Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 08
TIBA-TIBA
terjadi hal aneh yang membuat mereka semua merasa terkejut sekali. Ada angin
keras bertiup dari arah kiri ruangan sehingga api lilin-lilin besar di atas
meja sembahyang bergoyang seperti hendak padam dan menimbulkan banyak bayangan
hitam menari-nari di atas dinding putih. Juga asap dupa beterbangan ke arah
kanan. Ini bukan angin biasa, pikir mereka.
Sebelum
mereka sempat bertanya-tanya, tiba-tiba saja ada angin bertiup dari arah yang
berlawanan. Kini api lilin tenang kembali, seperti dihimpit dua tenaga atau
tertiup dari dua arah, membuat api tergetar-getar. Asap dupa yang tertiup dari
dua arah menjadi berputar seperti anak-anak domba kebingungan diancam dua ekor
harimau dari dua jurusan.
Han Tiong
tahu akan hal ini, akan tetapi dia bersikap tenang, bahkan segera menggeser
duduknya ke belakang peti jenazah isterinya, tepat di belakang menghadap ke
arah meja sembahyang. Pendekar ini dapat menduga bahwa tentu akan muncul
orang-orang pandai yang belum diketahuinya siapa dan apa maksud kunjungan mereka
di saat seperti itu.
Dia tidak
mengharapkan tamu pihak luar. Para muridnya telah dipesan agar mengundang
murid-murid Pek-liong-pang saja dan jika mungkin mencari Cia Sun puteranya, dan
agar peristiwa itu tidak dikabarkan kepada orang luar. Dia tak ingin mala
petaka yang menimpa dirinya itu diketahui oleh dunia kang-ouw. Dan rahasia ini
sangat mungkin dipegang rapat mengingat bahwa Lembah Naga adalah sebuah tempat
terpencil yang jarang dikunjungi orang luar. Akan tetapi, mengapa kini muncul
orang-orang pandai?
Tidak ada
seorang pun murid Pek-liong-pang yang mengira bahwa peristiwa angin ganjil itu
dilakukan orang pandai. Mereka saling pandang dan merasa ngeri, menyangka bahwa
hal itu tentu dilakukan oleh makhluk-makhluk halus, atau mungkin oleh arwah-arwah
yang mati penasaran itu. Mereka merasa ngeri sehingga bulu tengkuk mereka
meremang.
Tiba-tiba
saja ada suara terkekeh. Para murid Pek-liong-pang tersentak kaget, kemudian
memandang terbelalak kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja muncul di depan
meja sembahyang.
Usia kakek
itu tentu sudah enam puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam
kasar, matanya bundar besar. Seorang kakek dengan wajah angker, mengingatkan
orang akan tokoh jaman Sam-kok yang bernama Thio Hwi! Mukanya dipenuhi cambang
bauk yang terpelihara rapi sehingga dia tetap terlihat bersih, dan pakaiannya
seperti jubah pendeta, akan tetapi cukup mewah dan mahal. Sepatunya baru
mengkilap.
"Ha-ha-ha-ha...!
Menyembunyikan rasa takut di balik filsafat dan kebajikan, itu namanya
pengecut. Si jembel membela si pengecut, itu namanya berhati lemah. Aku turut
berduka cita atas malapetaka yang menimpa keluarga Cia!" Sesudah berkata
demikian, kakek ini lalu menjura ke arah meja sembahyang.
Han Tiong
sudah cepat bangkit berdiri. Selama beberapa hari ini dia selalu minum obat dan
merawat diri sehingga luka tidak parah yang dideritanya dalam perkelahian
melawan Hek-hiat Lo-mo dan Lo-bo itu sudah sembuh. Kini dia melihat munculnya
orang aneh dan mendengar kata-kata tadi, dia pun bisa menduga bahwa kekek ini
muncul bukan sebagai sahabat.
Ketika kakek
itu menjura ke arahnya, dia terkejut dan cepat mengerahkan sinkang lantas balas
menjura untuk menangkis serangan jarak jauh itu. Akan tetapi, alangkah kagetnya
pada saat dia merasakan kehebatan tenaga sakti yang menyambar ke arahnya. Dia
telah mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi tetap saja tidak mampu menahan
dorongan kuat yang membuat dadanya terasa sesak terhimpit!
Selagi Han
Tiong hendak menghentikan adu tenaga ini dengan jalan menghindar dengan
loncatan ke samping, tiba-tiba terdengar suara terkekeh lain lagi di sebelah
belakangnya. Para murid Pek-liong-pang juga melihat seorang kakek lain yang
tahu-tahu sudah berada di belakang suhu mereka.
Kakek ini
pun sudah tua, sudah enam puluh tahun lebih usianya. Tubuhnya tinggi kurus,
tangan kirinya memegang sebuah tongkat bambu dan di punggungnya tergantung
sebuah ciu-ouw (guci arak).
"He-he-he...!
Dasar orang hutan liar! Mana tahu akan filstafat yang indah? Tahunya hanya
mengandalkan kekuatan memaksakan kehendaknya. Keluarga Cia yang gagah perkasa
dan budiman, mana dapat dibandingkan dengan orang gunung yang buta huruf?"
Sambil berkata demikian, kakek tinggi kurus yang bajunya penuh tambalan ini pun
menjura dari belakang Han Tiong lantas pendekar ini merasa betapa ada tenaga
mukjijat mendorong kekuatannya sendiri dari belakang dan menolak tenaga
dorongan kakek tinggi besar itu.
Sementara
itu, seorang murid Pek-liong-pang yang tidak tahu akan terjadinya adu tenaga
sakti itu, menyangka bahwa dua orang kakek itu memang tamu yang datang dan
hendak bersembahyang, lalu menyalakan beberapa batang hio dan dengan sikap
hormat segera menyerahkan dupa lidi membara itu kepada kedua orang kakek tadi,
masing-masing tiga batang.
Agaknya
murid yang tak tahu gelagat ini menganggap bahwa dua orang kakek itu adalah
sahabat-sahabat suhunya, kerena dia memang tahu bahwa di dunia kang-ouw
terdapat banyak sekali orang-orang yang berwatak aneh. Dia tidak menyadari
bahwa di antara dua orang kakek itu diam-diam telah terjadi adu tenaga sakti
yang sangat seru!
Kedua orang
kakek itu menerima tiga batang hio sambil tersenyum. Kakek bercambang bauk lalu
bersembahyang di depan meja dan asap dari tiga batang hio yang dipegangnya itu
tiba-tiba saja meluncur ke depan dan mengeluarkan suara mendesis seperti tiga
ekor ular yang hendak menyerang Han Tiong dan kakek jembel!
Barulah para
murid Pek-liong-pang terkejut. Juga Han Tiong terkejut sekali, dan dia siap
mengelak atau menangkis serangan asap hio itu. Akan tetapi pada saat itu, asap
dari tiga batang hio di tangan kakek jembel juga sudah meluncur ke depan,
menyambut tiga jalur asap pertama.
Terjadilah
pemandangan yang sangat menarik, aneh serta menegangkan. Dari satu pihak
terdapat tiga jalur asap dan kini enam jalur asap itu bergulung, saling belit,
saling dorong, laksana enam ekor ular sakti bermain-main di angkasa!
Pengendalinya adalah dua orang kakek itu yang berdiri memegangi tiga batang
hio. Tetapi anehnya, bara api pada hio-hio itu nyalanya amat besar seperti
ditiup terus-menerus sehingga tak lama kemudian hio-hio itu pun habis terbakar
dan padam. Ular-ular asap itu pun membuyar lantas pertandingan berhenti.
"Ha-ha-ha-ha!
Si jembel pemabok ternyata semakin kuat saja!" kakek tinggi besar tertawa
gembira.
"Dan
engkau orang gunung liar semakin binal saja!" kakek jembel itu pun
tertawa.
"Kau
masih menganggap kelemahan orang she Cia ini benar?" tanya kakek tinggi
besar.
"Tentu
saja! Hidup haruslah bebas, baru dapat menikmati hidupnya!" kata kakek
jembel.
"Huh!
Hidup tanpa adanya sesuatu yang mengikat, lalu apa artinya? Tidak ada isi,
hampa belaka!" kata kakek tinggi besar.
"Itu
pendapatmu! Hidup harus bebas dari pendapat..."
"Ha-ha-ha,
jembel mabok! Ucapanmu itu pun merupakan suatu pendapat, bukan?"
Wajah kakek
jembel itu berubah merah dan sejenak dia seperti kebingungan.
"Sudahlah!" Dia mengetukkan tongkat bambunya ke atas lantai.
"Kita bukan nenek-nenek bawel yang suka berdebat. Kalau engkau ingin
mengadu kepandaian, hayoh! Di mana pun dan kapan pun akan kulayani. Sudah lama
tongkatku tak pernah menggebuk anjing tinggi besar dari gunung!"
Akan tetapi
kakek tinggi besar yang disindir itu hanya tertawa saja. "Engkau tahu
bahwa ucapanmu itu hanya gertak sambal! Aku pun tahu bahwa aku takkan mudah
mengalahkan engkau jembel busuk. Kita sudah semakin tua, tiada gunanya membuang
tenaga sia-sia. Mari kita berlomba membuktikan kebenaran filsafat lemah
pengecut dari orang she Cia ini!"
"Baik,
bagaimana caranya?"
"Kita
didik murid menurut cara masing-masing, engkau boleh mencontoh filsafatnya dan
aku sebaliknya. Tiga tahun kemudian kita adu murid kita!"
"Baik!"
Kedua orang
kakek itu lalu berkelebat lenyap! Cia Han Tiong cepat menjura dan mencoba
menahan. "Ji-wi locianpwe, harap duduk dulu...!"
"Ha-ha-ha!"
Terdengar suara kakek jembel. "Kau mau tahu. Aku hanya jembel tua Ciu-sian
Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Arak)!"
"Dan
aku adalah Go-bi San-jin (Orang Gunung Gobi)!" terdengar suara kakek
tinggi besar. Suara mereka terdengar dari jauh sekali, dan dari dua jurusan!
Cia Han
Tiong duduk kembali, menarik napas panjang dan menghapus keringatnya.
"Suhu,
siapakah dua orang aneh itu?" tanya seorang murid.
Han Tiong
menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. "Sungguh aku seorang yang
harus malu melihat kepandaian sendiri yang tiada artinya dibandingkan mereka.
Melihat sinkang mereka, agaknya mereka memiliki tingkat yang tak kalah
tingginya dibandingkan tingkat mendiang ayahku sendiri! Dan mereka itu jauh
lebih lihai dari pada Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Akan tetapi, baik
kedua Lo-mo dan Lo-bo mau pun kedua kakek tadi, sama sekali tidak terkenal di
dunia kang-ouw! Terbuktilah kini bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat
orang pandai, jauh lebih pandai dari pada orang yang terkenal!"
"Apakah
maksud kedatangan mereka itu, suhu?"
"Entahlah.
Entah kedatangan mereka itu ada hubungannya dengan kemunculan Hek-hiat Lo-mo
dan Hek-hiat Lo-bo itu atau tidak. Akan tetapi bila orang-orang sakti seperti
mereka muncul, biasanya tentu akan terjadi hal-hal yang penting."
Setelah
mengubur peti-peti jenazah itu, Han Tiong lalu membubarkan Pek-liong-pang! Dia
mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Peristiwa yang terjadi baru-baru
ini telah membuka matanya bahwa memperkuat diri sendiri dan kelompoknya berarti
mengundang datangnya lawan yang tak mau kalah kuat.
"Kalian
jalanlah sendiri-sendiri dan peganglah teguh semua ajaran yang telah kalian
dapat di sini. Akan teetapi jangan lagi sebut-sebut namaku atau Pek-liong-pang.
Pek-liong-pang telah bubar sehingga segala perbuatan kalian merupakan urusan
pribadi yang harus kalian pertanggungkan sendiri. Jika ada yang bertemu dengan
Cia Sun, beri tahukan segalanya dan suruhlah dia pulang. Selanjutnya, aku tak
mau diganggu dengan persoalan-persoalan dunia lagi."
Tentu saja
para murid menjadi sangat berduka. Akan tetapi mereka telah mengenal watak suhu
mereka yang keras. Beberapa hari kemudian, Lembah Naga menjadi sunyi senyap
setelah ditinggalkan semua murid Pek-liong-pang. Untuk selanjutnya Cia Han
Tiong hidup menyendiri sebagai seorang pertapa!
***************
Sui Cin
masih menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Ia merasa cocok dan senang sekali
melakukan perjalanan bersama Hui Song. Pemuda ini berandalan, jenaka, gembira
dan nakal, suatu sifat yang cocok dengan wataknya sendiri.
Pada saat
melakukan perjalanan bersama Sim Thian Bu menuju ke telaga sesudah gagal nonton
pertemuan para pendekar yang urung diadakan, mula-mula dia pun merasa cocok.
Sim Thian Bu seorang pemuda ganteng pesolek yang pandai memikat hati. Akan
tetapi, baru sehari melakukan perjalanan bersama, dia telah melihat bahwa
keramahan pemuda itu pura-pura dan pandang matanya, tutur sapanya, semakin
berani mengarah cabul.
Maka, pada
malam harinya ketika mereka bermalam di rumah penginapan, diam-diam Sui Cin
meninggalkan tanpa pamit. Ia lalu menyamar sebagai pemuda jembel yang merantau
sendirian, bebas gembira sampai akhirnya dia bertemu dengan Hui Song.
Dan seperti
yang sudah kita ketahui, Sui Cin yang menyamar sebagai pemuda jembel lalu
melakukan perjalanan bersama Hui Song menuju ke kota raja. Dia mengatakan
hendak mencari enci-nya!
Dan Hui Song
juga pergi ke kota raja dengan alasan hendak menyelidiki Hwa-i Kai-pang yang
bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Padahal sesungguhnya dia ingin sekali
berkenalan dengan enci dari pemuda jembel itu yang ternyata adalah dara yang
pernah dijumpainya dan yang amat menarik hatinya itu.
Di sepanjang
perjalanan, keduanya merasa cocok sekali. Akan tetapi setiap kali malam tiba,
Sui Cin tak pernah mau diajak bermalam di rumah penginapan, melainkan mengajak
bermalam di kolong-kolong jembatan atau di emper-emper toko! Dan pada saat Hui
Song memprotes, Sui Cin menjawab.
"Song-twako,
engkau tahu bahwa aku sudah biasa hidup sebagai pengemis. Maka, aku pun lebih
leluasa tidur di kolong jembatan dari pada di kamar hotel. Kalau engkau mau
tidur di hotel, silakan. Aku di emper toko sini saja."
Hui Song
terpaksa menurut meski pun dia mengomel karena dia tahu bahwa pemuda ini bukan
jembel asli melainkan putera Pendekar Sadis yang kaya raya dan suka
membagi-bagikan uang kepada para jembel! Dia tidak tahu bahwa Sui Cin sendiri
jarang tidur di tempat kotor itu. Jika sekarang dia memilih tidur di emper
adalah untuk menghindari tidur sekamar dan seranjang dengan Hui Song!
Pada suatu
malam mereka terpaksa tidur di bawah pohon dalam sebuah hutan. Kota raja sudah
dekat dan hawa udara malam itu dingin sekali. Melihat betapa pemuda jembel itu
tidur meringkuk kedinginan, Hui Song lalu membesarkan api unggun. Akan tetapi
agaknya api unggun itu masih belum cukup dapat mengusir dingin, bahkan dalam
tidurnya Sui Cin nampak menggigil. Karena khawatir kalau-kalau pemuda jembel
itu jatuh sakit, maka Hui Song melepaskan jubahnya dan menyelimuti tubuh Sui
Cin yang sudah tidur nyenyak.
Akan tetapi
pemuda jembel itu masih nampak meringkuk kedinginan sedangkan Hui Song sendiri
juga merasa dingin sekali setelah menanggalkan jubahnya. Maka pemuda ini lalu
merebahkan dirinya dekat Sui Cin dan untuk mengurangi rasa dingin bagi mereka
berdua, dia lalu merangkul tubuh Sui Cin dan merapatkan diri. Benar saja, dia
merasa hangat dan nyaman. Juga Sui Cin mengeluarkan suara lega. Akan tetapi
hanya sebentar saja karena tiba-tiba Sui Cin meronta kemudian siku lengannya
menyodok ke belakang.
"Hekkk...!"
Hui Song
merasa dadanya sesak karena tersodok siku lantas dia memandang terbelalak
kepada Sui Cin yang sudah meloncat berdiri. Pemuda jembel itu bertolak pinggang
sambil memandang kepadanya dengan marah sekali.
"Apa...
apa yang kau lakukan tadi?" bentaknya.
Hui Song
bangkit duduk termangu-mangu, merasa keheranan. "Apa...? Mengapa...? Aku
tidak melakukan apa-apa...," jawabnya bingung.
"Kenapa
engkau... memelukku tadi?"
Hui Song
mengangkat alis dan pundaknya. "Supaya kita berdua tidak kedinginan.
Cin-te. Engkau sungguh aneh, apa salahnya kalau aku memelukmu?"
Barulah Sui
Cin sadar akan keadaannya, akan penyamarannya. Dia pun duduk dekat api unggun.
"Maaf, Song-twako. Engkau tadi mengagetkan aku yang sedang tidur dan...
dan engkau mengingatkan aku akan pengalaman tidak enak beberapa bulan yang lalu
ketika tadi engkau merangkul aku."
"Pengalaman
apakah, Cin-te? Kurasa tidak ada salahnya kalau dua orang laki-laki yang sudah
bersahabat saling merangkul." Hui Song mengomel karena dadanya masih
terasa memar.
"Ada
seorang pria yang juga merangkulku... ihh, aku masih jijik dan ngeri
membayangkan perbuatannya itu!"
"Aihh...,
engkau seperti wanita saja, Cin-te. Apa salahnya laki-laki itu merangkulmu
kalau memang dia sahabatmu?"
"Dia
bukan hanya merangkul, akan tetapi... hendak... hendak mencium dan mengajakku
melakukan... hal yang tidak senonoh..." Sui Cin tidak membohong ketika
menceritakan ini karena memang dalam penyamarannya sebagai seorang pemuda
jembel, dahulu pernah ada seorang jembel pria lainnya yang berbuat seperti itu
kepadanya sehingga dia menjadi marah, menghajar jembel itu sampai babak belur
dan pingsan baru meninggalkannya.
"Ahh...!"
Sekarang Hui Song terbelalak, kemudian menepuk pahanya sambil tertawa geli. Sui
Cin melirik dengan hati mendongkol.
"Kenapa
kau mentertawakan aku?" bentaknya.
"Aku
tidak mentertawakan kau, Cin-te. Aku hanya merasa geli sendiri. Aku sudah pernah
mendengar tentang pria yang suka berjinah dengan pria lain, juga mengenai
wanita yang lebih suka bercinta dengan sesama wanita. Akan tetapi, wah, sialan
benar! Apakah kau hendak menyamakan aku dengan pria itu?"
"Bukan
begitu, akan tetapi pengalaman itu membuat aku merasa jijik setiap kali ada
pria memelukku. Itulah sebabnya mengapa aku tadi terkejut sekali."
"Maaf...
maaf... aku tidak tahu dan tidak sengaja..."
"Sudahlah,
asal mulai sekarang engkau jangan sekali-kali lagi mengulang perbuatan
itu."
"Aku
tidak berani...!" Hui Song tertawa.
"Awas
kalau hal itu kau ulangi lagi, aku akan bilang kepada enci-ku bahwa engkau
adalah soorang pemuda kurang ajar yang sukanya kepada sesama pria."
"Wah,
gawat! Sungguh mati, aku tidak berani lagi. Ehh, Cin-te, siapakah nama enci-mu
itu?"
Sui Cin
tidak segera menjawab, membesarkan nyala api unggun. "Enci akan marah
kalau aku lancang memperkenalkan namanya. Engkau tanya sendiri saja kalau sudah
bertemu dengannya."
Pada
keesokan harinya mereka berdua sudah memasuki pintu gerbang kota raja. Ketika
Hui Song bertanya di mana adanya enci sahabatnya itu, Sui Cin menjawab,
"Soal enci-ku mudah. Akan tetapi aku ingin sekali mengikutimu dan melihat
bagaimana caranya engkau menyelidiki Hwa-i Kai-pang itu."
Terpaksa Hui
Song mengajak Sui Cin melakukan penyelidikan. Setelah mereka mendapat
keterangan di mana adanya gedung perkumpulan Hwa-i Kai-pang, mereka segera
menuju ke sana.
Gedung itu
besar dan megah, sungguh tidak pantas jika menjadi pusat perkumpulan para pengemis.
Di pintu gerbang terlihat pengemis-pengemis muda bertampang seram sedang
melakukan penjagaan dengan lagak seperti pasukan tentara menjaga pintu gerbang
saja. Dan nampak pula beberapa kali orang-orang berpakaian seperti pejabat
pemerintah naik kereta memasuki halaman gedung itu sebagai tamu.
Sui Cin
sudah tak sabar dan hendak menyerbu saja, akan tetapi Hui Song mencegahnya.
"Kita datang bukan untuk menyerbu, melainkan untuk menyelidiki rahasia
mereka. Nanti malam saja kita kembali dan melakukan pengintaian."
Malam itu
sunyi dan dingin. Setelah makan malam Hui Song bersama Sui Cin berangkat menuju
ke gedung perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang. Gedung itu megah dan besar,
dikelilingi tembok tinggi dan satu-satunya pintu masuk pekarangan hanya pintu
gerbang yang terjaga ketat siang malam itu. Akan tetapi tak sukar bagi Hui Song
dan Sui Cin untuk memasuki pekarangan belakang dengan meloncati pagar tembok
bagian belakang.
Agaknya
Hwa-i Kai-pang demikian percaya akan kebesaran nama serta pengaruh mereka
sehingga menganggap mustahil ada orang yang bosan hidup berani memasuki halaman
gedung mereka tanpa ijin, maka bagian belakang tidak dijaga. Bagaikan dua ekor
kucing, Hui Song dan Sui Cin menyelinap lantas naik ke atas genteng bangunan
dan bersembunyi di balik wuwungan. Tidak lama kemudian mereka sudah membuka
genteng dan mengintai ke bawah, ke dalam sebuah ruangan di bagian belakang
gedung itu.
Ruangan itu
luas dan melihat gambar-gambar orang bersilat yang berada di atas dinding, juga
adanya rak penuh bermacam senjata di sudut, mudahlah diduga bahwa ruangan itu
tentu sebuah lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Di sebuah sudut ruangan
nampak empat orang duduk seenaknya di atas lantai. Keadaan empat orang kakek
itu menyeramkan.
Keempatnya
mengenakan baju tambal-tambalan dan berkembang-kembang seperti baju pengemis
akan tetapi kainnya masih baru. Yang sangat menyeramkan adalah wajah serta
sikap mereka.
Orang
pertama duduk hampir rebah karena tubuhnya gendut sekali dengan perut seperti
gentong, kepala botak dan rambutnya dikuncir lucu seperti ekor babi. Alisnya
tebal, mata hidung dan mulutnya besar-besar.
Orang kedua
di sebelah kirinya adalah seorang kakek tinggi kurus yang berambut panjang
riap-riapan, kepalanya memakai kopiah pendeta, tangan kanan memegang pipa tembakau
berbentuk ular. Dia tampak kurus sekali ketika bersanding kakek pertama yang
kegerahan lantas membuka bajunya, atau mungkin juga karena perutnya terlampau
gendut sehingga kancing bajunya tak dapat ditutup.
Orang ketiga
lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar nampak kuat. Mata kirinya ditutup
dengan penutup mata berwarna hitam. Rambutnya sangat sedikit, bahkan hampir
gundul dan wajah yang bermata satu ini membayangkan kebengisan yang kejam.
Orang
keempat berwajah buruk, dengan mulut yang bentuknya monyong, punggungnya
bongkok dan dia memegang sebatang tongkat bulat. Agaknya mereka berempat sedang
bercakap-cakap dengan santai, menghadapi arak wangi dan sepiring ayam panggang
utuh berada di antara mereka.
Hui Song dan
Sui Cin yang mengintai merasa heran. Melihat pakaian mereka berempat itu,
agaknya tak salah lagi bahwa empat orang itu tentu tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang.
Akan tetapi sikap dan wajah mereka sama sekali tidak pantas menjadi tokoh
jembel. Lebih patut kalau menjadi kepala-kepala rampok!
"Kurang
ajar sekali, kini di Cin-an muncul dua orang muda yang berani menentang
kita!" si perut gendut berkata sambil mengembangkan lengan kanan.
"Kalau
mereka tidak lari dan kuketahui tempatnya, tentu keduanya takkan kuampuni lagi,
akan kupatahkan kaki tangan mereka lantas kukeluarkan isi perut mereka!"
kata si mata satu dengan suara penuh geram.
Kakek tinggi
kurus mengisap huncwe-nya sehingga mengepulkan asap, dan tercium bau harum yang
memuakkan. "Hemm, sebaiknya diselidiki benar-benar siapa pemuda jembel
yang membagi-bagi uang itu. Sungguh kedengaran aneh sekali."
"Kalian
tak perlu khawatir," sekarang kakek buruk rupa yang memegang tongkat
berkata. "Kewajiban kita hanya menjaga kota raja dan sekitarnya, bekerja
sama dengan pasukan pemerintah, mencegah pengaruh buruk mendekati sri baginda.
Peristiwa di kota Cin-an itu telah membuktikan adanya kerja sama yang baik
antara anak buah kita dengan pasukan pemerintah. Itu sudah cukup menguntungkan
kita. Rakyat juga melihatnya dan kita tentu akan semakin ditaati sebagai
pembantu pemerintah."
"Akan
tetapi, Lo-eng (Pendekar Tua), dua pemuda itu kabarnya lihai sekali. Kalau
tidak dicari dan dibasmi, bisa berbahaya, kelak hanya akan mendatangkan
kesulitan saja," kata si gendut.
Mendengar
percakapan itu, Sui Cin mengepal tinju. Ingin sekali dia turun dan mengamuk
menghajar mereka, terutama si perut gendut. Akan tetapi agaknya Hui Song telah
dapat merasakan gerakannya. Pemuda itu menyentuh tangannya dan berbisik,
"Hati-hati, ada orang datang!"
Tiba-tiba
ada dua bayangan berkelebat. Sui Cin terkejut bukan main karena bayangan itu
memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan, tanda bahwa mereka memiliki
kepandaian yang cukup tinggi. Untung Hui Song sudah mengetahui kedaaan mereka
terlebih dahulu sehingga dia tak jadi turun tangan.
Bagaikan dua
ekor burung, bayangan dua orang itu telah melayang turun dan memasuki ruangan
itu. Empat orang yang sedang bercakap-cakap itu amat terkejut dan berlompatan
bardiri, siap menggempur musuh. Sepasang orang muda yang mengintai di atas
melihat betapa gerakan mereka amat hebat, membayangkan kepandaian tinggi.
Akan tetapi
ketika empat orang itu mengenal kakek dan nenek yang muncul laksana iblis itu,
wajah mereka menjadi girang. Kakek bertongkat yang menjadi ketua Hek-i
Kai-pang, yaitu yang menamakan diri Hwa-i Lo-eng, cepat menjura dengan hormat.
"Aihhh...,
ternyata Kui-kok Pang-cu berdua yang datang berkunjung! Selamat datang dan
silakan duduk!" Juga tiga orang kakek yang menjadi pembantu-pembantunya
memberi hormat.
Kakek dan
nenek itu adalah Kui-kok Lo-mo dan isterinya Kui-kok Lo-bo, sepasang suami
isteri yang berpakaian putih-putih dan bermuka pucat seperti mayat itu. Mereka
adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan karena Cap-sha-kui juga sudah diperalat oleh
Liu-thaikam, seperti halnya Hwa-i Kai-pang, maka tentu saja mereka terhitung
rekan dan sudah saling mengenal.
Melihat
betapa kakek dan nenek yang bermuka putih pucat itu masih berdiri saja, ketua
Hwa-i Kai-pang kembali mempersilakan mereka duduk. "Ji-wi, silakan
duduk."
"Nanti
dulu, Kai-pang-cu, kami masih menunggu munculnya tamu lain!" Kemudian
Kui-kok Lo-bo melambaikan tangan ke atas sambil membentak, "Apakah kau
masih juga belum mau turun?"
Sui Cin
terkejut sekali, mengira bahwa dialah yang disuruh turun karena nenek bermuka
pucat itu memandang ke arah tempat dia bersembunyi. Tentu saja dia tidak takut
sedikit pun dan hendak turun. Akan tetapi kembali Hui Song mencegahnya dengan
memegang lengannya.
Dan pada
saat itu pula terdengarlah bunyi ledakan cambuk disusul melayangnya seorang
nenek bongkok kurus ke dalam ruangan itu. Kiranya Kui-bwe Coa-li, salah satu di
antara Cap-sha-kui yang dimaksudkan oleh kakek dan nenek iblis itu!
"Hi-hik,
matamu masih tajam sekali Lo-bo!" kata Kui-bwe Coa-li dengan nada mengejek.
"Coa-li,
tidak perlu ketajaman mata untuk mengetahui kehadiranmu, cukup mencium bau yang
amis seperti ular itu pun cukuplah, ha-ha-ha!" Kui-kok Lo-mo mengejek.
"Huh!
Hidung kerbau ini masih besar kepala juga!" Nenek iblis itu balas memaki.
Tidaklah aneh sikap antara para iblis Cap-sha-kui ini. Memang mereka adalah
datuk-datuk sesat yang kasar.
Akan tetapi
Hwa-i Lo-eng gembira sekali kedatangan tamu-tamu lihai ini. Dengan hormat dia
lalu mempersilakan mereka duduk di ruangan tanpa kursi itu. Lantai mengkilap
bersih, maka mereka lantas duduk di lantai begitu saja. Ketua pengemis itu
membunyikan genta kecil dan muncullah lima orang gadis cantik menyuguhkan arak
dan daging.
"Ha-ha-ha!
Para pelayanmu cantik-cantik, Lo-eng!" kata Kui-kok Lo-mo sambil mencolek
pinggul seorang di antara mereka.
Hui Song dan
Sui Cin memandang dengan heran. Perkumpulan pengemis akan tetapi mempunyai
pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis cantik yang berpakaian indah
seperti perkumpulan orang-orang bangsawan atau hartawan saja! Akan tetapi
sepasang orang muda ini tetap mengintai dengan hati-hati sekali karena mereka
kini maklum bahwa datuk-datuk sesat dari Cap-sha-kui ternyata sudah
bersekongkol dengan Hwa-i Kai-pang dan agaknya mereka diperalat oleh
pemerintah! Betapa pun aneh kedengarannya, namun agaknya memang demikianlah
kenyataannya karena bukankah tadi ketua Hwa-i Kai-pang menyebut tentang adanya
kerja sama antara mereka dengan pemerintah?
Sambil makan
minum Kui-kok Lo-mo lalu menuturkan maksud kedatangannya. "Sebagai sesama
rekan, kini kami membuka rahasia kami. Kami menerima tugas untuk membunuh
Jenderal Ciang."
"Ahh...!
Beliau adalah panglima kedua di kota raja! Bukan hal mudah untuk mendekatinya,
apa lagi membunuhnya!" kata kakek yang mengisap pipa tembakau.
Hui Song dan
Sui Cin juga kaget bukan main! Dan mereka merasa bingung. Para datuk sesat ini
bekerja sama dengan pemerintah, akan tetapi mengapa iblis muka pucat malah
mendapat tugas membunuh Jenderal Ciang, panglima kedua dari kerajaan? Sungguh
sulit untuk dimengerti. Akan tetapi mereka mendengarkan terus.
"Kami
mengerti akan beratnya tugas kami ini, karena itulah sekarang kami datang ke
sini mengharapkan bantuan kawan-kawan yang tentu lebih tahu tentang
kebiasaan-kebiasaan panglima itu sehingga kami bisa turun tangan pada saat yang
tepat," kata Kui-kok Lo-bo.
"Sebaiknya
kalau kita bekerja sama!" Tiba-tiba Kui-bwe Coa-li berseru. "Kalian
membantu aku membunuh Menteri Kebudayaan Liang, barulah kemudian aku akan
membantu kalian menyingkirkan Ciang-goanswe. Dengan majunya kita bertiga,
mustahil kita takkan mampu membunuh jenderal itu!"
Suami isteri
itu saling pandang, kemudian mengangguk setuju. Membunuh Menteri Liang
merupakan pekerjaan amat mudah kalau dibandingkan dengan tugas mereka membunuh
Jenderal Ciang. Dan bantuan Kiu-bwe Coa-li tentu saja amat berharga.
"Bagus,
kami setuju dengan kerja sama itu," kata Kui-kok Lo-mo.
"Nah,
kini kita minta bantuan sahabat-sahabat dari Hwa-i Kai-pang bagaimana sebaiknya
untuk dapat menyerang Menteri Liang!" kata Kui-bwe Coa-li.
"Mencari
kesempatan baik untuk menyerang Menteri Liang memang jauh lebih mudah dari pada
Jenderal Ciang!" kata Hwa-i Lo-eng yang tentu saja lebih banyak mengenal
keadaan para pembesar di kota raja. Apa lagi dia sudah banyak menerima tugas
mengamati dan memata-matai para pembesar yang menjadi lawan Liu-thaikam
termasuk Jenderal Ciang dan Menteri Liang.
"Ceritakan
yang jelas, pangcu," kata Kiu-bwe Coa-li dengan girang karena merasa
betapa tugasnya akan menjadi ringan setelah mendapat bantuan rekan-rekannya.
"Begini,
Menteri Liang mempunyai suatu kegemaran, yaitu berlayar dan memancing ikan di
Telaga Emas di sebelah selatan kota raja. Sebulan dua tiga kali dia pergi ke
telaga itu dan itulah saat yang terbaik untuk turun tangan. Pertama, dia berada
di luar kota raja dan kedua, biasanya dia tidak disertai banyak pengawal. Nah,
cu-wi tinggal bersiap-siap saja, kalau dia pergi ke telaga itu, cu-wi turun
tangan. Kami sendiri sudah banyak dikenal, tentu saja tidak mungkin dapat
membantu turun tangan sendiri. Akan tetapi di sini ada saudara Bhe Hok ini yang
merupakan tokoh baru dan belum banyak dikenal di daerah telaga itu, maka dialah
yang akan membantu cu-wi untuk mengamati dan memata-matai lebih dulu sehingga
akan tahu keadaan pembesar itu begitu sampai di telaga." Ketua perkumpulan
pengemis itu menunjuk kepada kakek berperut gendut yang turut hadir di sana dan
kakek gendut ini mengangguk-angguk sambil terkekeh girang menerima tugas
penting ini.
Ketua Hwa-i
Kai-pang itu berbicara lirih ketika mengatur siasatnya, sama sekali tidak tahu
bahwa semua percakapan itu didengarkan oleh Hui Song dan Sui Cin!
***************
Pagi itu
sangat indahnya di tepi telaga. Masih sunyi karena hari masih amat pagi, belum
ada orang datang ke tempat itu. Sui Cin sejak tadi sudah berada di tepi telaga
seorang diri dan dia terpesona oleh keindahan pemandangan pagi hari itu.
Pagi yang
cerah sekali. Sinar matahari masih lemah, kuning emas membentuk garis-garis
mengkilap pada permukaan air telaga yang tenang dan halus bagaikan sutera
kehijauan berkeriput. Kicau burung-burung di antara daun-daun pepohonan
menambah meriahnya suasana.
Langit
bersih, hanya ada awan putih yang berkelompok-kelompok membentuk beraneka macam
makhluk khayali. Indah sekali awan-awan itu, tidak pernah diam mati melainkan
setiap detik berubah secara halus, seperti juga permukaan air telaga yang
selalu bergerak menimbulkan perubahan-perubahan. Seperti mengalirnya air
kehidupan yang setiap saat selalu berubah.
Suasana
hening sekali. Keheningan agung yang menyelimuti seluruh permukaan telaga dan
sekitarnya, keheningan total di mana Sui Cin juga termasuk. Keheningan yang
terasa benar pada saat itu oleh Sui Cin. Keheningan yang menenteramkan, sama
sekali bukan rasa kesepian yang menggelisahkan.
Semenjak
tadi dara itu berdiri tanpa bergerak bagai patung, memiliki keindahan
tersendiri walau pun dia juga menjadi bagian dari keindahan total itu. Seorang
dara yang menjelang dewasa, cantik jelita dan sangat manis dalam
kesederhanaannya. Pakaiannya sederhana, bersahaja dan lebih diutamakan sebagai
pelindung tubuh dari pada sebagai hiasan seperti kebanyakan wanita.
Rambutnya
yang hitam panjang itu terurai ke belakang, hanya diikat dengan sutera hijau
dan agak awut-awutan karena tak diminyaki dan kurang sisiran, juga karena
dipermainkan angin pagi sejak tadi. Anak rambut terjuntai di dahi dan pelipis
menjadi penambah manis. Wajah yang berkulit halus dan berbentuk ayu itu tak
dilapisi bedak. Akan tetapi kulit muka itu sudah halus putih dan kedua pipinya
segar kemerahan.
Tiba-tiba
patung cantik jelita itu bergerak, menggerakkan kepalanya hingga dua gumpalan
rambut itu bergerak pula, yang satu pindah dari punggung ke dada. Terdengar
tawa kecil dan sekilas terlihat deretan gigi rapi berkilauan tertimpa cahaya
matahari, mata yang jelita itu agak menyipit ketika ia tertawa kecil.
Yang
memancing dia tertawa kecil sehingga tersadar dari lamunannya adalah tingkah
dua ekor burung gereja yang sedang berkasih-kasihan. Yang jantan selalu
mengejar dan yang betina lari, jinak-jinak merpati seperti menggoda tapi
akhirnya menyerah dan ketika yang jantan hinggap di atas punggungnya, yang
betina terpeleset sehingga keduanya lalu jatuh tunggang-langgang ke bawah. Akan
tetapi, sebagai burung yang memiliki sayap, dengan indahnya mereka bisa
menghindarkan diri dari kejatuhan itu dan di lain saat mereka telah berkejaran
lagi sambil berteriak-teriak bersendau-gurau dalam bahasa mereka.
Sui Cin sama
sekali tidak tahu bahwa selagi dia terpesona oleh keindahan pemandangan di
telaga itu, ada sepasang mata orang lain juga terpesona, bukan oleh keindahan
telaga melainkan keindahan dirinya. Seorang lelaki yang sejak tadi
menyembunyikan diri di balik semak-semak sambil mengamati setiap
gerak-geriknya.
Setelah
mendapat banyak keterangan penting ketika mengintai di sarang Hwa-i Kai-pang,
Hui Song dan Sui Cin lalu mengadakan perundingan. Mereka bersepakat untuk
mencegah usaha jahat kaum sesat yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal
Ciang.
Dari
percakapan rahasia antara para datuk sesat itu mereka juga tahu bahwa para kaum
sesat itu diperalat oleh Liu-thai-kam. Dua orang pembesar yang hendak dibunuh
adalah musuh-musuh Liu-thaikam sebab mereka merupakan pembesar-pembesar jujur
yang bisa membahayakan kedudukannya.
Sekarang Hui
Song dan Sui Cin juga tahu mengapa kaum sesat melindungi kaisar. Bukan karena
kesetiaan Liu-thaikam terhadap kaisar, namun karena pembesar korup ini merasa
aman tenteram selama kaisar muda yang mempercayanya itu berkuasa. Melindungi
serta mempertahankan kaisar muda ini berarti melindungi dan mempertahankan
kedudukannya sendiri. Semua ini mereka ketahui dari percakapan antara para
datuk sesat malam itu.
Hui Song
kemudian membagi pekerjaan. Dia minta agar Sui Cin yang dikenalnya sebagai
pemuda jembel lihai itu melakukan pengamatan di telaga yang disebut Telaga
Emas, ada pun Hui Song sendiri akan menghubungi Menteri Liang dan Jenderal
Ciang. Mereka lalu berpisah.
Kini,
setelah berpisah dari Hui Song, Sui Cin yang telah merasa bosan menyamar
sebagai pemuda jembel lantas berganti pakaian menjadi dara cantik sederhana
seperti biasa dan pagi itu dia sudah menikmati keindahan alam di pinggir
telaga. Kini dia mengerti mengapa telaga itu dinamakan Telaga Emas. Memang
setiap pagi sinar matahari merubah air telaga menjadi keemasan.
Dia tidak
perlu melakukan pengamatan sambil bersembunyi. Kini dia merupakan seorang gadis
perantau yang tengah berkelana dan melancong di telaga ini. Cukup wajar
sehingga dia dapat pesiar sambil memasang mata. Dia pun tidak merasa takut
andai kata Kiu-bwe Coa-li muncul dan nenek iblis ini menyerangnya,!
Akan tetapi
ketika pagi itu dia datang ke tepi telaga, keadaan di situ sangat sepi dan yang
muncul bukan Kiu-bwe Coa-li atau tokoh sesat lainnya, namun seorang pemuda
tampan pesolek yang sudah dikenalnya, yaitu Sim Thian Bu! Dia sama sekali tidak
sadar bahwa sejak tadi pemuda ini telah mengamati semua gerak-geriknya dari
tempat tersembunyi.
Tiba-tiba
saja Sim Thian Bu muncul sambil berseru gembira dengan ramah, "Nona Ceng!
Aih, akhirnya kita saling berjumpa juga. Memang kita ada jodoh! Tempo hari aku
memang mengajakmu pesiar ke telaga ini akan tetapi di tengah perjalanan
diam-diam engkau pergi. Tak kusangka kita justru saling jumpa di Telaga Emas
ini. Bukankah ini jodoh namanya?"
Tentu saja
Sui Cin merasa kaget melihat munculnya pemuda ini dan ia pun agak tertegun
mengingat bahwa dia pernah meninggalkan pemuda ini malam-malam tanpa pamit.
Akan tetapi dia pun teringat akan sikap kurang ajar pemuda ini, bahkan sekarang
pun pemuda ini berkali-kali berbicara tentang jodoh!
"Saudara
Sim, pergilah dan jangan ganggu, aku ingin sendirian," katanya singkat.
Akan tetapi
pemuda tampan pesolek itu hanya tersenyum dan memandang ke kanan kiri. Tempat
itu amat sepi pada saat itu permukaan telaga pun masih sunyi sekali, hanya ada
sebuah perahu kecil yang terlihat jauh di tengah telaga dengan seorang saja di
dalamnya, agaknya seorang nelayan yang kesiangan. Sim Thian Bu sama sekali tak
mempedulikan nelayan dengan perahunya yang jauh itu.
"Nona
Ceng, mengapa sikapmu begitu terhadapku? Bukankah kita sudah berkenalan dan
menjadi sahabat baik? Pertemuan yang tak disangka-sangka ini merupakan tanda
bahwa kita memang berjodoh. Marilah kita pelesir dan bersenang-senang berdua,
nona. Jangan kau tinggalkan aku lagi. Semenjak pertemuan pertama kita, aku...
aku sudah tergila-gila padamu, nona..."
"Tutup
mulutmu!" Sui Cin membentak marah.
"Ahhh...!
Salahkah kalau seorang pemuda seperti aku tergila-gila dan jatuh cinta kepada
seorang gadis sepertimu? Engkaulah yang salah, siapa suruh engkau begini cantik
manis menggairahkan?"
Wajah Sui
Cin yang putih halus itu menjadi merah. Belum pernah selama hidupnya ada
laki-laki berbicara seperti itu kepadanya. Rasa malu dan marah, membuatnya
sulit bicara. Namun sebagai seorang gadis bebas yang jujur, harus diakuinya
bahwa ucapan pemuda itu tak dapat disebut kurang ajar pula. Bukankah Sim Thian
Bu mengeluarkan isi hatinya secara jujur? Pendapat ini menyabarkan hatinya
sehingga dia pun tersenyum.
"Saudara
Sim, cepat pergilah dan jangan menggangguku kalau kau tidak ingin kuanggap
sebagai musuh."
Thian Bu
tersenyum lebar kemudian matanya dipicingkan, memandang dengan gaya lucu
memikat, dan akhirnya dia bertepuk tangan tertawa. "Ha-ha-ha! Aku mengerti
sekarang. Engkau belum dapat menerima cintaku karena engkau belum mengetahui
kepandaianku, bukan? Seorang dara pendekar tentu hanya mau bergaul dengan
seorang pemuda yang lihai pula ilmu silatnya. Nah, di sini merupakan tempat
yang baik sekali untuk menguji ilmu kepandaian, nona Ceng. Silakan!"
Pemuda itu lantas memasang kuda-kuda dengan gaya dibuat-buat.
Sui Cin
tersenyum mengejek. Bagaimana pun juga, terasa olehnya ketidak wajaran dalam
sikap Thian Bu. Hui Song juga nakal dan jenaka, akan tetapi selalu menjaga
kesopanan dan tidak pernah menyinggung perasaan. Sebaliknya, di dalam
kata-kata, pandang mata dan senyum Sim Thian Bu terkandung suatu sikap cabul
dan kurang ajar yang membuat Sui Cin merasa ngeri dan juga marah.
"Aku
tak ingin mengujimu melainkan hendak menghajarmu!" hardiknya dan Sui Cin
sudah menerjang maju dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.
"Heiiiitttttt...
perlahan dulu...! Wah, jangan galak-galak, nona manis!" Thian Bu mengelak,
bahkan berusaha menangkap pergelangan tangan Sui Cin.
Tentu saja
Sui Cin tidak sudi ditangkap, maka dia segera menarik kembali tangannya lalu menerjang
dengan dahsyat mempergunakan pukulan dan tendangan.
"Aihhh,
engkau bersungguh-sungguh, manis?" Thian Bu mengejek dan dia pun mengelak,
menangkis dan membalas tak kalah dahsyatnya.
Sim Thian Bu
sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan puteri Pendekar Sadis yang lihai sekali,
maka dia tak berani memandang ringan dan segera mengerahkan seluruh tenaga
serta kepandaiannya. Sebaliknya, baru sekarang Sui Cin benar-benar berkenalan
dengan ilmu kepandaian pemuda itu dan diam-diam dia terkejut karena ternyata
Thian Bu sangat lihai!
Melihat
ketangguhan lawan, Sui Cin cepat mainkan Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti
Penakluk Iblis) dari ibunya. Ilmu silat ini sangat cepat dan ganas, maka jarang
ada orang yang mampu menandinginya. Akan tetapi ternyata Thian Bu dapat melawan
dengan baik, bahkan keceriwisan pemuda itu membuat Sui Cin merasa malu, kikuk
dan gugup.
"Ha-ha-ha,
manis. Bagaimana pun engkau harus menyerahkan diri kepadaku!" Pemuda itu
menyerang sambil main colek ke arah dada dan dagu Sui Cin secara kurang ajar
sekali.
Kini barulah
gadis itu sadar dengan orang macam apa dia berhadapan. Seorang pemuda cabul
yang agaknya biasa menggoda, mempermainkan dan menghina wanita. Dia sudah mendengar
mengenai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) dan kini dia menduga
bahwa tentu pemuda yang disangkanya pendekar ini sebetulnya adalah seorang
penjahat cabul!
"Bangsat
jai-hwa-cat!" Sui Cin memaki.
"Heh-heh,
baru sekarang engkau tahu? Ha-ha-ha!" Thian Bu tidak marah dimaki begitu,
malah tertawa-tawa dan mempercepat gerakannya.
Kini Sui Cin
benar-benar kaget. Kiranya pemuda tampan yang tadinya dianggap seorang pendekar
yang berkunjung ke pertemuan para pendekar di Bukit Perahu itu, ternyata betul
seorang jai-hwa-cat seperti pengakuannya tadi. Seorang penjahat cabul! Berarti
dia juga merupakan kaki tangan kaum sesat yang menyusup dan kini muncul pula di
tepi telaga. Tentu ada hubungannya dengan usaha pembunuhan Menteri Liang.
"Jahanam
busuk, manusia palsu! Engkau tentu kaki tangan kaum sesat!" bentaknya dan
dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang dia menerjang. Kemarahan membuat tenaga
dara ini menjadi berlipat ganda.
Sim Thian Bu
memang berwatak sombong dan selalu memandang rendah terhadap orang lain. Maka
dia kurang waspada sehingga terjangan dahsyat Sui Cin itu ditangkis dengan
seenaknya saja.
"Dessss...!"
Akibatnya, tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu melanda ke arah Thian Bu
dan membuatnya terlempar ke belakang dan terbanting keras!
Akan tetapi,
tepat pada saat Sui Cin berhasil membuat lawan terjengkang, ketika itu pula ada
angin keras menyambar dari arah kiri. Sui Cin yang tadinya sudah siap
menyusulkan pukulan pada Thian Bu, cepat memutar tubuh hendak menangkis.
"Plakk!"
Tongkat itu tertangkis, akan tetapi bukan mental malah meluncur ke samping dan
menotok punggung Sui Cin.
"Tukkk!"
Dara itu merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan ia pun roboh terkulai.
Sejak tadi,
perahu kecil yang nampak dari jauh tadi sudah bergerak menuju ke pantai itu.
Kakek yang duduk sendirian di perahu kecil itu bukanlah nelayan karena dia
duduk sambil memainkan sebuah alat yang-kim (semacam siter). Ketika kakek itu
melihat robohnya Sui Cin, dia pun langsung menghentikan permainan musiknya.
Kakek
penabuh yang-kim ini adalah Shan-tung Lo-kiam. Seperti telah kita ketahui,
kakek sasterawan pendekar ini pernah muncul pula dalam pertemuan antara para
datuk sesat. Dia ikut mendengar rencana kaum sesat untuk membunuh Menteri Liang
yang sejak lama menjadi sahabat baiknya, karena itu dia selalu mengamati.
Hari itu dia
mendengar bahwa Menteri Liang akan berpesiar di Telaga Emas. Oleh karena itulah
maka dia menanti di sana untuk ikut melindunginya. Ketika pagi hari itu dia
melihat seorang gadis yang tidak dikenalnya dirobohkan orang, tentu saja
pendekar tua ini tidak mau tinggal diam dan segera mendayung perahunya ke
pantai.
"Siancai...!
Di tempat hening seperti ini masih saja terjadi kejahatan!" Shan-tung
Lo-kiam meloncat naik ke darat sambil membawa alat musik yang-kim yang tadi
ditabuhnya.
Melihat
munculnya seorang kakek tua renta membawa yang-kim, orang yang merobohkan Sui
Cin dengan totokan itu memandang galak. Dia adalah seorang kakek yang perutnya
gendut sekali. Dan kakek ini pernah dilihat oleh Sui Cin pada saat dia
mengintai di gedung Hwa-i Kai-pang bersama Hui Song.
Kakek inilah
yang bernama Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang baru yang menjadi pembantu ketua
perkumpulan pengemis ini. Dia cukup lihai dengan tongkatnya dan juga sangat
licik sehingga Sui Cin berhasil ditotoknya ketika tadi dara itu lengah setelah
berhasil membuat Sim Thian Bu terjengkang.
"Hemmm,
tua bangka bosan hidup dari mana berani mencampuri urusan kami?" bentak
kakek berperut gendut itu.
"Bhe-lopek,
dia adalah Shan-tung Lo-kiam, musuh kita!" Tiba-tiba Sim Thian Bu berseru.
Kiranya pemuda ini tidak terluka parah, tadi hanya terjengkang karena
dahsyatnya tenaga dara itu.
Mendengar
nama ini, kakek perut gendut terkejut sekali dan cepat dia menyerang dengan
tongkatnya, menghantam ke arah kepala lawan. Shan-tung Lo-kiam segera
mengangkat alat musiknya dan menangkis.
"Trangg...!
Cringg...!" Terdengar suara nyaring ketika tongkat bertemu yang-kim.
Dua orang
kakek itu lantas berkelahi dengan seru. Sementara itu, sambil tersenyum licik,
Sim Thian Bu menyambar tubuh Sui Cin yang lemas, memanggulnya dan membawanya
lari dari situ.
Perkelahian
antara dua orang kakek itu berlangsung cepat dan seru, akan tetapi si gendut
segera mengerti bahwa kakek yang menjadi lawannya itu terlampau kuat baginya.
Melihat Sim Thian Bu sudah melarikan gadis tadi, dia pun meloncat dan melarikan
diri memasuki hutan di tepi telaga.
Kakek
pemegang yang-kim itu tak mengejar, melainkan mencari-cari dengan pandangan
matanya. Ketika dia tidak dapat melihat ke mana dara tadi dilarikan, kakek itu
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang, kemudian dia
pun melompat kembali ke dalam perahunya dan mendayung perahunya ke tengah
telaga. Dia memiliki tugas yang dianggapnya lebih penting dari pada mencari
dara yang dilarikan orang itu.
Orang-orang
mulai berdatangan ke tepi telaga. Nelayan dan pelancong. Keadaan tenang dan
biasa saja, seolah-olah tidak pernah dan tidak akan terjadi sesuatu yang luar
biasa di tempat itu.
Kemudian
tibalah saat yang ditunggu-tunggu dengan hati tegang oleh orang-orang yang
bersembunyi. Sebuah kereta yang dikawal oleh enam orang prajurit datang ke tepi
telaga. Dengan pengawalan ketat, seorang pria berpakaian pembesar bergegas
menuruni kereta dan masuk ke dalam sebuah perahu besar yang memang sudah siap
di pantai itu. Itulah Menteri Kebudayaan Liang, pejabat tinggi yang gemar
memancing ikan di telaga itu.
Perahu itu
lalu berlayar ke tengah telaga. Peristiwa ini tidak menarik perhatian orang
yang asyik dengan kesibukan masing-masing dan sebentar saja perahu besar yang
kini berada di tengah telaga itu sudah dilupakan orang.
Sementara
itu terjadilah kesibukan-kesibukan rahasia di sekitar tempat itu. Sebuah perahu
hitam dengan bilik tertutup didayung cepat oleh dua orang dan meluncur ke
tengah telaga menuju perahu besar Menteri Liang. Setelah perahu hitam sampai di
dekat perahu besar, tiba-tiba tiga orang berlompatan naik ke atas perahu besar
dengan kecepatan luar biasa. Mereka itu adalah Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo
dan Kui-kok Lo-bo! Serentak mereka menyerbu pembesar yang asyik duduk memegang
tangkai pancing itu.
"Tar-tarr-tarrr...!"
"Pembesar
Liang, bersiaplah engkau untuk mampus!" Kiu-bwe Coa-li yang sudah ditugasi
untuk membunuh pembesar itu cepat menerjang sambil menggerakkan cambuknya yang
berekor sembilan. Sinar hitam menyambar ke arah pembesar itu dari belakang.
Kakek dan
nenek Kui-kok itu pun telah berhantam melawan enam orang prajurit pengawal dan
terkejutlah mereka ketika mendapatkan kenyataan bahwa para pengawal itu
ternyata rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Segera terjadilah perkelahian
hebat antara suami isteri Kui-kok-pang itu melawan pengeroyokan enam orang
pengawal istimewa.
Akan tetapi
yang paling kaget adalah Kiu-bwe Coa-li. Pada saat cambuknya menyambar,
tiba-tiba Menteri Kebudayaan Liang itu menggerakkan tangkai pancingnya ke
belakang.
"Wuuuttttt...!"
"Ayaaaa...!
Aduuuhh...!" Kiu-bwe Coa-li berteriak kesakitan.
Tali pancing
yang panjang itu menangkis dan membelit cambuk, membuat sembilan ekor cambuk
itu lumpuh dan ujung tali kail masih menyambar dan mengait pangkal lengan kiri
nenek iblis itu, masuk ke dalam daging tua! Bukan main nyerinya, kiut-miut
rasanya dan nenek itu cepat mencengkeram lantas membikin putus tali pancing
sehingga mata kail itu tertinggal di daging pangkal lengannya.
Pembesar itu
sudah bangkit berdiri dan membalikkan tubuh. Kiranya dia seorang pemuda tampan
yang tertawa gembira, dengan nada mengejek.
"Wah,
tak kusangka pancingku mendapat seekor ikan siluman berekor sembilan!"
Kiu-bwe
Coa-li memandang dengan mata mendelik dan kemarahannya memuncak ketika dia
melihat bahwa orang yang memakai pakaian pembesar ini adalah seorang pemuda,
sama sekali bukan Menteri Kebudayaan Liang. Dia dan teman-temannya telah
tertipu dan terjebak. Ada orang yang telah sengaja menyamar dan menggantikan
pembesar itu untuk menyambut serangan mereka.
"Kita
tertipu!" teriaknya mengingatkan dua orang kawannya. "Dia bukan
Menteri Liang!" Kemudian dia menggerakkan senjatanya dan menyerang pemuda
itu dengan ganas.
Pemuda itu
adalah Hui Song. Seperti kita ketahui, pemuda ini membagi tugas dengan Sui Cin.
Dia sendiri mengunjungi Menteri Liang untuk melaporkan bahaya yang mengancam
keselamatan menteri itu. Lalu diaturlah jebakan. Hui Song menyamar dan
menggantikan sang menteri dalam kereta menuju ke perahu di telaga, dikawal oleh
enam orang jagoan yang menyamar sebagai prajurit-prajurit biasa. Padahal mereka
adalah perwira-perwira pilihan!
Akan tetapi
enam orang pengawal itu masih kewalahan menghadapi amukan kakek dan nenek
Kui-kok-pang, sedangkan Hui Song sendiri memperoleh kenyataan betapa lihainya
nenek bercambuk ekor sembilan ini. Dia bisa menduga bahwa nenek ini tentulah
seorang tokoh Cap-sha-kui yang berjuluk Kiu-bwe Coa-li.
Diam-diam
dia harus mengakui kelihaian nenek ini. Masih untung bahwa mereka berkelahi di
atas perahu, bukan di darat. Kabarnya nenek ini pandai memanggil dan
mengerahkan ular-ular untuk mengeroyok lawan.
Kedua pihak
yang berkelahi mengharapkan bantuan masing-masing. Para penyerbu tentu saja
merasa heran sekali mengapa dua orang kawan yang boleh mereka andalkan itu tak
juga muncul. Mereka telah bertemu dengan Sim Thian Bu yang sudah berjanji
membantu, bahkan pemuda cabul itu hendak melakukan pengamatan bersama seorang
tokoh Hwa-i Kai-pang yang bernama Bhe Hok itu. Tentu saja para iblis
Cap-sha-kui tidak tahu bahwa Bhe Hok tak kuat menandingi Shan-tung Lo-kiam
sehingga melarikan diri, sedangkan Sim Thian Bu setelah memperoleh mangsa, lupa
akan janjinya.
Pada pihak
lainnya, Hui Song juga terheran-heran mengapa pemuda jembel yang menjadi
sahabatnya itu, Sui Cin, tak kunjung muncul untuk membantunya. Tiba-tiba saja
terdengar suara yang-kim, lantas muncullah seorang kakek lihai yang bukan lain
adalah Shan-tung Lo-kiam. Begitu naik ke atas perahu di mana sedang terjadi
perkelahian, kakek ini segera membantu enam orang pengawal yang terdesak.
Melihat
betapa para penjahat itu terjebak oleh seorang pemuda perkasa yang menyamar
sebagai Menteri Liang yang dibantu oleh enam orang pengawal pilihan, kakek ini
tertawa. "Ha-ha-ha-ha! Para tokoh Cap-sha-kui terjebak seperti tiga ekor
tikus dalam perangkap, ha-ha-ha."
Dan dia pun
segera menggerakkan senjatanya yang sebenarnya, yaitu sebatang pedang,
sedangkan yang-kim di tangan kirinya hanya dipergunakan sebagai perisai. Dan
ternyata, sesuai dengan julukannya, yaitu Lo-kiam (Pedang Tua), begitu
memainkan pedangnya, kakek ini langsung memperlihatkan kelihaiannya.
Tiga orang
tokoh Cap-sha-kui merasa terkejut bukan main melihat kemunculan Shan-tung
Lo-kiam yang sudah mereka ketahui kelihaiannya. Kemunculan kakek ini tentu saja
akan menambah kekuatan lawan dan sebaliknya membahayakan diri mereka. Namun
tiba-tiba terdengar suara berdesir nyaring dan segera terasa getaran perahu
disusul teriakan para anak buah perahu besar.
"Perahu
terbakar...!"
Hui Song,
enam orang pengawal serta Shan-tung Lo-kiam terkejut sekali melihat betapa
ujung perahu terbakar. Mereka meloncat ke tepi dan melihat sebuah perahu kecil
tak jauh dari sana. Ada dua orang yang berada di dalam perahu itu, yakni
seorang kakek kurus memegang tongkat bersama seorang pemuda remaja yang berdiri
tegak di atas perahu. Pemuda ini memegang sebuah busur dan dialah yang tadi telah
melepaskan anak panah berapi yang kemudian membakar perahu besar.
Melihat
peristiwa ini, tiga orang datuk Cap-sha-kui bergerak cepat. Mereka pun meloncat
meninggalkan lawan dan melihat perahu kecil itu mereka langsung berlompatan
turun dari perahu besar menuju ke perahu kecil itu. Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo
dapat hinggap di atas perahu kecil itu, namun membuat perahu terguncang.
Lompatan
Kiu-bwe Coa-li tidak tepat. Nenek ini tentu terjatuh ke air kalau saja pemuda
itu tidak cepat mengulur tangan kiri menyambar ujung baju si nenek dan sekali
tarik dengan sentakan, tubuh nenek itu lalu tertahan dan dapat turun ke atas
perahu dengan selamat! Gerakan pemuda yang memegang busur ini sungguh cekatan
dan amat kuatnya sehingga diam-diam Hui Song harus mengakui bahwa pemuda itu
merupakan lawan yang sangat tangguh.
Ketika para
pengawal dan Hui Song hendak mengejar, tiba-tiba pemuda di atas perahu kecil
itu kembali meluncurkan dua buah anak panah berapi yang tepat mengenai layar
dan bilik perahu besar sehingga terjadi kebakaran besar. Sementara itu, tiga
orang tokoh Cap-sha-kui langsung bergerak mendayung perahu tanpa diperintah
lagi sehingga perahu kecil itu meluncur pergi dengan cepatnya.
Terpaksa Hui
Song, para pengawal serta Shan-tung Lo-kiam sibuk membantu para anak buah
perahu memadamkan api dan membiarkan perahu kecil yang membawa lima orang sesat
itu melarikan diri. Dengan kecepatan luar biasa, perahu kecil yang didayung
oleh orang-orang kuat itu sebentar saja lenyap.
Hui Song
kecewa sekali. Tadinya dia mengharapkan untuk dapat menangkap seorang di antara
mereka agar rahasia kejahatan Liu-thaikam dapat terbongkar. Tanpa adanya bukti,
sukar untuk menjatuhkan pembesar korup yang amat dipercaya oleh kaisar itu.
Kalau ada bukti dan saksi, barulah kejahatan pembesar itu dapat terbongkar dan
kemudian diketahui oleh kaisar.
Para
pengawal serta anak-anak buah perahu besar ternyata sudah mengenal baik kakek
pembawa yang-kim itu dan mereka semua bersikap hormat. Memang kakek ini tidak
asing bagi para pembantu dan keluarga Menteri Liang yang menjadi sahabat
baiknya. Hui Song segera maju memberi hormat kepada Shan-tung Lo-kiam.
"Terima
kasih atas bantuan locianpwe."
Kakek itu
tersenyum sambil memandang kagum kepada pemuda itu. "Orang muda, aku
Shan-tung Lo-kiam, sejak dahulu adalah sahabat baik Menteri Liang maka tidak
aneh jika aku membela beliau. Akan tetapi engkau seorang muda sudah berani
menghadapi para datuk sesat dari Cap-sha-kui, benar-benar amat mengagumkan.
Siapakah engkau, orang muda?"
Mendengar
bahwa kakek ini adalah Shan-tung Lo-kiam yang terkenal sebagai seorang pendekar
angkatan tua, Hui Song menjadi kagum. Dia menjura dan memperkenalkan diri,
"Saya bernama Cia Hui Song, locianpwe."
"She
(marga) Cia? Adakah hubungannya dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai?"
Hui Song
agak meragu. Akan tetapi pada waktu dia menghadap Menteri Liang, terpaksa dia
memperkenalkan diri sehingga enam orang pengawal itu sudah mengetahui keadaan
dirinya. Kini salah seorang dari mereka menyela, "Locianpwe, Cia-taihiap
ini adalah putera ketua Cin-ling-pai."
"Ah,
pantas begini gagah perkasa!" kakek itu memuji kagum, kemudian dia menarik
napas panjang. "Sayang para penjahat itu dapat melarikan diri..."
"Siapakah
pemuda yang melepas anak panah dan kakek bertongkat di dalam perahu kecil tadi,
locianpwe? Saya melihat pemuda itu lihai sekali," tanya Hui Song.
"Aku
sendiri belum pernah bertemu dengan kakek itu, akan tetapi aku yakin bahwa
tentu dia yang kini memimpin para tokoh sesat dan dialah agaknya yang bernama
Siangkoan Lo-jin dan berjuluk Si Iblis Buta."
"Ahhh...!"
Enam orang perwira pengawal itu terkejut mendengar nama ini. Akan tetapi Hui
Song tidak mengenalnya.
"Dan pemuda
itu?" tanyanya.
"Entahlah,"
jawab Shan-tung Lo-kiam, "Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa Si Iblis
Buta mempunyai seorang putera yang kabarnya sudah mewarisi semua kepandaiannya.
Mungkin juga pemuda tadi puteranya. Sayang, kalau saja kita tadi bisa menawan
seorang saja di antara mereka, tentu akan memperoleh banyak keterangan."
Hui Song
teringat akan sahabatnya yang tidak pernah muncul. "Locianpwe, saya
memiliki seorang kawan, seorang pemuda jembel yang berada di sini lebih dulu
untuk mengamati. Dia cukup lihai, dan apa bila dia tadi membantu, mungkin kita
berhasil. Akan tetapi saya merasa heran sekali mengapa dia tidak muncul. Apakah
barang kali locianpwe tadi ada melihatnya?"
Kakek itu
mengingat-ingat, lantas menggelengkan kepala. "Seorang pemuda jembel? Aku
tak pernah melihatnya. Pagi tadi di sini aku hanya melihat seorang gadis cantik
berkelahi melawan seorang pemuda dan seorang tokoh Hwa-i Kai-pang gendut. Aku
turun tangan membantunya, akan tetapi iblis Hwa-i Kai-pang itu melarikan diri dan
nona itu ditawan lalu dilarikan si pemuda. Sayang aku tidak dapat mengejar
mereka, karena aku harus menanti datangnya Menteri Liang."
"Siapakah
pemuda itu dan siapa pula gadis yang dilarikannya itu, locianpwe?" tanya
Hui Song dengan alis berkerut dan hati terasa tidak enak.
"Aku
tidak mengenal mereka akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua bukan orang
muda sembarangan. Gadis itu lihai, tetapi roboh akibat dibokong dan dikeroyok.
Pemuda itu pun lihai sekali dan melihat gerak-geriknya, sepantasnya dia seorang
pendekar. Akan tetapi pandang matanya cabul. Aku sedang menanti Menteri Liang
untuk melindunginya, maka menyesal sekali aku tidak sempat melakukan pengejaran
terhadap pemuda yang melarikan gadis itu."
Hati Hui
Song terasa semakin tidak enak. Dia teringat akan enci dari Sui Cin. Dia
sendiri tidak tahu kenapa dia menghubungkan peristiwa itu dengan enci-nya Sui
Cin. Akan tetapi ketidak munculan pemuda jembel itu membuat hatinya merasa
gelisah sekali.
"Biar
saya yang akan mencarinya, locianpwe," kata Hui Song sambil menanggalkan
jubah menteri yang menutupi pakaiannya sendiri, kemudian dia pun melompat ke
atas sebuah perahu nelayan yang berdekatan dan minta kepada nelayan itu supaya
mengantarnya ke pantai.
Sekarang
banyak perahu mendekati perahu pembesar itu. Shan-tung Lo-kiam bersama enam
orang perwira pengawal tadi tak berani menahan Hui Song karena mereka maklum
bahwa sudah menjadi kewajiban seorang pendekar semacam putera ketua
Cin-ling-pai itu untuk menolong gadis yang diculik penjahat.
***************
Bagaimanakah
dengan nasib Sui Cin? Apakah yang menimpa diri gadis pendekar itu? Dia masih
tetap sadar ketika roboh tertotok oleh tongkat Bhe Hok tokoh baru Hwa-i
Kai-pang, hanya lemas dan dia sama sekali tidak dapat meronta ketika dirinya
dipanggul kemudian dilarikan Sim Thian Bu.
Baru
sekarang terbukti bahwa pemuda ini sama sekali bukanlah seorang pendekar gagah
perkasa seperti yang disangkanya pada pertemuan pertama mereka di Bukit Perahu.
Sim Thian Bu ini seorang penjahat, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)
yang cabul dan keji.
Sui Cin
sejak kecil digembleng ayah bundanya menjadi seorang gadis yang selain berilmu
tinggi, gagah perkasa dan juga tak pernah mengenal rasa takut. Akan tetapi
sekali ini dia merasa ngeri sesudah terjatuh ke dalam tangan seorang
jai-hwa-cat dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.
Dia pernah
mendengar dari ibunya tentang jai-hwa-cat yang senang memperkosa wanita. Akan
tetapi dia pun ingat akan pesan dan nasehat ibunya bagaimana harus menghadapi
bahaya seperti itu.
Pertama dia
harus tenang dan tidak panik. Dalam keadaan tak berdaya untuk melakukan
perlawanan dengan kekerasan, ia harus pura-pura menyerah. Menurut ibunya,
jai-hwa-cat akan menjadi lunak hatinya apa bila korbannya menyerah dan dalam
cengeraman nafsu, penjahat itu akan menjadi lengah. Saat itulah paling tepat
untuk tiba-tiba menyerangnya.
Ia pernah
bertanya kepada ibunya bagaimana kalau ia diperkosa dalam keadaan tertotok atau
terbelenggu. Ibunya menjawab bahwa kalau tidak ada jalan lain menghindarkan
mala petaka itu, satu-satunya jalan hanya mematikan rasa dan menutup pikiran.
Kelak masih ada kesempatan untuk membalas perbuatan terkutuk itu berikut
bunganya yang berlipat ganda. Bagaimana pun juga, hampir saja Sui Cin menangis
kalau membayangkan betapa dia harus membiarkan dirinya diperkosa orang tanpa
dapat melawan.
Diam-diam
dia menghimpun hawa murni. Kalau saja totokan itu dapat dia punahkan, tentu
dengan sekali pukul kepala pemuda yang memondongnya ini akan pecah dan dia akan
dapat membunuhnya dengan mudah. Sekali ini dia akan melanggar pesan ayahnya.
Dia tak akan segan-segan membunuh jai-hwa-cat ini!
Akan tetapi
tiba-tiba pemuda itu berhenti berlari, menurunkannya ke atas tanah, kemudian
menotok jalan darah di punggungnya hingga membuat dia terkulai kembali dengan
lemas, dan pemuda itu sambil tersenyum-senyum bahkan membelenggu kaki tangannya
dengan tali sutera halus yang amat ulet dan tidak akan mungkin terputuskan.
Agaknya jai-hwa-cat ini sudah berpengalaman dan sudah mempersiapkan segalanya.
"Ha-ha-ha-ha!
Menghadapi seorang gadis lihai sepertimu harus berhati-hati!" kata pemuda
itu sambil mencolek dagu Sui Cin yang hanya dapat memandang dengan mata
mendelik. Tapi mata itu tak basah dengan air mata. Pemuda itu kini memondongnya
dan membawa lari dirinya dengan amat cepatnya.
Sambil
melarikan gadis itu, di dalam otak pemuda itu pun terjadi kesibukan. Sim Thian
Bu bukan seorang pemuda ceroboh dan bodoh yang hanya menurutkan dorongan
nafsunya saja. Tidak, dia tidak bodoh karena dia adalah murid utama dari
Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta! Karena kecerdikannya itulah dia merupakan
satu-satunya murid datuk itu yang dapat mewarisi hampir semua ilmu kepandaian
Si Iblis Buta. Dan karena kecerdikannya dia diberi tugas untuk menyusup sebagai
seorang pendekar ke Bukit Perahu.
Dia begitu
cerdik sehingga selama ini, walau pun dia mempunyai kesukaan memperkosa wanita
dan membunuhnya, kejahatannya tidak dicurigai dan tidak dikenal. Bahkan dalam
pertemuannya yang pertama dengan Sui Cin dan Cia Sun, Sim Thian Bu begitu
cerdiknya mengelabui mata mereka.
Yang
membunuh tiga orang muda dan seorang gadis yang lebih dulu diperkosanya adalah
dia sendiri. Akan tetapi dengan cerdiknya dia mampu memaksa seorang laki-laki
kasar, seorang penjahat rendahan biasa, agar mengakui perbuatan itu kemudian
membunuh diri. Dengan demikian, dalam pandangan Sui Cin dan Cia Sun dalam
pertemuan itu, dia bukan saja bebas dari tuduhan, bahkan dia menjadi seorang
pendekar!
Pada saat
bertemu Sui Cin yang cantik jelita, jenaka dan segar, tentu saja jai-hwa-cat ini
merasa tertarik sekali dan bangkitlah nafsunya. Andai kata Sui Cin adalah
seorang gadis biasa, tentu pada saat itu pula langsung dia kerjakan! Akan
tetapi Sui Cin adalah seorang gadis yang sangat lihai, apa lagi dia adalah
puteri Pendekar Sadis! Maka Sim Thian Bu mempergunakan siasat lain.
Mula-mula ia
hendak menjatuhkan hati dara itu dengan rayuannya untuk memikat hatinya,
mengandalkan ketampanan wajah serta kematangan pengalamannya dalam menghadapi
wanita. Akan tetapi Sui Cin adalah seorang dara pendekar yang tak mudah
terpikat oleh rayuan. Usahanya gagal sama sekali ketika pada suatu malam dara
itu meninggalkannya begitu saja. Hatinya kecewa, penasaran dan juga marah.
Kedatangannya
di Telaga Emas adalah sehubungan dengan tugas rahasia yang diterima dari
suhu-nya untuk melakukan pengintaian di telaga itu, bersama seorang tokoh Hwa-i
Kai-pang. Maka, bukan main girang hatinya ketika dia melihat Sui Cin di situ.
Pertemuan
yang sama sekali tak disengaja, bahkan tak pernah disangka-sangkanya. Dan dia
pun tak mau membuang kesempatan baik itu untuk menjumpainya sehingga terjadilah
perkelahian dan akhirnya, dengan bantuan Bhe Hok tokoh gendut Hwa-i Kai-pang
itu, dia berhasil merobohkan dan melarikan Sui Cin.
Tentu saja
dia sudah lupa sama sekali akan tugasnya untuk membantu suhu-nya setelah dia
berhasil melarikan dara yang membuatnya tergila-gila itu. Dan kini dia memutar
otak mencari akal. Dia tahu ke mana harus membawa gadis itu. Ke dalam sebuah
goa rahasia yang menjadi satu di antara tempat-tempat persembunyian suhu-nya.
Tempat itu kosong dan di situ dia tak akan terganggu oleh siapa pun. Tempat
sepi dan terpencil yang aman baginya.
Tak mungkin
dia memperlakukan gadis ini seperti para korban lainnya, yaitu memperkosa dan
mempermainkan hingga puas lalu membunuhnya untuk merahasiakan perbuatannya.
Tidak! Gadis ini terlampau penting untuk sekedar dinikmati lalu dibunuh. Dia
harus dapat memanfaatkan gadis ini, memperoleh keuntungan sebanyaknya.
Gadis ini
adalah puteri Pendekar Sadis! Baru mengingat nama ini saja dia sudah merasa
ngeri. Kalau dia memperkosa lalu membunuh Sui Cin seperti yang dilakukannya
terhadap wanita-wanita lain, lantas hal itu sampai terdengar oleh Pendekar
Sadis, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Terlalu
mengerikan!
Akan tetapi,
kalau dia dapat menjadi suami Sui Cin, menantu Pendekar Sadis? Amboi...! Betapa
hebatnya! Dia tentu akan menjadi terkenal, ditakuti, dan lebih lagi, dia
mendengar bahwa keluarga Pendekar Sadis amat kaya raya, hidup di Pulau Teratai
Merah.
Pada waktu
Sim Thian Bu tiba di lembah sunyi itu, di mana goa tempat persembunyian gurunya
berada, hari sudah menjelang senja. Dia berhenti di pinggir jurang, merebahkan
tubuh Sui Cin di atas tanah berumput, lalu membebaskan totokannya.
Kini Sui Cin
bisa bergerak kembali. Akan tetapi karena kedua kaki tangannya terbelenggu
kuat, tetap saja dia tidak berdaya. Dia hanya memandang marah, lalu memaki,
"Jahanam busuk!"
Thian Bu
tersenyum. "Nona Ceng, mengapa engkau tidak mau melihat kenyataan? Aku
cinta padamu, nona. Sungguh, sejak pertemuan kita yang pertama, aku sudah jatuh
hati dan tergila-gila padamu. Aku sungguh-sungguh, bukan main-main dan hidupku
baru akan berbahagia kalau engkau dapat menjadi isteriku yang sah."
"Lebih
baik aku mati!" Sui Cin membentak marah.
"Nona,
kau pikirlah baik-baik. Sekali aku melemparmu ke jurang ini, engkau akan tewas
dengan tubuh hancur dan tak seorang pun akan dapat menemukanmu. Atau engkau
lebih suka diperkosa dan dihina lantas dibunuh? Ingatlah, engkau masih muda.
Tidakkah lebih baik engkau menjadi isteriku yang terhormat? Kurang apakah
diriku? Aku cukup tampan dan masih muda, memiliki ilmu silat yang cukup, dan
amat mencintamu."
Pura-pura
menyerah mencari kelengahannya, pikir Sui Cin. Biar pun dadanya seperti mau
meledak saking marahnya, ia menekan kemarahannya dan berkata halus, "Tentu
saja aku tidak ingin begitu, akan tetapi beginikah sikapmu yang katanya
mencinta? Lepaskan dulu belenggu-belenggu ini, baru kita bicara dan
kupertimbangkan usulmu."
Akan tetapi
Thian Bu tersenyum dan menggelengkan kepala. "Hemmm, lihat, bukankah di
samping semua kelebihanku, masih ditambah kenyataan bahwa aku cerdik sekali dan
tak tertipu muslihatmu? Kecerdikanku membikin aku makin berharga untuk menjadi
suamimu. Nona, engkau bersumpahlah dahulu bahwa engkau tak akan melawan dan
menentangku, bahwa engkau akan suka menjadi isteriku, lalu kita akan bersatu
badan sebagai suami isteri, barulah aku akan melepaskan belenggumu. Maaf, semua
itu hanya untuk menjamin dan meyakinkan hatiku."
Sui Cin
membuang muka, menahan mulutnya yang hendak memaki-maki. Melihat sikap gadis
itu, Thian Bu melakukan siasatnya yang pertama, yaitu membujuknya dengan jalan
menakut-nakutinya.
"Nona,
benarkah engkau begitu tega, memilih mati dan menghancurkan hatiku dari pada hidup
berbahagia bersamaku?"
"Jahanam
keparat, tidak perlu banyak cerewet lagi. Mati jauh lebih mulia dari pada hidup
bersama seorang manusia berwatak iblis macammu ini. Bunuhlah, siapa takut
mati?"
"Hemmm,
perempuan sombong. Hendak kulihat sampai di mana keberanianmu!" Dia lalu
memondong tubuh Sui Cin dan dibawanya ke pinggir jurang. "Lihat, lihat
dasar jurang tak terukur dalamnya yang akan menerima tubuhmu ini!"
Tiba-tiba
dia melepaskan tubuh Sui Cin dengan kepala lebih dulu ke dalam jurang! Tubuh
itu melayang ke bawah dan Sui Cin memejamkan mata, menutup mulutnya rapat-rapat
agar jangan menjerit. Tiba-tiba tubuhnya berhenti meluncur dan ternyata pemuda
itu telah menangkap kedua kakinya sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala di
bawah.
Keadaan ini
segera mengingatkan dia akan latihan semedhi sambil berjungkir balik ketika dia
mempelajari ilmu menghimpun tenaga istimewa dari ayahnya. Maka, begitu tubuhnya
tergantung membalik seperti itu, dari pusarnya terhimpun hawa panas dan
sebentar saja aliran darahnya sudah menjadi lancar dan normal kembali, bekas
totokan pemuda jahat itu lenyap sama sekali.
Dia percaya
bahwa kalau saat itu dia mengerahkan tenaga dan melakukan ilmu Hok-te Sin-kun,
tenaganya akan mampu mematahkan belenggu sutera dan sekalian menendang lawan.
Akan tetapi, biar pun berhasil, tidak urung tubuhnya akan terjatuh ke dalam
jurang dan ini berarti bunuh diri! Tidak, ia tidak sebodoh dan senekat itu.
"Bagaimana,
nona? Apakah engkau memilih aku melepaskan kakimu kemudian tubuhmu meluncur ke
bawah, kepalamu menimpa batu di dasar jurang itu sampai remuk-remuk?"
Suara Sim Thian Bu penuh ejekan dan ancaman.
Sui Cin juga
seorang yang cerdik sekali. Dia tahu bahwa semua ini dilakukan jai-hwa-cat itu
hanya untuk menggertaknya. Satu-satunya cara untuk menghentikan siksaan ini
hanya memperlihatkan bahwa dia tidak takut.
"Pengecut
busuk! Kau kira aku takut? Lepaskan saja dan aku akan terbebas dari binatang
busuk macam kamu ini!"
Thian Bu
merasa mendongkol sekali. Kalau dia tidak merasa sayang dengan kecantikan gadis
ini dan mempunyai rencana yang sangat menguntungkan dirinya terhadap Sui Cin,
tentu tubuh itu telah dilemparkannya ke dalam jurang. Belum pernah selama
hidupnya ada wanita berani menolaknya, bahkan sebagian besar wanita atau gadis yang
diculiknya bisa ditundukkan dengan rayuan dan ketampanannya. Akan tetapi gadis
puteri Pendekar Sadis ini tidak mempan dengan dirayu, dan tidak takut diancam,
membuat dia kehilangan akal.
Tanpa banyak
cakap lagi dia lalu melompat dan membawa Sui Cin ke dalam sebuah goa besar yang
tertutup semak-semak belukar. Diam-diam Sui Cin memperhatikan tempat ini.
Sebuah goa tersembunyi. Tak mungkin akan ditemukan orang luar karena mulut goa
yang tidak seberapa besar itu tersembunyi di balik semak-semak belukar yang
penuh duri dan pantasnya hanya menjadi sarang ular-ular dan binatang-binatang
buas.
Sesudah
menguak semak-semak belukar dan nampak mulut goa, pemuda itu membawa Sui Cin
memasuki goa lantas menutupkan kembali semak-semak di depan goa. Sesudah masuk
ke dalam goa, ternyata goa itu berlorong lebar yang membawanya ke dalam satu
ruangan yang cukup luas. Akan tetapi keadaan di situ amat kotor dan tidak
terawat, tanda bahwa tempat itu sudah lama tidak didatangi orang.
Ruangan di
dalam goa itu seperti ruangan rumah saja, di mana terdapat meja-meja tua,
bangku-bangku dan juga sebuah dipan kayu yang nampak masih kokoh kuat. Sim
Thian Bu menurunkan tubuh Sui Cin lalu mengikat kaki dan tangan dara itu,
menelentangkannya di atas dipan.
"Ha-ha-ha,
nona manis. Dengar baik-baik, aku telah mengajakmu hidup bersama sebagai suami
isteri, akan tetapi engkau selalu monolak. Dan engkau bahkan lebih memilih mati
dari pada hidup sebagai isteriku yang terhormat dan tercinta. Kebandelanmu ini
membuat aku bingung maka sebaiknya kalau engkau kupaksa menjadi isteriku, baru
kita bicara lagi, ha-ha-ha!"
Sim Thian Bu
tersenyum-senyum dan memandang penuh nafsu kepada tubuh gadis yang sudah
ditelentangkan di atas dipan dalam keadaan kaki dan tangan terikat itu. Dia
lantas menanggalkan bajunya hingga nampaklah dadanya yang bidang. Memang selain
memiliki wajah tampan pesolek, pemuda ini juga mempunyai bentuk tubuh yang
baik. Sayangnya bahwa tubuh yang demikian baik dihuni oleh batin yang bobrok
dan kejam.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment