah pasangan suami isteri pendekar ini ke Cin-ling-san
dengan hati kecewa karena mereka tak berhasil bertemu dengan Yap Cong San dan
Gui Yan Cu seperti yang mereka harap-harapkan.
Tentu saja
mereka berdua sama sekali tak pernah mimpi bahwa putera tunggal sahabat-sahabat
mereka itu, Yap Kun Liong, baru saja beberapa pekan lalu datang mengunjungi
Cin-ling-san, bahkan sudah bentrok dan bertanding dengan puteri mereka. Ketika
mereka tiba di Cin-ling-san, Giok Keng yang merasa takut kalau-kalau ayahnya
mendengar akan penyambutannya terhadap Yap Kun Liong, tentu saja menutup
mulutnya dan sama sekali tidak menceritakan tentang kedatangan pemuda gundul
itu kepada ayah bundanya.
Ketika Giok
Keng mendengar penuturan ayah bundanya akan nasib yang menimpa diri keluarga
Yap, diam-diam Giok Keng merasa kasihan sekali kepada Kun Liong. Kemudian dia
mendengar tentang lima orang datuk kaum sesat yang selain amat lihai juga
kabarnya jahat bagaikan iblis, maka dia merasa ngeri dan dengan tekun dia
memperdalam semua ilmunya di bawah bimbingan ayahnya sendiri.
Selama hampir
tiga tahun dara yang mulai berangkat dewasa ini berlatih dengan rajinnya
sehingga dia hampir dapat mewarisi seluruh ilmu kepandaian ibunya dan hanya
beberapa macam ilmu yang terlalu tinggi dan sulit saja yang belum dapat dia
warisi dari ayahnya. Akan tetapi harus diakui bahwa untuk mencari tandingan
bagi Giok Keng pada waktu itu, benar-benar bukan merupakan pekerjaan yang
mudah!
Cia Giok
Keng telah menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang sangat cantik
jelita dan gagah perkasa. Adiknya lahir tidak lama setelah ibunya pulang ke
Cin-ling-san sehingga pada saat itu Cia Bun Houw telah menjadi seorang anak
laki-laki berusia hampir tiga tahun, bertubuh sehat, berwajah tampan dan
berwatak gembira mirip seperti enci-nya (kakaknya) ketika masih kecil.
Dengan
lahirnya adik laki-laki ini, maka berkuranglah sifat kemanjaan Giok Keng, apa
lagi karena dia kini sudah dewasa. Kini yang tertinggal pada dara ini hanya
kekerasan hatinya yang diwarisi dari ibunya.
Ayahnya
sering kali memandang kagum karena melihat puterinya ini seolah-olah melihat
isterinya ketika masih gadis! Begitu persis wataknya! Maka diam-diam Keng Hong
suka merasa khawatir sendiri.
Biar pun
watak isterinya tidak jahat, namun andai kata isterinya itu tidak saling
mencinta dengan dia dan kemudian menjadi isterinya yang mencinta dan setia,
andai kata isterinya itu tetap berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, agaknya
isterinya akan mempunyai watak keras yang mengerikan, dapat terjerumus ke dalam
watak yang kejam!
Yang lebih
menggelisahkan hati Cia Keng Hong dan menambah kerut di wajahnya adalah sikap
Giok Keng yang sama sekali tidak mengacuhkan mengenai perjodohan! Padahal
usianya sudah tujuh belas tahun! Sedikit pun dara itu tidak mau mendengar kalau
orang tuanya bicara tentang perjodohan, dan berkelebat pergi dengan marah kalau
mendengar usul mau pun bujukan orang tuanya supaya dia segera menentukan
pilihan untuk menjadi jodohnya.
"Aku
tidak ingin kawin. Harap Ayah dan Ibu jangan bicara tentang itu-itu saja. Muak
aku mendengar tentang kawin!" Pernah dia berkata demikian kepada ayah
bundanya yang hanya dapat saling pandang dengan melongo.
"Nah,
lihat. Betapa dia manja dan membawa kehendak sendiri!" Keng Hong mengomel.
"Sabarlah,
suamiku. Kalau memang dia belum ingin, apakah kita harus memaksanya?"
Cia Keng
Hong hanya dapat menarik napas panjang dan diam-diam dia merasa semakin rindu
kepada Cong San dan Yan Cu, ingin sekali dia dapat bertemu dengan mereka yang
hilang tak tentu rimbanya itu untuk membicarakan tentang jodoh anak mereka.
Pada suatu
hari lewat tengah hari, keadaan di Cin-ling-san sunyi dan nyaman. Matahari yang
bersinar terang tanpa terhalang awan tebal seperti biasanya, mendatangkan hawa
yang hangat mengusir dingin yang biasanya membuat orang kedinginan. Kenyamanan
hawa pada siang hari itu dimanfaatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan
isterinya.
Pada waktu
itu Cia Keng Hong telah berusia empat puluh tahun sedangkan isterinya telah
tiga puluh tujuh tahun. Mereka berdua yang telah mendengar akan banyaknya tokoh
dari kaum sesat yang lihai, walau pun makin tua mereka tidak pernah lalai untuk
berlatih ilmu silat serta menjaga daya tahan tubuh dan kekuatan sinkang dengan
bersemedhi setiap hari.
Pada siang
hari itu pun mereka memanfaatkan hawa yang hangat nyaman dengan duduk
bersemedhi berdua di dalam kamar mereka. Putera mereka, Bun Houw, sedang tidur
di dalam kamarnya sendiri yang berdekatan dengan kamar mereka, sedangkan Giok
Keng, seperti biasa pada saat seperti itu, sedang berlatih seorang diri di lian-bu-thia
(ruangan berlatih silat) yang berada di samping rumah.
Ketika itu,
para penduduk dusun di lereng Puncak Cin-ling-san yang juga dikenal sebagai
anggota-anggota Cin-ling-pai, sudah mendapat latihan keras sehingga tingkat
kepandaian mereka memperoleh kemajuan pesat selama tiga tahun ini. Pada siang
hari itu, sebagian dari mereka sedang bekerja di sawah ladang, dan sebagian
lagi ada pula yang berlatih di bawah pohon-pohon rindang.
Seperti yang
diajarkan oleh pimpinan mereka, para anggota ini berlatih berpasangan, baik
lelakinya, wanitanya, mau pun anak-anaknya. Gerakan mereka cepat-cepat dan
terutama kaum dewasanya, mereka mempunyai sinkang yang kuat yang merupakan ilmu
khas dari para anggota Cin-ling-pai.
Untuk para
anggota ini, Cia Keng Hong menurunkan ilmu silatnya yang ampuh dan amat lihai,
yaitu San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) dan menggembleng mereka dengan
cara-cara bersemedhi untuk menghimpun sinkang yang kuat. Isterinya, Sie Biauw
Eng, menurunkan ilmu meringankan tubuh yang dinamakan Hui-niau Coan-in (Burung
Terbang Menerjang Awan) sehingga rata-rata para anggota Cin-ling-pai memiliki
kecepatan gerak yang mengagumkan. Kombinasi ilmu dari suami isteri pendekar ini
yang masing-masing merupakan ilmu-ilmu pilihan yang tinggi nilainya, lalu
digabungkan dan menjadi landasan ilmu silat para anggota Cin-ling-pai.
Tentu saja
di samping ilmu ini, Keng Hong masih mengajarkan ilmu silat yang lebih tinggi,
akan tetapi hanya kepada orang tertentu yang dianggapnya telah cukup matang
ilmunya. Mereka ini berjumlah sebelas orang saja dan merupakan anggota-anggota
pimpinan atau murid-murid tertua. Betapa pun juga, tidak ada seorang di antara
mereka yang diwarisi dua macam ilmu yang jarang tandingannya di dunia
persilatan, yaitu Thai-kek Sin-kun dan Thi-khi I-beng.
Yang pertama
adalah karena ilmu itu merupakan ilmu rahasia dari Kun-lun-pai dan karena ia
bukan murid Kun-lun-pai, tentu saja ia tidak berani mengajarkan ilmu rahasia
itu kepada orang lain. Yang kedua, Thi-khi I-beng, merupakan ilmu mukjijat yang
pernah diperebutkan para jagoan di kalangan kang-ouw dan di dunia ini hanya dia
seorang yang memilikinya.
Ilmu ini
amat ganas, merupakan sinkang yang dapat menyedot habis tenaga sakti lawan,
membuat lawan kehabisan tenaga, lumpuh bahkan bisa tewas. Kalau belum mempunyai
dasar yang amat kuat, berbahayalah memiliki ilmu ini. Karena itu, Keng Hong
tidak berani menurunkan kepada orang lain, bahkan belum berani pula mengajarkan
kepada puterinya sendiri karena dia menganggap puterinya belum kuat menerima ilmu
mukjijat itu.
Pada siang
hari itu, serombongan pemuda Cin-ling-san tengah berlatih silat berpasangan,
dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang menjadi murid-murid kepala dari
Cin-ling-pai. Mereka berdua ini adalah Kwee Kin Ta, berusia tiga puluh lima
tahun, dan Kwee Kin Ci, adiknya berusia tiga puluh tahun.
Saat
Cin-ling-pai mula-mula berdiri keduanya adalah dua orang pemuda, dan telah
belajar ilmu silat cukup lama di bawah pimpinan Cia Keng Hong, maka bolehlah
dibilang mereka merupakan dua orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi di
antara para anggota Cin-ling-pai.
Kedua orang
ini tak pernah menikah dan hidup membujang di Cin-ling-san, dan bersama
sembilan orang adik-adik seperguruannya merupakan wakil-wakil dari Ketua
Cin-ling-pai, para murid kepala yang semuanya berjumlah sebelas orang itu.
Dengan penuh ketekunan dua orang ini mewakili ketua mereka mengawasi para
pemuda sebanyak lima belas orang yang sedang berlatih di siang hari itu.
Tiba-tiba
kedua orang saudara Kwee ini terkejut ketika mendengar suara orang tertawa,
juga para pemuda yang sedang berlatih berhenti bersilat dan menoleh ke arah dua
orang kakek berjenggot panjang yang tertawa-tawa dan tahu-tahu telah berada di
dekat mereka. Yang mengejutkan kedua orang saudara Kwee itu adalah karena
kehadiran kedua orang kakek ini sama sekali tidak mereka ketahui dan hal ini
saja sudah membuktikan bahwa dua orang tua itu bukan orang sembarangan!
"Ha-ha-ha,
nama Cin-ling-pai dan ketuanya memang setinggi awan, akan tetapi mengapa para
anggotanya hanya sebegini saja?" Seorang di antara mereka, kakek yang
mukanya merah berkata sambil menyeringai lebar.
"Ahhh,
Ang-kui (Setan Merah), tentu saja karena mereka ini tentunya hanya orang-orang
rendahan dari Cin-ling-pai. Betapa pun juga kurasa orang Cin-ling-pai bukan dewa-dewa
yang berkepala tiga berlengan enam dan pandai terbang, ha-ha-ha!"
Para anggota
Cin-ling-pai itu adalah pemuda-pemuda yang walau pun sudah digembleng selain
ilmu silat juga kesabaran, tetap saja naik darah mendengar ucapan-ucapan yang
nadanya mengejek itu. Dua orang di antara mereka tidak dapat menahan kemarahan
lagi, meloncat ke depan dua orang kakek itu sambil berteriak hampir berbareng,
"Orang
tua sombong, berani engkau menghina Cin-ling-pai?"
"Kalau
kau menantang, terimalah seranganku!"
Dua orang
muda itu segera menerjang dengan pukulan keras ke arah kedua orang kakek itu
dan dua orang bersaudara she Kwee tidak sempat lagi mencegah mereka. Akan
tetapi kakek-kakek asing yang diserang hanya tersenyum, sama sekali tidak gugup
melainkan mengangkat kedua tangan mereka dengan gerakan lambat, satu tangan
menangkis dan tangan ke dua menampar dari samping.
Biar pun
gerakan mereka kelihatan lambat, namun aneh sekali, dua orang pemuda itu tak
dapat menghindar lagi. Mereka mengaduh dan terpelanting tanpa dapat bangun
kembali. Melihat kedua orang teman mereka roboh dengan muka pada bagian pipi
terdapat tanda telapak tangan hitam dan mereka itu pingsan, para pemuda menjadi
marah sekali dan serta-merta dua orang kakek itu mereka terjang dan keroyok!
Sambil tertawa-tawa,
dua orang kakek itu bergerak dan terjadilah pertempuran yang seru. Akan tetapi
baru beberapa jurus saja, kembali empat orang pemuda terpelanting dengan tanda
telapak tangan hitam di tubuh mereka dan keempat orang itu langsung pingsan.
"Mundurlah
kalian!" Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci berteriak nyaring, kemudian mereka
berdua meloncat ke depan, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang dengan
pukulan-pukulan berat.
Kwee Kin Ta
menyerang kakek muka merah dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan, yaitu
jurus dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang disebut Siang-in Twi-san (Sepasang
Awan Mendorong Gunung), jurus yang ke tiga.
Pada waktu
tertawa-tawa tadi, dua orang kakek itu bukan semata-mata sengaja hendak
mengejek, melainkan karena mereka memang merasa amat terheran dan kecewa
melihat pemuda-pemuda itu berlatih dengan gerakan yang mereka anggap terlalu
rendah. Akan tetapi, ketika kakek muka merah itu menghadapi serangan yang
dilakukan oleh Kwee Kin Ta, dia terkejut bukan main. Dari kedua tangan yang didorongkan
itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat sekali!
Memang, Ilmu
Silat San-in Kun-hoat yang diajarkan oleh Cia Keng Hong kepada para anggota
Cin-ling-pai, dan yang telah dikuasai dengan baik oleh dua orang saudara Kwee,
adalah ilmu tingkat tinggi yang hebat. Ilmu silat ini hanya terdiri dari
delapan jurus, namun jurus-jurus itu amat dahsyat dan dapat dikembangkan dengan
hebat sesuai dengan bakat masing-masing.
Kini,
menghadapi jurus Siang-in Twi-san, kakek muka merah cepat-cepat membuang diri
ke samping dan balas menyerang dari samping. Akan tetapi, jurus Siang-in
Twi-san telah dilanjutkan sebagai jurus bertahan, tangan yang tadinya mendorong
itu berbalik ke bawah, lengannya digunakan untuk menangkis pukulan tangan kakek
yang selalu meninggalkan tanda telapak tangan hitam itu.
"Plakkk!"
Kakek Muka
Merah kembali berseru kaget. Tangkisan itu membuat dia terhuyung mundur, meski
pun lawannya juga terpental ke belakang dengan kaget. Mereka segera bertanding
kembali dan kali ini mereka bergerak lebih hati-hati, maklum bahwa lawan amat
tangguh.
Demikian
pula dengan Kin Ci yang bertanding melawan kakek muka putih, pertandingan di
antara mereka juga seru dan ramai sekali. Para anggota Cin-ling-pai yang muda
telah maklum bahwa dua orang kakek yang telah melukai enam orang teman mereka
itu tidak bisa dipandang ringan, maka mereka tidak sembrono membantu
suheng-suheng mereka, melainkan menolong keenam orang teman yang masih pingsan,
ada pula yang segera memanggil suheng-suheng dan suci-suci mereka yang lebih
pandai dan ada pula yang lari melapor kepada nona Cia Giok Keng.
"Siocia...
Siocia (Nona)... lekas! Ada dua orang kakek jahat mengacau dan melukai enam
orang anggota kita...!"
Cia Giok
Keng yang berlatih seorang diri, kaget sekali mendengar laporan ini. Dia cepat
meloncat dan berlari ke luar sesudah menyarungkan pedangnya yang tadi dipakai
untuk berlatih. Ketika tiba di tempat pertandingan, Giok Keng melihat betapa
dua orang saudara Kwee yang sudah dibantu oleh tiga orang sute-sute mereka,
masih juga belum mampu mendesak dua orang kakek itu, apa lagi merobohkan...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment