Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 22
AKAN tetapi,
setelah isterinya melahirkan seorang anak perempuan yang lalu dibunuhnya
sendiri, Raja Iblis menjadi semakin menggila. Dia ingin sekali mendapatkan
keturunan, terutama seorang putera.
"Kalau
kelak aku menjadi kaisar, lalu siapa yang akan menggantikan aku? Aku tidak rela
kalau digantikan oleh orang lain!"
Maka
mulailah dia mengambil selir-selir, bahkan Siang Hwa yang menjadi muridnya juga
tidak terlepas dari gangguannya, dengan harapan agar dia dapat memperoleh
keturunan, terutama keturunan laki-laki dari para selirnya itu. Akan tetapi,
Ratu Iblis yang merasa betapa kedudukannya sebagai 'permaisuri' akan terancam
jika ada selir yang melahirkan seorang anak laki-laki, diam-diam telah
mengancam mereka agar mereka itu suka makan ramuan obat yang dibuatnya khusus
untuk mencegah kehamilan, dengan ancaman akan membunuh mereka kalau tidak
menurut.
Juga Siang
Hwa diancam dan dipaksa minum obat itu. Sebagai balas jasa, juga sebagai
penyimpan rahasia ini, Siang Hwa selalu dilindungi oleh Ratu Iblis, bahkan
dilindungi dan diperbolehkan pula murid itu berbuat cabul dengan pria mana saja
yang disukainya.
Seperti
sudah kita ketahui, Siang Hwa gagal membujuk Lui Siong Tek, komandan kota
Ceng-tek sehingga dia membunuh komandan itu dan melarikan dokumen penting
tentang keadaan benteng Ceng-tek. Dia melarikan diri untuk menemui gurunya dan
sementara itu tentara Ji-ciangkun yang dibantu oleh para tokoh sesat telah
berhasil menguasai benteng San-hai-koan.
Siang Hwa
melaporkan kejadian di kota Ceng-tek dan Raja Iblis girang mendengar bahwa
komandan kota Ceng-tek yang setia terhadap pemerintah itu telah tewas. Siang
Hwa lalu diberi tugas untuk melakukan penyelidikan mengenai berita bahwa para
pendekar hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
Gadis yang
cerdik ini lalu memasang banyak pembantunya untuk menjadi mata-mata, di antara
mereka adalah enam orang yang membuka kedai arak itu. Dan ketika muncul Cia Sun
dan Ci Kang yang lihai, hati Siang Hwa menjadi tertarik sekali. Dengan cepat
gadis ini dapat menyelidiki siapa adanya dua orang muda yang tampan dan gagah
perkasa itu.
Terkejutlah
dia mendengar bahwa mereka itu adalah putera penghuni Lembah Naga dan putera
mendiang Iblis Buta. Timbul niatnya untuk menaklukkan kedua orang pemuda itu
agar suka menjadi pembantu-pembantu gurunya, dan terutama sekali tentu saja,
menarik dua orang pemuda itu menjadi kekasihnya!
Maka
diaturlah siasat yang sangat kejam, mengorbankan penghuni dusun yang dirampok
dan dibunuh hanya untuk membuat dua orang itu mudah percaya kepadanya. Akhirnya
ia pun berhasil menjebak Cia Sun dan Ci Kang sehingga dua orang muda itu
terperangkap dan karena mereka berdua menolak bujuk rayu Siang Hwa, sekarang
gadis itu mencari kesenangan dengan jalan menghukum dan menyiksa mereka berdua
sampai mati.
Dia merasa
yakin bahwa kedua orang pemuda itu sudah pasti akan menemui kematian bagaikan
dua ekor tikus yang tenggelam karena dia tahu bahwa tidak mudah membuka
batu-batu penutup lubang yang digerakkan dengan alat rahasia, dan tidak mungkin
pula membobol dinding yang terbuat dari besi yang melapisi batu gunung!
Direbutnya
San-hai-koan juga mengharuskan Raja dan Ratu Iblis, bersama murid mereka itu,
untuk cepat-cepat memasuki San-hai-koan kemudian menyusun kekuatan di benteng
pertama yang berhasil direbut itu. Oleh karena itu, yakin bahwa dua orang muda
itu tentu akan tewas tenggelam dalam lubang yang dialiri air, kakek dan nenek
itu bersama Siang Hwa lalu bergegas pergi meninggalkan istana kuno itu yang
hanya disuruh jaga beberapa orang anak buah. Mereka pergi menuju ke
San-hai-koan.
***************
Ada
kekuasaan rahasia yang mukjijat, yang mengatur segala sesuatu di alam mayapada
ini. Kekuasaan mutlak yang tidak dapat dilawan oleh siapa pun atau oleh apa pun
juga. Kekuasaan tertinggi yang meliputi seluruh jagat raya. Kekuasaan ini tidak
dapat dipercaya atau tidak dipercaya lagi, karena terjadi dan dapat kita
dengar, cium, lihat, dan rasakan sendiri, menjadi kenyataan yang terjadi di
sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita.
Kekuasaan
yang mengatur seluruh alam semesta, mengatur peredaran bintang-bintang, arah
angin, kekuasaan yang memberi kehidupan di angkasa, di atas bumi, di dalam air,
dari makhluk-makhluk hidup bergerak mulai yang paling kecil sehingga tidak
dapat dilihat mata sampai pada makhluk yang paling besar.
Kekuasaan
yang menciptakan ketertiban dalam kehidupan di bagian tanah paling dalam, di
dasar laut yang paling dalam, atau pun di angkasa yang paling tinggi. Kekuasaan
yang membuat jantung kita berdenyut di luar kemampuan kita untuk mengaturnya,
kekuasaan yang membuat setiap helai rambut dan kuku tumbuh di luar kekuasaan
kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang menciptakan kelahiran dan kematian!
Satu di
antara hal-hal yang tidak dapat dikuasai oleh kita adalah kematian. Bila memang
sudah tiba waktunya, mau ke mana pun juga kita bersembunyi, maut tentu akan
datang menjemput. Sebaliknya, apa bila memang belum semestinya kita mati,
seribu ancaman maut pun akan luput.
Siapa pun
adanya Dia yang mengatur semua itu, disebut dengan apa pun juga menurut istilah
dan kebiasaan dari bangsa, bahasa, mau pun agama masing-masing, namun kita
manusia tidak mungkin dapat menyangkal akan adanya kenyataan itu, bahwa
kekuasaan rahasia yang mukjijat itu memang ada terjadi di sekitar kita, di alam
dan bahkan di dalam diri kita sendiri.
Pikiran kita
terlalu dangkal untuk bisa menyelidiki tentang ada atau tidaknya Pengatur itu
yang terlalu agung dan tinggi bagi kita, namun, pikiran dan tubuh kita dengan
jelas dapat merasakan adanya kenyataan akan kekuasaan yang mukjijat itu. Di sini
tak ada masalah percaya atau tidak percaya, sebab kita bisa melihatnya,
merasakannya, segalanya terjadi pada diri kita sendiri masing-masing.
Agaknya
memang belum tiba saatnya bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk mati sebagai dua ekor
tikus yang tenggelam. Dua kali sudah Cia Sun yang masih terbelenggu itu meminta
kepada Ci Kang untuk melepaskan belenggunya.
"Bantulah
aku melepaskan diri dulu, Ci Kang, agar aku dapat membantumu membongkar penutup
lubang itu!" untuk ketiga kalinya Cia Sun berteriak setelah air sudah
mencapai dada.
"Hemm,
melepaskan diri dari belenggu sendiri saja tidak mampu, apa artinya bantuanmu
mendorong batu ini?" Ci Kang berkata dengan pandang mata merendahkan dan
hatinya menjadi semakin penasaran. Dia belum dapat mengalahkan pemuda yang
begini lemah, yang tidak mampu membikin putus belenggu macam itu saja!
Cia Sun
menjadi tidak sabar lagi. Pemuda itu sungguh terlalu memandang rendah dirinya.
"Ci
Kang, apakah kau sudah siap mati seperti tikus tenggelam?!" bentaknya.
"Kalau kau tidak mau melepaskan belengguku, tolong kau bebaskan totokanku.
Jangan disangka aku tidak sanggup membebaskan diri kalau pengaruh totokan sudah
punah. Kau lebih banyak memiliki waktu untuk membebaskan totokanmu dari pada
aku, maka jangan kau takabur dan sombong!"
Ci Kang
menoleh dan baru dia teringat bahwa adanya Cia Sun tidak mampu melepaskan
belenggu itu adalah karena jalan darahnya tertotok. Tanpa banyak cakap lagi dia
segera menghampiri Cia Sun dan menotok kedua pundak pemuda itu. Cia Sun
memperoleh lagi tenaga sinkang-nya setelah jalan darahnya lancar.
"Mari
kita cepat menyatukan tenaga!" katanya karena air sudah mencapal leher.
Sebentar lagi mereka akan mati tenggelam kalau tidak cepat memperoleh jalan
keluar.
"Mari!"
kata Ci Kang.
Kini mereka
berdua berdiri dengan kaki kokoh kuat di atas lantai dan dua lengan mereka
menyangga batu penutup lubang, lalu mereka mengerahkan sinkang sekuat tenaga
untuk mendorong batu ke atas. Hebat bukan main tenaga dua orang pemuda itu.
Batu itu bukan hanya amat berat, akan tetapi juga diikat oleh rantai baja yang
dihubungkan dengan alat rahasia yang menggerakkannya.
Akan tetapi
kekuatan dua orang pemuda itu membuat batu itu mulai bergerak terangkat! Namun,
ketika batu itu terangkat sedikit, air yang masuk dari celah-celah batu semakin
banyak sehingga sebentar saja air sudah sampai ke mulut mereka! Mereka
mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
"Brakkkk...!"
Bukan batu
di atas itu yang terangkat, namun lantai yang menjadi landasan kaki mereka yang
kini jebol ke bawah, tentu karena tertekan dengan hebatnya ke bawah! Dan kedua
orang muda itu lalu terjatuh ke dalam lubang baru yang timbul karena jebolnya
lantai yang mereka injak, terbawa bersama air yang membanjir ke bawah. Mereka
pun cepat-cepat mengerahkan ginkang dan menyalurkan tenaga ke kulit mereka
untuk melindungi diri.
Mereka
terjatuh kemudian terbanting ke atas batu lantai yang jebol tadi, dan kalau bukan
mereka berdua yang mempunyai kekebalan serta ilmu yang tinggi, tentu setidaknya
akan menderita patah tulang atau babak belur. Mereka cepat berloncatan,
bergerak menjauhi air yang masih terjun ke bawah itu.
Dengan tubuh
basah kuyup keduanya kini berdiri di dalam ruangan yang sangat luas itu, siap
menghadapi segala kemungkinan. Mereka saling pandang dan tidak mengherankan
kalau ada rasa haru di lubuk hati mereka. Terharu karena baru saja mereka
terlepas dari cengkeraman maut. Tadi air telah mencapai mulut sehingga
terlambat satu menit lagi saja maka mereka akan tewas.
"Siangkoan
Ci Kang, kita masih hidup?" seru Cia Sun.
Ci Kang
mengangguk. Kalau dia tadi tidak cepat-cepat membebaskan totokan pada tubuh Cia
Sun, belum tentu sekarang mereka masih hidup.
"Cia
Sun, engkau hebat!" Dia memuji karena bagaimana pun juga, tanpa bantuan
tenaga Cia Sun, tak mungkin lantai itu dapat jebol.
"Sudahlah,
tak perlu kita saling memuji. Mari kita selidiki tempat ini!" kata Cia Sun
sambil memeras air dari rambut dan bajunya. Mereka lantas menjauhi tempat yang
jebol bagian atasnya itu dan melihat bahwa tempat itu merupakan ruangan batu
yang luas sekali.
"Ssttt...
lihat...!" Tiba-tiba Ci Kang berbisik.
Cia Sun
cepat membalikkan tubuhnya dan matanya segera terbelalak. Tak jauh dari situ
dia melihat orang yang jika dilihat dari pakaian dan tata rambutnya adalah
seorang tosu, duduk bersila di atas sebuah batu datar tinggi yang mepet pada
dinding batu. Bila dilihat dari tempat mereka, tosu yang nampak dari sisi itu
berambut panjang, telah putih semua, pakaiannya juga serba putih dan dia
memegang sebuah kebutan berbulu putih pula.
Tentu saja
dua orang muda itu segera bersiap siaga karena di tempat seperti ini, mereka
bisa menduga bahwa tentu tosu itu pun merupakan sekutu dari Raja Iblis dan
merupakan lawan yang sangat berbahaya. Dengan hati-hati keduanya lalu melangkah
menghampiri batu datar itu dan ketika mereka tiba di depan tosu itu, mereka
memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan.
Ternyata
tosu itu sudah menjadi tulang-tulang manusia yang masih duduk bersila, masih
berpakaian lengkap! Mukanya merupakan tengkorak yang menyeramkan, juga sepasang
tangannya yang terjulur keluar dari lengan baju itu merupakan tulang-tulang
rangka yang panjang-panjang dengan kuku panjang pula. Akan tetapi rambut putih
panjang itu masih utuh, begitu pula pakaian putih dan kebutan berbulu putih!
Menyeramkan sekali keadaan kerangka manusia berpakaian lengkap itu.
"Ahhh,
hanya kerangka...," kata Cia Sun dan suaranya hanya bisikan yang agak
gemetar karena dia masih dipengaruhi rasa kaget dan heran, juga seram.
"Ssst,
lihat...!" Ci Kang berbisik dan suaranya juga gemetar.
Keduanya
terbelalak dengan muka berubah agak pucat pada saat melihat betapa tiba-tiba
saja kebutan berbulu putih itu bergerak-gerak ke atas! Ini tandanya bahwa
kerangka itu masih hidup dan dapat menggerakkan kebutan! Bukan itu saja, bahkan
tiba-tiba terdengar suara keluar dari dalam tengkorak itu, suara yang
melengking tinggi dan terdengar sangat menyeramkan penuh wibawa, bergema di
seluruh ruangan luas itu.
"Kalian
ini orang-orang lancang dari mana berani mati memasuki dan mengotori tempat
ini?"
Cia Sun dan
Ci Kang yang kaget setengah mati itu sejenak saling pandang dengan muka masih
pucat. Mereka sungguh hampir tidak dapat percaya kepada telinga sendiri.
Jelaslah bahwa kerangka manusia itu bukan topeng, tetapi benar-benar kerangka
yang terbungkus oleh pakaian. Akan tetapi mengapa kerangka itu dapat
menggerakkan kebutan dan dapat mengeluarkan suara seperti masih hidup?
Karena suara
ini jelas adalah suara wanita, mereka lalu menduga bahwa pendeta yang telah
menjadi kerangka ini dulunya adalah seorang pendeta wanita. Maka Cia Sun segera
menjura dengan sikap hormat.
"Harap
locianpwe sudi memaafkan karena tanpa sengaja kami berdua sudah memasuki tempat
ini..."
"Tiada
maaf! Cepat kalian pergi dari sini, kalau tidak maka nyawa kalian akan
kucabut!" kerangka itu memotong dan suaranya terdengar galak sekali.
"Heeii!"
Tiba-tiba Ci Kang berseru sambil menudingkan telunjuknya ke arah kerangka itu.
"Lihat, mulutnya tidak bergerak dan gagang kebutan itu tidak dipegang oleh
tangannya!"
Sesudah
berkata demikian, dengan cekatan Ci Kang melompat naik melalui lantai tangga
yang menuju ke atas batu datar tinggi di mana tengkorak berpakaian itu duduk.
Kiranya selagi Cia Sun tadi bicara kepada kerangka itu, diam-diam Ci Kang
memperhatikan dan pandang matanya yang tajam melihat kejanggalan-kejanggalan
itu yang lalu membuatnya berteriak dan cepat meloncat ke atas untuk mendekati
kerangka itu.
Pada saat
itu pula, dari belakang kerangka itu berkelebatan bayangan putih yang melesat
dengan cepatnya sehingga sukar bagi pandang mata untuk mengikutinya. Akan
tetapi Cia Sun dan Ci Kang adalah dua orang muda yang terlatih sejak kecil.
Dengan pandang mata mereka yang sangat terlatih, mereka dapat melihat bahwa
yang berkelebat dari belakang kerangka itu adalah seorang dara muda yang
gerakannya lincah bukan kepalang. Mereka lantas teringat akan Siang Hwa yang
telah memperdayakan mereka, maka dengan marah mereka lalu mengejar dengan
gerakan yang tidak kalah cepatnya.
Gadis yang
berpakaian serba putih itu menyelinap ke sudut ruangan yang luas itu, cepat
bersembunyi di balik batu yang menonjol. Ketika dia melihat betapa dua orang
pemuda itu melakukan pengejaran dengan gerakan yang cepat sekali, dia lalu
mengeluarkan teriakan nyaring.
"Laki-laki
kurang ajar dan tidak sopan, jangan dekati aku!"
Tentu saja
Cia Sun dan Ci Kang tidak takut oleh gertakan ini. Mereka menduga bahwa wanita
itu Siang Hwa, maka dengan marah mereka mengejar terus hendak menghadapi wanita
jahat yang mencelakakan mereka itu. Akan tetapi, begitu mereka tiba di situ,
gadis itu meloncat keluar dari balik batu menonjol dan sinar putih yang amat
cepat menyambar ke arah leher Cia Sun dan Ci Kang.
Dua orang
pemuda itu terkejut bukan main. Serangan ini sungguh amat cepat dan tidak
terduga sehingga nyaris leher mereka kena totokan ujung kebutan putih yang
bertubi-tubi menyerang ke arah leher mereka bergantian. Untung keduanya cepat
melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan ketika mereka turun lagi ke
atas lantai, mereka berhadapan dengan seorang gadis yang ternyata sama sekali
bukan Siang Hwa!
Dara itu
bertubuh kecil ramping, wajahnya sedikit pucat seperti wajah orang yang kurang
memperoleh sinar matahari, akan tetapi sepasang mata itu amat tajam mencorong
seperti mata seekor harimau, agaknya mata yang terlatih dalam gelap. Rambutnya
hitam panjang digelung sederhana, wajahnya manis sekali, terutama mulutnya yang
kecil dengan bibir yang kelihatan amat merah dengan latar belakang kulit
mukanya yang putih agak pucat. Pakaiannya putih bersih namun potongannya sederhana,
mirip pakaian pertapa saja, juga bulu kebutan yang dipegangnya putih bersih,
seperti kebutan yang berada di pangkuan kerangka berpakaian itu.
Kalau
melihat wajah yang manis itu, agaknya dara ini paling banyak delapan belas
tahun usianya, masih amat muda dan bahkan sikapnya masih kekanak-kanakan saat
dia berdiri menghadapi dua orang pemuda itu dengan mata terbelalak, marah
tetapi juga takut atau ngeri melihat tubuh Ci Kang yang telanjang dada itu,
suatu penglihatan yang sebelumnya tak pernah dialaminya. Ia tidak berani
memandang dada itu lama-lama dan menundukkan muka, akan tetapi sepasang matanya
mengerling penuh kewaspadaan, memperhatikan gerak-gerik dua orang pemuda itu.
Ci Kang dan
Cia Sun berdiri memandang, sejenak seperti kehilangan akal karena mereka
sungguh tak mengira bahwa wanita itu bukan Siang Hwa, melainkan seorang gadis
muda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi, karena gadis ini berada
di tempat yang mereka anggap sebagai sarang milik Raja Iblis, tentu saja mereka
lantas menaruh curiga pada gadis ini. Apa lagi setelah mereka mengalami mala
petaka dan nyaris tewas akibat seorang gadis cantik pula. Dan gadis ini pun
tadi telah menyerang mereka dengan amat hebatnya, serangan maut yang jika tidak
cepat mereka elakkan, mungkin bisa membunuh mereka.
Betapa pun
juga, karena yang mereka hadapi hanyalah seorang gadis remaja yang kini nampak
kebingungan dan ketakutan bagaikan seekor harimau yang terkurung, maka dua
orang pemuda itu sendiri pun tidak tahu harus berbuat apa. Tentu saja mereka
tidak sudi menyerang gadis yang tidak mereka kenal ini.
"Nona,
kenapa tadi engkau menakut-nakuti kami dan kemudian menyerang kami dengan
kebutanmu itu?" tanya Cia Sun.
"Karena
demikian pesan ibuku...," jawab gadis itu, suaranya merdu akan tetapi agak
kaku seperti orang yang jarang sekali bicara.
"Pesan
ibumu? Untuk membunuh kami?"
"Ya,
kalian atau siapa saja yang berani masuk ke sini, terutama laki-laki. Aku...
aku tadi tidak tega untuk menyerang kalian, maka hendak mengusir kalian dengan
jalan menakut-nakuti, akan tetapi kalian tidak takut..."
Cia Sun dan
Ci Kang saling pandang. Mereka mengerutken alis. Gadis ini masih seperti
anak-anak saja. Akan tetapi bagaimana pun juga, ketika mengatakan bahwa ia
tidak tega menyerang mereka, menunjukkan bahwa gadis ini tidaklah sejahat Siang
Hwa.
"Siapakah
ibumu, nona?"
"Ibuku...
ya, ibuku, satu-satunya orang yang sangat baik kepadaku, yang kadang-kadang
mengunjungi dan yang melatih ilmu silat, mengajarku membaca dan menulis.
Sayang, kini ibu hanya jarang saja dapat mengunjungiku..."
"Akan
tetapi, mengapa engkau berada di tempat ini? Dan bagaimana dapat keluar dari
sini?" Cia Sun mendesak.
"Aku
berada di sini sejak kecil, aku sudah lupa lagi berapa lamanya... semenjak
kecil, dan yang menemani aku hanyalah kerangka itu... juga ibu yang
kadang-kadang datang untuk menjengukku."
"Engkau
tidak pernah keluar dari sini?" tanya Ci Kang yang juga terheran-heran.
Gadis itu
menggeleng kepala. "Tidak diperkenankan ibu. Katanya, kalau aku keluar,
aku tentu akan dibunuh orang. Aku hanya dapat mandi cahaya matahari selama
beberapa jam saja setiap hari saat sinar matahari memasuki ruangan belakang
melalui sebuah lubang."
"Bagaimana
engkau makan? Minum? Dan mandi atau mencuci pakaian?" tanya Cia Sun yang
merasa heran dan kasihan.
"Aku
masak sendiri, bahan makanan diberi ibu, banyak sekali."
Gadis itu
lalu berjalan perlahan, diikuti oleh kedua orang pemuda itu. Dia memperlihatkan
tumpukan bahan makanan di sebuah ruangan lain dan juga adanya sebuah sumber
air. Ada beras, ada daging kering berikut bumbu-bumbunya. Cukup untuk dimakan
berbulan-bulan lamanya.
"Akan
tetapi, kenapa engkau dikurung di sini? Siapa yang akan membunuhmu kalau kau
keluar?"
"Entahlah,
ibu hanya bilang bahwa aku tidak boleh bertemu dengan laki-laki. Apa bila ada
laki-laki masuk ke sini, aku harus membunuhnya. Akan tetapi aku tidak suka
membunuh, dan aku sekarang merasa girang sekali dapat bertemu dan
bercakap-cakap denganmu..." Gadis itu memandang wajah Cia Sun dengan mata
bersinar-sinar. "Aku girang tadi tidak sampai membunuhmu!"
"Hemm,
jangan dikira mudah membunuh dia atau aku, nona," kata Ci Kang.
"Aku
tentu dapat kalau aku mau!" gadis itu berkata. "Kebutanku ini lihai
sekali, bahkan ibu sendiri bilang kebutanku akan sulit dilawan olehnya.
Lihat...!" Gadis itu menggerakkan kebutannya.
"Tarr-tarrr...!"
Ujung batu
pada langit-langit ruangan itu terkena sambaran ujung kebutan, lantas hancur
menjadi debu! Diam-diam dua orang pemuda itu kaget dan kagum sekali. Gadis ini
tidak main-main karena ilmu mempergunakan kebutan itu lihai dan berbahaya
sekali.
"Siapa
yang mengajarmu memainkan kebutan selihai itu?" Cia Sun bertanya.
Apa bila ibu
gadis itu sendiri yang katanya mengajarnya silat sampai menyatakan tidak
sanggup menandingi kebutan itu, berarti tentu bukan ibu gadis itu yang
membimbingnya dalam ilmu menggunakan kebutan itu.
"Guruku
dalam ilmu kebutan adalah dia!" Gadis itu menuding ke arah kerangka
manusia berpakaian tosu itu.
Dua orang
pemuda itu terkejut, dan kini mereka semua kembali menghampiri kerangka yang
masih duduk bersila. Sekarang mereka berdua bisa membayangkan betapa lihainya
orang ini dahulu ketika masih hidup. Jelas bahwa orang itu mati dalam keadaan
sedang bersemedhi. Dan hebatnya, biar pun seluruh kulit serta dagingnya sudah
habis dimakan waktu dan hanya tinggal kerangkanya saja, akan ketapi kerangka
itu tetap dalam keadaan duduk bersila dan tidak runtuh.
"Siapakah
locianpwe ini...?" tanya Ci Kang dengan hati kagum.
"Dia
adalah kakek guruku, dia adalah guru terakhir dari ibu dan ayahku," jawab
gadis itu tanpa ragu-ragu dan dengan suara mengandung kebanggaan. Agaknya gadis
itu merasa bangga sekali kepada kerangka itu yang di samping menjadi kakek
gurunya, juga menjadi temannya hidup di dalam goa bawah tanah ini.
"Akan
tetapi dia... mana bisa mengajarmu? Dia sudah mati lama sekali," kata Cia
Sun.
Dara itu
tertawa dan wajahnya yang agak pucat itu tampak manis bukan main. Sepasang
matanya memandang wajah Cia Sun dan berseri-seri. Agaknya ia dapat mendengar
atau merasakan betapa di dalam suara pemuda itu terkandung perasaan iba dan
kagum dan hal ini amat manyenangkan hatinya.
"Tentu
saja tidak secara langsung. Dia sudah menjadi kerangka ketika aku dibawa ke
sini untuk pertama kalinya. Akan tetapi atas petunjuk ibuku, aku mempelajari
catatan-catatan dan gambar-gambar yang terukir di atas batu yang berada di
belakangnya. Kata ibu, ilmu itu merupakan ilmu rahasia yang selamanya belum
pernah diajarkan kepada siapa pun, juga tidak kepada ibu, sehingga kini menjadi
milikku sendiri."
Dua orang
pemuda itu sekarang dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang jahat, dan
agaknya tidak ada hubungannya dengan Raja Iblis, Ratu Iblis, mau pun Siang Hwa.
Akan tetapi Ci Kang masih belum puas.
"Apakah
engkau mengenal seorang perempuan bernama Siang Hwa?" tanyanya sambil
memandang wajah dara remaja itu. Yang ditanya kemudian mengerutkan alisnya seperti
orang mengingat-ingat, lalu menggelengkan kepala.
"Tentu
engkau mengenal Raja Iblis atau Ratu Iblis!" Ci Kang menyambung tiba-tiba
dan pandang matanya penuh selidik mengamati wajah cantik manis itu. Akan tetapi
gadis itu kelihatan geli dan menggeleng kepalanya lagi.
"Kau
kira aku ini siapakah mengenal segala iblis? Aku hanya mengenal iblis dan setan
dalam dongeng-dongeng ibuku atau cerita-cerita dalam buku-buku yang
ditinggalkan ibu untukku."
Cia Sun dan
Ci Kang saling pandang, kini merasa yakin bahwa gadis ini memang tidak ada
sangkut pautnya dengan keluarga iblis itu.
"Siapakah
nama ibumu dan ayahmu, nona?" Cia Sun bertanya, sikapnya halus dan sopan
walau pun dia dapat menduga bahwa gadis ini sejak kecil tidak pernah bergaul
dengan manusia lain.
Gadis itu
memandang Cia Sun dan seperti tadi, wajahnya berseri dan jelas nampak dari
pandang matanya bahwa dia suka dan kagum kepada pemuda itu. Lalu dia menggeleng
kepala. "Aku tidak tahu, aku tidak pernah berjumpa dengan ayah, dan ibuku
tidak pernah memberi tahukan nama. Tapi aku... aku benci ayah!"
Cia Sun
mengerutkan alisnya. Seorang gadis yang begini manis dan yang keadaannya amat
aneh, menarik perhatian dan rasa ibanya, tidak layak kalau mengeluarkan
kata-kata keji seperti itu, kata-kata yang hanya patut keluar dari mulut
seorang anak durhaka.
"Nona,
tidak baik membenci ayah sendiri," dia menegur.
Mendengar
nada suara teguran ini, dan melihat betapa pandang mata Cia Sun demikian marah
dan tidak senang, tiba-tiba saja gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan
dan menangis! Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang menjadi heran dan tidak tahu harus
berbuat apa. Cia Sun yang merasa bersalah telah menegur orang padahal urusan
pribadi nona itu sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan dia, segera maju dan
berkata dengan suara menyesal,
"Maafkan
aku, nona. Bukan maksudku untuk menegurmu dan menyinggung hatimu, tetapi aku
tadi hanya merasa heran bagaimana seorang gadis seperti engkau ini bisa
membenci ayah sendiri. Mengapa engkau membencinya? Kalau sampai engkau
membencinya, tentu dia seorang ayah yang tidak baik!"
Gadis itu
menurunkan dua tangannya dan sejenak Cia Sun terpesona. Setelah menangis, ada
warna merah pada kedua pipi gadis itu dan kini dia nampak cantik manis sekali,
amat menarik hati! Gadis itu mengusap air mata dari kedua pipinya dengan ujung
lengan baju, kemudian memandang Cia Sun.
"Dia...
dia mau membunuhku!"
"Apa...?!"
Cia Sun benar-benar terkejut mendengar ini. "Kenapa?"
"Aku
tidak tahu. Aku tak pernah bertemu dengan dia, akan tetapi ibu selalu
menekankan kepadaku bahwa aku tidak boleh bertemu dengan orang lain, terutama
dengan lelaki dan lebih-lebih lagi dengan ayahku karena ayahku pasti akan
membunuhku apa bila bertemu denganku. Karena itulah maka aku dikurung di
sini."
Hati Cia Sun
tertarik sekali. Ayah dan ibu gadis ini sungguh merupakan manusia-manusia aneh.
Ibu gadis ini barang kali gila, ataukah ayahnya yang gila? Ataukah gadis ini
sendiri yang miring otaknya?
"Engkau
tidak tahu siapa nama ayahmu atau ibumu?"
Gadis itu
menggelengkan kepalanya.
"Dan
namamu sendiri? Siapakah namamu?"
"Ibu
memanggil aku Hui Cu."
"She-mu...?"
"Apa
itu she?"
"Nama
keluargamu? Siapakah nama keluarga ayahmu?"
"Aku
tidak tahu, tahuku hanya bahwa ibu memanggil aku Hui Cu dan kata ibu sekarang
usiaku sudah hampir delapan belas tahun."
Sementara
itu, Ci Kang kelihatan tidak sabar melihat betapa Cia Sun asyik bicara dengan
gadis ini. Dia tahu bahwa Cia Sun hanya tertarik oleh riwayat gadis yang sangat
aneh itu, akan tetapi baginya, hal itu tidak ada sangkut-pautnya sama sekali.
"Sudahlah,
mari kita cepat keluar dari sini. Nona, tunjukkanlah jalan keluar dari tempat
ini untuk kami," katanya.
Baru Cia Sun
teringat bahwa mereka sedang terkurung di dalam goa bawah tanah. Maka dia pun
mengangguk kepada gadis bernama Hui Cu itu sambil berkata, "Benar, kami
perlu cepat keluar dari sini, adik Hui Cu. Tolonglah kami keluar dari
sini!"
Hui Cu
kelihatan girang sekali dipanggil adik oleh Cia Sun. Dia tersenyum dan
nampaklah giginya berderet putih. Agaknya ibu gadis ini tidak lupa untuk
memberi pelajaran cara-cara merawat dan membersihkan diri kepada gadis yang
hidupnya terkurung dalam goa bawah tanah ini.
"Kau...
siapakah namamu?" tiba-tiba dia bertanya kepada Cia Sun.
"Namaku
Cia Sun dan dia bernama Siangkoan Ci Kang. Nah, adik Hui Cu, tunjukkanlah jalan
keluar itu."
"Cia
Sun... Cia Sun... kakak Sun, kenapa engkau mau keluar? Kenapa tidak tinggal
saja di sini menemani aku?"
Keharuan
menyelinap dalam hati Cia Sun. Sungguh patut dikasihani anak ini, pikirnya.
"Tidak
mungkin, siauw-moi (adik kecil), tak mungkin aku tinggal di sini. Aku harus
keluar dari sini. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Nah,
tunjukkanlah jalan keluar bagi kami."
Gadis itu
menggigit bibir, agaknya terjadi pertentangan di dalam hatinya, akan tetapi dia
mengangguk lalu melangkah menuju ke lorong samping, diikuti oleh Cia Sun dan Ci
Kang dari belakang. Akhirnya gadis itu berhenti di depan sebuah pintu yang
terbuat dari besi dan dicat warna hitam.
"Hanya
dari sini sajalah jalan keluarnya, dan ini merupakan rahasia. Jika bukan
untukmu, Sun-ko, aku tidak akan suka membuka rahasia ini. Kalau sampai
diketahui ibu, tentu aku akan mendapat kemarahan besar sekali." Berkata
demikian, dara itu meraba dinding batu dekat pintu lantas terdengar suara
berderit ketika pintu besi itu bergerak masuk ke dalam dinding.
Seketika Cia
Sun dan Ci Kang memicingkan mata dan melindungi mata dengan tangan karena
mereka menjadi silau ketika tiba-tiba berbareng dengan terbukanya daun pintu
itu, nampak sinar matahari yang amat terang dari balik pintu. Mereka melewati
ambang pintu dan berdiri di dalam cahaya matahari.
"Di
sinilah aku setiap pagi berjemur diri seperti yang diajarkan ibu. Kalau pintu
ini terbuka, maka penutup sumur ini di bagian atas terbuka pula. Kalau pintu
tertutup, penutup di atas itu pun turut tertutup sehingga tempat ini tidak
pernah dapat diketahui orang dari atas," kata Hui Cu.
Dua orang
pemuda itu memandang ke atas. Tempat itu merupakan dasar sebuah sumur yang
sangat dalam, agaknya tidak kurang dari seratus kaki dalamnya!
"Adik
Hui Cu," kata Cia Sun memancing. "Apakah engkau pernah keluar dari
lubang ini?"
Gadis itu
mengangguk. "Beberapa kali aku keluar, biasanya pada waktu malam saja
kalau suasana sepi karena aku takut... kalau sampai ketahuan orang yang akan
membunuhku. Aku juga pernah beberapa kali keluar pada siang hari bersama ibu,
akan tetapi tidak lama dan sebelum bertemu orang lain aku sudah harus masuk
lagi."
"Dan
bagaimana caranya engkau keluar dari sini?"
Hui Cu
memandang ke atas, lalu nampak kaget. "Aihh, kenapa aku tidak ingat? Aku
bisa naik dengan mudah, akan tetapi engkau, Sun-ko, kalian... mana bisa memanjat
naik?"
"Kenapa
tidak bisa?" Ci Kang berkata.
Dan pemuda
ini sudah cepat mengerahkan sinkang dan menggunakan kedua tangan dan kakinya
untuk memanjat naik. Dengan menggunakan dua tangan mencengkeram dinding sumur
itu, dia dapat terus merayap naik seperti seekor cecak.
Hui Cu
memandang dengan mata terbelalak. "Wah, dia lebih pandai dari pada
aku!" Lalu dia membalikkan tubuhnya menghadapi Cia Sun. "Sun-ko,
jangan kau pergi...!"
"Mana
bisa? Tak mungkin aku tinggal terus di sini, adik Hui Cu."
"Sun-ko,
jangan tinggalkan aku, Sun-ko. Maukah engkau menemani aku barang beberapa hari
saja? Aku amat kesepian, Sun-ko, hampir tak tertahankan lagi... dan begitu
bertemu denganmu, aku ingin lebih lama berkenalan denganmu, bercakap-cakap
denganmu..."
Cia Sun
memandang dengan hati terharu. Dara ini masih seperti kanak-kanak saja, polos
dan bersih, dan menderita. "Adik Hui Cu, tidak mungkin aku tinggal di
sini. Engkau saja yang minta kepada ibumu, kalau betul dia mencintamu, supaya
engkau dibawa keluar dari tempat ini. Kulihat kepandaianmu hebat, kiranya engkau
akan dapat pergi jauh dari orang yang hendak membunuhmu itu dan andai kata
bertemu dengan aku, aku tentu akan siap melindungimu dari ancaman orang yang
hendak membunuhmu."
Tiba-tiba
saja Hui Cu memegang kedua tangan pemuda itu. Dengan kedua mata basah dia memandang
wajah Cia Sun. "Benarkah, koko? Benarkah bahwa engkau akan suka melindungi
aku? Menurut ibu, ayahku itu memiliki kepandaian tinggi, sulit dikalahkan oleh
siapa pun juga..."
"Tentu,
siauw-moi, tentu aku akan melindungimu. Nah, sekarang selamat tinggal. Lihat,
kawanku sudah hampir sampai di atas!"
Akan tetapi,
tiba-tiba saja terdengar Ci Kang mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya
melayang turun ke bawah! Cia Sun terkejut bukan main dan cepat dis menyambut
tubuh kawannya itu dengan sepasang lengannya. Untung Ci Kang masih sempat
mengerahkan ginkang-nya sehingga dibantu oleh Cia Sun, dia dapat sampai di
dasar sumur itu dengan selamat.
"Ibu...!"
Tiba-tiba Hui Cu berseru nyaring dan tubuhnya melesat ke atas.
Cia Sun
kagum sekali melihat kehebatan ginkang gadis itu. Sebentar saja tubuhnya telah
merayap naik dengan cepat sekali. Dari bawah, dia melihat bayangan orang di
atas dan maklumlah dia bahwa yang berada di atas itu adalah ibu Hui Cu!
"Dia
menyerangku dengan angin pukulan dahsyat!" kata Ci Kang dengan marah.
"Mari
kita susul Hui Cu!" Cia Sun berkata.
Dengan
cerdik dia hendak mempergunakan Hui Cu sebagai pelindung atau perisai. Kalau
mereka merayap di bawah Hui Cu, tentu ibu gadis itu tidak dapat menyerang
mereka dan ibu itu kiranya tidak akan mau mencelakai anak sendiri. Ci Kang
mengerti apa maksud kawannya, maka dia pun cepat merayap kembali bersama Cia
Sun mengejar Hui Cu yang sudah merayap lebih dulu.
Benar saja,
nenek yang berada di luar sumur itu menjenguk ke bawah dan mengeluarkan
teriakan-teriakan yang tidak jelas, agaknya menyuruh puterinya itu supaya turun
kembali. Akan tetapi Hui Cu tak peduli dan terus merayap naik. Ketika gadis itu
akhirnya meloncat keluar sumur, ibunya hendak menyerang Cia Sun dan Ci Kang
yang masih belum tiba di atas.
"Ibu,
jangan...!" Hui Cu berseru lantas menubruk ibunya, memeluk pinggang ibunya
untuk menahan ibunya yang hendak mendekati sumur.
"Lepaskan
aku, biar kubunuh mereka...!" Nenek itu berseru dan meronta-ronta.
Akan tetapi
Hui Cu tetap tak mau melepaskan rangkulannya dari pinggang ibunya hingga kedua
orang ini bersitegang. Keributan itu memberi cukup waktu bagi Cia Sun serta Ci
Kang untuk berloncatan keluar dari sumur dan sekarang mereka berdiri
terbelalak. Kiranya nenek yang kini berusaha melepaskan rangkulan Hui Cu adalah
seorang nenek berambut dan berpakaian putih, dan mereka berdua segera
mengenalnya sebagai Ratu Iblis!
Nenek itu
pun kini mengenal Ci Kang dan Cia Sun. Sejenak matanya yang kehijauan itu terbelalak,
seolah-olah tak percaya pada pandang matanya sendiri dan dia nampak kaget
seperti melihat orang-orang yang sudah mati hidup kembali!
Akan tetapi
otaknya yang amat cerdik itu segera dapat membuat perhitungan dan dia pun
menjadi kagum bukan main. Dia dapat menduga bahwa tentu dua orang muda itu
berhasil menjebol lantai kamar jebakan yang dialiri air dari atas itu! Dua
orang pemuda ini, yang menjadi musuh besar keluarganya, telah mengetahui
rahasianya, rahasia puterinya!
Gadis itu,
Toan Hui Cu, adalah puteri Ratu Iblis yang ketika lahir dahulu ditukar dengan
bayi seorang penghuni dusun. Puteri inilah yang diselamatkan itu dengan
mengorbankan nyawa bayi puteri penghuni dusun yang sama sekali tidak berdosa.
Ratu Iblis membunuh seorang bayi untuk menyelamatkan puterinya dari ancaman
suaminya.
Kemudian,
sesudah anak itu berusia lima enam tahun, dia menculiknya dari suami isteri
penghuni dusun itu lantas mengurung anak yang diberi nama Hui Cu, Toan Hui Cu
itu, ke dalam goa bawah tanah yang merupakan tempat rahasia yang hanya
diketahuinya sendiri.
Raja Iblis
tentu saja tahu akan tempat ini, akan tetapi tempat ini merupakan kuburan atau
tempat terakhir dari seorang gurunya dan menjadi tempat keramat, maka dia
sendiri pun tidak pernah dan tidak mau menjenguk tempat itu. Sama sekali dia
tidak mengira bahwa isterinya mempunyai rahasia, bahwa tempat itu menjadi
tempat persembunyian puterinya sendiri!
Ratu iblis
merahasiakan segalanya dan bersikap hati-hati sekali. Bahkan dia tidak pernah
memperkenalkan namanya sendiri atau nama suaminya kepada Hui Cu, serta
menakut-nakuti gadis itu supaya membunuh setiap orang yang berani masuk, juga
memberi tahu bahwa ayah gadis itu tentu akan membunuhnya kalau sampai
melihatnya.
Hal ini
membuat Hui Cu ketakutan dan dia mentaati pesan ibunya, sampai belasan tahun
lamanya dia menjadi penghuni goa bawah tanah itu sehingga akhirnya, tanpa
tersangka-sangka, nasib mempertemukan dia dengan Cia Sun dan Ci Kang!
Ketika Ratu
Iblis mengenal dua orang pemuda itu, selain amat terkejut dan heran, dia juga
marah dan khawatir sekali. Dua orang muda ini harus dibunuhnya, kalau tidak,
rahasianya tidak akan dapat dipertahankannya lagi dan suaminya tentu akan marah
jika tahu bahwa dia mempunyai seorang puteri yang disembunyikan hingga belasan
tahun lamanya. Entah apa yang akan diperbuat suaminya terhadap dirinya dan
terhadap Hui Cu, dia tak mampu membayangkan.
"Lepaskan,
aku harus bunuh mereka!" Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya dengan kuat
hingga Hui Cu terpelanting jauh. Melihat puterinya terpelanting jatuh, Ratu
Iblis tidak jadi menyerang dua orang pemuda itu melainkan mendekati puterinya,
lalu merangkulnya dan bertanya dengan suara penuh kasih sayang, "Anakku,
engkau tidak terluka...?"
Diam-diam
dua orang pemuda yang memperhatikan gerak-gerik Ratu Iblis merasa heran. Kini
lenyaplah sifat liar serta ganas dari nenek itu, terganti sifat yang
menimbulkan rasa haru, karena sikapnya ketika merangkul dan mengelus rambut Hui
Cu, dan juga suaranya menggetarkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya!
"Ibu,
jangan bunuh mereka... jangan serang Sun-koko...!"
Nenek itu
melepaskan rangkulannya dan mengerutkan alianya. "Sun-koko...? Siapa
itu?"
"Seorang
dari mereka... mereka tidak sengaja memasuki goa bawah tanah, ibu, jangan
serang mereka, mereka itu orang-orang yang amat baik..."
"Setan!
Mereka adalah musuh-musuh kita, jika tidak dibunuh hanya akan mendatangkan
bencana di kemudian hari!" Dan tiba-tiba saja sikap nenek itu berubah lagi
dan tubuhnya melesat ke depan, kedua tangannya sudah mendorong ke arah Cia Sun
dan Ci Kang.
Akan tetapi
kini dua orang pemuda itu sudah siap menghadapi serangan lawan. Mereka berdua
tahu bahwa nenek itu lihai bukan kepalang. Serangannya tadi saja mengeluarkan
hawa yang amat kuat dan panas dan sebelum tangan itu menyentuh mereka, sudah
ada angin pukulan dahsyat yang menyerang. Mereka cepat mengelak lantas balas
menyerang sambil mengerahkan tenaga mereka.
Ratu Iblis
menggereng marah melihat betapa semua tamparannya mampu dielakkan oleh dua
orang lawan itu, bahkan kini mereka membalas dengan pukulan-pukulan yang keras.
Dia masih memandang rendah mereka, kemudian menggunakan kedua lengannya untuk
menangkis, dengan maksud tangkisan itu akan dilanjutkan dengan sebuah
cengkeraman untuk menangkap lengan mereka.
"Dukk!
Dukk...!"
Nenek itu
kembali mengeluarkan suara geraman aneh ketika dia merasa betapa benturan
lengan itu telah membuat tubuhnya tergetar hebat. Jangankan merubah tangkisan
menjadi cengkeraman, bahkan dia terhuyung ke belakang oleh benturan-benturan
itu. Sedangkan Cia Sun dan Ci Kang juga terhuyung ke belakang karena nenek itu
memang mempunyai tenaga kuat yang aneh sekali.
Mulailah
nenek itu memandang mereka dengan mata lain, tidak lagi berani memandang
rendah. Dan dia pun mulai mengerti bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki
ilmu kepandaian hebat.
Tadinya
memang Siang Hwa melaporkan bahwa mereka itu lihai, akan tetapi dia masih belum
percaya. Sekarang barulah dia tahu bahwa memang tingkat kepandaian mereka ini
lebih lihai dari pada tingkat Siang Hwa. Pantas saja muridnya itu terpaksa
menggunakan siasat untuk menjebak mereka.
Karena tidak
memandang rendah lagi, nenek itu menggerakkan tangan kanannya hingga nampaklah
cahaya berkilat ketika dia tahu-tahu sudah mencabut pedangnya. Dicabutnya
pedang ini membuktikan bahwa Ratu Iblis benar-benar tidak memandang rendah
lawan. Jarang dia mempergunakan pedangnya ketika bertanding karena jarang pula
ada orang mampu menandinginya walau pun dia tidak mencabut pedang.
Ci Kang
maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun cepat mematahkan sebuah cabang pohon
yang sebesar lengannya dan panjangnya satu tombak. Untuk menghadapi pedang
seorang datuk sesat seperti nenek itu dia harus berhati-hati.
Cia Sun juga
berhati-hati dan untung bahwa suling yang terselip di pinggangnya, di balik
bajunya, masih ada, maka ia pun mencabut sulingnya itu. Benda ini telah menjadi
senjata yang ampuh semenjak dia di digembleng oleh Go-bi San-jin. Bukan hanya
suling ini saja, bahkan kini dia pandai mempergunakan ujung lengan baju atau
benda apa saja sebagai senjata.
Dengan
cerdiknya, kedua orang pemuda itu segera berpencar, menghadapi nenek itu dari
kanan dan kiri. Mereka bersikap hati-hati dan hanya menanti dengan waspada,
tidak mau menyerang lebih dulu.
Sejenak tiga
orang itu berdiri tegak seperti patung, hanya mata nenek itu yang melirik ke
kanan kiri untuk mengikuti gerakan dua orang lawannya. Pedang di tangan
kanannya itu diangkat tinggi-tinggi dan melintang di atas kepala, sedangkan
tangan kiri dengan jari-jari terbuka diletakkan di depan dada, rambutnya yang
putih panjang itu tergantung di depan.
"Ibu,
jangan serang mereka...! Sun-ko, jangan berkelahi dengan ibuku..."
Akan tetapi
nenek itu tentu saja tak mempedulikan teriakan puterinya, malah membentak
marah, "Diam kau...!"
"Siauw-moi,
aku hanya membela diri...!" Cia Sun menjawab. Akan tetapi begitu dia
bicara, nenek itu sudah menggerakkan pedangnya menyerang dengan sangat
hebatnya. Pedang itu menyambar dari atas seperti halilintar dan mengeluarkan
hawa dingin.
Cia Sun
cepat mengelak. Pedang menyambar lewat tetapi cepat membalik dan meluncur
turun, jika tadi membacok kini berbalik menusuk! Demikian cepatnya datangnya
serangan lanjutan itu sehingga Cia Sun terpaksa harus mengangkat sulingnya
menangkis.
"Trakkk...!"
Kembali
keduanya mendapat kenyataan bahwa lawan memang memiliki tenaga sinkang yang
sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Pada saat
itu, Ci Kang sudah menyerang dengan tongkatnya yang dibuat secara darurat,
yaitu kayu cabang pohon tadi. Serangannya sangat hebat, sampai mengeluarkan
angin dan suara bersuitan. Tongkat itu menyambar ke arah kepala Ratu Iblis yang
ketika itu sedang menyerang Cia Sun.
Ratu Iblis
itu sungguh lihai bukan main. Menghadapi serahgan tongkat yang datang dari
samping agak belakang ini, ia bersikap tenang saja. kepalanya digerakkan
mengelak dan tiba-tiba saja gumpalan rambut putihnya menyambar lantas menangkis
batang kayu itu. Hebatnya, kini gumpalan rambut itu tiba-tiba saja berubah
menjadi kaku dan keras seperti besi.
"Takkk...!"
Tongkat di
tangan Ci Kang tertangkis dan mendadak tangan kiri nenek itu mendorong ke depan
dan serangkum hawa panas yang sangat hebat menyambar dada Ci Kang sebagai
balasan serangannya.
"Ehhhhh...!"
Ci Kang berseru kaget dan terpaksa dia meloncat jauh ke belakang karena
serangan itu sungguh amat berbahaya.
Dua orang
muda itu kini bersikap hati-hati sekali. Mereka semakin tahu betapa hebatnya lawan
mereka yang memiliki tiga macam senjata ampuh itu, yaitu pedangnya, rambutnya,
dan tangan kirinya. Belum lagi diperhitungkan kedua kakinya kalau mengirim
tendangan karena mereka melihat betapa sepatu nenek itu berlapis baja!
Nenek itu
sendiri juga menjadi terkejut. Belum pernah dia menghadapi lawan yang begini
tangguhnya. Andai kata kedua orang pemuda itu maju satu demi satu saja, agaknya
dia masih akan dapat mengatasi mereka, bahkan mengungguli mereka. Akan tetapi
pemuda itu maju bersama dan sesudah kini mereka bersikap hati-hati, gerakan
mereka amat kuat dan terpusatkan sehingga dia segera terdesak hebat! Juga
pertemuan-pertemuan tenaga antara dia dan dua orang muda itu membuat dia lelah
sebab harus mengerahkan seluruh tenaganya kalau tidak mau celaka dilanda
gelombang tenaga yang dahsyat dari mereka.
"Anakku,
cepat maju dan gunakan kebutanmu! Bantulah aku!" Akhirnya, setelah
terdesak hebat, nenek itu berseru minta bantuan puterinya yang semenjak tadi
hanya nonton saja dengan sepasang mata terbelalak penuh kegelisahan. Kini,
mendengar seruan ibunya, dia menjadi semakin bingung.
"Tidak,
ibu! Kata ibu semua orang jahat, terutama laki-laki. Akan tetapi mereka ini
tidak jahat, jadi aku tidak dapat menyerang mereka. Ibu jangan memusuhi
mereka!" Gadis itu menjawab dengan suara yang tegas.
"Desss...!"
Tubuh nenek
itu terhuyung, akan tetapi dia bisa menguasai dirinya dan tak sampai roboh
walau pun tongkat cabang pohon di tangan Ci Kang yang menyerempet pinggangnya
tadi kuat bukan main.
Karena
puterinya tidak mau membantunya dan dia maklum bahwa kedua orang lawannya itu
benar-benar merupakan lawan tangguh yang dapat membahayakan keselamatannya,
Ratu Iblis mengeluarkan pekik melengking yang sejenak membuat kedua orang
pemuda itu tercengang dan mereka harus mengerahkan sinkang untuk melawan
pengaruh suara itu. Kesempatan itu cepat dipergunakan oleh nenek itu untuk
meloncat ke arah puterinya, memegang lengan puterinya dan melarikan diri sambil
menarik Hui Cu bersamanya.
"Kurasa
tidak perlu dikejar, terlalu berbahaya...!" Cia Sun berkata ketika melihat
temannya hendak mengejar.
Mendengar
suara Cia Sun, Ci Kang langsung menahan kakinya dan melangkah kembali
menghampiri temannya yang sedang memeriksa tangan kirinya. Ternyata kulit
tangan itu telah berwarna hitam kehijauan dari jari-jari tangan sampai ke
pergelangan.
"Cia
Sun, engkau keracunan!" kata Ci Kang mendekat.
"Nenek
itu memiliki banyak pukulan beracun yang jahat. Sungguh berbahaya sekali!"
kata Cia Sun. "Karena itulah maka aku mencegahmu melakukan pengejaran. Aku
tidak dapat membantumu dan jika sampai dia dibantu kawan-kawannya, tentu engkau
akan terancam bahaya. Aku harus menggunakan waktu beberapa hari untuk
membersihkan racun ini."
"Tak
perlu begitu lama, Cia Sun. Dulu aku pernah mempelajari ilmu membersihkan hawa
beracun itu dan dengan bantuanku, tanganmu akan sembuh dengan cepat."
Tidak lama
kemudian Ci Kang sudah mengobati tangan kiri temannya itu. Cia Sun duduk
bersila, mengerahkan sinkang dan dengan hawa murni dia mendorongkan tenaga ke
arah tangan kirinya. Kalau dia melakukan pengobatan ini sendirian saja, tentu
akan memakan waktu sedikitnya satu pekan baru hawa beracun di dalam tangan
kirinya itu dapat terusir bersih.
Akan tetapi
kini Ci Kang menempelkan kedua telapak tangannya pada siku serta pundak
kirinya, dan teman ini membantunya dengan mengerahkan sinkang. Hawa panas
segera memasuki lengan kirinya itu dan dengan kekuatan disatukan, dengan mudah
mereka bisa mengusir racun dari tangan kiri. Tidak lama kemudian, kulit tangan
itu berubah warnanya. Warna hitam kehijauan itu perlahan-lahan surut hingga
akhirnya lenyap melalui kuku-kuku jari tangan.
"Terima
kasih, Ci Kang, engkau telah menolongku," kata Cia Sun dengan hati girang
dan kagum.
Ci Kang
menggelengkan kepala. "Tidak ada terima kasih, Cia Sun. Ketika aku
terjatuh kembali ke dalam sumur tadi, engkau pun telah menolongku. Sikapmu yang
baik terhadap diriku saja sudah membuat aku bersyukur sekali."
"Ci
Kang, sampai sekarang aku masih merasa heran mengingat bahwa engkau, sesuai
pengakuanmu sendiri, adalah putera Siangkoan Lo-jin! Dan engkau memusuhi para
datuk sesat! Mengingat bahwa nasib telah mempertemukan kita yang menjadi
sahabat senasib sependeritaan, kalau aku boleh bertanya, sebetulnya apakah yang
kau cari di sini?"
"Sama
saja dengan engkau, Cia Sun. Bukankah engkau datang ke sini untuk menghadiri
pertemuan para pendekar yang hendak bangkit untuk menentang Raja dan Ratu Iblis
yang kabarnya dibantu oleh para datuk sesat termasuk Cap-sha-kui?"
Cia Sun mengangguk
lalu bertanya, "Apa maksudmu ingin menghadiri pertemuan itu?"
Ci Kang
tersenyum pahit. "Aku yang tolol ini hendak menipu diri sendiri. Ayahku
adalah seorang datuk sesat, bagaimana mungkin aku diterima di antara para
pendekar? Tadinya kusangka..."
Melihat Ci
Kang tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya menjadi muram, Cia Sun
memegang lengan yang kokoh kuat itu. "Sahabatku, jangan kau persalahkan
sikap para pendekar. Andai kata aku sendiri belum mengalami bahaya-bahaya itu
bersamamu dan sudah mengenalmu benar bahwa engkau adalah seorang gagah yang
menentang para datuk sesat, mungkin aku pun akan curiga kepadamu. Bayangkan
saja. Engkau, putera Siangkoan Lo-jin, berkeliaran di tempat ini, padahal para
pendekar hendak mengadakan pertemuan di sini untuk menentang golongan sesat!
Orang yang tidak mengenal keadaan dirimu tentu saja akan menyangka engkau
memata-matai pertemuan para pendekar itu. Akan tetapi jangan takut. Ada aku di
sini yang akan menjelaskan segalanya kepada para pendekar. Tapi katakan dulu,
apa sesungguhnya niat hatimu datang ke sini?"
"Aku
hendak menyumbangkan tenagaku menentang para datuk yang hendak melakukan
pemberontakan."
"Bagus!
Kalau begitu kita satu haluan. Mari kita pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang
untuk menemui para pendekar, Ci Kang."
Akan tetapi
pemuda yang tinggi besar itu menggeleng kepala. "Cia Sun, sejak kecil aku
selalu ingin berusaha sendiri. Usaha apa pun yang kuhadapi tak akan memuaskan
hatiku apa bila berhasil hanya karena bantuan orang lain,. Biarlah, aku akan
hadapi sendiri para pendekar, apa pun akibatnya. Aku gembira sekali sudah dapat
bertemu dan berkenalan denganmu, Cia Sun. Selamat berpisah!"
Setelah
berkata demikian, Ci Kang lalu meloncat lari meninggalkan Cia Sun yang berdiri
termenung, hatinya kagum melihat pemuda perkasa yang memiliki ilmu kepandaian
yang dapat menandinginya. Dia pun lalu meninggalkan tempat berbahaya itu.
***************
Semenjak
Bangsa Mongol yang pernah menjajah dan menguasai Tiongkok terbasmi atau terusir
sehingga sisa-sisa bangsa itu kembali ke utara lagi, maka Bangsa Mongol menjadi
bangsa yang lemah. Lenyap sudah kebesarannya seperti saat mereka masih
menguasai Kerajaan Goan yang menjajah seluruh Tiongkok itu.
Kini sisa
bangsa itu terpecah-pecah, bercampur baur dengan Bangsa Mancu dan Bangsa Khin.
Jumlah suku bangsa mereka sangat banyak, terpecah-pecah oleh berbagai agama,
aliran dan tradisi. Mereka tinggal berkelompok-kelompok di luar Tembok Besar,
dan hidup kembali sebagai suku-suku Nomad yang selalu berpindah-pindah sesuai
dengan situasi dan kondisi iklim dan tanah.
Karena
terpecah-pecah menjadi kelompok itulah maka Bangsa Mongol, Mancu dan Khin ini
menjadi lemah. Di antara mereka sendiri terjadilah persaingan, bahkan
kadang-kadang persaingan itu menjadi permusuhan dan pertempuran karena memperebutkan
tanah, air dan sebagainya. Mereka adalah bangsa yang sudah terbiasa dengan
kekerasan, karena sifat hidup mereka memang keras, selalu berhadapan dengan
kesulitan yang ditimbulkan oleh keadaan alam di daerah itu yang tidak
menguntungkan manusia.
Masing-masing
suku atau kelompok memiliki kepala sendiri dan seperti biasa terjadi di seluruh
dunia ini di antara manusia, kepala-kepala inilah yang menimbulkan permusuhan
dan pertentangan karena ambisi masing-masing yang menyeret kelompok atau
pengikut mereka ke dalam permusuhan. Tidak pernah lagi lahir seorang Jenghis
Khan baru yang memiliki kekuatan sedemikian hebatnya untuk bisa menundukkan
semua kepala suku itu sehingga terdapat persatuan seperti di jaman Jenghis Khan
dahulu yang akan membuat Bangsa Mongol menjadi bangsa yang kuat.
Nenek Yelu
Kim yang sudah tua itu memang cukup berpengaruh di antara suku bangsa utara
ini. Akan tetapi peran nenek Yelu Kim bukanlah sebagai pemimpin dan pembangkit
semangat mereka, namun sebagai penengah. Nenek ini memang ditakuti karena
memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi nenek Yelu Kim tidak pernah
bangkit untuk memimpin mereka, hanya turun tangan bila mana terjadi
pertempuran-pertempuran antara kelompok atau suku. Dan setiap kali, nenek ini
harus memperlihatkan kepandaiannya untuk dapat melerai dan memadamkan api
permusuhan di antara mereka.
Akan tetapi
pergolakan di utara yang dipimpin oleh pemberontakan para datuk sesat yang
bersekongkol dengan Panglima Ji Sun Ki di San-hai-koan, telah menimbulkan
guncangan hebat di kalangan para suku Nomad di utara itu, membangkitkan sesuatu
di dalam hati mereka yang selama ini tidak pernah lagi memikirkan kekuasaan
yang sudah hilang di selatan.
Juga Yelu
Kim bagaikan baru terbangun dari tidurnya. Mengapa tidak, demikian pikirnya.
Kalau para datuk sesat saja berani mengadakan pemberontakan, mengapa dia tidak
bisa memimpin suku-suku bangsa yang kuat dan terkenal sebagai ahli-ahli perang
itu untuk mencoba membangkitkan lagi kekuasaan Bangsa Mongol dan sekutunya,
meraih kembali mahkota yang pernah dikuasai oleh Bangsa Mongol?
Akan tetapi,
api semangat yang mulai membakar dada orang-orang yang menjadi kepala kelompok
atau suku itu kembali menimbulkan pertentangan lagi di antara mereka sendiri.
Masing-masing ingin menjadi pemimpin jika mereka sampai dapat bersatu dan
melakukan penyerbuan ke selatan selagi keadaan kacau oleh adanya pemberontakan.
Masing-masing
ingin menjadi pemimpin, tentu saja dengan ambisi bahwa kalau gerakan mereka
kelak berhasil, maka sang pemimpin itulah yang akan menjadi kaisar sampai ke
anak cucu keturunannya! Hal inilah yang membuat prihatin dan menyesal di hati
nenek Yelu Kim sampai dia berjumpa dengan Sui Cin. Di dalam diri gadis ini dia
melihat bakat dan kepandaian yang dapat dia pergunakan untuk mencapai hasil
baik dalam rencananya menghadapi pertikaian baru di antara para kepala suku
itu.
Nenek itu
berhasil membawa pergi Sui Cin dengan bantuan harimau peliharaannya, lalu mengobati
Sui Cin yang tertipu oleh Kiu-bwe Coa-li dan minum racun pembius. Namun di
samping keracunan, nenek itu juga mendapat kenyataan bahwa gadis itu pun
kehilangan ingatannya, maka dia pun berusaha dengan sepenuh perhatian dan
kepandaiannya untuk mengobati Sui Cin sehingga gadis itu akan sembuh sama
sekali, termasuk dari penyakit kehilangan ingatan itu.
Nenek Yelu
Kim memang ahli dalam hal pengobatan dan akhirnya dia berhasil mengobati Sui
Cin hingga gadis itu memperoleh kembali ingatannya! Ingatan itu kembali
kepadanya ketika pada suatu pagi dia terbangun kemudian melihat nenek itu sudah
duduk di dekat pembaringannya. Nenek itu memegang sebatang jarum emas dan
agaknya nenek itu tadi telah mengerjakan jarumnya pada waktu dia sedang tidur
dan berhasil membuka kembali ingatannya.
"Aihhhh...!"
Sui Cin meloncat lantas bangkit duduk, memandang nenek itu dengan mata
terbelalak. "Aihh, semuanya terjadi seperti dalam mimpi saja...! Tapi aku
tidak bermimpi!" Ia menengok ke arah pintu kamar itu dan memanggil girang
ketika melihat seekor harimau besar menjenguk ke dalam. "Houw-cu, engkau
pun kenyataan, bukan mimpi! Dan nenek Yelu Kim, yang telah menolongku!"
Nenek itu
tersenyum dan wajahnya nampak cantik pada saat dia tersenyum. "Anak baik,
engkau sudah ingat semua, juga akan keadaan dirimu? Tadinya engkau lupa sama
sekali akan keadaan dirimu dan asal-usulmu."
Sui Cin
membelalakkan matanya. "Benarkah itu? Ah, ya, teringat olehku sekarang.
Tentu timpukan batu yang mengenai belakang kepalaku itulah yang membuatku lupa
segalanya. Dan bagaimana nasib Hui Song...?"
Nenek itu
menggeleng kepala. "Aku tidak tahu. Apakah dia pemuda yang menolongmu dari
Kiu-bwe Coa-li itu?"
"Bukan!
Pemuda itu adalah Cia Sun-twako. Ahh, tentu locianpwe tidak tahu. Betapa hebat
dan mengerikan semua pengalamanku selama ini dan akhirnya locianpwe yang
berhasil menyembuhkanku. Sungguh besar sekali budi locianpwe kepadaku."
"Hush,
sudahlah. Di antara guru dan murid mana ada budi? Ingat, sesuai dengan janjimu,
engkau sudah menjadi murid juga pembantuku. Sekarang lekas ceritakan keadaan
dirimu dengan singkat."
"Namaku
Ceng Sui Cin dan ayahku..." Sui Cin langsung teringat bahwa dia tidak
boleh membawa-bawa nama orang tuanya, maka dia meragu. Bagaimana pun juga, dia
belum mengenal benar siapa sesungguhnya nenek Yelu Kim yang telah menolongnya
ini.
Akan tetapi
nenek itu kemudian tersenyum setelah tadinya sepasang matanya terbelalak
mendengar gadis itu memperkenalkan diri. Lalu tangannya yang kurus memegang
lengan Sui Cin dan matanya yang tajam itu menatap wajah gadis itu, mulutnya
tersenyum ramah.
"Sungguh
para dewa sudah mempertemukan kita! Tepat suara hatiku bahwa engkaulah yang
akan dapat membantuku dan menolong bangsa dan golongan kita. Kiranya engkau
adalah keturunan Puteri Khamila, engkau masih berdarah bangsa kami, anak
baik!"
Sui Cin amat
terkejut dan merasa heran. Benarkah nenek ini dapat mengenal keluarganya hanya
dengan namanya? Padahal, sebelum ini belum pernah dia mengenal nenek Yelu Kim.
"Apa
maksud locianpwe?" tanyanya sambil memandang tajam.
Senyum nenek
ini semakin melebar. "Tidak sulit mengenalmu, Sui Cin. Ilmu silatmu amat
lihai dan selama engkau berada di sini, dalam latihan engkau memainkan beberapa
ilmu silat yang kukenal bersumber pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Tadinya kukira
engkau adalah murid Cin-ling-pai, akan tetapi setelah kini aku tahu bahwa
engkau she Ceng, mudah saja menduga siapa adanya dirimu. Bukankah ayahmu adalah
Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"
Sui Cin
mengangguk. "Locianpwe sungguh cerdik sekali." Dia memuji.
"Dan
ayahmu itu adalah putera Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai. Kakekmu itu
adalah putera mendiang Kaisar Ceng Tung dan Puteri Khamila, dengan sendirinya
antara engkau dan aku masih ada hubungan yang dekat sekali, Sui Cin."
Kemudian kata-kata itu diakhiri dengan suara ketawa girang bukan main dari
nenek itu.
Sui Cin
memandang bengong ketika melihat nenek itu tiba-tiba bangkit dan menari-nari di
dalam kamar itu, menari-nari sambil bernyanyi lagu Mongol dan bertepuk tangan!
Harus diakuinya bahwa meski pun di situ tidak ada iringan musik, akan tetapi
tarian itu sangat indah dan suara nyanyian nenek itu pun merdu sekali.
"Locianpwe..."
"Aku
sudah menjadi gurumu dan kau masih menyebutku locianpwe?" Nenek yang sudah
selesai menari itu menegur.
"Subo,"
akhirnya Sui Cin berkata dengan nada agak terpaksa.
Sesungguhnya,
apa bila dia berada dalam keadaan sadar, dia tidak akan mau begitu saja
berjanji menjadi murid dan pembantu nenek itu tanpa lebih dahulu mengenal
keadaannya. Akan tetapi dia telah berjanji dan dia tak akan menarik kembali apa
yang telah dijanjikan.
"Subo,
hubungan dekat apakah yang ada antara kita?"
"Tidak
dapatkah engkau menduganya? Nama keturunanku Yelu! Tidak tahukah engkau apa
artinya nama itu?"
Sui Cin
menggeleng kepala dan menyesal mengapa dia tidak tahu akan hal itu karena dia
melihat betapa wajah nenek itu nampak kecewa sekali.
"Aihh,
agaknya Ceng Thian Sin tidak pernah menceritakan kepadamu tentang kebesaran
bangsa kita di utara."
"Ayah
memang tidak suka menceritakan riwayat nenek moyang kami," kata Sui Cin.
"Sayang
sekali. Nah, dengarkan baik-baik. Ketika Kaisar Jenghis Khan, raja terbesar di
seluruh dunia, masih bertahta dan menguasai seluruh daratan sampai ke lautan
selatan, beliau mempunyai seorang pembantu dan penasehat yang amat arif
bijaksana, bernama Yelu Ce-tai. Siapakah orangnya yang tidak mengenal nama
besar Yelu Ce-tai di samping nama besar Jenghis Khan? Yelu Ce-tai inilah
pengatur semua siasat sehingga membuat pemerintahan Jenghis Khan berhasil
dengan baik."
"Dan
subo tentulah keturunan Yelu Ce-tai itu," kata Sui Cin karena memang mudah
saja menduganya sekarang.
Nenek itu
mengangguk dan wajahnya yang agung itu terlihat diangkat penuh kebanggaan.
"Dan beliau tidak malu memiliki keturunan seperti aku! Kerajaan Mongol
yang menguasai seluruh daratan selatan sudah hancur, dan keturunan Jenghis Khan
yang besar itu telah lenyap tidak ada sisanya lagi, akan tetapi kebesaran Yelu
Ce-tai masih belum kabur! Lihat aku ini, aku keturunannya, walau pun aku hanya
seorang wanita, akan tetapi aku masih dipandang dan juga diakui oleh semua
kelompok suku bangsa di utara sebagai penasehat agung yang selalu mereka segani
dan taati!"
Kini
mengertilah Sui Cin mengapa nenek ini nampak begitu agung dan penuh bangga
diri. Kiranya memiliki kedudukan tinggi di antara suku bangsa utara.
"Subo
telah menyelamatkan aku dan aku telah berjanji untuk membantu subo, sebetulnya
bantuan apakah yang dapat aku lakukan? Bukankah sebagai seorang penasehat
agung, subo memiliki banyak pembantu dan tidak membutuhkan lagi
bantuanku?"
"Engkau
tidak tahu betapa aku mengalami banyak kepusingan karena sifat liar dan keras
dari orang-orang suku utara ini. Terutama sekali suku Khin yang amat ganas.
Mereka itu menghormati aku, akan tetapi kadang kala menunjukkan kekerasan
mereka dan agaknya mereka semua akan mudah sekali memberontak. Baiknya selama
ini aku masih mampu mengendalikan mereka. Sekarang timbul keguncangan di
kalangan kami karena adanya pergerakan kaum sesat di selatan yang hendak
memberontak."
Sui Cin
terkejut. Betapa pandainya nenek ini, sehingga urusan di selatan tentang
gerakan para datuk sesat yang hendak memberontak pun dapat diketahuinya!
"Apakah
yang subo ketahui tentang hal itu?"
Nenek itu
tersenyum bangga. "Tentu saja aku tahu semuanya! Ha, jangan dikira bahwa
kami orang-orang Mongol sudah melupakan kekalahan kami! Mungkin orang-orang
kasar itu sudah menerima kekalahan mereka dan sudah putus asa. Akan tetapi aku
tidak! Aku selalu memperhatikan perubahan serta pergolakan di selatan. Aku tahu
bahwa seorang pangeran she Toan yang kini menjadi datuk sesat dengan julukan
Raja Iblis, dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya, sedang
berusaha untuk memberontak. Bahkan mereka sudah berhasil mengadakan persekutuan
dengan panglima di San-hai-koan dan merampas benteng itu!"
"Selain
itu?" Sui Cin mendesak.
"Tidak
cukupkah itu? Kami melihat kesempatan yang sangat baik untuk bergerak selagi
keadaan pemerintah Beng-tiauw kacau. Sudah tiba saatnya bagi kami untuk
bergerak ke selatan, menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan.
Tetapi orang-orang kasar itu, orang-orang liar itu, mereka bahkan saling
berebut, saling bertentangan sendiri memperebutkan kedudukan pimpinan seperti
anjing memperebutkan bungkusan kosong! Sungguh memuakkan!"
Nenek itu
mengepal tinju dan kelihatan marah sekali. Sui Cin menduga bahwa nenek itu
agaknya belum tahu akan gerakan para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan
di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
"Lalu
apa hubungannya semua itu dengan bantuan yang subo harapkan dariku?"
"Orang-orang
gila itu makin menjadi-jadi saja dalam nafsu mereka untuk memperebutkan
kedudukan sebagai pemimpin gerakan kami. Bahkan setiap kelompok sudah
mengajukan usul agar masing-masing mengeluarkan jagoan dan diadakan
pertandingan-pertandingan. Siapa yang jagonya menang berarti berhak menjadi
pemimpin gerakan ke selatan. Aku ingin engkau membantuku, mewakili aku maju
sebagai penghukum yang menaklukkan semua jagoan itu, atau menundukkan jagoan
yang paling kuat dan yang keluar sebagai pemenang."
"Ahh...!"
Sui Cin terkejut. "Mengingat betapa kepandaian subo sendiri sudah amat
tinggi, tentu di antara kelompok itu terdapat orang-orang pandai pula. Lalu
bagaimana aku akan dapat mengalahkan jagoan yang paling pandai? Jangan-jangan
subo akan menyesal dan kecelik, aku malah yang akan kalah oleh jagoan itu
sehingga nama serta wibawa subo akan menjadi turun."
"Tidak,
tidak mungkin! Mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang hanya menggunakan
kekuatan dan kelincahan menunggang kuda disertai keberanian. Mana mungkin ada
yang mampu mengalahkanmu? Sui Cin, aku sudah tahu kelihaianmu. Di dalam ilmu
berkelahi, aku sendiri tidak akan menang melawanmu. Pula, jika engkau maju
sambil menunggang Houw-cu, siapa yang akan mampu mengalahkan engkau? Di samping
itu masih ada lagi orang yang membantumu dari belakang dengan kekuatan sihir.
Kami pasti menang dan kemenanganmu akan membuat semua orang tunduk akan
keputusanku!"
"Aihh,
jadi subo juga bercita-cita untuk turut memperebutkan kedudukan pemimpin
itu?"
"Jangan
salah duga! Seorang nenek setua aku ini sudah tidak butuh lagi kedudukan dan
kemuliaan, akan tetapi aku ingin melihat bangsaku mendapatkan kembali
kekuasaannya sebelum aku mati, apa lagi kalau kekuasaan itu diperoleh karena
bantuan dan jasaku! Aku ingin kelak kalau mati, aku dapat menghadap nenek
moyang Yelu Ce-tai dengan hati bangga. Biar semua orang melihat bahwa sampai
kini Yelu Kim tetap menjadi orang yang menurunkan keluarga yang bahkan lebih
besar dari pada keturunan Jenghis Khan sendiri! Aku harus memimpin
kelompok-kelompok liar itu supaya berhasil menyerbu ke selatan. Kemudian, untuk
pemilihan kaisar, harus dilakukan dengan bijaksana dan adil, di bawah
bimbinganku pula!"
Sui Cin
merasa heran dan diam-diam merasa khawatir kalau-kalau orang yang menjadi
gurunya ini bukan hanya orang yang memiliki cita-cita besar, akan tetapi juga
merupakan orang yang miring otaknya!
"Kalau
aku sudah melakukan tugasku mengalahkan jagoan itu, lalu bagaimana dengan aku,
subo?"
"Janjimu
itu hanya terikat oleh bantuanmu memenangkan sayembara itu. Selanjutnya aku
serahkan kepadamu. Kalau engkau mau membantu kami dalam perjuangan kami, tentu
saja aku akan merasa gembira dan bersyukur sekali. Andai kata tidak dan engkau
ingin meninggalkan aku, silakan."
Tentu saja,
sesudah kini semua ingatannya pulih, diam-diam Sui Cin merasa tidak setuju
dengan rencana nenek yang sudah menjadi gurunya ini. Nenek ini bersama bangsa
dan kelompoknya sedang merencanakan pemberontakan! Padahal, sudah menjadi
tugasnya untuk menentang pemberontak, untuk membela negara dan mencegah
terjadinya perang agar rakyat tidak akan menderita.
Bahkan ia
kini teringat bahwa ia berada di utara adalah karena ditugaskan oleh gurunya,
Wu-yi Lo-jin, untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak menentang
Raja dan Ratu Iblis yang akan mengerahkan kaum sesat untuk memberontak. Mana
mungkin kini dia harus membantu pemberontakan nenek ini terhadap pemerintah?
Tetapi dia
pun tahu bahwa nenek ini bukan orang jahat, bahkan telah menyelamatkannya dan
menolongnya dari keadaan yang sangat menyedihkan, yaitu kehilangan ingatannya.
Bagi nenek ini tentu saja gerakan memberontak itu merupakan suatu perjuangan
untuk memulihkan kembali kekuasaan bangsanya, Bangsa Mongol yang dulu pernah
menjajah Tiongkok.
"Subo,
apa subo kira mudah saja melakukan pemberontakan? Mana mungkin
kelompok-kelompok suku di sini akan mampu menandingi kekuatan bala tentara
kerajaan? Sebelum dapat berbuat banyak, tentu subo dan kawan-kawan subo sudah
akan dihancurkan oleh kekuatan bala tentara kerajaan yang jumlahnya amat banyak
dan kuat sekali."
Nenek itu
tersenyum. "Ucapanmu memang benar. Akan tetapi seperti sudah kukatakan
tadi, kini tiba saatnya yang sangat baik, terbuka kesempatan besar karena kaum
sesat telah bergerak. Biarlah mereka yang akan menandingi bala tentara
pemerintah dan kami akan memukul mereka dari belakang lantas merampas semua
kota yang sudah mereka duduki. Dengan menghadapi perlawanan pasukan pemerintah
dari depan, tentu mereka akan lemah sehingga tak akan mampu bertahan kalau kami
pukul dari belakang. Mereka itulah yang akan menjadi pelopor kami dan kami
tinggal merampas hasil-hasil mereka dari belakang saja."
Diam-diam
Sui Cin terkejut juga. Nenek ini sungguh cerdik dan kalau semua siasat nenek
itu berhasil, maka keadaannya betul-betul berbahaya bagi pemerintah. Berarti
pemerintah harus menghadapi dua gelombang serangan musuh, dan menurut sejarah
yang pernah dibacanya, suku Bangsa Mongol di utara adalah orang-orang yang amat
gagah perkasa, berani mati dan tangkas dalam pertempuran.
"Akan
tetapi, subo, hal itu akan menyalakan api peperangan besar, dan membutuhkan
biaya yang sangat besar untuk menggerakkan banyak orang bertempur,. Kalau subo
tidak mempunyai harta benda yang banyak untuk itu..."
"Jangan
kau khawatir. Aku selalu membiasakan diri berpikir sampai matang dan membuat
persiapan selengkapnya sebelum bergerak. Jika aku tidak mempunyai harta pusaka
yang amat besar jumlahnya, mana berani aku merencanakan gerakan
perjuangan?"
Tiba-tiba
saja terdengar suara mengaum, dan harimau besar itu mendekati Sui Cin lalu
mengelus-elus punggung gadis itu dengan kepalanya. Itulah tandanya bahwa si
harimau itu mengajaknya bermain-main.
"Houw-cu,
bersabarlah, nanti kita main-main," katanya dan melihat harimau ini,
mendadak Sui Cin teringat akan sesuatu.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment