Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 06
PERMAINAN
dadu itu dilakukan dengan cara sederhana saja. Biji dadu yang hanya sebuah,
yang mempunyai enam permukaan, diisi tulisan yang berarti jumlah satu sampai
enam. Mereka mengocok biji dadu itu ke dalam mangkok, menutupi mangkok dengan
telapak tangan, lalu meletakkannya di atas lantai perahu dan membuka tangan
yang menutupi. Siapa yang mendapatkan angka terbanyak ketika mangkok dibuka,
dialah yang menang.
"Wah,
sudah cukup, Ouw-siucai. Uangku sudah habis sama sekali. Engkau benar-benar
sedang mujur!" Akhirnya guru silat itu berkata sambil menarik napas
panjang.
Ouw Ciang
Houw tersenyum lebar dan melirik ke arah isteri guru silat itu yang sekarang
tampak menunduk sambil mengerutkan alis. Biar pun mulutnya tak mengatakan
sesuatu, tentu saja isteri ini marah sekali melihat betapa bekal uang mereka
dihabiskan ludas oleh suaminya untuk berjudi!
"Ahh,
Gui-kauwsu. Bermain dadu tidak hanya menggunakan uang saja sebagai taruhan.
Masih banyak yang kau miliki."
"Hemm,
aku sudah kehabisan uang, tidak mempunyai apa-apa lagi."
"Mari
kita bertaruh satu kali lagi." Siucai itu berkata sambil mengeluarkan
semua uang kemenangannya yang dia taruh ke dalam kantung uang itu ke atas
lantai perahu. "Kalau menang, biarlah semua uangku ini untukmu."
"Ihhh!
Mana mungkin aku dapat bertaruh sebanyak itu, Ouw-siucai? Harap engkau jangan
main-main!"
"Aku
tidak main-main dan aku berjanji, apa bila aku kalah satu kali ini, maka semua
uang ini untukmu."
"Bagaimana
kalau aku yang kalah?" Guru silat itu bertanya.
"Aku
akan mengambil satu di antara milikmu."
"Wah,
engkau aneh sekali. Milikku hanya pakaian dan... dan pedang ini, biar pun
pedang baik namun harganya tidak sebanyak itu."
"Pendeknya,
engkau berani atau tidak Gui-kauwsu? Engkau sudah kalah banyak dan aku hanya
memberi kesempatan kepadamu untuk mendapatkan kembali uangmu."
Merah wajah
guru silat itu. Biarlah, biar dia kehabisan semua barangnya, sudah kepalang
tanggung. Benar kata-kata siucai ini, dia sudah kalah terlalu banyak dan andai
kata dia dalam pertaruhan terakhir ini sampai habis pakaian beserta pedangnya,
selisihnya tidak banyak dengan kekalahannya sekarang dan sampai di rumah tentu
isterinya akan marah-marah. Akan tetapi sebaliknya kalau dia menang, dia akan
mendapatkan kembali semua uang kekalahannya! Biarlah kalau kalah tidak
kepalang, dan siapa tahu kalau menang!
"Baiklah!
Akan tetapi bukan aku yang mendesakmu, Ouw-siucai!" kata Gui-kauwsu sambil
menyambar mangkuk dadu, memasukkan dadunya dan mengocok dengan keras.
"Plakk!"
Mangkuk itu
dia letakkan di atas papan dengan tangan masih menutupi mulut mangkok.
"Diteruskankah pertaruhan terakhir ini, Ouw-siucai?" tanyanya lagi
sebelum dia membuka tangannya.
Ouw Ciang
Houw tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja diteruskan."
"Dan
ini merupakan permainan terakhir, kalau aku menang uang di kantung itu menjadi
milikku dan..."
"Dan
kalau aku yang menang, aku boleh mengambil satu di antara milikmu."
"Baik!
Nah, kubuka, Ouw-siucai!" Tangan guru silat itu diangkat dan dadu dalam
mangkuk itu memperlihatkan angka lima!
"Ha-ha-ha,
engkau yang memaksaku, Ouw-siucai dan sekali ini agaknya engkau terpaksa harus
mengembalikan semua uangku!"
Angka lima
merupakan angka kedua terbesar, dan di dalam permainan dadu, angka ini
merupakan angka yang amat baik dan harapan besar untuk menang. Satu-satunya
lawan hanya angka terakhir, angka enam, ada pun angka lima lawan hanya akan
berarti sama kuat dan diulang. Angka satu sampai angka empat dari lawan berati
dia menang, dengan demikian, harapannya untuk menang dengan kemungkinan kalah
adalah empat melawan satu!
Ouw-siucai
masih tersenyum tenang dan pada waktu melirik ke arah wanita itu, Si Wanita
kelihatan berseri wajahnya, tanda gembira hatinya melihat suaminya mendapatkan
angka lima. Melihat ini, senyum Ouw-siucai melebar dan dengan tenang dia lantas
mengambil mangkuk, mengocok mangkuk itu sambil berkata,
"Memang
angkamu itu baik sekali, Gui-kauwsu," dia meletakkan mangkuk di atas papan
sambil menutup mulut mangkuk dengan tangan. "Akan tetapi, yang menentukan
adalah peruntungan, dan siapa tahu, bintangku masih terang. Lihat, kubuka,
Gui-kauwsu!" Siucai itu mengangkat tangannya dan Si Guru Silat langsung
mengeluh ketika melihat dadu itu memperlihatkan angka enam! Dia kalah lagi!
Dengan lemas
guru silat itu menjatuhkan diri duduk di atas papan, melirik pada isterinya
yang menunduk dengan muka merah. Dia menghela napas panjang lalu berkata,
"Ouw-siucai,
ternyata engkau mujur sekali. Nah, ambillah barangku, kau boleh pilih."
"Ha-ha-ha-ha,
benar-benar hari mujur bagiku, Gui-kauwsu, aku memilih milikmu yang satu ini,
bukan kuambil, tetapi hanya kupinjam untuk semalam saja!" Sambil berkata
demikian, tangan Ouw-siucai memegang pundak isteri guru silat itu!
Mata guru
silat itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali, sedangkan wanita itu pun
terkejut dan mukanya berubah merah padam. Tak dapat disangkalnya bahwa
diam-diam dan menjadi rahasia pribadinya, dia tertarik kepada siucai yang
tampan ini, dan agaknya dia akan mengenang wajah tampan itu di dalam alam
mimpi, menyambut senyum serta pandang mata itu sebagai cumbuan di alam mimpi.
Sama sekali tidak disangkanya bahwa siucai itu akan secara terang-terangan dan
kurang ajar sekali minta dia sebagai taruhan untuk dipinjam semalam!
"Apa...?!
Srattt!" Guru silat itu telah mencabut pedangnya. Tangannya bergemetar
ketika dia memalangkan pedang di depan dadanya. "Hemmm... kau... kau...!
Jahanam keparat! Manusia rendah! Kalau tidak ingat engkau seorang kutu buku
yang lemah, tentu sudah kupenggal kepalamu! Hayo cepat engkau berlutut minta
ampun kepada isteriku, kemudian meloncat keluar dari perahu!"
Kun Liong
merasa tegang sekali. Tidak disangkanya urusan menjadi begini dan dia pun merasa
marah kepada siucai yang kurang ajar itu. Akan tetapi di samping kemarahannya,
dia pun heran sekali dan mulai curiga melihat betapa siucai itu sama sekali
tidak gentar menghadapi ancaman itu. Bahkan dia tersenyum, lalu benar-benar dia
sudah berlutut di hadapan wanita yang masih duduk itu, akan tetapi bukan untuk
minta ampun, melainkan tangannya memeluk dan dia terus menciumi! Wanita itu
terpekik dan meronta, berusaha melepaskan diri.
"Hemm,
manis... jangan berpura-pura...," bisik siucai itu.
"Jahanam!"
Gui Tiong menggerakkan pedangnya menusuk ke arah punggung siucai itu.
Gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga dan agaknya menurut penglihatan
Kun Liong, tentu punggung siucai itu akan tertembus pedang.
Akan tetapi,
dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tanpa menoleh, masih merangkul leher
serta dengan paksa menciumi pipi dan bibir wanita itu, Si Siucai menggerakkan
sebelah tangannya ke belakang, memukul pedang itu dengan telapak tangan
dimiringkan dan... pedang itu terlempar, terlepas dari pegangan Gui-kauwsu dan
lenyap ke dalam air sungai!
Guru silat
itu terkejut bukan main, akan tetapi hal ini menambah kemarahannya. Kini dia
menggunakan kepalan tangan menghantam ke arah kepala Ouw-siucai. Tiba-tiba
siucai itu melompat bangun, membalikkan tubuh dan dia mendahului dengan sodokan
jari-jari tangannya ke arah pusar Gui-kauwsu.
"Hukkk...!"
Tubuh kauwsu itu terjengkang dan dia pun terengah-engah, sulit bernapas dan
dalam keadaan setengah pingsan!
"Kau
berani menyerangku, ya? Dasar sudah bosan hidup!" Siucai itu menyambar
tali layar perahu dan menggunakan ujung tali untuk mengikat leher guru silat
itu dan menggantung tubuhnya ke atas!
Guru silat
itu siuman dan meronta, akan tetapi dua kali siucai menotok pundak membuat
kedua lengan guru silat itu kaku dan tak dapat bergerak dan tentu saja tali
yang mengikat lehernya menjadi makin mencekik erat karena berat tubuhnya.
Sebentar saja, mata orang yang digantung ini mendelik dan lidahnya keluar!
"Aughhh...
jangan bunuh... jangan bunuh dia... lepaskan suamiku...!"
"Ha-ha-ha,
bagus sekali dia, bukan? Seperti penakut burung di tengah sawah!" Si
Siucai tertawa dan suara ketawanya seperti suara ketawa orang yang miring
otaknya.
"Aihhh...
ampunkan suamiku... jangan bunuh dia...!" Wanita itu meloncat dan hendak
lari menghampiri bambu tiang layar untuk menolong suaminya. Akan tetapi siucai
itu segera mendorongnya sehingga dia jatuh telentang di atas papan.
"Jangan
bunuh dia...! Tolonggggg...! Ahhh... engkau menginginkan aku, bukan? Nah, kau
ambillah..." Seperti orang gila wanita itu menanggalkan pakaiannya dengan
cepat namun dengan jari-jari tangan gemetar. "Kau boleh memiliki tubuhku,
akan tetapi... bebaskan dia. Jangan… bunuh suamiku... uhu-hu-hu-huuk...!"
Wanita itu menjadi lemas dan menangis, tubuhnya setengah telanjang, rebah di
atas papan.
"Ha-ha-ha,
bagus! Engkau bertanggung jawab kalau begitu! Ha-ha-ha-ha! Orang laknat! Engkau
telah berani menyerangku, untuk itu sebetulnya kau harus mampus. Akan tetapi, isterimu
cantik manis, dan biarlah engkau menyaksikan betapa isterimu ini melayaniku,
ha-ha-ha!" Siucai gila itu lalu meloncat dan sekali renggut putuslah tali
yang menggantung Gui-kauwsu.
Tubuh guru
silat itu jatuh ke atas lantai perahu. Ketika ikatan lehernya dilepas, lehernya
tampak ada guratan merah membiru, akan tetapi dia dapat bernapas lagi,
terengah-engah dan kedua lengannya masih kaku tak dapat bergerak, dalam keadaan
tertotok.
Dengan mata
terbelalak dan dalam keadaan setengah sadar, Gui-kauwsu melihat betapa siucai
itu menubruk isterinya di atas papan perahu. Dia melihat isteriya
menggeliat-geliat dan mengeluh, menangis perlahan seperti merintih.
"Manusia
jahat yang gila! Lepaskan dia...!" Kun Liong tak dapat lagi menahan diri
melihat perbuatan siucai itu, dia sudah menubruk ke depan sambil menghantamkan
tangannya ke arah kepala siucai itu.
"Desss...!
Aduhhh...!"
Siucai yang
tadinya menangkis pukulan Kun Liong tanpa menoleh itu, terkejut bukan main
karena tangkisannya itu mengenai lengan yang mengandung kekuatan dahsyat dan
yang mendatangkan rasa nyeri bukan main pada lengannya, sampai terasa ke dalam
dadanya. Hampir dia tak percaya akan keanehan ini dan dia sudah melompat
bangun, menghadapi Kun Liong.
"Ehh,
engkau bocah gundul, berani engkau menyerangku?"
"Manusia
hina! Aku mempertaruhkan nyawa untuk membasmi manusia macam engkau yang jahat
dan gila ini!" Kun Liong berteriak lalu menyerang dengan kenekatan bulat.
Melihat
gerakan Kun Liong, tahulah siucai itu bahwa anak gundul ini memang pandai ilmu
silat, akan tetapi karena masih kanak-kanak, tentu saja dia memandang rendah
gerakan Kun Liong. Hanya dia tahu bahwa secara luar biasa sekali, bocah ini
telah memiliki tenaga sinkang yang mukjijat, maka dia tidak berani menangkis,
melainkan miringkan tubuhnya dan secepat kilat dia memukul dari samping.
"Desss…!"
Lambung Kun Liong terpukul dan tubuhnya terlempar keluar dari perahu.
"Byuuurrr…!"
Air muncrat
tinggi dan tubuhnya tenggelam, lenyap dari permukaan air. Siucai itu tertawa
bergelak, sejenak memandang ke permukaan air. Setelah yakin bocah gundul itu
tak akan muncul lagi, Ouw Ciang Houw Si Siucai gila yang lihai itu sambil
terkekeh-kekeh kembali kepada isteri guru silat yang masih menangis lirih.
Kebiadaban
yang terjadi di perahu itu dilihat serta didengar oleh Gui Tiong, dan karena
tubuhnya masih kaku tertotok, dia hanya dapat memejamkan mata, hanya
pendengaran telinganya saja yang sangat menyiksa hatinya karena dia diharuskan
mendengar rintihan isterinya. Senja mendatang dan cuaca menjadi gelap
seakan-akan hendak menyelubungi peristiwa terkutuk itu agar tidak tampak oleh
orang lain.
Kun Liong
yang terlempar ke dalam air, cepat dapat menguasai dirinya. Dia berenang ke
arah perahu, lalu berpegangan pada dasar perahu di mana dia menyembunyikan
bokor emas. Sebelum perahunya memasuki Huang-ho, dia sudah menyembunyikan bokor
itu pada bawah perahu sehingga tidak tampak dari luar. Karena dia maklum bahwa
bokor itu akan mendatangkan banyak mala petaka kalau terlihat orang, maka dia
melakukan hal itu dan sekarang dia dapat berpegang pada tali pengikat bokor
itu.
Tubuhnya
tenggelam akan tetapi kepalanya timbul di atas permukaan air, di bawah tubuh
perahu. Napasnya agak sesak dan dadanya terasa nyeri sekali oleh pukulan tadi.
Kalau tidak ada tali untuk berpegangan, tentu dia akan tewas dan tenggelam
karena dia tidak mempunyai tenaga lagi untuk naik ke perahu, apa lagi berenang
ke pinggir sungai yang masih jauh dari situ.
Dari bawah
perahu, dia tidak tahu apa yang terjadi di atas perahu dan untung bahwa dia
terluka sehingga tidak dapat naik ke perahu. Kalau hal ini terjadi dan dia
menyaksikan apa yang terjadi di dalam perahu, tentu dia akan mempertaruhkan
nyawanya dan tentu dia akan tewas di tangan Ouw-siucai yang gila namun amat
lihai itu.
Setelah
malam tiba, perahu bergerak ke pinggir, di bawah perahu berombak tanda tidak
ada yang mengemudikan perahu. Setelah dekat dengan tepi, perahu itu bergoyang
dan terdengar suara dari tepi sungai,
"Engkau
hebat dan manis sekali, sayang! Selamat tinggal. Eh, terima kasih, Gui-kauwsu
ha-ha-ha!"
Tahulah Kun
Liong bahwa siucai gila itu tadi meloncat ke darat dan telah pergi, jadi di
atas perahu tinggal guru silat Gui dan isterinya. Kun Liong mengerahkan
tenaganya, dengan susah payah berusaha naik ke perahu. Jari-jari tangannya
berhasil menjangkau pinggiran perahu dan perlahan-lahan, payah sekali, dia
menarik tubuhnya ke atas hingga akhirnya dengan napas hampir putus dia berhasil
naik ke atas perahu, tiba di ujung perahu dekat kemudi. Bulan purnama bersinar
terang sehingga dia dapat melihat permukaan perahu itu dengan jelas.
Dengan
pakaian awut-awutan hanya dipakai untuk menutupi tubuh belaka, isteri guru
silat itu terlihat berlutut dan menangis dekat tubuh suaminya, memeluk tubuh
itu dan menangis tanpa dapat mengeluarkan kata-kata yang bisa dimengerti.
Agaknya sudah tiba saatnya Gui-kauwsu terbebas dari totokan. Jalan darahnya
dapat mengalir kemball pulih seperti biasa dan sambil mengeluh dia bangkit
duduk.
Dipandangnya
sejenak isterinya yang berlutut dan menangis itu. Ketika tampak olehnya tubuh
isterinya setengah telanjang, teringatlah dia dan tiba-tiba saja dia mendorong
tubuh isterinya sehingga terjengkang dan pakaian isterinya terbuka lagi.
"Tidak
perlu lagi kau pura-pura menangis! Apa pula yang ditangisi?" bentak
Gui-kauwsu.
Wanita itu
merangkak bangun, terbelalak dan terisak. "Mengapa... mengapa... kau
bahkan marah-marah kepadaku? Kenapa... kau marah kepadaku? Apakah
salahku...??" Dia pun menangis tersedu-sedu.
"Huh!
Palsu! Air mata palsu! Perempuan rendah tak tahu malu! Kau menikmatinya, ya?
Kalau engkau lebih suka tidur dengan bajingan itu, kenapa kau tadi tidak ikut
saja dengan dia?"
Wanita itu
menjerit, "Apa...?! Kau... kau... kau tega berkata begitu? Suamiku, aku...
aku tadi terpaksa melakukannya untuk menolong nyawamu!" Wanita itu kini
menghentikan tangisnya dan memandang suaminya penuh rasa penasaran.
"Hemm,
alasan kosong! Memang kau sudah tergila-gila kepadanya! Kau kira aku tuli? Kau
kira aku tidak tahu betapa engkau menikmatinya? Betapa engkau merasa puas
dengan dia? Perempuan rendah pelacur dan hina...!"
"Suamiku...!"
Wanita itu menubruk dan hendak merangkul suaminya, akan tetapi kembali suaminya
mendorong, bahkan menampar pipi isterinya dengan keras.
"Plakkk!”
“Jangan
dekati aku! Jangan sentuh aku dengan tubuhmu yang ternoda, yang kotor dan hina!
Kau pergi sana ikut dengan siucai gila yang menjadi kekasihmu itu!"
Wanita itu
bangkit perlahan, tampak perubahan dalam sikapnya dan pandang matanya. Dia
bangkit berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang lebih banyak terbuka dari
pada tertutup itu, kemudian terdengar suaranya, masih bercampur isak tetapi
bernada dingin,
"Cihhh!
Laki-laki yang tak tahu diri! Baik, dengarkan sekarang, buka telingamu
lebar-lebar seperti tadi, juga bukalah matamu lebar-lebar seperti ketika engkau
menonton tadi! Aku menikmatinya, memang! Nah, habislah! Aku lebih puas dengan
dia dari pada denganmu! Sudah cukupkah? Masih kurang puas? Aku memang lebih
suka ikut dengan dia jika saja dia mau, dari pada ikut dengan engkau manusia
tak tahu diri, tak kenal budi. Cihhh! Aku muak melihatmu, dan aku tidak sudi
lagi berdekatan denganmu!" Tiba-tiba saja wanita itu meloncat keluar dari
perahu.
"Byuuurrr...!"
Air muncrat tinggi.
Dengan mata
terbelalak Kun Liong melihat betapa tubuh itu disambar air yang mengalir agak
kuat di tempat itu, lalu tenggelam. Tubuhnya terlalu lelah, dadanya terasa
sesak dan sakit-sakit sehingga dia merasa tidak kuasa menolong wanita itu. Dia
mengharapkan Si Suami akan menolong isterinya maka dia menoleh kepada laki-laki
yang berdiri bengong di pinggir perahu.
"Isteriku...!
Di mana engkau...? Apa yang telah kau lakukan ini? Isteriku, maafkanlah aku...
aku berdosa padamu, aku... aku cinta padamu...! Jangan tinggalkan aku...!"
Kemudian Gui-kauwsu itu pun moloncat keluar dari perahu.
"Byuuur...!"
Untuk kedua kalinya air sungai muncrat ke atas.
Dan dengan
mata terbelalak lebar Kun Liong melihat betapa guru silat itu gelagapan dan
tenggelam. Ternyata guru silat itu, seperti juga isterinya, sama sekali tidak
pandai renang!
Lupa akan
keadaan dirinya sendiri, Kun Liong meloncat keluar dari perahu. Akan tetapi dia
pun gelagapan karena arus air amat deras, dan tenaganya amat lemah. Pula,
ketika dia mencari-cari dengan matanya, dia sudah tak dapat melihat lagi tubuh
kedua orang itu. Terpaksa dia berenang kembali ke perahunya dan dengan amat
susah payah, akhirnya berhasil juga dia naik ke perahunya. Dia masih
menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk mendayung perahu, mencari-cari tubuh
suami isteri itu, akan tetapi sama sekali tidak tampak.
Dalam
keadaan setengah pingsan karena peristiwa hebat itu dan akibat kehabisan tenaga
ditambah luka oleh pukulan di lambungnya tadi, Kun Liong rebah di perahu,
membiarkan perahu itu hanyut perlahan-lahan. Akhirnya dia tidak bergerak-gerak
lagi, setengah tidur setengah pingsan!
Anak ini
mengalami ketegangan hati hebat ketika menyaksikan peristiwa di perahu tadi.
Dia benar-benar tidak mengerti akan sikap orang-orang dewasa itu. Mengapa
siucai itu melakukan perbuatan yang begitu hina? Dan mengapa isteri guru silat
itu membiarkan dirinya diperkosa, malah menawarkan dirinya! Betulkah untuk
menyelamatkan suaminya?
Yang paling
aneh baginya dan yang membuat dia merasa bingung sekali, adalah sikap
Gui-kauwsu sendiri. Tadinya Gui-kauwsu secara mati-matian membela isterinya
terhadap penghinaan Ouw-siucai, namun melihat isterinya diperkosa siucai itu
timbul kebenciannya sehingga dia menampar dan mengusir, memaki dan menghina
isterinya.
Sesudah
isterinya nekat membunuh diri dengan terjun ke sungai, dia yang tidak pandai
berenang kemudian nekat pula terjun dan mengaku cinta! Kenapa orang-orang
dewasa itu bersikap seperti itu? Dan benarkah isteri kauwsu itu lebih suka
kepada Si Siucai? Ataukah itu hanya untuk membalas perlakuan suaminya? Apakah
isteri itu pun mencinta suaminya? Dia benar-benar tidak mengerti dan dalam
tidur setengah pingsan itu, wajah suami isteri dan siucai itu ganti berganti
menganggunya, menjadi muka yang amat besar, tanpa tubuh, menakutkan sekali.
Cinta
terlalu halus untuk dapat dimengerti pikiran manusia yang kasar, terlalu tinggi
untuk dicapai pikiran yang rendah dan terlalu dalam untuk dijajaki pikiran yang
dangkal. Pikiran yang berputar sekitar sayang diri, demi aku, untuk aku, tak
mungkin dapat mengerti cinta yang bersih dari pada kepentingan diri tanpa
pamrih itu.
Gui-kauwsu
ingin menguasai isterinya lahir batin, memonopoli isterinya lahir batin dan
menganggap hal ini sebagai perasaan cintanya terhadap isterinya. Keinginan
menguasai dan memiliki lahir batin ini tentu saja menimbulkan iri hati jika
melihat isterinya menoleh kepada orang lain dan menimbulkan cemburu, bahkan
menimbulkan benci! Adakah iri itu cinta? Adakah cemburu itu cinta? Adakah benci
itu cinta? Apakah cinta itu dapat mendatangkan derita?
Hanya
pengejaran dan pemuasan nafsulah yang akan mendatangkan derita. Keinginan
menguasai dan memiliki lahir batin terhadap sesuatu, benda mau pun manusia,
berarti mengundang datangnya derita sengsara, pertentangan dan penyesalan.
Memang,
berhasil menguasai dan memiliki sesuatu atau seseorang, dapat mendatangkan rasa
puas. Akan tetapi kepuasan nafsu keinginan ini hanya seperti angin lalu saja
karena keinginan itu selalu didorong oleh pengejaran akan sesuatu yang lebih
indah. Bila mana sudah didapat, tentu akan lepas dari pengejaran dan perhatian,
karena keinginan sudah mencari lagi ke depan untuk mendapatkan yang lebih indah
lagi!
Pada
keesokan harinya, setelah sinar matahari sudah naik tinggi, Kun Liong bangun
dari tidurnya. Dadanya masih terasa sakit sedikit, akan tetapi tenaganya sudah agak
pulih. Melihat betapa perahunya berhenti, dia cepat melihat ke depan dan
ternyata dia telah tiba di daerah yang berbatu-batu.
Sungai
menjadi lebar sekali, akan tetapi batu-batu itu menonjol ke permukaan air.
Perahu itu tertahan oleh sebaris batu dan untung saja terdampar di situ, tidak
terbentur keras dan pecah.
Pada saat
dia berdiri di pinggir perahu, tiba-tiba dia membelalakkan mata melihat sesuatu
yang tersangkut pada batu tak jauh dari situ. Tadinya dia mengira seekor ikan
besar yang mati, akan tetapi sesudah matanya terbiasa, dia hampir berteriak
saking kagetnya.
Yang
dilihatnya itu adalah mayat isteri Gui-kauwsu! Hanya sebagian muka, rambutnya,
dan perutnya yang tampak, perut yang menggembung besar sehingga kelihatan
seperti perut ikan, putih bersih. Mayat yang telanjang bulat!
Kun Liong
mengejap-ngejapkan kedua matanya, hendak mengusir penglihatan itu. Ketika dia
memandang ke kanan kiri, hampir dia terpekik lagi melihat sesosok mayat lain,
juga terdampar dan tersangkut batu. Mayat Gui-kauwsu sendiri, mukanya tidak
tampak akan tetapi dia dapat mengenal celana hitam baju putih dan sarung pedang
di punggung mayat yang tertelungkup itu!
Kun Liong
menghela napas panjang penuh kengerian. Sudah dia duga bahwa tentu suami isteri
itu akan tewas, melihat betapa mereka tidak pandai berenang dan arus sungai
yang dalam itu amat derasnya.
Perahunya
tersangkut dan agaknya bocor. Hanya seorang diri saja tak mungkin dia bisa
mengambil dua jenazah itu untuk dikuburkan ke darat. Dia tidak dapat berbuat
apa-apa, bahkan harus meninggalkan perahu yang tersangkut dan terjepit ini.
Dia teringat
akan bokor di bawah perahu. Sayang kalau dibiarkan begitu saja. Bokor itu amat
penting dan menjadi rebutan orang-orang di dunia kang-ouw. Kalau kelak dia bawa
pulang dan dia serahkan ayahnya, siapa tahu bokor itu akan agak meredakan
kemarahan ayahnya.
Dengan hati-hati
dia lalu turun ke air, mengumpulkan napas, menyelam dan meraba-raba. Bokor itu
masih ada, terikat di bawah perahu. Dilepaskannya ikatan itu dan dibawanya
bokor meninggalkan perahu, berenang dari batu ke batu, sampai akhirnya dia tiba
di darat yang berbatu-batu.
Pandang
matanya tertarik kepada sebuah batu besar di pinggir sungai dan tak terasa dia
meraba kepalanya. Batu itu besar dan halus, bentuknya seperti kepalanya!
Dihampirinya batu itu dan diraba-rabanya. Benar-benar batu yang amat halus dan besar,
dikelilingi oleh batu-batu yang tidak sebesar batu kepala itu.
Ketika dia
meraba-raba ini, dia menemukan sebuah lubang terhimpit di antara batu-batu dan
segera dia memasuki bokor ke dalam lubang ini. Lubang itu dalam sekali dan
begitu bokor dimasukkan, benda itu meluncur dan hilang! Sama sekali tidak
tampak dari luar dan betapa pun Kun Liong merogoh ke dalam lubang, jari
tangannya tak dapat mencapainya.
Hatinya
menjadi girang. Benda itu tersimpan dengan aman dan hanya jika batu berbentuk
kepalanya itu didorong roboh, bokor itu dapat ditemukan. Akan tetapi siapakah
orangnya yang akan mendorong batu besar itu? Pula, siapakah yang akan kuat
mendorong batu sebesar itu? Agaknya akan membutuhkan tenaga sedikitnya belasan
orang kuat!
Hatinya
menjadi ringan. Benda itulah yang selama ini membuat hatinya berat dan setelah
benda itu disimpan di tempat aman, dia dapat melanjutkan perjalanannya tanpa
khawatir terlibat dalam perebutan bokor emas. Sejenak dia memandang ke
sekeliling sampai dia yakin benar kelak akan dapat mengenali tempat ini.
Mudah
mengenalinya. Bentuk pegunungan di utara itu, pemandangan di seberang yang
penuh pohon-pohon raksasa, sungai yang penuh batu-batu menonjol dan belokan
sungai di depan itu. Apa lagi dengan adanya batu yang berbentuk kepala
gundulnya ini, dia tidak akan melupakan tempat ini, dan kelak dia pasti akan
mengingat tempat persembunyian bokor emas!
Mulailah Kun
Liong melanjutkan perjalanannya ke arah timur, menyusuri sepanjang pantai
sungai. Di dalam kantungnya masih terdapat sisa-sisa uang upah perahu. Sayang
bahwa tiga orang penumpangnya itu tidak membayarnya sepeser pun, bahkan yang
dua orang sudah mati dan yang seorang lagi?
Teringat
akan siucai gila itu, meremang bulu tengkuknya. Sungguh banyak berkeliaran
orang berilmu tinggi dunia ini, tapi kenapa setiap orang berilmu tinggi yang
dijumpainya demikian jahat dan kejam?
Pertama-tama
Loan Khi Tosu, tosu Pek-lian-kauw yang membunuh orang tanpa berkedip mata.
Kemudlan Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dengan puteranya, Ouwyang Bouw yang
mengerikan dan yang ilmunya jauh lebih tinggi dari pada tosu Pek-lian-kauw itu.
Setelah itu Si Siucai gila yang menyeramkan itu! Dia harus berhati-hati.
Ternyata perantauannya membawanya kepada bahaya yang beberapa kali nyaris
merenggut nyawanya.
Kun Liong
tersenyum seorang diri. Betapa mata ibunya akan terbelalak dan ayahnya akan
menggeleng-geleng kepala bila melihat dia seperti sekarang ini. Dia bisa
membayangkan keheranan hati ayah bundanya itu.
Kun Liong
tertawa dan meraba kepalanya. Dapatkah ibunya menyembuhkan kepalanya sehingga
dapat tumbuh rambut kembali? Aha! Tentu ayah dan ibunya akan mengira dia sudah
menjadi hwesio! Kenangan akan ayah bundanya dan akan lucunya kalau mereka
melihat dia membuat Kun Liong merasa gembira dan dia berloncatan di atas
batu-batu besar yang berserakan di tepi sungai.
Tiba-tiba
dia menyelinap dan bertiarap, bersembunyi di balik batu-batu besar ketika dia
melihat tiga orang laki-laki muncul dari balik pohon-pohon di tepi sungai. Yang
seorang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya licin tidak berambut dan
sebatang pedang tergantung di punggungnya. Orang ke dua brewok dan kelihatan
galak sekali, pakaiannya kasar seperti orang pertama, bahkan tidak berlengan,
dan pada pinggangnya tergantung ruyung berduri yang amat menyeramkan. Orang ke
tiga masih muda, juga bajunya tidak berlengan dan di punggungnya tergantung
sebuah golok.
"Benarkah
dia lewat di sini?" tanya Si Brewok kepada yang termuda.
"Benar,
aku sudah mengikutinya semenjak kemarin. Dia bertukar keledai dan membawa
buntalan yang berat," kata yang muda.
"Seorang
tosu mempunyai apa sih?" tanya Si Tinggi Besar.
"Aihhh,
kita lupakan dulu urusan merampok!" Si Brewok menegur. "Kita sedang menanti
datangnya utusan yang akan membawa uang tebusan."
"Masa
seorang tosu?"
"Mungkin
saja! Jika bukan utusan, masa seorang tosu menunggang keledai siang malam,
bertukar keledai, menginap di hotel, dan membawa bungkusan besar?" kata
yang muda. "Nah, itu dia...!" sambungnya sambil menuding ketika dia
menoleh ke belakang.
Dengan
gerakan berlompatan cepat sekali tiga orang itu sudah menyelinap dan sembunyi
di belakang pohon-pohon.
Kun Liong
juga mengintai dari balik batu-batu. Ia melihat seorang kakek tua menunggang
seekor keledai perlahan-lahan menuju ke tempat itu. Di depan kakek itu, pada
punggung keledai, tampak sebuah buntalan besar dan berat, sedangkan di punggung
kakek itu pun tergendong sebuah buntalan kain.
Jantung Kun
Liong berdebar penuh ketegangan. Dia merasa kasihan kepada kakek itu, yang
pakaiannya longgar bagai pakaian seorang tosu. Ingin dia berteriak
memperingatkan, akan tetapi tiga orang tadi berada di antara dia dan tosu itu.
Untuk lari menyambut juga tidak mungkin, tentu didahului mereka. Akan tetapi
kakek yang dikhawatirkan itu mulai bemyanyi dengan suara lantang!
Mengerti
akan orang lain adalah bijaksana
mengerti
akan diri sendiri adalah waspada
mengalahkan
orang lain adalah kuat
mengalahkan
diri sendiri lebih gagah perkasa!
Kata-kata
yang benar tidaklah manis
kata-kata
yang manis belum tentu benar
yang baik
tidak akan berbantah
yang
berbantah belum tentu baik!
Kun Liong
mengenal sajak yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah ayat ke tiga puluh
tiga dan yang ke dua ayat ke delapan puluh satu dari kitab To-tik-keng, diambil
bagian depannya saja. Pada saat itu, tosu tua ini sudah tiba dekat dan
tiba-tiba muncullah tiga orang tadi! Mereka langsung mengurung dan Si Brewok
sudah mendekat dan memegang tali di hidung keledai.
"Siancai...,
Sam-wi-sicu (Tiga Orang Gagah) siapakah dan mengapa menghentikan pinto
(saya)?" Tosu itu bertanya sesudah mengangkat sepasang alisnya tanda
keheranan dan kekagetan.
"Tak
perlu banyak cakap lagi, turunlah dan ikut dengan kami!" Si Brewok membentak.
"Siancai...!
Pinto adalah seorang tua yang tidak mempunyai urusan apa-apa, yang hidup dengan
tenang dan damai, tak pernah berbuat kesalahan kepada siapa pun juga, apa lagi
kepada Sam-wi yang tidak pinto kenal..."
"Ha-ha-ha-ha,
kakek ini selain pandai menyanyi juga pandai berceloteh!" Si Tinggi Besar
berkata sambil tertawa-tawa.
"Aihhhh..."
Tosu itu menggelengkan kepala. "Yang dicari belum ketemu, sekarang timbul
kesulitan baru lagi!"
Mendengar
ini, Si Brewok girang dan cepat berkata, "Totiang tentu akan dapat bertemu
dengan yang dicari asal membawa tebusan cukup. Dan marilah ikut dengan
kami."
"Apa?
Pinto tidak mengerti..."
Si Brewok
agaknya kehilangan kesabarannya. Dipegangnya lengan kanan kakek itu dan
ditariknya, hendak dipaksa turun.
"Eh-eh-eh,
mengapa ditarik-tarik? Engkau sungguh tidak menghormati orang yang sudah
tua!"
Kemarahan
dan rasa penasaran di dalam hati Kun Liong tak dapat ditahan lagi dan dia sudah
meloncat keluar dari balik batu, lari menghampiri dan berkata marah kepada tiga
orang yang memandang kepadanya dengan terheran-heran itu.
"Sam-wi
bertiga kelihatannya adalah orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi! Akan
tetapi siapa kira, ternyata sekarang Sam-wi mengganggu seorang kakek yang lemah
dan tidak bersalah apa-apa. Apakah Sam-wi (Tuan Bertiga) tidak merasa
malu?"
"Bocah
gundul, kau muncul seperti setan. Siapa engkau?!" bentak Si Brewok heran.
"Dia
tentu mata-mata yang sejak tadi bersembunyi!" kata temannya yang muda.
"Ahhh,
siapa lagi kalau bukan kaki tangan kakek ini?" kata yang tinggi besar.
"Tangkap
saja mereka berdua!" Si Brewok membentak. "Hayo kalian ikut bersama
kami! Ataukah kami harus rnenggunakan senjata?"
Dia sudah
melepas ruyungnya dan mengancam kepada kakek itu. Juga Si Tinggi Besar telah
meloloskan pedangnya lalu ditodongkan ke dada Kun Liong, sedangkan orang yang
termuda memegang kendali keledai dan menuntunnya.
Kakek itu
hanya menggeleng-gelengkan kepala, kemudian memandang Kun Liong sambil
tersenyum. "Anak yang baik, mari kita ikut saja agar dapat melihat
bagaimana kesudahan urusan aneh ini. Naiklah ke sini, anak baik, di
belakangku."
Kun Liong
menggeleng kepala. "Keledai itu sudah terlalu tersiksa oleh muatan yang
berat, aku berjalan kaki saja, Totiang."
"Hayo
cepat jalan, jangan banyak mengobrol" Si Tinggi Besar mendorong pundak Kun
Liong dan pedangnya tetap ditodongkan di lambung anak itu. Hal ini membuat Kun
Liong mendongkol sekali dan dia mendorong pedang itu ke samping sambil berkata,
"Aku
tidak bersalah apa-apa. Aku mau ikut sudah baik. Perlu apa
ditodong-todong?"
Pedang itu
terdorong miring dan Si Tinggi Besar kelihatan terkejut dan marah. Dia sudah
membuat gerakan hendak menyerang, akan tetapi Si Brewok membentak dan melarang
Si Tinggi Besar. Bergeraklah rombongan aneh ini menuju ke sebuah bukit yang
nampak dari situ.
Kakek itu
tertawa dan melorot turun dari atas punggung keledai, berjalan dekat Kun Liong.
"Anak baik, engkau membuat pinto malu. Memang keledai itu sudah cukup
menderita. Biarlah pinto jalan kaki saja."
Kun Liong
hanya tersenyum, kemudian melangkah perlahan dengan kepala menunduk. Sungguh
sial, pikirnya. Di mana-mana bertemu dengan orang-orang yang menggunakan
kekerasan dan kekuasaan untuk menekan orang lain! Di mana-mana dia bertemu
dengan halangan, dan karena membela kakek tua yang lemah ini, dia ikut pula
menjadi tawanan. Entah golongan apa tiga orang yang menangkap dia dan kakek
itu, dan entah urusan apa yang membuat kakek itu ditangkap.
Dia selalu
terlibat dengan urusan lain yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan dia
sendiri. Apakah selama ini dia terlalu lancang dan usil? Apakah untuk
selanjutnya dia harus diam saja melihat segala sesuatu yang terjadi pada orang lain
dan yang tidak ada hubungannya dengan dirinya?
Ah, tak
mungkin. Mana bisa dia diam saja menyaksikan kejadian yang menimbulkan rasa
penasaran? Melihat seorang kakek tua renta yang lemah ini diganggu tiga orang
yang kelihatan gagah itu, bagaimana dia harus diam saja di tempat
persembunyiannya?
"Tidak
mungkin!" Kun Liong lupa diri dan kata-kata ini terlompat keluar dari
mulutnya.
"Apa
yang tidak mungkin?" Si Tinggi Besar membentak. Orang termuda itu berjalan
di depan menuntun kendali keledai, Kun Liong di sebelah kakek itu berjalan di
tengah dan Si Brewok bersama Si Tinggi Besar paling belakang.
Ternyata
perjalanan itu cukup jauh, mereka keluar masuk hutan dan mendaki bukit yang
bentuknya seperti sebuah mangkuk menelungkup. Ada tiga jam mereka berjalan
hingga akhirnya, setelah mendaki sampai di lereng dan membelok melalui sebuah
tebing, maka tampaklah tembok-tembok bangunan di dekat puncak.
Bangunan-bangunan
itu dikelilingi oleh pagar tembok yang cukup tinggi dan di luar pagar tembok
itu sudah tampak para penjaga dengan pakaian seragam kuning, bukan seragam
tentara melainkan seragam perkumpulan silat. Sesudah rombongan ini tiba di
dekat pintu gerbang pagar tembok, tampaklah oleh Kun Liong bahwa
penjaga-penjaga itu merupakan pasukan-pasukan panah, tombak, dan golok.
Mereka
berlari berjajar dengan rapi dan hanya mata mereka yang bergerak memandang
penuh perhatian ke arah kakek dan Kun Liong. Tubuh mereka sama sekali tidak
bergerak, tetap berdiri dalam keadaan siaga!
Pada waktu
kedua orang tawanan ini dibawa masuk melalui pintu gerbang pagar tembok,
tampaklah oleh Kun Liong pasukan-pasukan lainnya berderet-deret. Ada pasukan
ruyung, pasukan pedang, yang kesemuanya berbaris rapi. Kini dia dapat menduga
bahwa ketiga orang yang menangkapnya itu tentulah merupakan tokoh-tokoh, Si
Brewok dari pasukan ruyung, Si Tinggi Besar tentu dari pasukan pedang, dan yang
termuda itu dari pasukan golok.
Kakek itu
melangkah sambil menoleh ke kanan kiri, agaknya terheran-heran, dan akhirnya
dia berkata perlahan, "Siancai... tempat apakah ini? Seperti benteng dan
dijaga pasukan-pasukan. Apakah pinto telah menjadi tangkapan pasukan
asing?"
"Jangan
bicara ngawur, Totiang!" Si Brewok membentak. "Engkau sekarang
menjadi tamu dari Ui-hong-pang!"
"Heh?
Ui-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong Kuning)? Apa itu?" Kakek itu membuka
matanya lebar-lebar, juga Kun Liong tidak mengenal nama perkumpulan ini. Akan
tetapi dia makin curiga dan khawatir. Kalau dia dan kakek lemah itu terancam
bahaya di tempat yang terjaga kuat ini, harapan untuk lolos sungguh tidak ada
sama sekali!
"Kita
ini mau diapakan, Totiang?" Kun Liong berbisik, akan tetapi suaranya sama
sekali tidak mengandung ketakutan, hanya keheranan. Kakek itu menunduk dan
memandang, kemudian bertanya,
"Engkau
takut, Nak?"
Kun Liong
menggelengkan kepala kuat-kuat dan menjawab, "Aku tidak bersalah apa-apa
terhadap siapa juga, mengapa takut?"
Diam sejenak
dan mereka melangkah terus memasuki sebuah bangunan yang terbesar.
"Kau...
dari kuil mana?" Tiba-tiba tosu tua itu bertanya.
Kun Liong
mengerutkan alisnya kemudian memandang kakek itu dengan hati penasaran. Dengan
suara yang agak dingin dia menjawab, "Aku bukan seorang hwesio!"
"Sssstt,
tidak boleh bicara lagi. Kita menghadap Pangcu!" bentak Si Brewok ketika
mereka memasuki sebuah ruangan yang luas di tengah bangunan itu.
Juga di
dalam bangunan itu terjaga oleh pasukan pengawal seragam. Setiap lorong dan
pintu terjaga kuat dan setelah mereka menghampiri seorang laki-laki gagah yang
duduk di atas sebuah kursi kuning, barulah di situ terdapat beberapa orang yang
pakaiannya tidak seragam, dan agaknya mereka ini adalah pembantu-pembantu dan
pengawal-pengawal pribadi Si Ketua Perkumpulan itu.
Dengan penuh
perhatian Kun Liong memandang ke arah ketua itu. Dia seorang laki-laki yang
bertubuh tinggi besar, berwajah gagah, usianya sekitar tiga puluh tahun lebih
dan pakaiannya serba kuning akan tetapi warna kuningnya lebih tua dari pada
warna kuning seragam anak buah pasukannya. Berbeda dengan sikap tiga orang anak
buahnya yang menangkap kakek dan Kun Liong, ketua ini tersenyum ramah ketika
menerima mereka.
"Duduklah,
Totiang, dan engkau juga, saudara kecil!" katanya dengan suara yang
lantang sambil menuding ke arah beberapa buah kursi kosong di depannya.
"Terima
kasih," kakek itu menjura dan duduk, sedangkan Kun Liong tanpa berkata apa
pun juga mengambil tempat duduk di dekat kakek itu.
"Siapakah
nama Totiang?" Ketua itu kembali bertanya dengan suara ramah.
"Ehhh,
nama pinto...? Pinto tidak bernama, hanya disebut orang Bu Beng Tosu,"
jawab kakek itu.
"Sungguh
tidak kami sangka mereka akan mengirim seorang tosu untuk menjadi utusan
menyambut anak itu. Apakah Totiang sudah membawa tebusannya?"
"Menyambut
anak? Utusan? Tebusan? Apakah artinya ini? Sungguh pinto tidak mengerti."
"Agaknya
Cuwi telah salah menangkap orang!" Kun Liong berkata, suaranya nyaring dan
dia memandang ketua itu dengan sinar mata penuh ketabahan.
Ketua itu
mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Si Brewok, membentak, "Apa artinya
ini?! Siapa kakek dan bocah ini?"
Si Brewok
menjadi pucat. "Maaf, Pangcu. Sikapnya mencurigakan, dia mempunyai uang
dan melakukan perjalanan seorang diri lewat di tempat yang telah ditentukan,
membawa buntalan-buntalan besar. Kami mengira dialah utusan itu."
"Bodoh!
Lekas periksa buntalannya!"
"Sudah
diperiksa, Pangcu!" Mendadak Si Tinggi Besar yang baru saja masuk menjawab
dan berdiri tegak seperti sikap seorang perajurit menghadap komandannya.
"Apa
isi bungkusannya? Emas dan perak?"
"Bu...
bukan... Pangcu..."
"Habis,
apa isinya?"
"Batu-batu
karang dan akar-akaran!"
"Plakkk!"
Ketua itu menepuk ujung kursinya dengan hati marah. "Sialan! Apa yang
kalian lakukan?"
"Harap
Pangcu maafkan. Kami telah salah menangkap orang, dan kami akan melakukan
penjagaan lagi di sana. Akan tetapi... mereka... mereka itu...?"
"Pergi
menjaga! Sekali lagi kalian keliru menangkap orang akan kuhajar! Biarkan mereka
di sini. Pergi kalian bertiga!!" Si Brewok dan kedua orang temannya segera
pergi seperti anjing-anjing dibentak.
Ketua ini
kini menoleh ke arah kakek itu dan bertanya, "Mengapa kebetulan sekali
Totiang lewat di tempat ini dan untuk apa semua batu dan akar itu?"
"Aihhh,
pinto adalah seorang yang hidup dari menjual bahan-bahan obat. Batu-batu itu
dapat dipergunakan sebagai bubuk obat, dan itu adalah bahan campuran obat
pembersih darah. Pinto tadi sedang mencari telur kura-kura hitam yang kabarnya
banyak terdapat di pantai Sungai Huang-ho, telur belum dapat malah pinto sudah
ditangkap."
"Hemmm...
dan kau, bocah gundul? Apakah engkau murid tukang obat ini?"
Kun Liong
sudah mengerutkan alisnya, terlihat marah bukan main disebut gundul! Setelah
kepalanya gundul pelontos, ternyata sebutan gundul ini merupakan sebutan yang
sangat menyakitkan hatinya, sebab mengingatkan dia akan keadaannya yang tak
menyenangkan itu.
Akan tetapi
sebelum dia melontarkan jawaban yang keras, tosu itu sudah mendahuluinya
menjawab, "Benar, Pangcu. Dia adalah murid pinto yang keras hati dan
bandel."
Kun Liong
menoleh dan memandang kakek itu, dan tiba-tiba saja dia sadar akan keadaan
dirinya. Memang dia keras hati. Apa bila dia menuruti kemarahannya lalu
mengeluarkan kata-kata keras dan tidak enak terhadap ketua ini, bukan hanya dia
seorang yang akan menderita hukuman, tetapi kakek yang tidak berdosa itu juga
akan terbawa-bawa. Maka dia menahan kemarahannya dan menggigit bibir, tidak
mengeluarkan suara.
"Kalian
memang tidak bersalah dan anak buah kami kesalahan menangkap orang. Akan tetapi
karena kalian sudah terlanjur masuk ke sini, sebelum urusan ini beres kalian
akan kami tahan."
"Akan
tetapi...," tosu itu membantah.
"Tidak
ada tapi! Haii, pengawal! Antarkan mereka ini masuk ke kamar tahanan dan biar
mereka berdua menemani anak perempuan itu!"
Empat orang
pengawal sudah maju dan menggunakan tombak mereka untuk menggiring tosu dan Kun
Liong pergi dari situ, ke sebuah bangunan lain yang kokoh dan kuat dan akhirnya
mereka didorong masuk ke dalam sebuah kamar empat meter persegi, kosong dan
hanya ada beberapa helai tikar dan di dalamnya terdapat seorang anak perempuan
yang usianya kurang lebih delapan tahun, bersikap tenang dan cantik, berpakaian
indah seperti puteri bangsawan, akan tetapi yang amat mencolok adalah sikapnya
yang penuh ketenangan itu.
Dengan
sepasang matanya yang lebar ia memandang Kun Liong dan tosu yang didorong masuk
ke dalam kamar tahanannya, kemudian pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja
dan di atasnya terdapat ruji baja itu ditutup kembali dan dikunci dari luar.
Dari lubang-lubang ruji tampak kepala para penjaga yang tertutup kain kuning
dan ujung-ujung tombak mereka.
Anak
perempuan itu tetap di atas lantai, matanya memandang Kun Liong dan kakek itu
bergantian, penuh perhatian.
"Engkau
siapakah?" Kun Liong bertanya. Diam-diam ia mendapat kenyataan bahwa anak
perempuan ini pandai duduk seperti cara orang bersemedhi, bersila dengan
punggungnya lurus tegak.
Anak
perempuan itu menggerakkan kepala menoleh padanya, gerakan kepalanya begitu
tiba-tiba sehingga rambutnya yang panjang dan dikuncir dua buah itu bagaikan
dua ekor ular hitam bergerak.
"Engkau
siapa? Dan kakek ini siapa? Mengapa kalian juga ikut dijebloskan di sini?"
Anak perempuan itu balas bertanya, suaranya mengandung keangkuhan dan
kekerasan.
Dua alis
tebal Kun Liong seketika berkerut. "Sombong engkau, ya?" katanya tak
senang. Akan tetapi gadis cilik itu sama sekali tidak mempedulikannya dan kini
membuang muka, memandang kepada Si Kakek Tua yang telah duduk di depannya dengan
sikap tenang.
"Anak
baik, kulihat tulang pahamu yang kanan patah, akan tetapi sudah disambung lagi,
apakah sudah baik?"
Anak
perempuan itu cepat melirik ke arah kaki kanannya yang sama sekali tidak
kelihatan karena tertutup pakaiannya, juga tidak ada tanda-tanda bahwa dia
menderita sakit.
"Totiang,
engkau awas sekali!" serunya kagum.
"Memang
pinto adalah seorang yang biasa mengobati tulang patah, tentu saja tahu. Coba
kuperiksa sebentar!"
Anak
perempuan itu mengangguk dan kakek itu kemudian meraba paha kanan anak itu,
lalu mengangguk-angguk. "Sambungannya sudah benar, hanya obat penguatnya
kurang manjur. Tulang kakimu sudah tersambung, akan tetapi engkau tak boleh
banyak bergerak dulu. Sedikitnya dua pekan engkau tidak boleh menggunakan kakimu
secara kuat."
Kemarahan
Kun Liong atas kekasaran dan kesombongan anak perempuan itu lalu lenyap sama
sekali, terganti oleh rasa iba ketika mendapat kenyataan bahwa anak itu
menderita tulang paha patah. Sudah ditawan, menderita luka pula!
"Aihhh,
siapakah yang begitu kejam mematahkan tulang kakimu?" tanyanya dan
sekarang anak perempuan itu menjawab.
"Aku
berusaha melawan. Aku sanggup menghajar tikus-tikus penculik itu seorang demi
seorang kalau saja mereka tidak mengeroyok secara curang dan Si Brewok itu memukul
patah pahaku dengan ruyungnya."
Kun Liong
mengepal tinju. "Sudah kusangka, Si Brewok, Si Tinggi Besar dan kawannya
itu bukan manusia baik-baik!"
"Siapakah
engkau, Nona? Dan mengapa engkau diculik?" tosu itu bertanya dengan suara
sungguh-sungguh. Mereka bertiga duduk di atas tikar yang tergelar di lantai.
"Aku
Souw Li Hwa dan ayahku bernama Souw Bun Hok, tinggal di Lok-ek-tung. Pada saat
aku sedang bermain-main seorang diri dengan perahu di Sungai Huang-Ho, mendadak
mereka menyergap dan menculik aku. Menurut keterangan mereka, aku ditahan
sampai orang tuaku datang menebusku dengan seribu tail perak. Sudah dua pekan
aku ditahan di sini."
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Sungguh mengherankan sekali. Sepanjang pengetahuan
pinto, Ui-hong-pang bukanlah kaum penculik anak-anak!" Ucapan ini
dikeluarkan dengan lirih.
Akan tetapi
Kun Liong yang mendengarnya menjadi amat heran karena dari kata-kata itu
membuktikan bahwa tosu tua ini telah mengenal Ui-hong-pang! Mengapa ketika
ditangkap pura-pura tidak mengenal perkumpulan itu?
"Apakah
ayahmu sanggup menebusmu dengan uang sebanyak itu?" Kun Liong bertanya
dengan hati penasaran. Kembali dia menghadapi perbuatan manusia yang jahat!
Gadis cilik
yang bernama Souw Li Hwa itu menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin ayahku
mampu menebus dengan uang sebanyak itu? Ayah hanya bekas juru mudi saja yang
sekarang telah mengundurkan diri karena usia tua, dan selama bekerja, Ayah
tidak pernah mengumpulkan uang haram!"
Kun Liong
kaget sekali dan sekarang mengertilah dia kenapa anak itu demikian angkuh,
kiranya keturunan orang yang hebat. "Wah, ayahmu hebat!" Dia memuji.
"Memang,
akan tetapi ayahku tidak akan dapat menolongku. Walau pun begitu, aku tidak
khawatir. Aku percaya bahwa Suhu tentu akan membebaskan aku, dan bila mana Suhu
sampai turun tangan sendiri, tikus-tikus itu tentu akan dibasmi habis sampai ke
akarnya!"
"Siapa
sih gurumu?" tanya Kun Liong.
"Nama
guruku tidak boleh disebut-sebut. Pada waktu melihat aku melakukan perlawanan,
tikus-tikus itu juga menanyakan nama Suhu, akan tetapi sampai mati pun aku
tidak akan menyebut namanya. Ketua tikus-tikus Ui-hong-pang itu mengatakan dia
sudah tahu siapa guruku, akan tetapi aku tidak percaya!"
Tosu tua
yang sejak tadi mendengarkan saja, lalu memegang tangan anak perempuan itu dan
bertanya halus. "Nona kecil, apakah suhu-mu she The?"
Anak itu
berteriak heran. "Bagaimana Totiang bisa menduga?"
"Benarkah?"
Anak itu
mengangguk.
Tosu itu
menarik napas panjang. "Aihhh, pantas saja kalau begitu, engkau diculik
bukan karena ayahmu melainkan karena suhu-mu."
"Bagaimana
Totiang tahu? Apakah Totiang mengenal suhu-ku?"
Kun Liong
juga memandang kakek itu dengan penuh keheranan. Kakek itu menarik napas
panjang lagi dan mengangguk perlahan. "Sungguh kebetulan sekali peristiwa
ini... siapa sangka aku akan bertemu dengan engkau. Tentu saja aku mengenal
suhu-mu, Nona. Dan karena engkau adalah murid The-taiciangkun (Panglima Besar
The), maka Ui-hong-pang menculikmu. Kalau pinto tak salah mendengar, pangcu
dari perkumpulan ini adalah murid Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) Ang Hwi
Nio, Majikan Telaga Siluman. Tentu saja pangcu itu membela gurunya yang menaruh
dendam terhadap gurumu."
"Mengapa
Totiang?"
"Ketika
dahulu sebagai panglima besar suhu-mu mengadakan pembersihan, membasmi golongan
sesat dan jahat, ayah Si Bayangan Hantu roboh dan tewas di tangan gurumu yang
sakti. Tentu saja wanita iblis itu kini menaruh dendam, dan untuk membalas
secara langsung kepada The-taiciangkun adalah tidak mungkin, karena itu melalui
muridnya dia membalas dendam dengan cara menculikmu. Mungkin hal ini dilakukan
untuk memancing agar gurumu datang ke sini."
"Tikus-tikus
yang tak tahu diri!" Li Hwa berseru, "Kalau Suhu datang, mereka tentu
akan mampus semua!"

Tosu itu
menarik napas panjaang dan menggeleng kepala. "Mungkin begitu, akan tetapi
belum tentu juga gurumu mau mengotorkan tangan menghadapi mereka ini. Setelah
pinto secara kebetulan lewat di sini, biarlah pinto yang mewakilinya. Marilah,
Nona, dan kau juga muridku, mari kita keluar dari sini."
"Ehhh...?"
Kun Liong berseru heran.
Tosu itu
mengira bahwa Kun Liong tidak suka menjadi muridnya, maka dia pun bertanya,
"Apakah kau tidak mau menjadi muridku? Aku sudah terlanjur
mengakuimu."
"Teecu
suka, akan tetapi... bagaimana kita dapat keluar dari sini, Suhu?"
Tosu itu
tertawa, kemudian mengelus kepala yang gundul itu. "Muridku yang baik sekali,
siapa namamu?"
"Teecu
bernama Yap Kun Liong..."
"Aihh,
namanya seram, orangnya hanya bocah gundul!" Li Hwa mencela.
"Sombong
kau, ya?" Kun Liong membentak.
"Husshhh,
bukan saat ribut-ribut urusan tak berarti. Anak-anak, mari kita keluar dari
sini." Sesudah berkata demikian, kakek itu melangkah ke pintu baja, tangan
kanannya yang tertutup lengan baju yang lebar itu mendorong ke depan.
"Braaakkkk...!"
Pintu baja itu terdorong roboh ke luar dan terbukalah lubang besar pada dinding
bekas pintu itu.
Seorang
penjaga berseru kaget, menerjang masuk dengan goloknya. Akan tetapi, dengan
gerakan seperti seekor burung walet, Li Hwa mencelat ke depan, tangan kirinya
menahan lengan yang bergolok, tangan kanan meninju perut. Penjaga itu berteriak
dan langsung roboh terguling.
Melihat ini,
Kun Liong kagum bukan main. Anak perempuan itu benar-benar tak membual ketika
bercerita tadi, ternyata biar pun kaki kanannya masih sakit, dalam segebrakan
saja mampu merobohkan seorang penjaga!
"Eh,
jangan banyak bergerak, nanti kakimu patah lagi, Nona!" Tosu tua itu
berkata dan tahu-tahu Li Hwa sudah melayang naik ketika tangan gadis itu
dipegang dan ditarik oleh Si Tosu dan Li Hwa kini sudah duduk di atas punggung
kakek itu!
Kun Liong
tidak mau kalah. Melihat ada penjaga ke dua datang menyerbu, dia meloncat ke
atas, kedua kakinya meluncur ke depan.
"Haaaiiittt!
Dessss...!"
Sepasang
kaki yang kecil itu dengan tepat mengenai muka serta dada penjaga tadi yang
terjengkang ke belakang dan roboh bergulingan tak dapat bangkit kembali karena
kedua matanya tak dapat dibuka, kena hantam sepatu Kun Liong dan napasnya juga
sesak!
Kun Liong
sendiri yang melakukan gerakan meloncat dan menendang, lalu terpental dan
menumbuk dinding, akan tetapi dia dapat berjungkir balik lantas berdiri dengan
terhuyung. Dilihatnya ada seorang penjaga datang lagi dengan pedang diangkat
tinggi-tinggi hendak menyerang tosu yang menggendong Li Hwa yang bersikap
tenang sambil memandang kepada Kun Liong dengan tersenyum geli. Kun Liong cepat
berlari ke depan menyambut penjaga itu dengan serudukan kepalanya.
"Hyaaahhhh!
Ngekkkk!"
Penjaga itu
terjengkang, terbatuk-batuk, dadanya sesak perutnya mulas, dan Kun Liong
melompat ke belakang, terhuyung karena kepalanya berdenyut dan pandangan
matanya berkunang-kunang!
"Kun
Liong, mari ikut pinto keluar dan jangan sembarangan bergerak. Biarlah pinto
yang membuka jalan."
Kun Liong
menurut sebab gerakan-gerakan tadi membuat badannya kembali terasa sakit.
Kiranya luka akibat pukulan Ouw-Siucai di perahu itu masih belum sembuh benar.
Dia sudah memperlihatkan kepada Li Hwa bahwa dia pun bukan bocah gundul
sembarangan yang tidak patut bernama Yap Kung Liong, karena dia juga telah
merobohkan dua orang lawan! Dengan dada dibusungkan, sepasang tangan dikepal
siap bertanding, Kun Liong mengikuti tosu itu yang melangkah perlahan keluar
dari tempat itu, menggendong Li Hwa.
Dari kanan
dan kiri muncul belasan orang penjaga yang berpakaian seragam, tujuh orang
bergolok dari arah kiri dan sembilan orang berpedang dari kanan. Dengan diiringi
teriakan, mereka menyerbu dari kanan kiri.
Kun Liong
yang mentaati perintah gurunya, hanya berdiri tenang, namun siap-siap untuk
membela diri. Sekarang tosu itu menggerakkan kedua lengan bajunya ke kanan dan
kiri, membiarkan Li Hwa merangkul pundaknya dan mengempit pinggangnya dengan
kaki. Dari lengan baju itu menyambar angin pukulan yang dahsyat ke kanan kiri
dan... belasan orang itu roboh malang melintang seperti rumput-rumput kering
dilanda angin taufan!
Kini dari
depan datang belasan orang pasukan panah dan terdengarlah suara bersuitan
ketika anak-anak panah datang meluncur ke arah Kun Liong dan kakek itu. Kembali
kakek itu menggunakan pukulan lengan bajunya dan semua anak panah segera
dipukul runtuh, berserakan ke lantai sebelah depan mereka. Sebelum ada anak
panah menyerang lagi, kakek itu sudah mendorongkan kedua lengannya bergantian
ke depan dan seperti juga tadi, pasukan panah itu roboh terguling-guling!
Tentu saja
hal ini menimbulkan kegemparan. Mereka yang roboh dan bangun kembali, tidak berani
sembarangan menyerang, hanya berdiri dan siap menunggu perintah atasan. Kun
Liong gembira dan kagum bukan main. Ingin dia bertepuk tangan saking kagumnya,
akan tetapi melihat Li Hwa bersikap tenang, maka dia pun tenang-tenang saja dan
kini melangkah tegap di samping gurunya, dengan sepasang tinju bergerak-gerak
memasang kuda-kuda!
Pasukan-pasukan
penjaga mengurung dari belakang, depan, kiri dan kanan. Akan tetapi mereka
tidak menyerang dan hanya bergerak mengikuti kakek yang melangkah perlahan
menuju ke ruangan dalam rumah tahanan itu.
"Pinto
tidak ingin berkelahi. Pinto ingin bicara dengan pangcu kalian!" kakek itu
berkata dengan suara tenang dan penuh kesabaran.
Tiba-tiba
pintu depan terbuka lebar dan lima orang yang memegang tombak, yaitu para
pengawal pribadi Kian Ti, demikian nama pangcu itu, bermunculan dan meloncat
masuk dengan sikap galak. Serta-merta mereka memekik dan menerjang maju, lima
orang maju sekaligus dan lima batang tombak bergerak-gerak. Ujung tombak mereka
tergetar menjadi banyak, tanda bahwa Si Pemegang memiliki tenaga lweekang yang
amat kuat. Kemudian dibarengi teriakan nyaring, mereka menyerang tosu itu.
"Pergilah...!"
Tosu itu berseru.
Hanya tampak
kedua kakinya bergerak-gerak diikuti ujung kedua tali ikat pinggang yang
tergantung panjang ke bawah, dan... lima orang itu jungkir-balik lantas
terbanting roboh di atas lantai! Mereka dapat meloncat kembali dengan sigap dan
memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan kepada kakek luar biasa itu.
"Suruh
pangcu kalian maju, pinto ingin berbicara dengannya." Kembali kakek itu
berkata tenang.
Lima orang
itu melompat ke samping dan berdiri berjajar, tombak di tangan didirikan di
sebelah kiri mereka.
"Pangcu
tiba...!" terdengar seruan dari pintu depan.
"Kau
mau bertemu Pangcu? Silakan!" kata salah seorang di antara
pengawal-pengawal bertombak itu sambil mengembangkan lengan kirinya.
Tosu itu
lalu melangkah ke depan, memandang ke arah pintu depan. Li Hwa di belakang
punggungnya menoleh ke kanan kiri dalam keadaan siap kalau-kalau mereka
diserang dari belakang. Di belakang mereka pasukan-pasukan bergerak mengikuti,
tombak, golok, anak panah dan pedang siap di tangan. Kun Liong melangkah
perlahan di sebelah kanan gurunya, kedua tinju disiapkan, seluruh urat syaraf
di tubuhnya menegang!
Tampak
bayangan kuning berkelebat dan Si Ketua sudah berdiri di sana! Dia tersenyum
mengejek, akan tetapi sepasang matanya menyinarkan hawa marah kepada tosu itu.
"Hemm...
kiranya engkau seorang berkepandaian yang berpura-pura bodoh, ya? Agaknya
engkau memang utusan mereka untuk merampas tawanan kami?"
"Tidak
sama sekali!" Jawab tosu itu. "Pinto hanya kebetulan saja lewat dan
tanpa sebab ditawan oleh orang-orangmu. Pangcu, engkau keliru sekali apa bila
menculik anak ini dan berarti engkau memancing datangnya bahaya yang akan
menghancurkan Ui-hong-pang. Apakah gurumu, Kwi-eng Niocu masih belum mau
bertobat dan malah berani menentang The-taiciangkun? Kuharap saja engkau bisa
sadar dan membiarkan pinto membawa pergi nona kecil ini sehingga urusan akan
habis sampai di sini saja."
"Tua
bangka keparat! Siapa takut kepadamu? Hayo katakan, siapa engkau sebelum mati
di depan kakiku!"
"Sudah
pinto katakan, orang menyebut pinto Bu Beng Tosu (Tosu Tanpa Nama)."
"Keparat!
Dengan menggunakan nama Laksamana The Hoo, apa kau kira aku Kian Ti akan takut
kepadamu? Engkau tak mau mengaku nama, baiklah, engkau akan mati tanpa
nama!" Setelah berkata demikian, Kian Ti menggerakkan kedua lengan
tangannya.
Jari jemari
tangannya dibentuk laksana cakar harimau, kedua tangan itu digerak-gerakkan
perlahan saling menyilang dan berputar-putaran, lantas terdengarlah suara
berkerotokan seolah-olah semua tulang lengan kedua tangannya remuk, dan
perlahan-lahan, sepasang lengan yang telanjang karena lengan bajunya tersingkap
itu berubah menjadi kemerahan, makin lama makin merah sampai akhirnya
menghitam!
Melihat
perubahan pada lengan ini diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Biar pun dia
belum pernah mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, akan tetapi dia adalah putera
suami isteri yang sakti sehingga pernah pula dia mendengar penuturan ayah
bundanya tentang ilmu-ilmu pukulan yang mukjijat, yang dilatih oleh para tokoh
persilatan dengan cara yang aneh-aneh pula.
"Suhu,
dia mempunyai tangan beracun!" kata Kun Liong ketika melihat kedua tangan
yang kehitaman.
"Totiang,
apakah itu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)?" Li Hwa juga bertanya.
Kakek itu
tidak menjawab, bahkan dia berkata kepada Kiang Ti, "Kiang-kongcu, sebelum
terlambat kuperingatkan lagi kepadamu supaya sadar dan tidak menggunakan
kekerasan terhadap pinto seorang tua."
Akan tetapi,
sikap dan ucapan kakek itu yang seperti seorang guru menasehati muridnya malah
dianggap sebuah tantangan yang menghina oleh Kiang Ti. Tiba-tiba dia menerjang
ke depan, berlari sambil memekik nyaring, "Yaaatttt…!"
Kedua
tangannya yang berubah menjadi hitam itu menghantam ke dada dan perut kakek
yang berdiri dengan tenang, sama sekali tidak bergerak, baik untuk menangkis
mau pun mengelak.
"Plakk!
Bukkk!"
Tubuh kakek
yang menggendong Li Hwa itu sama sekali tidak terguncang seperti sebuah pilar
batu diterjang lalat, akan tetapi Kiang Ti terbelalak, tubuhnya seperti lumpuh
dan dia roboh berlutut di depan kedua kaki orang tua itu dengan mulutnya memuntahkan
darah!
"Siancai...!"
Kakek itu berkata, menunduk dan melihat tanda dua telapak tangan di dada dan
perutnya karena bajunya di bagian yang terpukul itu telah berlubang dengan
tepinya seperti dibakar, akan tetapi kulit tubuhnya sama sekali tidak ada tanda
apa-apa. "Kenapa engkau keras kepala, Pangcu? Untung di dalam buntalan
pinto yang kalian rampas itu terdapat akar obat yang bentuknya seperti ular
belang. Masaklah dengan air dan minum airnya, tentu lukamu akan sembuh."
Dengan
tenang kakek itu lantas melangkah menuju ke pintu, diikuti oleh Kun Liong yang
merasa makin takjub dan bangga kepada kakek yang menjadi gurunya itu.
"Tunggu
dulu... Locianpwe... nama apakah... yang akan kusebutkan... kepada... guruku
kelak...?" Kiang Ti berkata tanpa bangkit dari lantai di mana dia jatuh
berlutut.
"Hemm,
katakan bahwa akar cendana sudah lama dikubur, dan kepala naga sudah lama
lenyap dari sungai telaga..." Bersama anak perempuan yang digendongnya dan
bocah gundul yang digandengnya tiba-tiba tubuh kakek itu lenyap dari pandang
mata Kiang Ti dan anak buahnya.
Mata Kiang
Ti terbelalak, bibirnya berkata dengan keluhan panjang "Ahhh... tongkat
akar cendana berkepala naga... mengapa kakek sakti itu masih hidup dan muncul
di sini...? Sungguh sialan..." Dia terguling dan roboh pingsan!
***************
Kun Liong
dan Li Hwa memejamkan mata dan merasa ngeri. Apa lagi Kun Liong yang merasa
betapa tubuhnya tergantung dengan tangan kanan dan meluncur seperti terbang
cepatnya itu! Setelah lama dan napas mereka sudah terengah karena kencangnya
angin menderu di depan hidung, secara mendadak angin berhenti dan ketika mereka
membuka mata, kakek itu telah berhenti menggunakan ilmu lari cepat yang tidak
lumrah hebatnya itu!
Li Hwa
melorot turun dari gendongan lalu serta-merta dia menjatuhkan diri dan berlutut
di hadapan kaki kakek aneh itu. "Mohon Locianpwe sudi memaafkan teecu yang
tidak tahu bahwa teecu telah tertolong oleh Locianpwe Bun Hwat Tosu yang
sakti!"
Kun Liong
terkejut sekali. Tentu saja dia sudah mendengar nama ini, nama yang sering
dipuji-puji oleh ayah bundanya sebagai nama seorang di antara manusia-manusia
sakti seperti dewa di dunia ini! Bahkan nama ini disejajarkan dengan nama Tiong
Pek Hosiang, guru ayahnya yang menjadi orang paling sakti di Siauw-lim-pai!
Nama yang dimiliki oleh tokoh pertama dari Hoa-san-pai! Sebab itu dia pun cepat
menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu
juga hendak mohon maaf bahwa teecu tidak tahu telah diambil murid oleh Ketua
Hoa-san-pai yang mulia!"
Kakek itu
tertawa sambil mengelus jenggotnya. "Siancai...! Anak-anak di jaman
sekarang benar-benar bermata tajam sekali. Ehh, Nona Li Hwa, bagaimana engkau
bisa menduga bahwa pinto adalah Bun Hwat Tosu?"
"Suhu
pernah menyatakan bahwa salah seorang di antara sahabat-sahabat beliau yang
mempunyai kesaktian tinggi adalah seorang tua yang bersenjata sebatang tongkat
terbuat dari akar kayu cendana dan berukirkan kepala naga. Pada saat Locianpwe
tadi menyebut kayu cendana dan kepala naga, maka tahulah teecu."
"Ha-ha-ha-ha,
engkau memang cerdik, patut menjadi murid yang mulia The-taiciangkun! Gurumu
terlalu memuji pinto. Beliau sendiri adalah seorang ahli silat yang ilmunya
tinggi sekali, seorang ahli sastra yang jarang tandingannya, seorang ahli
perang yang jempolan dan seorang pemimpin besar armada yang luas
pengetahuannya. Mana mungkin pinto yang bodoh dan sederhana dapat dibandingkan
dengan dia? Nah, Nona kecil yang baik, apakah sekarang engkau dapat pulang
sendiri ke Liok-ek-tung?"
Li Hwa
mengangguk. "Liok-ek-tung tidak jauh lagi dari sini, Locianpwe. Harap
Locianpwe sudi singgah di rumahku, supaya kedua orang tuaku dapat menghaturkan
terima kasih kepada Locianpwe yang sudah menolongku, dan apa bila mungkin dapat
bertemu dengan Suhu..."
Kakek itu
menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, tidak perlu... dan tentang
pertemuan dengan gurumu, kelak tentu akan tiba saatnya pinto menghadap beliau
yang mulia. Nah, pulanglah agar orang tuamu berlega hati."
Sekali lagi
Li Hwa mengangguk-anggukkan kepalanya di hadapan kaki kakek itu. "Teecu
menghaturkan terima kasih dan bermohon diri."
Li Hwa
bangkit berdiri, mengerling kepada Kun Liong.
"Selamat
jalan, Adik Li Hwa! Jangan lupa kepadaku, ya!"
Li Hwa
tersenyum, memandang kepala Kun Liong yang licin mengkilap. "Mana bisa aku
melupakan itu?" dia menuding.
Kun Liong
juga tertawa dan meraba-raba kepalanya. "Mengapa ragu-ragu? Katakan saja
kepalaku, kepala gundul buruk!"
"Tidak
buruk, bahkan kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah
penuh kutu, hi-hi-hik!" Li Hwa tertawa, Kun Liong tertawa dan keduanya
saling pandang seperti dua orang sahabat lama. Sesudah menjura sekali lagi
kepada Bun Hwat Tosu, Li Hwa lalu meloncat dan berlarian menuju ke kota
Liok-ek-tung di timur.
Setelah
bayangan anak perempuan itu lenyap di balik pohon-pohon, Bun Hwat Tosu baru
memandang Kun Liong dan bertanya,
"Kun
Liong, dari mana engkau tahu bahwa Bun Hwat Tosu adalah Ketua
Hoa-san-pai?"
"Nama
Suhu dihormati dan dipuji-puji oleh Ayah Bunda teecu."
Kakek itu
mengerutkan sepasang alisnya. Mendengar namanya dihormati dan dipuji-puji
hatinya segera merasa tidak enak. Pujian sama bahayanya dengan musuh yang
datang dari belakang, berbeda dengan kata-kata keras yang seperti musuh datang
dari depan.
"Siapa
nama ayahmu?"
"Ayah
bernama Yap Cong San."
Akan tetapi
Bun Hwat tidak mengenal nama ini.
"Ayah
menjajarkan Suhu setingkat dengan Sukong Tiong Pek Hosiang."
Kini kakek
itu mengangkat kedua alisnya. "Ahhh! Tiong Pek Hosiang bekas ketua
Siauw-lim-pai? Heran sekali! Dan dia itu sukong-mu (kakek gurumu)?"
"Ayah
adalah murid beliau."
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Hemm, pantas kalau begitu... gerakanmu memiliki dasar
Siauw-lim-pai sungguh pun sudah bercampur dengan ilmu silat lain yang
aneh..."
"Dari
ibu teecu." Kun Liong memotong.
"Hemmm,
ibumu juga lihai sekali?"
"Hanya
kalah sedikit oleh Ayah, akan tetapi Ibu menang dalam hal ilmu pengobatan. Ibu
adalah sumoi (adik seperguruan) dari Supek Cia Keng Hong..."
"Ahhhh!
Benar-benar suatu kebetulan yang luar biasa! Kalau begitu, pinto telah
kesalahan besar mengambil engkau sebagai murid!"
Serta-merta
Kun Liong menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki orang tua itu karena
merasa khawatir kalau-kalau gurunya lantas membatalkan pengangkatan murid.
"Harap Suhu tidak membatalkan teecu menjadi murid."
"Kenapa?
Engkau adalah keturunan orang-orang pandai dan melihat dasarmu, sepatutnya
engkau menjadi murid Siauw-lim-pai. Seorang murid Siauw-lim-pai tidak boleh
belajar dari orang lain, dan kalau pinto menerimamu sebagai murid, tentu pinto
kesalahan terhadap Siauw-lim-pai."
"Teecu
bukan murid Siauw-lim-pai!"
"Akan
tetapi ayahmu?"
"Ayah
pun bukan murid Siauw-lim-pai, hanya bekas murid. Kini sudah tidak diakui lagi.
Menurut penuturan Ayah, dulu Ayah pernah membuat kesalahan besar terhadap
Siauw-lim-pai, biar pun diampuni akan tetapi tidak lagi diakui murid, hanya
sebagai sahabat baik para pimpinan Siauw-lim-pai saja. Harap Suhu percaya
keterangan teecu karena teecu tidak membohong."
Kakek itu
kembali mengelus jenggotnya. Dia sudah mendengar tentang riwayat Tiong Pek
Hosiang yang mengundurkan diri dari Siauw-lim-pai, akan tetapi selama ini dia
tak pernah mendengar tentang murid-murid kakek sakti itu. Dia mengira bahwa
tentu ayah bocah ini tidak diakui lagi sebagai murid Siauw-lim-pai karena
tersangkut persoalan gurunya.
Padahal,
duduknya pekara tidaklah demikian. Yap Cong San kehilangan haknya sebagai anak
murid Siauw-lim-pai karena dia menikah dengan Gui Yan Cu, dara yang dianggap
terlibat dalam urusan gurunya, Tung Sun Nio dengan Tiong Pek Hosiang sehingga
dapat mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai.
"Akan
tetapi, kalau ayah bundamu sendiri adalah orang-orang pandai, perlu apa engkau
belajar dari pinto?"
Kun Liong
mengerutkan alisnya, memutar otak untuk memberi jawaban yang paling tepat.
Kemudian dengan suara sungguh-sungguh dia pun menjawab, "Belajar dari ayah
dan ibu sendiri tidak akan maju, Suhu."
"Hemm,
kenapa tidak akan maju? Ayahmu adalah murid Tiong Pek Hosiang yang berilmu
tinggi, sedangkan ibumu adalah sumoi dari Cia-taihiap (Pendekar Besar Cia) yang
sangat sakti, tentu ayah bundamu mempunyai kepandaian tinggi pula. Bagaimana
engkau dapat mengatakan bahwa belajar dari orang tuamu sendiri tidak akan
maju?"
"Karena
Ayah terlampau keras kepada teecu sehingga teecu selalu takut-takut, karena itu
belajar dari Ayah tidak akan dapat maju. Ada pun ibu terlalu memanjakan teecu,
belajar lelah sedikit sudah disuruh mengaso, juga tidak akan maju."
Kini kakek
itu mengerutkan alisnya yang berwarna putih, memandang tajam kepada Kun Liong,
kemudian berkata, "Sungguh alasan yang tidak dapat diterima. Engkau
agaknya seorang anak yang nakal dan bandel, Kun Liong, apakah karena
kenakalanmu itu maka engkau pergi meninggalkan rumah?"
"Wah,
tidak... tidak, Suhu. Dan bukan hanya itu alasan teecu. Masih ada lagi alasan
kuat mengapa teecu tidak ingin agar Suhu membatalkan teecu sebagai murid
Suhu."
"Hemm,
alasan tidak masuk akal apa lagi?"
"Pelajaran
dari Ayah Bunda teecu dapat kapan saja, akan tetapi pertemuan dengan Suhu
merupakan hal yang kebetulan sekali dan kiranya tidak akan ada kesempatan ke
dua bagi teecu, maka tentu saja teecu ingin sekali menjadi murid Suhu yang
namanya dipuji-puji oleh Ayah."
Kakek itu
menggeleng-geleng kepalanya. "Hemmm... alasan ini pun tidak kuat dan hanya
menonjolkan kemurkaanmu akan ilmu silat saja."
Kun Liong
menjadi gugup, "Ah, sama sekali tidak, Suhu! Teecu benci... benci... akan
ilmu silat!"
"Heee?"
"Maksud
teecu... teecu benci akan penggunaannya yang hanya ditujukan untuk memukul lain
orang, melukai bahkan membunuh lain orang."
"Kalau
begitu, mengapa engkau bersikeras hendak belajar ilmu silat dari pinto
(aku)?"
"Justru
karena itu, teecu ingin sekali memiliki ilmu kepandaian tinggi supaya teecu
dapat mempergunakannya untuk mencegah agar jangan sampai orang-orang yang
pandai silat menganiaya dan memukul orang lain."
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Bisa diterima alasanmu, akan tetapi untuk memperoleh
ilmu silat tinggi, ayah bundamu cukup untuk mengajarimu, tidak perlu engkau
belajar lagi dari pinto."
Kun Liong
menjadi gelisah. Dia masih berlutut dan sekarang dia mengangkat mukanya
memandang kakek itu sambil berkata, "Harap Suhu suka menerima teecu.
Sesungguhnya hal ini bukan semata-mata untuk kepentingan teecu, akan tetapi
demi kebersihan nama dan kehormatan Suhu sendiri."
Bun Hwat
Tosu terkejut bukan main. Ia menyentuh pundak Kun Liong dan bertanya, "Apa
maksudmu?"
Kun Liong
menundukkan mukanya, hatinya menjadi berdebar karena takut melihat betapa
ucapannya tadi membuat kakek itu bersikap demikian sungguh-sungguh. Namun sudah
kepalang baginya, menggunakan siasat yang paling lihai.
Dia tahu
bahwa orang-orang aneh seperti Bun Hwat Tosu ini tidak membutuhkan apa-apa lagi
dan satu-satunya hal yang masih dipentingkan hanyalah satu, yaitu nama baik
yang menyangkut kehormatan. Oleh karena itu dia sekarang menyinggung tentang
nama dan kehormatan. Dan ternyata kakek itu benar-benar tergugah dan menaruh
perhatian besar sekali!
"Teecu
tidak bermaksud buruk. Suhu sendiri yang telah mengambil teecu sebagai murid
dan Suhu sendiri yang telah mengucapkan kata-kata itu. Pernah teecu mendengar
bahwa kata-kata seorang budiman, yang telah keluar dari mulut, mewakili suara
hati dan menjadi janji yang lebih berharga dari pada nyawa. Maka dari itu,
kalau sekarang Suhu menarik kembali janji Suhu itu, bukankah hal ini akan
menodai nama dan kehormatan Suhu?"
Bun Hwat
Tosu mengelus-elus jenggotnya kemudian memandang kepada anak gundul itu dengan
sinar mata tajam, lalu dia menghela napas dan berkata, "Yap Kun Liong,
sekecil ini engkau sudah bisa menggunakan kata-kata untuk mendesak dan
menghimpit seorang tua seperti pinto, membuat pinto tidak berdaya. Benar-benar
engkau berbakat cerdik, dan entah apa yang akan terjadi bila mana engkau sudah
dewasa kelak. Kecerdikan dapat mengangkat orang ke tingkat tinggi, akan tetapi
juga dapat menyeret orang ke tempat yang paling rendah. Baiklah, pinto tidak
mungkin dapat menarik kata-kata sendiri. Pinto akan menurunkan ilmu kepadamu
selama lima tahun, akan tetapi tidak boleh menyebut guru kepada pinto karena
kalau hal ini pinto lakukan, yaitu mengambilmu sebagai murid, berarti pinto
kurang hormat kepada Siauw-lim-pai dan Cin-ling-pai. Bagaimana, maukah engkau?"
Kun Liong
mengangguk-angguk memberi hormat. "Teecu menghaturkan terima kasih atas
kemurahan hati Locianpwe."
Bun Hwat
Tosu menarik napas panjang. "Hemm, kemurahan hati apa? Pinto terpaksa dan
apa bila engkau melakukan penyelewengan, entah akibat apa yang akan pinto
tanggung kelak!"
Serta-merta
Kun Liong berkata lantang, "Teecu bersumpah bahwa apa pun yang akan
terjadi dengan diri teecu, teecu tidak akan menyebutkan nama Locianpwe, juga
tak akan menyangkutkan nama Locianpwe!"
"Sudahlah,
agaknya memang engkau sudah berjodoh dengan pinto. Ingatlah, sekali-kali bukan
pinto takut engkau menyebut nama pinto, akan tetapi jangan dihubungkan dengan
Hoa-san-pai. Pinto telah lama mengundurkan diri dari Hoa-san-pai, dan andai
kata nama pinto rusak akibat sepak terjangmu, masih belum terlalu hebat. Akan
tetapi kalau sampai Hoa-san-pai tersangkut, kelak pinto pasti akan mencarimu
buat mencabut kembali semua ilmu yang kau pelajari dari pinto, biar pun dengan
bahaya tercabutnya pula nyawamu atau nyawa pinto."
Kun Liong hanya
mengangguk-angguk dan wajahnya agak pucat. Hebat sekali ancaman yang keluar
dari mulut kakek itu dan dia dapat merasakan kesungguhan hati kakek itu yang
membuatnya mengkirik.
"Teecu
akan selalu ingat kata-kata Locianpwe."
"Nah,
mari kita pergi!"
Sebelum Kun
Liong bangkit berdiri, tahu-tahu tubuhnya sudah disambar dan kembali dia
mengalami peristiwa yang mengerikan ketika tubuhnya meluncur dengan amat
cepatnya menuju ke sebuah pegunungan yang kelihatan melintang panjang laksana
seekor naga tidur di sebelah depan.
***************
Sungainya
laksana pita sutera biru
gunungnya
laksana tusuk sanggul permata!
Sajak dua
baris itu adalah pujian pujangga besar Han Yi (768 - 824) pada waktu Dinasti
Tang (618 - 907) ketika pujangga itu mengagumi keindahan pemandangan alam di
sekitar Sungai Li daerah Kuilin, Propinsi Kuangsi.
Memang luar
biasa sekali keindahan tamasya alam di daerah ini, terutama sekali apa bila
orang memandang dari salah satu puncak di antara gunung-gunung, melihat air
Sungai Li yang terlihat seperti lambaian pita rambut sutera biru dari rambut
seorang perawan jelita. Selain indah menakjubkan, keadaan pemandangan di
sepanjang sungai itu juga selalu berubah-ubah, terutama sekali di bagian antara
daerah Kuilin dan Yangsuo.
Gunung
Haiyang berdiri tegak sebagai sebuah di antara gunung-gunung di Pegunungan
Taliang-san, di perbatasan Propinsi Kuangsi dan Propinsi Hunan. Dari Gunung
Haiyang ini mengalir turun dua batang sungai. Yang mengalir ke utara memasuki
Propinsi Hunan adalah Sungai Siang, sedangkan yang mengalir ke selatan memasuki
Propinsi Kuangsi adalah Sungai Li yang juga disebut Sungai Kui atau Sungai
Haiyang dan ada pula yang menyebutnya Sungai Kemala!
Lambang
keindahan di daerah Yangsuo di sepanjang Sungai Li, adalah sebuah puncak gunung
yang bernama Gunung Teratai Biru. Gunung ini bentuknya mirip sekuntum bunga
teratai yang sedang menguncup, segar dan kebiruan. Pada lereng Gunung Teratai
Biru ini terdapat sebuah kuil kuno, yaitu Kuil Cien yang ternama, kuil
peninggalan dari Dinasti Tang.
Kun Liong
kagum bukan main ketika dia dibawa oleh Bun Hwat Tosu ke kuil kuno ini. Dia
berdiri di situ, kemudian mendaki puncak Gunung Teratai Biru menikmati
keindahan alam yang indahnya bagaikan sorga. Dari puncak ini nampak kota
Yangsuo di sekitar gunung yang berlapis-lapis dan berwarna hijau, seakan-akan
kota itu dipeluk oleh sekumpulan daun-daun bunga.
Tidak jauh
dari sana tampak Gunung Pelayan Pelajar. Bentuknya seperti seorang kacung
pelajar yang duduk tegak lurus, membuka mulut mendeklamasikan sajak! Dan di
sebelah kiri tampak pula dua buah puncak yang berdiri sejajar seperti kembar.
Itulah Gunung Besi dengan dua puncaknya Sepasang Singa yang tersohor, yang
berdiri berhadapan dengan Gunung Pelayan Pelajar. Memang bentuk dua buah puncak
itu mirip dengan singa betina dan singa jantan, sepasang singa yang duduk
dengan tenang, gagah perkasa, akan tetapi jinak dan tidak ganas.
Tebing-tebing
gunung yang seolah-olah menjadi dinding di kanan kiri sungai yang melalui
pegunungan, menimbulkan pemandangan yang aneh. Ada yang tebingnya
berderet-deret berwarna putih sehingga penduduk di sekitar Sungai Li memberinya
nama Pegunungan Tebing Putih. Tak jauh dari situ, tebingnya berderet-deret
dengan warna merah, dan diberi nama Pegunungan Tebing Merah. Dapat kita
bayangkan betapa luar biasa pemandangan di situ. Di antara warna kehijauan
pegunungan tampak tebing berwarna merah dan putih itu!
Semua
keindahan ini makin menawan hati kalau kita terus ke selatan, memasuki daerah
Simping. Di sini terdapat Pegunungan Panca Puncak dan Gunung Lukisan. Masih
banyak lagi pegunungan dengan puncak-puncaknya yang berbentuk aneh-aneh
sehingga diberi nama yang aneh-aneh pula.
Karena itu
patutlah kalau para pujangga, para penyair terkemuka dari berbagai dinasti di
sepanjang sejarah Tiongkok berdatangan ke daerah ini untuk menikmati tamasya
alam yang luar biasa, lalu menulis sajak-sajak abadi untuk memujinya. Para
pujangga terkenal dari Dinasti Tang, misalnya Han Yi, Liu Cung Yuan, Huang Ting
Cian, Mi Fu, Fan Ceng Ta, pernah berdarmawisata ke daerah ini. Tentu saja lebih
banyak lagi para pujangga dari dinasti lebih muda yang mengagumi tempat itu.
Semenjak
kecilnya, Kun Liong tinggal di kota. Tentu saja dia merasa gembira dan betah
sekali tinggal di tempat yang amat indah itu. Tubuhnya menjadi segar, kulit
mukanya putih kemerahan, sepasang matanya bercahaya dan bibir mulutnya merah
seperti bibir seorang dara remaja. Akan tetapi kepalanya tetap saja gundul
pelontos tidak ada rambutnya!
Sampai lima
tahun lamanya Kun Liong belajar dengan amat tekunnya, digembleng oleh Bun Hwat
Tosu yang tak sembarangan menurunkan ilmu-ilmunya. Memang amat untung bagi Kun
Liong.
Karena kakek
itu maklum bahwa Kun Liong adalah cucu murid Tiong Pek Hosiang dan juga murid
keponakan Cia Keng Hong, maka Bun Hwat Tosu tidak berani sembarangan menurunkan
ilmu yang remeh kepada anak itu! Tentu saja dia merasa sungkan bila tidak
mewariskan ilmu-ilmu pilihan yang akan dihargai oleh kedua orang tokoh besar di
dunia persilatan itu.
Maka, dalam
waktu lima tahun itu dia melatih Kun Liong yang sudah memiliki dasar yang baik
berkat gemblengan ayah bundanya dengan dua ilmu baru yang dia ciptakan sendiri
setelah dia mengundurkan diri dari Hoa-san-pai.
Yang pertama
adalah ilmu tangan kosong yang bemama Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan
Penjuru Angin) dan yang ke dua adalah ilmu tongkat karena kakek ini memang
terkenal sekali dengan kepandaiannya bermain tongkat pada waktu dia masih
memegang tongkat kayu cendana berukir kepala naga. Ilmu tongkat yang diajarkan
kepada Kun Liong disebut Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga), dan disebut
demikian sebab gerakan kedua ujung tongkat kalau dimainkan seolah-olah
merupakan dua ekor naga mengeroyok lawan!
Sungguh pun
selama lima tahun hanya disuruh berlatih dengan dua macam ilmu silat ini, akan
tetapi Kun Liong tidak pernah mengomel, melainkan berlatih dengan amat tekunnya
sehingga hati Bun Hwat Tosu merasa kagum dan juga lega sekali. Apa pun yang
akan terjadi dengan keputusannya menurunkan ilmunya kepada Kun Liong, yang
jelas, pemuda ini tidak akan mengecewakan sebagai muridnya, biar pun murid yang
tidak sah atau tidak diakuinya!
Rasa girang
dan puas ini membuat Bun Hwat Tosu lupa diri dan timbul keinginan hatinya untuk
menurunkan ilmu kepada Kun Liong, ilmu simpanannya yang khusus diciptakannya
untuk menandingi Ilmu Thi-khi I-beng dari Cia Keng Hong yang kabarnya tiada
yang dapat menandinginya!
Pendekar
besar Cia Keng Hong memang memiliki ilmu yang amat aneh, juga amat hebat, yaitu
yang dinamakan Thi-khi I-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa). Ilmu ini adalah
semacam daya tenaga sakti atau sinkang yang jika digunakan, begitu tangan
menempel ke tubuh lawan, maka otomatis tenaga sinkang lawan akan tersedot
sampai habis masuk ke dalam tubuh sendiri.
Karena
memiliki Ilmu Thi-khi I-beng inilah maka Cia Keng Hong dianggap sebagai tokoh
yang paling hebat kepandaiannya. Dan karena ilmu aneh yang dahulu dipakai
perebutan di antara orang-orang sakti di seluruh dunia kang-ouw, diam-diam Bun
Hwat Tosu merasa amat penasaran lantas mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk
menciptakan sebuah ilmu yang khusus untuk menghadapi Thi-khi I-beng!
Kini ilmu
itu dia ajarkan kepada Kun Liong agar ilmu ini dapat menandingi Thi-khi I-beng.
Kalau ilmu ini kelak ternyata berhasil menandingi ilmu andalan Cia Keng Hong
itu, maka ilmu nomor satu di dunia persilatan itu telah ditaklukkan olehnya!
"Kun
Liong, apakah engkau pernah mendengar akan ilmu yang disebut Thi-khi
I-beng?" Setelah pemuda itu belajar selama empat tahun, suatu pagi Bun
Hwat Tosu bertanya.
Kun Liong
menggelengkan kepala. "Teecu belum pernah dengar, Locianpwe. Ilmu apakah
itu?"
"Thi-khi
I-beng dulu pernah menggegerkan dunia persilatan dan kiranya di dunia ini hanya
seorang saja yang memilikinya, yaitu Cia Keng Hong."
"Ahhh,
Supek (Uwa Guru)? Memang, menurut penuturan Ibu, Cia-supek adalah seorang sakti
yang jarang ada tandingannya."
"Ibumu
benar. Dan kesaktiannya itu terutama sekali karena dia mempunyai Thi-khi
I-beng. Akan tetapi, pinto juga telah menciptakan sebuah daya sinkang yang akan
pinto ajarkan kepadamu. Ilmu ini merupakan kebalikan dari Thi-khi I-beng. Jika
Thi-khi I-beng memiliki daya menyedot sinkang lawan, maka ilmu ini mempunyai
daya membetot sehingga kalau engkau telah berlatih dengan sempurna, maka dengan
ilmu ini kau dapat menghindarkan pukulan-pukulan beracun lawan, juga mungkin,
di dalam hal ini pinto sendiri belum yakin benar, tetapi mungkin saja ilmu ini
akan dapat menahan daya sedot Thi-khi I-beng."
Kun Liong
menganggukkan kepalanya yang gundul.
"Maukah
engkau berjanji kepadaku?"
"Tentu
saja, Locianpwe."
"Kelak,
bila mana ada kesempatan, engkau cobakanlah sinkang ini untuk menahan Thi-khi
I-beng dari Cia Keng Hong. Maukah engkau?"
Kun Liong
terkejut dan maklum betapa akan sulitnya mencoba ilmu sakti dari supek-nya itu.
Akan tetapi melihat betapa sikap kakek itu penuh gairah, secara diam-diam
otaknya yang cerdik itu dapat menangkap bahwa agaknya bekas Ketua Hoa-san-pai
ini sengaja menciptakan ilmu sinkang ini guna menghadapi Thi-khi I-beng, bukan
menghadapi sebagai musuh, melainkan hanya memuaskan hati sudah dapat memecahkan
Thi-khi I-beng yang tersohor di seluruh dunia persilatan. Karena itu dia tidak
tega untuk menolak, benar-benar tidak tega, bukan karena inginnya mempelajari
ilmu sinkang itu.
"Teecu
berjanji, Locianpwe."
"Bagus!
Nah mulai sekarang, kalau siang kau pergunakan untuk melatih kedua ilmu silat
yang sudah mendekati kesempurnaan itu, kalau malam engkau pergunakan untuk
melatih sinkang ini."
Mulai hari
itu, Bun Hwat Tosu melatih sinkang-nya yang mempunyai daya membetot itu kepada
Kun Liong, yang menerimanya dan berlatih dengan amat tekun, kadang-kadang
sampai tidak tidur semalam suntuk!
Demikianlah,
lima tahun lewat dengan cepatnya. Kini Kun Liong telah berusia lima belas
tahun. Dia menjadi seorang pemuda remaja yang bertubuh sedang dengan pinggang
kecil dan dada lebar. Wajahnya tampan sekali, kadang-kadang bila mana dia
tersenyum sambil menggerakkan alis malah kelihatan cantik karena mulut, mata
dan gerakan dagunya mirip dengan ibunya, Gui Yan Cu, seorang wanita yang amat
cantik jelita.
Dagunya yang
sangat meruncing itu kadang-kadang tampak lembut seperti wanita, akan tetapi
kadang-kadang mengeras dengan sedikit lekuk membayangkan kekuatan kemauan yang
tak tertundukkan. Sinar matanya kadang kala lembut seakan-akan wataknya lemah
dan cengeng, akan tetapi ada kalanya sinar matanya membayangkan cahaya kilat
yang menyeramkan, keras dan tajam menembus jantung.
Matanya
lebar, kepalanya yang masih tetap gundul itu bundar dan dahinya lebar. Alisnya
berbentuk golok, hidungnya mancung dan mulutnya agak kecil. Mungkin karena
selama lima tahun hidup di samping seorang kakek tua renta, seorang tosu yang
mengutamakan kesederhanaan dan kewajaran, maka pakaian Kun Liong juga sederhana
sekali, demikian pula dalam gerak-geriknya tampak kesederhanaan dan kewajaran,
sungguh pun kadang-kadang bersinar dan mulutnya tersenyum penuh kenakalan.
"Kun
Liong, sudah saatnya pinto mengakhiri hubungan di antara kita. Waktu lima tahun
seperti yang pinto janjikan sudah berlalu, dan pinto telah berusaha sebaik
mungkin untuk menurunkan ilmu-ilmu tertinggi yang pinto miliki kepadamu. Mulai
saat ini kita berpisah, dan engkau boleh mengambil jalan hidupmu sendiri. Pinto
tidak menganjurkan atau pun memaksamu, akan tetapi sebaiknya kalau engkau
kembali kepada orang tuamu supaya mereka tidak gelisah memikirkan kepergianmu.
Nah, selamat berpisah!"
Tanpa
menanti jawaban Kun Liong yang sudah menjatuhkan diri berlutut, kakek itu
lantas melangkah pergi meninggalkan lereng Gunung Teratai Biru. Sampai beberapa
lama Kun Liong tetap berlutut, menekan keharuan hatinya...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment