Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 23
TERBAYANGLAH
semua peristiwa di dalam goa. Goa Iblis Neraka! Ketika dia menyelidiki goa itu,
sebelum muncul Hui Song bersama Siang Hwa beserta dua orang kakek, dia melihat
bayangan lima orang yang dengan amat cepatnya berkelebat memasuki goa. Kemudian
dia melihat mereka keluar lagi sambil memikul sebuah peti yang nampaknya berat.
Ia teringat
akan harta pusaka di dalam goa itu. Agaknya Hui Song bersama wanita cantik dan
dua orang kakek itu memasuki goa untuk mencari harta pusaka, akan tetapi sudah
kedahuluan oleh lima bayangan itu. Dan kini teringatlah dia bahwa pada dada
mereka itu nampak gambar harimau, tersulam pada baju mereka.
"Subo,
aku pernah mendengar tentang pusaka di Goa Iblis Neraka...," dia
memancing.
Nenek itu
membelalakkan matanya. "Aha! Engkau pun tahu akan hal itu? Kini tidak
perlu kusembunyikan lagi. Memang kami sudah mendapatkan harta pusaka itu.
Untung sekali, karena harta pusaka itu telah diincar oleh Raja dan Ratu
Iblis!"
"Kalau
begitu, subo mempunyai banyak anak buah? Kukira, tadinya subo hanya bertiga
dengan aku dan Houw-cu ini..."
"Jangan
bodoh. Kalau hanya sendirian saja mana mungkin aku mampu mempertahankan
kedudukanku? Pernahkah engkau mendengar tentang Perkumpulan Harimau
Terbang?"
Sui Cin
menggelengkan kepala, hanya diam-diam menduga bahwa tentu lima orang yang
memakai baju bersulam gambar harimau itu merupakan anggota-anggota Perkumpulan
Harimau Terbang.
"Harimau
Terbang adalah nama perkumpulan rahasia yang kudirikan di daerah Mongol ini.
Sebetulnya pendirinya adalah nenek moyangku, semenjak Yelu Ce-tai dan merupakan
perkumpulan yang para anggotanya terdiri dari orang-orang pandai. Dengan
bantuan para anggota perkumpulan itu, aku dapat menguasai para kepala kelompok
dan kepala suku sehingga sampai kini persatuan di antara mereka dapat
kupertahankan."
Diam-diam
Sui Cin merasa semakin kagum kepada nenek ini. Seorang nenek yang selain
memiliki kepandaian tinggi, pandai sihir, juga cerdik bukan main, bahkan
menjadi kepala dari sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya selalu bergerak
secara rahasia pula dan disegani oleh semua kepala suku serta kepala kelompok
yang liar di daerah Mongol dan Mancu.
Ia pun
melihat betapa para pendekar akan sukar untuk dapat menentang Raja dan Ratu
Iblis yang ternyata bukan hanya dibantu oleh kaum sesat, akan tetapi bahkan
juga telah bersekutu dengan pasukan pemberontak yang besar jumlahnya dan kini
bahkan mereka sudah berhasil merampas dan menduduki benteng pertama
San-hai-koan.
Jika begini,
untuk menghadapi mereka dibutuhkan pasukan yang kuat pula, bukan hanya sekedar
beberapa puluh orang pendekar saja. Maka, dia pun mengambil keputusan untuk
menentang pemberontakan yang dipimpin Raja dan Ratu Ibils itu dengan cara
membantu orang-orang Mongol ini. Bukan membantu untuk memberontak, tetapi
membantu mereka untuk menentang pasukan pemberontak Raja Iblis.
"Subo
sudah mempunyai banyak anggota Perkumpulan Harimau Terbang yang terdiri dari
orang-orang berilmu tinggi, akan tetapi mengapa subo masih membutuhkan bantuanku
untuk menghadapi jagoan dari para kelompok itu?"
"Tidak,
Sui Cin. Mereka itu lihai akan tetapi kelihaian mereka dalam hal ilmu silat
jauh di bawah tingkatmu. Mereka itu hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari
dariku saja, jadi tidak dapat terlalu diandalkan untuk menghadapi jagoan yang
tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi kalau dengan ilmu silatmu yang
tinggi engkau yang maju, dibantu oleh Houw-ji yang menjadi binatang
tungganganmu, sambil kubantu pula dari belakang dengan kekuatan sihirku, maka
aku yakin engkau pasti akan menang dan kemenanganmu akan membuat mereka semua
tunduk padaku."
"Baiklah,
subo. Aku akan membantu subo, bahkan aku akan membantu pula kalau subo
menentang pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Akan tetapi tak
mungkin aku dapat membantu jika subo melawan pemerintah. Tentu subo tahu bahwa
tak mungkin aku menjadi pemberontak."
Nenek itu
mengangguk-angguk. "Aku bisa mengerti, Sui Cin. Kita sama-sama merupakan
orang yang setia kepada negara dan bangsa, hanya sayang sekali kita terlahir
sebagai bangsa yang berlainan."
Demikianlah,
Sui Cin segera diberi petunjuk oleh Yelu Kim untuk dapat bertanding sambil
menunggang harimau besar itu dan karena gadis ini memang memiliki ginkang dan
ilmu silat yang hebat, ditambah lagi bahwa dia telah akrab dengan harimau itu,
sebentar saja dia sudah mahir menunggang harimau itu sambil menggerakkan
sebatang tongkat baja sebagai pengganti senjata payungnya.
Yelu Kim
juga sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi sayembara mengadu jagoan untuk
memilih pimpinan perjuangan itu. Anak buahnya, yaitu para anggota Perkumpulan
Harimau Terbang yang jumlahnya ada seratus orang telah disiapkan, akan tetapi
seperti biasanya, mereka ini tidak muncul di depan umum melainkan bergerak secara
rahasia, menyelinap di antara anggota-anggota kelompok berbagai suku bangsa
itu, menutupi baju sulaman gambar harimau dengan jubah masing-masing kelompok.
***************
Sejak pagi
mereka sudah berkumpul di padang tandus itu. Sebuah tanah datar luas yang
kering. Puluhan kelompok suku bangsa yang bermacam-macam, akan tetapi berasal
dari tiga suku bangsa, yaitu Mongol, Mancu, dan Khin, sudah berkumpul di tempat
itu. Mereka masing-masing mendirikan tenda besar dan dari dandanan pakaian dan
bendera masing-masing dapat dibedakan antara mereka walau pun bentuk tubuh dan
wajah mereka tidak banyak berbeda, bahkan banyak sekali yang serupa. Mereka itu
adalah tukang berkelahi, orang-orang yang sejak kecil sudah terbiasa hidup di
alam liar dan selalu menghadapi tantangan hidup yang keras dan sukar.
Kepala
kelompok atau kepala suku mengenakan pakaian yang bermacam-macam, akan tetapi
semuanya serba indah dan gagah. Ada pula yang mengenakan pakaian seragam
panglima, mungkin peninggalan nenek moyang mereka ketika masih menjajah
Tiongkok. Ada pula yang berkepala gundul berjubah pendeta, menunjukkan bahwa
kepala kelompok ini seorang pendeta Buddha.
Para kepala
kelompok yang jumlahnya sampai tiga puluh orang lebih karena banyak di antara
mereka mempunyai wakil, berkumpul di tengah lapangan luas itu untuk berunding
tentang pelaksanaan adu jago di antara mereka. Nampak Yelu Kim telah hadir pula
dan kedudukan nenek ini jelas nampak karena kalau para kepala kelompok itu
du-duk bersila di atas tanah yang membentuk sebuah lingkaran, adalah nenek Yelu
Kim sendiri yang duduk di atas sebuah tandu. Ia tidak memimpin perundingan itu,
namun bertindak sebagai penasehat dan selalu nenek inilah yang memecahkan
persoalan yang mereka hadapi dan merupakan jalan buntu.
Setelah
mengadakan perundingan yang ramai dan kadang-kadang diselingi pembantahan yang
nyaris saja menjadi perkelahian apa bila tidak dilerai oleh Yelu Kim, akhirnya
diambil keputusan bahwa masing-masing kelompok yang hadir hanya diperbolehkan
mengajukan seorang jagoan saja.
Masing-masing
jagoan hanya dipertandingkan dalam satu kali pertandingan saja, secara bebas,
boleh naik kuda atau tidak, dan boleh mempergunakan senjata apa saja. Jagoan
dianggap kalah apa bila dia menyatakan tidak berani melawan lagi atau kalau dia
roboh tak mampu bangun lagi. Kematian atau luka parah yang terjadi di dalam
pertandingan ini dianggap wajar dan tidak akan dijadikan alasan untuk menaruh
dendam atau membalas. Untuk menentukan siapa yang maju lebih dahulu, diadakan
undian dan jagoan yang telah menang satu kali diperkenankan beristirahat, tidak
diharuskan menghadapi lawan secara beruntun.
Peraturan
pertandingan diadakan sedemikian adilnya sehingga Sui Cin yang diam-diam
menyaksikan perundingan itu sebagai pengawal nenek Yelu Kim merasa amat kagum
dan merasakan benar betapa orang-orang yang kasar ini sesungguhnya memiliki
kegagahan dan sama sekali tidak mau menggunakan kecurangan dalam memperebutkan
kedudukan itu. Tidak seorang pun mempedulikannya karena dia hanya dianggap
sebagai pengawal atau pembantu Yelu Kim dan Sui Cin merasa aman bersembunyi di
balik punggung nenek Yelu Kim.
Bagaimana
pun juga, dia merasa ngeri juga. Pertandingan itu, walau pun dilaksanakan di
antara sahabat-sahabat seperjuangan, namun jelaslah bahwa jagoan masing-masing
tak akan mau saling mengalah. Dan kalau melihat sikap serta watak mereka,
agaknya dapat dibayangkan bahwa setiap orang jagoan agaknya hendak
mempertahankan nama serta kehormatan sampai saat terakhir! Pertandingan yang
keras dan kejam dan sudah dapat ia bayangkan bahwa tempat itu nanti tentu akan
menjadi merah oleh darah!
Tidak lama
kemudian perundingan itu pun berakhir dan masing-masing kepala kelompok lalu
mengajukan jagoan masing-masing. Bahkan ada kepala kelompok yang maju sendiri
karena dia tidak puas kalau diwakili orang lain yang dianggapnya kurang
tangguh. Nenek Yelu Kim lalu memberi tanda kepada empat orang pemikul tandu
untuk mengundurkan diri, diikuti oleh Sui Cin dan nonton dari satu pinggiran
yang terpisah.
Ternyata
tidak semua kelompok mengajukan jagoan. Agaknya ada pula di antara mereka yang
tidak berhasil menemukan jago yang mereka anggap cukup tangguh, maka mereka
hanya menjadi penonton saja. Mereka kebanyakan terdiri dari kelompok-kelompok
yang kecil. Karena itu, sesudah semua jagoan maju, dari dua puluh orang lebih
kelompok itu yang muncul hanya sembilan orang jagoan saja.
Di antara
sembilan orang jagoan ini hanya ada tiga orang yang tidak menunggang kuda,
sedangkan enam orang yang lainnya menunggang seekor kuda yang besar dan
tangkas. Memang salah satu di antara keahlian orang-orang utara ini adalah
menunggang kuda.
Sui Cin
hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran ketika dia mengenal salah seorang di
antara sembilan jagoan itu. Seorang pemuda tinggi tegap yang sangat gagah,
dengan memakai jubah kulit harimau, menunggang seekor kuda putih dan bersenjata
sebatang tombak kong-ce yang bercabang dan bergagang panjang.
Pemuda ini
nampak pendiam dan tidak bersikap sombong seperti para jagoan lain yang
membusungkan dada dan tersenyum-senyum bangga. Pemuda ini hanya menundukkan
muka dan bersikap acuh tak acuh. Tentu saja Sui Cin merasa terkejut dan heran
karena pemuda ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang!
Mau apa
putera Si Iblis Buta ini berada di situ, bahkan menjadi jagoan dari satu di
antara kelompok suku dari utara? Biar pun Sui Cin tahu bahwa Ci Kang adalah
seorang pemuda gagah perkasa yang tak dapat dikatakan jahat, namun bagaimana
pun juga dia adalah putera seorang datuk sesat yang ditakuti seperti iblis!
Mengapa
pemuda ini tidak berada bersama sekutu Raja Iblis dan berada di situ? Sungguh
merupakan hal yang sangat mengherankan dan juga mencurigakan. Sui Cin lupa
bahwa kehadirannya sendiri di tempat itu pun merupakan hal yang sangat aneh,
mungkin lebih aneh dari pada kehadiran Ci Kang sendiri. Dia adalah dari golongan
pendekar dan kini dia berada di situ sebagai pengawal atau murid Yelu Kim,
orang yang kedudukannya paling tinggi di antara kepala suku yang sedang memilih
pimpinan untuk memberontak!
Sui Cin
tidak tahu bahwa kehadirannya di situ yang agaknya belum terlihat oleh Ci Kang,
telah membuat seorang yang menyelinap di antara kelompok Suku Bangsa Mancu
Timur hampir saja berteriak pula. Orang ini adalah seorang pemuda yang
mengenakan pakaian seperti kawan-kawannya, yakni pakaian orang Mancu Timur yang
kehidupannya sebagai pemburu atau nelayan di pantai laut timur. Dia seorang
pemuda tampan yang berwajah gembira.
Pada waktu
pemuda ini melihat Sui Cin, matanya terbelalak dan hampir saja mulutnya
berteriak. Akan tetapi dia segera menahan diri dan alisnya berkerut. Dia merasa
heran bukan main melihat Sui Cin berada di situ, apa lagi setelah dia
memperoleh keterangan dari teman-teman di kanan kirinya yang menceritakan siapa
adanya nenek itu! Dan orang ini bukan lain adalah Hui Song!
Dapat
dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan heran bercampur aduk di dalam
hati Hui Song ketika tiba-tiba dia melihat Sui Cin di antara orang-orang liar
dari utara ini. Dia pun merasa curiga, apa lagi sesudah mendengar bahwa nenek
itu adalah Yelu Kim yang merupakan orang paling ditakuti oleh para kepala suku!
Dan menurut keterangan orang-orang di kanan kirinya, Sui Cin adalah pengawal
nenek itu! Sui Cin sudah menjadi pengawal tokoh dari suku-suku bangsa yang
hendak mengadakan pemberontakan?
Memang
merupakan suatu kebetulan yang amat mengherankan melihat tiga orang muda itu
berada di situ, di antara suku-suku bangsa utara. Kita sudah mengetahui mengapa
Sui Cin dapat hadir di situ, akan tetapi bagaimana dengan Ci Kang dan Hui Song
dapat pula berada di situ dalam keadaan terpisah-pisah, bahkan Ci Kang menjadi
seorang di antara jagoan yang terpilih?
Seperti kita
ketahui, Ci Kang telah terhindar dari mala petaka bersama Cia Sun pada saat
mereka berdua terjebak oleh Siang Hwa ke dalam goa bawah tanah. Akan tetapi
akhirnya mereka berhasil ke luar atas pertolongan Toan Hui Cu, puteri Raja dan
Ratu Iblis. Setelah kedua orang muda ini saling berpisah, Ci Kang tidak mau
lagi menuju ke Jeng-hwa-pang di mana dia pernah disambut dengan serangan oleh
para pendekar.
Maka dia pun
melakukan perjalanan di sekitar daerah itu dengan hati murung. Dia akan
berusaha mencari gurunya di antara para pendekar, karena hanya dengan
perantaraan gurunya dia akan dapat diterima sebagai rekan oleh para pendekar.
Pada suatu
hari sampailah dia di sebuah hutan, dan dari jauh dia sudah mendengar suara
ribut-ribut di dalam hutan itu, teriakan-teriakan manusia dan kadang kala suara
gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh hutan. Ci Kang yang masih
bertelanjang dada itu cepat berlari memasuki hutan dan segera dia melihat
keadaan yang mengerikan.
Seorang anak
lelaki yang berusia kurang lebih sepuluh tahun berada dalam cengkeraman seekor
beruang hitam yang besar sekali dan belasan orang laki-laki Suku Bangsa Khin
mengurung binatang itu sambil berteriak-teriak dalam usaha mereka menyerang
beruang itu untuk menyelamatkan anak laki-laki itu.
Akan tetapi
beruang itu sungguh kuat. Binatang itu merangkul dan mencengkeram tubuh anak
kecil tadi dengan kaki depan kirinya yang bergerak seperti lengan orang,
sedangkan tangan kanannya mencengkeram serta menangkis semua serangan tombak
atau pedang yang ditusukkan kepadanya.
Karena anak
itu masih dicengkeram dan dipeluknya, maka para pembantu itu pun sangat
berhati-hati dalam penyerangan mereka, khawatir kalau-kalau senjata mereka
mengenai anak itu sendiri. Dan mereka sama sekali tidak berani mempergunakan
anak panah.
Melihat
keadaan anak yang berada dalam ancaman maut itu, dengan pundak yang sudah robek
terluka, Ci Kang tidak sempat menyelidiki lagi siapakah adanya orang-orang itu
dan siapa pula anak itu. Dia sudah marah sekali melihat keganasan beruang itu
dan melihat pula sudah ada dua orang yang terluka parah, mungkin terkena
cengkeraman kuku kaki depan kanan beruang itu.
Ci Kang lalu
mengeluarkan suara melengking nyaring, mengejutkan para pemburu bangsa Khin itu
dan dapat dibayangkan, betapa heran dan kagum rasa hati mereka ketika melihat
pemuda yang bertelanjang dada dan mengeluarkan suara melengking laksana
binatang buas itu meloncat dan tahu-tahu sudah menusukkan jari tangannya
menotok pundak kiri beruang itu. Binatang itu mengeluarkan auman marah dan
kesakitan, akan tetapi totokan yang tepat mengenai urat besar pada pundaknya
itu sejenak melumpuhkan lengan kirinya sehingga ketika Ci Kang menyambar tubuh
anak itu, dia tidak mampu mempertahankan.
Ci Kang
cepat melemparkan tubuh anak itu kepada seorang di antara para pemburu, dan dia
sendiri cepat menghadapi beruang yang sekarang menjadi semakin marah. Beruang
itu sudah menerjang dan menubruk ke depan, dua kaki depan itu bergerak seperti
lengan yang sangat kuat, dengan kuku-kuku jari yang meruncing panjang, menerkam
dari kanan kiri ke arah tubuh Ci Kang.
Akan tetapi
Ci Kang sudah siap siaga. Dengan gerakan yang amat gesit tubuhnya cepat
menyelinap ke bawah kaki yang menerkam itu, dan begitu dia terhindar, dia
membalik dan tangan kanannya menyambar.
"Dukkk...!"
Betapa pun
kuatnya kepala beruang itu, begitu terkena tamparan tangan kanan Ci Kang yang
amat kuat, beruang itu mengeluarkan suara pekik hebat dan tubuhnya terpelanting
lantas terbanting keras sampai bergulingan. Akan tetapi binatang itu memang
kuat sekali. Kulitnya yang tebal melindungi kepalanya sehingga tidak sampai
pecah terpukul dan biar pun binatang itu menjadi pening karena guncangan hebat
pada kepalanya, dia masih bisa meloncat bangun dan menerkam lagi, tapi kini
gerakannya ngawur karena matanya masih berkunang.
Ci Kang
meloncat ke samping, kemudian dari samping dia memukul. Kini ia mengerahkan
tenaga pada telapak tangan kanannya itu menghantam ke arah dada kiri beruang.
"Krakkk!"
Jelas sekali
terdengar tulang-tulang patah pada saat tangan yang ampuh itu menghantam
tulang-tulang iga di balik kulit tebal. Beruang itu mengaum dan terjengkang. Ci
Kang cepat meloncat mendekat dan sekali tangannya bergerak memukul, kini
terkepal, terdengar lagi pecahnya tulang dan kepala beruang itu pun retak.
Binatang itu pun tewas dengan mata, hidung, mulut dan telinga mengeluarkan
darah!
Terdengar
sorak-sorai memuji dan bahkan ada yang bertepuk tangan, dan ada pula yang
menari-nari mengelilingi bangkai beruang. Salah seorang di antara mereka yang
agaknya menjadi pemimpin rombongan kemudian memegang lengan Ci Kang dan
mengguncang-guncangkan, lalu memeluk Ci Kang dengan sikap ramah bersahabat.
"Orang
muda, engkau telah menyelamatkan putera kepala suku kami," orang itu
berkata dalam bahasa Han yang cukup lancar. Agaknya orang ini adalah seorang
bangsa Khin yang sudah sering berhubungan dengan orang-orang Han di perbatasan
untuk menjual kulit-kulit harimau hasil buruan rombongannya.
Ci Kang
melihat bahwa luka di pundak anak itu sudah dibalut dan bahwa anak itu tidak
terancam bahaya. Dia lalu mengangguk. "Aku tidak peduli dia anak siapa,
akan tetapi aku girang kalau dia selamat," jawabnya sederhana.
Jawaban ini
agaknya membuat semua orang bergembira dan kagum, lalu satu demi satu mereka
menyalami Ci Kang. Orang-orang ini sudah begitu biasa dengan sikap gagah dan
jujur, sehingga pernyataan Ci Kang itu menambah rasa kagum di hati mereka.
Biasanya orang-orang Han selalu merupakan penjilat-penjilat kepada atasan dan
penindas-penindas kepada bawahan, pikir mereka.
"Orang
muda, mari ikut bersama kami pergi menemui kepala suku kami," kata si
brewok yang menjadi pimpinan rombongan itu.
Ci Kang
memandang orang itu dan mengerutkan kedua alisnya. "Aku tidak butuh
hadiah!" setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya hendak pergi
dari situ. Akan tetapi, dengan langkah lebar si brewok itu mengejarnya dan
mendahuluinya lalu menghadang di depannya.
"Engkau
mau apa?!" bentak Ci Kang sambil mengepal tinju. Hatinya yang sedang kesal
membuatnya murung dan mudah marah.
Tiba-tiba
orang brewok itu menjatuhkan diri berlutut, "Orang muda, aku hanya minta
agar engkau suka menyelamatkan nyawaku."
Tentu saja
Ci Kang menjadi heran dan terkejut. "Apa maksudmu?"
"Orang
muda, anak yang kau selamatkan tadi adalah putera kepala suku kami. Apa bila engkau
tidak mau ikut bersama kami menemuinya, bukan untuk minta pahala melainkan
untuk menjadi saksi, tentu aku dianggap memiliki dua kesalahan sehingga akan
dihukum mati. Pertama, aku membiarkan puteranya sampai terluka dan kedua, aku
membiarkan penolongnya pergi tanpa memperkenalkannya kepada kepala kami."
Ci Kang
mengerutkan sepasang alisnya. Dia percaya bahwa orang-orang yang kasar ini,
orang-orang yang mempunyai pekerjaan yang sama dengannya, yaitu pemburu-pemburu
binatang, tidak pernah berbohong, dan kebiasaan yang kasar dan keras dari
kepala suku itu mungkin saja benar. Dan apa salahnya kalau dia berkenalan
dengan orang-orang ini? Berada di antara orang-orang kasar dan jujur yang
pekerjaannya memburu binatang ini dia merasa tidak asing.
"Jauhkah
tempat kepala suku itu?"
"Tidak,
orang muda, tak sampai seperempat hari perjalanan. Siang nanti kita sudah akan
tiba di sana."
"Baiklah.
Mari kita berangkat."
Ternyata
orang brewok itu memang tidak berbohong. Setelah matahari naik tinggi, tibalah
mereka di perkampungan Suku Bangsa Khin itu dan andai kata Ci Kang tidak ikut
datang, tentu si brewok ini mengalami hukuman berat.
Kepala suku
itu orangnya tinggi besar dan kasar, sepasang matanya yang lebar itu keras dan
terbuka. Dia mendengarkan semua penuturan si brewok dengan alis berkerut. Akan
tetapi setelah memeriksa pundak puteranya yang terluka dan mendapat kenyataan
bahwa keadaan puteranya tidak berbahaya, apa lagi mendengar bahwa pemuda yang
tak berbaju ini telah membunuh beruang hitam besar hanya dengan pukulan tangan
kosong, dia lupa akan kemarahannya.
Sejenak dia
memandang Ci Kang dengan sepasang mata penuh selidik dan agaknya dia tak
percaya ketika mendengar penuturan si brewok dan kawan-kawannya bahwa Ci Kang
telah membunuh beruang itu hanya dengan tiga kali pukulan saja! Kepala suku itu
lantas menggelengkan kepala dan dia memandang kepada kedua lengannya yang
berotot dan besar.
"Mana
mungkin membunuh beruang hitam dewasa dengan tiga kali pukulan saja? Kedua
tangan ini pun tidak sanggup menandingi kekuatan beruang hitam. Mungkin dalam
suatu perkelahian mati-matian akhirnya aku akan dapat membunuhnya, akan tetapi
dengan tiga kali pukulan? Tidak mungkin! Orang muda, benarkah engkau tadi telah
membunuh seekor beruang hitam dewasa hanya dengan tiga kali pukulan saja?"
Ci Kang
sudah menyukai sikap terbuka itu. Orang-orang ini mengagumkan, pikirnya dan
cocok sekali dengan wataknya. Semenjak kecil dia suka sekali berburu binatang
dan biar pun ayahnya dan rekan-rekan ayahnya suka mencemoohkannya, namun dia
menganggap berburu binatang untuk dimakan dagingnya dan dimanfaatkan kulitnya
adalah pekerjaan yang gagah. Mencari makan dengan cara yang perkasa!
"Benar,
dan kalau aku mau, aku dapat membunuh binatang itu dengan satu kali pukulan
saja!" Ucapan Ci Kang ini timbul dari hati yang sejujurnya, bukan untuk
menyombongkan diri.
Kepala suku
itu mengerutkan kedua alisnya dan menganggap kata-kata ini sebagai tanda ketinggian
hati. "Orang muda, jika engkau tidak dapat membuktikan ucapanmu itu, terus
terang saja engkau mengecewakan hatiku dan aku menjadi tidak suka kepadamu
walau pun engkau telah menolong puteraku."
"Aku
tidak berbohong dan perlu apa aku membuktikan omonganku? Andai kata engkau
mempunyai seekor beruang hitam di sini, aku pun tidak mau membunuhnya tanpa
sebab, hanya untuk membuktikan omonganku."
"Orang
muda, kekuatanku lima kali kekuatan seekor beruang hitam. Jika engkau mampu
mengalahkan seekor beruang dengan satu kali pukulan saja, berarti bahwa engkau
akan mampu mengalahkan aku dengan lima kali pukulan. Betapa tidak masuk di
akal! Nah, aku akan melihat buktinya. Kalau engkau dapat mengalahkan aku dalam
sepuluh jurus, berarti omonganmu memang benar."
"Kalau
tidak dapat?"
"Berarti
engkau bohong dan perkenalan kita hanya sampai di sini saja. Nah, bersiaplah
engkau, kecuali kalau engkau takut!"
Ucapan itu
menyentuh harga diri Ci Kang. 鈥淎ku tidak butuh membuktikan
kemampuanku, akan tetapi kalau engkau memaksaku, jangan dikira aku takut!"
Sepasang
mata yang lebar itu berseri. "Bagus, nah, mari kita mulai, orang
muda!"
Dia lalu
mengajak Ci Kang keluar dari dalam rumahnya dan sekarang mereka telah saling
berhadapan di depan rumah itu, di halaman yang luas di mana tumbuh rumput hijau
yang subur. Di samping merupakan pemburu-pemburu yang ulung, orang-orang Khin
ini juga beternak domba dan mereka menanam semacam rumput yang sangat gemuk dan
baik sekali untuk makanan ternak mereka.
Kini dua
orang laki-laki itu berdiri berhadapan. Banyak sekali orang Khin yang mendengar
tentang kedatangan pemuda yang gagah perkasa penolong putera kepala suku
mereka, sudah berada di situ dan kini dengan wajah berseri mereka melihat
betapa kepala suku mereka akan menguji pemuda itu!
Melihat Ci
Kang bertelanjang dada, ketua itu pun lalu menanggalkan baju atasnya dan Ci
Kang melihat tubuh seorang laki-laki yang jantan dan amat tegap, kokoh dan
kuat. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepala suku itu hanya memiliki tenaga
otot yang sangat besar saja, dan dia tidak merasa gentar. Akan tetapi dia pun
tak mau memandang rendah dan mengambil keputusan akan mengalahkan raksasa ini
kurang dari sepuluh jurus sebab dia pun tidak ingin kehilangan persahabatan
dengan orang-orang yang menyenangkan hatinya.
Bahkan
orang-orang wanitanya yang berada di situ kelihatan gagah-gagah, sama sekali
berbeda dengan wanita-wanita Han yang kebanyakan lemah. Tentu saja ada
kecualinya, pikirnya, terutama sekali gadis-gadis seperti Sui Cin dan Hui Cu,
puteri Ratu Iblis itu!
"Aku
sudah siap!" katanya ketika melihat ketua itu melangkah maju dengan kedua
lengan panjang itu tergantung ke sisi, dengan jari-jari tangan terbuka dan agak
melengkung.
Sikap ini
mirip sikap beruang hitam tadi, pikir Ci Kang, maka dia pun bersikap waspada.
Dia dapat menduga bahwa orang ini tentu ahli dalam ilmu gulat dan karenanya
berbahaya sekali apa bila kedua lengan panjang dengan jari-jari tangan sangat
kuat itu sampai dapat menangkapnya. Akan tetapi ketika kepala suku itu
menerjang dengan amat cepatnya, dia sudah mengambil keputusan untuk menunjukkan
kepandaiannya kemudian menundukkan raksasa ini secepat mungkin.
Ci Kang
mempergunakan perhitungan yang matang dan berani. Ketika dua tangan yang besar
itu menyambar dari kanan kiri, dia sengaja berlaku lengah atau lambat, akan
tetapi untuk menjaga kecepatan gerak tangannya, dia tidak membiarkan pundak
atau lengannya tersentuh, apa lagi tertangkap. Dengan mengembangkan dua
lengannya, dia membiarkan batang leher dan pangkal lengan kirinya kena
dicengkeram, namun begitu merasa kedua tangan lawan menyentuhnya, secepat kilat
jari tangan kanannya segera bergerak dua kali menotok ke arah jalan darah di
kedua pundak lawan.
Saking
cepatnya, gerakan ini sampai tidak kelihatan oleh kepala suku itu sendiri,
namun tiba-tiba saja dia merasa betapa dua buah lengannya kehilangan tenaga
sama sekali dan menjadi seperti lumpuh. Biar pun kelumpuhan itu hanya terjadi
untuk beberapa detik saja lamanya, namun cukup bagi Ci Kang untuk menggerakkan
kakinya dan ujung sepatunya menyentuh kedua lutut lawan. Sepasang kaki yang
besar dan sangat kuat itu seketika kehilangan tenaga lalu tubuh itu pun
terkulai dan roboh miring!
Kepala suku
itu merasa kaget, heran dan penasaran sekali ketika mendapat kenyataan betapa
dalam satu gebrakan saja dia sudah roboh dan kini kedua lengannya dicengkeram
oleh lawan yang sudah berlutut di belakangnya. Dia mengerahkan tenaga
raksasanya, akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan tubuhnya mengejang,
tenaganya pun hilang.
Setiap kali
dia mengerahkan tenaga, rasa nyeri yang amat hebat langsung naik ke dalam
dadanya dari kedua lengan yang dicengkeram Ci Kang. Selama hidupnya belum
pernah kepala suku itu mengalami hal seperti ini. Cengkeraman rahasia dari
lawan itu membuat dia menderita nyeri hebat setiap kali dia mengerahkan tenaga!
Melihat
betapa kepala suku itu kini sama sekali tidak meronta lagi, Ci Kang melepaskan
cengkeraman kedua lengannya kemudian meloncat bangun, berdiri dengan sikap
tenang. Semua orang yang menonton pertandingan itu melongo, tak dapat percaya
betapa kepala suku itu dibuat tidak berdaya dan dikalahkan hanya dalam satu
gebrakan saja! Hal seperti ini mereka anggap sama sekali tidak mungkin! Kepala
suku mereka itu memiliki kekuatan lebih dari sepuluh orang biasa!
Akan tetapi
kepala suku bangsa Khin itu sendiri adalah seorang gagah yang tentu saja
cerdik. Kalau tidak demikian, tidak mungkin dia bisa menjadi kepala suku bangsa
yang kasar dan gagah berani, juga sukar diatur. Dia tahu apa bila dia kalah dan
menghadapi orang-orang yang jauh lebih kuat darinya.
Oleh karena
itu, dia pun bangkit, memijit-mijit kedua lengannya bergantian, memandang
kepada Ci Kang dengan wajah berseri, lalu mengulurkan kedua tangannya dan
merangkul Ci Kang! Pemuda ini sudah siap membela diri jika kepala suku itu akan
bertindak curang, akan tetapi ternyata rangkulan itu adalah pelukan
persahabatan biasa saja.
"Orang
muda, sungguh engkau hebat sekali. Aku sendiri akan memukul orang yang tidak
percaya bahwa engkau akan mampu merobohkan seekor beruang hitam dewasa dengan
satu pukulan! Engkau sangat hebat dan aku, Moghu Khali, mengaku kalah!"
Kepala suku itu tertawa gembira dan sikap ini semakin mengagumkan hati Ci Kang.
"Engkau
mempunyai tenaga yang amat kuat!" Dia memuji dengan sejujurnya. "Aku
tentu akan kalah melawanmu jika hanya mempergunakan tenaga badan saja..."
Kedudukan
Moghu Khali yang paling tinggi di antara suku bangsanya itu sama sekali tidak
membuat kepala suku ini menjadi sombong atau tinggi hati. Dia tertawa dan
girang sekali mendengar ucapan yang jujur itu. "Orang muda, siapakah
namamu?"
"Siangkoan
Ci Kang."
"Saudara
Siangkoan, kita sudah saling mengenal nama, juga saling mengenal tenaga dan
kepandaian. Ilmu kepandaianmu dalam perkelahian memang hebat dan jika engkau
suka mengajarku tentang cengkeraman rahasia yang membuat aku tidak mampu
mengerahkan tenaga tadi, sungguh aku akan merasa gembira sekali."
Ci Kang
memang merasa kagum dan suka sekali kepada kepala suku ini, maka dia pun
mengangguk. "Baik, saudara Moghu, akan kuajarkan cara mencengkeram seperti
tadi."
Moghu Khali
gembira sekali dan sambil menggandeng tangan Ci Kang, dia lalu mengajak pemuda
itu masuk ke dalam rumah. Sejak saat itu Ci Kang menjadi seorang tamu yang amat
dihormati dan disuka.
Karena sikap
ini, Ci Kang menjadi semakin akrab dengan mereka. Melihat betapa kepala suku
itu mempunyai banyak bulu binatang liar yang bagus, dia pun lalu minta
dibuatkan sebuah jubah bulu harimau yang menjadi kesukaannya. Kemudian, di
dalam percakapan mereka, dia mendengar bahwa di antara kepala suku akan
diadakan pemilihan ketua atau pimpinan.
"Di
selatan sedang terjadi pergolakan dan pemberontakan," demikian antara lain
Moghu Khali berkata. "Kota benteng San-hai-koan sudah diduduki pemberontak
yang kabarnya telah didukung oleh orang-orang pandai. Kami, bangsa Mongol, Khin
dan Mancu hendak bersatu untuk menghadapi pemberontak itu dan rencana kami
adalah hendak merampas kota-kota yang telah mereka duduki untuk dijadikan
benteng-benteng kami di perbatasan. Untuk itu kami akan mengadakan pemilihan
pimpinan dan kalau engkau sudi membantu, dan suka menjadi jago kami, maka aku
yakin bahwa tentu aku yang akan terpilih menjadi pimpinan."
"Menjadi
jago? Apakah yang kau maksudkan, saudara Moghu Khali?" tanya Ci Kang, di
dalam hatinya terkejut mendengar betapa para pemberontak yang dipimpin oleh
Raja Iblis itu ternyata telah merampas dan menduduki benteng kota San-hai-koan.
Moghu Khali
lantas menceritakan kepada pemuda itu tentang rencana para suku bangsa hendak
mengadakan pemilihan pimpinan melalui adu jago, seperti yang sudah diusulkan
oleh nenek Yelu Kim dan diterima oleh mereka semua.
Biar pun
kepala suku itu tidak membuka semua rencana para suku bangsa utara, Ci Kang
sudah dapat menduga bahwa tentu para suku bangsa itu bukan memusuhi pemberontak
karena setia kawan kepada pemerintah Kerajaan Beng, melainkan karena mereka itu
juga hendak membangun kembali kekuatan mereka yang kini sudah hancur berantakan
akibat jatuhnya Kerajaan Mongol.
Akan tetapi
baginya, yang penting sekarang adalah menghadapi para pemberontak. Dan kalau
Raja Iblis sudah bersekutu dengan pasukan, bahkan telah merampas kota benteng
San-hai-koan, sebaiknya kalau dia menggunakan suku bangsa Khin ini untuk
menentang para pemberontak.
"Baik,
saudara Moghu, aku akan membantumu dan aku bersedia menjadi jagoanmu untuk
mengalahkan para jagoan lainnya. Tentu saja aku tidak sepenuhnya yakin akan
menang karena suku-suku bangsa itu tentu akan mengajukan jago-jago yang
tangguh."
"Ha-ha-ha!
Kesanggupanmu sudah merupakan kemenangan, saudara Siangkoan. Andai kata nasib
tidak mempertemukan aku dengan engkau, tentu aku sendiri yang maju. Akan tetapi
walau pun tidak ada kulihat jagoan di utara yang dapat mudah mengalahkan aku,
namun aku masih ragu-ragu karena memang banyak orang-orang kuat yang mempunyai
tenaga besar dan ilmu gulat yang hebat di daerah ini. Akan tetapi, di antara
mereka tidak mungkin ada yang akan dapat mengalahkanmu. Ha-ha-ha, aku sendiri
kalah dalam satu gebrakan, siapa mampu mengalahkan seorang seperti engkau?
Terima kasih, saudaraku. Kita harus mengadakan persiapan sekarang."
Demikiahlah,
ketika sayembara adu jago untuk menentukan pemenang bagi calon pemimpin
suku-suku di utara, Ci Kang muncul dengan gagahnya, mewakili Bangsa Khin,
menunggang seekor kuda putih dan memegang sebatang tombak kong-ce.
Akan tetapi
bagaimana Hui Song tiba-tiba dapat menyelinap di antara banyak orang, dan
berpakaian sebagai seorang anggota rombongan Mancu Timur? Untuk dapat
mengetahui jawabannya, mari kita ikuti perjalanan Hui Song, pemuda jenaka yang
biasa bergembira dan yang sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi
berkat gemblengan selama kurang lebih tiga tahun oleh Siang-kiang Lo-jin Si
Dewa Kipas.
Seperti
sudah kita ketahui, Cia Hui Song hanya berhasil menyelamatkan Kok Hui Lian,
anak perempuan berusia sepuluh tahun, puteri gubernur San-hai-koan yang sudah
tewas bersama semua keluarganya itu. Pada saat melarikan anak perempuan itu,
dia bertemu dengan sebagian dari Cap-sha-kui kemudian dikeroyok. Untung ketika
anak perempuan itu terancam, muncul Ciang Su Kiat murid Cin-ling-pai yang buntung
lengan kirinya itu dan orang ini lalu melarikan Hui Lian.
Karena
San-hai-koan sudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak dan dia tidak mampu
melakukan apa pun untuk menentang para pemberontak, Hui Song lantas pergi ke
bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pendekar. Kini
pertemuan itu menjadi semakin penting saja setelah Raja Iblis dan
kawan-kawannya telah membuktikan pelaksanaan rencana mereka untuk memberontak
dengan direbutnya San-hai-koan.
Di tempat
ini dia bertemu dengan beberapa orang pendekar yang sudah datang terlebih
dahulu. Akan tetapi karena memang hari yang ditentukan belum tiba, dia bersama
para pendekar harus menanti di sekitar tempat itu. Tak disangkanya Siangkoan Ci
Kang yang dianggap sebagai seorang tokoh muda kaum sesat yang amat berbahaya
itu muncul di situ. Tentu saja Hui Song menjadi curiga.
Dia tahu
benar siapa adanya pemuda ini dan betapa pun gagah pemuda itu, kenyataan bahwa
dia adalah putera tunggal Si Iblis Buta tentu saja menimbulkan kecurigaan bahwa
Ci Kang tentu datang untuk menjadi mata-mata kaum hitam. Itulah sebabnya maka
tanpa ragu-ragu lagi Hui Song menyerangnya dan para pendekar juga menjadi marah
kepada Siangkoan Ci Kang.
Pada hari
itu juga, dengan girang Hui Song melihat kedatangan gurunya, yaitu Si Dewa
Kipas. Murid dan guru ini kemudian bercakap-cakap dan ternyata kakek gendut itu
pun sudah mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan ke tangan para pemberontak.
"Mereka
telah benar-benar bergerak," kata kakek itu sambil menarik napas panjang.
"Kini tak mungkin lagi bagi kita melawan mereka begitu saja. Raja dan Ratu
Iblis bersama para datuk kaum sesat, betapa pun sakti mereka itu, dapat kita
hadapi bersama. Kalau para pendekar bersatu, agaknya fihak kita tidak akan
kalah kuat. Akan tetapi sesudah mereka itu mempunyai pasukan besar sebagai
sekutu, tentu saja tak mungkin bagi kita melawan pasukan yang beribu-ribu
banyaknya. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah berpencar dan membantu pasukan
pemerintah kalau bertempur dengan mereka, di mana pun juga."
Hui Song
lalu bercerita tentang putera Si Iblis Buta yang baru pagi tadi datang ke
tempat itu dan melarikan diri setelah mereka serang. "Dia itu tentu
mata-mata musuh, suhu. Tapi sayang kami tidak dapat menangkapnya. Dia sungguh
lihai."
Kakek gendut
itu mengerutkan alisnya. Kini kakek yang biasanya tertawa-tawa gembira itu
kehilangan kegembiraannya melihat betapa para pemberontak telah bergerak
sebelum mereka mampu mencegahnya.
"Aku
tidak dapat menduga bagaimana sesungguhnya mereka itu. Aku tidak yakin apakah
putera Iblis Buta itu juga bekerja untuk mereka."
"Tentu
saja, suhu. Bagaimana tidak? Sejak dahulu dia itu merupakan tokoh jahat yang
berbahaya sekali."
"Akan
tetapi engkau harus ingat bahwa ayahnya dibunuh oleh Raja Iblis," bantah
kakek gendut itu.
"Sekali
jahat tetap jahat!" Hui Song berkata lagi. "Putera seorang datuk
seperti Iblis Buta itu, tentu menjadi seorang tokoh sesat yang luar biasa. Biar
pun ayahnya terbunuh oleh Raja dan Ratu Iblis, mana mungkin dia lantas berubah
menjadi orang baik-baik, bahkan hendak mendekati kaum pendekar? Dia tentu
mata-mata, suhu."
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Mungkin ada perebutan kekuasaan di antara mereka, Hui
Song. Akan tetapi ada yang lebih penting lagi. Biar aku yang menghadiri
pertemuan dan engkau kuberi tugas baru yang amat penting."
Girang rasa
hati Hui Song. Dia gelisah memikirkan Sui Cin dan duduk menganggur sambil
menanti hari pertemuan itu di bekas benteng Jeng-hwa-pang sungguh tak
menyenangkan hatinya. "Tugas apakah itu, suhu?"
"Sesudah
sekarang Raja Iblis bersekutu dengan pasukan pemberontak, kita hanya dapat
membantu pasukan-pasukan pemerintah untuk menumpas mereka itu. Akan tetapi
masih ada kekuatan lain yang mungkin dapat kita manfaatkan. Kekuatan itu adalah
para suku bangsa di daerah ini. Apa bila mereka itu mau bergerak membantu dan
menentang kaum pemberontak, tentu akan lebih mudah lagi menghancurkan para
pemberontak berikut Raja Iblis dan kaki tangannya. Oleh karena itu, aku
menguasakan kepadamu untuk melakukan penyelidikan terhadap suku-suku liar itu,
Hui Song. Apa bila ada kemungkinan mengajak mereka itu untuk menentang para
pemberontak, sungguh merupakan bantuan yang besar sekali kepada
pemerintah."
"Akan
tetapi, bukankah dulu suhu pernah mengatakan bahwa kita tidak akan mencampuri
urusan pemerintah dan hanya semata-mata bangkit untuk menentang Raja Iblis dan
para datuk sesat yang hendak mengacaukan negara?"
"Benar,
akan tetapi sesudah mereka itu bergabung dengan pasukan pemberontak, tidak ada
jalan bagi kita untuk membantu pemerintah menumpas mereka."
"Baiklah,
suhu, akan kuselidiki keadaan para suku bangsa di daerah ini."
Hui Song
lalu meninggalkan bekas benteng Jeng-hwa-pang dan menuju ke utara, mendaki
bukit dan melintasi gurun pasir. Tanpa disadarinya dia tersesat jalan menuju ke
timur dan pada suatu hari tibalah dia di sebuah dusun kecil. Hari sudah
menjelang senja ketika dia memasuki pintu gerbang sederhana dusun itu, namun
yang membuat dia merasa sangat heran adalah karena dusun itu sunyi senyap, tak
nampak seorang manusia, bahkan tidak terdengar sesuatu.
Sebuah dusun
kosong? Bukan, pikirnya. Masih ada asap mengepul dari sebuah rumah di antara
rumah-rumah kecil yang agaknya dibangun secara darurat di dusun itu. Akan
tetapi ke manakah perginya semua orang? Agaknya mereka bersembunyi, pikirnya.
Bagaimana pun juga pendengarannya yang terlatih dan amat tajam bisa menangkap
gerakan-gerakan dan dia merasa yakin bahwa dia telah dikurung secara
sembunyi-sembunyi oleh banyak orang!
Karena dia
merasa sebagai seorang tamu yang tidak diundang di dusun itu, maka Hui Song
merasa tidak enak sekali dan dia pun berdiri di tengah-tengah lapangan di
antara rumah-rumah itu, di mana dia melihat bekas-bekas api unggun yang agaknya
baru saja dipadamkan secara tergesa-gesa. Di sini dia berdiri tegak, memandang
ke empat penjuru, ke arah rumah-rumah yang sunyi itu, dan dia pun berkata
dengan dengan suara lantang.
"Saya
Cia Hui Song, seorang kelana yang kemalaman di jalan, mohon kebaikan hati para
penghuni dusun untuk mengijinkan saya melewatkan malam di dusun ini!"
Sama sekali
tidak ada jawaban. Sampai tiga kali dia mengulang kata-katanya akan tetapi
hanya dijawab oleh ringkik kuda di kejauhan saja. Akan tetapi Hui Song dapat
merasakan bahwa pengurungan tempat itu semakin rapat sehingga dia bersikap
waspada.
Dan seperti
yang telah diduganya, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan dalam bahasa
yang tidak dimengertinya, kemudian tahu-tahu puluhan batang anak panah menyerbu
dan menyerangnya dari semua penjuru!
"Aku
bukan penjahat...!" Teriak Hui Song akan tetapi percuma saja karena anak
panah yang amat banyak itu sudah meluncur ke arah dirinya.
Hui Song
terpaksa menanggalkan jubahnya dan memutar jubahnya itu untuk melindungi
tubuhnya. Semua anak panah runtuh dan tidak ada sebatang pun yang mengenai
dirinya, akan tetapi jubahnya robek-robek, juga bajunya ada yang robek terkena
anak panah.
Begitu anak
panah itu berhasil diruntuhkannya semua, tiba-tiba saja nampak sinar hitam
meluncur dan ia melihat bahwa itu adalah tali-tali hitam panjang yang ujungnya
berbentuk laso. Dia tersenyum dan berdiri tegak tidak mengelak. Dan laso-laso
itu ternyata dengan amat tepatnya telah mengalungi lehernya, malah kedua
tangannya juga kena dibelenggu.
Harus
diakuinya bahwa pelempar-pelempar laso itu amat mahir. Agaknya para penghuni
dusun ini adalah peternak-peternak lembu karena hanya peternak-peternak lembu
saja yang pandai menggunakan laso untuk menangkap lembu-lembu mereka yang binal
atau kabur.
Sesudah
tubuhnya terbelit-belit laso, terdengar sorak kegirangan dan kini muncul
puluhan orang, laki-laki dan wanita, yang kesemuanya berpakaian indah, berwajah
cantik-cantik dan tampan-tampan, akan tetapi yang pada saat itu memandang
padanya dengan penuh kemarahan! Mereka muncul sambil mengacungkan senjata
mereka yang berupa tombak, golok dan anak panah, semua diacungkan dan diangkat
tinggi-tinggi. Agaknya mereka itu siap untuk mengeroyok dan menghancurkan
tubuhnya.
Akan tetapi
terdengar bentakan nyaring dan mereka semua segera berhenti, lalu muncul
seorang laki-laki muda yang tampan. Usia laki-laki ini sekitar tiga puluh
tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya paling indah, dengan jubah dari bulu
tebal.
Lelaki ini
maju dan dia diiringi oleh belasan orang wanita yang semuanya muda-muda dan
cantik-cantik, usia mereka mulai dari lima belas sampai dua puluh lima tahun!
Laki-laki bermantel bulu dan bertopi lebar ini melangkah maju dan semua orang
yang mengepung Hui Song hanya memandang, tetapi siap untuk mengeroyok Hui Song
andai kata pemuda yang sudah terbelenggu banyak tali laso itu memberontak.
Kini
laki-laki bertopi itu berdiri di depan Hui Song yang masih berpura-pura tidak
berdaya dalam lilitan laso. Kalau dia mau, tentu saja sekali meronta semua tali
laso akan putus dan dia dapat bergerak bebas. Akan tetapi dia hendak melihat
dahulu perkembangannya, ingin tahu mengapa orang-orang yang tidak dikenalnya
ini memusuhinya.
Kemunculan
mereka saja sudah menarik perhatiannya karena mereka itu tidak nampak seperti
orang-orang liar yang kasar, bahkan gerak-gerik mereka halus, pakaian mereka
indah dan tubuh mereka terpelihara rapi dan bersih. Lelaki bertopi ini pun
nampak tampan dan bersih, dan para wanita yang datang bersamanya juga
cantik-cantik dan berpakaian rapi.
"Aha,
ternyata engkau tampan juga!" kata laki-laki bertopi itu. "Dengan
ketampanan dan kemudaanmu, apa sulitnya bagimu untuk menjatuhkan hati
wanita-wanita cantik. Kenapa engkau harus mencari wanita dengan cara menculik
dan memperkosanya?"
Tentu saja
Hui Song melongo mendengar tuduhan-tuduhan ini. Seorang di antara para wanita
itu, yang termuda dan paling manis, mendadak melangkah maju menghampirinya.
Mata wanita ini merah oleh tangis.
"Kembalikan
adikku...!" bentaknya dan tiba-tiba saja tangan yang kecil halus itu
bergerak menampar.
"Plakk!
Plakk!"
Dua kali
pipi Hui Song ditamparnya tetapi laki-laki bertopi itu cepat menangkap
lengannya dan melarangnya memukul lagi. Wanita itu pun mundur sambil terisak.
"Ia
adalah kakak dari gadis yang kau culik semalam. Nah, tidak tergerakkah hatimu
telah menyusahkan hati seorang gadis yang semanis dia? Padahal, jika engkau
menjadi orang baik-baik, kiranya banyak gadis yang akan jatuh hati kepadamu,
yang menyerahkan jiwa raga kepadamu tanpa kau paksa atau perkosa...!"
Biar pun
pria itu bicara dengan halus, dengan bahasa yang teratur dan tidak kaku, bahkan
halus dan sopan seperti bahasa orang terpelajar, namun Hui Song merasa
tersinggung dan bingung sekali. Tamparan tadi tidak begitu dirasakannya, akan
tetapi tuduhan bahwa dia menculik dan memperkosa wanita, sungguh keterlaluan.
Tahulah dia
mengapa dia dimusuhi. Kiranya dia disangka penculik wanita yang agaknya sudah
beberapa kali menculik wanita-wanita dari suku ini dan malam ini sengaja mereka
berusaha menjebak dan menangkap si pencuri anak perawan!
"Aku
bukan pencuri perawan! Untuk apa aku mencuri wanita...?" Dia berseru
beberapa kali.
Akan tetapi
yang dapat mengerti bahasanya agaknya hanyalah pria bertopi, gadis-gadis
pengikutnya dan beberapa orang saja. Yang tidak mengerti lalu bertanya-tanya
sehingga keadaan menjadi berisik.
Tiba-tiba
saja terdengar jeritan wanita melengking nyaring. Semua orang terkejut. Jerit
itu keluar dari rumah terbesar yang berada di tengah dusun.
"Adikku
perempuan...!" Laki-laki bertopi itu berteriak gelisah.
Hui Song
segera dapat mengerti apa yang sudah terjadi. Agaknya, selagi dia ditawan dan
dituduh sebagai pencuri anak perawan, si pencuri yang asli sedang bekerja dan
agaknya sekali ini yang dicurinya bukan perawan kepalang tanggung, melainkan
adik dari orang bertopi yang agaknya menjadi pemimpin mereka itu!
Dan inilah
kesempatan baik baginya untuk membuktikan bahwa dirinya bukanlah penculik
perawan, juga kesempatan baik baginya untuk mencegah terjadinya perbuatan
terkutuk sekalian membasmi penjahat pemetik bunga itu. Karena itu dia pun
bergerak dan sekali meronta, terdengar suara keras dan semua tali laso itu pun
putus. Orang-orang berteriak kaget dan Hui Song meloncat dengan gerakan seperti
seekor burung terbang saja.
Wusssssss.....!
"Aku
akan menangkap penjahat itu!" serunya kepada si kepala dusun.
Dan tanpa
mempedulikan lagi teriakan-teriakan atau halangan-halangan dari mereka, dia
berlompatan menuju ke arah suara jeritan wanita tadi. Gerakannya yang memang
lincah sekali itu tidak terlambat. Dia melihat bayangan berkelebat keluar dari
rumah itu, sedang memanggul tubuh seorang wanita yang kelihatan pingsan atau
mungkin juga tertotok.
"Perlahan
dulu, sobat!" Hui Song berkata dan dia sudah menerjang ke depan, jari
tangan kirinya menotok ke arah pundak.
Orang itu
nampak terkejut dan gerakannya ternyata juga amat cepat dan ringan. Dengan
mudahnya dia menggerakkan pundak, mengelak lantas melanjutkan larinya. Akan
tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tahu-tahu tangan yang tadi
luput menotok itu dilanjutkan dengan totokan ke arah lambungnya sedangkan
tangan lain menyambar ke atas, mencengkeram ke arah kepalanya. Dua gerakan ini
mengandung hawa yang sangat kuat! Agaknya orang itu sama sekali tak pernah
menyangka akan bertemu dengan orang sepandai ini di daerah liar itu, maka dia
mengerahkan tenaga dan menangkis tangan yang mencengkeram ke arah kepalanya.
"Dukkk...!"
dan orang yang tidak mengerahkan semua tenaganya itu terhuyung!
"Ehh,
siapa kau...?!" bentaknya.
Dari
suaranya Hui Song tahu jelas bahwa orang ini adalah seorang Han. Setelah orang
itu melempar korbannya ke atas tanah dan menghadapinya, di dalam keremangan
senja dia melihat bahwa dia adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan
bertubuh tegap dan berpakaian pesolek.
Dia teringat
akan putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta. Bukan, pemuda ini bukan putera
datuk sesat itu, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang gerak-geriknya
halus. Kalau di tempat seperti ini ada seorang penjahat bangsa Han, jelaslah
bahwa penjahat itu tentu anggota dari para datuk sesat anak buah Raja Iblis!
"Aku
adalah pembasmimu, jai-hwa-cat terkutuk!" Hui Song membentak dan dia pun
telah menerjang kembali dengan tamparan-tamparan yang amat kuat karena dia
mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang menghadapi penjahat yang dapat diduganya
tentu lihai juga ini.
Tamparan-tamparan
itu sangat hebat dan si penjahat agaknya dapat mengenal pukulan lihai, maka dia
menggerakkan tangan, namun sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya untuk
menangkis.
"Plakk!
Dukkk...!"
Sekali ini,
dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan seluruh
tubuh mereka tergetar. Hui Song terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu,
orang-orang dusun sudah berdatangan dengan senjata di tangan. Mereka
berteriak-teriak dan hendak maju mengeroyok, sebagian lagi, dipimpin pemuda
bertopi, menolong gadis yang tadi dilemparkan ke atas tanah.
Melihat
keadaan tidak menguntungkannya, penjahat pemetik bunga itu lalu mengeluarkan
seruan panjang dan meloncat jauh, terus lari menghilang dalam cuaca yang sudah
mulai gelap. Hui Song tidak mengejar karena penjahat itu sudah melepas
korbannya. Mengejar seorang musuh selihai itu di dalam gelap amatlah berbahaya,
dan pula, tugasnya adalah menyelidiki suku-suku bangsa ini, bukan
mengejar-ngejar jai-hwa-cat.
Si pria
bertopi sekarang menghampiri dan merangkulnya. "Engkau sudah menyelamatkan
adikku. Maafkan kecurigaan kami tadi. Kami mengira engkaulah penjahat itu,
siapa tahu engkau malah penolong kami."
"Sudahlah,
kesalah pahaman itu bisa kumengerti dan dapat kumaafkan. Betapa pun juga,
penjahat itu telah menolongku."
"Menolongmu?"
Pria bertopi itu berseru heran.
"Kalau
dia tidak muncul mencuri adikmu, tentu aku masih terus didakwa sebagai pencuri
anak perawan." Hui Song tertawa dan orang itu pun tertawa, juga belasan
orang wanita cantik yang mengerti omongannya tertawa. Suasana berubah gembira
sekali.
"Ha-ha,
ternyata selain tampan dan lihai, engkau juga periang seperti kami. Saudara
yang baik, siapakah namamu tadi? Engkau tadi pernah memperkenalkan nama ketika
muncul untuk pertama kali, akan tetapi sayang aku tak begitu memperhatikan
akibat terpengaruh kemarahan karena menyangka engkau penjahat."
"Namaku
Cia Hui Song."
"Bagus
sekali, Cia-taihiap, namaku Lam-nong, Aku adalah kepala suku bangsaku, bangsa
Mancu Timur yang terpencil dan tidak besar jumlahnya. Kami hidup sebagai
nelayan dan juga kadang kala berburu atau beternak, akan tetapi kami masih suka
merantau seperti kebiasaan nenek moyang kami. Betapa pun juga, kami hidup
bahagia. Lihat, kami selalu bergembira, bukan? Saudaraku yang baik dan gagah,
engkau menjadi tamu kehormatan kami. Malam ini kami akan berpesta untuk
menyatakan kegembiraan kami."
Dengan suara
lantang kepala suku bernama Lam-nong itu lalu memerintahkan
pembantu-pembantunya untuk menyembelih domba dan lembu lantas mempersiapkan
pesta untuk menghormati Cia Hui Song.
Hui Song
menerima dengan gembira. Sambil bergandeng tangan dengan Lam-nong yang
diiringkan belasan orang wanita cantik, Hui Song diajak memasuki bangunan
terbesar di dalam dusun itu.
"Dusun
ini hanya menjadi tempat peristirahatan selama beberapa pekan saja, maka kami
membangun pondok-pondok darurat saja." Lam-nong menerangkan ketika mereka
sudah mengambil tempat duduk di atas lantai bertilamkan kulit domba.
"Taihiap, orang seperti engkau ini tentunya seorang pendekar seperti yang
pernah kudengar diceritakan orang tentang dunia persilatan. Akan tetapi
bagaimana seorang pendekar seperti engkau dapat tersesat ke sini?"
Hui Song
tidak ingin bicara tentang pertemuan para pendekar dan dia pun teringat kepada
Sui Cin. Tadi pun dia sudah cemas membayangkan Sui Cin yang kehilangan ingatan
itu bertemu dengan jai-hwa-cat yang jahat seperti orang tadi.
"Aku...
aku sedang mencari seorang kawanku..." Dia teringat betapa tadi dituduh
pencuri anak perawan, maka dia cepat menahan lidahnya yang hendak bercerita
tentang Sui Cin, seorang kawan perempuan! Dia tidak mau kalau nanti disangka
seorang pencari wanita lagi. "Aku ingin mencari keterangan tentang Harimau
Terbang..."
"Ahhh...!
Maksudmu perkumpulan rahasia Harimau Terbang?"
"Ya,
benar!" Hui Song berkata gembira.
Ia memang
sedang melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang yang
lencananya tertinggal di dalam Goa Iblis Neraka yang menunjukkan bahwa mereka
itulah pencuri harta pusaka di dalam goa itu.
"Apakah
di daerah ini terdapat perkumpulan bernama Harimau Terbang?"
Mendengar
pertanyaan ini, wajah Lam-nong yang tadinya gembira dan tersenyum-senyum itu
berubah agak pucat dan alisnya berkerut, bahkan dia segera menengok ke kanan
kiri seolah-olah tidak ingin percakapan itu didengarkan orang lain. Melihat
sikap ini, berdebar rasa hati Hui Song. Agaknya penyelidikannya tentang pencuri
harta pusaka itu kini akan mendapatkan jejak.
"Harap
jangan takut, saudara Lam-nong, kalau ada ancaman datang dari mereka, akulah
yang akan menghadapi mereka!" katanya dengan suara tegas dan meyakinkan.
Agaknya jaminan ini melegakan hati Lam-nong dan wajahnya berseri kembali,
bibirnya tersenyum lagi.
"Cia-taihiap,
bukannya kami takut, melainkan kami tidak suka berurusan dengan nenek iblis
itu."
"Nenek
iblis siapa yang kau maksudkan?"
"Namanya
Yelu Kim. Menurut pengakuannya, dia adalah keturnan dari Menteri Yelu Ce-tai
penasehat agung dari Jenghis Khan. Sekarang dia menjadi tokoh sesat di daerah
utara dan dianggap sebagai penasehat para kepala suku."
"Dan
apa hubungannya dengan Perkumpulan Harimau Terbang?"
"Hemm,
biar pun dia tidak pernah mengaku dan tidak pernah terbukti karena perkumpulan
itu merupakan rahasia yang bergerak secara rahasia pula, akan tetapi semua
orang di sini tahu belaka bahwa nenek itulah pemimpin Perkumpulan Harimau
Terbang."
"Di
manakah sarang mereka? Di mana aku dapat bertemu dengan nenek Yelu Kim itu?"
Cia Hui Song bertanya dengan penuh semangat.
"Tinggallah
bersama kami dan engkau akan bisa bertemu dengannya, Cia-taihiap. Besok lusa
kami akan berangkat menuju ke padang pasir di mana para ketua suku mengadakan
pertemuan dan pemilihan calon pemimpin. Aku yakin bahwa nenek Yelu Kim pasti
akan hadir pula di sana."
"Semua
suku bangsa di utara ini hendak melakukan pemilihan pemimpin? Untuk apa dan
apakah yang terjadi?" Hui Song bertanya girang.
Tak
disangka-sangkanya bahwa selain berita yang baik sekali mengenai Harimau
Terbang yang diselidikinya, juga dia mendengar berita mengenai kepala-kepala
suku. Justru inilah tugas yang diberikan gurunya kepadanya.
"Di
perbatasan terjadi pergolakan yang mengguncangkan kehidupan tenteram para suku
kami. Menurut berita yang kudengar, golongan hitam di selatan sudah bersekutu
dengan para pemberontak, dan mereka bahkan sudah merampas kemudian menduduki
benteng San-hai-koan. Kabarnya mereka akan terus bergerak meluaskan wilayah
mereka sebelum menyerang ke selatan. Kami terancam, dan... menurut rekan-rekan
yang berambisi, inilah saat yang paling baik bagi kami untuk bergerak,
menegakkan kembali kekuasaan Mongol di selatan. Sebenarnya aku sendiri tidak
menyukai ambisi itu, akan tetapi kalau memang ketenteraman kami terancam oleh
para pemberontak kemudian diadakan persatuan untuk menghadapi mereka, tentu aku
setuju. Nah, kini para kepala suku hendak mengadakan pemilihan pimpinan dan
lusa kami akan berangkat."
Bukan main
girangnya rasa hati Hui Song. Sambil tersenyum dan dengan wajah berseri dia
segera menyatakan setuju untuk menemani Lam-nong dan anak buahnya yang akan
berangkat ke tempat pertemuan itu.
Malam itu,
dengan penuh kegembiraan Lam-nong mengadakan pesta untuk menghormati Hui Song.
Seperti telah menjadi kebiasaan mereka, pesta itu dilakukan di luar rumah, di
sebuah lapangan rumput di mana dibangun tenda besar dan dinyalakan api unggun.
Hui Song
diberi pakaian orang Mancu dan mereka duduk di atas rumput. Daging-daging domba
dan lembu dipanggang dengan bumbu-bumbu sedap sehingga asap dan uapnya memenuhi
tempat itu, mengundang selera.
Lam-nong
duduk di samping Hui Song, diapit belasan orang wanita cantik yang ternyata
adalah selir-selirnya! Hui Song sampai melongo saat Lam-nong memperkenalkan
mereka sebagai isteri-isterinya! Seorang dengan isteri demikian banyak,
kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik!
"Kenapa
engkau kelihatan heran, Cia-taihiap? Aku hanya mempunyai empat belas orang
isteri, itu masih sangat sedikit sekali apa bila dibandingkan dengan yang
dipunyai kepala-kepala suku bangsa lainnya. Ada seorang kawanku mempunyai empat
puluh empat orang isteri, ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa bergelak melihat
keheranan di wajah Hui Song.
Hui Song
yang disuguhi arak istimewa buatan suku bangsa itu, arak yang sangat harum dan
keras, tertawa lepas. Memang wataknya bebas gembira, maka kini ditambah hawa
arak di benaknya, dia menjadi semakin gembira.
"Ha-ha-ha,
saudara Lam-nong. Aku pernah melihat seekor ayam jantan dengan puluhan ekor
ayam betina, hal itu masih dapat kupercaya dan kumengerti. Akan tetapi manusia?
Seorang harus... dengan demikian banyak...?"
"Ha-ha-ha-ha!"
Lam-nong tertawa dan para selirnya yang rata-rata mengerti bahasa Han itu pun
ikut tersenyum dan tersipu-sipu, menutupi mulut mereka dengan sapu tangan atau
punggung tangan. "Bila perlu aku bisa lebih kuat dari pada seekor ayam
jantan, ha-ha-ha! Cia-taihiap, memang manusia berbeda dengan ayam, karena itu
dalam hal itu pun sangat berbeda, tidak sembarang saat seperti ayam."
Mereka pun
tertawa-tawa dan suasana menjadi meriah ketika para selir yang mempunyai suara
merdu itu bernyanyi-nyanyi diiringi suara gendang, tambur dan suling. Dan
mulailah selir termuda dari Lam-nong, yang manis sekali dengan kedua pipi
kemerahan bukan oleh pemerah muka melainkan merah karena sehat saking halusnya
kulit pipi, bangkit dan atas isyarat Lam-nong, selir itu pun mulai menari.
Dan Hui Song
pun memandang dengan terpesona. Sellr ini amat pandai menari, tubuhnya demikian
lembut dan lemas meliuk-liuk di depannya, seakan-akan tubuh seekor ular saja.
Suara gendang dan tambur menambah kuat gerakan pinggul dan leher itu.
"Sekarang
permainan yang kami namakan Bulan Jatuh. Siapa yang kejatuhan bulan harus
bangkit dan menari, siapa pun tidak boleh menolak karena menolak bulan yang
jatuh ke pangkuannya berarti mengundang mala petaka dan tidak menghormati orang
lain," kata Lam-nong kepada Hui Song. Tentu saja pemuda ini tidak mengerti
apa artinya kata-kata itu dan dia tidak pernah mendengar tentang permainan ini.
Sambil
tertawa gembira Lam-nong lantas menerangkan. Permainan itu seperti permainan
kanak-kanak yang dikenal oleh Hui Song di selatan, akan tetapi sekarang
dimainkan oleh orang-orang dewasa!
Selir yang
menari tadi membuka permainan. Kedua matanya ditutup dengan sehelai sapu tangan
yang diikatkan ke belakang kepalanya, kemudian oleh dua rekannya dia
diputar-putar. Hal ini dimaksudkan supaya selir yang matanya tertutup itu akan
lupa di mana dan siapa yang duduk di sekitarnya. Setelah itu barulah dilepas dan
mulailah dia meraba-raba. Kalau dia telah berhasil menangkap salah seorang yang
duduk berkeliling, maka dia akan meraba-raba muka orang itu dan mengatakan
siapa dia. Setelah diperkenankan membuka penutup mata, jika dugaannya ternyata
keliru, maka dia harus menari lagi, dan sesudah habis satu lagu, maka dia akan
mencari sasaran lagi.
Bagaikan
bulan meluncur di antara awan-awan, penari itu akan meraba-raba dan apa bila
bulan itu jatuh kepada seseorang dan orang itu dapat ditebak siapa adanya, maka
dia kejatuhan bulandan dialah yang harus menggantikan permainan itu dan menari.
Demikian selanjutnya. Dengan adanya Hui Song di situ, tentu saja permainan itu
menjadi lucu dan selain menegangkan hati Hui Song, juga membuatnya merasa
malu-malu dan sungkan sekali.
Selir muda
yang cantik itu telah diputar-putar dan dilepas. Sekarang dengan mata tertutup
selir itu perlahan-lahan melangkah ke depan, kedua tangannya diluruskan ke
depan untuk meraba-raba......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment