Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 24
HUI SONG
merasa betapa jantungnya berdebar tegang, apa lagi ketika dua kaki yang kecil
itu agaknya hendak maju ke arah tempat dia duduk! Akan tetapi kedua kaki itu
meragu dan membelok ke kiri, kemudian maju terus dan akhirnya berhenti karena
kaki itu terantuk pada kaki seseorang yang duduk di situ. Selir itu terkekeh,
kemudian berjongkok dan dua tangannya meraba-raba kepala dan muka orang itu.
“Ihhh...!”
jeritnya kecil ketika dia meraba topi orang itu dan tahulah dia bahwa dia sudah
menangkap atau ‘jatuh’ kepada seorang pemukul tambur atau gendang.
Terdengar
suara ketawa dari para selir dan selir yang menjadi bulan itu segera membuka
penutup matanya, cemberut secara main-main mencela kesialan dirinya. Kalau
kebetulan menangkap seorang pemain musik, maka hal itu dianggap sial sebab itu
berarti bahwa dia harus bermain lagi. Pemain musik tidak masuk hitungan karena
kalau dia harus main, lalu siapa yang memukul gendang?
Kembali
selir itu ditutup mukanya dengan sapu tangan dan diputar-putar. Akan tetapi
selir tadi sudah melirik ke arah Hui Song dan tersenyum. Ketika dia dilepas,
dia pun berjalan perlahan-lahan, berkeliling dan kedua kaki kecil tertutup
sepatu baru itulah yang sekarang meraba-raba dan ketika kakinya menginjak
bagian yang agak menonjol, dia pun berhenti lantas membalik dan kini kedua
kakinya itu bergerak perlahan menuju ke arah Hui Song duduk!
Selir ini
memang sudah menjatuhkan pilihannya pada Hui Song dan sebagai orang yang sudah
biasa melakukan permainan Bulan Jatuh ini, tentu saja dia mengerti akan
akal-akal yang digunakan orang dalam permainan ini. Tadi ketika dia membuka
penutup matanya, dia sudah memperhatikan dan mempelajari tanah di depan Hui
Song dan dia melihat ada tanah menonjol di hadapan pemuda itu dan inilah yang
dapat menuntunnya kepada Hui Song.
Maka tadi ia
berjalan keliling sampai kakinya mengijak tanah menonjol, baru ia menujukan
langkahnya kepada Hui Song. Sengaja dia hendak memilih pemuda yang telah
menolong adik suaminya ini untuk penghormatan dan bukan hanya selir ini, juga
selir-selir yang lain dan mereka semua yang hadir di sana ingin sekali melihat
Hui Song menjadi bulan dan menari-nari.
Dengan
jantung berdebar-debar penuh ketegangan Hui Song melihat betapa selir itu kini
menggerakkan dua buah kaki kecilnya menghampirinya. Dia tidak mungkin dapat
lari, dan hanya tersenyum tegang. Dia pun tidak mampu mengelak ketika kaki
kecil itu menumbuk kakinya dan ketika selir muda itu terkekeh kecil dan
berjongkok di depannya.
Hui Song
cepat memejamkan mata sebab hidungnya mencium bau yang amat harum dan melihat
kulit muka yang demikian halusnya. Dia tetap memejamkan mata ketika wanita itu
meraba-raba kepalanya, lalu mukanya, meraba-raba telinga, hidung, bibir dan
dagunya. Hui Song merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus dan hangat
itu merayap pada mukanya dan dia merasa betapa semua bulu di tubuhnya meremang.
“Hai...
ini... ini Cia-taihiap...!” kata selir itu dan tebakannya disambut tepuk sorak
memuji. Selir itu cepat membuka penutup matanya dan sambil tersenyum manis dia
menjura dan mempersilakan.
“Silakan,
taihiap, kami mohon taihiap menjadl bulan,” katanya merdu.
“Ha-ha-ha,
nasibmu sungguh baik, Cia-taihiap. Kami ingin sekali menyaksikan keindahan
tarianmu!” kata Lam-nong gembira.
Suling,
tambur dan gendang dipukul gencar dan Hui Song yang mukanya menjadi merah itu
terpaksa bangkit berdiri. Dia merasa tubuh dan kepalanya ringan akibat pengaruh
arak. Hal ini membuat dia tidak malu-malu lagi dan karena dia tidak pandai
menari, maka dia pun mencoba untuk menirukan gerakan selir tadi.
Maka
tampaklah pemandangan yang amat lucu pada saat Hui Song melenggang-lenggok
menggoyang pinggul mengikuti irama musik, berjoget dangdut! Karena dia memang
ahli silat yang amat pandai, biar pun gerakannya lucu, namun juga lemas dan
kadang-kadang bahkan diisi dengan gerak-gerak silat. Para selir tertawa-tawa
dan bertepuk-tepuk tangan memuji, membuat Hui Song bertambah gembira sehingga
tariannya pun menjadi semakin panas.
Ketika tiba
giliran Hui Song untuk ditutup kedua matanya dengan sapu tangan, dengan mudah
saja, mengandalkan ketajaman pendengarannya, ia menjatuhkan pilihannya pada
Lam-nong! Biar pun Hui Song seorang pemuda romantis dan lincah jenaka dan
gembira, akan tetapi dia belum cukup berani untuk menjatuhkan pilihannya kepada
para selir itu, merasa tidak berani kalau harus meraba-raba muka seorang di
antara mereka.
Hal ini
mengecewakan hati para selir karena mereka ingin sekali kejatuhan bulan! Mereka
merasa suka kepada pemuda yang lincah ini dan ingin mempererat persahabatan.
Lam-nong
adalah seorang kepala suku. Tentu saja dia pun tahu bagaimana caranya untuk
menjatuhkan pilihannya kepada Hui Song sehingga terjadilah hal yang lucu, yaitu
hanya dua orang itu saja yang silih berganti menari! Akhirnya Lam-nong menyuruh
para selirnya menari bersama-sama dan suasana menjadi semakin gembira dan suara
ketawa mereka riuh rendah ketika mereka menari bersama-sama. Hui Song merasa
suka sekali kepada keluarga kepala suku ini dan mereka makan minum dan
bernyanyi-nyanyi, menari-nari sampai hampir pagi.
Demikianlah,
Hui Song ikut pula hadir bersama rombongan ini saat diadakan pertandingan antar
jagoan di antara kepala-kepala suku. Lam-nong sendiri tak mengajukan jagoan.
Dia bersama para pangikutnya datang hanya untuk menyaksikan saja siapa pimpinan
yang terpilih.
Hui Song
yang hendak melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang
bersembunyi di antara orang-orang Mancu Timur itu. Dapatlah dibayangkan betapa
besar rasa girang, kaget dan herannya melihat Sui Cin bersama seorang nenek
yang menurut keterangan Lam-nong adalah nenek Yelu Kim, kepala dari Perkumpulan
Harimau Terbang yang dicari-carinya itu! Dia merasa curiga dan heran, lalu
diam-diam dia memperhatikan sambil menyelinap di antara anak buah Lam-nong.
Demikianlah,
tanpa disengaja, tiga orang muda itu ikut menghadiri pertemuan antara para suku
di utara yang sedang mengadakan pertandingan untuk menentukan siapa di antara
mereka yang berhak menjadi pimpinan para suku untuk memulai dengan gerakan
mereka hendak menegakkan kembali kekuasaan Mongol yang sudah runtuh. Dan mereka
bertiga terpisah-pisah dalam kelompok suku yang berlainan, dengan alasan yang
berlainan pula.
Sui Cin
berada di situ karena ia telah ditolong oleh nenek Yelu Kim yang menjadi
gurunya dan kini dia membantu Yelu Kim sebagai balas budi. Siangkoan Ci Kang
berada bersama suku Khin untuk membantu Moghu Khali, ketua suku Khin yang
sekarang telah menjadi sahabatnya, bahkan dia mau diangkat menjadi jagoan suku
itu. Ada pun Hui Song berada di tempat itu karena dia hendak menyelidiki
Perkumpulan Harimau Terbang, juga untuk menyelidiki keadaan para suku bangsa di
utara ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya oleh gurunya, yaitu
Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.
Kini
pertandingan telah dimulai. Seperti telah diduga semula oleh setiap pengikut,
jagoan-jagoan itu memang masing-masing mempunyai ketangguhan yang mengagumkan.
Suku Mongol yang merupakan suku kedua terbesar setelah suku Mancuria,
mengajukan jagoan seorang ahli gulat yang bertubuh raksasa dan jagoan ini tidak
menunggang kuda, juga tidak memegang senjata apa pun.
Akan tetapi,
ketika dia sudah maju karena menurut undian dia harus maju lebih dahulu, dia
menghadapi lawan yang menunggang kuda secara mengagumkan dan mengerikan.
Lawannya itu menggunakan sebatang golok dan menunggang seekor kuda.
Ketika lawan
itu menerjangnya dengan golok diputar dan kaki depan kuda itu mengancam hendak
menumbuknya, raksasa Mongol ini tertawa, menangkap dua kaki depan kuda itu dan
sekali putar, kuda itu terpelanting dan kedua tulang kaki depan itu patah
membuat kuda itu tidak mampu bangkit kembali. Akan tetapi lawannya cukup
tangguh. Ketika kuda terpelanting, dia melompat turun dan kini dia menerjang si
raksasa dengan goloknya.
“Plakkk!”
Raksasa
Mongol itu tidak mengelak, bahkan menerima golok itu dengan tangan kosong
begitu saja. Akan tetapi, bukan tangannya yang terluka, melainkan golok itu
sendiri yang terlempar dan di lain saat, raksasa itu sudah menangkap
pergelangan tangan lawan dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh lawan itu sudah
terlempar jauh sekali dan terbanting dengan keras ke atas tanah sehingga jatuh
pingsan dengan tulang remuk!
Sorak sorai
yang riuh rendah menyambut kemenangan raksasa Mongol ini dan dia pun memperoleh
waktu beristirahat menurut peraturan walau pun si raksasa Mongol itu masih
menantang-nantang dengan congkaknya.
Menurut
hasil undian, kini tiba giliran jagoan Mancu. Seperti juga jagoan Mongol, maka
jago dari Mancu ini pun bertubuh tinggi besar dan terutama sekali sepasang
kakinya amat panjang dan berotot kekar sekali. Kaki itu memakai sepatu panjang
sampai ke lutut dan solnya dilapisi besi. Jago ini pun tidak menunggang kuda
dan tidak memegang senjata.
Setelah dia
melawan seorang jagoan lain, Hui Song yang nonton dari dalam kelompoknya
melihat bahwa raksasa Mancu ini tak kalah hebatnya jika dibandingkan dengan
raksasa Mongol tadi. Kalau raksasa Mongol tadi kebal dan kuat sekali, juga ahli
dalam ilmu gulat, maka raksasa Mancu yang lebih tinggi ini selain ahli dalam
ilmu gulat campur silat, juga tangguh sekali dengan kedua kakinya!
Lawannya
yang menunggang kuda dan memegang tombak itu dihadapi dengan tendangan kakinya
yang panjang dan kuat, dan dalam satu gebrakan saja lawan itu terpelanting jauh!
Lawannya berhasil melompat lantas menyerangnya dengan tombak. Akan tetapi,
kembali kakinya bergerak dan tombak itu dihantam tangan yang amat kuat, membuat
tombak itu patah menjadi tiga potong!
Lawannya
masih penasaran dan menyerang dengan pukulan-pukulan, akan tetapi setiap
pukulan ini ditangkis oleh tendangan secara sedemikian cepat dan tepatnya
seolah-olah kedua kaki itu merupakan sepasang tangan yang lengannya panjang
sekali, dan sebelum lawan itu mampu mengelak, tiba-tiba sebuah kaki melayang
dan menghantam kepalanya dari samping. Orang itu terjengkang dan roboh pingsan,
atau mungkin juga mati karena ketika digotong oleh kawan-kawannya, dia sama
sekali tidak bergerak dan terkulai lemas!
Ketika Ci
Kang menerima gillrannya, Hui Song memandang dengan alis berkerut. Sejak tadi
dia sudah melihat pemuda ini dan dia merasa amat heran, bertanya-tanya dalam
hati mengapa putera Si Iblis Buta itu berada di sini, bahkan menjadi seorang di
antara jagoan suku utara! Akan tetapi karena pertandingan itu bukan urusannya,
dia pun diam saja dan hanya menonton.
Dengan
tombaknya, Ci Kang dengan mudah mengalahkan lawannya, akan tetapi berbeda
dengan pemenang-pemenang terdahulu, lawannya dirobohkannya tanpa menderita luka
apa pun, kecuall senjatanya runtuh dan lawan itu ditodong ujung tombak pada
lehernya sehingga tidak mampu bergerak dan terpaksa mengaku kalah. Dan hal ini
pun dilakukan sesudah dia membiarkan lawan menyerangnya sampai belasan jurus
sehingga lawannya yang kalah itu tak sampai terlalu kehilangan muka seperti
yang diderita mereka yang tadi kalah dalam satu gebrakan saja!
Sesudah
semua jagoan dipertandingkan, akhirnya hanya tinggal satu orang yang belum
kalah, yaitu raksasa Mongol, raksasa Mancu dan Ci Kang. Dua orang raksasa itu
sudah memenangkan tiga kali pertandingan yang mereka selesaikan hanya lewat
beberapa jurus saja, sedangkan Ci Kang memenangkan dua pertandingan.
Dan kini,
menurut undian, dua orang raksasa itulah yang akan saling berhadapan. Tentu
saja para penonton menjadi tertarik sekali karena sudah dapat dibayangkan
betapa akan hebatnya kalau dua orang raksasa yang sama tangguhnya itu maju dan
saling melawan!
Mereka
berdua sudah melangkah maju, kakinya melangkah seperti kingkong, dengan dua
lengan tegak terpentang, kedua kaki agak ditekuk, kepala ditundukkan dan mata
mereka mengintai dari bawah alis mata yang tebal, mulut menyeringai seperti
mulut orang hutan marah. Langkah mereka seperti menggetarkan bumi dan
ketegangan semakin memuncak setelah akhirnya mereka saling berhadapan dalam
jarak dua meter.
Agaknya
mereka saling menilai dan menimbang keadaan lawan dengan pandangan mata mereka.
Keduanya berdiri seperti patung yang menyeramkan, sedikit pun tidak bergerak.
Tiba-tiba terdengar gerengan nyaring dan kaki bersepatu itu meluncur dengan
kecepatan kilat ke arah dada si raksasa Mongol. Demikian cepatnya kaki itu
menyerang sehingga tak sempat dielakkan oleh raksasa Mongol yang lamban itu,
tetapi raksasa itu memasang dadanya sambil mengerahkan tenaga sampai perutnya
mengembung besar dan otot-otot menonjol di dadanya.
“Blukkk...!”
Hebat sekali
benturan antara kaki dengan dada itu dan akibatnya, tubuh raksasa Mongol
terdorong mundur hingga tiga langkah, akan tetapi tubuh si penendang itu pun
terlempar ke belakang dalam jarak yang hampir sama!
Keduanya kini
berdiri saling pandang dan tahulah mereka bahwa tenaga mereka sangat seimbang
dan si raksasa Mancu juga tahu bahwa lawannya sungguh kebal, meski pun dia
dapat menduga bahwa kekebalan itu hanyalah sebatas kulit saja dan tendangannya
tadi setidaknya telah mengguncangkan isi dada lawan. Hal ini memang betul sebab
si raksasa Mongol merasa betapa tendangan tadi menyesakkan napasnya, maka dia
pun bersikap hati-hati sekali.
Ketika
mereka maju kembali, si raksasa Mancu melancarkan serangan tendangan lagi. Akan
tetapi kini lawannya menangkis bertubi-tubi dengan kedua lengan sehingga semua
tendangannya gagal dan pada suatu saat, kaki kirinya berhasil dicengkeram oleh
tangan kanan jagoan Mongol. Dengan tenaga yang besar, raksasa Mongol itu
mengangkat tubuh lawan ke atas lalu diputar-putar dengan maksud akan
dilemparkan atau dibantingkan.
Akan tetapi,
dengan kaki kanannya jagoan Mancu itu berhasil menendang pundak kanan lawan
sehingga cengkeramannya mengendur dan pada saat hampir dibanting itu, jagoan
Mancu dapat melepaskan dirinya. Dia terbanting akan tetapi tidak terlalu keras
sedangkan lawannya yang tertendang pundaknya juga terhuyung ke belakang.
Sekarang keduanya terengah-engah dan berdiri saling pandang seperti dua ekor
gajah yang sedang berlaga. Kemudian keduanya mengeluarkan teriakan-teriakan
keras dan mereka saling menerjang ke depan dengan cepat.
“Bressss...!”
Keduanya
bertumbukan, menggunakan kedua tangan dan kaki, juga dada untuk mengadu
kekuatan dengan lawan. Kembali keduanya terjengkang! Mereka merangkak bangun
dan melanjutkan pertandingan yang kini semakin seru bahkan mati-matian.
Jagoan Mancu
masih mengandalkan tendangan-tendangan, yang disambut lawan dengan kekebalan
dan kelincahannya sehingga setiap kali kena dicengkeram, dia selalu berhasil melepaskan
diri, bahkan beberapa kali dia terbanting, akan tetapi dapat bangun kembali.
Juga raksasa Mongol sudah beberapa kali kena terjangan sepasang kaki yang
melakukan tendangan terbang, sampai terjengkang akan tetapi juga sanggup
bangkit kembali. Sorak sorai dan tepuk tangan riuh rendah menyambut
pertandingan yang hebat ini.
Pertandingan
itu memang ramai sekali. Dua orang raksasa itu pukul-memukul,
tendang-menendang, saling cengkeram dan berusaha merobohkan lawan mengandalkan
kekuatan otot-otot tubuh yang melingkar-lingkar dan melindungi diri mereka
masing-masing dengan kekebalan tubuh.
Mereka
seperti dua ekor ayam jantan yang tak mengenal artinya menyerah. Dan agaknya
mereka itu akan berkelahi terus sampai mati. Para penonton menjadi seperti
binatang-binatang haus darah, ingin sekali melihat seorang di antara mereka
roboh dan tewas!
Akan tetapi,
pada waktu yang bersamaan tiba-tiba kepala suku Mongol dan kepala suku Mancu
memasuki arena pertandingan dan masing-masing menyerukan kepada jagoan-jagoan
itu untuk menghentikan perkelahian mereka. Dua orang raksasa itu mentaati dan
mereka segera mundur, berdiri terengah-engah dan tubuh mereka yang kokoh itu
basah oleh keringat.
“Kami sudah
melihat cukup!” kepala suku Mongol berkata. “Kedua orang jagoan ini sama kuat
dan kalau dilanjutkan, mungkin keduanya akan tewas. Hal ini tidak adil karena
masih ada seorang jago lagi yang akan memperoleh kemenangan tanpa berkelahi
kalau mereka berdua ini keduanya tewas.”
“Benar!”
sambung kepala suku Mancu. “Biarlah jagoan ketiga maju dulu melawan seorang di
antara mereka menurut undian, baru kemudian perkelahian antara dua orang jagoan
ini dilanjutkan!” Agaknya kedua kepala suku itu merasa yakin bahwa jagoan
ketiga itu tentu akan dapat dikalahkan dengan mudah.
Mendengar
itu, Ci Kang sudah membisiki sahabatnya, Moghu Khali kepala suku Khin itu.
Moghu Khali bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang,
“Memang
benar. yang tinggal hanya tiga orang jago. Agar adil, maka biarlah ketiga orang
jago itu maju bersama, saling serang sampai tinggal seorang di antara mereka
sebagai pemenang dan yang dua orang lagi roboh.”
Usul kepala
suku Khin ini disetujui oleh semua orang. Tentu saja para penonton menjadi
semakin gembira. Tadi mereka melihat orang muda berjubah kulit harimau itu pun
cukup tangguh sehingga kalau tiga orang jagoan tangguh itu maju bersama dan
saling serang, tentu mereka dapat menonton perkelahian yang sungguh menarik,
seru dan mati-matian. Suasana menjadi semakin menegangkan.
Kini tiga
orang jagoan itu telah maju ke tengah arena pertandingan. Ci Kang yang maklum
akan kekuatan lawan dan juga kekebalan tubuh mereka, maju sambil menunggang
kuda putihnya dan memegang tombak kong-ce yang bergagang panjang itu. Sikapnya
tenang saja.
Sebenarnya
dia tidak gentar apa bila harus menghadapi mereka dengan berjalan kaki dan
bertangan kosong, akan tetapi dia tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya
terlalu besar karena amatlah berbahaya kalau menghadapi dua orang itu dengan
tangan kosong, kecuali jika dia menggunakan ilmunya untuk membunuh mereka
dengan pukulan-pukulan ampuh. Tetapi, justru dia sama sekali tidak ingin
membunuh orang, apa lagi dalam suatu pertandingan adu kepandaian ini di mana
dia hanya menjadi wakil kepala suku Khin yang menjadi sahabatnya.
Sementara
itu, dua orang raksasa Mongol dan Mancu itu tadi telah menerima bisikan dari
kepala suku masing-masing. Mereka memang cerdik. Mereka berdua itu maklum bahwa
di antara mereka terdapat tingkat kekuatan yang seimbang dan meski pun
masing-masing belum dapat menentukan kemenangan, akan tetapi setidaknya
kesempatan mereka untuk menang adalah setengah bagian. Akan tetapi, apa bila
seorang di antara mereka sampai dibantu oleh pemuda berbaju kulit harimau itu,
maka yang dikeroyok akan celaka.
Karena itu,
jalan satu-satunya bagi mereka adalah maju bersama mengeroyok pemuda berkuda
itu dan sesudah pemuda itu roboh, hal yang mereka yakin akan dapat mereka
lakukan dengan cepat bila mana mereka maju berdua, barulah mereka berdua akan
dapat bertanding kembali untuk menentukan siapa yang lebih unggul.
Ci Kang sama
sekali tak menyangka bahwa dia akan dikeroyok dan barulah dia tahu akan hal ini
sesudah dua orang raksasa itu maju menghampirinya dari kanan kiri dengan sikap
mengancam dan wajah beringas. Ci Kang sama sekali tidak merasa gentar, akan
tetapi diam-diam dia amat mengkhawatirkan kudanya, maka dia pun meloloskan
kedua kakinya dari injakan agar kedua kakinya bebas.
Gerengan
dari kanan kiri menandakan bahwa dua orang raksasa itu sekarang telah mulai
menyerangnya. Raksasa Mongol itu menyerang dari kiri dengan kedua tangan
menubruk seperti seekor harimau sedangkan raksasa Mancu yang mengandalkan
kekuatan kakinya telah mengirim tendangan ke arah perut Ci Kang.
Pemuda ini
sudah siap siaga, menyambut tubrukan raksasa Mongol dengan tombaknya. Dia
bukannya menusuk tubuh akan tetapi menggunakan ujung tombak yang dibalik, yaitu
menggunakan gagang tombak, menusuk ke arah mata! Ini pun hanya gertakan saja,
atau siasat untuk mencegah raksasa itu melanjutkan serangannya. Sementara itu,
tendangan kaki raksaaa Mancu ke arah perutnya itu dia sambut dengan kaki
kanannya.
“Dukkk...!”
Terdengar
dua orang raksasa itu mengeluarkan seruan kaget bukan kepalang. Raksasa Mongol
terkejut karena tiba-tiba saja ada ujung gagang tombak menyambar cepat ke arah
matanya. Ia boleh mengandalkan kekebalannya, akan tetapi jika matanya dicolok
dengan gagang tombak, tentu akibatnya celaka baginya. Maka tak ada jalan lain
baginya kecuali membuang diri ke belakang dan bergulingan setelah mengeluarkan
seruan kaget.
Ada pun
raksasa Mancu yang mengandalkan kekuatan kakinya itu, begitu kakinya beradu
dengan kaki pemuda itu, tubuhnya langsung terjengkang dan dia pun bergulingan
sambil menahan rasa nyeri yang membuat tulang kering kakinya berdenyut-denyut
panas!
Dua orang
raksasa itu melompat bangun lagi dan suasana menjadi sunyi senyap karena semua
penonton melongo ketika melihat betapa dalam gerakan pertama saja pemuda itu
sudah berhasil membuat kedua orang raksasa yang mereka jagokan itu jatuh bergulingan!
Bahkan orang-orang Khin sendiri yang mengajukan Ci Kang sebagai jagoan mereka,
kini nampak terdiam dan melongo, terlalu heran dan kaget sehingga lupa untuk
bersorak.
Bukan hanya
karena ini saja, akan tetapi juga karena suku itu secara diam-diam merasa takut
dan segan terhadap suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku-suku terbesar dan
terkuat, maka melihat kepala suku mereka diam saja mereka pun tidak berani
untuk bersorak sorai.
Sementara
itu Ci Kang maklum bahwa jika dia menunggang kuda untuk menghadapi dua orang
lawan yang ingin dia jatuhkan tanpa dibunuh, maka kudanya tentu akan terancam
bahaya, dan agak sukarlah baginya untuk melindungi kuda itu. Maka begitu kedua
orang itu melompat bangun, dia sudah meloncat dari atas kudanya.
Ci Kang
sengaja meloncat dengan gaya lompatan ke atas, tinggi dan kemudian tubuhnya
berjungkir balik beberapa kali di udara sebelum meluncur turun, didahului oleh
tombaknya yang menancap di atas tanah kemudian Ci Kang berdiri tegak di atas
tombak itu dengan sebelah kaki. Sedikit pun tubuhnya tidak bergoyang!
Tentu saja
hal ini sangat mengagumkan para penonton dan orang-orang Khin tidak dapat lagi
menahan kebanggaan dan kegembiraan hati mereka. Pada saat kepala suku mereka
bertepuk tangan memuji, mereka pun lantas bersorak gembira sehingga suasana
menjadi riuh kembali.
Nenek Yelu
Kim terkejut sekali. Dia mendekati Sui Cin lantas berbisik, “Pemuda itu hebat
sekali, apakah engkau sanggup menandinginya?”
Sui Cin juga
melihat semua itu dan diam-diam kagum akan kelihaian Ci Kang. Akan tetapi kalau
hanya ginkang seperti yang barusan dipertontonkan Ci Kang itu, dia masih
sanggup menandinginya, bahkan mengatasinya.
“Harap subo
jangan khawatir,” bisiknya kembali.
Sementara
itu, Hui Song yang juga melihat Ci Kang bergaya, diam-diam merasa panas hatinya
walau pun dia harus akui pula bahwa pemuda putera Iblis Buta itu agaknya telah
mendapat kemajuan dan sekarang mungkin lebih lihai dari pada dahulu, hal yang sudah
diduganya ketika Ci Kang muncul di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ada timbul
keinginan untuk mencoba kepandaian pemuda itu.
Namun hal
itu tidak mungkin dilakukan di sini karena tentu akan mengacaukan pemilihan
pimpinan itu dan dia tidak mau menyusahkan rombongan Lam-nong. Maka dia pun
diam saja dan hanya menonton, sambil diam-diam sering kali melirik ke arah
rombongan nenek Yelu Kim dan Sui Cin.
Dua orang
raksasa itu sudah menjadi marah sekali karena dalam gebrakan pertama tadi
mereka telah dibikin malu. Biar pun mereka tak terluka, akan tetapi mereka
telah dipaksa roboh bergulingan. Maka kini, walau pun mereka juga terkejut
melihat betapa pemuda itu memperlihatkan keringanan tubuh yang istimewa, mereka
lalu berlari menerjang dengan marah.
Akan tetapi
betapa kaget dan heran hati mereka ketika tiba-tiba saja pemuda itu lenyap
bersama tombaknya dan mereka hanya menubruk tempat kosong, bahkan hampir saling
pukul sendiri. Kalau saja mereka berdua itu tidak mempunyai siasat untuk
terlebih dahulu merobohkan Ci Kang, tentu mereka sudah saling hantam sebab
sekarang mereka saling berhadapan dekat sekali.
Akan tetapi
keduanya sama sekali tidak melakukan hal ini, melainkan cepat membalik dan
mencari Ci Kang. Ketika melihat pemuda itu berdiri tidak jauh di belakang
mereka sambil melintangkan tombaknya, mereka pun cepat menyerbu lagi. Kini
semua penonton maklum bahwa dua orang raksasa yang tadi saling
banting-membanting itu tiba-tiba saja sudah bersatu untuk menghadapi dan
mengeroyok pemuda berbaju kulit hatimau itu!
“Curang...!”
Moghu Khali, kepala suku Khin itu mengomel akan tetapi tidak berani bicara
keras.
Betapa pun
juga, sesudah memasuki arena pertandingan, tiga orang itu bebas berkelahi
dengan cara bagaimana pun juga. Dia hanya mengkhawatirkan keselamatan jagoannya
sebab menghadapi pengeroyokan dua orang raksasa itu sungguh amat berbahaya
sekali. Juga Sui Cin dan Hui Song menonton dengan hati tegang. Mereka juga
dapat merasakan betapa berbahayanya keadaan Ci Kang sekarang.
Akan tetapi
Ci Kang menghadapi mereka dengan sikap tenang-tenang saja. Pemuda ini pun bukan
orang bodoh dan majunya ke tempat itu hanya untuk membantu Moghu Khali yang
menjadi sahabatnya. Kalau dia mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, agaknya
akan mudah baginya melawan dan menewaskan dua orang raksasa ini.
Akan tetapi
dia tahu bahwa dengan melakukan hal ini tentu akan timbul iri dan penasaran
dalam hati para kepala suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku yang terbesar
dan kuat. Dan hal itu tentu akan membuat keadaan tak menguntungkan bagi Moghu
Khali dan mungkin sekali akan dimusuhi.
Oleh karena
itu dia mengambil keputusan untuk mencapai kemenangan setelah memberi muka
kepada dua orang raksasa ini, yang berarti memberi muka pula kepada kepala suku
masing-masing. Maka, ketika dua orang raksasa itu datang menyerbu kembali, dia
hanya mengelak dan menangkis, mempergunakan kegesitannya untuk menghindarkan
diri.
Terjadilah
perkelahian yang kelihatannya saja seru dan menegangkan, akan tetapi bagi
orang-orang pandai seperti Sui Cin dan Hui Song, nampak jelas bahwa Ci Kang
sengaja mengalah dan belum pernah membalas. Dan mereka berdua ini pun setelah
mengamati gerak-gerik kedua orang raksasa itu mendapat kenyataan bahwa dua
jagoan tinggi besar itu hanya memiliki tenaga besar saja namun dalam hal ilmu
berkelahi masih jauh kalah kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat Ci
Kang.
Sesudah
membiarkan dirinya dihujani serangan sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba
Ci Kang memutar-mutar tombaknya dan tombak itu lenyap berubah menjadi gulungan
sinar putih yang membungkus tubuhnya. Tubuh Ci Kang sendiri lenyap, hanya
nampak kedua kakinya saja kadang-kadang menginjak tanah. Melihat ini, dua orang
raksasa itu menjadi terkejut dan tentu saja merasa ragu-ragu karena mereka
gentar untuk menerjang dinding yang terbuat dari gulungan sinar putih itu.
Ci Kang sama
sekali tak berniat membunuh lawan. Dia memutar tombak itu hanya untuk
menciptakan dinding sinar yang menutup tubuhnya, dan memang maksudnya adalah
agar kedua orang lawan itu menghentikan serangan mereka.
Pada saat
kedua orang raksasa itu berdiri bimbang, tiba-tiba Ci Kang meloncat ke depan,
menggunakan tombak yang dibalik untuk menotok kedua lutut raksasa Mancu yang
ahli tendangan itu, dan berbareng tangan kirinya menampar ke arah tengkuk
raksasa Mongol sambil mengerahkan tenaga sinkang.
Dua serangan
yang dilakukukan Ci Kang ini sudah memakai perhitungan dan pemusatan tenaga,
maka mengenai sasarannya secara tepat sekali. Dua orang raksasa itu langsung
terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali!
Raksasa
Mancu tertotok kedua lututnya dan kedua kakinya menjadi lumpuh, sedangkan
raksasa Mongol yang tengkuknya kena dihantam dengan tangan kiri yang
dimiringkan itu roboh pingsan. Ternyata kekebalannya tak mampu melindungi
tengkuknya dari hantaman yang mengandung tenaga sinkang amat kuat itu.
Suasana
kembali menjadi sunyi sebab untuk ke sekian kalinya semua orang tertegun dan
melongo, hampir tidak percaya bahwa pemuda itu akan mampu mengalahkan dua orang
jagoan raksasa yang mengeroyoknya itu dengan demikian mudahnya!
Ketika tadi
Ci Kang memperlihatkan kepandaiannya, tidak pernah dapat dirobohkan oleh kedua
orang penyerangnya, orang-orang mulai menjadi tegang dan mengira bahwa tentu
akan terjadi perkelahian mati-matian. Akan tetapi siapa sangka pemuda itu akan
mampu mengakhiri pertandingan itu sedemikian mudah dan cepat.
Akan tetapi
Ci Kang tidak peduli dan dia sudah meloncat kembali ke atas punggung kuda
putihnya sambil melintangkan tombaknya. Dengan gagah Ci Kang menjalankan kudanya
berputaran di lapangan itu, tidak bersikap sombong melainkan menanti
kalau-kalau masih ada jagoan lain yang akan maju menandinginya, sementara itu
dua orang raksasa yang roboh telah digotong pergi oleh teman-temannya.
Setelah
Moghu Khali mengangkat tangan bersorak, barulah anak buahnya berani bertepuk
tangan dan bersorak kegirangan melihat betapa jagoan mereka mendapat
kemenangan, dan tak lama kemudian hampir semua orang yang hadir di situ ikut
bersorak menyambut kemenangan ini. Bagaimana pun juga, mereka itu adalah
suku-suku bangsa yang selalu menghargai kegagahan dan melihat kehebatan Ci
Kang, mereka merasa kagum sekali.
Melihat
sikap semua orang ini, Moghu Khali berbesar hati untuk menuntut haknya, yaitu
menjadi pimpinan karena jagoannya telah keluar sebagai pemenang. Dia melangkah
maju dan mengangkat kedua tangan ke atas, kemudian berseru dengan suara
lantang.
“Seperti
saudara sekalian menyaksikannya, jagoan yang kami ajukan telah menjadi juara
dan mengalahkan semua jagoan lainnya, oleh karena itu...”
“Tunggu
dulu...!” Suara nenek Yelu Kim melengking dan mengatasi semua suara sehingga
semua orang menengok kepadanya.
Nenek ini
telah bangkit berdiri pula, kemudian mengebut-ngebutkan hud-tim di tangannya.
Karena nenek ini dikenal sebagai orang yang disegani bahkan ditakuti, dan juga
nasehat-nasehatnya selalu ditaati oleh para suku bangsa di daerah utara karena
nasehat-nasehat itu memang amat baik dan tepat, maka kini semua orang memandang
dan menanti apa yang akan dikatakan oleh nenek itu.
“Saudara
sekalian harap tenang dulu. Aku sendiri masih mempunyai seorang jagoan, dan aku
berhak mengajukan jagoku, setidaknya untuk menguji sampai di mana kemampuan
jagoan dari saudara-saudara suku Khin itu!”
Tiba-tiba
terdengar suara auman harimau yang menggetarkan jantung dan dari belakang
rombongan nenek Yelu Kim melompatlah keluar seekor harimau besar yang
ditunggangi oleh seorang bertubuh kecil ramping yang muka dan kepalanya
ditutupi dengan kain hitam sebagai kedok. Hanya sepasang matanya yang mencorong
itu saja yang kelihatan dari lubang pada kain hitam itu. Orang ini menunggang
harimau bagaikan menunggang kuda saja, tanpa pelana, dan tangan kanannya
memegang sebatang tongkat yang panjangnya hanya dua kaki lebih.
“Harimau
Terbang...!” Terdengar orang berbisik-bisik dengan mata terbelalak, dan mereka
memandang dengan gentar.
Hui Song
yang semenjak tadi memandang ke arah rombongan nenek Yelu Kim di mana terdapat
pula Sui Cin, sekarang ikut terbelalak juga sebab tadi dia hanya melihat gadis
itu menyelinap lenyap di antara rombongan nenek itu, lantas kini muncul orang
menunggang harimau dan Sui Cin tidak nampak pula. Biar pun orang itu
menyembunyikan kepala dan mukanya di balik kedok kain sutera hitam, akan tetapi
dia mengenal perawakannya dan juga tadi Sui Cin memakai pakaian seperti yang
kini dipakai penunggang harimau itu.
Saking
herannya Hui Song hanya memandang saja. Apa artinya semua ini, pikirnya. Sui
Cin maju sebagai jagoan dari nenek Yelu Kim pemimpin perkumpulan rahasia
Harimau Terbang, bahkan kini Sui Cin memakai kedok dan menunggang harimau!
Ci Kang juga
terkejut sekali melihat munculnya orang yang menunggang harimau itu. Dari Moghu
Khali, dalam percakapan mereka, dia telah mendengar akan nenek Yelu Kim yang
disegani itu, juga bahwa nenek itu memimpin sebuah perkumpulan rahasia yang
bernama Harimau Terbang dan nenek itu bertindak sebagai penasehat dan pengawas
para suku di utara.
Kini,
melihat munculnya penunggang harimau itu, dia bersikap tenang tetapi waspada.
Dia tahu bahwa penunggang harimau itu seorang wanita, dan kalau seorang wanita
sudah mampu menunggang harimau dengan gerakan seperti itu, tentulah wanita itu
lihai sekali.
Akan tetapi
calon lawannya itu agaknya tak memberi banyak waktu baginya untuk berpikir dan
melamun. Dengan lompatan-lompatan jauh, harimau itu sudah datang mendekat dan
Ci Kang sudah siap siaga dengan tombaknya.
“Lihat
serangan!” Mendadak penunggang harimau itu membentak dan harimau itu sudah
melompat, menerkam ke arah Ci Kang beserta kudanya, sedangkan penunggangnya
juga menggerakkan tongkatnya menusuk ke arah mata Ci Kang!
Sungguh
hebat bukan main serangan itu dan melihat kenyataan betapa orang ini memberi
peringatan dulu sebelum menyerang, dalam bahasa Han yang tidak kaku, Ci Kang
dapat menduga bahwa orang di balik kedok sutera hitam itu tentulah seorang
pendekar wanita dari selatan! Menghadapi serangan maut itu, yang amat berbahaya
bagi dirinya dan juga kuda yang ditungganginya, Ci Kang bergerak cepat. Tangan
kirinya segera diangkat ke atas menangkis tusukan tongkat.
“Dukkk...!”
Tangan
kirinya yang kuat itu bertemu dengan tongkat sehingga tongkat itu terpental,
akan tetapi Ci Kang juga merasa betapa lengan kirinya tergetar. Pada saat itu
dia pun harus menyelamatkan kudanya, maka dia menggerakkan tombaknya menangkis
dua kaki depan harimau yang menerkam itu.
“Bressss...!”
Dua kaki
harimau itu tertangkis dan tombaknya segera dilanjutkan menusuk dada harimau
yang masih melompat itu.
“Dukkk...!”
Kini ujung
tombaknya ditangkis dengan tendangan wanita penunggang harimau! Ci Kang
terkejut sekali. Sungguh hebat gerakan wanita itu dan kini harimau itu sudah
menyerang lagi dengan cepat setelah tadi meloncat turun, membalik dan mengaum.
Ci Kang
terpaksa memutar tombaknya untuk melindungi dirinya sendiri dan juga kudanya.
Dan binatang tunggangannya itu menjadi panik, mengangkat kaki depan ke atas
sambil meringkik-ringkik ketakutan, juga meronta-ronta. Hal ini sungguh
membahayakan dirinya dan hampir saja pundaknya terkena pukulan tongkat.
Jika
dilanjutkan begini, menunggang seekor kuda yang ketakutan, tentu akhirnya dia
akan celaka, pikirnya. Maka Ci Kang lalu meloncat turun dari atas kudanya dan
begitu kuda itu merasa terbebas dari kendali, dia pun meringkik dan melarikan
diri ketakutan!
Kini Ci Kang
berdiri di atas tanah, bersiap dengan tombaknya. Dia merasa penasaran dan marah,
apa lagi mendengar wanita itu tertawa lirih dari balik kedoknya. Engkau curang,
pikirnya, mengandalkan harimau itu untuk membikin takut kuda. Maka, melihat
harimau itu kembali menubruk, dia pun memapakinya dengan tusukan tombaknya yang
panjang.
“Tranggg...!”
Ujung tombak
tertangkis oleh tongkat baja dan keduanya merasa betapa masing-masing mempunyai
tenaga sinkang yang sama kuat. Akan tetapi Ci Kang tidak mau memberi hati dan
dia pun memutar tombaknya, mendesak dan ujung tombaknya melakukan serangan
bertubi-tubi ke arah tubuh harimau!
Maka
repotlah penunggang harimau itu yang harus melindungi tubuh harimaunya dengan
tangkisan-tangkisan, yang membuat tubuhnya kadang-kadang membungkuk ke
sana-sini. Karena senjata di tangan Ci Kang jauh lebih panjang, maka mudah bagi
pemuda itu untuk menghujankan serangan.
Apa bila dia
menujukan serangannya kepada penunggang harimau itu, tentu lebih mudah bagi
lawannya untuk melindungi dirinya dan harimau itu akan merupakan bahaya
baginya. Akan tetapi karena dia menujukan serangan-sarangannya kepada tubuh
harimau, maka sebaliknya penunggang harimau itu yang repot bukan main karena
harus menyelamatkan binatang tunggangannya dari tusukan tombak.
Wanita
penunggang harimau itu tentu saja Sui Cin orangnya. Seperti yang kita ketahui,
ia telah dipilih oleh Yelu Kim untuk menjadi murid dan pembantunya. Sui Cin
merasa hutang budi kepada nenek itu yang sudah menyembuhkannya, bukan saja dari
pengaruh racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li kepadanya, melainkan nenek
Yelu Kim itu juga sudah menyembuhkannya dari penyakit hilang ingatan. Dan kini,
atas perintah Yelu Kim, ia maju menghadapi Ci Kang sambil menunggang harimau.
Memang benar
bahwa harimau itu sudah merepotkan Ci Kang dan membuat pemuda itu terpaksa
turun dari kudanya yang ketakutan. Akan tetapi setelah kini pemuda itu tidak
lagi menunggang kuda dan menghadapinya di atas tanah dengan tombaknya,
keadaannya kini menjadi terbalik.
Sui Cin kini
menjadi kerepotan sekali, harus melindungi harimaunya. Ia merasa penasaran dan
marah, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya
mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali lalu meluncur turun menyerang
Ci Kang dari udara. Tongkat baja di tangannya diputar dan menghantam ke arah
kepala pemuda itu.
Ci Kang
terkejut dan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Tongkat bertemu
dengan tombak, nampak bunga api berpijar dan keduanya terdorong ke belakang.
Sui Cin berjungkir balik lagi dan turun ke atas tanah.
“Houw-ji,
mundurlah!” Ia berkata kepada harimau itu yang kemudian mengeluarkan suara
menggereng, meringis memperlihatkan taringnya, akan tetapi agaknya binatang ini
sudah mengenal dan mentaati suara Sui Cin. Dia pun mundur mendekat nenek Yelu
Kim yang segera mengelus-elus kepalanya.
Kini Ci Kang
berhadapan dengan Sui Cin. Keduanya berdiri tegak dan sama-sama tidak
menunggang apa-apa lagi.
“Hemm, kini
engkau tidak dapat mengandalkan kegalakan macan itu!” Ci Kang mengejek,
diam-diam merasa kagum dan menduga-duga siapa adanya wanita perkasa bangsa Han
yang menjadi kaki tangan nenek Yelu Kim ini.
“Lihat
serangan!” Sui Cin membentak marah dan tidak melayani ejekan Ci Kang, tongkat
di tangan menyambar ganas.
Akan tetapi
sambil tersenyum Ci Kang menggerakkan tombaknya dan menangkis dengan mudah,
lantas balas menyerang, menyapukan tombaknya ke arah kaki lawannya. Namun
sapuan tombak itu pun dapat dielakkan dengan sangat mudahnya oleh Sui Cin,
dengan cara meloncat ke atas.
Melihat
gerakan loncatan ke atas lalu tongkat di tangan itu langsung menusuk dari atas,
diam-diam Ci Kang merasa kagum juga. Bukan main wanita ini, pikirnya, memiliki
ginkang yang amat hebat sehingga dia harus berhati-hati sekali karena ginkang
sehebat ini dapat mendatangkan kesukaran baginya. Maka dia pun menggerakkan
tombaknya, melindungi dirinya dengan amat kuat, terus memutar tombak itu
sehingga membentuk lingkaran dari gulungan sinar.
Sui Cin yang
mengenal Ci Kang dan mengetahui pula bahwa putera datuk sesat Si Iblis Buta ini
memang lihai sekali, tidak merasa gentar dan dia pun mengandalkan ginkang-nya
untuk mengimbangi kecepatan gerakan tombak. Segera terjadilah serang-menyerang
dan pertandingan yang seru ini membuat semua penonton menjadi gembira.
Betapa pun
juga, jago yang diajukan oleh suku Khin itu adalah orang Han, dan mereka pun
tidak tahu siapa adanya jago Harimau Terbang yang diajukan oleh nenek Yelu Kim,
maka mereka pun sukar menentukan siapakah yang mereka dukung. Akan tetapi
melihat betapa kedua orang itu berkelahi dengan amat cepat, perkelahian dengan
ilmu silat yang tidak pernah mereka saksikan sebelumnya, mereka menjadi kagum
dan gembira sekali,.
Akan tetapi,
setelah Ci Kang mengerahkan tenaga sinkang-nya dan mengeluarkan semua ilmu
silatnya, Sui Cin terkejut sekali. Tadinya dia merasa yakin akan sanggup
mengatasi pemuda itu mengingat bahwa selama tiga tahun ini ia digembleng oleh
Wu-yi Lo-jin. Akan tetapi siapa kira agaknya pemuda itu pun selama ini sudah
memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga kini dia sama sekali tidak mampu
mendesaknya, apa lagi mengatasinya.
Bahkan dia
mulai terdesak karena tenaganya kalah kuat biar pun dalam hal kecepatan dia
masih lebih unggul. Akan tetapi keunggulan dalam ginkang ini pun dapat ditutup
oleh Ci Kang dengan gerakan tombaknya yang luar biasa cepatnya. Tentu saja Sui
Cin tidak tahu bahwa seperti juga ia sendiri, pemuda itu menerima gemblengan
hebat selama tiga tahun oleh Cui-sian Lo-kai!
Nenek Yelu
Kim juga melihat betapa murid atau pembantunya itu sama sekali tak mampu
mendesak pemuda baju kulit harimau yang amat lihai itu, walau pun muridnya juga
tidak dapat dibilang kalah karena keduanya agaknya mempunyai kepandaian yang
seimbang.
Akan tetapi
ia merasa khawatir kalau-kalau Sui Cin kalah. Ia tidak boleh kalah. Kekalahan
muridnya itu berarti akan menghancurkan nama besar Harimau Terbang, sekaligus
akan meruntuhkan namanya pula sebagai orang yang yang paling disegani di antara
suku-suku di utara.
Terutama
sekali, kekalahan Sui Cin berarti kegagalannya pula untuk memegang tampuk
pimpinan di antara para suku yang akan berjuang untuk menegakkan kembali
kekuasaan utara atas daerah selatan! Maka, diam-diam nenek ini duduk bersila
lantas mengerahkan semua tenaga batinnya, mulutnya berkemak-kemik dan dia mulai
mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membantu Sui Cin.
Mendadak
terjadilah perubahan dalam perkelahian itu. Beberapa kali Ci Kang terhuyung dan
kelihatan betapa dia keheranan dan kebingungan, kadang-kadang mempergunakan
tombaknya untuk menangkis ke kanan, kiri atau belakang, padahal dari ketiga
jurusan itu tidak ada sesuatu yang menyerang dirinya. Memang dia merasa seperti
ada angin-angin pukulan menyambar dari jurusan-jurusan ini sehingga dia cepat
menangkis, namun selalu hanya menangkis angin kosong saja.
Karena itu,
tentu saja Sui Cin memperoleh kesempatan untuk mendesaknya. Gadis ini merasa
seolah-olah lawannya menghadapi pengeroyokan. Sejenak dia sendiri pun heran
melihat perubahan pada lawannya.
Akan tetapi
dia pun segera teringat kepada nenek Yelu Kim yang pandai sihir dan dapat
menduga bahwa tentu nenek itu yang membantunya dengan kekuatan sihir. Hal ini
malah membuat dia merasa jengkel dan marah. Dia belum lagi kalah dan tak akan
kalah, maka sungguh memalukan kalau harus menghadapi Ci Kang dengan pengeroyokan.
Kemarahan
ini yang membuat Sui Cin bertindak sambrono. Karena merasa marah, dia lalu
menumpahkan kemarahannya kepada lawan di depannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan
suara melengking keras lantas tangan kirinya bergerak ke depan. Nampak cahaya
merah disusul teriakan Ci Kang yang kaget dan kesakitan lalu tubuh pemuda itu
pun terjengkang keras, roboh dan tidak bergerak lagi karena dia telah pingsan!
Kiranya,
dalam kemarahannya itu Sui Cin telah mempergunakan senjata rahasianya yang
ampuh, yang diajarkan ibunya kepadanya. Senjata rahasia itu berupa jarum-jarum
halus berwarna merah harum dan beracun! Inilah senjata rahasia yang biasa
dipergunakan oleh golongan hitam dan hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa
ibu gadis itu, Toan Kim Hong, dahulunya selama bertahun-tahun pernah terkenal
sebagai Lam-sin, seorang datuk sesat dari selatan!
Setelah
melihat lawannya menggeletak dengan muka pucat dan pingsan, barulah Sui Cin
memandang dengan mata terbelalak, merasa amat menyesal mengapa dia menggunakan senjata
rahasia yang bahkan oleh ibunya sendiri dia sudah dilarang untuk sembarangan
dipergunakan. Dan dalam penyesalannya ini, Sui Cin sampai berdiri terbelalak
dan seperti orang kehilangan akal, diam saja ketika melihat beberapa orang Khin
langsung maju dan menggotong tubuh Ci Kang yang masih pingsan.
Sorak-sorai
gegap gempita menyambut kemenangan Sui Cin. Sekarang terdengar suara nenek Yelu
Kim yang melengking nyaring mengatasi semua suara sehingga orang-orang menjadi
tenang mendengarkan.
“Saudara-saudara
sekalian yang tercinta. Para dewata sudah berkenan menentukan kami sebagai
pemenang dan pimpinan. Para jagoan tadi merupakan tenaga-tenaga yang amat baik
untuk membantu perjuangan kita, juga pemuda berbaju kulit harimau itu agar
dirawat sebaiknya. Sekarang kita beristirahat dulu sambil mempersiapkan diri
untuk malam nanti mengadakan pertemuan rapat besar. Jagoku sudah menang,
berarti kami berhak menjadi pimpinan kalian yang akan membimbing kalian
melakukan perjuangan dengan berhasil. Apakah ada yang tidak setuju dan ada yang
masih hendak mengajukan jago baru?”
Semua orang
menyatakan setuju. Kalau masih ada yang merasa penasaran, mereka pun tidak
berani bicara terus terang, karena mereka semua merasa segan dan takut kepada
nenek Yelu Kim. Apa lagi kini nenek itu mempunyai seorang jago yang demikian
lihainya, sehingga melawan pun tidak akan menang.
Akan tetapi,
di antara para kepala suku, ada pula beberapa yang diam-diam merasa tidak
setuju jika perjuangan mereka itu dipimpin oleh seorang wanita, sudah
nenek-nenek pula. Semenjak dahulu, perjuangan bangsa mereka itu dipimpin oleh
orang laki-laki yang gagah perkasa, bukan oleh seorang nenek tua renta. Hal ini
sungguh menyinggung rasa harga diri dan kejantanan mereka.
Akan tetapi,
sedikit kepala suku itu, termasuk Lam-nong kepala suku Mancu Timur, tidak
berani berterus terang, hanya mereka sudah merasa kehilangan gairah untuk
melanjutkan perjuangan menyerbu ke selatan kalau dipimpin oleh seorang nenek
tua. Dan diam-diam kelompok-kelompok yang tidak setuju ini pun lalu pergi
meninggalkan tempat itu, tak ingin menghadiri rapat yang dipimpin oleh nenek
itu. Juga Lam-nong mengajak rombongannya untuk kembali ke timur dan tidak mau
mencampuri pemberontakan.
Sui Cin baru
sadar ketika lengannya dipegang nenek Yelu Kim yang mengajaknya untuk
mengundurkan diri. Melihat wajah muridnya yang nampak agak pucat dan penuh
dengan penyesalan, nenek itu berbisik,
“Engkau
kenapakah, Sui Cin? Engkau sudah menang, dan aku sangat berterima kasih
kepadamu. Lawanmu itu sungguh lihai sekali. Akan tetapi kenapa engkau tidak
kelihatan senang, sebaliknya kelihatan muram? Apakah kemenanganmu itu tidak
menggembirakan hatimu?”
Sui Cin
menggeleng kepala. “Tidak, sama sekali tidak menggembirakan hatiku.”
Mendengar
ini, nenek Yelu Kim terkejut dan dia pun menggandeng tangan muridnya, lalu
muridnya itu diajaknya memasuki tendanya yang sunyi menyendiri dan di sini dia
bicara dengan wajah serius dengan gadis itu.
“Nah, anak
yang baik, sekarang ceritakan mengapa engkau begini muram dan mengapa
kemenangan itu tidak menggembirakan hatimu?”
“Subo, aku
telah kesalahan tangan kepada Siangkoan Ci Kang...”
“Siangkoan
Ci Kang? Siapakah itu?”
“Jagoan suku
Khin tadi.”
“Ahh, jadi
engkau sudah mengenalnya? Dia... sahabatmu?”
Sui Cin
menggelengkan kepala. “Bukan, bahkan dapat dibilang musuh karena dia pernah
menjadi tokoh golongan hitam. Akan tetapi, subo, dia pernah menolongku, aku
berhutang budi kepadanya dan tadi, karena aku merasa penasaran, aku... aku
telah merobohkannya dengan jarum merah beracun yang amat berbahaya...”
Nenek itu
mengangguk-angguk. Sepasang matanya yang mencorong itu menatap wajah muridnya
penuh selidik, dan mendadak dia memegang lengan gadis itu. “Sui Cin, apakah
engkau... cinta padanya?”
Tiba-tiba saja
wajah dara itu berubah merah sekali dan dia memandang nenek itu dengan mata
terbelalak. “Tidak, subo, kenapa subo bertanya dan menduga demikian?”
Nenek itu
menarik napas panjang lantas dia pun menundukkan mukanya. “Karena orang hidup
harus ada cinta di hatinya, anak baik. Tiadanya cinta dalam hati berarti orang
hidup dalam neraka, dalam kesengsaraan, dalam kesepian, seperti aku ini...”
Sui Cin
semakin heran dan sekarang dia bengong memandang nenek itu yang tiba-tiba saja
menangis! Tangisnya sungguh menyedihkan, kedua pundaknya terguncang-guncang,
mukanya disembunyikan di balik jari-jari tangan itu, dan suara tangisnya
terdengar sampai sesenggukan.
Sui Cin
hampir tidak percaya melihat semua ini. Nenek Yelu Kim yang biasanya demikian
penuh wibawa dan semangat, yang biasanya begitu tabah dan tegas, sekarang
menangis seperti anak kecil! Sebagai seorang wanita yang biasanya amat peka
dalam menghadapi kesedihan dan tangis wanita lain, Sui Cin menahan air matanya
dari kedua mata yang sudah terasa panas itu dan dia pun memegang kedua lengan
nenek itu.
“Subo, ada
apakah? Kenapa subo menangis?”
Sampai lama
nenek itu tidak dapat menjawab, hanya terisak-isak sambil kadang-kadang
mengusap air matanya yang bercucuran. Akhirnya dapat juga dia menguasai dirinya
dan tangisnya terhenti, hanya tinggal isak yang kadang-kadang saja. Ia
mengeringkan semua bekas air mata dengan sehelai sapu tangan, lalu memandang
wajah dara itu dengan mata yang merah bekas tangis.
“Maafkan
aku, Sui Cin, baru sekarang aku mendapat kesempatan menumpahkan semua rasa duka
di hatiku di depan seseorang. Ini merupakan yang pertama dan terakhir, walau
pun kalau sedang sendirian, terutama sekali sebelum tidur, aku lebih sering
menangis dari pada tidak.”
“Akan
tetapi, mengapa demikian subo? Subo adalah seorang yang sakti, yang berwibawa
dan berpengaruh, malah kini telah berhasil menjadi pimpinan para suku untuk
melakukan gerakan perjuangan, akan tetapi mengapa subo berduka?”
“Karena aku
takut!”
Jawaban ini
makin mengherankan hati Sui Cin. “Takut? Subo...? Ah, bagaimana mungkin subo
mengenal takut? Takut apakah?”
“Aku takut,
Sui Cin. Sungguh, aku menggigil dan jantungku berdebar hampir copot kalau aku
membayangkan. Aku takut... takut akan kematian...”
“Ehh? Takut
akan kematian?”
“Aku takut,
Sui Cin. Bagaimana nanti kalau aku sudah mati? Usiaku sudah amat tua dan hari
kematianku tentu tidak lama lagi. Aku tahu bahwa kematian tidak dapat
dihindarkan, bahwa semua manusia hidup pada suatu ketika pasti mati. Akan
tetapi aku takut, karena bagaimana kalau aku tidak hidup lagi? Lalu bagaimana
dengan aku? Bagaimana dengan kedudukanku? Ahh, kalau saja aku dapat melihat apa
yang terjadi sesudah mati! Sudah banyak ilmu kupelajari, banyak tempat kujelajahi,
namun aku belum berhasil memperoleh ilmu untuk menjenguk keadaan sesudah mati.
Aku takut, Sui Cin... aku takut...”
Sui Cin
duduk diam termenung, alisnya berkerut. Ia sendiri belum pernah berpikir
tentang kematian, bahkan sampai saat ini pun dia tidak pernah peduli akan hal
itu. Akan tetapi dia tidak pernah merasa takut sungguh pun dia sendiri juga
tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya sesudah mati. Akan tetapi dia
tidak takut!
Rasa takut
akan kematian ini bukan hanya dirasakan oleh nenek Yelu Kim, akan tetapi oleh
kebanyakan dari kita, tidak peduli tua atau pun muda, kaya atau pun miskin,
tinggi atau pun rendah kedudukannya. Bahkan rasa takut ini lebih banyak hinggap
dalam batin mereka yang berkedudukan tinggi, yang kaya raya, yang terkenal dan
dipuja.
Sesungguhnya,
kenapa bisa timbul rasa takut akan kematian ini? Benarkah seperti yang
dikatakan oleh Yelu Kim bahwa rasa takut ini akan hilang apa bila kita dapat
menjenguk keadaan sesudah mati? Agaknya ini hanya merupakan pendapat kosong
belaka!
Bagaimana
bisa kita takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti? Kita hanya takut akan
sesuatu yang sudah kita mengerti, yaitu kesengsaraan, kehilangan, takut
kalau-kalau hal semacam itu akan terjadi. Kita hanya takut akan hal-hal yang
belum terjadi, karena rasa takut sebenarnya merupakan akibat dari permainan
pikiran yang mengkhayalkan hal-hal buruk yang belum terjadi, pikiran yang
mengada-ada.
Rasa takut
muncul karena kita tidak mau kehilangan hal-hal yang dapat menyenangkan kita,
hal-hal yang telah mengikat batin kita, seperti keluarga, kekayaan, kedudukan
atau nama besar dan sebagainya. Kita takut kehilangan semua ini kalau kita
mati, kita takut kelak akan merasa kesepian karena tidak adanya semua yang kita
cinta itu, cinta yang mengandung kesenangan, cinta yang timbul karena ingin
disenangkan.
Jelaslah
bahwa rasa takut akan kematian timbul dari ikatan-ikatan itu, ikatan yang kita
adakan karena kesenangan, karena kita ingin selalu memiliki kesenangan itu.
Kita terikat kepada harta benda kita, maka kita takut kalau kehilangan harta
benda itu, terikat kepada keluarga, isteri, suami, anak-anak, terikat kepada
kedudukan, kemuliaan, kepada nama besar, dan kita takut kalau kehilangan itu
semua. Andai kata semua yang kita anggap menyenangkan itu dapat ikut bersama
kita mati, kiranya rasa takut akan kematian itu pun tidak akan pernah ada!
Karena itu,
dapatkah kita terbebas dari pada ikatan? Sehingga dengan bebas dari ikatan kita
tidak akan tercekam oleh rasa takut, bahkan tidak lagi terpengaruh oleh perpisahan
dan kehilangan, sehingga tak akan menderita kesengsaraan, kekecewaan dan
kedukaan sewaktu masih hidup?
Kita semua
tahu bahwa kematian tidak akan dapat dihindarkan. Berarti bahwa perpisahan
dengan apa dan siapa pun juga tidak mungkin dapat dielakkan pula. Sekali waktu
pasti perpisahan itu akan terjadi, entah kita yang ditinggalkan ataukah kita
yang meninggalkan. Karena sudah pasti terjadi perpisahan ini, maka jalan
satu-satunya untuk menghindarkan duka dan rasa takut sebelum terjadi perpisahan
adalah kebebasan. Bebas dari ikatan.
Kalau
sesuatu telah mengikat kita, maka sesuatu itu akan berakar dalam hati dan kalau
tiba saatnya perpisahan, sesuatu itu dicabut, sudah tentu hati kita akan
terluka, akar itu akan jebol dan hati kita akan pecah berdarah.
Bebas dari
ikatan bukan berarti lalu meninggalkan semua itu selagi masih hidup atau lalu
acuh tak acuh, atau meninggalkan keluarga serta harta milik, meninggalkan dunia
ramai dan lari ke puncak gunung atau ke pinggir laut yang sunyi untuk hidup
menyendiri dan bertapa. Ikatan yang dimaksudkan adalah ikatan batin. Melarikan
diri hanya melepaskan ikatan lahir saja. Apa gunanya menyingkir di puncak
gunung apa bila hati masih terikat? Hanya sengsara yang akan dirasakan!
Bebas dari
ikatan berarti tidak memiliki apa-apa secara batiniah. Secara lahiriah memang
kita mempunyai isteri, suami, anak-anak, keluarga, harta benda, kedudukan, nama
dan sebagainya lagi, akan tetapi secara batiniah kita berdiri sendiri, tidak
terikat oleh apa pun juga. Bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti tidak
mencinta.
Justru cinta
kasih sama sekali bukanlah ikatan! Ikatan ini hanyalah nafsu ingin senang,
tentu saja kesenangan untuk diri sendiri. Karena ingin senang, maka segala yang
dapat menyenangkan diri sendiri hendak dimiliki selamanya, sehingga timbullah
ikatan.
Bebas dari
ikatan ini berarti mati dalam hidup. Dan kalau selagi hidup sudah bebas dari
ikatan, maka kematian bukan apa-apa. Karena tidak memiliki apa-apa maka tidak
akan kehilangan apa pun.
Orang yang
berduka karena kehilangan adalah orang yang merasa memiliki yang hilang itu,
terbelenggu oleh ikatan batin yang erat. Padahal, di dalam kehidupan ini tiada
apa pun yang langgeng, segala sesuatu yang kita punyai hanyalah untuk sementara
saja, atau seperti juga barang titipan yang sewaktu-waktu akan diambil kembali
oleh Sang Pemilik Abadi.
Yang bebas
dari ikatan ini, yang tidak memiliki apa-apa ini, tidak membutuhkan apa pun,
karena segalanya sudah ada padanya, bagaikan sebuah guci yang sudah penuh,
dapat menikmati kehidupan ini, dapat menikmati segala seuatu tanpa keinginan
memilikinya. Karena tidak memiliki apa-apa maka dunia ini sudah menjadi
miliknya. Dan hanya yang bebas dari ikatan ini yang mengenal apa itu
sesungguhnya yang dinamakan cinta kasih.
Tidak semua
orang dapat bebas dari ikatan. Bahkan banyak orang-orang yang dianggap dan
merasa dirinya pandai, maju dan sebagainya, masih terbelenggu oleh
ikatan-ikatan. Seperti juga nenek Yelu Kim, walau pun dia pandai dan berkedudukan
tinggi, namun dia belum mampu membebaskan diri dari ikatan sehingga timbullah
rasa takut akan kematian yang pada hakekatnya takut kehilangan segala yang
mengikatnya itu.
Sui Cin
memandang wajah nenek itu yang kini menjadi agak pucat dan membayangkan kedukaan.
“Subo, aku sendiri tidak takut terhadap kematian. Aku tidak mengerti tentang
kematian, perlu apa aku takut? Biarlah kuserahkan hidup dan matiku kepada Thian
yang Maha Kuasa.”
Nenek itu
kini dapat tersenyum, lantas mengangguk. “Aku pun sudah berusaha berbuat
demikian, akan tetapi hatiku selalu masih meragu, Sui Cin. Sudahlah, hatiku
sudah mulai tenang, dan aku teringat kepada pemuda perkasa itu. Sui Cin, apakah
engkau merasa menyesal setelah melukainya dan apa yang akan kau lakukan
sekarang?”
“Aku
bingung, subo. Jarum-jarum merah itu beracun dan berbahaya sekali, padahal aku
sudah kehilangan bekal obat penawarnya. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat
yang tepat, dan sampai tewas oleh jarum-jarumku, sungguh aku merasa menyesal
bukan main. Di antara kami tidak ada permusuhan, bahkan aku berhutang nyawa
kepadanya...”
Sui Cin
tidak mau menceritakan bahwa pemuda itu menolongnya dari ancaman bahaya yang
lebih hebat dari pada nyawa, yaitu ketika dia hampir diperkosa oleh Sim Thian
Bu, jai-hwa-cat yang menjadi saudara seperguruan sendiri dari Ci Kang.
Nenek itu
tersenyum. “Jangan khawatir, muridku. Tidak percuma engkau menjadi murid Yelu
Kim! Coba keluarkan jarum merahmu, setelah mengenal macam racunnya, kiranya aku
akan dapat memberikan obat penawarnya.”
Giranglah
hati Sui Cin dan dia cepat mengeluarkan beberapa batang jarum merah halus
kepada nenek itu. Yelu Kini menerima jarum-jarum itu dan membawanya masuk ke
dalam kamarnya untuk mempelajari racunnya tanpa gangguan. Tidak lama kemudian,
nenek itu sudah keluar membawa obat penawarnya!
“Campur
bubukan ini dengan secawan arak lalu minumkan padanya, maka dia pasti akan
sembuh. Kalau dia masih lemah, masak akar ini dengan nasi lalu beri dia makan,
tentu kesehatannya akan pulih sama sekali.”
Dengan hati
kagum terhadap kelihaian nenek itu dan juga dengan girang Sui Cin segera
menerima bungkusan dua macam obat itu. Akan tetapi dia lalu mengerutkan alisnya
dan bertanya, “Subo, bagaimana aku dapat memberikan obat-obat ini kepadanya?”
Yelu Kim
tersenyum lebar. “Anak bodoh, apa sukarnya hal itu? Ingat, aku sudah menjadi
pemimpin mereka. Apa sukarnya bagimu untuk mengunjungi pemuda itu di perkemahan
orang-orang Khin? Nah, kau bawalah ini dan perlihatkan apa bila ada yang
menghalangi kunjunganmu,. Katakan bahwa aku yang mengutusmu untuk mengobati
pemuda itu.”
Sui Cin lalu
menerima sebuah lambang berupa seekor harimau terbang dari nenek itu. Ia
memandang kagum. Ia sudah mengetahui bahwa gurunya adalah pemimpin Perkumpulan
Herimau Terbang yang ditakuti oleh para suku utara, akan tetapi baru sekarang
ia melihat lambang perkumpulan itu. Dia mengantongi obat-obat berikut lambang
itu, lalu memberi hormat kepada Yelu Kim.
“Terima
kasih atas bantuan subo sehingga aku mendapat kesempatan untuk membalas budi
Siangkoan Ci Kang dan menebus kesalahanku telah melukainya.”
“Berangkatlah
sekarang, perkemahan orang-orang Khin berada di ujung barat. Malam ini semua
kepala suku berkumpul untuk mengadakan rapat seperti yang kuperintahkan tadi,
jadi engkau mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk mengobati dan
merawatnya tanpa banyak gangguan.”
Tepat
seperti yang dikatakan nenek itu, ketika Sui Cin berkunjung ke perkemahan suku
Khin, begitu dia dikenal sebagai murid nenek Yelu Kim yang dapat menunjukkan
lambang Harimau Terbang, dia pun diterima dengan gembira dan penuh hormat.
Apalagi ketika dia menyatakan maksud kunjungannya adalah untuk mengobati
Siangkoan Ci Kang, Moghu Khali sendiri menyambutnya dan mengantarkannya ke
dalam kamar Ci Kang.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment