Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 11
MERAHLAH
wajah Giok Keng. Sungguh memalukan sekali. Murid-murid kepala Cin-ling-pai
sampai harus mengeroyok dua orang kakek itu! Dan ada enam orang murid yang
terluka.
Dengan sudut
mata dia melihat betapa enam anggota Cin-ling-pai yang terluka itu masih pingsan
dan ada tanda telapak tangan hitam pada tubuh mereka, di pipi, di leher, bahkan
pukulan yang mengenai pundak atau dada membuat baju hangus terbakar dan
kulitnya juga ternoda hitam berbentuk telapak tangan. Diam-diam dia merasa
terkejut dan marah. Tak salah lagi, tentulah itu pukulan beracun, kalau bukan
Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) tentu semacam itu.
"Paman
Kwee berdua, mundurlah!"
Teriakan
Giok Keng ini membuat hati Kwee Kin Ta dan empat orang sute-nya membesar, dan
mereka segera meloncat ke belakang. Dua orang kakek itu membalik tubuhnya dan
memandang Giok Keng penuh perhatian.
Mereka
berdua lalu menjura dan kakek yang bermuka putih bertanya, "Apakah Nona
ini Cia-siocia (Nona Cia) yang terhormat? Kami berdua adalah Siang-lo-kui (Dua
Setan Tua) dari..."
"Tidak
peduli kalian ini sepasang setan, sepasang iblis atau siluman dari neraka,
kalian sudah bosan hidup. Mampuslah!" Tiba-tiba Giok Keng menggerakkan
kedua tangannya dan segulung sinar merah muda menyambar ke depan, ke arah kedua
orang kakek itu.
Dua orang
kakek yang mengaku berjuluk Sepasang Setan Tua itu terkejut sekali. Sinar merah
muda itu adalah ujung sabuk sutera merah muda yang menyambar cepat bukan main,
dan kedua ujung sabuk itu telah menyambar seperti ular-ular hidup mengarah
jalan darah kematian di leher kedua orang kakek itu.
Dari angin
sambaran ujung sabuk itu mengertilah mereka bahwa apa bila totokan ujung sabuk
itu mengenai sasaran, maka mereka benar-benar terancam bahaya maut! Cepat
keduanya meloncat dan mengelak, akan tetapi betapa terkejut hati mereka ketika
kedua sinar merah muda itu seolah-olah hidup dan terus mengejar mereka, tetap
menghujankan totokan-totokan maut bertubi-tubi! Dengan kaget sekali terpaksa
mereka membuang diri ke belakang dan bergulingan di atas tanah sehingga membuat
totokan-totokan itu sukar untuk mengenai sasaran.
Melihat ini,
dalam kegemasannya Giok Keng cepat merobah serangan, kini menggunakan kedua
ujung sabuknya bukan untuk menotok jalan darah yang tidak mungkin berhasil lagi
karena dua orang kakek itu terus menggerakkan tubuh, melainkan untuk melecut!
Sabuk sutera merah muda itu dipegang di bagian tengah, karena itu gerakan kedua
tangannya membuat kedua ujung sabuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan suara
ledakan-ledakan keras.
"Tar-tar-tat-tar...!"
Kedua orang
kakek itu berusaha mengelak, namun tetap saja tubuh mereka terkena hujan
cambukan, membuat pakaian mereka robek-robek dan kulit tubuh mereka luka-luka.
Biar pun hanya luka di bagian luar yang ringan, akan tetapi mengeluarkan darah
dan rasanya cukup nyeri dan pedih!
"Tar-tar...
wuuuuttt! Aihhh!"
Giok Keng
berteriak kaget dan marah ketika tiba-tiba ujung sabuk suteranya terhenti di
udara. Ketika dia membalik, tahu-tahu kedua ujung sabuk itu telah dipegang oleh
seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali! Dia terkejut. Sabuk
sutera di tangannya adalah senjata yang hebat, dengan ilmu yang dia pelajari
dari ibunya.
Ibunya sangat
terkenal dengan Ilmu Pek-in Sin-pian (Cambuk Lemas Awan Putih) yang dimainkan
dengan sabuk sutera putih. Dia tidak menyukai warna putih seperti ibunya,
melainkan lebih suka menggunakan sabuk warna merah muda. Biar pun ilmu
cambuknya belum semahir dan sehebat ibunya, tapi menurut ibunya sudah cukup
untuk menghadapi senjata lawan yang bersifat keras. Kini tahu-tahu kedua ujung
sabuknya dapat dipegang oleh seorang lawan, hal ini membuktikan bahwa lawan ini
tentu amat lihai!
Pemuda itu
sudah berkata kepada kedua orang kakek dengan nada suara memerintah,
"Kalian mundurlah! Sungguh tak tahu diri berani melawan Cia-siocia!"
Setelah
kedua orang kakek itu mundur, pemuda itu menjura kepada Giok Keng dengan sikap
menghormat sekali sambil berkata dengan wajah berseri, bibir tersenyum dan
suara halus.
"Saya
mohon dengan hormat sudilah Cia-siocia untuk memaafkan dua orang paman ini.
Sesungguhnya kedatangan kami bukan dengan maksud buruk. Saya Liong Bu Kong dan
bersama kedua Paman Siang-lo-kui datang hendak menghadap Ketua Cin-ling-pai,
Yang Mulia Cia Keng Hong Locianpwe..."
"Cukup!"
Giok Keng langsung memotong ucapan pemuda itu dengan bentakan nyaring.
"Tidak membawa maksud buruk tetapi melukai enam orang anggota
Cin-ling-pai. Ditebus nyawa pun masih belum impas!" Sesudah berkata
demikian, dengan tangan kiri dara itu menggulung sabuknya lalu menyimpannya,
ada pun tangan kanannya bergerak mencabut pedang.
"Singggg…!"
Sinar putih
menyilaukan mata berkelebat ketika pedang yang terbuat dari perak murni itu
tercabut. Itulah pedang Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang terbuat dari
perak dan diukir bunga-bunga, pedang pemberian ibunya. Biar pun dia tidak suka
akan warna puth seperti ibunya, namun pedang itu amat indah buatannya, pula
merupakan sebuah pusaka yang ampuh, maka Giok Keng sayang sekali kepada
pedangnya ini.
"Eiiitt,
Nona, tunggu... saya bukan hendak bermusuh..."
"Wuuuuttt...
singggg…!"
Sinar putih
itu menyambar laksana kilat dan andai kata tidak dielakkan cepat-cepat oleh
pemuda yang mengaku bernama Liong Bu Kong itu, tentulah leher itu akan terbabat
putus dan kepala dengan wajah ganteng itu akan berpisah dari tubuhnya!
Liong Bu
Kong terpaksa harus berloncatan ke kanan kiri dan ke atas, dan terpaksa pula
dua kali menggulingkan tubuhnya di atas tanah, terus dikejar oleh sinar putih
menyilaukan mata itu.
"Nanti
dulu, Nona...!”
“Brettt…!"
Ujung lengan baju yang dipakai pemuda itu terbabat buntung. Nyaris tangannya
yang buntung!
"Srattt…!"
Pemuda itu
mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan dan terpaksa
menggunakan pedangnya menangkis.
"Tringgg...
cranggg... tranggg…!"
Bunga api
berpijar-pijar ketika berkali-kali dua batang pedang itu bertemu di udara. Giok
Keng merasa betapa telapak tangannya panas dan pedangnya tergetar, tanda bahwa
selain lawan memiliki sinkang yang kuat, juga pedangnya yang bersinar biru itu
adalah sebatang pedang yang baik dan hebat pula.
"Nona...
sabarlah, saya tidak ingin bertanding..."
"Singgg...
trangggg…!"
Kembali
pemuda itu menangkis dan tangan Giok Keng gemetar dan terasa panas telapak
tangannya.
"Tak
usah banyak cakap!" bentak Giok Keng.
Dia kembali
sudah menerjang dengan ganas. Maklum bahwa lawannya lihai dan memiliki pedang
pusaka pula, Giok Keng langsung menyerang dengan pengerahan tenaga dan
menggunakan jurus-jurus pilihan. Namun dia terkejut dan diam-diam kagum sekali
karena pemuda itu selain memiliki tenaga sinkang amat kuat, juga mempunyai
kecepatan gerak mengagumkan sehingga setiap serangannya mampu dihindarkan
dengan tangkisan atau elakan.
Para anggota
Cin-ling-pai dan kedua orang kakek tadi menonton dengan mata terbelalak penuh
kagum menyaksikan betapa dua gulung cahaya pedang putih dan biru saling belit,
saling desak dan saling dorong. Demikian terangnya cahaya kedua pedang itu
sehingga menyelimuti bayangan kedua orang yang memainkannya.
"Tahan
senjata!" Bentakan ini menggetarkan jantung kedua orang muda yang sedang
bertanding, membuat tangan mereka menggigil beberapa detik sehingga gerakan
mereka tertahan.
Detik-detik
ini cukup bagi Keng Hong untuk menangkap kedua tangan yang memegang pedang lalu
mendorong Giok Keng dan pemuda itu sampai terhuyung ke belakang. Selagi pemuda
itu terhuyung, Keng Hong sudah menggerakkan tangannya. Jari-jari tangannya
menangkap ujung pedang bersinar kebiruan, tenaga sinkang mukjijat dia
keluarkan, dan jari-jari tangan membuat gerakan menekuk.
"Krakkk!"
Ujung pedang pusaka yang mengeluarkan sinar kebiruan itu patah!
Pemuda itu
terbelalak dengan muka pucat bukan main. Matanya memandang pedang di tangannya
yang sudah menjadi pedang buntung. Hampir dia tidak dapat percaya. Begitu
mudahnya Ketua Cin-ling-pai itu mematahkan pedang pusakanya, seolah-olah pedang
itu sama dengan sebatang lidi kering saja! Padahal pedangnya merupakan sebatang
pedang pusaka yang ampuh!
Diam-diam
dia bergidik ngeri membayangkan betapa kuat jari-jarl tangan orang setengah tua
yang berdiri tenang di depannya itu, lebih ngeri lagi ketika mendengar suara
Cia Keng Hong yang halus, penuh kesabaran dan ketenangan, namun juga penuh
wibawa,
"Orang
muda, siapa pun adanya engkau, seorang tamu yang datang dengan pedang terhunus
tentu bukan seorang yang beriktikad baik!"
"Engkau
masih beruntung bukan aku yang turun tangan, kalau demikian halnya jangan harap
engkau masih dapat bernapas!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang wanita
yang usianya sudah setengah tua akan tetapi masih tampak cantik jelita dan
gagah perkasa. Mudah saja bagi Liong Bu Kong untuk menduga bahwa tentu nyonya
itulah isteri Ketua Cin-ling-pai yang bemama Sie Biauw Eng, yang dahulu
berjuluk Song-bun Siu-li!
Dengan
jantung berdebar serta keringat dingin membasahi lehernya, pemuda itu segera
menyarungkan pedang buntungnya dan menjura penuh hormat kepada Cia Keng Hong
dan Sie Biauw Eng sambil berkata, "Mohon Ji-wi-locianpwe (Kedua Orang Tua
Sakti) sudi mengampunkan saya yang lancang berani mendatangi Cin-ling-san. Saya
bernama Liong Bu Kong dan sengaja dari tempat jauh sekali datang ke sini
bersama kedua orang Paman Ang-kui Tung Sek dan Pek-kui Gak Song."
Cia Keng
Hong melirik ke arah dua orang kakek itu yang juga sudah menjura dengan hormat.
Melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang telah berusia enam puluh lebih,
dia pun membalas penghormatan mereka dengan sikap dingin. Dua orang itu
berjulukan Ang-kui (Setan Merah) dan Pek-kui (Setan Putih), tentu termasuk
golongan hitam atau kaum sesat, maka dia cepat bertanya,
"Setelah
tahu bahwa engkau lancang, mengapa masih berani? Ada keperluan apakah?"
Pemuda itu
dengan sikap hormat dan kedua tangan di depan dada melirik ke arah Giok Keng.
Dara itu juga sedang memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang dan
jantung Giok Keng berdebar, mukanya berubah merah. Pemuda itu sungguh tampan
dan gagah, juga sikapnya begitu halus dan penuh hormat!
"Harap
Locianpwe sudi memaafkan, sebenarnya kedatangan kami... yaitu kedua paman
ini... dengan maksud... ehhh, Paman Gak, harap Totiang saja yang menjelaskan
kepada Cia-locianpwe." Agaknya sukar sekali bagi pemuda itu untuk
melanjutkan kata-katanya, beberapa kali dia harus menelan ludah dan lehernya
serasa tercekik.
Kini kedua
orang kakek itu yang melangkah maju menghadap Keng Hong sambil menjura,
kemudian Pek-kui Gak Song berkata, "Tak perlu kiranya kami membohong
kepada Paicu (Ketua). Sesungguhnya sudah lama sekali Liong-kongcu (Tuan Muda
Liong) mendengar akan nama besar Paicu dan akan kehebatan puteri Paicu, yaitu
Nona Cia Giok Keng. Harap Paicu ketahui bahwa Liong-kongcu adalah putera
tunggal pangcu kami di Kwi-ouw (Telaga Setan)."
"Hemm...
bukankah Kwi-ouw adalah sarang Kwi-eng-pang dan ketuanya adalah Kwi-eng Niocu
Ang Hwi Nio, datuk kaum sesat?" Biauw Eng memotong.
Kedua orang
kakek itu tersenyum. "Tidak salah dugaan itu, pangcu kami adalah Kwi-eng
Niocu Ang Hwi Nio." Tentu saja mereka merasa amat bangga menyebut nama
yang telah tersohor itu. "Dan kami berdua merupakan pembantu-pembantu
utamanya, juga termasuk murid-murid yang setia dari pangcu kami."
"Coba
kalian lanjutkan, apa keperluan kalian dan Liong Bu Kong ini datang ke
sini?" Keng Hong mendesak, hatinya tidak enak.
Melihat
sikap tuan dan nyonya rumah, Pek-kui Gak Song juga kelihatan gugup dan jeri.
"Sesungguhnya kami ditugaskan Pangcu kami untuk mengiringkan kongcu kami
untuk... untuk dapat bertemu muka dengan Cia-siocia... dan hal ini sudah
terlaksana... tentu tidak lama lagi pangcu kami akan segera resmi mengajukan
pinangan, melamar Nona Cia Giok Keng untuk menjadi jodoh kongcu kami..."
"Keparat!"
Tiba-tiba Biauw Eng membentak marah, "Hendak melamar setelah mengacau di
Cin-ling-san dan berani pula melukai enam orang anggota Cin-ling-pai dengan
pukulan Hek-tok-ciang?"
Dua orang
kakek itu menjadi pucat wajahnya. "Ini... ini... hanya kesalah pahaman...
hanya keinginan menguji kepandaian... bukan bermaksud buruk... kami mohon maaf
dan biarlah kami mengobati mereka yang terluka..."
"Siapa
butuh bantuan kalian? Tidak perlu memberi obat, pukulan Hek-tok-ciang macam itu
saja apa sih artinya? Biarlah aku menukarnya dengan pukulanku. Terimalah!"
Biauw Eng
memberi kesempatan kepada dua orang kakek itu untuk ‘menjaga diri’ lebih dahulu
sebelum dia bergerak. Meski pun dua orang kakek itu jauh lebih tua dari
padanya, namun dia adalah isteri Ketua Cin-ling-pai sedangkan dua orang kakek
itu hanya utusan dan murid Ketua Kwi-eng-pai, maka kedudukannya jauh lebih
tinggi. Karena ini, dia tidak mau menggunakan kecepatannya menyerang dua orang
yang belum siap. Sesudah dua orang kakek yang maklum akan dipukul itu
berjaga-jaga, baru ia menggerakkan tubuhnya sambil berseru,
"Robohlah!"
Dua orang
kakek yang namanya di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dengan julukan
Siang-lo-kui (Sepasang Setan Tua) ini cepat menggerakkan tangan menangkis.
"Des!
Dess! Plak-plak!"
Sepasang
tangan Biauw Eng yang menampar itu memang dapat tertangkis oleh mereka, namun
lengan mereka yang menangkis terdorong dan terpental sedangkan kedua buah
tangan halus itu tetap saja menyambar terus dan menampar dada mereka. Tamparan
yang tidak begitu kuat, akan tetapi akibatnya hebat karena kedua orang kakek
itu roboh, muntah darah dan pingsan.
Kiranya
mereka telah menderita luka dalam yang cukup hebat, dan juga pukulan Biauw Eng
itu beracun, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan Hek-tok-ciang. Tidak
aneh kalau Sie Biauw Eng mampu menggunakan ilmu pukulan beracun yang biasanya
hanya dikuasai oleh kaum sesat karena dia adalah puteri mendiang Lam-hai Sin-ni
(Wanita Sakti Laut Selatan).
Pukulannya
tadi adalah Ngo-tok-ciang (Tangan Panca Racun) yang mengandung inti sari lima
macam hawa beracun dan tentu saja jauh lebih berbahaya dari pada Hek-tok-ciang,
apa lagi dilakukan oleh seorang yang tingkat kepandaiannya sudah setinggi
nyonya itu!
Liong Bu
Kong terkejut sekali. Dia tadi telah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Cia
Keng Hong Ketua Cin-ling-pai yang dengan amat mudahnya mematahkan ujung pedang
pusakanya. Kini dia menyaksikan kelihaian nyonya ketua itu yang dalam
segebrakan saja mampu merobohkan Siang-lo-kui, padahal dua orang kakek itu
adalah murid-murid kelas satu dari ibunya!
Pemuda yang
sangat cerdik ini tidak memperlihatkan perasaan menyesal pada mukanya, bahkan
dia menjura kepada Sie Biauw Eng sambil berkata, "Hukuman bagi kedua paman
yang lancang ini memang sudah sepantasnya. Saya menghaturkan terima kasih
kepada Locianpwe yang telah menghajarnya dan mengampuni nyawa mereka."
Walau pun Bu
Kong mengambil sikap sabar, sopan dan manis budi, akan tetapi dalam pandangan
Cia Keng Hong, pemuda itu sangat tidak menyenangkan, karena itu dia pun
berkata, "Sudahlah, bawa mereka pulang dan jangan sekali-kali berani
menginjakkan kaki di daerah Cin-ling-san. Ada pun soal jodoh, tidak perlu lagi
dibicarakan dan tidak perlu datang meminang karena bagaimana pun juga, kami
tidak akan suka berbesan dengan golongan hitam. Nah, pergilah!"
Bu Kong
merasa betapa jantungnya seperti ditusuk oleh kekecewaan dan putus harapan.
Sudah lama dia mendengar akan kecantikan puteri Ketua Cin-ling-pai, dan sesudah
kini bertemu dengan orangnya, apa lagi setelah menyaksikan kelihaian Giok Keng,
sekaligus dia tergila-gila dan jatuh cinta. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kedua
orang tua dara itu menentang keras.
Kembali
pemuda itu menjura dan berkata, "Maafkan saya, Ji-wi-locianpwe. Saya
mengaku bahwa kami bertiga telah lancang, semoga saja kelak saya akan dapat
menghadap Ji-wi dalam keadaan yang lebih baik dan menyenangkan. Selamat tinggal
dan sekali lagi terima kasih atas semua pelajaran yang kami terima."
Dia menjura,
membungkuk, dan mengempit tubuh dua orang kakek yang masih pingsan, kemudian
turun dari puncak sambil berlari cepat. Semua orang, termasuk Cia Keng Hong, Sie
Biauw Eng, dan Cia Giok Keng, memandang dengan hati kagum. Sungguh pemuda yang
benar-benar lihai!
Setelah
mengobati luka keenam pemuda akibat pukulan Hek-tok-ciang, Keng Hong dan anak
isterinya kembali ke dalam rumah. Sesudah berada di dalam, Keng Hong berkata
kepada puterinya,
"Nah,
kau lihat sendiri betapa tidak baiknya bagi seorang dara yang sudah dewasa
kalau tak segera menikah. Tentu banyak godaan yang datang dan
penolakan-penolakan hanya akan mendatangkan permusuhan."
"Ayahmu
benar, Anakku. Sebaiknya kalau engkau segera menentukan pilihan hatimu dan
mendapatkan jodoh."
Giok Keng
cemberut. "Ayah dan Ibu tentu akan memaksaku, soal jodoh ini tidak perlu
dibicarakan lagi karena aku tidak mau! Dalam penolakan lamaran Ayah dan Ibu
bertindak tanpa persetujuanku, tentu kelak Ayah dan Ibu pun akan menerima
lamaran orang tanpa mengajukan persetujuanku pula! Karena itu, aku tidak mau
menikah!"
Keng Hong
dan isterinya saling pandang dan Keng Hong berkata agak keras, "Tentu saja
kita tolak lamaran seorang pemuda dari golongan hitam itu. Apa lagi kalau dia
putera Iblis Betina Kwi-eng Niocu yang tersohor!"
Giok Keng
tetap saja cemberut. Sedikit banyak hatinya telah tertarik oleh sikap pemuda
tampan tadi, dan walau pun hal itu bukan berarti bahwa dia jatuh cinta dan
menerima pinangan, akan tetapi dia tersinggung juga menyaksikan betapa ayah
bundanya menolak mentah-mentah tanpa mempedulikan perasaannya sendiri!
"Menolak
mau pun menerima lamaran bukan soal, yang menjadi soal adalah bahwa saya
seorang manusia, yang berperasaan pula dan patut menentukan hidup dan masa
depan saya sendiri. Hal ini harap Ayah dan Bunda tidak lupa! Sudahlah, siapa
sih yang ingin menikah?" Setelah berkata demikian Giok Keng meninggalkan
ayah bundanya, memasuki kamarnya sendiri dan menangis!
Keng Hong
menggeleng-gelengkan kepalanya. Isterinya menghibur, "Sabarlah. Dia baru
berusia tujuh belas tahun, belum lenyap sama sekali sifat
kekanak-kanakannya!"
"Kekanak-kanakan
apa? Itulah kalau anak manja!"
Akan tetapi
Keng Hong tidak melanjutkan kemarahannya ketika melihat pandang mata isterinya
yang mengalah, bahkan dia segera memeluk isterinya dan berkata, "Biarlah
kita serahkan jodoh anak kita kepada nasib."
"Perlu
apa dipusingkan? Biar dia memilih sendiri dan kita hanya mengawasi dari
belakang agar dia jangan salah pilih."
Semenjak
terjadinya pengacauan yang dilakukan oleh orang-orang Kwi-eng-pai itu dan
mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh dari cukup sehingga ketika
dia menyerang pemuda bernama Liong Bu Kong itu dia sama sekali tidak berhasil,
Giok Keng makin tekun berlatih silat. Hal ini menggirangkan hati Keng Hong,
maka pendekar ini pun melatih puterinya dengan sungguh-sungguh sehingga
akhirnya dia menurunkan juga Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun kepada puterinya itu
dengan janji agar dara itu tidak akan pernah membocorkannya kepada orang lain!
Dua tahun
lamanya Giok Keng berlatih dengan tekun siang malam sehingga setelah dia
berusia sembilan belas tahun, ilmu kepandaiannya meningkat dengan hebatnya.
Bahkan dia berhasil pula mempelajari Ngo-tok-ciang dari ibunya yang memesan
agar puterinya jangan sembarangan menggunakan ilmu ini, kecuali kalau
menghadapi golongan hitam karena ilmu ini adalah ilmu keji dari kaum sesat.
Betapa pun
juga, Keng Hong masih belum berani mengajarkan Thi-khi I-beng kepada puterinya.
Kalau puterinya mendesak agar ayahnya menurunkan ilmu itu, dia menjawab,
"Kau
kira mudah saja menguasai Thi-khi I-beng? Kalau belum kuat benar dasarnya, ilmu
ini bisa mencelakakan diri sendiri. Ayahmu mendapatkan ilmu ini secara
kebetulan saja, akan tetapi ketahuilah, dulu ada seorang tokoh golongan hitam
yang ilmu kepandaiannya tinggi bernama Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, dia berhasil
memaksaku memberikan Thi-khi I-beng, namun akhirnya dia mati karena ilmu itu
sendiri. Mempelajari ilmu ini kalau belum memiliki kekuatan yang melebihi
ukuran sinkang biasa, berarti menghadapi bahaya maut. Ilmu-ilmu yang kau
pelajari sudah cukup, Keng-ji, kalau semua itu kau kuasai dengan baik disertai
latihan dan ketenangan, kiranya sukar sekali akan dapat dikalahkan lawan, walau
pun engkau tidak menggunakan Thi-khi I-beng."
Mendengar
keterangan ini, Giok Keng menjadi ngeri sendiri dan merasa puas dengan
ilmu-ilmu yang sudah dimilikinya. Akan tetapi, Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng
makin berduka oleh karena telah belasan kali datang lamaran dari pemuda-pemuda
yang bukan orang-orang sembarangan, putera ketua-ketua partai besar,
pemuda-pemuda sastrawan dan hartawan, bahkan pernah seorang pemuda putera
pangeran dari kota raja melamar, semua itu ditolak mentah-mentah oleh Giok
Keng. Padahal, usia dara itu sekarang telah meningkat, sudah sembilan belas
tahun!
Ketika Keng
Hong dan Biauw Eng mendengar akan kematian Tiong Pek Hosiang serta Thian Lee
Hwesio, mereka segera berangkat untuk melayat, sekaligus untuk menghibur
kekecewaan hati mereka dan mengharapkan pertemuan dengan Yap Cong San. Siapa
tahu kalau-kalau jodoh puteri mereka itu adalah putera sahabat ini yang sudah
hampir dua puluh tahun, atau sedikitnya delapan belas tahun tak pernah mereka
jumpai.
Giok Keng
disuruh menjaga Cin-ling-pai dan mengawasi adiknya, Cia Bun Houw yang baru
berusia lima tahun. Hati Giok Keng agak kecewa karena setelah kini ilmunya maju
pesat, dia ingin sekali ikut merantau dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar.
Akan tetapi dia tahu juga bahwa selain Cin-ling-pai perlu dijaga, juga tidak
baik kalau adiknya harus ditinggalkan seorang diri, hanya bersama para pimpinan
Cin-ling-pai, dalam keadaan di mana bahaya selalu mengancam dari pihak kaum sesat.
Akan
terpenuhikah harapan Keng Hong dan Biauw Eng bahwa mereka akan berjumpa dengan
sahabat baik mereka Yap Cong San beserta isterinya di kuil Siauw-lim-si? Untuk
mengetahui ini. sebaiknya kita mencari Yap Cong San dan isterinya dan melihat
keadaan mereka. Sudah terlampau lama kita meninggalkan mereka dan kini marilah
kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan Leng-kok.
***************
Seperti
telah kita ketahui, Yap Cong San bersama isterinya lari meninggalkan Leng-kok
sebagai orang buruan sesudah dengan kekerasan Yan Cu membebaskan suaminya dari
tahanan Ma-taijin. Mereka lantas mulai mencari putera mereka yang hilang. Akan
tetapi karena kepergian Kun Liong tidak meninggalkan bekas yang jelas, mereka
tersesat dan sampai dua tahun mereka menjelajah ke selatan dan ke timur, tetapi
belum juga mereka berhasil menemukan putera mereka itu! Akhirnya mereka
terpaksa kembali ke utara.
Tiga tahun
telah lewat semenjak mereka meninggalkan Leng-kok tanpa hasil sama sekali dalam
usaha mereka mencari Kun Liong. Hampir saja mereka putus harapan dan timbul
kekhawatiran bahwa putera mereka yang lenyap itu sudah tewas, ketika pada suatu
hari harapan itu timbul kembali secara kebetulan ketika mereka mendengar
mengenai putera mereka itu.
Hal itu
terjadi ketika perjalanan mereka membawa mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di
lereng Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas antara Propinsi Shansi
di timur dan Propinsi Sensi di barat. Mereka bermalam di dalam sebuah kamar
rumah penginapan kecil sederhana, di sebuah dusun nelayan di tepi Sungai
Huang-ho.
Menjelang
tengah malam, setelah suami isteri yang kelelahan ini tertidur, tiba-tiba Yan
Cu terbangun oleh suara berbisik-bisik. Dia terbangun, memasang telinga dan
mendengarkan percakapan lirih yang terjadi di kamar sebelah, percakapan yang
dapat didengarnya jelas karena agaknya dua orang wanita yang bercakap-cakap itu
tidak menyembunyikan suara mereka dan antara kamamya dan kamar sebelah itu
hanya teraling oleh dinding papan yang sambungannya tidak begitu rapat.
Tentu saja
Yan Cu tidak akan sudi mendengarkan percakapan orang lain kalau saja dia tidak
tertarik karena mendengar disebutnya nama puteranya, nama Kun Liong!
"Sungguh
mengherankan sekali! Ke mana perginya bocah setan itu? Kalau dia melarikan diri
dengan perahu, masa dia bisa naik perahu sampai ke langit? Kenapa jejaknya
lenyap sama sekali?" terdengar suara wanita yang mengandung penasaran dan
kemarahan.
"Memang
dia bukan bocah biasa, Subo (Ibu Guru)," terdengar jawaban suara seorang
anak perempuan. "Dahulu Kongkong sudah bilang bahwa anak itu memang luar
biasa, munculnya pun secara aneh sekali, dari dalam sungai!"
"Huh!
Apakah dia anak iblis sungai? Siapa namanya?"
"Dia
mengaku bernama Kun Liong, Subo. Akan tetapi teecu (murid) tidak yakin bahwa
dia yang membawa pergi benda itu karena benda itu tadinya berada di tangan Phoa
Sek It. Ketika Phoa Sek it membunuhi semua orang, Kun Liong melarikan diri.
Mana mungkin dia merampasnya dari tangan Phoa Sek It?"
"Siapa
tahu? Setidaknya bocah itu tentu mengetahui di mana adanya benda itu. Hemm...
apa bila dia dapat tertangkap olehku, akan kupaksa dia mengaku, akan
kupatah-patahkan semua tulang tubuhnya agar dia suka mengaku!"
Mendengar
itu, Yan Cu sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Meski pun dia merasa heran
dan ragu-ragu mendengar percakapan itu, namun besar kemungkinan mereka itu
bicara tentang puteranya yang hilang. Cepat dia turun dari pembaringan,
menghampiri dinding dan mengintai dari celah-celah dinding papan.
Dilihatnya
dalam kamar sebelah itu ada seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih,
bertubuh pendek, cantik manis akan tetapi matanya menyinarkan kekejaman dan
bentuk mulutnya selalu menyeringai seperti orang mengejek, rambutnya panjang,
sedang duduk di kursi berhadapan dengan seorang anak perempuan berusia kurang
lebih sebelas tahun yang bersikap pendiam dan berwajah cantik dan dingin. Di
atas meja di hadapan wanita rambut panjang itu terdapat sebatang pedang panjang
yang bentuknya agak melengkung dan gagangnya panjang, sebatang pedang berbentuk
asing bagi Yan Cu.
Yan Cu
menduga bahwa wanita itu tentulah bukan orang sembarangan, maka dia pun
bersikap hati-hati sekali. Melihat suaminya masih tertidur pulas, dia berindap
keluar dari dalam kamarnya, lantas menyelinap ke luar rumah penginapan yang
sunyi karena semua orang sudah tidur. Dengan ringan tubuhnya mencelat ke atas
genteng dan dia membuka genteng tepat di atas kamar sebelah tadi. Sebagai
penjagaan, sebelum keluar kamarnya Yan Cu sudah menyambar pedangnya.
Akan tetapi,
pada saat dia membuka genting, tiba-tiba dari bawah menyambar sinar hijau
dengan kecepatan kilat ke arahnya! Yan Cu terkejut tetapi tidak menjadi gugup.
Dia sudah meloncat ke belakang dan berjungkir balik. Ketika dia turun lagi dan
berdiri di wuwungan genteng rumah itu, terlihat bayangan berkelebat dan
tahu-tahu wanita pendek berambut panjang tadi telah berdiri di hadapannya
dengan sebatang pedang panjang melengkung yang berkilauan di tangannya!
Yan Cu
menjadi marah sekali, apa lagi ketika teringat betapa wanita ini mengancam
untuk mematahkan semua tulang di tubuh puteranya dan memaksanya mengaku! Andai
kata yang diancam itu bukan puteranya, melainkan seorang anak lain yang namanya
juga Kun Liong, tetap saja ancaman itu menunjukkan bahwa wanita pendek ini
merupakan seorang yang kejam dan jahat sekali, patut untuk dibasmi. Namun, pada
saat itu, yang terpenting bagi Yan Cu adalah untuk mengetahui apakah benar puteranya
yang dibicarakan mereka itu.
"Perempuan
kejam! Apakah yang kau bicarakan dalam kamar tadi, yang kau sebut-sebut
namanya, anak yang bernama Kun Liong itu adalah seorang anak laki-laki yang
berusia kira-kira tiga belas tahun sekarang ini dan she Yap?"
"Jika
benar dia, kau mau apa?" wanita itu balas bertanya dan mulutnya makin
mengejek.
"Tetapi
benarkah dia? Wajahnya tampan, matanya lebar, kepalanya bundar dan dahinya
lebar, alisnya seperti golok, hidungnya mancung? Benarkah dia Yap Kun
Liong?"
"Perempuan
lancang, kau telah berani melakukan pengintaian. Hemm, kau tak mengenal
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?"
Tentu saja
Yan Cu sudah mendengar nama datuk kaum sesat ini selama perantauannya mencari
Kun Liong, akan tetapi pada saat itu dia tidak mempedulikan semua hal kecuali
persoalan di mana adanya puteranya. "Tidak peduli kau siapa, akan tetapi
benarkah Yap Kun Liong yang kau bicarakan tadi?"
Sinar mata
wanita pendek itu mengeluarkan kilat kemarahan. Namanya sudah tersohor di
seluruh jagat sebagai seorang datuk dari daerah selatan. Tidak ada orang
kang-ouw yang tidak menjadi gentar mendengar namanya, apa lagi bertemu dengan
dia! Dan perempuan ini sama sekali tidak peduli!
"Perempuan
bosan hidup! Kalau benar dia itu Yap Kun Liong kau mau apa?"
"Mau apa?
Membunuh engkau yang mengancam dia! Di mana dia sekarang?"
"Hi-hi-hik,
lagakmu seperti jagoan sendiri! Aku pun sedang mencari dia. Engkau siapa?"
"Aku
ibunya!" Yan Cu sudah marah bukan main, dicabutnya pedangnya dan tanpa
banyak cakap lagi dia segera menubruk maju, mengirim serangan kilat dengan
tusukan ke arah dada lawan.
"Hi-hik-hik,
engkau ibunya?" Bu Leng Ci, wanita itu terkekeh dan mengelak cepat sambil
membabatkan pedang panjangnya dari samping.
"Singggg…!"
Gagang
pedang samurai pedang model Jepang itu dipegang dengan kedua tangan dan ketika
dibabatkan cepatnya seperti kilat menyambar dan mengandung tenaga yang amat
dahsyat. Tentu saja Yan Cu terkejut bukan main, karena sama sekali tidak
menyangka bahwa datuk wanita yang tersohor ini benar-benar amat berbahaya. Dia
sudah meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang
panjang, kemudian bersiap menghadapi lawan tangguh ini.
"Kau
ibunya? Hi-hi-hik, kalau begitu kau harus mampus. Anakmu telah membikin jengkel
hatiku!"
Bertandinglah
dua orang wanita itu di atas genteng, dan keduanya sama-sama terkejut sekali,
lebih-lebih Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci. Selama dia merantau ke utara dari
pantai laut selatan, belum pernah dia bertemu tanding dan jarang pula dia
menggunakan pedang samurainya.
Tadi ketika
dia menggunakan senjata rahasia Siang-tok-toa (Pasir Beracun Wangi) dari bawah,
dia sudah terkejut karena orang yang tadi mengintai dari kamar sebelah kemudian
mengintai dari atas genteng dapat menghindarkan diri. Karena itu maka dia
menyusul ke atas sambil membawa pedang samurainya.
Sekarang,
setelah mereka bergebrak selama belasan jurus, Bu Leng Ci betul-betul kaget
sekali. Wanita cantik jelita di depannya ini benar-benar memiliki ilmu
kepandaian hebat! Bukan saja ilmu pedangnya luar biasa, juga lawannya ini
memiliki keringanan tubuh dan kekuatan tenaga sakti yang mampu menandinginya!
Merasa
kurang leluasa bertanding di atas genteng, Bu Leng Ci lalu melayang turun.
Tentu saja Yan Cu tidak mau melepaskannya, dan cepat menyusul dengan loncatan cepat.
Kini mereka berhadapan di atas tanah, di sebelah belakang rumah penginapan itu,
dan saling memandang di bawah sinar rembulan sepotong yang mendatangkan cahaya
penerangan remang-remang.
"Siapakah
engkau?" Bu Leng Ci membentak, tertarik juga untuk mengenal siapa adanya
lawan tangguh ini.
"Aku
ibunya Yap Kun Liong! Ketahuilah, perempuan iblis, bahwa aku adalah Gui Yan Cu,
isteri dari Yap Cong San. Engkau tentu tidak mengenal kami, sebab kami bukan
termasuk golongan iblis kaum sesat yang senang malang-melintang berbuat kejam
mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa seperti engkau!"
"Hi-hi-hi-hik,
sombong. Mampuslah engkau!" Bu Leng Ci kembali menerjang, samurainya
membentuk gulungan sinar yang lebar dan panjang, digerakkan dengan dua
tangannya.
"Trang!
Cringgg…!"
Yan Cu
merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar. Diam-diam dia
harus mengakui bahwa wanita iblis yang disohorkan sebagai salah seorang di
antara datuk-datuk kaum sesat yang bermunculan pada waktu itu, yang bertubuh
pendek dan berpedang panjang ini benar-benar sangat tangguh. Maka dia pun
mengerahkan tenaga dan memutar pedangnya dengan cepat.
Yan Cu
adalah seorang wanita perkasa. Walau pun dia tahu bahwa lawannya tangguh, namun
untuk berteriak memanggil suami isterinya dia merasa malu karena berteriak
minta bantuan bukanlah kelakuan seorang gagah!
Tiba-tiba
pedang dan samurai kembali bertemu, lantas saling menempel untuk beberapa detik
lamanya karena Bu Leng Ci mempergunakan kekuatan kedua lengannya. Pedang Yan Cu
agak tertindih dan saat itu dipergunakan oleh Bu Leng Ci untuk menggerakkan
kepalanya. Rambutnya yang panjang menyambar ke arah Yan Cu seperti ribuan ekor
ular menyerang!
Yan Cu
terkesiap dan cepat-cepat dia menarik kembali pedangnya, melempar tubuh ke
belakang dan berjungkir-balik. Sambil membalikkan tubuhnya yang berpoksai
(bersalto) tiga kali di udara, pedangnya menyambar untuk melindungi dirinya.
"Cringgg...!"
Pedangnya
bertemu dengan samurai yang sekarang dipegang dengan tangan kanan saja
sedangkan pada detik itu, tangan kiri Bu Leng Ci yang jari-jarinya merupakan
jari baja sudah menusuk ke arah dada dengan maksud menembus dada itu dan
merogoh jantung seperti yang biasa dia lakukan terhadap para korbannya!
"Ihhhhh...!"
Yan Cu cepat menggulingkan tubuhnya ke kanan, terus bergulingan di atas tanah
untuk membebaskan diri dari serangan itu.
"Wuuuutttt...!"
Yan Cu
menahan jeritnya pada saat merasa betapa dadanya sebelah kanan sakit sekali.
Kiranya dia sudah disusul oleh serangan Pasir Beracun Wangi yang dilepaskan
dari jarak dekat. Walau pun Yan Cu sudah bergulingan sambil memutar pedangnya,
tetap saja ada sebagian dari Siang-tok-soa yang masih mengenai dadanya.
Seketika kepalanya pening, matanya berkunang dan ketika dia meloncat berdiri,
tubuhnya terhuyung!
"Hi-hi-hi-hik,
sayang sekali kau harus mampus!" Bu Leng Ci sudah meloncat maju sambil
mengayun samurainya ke arah pinggang Yan Cu.
"Singg...
tranggg...!"
Dalam
keadaan pening itu Yan Cu masih dapat menangkis dengan tangan. Oleh karena
tubuhnya menggigil kedinginan akibat pasir beracun itu dan tenaganya berkurang
banyak, apa lagi karena dia memang kalah tenaga, pedangnya langsung terpental
dan lepas dari pegangannya. Sementara itu, pedang samurai sudah menyambar lagi
ke arah lehernya.
"Tranggg...!
Eihhh...!" Bu Leng Ci meloncat ke belakang ketika samurainya ditangkis
oleh sebatang mouw-pit (pena bulu) yang membuat lengannya tergetar.
Kiranya Yap
Cong San yang telah menyelamatkan isterinya. Cong San cepat memegang lengan
isterinya, dan berbisik, "Mundurlah... cepat telan obat penawar...!"
"Hi-hi-hi-hik,
agaknya ini suaminya, ya? Ha-ha-ha, tidak ada obat penawar untuk melawan
Siang-tok-soa dari Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci. Isterimu akan mampus, dan engkau
juga!"
Mendengar
nama ini, Yap Cong San terkejut. Tadi dia terbangun oleh suara pertandingan
yang lapat-lapat dan terkejut sekali ketika tidak melihat isterinya rebah di
sampingnya dan pedang isterinya juga tidak nampak. Cepat dia berpakaian lantas
melompat keluar sambil membawa sepasang mouw-pit yang menjadi senjatanya yang
ampuh.
Dapat
dibayangkan alangkah kagetnya melihat isterinya terhuyung, pedangnya terlempar
dan pedang panjang lawan isterinya itu mengancam nyawa isterinya. Untung dia
tidak terlambat dan sesudah dapat menangkis pedang samurai itu, dia melihat
bahwa isterinya telah terluka dan melihat warna mukanya, tentu terluka senjata
beracun.
Dengan marah
dan khawatir sekali Yap Cong San lalu menerjang ke depan menggunakan senjata
Im-yang-pit hitam putih dengan gerakan cepat laksana kilat. Kembali Bu Leng Ci
terkejut. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa di dunia kang-ouw sebelah
utara ini terdapat orang-orang pandai seperti pasangan suami isteri ini yang
namanya sama sekali tidak terkenal. Bahkan sang suami ini lebih lihai dari pada
isterinya!
Bu Leng Ci
berteriak keras, lantas samurainya kembali berkelebat membentuk gulungan sinar
seperti seekor ular naga mengamuk. Namun Yap Cong San yang bersikap hati-hati
selalu berhasil membendung amukan sinar samurai, bahkan membalas dengan
totokan-totokan maut yang bukan tidak berbahaya bagi Bu Leng Ci.
Betapa pun
juga, segera murid lihai dari Siauw-lim-pai ini mendapatkan kenyataan bahwa
lawannya itu amat tangguh, bahkan dalam hal tenaga sinkang, dia masih belum
mampu menandinginya, terbukti dari getaran-getaran pada dua tangannya setiap
kali Im-yang-pit di tangannya terbentur oleh pedang samurai. Pantas wanita ini
menjadi seorang di antara datuk-datuk golongan hitam, kiranya memang amat
lihai.

Biar pun
demikian, tidak mudah bagi Bu Leng Ci untuk mengalahkan murid Siauw-lim-pai ini
yang memiliki ilmu silat asli dari Siauw-lim-pai dan dapat membentuk pertahanan
yang bukan main kuatnya, bagaikan batu karang yang menahan gempuran badai! Dan
lebih celaka lagi bagi Bu Leng Ci ketika Yan Cu telah menyambar lagi pedangnya
dan biar pun di wajah wanita itu ada bayangan gelap, namun peningnya lenyap dan
kini dia membantu suaminya menerjang Bu Leng Ci! Menghadapi Yap Cong San saja
sudah sangat sukar baginya untuk merobohkan pendekar ini, apa lagi dikeroyok
dua dengan isterinya yang amat marah itu.
"Robohlah!"
Tiba-tiba Bu Leng Ci mengeluarkan suara teriakan nyaring sambil tangannya
bergerak dan sinar hijau menyambar, itulah Siang-tok-soa!
"Awas...!"
Yap Cong San berteriak memperingatkan isterinya.
Keduanya
cepat melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri. Akan tetapi Bu Leng
Ci sudah mempergunakan kesempatan itu meloncat ke dalam rumah penginapan. Suami
isteri itu mengejar dengan cepat.
Oleh karena
merasa tidak kuat kalau harus menandingi suami isteri itu, Bu Leng Ci sudah
memondong anak perempuan yang menjadi muridnya dan lari ke luar.
"Iblis
betina, hendak lari ke mana kau?" Cong San dan Yan Cu mengejar dan
pendekar ini cepat menggunakan senjata rahasianya untuk menyambit bayangan di
depan.
Senjata
rahasia dari Yap Cong San ini berupa mata uang tembaga, uang biasa yang bisa
pula dipergunakan untuk berbelanja, akan tetapi jika digunakan sebagai senjata
rahasia, amat hebat dan dapat menembus tulang!
Bu Leng Ci
menjerit lirih ketika pundaknya disambar sebuah mata uang, mendatangkan rasa
nyeri bukan main. Akan tetapi hal ini bahkan membuat dia langsung mempercepat
larinya. Dengan penasaran Yap Cong San mengejar terus.
"Aduhhh..."
Rintihan
isterinya ini membuat Cong San terkejut dan cepat membalik. Ketika dia melihat
isterinya terhuyung hampir jatuh, dia cepat menyambar tubuh isterinya. Ternyata
Yan Cu sudah pingsan. Melihat keadaan isterinya, terpaksa Cong San membatalkan
pengejaran terhadap wanita iblis itu dan cepat berusaha menolong isterinya.
Pasir
beracun yang memasuki dada kanan bagian atas itu benar-benar amat hebat. Kulit
pada bagian dada itu membengkak biru, dan warna kebiruan menjalar sampai ke
muka! Tubuh Yan Cu panas sekali, akan tetapi anehnya, wanita itu menggigil
kedinginan!
Yap Cong San
sudah banyak mempelajari ilmu pengobatan dari isterinya. Dia memeriksa sebentar
penuh ketelitian setelah merebahkan tubuh isterinya di atas pembaringan dalam
kamar mereka. Akhirnya dia menghela napas, menekan kekhawatiran hatinya.
Racun wangi
itu benar-benar amat berbahaya dan dia sudah tahu akan sifat racun itu. Dia
harus mempergunakan sinkang dan bahan-bahan obatnya sangat sukar dicari. Meski
pun demikian, agaknya bukan hal yang mudah pula untuk menyelamatkan jiwa
isterinya dari renggutan maut!
Keadaan ini
memaksa Yap Cong San harus menghentikan usahanya mencari puteranya, bahkan dia
lalu membawa isterinya untuk beristirahat dan berobat di puncak Pegunungan
Lu-liang-san yang sunyi, selain untuk menghindarkan diri dari pengejaran alat
pemerintah, juga untuk bersembunyi dari pengejaran tokoh golongan hitam. Dalam
keadaan seperti itu, amatlah berbahaya bagi isterinya kalau ada lawan kuat
datang menyerang.
Demikianlah,
dengan penuh ketekunan dan kesabaran Cong San lalu merawat isterinya di puncak
Lu-liang-san. Dan tepat seperti yang diduga atau dikhawatirkannya, pengobatan
itu ternyata memakan waktu sampai hampir dua tahun!
Setelah
menghabiskan banyak akar dan daun obat yang dengan susah payah dapat dia
temukan di semak-semak belukar dalam hutan di Pegunungan Lu-liang-san, dan
banyak pula memeras tenaga sinkang-nya untuk membantu isterinya mengusir hawa
beracun itu, serta memakan waktu dua tahun kurang sedikit, barulah semua racun
itu berhasil terusir bersih dari tubuh Gui Yan Cu! Dan setelah isterinya
sembuh, mereka telah meninggalkan rumah selama lima tahun lebih!
Nasib buruk
yang menimpa sepasang suami isteri ini, cara hidup bersunyi, serta segala macam
kekhawatiran dan kedukaan berhubung dengan hilangnya putera mereka, menjadi
pupuk yang menambah dalam cinta kasih antara mereka. Setelah Yan Cu sembuh,
Cong San menganggap bahwa isterinya memerlukan waktu selama beberapa bulan lagi
untuk beristirahat memulihkan kesehatan di puncak yang pemandangannya indah dan
berhawa sejuk itu.
Maka,
curahan cinta kasih mereka yang semakin mendalam sebagai hiburan duka karena
memikirkan Kun Liong membuat Yan Cu mengandung lagi! Keadaan ini mendatangkan
kegirangan besar di hati suami isteri itu, dan terpaksa mereka memperpanjang
kediaman mereka di puncak Pegunungan Lu-liang-san.
***************
Sesudah
merasa yakin bahwa suami isteri yang lihai itu tidak mengejarnya, dengan hati
amat penasaran dan marah Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci menurunkan muridnya yang
tadi dipondongnya. Dia membuka bajunya, mengambil obat dan mengobati luka di
pundaknya yang terkena sambitan Touw-kut-ci yang dilepas oleh Yap Cong San.
Hatinya
merasa penasaran sekali, akan tetapi Bu Leng Ci bukanlah seorang bodoh yang
nekat. Dia maklum bahwa menghadapi kedua orang suami isteri itu amatlah
berbahaya. Apa bila hanya melawan seorang di antara mereka, agaknya dia masih
menang sedikit. Akan tetapi kalau harus menghadapi mereka berdua, benar-benar
berbahaya sekali.
"Subo,
siapakah yang tadi bertanding dengan Subo hingga membuat Subo terluka?"
anak perempuan itu bertanya sambil memandang dengan heran dan penasaran.
Anak
perempuan ini adalah Yo Bi Kiok. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
hampir enam tahun yang lampau Bi Kiok diambil murid oleh Siang-tok Mo-li
setelah ditolong dari tangan Phoa Sek It, bekas pengawal Panglima Besar The Hoo
yang mencuri bokor emas.
Dengan
sia-sia Bu Leng Ci mencari Kun Liong yang disangkanya melarikan bokor emas.
Tentu saja dia tidak dapat menemukan Kun Liong karena anak ini telah diambil
murid oleh Bun Hwat Tosu di puncak Gunung Teratai Biru dan digembleng selama
lima tahun oleh kakek sakti itu.
Selama itu,
Bu Leng Ci tekun melatih ilmu silat kepada muridnya dan dia gembira sekali
memperoleh kenyataan bahwa Bi Kiok memiliki bakat yang baik sekali. Akan tetapi
setiap kali teringat akan bokor emas yang dicarinya, hatinya selalu merasa
penasaran sehingga berkali-kali dia mengajak muridnya pergi merantau di
sepanjang Sungai Huang-ho untuk menyelidiki dan mencari bokor itu.
Pada waktu
itu, dia berada di tepi Huang-ho di lereng Lu-liang-san juga untuk menyelidiki
bokor emas itu dan secara tidak tersangka-sangka, di tempat ini dia sampai
terluka oleh suami isteri yang sama sekali tidak terkenal! Hatinya penasaran
sekali.
Tentu saja
dia tidak pernah bermimpi bahwa baru beberapa bulan yang lalu dia pernah
berhadapan muka dengan orang yang menyimpan bokor emas yang amat diinginkannya
itu. Saat dia membunuhi orang-orang Pek-lian-kauw yang berani melawannya,
kemudian bertemu dengan pemuda gundul yang mempunyai keberanian luar biasa, dia
sama sekali tidak mengira bahwa pemuda gundul itulah yang dahulu dicari-carinya
bersama Bi Kiok! Kalau saja dia tahu!
Dan semua
ini adalah karena Bi Kiok merahasiakan tentang diri Kun Liong, karena dara
remaja ini tak ingin melihat Kun Liong dibunuh oleh gurunya, hal yang sudah
pasti terjadi kalau dia beri tahukan bahwa bokor itu dilarikan oleh Kun Liong.
Karena itu pula, sebelum pergi meninggalkan kuil tua, dengan ujung sepatunya Bi
Kiok membuat coretan-coretan di atas tanah memperingatkan Kun Liong agar jangan
membicarakan tentang bokor dengan siapa pun juga!
Walau pun
lukanya tidak hebat, namun hati Bu Leng Ci mendongkol bukan main. Sudah
bertahun-tahun dia merantau dan belum pernah dapat dikalahkan lawan, apa lagi
sampai terluka! Hanya sedikit hiburan hatinya bahwa dia telah melukai wanita
bernama Gui Yan Cu itu dengan Pasir Beracun Wangi. Mengingat ini, dia tersenyum
sendiri dan perlahan kemarahannya lenyap.
"Hemmm…,
aku terluka hanya sedikit, tidak ada artinya, akan tetapi perempuan itu akan
mampus oleh Siang-tok-soa yang mengenai dadanya. Tidak ada obat yang akan dapat
menyembuhkan racun pasirku!" katanya dengan menjawab pertanyaan muridnya
tadi.
"Subo,
selama enam bulan ini Subo selalu mencari bokor emas tanpa mengenal lelah.
Sebetulnya apa sih kegunaan bokor itu?" Mereka duduk di bawah pohon dan Bi
Kiok memandang gurunya yang sudah selesai membalut luka di pundaknya.
Bi Kiok
sudah menjadi seorang dara remaja berusia empat belas tahun. Wajahnya cantik
namun sikapnya selalu serius dan dingin. Hal ini agaknya karena dia menderita
terlampau banyak kepahitan selama hidupnya.
Bu Leng Ci
memandang muridnya. Dia sangat sayang kepada muridnya ini yang selalu patuh,
rajin berlatih, dan juga kelihatan berbakti serta sayang kepadanya. Iblis
betina ini tersenyum. "Aihh, kau tidak tahu, muridku. Bokor itu merupakan
benda pusaka yang amat berharga, mungkin pusaka yang paling berharga yang
dimiliki The Hoo."
"Hemm,
apakah Subo membutuhkan emas? Betapa mudahnya kalau Subo menghendaki
emas." Dengan kata-kata ini Bi Kiok seakan hendak menyatakan bahwa kalau
gurunya menghendaki, mereka dapat saja mengambil dan merampas emas milik siapa
pun juga, tidak perlu mencari-cari benda yang telah hilang itu.
"Emas?
Hi-hi-hik, siapa butuh emas? Bokor itu kabarnya, dan ini hanya kabar angin yang
membocor dari rahasia Panglima The Hoo, mengandung peta rahasia yang
menunjukkan tempat persembunyian harta pusaka terpendam yang tak ternilai
harganya."
"Apakah
Subo membutuhkan harta?"
Kembali
iblis betina itu tertawa sambil menggeleng kepalanya. Kalau melihat dia sedang
bercakap-cakap dengan muridnya sambil tersenyum manis seperti itu, tak akan ada
orang mengira bahwa dialah Siang-tok Mo-li, iblis betina yang menggemparkan
dunia kang-ouw karena kelihaian serta kekejamannya, mengerikan hati orang
karena kebiasaannya yang menyeramkan dan menjijikkan, yaitu mengganyang jantung
manusia mentah-mentah, dan diambil langsung dari rongga dada seorang lawan
hidup-hidup! Sepatutnya dia seorang wanita bertubuh pendek yang cantik manis
dan sayang kepada muridnya.
"Aku
tidak membutuhkan harta karena apa saja yang bisa didapatkan dengan harta,
dapat pula kuperoleh asal aku menghendakinya. Akan tetapi harta yang sangat
besar itu perlu untuk mencapai suatu tingkat kedudukan tinggi, dan pula, yang
amat menarik hati adalah kitab pusaka ilmu kesaktian simpanan yang dirahasiakan
manusia sakti The Hoo!"
Memang
demikianlah, seperti Siang-tok Mo-li itulah isi pikiran sebagian besar manusia
di
dunia ini.
Betapa menyedihkan!
Manusia
diombang-ambingkan oleh keinginan, dan membagi-bagi keinginan itu sebagai
keinginan baik, keinginan luhur, keinginan suci dan sebagainya. Padahal, apa
perbedaan antara keinginan yang ini dengan keinginan yang itu? Apa perbedaan
antara keinginan menjadi pandai, menjadi kaya, menjadi mulia dan lain-lain?
Bahkan, apa bedanya antara keinginan duniawi dan keinginan batiniah?
Tetap sama,
keduanya keinginan juga yang terdorong oleh hati tidak puas akan keadaan
sekarang dan menginginkan keadaan lain yang belum terlaksana, atau karena
terdorong oleh rasa takut akan masa depan, takut akan sesuatu yang tidak
disukainya.
Kita lupa
bahwa keinginan melahirkan kekecewaan apa bila tidak tercapai. Apakah akan
mendatangkan kepuasan mutlak apa bila telah tercapai? Biasanya tidak! Keinginan
yang tercapai akan terasa hampa, tidaklah seindah dan senikmat kalau belum
tercapai, kalau masih menjadi angan-angan, karena pikiran yang selalu terbetot
untuk mencari sesuatu yang belum ada selalu akan tertarik kembali untuk
menjangkau yang baru lagi.
Keadaan
sekarang dianggap sudah lama dan membosankan, selalu ingin yang baru, lupa
bahwa yang baru itu kalau sudah tercapai tangan, akan membosankan pula dan
menjadi barang lama juga! Demikianlah, kita akan terperosok ke dalam lingkaran
setan, yang terus beringin, terus menjangkau sehingga hidup pun menjadi hamba
keinginan!
Ada sebagian
orang yang menganggap bahwa adanya keinginan itulah yang membuat manusia hidup
menjadi lebih maju! Apakah yang dimaksudkan dengan kemajuan? Apakah adanya
pertentangan antar manusia, perang, kelaparan di sana sini, permusuhan, iri dan
benci-membenci, dendam, ini pun termasuk kemajuan? Apakah setiap perbuatan,
setiap pekerjaan yang dilakukan, harus didasari oleh keinginan? Apakah bila
orang menanam jagung tanpa mengharapkan apa-apa, tapi melakukan demi cintanya
kepada pekerjaan itu saja, maka hasilnya akan berkurang? Apakah benar bahwa
kemajuan lahir karena adanya keinginan?
Keinginan
membuat manusia menjadi hamba, terikat, dan hidupnya seperti boneka yang
digerakkan oleh benang-benang nafsu keinginan. Tak ada lagi kebebasan dalam
arti kata yang selengkapnya. Dan selama hidup ini, setiap saat kita dicengkeram
sepenuhnya oleh keinginan, maka pertentangan antar manusia tentu saja tak akan
pernah berhenti karena keinginan mutlak dikuasai oleh si aku, demi aku, punyaku
dan selamanya kita bergerak demi aku masing-masing, damai dan tenteram antara
manusia takkan pernah terwujud! Pertentangan, persaingan, perebutan untuk aku
masing-masing akan terus berlangsung, baik antara perorangan, antara kelompok,
antara ras, antara bangsa!
Alangkah
menyedihkan! Bilakah manusia sadar sepenuhnya akan hal ini? Bukan hanya untuk
mengetahui, karena pengetahuan hanyalah pengekoran belaka, mengekor kepada yang
sudah ada, yang sudah lalu.
Setiap orang
pencuri TAHU bahwa mencuri adalah tidak baik. Setiap orang penjudi TAHU bahwa
berjudi adalah tidak baik. Namun dia tetap mencuri, dia tetap berjudi. Akan
tetapi sekali dia MENGERTI, dalam arti kata mengerti sampai ke akarnya,
mengenal diri dan keadaan dirinya sendiri, maka pengertian ini akan menghapus
semua itu sehingga lenyap tanpa bekas!
"Subo…,"
Bi Kiok berkata lagi, "teecu (murid) kira akan percuma saja mencari sebuah
benda yang tidak kita ketahui di mana adanya. Bagaimana mungkin bisa mencari
sebuah bokor emas di sepanjang sungai Huang-ho yang begini luas dan panjang?
Meski pun kita membuang waktu hingga seratus tahun, mana mungkin bisa memeriksa
daerah Huang-ho sampai habis?
"Engkau
benar, Bi Kiok. Agaknya bokor itu berada di tangan orang lain. Suami isteri
yang lihai itu sangat mencurigakan, akan tetapi berat untuk melawan mereka
seorang diri. Biar sekarang kita pergi mengunjungi Telaga Kwi-ouw yang tidak
jauh dari sini."
Bi Kiok
mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan kecil. "Telaga Kwi-ouw?
Bukankah di sana sarang Kwi-eng-pang?"
"Benar.
Aku hendak menemui Kwi-eng Pangcu (Ketua Kwi-eng-pang) dulu, yaitu Kwi-eng
Niocu Ang Hwi Nio. Kedudukan kami berdua setingkat. Di dunia sekarang ini hanya
ada lima orang yang diakui sebagai tokoh-tokoh yang mewakili kelima penjuru.
Aku mewakili daerah selatan, Kwi-eng Niocu mewakili barat, Ban-tok Coa-ong
mewakili utara, Hek-bin Thian-sin mewakili timur, dan Toat-beng Hoatsu mewakili
daerah di tengah daratan. Kini kabarnya mereka itu semua condong untuk
bersekutu dengan Pek-lian-kauw dan sedang bersama-sama menyusun kekuatan untuk
menghadapi pemerintah. Dengan bergabung bersama mereka, tentu kelak akan
terbuka jalan bagiku untuk memperoleh bokor itu."
"Akan
tetapi... Subo telah membunuh orang-orang Pek-lian-kauw di kuil itu, melukai
tosu Pek-lian-kauw, membunuh teman murid Kwi-eng Niocu dan melukai murid kepala
yang menjadi Ketua Ui-hong-pang itu! Tentu Subo akan dimusuhi mereka."
"Heh-heh,
memang kusengaja! Itulah semacam kartu namaku untuk mereka, agar mereka membuka
mata dan tahu siapa Siang-tok Mo-li dari selatan! Dulu orang-orang itu berani
menentangku, bukan? Maka sudah sepatutnya dibunuh. Hal ini tentu dimengerti
oleh para pimpinan Pek-lian-kauw, maka kubiarkan tosu itu hidup. Dan kulukai
murid Kwi-eng Niocu agar dia tidak memandang rendah kepadaku!"
"Akan
tetapi, mungkinkah mereka mau mengerti setelah Subo melakukan kesukaan Subo
atas diri para anggota Pek-lian-kauw itu? Subo tak hanya membunuh mereka, akan
tetapi sudah makan jantung mereka. Teecu tahu bahwa Subo mempunyai kebiasaan
itu untuk memperkuat diri Subo, dan biar pun teecu sendiri tidak suka untuk
melakukannya karena jijik, akan tetapi teecu juga tidak menentang. Hanya yang
teecu sangsikan, apakah pihak Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pang akan dapat
menerimanya?"
"Mereka
sudah tahu akan kebiasaan dan kesukaanku, tentu mereka mengerti."
"Jadi
mereka sudah mengerti? Akan tetapi teecu yang menjadi murid Subo malah belum
mengerti mengapa Subo hanya suka makan jantung pria saja."
"Hal
itu ada hubungannya dengan riwayatku, Bi Kiok."
"Mengapa
tidak Subo ceritakan kepada teecu?"
Siang-tok
Mo-li Bu Leng Ci menarik napas panjang, lalu berkata, "Aku tak suka
menggali riwayat lama yang menyakitkan hati, akan tetapi tidak kuceritakan pun
kelak engkau akan mengetahui. Maka, dari pada mendengar dari orang lain yang
mungkin memutar balikkan kenyataan, baiklah kau dengarkan riwayat singkatku
yang menjadi pendorong kenapa aku hanya suka mengganyang jantung pria."
Iblis Betina
Racun Wangi itu lalu bercerita dengan singkat. Ketika dia masih muda sekali,
dia telah mengalami bermacam penghinaan dan perlakuan buruk dari kaum pria. Bu
Leng Ci adalah seorang peranakan Jepang. Ibunya diculik oleh bajak laut Jepang
sebab ibunya adalah seorang gadis nelayan di pantai laut selatan, kemudian
ibunya dipaksa menjadi isteri muda kepala bajak itu sampai melahirkan dia.
Kemudian,
dalam usia baru empat belas tahun dia dikawinkan dengan seorang lelaki tua
bangsa Jepang dan tinggal di Jepang. Biar pun tua, laki-laki itu adalah seorang
pendekar samurai yang kenamaan. Hanya sayang, kakek itu memperisterinya untuk
melayaninya dalam keperluan sehari-hari belaka dan semenjak menjadi isterinya,
jago samurai itu tidak pernah tidur dengannya! Tentu saja hal ini menjadi
siksaan. Barulah diketahui bahwa jago samurai yang dalam istilah dunia
persilatan adalah seorang kiam-hiap (pendekar pedang) itu pantang untuk tidur
dengan wanita.
Karena itu
terjadilah hal yang wajar dalam keadaan seperti itu. Seorang pemuda tetangga
mereka, seorang pemuda Jepang yang tampan, lalu menarik hatinya. Mereka saling
jatuh cinta. Hal ini diketahui oleh suaminya, namun pendekar Jepang itu
bersikap murah dan bijaksana, bahkan memberikan Leng Ci untuk menjadi isteri
pemuda itu.
Namun, bagi
Leng Ci masa penuh madu itu hanya berlangsung tidak lebih dari beberapa bulan
saja. Suaminya, yaitu pemuda yang tadinya bersumpah kerak-keruk mencintainya,
segera berpaling muka dan bermain gila dengan wanita-wanita lain. Dia menjadi
seorang wanita yang disia-siakan oleh suami!
Pada waktu
itu, Leng Ci sudah pandai bermain pedang samurai, dilatih oleh suaminya yang
pertama. Setelah beberapa kali bercekcok, akhirnya Leng Ci membunuh suami ke
dua ini bersama kekasih suaminya, dan melarikan diri, ikut ayahnya menjadi
bajak laut.
Dalam
beberapa tahun saja, karena dia memiliki wajah yang cantik manis, dia jatuh ke
dalam pelukan berbagai pria yang tadinya bertekuk lutut bersumpah menyatakan
cinta, akan tetapi kemudian meninggalkannya untuk wanita lain. Sudah belasan
orang pria yang dibunuhnya karena itu, dan akhirnya, ketika dia benar-benar
jatuh cinta kepada seorang laki-laki gagah di pantai selatan, dia kembali
menjadi isteri laki-laki ini dan hidup bahagia di pantai selatan. Pada waktu
itu dia baru berusia tujuh belas tahun!
Alangkah
menyedihkan hatinya ketika suami terakhir yang benar-benar dicintanya ini pun
tidak setia kepadanya, dan mata duitan pula. Suaminya adalah seorang tokoh
dunia kaum sesat. Pada suatu hari, suaminya itu membiusnya dengan obat sehingga
dia tertidur dan dalam keadaan seperti itu, dia sudah ‘dijual’ oleh suaminya
kepada lima laki-laki golongan hitam yang berani membayar mahal. Selama dua
hari dua malam, dalam keadaan pulas karena selalu dilolohi obat bius ini, dia
dipermainkan dan ditiduri oleh lebih dari sepuluh orang laki-laki dan untuk itu
suaminya telah mengantongi banyak uang!
Setelah
sadar, Leng Ci mendapatkan dirinya sudah terhina ada pun suaminya telah kabur
membawa uang hasil penjualan dirinya beserta semua barang berharga dalam rumah.
Bu Leng Ci lalu mencari suaminya itu dan beberapa bulan kemudian, dia dapat
menemukan suaminya, membunuhnya dan mengganyang jantung pria itu hidup-hidup!
Itulah
pertama kalinya dia makan jantung pria. Semenjak itu, setiap membunuh seorang
pria, dia selalu mengganyang jantungnya!
Makin lama
Bu Leng Ci semakin lihai, apa lagi ketika kemudian dia berhasil menarik hati seorang
datuk kaum sesat yang menjagoi daerah selatan, yaitu Lam-hai Sin-ni, ibu Sie
Biauw Eng yang berkenan menurunkan beberapa ilmu silat tinggi, kepandaian Bu
Leng Ci meningkat tinggi. Bahkan dia lantas memperdalam pula ilmu pedang
samurai dari suami pertamanya yang masih sayang kepadanya dan dengan suka hati
menggemblengnya.
Selama
Lam-hai Sin-ni masih hidup, tentu saja Bu Leng Ci tidak berani ikut menjagoi di
daratan dan dia bahkan bersembunyi di Jepang untuk memperdalam ilmu samurainya.
Ketika jago samurai, suami pertamanya meninggal dunia, dia mewarisi semua milik
bekas suami itu, termasuk pedang samurainya. Setelah dia mendengar akan
kematian Lam-hai Sin-ni, baru dia berani mendarat dan mulai melakukan
petualangannya di daerah selatan sehingga belasan tahun kemudian dia pun
menjadi datuk dari kaum sesat untuk daerah selatan.
"Demikianlah
riwayat singkatku, muridku. Kaum pria hanya memandang wanita sebagai alat untuk
memuaskan nafsu birahinya belaka! Cinta yang didengang-dengungkan, yang
diucapkan dengan seribu satu macam sumpah, hanya digunakan sebagai umpan untuk
memikat. Setelah kepuasan nafsu birahinya terpenuhi, maka mulailah matanya
melirik ke kanan kiri mencari korban baru untuk memuaskan nafsu-nafsunya.
Karena itu, aku muak dan aku benci kepada kaum pria umumnya!"
Biar pun dia
sendiri telah banyak mengalami hal-hal yang mengerikan dan yang membuat hatinya
mengeras, mendengar cerita gurunya ini, meremang juga bulu tengkuk Bi Kiok.
Maka
berangkatlah guru beserta murid itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan pantai
Sungai Huang-ho dan menuju ke barat untuk mengunjungi Kwi-eng-pai di Telaga
Setan di barat.
Akan tetapi,
baru berjalan setengah hari lamanya, di luar sebuah hutan mereka bertemu dengan
lima orang laki-laki yang terlihat gagah perkasa dan yang melakukan perjalanan
dengan ilmu berlari cepat. Setelah dekat, guru dan murid ini mengenal seorang
di antara mereka yang bukan lain adalah Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang yang
berpakaian serba kuning, murid kepala Kwi-eng Niocu Si Bayangan Hantu yang
pernah dilukai oleh Bu Leng Ci.
Melihat
orang ini, sambil terkekeh Bu Leng Ci menggerakkan kakinya melompat dan dia
telah berdiri menghadang di tengah jalan! Akan tetapi, ketika melihat wanita
itu, Kiang Ti tidak menjadi takut atau terkejut, bahkan tersenyum lebar dan
cepat dia menjura sambil berkata, "Aihh, sungguh beruntung sekali dapat
berjumpa dengan Locianpwe di sini! Kami memang sedang menanti Locianpwe."
Bibir yang
tipis merah itu tersenyum mengejek, "Apakah kau telah membawa teman untuk
membalas pukulanku dahulu itu? Kalau hendak membalas, kenapa bukan gurumu
sendiri saja yang datang?"
Walau pun
ucapan itu terdengar mengandung ejekan dan penghinaan, namun ketua dari
Ui-hong-pang itu sama sekali tidak menjadi marah, bahkan tersenyum makin lebar.
"Maaf, maaf... mana saya berani? Sama sekali bukan demikian, Locianpwe.
Sesungguhnya kami diutus oleh Subo (Ibu Guru) untuk mencari Locianpwe dan
mengundang Locianpwe untuk ikut hadir dalam pertemuan puncak antara lima datuk
yang akan mengadakan pertemuan dengan pimpinan Pek-lian-kauw, berempat di
Kwi-ouw."
Girang
sekali hati Bu Leng Ci. Ternyata bahwa pengiriman ‘kartu nama’ darinya itu
telah berhasil. Sekarang dia sudah diakui dan mendapat kehormatan besar! Betapa
pun juga, dia menekan kegirangan hatinya sehingga tidak tampak pada mukanya,
dan dia berkata, "Apakah kalian mengenal seorang yang bernama Yap Cong San
dan isterinya bernama Gui Yan Cu?"
Kian Ti
beserta teman-temannya saling pandang. Mereka berlima merupakan tokoh-tokoh
Kwi-eng-pang, murid-murid terkemuka dari Kwi-eng Niocu dan telah memiliki
pengalaman luas. Namun karena mereka itu bergerak di daerah barat, sedangkan
Yap Cong San dan isterinya bertahun-tahun berada di Leng-kok dan tidak pernah
terjun ke dunia kang-ouw, maka mereka tidak mengenal suami isteri ini.
"Kami
tidak pernah mendengar nama mereka, Locianpwe."
"Mereka
adalah orang-orang penting, sebaiknya jika kalian mencari mereka yang sedang
berada di daerah ini. Kalau berhasil menangkap mereka, bawalah ke Kwi-ouw. Aku
dan muridku akan langsung mendahului ke Kwi-ouw."
Kiang Ti dan
teman-temannya menyanggupi, maka kelima orang itu segera melanjutkan perjalanan
mencari suami isteri seperti yang diperintahkan oleh Bu Leng Ci. Sedangkan Bu
Leng Ci sendiri melanjutkan perjalanan menuju ke Kwi-ouw dan secara diam-diam
dia mentertawakan murid-murid Kwi-eng Niocu itu.
"Subo,
dua orang yang telah berhasil dilukai Subo, mana mungkin dapat ditangkap oleh
lima orang itu?" Tiba-tiba Bi Kiok bertanya.
"He-heh-heh,
kau cerdik muridku. Memang kecil sekali kemungkinan mereka akan dapat menangkap
suami isteri itu biar pun si isteri telah terluka oleh Siang-tok-soa di
dadanya. Akan tetapi peduli apa? Apa bila lima orang Kwi-eng-pai itu tewas,
berarti suami isteri itu menjadi musuh Kwi-eng-pang, dan kalau sampai mereka
berhasil menawan suami isteri itu, ada gunanya juga bagi kita. Mereka itu
adalah ayah bunda bocah setan yang bernama Kun Liong itu."
Sebelum Bi
Kiok menjadi murid iblis betina itu, tentu dia akan berseru kaget mendengar
ini, atau setidaknya tentu akan berubah air mukanya. Akan tetapi, semuda itu,
Bi Kiok sudah dapat menguasai perasaannya sehingga meski pun dia kaget bukan
main, namun tidak ada perubahan pada wajahnya yang cantik dan dingin.
Namun
pertemuan puncak antara lima orang datuk itu ternyata tidak lengkap. Yang hadir
dalam pertemuan itu hanyalah Bu Leng Ci, Kwi-eng Niocu, dan Hek-bin Thian-sin
saja. Dua orang datuk lainnya yang lebih tua dan lebih terkenal, yang dianggap
sebagai datuk nomor satu dan nomor dua, yaitu Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok
Coa-ong, tidak muncul. Hal ini tentu sangat mengecewakan para pimpinan
Pek-lian-kauw. Maka, atas persetujuan bersama, pertemuan puncak diundur sampai
kedua orang datuk itu dapat ditemukan dan diundang...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment